tanggung jawab yuridis dalam perjanjian kredit …digilib.unila.ac.id/47262/3/skripsi tanpa bab...
TRANSCRIPT
TANGGUNG JAWAB YURIDIS DALAM PERJANJIAN KREDIT
DENGAN JAMINAN SURAT KEPUTUSAN PENGANGKATAN
PEGAWAI NEGERI SIPIL (Studi Pada PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk. KCP Raden Intan Bandar Lampung)
(Skripsi)
Oleh
M. ARDIAN ILHAM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2018
ABSTRAK
TANGGUNG JAWAB YURIDIS DALAM PERJANJIAN KREDIT
DENGAN JAMINAN SURAT KEPUTUSAN PENGANGKATAN
PEGAWAI NEGERI SIPIL (Studi Pada PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk. KCP Raden Intan Bandar Lampung)
Oleh
M. Ardian Ilham
Dalam praktik perbankan di indonesia SK Pengangkatan PNS dapat dijadikan
sebagai jaminan kredit karena SK termasuk kedalam hak istimewa yang wujudnya
dapat berupa ijazah, surat keputusan, surat pensiun dan lain lain. Mengingat status
SK Pengangkatan PNS tidak termasuk dalam jaminan kebendaan maupu
perorangan tentu terdapat perbedaan dari mekanisme pemberian kredit, hubungan
hukum serta tanggung jawab yang timbul dari perjanjian kredit. hal ini disebabkan
karena status SK bukan merupakan benda yang dapat dilelang atau diperjual
belikan sehingga membutuhkan upaya khusus guna mencegah terjadinya
wanprestasi.
Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif empiris dengan tipe penelitian
deskriptif. Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan masalah
normatif terapan. Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder yang
terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Pengumpulan data
dilakukan dengan studi pustaka, studi dokumen dan wawancara. Pengumpulan
data dilakukan dengan cara pemeriksaan data, penandaan data, penyusunan
sistematika data yang selanjutnya dilakukan analisis kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukan bahwa dalam mekanisme
pemberian kredit dengan jaminan SK PNS pihak SKPD harus terlebiih dahulu
mengadakan Perjanjian Kerjasama dengan pihak Bank Mandiri, tanpa Perjanjian
Kerjasama calon debitur tidak dapat mengajukan kredit kepada pihak Bank
Mandiri. Perjanjian Kerjasama tersebut menjadi dasar hubungan hukum antara
Bank, debitur, kepala SKPD dan bendahara. Dalam perjanjian kredit dengan
jaminan SK PNS bendahara dan kepala SKPD memiliki kewajiban untuk menjaga
kolektibilitas kredit, sehingga apabila terjadi wanprestasi pihak bendahara dan
kepala SKPD adalah pihak yang paling bertanggung jawab atas hal tersebut.
Kata kunci: tanggung jawab, jaminan kredit, SK Pengangkatan PNS
TANGGUNG JAWAB YURIDIS DALAM PERJANJIAN KREDIT
DENGAN JAMINAN SURAT KEPUTUSAN PENGANGKATAN
PEGAWAI NEGERI SIPIL (Studi Pada PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk. KCP Raden Intan Bandar Lampung)
Oleh
M. ARDIAN ILHAM
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar
SARJANA HUKUM
Pada
Bagian Hukum Keperdataan
Fakultas Hukum Universitas Lampung
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2018
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada 2 April 1995 dan merupakan anak
pertama dari tiga bersaudara pasangan Bapak Ikhsan dan Ibu Rostina.
Penulis mengawali pendidikan di TK Beringin Raya Kemiling yang selesai pada
tahun 2001, SD Negeri 1 Beringin Raya yang selesai pada tahun 2007, SMP
Negeri 1 Bandar Lampung yang selesai pada tahun 2010, dan menyelesaikan
pendidikan di SMK Negeri 6 Bandar Lampung pada tahun 2013.
Penulis terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung
melalui tes tertulis jalur Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri
(SBMPTN) pada tahun 2013. Kemudian penulis melaksanakan Kuliah Kerja
Nyata (KKN) Tematik selama 60 hari di Pekon (Desa) Balam, Kecamatan Pesisir
Utara, Kabupaten Pesisir Barat pada awal tahun 2016.
Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif berorganisasi di lingkungan internal
kampus dan tergabung sebagai Anggota Barisan Intelektual Muda (BIM) BEM
Fakultas Hukum Universitas Lampung pada tahun 2014, kemudian tergabung
sebagai anggota muda UKMF Pusat Studi Bantuan Hukum (PSBH) Fakultas
Hukum Unila dan dipercayakan sebagai Ketua Angkatan pada tahun 2014. Pada
tahun 2015 bergabung dengan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas
Hukum Universitas Lampung dan menjabat sebagai Kepala Dinas Pemberdayaan
Sumber Daya Mahasiswa (PSDM), dan pada tahun 2016 menjabat sebagai Kepala
Dinas Agistasi, Propaganda dan Jurnalistik (Agipropjur) pada kepegurusan BEM
Fakultas Hukum Universitas Lampung tahun 2015-2016. Selanjutnya, menjabat
sebagai Wakil Ketua Umum Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) Fakultas
Hukum Universitas Lampung pada kepengurusan tahun 2016-2017.
Pada organisasi eksternal kampus penulis aktif di Himpunan Mahasiswa Islam
(HmI) Cabang Bandar Lampung Komisariat Hukum Universitas Lampung yang
kemudian dipercayakan untuk menjabat sebagai Sekretaris Umum Himpunan
Mahasiswa Islam (HmI) Cabang Bandar Lampung Komisariat Hukum Universitas
Lampung pada kepengurusan tahun 2016-2017, kemudian juga menjabat sebagai
PLT Direktur Lembaga Bantuan Hukum Himpunan Mahasiswa Islam (LBHmI)
Cabang Bandar Lampung pada tahun 2016. Penulis juga tergabung sebagai
relawan (volunteer) di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandar Lampung sejak
tahun 2015.
Penulis pernah mengikuti kegiatan Karya Latih Bantuan Hukum (Kalabahu) yang
diadakan oleh LBH Bandar Lampung pada tahun 2015, kemudian praktek
outclass Kalabahu dengan mengadvokasi warga di sekitar Taman Hutan Rakyat
(Tahura) Wan Abdul Rachman di Gunung Betung, Kabupaten Pesawaran.
Kemudian penulis juga mengikuti Intermediate Training (LK II) HmI Cabang
Jakarta Barat pada pertengahan tahun 2017.
MOTO
“Dari semua hal, pengetahuan adalah yang paling baik,
karena tidak kena tanggung jawab maupun tidak dapat dicuri,
karena tidak dapat dibeli, dan tidak dapat dihancurkan”
Hitopadesa
“Yakinkan dengan iman, sampaikan dengan ilmu, usahakan dengan amal.
Beriman, Berilmu, Beramal.
Dengan ridho Allah, yakin usaha sampai”
Nurkholis Madjid (HmI)
PERSEMBAHAN
Atas Ridho Allah SWT dan dengan segala kerendahan hati
kupersembahkan skripsiku ini kepada:
Kedua Orang Tuaku,
dari perjuangan, kasih sayang, segenap doa, dan kesabaran mereka
yang menyebabkan segala keberhasilanku,
baik pada titik hari ini, maupun di masa depanku.
SANWACANA
Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat
Allah SWT. Sebab, hanya dengan kehendak-Nya penulis dapat menyelesaikan
penulisan skripsi yang berjudul TANGGUNG JAWAB YURIDIS DALAM
PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN SURAT KEPUTUSAN
PENGANGKATAN PEGAWAI NEGERI SIPIL (Studi Pada PT. Bank
Mandiri (Persero) Tbk. KCP Raden Intan Bandar Lampung)” sebagai salah
satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum
Universitas Lampung dibawah bimbingan dari dosen pembimbing serta atas
bantuan dari berbagai pihak lain.
Penyelesaian penelitian ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan, dan saran dari
berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Bapak Armen Yasir, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Lampung;
2. Bapak Dr. Sunaryo, S.H., M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Keperdataan
Fakultas Hukum Universitas Lampung;
3. Ibu Rohaini, S.H., M.H., Ph.D selaku Sekretaris Bagian Hukum Keperdataan
Fakultas Hukum Universitas Lampung;
4. Ibu Kingkin Wahyuningdyah, S.H., M.H. selaku Pembimbing I. Terima kasih
atas kesabaran dan kesediaannya meluangkan waktu disela-sela kesibukannya
untuk mencurahkan segenap pemikirannya, memberikan bimbingan, saran,
arahan dan berbagai kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini;
5. Bapak M. Wendy Trijaya, S.H., M.H. selaku Pembimbing II. Terima kasih
atas kesabaran dan kesediaannya meluangkan waktu disela-sela kesibukannya
untuk mencurahkan segenap pemikirannya, memberikan bimbingan, saran,
arahan dan berbagai kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini;
6. Ibu Ratna Syamsiar, S.H., M.H., selaku Pembahas I yang telah memberikan
kritik, saran, dan masukan yang membangun terhadap skripsi ini;
7. Ibu Elly Nurlaili, S.H., M.H. selaku Pembahas II yang telah memberikan
kritik, saran, dan masukan yang membangun terhadap skripsi ini;
8. Bapak Tri Andrisman, S.H., M.H. selaku Pembimbing Akademik, yang telah
membimbing penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum
Universitas Lampung;
9. Seluruh Dosen dan Karyawan/Karyawati Bagian Keperdataan Fakultas
Hukum Universitas Lampung yang penuh dedikasi dalam memberikan ilmu
yang bermanfaat serta pengalaman yang berharga bagi penulis;
10. Seluruh Dosen dan Karyawan/Karyawati Fakultas Hukum Universitas
Lampung yang penuh dedikasi dalam memberikan ilmu yang bermanfaat bagi
penulis selama menyelesaikan studi yang penuh dedikasi dalam memberikan
ilmu yang bermanfaat bagi penulis, serta segala bantuan secara teknis maupun
administratif yang diberikan kepada penulis selama menyelesaikan studi;
11. Narasumber yang telah memberikan sumbangsih atas terselesaikannya skripsi
ini: Bapak M. Ridwan S.E., selaku Kepala Unit Perkreditan dan Bapak Tomi
Sukmawan selaku Staf Unit Perkreditan di Bank Mandiri KCP Raden Intan
Bandar Lampung, yang telah membantu dan meluangkan waktu untuk
memberikan informasi dan data primer yang diperlukan untuk skripsi ini
sehingga membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini;
12. Adik-adik penulis, Nina Inggriani dan M. Ilyas Raihan Hakim yang selalu
mendo’akan, memberikan motivasi, serta segenap dukungan moril seumur
hidup penulis. Semoga kita bisa terus membanggakan ibu dan ayah hingga
akhir hayat;
13. Keluarga besar HmI Komisariat Hukum UNILA angkatan “Samudera
Byzantium”, “Anti Stagnasi”, “Victoria Bonafide”, “Cordova Hugo”,
“Alexandria Descartes”, dan lain-lain untuk kebersamaan, pengalaman dan
kekeluargaan yang luar biasa;
14. Rekan-rekan “Eksekutor HmI” yang luar biasa: Bang RB Pratama, Bang
Risky Khairullah, Bang Bayu Nusantara, Nopriyan dan Arman Fellany. Serta
“Team Solid” yang hebat: Acta Yoga, A. Shobari, Fadly Renaldy, Alfin
Rahmanda, dan Indra Sangadji;
15. Kakanda-kakanda yang penulis banggakan: James Reinaldo Rumpia, Arief
Alghafiqi, Raden Arief Fadlilah, Bonifa Refsi dan lain-lain yang telah
memberikan motivasi yang selalu positif, serta ilmu dan pengetahuan yang
senantiasa bermanfaat bagi penulis;
16. Adinda terbaik angkatan 2014: Rudi Sanjaya, Juan Randy, Nurimah Atsilah,
Alief Aji, Jodi Setiawan, Dirta Sanjaya, Yudi Irsan, Faqih Rananda, Prabu
CB, Rizky Saputro, Ibnu Alwan, Ridho Lipurnaim, Gama Harris, Rinaldo
Ibnu, dll. Angkatan 2015: Tommy Perdana, Angga Putra, Eka Reza, Ghazi
Fadhlan, dll. Dan angkatan 2016: Qodri, Gilang Roka, Jati Airlangga, Nauval
Rafif, Bambang, Oditiansyah, Fadeli, dan lain-lain yang tidak dapat
disebutkan semuanya satu-persatu;
17. Almamater Fakultas Hukum Universitas Lampung yang penulis banggakan;
18. Dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang telah
membantu dalam penyelesaian skripsi ini, terimakasih atas semua bantuan
dan dukungannya.
Akhir kata, Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan,
akan tetapi sedikit harapan semoga skripsi yang sederhana ini dapat bermanfaat
bagi yang membacanya, khususnya bagi penulis dalam mengembangkan dan
mengamalkan ilmu pengetahuan.
