tasawuf kebangsaan: konstruksi nasionalisme tarekat
TRANSCRIPT
Proceeding: The 1st Faqih Asy’ari Islamic Institute International Conference
Faqih Asy’ari Islamic Institute Sumbersari Kediri, Indonesia
“Moderasi Islam Aswaja untuk Perdamaian Dunia” (Volume 2, Tahun 2019)
ISBN (Volume Lengkap) 978-623-91749-3-4; ISBN (Volume 2): 978-623-91749-5-8
Tasawuf Kebangsaan: Konstruksi Nasionalisme Tarekat
Shiddiqiyyah Ploso Jombang Jawa Timur
Miftakhul Arif
Institut Agama Islam FaqihAsy’ari Kediri, Indonesia
email: [email protected]
Abstract
Artikel ini adalah hasil penelitian tentang nasionalisme tarekat Shiddiqiyyah yang
berpusat di Losari Ploso Jombang Jawa Timur. Lingkup kajian nasionalisme
meliputi doktrin cinta tanah air yang dikaitkan dengan ajaran teosofi (tasawuf)
Shiddiqiyyah, hal-hal yang melatarbelakangi terbentuknya doktrin tersebut, serta
bagaimana doktrin itu dikonstruksikan dalam ajaran tarekat Shiddiqiyyah sehingga
melahirkan suatu komunitas dengan semangat nasionalisme tinggi, unik (unique),
dan khas. Pendekatan kualitatif digunakan dalam penelitian ini dengan meminjam
teori Konstruksi Sosial Peter L. Berger sebagai pisau analisis. Hasil riset
menyimpulkan bahwa tarekat Shiddiqiyyah, di samping memberikan bimbingan
spiritual, juga concern memupuk semangat nasionalisme pengikutnya melalui
doktrin “hubbul wathon minal iman” (cinta tanah air bagian dari iman). Cinta
tanah air menurut tarekat Shiddiqiyyah adalah realisasi syukur kepada Allah SWT.
yang telah menganugerahkan kemerdekaan kepada Bangsa Indonesia. Cinta tanah
air juga merupakan wujud syukur kepada ‘ibu bumi’ dan ‘bapak langit’ (tanah air),
sekaligus kepada para pejuang kemerdekaan. Melalui slogan “manunggalnya jiwa
keimanan dan jiwa kebangsaan”, rasa cinta tanah air itu dimanifestasikan dengan
bentuk beragam, antara lain ritual sujud syukur pada setiap hari kemerdekaan
Indonesia (17 Agustus dan 9 Ramadhan), puasa tiga hari pada tanggal 18-20
Agustus, serta santunan sosial seperti pendirian rumah layak huni bagi kaum duafa,
menjalin solidaritas persaudaraan lintas agama, dan lain-lain. KH. Muhammad
Muchtar Mu’thi adalah aktor sentral dalam Tarekat Shiddiqiyyah. Selain murshid
taraket, Ia juga ideolog sekaligus organisator tarekat Shiddiqiyyah. Doktrin cinta
tanah air yang ia rumuskan dipengaruhi oleh faktor genetika, edukasi, latar sosio
historis masyarakat Jombang, serta pengalaman mistik mengikuti beberapa tarekat.
Doktrin tersebut dikonstruksikan melalui tiga momen, eksternalisasi, objektivasi
dan internalisasi.
Keywords: Understanding, Surah Al-Ikhlas, and moderate Islam
Miftakhul Arif | 36
Proceeding: The 1st FaqihAsy’ari Islamic Institute International Conference Volume 2, Tahun 2019
Pendahuluan
Dewasa ini kajian tentang Islam Indonesia (Indonesian Islam) menjadi salah
satu topik hangat yang marak diperbincangkan. Di tengah maraknya aksi
radikalisme atas nama agama, Islam dikesankan oleh sebagian sarjana sebagai
agama ‘pedang’ yang melegalkan doktrin kekerasan. Dalam konteks inilah Islam
Indonesia dianggap mampu menepis anggapan-anggapan tersebut dengan
menampilkan fakta-fakta historis bahwa di Indonesia, Islam hadir sebagai penebar
kedamaian dan rahmat bagi semesta.
Salah satu ‘wajah’ Islam Indonesia yang sejuk itu diperlihatkan oleh Tarekat
Shiddiqiyah yang berpusat di Desa Losari Kecamatan Ploso, Jombang, Jawa Timur.
Secara sosiologis, keberadaan tarekat ini dianggap kontroversial, antara sah
(mu’tabar) dan tidaknya (ghair mu’tabar). Sebab, sebagai nama institusi tarekat ini
belum pernah dikenal dalam sejarah, sehingga diduga menyimpang dari aturan
shariah atau karena silsilahnya tidak meyakinkan.1 Meskipun kecurigaan itu sudah
lama ditepis oleh KH. Muchtar Mu’thi, bahkan pada tahun 1973 Kejaksaan Tinggi
Jawa Timur mengeluarkan surat nomor R-1448/1/5.1.1/1973 yang memutuskan
bahwa tarekat Shiddiqiyah tidak bertentangan dengan ajaran Islam, akan tetapi
tidak sedikit kalangan yang hingga kini menilainya sebagai tarekat ghair mu’tabar.
Terlepas dari perdebatan legalitas di atas, Tarekat Shiddiqiyah dengan
filosofi tumbuh hidup dan berkembang dengan bijaksana secara kesejarahan
memiliki peran besar, tidak hanya dalam bidang keagamaan, tapi juga sosial,
pendidikan, ekonomi dan kebangsaan. Dalam ranah kebangsaan, tarekat
Shiddiqiyyah memiliki andil dalam memperkuat nasionalisme pengikutnya. Ini
dikarenakan setiap calon murid yang akan ber-bai’at diharuskan bersedia
menjalankan ‘delapan kesanggupan’ yang salah satu poinnya adalah sanggup ‘cinta
tanah air’ dan ‘berbakti pada Negara Republik Indonesia’.2 Selain itu, tarekat
Shiddiqiyah juga mendirikan monumen-monumen kebangsaan, seperti monumen
hubbul waton minal iman di lokasi Pesantren Majma’ul Bahrain Hubbul Wathon
1 Zaenu Zuhdi, “Afiliasi Mazhab Fiqh Tarekat Shiddiqiyah di Jombang”, dalam Maraji’: Jurnal Studi
Keislaman, Vol. 1, Nomor 1, September 2014, 4. Baca pula: Van Bruinessen, Kitab Kuning,
Pesantren dan Tarekat, 244. 2 Rumusan Delapan Kesanggupan itu adalah (1) sanggup taat kepada Allah ta’ala; (2) sanggup taat
kepada Rasulullah; (3) sanggup taat kepada kedua orang tua; (4) sanggup berbakti kepada sesama
manusia; (5) sanggup berbakti kepada Negara Republik Indonesia; (6) sanggup cinta Tanah Air
Indonesia; (7) sanggup mengamalkan thoriqoh Shiddiqiyah; dan (8) sanggup menghargai waktu.
Lihat; http//www.shiddiqiyyah.org
37 | Tasawuf Kebangsaan: Konstruksi Nasionalisme Tarekat Shiddiqiyyah Ploso Jombang Jawa Timur
Proceeding: The 1st FaqihAsy’ari Islamic Institute International Conference Volume 2, Tahun 2019
Minal Iman di Losari Ploso, Jombang Jawa Timur, sebagai simbol (syiar)
Shiddiqiyah sekaligus upaya membumikan ajaran cinta tanah air.
Dalam kaitannya dengan nasionalisme Shiddiqiyyah, Abdus Syakur dalam
kesimpulan risetnya menyatakan bahwa tarekat Shiddiqiyah memiliki peran besar
dalam menyadarkan semangat spiritualitas keagamaan masyarakat pengikutnya,
bahkan dapat membentuk semangat dan kesadaran keagamaan dan nasionalisme
bagi warganya sebagai modal menjadi manusia muslim yang baik dalam konteks
keagamaan dan kebangsaan. Nasionalisme yang dikembangkan Shiddiqiyyah
tidak hanya sebatas wacana, tapi menuju konkritisasi dari rasa cinta tanah air dan
ibu pertiwi dalam bentuk aksi-aksi sosial seperti membantu kaum duafa, yatim-
piatu dan fakir miskin.3
Temuan Abdus Syakur tentang tarekat dikaitkan dengan nasionalisme ini
cukup menarik. Hanya saja risetnya tidak dimaksudkan secara spesifik untuk
mengeksplorasi lebih jauh tentang ide-ide kebangsaan (nasionalisme) tarekat
Shiddiqiyyah sehingga menghasilkan suatu deskripsi utuh tentang ‘apa’,
‘mengapa’, dan ‘bagaimana’ sebenarnya konsep kebangsaan yang ingin
dikembangkan oleh tarekat Shiddiqiyah. Untuk itu, penelitian ini lebih bersifat
melanjutkan, melengkapi dan menyempurnakan apa yang sebelumnya sudah
dilakukan oleh Abd. Syakur, hanya saja yang menjadi fokus kajian adalah tarekat
Shiddiqiyah yang berpusat di Ploso, Jombang, Jawa Timur dikaitkan dengan
nasionalisme.
Riset ekploratif ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana ajaran tasawuf
ditransformasikan oleh tarekat Shiddiqiyah untuk menggelorakan semangat cinta
tanah air yang berujung pada sikap bela negara, hal-hal apa saja yang
melatarbelakangi kemunculan doktrin cinta tanah air tersebut, dan bagaimana
doktrin itu dikonstruksi sehingga melahirkan suatu komunitas yang memiliki
keteguhan dan komitmen kebangsaan.
Riset ini penting dilakukan, terlebih dalam konteks Indonesia hari ini yang
dihadapkan pada banyaknya ideologi transnasionalis yang agenda utamanya adalah
mewujudkan sistem pemerintahan yang ‘islami’.4 Ideologi transnasionalis
3 Abd. Syakur, “Gerakan Tarekat Shiddiqiyyah Pusat Losari, Ploso, Jombang; Studi tentang Strategi
Bertahan, Struktur Mobilisasi dan Proses Pembingkaian”, (Disertasi -- UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 2008), 345. 4 Menurut As’ad Said Ali, gerakan Islam transnasional masih terus akan berkembang di masyarakat
Indonesia. Hal ini karena adanya dukungan jejaring internasional serta agresivitas penyebarannya
yang mungkin akan menggerogoti basis-basis gerakan Islam lokal (Nahdlatul Ulama dan
Miftakhul Arif | 38
Proceeding: The 1st FaqihAsy’ari Islamic Institute International Conference Volume 2, Tahun 2019
umumnya mengusung pandangan bahwa agama dan negara adalah satu kesatuan.
Ajaran Islam dipahami mencakup persoalan agama dan negara sekaligus (al-din wa
al-dawlah). Doktrin ini menekankan Islam sebagai totalitas sistem yang secara
universal bersifat kompatibel sehingga harus dilaksanakan di segala waktu dan
tempat.5 Jika agama di tangan gerakan Islam transnasionalis seolah tidak mampu
berkompromi dengan realitas Indonesia yang majemuk dalam bingkai negara
Pancasila, maka kajian tentang tarekat Shiddiqiyyah memiliki asumsi bahwa agama
(Islam) dalam pembacaan kaum sufi adalah sumber harmoni yang mampu merajut
kebhinekaan untuk tidak saling dipertentangkan, tapi menyadari bahwa
keberadaannya adalah sunnatullah yang harus dijaga.
Pembahasan
Sketsa Historis Tarekat Shiddiqiyah
Tarekat Shiddiqiyyah pertama kali dikenalkan oleh seorang tokoh bernama
KH. Muhammad Muchtar bin Abdul Mu’thi di Ploso, Jombang Jawa Timur.
Beberapa peneliti menyebut bahwa Muhammad Muchtar bin Abdul Mu’thi adalah
pendiri tarekat ini, namun Kyai Muchtar --panggilan akrab KH. Muhammad
Muchtar bin Abdul Mu’thi-- dan para pengikutnya justeru keberatan jika Kyai
Muchtar disebut sebagai pendiri tarekat Shiddiqiyyah. Penyebutan Kyai Muchtar
sebagai pendiri tarekat Shiddiqiyyah menurut pengikutnya mengesankan bahwa
tarekat tersebut adalah tarekat baru yang tidak pernah ada sebelumnya, atau dengan
ungkapan lain tarekat tersebut tidak memiliki asal-usul yang jelas sebagaimana
diungkap Zamakhsari Dhofier.6
Kyai Muchtar lahir pada 14 Oktober 1928 M di Losari, Ploso, Jombang. Ia
adalah putra keenam dari pasangan H. Abdul Mu’thi dan Nasichah. Ayahnya, H.
Abd. Mu’thi, adalah putra dari Kyai Syuhada’, salah seorang pelarian tentara
Muhammadiyah) yang selama ini dikenal menjadi benteng keutuhan NKRI. Sesama jaringan Islam
internasional di Indonesia agaknya terlibat ketegangan yang kuat. Jamaah Ikhwan, misalnya, tidak
pernah bertemu dengan Hizbut Tahrir, sedangkan Salafi mengecam gerakan Ikhwan, Hizbut Tahrir,
dan Jamaah Tabligh, dengan gencar. Meskipun berlangsung persaingan serius, semuanya (kecuali
Salafi Dakwah dan Jamaah Tabligh) dipertemukan oleh satu agenda, yakni terwujudnya pemerintahan
Islam. Di antara gerakan Islam transnasionalis yang ada tersebut, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)
adalah yang menunjukkan perkembangan paling signifikan. Agenda mereka sangat jelas, yakni
mendirikan negara dengan sistem Khilafah, sebuah sistem pemerintahan global di bawah kekuasaan
seorang khalifah. As’ad Said Ali, Negara Pancasila: Jalan Kemaslahatan Berbangsa, (Jakarta: LP3ES, 2009), 306., Ahmad Syafii Mufid (ed.), Perkembangan Paham Keagamaan Transnasional
di Indonesia, (Jakarta: Litbang Kementrian Agama RI, 2011), 4. 5 Biyanto, “Nasionalisme Versus Transnasionalisme”, dalam Koran Sindo (online), edisi Selasa, 24
Mei 2016. 6 Lihat; Dhofier, Tradisi Pesantren, 221.
