tanggap pertumbuhan, serapan hara dan karakter
TRANSCRIPT
TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN
KARAKTER MORFOFISIOLOGI TERHADAP CEKAMAN KEKERINGAN PADA BIBIT KELAPA SAWIT YANG
BERSIMBIOSIS DENGAN CMA
ELIS KARTIKA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya, bahwa segala pernyataan dalam
disertasi yang berjudul :
TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER MORFOFISIOLOGI TERHADAP CEKAMAN KEKERINGAN
PADA BIBIT KELAPA SAWIT YANG BERSIMBIOSIS DENGAN CMA
merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri dengan bimbingan
Komisi Pembimbing, kecuali dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini
belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di
perguruan tinggi lain.
Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat
diperiksa kebenarannya.
Bogor, Januari 2006
Elis Kartika
NRP P036 00010/AGR
ABSTRACT
ELIS KARTIKA. Growth, Nutrient Uptake and Morphophysiology Characters
Responses on Drought Stress of Oil Palm Seedling Inoculated with AMF.
Advisory committee: SUDIRMAN YAHYA (chairman), SUDARSONO and
SRI WILARSO BUDI (members).
Drought stress is one of the main limiting factors in growth, nutrient
uptake and yield of oil palm, particularly those which are planted on Red Yellow
Podzolic (RYP) and peat soils. One of the alternatives to overcome this drought
stress problem on many plants is through inoculation with Arbuscular Mycorrhiza
Fungi (AMF). AMF occurs in each rhizosphere of certain plant in an ecosystem.
Each ecosystem contains various kinds of AMF and each kind of AMF possesses
different level of effectiveness in oil palm seedlings growing on various types of
soil. Also, various kinds of AMF could act synergistically and antagonistically
to each other in influencing the growth of oil palm seedlings. Therefore, research
on AMF in oil palm rhizosphere, and its role in overcoming drought stress, needs
to be conducted.
This research comprised three interrelated experiments, namely: (1)
Isolation, characterization and purification of AMF from three sites of oil palm
plantation (first, RYP of used forest; second, RYP of rubber plantation; and third,
peat of used forest soils), (2) Evaluation on the effectiveness of AMF for oil palm
seedling using the soils from of the three sites as the growing media, and (3)
Study adaptation mechanism of oil palm seedling inoculated with AMF on
drought stress on RYP and peat of used forest soils media.
The observed soil samples came from rhizosphere of the three oil palm
plantation sites. Evaluation on the effectiveness was conducted toward the AMF
isolates produced from a single spore culture on those three soil types.
Adaptability test of oil palm seedlings consisted of two experiments. Each
experiment for each soil type used Factorial Completely Randomized Design with
two factors. The first factor was AMF inoculation (M0 = without AMF, and M1 =
inoculation of AMF). The second factor was level of drought stress (100 %, 75
%, 50 % and 25 % of available water).
Results showed that in each type of soil, there were 2 genus of AMF,
namely Glomus and Acaulospora. There were 9 strains of AMF in rhizosphere of
oil palms planted on the first soil (5 strains of Acaulospora and 4 strains of
Glomus). In the second soil, there were 9 strains of AMF (7 strains of Glomus and
2 strains of Acaulospora). In the third soil, however, 12 strains of AMF were
characterized (7 strains of Glomus and 5 strains of Acaulospora). In the
rhizosphere of oil palms planted in RYP of used forest soil, AMF was dominated
by Acaulospora, whereas those in RYP of used rubber plantation and peat of used
forest soils, were dominated by Glomus. During effectiveness test the highest
effectiveness on the first soil was mixed inoculums of 3 AMF isolates Glomus sp-
3a, Acaulospora sp-3a and Acaulospora sp-5a; on second soil was single
inoculums of AMF Glomus sp-3b; whereas third soil was mixed inoculums of 3
AMF isolates Glomus sp-1c, Glomus sp-5c, and Acaulospora sp-5c. Adaptability
experiment showed that on both soil types, AMF inoculation improved the
adaptability of oil palm seedling on every level of drought stress, as shown by the
responses of growth and nutrient uptake. The adaptation of non-inoculated
seedling on drought stress was solely by tolerance mechanism, either
osmoregulation as shown by higher production level of osmoticum components
or cell turgor regulation by leaf ABA accumulation. On the inoculated seedlings,
however, there were synergism between those two tolerance mechanism and
escape mechanism. Two important escape mechanism were intensifying root
system and decreasing transpiration surface of seedlings. Responses of growth
and nutrient uptake of oil palm seedlings inoculated with AMF and without AMF
on the peat soil media, were higher as compared to those on RYP soil media for
each level of drought stress.
ABSTRAK
ELIS KARTIKA. Tanggap Pertumbuhan, Serapan Hara dan Karakter
Morfofisiologi terhadap Cekaman Kekeringan pada Bibit Kelapa Sawit yang
Bersimbiosis dengan CMA. Komisi pembimbing : SUDIRMAN YAHYA
(ketua), SUDARSONO dan SRI WILARSO BUDI (anggota).
Cekaman kekeringan merupakan salah satu faktor pembatas utama dalam
pertumbuhan, serapan hara dan hasil kelapa sawit terutama yang ditanam pada
tanah PMK dan gambut. Salah satu alternatif yang mungkin dapat meningkatkan
kemampuan adaptasi terhadap cekaman kekeringan pada tanaman kelapa sawit
adalah dengan menggunakan CMA. CMA ada di setiap rizosfir suatu tanaman
dalam suatu ekosistem. Masing-masing ekosistem mangandung jenis CMA yang
beragam dan setiap jenis CMA memiliki keefektivan yang berbeda dengan bibit
kelapa sawit dan jenis tanah di mana bibit tersebut tumbuh. Demikian juga antara
jenis CMA dapat bersifat sinergis atau dapat pula bersifat antagonis dalam
mempengaruhi pertumbuhan bibit kelapa sawit. Oleh karena itu, studi tentang
CMA pada rizosfir kelapa sawit dan peranannya dalam mengatasi cekaman
kekeringan perlu dilakukan.
Penelitian terdiri atas tiga percobaan yang masing-masing memiliki
keterkaitan yaitu : (1) Isolasi, karakterisasi dan pemurnian CMA dari tiga lokasi
perkebunan kelapa sawit (tanah PMK bekas hutan, PMK bekas kebun karet dan
gambut bekas hutan), (2) Pengujian keefektivan CMA terhadap bibit kelapa sawit
pada media tanah PMK bekas hutan, PMK bekas kebun karet dan gambut bekas
hutan, dan (3) Adaptasi bibit kelapa sawit yang bersimbiosis dengan CMA
terhadap cekaman kekeringan pada media tanah PMK dan gambut bekas hutan.
Sampel tanah yang diamati berasal dari rizosfir tiga lokasi perkebunan
kelapa sawit yaitu tanah PMK bekas hutan, tanah PMK bekas kebun karet dan
tanah gambut bekas hutan. Pengujian keefektivan dilakukan terhadap isolat-isolat
hasil kultur spora tunggal pada ketiga jenis tanah tersebut. Pengujian adaptasi
bibit kelapa sawit terdiri dari dua percobaan, masing-masing percobaan
menggunakan Rancangan Acak Lengkap Faktorial dengan dua faktor yaitu faktor
pertama adalah inokulasi CMA (M0= tanpa CMA and M1 = inokulasi CMA) dan
faktor kedua adalah taraf cekaman kekeringan (100%, 75%, 50% and 25% air
tersedia).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada setiap jenis tanah hanya
ditemukan dua genus CMA yaitu Glomus dan Acaulospora. Jenis CMA di
rizosfir kelapa sawit yang ditanam pada tanah PMK bekas hutan diperoleh
sembilan jenis CMA (lima tipe Acaulospora dan empat tipe Glomus), di tanah
PMK bekas kebun karet sembilan jenis CMA (tujuh tipe Glomus dan dua tipe
Acaulospora) dan di tanah gambut bekas hutan diperoleh 12 jenis CMA (tujuh
tipe Glomus dan lima tipe Acaulospora). CMA di rizosfir kelapa sawit yang
ditanam pada tanah PMK bekas hutan didominasi oleh jenis Acaulospora,
sedangkan di tanah PMK bekas kebun karet dan tanah gambut bekas hutan
didominasi oleh Glomus. Pada pengujian keefektivan diperoleh CMA yang
memiliki keefektivan tertinggi di media tanah PMK bekas hutan adalah inokulum
campuran tiga isolat CMA Glomus sp-3a, Acaulospora sp-3a dan Acaulospora sp-
5a; di media tanah PMK bekas kebun karet adalah inokulum tunggal CMA
Glomus sp-3b serta di media tanah gambut bekas hutan adalah inokulum
campuran tiga isolat CMA Glomus sp-1c, Glomus sp-5c, dan Acaulospora sp-5c.
Hasil pengujian adaptasi bibit kelapa sawit menunjukkan bahwa pada jenis tanah
PMK dan gambut bekas hutan, inokulasi CMA meningkatkan daya adaptasi bibit
kelapa sawit pada setiap tingkat cekaman kekeringan seperti ditunjukkan oleh
tanggap pertumbuhan dan serapan hara (P dan K). Mekanisme adaptasi bibit
kelapa sawit tanpa CMA terhadap cekaman kekeringan yang dominan adalah
melalui mekanisme toleransi (pengaturan osmoregulasi dengan memproduksi
senyawa-senyawa osmotikum glisina-betaina dan prolina daun, serta pengaturan
turgor sel melalui akumulasi kadar ABA daun). Pada bibit kelapa sawit yang
bersimbiosis dengan CMA, mekanisme adaptasi terhadap cekaman kekeringan
adalah melalui mekanisme toleransi dan mekanisme penghindaran (perbaikan
penyerapan hara (terutama P), peningkatan kemampuan penyerapan air melalui
perbaikan sistem perakaran, pengurangan luas permukaan transpirasi dan
pengaturan turgor sel melalui akumulasi kadar ABA daun). Tanggap pertumbuhan
dan serapan hara bibit kelapa sawit yang diinokulasi CMA dan tanpa CMA pada
media tanah gambut bekas hutan lebih tinggi dibandingkan pada media tanah
PMK bekas hutan untuk setiap tingkat cekaman kekeringan.
© Hak cipta milik Elis Kartika, tahun 2006
Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari
Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam
bentuk apapun, baik cetak, fotocopy, microfilm, dan sebagainya
TANGGAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN KARAKTER MORFOFISIOLOGI TERHADAP CEKAMAN
KEKERINGAN PADA BIBIT KELAPA SAWIT YANG BERSIMBIOSIS DENGAN CMA
ELIS KARTIKA
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia
dan hidayah-Nya sehingga disertasi ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian yang dilaksanakan dari bulan Mei 2002 sampai April 2005 ini
adalah mikoriza, dengan judul : “Tanggap Pertumbuhan, Serapan Hara dan
Karakter Morfofisiologi terhadap Cekaman Kekeringan pada Bibit Kelapa
Sawit yang Bersimbiosis dengan CMA”.
Selama penelitian ini penulis telah banyak mendapat bantuan dan
bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini penulis
menyampaikan ucapan terima kasih kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Ir. H Sudirman Yahya, M.Sc. selaku ketua komisi
pembimbing, Bapak Prof. Dr. Ir. H. Sudarsono, M.Sc. dan Bapak Dr. Ir. Sri
Wilarso Budi R., M.Si., selaku anggota komisi pembimbing atas segala
bantuan, arahan dan bimbingan yang telah diberikan kepada penulis.
2. Pimpinan dan Staf di lingkup Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor,
atas segala pendidikan, layanan administrasi dan bantuan yang telah diberikan.
3. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, yang telah memberikan beasiswa
BPPS.
4. Bapak Rektor Universitas Jambi dan Dekan Fakultas Pertanian Universitas
Jambi atas izin, dukungan, motivasi dan kebijaksanaan yang diberikan dalam
menyelesaikan studi program doktor.
5. Seluruh staf pengajar dan pegawai Fakultas Pertanian Universitas Jambi atas
segala bantuan dan layanan yang diberikan.
6. Pimpinan dan staf PT Rigunas Agri Utama Jambi, PTP Nusantara VI Jambi,
PT Era Sakti Parastama Jambi dan PT Persada Harapan Kahuripan Jambi, atas
bantuan dan izin pengambilan contoh tanah untuk bahan penelitian ini.
7. Pimpinan, staf dan pegawai Laboratorium Silvikultur Fakultas Kehutanan
IPB, Laboratorium Research Group on Crop Improvement (RGCI) IPB,
Laboratorium Balai Besar Litbang Pasca Panen Pertanian Bogor,
Laboratorium Tanah Fakultas Pertanian Universitas Jambi, dan Laboratorium
Bioteknologi Fakultas Pertanian Universitas Jambi, atas segala bantuan yang
telah diberikan selama aktivitas di laboratorium.
8. Bapak H. Dahri Nasution atas segala bantuan baik moril maupun materil yang
telah diberikan kepada penulis.
9. Ayahanda dan Ibunda, Bapak dan Ibu Mertua, Suami dan anak-anak tercinta,
serta kakanda dan adinda, atas segala pengorbanan, pengertian, dorongan, dan
semangat serta doanya, sehingga penulis mampu menyelesaikan disertasi ini.
10. Bapak-bapak dan Ibu-ibu yang sekaligus teman-teman yang sangat baik, atas
segala batuan dan motivasi yang telah diberikan : Dr. Ir. Eliyanti, M.Si., Ir.
Rainiyati, M.Si., Ir. Lizawati, M.Si., Ir. Asmadi, M.Si., Dr. Ir. Hamzah, M.Si.,
Ir. Rahman, M.Sc., Mas Bambang, Ir. Rizal dan seluruh teman-teman yang
tidak dapat saya sebutkan satu persatu.
Besar harapan penulis kiranya disertasi ini dapat bermanfaat dalam
pengembangan ilmu pengetahuan dan bagi semua pihak yang membutuhkannya.
Bogor, Januari 2006
Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Sumedang pada tanggal 16 November 1963 sebagai
anak keempat dari pasangan Dedi Hidayat dan E. Haryati. Pada tanggal 10
Desember 1988 penulis menikah dengan Islahudin. Sekarang penulis telah
dikaruniai tiga orang anak: Nurika Maulidiniawati Islahudin (lahir 18 Oktober
1989), Desiska Rachmayati Islahudin (lahir 18 Desember 1992) dan Muhammad
Adharamadinka Islahudin (lahir 28 April 1996).
Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di Sekolah Dasar Negeri
Sukaraja II Sumedang (tahun 1976), sekolah menengah pertama di Sekolah
Menengah Pertama Negeri I Sumedang (tahun 1980) dan sekolah menengah atas
di Sekolah Menengah Atas Negeri I Sumedang (1983).
Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas
Pertanian Institut Pertanian Bogor, lulus pada tahun 1987. Pada tahun 1991
penulis meneruskan pendidikan Pascasarjana di Program Studi Agronomi, Institut
Pertanian Bogor dan menamatkannya pada tahun 1994. Selanjutnya pada tahun
2000 penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke program
doktor pada Program Studi Agronomi di Sekolah Pascasarjana IPB. Beasiswa
pendidikan pascasarjana diperoleh dari BPPS.
Penulis bekerja sebagai staf pengajar di Fakultas Pertanian Universitas
Jambi sejak tahun 1989.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ..………………………………………………………
DAFTAR GAMBAR …………………………………………………….
DAFTAR LAMPIRAN ..…………………………………………………
PENDAHULUAN ……………………………………………………….
Latar Belakang ……………………………………………………...
Tujuan Penelitian …………………………………………………...
Kegunaan Penelitian ………………………………………………..
Hipotesis …………………………………………………………….
Strategi Penelitian …………………………………………………..
ISOLASI, KARAKTERISASI DAN PEMURNIAN CMA DARI 3
LOKASI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT (TANAH PMK BEKAS
HUTAN, PMK BEKAS KEBUN KARET DAN GAMBUT BEKAS
HUTAN) ………………………………………………………………….
Abstrak ………………………………………………………………
Abstract ………………………………………………………………
Pendahuluan …………………………………………………………
Bahan dan Metode …………………………………………………...
Hasil dan pembahasan ……………………………………………….
Hasil Penelitian ………………………………….....................
Pembahasan …………………………………………………..
Kesimpulan ………………………………………………………….
PENGUJIAN KEEFEKTIVAN CMA PADA BIBIT KELAPA
SAWIT DI TANAH PMK BEKAS HUTAN, PMK BEKAS
KEBUN KARET DAN GAMBUT BEKAS HUTAN …………………...
Abstrak ……………………………………………………………….
Abstract ………………………………………………………………
Pendahuluan ………………………………………………………….
Bahan dan Metode ……………………………………………………
Hasil dan Pembahasan ……………………………………………….
Hasil Penelitian ……………………………………………......
Pembahasan ……………………………………………………
Kesimpulan …………………………………………………………..
ADAPTASI BIBIT KELAPA SAWIT YANG BERSIMBIOSIS
DENGAN CMA TERHADAP CEKAMAN KEKERINGAN
PADA TANAH PMK DAN GAMBUT BEKAS HUTAN ………………..
Abstrak ……………………………………………………………….
Abstract …………………………………………………………….....
xv
xvii
xxii
1
1
4
5
5
6
8
8
8
9
11
16
16
17
29
30
30
30
31
33
36
36
51
56
57
57
57
Halaman
Pendahuluan …………………………………………………………
Bahan dan Metode …………………………………………………..
Hasil dan Pembahasan ………………………………………………
Hasil Penelitian …………………………………………….....
Pembahasan ………………………………………………..….
Kesimpulan ……………………………………………………….....
PEMBAHASAN UMUM .………………………………………………..
KESIMPULAN UMUM DAN SARAN ...………………………………..
Kesimpulan Umum ………………………………………………….
Saran ………………………………………………………………...
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………….
LAMPIRAN ………………………………………………………………
58
62
68
68
111
127
129
144
144
145
146
162
DAFTAR TABEL
No. Judul Halaman
1. Jumlah spora hasil trapping per 50 g contoh tanah pada setiap jenis
tanah……………………………………………………………………
2. Jenis spora hasil isolasi dari perkebunan kelapa sawit yang ditanam
pada tanah PMK bekas hutan Kabupaten Tebo Provinsi Jambi………..
3. Jenis spora hasil isolasi dari perkebunan kelapa sawit yang ditanam
pada tanah PMK bekas kebun karet Kabupaten Tebo Provinsi Jambi...
4. Jenis spora hasil isolasi dari perkebunan kelapa sawit yang ditanam
pada tanah gambut bekas hutan Kabupaten Muara Jambi Provinsi
Jambi…………………………………………………………………...
5. Hasil standarisasi inokulan dari setiap isolat dari t anah PMK bekas
hutan, PMK bekas kebun karet dan gambut bekas hutan…..………….
6. Perlakuan pemberian jenis isolat untuk tanah PMK bekas hutan, PMK
bekas kebun karet dan gambut bekas hutan …………………………...
7. Uji kontras ortogonal terhadap peubah tinggi bibit, diameter batang,
jumlah daun, luas daun dan bobot kering akar bibit kelapa sawit umur
5 bulan di tanah PMK bekas hutan …………………………………….
8. Uji kontras ortogonal terhadap bobot kering tajuk, bobot kering bibit,
nisbah tajuk akar, kadar P, serapan P dan infeksi akar bibit kelapa
sawit umur 5 bulan di tanah PMK bekas hutan ………………………..
9. Uji kontras ortogonal terhadap peubah tinggi bibit, diameter batang,
jumlah daun, luas daun dan bobot kering akar bibit kelapa sawit umur
5 bulan di tanah PMK bekas kebun karet….…………………………...
10. Uji kontras ortogonal terhadap bobot kering tajuk, bobot kering bibit,
nisbah tajuk akar, kadar P, serapan P dan infeksi akar bibit kelapa
sawit umur 5 bulan di tanah PMK bekas kebun karet …………………
11. Uji kontras ortogonal terhadap peubah tinggi bibit, diameter batang
jumlah daun, luas daun dan bobot kering akar bibit kelapa sawit umur
5 bulan di tanah gambut bekas hutan ………………………………….
12. Uji kontras ortogonal terhadap bobot kering tajuk, bobot kering bibit
nisbah tajuk akar, kadar P, serapan P dan infeksi akar bibit kelapa
sawit umur 5 bulan di tanah gambut bekas hutan ……………..............
13. Pertumbuhan (bobot kering bibit) dan serapan P bibit kelapa sawit
yang diinokulasi CMA paling efektif di tanah PMK bekas hutan, PMK
bekas kebun karet dan gambut bekas hutan …………………………...
16
18
20
22
34
35
38
39
43
44
48
48
51
No. Judul Halaman
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
Persamaan regresi pengaruh taraf cekaman kekeringan terhadap
semua peubah yang diamati pada tanah PMK bekas hutan ………….
Pertumbuhan bibit kelapa sawit di tanah PMK bekas hutan hasil
penelitian dan standar dari PPKS Medan …………………………….
Persamaan regresi pengaruh taraf cekaman kekeringan terhadap
semua peubah yang diamati pada tanah gambut bekas hutan ………...
Pertumbuhan bibit kelapa sawit di tanah gambut bekas hutan hasil
penelitian dan standar dari PPKS Medan …………………………….
Perubahan bobot kering bibit, serapan P dan kandungan prolina daun
pada bibit kelapa sawit yang mengalami cekaman kekeringan ………
Persentase air tersedia yang diperlukan bibit yang bersimbiosis
dengan CMA untuk mencapai pertumbuhan dan serapan P bibit pada
keadaan cukup air …………………………………………………….
Efisiensi pupuk P dan K pada bibit kelapa sawit umur 9 bulan di
media tanah PMK dan gambut bekas hutan …………………………..
70
85
90
107
110
111
142
DAFTAR GAMBAR
No Judul Halaman
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
Alur penelitian peranan CMA pada keadaan kekeringan terhadap
serapan P dan pertumbuhan bibit kelapa sawit di beberapa
ekosistem ……………………………………………………………...
Tanggap morfologi bibit kelapa sawit umur 5 bulan terhadap
inokulasi CMA di media tanah PMK bekas hutan…………………….
Tanggap morfologi bibit kelapa sawit umur 5 bulan terhadap
inokulasi CMA di media tanah PMK bekas kebun karet ……………..
Tanggap morfologi bibit kelapa sawit umur 5 bulan terhadap
inokulasi CMA di media tanah gambut bekas hutan …………………
Tanggap tinggi bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap perlakuan
mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah PMK bekas hutan...
Tanggap luas daun bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap
perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah PMK
bekas hutan ……………………………………………………………
Tanggap bobot kering tajuk bibit kelapa sawit umur 9 bulan
terhadap perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media
tanah PMK bekas hutan …………………………………………........
Tanggap bobot kering bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap
perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah PMK
bekas hutan ……………………………………………………………
Tanggap diameter batang bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap
perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah PMK
bekas hutan ……………………………………………………………
Tanggap diameter batang bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap
terhadap perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan pada tingkat
cekaman kekeringan yang berbeda di media tanah PMK bekas hutan..
Tanggap jumlah daun pecah lidi bibit kelapa sawit umur 9 bulan
terhadap perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah
PMK bekas hutan ……………………………………………………..
Tanggap bobot kering akar bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap
perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah PMK
bekas hutan............................................................................................
Tanggap enzim fosfatase asam di akar bibit kelapa sawit umur 9
bulan terhadap perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media
tanah PMK bekas hutan ……………………………………………....
7
42
46
50
69
70
70
71
72
72
73
74
74
No. Judul Halaman
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
Tanggap kadar K tajuk bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap
perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah PMK
bekas hutan ……………………………………………………………
Tanggap kadar P tajuk bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap
perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah PMK
bekas hutan ……………………………………………………………
Tanggap jumlah daun bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap
perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah PMK
bekas hutan ……………………………………………………………
Tanggap EPA bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap perlakuan
mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah PMK bekas hutan...
Tanggap enzim fosfatase asam di tanah bibit kelapa sawit umur 9
bulan terhadap perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media
tanah PMK bekas hutan …………………………...............................
Tanggap Serapan K tajuk bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap
perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah PMK
bekas hutan ……………………………………………………………
Tanggap serapan P tajuk bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap
perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah PMK
bekas hutan ……………………………………………………………
Tanggap nisbah tajuk akar bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap
perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah PMK
bekas hutan ……………………………………………………………
Tanggap kadar glisina-betaina daun bibit kelapa sawit umur 9 bulan
terhadap perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah
PMK bekas hutan ……………………………………………………..
Tanggap prolina daun bibit kelapa sawit umur 2.5 bulan sebelum
perlakuan cekaman kekeringan di media tanah PMK bekas hutan…...
Tanggap kadar prolina daun bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap
perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah PMK
bekas hutan ……………………………………………………………
Tanggap kadar ABA daun bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap
perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah PMK
bekas hutan ……………………………………………………………
Tanggap pertumbuhan tinggi bibit kelapa sawit umur 9 bulan
terhadap perlakuan pemberian mikoriza dan cekaman kekeringan di
media tanah PMK bekas hutan ………………………………………..
75
75
76
78
78
79
79
80
81
82
82
83
84
No. Judul Halaman
27.
28.
29.
30.
31.
32.
33.
34.
35.
36.
37.
38.
39.
40.
Tanggap pertumbuhan jumlah daun bibit kelapa sawit umur 9 bulan
di media tanah PMK bekas hutan terhadap perlakuan pemberian
mikoriza dan cekaman kekeringan …………………………………....
Tanggap pertumbuhan diameter batang bibit kelapa sawit umur 9
bulan di media tanah PMK bekas hutan terhadap perlakuan
pemberian mikoriza dan cekaman kekeringan …………………….....
Tanggap morfologi bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap
perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah PMK
bekas hutan...........................................................................................
Tanggap persentase infeksi akar terhadap perlakuan mikoriza dan
cekaman kekeringan di media tanah PMK bekas hutan ……………...
Akar bibit kelapa sawit yang tidak terinfeksi mikoriza (A) dan yang
terinfeksi mikoriza (B) dan (C) ……………………………………….
Beberapa keadaan visual bibit kelapa sawit yang mengalami cekaman
kekeringan di media tanah PMK bekas hutan ………………………...
Tanggap tinggi bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap perlakuan
mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah gambut bekas
hutan …………………………………………………………………..
Tanggap jumlah daun pecah lidi bibit kelapa sawit umur 9 bulan
terhadap perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di tanah
gambut bekas hutan …………………………………………………...
Tanggap diameter batang bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap
perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah gambut
bekas hutan …………………………………………...........................
Tanggap jumlah daun bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap
perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah gambut
bekas hutan ……………………………………………………………
Tanggap bobot kering akar bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap
perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah gambut
bekas hutan ………………………………………...............................
Tanggap bobot kering tajuk bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap
perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah gambut
bekas hutan …………………………………………...........................
Tanggap bobot kering bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap
perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah gambut
bekas hutan ……………………………………………………………
Tanggap pertumbuhan bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap
perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan pada tingkat cekaman
kekeringan yang berbeda di media tanah gambut bekas hutan……….
84
85
86
87
87
88
91
91
92
93
93
94
94
95
No. Judul Halaman
41.
42.
43.
44.
45.
46.
47.
48.
49.
50.
51.
52.
53.
Tanggap luas daun bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap
perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah gambut
bekas hutan……………………………………………………………
Tanggap enzim fosfatase asam di akar bibit kelapa sawit umur 9
bulan terhadap perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media
tanah gambut bekas hutan …………………………………………....
Tanggap enzim fosfatase asam di tanah bibit kelapa sawit umur 9
bulan terhadap perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media
tanah gambut bekas hutan …………………………………………….
Tanggap kadar K tajuk bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap
perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah gambut
bekas hutan …………………………………………………...............
Tanggap kadar P tajuk bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap
perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah gambut
bekas hutan ………………………………………………...................
Tanggap serapan K bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap
perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah gambut
bekas hutan ………………………………………………...................
Tanggap serapan P bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap
perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah gambut
bekas hutan …………………………………………………...............
Tanggap nisbah tajuk akar bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap
perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah gambut
bekas hutan …………………………………………………………...
Tanggap EPA bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap perlakuan
mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah gambut bekas
hutan ………………………………………………………………….
Tanggap glisina-betaina daun bibit kelapa sawit umur 9 bulan
terhadap perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media
tanah gambut bekas hutan ……………………………………………
Tanggap prolina daun bibit kelapa sawit umur 2.5 bulan sebelum
perlakuan cekaman kekeringan di media tanah gambut bekas hutan…
Tanggap prolina daun bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap
perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah gambut
bekas hutan …………… ……………………………………………..
Tanggap kadar ABA daun bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap
perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah gambut
bekas hutan …………………………………………………………...
96
96
97
97
98
98
99
99
100
100
101
102
103
No. Judul Halaman
54.
55.
56.
57.
58.
59.
60.
61.
Tanggap infeksi akar bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap
perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah gambut
bekas hutan............................................................................................
Tanggap pertumbuhan tinggi bibit kelapa sawit umur 9 bulan
terhadap perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media
tanah gambut bekas hutan …………………………………………….
Tanggap pertumbuhan jumlah daun bibit kelapa sawit umur 9 bulan
terhadap perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah
tanah gambut bekas hutan …………………………………………….
Tanggap pertumbuhan diameter batang bibit kelapa sawit umur 9
bulan terhadap perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media
tanah gambut bekas hutan …………………………………………….
Tanggap morfologi bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap
perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan pada media tanah
gambut bekas hutan ……………………………………………..........
Beberapa keadaan visual bibit kelapa sawit umur 9 bulan yang
mengalami cekaman kekeringan di media tanah gambut bekas hutan..
Bibit tanpa mikoriza (Mo) dibandingkan bibit bermikoriza (M1) pada
tingkat cekaman kekeringan yang sama di media tanah PMK bekas
hutan ………………………………………………………….............
Bibit tanpa mikoriza (Mo) dibandingkan bibit bermikoriza (M1) pada
tingkat cekaman kekeringan yang sama di tanah gambut bekas
hutan ………………………………………………………….............
104
105
105
106
108
109
112
113
DAFTAR LAMPIRAN
No. Judul Halaman
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
Prosedur pengamatan kolonisasi CMA pada akar tanaman contoh…...
Rekomendasi pemupukan bibit kelapa sawit di tanah PMK yang
dilaksanakan oleh Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Medan …...
Rekomendasi pemupukan bibit kelapa sawit di tanah gambut yang
dilaksanakan oleh PT Era Sakti Parastama, Desa Sakean, Kecamatan
Kumpeh Ulu, Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi Jambi……………...
Metode analisis aktivitas enzim fosfatase asam (E.C. 3.1.3.2
orthophosphoric-monoester phosphohydrolase) ……………………...
Prosedur analisis prolina …………………………………………….
Prosedur analisis ABA ……………………………………………….
Prosedur analisis glisina-betaina ...……………………………………
Prosedur pengukuran kadar P dalam tanaman ………………………..
Prosedur pengukuran kadar K dalam tanaman ……………………….
Sidik ragam uji kontras tinggi bibit, diameter batang dan jumlah daun
di media tanah PMK bekas hutan pada Percobaan 2 …………………
Sidik ragam uji kontras luas daun dan bobot kering akar di media
tanah PMK bekas hutan pada Percobaan 2 …………………………..
Sidik ragam uji kontras bobot kering tajuk, bobot kering bibit dan
nisbah tajuk akar di media tanah PMK bekas hutan pada
Percobaan 2 …………………………………………………………...
Sidik ragam uji kontras kadar P, serapan P dan infeksi akar di media
tanah PMK bekas hutan pada Percobaan 2 ……………………….......
Sidik ragam uji kontras tinggi bibit, diameter batang dan jumlah daun
di tanah PMK bekas kebun karet pada Percobaan 2 ………………….
Sidik ragam uji kontras luas daun dan bobot kering akar di media
tanah PMK bekas kebun karet pada Percobaan 2 …………………….
Sidik ragam uji kontras bobot kering tajuk, bobot kering bibit dan
nisbah tajuk akar di media tanah PMK bekas kebun karet pada
Percobaan 2 …………………………………………………………...
Sidik ragam uji kontras kadar P, serapan P dan infeksi akar di media
tanah PMK bekas kebun karet pada Percobaan 2 …………………….
Sidik ragam uji kontras tinggi bibit, diameter batang dan jumlah daun
di media tanah gambut bekas hutan pada Percobaan 2 ……………....
163
164
164
165
167
167
168
168
169
169
170
170
170
170
170
171
171
171
No. Judul Halaman
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
32.
33.
34.
35.
Sidik ragam uji kontras luas daun dan bobot kering akar di media
tanah gambut bekas hutan pada Percobaan 2 ………………………...
Sidik ragam uji kontras bobot kering tajuk, bobot kering bibit dan
nisbah tajuk akar di media tanah gambut bekas hutan pada
Percobaan 2……………………………………………………………
Sidik ragam uji kontras kadar P, serapan P dan infeksi akar di media
tanah gambut bekas hutan pada Percobaan 2 ………………………...
Sidik ragam uji ortogonal polinomial tinggi bibit dan bobot kering
bibit di media tanah PMK bekas hutan pada Percobaan 3 …………...
Sidik ragam uji ortogonal polinomial diameter batang dan jumlah
daun pecah lidi di media tanah PMK bekas hutan pada Percobaan 3...
Sidik ragam uji ortogonal polinomial bobot kering akar dan fosfatase
asam di akar pada media tanah PMK bekas hutan (Percobaan 3) …...
Sidik ragam uji ortogonal polinomial kadar K dan kadar P pada
media tanah PMK bekas hutan (Percobaan 3) ……………………….
Sidik ragam uji ortogonal polinomial jumlah daun dan bobot kering
tajuk pada media tanah PMK bekas hutan (Percobaan 3) ……….......
Sidik ragam uji ortogonal polinomial luas daun dan EPA pada media
tanah PMK bekas hutan (Percobaan 3) ……………………………….
Sidik ragam uji ortogonal polinomial enzim fosfatase asam di media
dan serapan K pada media tanah PMK bekas hutan (Percobaan 3)….
Sidik ragam uji ortogonal polinomial serapan P dan nisbah tajuk akar
pada media tanah PMK bekas hutan (Percobaan 3) ………………….
Sidik ragam uji ortogonal polinomial glisina-betaina dan prolina pada
media tanah PMK bekas hutan (Percobaan 3) ………………………..
Sidik ragam uji ortogonal polinomial ABA dan infeksi akar pada
media tanah PMK bekas hutan (Percobaan 3) ……………………….
Sidik ragam uji ortogonal polinomial tinggi bibit dan jumlah daun
pecah lidi di media tanah gambut bekas hutan pada Percobaan 3........
Sidik ragam uji ortogonal polinomial diameter batang dan jumlah
media daun di tanah gambut bekas hutan pada Percobaan 3................
Sidik ragam uji ortogonal polinomial bobot kering akar dan kadar K
pada media tanah gambut bekas hutan (Percobaan 3) ……………......
Sidik ragam uji ortogonal polinomial kadar P dan bobot kering tajuk
pada media tanah gambut bekas hutan (Percobaan 3) ………………..
171
171
172
172
172
172
173
173
173
173
174
174
174
174
175
175
175
No. Judul Halaman
36.
37.
38.
39.
40.
41.
42.
43.
44.
45.
46.
47.
48.
49.
50.
51.
Sidik ragam uji ortogonal polinomial bobot kering bibit dan serapan
K pada media tanah gambut bekas hutan (Percobaan 3) …………......
Sidik ragam uji ortogonal polinomial serapan P dan l uas daun pada
media tanah gambut bekas hutan (Percobaan 3) ……………………..
Sidik ragam uji ortogonal polinomial nisbah tajuk akar dan EPA pada
media tanah gambut bekas hutan (Percobaan 3) ……………………...
Sidik ragam uji ortogonal polinomial enzim fosfatase asam di akar
dan enzim fosfatase asam di tanah pada media tanah gambut bekas
hutan (Percobaan 3) …………………………………………………..
Sidik ragam uji ortogonal polinomial glisina-betaina dan prolina pada
Media tanah gambut bekas hutan (Percobaan 3) …………………......
Sidik ragam uji ortogonal polinomial ABA dan infeksi akar pada
media tanah gambut bekas hutan (Percobaan 3) ……………………..
Sidik ragam kandungan prolina daun sebelum cekaman kekeringan
di media tanah PMK bekas hutan dan tanah gambut bekas hutan
(Percobaan 3) …………………………………………………………
Analisis tanah PMK bekas kebun karet sebelum percobaan …………
Analisis tanah PMK bekas hutan sebelum percobaan ………………..
Analisis tanah PMK bekas hutan setelah percobaan 3 ……………….
Analisis tanah gambut bekas hutan sebelum percobaan ……………...
Analisis tanah gambut bekas hutan setelah percobaan 3 ……………..
Tanggap morfologi bibit kelapa sawit terhadap perlakuan mikoriza
dan cekaman kekeringan di media tanah PMK bekas hutan ………...
Tanggap fisiologi bibit kelapa sawit terhadap perlakuan mikoriza
dan cekaman kekeringan di media tanah PMK bekas hutan…………
Tanggap morfologi bibit kelapa sawit terhadap perlakuan mikoriza
dan cekaman kekeringan di media tanah gambut bekas hutan ………
Tanggap fisiologi bibit kelapa sawit terhadap perlakuan mikoriza
dan cekaman kekeringan di media tanah gambut bekas hutan ………
175
176
176
176
176
177
177
178
179
180
182
183
185
186
187
188
DAFTAR SINGKATAN
PMK : Podsolik Merah Kuning
CMA : Cendawan Mikoriza Arbuskular
AMF : Arbuscular Mycorrhiza Fungi
RYP : Red Yellow Podzolic
MPN : Most Probable Number
PVLG : Polivinil Alcohol Lactophenol Glycol
PDOC : Petridish Observation Chamber
FAA : Formalin Aceto Alcohol
ABA : Abcisic Acid
EPA : Efisiensi Penggunaan Air
PPKS : Pusat Penelitian Kelapa Sawit
P5C : Pyrolline-5-carboxsilase
P5CS : Pyrolline-5-carboxsilase syntetase
BADH : Betaine Aldehyde Dehydrogenase
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) merupakan salah satu komoditi
sektor non-migas andalan yang berperan penting dalam menunjang pembangunan
Indonesia. Produksi minyak sawit di perkebunan rakyat pada tahun 2002
mencapai sebesar 3.134.300 ton dan pada tahun 2003 terjadi kenaikan sebesar
16.42% menjadi 3.648.800 ton. Sedangkan produksi minyak sawit di perkebunan
besar pada tahun 2002 mencapai sebesar 5.277.300 ton dan pada tahun 2003
terjadi kenaikan sebesar 3.4% menjadi 5.456.700 ton. Secara umum ekspor
minyak sawit di Indonesia dalam kurun waktu 1999-2003 meningkat dengan laju
rata-rata 18.47 % per tahun (BPS 2003). Volume ekspor minyak sawit pada tahun
2003 mencapai 6.386.400 ton dengan nilai US$ 2.454.600.000 (BPS 2003).
Kebutuhan minyak sawit terus meningkat sejalan dengan peningkatan
jumlah penduduk dunia, yang juga dipacu dengan ditemukannya teknologi
pengolahan atau diversifikasi industri. Hal ini menunjukkan bahwa peluang pasar
kelapa sawit sangat baik, sehingga produksi kelapa sawit mempunyai prospek
yang sangat baik untuk dikembangkan di Indonesia. Sehubungan dengan hal
tersebut, dalam dekade terakhir Indonesia sudah mengusahakan peningkatan
produksi dan produktivitas sawit baik melalui program ekstensifikasi, intensifikasi
maupun rehabilitasi.
Salah satu kendala pengembangan kelapa sawit adalah keterbatasan lahan-
lahan subur, sehingga usaha perluasan areal lebih diarahkan pada lahan-lahan
marjinal yang biasanya terdapat di daerah-daerah di luar Pulau Jawa. Pada
daerah-daerah tersebut umumnya didominasi oleh tanah Podsolik Merah Kuning
(PMK) dan tanah gambut yang mempunyai tingkat kesuburan yang rendah serta
memiliki masalah dalam penyediaan air.
Tanah PMK bersifat masam, kahat hara makro, kadar bahan organik
rendah, kejenuhan basa rendah, kadar besi, alumunium dan mangan tinggi yang
dapat meracuni tanaman dan dapat menyebabkan fiksasi fosfor (Sudjadi 1984).
Masalah utama tanah PMK adalah dalam hal tersedianya unsur P akibat derajat
2
kemasaman yang tinggi yang menyebabkan Al dan Fe tertukar ke nisbi larut,
sehingga akan terjadi fiksasi P oleh kedua unsur tersebut atau P dijerap pada
permukaan oksida Fe, Al dan Mn yang tidak larut (Mengel & Kirkby 1987) atau
dengan mineral liat (Tisdale et al. 1985). Selain itu, secara fisik tanah PMK peka
terhadap erosi dan kemampuan menahan air yang rendah serta mempunyai nilai
kapasitas tukar kation yang rendah (Mengel & Kirkby 1987). Dengan
kemampuan menahan air yang rendah tersebut, tanah PMK mudah mengalami
kekeringan terutama pada musim kemarau, sehingga tanaman kelapa sawit yang
ditanam pada tanah tersebut akan mengalami cekaman kekeringan.
Tanah gambut memiliki reaksi tanah yang sangat masam, kandungan hara
makro dan mikro rendah, kapasitas tukar kation tinggi, sedangkan kejenuhan basa
rendah, kandungan bahan organik tinggi dan tingginya kandungan asam-asam
organik tanah yang berpengaruh langsung dan bersifat meracuni tanaman (Rachim
1995). Pada tanah gambut, unsur P dominan dalam bentuk inositol ester fosfat,
inositol heksafosfat dan sebagian kecil dalam bentuk inositol di-, tri- dan
tetrafosfat sehingga sulit tersedia bagi tanaman (Mengel & Kirkby 1987). Tanah
gambut yang ditanami kelapa sawit yang akan diteliti merupakan jenis gambut
saprik yang sebagian besar telah mengalami pelapukan. Kelapa sawit
memerlukan drainase yang baik untuk pertumbuhannya, oleh karena itu
penanaman tanaman tersebut pada tanah ini terlebih dahulu perlu dibuat drainase
dengan dibuat parit. Pada tanah gambut ini air tersedia juga rendah sehingga
tanaman kelapa sawit tersebut akan mengalami kekeringan juga sewaktu musim
kemarau.
Tanaman kelapa sawit yang ditanam pada tanah PMK ataupun gambut di
Provinsi Jambi mudah sekali mengalami kekeringan, terutama di musim kemarau.
Hal itu disebabkan karena selain sifat tanah tersebut yang mempunyai
kemampuan menahan air yang rendah (khususnya tanah PMK), juga menurut
Hartley (1977) karena tanaman kelapa sawit mempunyai tipe perakaran yang
dangkal (akar serabut), sehingga mudah mengalami cekaman kekeringan yang
sangat membatasi pertumbuhan dan produksi tanaman tersebut. Dampak
kekeringan terhadap pertumbuhan tanaman kelapa sawit ditandai dengan daun
3
muda tidak membuka, merusak hijau daun yang menyebabkan daun tampak
menguning dan mengering, pelepah daun tua terkulai dan pupus patah. Pada fase
reproduktif, cekaman kekeringan menyebabkan perubahan nisbah kelamin bunga,
bunga dan buah muda mengalami keguguran dan tandan buah gagal menjadi
masak, yang pada akhirnya dapat mengakibatkan gagal panen dan menurunkan
produksi 10-40 % dan CPO 21-65 % (Siregar 1998).
Alternatif yang mungkin dapat dikembangkan untuk mengatasi masalah
tersebut selain dengan menggunakan bahan tanaman yang toleran, adalah dengan
usaha pemanfaatan mikroorganisme bermanfaat seperti mikoriza. Beberapa
penelitian telah menunjukkan manfaat mikoriza seperti pada tanaman padi gogo
(Sastrahidayat 1991), kopi (Hanapiah 1997), gandum (Al-Karaki et al. 1998),
kakao (Sasli 1999), barley (Al-Karaki & Clark 1999), jagung dan kedelai
(Sastrahidayat 2000), padi sawah tadah hujan (Hanafiah 2001), dan jeruk
(Camprubi & Calvet 1996; Graham & Eissentat 1998; Syvertsen & Graham 1999;
Fidelibus et al. 2000).
Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) pada lahan kekeringan mampu
meningkatkan penyerapan hara makro (terutama P) dan hara mikro melalui hifa
eksternalnya, selain itu juga mampu memberikan ketahanan terhadap kekeringan
(Nelson & Safir 1982; Setiadi 1989; Al-Karaki & AlRaddad 1997; Al-Karaki et
al. 1998; Al-Karaki & Clark 1999; Aboul-Nasr 1998; Brundrett et al. 1996).
Peningkatan serapan P oleh tanaman akibat adanya asosiasi CMA dan tanaman
merupakan manfaat yang paling dominan. Penyebab terjadinya peningkatan
serapan P oleh tanaman bermikoriza adalah karena serapan P oleh hifa
berlangsung sangat efektif (Smith & Read 1997).
Menurut Bowen (1987), CMA dapat ditemukan hampir pada sebagian
besar tanah dan pada umumnya tidak mempunyai inang yang spesifik. Walaupun
demikian, tingkat populasi dan komposisi jenis sangat beragam dan dipengaruhi
oleh karakteristik tanaman dan faktor lingkungan seperti suhu, pH tanah,
kelembaban tanah, kandungan fosfor dan nitrogen, serta konsentrasi logam berat
(Daniels & Trappe 1980). Abbott & Gazey (1994) menyatakan bahwa CMA
sangat berlimpah pada tanah dengan bahan organik rendah. Dengan demikian,
4
setiap ekosistem kemungkinan dapat mengandung CMA dengan jenis yang sama
atau bisa juga berbeda.
Sampai sejauh ini, pemanfaatan CMA dalam mengatasi cekaman kekeringan
pada bibit kelapa sawit belum banyak dilaporkan. Oleh karena itu perlu diteliti
lebih lanjut bagaimana peranan CMA dalam mengatasi cekaman kekeringan pada
bibit kelapa sawit, sehingga akan didapatkan mekanisme adaptasi bibit kelapa
sawit terhadap cekaman kekeringan pada keadaan dengan dan tanpa inokulasi
CMA.
Produksi kelapa sawit sangat dipengaruhi oleh kualitas bibit yang
digunakan, oleh karena itu pembibitan merupakan langkah awal dari seluruh
rangkaian kegiatan pembudidayaan pada tanaman kelapa sawit. Melalui tahap
pembibitan ini diharapkan akan menghasilkan bibit yang baik dan berkualitas.
Bibit kelapa sawit yang berkualitas adalah bibit yang memiliki kekuatan dan
penampilan tumbuh yang optimal serta berkemampuan dalam menghadapi
keadaan cekaman lingkungan, seperti cekaman kekeringan. Dengan adanya CMA
pada bibit kelapa sawit, diharapkan CMA dapat meningkatkan kemampuan bibit
mengatasi cekaman kekeringan dan meningkatkan serapan hara, sehingga pada
akhirnya bibit tersebut mampu tumbuh baik di lapangan dan mampu mengatasi
keadaan lingkungan yang beragam.
Tujuan Penelitian
Penelitian bertujuan :
1. Mengisolasi dan mengkarakterisasi CMA dari tiga lokasi perkebunan kelapa
sawit yaitu pada tanah PMK bekas hutan, tanah PMK bekas kebun karet, dan
tanah gambut bekas hutan.
2. Menguji keefektivan CMA terhadap bibit kelapa sawit pada media dari ketiga
lokasi perkebunan kelapa sawit tersebut.
3. Mengkaji peranan CMA pada keadaan kekeringan terhadap pertumbuhan dan
serapan hara bibit kelapa sawit yang ditanam pada media tanah PMK dan
tanah gambut bekas hutan.
5
4. Mengkaji mekanisme adaptasi tanaman kelapa sawit dalam mengatasi
cekaman kekeringan pada keadaan dengan dan tanpa inokulasi CMA.
Kegunaan Penelitian
1. Dengan ditemukannya isolat CMA yang efektif, maka isolat tersebut
diharapkan dapat digunakan pada pembibitan kelapa sawit di perkebunan-
perkebunan.
2. Dengan diketahui mekanisme toleransi bibit kelapa sawit terhadap cekaman
kekeringan, diharapkan dapat memanipulasi teknik agronomi dalam mengatasi
cekaman kekeringan.
3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi program
pemuliaan dalam merakit varietas tanaman yang toleran terhadap cekaman
kekeringan.
Hipotesis
Hipotesis yang diajukan adalah :
1. Setiap jenis tanah dari tiga lokasi perkebunan kelapa sawit (tanah PMK bekas
hutan, tanah PMK bekas kebun karet, tanah gambut bekas hutan) memiliki
jenis CMA yang berbeda.
2. Terdapat CMA jenis tertentu dari setiap jenis tanah yang mempunyai
keefektivan yang tinggi pada bibit kelapa sawit.
3. CMA pada keadaan kekeringan dapat meningkatkan pertumbuhan dan
serapan hara bibit kelapa sawit yang ditanam pada media tanah PMK dan
tanah gambut bekas hutan.
4. Mekanisme adaptasi bibit kelapa sawit terhadap cekaman kekeringan
dipengaruhi oleh CMA. Tanpa CMA, diduga osmoregulasi merupakan
mekanisme adaptasi bibit kelapa sawit terhadap cekaman kekeringan.
6
Strategi Penelitian
Disertasi ini disusun berdasarkan hasil penelitian yang terdiri dari tiga
topik penelitian, dan masing-masing topik penelitian saling berkaitan. Topik
penelitian pertama bertujuan untuk mengisolasi dan mengkarakterisasi isolat-
isolat CMA yang terdapat pada tanah PMK bekas hutan, PMK bekas kebun karet
dan gambut bekas hutan, dengan judul “Isolasi, karakterisasi dan pemurnian
CMA dari tiga lokasi perkebunan kelapa sawit (tanah PMK bekas hutan,
tanah PMK bekas kebun karet, dan tanah gambut bekas hutan)”. Isolat-
isolat CMA yang ditemukan pada hasil penelitian pertama, diuji keefektivannya
dengan bibit kelapa sawit pada penelitian kedua yang berjudul “Pengujian
keefektivan CMA terhadap bibit kelapa sawit pada media tanah PMK
bekas hutan, tanah PMK bekas kebun karet, dan tanah gambut bekas
hutan”. Selanjutnya hasil dari penelitian kedua tersebut, digunakan pada topik
penelitian ketiga yang berjudul “Adaptasi bibit kelapa sawit yang bersimbiosis
dengan CMA terhadap cekaman kekeringan pada media tanah PMK dan
gambut bekas hutan”.
Bagan alur penelitian yang menunjukkan keterkaitan antar penelitian
disajikan pada Gambar 1.
7
Gambar 1. Alur penelitian tanggap pertumbuhan, serapan hara dan karakter
morfofisiologi terhadap cekaman kekeringan pada bibit kelapa sawit
yang bersimbiosis dengan Cendawan Mikoriza Arbuskular
Percobaan 3
Mengkaji adaptasi bibit kelapa sawit yang bersimbiosis
dengan CMA terhadap cekaman kekeringan pada media
tanah PMK dan gambut bekas hutan
Diperoleh gambaran tentang tanggap pertumbuhan, serapan
hara dan karakter morfofisiologi terhadap cekaman
kekeringan pada bibit kelapa sawit yang bersimbiosis
dengan Cendawan Mikoriza Arbuskular
Percobaan 1
Isolasi, karakterisasi dan pemurnian CMA dari 3 lokasi
perkebunan kelapa sawit (tanah PMK bekas hutan, tanah
PMK bekas kebun karet, tanah gambut bekas hutan)
Percobaan 2
Pengujian keefektivan CMA terhadap bibit kelapa sawit
pada media tanah PMK bekas hutan, tanah PMK bekas
kebun karet, dan tanah gambut bekas hutan
8
ISOLASI, KARAKTERISASI DAN PEMURNIAN CMA DARI
TIGA LOKASI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT (TANAH
PMK BEKAS HUTAN, PMK BEKAS KEBUN KARET
DAN GAMBUT BEKAS HUTAN)
Isolation, Characterization and Purification of AMF from Three
Different of Oil Palm Plantation (Red Yellow Podzolicl of Used
Forest and Rubber Plantation, and Peat of Used Forest Soils)
Abstrak
Setiap rhizosfir suatu tanaman dalam suatu ekosistem memiliki berbagai
jenis mirkroorganisme termasuk CMA. Masing-masing ekosistem mangandung
jenis CMA yang beragam dan untuk mengetahui jenis CMA tersebut perlu
diadakan kegiatan isolasi dan karakterisasi spora CMA. Penelitian ini bertujuan
mengisolasi dan mengkarakterisasi CMA dari tiga lokasi perkebunan kelapa sawit
yaitu pada tanah PMK bekas hutan, PMK bekas kebun karet, dan gambut bekas
hutan. Sampel tanah yang diamati berasal dari ketiga jenis tanah tersebut.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada setiap jenis tanah hanya
ditemukan dua genus CMA yaitu Glomus dan Acaulospora. Jenis CMA di
rizosfir kelapa sawit yang ditanam pada tanah PMK bekas hutan diperoleh
sembilan jenis CMA (lima tipe Acaulospora dan empat tipe Glomus), di tanah
PMK bekas kebun karet sembilan jenis CMA (tujuh tipe Glomus dan dua tipe
Acaulospora) dan di tanah gambut bekas hutan diperoleh 12 jenis CMA (tujuh
tipe Glomus dan lima tipe Acaulospora). CMA di rizosfir kelapa sawit yang
ditanam pada tanah PMK bekas hutan didominasi oleh jenis Acaulospora,
sedangkan di tanah PMK bekas kebun karet dan tanah gambut bekas hutan
didominasi oleh Glomus.
Kata kunci : isolasi, karakterisasi, pemurnian, CMA, PMK, gambut
Abstract
Every rhizosphere of a plant within any ecosystem has various kinds of
microorganism, including AMF. Each ecosystem also has different species and
strains of AMF, and in order to identify for further use, the isolation and
characterization steps of AMF spores are required. The study was conducted on
three different locations of oil palm plantation which developed on Red Yellow
Podzolic (RYP) of used forest and rubber plantation, and peat of used forest soils.
The study had identified that at each soil type was found 2 AMF genus i.e.
Glomus and Acaulospora. At oil palm rhizosphere, it was found 9 strains of AMF
9
(5 strains of Acaulospora and 4 strains of Glomus) on RYP of used forest, 9
strains of AMF (7 strains of Glomus and 2 strains of Acaulospora) on RYP of
used rubber plantation, and 12 strains of AMF (7 strains of Glomus and 5 strains
of Acaulospora) on peat of used forest. In the rhizosphere of oil palms planted in
RYP of used forest soil, AMF was dominated by Acaulospora, whereas those in
RYP of used rubber plantation and peat of used forest soils, were dominated by
Glomus.
