tafsir surat al- mȂ’Ûn (nilai-nilai pendidikan islam dalam...
TRANSCRIPT
TAFSIR SURAT Al- MȂ’ÛN
(Nilai-Nilai Pendidikan Islam dalam Aspek Sosial)
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar
Sarjana Pendidikan Islam (S. Pd. I)
Oleh
Anisya Ulfah
NIM 1111011000070
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436 H/2015
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI
Skripsi berjudul Tafsir Surat Al-M6'fin (Nilai-Nilai Pendidikan fslam dalam
Aspek Sosial) disusun oleh Anisya Ulfah, NIM. 1111011000070, Jurusan
Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilrnu Tarbiyah dao Keguruarg Universitas Islam
Negeri Syarif HiCayafullah Jakarta. Telah melalui bimbingan dan dinyatakan sah
sebagai karya ifuniah yang berhak untuk diujikan pada sidang munaqosah sesuai
ketentuan yang ditetapkan oleh tbkiltas.
Jakart4 7 september 2015
Yang Mengesahkan,
Pembimbing,
r{rP. 19681208 199703 1 003
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAh{
Skripsi berjudul: "TAFSIR SIIRAT AL-MA'UN (Nilai-Nilai Pendidikan Islamdalam Aspek Sosial ", disusun oleh Anisya Ulfah, Nomor Induk Mahasiswa
1111011000070, diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK)UIN Syarif Hidayatullah lakarta dan dinyatakan lulus pada Ujian Munoqasah
pada tanggal 26 ktober 2015 di depan dewan penguji. Karena itu, penulis berhak
memperoleh gelar Sarjana Sl (S.Pd.D dalam bidang pendidikan Agama Islam.
Jakartq 26 Oktober 2015Panitia Uj ian MunaqasahKetua Panitia (Ketua Jurusan/Progpm Studi) Tanggal Tanda Tangan
Dr. H. Abdul Maiid Khon. M.AeMP. 19s80707 198703 1 005
Sekretaris (Sekretaris JurusanlProdi)
Marhamah Saleh. Lc. MANIP. 19720313 200801 2010
Penguji I
Prof.I)r. Salman HarunNIP. 19450612 196510 r00lPenguji II
Henv Narendranv. M.PdNIP. 19710512 199603 2 002
2(!:?/:-
i o /,a/,,
Mengetahui,Ilmu Tarbiyah
NIP. 19550421 I
. \ KEMENTERIAN AGAMA
-^O. uIN.IAIIARTA
tr{,El ll,'rn**rr,o,cip'@ 151)2hldhdb
FORM (rR)
No. Dokumen : FITK-FR-AKD-089
Tgl. Tetbit : I Mmet 2010
No. Revisi: : 0lHal Ut
SURAT PERNYATAAI\ KARYA SENDIRI
Saya yang bertanda tangan di bawah ini,
Nama
Tempat/Tgl.Lahir
NIM
Jurusan / Prodi
Judul Skripsi
Dosen Pembimbing
Anisya Ulfah
Tangerang, 13juli 1990
1111011000070
Pendidikan Agama Islam
TAFSIR SLIRAT AI-MA'UN (Nilai-Nilai Pendidikan Sosial)
Abdul Ghafur, MA
dengan ini menyaakan bahwa skripsi yang saya buat benar-benar hasil karya sendiri dan saya
bertanggung jawab secara akademis atas apa yang saya tulis.
Pernyataan ini dibuat sebagai salah satu syarat menempuh Ujian Munaqasah.
Jakarta, 16 September 2015"mAnisya UltbhNrM. 11r 1011000070
i
ABSTRAK
Anisya Ulfah (1111011000070)
Tafsir Surat Al-Mâ’ȗ n (Nilai-Nilai Pendidikan Islam dalam Aspek Sosial)
Surat al-Mâ’ȗn merupakan kelompok ayat yang membahas tentang masalah
antara hablun min Allah dan hablun min annas. Tujuan meneliti surah al-Mâ’ȗn
adalah untuk dapat menguraikan mengenai kandungan dari surat al-Mâ’ȗn, serta
analisis tentang apa saja dan bagaimana aktualisasi nilai-nilai pendidikan Islam
dalam aspek sosial yang terkandung di dalamnya.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis library research
(penelitian kepustakaan) dengan tehnik analisis deskriptif kualitatif, dengan cara
mengumpulkan data atau bahan-bahan yang berkaitan dengan tema pembahasan
dan permasalahannya, yang diambil dari sumber-sumber kepustakaan, kemudian
dianalisis dengan metode tahlilî, yaitu metode tafsir yang menjelaskan kandungan
ayat al-Qur`ân dari seluruh aspeknya.
Adapun hasil penelitian, yaitu terdapat beberapa nilai-nilai pendidikan sosial yang
tekandung dalam surat al-Mâ’ȗn ayat 1-7 meliputi: bagaimana Sikap
memperhatikan anak yatim yang baik, membantu orang miskin dan dhu’afa,
melatih keihlasan, manjauhi sifat ria, dan menjauhi sifat kikir. Dampak dari
pengamalan nilai-nilai islam aspek sosialnya adalah dapat mengatasi masalah
kemiskinan dan melatih diri agar menjadi dermawan.
Kata kunci : Tafsir Surat al-Mâ’ȗn, Nilai – Nilai Pendidikan Aspek Sosial
i
ABSTRACT
Anisya Ulfah (1111011000070)
Tafsir Surat Al-Mâ’ȗn (Islamic Education Values in Social Aspect)
Surat al-Mâ’ȗn is a group of verses about both hablun min Allah and hablun min
annas (“Hablu minallah” means that the relationship between your God and you
yourself, whereby “hablu minannas” is the relationship between human beings).
The purposes of researching surah al-Mâ’ȗn are to decipher its content and to
analyze what are the Islamic education values and how its actualization in the
social aspect.
The method used in this research is library research by using descriptive
qualitative technique by collecting data related to the topic and its problem from
library sources to be analyzed using tahlilî, a method of interpreting the Qur'an
which attempts to explain the Quran by outlining the variety of its aspects and
explain what is meant by the Qur'an.
As a result, this research found that there are several social education values
contained in surah al-Mâ’ȗn verse 1-7 including how to take care of the orphans,
help the poor, habituate sincerity, and avoid miserly and ria (insincerity). The
effects of Islamic values from the social aspect are to decrease poverty and to
habituate self for being generous
Key word : Tafsir Surat Al-Mâ’ȗn ,Islamic Education Values in Social Aspect
ii
KATA PENGANTAR
بسم هللا الرحمن الرحيم
Assalamu’alaikum Warahmatullâhi Wabarakâtuh
Alhamdulillah, puji syukurku atas kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan kasih sayang-Nya, bahwa upaya penulis untuk menyelesaikan
tugas akhir kuliah berjalan dengan tanpa ada hambatan yang berarti, sehingga
skripsi ini dapat rampung tepat waktu. Shalawat dan salam selalu tercurah
bagi Rasulullah SAW juga bagi keluarga dan para sahabat beliau yang mulia.
Skripsi ini penulis susun dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Islam pada Jurusan Pendidikan Agama
Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis menyadari akan keterbatasan kemampuan yang ada, baik dari
segi kemampuan berfikir maupun fasilitasnya, sudah barang tentu dari
berbagai segi dalam skripsi ini masih banyak kekurangannya. Sungguhpun
demikian, penulis telah berupaya semaksimal mungkin dalam menyelesaikan
skripsi ini meskipun dalam prosesnya tidak sedikit cobaan dan hambatan
yang harus dihadapi, namun Alhamdulillah atas bantuan, saran, dan
bimbingan dari semua pihak yang telah memberikan kemudahan bagi penulis
sehingga skripsi akhirnya dapat terselesaikan, oleh karena itu izinkan penulis
untuk mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada.:
1. Orang tua penulis, yaitu: Ayahanda terkasih, Jalaluddin ( Almarhum)
semoga Allah selalu menyayangimu dan Ibunda tercinta, Lismawati
yang tanpa hentinya merawat, mendidik putra-putrinya dengan tulus
ikhlas, dan berjuang mencukupi kebutuhan moril, materil serta
membimbing, memotivasi, berjuang penuh pengorbanan dan
mendo’akan penulis dalam menempuh langkah hidup di dunia yang
sementara ini.
iii
2. Bapak Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan (FITK).
3. Bapak H. Dr. Abdul Majid Khon, M.Ag. Dan ibu Hj. Marhamah
Saleh, Lc. MA selaku ketua dan sekretaris Jurusan Pendidikan Agama
Islam. Semoga kebijakan yang telah dilakukan selalu mengarah
kepada kontinuitas eksistensi mahasiswanya.
4. Bapak Abdul Ghafur, MA selaku pembimbing skripsi yang telah
memberikan perhatian, bimbingan, nasehat, kritik dan saran, serta
motivasi yang besar dalam proses penulisan skripsi ini.
5. Bapak Fauzan, MA selaku dosen pebimbing akademik yang telah
meluangkan waktunya untuk memberikan pelayanan konsultasi bagi
penulis.
6. Seluruh dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan yang telah
memberikan ilmunya sehingga penulis dapat memahami berbagai
materi perkuliahan.
7. Staf Perpustakaan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan dan
Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
menyediakan berbagai referensi yang menunjang dalam penulisan
skripsi ini.
8. Kakak-Kakak dan Adik-Adikku tersayang, Aa Taufik, Uni
Zulfahmiyati beserta Suami, Juzaili Rasis, Abidah Agnia Qalby,
Nurdini Febriana, M. Furqan Naufal Falah, yang selalu memberikan
semangat kepada penulis, semoga kita selalu menjadi anak-anak yang
bisa membanggakan kedua orang tua kita baik di dunia maupun
akhirat.
9. Teman-teman sejawat jurusan PAI angkatan 2011, khususnya sahabat
TWO PAI (PAI B) yang selalu ada untuk menemani membimbing dan
terus memberikan semangat kepada penulis.
10. Kepada sahabat yang selalu sedia untuk memberikan nasehat, arahan,
serta semangatnya untuk penulis, yaitu: Faturahmah Avicienna,
Yohanna Makatangin, Haifa Kairunnisa, Nur Baiti, Yolla Diatry
iv
Marlian, Nailah Alfiani, Nuni Nuraini, Marsita Eka, Ummu Hanifah,
Eka Maharani, yang sama-sama menepuh studi pada jurusan PAI UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
11. Semua pihak yang tidak penulis sebutkan satu persatu yang telah
berjasa membatu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini
Akhirnya penulis berharap semoga amal baik dari semua pihak yang
telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini mendapat balasan
pahala dan rahmat Allah SWT. Dan semoga apa yang telah ditulis dalam
skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Âmîn Yâ Robbal `Âlâmîn.
Ciputat, 09 September 2015
Anisya Ulfah
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI
LEMBAR PERNYATAAN
ABSTRAK ............................................................................................................ i
KATA PENGANTAR .......................................................................................... ii
PEDOMAN TRANSLITERASI .......................................................................... v
DAFTAR ISI ....................................................................................................... viii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................ 1
B. Identifikasi Masalah ................................................................................... 7
C. Pembatasan Masalah .................................................................................. 7
D. Perumusan Masalah .................................................................................... 7
E. Tujuan Penelitian ....................................................................................... 7
F. Manfaat Penelitian ..................................................................................... 8
BAB II : KAJIAN TEORI
A. Acuan Teori................................................................................................ 9
1. Pengertian Nilai-Nilai Pendidikan ......................................................... 9
2. Landasan dan Tujuan Pendidikan Islam ................................................ 12
3. Macam-Macam Nilai Pendidikan Islam ................................................ 15
4. Tujuan Pendidikan Islam ...................................................................... 19
5. Pendidikan Sosial dan Ruang Lingkupnya ............................................ 22
B. Hasil Penelitian Yang Relevan.................................................................... 28
BAB III : METODOLOGI PENELITIAN
A. Objek dan Waktu Penelitian ....................................................................... 30
B. Metode Penelitian ....................................................................................... 30
C. Fokus Penelitian ......................................................................................... 32
ix
D. Prosedur Penelitian ..................................................................................... 32
BAB IV: TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Sekilas Mengenai Sȗrah Al-Mâ’ȗn ............................................................ 34
1. Sebab-Sebab Turunnya Ayat ................................................................ 34
2. Munâsabah Ayat ................................................................................... 35
3. Tafsir Sȗrah Al-Mâ’ȗn Menurut Ahli Tafsir ......................................... 36
a. Tafsir Sȗrah Al-Mâ’ȗn Ayat 1 ........................................................ 36
b. Tafsir Sȗrah Al-Mâ’ȗn Ayat 2 ........................................................ 41
c. Tafsir Sȗrah Al-Mâ’ȗn Ayat 3 ........................................................ 45
d. Tafsir Sȗrah Al-Mâ’ȗn Ayat 4-5 ..................................................... 48
e. Tafsir Sȗrah Al-Mâ’ȗn Ayat 6 ........................................................ 52
f. Tafsir Sȗrah Al-Mâ’ȗn Ayat 7 ........................................................ 55
B. Analisis Nilai-Nilai Pendidikan Sosial dalam Tafsir Sȗrah Al-Mâ’ȗn dan
Dampaknya ................................................................................................ 58
1. Sikap Memperhatikan Anak Yatim ...................................................... 59
2. Membantu Orang Miskin dan Dhua’fa ................................................. 62
3. Melatih keikhlasan dan Menjauhi Sifat Ria .......................................... 65
4. Menjauhi Sifat Kikir ............................................................................ 67
BAB V: PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................................ 70
B. Saran .......................................................................................................... 71
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 72
LAMPIRAN .........................................................................................................
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur‘ân adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Rasulullah
SAW melalui malaikat Jibril. al-Qur‘ân merupakan mukjizat yang berlaku
hingga akhir zaman, karena al-Qur‘ân bersifat ‘aqliyah yaitu mukjizat
yang hanya dapat ditangkap oleh nalar manusia. Ia adalah kitab yang
sempurna dan merupakan sumber ajaran Islam, berisi tentang pedoman
hidup manusia yang menjadi tolak ukur dan pembeda antara kebenaran
dan kebathilan. Ia dapat mengeluarkan manusia dari gelap gulita menuju
cahaya terang benderang, tidak ada satu aspek pun dalam kehidupan
manusia yang tidak dibicarakan di dalam al-Qur‘ân.
Melihat fenomena yang terjadi dalam kehidupan umat manusia pada
zaman sekarang ini, seperti sudah jauh dari nilai-nilai al-Qur‘ân, oleh
karena itu bentuk penyimpangan terhadap nilai-nilai al-Qur‘ân mudah
ditemukan dalam lapisan masyarakat. Minimnya pengetahuan masyarakat
terhadap pemahaman al-Qur‘ân, akan semakin memperparah kondisi
moral masyarakat. Oleh sebab itu, satu-satunya upaya yang dapat
dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan kembali
kepada ajaran al-Qur‘ân sebagai paduan dalam menjalani kehidupan.
Al-Qur‘ân dalam pengertian umum bukanlah merupakan kitab ilmiah,
namun kitab suci ini banyak sekali berbicara tentang masyarakat, hal ini
disebabkan karena fungsi utama al-Qur‘ân adalah mendorong lahirnya
perubahan-perubahan posistif dalam masyarakat. 1
Dalam buku karangan Prof. Dr. H. Said Agil Husin Al-Munawar,
M.A. yang berjudul Aktualisasi Nilai-Nilai Qur’ani menjelaskan tentang
fungsi al-Qur‘ân, bahwa :
1M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‘ân, (Bandung: Mizan Pustaka, 1997) , cet. VI, h. 319
2
Di antara fungsi al-Qur‘ân adalah sebagai petunjuk (huda),
penerang jalan hidup (bayyinat), pembeda antara yang benar dan yang
salah (Furqan), penyembuh penyakit hati (syifa), nasihat atau petuah
(mau’izah) dan sumber informasi (bayan).2
Al-Qur‘ân mengajarkan banyak hal kepada manusia dari persoalan
keyakinan, moral, prinsip-pripsip ibadah dan mu’amalah sampai kepada
asas-asas ilmu pengetahuan. Ia memberikan wawasan dan motivasi kepada
manusia untuk memperhatikan dan meneliti alam sebagai bukti kekuasaan
Allah. Berdasarkan pemahaman ini, al-Qur‘ân berperan sebagai motivator
dan inspiratory bagi para pembaca, pengkaji dan pengamalnya.
Kemudian Quraish Shihab dalam bukunya yang berjudul Wawasan
Al-Qur‘ân mengemukakan tujuan diturunkan al-Quran sebagai berikut :
(1) Membersihkan akal dan menyucikan diri dari segala bentuk syirik
serta menerapkan keyakinan tentang ke–Esaan yang sempurna bagi
Tuhan. (2) Mengajarkan kepada manusia yang adil dan beradab. Yakni
bahwa manusia merupakan suatu umat yang wajib bekerja sama dalam
pendidikan kepada Allah SWT dan pelaksanaan sebagai Khalifah di
muka bumi.(3) Menciptakan persatuan dan kesatuan, bukan saja antar
suku atau bangsa, tetapi kesatan semesta alam, kesatuan kehidupan
dunia dan akhirat.(4) Mengajak manusia berfikir dan bekerja sama
dalam bidang kehidupan masyarakat dan bernegara melalui
musyawarah dan mufakat yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan.(5)Membasmi kemiskinan material dan spiritual,
kebodohan, penyakit penderita hidup, serta pemerasan manusia, dalam
bidang social, ekonomi, politik, dan juga agama.(6)Menekankan
peranan ilmu dan teknologi, untuk menciptakan satu peradaban yang
sejalan dengan jati diri manusia, dengan panduan nur Ilahi3
Demikian tujuan dan fungsi kehadiran al-Qur‘ân yang dijelaskan oeh
beberapa tokoh. al-Qur‘ân sebagai kitab terpadu dan menyeluruh yang
tidak sekedar mewajibkan manusia pada pendekatan religius yang bersifat
mistik saja tetapi al-Qur‘ân juga merupakan sebaik-baik petunjuk yang
bila dipelajari akan membantu kita dalam menanamkan nilai-nilai yang
dapat dijadikan penyelesaian berbagai problem hidup sehingga tercipta
ketenangan lahir dan batin. Al-Qur‘ân juga merupakan solusi bagi segenap
2Said Agil Husin Munawar, Aktualisasi Nilai-Nilai Qur’ani (Ciputat: PT. Ciputat Press,
2005), cet II, h. 4.
3M. Quraish Shihab, Op. Cit. h. 16.
3
urusan di dunia dan menjadi bekal kekal kelak untuk akhirat, karena itu
kita sebagai umat Islam wajib memahami, mempelajari, dan mengamalkan
isinya.
Dari penjelasan kandungan al-Qur‘ân di atas apabila diklasifiasikan
maka dapat disimpulkan bahwa al-Qur‘ân mengandung tiga aspek:
1. Berkaitan dengan masalah ketauhidan seperti pengenalan tentang sifat-
sifat ketuhanan yakni menyakini adanya Allah SWT, meyakini kitab-
kitab Allah, Malaikat, Rasul dan hari akhir, serta meyakini qodha dan
qodar
2. Berkaitan dengan masalah akhlak, antara lain sabar, tabah,
menghormati orang tua serta saling menghormati antara makhluk
hidup.
3. Berkaitan dengan masalah ibadah, seperti sholat, puasa dan lain-lain.
Menurut Zakiah Daradjat, ajaran-ajaran yang berkenaan dengan iman
tidak banyak dibicarakan dalam al-Qur‘ân, tidak sebanyak ajaran yang
berkenan dengan amal perbuatan, ini menujukkan bahwa amal itulah yang
paling banyak dilaksanakan, sebab semua amal manusia dalam
hubungannya dengan Allah, dengan dirinya sendiri, dengan anusia
sesamanya, dengan alam dan lingkungannya, dengan makhluk lainnya,
termasuk dalam ruang lingkup amal shaleh.4
Jika melihat ke masa lalu, keadaan dimana pertama kali Al-Qur‘ân
diturunkan, maka akan ditemukan keadaan masyarakat Makkah yang
penuh dengan berbagai problem sosial, dari yang paling kronis seperti
praktek-praktek penyembahan terhadap berhala-berhala, eksploitasi
terhadap orang miskin-miskin, penyalahgunaan dalam perdagangan,
sampai pada tidak adanya tanggung jawab umum terhadap masyarakat.
Menyikapi situasi masayarakat seperti itu, al- Qur‘ân meletakkan ajaran
tauhid dan sosial atau hablu minnannas wa hablu minallah yaitu tuntunan
berhubungan dengan Allah dan sesama manusia, di mana setiap manusia
harus bertanggungjawab kepada sesamanya, pemberantasan kejahatan
4Zakiyah Darajat, Ilmu Pendidikan Islam, ( Jakarta: Bumi Aksara, 2012), cet 10. H.20.
4
sosial dan ekonomi dari tingkat yang paling bawah sampe ke tingkat yang
paling atas.5
Gerak pemahaman dan pengamalan al-Qur’an merupakan pandangan
teologi al-Qur’an yang dikembangkan oleh K.H Ahmad Dahlan, yakni
pemahaman manusia terhadap al-Qur’an belum dikatakan sempurna
apabila belum diiringi dengan pengamalannya dalam kehidupan nyata,
agar Islam bukan saja memberi makna bagi diri sendiri dan orang-orang
sekitarnya, dengan kata lain ini adalah usaha untuk membuktikan bahwa
Islam itu benar-benar sebagai rahmat bagi semesta alam.6
Pendidikan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan
manusia, karena pendidikan sendiri adalah media dalam membina
kepribadian dan mengembangkan potensi yang dimiliki manusia. Dalam
menciptakan kepribadian yang ideal diperlukan pendidikan. Pendidikan
tidak hanya dilakukan di Sekolah saja, tetapi pendidikan juga dilakukan di
rumah dan masyarakat pun juga ikut berperan besar dalam menanamkan
nilai-nilai pendidikan. Pribadi seseorang akan menjadi baik apabila tiga
lingkungan tersebut, yaitu rumah, sekolah dan masyarakat, saling
membantu dan saling mendukung, agar mencetak seseorang menjadi
manusia yang berpendidikan dan berakhlak karimah.
Zakiyah Darajat menjelaskan beberapa konsep Pendidikan Islam
yaitu:
1. Pendidikan Islam mencakup semua dimensi manusia sebagaiman
ditentukan oleh Islam.
2. Pendidikan Islam menjangkau kehidupan di dunia dan kehdupan
dia akhirat secara seimbang.
