tbr bells palsy.doc
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Bell’s palsy merupakan salah satu gangguan neurologik yang disebabkan
oleh kerusakan nervus facialis yang menyebabkan kelemahan atau paralisis satu
sisi wajah (unilateral). Gangguan ini berupa paresis atau paralisis fasial perifer
yang terjadi tiba-tiba, bersifat unilateral tanpa penyebab yang jelas. Sindroma
paralisis fasial idiopatik ini pertama kali dijelaskan lebih dari satu abad yang lalu
oleh Sir Charles Bell. Bell’s palsy merupakan penyebab paralisis fasial yang
paling sering di dunia (Mardjono, 2005).
Pada sebagian besar penderita Bell’s Palsy kelumpuhannya dapat
sembuh sempurna, namun pada beberapa di antara mereka kelumpuhannya
sembuh dengan meninggalkan gejala sisa (sequelae). Pada 71% kasus dapat
sembuh sempurna dan 84% dapat berfungsi normal kembali seperti semula.
Gejala sisa ini berupa kontraktur, dan spasme spontan. Spasme dilaporkan dalam
beberapa kasus tetapi etipatogenesisnya belum jelas. Ketika kelemahan tidak
lengkap, 94% pasien dapat sembuh sempurna dalam waktu 4 bulan setelah onset.
Tetapi apabila kelemahan lengkap, pasien dapat sembuh sempurna sekitar 61%.
Keparahan kelemahan mempengaruhi prognosis. Permasalahan yang ditimbulkan
Bell’s palsy cukup kompleks, diantaranya masalah fungsional, kosmetika dan
psikologis sehingga dapat merugikan penderita, permasalahan kapasitas fisik
(impairment) antara lain berupa asimetris wajah, rasa kaku dan tebal pada wajah
sisi lesi, penurunan kekuatan otot wajah pada sisi lesi, potensial terjadi kontraktur
dan perlengketan jaringan, potensial terjadi iritasi pada mata sisi lesi. Sedangkan
permasalahan fungsional (functional limitation) berupa gangguan fungsi yang
melibatkan otot-otot wajah, seperti makan dan minum, berkumur, gangguan
menutup mata, gangguan bicara dan gangguan ekspresi wajah (Mardjono, 2005).
Managemen terapi untuk Bell’s palsy bertujuan untuk memperoleh
kesembuhan yang sempurna dan menurunkan gejala sisa pada kasus yang tidak
dapat sembuh secara spontan
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. BELL’S PALSY
1. Definisi
Bell’s palsy merupakan salah satu gangguan neurologik yang
disebabkan oleh kerusakan nervus fasialis yang menyebabkan paralisis
atau kelumpuhan pada nervus fasialis perifer. Biasanya gangguan ini
terjadi mendadak atau akut, bersifat unilateral dan penyebabnya tidak jelas
atau idiopatik. Kelumpuhan pada Bell’s palsy termasuk ke dalam LMN
(lower motor neuron) (McCaul, 2014).
2. Etiologi
Etiologi bell’s palsy hingga saat ini masih tidak jelas, tetapi
berdasarkan beberapa bukti penyebabnya tersering adalah virus herpes
simpleks Tipe 1 yang menyebabkan edema pada nervus fasialis,
Reaktivasi Varicella Zooster Virus (VZV) dapat menyebabkan Bells’s
Palsy pada 30% kasus, penyebab lain antara lain Hereditar, iskemia dan
gangguan autoimun (McCaul, 2014) :
1. Neoplasma : setelah pengangkatan tumor otak atau tumor lain
2. Trauma: fraktur basal tengkorak, luka ditelinga tengah dan menyelam
3. Neurologis : Syndrom Guillain Barre
4. Metabolik : kehamilan, diabetes mellitus, hipertensi
5. Toksik: alcohol, talidomid, tetanus, karbonmonoksida.
3. Anatomi Nervus Fasialis
Saraf fasialis mengandung 4 serabut yaitu (Lumbantobing, 2007) :
a. Serabut somatomotorik, yang mensarafi otot-otot wajah kecuali m.
levator palpebrae (N.III), otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian
posterior dan stapedius di telinga tengah
b. Serabut viseromotorik, (parasimpatis) yang datang dari nukleus
salivatorius superior. Serabut saraf ini mengurus glandula dan mukosa
faring, palatum, rongga hidung, sinus paranasal, dan glandula
submaksilaris serta sublingual dan lakrimalis.
2
c. Serabut viserosensorik, yang menghantar impuls dari alat pengecap di
dua pertiga bagian depan lidah.
d. Serabut somatosensorik, rasa nyeri dan mungkin juga rasa suhu dan
rasa raba dari sebagian daerah kulit dan mukosa yang dipersarafi oleh
nervus trigeminus (N.V).
Nervus VII terutama terdiri dari saraf motorik yang mempersarafi
seluruh otot mimik wajah. Komponen sensorisnya kecil, yaitu nervus
intermedius Wrisberg yang mengantarkan rasa pengecapan dari 2/3 bagian
anterior lidah dan sensasi kulit dari dinding anterior kanalis auditorius
eksterna. Serabut-serabut rasa pengecapan akan melintasi nervus lingual,
yaitu cabang dari nervus mandibularis lalu masuk ke korda timpani
dimana ia membawa sensasi pengecapan melalui nervus fasialis ke
nukleus traktus solitarius. Serabut-serabut sekretomotor menginervasi
kelenjar lakrimal melalui nervus petrosus superfisial major dan kelenjar
sublingual dan submaksilar melalui korda timpani (Lowis, 2012).
Nukleus (inti) motorik nervus VII terletak di ventrolateral nukleus
abdusens, dan serabut nervus fasialis dalam pons sebagian melingkari dan
melewati bagian ventrolateral nukleus abdusens sebelum keluar dari pons
di bagian lateral traktus kortikospinal. Karena posisinya yang berdekatan
(jukstaposisi) pada dasar ventrikel VI, maka nervus VI dan VII dapat
terkena bersama-sama oleh lesi vaskuler atau lesi infiltratif. Nervus fasialis
keluar dari otak di sudut serebello-pontin masuk ke meatus akustikus
internus bersama dengan nervus akustikus lalu membelok tajam ke depan
dan ke bawah di dekat batas anterior vestibulum telinga dalam. Pada sudut
ini (genu) terletak ganglion sensoris yang disebut genikulatum karena
sangat dekat dengan genu. Saraf selanjutnya berada di dalam kanalis
fasialis memberikan cabang untuk ganglion pterygopalatina sedangkan
cabang kecilnya ke muskulus stapedius dan bergabung dengan korda
timpani. Nervus fasialis berjalan melalui kanalis fasialis di bawah ganglion
genikulatum untuk memberikan percabangan ke ganglion pterygopalatina,
yaitu nervus petrosus superfisial major, dan di distal yang mempersarafi
m. stapedius yang terhubung oleh korda timpani (Lowis, 2012).
3
Gambar 1. Skema perjalanan nervus fasialis (Lowis, 2012).
