telaah prosa
TRANSCRIPT
TELA’AH PROSA
CERPEN NAJIB MAHFUDZ صورة: KAJIAN KRITIK SASTRA FEMINIS
Disusun untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah Tela’ah Prosa Arab
Pembimbing: Hanik Mahliatussikah, S.Ag., M.Hum.
Oleh:
Aunoer Rahmah
106 231 402 943
Pendidikan Bahasa Arab
Jurusan Sastra Arab
Fakultas Sastra
Universitas Negeri Malang
Juni, 2009
SINOPSIS
Cerpen yang berjudul صورة ini berkisah tentang seorang wanita yang terbunuh di
padang pasir dibelakang piramid. Fotonya yang diterbitkan di surat kabar ternyata membuat
sebagian orang yang mengenalnya terkejut. Akan tetapi semua orang bungkam. Tak satupun
berani memberikan keterangan kepada polisi.
Dari reaksi beberapa pembaca tersingkaplah kehidupan Salbiah, wanita yang terbunuh
itu. Salbiah adalah wanita yang cantik dan memiliki daya tarik di mata para laki-laki pecinta.
Akan tetapi membuat iri dan hasud para wanita.
Cerita perjalanaan hidupnya berawal ketika Dia tinggal di sebuah keluarga sebagai
pembantu, akan tetapi lima tahun yang lalu dia di usir oleh nyonya pemilik rumah itu, karena
suaminya mencintainya.
Tuan Anwar Hamid, dia adalah seorang pegawai kantor penyelidikan yang terpaksa
menikahinya karena telah menghamilinya. Akan tetapi karena kesulitan hidup dan tak
sanggup menanggung malu, maka Salbiah ditinggalkan.
Hasunah Al-Magribi, pemilik bar dimana Salbiah pernah bekerja disana, dia tekejut
dengan foto yang terdapat di surat kabar itu, tapi dia bersama ke tiga temannya tidak mau
memberikan keterangan kepada polisi karena kelamnya hubungan mereka dengan Salbiah.
Salbiah telah meninggalkan Hasunah sejak 1 tahun yang lalu karena perlakuannya yang kasar.
Perjalanan hidupnya tak berhenti sampai disitu. Malam sebelum kematiannya, dia
bertengkar hebat dengan Fathiyah Al-Sulthoni, rival beratnya, Fathiyah tak menyukai Salbiah
yang telah merebut kedudukannya menjadi bintang. Pada malam itu, Salbiah yang sedang
mabuk telah berkata kasar kepada Fathiyah.
Malam itu Salbiah pergi bersama Adil di pinggiran sungai nil. Malam yang
na’as....Salbiah dibunuh di belakang Piramid.
Perjalannan hidup Salbiah yang telah merubah sosok Salbiah dari seorang gadis yang
sabar, murah senyum, lembut dan sopan menjadi Salbiah yang kasar, pemabuk, dan liar. Jalan
hidup yang terpaksa dia lewati telah mengantarkan akhir hidupnya menjadi sebuah kematian
yang tragis.
) الجديدة مفرداتال
KATA-KATA SULIT)
saling bertanya: تساءل
menguak karena takut: غمغم
menarik napas: تنه�د
memandang dengan membelalakan mata: حملق
melipat: طوى
memaksa: إلى اضطر�
aborsi: إجهاض
berbicara tidak jelas: تمتم
menggosok: فرك
أ muntah: تجش�
menyelidiki: تثاءب
menundukkan: ترو�ض
angin puyuh: زوبعة
unta yang cepat: هوجاء
hampa: خواء
TELA’AH CERPEN
A. Landasan teori
1. Pengertian kritik sastra Feminis
Secara leksikal, feminisme berarti gerakan wanita yang menuntut persamaan hak
sepenuhnya antara wanita dan pria (Moeliono dalam Ibnu). Feminisme adalah teori tentang
persamaan antara laki-laki dan perempuan dalam bidang politik, ekonomi, sosial atau kegiatan
terorganisasi yang memperjuangkan hak-hak serta kepentingan wanita (Goefe dalam Ibnu).
