ta krisas galeh

21
TUGAS AKHIR KRITIK SASTRA METAFORA DALAM KUMPULAN PUISI TELIMPUH KARYA HASAN ASPAHANI Galeh Pramudita Arianto 2115125004 3PB 2 JURUSAN BAHASA DAN SATRA INDONESIA FAKULTAS BAHASA DAN SENI

Upload: galeh-pramudianto

Post on 17-Dec-2015

235 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

vfcgf

TRANSCRIPT

TUGAS AKHIRKRITIK SASTRAMETAFORA DALAM KUMPULAN PUISI TELIMPUH KARYA HASAN ASPAHANI

Galeh Pramudita Arianto

2115125004

3PB 2

JURUSAN BAHASA DAN SATRA INDONESIA

FAKULTAS BAHASA DAN SENI

UNIVERISTAS NEGERI JAKARTA

2015KATA PENGANTARPuji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas karunia serta anugerahnya saya dapat menyelesaikan tugas akhir mata kuliah Kritik Sastra yang berjudul METAFORA DALAM KUMPULAN PUISI TELIMPUH KARYA HASAN ASPAHANI ini dengan lancar dan tepat waktu. Terima kasih saya ucapkan kepada Erfi Firmansyah, MA selaku dosen pengampu mata kuliah ini yang sudah mengajarkan dan membimbing selama semester 5 ini.

Saya juga mengucapkan terima kasih kepada orangtua dan teman-teman karena semangat dan dukungan dari mereka saya dapat menyelesaikan tugas ini secara tepat waktu.

Saya menyadari bahwa masih banyaknya kekurangan yang terdapat dalam penelitian ini sehingga tidak benar-benar dapat diserap begitu saja oleh pembacanya. Saran dan kritik sangat saya tunggu. Harap saya semoga tugas ini dapat bermanfaat untuk para pembacanya.

Jakarta, Juni 2015

Penulis,

Galeh Pramudita Arianto

IPENDAHULUAN

Metafora dalam Puisi

Kajian-kajian terhadap metafora sebagai gaya bahasa, sebagaimana disampaikan Saeed (2005:346), pada umumnya menggunakan pendekatan yang didasarkan pada dua pandangan yang berbeda. Pendekatan pertama didasarkan pada pandangan klasik (Classical View) terhadap metafora. Pandangan klasik ini muncul sejak beredarnya tulisan Aristoteles (384-322 SM) tentang metafora. Aristoteles memandang metafora sebagai satu jenis hiasan tambahan pada penggunaan bahasa dalam kehidupan sehari-hari. Metafora dianggap sebagai alat retorik yang hanya digunakan pada saat-saat tertentu untuk mencapai efek tertentu pula. Wujudnya menyimpang dari bahasa yang dianggap masyarakat sebagai bahasa yang normal.

Pengertian Metafora

Hendy (1991:69) mengemukakan bahwa metafora berasal dari kata meta dan phoreo yang berarti bertukar nama atau perumpamaan. Metafora adalah majas perbandingan langsung, yaitu membandingkan sesuatu secara langsung terhadap penggantinya. Untuk memperjelas:

(1) Sang ratu malam telah muncul di ufuk timur.(2) Jantung hatinya hilang tanpa berita.

Ungkapan ratu malam pada kalimat pertama berarti bulan sedangkan ungkapan jantung hati pada kalimat kedua berarti kekasih. Jadi, bulan secara langsung dibandingkan dengan ratu malam atau ratu pada malam hari, sedangkan kekasih secara langsung dibandingkan dengan jantung dan hati.Apa yang dimaksud dengan perbandingan langsung pada pengertian yang diajukan Hendy di atas, dapat dipahami dengan jelas melalui pengertian metafora yang diajukan Waluyo. Macam-macam Metafora

Di muka telah dijelaskan bahwa gaya bahasa, termasuk metafora, merupakan cara khas penyair menggunakan bahasa untuk menyampaikan pikiran dan perasaannya pada orang lain (pembaca). Setiap penyair yang kreatif akan mencari dan menemukan keaslianya (karekteristiknya) masing-masing dalam bertutur. Kenyataan ini mengakibatkan lahirnya begitu banyak corak dan ragam gaya bahasa, khususnya metafora. Hal ini karena gaya bahasa kiasan, khususnya metafora, seolah-olah merupakan ladang subur bagi para penyair untuk berkreasi menciptakan ungkapan-ungkapan yang khas dan berdaya ungkap kuat tanpa melupakan estetika.