39 | Tasawuf Kebangsaan: Konstruksi Nasionalisme Tarekat Shiddiqiyyah Ploso Jombang Jawa Timur
Proceeding: The 1st FaqihAsy’ari Islamic Institute International Conference Volume 2, Tahun 2019
Pangeran Diponegoro yang dikenal alim. Ia juga dikenal sebagai tokoh yang
berjasa dalam membuka daerah Ploso yang dulunya berupa rawa dan hutan
belantara hingga menjadi pemukiman warga. H. Abd. Mu’thi sendiri dikenal
sebagai pengusaha tembakau sukses. Selain itu, ia juga dikenal sebagai salah satu
tokoh penting PSII yang didirikan oleh H.O.S. Cokroaminoto. Karena
kepiawaiannya, H. Abd. Mu’thi pernah ditunjuk sebagai juru debat dan kampanye.
Melalui PSII, H. Abd. Mu’thi menyerukan pentingnya kemandirian kepada
masyarakat Indonesia. Di dalam tubuh partai, H. Abd. Mu’thi mendapat posisi
penting, karenanya tidak jarang ia bertemu dengan H.O.S. Cokroaminoto dalam
berbagai forum.7 H. Abd. Mu’thi juga dikenal dekat dengan Raden Soekani, ayah
dari Ir. Soekarno presiden RI pertama, saat ia tinggal di Ploso untuk menjalankan
tugas mengajar. Dari H. Abd. Mu’thi, Raden Soekeni belajar banyak hal tentang
pertanian serta sosio-kultural masyarakat Jombang. Beberapa sumber juga
menyebutkan bahwa masa kecil Bung Karno dihabiskan di Ploso, dan Bung Karno
sendiri juga pernah nyantri di Pondok Pesantren Kedungturi, asuhan Kyai Syuhada’
yang tidak lain adalah kakek dari Kyai Muchtar.8
Ajaran Tarekat Shiddiqiyyah diperoleh Kyai Muchtar dari Kyai Syuaib
Jamali, salah seorang ulama Banten. Pertemuan pertama kali antara Kyai Muchtar
dengan Kyai Syuaib Jamali berlangsung di masjid Agung Banten sekitar tahun
1952-an. Kemudian dilanjutkan dengan pertemuan-pertemuan berikutnya di daerah
Kaseman Banten dan daerah-daerah yang lain. Di daerah Kaseman inilah Kyai
Muchtar pertama kali dibaiat oleh Kyai Syuaib masuk ke dalam tarekat
Khalwatiyah. Tarekat inilah yang selanjutnya menjelma menjadi tarekat
Shiddiqiyyah yang berpusat di Losari, Ploso Jombang.
Bersama dengan hampir 40 orang temannya dari berbagai daerah, Kyai
Muchtar secara tekun menimba ilmu tarekat kepada Kyai Syuaib. Dari hampir 40
orang tersebut hanya sekitar 7 orang yang mampu meneruskan ajaran Kyai Syuaib,
satu di antaranya adalah Kyai Muchtar. Selanjutnya dari tujuh murid, hanya Kyai
Muchtar yang meneruskan perjuangan Kyai Syuaib menyebarkan tarekat
Khalwatiyah ke masyarakat, sebab enam temannya yang lain mengikuti jejak sang
guru mengembara ke Timur Tengah.
7 A. Munjih Nasih, Sepenggal Perjalanan Hidup Sang MurshidKyai Haji Muchammad Muchtar Bin
Haji Abdul Mu’thi (Jombang: Al-Kautsar Dhibra, Cet. 2, 2016), 13-14. 8 Dian Sukarno, Trilogi Spiritualitas Bung Karno (Jombang: CV. Al-Kautsar Dhibra, 2013), 232.
Miftakhul Arif | 40
Proceeding: The 1st FaqihAsy’ari Islamic Institute International Conference Volume 2, Tahun 2019
Kyai Syuaib adalah keturunan dari Syekh Yusuf Tajul Kholai dari Makasar.
Sementara itu Syekh Yusuf adalah menantu dari Sultan Agung Tirtayasa dari
Banten. Dalam sejarahnya, Syekh Yusuf pernah diasingkan Belanda ke Ceylon
(Srilanka) selama 10 tahun sebelum dipindah ke Afrika Selatan (Cape Town)
selama 5 tahun, hingga ia menghembuskan nafas terakhirnya di sana. Karena jasa-
jasanya, pemerintah Afrika menganugerahkan gelar ‘Bapak Afrika’ kepada Syekh
Yusuf, dan setelah itu pemerintah Indonesia memindahkan makamnya dari Afrika
ke Goa Makasar, tanah kelahiran Syekh Yusuf.
Pada mulanya nama tarekat yang diajarkan Kyai Syuaib kepada Kyai
Muchtar adalah tarekat Khalwatiyah. Namun, menurut Syekh Syuaib nama tarekat
Khalwatiyah yang ia ajarkan sesungguhnya bukanlah nama tarekat yang
sebenarnya. Sebab nama aslinya adalah Shiddiqiyah.9 Oleh karena itu, Kyai Syuaib
mengamanatkan kepada Kyai Muchtar kelak di kemudian hari apabila telah
memiliki kekuatan dan kemampuan agar mengembalikan nama tarekat
Kholwatiyah menjadi tarekat Shiddiqiyah. Terkait dengan permintaan untuk
melakukan perubahan nama tarekat tersebut, Kyai Syuaib tidak memberikan
penjelasan panjang lebar mengenai alasan-alasan perubahan itu. Kyai Syuaib hanya
meminta kepada Kyai Muchtar untuk menelaah kitab Tanwirul Qulub fi
Mu’amalati ‘Allamil Ghuyub yang disusun oleh Syeikh Najmuddin Amin al-Kurdi
(w. 1913), seorang ulama pengikut tarekat Naqsyabandiyah.10
9 Menurut catatan Abu Bakar Atjeh, Tarekat Khalwatiyah merupakan suatu cabang dari akidah
Suhrawardiayah yang didirikan di Baghdad oleh Abdul Qadir Suhrawardi (w. 1167 M), dan oleh
Umar Suhrawardi (w. 1234 M) tarekat ini seringkali disebutnya sebagai golongan Shiddiqiyah karena
mereka menganggap dirinya berasal dari keturunan Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq. Jika melihat
pernyataan Abu Bakar Atjeh ini, klaim bahwa tarekat Shiddiqiyah adalah tarekat yang tidak jelas asal-
usulnya seperti dikatakan Zamakhsari Dhofier tidak sepenuhnya benar. Terlebih jika dikaitkan dengan
Syeikh Yusuf Makasar yang menurut catatan Van Bruinessen pernah singgah di Banten, kota di mana
Kyai Syuaib Jamali, guru spiritual Kyai Muchtar, hidup. Meski belum ada data representatif yang
menyatakan bahwa Kyai Syuaib Jamali adalah pelanjut spiritualitas Syeikh Yusuf Makasar, namun
pertemuan antara keduanya sangat dimungkinkan. Selain itu, ajaran Ilmu Haqq Tujuh Layar Pati
Shiddiqiyah nampaknya juga masih ada keterkaitan dengan ajaran tujuh gelombang (martabah tujuh) jiwa manusia milik tarekat Khalwatiyah, yaitu: nafsul ammarah, nafsul lawwamah, nafsul mulhamah,
nafsul muthmainnah, nafsul rodhiyah, nafsul mardhiyah, dan nafsul kamilah. Lihat; Abu Bakar Atjeh,
Pengantar Ilmu Tarekat: Uraian tentang Mistik, (Jakarta: FA.H.M Tawi & Son, 1966), 324, 328. 10 Nasih, Sepenggal Perjalanan Hidup Sang Mursyid, 154. Selain kitab Tanwirul Qulub, pengikut
tarekat Shiddiqiyah menyebutkan beberapa kitab tasawuf lainnya untuk memberikan justifikasi
keabsahan tarekat Shiddiqiyah. Kitab tersebut antara lain: al-Barzanji karya Syeikh Ja’far al-Barzanji,
Fathul ‘Arifin karya Syeikh Ahmad Khotib As-Sambasi al-Makki, Syarah Hikam karya Syeikh
Muhammad bin Ibrahim, Jami’ al-Usul fil Auliya’, al-Insan al-Kamil karya Syeikh Abdul Karim al-
Jailani, Khozinatul Asror karya Syeikh Muhammad Haqqin Nazili, Ensiklopedia Islam Indonesia
yang disusun oleh Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah dan terbit pada tahun 1992, Hakikat
Thoriqoh Naqsyabandiyah karya H.A. Fuad Said, Risalah Mubarokah karya Kyai Muhammad
41 | Tasawuf Kebangsaan: Konstruksi Nasionalisme Tarekat Shiddiqiyyah Ploso Jombang Jawa Timur
Proceeding: The 1st FaqihAsy’ari Islamic Institute International Conference Volume 2, Tahun 2019
Dalam kitab tersebut disebutkan bahwa tarekat Shiddiqiyah adalah tarekat
yang dinisbatkan pada sahabat senior Nabi, Abu Bakar al-Shiddiq radhiyallahu
‘anhu, dengan wasilah Syeikh Thaifur bin Isa, atau yang lebih dikenal dengan
sebutan Abu Yazid al-Busthami (w. 874 M). Syeikh Thoifur bin Isa Abi Yazid al-
Busthami memiliki nama kecil Thaifur, ayahnya bernama Isa. Setelah dikaruniai
seorang putra bernama Yazid, ia kemudian lebih dikenal dengan nama Abu Yazid,
adapun al-Busthami sendiri adalah nisbah pada daerah kelahirannya Bistami.
Pada masa pertengahan tahun 874 M, tarekat Shiddiqiyah mengalami
kejayaan di dua negara besar, yaitu Persia dan Irak. Pusat dan pengembangan
Shiddiqiyah di Persia berada di kampung al-Busthami atau Bistami,Qumis, di
daerah tenggara laut Kaspia, Iran. Kampung Bistam terus berkembang menjadi
sebuah kota besar berada di Kabupaten Bistam Provinsi Shahrud, wilayah Semnan
Iran. Selain di Persia, tarekat Shiddiqiyah juga berkembang pesat di negeri Irbil
Iran. Berikut adalah silsilah tarekat Shiddiqiyah dari jalur seorang sahabat bernama
Salman al-Farisi sampai pada Syeikh Amin al-Kurdi, pengarang kitab Tanwirul
Qulub, sebagai dasar klaim pengikut Shiddiqiyah atas keabsahan tarekat yang
mereka ikuti:
1. Allah ta'ala
2. Malaikat Jibril 'alaihis salam
3. Muhammad Rosulullah sallallah ‘alayh wasallam
4. Abu Bakar al-Shiddiq
5. Salman al-Farisi
6. Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar al-Shiddiq
7. Imam Ja'far Shodiq (Silsilah ini dinamakan Thoriqoh Shiddiqiyyah)
8. Syaikh Abi Yazid Thaifur bin Isa bin Adam bin Sarusyan al-
Busthomi
9. Syaikh Abil Hasan Ali bin Abi Ja'far Al Kharqani
10. Syaikh Abi Ali al-Fadlol bin Muhammad al-Thusi al-Farmadi
11. Syaikh Abi Ya'qub Yusuf al-Hamdani ( Tarekat al-Thoifuriyyah).
12. Syaikh Abdul Khaliq Al-Ghajduwani Ibn al-Imam Abdul Jalil
13. Syaikh 'Arif Arriwikari
14. Syaikh Mahmud al-Anjari Faghnawi
15. Syaikh Ali al-Rumaitani al-Mansyur Bil'Azizaani.
Hambali Sumardi al-Qudsi, dan Pengantar Ilmu Thoriqoh karya H. Abu Bakar Aceh. Selengkapnya
lihat; Majalah Al-Kautsar; Jendela Shiddiqiyah, Edisi 119 (15 Rajab1437 H/23 April 2016), 18-21.
Miftakhul Arif | 42
Proceeding: The 1st FaqihAsy’ari Islamic Institute International Conference Volume 2, Tahun 2019
16. Syaikh Muhammad Baabas Samaasi
17. Syaikh Amir Kullaali Ibnu Sayyid Hamzah ( Tarekat al-
Khuwajikaniyyah).
18. Syaikh Muhammad Baha'uddin al-Naqsyabandi bin Muhammad bin
Muhammad Syarif al-Husain al-Ausi al-Bukhari.
19. Syaikh Muhammad bin 'Alaaiddin al-Athari
20. Syaikh Ya'qub Al Jarkhi (Tarekat al-Naqsyabandiyyah)
21. Syaikh Nashiruddin Ubaidillah al-Ahrar al-Samarqandi bin Mahmud
bin Syihabuddin
22. Syaikh Muhammad Azzaahid
23. Syaikh Darwis Muhammad al-Samarqandi.
24. Syaikh Muhammad al-Khowajaki al-Amkani al-Samarqandi.
25. Syaikh Muhammad al-Baaqi Billah (Tarekat Ahrariyyah)
26. Syaikh Ahmad al-Faruqi al-Sirhindi.
27. Syaikh Muhammad Ma'shum
28. Syaikh Muhammad Syaifuddin.
29. Syaikh Muhammad Nurul Badwani
30. Syaikh Habibulloh Janijanaani Munthahir.
31. Syaikh Abdillah Addahlawi ( Tarekat Mujaddadiyyah)
32. Syaikh Khalid Dliyaa'uddin
33. Syaikh Utsman Sirojul Millah
34. Syaikh Umar al-Qathbul Irsyad
35. Syaikh Muhammad Amin al-Kurdi al-Irbil (penulis kitab Tanwirul
Qulub)11
Kyai Muchtar sendiri mendapatkan ijazah (kewenangan mengamalkan)
Tarekat Shiddiqiyyah dari jalur lain, yaitu dari jalur silsilah sahabat Nabi bernama
Sayyidina Ali yang bersambung hingga guru spiritual Kyai Muchtar, yaitu Kyai
Syueib Jamali.12 Hanya saja, penulis hingga kini belum mendapatkan cukup data
yang menjelaskan secara detail silsilah tarekat Shiddiqiyyah yang diperoleh Kyai
Muchtar dari jalur Kyai Syueib hingga bersambung pada Sayyidina Ali tersebut.
Tarekat Shiddiqiyyah mulai tenggelam dan lenyap di telan waktu setelah
wafatnya Syeikh Abu Yazid al-Busthami pada tahun 874 M. Baru pada tahun 1958
M, menurut klaim pengikut Shiddiqiyah, tarekat tersebut muncul dan dihidupkan
kembali oleh Kyai Muchtar, atas pesan dari guru spiritualnya, Kyai Syueib Jamali.
Di awal perjalanan Kyai Muchtar mendakwahkan tarekat yang ia ajarkan, nama
11 http://www.shiddiqiyyah.org/ (diakses pada 24 Mei 2016) 12 Ibid.