Key words: isolation, characterization, purification, AMF, RYP, peat
Pendahuluan
CMA secara taksonomi termasuk ke dalam kelas Zygomycetes, ordo
Glomales yang terbagi dalam dua sub-ordo, yaitu Gigasporineae dan Glomineae.
Gigasporineae dengan famili Gigasporaceae mempunyai dua genus yaitu,
Gigaspora dan Scutellospora. Glomales mempunyai dua famili yaitu famili
Glomaceae dengan genus Glomus dan Sclerocystis, serta famili Acaulosporaceae
dengan genus Acaulospora, dan Entrophospora (Smith & Read, 1997).
Dijelaskan lebih lanjut dalam INVAM (2003) bahwa telah ditemukan dua famili
tambahan berdasarkan karakteristik DNA yaitu Paraglomaceae dengan genusnya
Paraglomus yang memiliki dua jenis yaitu P. occultum Morton and Redecker dan
P. brasilianum; serta Archaesporaceae dengan genusnya Archaespora yang
memiliki tiga jenis yaitu A. trappei, A. leptoticha, A. gerdemani.
CMA berperan penting dalam ekosistem alami maupun ekosistem yang
telah dikelola, sebab CMA dapat menguntungkan tanaman dalam hal penyediaan
hara, antagonisme bagi organisme parasit akar, sinergisme dengan mikroba tanah
lainnya, selain itu terlibat dalam siklus hara, perbaikan struktur tanah (agregasi
tanah), alat transpor karbon dari akar tanaman bagi organisme tanah lainnya
(Brundrett et al. 1996; Smith dan Smith 1996; Smith & Read 1997). Asosiasi
antara CMA dan tanaman inangnya merupakan mekanisme yang sangat penting
dalam rangka untuk mengatasi keadaan lingkungan yang kurang menguntungkan.
CMA ini mempunyai selang ekologis yang luas dan dapat dijumpai dalam
sebagian ekosistem yang meliputi semak, sabana (Cuenca & Lovera 1992), arid
(Allen & Allen 1992), semi arid (Lee et al. 1996), daerah temperate, tropika
10
(Muthukumar et al. 1996), di daerah antartika (Phipps & Taylor 1996), ekosistem
gambut alami (Astiani & Ekamawanti 1996) dan gambut yang sudah terbuka
(Ekamawanti et al. 1994; Ervayenri 1998), hutan hujan tropika (Janos &
Hartshorn 1997), serta padang rumput (Nadarajah & Nawawi 1997).
Populasi dan keanekaragaman CMA pada tanah-tanah mineral masam di
Indonesia cukup tinggi, tetapi umumnya didominasi oleh genus Glomus,
Acaulospora, Gigaspora dan Scutellospora. Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa setiap jenis tanah dan jenis tanaman memiliki jenis CMA yang berbeda,
seperti di pulau Jawa dan Bali ditemukan Acaulospora walkeri yang berasosiasi
dengan tanaman kakao (Kramadibrata & Hedger 1990), pada tanah masam di
Pondok Gede, Layung Sari, dan Cimatis yang ditumbuhi alang-alang, jagung dan
kakao ditemukan Acaulospora, Gigaspora, Glomus dan Scutellospora (Widiastuti
& Kramadibrata, 1992), serta di perkebunan kelapa sawit di Sumatera Utara
ditemukan Glomus spp., Acaulospora sp., Gigaspora sp. dan Scutellospora sp.
(Puspa & Suwandi 1990).
Menurut Sieverding (1991), berdasarkan nilai pH tanah, CMA yang hidup
paling baik pada pH < 5,0 adalah Entrophospora columbiana, pada pH > 5,0
meliputi Glomus mosseae dan Gigaspora margarita serta pada pH 4,0-8,0 terdiri
dari Acaulospora myriocarpa, A. longula, A. morrowae, A. scrobiculata, G.
aggregatum, G. versiforme dan Scutellospora pellucida. Hasil penelitian Heijne
et al. (1996) menunjukkan bahwa infeksi CMA Glomus fasciculatum menurun
dengan menurunnya pH tanah pada perakaran tanaman Arnica montana L.,
Hieracium pilosella L dan Deschampsia flexuosa L.
Acaulospora lebih banyak tersebar pada tanah masam dan Gigaspora sp.
lebih umum ada di tanah-tanah masam daripada Glomus sp. Beberapa spora
CMA ada yang lebih tahan terhadap keadaan asam dan alumunium tinggi daripada
yang lainnya. Acaulospora sp., Gigaspora sp. dan Glomus manihotis termasuk
pada jenis CMA yang toleran terhadap keadaan masam dan Al tinggi (Clark
1997).
Di daerah penelitian (tanah PMK bekas hutan yang terletak di PT Rigunas
Agri Utama, Kebun Bukit Harapan, Desa Tuo Sumay, Kecamatan Sumay,
11
Kabupaten Tebo; tanah PMK bekas kebun karet (berumur 22-25 tahun) yang
terletak di PTP Nusantara VI Kebun Rimbo I, Desa Pematang Sapat, Kecamatan
Rimbo Bujang, Kabupaten Tebo; dan tanah gambut bekas hutan yang terletak di
PT Era Sakti Parastama, Desa Sakean, Kecamatan Kumpeh Ulu, Kabupaten
Muaro Jambi) memiliki keadaan lingkungan yang berbeda sehingga kemungkinan
juga akan memiliki jenis CMA yang berbeda serta sampai saat ini kemungkinan
tersebut belum ada yang melaporkan.
Penelitian ini bertujuan mengisolasi dan mengkarakterisasi CMA dari tiga
lokasi perkebunan kelapa sawit yaitu pada tanah PMK bekas hutan, tanah PMK
bekas kebun karet, dan tanah gambut bekas hutan.
Bahan dan Metode
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di rumah kaca dan Laboratorium Silvikultur
Fakultas Kehutanan IPB dan di Laboratorium Research Group on Crop
Improvement (RGCI) Fakultas Pertanian IPB. Waktu penelitian dari bulan April
2002 sampai dengan Agustus 2003.
Pengambilan Contoh Tanah
Pengambilan contoh tanah dilakukan di tiga lokasi perkebunan kelapa
sawit di Provinsi Jambi yang terdiri dari jenis tanah PMK bekas hutan yang
terletak di PT Rigunas Agri Utama Desa Tuo Sumay Kecamatan Sumay
Kabupaten Tebo, tanah PMK bekas kebun karet yang terletak di PTP Nusantara
VI Desa Pematang Sapat Kecamatan Rimbo Bujang Kabupaten Tebo, dan tanah
gambut bekas hutan yang terletak di PT Era Sakti Parastama Desa Sakean
Kecamatan Kumpeh Ulu Kabupaten Muaro Jambi. Contoh tanah diambil dari
zona perakaran (rizosfir) kelapa sawit dengan kedalaman 0-20 cm, kemudian
dimasukkan ke dalam kantong plastik dan diberi label dari masing-masing jenis.
12
Contoh tanah merupakan komposit dari 20 titik pengambilan contoh, di mana
masing-masing titik banyaknya 500 g.
Pengamatan Spora Awal
Pengamatan spora awal dilakukan di bawah mikroskop. Hasil pengamatan
menunjukkan bahwa jumlah spora sangat sedikit yang kemungkinan pada saat
pengambilan contoh tanah tidak pada musim sporulasi, oleh karena itu dilakukan
kegiatan trapping terlebih dahulu. Selain adanya spora kemungkinan ada
propagul lain sehingga dilakukan juga penaksiran jumlah propagul dengan teknik
Most Probable Number (MPN).
Trapping (Pemerangkapan) CMA
Teknik trapping yang digunakan mengikuti metode Brundrett et al. (1994)
dengan menggunakan pot-pot kultur kecil. Media tanam yang digunakan berupa
campuran contoh tanah sebanyak ± 50 g dan batuan zeolit berukuran 1-2 mm
sebanyak ± 150 g. Teknik pengisian media tanam dalam pot kultur adalah pot
kultur diisi dengan zeolit sampai setengah volume pot, kemudian dimasukkan
contoh tanah dan terakhir ditutup dengan zeolit sehingga media tanam tersusun
atas zeolit-contoh tanah-zeolit.
Benih-benih P. javanica yang akan digunakan sebagai tanaman inang
terlebih dahulu direndam dalam larutan Bayclin selama 5 -10 menit sebagai upaya
sterilisasi permukaan. Kemudian benih tersebut direndam dalam air hangat
selama ± 24 jam untuk memecahkan dormansi yang mungkin terjadi. Selanjutnya
benih-benih tersebut disemaikan dalam bak persemaian selama ± 10 hari. Setelah
itu kecambah dipindahkan langsung ke dalam pot-pot kultur.
Pemeliharan kultur meliputi penyiraman, pemberian hara dan
pengendalian hama secara manual. Larutan hara yang digunakan adalah Hyponex
merah (25-5-20) dengan konsentrasi 1 g/ 2 L air. Pemberian larutan hara
dilakukan setiap minggu sebanyak ± 20 mL tiap pot kultur.
13
Setelah kultur berumur ± empat bulan dilakukan pemanenan untuk
mendapatkan spora-spora yang akan digunakan pada kegiatan tahap berikutnya.
Peubah yang diamati adalah jumlah spora per 50 g media tanam dan tipe spora.
Penaksiran Kepadatan Propagul dengan Teknik Most Probable Number
(MPN)
Setiap contoh tanah dihaluskan dan dilakukan pengenceran dengan
kelipatan 10 sebanyak tujuh kali pengenceran dengan mencampur contoh tanah uji
langsung dari lapang dengan zeolit yang telah steril dan setiap pengenceran
diulang lima kali. Campuran media dimasukkan ke dalam pot-pot plastik.
Benih P. javanica yang telah disterilkan dan telah dikecambahkan ditanam
pada pot kultur tersebut dan dipelihara di rumah kaca selama lebih kurang 5
minggu. Pemeliharaan meliputi penyiraman dan pemupukan dengan larutan hara
Hyponex merah (25-5-20).
Setelah 5 minggu, dilakukan pemanenan akar dengan cara memotong
bagian akar. Akar-akar tersebut dicuci dan dipotong-potong kemudian
dimasukkan ke dalam botol yang berisi Formalin Aceto Alcohol (FAA).
Selanjutnya akar-akar tersebut diwarnai dengan larutan pewarna melalui teknik
pewarnaan akar dari Kormanik dan McGraw (1982). Akar-akar yang telah
didestaining diamati di bawah mikroskop untuk melihat ada tidaknya infeksi
CMA. Prosedur lengkap pewarnaan akar dapat dilihat pada Lampiran 1.
Kemudian hasil pengamatan dapat dihitung MPN-nya.
Isolasi Spora dan Identifikasi CMA
Ekstraksi CMA dilakukan untuk memisahkaan spora dari contoh tanah
sehingga dapat dilakukan identifikasi CMA guna mengetahui genus spora CMA.
Teknik yang digunakan adalah teknik tuang–saring dari Pacioni (1992) dan
dilanjutkan dengan teknik sentrifugasi dari Brundrett et al. (1996).
Prosedur teknik tuang-saring ini, pertama adalah mencampurkan contoh
tanah sebanyak 50 g dengan 200-300 ml air, lalu diaduk sampai butiran-butiran
tanah hancur. Selanjutnya disaring dalam satu set saringan dengan ukuran 500 μm
14
dan 45 μm secara berurutan dari atas ke bawah. Dari saringan bagian atas
disemprot dengan air kran untuk memudahkan spora lolos. Kemudian saringan
teratas dilepas, dan sejumlah tanah sisa yang tertinggal pada saringan terbawah
dipindahkan ke dalam tabung sentrifuse.
Isolasi spora teknik tuang-saring ini kemudian diikuti dengan teknik
sentrifugasi dari Brundrett et al. (1996). Hasil saringan dalam tabung sentrifuse
ditambah glukosa 60 % dengan menggunakan pipet. Tabung sentrifuse ditutup
rapat dan disentrifuse dengan kecepatan 2500 rpm selama 3 menit. Selanjutnya
larutan supernatan tersebut dihisap dengan pipet hisap dan dituang ke dalam
saringan 45 μm, dicuci dengan air mengalir (air kran) untuk menghilangkan
glukosa. Endapan yang tersisa dalam saringan di atas, dituangkan ke dalam cawan
petri plastik dan kemudian diperiksa di bawah mikroskop binokuler untuk
penghitungan spora dan pembuatan preparat guna identifikasi spora CMA yang
ada.
Pembuatan preparat spora menggunakan bahan pewarna Melzer’s dan
bahan pengawet PVLG yang diletakkan secara terpisah pada satu kaca preparat.
Spora-spora CMA yang diperoleh dari ekstraksi setelah dihitung jumlahnya
diletakkan dalam larutan Melzer’s dan PVLG. Selanjutnya spora-spora tersebut
dipecahkan secara hati-hati dengan cara menekan kaca penutup preparat
menggunakan ujung lidi. Perubahan warna spora dalam larutan Melzer’s adalah
salah satu indikator untuk menentukan tipe spora yang ada.
Pembuatan Kultur Spora Tunggal
Pembuatan kultur spora tunggal mengacu pada metode yang dilakukan
Mansur (2000), yaitu Petridish Observation Chamber (PDOC). Cawan petri
plastik yang akan digunakan sebagai tempat penanaman kultur terlebih dahulu
dilubangi (0,5 cm x 0,5 cm) pada bagian tepinya yang berfungsi sebagai tempat
munculnya kecambah. Kemudian cawan petri plastik diisi batuan zeolit
berukuran 1-2 mm sampai penuh dan cukup padat. Sebelumnya zeolit disterilisasi
dengan autoklaf untuk memusnahkan patogen atau nematoda yang terbawa yang
dapat merusak kultur.
15
Spora-spora CMA yang telah diisolasi dari kultur trapping dikumpulkan
dalam gelas arloji dan dilakukan pemisahan berdasarkan genusnya. Kemudian
bibit P. javanica yang telah memiliki 2-3 helai daun (umur 7-10 hari setelah
semai) diletakkan di atas kertas putih atau kertas tissue.
Selanjutnya spora diambil dengan pinset dan diletakkan pada akar bibit
tersebut. Setiap bibit hanya diinokulasi dengan satu spora. Bibit yang telah
diinokulasi dipindahkan pada media kultur dengan posisi bagian batang bibit
diletakkan pada bagian tepi cawan petri plastik yang telah dilubangi. Selanjutnya
cawan petri plastik ditutup dengan penutupnya dan diberi perekat supaya tidak
tumpah. Kemudian cawan petri plastik diberi label.
Cawan petri plastik kultur dibungkus dengan alumunium foil untuk
mengurangi pengaruh langsung cahaya terhadap media kultur. Cawan petri
plastik selanjutnya diletakkan dalam bak plastik kecil yang berfungsi sebagai
tempat air dan larutan hara bagi kultur. Pemberian air melalui bak plastik
dilakukan sesuai dengan kebutuhan tanaman, sedangkan pemberian larutan hara
Hyponex merah dilakukan 1 kali seminggu dengan konsentrasi 1 g/2 L.
Kultur dipelihara selama 6 bulan tergantung sporulasi yang terjadi. Untuk
mengetahui perkembangan proses sporulasi maka kultur-kultur diamati setiap
minggu yang dimulai pada awal minggu kedua setelah pembuatan kultur. Jika
spora yang terbentuk sudah cukup banyak maka akan dilakukan sub-kultur ke
dalam pot-pot kultur yang lebih besar.
Perbanyakan Kultur CMA
Kultur spora tunggal yang sudah menghasilkan spora cukup baik langsung
disub-kulturkan untuk memperbanyak jumlah spora yang terbentuk. Teknik
subkultur dilakukan dengan cara menanam langsung cawan petri plastik spora
tunggal yang telah dibuka penutupnya ke dalam pot-pot plastik kecil yang telah
diisi zeolit kira-kira sepertiga volume pot. Selanjutnya pot diisi zeolit sampai
penuh.
Kultur-kultur ini akan dipelihara di rumah kaca sampai berumur kurang
lebih 4 bulan. Selama kegiatan pemeliharaan dilakukan penyiraman dan
16
pemberian larutan hara Hyponex merah (25-5-20) dengan konsentrasi 1 g/2 L air
sebanyak 20 mL setiap pot yang dilakukan setiap minggu.
Hasil pemanenan kultur akan digunakan untuk uji keefektivan terhadap
bibit kelapa sawit pada percobaan selanjutnya.
Hasil dan Pembahasan
Hasil Penelitian
a. Kepadatan Spora
Berdasarkan hasil percobaan didapatkan jumlah spora hasil traping per 50
g contoh tanah untuk setiap ekosistem (jenis tanah PMK bekas hutan, tanah PMK
bekas kebun karet, dan tanah gambut bekas hutan) seperti terlihat pada Tabel 1.
Pada Tabel 1 terlihat bahwa jumlah spora hasil trapping per 50 g contoh
tanah berbeda untuk setiap jenis tanah, dimana jumlah spora terbanyak adalah di
tanah PMK bekas kebun karet, disusul dengan tanah gambut bekas hutan dan
tanah PMK bekas hutan. Sedangkan kepadatan spora alami sebelum dilakukan
trapping hanya 1-10 spora saja per 50 g tanah untuk setiap jenis tanah.
Tabel 1. Jumlah spora hasil trapping per 50 g contoh tanah pada setiap jenis
tanah
Ulangan Tanah PMK bekas Tanah PMK bekas Tanah gambu bekas
Hutan kebun karet hutan
1 167 224 165
2 160 110 178
3 148 187 138
4 170 171 167
Rata-rata 161.25 173 162
b. Jumlah Propagul Infektif
Setiap jenis tanah mengandung jumlah propagul infektif yang berbeda,
yaitu di tanah PMK bekas hutan sebanyak 700 organisme/g tanah, di tanah PMK
bekas kebun karet sebanyak 1400 organisme/g tanah, dan di tanah gambut bekas
hutan sebanyak 1100 organisme/g tanah.
17
Jumlah propagul infektif yang tertinggi ternyata diperoleh pada tanah
PMK bekas kebun karet diikuti oleh tanah gambut bekas hutan dan tanah PMK
bekas hutan.
c. Karakterisasi Tipe Spora
Identifikasi tipe spora hasil isolasi atas dasar karakteristik morfologi dan
responnya terhadap larutan Melzer’s di setiap jenis tanah ternyata memiliki
jumlah dan tipe spora yang berbeda walaupun ada beberapa yang satu tipe. Tipe
spora di tanah PMK bekas hutan ada sembilan tipe yaitu termasuk ke dalam genus
Glomus (empat tipe) dan Acaulospora (lima tipe), seperti terlihat pada Tabel 2.
Demikian juga dengan tipe spora yang ada di tanah PMK bekas kebun karet ada
sembilan tipe dengan genus Glomus (tujuh tipe) dan Acaulospora (dua tipe),
seperti terlihat pada Tabel 3. Tipe spora di tanah gambut bekas hutan primer
terdapat 12 tipe spora yaitu Glomus (tujuh tipe) dan Acaulospora (lima tipe),
seperti terlihat pada Tabel 4.
d. Kultur spora tunggal
Berdasarkan kultur spora tunggal didapatkan bahwa tidak semua tipe spora
yang dikulturkan mampu tumbuh dan berkembang dengan baik. Dari sembilan
jenis CMA (lima tipe Acaulospora dan empat tipe Glomus) yang ditemukan di
rizosfir kelapa sawit yang ditanam pada tanah PMK bekas hutan hanya empat tipe
spora yang mampu tumbuh dan berkembang dengan baik yaitu tipe spora Glomus
sp-3a (P-3), Glomus sp-4a (P-4), Acaulospora sp-3a (P-7), dan Acaulospora sp-
5a (P-9). Demikian juga di tanah PMK bekas kebun karet, dari sembilan jenis
CMA (tujuh tipe Glomus dan dua tipe Acaulospora) yang ditemukan hanya empat
tipe spora yang mampu tumbuh dan berkembang dengan baik yaitu Glomus sp-2b
(S-2), Glomus sp-3b (S-3), Glomus sp-7b (S-7) dan Acaulospora sp-1b (S-8).
Sedangkan di tanah gambut bekas hutan dari 12 jenis CMA (tujuh tipe Glomus
dan lima tipe Acaulospora) yang diperoleh, hanya tiga tipe spora yang tumbuh dan
berkembang dengan baik yaitu Glomus sp-1c (G-1), Glomus sp-5c (G-5), dan
Acaulospora sp-5c (G-12).
18
Tabel 2. Jenis spora hasil isolasi dari perkebunan kelapa sawit yang ditanam pada
tanah PMK bekas hutan Kabupaten Tebo Provinsi Jambi
No.
Tipe Spora Karakteristik morfologi
(Pembesaran 100 kali)
Reaksi dengan melzer’s
1 Glomus sp-1a
Spora berbentuk bulat,
berwarna hitam, per-
mukaan spora halus,
mempunyai hyphal
attachment berbentuk
lurus.
Tidak bereaksi dengan
pewarna Melzer’s
2
Glomus sp-2a
Spora berbentuk lon-
jong, berwarna keco-
klatan, permukaan spo-
ra halus, berdinding te-
bal, tidak mempunyai
hyphal attachment.
Tidak bereaksi dengan
pewarna Melzer’s
3
Glomus sp-3a
Spora berbentuk bulat,
berwarna kuning tua,
permukaan spora halus
dan berdinding tebal,
tidak mempunyai hy-
phal attachment.
Tidak bereaksi dengan
pewarna Melzer’s
4 Glomus sp-4a
Spora berukuran bulat,
berwarna kuning sangat
muda (keputihan), per-
mukaan spora halus, ti-
dak mempunyai hyphal
attachments.
Tidak bereaksi dengan
pewarna Melzer’s
19
Tabel 2. Lanjutan
5 Acaulospora sp-1a
Spora berukuran bulat,
berwarna kekuningan,
permukaan spora halus.
Bereaksi dengan pewar-
na Melzer’s, terjadi pe-
rubahan warna. Bagian
dalam spora berwarna
merah tua dan bagian
luar berwarna kuning.
6 Acaulospora sp-2a
Spora berukuran bulat,
berwarna kuning sangat
muda (kuning keputih-
an), permukaan spora
relatif kasar dan mem-
bentuk ornament seper-
ti kulit jeruk.
Bereaksi dengan pewar-
na Melzer’s, terjadi pe-
rubahan warna. Bagian
dalam spora berwarna
kuning muda bagian luar
berwarna kuning kepu-
tihan.
7 Acaulospora sp-3a
Spora berbentuk pipih,
berwarna kuning kehi-
jauan. Permukaan spora
relatif kasar dan
membentuk ornament
seperti kulit jeruk.
Tidak bereaksi dengan
pewarna Melzer’s
8 Acaulospora sp-4a
Spora berbentuk bulat
dan berukuran lebih
kecil dari Acaulospora
sp-1a, berwarna keku-
ningan. Permukaan
spora relatif halus.
Bereaksi dengan pewar-
na Melzer’s, terjadi pe-
rubahan warna. Bagian
dalam spora berwarna
merah tua dan bagian
luar berwarna kuning.
9 Acaulospora sp-5a
Spora berukuran bulat,
berwarna kecoklatan.
Permukaan spora relatif
halus.
Bereaksi dengan pewar-
na Melzer’s, terjadi pe-
rubahan warna. Bagian
dalam spora berwarna
merah tua dan bagian
luar berwarna kuning.
20
Tabel 3. Jenis spora hasil isolasi dari perkebunan kelapa sawit yang ditanam pada
tanah PMK bekas kebun karet Kabupaten Tebo Provinsi Jambi
No. Tipe Spora Karakteristik morfologi
(Pembesaran 100 kali)
Reaksi dengan melzer’s
1 Glomus sp- 1b
Spora berbentuk lon-
jong, berwarna keco-
klatan, permukaan spo-
ra agak kasar, tidak
mempunyai hyphal
attachment.
Tidak bereaksi dengan
pewarna Melzer’s
2
Glomus sp- 2b
Spora berbentuk bulat,
berwarna kuning muda,
permukaan spora halus,
mempunyai hyphal
attachment berbentuk
lurus.
Tidak bereaksi dengan
pewarna Melzer’s
3
Glomus sp- 3b
Spora berbentuk bulat,
berwarna coklat tua,
permukaan spora relatif
kasar, mempunyai hy-
phal attachment ber-
bentuk lurus.
Tidak bereaksi dengan
pewarna Melzer’s
4 Glomus sp-4b
Spora berbentuk bulat,
berwarna coklat tua,
permukaan spora relatif
kasar, mempunyai hy-
phal attachment ber-
bentuk lurus.
Tidak bereaksi dengan
pewarna Melzer’s
21
Tabel 3. Lanjutan
5 Glomus sp-5b
Spora berbentuk lon-
jong, berwarna kuning
muda, permukaan spora
agak kasar, tidak
mempunyai hyphal
attachment.
Tidak bereaksi dengan
pewarna Melzer’s
6 Glomus sp-6b
Spora berbentuk bulat,
berwarna hitam, per-
mukaan spora halus,
mempunyai hyphal
attachment berbentuk
lurus.
Tidak bereaksi dengan
pewarna Melzer’s
7 Glomus sp-7b
Spora berbentuk bulat,
berwarna hitam, per-
mukaan spora halus,
mempunyai hyphal
attachment berbentuk
lurus.
Tidak bereaksi dengan
pewarna Melzer’s
8 Acaulospora sp-1b
Spora berukuran bulat,
berwarna kuning kepu-
tihan (kuning sangat
muda), Permukaan
agak kasar.
Bereaksi dengan pewa-
rna Melzer’s, terjadi pe-
rubahan warna. Bagian
dalam spora berwarna
kuning dan bagian luar
berwarna kuning sangat
muda.
9 Acaulospora sp-2b
Spora berbentuk bulat,
berwarna kekuningan.
Permukaan spora relatif
halus.
Bereaksi dengan pewar-
na Melzer’s, terjadi pe-
rubah-an warna. Bagian
dalam spora berwarna
merah tua dan bagian
luar berwarna kuning.
22
Tabel 4. Jenis spora hasil isolasi dari perkebunan kelapa sawit yang ditanam pada
tanah gambut bekas hutan Kabupaten Muara Jambi Provinsi Jambi
No. Tipe Spora Karakteristik morfologi
(Pembesaran 100 kali)
Reaksi dengan melzer’s
1
Glomus sp-1c
Spora berbentuk bulat,
berwarna hitam, per-
mukaannya halus,
mempunyai hyphal
attachments berbentuk
lurus.
Tidak bereaksi dengan
pewarna Melzer’s
2 Glomus sp-2c
Spora berbentuk bulat,
berwarna kuning tua,
permukaannya halus,
tidak mempunyai hy-
phal attachment.
Tidak bereaksi dengan
pewarna Melzer’s
3 Glomus sp-3c
Spora berbentuk bulat,
berwarna hitam, per-
mukaannya halus dan
berdinding lebih tebal
dari Glomus sp-2c,
mempunyai hyphal
attachments berbentuk
lurus.
Tidak bereaksi dengan
pewarna Melzer’s
4 Glomus sp-4c
Spora berbentuk lon-
jong, berwarna coklat,
permukaannya relatif
kasar mempunyai hy-
phal attachments ber-
bentuk lurus.
Tidak bereaksi dengan
pewarna Melzer’s
23
Tabel 4. Lanjutan
5 Glomus sp-5c
Spora berbentuk bulat,
berwarna kecoklatan,
permukaannya relatif
kasar, mempunyai hy-
phal attachments ber-
bentuk lurus.
Tidak bereaksi dengan
pewarna Melzer’s
6
Glomus sp-6c
Spora berbentuk bulat,
berwarna kuning tua,
permukaannya halus,
mempunyai hyphal
attachments berbentuk
lurus.
Tidak bereaksi dengan
pewarna Melzer’s
7
Glomus sp-7c
Spora berbentuk bulat,
berwarna coklat kehi-
taman, permukaannya
halus, mempunyai
hyphal attachments
berbentuk lurus.
Tidak bereaksi dengan
pewarna Melzer’s
8
Acaulospora sp-1c
Spora berbentuk bulat,
berwarna kecoklatan,
permukaannya relatif
kasar.
Bereaksi dengan pe-
warna Melzer’s, terjadi
perubahan warna dari
kecoklatan menjadi co-
klat kemerahan. Bagian
dalam spora berwarna
merah muda dan bagian
luar berwarna keku-
ningan.
24
Tabel 4. Lanjutan
9
Acaulospora sp-2c
Spora berbentuk bulat,
berwarna kekuningan,
permukaannya relatif
kasar.
Bereaksi dengan pe-
warna Melzer’s, terjadi
perubahan warna dari
kekuningan menjadi
kuning kemerahan. Ba-
gian dalam spora ber-
warna merah dan ba-
gian luar berwarna ke-
kuningan.
10
Acaulospora sp-3c
Spora berbentuk bulat,
berwarna kuning muda,
permukaannya relatif
kasar..
Bereaksi dengan pe-
warna Melzer’s, terjadi
perubahan warna dari
kecoklatan menjadi ku-
ning kecoklatan. Ba-
gian dalam spora ber-
warna kuning muda
dan bagian luar ber-
warna kuning agak tua.
11
Acaulospora sp-4c
Spora berbentuk bulat,
berwarna kuning muda,
permukaannya relatif
kasar.
Bereaksi dengan pe-
warna Melzer’s, terjadi
perubahan warna. Ba-
gian dalam spora ber-
warna kuning muda
dan bagian luar berwar-
na kuning sangat muda.
12
Acaulospora sp-5c
Spora berbentuk pipih,
berwarna kuning kehi-
jauan. Permukaannya
relatif kasar dan
membentuk ornament
seperti kulit jeruk.
Tidak bereaksi dengan
pewarna Melzer’s
25
Pembahasan
Kepadatan spora alami sebelum trapping pada setiap jenis tanah hanya
ditemukan 1-10 spora/50 g tanah. Hasil ini lebih rendah dibandingkan hasil
penelitian Nadarajah dan Nawawi (1997) yang menemukan 33- 63 spora/50 g
tanah, Nadarajah (1999) yang menjumpai jumlah spora 109-114 spora/100 g tanah
serta Widiastuti (2004) yang mendapatkan 3-103 spora/100 g tanah pada rizosfir
kelapa sawit. Rendahnya kepadatan spora alami pada rizosfir kelapa sawit ini
kemungkinan pada saat mengambil contoh tanah CMA belum bersporulasi, jadi
pada contoh tanah tersebut lebih banyak mengandung propagul yang lain seperti
hifa.
Selanjutnya kepadatan spora pada rizosfir kelapa sawit untuk setiap jenis
tanah hasil trapping menunjukkan hasil yang berbeda. Kepadatan spora tertinggi
diperoleh di tanah PMK bekas kebun karet (173 spora/50 g tanah), diikuti tanah
gambut (162 spora/50 g tanah) dan tanah PMK bekas hutan (161.25 spora/50 g
tanah) seperti tercantum pada Tabel 1. Hasil ini ternyata lebih rendah juga
dibandingkan kepadatan spora hasil trapping Widiastuti (2004) yang menemukan
1-474 spora/100 g tanah.
Jumlah propagul di setiap rizosfir juga bervariasi di antara jenis tanah di
mana yang tertinggi diperoleh di tanah PMK bekas kebun karet (1400/g tanah),
diikuti tanah gambut bekas hutan (1100/g tanah) dan tanah PMK bekas hutan
(700/g tanah).
Perbedaan kepadatan spora dan jumlah propagul di antara contoh jenis
tanah kemungkinan karena perbedaan lingkungan asal (jenis tanah, hara tanaman,
pemupukan, cahaya, dan lain-lain) dan juga tanaman inang itu sendiri (umur
tanaman inang), maupun cara pengelolaan. Menurut hasil penelitian Widiastuti
(2004) bahwa umur kelapa sawit menentukan kepadatan spora dan jumlah
propagul infektif yang ada di rizosfirnya, di mana semakin tua umur kelapa sawit
maka jumlah spora dan propagulnya semakin menurun. Pada penelitian ini,
contoh tanah yang diambil adalah dari rizosfir kelapa sawit yang berumur 8 tahun
(untuk tanah PMK bekas kebun karet dan tanah PMK bekas hutan ) dan 3 tahun
(untuk tanah gambut bekas hutan), berarti pernyataan Widiastuti (2004) tidak
26
berlaku untuk penelitian ini. Selain itu, hasil penelitian Ervayenri (1998) justru
mendapatkan bahwa pada rizosfir kelapa sawit yang berumur 3 tahun lebih
banyak jumlah spora dan propagul infektifnya dibandingkan kelapa sawit yang
berumur 1 tahun. Jadi pada penelitian ini perbedaan kepadatan spora dan
propagul terutama disebabkan perbedaan lingkungan tumbuh kelapa sawit,
keberadaan vegetasi lain di bawah tanaman kelapa sawit dan mungkin juga cara
pengelolaannya, bukan hanya semata-mata karena umur kelapa sawitnya.
Jumlah spora dan propagul infektif di tanah PMK bekas hutan ternyata
lebih sedikit daripada tanah PMK bekas kebun karet. Hal ini kemungkinan pada
tanah PMK bekas hutan, tanah tersebut masih alami (belum pernah dikelola),
sedangkan PMK bekas kebun karet sudah dikelola untuk perkebunan karet
sebelum ditanami kelapa sawit. Hasil tersebut sesuai dengan hasil penelitian
Erickson (2001) yang menunjukkan bahwa kolonisasi dan jumlah spora CMA
nyata lebih tinggi pada pengelolaan tanah (cara pengolahan dan pemupukan) yang
kontinyu secara terus-menerus dibandingkan pengelolaan tanah yang tidak
kontinyu. Sebaliknya hasil penelitian Ervayenri (1998) menunjukkan bahwa
jumlah spora dan propagul infektif CMA di tanah yang terganggu lebih sedikit
daripada yang belum terganggu (alami). Demikian juga dengan hasil penelitian
McGonigle et al. (1990) dan Zhao et al. (2001) yang mendapatkan bahwa
pengolahan tanah justru dapat mengurangi kolonisasi mikoriza serta tingkat
pemupukan yang tinggi juga dapat berpengaruh negatif pada mikoriza. Dalam hal
ini berarti bahwa jumlah spora dan propagul infektif di tanah PMK bekas kebun
karet tidak berkurang akibat adanya pengolahan dan pemupukan tanah tersebut.
Jadi berkurangnya jumlah spora dan propagul infektif pada suatu jenis tanah
mungkin lebih disebabkan oleh perbedaan lingkungan, musim waktu pengambilan
contoh tanah, jenis tanaman inang, keberadaan vegetasi lain di bawah kelapa sawit
dan bukan semata-mata karena adanya pengolahan tanah dan pemupukan saja.
Jumlah CMA di tanah pertanian bervariasi tergantung musim setiap tahun
dan juga tergantung beberapa faktor seperti pertumbuhan tanaman, faktor edafik,
pola cuaca setiap musim dan pengelolaan (pemupukan, cara pemupukan dan
pengolahan tanah). Seperti halnya hasil penelitian Giovannetti (1985) dan Sturmer
27
& Bellei (1994) yang mendapatkan bahwa jumlah spora atau frekuensi sporulasi
CMA bervariasi sesuai musim.
Keanekaragaman jenis CMA di tanah yang diteliti cukup tinggi, di mana
pada tanah PMK bekas hutan dan PMK bekas kebun karet masing-masing
ditemukan 9 tipe spora, sedangkan di tanah gambut bekas hutan ada 12 tipe spora.
Keragaman spesies yang didapatkan pada penelitian ini ternyata lebih tinggi
daripada hasil penelitian Puspa dan Suwandi (1990) yang menemukan enam
spesies dan Nadarajah (1999) yang hanya memperoleh tujuh spesies pada rizosfir
kelapa sawit. Keragaman yang berbeda ini disebabkan karena perbedaan
lingkungan, jenis vegetasi yang ada di bawah kelapa sawit dan cara pengelolaan.
Pada setiap jenis tanah hanya ditemukan dua genus CMA yaitu Glomus
dan Acaulospora. Hal ini berhubungan dengan waktu pengambilan sampel tanah
dan pada saat pengambilan sampel untuk karakterisasi. Kemungkinan pada saat
pengambilan sampel tanah untuk trapping itu hanya ada propagul Glomus dan
Acaulospora yang ada, demikian juga saat pengambilan sampel tanah dari hasil
trapping, sebab keberadaan dan keanekaragaman CMA dipengaruhi oleh faktor
lingkungan dan tanaman inang seperti hasil penelitian Johnson-Green & Booth
(1995) dan Siguenza et al. (1996). Selain itu menurut Ocampo et al. (1986), setiap
individu CMA dipengaruhi oleh faktor intrinsik terhadap perubahan lingkungan
seperti halnya musim. Kemungkinan lain adalah ada beberapa genus CMA yang
terbatas penyebarannya sehingga kemungkinan genus spora yang ditemukan dari
suatu jenis tanah pada suatu wilayah pada suatu waktu tertentu mungkin tidak
mewakili seluruh spora yang ada dari genus CMA yang ada di daerah tersebut.
Tipe spora di rizosfir kelapa sawit pada tanah PMK bekas hutan dan PMK
bekas kebun karet ditemukan dalam jumlah yang sama yaitu sembilan tipe spora,
walaupun tipenya berbeda, sedangkan di tanah gambut bekas hutan ada 12 tipe
spora. Di tanah PMK bekas hutan jenis Acaulospora yang mendominasi (lima
tipe Acaulospora dan empat tipe Glomus), sedangkan di tanah PMK bekas kebun
karet jenis Glomus yang mendominasi (tujuh tipe) daripada tipe Acaulospora
(dua tipe). Demikian juga di tanah gambut bekas hutan jenis Glomus juga yang
mendominasi (tujuh tipe Glomus) dibandingkan jenis Acaulospora (lima tipe).
28
Jadi jelas terlihat bahwa jenis tanah sangat mempengaruhi keberadaan jenis CMA
juga setiap jenis CMA memiliki kemampuan beradaptasi yang berbeda di setiap
ekosistem. Hasil penelitian Allen & Cunningham (1983), Pond et al. (1984),
Ragupathy & Mahadevan (1991) dan Purwanto (1999) menunjukkan bahwa jenis
Glomus lebih beradaptasi dibandingkan genus yang lain terhadap kisaran keadaan
lingkungan yang luas.
Tipe spora yang berhasil diperbanyak melalui kultur spora tunggal hanya
44,4 % (empat tipe) untuk masing-masing tanah PMK bekas hutan dan PMK
bekas kebun karet, sedangkan untuk tanah gambut bekas hutan hanya 25 % (tiga
tipe) dari seluruh spora yang ditemukan. Hal ini kemungkinan disebabkan daya
adaptasi dari setiap tipe tersebut, di mana tidak semua tipe spora yang ditemukan
mampu beradaptasi pada keadaan lingkungan yang baru. Oleh sebab itu, hanya
spora yang memiliki adaptasi yang tinggi saja yang mampu hidup dan
berkembang di lingkungan yang baru. Demikian juga berdasarkan Invam (2003),
Glomus memang merupakan jenis CMA yang paling dominan dan mempunyai
toleransi yang luas terhadap berbagai faktor lingkungan, sebab dari 172 jenis
CMA yang sudah diidentifikasi ternyata 52,3 % adalah jenis Glomus diikuti oleh
Acaulospora 20,9 %, Scutellospora 16,9 %, Gigaspora 4,7 %, Entrophospora 2,3
%, Archaespora 1,7 % dan Paraglomus 1,2 %. Hasil penelitian Ervayenri (1998)
di tanah gambut di Dumai dan Perawang Kabupaten Bengkalis didapatkan bahwa
jenis Glomus juga yang mendominasi daerah tersebut. Dari 27 tipe spora yang
ditemukan genus Glomus mempunyai tipe spora yang tertinggi.
Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas, maka untuk mendapatkan
jumlah spora yang banyak dapat diisolasi dari tanah PMK bekas kebun karet
dengan memperhatikan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi keberadaan CMA
tersebut terutama waktu pengambilan contoh tanah. Sebaliknya untuk
mendapatkan keanekaragaman tipe spora, tanah gambut bekas hutan lebih baik
dibandingkan tanah PMK. Tetapi walaupun demikian, keberadaan CMA di suatu
ekosistem sangat bervariasi karena banyak yang mempengaruhi antara lain oleh
perbedaan musim, keadaan lingkungan, jenis tanaman inang, jenis vegetasi di
sekitarnya, cara pengelolaan dan sebagainya. Demikian juga untuk
29
mempertahankan keberadaan CMA dalam suatu ekosistem, ternyata tidak bisa
dengan cara pengurangan pengolahan tanah atau pemupukan sebab hasil
penelitian ini dan dari beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa
banyak sekali faktor yang mempengaruhi keberadaan CMA tersebut selain cara
pengelolaan tersebut.
Kesimpulan
1. Jenis CMA yang tedapat di rizosfir kelapa sawit yang ditanam pada tanah
PMK bekas hutan, PMK bekas kebun karet dan gambut bekas hutan memiliki
jumlah dan jenis yang berbeda. Pada setiap jenis tanah hanya ditemukan dua
genus CMA yaitu Glomus dan Acaulospora.
2. Jenis CMA di rizosfir kelapa sawit yang ditanam pada tanah PMK bekas hutan
diperoleh ssembilan jenis CMA (lima tipe Acaulospora dan empat tipe
Glomus), di tanah PMK bekas kebun karet sembilan jenis CMA (tujuh tipe
Glomus dan dua tipe Acaulospora) dan di tanah gambut bekas hutan
diperoleh 12 jenis CMA (tujuh tipe Glomus dan lima tipe Acaulospora).
3. CMA di rizosfir kelapa sawit yang ditanam pada tanah PMK bekas hutan
didominasi oleh Acaulospora, sedangkan di tanah PMK bekas kebun karet dan
tanah gambut bekas hutan didominasi oleh Glomus.
4. Jenis CMA yang berhasil diisolasi dan diperbanyak dari kultur spora tunggal
di rizosfir kelapa sawit yang ditanam pada tanah PMK bekas hutan ada empat
tipe spora yaitu Glomus sp-3a (P-3), Glomus sp-4a (P-4), Acaulospora sp-3a
(P-7), dan Acaulospora sp-5a (P-9), di tanah PMK bekas kebun karet empat
tipe spora yaitu Glomus sp-2b (S-2), Glomus sp-3b (S-3), Glomus sp-7b (S-7)
dan Acaulospora sp-1b (S-8) serta di tanah gambut bekas hutan tiga tipe
spora yaitu Glomus sp-1c (G-1), Glomus sp-5c (G-5), dan Acaulospora sp-5c
(G-12).
5. Ekosistem buatan (tanah PMK bekas kebun karet) memiliki jumlah spora dan
propagul infektif lebih tinggi dibandingkan ekosistem alami (tanah PMK dan
gambut bekas hutan).
PENGUJIAN KEEFEKTIVAN CMA TERHADAP BIBIT
KELAPA SAWIT PADA MEDIA TANAH PMK
BEKAS HUTAN, PMK BEKAS KEBUN KARET
DAN GAMBUT BEKAS HUTAN
Evaluation on the Effectiveness of AMF for Oil Palm Seedling
On Red Yellow Podzolic of Used Forest and Rubber Plantation
and Peat of Used Forest Soils Media
Abstrak
Setiap jenis CMA dapat memiliki keefektivan yang berbeda terhadap bibit
kelapa sawit dan jenis tanah di mana bibit tersebut tumbuh. Demikian juga antara
jenis CMA dapat bersifat sinergis atau dapat pula bersifat antagonis dalam
mempengaruhi pertumbuhan bibit kelapa sawit. Tujuan penelitian ini adalah untuk
menguji keefektivan CMA pada bibit kelapa sawit di media tanah PMK bekas
hutan, PMK bekas kebun karet dan gambut bekas hutan. Pengujian keefektivan
dilakukan terhadap isolat-isolat hasil kultur spora tunggal pada ketiga jenis tanah
tersebut.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa CMA yang memiliki keefektivan
tertinggi di media tanah PMK bekas hutan adalah inokulum campuran tiga isolat
CMA Glomus sp-3a, Acaulospora sp-3a dan Acaulospora sp-5a; di media tanah
PMK bekas kebun karet adalah inokulum tunggal CMA Glomus sp-3b serta di
media tanah gambut bekas hutan adalah inokulum campuran tiga isolat CMA
Glomus sp-1c, Glomus sp-5c, dan Acaulospora sp-5c.
Kata Kunci : kelapa sawit, CMA, PMK, tanah gambut
Abstract
Each kind of AMF possesses different level of effectiveness on oil palm
seedlings growing in various types of soil. Also, various kinds of AMF could act
synergistically and antagonistically to each other in influencing the growth of oil
palm seedlings. The objective of this study to evaluate AMF effectiveness to oil
palm seedling on RYP of used forest and rubber plantation, and peat of used
forest soils media. Evaluation on the effectiveness was conducted toward the
AMF isolates produced from a single spore culture on those three soil types.
The results showed that highest effectiveness of AMF on RYP of used
forest soil media was a mixed inoculums of 3 AMF isolates Glomus sp-3a,
Acaulospora sp-3a and Acaulospora sp-5a; on RYP of used rubber plantation soil
media was single inoculums of AMF Glomus sp-3b; whereas on peat of used
forest soil media was a mixed inoculums of 3 AMF isolates Glomus sp-1c,
Glomus sp-5c, and Acaulospora sp-5c.
Key words : oil palm, AMF, RYP, peat soil
31
Pendahuluan
CMA dapat berasosiasi erat dengan lebih dari 90% spesies tanaman.
Keuntungan terbesar dari pengaruh simbiosis mikoriza adalah dihubungkan
dengan perbaikan hara P dari tanaman inang. Kolonisasi akar dengan CMA dapat
meningkatkan penyerapan P oleh akar tanaman dengan cara menyediakan
permukaan serapan yang lebih besar untuk P dan mengatasi masalah-masalah
yang berhubungan dengan perkembangan daerah deplesi, melalui translokasi
dalam hifa eksternal pada akar tanaman inang (Cooper & Tinker 1978). Ada
beberapa bukti yang menunjukkan bahwa kolonisasi mikoriza membantu tanaman
untuk berkembang pada keadaan arid (Nelson & Safir 1982) menghalangi patogen
akar (Gianinazzi-Person & Gianinazzi 1983) serta meningkatkan agregasi tanah
dalam tanah tererosi (Tisdall 1991).
CMA dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman, khususnya berhubungan
dengan kemampuannya dalam menyediakan hara mineral bagi tanaman, baik
berupa unsur hara makro maupun unsur hara mikro. Menurut Marschner (1997),
tanaman yang bermikoriza mempunyai laju penyerapan unsur P per unit panjang
akar yang meningkat 2-3 kali dibandingkan tanaman tanpa mikoriza. Hal ini
karena pada akar tanaman yang bermikoriza ditemukan hifa yang memberikan
kontribusi sebesar 70-80 % dari total penyerapan P. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa CMA mampu meningkatkan pertumbuhan dan serapan hara
tanaman (Ortas et al. 1996; Camprubi & Calvet 1996; Graham et al. 1996;
Schreiner et al. 1997; Graham & Eissentat 1998; dan Fidelibus et al. 2000).
Menurut Abbott & Robson (1982) CMA dapat meningkatkan penyerapan
hara dalam tanah sebab CMA dapat mengurangi jarak bagi hara untuk memasuki
akar tanaman, meningkatkan rata-rata penyerapan hara dan konsentrasi hara pada
permukaan penyerapan dan mengubah secara kimia sifat-sifat hara sehingga
memudahkan penyerapannya ke dalam akar tanaman. Selanjutnya Fakuara
(1986), menjelaskan bahwa CMA dapat membantu tanaman dalam penyerapan
unsur hara fosfat dan nitrogen, di mana CMA mampu menguraikan fosfat ke
dalam bentuk yang dapat diserap oleh akar tanaman.
32
Keefektivan setiap jenis CMA selain tergantung pada jenis CMA itu
sendiri juga sangat tergantung pada jenis tanaman dan jenis tanah serta interaksi
antara ketiganya (Brundrett 1996). Setiap jenis tanaman memberikan tanggap
yang berbeda terhadap CMA, demikian juga dengan jenis tanah, berkaitan erat
dengan pH dan tingkat kesuburan tanah. Setiap CMA mempunyai perbedaan
dalam kemampuannya meningkatkan penyerapan hara dan pertumbuhan tanaman
(Daniels & Menge 1981), sehingga akan berbeda pula keefektivannya dalam
meningkatkan pertumbuhan tanaman di lapangan.
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa setiap jenis CMA memiliki
efisiensi dan keefektivan yang berbeda-beda dalam meningkatkan pertumbuhan
tanaman, tergantung jenis CMA, jenis tanaman inang dan jenis tanah (lingkungan)
serta interaksi ketiganya (Rijal 1998; Putri 1998; Heijne et al. 1996; Clark 1997;
Hanapiah 1997).
Jenis CMA yang diisolasi dari pertanaman kelapa sawit telah didapatkan
pada penelitian sebelumnya yaitu di tanah PMK bekas hutan ada sembilan tipe
yang terdiri dari genus Glomus (empat tipe) dan Acaulospora (lima tipe), seperti
terlihat pada Tabel 3. Demikian juga dengan tipe spora yang ada di tanah PMK
bekas kebun karet ada sembilan tipe dengan genus Glomus (tujuh tipe) dan
Acaulospora (dua tipe), seperti terlihat pada Tabel 4. Tipe spora di tanah gambut
bekas hutan primer terdapat 12 tipe spora yaitu Glomus (tujuh tipe) dan
Acaulospora (lima tipe), seperti terlihat pada Tabel 5. Selanjutnya CMA yang
telah ditemukan pada percobaan sebelumnya tersebut diuji keefektivannya pada
bibit kelapa sawit.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji keefektivan CMA pada bibit
kelapa sawit di media tanah PMK bekas hutan, tanah PMK bekas kebun karet dan
tanah gambut bekas hutan. Selanjutnya jenis CMA yang memiliki keefektivan
tertinggi akan digunakan untuk percobaan 3.
33
Bahan dan Metode
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di rumah kaca dan Laboratorium Bioteknologi
Fakultas Pertanian Universitas Jambi. Waktu penelitian dari bulan September
2003 sampai dengan April 2004.
Rancangan Percobaan
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap satu faktor dengan
3 ulangan yaitu jenis isolat CMA dari setiap jenis tanah perkebunan kelapa sawit
(tanah gambut bekas hutan, tanah PMK bekas hutan dan tanah bekas kebun karet)
dan isolat (Mycofer) yang ada di Laboratorium Bioteknologi Hutan dan
Lingkungan, Pusat Penelitian Bioteknologi IPB, di mana setiap jenis isolat yang
ditemukan pada Penelitian 1 tersebut diuji pada masing-masing jenis tanah tempat
isolat tersebut berada. Isolat yang diujikan adalah isolat yang berhasil diperbanyak
dari hasil kultur spora tunggal yaitu untuk tanah PMK bekas hutan ada empat
isolat [Glomus sp-3a (P-3), Glomus sp-4a (P-4), Acaulospora sp-3a (P-7), dan
Acaulospora sp-5a (P-9) ], di PMK bekas kebun karet ada empat isolat [Glomus
sp-2b (S-2), Glomus sp-3b (S-3), Glomus sp-7b (S-7) dan Acaulospora sp-1b (S-
8) ] serta di tanah gambut bekas hutan ada tiga isolat [Glomus sp-1c (G-1),
Glomus sp-5c (G-5), dan Acaulospora sp-5c (G-12)], seperti tercantum pada
Tabel 6.
Model rancangan yang digunakan adalah :
Yij = μ + Ai + εij
Di mana :
Yij = hasil pengamatan pada perlakuan jenis isolat ke-i
μ = nilai rata-rata
Ai = pengaruh jenis isolat ke-i
i = 1, …, 18 untuk tanah PMK bekas hutan dan tanah gambut bekas
hutan; i = 1, …, 10 untuk tanah PMK bekas kebun karet
j = ulangan ke-1, 2, 3
εij = pengaruh galat
34
Pelaksanaan
Contoh tanah dari tiga jenis tanah di atas terlebih dahulu disterilisasi
dengan cara pengukusan (pemanasan) untuk mematikan semua organisme yang
terkandung dalam contoh tanah, sehingga hanya isolat CMA yang diinokulasikan
yang berkembang dan tanggap yang terjadi benar-benar akibat isolat yang
diberikan. Selanjutnya contoh tanah diisikan ke dalam polybag sesuai dengan
jenis tanahnya.
Penanaman dan inokulasi CMA dilakukan terhadap kecambah kelapa
sawit varietas D x P (Tenera) dan setiap polybag ditanami satu kecambah. Jumlah
inokulan (terdiri atas media tanam, spora, potongan hifa dan potongan akar) yang
diberikan dari setiap isolat tidak sama, tergantung kepadatan spora per gram
inokulan. Setiap inokulum mempunyai kepadatan spora yang berbeda sehingga
dilakukan standarisasi agar inokulan dari setiap isolat yang diberikan mempunyai
kepadatan spora yang relatif sama, yaitu 60 spora. Hasil standarisasi tersebut
untuk setiap jenis tanah disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Hasil standarisasi inokulan dari setiap isolat dari tanah PMK bekas
hutan, PMK bekas kebun karet dan gambut bekas hutan
Isolat Kepadatan spora per 50 g Kebutuhan inokulan (g)
inokulan untuk 60 spora
Tanah PMK bekas hutan
Glomus sp-3a (P-3) 110 27,27
Glomus sp-4a (P-4) 120 25,00
Acaulospora sp-3a (P-7) 109 27,52
Acaulospora sp-5a (P-9) 108 27,78
Tanah PMK bekas kebun karet
Glomus sp-2b (S-2) 130 23,08
Glomus sp-3b (S-3) 125 24,00
Glomus sp-7b (S-7) 130 23,08
Acaulospora sp-1b (S-8) 120 25,00
Tanah gambut bekas hutan
Glomus sp-1c (G-1) 126 23,81
Glomus sp-5c (G-5) 118 25,42
Acaulospora sp-5c (G-12) 108 27,78
Isolat campuran Proposional dengan jumlah isolat
35
Perlakuan jenis isolat yang diberikan untuk setiap jenis tanah terdiri dari
tanpa isolat, isolat tunggal dan isolat campuran kombinasi dari isolat tunggal
tersebut (Tabel 6).
Tabel 6. Perlakuan pemberian jenis isolat untuk tanah PMK bekas hutan, PMK
bekas kebun karet dan gambut bekas hutan
Perlakuan inokulum CMA
PMK bekas hutan PMK bekas kebun karet Gambut bekas hutan
P-0
P-3
P-4
P-7
P-9
P-3,4
P-3,7
P-3,9
P-4,7
P-4,9
P-7,9
P-3,4,7
P-3,4,9
P-3,7,9
P-4,7,9
P-3,4,7,9
P-gab.
