tentang kotagede
DESCRIPTION
Makalah ini berisi tentang kotagedeTRANSCRIPT
1
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ...................................................................................................................................... 1
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................. 2
1.1. Latar belakang Makalah ..................................................................................................... 2
1.2. Pertanyaan Penelitian ........................................................................................................ 2
2. BAB II TINJAUAN TEORI .......................................................................................................... 4
2.1. Tinjauan Teori .................................................................................................................... 4
2.1.1. Konsep Catur Gatra Tunggal ...................................................................................... 4
2.1.2. Konsep Magersari pada Masyarakat Jawa .................................................................. 4
2.1.3. Konsep Kejawen pada Masyarakat Jawa .................................................................... 5
2.2. Tinjauan Eksisting Elemen Catur Gatra Tunggal pada Kotagede ........................................ 7
2.3. Analisis Catur Gatra Tunggal Kotagede dengan Yogyakarta ............................................... 8
2.4. Analisis Rumah Tradisional Jawa di Kotagede .................................................................... 9
2.4.1. Konsep Ruang Jawa pada Kotagede .............................................................................. 9
2.4.2. Tipologi Struktur Ruang ................................................................................................ 10
2.5. Setting kegiatan Ritual Proses Kehidupan yang juga merupakan kegiatan sosial di Ruang
Tradisional Jawa Kotagede .......................................................................................................... 15
2.5.1. Peran Kawruh Kalang pada pembentukan rumah Jawa di Kotagede ............................. 15
2.6. Perbedaan Rumah Tradisional Jawa Umumnya dengan Rumah Tradisional Jawa di
Kotagede (Ciri khas rumah Kotagede) .......................................................................................... 18
a. Struktur Lahir Rumah Tradisional Masyarakat Jawa di Kotagede .......................................... 18
b. Struktur Dalam ..................................................................................................................... 18
3. BAB III PEMBAHASAN KARAKTERISTIK LAYOUT PEMUKIMAN KOTAGEDE ................... 20
3.1. Jalan Rukunan ................................................................................................................. 22
3.2. Lurung atau Gang ............................................................................................................ 25
3.3. Pintu Butulan .................................................................................................................... 25
3.4. Arsitektur Tradisional dan Interaksi Sosial di Kotagede ..................................................... 26
3.5. Prinsip Kerukunan Orang Jawa ........................................................................................ 27
4. BAB IV KESIMPULAN ............................................................................................................. 28
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................ 29
2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang Makalah
Kotagede adalah kawasan tertua di Yogyakarta yang kini menjadi sebuah kecamatan di bagian
tenggara pusat kota. Peninjauan mengenai morfologi merupakan hal yang menarik karena tingginya
nilai historis kawasan. Perkembangan kawasan dapat dibagi menjadi tahapan transformasi dari periode
awal didirikan hingga konteks kontemporer saat ini.
Kota Gede merupakan kota kerajaan pertama di dalam sejarah kerajaan Mataram Islam. Sebagai
kota kerajaan yang muncul pada akhir abad XVI, Kotagede memiliki berbagai komponen kota sesuai
dengan kebutuhan dan jamannya. Sebagian komponen tersebut masih meninggalkan jejaknya dalam
bentuk pusaka budaya tangible, yaitu seperti bangunan ataupun tataruang, dan pusaka budaya
intangible, seperti toponim, tradisi, dan culture of living. Kebiasaan masyarakat yang masih ada kini
adalah berkumpul di ruang - ruang komunal yang terbentuk dan akses publik terhadap properti privat
hingga saat ini masih lazim dilakukan. Cara hidup masyarakat Kotagede yang menjaga hubungan
sosial serta masih berpegang pada budaya Jawa dari jaman dahulu hingga sekarang masih dapat
diamati secara empiris.
Beberapa ciri khas Kotagede yang tidak ditemukan pada perkampungan lain di Yogyakarta
(Ronald, 2005 :146) di antaranya adalah, hadirnya pola lingkungan magersari dan ngindung,
pertumbuhan kepadatan penduduk maupun kepadatan bangunan yang tidak mudah dikembalikan,
banyak gejala keteraturan lingkungan yang terungkap melalui peraturan tidak tertulis. Hal yang dinilai
menarik adalah perilaku masyarakat Jawa masih memperhatikan upacara adat dan ritual masih
dominan daripada masyarakat sekitar kawasan ini sekalipun hanya dipisahkan oleh ketebalan
pembatas tembok (benteng). Tanggung jawab perkembangan lingkungan tidak cukup berlandaskan
pada nilai – nilai material semata, namun memperhatikan nilai moral. Kerusakan lingkungan yang
terjadi di kawasan ini tidak banyak disebabkan oleh tindakan manusia , namun lebih banyak oleh
keadaan alam seakan – akan bagian itu merupakan benda peninggalan arkeologis yang jauh dari
jangkauan masyarakat. Pada kepribadian khas Kotagede, terdapat unsur sistem nilai, pola pikir, sikap,
perbuatan. Kaidah, dan pengalaman melakukan hubungan interpersonal sangat dominan di kawasan
ini.
1.2. Pertanyaan Penelitian
Peneliti mengajukan tiga pertanyaan terkait dengan skala kawasan, yaitu :
1.2.1. Skala makro : Bagaimana konsep tataruang kawasan Kotagede?
1.2.2. Skala messo : Bagaimana karakteristik layout pemukiman tradisional Kotagede?
1.2.3. Skala mikro : Bagaimana karakteristik ruang pada rumah tradisional Jawa dan
perkembangannya pada kawasan Kotagede?
1.3. Tinjauan Sejarah Kotagede
Berdasarkan Utomo (2014: 16 – 18), Kotagede pada awalnya dalam Babad Tanah Jawi didirikan
oleh Ki Ageng Pemanahan di daerah Alas Menthaok, dekat sungai Gajah Wong. Tanah itu diberikan
Sultan Hadiwijaya (raja Pajang) sebagai hadiah untuk Ki Ageng Pemanahan karena keberhasilannya
3
bersama Ki Penjawi dan Sutawijaya (anak Ki Ageng Pemanahan, disebut juga Panembahan Senopati)
mengalahkan musuh dari Kerajaan Pajang, yaitu Arya Penangsang sebagai Adipati Jipang. Daerah ini
kemudian tumbuh menjadi pusat kekuasaan Keraton Mataram. Ki Ageng Pemanahan pun dikenal
sebagai Ki Gedhe Mataram , atau yang menguasai Mataram.
Ditulis de Graaf (1954 / 1987 : 52 – 54) dalam Utomo (2014 : 17), Ki Gede Pemanahan membuka
Alas Menthaok dengan membangun tembok keliling. Kegiatan pembangunan ini menumbuhkan
kegiatan perdagangan dalam bentuk sebuah pasar. Ki Gede Pemanahan mendirikan masjid pada
tahun 1587 yang kemudian dilengkapi serambi oleh Panembahan Senopati.
Pembangunan benteng dilakukan Panembahan Senopati atas dasar saran Sunan Kalijaga terkait
dengan alasan keamanan. Panembahan Senopati lalu membangun apa yang telah dirintis oleh
ayahnya, yaitu dinding luar (1592 – 1593) yang disebut Kitha Bata Putih. Untuk tujuan perlindungan
dibangun pula pagar keliling atau beteng jaba yang lebih luas. Lalu terbinalah yang kita sebut kitha jaba
dan kitha dalem. Jarak antara jaba dan dalem ini adalah 2000 meter. Sepanjang benteng atau kuta
terdapat jagang di mana Senopati biasa menggunakan kano untuk menuju ke kratonnya dari arah
selatan. Pendirian benteng mengelilingi pusat kekuasaan Mataram mirip dengan tradisi karya rancang
bangunan Hindu (Wiryomartono, 1995 : 42).
Keberadaan Kraton, pasar, dan masjid memacu Kotagede berkembang sebagai ibukota kerajaan
dan pusat perdagangan, sekaligus pusat budaya. Kedudukan Kotagede sebagai ibukota Mataram
berlangsung sekitar 24 tahun. Pada tahun 1613 Sultan Agung mulai membangun ibukota kerajaan
Mataram yang baru di Kerto, kurang lebih 8 km di selatan Kotagede. Pada tahun 1643 pusat Kraton
dipindah lagi ke Pleret.
Kerajaan Mataram Islam mengalami kemunduran sejak Sultan Agung meninggal. Banyaknya
konflik antarkeluarga mengenai tahta kraton, pemberontakan , dan politik adu domba Belanda memicu
perpindahan keraton Mataram ke desa Solo. Diadakanlah perjanjian Giyanti yang berakibat Kerajaan
Mataram terbagi menjadi dua. Kotagede terbagi menjadi dua wilayah, sebagian masuk wilayah
Yogyakarta, sebagian masuk ke wilayah Surakarta.
Pada tahun 1912 – 1917, Pemerintah Kolonial Belanda memberlakukan hak atas tanah
kepatuhan dan perubahan kepemilikan tanah. Kekuasaan pemerintahan tradisional mulai luntur.
Timbulnya gerakan pemurnian Islam dengan organisasi Muhammadiyah menjadikan nilai – nilai
kejawen mengalami penyusutan dan nilai – nilai Islam mengalami kenaikan. Pada perkembangannya
kini, nilai tradisional Jawa semakin bergeser akibat nilai – nilai modern. (Cahyono, 2002 : 60 - 61).