Meskipun begitu banyak corak metafora yang ditemukan, pada bagian ini akan dipaparkan klasifikasi metafora ditinjau dari beberapa segi, yaitu segi sifatnya, segi keterpakaiannya, dan segi bentuk sintaksisnya. Selanjutnya, paparan yang dimaksud disajikan seperti di bawah ini.1. Berdasarkan Sifatnya

Dalam penjelasannya tentang metafora, Waluyo (1987:84) menegaskan bahwa contoh-contoh ungkapan metafora seperti litah darat, bunga bangsa, kambing hitam, bunga sedap malam, dan sebagainya digolongkan sebagai metafora klasik (konvensional). Metafora klasik (konvensional) adalah metafora yang sudah dimiliki masyarakat pemakai bahasa. Metafora jenis ini lazim di-pahami sebagai bentuk metafora. Ia banyak digunakan dalam komunikasi sehari-hari. Keberadaannya dapat dilacak dalam kamus-kamus idiom (ungkapan).

Lebih lanjut, Waluyo menambahkan bahwa dalam puisi-puisi modern, banyak dijumpai metafora yang tidak konvensional sebagai hasil upaya kreatif penyair. Jenis metafora ini bersifat original. Ia hanya dimiliki penyairnya. Misalnya, pada puisi Serenada Hitam penyair mengiaskan dirinya sebagai Raden Panji sedangkan kekasihnya dikiaskan sebagai Dewi Chandra Kirana. Tambahan lagi, dalam puisi Perempuan-perempuan Perkasa karya Hartoyo Andangjaya ditemukan larik-larik sebagai berikut.Di atas roda-roda baja mereka berkendara

Mereka berlomba dengan surya menuju ke gerbang kota

merebut hidup di pasar-pasar kota

Pada puisi ini, roda-roda baja dan merebut hidup merupakan bentuk metafora yang tidak konvensional. Roda-roda baja merupakan kiasan untuk kereta api sedangkan merebut hidup merupakan kiasan untuk kerja keras (berdagang) guna menyambung hidup.2. Berdasarkan Keterpakaiannya

Pembagian metafora berdasarkan keterpakaiannya yang dimaksudkan adalah terpakai tidaknya sebagai metafora pada masa sekarang ungkapan-ungkapan yang sebelumnya merupakan metafora. Hal ini karena adanya kenyataan bahwa bentuk-bentuk metafora tertentu yang sudah sangat tua dan lazim dianggap tidak memiliki nilai kias lagi dalam kandungan maknanya. Sebagaimana yang dijelaskan Pradopo (2005:66), ada metafora yang disebut dengan metafora mati (dead metaphor). Metafora mati adalah metafora yang sudah klise. Metafora semacam ini sudah dilupakan orang bahwa itu metafora. Sebagai contoh ungkapan kaki gunung, lengan kursi, dan sebagainya. Dalam kaitannya dengan metafora yang masih hidup dan yang sudah mati, Keraf (2006:139-140) menyatakan bahwa bila pada masa sekarang sebuah metafora masih dapat ditentukan makna dasar dari konotasinya, maka metafora itu masih hidup, tetapi bila konotasinya tidak dapat ditentukan lagi, maka metafora itu sudah mati, sudah merupakan klise. Untuk memperjelas pendapatnya, disajikan contoh sebagai bdrikut.

Perahu itu menggergaji ombak

Mobilnya batuk-batuk sejak tadi pagi

Pemuda-pemudi adalah bunga bangsa

Kata-kata mengergaji, batuk-batuk, dan bunga bangsa masih hidup dengan arti aslinya. Sebab itu, penyimpangan makna seperti yang terdapat dalam kalimat-kalimat di atas merupakan metafora yang hidup. Namun, proses penyimpangan semacam itu pada suatu saat dapat membawa pengaruh lebih lanjut dalam perubahan makna kata. Kebanyakan perubahan makna kata mula-mula terjadi karena metafora. Metafora yang sudah sangat umum, lama-kelamaan dilupakan orang itu metafora sehingga makna yang baru itu dianggap sebagai makna yang kedua atau ketiga, seperti: berlayar, berkembang, jembatan, dan sebagainya. Metafora semacam ini adalah metafora mati.