Bandar Lampung, Februari 2018
Penulis
M. ARDIAN ILHAM
DAFTAR ISI
HALAMAN DEPAN
ABSTRAK
JUDUL DALAM
LEMBAR PERSETUJUAN
LEMBAR PENGESAHAN
PERNYATAAN
RIWAYAT HIDUP
MOTTO
HALAMAN PERSEMBAHAN
SANWACANA
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
I. PENDAHULUAN ................................................................................... 1 A. Latar Belakang ............................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 8
C. Ruang Lingkup ............................................................................................. 8
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ................................................................. 9
1. Tujuan Penelitian ...................................................................................... 9
2. Kegunaan Penelitian ............................................................................... 10
II. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 11 A. Tinjauan tentang Perjanjian Kredit ............................................................ 11
1. Perjanjian ................................................................................................ 11
2. Kredit ...................................................................................................... 19
3. Perjanjian Kredit ..................................................................................... 24
B. Tinjauan tentang Jaminan Kredit ............................................................... 27
1. Pengertian Jaminan Kredit ...................................................................... 27
a. Jenis-jenis Jaminan Kredit ...................................................................... 30
b. Agunan Kredit ......................................................................................... 35
C. Tinjauan tentang Pihak dalam Hubungan Hukum ..................................... 41
D. Kerangka Pikir ........................................................................................... 43
III. METODE PENELITIAN ..................................................................... 45 A. Jenis Penelitian ........................................................................................... 45
B. Tipe Penelitian ........................................................................................... 46
C. Pendekatan Masalah ................................................................................... 46
D. Data dan Sumber Data ............................................................................... 47
E. Metode Pengumpulan Data ........................................................................ 49
F. Metode Pengolahan Data ........................................................................... 50
G. Analisis Data .............................................................................................. 51
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ................................... 53 A. Prosedur Pemberian Kredit dengan Jaminan SK Pengangkatan PNS ....... 53
1. Pra-Kredit ................................................................................................ 54
2. Penyelidikan Berkas-Berkas Permohonan Kredit ................................... 59
3. Survey Lapangan .................................................................................... 59
4. Keputusan Kredit .................................................................................... 61
5. Persetujuan Perjanjian Kredit ................................................................. 62
6. Realisasi Kredit ....................................................................................... 63
B. Hubungan Hukum Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Jaminan SK
Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil .................................................................. 63
1. Hubungan Hukum Debitur dan Kreditur dalam Perjanjian Kredit dengan
Jaminan Surat Keputusan Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil ............. 64
2. Hubungan Hukum Bendahara Instansi dengan Kreditur dalam Perjanjian
Kredit dengan Jaminan Surat Keputusan Pengangkatan Pegawai Negeri
Sipil. ........................................................................................................ 68
3. Hubungan Hukum Perusahaan Asuransi dalam Perjanjian Kredit dengan
Jaminan Surat Keputusan Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil ............. 72
C. Tanggung jawab para pihak dalam perjanjian kredit apabila terjadi
wanprestasi ........................................................................................................ 74
1. Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam Perjanjian .................................. 74
2. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Wanprestasi ................................... 82
3. Penyelesaian Terhadap Wanprestasi ....................................................... 86
V. PENUTUP .............................................................................................. 88 A. Kesimpulan ................................................................................................ 88
B. Saran ........................................................................................................... 89
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Kerangka Pikir..................................................................................... 43
Gambar 2. Prosedur Pembuatan Perjanjian Kerjasama......................................... 56
Gambar 3. Hubungan Hukum Para Pihak ............................................................. 64
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kegiatan pinjam meminjam uang telah dilakukan sejak lama dalam kehidupan
masyrakat yang telah mengenal uang sebagai alat pembayaran.1 Hal tersebut tentu
menjadikan kegiatan pinjam meminjam uang sebagai suatu hal yang dibutuhkan
guna mendukung perkembangan kegiatan perekonomian dan meningkatkan taraf
hidup masyarakat. Kredit pada awal perkembangannya mengarahkan fungsinya
untuk merangsang kedua belah pihak untuk saling menolong dengan tujuan
pencapaian kebutuhan, baik dalam bidang usaha maupun kebutuhan sehari-hari.2
Bagi masyarakat kredit dapat diartikan sebagai pinjaman uang.3
Kredit diberikan oleh lembaga perbankan didasarkan atas rasa percaya bahwa
debitur (penerima kredit) akan mengembalikan pinjaman sesuai dengan jangka
waktu yang telah disepakati oleh kedua pihak, yaitu antara kreditur (pemberi
kredit) yang dalam hal ini adalah pihak bank dan debitur yang dalam hal ini
adalah orang atau badan hukum.4 Kegiatan penyaluran kredit secara umum
membutuhkan jaminan hutang atau yang biasa disebut dengan jaminan kredit. Ini
1M. Bahsan, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2010, hlm. 1. 2Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan Di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2012, hlm. 423. 3Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
1991, hlm. 213. 4Ibid., hlm. 214.
2
tentu sesuai dengan teori perkreditan (fund lending theory) yang menyatakan
bahwa dalam memberikan kredit kepada pihak debitur, pihak bank memerlukan
jaminan dari pihak debitur sebagai salah satu wujud pelayanan berdasarkan
prinsip kehati-hatian (prudential principle).5 Hal ini juga tertera di dalam Pasal 29
ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor
182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790) yang selanjutnya dalam
penulisan ini disebut sebagai Undang-Undang Perbankan.
Dalam menjalankan peranannya, bank bertindak sebagai lembaga keuangan yang
berfungsi untuk memberikan kredit, serta jasa-jasa lainnya. Pemberian kredit itu
dilakukan dengan jalan memperedarkan alat-alat pembayaran baru berupa uang
giral.6 Berbagai lembaga keuangan, terutama bank konvensional, telah membantu
pemenuhan kebutuhan dana bagi kegiatan perekonomian dengan memberikan
pinjaman uang antara lain dalam bentuk kredit perbankan. Kredit dalam kegiatan
perbankan merupakan kegiatan usaha yang paling utama, karena keuntungan
konvensional usaha bank diperoleh dari selisih bunga kredit yang diterima dari
debitur dengan bunga simpanan yang diberikan kepada penyimpan, ini disebut
spread basis.7 Kredit dalam Undang-Undang Perbankan diartikan sebagai
penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain
5Ratna Syamsiar, Hukum Perbankan, Penerbit Justice Publisher, Bandar Lampung, 2014,
hlm. 136. 6O.P. Simorangkir dkk, Kamus Perbankan, Rineka Cipta, Jakarta, 1992, hlm. 33.
7Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung,
2010, hlm. 307.
3
yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu
tertentu dengan pemberian bunga.8
Unsur yang terpenting dalam kredit adalah adanya kepercayaan bahwa debitur
akan memenuhi prestasinya sesuai jangka waktu yang telah diperjanjikan. Dilihat
dari pihak kreditur, maka unsur yang paling penting dalam kegiatan kredit adalah
untuk memperoleh keuntungan dari modalnya dengan mengharapkan
kontraprestasi, sedangkan bagi debitur adalah bantuan dari kreditur untuk
menutupi kebutuhannya dan menjadi beban bagi dirinya untuk membayar di masa
depan yang mana beban itu merupakan kewajiban baginya berupa hutang.9 Hanya
saja antara prestasi dengan pengembalian prestasi tersebut ada suatu masa yang
memisahkannya, sehingga terdapat tenggang waktu tertentu. Kondisi ini
mengakibatkan adanya risiko, berupa ketidaktentuan pengembalian prestasi yang
telah diberikan, meskipun perjanjian kredit ini termasuk kedalam perjanjian
obligatoir yang melahirkan hak pribadi berupa hak tagih yang jaminannya sudah
diatur dalam Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata),
namun apabila hanya mengandalkan jaminan umum semata, bank hanya akan
berkedudukan sebagai kreditur konkruen yang tentunya berisiko tinggi dan dapat
menimbulkan kerugian bagi pihak bank.10
Menghadapi hal tersebut bank mengharuskan penyediaan jaminan oleh pemohon
kredit, jaminan tersebut umunya berupa benda bergerak maupun tidak bergerak.
Persyaratan ini tentunya akan menghambat pemerataan ekonomi bagi masyarakat
8 Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. 9Muhammad Djumhana, Op. Cit, hlm. 421.
10Moch. Isnaeni, Hukum Jaminan Kebendaan (eksistensi, fungsi dan pengaturan),
LaksBang PRESSindo, Yogyakarta, 2016, hlm. 170.
4
dan tentunya bertentangan dengan asas demokrasi ekonomi seperti yang
termaktub di dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, oleh
karena itu pemerintah mendorong perbankan untuk menyalurkan kredit tanpa
adanya keharusan bagi pemohon kredit untuk menyertakan jaminan, meski pada
umumnya bank tidak memberikan kredit tanpa jaminan.11
Jaminan dalam
pemberian kredit menurut Pasal 2 ayat (1) Surat Keputusan Direksi Bank
Indonesia Nomor 23/69/KEP/DIR tanggal 28 Februari 1991 tentang Jaminan
Pemberian Kredit, jaminan adalah suatu keyakinan bank atas kesanggupan debitur
untuk melunasi kredit sesuai dengan yang diperjanjikan.12
Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Perbankan menegaskan bahwa:
“Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah,
Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang
mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur
untuk melunasi hutangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud
sesuai dengan yang diperjanjikan”.
Dari Pasal ini persyaratan adanya jaminan tidak menjadi suatu keharusan. Bank
hanya diminta untuk meyakini berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad
baik debitur dan kemampuan debitur, akan tetapi dalam pelaksanaannya bank
tetap meminta agunan dari pemohon kredit selain analisis itikad baik dan
kemampuan pemohon kredit.13
Hal ini sesuai dengan Pasal 1 angka 23 Undang-
Undang Perbankan yang menyatakan agunan sebagai jaminan tambahan yang
diserahkan nasabah debitur kepada Bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit
atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah.
11
Rudyanti Dorotea Tobing, Aspek-Aspek Hukum Bisnis (Pengertian, Asas, Teori dan
Praktik), LaksBang Justitia, Surabaya, 2015, hlm. 106. 12
M. Bahsan, Op. Cit., hlm. 50. 13
Rudyanti Dorotea Tobing, Op. Cit., hlm. 107.
5
Lembaga perbankan didalam memberikan pelayanan kredit bagi mayarakat yang
memerlukan, tentu selalu berusaha untuk memberikan pelayanan Perbankan yang
sebaik-baiknya kepada nasabahnya termasuk PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk.
Cabang Bandar Lampung yang mempunyai komitmen yang tinggi dalam bidang
perkreditan. Kredit untuk Pegawai Negeri Sipil14
memegang peranan penting
sebagai penggerak utama roda pembangunan dalam mencapai tujuan dan sasaran
pembangunan. Kredit atau pinjaman uang umumnya digunakan oleh seorang
Pegawai Negeri Sipil untuk memenuhi kebutuhan ataupun berinvestasi. Bank
dalam memberikan kreditnya kepada Pegawai Negeri Sipil memperkenankan
Surat Keputusan Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil (selanjutnya disebut SK
Pengangkatan PNS) untuk dijadikan sebagai agunan atau jaminan tambahan bagi
para Pegawai Negeri Sipil yang hendak mengajukan pinjaman kepada bank.
Dalam perkembangan praktik perbankan Surat Keputusan (SK) telah menjadi
barang yang memiliki nilai ekonomis, sehingga bagi beberapa bank SK dipandang
dapat dijadikan sebagai jaminan kredit, namun SK Pengangkatan PNS bukanlah
benda yang dapat diperdagangkan dan dialihkan kepemilikannya, sehingga akan
menimbulkan kesulitan bagi pihak bank untuk melakukan eksekusi apabila terjadi
wanprestasi dalam proses pelunasan kredit. Sering kali dalam praktik perbankan
kita melihat penjualan objek jaminan kredit yang dilakukan untuk menutupi
kerugian bank akibat perjanjian kredit yang tidak berlansung sesuai dengan
kesepakatan antara para pihak, hal tersebut tentunya perlu dilakukan mengingat
dana yang disalurkan oleh bank sebagian besar merupakan dana nasabah
14
Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PNS adalah warga negara Indonesia
yang memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai Pegawai ASN secara tetap oleh pejabat pembina
kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan. Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara.
6
penyimpan sehingga bank wajib untuk mengembalikan dana tersebut apabila bank
ingin tetap menjaga kepercayaan nasabah terhadap bank.
Bisa dikatakan, jaminan kredit berfungsi sebagai pengaman pengembalian dana
bank yang disalurkan kepada pihak debitur, selain itu jaminan kredit juga
memiliki fungsi yang berkaitan dengan kesungguhan pihak debitur untuk
memenuhi kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan sehingga dapat
mencegah terjadinya penjualan jaminan kredit yang mungkin saja tidak
diinginkan oleh pihak debitur karena umumnya nilai jaminan kredit lebih tinggi
jika dibandingkan dengan jumlah pinjaman yang diberikan oleh bank.15
Dalam praktik perdagangan saat ini, kita tentu mengenal istilah surat berharga
yang dapat digunakan sebagai alat pembayaran. KUHD memang tidak mengatur
secara jelas tentang pengertian surat berharga, akan tetapi terdapat semacam
indikator untuk menyatakan bahwa suatu surat dapat dikatakan sebagai surat
berharga, dengan melihat pada fungsinya yaitu dapat digunakan sebagai alat
bayar, dapat diperjualbelikan dan sebagai bukti hak tagih pembayaran sejumlah
uang.16
SK Pengangkatan PNS tidak termasuk kedalam kelompok surat berharga
karena tidak dapat dijadikan sebagai alat pembayaran atau diperjualbelikan. SK
Pengangkatan PNS memiliki fungsi sebagai bukti otentik bahwa debitur benar-
benar telah bekerja sebagai seorang PNS dengan penghasilan tetap setiap bulan,
SK merupakan syarat utama untuk naik golongan dan kelengkapan untuk
mengajukan pensiun nanti, tanpa adanya SK tersebut seorang PNS tidak dapat
15
M. Bahsan, Op. Cit., hlm. 15. 16
Kingkin Wahyuningdiah dalam jurnal.fh.unila.ac.id, Jurnal : “Rekonstruksi Hukum Surat
Berharga dalam Pembangunan Sistem Hukum Nasiona”, (diakses dari http://jurnal.fh.unila.ac.id
/index.php/fiat/article/view/335/294, diakses pada 17 Januari 2018, pkl 16.15 WIB)
7
mengajukan kenaikan pangkat atau golongan dan tidak dapat mengajukan
pensiun.17
Di Indonesia SK Pengangkatan PNS tidak termasuk dalam jaminan kebendaan
maupun jaminan perorangan, akan tetapi termasuk ke dalam hak istimewa yang
wujudnya dapat berupa ijazah, surat keputusan, surat pensiun dan lain lain,18
sehingga dalam praktik pemberian kredit SK Pengangkatan PNS dapat dijadikan
sebagai jaminan kredit. Namun demikian, apabila dalam proses pelunasan atau
pembayaran kredit terjadi wanprestasi yang disebabkan oleh berbagai faktor,
maka bank akan kesulitan untuk mengeksekusinya secara langsung karena SK
bukan merupakan benda yang dapat diperjual belikan, sementara pada dasarnya
setiap perjanjian kredit memiliki risiko terjadinya wanprestasi dari pihak debitur
tidak terkecuali kredit dengan jaminan SK PNS tersebut.