Pada bagian awal dari kanalis fasialis, segmen labirin merupakan
bagian yang tersempit yang dilewati saraf fasialis, foramen mental pada
segmen ini hanya memiliki diameter sebesar 0,66 mm. Lalu nervus fasialis
keluar dari kranium melalui foramen stylomastoideus dan melintasi
kelenjar parotis yang lalu akan terbagi menjadi lima cabang (Lowis, 2012).
4. Patofisiologi
Etiologi dari Bell’s palsy sampai saat ini masih idiopatik. Namun,
diperkirakan penyebabnya adalah edema dan iskemia akibat penekanan
(kompresi) pada nervus fasialis. Penyebab edema dan iskemia ini sampai
saat ini masih diperdebatkan. Dulu, paparan suasana/suhu dingin
(misalnya hawa dingin, AC, atau menyetir mobil dengan jendela yang
terbuka) dianggap sebagai satu-satunya pemicu Bell’s palsy. Akan tetapi,
sekarang mulai diyakini HSV sebagai penyebab Bell’s palsy, karena telah
diidentifikasi HSV pada ganglion geniculata pada beberapa penelitian
otopsi. Murakami et al juga melakukan tes PCR (Polymerase-Chain
Reaction) pada cairan endoneural N.VII penderita Bell’s palsy berat yang
menjalani pembedahan dan menemukan HSV dalam cairan endoneural.
Virus ini diperkirakan dapat berpindah secara axonal dari saraf sensorik
dan menempati sel ganglion, pada saat adanya stress, akan terjadi
4
reaktivasi virus yang akan menyebabkan kerusakan lokal pada myelin
(Monnel, 2009).
Para ahli menyebutkan bahwa pada Bell’s palsy terjadi proses
inflamasi akut pada nervus fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar
foramen stilomastoideus. Bell’s palsy hampir selalu terjadi secara
unilateral. Patofisiologinya belum jelas, tetapi salah satu teori
menyebutkan terjadinya proses inflamasi pada nervus fasialis yang
menyebabkan peningkatan diameter nervus fasialis sehingga terjadi
kompresi dari saraf tersebut pada saat melalui tulang temporal. Perjalanan
nervus fasialis keluar dari tulang temporal melalui kanalis fasialis yang
mempunyai bentuk seperti corong yang menyempit pada pintu keluar
sebagai foramen mental. Dengan bentukan kanalis yang unik tersebut,
adanya inflamasi, demyelinisasi atau iskemik dapat menyebabkan
gangguan dari konduksi. Impuls motorik yang dihantarkan oleh nervus
fasialis bisa mendapat gangguan. Paparan udara dingin seperti angin
kencang, AC, atau mengemudi dengan kaca jendela yang terbuka diduga
sebagai salah satu penyebab terjadinya Bell’s palsy. Karena itu nervus
fasialis bisa sembab, ia terjepit di dalam foramen stilomastoideus dan
menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN. Pada lesi LMN biasa terletak di
pons, di sudut serebelo-pontin, di os petrosum atau kavum timpani, di
foramen stilomastoideus dan pada cabang-cabang tepi nervus fasialis. Lesi
di pons yang terletak di daerah sekitar inti nervus abdusens dan fasikulus
longitudinalis medialis. Karena itu paralisis fasialis LMN tersebut akan
disertai kelumpuhan muskulus rektus lateralis atau gerakan melirik ke arah
lesi. Selain itu, paralisis nervus fasialis LMN akan timbul bersamaan
dengan tuli perseptif ipsilateral dan ageusia (tidak bisa mengecap dengan
2/3 bagian depan lidah). Berdasarkan beberapa penelitian bahwa penyebab
utama Bell’s palsy adalah reaktivasi virus herpes (HSV tipe 1 dan virus
herpes zoster) yang menyerang saraf kranialis. Terutama virus herpes
zoster karena virus ini menyebar ke saraf melalui sel satelit. Hal ini terjadi
karena efek HSV yang akan menghancurkan sel-sel ganglion yang
kemudain menyebar ke cairan endoneural. Virus ini juga akan menyerang
5
sel schwann sehingga terjadi inflamasi yang menyebabkan saraf
membengkak dan mengalami kompresi. Kompresi lama-kelamaan akan
menyebabkan iskemi dan kematian sel-sel saraf atau demyelinisasi
sehingga akan bermanifestasi menjadi Bell’s palsy. Karena menyerang
nervus fasialis, Bell’s palsy bermanifestasi sebagai kelumpuhan LMN dan
bersifat perifer, bukan sentral (Monnel, 2009).
Kelumpuhan pada Bell’s palsy akan terjadi bagian atas dan bawah
dari otot wajah seluruhnya lumpuh. Dahi tidak dapat dikerutkan, fisura
palpebra tidak dapat ditutup dan pada usaha untuk memejam mata
terlihatlah bola mata yang berbalik ke atas. Sudut mulut tidak bisa
diangkat. Gejala-gejala pengiring seperti ageusia dan hiperakusis tidak ada
karena bagian nervus fasialis yang terjepit di foramen stilomastoideum
sudah tidak mengandung lagi serabut korda timpani dan serabut yang
mensyarafi muskulus stapedius (Monnel, 2009).
Gambar 2. Perbedaan lesi nervus fasialis dan supranukelus (Monnel, 2009)
5. Manifestasi klinis
Kelumpuhan perifer N.VII memberikan ciri yang khas hingga dapat
didiagnosa dengan inspeksi. Otot muka pada sisi yang sakit tak dapat
6
bergerak. Lipatan-lipatan di dahi akan menghilang dan Nampak seluruh
muka sisi yang sakit akan mencong tertarik ke arah sisi yang sehat. Gejala
kelumpuhan perifer ini tergantung dari lokasi kerusakan (Djamil, 2009) :
a. Kerusakan setinggi foramen stilomastoideus.
Gejala : kelumpuhan otot-otot wajah pada sebelah lesi.
Sudut mulut sisi lesi jatuh dan tidak dapat diangkat
Makanan berkumpul diantara pipi dan gusi pada sebelah lesi
Tidak dapat menutup mata dan mengerutkan kening pada sisi lesi
Kelumpuhan ini adalah berupa tipe flaksid, LMN. Pengecapan dan
sekresi air liur masih baik.
b. Lesi setinggi diantara khorda tympani dengan n.stapedeus (di dalam
kanalis fasialis).
Gejala: seperti (a) ditambah dengan gangguan pengecapan 2/3 depan
lidah dan gangguan salivasi.
c. Lesi setinggi diantara n.stapedeus dengan ganglion genikulatum.
Gejala: seperti (b) ditambah dengan gangguan pendengaran yaitu
hiperakusis.
d. Lesi setinggi ganglion genikulatum
Gejala: seperti (c) ditambah dengan gangguan sekresi kelenjar hidung
dan gangguan kelenjar air mata (lakrimasi).
e. Lesi di porus akustikus internus.
Gangguan: seperti (d) ditambah dengan gangguan pada N.VIII.