Dengan matinya sebuah metafora, pemakai bahasa berada kembali di depan sebuah kata yang mempunyai denotasi baru. Metafora semacam ini dapat membentuk sebuah kata kerja, kata sifat, kata benda, frasa atau klausa, seperti menarik hati, memegang jabatan, mengembangkan, menduga, dan sebagainya. Sekarang tidak ada orang yang berpikir bahwa bentuk-bentuk itu tadinya adalah metafora.

3. Berdasarkan Bentuk Sintaksisnya

Dilihat dari bentuk sintaksis, Wahab (2006:72) mengajukan tiga macam metafora, yaitu metafora nominatif, metafora predikatif, dan metafora kalimatif. Dijelaskan, metafora nominatif merupakan metafora yang memiliki potensi menduduksi posisi satuan gramatika pembangun kalimat yang disebut subjek dan objek, sehingga metafora ini terbagi menjadi dua macam, yaitu metafora nominatif subjektif dan metafora nominatif objektif.Memperhatikan kerangka berpikir dan istilah yang digunakan, dalam mengelompokkan macam-macam metafora ini tampaknya Wahab bertumpu pada teori Linguistik yang dikemukakan kaum Strukturalis, khususnya tentang kalimat. Satuan gramatika pembangun kalimat yang posisinya mengikuti predikat lazim mereka sebut sebagai komplemen. Bertolak dari pandangan inilah metafora nominatif objektif oleh Wahab disebut sebagai metafora komplementatif. Sementara, metafora nominatif subjektif selanjutnya disebut sebagai metafora nominatif saja IIPEMBAHASAN

Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja:

Lupakan aku, ujarmu dengan suara pipih dan lembabdi bingkai pertama, balon percakapanitu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut,juga dingin dan kata-kata di dalamnyajadi percik rintik.

Aku menggambar payung untukmu,tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu:Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.

Lalu kugambar sebuah rumah di bingkai keduadengan kamar-kamar labirin. Aku tersesat, katamu.

Tidak! aku bersembunyi dan kau mencariku sepertipermainan petak-umpet!

DI bingkai ketiga, kugambar genangan basahair mata dan keringat yangberpunca dari resah dan lelah,Aku mau pulang dan tidur, pekikmu(Sajak Komik Strip, 1)

Telimpuh adalah sebuah kumpulan puisi yang terdiri dari tiga bab: Kitab Komik, Kamus Empat Kata, dan Malaikat Penjaga Gawang. Sejumlah sajak yang ada dalam tiap bagian memiliki satu nafas dominan yang sama. Hasan Aspahani memang sering mendulang ide bahwa tiap kali seorang penyair menulis sajak, hendaknya ia memperhitungkan adanya kebaruan dalam karyanya. Kebaruan menjadi sesuatu yang selalu diikhtiarkannya tiap kali ia menulis sajak. Serasa Tiba-tiba, bersama puisi, di depan dada terbentang gunung, langit, laut, sungai, semuanya juga menawarkan penjelajahan yang tak habis-habisnya.

Dengan anggapan tersebut tak heran kita akan menjumpai sejumlah eksperimen dalam banyak puisinya. Eksperimen itu mungkin tercium dari tema-tema yang digubahnya jadi puisi; dari bau intertekstualitas yang diruapkan oleh sajak-sajaknya; atau dari cara ucap puisinya yang cenderung terus melakukan pengelakan terhadap logat sajak penyair-penyair yang telah lampau. Pada Kitab Komik, semua sajak berkait dengan komik. Membacanya serasa diri kita dipenuhi beragam renungan percakapan yang dipenuhi paradoks. Seolah ada dua manusia yang berdialog dan tak pernah bisa menemu kata sepakat, meski upaya menuju satu pemahaman tak pernah benar-benar berhenti. Ada tegangan di sana, suatu perasaan kehilangan, uluran tangan, penampikan, dan pesimisme.Pelajaran Bebas Menggambar KomikPada saatnya tiba, kita harus memberipercakapan pada gambar itu, lanskapdengan huruf bisu itu. Kelak ketika kitakhatamkan kitab komik ini, tak ada senyapturun mendekap gurun, hati yang gerun.

Pada saatnya tiba, kita harus membubuhiwarna pada gambar hitam putih itu, denganpastel pelangi. Kelak ketika kita kumpulkankertas kucal ini, tak ada bidang kosongyang menjerit, menuntut minta diwarnai.