4
2. BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1. Tinjauan Teori
2.1.1. Konsep Catur Gatra Tunggal
Wilayah Kotagede, sebagaimana kota kerajaan di Jawa lainnya, memiliki pola perkembangan
kota yang hampir sama. Konsep tata kota di lingkungan kerajaan Jawa memiliki pola tipikal dengan
perencanaan poros tata kota “Catur Gatra Tunggal”. Catur Gatra Tunggal adalah konsep tataruang
yang terdiri atas empat elemen penting dalam kebersamaan tunggal, yaitu Kraton, Masjid, Pasar dan
Alun-alun. Konsep tersebut hampir sama dengan teori Kostof yang menyebutkan bahwa
perkembangan kota pada masa lalu berdasarkan pembagian empat aspek yaitu, pusat administrasi,
pusat religi, pusat bisnis dan permukiman (Kostof dalam Ikaputra, 1995 : 27).
Gambar 1 Pola Ruang Tradisional Jawa
sumber : Ikaputra (1995 :24)
Pusat administrasi sebagai pusat pemerintahan yang dalam konsep Catur Gatra Tunggal
direpresentasikan dengan adanya Kraton sebagai pusat pemerintahan. Pusat religi sejalan dengan
adanya Masjid di dekat Kraton di kota-kota kerajaan di Jawa. Pusat bisnis sebanding dengan adanya
pasar yang letaknya di sekitar alun-alun. Permukiman dalam konsep kota Jawa tumbuh seiring dengan
perkembangan kawasan. Dalam konsep Catur Gatra Tunggal, terdapat Alun-alun sebagai ruang publik
yang menghubungkan unsur lainnya yaitu kraton, masjid dan pasar. Hal ini menunjukkan adanya
komponen simbolis penting yang dipresentasikan sebagai pola awal tata ruang kota Jawa. (Ikaputra,
1995). Perkembangan pola ruang kota dipengaruhi oleh kondisi-kondisi tertentu yang dipengaruhi oleh
kondisi sosial, budaya dan perkembangan politik. (Kostov, 1992, dalam Ikaputra, 1995 : 27).
Pola perkembangan kota kerajaan di Jawa pada umumnya terpusat pada kawasan kerajaan
atau Kraton. Perkembangan kawasan bermula dari Kraton sebagai pusat dan meluas ke kawasan di
sekitarnya. Terdapat kecenderungan masyarakat untuk berada ‘sedekat mungkin’ dengan Sultan dan
para priyayi, hal ini memicu perkembangan kawasan yang terpusat pada area Kraton. Hal ini
menjadikan pada perkembangan kota Jawa terdapat konsep Dalem Pangeran di mana muncul istilah
‘magersari’ atau ngindung kepada rumah Pangeran (Ikaputra, 1995 :7 ).
2.1.2. Konsep Magersari pada Masyarakat Jawa
(Ikaputra, 1995 : 8) mengatakan keluarga aristokrat Jawa membangun dalem di sekitar
kraton.Pada umumnya mereka berbagi dalem dengan para abdi dalem. Abdi dalem bekerja sebagai
pembantu rumah tangga pada keluarga bangsawan karena mereka telah diizinkan tinggal di kediaman
5
para priyayi karena ingin menerima berkah dan untuk mempelajari etiket dan praktek pada kebiasaan
para priyayi dalam keseharian atau diistilahkan dengan magang. Keluarga priyayi memelihara abdi
dalem selain untuk fungsional dalam hal servis, juga sebagai simbol untuk status kebangsawanannya.
Untuk tujuan ini, para bangsawan meminjamkan tanah mereka di dalam dinding dan regol untuk
ditinggali para abdi dalem. Inilah yang disebut magersari.
Selanjutnya dalam Ikaputra (1995 : 8), yang menarik adalah mengenai keturunan baik dalam
bangsawan maupun pada abdi dalem berkembang kuantitasnya sehingga tumbuh menjadi sebuah
komunitas karena mengelompok huniannya. Dalem adalah representasi dari arsitektur tradisional
Jawa. Dalem biasanya adalah sebuah kompleks bangunan dengan dikitari oleh dinding yang tiggi.
Untuk memasuki kompleks Dalem, seseorang harus melewati sebuah gerbang atau dua buah gerbang.
Gerbang yang beratap disebut kori sedangkan yang tidak beratap biasanya disebut Candi Bentar.
Lokasi dari gerbang tergantung dari orientasi dari jalan utama. Bagaimanapun, orientasi dari dalem
biasanya adalah utara ke selatan sesuai dengan pakem rumah tradisional Jawa lainnya. Dapat
dikatakan bahwa magersari adalah sebuah hubungan simbiosis dari ketergantungan antara abdi dalem
dan keluarga bangsawan.
2.1.3. Konsep Kejawen pada Masyarakat Jawa
Menurut Ridwan (2008 : 2) dalam Ensiklopedia Kotagede, pendewaan dan pemitosan roh
nenak moyang melahirkan hukum adat beserta relasi – relasi pendukungnya. Melalui upacara –
upacara selamatan, roh nenek moyang dipanggil kembali sebagai pelindung bagi keluarga yang masih
hidup. Masyarakat Jawa percaya dengan dewa – dewi. Hal ini terbukti dengan adanya mitos tentang
Nyai Roro Kidul yang memiliki hubungan dengan kerajaan Mataram (Yogyakarta). Upacara sedekah
laut diselenggarakan untuk menghindari marabahaya. Mitos Dewi Sri juga termasuk pembentuk ruang
pada arsitektur Jawa. Dapat dikatakan di sini bahwa mitos dewa – dewi menjadi salah satu faktor dalam
ranah arsitektur.
Religiusitas masyarakat Jawa terinspirasi dari kombinasi antara pemikiran animisme dan
doktrin dari ajaran Hindu – Budha sehingga melahirkan kepercayaan mengenai magis yang kuat,
mistisism, keberadaan roh yang memiliki pengaruh, spirit cults, dan penyembahan pada tempat sakral
(Mulder, 2005 : 16). Inilah yang mendasari adanya kejawen.
Menurut Utomo (2014 : 21 - 24), Istilah umum yang mendefinisikan kejawen adalah
‘Javaneseness’ atau ‘Javanism’ . Sebagai sebuah sistem pemikiran, Kejawen mengandung kosmologi,
mitologi, dan konsep – konsep berbau mistis. Kejawen memberikan sebuah pemahaman yang umum
terhadap makna. Kejawen terintegrasikan dalam pengetahuan yang menafsirkan kehidupan manusia
sebagaimana adanya atau it appears to be (Mulder, 2005:16).
Kejawen dipandang bukan dalam ranah agama, namun lebih mepresentasikan sebuah gaya
hidup yang didasari pemikiran Jawa. Model dari jagad gedhe (makrokosmos) adalah sebagai
paradigma untuk manusia sebagai jagad cilik (mikrokosmos). Pada periode waktu dahulu, kebudayaan
Jawa di Kotagede , ide dari mistisism terkait dengan keberadaan seorang raja. Masyakarat
mempercayai bahwa seorang raja adalah elemen yang memiliki kekuatan yang berasal dari ranah gaib.
Kerajaan dari seorang raja dibangun sebagaimana model dari kosmos, menyimbolkan posisi sang raja
6
sebagai pusat dari semesta raya. Untuk memimpin sebuah wilayah kekuasaan di Jawa dan rakyat yang
memiliki keyakinan kuat terhadap keberadaan hal – hal gaib, seorang penguasa membangun
hubungan dengan hal – hal gaib, dalam hal ini adalah Kanjeng Ratu Kidul sehingga mempengaruhi
orientasi rumah tradisional Jawa di Kotagede menghadap ke arah selatan.
Latar belakang kepercayaan dan Ritual Jawa
Suseno dalam Kartono, 2005 : 125-127, kepercayaan Jawa didasarkan atas pandangan dunia
Jawa, yaitu keseluruhan keyakinan deskriptif orang Jawa tentang realitas sejauh mana merupakan
suatu kesatuan dari manusia memberi struktur yang bermakna atas pengalamannya. Adanya kesatuan
numinus menunjuk kepada keadaan jiwa yang menghubung – hubungkan antara realitas dengan gejala
– gejala yang dialami dengan perasaan kekaguman , cinta, ataupun penuh misteri. Menurut Franz
Magnis Suseno dalam Kartono, 2005 : 127, terdapat empat unsur pandangan dalam dunia Jawa yang
berhubungan dengan Ilahi atau kodrati, yaitu :
1. Kesatuan antara alam, masyarakat, dan alam kodrati
Orang Jawa mengenal irama alam seperti pergantian siang malam ataupun musim hujan dan
musim kering. Mereka percaya adanya suatu kekuatan gaib yang mengendalikan alam sehingga
ketika terjadi bencana alam maka kekuatan ini akan muncul secara jelas.