Yang paling sering ditemui ialah kerusakan pada tempat setinggi
foramen stilomastoideus dan pada setinggi ganglion genikulatum. Adapun
penyebab yang sering pada kerusakan setinggi genikulatum adalah Herpes
Zoster, otitis media perforata dan mastoiditis (Djamil, 2009).
7
Gambar 3. Gejala Klinis Bell’s Palsy
6. Diagnosis
Diagnosis Bell’s palsy dapat ditegakkan dengan melakukan anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Pada pemeriksaan nervus kranialis akan didapatkan
adanya parese dari nervus facialis yang menyebabkan bibir mencong, tidak
dapat memejamkan mata dan adanya rasa nyeri pada telinga. Hiperakusis
dan augesia juga dapat ditemukan.Harus dibedakan antara lesi UMN dan
LMN.Pada Bell’s palsy lesinya bersifat LMN.
a. Anamnesis.
Hampir semua pasien yang dibawa ke ruang gawat darurat merasa
bahwa mereka menderita stroke atau tumor intrakranial. Hampir semua
keluhan yang disampaikan adalah kelemahan pada salah satu sisi
wajah.
Nyeri postauricular: Hampir 50% pasien menderita nyeri di regio
mastoid. Nyeri sering muncul secara simultan disertai dengan
paralisis, tetapi paralisis muncul dalam 2-3 hari pada sekitar 25%
pasien.
Aliran air mata: Dua pertiga pasien mengeluh mengenai aliran air
mata mereka. Ini disebabkan akibat penurunan fungsi orbicularis
oculi dalam mengalirkan air mata. Hanya sedikit air mata yang
8
dapat mengalir hingga saccus lacrimalis dan terjadi kelebihan
cairan. Produksi air mata tidak dipercepat.
Perubahan rasa: Hanya sepertiga pasien mengeluh tentang
gangguan rasa, empat per lima pasien menunjukkan penurunan
rasa. Hal ini terjadi akibat hanya setengah bagian lidah yang
terlibat.
Mata kering.
Hyperacusis: kerusakan toleransi pada tingkatan tertentu pada
hidung akibat peningkatan iritabilitas mekanisme neuron sensoris.
b. Pemeriksaan fisik.
Gambaran paralisis wajah mudah dikenali pada pemeriksaan
fisik. Pemeriksaan yang lengkap dan tepat dapat menyingkirkan
kemungkinan penyebab lain paralisis wajah. Pikirkan etiologi lain jika
semua cabang nervus facialis tidak mengalami gangguan.
Definisi klasik Bell palsy menjelaskan tentang keterlibatan
motoneuron dari nervus facialis, meskipun nervus cranialis lain
juga dapat terlibat. Nervus facialis merupakan satu-satunya nervus
cranialis yang menunjukkan gambaran gangguan pada pemeriksaan
fisik karena perjalanan anatomisnya dari otak ke wajah bagian
lateral.
Kelemahan dan/atau paralisis akibat gangguan pada nervus facialis
tampak sebagai kelemahan seluruh wajah (bagian atas dan bawah)
pada sisi yang diserang. Perhatikan gerakan volunter bagian atas
wajah pada sisi yang diserang.
Pada lesi supranuklear seperti stroke kortikal (neuron motorik atas;
di atas nucleus facialis di pons), dimana sepertiga atas wajah
mengalami kelemahan dan dua per tiga bagian bawahnya
mengalami paralisis. Musculus orbicularis, frontalis dan corrugator
diinervasi secara bilateral, sehingga dapat dimengerti mengenai
pola paralisis wajah.
Lakukan pemeriksaan nervus cranialis lain: hasil pemeriksaan
biasanya normal.
9
Membran timpani tidak boleh mengalami inflamasi; infeksi yang
tampak meningkatkan kemungkinan adanya otitis media yang
mengalami komplikasi.
c. Pemeriksaan laboratorium.
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk
menegakkan diagnosis Bell’s palsy. Namun pemeriksaan kadar gula
darah atau HbA1c dapat dipertimbangkan untuk mengetahui apakah
pasien tersebut menderita diabetes atau tidak. Pemeriksaan kadar
serum HSV juga bisa dilakukan namun ini biasanya tidak dapat
menentukan dari mana virus tersebut berasal.
d. Pemeriksaan radiologi.
Bila dari anamnesis dan pemeriksaan fisik telah mengarahkan
ke diagnosis Bell’s palsy maka pemeriksaan radiologi tidak diperlukan
lagi, karena pasien-pasien dengan Bell’s palsy umumnya akan
mengalami perbaikan dalam 8-10 minggu. Bila tidak ada perbaikan
ataupun mengalami perburukan, pencitraan mungkin akan membantu.
MRI mungkin dapat menunjukkan adanya tumor (misalnya
Schwannoma, hemangioma, meningioma). Bila pasien memiliki
riwayat trauma maka pemeriksaan CT-Scan harus dilakukan.
Tabel 1. Perbedaan Parese Nervus VII Sentral dengan Parese
Nervus VII Perifer
Sentral (UMN) Perifer (LMN)
Menunjukan gigiMencong ke arah
yang sehatMencong ke arah
yang sehat
Mencucu / bersiulMencong ke arah
yang sakitMencong ke arah
yang sakitMenutup mata + -Mengerutkan dahi + -Mengangkat alis + -Meniup sekuat-kuatnya
- -
NyerocosDisisi yang
lumpuhDisisi yang
lumpuh
10
7. Penatalaksanaan
Terapi Farmakologis
a. Kortikosteroid.
Prednison dengan dosis 40-60 mg/hari per oral atau 1 mg/kgBB/hari
selama 7 hari yaitu pada saat fase akut (diberikan pada saat onset
kurang dari 2 minggu).
Tabel 2. Prednison
Nama obat Prednisone (Deltasone, Orasone, Sterapred) sebagaianti inflamasi, yang menurunkan kompresi nervus facialis di kanalis facialis.
Dosis dewasa 1 mg/kg BB/hari peroral selama 7 hari diikuti tappering off dengan total pemakaian 10 hari.
Dosis pediatrik 1 mg/kg BB/hari peroral selama 6 hari diikuti tappering off dengan total pemakaian 10 hari.
Kontraindikasi Pernah dilaporkan adanya hipersensitivitas; infeksi virus, jamur, jaringan konektif, dan infeksi kulit tuberkuler; penyakit tukak lambung; disfungsi hepatik; penyakit gastrointestinal; diabetes mellitus yang tak terkontrol.
Interaksi obat Pemberian bersamaan dengan estrogen dapat menurunkan klirens prednisone; penggunaan dengan digoksin dapat menyebabkan toksisitas digitalis akibat hipokalemia; fenobarbital, fenitoin, dan rifampin dapat meningkatkan metabolisme glukokortikoid (tingkatkan dosis pemeliharaan); monitor hipokalemia bila pemberian bersama dengan obat diuretik.
Kehamilan B – biasanya aman tetapi keuntungan obat ini dapat memperberat resiko.