Tapi, sebenarnya, percakapan tak selalu hadir dalam tegangan yang memancarkan sebersit pesimisme. Ia justru bisa mewujud menjadi sesuatu yang amat dibutuhkan, semacam penghidup bagi sesuatu yang dulunya mati, menjadi pewarna bagi hal-hal yang sebelumnya kurang semarak.Catatan Seorang Pembuat KomikSudah kuduga dia: tokoh komik yang baru sajaterbunuh di lembar terakhir cerita. Aku sangatmengenal efek bunyi langkah kakinya. Dan, zing!Tajam suara sunyi, bunyi diamnya. Tapi, siapa yangterakhir memegang kunci studio? Aku hanya ingatpesuruh kantor yang kuminta membakar sisa-sisa A3.

Sia-sia bergegas. Alamat dan rumah ternyata telahterkemas, bersama kuas, pensil 3B, dan tinta cina.AKu pun ternyata ada di sana: di dalam ransel kerjayang selalu didekap dada kadang di kepala. Adaskenario gambar-gambar, narasi adegan, teks, danbalon-balon ucapan yang belum digelembungkan.Mari pulang ke komik kita, Saudara. Engkausebenarnya hendak merantau kemana? Siapa yangberkata? Rasanya aku tak pernah menuliskankalimat yang diterbangkan tokoh komik itu..

Masih juga, ada yang terus mengikuti langkahku.Bahkan ketika aku kembali ke studio, melangkahmelawan arah rumah, bahkan ketika kunyalakanlampu di atas meja gambar. Pasti dia juga yangmembuat makam sendiri pada kertas-kertas yangterbakar, eh ada batu nisan yang minta diberinama dan tanggal kematian. Namamu sendiri,Saudara. Kau tidak melupakannya, bukan?

Dialog-dialog yang terucap dalam puisi itu lebih menyerupai gumam yang kebingungan. Di satu sisi, jelas bukan hanya aku-lirik yang ada di sana, tapi pada sisi lainnya, sosok yang mengajak bercakap itu tak sepenuhnya nyata. USAHA HASAN BERLARI DAN MENARI DALAM SAJAK

Kisah-percakapan yang terbentuk dalam puisi itu, akhirnya membawa semacam renungan eksistensial tentang rumah, kepulangan, juga kematian. Pada Kamus Empat Kata, Hasan Aspahani membuat eksperimen unik: pada masing-masing sajak, ia memilih empat kata dengan huruf depan sama, kemudian menuliskan beberapa larik kalimat sebagai penjelas kata-kata tersebut. Ia membicarakan bahasa, percakapan, dan proses yang terkait dengan hal-hal itu. Pada sajak-sajaknya yang demikian, akan nampak dengan jelas bahwa bahasa, percakapan, dan manusia adalah tiga hal yang berada dalam ketegangan-ketegangan. Simak sajak Kamus Empat Kata Berhuruf Awal P:PERTAL: Dari bahasa ke bahasa, kita saling menerjemahkan.Masih saja ada yang tetap tak bisa kita mengertikansepenuhnya. Biar saja, aku yang melupakan bahasaku,katamu. Tidak, biarkan aku yang memperfasih bahasamu,kataku. Atau adakah waktu bagi kita untuk belajar mencipta katamengucapkan kita, dengan kamus yang sejak semula terbuka?PERUAK: Lalu jarak itu semakin melebar. Melabur semua lembar.Di seberang kau berteriak, aku hanya mendengar. Kau melambai,aku hanya menyebut, ah, diri yang lalai. Lalu kau tenggelam, akubelum juga sadar, hari sudah malam. Sudah lama larut malam.PERUANG: Padahal sebenarnya, kita pernah bersama belajar mantera.Mengapung di permukaan air. Tapi, aku ingin tenggelam bersamamu,katamu. Aku ingin kita berangkulan, melawan arus yang tak terlawan.Padahal sebenarnya, aku masih ingin tenggelam dalam keasinganbahasamu-bahasaku. Padahal sebenarnya, aku nyaris sampai padakesimpulan itu: mungkin sungai itu adalah kamus yang mencatatseluruh kata dalam hidup kita.

