teori sosiologi
TRANSCRIPT
Anggota kelompok :
Sista Okvies alviani Gea (1002112766)
Stanggi dwi lestari (1002112281)
Ufi Mitsari (1002135012)
TUGAS SOSIOLOGI
BAB 15
TEORI SOSIOLOGI
DI SUSUN OLEH :
STANGGI DWI LESTARI
SISTA OKVIES ALVIANI GEA
UFI MITSAQY
Bab 15
TEORI SOSIOLOGI
Sebagaimana telah kita lihat pada Bab 1, maka sosiologi muncul setelah
ancaman terhadap dunia yang dianggap nyata. Sosiologi muncul setelah terjadi
perubahan mendasar dan berjangka panjang di Eropa seperti industrialisasi,
urbanisasi, rasionalisasi. Untuk menjelaskan proses tersebut para ahli sosiologi
berteori.
TEORI, PARADIGMA, DAN PENJELASAN SOSIOLOGIS
Apakah yang dimaksud dengan teori ? Jhonathan H. Turner
merumuskan sebagai : “… a mental activity …a process of developing ideas
that can allow the scientists ro explain why evenrs should occcur” (1978:2).
Melalui kegiatan teori, menurut Tuner, seorang ilmuan dapat menjelaskan
mengapa peristiwa-peristiwa tertentu terjadi.
Suatu perumusan lain ditawarkan oleh Kornblum. “a set of interrelated
concepts that seeks to explain the cause of an observable ohenomenon”
(Kornblum, 1988:600). Dalam perumusan Kronblum maupun Turner yang
ditetakankan ialah penjelasan sebab terjadinya suatu gejala yang diamati.
Dalam defenisi Turner dan Kornblum kita jumpai kata to explain. Perlu
kita perhatikan disini bahwa dalam bidang ilmu kata “menjelaskan” ini
mempunyai makna khusu, yaitu penjelasan ilmiah (scientific explanation) yang
intinya ialah pencarian faktor penyebab (dalam defenisi diatas Turner berbicara
mengenai “to explain why”, menjelaskan mengapa, Kornblum berbicara
mengenai “to explain the causes”, menjelaskan sebab-sebab).
Dalam proses pencarian sebab ini, para ilmuan membedakan antara dan
faktor yang dijelaskan (explanandum) dan faktor penyebab (explanans). Dalam
analisis data kuantitatif kita pun mengenai perbedaan antara konsep variable
tergantung (defendant variable) yang merupakan faktor yang harus dijelaskan,
dan variabel bebas (independent variable) yang merupakan faktor penyebab.
Disamping penjelasan kausal dikenal pula bentuk penjelasan lain.
Durkheim (1965), misalnya, membedakan dua macam penjelasan : penjelasan
fungsional, yang terdiri atas pencarian fungsi suatu fakta sosial, dan penjelasan
kausal, yang mencari sebab-sebab terjadinya suatu fakta sosial. Dikala kita
dalam Bab 10 membahas institusi kita telah jumpai berbagai penjelasan
fungsional. Penjelasan fungsi institusi pendidikan, ekonomi, agama, politik,
keluarga. Dalam bab-bab terdahulu kita pun telah berulang kali menjumpai
berbagai penjelasan kausal. Misalnya, mengpa stratifikasi sosial timbul megapa
perilaku kolektif terjadi, mengapa otang melakukan penyimpangan dan
sebagainya.
Sebagaimana juga halnya dengan ilmu-ilmu lain, maka sosiologi pun
mempunyai teori sendiri, mempunyai konsep hipotesis, proposisi, vatiabelnya
sendiri. Suatu ciri yangdipunyai sosiologi sebagai suatu bidang ilmu ialah
bahwa sosiologi mempunyai banyak teori (Sorokin mendata lebih dari seribu
tokoh sosiologi), sosiologi mempunyai banyak paradigma (lihat Ritzer, 1980
yang menamakan sosiologi suatu ilmu berparadigma majemuk. a multiple
paradigma science. Karena mempunyai tiga paradigma. Untuk uraian rinci
mengenai paradigma dalam sosiologi, lihat Bab 16).
Kita telah melihat bahwa teori menjawab pertanyaan : mengapa? Kita
tentu ingin mengetahui pertanyaan apakah yang hendak dijawab oleh teori
sosiologi, masalah apakah yang hendak dipecahkan oleh sosiologi.
Talcoot Parsons, seorang tokoh sosiologi masa kini mengemukakan
bahwa masaah yang hendak dipecahkan sosiologi berkaitan erat dengan
masalah yang pernah dihadapi oleh Thomas Hobbes, seorang pemikir Inggris
yang hidup antara tahun 1588-1679 (lihat Parsons, 1949). Dimasa hidup Eropa
dilanda perang tures-menerus. Hobbes mengkhawatirkan bahwa apabila
keadaan ini dibiarkan terus maka umat manusia akan punah. Oleh sebab itu ia
kemudian mengajukan pertanyaan yang sangat terkenal : “How and why is
society possible?” mengapa dan bagaimana masyarakat dimungkinkan
merupakan pertanyaan yang mendorong Hobbes untuk menulis buku berjudul
Leviathan.