3. Pendidikan Islam memperhatikan manusia dalam semua gerak
kegiatannya, serta mengembangkan kepadanya daya hubungan
dngan orang lain.7
5Sjamsudhuha, Pengantar Sosiologi Islam, (Surabaya:JP BOOKS, 2008), h. 107-115
6M. Yunan Yusuf, Tafsir Juz ‘Amma Sirajl Wahhaj, (Jakarta: Pena Madani, 2010), h. 786
7Zakiyah Darajat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah,(Jakarta:Ruhama,1995) cet.
2 h. 35
5
Dapat dipahami bahwa untuk melaksanakan semua tugas kehidupan,
baik bersifat pribadi maupun sosial, diperlukan keyakinan yang kuat dan
akhlak terpuji agar terbentuknya Insan Kamil.
Manusia adalah makhluk sosial, sebagaimana yang dijelaskan oleh
ayat kedua dari wahu pertama yang diterima Nabi Muhammad Saw, yaitu
surat al-‘Alaq yang berbunyi:
Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah
Ayat di atas dapat dipahami sebagai “diciptakan dinding dalam
keadaan selalu bergantung kepada pihak lain atau tidak dapat hidup
sendiri.8
Selain memelihara hubungan kita dengan Allah dan diri sendiri, kita
juga harus memelihara dan membina hubungan baik dengan sesama
manusia. Manusia sebagai makhluk sosial memiliki kesempatan untuk
dapat membina serta menciptakan suasana lingkungan sosialnya, agar
lingkungan tersebut benar-benar dapat mendukung keberlangsungan
kehidupannya, maka Nilai-nilai sosial perlu ditanamkan. nilai-nilai sosial
berfungsi sebagai acuan bertingkah laku dalam berinteraksi antar sesama
manusia sehingga keberadaannya bisa diterima di lingkungan masyarakat.
Nilai-nilai sosial memberikan pedoman bagi manusia agar tercipta
kehidupan yang harmonis, disiplin, demokrasi dan bertanggung jawab
dalam masyarakat. Sebaliknya, tanpa nilai-nilai sosial suatu masyarakat
tidak akan mendapatkan kehidupan yang harmonis dan demokratis.
Dengan demikian nilai-nilai sosial memiliki kedudukan yang penting
dalam mayarakat. Agar tercipta keharmonisan hidup tentu saja harus
dimulai dari kualitas diri yang unggul (insan kamil), yakni keterpaduan
antara iman, ilmu, dan amal.9
8M. Quraish Shihab, op.cit, h. 320
9Umar Syihab, Kontekstualisasi Al-Qur‘ân ; Kajian Tematik atas Ayat-Ayat Hukum dalam Al-
Qur‘ân (Jakarta : Penamadani, 2005), hlm. 41.
6
Beriman tidak selalu identik dengan pengucapan bentuk rutinitas
keagamaan yang tidak mempunyai pantulan dalam kehidupan masyarakat.
Demikian pula amal saleh tidak identik dengan bentuk lahiriah keagamaan
semata, tetapi seberapa jauh amal itu dapat mengarahkan pelakunya ke
dalam kecenderungan individu yang selalu baik dan benar dalam segala
tindakan sosialnya sehari-hari.10
Ajaran Islam yang selama sering dilupakan oleh ummat Islam adalah
kewajiban untuk menolong orang miskin, yatim dan kaum lemah lainnya.
Salah satu ajaran al–Quran yang populer berbicara tentang hal tersebut
adalah surat al-Mâ‘ȗn ayat 1-7, Surat al-Mâ‘ȗn sangat tegas menganggap
orang yang tidak peduli dengan anak yatim dan tidak mau memberi makan
orang miskin disebut sebagai pendusa agama, Ayat tersebut menunjukkan
bahwa agama (al-Islam) adalah agama yang kaffah. yaitu agama yang
memperhatikan segala aspek kehidupan, baik aspek individu maupun
aspek sosial. berbanding lurus dengan fenomena yang terjadi saat ini,
bahwa masalah yang masih membelit bangsa kita adalah masalah
kesejahteraan sosial, hal ini tidak lain dikarenakan karena ulah
manusiannya, Surat Al-Mâ‘ȗn menjelaskan sebab-sebab munculnya
kesenjangan sosial terjadi karena tidak ada keseimbangan yang baik dalam
menjalin hubungan kita dengan Allah dan sesama manusia.
Berdasarkan uraian di atas, maka sangat dibutuhkan penanaman nilai-
nilai kebaikan dalam jiwa setiap insan, agar kelak siapa pun akan
merasakan kebahagian hidup di dunia dan akhirat secara hakiki. Oleh
sebab itu untuk lebih terarahnya uraian di atas, maka penulis sangat
tertarik untuk mengkaji lebih mendalam atas tafsîr dan isi kandungan surat
Al-Mâ‘ȗn yang di dalamnya mengandung nilai-nilai pendidikan sosial
yang selanjutnya penulis tuangkan dalam skripsi yang berjudul “Tafsir
Surat Al-Mâ‘ȗn (Nilai-Nilai Pendidikan Islam dalam Aspek Sosial)”
10 Ibid. hlm. 42.
7
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah penulis susun, maka penulis
dapat mengidentifikasikan masalah sebagai berikut :
1. Kurangnya kesadaran masyarakat muslim dalam menerapkan nilai-
nilai Islam yang terkandung dalam al-Qur‘ân.
2. Banyaknya nilai-nilai pendidikan Islam dalam aspek sosial dalam Q.S
al-Mâ‘ȗn yang sesuai dengan kegiatan hidup kita sehari-hari yang
belum sepenuhnya diterapkan.
3. Kurangnya pengetahuan kita bagaimana mengenali ciri-ciri orang yang
mendustakan agama.
C. Pembatasan Masalah
Untuk mendapat gambaran yang lebih jelas, maka perlu dilakukan
pembatasan masalah dalam penelitian agar dapat dikaji lebih mendalam
dan tidak terjadi perbedaan pemahaman dalam penelitian ini. Penulis
membatasi permasalahan ini berdasarkan identifikasi masalah dengan
batasan pembahasan surat Al-Mâ‘ȗn yang berkaitan dengan nilai-nilai
pendidikan Islam dalam aspek sosial.
D. Perumusan Masalah
Berdasarkan pada pembatasan masalah yang telah dipaparkan, maka
penulis merumuskan masalah yaitu, apa saja nilai-nilai pendidikan Islam
dalam pendekatan sosial yang terkandung dalam surat Al-Mâ‘ȗn? dan
Bagaimana implementasinya?
E. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini untuk mengetahui
nilai-nilai pendidikan Islam dengan pendekatan sosial yang terkandung
dalam Al-Qur‘ân surat Al-Mâ‘ȗn dan bagaimana implementasinya?.
8
F. Manfaat Penelitian
Setelah mengetahui tujuan tersebut di atas, maka diharapkan
penelitian ini dapat dikembangkan dan diamalkan baik secara teoritis
maupun secara praktis. Maka manfaat penelitian ini ada dua, yaitu :
1. Manfaat Teoritis
a. Memberikan khazanah pemikiran atau wawasan bagi ilmu
pendidikan Islam mengenai nilai-nilai pendidikan Islam yang
terkandung daalam surat al-Mâ‘ȗn.
b. Mengetahui bagaimana pandangan al-Qur‘ân terhadap nilai
pendidikan sosial yang berlaku dalam kehidupan sehari-hari.
2. Manfaat Praktis
a. Berusaha mensosialisasikan nilai-nilai pendidikan yang terkandung
dalam surat al-Mâ‘ȗn di masyarakat dalam kehidupan sehari-hari
sehingga perilaku kita diharapkan sesuai dengan aturan ajaran
Agama Islam.
b. Bahan upaya pengembangan diri penulis maupun bagi orang yang
memerlukannya.
9
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Acuan Teori
1. Pengertian Nilai-Nilai Pendidikan Islam
Istilah nilai dalam Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer “berarti
hal-hal atau sifat-sifat yang bermanfaat atau penting untuk
kemanusian”.1
Nilai dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan dengan “sifat
sifat yang penting atau berguna bagi kemanusian, sesuatu yang penting
atau berguna bagi kemanusian, sesuatu yang menyempurnakan manusia
sesuai dengan hakikatnya”.2
Sedangkan menurut Mohammad Noor Syam mendefinisikan nilai
ialah suatu penetapan atau suatu kualitas objek yang menyangkut suatu
jenis apresiasi atau minat.3
“Nilai adalah suatu pola normatif yang menentukan tingkah laku
yang diinginkan bagi suatu sistem yang ada kaitannya dengan
lingkungan sekitar tanpa membedakan fungsi-fungsi dari bagian-
bagiannya”.4
Secara filosofis nilai sangat terkait dengan masalah etika, etika juga
sering disebut dengan filsafat nilai yang mengkaji nilai-nilai moral
sebagai tolak ukur tindakan dan perilaku manusia dalam berbagai aspek
kehidupannya. Sumber-sumber etika bisa merupakan hasil pemikiran,
adat istiadat, tradisi, atau ideologi bahkan dari agama.
1Peter Salim, Yenny Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Modern
English Press, 2005), h.103.
2 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2002), Cet. II, h. 783.
3Mohammad Noor Syam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila,
(Surabaya: Usaha Nasional, 1986), h.133.
4Ibid
10
Dalam konteks etika pendidikan Islam, maka sumber etika dan nilai
nilai yang paling shahih adalah al-Qur‘ân dan sunnah Nabi Muhammad
SAW, yang kemudian dikembangkan dengan hasil ijtihad para ulama.5
Berdasarkan pada pendapat di atas, maka penulis dapat memahami
bahwa nilai merupakan suatu hal yang bersifat penting dan bermanfaat
bagi kehidupan manusia sebagai landasan setiap tindakan yang menjadi
norma untuk membantu manusia agar menjadi lebih baik.
Arti pendidikan menurut istilah di antaranya dalam pandangan Ki
Hajar Dewantara sebagaimana dikutip oleh Abuddin Nata ialah sebagai
berikut:
Pendidikan adalah usaha yang dilakukan dengan penuh
keinsyafan yang ditujukan untuk keselamatan dan kebahagiaan
manusia. Pendidikan tidak hanya bersifat pelaku pembangunan tetapi
sering merupakan perjuangan pula. Pendidikan berarti memelihara
hidup tumbuh kearah kemajuan, tidak boleh melanjutkan keadaan
kemarin menurut alam kemarin, pendidikan adalah usaha
kebudayaan, berasas peradaban, yakni memajukan hidup agar
mempertinggi derajat kemanusiaan6
Sedangkan pengertian Pendidikan Islam menurut Zakiyah Daradjat
dalam bukunya yang berjudul Ilmu Pendidikan Islam “adalah pendidikan
Islam itu lebih banyak ditujukan kepada perbaikan sikap mental yang
akan terwujud dalam amal perbuatan, baik bagi keperluan diri sendiri
maupun orang lain”.7
Menurut M. Arifin, Pendidikan Islam merupakan sistem pendidikan
yang dapat memberikan kemampuan seseorang untuk memimpin
kehidupannya sesuai dengan cita-cita Islam yang dilandasi nilai-nilai
Islam dalam jiwanya. 8
5Said Agil Husin Al-Munawwar, Aktualisasi Nilai-Nilai Qur’ani Dalam Sistem
Pendidikan Islam, (Ciputat: Press, 2005), h.3.
6Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam , (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), , Cet. I, h.
9.
7Zakiyah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : umi Aksara,2012),
Cet. I0, h. 28
8M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam; Tinjauan Teoretis dan Praktis Berdasarkan
Pendekatan Interdisipline, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), Cet. IV, h. 11
11
Kemudian M. Arifin melanjutkan, pengertian Pendidikan Islam
yaitu suatu sistem kependidikan yang mencakup seluruh aspek
kehidupan yang dibutuhkan oleh hamba Allah, sebagaimana Islam telah
menjadi pedoman bagi seluruh aspek kehidupan manusia, baik duniawi
maupun ukhrawi.9
Menurut Abuddin Nata, Pendidikan Islam “Dapat diartikan sebagai
belajar tentang proses kependidikan yang didasarkan pada nilai-nilai
ajaran Islam berdasarkan al-Qur‘ân dan Hadiśt”.10
Pendidikan Agama Islam adalah usaha sadar untuk membekali
siswa dalam memahami, menghayati dan mengamalkan agama Islam
melalui kegiatan bimbingan agar tercipta kerukunan antar umat
beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan kesatuan nasional
disamping untuk membentuk keshalehan dan kualitas pribadi yang
bertaqwa.11
Dari uraian dan penjelasan tersebut di atas, maka penulis
menyimpulkan bahwa nilai Pendidikan Agama Islam adalah sifat-sifat
atau hal-hal yang melekat pada Pendidikan Agama Islam dan digunakan
sebagai dasar untuk mencapai tujuan hidup manusia yaitu mengabdi
kepada Allah SWT, nilai-nilai tersebut harus ditanamkan sejak kecil
kepada anak, karena pada masa itu merupakan waktu yang tepat untuk
menanam kebiasaan-kebiasaan yang baik terhadap anak didik. Nilai
Pendidikan yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah suatu sistem
kepercayaan yang bersifat rohaniah, baik dan buruk, pantas dan tidak
pantas yang sesuai dengan sumber nilai pendidkan Islam yakni menurut
al-Qur‘ân dan Sunnah. Proses kependidikan Islam bertugas pokok untuk
membentuk kepribadian Islam dalam diri manusia selaku makhluk sosial
dan individual.
9Ibid, h. 10
10Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam dengan pendekatan multidisipliner, (Jakarta: Rajawali
Pers, 2009), h. 13.
11Akmal Hawl,Kompetensi Guru PAI, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013),h. 3
12
2. Landasan dan tujuan Pendidikan Islam
Pendidikan merupakan aktifitas yang selalu terjadi secara
berkesinambungan dan juga merupakan sebagai sarana transformasi
ilmu pengetahuan, agar pendidikan itu berjalan dengan semestinya
maka pendidikan itu memerlukan suatu dasar-dasar yang kuat.
Dasar adalah landasan tempat berpijak atau tegaknya sesuatu agar
dapat berdiri dengan kokoh. Pengertian dasar menunjukkan sesuatu
yang penting dalam segala hal sebagai tempat berpijak dan berdirinya
sesuatu, kaitannya dengan masalah pendidikan agar memiliki kekuatan
dan kesinambungan yang kokoh dan kekuatan yang kuat.12
Kajian tentang pendidikan Islam tidak boleh lepas dari landasan
yang terkait dengan sumber ajaran Islam yang mendasar yaitu al-Qur‘ân
dan al-Hadiś yang merupakan sumber hukum dan pengetahuan Islam
yang lengkap, ajarannya mencakup keseluruhan aspek hidup manusia,
baik di dunia maupun di akhirat.
Kedudukan al-Qur‘ân sebagai sumber dan dasar dapat dilihat
dalam kandungan surat al-Baqarah ayat 2 dan surat al-‘Alaq
Kitab Al Quran ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi
mereka yang bertaqwa.(Q.S. al-Baqarah: 2)
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan (1).
Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah(2). Bacalah,
dan Tuhanmulah yang Maha pemurah (3). Yang mengajar (manusia)
dengan perantaran kalam (4). Dia mengajar kepada manusia apa
yang tidak diketahuinya (5).
12 Djunaidatul Munawwaroh dan Tanenji, Filsafat Pendidikan, (Jakarta: UIN Press,2003), Cet
I. h. 110.
13
Al-Qur‘ân adalah kitab suci umat Islam yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad SAW secara berangsur-angsur dan merupakan kitab
suci yang tiada tandingnya dengan kitab manapun dan siapapun, walau
oleh ahli sastra sekalipun. Jika kita meneliti lebih dalam lagi surat al-
Alaq tersebut dapat kita pahami bahwa Allah SWT memerintahkan
umatnya untuk menggali ilmu pengetahuan sedalam-dalamnya agar
umat manusia tidak terbelakang dalam hal ilmu pengetahuan. Karena
dalam al-Qur‘ân memuat berbagai ilmu pengetahuan termasuk ilmu
pengetahuan tentang pendidikan.
Al-Qur‘ân memberikan petunjuk dalam persoalan-persoalan
aqidah, syari’ah dan akhlak dengan meletakkan dasar-dasar mengenai
persoalan tersebut, Hal ini dikarenakan agama Islam merupakan jalan
hidup yang menjamin kebahagian hidup pemeluknya di dunia dan
akhirat kelak. Ia mempunyai satu sendi utama yang berfungsi untuk
memberikan petunjuk yang sebaik-baiknya.
Bagi umat Islam, al-Qur‘ân adalah landasan dasar dan pedoman
pokok menjalani kehidupan, salah satunya pedoman hidup sosial. Selain
al-Qur‘ân sebagai sumber utama dari ilmu pengetahuan, Hadiś juga
merupakan sumber ilmu Pengetahuan., karena hadiś merupakan
perkataan, perbuatan, dan persetujuan Nabi Muhammad SAW.
Adapun Hadiś memiliki beberapa sinonim, menurut para pakar
ilmu Hadiś yaitu Sunnah, Khabar, Atsar. Kata Hadiś berasal dari bahasa
Arab dari kata” Hadatsa-Yahdutsu-Hudutsan”.13
Hadiś dijadikan sebagai dasar pendidikan agama Islam karena
seluruh umat Islam telah menerima paham, bahwa Hadiś Rasulullah
SAW, dijadikan sebagai pedoman hidup setelah al-Qur‘ân . Tingkah
laku manusia yang telah ditegaskan keterangan hukumnya, tidak
diterangkan cara mengamalkannya, tidak diperincikan menurut
petunjuk dalil yang masih utuh, tidak dikhususkan menurut petunjuk
13Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, (Jakarta: AMZAH, 2008), Cet. I, h.1.
14
yang masih mutlak dalam al-Qur‘ân , maka dicarikan pemecahannya
dalam Hadiś.
Sebagaimana al-Qur‘ân, Hadiś berisi petunjuk-petunjuk untuk
kemaslahatan manusia dalam segala aspeknya yang membina manusia
menjadi muslim yang bertaqwa. Hadis memberikan keteladanan secara
baik dan universal dalam pendidikan. Ia juga merupakan sumber
berbagai aspek kehidupan manusia yang relevan dalam segala zaman
dan tempat. Hadis kaya dengan konsep-konsep ilmu pengetahuan dan
pendidikan yang masih belum di ungkap umumnya oleh umat Islam
sendiri. 14
Dapat dipahami bahwa dasar pendidikan agama Islam adalah
identik dengan dasar ajaran agama Islam itu sendiri yaitu Al-Qur‘ân dan
Hadiś yang merupakan sumber hukum Islam dan pengetahuan yang
mencakup tuntunan keseluruhan hidup manusia baik dunia maupun
akhirat. Keduanya menjadi petunjuk yang tak pernah usang bagi
manusia untuk menjalani kehidupannya. al-Qur‘ân dan Hadiś
membimbing kegiatan manusia dalam berbagai aspek kehidupan. Kita
dapat mengambil banyak pelajaran ataupun kisah di dalam al-Qur‘ân
dan Hadiś yang dapat kita jadikan pedoman untuk menjalani kehidupan
demi keselamatan dunia dan akhirat.
Adapun tujuan pendidikan Islam yang berlandaskan al-Qur’an dan
Hadis adalah agar terwujud kepribadian seseoran yang membuatnya
menjadi “insan kamil” yaitu manusia utuh rohani dan jasmani, dapat
hidup dan berkembang secara wajar dan normal karena takwanya
kepada Allah SWT, hal ini mengandung arti bahwa pendidikan Islam
itu diharapkan menghasilkan manusia yang berguna bagi dirinya dan
masyarakat serta senang dan gemar mengamalkan dan mengembangkan
ajaran Islam dalam berhubungan Allah dan dengan sesamanya.
14Abdul Majid Khon, Hadis Tarbawi, (Bandung:Karisma Putra Utama, 2012), h. v
15
3. Macam-macam Nilai Pendidikan Islam
Secara umum lingkup nilai pendidikan Islam dalam buku
pendidikan perspektif Hadiś karya Prof. Dr. H. Abudin Nata yaitu:15
a. Pendidikan Akidah
Akidah dalam bahasa Arab diartikan sebagai ikatan, sangkutan,
karena ia mengikat dan menjadi sangkutan atau gantungan segala
sesuatu. Dalam pengertian lainnya akidah disebut dengan istilah
keimanan yang berarti keyakinan. 16
Iman adalah kepercayaan dari dalam hati dengan penuh
keyakinan yaitu melafadzkan dengan lidah, mengakui benar
denngan hati dan mengamalkan dengan anggota badan.
Pendidikan akidah disebut juga dengan pendidikan tauhid atau
keimanan. Akidah adalah ajaran tentang keimanan terhadap ke-
Esaan Allah SWT, pengertian iman secara sempit berarti
kepercayaan sedangkan luas iman adalah keyakinan penuh yang
dibenarkan oleh hati, diucapkan oleh lidah dan diwujudkan dengan
amal perbuatan.17
Dan (Ingatlah) ketika Luqman Berkata kepada anaknya, di
waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah
kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan
(Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".(15)
Pendidikan akidah atau keimanan dalam Islam mencakup
enam hal yang disebut dengan rukun iman. Kedudukan rukun iman
menjadi central karena telah menjadi gantungan segala sesuatu
15Abuddin Nata, Pendidikan Perspektif Hadits, (Jakarta: UIN Press, 2005), Cet. I, h. 78-
88
16Mohammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, ( Jakarta; Grafindo, 2008), h. 199.
17Abu Ahmadi dan Noor Salimi, Dasar-Dasar Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Bumi
Aksara, 2004),
Cet. IV, h. 98.
16
dalam Islam. Pendidikan yang pertama dan utama untuk dilakukan
adalah pembentukan keyakinan kepada Allah SWT agar dapat
melandasi sikap dan tingkah laku serta kepribadian anak didik.
“Pembentukan iman seharusnya diberikan kepada anak sejak
dalam kandungan, sejalan dengan pertumbuhan kepribadiannya.
Berbagai hasil pengamat pakar kejiwaan menunjukkan bahwa janin
di dalam kandungan telah mendapat pengaruh dari keadaaan sikap
dan emosi ibu yang mengandungnya.”18
Nilai-nilai pendidikan keimanan termasuk aspek pendidikan
yang patut ditekankan pada anak didik sejak usia dini, agar dapat
mawas diri dari hal-hal yang dapat membahayakan dirinya. Dengan
nilai pendidikan keimanan ini peserta didik akan merasa terdorong
untuk belajar dengan sungguh-sungguh karena ia yakin dengan janji
dan keutamaan menuntut ilmu yang Allah SWT telah sebutkan
dalam al-Qur‘ân.
b. Pendidikan Ibadah
Islam memberikan aturan-aturan peribadatan sebagai rasa
syukur bagi makhluk kepada khalik, karena ajaran-ajaran Islam
bersifat universal yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia
dalam hubungan-hubungannya dengan sang khalik yang diatur
dalam ubudiyah juga dalam hubungannya sehari-hari dengan
masyarakat sekitar, dan aturan budi pekerti yang baik.