Adapun pengertian kritik sastra feminis menurut Showalter (dalam Ibnu) adalah studi
karya sastra yang mengarahkan perhatian pada analisis kepada wanita. Kalau selama ini
anggapan bahwa pembaca dan pencipta dalam karya sastra adalah laki-laki, maka dalam kritik
sastra ini menunjukkan bahwa wanita itu memiliki presepsi dan harapan sendiri ke dalam
pengalaman sastranya.
2. Macam-macam Kritik Sastra Feminis
a. Women as reader (wanita sebagai pembaca)
Women as reader menempatkan wanita sebagai konsumen dari produk sastra laki-laki dan
pembaca wanita merubah pengertian terhadap teks.
b.Wanita sebagai penulis (ginokritik)
Subjek kritik ini diantaranya psikodinamis kreatifitas wanita, linguistik, dan masalah dalam
bahasa wanita, karir sastra wanita kolektif, sejarah sastra, dan studi tertentu terhadap penulis
dan karyanya. Focus dari kritik ini adalah wanita sebagai penulis.
c. Reading as women
Yang dimaksud dari kritik ini adalah pembaca yang memandang sastra dengan kesadaran
khusus bahwa ada jenis kelamin yang banyak berhubungan dengan budaya, sastra, dan
kehidupan.
d.Kritik moral
Kritik feminis manurut Josephin (dalam Ibnu) merupakan moral karena kritik itu
memperlihatkan problem sentral barat, yaitu wanita sebagai objek, wanita tidak diperlakukan
sebagai manusia yang berhak menyusun kesadarannya, wanita itu hanyalah objek-objek yang
digunakan untuk memfasilitasi laki-laki.
e. Feminisme politis
Kritik ini pertama kali dikenalkan oleh Kate Millet dan Michele Barret (dalam Ibnu). Millet
mengaitkan feminis dengan politik. Dia menyatakan bahwa sebab penindasan wanita adalah
patriaki yang telah meletakkan wanita di bawah laki-laki. Patriakhi memperlakukan wanita
sebagai laki-laki yang inferior. Mereka menggunakan kekuatan untuk membatasi wanita.
Menurutnya, demokrasi tidak begitu berpengaruh karena wanita masih terus dikuasai oleh
sistem peranan kejenisan yang mengusai wanita sejak muda.
B. Cerpen صورة: wanitakah yang bersalah?
Dalam cerpen ini jenis kritik yang digunakan adalah reading as women dan kritik
moral. Dalam cerpen ini peran wanita sebagai objek. Wanita yang diceritakan didalam cerpen
ini adalah wanita yang lemah yang dikalahkan oleh keadaan. Dalam cerpen ini disebutkan
tetang ketidakberdayaan seorang wanita. Wanita hanyalah sebuah objek dan sebagai pemuas
laki-laki tanpa bisa berbuat apa-apa terhadap laki-laki yang menghancurkannya.
Cerpen ini bermula dari kabar tentang seorang wanita cantik yang terbunuh di
belakang piramid. Fotonya yang terpampang di surat kabar membuat beberapa reaksi dari
para pembaca.
Salbiah, wanita cantik yang terbunuh, ternyata tidak semua menaruh iba kepadanya.
Pembaca pertama terkesan menyalahkan Salbiah. Padahal kalaulah dilihat latar belakang
terbunuhnya Salbiah, sebenarnya apakah benar Salbiah adalah wanita yang pantas mati
terbunuh ataukah dia hanya korban dari keadaan dan jalan hidupnya?
Berikut cuplikan dialog dari pembaca koran yang pertama:
وقسوة، وغدر بقصد بوجه، وجه إنسانا تقتل كأن� - ....ليس
مطمئنة.... وهي القاتل مع ذهبت شك� وال والمسكينة
معه؟!! ذهبت ولماذا - اللعنة،Kecantikan yang dia miliki ternyata tidak hanya sebuah anugrah untuk dirinya, tapi
juga sebagai bencana dan musibah. Kecantikannya lah yang membuat banyak pria yang
mencintainya. Haruskah dia bangga? Ternyata dengan kecantikannya, dia telah terseret ke
dalam kehidupan yang tak membuatnya tenang.
