syndrome nefrotik
DESCRIPTION
Sindrom NefrotikTRANSCRIPT
1. Definisi sindrom nefrotik
Menurut Smeltzer dan Bare (2002), sindroma nefrotik merupakan gangguan klinis
ditandai dengan peningkatan protein dalam urin secara bermakna (proteinuria),
penurunan albumin dalam darah (hipoalbuminemia), edema, dan serum kolesterol
yang tinggi dan lipoprotein densitas rendah (hiperlipidemia). Tanda-tanda tersebut
dijumpai di setiap kondisi yang sangat merusak membran kapiler glomerolus dan
menyebabkan peningkatan permeabilitas glomerolus.
Sindrom Nefrotik adalah Status klinis yang ditandai dengan peningkatan
permeabilitas membran glomerulus terhadap protein, yang mengakibatkan
kehilangan protein urinaris yang massif (Donna L. Wong, 2004)
2. EPIDEMIOLOGI
Insidens dapat mengenai semua umur tetapi sebagian besar (74%) dijumpai pada usia 2-7
tahun. Rasio laki-laki ; perempuan= 2:1 sedangkan pada masa remaja dan dewasa rasio ini
berkisar 1:1.2 Penelitian di Selandia Baru menemukan insidens sindrom nefrotik hampir 20
per 1 juta kasus pada anak-anak berusia dibawah 15 tahun. Pada populasi tertentu, seperti
di Finlandia atau Mennonite, sindrom nefrotik kongenital dapat terjadi pada 1/10.000 atau
1/500 kelahiran. Berdasarkan ISKDC 84.5% dari semua anak dengan sindrom nefrotik primer
mempunyai gambaran histologik sindrom nefrotik kelainan minimal, 9.5%
glomerulosklerosis fokal, 2.5% mesangial, 3.5% nefropati membranosa atau penyebab
lainnya.( Cohen EP, 2010)
3. ETIOLOGI DAB FAKTOR RESIKO
Penyebab sindrom nefrotik yang pasti belum diketahui, akhir-akhir ini dianggap sebagai
suatu penyakit autoimun, yaitu suatu reaksi antigen – antibodi. Umumnya etiologi dibagi
menjadi :
a. Sindrom nefrotik bawaan
Diturunkan sebagai resesif autosomal atau karena reaksi maternofetal. Gejalanya adalah
edema pada masa neonatus. Sindrom nefrotik jenis ini resisten terhadap semua
pengobatan. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah pencangkokan ginjal pada masa
neonatus namun tidak berhasil. Prognosis buruk dan biasanya penderita meninggal
dalam bulan-bulan pertama kehidupannya.
b. Sindrom nefrotik sekunder
Disebabkan oleh :
Malaria kuartana atau parasit lainnya.
Penyakit kolagen seperti lupus eritematosus diseminata, purpura anafilaktoid.
Glumerulonefritis akut atau kronik.
Trombosis vena renalis.
Bahan kimia seperti trimetadion, paradion, penisilamin, garam emas, air raksa.
Amiloidosis, penyakit sel sabit, hiperprolinemia, nefritis membranoproliferatif
hipokomplementemik.
Penyakit metabolik atau kongenital: diabetes mellitus, amiloidosis, sindrom
Alport, miksedema.
Infeksi : hepatitis B, malaria, Schistosomiasis mansoni, Lues, Subacute Bacterial
Endocarditis, Cytomegalic Inclusion Disease, lepra, sifilis, streptokokus, AIDS.
Toksin dan alergen: logam berat (Hg), Trimethadion, paramethadion,
probenecid, penisillamin, vaksin polio, tepung sari, racun serangga, bisa ular.
Penyakit sistemik bermediasi imunologik: Lupus Eritematosus Sistemik, purpura
Henoch-Schonlein, sarkoidosis.
Neoplasma : tumor paru, penyakit Hodgkin, Leukemia, tumor gastrointestinal.
Penyakit perdarahan : Hemolytic Uremic Syndrome1
c. Sindrom nefrotik idiopatik
Tidak diketahui sebabnya atau disebut sindroma nefrotik primer. Berdasarkan
histopatologis yang tampak pada biopsi ginjal dgn pemeriksaan mikroskop biasa dan
mikroskop elektron, Churk dkk membaginya menjadi :
Kelainan minimal
Pada mikroskop elektron akan tampak foot prosessus sel epitel berpadu.
Dengan cara imunofluoresensi ternyata tidak terdapat IgG pada dinding kapiler
glomerulus.
Nefropati membranosa
Semua glomerulus menunjukan penebalan dinding kapiler yang tersebar tanpa
proliferasi sel. Prognosis kurang baik.
Glomerulonefritis proliferatif
- Glomerulonefritis proliferatif esudatif difus. Terdapat proliferasi sel
mesangial dan infiltrasi sel polimorfonukleus. Pembengkanan sitoplasma
endotel yang menyebabkan kapiler tersumbat.
- Dengan penebalan batang lobular.
Terdapat prolefirasi sel mesangial yang tersebar dan penebalan batang
lobular.