Menurut Dr. Zurinal dan Drs. Aminuddin yang mengutip dari
Abu al-A‟la al- Maududi ibadah adalah “rasa tunduk seseorang
kepada orang lain karena kebesaran dan kegagahannya, kemudian ia
membatasi kemerdekaan dan kebebasan dirinya, serta patuh secara
mutlak kepadanya”.19
18Zakiah Darajat, Pendidikan Anak dalam Keluarga, (Bandung: Remaja Rosda Karya,
1993), h. 55
19Zurinal. Z dan Aminuddin, Fiqih Ibadah, (Ciputat: LPUIN SyaHid, 2008), h. 26.
17
Ibadah ialah segala jenis ketaatan yang dilaksanakan sebagai
tanda pengabdian kita kepada-Nya dengan tujuan mendapatkan
ridha Allah SWT serta mengharapkan pahala yang Allah janjikan di
akhirat kelak.20
Pendidikan ibadah merupakan hubungan sang khalik Allah
SWT dengan makhluk yang merupakan amal shaleh dan latihan
spiritual baik melalui ibadah shalat, zakat, puasa, dan amal shaleh
lainnya.
Islam dalam satu tujuan, yaitu penghambaan kepada Allah
SWT Pelaksanaan ibadah merupakan semua aspek kehidupan yang
sesuai dengan ketentuan Allah SWT yang dilakukan dengan ikhlas
untuk mendapat ridha-Nya. Ibadah adalah perilaku manusia yang
dilakukan atas perinta Allah dan dicontohkan oleh Rasulullah sperti
pengaturan hidup seorang muslim baik itu melalui pelaksanaan
shalat, pengaturan pola makan tahunan melalui puasa, serta
kehidupan ekonomi muslim yang bertanggung jawab melalui zakat.
Pendidikan ibadah telah menyatukan umat”21
,
Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku
dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.(162) Tiada
sekutu bagiNya; dan demikian Itulah yang diperintahkan kepadaku
dan Aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri
(kepada Allah)"(163).
Menyampaikan pendidikan ibadah terhadap peserta didik
diperlukan adanya metode atau cara terutama pengetahuan teoritis.
Dalam hal nilai ibadah sesungguhnya ilmu adalah pemimpin amal
perbuatan, sedangkan amal perbuatan ialah pengikutnya. Setiap
20Ibid, h. 30
21Abu Ahmadi, Op.Cit, h. 240
18
amal perbuatan yang tidak berpedoman kepada ilmu akan tidak
berguna bagi pelakunya.
c. Pendidikan Akhlak
Akhlak menurut adalah sifat yang tertanam kuat dalam jiwa
dengannya lahirlah macam-macam perbuatan, baik dan buruk tanpa
membutuhkan pemikiran dan pertimbangan, sehingga hal ini sudah
menjadi kepribadiannya. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang
dilakukan dengan sesungguhnya, bukan karena bersandiwara.22
Akhlak adalah ibarat sifat atau keadaan dari perilaku yang tetap
dan meresap dalam jiwa, darinya tumbuh perbuatan-perbuatan
dengan wajar dan mudah tanpa memerlukan pemikiran karena telah
tertanam kuat sehingga menjadi kepribadiannya.23
Menurut Dr. M. Abdullah Daraz, perbuatan-perbuatan manusia
dapat dikatakan sebagai akhlak “apabila memenuhi syarat sebagai
berikut, pertama, perbuatan-perbuatan itu dilakukan berulang-ulang
sehingga perbuatan itu menjadi kebiasaan. Kedua, perbuatan-
perbuatan itu dilakukan dengan kehendak sendiri bukan karena
adanya tekanan tekanan yang datang dari luar seperti ancaman dan
paksaan atau sebaliknya melalui bujukan atau pun rayuan.”24
Pendidikan akhlak adalah kegiatan yang berkaitan dengan
akhlak baik dengan Allah SWT, orang tua, maupun masyarakat
sekitar lingkungan kehidupan sehari-hari yang bersumber dari al-
Qur‘ân dan sunnah Nabi
Agama Islam menganjurkan pemeluknya untuk meningkatkan
kecakapan akhlak generasi muda, sebab pendidikan adalah sebuah
penanaman modal manusia untuk masa depan dengan membekali
22Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Raja Pers, 2013), Cet. 1, h. 4.
23M. Alim, Pendidikan Agama Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2011), cet. 2, h.
151
24Abdurrahman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo, 2011), Cet.
I,hal.42
19
generasi muda budi pekerti yang luhur dan kecakapan tinggi.
Kedudukan akhlak dalam pendidikan Islam amat penting. Islam
menganjurkan agar kita berakhlak mulia dengan mencontoh
perilaku Nabi Muhammad SAW, karena dalam diri beliau terdapat
suri tauladan baik yang harus diterapkan.
d. Ruang Lingkup Pendidikan Agama Islam
Akmal Hawl ruang lingkup Pendidikan Islam mencakup usaha
mewujudkan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan antara lain:
hubungan manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan sesama
manusia, hubungan manusia dengan dirinya sendiri, dan hubungna
manusia dengan makhluk lain dan lingkungannya.25
Hubungan manusia dengan Allah merupakan hubungan yang
harus diutamakan dan secara tertib diatur tetap terpelihara agar
manusia dapat mengendalikan diri dari melakukan kejahatan
terhadap diri sendiri maupun orang lain. Hubungan manusia dengan
sesama adalah memelihara dan membina hubungan baik dengan
sesama manusia. Hubungan manusia dengan dirinya sendiri dengan
senantiasa berlaku sabar, pemaaf, adil, ikhlas, berani, memegang
amanah, dan berakhlak baik. Hubungan manusia dengan lingkungan
hidup dengan memelihara semua ciptaan Allah untuk kepentingan
dan kesejahteraan manusia dan makhluk lainnya.26
4. Tujuan Pendidikan Islam
Pengertian dari tujuan adalah suatu yang diharapkan tercapai setelah
sesuatu atau kegiatan selesai, dari penjelasan ini dapat kita lihat bahwa
Pendidikan merupakan suatu usaha dan kegiatan yang berproses melalui
tahapan-tahapan dan tingkatan-tingkatan, maka tujuan pendidikan pun
bertahap dan bertingkat. Tujuan pendidikan bukanlah suatu benda yang
25Akmal Hawl, Op. Cit. h.
26M. Daud Ali, Op. Cit , h. 367-361 a
20
berbentuk tetap dan statis, tetapi ia merupakan suatu keseluruhan dari
kepribadian seseorang, berkenaan dengan seluruh aspek kehidupannya.27
Menurut Prof. Salman Harun, “Tujuan pendidikan adalah
membentuk manusia yang berdedikasi, yaitu manusia yang bekerja
untuk kebaikan, giat, semangat, penuh tanggung jawab, tidak mengambil
muka, karena ia mempersembahkan kerjanya demi Allah. Hanya
dedikasilah yang akan membawa kemajuan, sedangkan mementingkan
dirri sendiri akan merugikan masyarakat dan pada gilirannya cepat atau
lambat akan merugikan dirinya sendiri juga”.28
Kemudian Prof Abdul Majid Khon mengutarakan kesimpulan tujuan
Pendidikan Islam berdasarkan Hadiśt Nabi, yakni agar terbentuk
manusia yang berkualitas baik jasmani dan rohani, mampu
mengendalian diri dari hawa nafsu dan bermanfaat bagi diri sendiri
maupun orang lain.29
Seseorang yang mengalami pendidikan Islam secara keseluruhan
diharapkan menghasilkan manusia yang berguna bagi dirinya dan
masyarakat, serta senang mengamalkan apa yang telah didapatkan
selama ini, dan dapat mengambil manfaat dari alam semesta ini untuk
kepentingan dunia dan akhirat.
Selanjutnya ada pula yang mengatakan bahwa tujuan pendidikan
Islam adalah membina umat manusia agar menjadi hamba yang
senantiasa beribadah kepada Allah swt, dengan menyebarkan dan
menanamkan ajaran Islam ke dalam jiwa manusia, mendorong
penganutnya untuk mewujudkan nilai-nlai ajaran Al-Qur‘ân dan Hadiś,
juga mendorong kita untuk menciptakan pola kemajuan hidup yang
dapat menyejahterakan pribadi dan masyarakat , meningkatan derajat
dan martabat manusia dan seterusnya.30
27Dzakiah Derajat, Ilmu Pendidikan Islam, op.cit, h. 29
28Salman Harun, Tafsir Tarbawi. (Ciputat: UIN Jakarta Press, 2013),h. 34-35
29Abdul Majid Khon, Hadis Tarbawi, (Jakarta: Karisma Putra Utama, 2012), h. 170
30Abuddin Nata, Ilmu pendidikan Islam, op.cit,. h. 21
21
Adapun beberapa tujuan pendidikan Islam menurut Dzakiyah
Derajat dalam bukunya Ilmu Pendidikan Islam,yaitu sebagai berikut:
1. Tujuan umum
Tujuan umum adalah tujuan yang dicapai dengan semua kegiatan
pendidikan, baik dengan pengajaran atau dengan cara lain. Tujuan
itu meliputi seluruh aspek kemanusiaan yang meliputi sikap,
tingkahlaku, penampilan, kebiasaan, dan pandangan. Tujuan umum
ini berbeda pada setiap tingkatan umur,kecerdasan, situasi, dan
kondisi dengan kerangka yang sama. Bentuk insan kamil dengan
pola takwa harus dapat tergambar pada pribadi seseorang yang
sudah didik, walaupun dalam ukuran kecil dan mutu yang rendah,
sesuai dengan tingkat-tingkat tersebut.
2. Tujuan akhir
Pendidikan Islam itu berlangsung selama hidup, maka tujuan
akhrnya terdapat pada waktu hidup didunia ini telah berakhir pula.
Tujuan akhir pendidikan Islam itu dapat dipahami dalam firman
Allah dalam surat Al- imran ayat 102 Mati dalam keadaan berserah
diri kepada Allah sebagai muslim yang merupakan ujung dari takwa
sebagai akhir dari proses hidup jelas berisi kegiatan pendidikan.
Insan kamil yang mati dan akan menghadap tuhannya merupakan
tujuan akhir dari proses pndidikan Islam.
3. Tujuan sementara
Tujuan sementara adalah tujuan yang akan dicapai setelah anak
didik diberi sejumlah pengalaman tertentu yang direncanakan dalam
suatu kurikulum pendidikan formal. Pada tujuan sementara bentuk
insan kamil dengan pola takwa sudah kelihatan meskipun dalam
ukuran sederhana.
4. Tujuan operasional
Tujuan oprasional ialah tuajuan praktis yang akan dicapai dengan
sejumlah kegiatan pendidikan tertentu. Satu unit kegiatan
pendidikan dengan bahan-bahan yang sudah dipersiapkan dan
22
diperkirakan akan mencapai tujuan tertentu disebut tujuan
operasional. Dalam pendidikan formal, tujuan operasional ini
disebut juga tujuan instruksional yang selanjutnya dikembangkan
menjadi tujuan instrusioksional umum dan tujuan instruksional
khusus (TIU dan TIK).31
Dalam tujuan opersional ini lebih banyak dituntut dari anak didik
suatu kemampuan dan keterampilan tertentu, misalnya ia dapat berbuat,
terampil melakukan, lancar mengucapkan, mengerti, memahami,
meyakini, dan menghayati dalam soal kecil. Dalam pendidikan hal ini
terutama dalam kegiatan lahiriyah, seperti bacaan dan kaifiyat shalat,
dan tingkah laku. Anak harus sudah terampil melakukan ibadat,
(sekurang-kurangnya ibadat wajib) meskipun ia belum memahami dan
menghayati ibadat itu.
5. Pendidikan Sosial dan ruang lingkupnya
Sedikit mengulas tentang pendidikan, yakni Tarbiyah dalam kata
benda “rabba” ini digunakan untuk “Tuhan” mungkin karena Tuhan yang
bersifat mendidik, mengasuh ,memelihara, dan menciptakan. Kata lain
yang berarti pendidikan itu ialah “addaba” kata ta’lim dengan kata
kerjanya ‘allama’ juga sudah digunakan pada zaman Nabi 32
Pendidikan merupakan salah satu bentuk interaksi manusia, yakni
suatu tindakan sosial yang memungkinkan terjadinya interaksi melalui
suatu jaringan hubungan-hubungan kemanusiaan. Aspek-aspek sosial
pendidikan dapat digambarkan dengan memandang ketergantungan
individu-individu satu sama lain dalam proses belajar.33
Maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar yang
dilakukan untuk menumbuhkan, mendidik, mengasuh dan memelihara
31Dzakiah Derajat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), h. 29-33
32ibid, 25-26
33Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, Op.cit, h. 205
23
personalitas yang utuh dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab
dalam kehidupannya dengan dengan lingkungan sekitar.
a. Pengertian Sosial
Adapun para ahli mengemukakan pendapatnya tentang pengertian
Sosial sebagai berikut:
I. Dalam Kamus Sosiologi dan Kependudukan mendefinisikan sosial
adalah hubungan seseorang individu dengan lainnya dari jenis
yang sama atau pada sejumlah individu untuk membentuk lebih
banyak atau lebih sedikit, kelompok-kelompok yang terorganisir,
juga tentang kecenderungan-kecenderungan dan impuls-impuls
yang berhubungan dengan lainnya.34
II. Menurut R. Soegarda Poerbakawatja dan H. Ali Harahap dalam
ensiklopedi pendidikan mendefinisikan sosiologi “adalah
penyesuaian kepentingan atau sifat-sifat umum dari masyarakat
dengan menyisihkan atau melebur kepentingan-kepentingan
dengan hasil timbul atau keadaan yang stabil serta harmonis".35
Dari pernyataan di atas maka dapat disimpulkan bahwa manusia
sebagai makhluk sosial, artinya manusia sebagai warga masyarakat,
yaitu dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak mungkin dapat hidup
sendiri atau mencukupi kebutuhannya sendiri. Setiap manusia
cenderung untuk berkomunikasi, berinteraksi, dan bersosialisasi
dengan manusia lainnya.
b. Pendidikan Sosial
Adapun pendapat para ahli pendidikan menafsirkan pendidikan
sosial sebagai berikut :
34Kartasapura, G. Kartini, kamus sosioogi dan kependudukan, ( Jakarta: Bumi Aksara, 1992),
h. 382
35R. Soegarda Poerbakadja dan A. H. Harahap, Ensiklopedi Pendidikan, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1994), h. 275
24
I. Menurut St. Vembriarto “pendidikan sosial adalah usaha
memengaruhi dan mengembangkan sikap sosial yang dilakukan
secara sengaja dan sadar.36
II. Menurut Abudin Nata “pendidikan sosial dalam Islam adalah
menunjuk pada adanya inisiatif (kepekaan sosial) bagi anak dan
memiliki sikap yang berani dan mandiri dengan tanggung jawab
yang baik.” 37
Proses pendidikan dimulai dengan interaksi pertama individu dengan
anggota masyarakat lainnya dan tidak diadakan perbedaan antara orang
tua dengan anak, antara guru dengan murid. Yang diutamakan adalah
hubungan yang erat antara individu dengan individu yang lain atau
individu dengan masyarakat. Belajar adalah sosialisasi yang berkontinu.
Setiap individu dapat menjadi murid dan menjadi guru. Individu belajar
dari lingkungan sosialnya dan juga mengajar dan memengaruhi orang
lain.
“(Luqman berkata): "Hai anakku, Sesungguhnya jika ada (sesuatu
perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau
di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya).
Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui.”
Dari ayat di atas kita dapat mengetahui cara luqman mendidik
anaknya dengan menanamkan nilai-nilai agama, mulai dari penampilan
Luqman yang beriman, beramal saleh, bersyukur kepada Allah dan
bijaksana dalam segala hal, kemudian sopan santun terhadap orang tua
dan kepada semua mausia serta taat beribadah. 38
36ST. Vembriarto, Pendidikan Sosial,(Yogyakarta: Paramita, 1984), h. 6
37Abudin Nata dan Fauzan, Pendidikan dalam Perspektif Hadis, (Jakarta: UIN Jakarta Press,
2005),
38Zakiah, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, Op. cit, h. 63
25
Intisari dari nasihat Luqman pada anaknya adalah tentang
pembinaan iman, amal saleh (ibadah), kepribadian yang sehat, kuat, dan
penuh kepedulian terhadap masyarakat. Selain memelihara hubungan
kita dengan Allah dan diri sendiri, kita juga harus memelihara dan
membina hubungan baik dengan sesama manusia.
Pendidikan sosial tidak akan lepas dari pendidikan masyarakat,
Sjamsudhuha merumuskan pengertian masyarakat secara bertingkat
yaitu:
Pertama, sekelompok manusia yang merupakan kesatuan sosial
dengan antar hubungan yang nyata dan memperlihatkan struktur
yang nyata, memiliki nilai dan norma sosial serta kebudayaan,
menempati wilayah tertentu, teroganisasi secra rapi atau tidak, ada
tujuan, kebutuhan, kepentingan yang bersifat umum yang
diprtahankan dengan disiplin dalam kerangka mempertahankan
kelompok.
Kedua, sekelompok manusia dengan antaar hubungan sosial nyata
tetapi tidak terdapat struktur, memiliki nilai, norma dan
kebudayaan, kepentingan atau minat umum yang sama39
Terdapat hubungan yang kuat antara pendidikan dan masyarakat,
hubungan tersebut berada dalam posisi simbiosis mutualisme. Pengaruh
pendidikan dalam masyarakat terlihat pada peran pendidikan dalam
mencerdaskan, menyadarkan, dan menggerakan masyarakat untuk
mengikuti aturan agama dan kebijakan pemerintah.40
Dalam kamus pedagogik, pendidikan masyarakat diartikan sebagai
proses akulturasi pada masyarakat yang masih muda oleh angota-
anggota masyarakat yang lebih senior meliputi bagian pendidikan yang
mempersiapkan anak-anak memperoleh gambaran tentang seluk beluk
pergaulan hidup.41
39Sjamsudhuha, Pengantar Sosiologi Islam, (Surabaya: JP Books,2008) h. 10
40Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, Op. Cit, h. 217
41ST. Vembriato, op. cit, h. 3
26
Hubungan manusia dengan manusia lain dalam masyarakat sosial
dapat dijaga dan dipelihara antara lain dengan tolong-menolong, bantu-
membantu, memafkan, lapang dada dan berlaku adil pada siapapun.42
Dari uraian di atas maka penulis memahami bahwa setiap
kelompok atau masyarakat menjamin kelangsungan hidupnya melalui
pendidikan. Agar masyarakat itu dapat melanjutkan eksistensinya, maka
kepada anggota mudanya harus diteruskan nilai-nilai, pengetahuan,
keterampilan dan bentuk kelakuan lainnya yang diharapkan akan
dimiliki setiap anggota. Tiap masyarakat meneruskan kebudayaannya
dengan beberapa perubahan kepada generasi muda melalui pendidikan,
melalui interaksi sosial. Dengan demikian pendidikan dapat diartikan
sebagai sosialisasi.
Kematangan bersosialisasi sangat terkait dengan perkembangan
sosial seseorang. Sedangkan perkembangan sosial berarti memperoleh
kemampuan berprilaku yang sesuai dengan tuntunan sosial. Menjadi
orang yang mampu bermasyarakat memerlukan proses belajar
berperilaku yang dapat diterima secara sosial, belajar memainkan peran
sosial sebagai individu yang dapat diterima masyarakat dan untuk
bermasyarakat dengan baik harus menyukai orang dan aktifitas sosial.
Jika mereka dapat melakukannya, mereka akan berhasil dalam
penyesuaian sosial yang baik dan diterima sebagai anggota kelompok
masyarakat tempat mereka menggabungkan diri.
Jadi, Pendidikan Sosial yaitu Pendidikan Kemasyarakatan atau
pendidikan yang berbasis masyarakat. Pendidikan berbasis masyarakat
merupakan upaya untuk lebih melibatkan masyarakat dalam upaya-
upaya membangun pendidikan untuk kepentingan masyarakat dalam
menjalankan perannya di kehidupan.
Kelompok individu atau masyarakat ideal yang konseptualisasi
hidupnya berdasarkan dan berstandarkan al-Qur‘ân dan Hadiś yang
merupakan referensi utama agar terwujudnya masyarakat muslim yang
42M. Daud Ali, Op. Cit, h. 370
27
akan mencipkatan suasana yang menentramkan dan mendamaikan
setiap masing-masing individu dalam suatu lingkungan tersebut43
Allah ta’ala telah mewajibkan untuk berbuat baik dan mencegah
kemungkaran kepada setiap anggota/warga masyarakat berdasarkan
firman-Nya dalam Qur’an surat Ali Imran ayat 104 yang bebunyi:44
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari
yang munkar merekalah orang-orang yang beruntung.”
Al-Qur‘ân menjelaskan bahwa manusia yang mencapai kualitas
hidup sejahtera adalah manusia yang beriman kepada Allah, berhasil
membangun masyarakat yang peduli dan berbagi yang satu terhadap
yang lain atas dasar cinta dan kasih sayang karena mengharap ridha
Allah, seperti masyarakat Muhajirin dan Anshar yang dipimpin oleh
Rasulullah SAW seperti digambarkan keadaan mereka dalam al-Qur’an
yang mengutamakan orang lain,meskipun mereka sendiri
membutuhkanya.45
Mengembangkan tingkat kesejahteraan masyarakat merupakan
usaha mensejahterakan sosial yang mencakup lima hal, yakni bidang
kesehatan, bidang pendidikan, perumahan, jaminan sosisal, dana
jaminan pekerjaan. Lima tersebut selain dari tanggung jawab
pemerintah, hal ini juga bagian tanggung jawab masyarakat muslim
terhadap sesamana yang tidak sanggup memenuhi kebutuhan dasar
dalam bidang kesehatan, pendidikan, perumahan,dan jaminan sosial
tersebut.46
43Sjamsudhuha, op.cit, h. 67
44Ibid, h. 72
45Asep Usman Ismail, Al-Qur‘ân dan Kesejahteraan Sosial,(Jakarta: Lentera Hati 2012), h. 4
46Ibid
28
Secara mendasar pendidikan sosial berkenaan dengan kebutuhan
manusia yang melibatkan segala tingkah laku dan kebutuhanya, baik
upaya dalam memenuhi kebutuhan materi, budaya and kejiwaanya.
Memanfaatkan sumber daya yang ada di permukaan bumi, mengatur
kesejahteraan dan pemerintahan, maupun kebutuhan lainnya dalam
rangka mempertahankan kehidupan.