Karena urusan cinta dengan majikannya dia diusir oleh istri majikannya. Dia tak
menginginkan untuk mencintai dan dicintai. kisah kedua dengan teman sesama pegawai di
sebuah perusahaan. Laki-laki itu, Anwar Hamid, telah menghamili dia dan dengan enggan
untuk menikahinya. Anwar pun memintanya menggugurkan kandungannya. Ketika keadaan
ekonomi yang semakin buruk, Anwar meninggalkan Salbiah tanpa tanggung jawab.
األمومة..... في ورغبت جد�ا تحب�ك - كانت
�اس - ولكن� واألهل...!!! الن
Kehidupan kelamnya tak berhenti sampai disitu. Dia terpaksa menjadi pelayan bar.
Pemilik bar pun jatuh hati kepadanya yang semakin membuat Salbiah tersiksa adalah
Khasunah, pemilik bar itu sangat kasar. Hal itu membuat Salbiah pergi meninggalkannya.
Malam tragis itu berawal ketika dia pergi dengan seorang laki-laki bernama Adil. Adil
yang menaruh hati pada Salbiah ternyata juga menyimpan dendam karena Salbiah tak
menerima cintanya.
�كO قلبي كل من أحببتكO - كم ... قلب ال ولكن OلكYa, kecantikannya lah yang telah menyeret pada kematiannya. Apakah dia pantas
dibunuh? Ataukah dia hanya seorang korban? Salbiah seorang wanita yang dalam hidupnya
menginginkan sebuah ketenangan, ternyata dia tak mendapatkannya.
Kenaasan kematiannya ternyata Norma tetap saja menyalahkannya. Reaksi pembaca
pertama yang tak mengetahui latar belakang Salbiah ternyata menyalahkan Salbiah bukan
sebagai wanita baik-baik. Ketika norma tak pernah menempatkan wanita sebagai korban.
Mereka tetap akan dicaci karena kesalahan laki-laki. Salbiah yang hamil dengan Anwar, yang
pada akhirnya Salbiah menjadi korban karena Anwar meninggalkannya karena tak tahan
dengan gunjingan masyarakat, bahkan dia menyuruh Salbiah menggugurkan kandungannya.
Sebuah fenomena yang sangat menyebalkan, tapi siapakah yang disalahkan oleh norma?
Salbiahlah yang akan disalahkan. Dia yang akan menanggung malu karena hamilnya.
Hingga kasus terbunuhnya Salbiah pun dia akan tetap disalahkan. Dia tetap mendapat
cacian sebagai wanita yang tak baik karena telah keluar dengan laki-laki yang telah
membunuhnya. Wanita seperti apa yang mau keluar dengan laki-laki yang bukan muhrimnya.
Menurut hemat pentela’ah, Salbiah hanyalah korban dari keadaan yang tak berpihak
pada wanita. Setelah pembunuhan itu pun laki-laki yang pernah mencintainya pun angkat
tangan dan seolah tak mau mengenalnya. Mereka tak mau mengaku telah mengenal Salbiah
sebagai kekasih hatinya.....