Bagi Parsons yang penting bagi sosiologi bukan jawaban yang diberikan
Hobbes, yang dikenal dengan nama teori perjanjian, melainkan pertanyaan itu
sendiri. Dengan demikian pertanyaan pokok yang mendorong ahli sosiologi
untuk mengkaji masyarakat ialah pertanyaan Hobbes tersebut diatas, yang
dikenal dengan nama the problem of order.
Sosiologi tertarik pada masalah keteraturan, sebagaimana telah kita lihat
dari pandangan Berger pada awal buku ini. Pertanyaan yang diajukan para ahli
sosiologi, menurut Berger, ialah apa yang dilakukan manusia, bagaimana
hubungan antar manusia membentuk institusi, ide kolektif apa yang
menggerakkan manusia dan institusi (lihat Berger, 1978:31).
Pandangan hampir serupa kita jumpai pula dalam pandangan C. Wright
Mills, meskipun ia lebih memfokuskan perhatian sosiologi pada masalah krisis.
Menurut Mills pertanyaan yang akan diliputpara ahli sosiologi dapat
digolongkan kedalam tiga kelompok (lihat Mills, 1967:6-8). Pertanyaan dalam
kelompok pertama melihat struktur seluruh masyarakat: bentuknya, bagian-
bagiannya yang utama, hubungan antara satu bagian dengan bagian yang lain,
beda satu masyarakat dengan masyarakat lain, sumbangan unsur tertentu bagi
kesinambungan dan perubahannya. Kelompok kedua menyangkut pertanyaan
seperti letak masyarakat dalam sejarah, mekanisme perubahannya, tempatnya
dalamperkembangan manusia. Pertanyaan dalam kelompok ketiga
mempermasalahkan jenis laki-laki dan perempuan yang kini terdapat dalam
masyarakat, jenis bagaimana yang akan bertahan, cara mereka dibentuk,
diseleksi, dibuat peka dan seterusnya.
Kita telah melihat bahwa pandangan Berger dan Mills mengenai apa
yang seharusnya merupakan pokok perhatian sosiologi berbeda. Dalam
sosiologi dikenal berbagai paradigma dan teori, dan para pendukung masing-
masing paradigma dan teori tersebut berusaha menjawab permasalahan (the
ptonlem of order) tersebut sesuai dengan sudut pandang paradigma dan teori
yang dianut.
KLASIFIKASI TEORI SOSIOLOGI
Dalam sosiologi ditempuh berbagai cara untuk mengklasifikasikan teori.
Kita telah melihat klasifikasi teori sosiologi klasik dan modern yang didasarkan
pada uturan waktu lahirnya teori, yang antara lain ditempuh Johnson (lihat bab
1). Collins (1994) pun mengaitkan teori masa kini. Dengan karya pemikir awal
sosiologi. Dengan mengacu pada pemikiran tokoh sosiologi seabad yang lalu
sebagai titik tolak Collins, misalnya, mengidentifikasi empat tradisi sosiologi : (1)
tradisi konflik (the conflict tradision) dengan Marx, Engels, Weber, Dahrendotf,
Lenski dan Collins sendiri sebagai pemikirnya. (2) tradisi rasional/utiliter (the
rational/utilitarian tradition) yang dipelopori Homans, March dan Simon,
Schelling, Olson, dan Coleman. (3) tradisi Durkheim (rhe Durkheimian tradition)
dengan tokohnya seperti Durkheim, Hubert dan Mauss, Levi-Strauss, Goffman,
Hagstrom, dan Douglas, dan (4) tradisi mikrointeraksi (the microinteractionist
tradition) yang prakarsai Cooley, Mead, Blumer, Mehan dan Wood, dan
Goffman.
Kita pun telah menjumpai klasifikasi makrososiologi-mesososiologi-
mikrososiologi yang didasarkan pada luasnya ruang lingkup pokok bahasan.
(lihat bab 2 ). Collins (1988) merinci klasifikasi lebih lanjut, dibawah judul teori
makro Collins menempatkan teori evolusionisme, teori sistem, ekonomi politik,
konflik dan perubahan sosial, serta teori konflik multidimensi dan stratiffikasi.
Teori meso mencakup hubungan mikro-makro, teori jaringan, dan organisasi.
Sedangkan teori mikro mencakup ritual interaksi, diri, pikiran dan peranan
sosial, defenisi situasi dan konstruksi sosial terhadap realitas, strukturalisme
dan sosiolinguistik, serta pertukaran sosial dan teori terkait.
Klasifikasi lain menekankan pada perbedaan aliran pemikiran (lihat
Ritzer, 1992) aliran-aliran utama (major schools) teori sosiologi yang dicatat
Ritzer ialah (1) fungionalisme struktural dan teori konflik, (2) berbagai ragam
teori sosiologi neo-Marxis, (3) interaksionisme simbolik, (4) sosiologi
fenomenologi dan etnometodologi, (5) teori pertukaran dan sosiologi perilaku,
(6) teori feminis masa kini, dan (7) teori sosiologi struktural, Ritzer kemudian
menguraikan perkembangan mutakhir dalam teori sosiologi, yang mencakup
baik integrasi antara teori jenjang mikro dengan makro maupun sintesis antara
berbagai aliran pemikiran (lihat Ritzer, 1990).