43 | Tasawuf Kebangsaan: Konstruksi Nasionalisme Tarekat Shiddiqiyyah Ploso Jombang Jawa Timur
Proceeding: The 1st FaqihAsy’ari Islamic Institute International Conference Volume 2, Tahun 2019
tarekat yang digunakannya mengalami beberapa kali perubahan, yaitu Ilmu Haq
Layar Tujuh Pati (1960), Ilmu Haq Shiddiqiyah (1963), Tarekat Khalwatiyah
Shiddiqiyah (1967), dan baru pada 4 April 1972 memakai nama Tarekat
Shiddiqiyah.13
Nasionalisme Tarekat Shiddiqiyyah
Tarekat Shiddiqiyah merupakan tarekat unik, berbeda dengan tarekat pada
umumnya. Salah satu keunikan Tarekat Shiddiqiyah terletak pada doktrin yang
diajarkan. Bila tarekat pada umumnya lebih berorientasi pada bimbingan spiritual
(olah jiwa) melalui metode zikir dengan kekhasan masing-masing, maka tarekat
Shiddiqiyah bukan hanya mengajarkan olah jiwa, tapi juga mengintegrasikannya
dengan doktrin kemanusiaan dan kebangsaan. Hal ini terlihat dari syarat yang harus
dipenuhi oleh calon murid Shiddiqiyah, yaitu kesediaan untuk menjalankan doktrin
‘delapan kesanggupan’ yang di antara poinnya adalah ‘sanggup cinta tanah air’ dan
‘berbakti kepada Negara Republik Indonesia’. Cinta tanah air dan berbakti kepada
Negara Kesatuan Republik Indonesia inilah yang menjadi ruh ajaran kebangsaan
(nasionalisme) Shiddiqiyyah.
Sebagai bagian dari ajaran pokok tarekat, semangat nasionalisme yang
terpancar dari ajaran cinta tanah air bisa dilihat dari konsep teosofi Shiddiqiyyah
yang terumuskan dalam delapan kesanggupan, yaitu:
1. Sanggup bakti kepada Allah swt;
2. Sanggup bakti kepada Rasulullah;
3. Sanggup bakti kepada kedua orang tua;
4. Sanggup bakti kepada sesama manusia;
5. Sanggup bakti kepada Negara Republik Indonesia;
6. Sanggup cinta tanah air Indonesia;
7. Sanggup mengamalkan Thoriqoh Shiddiqiyyah;
8. Sanggup menghargai waktu.
Selain delapan kesanggupan tersebut, semangat cinta tanah air warga
Shiddiqiyyah juga tampak dari berbagai simbol, aktifitas serta buku-buku yang
ditulis, baik oleh murshid Shiddiqiyyah sendiri, ataupun murid-murid Shiddiqiyyah
yang mengembangkan pemikiran sang murshid. Di kawasan Pesantren Majmaul
Bahrain Hubbul Wathon Minal Iman yang berlokasi di Desa Losari, Ploso Jombang,
13 Liputan “Edisi Khusus Hari Shddiqiyah ke-26” yang dimuat dalam Majalah Al-Kautsar Jendela
Shiddiqiyah, Edisi 119 (15 Rajab 1437/23 April 2016), 8-9.
Miftakhul Arif | 44
Proceeding: The 1st FaqihAsy’ari Islamic Institute International Conference Volume 2, Tahun 2019
misalnya, terdapat banyak monumen-monumen simbolik yang menggambarkan
pentingnya cinta tanah air. Monumen-monumen tersebut dibangun dengan arsitektur
yang indah dan memiliki kekhasan tersendiri. Monumen-monumen itu bertuliskan
ungkapan nasionalis seperti hubbul wathon minal iman (cinta tanah air bagian dari
iman), law la hubbul wathon la kharaba al-bilad (seandainya bukan karena cinta
tanah air, niscaya negara akan hancur), dan ungkapan semisal lainnya.
Di samping melaui monumen simbolik, semangat cinta tanah air juga terlihat
dari aktifitas pendidikan seperti dimasukkannya pelajaran Cinta Tanah Air (CTA)
sebagai salah satu pelajaran wajib bagi peserta didik Tarbiyah Hifdzul Ghulam wal
Banat (THGB) mulai tingkat SD hingga SMA, dan juga bagi mahasiswa
Shiddiqiyyah yang belajar di Perguruan Tinggi Maqoshidul Qur’an. Kurikulum yang
dikembangkan di lembaga pendidikan Shiddiqiyah dirancang secara khusus untuk
membentuk manusia yang sadar beragama dan bernegara.14 Selain dalam pendidikan
formal, seruan cinta tanah air itu juga dapat ditemukan dalam berbagai pengajian
yang digelar rutin, khususnya dalam momen hari besar nasional.
Karya-karya yang ditulis oleh murshid Shiddiqiyah, KH. M. Muchtar Mu’thi,
baik dalam bentuk buku ataupun risalah singkat, juga menunjukkan betapa cinta
tanah air adalah salah satu doktrin utama dalam tarekat Shiddiqiyyah. Beberapa
karya tersebut misalnya:
1. Apa Perlunya Bangsa Indonesia Wajib Mengamalkan Pancasila; buku ini berisi
penjelasan tentang fungsi pokok Pancasila sebagai Dasar Negara Republik
Indonesia yang diterangkan dalam pembukaan UUD 1945, alinea 4. Juga
tentang hak dan kewajiban kita sebagai warga negara RI, di antaranya ikut serta
dalam usaha bela negara serta cara-cara melakukan bela negara.
2. Mengapa Kemerdekaan Rakyat Indonesia Diprokamirkan Tanggal 17,
Mengapa Tidak Tanggal 15 Atau Tanggal 16 ?; menjelaskan tentang mengapa
memilih tanggal 17, keramatnya angka 17, serta makna di balik angka 17.
3. Mensyukuri Nikmat Kemerdekaan Bangsa Indonesia (Jilid I-V); berisi uraian
filosofis, normatif, dan historis tentang kemerdekaan Indonesia.
4. Hubbul Wathon (Jilid I-V); merupakan buku pegangan wajib mata pelajaran
Cinta Tanah Air (CTA) bagi peserta didik THGB. Buku tersebut mengungkap
banyak hal tentang Indonesia dari berbagai aspeknya (historis, geografis,
budaya, dan simbol-simbol negara) serta kewajiban cinta tanah air dan alasan-
alasan normatif-filosofis yang mendasarinya.
14 Radar Jombang, Edisi Kamis 29 September 2016, 36.
45 | Tasawuf Kebangsaan: Konstruksi Nasionalisme Tarekat Shiddiqiyyah Ploso Jombang Jawa Timur
Proceeding: The 1st FaqihAsy’ari Islamic Institute International Conference Volume 2, Tahun 2019
5. Ma’rifatullah (Jilid I-II); mengulas cara mengenal Allah (ma’rifatullah) melalui
cara yang tidak umum dilakukan, yaitu menggunakan pendekatan UUD 1945.15
Momentum menjelang Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 2016 lalu
juga semakin meneguhkan bahwa tarekat Shiddiqiyyah merupakan tarekat nasionalis
yang mengajarkan tasawuf kebangsaan, sebuah corak tasawuf yang tidak hanya
berorientasi keagamaan, tapi juga kebangsaan. Pada momen bersejarah tersebut,
murshid tarekat menyerukan agar bangsa Indonesia khususnya murid Shiddiqiyyah
melakukan Sumpah Jati Diri Bangsa. Latar belakang sumpah tersebut dapat dilihat
dari sejarah bagaimana kondisi bangsa Indonesia, dulu dan sekarang. Negara
Indonesia berdiri setelah melalui rangkaian proses perjuangan yang sangat panjang.
Untuk menjadi negara yang merdeka dan berdaulat, para pendiri negara ini
meletakkan nilai-nilai dasar untuk menopang jalannya kehidupan bernegara ke
depan. Nilai-nilai dasar itu diambil dari dalam kehidupan bangsa Indonesia sendiri
kemudian ditetapkan sebagai acuan. Nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan,
musyawarah, dan keadilan sudah ada dalam kehidupan bangsa Indonesia sejak lama.
Nilai itu lalu dikemas dalam istilah Pancasila dan kemudian ditetapkan sebagai dasar
negara. Untuk melengkapi, nilai-nilai yang mengatur tata laksana bernegara pun
dibuat dan ditetapkan dalam UUD 1945. Dengan bekal Pancasila dan UUD 1945 itu
sebenarnya para pendiri bangsa percaya bahwa Indonesia bisa maju di tengah
persaingan dunia global.
Situasi yang diimpikan para pendiri bangsa itu saat ini tidak kunjung sampai
pada kenyataan. Bahkan perkembangan yang ada menunjukkan kecenderungan yang
sebaliknya. Kedaulatan bangsa secara perlahan mulai rapuh akibat egoisme sebagian
elit yang memiliki mental korup, memanfaatkan jabatan yang ia miliki untuk
memperkaya diri sendiri atau kelompoknya. Di samping itu, kedaulatan bangsa juga
semakin rapuh akibat keserakahan kaum pemodal yang terus menerus memperkaya
diri sendiri tanpa menghiraukan kondisi masyarakat pada umumnya yang terus
mengalami pemiskinan. Mereka telah kehilangan nasionalismenya sehingga tidak
peduli lagi dengan nasib bangsanya sendiri. Jika jiwa ini dibiarkan maka bangsa
Indonesia tidak akan menjadi negara maju. Dalam konteks inilah, sumpah kembali
pada jati diri bangsa seperti dirumuskan dalam Pancasila dan pembukaan UUD 1945
menurut murshid Shiddiqiyah wajib dibangkitkan kembali.16
15 “Delapan Syarat Masuk Thoriqoh”, dalam Majalah Al-Kautsar, Edisi 124 (18 September 2016),
22-23. 16 Majalah Al-Kautsar, Edisi 125 (17 Oktober 2016), 3.
Miftakhul Arif | 46
Proceeding: The 1st FaqihAsy’ari Islamic Institute International Conference Volume 2, Tahun 2019
Semua fakta di atas merujuk pada satu kesimpulan bahwa tarekat Shiddiqiyyah
bukan sekedar kumpulan orang yang semata-mata mengejar kebahagiaan spiritual,
tapi juga sebuah komunitas yang memiliki kepekaan terhadap kondisi bangsa melalui
penguatan ideologi kebangsaan demi keutuhan NKRI. Konsep hubbul wathon minal
iman (cinta tanah air bagian dari iman) menjadi doktrin kunci dalam memahami
konsep kebangsaan yang ditawarkan oleh Tarekat Shiddiqiyyah. Untuk itu
pembahasan berikutnya akan difokuskan pada uraian-uraian tentang makna hubbul
waton minal iman, baik dari aspek teoritisnya, ataupun praksisnya dalam kehidupan
sehari-hari.
Konsep Dasar Cinta Tanah Air
Hubbul Wathon adalah salah satu karya murshid tarekat Shiddiqiyah yang
diadopsi sebagai buku wajib bagi peserta didik Tarbiyah Hifdzil Ghulam Wal Banat
(THGB). Buku tersebut memuat pokok-pokok pikiran sang murshid tentang cinta
tanah air. Peneliti sempat membaca sekilas isi dari kitab tersebut, hanya saja belum
diperkenankan mengkopi karena suatu alasan. Meski demikian, beberapa pokok
pikiran yang terdapat dalam buku itu telah terekam dalam buku-buku Shiddiqiyah
lainnya, salah satunya berjudul “17 Agustus 1945 Bukan Kemerdekaan Republik
Indonesia” yang ditulis oleh Organisasi Ikhwan V.
Salah satu bab dari buku tersebut mengupas cinta tanah air dengan ulasan
menarik. Sejumlah konsep cinta dari berbagai agama ditampilkan untuk menemukan
titik temu obyektifitas makna cinta yang sesungguhnya dari berbagai perspektif
agama yang diakui di Indonesia (Islam, Kristen, Hindu, Budha dan Konghuchu). Hal
ini menunjukkan inklusifitas tarekat Shiddiqiyah dalam menyikapi kebhinekaan
yang ada di Indonesia.
Cinta adalah sebuah aksi atau kegiatan aktif yang dilakukan manusia terhadap
obyek lain, berupa pengorbanan diri, empati, perhatian, kasih sayang, membantu,
menuruti perkataan, mengikuti, patuh, dan mau melakukan apapun yang diinginkan
obyek tersebut. 17 Cinta merupakan rasa gaib, ia ada namun tidak bisa dijangkau oleh
indera. Ia hanya bisa dikenali dan dilihat melalui gejala-gejalanya. Bila seseorang
mencintai sesuatu, maka gejala yang bisa diketahui adalah:
1. Sesuatu yang dicintai itu selalu menyertai dalam pembicaraannya. Artinya yang
selalu dibicarakan adalah sesuatu yang dicintainya itu.
2. Yang banyak dipikirkan adalah sesuatu yang dicintainya.
3. Yang selalu di dalam hatinya adalah sesuatu yang dicintainya.
17 Ikhwan V, 17 Agustus 1945 Bukan Kemerdekaan Republik Indonesia (Semarang: Fatawa
Publishing, 2015), 118.
47 | Tasawuf Kebangsaan: Konstruksi Nasionalisme Tarekat Shiddiqiyyah Ploso Jombang Jawa Timur
Proceeding: The 1st FaqihAsy’ari Islamic Institute International Conference Volume 2, Tahun 2019
4. Sesuatu yang dicintainya itu akan dirawat dengan baik dijaga ketat, dibela
dengan sungguh-sungguh.
Menurut komunitas Shiddiqiyyah, untuk sampai pada cinta yang hakiki
terdapat beberapa tahapan yang harus dilalui. Mengutip Imam al-Gazali, mereka
berkata, “rasa cinta itu pasti diawali dengan rasa kecondongan dulu, dari
kecondongan kemudian cocok, bila menemukan kecocokan timbullah rasa cinta”.
Maka secara rinci cinta itu melalui tahapan-tahapan: (1) mengetahui; (2) mengenali;
(3) memiliki kecondongan; (4) timbul kecocokan; dan (5) timbul rasa cinta.18
Dalam kaitannya dengan usaha menumbuhkan cinta tanah air Indonesia,
seseorang harus mengetahui, mengenal dan mengerti bangsa Indonesia itu sendiri. Ia
harus mengenal baik kekayaan alam, serta budayanya. Ia juga harus mengenal nilai-
nilai luhur yang terkandung di dalam Lagu Kebangsaan Indonesia Raya, bendera
bangsa Indonesia, lambang burung Garuda Pancasila, serta mengenal seluruh isi
yang terkandung pada bangsa Indonesia.19 Tanpa mengetahui, mengenal, dan
mengerti hal-hal di atas, seseorang tidak akan sampai pada cinta tanah air dalam arti
yang sebenarnya. Hanya saja tidak ada ulasan detail yang menjelaskan letak
perbedaan mendasar antara mengetahui, mengenali, mengerti, serta tahapan-tahapan
cinta yang lain.