Perhatian Penghentian pemberian glukokortikoid secara tiba-tiba dapat menyebabkan krisis adrenal; hiperglikemia, edema, osteonekrosis, miopati, penyakit tukak lambung, hipokalemia, osteoporosis, euforia, psikosis, myasthenia gravis, penurunan pertumbuhan, dan infeksi dapat muncul dengan penggunaan bersama glukokortikoid.
11
b. Agen antiviral.
Meskipun pada penelitian yang pernah dilakukan masih kurang
menunjukkan efektifitas obat-obat antivirus pada Bell’s palsy, hampir
semua ahli percaya pada etiologi virus.Penemuan genom virus
disekitar nervus facialis memungkinkan digunakannya agen-agen
antivirus pada penatalaksanaan Bell’s palsy.Oleh karena itu, zat
antiviral merupakan pilihan yang logis sebagai penatalaksaan
farmakologis dan sering dianjurkan pemberiannya.Acyclovir 400 mg
selama 10 hari dapat digunakan dalam penatalaksanaan Bell’s
palsy.Acyclovir akan berguna jika diberikan pada 3 hari pertama dari
onset penyakit untuk mencegah replikasi virus.(1,9)
Tabel 3. Antiviral
Nama obat Acyclovir (Zovirax) – menunjukkan aktivitas hambatan langsung melawan HSV-1 dan HSV-2, dan sel yang terinfeksi secara selektif.
Dosis dewasa 400 mg per oral 5 kali/hari selama 10 hari.
Dosis pediatrik < 2 tahun : tidak dianjurkan.> 2 tahun :20 mg/kg BB per oral selama 10 hari.
Kontraindikasi Pernah dilaporkan adanya hipersensitivitas, penderita gagal ginjal.
Interaksi obat Penggunaan bersama dengan probenecid atau zidovudine dapat memperpanjang waktu paruh dan meningkatkan toksisitas acyclovir terhadap SSP.
Kehamilan C – keamanan penggunaan selama kehamilan belum pernah dilaporkan.
Perhatian Hati-hati pada gagal ginjal atau bila menggunakan obat yang bersifat nefrotoksik.
c. Neurotropik
Sohobion mengandung vitamin B kompleks. Penambahan
vitamin B kompleks setiap hari secara rutin baik untuk penyembuhan.
Yaitu untuk meningkatkan sirkulasi (sirkulasi berkurang pada otot
12
yang tidak aktif) dan bisa memperlambat atrofi otot, membantu
pembuatan asam amino yang diperlukan pada pembuatan sel baru,
dapat membantu mengurangi inflamasi dan memperkuat sistem imun.(1)
Terapi Non Farmakologis
a. Perawatan mata.
Mata sering tidak terlindungi pada pasien-pasien dengan Bell’s palsy.
Sehingga pada mata beresiko terjadinya kekeringan kornea dan
terpapar benda asing. Atasi dengan pemberian air mata pengganti,
lubrikan, dan pelindung mata.(3,4)
Air mata pengganti: digunakan selama pasien terbangun untuk
mengganti air mata yang kurang atau tidak ada.
Lubrikan digunakan saat sedang tidur. Dapat juga digunakan saat
terbangun jika air mata pengganti tidak cukup melindungi mata.
Salah satu kerugiannya adalah pandangan kabur selama pasien
terbangun.
Kaca mata atau pelindung yang dapat melindungi mata dari jejas
dan mengurangi kekeringan dengan menurunkan jumlah udara
yang mengalami kontak langsung dengan kornea.
b. Perbanyak istirahat terutama pada keadaan akut.
c. Jika telah melewati masa akut (lebih dari 2 minggu), penatalaksanaan
ditujukan ke fisioterapi. Tujuan fisioterapi adalah untuk
mempertahankan tonus otot kembali normal. Cara yang sering
digunakan adalah dengan mengurut/masase otot wajah.
Sebagian kasus paralisis fasial idiopatik dapat sembuh spontan.
Manajemen bertujuan untuk meminimalkan kemungkinan
resolusi/penyembuhan yang tidak sempurna dan menurunkan resiko terjadinya
sequele, yang mana terjadi pada kelemahan fasialis derajat sedang sampai
berat, sinkinesis, disfungsi otonom (spasme fasialis dan crocodile tears) dan
terjadinya kontraktur. Selain itu kita harus melindungi kornea dari trauma dan
13
paparan akibat mata tidak dapat untuk menutup dengan sempurna
(McCaul,2014)
B. PREDNISOLON
Kortikosteroid merupakan suatu jenis hormon steroid yang
diproduksi oleh korteks kelenjar adrenal yang sering. Berdasarkan aktivitas
biologisnya, kortikosteroid dibagi menjadi dua jenis yaitu glukokortikoid dan
mineralokortikoid. Glukokortikoid (contoh : kortisol) berperan mengatur
metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein, juga bersifat antiinflamasi
dengan menghambat lepasnya fosfolipid, serta dapat pula menekan kinerja
eosinofil sehingga akan mengurangi reaksi alergi (Barret, 2010).
Sementara itu, mineralokortikoid (contoh : aldosteron) berfungsi
untuk menyeimbangkan kadar elektrolit dan air dengan cara meretensi garam
dan air di ginjal. Selama ini sudah banyak jenis obat-obatan yang disintesis
sehingga memiliki efek seperti hormon kortikosteroid alami, terutama jenis
glukokortikoid. Di antaranya yaitu, prednisolon, prednison dan methyl
prednisolon. Obat-obatan ini telah banyak digunakan dan memiliki manfaat
yang cukup besar sebagai pilihan terapi (Barret, 2010).
1. Dosis dan Sediaan
Prednisolon jarang digunakan di Indonesia, yang sering
digunakan yaitu Prednison. Perbedaan antara kedua obat ini adalah
Prednisolon merupakan bentuk aktif dari prednison. Di dalam tubuh,
prednison akan dimetabolisme terlebih dulu oleh hepar sehingga
terkonversi menjadi bentuk aktifnya yaitu prednisolon. Setelah
terkonversi, barulah efek biologis dari obat ini akan bekerja sehingga efek
kedua obat ini sama. Namun, penggunaan prednisolon lebih aman pada
penderita gangguan hepar (Czock, 2005).
Prednisolon tersedia dalam bentuk tablet dengan dosis 10-40 mg
maupun syrup dengan dosis 5-25 mg / 5ml. Namun untuk penggunaannya
dalam Bell’s palsy yang sering digunakan adalah dalam bentuk tablet.
Nama dagang Prednisolon di antaranya yaitu Pediapred, Orapred dan
14
Prelone. Di Indonesia sendiri, yang umum digunakan adalah Prednison.
Prednison tersedia dalam tablet dengan dosis 10-40 mg. Sebagai terapi
bagi penderita Bell’s palsy, dosis pemberian prednison yaitu maksimal 40-
60 mg/hari dan prednisolon maksimal 70 mg peroral selama enam hari
diikuti empat hari tappering off setiap 10 mg (Gilden, 2004).