TEORI MAKROSOSIOLOGI (1): FUNGSIONALISME
Tokoh Fungsionalisme Klasik
Durhheim mengemukakan bahwa ikatan solidaritas mekanik, yang
dijumpai pada masyarakat yang masih sederhana, laksana kohesi antara
benda-benda mati, sedangkan ikatan solidaritas organik, yang dijumpai pada
masyarakat yang kompleks, laksana kohesi antara organ hidup (lihat Lukes,
1973:148). Pertanyaan seperti ini mencerminkan penganutan analogi organik-
anggaran mengenai adanya persamaan tertentu antara organisme biologis
dengan masyarakat. Analogi organik merupakan suatu cara memnadang
masyarakat yang banyak kira jumpai dikalangan penganut teori fungsionalisme.
Gambaran yang disajikan Dahrendorf mengenai pokok teori fungsionalisme
adalah sebagai berikut : (1) setiap masyarakat merupakan suatu struktur unsur
yang relatif gigih dan stabil, (2) mempunyai struktur unsur yang terintegrasi
dengan baik, (3) setiap unsur dalam masyarakat mempunyai fungsi,
memberikan sumbangan pada terpeliharanya masyarakat sebagai suatu
sistem, dan (4) setiap struktur sosial yang berfungsi didasarkan pada konsesus
mengenai nilai di kalangan para anggotanya (lihar Dahrendorf, 1976:161).
Auguste Comte, teori yang dikenal dengan berbagai nama seperti teori
struktur-fungsi, fungsionalisme, dan fungsionalisme struktural merupakan teori
yang tertua dan hingga kini paling luas pengaruhnya. Tokoh awal teori ini ialah
“Bapak Sosiologi” Auguste Comte sumbangan utama Comte bagi sosiologi,
yaitu positivisme, pembagian antara statika sosial dan dinamika sosial, dan
organisisme (organicism) menampilkan kesalingketerkaitan yang erat.
Turner (1978) mengemukakan bahwa Comte merupakan perintis
pendekatan positivisme yang memakai metode ilmiah untuk mengumpulkan
data empiris. Sebagaimana kita lihat dalam Bab 1 mengenai sejarah sosiologi,
positivisme yang dirintis Comte mengandung ciri pengkajian fakta yang pasti,
cermat, dan bermanfaat melalui pengamatan, perbandingan, eksperimen, dan
metode historis (lihat Laeyendecker, 1983:145).
Untuk mendukung pandangannya bahwa sosiologi merupakan suatu
ilmu, Comte meminjam alih konsep dari ilmu-ilmu biologi. Oleh sebab itu Turner
menanamkan pendekatan organicism. Dengan menggunakan analogi
organisme individu untuk menjelaskan masyarakat, Comte menyamakan
struktur keluarga dengan struktur unsur atau sel, kelas atau kasra dengan
jaringan, dan kota atau komun dengan organ. Kajian terhadap “organisme
sosial” ini merupakan strudi terhadap statika sosial (lihat Turner, 1978:20-21).
Dengan sendirinya Comte pun sadar akan perbedaan antara organisme
biologis dan masyarakat. Ia mengemukakan, misalnya, bahwa, berbeda dengan
organisme biologis, ikatan pada organisme sosial tidak berwujud fisik melainkan
terdiri atas ikatan-ikatan batin.
Herbert Spencer. Positivisme pada organisme kita jumpai lagi dalam
karya ahli sosiologi dari Inggris, Herbert Spencer (lihat Turner, 1978). Spencer
pun melakukan perbandingan antara organisme individu dan organisme sosial
dan mengamati bahwa, sebagaimana halnya dengan organisme biologis,
masyarakat manusia pun berkembang secara evolusioner dari bentuk
sederhana kebentuk kompleks. Dalam proses peningkatan kompleksitas dan
diferensiasi ini, menurut Spencer, terjadi pula diferensiasi fungsi : terjadinya
perubahan struktur disertai dengan perubahan pada fungsi.
Emile Durkheim. Durkheim merupakan tokoh sosiologi klasik yang
secara rinci membahas konsep fungsi dan menggunakannya dalam analisis
terhadap berbagai pokok pembahasannya. Dalam bukunya The Division of
Labor in Siciety (1964), misalnya, selain membahas secara rinci konsep fungsi
ia pun membahas fungsi pembagian kerja dalam masyarakat. Apa fungsi
pembagian kerja dalam masyarakat? “To ask what the function of the division of
labor is is to seek for the need which it supplies,” ujar Durkheim (1968:49).
Dalam bukunya The Rules of Sociological Method (1965) ia
mengemukan bahwa fakra sosial dapat dijelaskan dengan mempelajari
fungsinya. Menurut Durkheim (1965:95) mencari fungsi suatu fakta sosial
berarti “…determine whether there is a correspondence between the fact under
consideration and the general needs of the social organism…” contoh yang
diberikan Durkheim ialah hukuman : fungsi hukuman dalam masyarakat ialah
untuk tetap memelihara intensitas sistem kolektif yang ditimbulkan oleh
kejahatan. Tanpa adanya hukuman bagi kejahatan sentimen tersebut, menurut
Durkheim, akan segera lenyap (1965:96).