Untuk meyakinkan orang lain tentang pentingnya cinta tanah air, komunitas
Shiddiqiyyah mengajukan suatu argumen normatif-filosofis. Beberapa ayat dan
hadis yang berkaitan dengan cinta tanah air dikutip, lalu diuraikan secara filosofis.
Dalam mendasarkan pentingnya cinta tanah air, mereka berpedoman pada QS.
Luqman [31]: 14 yang artinya “dan kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat
baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan
lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun.
Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada Aku
kembalimu”.20
Ayat tersebut menjelaskan bahwa setiap manusia diperintahkan untuk (1)
bersyukur kepada Allah dan kepada ibu bapak; (2) berbuat baik kepada ibu bapak.
18 Ibid., 122-123. 19 Ibid., 129. Hubbul Wathon, buku wajib mata pelajaran Cinta Tanah Air (CTA) bagi peserta didik
THGB yang ditulis oleh sang mursyid, juga ditulis dengan sistematika tahapan cinta sebagaimana di
atas. Beberapa jilid awal mengulas secara detail tentang asal-usul bangsa Indonesia, teritorial dan
kekayaan Indonesia, makna simbol-simbol Indonesia seperti burung Garuda Pancasila, bendera merah
putih, lagu Indonesia Raya, kebhinekaan bangsa Indonesia yang terdiri dari beragam suku, agama,
ras, budaya, dan lain sebagainya. 20 Kementerian Agama RI, al-Qur’an dan Terjemah (Bandung: PT Sygma Examedia, 2014), 412.
Miftakhul Arif | 48
Proceeding: The 1st FaqihAsy’ari Islamic Institute International Conference Volume 2, Tahun 2019
Menariknya adalah mereka tidak membatasi ibu bapak dalam pengertian biologis
semata, tapi mengembangkannya dalam pengertian lain. Menurut Shiddiqiyyah ada
dua macam ibu bapak, yaitu; (1) ibu bumi, bapak langit (tanah air); dan (2) ibu insan,
bapak insan (orang tua). Untuk mendukung pemaknaan tersebut, mereka mengutip
hadis Nabi yang termaktub dalam kitab al-Jami’ al-Sagir bahwa tanah air itu
merupakan ibu jasmani manusia. Hadis lain yang mereka kutip adalah “hubb al-
watan mi al-iman”,21 cinta tanah air adalah bagian dari iman, dan “man lam yaskur
al-nas lam yaskurillah”, barangsiapa tidak bersyukur pada manusia, ia juga tidak
bersyukur pada Allah. Bersyukur pada Allah berarti harus bersyukur pada kedua
orang tua, termasuk orang tua dalam pengertian ibu bumi dan bapak langit. Caranya
adalah dengan cinta tanah air yang dimanifestasikan dalam bentuk aksi-aksi sosial
kemanusiaan.
Ibu bumi dan bapak langit adalah tempat di mana seseorang dilahirkan dan
tumbuh besar. Menurut Ali Muhtaram, salah seorang khalifah Shiddiqiyyah, di
samping bersyukur kepada kepada orang tua, seseorang juga wajib bersyukur kepada
tanah air, tempat di mana ia dilahirkan. Doktrin ini diinspirasi dari kisah Nabi
Ibrahim sebagaimana termaktub dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 126 yang artinya, “dan
(ingatlah), ketika Ibrahim berdoa: Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini, negeri yang
aman sentosa, dan berikanlah rizki dari buah-buahan kepada penduduknya yang
beriman di antara mereka kepada Allah dan hari kemudian”. Dalam doa tersebut,
Nabi Ibrahim memohon kepada Allah supaya negeri yang disinggahinya menjadi
negeri yang aman, makmur dan sejahtera. Dari muka bumi negeri tersebut muncul
segala macam buah-buahan yang baik untuk dikonsumsi, dan dari langit negeri
tersebut turun air hujan yang diperlukan oleh penduduk negeri untuk diminum dan
berbagai keperluan lainnya. Atas kebaikan negeri (tanah air) yang telah menyediakan
segala kebutuhan manusia itulah, seseorang wajib bersyukur kepada Allah dalam
bentuk cinta tanah air, tempat di mana ia dilahirkan dan tumbuh besar. Dalam Q.S.
al-Saba’ [34]: 15 Allah berfirman yang maknanya, “Makanlah olehmu dari rezki
yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu)
adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan yang Maha Pengampun".
21 Menurut tokoh Shiddiqiyah, untuk menilai kesahihan hadis tidak semata-mata dengan hanya
melihat pada aspek sanad-nya, tapi juga bisa dinilai dari segi matan-nya. Artinya meskipun sanad
hadis tersebut kurang jelas, akan tetapi isinya benar dan tidak bertentangan dengan al-Qur’an, maka
hadis tersebut dapat diterima dan dijadikan hujjah. Sebaliknya, meski sanad hadis tersebut jelas,
namun isinya bertentangan dengan al-Qur’an, maka hadis tersebut tidak bisa diterima atau dijadikan
hujjah. Inilah argumen yang umumnya dipedomani murid Shiddiqiyah untuk menepis penilaian
sebagian kalangan yang mangatakan bahwa hadis hubbul wathon adalah dhaif (lemah). Ali
Muhtarom, Wawancara, Kamis 3 November 2016 pukul 20.30-21.15 WIB. Lihat pula; “Guru Sufi,
Guru Cinta”, dalam Majalah Al-Kautsar, Edisi 124 (18 September 2016), 20.
49 | Tasawuf Kebangsaan: Konstruksi Nasionalisme Tarekat Shiddiqiyyah Ploso Jombang Jawa Timur
Proceeding: The 1st FaqihAsy’ari Islamic Institute International Conference Volume 2, Tahun 2019
Selain itu, dalam beberapa ayat lain Allah juga memerintahkan kepada umat Islam
untuk mengikuti ajaran Nabi Ibrahim sebagaimana terdapat pada Q.S. Ali Imran [3]:
95, al-Nisa’ [4]: 125, dan al-Nahl [16] 123. Untuk itulah wajib bagi seorang muslim
untuk cinta pada tanah airnya sebagaimana cinta dan kepedulian Nabi Ibrahim
kepada negerinya.22
Cinta tanah air pada akhirnya akan mendorong manusia pada sikap
memakmurkan tanah air dengan menebar kebaikan dan amal salih. Dengan mengutip
kitab Dalil al-Falihin, mereka mengatakan, “fayanbaghi li kamil al-iman an ya’mura
watanahu bi al-a’mal al-salihah” (maka seyogyanya bagi orang yang imannya
sempurna untuk memakmurkan tanah airnya (negeri) dengan mengerjakan amal-
amal salih). Kebaikan dan amal salih yang dilakukan akan membawa negeri tersebut
menjadi negeri yang aman, sejahtera, dan mendapatkan rida dari Allah swt. yang
dalam terma al-Qur’an surat al-Saba’ [34]: 15 disebut baldatun tayyibatun wa
rabbun gafur, negeri yang baik (makmur sejahtera) dan mendapat pengampunan dari
Tuhan.
Apabila cinta terhadap tanah air Indonesia telah melekat di dalam jiwa, pasti
setelah mengenal isi tanah air Indonesia yang beragam, meliputi daratan, lautan,
pertambangan, bangsa Indonesia, Negara Kesatuan Republik Indonesia,
pemerintahan, rakyat, UUD, dasar negara, tujuan negara, lambang negara,
kemerdekaan, Pancasila, dan sebagainya, maka akan timbul di dalam hati sifat-sifat
positif, antara lain:
1. Semangat membangun tanah air
2. Semangat melestarikan tanah air
3. Semangat membela tanah air
4. Semangat ketahanan nasional
5. Semangat pengorbanan
6. Semangat patriotisme
7. Semangat persatuan dan kesatuan
8. Semangat ketaatan dan kedisiplinan
9. Semangat belajar demi tanah air
10. Semangat kedamaian
11. Pelestarian bangsa; dan
12. Kelangsungan kehidupan bangsa.
22 Ali Muhtarom, Wawancara, Kamis 3 November 2016 pukul 20.30-21.15 WIB.
Miftakhul Arif | 50
Proceeding: The 1st FaqihAsy’ari Islamic Institute International Conference Volume 2, Tahun 2019
Singkat kata, menurut komunitas Shiddiqiyyah orang yang benar-benar
mencintai tanah airnya, pasti ia akan peduli dan rela berkorban untuk menjaga dan
melestarikan tanah air yang dicintai sebagai perwujudan rasa syukur atas anugerah
terbesar Allah swt.23
Syukur: Pertautan Tasawuf dan Nasionalisme
Dalam kajian tasawuf kerusakan dunia itu disebabkan oleh dua keadaan, yaitu:
pertama, karena manusia tidak percaya adanya Tuhan; dan kedua; karena manusia
itu terlalu mencintai dirinya sendiri. Sebab yang pertama akan mengakibatkan
seseorang abai terhadap perintah dan larangan Tuhan yang merupakan peraturan-
peraturan untuk mengadakan perdamaian antara manusai satu sama lain di atas muka
bumi. Sedangkan sebab yang kedua akan mengakibatkan kecintaan yang berlebih
atas kehidupan duniawi seperti cinta harta, kedudukan, popularitas, makanan dan
minumal yang lezat, dan lain sebagainya yang pada akhirnya akan melahirkan sikap
materialis dan individualis yang tidak hanya dapat mengancam kelangsungan hidup
manusia itu sendiri, tapi juga alam semesta.24
Bagi seorang sufi yang menekuni tasawuf, dua keadaan di atas muncul karena
dorongan nafsu atau syahwat yang terlalu dominan.25 Cara untuk mengatasinya
adalah dengan menundukkan dorongan hawa nafsu tersebut melalui tahapan
takhally, mengosongkan jiwa dari segala sifat tercela yang digerakkan oleh hawa
nafsu; tahally, mengisi kembali jiwa manusia yang sudah bersih itu dengan sifat-sifat
yang terpuji yang digerakkan oleh akal dan ilmu. Dengan cara ini terciptalah manusia
baru yang indah (jamal) dan sempurna (kamal), dan pada akhirnya akan terbentuk
masyarakat yang damai dan penuh dengan persaudaraan serta rasa saling mencintai.
Perbaikan di atas akan lahir manakala dasar keyakinan terhadap Tuhan sudah
kuat dalam diri manusia, karena keyakinan terhadap Tuhan itulah yang dapat
menentang hawa nafsu dalam arti yang sesungguhnya. Apabila kepercayaan
terhadap Tuhan itu sudah kuat, lahirlah cinta, taat, takut yang dapat mengontrol dan
mengawasi segala amal perbuatan. Selain itu, hal tersebut juga akan melahirkan
kecintaan terhadap sesama manusia serta sikap saling menghormati di antara sesama.
23 Ikhwan V, 17 Agustus 1945 Bukan Kemerdekaan, 124-126. 24 Atjeh, Pengantar Ilmu Tarekat, 3. 25 Menurut Abu Bakar Aceh, dalam pandangan kaum sufi kegiatan manusia itu digerakkan oleh tiga
unsur yang terdapat dalam diri manusia, yaitu syahwat (hawa nafsu), akal, dan ghadab (potensi
marah). Jika ketiga unsur tersebut seimbang kekuatannya, maka hidup manusia akan menjadi normal.
Namun jika salah satu darinya melebihi yang lain, maka hidup manusia akan menjadi abnormal (tidak
seimbang). Dengan kata lain, perdamaian itu adalah keseimbangan. Jika keseimbangan itu tidak ada,
maka terjadilah pertentangan-pertentangan antara manusia yang satu dengan yang lain. Ibid.,4.
51 | Tasawuf Kebangsaan: Konstruksi Nasionalisme Tarekat Shiddiqiyyah Ploso Jombang Jawa Timur
Proceeding: The 1st FaqihAsy’ari Islamic Institute International Conference Volume 2, Tahun 2019
Dalam tingkatan ini, manusia menyadari sepenuhnya bahwa Tuhan adalah pengawas
segala gerak-geriknya. Ia melihat dan merasakan keindahan sifat-sifat-Nya (tajally),
dan oleh sebab itu, jiwanya selalu terpaut untuk senantiasa mengingat keagungan-
Nya.26
Upaya untuk senantiasa mengingat Allah (dzikr) ini pada akhirnya akan
melahirkan sikap syukur atas segala karunia yang Dia berikan. Terlebih seperti yang
dikatakan oleh Imam al-Ghazali, bahwa dalam banyak ayat al-Qur’an mengingat
Allah (dzikr) selalu dipertautkan dengan perintah mensyukuri nikmat-Nya. Misalnya
pada surat al-Baqarah [2]: 152, “fadzkuruni adzkurkum washkuru li wa la takfurun”
(dan ingatlah Aku, niscaya Aku ‘mengingat’ kalian. Dan bersyukurlah kepada-Ku
dan janganlah kalian berlaku kufur kepada-Ku). Syukur, sebagaimana dikatakan Ibn
Mas’ud, adalah sebagian dari iman. Syukur adakalanya dengan hati, lisan, dan
perbuatan. Syukur dengan hati ialah dengan meniatkan diri untuk melakukan
kebaikan atas makhluk, syukur dengan lisan ialah dengan mengucapkan kata-kata
pujian bagi Allah, dan syukur dengan perbuatan ialah dengan mendayagunakan
kenikmatan-kenikamatan Allah tersebut untuk memaksimalkan ketaatan pada-
Nya.27
Dalam pandangan tarekat Shiddiqiyyah, kemerdekaan bangsa Indonesia
adalah karunia besar dari Allah. Kemerdekaan bangsa Indonesia diperoleh melalui
perjuangan panjang yang dilakukan oleh segenap bangsa Indonesia, utamanya umat
Islam. Oleh sebab itu, wajib hukumnya bagi umat Islam untuk mensyukuri nikmat
tersebut dalam bentuk cinta tanah air yang dimanifestasikan dengan sikap bela
negara serta rangkaian ritual serta aksi-aksi sosial lainnya.28 Kewajiban syukur ini
sebagaimana perintah Allah dalam al-Qur’an surat Ibrahim [14]: 7 yang berulang
kali dikutip oleh ‘elit’ Shiddiqiyyah dalam berbagai momen yang mereka
selenggarakan.