2. Mekanisme kerja
Prednisolon adalah derivat dari kortisol yang merupakan bentuk
aktif dari prednison. Prednisolon memiliki rumus molekular C21H28O5
dengan berat molekul sebesar 360.444 g/mol, waktu paruhnya sekitar 2-3
jam. Prednisolon terutama diekskresi melalui urin. Obat ini merupakan
bentuk aktif sehingga tidak berpengaruh terhadap fungsi metabolisme
hepar. Obat ini memiliki efek glukokortikoid yang dominan dengan sedikit
efek mineralokortikoid. Glukokortikoid menyebabkan berbagai efek
metabolik. Glukokortikoid bekerja melalui interaksinya dengan protein
reseptor spesifik yang terdapat di dalam sitoplasma sel-sel jaringan atau
organ sasaran, membentuk kompleks hormon-reseptor. Kompleks
hormon-reseptor ini kemudian akan memasuki nukleus dan menstimulasi
ekspresi gen-gen tertentu yang selanjutnya memodulasi sintesis protein
tertentu. Protein inilah yang akan mengubah fungsi seluler organ sasaran,
sehingga diperoleh, misalnya efek glukoneogenesis, meningkatnya asam
lemak, redistribusi lipid, meningkatnya reabsorpsi natrium, meningkatnya
reaktivitas pembuluh terhadap zat vasoaktif, dan efek anti radang. Oleh
karena itu, obat ini dapat berperan sebagai antiinflamasi dan
imunosupresan. Seperti telah dibahas sebelumnya, Bell’s palsy terjadi
karena adanya inflamasi dan edema pada nervus fasialis sehingga efek
antiinflamasi dapat mengurangi manifestasi klinisnya (Czock, 2005).
3. Efek samping obat
Cara pemberian prednisolon merupakan hal yang harus
diperhatikan karena sebagai salah satu jenis kortikosteroid, penggunaan
obat ini akan menimbulkan efek samping yang berbahaya terutama jika
digunakan dalam jangka waktu yang panjang. Efek samping sistemik obat
ini di antaranya yaitu (Czock, 2005) :
15
a. Insufisiensi adrenal akut/krisis adrenal
Penggunaan yg lama(>2 minggu) dan penghentian secara mendadak
dapat menimbulkan inusifiensi adrenal akut.
b. Cushing syndrome
Kortikosteroid yang berlebihan akan memicu katabolisme lemak
sehingga terjadi redistribusi lemak di bagian tertentu tubuh. Gejala yang
timbul antara lain moon face, buffalo hump, penumpukan lemak
supraklavikular, ekstremitas kurus, striae, acne dan hirsutism.
c. Hiperglikemia dan glikosuria
Karena kortikosteroid (glukokortikoid) berperan dalam memetabolisme
glukosa yaitu melalui peningkatan glukoneogenesis dan aktivitas enzim
glukosa-6-pospat
d. Penurunan absorpsi kalsium intesinal
Penelitian menunjukkan bahwa betametason serta prednison
menyebabkan penurunan absorpsi kalsium di intestinal dalam jumlah
signifikan.
e. Keseimbangan nitrogen negatif
Kortikosteroid juga menyebabkan mobilisasi asam amino dari jaringan
ekstrahepatik, yang digunakan sebagai substrat untuk glukoneogenesis.
Hal ini menyebabkan tingginya kadar asam amino dalam plasma,
peningkatan pembentukan urea, dan keseimbangan nitrogen negatif.
f. Mudah terkena infeksi
Efek antiinflamatik ini terjadi melalui mekanisme salah satunya
penekanan aktifitas fosfolipase sehingga mencegah pembentukan
prostaglandin, prostasiklin, tromboksan dan leukotrien. Penekanan
sistem imun ini bermanfaat untuk menghentikan reaksi peradangan,
namun dapat memudahkan pasien terkena infeksi.
g. Tukak peptik
Tukak peptik merupakan komplikasi yang kadang-kadang terjadi pada
pengobatan dengan kortikosteroid.
h. Osteoporosis (steroid-induced osteoporosis)
16
Kortikosteroid dapat menurunkan kadar Ca2+ dalam darah dengan cara
menghambat pembentukan osteoklast, namun dalam jangka waktu lama
malah menghambat pembentukan tulang (sintesis protein di osteoblast)
dan meningkatkan resorpsi sehingga memicu terjadinya osteoporosis.
i. Miopatik
Katabolisme protein akibat penggunaan kortikosteroid yang dapat
menyebabkan berkurangnya massa otot, sehingga menimbulkan
kelemahan dan miopatik.
j. Hiperkoagubilitas darah
Hiperkoagulabilitas darah dengan kejadian tromboemboli telah
ditemukan terutama pada pasien yang mempunyai penyakit yang
memudahkan terjadinya trombosis intravaskular.
k. Pertumbuhan terhambat
Mekanisme terjadinya melalui stimulasi somatostatin, yang
menghambat growth hormone. Selain itu kortikosteroid menyebabkan
kehilangan Ca2+ melalui ginjal, akibatnya terjadi sekresi PTH yang
meningkatkan aktivitas osteoklast meresorpsi tulang. Kortikosteroid
juga menghambat hormon-hormon gonad, yang pada akhirnya
menyebabkan gangguan proses penulangan sehingga menghambat
pertumbuhan.
l. Peningkatan tekanan darah
Efek retensi sodium yang mengakibatkan retensi air dan peninggian
tekanan darah.
m. Glaukoma (steroid-induced glaucoma)
Diduga terdapat defek berupa peningkatan akumulasi
glikosaminoglikan atau peningkatan aktivitas respons protein
trabecular-meshwork inducible glucocorticoid (TIGR) sehingga
menyebabkan obstruksi cairan. Selain itu bukti lain mengisyaratkan
terjadi perubahan sitoskeleton yang menghambat pinositosis aqueous
humor atau menghambat pembersihan glikosaminoglikans dan
menyebabkan akumulasi.
17
C. ACYCLOVIR
Acyclovir merupakan analog asiklik dari deoksiguanosin yang
memiliki efek antivirus terutama terhadap virus herpes termasuk herpes
simplex 1 dan 2, cytomegalovirus, Ebstein-Barr virus dan varicella-zoster.
Rumus molekulnya adalah C8H11N5O3 dengan berat molekul sebesar 225.046
g/mol. Acyclovir memiliki sifat fisikokimia berupa serbuk kristal putih
dengan kelarutan 2.5 mg/ml dalam air pada suhu 24oC (McEvoy, 2004).
Secara komersial, obat tersedia juga dalam bentuk injeksi dengan
bentuk acyclovir natrium dengan bentuk serbuk kristal putih, larut dalam air.
Maksimum kelarutan obat adalah >100 mg/mL pada air dengan suhu 25°C,
tetapi pada pH psiologis dan suhu normal tubuh 37°C obat hampir tidak
mengalami ionisasi. Acyclovir natrium mengandung 4.2 mEq natrium per
gram acyclovir (McEvoy, 2004).