Dalam buku The Elementary Forms of the Religious Life Durkheim
(1966) mempelajari fungsi agama. Mengenai hal ini Durkheim antara lain
mengemukakan bahwa “…even with the most simple religions we know, their
essential taks is to maintain, in a positive manner, the normal course of life”
(1966:43),
A.R. Radcliffe-Brown. Dalam uraiannya mengenai konsep fungsi
Radcliffe-Brown (1935) mengemukakan bahwa konsep fungsi didasarkan pada
analogi antara kehidupan sosial dan kehidupan organik. Mengenai konsep
fungsi Radcliffe-Brown mengemukakan pandangan berikut :
The function of any recurrent acrivity, such as rhe punishment of a crime,
or a funeral ceremony, is the part it plays in the social life as a whole and
therefore the contribution it makes to rhe maintenance of the structural continuty
(1935).
Bronislaw Malinowski. Seorang ahli antropologi lain, Bronislaw
Malinowski, pun menggunakan pendekatan fungsional dalam karya-karyanya.
Menurut pandangannya setiap unsur kebudayaan mempunyi fungsi penting,
sebagaimana nampak dari kutipan berikut ini :
“…in every type of civilization, every custom, maretial object, idea and
belief fulfills some vital function, has some tasks to accomplish, represents an
indispensable part within a working whole.” (lihat Turner, (1978:32).
TOKOH FUNGSIONALISME MODERN
Talcott Parsons. Talcott Parsons merupakan tokoh sosiologi modern
yang mengembangkn analisis fungsional dan secara sangat rinci
menggunakannya dalam karya-karyanya pertamanya yang memakai analisis
fungsional adalah buku The Social System (1951). Dalam karya berikutnya
Parsons secara rinci menguraikan fungsi berbagai struktur bagi
dipertahankannya sistem sosial.
Karya pandangan Parsons yang terkenal ialah kajiannya mengenai
fungsi struktur bagi dipecahkannya empat masalah : adaptasi, pencapaian
tujuan, integrasi, pemeliharaan pola, dan pengendalian ketegangan (lihat
Turner, 1978:51).
Robert K. Merton. Merton (1968) merupakan seorang tokoh sosiologi
modern yang melakukan rincian lebih lanjut dalam analisis fungsional dengan
memperkenalkan konsep fungsi, disfungsi, fungsi laten, fungsi manifest.
Mengenai berbagai konsep ini perlu, karena menurut Merton para tokoh
fungsionalisme sebelumnya hanya menitikberatkan perhatian mereka pada
konsep fungsi saja dan mengabaikan konsef disfungsi dan konsep fungsi laten.
TEORI MAKROSOSIOLOGI (2): TEORI KONFLIK
Apa pokok pikiran yang terkandung dalam teori konflik? Gambaran
Dahrendorf mengenai asumsi-asumsi utama teori konflik adalah sebagai
berikut : (1) Setiap masyarakat tunduk pada proses perubahan, perubahan ada
dimana-mana. (2) disensus dan konflik terdapat dimana-mana. (3) setiap unsur
masyarakat memberikan sumbangan pada disintegrasi dan perubahan
masyarakat, dan (4) setiap masyarakat didasarkan pada paksaan beberapa
orang anggota terhadap anggota lain (lihat Dahrendorf, 1976:162).
Tokoh Awal: Karl Marx
Teori kelas. Sumbangan Marx kepada sosiologi terletak pada teorinya
mengenai kelas. Marx berpendapat bahwa sejarah masyarakat hingga kini
adalah sejarah perjuangan kelas (lihat Coser, 1977:48). Dengan munculnya
kapitalisme terjadi pemisahan tajam antara mereka yang mengusai alat
produksi dan mereka yang mempunyai tenaga. Pengembangan kapitalisme
memperuncing kontradiksi antara kedua kategori sosial sehingga pada akhirnya
terjadi konflik diantara kedua kelas. Menurut ramalan marx kaum proletar akan
memenangkan perjuangan kelas ini dan akan menciptakan masyarakat tanpa
kelas dan tanpa negara.
Dalam kerangka teori Marx cara produksi yang terdapat dalam
masyarakat merupakan faktor yang menentukan struktur masyarakat tersebut.
Pandangan ini dituangkan dalam konsepnya mengenai struktur infra dan
struktur supra. Menurut pandangan Marx struktur supra selalu ditentukan oleh
strukur infra.
Alienasi. Konsep penting lain yang dikembangkan Marx melihat bahwa
sejarah manusia memperhatikan peningkatan penguasaan mansusia terhadap
alam serta peningkatan alienasi manusia.
Tokoh Awal: Max Weber
Karya Weber sering dikaitkan dengan teori sosiologi yang berbeda.
Uraian Weber mengenai tindakan sosial sebagai pokok perhatian sosiologi
dijadikan dasar pengembangan teori interaksionlisme simbolik (lihat Turner,
1978), Weber pun dianggap sebagai tokoh yang memberi sumbangan terhadap
fungsionalisme awal (lihat Turner, 1978) namun Weber dianggap pula sebagai
penganut teori konflik (lihat Collins, (1968).