Dari uraian di atas, Maka menurut hemat penulis, untuk
menciptakan lingkungan masyarakat muslim yang sejahtera, hendaknya
setiap muslim mencontoh ummat-ummat Rasul terdahulu yang
mencintai Allah dengan menjalani ibadah yang baik sesuai dengan
ketentuan Allah, saling tolong-menolong, salaing mengasihi hanya
karena Allah dan mencegah kemungkaran.
B. Hasil Penelitian yang Relevan
Adapun hasil penelitian yang relevan dengan penelitian yang penulis
lakukan adalah sebagai berikut:
1. Nidaul Islamiyyah, dengan judul “Nilai-Nilai Pendidikan Sosial dalam
Surat Al-Furqan Ayat 63-72”. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
dalam surat Al-Furqan ayat 63-73 sifat hamba Allah adalah rendah hati
(Tawadhu) dan membalas kejahatan dengan kebaikan, selalu mengingat
Allah pada malam hari, dan di siang hari ia bersosialisasi dengan
masyarakat, larangan boros dan kikir larangan membunuh nyawa yang
diharamkan, larangan bermaksiat, perintah bertaubat dan larangan
membuat kesaksian palsu dan menjauhkan perbuatan yang sia-sia.47
Persamaan yang penulis kaji dengan penelitian ini adalah larangan kikir
dan bersosialisasi dengan baik terhadap masyarakat. Adapun
perbedaannya dengan dalam penelitian saya membahas ciri-ciri pendusta
agama, yaitu mereka yang tidak peduli anak yatim, menganjurkan
berbuat baik, dan saling tolong-menolong.
47Nidaul Islamiyyah, Nilai-Nilai Pendidikan Sosial dalam Surat Al-Furqan Ayat 63-
72,(Jakarta: UIN Jakarta,2013).
29
2. M. Romadhon, dengan judul Nilai-Nilai Penidian dalam Surat Al-
Baqarah Ayat 177 (Kajian Tafsir Thalili). Karya ini menjelaskan tentang
nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam surat Al-Baqarah ayat 177.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam surat Al-Baqarah ayat
177 yang meliputi ibadah mahdhah seperti melaksanakan rukun Islam
,dan ibadah ghairu mahdhah, seperti menfakahi keluarga, menyantuni
anak yatim, membantu orang-orang miskin, memberikan pertolongan
pada musafir, memerdekakan hamba sahaya.48
Persamaan yang penulis kaji dengan penelitian ini adalah menyantuni
anak yatim, membantu orang-orang miskin. Adapun perbedaannya
dengan penelitian saya membahas ciri-ciri pendusta agama, larangan
kikir, larangan ria dan menganjurkan untuk berbuat baik.
48M. Ramadhon, Nilai-Nilai Pendidikan dalam surat Al-Baqarah Ayat 177, (Jakarta: UIN
Jakarta,2012).
30
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Objek dan Waktu Penelitian
Objek dalam penelitian ini adalah mengenai kajian tentang tafsir Sȗrah
Al-Mâ‘ȗn ayat 1-7.
Adapun waktu penelitian yang dilakukan oleh penulis yaitu selama satu
semester terhitung dari tanggal 02 Maret 2015.
B. Metode Penelitian
Dalam suatu metode penelitian, harus ada rancangan penelitian (research
design) tertentu. Rancangan ini menggambarkan prosedur atau langkah-
langkah yang harus ditempuh, sumber data dan dengan cara bagaimana data
tersebut dihimpun dan diolah. Untuk itu, dalam penulisan skripsi ini perlu
dikemukakan rancangan penelitian (research design) tersebut, agar jelas dan
terarah dalam memecahkan masalah dari penulisan skripsi ini.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan penelitian
kualitatif dengan menggunakan metode deskriprif analisis yang menggunakan
tehnik analisis kajian melalui studi kepustakaan (Library Research).
Karena penelitian ini merupakan library research, maka sumber data
pada penelitian ini adalah literatur-literatur yang berkaitan. Sebagaimana
yang dikatakan oleh Maman, “sumber data penelitian kualitatif ialah tindakan
dan perkataan manusia dalam suatu latar yang bersifat alamiah. Sumber data
lainnya ialah bahan-bahan pustaka, seperti: dokumen, arsip, koran, majalah,
jurnal ilmiah, buku, laporan tahunan dan lain sebagainya”.1
Adapun literatur yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer,
yaitu sumber pokok yang menjadi acuan utama sebagai data penelitian karya
ilmiah ini adalah tasfir al-Qur’an diantaranya sebagai berikut:
1U. Maman Kh, dkk., Metodologi Penelitian Agama Teori dan Praktek, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada Press, 2006), h. 80
31
1. Tafsir Al-Misbah karya M. Quraish Shihab
2. Tafsir Al-Azhar, Tafsir Juz ‘Amma As-Siraju’l Wahhaj karya Prof.
Dr. M. Yunan Yusuf
3. Tafsir Qurthubi,
Adapun data sekunder, yaitu data yang mendukung dan melengkapi
sumber data primer:
1. Tafsir Al-Maragi,
2. kitab-kitab tafsir dan buku lain yang menjelaskan Tafsir Sȗrah Al-
Mâ‘ȗn dan,
3. buku-buku yang membahas tentang nilai-nilai, pendidikan Islam
dalam aspek sosial.
Mengenai analisis data, analisis telah mulai sejak merumuskan dan
menjelaskan masalah, namum dalam kenyataannya analisis data kualitatif
berlangsung selama proses pengumpulan data dari pada setelah pengumpulan
data.2Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode tahlili. Metode
tafsir tahlili adalah satu metode tafsir yang mufassirnya berusaha
menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur`an dari berbagai seginya dengan
memperhatikan runtutan ayat-ayat al-Qur`an sebagaimana tercantum di dalam
mushaf. Dalam hubungan ini, mufassir mulai dari ayat-ke ayat berikutnya,
atau dari sȗrah ke sȗrah berikutnya dengan mengikuti urutan ayat atau sȗrah
sesuai yang termaktub di dalam mushaf. 3
Prosedur metode tahlili dilakukan dengan mengikuti susunan mushaf, ayat
per ayat dan sȗrah per sȗrah. Metode ini terkadang menyertakan pula
perkembangan perkembangan generasi Nabi sampai Tabi’in, uraian ini
bertujuan untuk memahamiAl-Qur‘ân yang mulia.4
Dapat dipahami bahwa, tafsir tahlili ialah metode menafsirkan ayat-ayat
al-Qur‘ân dengan memaparkan segala aspek yang terkandung dalam ayat-
ayat yang ditafsirkan, serta menerangkan makna-makna yang tercakup sesuai
2Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan Kombinasi (Mixed Methods),
(Bandung: Alfabeta, 2011), h.287
3Ibid.
4Rosihon Anwar,Pengantar Ulumul Qur’an, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2009), h. 148
32
dengan keahlian dan kecenderungan mufassir dalam menafsirkan ayat-ayat
tersebut.
C. Fokus Penelitian
Sugiyono berpendapat bahwa, “batasan masalah dalam penelitian
kualitatif disebut dengan fokus, yang berisi fokus masalah yang masih
bersifat umum”.5 Dengan melihat pendapat Sugiyono, maka penulis
mencantumkan apa yang ada dalam batasan masalah menjadi fokus penelitian
dalam penulisan ini, yaitu mengenai tafsir Sȗrah Al-Mâ‘ȗn .
Jadi, dalam penelitian ini penulis bermaksud mengkaji tentang tafsir
Sȗrah Al-Mâ‘ȗn , dengan mencari data-data dan sumber yang membahas
mengenai ayat tersebut.
D. Prosedur Penelitian
Penelitian Kualitatif bermaksud membicarakan metodologi penelitian
yang di dalamnya mencakup pandangan-pandangan filsafati mengenai realitas
dan objek yang dikaji. Dalam penelitian ini, penulis meneliti menggunakan
metode deskripstif untuk menggambarkan dan meringkas berbagai kondisi,
situasi, atau berbagai fenomena sosial yang ada di masyarakat.
Penelitian kualitatif melihat hubungan sebab-akibat dalam suatu latar
yang bersifat alamiah, yakni peneliti mengamati keaslian suatu gejala sosial,
kemudian dengan cermat peneliti menelusuri apakah fenomena tersebut
mengakibatkan fenomena lain atau tidak, dan sejauh mana suatu fenomena
sosial mengakibatkan terjadinya fenomena yang lain.6
Dalam metode tafsir tahlili, para mufassir menguraikan makna yang
dikandung oleh Al-Qur‘ân ayat demi ayat dan surah demi surah, sesuai
urutan di dalam mushaf. Uraian ayat tersebut termasuk berbagai aspek yang
dikandung oleh seluruh ayat dari surah Al-Mâ‘ȗn yang ditafsirkan dengan
pengertian/makna kosa kata, Asbâbu nuzulnya (sebab-sebab turunnya ayat),
5Sugiyono, Op. Cit, h.287
6U. Maman,0p.cit, h. 76
33
kaitannya dengan ayat lain, baik sebelum atau sesudahnya (munasabah ayat),
dan pendapat-pendapat yang telah diberikan berkenaan dengan tafsiran Sȗrah
Al-Mâ‘ȗn, baik yang disampaikan oleh Nabi, Sahabat, para Tabi’in maupun
tafsir lainnya.7
Dari penjelasan di atas, maka penulis akan meneliti dengan menguraikan:
1. Isi Sȗrah beserta artinya, arti dari kosa kata inti pada Sȗrah,
2. Sebab-sebab turunnya sȗrah,
3. Munasabah (hubungan dengan sȗrah lainnya)ayat, dan tafsir Sȗrah
menurut para ahli. Pada bagian selanjutnya penulis akan,
4. Menganalisa nilai-nilai pendidikan sosial yang terkandung dalam
sȗrah Al-Mâ‘ȗn .
Setelah menguraikan tafsir dan menganalisa nilai-nilai pendidikan sosial
yang terkandung dalam surah Al-Mâ‘ȗn, selanjutnya adalah menarik
kesimpulan dari seluruh ayat pada sȗrah Al-Mâ‘ȗn . Kesimpulan dari
penelitian ini berkaitan tentang apa saja kandungan seluruh ayat dari surah
Al-Mâ‘ȗn kemudian bagaimana mengamalkan nilai-nilai pendidikan sosial
yang terkandung dalam ayat tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
7Nasaruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur‘ân , (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998),
h. 71
34
BAB IV
TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Sekilas mengenai Sȗrah Al-Mâ’ȗn 1-7
1. Sebab-Sebab Turunnya Ayat
Al-Mâ’ȗn termasuk sȗrah makiyyah, di dalam isi pokoknya
menerangkan tentang beberapa sifat dan watak manusia yang bisa
dianggap sebagai mendustakan agama, yakni menghardik anak yatim
dan memenelantarkan mereka dalam kehidupan, tidak mau bersedekah
dan tidak menganjurkan orang lain menyantuni fakir miskin.1
Menurut Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-
Suyuti mereka mengutip dari Imam Ibnul Mundzir yang
mengetengahkan sebuah hadis melalui Tharif Abu Thalhah yang
bersumber dari Ibnu Abbas r.a. yaitu “ bahwasannya ayat ini diturunkan
berkenaan dengan orang-orang munafik, karena mereka selalu
memamerkan shalat mereka dihadapan orang-orang mu’min secara ria,
sewaktu orang-orang mukmin diantara mereka, tetapi jika orang-orang
mukmin tidak ada, maka mereka meninggalkan shalat”.2
Dalam sȗrah al-Mâ’ȗn ditegaskan pula perihal orang-orang yang
mengerjakan shalat, tetapi mereka tidak mengahayati dan merenungkan
bacaan-bacaannya, tidak memperhatikan tujuan shalat itu sendiri dan
tidak sadar bahwa shalat dilakukan dalam upaya mencegah kejahatan
dan kemungkaran. Bahkan mereka melakukan shalat hanya untuk
sekedar pamer di hadapan manusia.
Tujuh ayat dalam sȗrah al-Mâ’ȗn dan juga semua langkah-
langkahnya menyinggung perilaku manusia yang sangat tercela.
Diantara sifat tercela ialah melakukan ibadah hanya karena ingin pamer,
1A. Mudjab Mahalli, Asbabun Nuzul Studi Pendalaman Al-Qur‘ân. Ter, Bahrun Abu Bakar,
(Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2002) h.953
2Imam Jalaluddin Al-Mahalliy dan Imam Jalaluddin As-Suyuti, Terjemah Tafsir Jalalain
berikut Asbaabun Nuzul, (Bandung:Penerbit Sinar Baru Bandung, 1990), h. 2791
35
bukan mencari ridha Allah SWT. Tidak bersedia membayar zakat, tidak
mau bersedekah kepada fakir miskin, dan tidak memiliki belas kasihan
terhadap yatim piatu yang menderita. Orang-orang yang memilik sifat
dan watak sebagaimana dikemukakan di atas tidak lain hanyalah akan
mendapat ancaman dan siksa neraka yang sangat pedih. Mereka
termasuk orang mendustakaan agama Islam.3
Sebagian berpendapat bahwa ia diturumkan berkaitan dengan Abu
Sufyan, menurut Allamah Kamal Faqih Imani “Abu Sufyan yang biasa
membunuh dua unta besar setiap hari untuk disantap bersama kaumnya.
Namun, pada suatu hari, ada seorang anak yatim mendatangi pintunya
dan meminta pertolongan. Alih-alih mendapat pertolongan, Abu Sufyan
malah memukul anak yatim itu dengan tongkat dan mengusirnya”.4
Mereka menunjukkan keshalehannya di depan kaum muslimin lain
agar mendapat pujian dari publik, tetapi tanpa sepengetahuan kaum
muslim ketika sedang tidak bersama orang-orang munafik, maka
perlakuan mereka sangatlah bertolakbelakang dengan apa yang mereka
lakukan di depan banyak orang .
Peristiwa di atas telah melatarbelakangi turunnya ayat-ayat yang
terkandung dalam sȗrah al-Mâ’ȗn, Yakni ayat yang ke-4 sampai dengan
ayat yang ke-7, yang di dalamnya berisi tentang peringatan bagi
perilaku orang-orang munafik.5
2. Munâsabatul Ayât
Sebelum membahas tafsir sȗrah al-Mâ’ȗn terlebih dahulu penulis
akan menguraikan munasabah atau hubungan sȗrah ini dengan sȗrah
sebelumnya. Di dalam susunan Al-Qur‘ân sȗrah al-Mâ’ȗn didahului
oleh sȗrah Al-Quraisy, dalam sȗrah ini menerangkan tentang
3A. Mudjab Mahali, Op.Cit.
4Allamah kamal faqih imani, Tafsir Nurul Qur’an ”sebuah tafsir sederhana menuju cahaya Al-
Qur‘ân”, Ter. Rahardian M.S, (Iran: al huda, 2006), jilid xx.. H. 349
5A. Mudjab Mahali, Op.Cit. h. 954
36
penghidupan orang-orang Quraisy serta kewajiban yang seharusnya
mereka penuhi.
Allah mengatakan dalam sȗrah Quraisy, bahwa Dia membebaskan
manusia dari kelaparan, sedangkan dalam sȗrah al-Mâ’ȗn Allah
mencela orang-orang yang tidak menganjurkan dan tidak memberi
makan kepada orang miskin. Sȗrah Quraisy juga membahas tentang
perintah Allah untuk menyembah-Nya, maka dalam sȗrah al-Mâ’ȗn
Allah mencela orang yang shalat dengan lalai dan ria’.6
Dalam sȗrah Quraisy Allah meneraangkan tentang nikmat-nikmat
yang telah diberikan kepada orang-orang Quraisy, walaupun demikian
tetap juga mengingkari hari kebangkitan, dalam sȗrah al-Mâ’ȗn Allah
mengancam ummat yang yang bersikap demikian.7
Al-Kautsar merupakan sȗrah setelah al-Mâ’ȗn dalam susunan al-
Qur‘ân. Dalam sȗrah al-Mâ’ȗn dikemkakan sifat-sifat manusia yang
lebih buruk, sedangkan dalam sȗrah al-Kaustar ditunjukkan sifat-sifat
yang mulia dan diperintahkan untuk mengerjakannya.8
3. Tafsir Sȗrah Al-Mâ’ȗn Menurut Ahli Tafsir
a. Tafsir Sȗrah Al-Mâ’ȗn Ayat 1
Ayat pertama surah Al-Mâ’ȗn berbunyi:
“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?”
Kalimat pertama adalah أرءيت, Huruf pada kata tersebut
merupakan kata tanya yang memiliki arti apa/apakah. Dalam istilah
kamus Arab huruf disebut sebagai استفهام .همزة 9
6Hafiz Dasuki, Al-Qur‘ân dan Tafsirnya, (Jogjakarta:PT Dana Bhakti Wakaf), h. 815
7Teuku Muhammad hasbi Ash Shiddieqy, Al-Bayan Tafsir Penjelas Qur’anul Karim,
(Semarang:PT Pustaka Rizky Putra) h. 1618
8Ibid, h. 819
9Kaserun AS. Rahman dan Nur Mufid, Kamus Modern Arab-Indonesia, (Surabaya: Al-
Kamal,Pustaka,2010) , h
37
Dalam kamus Nahwu dan Sharaf, istifhâm adalah minta
kepahaman hakikat suatu nama, bilangan atau sifat. Adapun fungsi
istifhâm pada huruf أ adalah untuk tashawwur (meminta
keterangan).10
Dalam kitab Al-Burhân fỉ Ulȗmil Qur’ân huruf hamzah istifhâm
dijelaskan sebagai berikut: .11
على رأيت امتنع أن تكون من رؤية البصر أو القلب وصارت مبعىن وإذا دخلت أخربين كقولك أرأيك زيدا ما صنع يف املعىن تعدى حبرف ويف اللفظ تعدى بنفسه
هى عبدا إذا صلى}: ومنه قوله تعاىل أرأيت الذي يكذب } {أرأيت الذي ي ن ين {بالد
Dari teks di atas maka dapat dipahami bahwa Apabila hamzah
istifhâm masuk ke kata رأيت maka tidak bisa diartikan menjadi
penglihatan dengan mata dan hati, akan tetapi berarti memberitahu
atau kabar, seperti perkataan: apakah kamu melihat apa yanag
diperbuat Zaidun? Secara makna membutuhkan objek dengan
menggunakan satu huruf sedangkan secara lafadz membutuhkan
objek dengan sendirinya
Sedangkan kata أيتر berasal dari kata kerja yang dalam رأي
kamus Al-Munawwir banyak memiliki arti seperti melihat,
mengerti, menyangka, dan mengira.12
Sedangangkan huruf ت pada
kalimat tersebut merupakan salah satu dhâmir (kata ganti orang)
yang menunjukkan arti “Anda”.
Dalam kamus Lisânul ‘Arab dijelaskan bahwa arti kata رءي
adalah sebagai berikut:
10Imam Saiful Mu’minin, Kamus Ilmu Nahmu & Sharaf, (Jakarta: AMZAH, 2009), h. 43-44
11Muhammad Badaruddin, Al-Burhân fỉ Ulȗmil Qur’ân, (Darul Ihya Kutub Arabiyah, 1957),
jilid 4, h. 179
12Ahmad warson munawwir, Al-Munawwir: Kamus Bahasa Arab-Indonesia Terlengkap,
(Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), h. 495
38
: يقال, و مبعين العلم ايل مفعولني, الرؤية بالعني تتعدي ايل مفعول واحد: رأي 13رأي زيدا عاملا 14 .الرؤية النظر بالعني والقلب: قال ابن سيده
Dari penjelasan teks Lisânul ‘Arab di atas maka dapat dipahami
bahwa kata رأي memiliki arti melihat dengan indera penglihatan,
dan kata الرؤية berarti melihat secara ainiyah/dzâhir (sesuatu yang
nampak) membutuhkan pada satu objek, dan apabila kita artikan
dengan “pendapat” maka kata ini membutuhkan pada dua الرؤية
objek, contoh dalam kalimat: عالما زيدا Dia melihat Zaid ) رأي
seorang yang berilmu). Dan menurut Ibnu Saidah, الرؤية melihat
dengan mata dan hati.
Pada ayat pertama sȗrah al-Mâ’ȗn yang berbunyi يأرءيتالذ
ayat ini bagaikan menyatakan: “apakah engkau wahai , بالدين يكذب
Nabi Muhammad SAW. Atau siapapun, telah melihat orang yang
mendustakan hari pembalasan? Yakni beritahu aku tentang
mereka?” 15
Ayat ini dimulai dengan pertanyaan “Tahukah Engkau?”, maka
al-Qur‘ân menyuruh agar masalah yang ditanyakan itu diperhatikan
sunguh-sungguh. Pertanyaan pada ayat ini mengenai penerapan
agama, yakni “bagaimanakah ciri orang yang mendustakan
agama?”, banyak yang mengira bahwa pendusta agama adalah
mereka yang tidak melaksanakan rukun Islam saja, namun
pemahaan ini sangatlah keliru.16
13Jamaluddin Abi Al-Fadhli Muhammad, Lisânul ‘Arab, (Beirut Libanon: Dar Al Kotob Al-
Ilmiyah, 2003), jilid 14, h. 360
14Ibid
15Quraih Shihab, Tafsir Al-Lubab “Makna,Tujuan, dan Pelajaran dari Surah-Surah Al-Qr’an”,
(Ciputat: Lentera Hati, 2012), h.760
16M. Yunan Yusuf, Tafsir juz ‘Amma As-Sirajul Wahhaj, (Jakarta: Penamadani dan Az-Zahra
Pustaka Prima, 2010), h. 778
39
Perlu diketahui bahwa pada ayat ini sebenarnya terdapat kalimat
yang tidak disebutkan dan prediksi makna yang dimaksud adalah:
bagaimana pendapat kamu mengenai orang yang mendustakan hari
kiamat? apakah benar tindakannya atau salah?.17
Pertanyaan pada ayat ini menyuruh kepada RasulNya agar
memperhatikan pertanyaan ini dengan sungguh-sungguh, karena
apabila pertanyaaan seperti ini tidak dijelaskan akan disangka
bahwa yang mendustakan agama ialah semata-mata karena
menyatakan tidak mau percaya kepada agama Islam, dan kalau ada
orang yang sudah shalat, puasa, dia tidak lagi mendustakan agama.18
Lebih lanjut Prof. M. Yunan Yusuf menjelaskan ayat ini
memperingatkan Nabi dan kaum beriman agar benar-benar
memahami agama sebagai ajaran yang menerapkan nilai-nilai secara
konkret dalam kehidupan sehari-hari. Maksud dari mendustakan
hari kiamat dalam ayat ini adalah mengingkari nilai-nilai Islam
dalam hal berkaitan dengan harkat dan martabat manusia sebagai
khalifah di muka bumi yang dimuliakan Allah.19
Allah maha mengetahui, jadi pertanyaan yang diajukan pada
ayat pertama ini bukanlah bertujuan untuk memperoleh jawaban,
melainkan untuk menggugah hati dan pikiran lawan bicara agar
memperhatikan kandungan pembicaraan tersebut, yakni mengajak
manusia untuk menyadari salah satu bukti utama kesadaran
beragama, yang tanpa itu keberagamaannya dinilai sangat lemah.20
Pada ayat pertama ini lebih menjelaskan tentang beberapa sifat
manusia yang mendustakan agama, yang dimaksud dengan
menggunakan istilah الدين dalam ayat ini adalah untuk saat hari
pembalasan. Mendustakan hari pengadilan agung itu mempunyai
17 Saikh Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, Ter . dari Tafsir Al-Qurthubi oleh Dudi
Rosyadi dan Faturrahman, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), h.. 789
18Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982), h. 280
19Ibid, h. 779
20Quraish Shihab, tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‘ân , (Jakarta: Lentera
Hati, 2002) vol. 15, h. 546
40
pengaruh yang sangat buruk terhadap perbuatan para pendusta,
sebagaimana diuraikan dalam sȗrah al-Mâ’ȗn pengaruh buruk
tersebut di antaranya, menghardik anak yatim dan tidak
menganjurkan orang lain untuk memberi ,makan kepada orang
miskin.21
M. Quraish Shihab ketika memberikan penjelasan terhadap
pemaknaan الدين terlebih dahulu mengungkapkan bahwa الدين dari
segi bahasa antara lain berarti agama, kepatuhan, dan pembalasan.