1. Dosis dan sediaan
Acyclovir dapat digunakan secara oral maupun injeksi, tersedia
dalam bentuk tablet dengan dosis 200 mg dan 400 mg, maupun vial
dengan dosis 25 mg/ml. Acyclovir memiliki beberapa nama produk
dagang di antaranya adalah Avirax, Alti-Acyclovir, Vipral, Virorax, Zovir,
Zovirax, Cyclovir, Acivir, Acivirax. Penggunaan obat ini untuk medikasi
bagi penderita Bell’s palsy biasanya dilakukan secara oral. Dosis
pemberian acyclovir untuk usia >2 tahun adalah 80 mg per kg per hari
melalui oral dibagi dalam empat kali pemberian selama 10 hari. Sementara
untuk dewasa diberikan dengan dosis oral 2000-4000 mg per hari yang
dibagi dalam lima kali pemberian selama 7-10 hari (Gilden, 2004).
Selain acyclovir, obat dengan bahan aktif yang sama juga dapat
dipergunakan dengan penyesuaian dosis, misalnya seperti Valacyclovir.
Dosis pemberian valacyclovir yang dalam darah kadarnya 3-5 kali lebih
tinggi, untuk dewasa adalah 1000-3000 mg per hari secara oral dibagi 2-3
kali selama lima hari (Gilden, 2004).
2. Mekanisme kerja
Acyclovir merupakan pro drug yang untuk dapat berefek harus
dimetabolisme terlebih dahulu menjadi bentuk aktif. Acyclovir memiliki
18
bioavailabilitas yang rendah bila diberikan dalam bentuk oral yaitu hanya
sekitar 15-20%, dengan waktu paruh 2-4 jam. Obat diekskresikan melalui
ginjal oleh filtrasi glomerular dan sekresi tubular, terutama dalam bentuk
tidak berubah, dan hanya sekitar 10% sebagai metabolit yang tidak aktif.
Obat ini dimetabolisme secara minimal di hepar sehingga tidak banyak
berpengaruh terhadap fungsi hepar (Rakel, 2003).
Mekanisme kerja acyclovir dimulai dengan terjadinya fosforilasi
acyclovir oleh enzim timidin kinase yang spesifik untuk virus. Senyawa ini
kemudian diubah lagi menjadi senyawa di- dan trifosfat oleh enzim kinase
yang berasal dari sel hospes yang terinfeksi oleh virus. Acyclovir trifosfat
akan menghambat sintesis DNA virus melalui dua mekanisme yaitu
menghambat deoksiguanosin trifosfat (dGTP) yang berperan sebagai suatu
subsrat untuk DNA polymerase. Penghambatan ini dilakukan secara
kompetitif, dengan cara mengikatkan diri pada cetakan DNA membentuk
kompleks yang tidak mudah lepas, dan pada akhirnya memutus
pembentukan rantai DNA virus (Rakel, 2003).
Gambar 3. Mekanisme kerja Acyclovir (Rakel, 2003)
3. Efek samping Obat
Penggunaan obat ini memiliki efek samping sistemik yang minimal.
Pada sistem saraf pusat dilaporkan terjadi malaise (perasaan tidak nyaman)
sekitar 12% dan sakit kepala (2%). Pada sistem pencernaan
(gastrointestinal) dilaporkan terjadi mual (2-5%), muntah (3%) dan diare
(2-3%). Acyclovir pada wanita hamil hanya diberikan apabila
pertimbangan manfaat lebih besar dari pada risiko yang mungkin timbul.
Penggunaan Acyclovir pada wanita hamil masuk dalam kategori B. Efek
teratogenik dari Acyclovir tidak diteliti pada studi dengan hewan
percobaan. Acyclovir terbukti dapat melewati plasenta manusia. Tidak ada
19
penelitian yang cukup dan terkontrol pada wanita hamil, maka
direkomendasikan penggunaan acyclovir untuk wanita hamil disertai
peringatan dan diberikan jika benar-benar-benar diperlukan. Acyclovir
juga dapat masuk ke dalam air susu ibu, karena itu penggunaan pada ibu
menyusui harus disertai peringatan (Rakel, 2003).
20
BAB III
MANAJEMEN PADA BELL’S PALSY
Bell’s palsy adalah kondisi gangguan neurologis berupa paralisis nervus
fasialis perifer yang umum terjadi dengan penyebab yang masih belum jelas
sehingga dikategorikan sebagai idiopatik. Beberapa penyebab yang dicurigai
sebagai faktor terjadinya penyakit ini di antaranya adalah infeksi virus dan proses
autoimun, akan tetapi hal ini masih diperdebatkan dan masih terus diteliti.
Berdasarkan studi epidemiologi, setiap tahunnya terdapat 11-30 kasus Bell’s palsy
dari 100.000 orang dan kebanyakan berasal dari rentang usia 30-45 tahun. Gejala
Bell’s palsy terjadi secara mendadak selama beberapa jam dan mencapai
puncaknya setelah 72 jam (Lo, 2010).
Pada mayoritas kasus, sekitar 70-80% penderita Bell’s palsy memang dapat
sembuh secara spontan dalam kurun waktu 3 minggu hingga 3 bulan. Meskipun
begitu, terdapat sekitar 30% pasien Bell’s palsy yang tidak pulih jika dibiarkan
atau pemulihannya buruk dengan menyisakan gejala-gejala tertentu yang tentu
saja akan menurunkan kualitas hidup pasien. Oleh karena itu, umumnya
dianjurkan untuk diberikan terapi medikamentosa bagi pasien Bell’s palsy sebagai
upaya untuk mempercepat dan meningkatkan kesempurnaan pemulihan gejalanya,
terutama bagi pasien Bell’s palsy dengan onset kurang dari 72 jam (Lo, 2010).
Selama ini, terapi yang umum diberikan kepada para pasien Bell’s palsy
yaitu Prednisolon, Acyclovir, atau kombinasi keduanya. Namun, penggunaannya
sebagai pilihan terapi masih kontroversial karena bukti yang mendukung
efektivitas dari kedua obat ini, baik terpisah maupun dikombinasikan, masih
lemah. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut (Lo, 2010).
Peradangan pada nervus fasialis yang menyebabkan oedema memegang
peranan penting dalam patogenesis Bell’s palsy. Pemberian anti inflamasi telah
banyak digunakan dalam pengobatan Bell’s palsy. Sebuah studi penelitian oleh
Cochrane dimana membandingkan pemberian steroid dan plasebo dengan plasebo
itu sendiri dibandingkan dengan pemberian steroid dan antiviral dengan terapi
antiviral itu sendiri. Hasil Metaanalisis menunjukkan bahwa 33% dari pasien pada
kelompok kontrol belum pulih sepenuhnya pada 6 bulan, dan 23% dari mereka
21
yang telah memiliki pengobatan disfungsi hadresidual kortikosteroid dari saraf
wajah (RR 0,71, 95% CI0.61-0.83). Ada juga penurunan yang signifikan dalam
motorsynkinesis pada kelompok steroid (RR 0,6, 95% CI 0,44-0,81). Penelitian
lain dalam Journal American Medical Association (JAMA) yang menggunakan
metodologi yang berbeda. menyimpulkan bahwa pengobatan tunggal dengan
kortikosteroid menurunkan risiko pemulihan yang tidak diharapkan (RR 0,69,
95% CI0.55-0.87; p = 0,001). Berdasarkan data gabungan dari beberapa penelitian
menunjukkan hasil signifikan. Gejala sequele terjadi pada 56 dari 455 pasien yang
diberikan terapi steroid dan 92 dari 446 pasien yang mendapatkan terapi plasebo
(McCaul,2014).