Tokoh Modern: Ralf Dahrendorf
Dalam tulisannya mengenai kelas dan konflik kelas dalam masyarakat
industri, Ralf Dahrendorf (1976) menolak beberapa diantara pandangan Marx.
Ia mengamati bahwa, berbeda dengan pandangan Marx, perubahan sosial
tidak hanya datang dari dalam tetpi dapat juga dari luar masyarakat. Bahwa
perubahan dari dalam masyarakat tidak selalu disebabkan konflik sosial, dan
bahwa disamping konflik kelas terdapat pula konflik sosial yang berbentuk lain.
Ia pun mengamati bahwa konflik tidak selalu menghasilkan revolusi, dan bahwa
perubahan sosial dapat terjadi tanpa revolusi. Selanjutnya, Dahrendorf melihat
pula bahwa kelas-kelas sosial tidak selalu terlibat dalam konflik. Akhirnya,
Dahrendorf mencatat bahwa kekuasaan politik selalu mengikuti kekuasaan
dibidang industri.
Dahrendorf melihat bahwa struktur masyarakat industri telah mengalami
perubahan yang besar semenjak zamannya Marx. Oleh sebab itu Dahrendorf
menolak sebagian dari teori Marx, seperti misalnya teori mengenai perubahan
sosial dan konflik kelas, konflik kelas dan revolusi, hak milik dan kelas sosial.
Dahrendorf kemudian membuat teori konflik yang dalam berbagai segi berbeda
dengan teori Marx.
Menurut teori konflik versi Dahrendorf masyarakat terdiri atas organisasi-
organisasi yang didasarkan pada kekuasaan (dominasi satu pihaklain atas
dasar paksaan) atau wewenang (domisili yang diterima dan diakui oleh pihak
yang didomisili) yang dinamakannya “imperatively coordinated associations”
(asosiasi yang dikoordinir secara paksa). Karena kepentingan kedua pihak
dalam asosiasi-asosiasi tersebut berbeda. Pihak penguasa berkepentingan
untuk mempertahankan kekuasaan, sedangkan pihak yang dikuasai
berkepentingan untuk memperoleh kekuasaan. Maka dalam asosiasi akan
terjadi polarisasi dan konflik antara kedua kelompok. Keberhasilan kelompok
yang dikuasai untuk merebut kekuasaan dalam asosiasi akan menghasilkan
perubahan sosial. Dengan demikian konflik, menurut Dahrendorf, merupakan
sumber terjadinya perubahan sosial (lihat Dahrendorf, 1976)
Tokoh Modern: Lewis Coser
Dikala Jepang menyerbu Cina menjelang awal Perang Dunia II,
kelompok Kuomintang dibawah pimpinan Chiang Kai Sek dan kelompok komuni
dibawah pimpinan Mao Zedong yang sedang terlibat konflik berkesinambungan
menghentikan konflik mereka untuk menghadapi ancaman Jepang. Setelah
terjadi kudeta Gerakan 30 September pada tahun 1965 berbagai kelompok
agama antikomunis seperti organisasi Islam, Kristen, Katolik bergabung dalam
berbagai kesatuan aksi untuk menetang dan menuntut pembubaran Partai
Komunis Indonesia. Setelah Irak menduduki Kuwait sejumlah negara Arab yang
tergabung dalam Liga Arab mengutuk Irak, menuntut penarikan mundur
pasukan Irak dari Kuwait, dan mengirimkan pasukan mereka Saudi Arabia
untuk menghadapi kemungkinan serangan Irak. Peristiwa-peristiwa ini
mendukung proposisi conflict binds antagonists yang dilontarkan Coser. Bahwa
kelompok yang mempunyai kepentingan berlainan, dan bahkan mungkin
bertentangan dapat bersatu menghadapi lawan bersama.
Coser terkenal karena pandangannya bahwa konflik mempunyai fungsi
positif bagi masyarakat (lihat Coser, 1964). Ia mengembangkan sejumlah
proposisi mengenai fungsi konflik atas dasar asas yang ditegakkan oleh tokoh
teori konflik lain, Georg Simmel. Menurut defenisi kerja Coser konflik adalah
“perjuangan mengenai nilai serta tuntutan atas status, kekuasaan dan sumber
daya yang bersifat langka dengan masud mentralkan, mencederai atau
melenyapkan lawan” (Coser, 1964:8). Kajian Coser terbatas pada fungsi postif
dari konflik, yaitu dampak yang mengakibatkan peningkatan dalam adaptasi
hubungan sosial atau kelompok tertentu.