- Dengan bulan sabit ( crescent)
Didapatkan proliferasi sel mesangial dan proliferasi sel epitel sampai
kapsular dan viseral. Prognosis buruk.
- Glomerulonefritis membranoproliferatif
Proliferasi sel mesangial dan penempatan fibrin yang menyerupai membran
basalis di mesangium. Titer globulin beta-IC atau beta-IA rendah. Prognosis
buruk.
Lain-lain perubahan proliferasi yang tidak khas.
d. Glomerulosklerosis fokal segmental
Pada kelainan ini yang mencolok sklerosis glomerulus. Sering disertai atrofi tubulus.
Prognosis buruk.
Faktor Resiko Sindrom Nefrotik
Adapun beberapa faktor yangdapat menyebabkan seseorang menderita Nephrotic
Syndrome adalah:
Penyakit atau keadaan tertentu beberapa keadaan ataupun penyakit dapat
mempertinggi resiko untuk menderita Nephrotic Syndrome, contoh: diabetes,
amyloidosis dll.
Pengobatan atau obat-obatantertentu penggunaan obat antiinflamasi dan obat untuk
mengobati infeksi juga dapat mempertinggi resiko untuk terkena Nephrotic Syndrome.
Infeksi tertentu seperti HIV, Hepatitis B/C, dan Malaria.
(Mansjoer Arif. 2000)
4. Klasifikasi
Klasifikasi berdasarkan etiologi:
I. Sindrom nefrotik pada anak-anak / infantil.
Sindrom nefrotik infantil adalah sindrom nefrotik yang terjadi pada usia tiga bulan
sampai satu tahun, sedangkan jika terjadi sebelum usia tiga bulan disebut sebagai
sindrom nefrotik kongenital. Indonesia dilaporkan ada enam per 100.000 anak per
tahun menderita sindrom nefrotik.
a. Sindrom nefrotik infantil
Sangat jarang ditemukan, sindrom ini dapat disebabkan nail patella
syndrome, pseudohermaphroditism, XY gonadal disgenesis, tumor Wilms,
intoksikasi merkuri, sindrom hemolitik uremik, dan infeksi seperti sifilis, virus
sitomegalo, hepatitis, rubela, malaria, dan toksoplasmosis. Prognosis sindrom
nefrotik infantil umumnya buruk tetapi masih lebih baik daripada prognosis
sindrom nefrotik kongenital (Pardede S.O., 2002).
b. Sindrom nefrotik kongenital.
Merupakan penyakit familial, timbul dalam beberapa hari/ minggu setelah
lahir. Biasa menimbulkan kematian sebelum bayi berusia satu tahun
(Himawan S., 1979)
II. Sindrom nefrotik pada dewasa:
a) Glomerulonefritis primer (Sebagian besar tidak diketahui sebabnya).
Glomerulonefritis membranosa
Jarang menjadi penyebab SN pada anak tetapi sering pada dewasa. Hampir
semua pada orang dewasa. Pada mikroskop biasa terlihat gambaran
penebalan dinding kapiler, pada mikroskop elektron terlihat kelainan
membrana basalis. Kelainan ini jarang memberikan respon terhadap steroid
dan prognosis mortalitas lebih kurang 50% (Himawan S., 1979).
Glomerulonefritis Kelainan Minimal
Merupakan penyebab utama SN anak-anak, Pada dewasa hanya 20%.
Dengan mikroskop biasa tidak tampak kelainan yang jelas pada glomerulus
sedangkan ada mikroskop elektron dapat dilihat sel epitel kapiler glomerulus
yang membengkak dan bervakuol. Fungsi ginjal biasanya tidak banyak
terganggu dan tidak ada hipertensi (Himawan S, 1979).
Penampakan yang tidak biasa yaitu hipertensi (30% pada anak-anak dan50%
pada dewasa), hematuri (20% pada anak-anak dan 30% pada dewasa) dan
penurunan fungsi ginjal (kurang dari 5% pada anak-anak dan 30% pada
dewasa) (Braunwald E., 2008).
Prognosis kelainan ini relatif paling baik. Pengobatannya ialah dengan
pemberian steroid. Sering mengalami remisi spontan, akan tetapi sering pula
kambuh (Himawan S., 1979).
Glomerulonefritis membranoproliferatif
Biasa ditemukan pada anak besar dan orang dewasa muda. Perjalanan
penyakit progresif lambat, tanpa remisi dan berakhir dengan payah ginjal.
Ciri khasnya adalah kadar komplemen serum yang rendah. (Himawan S.,
1979).
Glomerulonefritis pasca streptokok
b) Glomerulonefritis sekunder akibat:
1) Infeksi
i. HIV, hepatitis virus B dan C
ii. Sifilis, malaria, skistosoma
iii. Tuberkulosis, lepra
2) Keganasan
Adenokarsinoma paru, kanker payudara, kolon, bronkus, limfoma hodgkin,
myeloma multiple, dan karsinoma ginjal
3) Penyakit jaringan penghubung
Lupus eritematosus sistemik, arthritis reumatoid, MCTD (Mixed connective
tissue disease)
4) Efek Obat dan Toksin
Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAIN), preparat emas, penisilamin,
kaptopril, heroin
5) Lain-lain: Diabetes mellitus, amiloidosis, pre-eklampsia, rejeksi alograf
kronik, refluks vesikoureter, atau sengatan lebah.