Dalam konteks mensyukuri kemerdekaan bangsa Indonesia dan berdirinya
NKRI, murshid Shiddiqiyah mengeluarkan seruan khusus kepada seluruh
pengikutnya sebagai berikut:
........ Alhamdulillah, dengan Berkat Rohmat Allah dan cita-cita Bangsa
Indonesia yang luhur. Pada tanggal 9 Romadlon 1365 H/17 Agustus 1945 M tanah
26 Ibid. 27 Abu Hamid al-Ghazali, Mukasyafat al-Qulub (Beirut: Dar al-Kutub, 2011), 157-158. 28 Ali Muhtarom, Wawancara, Kamis 3 November 2016 pukul 20.30-21.15 WIB.
Miftakhul Arif | 52
Proceeding: The 1st FaqihAsy’ari Islamic Institute International Conference Volume 2, Tahun 2019
air kita yang kita cintai lepas dari jahanamnya imperialis putih dan ‘ucul’ dari
neraka jahannamnya imperialis kuning.
Oleh sebab itu kita sebagai Bangsa Indonesia umumnya, warga Shiddiqiyah
khususnya, wajib syukur kepada Allah ta’ala dan hendaklah membuat peringatan
hari kemerdekaan 17 Agustus itu. Karena membuat peringatan itu menurut al-
Qur’an bermanfaat. Akan tetapi caranya membuat peringatan-peringatan itu
haruslah mencontoh Rasulullah, karena Rasulullah itu contoh yang baik, dan
memang umatnya harus mencontohnya. 29
Seruan murshid Shiddiqiyah tersebut memperlihatkan dengan jelas betapa
ajaran agama (Islam) menjadi spirit nasionalisme. Melalui doktrin syukur, murshid
Shiddiqiyah mengajak komunitasnya untuk menghargai dan mengingat kembali jasa
para pahlawan kemerdekaan yang telah bejuang dengan segenap jiwa dan raga demi
kemerdekaan bangsa Indonesia. Mengingat kembali jasa para pahlawan bagi
pengikut Shiddiqiyah adalah bagian dari ungkapan syukur kepada manusia
sebagaimana diajarkan Rasulullah. Dalam mengekspresikan rasa syukur tersebut,
komunitas Shiddiqiyah mempunyai cara tersendiri yang berbeda dengan umat Islam
di Indonesia pada umumnya. Murshid Shiddiqiyyah menyusun lima jilid kitab
berjudul “Mensyukuri Nikmat Kemerdekaan Bangsa Indonesia” yang di dalamnya
berisi tuntunan tata cara praktis mensyukuri nikmat kemerdekaan, antara lain dengan
berpuasa sehari tepat pada tanggal 17 Agustus, kemudian mengadakan doa bersama
dan sujud syukur selama tiga hari tiga malam dari tanggal 18-20 Agustus. Kemudian
disempurnakan dengan gerakan santunan anak yatim sampai progam pembangunan
rumah layak huni Shiddiqiyyah untuk fakir miskin. Semua itu dilakukan dalam
rangka mensyukuri nikmat kemerdekaan Bangsa Indonesia dan berdirinya Negara
Kesatuan Republik Indonesia.30
Jati Diri Bangsa: Manunggalnya Jiwa Keimanan dan Jiwa Kebangsaan
Menjelang peringatan hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 2016, murshid
Shiddiqiyyah mengajak semua warga Shiddiqiyyah untuk melakukan sumpah Jati
Diri Bangsa. Sumpah tersebut dilaksanakan pada 7 Oktober 2016, tepatnya di hari
pertama pembukaan Munas ke-4 Shiddiqiyyah yang bertempat di Bali. Jati diri
29 Seruan murshid tarekat Shiddiqiyah tanggal 21 Juni 1978 sebagaimana dikutip dalam Majalah al-
Kautsar, Edisi 124, (18 September 2016), 21. 30 “Perjuangan Sejak 1978; Usaha Mensyukuri Nikmat Kemerdekaan Bangsa Indonesia dan
Berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia”, dalam Majalah al-Kautsar, Edisi 124, (18
September 2016), 14.
53 | Tasawuf Kebangsaan: Konstruksi Nasionalisme Tarekat Shiddiqiyyah Ploso Jombang Jawa Timur
Proceeding: The 1st FaqihAsy’ari Islamic Institute International Conference Volume 2, Tahun 2019
bangsa merupakan konsep manunggalnya jiwa keimanan dan jiwa kebangsaan.
Konsep tersebut bersumber dari pembukaan UUD 1945 alinea ke-III, yakni “atas
berkat rohmat Alloh Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan
luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas”.
Menurut murshid Shiddiqiyyah, ungkapan “atas berkat rohmat Alloh Yang
Maha Kuasa” merupakan pernyataan yang timbul dari keimanan, dan jiwa keimanan
itulah jiwanya seluruh agama. Adapun pernyataan “dan dengan didorongkan oleh
keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas” adalah pernyataan
yang timbul dari jiwa kebangsaan. Dengan demikian, manunggalnya jiwa keimanan
dan jiwa kebangsaan itulah yang dinamakan jati diri bangsa Indonesia.31
Konsep jati diri bangsa menghendaki agar warga Indonesia memiliki
kesadaran dalam beragama dan bernegara. Dalam kaitannya dengan nasionalisme,
jati diri bangsa itu tersimpul dalam slogan hubbul wathon minal iman (cinta tanah
air bagian dari iman).32 Dalam suatu hadis disebutkan bahwa iman itu memiliki 70
lebih cabang, yang tertinggi adalah ucapan la ilaha illallah (tiada Tuhan yang berhak
disembah selain Allah), sedangkan yang paling rendah adalah menyingkirkan
gangguan dari jalan. Adapun posisi cinta tanah air sebagai bagian dari cabang
keimanan, menurut komunitas Shiddiqiyyah, adalah ada di antara keduanya. Cinta
tanah air tersebut harus diwujudkan dalam bentuk bela negara serta memiliki
kepedulian terhadap sesama. Hal ini dikarenakan iman dan kemanusiaan adalah dua
hal yang tidak bisa dipisahkan. Dalam al-Qur’an surat al-Baqarah [2]: 3 disebutkan
bahwa untuk mencapai derajat takwa, seseorang tidak hanya sekedar percaya pada
hal gaib (Tuhan), tetapi juga memiliki kepedulian terhadap sesama dengan cara
mendermakan sebagian harta yang dimiliki untuk mereka yang membutuhkan.
Integrasi antara iman dan kemanusiaan ini melahirkan konsep “manunggalnya
keimanan dan kemanusiaan”.
Selanjutnya konsep tersebut melahirkan ajaran S3, yakni silaturahim,
santunan, dan sedekah. Dengan konsep ajarannya ini, seorang muslim menurut
Shiddiqiyyah harus merealisasikan imannya dalam bentuk, salah satunya, membantu
31 Majalah Al-Kautsar, Edisi 125 (17 Oktober 2016 M), 11. 32 Ajaran cinta tanah air bukan hanya monopoli warga Shiddiqiyyah, karena sebelumnya KH. Abd.
Wahab Chasbulloh (1888-1971 M), salah seorang pendiri Nahdlatul Ulama (NU), juga pernah
mempopulerkan istilah tersebut dalam lagu yang beliau karang berjudul hubbul waton. Atas dorongan
cinta tanah itu pula KH. Abd. Wahab Hasbulloh mendirikan organisasi Nahdlatul Wathon
(kebangkitan tanah air) di Surabaya dan pada tahun 2014 lalu ia mendapatkan anugerah gelar dari
Presiden RI, Joko Widodo, sebagai Pahlawan Nasional.
Miftakhul Arif | 54
Proceeding: The 1st FaqihAsy’ari Islamic Institute International Conference Volume 2, Tahun 2019
sesama warga negara yang membutuhkan pertolongan. Oleh sebab itu, komunitas
Shiddiqiyyah menggalakakan gerakan sedekah dan santunan sosial. Donasi dari hasil
sedekah secara sukarela digunakan untuk pembiayaan aktifitas dakwah tarekat
Shiddiqiyyah sehingga warga Shiddiqiyyah tidak perlu mengajukan proposal untuk
meminta sumbangan kepada pemerintah, atau partai politik tertentu sebagaimana
dilakukan oleh organisasi pada umumnya.33
Manifestasi Cinta Tanah Air
1. ‘Menolak’ Kemerdekaan Republik Indonesia: Meluruskan Sejarah
Nasional
Bagi komunitas Shiddiqiyyah, penetapan tanggal 17 Agustus 1945 yang
bertepatan dengan hari Jum’at legi, 9 Ramadhan 1364 H sebagai hari
kemerdekaan Indonesia bukanlah suatu kebetulan. Ada makna mendalam di balik
waktu tersebut yang umumnya tidak dipahami oleh kebanyakan orang, bahkan
oleh para pemimpin negeri saat ini. Angka 17 adalah jumlah rekaat shalat lima
waktu dalam sehari. Angka 17 juga adalah tanggal diturunkannya al-Qur’an oleh
Allah pada bulan Ramadan, bulan di mana bangsa Indonesia mendapatkan
karunia kemerdekaan. Selain itu 17 Agustus 1945 juga bertepatan dengan hari
Jum’at legi yang diyakini sebagai sebaik-baik hari (sayyid al-ayyam), dan juga
berada di sepertiga awal bulan Ramadan, waktu di mana Allah melimpahankan
rahmat-Nya.34 Sebab itu, pembukaan UUD 1945 diawali dengan frasa ‘Atas
Berkat Rahmat Allah’ karena pendiri negeri berkeyakinan bahwa kemerdekaan
Indonesia adalah salah satu rahmat terbesar Allah kepada bangsa Indonesia.
Dengan alasan ini, komunitas Shiddiqiyyah tidak hanya memperingati hari
kemerdekaan Indonesia pada setiap tanggal 17 Agustus, tapi juga pada setiap
tanggal 9 Ramadan.
Yang perlu ditegaskan di sini adalah bahwa tanggal 17 Agustus 1945 adalah
hari kemerdekaan Bangsa Indonesia, bukan kemerdekaan negara atau Republik
Indonesia. Menurut komunitas Shiddiqiyyah, selama ini terdapat kesalahan yang
terus terulang setiap tanggal 17 Agustus tiba. Kesalahan tersebut ialah
pengungkapan “Dirgahayu Kemerdekaan Republik Indonesia” atau “Hari Ulang
Tahun (HUT) Republik Indonesia”. Bagi komunitas Shiddiqiyyah, ungkapan itu
33 Ali Muhtarom, Wawancara, Kamis 3 November 2016 pukul 20.30-21.15 WIB. 34 Ulasan lengkap tentang fakta di balik pemilihan tanggal 17 Agustus 1945 sebagai hari kemerdekaan
Indonesia dapat dibaca di Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah, Vol. 2 (Bandung: Surya Dinasti,
2016). Api Sejarah adalah salah satu buku yang direkomendasikan oleh KH. Muhammad Muchtar,
murshidShiddiqiyyah, untuk dibaca oleh para pengikut Tarekat Shiddiqiyyah, utamanya peserta didik
THGB.
55 | Tasawuf Kebangsaan: Konstruksi Nasionalisme Tarekat Shiddiqiyyah Ploso Jombang Jawa Timur
Proceeding: The 1st FaqihAsy’ari Islamic Institute International Conference Volume 2, Tahun 2019
tidak sesuai dengan fakta sejarah karena pada tanggal 17 Agustus Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) belum terbentuk. NKRI baru terbentuk
pada keesokan harinya, yaitu 18 Agustus 1945. Adapun 17 Agustus 1945 adalah
hari proklamasi kemerdekaan Bangsa Indonesia, dan bukan kemerdekaan
Republik Indonesia. Penolakan komunitas Shiddiqiyyah ini menunjukkan sikap
kehati-hatian mereka dalam penggunaan istilah-istilah yang berkaitan dengan
sejarah. Sebab kesalahan dalam penggunaan istilah bisa berakibat pada
pengaburan realitas sejarah itu sendiri.
Istilah bangsa menurut komunitas Shiddiqiyyah merujuk pada pengertian
sekolompok manusia yang dianggap memiliki identitas bersama dan mempunyai
kesamaan bahasa, agama, ideologi, budaya dan sejarah. Sedangkan negara adalah
persekutuan bangsa yang hidup dalam satu tempat (wilayah) dengan batas-batas
tertentu yang diperintah dan diurus oleh suatu badan pemerintahan dengan teratur.
Untuk bisa disebut negara, ada empat unsur yang harus dipenuhi, yaitu (1)
memiliki rakyat (masyarakat); (2) memiliki wilayah kekuasaan, meliputi udara,
darat, dan perairan; (3) memiliki pemerintahan yang berdaulat; dan (4)
mendapatkan pengakuan dari negara lain sebagai negara yang merdeka dan
berdaulat.35 Tanpa adanya empat unsur tersebut, maka negara itu tidak bisa
dikatakan ada. Berpijak pada definisi di atas, komunitas Shiddiqiyyah
berpandangan bahwa ungkapan 17 Agustus 1945 sebagai hari kemerdekaan
Negara/Republik Indonesia jelas adalah ungkapan salah. Karena Indonesia
sebagai sebuah negara yang berdaulat tidak pernah dijajah. Yang dijajah selama
kurun waktu tiga abad lebih oleh Belanda ataupun Jepang adalah bangsa
Indonesia dalam pengertian sekelompok manusia yang memiliki kesamaan
identitas bahasa, budaya, agama dan sejarah. Negara secara definitif baru
terbentuk pada tanggal 18 Agustus 1945 dengan ditetapkannya Ir. Soekarno dan
Moh. Hatta sebagai kepala negara.
Untuk meluruskan ungkapan yang terlanjur meluas tersebut, para pimpinan
organisasi Shiddiqiyyah pada tanggal 18 Agustus 2016 lalu mengeluarkan Petisi
Kemerdekaan Bangsa Indonesia yang ditujukan kepada Presiden RI. Dalam petisi
itu, pimpinan Shiddiqiyyah menjelaskan bahwa ungkapan “Kemerdekaan
Republik Indonesia” bertentangan dengan teks proklamasi, “(1) Proklamasi.
Kami Bangsa Indonesia...(2) dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia...
(3) Atas nama Bangsa Indonesia”, juga dengan teks pembukaan UUD 1945,
35 Ikhwan V, 17 Agustus 1945 Bukan Kemerdekaan, 7-9.
Miftakhul Arif | 56
Proceeding: The 1st FaqihAsy’ari Islamic Institute International Conference Volume 2, Tahun 2019
fakta sejarah, nilai filosofis dan tinjauan bahasa.36 Atas dasar itu semua, dalam
petisi tersebut para pimpinan Shiddiqiyyah menyerukan kepada pemerintah untuk
meluruskan istilah-istilah yang terlanjur salah kaprah dan beredar luas di
masyarakat. Hal ini penting demi menjaga obyektifitas penulisan sejarah
Indonesia yang dalam beberapa hal banyak mengalami distorsi.