Mengingat status nasabah yang merupakan seorang Pegawai Negeri Sipil, ada
kemungkinan bahwa nasabah dapat mengalami pemberhentian secara hormat
maupun tidak hormat), pindah tugas, meninggal dunia serta hal lain yang mungkin
terjadi selama proses pelunasan kredit, serta status SK yang hanya merupakan
legal document sehingga tidak dapat diperjual belikan guna melunasi piutang atau
kredit debitur. Oleh karena itu, Bank harus memiliki upaya pencegahan untuk
memperkecil risiko yang dapat terjadi di masa mendatang. Upaya pencegahan
17
Puput Mutiara dalam InfoPerbankan.com, Artikel: “Ini Alasan Mengapa SK PNS Sangat
Berharga dan Dapat Dijadikan Jaminan saat Pinjam Uang di Bank”, (diakses dari
https://www.infoperbankan.com/artikel/pns/ini-alasan-mengapa-sk-pns-sangat-berharga-dan-
dapat-dijadikan jaminan-saat-pinjam-uang-di-bank.html#forward, diakses pada 18 September
2017, pukul 22.58 WIB). 18
J. Satrio, Hukum Jaminan Hak-Hak Jaminan Kebendaan, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1993, hlm. 11
8
tersebut umumnya dilakukan dengan melibatkan pihak lain dalam perjanjian
kredit yang bertanggung jawab atas pembayaran kredit ketika debitur wanprestasi.
Berdasarkan uraian singkat tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan
penelitian dengan mengkaji dan membahas tanggung jawab yuridis para pihak
dalam perjanjian kredit dengan jaminan SK Pengangkatan PNS serta
menuangkannya dalam bentuk tulisan skripsi yang berjudul “Tanggung Jawab
Yuridis Dalam Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Surat Keputusan
Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil (Studi Pada PT. Bank Mandiri (Persero)
Tbk. KCP Raden Intan Bandar Lampung)”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis akan meneliti dan membahas
permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana prosedur pemberian kredit dengan jaminan SK Pengangkatan
PNS pada Bank Mandiri KCP Raden Intan Bandar Lampung?
2. Bagaimana hubungan hukum antara para pihak dalam perjanjian kredit
dengan jaminan SK Pengangkatan PNS?
3. Bagaimana tanggung jawab para pihak dalam perjanjian kredit apabila terjadi
wanprestasi?
C. Ruang Lingkup
Ruang lingkup penelitian merupakan bingkai penelitian, yang menggambarkan
batas penelitian, mempersempit penelitian, dan membatasi area penelitian.
9
Lingkup penelitian juga menunjukan secara pasti faktor-faktor mana yang akan
diteliti, dan mana yang tidak, atau untuk menentukan apakah semua faktor yang
berkaitan dengan penelitian akan diteliti ataukah akan dieleminasi sebagian.19
Adapun ruang lingkup penelitian ini meliputi ruang lingkup bidang ilmu dan
ruang lingkup pembahasan. Ruang lingkup bidang ilmu yang digunakan adalah
Hukum Ekonomi Bisnis, yang berkenaan dengan Hukum Perbankan. Ruang
lingkup pembahasan pada penelitian ini, yaitu mengenai pemberian kredit dengan
jaminan SK Pengangkatan PNS yang terdapat di Bank Mandiri.
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah dan pokok bahasan di atas, maka tujuan penelitian
ini adalah untuk menganalisis dan memperoleh gambaran secara lengkap, jelas,
rinci dan sistematis mengenai:
1. Prosedur pemberian kredit dengan jaminan SK Pengangkatan PNS pada Bank
Mandiri KCP Raden Intan Bandar Lampung.
2. Hubungan hukum antara para pihak dalam perjanjian kredit dengan jaminan
SK Pengangkatan PNS
3. Tanggung jawab para pihak dalam pelaksanaan perjanjian kredit dengan
jaminan SK Pengangkatan PNS.
19
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2005, hlm.111
10
2. Kegunaan Penelitian
2.1. Kegunaan Teoritis
Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat, memberikan sumbangan pemikiran
bagi perkembangan ilmu hukum khususnya Hukum Perbankan.
2.2. Kegunaan Praktis
1. Upaya peningkatan pengetahuan dan pengembanagan wawasan penulis
mengenai hukum perbankan khususnya pemberian kredit dengan jaminan SK
Pengankatan PNS.
2. Sumber bacaan, referensi, dan sumber informasi bagi masyarakat serta pihak-
pihak yang memerlukan.
3. Sebagai salah satu syarat dalam menempuh ujian sarjana di Fakultas Hukum
Universitas Lampung.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan tentang Perjanjian Kredit
1. Perjanjian
Istilah perjanjian berasal dari Bahasa Belanda overeenkomst dan verbintenis.
Untuk verbintenis terdapat tiga istilah Indonesia, yaitu perikatan, perjanjian, dan
perutangan sedangkan untuk istilah overeenkomst dipakai dua istilah, yaitu
perjanjian dan persetujuan.20
Perjanjian adalah suatu istilah atau pernyataan yang
bersifat abstrak, yang menunjuk pada hubungan hukum dalam lapangan harta
kekayaan antara dua orang atau lebih, dimana hubungan hukum tersebut
melahirkan kewajiban kepada salah satu pihak yang terlibat dalam hubungan
hukum tersebut.21
Perjanjian diatur dalam Buku III KUHPerdata dalam Bab II
mengenai ketentuan-ketentuan perjanjian. Hubungan hukum dalam harta
kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa
hukum lain yang menimbulkan perikatan.
Perjanjian diatur dalam Buku III KUHPerdata yaitu, perjanjian merupakan salah
satu sumber dari perikatan, bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena
persetujuan maupun karena undang-undang.22
Perjanjian adalah suatu perbuatan
dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau
20
R. Soeroso, Perjanjian di Bawah Tangan, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm. 3. 21
Kartini Mulyadi dan Gunawan Wijaya, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm. 1. 22
Pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
12
lebih.23
Dari Pasal 1313 ayat (1) KUHPerdata, dapat diketahui bahwa suatu
perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau
dimana dua orang atau lebih saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Ini
berarti dari suatu perjanjian, lahirlah kewajiban atau prestasi dari satu atau lebih
pihak kepada satu atau lebih pihak lainnya, yang berhak atas prestasi tersebut. Hal
ini memberikan konsekuensi hukum, bahwa dalam suatu perjanjian akan selalu
ada dua pihak, dimana satu pihak adalah pihak yang wajib berprestasi (debitur)
dan pihak lainnya adalah pihak yang berhak atas prestasi tersebut (kreditur).
Selain itu menurut para sarjana hukum, definisi perjanjian itu sendiri diartikan
berbeda-beda, di antaranya :
1. Menurut Subekti, perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji
kepada seseorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk
melaksanakan sesuatu hal.
2. Menurut R. Wirjono Projodikoro, perjanjian adalah suatu perhubungan
hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana suatu pihak
berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau untuk tidak
melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji
itu.
3. Menurut R. Setiawan, perjanjian adalah suatu perbuatan hukum, di mana satu
orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya
terhadap satu orang atau lebih.
23
Pasal 1313 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
13
4. Menurut Abdulkadir Muhammad, perjanjian adalah suatu persetujuan dengan
mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu
hal dalam lapangan harta kekayaan.
Berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh para ahli hukum tersebut, maka
dapat disimpulkan perjanjian adalah suatu perbuatan hukum yang didasarkan
kesepakatan para pihak, dimana 1 (satu) orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap 1 (satu) orang atau lebih.
Adapun syarat-syarat sahnya untuk suatu perjanjian tersebut ditentukan dalam
Pasal 1320 KUHPerdata, yakni:
1. Sepakat kedua pihak untuk mengikatkan diri;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.
Syarat-syarat sahnya perjanjian itu menyangkut dua hal yaitu mengenai
subyeknya (yang membuat perjanjian) dan kedua mengenai obyeknya yaitu apa
yang dijanjikan oleh masing-masing. Apabila tidak dipenuhinya syarat
subyektifnya maka dapat dimintaka pembatalan perjanjian kepada hakim,
sedangkan jika syarat obyektifnya juga dapat batal demi hukum (tanpa dimintakan
pembatalan kepada hakim).
1.1. Momentum Terjadinya Perjanjian
KUHPerdata tidak menyebutkan secara jelas tentang momentum terjadinya
perikatan, namun KUHPerdata menyebutkan cukup dengan konsensus para pihak
14
sebagaimana diatur Pasal 1320 KUHPerdata. Ada beberapa teori yang membahas
tentang momentum terjadinya kontrak, yaitu teori pernyataan, pengiriman,
pengetahuan dan penerimaan.
1) Teori Pernyataan (Uitingstheorie)
Menurut teori penyataan, kesepakatan (toesteming) terjadi pada saat pihak yang
menerima penawaran menyatakan bahwa ia menerima penawaran itu. Jadi dilihat
dari pihak yang menerima, yaitu pada saat baru menjatuhkan ballpoint untuk
menyatakan menerima, kesepakatan sudah terjadi. Kelemahan teori ini adalah saat
teoritis karena dianggap terjadinya kesepakatan secara otomatis.24
2) Teori Pengiriman (Verzendtheorie)
Menurut teori pengiriman, kesepakatan terjadi apabila pihak yang menerima
penawaran telegram. Kritik terhadap teori ini, bagaimana hal itu bisa diketahui.
Bisa saja, walau sudah dikirim tetapi tidak diketahui oleh pihak yang
menawarkan. Teori ini juga sangant teoritis, dianggap terjadinya kesepakatan
secara otomatis.25
3) Teori Pengetahuan (Vernemingstheorie)
Teori pengetahuan berpendapat bahwa kesepakatan terjadi apabila pihak yang
menawarkan mengetahui adanya acceptatie (penerimaan), tetapi penerimaan itu
belum diterimanya (tidak diketahui secara langsung). Kritik terhadap teori ini,
bagaimana ia mengetahuinya isi penerimaan itu apabila ia belum menerimanya.26
24
Vollmar dalam Salim H.S., Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak,
Sinar Grafika, Jakarta, 2015, hlm. 40. 25
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan dalam Salim H.S., Ibid. 26
Sudikno Mertokusumo dalam Salim H.S., Ibid., hlm. 41.
15
4) Teori Penerimaan (Ontvangstheorie)
Menurut teori penerimaan bahwa toesteming terjadi pada pihak yang menawarkan
menerima langsung jawaban dari pihak lawan.27
Disamping keempat teori tersebut, ada sebuah teori kelima tentang momentum
terjadinya kontrak, yaitu geobjectiveerde bernemingstheorie, yang menentukan
adalah saat si pengirim surat redelijkerwijs, dapat menganggap bahwa si alamat
telah mengetahui isi surat tersebut.28
Pada hukum positif Belanda, juga diikuti yurisprudensi, maupun doktrin, teori
yang dianut dari teori pengetahuan dengan sedikit koreksi dari teori penerimaan.
Maksudnya penerapan teori pengetahuan tidak secara mutlak. Sebab lalu lintas
hukum menghendaki gerak cepat dan tidak menghendaki formalitas yang kaku,
sehingga teori pengetahuan yang dianut. Karena jika harus menunggu jawaban
dari pihak lawan menurut teori penerimaan, diperlukan waktu yang lama.
Momentum terjadinya perjanjian, pada saar terjadinya persesuaian antara
pernyataan dan kehendak antara kreditur dan debitur. Namun, ada kalanya tidak
ada persesuaian antara pernyataan dan kehendak.
Ada 3 (tiga) teori yang menjawab tentang ketidaksesuaian antara kehendak dan
pernyataan, yaitu teori pernyataan dan teori kepercayaan. Ketiga teori tersebut
dikemukakan sebagaimana berikut:29
27
Salim H.S., Ibid. 28
Ibid. 29
Van Dunne dalam Salim H.S., Ibid.
16
a. Teori kehendak (wilstheorie)
Menurut teori kehendak bahwa perjanjian terjadi apabila ada persesuaian antara
kehendak dan pernyataan. Apabila terjadi ketidakwajaran, kehendaklah yang
menyebabkan terjadinya perjanjian. Kelemahan teori ini menimbulkan kesulitan
apabila tidak ada persesuaian antara kehendak dan pernyataan.
b. Teori pernyataan (verklaringtheorie)
Menurut teori ini kehendak merupakan proses batiniah yang tidak diketahui orang
lain. Akan tetapi, yang menyebabkan terjadinya perjanjian adalah pernyataan. Jika
terjadi perbedaan antara kehendak dan pernyataan maka perjanjian tetap terjadi.