P-myc.
S-0
S-2
S-3
S-7
S-8
S-2,3
S-2,7
S-2,8
S-3,7
S-3,8
S-7,8
S-2,3,7
S-2,3,8
S-2,7,8
S-3,7,8
S-2,3,7,8
S-gab.
S-myc.
G-1
G-5
G-12
G-1,5
G-1,12
G-5,12
G-1,5,12
G-gab.
G-myc.
Inokulasi dilakukan bersamaan dengan penanaman kecambah.
Selanjutnya dilakukan pemeliharaan tanaman meliputi penyiraman, penyiangan
dan pemupukan. Pupuk yang diberikan berupa pupuk urea, rock phosphate, KCl
dan kisserite dengan dosis seperti tercantum pada Lampiran 2 dan 3. Pemupukan
dilakukan dengan cara membuat alur di bagian pinggir polybag dan pupuk
dibenamkan secara merata pada alur tersebut sesuai dosis anjuran dari Pusat
Penelitian Kelapa Sawit untuk tanah PMK dan rekomendasi dari PT Era Sakti
Parastama untuk tanah gambut.
Pengamatan
Pengamatan dilakukan setelah bibit berumur 5 bulan terhadap peubah
tinggi bibit, jumlah daun, luas daun, diameter batang, bobot kering tajuk, bobot
kering akar, nisbah tajuk akar, kadar P dan kolonisasi CMA. Pengamatan
kolonisasi CMA pada akar tanaman contoh dilakukan melalui teknik pewarnaan
akar (staining akar) menggunakan metode dari Kormanik dan McGraw (1982),
seperti tercantum pada Lampiran 1.
36
Analisis Data
Analisis data dilakukan secara statistik menggunakan uji kontras
ortogonal.
Hasil dan Pembahasan
Hasil Penelitian
a. Pengujian keefektivan CMA pada bibit kelapa sawit di media tanah PMK
bekas hutan
Hasil uji kontras ortogonal terhadap pertumbuhan, kadar P dan serapan P,
serta infeksi akar bibit kelapa sawit umur 5 bulan akibat perlakuan pemberian
berbagai inokulum CMA di media tanah PMK bekas hutan disajikan pada Tabel
7 dan 8.
Berdasarkan Tabel 7 dan 8 terlihat bahwa bibit yang diinokulasi CMA
memberikan pertumbuhan dan serapan P lebih tinggi dibandingkan bibit tanpa
CMA seperti ditunjukkan oleh peubah diameter batang, luas daun, bobot kering
tajuk, bobot kering bibit, nisbah tajuk akar, serapan P dan infeksi akar.
Bibit yang diinokulasi isolat CMA tunggal memilki bobot kering akar
lebih tinggi dibandingkan inokulum campuran isolat tunggal, campuran 2 isolat
dan campuran 4 isolat CMA. Selanjutnya terlihat bahwa bibit yang diinokulasi
isolat tunggal tersebut memiliki bobot kering bibit lebih tinggi dibandingkan
inokulum campuran 2 isolat CMA serta memiliki luas daun dan bobot kering tajuk
yang lebih tinggi dibandingkan inokulum campuran 4 isolat. Jadi pemberian
isolat tunggal CMA lebih baik daripada inokulum campuran isolat tunggal,
campuran 2 isolat ataupun campuran 4 isolat CMA. Tetapi kalau dilihat
berdasarkan peubah lain, inokulum campuran 2 isolat CMA memiliki luas daun,
nisbah tajuk akar, kadar P dan serapan P yang lebih tinggi daripada isolat tunggal
serta inokulum campuran 4 isolat CMA memiliki jumlah daun dan nisbah tajuk
akar lebih tinggi dibandingkan isolat tunggal. Oleh karena itu belum dapat
disimpulkan bahwa isolat tunggal yang terbaik, sementara itu antara isolat tunggal
dan campuran 3 isolat tidak menunjukkan perbedaan yang nyata untuk semua
peubah yang diukur.
37 Tabel 7. Uji kontras ortogonal terhadap peubah tinggi bibit, diameter batang, jumlah daun, luas daun dan bobot kering akar bibit
kelapa sawit umur 5 bulan di media tanah PMK bekas hutan
Sumber Keragaman Tinggi bibit (cm) Diameter (mm) Jumlah daun Luas daun (Cm2) BK Akar (g)
Kontrol vs Isolat lainnya 31.80 vs 35.65 tn 11.17 vs 16.31 * 4.67 vs 5.59 tn 283.97 vs 442.27 ** 0.86 vs 1.96 tn
Isolat tunggal vs Campurannya 33.36 vs 36.58 tn 13.49 vs 17.33 tn 4.92 vs 5.73 tn 369.54 vs 481.66 tn 2.97 vs 1.79 **
Isolat tunggal vs Campuran 2 isolat 33.36 vs 35.34 tn 13.49 vs 16.30 tn 4.92 vs 5.56 tn 369.54 vs 386.53 ** 2.97 vs 1.41 **
Isolat tunggal vs Campuran 3 isolat 33.36 vs 39.62 tn 13.49 vs 19.49 tn 4.92 vs 6.08 tn 369.54 vs 657.14 tn 2.97 vs 2.42 tn
Isolat tunggal vs Campuran 4 isolat 33.36 vs 31.93 tn 13.49 vs 14.83 tn 4.92 vs 5.33 * 369.54 vs 350.54 ** 2.97 vs 1.53 **
Campuran 2 isolat vs Campuran 3 isolat 35.34 vs 39.62 tn 16.30 vs 19.49 tn 5.56 vs 6.08 tn 386.53 vs 657.14 ** 1.41 vs 2.42 *
campuran 2 isolat vs campuran 4 isolat 35.34 vs 31.93 * 16.30 vs 14.83 tn 5.56 vs 5.33 * 386.53 vs 350.54 ** 1.41 vs 1.53 **
Campuran 3 isolat vs Campuran 4 isolat 39.62 vs 31.93 tn 19.49 vs 14.83 tn 6.08 vs 5.33 * 657.14 vs 350.54 * 2.42 vs 1.53 **
P3 vs P3,4; P3,7; P3,9 30.83 vs 35.81 ** 14.17 vs 16.69 * 5.00 vs 5.56 * 284.02 vs 421.74 ** 1.38 vs 1.66 *
P3 vs P3,4,7; P3,4,9; P3,7,9 30.83 vs 41.50 tn 14.17 vs 21.38 tn 5.00 vs 6.67 tn 284.02 vs 759.36 ** 1.38 vs 2.83 tn
P3 vs P3,4,7,9 30.83 vs 31.93 tn 14.17 vs 14.83 tn 5.00 vs 5.33 tn 284.02 vs 350.54 tn 1.38 vs 1.53 **
P4 vs P3,4; P4,7; P4,9 34.97 vs 35.34 tn 11.83 vs 15.02 tn 5.00 vs 5.33 tn 360.10 vs 338.97 * 3.76 vs 1.19 tn
P4 vs P3,4,7; P3,4,9; P4,7,9 34.97 vs 38.24 tn 11.83 vs 18.71 tn 5.00 vs 5.78 tn 360.10 vs 579.79 tn 3.76 vs 1.27 tn
P4 vs P3,4,7,9 34.97 vs 31.93 tn 11.83 vs 14.83 tn 5.00 vs 5.33 tn 360.10 vs 350.54 tn 3.76 vs 1.53 **
P7 vs P3,7; P4,7; P7,9 34.83 vs 35.88 ** 14.47 vs 15.80 ** 5.33 vs 5.56 ** 513.54 vs 396.95 ** 2.03 vs 1.24 tn
P7 vs P3,4,7; P3,7,9; P4,7,9 34.83 vs 39.98 ** 14.47 vs 19.81 ** 5.33 vs 6.00 * 513.54 vs 648.11 ** 2.03 vs 2.73 tn
P7 vs P3,4,7,9 34.83 vs 31.93 ** 14.47 vs 14.83 ** 5.33 vs 5.33 tn 513.54 vs 350.54 ** 2.03 vs 1.53 **
P9 vs P3,9; P4,9; P7,9 32.80 vs 34.32 * 13.50 vs 17.69 tn 4.33 vs 5.78 tn 320.48 vs 388.44 ** 4.72 vs 1.53 *
P9 vs P3,4,9; P3,7,9; P4,7,9 32.80 vs 38.74 tn 13.50 vs 18.07 tn 4.33 vs 5.89 tn 320.48 vs 641.31 * 4.72 vs 2.86 tn
P9 vs P3,4,7,9 32.80 vs 31.93 tn 13.50 vs 14.83 tn 4.33 vs 5.33 tn 320.48 vs 350.54 tn 4.72 vs 1.53 tn
P3_4_7 vs campuran 3 Isolat lainnya 42.23 vs 38.74 tn 23.77 vs 18.07 tn 6.67 vs 5.89 ** 704.64 vs 641.31 * 1.10 vs 2.86 tn
P3_4_9 vs campuran 3 Isolat lainnya 38.53 vs 39.98 tn 18.53 vs 19.81 tn 6.33 vs 6.00 tn 684.25 vs 648.11 tn 1.51 vs 2.73 tn
P3_7_9 vs campuran 3 Isolat lainnya 43.73 vs 38.24 tn 21.83 vs 18.71 tn 7.00 vs 5.78 tn 889.20 vs 579.79 ** 5.88 vs 1.27 tn
P4_7_9 vs campuran 3 Isolat lainnya 33.97 vs 41.50 tn 13.83 vs 18.71 tn 4.33 vs 6.67 tn 350.48 vs 759.36 tn 1.19 vs 2.83 tn
Pgab vs Isolat lainnya (tanpa Pmyc.) 31.97 vs 33.60 * 14.53 vs 21.34 tn 5.67 vs 5.17 tn 318.04 vs 428.54 ** 0.90 vs 2.21 tn
Pmyc. vs Isolat lainnya 38.20 vs 35.49 tn 18.17 vs 16.19 tn 6.67 vs 5.52 tn 424.09 vs 443.40 * 0.97 vs 2.03 *
38 Tabel 8. Uji kontras ortogonal terhadap bobot kering tajuk, bobot kering bibit, nisbah tajuk akar, kadar P, serapan P dan infeksi
akar bibit kelapa sawit umur 5 bulan di media tanah PMK bekas hutan
Sumber Keragaman BK Tajuk (g) BK bibit (g) Nisbah tajuk
akar Kadar P (%) Serapan P
(g/tan.) Infeksi akar (%)
Kontrol vs Isolat lainnya 1.27 vs 4.38 ** 2.13 vs 6.35 ** 1.49 vs 3.20 * 0.21 vs 0.25 tn 0.26 vs 1.17 ** 0.00 vs 74.61 **
Isolat tunggal vs Campurannya 3.44 vs 4.74 tn 6.41 vs 6.52 tn 1.53 vs 3.60 ** 0.19 vs 0.27 tn 0.63 vs 1.39 tn 76.75 vs 75.12 tn
Isolat tunggal vs Campuran 2 isolat 3.44 vs 4.16 tn 6.41 vs 5.57 * 1.53 vs 3.16 * 0.19 vs 0.24 ** 0.63 vs 0.98 * 76.75 vs 64.83 tn
Isolat tunggal vs Campuran 3 isolat 3.44 vs 5.99 tn 6.41 vs 8.41 tn 1.53 vs 4.60 tn 0.19 vs 0.34 tn 0.63 vs 2.20 tn 76.75 vs 86.75 tn
Isolat tunggal vs Campuran 4 isolat 3.44 vs 3.18 ** 6.41 vs 4.70 tn 1.53 vs 2.24 ** 0.19 vs 0.19 tn 0.63 vs 0.63 tn 76.75 vs 90.33 tn
Campuran 2 isolat vs Campuran 3 isolat 4.16 vs 5.99 tn 5.57 vs 8.41 * 3.16 vs 4.60 tn 0.24 vs 0.34 * 0.98 vs 2.20 * 64.83 vs 86.75 tn
campuran 2 isolat vs campuran 4 isolat 4.16 vs 3.18 ** 5.57 vs 4.70 tn 3.16 vs 2.24 ** 0.24 vs 0.19 * 0.98 vs 0.63 ** 64.83 vs 90.33 tn
Campuran 3 isolat vs Campuran 4 isolat 5.99 vs 3.18 ** 8.41 vs 4.70 tn 4.60 vs 2.24 ** 0.34 vs 0.19 tn 2.20 vs 0.63 ** 86.75 vs 90.33 tn
P3 vs P3,4; P3,7; P3,9 3.41 vs 4.70 ** 4.79 vs 6.36 ** 3.17 vs 3.02 tn 0.18 vs 0.22 ** 0.62 vs 1.01 ** 70.00 vs 64.11 tn
P3 vs P3,4,7; P3,4,9; P3,7,9 3.41 vs 6.70 tn 4.79 vs 9.54 tn 3.17 vs 4.85 tn 0.18 vs 0.35 tn 0.62 vs 2.57 tn 70.00 vs 84.89 tn
P3 vs P3,4,7,9 3.41 vs 3.18 tn 4.79 vs 4.70 tn 3.17 vs 2.24** 0.18 vs 0.19 tn 0.62 vs 0.63 tn 70.00 vs 90.33 tn
P4 vs P3,4; P4,7; P4,9 3.14 vs 3.88 tn 6.90 vs 5.07 tn 1.27 vs 3.40 tn 0.21 vs 0.25 * 0.65 vs 0.90 tn 87.00 vs 74.89 tn
P4 vs P3,4,7; P3,4,9; P4,7,9 3.14 vs 5.19 tn 6.90 vs 6.45 tn 1.27 vs 4.70 tn 0.21 vs 0.30 tn 0.65 vs 1.59 tn 87.00 vs 84.11 tn
P4 vs P3,4,7,9 3.14 vs 3.18 ** 6.90 vs 4.70 tn 1.27 vs 2.24 ** 0.21 vs 0.19 tn 0.65 vs 0.63 tn 87.00 vs 90.33 tn
P7 vs P3,7; P4,7; P7,9 5.52 vs 3.85 ** 7.54 vs 5.09 tn 1.03 vs 3.16 ** 0.17 vs 0.28 tn 0.92 vs 1.02 ** 83.33 vs 64.78 *
P7 vs P3,4,7; P3,7,9; P4,7,9 5.52 vs 6.19 ** 7.54 vs 8.92 tn 1.03 vs 4.87 ** 0.17 vs 0.36 * 0.92 vs 2.43 ** 83.33 vs 90.11 tn
P7 vs P3,4,7,9 5.52 vs 3.18 * 7.54 vs 4.70 tn 1.03 vs 2.24 ** 0.17 vs 0.19 * 0.92 vs 0.63 ** 83.33 vs 90.33 tn
P9 vs P3,9; P4,9; P7,9 1.69 vs 4.23 ** 6.41 vs 5.76 ** 0.63 vs 3.05 tn 0.21 vs 0.23 ** 0.32 vs 0.98 ** 66.67 vs 55.56 tn
P9 vs P3,4,9; P3,7,9; P4,7,9 1.69 vs 5.88 tn 6.41 vs 8.74 tn 0.63 vs 3.98 tn 0.21 vs 0.34 tn 0.32 vs 2.21 tn 66.67 vs 87.89tn
P9 vs P3,4,7,9 1.69 vs 3.18 tn 6.41 vs 4.70 tn 0.63 vs 2.24 ** 0.21 vs 0.19 tn 0.32 vs 0.63 tn 66.67 vs 90.33 tn
P3_4_7 vs campuran 3 Isolat lainnya 6.33 vs 5.88 tn 7.43 vs 8.74 tn 6.45 vs 3.98 tn 0.34 vs 0.34 * 2.18 vs 2.21 tn 83.33 vs 87.89 *
P3_4_9 vs campuran 3 Isolat lainnya 5.38 vs 6.19 tn 6.89 vs 8.92 tn 3.80 vs 4.87 * 0.26 vs 0.36 tn 1.51 vs 2.43 tn 76.67 vs 90.11 tn
P3_7_9 vs campuran 3 Isolat lainnya 8.41 vs 5.19 * 14.29 vs 6.45 * 4.30 vs 4.70 ** 0.46 vs 0.30 * 4.02 vs 1.59 tn 94.67 vs 84.11 tn
P4_7_9 vs campuran 3 Isolat lainnya 3.85 vs 6.70 tn 5.04 vs 6.45 tn 3.85 vs 4.85 tn 0.29 vs 0.35 tn 1.09 vs 2.57 tn 92.33 vs 84.89 tn
Pgab vs Isolat lainnya (tanpa Pmyc.) 3.24 vs 4.49 tn 4.14 vs 7.17 * 3.79 vs 2.94 tn 0.23 vs 23.61 tn 0.73 vs 3.27 tn 63.33 vs 69.89 tn
Pmyc. vs Isolat lainnya 5.38 vs 4.32 tn 6.34 vs 6.35 tn 4.93 vs 3.09 * 0.23 vs 0.25 tn 1.28 vs 1.16 tn 71.67 vs 74.79 tn
39
Jika dibandingkan dengan inokulum campuran 4 isolat CMA, bibit yang
diinokulasi dengan campuan 2 isolat nyata memiliki pertumbuhan yang lebih baik
dibandingkan campuran 4 isolat CMA tersebut, seperti ditunjukkan oleh peubah
tinggi bibit, jumlah daun, bobot kering tajuk, nisbah tajuk akar, kadar P dan
serapan P.
Selanjutnya bibit yang diinokulasi inokulum campuran 3 isolat CMA
ternyata menunjukkan pertumbuhan lebih tinggi dibandingkan campuran 2 isolat
seperti ditunjukkan oleh peubah luas daun, bobot kering akar, bobot kering bibit,
kadar P dan serapan P. Demikian juga inokulum campuran 3 isolat CMA
memiliki pertumbuhan yang lebih baik jika dibandingkan dengan inokulum
campuran 4 isolat CMA seperti ditunjukkan oleh peubah diameter batang, jumlah
daun, luas daun, bobot kering akar, bobot kering tajuk dan nisbah tajuk akar.
Bibit yang diinokulasi isolat tunggal P-3 (Glomus sp-3a) dibandingkan
campuran 2, 3 dan 4 isolat yang mengandung isolat P3 menunjukkan bahwa pada
umumnya inokulum campuran yang mengandung isolat tunggal P-3 memiliki
pertumbuhan lebih baik seperti ditunjukkan oleh semua peubah yang diukur
kecuali peubah infeksi akar. Demikian juga inokulum campuran yang
mengandung isolat tunggal P-4 (Glomus sp-4a) memiliki pertumbuhan yang lebih
baik daripada isolat tunggal P-4 seperti ditunjukkan oleh peubah bobot kering
tajuk, nisbah tajuk akar dan kadar P. Inokulum campuran yang mengandung
isolat P7 (Acaulospora sp-3a) memiliki pertumbuhan yang lebih tinggi
dibandingkan isolat tunggal P-7 (diameter, jumlah daun, luas daun, bobot kering
tajuk, kadar P dan nisbah tajuk akar, sedangkan isolat tunggal P-9 (Acaulospora
sp-5a) dibandingkan dengan campuran 3 dan 4 isolat yang mengandung P-9 pada
umumnya tidak menunjukkan perbedaan yang nyata untuk semua peubah kecuali
luas daun lebih tinggi pada campuran 3 isolat. Selanjutnya inokulum campuran 2
isolat yang mengandung P-9 menunjukkan pertumbuhan yang lebih baik daripada
P-9 sendiri seperti ditunjukkan oleh peubah tinggi bibit, luas daun, bobot kering
tajuk, kadar P dan serapan P. Bobot kering akar dan bobot kering bibit lebih
tinggi pada isolat P-9 dibandingkan campuran 2 isolat yang mengandung P-9.
40
Jadi secara umum dapat dikatakan bahwa inokulum campuran isolat yang
mengandung masing-masing isolat tunggalnya merupakan isolat yang lebih efektif
dalam meningkatkan pertumbuhan dan serapan P di tanah PMK bekas hutan
dibandingkan masing-masing isolat tunggalnya.
Untuk melihat lebih jauh keefektivan dari inokulum campuran 3 isolat
CMA, maka dilakukan pengujian antara inokulum campuran 3 isolat CMA. Hasil
pengujian menunjukkan bahwa inokulum campuran P-3,4,9 (Glomus sp-3a,
Glomus sp-4a dan Acaulospora sp-5a) dan P-4,7,9 (Glomus sp-4a, Acaulospora
sp-3a dan Acaulospora sp-5a) tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dengan
inokulum campuran 3 isolat CMA lainnya. Selanjutnya inokulum campuran 3
isolat CMA yaitu P-3,4,7 (Glomus sp-3a, Glomus sp-4a, dan Acaulospora sp-3a)
memiliki jumlah daun dan luas daun yang lebih tinggi dibandingkan inokulum
campuran 3 isolat CMA lainnya, sedangkan inokulum campuran 3 isolat P-3,7,9
(Glomus sp-3a, Acaulospora sp-3a dan Acaulospora sp-5a) memiliki jumlah daun,
bobot kering tajuk, bobot kering bibit, nisbah tajuk akar dan kadar P yang lebih
tinggi dibandingkan inokulum campuran 3 isolat CMA lainnya. Berdasarkan
uraian tersebut, maka dapat dikatakan bahwa P-3,7,9 (Glomus sp-3a, Acaulospora
sp-3a dan Acaulospora sp-5a) merupakan isolat paling efektif dibandingkan isolat
lainnya.
Semua bibit yang dinokulasi isolat tunggal CMA dan kombinasinya nyata
memberikan pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan isolat P-gab. (isolat
alami) seperti terlihat pada peubah tinggi bibit, luas daun dan bobot kering bibit.
Demikian juga jika dibandingkan dengan isolat P-myc., bibit yang dinokulasi
isolat CMA lainnya memiliki jumlah daun, luas daun dan bobot kering akar, yang
lebih tinggi.
Tanggap morfologi bibit kelapa sawit terhadap inokulasi CMA pada media
tanah PMK bekas hutan dapat dilihat pada Gambar 2.
41
Gambar 2. Tanggap morfologi bibit kelapa sawit umur 5 bulan terhadap inokulasi
CMA pada media tanah PMK bekas hutan
42
b. Pengujian keefektivan CMA pada bibit kelapa sawit di media tanah PMK
bekas kebun karet
Hasil uji kontras ortogonal terhadap pertumbuhan tanaman, kadar P dan
serapan P, serta infeksi akar akibat perlakuan pemberian berbagai inokulum CMA
di tanah PMK bekas kebun karet disajikan pada Tabel 9 dan 10.
Pada Tabel 9 dan 10 tersebut terlihat bahwa pemberian inokulum CMA
secara umum meningkatkan pertumbuhan dan serapan P bibit kelapa sawit di
tanah PMK bekas pohon karet dibandingkan tanpa pemberian inokulum CMA,
seperti yang ditunjukkan oleh semua peubah yang diamati, kecuali kadar P dan
nisbah tajuk akar.
Bibit yang diinokulasi dengan isolat tunggal CMA tidak menunjukkan
perbedaan yang nyata dengan inokulum campuran isolat tunggal, campuran 2 dan
3 isolat untuk semua peubah yang diamati, sedangkan jika dibandingkan dengan
campuran 4 isolat terlihat bahwa isolat tunggal memberikan pertumbuhan lebih
tinggi seperti yang ditunjukkan oleh peubah diameter batang, luas daun, kadar P
dan serapan P.
Selanjutnya dapat dilihat bahwa bibit yang diinokulasi inokulum campuran
3 isolat CMA memberikan pertumbuhan dan serapan P yang lebih baik daripada
inokulum campuran 2 isolat CMA seperti ditunjukkan oleh peubah tinggi bibit,
diameter batang, luas daun dan serapan P. Inokulum campuran 2 isolat CMA jika
dibandingkan dengan campuran 4 isolat CMA memiliki diameter batang, kadar P
dan serapan P yang lebih tinggi, sedangkan inokulum campuran 4 isolat CMA
hanya memiliki infeksi akar yang lebih tinggi daripada campuran 2 isolat CMA.
Pada inokulum campuran 3 isolat CMA yang dibandingkan dengan campuran 4
isolat CMA terlihat bahwa inokulum campuran 3 isolat CMA memiliki diameter
batang, luas daun, kadar dan serapan P yang lebih tinggi, sedangkan inokulum
campuran 4 isolat CMA hanya menunjukkan infeksi akar yang lebih tinggi
daripada inokulum campuran 3 isolat CMA. Oleh karena itu, secara umum dapat
dikatakan bahwa inokulum campuran 2 dan 3 isolat CMA lebih baik
43 Tabel 9. Uji kontras ortogonal terhadap peubah tinggi bibit, diameter batang, jumlah daun, luas daun dan bobot kering akar bibit
kelapa sawit umur 5 bulan di media tanah PMK bekas kebun karet
Sumber Keragaman Tinggi bibit (cm) Diameter (mm) Jumlah daun Luas daun (Cm2) BK Akar (g)
Kontrol vs Isolat lainnya 29.93 vs 35.49 ** 11.07 vs 14.33 * 4.33 vs 5.39 * 268.23 vs 418.67 ** 0.82 vs 1.51 *
Isolat tunggal vs Campurannya 37.66 vs 34.67 tn 16.89 vs 13.58 tn 5.58 vs 5.42 tn 543.75 vs 385.92 tn 2.01 vs 1.39 tn
Isolat tunggal vs Campuran 2 isolat 37.66 vs 34.32 tn 16.89 vs 13.62 tn 5.58 vs 5.50 tn 543.75 vs 374.83 tn 2.01 vs 1.30 tn
Isolat tunggal vs Campuran 3 isolat 37.66 vs 35.09 tn 16.89 vs 13.80 tn 5.58 vs 5.33 tn 543.75 vs 431.07 tn 2.01 vs 1.42 tn
Isolat tunggal vs Campuran 4 isolat 37.66 vs 35.07 tn 16.89 vs 12.43 ** 5.58 vs 5.33 tn 543.75 vs 271.89 * 2.01 vs 1.83 tn
Campuran 2 isolat vs Campuran 3 isolat 34.32 vs 35.09 * 13.62 vs 13.80 * 5.50 vs 5.33 tn 374.83 vs 431.07 * 1.30 vs 1.42 tn
campuran 2 isolat vs campuran 4 isolat 34.32 vs 35.07 tn 13.62 vs 12.43 ** 5.50 vs 5.33 tn 374.83 vs 271.89 tn 1.30 vs 1.83 tn
Campuran 3 isolat vs Campuran 4 isolat 35.09 vs 35.07 tn 13.80 vs 12.43 ** 5.33 vs 5.33 tn 431.07 vs 271.89 * 1.42 vs 1.83 tn
S2 vs S2,3; S2,7; S2,8 33.73 vs 33.11 tn 13.50 vs 14.09 tn 5.33 vs 5.44 tn 372.16 vs 371.99 tn 1.99 vs 1.07 tn
S2 vs S2,3,7; S2,3,8; S2,7,8 33.73 vs 35.54 tn 13.50 vs 14.01 tn 5.33 vs 5.33 tn 372.16 vs 460.11 tn 1.99 vs 1.65 *
S2 vs S2,3,7,8 33.73 vs 35.07 tn 13.50 vs 12.43 ** 5.33 vs 5.33 tn 372.16 vs 271.89 * 1.99 vs 1.83 tn
S3 vs S2,3; S3,7; S3,8 38.03 vs 35.33 tn 21.80 vs 14.73 * 6.00 vs 6.00 tn 664.59 vs 448.40 * 1.94 vs 1.60 tn
S3 vs S2,3,7; S2,3,8; S3,7,8 38.03 vs 34.99 tn 21.80 vs 13.91 ** 6.00 vs 5.22 tn 664.59 vs 427.08 ** 1.94 vs 1.38 tn
S3 vs S2,3,7,8 38.03 vs 35.07 tn 21.80 vs 12.43 tn 6.00 vs 5.33 tn 664.59 vs 271.89 ** 1.94 vs 1.83 tn
S7 vs S2,7; S3,7; S7,8 41.33 vs 33.83 tn 13.47 vs 13.48 tn 5.33 vs 5.33 tn 624.08 vs 334.47 * 2.48 vs 1.44 tn
S7 vs S2,3,7; S2,7,8; S3,7,8 41.33 vs 34.84 tn 13.47 vs 13.37 tn 5.33 vs 5.22 tn 624.08 vs 410.60 * 2.48 vs 1.24 tn
S7 vs S2,3,7,8 41.33 vs 35.07 tn 13.47 vs 12.43 ** 5.33 vs 5.33 tn 624.08 vs 271.89 ** 2.48 vs 1.83 tn
S8 vs S2,8; S3,8; S7,8 37.53 vs 34.99 tn 18.80 vs 12.17 ** 5.67 vs 5.22 tn 514.16 vs 344.47 ** 1.64 vs 1.09 tn
S8 vs S2,3,8; S2,7,8; S3,7,8 37.53 vs 34.99 tn 18.80 vs 13.91 tn 5.67 vs 5.56 tn 514.16 vs 426.49 ** 1.64 vs 1.39 tn
S8 vs S2,3,7,8 37.53 vs 35.07 tn 18.80 vs 12.43 ** 5.67 vs 5.33 tn 514.16 vs 271.89 ** 1.64 vs 1.83 tn
S3 vs S2 38.03 vs 33.73 tn 21.80 vs 13.50 * 6.00 vs 5.33 tn 664.59 vs 372.16 * 1.94 vs 2.00 tn
S3 vs S7 38.03 vs 41.33 tn 21.80 vs 13.47 * 6.00 vs 5.33 * 664.59 vs 624.08 tn 1.94 vs 2.48 tn
S3 vs S8 38.03 vs 37.53 tn 21.80 vs 18.80 ** 6.00 vs 5.67 tn 664.59 vs 514.16 ** 1.94 vs 1.64 tn
Sgab. vs Isolat lainnya (tanpa Smyc.) 36.43 vs 33.13 tn 15.13 vs 18.54 * 5.00 vs 5.12 tn 393.98 vs 410.10 * 1.38 vs 1.74 tn
Smyc. vs Isolat lainnya 34.87 vs 35.53 tn 11.50 vs 14.50 * 4.67 vs 5.44 tn 303.20 vs 425.88 * 0.96 vs 1.54 tn
44 Tabel 10. Uji kontras ortogonal terhadap bobot kering tajuk, bobot kering bibit, nisbah tajuk akar, kadar P, serapan P dan infeksi
akar bibit kelapa sawit umur 5 bulan di media tanah PMK bekas kebun karet
Sumber Keragaman BK Tajuk (g) BK bibit (g) Nisbah tajuk
akar Kadar P (%) Serapan P
(g/tan.) Infeksi akar (%)
Kontrol vs Isolat lainnya 1.75 vs 4.47 ** 2.57 vs 5.98 ** 2.32 vs 3.15 tn 0.17 vs 0.21 tn 0.29 vs 1.01 ** 0.00 vs 69.94 **
Isolat tunggal vs Campurannya 6.14 vs 4.06 tn 8.16 vs 5.45 tn 3.10 vs 3.23 tn 0.34 vs 0.17 tn 1.97 vs 0.73 tn 82.67 vs 66.97 tn
Isolat tunggal vs Campuran 2 isolat 6.14 vs 4.07 tn 8.16 vs 5.37 tn 3.10 vs 3.37 tn 0.34 vs 0.16 tn 1.97 vs 0.72 tn 82.67 vs 69.06 tn
Isolat tunggal vs Campuran 3 isolat 6.14 vs 3.93 tn 8.16 vs 5.34 tn 3.10 vs 3.01 tn 0.34 vs 0.20 tn 1.97 vs 0.76 tn 82.67 vs 62.17 tn
Isolat tunggal vs Campuran 4 isolat 6.14 vs 4.56 tn 8.16 vs 6.38 tn 3.10 vs 3.20 tn 0.34 vs 0.14 ** 1.97 vs 0.64 ** 82.67 vs 73.67 tn
Campuran 2 isolat vs Campuran 3 isolat 4.07 vs 3.93 tn 5.37 vs 5.34 tn 3.37 vs 3.20 tn 0.16 vs 0.20 tn 0.72 vs 3.01 ** 69.06 vs 62.17 tn
campuran 2 isolat vs campuran 4 isolat 4.07 vs 4.56 tn 5.37 vs 6.38 tn 3.37 vs 3.20 tn 0.16 vs 0.14 ** 0.72 vs 0.64 ** 69.06 vs 73.67 *
Campuran 3 isolat vs Campuran 4 isolat 3.93 vs 4.56 tn 5.34 vs 6.38 tn 3.01 vs 3.20 tn 0.20 vs 0.14 ** 0.76 vs 0.64 ** 62.17 vs 73.67 *
S2 vs S2,3; S2,7; S2,8 4.13 vs 3.76 tn 6.12 vs 4.83 tn 2.17 vs 3.82 tn 0.22 vs 0.13 tn 0.92 vs 0.59 tn 61.67 vs 71.44 tn
S2 vs S2,3,7; S2,3,8; S2,7,8 4.13 vs 4.50 tn 6.12 vs 6.15 tn 2.17 vs 2.87 tn 0.22 vs 0.19 tn 0.92 vs 0.86 tn 61.67 vs 66.67 tn
S2 vs S2,3,7,8 4.13 vs 4.56 tn 6.12 vs 6.38 tn 2.17 vs 3.20 tn 0.22 vs 0.14 ** 0.92 vs 0.64 ** 61.67 vs 73.67 *
S3 vs S2,3; S3,7; S3,8 8.20 vs 5.19 * 10.13 vs 6.79 * 4.28 vs 3.45 tn 0.25 vs 0.19 tn 2.02 vs 1.03 tn 94.33 vs 66.67 **
S3 vs S2,3,7; S2,3,8; S3,7,8 8.20 vs 3.89 ** 10.13 vs 5.27 ** 4.28 vs 3.07 tn 0.25 vs 0.19 tn 2.02 vs 0.72 ** 94.33 vs 56.22 **
S3 vs S2,3,7,8 8.20 vs 4.56 * 10.13 vs 6.38 * 4.28 vs 3.20 tn 0.25 vs 0.14 ** 2.02 vs 0.64 ** 94.33 vs 73.67 **
S7 vs S2,7; S3,7; S7,8 7.58 vs 4.23 tn 10.07 vs 5.67 tn 3.07 vs 3.11 tn 0.26 vs 0.18 tn 1.95 vs 0.82 tn 86.33 vs 72.11 tn
S7 vs S2,3,7; S2,7,8; S3,7,8 7.58 vs 3.52 tn 10.07 vs 4.76 tn 3.07 vs 3.11 tn 0.26 vs 0.20 tn 1.95 vs 0.68 tn 86.33 vs 68.44 tn
S7 vs S2,3,7,8 7.58 vs 4.56 * 10.07 vs 6.38 tn 3.07 vs 3.20 tn 0.26 vs 0.14 ** 1.95 vs 0.64 ** 86.33 vs 73.67 tn
S8 vs S2,8; S3,8; S7,8 4.67 vs 3.09 ** 6.30 vs 4.18 * 2.88 vs 3.12 tn 0.62 vs 0.14 * 2.98 vs 0.43 ** 88.33 vs 66.00 tn
S8 vs S2,3,8; S2,7,8; S3,7,8 4.67 vs 3.81 tn 6.30 vs 5.19 tn 2.88 vs 3.00 tn 0.62 vs 0.21 tn 2.98 vs 0.78 tn 88.33 vs 57.33 tn
S8 vs S2,3,7,8 4.67 vs 4.56 tn 6.30 vs 6.38 tn 2.88 vs 3.20 tn 0.62 vs 0.14 ** 2.98 vs 0.64 ** 88.33 vs 73.67 tn
S3 vs S2 8.20 vs 4.13 * 10.13 vs 6.12 tn 4.28 vs 2.17 * 0.25 vs 0.22 ** 2.02 vs 0.92 tn 94.33 vs 61.67 tn
S3 vs S7 8.20 vs 7.58 tn 10.13 vs 10.07 tn 4.28 vs 3.07 tn 0.25 vs 0.26 tn 2.02 vs 1.95 * 94.33 vs 86.33 tn
S3 vs S8 8.20 vs 4.67 tn 10.13 vs 6.30 tn 4.28 vs 2.88 tn 0.25 vs 0.62 tn 2.02 vs 2.98 tn 94.33 vs 88.33 tn
Sga.b vs Isolat lainnya (tanpa Smyc.) 4.05 vs 4.74 tn 5.43 vs 6.58 * 2.98 vs 3.02 tn 0.22 vs 0.22 tn 0.90 vs 3.35 ** 63.33 vs 66.60 tn
Smyc. vs Isolat lainnya 2.63 vs 4.58 ** 3.59 vs 6.13 ** 2.72 vs 3.18 tn 0.14 vs 0.22 tn 0.36 vs 1.05 ** 58.33 vs 70.67 tn
45
dibandingkan inokulum campuran 4 isolat CMA, sementara itu inokulum
campuran 3 isolat CMA lebih baik daripada inokulum campuran 2 isolat CMA.
Bibit yang diinokulasi isolat tunggal S-2 (Glomus sp-2b) tidak
menunjukkan perbedaan nyata dengan inokulum campuran 2 isolat CMA yang
mengandung S-2, sedangkan jika dibandingkan dengan inokulum campuran 3
isolat CMA yang mengandung S-2, ternyata isolat tungggal S-2 memiliki bobot
kering akar lebih tinggi. Selanjutnya bibit yang diinokulasi isolat tunggal S-2
memiliki pertumbuhan yang lebih baik jika dibandingkan dengan inokulum
campuran 4 isolat CMA seperti yang ditunjukkan dengan diameter batang, luas
daun, kadar P dan serapan P. Jadi isolat S-2 merupakan isolat yang lebih efektif
dibandingkan inokulum campuran yang mengandung S-2.
Bibit yang diinokulasi isolat tunggal S3 (Glomus sp-3b) menunjukkan
pertumbuhan dan serapan P yang lebih tinggi dibandingkan inokulum campuran
2,3 dan 4 isolat yang mengandung S-3 seperti ditunjukkan oleh peubah diameter
batang, luas daun, bobot kering tajuk, bobot kering bibit, kadar dan serapan P,
sserta infeksi akar. Demikian juga dengan bibit yang diinokulasi isolat tunggal S-
7 (Glomus sp-7b) memiliki pertumbuhan dan serapan P lebih tinggi dibandingkan
inokulum campuran 2, 3, dan 4 isolat yang mengandung S-7 pada peubah
diameter batang, luas daun, bobot kering tajuk, bobot kering bibit, dan serapan P.
Bibit yang diinokulasi isolat tunggal S-8 (Acaulospora sp-1b) dapat
meningkatkan lebih tinggi diameter batang, luas daun, bobot kering tajuk, bobot
kering bibit, kadar P dan serapan P dibandingkan inokulum campuran 2 isolat
yang mengandung S-8, dan hanya meningkatkan lebih tinggi luas daun
dibandingkan inokulum campuran 3 isolat yang mengandung S-8. Jika
dibandingkan dengan inokulum campuran 4 isolat yang mengandung S-8, isolat
tunggal S-8 memberikan diameter batang, luas daun, kadar P dan serapan P yang
lebiht tinggi.
Berdasarkan penjelasan di atas ternyata bibit yang diinokulasi isolat
tunggal S-2 (Glomus sp-2b), S-3 (Glomus sp-3b), S-7 (Glomus sp-7b) dan S-8
(Acaulospora sp-1b) memberikan pertumbuhan dan serapan P yang lebih tinggi
dibandingkan inokulum campuran dari masing-masing isolat tunggal tersebut.
46
Sehubungan dengan hal itu, untuk melihat lebih jauh keefektivan dari masing-
masing isolat tunggal CMA maka dilakukan pengujian di antara isolat tunggal
tersebut. Hasil pengujian menunjukkan bahwa bibit yang diinokulasi isolat
tunggal S-3 (Glomus sp-3b) memberikan pertumbuhan dan serapan P yang lebih
tinggi dibandingkan isolat tunggal S-2 (Glomus sp-2b) seperti ditunjukkan peubah
diameter batang, jumlah daun, bobot kering tajuk, nisbah tajuk akar dan kadar P,
S-7 (Glomus sp-7b) pada peubah diameter batang, jumlah daun dan serapan P,
serta S-8 (Acaulospora sp-1b) pada peubah diameter batang dan luas daun.
Bibit yang diinokulasi isolat alami (Sgab.) ternyata memberikan
pertumbuhan yang lebih rendah dibandingkan isolat lainnya yang ditunjukkan
oleh peubah diameter batang, luas daun, bobot kering bibit, dan serapan P.
Demikain juga Smyc., memberikan pertumbuhan yang lebih redah daripada isolat
lainnya seperti ditunjukkan oleh peubah diameter batang, luas daun, bobot kering
tajuk, bobot kering bibit dan serapan P.
Tanggap morfologi bibit kelapa sawit di tanah PMK bekas kebun karet
disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3. Tanggap morfologi bibit kelapa sawit umur 5 bulan terhadap inokulasi
CMA pada media tanah PMK bekas kebun karet
S-2,7,8
S-3 S-2 S-2,3 S-2,8 S-7 S-3,7 S-2,7 S-7,8
S-3,7,8 S-2,3,8 S-2,3,7 S-myc. S-gab. S-8 S-3,8 S-2,3,7,8 S-0
47
c. Pengujian keefektivan CMA pada bibit kelapa sawit di media tanah
gambut bekas hutan
Hasil uji kontras ortogonal terhadap pertumbuhan tanaman, kadar P dan
serapan P, serta infeksi akar akibat perlakuan pemberian berbagai inokulum CMA
di tanah gambut bekas hutan disajikan pada Tabel 11 dan 12.
Berdasarkan Tabel 11 dan 12 tersebut ternyata bibit yang diinokulasi
CMA memberikan pertumbuhan, serapan P dan infeksi akar lebih tinggi
dibandingkan bibit tanpa CMA seperti yang ditunjukkan oleh semua peubah yang
diukur kecuali peubah nisbah tajuk akar.
Bibit yang diinokulasi isolat tunggal CMA tidak menunjukkan perbedaan
yang nyata dibandingkan inokulum campurannya dan campuran 2 isolat CMA
untuk semua peubah kecuali peubah infeksi akar. Inokulum campuran isolat
tunggal dan campuran 2 isolat CMA memiliki infeksi akar lebih tinggi daripada
isolat tunggal.
Selanjutnya dapat dilihat bahwa bibit yang diinokulasi inokulum
campuran 3 isolat CMA ternyata memberikan pertumbuhan yang lebih tinggi
dibandingkan isolat tunggal (peubah luas daun, bobot kering akar, bobot kering
tajuk, bobot kering bibit, serapan P dan infeksi akar,) maupun inokulum campuran
2 isolat CMA (peubah diameter batang, luas daun, bobot kering akar, serapan P
dan infeksi akar).
Bibit yang diinokulasi inokulum campuran 2 isolat CMA yang
mengandung isolat tunggal G-1 (Glomus sp-1c) yaitu G-1,5 (Glomus sp-1c dan
Glomus sp-5c) serta G-1,12 (Glomus sp-1c dan Acaulospora sp-5c) memiliki
pertumbuhan dan serapan P yang lebih tinggi dibandingkan isolat tungggal G-1
seperti ditunjukkan oleh peubah luas daun, tinggi bibit, bobot kering tajuk, bobot
kering bibit, nisbah tajuk akar, kadar P, serapan P dan infeksi akar kecuali
diameter batang (isolat tunggal lebih tinggi).
Demikian juga dengan inokulum campuran 2 isolat yang mengandung G-
5 (Glomus sp-5c) yaitu G-1,5 (Glomus sp-1c dan Glomus sp-5c) dan G-5,12
(Glomus sp-5c dan Acaulopsora sp-5c) yang diinokulasikan pada bibit kelapa
sawit ternyata memberikan pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan isolat
45 Tabel 11. Uji kontras ortogonal terhadap peubah tinggi bibit, diameter batang, jumlah daun, luas daun dan bobot kering akar bibit kelapa sawit umur 5 bulan di media
tanah gambut bekas hutan
Sumber Keragaman Tinggi bibit (cm) Diameter (mm) Jumlah daun Luas daun (Cm2) BK Akar (g)
kontrol vs isolat lainnya 41.63 vs 47.67 * 14.23 vs 23.59 ** 5.67 vs 6.93 * 376.00 vs 890.77 ** 1.78 vs 4.63 **
isolat tunggal vs campurannya 43.96 vs51.88 tn 26.23 vs 24.25 tn 6.44 vs 7.33 tn 701.27 vs 1057.84 tn 5.75 vs 4.83 tn
isolat tunggal vs campuran 2 isolat 43.96 vs 49.98 tn 26.23 vs 23.48 tn 6.44 vs 7.22 tn 701.27 vs 996.66 tn 5.75 vs 4.12 tn
isolat tunggal vs campuran 3 isolat 43.96 vs 57.60 tn 26.23 vs 26.57 tn 6.44 vs 7.67 tn 701.27 vs 1241.39 ** 5.75 vs 6.96 *
campuran 2 isolat vs campuran 3 isolat 49.98 vs 57.60 tn 23.48 vs 26.57 * 7.2 vs 7.67 tn 996.66 vs 1241.39 * 4.12 vs 6.96 *
G1 vs G1,5 dan G 1,12 42.70 vs 48.80 ** 28.43 vs 21.82 ** 7.00 vs 7.33 tn 903.80 vs 993.76 ** 4.24 vs 4.43 tn
G5 vs G1,5 dan G 5,12 39.37 vs 51.20 tn 24.77 vs 24.15 tn 5.00 vs 7.33 tn 442.67 vs 1022.48 tn 6.75 vs 4.25 tn
G12 vs G1,12 dan G 5,12 49.80 vs 49.93 tn 25.50 vs 24.47 ** 7.33 vs 7.00 tn 757.34 vs 973.75 tn 6.25 vs 3.68 *
G1 vs G1,5,12 42.70 vs 57.60 * 28.43 vs 26.57 tn 7.00 vs 7.67 tn 903.80 vs 1241.39 ** 4.24 vs 6.96 **
G5 vs G1,5,12 39.37 vs 57.60 tn 24.77 vs 26.57 tn 5.00 vs 7.67 tn 442.67 vs 1241.39 ** 6.75 vs 6.96 *
G12 vs G1,5,12 49.80 vs 57.60 tn 25.50 vs 26.57 ** 7.33 vs 7.67 tn 757.34 vs 1241.39 ** 6.25 vs 6.96 *
Ggab vs isolat lainnya (tanpa Gmyc.) 46.00 vs 48.49 tn 21.47 vs 25.10 ** 6.67 vs 6.95 tn 787.27 vs 905.03 * 2.96 vs 5.22 *
Gmyc vs isolat lainnya 43.60 vs 48.18 tn 15.17 vs 24.65 ** 7.00 vs 6.92 tn 894.47 vs 890.31 tn 2.16 vs 4.94 **
Tabel 12. Uji kontras ortogonal terhadap bobot kering tajuk, bobot kering bibit, nisbah tajuk akar, kadar P, serapan P dan infeksi akar bibit kelapa sawit umur 5 bulan di
media tanah gambut bekas hutan
Sumber Keragaman BK Tajuk (g) BK bibit (g)
Nisbah tajuk akar Kadar P (%)
Serapan P (g/tan.) Infeksi akar (%)
kontrol vs isolat lainnya 6.07 vs 9.64 ** 7.84 vs 14.27** 3.82 vs 2.58 tn 0.16 vs 0.27 ** 0.95 vs 2.70 ** 0.00 vs 64.81 **
isolat tunggal vs campurannya 8.93 vs 10.57 tn 14.68 vs 15.40 tn 1.54 vs 2.82 tn 0.23 vs 0.33 tn 1.99 vs 3.58 tn 56.67 vs 80.00 **
isolat tunggal vs campuran 2 isolat 8.93 vs 9.40 tn 14.68 vs 13.52 tn 1.54 vs 2.56 tn 0.23 vs 0.31 tn 1.99 vs 2.98 tn 56.67 vs 75.22 **
isolat tunggal vs campuran 3 isolat 8.93 vs 14.08 * 14.68 vs 21.04 * 1.54 vs 3.60 tn 0.23 vs 0.38 tn 1.99 vs 5.38 ** 56.67 vs 94.33 **
campuran 2 isolat vs campuran 3 isolat 9.40 vs 14.08 tn 13.52 vs 21.04 tn 2.56 vs 3.60 tn 0.31 vs 0.38 tn 2.98 vs 5.38 * 75.22 vs 94.33 *
G1 vs G1,5 dan G 1,12 8.27 vs 9.23 ** 12.51 vs 13.66** 1.19 vs 2.30 * 0.21 vs 0.34 * 1.77 vs 3.22 ** 42.33 vs 74.67 **
G5 vs G1,5 dan G 5,12 7.49 vs 9.13 ** 14.24 vs 13.38 * 1.18 vs 2.41 tn 0.24 vs 0.25 tn 1.74 vs 2.33 tn 77.33 vs 77.17 **
G12 vs G1,12 dan G 5,12 11.03 vs 9.83 tn 17.28 vs 13.51 * 2.26 vs 2.99 tn 0.22 vs 0.35 ** 2.45 vs 3.40 tn 50.33 vs 73.83 *
G1 vs G1,5,12 8.27 vs 14.08 ** 12.51 vs 21.04 * 1.19 vs 3.60 * 0.21 vs 0.38 tn 1.77 vs 5.38 tn 42.33 vs 94.33 **
G5 vs G1,5,12 7.49 vs 14.08 ** 14.24 vs 21.04 * 1.18 vs 3.60 * 0.24 vs 0.38 tn 1.74 vs 5.38 tn 77.33 vs 94.33 **
G12 vs G1,5,12 11.03 vs 14.08 * 17.28 vs 21.04 * 2.26 vs 3.60 * 0.22 vs 0.38 ** 2.45 vs 5.38 ** 50.33 vs 94.33 **
Ggab vs isolat lainnya (tanpa Gmyc.) 8.29 vs 9.87 tn 11.25 vs 15.09 * 2.87 vs 2.27 tn 0.19 vs 0.29 * 1.62 vs 2.90 ** 41.67 vs 70.00 **
Gmyc vs isolat lainnya 9.37 vs 9.67 tn 11.53 vs 14.61 * 4.41 vs 2.35 ** 0.25 vs 0.27 tn 2.35 vs 2.74 tn 51.67 vs 66.46 *
49
tunggal G-5 (Glomus sp-5c) seperti ditunjukkan oleh peubah luas daun, bobot
kering tajuk dan infeksi akar. Isolat G5 hanya memberikan bobot kering bibit
yang lebih tinggi dibandingkan campuran 2 isolat tersebut.
Bibit yang diinokulasi inokulum campuran 2 isolat yang mengandung G-
12 (Acaulospora 5-c) yaitu G1, 12 (Glomus sp-1c dan Acaulospora sp-5c) dan
G5, 12 (Glomus sp-5c dan Acaulospora sp-5c) memiliki pertumbuhan yang lebih
tinggi dibandingkan isolat tungggal G-12 (diameter batang, bobot kering bibit,
kadar P dan infeksi akar. Isolat tunggal G-12 hanya memberikan bobot akar lebih
tinggi dibandingkan campurannya.
Bibit yang diinokulasi Inokulum campuran 3 isolat yaitu G1,5,12
(Glomus sp-1c, Glomus sp-5c dan Acaulospora sp-5c) memberikan pertumbuhan
tertinggi dibandingkan isolat tunggal G-1, G-5 dan G-12 pada peubah luas daun,
bobot kering akar, bobot kering tajuk, bobot kering bibit nisbah tajuk akar dan
infeksi akar. Peubah diameter batang, kadar P dan serapan P menunjukkan nilai
lebih tinggi pada inokulum campuran 3 isolat tersebut dibandingkan G-12.
G-gab. menunjukkan pertumbuhan yang lebih rendah dibandingkan isolat
lainnya seperti terlihat pada peubah diameter batang, luas daun, bobot kering akar,
bobot kering tajuk, kadar P, serapan P dan infeksi akar. Demikian juga dengan
Gmyc. memiliki pertumbuhan yang lebih rendah dibanding isolat lainnya pada
peubah diameter batang, bobot kering akar, bobot kering bibit, nisbah tajuk akar,
dan infeksi akar.
Berdasarkan uraian tersebut terlihat bahwa pemberian inokulum
campuran G-1,5,12 (Glomus sp-1c, Glomus sp-5c, dan Acaulospora sp-5c)
memberikan pertumbuhan, serapan P dan infeksi akar tertinggi.
Tanggap morfologi bibit kelapa sawit terhadap inokulasi CMA dimedia
tanah gambut bekas hutan dapat dilihat pada Gambar 4.
50
Gambar 4. Tanggap morfologi bibit kelapa sawit umur 5 bulan terhadap inokulasi
CMA pada media tanah gambut bekas hutan
Berdasarkan hasil analisis di atas, didapatkan isolat CMA yang paling
efektif pada bibit kelapa sawit yaitu di tanah PMK bekas hutan adalah inokulum
campuran 3 isolat CMA Glomus sp-3a, Acaulospora sp-3a dan Acaulospora sp-5a
(P-3,7,9); di tanah PMK bekas kebun karet adalah inokulum CMA Glomus sp-3b
(S-3) serta di tanah gambut bekas hutan adalah inokulum campuran 3 isolat CMA
Glomus sp-1c, Glomus sp-5c, dan Acaulospora sp-5c (G-1,5,12), seperti
ditunjukkan oleh pertumbuhan (bobot kering bibit) dan serapan P bibit tersebut
(Tabel 13).
G-1,5,12 G-1,5 G-5,12 G-1,12 G-1
G-myc. G-gab. G-12 G-5 G-0
51
Tabel 13. Pertumbuhan (bobot kering bibit) dan serapan P bibit kelapa sawit yang
diinokulasi CMA paling efektif di media tanah PMK bekas hutan,
PMK bekas kebun karet dan gambut bekas hutan
Ekosistem (Isolat) Bobot kering bibit (g) Serapan P (g/tan.)
PMK bekas hutan
CMA (P-3,7,9)
Kontrol (tanpa CMA)
14.29
2.13
4.02
0.26
PMK bekas kebun karet
CMA (S-3)
Kontrol (tanpa CMA)
10.13
2.57
2.02
0.29
Gambut bekas hutan
CMA (G-1,5,12)
Kontrol (tanpa CMA)
21.04
7.84
5.38
0.95
Pembahasan
Tanggap pertumbuhan bibit kelapa sawit yang diinokulasi inokulum
CMA lebih tinggi dibandingkan bibit tanpa CMA baik di tanah PMK bekas
hutan, PMK bekas kebun karet maupun di tanah gambut bekas hutan.