Kata الدين dalam Q.S. al-Mâ’ȗn ayat pertama sangat populer
diartikan dengan agama, tetapi dapat juga berarti pembalasan.
Kemudian jika makna kedua ini dikaitkan dengan sikap mereka
yang enggan membantu anak yatim atau orang miskin karena
menduga bahwa bantuannya itu tidak menghasilkan apa-apa, maka
berarti bahwa pada hakikatnya sikap mereka itu adalah sikap orang-
orang yang tidak percaya akan adanya (hari) pembalasan. Sikap
yang demikian merupakan pengingkaran serta pendustaan terhadap
ad-dỉn, baik dalam arti agama, lebih-lebih dalam arti hari
pembalasan. Bukankah yang percaya dan meyakini bahwa kalaulah
bantuan yang diberikannya tidak menghasilkan sesuatu di dunia,
namun yang pasti ganjaran serta balasan perbuatannya itu akan
diperoleh di akhirat kelak.22
Quraish Shihab melanjutkan, ia mengutip dari perkataan Sayyid
Quthub tentang hakikat pembenaran الدين yaitu bukannya hanya
pembenaran dengan lidah tetapi ia adalah perubahan dalam jiwa
yang mendorong kepada kebaikan dan kebajikan terhadapan
sesama, Allah tidak menghendaki pembenaran tersebut hanya
21Allamah Kamal Faqih, Tafsir Nurul Qur’an ”sebuah tafsir sederhana menuju cahaya Al-
Qur‘ân” . (Jakarta: al-Huda, 2006), Jilid xx, h. 352
22M. Quraish Shihab, Loc. Cit,
41
dengan lisan saja, namum harus dibuktikan dalam amalan sehari-
hari.23
Ahmad Mustafa Al-Maragi menyebutkan ciri-ciri orang-orang
yang tidak percaya terhadap kebenaran agama atau hari pembalasan
yakni “suka menghina orang-orang yang tidak mampu, bersikap
sombong terhadap mereka”. 24
Dari uraian para mufassir di atas, maka penulis dapat
memahami bahwa Ayat pertama ini menjelaskan tentang seperti apa
sebenarnya maksud dari pendusta agama, dan bagaimana ciri-
cirinya, yakni mereka yang menjalankan kehidupannya sehari-hari
tanpa dilandasi oleh nilai-nilai ajaran Islam, kasar dan kikir terhadap
anak yatim berlaku buruk kepada sesama dan beribadah bukan
karena Allah, maka mereka yang berbuat demikanlah yang
dikatakan sebagai pendusta agama.
b. Tafsir Sȗrah Al-Mâ’ȗn Ayat 2
Bunyi ayat kedua surah al-Mâ’ȗn adalah:
“Itulah orang yang menghardik anak yatim”
Kata يدع yang berasal dari satu kata dan satu dhamir ي yang
menunjukkan arti orang ketiga tunggal, kata دع memiliki arti
menolak atau mengusir dengan keras dan kasar.25
Menurut Quraish Shihab “kata يدع tidak harus diartikan terbatas
pada dorongan fisik, tetapi mencakup segala macam penganiayaan,
23M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan kesan dan keserasian Al-Qr’an, (Ciputat: lentera
Hati, 2002), Vol. 15, H. 553
24Ahmad Mustafa Al-Maragi,Tafsir Al-Maragi, Ter. BAhrun Abu Bakar, dkk, (Semarang: PT.
Karya Toha Putra Semarang, 1993), h. 436
25Ahmad Warson, Op. Cit, h. 405
42
gangguan dan sikap tidak bersahabat tehadap anak yatim”.26 Dalam
kamus Lisânul ‘Arab kata دع dijelaskan sebagai berikut:
عا عنيفا: و قال ابن دريد, دف عه يف جفوة: دعه يدعه دعا: دعع . دعه دف عه دف عا وانتهارا, (فذالك الذي يدع اليتيم: )يف التنزيل . 27 اي يعنف به عنفا دف
Dari pernyataan Jamaluddin di atas maka dapat dipahami
maksud arti دع adalah Memperlakukan dengan perlakuan kasar, dan
Ibnu Duraid berpendapat: mengusirnya, menghardik dengan
kekasaran. Dalam contoh ayat pada sȗrah Al-Mâ’ȗn ayat dua yang
berarti “Itulah orang yang menghardik anak yatim”, yakni
memperlakukan anak yatim dengan kejam, mendorong dan
mengusirnya.
Kata berikutnya adalah اليتيم, kata ini memiliki arti anak yatim,
yaitu anak yang ditinggal wafat oleh ayahnya.28
Dalam kamus
Lisânul ‘Arab kata اليتيم dijelaskan sebagai berikut:
29 .فقدان األب: واليتم واليتم : الفرد: واليتيم. عن يعقوب, األنفراد : اليتم : يتم 30 .أمهوت ى متوالعجي الذ, اليتيم الذي ييموت ابوه: قال ابن بري
Dapat dipahami bahwa اليتيم dari kata اليتم ,اليتم maksudnya
adalah terpisah atau kesendirian, menurut Ya’qub yatim berarti
sendirian. واليتم واليتم : keduanya sama-sama kehilangan seorang
ayah. Menurut Ibnu Bari, yatim adalah anak yang meninggal
ayahnya, dan piatu adalah anak yang meninggal ibunya.
Bagian pertama sȗrah ini, Nabi Saw. Diperingatkan dengan
cerminan buruk dari pengingkaran manusia terhadap akhirat melalui
26M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan kesan dan keserasian Al-Qr’an, (Ciputat: lentera
Hati, 2002), Vol. 15, H. 547
27Jamaluddin Abi Al-Fadhli Muhammad, Lisânul ‘Arab, (Beirut Libanon: Dar Al Kotob Al-
Ilmiyah, 2003), jilid 8, h. 101
28Ahmad Warson Munawwir, Op. Cit, h. 1587
29 Jamaluddin Abi Al-Fadhli Muhammad, Lisânul ‘Arab, (Beirut Libanon: Dar Al Kotob Al-
Ilmiyah, 2003), jilid 14, h. 360
30Ibid
43
perbuatan-perbuatan mereka melalui firman Allah yang berbunyi:
Sudahkah Kamu melihat orang yang mendustakan hari
pembalasan? Dialah yang menghardik anak yatim (dengan kasar).
Dan tidak menganjurkan orang lain memberi makan yterhadap
orang miskin.31
Ayat kedua sȗrah ini menjelaskan sebagian ciri-ciri pendusta
agama berikutnya, yaitu mereka yang sungguh jauh dari kebajikan
dan memperlakukan anak yatim dengan sewenang-wenang.
Penolakan seperti itu merupakan penghinaan dan takaburnya
terhadap anak-anak yatim.32
Kata yadu’-‘u adalah suatu kebencian yang sangat, rasa tidak
senang, jijik dan tidak boleh mendekat. Apabila ada yang mencoba
mendekat maka ditolak sehingga ia tersungkur. Jelaslah maksud
ayat bahwa orang membenci anak yatim karena rasa benci, sombong
dan kikir tidak boleh ada pada jiwa orang yang mengaku
beragama.33
Sikap buruk terhadap anak yatim ini muncul dari orang-orang
yang pembenci, sombong, kikir dan pelit. Orang yang tidak mau
mengasuh dan memberi bantuan sedikitpun kepada anak yatim,
tidak hanya mengacuhkan mereka tetapi juga mengusir mentah-
mentah. Kalaupun ada orang yang tidak menghardik anak yatim dan
mengurusnya dengan maksud tertentu sebagai jembatan untuk
mendapat keuntungan bagi diri pribadi, seperti untuk keperluan
komersial, maka ini juga termasuk dalam makna mendustakan
agama.34
Orang-orang yang menolak dan membentak anak-anak yatim
yang datang kepadanya untuk memohon belas kasihnya agar
31Allamah Kamal Faqih, Loc. Cit.
32M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Lubab, Loc. Cit
33Hamka, Loc. Cit
34M. Yunus Yusuf, Op. Cit. h. 780
44
memberikan bantuan demi kebutuhan hidupnya, penolakan ini juga
bentuk perilaku mendustakan agama.35
Abu Ja’far Muhamad menafsirkan ayat kedua ini sebagai
berikut ”orang yang mendustakan agama adalah orang yang
mencegah anak yatim dari haknya dan menżaliminya.36
Syaikh Imam Al-Qhurtubi mengutip dari riwayat Adh-
Dhahhak, yaitu: Amru bin Aidz. Ibnu Juraij berpendapat, “bahwa
orang yang dimaksud adalah Abu Sufyan, karena ialah yang selalu
menyembelih kambing atau unta pada setiap minggunya, namun
ketika anak-anak yatim yang meminta daging sembelihan tersebut ia
mengetuk kepala anak-anak yatim itu dengan tongkatnya”.37
Kata يدع dan kata يحض dua kata ini digunakan dalam pola
masa depan, mereka mengisyaratkan keawaman dalam perbuatan
menyangkut anak yatim dan kaum miskin. Ketika kita berhubungan
dengan anak yatim, perlakuan kasih sayang dan manusiawi lebih
baik ketimbang memberi makanan, karena mereka harus menahan
kurangnya kasih sayang dan kebutuhan spiritual daripada kebutuhan
jasmani.38
Dari uraian di atas, maka dapat dipahami bahwa semua ulama
sepakat apabila ada seseorang memperlakukan anak yatim dengan
sewenang-wenang, mendorong dengan keras, menghardikya,
mengabaikan haknya, menzhaliminya, serta sombong dan takabbur
terhadap mereka, maka orang itu dianggap telah mendustakan hari
pembalasan kelak, karena perilakunya jauh dari nilai kebajikan yang
telah diajarkan agama.
35Zaini Dahlan, Al-Qur‘ân dan Tafsirnya , (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf), Jilid x, h.
817
36Abu Ja’far Muhammad bin Ath-Thabari Tafsir Ath-Thabari, Ter. Ahsan Ahkan, (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2009), h. 983
37 Saikh Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, Ter . dari Tafsir Al-Qurthubi oleh Dudi
Rosyadi dan Faturrahman, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), h. 788
38Allamah Kamal Faqih, Op. Cit, h. 353
45
c. Tafsir Sȗrah Al-Mâ’ȗn Ayat 3
Bunyi ayat ketiga pada surah al-Mâ’ȗn :
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat”
Kata المسكين yang artinya adalah yang fakir atau orang
miskin.39
Dalam kamus Lisânul ‘Arab kata المسكين dijelaskan
sebagai berikut:
ل ابو اق, الذى ال شئ له يكفي عياله: قيل و , الذي ال شئ له: المسكني وهذا بعيد ألن مسكينا يف , هاي قلل حركت املسكني الذي اسكنه الفقر : اسحاق
الفرق بني و, و قوله الذي أسكنه الفقر يرجه إيل معين مفعول, معىن فاعلمن وهو مفعيل, سنذكر منه هنا شيئا, مذكور يف موضعه املسكني و الفقري
.مثل املنطيق من النطق, السكونله و الفقري الذي, قال يو نس الفقري احسن حاال من املسكني: قال ابن االنباري
40وهو قول ابن السكيت, حاال من الفقري أ و املسكني اس و,ما يقيمه بعض
Dari teks di atas maka dapat dipahami bahwa Miskin diartikan
sesorang yang tidak memiliki sesuatu, dan dikatakan juga, orang
yang tidak memiliki sesuatu cukup untuk menafkahinya, Abu Ishâq
berpendapat: miskin adalah orang yang diselimuti kefakiran yaitu
orang yang membatasi ruang geraknya (karena tidak memiliki
sesuatu ia tidak dapat berbuat apa-apa). Dan makna ini sangat tidak
tepat, karena kata miskỉn itu adalah subjek, dan perkatan Abu Ishâq
yang mengatakan bahwasannya miskỉn itu adalah yang diselimuti
kefakiran mengubah maknanya menjadi objek. Adapun perbedaan
antara miskin dan fakir disebutkan pada tempatnya masing-masing,
dan kami akan menyebutkan sebagian penjelasan dari kata tersebut.
Salah satunya adalah mif’ỉlun dari kata assukȗn seperti al-mintỉq
39Ahmad Warson Munawwir, Op. Cit, h. 647
40Jamaluddin Abi Al-Fadhli Muhammad, Lisânul ‘Arab, (Beirut Libanon: Dar Al Kotob Al-
Ilmiyah, 2003), jilid 13, h. 260
46
dari annutqi. Menurut Ibnu Al-Anbâri, Yunus berkata, fakir itu
lebih baik keadaannya daripada miskin, dan fakir adalah orang yang
memiliki sesuatu atau sebagian yang membuatnya bertahan hidup.
Sedangkan miskin merupakan keadaan yang lebih buruk daripada
fakir. Dan ini juga merupakan perkataan dari Ibnu Sukait.
Asep Usman Ismail mengartikan kata مسكين bahwa “ istilah
miskin menggambarkan dari keadaan diri seseorang atau
sekelompok orang yang lemah”.41
Dalam ayat ini Allah menegaskan lebih lanjut bagaimana sifat
pendusta itu, menurut Prof. H. Zaini Dahlan, MA. Dkk “yaitu dia
tidak mengajak orang lain untuk membantu dan memberi makan
orang miskin. Berdasarkan keterangan ini, bila seseorang tidak
sanggup membantu orang-orang miskin, maka hendaklah ia
menganjurkan orang lain untuk usaha yang mulia itu”.42
Orang yang tidak mau berbagi dan membenci orang lain yang
berbagi, mereka memiliki sifat kikir, buka orang-orang yang tidak
dapat berbagi karena memang mereka tidak mampu, tetapi karena
pendustaannya terhadap balasan dan ganjaran di akhirat nanti.43
Mereka yang tidak mau mengajak orang lain supaya memberi
makan orang miskin, ia melahap dan menikmatinya sendiri tanpa
memikirkan orang miskin atau tidak dididiknya anak istrinya supaya
menyediakan makanan bagi orang miskin itu jika mereka datang
meminta bantuan. Orang seperti ini pun disebut sebagai pendusta
agama.44
Quraish shihab menekankan bahwa “ayat di atas bukannya
menyatakan tidak memberi makan, tetapi tidak menganjurkan
41Asep Usman Ismail, Al-Qur‘ân dan Kesejah teraan Sosial, (Jakarta: Lentera Hati 2012), h.
8
42Zaini Dahlan, Op. Cit, h. 818
43Syaikh Imam Al-Qurtubi, Op. Cit, h. 791
44Hamka, Op. Cit, h. 281
47
memberi makan (harta). Dengan demikian tidak ada alasan bagi
siapa pun, kendati miskin, untuk tidak mengamalkan kebaikan”.45
Abu Ja’far maksud “tidak menganjurkan memberikan makan
orang miskin” ialah tidak mendorong orang lain untuk memberi
makan kepada orang yang membutuhkan.46
M. Yunan mengutip dari Imam Zamakhsyari, seseorang disebut
sebagai pendusta agama “karena dalam sikap dan perangainya.
Tidak mau menolng sesamanya yang lemah padahal Allah telah
menjanjikan pahala dan balasan, tentu dia akan takut dengan azab
Allah. Kalau sudah ditolaknya anak yatim dan didiamkannya orang
miskin minta makan, jelaslah bahwa agama itu didustakannya”.47
Perlu diketahui bahwa orang-orang yang rajin melaksanakan
ibadah shalat dan puasa sekalipun, namun ia suka menghina, pelit
dan tidak mau menghimbau orang lain untuk berbuat kebajikan,
mereka tetap dikelompokkan sebagai orang yang tidak percaya
kepada agama. Orang yang benar-benar percaya pada agama, pasti
ia akan menjadi orang yang tawadhu, tidak takabbur terhadap fakir
miskin, tidak mengusir dan tidak mengahrdik mereka.48
Menurut Imam Jalaluddin Al-Mahally dan Imam Jalaluddin As-
Suyuti, ayat ini diturunkan berkenaan orang yang bersikap demikan
tersebut adalah Al-Ash Ibn Wa’il atau Al-Walid Ibnu Mughirah.49
Dapat dipahami bahwa para mufassir sepakat menjelaskan
tentang lanjutan ciri-ciri orang yang mendustakan agama, yakni
mereka yang tetap melakukan shalat terlebih bagi yang tidak
melakukannya sedangkan mereka tidak mau memberi makan (harta)
pada orang miskin, padahal itu adalah salah satu amal shaleh yang
paling penting dia tahu akan adanya pahala atau balasan dari Allah
45M.Quraih shihab, Membumikan Al-Qur‘ân 2, (Jakarta: Lentera hati 2010) h. 186
46Abu Ja’far Muhammad bin Ath-Thabari ,Op. Cit, h. 985
47M. Yunan Yusuf, Op. Cit, h. 781
48Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Op. Cit, h. 436
49Imam Jalaluddin Al-Mahally dan Imam Jalaluddin As-Suyuti, Tafsir Jalalain, (Bandung:
Sinar Baru, 1990), h. 2788
48
untuk setiap perbuatan kita, sehingga kalaupun kita tidak bisa
memberi makan (harta) seorang miskin, kita harus menganjurkan
orang lain untuk berbuat demikian. Mereka yang kikir biasanya
akan selalu mencari alasan untuk tidak mengeluarkan hartanya,
maka orang yang berperangai demikian lemah imannya dan
keyakinannya tidak kokoh.
d. Tafsir Sȗrah Al-Mâ’ȗn Ayat 4-5
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat (4) (yaitu)
orang-orang yang lalai dari shalatnya (5)”
Kata ويل yang memiliki arti celaka atau binasa.50
jika dilihat dari
kamus Lisânul ‘Arab maka penjelasannya adalah::
وأصل الويل يف اللغة : قال, لكل من وقع يف عذاب أو هلكة كلمة تقال : الويلويل :تقول .كة يستحقهال دعى به ملن وقع يف ه اهلالك ي : والويل . العذاب واهلالك
51ويل للمطففني :ومنه, لزيد Maka dapat dipahami الويل adalah kata yang dimaksudkan
untuk setiap orang yang terkena azab atau kebinasaan/kehancuran.
Dan dikatakan pula, bahwasannya الويل menurut bahasa berarti azab
dan celaka/binasa, dan الويل merupakan kebinasaan, dilontarkan
kepada orang yang berhak menerimanya. Sebagai contoh, binasalah
bagi Zaid, dan dalam al-Qur‘ân disebutkan: celakalah bagi orang-
orang yang curang.
berikutnya adalah Kata ساهون, kata ini merupakan isim fâil,
yang asal katanya adalah سها memiliki arti lupa.52
50Ahmad Warson Munawwir, Op. Cit, h. 1586
51Jamaluddin Abi Al-Fadhli Muhammad, Lisânul ‘Arab, (Beirut Libanon: Dar Al Kotob Al-
Ilmiyah, 2003), jilid 11, h. 883
49
Lisânul ‘Arab menjelaskan pengertian سها sebagai berikut:
53 .عنه اىل غريه ب لهاب قنسيان الشيء والغفلة عنه وذ : السهو والسهوة : سها. .عن شيئ منها الغفلة : يف الصالة السهو
54 , والسهو عنه تركه مع العلم, السهو يف الشئ تركه عن غري علم : قال ابن األ ثري
55 (.الذين هم عن صلتهم ساهون: )ومنه قوله تعاىل Dari teks di atas dapat dipahami bahwa kata ساهون berasal dari
kata سها yang bentuk masdarnya adalah السهو dan السهوة, artinya
adalah melupakan sesuatu dan lalai terhadap sesuatu tersebut, dan
berlalunya hati tentangnya kepada hal yang lain (hatinya menuju
sesuatu yang lain sehingga pada akhirnya ia melalaikan tujuan
pokoknya).
Adapun lupa dalam shalat, yaitu lalai terhadap suatu bagian dari
shalat. Ibnu Atsir berkata bahwasannya في السهو (lupa) pada sesuatu
berarti meninggalkannya tanpa disadarinya (tidak disengaja),
sedangkan عن السهو (lalai) meninggalkan sesuatu secara sengaja
atau sadar. Seperti potongan firman Allah dalam sȗrah Al-Mâ’ȗn
ساهونصلتهمعنهمالذين “(yaitu) orang-orang yang lalai dari
shalatnya”.
Ayat sebelumnya membahas bahwa mereka yang menghardik
anak yatim dan tidak memperlakukannya dengan baik, begitu pula
dengan orang-orang yang tidak menganjurkan memberi makan
kepada orang yang butuh, mereka merupakan orang-orang yang
mendustakan agama yang menigkari hari pembalasan. Pada ayat ke
4-5 yang artinya berbunyi “maka kecelakaanlah bagi orang-orang
yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya,”
52 Ahmad Warson Munawwir, Op. Cit, h. 674
53Jamaluddin Abi Al-Fadhli Muhammad, Lisânul ‘Arab, (Beirut Libanon: Dar Al Kotob Al-
Ilmiyah, 2003), jilid 14, h. 499-500
54Ibid
55Ibid
50
menurut Abu Ja’far maksudnya adalah “maka lembah yang dialiri
oleh nanah para penghuni neraka, diperuntukkan bagi orang-orang
munafik yang mengerjakan shalat tapi dengan shalat itu mereka
tidak menginginkan Allah, dan dalam shalat itu mereka lalai dalam
mengerjakannya”.56
Quraish Shihab menafsirkan bahwa “ayat ini merupakan
kecaman terhadap orang-orang yang lalai serta lupa dalam
shalatnya, dan ketika itu ia berarti celakalah orang-orang yang pada
saat shalat, hatinya lalai, sehingga menuju kepada sesuatu selain
shalatnya”.57
Shalat adalah sarana untuk menyembah Allah yang merupakan
simbol ketundukan dan penyerahan diri kepada-Nya. Pendusta
agama juga melakukan shalat, namun bukan menegakkan shalat.