2. Kesatuan dengan kekuasaan
Dalam paham Jawa, kekuasaan adalah ungkapan energi ilahi yang tanpa bentuk, suatu kekuasaan
yang berada di mana – mana. Pusat kekuasaan ada pada seorang raja. Konsep kerajaan Jawa
adalah suatu lingkaran konsentris mengelilingi Sultan sebagai pusat. Lingkungan yang terdekat
adalah wilayah Kraton.
Gambar 2 Pemahaman Kerajaan Jawa sumber : Adishakti, 1996 dalam Laporan Antara RIKBY (2014 : 5)
3. Numinus Keakuan adalah orang Jawa sepanjang hidupnya berusaha mencari realitas diri
tersirat dalam istilah manunggaling kawulo lan gusti atau mencari sangkan paraning
dumadi.Manusia dalam mencari dasar ke-aku-annya terbentuk menjadi suatu pengertian
tentang asal dan tujuan segala makhluk hidup di dunia ini (upaya pendekatan diri kepada
Tuhan, bersifat spiritual - transendental).
4. Kepercayaan atau kesadaran akan takdir, yaitu kesadaran bahwa hidup manusia pada
dasarnya telah ditetapkan dan tidak dapat dihindari lagi. Menentang nasib akan
mengacaukan keselarasan kosmos. Pemenuhan kewajiban hidupnya yang spesifik sesuai
dengan tempatnya masing – masing akan mencegah konflik sehingga akan dicapai
ketentraman batin, dan keseimbangan dalam masyarakat.
7
2.2. Tinjauan Eksisting Elemen Catur Gatra Tunggal pada Kotagede
Gambar 3 Peta Perkembangan Kawasan dari abad 17 hingga kini sumber : UNESCO (2007 : 12)
Empat komponen penting kota, yaitu kraton (istana) sebagai pusat kota, alun-alun sebagai
ruang umum yang ditempatkan di sebelah utara kraton, masjid sebagai pusat kegiatan ibadah yang
ditempatkan di sebelah barat laut kraton, dan pasar sebagai pusat kegiatan ekonomi yang ditempatkan
di sebelah timur laut kraton yang dikelilingi dengan benteng. Di luar pusat kota terdapat pemukiman
penduduk kota, taman, pemakaman kerajaan, atau komponen lainnya. Demikian pula halnya di Kota
Gede.
2.2.1. Kraton
Istana (kraton) Kotagede berada di tengah area yang dahulu dikelilingi tembok, yakni di
lingkungan Kelurahan Singosaren, di Kampung Dalem. Di lokasi itu terdapat nama kedhaton yang
mempunyai arti kata yang sama dengan kraton sebagai tempat pemerintahan atau tempat tinggal raja.
Keberadaan kedhaton di lokasi itu hingga kini diyakini sebagai tempat kediaman penguasa Mataram
Islam pada masa awal yaitu Panembahan Senopati.
Data yang memperkuat hal tersebut adalah sisa-sisa tembok keliling (cepuri) sebagai
pengaman dan sekaligus batas kompleks istana. Kondisi cepuri saat ini sudah banyak yang rusak,
bahkan di beberapa tempat sudah rata dengan tanah. Bagian sudut cepuri terlihat masih utuh di bagian
tenggara area Kedhaton yang disebut bokong semar. Untuk memperkuat upaya pertahanan wilayah,
di luar cepuri dibuat parit (jagang). Keberadaan jagang di luar cepuri masih dapat dilihat di sisi timur,
selatan, dan barat. Pada saat ini jagang-jagang tersebut banyak dimanfaatkan oleh penduduk setempat
sebagai kebun atau halaman rumah.
2.2.2. Masjid
Masjid yang merupakan salah satu komponen asli Kota Gede ini berada di selatan kawasan
Pasar Kota Gede sekarang, tepatnya di kelurahan Jagalan. Di halaman luar ada sepasang bangsal
terbuka dan pohon Beringin tua. Di kanan kiri jalan masuk berderet rumah para abdi dalem, dan di
ujung jalan itu berdiri sebuah gapura berbentuk paduraksa dengan atap bersusun tiga dan daun pintu
dari kayu berukir. Seluruh halaman masjid termasuk makam di belakangnya dilingkungi oleh pagar
tembok tinggi. Di belakang gapura tersebut berdiri sebuah rana/kelir sehingga untuk memasuki
halaman masjid orang harus berbelok ke kanan.
2.2.3. Alun – alun
Nama Kampung Alun-alun di sebelah utara Situs Kedhaton menandai keberadaan alun-alun
Kotagede pada masa. Alun-alun merupakan komponen kota yang penting karena berfungsi sebagai
8
tempat penyelenggaraan upacara kebesaran dan kegiatan istana lainnya, termasuk penyiaran agama.
Oleh karena itu, letak alun-alun biasanya berdekatan dengan Masjid Agung sehingga secara fungsional
dapat pula dikatakan sebagai pelengkap bangunan masjid. Pada saat ini Kampung Alun-alun yang
diperkirakan sebagai alun-alun Kerajaan Mataram telah dipadati permukiman penduduk.
2.2.4. Pasar Gede
Pasar Gede yang telah ada sebelum terbentuknya kerajaan Mataram itu tetap menjadi pasar
kerajaan sekaligus pusat perekonomian dan perdagangan. Komponen-komponen kota lain, seperti
kraton, masjid, dan alun-alun dibuat dan ditempatkan sesuai dengan tata letak pola tradisional, yaitu di
sebelah selatan pasar. Dibandingkan dengan letak alun-alun dan masjid, maka pasar berada pada
bagian paling luar dari kraton itu. Letak pasar sebagai pusat perekonomian dan perdagangan menjadi
sangat strategis, dengan jalan utama di dekatnya sebagai sarana distribusi serta transaksi barang dan
jasa. Keberadaan sebuah pasar di dalam suatu kota dapat dipandang sebagai focus point yang
memunculkan tempat-tempat tinggal kelompok masyarakat penghasil barang dan jasa di sekitarnya.
2.3. Analisis Catur Gatra Tunggal Kotagede dengan Yogyakarta
Gambar 4 Peta Situasi Kawasan Kotagede sumber : Utomo ( 2014 : 39)
Telah dikatakan sebelumnya bahwa secara historis, Kotagede adalah kota yang berdiri
sebelum kota Yogyakarta sehingga kota Yogyakarta mengadopsi layout konsep wilayah Kotagede
(Adishakti dalam RIBKY Bab IV :5). Hal ini terlihat dari kesamaan :
a. Keempat elemen pembentuk kota, yaitu adanya masjid , alun – alun, keraton, dan pasar
b. Adanya konsep sultan sebagai tengah dari poros lapisan kekuasaan
c. Toponim kampung berdasarkan fungsi dan kegiatan dominannya
d. Magersari atau ngindung dan rumah – rumah yang berkelompok, seperti yang masih terlihat
bekasnya ada pada toponim Kampung Bumen yang sebelumnya adalah Dalem Mangkubumen
atau tempat tinggal dari pangeran Mangkubumi.
9
2.4. Analisis Rumah Tradisional Jawa di Kotagede
Pada dasarnya, ‘omah’ adalah istilah Jawa untuk tempat yang dihuni oleh keluarga. Pada
jaman dahulu, tipe tradisional dari ‘omah’ umumnya adalah pilihan preferensi pada masyarakat yang
ada di Kotagede. Rumah tradisional Jawa merupakan rumah tinggal yang memiliki komposisi dan
proporsi yang spesifik. Ada empat jenis bentuk rumah tradisional Jawa berdasarkan bentuk atapnya ,
yaitu Joglo,Limasan, Kampung, dan Panggang Pe.
Menurut UNESCO, 2007 : 17 – 18, Joglo adalah bentuk atap yang paling rumit dan dinilai paling
estestis dalam konteks konstruksi dan teknis, sedangkan panggang pe adalah bentuk atap yang paling
simpel. Pada setiap tipe memiliki 26 variasi, seperti variasi yang ada di Kotagede. Omah di Kotagede
masih memiliki karakter kuat dari tipologi rumah tradisional Jawa yang dibagi menjadi beberapa gaya
berdasarkan bentuk atap, misalnya kampung, limasan, dan joglo. Tipe bentuk rumah yang dipilih
ditentukan oleh kelas sosio – ekonomi dari penghuni. Pada jaman sekarang, dengan adanya sistem
sosial yang beragam, secara bertahap bentuk rumah tradisional Jawa semakin hilang dari kawasan.
Bentuk atap yang dominan dimiliki oleh masyarakat Kotagede adalah limasan. Karakter bentuk
adalah seperti bentuk piramid dengan bubungan panjang dan empat sisi yang menurun. Limasan
adalah rumah yang dinilai ‘standar’ untuk kelas menengah. Tipe rumah ini sering dipilih karena
kualitasnya yang menengah : cukup prestisius, tidak sesimpel bentuk kampung, namun tidak semahal
joglo.
2.4.1. Konsep Ruang Jawa pada Kotagede
Ruang dalam rumah tinggal Jawa ini mencakup aspek tempat, waktu dan ritual. Rumah tinggal
merupakan tempat menyatunya jagad-cilik (micro cosmos) yaitu manusia Jawa dengan jagad-gede
(macro-cosmos) yaitu alam semesta dan kekuatan gaib yang menguasainya. Bagi orang Jawa rumah
tinggalnya merupakan poros dunia (axis-mundi) dan gambaran dunia atau imago-mundi (Eliade dalam
Kartono , 2005 : 131) dan memenuhi aspek kosmos dan pusat (Tjahjono dalam Kartono, 2005 : 131).