Di tanah PMK bekas hutan, bibit yang diinokulasi isolat CMA tunggal
memperlihatkan pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan inokulum campuran
isolat tunggal, inokulum campuran 2 dan 4 isolat CMA serta tidak menunjukkan
perbedaan yang nyata dengan inokulum campuran 3 isolat CMA. Sementara itu,
di tanah PMK bekas kebun karet, bibit yang diinokulasi isolat CMA tunggal
hanya memberikan pertumbuhan lebih tinggi dibandingkan dengan inokulum
campuran 4 isolat CMA, tetapi dengan campuran isolat tunggal, inokulum
campuran 2 dan 3 isolat CMA tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Pada
tanah gambut bekas hutan, isolat tunggal CMA tidak berbeda nyata dibandingkan
inokulum campuran isolat tunggal tersebut maupun inokulum campuran 2 isolat
CMA. Bibit yang diinokulasi inokulum campuran 3 isolat CMA ternyata memiliki
pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan isolat tunggal maupun inokulum
campuran 2 isolat CMA.
52
Perbedaan keefektivan yang terjadi dari masing-masing jenis isolat
tersebut disebabkan adanya perbedaan kemampuan dari masing-masing isolat
dalam bersimbiosis dengan bibit kelapa sawit tersebut. Kemungkinan setiap isolat
juga memiliki preferensi yang berbeda terhadap eksudat yang dikeluarkan bibit
tersebut. Di tanah PMK bekas kebun karet, kelompok isolat tunggal pengaruhnya
lebih baik jika bekerja sendiri-sendiri dan jika bersama-sama malahan saling
antagonis dan saling bersaing. Sebaliknya di tanah PMK bekas hutan dan gambut
bekas hutan, justru inokulum campuran 3 isolat yang lebih baik dibandingkan
kelompok isolat tunggal maupun campuran 2 isolat. Dalam hal ini berarti
inokulum campuran 3 isolat lebih mampu meningkatkan pertumbuhan bibit yang
menunjukkan bahwa masing-masing isolat bekerja sama secara sinergis dalam
membantu pertumbuhan tanaman. Hasil penelitian Hanapiah (1997)
menunjukkan bahwa peningkatan tinggi tanaman kopi arabika cenderung lebih
tinggi bila diinokulasi dengan Gigaspora margarita dibandingkan Glomus
manihotis, tetapi kombinasi keduanya saling kuat mempengaruhi pertumbuhan
tanaman kopi arabika. Selanjutnya hasil penelitian Delvian (2003) menunjukkan
bahwa inokulum campuran 2 isolat (Glomus sp-2 dan Acaulospora sp-1; Glomus
sp-2 dan Gigaspora sp.; Acaulospora sp-1 dan Gigaspora sp.) dan inokulum
campuran 3 isolat (Glomus sp-2, Acaulospora sp-1 dan Gigaspora sp.) cenderung
lebih efektif dibandingkan isolat tunggal dalam meningkatkan pertumbuhan
tanaman lamtorogung (Leucaena leucocephala).
Perbedaan keefektivan dari setiap isolat CMA juga kemungkinan diduga
karena adanya peran dari mikroorganisme lain selain CMA, misalnya adanya
bakteri yang berinteraksi dengan CMA tersebut. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa bakteri dapat membantu mikoriza dalam meningkatkan
kolonisasi terhadap tanaman Pinus radiata di pembibitan (Garbaye & Bowen
1989), Pseudotsuga menziesii ( Garbaye & Duponnois 1992), Pinus strobus L.
(Schelkle & Peterson 1996) dan wortel (Bianciotto et al. 2001). Kemudian
Garbaye (1994) dan Smith & Read (1997) mengemukakan bahwa simbiosis antara
mikoriza dengan tanaman juga dipengaruhi oleh adanya mikroorganisme lain
yang ada di rizosfir terutama bakteri. Selanjutnya Minerdi et al. (2002)
53
menyimpulkan bahwa kolonisasi sel, fiksasi nitrogen dan kemampuan menyerap
unsur hara oleh CMA dan tanaman dipengaruhi oleh adanya bakteri yang ada di
rizosfir tanaman tersebut.
Bibit yang diinokulasi inokulum campuran 2 dan 3 isolat memberikan
pertumbuhan lebih tinggi daripada inokulum campuran 4 isolat baik pada tanah
PMK bekas hutan maupun PMK bekas kebun karet. Hal ini menunjukkan bahwa
pada kedua jenis tanah tersebut, dalam inokulum campuran 2 dan 3 isolat masing-
masing isolat dapat bekerja sama, tetapi ketika dicampur menjadi campuran 4
isolat masing-masing tidak mampu lagi memberikan peran yang lebih baik,
disebabkan kemungkinan adanya sifat keefektivan yang berbeda dari masing-
masing CMA tersebut sehingga kerja keempat isolat tersebut saling antagonis.
Selanjutnya bibit yang diinokulasi inokulum campuran 3 isolat CMA
menunjukan pertumbuhan lebih tinggi dibandingkan inokulum campuran 2 atau 4
isolat baik pada tanah PMK bekas hutan maupun PMK bekas kebun karet. Berarti
inokulum campuran 3 isolat tersebut paling efektif dalam memberikan perannya
terhadap bibit kelapa sawit.
Pada tanah PMK bekas hutan, inokulum campuran 3 isolat dari setiap
isolat tunggal lebih baik dibandingkan masing-masing isolat tunggal. Oleh karena
itu setelah dilakukan pengujian antara campuran 3 isolat didapatkan bahwa
inokulum campuran 3 isolat (P3,7,9) merupakan inokulum terbaik, yang artinya
isolat tunggal P-3, P-7 dan P-9 jika dicampur masing-masing memberikan peran
yang lebih tinggi dibandingkan kombinasi lainnya.
Sebaliknya di tanah PMK bekas kebun karet, masing-masing isolat tunggal
(S-2, S-3, S-7 dan S-8) memiliki pertumbuhan lebih tinggi dibandingkan
campurannya atau kombinasinya. Dan di antara keempat isolat tunggal tersebut
ternyata S-3 merupakan isolat paling efektif dalam meningkatkan pertumbuhan
dan serapan P bibit kelapa sawit di tanah PMK bekas kebun karet.
Pada tanah gambut bekas hutan, bibit yang diinokulasi inokulum
campuran 2 isolat dari kombinasi isolat tunggal (G-1 vs G-1,5 dan G-1,12; G-5 vs
G-1,5 dan G-5,12; G-12 vs G-1,12 dan G-5,12) memiliki pertumbuhan dan
serapan P yang lebih tinggi dibandingkan isolat tunggalnya. Jadi masing-masing
54
isolat tunggal memperlihatkan peran yang lebih tinggi jika berada bersama-sama
dengan isolat lainnya. Demikian juga bibit yang diinokulasi inokulum campuran
3 isolat CMA (G-1,5,12) menunjukkan pertumbuhan dan serapan P yang lebih
tinggi dibandingkan masing-masing isolat tunggalnya (G-1, G-5 dan G-12).
Sebelumnya sudah dijelaskan bahwa inokulum campuran 3 isolat lebih baik
daripada inokulum campuran 2 isolat atau kelompok isolat tunggalnya. Oleh
karena itu, dapat dikatakan bahwa inokulum campuran paling efektif dalam
meningkatkan pertumbuhan dan serapan P bibit kelapa sawit di tanah gambut
bekas hutan.
Inokulum campuran CMA alami (P-gab., S-gab. dan G-gab.) serta
inokulum mycofer memiliki keefektivan yang lebih rendah dibandingkan isolat
hasil isolasi dan kombinasinya. Hal tersebut kemungkinan peran dari isolat-isolat
itu tidak sinergis tetapi malahan saling bersaing dalam mempengaruhi
pertumbuhan bibit kelapa sawit.
Pada tanah PMK bekas kebun karet, inokulum CMA tunggal lebih baik
meningkatkan pertumbuhan dan serapan P bibit kelapa sawit daripada yang
campuran. Hal ini menunjukkan bahwa kerja CMA tersebut lebih baik kerjanya
ketika sendiri dan menurun ketika kerja bersama-sama dengan CMA lainnya,
akibat kerjanya yang saling bersaing.
Kemampuan CMA memperbaiki dan meningkatkan pertumbuhan tanaman
berkaitan dengan peranannya dalam penyerapan fosfor (Ortas et al. 1996; Al-
Karaki & Al-Raddad 1997; A-Karaki & Clark 1998), seperti hasil penelitian ini
CMA mampu meningkatkan serapan P sehingga pertumbuhan bibit kelapa sawit
dapat meningkat dibandingkan dengan perlakuan tanpa pemberian CMA. Pada
tanah PMK dan gambut, P tersedia yang dapat diserap tanaman sangat rendah,
tetapi dengan adanya CMA, P yang dapat diserap tanaman menjadi lebih tinggi.
Adanya peningkatan serapan P ternyata diakibatkan meningkatnya kadar P dan
juga ditunjang dengan meningkatnya pertumbuhan bibit baik di tanah PMK bekas
hutan, PMK bekas kebun karet maupun gambut bekas hutan (Tabel 7, 8, 9, 10, 11
dan 12). Jadi dengan semakin meningkatnya kadar P tajuk dan bobot kering tajuk,
maka serapan P bibit tersebut semakin meningkat. Menurut Kramadibrata (1993),
55
peningkatan serapan P oleh tanaman ber-CMA sebagian besar karena hifa
eksternal dari CMA yang berperan sebagai sistem perakaran di mana hifa
eksternalnya menyediakan permukaan yang lebih efektif dalam menyerap unsur
hara dari tanah yang kemudian dipindahkan ke akar inang.
CMA juga dapat menyerap fosfat organik dan mengubahnya menjadi P
anorganik yang dapat diserap tanaman dengan adanya bantuan enzim fosfatase
asam yang juga dihasilkan oleh CMA dan juga sel-sel tanaman tersebut.
Gunawan (1993) menjelaskan bahwa enzim fosfatase asam yang dihasilkan oleh
hifa CMA yang sedang aktif tumbuh dan peningkatan aktivitas fosfatase pada
permukaan akar sebagai hasil infeksi CMA menyebabkan Pi dibebaskan dari
fosfat organik pada daerah dekat permukaan sel sehingga dapat diserap melalui
mekanisme serapan hara.
Fosfor merupakan salah satu unsur hara makro yang penting dalam
pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Unsur tersebut berfungsi sebagai
penyusun metabolit dalam senyawa kompleks, sebagai aktivator, kofaktor atau
penyatu enzim serat dan berperan dalam proses fisiologi (Soepardi 1983) dan juga
merupakan komponen struktural dari sejumlah senyawa penting, molekul
pentransfer energi ADP dan ATP (Gardner et al. 1991; Marschner 1997). Menurut
Prawiranata et al. (1992), ATP merupakan senyawa penting bagi reaksi metabolit
yaitu reaksi biosintetik pembentukan senyawa penting bagi pemeliharaan sel dan
pertumbuhan termasuk protein dan asam nukleat. Selain itu ATP diperlukan
untuk sintesis cadangan makanan seperti lemak dan polisakarida serta diperlukan
dalam proses transpor aktif dan aliran protoplasma. Fosfor juga merupakan unsur
yang sangat kritikal bagi pertumbuhan tanaman, selain itu kekurangan P
mengakibatkan tanaman tidak mampu menyerap unsur-unsur lain. Sebagai unsur
yang penting dalam pembentukan energi bagi pertumbuhan tanaman maka
ketersediaan P yang cukup akan memperbaiki pertumbuhan tanaman. Jika energi
tersedia dalam jumlah yang cukup maka semua proses metabolisme dapat
berlangsung dengan baik, sehingga tanaman akan lebih mampu menghadapi
keadaan lingkungan yang beragam dan mampu tumbuh dengan baik.
56
Kesimpulan
1. Bibit kelapa sawit yang bersimbiosis dengan CMA menunjukkan tanggap
pertumbuhan dan serapan P lebih tinggi dibandingkan bibit tanpa inokulasi
CMA baik yang ditanam pada media tanah PMK bekas hutan, PMK bekas
kebun karet maupun gambut bekas hutan.
2. Setiap jenis CMA memiliki keefektivan yang berbeda dengan bibit kelapa
sawit. CMA yang memiliki keefektivan tertinggi di media tanah PMK bekas
hutan adalah inokulum campuran 3 isolat CMA Glomus sp-3a, Acaulospora
sp-3a dan Acaulospora sp-5a; di media tanah PMK bekas kebun karet adalah
inokulum tunggal CMA Glomus sp-3b serta di media tanah gambut bekas
hutan adalah inokulum campuran 3 isolat CMA Glomus sp-1c, Glomus sp-5c,
dan Acaulospora sp-5c.
3. Ekosistem tanah PMK dan gambut bekas hutan memiliki keanekaragaman
jenis CMA yang efektif dengan bibit kelapa sawit lebih tinggi dibandingkan
tanah PMK bekas kebun karet.
ADAPTASI BIBIT KELAPA SAWIT YANG BERSIMBIOSIS
DENGAN CMA TERHADAP CEKAMAN KEKERINGAN
PADA MEDIA TANAH PMK DAN GAMBUT BEKAS HUTAN
Adaptation of Oil Palm Seedling Inoculated with Arbuscular
Mycorrhiza Fungi on Drought Stress in Red Yellow Podzolic and
Peat of Used Forest Soils Media
Abstrak
Cekaman kekeringan merupakan salah satu faktor pembatas utama dalam
pertumbuhan, serapan hara dan hasil kelapa sawit terutama yang ditanam pada
tanah PMK dan gambut. Salah satu alternatif untuk mengatasi masalah cekaman
kekeringan pada tanaman kelapa sawit tersebut melalui pemakaian CMA.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji mekanisme adaptasi tanaman kelapa sawit
yang bersimbiosis dengan CMA terhadap cekaman kekeringan pada media tanah
PMK dan gambut bekas hutan. Pengujian adaptasi ini terdiri dari dua percobaan,
masing-masing percobaan untuk setiap jenis tanah menggunakan Rancangan
Acak Lengkap Faktorial dengan dua faktor yaitu faktor pertama adalah inokulasi
CMA (M0= tanpa CMA and M1 = inokulasi CMA) dan faktor kedua adalah taraf
cekaman kekeringan (100%, 75%, 50% and 25% air tersedia).
Pada kedua jenis tanah, inokulasi CMA meningkatkan daya adaptasi bibit
kelapa sawit pada setiap tingkat cekaman kekeringan seperti ditunjukkan oleh
tanggap pertumbuhan dan serapan hara. Mekanisme adaptasi bibit kelapa sawit
tanpa CMA terhadap cekaman kekeringan adalah melalui mekanisme toleransi
(pengaturan osmoregulasi dengan memproduksi senyawa-senyawa osmotikum
glisina-betaina dan prolina daun, serta pengaturan turgor sel melalui akumulasi
kadar ABA daun). Pada bibit kelapa sawit yang bersimbiosis dengan CMA,
mekanisme adaptasi terhadap cekaman kekeringan adalah melalui mekanisme
toleransi dan mekanisme penghindaran (perbaikan penyerapan hara (terutama P),
peningkatan kemampuan penyerapan air melalui perbaikan sistem perakaran, dan
pengurangan luas permukaan transpirasi). Tanggap pertumbuhan dan serapan hara
bibit kelapa sawit yang diinokulasi CMA dan tanpa CMA pada media tanah
gambut bekas hutan lebih tinggi dibandingkan pada media tanah PMK bekas
hutan untuk setiap tingkat cekaman kekeringan.
Kata kunci : kelapa sawit, CMA, cekaman kekeringan, mekanisme adaptasi
Abstract
Drought stress is one of the main limiting factors in growth, nutrient
uptake and yield of oil palm, particularly those which are planted in RYP and
58
peat soils. One of the alternatives to overcome this drought stress problem on
many plants is through inoculation with AMF. This research was conducted to
observe the adaptabilty of oil palm seedling inoculated with AMF on drought
stress in two different soils i.e. RYP and peat of used forest soils. Each
experiment on each soil type was arranged in a Factorial Completely Randomized
Design with two factors. The first factor was AMF inoculation (M0= without
AMF and M1 = inoculation of AMF) and the second factor was drought stress
levels (available water 100%, 75%, 50% and 25%).
On both soil types, AMF inoculation improved the adaptability of oil palm
seedling on every level of drought stress, as shown by the responses of growth
and nutrient uptake. The adaptation of non-inoculated seedling on drought stress
was solely by tolerance mechanism, either osmoregulation as shown by higher
production level of osmoticum components or cell turgor regulation by leaf ABA
accumulation. On the inoculated seedlings, however, there were synergism
between those two tolerance mechanism and escape mechanism. Two important
escape mechanism were intensifying root system and decreasing transpiration
surface of seedlings. Responses of growth and nutrient uptake of oil palm
seedlings inoculated with AMF and without AMF on the peat soil media, were
higher as compared to those on RYP soil media for each level of drought stress.
Key words : oil palm, AMF, drought stress, adaptation mechanism
Pendahuluan
Cekaman kekeringan merupakan penyebab utama penurunan produksi
pada tanaman kelapa sawit. Menurut Hutomo et al. (1977), taksiran penurunan
produksi selama 24 bulan setelah kekeringan pada perkebunan-perkebunan kelapa
sawit di Indonesia berkisar antara 21-65 %. Tanggap paling awal dari tanaman
yang mendapat cekaman kekeringan adalah terjadinya hambatan pembukaan
stomata daun (Penny-Packer et al. 1990). Beberapa hasil penelitian menunjukkan
bahwa cekaman kekeringan dapat menurunkan konduktansi stomata, fotosintesis
dan pertumbuhan (Pattanagul & Madore 1999; Prevete et al. 2000; Delfine et al.
2001), sehingga pada akhirnya dapat menurunkan produksi.
Tanaman kelapa sawit yang ditanam pada tanah PMK dan gambut akan
mudah mengalami kekeringan terutama pada musim kemarau. Selain disebabkan
oleh perakarannya yang dangkal, juga tanah tersebut khususnya PMK mempunyai
kemampuan menahan air yang rendah. Tanah PMK dan gambut bekas hutan yang
59
digunakan dalam penelitian ini memiliki kejenuhan basa yang rendah, derajat
kemasaman yang tinggi dengan pH 4.89 (PMK) dan 3.90 (gambut), kandungan
hara makro dan mikro yang rendah (PMK) dan sedang (gambut), serta unsur P
sulit tersedia bagi tanaman.
Agar tetap dapat bertahan hidup dalam keadaan kekeringan, tanaman harus
dapat mengatur status air dalam tubuhnya melalui pengaturan potensial osmotik.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tanaman mampu beradaptasi terhadap
cekaman kekeringan melalui pengaturan osmotik sel, yaitu melalui sintesis dan
akumulasi senyawa organik serta dengan cara menjaga turgor sel. Beberapa
senyawa yang berperan dalam penyesuaian osmotik sel antara lain gula osmotik
(Pattanagul & Madore 1999; Kobashi et al., 2000; Wijana 2000), glisina-betaina
(Makela et al. 1999; Wijana 2000) dan prolina (Pangaribuan 2001; Wijana 2000).
Selain itu untuk mengatur turgor sel, tanaman menghasilkan ABA (Pastor et al.
1999; Kobashi et al. 2000; Wijana 2000) serta sudah diketahui bahwa ABA dapat
memacu akumulasi prolina (Trotel-Aziz et al. 2000).
Salah satu alternatif yang mungkin dapat meningkatkan kemampuan
adaptasi terhadap kekeringan pada tanaman kelapa sawit adalah dengan
menggunakan mikroorganisme bermanfaat yaitu CMA.
CMA pada lahan kekeringan mampu meningkatkan penyerapan hara
makro (terutama P) dan hara mikro melalui hifa eksternalnya, selain itu juga
mampu memberikan ketahanan terhadap kekeringan (Setiadi 1989). Ketahanan
timbul akibat meningkatnya kemampuan tanaman untuk menghindari pengaruh
langsung dari kekeringan dengan jalan meningkatkan penyerapan air melalui
sistem gabungan akar dan mikoriza. Dijelaskan lebih lanjut oleh Setiadi (1989),
bahwa hifa cendawan ternyata masih mampu untuk menyerap air dari pori-pori
tanah pada saat akar tanaman sudah kesulitan. Penyebaran hifa di dalam tanah
juga sangat luas sehingga tanaman dapat mengambil air relatif lebih banyak.
Menurut Marschner & Dell (1994) hifa eksternal CMA dapat memperoleh
P larut yang relatif lebih besar dibandingkan dengan akar karena daya jelajah hifa
dapat mencapai 10 cm lebih dari permukaan akar, dan menurut Bolan (1991)
ukuran diameter hifa sangat kecil (2-4 um) sehingga volume tanah yang dapat
60
diterobos menjadi lebih besar. Selain itu, adanya peningkatan serapan P oleh
tanaman yang bermikoriza diduga karena adanya peningkatan aktivitas enzim
fosfatase akar tanaman.
Hasil penelitian Aboul-Nasr (1998) menunjukkan bahwa inokulasi CMA
pada tanaman labu dapat meningkatkan toleransi tanaman terhadap kekeringan.
Dari penelitian tersebut didapatkan bahwa tanaman labu yang diinokulasi Glomus
intraradices memiliki pertumbuhan yang lebih baik daripada yang tidak
diinokulasi. Tanaman yang bermikoriza secara nyata meningkatkan jumlah P dan
K pada tajuk tanaman tersebut. Di bawah cekaman kekeringan, tanaman yang
bermikoriza memiliki kandungan K tajuk serta N dan P akar yang lebih tinggi
daripada tanaman yang tidak bermikoriza. Hasil yang sama diperoleh oleh Al-
Karaki & AlRaddad (1997) pada gandum; Bryla & Duniway (1997) pada
Safflower dan gandum; Al-Karaki et al. (1998) pada tanaman gandum;
Bethlenfalvay et al. (1998) pada kedelai; Al-Karaki & Clark (1999) pada tanaman
barley; Syvertsen & Graham (1999) pada sour orange dan sweet oranges; Hapsoh
(2003) pada kedelai; serta Hanum (2004) pada kedelai.
CMA dapat meningkatkan pertumbuhan vegetatif dan reproduktif
tanaman, seperti hasil penelitian Aguilera-Gomez et al. (1999) yang mendapatkan
bahwa CMA dapat meningkatkan jumlah daun, luas daun, bobot kering tajuk, akar
dan buah Capsicum annuum serta pertumbuhan reproduktif meningkat 450 %
pada tanaman yang bermikoriza.
CMA meningkatkan pertumbuhan tanaman dengan cara memperbaiki
serapan unsur-unsur hara dan air. Tanaman yang diinokulasi CMA memiliki
bobot kering tajuk dan akar yang lebih tinggi pada keadaan cekaman kekeringan
daripada yang tidak ber-CMA. Selain itu tanaman yang ber-CMA lebih efisien
dalam penggunaan air (Al-Karaki 1998). Hasil yang sama diperoleh oleh Al-
Karaki dan Clark (1998).
Pemberian CMA pada keadaan kekeringan dapat mempengaruhi
mekanisme adaptasi tanaman dalam memproduksi senyawa organik dan mengatur
turgor sel serta dalam penyerapan P seperti pada tanaman labu (Aboul-Nasr,
1998), gandum (Al-Karaki & AlRaddad 1997; Al-Karaki 1998; Al-Karaki et al.
61
1998; Al-Karaki & Clark 1998; 1999), kakao (Sasli 1999), dan kedelai (Hapsoh
2003; Hanum 2004). Dengan demikian adanya CMA pada keadaan kekeringan
membantu tanaman dalam meningkatkan pertumbuhannya (Bryla & Duniway
1997, 1998; Goicoechea et al. 1997; Subramanian & Charest 1998; Ruiz-Lozano
et al. 2000; Fidelibus et al. 2000).
Mekanisme peningkatan adaptasi terhadap cekaman kekeringan akibat
adanya CMA, selain karena perbaikan penyerapan P, juga adanya kolonisasi
mikoriza menunda dehidrasi jaringan dan memelihara turgor sel tanaman selama
kekeringan dengan satu atau lebih mekanisme sebagai berikut (1) meningkatkan
penyerapan air melalui peningkatan kerapatan akar (Kothari et al. 1990; Osonubi
et al.1992), daya hantar hidrolik akar internal (Cui & Nobel 1992), dan/atau
transport air dari hifa ke akar (Faber et al. 1991; Ruiz-Lozano & Azcon 1995); (2)
mengurangi kehilangan air dari tanaman melalui pengurangan luas daun
(Henderson & Davies 1990; Osonubi et al.1992) atau peningkatan resistensi
stomata (Allen & Allen 1986) serta (3) peningkatan penyesuaian osmotik daun
(Auge et al.1986; Ruiz-Lozano et al. 1995) dan/atau akar (Auge & Stodola 1990).
Mikoriza juga meningkatkan kelenturan dinding sel tanaman (Auge et al.1987),
yang memelihara turgor sel selama kekeringan. Menurut Davies et al. (1992)
perkembangan hifa ekstraradikal dan agregasi tanah sekeliling akar bermikoriza
akan ditingkatkan oleh mikoriza yang mengkolonisasi tanaman terhadap
kekeringan, dan perubahan ini memfasilitasi penyerapan air yang cukup.
Sampai sejauh ini, pemanfaatan CMA dalam keadaan kekeringan pada
bibit kelapa sawit dalam mengatur mekanisme adaptasi belum dilaporkan.
Dengan pemberian CMA pada bibit kelapa sawit, diharapkan CMA tersebut
mampu meningkatkan daya adaptasi bibit terhadap cekaman kekeringan, sehingga
jika ditanam di lapangan bibit akan mampu beradaptasi terhadap lingkungan yang
beragam.
Penelitian ini bertujuan mengkaji peranan CMA pada keadaan
kekeringan terhadap pertumbuhan dan serapan hara bibit kelapa sawit yang
ditanam pada media tanah PMK dan gambut bekas hutan serta untuk mengkaji
62
mekanisme adaptasi bibit kelapa sawit dalam mengatasi cekaman kekeringan pada
keadaan dengan dan tanpa inokulasi CMA pada kedua jenis tanah tersebut.
Bahan dan Metode
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di rumah kaca dan Laboratorium Bioteknologi
Fakultas Pertanian Universitas Jambi, Laboratorium Research Group on Crop
Improvement (RGCI) IPB, dan Laboratorium Balai Besar Litbang Pasca Panen
Pertanian Bogor. Waktu penelitian dari bulan Mei 2004 sampai dengan April
2005.
Rancangan Percobaan
Penelitian ini terdiri dari dua percobaan yang masing-masing merupakan
percobaan faktorial dua faktor menggunakan Rancangan Acak Lengkap tiga
ulangan yaitu :
1. Faktor pertama, mikoriza terdiri dari dua taraf :
M0 : tanpa inokulasi CMA
M1 : dengan inokulasi CMA
2. Faktor kedua, Cekaman Kekeringan (Pemberian Air) terdiri atas empat taraf :
C1 : 100% air tersedia
C2 : 75% air tersedia
C3 : 50% air tersedia
C4 : 25% air tersedia
Dengan demikian, secara keseluruhan diperoleh delapan kombinasi
perlakuan. Setiap kombinasi perlakuan diulang tiga kali, sehingga terdapat 24
satuan percobaan, yang masing-masing terdiri atas delapan tanaman. Dengan
demikian jumlah tanaman seluruhnya adalah 192 tanaman.
Model linier aditif dari rancangan yang digunakan sebagai berikut :
Yijk = μ + αi + βj + (αβ)ij + εijk
Di mana :
i : 1, 2
63
j : 1, 2, 3, 4
k : 1, 2, 3
Yijk : tanggap pengamatan pada unit percobaan yang mendapat perla-
kuan mikoriza ke-i dan perlakuan cekaman kekeringan pada taraf
ke-j
μ : rataan umum
αi : pengaruh perlakuan mikoriza ke-i
βj : pengaruh perlakuan cekaman kekeringan ke-j
(αβ)ij : pengaruh interaksi pelakuan mikoriza ke-i dan cekaman
kekeringan ke-j
εijkl : pengaruh galat dan pelakuan mikoriza ke-i dan cekaman
kekeringan ke-j dengan ulangan ke-k
Pelaksanaan
Persiapan media tanam.
Media tanam berupa tanah yang berasal dari tanah PMK bekas hutan dan
gambut bekas hutan terlebih dahulu dikeringanginkan dan diayak dengan ayakan
berukuran 10 mesh kemudian disterilisasi dengan tujuan mematikan semua
organisme yang terkandung dalam contoh tanah, sehingga hanya isolat CMA yang
diinokulasi yang berkembang dan tanggap yang terjadi benar-benar akibat isolat
yang diberikan. Sterilisasi dilakukan dengan cara pengukusan (pemanasan).
Sebelumnya contoh tanah dianalisis terlebih dahulu.
Persiapan kecambah.
Kecambah kelapa sawit varietas D x P (Tenera) yang digunakan adalah
kecambah yang baru muncul radikelnya maksimum 0.5 cm. Kecambah tersebut
ditanam dengan hati-hati dalam polibag yang berukuran 40 cm x 45 cm yang
sudah disiapkan sebelumnya, setiap polybag satu kecambah.
64
Pemberian isolat CMA.
Isolat CMA yang diberikan merupakan isolat CMA yang terbaik pada
tanah PMK bekas hutan (isolat campuran inokulum CMA tipe Glomus sp-3a,
Acaulospora sp-3a dan Acaulospora sp-5a) dan tanah gambut bekas hutan (isolat
campuran inokulum CMA Glomus sp-1c, Glomus sp-5c dan Acaulospora sp-5c)
serta diberikan pada saat penanaman kecambah dengan cara membuat lubang di
tengah-tengah polybag sedalam kira-kira 3 cm, kemudian pada masing-masing
ujung lubang tanam diletakkan 1 kecambah. Selanjutnya dimasukkan inokulum
CMA yang mengandung sebanyak 60 spora per polybag pada akar bibit tersebut,
kemudian lubang tanam ditutup dengan tanah.
Perlakuan cekaman kekeringan.
Perlakuan cekaman kekeringan mulai dilakukan pada saat bibit berumur
2,5 bulan. Sebelum perlakuan cekaman kekeringan, penyiraman dilakukan setiap
hari. Penentuan pemberian air untuk setiap perlakuan dilakukan berdasarkan air
tersedia. Air tersedia dalam tanah ditentukan dengan mencari selisih antara kadar
air kapasitas lapang dan titik layu permanen. Untuk mencari kadar air pada
kapasitas lapang dilakukan dengan mengukur penurunan bobot tanah (metode
gravimetri). Contoh tanah dimasukkan dalam suatu bejana yang diberi saluran
pipa kecil pada bagian dasarnya dan diberi air secara hati-hati hingga merata.
Setelah dibiarkan 24 jam, contoh tanah diambil secara komposit sebanyak 10
gram dan dikeringovenkan pada suhu 105o C selama 24 jam. Sedangkan
penetapan kadar air titik layu pemanen didasarkan pada kadar air tanah pada saat
keadaan tanaman tidak mampu tumbuh normal kembali setelah media tanam
disiram air secara berlebih. Perhitungan kadar air kapasitas lapang dan titik layu
pemanen adalah dengan menggunakan rumus berikut :
BB - BK
Kapasitas lapang = ----------------- X 100 %
BK
Di mana : BB = bobot tanah basah
BK = bobot tanah kering oven
65
Untuk menentukan tingkat kadar air dari masing-masing perlakuan adalah
sebagai berikut :
1. 100 % air tersedia, kadar airnya adalah :
(100/100 x kadar air tersedia) + KA titik layu permanen
2. 75 % air tersedia, kadar airnya adalah :
(75/100 x kadar air tersedia) + KA titik layu permanen
3. 50 % air tersedia, kadar airnya adalah :
(50/100 x kadar air tersedia) + KA titik layu permanent
4. 25 % air tersedia, kadar airnya adalah :
(25/100 x kadar air tersedia) + KA titik layu permanen
Penyesuaian kadar air tanah untuk masing-masing perlakuan dilakukan
setiap hari, dengan menimbang bobot basah tanah dan tanaman yang ada dalam
polybag. Koreksi terhadap pertambahan bobot tanaman, dilakukan dengan
mencabut tanaman dan menimbang bobot tanaman sesuai kombinasi perlakuan
setiap 4 minggu sekali dengan menggunakan contoh tidak tetap yang disediakan
khusus untuk koreksi bobot basah tanaman.
Pemeliharaan.
Pemeliharaan yang dilakukan meliputi penyiangan dan pemupukan.
(1) Penyiangan. Penyiangan dilakukan secara manual dengan cara
mencabut rumput-rumput yang tumbuh, sekaligus menggemburkan tanah.
Interval penyiangan tergantung pada pertumbuhan gulma yang tumbuh pada
polybag.
(2) Pemupukan. Pupuk yang diberikan berupa pupuk urea, rock
phosphate, KCl dan kisserite dengan dosis seperti tercantum pada Lampiran 2 dan
3. Pemupukan dilakukan dengan cara membuat alur di bagian pinggir polybag
dan pupuk dibenamkan secara merata pada alur tersebut sesuai dosis anjuran dari
Pusat Penelitian Kelapa Sawit Medan untuk tanah PMK dan rekomendasi dari PT
Era Sakti Parastama untuk tanah gambut.
66
Pengamatan.
Pengamatan pertama (peubah tinggi bibit, jumlah daun dan diameter
batang) untuk mengetahui titik awal keadaan tanaman dilakukan tepat sebelum
perlakuan cekaman kekeringan yaitu pada saat bibit berumur 2.5 bulan, dan untuk
pengamatan selanjutnya dilakukan dengan interval waktu 2 minggu sampai bibit
berumur 9 bulan.
Peubah yang diamati sebagai berikut :
1. Tinggi bibit (cm). Tinggi bibit diukur dari batas leher akar sampai ke ujung
daun tertinggi. Untuk mempermudah pengukuran ditanam ajir bambu sebagai
standar pengukuran. Pengukuran dilakukan dengan mistar .
2. Jumlah daun (helai). Jumlah daun dihitung dengan cara menghitung semua
daun yang telah membuka sempurna dan masih segar. Selain itu juga dihitung
jumlah daun yang pecah lidi.
3. Luas daun (cm2). Pengukuran dilakukan dengan menggunakan pengukur luas
daun (Leaf Area Meter) dan dilakuan pada akhir penelitian.
4. Diameter batang. Diukur dengan menggunakan jangka sorong pada ketinggian
2 cm dari pangkal batang.
5. Bobot kering tajuk (g). Tanaman dipotong hingga batas leher akar, kemudian
dikeringkan dalam oven selama 72 jam dengan suhu 80 oC, kemudian
ditimbang bobot kering tajuknya. Pengukuran dilakukan pada akhir
penelitian.
6. Bobot kering akar (g). Akar dikeringkan dalam oven selama 72 jam dengan
suhu 80 oC, lalu ditimbang. Pengukuran dilakukan pada akhir penelitian.
7. Efisiensi penggunaan air (EPA), dihitung dengan rumus :
Bobot kering tanaman (g)
EPA = ---------------------------------------
Jumlah air yang digunakan (l)
Jumlah air yang digunakan tanaman dihitung setiap hari mulai dari awal
sampai akhir penelitian, dengan cara mengukur jumlah air yang disiramkan
pada setiap tanaman setiap hari.
67
8. Persentase akar terinfeksi CMA. Teknik pelaksanaan dilakukan sama dengan
sebelumnya. Penghitungan dilakukan pada akhir penelitian.
9. Analisis aktivitas enzim fosfatase asam. Analisis aktivitas enzim fosfatase
asam di akar dan tanah dilakukan sesuai prosedur yang mengacu pada Dodd et
al. (1987) dan Ezawa dan Yoshida (1994) dengan beberapa modifikasi.
Prosedur lengkap disajikan dalam Lampiran 4. Analisis dilakukan pada akhir
penelitian.
10. Kadar dan serapan P. Kadar P diperoleh dengan cara menganalisis contoh
kering (105 oC) bagian atas tanaman dengan menggunakan metode dekstruksi
basah seperti tercantum pada Lampiran 8. Serapan P diperoleh dari hasil kali
antara kadar P dan bobot kering bagian atas tanaman. Analisis ini dilakukan
pada akhir penelitian.
11. Kadar dan serapan K. Kadar K diperoleh dengan cara menganalisis contoh
kering (105 oC) bagian atas tanaman dengan menggunakan metode dekstruksi
basah seperti tercantum pada Lampiran 9. Serapan K diperoleh dari hasil kali
antara kadar K dan bobot kering bagian atas tanaman. Analisis ini dilakukan
pada akhir penelitian.
12. Analisis prolina. Kandungan prolina ditentukan secara kolorimetri
menggunakan metode Bates et al. (1973). Prosedur lengkap disajikan dalam
Lampiran 5. Analisis prolina ini dilakukan pada awal (sebelum cekaman) dan
akhir penelitian.
13. Analisis ABA. Ekstrasi ABA mengikuti prosedur yang dilakukan Yokota et
al. (1994). Prosedur lengkap disajikan dalam Lampiran 6. Pengukuran
dilakukan pada akhir penelitian.
14. Analisis glisina-betaina. Kadar glisina-betaina dianalisis berdasarkan metode
Grieve dan Grattan (1983) dengan sedikit perubahan. Prosedur lengkap
disajikan dalam Lampiran 7. Pengukuran dilakukan pada akhir penelitian.
Analisis Data.
Analisis data dilakukan dengan sidik ragam dan dilanjutkan dengan uji
ortogonal polinomial dan regresi.
68
Hasil dan Pembahasan
Hasil Penelitian
a. Adaptasi bibit kelapa sawit yang bersimbiosis dengan CMA terhadap
cekaman kekeringan pada media tanah PMK bekas hutan
Berdasarkan uji ortogonal polinomial didapatkan persamaan regresi dan
grafik dari setiap peubah yang diamati seperti tercantum pada Tabel 14 dan
Gambar 5-26.
Gambar 5-26 memperlihatkan bahwa morfologi dan fisiologi bibit kelapa
sawit semakin menurun dengan semakin bertambah beratnya cekaman kekeringan
untuk semua peubah morfologi dan fisiologi yang diamati baik pada bibit yang
diinokulasi CMA maupun tidak, kecuali untuk peubah glisina-betaina daun,
prolina daun, ABA daun dan infeksi akar. Peubah glisina-betaina daun, prolina
daun, ABA daun dan infeksi akar semakin meningkat dengan semakin bertambah
beratnya cekaman kekeringan. Bibit yang diinokulasi CMA memberikan nilai
peubah morfologi dan fisiologi yang lebih tinggi dibandingkan bibit tanpa CMA
untuk setiap tingkat cekaman kekeringan, seperti ditunjukkan oleh semua peubah
yang diukur.
Perubahan tanggap morfologi dan fisiologi bibit kelapa sawit yang
diinokulasi CMA cenderung lebih cepat dibandingkan dengan bibit tanpa CMA.
Pada keadaan tercekam, bibit yang diinokulasi CMA memperlihatkan
tanggap morfologi dan fisiologi yang lebih baik. Hal ini disebabkan adanya peran
CMA dalam membantu bibit mengatasi cekaman kekeringan yang terjadi. Peran
CMA tersebut mulai terlihat sejak awal terjadi cekaman kekeringan untuk semua
peubah yang diamati kecuali peubah bobot kering tajuk. Peubah bobot kering
tajuk dari bibit yang ditanam di tanah PMK bekas hutan, CMA mulai berperan
pada tingkat cekaman kekeringan C2 (75% air tersedia).
Pada tingkat cekaman kekeringan C4 (25% air tersedia), CMA tidak
mampu berperan lagi dalam mengatasi cekaman kekeringan seperti terlihat pada
peubah bobot kering tajuk, luas daun, EPA, kadar K dan serapan K, kadar P dan
serapan P, serta enzim fosfatase asam di akar dan di tanah. Bahkan pada peubah
69
Tabel 14. Persamaan regresi pengaruh taraf cekaman kekeringan terhadap semua peubah yang diamati pada media tanah PMK bekas hutan
Peubah
Persamaam regresi
M0 (Tanpa CMA) M1 (dengan CMA)
Morfologi
Tinggi bibit
Diameter batang
Jumlah daun
Jumlah daun pecah lidi
Luas daun
Bobot kering akar
Bobot kering tajuk
Bobot kering bibit
Nisbah tajuk akar
Fisiologi
Enzim fosfatase asam di akar
Enzim fosfatase asam di tanah
Kadar K
Kadar P
Serapan K
Serapan P
Kadar glisina-betaina daun
Kadar prolina daun
Kadar ABA daun
EPA
Infeksi akar
y = 0.5117x + 21.667 R2=0.78
y =-0.0086x2 + 1.5477x - 23.725 R2=0.92
y = 0.0827x + 2.1667 R2=0.91
y = 0.024x - 0.8333 R2=0.62
y = 30.691x – 489.82 R2=0.91
y = 0.079x - 0.9485 R2=0.78
y = 0.4579x - 7.8518 R2=0.96
y = 0.5369x - 8.8003 R2=0.96
y = 0.0002x2 - 0.0276x + 4.8192 R2 =0.05
y = 2.9167x + 161.14 R2=0.78
y = 0.1698x + 11.107 R2=0.90
y = 0.0269x + 3.8292 R2=0.75
y = 0.0032x + 0.243 R2=0.81
y = 0.0296x - 0.61 R2=0.96
y = 0.0026x - 0.0605 R2=0.96
y = -0.0009x2 + 0.1215x + 20.673 R2=0.01
y = -0.0815x + 14.536 R2=0.81
y = -0.4688x + 57.298 R2=0.99
y = -0.0003x2 + 0.0524x - 0.8597 R2 =0.92
-
y = 0.6011x + 23.1 R2=0.79
y = -0.0108x2 + 1.8783x - 26.625 R2=0.94
y = 0.0253x + 7.8333 R2=0.55
y = 0.028x - 0.5 R2=0.52
y = 34.584x – 350.57 R2=0.92
y = 0.1105x - 0.5323 R2=0.77
y = 0.478x – 4.1875 R2=0.87
y =-0.0031x2 + 0.9773x - 14.441 R2=0.88
y = 0.0001x2 - 0.0107x + 5.5115 R2=0.01
y = -0.0711x2 + 12.662x - 51.683 R2=0.92
y = 0.0044x2 - 0.1141x + 15.803 R2=0.96
y = 0.0464x + 3.3324 R2=0.91
y = 0.0061x + 0.1981 R2=0.88
y = 0.0419x - 0.8448 R2=0.92
y = 0.0043x - 0.0978 R2=0.92
y = 0.0007x2 - 0.1434x + 32.629 R2=0.08
y = -0.1208x + 27.255 R2=0.62
y = 0.0039x2 - 0.9738x + 75.342 R2=0.99
y = 0.0006x2 - 0.0273x + 0.9573 R2=0.92
y = 0.0013x2 - 0.3213x + 103 R2=0.66
Keterangan : x = taraf cekaman kekeringan (persentase air tersedia)
70
EPA dan enzim fosfatase asam di tanah, CMA sudah tidak dapat berperan lagi
mulai tingkat cekaman kekeringan C3 (50% air tersedia).
Tanggap tinggi, luas daun, bobot kering tajuk, dan bobot kering bibit
kelapa sawit yang diinokulasi CMA terhadap cekaman kekeringan menunjukkan
bahwa semakin bertambah berat cekaman kekeringan, semakin kecil
perbedaannya dengan bibit tanpa CMA. Hal ini menunjukkan bahwa peran CMA
makin berkurang dengan semakin meningkatnya cekaman kekeringan (Gambar 5-
8).
y = 0.5117x + 21.667
R2 = 0.7771
y = 0.6011x + 23.1
R2 = 0.7929
0.0
20.0
40.0
60.0
80.0
100.0
120.0
0 25 50 75 100
Persentase air tersedia
Tin
gg
i b
ibit
(cm
)
M0
M1
Linear (M0)
Linear (M1)
Gambar 5. Tanggap tinggi bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap perlakuan
mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah PMK bekas hutan
71
y = 34.584x - 350.57
R2 = 0.9242
y = 30.691x - 489.82
R2 = 0.9079
0.00
500.00
1000.00
1500.00
2000.00
2500.00
3000.00
3500.00
0 25 50 75 100
Persentase air tersedia
Lu
as d
au
n (
cm
2)
M0
M1
Linear (M1)
Linear (M0)
Gambar 6. Tanggap luas daun bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap
perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah PMK
bekas hutan
y = 0.4579x - 7.8518
R2 = 0.9578
y = 0.478x - 4.1875
R2 = 0.8723
0.00
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
60.00
0 25 50 75 100
Persentase air tersedia
Bo
bo
t keri
ng
taju
k (
g)
M0
M1
Linear (M0)
Linear (M1)
Gambar 7. Tanggap bobot kering tajuk bibit kelapa sawit umur 9 bulan
terhadap perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media
tanah PMK bekas hutan
72
y = 0.5369x - 8.8003
R2 = 0.9559
y = -0.0031x2 + 0.9773x - 14.441
R2 = 0.8791
0.00
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
60.00
70.00
0 25 50 75 100
Persentase air tersedia
Bo
bo
t keri
ng
bib
it (
g)
M0
M1
Linear (M0)
Poly. (M1)
Gambar 8. Tanggap bobot kering bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap
perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah PMK
bekas hutan
Bibit yang bersimbiosis dengan CMA ternyata lebih mampu mengatasi
cekaman kekeringan dibandingkan bibit tanpa CMA untuk setiap tingkat cekaman
kekeringan seperti ditunjukkan oleh semua peubah yang diukur. Dengan adanya
CMA, bibit lebih mampu mengatasi cekaman kekeringan sehingga tingkat
pertumbuhan yang sama dapat dicapai oleh bibit yang diinokulasi CMA pada
kadar air tanah yang lebih rendah dibandingkan bibit yang tidak diinokulasi CMA
pada kadar air tanah yang lebih tinggi.
Pada tingkat cekaman kekeringan C2 (75% air tersedia), nilai peubah
morfologi dan fisiologi bibit yang diinokulasi CMA mampu menyamai bibit pada
tingkat cekaman kekeringan C1 (100% air tersedia) yang tanpa CMA. Demikian
juga, pada cekaman kekeringan C3 (50% air tersedia) bibit yang ber-CMA
mampu menyamai bibit pada cekaman C2 (75% air tersedia) yang tanpa CMA,
seperti yang ditunjukkan oleh peubah, diameter batang, jumlah daun pecah lidi,
bobot kering akar, enzim fosfatase asam di akar, kadar K tajuk dan kadar P tajuk
(Gambar 9-15).
73
y = -0.0108x2 + 1.8783x - 26.625
R2 = 0.9404
y = -0.0086x2 + 1.5477x - 23.725
R2 = 0.915
0.0
10.0
20.0
30.0
40.0
50.0
60.0
0 25 50 75 100
Persentase air tersedia
Dia
me
ter
ba
tan
g (
mm
)
M0
M1
Poly. (M1)
Poly. (M0)
Gambar 9. Tanggap diameter batang bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap
perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah PMK
bekas hutan
Gambar 10. Tanggap diameter batang bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap
perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan pada tingkat cekaman
kekeringan yang berbeda di media tanah PMK bekas hutan
74
y = 0.028x - 0.5
R2 = 0.5158
y = 0.024x - 0.8333
R2 = 0.6231
-0.5
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
0 25 50 75 100
Persentase air tersedia
Ju
mla
h d
au
n p
eca
h lid
i
M0
M1
Linear (M1)
Linear (M0)
Gambar 11. Tanggap jumlah daun pecah lidi bibit kelapa sawit umur 9 bulan
terhadap perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media
tanah PMK bekas hutan
y = 0.079x - 0.9485
R2 = 0.7757
y = 0.1105x - 0.5323
R2 = 0.766
0.00
2.00
4.00
6.00
8.00
10.00
12.00
14.00
0 25 50 75 100
Persentase air tersedia
Bo
bo
t keri
ng
aka
r (g
)
M0
M1
Linear (M0)
Linear (M1)
Gambar 12. Tanggap bobot kering akar bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap
perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah PMK
bekas hutan
75
y = 2.9167x + 161.14
R2 = 0.7807
y = -0.0711x2 + 12.662x - 51.683
R2 = 0.918
0.00
100.00
200.00
300.00
400.00
500.00
600.00
700.00
0 25 50 75 100
Persentase air tersedia
en
zim
fo
sfa
tase
asa
m d
i aka
r (u
mo
l/g
bb
)
M0
M1
Linear (M0)
Poly. (M1)
Gambar 13. Tanggap enzim fosfatase asam di akar bibit kelapa sawit umur 9
bulan terhadap perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di
media tanah PMK bekas hutan
y = 0.0269x + 3.8292
R2 = 0.7499
y = 0.0464x + 3.3324
R2 = 0.9115
0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
7.00
8.00
9.00
10.00
0 25 50 75 100
Persentae air tersedia
Kad
ar
K t
aju
k (
%)
M0
M1
Linear (M0)
Linear (M1)
Gambar 14. Tanggap kadar K tajuk bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap
perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah PMK
bekas hutan
76
y = 0.0032x + 0.243
R2 = 0.8117
y = 0.0061x + 0.1981
R2 = 0.8785
0.00
0.10
0.20
0.30
0.40
0.50
0.60
0.70
0.80
0.90
1.00
1.10
0 25 50 75 100
Persentase air tersedia
Kad
ar
P t
aju
k (
%)
M0
M1
Linear (M0)
Linear (M1)
Gambar 15. Tanggap kadar P tajuk bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap
perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah PMK
bekas hutan
Pada Gambar 16 terlihat bahwa bibit yang diinokulasi CMA pada tingkat
cekaman kekeringan C4 (25% air tersedia) dapat menyamai jumlah daun bibit
tanpa CMA pada tingkat cekaman kekeringan C2 (75% air tersedia) bahkan lebih
tinggi daripada jumlah daun bibit tanpa CMA pada tingkat cekaman kekeringan
C3 (50% air tersedia). Demikian juga, jumlah daun bibit ber-CMA pada tingkat
cekaman kekeringan C3 (50% air tersedia) mampu menyamai jumlah daun bibit
tanpa CMA pada tingkat cekaman kekeringan C2 (75% air tersedia).
Bibit yang diinokulasi CMA memiliki EPA, enzim fosfatase asam di
tanah, serapan K dan serapan P yang lebih tinggi dan semakin menurun drastis
dengan bertambah beratnya cekaman kekeringan. Mulai tingkat cekaman
kekeringan C3 (50% air tersedia) EPA bibit tersebut tidak berbeda dengan EPA
bibit tanpa CMA. Jadi peran CMA sudah berkurang sejalan dengan bertambah
beratnya cekaman kekeringan. Pada C3 (50% air tersedia) tersebut, CMA sudah
tidak dapat membantu bibit kelapa sawit meningkatkan EPA, enzim fosfatase
asam di tanah, serapan K dan serapan P. Demikian juga pada C4 (25% air
77
tersedia) CMA sudah tidak mampu lagi membantu bibit kelapa sawit dalam
mengatasi cekaman kekeringan yang terjadi (Gambar 17, 18, 19 dan 20).
y = 0.0827x + 2.1667
R2 = 0.9066
y = 0.0253x + 7.8333
R2 = 0.5511
0
2
4
6
8
10
12
14
16
0 25 50 75 100
Persentase air tersedia
Ju
mla
h d
au
n
M0
M1
Linear (M0)
Linear (M1)
Gambar 16. Tanggap jumlah daun bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap
perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah PMK
bekas hutan
y = 0.0006x2 - 0.0273x + 0.9573
R2 = 0.9218
y = -0.0003x2 + 0.0524x - 0.8597
R2 = 0.9211
0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
0 25 50 75 100
Persentase air tersedia
EP
A (
g/L
)
M0
M1
Poly. (M1)
Poly. (M0)
Gambar 17. Tanggap EPA bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap perlakuan
mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah PMK bekas hutan
78
y = 0.0044x2 - 0.1141x + 15.803
R2 = 0.9638
y = 0.1698x + 11.107
R2 = 0.9
0.00
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
60.00
0 25 50 75 100
Persentase Air Tersedia
En
zim
fo
sfa
tase
asa
m d
i ta
nah
(u
mo
l/g
bb
)
M0
M1
Poly. (M1)
Linear (M0)
Gambar 18. Tanggap enzim fosfatase asam di tanah bibit kelapa sawit umur 9
bulan terhadap perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di
media tanah PMK bekas hutan
y = 0.0296x - 0.61
R2 = 0.9577
y = 0.0419x - 0.8448
R2 = 0.9171
0.00
0.50
1.00
1.50
2.00
2.50
3.00
3.50
4.00
4.50
0 25 50 75 100
Persentase air tersedia
Sera
pa
n K
(g
/tan
.)
M0
M1
Linear (M0)
Linear (M1)
Gambar 19. Tanggap Serapan K tajuk bibit kelapa sawit umur 9 bulan
terhadap perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di tanah
media PMK bekas hutan
79
y = 0.0026x - 0.0605
R2 = 0.9637
y = 0.0043x - 0.0978
R2 = 0.9186
0.00
0.05
0.10
0.15
0.20
0.25
0.30
0.35
0.40
0.45
0 25 50 75 100
Persentase air tersedia
Sera
pa
n P
(g
/tan
.)
M0
M1
Linear (M0)
Linear (M1)
Gambar 20. Tanggap serapan P tajuk bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap
perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah PMK
bekas hutan
Nisbah/tajuk akar pada bibit kelapa sawit akibat adanya perlakuan
cekaman kekeringan mempunyai pola yang sama, di mana bibit yang diinokulasi
CMA memberikan nisbah tajuk/akar yang lebih rendah dibandingkan bibit tanpa
CMA (gambar 21). Dalam hal ini berarti bibit yang bermikoriza memiliki
perkembangan akar lebih baik, sehingga lebih mampu untuk menyerap air dan
unsur-unsur hara yang sangat diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan
bibit kelapa sawit tersebut.
Perubahan kandungan kadar glisina-betaina pada bibit yang diinokulasi
CMA dan yang tanpa CMA memiliki pola yang berbeda (Gambar 22). Semakin
bertambah beratnya cekaman kekeringan, kandungan glisina-betaina bibit yang
diinokulasi CMA semakin meningkat dan peningkatan terjadi sejak awal terjadi
cekaman kekeringan. Pada bibit yang tanpa CMA, kandungan glisina-betaina
pertama-tama meningkat dan mulai terjadi penurunan pada C4 (25% air tersedia).