PERUM: Lalu, aku sendiri. Ada yang sepertinya sudah aku mengerti. Di tepisungai yang mencatat akhir keasingan bahasamu-bahasaku,aku melabuhkan batu penduga. Seperti ada yang menyapa di seberangsana. Hei, kau hendak berlayar kemana, Saudara?Dalam konvensi bahasa kita yang formal, kata pertal, peruak, peruang, dan perum memiliki makna yang cukup berjauhan. Kamus Umum Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (Balai Pustaka, 2006) menyebut pertal bermakna menerjemahkan; peruak berarti menjadi lebar; peruang terdefiniskan sebagai ilmu atau mantra yang menyebabkan tidak tenggelam di air; dan perum sebagai batu penduga.

Makna keempat kata yang berjauhan secara formal itu, didekatkan oleh Hasan Aspahani dalam sajaknya. Puisi Kamus Empat Kata Berhuruf Awal P menggemakan pada kita problem berbahasa yang dialami manusia dengan selipan kisah serta percakapan yang tragis dan menggemaskan. Sajak Kamus Empat Kata Berhuruf Awal L, 2 juga berisi soal percakapan, bahasa, dan kata. Masih dengan situasi tarik-menarik yang khas, juga problem-problem yang mengalir, tapi kini dibumbui renungan-renungan:LENGAR: Dia menyebutku dengan maksud yang lain,kau mengartikanku dengan niat yang juga berbeda,Dan pada akhirnya aku juga tak tahu dalampercakapan sesederha apa hingga bisa memaknaidiri sendiri sepenuh-penuhnya. Selamat pingsansajalah. Dalam kamus yang nyaman, kau sebaiknyatidur saja.LENGGANA: Yang paling malang atau paling beruntung adalahmenjadi kata, yang bisa meramalkan takdir sendiri. Siapa yangkini menyebutmu? Tak ada. Siapa yang kini mengertimu?Tak ada. Siapa yang kini mengalimatkanmu? Semuabisa menjawab dengan menyebutmu saja. Semua segan,semua enggan, semua tidak lagi sudi meyakinkanmu sebagaikata yang pernah ada.LENGKARA: Berapa usia sebuah kata? Sebab ucap yang basah kelakmengering jua; Sebab lidah yang tak bertulang tak pernahmengingat apa yang dikatakannya; Sebab bibir yang punyabahasa sendiri tak pernah minta disusun dalam kamus abadi;maka kuucap saja kata yang terdengar mustahil, kata yangseperti sesuatu yang tidak mungkin ada. Tapi ada. Tapi ia kata.

LENGKING: Dalam setiap kata, ada nyaring yang sama. Dalam setiapsuara ada makna yang bertahan meski telah lama mengabut gema.Di dalam kamus, kau temui dia diam, sebisik pun tak bersuara.Dalam jeritmu, dia mendengar kau meyakinkannya bahwadia memang ada. Dia punya makna.

Lengar artinya berasa seperti pening; lenggana memiliki definisi segan, enggan, tidak sudi; lengkara bisa diartikan sebagai mustahil, sesuatu yang tidak mungkin ada; dan lengking memiliki makna bunyi nyaring dan keras. Dilihat makna masing-masing, di antara kata-kata itu juga terpaut jeda yang jauh. Tapi, sekali lagi, Hasan Aspahani menunjukkan kemampuannya menyusun sebuah kisah-percakapan yang padu tentang kata, bahasa, dan manusia, menggunakan kata-kata tersebut. Sajak Kamus Empat Kata Berhuruf Awal L, 2 mengisahkan betapa makna dan kata tak selalu bergerak-berberengan. Salah satunya bisa mrucut dari yang lain dan oleh karenanya, percakapan bisa menjadi sesuatu yang melelahkan. Kelelahan itulah yang mungkin membuatnya mengucapkan salam perpisahan. Tapi, sebagaimana kita baca dalam bait ketiga dan keempat, pesimisme tentang percakapan itu selalu diikuti dengan semacam upaya untuk tetap meyakini bahwa kata yang mungkin saja mustahil itu tetap memiliki makna.

Sajak-sajak sepakbola Hasan Aspahani yang terangkum dalam bagian ketiga Telimpuh bisa dikatakan meruapkan tendensi utama pendayagunaan sepakbola beserta seluruh kosa kata dalam permainan itu sebagai jalan masuk menuju sebuah kontemplasi. Di sana dan di sini, masih kita temukan gaya ucap lincah yang dipadu dialog-dialog cerdas, kadang diselingi satu dua subversi sajak penyair yang lampau.Kwatrin Gawang SebenarnyaDia pun terbaring sendiri di lingkar tengah lapangan,Sebuah bola bulat telanjang tergolek di sampingnya.Tak ada lagi gawang sendiri dan gawang lawan,Hanya dengus nafasnya dan detak jantung bola.