May et al, 2014 dalam sebuah penelitian menyarankan untuk memulai
pengobatan dalam 2 hari setelah timbulnya kelemahan wajah, dan sebagian yang
lain memulai pengobatan mulai dalam 72 jam dari awal gejala kelemahan. oleh
Taverner, 31 pasien yang memulai pengobatan 9 hari onset dikaitkan dengan
penurunan pemulihan lengkap dengan pengobatan steroid. Sullivan et al.recruited
proporsi yang lebih tinggi dari pasien pada awal perjalanan penyakit tersebut yang
dan mereka menunjukkan hasil yang lebih baik .
Prednisolon sebagai salah satu jenis kortikosteroid memiliki efek
antiinflamasi. Seperti telah dibahas sebelumnya, Bell’s palsy kemungkinan besar
terjadi karena adanya edema saraf akibat inflamasi dari nervus fasialis. Saraf yang
membengkak akan menyebabkan terjadinya demyelinisasi dan kompresi oleh
bagian dari kanalis fasialis yang sempit sehingga pada akhirnya bermanifestasi
sebagai kelumpuhan LMN. Karena secara teori, dasar dari terjadinya Bell’s palsy
merupakan inflamasi, maka diharapkan penggunaan kortikosteroid dapat
mengurangi gejala klinis serta kemungkinan paralisis permanen dari nervus
fasialis yang mengalami edema. Pemberian prednisolon juga diharapkan dapat
mempercepat pemulihan gejala dengan target dalam waktu kurang dari 3 bulan.
Dosis kortikosteroid yang direkomendasikan sebagai terapi pasien Bell’s palsy
yaitu prednison maksimal 40-60 mg/hari dan prednisolon maksimal 70 mg peroral
selama enam hari diikuti empat hari tappering off setiap 10 mg. Tappering off
dilakukan untuk menghindari efek samping insufisiensi adrenal akibat
22
penghentian mendadak dari kortikosteroid. Selain itu, efek toksik dan hal yang
perlu diperhatikan pada penggunaan steroid jangka panjang (lebih dari 2 minggu)
yaitu berupa retensi cairan, hipertensi, diabetes, ulkus peptikum, osteoporosis,
supresi kekebalan tubuh, dan Cushing syndrome (Gilden, 2004).
Acyclovir sebagai antivirus yang digunakan sebagai terapi terhadap
penyakit dengan etiologi herpes simpleks virus (HSV) dipercaya dapat
meningkatka pemulihan Bell’s palsy. Hal ini dikarenakan adanya dugaan bahwa
Bell’s palsy disebabkan oleh infeksi virus HSV. Pada beberapa penelitian,
dinyatakan bahwa virus HSV ditemukan di cairan endoneural N. VII dan ganglion
geniculatum pada penderita Bell’s palsy sehingga menimbulkan kecurigaan virus
inilah yang menjadi penyebabnya. Namun, hal ini masih diperdebatkan dan terus
diteliti lebih lanjut. Beberapa studi masih menunjukkan hasil yang bervariasi
mengenai efektivitas dari penggunaan acyclovir baik sebagai obat tunggal
maupun dikombinasikan bersama kortikosteroid pada penderita Bell’s palsy.
Sebuah penelitian retrospektif mengindikasikan bahwa hasil yang lebih baik
didapatkan pada pasien yang diterapi dengan asiklovir / valasiklovir dan
prednisolon dibandingkan yang hanya diterapi dengan prednisolon (Hato, 2007).
Penelitian lain juga menemukan bahwa kombinasi antivirus dan
kortikosteroid berhubungan dengan penurunan risiko batas signifikan yang lebih
besar dibandingkan kortikosteroid saja. Data ini mendukung kombinasi terapi
antiviral dan steroid pada 48-72 jam pertama setelah onset (de Almeida, 2009).
Namun, hasil analisis peneliti lain menunjukkan tidak adanya keuntungan
signifikan penggunaan antiviral dibandingkan plasebo dalam hal angka
penyembuhan inkomplit dan tidak adanya keuntungan yang lebih baik dengan
penggunaan kortikosteroid ditambah antivirus dibandingkan kortikosteroid saja.
Studi lebih lanjut diperlukan untuk menentukan keuntungan penggunaan terapi
kombinasi (Quant, 2009).
Dosis pemberian acyclovir untuk usia >2 tahun adalah 80 mg per kg per hari
melalui oral dibagi dalam empat kali pemberian selama 10 hari. Sementara untuk
dewasa diberikan dengan dosis oral 2000-4000 mg per hari yang dibagi dalam
lima kali pemberian selama 7-10 hari. Sementara untuk valacyclovir yang dalam
23
darah kadarnya 3-5 kali lebih tinggi, dosis untuk dewasa adalah 1000-3000 mg
per hari secara oral dibagi 2-3 kali selama lima hari (Gilden, 2004).
Dalam penelitian pada jurnal ini, disimpulkan bahwa pemberian prednisolon
pada pasien Bell’s palsy dengan onset kurang dari 72 jam memang terbukti dapat
meningkatkan peluang untuk pulih sempurna dalam kurun waktu 3 dan 9 bulan.
Sementara itu, pada penelitian ini juga dibuktikan bahwa penggunaan acyclovir
baik sebagai obat tunggal maupun kombinasi dengan prednisolon tidak efektif
terhadap pemulihan Bell’s palsy karena tidak ada perbedaan yang signifikan jika
dibandingkan dengan outcome pada pasien yang diberi placebo (Sullivan, 2007).
Penelitian dilakukan pada 752 pasien dengan randomisasi, double blind,
placebo-controlled, factorial trial dengan dua faktor independen. Dari 752 pasien,
201 dieksklusikan karena berbagai alasan berbeda sehingga jumlah total menjadi
551 pasien. Dari 551 pasien, 134 mendapat kombinasi acyclovir dengan
prednisolon, 138 mendapat acyclovir, 138 mendapat prednisolon, dan 141
mendapat placebo. Pemberian obat dilakukan selama 10 hari dengan dosis untuk
prednisolon 2x25mg/hari dan acyclovir 5x400mg/hari. Placebo yang digunakan
adalah laktosa. Follow up dilakukan 3 bulan setelah pemberian terapi, dan jika
pemulihan masih belum sempurna akan difollow up kembali setelah 9 bulan
(Sullivan, 2007).
Penilaian terhadap pemulihan gejala dilakukan dengan skala House-
Brackmann yang merupakan sistem skoring standar untuk menilai derajat paralisis
nervus fasialis. Skala ini terdiri dari grade 1 (normal) hingga grade 6 (paralisis
total) yang dinilai terutama dari pergerakan mata, mulut dan kerutan dahi serta
pada saat istirahat. Dikatakan pemulihan yang belum sempurna jika termasuk ke
dalam grade 2 atau lebih. Pada penelitian ini gejala sekunder juga dinilai yaitu
kualitas hidup, kondisi psikologis berkaitan dengan estetika wajah, dan nyeri.