80
y = 0.0001x2 - 0.0107x + 5.5115
R2 = 0.0123
y = 0.0002x2 - 0.0276x + 4.8192
R2 = 0.0497
0.00
2.00
4.00
6.00
8.00
10.00
12.00
0 25 50 75 100
Persentase air tersedia
Nis
bah
taju
k/a
ka
r
M0
M1
Poly. (M0)
Poly. (M1)
Gambar 21. Tanggap nisbah tajuk akar bibit kelapa sawit umur 9 bulan
terhadap perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media
tanah PMK bekas hutan
y = 0.0007x2 - 0.1434x + 32.629
R2 = 0.0783
y = -0.0009x2 + 0.1215x + 20.673
R2 = 0.0147
0.00
5.00
10.00
15.00
20.00
25.00
30.00
35.00
40.00
0 25 50 75 100
Persentase air tersedia
Glisin
a-b
eta
ina d
au
n (
um
ol/g
bb
)
M0
M1
Poly. (M1)
Poly. (M0)
Gambar 22. Tanggap kadar glisina-betaina daun bibit kelapa sawit umur 9
bulan terhadap perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di
media tanah PMK bekas hutan
81
Berdasarkan sidik ragam terlihat bahwa perlakuan mikoriza tidak
berpengaruh nyata terhadap kandungan prolina daun sebelum perlakuan cekaman
kekeringan (Tabel Lampiran 42 dan Gambar 23). Sedangkan kandungan kadar
prolina daun setelah perlakuan cekaman kekeringan semakin meningkat dengan
bertambah beratnya cekaman kekeringan, baik pada bibit yang diinokulasi CMA
maupun yang tanpa CMA (Gambar 24). Bibit yang ber-CMA memiliki kadungan
prolina daun yang lebih tinggi dibandingkan bibit tanpa CMA. CMA sudah mulai
berperan sejak awal perlakuan cekaman kekeringan.
Kandungan kadar ABA daun meningkat secara lambat pada bibit ber-
CMA dan secara cepat pada bibit tanpa CMA akibat adanya perlakuan cekaman
kekeringan (Gambar 25). Adanya CMA mampu meningkatkan kadar ABA daun
sejak sebelum terjadinya cekaman dan semakin meningkat dengan semakin
bertambah beratnya cekaman kekeringan.
0.000
0.100
0.200
0.300
0.400
0.500
0.600
Prolina daun
(umol/g bb)
1
Perlakuan M
M0
M1a a
M0 M1
0.3460.407
Gambar 23. Tanggap prolina daun bibit kelapa sawit umur 2.5 bulan
sebelum perlakuan cekaman kekeringan di media tanah PMK
bekas hutan
82
y = -0.0815x + 14.536
R2 = 0.8135
y = -0.1208x + 27.255
R2 = 0.6217
0.00
5.00
10.00
15.00
20.00
25.00
30.00
0 25 50 75 100
Persentase air tersedia
Pro
lin
a d
au
n (
um
ol/g
bb
)M0
M1
Linear (M0)
Linear (M1)
Gambar 24. Tanggap kadar prolina daun bibit kelapa sawit umur 9 bulan
terhadap perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media
tanah PMK bekas hutan
y = -0.4688x + 57.298
R2 = 0.9934
y = 0.0039x2 - 0.9738x + 75.342
R2 = 0.9922
0.00
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
60.00
0 25 50 75 100
Persentase air tersedia
Kad
ar
AB
A d
au
n (
ng
/g)
M0
M1
Linear (M0)
Poly. (M1)
Gambar 25. Tanggap kadar ABA daun bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap
perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah PMK
bekas hutan
83
Laju pertumbuhan bibit kelapa sawit setiap 2 minggu sekali sejak diberi
perlakuan cekaman kekeringan disajikan pada Gambar 26 (tinggi bibit), Gambar
27 (jumlah daun) dan Gambar 28 (diameter batang). Berdasarkan gambar tersebut
terlihat bahwa semakin berat cekaman kekeringan maka semakin menurun laju
pertumbuhan bibit tersebut, baik pada bibit yang diinokulasi CMA maupun yang
tidak. Pada setiap tingkat cekaman kekeringan, untuk bibit yang diinokulasi
CMA ternyata memperlihatkan laju pertumbuhan yang lebih tinggi daripada bibit
tanpa CMA.
0.00
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
60.00
70.00
80.00
90.00
100.00
10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30 32 34 36
Minggu Setelah Tanam (MST)
Tin
gg
i b
ibit
(c
m)
M0C1
M0C2
M0C3
M0C4
M1C1
M1C2
M1C3
M1C4
Gambar 26. Tanggap pertumbuhan tinggi bibit kelapa sawit terhadap perlakuan
pemberian mikoriza dan cekaman kekeringan pada media tanah
PMK bekas hutan
84
0.00
2.00
4.00
6.00
8.00
10.00
12.00
10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30 32 34 36
Minggu Setelah Tanam (MST)
Ju
mla
h d
au
n
M0C1
M0C2
M0C3
M0C4
M1C1
M1C2
M1C3
M1C4
Gambar 27. Tanggap pertumbuhan jumlah daun bibit kelapa sawit terhadap
perlakuan pemberian mikoriza dan cekaman kekeringan pada
media tanah PMK bekas hutan
0.00
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
60.00
10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30 32 34 36
Minggu Setelah Tanam (MST)
Dia
me
ter
ba
tan
g (
mm
) M0C1
M0C2
M0C3
M0C4
M1C1
M1C2
M1C3
M1C4
Gambar 28. Tanggap pertumbuhan diameter batang bibit kelapa sawit terhadap
perlakuan pemberian mikoriza dan cekaman kekeringan pada media
tanah PMK bekas hutan
Nilai pertumbuhan bibit kelapa sawit yang diinokulasi CMA di media
tanah PMK bekas hutan hasil penelitian ini pada umumnya melebihi standar
pertumbuhan bibit kelapa sawit dari PPKS seperti tercantum pada Tabel 15.
85
Tabel 15. Pertumbuhan bibit kelapa sawit di tanah PMK bekas hutan hasil
penelitian dan standar dari PPKS Medan
Umur
(bulan)
Tinggi bibit (cm) Diameter batang (mm) Jumlah daun
Hasil
penelitian
Standar
dari
PPKS
Medan*)
Hasil
penelitian
Standar
dari
PPKS
Medan*)
Hasil
penelitian
Standar
dari
PPKS
Medan*)
M0
M1
M0
M1
M0
M1
3 32.07 28.93
20.00 9.37 10.27
13.00 4.0 4.0
3.5
4 37.23 36.13
25.00 10.77 13.23
15.00 5.0 5.0
4.5
5 43.60 42.87
32.00 14.47 16.23
17.00 5.7 6.0
5.5
6 54.07 54.73
35.90 20.47 24.80
18.00 6.7 8.3
8.5
7 62.73 65.63
52.20 28.17 32.47
27.00 8.3 9.0
10.5
8 66.13 71.63
64.30 34.87 47.17
36.00 9.3 10.3
11.5
9 70.17 89.80
88.30 46.83 54.50
45.00 10.0 10.3
13.5
*) Sumber : Sutanto, et al. (2002)
Berdasarkan Tabel 15 terlihat bahwa bibit kelapa sawit yang diinokulasi
CMA memiliki tinggi tanaman dan diameter yang lebih tinggi dibandingkan
standar bibit dari PPKS. Tinggi bibit pada umur 8 bulan berdasarkan standar
PPKS Medan, dapat dicapai oleh bibit hasil penelitian ini pada umur 7 bulan.
Demikian juga diameter bibit pada umur 9 bulan menurut PPKS medan, dapat
dicapai bibit hasil penelitian ini pada umur 8 bulan. Hal ini menunjukkan bahwa
terjadi penghematan waktu selama satu bulan selama di pembibitan.
Tanggap morfologi bibit kelapa sawit umur 9 bulan disajikan pada
Gambar 29. Pada gambar tersebut terlihat bahwa bibit yang diinokulasi CMA
memiliki pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan bibit tanpa CMA.
86
Gambar 29. Tanggap morfologi bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap
perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah PMK
bekas hutan
Infeksi akar oleh CMA semakin meningkat dengan bertambah beratnya
cekaman kekeringan (Gambar 30). Peningkatan infeksi akar oleh CMA tersebut
merupakan suatu usaha CMA untuk dapat membantu bibit mengatasi cekaman
kekeringan yang semakin berat.
Akar bibit kelapa sawit yang tidak terinfeksi dan yang terinfeksi oleh
CMA dapat dilihat pada Gambar 31. Infeksi yang terjadi dapat berupa adanya
hifa dan atau arbuskula dan atau vesikula CMA dalam jaringan korteks akar bibit
kelapa sawit tersebut.
87
y = 0.0013x2 - 0.3213x + 103
R2 = 0.6614
78
80
82
84
86
88
90
92
94
96
98
0 25 50 75 100
Persentase air tersedia
Infe
ks
i aka
r (%
)
M1
Poly. (M1)
Gambar 30. Tanggap persentase infeksi akar terhadap perlakuan mikoriza dan
cekaman kekeringan di media tanah PMK bekas hutan
A B
C
hifa
Arbuskula
Vesikula
Hifa
Arbuskula
88
Gambar 31. Akar bibit kelapa sawit yang tidak terinfeksi mikoriza (A) dan yang
terinfeksi mikoriza (B) dan (C)
Bibit yang mengalami cekaman kekeringan memperlihatkan keadaan yang
agak lemah, warna daun kekuning-kuningan bahkan ada yang agak menghitam,
sebagian ada yang timbul bintik-bintik hitam. Selain itu juga bibit yang tercekam
sebagian batang dan daunnya melilit atau melipat (Gambar 32).
Pertumbuhan bibit bermikoriza terlihat lebih seragam di antara setiap bibit
dibandingkan bibit yang tidak bermikoriza untuk setiap cekaman kekeringan.
Daun berwarna kekuningan Daun melipat atau melilit
Daun berwarna kekuningan dan ada
yang kering
Gambar 32. Beberapa keadaan visual bibit kelapa sawit umur 9 bulan yang
mengalami cekaman kekeringan pada media tanah PMK bekas
hutan
89
b. Adaptasi bibit kelapa sawit yang bersimbiosis dengan CMA terhadap
cekaman kekeringan pada media tanah gambut bekas hutan
Hasil uji ortogonal polinomial dari setiap peubah yang diamati disajikan
dalam bentuk persamaan regresi dan grafik seperti tercantum pada Tabel 16 dan
Gambar 33-53.
Berdasarkan Gambar 33-53 diperoleh bahwa dengan semakin bertambah
beratnya cekaman kekeringan menyebabkan tanggap morfologi dan fisiologi bibit
kelapa sawit semakin menurun baik bibit yang diinokulasi CMA maupun yang
tidak, seperti ditunjukkan oleh semua peubah yang diamati kecuali infeksi akar.
glisina-betaina, kadar prolina daun dan kadar ABA daun.
Perubahan tanggap morfologi dan fisiologi pada bibit yang diinokulasi
CMA lebih lambat daripada bibit tanpa CMA untuk peubah jumlah daun, jumlah
daun pecah lidi, bobot kering tajuk, bobot kering bibit, nisbah tajuk akar, kadar K
dan glisin. Sebaliknya peubah diameter batang, bobot kering akar, EPA, enzim
fosfatase asam di akar, kadar ABA daun, serapan K dan serapan P menunjukkan
perubahan tanggap yang lebih lambat pada bibit tanpa CMA. Sementara itu,
peubah tinggi tanaman, luas daun, kadar P dan enzim fosfatase asam di tanah
menunjukkan perubahan tanggap yang hampir sama antara bibit yang diinokulasi
CMA dan yang tidak.
Seperti halnya pada tanah PMK bekas hutan, tanggap morfologi dan
fisiologi bibit kelapa sawit semakin menurun dengan semakin meningkatnya
cekaman kekeringan seperti ditunjukkan oleh semua peubah yang diamati kecuali
glisina-betaina daun, prolina daun, dan kadar ABA daun. Adanya CMA ternyata
membantu bibit mengatasi cekaman kekeringan yang terjadi, sehingga bibit yang
diinokulasi CMA memperlihatkan tanggap morfologi dan fisiologi yang lebih
baik. Peran CMA tersebut mulai terlihat sejak awal terjadi cekaman kekeringan
untuk semua peubah yang diamati kecuali peubah nisbah tajuk/akar.
90
90
Tabel 16. Persamaan regresi pengaruh taraf cekaman kekeringan terhadap semua peubah yang diamati pada media tanah gambut
bekas hutan
Peubah
Persamaam regresi
M0 (Tanpa CMA) M1 (dengan CMA)
Morfologi
Tinggi bibit
Diameter batang
Jumlah daun
Jumlah daun pecah lidi
Luas daun
Bobot kering akar
Bobot kering tajuk
Bobot kering bibit
Nisbah tajuk akar
Fisiologi
Enzim fosfatase asam di akar
Enzim fosfatase asam di tanah
Kadar K
Kadar P
Serapan K
Serapan P
Kadar glisina-betaina daun
Kadar prolina daun
Kadar ABA daun
EPA
Infeksi akar
y = 0.5907x + 35.117 R2=0.82
y = -0.0053x2 + 1.2168x - 6.1167 R2=0.94
y = 0.0653x + 6.1667 R2=0.64
y = 0.0613x - 1.3333 R2=0.75
y = 63.33x - 693.26 R2=0.92
y = -0.0015x2 + 0.3135x - 3.1945 R2=0.86
y = 0.8225x - 8.2988 R2=0.93
y = 0.9442x - 6.6983 R2=0.93
y = 0.0006x2 - 0.0458x + 4.4825 R2=0.75
y = 2.3844x + 157.22 R2=0.77
y = 0.0969x + 7.2275 R2=0.90
y = 0.0135x + 2.7633 R2=0.43
y = 0.0069x + 0.0089 R2=0.91
y = 0.0355x - 0.5772 R2=0.88
y = 0.0068x - 0.1902 R2=0.92
y = -0.0714x + 31.075 R2=0.60
y = 0.0092x2 - 1.4585x + 61.325 R2=0.93
y = 0.0014x2 - 0.6178x + 55.667 R2=0.99
y = 0.0003x2 - 0.0139x + 1.7732 R2=0.95
-
y = 0.5799x + 42.85 R2= 0.92
y = 0.4704x + 31.417 R2= 0.93
y = 0.052x + 8.6667 R2= 0.65
y = 0.0413x + 0.8333 R2= 0.64
y = 79.015x - 595.6 R2= 0.95
y =-0.0015x2 + 0.4087x - 3.7005 R2= 0.97
y =-0.0038x2 + 1.5387x - 9.2067 R2= 0.98
y =-0.0053x2 + 1.9475x - 12.907 R2= 0.98
y = 0.0002x2 - 0.0216x + 5.2534 R2= 0.05
y = 3.6876x + 218.28 R2= 0.80
y = 0.0893x + 10.6 R2= 0.78
y = 0.0005x2 - 0.0191x + 3.592 R2= 0.92
y = 0.0061x + 0.2782 R2= 0.81
y = 0.0006x2 + 0.0008x + 0.5511 R2= 0.97
y = 0.0114x - 0.2077 R2= 0.95
y = 0.002x2 - 0.412x + 43.546 R2= 0.89
y = 0.0115x2 - 1.7893x + 74.142 R2 = 0.89
y = -0.4909x + 56.674 R2= 0.99
y = 0.0254x + 1.743 R2= 0.92
y = 0.0004x2 - 0.1073x + 97.917 R2= 0.74
Keterangan : x = taraf cekaman kekeringan (persentase air tersedia)
91
Bibit yang diinokulasi CMA memberikan tanggap tinggi bibit dan jumlah
daun pecah lidi yang lebih tinggi dibandingkan bibit tanpa CMA pada setiap
cekaman kekeringan. Penurunan tinggi bibit yang diinokulasi CMA mempunyai
pola yang sama dengan bibit tanpa CMA, sedangkan pada peubah jumlah daun
pecah lidi bibit yang diinokulasi CMA penurunannya lebih lambat (Gambar 33
dan 34).
y = 0.5907x + 35.117
R2 = 0.8247
y = 0.5799x + 42.85
R2 = 0.9195
0.0
20.0
40.0
60.0
80.0
100.0
120.0
0 25 50 75 100
Persentase air tersedia
Tin
gg
i b
ibit
(cm
)
M0
M1
Linear (M0)
Linear (M1)
Gambar 33. Tanggap tinggi bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap perlakuan
mikoriza dan cekaman kekeringan di tanah gambut bekas hutan
y = 0.0613x - 1.3333
R2 = 0.7504
y = 0.0413x + 0.8333
R2 = 0.6428
0
1
2
3
4
5
6
0 25 50 75 100
Persentase air tersedia
Ju
mla
h d
au
n p
ec
ah
lid
i
M0
M1
Linear (M0)
Linear (M1)
Gambar 34. Tanggap jumlah daun pecah lidi bibit kelapa sawit umur 9 bulan
terhadap perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media
tanah gambut bekas hutan
92
Bibit yang bersimbiosis dengan CMA ternyata lebih mampu mengatasi
cekaman kekeringan sehingga nilai peubah morfologi dan fisiologi yang sama
bahkan lebih tinggi dapat dicapai oleh bibit yang diinokulasi CMA pada kadar air
tanah yang lebih rendah dibandingkan bibit yang tidak diinokulasi CMA. seperti
ditunjukkan oleh peubah diameter batang, jumlah daun, bobot kering akar, bobot
kering tajuk, bobot kering bibit, luas daun, kadar K tajuk, kadar P tajuk, serapan
K dan serapan P (Gambar 35-47).
y = -0.0053x2 + 1.2168x - 6.1167
R2 = 0.94
y = 0.4704x + 31.417
R2 = 0.9296
0.0
10.0
20.0
30.0
40.0
50.0
60.0
70.0
80.0
90.0
100.0
0 25 50 75 100
Persentase air tersedia
Dia
mete
r b
ata
ng
(m
m)
M0
M1
Poly. (M0)
Linear (M1)
Gambar 35. Tanggap diameter batang bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap
perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah gambut
bekas hutan
93
y = 0.0653x + 6.1667
R2 = 0.6428
y = 0.052x + 8.6667
R2 = 0.6514
0
2
4
6
8
10
12
14
16
0 25 50 75 100
Persentase air tersedia
Ju
mla
h d
au
n
M0
M1
Linear (M0)
Linear (M1)
Gambar 36. Tanggap jumlah daun bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap
perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah gambut
bekas hutan
y = -0.0015x2 + 0.4087x - 3.7005
R2 = 0.9707
y = -0.0015x2 + 0.3135x - 3.1945
R2 = 0.8625
0.00
5.00
10.00
15.00
20.00
25.00
0 25 50 75 100
Persentase air tersedia
Bo
bo
t keri
ng
aka
r (g
)
M0
M1
Poly. (M1)
Poly. (M0)
Gambar 37. Tanggap bobot kering akar bibit kelapa sawit umur 9 bulan
terhadap perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media
tanah gambut bekas hutan
94
y = -0.0038x2 + 1.5387x - 9.2067
R2 = 0.9798
y = 0.8225x - 8.2988
R2 = 0.9329
0.00
20.00
40.00
60.00
80.00
100.00
120.00
0 25 50 75 100
Persentase air tersedia
Bo
bo
t keri
ng
taju
k (
g)
M0
M1
Poly. (M1)
Linear (M0)
Gambar 38. Tanggap bobot kering tajuk bibit kelapa sawit umur 9 bulan
terhadap perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media
tanah gambut bekas hutan
y = -0.0053x2 + 1.9475x - 12.907
R2 = 0.9842
y = 0.9442x - 6.6983
R2 = 0.9263
0.00
20.00
40.00
60.00
80.00
100.00
120.00
140.00
160.00
0 25 50 75 100
Persentase air tersedia
Bo
bo
t keri
ng
bib
it (
g)
M0
M1
Poly. (M1)
Linear (M0)
Gambar 39. Tanggap bobot kering bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap
perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah gambut
bekas hutan
95
Gambar 40. Tanggap pertumbuhan bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap
perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan pada tingkat cekaman
kekeringan yang berbeda di media tanah gambut bekas hutan
96
y = 63.33x - 693.26
R2 = 0.921
y = 79.015x - 595.6
R2 = 0.9539
0.00
1000.00
2000.00
3000.00
4000.00
5000.00
6000.00
7000.00
8000.00
9000.00
0 25 50 75 100
Persentase air tersedia
Lu
as d
au
n (
cm
2)
M0
M0
Linear (M0)
Linear (M0)
Gambar 41. Tanggap luas daun bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap
perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah gambut
bekas hutan
y = 2.3844x + 157.22
R2 = 0.7731
y = 3.6876x + 218.28
R2 = 0.8011
0.00
100.00
200.00
300.00
400.00
500.00
600.00
700.00
0 25 50 75 100
Persentase air tersedia
En
zim
fo
sfa
tase
asa
m d
i aka
r (u
mo
l/g
bb
)
M0
M1
Linear (M0)
Linear (M1)
Gambar 42. Tanggap enzim fosfatase asam di akar bibit kelapa sawit umur 9
bulan terhadap perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di
media tanah gambut bekas hutan
97
y = 0.0969x + 7.2275
R2 = 0.8971
y = 0.0893x + 10.6
R2 = 0.7791
0.00
5.00
10.00
15.00
20.00
25.00
0 25 50 75 100
Persentase air tersedia
En
zim
fo
sfa
tase
asa
m d
i ta
nah
(u
mo
l/g
bb
)
M0
M1
Linear (M0)
Linear (M1)
Gambar 43. Tanggap enzim fosfatase asam di tanah bibit kelapa sawit umur 9
bulan terhadap perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di
media tanah gambut bekas hutan
y = 0.0135x + 2.7633
R2 = 0.4274
y = 0.0005x2 - 0.0191x + 3.592
R2 = 0.9178
0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
7.00
0 25 50 75 100
Persentase air tersedia
Kad
ar
K t
aju
k (
%)
M0
M1
Linear (M0)
Poly. (M1)
Gambar 44. Tanggap kadar K tajuk bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap
perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah
gambut bekas hutan
98
y = 0.0069x + 0.0089
R2 = 0.9141
y = 0.0061x + 0.2782
R2 = 0.8125
0.00
0.10
0.20
0.30
0.40
0.50
0.60
0.70
0.80
0.90
1.00
1.10
0 25 50 75 100
Persentase air tersedia
Kad
ar
P t
aju
k (
%)
M0
M1
Linear (M0)
Linear (M1)
Gambar 45. Tanggap kadar P tajuk bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap
perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah gambut
bekas hutan
y = 0.0006x2 + 0.0008x + 0.5511
R2 = 0.9728
y = 0.0355x - 0.5772
R2 = 0.8788
0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
7.00
8.00
0 25 50 75 100
Persentase air tersedia
Sera
pa
n K
(g
/tan
.)
M0
M1
Poly. (M1)
Linear (M0)
Gambar 46. Tanggap serapan K bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap
perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah
gambut bekas hutan
99
y = 0.0068x - 0.1902
R2 = 0.9229
y = 0.0114x - 0.2077
R2 = 0.9476
-0.20
0.00
0.20
0.40
0.60
0.80
1.00
1.20
0 25 50 75 100
Persentase air tersedia
Sera
pa
n P
(g
/tan
.)
M0
M1
Linear (M0)
Linear (M1)
Gambar 47. Tanggap serapan P bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap
perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah gambut
bekas hutan
Nisbah tajuk/akar pada bibit tingkat cekaman kekeringan C1 (100% air
tersedia) lebih rendah daripada bibit tanpa CMA, tetapi dengan bertambah
beratnya cekaman kekeringan nisbah tajuk/akar bibit ber-CMA menjadi lebih
tinggi (Gambar 48). Hal ini menunjukkan bahwa pada tanah gambut bekas hutan,
semakin tercekam bibit yang bermikoriza perkembangan tajuknya justru lebih
baik daripada bibit yang tidak bermikoriza.
Pada keadaan tercekam kekeringan, bibit yang bersimbiosis dengan CMA
ternyata lebih efisien dalam penggunaan air dibandingkan bibit tanpa CMA
sehingga EPA yang sama bahkan lebih tinggi dapat dicapai oleh bibit yang
diinokulasi CMA pada kadar air tanah yang lebih rendah dibandingkan bibit yang
tidak diinokulasi CMA pada kadar air tanah yang lebih tinggi (Gambar 49).
100
y = 0.0002x2 - 0.0216x + 5.2534
R2 = 0.0472
y = 0.0006x2 - 0.0458x + 4.4825
R2 = 0.7542
0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
7.00
0 25 50 75 100
Persentase air tersedia
Nis
bah
taju
k/a
ka
r
M0
M1
Poly. (M1)
Poly. (M0)
Gambar 48. Tanggap nisbah tajuk akar bibit kelapa sawit umur 9 bulan
terhadap perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media
tanah gambut bekas hutan
y = 0.0003x2 - 0.0139x + 1.7732
R2 = 0.9487
y = 0.0254x + 1.743
R2 = 0.9156
0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
0 25 50 75 100
Persentase air tersedia
EP
A (
g/L
)
M0
M1
Poly. (M0)
Linear (M1)
Gambar 49. Tanggap EPA bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap perlakuan
mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah gambut bekas
hutan
101
Kandungan kadar glisina-betaina, prolina daun dan ABA daun bibit kelapa
sawit semakin meningkat dengan semakin bertambah beratnya cekaman
kekeringan. Pada tingkat cekaman kekeringan C1 (100% air tersedia) dan C2
(75% air tersedia), kandungan kadar glisina-betaina daun bibit yang diinokulasi
CMA lebih rendah dibandingkan bibit tanpa CMA, tetapi ketika cekaman
kekeringan semakin berat yaitu pada taraf C3 (50% air tersedia) dan C4 (25% air
tersedia) kandungan kadar glisina-betaina daun bibit ber-CMA lebih tinggi
(Gambar 50).
y = -0.0714x + 31.075
R2 = 0.601
y = 0.002x2 - 0.412x + 43.546
R2 = 0.8851
0.00
5.00
10.00
15.00
20.00
25.00
30.00
35.00
40.00
0 25 50 75 100
Persentase air tersedia
Glisin
a-b
eta
ina (
um
ol/ g
bb
)
M0
M1
Linear (M0)
Poly. (M1)
Gambar 50. Tanggap glisina-betaina daun bibit kelapa sawit umur 9 bulan
terhadap perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media
tanah gambut bekas hutan
Kandungan prolina daun sebelum perlakuan cekaman kekeringan di tanah
gambut bekas hutan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata antara bibit yang
diinokulasi CMA dan tanpa CMA (Tabel Lampiran 42 dan Gambar 51).
Sedangkan kandungan prolina daun setelah perlakuan cekaman kekeringan
disajikan pada Gambar 52. Berdasarkan gambar tersebut terlihat bahwa
kandungan prolina daun pada tingkat cekaman kekeringan C2 (75% air tersedia)
menurun baik pada bibit yang diinokulasi CMA maupun yang tidak. Selanjutnya
102
mulai tingkat cekaman kekeringan C3 (50% air tersedia) meningkat secara tajam
baik bibit yang bermikoriza maupun tidak. Kandungan prolina daun antara bibit
yang diinokulasi CMA dan tanpa CMA tidak menunjukan perbedaan yang tinggi
bahkan hampir tidak berbeda nyata dengan bibit tanpa CMA pada setiap tingkat
cekaman kekeringan.
M0 M10.000
0.100
0.200
0.300
0.400
0.500
0.600
Prolina daun
(umol/g bb)
1
Perlakuan M
M0
M1
0.321
0.509
a a
Gambar 51. Tanggap prolina daun bibit kelapa sawit umur 2.5 bulan sebelum
perlakuan cekaman kekeringan di media tanah gambut bekas hutan
y = 0.0115x2 - 1.7893x + 74.142
R2 = 0.8901
y = 0.0092x2 - 1.4585x + 61.325
R2 = 0.93170.00
5.00
10.00
15.00
20.00
25.00
30.00
35.00
40.00
45.00
50.00
0 25 50 75 100
Persentase air tersedia
Pro
lin
a d
au
n (
um
ol/
g b
b)
M0
M1
Poly. (M1)
Poly. (M0)
Gambar 52. Tanggap prolina daun bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap
perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah
gambut bekas hutan
103
Kandungan kadar ABA daun bibit yang diinokulasi CMA meningkat
secara tajam dengan meningkatnya cekaman kekeringan dibandingkan dengan
bibit tanpa CMA (Gambar 53). CMA mulai berperan dalam mengatasi cekaman
kekeringan sejak terjadi cekaman kekeringan dengan mulai meningkatnya
kandungan kadar ABA daun.
y = -0.4909x + 56.674
R2 = 0.9932
y = 0.0014x2 - 0.6178x + 55.667
R2 = 0.9911
0.00
5.00
10.00
15.00
20.00
25.00
30.00
35.00
40.00
45.00
50.00
0 25 50 75 100
Persentase air tersedia
Kad
ar
AB
A d
au
n (
ng
/g)
M0
M1
Linear (M1)
Poly. (M0)
Gambar 53. Tanggap kadar ABA daun bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap
perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah gambut
bekas hutan
Infeksi Akar. Infeksi akar oleh mikoriza semakin meningkat dengan
semakin beratnya cekaman kekeringan yang terjadi. Infeksi akar tertinggi
diperoleh pada bibit yang mendapat cekaman kekeringan sangat berat (Gambar
55).
104
y = 0.0004x2 - 0.1073x + 97.917
R2 = 0.7355
89.00
90.00
91.00
92.00
93.00
94.00
95.00
96.00
97.00
98.00
0 25 50 75 100
Persentase air tersedia
Infe
ks
i aka
r (%
)
M1
Poly. (M1)
Gambar 54. Tanggap infeksi akar bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap
perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah
gambut bekas hutan
Laju pertumbuhan bibit kelapa sawit setiap 2 minggu sekali sejak diberi
perlakuan cekaman kekeringan menunjukkan bahwa semakin berat cekaman
kekeringan maka semakin menurun laju pertumbuhan bibit tersebut, baik pada
bibit yang bermikoriza maupun yang tidak seperti ditunjukkan oleh peubah tinggi
bibit, jumlah daun dan diameter batang (Gambar 55, 56 dan 57). Pada setiap
tingkat cekaman kekeringan, untuk bibit yang bersimbiosis dengan CMA ternyata
memperlihatkan laju pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan bibit tanpa
CMA.
105
0.00
20.00
40.00
60.00
80.00
100.00
120.00
10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30 32 34 36
Minggu Setelah Tanam (MST)
Tin
gg
i b
ibit
(c
m)
M0C1
M0C2
M0C3
M0C4
M1C1
M1C2
M1C3
M1C4
Gambar 55. Tanggap pertumbuhan tinggi bibit kelapa sawit terhadap perlakuan
mikoriza dan cekaman kekeringan pada media tanah gambut bekas
hutan
0.00
2.00
4.00
6.00
8.00
10.00
12.00
14.00
16.00
10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30 32 34 36
Minggu Setelah Tanam (MST)
Ju
mla
h d
au
n
M0C1
M0C2
M0C3
M0C4
M1C1
M1C2
M1C3
M1C4
Gambar 56. Tanggap pertumbuhan jumlah daun bibit kelapa sawit terhadap
perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan pada media tanah
gambut bekas hutan
106
0.00
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
60.00
70.00
80.00
90.00
10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30 32 34 36
Minggu Setelah Tanam (MST)
Dia
me
ter
ba
tan
g (
mm
) M0C1
M0C2
M0C3
M0C4
M1C1
M1C2
M1C3
M1C4
Gambar 57. Tanggap pertumbuhan diameter batang bibit kelapa sawit terhadap
perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan pada media tanah
gambut bekas hutan
Pertumbuhan bibit kelapa sawit yang ditanam pada media tanah gambut
bekas hutan hasil penelitian ini ternyata lebih tinggi dibandingkan standar
pertumbuhan dari PPKS seperti ditunjukkan oleh peubah tinggi bibit, jumlah daun
dan diameter batang (Tabel 17).
Pada Tabel 17 terlihat bahwa pertumbuhan bibit kelapa sawit baik yang
diinokulasi CMA maupun tanpa CMA lebih tinggi dibandingkan standar
pertumbuhan bibit dari PPKS Medan. Tinggi bibit pada umur 8 bulan menurut
standar PPKS Medan, dapat dicapai oleh bibit hasil penelitian ini pada umur 6
bulan. Demikian juga dengan diameter batang bibit umur 8 dan 9 bulan
berdasarkan standar PPKS Medan, dapat dicapai oleh bibit hasil penelitian ini
berturut-turut pada umur 6 dan 7 bulan. Dalam hal ini berarti pemberian CMA
dapat mempersingkat masa pembibitan selama 2 bulan.
Tanggap morfologi bibit kelapa sawit terhadap perlakuan cekaman
kekeringan dan pemberian CMA disajikan pada Gambar 58. Berdasarkan gambar
tersebut terlihat bahwa bibit yang diinokulasi CMA memiliki pertumbuhan yang
lebih baik dibandingkan bibit tanpa CMA untuk setiap tingkat cekaman
kekeringan.
107
Tabel 17. Pertumbuhan bibit kelapa sawit di tanah gambut bekas hutan hasil
penelitian dan standar dari PPKS Medan
Umur
(bulan)
Tinggi bibit (cm) Diameter batang (mm) Jumlah daun
Hasil
penelitian
Standar
dari
PPKS
Medan*)
Hasil
penelitian
Standar
dari
PPKS
Medan*)
Hasil
penelitian
Standar
dari
PPKS
Medan*)
M0
M1
M0
M1
M0
M1
3 25.73 30.63
20.00 9.60 10.53
13.00 3.7 4.3
3.5
4 33.87 36.73
25.00 14.20 14.87
15.00 5.3 6.0
4.5
5 44.20 48.73
32.00 21.80 24.50
17.00 6.7 8.0
5.5
6 54.07 63.97
35.90 30.97 36.17
18.00 8.3 10.0
8.5
7 68.30 76.00
52.20 42.83 54.47
27.00 10.7 11.3
10.5
8 81.13 90.07
64.30 52.83 65.83
36.00 11.7 13.0
11.5
9 92.33 102.27
88.30 62.53 78.53
45.00 12.3 13.7
13.5
*) Sumber : Sutanto, et al. (2002)
Gambar 58. Tanggap morfologi bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap
perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan pada media tanah
gambut bekas hutan
108
Seperti halnya pada bibit yang ditanam pada tanah PMK bekas hutan, bibit
yang mengalami cekaman kekeringan memperlihatkan keadaan yang agak lemah,
warna daun kekuning-kuningan bahkan ada yang agak menghitam, sebagian ada
yang timbul bintik-bintik hitam. Selain itu juga bibit yang tercekam sebagian
batang dan daunnya melilit atau melipat (Gambar 59).
Daun berwarna kehitaman Daun ada yang mulai mengering
Daun berwarna kekuningan dan Sebagian daun mengering
ujung daun mulai mengering
Daun ada yang berwarna keputihan Daun berwarna kekuningan dan
ujung daun mulai mongering
Gambar 59. Beberapa keadaan visual bibit kelapa sawit umur 9 bulan yang
mengalami cekaman kekeringan di media tanah gambut bekas hutan
109
Perubahan bobot kering bibit, serapan P dan kandungan prolina daun
akibat adanya cekaman kekeringan pada bibit kelapa sawit yang bersimbiosis
dengan CMA dan tanpa CMA di media tanah PMK dan gambut bekas hutan
disajikan pada Tabel 18.
Tabel 18. Perubahan bobot kering bibit, serapan P dan kandungan prolina daun
pada bibit kelapa sawit yang mengalami cekaman kekeringan
Peubah PMK bekas hutan Gambut bekas hutan
Kontrol
(M0)
CMA
(M1)
Peningkatan
(%)
Kontrol
(M0)
CMA
(M1)
Peningkatan
(%)
Bobot kering bibit (g)
100% air
tersedia (C1)
44.65 54.44 21.93 84.05 130.17 54.87
25% air
tersedia (C4)
2.78 5.79 108.27 19.24 31.18 62.06
Penurunan
(%)
93.77 89.36 77.11 76.05
Serapan P (g/tan.)
100% air
tersedia (C1)
0.21 0.35 66.67 0.52 0.96 84.62
25% air
tersedia (C4)
0.01 0.02 100.00 0.03 0.12 300.00
Penurunan
(%)
95.24 94.29 94.23 87.50
Kandungan prolina daun (µmol/g bb)
100% air
tersedia (C1)
6.74 16.35 142.58 6.47 8.24 27.36
25% air
tersedia (C4)
12.31 25.43 106.59 31.77 38.07 19.83
Peningkatan
(%)
82.64 55.54 391.04 362.01
Berdasarkan Tabel 18 terlihat bahwa di media tanah PMK dan gambut
bekas hutan, cekaman kekeringan menyebabkan penurunan bobot kering dan
serapan P bibit kelapa sawit baik yang bersimbiosis dengan CMA maupun tanpa
110
CMA. Pada kedua jenis tanah tersebut, CMA ternyata mampu meningkatkan
bobot kering dan serapan P bibit kelapa sawit baik yang tanpa cekaman
kekeringan maupun pada keadaan cekaman kekeringan. Bibit tanpa CMA,
mengalami penurunan bobot kering dan serapan P yang lebih tinggi dibandingkan
dengan bibit yang bersimbiosis dengan CMA. Peningkatan bobot kering bibit dan
serapan P akibat adanya CMA jauh lebih tinggi pada saat terjadi cekaman
kekeringan dibandingkan pada keadaan tanpa cekaman kekeringan.
Selanjutnya dari Tabel 18 juga terlihat bahwa pada kedua jenis tanah
tersebut, CMA mampu meningkatkan daya adaptasi bibit kelapa sawit terhadap
cekaman kekeringan melalui peningkatan kandungan prolina daun. Peningkatan
kandungan prolina daun akibat cekaman kekeringan lebih tinggi pada tanah
gambut bekas hutan dibandingkan pada tanah PMK bekas hutan baik pada bibit
yang bersimbiosis dengan CMA maupun tidak. Akibat adanya cekaman
kekeringan, bibit tanpa CMA mengalami peningkatan kandungan prolina daun
yang lebih tinggi dibandingkan dengan bibit yang bersimbiosis dengan CMA.
Sementara itu, pada keadaan 100% air tersedia, adanya CMA menyebabkan
peningkatan kandungan prolina daun lebih tinggi dibandingkan pada 25% air
tersedia.
Pertumbuhan dan serapan hara yang masing-masing diwakili oleh bobot
kering bibit dan serapan P, yang dicapai bibit tanpa CMA pada keadaan cukup air
(100% air tersedia) ternyata mampu dicapai oleh bibit yang bersimbiosis dengan
CMA pada kandungan air yang lebih rendah baik pada media tanah PMK maupun
gambut bekas hutan (Tabel 19).
Berdasarkan Tabel 19 terlihat bahwa pertumbuhan pada keadaan cukup
air (100% air tersedia) mampu dicapai oleh bibit yang bersimbiosis dengan CMA
pada 81.57 % air tersedia (tanah PMK bekas hutan) dan 59.38 % air tersedia
(gambut bekas hutan). Demikian juga serapan P pada keaadaan cukup air (100%
air tersedia) mampu dicapai oleh bibit yang bersimbiosis dengan CMA pada 71.58
% air tersedia (tanah PMK bekas hutan) dan 63.83 % air tersedia (gambut bekas
hutan).
111
Tabel 19. Persentase air tersedia yang diperlukan bibit yang bersimbiosis dengan
CMA untuk mencapai pertumbuhan dan serapan P bibit pada keadaan
cukup air
Peubah Bibit tanpa CMA
(M0)
Bibit dengan CMA
(M1)
PMK bekas hutan
Bobot kering bibit (44.65 g)
Serapan P (0.21 g/tan)
100 % air tersedia
100 % air tersedia
81.57 % air tersedia
71.58 % air tersedia
Gambut bekas hutan
Bobot kering bibit (84.05 g)
Serapan P (0.52 g/tan)
100 % air tersedia
100 % air tersedia
59.38 % air tersedia
63.83 % air tersedia
Pembahasan
Cekaman kekeringan merupakan salah satu faktor pembatas dalam
pertumbuhan dan perkembangan tanaman, sehingga akan menurunkan produksi
tanaman. Kerugian akibat adanya cekaman kekeringan disebabkan terhambatnya
suplai air dan unsur-unsur hara ke dalam tanaman. Pada tanah PMK dan gambut
yang memiliki tingkat kesuburan dan kemampuan menahan air yang rendah,
ditunjang dengan perakaran kelapa sawit yang dangkal, adanya cekaman
kekeringan terutama pada saat musim kemarau panjang menyebabkan
terganggunya pertumbuhan dan perkembangan tanaman tersebut sehingga
menurunkan produksinya.
Berdasarkan hasil penelitian di tanah PMK dan gambut bekas hutan,
terlihat bahwa semua tanggap morfologi dan beberapa tanggap fisiologi
menunjukkan penurunan dengan bertambah beratnya cekaman kekeringan baik
pada bibit yang diinokulasi CMA maupun tanpa CMA. Semakin berat cekaman
kekeringan yang diberikan, maka semakin terhambat pertumbuhan dan
perkembangan bibit kelapa sawit tersebut. Seperti yang dikemukakan oleh Muller
& Whitsitt (1996) dari hasil penelitiannya bahwa cekaman kekeringan
menyebabkan tanaman mengalami penurunan pertumbuhan, perubahan akumulasi
senyawa osmotik terlarut, perubahan metabolisme karbon dan nitrogen, serta
perubahan pada ekspresi gen. Selanjutnya dikemukakan bahwa cekaman
112
kekeringan berpengaruh terhadap tanaman baik pada fase vegetatif maupun
reproduktif.
Bibit yang bersimbiosis dengan CMA ternyata lebih mampu mengatasi
cekaman kekeringan dibandingkan bibit tanpa CMA untuk setiap tingkat cekaman
kekeringan baik pada tanah PMK maupun gambut bekas hutan seperti ditunjukkan
pada Gambar 60 dan 61. Dengan adanya CMA, bibit lebih mampu mengatasi
cekaman kekeringan sehingga pertumbuhan dan perkembangan yang sama bahkan
lebih tinggi dapat dicapai oleh bibit yang bersimbiosis dengan CMA pada kadar
Gambar 60. Bibit tanpa mikoriza (M0) dibandingkan bibit bermikoriza (M1) pada
tingkat cekaman kekeringan yang sama di media tanah PMK bekas
hutan
113
Gambar 61. Bibit tanpa mikoriza (M0) dibandingkan bibit bermikoriza (M1) pada
tingkat cekaman kekeringan yang sama di media tanah gambut
bekas hutan
air tanah yang lebih rendah dibandingkan bibit tanpa CMA pada kadar air yang
lebih tinggi seperti terlihat pada hampir semua peubah yang diukur. Demikian
juga dengan laju pertumbuhan bibit kelapa sawit, bibit bermikoriza memiliki laju
pertumbuhan yang lebih tinggi daripada bibit tanpa mikoriza pada setiap tingkat
cekaman kekeringan seperti ditunjukkan oleh peubah tinggi bibit, jumlah daun
dan diameter batang (Gambar 26-28 dan 55-57). Hasil tersebut sesuai dengan
hasil-hasil penelitian sebelumnya (Ruiz-Lozano 1995; Goicoechea et al. 1997;
Bryla & Duniway 1997, 1998; Ruiz-Lozano et al. 2000; Morte et al. 2000;
Fidelibus et al. 2000; Mathur & Vyas 2000; Kobashi et al. 2000).
Bibit yang diinokulasi CMA memperlihatkan tanggap morfologi dan
fisiologi yang lebih baik dibandingkan bibit tanpa CMA. Hal ini disebabkan
adanya peran CMA dalam membantu bibit mengatasi cekaman kekeringan yang
terjadi.
114
Dengan adanya cekaman kekeringan, secara normal tanaman akan
mengurangi pembukaan stomatanya sehingga dapat mengurangi kecepatan
kehilangan air. Akibat penutupan sebagian stomata tersebut menyebabkan
menurunnya konsentrasi CO2 melalui stomata sehingga mengurangi proses
fotosintesis. Oleh karena itu bibit kelapa sawit yang mengalami cekaman
kekeringan memiliki laju pertumbuhan yang lebih lambat dibandingkan tanpa
cekaman kekeringan. Tetapi bibit bermikoriza lebih mampu mengatasi cekaman
kekeringan tersebut. Hal ini diduga adanya simbiosis dengan mikoriza dapat
membantu proses asimilasi CO2 dan alokasi C serta dapat membantu memelihara
konsentrasi CO2 optimal untuk fotosintesis. Araus et al. (1997) mendapatkan
bahwa dengan menutupnya sebagian stomata akibat cekaman kekeringan
menyebabkan konsentrasi CO2 interselular dan fotosintesis bersih menurun,
sementara itu rasio 13C/12C meningkat. Tanaman bermikoriza memiliki potensial
air, transpirasi, konduktansi stomata dan fotosintesis bersih lebih tinggi daripada
tanaman yang tidak bermikoriza. Selanjutnya Morte et al. (2000) melaporkan
hasil penelitiannya bahwa kandungan klorofil per bobot segar daun dan luas daun
lebih tinggi pada tanaman bermikoriza dibandingkan yang tidak bermikoriza pada
keadaan cekaman kekeringan, tapi pada keadaan tidak tercekam tidak
menunjukkan perbedaan yang nyata.
Pada tingkat cekaman kekeringan C4 (25% air tersedia), CMA yang
bersimbiosis dengan bibit kelapa sawit di tanah PMK bekas hutan tidak mampu
berperan lagi dalam mengatasi cekaman kekeringan seperti terlihat pada peubah
bobot kering tajuk, luas daun, EPA, kadar K dan serapan K, kadar P dan serapan
P, serta enzim fosfatase asam di akar dan di tanah. Bahkan pada peubah EPA dan
enzim fosfatase asam di tanah, CMA sudah tidak dapat berperan lagi mulai tingkat
cekaman kekeringan C3 (50% air tersedia). Hal ini disebabkan tanah PMK lebih
padat pada saat mendapat cekaman kekeringan C4 (25% air tersedia) daripada
tanah gambut, sehingga perkembangan CMA juga terhambat. Hifa CMA pada
tanah PMK bekas hutan tidak mampu lagi masuk ke pori-pori tanah yang lebih
kecil untuk mengekstrak air. Akibatnya CMA tidak bisa membantu bibit lebih
jauh lagi dalam mengatasi cekaman kekeringan. Lain halnya dengan tanah
115
gambut, CMA berperan terus sampai tingkat cekaman kekeringan C4 (25% air
tersedia) untuk semua peubah yang diamati karena tanah tersebut memiliki
porositas dan aerasi yang lebih baik.
Pertumbuhan dan serapan hara bibit kelapa sawit baik yang diinokulasi
CMA maupun tanpa CMA pada tanah gambut bekas hutan ternyata lebih tinggi
dibandingkan pada tanah PMK bekas hutan untuk setiap tingkat cekaman
kekeringan. Hal ini disebabkan adanya perbedaan sifat dari kedua tanah tersebut,
yaitu selain tanah gambut bekas hutan memiliki aerasi dan porositas yang lebih
baik, juga kadar air kapasitas lapang dan kadar air titik layu permanen dari tanah
gambut lebih tinggi dibandingkan tanah PMK. Akibatnya bibit kelapa sawit yang
ditanam pada tanah gambut mampu tumbuh dan berkembang lebih baik, apalagi
bibit yang diinokulasi CMA.
Jika dibandingkan dengan standar pertumbuhan bibit kelapa sawit dari
PPKS medan (Tabel 15 dan 17), ternyata pertumbuhan bibit kelapa sawit hasil
penelitian ini lebih tinggi, baik yang ditanam di tanah PMK maupun gambut
bekas hutan. Adanya CMA mampu mempersingkat waktu di pembibitan selama 1
bulan (tanah PMK bekas hutan) dan 2 bulan (tanah gambut bekas hutan). Artinya,
dengan pemberian CMA kita dapat mempersingkat pemeliharaan bibit kelapa
sawit di pembibitan sehingga akan mengurangi waktu, biaya dan tenaga kerja
selama pemeliharaan di pembibitan.
Kolonisasi oleh CMA meningkatkan resistensi kekeringan pada berbagai
tanaman. Mekanismenya adalah CMA meningkatkan resistensi tanaman terhadap
cekaman kekeringan melalui peningkatan penyerapan P sebelum dan selama
kekeringan (Al-Karaki & Al-raddad 1997; Subramanian & Charest 1997),
khususnya ketika kandungan air tanah rendah dan difusi ion fosfat di permukaan
akar sangat kurang (Gahoonia et al. 1994). Hasil penelitian terhadap mawar
(Auge & Stodola 1990; Henderson & Davies 1990; Davies et al. 1996), lada
(Davies et al. 1992, 1993), jagung (Subramanian et al. 1995) dan kedelai (Auge et
al.1992) membuktikan bahwa kolonisasi CMA memperbaiki resistensi kekeringan
sesuai dengan jenis tanaman dan kandungan unsur haranya.
116
Selain itu juga, kolonisasi mikoriza dapat meningkatkan penyerapan air
hubungannya dengan sifat fisiologi tanaman yaitu melalui perbaikan
konduktivitas hidrolik, peningkatan potensial air daun dan peningkatan kecepatan
penyerapan air per unit panjang akar dan per unit waktu (Kothari et al. 1990).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kolonisasi mikoriza meningkatkan
resistensi kekeringan pada berbagai varietas tanaman dan meningkatkan
kecepatan transpirasi serta menurunkan resistensi stomata (Araus et al. 1997;
Dixon et al. 1994; Fidelibus et al. 2000; Morte et al. 2000). Dixon et al. (1994)
juga melaporkan bahwa kecambah Leucaena leucocephala L. bermikoriza
memiliki lebih tinggi potensial air daun, konduktansi stomata daun dan
fotosintesis pada keadaan kekeringan dan masa pemulihan setelah cekaman
kekeringan.
Pada keadaan tercekam kekeringan, kolonisasi mikoriza arbuskular juga
memegang peranan penting dalam mobilisasi secara perlahan difusi ion dan air
yang tidak dapat dijangkau oleh akar tanaman. Selain itu mikoriza juga
meningkatkan serapan P dan N pada keadaan cekaman kekeringan (Subramanian
& Charest 1998).
Penyerapan unsur-unsur hara oleh bibit kelapa sawit semakin menurun
dengan bertambah beratnya cekaman kekeringan baik pada bibit yang diinokulasi
CMA maupun tidak untuk tanah PMK dan gambut bekas hutan seperti
ditunjukkan oleh peubah kadar dan serapan P dan K (Gambar 12, 13, 19, 20, 44,
45, 46 dan 47). Tetapi dengan adanya CMA, penyerapan unsur-unsur tersebut
lebih baik dibandingkan yang tanpa CMA untuk setiap tingkat cekaman
kekeringan. CMA ternyata mampu membantu menyerap unsur hara terutama
unsur P (Gambar 20 dan 47). Peningkatan serapan P didukung oleh
meningkatnya kadar enzim fosfatase asam di akar dan di tanah yang dihasilkan
oleh CMA dan bibit tersebut (Gambar 11, 18, 42 dan 43). Selain itu, peningkatan
serapan P juga terjadi karena adanya peningkatan kadar P dan pertumbuhan bibit.
Menurut Morte et al. (2000), tanaman bermikoriza mengakumulasi lebih banyak
K dalam tajuk dan akar daripada yang tidak bermikoriza di bawah keadaan tanpa
cekaman kekeringan dan cekaman kekeringan. Potasium (K) memegang peranan
117
penting dalam keadaan cekaman kekeringan dan merupakan kation solut yang
bertanggung jawab dalam pembukaan dan penutupan stomata sebagai tanggap
dari perubahan status air daun.
Pada keadaan cekaman kekeringan, CMA membantu tanaman dalam hal
penyerapan air dengan cara menjaga dan mempertahankan kontak antara tanah
dan akar yang lebih baik, jalinan hifa mikoriza yang terbentuk secara intensif akan
membantu dan memudahkan tanaman dalam menyerap air dan unsur hara.
Dengan terjadinya peningkatan penyerapan air dan unsur hara, tanaman akan lebih
mampu memperbaiki pertumbuhan dan perkembangannya dalam keadaan
tercekam. Hasil ini sesuai dengan beberapa hasil penelitian seperti Faber et al.
(1991); Chui & Nobel (1992); Davies et al. (1992, 1993, 1996); Bryla & Duniway
(1997, 1998); Gahoonia et al.(1994); Fidelibus et al. (2000); serta Mathur &
Vyas (2000).
CMA mampu meningkatkan daya adaptasi bibit kelapa sawit terhadap
cekaman kekeringan, sehingga terjadi peningkatan pertumbuhan dan serapan P
serta mengurangi penurunan pertumbuhan dan serapan P bibit tersebut (Tabel 18).
Tanpa adanya CMA, bibit yang mengalami cekaman kekeringan yang sangat berat
akan tertekan pertumbuhannnya, sedangkan bibit yang bersimbiosis dengan CMA
lebih mampu bertahan hidup dalam keadaan tersebut.
Peningkatan kandungan unsur hara dalam bibit bermikoriza selama
cekaman kekeringan merupakan akibat pengaruh dari penyerapan air daun selama
cekaman tersebut. Tanggap morfologi bibit yang bermikoriza nyata lebih tinggi
daripada bibit yang tidak bermikoriza selama cekaman kekeringan. Cekaman
kekeringan menurunkan serapan unsur hara pada setiap perlakuan. Tanaman
bermikoriza menunjukkan kapasitas yang lebih tinggi dalam memelihara
kandungan unsur hara daun selama cekaman kekeringan. Menurut Goicoechea et
al. (1997) tanaman alfalfa bermikoriza dapat memelihara potensial air daun
seperti ketika tidak ada cekaman melalui peningkatan persentase air apoplas dan
elastisitas dinding sel. Kapasitas yang lebih besar dalam penyerapan unsur hara
dan transport unsur hara dari akar ke tajuk selama cekaman kekeringan
berhubungan dengan peningkatan aktivitas akar pada tanaman bermikoriza selama
118
cekaman kekeringan yang difasilitasi oleh sitokinin akar (Goicoechea et al. 1995).
Tanaman bermikoriza memberikan bobot kering akar dan panjang total akar,
kandungan P, Zn, Cu,Mn dan Fe yang lebih tinggi daripada yang tidak
bermikoriza pada keadaan cekaman kekeringan (Al-Karaki dan Al-Raddad 1997).
Bibit yang diinokulasi CMA lebih efisien dalam penggunaan air
dibandingkan bibit yang tanpa CMA untuk setiap tingkat cekaman kekeringan,
seperti ditunjukkan oleh peubah efisiensi penggunaan air (EPA) (Gambar 17 dan
49). Semakin berat cekaman kekeringan, efisiensi penggunaan air semakin
menurun baik pada bibit yang bersimbiosis dengan CMA mapun tanpa CMA.
Pada kandungan air tersedia yang lebih rendah, bibit yang bersimbiosis dengan
CMA juga mampu mencapai pertumbuhan dan serapan hara bibit tanpa CMA
pada keadaan cukup air (Tabel 19).