(Prodjosudjadi W., 2006).
Glomerulonefritis primer atau idiopatik merupakan penyebab yang paling sering
(Prodjosudjadi W, 2006). Perlu diingat bahwa penyakit-penyakit yang termasuk golongan
nefrosis, yaitu penyakit yang terutama mengenai tubulus, tidak ada yang menyebabkan SN
(Himawan S., 1979).
Menurut tinjauan dari Robson pada lebih dari 1400 kasus, beberapa jenis glomerulonefritis
primer merupakan penyebab dari 78% sindrom nefrotik pada orang dewasa dan 93% pada
anak-anak. Pada 22% orang dewasa keadaan ini disebabkan oleh gangguan sistemik
(terutama diabetes, amiloidosis, dan thrombosis vena renalis), dimana ginjal terlibat secara
sekunder atau karena mengalami respon abnormal terhadap obat atau alergen lain (Wilson
L.M.,1995).
5. Patofisiologi
Sindroma nefrotik adalah keadaan klinis yang disebabkan oleh peningkatan
permeabilitas glomerulus terhadap protein plasma, yang menimbulkan proteinuria,
hipoalbuminemia, hyperlipidemia, dan edema. Meningkatnya permeabilitas dinding kapiler
glomerular akan berakibat pada hilangnya protein plasma dan kemudian akan terjadi
proteinuria. Lanjutan dari proteinuria menyebabkan hipoalbuminemia. Dengan menurunnya
albumin, tekanan osmotic plasma menurun sehingga cairan
Intravaskuker berpindah ke dalam interstitial. Perpindahan cairan tersebut
menjadikan volume cairan intravaskuler berkurang, sehingga menurunkan jumlah aliran
darah ke renal karena hypovolemic. Karena terjadi penurunan darah ke renal, maka ginjal
akan melakukan kompensasi dengan merangsang produksi renin-angiotensin dan
peningkatan sekresi antidiuretic hormone (ADH) dan sekresi aldosterone yang kemudian
terjadi retensi natrium dan air yang akan menyebabkan edema/ascites.
Pada sindroma nefrotik terjadi peningkatan kolesterl dan trigliserida serum akibat
dari peningkatan produksi lipoprotein karena penurunan plasma albumin dan penurunan
tekanan onkotik plasma. Adanya hyperlipidemia juga akibat dari meningkatnya produksi
lipoprotein dalam hati yang timbul karena kompensasi hilangnya protein, dan lemak yang
banyak dalam urin (lipiduria). Hipoalbuminemia disebabkan oleh hilangnya albumin melalui
urin dan peningkatan katabolisme abumin ginjal. Sintesis protein di hati biasanya meningkat
(namun tidak memadai untuk mengganti kehilangan albumin dalam urin), tetapi mungkin
normal atau menurun.
Proteinuria merupakan kelainan dasar sndroma nefrotik. Proteinuria sebagian besar
berasal dari kebocoran glomerulus (proteinuria glomerular) dan hanya sebagian kecil berasal
dari sekresi tubulus (proteinuria tubular). Perubahan integritas membrane basalis
glomerulus menyebabkan peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap protein plasma
dan protein utama yang diekskresikan dalam urin adalah albumin. Derajat proteinuria tidak
berhubungan langsung dengan keparahan kerusakan glomerulus. Pasase protein plasma
yang lebih besar dari 70kD melalui membrane basalis glomerulus normalnya dibatasi oleh
charge selective barrier (suatu polyanionic glycosaminoglycan) dan size selective barrier.
Pada hyperlipidemia, kolesterol serum, very low density lipoprotein (VLDL), low
density lipoprotein (LDL), trigliserida meningkat sedangkan high density lipoprotein (HDL)
dapat meningkat, noemal, atau menurun. Hal ini disebabkan peningkatan sintesis lipis di
hepar dan penurunan katabolisme di perifer (penurunan pengeluaran lipoprotein,
VLDL,kilomikron dan intermediate density lipoprotein dari darah. Peningkatan sintesis
lipoprotein lipid distimulasi oleh penurunan albumin serum dan penurunan tekanan onkotik.
Lipiduria, lemak bebas (oval fat bodies) sering ditemukan pada sedimen urin.
Sumber lemak ini berasal dari filtrate lipoprotein melalui membrane basalis glomerulus yang
permeable.
Edema sebagai salah satu manifestasi klinis dari sindroma nefrotiik disebabkan oleh
penurunan tekanan onkotik plasma akibat hipoalbuminemia dan retensi natrium (teori
underfill). Hipovolemi menyebabkan peningkatan renin, aldosterone, hormone antidiuretic
dan katekolamin plasma serta penurunan atrial natriuretic peptide (ANP). Pemberian infus
albumin akan meningkatkan volume plasma, meningkatkan laju filtrasi glomerulus dan
eksresi fraksional natrium klorida dan air yang menyebabkan edema berkurang.