Masing-masing gejala dinilai dengan sistem skoring standar (Sullivan, 2007).
Hasil penelitian pada jurnal ini, menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 3
bulan terdapat perbedaan yang cukup signifikan dalam jumlah pasien yang
mengalami pemulihan sempurna yaitu sebesar 83% dari pasien yang
mendapatkan prednisolon dan hanya 63.6% dari pasien yang tidak mendapat
prednisolon. Dalam kurun waktu yang sama, tidak ada perbedaan angka yang
24
signifikan antara pasien yang mendapat acyclovir dan yang tidak yaitu sebesar
71.2% dan 75.7% secara berurutan (Sullivan, 2007).
Dalam kurun waktu 9 bulan terdapat perbedaan yang cukup signifikan
dalam jumlah pasien yang mengalami pemulihan sempurna yaitu sebesar 94.4%
dari pasien yang mendapatkan prednisolon dan hanya 81.6% dari pasien yang
tidak mendapat prednisolon. Dalam kurun waktu yang sama, tidak ada perbedaan
angka yang signifikan antara pasien yang mendapat acyclovir dan yang tidak yaitu
sebesar 85.4% dan 90.8% secara berurutan (Sullivan, 2007).
Setelah dilakukan analisis data untuk uji signifikansi hasilnya adalah
sebagai berikut. Terapi kombinasi versus prednisolon, P=0.18 (3 bulan) dan
P=0.28 (9 bulan); terapi kombinasi versus acyclovir, P=0.004 (3 bulan) dan
P=0.001 (9 bulan); acyclovir versus placebo, P=0.79 (3 bulan) dan P=0.19 (9
bulan); dan prednisolon versus placebo, P<0.001 (3 bulan) dan P=0.004 (9 bulan)
(Sullivan, 2007).
Berdasarkan hasil tersebut, terbukti bahwa prednisolon, baik sebagai obat
tunggal maupun kombinasi dengan acyclovir, secara signifikan efektif dalam
mempercepat pemulihan Bell’s palsy. Sedangkan, acyclovir terbukti tidak efektif,
baik sebagai obat tunggal maupun kombinasi dengan prednisolon, dalam
mempercepat pemulihan Bell’s palsy (Sullivan, 2007).
Jadi secara garis besar, prednisolon terbukti efektif sebagai pilihan terapi
dini bagi pasien Bell’s palsy sedangkan acyclovir dibuktikan tidak efektif
sehingga pemberian obat ini tidak dapat direkomendasikan sebagai pilihan terapi.
Namun hasil dari penelitian ini harus didukung oleh penelitian-penelitian lebih
lanjut untuk mendapatkan hasil yang konsisten sehingga dapat menjadi dasar
terapi yang kuat bagi para klinisi (Sullivan, 2007).
25
BAB IV
KESIMPULAN
a. Bell’s palsy adalah suatu kondisi gangguan neurologis di mana terjadi
paralisis atau kelumpuhan pada nervus fasialis perifer. Biasanya gangguan ini
terjadi mendadak atau akut, bersifat unilateral dan penyebabnya tidak jelas
atau idiopatik.
b. Beberapa penyebab yang dicurigai sebagai faktor terjadinya penyakit ini di
antaranya adalah infeksi virus dan proses autoimun, akan tetapi hal ini masih
diperdebatkan dan masih terus diteliti.
c. Prednisolon adalah derivat dari kortisol yang memiliki efek glukokortikoid
yang dominan dengan sedikit efek mineralokortikoid. Obat ini dapat berperan
sebagai antiinflamasi dan imunosupresan.
d. Acyclovir merupakan analog asiklik dari deoksiguanosin yang memiliki efek
antivirus terutama terhadap virus herpes termasuk herpes simplex 1 dan 2,
cytomegalovirus, Ebstein-Barr virus dan varicella-zoster.
e. Prednisolon terbukti efektif sebagai pilihan terapi dini bagi pasien Bell’s
palsy sedangkan acyclovir dibuktikan tidak efektif sehingga pemberian obat
ini tidak dapat direkomendasikan sebagai pilihan terapi.
26
DAFTAR PUSTAKA
Barret K, Barman M, Boitano S, Brooks H. 2010. Ganong’s Review of Medical Physiology. 23rd ed. US: The McGraw-Hill Companies
Czock D, Keller F, Rasche FM, Häussler U. 2005. Pharmacokinetics and pharmacodynamics of systemically administered glucocorticoids. Clin Pharmacokinet. 44(1):61-98.
de Almeida JR, Al Khabori M, Guyatt GH, Witterick IJ, Lin VY, Nedzelski JM, et al. 2009. Combined corticosteroid and antiviral treatment for Bell’s palsy: a systematic review and metaanalysis. JAMA. 302:985-93.
Djamil Y, A Basjiruddin. 2009. Paralisis Bell. Dalam: Harsono, ed. Kapita selekta neurologi; Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. hal 297-300
Gilden DH. 2004. Clinical practice Bell’s palsy. N Engl J Med. 351:1323-31.
Hato N, Yamada H, Kohno H, Matsumoto S, Honda N, Gyo K, et al. 2007. Valacyclovir and prednisolone treatment for Bell’s palsy: a multicenter, randomized, placebo-controlled study. Otol Neurotol. 28:408-13.
McCaul, J. 2014. Review Evidence Based Management of Bell’s Palsy. British Medical Journal. 01;2014.
Lo B. 2010. Emergency medicine-neurology: Bell’s palsy. Eastern Virginia: Medscape. p1-5.
Lowis, Handoko & Maula N Gaharu. 2012. Bell’s Palsy, Diagnosis and Management in Primary Care. Jakarta: IDI.
Lumbantobing. 2007. Neurologi Klinik. Jakarta: Universitas Indonesia.
Mardjono, M. Sidharta, P. 2005. Nervus Fasialis dan Patologinya. Neurologi Klinis Dasar, 5th ed. Jakarta : PT Dian Rakyat. 159-163.
McEvoy, G.K. 2004. AHFS Drug Information. USA : American Society Of Health System Pharmacist. Inc.
Monnel, K., Zachariah, S., Khoromi, S. 2009. Bell’s Palsy. Available from : http://emedicine.medscape.com/article/1146903.
Quant EC, Jeste SS, Muni RH, Cape AV, Bhussar MK, Peleg AY. 2009. The benefits of steroids versus steroids plus antivirals for treatment of Bell’s palsy: a meta-analysis. BMJ. 339:3354.
27
Rakel, David. 2003. Integrative Medicine 1st Edition. USA: Elsevier Science.
Sullivan FM, Swan IRC, Donnan PT, Morrison JM, Smith BH, McKinstry B, et al. 2007. Early Treatment with Prednisolone or Acyclovir in Bell’s Palsy. N Eng J Med. 357:1598-607.
28