Di samping itu semua, sejarah yang harus diluruskan adalah tentang peran
umat Islam dalam merebut kemerdekaan bangsa Indonesia dari tangan para
penjajah. Sejarah nasional yang diajarkan di sekolah-sekolah umumnya banyak
yang diselewengkan sehingga tidak begitu memperlihatkan peran umat Islam.
Padahal ketika penjajahan sudah mulai masuk ke Nusantara, umat Islam adalah
yang paling getol menolak dan memerangi penjajah. “dari masa ke masa, pejuang
kita itu orang muslim. Sehingga setelah terjadi penyelewengan sejarah-sejarah,
terutama pada masa komunis kita perlu menumbuhkembalikan perjuangan itu ”,
papar Ali Muhtarom. Bagi komunitas Shiddiqiyyah pelurusan sejarah ini sangat
penting, sebab untuk membangun Indonesia di masa depan seseorang harus
berpijak pada apa yang telah dilakukan oleh pendahulunya di masa lalu. Hal ini
sebagaimana firman Allah dalam surat al-Hashr [59]: 18, faltanzur nafsun ma
qaddamat ligad, (hendaklah manusia memperhatikan apa yang telah diperbuat di
masa lalu untuk kehidupan yang akan datang).37
2. Identitas Kebangsaan di atas Identitas Agama
Terlahir di Indonesia yang memiliki keragaman suku, budaya, bahasa, dan
agama adalah anugerah Allah swt. Keragaman itu sepatutnya disyukuri dengan
menjaga keragaman tersebut agar senantiasa dalam kondisi harmoni sebagaimana
semboyan bhineka tunggal ika, berbeda-beda tapi tetap bersatu. Kecintaan
komunitas Shiddiqiyyah kepada negeri ini terlahir dari kesadaran dan
penghayatan mendalam terhadap nilai-nilai Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika.
Bagi mereka, terlahir di Indonesia bukanlah suatu kebetulan, tetapi merupakan
takdir Allah yang harus disyukuri. Syukur tersebut dimanifestasikan dalam
bentuk mencintai tanah air dengan tetap menjaga nilai-nilai luhur yang telah ada
sebelumnya selama tidak melampaui batas-batas yang ditentukan oleh syariat.
Menurut komunitas Shiddiqiyyah, untuk menjadi muslim yang baik
seseorang tidak harus mengidentifikasikan dirinya dengan simbol-simbol Islam
Arab seperti baju jubah (gamis) atau lainnya. Seorang muslim yang baik adalah
36 Lebih lengkapnya baca: Majalah Al-Kautsar, Edisi 124 (Edisi Khusus Petisi Kemerdekaan Bangsa
Indonesia), 18 September 2016. Baca pula; Ikhwan V, 17 Agustus 1945 Bukan Kemerdekaan. 37 Ali Muhtarom, Wawancara, Kamis 3 November 2016 pukul 20.30-21.15 WIB.
57 | Tasawuf Kebangsaan: Konstruksi Nasionalisme Tarekat Shiddiqiyyah Ploso Jombang Jawa Timur
Proceeding: The 1st FaqihAsy’ari Islamic Institute International Conference Volume 2, Tahun 2019
seorang muslim yang meneladani sifat-sifat nabinya, tanpa harus menanggalkan
identitas kebangsaannya. Oleh sebab itu, komunitas Shiddiqiyyah lebih senang
menyebut dirinya sebagai orang Indonesia yang Islam, bukan orang Islam yang
hidup di Indonesia. Hal ini membawa konsekwensi bahwa dalam menjalankan
agama Islam seseorang harus memperhatikan kepentingan bangsa dan negara,
serta melihat latar budaya yang dimiliki bangsa tersebut. Sebagai warga Indonesia
yang muslim, komunitas Shiddiqiyyah sangat mengormati budaya dan kearifan
lokal (local wisdom). Hal itu terlihat misalnya dari gaya bangunan atau monumen-
monumen yang berada di lingkungan Pondok Pesantren Majma’ul Bahrain Ploso,
yang memadukan unsur budaya Jawa (seni ukiran) dengan gaya arsitektur Timur
Tengah sehingga menghasilkan perpaduan yang indah, unik dan khas.
Bagi komunitas Shiddiqiyyah, kepentingan bangsa dan negara harus lebih
diutamakan di atas segalanya, termasuk di antaranya ‘egoisme’ beragama. Hal
inilah yang mendasari penerimaan mereka terhadap Pancasila sebagai dasar
negara serta penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Bagi Komunitas
Shiddiqiyyah, Pancasila merupakan ideologi yang mampu menyatukan bangsa
Indonesia. Sebagai sebuah ideologi, Pancasila tidak dapat menggantikan posisi
agama. Oleh sebab itu, tidak tepat jika ada seseorang yang membandingkan antara
Pancasila dengan agama (Islam). Membandingkan antara keduanya ibarat
membandingkan sinar matahari dengan sinar lampu. Suatu perbandingan yang
sangat tidak seimbang. Penerimaan Shiddiqiyyah atas Pancasila lebih
dikarenakan kemampuan dasar negara tersebut dalam menyatukan rakyat
Indonesia yang terdiri dari beragam suku, agama, ras, dan budaya dalam bingkai
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kemajemukan bangsa Indonesia jika tidak
diikat menjadi kesatuan tentu akan berakibat pada timbulnya malapetaka yang
berujung pada kehancuran (chaos). Dalam konteks inilah, penghapusan tujuh kata
dalam Piagam Jakarta menurut Shiddiqiyyah dapat dibenarkan. Sebagaimana
sikap Nahdlatul Ulama, komunitas Shiddiqiyyah berpandangan bahwa Pancasila
adalah ikhtiar akhir umat Islam Indonesia dalam menegakkan hukum Allah di
bumi Indonesia. Dengan lain kata, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
adalah final.
Sikap kebangsaan komunitas Shiddiqiyyah sebagaimana tergambar di atas
didasarkan pada pemahaman atas firman Allah surat al-Hujurat [49]: 13 yang
artinya :
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-
Miftakhul Arif | 58
Proceeding: The 1st FaqihAsy’ari Islamic Institute International Conference Volume 2, Tahun 2019
bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu menurut Allah
ialah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui lagi Maha Mengenal.
Menurut komunitas Shiddiqiyyah, peletakan potongan ayat yang maknanya
“Allah menjadikan manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku” di bagian awal,
sementara “orang yang paling mulia menurut Allah adalah orang yang paling
bertakwa” di bagian akhir, menunjukkan bahwa kepentingan bangsa dan negara
harus lebih diutamakan di atas kepentingan agama. Dalam konteks
keindonesiaan, upaya-upaya yang mengarah pada pendirian negara Islam (islamic
state) sebagaimana dilakukan oleh ormas-ormas Islam seperti Hizbut Tahrir
Indonesia (HTI) tentu tidak bisa ditolerir. Sebab yang demikian itu sangat
dikhawatirkan dapat memicu terjadinya disintegrasi bangsa yang bahayanya
justeru lebih besar dari pada manfaat pendirian negara Islam itu sendiri. Dalam
konteks perpolitikan, visi kebangsaan Shiddiqiyyah ini termanifestasikan dalam
sikap penolakan (tidak memilih) terhadap partai-partai Islam simbolik semisal
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang lebih mengedepankan simbol agama.
Dalam beberapa hal, sikap politik komunitas Shiddiqiyyah lebih tertuju pada
partai-partai politik yang lebih mengusung visi kebangsaan, bukan partai yang
mengusung primordialisme agama seperti PKS.
3. Santunan Nasional
Seperti telah dikemukakan di awal, Tarekat Shiddiqiyyah memiliki slogan
S3, yakni silaturahim, santunan, dan sedekah. Selain menggalakkan silaturahim,
komunitas Shiddiqiyyah juga menggalakkan santunan dan sedekah. Santunan
dilakukan secara periodik, yakni pada setiap even hari besar Islam seperti maulid
Nabi (12 Rabiul Awal), peringatan tahun baru Hijriah (1 Muharram), dan hari
besar nasional seperti peringtan hari Kemerdekaan Bangsa Indonesia (17
Agustus) dan Sumpah Pemuda (28 Oktober).
Salah satu santunan tersebut diwujudkan dalam bentuk progam
pembangunan rumah layak huni yang diperuntukkan bagi keluarga tidak mampu.
Dalam rentang waktu 15 tahun, dari tahun 2002 hingga 2016, Tarekat
Shiddiqiyyah di bawah koordinasi Organisasi Dhilal Berkat Rohmat Alloh
(DHIBRA) telah membangun 1.122 rumah layak huni untuk keluarga tidak
mampu. Biaya pembangunan tersebut diperoleh dari sedekah sukarela komunitas
Shiddiqiyyah. Bagi komunitas Shiddiqiyyah, santunan nasional dalam bentuk
pembangunan rumah layak huni adalah manifestasi dari cinta tanah air serta
59 | Tasawuf Kebangsaan: Konstruksi Nasionalisme Tarekat Shiddiqiyyah Ploso Jombang Jawa Timur
Proceeding: The 1st FaqihAsy’ari Islamic Institute International Conference Volume 2, Tahun 2019
mensyukuri nikmat Kemerdekaan Bangsa Indonesia dan berdirinya Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
4. Merajut Persaudaraan Lintas Agama
Indonesia adalah negara dengan beragam agama; Islam, Hindu, Budha,
Kristen, dan Konghuchu. Meski memiliki perbedaan dalam ajaran, menurut
komunitas Shiddiqiyyah semua agama tersebut memiliki sumber keimanan yang
sama, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Bagi mereka, perbedaan agama sudah
menjadi ketetapan Allah (sunnatullah). Oleh sebab itu, sikap toleran dalam
menyikapi perbedaan agama tersebut harus dikedepankan tanpa harus
mengorbankan prinsip kepercayaan masing-masing. Sikap toleran Shiddiqiyyah
atas beragam agama yang ada di Indonesia tersebut terlihat misalnya dengan
menyediakan kitab suci masing-masing agama di kamar hotel Yusro, salah satu
hotel terbaik di Jombang yang dikelola oleh komunitas Shiddiqiyyah.
Untuk menjustifikasi kebenaran sikap toleran atas berbagai agama yang ada
di Indonesia, murshid Shiddiqiyyah mengutip tafsir surat al-Tin dalam tafsir al-
Qasimi yang ditulis oleh Jamaluddin al-Qasimi, seorang ulama
berkewargenegaraan Syiria. Dalam tafsir tersebut dijelaskan bahwa pohon Tin
adalah pohon yang pernah digunakan pendiri agama Budha, sedangkan pohon
Zaitun berkaitan dengan pendiri agama Kristen, gunung Tursina berkaitan dengan
agama Yahudi dan al-Balad al-Amin berkaitan dengan Islam. Menurut murshid
Shiddiqiyyah, agama Hindu, Budha, Kristen, Yahudi dan Islam itu berasal dari
satu pohon. Kenyataan bahwa di dunia terdapat agama yang bermacam-macam
merupakan sesuatu yang tidak seorang pun mampu menghalangi. Menurut sang
murshid, hal tersebut menunjukkan bahwa Allah tidak menghendaki satu agama.
Untuk meningkatkan rasa saling menghormati dan menghargai di antara
pemeluk-pemeluk agama yang berbeda, maka didirikanlah Organisasi
Persaudaraan Cinta Tanah Air Indonesia Raya (OPCTAI) oleh komunitas
Shiddiqiyyah. Organisasi ini menghimpun tokoh lintas agama dengan mengusung
visi merajut persaudaran Nusantara. Dengan adanya organisasi ini diharapkan
sikap toleran antar pemeluk agama dapat terus berlangsung, sehingga disintegrasi
bangsa dapat dihindari.
Konstruksi Nasionalisme Tarekat Shiddiqiyyah
1. Eksternalisasi: Momen Adaptasi Diri dengan Teks dan Konteks
Miftakhul Arif | 60
Proceeding: The 1st FaqihAsy’ari Islamic Institute International Conference Volume 2, Tahun 2019
Dalam teori konstruksi sosial rintisan Peter L. Berger, eksternalisasi
merupakan tahap awal dari konstruksi sosial. Nur Syam dan Fatchan
mendefinisikan eksternalisasi sebagai momen adaptasi diri dengan dunia sosio
kultural, di mana individu atau subjek dengan kemampuan agensinya melakukan
adaptasi dengan teks-teks kehidupan, baik yang bersifat abstrak seperti kitab suci
ataupun yang bersifat kongkrit seperti kondisi sosial, ekonomi, budaya, politik
dan lain-lain. Dalam proses dan tahapan ini, bahasa dan tindakan adalah dua
instrument pokok melakukan adaptasi diri. Manusia memanfaatkan bahasa untuk
melakukan adaptasi dengan dunia sosio-kulturalnya dan kemudian tindakannya
juga disesusaikan dengan dunia sosio-kulturalnya.
Secara konseptual, momen adaptasi diri tarekat Shiddiqiyyah dengan dunia
sosio kultural yang bersifat abstrak dan kongkrit tersebut dapat dijabarkan sebagai
berikut:
Pertama, penyesuaian diri dengan teks-teks keagamaan dan kebangsaan.
Teks keagaaman di sini meliputi teks suci (al-Qur’an dan hadis) dan teks
keagamaan pendukung, berupa karya-karya ulama. Sedangkan teks kebangsaan
meliputi pembukaan UUD 1945 dan teks Pancasila. Keduanya merupakan teks
primer kebangsaan, sementara teks Sumpah Pemuda, lirik lagu Indonesia Raya
dan semacamnya merupakan teks sekunder. Ungkapan-ungkapan yang terdapat
dalam teks suci, baik al-Qur’an ataupun hadis dipakai sebagai pijakan utama
untuk memberikan legitimasi tentang benar tidaknya praktik keagamaan,
termasuk di antaranya adalah praktik sufistik.
Berbagai teks keagaaman tersebut telah ada jauh hari sebelum kemunculan
tarekat Shiddiqiyyah. Dalam momen demikian, proses penyesuaian diri dengan
teks-teks keagamaan adalah hal yang tak terelakkan. Kyai Mukhtar sebagai aktor
utama terbentuknya tarekat Shiddiqiyyah adalah produk dari komunitas yang
terlebih dahulu melahirkan teks-teks keagamaan. Hanya saja dalam proses
tersebut terjadi penyesuaian diri atas teks-teks keagamaan sesuai dengan situasi
batin si aktor, dan situasi kedisinian (konteks) yang melingkupi aktor.