Membran glomerulus yang normalnya impermeable terhadap albumin dan protein
lain menjadi permeable terhadap protein terutama labumin, yang melewati membran dan
ikut keluar bersama urin. Hal ini menurunkan kadar albumin di da;am tubuh, menurunkan
cairan osmotik koloid dalam kapiler yang mengakibatkan akumulasi cairan di interstitial
(edema) dan pembengkakan tubuh, biasanya pada abdomen (ascites). Berpindahnya cairan
dari plasma ke interstitial menurunkan volume vaskuler, yang akan mengaktifkan stimulasi
RAA dan sekresi ADH serta aldosteron. Reabsorbsi tubulus ginjal terhadap air akan
meningkatkan volume intravaskuler (Smeltzer,et al, 2010; Shearer,Kaysen, 2001; Shearer,
Stevenson, 2001).
6. MANIFESTASI KLINIS NEFROTIC SYNDROME
Manifestasi klinis yang bisa ditimbulkan diantaranya adalah:
a. Anoreksia
b. Keletihan
c. Pucat
d. Diare
e. Nyeri abdomen
f. Penurunan haluran urine. Urine dapat tampak berbusa atau bergelembung
g. Periorbital (biasanya tanda pertama), edema pedal dan pratibial sampai edema seluruh
tubuh (anasarka), berat badan meningkat, asites dan efusi pleura. Pembengkakan labia
atau skrotum juga dapat terjadi. Dengan edema yang khas, anak mungkin terlihat pucat
dan mengalami gawat napas.
h. Kulit mengilat dengan vena menonjol
i. Penurunan tekanan darah yang ringan atau normal
j. Peningkatan kerentanan terhadap infeksi, terutama pneumonia, peritonitis, selulitis, dan
septikemia; anak rentan terhadap infeksi sekunder karena imunoglobulin hilang melalui
urine.
(Muscari, 2005)
Walaupun gejala pada akan bervariasi seiring dengan perbedaan proses penyakit, gejala
yang paling sering berkaitan dengan sindrom nefrotik adalah
1. Penurunan haluaran urine dengan urine berwarna gelap, berbusa
2. Retensi cairan dengan edema berat (edema fasiel, abdomen, area genital dan
ekstremitas)
3. Distensi abdomen karena edema edema dan edema usus yang mengakibatkan kesulitan
bernapas, nyeri abdomen, anoreksia dan diare
4. Pucat
5. Keletihan dan intoleran aktivitas
6. Nilai uji laboratorium abnormal
(Sowden, 2009)
Manifestasi klinis dari sindrom nefrotik (Baradero, 2009) adalah edema berat di seluruh
tubuh (anasarka), proteinuria berat, hipoalbuminemia dan hiperlipidemia. Pasien juga
mengalami anoreksia, dan merasa cepat lelah. Pasien wanita dapat mengalami amenorea.
Manifestasi klinis sindrom nefrotik
Fungsi Normal
Kapiler glomerular tidak
permeabel terhadap protein
serum. Plasma protein
membentu tekanan osmotik
koloid untuk menahan cairan
intraselular.
Patofisiologi
Kapiler glomerular menjadi
permeable (berpori pori)
terhadap protein serum dan
mengakibatkan proteinuria
dan tekanan osmotik serum
menurun. Filtrasi glomerular
juga menurun
Manifestasi Klinis
Edema anasarka, proteinuria
berat, hipoalbuminemia,
dan hiperlipidemia.
7. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Tes dan prosedur yang digunakan untuk mendiagnosis sindrom nefrotik meliputi:
1.) Urine tes
Urinalisis dapat mengungkapkan kelainan pada urin, seperti sejumlah besar protein, jika
terdapat sindrom nefrotik. Sampel urin dikumpulkan selama 24 jam untuk mengukur
ukuran yang akurat dari protein dalam urin. Volume biasanya kurang dari 400 ml/24 jam
(fase oliguria). Warna urine kotor, sediment kecoklatan menunjukkan adanya darah,
hemoglobin, mioglobin, porfirin.
Protein urin à >3,5g/1,73 m2 luas permukaan tubuh/hari
Urinalisa à cast hialin dan granular, hematuria
Dipstick urin à positif untuk protein dan darah
Berat jenis urin à meningkat (normal : 285 mOsmol)
2.) Tes darah.
Jika pasien memiliki sindrom nefrotik, sebuah tes darah mungkin menunjukkan
rendahnya tingkat protein albumin (hipoalbuminemia) khusus dan, sering, penurunan
tingkat protein darah secara keseluruhan. Kehilangan albumin sering dikaitkan dengan
peningkatan kolesterol darah dan trigliserida darah. Kreatinin dan urea serum darah
juga dapat diukur untuk menilai fungsi ginjal secara keseluruhan. Hemoglobin menurun
karena adanya anemia. Hematokrit menurun. Natrium biasanya meningkat, tetapi
dapat bervariasi. Kalium meningkat sehubungan dengan retensi seiring dengan
perpindahan seluler (asidosis) atau pengeluaran jaringan (hemolisis sel darah merah).