TEORI MIKROSOSIOLOGI (1): TEORI PERTUKARAN
Hubungan antara dua orang kekasih renggang dan akhitnya terputus
tatkala salah seorang dipindahkan ke daerah lain sehingga biaya untuk
berkomunikasi menjadi sangat mahal. Seorang dermawan memberikan secara
berkala pula menyatakan rasa terima kasihnya secara terbuka di muka umum,
namun sumbangan dihentikan tatkala dermawan bersangkutan merasa bahwa
pengurus yayasan kurang memperlihatkan rasa terima kasih mereka. Seorang
siswa senantiasa belajar dengan rajin karena orang tuanya selalu memuji
prestasi belajarnya, sedangkan seorang siswa lain enggan belajar karena terus-
menerus dikritik. Pelanggaran lalu lintas berkurang tatkala kebanyakan
pelanggar dapat segera ditahan, diadili dan dijatuhi hukuman denda tinggi atau
hukuman kurungan. Kasus ini mencerminkan adanya asas pertukaran dalam
hubungan sosial antaramanusia, dan oleh sejumlah ahli sosiologi asas
pertukaran dikembangkan menjadi teori untuk menjelaskan ada tidaknya
hubungan sosial.
Turner meringkas pokok pikiran teori pertukaran sebagai berikut (lihar
Turner, 1978:202-203) : (1) manusia selalu berusaha mencari keuntungan
dalam trasanksi sosialnya dengan orang lain, (2) dalam melakukan transaksi
sosial manusia melakukan perhitungan untung-rugi, (3) manusia cenderung
menyadari adanya berbagai alternatif yang tersedia baginya, (4) manusia
bersaing satu dengan yang lain, (5) hubungan pertukaran secara umum
antarindivisu berlangsung dalam hampir semua konteks sosial, (5) individu pun
mempertukarkan berbagai komoditas tak berwujud seperti perasaan dan jasa.
Teori Pertukaran Klasik
Teori pertukaran (exchange rheory) berakar pada pemikiran ahli filsafat
sosial abad ke 18. dikala itu di Inggris berkembang pemikiran utilitasrium, yang
antara lain dipelopori oleh Jeremy Bentham. Menurut Bentham para penganut
prinsip kemanfaatan (utility) terdiri atas mereka yang mengukur baik buruknya
suatu tindakan dengan melihat pada penderitaan dan kesenangan (pain and
pleasure) yang dihasilkan oleh tindakan tersebut. Suatu tindakan dianggap adil,
baik, atau bermoral manakala tindakan tersebut mengakibatkan hal yang
menyenangkan, bila suatu tindakan mengakibatkan penderitaan maka tindakan
tersebut dianggap buruk, tidak adil, tidak bermoral (lihat Beck, 1979:67-86).
Teori pertukaran awal mula-mula dikembangkan oleh para ahli
antropologi Inggris seperti Bronislaw Malinowski, dan diperluas oleh ahli
antropologi Prancis seperti macel Mauss dan Claude Levi-Strauss (lihar Turner,
1978:201-215). Inti dari teori ini ialah bahwa manusia adalah makhluk yang
mencari keuntungan (benefit) dan menghindar biaya (cost) manusia, dalam
prespekrif para penganut teori pertukaran, merupakan makhluk pencari imbalan
(reward-seeking animal).
Dalam perkembangan selanjutnya teori ini mulai meninggalkan beberapa
asumsi utama dari aliran untulitarianisme. Misalnya : kaum utilitarian yang
mempermasalhkan komoditas maretial, teori pertukaran, dipihak lain, melihat
bahwa manusia tidak hanya mencari dan mempertukarkan komoditas material
seperti makanan, minuman dan kebutuhan material lainnya, namun dapat pula
mengejar dan mempertukarkan komoditas material seperti jasa, perasaan dan
sebagainya.
Teori Pertukaran Modern
George C.Homans. George C.Homans merupakan salah seorang tokoh
teori pertukaran kodern. Pemikirannya antara lain dipengaruhi karya ahli
psikologi skinner. Homans berpendapat bahwa pertukaran yang berulang-ulang
mendasari hubungan sosial yang berkesinambungan antara orang tertentu.
Pandangan Homans ini dituangkan dalam sejarah proposisi, salah satu
diantaranya berbunyi demikian : “For all actions taken by persons, the more
often a paticular actions is rewarded, the more likely the person is to perform
that actions”. (Homans 1974:16). Menurut proposisi ini seseorang akan
semakin cenderung melakukan suatu tindakan manakala tindakan tersebut
makin sering disertai imbalan. Dari proses pertukaran semacam inilah, menurut
pendapat Homans, muncul organisasi sosial, baik yang berupa kelompok,
institusi maupun masyarakat (lihat (Turner, 1978:216-245).
Peter Blau. Berbeda dengan Homans, yang membatasi analisinya pada
jenjang mikrososiologi walaupun menurutnya proses perilaku sosial pada
jenjang mikro tersebut mempunyai dampak pada makrososiologi, maka teori
Blau berusaha menjembatani kedua jenjang analisis sosiologi. Perbedaan lain
ialah bahwa Blau membatasi diri pada interaksi yang melibatkan asas
pertukaran dengan mengakui bahwa tidak semua interkasi melibatkan
pertukaran, sedangkan Homans cenderung berpendapat bahwa semua
interaksi melibatkan pertukaran.
Sebagaimana halnya dengan Homans, Blau pun memulai analisisnya
pada proses interaksi, namun kemudian melanjutkan analisisnya dengan
membahas bagaimana struktur yang lebih besar seperti komunitas, organisai
dan masyarakat tercipta, bertahan, berubah, atau bubar (lihat Turner,
1978:246-277).