Inilah saatnya menyatukan cinta, sebulat-bulatnya,katanya kepada bola. Dibukanya sepatu dan kaus kaki.Inilah saatnya kita memahami vonis hati: adu penalti,katanya pada diri sendiri. Lalu erat didekapnya tubuh bola.

Telah dilepaskannya nama dan nomor di punggungnya.Baru ia sadari, O, betapa lembut rambut rumput lapangan.Dan ketika ia telah meringkuk di rahim bola, maka tahulah ia: kenapa bapak dulu mengajarinya hakikat sebuah tendangan.

Berapa pertandingan hati ke kaki sudah dikejarnya?Berapa kartu merah mengusirnya dari lapangan tanya?Di dalam sunyi bola, rahasia kehidupan membuka terbaca,Membawanya ke gawang sebenarnya, gol sesungguhnyaDalam puisi-puisi Hasan Aspahani terkandung sebuah upaya untuk meneruskan optimisme-percakapan kita sebagai manusia. Dalam sajak-sajaknya, problem ketegangan percakapan selalu diikuti oleh sebuah upaya untuk mengatasi masalah itu. Dari pola yang semacam ini, kita tahu: kisah manusia selalu beriring harapan, secercah cahaya tentang kesalingmengertian, dan sebongkah mimpi puitis tentang masa depan yang lebih indah.

III

PENUTUP

KESIMPULAN

Saya kerap tercengang dan iri ketika membaca puisi-puisi Hasan Aspahani di Telimpuh. Tercengang karena di tangan Hasan, segala benda di hadapan yang tadinya biasa saja ternyata bisa menjadi momen dan diksi puitis. Iri karena kepekaan seperti itu belum bisa saya miliki. Teknik pengolahan Hasan sedikit banyak mengingatkan saya kepadaSapardi dan Jokpin. Meski pendekatan metafora keduanya tidak bisa dibilang seragam. Eksplorasi pemilihan kata Hasan mau tidak mau mendobrak unsur-unsur puitis yang selama ini kita tahu semisal: hujan, malam, daun, gerimis, dan lain sebagainya.Melalui telimpuh, saya diajak untuk menyusuri petak-petak kamus bahasa Indonesia yang jarang sekali saya buka dan baru menyadari bahwa banyak kata yang disebutkan itu memang benar-benar ada. Yang sering saya amati dari sebuah puisi adalah kenikmatan membaca. MemamahTelimpuhbisa diibaratkan dengan menyantap sepotong kue beraroma teh hijau; legit, harum, gurih. Bahkan setelah potongan terakhir habis dimamah perut, rasa legit masih tersisa di mulut.Sayangnya Hasan seperti mulai kehilangan tenaga di Bab IV "Tetapi, Aku Penyair!". Entah karena puisi-puisi yang ada di bab itu diperuntukkan kepada kawan-kawan sesama penyair sehingga ia harus menggali ingatan (yang terus terang memang melelahkan), atau karena ia terlalu berhati-hati. Di bab ini saya tidak lagi bisa merasakan kebebasan Hasan seperti di bab-bab sebelumnya. semoga perkembangan sajak-sajak Hasan tidak memiliki beban ketika disematkan definisi-definisi yang mulai kelelahan. Begitu kiranya. LAMPIRAN

Judul:TelimpuhPenulis:Hasan AspahaniCetakan: I,Juni 2009Penerbit:Koekoesan, DepokTebal:xiii + 107halaman (63puisi)ISBN: 978-979-1442-28-2Perancang sampul: MN. JihadTata Letak: Hari AmbariFoto Isi: R. Yusuf HidayatFoto Profil: Irwansyah PutraProlog: Ramdzan MihatEpilog: Haris Firdaus

Secara berurut,Telimpuhterdiri dari 4 (empat) kumpulan, yaituKitab Komik(10 puisi),Kamus Empat Kata(19 puisi),Malaikat Penjaga Gawang(16 puisi), danTetapi, Aku Penyair!(18 puisi).