Klorida, fosfat dan magnesium meningkat.
3.) Biopsi jaringan ginjal untuk pengujian.
Dokter mungkin menyarankan prosedur yang disebut ginjal biopsi untuk mengambil
sedikit sampel jaringan ginjal untuk pengujian. Selama biopsi ginjal, jarum khusus
dimasukkan melalui kulit dan masuk ke ginjal. Jaringan ginjal dikumpulkan dan dikirim
ke laboratorium untuk pengujian. Biopsi ginjal bisa menunjukkan salah satu bentuk
glomerulonefritis kronis atau pembentukan jaringan parut yang tidak spesifik pada
glomeruli
4.) Rontgen dada bisa menunjukkan adanya cairan yang berlebihan
5.) USG Ginjal, dan CT scan ginjal datau IVP untuk menunjukkan pengkisutan ginjal
6.) Anamnesis : bengkak seluruh tubuh,buang air kecil keruh•Pemeriksaan fisis: edema
anasarka,asites
7.) Laboratorium: Proteinuria masif >3,5 gram / 24 jam / 1,73
m2,hiperlipidemia,hipoalbuminemia (<3,5 gram/dl),lipiduria,hiperkoagulabilitas.
Diagnosis etiologi berdasarkan biopsi ginjal
DIAGNOSIS BANDING
Edema dan asites akibat penyakit hati atau malnutrisi,diagnosis etiologi SN
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Urinalisis,ureum,kreatinin,tes fungsi hati, profil lipid, DPL, elektrolit, gula darah, hemostatis,
pemeriksaan imunologi, biopsi ginjal, protein urin kuatitatif.
8. PENATALAKSANAAN MEDIS
Tujuan pengobatan adalah untuk mengatasi penyebabnya. Mengobati infeksi
penyebab sindrom nefrotik dapat menyembuhkan sindrom ini. Jika penyebabnya adalah
penyakit yang dapat diobati (misalnya: penyakit Hodgkin atau kanker lainnya), maka
mengobatinya akan mengurangi gejala ginjal. Jika penyebabnya adalah kecanduan heroin,
maka menghentikan pemakaian heroin pada stadium awal sindrom nefrotik, bias
menghilangkan gejala-gejalanya. Penderita yang peka terhadap cahaya matahari, racun
pohon ek, racun pohonivy atau gigitan serangga, sebaiknya menghindari bahan-bahan
tersebut. Desensitisasi bisa menyembuhkan sindrom nefrotik akibat racun pohon ek, racun
pohon ivy atau gigitan serangga. Jika penyebabnya adalah obat-obatan, maka untuk
mengatasi sindrom nefrotik, pemakaian obat harus dihentikan.
Pengobatan yang umum adalah diet yang mengandung protein dan kalium dengan
jumlah yang normal dengan lemak jenuh dan natrium yang rendah. Protein 3-5gr/kgBB/hari.
Kalori rata-rata: 100kalori/kgBB/hari. Garam dibatasi bila edema berat. Bila tanpa edema
diberi 1-2gr/hari. Pembatasan cairan terjadi bias terdapat gejala gagal ginjal. Terlalu banyak
protein akan meningkatkan kadar protein dalam air kemih. ACE inhibitors (misalnya
captopril,lisinopril) biasanya menurunkan pembuangan protein dalam kandung kemih dan
menurunkan kosentrasi lemak dalam darah. Tetapi penderita yang mempunyai kelainan
fungsi ginjal yang ringan atau berat, obat tersebut dapat meningkatkan kadar kalium darah.
Jika cairan tertimbun di perut, untuk mengurangi gejala dianjurkan makan dalam porsi kecil
tetapi sering.
Tirah baring dianjurkan bila ada edema hebat atau ada komplikasi. Bila edema sudah
berkurang atau tidak ada komplikasi maka aktifitas fisik tidak memperngaruhi perjalanan
penyakit. Sebaliknya tanpa ada aktifitas dalam jangka waktu yang lama akan mempengaruhi
kejiwaan anak.
Tekanan darah tinggi biasanya diatasi dengan diuretic. Diuretic juga dapat
mengurangi penimbunan cairan dan mengurangi pembengkakan jaringan,tetapi bisa
meningkatkan resiko terbentuknya pembekuan darah. Pemberian diuretic terbatas pada
anak dengan edema berat, gangguan pernapasan,gangguan gastrointestinal atau obstruksi
urethra yang disebabkan oleh edemahebat ini. Pada beberapa kasus SN yang disertai
anasarka, dengan pengobatankortikosteroid tanpa diuretik, edema juga menghilang.
Metode yang lebih aktifdan fisiologik untuk mengurangi edema adalah yang merangsang
dieresis dengan pemberian albumin (salt poor albumin): 0,5-1gr/kgBB selama satu jam yang
disusul kemudian oleh furosemid I.V 1-2mg/kgBB/hari. Pengobatan ini bisa diulangi selama 6
jam bila perlu. Diuretic yang biasa dipakai adalah diuretic jangka pendek seperti furosemid
atau asam etakrinat. Pemakaian diuretic yang berlangsung lama dapat menyebabkan:
Hipovolemia
Hipokalemia
Alkalosis
Hiperuricemia
Selain itu pengobatan juga bisa dilakukan dengan antibiotic maupun kortikosteroid.