TEORI MIKROSOSIOLOGI (2): INTEAKSIONALISME SIMBOLIK
Meskipun diantara para penganut teori interaksionalisme simbol terdapat
perbedaan pandangan, namun Turner mencatat bahwa mereka sepakat
mengenai beberapa hal (lihat Turner, 1978:327-330). Pertama, terdapat
kesepakatan bahwa manusia merupakan makhluk yang mampu menciptakan
dan menggunakan simbol. Kedua, manusia memakai simbol untuk saling
berkomunikasi. Ketiga, manusia berkomunikasi melalui pengambilan peran
(role taking). Keempat, masyarakat tercipta, berahan, dan berubah berdasarkan
kemampuan manusia untuk berpikir, untuk mendefenisikan, untuk melakukan
renunangan, dan untuk melakukan evaluasi.
Interaksionalisme Klasik
Teori yang mengkhususkan diri pada interaksi sosial mula-mula
bersumber pada pemikiran para tokoh sosiologi klasik dari Eropa seperti Georg
Simmel dan Max Weber.
Georg Simmel. Simmel berpandangan bahwa muncul dan berkebangnya
kepribadian seseorang tergantung pada jaringan hubungan sosial (istlah
Simmel : web of group affiliations) yang dimilikinya, yaitu pada keanggotaan
kelompoknya (lihat Turner, 1978).
Max Weber. Sebagaimana telah kita lihat, Weber memperkenalkan
interaksionalisme dengan menyatakan bahwa sosiologi ialah ilmu yang
berusaha memahami tindakan sosial dengan mendefenisikan dan membahas
konsep dasar yang menyangkut interaksi seperti tindakan, tindakan sosial dan
tindakan nonsosial, serta hubungan sosial (lihat Weber, 1947). Sumbangan
penting lain bagi teori sosiologi terletak pada konsep pemahanan (verstehen)
dan konsep makna subyektif individu. Pemahaman terhadap tindakan sosial
dilakukan dengan meneliti makna subyektif yang diberikan individu terhadap
tindakannya, karena manusia bertindak atas dasar makna yang diberikannya
pada tindakan tersebut.
Interaksionalisme Simbolik Modern
Tokoh sosiologi modern dari Amerika Serikat yang merintis pemikiran
dasar mengenai interaksionalisme ialah, antara lain, William James, Charles
Horton Cooley, Jhon Dewey, dan George Herbert Mead (lihat Turner, 1978:309-
390). Ide-ide mereka kemudian mempengaruhi angkatan ahli sosiologi yang
lebih muda seperti Herbert Blumer, Erving Goffman dan Peter L. Berger.
William James. James terkenal karena merumuskan dan
mengembangkan konsep diri (self). Ia berpendapat bahwa perasaan seseorang
mengenai dirinya sendiri, seseorang muncul dari interaksinya dengan orang
lain. Suatu ungkapan terkenal dari James ialah bahwa “a man has as many
social selves as there are individuals who recognize him” (Turner, 1978: 313).
Jumlah diri yang dimiliki seseorang sama banyaknya dengan jumlah lingkungan
sosial dimana dia berada. Dengan memakai penjelasan James ini kita dapat
memahami, misalnya, mengpa dikalangan kelompok keagamaannya seseorang
dikenal dermawan tetapi dikalangan keluarga sendiri ia dikenal sebagai orang
kikir, atau mengapa bersikap sangat otoriter terhadap isteri dan anak-anaknya.
Charles Horton Cooley. Sebagaimana telah kita lihat dalam pebahasan
mengenai sosialisasi, maka Cooley terkenal karena antara lain
mengembangkan konsep looking glass self yang intinya alah bahwa seseorang
mengevaluasi dirinya sendiri atas dasar sikap dan perilaku orang lain
terhadapnya. Disini pun nampak bahwa menurut Cooley diri seseorang
berkembang dalam interaksi dengan orang lain (lihat Turner, 1978:313-314).
Jhon Dewey. Dewey, rekan Mead adalah tokoh pragmatisme yang
menekankan pada proses penyesuaian diri manusia pada dunia. Sumbangan
Dewey terletak pada pandangannya bahwa pikiran (mind) seseorang
berkembang dalam rangka usahanya untuk menyesuaikan diri dengan
lingkungan, dan bahwa pikiran tersebut ditunjang oleh interaksinya dengan
orang lain (pembahasan mengenai Dewey ini bersumber pada Turner,
1978:314-315).
George Herbert mead. Konsep diri dan pikiran yang dikembangkan oleh
para ahli sosiologi tersebut diatas digunakan Mead untuk mengembangkan
teorinya. Mead secara rinci membahas hubungan antara pikiran seseorang,
dirinya, dan masyarakat (lihat Mead, 1972). Sebagaimana telah kita lihat dalam
pembahasan kita mengenai proses sosialisasi, maka sumbangan pikiran
penting Mead antara lain terletak pada pandangannya bahwa diri (self)
seseorang berkembang melalui tahap play, the game, dan generalized other,
dan bahwa dalam proses perkembangan diri ini seseorang belajar mengambil
peran orang lain. 9taking the rule of the other).