Mikoriza memiliki kemampuan membantu tanaman dalam mengatasi
cekaman kekeringan melalui jalinan hifa eksternalnya. Hifa mikoriza dapat
membantu memperbaiki sistem perakaran tanaman sehingga tanaman mampu
menyerap air lebih jauh ke dalam pori-pori tanah, sehingga dapat menyerap air
dan unsur hara yang lebih baik. Selain meningkatkan sistem perakaran tanaman,
mikoriza juga dapat membantu tanaman dalam memperbaiki potensial air daun
dan turgor, memelihara pembukaan stomata dan transpirasi (Tezara et al. 1999;
Haupt-Herting & Fock 2000; Fidelibus et al. 2000; Delfine et al. 2001), sehingga
tanaman bermikoriza lebih mampu mengefisienkan penggunaan air yang
diserapnya. Selain itu mikoriza juga dapat membantu tanaman dalam
meningkatkan produksi beberapa hormon seperti auksin dan sitokinin (Subashini
& Natarajah 1997), sehingga tanaman dapat meningkatkan elastisitas dinding sel
dan dapat mencegah atau memperlambat proses penuaan akar. Dengan lambatnya
proses penuaan akar berarti fungsi akar sebagai penyerap unsur hara dan air
diperpanjang.
Efisiensi penggunaan air sangat penting di dalam tanaman yang tercekam
agar tanaman dapat tumbuh dan berkembang dengan normal. Produksi tanaman
sangat tergantung pada fiksasi karbon, sebab pertumbuhan tanaman merupakan
proses yang terintegrasi dari proses asimilasi, translokasi, penyimpanan, dan
119
penggunaan karbon hasil fotoasimilasi. Menurut Ruiz-Lozano et al. (2000)
tanaman bermikoriza memiliki kecepatan fotosintesis dan EPA yang lebih tinggi
daripada yang tidak pada keadaan cekaman kekeringan, sehingga aktivitas
fotosintesis meningkat pada tanaman yang bermikoriza. Hasil penelitiannya
mendapatkan bahwa kombinasi antara kolonisasi mikoriza dan cekaman
kekeringan menurunkan nilai δ13C pada tanaman selada dibandingkan yang tidak
bermikoriza.
Semakin berat cekaman kekeringan ternyata semakin tinggi infeksi akar
oleh CMA (Gambar 30 dan 54). Secara umum CMA akan berkembang dengan
baik pada keadaan yang tidak menguntungkan (sub-optimal). Pada keadaan yang
tidak menguntungkan seperti halnya adanya cekaman kekeringan yang sangat
berat, CMA akan lebih giat menginfeksi tanaman.
Persentase infeksi akar oleh CMA sebenarnya bukanlah merupakan
penduga yang baik untuk menduga pengaruh positif CMA terhadap pertumbuhan
tanaman. Dengan semakin tingginya infeksi akar oleh CMA, tidak berarti
pertumbuhan akan lebih baik daripada yang lebih rendah. Hal ini terlihat dari
hasil penelitian, dengan semakin bertambah beratnya cekaman kekeringan,
persentase infeksi akar semakin tinggi, tetapi berkorelasi negatif dengan
pertumbuhan yang dihasilkan. Proporsi cendawan yang sedang aktif
bermetabolisme yang sebenarnya dapat mengindikasikan peningkatan
pertumbuhan tanaman, karena metabolisme penting dalam menentukan pengaruh
CMA terhadap hara tanaman inang dan metabolisme karbon serta
memperhitungkan hifa eksternal yang juga melakukan penyerapan hara. Menurut
Allen (2001), persentase infeksi mikoriza merupakan peubah yang bisa digunakan
sebagai indikasi adanya kompatibilitas dengan tanaman inang, tetapi persentase
infeksi yang tinggi belum tentu mencerminkan petumbuhan tanaman yang lebih
baik daripada yang persentase infeksinya lebih rendah. Peubah persentase infeksi
hanya bisa digunakan sebagai indikasi adanya simbiosis antara CMA dengan
tanaman inang jika peubah lain seperti panjang akar sulit atau tidak
memungkinkan untuk diamati.
120
Supaya tanaman dapat bertahan hidup pada keadaan cekaman
kekeringan, maka tanaman berusaha beradaptasi dan mengatasi keadaan tersebut.
Banyak mekanisme yang digunakan tanaman dalam mengatasi adanya cekaman
kekeringan. Pada penelitian ini, bibit kelapa sawit mengatasi keadaan cekaman
kekeringan melalui beberapa mekanisme yaitu perbaikan penyerapan P (Gambar
20 dan 47); peningkatan kemampuan penyerapan air melalui perbaikan sistem
perakaran dengan peningkatan densitas akar yang ditunjukkan oleh peubah bobot
kering akar (Gambar 10 dan 37); pengurangan luas permukaan transpirasi melalui
pengurangan jumlah daun (Gambar 14 dan 36), pengurangan luas daun (Gambar
16 dan 41) dan pengurangan bobot kering tajuk (Gambar 15 dan 38);
osmoregulasi dengan memproduksi senyawa-senyawa osmotikum seperti
ditunjukkan oleh peubah kadar glisina-betaina daun (Gambar 22 dan 50) dan
prolina daun (Gambar 24 dan 52), serta pengaturan penutupan stomata melalui
akumulasi kadar ABA daun (Gambar 25 dan 53).
Mekanisme adaptasi bibit kelapa sawit yang bersimbiosis dengan CMA
terhadap cekaman kekeringan ternyata melalui mekanisme penghindaran
(perbaikan penyerapan hara (terutama P), peningkatan kemampuan penyerapan air
melalui perbaikan sistem perakaran, pengurangan luas permukaan transpirasi,
pengaturan penutupan stomata melalui akumulasi kadar ABA daun), dan
mekanisme toleransi (osmoregulasi dengan memproduksi senyawa-senyawa
osmotikum seperti ditunjukkan oleh peubah kadar glisina-betaina dan prolina
daun, serta pengaturan penutupan stomata melalui akumulasi kadar ABA daun).
Sementara itu, mekanisme adaptasi yang dominan pada bibit kelapa sawit tanpa
inokulasi CMA adalah mekanisme toleransi melalui osmoregulasi dengan
memproduksi senyawa-senyawa osmotikum (kadar glisina-betaina dan prolina
daun) dan pengaturan penutupan stomata melalui akumulasi kadar ABA daun.
Bobot kering akar bibit kelapa sawit semakin menurun dengan semakin
bertambah beratnya cekaman kekeringan baik pada bibit bermikoriza maupun
tidak. Bibit bermikoriza memiliki bobot kering akar yang lebih tinggi daripada
bibit tanpa mikoriza pada setiap tingkat cekaman kekeringan. Dengan demikian
bibit bermikoriza kemungkinan memiliki densitas akar yang lebih tinggi sehingga
121
dapat memperbaiki sistem perakaran. Oleh sebab itu bibit tersebut lebih mampu
untuk menyerap air sehingga bibit mampu untuk mengatasi cekaman kekeringan.
Dengan meningkatnya bobot kering akar berarti luasan perakaran yang
dapat menyerap air dan unsur hara semakin banyak, apalagi bibit bermikoriza di
mana hifanya membantu memperluas bidang penyerapan akar serta hifa tersebut
mampu masuk menyerap air ke pori-pori tanah yang lebih kecil yang tidak
mampu dimasuki oleh akar. Hifa mikoriza sacara langsung meningkatkan
penyerapan air oleh akar, sehingga dapat mencukupi kebutuhan air tanaman
untuk aktivitas fisiologisnya, khususnya di bawah keadaan cekaman kekeringan
(Faber et al. 1991). Hifa ekstraradikal mikoriza juga dapat mengikat tanah ke
akar dan memelihara lebih baik kontak akar-tanah selama cekaman kekeringan
serta memfasilitasi penyerapan air (Davies et al. 1992). Infeksi mikoriza
meningkatkan kontrol stomata dan mengurangi kehilangan air selama kekeringan,
juga memperbaiki toleransi tanaman terhadap kekeringan dan setelah kekeringan
serta dapat meningkatkan serapan P. Secara umum dapat diterima bahwa hifa
mikoriza mempunyai kemampuan untuk mentranspor P dan hara lainnya ke
tanaman inangnya melalui peningkatan penyerapan air tanaman selama cekaman
kekeringan serta konduktivitas hidrolik akarnya berakibat pada penyerapan P
selama cekaman kekeringan. Mikoriza juga meningkatkan elastisitas dinding sel
tanaman (Auge et al.1987), yang memelihara turgor sel selama kekeringan.
Menurut Davies et al. (1992) perkembangan hifa ekstraradikal dan agregasi tanah
sekeliling akar bermikoriza akan ditingkatkan oleh mikoriza yang mengkolonisasi
tanaman terhadap kekeringan, dan perubahan ini memfasilitasi penyerapan air
yang cukup.
Untuk menghindari kehilangan air yang lebih banyak, maka bibit kelapa
sawit melakukan pengurangan luas permukaan transpirasi melalui pengurangan
jumlah daun, pengurangan luas daun dan pengurangan bobot kering tajuk serta
pengaturan penutupan stomata melalui akumulasi kadar ABA daun.
Semakin berat cekaman kekeringan, maka jumlah daun, luas daun dan
bobot kering tajuk bibit semakin menurun baik pada bibit bermikoriza maupun
tidak. Bibit yang bersimbiosis dengan mikoriza memiliki jumlah daun, luas daun
122
dan bobot kering tajuk yang lebih besar daripada bibit yang tidak bermikoriza
untuk setiap tingkat cekaman kekeringan. Mikoriza membantu tanaman
mengatasi cekaman kekeringan melalui jalinan hifanya sehingga membantu
tanaman dalam hal penyerapan air dan unsur hara, yang pada akhirnya tanaman
bermikoriza lebih mampu mengatur penurunan potensial air daun. Menurut
Kirkham (1990), dalam keadaan terdapat cekaman kekeringan, pembelahan sel
dan perluasan sel merupakan dua komponen yang sangat peka terhadap keadaan
tersebut, dimana semakin berat cekaman kekeringan maka luas daun akan
semakin menurun.
Mekanisme adaptasi melalui pengurangan jumlah daun dan luas daun,
yang dilakukan oleh bibit bermikoriza, dimaksudkan agar dapat mengurangi luas
permukaan untuk bertranspirasi sehingga laju kehilangan air berkurang, walaupun
konsekuensinya luas daun untuk proses berfotosintesis menjadi berkurang.
Pengurangan luas daun yang terjadi pada setiap tingkat cekaman kekeringan lebih
besar terjadi pada bibit yang tidak bermikoriza, akibatnya proses fotosintesis
semakin berkurang yang menyebabkan penurunan pertumbuhan bibit tersebut
lebih besar dibandingkan bibit bermikoriza. Hasil ini sejalan dengan hasil
penelitian Henderson & Davies (1990); Osonubi et al. (1992); serta Bryla &
Duniway (1997; 1998).
Nisbah tajuk/akar bibit yang diinokulasi CMA pada keadaan tercekam
lebih rendah daripada bibit tanpa CMA untuk tanah PMK bekas hutan. Dalam hal
ini berarti di tanah PMK bekas hutan, bibit yang diinokulasi CMA memiliki
perkembangan akar yang lebih baik sehingga lebih mampu menyerap air dan
unsur-unsur hara, akibatnya bibit bermikoriza memiliki pertumbuhan yang lebih
tinggi seperti terlihat pada semua peubah pertumbuhan. Selain itu dengan
mengurangi pertumbuhan tajuk dan meningkatkan pertumbuhan akar merupakan
suatu upaya tanaman untuk memperbaiki keseimbangan dengan mempertahankan
kemampuan menyerap air dan bersamaan itu juga akan mengurangi transpirasi
(Harjadi dan Yahya 1988).
Sebaliknya di tanah gambut bekas hutan, nisbah tajuk/akar bibit yang
diinokulasi CMA lebih tinggi dibandingkan bibit tanpa CMA, yang berarti justru
123
perkembangan tajuknya yang lebih baik dibandingkan sistem perakarannya.
Perbedaan ini terjadi kemungkinan karena tanah PMK bekas hutan lebih padat
pada saat terjadi cekaman kekeringan sehingga bibit lebih banyak
mentranslokasikan fotosintatnya untuk perkembangan perakarannya agar dapat
lebih banyak menyerap air dan unsur-unsur hara yang dibutuhkan bibit tersebut.
Pada tanah gambut bekas hutan, struktur tanahnya lebih gembur sehingga
perakaran bibit kelapa sawit lebih mudah menyerap air dan unsur hara
dibandingkan pada tanah PMK bekas hutan, akibatnya bibit lebih banyak
mentranlokasikan fotosintatnya ke bagian tajuk.
Selain dengan mekanisme penghindaran, bibit kelapa sawit yang
bersimbiosis dengan CMA juga melakukan adaptasi terhadap cekaman kekeringan
dengan mekanisme toleransi melalui akumulasi glisina-betaina dan prolina daun.
Demikian juga dengan bibit tanpa CMA, mekanisme adaptasi terhadap cekaman
kekeringan dilakukan melalui mekanisme toleransi tersebut.
Akumulasi glisina-betaina daun sebagai tanggap terhadap cekaman
kekeringan pada sejumlah spesies tanaman dan peranannya dalam mengatasi
cekaman kekeringan telah banyak dilaporkan. Dalam penelitian ini, adanya
cekaman kekeringan menyebabkan bibit mengakumulasi glisina-betaina daun
yang lebih tinggi terutama pada bibit bermikoriza untuk bibit yang ditanam di
tanah PMK bekas hutan. Sebaliknya bibit yang ditanam di tanah gambut bekas
hutan, pada awal cekaman kandungan glisina-betaina daun tanpa CMA lebih
tinggi dan pada bibit yang diinokulasi CMA baru meningkat pada tingkat
cekaman kekeringan C4 (25% air tersedia). Menurut Sironi et al. (2001) glisina-
betaina (N,N,N-trimethylglycine) akan meningkat pada beberapa spesies tanaman
pada saat terjadi cekaman kekeringan. Makela et al. (1999) menemukan bahwa
glisina-betaina meningkatkan efisiensi fotosintesis melalui peningkatan
konduktansi stomata dan pengurangan fotorespirasi pada tanaman yang
mengalami cekaman kekeringan dan cekaman garam pada tanaman.
Glisina-betaina merupakan kompatibel solut yang diakumulasi pada
jaringan tanaman melalui 2 langkah oksidasi cholin yang dikatalisatori oleh cholin
mono-oxygenase dan betain aldehyde dehydrogenase (BADH) dalam kloroplas.
124
Pemakaian glisina-betaina meningkatkan konduktansi stomata khususnya pada
tanaman yang stres air dan meningkatkan fotosintesis bersih (Makela et al. (1999).
Glisina-betaina berhubungan dengan tanggap stomata terhadap regulasi ABA
sebagaimana ABA meregulasi kebiasaan stomata.
Akumulasi prolina daun bibit yang diinokulasi CMA lebih tinggi
dibandingkan bibit tanpa CMA pada setiap tingkat cekaman kekeringan baik di
tanah PMK maupun gambut bekas hutan (Gambar 25 dan 53). Peningkatan
akumulasi prolina daun ini dipacu dengan semakin bertambah beratnya cekaman
kekeringan. Pada kedua jenis tanah tersebut, peningkatan prolina daun pada bibit
yang bersimbiosis dengan CMA lebih rendah dibandingkan tanpa CMA (Tabel
18). Hal ini menunjukkan bahwa cekaman kekeringan yang berat pada bibit tanpa
CMA menjadi cekaman yang lebih ringan pada bibit yang bersimbiosis dengan
CMA. Keadaan tersebut terjadi karena CMA mampu meningkatkan daya adaptasi
bibit tersebut terhadap cekaman kekeringan.
Bibit tanpa CMA beradaptasi hanya melalui osmoregulasi, sedangkan bibit
yang bersimbiosis dengan CMA selain dengan osmoregulasi juga dengan
mekanisme penghindaran. Menurut Yang & Kao (1999) peningkatan kadar
prolina pada awal terjadinya cekaman kekeringan relatif lambat dan meningkat
dengan cepat setelah tanaman mengalami cekaman lebih lanjut. Peningkatan
kandungan prolina yang tinggi pada bibit kelapa sawit yang tercekam kekeringan
disebabkan dipacunya aktivitas enzim ornitin-δ-aminotransferase yang dibuktikan
dengan adanya peningkatan produksi pirolin-5-karboksilat sebagai senyawa
perantara dalam sintesis prolin (Wijana 2001).
Menurut Azcon et al. (1996) serta Smith & Read (1997), meningkatnya
kandungan prolina daun pada bibit yang bersimbiosis dengan CMA disebabkan
oleh peningkatan aktivitas glutamat sintetase, glutamin sintetase, dan nitrat
reduktase yang berperan dalam sintesis prolina. Peningkatan kandungan prolina
daun akibat tanaman bersimbiosis dengan CMA juga diperoleh pada tanaman
kedelai (Hapsoh 2003 dan Hanum 2004).
Prolina sebagai osmoregulasi berperan memelihara keseimbangan air
antara vakuola, sitoplasma dan lingkungannya (Yang & Kao 1999), juga prolina
125
dapat menjaga kelarutan protein, kestabilan membran fosfolipid, dan sebagai
sumber cadangan karbon, nitrogen dan energi (Walton et al. 1998). Mikoriza yang
bersimbiosis dengan bibit kelapa sawit ternyata mampu membantu bibit dalam
mengatasi cekaman kekeringan melalui peningkatan kadar prolina daun. Hasil
penelitian De Ronde et al. (2000) menunjukkan bahwa penurunan kandungan air
meningkatkan akumulasi prolina bebas dalam enam kultivar kapas dan bervariasi
di antara kultivar.
Prolina dapat mempengaruhi kelarutan berbagai protein akibat
interaksinya dengan residu hidrofobik pada permukaan protein. Peningkatan area
hidrofilik dari protein menstabilkan protein melalui peningkatan kelarutannya
pada lingkungan dengan ketersediaan air yang rendah. Prolina berfungsi sebagai
osmoregulator sebab prolina dapat memelihara integritas membran yang
merupakan adaptasi terhadap keadaan kekurangan air tersedia. Peningkatan
akumulasi prolina dipengaruhi oleh kecepatan gangguan cekaman, keadaan
sebelum cekaman, tipe dan umur organ, serta variasi genetik di antara spesies.
Kolonisasi mikoriza meningkatkan penyerapan unsur hara, akumulasi
asam amino, protein, klorofil, kandungan prolina dan kandungan gula
dibandingkan yang tidak bermikoriza di bawah keadaan cekaman kekeringan
(Mathur & Vyas 2000). Selanjutnya hasil penelitian Gibon et al. (2000)
ditemukan bahwa stres osmotik menginduksi penurunan secara nyata kandungan
klorofil dan akumulasi prolina.
Mekanisme toleransi bibit kelapa sawit selain dengan mekanisme
osmoregulasi dengan cara mengakumulasi prolina dan glisina-betaina daun, juga
melalui mekanisme pengaturan turgor sel yaitu dengan cara mengakumulasi kadar
ABA daun baik di tanah PMK bekas hutan maupun di tanah ganbut bekas hutan
(Gambar 25 dan 53). Akumulasi ABA daun semakin meningkat dengan semakin
bertambah beratnya cekaman kekeringan baik pada bibit yang bermikoriza
maupun tidak. Bibit bermikoriza ternyata lebih banyak mengakumulasi ABA
daun untuk membantu mengatasi cekaman kekeringan dibandingkan bibit yang
tidak bermikoriza pada setiap tingkat cekaman kekeringan. Dengan terbentuknya
ABA maka akan terjadi pengurangan pembukaan stomata sehingga laju
126
kehilangan air dapat berkurang, walaupun penutupan stomata tersebut dapat
mengurangi masuknya CO2 yang pada akhirnya mengurangi fotosintesis. Tetapi
dengan adanya mikoriza hal tersebut dapat diatasi, sebab simbiosis dengan
mikoriza dapat membantu proses asimilasi CO2 dan alokasi C serta dapat
membantu memelihara konsentrasi CO2 optimal untuk fotosintesis. Menurut
Pastor et al. (1999) pada keadaan cekaman kekeringan yang sangat berat,
membran kloroplas terbuka mengeluarkan ABA dari kloroplas. Perubahan
permeabilitas dalam membran kloroplas selama cekaman kekeringan
dimaksudkan untuk mengeluarkan ABA.
Tanaman mawar yang bermikoriza dapat memelihara status air yang
tersedia melalui peningkatan kandungan ABA daun yang lebih tinggi selama
cekaman kekeringan daripada tanaman mawar yang tidak bermikoriza (Henderson
& Davies 1990). Bacon et al. (1998) mendapatkan bahwa peningkatan
konsentrasi ABA dalam apoplas yang dihasilkan dari peningkatan pH
kompartemen ini pada keadaan cekaman kekeringan mengurangi kecepatan
perluasan sel melalui pengurangan perluasan dinding sel dan/atau turgor sel
tersebut. Menurut hasil penelitian Kobashi et al. (2000), kecepatan fotosintesis
terhambat pada keadaan cekaman kekeringan sehingga menurunkan produksi
total fotoasimilat. Pada keadaan cekaman kekeringan sedang, cekaman tersebut
dapat menginduksi ABA .
Peningkatan akumulasi glisina-betaina, prolina dan ABA daun bibit
kelapa sawit yang bersimbiosis dengan CMA pada keadaan tercekam kekeringan
menunjukkan bahwa CMA membantu memperkuat daya adaptasi bibit tersebut
terhadap cekaman kekeringan.
Tanggap tanaman terhadap cekaman kekeringan dimanifestasi dengan
berbagai perubahan dalam proses fisiologi dan metabolik. Akumulasi osmolit
yang umum disebut osmotic adjustment atau osmoregulasi merupakan solusi
untuk mengatasi pengaruh negatif dari adanya cekaman kekeringan pada tanaman.
Akumulasi osmolit dalam sel tanaman menghasilkan penurunan potensial
osmotik sel dan memelihara absorpsi air serta tekanan turgor sel.
127
Mikoriza memodifikasi penyerapan air dalam tanaman inangnya.
Konduktansi stomata, kecepatan transpirasi, dan potensial air daun sering lebih
tinggi pada tanaman bermikoriza daripada yang tidak pada keadaan cekaman
kekeringan akibat lebih tingginya penyerapan air dimana umumnya tanaman
bermikoriza memiliki kecepatan fotosintesis yang lebih tinggi. Auge & Stodola
(1990) menemukan bahwa akar tanaman mawar yang bermikoriza mampu
memelihara turgor yang lebih besar dalam hidrasi jaringan daripada yang tidak
bermikoriza. Menurut Morte et al. (2000) beberapa mekanisme mikoriza dalam
meningkatkan penyerapan air adalah melalui (1) pengaruh tidak langsung dari
peningkatan unsur hara P, (2) perbaikan sistem penyerapan air melalui fase
ekstraradikal, melalui peningkatan efektivitas konduktivitas hidrolik akar atau
memodifikasi arsitektur perakaran, (3) modifikasi biokimia dari regulasi air pada
tanaman melalui perubahan sinyal hormon dan (4) induksi dari tanggap
osmoregulator atau sifat retensi air tanah.
Bibit yang mengalami cekaman kekeringan memperlihatkan keadaan
yang agak lemah, warna daun kekuning-kuningan bahkan ada yang agak
menghitam, sebagian ada yang timbul bintik-bintik hitam. Selain itu juga bibit
yang tercekam sebagian batang dan daunnya melilit atau melipat (Gambar 32 dan
59). Pertumbuhan bibit bermikoriza terlihat lebih seragam di antara setiap bibit
dibandingkan bibit yang tidak bermikoriza untuk setiap cekaman kekeringan.
Hasil penelitian Bryla dan Duniway (1997) menunjukkan bahwa kolonisasi
mikoriza mengurangi nekrosis daun gandum selama cekaman kekeringan sedang,
dan tanaman bermikoriza juga memiliki kosentrasi P daun yang lebih tinggi
daripada tanaman yang tidak bermikoriza.
Kesimpulan
Pada tanah PMK dan gambut bekas hutan didapatkan bahwa :
1. Dengan semakin bertambah beratnya cekaman kekeringan, pertumbuhan dan
serapan hara bibit kelapa sawit semakin menurun baik pada bibit bermikoriza
maupun tidak.
128
2. Bibit kelapa sawit yang bersimbiosis dengan CMA memberikan tanggap
pertumbuhan dan serapan hara bibit yang lebih tinggi dibandingkan bibit tanpa
CMA pada setiap tingkat cekaman kekeringan.
3. Bibit kelapa sawit yang bersimbiosis dengan CMA lebih efisien dalam
penggunaan air dibandingkan bibit tanpa CMA.
4. Mekanisme adaptasi bibit kelapa sawit yang bersimbiosis dengan CMA
terhadap cekaman kekeringan adalah melalui mekanisme penghindaran
(perbaikan penyerapan hara (terutama P), peningkatan kemampuan
penyerapan air melalui perbaikan sistem perakaran, pengurangan luas
permukaan transpirasi, pengaturan penutupan stomata melalui akumulasi
kadar ABA daun), dan mekanisme toleransi (osmoregulasi dengan
memproduksi senyawa-senyawa osmotikum glisina-betaina dan prolina daun,
serta pengaturan turgor sel melalui akumulasi kadar ABA daun). Tanpa CMA,
mekanisme adaptasi yang dominan pada bibit kelapa sawit adalah melalui
mekanisme toleransi.
5. Inokulasi CMA meningkatkan daya adaptasi bibit kelapa sawit terhadap
cekaman kekeringan
6. Tanggap pertumbuhan dan serapan hara bibit kelapa sawit yang bersimbiosis
dengan CMA dan tanpa CMA pada media tanah gambut bekas hutan lebih
tinggi dibandingkan media tanah PMK bekas hutan untuk setiap tingkat
cekaman kekeringan.
129
PEMBAHASAN UMUM
Peranan CMA dalam Adaptasi Bibit Kelapa Sawit terhadap
Cekaman Kekeringan
Terbatasnya lahan-lahan subur merupakan salah satu kendala dalam
pengembangan kelapa sawit di Indonesia, sehingga penanaman kelapa sawit lebih
diarahkan pada lahan-lahan marjinal. Lahan-lahan tersebut mempunyai tingkat
kesuburan yang rendah dan memiliki masalah dalam penyediaan air, akibatnya
kelapa sawit akan mengalami cekaman kekeringan pada musim kemarau panjang.
Ketersediaan air merupakan faktor lingkungan utama yang mempengaruhi
pertumbuhan dan hasil kelapa sawit. Adanya cekaman kekeringan berpengaruh
negatif terhadap proses fisiologi tanaman. Fotosintesis berkurang akibat adanya
penutupan stomata yang dapat mengurangi asimilasi karbon. Tanaman dapat
bertahan hidup dalam keadaan cekaman kekeringan melalui berbagai strategi.
Salah satu hal sangat penting dalam mentolerir dehidrasi sel adalah melalui
pemeliharaan struktur dan fungsi sel pada potensial air yang rendah. Membran sel
merupakan salah satu target pertama dari tanaman yang tercekam dan
pemeliharaan integritas membran di bawah keadaan cekaman kekeringan
merupakan strategi penting untuk toleransi kekeringan.
Cekaman kekeringan secara umum mengurangi penyerapan unsur hara
oleh akar dan transpor dari akar ke tajuk disebabkan oleh kecepatan transpirasi
yang terbatas serta transpor aktif dan permeabilitas membran yang terganggu,
akibat berkurangnya kekuatan penyerapan akar dari tanaman tersebut (Kramer &
Boyer 1995). Penurunan kadar air tanah menyebabkan penurunan kecepatan
difusi unsur hara (khususnya P) dari matriks tanah ke permukaan penyerapan
akar. Menurut Harman & Izuno (1993) tanggap pertama akibat cekaman
kekeringan adalah hilangnya turgor, sehingga terjadi penutupan sebagian stomata,
pengurangan perluasan sel, pengurangan evaporasi dari daun, berkurangnya
penyerapan ion mineral dari tanah, pengurangan fotosintesis dan pada akhirnya
penurunan pertumbuhan tanaman secara keseluruhan.
130
Salah satu alternatif untuk mengatasi cekaman kekeringan adalah
menggunakan mikroorganisme bermanfaat yaitu CMA. CMA merupakan
cendawan yang berkemampuan bersimbiosis dengan hampir 90% jenis tanaman,
serta telah banyak dibuktikan mampu memperbaiki hara dan meningkatkan
pertumbuhan tanaman. Selain itu, CMA juga dapat digunakan sebagai pelindung
hayati, terlibat dalam siklus biogeokimia, mempertahankan keanekaragaman
tumbuhan serta meningkatkan resistensi tanaman terhadap kekeringan.
Seperti halnya dengan tanaman lainnya, CMA juga berkemampuan
bersimbiosis dengan tanaman kelapa sawit yang merupakan salah satu tanaman
perkebunan. Pemanfaatan CMA pada komoditi tanaman kelapa sawit ini sangat
potensial mengingat dalam budidayanya tanaman ini memerlukan fase pembibitan
sebelum dipindahkan ke lapangan. Dengan adanya cekaman kekeringan, tanaman
kelapa sawit mempunyai kecenderungan untuk lebih bergantung pada asosiasinya
dengan CMA terutama pada masa pembibitan. Hal ini ada hubungannya dengan
karakteristik kebanyakan akar tanaman ini memiliki akar yang relatif sedikit,
pendek serta rambut akar yang jarang. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah dan
sebaran akar dalam tanah menentukan kemampuan tanaman untuk menjangkau
sumber fosfat di dalam tanah (Baon 1999).
CMA ditemukan di beberapa tipe ekosistem, di tanah pertanian CMA
memainkan peranan yang sangat penting dalam hara tanaman. Hifa ekstraradikal
menghubungkan korteks akar di sekeliling tanah yang menyerap unsur hara yang
mobilitasnya rendah dalam tanah seperti P, Zn dan Cu yang tidak dapat diakses
oleh tanaman (Bolan 1991). Hifa ekstraradikal sangat penting dalam konservasi
tanah terutama dalam pembentukan agregat tanah yang stabil. Agregat tanah yang
baik lebih resisten terhadap kekuatan erosi, mempunyai pertukaran gas yang lebih
baik, filtrasi air, kapasitas penyimpanan air dan unsur hara serta menyediakan
mikrositas yang heterogen yang cocok untuk penyebaran mikroba.
Keanekaragaman CMA di setiap ekosistem akan berbeda, tergantung
perbedaan jenis tanah dan vegetasi yang ada di sekitarnya, cara pengolahan tanah,
pemupukan, pemeliharaan tanaman serta organisme lain yang mungkin ada di
lokasi tersebut. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada setiap ekosistem
131
hanya ditemukan dua genus CMA yaitu Glomus dan Acaulospora (Tabel 2-4).
Demikian juga daya adaptasi dari setiap jenis CMA akan berbeda akibat
perbedaan lingkungan dan juga faktor intrinsik CMA itu sendiri. Pada hasil
penelitian ini, genus Glomus lebih mendominasi daripada genus Acaulospora
pada tanah PMK bekas kebun karet dan gambut bekas hutan, sedangkan di tanah
PMK bekas hutan didominasi oleh genus Acaulospora. Hasil penelitian Allen &
Cunningham (1983), Pond et al. (1984), Ragupathy & Mahadevan (1991) dan
Purwanto (1999) juga menunjukkan bahwa jenis Glomus lebih beradaptasi
dibandingkan genus yang lain terhadap kisaran keadaan lingkungan yang luas.
Penurunan jumlah CMA sangat ditentukan oleh keadaan lingkungan tanah
yang bervariasi. Hasil penelitian Treseder & Allen (2002) mendapatkan bahwa
jumlah Scutellospora lebih sedikit pada tanah yang mendapat pemupukan N
daripada pemupukan P, sementara itu keberadaan Glomus lebih tinggi pada tanah
yang subur daripada yang kekurangan N, serta Gigaspora dan Acaulospora tidak
berbeda pada lingkungan yang berbeda. Menurut hasil penelitian Zhao et al.
(2001), Acaulospora dan Glomus merupakan CMA dominan di tanah hutan hujan
tropika di Xishuangbanna. Lain halnya menurut hasil penelitian Cordoba et al.
(2001) Glomaceae dan Gigasporaceae merupakan CMA dominan di tanah pantai
Joaquina di pulau Santa Catarina Brazil Selatan.
Menurut Kabir et al. (1997) sifat fisika dan kimia tanah sangat
berpengaruh terhadap keberadaan CMA, seperti halnya tekstur tanah. Tekstur
tanah dapat mempengaruhi keberadaan CMA di mana tanah yang bertekstur
ringan umumnya memilki lebih banyak spora CMA daripada tanah yang
bertekstur halus. Pada tanah liat (clay) sebagian besar volume pori-pori tanah
umumnya lebih kecil daripada tanah lempung berpasir (sandy loam) dan
pertukaran gas berkurang.
Setiap jenis CMA memiliki tingkat keefektivan yang bervariasi terhadap
tanaman inangnya. Demikian juga dengan tanamannya memberikan tanggap yang
berbeda terhadap keberadaan CMA. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
perbedaan keefektivan masing-masing tipe spora pada masing-masing jenis tanah
(PMK bekas hutan, PMK bekas kebun karet dan gambut bekas hutan), disebabkan
132
adanya faktor intrinsik dari CMA itu sendiri yang mempunyai tingkat adaptasi
yang berbeda selain perbedaan lingkungan. Inokulum CMA yang paling efektif di
tanah PMK bekas hutan adalah inokulum campuran Glomus sp-3a, Acaulospora
sp-3a, Acaulospora sp-5a; di tanah gambut bekas hutan adalah inokulum
campuran Glomus sp-1c, Glomus sp-5c, dan Acaulospora sp-5c; dan di tanah
PMK bekas kebun karet adalah inokulum tunggal Glomus sp-3b (Tabel 7-13).
Peranan CMA terhadap pertumbuhan tanaman diakibatkan adanya
peningkatan penyerapan hara dengan semakin besarnya luas permukaan serapan
atau kemampuan memobilisasi sumber hara yang tidak mudah tersedia. Peranan
CMA yang sangat besar terhadap pertumbuhan tanaman perkebunan terutama
disebabkan oleh meningkatnya penyerapan P. khususnya dari sumber-sumber
yang sulit larut. Menurut Baon (1999) jika jelajah akar dibatasi, maka sampai
80% P yang berada dalam tanaman diperoleh melalui aktivitas hifa eksternal yang
menjangkau jarak lebih dari 10 cm dari permukaan akar. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa CMA mampu meningkatkan serapan P sehingga
meningkatkan pertumbuhan bibit kelapa sawit dibandingkan dengan perlakuan
tanpa pemberian CMA baik pada media tanah PMK maupun gambut bekas hutan.
Tingginya serapan P sebagai tanggap dari CMA diduga sebagai strategi
tanaman untuk mengurangi pengaruh negatif dari cekaman kekeringan. Serapan P
yang tinggi pada hasil penelitian ini disebabkan meningkatnya kadar P dan juga
bobot kering bibit tersebut (Gambar 8, 15, 39, 45). Banyak penelitian yang
melaporkan bahwa adanya peningkatan pertumbuhan tanaman bermikoriza
merupakan akibat kemampuan CMA dalam membantu penyerapan P ( Heijne et
al. 1996; Clark 1997; Syvertsen & Graham 1999; Liu et al. 2000). P adalah salah
satu unsur hara esensial yang diperlukan dalam jumlah relatif banyak oleh
tanaman tetapi ketersediaannya terutama pada tanah-tanah masam menjadi
terbatas, sehingga menjadi salah satu masalah pembatas utama dalam peningkatan
produktivitas tanaman.
Menurut Stahl et al. (1998), simbiosis dengan mikoriza memberikan
beberapa keuntungan di antaranya mengubah kecepatan penyerapan air,
konduktivitas hidrolik, potensial air daun dan batang, resistensi stomata dan
133
kecepatan transpirasi. Selanjutnya dijelaskan bahwa mekanisme mikoriza
membantu penyerapan air (1) merupakan tanggap sekunder akibat perbaikan
hara, terutama penyerapan P yang dibantu oleh mikoriza di mana perbaikan hara P
mengakibatkan infeksi mikoriza berpengaruh langsung pada resistensi membran
terhadap aliran air dan faktor pembatas untuk menyerap air, (2) hifa eksternal
meningkatkan daerah permukaan total dari sistem perakaran tanaman serta
meningkatkan volume eksploitasi tanah untuk air yang membuat air tersedia lebih
banyak untuk tanaman, (3) hifa menetrasi korteks akar sampai endodermis
sehingga memudahkan air bergerak melalui akar, dan (4) mikoriza mengubah
tingkat hormon akar dan tajuk yang berpengaruh pada penyerapan air oleh
tanaman.
Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan bahwa pertumbuhan dan
serapan hara bibit kelapa sawit yang ditanam di media tanah PMK dan gambut
bekas hutan menunjukkan penurunan dengan bertambah beratnya cekaman
kekeringan baik pada bibit tanpa CMA maupun yang diinokulasi CMA (Tabel
18). Bibit yang bersimbiosis dengan CMA ternyata lebih mampu mengatasi
cekaman kekeringan dibandingkan bibit tanpa CMA untuk setiap tingkat cekaman
kekeringan. Selanjutnya diperoleh bahwa pada kandungan air tersedia yang lebih
rendah, bibit yang bersimbiosis dengan CMA mampu mencapai pertumbuhan dan
serapan hara yang sama dengan bibit tanpa CMA pada keadaan cukup air (Tabel
19).
Peningkatan serapan hara (terutama P) pada bibit yang bersimbiosis
dengan CMA disebabkan CMA juga dapat menyerap P organik (Po) dan
mengubahnya menjadi P anorganik (Pi) yang dapat diserap tanaman dengan
adanya bantuan enzim fosfatase asam yang juga dihasilkan oleh CMA dan juga
sel-sel tanaman tersebut. Enzim fosfatase asam berfungsi memacu proses
mineralisasi P organik. Menurut Bolan (1991), pada keadaan kahat P, CMA
mampu memanfaatkan sumber P yang tidak tersedia melalui peningkatan laju
solubilisasi Pi yang tidak larut dan hidrolisis Po menjadi Pi larut yang dapat
diserap tanaman, sehingga ion-ion fosfat dalam larutan tanah meningkat.
Gunawan (1993) menjelaskan bahwa enzim fosfatase asam yang dihasilkan oleh
134
hifa CMA yang sedang aktif tumbuh dan peningkatan aktivitas fosfatase pada
permukaan akar sebagai hasil infeksi CMA menyebabkan P inorganik (Pi)
dibebaskan dari fosfat organik (Po) pada daerah dekat permukaan sel sehingga
dapat diserap melalui mekanisme serapan hara.
Selain meningkatkan penyerapan P, CMA juga membantu tanaman
dalam penyerapan N, K, Cu dan Zn pada saat tanaman tercekam kekeringan
(Ruiz-Lozano & Azcon 1995). Pada penelitian ini selain terjadi peningkatan
serapan P, serapan K pada bibit yang bersimbisosis CMA juga meningkat lebih
tinggi dibandingkan bibit tanpa CMA untuk setiap tingkat cekaman kekeringan
(Gambar 19 dan 46). Kalium merupakan unsur monovalen esensial bagi tanaman.
Peranan utama K dalam tanaman adalah sebagai kofaktor berbagai enzim,
pergerakan stomata dan menjaga elektronitas. K juga berfungsi penting dalam
pembentukan hidrat arang dan translokasi gula. K yang tersedia cukup dalam
tanah dapat menjamin ketegaran tanaman, menghilangkan pengaruh buruk
nitrogen, dan mengurangi pengaruh kematangan yang dipercepat oleh fosfor
(Soepardi 1983).
Pada media tanah PMK bekas hutan, bibit yang bersimbiosis dengan
CMA, pada keadaan cukup air ternyata mampu meningkatkan bobot kering bibit
sebesar 21.93 % dan pada keadaan tercekam kekeringan (25% air tersedia)
sebesar 108.27 % (Tabel 18). Jadi, adanya cekaman kekeringan, menyebabkan
peningkatan bobot kering bibit sebesar 86.34%. Selanjutnya diperoleh bahwa
pada keadaan cukup air, terjadi peningkatan serapan P sebesar 66.67% dan pada
keadaan tercekam kekeringan sebesar 100%, jadi akibat adanya cekaman
kekeringan tersebut terjadi peningkatan serapan P sebesar 33.33%. Dalam hal ini
berarti, peranan CMA pada keadaan cukup air, meningkatkan ketersediaan dan
serapan hara yang lebih tinggi (ditunjukkan dengan serapan P) dibandingkan
peningkatan bobot kering bibit. Sebaliknya pada keadaan tercekam kekeringan,
CMA lebih berperan dalam meningkatkan bobot kering bibit dibandingkan
peningkatan ketersediaan dan serapan hara. Peranan CMA lebih tinggi pada
keadaan tercekam kekeringan dibandingkan tanpa cekaman kekeringan.
135
Pada tanah gambut bekas hutan, pada keadaan cukup air, adanya CMA
yang bersimbiosis dengan bibit kelapa sawit menyebabkan peningkatan bobot
kering bibit sebesar 54.87 % dan pada keadaan tercekam kekeringan (25% air
tersedia) sebesar 62.06 %. Jadi adanya cekaman kekeringan, menyebabkan
peningkatan bobot kering sebesar 7.19% (Tabel 18). Selanjutnya diperoleh
bahwa pada keadaan cukup air, terjadi peningkatan serapan P sebesar 84.62% dan
pada keadaan tercekam kekeringan sebesar 300%, yang berarti adanya cekaman
kekeringan menyebabkan peningkatan serapan P sebesar 215.38%. Pada tanah
gambut bekas hutan, peranan CMA lebih meningkatan ketersediaan dan serapan P
dibandingkan peningkatan bobot kering bibit baik pada keadaan cukup air
maupun tercekam kekeringan.
Perbedaan jenis tanah mempengaruhi pertumbuhan dan serapan hara suatu
tanaman. Pada tanah gambut bekas hutan, ternyata pertumbuhan dan serapan hara
bibit kelapa sawit yang bersimbiosis dengan CMA maupun tanpa CMA lebih
tinggi dibandingkan bibit yang ditanam pada tanah PMK bekas hutan (Tabel 18).
Pada keadaan tercekam kekeringan, tanah gambut memiliki struktur, aerasi dan
porositas yang lebih baik, sehingga pertumbuhan dan serapan hara bibit juga lebih
tinggi dibandingkan tanah PMK. Selain itu, pada keadaan tercekam kekeringan
tersebut, hifa CMA di tanah gambut bekas hutan lebih mampu untuk menyerap
unsur hara dan air ke pori-pori yang lebih kecil. Sementara di tanah PMK bekas
hutan, hifa CMA sudah tidak mampu lebih jauh lagi untuk menjelajah ke pori-pori
yang lebih kecil disebabkan struktur, aerasi dan porositas tanah yang kurang baik.
Hal tersebut juga disebabkan kadar air pada kapasitas lapang dan titik layu
permanen di tanah gambut lebih tinggi dibandingkan tanah PMK.
Ketersediaan air dianggap faktor pembatas dalam memproduksi suatu
tanaman, dan produksi yang tinggi tergantung pada suplai air yang cukup.
Strategi tanaman yang sering digunakan untuk mengurangi pengaruh defisit air
adalah dengan cara mengakumulasi solut (osmotic adjustment) di dalam sel untuk
memelihara status air tanaman, khususnya turgor. Hare et al. (1998) menyatakan
bahwa cekaman lingkungan merupakan faktor pembatas utama produktivitas
tanaman. Cekaman abiotik yang menyebabkan berkurangnya air sel (cekaman
136
kekeringan, salinitas tanah tinggi, dan suhu yang ekstrim) merupakan penyebab
kehilangan hasil pertanian yang terbesar. Untuk mengatasi cekaman lingkungan
tersebut, beberapa tanaman mengakumulasi osmolit organik yang umum disebut
senyawa polyhydroxylic (sakarida dan polyhydric alcoholic) dan zwitterionic
alkylamines (asam amino dan senyawa ammonium).
Peningkatan toleransi osmotik pada beberapa tanaman terjadi akibat
akumulasi prolina yang dihubungkan dengan peningkatan nisbah tajuk/akar
relatif. Pada keadaan cekaman osmotik, kecepatan yang rendah dari produksi
biomas secara keseluruhan sering dihubungkan dengan peningkatan alokasi energi
pada akar. Pada potensial air yang rendah, pertumbuhan organ bagian atas
menurun daripada akar walaupun pemeliharaan turgor penuh dalam daun, batang
dan akar. Keuntungan memprioritaskan alokasi dari keterbatasan fotosintat pada
akar adalah untuk memaksimumkan penyerapan air. Meningkatnya sintesis
osmolit pada tanaman berpengaruh terhadap gradien tekanan turgor antara source
daun dan akar sehingga karbohidrat lebih banyak dikirim ke akar (Hare et al
1998).
Penyesuaian osmotik merupakan salah satu mekanisme toleransi
tanaman terhadap cekaman kekeringan yang berperan memelihara turgor sel yang
diperlukan untuk perluasan sel, memelihara konduktansi stomata untuk pertukaran
gas dan melindungi alat-alat fotosintesis dari hambatan cahaya, serta
meningkatkan pemanjangan sel atau perluasan sel sehingga tanaman dapat tetap
bertahan hidup pada keadaan tercekam. Mikoriza dapat memperbaiki
osmoregulasi di dalam jaringan sel dengan cara peningkatan konsentrasi solut
dalam jaringan daun (Auge et al. 1986; Auge & Stodola 1990) atau elastisitas
jaringan (Auge et al. 1987).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa adaptasi bibit kelapa sawit yang
bersimbiosis dengan CMA terhadap cekaman kekeringan selain dilakukan dengan
mekanisme penghindaran (perbaikan penyerapan P (Gambar 24 dan 47),
peningkatan kemampuan penyerapan air melalui perbaikan sistem perakaran (10
dan 37), dan pengurangan luas permukaan transpirasi (Gambar 14, 16, 36, 41)
serta pengaturan penutupan stomata melalui akumulasi kadar ABA (Gambar 25
137
dan 53), juga dilakukan melalui mekanisme toleransi dengan pengaturan larutan
osmotik pada jaringan tanaman (osmotic adjustment) yang ditunjukkan dengan
meningkatnya kadar glisina-betaina (Gambar 22 dan 50) dan prolina daun
(Gambar 24 dan 52) baik pada tanah PMK maupun gambut bekas hutan, serta
pengaturan penutupan stomata melalui akumulasi kadar ABA (Gambar 25 dan
53). Sementara itu, bibit tanpa CMA, beradaptasi terhadap cekaman kekeringan
terutama melalui mekanisme toleransi.
Glisina-betaina merupakan salah satu dari beberapa solut kompatibel yang
mempunyai fungsi sebagai osmoprotektan, dan diketahui melindungi protein dan
aktivitas enzim di bawah keadaan cekaman kekeringan dan menstabilkan
membran selama freezing. Glisina-betaina menginduksi toleransi terhadap
freezing sebagai tanggap terhadap aklimatisasi, ABA dan cekaman kekeringan
pada tanaman Arabidopsis thaliana (Xing & Rajashekar 2001).
Berbeda dengan prolina, glisina-betaina tidak terdegradasi secara cepat
pada saat cekaman. Sintesis glisina-betaina dalam stroma kloroplas dihasilkan
melalui dua langkah oksidasi dari cholin melalui intermediate betain aldehid yang
tidak stabil.
Setelah adanya perlakuan cekaman kekeringan, akumulasi prolina daun
bibit bermikoriza lebih tinggi dibandingkan bibit yang tidak bermikoriza pada
setiap tingkat cekaman kekeringan baik pada tanah PMK maupun gambut bekas
hutan. Peningkatan kadar prolina daun pada bibit kelapa sawit yang mengalami
cekaman kekeringan ini diduga berkaitan dengan meningkatnya prekursor
biosintesis prolina yaitu Δ-prolina-5-karboksilat (P5C) oleh aktivitas enzim Δ-
pirolin-5-karboksilat sintetase (P5CS) (Hare et al. 1998). Peningkatan prolina
daun pada bibit kelapa sawit baik yang bersimbiosis dengan CMA maupun tanpa
CMA pada keadaan cekaman kekeringan menunjukkan bahwa hal itu merupakan
suatu mekanisme toleransi bibit tersebut.
Sumber metabolik dari akumulasi prolina pada potensial air yang rendah
adalah adanya peningkatan sintesis protein. Sintesis protein ada dua jalur yaitu
yang menggunakan bahan prekursor glutamat dan ornitin. Sintesis protein dari
glutamat merupakan sumber terbesar akumulasi prolina di bawah keadaan
138
cekaman kekeringan atau cekaman garam. Ornitin dapat juga digunakan sebagai
prekursor prolina melalui aktivitas ornitin δ-aminotransferase. Sintesis melalui
prekursor ornitin hanya sebagian kecil saja pada keadaan cekaman kekeringan.
Akumulasi ABA diperlukan untuk meningkatkan deposisi prolina pada cekaman
kekeringan, yang mana ABA memegang peranan dalam regulasi transpor prolina
pada ujung akar (Verslues & Sharp 1999).
Prolina bebas merupakan salah satu perlindungan biofisik, yang dapat
mengatasi cekaman, yang ditransfer menjadi prolina oleh enzim ‘- pyrroline-5-
carboxylate (P5C) syntetase dan P5C reductase yang merupakan mekanisme
perlindungan di mana pada beberapa spesies dapat memperbaiki potensial redox
sellular pada keadaan cekaman biotik maupun abiotik. Hal itu dapat membantu
meniadakan kerusakan fotoinhibitor di bawah keadaan yang merugikan (Hare et
al. 1998).
Pada penelitian ini kandungan ABA daun semakin meningkat dengan
semakin bertambah beratnya cekaman kekeringan, baik pada bibit yang
diinokulasi CMA maupun tidak. Bibit yang bersimbiosis dengan CMA memiliki
kandungan ABA yang lebih tinggi. ABA memegang peranan penting dalam
mengontrol konduktansi stomata pada keadaan cekaman kekeringan (Bacon et al.
1998; Bahrun et al. 2002) serta merupakan sinyal langsung adanya cekaman
kekeringan khususnya pada sel tetangga (Popova et al. 2000)
Mekanisme adaptasi terhadap cekaman kekeringan merupakan suatu
sistem sinyal transduksi yang responsif dan dikoordinasi. Dengan adanya
mekanisme adaptasi dari bibit kelapa sawit melalui mekanisme penghindaran dan
toleransi terhadap cekaman kekeringan, baik yang ditanam pada tanah PMK
maupun gambut bekas hutan diharapkan pertumbuhan bibit yang baik tersebut
akan lebih mampu tumbuh dan berkembang di lapangan pada keadaan yang
beragam, terutama terhadap cekaman kekeringan pada musim kemarau panjang.
Keragaan Bibit yang Bersimbiosis dengan CMA di Lapangan
Bibit kelapa sawit yang bersimbiosis dengan CMA terbukti mampu
tumbuh dan berkembang lebih baik dibandingkan bibit tanpa CMA. Demikian
139
juga bibit tersebut memiliki daya adaptasi yang lebih tinggi daripada bibit tanpa
CMA. Penampilan bibit sangat menentukan keragaannya di kemudian hari saat
berproduksi. Bibit yang unggul memiliki korelasi yang baik dengan produksi
yang akan datang. Dengan kemampuan CMA meningkatkan pertumbuhan dan
perkembangan bibit kelapa sawit tersebut maka pertumbuhannya di lapang juga
akan lebih baik dibandingkan bibit tanpa CMA. Selanjutnya CMA yang
diinokulasikan pada bibit kelapa sawit tersebut, peranannya akan berlanjut terus
selama tanaman hidup di lapangan.
Bibit yang bersimbiosis dengan CMA juga memiliki EPA yang lebih
tinggi. Berdasarkan hasil penelitian ini, pada kandungan air tersedia yang lebih
rendah, bibit yang bersimbiosis dengan CMA mampu tumbuh dan berkembang
sama dengan bibit tanpa CMA pada keadaan cukup air (Tabel 19). Hal tersebut
menunjukkan bahwa bibit yang bersimbiosis dengan CMA memiliki daya
adaptasi yang lebih tinggi pada keadaan cekaman kekeringan. Pertumbuhan yang
sama dengan bibit tanpa CMA pada keadaan cukup air (100% air tersedia),
mampu dicapai oleh bibit yang bersimbiosis dengan CMA pada 81.57% air
tersedia (tanah PMK bekas hutan) dan 59.38% air tersedia (tanah gambut bekas
hutan). Demikian juga dengan serapan P yang sama dengan bibit tanpa CMA
pada 100% air tersedia, mampu dicapai oleh bibit ber-CMA pada 71.58% air
tersedia (tanah PMK bekas hutan) dan 63.83% air tersedia (tanah gambut bekas
hutan). Dalam hal ini berarti, pada keadaan cekaman kekeringan bibit yang
bersimbiosis dengan CMA mampu tumbuh dan berkembang lebih baik.
Kemampuan tersebut akan sangat berarti jika bibit sudah dipindahkan ke
lapangan. Di lapangan, bibit tersebut akan mampu mengatasi keadaan lingkungan
yang beragam terutama adanya cekaman kekeringan pada musim kemarau
panjang.
Kelapa sawit akan tumbuh dan berkembang serta berproduksi dengan baik
jika ditanam pada keadaan lahan yang sesuai untuk pertumbuhannya. Keadaan
lahan yang kurang sesuai atau tidak sesuai untuk pertumbuhan kelapa sawit
menyebabkan tanaman tersebut tidak akan mampu tumbuh dan berkembang
dengan baik sehingga akan menurunkan produksi bahkan tidak berproduksi sama
140
sekali. Adanya CMA yang bersimbiosis dengan kelapa sawit, akan membantu
tanaman dalam mengatasi keadaan lahan yang kurang menguntungkan, sehingga
lahan yang kurang sesuai atau tidak sesuai akibat faktor pembatas curah hujan
yang kurang atau bulan kering yang panjang, ketersediaan hara yang sangat
rendah dan tanah yang terlalu keras atau padat, dapat diatasi. Hal ini disebabkan
CMA mampu membantu tanaman dalam meningkatkan penyerapan air dan unsur
hara serta meningkatkan agregasi tanah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
bibit yang bersimbiosis dengan CMA lebih mampu meningkatkan penyerapan air
dan unsur hara serta mampu mengefisienkan air yang tersedia, sehingga bibit
tersebut mampu tumbuh dan berkembang lebih baik pada kandungan air tersedia
yang lebih rendah. Oleh karena itu, adanya CMA yang bersimbiosis dengan bibit
kelapa sawit, diduga akan dapat mengatasi keadaan di lapang yang beragam dan
kurang menguntungkan, sehingga diharapkan dapat mengubah keseuaian lahan
untuk tanaman kelapa sawit dan dapat memperluas areal lahan yang sesuai untuk
penanaman kelapa sawit.