Antibiotik diberikan apabila ada tanda-tanda infeksi sekunder. Pengobatan dengan
kortikosteroid terutama diberikan pada SN yang sensitif terhadap kortikosteroid yaitu pada
SNKM. Bermacam-macam cara yang dipakai tergantung pengalaman dari tiap senter, tetapi
umumnya dipakai cara yang diajukan oleh International Colaborative Estudy of Kidney
Disease in Children (ISKDC, 1976).
Bila diagnosis sindrom nefrotik telah ditegakkan, sebaiknya janganlah tergesa-gesa
memulai terapi kortikosteroid, karena remisi spontan dapat terjadi pada 5-10% kasus.
Steroid dimulai apabila gejala menetap atau memburuk dalam waktu 10-14 hari.Untuk
menggambarkan respons terapi terhadap steroid pada anak dengan sindrom nefrotik
digunakan istilah-istilah seperti tercantum pada tabel 2 berikut :
Tabel 2. Istilah yang menggambarkan respons terapi steroid pada anak dengan
sindrom nefrotik
International Study of Kidney Disease in Children (ISKDC) menganjurkan untuk
memulai dengan pemberian prednison oral (induksi) sebesar 60mg/m2/hari dengan dosis
maksimal 80 mg/hari selama 4 minggu, kemudian dilanjutkan dengan dosis rumatan sebesar
40 mg/m² /hari secara selang sehari dengan dosis tunggal pagi hari selama 4 minggu, lalu
setelah itu pengobatan dihentikan.
a. Sindrom nefrotik serangan pertama
1. Perbaiki keadaan umum penderita:
Diet tinggi kalori, tinggi protein, rendah garam, rendah lemak. Rujukan ke bagian
gizi diperlukan untuk pengaturan diet terutama pada pasien dengan penurunan
fungsi ginjal.
Tingkatkan kadar albumin serum, kalau perlu dengan transfusi plasma atau albumin
konsentrat.
Berantas infeksi.
Lakukan work-up untuk diagnostik dan untuk mencari komplikasi.
Berikan terapi suportif yang diperlukan: Tirah baring bila ada edema anasarka.
Diuretik diberikan bila ada edema anasarka atau mengganggu aktivitas. Jika ada
hipertensi, dapat ditambahkan obat anti hipertensi.
2. Terapi prednison sebaiknya baru diberikan selambat-lambatnya 14 hari setelah diagnosis
sindrom nefrotik ditegakkan untuk memastikan apakah penderita mengalami remisi
spontan atau tidak. Bila dalam waktu 14 hari terjadi remisi spontan, prednison tidak
perlu diberikan, tetapi bila dalam waktu 14 hari atau kurang terjadi pemburukan
keadaan, segera berikan prednison tanpa menunggu waktu 14 hari.
b. Sindrom nefrotik kambuh (relapse)
Berikan prednison sesuai protokol relapse, segera setelah diagnosis relapse ditegakkan.
Perbaiki keadaan umum penderita.
1. Sindrom nefrotik kambuh tidak sering
Adalah sindrom nefrotik yang kambuh < 2 kali dalam masa 6 bulan atau < 4 kali
dalam masa 12 bulan.
Induksi
Prednison dengan dosis 60 mg/m² /hari (2 mg/kg BB/hari) maksimal 80 mg/hari,
diberikan dalam 3 dosis terbagi setiap hari selama 3 minggu.
Rumatan
Setelah 3 minggu, prednison dengan dosis 40 mg/m²/48 jam, diberikan selang
sehari dengan dosis tunggal pagi hari selama 4minggu. Setelah 4 minggu,
prednison dihentikan.
2. Sindrom nefrotik kambuh sering
Sindrom nefrotik yang kambuh > 2 kali dalam masa 6 bulan atau > 4 kali dalam masa
12 bulan.
Induksi
Prednison dengan dosis 60 mg/m²/hari (2 mg/kg BB/hari) maksimal 80 mg/hari,
diberikan dalam 3 dosis terbagi setiap hari selama 3 minggu.
Rumatan
Setelah 3 minggu, prednison dengan dosis 60 mg/m²/48 jam,diberikan selang
sehari dengan dosis tunggal pagi hari selama 4 minggu. Setelah 4 minggu, dosis
prednison diturunkan menjadi 40 mg/m² /48 jam diberikan selama 1 minggu,
kemudian30 mg/m² /48 jam selama 1 minggu, kemudian 20 mg/m²/48 jam
selama 1 minggu, akhirnya 10 mg/m²/48 jam selama 6 minggu, kemudian
prednison dihentikan.