BIOGRAFI PENGARANG
Najib Mahfudz, satrawan Mesir yang bernama lengkap Najib
Mahfuz Abdul Aziz Ibrahim Basya ini dilahirkan pada tanggal 15
Desember 1911, di Bandar Gamalia daerah pinggiran Kairo, Mesir. Dia
tidaklah berasal dari keluarga yang kaya raya, ayahnya bekerja sebagai
pegawai rendahan yang kemudian beralih menjadi pedagang. Dia tidak mengecap pendidikan
yang memadai. Mahfudz kecil memiliki 6 saudara, 2 laki-laki dan 4 perempuan. Akan tetapi
keenam saudaranya telah meninggal ketika Mahfudz masih berusia balita
Pada tahun 1917, ketika dia berusia enam tahun, Mahfuz dan keluarganya tidak lagi
menghirup suasana pinggiran Kairo yang kumuh dan tertinggal. Mereka pindah ke kawasan
Abbasiyah yang lebih bersih dan modern. Ketika itulah, Mahfuz mulai mengecap pendidikan
dasar, al-Madrasah al-Ibtida'iyyah. Pada tahun 1924, di usia tiga belas tahun, Mahfuz
memasuki Sekolah Lanjutan; al-Madrasah ats-Tsanawiyyah Fu'ad al-Awwal.
Pada tahun 1930, perekonomian keluarganya yang semakin meningkat membuat
Mahfuz melanjutkan studinya di jurusan Filsafat Islam Universitas Kairo. Pada tahun 1934,
Mahfuz lulus sebagai Sarjana Filsafat. Mustafa Abdul Raziq, Guru besar Universitas Kairo,
telah memberikan tawaran kepada Mahfudz untuk menempuh program Doktor dalam bidang
Filsafat dan Mistik Islam, namun tawaran itu ditolaknya. Kesenjangan sosial yang
dirasakannya sejak kecil dan penderitaan kaum kecil yang tertindas oleh kekuasaan birokrasi
Mesir membuat solidaritasnya bangkit. Mahfuz memilih pekerjaan di almamaternya dan
menekuni bidang tulis-menulis.
Mahfudz menekuni kariernya sebagai pegawai negeri sipil hingga 1972. Mulanya, pada
pertengahan 1936 sampai 1939, mahfudz mengabdi di almamaternya sebagai staf Sekretaris
Universitas. Setelah itu, ia bekerja di kantor Kementerian Agama dan Urusan Wakaf,. Pada
tahun 1964, mahfudz menjabat Direktur Pengawasan pada Biro Seni, Departemen
Kebudayaan. Ditahun yang sama, dia mengakhiri masa lajangnya pada usia 43 tahun.
Tidak hanya itu, Mahfudz juga pernah menjadi Direktur Lembaga Perfilman Nasional
Mesir pada tahun 1957. dia menjabat sebagai direktur selama 8 tahun, hingga dia dinobatkan
sebagai anggota Dewan Tinggi Perlindungan Seni dan Sastra pada tahun 1965. Mahfudz
mengakhiri kariernya di birokrasi pemerintahan sebagai Penasehat Menteri Kebudayaan pada
tahun 1971. Di luar birokrasi pemerintahan, Mahfudz pernah bekerja sebagai wartawan al-
Risalah, dan menjadi editor pada surat kabar al-Ahram; sebuah surat kabar harian yang
dimiliki pemerintahan Mesir.
Sepanjang kehidupannya, Mahfuz telah menulis sekitar 70 cerita pendek, 46 karya fiksi,
serta sekitar 30 naskah drama. Hingga saat ini, karya-karyanya telah diterjemahkan ke dalam
berbagai bahasa dunia termasuk Indonesia. Karya pertama Mahfuz diterbitkan pada tahun
1932, di usia 21 tahun, dalam bentuk terjemahan berjudul al-Misr al-Qadimah. Sejak itu
berturut-turut Mahfudz menulis; Hams al-Junun (1938, Cerpen), Abats al-Akdar (1939), serta
Redouvis (1943) dan kisah Kifah Thibah (1944). Karya-karyanya tersebut di atas, kerap
dianggap sebagai akhir dari periode romantisme Mahfuz. Setelah karya-karya tersebut, ia
menjauhi gaya bahasa Manfalutisme (gaya bahasa yang digunakan oleh al-Manfaluti).
Kemudian Mahfuz menulis al-Qahirah al-Jadidah (1945).