Bibit yang bersimbiosis dengan CMA mampu meningkatkan pertumbuhan
dan perkembangan yang lebih tinggi dibandingkan tanpa CMA. Hasil penelitian
ini menunjukkan bahwa bibit yang bersimbiosis dengan CMA mampu tumbuh
dan berkembang lebih baik dibandingkan standar dari PPKS Medan (Tabel 15 dan
17). Pertumbuhan yang sama dengan standar PPKS dapat dicapai oleh bibit yang
bersimbiosis dengan CMA pada satu bulan (PMK bekas hutan) dan dua bulan
(gambut bekas hutan) lebih cepat. Hal ini sangat menguntungkan karena dapat
menghemat waktu, biaya dan tenaga kerja selama di pembibitan. Jika
pemindahan bibit ke lapangan dilakukan pada umur yang sama dengan
rekomendasi dari PPKS Medan, maka pertumbuhan dan perkembangan bibit di
lapangan yang bersimbiosis dengan CMA akan lebih baik sehingga diduga akan
mempercepat awal waktu pemanenan. Hal ini juga akan berpengaruh terhadap
biaya produksi di lapangan.
Berdasarkan hasil penelitian ini juga, kemampuan menyerap unsur hara
oleh bibit yang bersimbiosis dengan CMA lebih tinggi dibandingkan bibit tanpa
CMA. Hasil yang sama sudah diperoleh pada beberapa penelitian sebelumnya
141
(Ortas et al. 1996 ; Solaiman & Hirata 1997; Schweiger & Jakobsen 1999; Baon
1999). Kemampuan ini akan terus berlanjut jika bibit dipindahkan ke lapangan,
sehingga di lapangan tanaman tersebut akan lebih mampu menyerap unsur hara
walaupun pada keadaan cekaman kekeringan.
Dalam penelitian ini, dosis dan jenis pupuk yang diberikan pada bibit
kelapa sawit, baik yang bersimbiosis dengan CMA maupun tidak, adalah sama.
Dengan pemberian dosis pupuk yang sama, ternyata bibit yang bersimbiosis
dengan CMA lebih mampu mengefisienkan pemupukan, terlihat dengan
peningkatan serapan hara yang lebih tinggi dibandingkan bibit tanpa CMA (Tabel
18). Peningkatan serapan hara yang diperoleh pada hasil penelitian ini merupakan
akibat meningkatnya bobot kering bibit dan juga kadar haranya. Jadi adanya
CMA mampu meningkatkan efisiensi pemupukan yang diberikan dan juga
meningkatkan ketersediaan hara yang dapat diserap tanaman. Peranan CMA pada
bibit kelapa sawit ini, diharapkan akan terus berlanjut selama tanaman tumbuh di
lapang.
Peningkatan serapan P oleh tanaman bermikoriza dapat terjadi secara
langsung melalui sistem jalinan hifa eksternal dan tidak langsung yang disebabkan
oleh adanya perubahan fisiologi akar bermikoriza. Menurut Bolan (1991), dalam
proses penyerapan P, CMA mambantu dalam (1) proses memodifikasi kimia yaitu
dengan adanya perubahan fisiologi akar yang mempengaruhi eksudasi akar berupa
asam-asam organik dan enzim fosfatase, (2) perpendekan jarak difusi ion-ion
fosfat melalui hifa eksternalnya dan (3) penurunan konsentrasi minimum ion-ion
fosfat yang diserap. Dengan kemampuan CMA seperti itu, maka diharapkan bibit
tersebut mampu tumbuh dan berkembang dengan lebih baik di lapangan.
Jika dilihat efisiensi pupuknya berdasarkan bobot kering bibit yang
dihasilkan oleh setiap gram serapan pupuk, terlihat bahwa pada media tanah PMK
bekas hutan, pada keadaan 100%, 75% dan 50% air tersedia, peranan CMA belum
dapat meningkatkan efisiensi pupuk P dan K yang diberikan pada bibit kelapa
sawit umur 9 bulan, bahkan lebih rendah dibandingkan bibit tanpa CMA (Tabel
20). Pada keadaan cekaman kekeringan yang sangat berat (25% air tersedia), baru
terlihat bahwa adanya CMA dapat meningkatkan efisiensi pupuk (terutama P)
142
yang diberikan. Hal ini menunjukkan bahwa CMA berperan dalam
meningkatkan efisiensi pupuk terutama pada keadaan cekaman kekeringan.
Sehubungan dengan itu, peran CMA tersebut akan sangat berarti jika tanaman
kelapa sawit ditanam pada lahan-lahan yang marjinal yang umumnya memiliki
kesuburan yang rendah dan mempunyai masalah dalam penyediaan air.
Tabel 20. Efisiensi pupuk P dan K pada bibit kelapa sawit umur 9 bulan di media
tanah PMK dan gambut bekas hutan
Perlakuan
mikoriza
Perlakuan cekaman kekeringan
Serapan P
(g/tan)
Serapan K
(g/tan)
BK bibit
(g)
Efisiensi
pupuk P
Efisiensi
pupuk K
Tanah PMK bekas hutan
C1 (100% air tersedia)
M0
M1
0.21
0.35
2.38
3.56
44.65
54.44
212.62
155.54
18.76
15.29
C2 (75% air tersedia)
M0
M1
0.13
0.20
1.52
1.87
30.11
34.58
231.62
172.90
19.81
18.49
C3 (50% air tersedia)
M0
M1
0.07
0.12
0.97
1.44
21.50
33.43
307.14
278.58
22.16
23.22
C4 (25% air tersedia)
M0
M1
0.01
0.02
0.10
0.22
2.78
5.79
278.00
289.50
27.80
26.32
Tanah gambut bekas hutan
C1 (100% air tersedia)
M0
M1
0.52
0.96
2.95
6.92
84.05
130.17
161.63
135.59
28.49
18.81
C2 (75% air tersedia)
M0
M1
0.30
0.63
2.30
3.82
73.79
99.51
245.97
157.95
32.08
26.05
C3 (50% air tersedia)
M0
M1
0.08
0.30
0.86
2.41
32.17
75.08
402.13
250.27
37.41
31.15
C4 (25% air tersedia)
M0
M1
0.03
0.12
0.47
0.87
19.24
31.18
641.33
259.83
40.94
35.84
Demikian juga pada media tanah gambut bekas hutan, terlihat bahwa
adanya CMA belum dapat meningkatkan efisiensi pupuk yang diberikan baik
pada keadaan cukup air maupun tercekam kekeringan. Hal ini disebabkan pada
143
tanah gambut, tingkat cekaman kekeringan yang sama dengan tanah PMK,
memiliki kandungan air tersedia yang lebih tinggi. Jadi pada tingkat cekaman
kekeringan 25% air tersedia pada tanah gambut, kandungan air tersedianya lebih
tinggi dibandingkan tanah PMK, sehingga peran CMA dalam meningkatkan
efisiensi pupuk belum tercapai.
Pada saat ini, konsumen baik konsumen nasional maupun internasional
pada umumnya menginginkan produk pertanian yang ramah lingkungan, artinya
dapat mengurangi polusi yang terjadi akibat pemakaian pupuk kimia dan pestisida
yang berlebihan serta mampu memelihara stabilitas ekosistem. Menurut Setiadi
(1998), CMA dapat berfungsi sebagai pupuk biologis dan sebagai pelindung
hayati, sehingga dapat mengurangi pemakaian pupuk kimia dan pestisida. Selain
itu, CMA juga terlibat dalam siklus biogeokimia, mempertahankan
keanekaragaman tumbuhan serta meningkatkan resistensi tanaman terhadap
kekeringan, sehingga mampu menjaga stabilitas ekosistem. Oleh karena itu,
dengan adanya CMA yang bersimbiosis dengan bibit kelapa sawit, diharapkan
peranan CMA juga terus berlanjut selama tanaman kelapa sawit tumbuh di lapang,
sehingga akan diperoleh pertumbuhan, perkembangan dan produksi yang tinggi
dan tetap dapat menjaga stabilitas ekosistem serta disukai konsumen.
144
KESIMPULAN UMUM DAN SARAN
Kesimpulan Umum
6. Jenis CMA di rizosfir kelapa sawit yang ditanam pada tanah PMK bekas hutan
diperoleh sembilan jenis CMA (lima tipe Acaulospora dan empat tipe
Glomus), di tanah PMK bekas kebun karet sembilan jenis CMA (tujuh tipe
Glomus dan dua tipe Acaulospora) dan di tanah gambut bekas hutan
diperoleh 12 jenis CMA (tujuh tipe Glomus dan lima tipe Acaulospora).
7. CMA yang memiliki keefektivan tertinggi di media tanah PMK bekas hutan
adalah campuran tiga inokulum CMA Glomus sp-3a, Acaulospora sp-3a dan
Acaulospora sp-5a; di media tanah PMK bekas kebun karet adalah inokulum
tunggal CMA Glomus sp-3b serta di media tanah gambut bekas hutan adalah
campuran tiga inokulum CMA Glomus sp-1c, Glomus sp-5c, dan Acaulospora
sp-5c.
8. Inokulasi CMA meningkatkan daya adaptasi bibit kelapa sawit terhadap
cekaman kekeringan. Mekanisme adaptasi bibit kelapa sawit yang
bersimbiosis dengan CMA terhadap cekaman kekeringan adalah melalui
mekanisme penghindaran (perbaikan penyerapan hara (terutama P),
peningkatan kemampuan penyerapan air melalui perbaikan sistem perakaran,
pengurangan luas permukaan transpirasi, pengaturan penutupan stomata
melalui akumulasi kadar ABA daun), dan mekanisme toleransi (osmoregulasi
dengan memproduksi senyawa-senyawa osmotikum glisina-betaina dan
prolina daun, serta pengaturan turgor sel melalui akumulasi kadar ABA daun).
Tanpa CMA, mekanisme adaptasi yang dominan pada bibit kelapa sawit
adalah melalui mekanisme toleransi.
9. Tanggap pertumbuhan dan serapan hara (P dan K) bibit kelapa sawit yang
bersimbiosis dengan CMA dan tanpa CMA pada media tanah gambut bekas
hutan lebih tinggi dibandingkan media tanah PMK bekas hutan untuk setiap
tingkat cekaman kekeringan. CMA yang bersimbiosis dengan bibit kelapa
sawit mampu meningkatkan efisiensi pemupukan baik pada media tanah PMK
145
maupun gambut bekas hutan untuk setiap tingkat cekaman kekeringan. CMA
hanya berperan meningkatkan efisiensi pupuk pada keadaan 25% air tersedia
di media tanah PMK bekas hutan, sedangkan di media tanah gambut bekas
hutan CMA belum mampu meningkatkan efisiensi pupuk untuk setiap tingkat
cekaman kekeringan.
Saran
Keragaan bibit yang bersimbiosis dengan CMA di lapangan diduga akan
lebih baik. Oleh karena itu, penelitian ini perlu dilanjutkan di lapangan untuk
melihat lebih jauh peranan dari CMA terhadap pertumbuhan, serapan hara dan
produksi kelapa sawit dalam menghadapi kondisi lingkungan yang beragam,
terutama adanya cekaman kekeringan selama musim kemarau. Selain itu perlu
diteliti lebih lanjut peranan kadar ABA, glisina-betaina dan prolina daun dalam
mengatur mekanisme adaptasi bibit kelapa sawit terhadap cekaman kekeringan.
Isolat CMA dari rizosfir kelapa sawit di tanah PMK bekas hutan perlu
diteliti lebih lanjut apakah isolat tersebut dapat digunakan di tanah gambut bekas
hutan, demikian juga sebaliknya isolat CMA dari dari rizosfir kelapa sawit di
tanah gambut bekas hutan apakah dapat digunakan di tanah PMk bekas hutan.
Berdasarkan hasil penelitian ini disarankan agar bibit kelapa sawit
diinokulasi CMA untuk mendapatkan bibit yang unggul yang memiliki
pertumbuhan dan perkembangan yang lebih baik.
146
DAFTAR PUSTAKA
Abbott LK, Robson A D. 1982. The role of VA mycorrhizae fungi in agriculture
and the selection of fungi for inoculation. Aust. J. Agric. Res. 33 : 389-
395.
Abbott LK, Robson AD. 1991. Factors influencing the occurrence of vesicular
arbuscular mycorrhizas. Agriculture, Ecosystem and Environment. 35 :
121-150.
Abbott LK, Gazey C. 1994. An ecological view of the formation of vesicular-
arbuscular mycorrhizas. Plant and Soil 159 (1) : 69-78.
Aboul-Nasr A. 1998. Effects of inoculation with Glomus intraradices on growth,
nutrient uptake and metabolic activities of squash plants under drought
stress conditions. Ann. Agric. Sci. Cairo 1 : 119-133.
Aguire-Comez L, Davies FT, Olalde-Portugal V, Duray SA, Phavaphutanon L.
1999. Influence of phosphorus and endomycorrhiza (Glomus
intraradices) on gas exchange and plant growth of chile ancho pepper
(Capsicum annuum L. cv. San Luis). Photosynthetica 36 : 441-449.
Al-Karaki GN. 1998. Benefit, cost and water use efficiency of arbuscular
mycorrhiza durum wheat grown under drought stress. Mycorrhiza 8 : 41-
48.
Al-Karaki GN, AlRaddad A. 1997. Effects of arbuscular mycorrhizal fungi and
drought stress on growth and nutrient uptake of two wheat genotypes
differing in drought resistance. Mycorrhiza 7 : 83-88.
Al-Karaki GN, AlRaddad A, Clark RB. 1998. Water stress and mycorrrhizal
isolate effects on growth and nutrient acquisition of wheat. J. Plant Nutr.
21 : 891-902.
Al-Karaki GN, Clark RB. 1998. Growth, mineral acquisition, and water use by
mycorrhizal wheat grown under water stress. . J. Plant Nutr. 21 : 263-276.
Al-Karaki GN, Clark RB. 1999. Varied rates of mycorrhizal inoculum on growth
and nutrient acquisition by barley grown with drought stress. J. Plant
Nutr. 22 : 1775-1784.
Allen MF. 2001. Modeling arbuscular mycorrhizal infection : is % infection an
appropriate variable? Mycorrhiza 10 : 255-258.
147
Allen EB, Allen MF. 1986. water relations of two xeric grasses in the field :
Interaction of mycorrhizas and competition. New Phytol. 104 : 559-571.
Allen MF, Allen EB. 1992. Development of mycorrhizal patches in a
successional arid ecosystem, pp. 164-170. Dalam D. J. Read, D. H. Lewis,
A. H. Fitter and I. J. Alexander (Eds.). Mycorrhizas and Ecosystems.
CAB International, UK.
Allen EB, Cunningham GL. 1983. Effects of vesicular-arbuscular mycorrhizae
on Distichlis spicata under three salinity levels. New Phytol. 93 : 227-
236.
Araus JL, Febrero A, Buxo R, Camalich MD, Martin D, Molina F, Rodriguez-
Ariza MO, Romagosa I. 1997. Changes in carbon isotope discrimination
in grain cereals from different regions of the western Mediterranean Basin
during the past seven millennia. Palaeoeviromental evidence of a
differential change in aridity during the late Holocene. Glob Change Biol
3: 107-118.
Astianti D, Ekamawanti HA. 1996. Kajian sifat-sifat fisik, kimia dan biologi
tempat tumbuh anakan ramin (Gonystylus bancanus Kurz) di hutan alam.
Makalah dalam Ekspose Hasil-hasil Penelitian Kehutanan dengan Sistem
Penelitian Hibah Bersaing (CAS). Badan Litbang Kehutanan Bekerjasama
dengan Natural Resources Management Project/NRMP (USAID), Bogor
(tidak dipublikasikan).
Auge RM, Stodola AJW. 1990. An apparent increase in symplastic water
contributes to greater turgor in mycorrhizal roots of droughted Rosa
plants. New Phytol. 115: 285-295.
Auge RM, Stodola AJW, Brown MS, Bethlenfalway, GJ. 1992. Stomatal
response of mycorrhizal cowpea and soybean to short-term osmotic stress.
New Phytol. 120: 117-125.
Auge RM, Schekel KA, Wample RL. 1986. Osmotic adjustment in leaves of VA
mycorrhizal rose plants in response to drought stress. Plant
Physiol. 82: 765-770.
Auge RM, Schekel KA, Wample RL. 1987. Rose leaf elasticity changes in
response to mycorrhizal colonization and drought acclimation. Physiol.
Plant. 70 : 175-182.
Azcon R, Gomez M, Tobar M. 1996. Physiological and nutritional response by
Lactuca sativa L. to nitrogen sources and mycorrhizal fungi under
drought conditions. Biol. Fertil. Soils. 22 : 156-161.
148
Bacon MA, Wilkinson S, Davies WJ. 1998. pH-regulated leaf cell expansion in
drought plants is abscisic acid dependent. Plant Physiol. 118: 1507-1515.
Bahrun A, Jensen CR, Asch F, Mogensen VO. 2002. Drougth-induced changes
in xylem pH, ionic composition and ABA concentration act as early
signals in field grown maize (Zea mays L.). Journal of Experimental
Botany 53 : 1-13.
Baon JB. 1995. Serapan hara dan pertumbuhan kopi robusta bermikoriza.
Prosiding Kongres Nasional Himpunan Ilmu Tanah Indonesia, Serpong,
Vol. 1 : 742-749.
Baon, J. B. 1996. Peranan cendawan mikoriza pada tanah acrisol dalam
meningkatkan pertumbuhan tanaman kakao. Agrivita 19 :121-124.
Baon JB. 1999. Pemanfaatan jamur mikoriza arguskular sebagai pupuk hayati di
bidang perkebunan. Makalah seminar AMI. Bogor. 10 hal.
Bates LS, Waldren RP, Teare ID. 1973. Rapid determination of free proline for
water stress studies. Plant and Soil 39 : 205-207.
Bethlenfalvay GJ, Brown MS, Ames RN, Thomas RS. 1988. Effects of drought
on host and endophyte development in mycorrhizal soybean in relation to
water use and phosphate uptake. Plant Physiol. 72 : 565-571.
Bianciotto V, Andreotti S, Balestrini R, Bonfante P, Perotto S. 2001. Mucoid
mutants of the biocontrol strain Pseudomonas fluorescens CHAO show
increased ability in biofilm formation on mycorrhizal and nonmycorrhizal
carrot roots. Mol. Plant Microbe Interact. 14 : 255-260.
Bolan NS. 1991. A critical review on the role of mycorhhizal fungi in the uptake
of phosphorus by plants. Plant and Soil 134 : 189-209.
Bowen G. 1987. The biology and physiology of infection and its development.
In Safir, G.R. (ed.). pp. 27-57. Ecofisiology of VA mycorrhizal plants.
CRC. Press. Inc. Boca Raton. Florida.
BPS. 2003. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik Indonesia. 610 hal.
Brundrett MC, Melville L, Peterson L. 1994. Pratical methods in mycorrhiza
research. Mycologie Publications. Ontario, Canada. 161p.
Brundrett MC, Bougherr N, Dells B, Grove T, Malajczuk N. 1996. Working with
mycorrhizas in forestry and agriculture. ACIAR. Peter Lynch (Ed.) Pirie
Printers Canberra. Australia. 374 p.
149
Bryla DR, Duniway JM. 1997. Growth, phosphorus uptake and water relation of
safflower and wheat infected with an arbuscular mycorrhizal fungus. New
Phytol. 136 : 591-601.
Bryla DR, Duniway JM. 1998. The influence of the mycorrhiza Glomus
etunicatum on drought acclimation in safflower and wheat. Physiol. Plant.
104 : 87-96
Camprubi A, Calvet C. 1996. Isolation and screening of mycorrhizal fungi from
citrus nurseries and orcards and inoculation studies. Hort. Sci. 31 : 366-
369.
Cui M, Nobel PS. 1992. Nutrient status, water uptake and gas exchange for three
desert succulents infected with mycorrhizal fungi. New Phytol.122: 643-
649.
Clark RB. 1997. Arbuscular mycorrhizal adaptation, spore germination, root
colonization and host plant growth and mineral acquisition at low pH.
Plant and Soil 192 : 15-22.
Cooper KM, Tinker P B. 1978. Translocation and transfer nutrient in vesicular-
arbuscular mycorrhiza II.. Uptake and translocation of phosphorus, zinc
and sulphur. New Phytol. 81 : 43-52.
Cordoba AS, de Medonca MM, Sturmer SL, Rygiewicz PT. 2001. Diversity of
arbuscular mycorrhizal fungi along a sand dune stabilization gradient : A
case study at Joaquina Beach on the Island of Santa Catarina, South
Brazil. Mycoscience 42 : 379-367
Cuenca G, Lovera M. 1992. Vesicular-arbuscular mycorrrrhizae in disturbed and
revegated sites from La Gran Sabana, Venezuela. Can. J. Bot. 70 : 73-79.
Damanik FSD. 1996. Pengaruh inokulasi mikoriza terhadap pertumbuhan dan
penyiraman bibit kelapa sawit. Skripsi. Jur. BDP IPB Bogor.
Daniels BA, Menge JA. 1981. Evaluation of the commercial potential of the
VAM fungus, Glomus epigaeus. New Phytol. 87 : 345-353.
Daniels BA, Trappe JM. 1980. Factors affecting spore germination of vesicular-
arbuscular mycorrhizal fungus, Glomus epigaeus. Mycology 72 : 457-
463.
Davies FT Jr, Potter JR, Linderman RG. 1992. Mycorrhiza and repeated drought
exposure affect drought resistance and extraradical hyphae development of
pepper plants independent of plant size and nutrient content. J. Plant
Physiol. 139: 289-294.
150
Davies FT Jr, Potter JR, Linderman RG. 1993. Drought resistance of
mycorrhizal pepper plants independent of leaf P concentration-response in
gas exchange and water relations. Physiol. Plant. 87;45-53.
Davies FT, Svenson SE, Cole JC, Phavaphutanon L, Duray SA, Olaldde-Portugal
V, Meir CE. Bo SH. 1996. Non-nutritional stress acclimation of
mycorrhizal woody plants exposed to drought. Tree Physiol. 16:985-993.
Delfine S, Loreto F, Alvino A. 2001. Drougth-stress effects on physiology,
growth and biomass production of rainfed and irrigated bell pepper plants
in the Mediterranean region. J. Amer. Soc. Hort. Sci. 126 (3) : 297-304.
Delvian 2003. Keanekaragaman cendawan mikoriza arbuskula (CMA) di hutan
pantai dan potensi pemanfaatannya. Studi kasus di hutan cagar alam
Leuweung Sancang Kabupaten Garut, Jawa Barat. Disertasi. IPB. 159
hal.
De Ronde JA, Van Der Mescht A, Steyn HSF. 2000. Prolin accumulation in
response to drought and heat stress in cotton. African Crop Science
Journal 8 : 85-91.
Dixon RK, Rao MV, Garge VK. 1994. Water relations and gas exchange of
mycorrhizal Leucaena leucocephala seedlings. Journal of Tropical Forest
Science 6: 542-552.
Dodd JC, Burton CC, Burns RG, Jeffries P. 1987. Phosphatase activity
associated with the roots and the rhizosphere of plants infected with
vesicular-arbuscular mycorhhizal fungi. New Phytol. 107 : 163-172.
Eivazi F, Tabatabai MA. 1977. Phosphatase in soils. Soil Biol. Biochem. 9 :
167-172.
Ekamawanti HA, Rukmi I, Rahayu S. 1994. Eksplorasi keanekaragaman
cendawan mikoriza arbuskular (CMA) pada lahan gambut. Makalah
dalam Seminar on Self Development Project. Univ. Andalas, Padang
(tidak dipublikasikan).
Erickson A. 2001. Arbuscular mycorrhiza in relation to management history, soil
nutrients and plant species diversity. Plant Ecology 155 : 129-137.
Ervayenri. 1998. Studi keanekaragaman dan potensi inokulan cendawan
mikoriza arbuskula (CMA) di lahan gambut (studi kasus di Kab. Bengkalis
Prop. Riau). Thesis. Program Pascasarjana IPB, Bogor.
151
Ezawa T, Yoshida T. 1994. Acid phosphatase specific to arbuscular mycorrhizal
infection in marigold and possible role in symbiosis. Soil Sci. Plant Nutr.
40 (4) : 655-665.
Faber BA, Zasoski RJ, Munn DN, Shackel K. 1991. A method for measuring
hyphal nutrient and water uptake in mycorrhizal plants. Can.J. Bot. 69:
87-94.
Fakuara Y. 1986. Mikoriza, teori dan kegunaannya dalam praktek. Lembaga
Sumber Daya Informasi, IPB Bogor.
Fidelibus MW, Martin CA, Wright GC, Stutz JC. 2000. Effect of arbuscular
mycorrhizal (AM) fungal communities on growth of Volkamer lemon in
continually moist or periodically dry soil. Scientia Horticulturae 84 : 127-
140
Gahoonia TS, Raza S. Nielsen NE. 1994. Phosphorus depletion in the rhizosphere
as influenced by soil moisture. Plant and Soil 159: 213-218.
Garbaye J. 1994. Helper bacteria : a new dimension to the mycorrhizal
symbiosis. New Phytol. 128 : 197-210.
Garbaye J, Bowen GD. 1989. Stimulation of ectomycorrhizal infection of Pinus
radiata by some microorganisms associated with the mantle of
ectomycorrhizas. New Phytol. 112 : 383-388.
Garbaye J, Duponnois R. 1992. Specificity and function of Mycorrhizal Helper
Bacteria (MHB) associated with the Pseudotsuga menziesii-Laccaria
laccata symbiosis. Symbiosis 14 : 335-344.
Gardner FP, Pearce RB, Mitchell RL. 1991. Physiology of crop plants. The
IOWA State University Press. 427 hal.
Gianinazii-Pearson V, Gianinazii S. 1983. The physiology of vesicular-
arbuscular mycorrhizal roots. Plant and Soil 71 : 197-209.
Gibon Y, Sulpice R. and Larher F. 2000. Prolin accumulation in canola leaf
discs subjected to osmotic stress is related to loss of chlorophylls and to
the decrease of mitochondrial activity. Physiol. Plant. 110:469-476.
Giovannetti M. 1985. Seasonal variation of vesicular-arbuscular mycorrhizas and
endo gonaceous spores in a maritime sand dune. Trans. Br. Mycol.Soc.
84:679-684.
152
Goicoechea N, Antolin MC, Sanchez-Diaz M. 1997. Influence of arbuscular
mycorrhizae and Rhizobium on nutrient content and water relations in
drought stressed alfalfa. Plant and Soil 192: 261-268.
Goicoechea N, Dolezal K, Antolin MC, Strnad M, Sanchez-Diaz M. 1995.
Influence of mycorrhizae and Rhizobium on Cytokinin content in drought
alfalfa. J. Exp. Bot. 46 : 1543-1549.
Graham, J. H., D. L. Drouillard, and N C Hodge. 1996. Carbon economy of sour
orange in respons to different Glomus spp. Tree Physiol. 16 : 1023-1029.
Graham JH, Eissentat DM. 1998. Field evidence for the carbon cost od citrus
mycorrhizas. New Phytol. 140 : 103-110.
Grieve CM, Grattan SR. 1983. Rapid assay for determination of water soluble
quartenary ammonium compounds. Plant and Soil 70 : 303-307.
Gunawan AW. 1993. Mikoriza arbuskula. PAU Ilmu Hayat. IPB. Bogor.
Hanafiah KA. 2001. Pengaruh inokulasi ganda fungi mikoriza arbuskuler dan
Azospirrilum brasilience dalam peningkatan efisiensi pemupukan P. dan N
pada padi sawah tadah hujan. Ringkasan Disertasi. Program Pascasarjana
IPB Bogor.
Hanapiah T. 1997. Pengaruh inokulasi mikoriza arbuskula dan pemupukan fosfor
terhadap pertumbuhan bibit kopi arabika (Coffea arabica L.). Skripsi
Faperta IPB Bogor.
Hanum C. 2004. Penapisan beberapa galur kedelai (Gglycine max L.Merr.)
toleran cekaman aluminium dan kekeringan serta tanggap terhadap
mikoriza vesikular arbuskular. Disertasi. Sekolah Pascasarjana. IPB.
Bogor. 162 hal.
Hapsoh. 2003. Kompatibilitas MVA dan beberapa genotype kedelai pada
berbagai tingkat cekaman kekeringan tanah ultisol : Tanggap
morfofisiologi dan hasil. Disertasi. Sekolah Pascasarjana. IPB. Bogor.
146 hal.
Hare PD, Cress WA, Staden JV. 1998. Dissecting the roles of osmilyte
accumulation during stress. Plant, Cell & Environment 21 : 535-553.
Harjadi SS, Yahya S. 1988. Fisiologi Stres Lingkungan. Pusat Antar
Universitas. Institut Pertanian Bogor. 236 hal.
Harman DZ, Izuno FT. 1993. Soil Plant Water Relationships. Florida
Cooperative Extension Service. IFAS. Univ. of Florida.
153
Hartley CWS. 1977. The Oil Palm. Longman Inc. New York. 806p.
Haupt-Herting S, Fock HP. 2000. Exchange of oxygen and its role in energy
dissipation during drourht stress in tomato plants. Physiol. Plant. 110:
489-495.
Heijne B, van Dam D, Heil GW, Bobbink R. 1996. Acidification effects on
vesicular-arbuscular mycorrhizal (VAM) infection, growth and nutrient
uptake of established heathland herb species. Plant and Soil 179 : 197-
206.
Henderson JC, Davies FT Jr. 1990. Drought acclimation and the morphology of
mycorrhizal Rosa hybrida L. cv. ‘Ferdy’ is independent of leaf element
content. New Phytol. 115: 503-510.
Hutomo T, Paimin K, Syamsudin E, Adiwiganda YT. 1997. Upaya
penanggulangan dampak kekeringan dan kebakaran pada tanaman kelapa
sawit. Makalah pada Seminar Sehari PPKS dan GAKPI, Medan.
INVAM. 2003. International culture collection of (vesicular) arbuscular
mycorrizal fungi. http://Invam.caf.wvu.edu/myc-info/Taxonomy/
classification.htm. (18 Agustus 2003).
Janos DP, Hartsorn GS. 1997. Arbuscular mycorrhizae sustain tropical plant
biodiversity. Makalah dalam The International Conference on
Mycorrhizas. Mycorrhizas in Sustainable Tropical Agriculture and Forest
Ecosystem. Research and Development Centre for Biology, Indonesian
Institute of Sciences (LIPI), Bogor (tidak dipublikasikan).
Johson-Green PC, Booth T. 1995. The distribution and phenology of arbuscular
mycorrhizas along an inland salinity gradient. Can. J. Bot. 73 : 1318-
1327.
Kabir Z, Halloran IPO, Fyles JW, Hamel C. 1997. Seasonal changes of
arbuscular mycorrhizal fungi as affected by tillage practices and
fertilization : hyphal density and mycorrhizal root colonization. Plant and
Soil 192 : 285-293.
Kirkham MB. 1990. Plant responses to water deficits. Pp. 323-342. In BA
Stewart and DR Nielsen (ed.). Irrigation of Agricultural Crops. Madison
Wisconsin USA.
Kobashi K, Gemma H, Iwahori S. 2000. Abcisic acid content and ssugar
metabolism of peaches grown under water stress. J. Amer. Soc. Hort.
Sci. 125 (4) : 425-428.
154
Kormanik PP, Mc. Graw AC. 1982. Quantification of vesicular-arbuscular
mycorrhizae in plant root. In NC Schenck. (ed.). Methods and Principles
of Mycorrhizae Research. The American Phytop. Soc. 46 : 37-45.
Kothari SK, Marschner H, George E. 1990. Effect of VA mycorrhizal fungi and
rhizosphere microorganism on root and shoot morphology, growth, and
water relations of maize. New Phytol. 116:303-311.
Kramadibrata K, Hedger JN. 1990. A New Species of Acaulospora assosiated
with cocoa in Java and Bali (Indonesia). Mycotaxon 37 : 73-77.
Kramer P.J and Boyer J.S. 1995. Water relations of plant and soils. Academic
Press Inc. London.
Lee KK, Reddy MV, Wani SP, Trimurti N. 1996. Vesicular-arbuscular
mycorrhizal fungi in earthworm casts and surrounding soil in relation to
soil management of a semi arid tropical Alfisol. Applied Soil Ecology 3
:177-181.
Liu A, Hamel C, Hamilton RI, Smith DL. 2000. Mycorrhizae formation and
nutrient uptake of new corn (Zea mays L.) hybrids with extreme canopy
and leaf architecture as influenced by soil N and P levels. Plant and Soil
221 : 157-166.
Makela P, Kontturi M, Pehu E, Somersalo S. 1999. Photosynthetic response of
drought- and salt- stressed tomato and turnip rape plants to foliar-applied
glycinebetaine. Physiol. Plant. 105 : 45-50.
Marschner H. 1997. Mineral nutrition of higher plant. Univ. Academic Press.
Inc. San Diego. 889p.
Marschner H, Dell B. 1994. Nutrient uptake in mycorrhizal symbiosis. Plant and
Soil 159 : 89-102.
Mathur N and Vyas A. 2000. Influence of arbuskular mycorrhizae on biomass
production, nutrient uptake and physiological changes in Ziziphus
mauritiana Lam. Under water stress. J. Arid. Environments 45: 191-195.
McGonigle TP, Evans DG, Miller MH. 1990. Effect of degree of soil disturbance
on mycorrhizal colonization and phosphorus absorption by maize in
growth chamber and field experiment. New Phytol. 116:629-636
Mengel K, Kirkby EA. 1987. Principles of Plant Nutrition. International Potash
Institute. Switzerland.
155
Minerdi D, Bianciotto V, Bonfante P. 2002. Endosymbiotic bacteria in
mycorrhizal fungi : from their morphology to genomic sequences. Plant
and soil 244 : 211-219.
Morte A, Lovisolo C, Schubert A. 2000. Effect of drought dtress on growth and
water relations of the mycorrhizal association Helianthemum almeriense-
Ierfezia claveryi. Mycorrhiza 10 : 115-119.
Mullet JE, Whitsitt MS. 1996. Plant cellular responses to water deficit. Plant
Growth Reg. 20 : 119-124.
Muslimin. 1994. Pengaruh inokulasi berbagai taraf dosis cendawan mikoriza (G.
margarita dan S. columnare) terhadap pertumbuhan bibit kakao. Skripsi.
Jur. BDT IPB Bogor.
Muthukumar T, Udaiyan K, Manian S. 1996. Vesicular-arbuscular mycorrhizae
in tropical sedges of southern India. Biol Fertil Soils 22 : 96-100.
Nadarajah P. 1999. Vesicular arbuscular mycorrhizal fungi in two Malaysia oil
palm and cocoa plantations and adjacent grassland. Makalah dalam The
International Conference on Mycorrhizas. Mycorrhizas in Sustainable
Tropical Agriculture and Forest Ecosystem. Research and Development
Centre for Biology, Indonesian Institute of Sciences (LIPI), Bogor (tidak
dipublikasikan).
Nadarajah P, Nawawi A. 1997. Vesicular-arbuscular mycorrhizal fungi in
Malaysian Plantations and grasslands. Makalah dalam The International
Conference on Mycorrhizas. Mycorrhizas in Sustainable Tropical
Agriculture and Forest Ecosystem. Research and Development Centre for
Biology, Indonesian Institute of Sciences (LIPI), Bogor (tidak
dipublikasikan).
Nelson CE. Safir GR. 1982. Increased drought tolerance of mycorrhizal onion
plants caused by improved phosphorus nutrition. Planta 154 : 407-413.
Ocampo JA, Cardona FL, El-Atrach F. 1986. Effect of root extracts of non host
plants on VA mycorrhizal infection and spore germination Hal. 721-724.
Di dalam : Gianinazzi-Pearson V dan Gianinazzi S (eds.). Physiological
and genetical aspect of mycorrhizae. Proceed. On the 1st European
Symposium on Mycorrhizae.
Ortas I., Harris PJ, Rowell DL. 1996. Enhance uptake of phosphorus by
mycorrhizal sorghum plants as influenced by forms of nitrogen. Plant and
Soil 184 : 255-264.
156
Osonubi O, Bakare ON, Mulongoy K. 1992. Interactions between drought stress
and vesicular-arbuscular mycorrhiza on the growth of Faidherbia albida
(syn. Acacia albida) and Acacia nilotica in sterile and non-sterile soil.
Biol. Fertil. Soils 14: 159-165.
Pangaribuan Y. 2001. Studi karakter morfofisiologi tanaman kelapa sawit
(Elaeis guineensis Jacq.) di pembibitan terhadap cekaman kekeringan.
Tesis. Program Pascasarjana, IPB, Bogor.
Pastor A, Lopez-Carbonell M, Alegre L. 1999. Abcisic acid immunolocalization
and ultrastructural changes in water-stressed lavender (Lavandula stoechas
L.) plants. Physiol. Plant. 105 : 272-279.
Pattanagul W, Madore MA. 1999. Water deficit effects on raffinose family
oligosaccharide metabolism in coleus. Plant Physiol. 121 : 987-993.
Pennypacker BW, Leath KT, Stout WL, Hill Jr RR. 1990. Technique for
simulating field drought stress in the greenhouse. Agron. J. 82 : 951-957.
Phipps CJ, Taylor TN. 1996. Mixed arbuscular mycorrhizae from the Triassic of
Antartica. Mycology 88 (5) : 707-714.
Pond EC, Menge JA, Jarrell WM. 1984. Improved growth of tomato in salinized
soil by vesicular-arbuscular mycorrhizal fungi collected from salin soils.
Mcology 76 : 74-84.
Popova LP and Riddle KA. 1996. Development and accumulation of ABA in
fluridone-treated and drought stress Vicia faba plants under different light
conditions. Physiol. Plant. 98:791-797.
Popova LP, Outlaw WH Jr., Aghoram K and Hite DRC. 2000. Abscisic acid-an
intraleaf water-stress signal. Physiol. Plant. 108: 376-381.
Prawiranata WS, Harran S, Tjondronegoro P. 1992. Dasar-dasar fisiologi
tumbuhan. Jilid I. Jur. Biologi. Fak. Matematika dan IPA. IPB.
Prevete KJ, Fernandez RT, Miller WB. 2000. Drougth response of three
ornamental herbaceous perennials. J. Amer. Soc. Hort. 125 (3) : 310-317.
Purwanto A. 1999. Studi hubungan salinitas dengan kelimpahan CMA pada lahan
hutan pantai dan hutan mangrove di Cagar alam Leuweung Sancang Kab.
Garut Jawa Barat. Skripsi. Jurusan Manajemen Hutan, Fak. Kehutanan,
IPB.
157
Puspa W, Suwandi. 1990. Pemanfaatan mikoriza vesikula-arbuskula pada
perkebunan kelapa sawit (Elaeis guineensis). Bull. Puslitbun. Marihat 10 :
5-13.
Putri ER. 1998. Uji keefektivan beberapa isolat mikoriza arbuskula untuk
meningkatkan pertumbuhan semai P. falcataria L. Nielsen, Acacia
crasicarpa A. Cunn. Ex. Benth dan A. mangium pada media tailing.
Skripsi. Jurusan Manajemen Hutan, Fak. Kehutanan, IPB.
Rachim A. 1995. Penggunaan kation-kation polivalen dalam kaitannya dengan
ketersediaan fosfat untuk meningkatkan produksi jagung pada tanah gambut.
Disertasi. Program Pasca Sarjana, IPB, Bogor.
Ragupathy S, Mahadevan A. 1991. VAM distribution influenced by salinity
gradient in a coastal tropical forest. Hal : 91-97. Di dalam : Soerianegara
and Supriyanto (Eds.). Proceed. Of second Asian Conference on
Mycorrhiza. BIOTROP Special Publication. No. 42 SEAMEO BIOTROP
Bogor.
Rijal M. 1998. Pengaruh beberapa jenis cendawan endomikoriza dan media
tumbuh terhadap pertumbuhan semai Duabanga moluccana Bl. Skripsi.
Jurusan Manajemen Hutan, Fak. Kehutanan, IPB.
Roosens NHCJ, Thu TT, Iskandar HM, Jacobs M. 1998. Isolation of the
ornithine-δ-aminotransferase cDNA and effect of salt stress on expression
in Arabidopsis thaliana. Plant Physiol. 117 : 263-271.
Ruiz-Lozano JM, Azcon R. 1995. Hyphal contribution to water uptake in
mycorrhizal plants as affected by fungal species and water status. Physiol.
Plant. 95: 472-478.
Ruiz-Lozano JM, Azcon R, Gomez M. 1995. Effects of arbuscular-mycorrhizal
Glomus species on drought tolerance : Physiological and nutritional plant
responses. Appl. Environ. Microbiol. 61: 456-460.
Ruiz-Lozano JM, Gomez M, Nunez R, Azcon R. 2000. Mycorrhizal colonization
and drought stress affect δ13C in 13CO2-labeled lettuce plants. Physiol.
Plant. 109: 268-273.
Salisbury FB, Ross CW. 1992. Plant Physiology. Wadsworth Publishing Co.
Inc. Colorado.
Sasli I. 1999. Tanggap karakter morfosiologi bibit kakao terhadap cekaman
kekeringan dan aplikasi mikoriza arbuskula. Thesis. Program Pascasarjana
IPB Bogor.
158
Sastrahidayat IR. 1991. Pengaruh VA-mikoriza terhadap pertumbuhan dan
produksi padi gogo pada berbagai kondisi tanah dan serangan hama
penyakit. Badan Litbang Pertanian.
Sastrahidayat IR. 1992. Pengaruh pemberian pupuk hayati (endomikoriza) pada
peningkatan produktivitas tanaman kacang-kacangan pada tanah miskin
fosfor. Kerjasama Badan Litbang Pertanian dan Unibraw.
Sastrahidayat IR. 2000. Aplikasi mikoriza vesikular arbuskular pada berbagai
jenis tanaman pertanian di Jawa Timur P. 334-346. Dalam Prosid. Seminar
Mikoriza I. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam, Badan Litbang
Kehutanan dan Perkebunan, Dept. Kehutanan dan Perkebunan.
Schelkle M, Peterson RL. 1996. Suppression of common root pathogens by
helper bacteria and ectomycorrhizal fungi in vitro. Mycorrhiza 6 : 481-
485.
Schreiner RP, Mihara KL, McDaniel H, Bethlenfalvay GJ. 1997. Mycorrhizal
fungi influence plant and soil functions and interactions. Plant and Soil
188 : 199-209.
Schweiger PF, Jakobsen I. 1999. Direct measurement of arbuscular mycorrhizal
phosphorus uptake into field-grown winter wheat. Agron. J. 91 : 998-
1002.
Setiadi Y. 1989.Pemanfaatan mikroorganisme dalam kehutanan. Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Dirjen Dikti. PAU Bioteknologi, IPB Bogor.
Setiadi Y. 1998. Fungsi mikoriza arbuskula dan prospeknya sebagai pupuk
biologis. Makalah disampaikan pada workshop aplikasi cendawan
mikoriza arbuskula pada tanaman pertanian, kehutanan, dan perkebunan.
Tanggal 5-10 Oktober 1998. PAU Bioteknologi, IPB Bogor.
Shetty K. 1997. Biotechnology to harness the benefits of dietary phenolics; focus
on Lamiaceae. Asia Pacific J. Clin. Nutr. 6 (3) : 162-171.
Sieverding E. 1991. Vesicular-arbuscular Mycorrhiza Management in Tropical
Agrosystems. Deutsche Gessellschaft fur Technische Zusammenarbeit
(GTZ), Eschborn, Germany.
Siguenza C, Espejel I, Allen EB. 1996. Seasonality of mycorrhizae in coastal and
dunes of Baja California. Mycorrhiza 6 : 151-157.
Siregar HH. 1998. Model simulasi produksi kelapa sawit berdasarkan
karakteristik kekeringan. Kasus kebun kelapa sawit di Lampung. Tesis.
Program Pascasarjana, IPB, Bogor.
159
Sironi M, Fornili A and Fornili SL. 2001. Water interaction with glycine betaine:
A hybrid QM/MM molecular dynamics simulation.
Phys.Chem.Chem.Phys. 3: 1081-1085.
Smith FA, Smith SE. 1996. Mutualism and parasitism diversity in function and
structure in the arbuscular (VA) mycorrhizal symbiosis. Advances in
Botanical Research vol 22. Academic Press.
Smith SE, Read DJ. 1997. Mycorrhizal Symbiosis. Second Edition. Academic
Press. Harcourt Brace & Company Publisher. London.
Soepardi G. 1983. Sifat dan ciri tanah. Jur. Tanah Faperta IPB Bogor.
Solaiman MZ, Hirata H. 1997. Effect of arbuscular mycorrhizal fungi
inoculation of rice seedling at the nursery stage upon performance in the
paddy field and greenhouse. Plant and Soil 191 : 1-12.
Stahl PD, Schuman GE, Frost SM and Williams SE. 1998. Arbuscular
mycorrhizae and water stress tolerance of Wyoming big sagebrush
seedlings. Soil Sci. Soc. Am. J. 62:1309-1313.
Sturmer SL and Bellei MM. 1994. Composition and seasonal variation pf spore
population of arbuscular mycorrhizal fungi in dune soils on the island of
Santa Catarina, Brazil. Mycol.Res. 98:453-457.
Subashini HD, Natarajah K. 1997. Enzymes and phytohormones in some
ectomycorrhizal fungi. In : Mycorrhizas in sustainable tropical
agricultural and forest ecosystems. LIPI. Bogor.
Subramanian KS, Charest C. 1998. Arbuscular mycorrhizae and nitrogen
assimilation in maize after drought and recovery. Physiol. Plant. 102: 285-
296.
Subramanian KS, Charest C. 1997. Nutritional, growth and reproductive
responses of maize (Zea mays L.) to arbuscular mycorrhizal inoculation
during and after drought stress at tasselling. Mycorrhiza 7 : 25-32.
Subramanian KS, Charest C, Dwayer LM, Hamilton RI. 1995. Arbuscular
mycorrhizas and water relations in maize under drought stress at tasselling.
New Phytol. 129 : 643-650.
Sudjadi M. 1984. Masalah kesuburan tanah Podsolik Merah Kuning dan
kemungkinan pemecahannya. Hal. 3-10. Dalam Prosiding Pertemuan
Teknis Pola Usaha Tani Menunjang Transmigrasi. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.
160
Sutanto A, Akiyat, Koedadiri A, Sitanggang BH, Sudarta ES, Syamsudin E,
Brahmana J, Martoyo K, Maskuddin, Fadli ML, Purba P, Purba RY,
Soegiyono, Prawirosukarto S, Winarna, Darmosarkoro W. 2002.
Budidaya Kelapa Sawit. Pusat Penelitian Kelapa Sawit, Medan.
Syvertsen JP, Graham JH. 1999. Phosphorus supply and arbuscular mycorrhizas
increase growth and net gas exchange responses of two Citruss spp. grown
at elevated [CO2]. Plant and Soil 208 : 209-219.
Tezara W, Mitchel VJ, Driscoll SD, Lawlor DW. 1999. Water stress inhibits
plant fotosintesis by decreasing coupling factor and ATP. Nature 401;
914-917.
Tim Penulis Penebar Swadaya. 1998. Kelapa Sawit. Usaha Budidaya,
Pemasaran Pemanfaatan Hasil, dan Aspek Pemasaran. Penebar Swadaya,
Jakarta.
Tisdale SL, Nelson WL, Beaton JD. 1985. Soil Fertility and Fertilizers. Fourth
edition. Macmillan Publish. Company. New York.
Tisdall JM. 1991. Fungal hypha and structural stability of soil. Aust. J. Soil
Res. 29 : 729-743.
Treseder KK, Allen NF. 2002. Direct nitrogen and phosphorus limitation of
arbuscular mycorrhizal fungi : a model and field test. New Phytol. 155 :
507-515.
Trotel-Aziz P, Niogret MF, Larher F. 2000. Proline level is partly under the
control of abcisic acid in canola leaf disc during recovery from hyper-
osmotic stress. Physiol. Plant. 110 : 376-383.
Verslues PE, Sharp RE. 1999. Prolin accumulation in maize (Zea mays L.)
primary roots at low water potentials. II. Metabolic source of increase
prolin deposition in the elongation zone. Plant Physiol. 119: 1349-1360.
Walton EF, Podivinsky E, Wu RM, Reynolds PHS, Young LW. 1998.
Regulation of proline biosynthesis on kiwifruit buds with and without
hydrogen cyanamide treatment. Physiol. Plant. 102 : 171-178.
Widiastuti H. 2004. Biologi interaksi cendawan mikoriza arbuskula kelapa sawit
pada tanah masam sebagai dasar pengembangan teknologi aplikasi dini.
Disertasi. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
Widiastuti H, Kramadibrata K. 1992. Jamur mikoriza bervesikula-arbuskula di
beberapa tanah masam dari Jawa Barat. Menara Perkebunan 60 (1) : 9-19.
161
Widiastuti H, Tahardi S. 1993. Effect of vesicular-arbuscular mycorrhizal
inoculation on the growth and nutrient uptake of micropropagated oil
palm. Menara Perkebunan 61 (3) : 56-60.
Wijana G. 2001. Analisis fisiologi, biokimia dan molekuler sifat toleran tanaman
kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) terhadap cekaman kekeringan.
Disertasi. Program Pascasarjana, IPB. Bogor.
Xing W, Rajashekar CB. 2001. Glycine betain involvement in freezing tolerance
and water stress in Arabidopsis thaliana. Environmental and
Experimental Botany 46 : 21-28.
Yang CW, Kao CH. 1999. Importance of ornithine-δ-transferase to prolin
accumulation caused by water stress in detached rice leaves. Plant Growth
Reg. 27 : 189-192.
Yokota T, Nakayama M, Harasawa I, Sato M, Katsuhara M, Kawabe S. 1994.
Polyamines, indole-3-acetic acid and abcisic acid in rice phloem sap.
Plant Growth Reg. 15 : 125-128.
Zhao ZW, Xia YM, Qin XZ, Li XW, Cheng LZ, Sha T, Wang GH. 2001.
Arbuscular mycorrhizal status of plants and the spore density of arbuscular
mycorrhizal fungi in the tropical rain forest of xishuangbanna, southwest
China. Mycorrhiza 11 : 159-162.
162
L A M P I R A N
163
Lampiran 1. Prosedur pengamatan kolonisasi CMA pada akar tanaman contoh.
Pengamatan kolonisasi CMA pada akar tanaman contoh dilakukan melalui
teknik pewarnaan akar (staining akar). Metode yang digunakan adalah metode
Kormanik dan McGraw (1982) sebagai berikut :
1. Akar-akar segar dipilih dan dicuci dengan air mengalir hingga bersih. Contoh
akar direndam dalam larutan KOH 10% sampai akar menjadi jernih.
2. Larutan KOH kemudian dibuang dan contoh akar dicuci dengan air mengalir
selama 5-10 menit.
3. Contoh akar direndam dalam larutan HCl 5 % selama 30 menit, kemudian
larutan tersebut dibuang dengan mengalirkannya secara perlahan-lahan.
4. Contoh akar direndam dalam larutan staining (Trypan blue 0,05 %) dan
dipanaskan pada plat pemanas selama 10 menit.
5. Larutan Trypan blue dibuang dan diganti dengan larutan lacto glycerol untuk
proses destaining. Selanjutnya contoh akar siap diamati.
6. Penghitungan persentase kolonisasi akar menggunakan metode panjang slide
(slide length) dari Giovanetti dan Mosse (1980). Secara acak potongan-
potongan akar yang telah diwarnai diambil dengan panjang ± 1 cm sebanyak
10 potongan akar dan disusun dalam preparat slide. Kolonisasi akar ditandai
dengan adanya hifa, vesikula, arbuskula atau salah satu dari ketiganya. Setiap
bidang pandang (field of view/fov) mikroskop yang menunjukkan tanda
kolonisasi diberi simbol (+) dan yang tidak (-). Jumlah bidang pandang yang
akan diamati sebanyak 10 buah per 1 potongan akar. Persentase kolonisasi
akar dihitung dengan menggunakan rumus :
Σ field of view (+)
% kolonisasi = ------------------------ x 100 %
Σ field of view
164
Tabel Lampiran 2. Rekomendasi pemupukan bibit kelapa sawit di tanah PMK
yang dilaksanakan oleh Pusat Penelitian Kelapa Sawit
(PPKS) Medan
Umur
(minggu)
Jenis dan dosis pupuk
Urea (45 %)
(g/bibit)
Rock Phosphate
Christmas
(28,39%) (g/bibit)
KCl (50%)
(g/bibit)
Kisserite
(27%)
(g/bibit)
4-12 0,833 1,321 0,300 0,370
14 dan 15 0,833 1,321 0,300 0,370
16 dan 17 1,667 2,642 0,600 0,740
18 dan 20 2,500 3,963 0,900 1,110
22 dan 24 3,333 5,284 1,200 1,480
26, 28, 30,
dan 32
2,667 4,227 3,400 0,740
Keterangan : dosis pupuk diperoleh dari konversi dosis pupuk majemuk menurut
Sutanto, et al. (2000).
Untuk bibit umur 4-12 bulan urea ditambah 2 g/liter air/100 bibit.
Tabel Lampiran 3. Rekomendasi pemupukan bibit kelapa sawit di tanah gambut
yang dilaksanakan oleh PT Era Sakti Parastama, Desa Sakean,
Kecamatan Kumpeh Ulu, Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi
Jambi.
Umur
(minggu)
Jenis dan dosis pupuk
Urea (45 %)
(g/bibit)
Rock Phosphate
(28,39) (g/bibit)
KCl (50%)
(g/bibit)
Kisserite (27%)
(g/bibit)
1-3 - 5,000 - -
4-12 - 5,000 - -
14 5,000 - - -
16 3,333 5,284 1,200 1,481
24,28,32 5,333 8,454 6,800 1,481
Keterangan : dosis pupuk diperoleh dari konversi dosis pupuk majemuk menurut
rekomendasi PT Era Sakti Parastama, Desa Sakean, Kecamatan
Kumpeh Ulu, Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi Jambi.
Untuk bibit umur 4-12 minggu pemupukan ditambah dengan :
a. Urea 8,333 g + Rock Phosphate 13,209 g + KCl 3,000 g +
Kisserite 3,704 g, yang dilarutkan dalam 10 L air untuk 200
bibit.
b. Urea 10 g/10 L air/200 bibit
165
Lampiram 4. Metode analisis aktivitas enzim fosfatase asam (E.C. 3.1.3.2
orthophosphoric-monoester phosphohydrolase)
AKAR
Pengukuran enzim fosfatase asam pada akar mengacu pada Dodd et al.
(1987) yang dimodifikasi dengan memperhatikan prosedur Ezawa dan Yoshida
(1994), dengan langkah-langkah sebagau berrikut :
1. Contoh akar dicuci bersih dari partikel-partikel tanah. Untuk
menghentikan metabolisme enzim, contoh akar direndam dalam N2 cair
selama 5 menit, lalu dibungkus dengan kertas alumunium dan disimpan
dalam ruang dingin.