Dalam praktiknya teori ini menimbulkan berbagai kesulitan, seperti apa yang
dinyatakan berbeda dengan yang dikehendaki.
c. Teori kepercayaan (vertrouwenstheorie)
Menurut teori ini tidak setiap pernyataan menimbulkan perjanjian, tetapi
pernyataan yang menimbulkan kepercayaan saja yang menimbulkan perjanjian.
Kepercayaan dalam arti bahwa pernyataan itu sulit dinilai.
Ada 3 (tiga) alternatif pemecahan kesulitan yang dihadapi dari ketiga teori-teori
tersebut. Ketiga alternatif tersebut adalah sebagai berikut:30
1. Dengan tetap mempertahankan teori kehendak, yaitu menganggap perjanjian
itu terjadi apabila tidak ada persesuaian antara kehendak dan pernyataan.
Pemecahannya: akan tetapi pihak lawan berhak mendapat ganti rugi, karena
pihak lawan mengharapkannya.
30
Salim H.S., Ibid., hlm. 42.
17
2. Dengan tetap berpegang pada teori kehendak, hanya dalam pelaksanaannya
kurang ketat, yaitu dengan menganggap kehendak itu ada.
3. Penyelesaiannya dengan melihat pada perjanjian baku (standart contract)
yaitu suatu perjanjian yang didasarkan kepada ketentuan umum di dalamnya.
Biasanya perjanjian dituangkan dalam bentuk formulir.
1.2. Wanprestasi dan Akibatnya
Untuk mencapai tujuan yang dikehendaki oleh para pihak dalam suatu perjanjian
yang dibuatnya, para pihak berkewajiban untuk melaksanakan segala sesuatu yang
menjadi hak dan kewajiban. Apabila salah satu pihak tidak melaksanakan
kewajibannya karena kesalahan baik kesengajaan atau karena kelalaiannya, maka
pihak yang demikian dikatakan ingkar janji atau wanprestasi. Adapun wanprestasi
yang terjadi dapat berupa:
1. Salah satu pihak dalam perjanjian yang bersangkutan tidak melaksanakan
atau melakukan apa yang disanggupi atau yang telah diperjanjikan;
2. Melakukan apa yang diperjanjikan tetapi terlambat;
3. Melaksanakan apa yang diperjanjikan tetapi tidak sebagaimana yang
diperjanjikan;
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
Dalam suatu perjanjian tidaklah mudah untuk menyatakan seseorang melakukan
wanprestasi, sebab dalam perjanjian sering tidak disebutkan secara tepat kapan
para pihak diwajibkan untuk memenuhi prestasi tersebut. Apabila
seseorang/debitur dianggap melakukan wanprestasi, maka ia harus diberi surat
18
peringatan secara tertulis yang disebut dengan somasi. Somasi adalah
pemberitahuan atau pernyataan dari kreditur kepada debitur yang berisi ketentuan
bahwa kreditur menghendaki prestasi seketika atau dalam jangka waktu seperti
yang telah ditentukan dalam pemberitahuan.31
Secara umum bagi debitur yang telah melakukan wanprestasi dapat dikenakan
sanksi hukum berupa:
a. Debitur diwajibkan membayar ganti kerugian yang telah diderita oleh kreditur
(Pasal 1234 KUHPerdata).
b. Apabila perjanjian itu timbal balik, krditur dapat menuntut pemutusan atau
pembatalan perjanjian melalui hakim (Pasal 1266 KUHPerdata).
c. Dalam ikatan untuk memberikan sesuatu, risiko beralih kepada debitur sejak
terjadi cidera janji (Pasal 1237 KUHPerdata).
d. Debitur diwajibkan memenuhi perjanjian jika masih dapat dilakukan, atau
pembatalan disertai pembayaran ganti kerugian (Pasal 1267 KUHPerdata).
e. Debitur wajib membayar biaya perkara jika diperkarakan dimuka pengadilan,
dan debitur dinyatakan bersalah.
1.3. Berakhirnya Hubungan Hukum
Dalam hukum Indonesia berakhirnya suatu hubungan hukum dapat terjadi ketika
perjanjian yang menjadi dasar terbentuknya hubungan hukum telah tercapai
tujuannya, atau masing-masing pihak telah saling memenuhi prestasi yang telah
diperjanjikan sebelumnya sebagaimana para pihak menghendaki dalam
31
Soebekti, Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, Alumni,
Bandung, 1986, hlm. 46.
19
mengadakan suatu perjanjian. Mengenai berakhirnya suatu perjanjian dapat
terjadi, apabila:
1. ditentukan oleh undang-undang mengenai batas berlakunya;
2. ditentukan oleh para pihak;
3. para pihak atau undang-undang menentukan terjadinya suatu peristiwa
tertentu maka perjanjian akan hapus;
4. pernyataan penghentian persetujuan oleh para pihak dalam perjanjian yang
dimaksud, pernyataan berakhirnya suatu perjanjian harus ada pada perjanjian
yang sifatnya sementara;
5. karena diputus oleh hakim;
6. perjanjian tersebut telah tercapai;
7. dengan persetujuan kedua belah pihak.
2. Kredit
Sesuai dengan Pasal 6 Undang-Undang Perbankan, kredit merupakan salah satu
kegiatan usahan yang dimiliki oleh bank. Kata ”Kredit” berasal dari bahasa
Yunani ”credere” yang berarti kepercayaan. Dengan demikian istilah kredit
memiliki arti khusus, yaitu meminjamkan uang (atau penundaan pembayaran).32
Unsur kepercayaan dalam hal ini adalah keyakinan dari si pemberi kredit bahwa
prestasi yang diberikannya baik dalam bentuk uang, barang, atau jasa akan benar-
benar diterimanya kembali dalam jangka waktu tertentu dimasa yang akan
datang.33
Apabila dihubungkan dengan bank, maka terkandung pengertian bahwa
bank selaku kreditur percaya meminjamkan sejumlah uang kepada nasabah atau
32
Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, Alumni, Bandung, 1978, hlm. 19. 33
Thomas Suyatno dkk, Dasar-Dasar Perkreditan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
1997, hlm. 14.
20
debitur dapat dipercaya kemampuannya untuk membayar lunas pinjamannya
setelah jangka waktu yang ditentukan.
a. Menurut Pasal 1 angka 11 Perbankan, kredit adalah penyediaan uang atau
tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu. Berdasarkan persetujuan atau
kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang
mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu
tertentu dengan jumlah bunga imbalan atau pembagian hasil keuntungan.
b. Pendapat lain mengatakan, kredit adalah pemberian prestasi (misalnya uang,
barang) dengan balas prestasi (kontraprestasi) yang akan terjadi pada waktu
yang akan datang. Kehidupan ekonomi modern adalah prestasi uang, yang
dengan demikian transaksi kredit menyangkut uang sebagai alat kredit.34
Kredit berfungsi kooperatif antara si pemberi kredit dengan si penerima kredit
atau antara kreditur dan debitur. Mereka menarik keuntungan dan saling
menanggung risiko. Singkatnya, kredit dalam arti luas didasarkan atas
komponen kepercayaan, risiko, dan pertukaran ekonomi di masa-masa
mendatang.35
1.1. Unsur Kredit
Intisari dari kredit adalah unsur kepercayaan dan unsur lainnya adalah mempunyai
pertimbangan tolong-menolong. Selain itu sekarang ini untuk mengambil
keuntungan dari modal dengan mengambil kontraprestasi, sedangkan dipandang
dari segi debitur adalah adanya bantuan dari kreditur untuk menutupi kebutuhan
34
OP Simorangkir, Seluk Beluk Bank Komersial, Aksara Persada Indonesia, Jakarta, 1986,
hlm.91. 35
Ibid., hlm. 92.
21
yang berupa prestasi. Hanya saja antara kontraprestasi dengan prestasi tersebut
ada masa yang memisahkannya. Kondisi ini mengakibatkan adanya risiko yang
berupa ketidaktentuan, sehingga oleh karenanya diperlukan suatu jaminan dalam
pemberian kredit tersebut.36
Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa
unsur-unsur kredit adalah :
1. Kepercayaan, disini berarti bahwa si pemberi kredit yakin prestasi yang
diberikannya baik dalam bentuk uang, barang, atau jasa, akan benar-benar
diterimanya kembali dalam jangka waktu tertentu di masa yang akan datang;
2. Tenggang waktu, yaitu waktu yang memisahkan antara pemberian prestasi
dengan kontraprestasi yang akan diterima pada masa yang akan datang.
Dalam unsur waktu ini terkandung pengertian nilai agio dari uang, yaitu uang
yang akan diterima pada masa yang akan datang;
3. Degree of Risk, yaitu risiko yang akan dihadapi sebagai akibat dari adanya
jangka waktu yang memisahkan antara pemberian prestasi dengan
kontraprestasi yang akan diterima dikemudian hari. Semakin panjang jangka
waktu kredit yang diberikan maka semakin tinggi pula tingkat risikonya,
sehingga terdapat unsur ketidaktentuan yang tidak dapat diperhitungkan.
Inilah yang dapat menimbulkan risiko. Karena adanya unsur risiko ini maka
dibutuhkan jaminan dalam pemberian kredit;
4. Prestasi atau obyek kredit itu tidak saja diberikan dalam bentuk uang, tetapi
juga dapat berbentuk barang atau jasa. Namun karena kehidupan ekonomi
36
Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, Citra Aditya Bhakti, Bandung,
1996, hlm. 231.
22
modern sekarang ini didasarkan pada uang maka transaksi kredit yang
menyangkut uanglah yang sering kita jumpai dalam praktek perkreditan.37
1.2. Fungsi dan Tujuan Kredit
Kredit berfungsi kooperatif antara si pemberi kredit dan si penerima kredit atau
antara kreditur dan debitur. Mereka menarik keuntungan dan saling menanggung
risiko. Kredit perbankan dalam kehidupan perekonomian dan perdagangan,
mempunyai fungsi sebagai berikut:38
1. Meningkatkan daya guna uang, dengan adanya kredit yang dipakai untuk
keperluan usaha produktif berarti daya guna uang menjadi lebih meningkat
yaitu tidak terbatas hanya sebagai alat tukar dan pembayar saja.
2. Meningkatkan peredaran dan lalu-lintas uang, dengan tersebarnya penerima
kredit di beberapa daerah maka secara tidak langsung telah membantu dalam
peredaran dan lalu lintas uang menjadi luas.
3. Meningkatkan daya guna dan peredaran barang, dengan penggunaan kredit
untuk memproses bahan mentah menjadi bahan manfaat dari bahan tersebut
menjadi meningkat.
4. Sebagai salah satu alat stabilitas ekonomi, salah satunya adalah untuk
mengendalikan inflasi yaitu dengan mengurangi penyaluran kredit kepada
masyarakat untuk membatasi uang yang beredar di masyarakat.
37
Budi Untung, Op.Cit., hlm. 3. 38
Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung,
1996, hlm. 232.
23
5. Meningkatkan kegairahan berusaha, bagi para pengusaha yang kekurangan
modal maka salah satu alternatifnya adalah dengan bantuan kredit. Dengan
kredit diharapkan volume usaha akan meningkat.
6. Meningkatkan pemerataan pendapatan, dengan meningkatnya usaha produktif
di suatu daerah yang didukung dengan kredit akan membuka peluang
angkatan kerja baru, sementara itu bagi pengusaha tentunya akan
meningkatkan keuntungan.
7. Meningkatkan hubungan internasional, negara satu dengan lainnya maupun
lembaga keuangan internasional menggunakan instrumen kredit dalam
meningkatkan kerjasama ekonomi.
Dari segi tujuan penggunaannya, jenis kredit dikelompokkan menjadi:39
1) Kredit Konsumtif, yaitu kredit yang diberikan oleh bank pemerintah atau
bank swasta kepada perseorangan untuk membiayai keperluan konsumsi
sehari-hari, seperti kredit profesi, kredit perumahan;
2) Kredit Produktif, baik kredit investasi maupun kredit eksploitasi. Kredit
Investasi yaitu kredit yang ditujukan untuk penggunaan pembiayaan modal
tetap, sedangkan Kredit Eksploitasi adalah kredit yang ditujukan untuk
penggunaan pembiayaan kebutuhan dunia usaha akan modal kerja;
3) Perpaduan antara kredit konsumtif dan kredit produktif (semi konsumtif dan
semi produktif).
39
Ibid., hlm. 235.
24
3. Perjanjian Kredit
3.1. Pengertian Perjanjian Kredit
Perjanjian kredit mengacu kepada KUHPerdata yang merupakan salah satu
bentuk perjanjian pinjam-meminjam yang diatur dalam Buku III KUHPerdata.
Pada hakikatnya pemberian kredit merupakan salah satu perjanjian pinjam-
meminjam sebagaimana diatur dalam Pasal 1754 KUHPerdata, yang berbunyi:
”Pinjam-meminjam adalah perjanjian dengan mana pihak yang satu
memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang
yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang
belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan
keadaan yang sama pula”.
Perjanjian pinjam-meminjam ini mengandung makna yang luas yaitu obyeknya
adalah benda yang menghabis jika verbruiklening termasuk didalamnya uang.