Konteks di mana dan bagaimana aktor dibesarkan itulah yang pada dasarnya
membentuk situasi batin aktor sehingga mempengaruhi cara pandang dalam
melakukan penyesuaian diri atas teks keagamaan. Beberapa ayat ataupun hadis
oleh si aktor ‘dikondisikan’ untuk memberikan legitimasi atas sikap patriotisme
yang seharusnya dimiliki oleh setiap umat Islam Indonesia. Hal itu bisa diketahui
dari intensitas bahasa cinta tanah air yang terus berulang disampaikan, baik dalam
ceramah ataupun karya yang ditulis langsung oleh si aktor.
Tabel 1. Penyesuaian Diri dengan Teks Keagamaan
61 | Tasawuf Kebangsaan: Konstruksi Nasionalisme Tarekat Shiddiqiyyah Ploso Jombang Jawa Timur
Proceeding: The 1st FaqihAsy’ari Islamic Institute International Conference Volume 2, Tahun 2019
No Teks Kegamaan Pemahaman Kontekstual
1 QS. Ibrahim [14]: 7 Mensyukuri kemerdekaan Indonesia adalah wajib, karena
ia merupakan salah satu rahmat Allah yang dikaruniakan
kepada bangsa Indonesia.
2 QS. Luqman [31]:14 Perintah berbuat baik kepada ibu dan bapak. Ada dua
macam ibu bapak, yaitu; (1) ibu bumi, bapak langit (tanah
air); dan (2) ibu insan, bapak insan (orang tua). Dalam
pengertian ibu bapak sebagai tanah air, maka berbakti
pada bangsa dan negara adalah wajib.
3 QS. al-Saba’ [34]: 15 Mensyukuri karunia Allah yang ada di muka bumi (tanah
air) adalah kunci menuju tergapainya negeri yang makmur
(baldah tayyibah)
4
5
QS. al-Baqarah [2]: 126
QS. al-Hajj [22]: 32
Nabi Ibrahim adalah inspirator cinta tanah air
Pembangunan monumen-monumen keagamaan dan
kebangsaan adalah bagian dari upaya mengagungkan
syiar-syiar Allah
6
7
QS. al-Hujurat [49]: 13
Hubb al-watan min al-
iman (al-hadis?)
Identitas kebangsaan di atas identitas agama
Cinta tanah air bagian dari iman
Melalui interpretasi atas teks-teks keagamaan di atas, sikap mental berupa
cinta tanah air yang termanifestasikan dalam ragam ungkapan seperti ‘NKRI
harga mati’, dan tindakan rasional seperti upacara bendera atau yang semisal,
mendapatkan pembenaran dari teks keagamaan otoritatif. Interpretasi kontekstual
tersebut merupakan konstruksi aktor atas teks keagamaan setelah melalui proses
penyesuaian diri dengan berbagai interpretasi yang dilakukan oleh ulama
pendahulunya.
Selain teks keagaaman, penyesuaian diri juga terjadi atas teks-teks
kebangsaan, utamanya pembukaan UUD 1945 dan lima butir Pancasila. Sang
aktor yang juga bagian dari masyarakat Indonesia, tidak bisa menghindar dari
proses dialektika diri dengan dasar konstitusional (UUD 1945) dan dasar negara
Indonesia (Pancasila). Kedua teks kebangsaan tersebut ditafsirkan secara
kontekstual-filosofis dengan melihat latar sosio historis serta kesesuaiannya
dengan teks-teks keagamaan yang ia konstruksikan. Hasilnya adalah lahirnya
konsep teosofi “manunggalnya jiwa keimanan dan jiwa kebangsaan” yang tidak
lain adalah inti dari ajaran tasawuf yang dikembangkan oleh sang aktor. Jiwa
keagamaan disarikan dari teks pembukaan UUD 1945 di alinea ke-3 yang
berbunyi “atas berkat rahmat Allah”. Oleh si aktor, ungkapan tersebut merupakan
manifestasi keimanan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Jiwa keimanan itulah
yang menjadi jiwanya seluruh agama. Kemudian pernyataan “dan didorongkan
oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yan bebas” adalah
Miftakhul Arif | 62
Proceeding: The 1st FaqihAsy’ari Islamic Institute International Conference Volume 2, Tahun 2019
pernyataan yang timbul dari jiwa kebangsaan masyarakat Indonesia.
Manunggalnya jiwa keimanan dan jiwa kebangsaan inilah yang oleh si aktor
dikonstruksikan sebagai ‘jati diri bangsa Indonesia’.38 Kaitannya dengan lima
butir Pancasila, maka jiwa keimanan itu terpancar dari sila pertama (ketuhanan
Yang Maha Esa), sedangkan empat butir lainnya melambangkan jiwa
kebangsaan. Dengan pemaknaan yang demikian, maka pemikiran sang aktor
tentang negara Indonesia sejalan dengan paparan Budiyono bahwa Indonesia
adalah negara yang menempatkan agama sebagai ruh (jiwa) bagi keutuhan bangsa
dan negara dalam bingkai NKRI.39
Tabel 2. Penyesuaian Diri dengan Teks Kebangsaan
No Teks Kebangsaan Pemahaman Kontekstual-Filosofis
1 “Atas berkat rahmat Allah”
(pembukaan UUD 1945 alinea
3)
Suatu pernyataan yang merepresentasikan jiwa
keimanan bangsa Indonesia.
2 “dan didorongkan oleh
keinginan luhur supaya
berkehidupan kebangsaan yan
bebas” (pembukaan UUD 1945
alinea 3)
Suatu pernyataan yang merepresentasikan jiwa
kebangsaan masyarakat Indonesia.
Kedua, penyesuaian diri dengan nilai-nilai dan kebiasaan-kebiasaan yang
telah ada sebelumnya. Penyesuaian diri tersebut adakalanya ditampilkan dalam
bentuk sikap penerimaan, adakalanya juga dalam bentuk sikap penolakan. Sikap
penerimaan atau penolakan itu biasanya dikaitkan dengan melihat seberapa jauh
nilai-nilai dan kebiasaan-kebiasaan yang telah ada sebelumnya selaras dengan apa
yang dipahami oleh aktor dari teks keagamaan atau teks kebangsaan yang ia
konstruksikan.
Sang aktor tidak berkeberatan dengan praktik masyarakat yang
memperingati hari-hari penting, baik yang bercorak keagamaan ataupun
kebangsaan, dengan mengadakan ritual tasyakuran berupa selametan, upacara
bendera atau lainnya. Akan tetapi dalam hal-hal yang itu bertolak belakang
dengan prinsip keagamaan yang ia yakini, atau realitas sejarah yang terjadi, maka
sikap yang dimunculkan adalah penolakan. Hal itu misalnya terlihat dari
penentangannya atas penyebutan tanggal 17 Agustus 1945 sebagai hari
kemerdekaan negara/Republik Indonesia. Sebab, negara dalam pengertian
38 Majalah Al-Kautsar, Edisi 125 (17 Oktober 2016 M), 13. 39 Budiyono, “Hubungan Negara dan Agama dalam Negara Pancasila”, Viat Justisia: Jurnal Ilmu
Hukum, Vol. 8, No. 1, Juli-September (2014), 410.
63 | Tasawuf Kebangsaan: Konstruksi Nasionalisme Tarekat Shiddiqiyyah Ploso Jombang Jawa Timur
Proceeding: The 1st FaqihAsy’ari Islamic Institute International Conference Volume 2, Tahun 2019
sebagai sistem pemerintahan yang berdaulat, belum ada pada tanggal tersebut.
Sikap penolakan secara tegas diekspresikan dengan penandatanganan petisi yang
ditujukan pada Presiden RI pada 18 Agustus 2016 lalu.
Alhasil, sikap menerima atau menolak atas nilai-nilai dan kebiasaan-
kebiasaan yang telah ada sebelumnya selalu didasarkan pada tingkat
kesesuaiannya dengan teks keagamaan, fakta-fakta historis serta nilai-nilai luhur
yang dimiliki bangsa Indonesia. Selain itu, interpretasi atas teks-teks keagamaan
dan kebangsaan yang pada akhirnya melahirkan konsep teosofi ‘manunggalnya
jiwa keimanan dan jiwa kebangsaan’ menyiratkan bahwa agama dan bangsa
memiliki posisi penting di hati sang aktor. Nasionalisme yang disimbolkan
dengan ungkapan bahasa ‘hubbul waton minal iman’ (cinta tanah air bagian dari
iman) tidak lagi mencerminkan gagasan nasionalisme sekuler yang diserukan
Barat. Melainkan nasionalisme yang dibangun atas nilai-nilai agama yang secara
ideologi terhubung dengan gagasan profetik yang dibawa oleh Rasulullah. Atas
dasar itulah, kita bisa mengatakan bahwa nasionalisme yang dibangun oleh sang
aktor, Kyai Muchtar, adalah nasionalisme religius-filosofis, di mana teks-teks
keagamaan dan kebangsaan dipahami secara kontekstual filosofis untuk menjadi
dasar pijakannya.
2. Objektivasi: Momen Interaksi Diri dengan Dunia Sosio-Kultural
Secara konseptual, proses objektivasi itu dapat diuraikan sebagai berikut:
Pertama, Sang aktor, Kyai Muchtar, memahami betul kondisi masyarakat di
lingkungannya yang sebagian darinya masih awam agama (abangan). Dengan
bekal pengetahuan dan pengalaman di dunia tasawuf dan tarekat, maka sang aktor
merintis berdirinya tarekat baru bernama Shiddiqiyyah. Melalui ajaran
Shiddiqiyyah, sang aktor berupaya melakukan penyadaran tentang pentingnya
beriman pada Allah, juga pentingnya bersyukur pada Allah atas nikmat
kemerdekaan melalui cinta tanah air dan berbakti pada bangsa dan negara. Cinta
tanah air dan berbakti pada bangsa dan negara hakikatnya adalah ungkapan
syukur yang akan menghantarkan seseorang pada derajat keimanan (mengenal
dan meyakini Allah) yang lebih sempurna. Dengan demikian keimanan yang
sempurna adalah level kedua yang dapat diperoleh setelah level pertamanya
dipenuhi, yaitu mensyukuri nikmat Allah melalui cinta tanah air dan berbakti pada
bangsa dan negara. Melalui keimanan, aktifitas-aktifitas sosial keagamaan atau
kebangsaan komunitas Shiddiqiyyah dapat dimaknai. Sujud syukur, puasa,
santunan nasional, dan upacara bendera yang dilakukan untuk memperingati hari
Miftakhul Arif | 64
Proceeding: The 1st FaqihAsy’ari Islamic Institute International Conference Volume 2, Tahun 2019
kemerdekaan Indonesia adalah beberapa contoh tindakan rasional yang
digerakkan oleh spirit keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Kedua, cinta tanah air dan berbakti pada bangsa dan negara bukan sekedar
tanggung jawab seseorang sebagai warga negara saja, tapi juga merupakan bagian
dari kewajiban agama. Agar sampai pada kesadaran itu diperlukan proses
penyadaran melalui legitimasi teks-teks keagamaan, baik primer (al-Qur’an dan
hadis) atau sekunder (karya-karya ulama). Misalnya, kemerdekaan Indonesia
adalah rahmat atau karunia besar dari Allah. Karenanya, ia wajib disyukuri bukan
hanya dengan lisan, tapi juga tindakan (QS. Ibrahim [14]: 7). Contoh lain adalah
membangun monumen-monumen keagamaan ataupun kebangsaan adalah bagian
dari upaya mengagungkan syiar-syiar Allah di muka Bumi (QS. al-Hajj [22]: 32).
Jika umat Budha meninggalkan Borobudur yang merupakan simbol agama
Budha, maka Islam juga perlu membuat simbol keagamaan ataupun kebangsaan
yang megah yang bisa menunjukkan bahwa Islam adalah agama luhur dan tidak
ada yang lebih luhur melebihi Islam (al-Islam ya’lu wa la yu’la ‘alayh).
Monumen-monumen keagaaman dan kebangsaan itu misalnya berupa monumen
hubbul waton, monumen sumpah pemuda, dan monumen-monumen lainnya yang
berlokasi di dalam area Pondok Pesantren Majmaul Bahrain Hubbul Wathon
Minal Iman di Ploso, Jombang. Itu semua merupakan bagian dari proses
penyadaran tentang ‘cinta tanah air bagian dari iman’.
Ketiga, pelembagaan atau institusionalisasi, yaitu proses membangun
kesadaran menjadi tindakan. Dalam proses ini, nilai-nilai yang menjadi pedoman
di dalam melakukan interpretasi terhadap tindakan telah menjadi bagian tak
terpisahkan sehingga apa yang disadari adalah apa yang dilakukan. Dalam
memperingati hari kemerdekaan Indonesia komunitas Shiddiqiyyah
menyelenggarakan berbagai kegiatan baik yang bersifat ritual an sich seperti
mujahadah (bersungguh-sungguh mendekat pada Allah) dalam bentuk sujud
syukur, doa bersama, puasa sunnah, atau yang bersifat kemanusiaan seperti
pembangunan rumah layak huni dan santunan sosial untuk fakir miskin. Praktik-
praktik di atas dilakukan atas dasar pengetahuan dan kesadaran, bukan sekedar
tindakan berpura-pura. Ketika mereka melakukan sujud syukur atau puasa pada
hari kemerdekaan Indonesia, mereka tentu tahu dan sadar untuk apa hal itu
dilakukan. Ketika mereka menolak mengatakan ‘dirgahayu kemerdekaan
Republik Indonesia’ setiap tanggal 17 Agustus, tentu mereka tahu dan sadar apa
alasan di balik itu. Jika mereka menyisihkan sebagian hartanya untuk
disumbangkan kepada fakir miskin pada acara santunan sosial setiap tahun, maka
tentu mereka juga sudah sangat memahami manfaat tindakan itu. Dengan
65 | Tasawuf Kebangsaan: Konstruksi Nasionalisme Tarekat Shiddiqiyyah Ploso Jombang Jawa Timur
Proceeding: The 1st FaqihAsy’ari Islamic Institute International Conference Volume 2, Tahun 2019
demikian, apa yang mereka lakukan sebenarnya adalah apa yang mereka sadari.
Tindakan-tindakan tersebut telah diperhitungkan secara matang dan konseptual,
sehingga tindakannya itu menjadi tindakan rasional bertujuan.