2. 20 mg jaringan akar segar yang telah dipotong-potong dimasukkan dalam
tabung Erlenmeyer dan diinkubasi dengan 4 ml buffer asetat 0,1 M pH 5,2
dan 1 ml p-nitrofenilfosfat (p-NPP) 2,0 mM, selama satu jam pada suhu
35 oC di dalam shaking water bath (60 rpm).
3. Reaksi dihentikan dengan penambahan 5 ml NaOH 0,5 M.
4. Filtrat disentrifusi pada 3000 rpm selama 10 menit.
5. Kerapatan optic dari supernatant (jumlah p-nitrifenol yang dilepaskan)
diukur dengan spectrometer pada panjang gelombang 410 nm.
6. Blanko dilakukan sama seperti di atas, tetapi sebelum diinkubasi dengan
buffer asetat dan substrat p-NPP, aktivitas enzim dihentikan lebih dahulu
dengan penambahan 5 ml NaOH 0,5 M.
TANAH
Pengukuran enzim fosfatase asam pada akar mengacu pada Dodd et al.
(1987) yang dimodifikasi dengan memperhatikan prosedur Eivazi dan Tabatabai
(1977), dengan langkah-langkah sebagau berrikut :
1. 100 mg contoh tanah yang telah dikeringanginkan dan diayak dimasukkan
dalam tabung Erlenmeyer.
2. Contoh tanah ditambah 0,25 ml toluen dan diinkubasi dengan 4 ml buffer
asetat 0,1 M pH 5,2 dan 1 ml p-nitrofenilfosfat (p-NPP) 2,0 mM, selama
satu jam pada suhu 35 oC di dalam shaking water bath (60 rpm).
166
3. Reaksi dihentikan dengan penambahan 5 ml NaOH 0,5 M. Khusus untuk
contoh tanah gambut bekas hutan, reaksi dihentikan dengan pemanasan
dalam penangas pada suhu 110 oC selama 10 menit dan untuk
mendapatkan volume yang sama ditambahkan 5 ml air suling.
4. Filtrat disaring dengan kertas saring biasa.
5. Kerapatan optic dari supernatant (jumlah p-nitrifenol yang dilepaskan)
diukur dengan spectrometer pada panjang gelombang 410 nm.
6. Blanko dilakukan sama seperti di atas, tetapi sebelum diinkubasi dengan
buffer asetat dan substrat p-NPP, aktivitas enzim dihentikan lebih dahulu
dengan penambahan 5 ml NaOH 0,5 M (untuk contoh tanah PMK) dan
dengan pemanasan (untuk contoh tanah gambut bekas hutan).
7. Kontrol positif dilakukan sama seperti di atas, tetapi setelah inkubasi satu
jam dilakukan penambahan 1 ml p-NPP yang kedua, dan diinkubasi
kembali selama 45 menit. Reaksi dihentikan dengan penambahan 5 ml
NaOH 0,5 M (untuk contoh tanah PMK) dan dengan pemanasan (untuk
contoh tanah gambut bekas hutan).
KURVA STANDAR
Kurva standar dibuat dengan menentukan serapan p-nitrifenol (p-NP) dari
konsentrasi 0,1 mM sampai dengan 2,0 mM pada panjang gelombang 410 nm :
1. Stok larutan standar 50 ml p-NP 2,0 mM dibuat dengan menimbang
0,01391 g p-NP dan dilarutkan dalam air suling hingga 50 ml.
2. Untuk mendapatkan 1 ml p-NP dengan konsentrasi 0,05 mM sampai
dengan 2,0 mM, masing-masing dilakukan pengenceran stok larutan p-NP
2 mM.
3. Satu ml p-NP masing-masing konsentrasi ditambah dengan 4 ml buffer
asetat dan 5 ml NaOH, kemudian diukur nilai absorbansinya dengan
spectrometer pada panjang gelombang 410 nm.
4. Blanko dibuat tanpa menggunakan p-NP, yaitu 1 ml air suling ditambah 4
ml buffer asetat dan 5 ml NaOH. Maisng-masing dibuat duplo.
167
Lampiran 5. Prosedur analisis prolina
Kadar prolina dianalisis berdasarkan metode Bates et al. (1973) sebagai
berikut:
1. Potongan daun yang telah dikeringkan secara dingin (Freeze drying)
ditimbang sebanyak 0,5 g, kemudian digerus dan dihomogenasi dengan 10
ml asam sulfosalisilat 3%.
2. Bahan tersebut selanjutnya disentrifusi pada 9000xg selama 15 menit
sehingga diperoleh supernatan.
3. Supernatan dipipet sebanyak 2 ml, kemudian direaksikan dengan 2 ml
larutan asam ninhidrin dan 2 ml asam asetat glacial dalam tabung reaksi.
4. Selanjutnya dipanaskan pada penangas air suhu 100 oC selama 60 menit.
5. Setelah 1 jam, kemudian diinkubasikan dalam es curah selama 5 menit.
Hasil reaksi selanjutnya diekstraksi dengan 4 ml toluen sehingga terbentuk
kromoform.
6. Kromoform yang terbentuk diukur absorbansinya dengan Spectronic 20
Genesys pada panjang gelombang 520 nm. Sebagai standar digunakan DL-
Proline (Sigma) 0,1 – 3,0 mM yang dilarutkan dalam asam sulfosalisilat
3%. Kadar prolin dinyatakan sebagai μmol/g daun basis kering.
Lampiran 6. Prosedur analisis ABA
Ekstraksi ABA mengikuti prosedur yang dilakukan Yokota et al. (1994)
yang dimodifikasi sebagai berikut :
1. Satu gram contoh daun diekstrak dengan buffer fosfat pH 8.3 + sodium
dietil ditio carbamat 1 mg. Kemudian diekstrak dengan 2 x 10 mL
CH2Cl2.
2. Fraksi CH2Cl2 dipisahkan dengan fraksi air. Selanjutnya fraksi air diatur
pH-nya dengan 6 N HCl hingga pH 3.
3. Ekstrak 3 x 10 mL CH2Cl2, kemudian dipisahkan dari fraksi CH2Cl2.
Selanjutnya dihiddrasi dengan Na2SO4 anhiddrat.
4. Larutan dievaporasikan sampai hampir kering. Residu dilarutkan dengan
50 mL fase gerak (45% methanol : 55% asam asetat). Selanjutnya
168
dianalisis dengan HPLC. Standar ABA menggunakan standar ABA
(sigma).
Lampiran 7. Prosedur analisis glisina-betaina
Kadar glisina–betaina dianalisis berdasarkan metode Grieve dan Grattan
(1983) dengan sedikit perubahan, dengan langkah-langkah sebagai berikut :
1. Sebanyak 0,5 g potongan daun yang telah dikeringkan secara dingin
digeus dan diekstraksi dengan 20 ml aquades bebas ion.
2. Selanjutnya disaring dan diencerkan dengan 2N H2SO4 dengan
perbandingan 1:1 (v:v) dan sebanyak 0,5 ml didinginkan.
3. Setelah 60 menit pendinginan, campuran direaksikan dengan 0,2 ml
larutan KI-I2 dingin untuk pembentukan kristal periodida.
4. Kristal periodida pada tabung dilarutkan dengan 9 ml 1,2-dikloroetan dan
diukur absorbansinya dengan Spectronic 20 Genesys pada panjang
gelombang 498 nm dengan standar glisina-betaina (Sigma). Kadar glisina-
betaina dinyatakan sebagai μmol/g daun basis kering.
Lampiran 8. Prosedur pengukuran kadar P dalam tanaman
Kadar P dalam tanaman (tajuk) dianalisis dengan langkah-langkah sebagai
berikut :
1. Contoh kering mutlak 105oC ditimbang sebanyak 0.1 g, kemudian dimasukkan
dalam tabung reaksi 20 ml.
2. Ditambahkan 1 ml H2SO4 pekat dan 10 tetes H2O2 30%, digoyang perlahan-
lahan.
3. Ditambahkan 10 tetes H2O2 30% dan didestruksi kembali, lalu ditambahkan
H2O2 30%, dan diulangi sampai larutan contoh menjadi bening.
4. Larutan disaring ke dalam labu ukur 100 ml, dibilas dengan air destilasi,
kemudian labu ukur 100 ml dipenuhkan hingga tanda garis.
5. Filtrat contoh, blanko dan larutan seri standar (0-8 ppm) dipipet masing-
masing sebanyak 1 ml, kemudian dimasukkan ke dalam botol gelas 30 ml dan
169
ditambah 5 ml air destilasi. Satu ml larutan campuran dikocok homogen dan
ditunggu 15 menit.
6. Larutan seri standar, blanko dan contoh diukur absorbansinya dengan
spectronic 20.
Lampiran 9. Prosedur pengukuran kadar K dalam tanaman
Kadar K dalam tanaman (tajuk) dianalisis dengan langkah-langkah sebagai
berikut :
1. Contoh kering mutlak 105oC ditimbang sebanyak 0.1 g, kemudian dimasukkan
dalam tabung reaksi 20 ml.
2. Ditambahkan 1 ml H2SO4 pekat dan 10 tetes H2O2 30%, digoyang perlahan-
lahan.
3. Ditambahkan 10 tetes H2O2 30% dan didestruksi kembali, lalu ditambahkan
H2O2 30%, dan diulangi sampai larutan contoh menjadi bening.
4. Larutan disaring ke dalam labu ukur 100 ml, dibilas dengan air destilasi,
kemudian labu ukur 100 ml dipenuhkan hingga tanda garis.
5. Larutan blanko dan larutan contoh dipipet masing-masing 20 ml ke dalam
botol plastik, kemudian ditambahkan 1 ml larutan 4000 ppm LaCl3 dan
dikocok.
6. Diukur absorbansinya dengan flame photometer dan larutan standar (0-20 ppm
K) sebagai pembanding.
Lampiran 10. Sidik ragam uji kontras tinggi bibit, diameter batang dan jumlah
daun pada media tanah PMK bekas hutan pada Percobaan 2
SK
db Tinggi bibit
_________________________ Diameter batang
___________________________ Jumlah daun
_________________________
Jk KT Fhit. Pr>F Jk KT Fhit. Pr>F Jk KT Fhit. Pr>F
Isolat
Galat Total
17
36 53
658.74
438.29 1097.02
38.75
12.17
3.18 0.0017** 584.48
405.06 989.54
34.38 3.06 0.0024** 37.43
24.00 61.43
2.20
0.67
3.30 0.0013**
KK = 9.85 KK = 20.93 KK = 14.75
170
Lampiran 11. Sidik ragam uji kontras luas daun dan bobot kering akar di media
tanah PMK bekas hutan pada Percobaan 2
SK
db
Luas daun
__________________________________________
Bobot kering akar
_______________________________________
Jk KT Fhit. Pr>F Jk KT Fhit. Pr>F
Isolat
Galat
Total
17
36
53
1452774.25
105771.19
1558545.44
85457.31
2938.09
29.09
<.0001** 8.78
4.04
12.82
0.52
0.11
4.60 <.0001**
KK = 12.50 KK = 25.96
Lampiran 12. Sidik ragam uji kontras bobot kering tajuk, bobot kering bibit dan
nisbah tajuk akar di media tanah PMK bekas hutan pada Percobaan
2
SK
db
Bobot kering tajuk
___________________________
Bobot kering bibit
____________________________
Nisbah tajuk akar
______________________
Jk KT Fhit. Pr>F Jk KT Fhit. Pr>F Jk KT Fhit. Pr>F
Isolat Galat
Total
17 36
53
155.67 49.31
204.97
9.16 1.37
6.69 <.0001** 323.67 118.50
442.18
19.04 3.29
5.78 <.0001** 10.61 3.95
14.57
0.62 0.11
5.68 <.0001**
KK = 27.80 KK = 29.68 KK = 19.69
Lampiran 13. Sidik ragam uji kontras kadar P, serapan P dan infeksi akar di
media tanah PMK bekas hutan pada Percobaan 2
SK
db
Kadar P
_________________________
Serapan P
___________________________
Infeksi akar
_________________________
Jk KT Fhit. Pr>F Jk KT Fhit. Pr>F Jk KT Fhit. Pr>F
Isolat Galat
Total
17 36
53
0.28 0.17
0.45
0.017 0.005
3.43 0.0009** 5.58 1.78
7.36
0.33 0.05
6.65 <.0001** 24967.43
9322.00
34289.4
3
1468.67 258.94
5.67 <.0001**
KK = 28.30 KK = 22.45 KK = 22.83
Lampiran 14. Sidik ragam uji kontras tinggi bibit, diameter batang dan jumlah
daun di media tanah PMK bekas kebun karet pada Percobaan 2
SK
db
Tinggi bibit
_________________________
Diameter batang
___________________________
Jumlah daun
_________________________
Jk KT Fhit. Pr>F Jk KT Fhit. Pr>F Jk KT Fhit. Pr>F
Isolat
Galat
Total
17
36
53
383.13
409.84
792.97
22.54
11.38
1.98 0.0420* 399.01
165.26
564.27
23.47
4.59
5.11 <.0001** 14.67
23.33
38.00
0.86
0.65
1.33 0.2293tn
KK = 9.59 KK = 15.15 KK = 15.10
171
Lampiran 15. Sidik ragam uji kontras luas daun dan bobot kering akar di media
tanah PMK bekas kebun karet pada Percobaan 2
SK
db
Luas daun
__________________________________________
Bobot kering akar
_______________________________________
Jk KT Fhit. Pr>F Jk KT Fhit. Pr>F
Isolat
Galat
Total
17
36
53
701054.96
239715.84
940770.80
41238.53
6658.77
6.19 <.0001** 2.31
1.38
3.69
0.14
0.04
3.55 0.0007**
KK = 19.89 KK = 16.54
Lampiran 16. Sidik ragam uji kontras bobot kering tajuk, bobot kering bibit dan
nisbah tajuk akar di media tanah PMK bekas kebun karet pada
Percobaan 2
SK
db
Bobot kering tajuk
___________________________
Bobot kering bibit
____________________________
Nisbah tajuk akar
______________________
Jk KT Fhit. Pr>F Jk KT Fhit. Pr>F Jk KT Fhit. Pr>F
Isolat Galat
Total
17 36
53
157.81 26.11
183.92
9.28 0.73
12.80
<.0001** 249.88 52.15
302.03
14.70 1.45
10.15 <.0001**
1.22 2.77
3.99
0.07 0.08
0.93 0.5463tn
KK = 19.73 KK = 20.80 KK = 15.93
Lampiran 17. Sidik ragam uji kontras kadar P, serapan P dan infeksi akar di
media tanah PMK bekas kebun karet pada Percobaan 2
SK
db
Kadar P
_________________________
Serapan P
___________________________
Infeksi akar
_________________________ Jk KT Fhit. Pr>F Jk KT Fhit. Pr>F Jk KT Fhit. Pr>F
Isolat
Galat Total
17
36 53
0.56
0.26 0.82
0.03
0.01
4.52 <.0001** 5.83
1.37 7.20
0.34
0.38
8.99 <.0001** 23112.8
3 8102.00
31214.8
3
1359.58
225.06
6.04 <.0001**
KK = 19.27 KK = 21.39 KK = 22.71
Lampiran 18. Sidik ragam uji kontras tinggi bibit, diameter batang dan jumlah
daun di media tanah gambut bekas hutan pada Percobaan 2
SK
db
Tinggi bibit
_________________________
Diameter batang
___________________________
Jumlah daun
_________________________ Jk KT Fhit. Pr>F Jk KT Fhit. Pr>F Jk KT Fhit. Pr>F
Isolat
Galat
Total
17
36
53
829.24
391.05
1220.29
92.14
19.55
4.71 0.0019** 625.33 69.48
57.33
682.66
24.24
2.87
<.0001** 19.47
13.33
32.80
2.16
0.67
3.24 0.0136*
KK = 9.40 KK = 7.47 KK = 12.01
Lampiran 19. Sidik ragam uji kontras luas daun dan bobot kering akar di media
tanah gambut bekas hutan pada Percobaan 2
SK
db Luas daun
__________________________________________ Bobot kering akar
_______________________________________
Jk KT Fhit. Pr>F Jk KT Fhit. Pr>F
Isolat
Galat Total
17
36 53
1888055.61
133060.59 2021116.19
209783.96
6653.03
31.53 <.0001** 5.47
2.60 8.07
0.61
0.13
4.68 0.0020**
KK = 9.72 KK = 17.86
172
Lampiran 20. Sidik ragam uji kontras bobot kering tajuk, bobot kering bibit dan
nisbah tajuk akar di media tanah gambut bekas hutan pada
Percobaan 2
SK
db
Bobot kering tajuk
___________________________
Bobot kering bibit
____________________________
Nisbah tajuk akar
______________________ Jk KT Fhit. Pr>F Jk KT Fhit. Pr>F Jk KT Fhit. Pr>F
Isolat
Galat
Total
17
36
53
128.53
39.67
168.20
14.28
1.98
7.20 0.0001** 340.81
98.95
439.76
37.87
4.95
7.65 <.0001** 3.28
1.96
5.24
0.36
0.10
3.72 0.0069**
KK = 15.18 KK = 16.32 KK = 19.70
Lampiran 21. Sidik ragam uji kontras kadar P, serapan P dan infeksi akar di
media tanah gambut bekas hutan pada Percobaan 2
SK
db
Kadar P
_________________________
Serapan P
___________________________
Infeksi akar
_________________________
Jk KT Fhit. Pr>F Jk KT Fhit. Pr>F Jk KT Fhit. Pr>F
Isolat
Galat
Total
17
36
53
0.20
0.07
0.27
0.02
0.003
5.92 0.0005** 47.80
8.00
55.80
5.31
0.40
13.2
8
<.0001** 19745.3
3
2215.33 21960.6
6
2193.93
110.77
19.8
1
<.0001**
KK = 23.44 KK = 25.09 KK = 18.04
Lampiran 22. Sidik ragam uji ortogonal polinomial tinggi bibit dan bobot kering
bibit di media tanah PMK bekas hutan pada Percobaan 3
SK
db Tinggi bibit
__________________________________ Bobot kering bibit
__________________________________
Kontras KT Fhit. Pr>F Kontras KT Fhit. Pr>F
Linear dalam M0 Kuadratik dalam M0
Kubik dalam M0
Linear dalam M1 Kuadratik dalam M1
Kubik dalam M1
1 1
1
1 1
1
2455.04 205.01
127.90
3387.01 75.00
133.80
2455.04 205.01
127.90
3387.01 75.00
133.80
37.51 3.13
1.95
51.75 1.15
2.04
<.0001** 0.0958tn
0.1812tn
<.0001** 0.3003tn
0.1720tn
2702.69 13.06
38.58
3246.46 45.36
306.48
2702.69 13.06
38.58
3246.46 45.36
306.48
197.23 0.95
2.82
236.92 3.31
22.36
<.0001** 0.3435tn
0.1128tn
<.0001** 0.0476*
0.0002**
Lampiran 23. Sidik ragam uji ortogonal polinomial diameter batang dan jumlah
daun pecah lidi di media tanah PMK bekas hutan pada Percobaan 3
SK
db
Diameter batang __________________________________
Jumlah daun pecah lidi __________________________________
Kontras KT Fhit. Pr>F Kontras KT Fhit. Pr>F
Linear dalam M0 Kuadratik dalam M0
Kubik dalam M0
Linear dalam M1 Kuadratik dalam M1
Kubik dalam M1
1 1
1
1 1
1
2094.5 346.69
192.60
2633.44 545.40
80.50
2094.5 346.69
192.60
2633.44 545.40
80.50
216.18 35.78
19.88
271.80 56.29
8.31
<.0001** <.0001**
0.0004**
<.0001** <.0001**
0.0108*
5.40 0.33
0.27
7.35 0.08
0.82
5.40 0.33
0.27
7.35 0.08
0.82
9.97 0.62
0.49
13.57 0.15
1.51
0.0061** 0.4442tn
0.4930tn
0.0020** 0.7001tn
0.2372tn
173
Lampiran 24. Sidik ragam uji ortogonal polinomial bobot kering akar dan
fosfatase asam di akar pada media tanah PMK bekas hutan
(Percobaan 3)
SK
db
Bobot kering akar
__________________________________
Fosfatase asam di akar
__________________________________
Kontras KT Fhit. Pr>F Kontras KT Fhit. Pr>F
Linear dalam M0 Kuadratik dalam M0
Kubik dalam M0
Linear dalam M1 Kuadratik dalam M1
Kubik dalam M1
1 1
1
1 1
1
58.54 4.32
0.15
114.47 3.77
19.90
58.54 4.32
0.15
114.47 3.77
19.90
39.42 2.91
0.10
77.08 2.54
13.40
<.0001** 0.1074tn
0.7556tn
<.0001** 0.1307tn
0.0021**
79752.90 5224.93
6089.50
133421.02 23704.74
6071.59
79752.90 5224.93
6089.50
133421.02 23704.74
6071.59
66.99 4.39
5.12
112.07 19.91
5.10
<.0001** 0.0524tn
0.0380*
<.0001** 0.0004**
0.0382*
Lampiran 25. Sidik ragam uji ortogonal polinomial kadar K dan kadar P pada
media tanah PMK bekas hutan (Percobaan 3)
SK
db
Kadar K __________________________________
Kadar P __________________________________
Kontras KT Fhit. Pr>F Kontras KT Fhit. Pr>F
Linear dalam M0
Kuadratik dalam M0 Kubik dalam M0
Linear dalam M1
Kuadratik dalam M1 Kubik dalam M1
1
1 1
1
1 1
6.77
0.85 0.06
20.18
0.22 0.00
6.77
0.85 0.06
20.18
0.22 0.00
35.16
4.42 0.30
104.80
1.19 0.00
<.0001**
0.0518tn 0.5940tn
<.0001**
0.2922tn 0.9857tn
0.09
0.003 0.002
0.35
0.0003 0.02
0.09
0.003 0.002
0.35
0.0003 0.02
32.60
0.89 0.85
121.49
0.12 6.52
<.0001**
0.3603tn 0.3692tn
<.0001**
0.7366tn 0.0213*
Lampiran 26. Sidik ragam uji ortogonal polinomial jumlah daun dan bobot kering
tajuk pada media tanah PMK bekas hutan (Percobaan 3)
SK
db
Jumlah daun __________________________________
Bobot kering tajuk __________________________________
Kontras KT Fhit. Pr>F Kontras KT Fhit. Pr>F
Linear dalam M0
Kuadratik dalam M0
Kubik dalam M0
Linear dalam M1 Kuadratik dalam M1
Kubik dalam M1
1
1
1
1 1
1
64.07
0.33
4.27
6.07 0.08
0.15
64.07
0.33
4.27
6.07 0.08
0.15
153.76
0.80
10.24
14.44 0.20
0.36
<.0001**
0.3844tn
0.0056**
0.0016** 0.6607tn
0.5569tn
1965.74
2.36
43.52
2141.73 22.97
170.14
1965.74
2.36
43.52
2141.73 22.97
170.14
195.14
0.23
4.32
212.62 2.28
16.89
<.0001**
0.6352tn
0.0541tn
<.0001** 0.1505tn
0.0008**
Lampiran 27. Sidik ragam uji ortogonal polinomial luas daun dan EPA pada
media tanah PMK bekas hutan (Percobaan 3)
SK
db
Luas daun
__________________________________
EPA
__________________________________
Kontras KT Fhit. Pr>F Kontras KT Fhit. Pr>F
Linear dalam M0
Kuadratik dalam M0
Kubik dalam M0 Linear dalam M1
Kuadratik dalam M1
Kubik dalam M1
1
1
1 1
1
1
8830909.41
70.23
835697.26 11213023.3
4
896.66 895630.72
8830909.41
70.23
835697.26 11213023.3
4
896.66 895630.72
1699.87
0.01
160.86 2158.41
0.17
172.40
<.0001**
0.9089tn
<.0001** <.0001**
0.6833tn
<.0001**
3.97
0.30
0.17 26.22
1.93
1.53
3.97
0.30
0.17 26.22
1.93
1.53
60.13
4.61
2.59 397.07
29.23
23.12
<.0001**
0.0474*
0.1272tn <.0001**
<.0001**
0.0002
174
Lampiran 28. Sidik ragam uji ortogonal polinomial fosfatase asam di tanah dan
serapan K pada media tanah PMK bekas hutan (Percobaan 3)
SK
db
Fosfatase asam di tanah
__________________________________
Serapan K
__________________________________
Kontras KT Fhit. Pr>F Kontras KT Fhit. Pr>F
Linear dalam M0 Kuadratik dalam M0
Kubik dalam M0
Linear dalam M1
Kuadratik dalam M1
Kubik dalam M1
1 1
1
1
1
1
270.16 11.18
14.26
1746.75
89.36
13.57
270.16 11.18
14.26
1746.75
89.36
13.57
72.12 2.98
3.81
466.30
23.85
3.62
<.0001** 0.1033tn
0.0687tn
<.0001**
0.0002**
0.0752tn
8.23 0.00
0.06
16.44
0.17
0.62
8.23 0.00
0.06
16.44
0.17
0.62
131.52 0.00
0.96
262.43
2.68
9.90
<.0001** 0.9819tn
0.3406tn
<.0001**
0.1209tn
0.0063**
Lampiran 29. Sidik ragam uji ortogonal polinomial serapan P dan nisbah tajuk
akar pada media tanah PMK bekas hutan (Percobaan 3)
SK
db
Serapan P
__________________________________
Nisbah tajuk akar
__________________________________
Kontras KT Fhit. Pr>F Kontras KT Fhit. Pr>F
Linear dalam M0
Kuadratik dalam M0
Kubik dalam M0 Linear dalam M1
Kuadratik dalam M1
Kubik dalam M1
1
1
1 1
1
1
0.064
0.0002
0.0001 0.17
0.001
0.001
0.064
0.0002
0.0001 0.17
0.001
0.001
68.98
0.21
0.18 186.88
1.58
1.18
<.0001**
0.6492tn
0.6748tn <.0001**
0.2263tn
0.2930tn
0.36
0.09
8.41 0.00
0.23
0.39
0.36
0.09
8.41 0.00
0.23
0.39
0.18
0.04
4.30 0.00
0.12
0.20
0.6749tn
0.8368tn
0.0545tn 0.9903tn
0.7353tn
0.6594tn
Lampiran 30. Sidik ragam uji ortogonal polinomial glisina-betaina dan prolina
pada media tanah PMK bekas hutan (Percobaan 3)
SK
db
Glisina-betaina
__________________________________
prolina
__________________________________ Kontras KT Fhit. Pr>F Kontras KT Fhit. Pr>F
Linear dalam M0
Kuadratik dalam M0 Kubik dalam M0
Linear dalam M1
Kuadratik dalam M1
Kubik dalam M1
1
1 1
1
1
1
0.67
3.83 15.13
25.42
2.50
2.41
0.67
3.83 15.13
25.42
2.50
2.41
0.02
0.10 0.39
0.66
0.07
0.06
0.8961tn
0.7561tn 0.5390tn
0.4277tn
0.8017tn
0.8054tn
62.26
0.08 4.38
136.88
16.93
0.01
62.26
0.08 4.38
136.88
16.93
0.01
13.08
0.02 0.92
28.76
3.56
0.00
0.0023**
0.8978tn 0.3514tn
<.0001**
0.0776tn
0.9708tn
Lampiran 31. Sidik ragam uji ortogonal polinomial ABA dan infeksi akar pada
media tanah PMK bekas hutan (Percobaan 3)
SK
db
ABA __________________________________________________________________________
_
Kontras KT Fhit. Pr>F
Linear dalam M0
Kuadratik dalam M0
Kubik dalam M0
Linear dalam M1
Kuadratik dalam M1
Kubik dalam M1
1
1
1
1
1
1
2060.33
0.04
0.55
2226.03
71.01
0.03
2060.33
0.04
0.55
2226.03
71.01
0.03
1055.74
0.02
0.28
1140.65
36.39
0.02
<.0001**
0.8842tn
0.6017tn
<.0001**
<.0001**
0.8956tn
175
Lampiran 32. Sidik ragam uji ortogonal polinomial tinggi bibit dan jumlah daun
pecah lidi di media tanah gambut bekas hutan pada Percobaan 3
SK
db
Tinggi bibit
__________________________________
Jumlah daun pecah lidi
__________________________________ Kontras KT Fhit. Pr>F Kontras KT Fhit. Pr>F
Linear dalam M0
Kuadratik dalam M0
Kubik dalam M0 Linear dalam M1
Kuadratik dalam M1
Kubik dalam M1
1
1
1 1
1
1
3270.82
3.20
106.67 3152.30
29.14
0.99
3270.82
3.20
106.67 3152.30
29.14
0.99
62.96
0.06
2.05 60.68
0.56
0.02
<.0001**
0.8070tn
0.1711tn <.0001**
0.4647tn
0.8920tn
35.27
0.33
5.40 16.02
2.08
0.82
35.27
0.33
5.40 16.02
2.08
0.82
47.02
0.44
7.20 21.36
2.78
1.09
<.0001**
0.5145tn
0.0163* 0.0003**
0.1150tn
0.3122tn
Lampiran 33. Sidik ragam uji ortogonal polinomial diameter batang dan jumlah
daun di media tanah gambut bekas hutan pada Percobaan 3
SK
db
Diameter batang
__________________________________
Jumlah daun
__________________________________
Kontras KT Fhit. Pr>F Kontras KT Fhit. Pr>F
Linear dalam M0
Kuadratik dalam M0
Kubik dalam M0 Linear dalam M1
Kuadratik dalam M1
Kubik dalam M1
1
1
1 1
1
1
2906.50
130.68
3.17 2074.46
0.33
3.55
2906.50
130.68
3.17 2074.46
0.33
3.55
135.22
6.08
0.15 96.51
0.02
0.17
<.0001**
0.0254*
0.7058tn <.0001**
0.9024tn
0.6897tn
40.02
0.08
4.82 25.35
0.75
0.15
40.02
0.08
4.82 25.35
0.75
0.15
21.34
0.04
2.57 13.52
0.40
0.08
0.0003**
0.8357tn
0.1285tn 0.0020**
0.5360tn
0.7809tn
Lampiran 34. Sidik ragam uji ortogonal polinomial bobot kering akar dan kadar K
pada media tanah gambut bekas hutan (Percobaan 3)
SK
db
Bobot kering akar
__________________________________
Kadar K
__________________________________ Kontras KT Fhit. Pr>F Kontras KT Fhit. Pr>F
Linear dalam M0
Kuadratik dalam M0 Kubik dalam M0
Linear dalam M1
Kuadratik dalam M1
Kubik dalam M1
1
1 1
1
1
1
138.76
11.04 16.23
451.86
10.74
0.20
138.76
11.04 16.23
451.86
10.74
0.20
103.70
8.25 12.13
337.69
8.02
0.15
<.0001**
0.0111* 0.0031**
<.0001**
0.0120*
0.7059tn
1.71
0.00 0.00
14.59
1.03
0.05
1.71
00.0 0.00
14.59
1.03
0.05
7.52
0.00 0.00
64.31
4.54
0.24
0.0144*
0.9747tn 0.9912tn
<.0001**
0.0490*
0.6302tn
Lampiran 35. Sidik ragam uji ortogonal polinomial kadar P dan bobot kering tajuk
pada media tanah gambut bekas hutan (Percobaan 3)
SK
db
Kadar P
__________________________________
Bobot kering tajuk
__________________________________
Kontras KT Fhit. Pr>F Kontras KT Fhit. Pr>F
Linear dalam M0
Kuadratik dalam M0
Kubik dalam M0 Linear dalam M1
Kuadratik dalam M1
Kubik dalam M1
1
1
1 1
1
1
0.44
0.01
0.00 0.35
0.008
0.03
0.44
0.01
0.00 0.35
0.008
0.03
102.93
3.10
0.01 80.42
1.92
7.21
<.0001**
0.0975tn
0.9252tn <.0001**
0.1853tn
0.0163*
6342.72
1.03
369.79 10653.31
67.05
90.51
6342.72
1.03
369.79 10653.31
67.05
90.51
469.52
0.08
27.37 788.61
4.96
6.70
<.0001**
0.7864tn
<.0001** <.0001**
0.0406*
0.0198*
176
Lampiran 36. Sidik ragam uji ortogonal polinomial bobot kering bibit dan serapan
K pada media tanah gambut bekas hutan (Percobaan 3)
SK
db
Bobot kering bibit
__________________________________
Serapan K
__________________________________
Kontras KT Fhit. Pr>F Kontras KT Fhit. Pr>F
Linear dalam M0 Kuadratik dalam M0
Kubik dalam M0
Linear dalam M1
Kuadratik dalam M1
Kubik dalam M1
1 1
1
1
1
1
8357.75 5.33
540.94
15493.25
131.44
99.16
8357.75 5.33
540.94
15493.25
131.44
99.16
493.82 0.32
31.96
915.42
7.77
5.86
<.0001* 0.5823tn
<.0001**
<.0001**
0.0132**
0.0278
11.84 0.05
0.50
57.44
1.80
0.50
11.84 0.05
0.50
57.44
1.80
0.50
84.48 0.34
3.60
409.94
12.85
3.54
<.0001** 0.5695tn
0.0759tn
<.0001**
0.0025**
0.0781tn
Lampiran 37. Sidik ragam uji ortogonal polinomial serapan P dan luas daun pada
media tanah gambut bekas hutan (Percobaan 3)
SK
db
Serapan P
_________________________________
Luas daun
__________________________________
Kontras KT Fhit. Pr>F Kontras KT Fhit. Pr>F
Linear dalam M0
Kuadratik dalam M0
Kubik dalam M0 Linear dalam M1
Kuadratik dalam M1
Kubik dalam M1
1
1
1 1
1
1
0.43
0.02
0.004 1.22
0.02
0.003
0.43
0.02
0.004 1.22
0.02
0.003
126.42
7.16
1.14 358.71
5.13
0.95
<.0001**
0.0166*
0.3013tn <.0001**
0.0378*
0.3430tn
37600192.61
209777.61
1292741.37 58531714.38
620051.67
356829.61
37600192.6
1
209777.61 1292741.37
58531714.3
8 620051.67
356829.61
168.28
0.94
5.79 261.96
2.78
1.60
<.0001**
0.3470tn
0.0286* <.0001**
0.115tn
0.2244tn
Lampiran 38. Sidik ragam uji ortogonal polinomial nisbah tajuk akar dan EPA
pada media tanah gambut bekas hutan (Percobaan 3)
SK
db
Nisbah tajuk akar
__________________________________
EPA
__________________________________
Kontras KT Fhit. Pr>F Kontras KT Fhit. Pr>F
Linear dalam M0
Kuadratik dalam M0
Kubik dalam M0 Linear dalam M1
Kuadratik dalam M1
Kubik dalam M1
1
1
1 1
1
1
8.05
1.69
0.16 0.00
0.14
0.13
8.05
1.69
0.16 0.00
0.14
0.13
22.10
4.65
0.43 0.00
0.40
0.35
0.0002**
0.0467*
0.5228tn 0.9602tn
0.5376tn
0.5633tn
3.82
0.35
0.04 6.03
0.004
0.32
3.82
0.35
0.04 6.03
0.004
0.32
148.16
13.50
1.56 233.86
0.17
12.58
<.0001**
0.0021**
0.2300tn <.0001**
0.6877tn
0.0027**
Lampiran 39. Sidik ragam uji ortogonal polinomial fosfatase asam di akar dan
fosfatase asam di tanah pada media tanah gambut bekas hutan
(Percobaan 3)
SK
db
Fosfatase asam di akar
__________________________________
Fosfatase asam di tanah
__________________________________
Kontras KT Fhit. Pr>F Kontras KT Fhit. Pr>F
Linear dalam M0
Kuadratik dalam M0 Kubik dalam M0
Linear dalam M1
Kuadratik dalam M1 Kubik dalam M1
1
1 1
1
1 1
53298.85
2193.86 2704.78
127481.53
101.12 21494.98
53298.85
2193.86 2704.78
127481.53
101.12 21494.98
40.98
1.69 2.08
98.01
0.08 16.53
<.0001**
0.2124tn 0.1686tn
<.0001**
0.7839tn 0.0009**
87.97
0.08 1.40
74.74
5.89 1.95
87.97
0.08 1.40
7.74
5.89 1.95
64.12
0.06 1.02
54.48
4.30 1.42
<.0001**
0.8081tn 0.3277tn
<.0001**
0.0547tn 0.2501tn
177
Lampiran 40. Sidik ragam uji ortogonal polinomial glisina-betaina dan prolina
pada media tanah gambut bekas hutan (Percobaan 3)
SK
db
Glisina-betaina
__________________________________
prolina
__________________________________
Kontras KT Fhit. Pr>F Kontras KT Fhit. Pr>F
Linear dalam M0 Kuadratik dalam M0
Kubik dalam M0
Linear dalam M1
Kuadratik dalam M1
Kubik dalam M1
1 1
1
1
1
1
47.80 0.01
9.87
244.00
18.86
1.30
47.80 0.01
9.87
244.00
18.86
1.30
13.99 0.00
2.89
71.42
5.52
0.38
0.0018** 0.9651tn
0.1085tn
<.0001**
0.0320*
0.5453tn
881.52 398.03
79.62
1199.49
614.83
134.99
881.52 398.03
79.62
1199.49
614.83
134.99
136.62 61.69
12.34
185.89
95.29
20.92
<.0001** <.0001**
0.0029**
<.0001**
<.0001**
0.0003**
Lampiran 41. Sidik ragam uji ortogonal polinomial ABA dan infeksi akar pada
media tanah gambut bekas hutan (Percobaan 3)
SK
db
ABA
________________________________________________________________________
Kontras KT Fhit. Pr>F
Linear dalam M0
Kuadratik dalam M0
Kubik dalam M0 Linear dalam M1
Kuadratik dalam M1
Kubik dalam M1
1
1
1 1
1
1
1858.18
8.93
9.61 2259.34
0.35
1.99
1858.18
8.93
9.61 2259.34
0.35
1.99
1466.46
7.05
7.59 1783.06
0.28
1.57
<.0001**
0.0173*
0.0141* <.0001**
0.6065tn
0.2286tn
Lampiran 42. Sidik ragam kandungan prolina daun sebelum cekaman kekeringan
di media tanah PMK dan tanah gambut bekas hutan (Percobaan 3)
SK db JK KT Fhit Pr>F
Di tanah PMK bekas hutan
Perlakuan mikoriza 1 0.022338 0.02233820 1.80 0.1929tn
Galat 22 0.272424 0.01238293
Total 23 0.294763
Di tanah gambut bekas hutan
Perlakuan 1 0.211003 0.211003 4.09 0.0556tn
Galat 22 1.135975 0.051635
Total 23 1.346978
178
Tabel Lampiran 43. Analisis tanah PMK bekas kebun karet sebelum percobaan
No. Fraksi Unsur Nilai *) Kriteria penilaian Pusat
Penelitian Tanah (1983)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
Pasir (%)
Debu (%)
Liat (%)
pH H2O
C-organik
N-total
P Bray
Ca (me/100 g)
Mg (me/100 g)
K (me/100 g)
Na (me/100 g)
KTK (me/100 g)
Kejenuhan Basa (%)
Al (me/100 g)
H (me/100 g)
Fe (me/100 g)
Cu (me/100 g)
Zn (me/100 g)
Mn (me/100 g)
9.17
12.51
78.32
4.39
2.13
0.18
1.00
3.38
1.15
1.13
0.61
18.03
34.87
1.66
0.29
37.10
6.88
15.16
30.30
Sangat masam
Sedang
Rendah
Sangat rendah
Rendah
Sedang
Sangat tinggi
Sedang
Sedang
Rendah
Keterangan : *) dianalisis di Laboratorium Jurusan Tanah IPB
179
Lampiran 44. Analisis tanah PMK bekas hutan sebelum percobaan
No. Fraksi Unsur Nilai *) Kriteria penilaian Pusat
Penelitian Tanah (1983)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
Pasir (%)
Debu (%)
Liat (%)
pH H2O
C-organik
N-total
P Bray
Ca (me/100 g)
Mg (me/100 g)
K (me/100 g)
Na (me/100 g)
KTK (me/100 g)
Kejenuhan Basa (%)
Al (me/100 g)
H (me/100 g)
Fe (me/100 g)
Cu (me/100 g)
Zn (me/100 g)
Mn (me/100 g)
10.88
14.72
74.40
4.89
2.05
0.16
4.00
2.72
0.88
1.28
0.43
15.45
34.32
5.57
0.36
38.24
7.16
19.08
38.80
Masam
Sedang
Rendah
Sangat rendah
Rendah
Rendah
Sangat tinggi
Sedang
Rendah
Rendah
Keterangan : *) dianalisis di Laboratorium Jurusan Tanah IPB
180
Lampiran 45. Analisis tanah PMK bekas hutan setelah percobaan 3
No. Fraksi Unsur Nilai *) Kriteria penilaian Pusat
Penelitian Tanah (1983)
Perlakuan M0C1
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
pH H2O
C-organik
N-total
P Bray I (ppm)
K (me/100 g)
Al-dd (me/100 g)
H-dd (me/100 g)
4.11
0.63
0.10
4.61
1.06
1.10
0.26
Sangat masam
Sangat rendah
Rendah
Sangat rendah
Sangat tinggi
Perlakuan M0C2
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
pH H2O
C-organik
N-total
P Bray I (ppm)
K (me/100 g)
Al-dd (me/100 g)
H-dd (me/100 g)
4.06
0.65
0.06
3.72
1.17
1.32
0.38
Sangat masam
Sangat rendah
Sangat rendah
Sangat rendah
Sangat tinggi
Perlakuan M0C3
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
pH H2O
C-organik
N-total
P Bray I (ppm)
K (me/100 g)
Al-dd (me/100 g)
H-dd (me/100 g)
4.14
0.15
0.09
5.16
0.97
1.83
0.13
Sangat masam
Sangat rendah
Sangat rendah
Sangat rendah
Tinggi
Perlakuan M0C4
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
pH H2O
C-organik
N-total
P Bray I (ppm)
K (me/100 g)
Al-dd (me/100 g)
H-dd (me/100 g)
4.55
0.47
0.10
9.88
0.76
0.88
0.29
Masam
Sangat rendah
Rendah
Sangat rendah
Tinggi
181
Lampiran 45. Lanjutan
Perlakuan M1C1
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
pH H2O
C-organik
N-total
P Bray I (ppm)
K (me/100 g)
Al-dd (me/100 g)
H-dd (me/100 g)
4.10
0.49
0.08
12.70
1.48
1.33
0.10
Sangat masam
Sangat rendah
Sangat rendah
Rendah
Ssangat tinggi
Perlakuan M1C2
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
pH H2O
C-organik
N-total
P Bray I (ppm)
K (me/100 g)
Al-dd (me/100 g)
H-dd (me/100 g)
4.04
0.23
0.09
9.17
1.53
1.27
0.44
Sangat masam
Sangat rendah
Sangat rendah
Sangat rendah
Sangat tinggi
Perlakuan M1C3
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
pH H2O
C-organik
N-total
P Bray I (ppm)
K (me/100 g)
Al-dd (me/100 g)
H-dd (me/100 g)
3.99
0.32
0.18
11.27
1.37
1.93
0.11
Sangat masam
Sangat rendah
Rendah
Rendah
Sangat tinggi
Perlakuan M1C4
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
pH H2O
C-organik
N-total
P Bray I (ppm)
K (me/100 g)
Al-dd (me/100 g)
H-dd (me/100 g)
4.32
0.62
0.11
7.78
1.12
0.99
0.27
Sangat masam
Sangat rendah
Rendah
Sangat rendah
Sangat tinggi
Keterangan : *) Dianalisis di Laboratorium Tanah Universitas Jambi
182
Lampiran 46. Analisis tanah gambut bekas hutan sebelum percobaan
No. Fraksi Unsur Nilai *) Kriteria penilaian Pusat
Penelitian Tanah (1983)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
Pasir (%)
Debu (%)
Liat (%)
pH H2O
C-organik
N-total
P Bray I
Ca (me/100 g)
Mg (me/100 g)
K (me/100 g)
Na (me/100 g)
KTK (me/100 g)
Kejenuhan Basa (%)
Al (me/100 g)
H (me/100 g)
Fe (me/100 g)
Cu (me/100 g)
Zn (me/100 g)
Mn (me/100 g)
-
-
-
3.90
40.15
0.28
1.50
6.31
1.23
0.28
0.56
33.85
24.76
2.11
0.92
89.40
21.32
9.48
22.40
Sangat masam
Sangat tinggi
Sedang
Sangat rendah
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Tinggi
Rendah
Keterangan : *) dianalisis di Laboratorium Jurusan Tanah IPB
183
Lampiran 47. Analisis tanah gambut bekas hutan setelah percobaan 3
No. Fraksi Unsur Nilai *) Kriteria penilaian Pusat
Penelitian Tanah (1983)
Perlakuan M0C1
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
pH H2O
C-organik
N-total
P Bray I (ppm)
K (me/100 g)
Al-dd (me/100 g)
H-dd (me/100 g)
4.30
25.03
1.22
9.36
1.07
0.77
0.88
Sangat masam
Sangat tinggi
Sangat tinggi
Sangat rendah
Sangat tinggi
Perlakuan M0C2
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
pH H2O
C-organik
N-total
P Bray I (ppm)
K (me/100 g)
Al-dd (me/100 g)
H-dd (me/100 g)
4.19
22.05
1.13
7.70
0.86
1.55
0.70
Sangat masam
Sangat tinggi
Sangat tinggi
Sangat rendah
Tinggi
Perlakuan M0C3
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
pH H2O
C-organik
N-total
P Bray I (ppm)
K (me/100 g)
Al-dd (me/100 g)
H-dd (me/100 g)
4.18
16.33
1.32
13.44
1.27
0.77
0.98
Sangat masam
Sangat tinggi
Sangat tinggi
Rendah
Sangat tinggi
Perlakuan M0C4
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
pH H2O
C-organik
N-total
P Bray I (ppm)
K (me/100 g)
Al-dd (me/100 g)
H-dd (me/100 g)
4.30
25.97
1.39
9.71
1.37
1.43
0.41
Sangat masam
Sangat tinggi
Sangat tinggi
Sangat rendah
Sangat tinggi
184
Lampiran 47. Lanjutan
Perlakuan M1C1
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
pH H2O
C-organik
N-total
P Bray I (ppm)
K (me/100 g)
Al-dd (me/100 g)
H-dd (me/100 g)
4.61
18.79
1.28
7.13
1.17
0.72
0.40
Masam
Sangat tinggi
Sangat tinggi
Sangat rendah
Sangat tinggi
Perlakuan M1C2
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
pH H2O
C-organik
N-total
P Bray I (ppm)
K (me/100 g)
Al-dd (me/100 g)
H-dd (me/100 g)
4.32
26.42
1.40
11.99
1.78
0.99
0.47
Sangat masam
Sangat tinggi
Sangat tinggi
Rendah
Sangat tinggi
Perlakuan M1C3
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
pH H2O
C-organik
N-total
P Bray I (ppm)
K (me/100 g)
Al-dd (me/100 g)
H-dd (me/100 g)
4.33
24.30
1.38
11.17
1.47
0.94
0.72
Sangat masam
Sangat tinggi
Sangat tinggi
Rendah
Sangat tinggi
Perlakuan M1C4
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
pH H2O
C-organik
N-total
P Bray I (ppm)
K (me/100 g)
Al-dd (me/100 g)
H-dd (me/100 g)
4.42
21.20
1.34
9.18
1.73
0.99
0.52
Sangat masam
Sangat tinggi
Sangat tinggi
Sangat rendah
Sangat tinggi
Keterangan : *) Dianalisis di Laboratorium Tanah Universitas Jambi
185
Lampiran 48. Tanggap morfologi bibit kelapa sawit terhadap perlakuan
mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah PMK bekas
hutan
Perlakuan Cekaman kekeringan
C1
C2
C3
C4
Uji
ortogonal
polinomial
Tinggi Bibit (cm)
M0 70.17 59.80 55.77 28.87 Linear**
M1 89.80 66.20 60.13 34.13 Linear**
Jumlah Daun
M0 10.00 9.33 5.67 4.33 Linear**
M1 10.33 9.67 9.33 8.33 Linear**
Jumlah Daun Pecah Lidi
M0 1.67 1.00 0.00 0.00 Linear**
M1 2.33 1.33 1.33 0.00 Linear**
Diameter Batang (mm)
M0 46.83 38.60 37.53 7.80 Kuadratik**
M1 54.50 50.10 43.80 12.43 Kuadratik**
Luas daun (cm2)
M0 2694.93 1460.41 1401.23 157.03 Linear**
M1 3221.37 1885.35 1753.81 383.21 Linear**
Bobot Kering Tajuk (g)
M0 38.35 24.38 18.04 2.30 Linear**
M1 43.91 27.99 26.15 4.69 Linear**
Bobot Kering Akar (g)
M0 6.30 5.73 3.45 0.48 Linear**
M1 10.53 6.59 7.28 1.09 Linear**
Nisbah Tajuk/Akar
M0 6.17 4.34 6.44 4.95 tn
M1 4.20 4.24 3.75 4.35 tn
Bobot Kering Bibit (g)
M0 44.65 30.107 21.495 2.78 Linear**
M1 54.44 34.579 33.427 5.79 Kuadratik*
186
Lampiran 49. Tanggap fisiologi bibit kelapa sawit terhadap perlakuan
mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah PMK bekas
hutan
Perlakuan Mikoriza
Perlakuan Cekaman kekeringan
C1
C2
C3
C4
Uji
ortogonal
polinomial
Kadar P (%)
M0 0.73 0.49 0.32 0.21 Linear**
M1 0.89 0.78 0.49 0.48 Linear**
Serapan P (g/tan)
M0 0.21 0.13 0.07 0.01 Linear**
M1 0.35 0.20 0.12 0.02 Linear**
Kadar K (%)
M0 6.22 6.20 5.35 4.27 Linear**
M1 8.11 6.67 5.52 4.63 Linear**
Serapan K (g/tan)
M0 2.38 1.52 0.97 0.10 Linear**
M1 3.56 1.87 1.44 0.22 Linear**
Asam fosfatase akar (umol/g bb)
M0 442.02 370.54 358.06 203.12 Linear**
M1 513.41 467.75 433.79 210.35 Kuadratik**
Asam fosfatase tanah (umol/g bk)
M0 26.63 26.27 19.10 14.87 Linear**
M1 48.53 30.38 22.44 15.20 Kuadratik**
ABA (ng/g)
M0 10.26 22.49 33.63 45.62 Linear**
M1 16.91 24.13 36.45 53.41 Kuadratik**
Glisin-betain (umol/g bb)
M0 24.29 23.20 25.99 22.64 tn
M1 25.40 26.59 26.68 29.70 tn
Prolin (umol/g bb) Sebelum perlakuan
M0 0.346 -
M1 0.407 -
Prolin (umol/g bb) setelah perlakuan
M0 6.74 7.531 11.190 12.31 Linear**
M1 16.35 17.036 19.994 25.43 Linear**
EPA (g/L)
M0 1.89 1.48 1.29 0.24 Kuadratik*
M1 4.80 2.04 1.67 0.52 Kuadratik**
Infeksi Akar (%) 84.67 85.00 91.67 95.33 Kuadratik**
187
Lampiran 50. Tanggap morfologi bibit kelapa sawit terhadap perlakuan
mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah gambut bekas
hutan
Perlakuan Mikoriza
Perlakuan Cekaman kekeringan
C1
C2
C3
C4
Uji
ortogonal
polinomial
Tinggi Bibit (cm)
M0 92.33 83.93 61.17 50.70 Linear** M1 102.27 85.17 69.90 59.03 Linear**
Diameter Batang (mm)
M0 62.53 56.13 40.83 21.23 Kuadratik*
M1 78.53 66.13 55.83 42.77 Linear**
Jumlah Daun
M0 12.33 12.00 8.67 8.00 Linear** M1 13.67 12.67 11.67 9.67 Linear**
Jumlah Daun Pecah Lidi
M0 4.67 4.00 0.67 0.67 Linear**
M1 4.67 4.00 3.67 1.33 Linear**
Luas Daun (cm2)
M0 5625.17 4364.62 1900.66 1168.99 Linear** M1 7610.34 4871.87 3359.20 1529.98 Linear**
Bobot Kering tajuk (g)
M0 71.76 60.55 25.09 15.04 Linear**
M1 108.08 81.24 61.96 25.67 Kuadratik*
Bobot Kering Akar (g)
M0 12.29 13.24 7.08 4.20 Kuadratik* M1 22.09 18.29 13.12 5.51 Kuadratik*
Nisbah tajuk/akar
M0 5.86 4.58 3.54 3.76 Kuadratik*
M1 4.89 4.48 4.75 4.78 tn
Bobot Kering Bibit (g)
M0 84.05 73.79 32.17 19.24 Linear*
M1 130.17 99.51 75.08 31.18 Kuadratik**
188
Lampiran 51. Tanggap fisiologi bibit kelapa sawit terhadap perlakuan mikoriza
dan cekaman kekeringan di media tanah gambut bekas hutan
Perlakuan Mikoriza
Perlakuan Cekaman kekeringan
C1
C2
C3
C4
Uji
ortogonal
polinomial
Kadar P (%)
M0 0.73 0.49 0.32 0.21 Linear**
M1 0.89 0.78 0.49 0.48 Linear**
Serapan P (g/tan)
M0 0.52 0.30 0.08 0.03 Linear**
M1 0.96 0.63 0.30 0.12 Linear**
Kadar K (%)
M0 4.11 3.78 3.45 3.10 Linear**
M1 6.40 4.70 3.90 3.38 Kuadratik*
Serapan K (g/tan)
M0 2.95 2.30 0.86 0.47 Linear**
M1 6.92 3.82 2.41 0.87 Kuadratik**
Asam fosfatase akar (umol/g bb)
M0 402.47 342.67 242.78 237.07 Linear**
M1 571.02 548.73 342.98 332.30 Linear**
Asam fosfatase tanah (umol/g bk)
M0 16.85 14.87 11.53 9.89 Linear**
M1 18.65 18.54 15.22 12.31 Linear**
ABA (ng/g)
M0 7.10 18.30 27.03 41.49 Kuadratik*
M1 7.57 20.23 31.41 44.75 Linear**
Glisin-betain (umol/g bb)
M0 24.32 24.53 28.75 28.86 Linear**
M1 22.55 23.48 28.40 34.35 Kuadratik*
Prolin Sebelum Perlakuan (umol/g bb)
M0 -
M1 0.509 -
Prolin Setelah perlakuan (umol/g bb)
M0 6.47 7.23 7.98 31.77 Kuadratik**
M1 8.24 8.87 8.81 38.07 Kuadratik**
EPA (g//L)
M0 3.14 2.19 1.84 1.57 Kuadratik**
M1 4.33 3.44 3.25 2.28 Linear**
Infeksi Akar (%) 91.00 92.67 93.00 95.67 Kuadratik**
189