Pada saat prednison mulai diberikan selang sehari, siklofosfamid oral2-3 mg/kg/hari
diberikan setiap pagi hari selama 8 minggu. Setelah 8 minggu siklofosfamid
dihentikan. Indikasi untuk merujuk ke dokter spesialis nefrologi anak adalah bila
pasien tidak respons terhadap pengobatan awal, relapse frekuen, terdapat
komplikasi, terdapat indikasi kontra steroid, atau untuk biopsi ginjal.
Prinsip pengobatan Sindrom Nefrotik
Patofisiologi Pengobatan
1. Kerusakan glomerulus Imunosupresif
Antikoagulan
Anti agregasi trombosit
2. Kehilangan protein Diet rendah protein (hewani)
3. Hipoalbuminemia & penurunan tekanan onkotik Infuse salt poor human albumin
4. Sekresi aldosteron Diuretic spironolokton
5. Retensi natrium dan air Diuretic furosemid
Diet rendah garam
6. Sembab yang resisten Ultrafiltrasi
Sedangkan penatalaksanaan medik Sindroma Nefrosis menurut Arif Mansjoer, 2000
adalah sbb :
Istirahat sampai edema tinggal sedikit. Batasi asupan natrium sampai kurang lebih 1
gram/hari secara praktis dengan menggunakan garam secukupnya dan menghindar
makanan yang diasinkan. Diet protein 2 –3gram / kgBB / hari.
Bila edema tidak berkurang dengan pembatasan garam, dapat digunakan diuretik,
biasanya furosemid 1 mg / kgBB / hari. Bergantung pada beratnya edema dan
respon pengobatan. Bila edema refrakter, dapat digunakan hididroklortiazid ( 25 –50
mg / hari ), selama pengobatandiuretik perlu dipantau kemungkinan hipokalemi,
alkalosis metabolik dan kehilangan cairan intravaskuler berat.
Pengobatan kortikosteroid yang diajukan Internasional Coopertive Studyof Kidney
Disease in Children (ISKDC), sebagai berikut :
a. Selama 28 hari prednison diberikan per oral dengan dosis 60 mg / hari luas
permukaan badan ( 1bp ) dengan maksimum 80 mg / hari.
b. Kemudian dilanjutkan dengan prednison per oral selama 28 hari dengan dosis 40
mg / hari / 1bp, setiap 3 hari dalam satu minggu dengan dosis maksimum 60
mg / hari. Bila terdapat respon selama pengobatan, maka pengobatan ini
dilanjutkan secara intermitten selama 4 minggu.
Cegah infeksi. Antibiotik hanya dapat diberikan bila ada infeksi.
Pungsi asites maupun hidrotoraks dilakukan bila ada indikasi vital.
9. Komplikasi
1. Hiperlipidemia merupakan keadaan yang sering menyertai SN. Kadar kolesterol pada
umumnya meningkat sedangkan trigliserida bervariasi dari normal sampai sedikit tinggi.
Peningkatan kadar kolesterol disebabkan oleh meningkatnya LDL (low density
lipoprotein) yaitu sejenis lipoprotein utama pengangkut kolesterol. Tingginya kadar LDL
pada SN disebabkan oleh peningkatan sintesis hati tanpa gangguan katabolisme hati.
Mekanisma hiperlipidemia pada SN dihubungkan dengan peningkatan sintesis lipid dan
lipoprotein hati dan menurunnya katabolisme.
2. Lipiduria sering ditemukan pada SN dan ditandai oleh akumulasi lipid pada debris sel dan
cast seperti badan lemak berbentuk oval (oval fat bodies) dan fatty cast. Lipiduria lebih
dikaitkan dengan protenuria daripada dengan hiperlipidemia.
3. Tromboemboli sering ditemukan pada SN akibat peningkatan koagulasi intravascular.
Pada SN akibat GNMP kecenderungan terjadinya trombosis vena renalis cukup tinggi.
Emboli paru dan trombosis vena dalam (deep vena trombosis) sering dijumpai pada SN.
Terjadinya
4. Infeksi oleh kerana defek imunitas humoral, selular, dan gangguan system komplemen.
Oleh itu bacteria yang tidak berkapsul seperti Haemophilus influenzae and
Streptococcus pneumonia boleh menyebabkan terjadinya infeksi. Penurunan IgG, IgA
dan gamma globulin sering ditemukan pada pasien SN oleh kerana sintesis yang
menurun atau katabolisme yang meningkat dan bertambah banyaknya yang terbuang
melalui urine.
5. Gagal ginjal akut disebabkan oleh hypovolemia. Oleh kerana cairan berakumulasi di
dalam jaringan tubuh, kurang sekali cairan di dalam sirkulasi darah. Penurunan aliran
darah ke ginjal menyebabkan ginjal tidak dapat berfungsi dengan baik dan timbulnya
nekrosis tubular akut.
6. Syok : terjadi terutama pada hipoalbuminemia berat (< 1 gram/100ml) yang
menyebabkan hipovolemia berat sehingga menyebabkan syok.
(Wiguno Prodjosudjadi. 2006, Gunawan, C.A, Sukandar E, Sulaeman R., 1990)
Referensi
1. Donna L, Wong. 2004. Pedoman Klinis Keperawatan Anak, alih bahasa: Monica Ester.
Jakarta: EGC.