Tahun 1946, Mahfuz menulis Khan al-Khalili. Selanjutnya berturut-turut ia menulis
Zuqaq al-Midaq (1947), as-Sarab (1948), serta Bidayah wa Nihayah (1949). Karya-karyanya
ini menandai perubahan gaya bertutur Mahfuz dari romantisme menjadi realisme. Pada tahun
1956-1957, Mahfuz mulai menulis triloginya; Baina al-Qasrain, Qasr asy-Syauq, dan as-
Sukriyyah. Trilogi setebal 1500 halaman ini menjadikannya dianugerahi hadiah Nobel Sastra
yang diterimanya pada tanggal 13 Oktober 1988 dari Akademi Sastra Internasional di Swedia.
Tahun 1960, Mahfuz menulis Aulad Haratina (edisi bahasa Inggris oleh Philip Steward
dengan judul The Children of Our Quarter, London; 1981). Novel panjang ini terbagi dalam
lima bab, yakni; Adham, Jabal, Irfah, Rifa'ah, dan Qasim. Penulisan serial novel ini sekaligus
menggambarkan arah baru gaya kepenulisan Mahfuz, yakni Simbolisme-Filosofis. Di era
pasca Revolusi 1952, ia kerap menyusupkan pandangan politiknya secara terselubung dalam
wujud kiasan dan simbol di setiap tulisannya.
Selanjutnya, Mahfuz menulis al-Liss wa al-Kilab (1961), as-Samman wa al-Kharif, dan
Dunya Allah (1962), ath-Thariq (1964), Bait Sayyi' as-Sum'ah dan asy-Syihaz (1965) serta
Sarsarah Fauza an-Nil (1966), masih dengan kecenderungan Simbolisme-Filosofis.
Pertengahan tahun 1967 sampai 1969, ia membuat cerpen-cerpennya yang merespon
persoalan-persoalan keagamaan, nasionalisme Mesir, dan politik. Hal ini bisa dilihat dalam
Khimarah al-Qiththi al-Aswad dan Tahta al-Mizallah serta Qisytamar (1969), Hikayah Bi La
Bidayah Wa La Nihayah dan Syahru al-'Asal (1971), al-Maraya (1972), al-Hubbu Tahta al-
Mathar (1973), al-Karnak (1974), Hikayat Haratina, Qalbu al-Lail, dan Hadhrat al-Muhtaromi
(1975), Milhamah al-Harafisy (1977), al-Hubbu Fauqa Hadhbat al-Haram dan asy-Syaithan
(1979), 'Ashru al-Hubbi (1980), dan Afrah al-Qubbah (1981).
Mahfudz tidaklah luput dari kontroversi, pada tahun 1994, seseorang menghunuskan
belati di lehernya tatkala ia sedang dalam perjalanan menuju pertemuan mingguan dengan
rekan-rekan sesama pengarang di sebuah kafe di Kairo. Najib Mahfudz luka parah, saraf
tangan kanannya terganggu. Dua orang anggota kelompok militan yang terlibat dalam
kejadian ini, divonis hukuman mati oleh pemerintah Mesir. Serangan itu lantaran novelnya
Aulad Haratyna (1962) yang dituding sesat. Ceritanya berkisar di Kairo masa silam dengan
tokoh utama, Gabalawi. Banyak yang menganggap tokoh ayah dalam novel yang semula
dimuat bersambung di harian Al Ahram itu sebagai alegori bahwa Tuhan lebih sayang pada
Adham (Nabi Adam) dibanding pada Gabal (Musa), Rifa'a (Isa Almasih) dan Qasim
(Muhammad SAW). Karena itu, Najib Mahfudz dituding atheis. Seorang ulama garis keras
Mesir mengeluarkan pernyataan: jika Najib Mahfudz tidak menulis Awlad Haratyna,
barangkali Salman Rushdi tidak akan menulis The Satanic Verses yang menggemparkan itu.