Perjanjian pinjam uang bersifat riil, tersimpul dari kalimat ”pihak kesatu
menyerahkan uang itu kepada pihak lain”dan bukan mengikatkan diri untuk
menyerahkan uang. Dari uraian diatas dapat dibedakan 2 (dua) kelompok
perjanjian kredit:40
a. perjanjian kredit uang;
b. perjanjian kredit barang, misalnya perjanjian sewa beli dan perjanjian sewa
guna usaha;
40
Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, 1994, hlm. 111.
25
Ketentuan Pasal 1754 KUHPerdata tentang perjanjian pinjam mengganti,
mempunyai pengertian yang identik dengan perjanjian kredit bank.41
Pendapat
lain mengatakan bahwa perjanjian kredit adalah merupakan ”Perjanjian
Pendahuluan” (voorovereenkomst) dari penyerahan uang. Perjanjian pendahuluan
ini merupakan hasil permufakatan antara pemberi dan penerima pinjaman
mengenai hubungan-hubungan hukum antara keduanya. Perjanjian ini bersifat
konsensual (pacta de contrahendo) oligatoir, yang dikuasai oleh Undang-Undang
Perbankan dan Bagian Umum KUHPerdata.42
Pengertian perjanjian kredit juga tidak dinyatakan dengan tegas dalam Undang-
Undang Perbankan, namun mengenai keharusan adanya suatu perjanjian kredit ini
tersirat dalam Pasal 1 ayat (11) bahwa kredit diberikan hanya berdasar persetujuan
atau kesepakatan antara bank dengan debitur.
3.2. Perjanjian Kredit sebagai Perjanjian Baku
Secara yuridis formal terdapat 2 jenis perjanjian kredit yang digunakan bank
dalam melepas kreditnya:43
a) Akta/perjanjian kredit di bawah tangan: adalah perjanjian pemberian kredit
oleh bank kepada nasabahnya yang hanya dibuat di antara mereka (kreditur
dan debitur) tanpa Notaris.
41
Marhainis Abdul Hay, Hukum Perbankan Di Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta, 1979,
hlm. 147. 42
Mariam Darus Badrulzaman, Op.Cit., hlm. 28. 43
Sutan Remy Sjahdeni, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi
Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, hlm.
182.
26
b) Akta/perjanjian kredit notariil (otentik): adalah perjanjian yang dibuat secara
Notariil dalam pemberian kredit kepada nasabahnya yang dibuat di hadapan
Notaris.
3.3. Isi Perjanjian Kredit
Dalam praktek perbankan, setiap bank telah menyediakan formulir atau blanko
perjanjian kredit. Formulir tersebut disodorkan pada setiap pemohon kredit yang
isinya tidak diperbincangkan melainkan setelah dibaca oleh pemohon, pihak bank
hanya meminta pendapat calon nasabah, apakah dapat menerima syarat-syarat
yang tersebut dalam formulir itu atau tidak. Sedangkan hal-hal yang kosong di
dalam formulir, seperti jumlah pinjaman, besarnya bunga, tujuan pemakaian
kredit, dan jangka waktu kredit adalah hal-hal yang tidak mungkin diisi sebelum
ada persetujuan dari kedua belah pihak. Ciri-ciri perjanjian baku adalah:44
1. Isi atau syarat yang diperjanjikan telah ditetapkan secara sepihak;
2. Masyarakat sama sekali tidak dapat menentukan isi atau syarat yang
diperjanjikan;
3. Masyarakat terdorong oleh kebutuhan terpaksa menerima isi atau syarat yang
diperjanjikan, sehingga apabial kemudian akan mengadakan perubahan isi
atau syarat tersebut sama sekali tidak bisa;
4. Isi atau syarat yang diperjanjikan telah dipersiapkan terlebih dahulu.
Perjanjian kredit mengandung kelemahan terutama dihubungkan dengan Pasal
1320 jo 1338 KUHPerdata, karena dalam perjanjian kredit tidak mengandung
adanya kesepakatan dalam arti luas dari kedua belah pihak, melainkan hanya
44Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Baku Standart dan Perkembangannya di
Indonesia. Alumni, Bandung, 1981, hlm. 97.
27
sepihak. Sedangkan pihak pemohon dalam memberi kesepakatannya hanya fiktif
belaka. Dengan demikian perjanjian kredit tidak hanya mengandung kelemahan
tetapi sekaligus menyimpang dari asas-asas yang terkandung dalam Pasal 1320 jo
1338 KUHPerdata. Terlepas dari kelemahan dari penyimpangan Pasal 1320 jo
1338 KUHPerdata, kita harus menerima keadaan tersebut sebagai kenyataan.
Sebab disatu sisi, timbulnya perjanjian (standart) kredit tidak dilatar belakangi
oleh kaum ekonomi kuat, tetapi oleh kemauan pemerintah untuk membantu dan
merangsang pertumbuhan pengusaha ekonomi lewat bantuan kredit. Sedangkan
disisi lain, pemberian atau pelepasan kredit tanpa disertai adanya persyaratan yang
ketat akan mengakibatkan terbukanya risiko yang besar bagi kelangsungan usaha
bank dan pada akhirnya akan melumpuhkan tujuan yang terkandung dalam
pemberian kredit itu sendiri.
B. Tinjauan tentang Jaminan Kredit
1. Pengertian Jaminan Kredit
Istilah Jaminan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda, yaitu “Zakerheid”,
sedangkan istilah “Zakerheidsrecht” digunakan untuk hukum jaminan atau hak
jaminan. Namun istilah hukum jaminan ternyata mempunyai makna yang lebih
luas dan umum serta bersifat mengatur dibandingkan dengan hak jaminan seperti
halnya hukum kebendaan yang mempunyai ruang lingkup yang lebih luas dan
mempunyai sifat mengukur dari pada hak kebendaan.
Sedangkan istilah kredit berasal dari bahasa Yunani, yaitu “Credere”, yang jika
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi Kredit, yang artinya ialah
kepercayaan. Seseorang atau badan hukum yang memberikan kredit percaya
28
bahwa si penerima dimasa mendatang akan sanggup memenuhi segala sesuatu
yang telah diperjanjikan. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa dasar
kredit ialah kepercayaan. Maksud dari penundaan pembayaran ialah pengembalian
atas penerimaan uang atau barang yang tidak dilakukan bersama pada saat
menerimanya tetapi pengembaliannya dilakukan pada masa yang telah ditentukan.
Ada beberapa pengertian jaminan kredit yang terdapat di dalam literatur hukum,
yaitu :
1) Mariam Darus Badrulzaman merumuskan jaminan sebagai suatu tanggungan
yang diberikan oleh seseorang debitur dan atau pihak ketiga kepada kreditur
untuk meminjam kewajibannya dalam suatu perikatan.45
2) Sri Soedewi Masjhoen Sofwan berpendapat bahwa hukum jaminan adalah
keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum
antara pemberli dan penerima jaminan dalam kaitannya dengan pembebanan
jaminan untuk mendapatkan fasilitas kredit.46
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) dalam Pasal 1131
merumuskan jaminan sebagai berikut :
“Segala kebendaan si berhutang, baik yang bergerak maupun yang tidak
bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian
hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan”.
45
Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Cet. 2, PT. Alumni, Bandung, 2005,
hlm. 12. 46
Indrawati Soewarso, Aspek Hukum Jaminan Kredit, Institut Bankir Indonesia, Jakarta,
2002, hlm.9.
29
Dari Pasal diatas dapat disimpulkan bahwa jaminan yang dimaksud dalam KUH
Perdata adalah benda tertentu yang diserahkan debitur kepada kreditur sebagai
akibat dari suatu hubungan perjanjian utang piutang atau perjanjian lain.
Kesediaan pemohon untuk menyediakan jaminan merupakan syarat mutlak yang
harus disediakan apabila seseorang pemohon mengajukan permohonan kredit
kepada bank karena hal tersebut berkaitan dengan prinsip kehati-hatian bank.
Keterkaitan antara pemberian jaminan dengan prinsip kehati-hatian dikarenakan
dalam menjalankan usaha perkreditan mengandung banyak resiko karena dana
yang ada berasal dari masyarakat dengan memperhatikan fungsi utama Bank
Indonesia sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat, maka bank harus
memperhatikan atas perkreditan yang sehat. Pada Pasal 8 ayat (1) UU Perbankan
menyebutkan bahwa :
“Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah,
Bank Umum Wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang
mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah Debitur
untuk melunasi hutangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud
sesuai dengan yang diperjanjikan”.
Kalimat "kemampuan kesanggupan debitur" menunjukkan bahwa dalam
pelaksanaan pemberian kredit peranan jaminan sangat penting karena jaminan
pemberian kredit merupakan faktor penting dalam rangka mengurangi resiko
kredit. Dalam penjelasan Pasal tersebut dinyatakan bahwa :
“Kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang diberikan oleh bank
mengandung resiko, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan
30
asas-asas perkreditan atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang sehat.
Untuk mengurangi resiko tersebut, jaminan pemberian kredit atau pembiayaan
berdasarkan Prinsip Syariah dalam arti keyakinan atas kemampuan dan
kesanggupan nasabah Debitur untuk melunasi kewajibannya sesuai dengan yang
diperjanjikan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan oleh bank. Untuk
memperoleh keyakinan tersebut, sebelum memberikan kredit, bank harus
melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan,
dan prospek usaha dari Nasabah Debitur”.
Menurut SK Direksi BI No. 23/69/KEP/DIR tanggal 28 Februari 1991 tentang
jaminan pemberian kredit Pasal 2 ayat (1) pengertian jaminan adalah keyakinan
bank atas kesanggupan debitur untuk melunasi kredit sesuai dengan yang
diperjanjikan.47
Memberikan suatu barang dalam jaminan, berarti melepaskan
sebagian kekuasaannya atas barang itu. Pada asasnya yang harus dilepaskan itu
adalah kekuasaan untuk memindahkan hak milik atas barang itu dengan cara
apapun juga (menjual, menukar, menghibahkan).48
a. Jenis-jenis Jaminan Kredit
Jaminan kredit bank dapat digolongkan dalam beberapa klasifikasi berdasarkan
sudut pandang tertentu, misalnya cara terjadinya, sifatnya, kebendaan yang
dijadikan objek jaminan dan lain sebagainya. Klasifikasi jaminan tersebut antara
lain :49
47
Muhammad Djumhana, Op.cit. hlm. 448. 48
R. Subekti, Jaminan-jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, Citra
Aditya Bakti, Bandung, 1989, hlm. 17. 49
Rachmadi Usman, Hukum Jaminan Keperdataan, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 289-
299.
31
1. Jaminan karena undang-undang dan karena perjanjian
Jaminan karena undang-undang adalah jaminan yang dilahirkan atau diadakan
oleh, seperti jaminan umum, hak privilege dan hak retensi. Sedangkan jaminan
karena perjanjian adalah jaminan yang dilahirkan atau diadakan oleh perjanjian
yang diadakan para pihak sebelumnya, seperi gadai, hipotik, hak tanggungan dan
fidusia.
2. Jaminan umum dan jaminan khusus
Jaminan bersifat umum, yaitu jaminan yang diberikan oleh debitur kepada setiap
kreditur, hak-hak tagihan mana yang tidak mempunyai hak saling mendahului
antara kreditur yang satu dan kreditur lainnya. Sedangkan jaminan khusus
jaminan yang diberikan oleh debitur kepada kreditur, hak-hak tagihan mana
mempunyai hak mendahaului sehingga ia berkedudukan sebagai kreditur privilege
(hak preverent).
3. Jaminan perorangan dan jaminan kebendaan
Jaminan Perorangan adalah jaminan berupa pernyataan kesanggupan yang
diberikan oleh seseorang pihak ketiga, guna menjamin pemenuhan kewajiban-
kewajiban debitur kepada pihak kreditur, apabila debitur yang bersangkutan
cidera janji (wanprestasi). Menurut Subekti: “Jaminan perorangan adalah selalu
suatu perjanjian antara seorang berpiutang (kreditur) dengan orang ketiga, yang
menjamin dipenuhinya kewajiban si berhutang (debitur). Bahkan dapat diadakan
di luar (tanpa) pengetahuan si berhutang tersebut”.50
Dengan adanya perjanjian
jaminan perorangan kreditur akan merasa lebih aman daripada tidak ada jaminan
50
Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain Yang
Melekat Pada Tanah dalam Konsepsi Asas Pemisahan Horisontal, Citra Aditya bakti, Jakarta,
1996, hlm. 234
32
sama sekali, karena dengan adanya jaminan pihak ketiga berarti kreditur dapat
menagih tidak hanya kepada debitur tetapi juga dengan pihak ketiga yang kadang-
kadang juga pihak ketiga ini dapat terdiri dari beberapa orang. Dimungkinkan
pula penjaminan terhadap penjamin debitur yaitu jaminan terhadap pihak ketiga
bahwa penjamin akan melaksanakan kewajibannya yaitu melunasi hutang debitur.
Jaminan kebendaan adalah jaminan berupa harta kekayaan, baik benda maupun
hak kebendaan, yang diberikan dengan cara pemisahan bagian dari harta
kekayaan, baik dari debitur maupun pihak ketiga guna menjamin pemenuhan
kewajiban-kewajiban debitur kepada pihak kreditur, apabila debitur yang
bersangkutan cidera janji (wanprestasi). Menurut sifatnya, jaminan kebendaan ini
terbagi dua, yaitu: Jaminan dengan benda berwujud (material), benda berwujud
dapat berupa benda/barang bergerak dan atau benda/barang tidak bergerak.