2. Smetlzer, Suzanne C. dan Brenda G. Bare. 2002. Brunner & Suddart : Buku ajar
keperawatan Medikal Bedah Vol.1. Alih bahasa : Agung waluyo, dkk. Editor : Monica Ester,
Ellen Panggabean. Edisi 8. Jakarta : EGC.
3. Wiguno Prodjosudjadi, Divisi Ginjal Hipertensi, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, edisi ke-4,
Aru W.Sudoyo, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta, 2006
4. Cohen EP. Nephrotic Syndrome. [online] 20 December 2010 [cited 18 Januari 2011].
Available from: http://emedicine.medscape.com/article/244631-overview
5. Gunawan, C.A, Sindrom Nefrotik Patogenesis dan Penatalaksanaan, Bagian/ SMF Ilmu
Penyakit Dalam Program Pendidikan Dokter Spesialis Universitas Mulawarman / RSUD
A.Wahab Sjahranie Samarinda
6. Sukandar E, Sulaeman R. Sindroma nefrotik. Dalam : Soeparman, Soekaton U, Waspadji S
et al (eds). Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 1990. p. 282-305.
7. Marcellius S.K., Siti S. (Ed).Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. Jakarta, Pusat
Penerbit Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Hal.513-15
8. Mansjoer A., Kuspuji T., Rakhmi S., Wahyu I.W., Wiwiek S.,(Ed). 2001. Sindrom nefrotic
dalam Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid 1. Jakarta. Penerbit Media Aesculapius
FKUI. Hal. 525-27
9. Pardede S.O., 2002. Sindrom Nefrotik Infantil. Cermin Dunia kedokteran. No.134. Hal. 32-
37
10. Prodjosudjadi W., 2006. Sindrom Nefrotik dalam Aru W.S., Bambang S., Idrus A.,
Marcellius S.K., Siti S. (Ed).Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. Jakarta, Pusat
Penerbit Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Hal. 1174 - 81
11. Baradero, 2009, Seri asuhan Keperawatan Klien Gangguan Ginjal, Jakarta:EGC,
http://books.google.co.id/books?
id=i9mAClWMwKIC&pg=PA43&dq=penyakit+nefrotik+sindrom&hl=id&sa=X&ei=YbmlUem
_FdHqrQeFo4GgCw&ved=0CDwQ6AEwBA#v=onepage&q=penyakit%20nefrotik
%20sindrom&f=false
12. Muscari, Keperawatan Pediatrik, 2005, Jakarta: EGC http://books.google.co.id/books?
id=Xo5iH7MSZCIC&pg=PA352&dq=penyakit+nefrotik+sindrom&hl=id&sa=X&ei=YbmlUem
_FdHqrQeFo4GgCw&ved=0CEEQ6AEwBQ#v=onepage&q=penyakit%20nefrotik
%20sindrom&f=false
13. Sowden, 2009, Buku Saku Keperawatan Pediatri,
Jakarta:EGChttp://books.google.co.id/books?
id=j_ScFduyerMC&pg=PA442&dq=penyakit+nefrotik+sindrom&hl=id&sa=X&ei=YbmlUem_
FdHqrQeFo4GgCw&ved=0CC8Q6AEwAQ#v=twopage&q=penyakit%20nefrotik
%20sindrom&f=true
14. Caridi G, Bertelli R, Carrea A, et al. 2001. Prevalence, genetics, and clinical features of
patients carrying podocin mutations in steroid-resistant nonfamilial focal segmental
glomerulosclerosis. J Am Soc Nephrol; 12: 2742–46.
15. Green G, Kim J, Winkler C, et al. 2002. Genetic polymorphisms in CD2AP are common in
patients with glomerular disease. J Am Soc Nephrol; 13: 39 (abstr).
16. Karle SM, Uetz B, Ronner V, Glaeser L, Hildebrandt F, Fuchshuber A. 2002. Novel mutations
in NPHS2 detected in both familial and sporadic steroid-resistant nephrotic syndrome. J
Am Soc Nephrol; 13: 388–93.
17. Shearer GC, Kaysen GA. 2001. Proteinuria and plasma compositional changes contribute to
defective lipoprotein catabolism in the nephrotic syndrome by separate mechanisms. Am J
Kidney Dis: 37 (suppl 2): S119–22.
18. Shearer GC, Stevenson FT, Atkinson DN, Jones H, Staprans I, Kaysen GA. 2001.
Hypoalbuminemia and proteinuria contribute separately to reduced lipoprotein
catabolism in the nephrotic syndrome. Kidney Int; 59: 179–89.
19. Smeltzer, Suzanne C., Brenda G. Bare., Janice L.L., et al. 2010. Brunner & Suddarth’s
Textbook of Medical Surgical Nursing 12 Ed. Vol 1. Philadelphia: Wolters kluwer health /
lippincott williams & wilkins.
20. Anggraini, Shindy, (2012). Urinary System Disease : “Neprhotic Syndrome”.
http://blog.ub.ac.id/shinanri/2012/06/24/sindrom-nefrotik/, diakses tanggal 29 mei 2013
pkl 17.11