Keempat, habitualisasi (pembiasaan), yaitu proses di mana tindakan
rasional bertujuan itu telah menjadi bagian dari rutinitas sehari-hari. Dalam proses
ini, tidak dibutuhkan lagi berbagai penafsiran terhadap tindakan, karena tindakan
tersebut telah menjadi bagian dari sistem kognitif dan sistem evaluatifnya. Peta
kesadarannya telah menerima dan sistem evaluasi yang berasal dari sistem nilai
juga telah menjadi bagian di dalam keseluruhan mekanisme hidupnya. Dengan
demikian, ketika suatu tindakan telah menjadi sesuatu yang habitual, maka
tindakan tersebut menjadi tindakan mekanis, yang mesti dilakukan begitu saja.
Seseorang akan melaksanakan ritual sujud syukur dan puasa saat tanggal 17
Agustus tiba. Seseorang akan menyumbangkan sebagian hartanya, jika mampu,
setiap ada momen santunan nasional Shiddiqiyyah manakala itu sudah menjadi
habitual action-nya. Bersikap toleran terhadap keyakinan orang lain saat sedang
berinteraksi, serta menulis ungkapan ‘atas berkat rahmat Allah’, kalimat awal
dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke-3, di setiap baliho yang mereka tempel
adalah beberapa tradisi Shiddiqiyyah yang terlestarikan hingga saat ini.
Sebagaimana dikatakan Nur Syam, yang terpenting dari seluruh rangkaian
proses di atas adalah peran agen untuk proses penyadaran, pelembagaan, dan
habitualisasi. Dalam konteks ini, agen utama dalam keseluruhan proses di atas
adalah sang murshid sendiri, KH. M. Muchtar Mu’thi. Ia adalah ideolog
Shiddiqiyyah yang melakukan konseptualisasi ajaran teosofi delapan
kesanggupan, termasuk di antaranya konsep ‘cinta tanah air dan berbakti kepada
bangsa dan negara’. Dalam proses penyadaran, pelembagaan, dan habitualisasi,
sang murshid dibantu oleh agen-agen lainnya, yaitu para khalifah di masing-
masing daerah, dan juga para pengurus organisasi Shiddiqiyyah mulai tingkat
pusat hingga daerah. Dalam setiap momen Shiddiqiyyah, agen-agen tersebut
senantiasa menyuarakan pentingnya cinta tanah air. Di setiap acara Kautsaran,
sang murshid atau khalifah selalu mengingatkan untuk memupuk rasa cinta tanah
air. Sementara agen lainnya yang bergerak di sektor pendidikan (THGB)
mengupayakan doktrin cinta tanah air terintegrasi dengan sistem kurikulum.
Adapun agen yang bergerak di sektor sosial (DHIBRA) senantiasa mengorganisir
aksi-aksi kemanusiaan Shiddiqiyyah agar pelaksanaannya berjalan baik. Meski
fokus dari setiap agen tersebut berbeda, namun semuanya membawa dan
melestarikan visi yang sama, bahwa ‘cinta tanah air adalah bagian dari iman’.
Miftakhul Arif | 66
Proceeding: The 1st FaqihAsy’ari Islamic Institute International Conference Volume 2, Tahun 2019
3. Internalisasi: Momen Identifikasi Diri dalam Dunia Sosio-Kultural
Internalisasi merupakan momen penarikan sosial ke dalam diri atau realitas
sosial menjadi kenyataan subjektif. Realitas sosial itu berada di dalam diri
manusia dan dengan cara itu maka diri manusia akan teridentifikasi di dalam
dunia sosio-kulturalnya.
Momen internalisasi ditandai proses identifikasi diri atas realitas objektif
yang difenomenakan. Proses identifikasi diri di dalam dunia tarekat berbeda
dengan yang terjadi di luar tarekat. Sistem identifikasi diri di luar tarekat
umumnya bersifat longgar, tidak rigid. Sebagai contoh, seseorang sudah dianggap
teridentifikasi sebagai warga NU manakala akidah dan tradisi kegamaan yang ia
jalankan sudah sejalan dengan apa yang digariskan oleh pendiri NU, meskipun
secara formal ia belum terdaftar sebagai warga NU. Hal ini berbeda dengan tradisi
yang berkembang di dunia tarekat, tak terkecuali Shiddiqiyyah. Sebagai
organisasi tarekat, Shiddiqiyyah mengharuskan adanya ba’ait (sumpah setia) yang
harus diucapkan calon murid di hadapan guru. Baiat merupakan syarat formal
untuk bisa diakui sebagai bagian dari komunitas Shiddiqiyyah. Tanpa ba’iat,
seseorang dianggap tidak sah mengidentifikasikan dirinya ke dalam tarekat
Shiddiqiyyah. Di dalam prosesi bai’at, seorang individu harus menyatakan
kesediaannya untuk menjalankan delapan kesanggupan, salah satunya adalah
sanggup cinta tanah air dan berbakti kepada bangsa dan negara. Dengan adanya
bai’at ini, sesungguhnya konsep tasawuf yang dikembangkan oleh Shiddiqiyyah
adalah tasawuf yang tidak hanya menghendaki seseorang sadar dalam beragama,
tapi juga sadar dalam bernegara. Untuk itulah cinta tanah air dan berbakti kepada
bangsa dan negara menjadi bagian tak terpisahkan di dalam tarekat Shiddiqiyyah.
Penutup
Uraian panjang di atas menyimpulkan bahwa di samping memberikan
bimbingan spiritual, tarekat Shiddiqiyyah juga concern memupuk semangat
nasionalisme pengikutnya melalui doktrin “hubbul wathon minal iman” (cinta tanah
air bagian dari iman). Cinta tanah air menurut tarekat Shiddiqiyyah adalah realisasi
syukur kepada Allah swt. yang telah menganugerahkan kemerdekaan kepada Bangsa
Indonesia. Cinta tanah air juga merupakan wujud syukur kepada ‘ibu bumi’ dan
‘bapak langit’ (tanah air), sekaligus kepada para pejuang kemerdekaan. Melalui slogan
“manunggalnya jiwa keimanan dan jiwa kebangsaan”, rasa cinta tanah air itu
dimanifestasikan dengan bentuk beragam, antara lain ritual sujud syukur pada setiap
hari kemerdekaan Indonesia (17 Agustus dan 9 Ramadhan), puasa tiga hari pada
67 | Tasawuf Kebangsaan: Konstruksi Nasionalisme Tarekat Shiddiqiyyah Ploso Jombang Jawa Timur
Proceeding: The 1st FaqihAsy’ari Islamic Institute International Conference Volume 2, Tahun 2019
tanggal 18-20 Agustus, serta santunan sosial seperti pendirian rumah layak huni bagi
kaum duafa, menjalin solidaritas persaudaraan lintas agama, dan lain-lain. KH.
Muhammad Muchtar Mu’thi adalah aktor sentral dalam Tarekat Shiddiqiyyah. Selain
murshid taraket, Ia juga ideolog sekaligus organisator tarekat Shiddiqiyyah. Doktrin
cinta tanah air yang ia rumuskan dipengaruhi oleh faktor genetika, edukasi, latar sosio
historis masyarakat Jombang, serta pengalaman mistik mengikuti beberapa tarekat.
Doktrin tersebut dikonstruksikan melalui tiga momen, eksternalisasi,
objektivasi dan internalisasi. Momen eksternalisasi berfokus pada proses ‘penyesuaian
diri’ dengan teks dan dunia sosio kultural menuju tahap ‘kesadaran diri’. Pada tahap
objektivasi kesadaran diri itu diupayakan mewujud dalam tindakan nyata melalui
proses ‘penyadaran diri (individu)’ dengan teknik habitualisasi (pembiasaan
tindakan). Momen terakhir, internalisasi, adalah proses identifikasi diri yang ditandai
dengan baiat di depan murshid sebagai syarat formal memperoleh pengakuan sebagai
murid Shiddiqiyyah. Dengan segala keunikannya ini, semangat kebangsaan yang
diusung tarekat Shiddiqiyyah bisa ditempatkan sebagai nasionalisme religius,
humanis, filosofis yang meletakkan agama dan negara dalam relasi harmonis, serta
menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan sebagaimana tersimpul dalam slogan
“manunggalnya iman dan kemanusiaan”.
DaftarPustaka
Abidin, Zainal (ed.), Direktori Paham, Aliran, dan Tradisi Keagamaan di
Indonesia Jakarta: Kementrian Agama RI, 2014.
Adisusilo, Sutarjo. “Nasionalisme, Demokrasi, Civil Society”, Jurnal Historia,
Vol. 23, No. 2, Oktober (2009).
Ali, As’ad Said. Negara Pancasila: Jalan Kemaslahatan Berbangsa. Jakarta:
LP3ES, 2009.
Atjeh, Abu Bakar. Pengantar Ilmu Tarekat: Uraian tentang Mistik. Jakarta:
FA.H.M Tawi & Son, 1966.
Budiyono. “Hubungan Negara dan Agama dalam Negara Pancasila”, Viat
Justisia: Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 8, No. 1, Juli-September (2014).
Miftakhul Arif | 68
Proceeding: The 1st FaqihAsy’ari Islamic Institute International Conference Volume 2, Tahun 2019
Bruinessen, Martin Van, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, terj. Farid
Wajidi, Yogyakarta: Gading Publising, 2012.
Fatchan, H.A. Metode Penelitian Kualitatif; 10 Langkah Penelitian Kualitatif
Pendekatan Konstruksi dan Fenomenologi. Malang: UM Press, 2013.
Ghazali (al), Abu Hamid, Mukasyafat al-Qulub, Beirut: Dar al-Kutub, 2011.
Haidar, Ali. “Islam dan Pancasila dalam Pergumulan Nahdlatul Ulama (NU)”,
Jurnal Studia Islamika, Vol, 1, No. 3, (1994).
Ikhwan V, 17 Agustus 1945 Bukan Kemerdekaan Republik Indonesia, Semarang:
Fatawa Publishing, 2015.
Khamdan. Muh. “Pengembangan Nasionalisme Keagamaan sebagai Strategi
Penanganan Potensi Radikalisme Islam Transnasional”, Jurnal Addin,
Vol. 10, No. 1, Februari (2016).
Khanafi, Imam. “Tarekat Kebangsaan: Kajian Antropologi Sufi Terhadap
Pemikiran Nasionalisme Habib Luthfie”, Jurnal Penelitian, Vol. 10, No.
2, November (2013).
Luzar, Laura Christina. “Teori Konstruksi Realitas Sosial”, dalam
http://dkv.binus.ac.id/2015/05/18/teori-konstruksi-realitas-sosial/.
Maghfur, Ahmad, “Neonasionalisme Kaum Tarekat”, dalam
http://berita.suaramerdeka.com/smcetak/neonasionalisme-kaum-tarekat/
(diakses pada 12 September 2016)
Mufid, Ahmad Syafii (ed.). Perkembangan Paham Keagamaan Transnasional di
Indonesia, Jakarta: Litbang Kementrian Agama RI. 2011.
Majalah Al-Kautsar; Jendela Shiddiqiyah, Edisi 119, 15 Rajab 1437/23 April
2016.
Majalah al-Kautsar; Jendela Shiddiqiyah, Edisi 124, 18 September 2016.
Majalah Al-Kautsar; Jendela Shiddiqiyah, Edisi 125, 17 Oktober 2016.
Mustagfirin, Arif, Toriqoh Shiddiqiyah; Studi tentang Toriqoh Shiddiqiyah di
Yogyakarta, Skripsi—IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2003.
69 | Tasawuf Kebangsaan: Konstruksi Nasionalisme Tarekat Shiddiqiyyah Ploso Jombang Jawa Timur
Proceeding: The 1st FaqihAsy’ari Islamic Institute International Conference Volume 2, Tahun 2019
Nasih, A. Munjih, Sepenggal Perjalanan Hidup Sang Mursyid Kyai Haji
Muchammad Muchtar Bin Haji Abdul Mu’thi, Jombang: Al-Kautsar
Dhibra, Cet. 2, 2016.
Poloma, Margaret M. Sosiologi Kontemporer, terj. Tim Penerjemah. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2007.
Ritzer, George. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, terj.
Alimandan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2004.
Syakur, Abd., Gerakan Tarekat Shiddiqiyyah Pusat Losari, Ploso, Jombang;
Studi tentang Strategi Bertahan, Struktur Mobilisasi dan Proses
Pembingkaian, Disertasi -- UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. 2008.
Sugiyono, Memahamai Penelitian Kualitatif, Bandung: Alfabeta, 2015.
Shodiq, Muhammad, “Eksistensi dan Gerakan Dakwah Tarekat Siddiqiyah di
Tengah Masyarakat Urban Surabaya”, dalam Jurnal Teosofi Vol. 5, No.
2, Desember 2015.
Sukarno, Dian, Trilogi Spiritualitas Bung Karno. Jombang: CV. Al-Kautsar
Dhibra, 2013.
Suryanegara, Ahmad Mansur. Api Sejarah, Vol. 2. Bandung: Surya Dinasti,
2016.
Syam, Nur. Islam Pesisir. Yogyakarta: LkiS, 2014.
Turmudzi, Endang. Struggling for The Umma: Changing Leadership Roles of
Kiai in Jombang, East Java. Canbera: ANU E-Press, 1996.
Zuhdi, Zaenu, “Afiliasi Mazhab Fiqh Tarekat Shiddiqiyah di Jombang”, dalam
Maraji’: Jurnal Studi Keislaman, Vol. 1, Nomor 1, September 2014.
http://www.shiddiqiyyah.org (diakses pada 24 Mei 2016)
Radar Jombang, Edisi Kamis 29 September 2016, 36.
Ali Muhtarom, Wawancara, Kamis 3 November 2016 pukul 20.30-21.15 WIB.
Fakhril Aziz, Wawancara, September 2016 pukul 21.00-22.30
Miftakhul Arif | 70
Proceeding: The 1st FaqihAsy’ari Islamic Institute International Conference Volume 2, Tahun 2019
Observasi di Pusat Shiddiqiyyah, Ponpes Majma’al Bahrain Hubbul Wathon
minal Iman, Oktober 2016.
Copyright © 2019 Proceeding: The 1st Faqih Asy’ari Islamic Institute International Conference
Faqih Asy’ari Islamic Institute Sumbersari Kediri, Indonesia “Moderasi Islam Aswaja untuk
Perdamaian Dunia”(Volume 1, 2019)ISBN (complete) 978-623-91749-3-4; ISBN (Volume 2):
978-623-91749-5-8
Copyright of Proceeding: The 1st FaqihAsy’ari Islamic Institute International Conference is the
property of FaqihAsy’ari Islamic Institute (IAIFA) Kediri and its content may not be copied
oremailed to multiple sites or posted to a listserv without the copyright holder's express
writtenpermission. However, users may print, download, or email articles for individual use.
http://proceeding.iaifa.ac.id/index.php/FAI3C