Orang yamng menegakan shalat maka ia akan mencegah dirinya
dari perbuatan keji dan munkar, maka bagi orang yang hanya
melakukan shalat sebagai formalitas adalah celaka dengan dengan
dimasukan ke neraka weil.58
Orang yang telah melakukan shalat, shalatnya hanya membawa
celaka bagi dirinya, karena tidak dikerjakan secara sungguh-
sungguh, tidak timbul dari kesadarannya bahwa kita adalah sebagai
hamba Allah.59
Kata ساهون yang memiliki arti suatu kesalahan yang dilakukan
tanpa disengaja atau secara lalai. Ayat ini ingin mengatakan bahwa
mereka abai dari shalat, membiarkan waktu shalatnya tertunda
berlalu dalam kesia-siaan demi aktivitas tertentu baik pekerjaan
maupun kesenangan duniawi atau mereka yang shalat hanya untuk
56Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Tahabari, Op. Cit, h. 983
57Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Op. Cit, h. 550
58M. Yunan Yusuf, Op. Cit, h. 781
59Hamka, Loc. Cit
51
dianggap sholeh, bagaimanapun jenis orang yang shalatnya seperti
demikian layak mendapat murka Allah.60
Zaini Dahlan menafsirkan ayat ini dengan penjelasan sebagai
berikut:
bahwa Allah mengungkapkan satu ancaman yaitu celakalah
orang-orang yang mengerjakan shalat dengan tubuh dan
lidahnya namun tidak sampai ke hatinya. Dia lalai tidak
menyadari apa yang dia ucapkan lidahnya dan yang dikerjakan
oleh sendi anggotanya. Ia ruku’ dan sujud dalam keadaan
lengah, ia mnegucapkan takbir tetapi tidak menyadari apa yang
diucapkannya. Semua itu adalah hanya gerak biasa dan kata-
kata hafalan semata yang tidak mempengaruhi apa-apa, tidak
ubahnya seperti robot.61
Sejalan dengan pendapat di atas, Ahmad Mustafa menafsirkan
ayat ini sebagai berikut “siksaan itu bagi orang-orang yang
melakukan shalat hanya dengan raganya saja tidak membekas dalam
jiwa, dan tidak membuahkan hasil dari tujuan shalat. Hal ini karena
hatinya kosong, sehingga tidak berpengaruh pada tingkah lakunya.62
Berbanding lurus dengan pernyataan di atas, bahwa sebelumnya
Nabi pun pernah bersabda dan diriwayatkan oleh HR. Thabrani
yang berbunyi:
و , فان صلحت صلح سائر عمله , أول ما ياسب عليه العبد يوم القيامة الصالة إن فسدت فسد سائر عمله
“Amalan yang mula-mula dihisab dari seorang hamba
pada hari kiamat ialah shalat. Jia ia baik, maka baiklah seluruh
amalannya, sebaliknya jika jelek, jeleklah pula semua
amalannya.” 63
Shalat merupakan tiangnya agama, maka perintah shalat harus
dikaji secara kritis, sebab perintah shalat seringkali hanya dipahami
dari sisi ritualnya saja, sementara sisi dampak sosialnya dilupakan.
60Allamah Kamal Faqih, Op. Cit, h. 354
61Zaini Dahlan, Op. Cit, h. 818
62Ahmad Mustafa Al-Maragi, Op. Cit, h. 437
63Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Bandung: PT Al-Ma’arif, 2013), h. 206
52
Shalat berkaitan erat dengan perbaikan aspek sosial, berarti baiknya
shalat harus dibarengi dengan kebaikkan sosial, jika tidak ada
dampak positif dalam masyarakat utamanya dalam tolong menolong
dan memberi bantuan orang-orang yang menderita, maka shalat
adalah sesuatu hal yang mencelakakan, celaka karena tidak
mendapat pahala atau sia-sia. 64
Setelah menelusuri tafsir dari ayat 4-5 ini maka dapat dipahami
bahwa ternyata melakukan shalat saja tidak cukup dianggap sholeh,
karena syarat dan pokok dari shalat adalah kesadaran sebagai hamba
dan keikhlasan yang melakukannya karena Allah SWT. Seringkali
kita mendengar bahwa shalat akan mencegah kita dari perbuatan
munkar, maka dari kalimat inilah kita bisa mengetahui apakah shalat
kita sudah baik atau belum dengan melihat prilaku kita sehari-hari.
Dari sȗrah ini ditemukan dua syarat pokok atau tanda utama
dari pemenuhan hakikat shalat, pertama, keikhlasan melakukannya
demi karena Allah. Kedua, merasakan kebutuhan orang-orang lemah
dan kesediaan mengulurkan bantuan walau yang kecil sekalipun.
e. Tafsir Sȗrah Al-Mâ’ȗn Ayat 6
“Orang-orang yang berbuat ria”
Kata يراءون adalah bentuk dari isim fâil, asal katanya adalah
.yang memiliki arti melihat رأي65
Umar Sulaiman menjelaskan “Ria menurut bahasa adalah,
seseorang yang senang dilihat dalam melakukan suatu amal, padahal
sebenarnya kalau tidak dilihat, maka amalnya tidaklah demikian.”66
64Sri Muryanto, Islam Agama Cinta, (Semarang: Gama Gemilang, 2006), h. 40
65Ahmad Warson Munawwir, Op. Cit, h. 460
66Umar Sulaiman Abdullah Al-Asyqar, ikhlas agaramal tak sia-sia, (Jakarta:Gadika Pustaka,
2007), h. 137
53
Dalam kamus Lisânul ‘Arab dijelaskan bahwa lafadz رأي
mengandung arti sebagai berikut:
يراؤون ومينعون : وقوله, يراؤون الناس: وأما قول اهلل عز وجل: قال أبو منصورولكن معناه إذا آبصرهم الناس صلو وإذا مل يرو هم , فليس من املشاورة, املاعون
67تركوا الصالة Dapat dipahami bahwa رأي dari perkataan Abu Mansur:
berdasarkan firman Allah: الناس يراؤون dan firman-Nya juga:
الماعونيراؤون ويمنعون , tidak ada kesepakatan satu sama lain,
tetapi bermakna, apabila orang-orang melihatnya, maka mereka
shalat, dan jika tidak ada yang melihatnya, maka mereka
meninggalkan shalat. Atau dapat disimpulkan bahwa orang yang
melakukan ibadah tersebut hanya untuk pamer/dilihat orang-orang.
Pada ayat sebelumnya telah dijelaskan bagaimana ciri-ciri
orang yang shalatnya hanya akan membawa celaka bagi pelakunya
sendiri karena shalatnya tidak disertai kesadaraan hatinya, maka di
ayat enam ini Allah melanjutnya firmannya bahwa disamping
orang-orang yang lalai dalam shalatnya dia juga ria, mereka ingin
dilihat orang bahwa shalatnya khusyu. Orang-orang yang bila
menyantuni anak yatim dia bermuka manis, bila memberi makan
fakir miskin ia sangat antusias, tetapi mereka hanya ingin dilihat dan
dipuji. Disebabkan karena rianya itu, kalau orang tidak mengujinya
atau berkurang sedikit dari yang biasa ia terima, maka ia berhenti itu
melakukan perbuatan tersebut.68
Sejalan dengan uraian di atas, Hamka menafsirkan, “orang-
orang yang ria’ pada ayat enam ini termasuk pendusta agama,
kadang ia bermuka manis kepada anak yatim, menganjurkan
memberi makan fakir miskin, kadang terlihat khusyu’’ shalat, tetapi
67Jamaluddin Abi Al-Fadhli Muhammad, Lisânul ‘Arab, (Beirut Libanon: Dar Al Kotob Al-
Ilmiyah, 2003), h. 373
68M. Yunan Yusuf, Op. Cit, h. 784
54
semua itu dikerjakannya karena ria agar dilihat dan dipuji orang
lain. 69
Lebih lanjut Ahmad Mustafa menjelaskan “mereka melakukan
perbuatan-perbuatan itu hanya karena ingin mendapat pujian orang
lain. Tetapi hati mereka sama sekali tidak mengetahui hikmah dan
rahasia-rahasianya”.70
Menurut Saikh Imam Al-Qurthubi, “makna hakiki dari kata ria
adalah mengharapkan sesuatu yang bersifat duniawi melalui ibadah,
dan makna awal dari kata ini adalah mencari kedudukan di hati
manusia”.71
Pengertian ria’ yang sebenarnya menurut Ahmad Mustafa Al-
Maragi adalah mengharapkan keduniaan dengan kedok ibadah untuk
mempertahankan kedudukannya di mata masyarakat.72
Kurangnya iman dan keingkaran terhadap balasan dari Allah
akan memunculkan salah satu unsur kepura-puraan dan
kemunafikan dengan mengabaikan ganjaran dari Allah dan hanya
memperhatikan keridhaan makhluk lain.73
Ria adalah sesuatu yang tidak terlihat atau bersifat abstrak,
sangat sulit dapat dideteksi oleh orang lain, bahkan yang
bersangkutan sendiri tidak menyadarinya. Ria diibaratkan sebagai
semut kecil hitam berjalan dengan perlahan di tengah kelamnya
malam di tubuh seseorang.74
Dari keterangan di atas maka dapat dipahami bahwa penyebab
rusaknya ibadah kita adalah perbuatan ria, yakni hilangnya makna
dan nilai dari ibadah yang dilakukan. banyak dari kita yang tidak
menyadari bahwa kita sering kali berbuat ria dengan cara bercerita
dengan teman-teman kita atas kebaikan yang telah kita lakukan,
69Hamka, Op. Cit, h. 282
70Ahmad Mustafa Al-Maragi, Op. Cit, h. 436
71Syaikh Imam Al-Qurthubi, Op. Cit, h. 795
72Ahmad Mustafa Al Maragi, Op. Cit, h. 434
73Allamah Kamal Faqih, Loc. Cit
74Quraih Shihab, Tafsir Al-Misbah, Op, Cit, h. 551
55
menganggap diri paling baik, dengan kalimat pembuka “bukannya
mau sombong ya, saya cerita ini/itu”, menulis status di media sosial
tentang ibadah yang kita lakukan, dan lain sebagainya, Hal ini hanya
akan menghapus esensi dari tujuan ibadah yang kita lakukan walau
secara teknis shalat kita sudah sah. Berkaitan dengan ini Rasul
pernah bersabda yang berbunyi: ria itu amatlah samar dibanding
derapnya semut hitam dikegelapan malam yang merayap dipakaian
hitam yang kasar.
f. Tafsir Sȗrah Al-Mâ’ȗn Ayat 7
“Dan enggan (menolong dengan) barang berguna “
Kata inti terakhir adalah الماعون yang memiliki arti bantuan
atau pertolongan.75
Dalam lisanul arabi kata Al-Mâ’ȗn dijelaskan
sebagai berikut:
.76الطاعة: املاعوناملاعون : أنه قال, روي عن علي رضوان اهلل عليه. ومينعون املاعون: يف التنزيل العزيز
.الزكاة 77
Maka dapat dipahami bahwa kata al-maun memiliki arti
ketaatan atau kebaikan. Sedangkan yang dimaksud dalam ayat Sȗrah
al-Mâ’ȗn, diriwayatkan dari Ali Ra. Al-Mâ’ȗn adalah zakat.
Sesuai dengan penjelasan arti di atas, pada kosa kata ini Syaikh
Imam Al-Qurthubi menjelaskannya sebagai berikut:
Para ulama yang mengartikan kata الماعون dengan makna zakat,
maka kata tersebut adalah bentuk fâ’ul dari kata al-mu’n, yang
artinya adalah sesuatu yang sedikit. Hubungan antara al-mu’n yang
bermakna sesuatu yang sedikit dengan kewajiban zakat adalah
75Ahmad Warson Munawwir, Op. Cit, h. 988
76Jamaluddin Abi Al-Fadhli Muhammad, Lisânul ‘Arab, (Beirut Libanon: Dar Al Kotob Al-
Ilmiyah, 2003), vol. 13, h. 515
77Ibid
56
karena zakat itu hanya diambil dari dua setengah persen dari
keseluruhan harta, dan jumlah itu adalah jumlah yang sedikit dari
sesuatu yang banyak. Kalangan yang berpendapat bahwa kata
berasal dari mau’nah (bantuan), dan huruf alif pada kata الماعون
tersebut adalah huruf pengganti kata ta’ marbuthah.78
Ayat ini merupakan ayat terakhir pada sȗrah al-Mâ’ȗn yang
artinya berbunyi “enggan menolong dengan barang berguna” ini
adalah ciri berikutnya dari pendusta agama, ia selalu mengelak dari
perbuatan menolong sesama, selalu menahan, bahkan menghalang-
halangi orang lain yang ingin menolong. Hatinya selalu terpaut pada
benda yang fana, ia selalu membenci orang lain mempertahankan
apa yang dimilikinya. Dia menyangka begitulah hidup yang baik,
padahal itulah yang akan membawanya celaka.79
Sȗrah ini memang sangat tepat dan pas jika ditujukan kepada
orang-orang munafik. Seperti yang telah disebutkan apada ayat
sebelumnya, pada diri mereka terkumpul tiga sifat buruk, yakni
meninggalkan shalat, bersifat ria dan kikir terhadap harta. Sifat-sifat
tersebut sangat jauh dengan karakter seorang muslim sejati yang
seharusnya. Siapa saja yang melakukan salah satu dari ketiga hal
tersebut tetap akan mendapatkan sebagian dari hukuman wail,
karena kikir, ria, dan meninggalkan shalat adalh sifat-sifat tercela.80
Menurut Syaikh Imam Qurthubi Ayat ini menjelaskan tentang
“mereka yang tidak tergerak sedikitpun hatinya untuk membantu
orang lain, bahkan justru dia menghalangi orang yang hendak
melakukan pertolongan tersebut dengan berbagai cara dan dalih agar
pertolongan tersebut tidak terlaksana”.81
Lebih lanjut Ahmad Mustafa menafsirkan bahwa “mereka yang
tidak memberikan apa yang menjadi kebutuhan kaum miskin.
78Saikh Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, Ter . dari Tafsir Al-Qurthubi oleh Dudi
Rosyadi dan Faturrahman, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), h. 801
79Hamka, Loc. Cit
80Saikh Imam Al-Qurthubi, Op. Cit, h. 803
81M. yunan Yusuf, Op. Cit, h. 784
57
Biasanya, orang kikir tidak mau memberikan berbagai kebutuhan
orang lain, seperti panci, kapak dan lain sebagainya.mereka juga
akan dinyatakan sebagai orang bakhil dikalangan masyarakat
luas”.82
Allah telah menggambarkan tentang orang-orang yang
mendustakan agama, yaitu mereka yang enggan memberikan
hartanya kepada orang lain, dan Allah menggambarkan ini secara
umum, tanpa mengkhususkan sesuatu. Allah menyatakan bahwa
mereka enggan memberikan kepada orang lain apa-apa yang biasa
saling dipinjamkan di antara mereka, dan enggan memberikan
kepada orang butuh dan orang miskin hal-hal yang telah diwajibkan
Allah atas mereka pada harta mereka, yaitu hak-haknya, karena
semua ini merupakan manfaat-manfaat yang bisa diambil
manfaatnya oleh sesama manusia.83
Berkaitan dengan keterangan dia atas, Zaini Dahlan
menambahkan, “sifat pendusta agama ialah ria, curang, aniaya,
takabur, kikir, memandang rendah rang lain, tidak mementingkan
yang lain kecuali dirinya sendiri, bangga dengan harta dan
kedudukan serta tidak mau mengeluarka sebagian hartanya untuk
keperluan orang lain”.84
Allamah Kamal Faqih menambahkan “seseorang yang enggan
memberikan barang-barang remeh kepada orang lain adalah orang
yang pelit, tidak mempunyai iman sama sekali. Benda-benda ini
tidak berharga mahal, tetapi kadang-kadang sangat berguna,
sehingga ketia seseorang menolak menyedekahkannya kepada orang
lain maka akan menghasilkan sejumlah kesulitan penting dalam
kehidupan masyarakat”.85
82Ahmad Mustafa Al-Maragi, Op. Cit, h. 437
83Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Op. Cit, h. 1012
84Zaini Dahlan, Op. Cit, h. 818
85Allamah kamal Faqih, Op. Cit, h. 354
58
Allamah mengutip sebuah hadis yang berbunyi “orang yang
menolak untuk memberikan kebutuhan-kebutuhan tetangganya,
pada hari kiamat Allah akan menolak untuk memberikan kebaikan-
Nya dan meninggalkan orang itu sendirian, dan alangkah buruknya
bagi siapa pun yang Allah tinggalkan sendirian”.86
Penelusuran dari ayat terakhir ini maka dapat dipahami bahwa
Allah menjelaskan ciri-ciri berikutnya bagi mereka yang
mendustakan agama. Allah telah menegaskan ancaman celaka bagi
mereka yang mendustakan agama, yakni orang-orang tidak peduli
terhadap kehidupan anak yatim, orang-orang miskin, mereka yang
enggan sekali menolong sesamanya yang sangat membutuhkan,
bahkan menghalang-halangi orang lain yang hendak melakukan
pertolongan. Semua sifat-sifat di atas sangatlah jauh dari ajaran
Islam yang mengajarkan kita agar selalu baik dalam berhubungan,
baik hubungan dengan Allah maupun hubungan sesama manusia.
B. Analisis Nilai-Nilai Pendidikan Islam dalam Aspek Sosial
dalam Sȗrah Al-Mâ’ȗn dan Dampaknya
Orang yang dinilai baik keislamannya tidak hanya baik dalam ritual
ibadahnya saja, melainkan juga baik dalam hubungan sosial. Surah al-
Mâ’ȗn merupakan salah satu wahyu yang menuntut tentang dakwah dan
tanggung jawab sosial umat Islam. Pada sȗrah al-Mâ’ȗn al-Qur‘ân tidak
semata-mata memberi penekanan menyangkut kepercayaan atau rukun
iman, tidak juga amalan-amalan yang berkaitan dengan rukun Islam saja,
tetapi perhatian dan perlakuan kita terhadap anak yatim serta penghayatan
dan pengalaman substansi shalatnya yang ditegaskan, yakni perbuatan kita
sebagai bentuk penghambaan kepada Allah dan pemberian bantuan dalam
bentuk dan segi apapun meskipun kecil atau sedikit kepada siapa pun yang
memerlukan, dia yang menjaga baik hubungannya dengan Allah dan
86Ibid, h. 355
59
sesamanya, maka semua kebaikan tersebut merupakan tanda sebagai
muslim yang baik dan benar.
Dalam sȗrah ini, Allah menjelaskan keburukan mereka yang
mendustakan agama dengan menerangkan ciri-cirinya, yaitu mereka yang
menelantarkan anak yatim, tidak mau membantu orang miskin, mereka
yang menjalankan shalat hanya untuk mendapatkan perhatian manusia,
serta mereka yang enggan meminjamkan barang miliknya untuk
dimanfaatkan oleh orang lain.
Setelah menelusuri tafsir dari para ulama di atas, maka dapat
diklasifikasikan bahwa nilai-nilai sosial yang diajarkan dalam Sȗrah al-
Mâ’ȗn adalah sebagai berikut:
1. Sikap Memperhatikan Anak Yatim
Pada bab sebelumnya telah dijelaskan tentang definisi anak yatim
yang sesungguhnya, yakni mereka yang ditinggal wafat oleh ayahnya,
mereka masih dikatakan yatim apabila usianya masih dibawah tujuh
belas tahun. M. Quraish Shihab juga menjelaskan hal yang senada yaitu
bahwa istilah yatim digunakan untuk menunjuk anak manusia yang
belum dewasa yang ayahnya telah wafat, atau anak binatang yang
induknya telah tiada. Kematian ayah bagi seseorang yang belum dewasa
menjadikannya kehilangan pelindung, ia seakan-akan menjadi
sendirian, sebatang kara, karena itu ia dinamai yatim.87
Islam menganjurkan memberi perlindungan kepada anak yatim
antara lain:
a. Memelihara harta anak yatim, yaitu melarang keras dan
menyalahgunakan harta anak yatim
b. Memperlakukannya secara baik, yaitu menggerakkan umat muslim
untuk berperan sebagai orang tua yang mengasuh, mengasah, dan
mengasihi mereka.
87M. Quraish Shihab, Loc. Cit
60
c. Kewajiban memberi nafkah, yaitu tidak menelantarkan mereka dari
segi pangan, sandang dan papan.88
Anak-anak yatim sangat membutuhkan bantuan dari orang-orang
yang mampu lagi dermawan. Memelihara anak yatim dan
menyelamatkan harta bendanya merupakan kewajiban bersama. Apabila
ada anak yatim yang hidup terlantar, umat Islam yang berada di
sekitarnya tergolong orang-orang yang mendustakan agama, pernyataan
ini telah dijelaskan pada awal tafsir Sȗrah al-Mâ’ȗn .89
Quraish Shihab mengemukakan bahwa “di dalam al-Qur‘ân
ditemukan 12 sȗrah yang berbicara tentang anak-anak yatim, ayat-ayat
tersebut menguraikan berbagai tuntunan, ada yang berupa perintah, ada
juga larangan, ada lagi pujian dan kecaman”. Adapun pada sȗrah al-
Mâ’ȗn, Allah menjelaskan tentang kecaman terhadap pelaku kekerasan
pada anak yatim.90
Bantuan yang terbaik bagi mereka tentunya berupa kasih sayang
dan pendidikan. Anak-anak yatim sangat memerlukan kasih sayang.
Secara psikologis, orang yang telah dewasa sekalipun akan sedih
hatinya apabila kehilangan orang yang sangat dekat dalam hidupnya.
Orang yang selama ini menyayangi, memperhatikan dan menasihati kita
telah berpulang kepangkuan-Nya, bayangkan apabila hal ini terjadi pada
anak kecil, oleh sebab itu kita harus bersikap lemah lembut terhadap
mereka, menyayangi mereka dan menyantuni mereka. Seseorang tidak
boleh mebiarkan anak yatim dalam keadaan sengsara apalagi
menghardik dan mengabaikan mereka dengan perasaan benci.