Orientasi Rumah
Arah hadap (orientasi) bangunan rumah Jawa, termasuk di Kotagede, adalah utara atau
selatan. Hal ini terkait dengan kepercayaan masyarakat. Berikut ini adalah kondisi orientasi bangunan
yang ada di Kotagede saat ini:
- Arah hadap bangunan yang berada di tengah kampung
Bangunan tradisional Jawa yang berada di tengah kampung masih mempertahankan arah hadap
bangunan utara-selatan.
- Arah hadap bangunan yang berada di pinggir jalan utama
Pada dasarnya rumah yang berada di tepi jalan memiliki arah hadap utara-selatan, namun
seiring dengan munculnya jalan besar, rumah tradisional Jawa berubah menjadi menghadap jalan.
10
Gambar 5 Orientasi Rumah pada Kotagede : utara – selatan dan menghadap jalan sumber : UNESCO (2007 : 38)
Kepercayaan Masyarakat Jawa terhadap Arah Orientasi Rumah
Seperti yang dipaparkan oleh Frick (1997:84) bahwa rumah tradisional Jawa pada umumnya
menggunakan orientasi terhadap sumbu kosmis dari arah Utara – Selatan, yaitu tempat yang diyakini
sebagai tempat tinggal penguasa Laut Selatan dan Dewi pelindung kerajaan Mataram. Sedangkan
orientasi terhadap sumbu kosmis Barat – Timur adalah tabu bagi rakyat biasa, karena arah Timur
adalah dianggap sudah menjadi bagian Keraton Mataram, selain juga arah Timur diyakini sebagai
tempat tinggal Dewi Yamadipati (Dewa pencabut nyawa).
2.4.2. Tipologi Struktur Ruang
Terjadi penerapan prinsip hierarki dalam pola penataan ruang pada bangunan tradisional
Jawa. Setiap ruangan memiliki perbedaan nilai. Ruang bagian depan bangunan bersifat umum (publik),
sedangkan bagian belakang bersifat khusus (pribadi atau privat). Semakin ke dalam ruangan, semakin
privat. Pada kelurahan Purbayan, masih terdapat banyak rumah Joglo sebagaimana kampung lainnya.
Joglo yang dimiliki oleh rakyat biasa adalah joglo yang lebih simpel tata ruang dan sistem
konstruksinya, biasa disebut Joglo Lawakan. Rumah joglo yang dimiliki Kotagede di daerah kota tidak
memiliki gandhok atau pawon, tapi lebih pada bentuk bangunan pelengkap yang dinamakan kulon
omah untuk bangunan yang terletak di sebelah barat dan wetan omah untuk bangunan tambahan di
sebelah timur. Sedangkan pawon, karena posisinya di belakang rumah disebut mburi omah. (Utomo,
2014: 51).
Rumah tradisional Jawa yang sederhana, pada umumnya terdiri atas rumah induk dan rumah
pelengkap. Rumah induk memiliki bilik khusus yang disebut dengan istilah senthong. Menurut Prijotomo
dalam Wikantiyoso, 1992 : 47) tipologi struktur ruang bangunan rumah tradisional Jawa adalah :
11
Gambar 6 Pendopo sumber : Utomo (2014 : 52)
1. Pendopo
Pendopo berfungsi sebagai tempat sosialisasi dan menerima tamu terutama saat pemilik
sedang memiliki hajat (mantu, khitanan, kematian, dan sebagainya). Ruang pendhopo berbentuk
persegi dan memiliki empat tiang (soko guru) di tengahnya. Ruang ini tidak memiliki pembatas pada
keempat sisinya menggambarkan keterbukaan pemiliknya terhadap siapa saja yang datang (Djono,
2012). Pendopo tidak hanya sekadar ruang, tetapi memiliki makna filosofis yang dalam, yaitu sebagai
tempat untuk mengaktualisasi suatu bentuk konsep kerukunan antara penghuni dengan kerabat dan
masyarakat sekitarnya. (Djono, 2012)
Pendhopo di daerah Kotagede telah mendapat tambahan fungsi, yaitu digunakan sebagai
tempat untuk tadaruz Al Qur’an, takjilan, sholat tarawih berjamaah ketika bulan Puasa tiba. Fungsi
lainnya adalah sebagai penempatan para tamu ketika dilangsungkan pertunjukan wayang kulit.
Setting-nya adalah para anggota keluarga pemilik rumah duduk di samping ruang, gamelan ada di
depan.
Gambar 7 Dalem sumber : Utomo (2014 : 53)
2. Dalem
Dalem berlokasi di belakang Pendhopo dan merupakan bangunan utama yang berfungsi
sebagai tempat tinggal keluarga. Dalem merupakan central space , tempat berlangsungnya kegiatan
internal keluarga. Dalem merupakan area yang sangat privat karena memiliki kedudukan lebih tinggi
dibanding ruang – ruang lain. Tingginya hirarki ruang tersebut juga ditunjukkan dengan adanya
peninggian lantai. Secara keseluruhan, biasanya dalem termasuk ketiga senthong diberi dinding
pembatas yang rapat sehingga mengesankan ruangan yang gelap dan tertutup serta relatif jauh dari
aksesibilitas umum.
12
Gambar 8 Senthong sumber : Utomo (2014 : 54)
Pada dalem terdapat kelengkapan struktur ruang berupa senthong tengah, senthong wetan,
dan senthong kulon (atau disebut senthong tengen dan senthong kiwa) serta pringgitan. Senthong
tengah memiliki kedudukan paling sakral dalam struktur tataruang rumah tradisional Jawa.
Gambar 9 Pringgitan sumber : Utomo (2014 : 55)
3. Pringgitan dan Emper Omah
Dari nama asalnya , ringgit adalah wayang. Pada awalnya, area ini difungsikan sebagai area
menggelar pertunjukan wayang. Ruang pringgitan beratapkan kampung atau limasan,. Sesuai
fungsinya, pringgitan terdapat hubungan yang sangat erat terhadap dalem karena pringgitan adalah
in- between space dari pendopo dan dalem.
Pada Kotagede, pringgitan kebanyakan berada di dalam dalem dan tidak terlihat seperti pringgitan
pada umumnya tapi lebih kepada bentuk teras yang disebut emper omah. Emper Omah adalah suatu
tambahan untuk dalem . Emper omah ini adalah area transisi dan menjadikan terbentuknya ruang
longkangan. Ada beberapa variasi emper omah , yaitu : a). Emper omah yang berupa teras terbuka
(ada atap namun tidak ada dinding, b.) semi terbuka yang ditutupi oleh gebyok ruji sebagai dinding
depan, 3) Emper omah yang ditutupi oleh dinding dengan gaya pintu kupu tarung.
Pada beberapa rumah tradisional di Kotagede dengan lahan terbatas, khususnya pada rumah yang
langsung berhadapan dengan lurung yang sempit, mereka memiliki emperan omah yang orientasinya
spesifik yang menjadikan komunikasi visual antar bangunan menjadi berbagai macam. Ini masih
menjadi studi karena lurung adalah salah satu keunikan ruang publik yang menjadi karakter khas
Kotagede.
4. Longkangan
Gambar 10 Longkangan sumber : Utomo (2014 : 55)
13
Tataruang yang khas pada rumah tradisional Jawa di Kotagede adalah keberadaan dari
longkangan sebagai gang pemisah antara dalem dengan pendhopo untuk jalan kendaraan atau orang
untuk lewat. Pada rumah tradisional Jawa lainnya, kendaraan seperti sepeda atau sepeda motor
berhenti pada bagian tertentu di pendhopo yang disebut kuncung. Rumah yang memiliki kuncung tidak
memiliki longkangan, dan rumah yang memiliki longkangan biasanya tidak memiliki kuncung.
Pada umumnya, hanya rumah bangsawan yang pada bagian dalemnya dikelilingi oleh
courtyard yang memiliki longkangan, sedangkan orang biasa pada bagian dalem tidak memiliki
longkangan karena pendopo menjadi terkait dengan pringgitan. Namun walaupun pada situasi yang
sempit pada Kotagede antara rumah, masih banyak didapati longkangan. Salah satu konsekuensinya
adalah akses untuk ke dalam rumah bukanlah dari depan pendhopo , namun pada sepanjang jalan di
longkangan yang menjadi ruang publik.
5. Gandhok
Gambar 11 Gandhok sumber : Utomo (2014 : 57)
Keberadaan gandok dibutuhkan sebagai area pengembangan apabila bangunan utama sudah
tidak memenuhi kebutuhan. Secara bertahap, gandhok timur dibangun terlebih dahulu, dan gandhok
barat dibangun berikutnya apabila diperlukan suatu pengembangan lagi , sekaligus melengkapi simetri
bangunan secara keseluruhan. Sebagai fungsi pelengkap dalam struktur bangunan rumah tradisional
Jawa, gandhok memiliki fungsi yang fleksibel untuk kegaiatan sehari – hari. Bila gandok ini berfungsi,
maka ruang dalem akan lebih banyak dikosongkan dari kegiatan keluarga. Terdapat ruang terbuka
antara dalem dan gandok yang menjaga kenyamanan termal rumah.