Tidak sukar menemukan novel-novel Naguib Mahfouz dalam edisi Indonesia. Misalnya
Awal dan Akhir (2001), Lorong Midaq (1996), Pengemis (1997), Tragedi di Puncak Bukit
(2000), dan lain-lain. Novel berjudul Karnak Cafe (2008) ini merupakan karya Naguib
Mahfouz paling anyar dalam edisi terjemahan Indonesia. Edisi Arabnya (Al Karnak) terbit
pertama kali di Kairo, 1974. Sementara edisi Inggrisnya terbit pada 2007.
Nadine Gordimer (1995), penerima Nobel Sastra tahun 1991, mengatakan bahwa pada
suatu kesempatan Najib Mahfudz pernah ditanya perihal tema apa yang paling dekat di
hatinya, kemudian novelis itu menjawab, “Kebebasan. Ya, kekebasan dari penjajahan, dari
kepemimpinan absolut raja-raja, dan kebebasan dalam konteks masyarakat dan keluarga.
Dalam Trilogi saya, misalnya, setelah revolusi membawa kebebasan politik, keluarga Abdul
Jawad menuntut kebebasan yang lebih dari dirinya.''. Nadine juga menyebutkan bahwa
Mahfuz merupakan salah satu bakat kreatif terbesar dalam khasanah novel dunia. Komite
Nobel Sastra pun menyatakan, "Posisi Najib Mahfuz sebagai juru bicara prosa Arab tak
tersaingi oleh siapa pun. Dia berhasil mencapai standar keunggulan internasional melalui
karya-karyanya yang berisi potret tradisi Arab klasik, inspirasi Eropa, sampai gaya artistik
individual.”
Mahfuz disebut-sebut telah memperkaya peradaban manusia, baik di negerinya maupun
secara global. Hal paling menakjubkan seputar Mahfuz terletak pada ketekunan, disiplin,
dedikasi, dan kerja kerasnya selama lebih dari setengah abad. Ini pun ditegaskan juga oleh
seorang profesor Sastra Prancis sekaligus kritikus sastra asal Mesir Amina Rachid, “Selain
seluruh prestasinya, kekaguman saya akan Mahfuz terletak pada dua hal, kerja keras dan
ketekunannya.”
Di masa tuanya, Najib Mahfudz hidup dengan mata yang hampir buta. Mahfuz
meninggal dunia pada tanggal 30 Agustus 2006 setelah sempat dirawat selama beberapa hari
di rumah sakit. Roger Allen - seorang profesor sastra Arab dari Pensylvania University
sekaligus penerjemah beberapa karya Mahfuz - berkata dengan sedih, “Hari yang kita
takutkan akhirnya tiba. Najib Mahfuz, seorang sastrawan Mesir yang luar biasa, penerima
Nobel Sastra tahun 1988, novelis, intelektual, humanis, seorang yang beriman, dan selalu
menunjukkan keramahannya, telah pergi dari kehidupan kita. Dia telah berada di kedamaian
abadi, Allah yarhamuh.” Meski demikian, seseorang penulis besar tak akan pernah mati.
Tulisan-tulisannya akan terus dikaji. Sosoknya akan terus dikenang. Kata-katanya akan terus
bergema menembus batasan ruang dan waktu persis seperti ucapan seorang sastrawan
Indonesia, Pramudya Ananta Toer, “Menulislah, karena dengan menulis kau mencipta
keabadian.”
Penghargaan :
- 1968 hadiah kesusastraan dari Pemerintah Mesir
- 1972 menerima Decoration of Republic of the 1st Order.
- 1988 menerima Collar of the Nile which is the highest order in Egypt.
- 1988 menerima anugerah Nobel Sastra dari Akademi Nobel Swedia
DAFTAR PUSTAKA
Samsul, Ibnu, dkk. 2008. Pengembangan Bahan Ajar Telaah Prosa Bagi Mahasiswa Jurusan
Sastra Arab FS UM. Malang: PSPBA JSA FS UM.
Adji, Peni. 2003. Karya Religius Danarto: Kajian Kritik Sastra Feminis. Jurnal Humaniora,
(online), vol. XV, (http://jurnal-humaniora.ugm.ac.id, diakses 29 Mei 2009).