Jaminan dengan benda tidak berwujud (immaterial), benda/barang tidak berwujud
yang lazim diterima oleh bank sebagai jaminan kredit adalah berupa hak tagih
debitur terhadap pihak ketiga.51
Perjanjian jaminan kebendaan merupakan hak mutlak atas suatu benda tertentu
yang dijadikan objek jaminan untuk suatu ketika dapat diuangkan bagi pelunasan
atau pembayaran hutang apabila debitur melakukan ingkar janji.52
4. Jaminan pokok, jaminan utama dan jaminan tambahan;
5. Jaminan atas benda bergerak dan tidak bergerak;
6. Jaminan regulative dan jaminan non regulative; dan
7. Jaminan konvensional dan jaminan non konvensial.
51
Daeng Naja, Hukum Kredit dan Bank Garansi, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hlm.
214. 52
Djuhaendah Hasan, Op.cit, hlm. 236.
33
Menurut Soebekti, KUH Perdata mengenal tiga macam barang yaitu barang
bergerak, barang tetap, dan barang tak bertubuh (dimana dimaksudkan piutang,
penagihan atau claim). Pada Pasal 509 Buku II bagian ke-empat KUH Perdata
disebutkan bahwa barang bergerak adalah :
”Barang bergerak karena sifatnya adalah barang yang dapat berpindah sendiri
atau dipindahkan”.53
Untuk kebendaan bergerak, dapat dibebankan dengan lembaga hak jaminan gadai
dan fidusia sebagai jaminan hutang, sementara utuk benda tidak bergerak, dapat
dibebankan dengan hipotik, hak tanggungan, dan fidusia sebagai jaminan
hutang.54
Menurut Pasal 1150 KUH Perdata Buku II Titel 20 KUH Perdata, lembaga
jaminan yang menyertai benda bergerak adalah gadai, yaitu : ”Gadai adalah suatu
hak yang diperoleh kreditor atas suatu barang bergerak, yang diserahkan
kepadanya oleh debitor, atau oleh kuasanya sebagai jaminan atas utangnya, dan
yang memberi wewenang kepada kreditor untuk mengambil pelunasan piutangnya
dari barang itu dengan mendahului kreditor-kreditor lain, dengan pengecualian
biaya penjualan sebagai pelaksana putusan atas tuntutan mengenai pemilikan atau
penguasaan, dan biaya penyelamatan barang itu yang diserahkan sebagai gadai
dan yang harus didahulukan.”
Gadai merupakan jaminan dengan menguasai bendanya dan bagi kreditor akan
lebih aman karena mengingat pada benda bergerak mudah dipindahtangankan
dalam arti dijual lelang jika debitor wanprestasi, walaupun mudah untuk berubah
53
Soebekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 1990, hlm. 9 54
Rachmadi Usman,Op.Cit., hlm. 77.
34
nilainya. Hal ini jika dihubungkan dengan Surat Keputusan Pengangkatan
Pegawai Negeri Sipil tidak termasuk didalam benda bergerak dan bukan
merupakan sebagai obyek gadai.
Fidusia Secara terminologi, fidusia berasal dari kata “fides” yang berarti
“kepercayaan”, dan merupakan bentuk lain lagi bagi jaminan atas benda bergerak
selain gadai. Fidusia adalah istilah lain lagi bagi lembaga fiduciere eigendom
overdracht (FEO), yang berarti penyerahan hak milik berdasarkan kepercayaan.
Sebagaimana perjanjian jaminan hutang lainnya, perjanjian fidusia juga
merupakan perjanjian asesor (accessoir) yang tidak mungkin berdiri sendiri tetapi
selalu mengikuti perjanjian induk atau pokoknya, yaitu perjanjian hutang-piutang.
Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang
Fidusia, maka pengaturan tentang fidusia disesuaikan dengan kebutuhan
masyarakat yang berkembang.
Hak tanggungan menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996
Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan
tanah, diuraikan mengenai definisi Hak Tanggungan adalah :55
“Hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain
yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang
tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor
tertentu terhadap kreditor-kreditor lain”.
55
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum
Jaminan dan Jaminan Perorangan, Liberty Offset Yogyakarta, Yogyakarta, 2007, hlm. 89.
35
b. Agunan Kredit
Agunan kredit merupakan jaminan tambahan yang diperlukan dalam hal
pemberian fasilitas kredit. Hal demikian sesuai dengan pengertian agunan yang
termuat dalam pada Pasal 1 angka 23 Undang-Undang Perbankan, yaitu bahwa:
“Agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan nasabah debitur
kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan
berdasarkan prinsip syariah.”
Dengan kedudukannya sebagai jaminan tambahan maka bentuk agunan menurut
Penjelasan Pasal 8 Undang-Undang Perbankan dapat berupa56
:
a. Barang;
b. Proyek;
c. Hak tagih yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan;
d. Tanah yang kepemilikannya didasarkan pada hukum adat (kepemilikannya
berupa girik, petuk, dan lain-lain);
Ketentuan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
mengatur agunan sebagai berikut:
“Agunan adalah jaminan tambahan, baik berupa benda bergerak maupun
benda tidak bergerak maupun benda tidak bergerak yang diserahkan oleh
pemilik agunan kepada bank syariah dan atau UUS, guna menjamin
pelunasan kewajiban nasabah penerima fasilitas.”
56
Pasal 8 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
36
Adanya kemudahan dalam hal agunan kredit ini merupakan realisasi dari
perbankan yang berasaskan demokrasi ekonomi dengan fungsi utamanya sebagai
penghimpun dan penyalur dana masyarakat, memiliki peranan yang strategis
untuk menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka
meningkatkan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, pertumbuhan
ekonomi, dan stabilitas nasional ke arah peningkatan taraf hidup rakyat banyak.
Meskipun adanya kemudahan demikian, agunan tersebut harus tetap ideal karena
agunan mempunyai tugas melancarkan dan mengamankan pemberian kredit, yaitu
dengan memberikan hak dan kekuasaan kepada bank untuk mendapatkan
pelunasan dari barang-barang yang diagunkan tersebut apabila debitur
wanprestasi.
Dalam hal pemberian fasilitas kredit ini pada praktiknya agunan malahan lebih
dominan atau diutamakan sehingga sebenarnya agunan lebih dipentingkan
daripada hanya sekedar jaminan yang berupa keakinan atas kemampuan debitur
untuk melunasi utangnya. Hal demikian sangatlah berdasar karena jaminan
merupakan hal yang abstrak, di mana penilaiannya sangatlah subjektif. Berbeda
dengan agunan yang jelas sehingga dengan objektif dan secara ekonomi pula
apabila terjadi suatu wanprestasi dari debitur atau adanya kredit yang bermasalah
maka bank dengan segera dapat mengonversikannya pada sejumlah uang yang
lebih likuid.
Agunan dalam praktiknya lebih dipentingkan dalam pemberian kredit ini sehingga
tidak berlebihan apabila bank memandang perlu dalam rangka menambah
keyakinan atas watak dan kemampuan debitur, bank selalu meminta jaminan
pemberian kredit dari pihak lain, seperti jaminan pribadi, garansi dari bank lain,
37
atau jaminan dari induk perusahaan. Jaminan perorangan atau jaminan pribadi
(personal guaranty), yaitu jaminan seseorang pihak ketiga yang bertindak untuk
menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban si debitur. Menurut Prof. Soebekti,
oleh karena tuntutan kreditur terhadap seorang penjamin tidak diberikan suatu
privilege atau kedudukan istimewa dibandingkan atas tuntutan-tuntutan kreditur
lainnya, maka jaminan perorangan ini tidak banyak dipraktikkan dalam dunia
perbankan57
.
Selain jaminan pribadi yang dikenal avalist, pada praktik sebenarnya jaminan
kebendaan (persoonlijke en zakelijke zekerheid)-lah yang lebih banyak
dipraktikkan. Jaminan kebendaan merupakan suatu tindakan berupa suatu
penjaminan yang dilakukan oleh kreditur dengan debiturnya maupun antara
kreditur dan seseorang pihak ketiga guna menjamin dipenuhinya kewajiban-
kewajiban si debitur. Dalam praktik jaminan kebendaan diadakan suatu
pemisahan bagian dari kekayaan seseorang (si pemberi jaminan), yaitu
melepaskan sebagian kekuasaan atas sebagian kekayaan tersebut dan semuanya
itu diperuntukkan guna memenuhi kewajiban si debitur itu sendiri ataupun
kekayaan pihak ketiga. Dengan demikian menurut Prof. Soebekti, pemberian
jaminan kebendaan kepada si kreditur memberikan suatu keistimewaan baginya
terhadap kreditur lainnya.
Dalam praktik perbankan syariah, menyangkut agunan dan jaminan juga sangat
diperhatikan dalam penyaluran dana kepada nasabah sebagaimana diatur dalam
Pasal 23 bahwa:
57
Muhammad Djumhanan, Op.Cit., hlm. 453.
38
(1) Bank syariah dan/atau UUS harus mempunyai keyakinan atas kemauan dan
kemampuan calon nasabah penerima fasilitas untuk melunasi seluruh
kewajiban pada waktunya, sebelum bank syariah dan/atau UUS menyalurkan
dana kepada nasabah penerima fasilitas.
(2) Untuk memperoleh keyakinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bank
syariah dan/atau UUS wajib melakukan penilaian yang saksama terhadap
watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha dari calon nasabah
penerima fasilitas.
Intinya bahwa perbankan syariah dalam menyalurkan dana haru memperhatikan
hal-hal yang berkaitan dengan kemauan berhubungan dengan itikad baik dari
nasabah penerima fasilitas untuk membayar kembali penggunaan dana yang
disalurkan oleh bank syariah dan/atau UUS. Kemampuan berkaitan dengan
keadaan dan/atau aset nasabah penerima fasilitas sehingga mampu membayar
kembali penggunaan dana yang disalurkan oleh bank syariah dan/atau UUS.58
Dalam rangka mendapatkan pengetahuan mengenai kemauan dan kemampuan
dari nasabah tersebut, maka perlu dilakukan penilaian watak. Penilaian watak
calon nasabah penerima fasilitas terutama didasarkan pada hubungan yang terjalin
antara bank syariah dan/atau UUS dan nasabah atau calon nasabah yang
bersangkutan informasi yang diperoleh dari pihak lain dapat dipercaya sehingga
bank syariah dan/atau UUS dapat menyimpulkan bahwa calon nasabah penerima
fasilitas yang bersangkutan tidak menyulitkan bank syariah dan/atau UUS di
kemudian hari.
58
Ibid., hlm. 454.
39
Adapun penilaian kemampuan calon nasabah penerima fasilitas terutama bank
harus meneliti tentang keahlian nasabah penerima fasilitas dalam bidang usahanya
dan/atau kemampuan manajemen calon nasabah sehingga bank syariah dan/atau
UUS merasa yakin bahwa usaha yang akan dibiayai dikelola oleh orang yang
tepat. Sedangkan penilaian terhadap modal yang dimiliki calon nasabah penerima
fasilitas, terutama bank syarian dan/atau UUS harus melakukan analisis terhadap
posisi keuangan secara keseluruhan, baik untuk masa yang telah lalu maupun
perkiraan untuk masa yang akan datang sehingga dapat diketahui kemampuan
permodalan calon nasabah penerima fasilitas dalam menunjang pembiayaan
proyek atau usaha calon nasabah yang bersangkutan.
Dalam melakukan penilaian terhadap agunan, bank syariah dan/atau UUS harus
menilai barang, proyek, atau hak tagih yang dibiayai dengan fasilitas pembiayaan
yang bersangkutan dan barang lain, surat berharga, atau garansi risiko yang
ditambahkan sebagai agunan tambahan, apakah sudah cukup memadai sehingga
apabila nasabah penerima fasilitas kelak tidak dapat melunasi kewajibannya,
agunan tersebut dapat digunakan untuk menanggung pembayaran kembali
pembiayaan dari bank syariah dan/atau UUS yang bersangkutan. Penilaian
terhadap proyek usaha calon nasabah penerima.
Dalam konteks perkreditan istilah jaminan sangatlah sering bertukar dengan
istilah agunan. Apabila yang dimaksud jaminan itu adalah sebagaimana
ditegaskan dalam pemberian kredit menurut Pasal 2 ayat (1) Surat Keputusan
Direksi Bank Indonesia Nomor 23/69/Kep/Dir tanggal 28 Februari 1991 tentang
Jaminan Pemberian Kredit, jaminan itu adalah suatu keyakinan bank atas
kesanggupan debitur untuk melunasi kredit sesuai dengan yang diperjanjikan.
40
Dengan demikian, mencermati maksud dari istilah yang dipakai oleh Prof.
Soebekti dengan jaminan seperti dibawah ini, yang tepat sebenarnya harus
memakai istilah agunan. Menurut Prof. Soebekti jaminan ideal (baik) terlihat
dari59
:
1. Dapat secara mudah membantu perolehan kredit oleh pihak yang
memerlukannya.
2. Tidak melemahkan potensi (kekuatan) si penerima kredit untuk melakukan
(meneruskan) usahanya.
3. Memberikan kepastian kepada kreditur dalam arti bahwa jika perlu mudah
diuangkan untk melunasi utangnya si debitur.
Dalam peraturan perundangan-undangan yang berlaku seperti dalam Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, maka yang dimaksudkan
dengan agunan ideal, yaitu agunan yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan
meliputi surat berharga dan atau tagihan yang diterbitkan oleh pemerintah dan
badan hukum lain yang mempunyai peringkat tinggi berdasarkan hasil penilaian
lembaga pemeringkatan yang kompeten dan sewaktu-waktu dengan mudah dapat
dijual ke pasar untuk dijadikan uang tunai60
. Dengan melihat pandangan diatas
maka agunan dalam perkreditan memiliki fungsi untuk menjamin pembayaran
kredit yang dalam kehidupan dan kegiatan perbankan bertujuan pula untuk
mengamankan dana pihak ketiga yang dikelola oleh bank yang bersangkutan.