6. Gadri dan Pakiwan
Gambar 12 Gadri dan Pekiwan sumber : Utomo (2014 : 57)
Gadri adalah bangunan di belakang dalem yang digunakan sebagai ruang makan. Gadri dapat
diakses dari pintu belakang atau kanan kiri senthong, Gadri adalah bangunan semi terbuka dan sering
dikatakan mirip dengan serambi atau teras.Area servis berlokasi jauh pada kompleks bangunan.
Pekiwan adalah area kamar mandi dan cuci baju, sedangkan pawon adalah area untuk memasak.
Sumur dapat ditemukan antara pekiwan dan pawon.
14
a. Makna Ruang Senthong Tengah pada Masyarakat Jawa
Senthong tengah sebagai ruang yang dianggap suci atau sakral berkaitan dengan sebuah
kepercayaan masyakarat Jawa terhadap mitos Dewi Sri. Di dalam dalem atau petanen disimpan bulir
padi yang menyimbolkan Dewi Sri yang sekaligus pemilik rumah sebenarnya. Di depan senthong
tengah digunakan untuk kegiatan upacara – upacara adat dan agama, seperti khitanan, perkawinan,
dan sebagainya. (Widayat, 2004 :9). Senthong tengah juga kerap dinamakan krobongan, petanen, atau
pasren karena digunakan sebagai tempat untuk menyimpan beras dan tempat untuk memohon
pertolongan dari Dewi Sri. Jadi, krobongan merupakan ruang khusus yang dibuat sebagai
penghormatan terhadap Dewi Sri yang dianggap sangat berperan di semua sendi khidupan masyarakat
Jawa, bukan hanya pada masalah pertanian karena sebenarnya padi memiliki makna kesuburan bagi
masyarakat Jawa (Widayat, 2004 : 7).
b. Asimilasi Paham Animisme dan Hindu terhadap Kebudayaan Jawa
Asimilasi antara paham animisme dan Hindu memunculkan seorang tokoh simbolik kaum
petani Jawa, yang melindungi tanaman padinya terhadap gangguan-gangguan hama tanaman padi,
yang dianggap berasal dari para lelembut atau jin mrekayangan (Widayat, 2004: 10). Berbagai cerita
padi muncul di Jawa sebelum datangnya pengaruh Hindu dan ada kemungkinan cerita tersebut setelah
datangnya paham Hindu diubah dan disesuaikan dengan ajaran Hindu.
c. Perubahan Fungsi Ruang Senthong Tengah karena Purifikasi Islam di Kotagede
Di Kotagede, kini banyak ditemukan krobongan yang berfungsi sebagai ruang musholla untuk
muslim. Terdapat kontinuitas pemaknaan ruang krobongan sebagai ruang yang sakral walaupun
fungsinya berbeda. Makna sakral pada krobongan masih tetap terjaga, namun dalam
perkembangannya, setelah era Muhammadiyah di Kotagede, mitos Dewi Sri telah lambat – laun
menghilang karena pada ajaran Islam tidak mengenal dewa – dewa untuk disembah atau diagungkan
karena prinsip ajaran Islam adalah monotheisme.
d. Konsep Ruang Jawa berdasarkan Pemisahan Gender pada Ruang Sosial
Karakteristik khas dari konsep tradisional Jawa adalah domestic space atau ruang domestik ,
yang terintegrasikan pada sistem sosio-budaya yang memberikan gambaran peran domestik dan
domain dari perempuan dan laki – laki. Hal ini termanifestasikan pada gender (Santosa, 2007 : 74).
Segregasi ruang berdasar gender mengimplikasikan bahwa terdapat suatu domestication of household
women pada kehidupan sehari – hari pada rumah tradisional Jawa. Ini mengekspresikan peran sosial
dan perbedaan aktivitas antara wanita dan pria. Masyarakat Jawa menganut sistem feodalistik yang
struktur sosialnya menaruh proporsi ruang wanita privat. Adanya istilah istri sebagai ‘kanca wingking’
yang mengindikasikan bahwa peran sosial wanita pada ruang publik sangat minim karena selalu di
bagian rumah yang tidak terlihat oleh publik.
Adanya pembagian ruang menurut gender, misalnya secara fungsional gandhok kanan berupa
tempat tidur untuk anak perempuan, dan gandhok kiwa untuk anak laki – laki. Dengan memperhatikan
pola ruang pada rumah tradisional Jawa, dapat diketahui bahwa posisi ruang tidur laki – laki dan ruang
tidur perempuan sejajar dan berada di bagian dalam (Depkdikbud, 1998). Selain berupa pemisahan
fungsional , ada ruang untuk wanita dan pria yang dibedakan ketika sedang melakukan kegiatan sosial
15
di tempat yang sama. Pembagian dua ini juga terjadi pula pada saat pagelaran wayang, di mana layar
diletakkan sepanjang Peringgitan, dalang dan perangkatnya di bagian pendapa dengan penonton laki-
laki sedangkan perempuan menonton dari bagian belakang (bayangannya) dibagian Emperan rumah.
Gambar 13 Posisi Pagelaran Wayang dan Pernikahan sumber : Kartono (2005 : 133)
2.5. Setting kegiatan Ritual Proses Kehidupan yang juga merupakan kegiatan sosial di Ruang
Tradisional Jawa Kotagede
2.5.1. Peran Kawruh Kalang pada pembentukan rumah Jawa di Kotagede
Pada Kawruh Kalang, seseorang tanpa rumah adalah seperti tanaman tanpa bunga. Rumah jika tidak
terdapat:
1. Pendopo adalah sebuah pohon tanpa dahan tidak memiliki sokongan yang cukup.
2. Pawon adalah sebuah pohon tanpa buah, tidak dapat berproduksi
3. Gerbang adalah sebuah pohon tanpa akar , tidak ada tempat untuk berdiri.
Modul rumah adalah mempertimbangkan kesesuaian dari ukuran jarak dari dua baris dari empat
orang laki – laki duduk bersila dengan tambahan zona makanan yang ada di antara mereka yang
dikenal dengan istilah rampatan.
Gambar 14 Rampatan dan Perhitungan sumber :Wikantiyoso (1992 : 120)
16
a. Ritual yang bersifat publik
Tabel 1 Upacara Pernikahan sumber : analisis (2014)
Kegiatan seremonial
Kebutuhan Ruang Perwujudan pemenuhan Ruang
Makna Simbolik pada Ritual
Makna Simbolik pada Ruang
Penyambutan tamu : gerbang penyambutan tamu
Ruang untuk menempatkan sesajen
Dekat dengan pintu masuk
Mencegah setan agar tidak mengganggu jalannya upacara
Mencegah setan disimbolkan dengan janur
Siraman Ruang untuk siraman pada mempelai laki – laki dan perempuan
Di belakang rumah, dekat dengan sumur
Penyucian diri pada mempelai laki – laki dan perempuan untuk pernikahan yang penuh kejujuran
Membuka sumur sebagai salah satu sumber mata air
Midodareni Ruangan untuk mempelai perempuan hening sampai pada tengah malam
Senthong kanan atau senthong kiri
Menyiapkan mental perempuan untuk berumah tangga
Ruang didekorasi sedemikian rupa agar peri datang
Serah – serahan
Ruangan untuk menyerahkan
Di depan senthong tengah
Berdoa kepada Tuhan agar dilancarkan pernikahan antara mempelai laki – laki dan perempuan
Secara horizontal, komunikasi disimbolkan pada ruangan yang di tengah sokoguru pada situasi yang tenang.
Menerima serah - serahan
Ruangan untuk bersantai dan makan bersama
Gandhok membagi berkat bagi anggota keluarga
Tabel 2 Upacara Kematian sumber : analisis (2014)
Kegiatan seremonial
Kebutuhan Ruang Perwujudan pemenuhan Ruang
Makna Simbolik pada Ritual
Makna Simbolik pada Ruang
Memberikan sesaji
Ruang untuk menaruh sesaji
Pada depan senthong tengah
Berkomunikasi kepada Tuhan, mendoakan mayit supaya diterima di sisinya
Disimbolkan pada pengaturan ruang dengan peninggian level lantai pada bagian tengah
Memberikan kembang
Ruang untuk menaruh bunga
Senthong tengah dan keempat sisi dari rumah
Menjaga keseimbangan pada makrokosmos dan mikrokosmos
Disimbolisasikan dengan menjaga keseimbang empat pojok sebagai penjuru
Tahlinan (doa bersama)
Ruangan untuk duduk bersila mengelilingi sebuah ruang
Dalem, pringgitan, pendopo
Mendoakan mayit Simbolisasi dari kebesaran Tuhan dengan duduk berkeliling
Menerima selametan
Ruangan untuk makan bersama
Gandok membagi berkat bagi anggota keluarga
Aliran berkat disimbolisasikan
17
dengan stretch of the floor
Kalang Obong (pada masyarakat Kalang)
Ruang terbuka untuk membakar boneka kayu
Pekarangan di luar kompleks rumah
Mengabadikan jiwa
Membakar berarti membebaskan dari ruang dan waktu di ruang terbuka pada rumah
Gambar 15 Sekuens dari terang – gelap sumber : Wikantiyoso (1992 : 45)
Adanya sekusens dari kesakralan dari sebuah rumah Jawa adalah tingkat kegelapan di mana semakin
gelap menunjukkan area privat dan sakral. Pendopo lebih terang daripada dalem.
b. Ritual yang bersifat privat
Sesajen yang periodik adalah ritual internal yang sangat jarang diikuti oleh orang luar.