Rasûlullâh semasa hidupnya sangat dekat dengan anak-anak yatim
dan beliaupun sangat menyayangi mereka. Beliau didik anak-anak
yatim agar ketika dewasa kelak mereka akan tumbuh menjadi baik dan
mulia. Kecintaan dan kasih sayang beliau patut dijadikan teladan oleh
88M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Qur‘ân Tematik, (Jakarta: Kamil Pustaka, 2014), h. 276
89Syamsul Rijal Hamid, Buku Pintar Agama Islam “Edisi yang disempurnakan, (Bogor:
Cahaya Islam, 2006), h. 521
90Quraish Shihab, membumikan Al-Qur‘ân , (Jakarta: Lentera Hati, 2010), h. 181
61
siapa saja dalam mengasuh dan menyayangi anak-anak yatim. Banyak
sabda Rasul tentang persoalaan anak yatim, salah satunya berbunyi:
و أشار بالسبابة والوسطى وفرج بينهما شيئا, يم يف اجلنة هكذاأنا و كافل اليت “Aku dan pengurus anak yatim kelak di surge akan seperti ini,
sambil mengisyaratkan dengan jari telunjuk dan jari tengahnya dan
membuat sedikit jarak di antara keduanya” (H.R. Bukhari)91
Islam sangat memperhatikan segala hal mengenai anak yatim,
memberikan kedudukan yang tinggi terhadap anak yatim dengan
memerintahkan kaum muslim untuk berbuat baik dan memuliakan
mereka. Dalam menyantuni anak yatim, sebaiknya seseorang
menyantuni anak yatim tidak hanya dengan memperhatikan
makanannya saja, melainkan juga segala apa yang ia butuhkan, seperti
pendidikan agamanya. Hendaklah menyekolahkannya ke lembaga
pendidikan yang baik seperti pesantren atau madrasah. Hal ini bertujuan
agar anak yatim sejak dini mendapat bekal dengan ilmu agama yang
bisa memberi manfaat bagi kehidupan mereka dalam menjalankan
perannya dengan baik dan benar di masa yang akan datang.
Setelah menelusuri keterangan sebelumnya, bahwa banyak dari kita
yang belum sepenuhnya sadar betul bagaimana sebenarnya yang disebut
dengan pendusta agama, namum sebagian lagi yang telah menyadarinya
akan langsung nampak jelas dari perilaku mereka bagaimana
menyantuni anak yatim dan menyikapi orang miskin dengan baik dan
benar. Di pesantren Dârul Aitam contohnya, ini merupakan yayasan
pendidikan yang didirikan langsung oleh para dermawan dari Negara
Kwait yang bekerja sama dengan pemerintah Indonesia untuk
menyejahterakan anak-anak yatim baik dari segi sandang, pangan,
pendidikan dan lain sebagainya. Dana yang mereka kucurkan selalu
rutin diterima oleh pengurus yayasan yang berada di sini demi
91Muhammad Ibnu Ismail Abi Abdullah Al-Bukhari, Al-Jamỉ’ As-Shahỉh Al-Mukhtashar,
(Bairut: Daar Ibnu Katsỉr, 1987)
62
terlaksana dengan baik niat mulia mereka, agar hubungan dengan Allah
dan manusia tetap terjalin dengan baik.
2. Membantu Orang Miskin dan Dhu’afa
Rasul menganjurkan umatnya untuk menyayangi anak yatim dan
mengasihi orang miskin. Sȗrah al-Mâ’ȗn mengajak kaum muslim untuk
memperhatikan kaum miskin. Bersedekah bagi fakir miskin merupakan
pekerjaan yang baik bagi sendiri dan orang lain, karena sebagian dari
harta yang kita miliki ada hak orang lain bagi mereka yang
membutuhkan. Sȗrah al-Mâ’ȗn menyadarkan kita bahwa orang beriman
yang taat beragama, tekun shalat, serta rajin zikir, dan membaca al-
Qur‘ân , serta berulang-ulang menunaikan haji dan umrah akan tetap
dikelompokkan sebagi pendusta agama, jika ketaatan beribadahnya
tidak melahirkan kepedulian sosial terhadap kaum dhuafa.
Ciri kedua para pendusta agama yang telah dibahas pada bab
sebelumnya adalah mereka yang tidak mau menolong atau
menganjurkan ntuk memberi makan orang miskin. Mengasihi orang
miskin juga merupakan kewajiban kita sebagai muslim yang meyakini
akan hari akhir dan hari pembalasan.
Perjuangan untuk meningkatkan kesejahteraan orang miskin dan
dhu’afa merupakan tanggung jawab negara dan seluruh anggota
masyarakat. Memberi makan kepada orang miskin merupakan salah
satu pertolongan pertama dalam penanggulangan kemiskinan, hal ini
tidak hanya menjadi tanggung jawab orang kaya saja, tetapi sudah
menjadi kewajiban bagi setiap muslim, oleh sebab itu pada Sȗrah al-
Mâ’ȗn Allah mengecam orang-orang yang tidak mendorong (orang
lain) untuk memberi makan orang miskin. Dalam pandangan al-Qur‘ân
penanggulangan kemiskinan harus menjadi gerakan kolektif umat yang
saling bersatu padu dari setiap lapisan masyarakat.92
92Asep Usman Ismail, Al-Qur‘ân dan Kesejahteraan Sosial, (Tangerang: Lentera Hati, 2012) ,
h. 40-41
63
Kesejahteraan sosial menjadi tanggung jawab masyarakat dan
Negara, karena kemiskinan merupakan pangkal munculnya berbagai
masalah sosial. Mengatasi fenomena kemiskinan merupakan berjuang di
jalan Allah. Sȗrah al-Mâ’ȗn menyadarkan kita bahwa orang yang
beriman dan taat beragama, tekun shalat, serta rajin dzikir, membaca al-
Qur‘ân dan berulang-ulang mengerjakan haji dan umrah akan tetap
dikelompokkan sebagai kelompok pendusta agama, jika ketaatan
beribadahnya tidak melahirkan kepedulian sosial terhadap nasib kaum
dhu’afa.93
Quraish Shihab menekankan “ perlu digarisbawahi bahwa ayat di
atas bukannya menyatakan ‘tidak memberi makan’ tetapi ‘tidak
menganjurkan memebri makan’, dengan demikan tidak ada alasan bagi
siapapun, kendati miskin untuk tidak mengamalkan ayat di atas”94
Menyeru atau mengajak orang lain kepada kebajikan, baik melalui
lisan maupun tindakan merupakan perbuatan yang telah disinggung oleh
Sȗrah al-Mâ’ȗn kewajiban pelaksanaannya. Sesuai dengan firman
Allah dalam hadis qudsi mengenai keutamaan menyeru kepada
kebaikan adalah sebagai berikut:
لمعروفوانهواعنالمنكرامرواب
“suruhlah dengan yang makruf dan laranglah dari pperbuatan
yang mungkar”(diriwayatkan oleh dailamy dari Aisyah)95
Menyuruh berbuat baik dan melarang kemungkaran merupakan
perbuatan Fardhu kifâyah. Kita harus menunjukkan contoh dan teladan
yang baik dan melarang berbuat jahat. Kita harus melakukan apa yang
kita serukan, karena cara ini merupakan nasihat yang paling baik dan
utama.96
93Ibid, h. 37
94Quraish Shihab, membumikan Al-Qur‘ân Jilid 2, (Jakarta: Lentera Hati, 2010), h. 185-186
95Firdaus A. N. 325 Hadis Qudsi pilihan “Jalan ke Surga”, (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu
Jaya,1990), h. 75
96Imam Habib Abdullah Haddadh, Nasehat Agama dan Wasiat Imam, ( Semarang: CV. Putra
Semarang, 1986), h. 260
64
Kita semua telah dimampukan oleh Allah untuk saling tolong
menolong bahkan meskipun kita tidak mampu mengasihi mereka
dengan materi, cukuplah kita menolongnya dengan cara menasihati atau
menyarankan orang sekitar kita yang sekiranya mampu menolong
secara materi sebagai bentuk kepedulian kita terhadap mereka.
Perlakuan kita yang terkadang acuh dengan anak yatim dan orang
miskin acapkali membuat kita lupa akan esensi sȗrah al-Mâ’ȗn yang
telah kita hapal, dengar dan baca.
Cinta kepada Allah tidak cukup hanya menegakkan ritual ibadah
saja, tetapi harus ada hubungannya dengan tingkat kebaikan hubungan
sosial, hali ini berarti, benarnya ibadah kita kita dapat di ukur dari
bagaimana hubungan sosial kita. Banyak ayat al-Qur‘ân yang
mengajarkan kita agar peduli terhadap sesama, tidak mementingkan diri
sendiri dengan rajin ibadah tetapi melupakan kaum lemah, karna orang-
orang yang demikian adalah termasuk golongan orang-orang yang
egois, dan Allah sunguh sangat tidak suka manusia yang egois dan
sombong, sebab mereka adalah termasuk pendusta agama. 97
Usaha melatih kebiasaan untuk peduli kepada fakir dan miskin
harus dilakukan sedini mungkin, baik dalam lingkungan keluarga,
sekolah dan lain sebagainya. Pembentukan itu bisa dilakukan dengan
mengadakan program penarikan sumbangan pada waktu yang telah
ditentukan secara berkala dan mengadakan bakti sosial, hal ini
dilakukan agar kita turut merasakan penderitaan mereka yang lemah
sehingga mendorong kita untuk peduli kepada lingkungan sekitar.
Seseorang yang membiasakan memberikan pertolongan kepada orang-
orang miskin, berarti seseorang mendidik dirinya untuk selalu peka
dengan orang-orang disekitarnya yang hidup dengan penuh kekurangan,
dan selalu menjadikan kehidupannya untuk senantiasa menjadi
dermawan kepada orang-orang yang memerlukan pertolongan darinya.
97Sri Muryanto, Islam Agama Cinta, (Semarang: Gama Gemilang, 2006), h. 42
65
3. Melatih Keikhlasan dan Menjauhi Sifat Ria
Dalam melakukan segala hal, haruslah disertai keikhlasan. Tidak
ada perbedaaan pendapat, bahwa ikhlas merupakan salah satu syarat sah
diterimanya suatu amal. Kita niatkan segala sesuatunya hanya untuk
mencari ridha Allah, bila suatu amal tidak diniatkan untuk mencari
ridha Allah maka amal tersebut tidak akan bernilai apa-apa. Dalam
Sȗrah al-Mâ’ȗn Allah menerangkan bahwa orang yang tidak ikhlas
atau mereka yang ria dalam beribadah atau beramal yaitu hanya untuk
mendapat kesan baik dari pandangan manusia, maka orang tersebut
termasuk dalam kategori pendusta agama.
Ikhlas adalah mengharapka ridha Allah semata dalam amalan hati
dan anggota badan, sedangkan makna ria’ adalah menuntut kedudukan
dan kehormatan dalam pandangan manusia, segala bentuk ibadah yang
dilakukan bertujuan agar orang memujinya, menghormatinya dan
memberinya harta benda sebagai bentuk penghargaan.
Orang yang ikhlas tidak akan takut terhadap celaan dan tidak pula
bangga dengan segala bentuk penghargaan dari manusia, karena ikhlas
itu adalah melakukan suatu perbuatan hanya untuk mencari ridha Allah
semata, sedangkan tanda-tanda orang yang ria adalah menyukai pujian
dan sanjungan, dan benci terhadap celaan atau kritikan, karena ria selalu
dilandas dengan pengharapan pujian dari orang lain.
Ria merupakan perbuatan yang berbahaya dan mengancam, banyak
ayat dan hadis yang mengancam, jika kita melakukan ibadah karena ria,
maka ia termasuk dosa besar, bahkan termasuk syirik. Orang yang
beramal karena ria pasti tidak mengharapkan ridha Allah semata.
Sedangkan ikhlas mengharuskan seorang hamba untuk beribadah hanya
karena Allah saja, perbuatan ini sama saja dengan mempermainkan
syari’at dan tidak meletakan sesuatu pada tempatnya.98
98Umar Sulaiman Abdullah Al-Asyqar, Ikhlas Agar Agama Tak Sia-Sia, (Jakarta: Gadika
Pustaka, 2007), h.130
66
Ria merupakan perilaku yang dapat mebinasakan pelakunya, karena
itu, menjaga diri dari sifat ria adalah perlu bahkan wajib. Di antara
contoh ria yaitu, misalnya: seseorang yang berangkat beribadah ke
masjid dan ia berangkat lebih awal, namun dengan niat agar gerak
geriknya dilihat dan diperhatikan orang banyak. Contoh lainnya
seseorang yang beramal mengharapkan pahala dari Allah dan untuk
mendekatkan diri pada-Nya, namun ia juga suka memperlihatkan dan
menyebutkan amalanya kepada orang ramai agar dipuji dan dihormati,
maka semua perbuatan seperti ini tidak meghasilkan pahala apapun.
Sebelum melaksanakan segala amalan, kita harus meluruskan niat
kita, terutama dalam ibadah. Kita niatkan bahwa tujuan yang hendak
dicapai beribadah hanya satu, yaitu ridha Allah. Jiwa manusia
diciptakan untuk beribadah dan berharap kepada Allah, bila dia
beribadah dan berharap kepada selain Allah, sesungguhnya dia telah
menzalimi dirinya sendiri.99
Landasan setiap perbuatan dibangun dengan niat, karena Islam
telah mengajarkan bahwa sebelum mengerjakan sesuatu harus diawali
dengan niat, niat yang dimaksud adalah niat yang suci, sesuai dengan
hadis Nabi yang di kutip oleh Allamah Kamal Faqih dari kitab Wasa’il
asy-Syi’ah yang berbunyi:
“segenap perbuatan tergantung pada niat, sesungguhnya bagi
manusia terggantung pada niatnya. Bagi siapa saja yang berjuang demi
Allah dalam jihad ganjarannya di sisi Allah, dan barangsiapa yang
yang berjuang demi dunia ini atau bahkan demi seutas tali pengikat
(seekor unta) maka ia hanya akan memperoleh hal tersebut (dan tidak
lebih).”100
Dalam berbuat kebaikan dan beribadah selain harus dilakukan
dengan ikhlas dan didasarkan niat hanya karena mencari ridha Allah
saja, juga dibutuhkan kesabaran, yakni dengan keuletan, konsistensi,
99Ibid, h. 42
100Allamah Kamal Faqih, Op. Cit, h. 356
67
dan berkesinambungan, serta meyakini janji Allah bahwa oranng yang
melakukan kebaikan tidak akan disia-siakan, begitupula sebaliknya.
Untuk menghindari dari perbuatan ria, maka sebaiknya kita beramal
secara rahasia agar tidak dilihat atau diketahui orang banyak, karena hal
ini lebih dekat kepada keikhlasan, namun apabila seseorang yang
menyadari bahwa ridha Allah akan berbuah manis yaitu hatinya sudah
benar-benar besih dan ikhlas, yang apabila beramal secara terang-
terangan hanya semata-mata untuk memberi contoh yang baik terhadap
orang sekitarnya.
4. Menjauhi Sifat Kikir
Sesuai dengan konteks Sȗrah al-Mâ’ȗn pada ayat terakhir yang
menjelaskan bahwasanya orang yang enggan untuk menolong dengan
barang berguna juga salah satu ciri pendusta agama, oleh sebab itu kita
Islam mengajarkan kita agar selalu berkasih sayang dan memiliki sifat
murah hati kepada sesama manusia, yaitu menafkahkan sebagian harta
yang kita miliki kepada yang membutuhkannya di jalan yang benar,
misalnya memberi pinjaman kepada yang membutuhkan.
Al-Qur‘ân menegaskan tentang bahaya sifat kikir pada QS.
Muhammad ayat 38 yang berbunyi:
“Ingatlah, kamu Ini orang-orang yang diajak untuk menafkahkan
(hartamu) pada jalan Allah. Maka di antara kamu ada yang kikir, dan
siapa yang kikir Sesungguhnya dia hanyalah kikir terhadap dirinya
sendiri. dan Allah-lah yang Maha Kaya sedangkan kamulah orang-
orang yang berkehendak (kepada-Nya); dan jika kamu berpaling
niscaya dia akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain; dan
mereka tidak akan seperti kamu ini”
68
Sifat kikir merupakan kebakhilan yang melampaui batas,
sebagaimana telah ditafsirkan dia atas, yaitu mereka tidak mau
memeberi bantuan dengan barang sepele. Ia mengutamakan hartanya
dan bertekad untuk menahannya. Ia menjadi seorang yang bakhil untuk
membelanjakan hartanya pada jalan yang lebih baik dan lebih
bermanfaat bagi dirinya disisi Allah. Rasulullah bersabda:
بعيد من اجلنة, بعيد من الناس, البخيل بعيد من اهلل
“Orang yang kikir itu jauh dari Allah, jauh dari manusia, jauh
dari surga”. 101
Sifat kikir merupakan salah satu sifat tercela yang harus dihindari
dalam hidup bermasyarakat. Kekikiran tidak akan mendatangkan
kekayaan, bahkan akan mendatangkan kemiskinan karena orang lain
juga tidak ingin berbagi dengannya. Biasanya orang yang memiliki sifat
kikir, tidak mau memberikan sedikitpun hartanya kepada orang lain,
tidak mau berbagi rizki dengan orang lain, karena ia takut hartanya akan
habis jika ia berbagi dengan orang lain. Padahal sebagian dari harta
yang dimiliki ada hak orang lain didalamnya. Oleh sebab itu, sedikit
dari harta yang dimiliki seharusnya diberikan untuk menolong orang
lain.
Adapun dampak dari nilai-nilai sosial yang terkandung dalam surah ini
yaitu dapat memberi solusi untuk mengatasi masalah kemiskinan, sebab
surah al-Ma’un mengajarkan kita agar tidak menolak atau mengabaikan
sesorang dalam memenuhi kebutuhannya, seperti tidak memotong atau
menghambat dana yang seharusnya dialokasikan kepada orang-orang yang
membutuhkan, enggan menolong dan enggan mengingatkan agar saling
menolong, bahkan melarang orang lain untuk menolong para kaum lemah,
tidak mengabaikan kewajiban kita untuk membayar zakat.
Dampak selanjutnya adalah menjadi pribadi yang dermawan dalam
rangka pembelaan kaum lemah yaitu dengan pemenuhan kebutuhan dasar
101Habipb Abdullah, Op. Cit, h. 417-418
69
atau pokok mereka, karena pada surah ini terdapat pemahaman untuk
melindungi dan mengayomi orang-orang lemah, seperti anak yatim, dhu’afa
lansia, pengemis dan lain sebagainya. Pemenuhan kebutuhan pokok dapat
diaplikasikan dengan beasiswa miskin, pemberian sembako/santunan,
bantuan pendidikan dan bantuan kesehatan, serta membayar zakat dan pajak
dengan pas dan tepat.
70
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisa pada bab sebelumnya, maka dapat
disimpulkan bahwa nilai-nilai pendidikan Islam dalam aspek sosial yang
terkandung dalam surat al-Mâ‘ȗn adalah tentang materi yakni kesejahteraan
sosialnya saja, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Pada ayat 1-3 disebutkan beberapa ciri-ciri pendusta agama, yaitu
mereka yang tidak memperhatikan hak anak yatim dan tidak peduli
dengan nasib fakir miskin serta tidak menganjurkan untuk saling tolong
menolong dalam berbuat kebaikan.
2. Ayat berikutnya menegaskan tentang bagaimanakah sholat bisa
membuat pelakunya celaka, vaitu orang yang suka melalaikan sholat.
Sebagaimana kita ketahui, bahwa sholat itu dapat mencegah kita dari
perbuatan munkar atau tercela. Baik atau buruknya kualitas sholat kita
dapat dilihat dari perilaku kita sehari-hari.
3. Di ayat ke-6 dijelaskan bagaimana sifat orang ria yang akan
menjerumuskan pelakunya kekebinasaan, yaitu orang melakukan
kebaikan hanya untuk mengharap pujian dan perhatian manusia.
4. Secara keseluruhan pendusta agama yang telah digambarkan oleh sȗrah
al-Mâ‘ȗn antara lain perilaku buruk terhadap anak yatim, tidak memberi
makan orang miskin, enggan mengingatkan/menganjurkan pada
kebaikan, lalai dalam mendirikan sholat, menipu diri dengan perbuatan
ria dan enggan berbuat baik.
5. Adapun ayat yang mengandung nilai-nilai sosial adalah ayat kedua,
ketiga dan ketujuh. Dimana Allah mengklaim para pendusta agama
yakni, orang tidak memedulikan anak yatim, orang yang tidak mau
memberi makan orang miskin dan orang yang bakhil.
71
B. Implementasi
Allah memerintahkan kita lewat firman-Nya dalam Surat Al-Mâ‘ȗn
agar kita melindungi dan mengayomi kaum lemah baik dari segi makanan,
pendidikan, tempat tinggal, dan kesehatan. Penerapan ayat ini dapat
diaplikasikan pada penyediaan beasiswa miskin, sembako, bantuan BOS,
JAMKESMAS, ASKES, rumah zakat, BAZIS, serta bantuan atau tunjangan
apapun yang dapat memberikan kontribusi bagi mereka yang
membutuhkan. Semua ini dapat diwujudkan apabila pendidikan akhlak
yang benar sudah ditanamkan sejak dini, maka kepekaan akan kebutuhan
sesama orang lain bisa dirasakan sehingga terjalin kerja sama yang baik.
C. Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan yang telah penulis
kemukakan, maka ada beberapa hal yang ingin penulis sampaikan sebagai
bahan masukan dan saran dalam upaya meningkatkan pendidikan,
khususnya pendidikan sosial. Adapun saran yang ingin penulis sampaikan
adalah sebagai berikut:
1. Sebagai umat muslim yang meyakini bahwa Allah adalah Maha
segalanya, sudah seharusnya kita menjaga perbuatan dan lisan kita
terhadap sesama manusia. Ibadah yang baik berbanding lurus dengan
perbuatan kita.
2. Menanamkan sifat ikhlas pada peserta didik sedini mungkin, dengan
bersedia mengorbankan kepentingan pribadi demi orang lain demi
meraih cinta dan ridha-Nya adalah yang terbaik.
3. Pemahan terhadap al-Qur‘ân belum bisa dikatakan sempurna apabila
tidak diiringi dengan pengamalan isi kandungan al-Qur’an dalam
kehidupan sehari-hari, maka sebagai pendidik, baik formal maupun
nonformal hendaknya membantu menanamkan nilai-nilai sosial agar
lebih mudah mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari., karena
al-Qur‘ân bukan hanya untuk dibaca, di hafal dan dipahami saja, tetapi
lebih pada pengamalan isi al-Qur‘ân yang telah kita pelajari.