Selain itu, juga untuk memenuhi ketentuan perkreditan yang dikeluarkan bank
sentral. Dengan demikian, bank dituntut untuk setiap waktu memastikan bahwa
59
Prof. Soebekti dalam Muhammad Djumhana, Ibid., hlm. 455. 60
Penjelasan Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia.
41
agunan yang diterima telah memenuhi persyaratan peraturan perundang-undangan
yang berlaku sehingga dapat dipastikan bahwa seluruh aspek yuridis yang
berkaitan pengikatan agunan kredit telah diselesaikan dan akan mampu
memberikan perlindungan yang memadai bagi bank.61
C. Tinjauan tentang Pihak dalam Hubungan Hukum
Hubungan hukum adalah perikatan yang terjadi antara dua orang atau lebih
dimana setiap pihak memiliki hak dan kewajiban yang saling timbal balik.
Hubungan hukum atau perikatan dapat terbentuk dengan adanya peristiwa hukum
berupa :
a. Perbuatan, misalnya jual-beli, hutang-piutang, hibah
b. Kejadian, misalnya kelahiran, kematian, pohon tumbang, kambing makan
tanaman di kebun tetangga
c. Keadaan, misalnya pekarangan berdampingan, rumah susun, kemiringan
tanah pekarangan
Peristiwa hukum tersebut menciptakan hubungan hukum antara pihak satu dengan
pihak yang lain. Dalam hubungan hukum tersebut, setiap pihak memiliki hak dan
kewajiban yang saling timbal balik. Pihak yang satu mempunyai hak untuk
menuntut sesuatu terhadap pihak lainnya dan pihak lain itu wajib memenuhi
tuntutan itu, juga sebaliknya. Pihak yang berhak menuntut sesuatu disebut pihak
penuntut (kreditur), sedangkan pihak yang wajib memenuhi tuntutan disebut pihak
yang dituntut (debitur). Sesuatu yang dituntut disebut prestasi.
61
Muhammad Djumhana, Ibid., hlm. 455-456.
42
Prestasi adalah objek perikatan, yaitu sesuatu yang wajib dipenuhi oleh pihak
yang dituntut (debitur) terhadap penuntut (kreditur). Prestasi selalu dapat dinilai
dengan uang, dapat berupa pemenuhan benda tertentu (misalnya harta kekayaan)
atau melakukan perbuatan tertentu (misalnya pekerjaan) atau tidak melakukan
perbuatan tertentu.62
Dalam perjanjian kredit antara nasabah dengan bank peristiwa hukum yang
melatarbelakangi terjadinya hubungan hukum adalah hutang-piutang. Perjanjian
kredit dalam hukum perdata indonesia merupakan salah satu dari bentuk
perjanjian pinjam-meminjam yang diatur dalam buku ketiga KUH Perdata. Dalam
bentuk apapun pemberian kredit itu diadakan pada hakikatnya merupakan suatu
perjanjian pinjam-meminjam sebagaimana diatur dalam Pasal 1754-1769 KUH
Perdata, akan tetapi dalam praktik perbankan yang modern, hubungan hukum
dalam perjanjian kredit bukan lagi semata-mata berbentuk perjanjian pinjam-
meminjam, melainkan adanya campuran dengan bentuk perjanjian yang lainnya,
seperti perjanjian pemberian kuasa dan perjanjian lainnya.
Dalam bentuk yang campuran demikianmaka selalu tampil adanya suatu jalinan
diantara perjanjian yang terkait tersebut. Namun, dalam praaktik perbankan pada
dasarnya bentuk dan pelaksanaan perjanjian pinjam-meminjam yang ada dalam
KUH Perdata tidaklah sepenuhnya identik dengan bentuk dan pelaksanaan suatu
perjanjian kredit perbankan, diantaranya ada perbedaan yang gradual, bahkan
dapat pula perbedaan yang pokok.
62
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010, hlm. 229.
43
D. Kerangka Pikir
Gambar 1. Kerangka Pikir
Keterangan:
Pinjam-meminjam uang antara debitur (nasabah) dengan kreditur (bank) didasari
oleh suatu hal yang dibutuhkan guna mendukung perkembangan kegiatan
perekonomian dan meningkatkan taraf hidup masyarakat. Sebelum Bank
menyalurkan kreditnya kepada debitur, bank terlebih dulu mengadakan perjanjian
kerjasama dengan pihak bendahara dan perusahaan asuransi. Perjanjian tersebut
menjadi dasar perikatan yang melahirkan hak dan kewajiban bagi para pihak
dalam perjanjian.
Prosedur
pemberian kredit
Hubungan hukum
antara kreditur dan
debitur
Tanggung Jawab
Para Pihak Dalam
Perjanjian
Perjanjian Kredit Jaminan
SK Pengangkatan PNS
Bank Mandiri
(Kreditur)
Bendahara
Instansi
Perusahaan
Asuransi
Nasabah PNS
(Debitur)
44
Seiring berjalannya kredit akan menimbulkan dua kemungkinan, yaitu perjanjian
berjalan lancar (pada saat jatuh tempo prestasi terpenuhi/lunas), atau perjanjian
tidak berjalan lancar (pada saat jatuh tempo debitur tidak dapat memenuhi
prestasi). Oleh sebab itu bank mengharuskan debitur untuk menyertakan jaminan
kredit sebagai bukti komitmen debitur dalam pemenuhan prestasi. Masing-masing
bank memiliki kebijakannya tersendiri mengenai agunan tambahan yang harus
disertakan oleh debitur.
Contohnya adalah PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk. KCP Raden Intan Bandar
Lampung memiliki kebijakan bagi nasabahnya yang berprofesi sebagai Pegawai
Negeri Sipil diperkenankan untuk menjadikan Surat Keputusan Pengangkatan
Pegawai Negeri Sipil sebagai jaminan dalam perjanjian kredit tersebut. PT. Bank
Mandiri (Persero) Tbk. KCP Raden Intan Bandar Lampung juga mengatur
prosedur pemberian kredit bagi Pegawai Negeri Sipil yang menjaminkan Surat
Keputusan Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil miliknya.
Prosedur tersebut ditetapkan sebagai bentuk upaya Bank dalam menerapkan
prinsip kehati-hatian yang diamanatkan oleh Undang-Undang Perbankan, namun
dalam praktiknya proses pemenuhan prestasi atau pembayaran piutang tidak
selalu lancar seperti yang diharapkan. Artinya meski prosedur sudah ditetapkan
sedemikian rupa tetap tidak menutup kemungkinan bahwa dalam perjanjian
tersebut dapat terjadi wanprestasi yang disebabkan oleh berbagai faktor, sehingga
pihak-pihak yang sebelumnya sudah terikat dalam perjanjian kerjasama harus
mampu meng-cover permasalahan-permasalahan yang mungkin terjadi
dikemudian hari selama proses pelunasan kredit.
III. METODE PENELITIAN
Penelitian hukum merupakan proses kegiatan berfikir dan bertindak logis,
metodis, dan sistematis mengenai gejala yuridis, peristiwa hukum, atau fakta
empiris yang terjadi, atau yang ada di sekitar kita untuk direkonstruksi guna
mengungkapkan kebenaran yang bermanfaat bagi kehidupan.63
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum
normatif-empiris. Penelitian hukum empiris adalah penelitian hukum mengenai
pemberlakuan atau implementasi ketentuan hukum normatif (kodifikasi, undang-
undang, atau kontrak) secara in action pada setiap peristiwa hukum tertentu yang
terjadi dalam masyarakat. Implementasi secara in action tersebut merupakan fakta
empiris dan berguna untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan oleh negara
atau oleh pihak-pihak dalam kontrak. Implementasi secara in action diharapkan
akan berlangsung sempurna apabila rumusan ketentuan hukum normatifnya jelas
dan tegas serta lengkap.64
Berdasarkan uraian tersebut, penelitian yang akan dilakukan penulis dimulai
dengan mengkaji ketentuan-ketentuan hukum sesuai peraturan perundang-
63
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung,
2004, hlm.2. 64
Ibid., hlm. 134.
46
undangan di bidang hukum perbankan khususnya dari berbagai aspek yang
berkaitan dengan perjanjian kredit dengan jaminan SK Pengangkatan PNS,
kemudian mengkaji penerapan ketentuan hukum tersebut pada PT. Bank Mandiri
(Persero) Tbk. KCP Raden Intan Bandar Lampung.
B. Tipe Penelitian
Berdasarkan permasalahan pada pokok bahasan dalam penelitian ini, maka tipe
penelitian adalah tipe deskriptif. Penelitian hukum deskriptif bersifat pemaparan
dan bertujuan untuk memperoleh gambaran (deskripsi) lengkap tentang keadaan
hukum yang berlaku di tempat tertentu dan pada saat tertentu, atau mengenai
gejala yuridis yang ada, atau peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam
masyarakat.65
Berdasarkan tipe deskriptif maka penelitian ini akan menguraikan
secara jelas, rinci, dan sistematis mengenai prosedur pemberian kredit dengan
jaminan SK Pengangkatan PNS dan hubungan hukum antara kreditur dan kreditur
dalam perjanjian kredit tersebut serta akibat hukum apabila debitur melakukan
wanprestasi.
C. Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah normatif terapan.
Dalam konteks ini, jenis penelitiannya adalah penelitian hukum normatif-empiris,
sedangkan untuk strategi penelitiannya adalah pendekatan normatif-terapan
(applied law approach).66
Tipe pendekatan yang akan digunakan adalah
65
Ibid., hlm. 50. 66
Ibid., hlm. 143-144.
47
nonjudicial case study, yaitu pendekatan studi kasus hukum tanpa konflik67
.
Kalaupun terjadi konflik, pengakhiran konflik kepentingan yang timbul
diselesaikan oleh pihak-pihak tanpa campur tangan pengadilan. Dalam penelitian
hukum normatif terapan ini selalu terdapat gabungan 2 tahap kajian. Tahap
pertama yaitu kajian mengenai hukum normatif (perundang-undangan) yang
berlaku. Tahap kedua adalah kajian hukum empiris berupa penerapan
(implementasi) untuk mencapai tujuan penelitian. Penelitian yang dilakukan pada
PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk. KCP Raden Intan Bandar Lampung dengan
didasarkan pada perundang-undangan kemudian dikaitkan dengan cara mengkaji
hukum yang dikaitkan secara nyata sebagai gejala sosial, kemudian dikaitkan
dengan pengkajian hukum yang dikonsepkan secara nyata sebagai gejala sosial.
D. Data dan Sumber Data
Berkaitan dengan permasalahan dan pendekatan masalah yang digunakan maka
penelitian ini menggunakan sumber data yang berasal dari wawancara dan sumber
data kepustakaan. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Data Primer
Data primer, adalah data yang diperoleh langsung dari sumbernya, dan dicatat
untuk pertama kali. Dalam penelitian ini data primer dikumpulkan dengan cara
wawancara, yaitu suatu percakapan, tanya jawab antara peneliti dengan responden
yang duduk berhadapan secara fisik dan diarahkan pada suatu masalah tertentu,
yang dimaksud responden dalam penelitian ini adalah bapak M. Ridwan selaku
67
Ibid., hlm. 149.
48
Micro Banking Manager di PT. Bank Mandiri Raden Intan Bandar Lampung dan
Pegawai Negeri Sipil di Pemerintah Kota Bandar Lampung.
2. Data Sekunder
Data sekunder merupakan data yang diperoleh melalui bahan pustaka dengan cara
mengumpulkan dari berbagai sumber bacaan yang berhubungan dengan masalah
yang diteliti. Data sekunder terdiri dari:68
a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang mengikat seperti peraturan
perundang-undangan yang berhubungan dengan penelitian ini antara lain :
1. Kitab Undang- Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
3. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
4. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok
Kepegawaian.
5. Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2000 Tentang Wewenang
Pengangkatan, Pemindahan, Dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil,
yang dimaksud Pegawai Negeri Sipil.
6. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 23/69/KEP/DIR tanggal
28 Februari 1991 tentang Jaminan Pemberian Kredit.
68
Ibid., hlm. 82.
49
b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer, berupa literatur-literatur mengenai
penelitian ini, meliputi buku-buku ilmu hukum, hasil karya dari kalangan
hukum, dan lainnya yang berupa penelusuran internet, jurnal, surat kabar,
dan makalah.
c. Bahan Hukum Tersier, yaitu berupa kamus, ensiklopedia, dan artikel pada
majalah, surat kabar atau internet.
E. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan untuk memecahkan masalah yang
ada sehingga data-data tersebut harus benar-benar dapat dipercaya dan akurat.
Data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh melalui langkah-langkah
sebagai berikut:
1. Studi Pustaka
Studi pustaka adalah pengkajian informasi tertulis mengenai hukum yang berasal
dari berbagai sumber dan dipublikasikan secara luas serta dibutuhkan dalam
penelitian hukum normatif. Studi pustaka dilakukan untuk memperoleh data
sekunder dengan cara membaca, menelaah dan mengutip peraturan perundang-
undangan, buku-buku, dan literatur yang berkaitan dengan tanggung jawab yuridis
dalam perjanjian kredit dengan jaminan SK Pengangkatan PNS.
50
2. Studi Dokumen
Studi dokumen adalah pengkajian informasi tertulis mengenai hukum yang tidak
dipublikasikan secara umum, tetapi dapat diketahui oleh pihak tertentu.