Penghuni melakukan ritual dengan membakar kemenyan di depan senthong tengah. Asap dupa itu
disimbolkan sebagai penghubung Dewi Sri kepada pemilik rumah, bapak langit dan ibu bumi. Kegiatan
ini mirip dengan ritual kuno pada Candi Hindu – Jawa di mana pemohon dengan dupa menunggu dewa
turun dari atas langit. Maka, dapat dikatakan bahwa interior dari Joglo , ruang yang terbentuk dari
sokoguru adalah akulturasi dari bentuk candi.
Gambar 16 Perilaku dan setting ruang untuk ibadat sumber : Wikantiyoso (1992 : 47)
Setting aktivitas ritual yang bersifat keagamaan lainnya adalah ibadah sholat lima waktu.
Walaupun setelah konversi agama pada sebagian besar orang Jawa adalah muslim, tempat yang
digunakan untuk beribadah adalah area gandok sebelah timur karena pada posisi ini pemohon dapat
menghadap mekkah sekaligus bentuk penghormatan kepada senthong tengah sebagai ruang sakral.
Aktivitas ritual keagamaan yang komunal adalah sholat berjamaah, terutama jika waktu sholat tarawih
pada saat bulan Ramadhan. Lokasi kegiatan ini ada pada area pendopo.
18
2.6. Perbedaan Rumah Tradisional Jawa Umumnya dengan Rumah Tradisional Jawa di
Kotagede (Ciri khas rumah Kotagede)
Gambar 17 Perbedaan Rumah Tradisional Jawa Kotagede dengan Rumah Jawa lainnya sumber : Cahyono (2002 : 88)
a. Struktur Lahir Rumah Tradisional Masyarakat Jawa di Kotagede
Susunan ruang dalam pada rumah Jawa ditentukan oleh faktor – faktor yang diturunkan dari
fungsi domestik dan fungsi kekuasaannya. Fungsi domestik menghasilkan zona laki – laki dan zona
perempuan karena pertimbangan faktor gender dan pemanfaatan berdasarkan orientasi arah mata
angin, yaitu sisi timur untuk ruang bagi penghuni yang lebih muda dan barat untuk penghuni yang lebih
tua (Sumardiyanto, 2014 : 126). Bagi orang Jawa, rumah adalah penyatuan antara pemahaman mereka
akan eksistensi dunia arwah (alam kodrati) dan dunia kehidupan sehari – hari yang dimanifestasikan
dalam tatanan spasial mengikuti sumbu horizontal dan spasial.
- Ruang yang berada di antara empat soko guru adalah ruang utama karena di atasnya terdapat
atap brunjung , yang menjulang tinggi diyakini sebagai sumbu vertikal yang merupakan lambang
penyatuan dengan ibu bumi dan bapak langit (Tjahjono dalam Sumardiyanto, 2014 : ).
- Senthong tengah merupakan ruangan paling sakral yang terletak di lapisan susunan rumah.
b. Struktur Dalam
Makna dari rumah tradisional Jawa dapat diungkap melalui pengungkapan struktur dalam
masyarakat Jawa dengan analisis hubungan kegiatan – kegiatan sosial. Perwadahan kegiatan dalam
lingkungan sosial dibedakan menjadi dua, yaitu kegiatan internal keluarga dan kegiatan eksternal
bersama masyarakat. Kegiatan internal dilakukan pada wilayah privat, yaitu di dalam dalem di mana di
dalamnya terdapat ketiga senthong , yaitu senthong tengah, senthong kiwa, dan senthong tengen.
Gandhok (baik gandhok kiwa dan gandhok tengen) yang terdapat pada rumah dengan susunan ruang
yang lebih kompleks adalah elaborasi dari fungsi amben yang ada di dalam dalem. Gandhok (terutama
gandhok di sisi timur), digunakan sebagai ruang tidur bagi anggota keluarga yang lebih muda, misalnya
anak. Ketika dihuni oleh ahli waris, maka umumnya gandhok kiwa/ wetan akan dimanfaatkan sebagai
ruang tamu. Sisi timur (arah matahari terbit) memiliki makna positif muda dan publik, sebaliknya sisi
barat merupakan area yang tua dan privat.
19
- Kegiatan menerima tamu : rumah yang tidak lengkap dilakukan ada ruang yang terletak di
depan senthong dan emper (bagian derapn dari dalem). Pada rumah bertipe lebih lengkap ,
penghuni menerima tamu di pendhapa.
- Kegiatan bersifat sakral dan privat : di ruang empat soko guru. Adapun ruang di antara empat
soko guru diyakini sebagai titik pertemuan antara bumi dan langit yang mencerminkan
hubungan antara penghuni rumah dengan alam. Senthong tengah dan ‘ruang’ di antara empat
sokoguru adalah satu dan hanya dipisahkan oleh kain yang disebut langse (Dakung dalam
Sumardiyanto, 2014).
Analisis terhadap struktur kegiatan dan ruang – ruang sebagai wadah kegiatan menunjukkan konsep
berpikir orang Jawa bahwa segala sesuatu harus ada pada situasi ketertataan (Helman dalam
Sumardiyanto, 2014 :127).
20
3. BAB III
PEMBAHASAN KARAKTERISTIK LAYOUT PEMUKIMAN KOTAGEDE
Kotagede dideksripsikan sebagai ‘kota genealogical’ oleh Nakamura dalam karena hubungan
antarwarga yang dinilai unik. Nakamura dalam Cahyono, 2002 : 77, menemukan bahwa mayoritas dari
penghuninya memiliki hubungan kekerabatan dan hubungan dari sistem magersari yang ada pada
Kotagede. Orang dapat lalu – lalang tanpa menuju ke jalan. Keseluruhan layout permukiman dibentuk
dari rumah individu yang jumlahnya bervariasi. Ada tiga poin dugaan penyebab layout kampung ini
(Wikantiyoso, 1992:171), yaitu :
1. Kekerabatan dari sebuah keluarga yang besar
2. Legalitas yang berasal dari seorang tuan tanah dan penyewa atau magersari
3. Ajaran Islam mengajarkan untuk berbagi
Analisis fisik berdasarkan tipologi dan morfologi pada tata ruang. Karakteristik dari pola ruang memiliki
bentuk yang berbeda – beda. Ruang sosial di Kotagede dibagi menjadi tiga skala , yaitu :
1. Skala Makro : yang dimaksud dengan skala makro adalah kaitannya dengan tata kota secara
menyeluruh dilihat dari morfologi Kotagede.
2. Skala messo : gang – gang yang membentuk koridor dapat digunakan sebagai area interaksi
masyarakat.
3. Skala mikro : bagian dari rumah yang menjadi area komunal, yaitu Pendopo, Jalan rukunan
yang terbentuk dari longkangan , antara pringgitan dan dalem.
Suryanto dan Indanoe dalam Cahyono (2002 : 79 ) membagi jalan rukunan menjadi lima klasifikasi :
1. Pola Cluster dari kombinasi tipe individual (tunggal) dan kolektor (kelompok) tertutup.
Gambar 18 Pola cluster kombinasi tipe individual dan kolektif tertutup sumber : Cahyono (2002 : 74)
Tipe 1 merupakan susunan dari beberapa kelompok hunian, tunggal maupun kelompok. Setiap
kelompok dihubungkan oleh jalan kolektif, yaitu jalan rukunan yang berfungsi sebagai sarana
interaksi sosial, komunikasi, dan sirkulasi dalam satu kelompok huniannya.
2. Peta Komposisi Kolektif Tertutup
Gambar 19 Pola komposisi kolektif tertutup berkelompok dikelilingi dinding sumber : Cahyono (2002 : 75)
21
Tipe 2 ini merupakan pola cluster dari beberapa unit hunian yang terbentuk dalam satu lingkungan
yang dibatasi oleh dinding. Jalan rukunan, yang berada di area longkangan antara pendopo dan
dalem , menjadi pengikat , menghubungkan antar unit rumah, memanjang dari timur ke barat
dengan pengakhiran regol di antara ujungnya.
3. Tipe Individual bersama dikelilingi dinding
Gambar 20 Pola komposisi kolektif tertutup berkelompok dikelilingi dinding sumber : Cahyono (2002 : 75)
Beberapa tipe hunian menyatu membentuk pola kolektif dengan jalan rukunan berada di depan
(selatan) pendopo
4. Tipe individual tertutup dengan akses dari depan (selatan)
Gambar 21 Individual tertutup dengan akses dari depan sumber : Cahyono (2002 : 76)
Tipe keempat merupakan pola cluster dari massa bangunan hunian dalam satu lingkungan
berpagar dinding, dengan pencapaian dari area selatan dan jalan rukunan terletak di selatan
pendopo.