72
DAFTAR PUSTAKA
.
A. N, Firdaus. 325 Hadis Qudsi pilihan “Jalan ke Surga”, Jakarta: CV. Pedoman
Ilmu Jaya,1990.
Agil, Said Husin Munawar, Aktualisasi Nilai-Nilai Qur’ani, Ciputat: PT. Ciputat
Press, 2005, cet II.
Ahmadi, Abu, Dasar-Dasar Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Bumi Aksara,
2004, Cet. IV.
An- Nahlawi, Abdurrahman, Prinsip-prinsip dan Metode Pendidikan Islam,
Bandung: Diponegoro,1992.
An-Nahlawi, Abdurrahman, Pendidikan Islam, Jakarta: Gema Insani: 1995, Cet.
II.
Anwar, Rosihon, Pengantar Ulumul Qur’an, Bandung: CV Pustaka Setia, 2009.
Arifin, M, Ilmu Pendidikan Islam; Tinjauan Teoretis dan Praktis Berdasarkan
Assegaf, Abdurrahman, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Raja Grafindo,
2011, Cet. I.
AS. Kaserun, Rahman dan Nur Mufid, Kamus Modern Arab-Indonesia, Surabaya:
Al-Kamal Pustaka, 2010.
Ath-Thabari, Ja’far Muhammad bin Jarir. Tafsir Ath-Thabari, Terj. Ahsan Askan,
jilid. 15. Jakarta: Pustaka Azzam, 2007
Baidan, Nasaruddin, Metodologi Penafsiran Al-Qur‘ân, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1998.
Dahlan, Zaini, Tafsir Al-Qur‘ân , Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf.
Darajat, Zakiyah, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2012, cet 10.
73
Darajat, Zakiyah, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah,
Jakarta:Ruhama, 1995, cet. 2
Dasuki, Hafiz Al-Qur‘ân dan Tafsirnya, Jogjakarta: PT Dana Bhakti Wakaf.
Daud, Mohammad Ali, Pendidikan Agama Islam, Jakarta; Grafindo, 2008.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai
Pustaka, 2002, Cet. II.
Departemen Agama RI, Al-Qur‘ân dan Terjemahnya , Bandung: CV. Penerbit
Diponegoro, 2007.
Fatimatuzzahra,Nilai-Nilai Pendidikan Islam dalam surat Al-Muzamil Ayat 1-10,
Jakarta: UIN Jkarta, 2012
Habib, Imam Abdullah Haddadh, Nasehat Agama dan Wasiat Imam, Semarang:
CV. Putra Semarang, 1986.
Harun, Salman, Tafsir Tarbawi. Ciputat: UIN Jakarta Press, 2013.
Hamid, Abdul Hasyimi, Mendidik ala Rasulullah, Jakarta: Pustaka Azam, 2001.
Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982.
Hawl, Akmal, Kompetensi Guru PAI, Jakarta: Rajawali Pers, 2013, h. 3
Ibnu, Muhammad Ismail Abi Abdullah Al-Bukhari, Al-Jamỉ’ As-Shahỉh Al-
Mukhtashar, Bairut: Daar Ibnu Katsỉr, 1987.
Imam, Saikh Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, Ter . dari Tafsir Al-Qurthubi oleh
Dudi Rosyadi dan Faturrahman, Jakarta: Pustaka Azzam, 2009.
Jalaluddin, Imam Al-Mahalliy dan Imam Jalaluddin As-Suyuti, Terjemah Tafsir
Jalalain berikut Asbaabun Nuzul, Bandung:Penerbit Sinar Baru Bandung,
1990.
74
Kamal, Allamah faqih imani, Tafsir Nurul Qur’an ”sebuah tafsir sederhana
menuju cahaya Al-Qur‘ân”, Ter. Rahardian M.S, Iran: al huda, 2006, jilid
xx..
Kartasapura, G. Kartini, kamus sosioogi dan kependudukan, Jakarta: Bumi
Aksara, 1992.
M. Ramadhon, Nilai-Nilai Pendidikan dalam surat Al-Baqarah Ayat 177, Jakarta:
UIN Jakarta,2012.
Mudjab, A. Mahalli, Asbabun Nuzul Studi Pendalaman Al-Qur‘ân., Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2002
Majid, Abdul Khon, Ulumul Hadits, Jakarta: AMZAH, 2008, Cet. I.
Majid, Abdul Khon, Hadis Tarbawi, Jakarta: Karisma Putra Utama, 2012.
Maman Kh, U., dkk. Metodologi Penelitian Agama Teori dan Praktek. Jakarta:
Raja Grafindo Persada Press, 2006.
Muhammad Badaruddin, Al-Burhân fỉ Ulȗmil Qur’ân, Darul Ihya Kutub
Arabiyah, 1957, jilid 4.
Muhammad, Jamaluddin Abi Al-Fadhli. Lisânul ‘Arab, vol. 14. Beirut Libanon:
Dar Al Kotob Al-Ilmiyah, 2003a.
----------. Lisânul ‘Arab, vol. 13. Beirut Libanon: Dar Al Kotob Al-Ilmiyah,
2003b.
----------. Lisânul ‘Arab, vol. 8. Beirut Libanon: Dar Al Kotob Al-Ilmiyah, 2003c.
----------. Lisânul ‘Arab, vol.11. Beirut Libanon: Dar Al Kotob Al-Ilmiyah,
2003d.
----------. Lisânul ‘Arab, vol. 14. Beirut Libanon: Dar Al Kotob Al-Ilmiyah,
2003e.
75
Muhammad, Teuku hasbi Ash Shiddieqy, Al-Bayan Tafsir Penjelas Qur’anul
Karim, Semarang: PT Pustaka Rizky Putra h. 1618
Munawwir, Ahmad Warson. Al-Munawwir: Kamus Bahasa Arab-Indonesia
Terlengkap. Surabaya: Pustaka Progresif, 1997.
Munawwaroh, Djunaidatul dan Tanenji, Filsafat Pendidikan, Jakarta: UIN
Press,2003, Cet I.
Mustafa, Ahmad Al-Maragi,Tafsir Al-Maragi, Ter. BAhrun Abu Bakar, dkk,
Semarang: PT. Karya Toha Putra Semarang, 1993.
Muryanto, Sri, Islam Agama Cinta, Semarang: Gama Gemilang, 2006.
Nata, Abuddin, Filsafat Pendidikan Islam , Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997,
Cet. I.
Nata, Abuddin, Ilmu Pendidikan Islam dengan pendekatan multidisipliner,
Jakarta: Rajawali Pers, 2009.
Nata, Abuddin, Pendidikan Perspektif Hadits, Jakarta: UIN Press, 2005, Cet. I.
Nata, Abuddin, Akhlak Tasawuf, Jakarta: Raja Pers, 2013, Cet. 1.
Nidaul Islamiyyah, Nilai-Nilai Pendidikan Sosial dalam Surat Al-Furqan Ayat 63-
72,Jakarta: UIN Jakarta,2013.
Nuraida, Charater Building Guru PAI, (Jakarta, Aulia Publishing House, 2008),
Cet: II.
Perpustakaan Nasional RI, Tafsir Al-Qur‘ân Tematik, Jakarta: Kamil Pustaka,
2014.
Rijal, Syamsul Hamid, Buku Pintar Agama Islam “Edisi yang disempurnakan,
Bogor: Cahaya Islam, 2006.
Sabiq, Sayyid, Fikih Sunnah, Bandung: PT Al-Ma’arif, 2013.
76
Salim, Peter, Yenny Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, Jakarta:
Modern English Press, 2005.
Saiful, Imam Mu’minin, Kamus Ilmu Nahmu & Sharaf, Jakarta: AMZAH, 2009.
Shihab, Quraish, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, vol.
15. Jakarta: Lentera Hati, 2002
----------, AL-LUBÂB: Makna, Tujuan, dan Pelajaran dari Surah-Surah Al-
Qur’an. Tangerang: Lentera Hati, 2012
----------. Membumikan Al-Qur‘ân 2, Jakarta: Lentera hati 2010.
Sjamsudhuha, Pengantar Sosiologi Islam, Surabaya: JP BOOKS, 2008.
Syihab, Umar, Kontekstualisasi Al-Qur‘ân ; Kajian Tematik atas Ayat-Ayat
Hukum dalam Al-Qur‘ân, Jakarta : Penamadani, 2005.
Shihab, M. Quraish, Wawasan Al-Qur‘ân, Bandung: Mizan Pustaka, 1997, cet.VI
Mohammad Noor Syam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat
Pendidikan Pancasila, Surabaya: Usaha Nasional, 1986.
Soegarda, R. Poerbakadja dan A. H. Harahap, Ensiklopedi Pendidikan, Jakarta:
Balai Pustaka, 1994.
Sulaiman, Umar Abdullah Al-Asyqar, ikhlas agar amal tak sia-sia, Jakarta:
Gadika Pustaka, 2007, h. 137
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan Kombinasi (Mixed
Methods). Bandung: Alfabeta, 2011.
Usman, Asep Ismail, Al-Qur‘ân dan Kesejahteraan Sosial, Jakarta: Lentera Hati
2012.
Vembriarto, ST., Pendidikan Sosial, Yogyakarta: Paramita, 1984.
Yusuf , M. Yunan, Tafsir Juz ‘Amma Sirajl Wahhaj, Jakarta: Pena Madani, 2010.
77
Yunan, M. Yusuf, Tafsir juz ‘Amma As-Sirajul Wahhaj, Jakarta: Penamadani dan
Az-Zahra Pustaka Prima, 2010.
Z. Zurinal, dan Aminuddin, Fiqih Ibadah, LPUIN Jakarta, 2008
Nama
NIM
Fakultas
Jurusan
Judul
LEMBAR UJI REFERENSI
Anisya Ulfah
1111011000070
Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Pendidikan Agama Islam
Tafsir Sflrah Al-Mf iin (Nilai-Nilai Perdidikan Sosial)
No Judul Buku BAB No.Footnote
HalamanSkripsi
ParafPembimbing
1 M. Quraish Shihab,Wawasan Al-Qur'dn,(Bandung: Mizan ,1997) ,
cet. M, h. 319
I I I
I2 Said Agil Husin
Munawar, AkrualisasiNilai-Nilai Qur'ani(Ciputat PT. CiputatPress,2005), cet II, h. 4.
1
2
2
5
2
10
3 M. Quraish Shihab,Wawasan Al-Qur'dn,Bandung: Mizan Pustaka,2007 , Cet. 1, h. 16.
I 3dan8 2 danl
4 Zal<tyahDarajat,IlmuPendidikan Islam, {Jakarta: Bumi Aksara,2012), cet 10. H.20.
I
2
4
7,27,31,32
J
14,19,22 P
5 Sj amsudhuh a, P en gant arSosiologi Islam,(Surabaya:JP BOOKS,200$, h, r07-t ts
I
2
5
39,43,44
4
25,26
6 M. Yunan Yusuf, TqfsirJuz 'Amma Sirajl Wahhaj,(lakarta: Pena Madani,2010), h.786
1
4
6
39,51,61,66,73.82-
4
44,47, 49,51,53,56
7 ZakryahDarajat,Pendidikan Islam dalamKeluarga danS elro I ah, (J akxta:Ruhama,1995) cet.2 h.35. 55 .63
1
2
7
18,39
4
L6,24
l
)
8 Umar Syihab,Kontekstualisasi Al-Qur'dn ; Kajian Tematikatas Ayat-Ayat Hulasmdalam Al - Qur' dn (Jakarta: Penamadani, 2005), hlm.41.
I 9 dan 10 5dan6
I Peter Salimo Yenny Salim,Kamw B*hosa IndanesiaKontemporer, (Jakarta:ModernEnglish Press, 2005),h.103.
2 1 I
10 Departemen PendidikanNasional, Kamus BesarBahxa Indonesia,(Jakarta: BalaiPustaka, 2AA2), Cet. II, h.783
2 2 9
11 MohammadNoor Syam,Fil safat P endidikan danDas ar Filsafat P endidikanPancasila,(Surabaya: UsahaNasional, 1986), h.133
2 3 dan4 9
IrFl-13 Abuddin Nata, Filsafat
Pendidikan Islam ,
(Jakarta: Logos \YacanaIknu, 1997),, Cet.I, h.9.
2 6 10
15 M. Aifin,IlmuPendidikan Islam;Tinjauan Teoretis danPraktis BerdasarkanP endelmt an Int erdi s ipline,(Jakarta: Bumi Aksara,2009), Cet. fV, h. 1l
2 Sdanq 10dan 1l
l6 AbuddinNxa"IlmuPendidi*an Is lam denganpendekatanmultidis ipl iner, (Jakarta:Rajawali Pers, 2009), h.13.
aL 10,31,34, dan
4L
LL,24,22,dan 25
17 Akmal Hawl,KompetensiGuru PAI, (Jakarta:Raiawali Pers, 20 13i"h. 3
2 11 dan26 tl dan 19 I18 Djunaidatul Munawwaroh
dan Tanenji, FilsafatP endidikan, (Jakarta: {IINPress,2003), Cet I. h. 110.
2 t2 t2
19 Abdul Majid Khon,Ulumul Hadits, (Jakarta:AMZAH,2008), Cet.I,h.1.
2 13 r3
20 Abdul Majid Khon, HadisTarbqwi, Bandung:Karisma Putra Utama,20l2,hal. V
2 14,29 14,20
21 Abuddin Nx4- PendidikonPerspelctif Hadits,(Jakarta: LIIN Press,2005), CeL I, h. 78-88
2 15,37 14,24
22 Mohammad Daud Aii,P endidikan Agama Islam,( Jakarta; Grafindo, 2008),h. 199.
2 16,27,dan 43
15, 19 dan25
[-23 Abu Ahmadi, Dascr-
Dasar Pendidtlmn AgamaIslarn, (Jakarta: BumiAksara,2004),Cet.IV, h. 98.
2 17,21 15, t7
25 Zvljrnal Z. danAminuddin, Fiqih lbadah,Ciputat: LPUIN SyaHid,2008, h.26, 30
? 19,2A l6
28 Abuddin Natz, AkhlakTa s aw uf , (Jakarta : Raj aPers,2013), Cet. 1, h. 4.
2 22 L7
29 M. Alim, PendidikanAgama klam, Bandung:PT. RemajaRosdaKarya,20rt"h. 151
2 23 18
30 Abdurrahman Assega{Fils afat P endidilmn Is lam,
2 24 18
I
{Jakarta: Raja Grafindo,2011). Cet.I.hal.42 1
31 Salman Harun, TafsirTar b ot vi. (Ciputat: UINJakarta Press, 2013)h. 34-35
2 29 20
33 Kartasapura, G. Kartini,kamus sosiologi dankependudukan, { Jakarta:Bumi Aksara, 1992), h.382
2 35 23
34 R. Soegarda Poerbakadjadan A. H. Harahap,Ens ikl ope di P en di dikan,
{Jakarta: Belai Pustalra,1994), h. 275
2 36 23
35 ST. Vembriarto,PendidikanSosial,(Yogyakarta:Paramita, 1984), &. 6
2 37 dan42 23 dan25
39 Asep Usman Ismail,,4/-Qur'dn danKesejahteraanS o s i a l, (J akarta: L enteraHati201?),h.4
2
4
45,46
16,93,94
?7
38,62rY
40 U. MarnanKh, dkk.,Metodologi PenelitianAgama Teori dan Pral*ek,(Jakarta: Raja GrafindoPersada Press, 2006), h.80
J ldan6 30 dan 32
41 Sugiyono, MetodeP enel i t i an Kuanti tatif,Kua I i t at if dan Komb in as i(Mixed Methods),(Bandung: Alfabeta,20l l). h.287
_) 2 dan3,dan 5
31 dan 32
42 RosihonAnw ar,P engantar UlumulQltr'an, @andung: CVPustaka Setia, 2009), h.148
aJ 4 3t
43 Nasaruddin Baidan,Metodologi PenafsiranAl-Qur'dn, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 1998), h.31
J 7 JJ
I44 Departemen Agama F.l, Al-
Qur'dn dan Terjemahnya ,
(Bandung: CV. PenerbitDioonesoro. 200n. h. 485
I 34
45 Imam Saiful Mu'minin, KamusIlmu Nahmu & Sharaf, (Jakarta:AMZAH' 2009), h.43-44
J 34
46 Muhammad Badaruddin, l/-Burhdnfi Ufrmil Qur'dn, (DarulIhya Kutub Arabiyah, 1957), jilid4,h.179
4 35
47 Ahmad Warson Munawwir, l/-Munawwir: Kamus Bahasa Arab-Indones ia Terlengkap, (Surabaya:Pustaka Progresif, 1997), h.495,405, 1 587, 647,1586,674, 460,dan 988
5,8,11,14,17,19,23,
26,
35,36,37,39 ,39, dan
40
L=47 Jamaluddin Abi Al-Fadhli
Muhammad, Lisdnul'Arab,(Beirut Libanon: Dar Al KotobAl-Itmiyah,2003) vol. 14, h. 360,373
6 dan 25 36 dan 40
48 Jamaluddin Abi f-FadhliMuhammad, Lis dnul' Arab,(Beirut Libanon: Dar Al KotobAl-Ilmivah" 2003) vol. 8. h. 101
10 36
49 Jamaluddin Abi Al-FadhliMuhammad Lisdnal'Arab,@eirut Libanon: Dar Al KotobAl-Ilmiyah,2003) vol. 14, h. 360,499-500
12,13,2A,21,dan 22
37 dan39
50 Jamaluddin Abi Al-FadhliMuhammad, Lisdnul'Arab,(Beirut Libanon: Dar Al KotobAl-Ilmiyah,2003) vol. 13, h.260,515
15, 25,dan 28
38 dan 40
I
\
5t Jamaluddin Abi Al-FadhliMuhammad, Li"sdnul' Arab,(Beirut Libanon: Dar Al KotobAl-Itmiyah,2003), jilid 11, h.883
18 38
l52 Saikh Imam Al-Qurthubi, Tafsir
Al-Qurthubr, Ter . dari Tafsir Al-Qurthubi oleh Dudi Rosyadi danFahrrahman, (Jakarta: PustakaAzzam, 2009), h. 801, 788, 789,79t
29,4A,54,57,81
dan 76
40,44,48,49,
56 dan 54
53 Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan danKeserasian Al-Qur'an, vol. 14(Jakarta: Lentera Hati, 2002), h.547 ,546,553, 550, 55 1,
9,43,45,46,65,54,89
36, M,45,46,51,54,
59
54 Abu Ja'far Muhammad bin JarirAth-Thabari, Tafs ir Ath-Thabari,Terj. Ahsan Askan,, jilid. 15
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2AO7),
h.983.98s.983. 1012
53,60,64, darl
84
47,49,51, dan
56
55 Quraish Shihab, Al-Lubdb:Malcna, Tujuaru, dan PelajaranSurah- Surah Al - Qur' an,(Tangerang: Lentera Hati, 2012),h.760
38 dan 49 43 dan 47
-tr56 Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta:
Pustaka Panjimas, 2001), h. 280,779,281,282,
41,42,50,59,67,74dan 80
44,47,49,51,
54 dan55
58 Umar Sulaiman Abdullah At-Asyqar, ikhlas agar amal tak sia-sza, (Jakarta:Gadika Pustaka2007), h.t37,130,42,
24,99,100,
39,65
59 Jamaluddin Abi Al-FadhliMuhammad, Lisdnul'Arab,(Beirut Libanon: Dar Al KotobAl-Ilmiyah, 2003), h. 373
30 4L
60 A. Mudjab Mahalli, AsbabunNwul Studi Pendalaman Al-Qur'dn- Ter, Bahrun Abu Bakar,(Jakarta:PT Raja GrafindoPersada, 2002) h.953
30 dan 32 4l dan42
7
61 Imam Jalaluddin Al-Mahalliy danImam Jalaluddin As-Suyuti,Terjemah Tafsir Jalolain berikutAsbaabun Nuzul,(Bandung :Penerbit Sinar BaruBandung, 1990), h. 2791, 2788,
31,63 40,50
I62 Allamah kamal faqih imani,
Tafsir Nurul Qur'an "sebualttafsir sederhana menuju cahayaAl-Qur'dn", Ter. Rahardian M.S.(kan: al huda, 2006), jilid xx.. H.349,352,353, 354, 354,
33,44,48,55,68,79,86,101
42,45,46,48,51,54,
57 dan66
63Hafiz Dasuki, AI-Qur'dn danTafs irny a, (Jogj akarta :PT DanaBhakti Wakaf), h. 815
35 43
64 Teuku Muhammad Hasbi AshShiddieqy, Al- Bayan Tafs irPerujelas Qur'anul K*rim,(Semarang:PT Pustaka RizkyPutra) h. 1618
36 dan37 43
66 Ahmad Mustafa Al-Maragi, Tafs irAl-Maragi, Ter. BAhrun AbuBakar, dkk, (Semarang: PT.Karya Toha Putra Semarang,1993), h. 436, 436, 437, 436,434,437
47,62,70,75,77,83,
46,50,52,54,
s6, h67 Zaini Dahlan, Tafsir Al-Qur'dn ,
(Yogyakarta: PT. Dana BhaktiWakaf), h.817,818,
52,56,69,95,
47,48,52,57
68 M.Quraih shihab, MembumilmnAl-Qur'dn 2, (Jakarta: Lenterahati2010)h.186
59 49
69 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah,(Bandung: PT Al-Ma'arif, 2013),h.206
71 52
70 Sri Muryanto, Islam AgamaCinta, (Semarang: GamaGemilang, 2006), h. 4A,42
72,99 53,63,
V
7' M. Quraish Shihab, Tafsir At-Qar'dn Tematik,(Jakarta: KamilPustaka,2014), h.276
89 59 I72 Syamsul Rijal Flamid, Buku
Pintar Agama Islam "Edisiyangdis empurnakan, (Bogor: CahayaIslam,2006), h.52L
90 59
t3 Quraish Shihab, membumikan Al-Qur'dn, (Jakarta: Lentera Hati,2010), h.181,185-186
91,95 59,62
74 Muhammad Ibnu Ismail AbiAbdullah Al-Bukhari, Al-Jami'As - Shahih Al- Mukhtas har,
Eairut: Daar Ibnu Katsir, 1987)
92 60
L-75 Firdaus A. N. 325 Hadis Sqdii
pilihan "Jalan ke Surga",(Jakarta: CV. Pedoman IlmuJava.1990). h. 75
96 63
76 Imam Habib Abdullah Haddadh,Nasehat Agama dan WasiatImam, ( Semarang: CV. PutraSemarans. 1986). h. 260
97 dan102
63 dan 67
'-l