Pengkajian dan analisis informasi tertulis mengenai hukum yang tidak
dipublikasikan secara umum berupa dokumen yang berkaitan dengan pokok
bahasan ini yang terkait dengan tanggung jawab yuridis dalam perjanjian kredit
dengan jaminan SK Pengangkatan PNS.
3. Wawancara
Teknik wawancara yang digunakan adalah teknik wawancara secara langsung
yaitu wawancara dilakukan dengan pihak-pihak yang terlibat langsung dengan
permasalahan dan dianggap memiliki kapabilitas mengenai permaslahan yang
sedang diteliti, yaitu dengan bagian perkreditan di PT. Bank Mandiri Raden Intan
Bandar Lampung dan Pegawai Negeri Sipil di Pemerintah Kota Bandar Lampung.
Penarikan sample ini dilakukan dengan cara pengambilan subyek yang didasarkan
dengan tujuan tertentu di mana tidak semua populasi akan diteliti, tetapi dipilih
yang dianggap mewakili secara keseluruhan. Hal ini dilakukan untuk memperoleh
data primer dalam penelitian mengenai tanggung jawab yuridis dalam perjanjian
kredit dengan jaminan SK Pengangkatan PNS.
F. Metode Pengolahan Data
Tahap-tahap pengolahan data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:69
69
Ibid., hlm. 90.
51
1. Pemeriksaan data (editing)
Pemeriksaan data (editing) merupakan pembenaran apakah data yang terkumpul
melalui studi pustaka, dokumen, dan wawancara sudah dianggap lengkap, relevan,
jelas, tidak berlebihan, dan tanpa kesalahan.
2. Penandaan data (coding)
Penandaan data (coding) merupakan pemberian tanda pada data yang diperoleh,
baik berupa penomoran ataupun penggunaan tanda atau simbol atau kata tertentu
yang menunjukkan golongan/kelompok/klasifikasi data menurut jenis dan
sumbernya, dengan tujuan untuk menyajikan data secara sempurna, memudahkan
rekonstruksi serta analisis data.
3. Penyusunan/sistematika data (constructing/systemizing)
Penyusunan/sistematika data (constructing/systemizing) merupakan kegiatan
menabulasi secara sistematis data yang sudah diedit dan diberi tanda itu dalam
bentuk tabel-tabel yang berisi angka-angka dan persentase bila data itu kuantitatif,
mengelompokkan secara sistematis data yang sudah diedit dan diberi tanda itu
menurut klasifikasi data dan urutan masalah bila data itu kualitatif.
G. Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini dilakukan secara kualitatif, yaitu dengan cara
menafsirkan, menginterpretasikan, dan mengklasifikasikan data yang diperoleh
dari peraturan perundang-undangan dan hasil wawancara dengan menggunakan
kerangka teori dan kerangka konsep yang hasilnya diuraikan dan dijelaskan ke
52
dalam bentuk kalimat yang jelas, teratur, logis, dan efektif sehingga diperoleh
gambaran yang jelas, tepat, dan dapat ditarik kesimpulan sehingga dari beberapa
kesimpulan tersebut dapat diajukan saran-saran.
Analisis secara kualitatif juga menafsirkan data dalam bentuk kalimat secara
teratur, runtun, logis, tidak tumpang tindih dan efektif sehingga memudahkan
dalam menarik kesimpulan sehingga diperoleh gambaran yang jelas mengenai
jawaban dari permasalahan yang dibahas.70
70
Ibid., hlm. 127.
V. PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Prosedur pemberian kredit dengan jaminan SK Pengangkatan PNS pada Bank
Mandiri khususnya pada KCP Raden Intan Bandar Lampung dimulai dengan
pengadaan Perjanjian Kerjasama (PKs) antara pihak SKPD dengan pihak
Bank Mandiri, setelah perjanjian kerjasama disepakati barulah PNS dalam
lingkup SKPD tersebut dapat mengajukan permohonan kredit sesuai dengan
ketentuan yang telah ditetapkan oleh Bank Mandiri. Tahap selanjutnya dalam
prosedur pemberian kredit adalah penyelidikan berkas-berkas permohonan
kredit dan survey lapangan yang dilakukan bagian kredit Bank Mandiri,
pemberian keputusan kredit, persetujuan perjanjian kredit, hingga yang
terakhir realisasi kredit.
2. Hubungan hukum yang timbul antara Bank Mandiri (kreditur), PNS (debitur),
bendahara dan Kepala SKPD (sebagai kordinator dan penanggung jawab)
disebabkan oleh adanya Perjanjian Kerjasama (PKs) sedangkan dasar
hubungan hukum antara Bank Mandiri dan perusahaan asuransi adalah
perjanjian asuransi dengan debitur sebagai objek asuransinya. Dalam
perjanjian kredit dengan jaminan SK PNS yang membedakan antara
bendahara, kepala SKPD dan debitur adalah tugas yang dimiliki masing-
masing pihak. Bendahara SKPD bertugas sebagai kordinator, sedangkan
89
kepala SKPD sebagai penanggung jawab, keduanya memiliki kewajiban
untuk menjamin kelancaran kredit sesuai dengan Perjanjian Kerjasama yang
telah disepakati anatar pihak SKPD dan Bank Mandiri. Meski begitu hal
tersebut tidak menghapuskan perikatan yang lahir antara kreditur dengan
debitur karena pada dasarnya uang yang disetorkan oleh bendahara kepada
Bank Mandiri untuk melunasi kredit adalah gaji yang diperoleh debitur setiap
bulannya sehingga debitur memiliki kewajiban untuk menjaga kinerjanya
selama di SKPD agar tidak mengganggu proses pelunasan kredit.
3. Penyebab terjadinya wanprstasi dalam perjanjian kredit dengan jaminan SK
PNS di Bank Mandiri, yaitu : pihak bendahara terlambat membayar gaji
debitur, debitur dipindah tugaskan. Sepanjang tahun 2017 telah terjadi 6
kasus wanprestasi sehingga kredit dikategorikan sebagai kredit kurang lancar,
dari 6 kasus yang terjadi semua kasus diselesaikan melalui metode mediasi
antara pihak Bank Mandiri, debitur dan Kepala SKPD atau bendahara.
B. Saran
1. Apabila debitur dipindah tugaskan ke SKPD yang baru, maka bendahara
sebelumnya harus mampu berkordinasi dengan baik kepada bendahara tempat
debitur dipindah tugaskan, hal ini perlu dilakukan agar tidak mengganggu
kelancaran pembayaran kredit.
2. Bendahara SKPD harus mampu membangun komunikasi yang baik terhadap
pihak Bank Mandiri selaku debitur, serta memberikan laporan rutin setiap
bulannya terhadap perkembangan serta kinerja debitur dalam SKPD. Hal
90
seperti ini harus dilakukan oleh bendahara SKPD untuk menghindari
terjadinya wanprestasi selama proses pelunasan kredit.
3. Terhadap debitur agar mampu menjaga kinerjanya selama bertugas di SKPD
agar tidak mengganggu kelancaran pelunasan kredit.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Badrulzaman, Mariam Darus, Perjanjian Kredit Bank, Alumni, Bandung, 1978.
-----------------------, Perjanjian Baku Standart dan Perkembangannya di
Indonesia, Alumni, Bandung, 1981
-----------------------, Perjanjian Kredit Bank, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991.
-----------------------, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, 1994.
Bahsan, M., Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2010.
Bako, Ronny Soetma, Hubungan Bank Dan Nasabah Terhadap Produk Tabungan
dan Deposito, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1995.
Djumhana, Muhammad, Hukum Perbankan Di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2012
H.S., Salim, Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar
Grafika, Jakarta, 2015.
Hay, Marhainis Abdul, Hukum Perbankan Di Indonesia, Pradnya Paramita,
Jakarta, 1979.
Isnaeni, Moch., Hukum Jaminan Kebendaan (eksistensi, fungsi dan pengaturan),
LaksBang PRESSindo, Yogyakarta, 2016.
Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Radja Grafindo Persada, Jakarta,
2000.
Muhammad, Abdulkadir, Hukum Perjanjian, PT.Alumni, Bandung, 1986.
-----------------------, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung,
2004.
-----------------------, Hukum Asuransi Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung,
2010.
-----------------------, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung,
2010.
-----------------------, Hukum Perusahaan Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung,
2010.
Mulyadi, Kartini dan Gunawan Wijaya, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian,
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003.
Poerwodarminta, WJS, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,
1983.
Santoso, Ruddy Tri, Kredit Usaha Perbankan, Andi, Yogyakarta, 1996.
Satrio, J., Hukum Jaminan Hak-Hak Jaminan Kebendaan, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1993.
Sembiring, Sentosa, Hukum Perbankan, Mandar Maju Jaya, Bandung, 2000.
Setiawan, R., Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung, 1994.
Simanjuntak, P.N.H., Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia, Djambatan,
Jakarta, 2005.
Simorangkir, O.P. dkk., Seluk Beluk Bank Komersial, Aksara Persada Indonesia,
Jakarta, 1986
-----------------------, Kamus Perbankan, Rineka Cipta, Jakarta, 1992
Sjahdeni, Sutan Remy, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang
Bagi Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, Institut Bankir
Indonesia, Jakarta, 1993.
Soebekti, Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia,
Alumni, Bandung, 1986.
-----------------------, Aneka Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995.
Soeroso, R., Perjanjian di Bawah Tangan, Sinar Grafika, Jakarta, 2011
Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2005.
Suyatno, dkk., Dasar-Dasar Perkreditan, STIE Perbanas, Jakarta, 1999.
Suyatno, Thomas, dkk., Dasar-Dasar Perkreditan, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 1997.
Syahrani, Ridwan, Seluk Beluk Dan Asas-Asas Hukum Perdata, Alumni,
Bandung, 2000
Syamsiar, Ratna, Hukum Perbankan, Justice Publisher, Bandar Lampung, 2014.
Tobing, Rudyanti Dorotea, Aspek-Aspek Hukum Bisnis (Pengertian, Asas, Teori
dan Praktik), LaksBang Justitia, Surabaya, 2015.
Untung, Budi, Kredit Perbankan Di Indonesia, Andi, Yogyakarta, 2005.
Widjanarto, Hukum dan Ketentuan Perbankan Di Indonesia, Pustaka Utama
Grafiti, Jakarta, 2003.
Wijaya, Gunawan dan Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2000.
Literatur Jurnal, Skripsi, dan Lain-Lain:
Zulfikar, Ahmad, Tanggung Jawab Yuridis Bankir Terhadap Kredit Macet
Dengan Jaminan SK Pengangkatan PNS, Legalitas Edisi Juni 2014 Volume
VI Nomor 1, Universitas Batanghari, 2014.
Wibowo, Dwi Prasetyo Pujo, Skripsi: “Penerapan Asas Kepercayaan Terhadap
Penjaminan Surat Keputusan Pegawai Negeri Sipil Dalam Pemberian
Kredit Perorangan, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga,
Yogyakarta, 2016.
Nugroho, Galuh Dwi, Kedudukan Surat Keputusan Pengangkatan Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Dalam Pelaksanaan Perjanjian Kredit
Sebagai Objek Jaminan Di PT. Bank Riau Kepri Cabang Utama
Pekanbaru, JOM Fakultas Hukum Volume 2 Nomor 2 Oktober 2015,
Universitas Riau, 2015.
Setiono, Gentur Cahyo, Penyelesaian Kredit Bermasalah Dalam Perbankan,
Yuris Vol 2, No. 1, April 2013, Universitas Kadiri, 2013.
Bachtiar, Maryati, Laporan Penelitian Pasca Sarjana: “Tanggung Jawab
Perusahaan Penerbangan Terhadap Penumpang Dikaitkan Dengan Hukum
Asuransi”, Universitas Riau, Riau, 2013.
Hidayat, Nurman, Tanggung Jawab Penanggung Dalam Perjanjian Kredit, Jurnal
Ilmu Hukum Legal Opinion Edisi 4, Volume 2, Tahun 2014, Universitas
Tadulako, 2014.
Alfyana, Sofyati, Penyelesaian Kredit Bermasalah Dengan Jaminan Surat
Keputusan Pegawai Negeri Sipil Terhadap Pegawai Negeri Sipil Yang
Dipecat (Studi Pada PT. Bank Aceh Cabang Kota Sabang), Jurnal FH USU,
Universitas Sumatera Utara, 2017.
Internet:
Ilmu Hukum, Artikel Blog: “Surat Berharga dan Surat yang Berharga”, (diakses
dari: http://alfriantialimuddin.blogspot.co.id/2016/03/surat-berharga-dan-
surat-yang-berharga.html, pada 27 September 2017, pukul 21.44 WIB).
Puput Mutiara dalam InfoPerbankan.com, Artikel: “Ini Alasan Mengapa SK PNS
Sangat Berharga dan Dapat Dijadikan Jaminan saat Pinjam Uang di
Bank”, (diakses dari https://www.infoperbankan.com/artikel/pns/ini-alasan-
mengapa-sk-pns-sangat-berharga-dan-dapat-dijadikanjaminan-saat-pinjam-
uang-di-bank.html #forward, pada 18 September 2017, pukul 22.58 WIB).
Peraturan Perundang-Undangan:
Kitab Undang- Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian.
Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2000 Tentang Wewenang Pengangkatan,
Pemindahan, Dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil, yang dimaksud
Pegawai Negeri Sipil.
Peraturan Bank Indonesia Nomor: 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva
Bank Umum.
Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 23/69/KEP/DIR tanggal 28
Februari 1991 tentang Jaminan Pemberian Kredit.