5. Tipe Individual Tertutup dengan Akses dari Samping
Tipe 5 hampir sama dengan tipe 4. Perbedaan prinsip terletak pada penempatan entrance.
Gambar 22 Individual tertutup dengan akses dari depan sumber : Cahyono (2002 : 76)
Dari kelima tipe tersebut, adanya kesamaan yaitu adanya ruang pengikat berupa jalan rukunan yang
berfungsi sebagai jalan kolektif.
22
3.1. Jalan Rukunan
Gambar 23 Jalan Rukunan
sumber : UNESCO (2007 : 32)
Definisi Jalan Rukunan
Jalan Rukunan didefinisikan) sebagai ruang terbuka pada halaman rumah tempat tinggal yang
digunakan sebagai jalan setapak dan fasilitas bersama. Jalan Rukunan juga dapat dipahami sebagai
jalan yang terbentuk dari deretan ruang terbuka dibentuk oleh longkangan (Poerwadi, 2000). Jalan
Rukunan dinamakan untuk ruang sirkulasi yang terbentuk dari ruang antara dua bangunan yang
bersebelahan (Cahyono, 2002). Ruang ini terbentuk karena adanya tritisan samping di kedua
bangunan dengan lebar bersih antara 40 centimeter – 80 centimeter. Keberadaan jalan ini menjadi
penghubung antar Jalan Rukunan di ujung utara dan selatan, atau Jalan Rukunan dengan jalan
lingkungan dalam UNESCO (2007 : 32)
Fenomena Jalan Rukunan sebagai Ruang Publik
Jalan Rukunan adalah ruang pribadi miliki perorangan yang direlakan menjadi ruang kolektif
berfungsi publik sebagai jalan dengan pertimbangan fungsional, efektivitas, dan kekerabatan
antartetangga. Jalan Rukunan yang terbentuk memanjang pada arah Timur – Barat karena deretan
adanya rumah tradisional dengan susunan ruang dan dimensi relatif sama. Di Kotagede , jumlah
deretan rumah tinggal tersebut bervariasi, dari bangunan tunggal hingga memanjang sejumlah
sembilan rumah yang berada di kampung Alun – alun.
Jalan Rukunan ini memiliki fungsi sosial. Pada saat ada acara tertentu di mana perlukan
perluasan ruang seperti pesta perkawinan, hajatan keluarga, perayaan kemerdekaan Republik
Indonesia, pengajian,dan sebagainya. Pada saat itu masyarakat pada jalan Rukunan bergotong –
royong untuk mendukung keberhasilan acara tersebut.
Kedudukan Jalan Rukunan dalam Pola Jaringan Jalan di Kotagede
Secara hirarkis, kondisi jalan di Kotagede terdiri atas tiga tingkatan, yaitu jalan utama kota, jalan
kampung atau jalan lingkungan, dan jalan Rukunan (Indartoro, 1995). Selain dari tiga tersebut,
Wikantyoso (1992) mengindikasikan adanya satu jaringan sirkulasi yang disebut lurung. Jalan utama
Kotagede berfungsi utama sebagai penghubung Kotagede dengan kawasan – kawasan yang ada di
sekitarnya.
Jalan kampung atau jalan lingkungan dikelola secara swadaya oleh masyarakat. Jalan ini berfungsi
sebagai jalur penghubung antar lingkungan/ kampung atau kampung dengan jalan utama. Pola jalan
ini organik arena mengikuti pola kampung. Dimensi jalan kampung sangat bervariasi antara 0,8 – 2,5
meter. Di kiri dan kanan jalan kampung berbatasan langsung dengan bagian depan rumah tinggal atau
23
dinding pagar pekarangan setinggi tiga meter. Pada dinding pagar tersebut terdapat pintu masuk
pekarangan yang luas dari satu atau kelompok rumah tinggal. Orientasi bangunan tradisional yang
terbentuk oleh sumbu utara – selatan memungkinkan posisi entrance berada di sampung atau di
belakang rumah tinggal.
Jalan Rukunan dalam sistem jaringan jalan di Kotagede, jalan Rukunan merupakan jalan terdekat
dari rumah tinggal yang menghubungkan rumah tinggal dengan jalan kampung. Selanjutnya, jalan
kampung menghubungkan jalan rukunan dengan jalan utama kota (Indartoro, 1995 : 42). Jalan
Rukunan juga dapat terbentuk antara dua bangunan yang bersebelahan.
Menurut Indartoro (1995:42), terdapat empat tipe pola jalan Rukunan :
a. Pola terbuka / tertutup
Pola terbuka yaitu kedua jalan rukunan terhubung oleh jalan lingkungan / jalan kampung/ jalan
utama. Terletak di lokasi – lokasi strategis, di mana sirkulasi pengguna jalan rukunan relatif
ramai, baik dari penghuni setempat maupun warga dari luar lingkungan. Disebut pola tertutup
karena salah satu ujung jalan rukunan buntu sehingga secara fungsional lebih banyak
dimanfaatkan oleh penghuni setempat. Selain itu , ada pola semi terbuka di mana salah satu
ujung jalan rukunan berhubungan dengan jalan kampung / jalan lingkungan sedangkan ujung
satunya berhubungan dengan makam atau lingkungan perumahan yang kurang berkembang
sehingga intensitas penggunaan jalan lebih banyak dimanfaatkan oleh warga setempat.
Gambar 24 Tipe Jalan Rukunan Pola Terbuka - Tertutup sumber : Cahyono (2002 : 80)
b. Pola Tunggal / Jamak
Disebut pola tinggal karena keberadaan jalan Rukunan merupakan jalan satu – satunya dalam
lingkungan bersangkutan yang hanya dihubungkan oleh jalan lainnya di kedua ujungnya tidak
terdapat jalan alternatif. Pada pola jamak, selain satu atau lebih jalan Rukunan yang membujur
timur – barat, terdapat jalan lain yang melintang sehingga terbentuk persimpangan –
persimpangan.
Gambar 25 Tipe Jalan Rukunan Pola Tunggal - Jamak sumber : Cahyono (2002 : 80)
24
c. Pola lurus / belok
Pola lurus atau belok merupakan variasi dari pola – pola di atas. Terbentuknya pola lurus
maupun belok sangat dipengaruhi oleh posisis rumah tinggal yang berada di sepanjang jalan
Rukunan. Pada posisi rumah dengan garis depan bangunan dalem dan pendopo lurus, maka
akan membentuk ruas jalan rukunan yang lurus pula. Demikian juga apabila posisi bangunan
berbeda, akan terbentuk ruas jalan rukunan yang berbelok menyesuaikan. Pola berbelok dapat
terbentuk akibat salah satu atau beberapa warga menghendaki interaksi antara zona pendopo
dan dalem yang lebih erat, maka ruang antara keduanya dimanfaatkan untuk kepentingan
privat. Pada kasus demikian, warga yang bersangkutan merelakan lahan samping dan selatan
(depan) pendopo sebagai pengganti untuk dimanfaatkan sebagai jalan rukunan.
Gambar 26 Tipe Jalan Rukunan Pola Lurus - Belok sumber : Cahyono (2002 : 81)
d. Jalan Rukunan dan ruang terbuka lingkungan
Dikaitkan dengan adanya ruang terbuka di ruas jalan rukunan, terdapat beberapa variasi, yaitu
jalan rukunan tanpa ruang terbuka terpisah dan jalan rukunan dengan ruang terbuka yang
menyatu. Terbentuknya ruang – ruang terbuka tersebut dapat terjadi karena bangunan
pendopo yang kini sudah tidak ada meninggalkan ruang terbuka yang dapat dimanfaatkan oleh
warga secara bersama.
Gambar 27 Pola Jalan Rukunan dan Ruang Terbuka sumber : Cahyono (2002 : 82)
25
3.2. Lurung atau Gang
Gambar 28 Pola Lurung atau Gang di Kotagede sumber : Wikantiyoso dalam Cahyono (2002: 82)
Lurung atau bahasa sehari – harinya disebut gang di Kotagede adalah jalan lingkungan selebar
kurang dari tiga meter, dikelilingi oleh pagar dinding bangunan setinggi empat meter , yang semuanya
menuju ke arah pasar. Sebagai sebuah jalan kapiler, jalan – jalan di Kotagede memberi pengaruh yang
sangat besar dalam membentuk karakteristik kawasan. Pemanfaatan jalan sebagian besar
diperuntukkan sebagai area pejalan kaki , ruang publik, dan ruang sosial sekaligus ruang ekonomi.
Porsi besar pada tataruang Kotagede untuk pedestrian dengan lebar jalan kurang dari tiga
meter menyebabkan masyarakat akan berjalan lebih lambat dan mengucapkan permisi dengan frase
“nuwun sewu” pada penghuni rumah yang sedang duduk – duduk di depan rumah. Masyarakat Jawa
menganggap bahwa area tersebut adalah area komunal di mana sosialisasi terjalin di antara penghuni.
3.3. Pintu Butulan
Gambar 29 Pintu Butulan di Kotagede sumber : UNESCO (2007 :91)
Pintu yang menghubungkan antara halam satu dengan halaman tetangga sebagai jalan pintas.
Konsep tata ruang dalem terdapat bukaan bagian samping yang dikenal sebagai pintu butulan. Ke arah
luar, pintu butulan ini akan bertemu atau berhadapan dengan pintu butulan milik tetangga dengan jarak
yang relatif dekat yaitu selebar dua tritisan rumah atau selebar 0,8 meter. Melalui pintu ini interaksi
antartetangga, dari sekadar berkunjung, bersilaturami hingga berbagi hasil masakan akan berlangsung
efektif.
26
3.4. Arsitektur Tradisional dan Interaksi Sosial di Kotagede
Masyarakat Kotagede memiliki budaya komunal yang kental. Nilai – nilai kebersamaan sangat
melekat pada kehidupan sehari – hari masyarakat. Hal ini juga tercermin pada pola lingkungan
perumahannya. Rumah bukan sekadar hunian fisik untuk berlindung namun juga memiliki fungsi sosial.
Fungsi sosial tersebut diwujudkan dalam berbagai bentuk ruang untuk berinteraksi secara sosial dalam
berbagai kegiatan.
Secara fisik, elemen ruang yang fixed pada rumah tradisional Jawa terdapat ruang – ruang
fleksibel untuk fungsi sosial dan zona publik dan semipublik. Termasuk dalam zona publik adlaah
pendopo untuk menerima tamu baik yang bersifat personal maupun kolektif. Sedangkan ruang yang
bersifat privat bagi penghuni rumah namun dapat dimasuki oleh saudara dan kerabat dekat adalah
gandok.
Gambar 30 Perletakan Pintu Butulan pada Rumah Tradisional Jawa Kotagede sumber : Wikantiyoso dalam Cahyono (2002: 85)
Fungsi sosial rumah tradisional Jawa di Kotagede ditunjukkan dengan adanya kemudahan
pencapaian (jalan rukunan, pintu butulan, pendhopo, emperan / pringgitan dan gandhok), pintu butulan
dan ruang – ruang fleksibel. Ruang yang dalam kondisi tertentu dapat mewadahi kegiatan – kegiatan
sosial.
Fungsi sosial ini nampak jelas apabila pemilik rumah mengadakan kegiatan yang melibatkan
warga sekitar seperti sholat tarawih bersama, syawalan, pernikahan, atau mengalami musibah
kematian. Pada saat itu sebagian besar ruang dalam rumah tingal, baik pendopo, dalem, maupun
gandhok menjadi terbuka untuk menampung kegiatan. Bahkan pada saat acara pernikahan, para
tetangga juga menyediakan rumahnya untuk membantu menampung para tamu undangan atau
27
sebagai tempat menginap calon pengantin pria (besan) atau sebagai tempat memasak hidangan
perhelatan (Indartoro dalam Tjahjono, 2002 :47).
3.5. Prinsip Kerukunan Orang Jawa
Perlu diperhatikan dua segi dalam tuntunan kerukunan. Pertama, dalam pandangan Jawa
masalahnya bukan penciptaan keadaan keselarasan sosial, melainkan lebih untuk tidak mengganggu
keselarasan yang diandaikan sudah ada. Dalam perspektif Jawa, ketenangan dan keselarasan sosial
merupakan keadaan normal yang akan terdapat dengan sendirinya selama tidak diganggu. Prinsip
kerukunan terutama bersifat negatif : kerukunan itu menuntut untuk mencegah segala cara kelakuan
yang dapat mengganggu keselarasan dan ketenangan dalam masyarakat. Kedua, prinsip kerukunan
tidak menyangkut suatu sikap batin atau keadaan jiwa , melainkan penjagaan keselarasan dalam
pergaulan. Yang diatur adlaah permukaan hubungan – hubungan sosial yang kentara. Yang perlu
dicegah adalah konflik – konflik yang terbuka. Oleh karena itu, Hildred Geertz menyebut keadaan rukun
sebagai harmonious sosial appearances (Franz Magnis – Suseno SJ. 1984 : 39).
Masyarakat Jawa sepenuhnya menyadari kepentingan individualnya, Nampak dalam cara
bergotong – royong sebagai salah satu ungkapan kerukunan. Dari tujuh bentuk gotong – royong yang
dibedakan oleh Koentjaraningrat (1961 :29), hanya ada dua yang terjadi sama sekali spontan, yaitu
tentang membantu dalam kasus kematian (layat), dan melaksanakan proyek tertentu yang berkaitan
dengan kepentingan seluruh kampung. Menghadiri undangan pesta merupakan suatu kewajiban.
(Franz Magnis – Suseno SJ. 1984 : 54)
28
4. BAB IV
KESIMPULAN
1. Pada tataran layout kawasan, konsep catur gatra tunggal merupakan konsep kawasan yang
dipakai pada kerajaan – kerajaan di Jawa, terutama di Kotagede dan di Yogyakarta. Kota
Yogyakarta mengadopsi Catur Gatra Tunggal Kotagede.
2. Pertimbangan fungsi sosial menjadikan pola pemanfaatan ruang pada rumah di Kotagede
menjadi dua, yaitu ruang dengan fungsi fleksibel dan ruang dengan fungsi yang fixed. Ruang
dalam kategori fleksibel adalah pendopo, pringgitan, dalem, dan gandok. Pemanfaatan ruang
– ruang ini tergolong variatif, bahkan secara kombinatif berfungi ganda. Ruang yang fixed
adalah senthong tengah karena pembatas ruang dan kesakralan ruang dan omah mburi.
3. Nilai – nilai dan etika Jawa pada masyarakat Kotagede tetap dipegang secara teguh meskipun
telah mengalami perkembangan jaman. Jalan rukunan masih digunakan sebagai ruang sosial,
keberadaan senthong tengah masih dianggap sakral walaupun telah berubah fungsi hanya
sebagai simbol dan tetap dihormati.
4. Keberadaan jalan Rukunan menjadi fungsi sosial menjadi salah satu pembeda dengan rumah
tradisional Jawa pada umumnya. Jalan Rukunan memiliki dua fungsi yang berbeda, yaitu
sebagai jalur sirkulasi, jalan rukunan menjadi ruang publik, dan sebagai longkangan yang
merupakan kepemilikan dari masing – masing individu. Fungsi publik jalan rukunan membawa
pengaruh pada pola hirarki ruang pada rumah Jawa.
Gambar 31 Skema Zonasi dan Orientasi dengan adanya Jalan Rukunan di Kotagede sumber : Wikantiyoso dalam Cahyono (2002: 180)
5. Pola struktur tataruang tradisional Jawa mampu menampung kebutuhan untuk ritual berkaitan
dengan siklus hidup manusia, namun tidak sepenuhnya mampu mengakomodasi kebutuhan
moderen para penghuni, semisal lurung - lurung yang tidak dapat dilalui mobil.
29
DAFTAR PUSTAKA
Tjahjono, Gunawan. 1989. Center, and Duality in Javanese Architectural Tradition: The Symbolic
Dimensions of House Shapes in Kota Gede and Surroundings. Thesis. Berkeley : University of
California.
Cahyono, Agus Tri. 2002. Strategi Penyesuaian Rumah Tradisional dan Pengaruhnya terhadap Pola
Hunian Kotagede. Thesis. Semarang : Universitas Diponegoro
Ikaputra, A Study on the Contemporary Utilization of the Javanese Urban Heritage and its Effect on
Historicity : An Attempt to Introduce the Contextual Adaptability into the Preservation of Historic
Environment of Yogyakarta. Thesis.Osaka : Osaka University Japan.
Hidayati, Rini. 2000. Karakteristik dan Keragaman Rumah Kalang di Surakarta, Yogyakarta, dan
Gombong. Thesis. Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada.
Widayat, Rahmanu. Krobongan Ruang Sakral Rumah Tradisi Jawa. Jurnal Puslit Petra.
http://puslit2.petra.ac.id/gudangpaper/files/2094.pdf (akses tanggal 14 November 2014)
Ronald, Arya.2005. Nilai – nilai Tradisional Rumah Tradisional Jawa. Yogyakarta : Gajah Mada
University Press
Santoso, Revianto. 2007. Life between Walls. Yogyakarta : Gramedia Pustaka Utama
Sumardiyanto, 2014. Penelusuran Makna Ruang Publik pada Rumah Tradisional Masyarakat Jawa
kasus : Desa Jagalan Kotagede Yogyakarta. Procceding. Yogyakarta : Universitas Atma Jaya
Suseno, Frans. 1984. Etika Jawa : sebuah analisa falsafi tentang kebijaksanaan hidup Jawa. Jakarta :
Gramedia
UNESCO. 2007. The Homeowner's Conservation Manual for Kotagede Heritage District.Jakarta :
UNESCO Office.
Utomo, Gregorius. 2014. Culture of Dwelling and Production of Space in the Post - Disaster Urban
Transformation Processes (Case Study: Kotagede, Yogyakarta – Indonesia). Berlin : Technischen
Universität Berlin
Wibowo, dkk. 2011.Toponim Kotagede : Asal Muasal Nama Tempat. Jakarta : Rehabilitasi dan
Rekonstruksi Masyarakat dan Permukiman Berbasis Komunitas.
Wikantiyoso, Respati. 1992. Kajian tentang Perubahan Bentuk dan Tatakota Ruang Pemukiman
Tradisional Jawa di Kotagede. Thesis. Bandung : Institut Teknologi Bandung.