W.I.Thomas. W.I.Thomas memperkenalkan konsep The definition of the
situation dalamsosiologi interaksi. Yang dimaksud Thomas dengan konsep
ialah bahwa manusia tidak langsung memberikan tanggapan (respons)
terhadap rangsangn (stimulus) sebagaimana halnya makhluk lain. Sebelum
bertindak untuk menanggapi melakukan penilaian dan mempertimbangkan
lebih dahulu. Mendefenisikan suatu rangsangan dari luar, individu selalu
melakukan seleksi, mendefinisi situasi, memberi makna pada siatuasi yang
dihadapinya.
Ungkapan terkenal dari Thomas adalah sebagai berikut : “When men
define situations as real, they are real in their consequences” jika orang
mendefinisi situasi sebagai hal yang nyata, maka konsekuensinya nyata pula,
ketika seorang wartawan Inggris keturunan Iran mengumpulkan data mengenai
instalasi militer di Irak ia mendefinisi situasinya sebagai kegitan pencarian berita
untuk surat kabar, namun penguasa di Irak mendefinisi situasinya sebagai
kegiatan mata-mata untuk Israel sehingga wartawan tersebut harus menjalani
hukuman mati. Beberapa tahun yang beberapa orang anggota polisi berpakaian
sipil mendatangi suatu desa di wilayah Cirebon di malam hari dengan maksud
menangkap seorang tersangka pelaku kejahatanb, namun situasi yang mereka
definisikan sebagai pelaksanaan tugas teranyata didefinisikan sebagai
perampokan oleh penduduk setempat sehingga para petugas diserang
penduduk yang mengakibatkan meninggalnya seorang petugas dan luka-
lukanya petugas lain. Dalam kedua kausus ini konesekuensi yang nyata-maut-
mengikuti definisi oleh salah satu pihak yang berinteraksi.
Dari conton ini nampak bahwa situasi dapat disefenisikan secara
berlainan. Sehubungan dengan ini Thomas menyebutkan adanya persaingan
antara defenisi situasi yang spontan, yang dibuat oleh anggota masyarakat,
dan defenisi situasi yang disediakan oleh masyarakat untuknya (lihat Thomas,
1968). Menurut Thomas defenisi situasi yang dibuat oleh masyarakat.
Keluarga, teman, komunitas, terdiri atas moralitas, aturan, norma, hukum.
Herbert Blumer. Herbert Blumer berusaha merinci dan menjelaskan asas
yang telah ditegakkan oleh mead. Menurut interprestasi Blumer,
interaksionalisme simbolik didasarkan pada tiga premis (lihat Blumer, 1969:1-
60) : (1) manusia bertindak terhadap sesuatu atas dasar makna sesuatu
tersebut bagi mereka, (2) makna merupakan saru produk sosial yang muncul
dalam proses interaksi antarmanusi, (3) penggunaan makna oleh para pelaku
belangsung melalui suatu ptoses penafsiran.
Erving Goffman. Teori Erving Goffman pun berpangkal tolak pada
interaksi tatap muka. Namun kalau dalam teori para ahli lain pelaku
digambarkan sebagai individu yang memberikan reaksi terhadap tindakan
individu atau kelompok lain, maka dalam teori Goffman individu digambarkan
sebagai pelaku yang melalui interaksi secara aktif mempengaruhi individu lain.
Kalau Mead berbicara mengenai invidu yang melakukan role Taking, maka
menurut Karp dan Yoels (1979), individu dalam teori Goffamn terlibat dalam
tole making.
Pendekatan Goffman dinamakan dramaturgi, pendekatan yang oleh
Poloma didefenisikan sebagai “an approach that uses the language and
imagery of the theater to desctibe the subjective as well as objective fact of
social interaktion” (Poloma, 1979:271). Penggunaan bahasa dan khayalan
teater untuk menggambarkan fakta subjektif dan objektif dari interaksi.
Ungkapan terkenal Sheakespeare yang digunakan Goffman untuk menjelaskan
pendekatannya adalah “all the world’s a stage and all the men and women
merely players.”
Dengan demikian dapatlah dimengerti mengapa situasi dalam mana
interaksi berlangsung (dalam kerangka Goffman dinamakan social
establishmen) dibagi-bagi dalam panggung atau pentas depan (ftont region),
panggung belakang (back region), kenapa individu yang bertindak secara aktif
dinamakan tim pemain (team of performers), individu yang diajak berinteraksi
dinamakan khalayak (undience) dan individu yang hadir tetapi tidak terlibat
dalam interaksi dinamakan orang luar (outsider, lihat Goffman, 1959).
Peter Berger. Peter Berger membuat suatu kerangka pemikiran untuk
memperlihatkan hubungan antara individu dan masyarakat. Menurut
pendapatnya dalam masyarakat terdapat proses dialektis mendasar yang terdiri
atas tiga langkah, yang masing-masing diberi nama eksternalisasi
(externalization), objektivasi (objecticvarion), dan internalisasi (internalization).
Externalization : menurut Berger manusia, apabila dibandingkan dengan
makhluk biologis lainnya, merupakan makhluk yang secarabiologis mempunyai
kekurangan karena dilahirkan dengan struktur naluri yang tidk lengkap, yaitu
tidak terarah dan kurang terspesialisasi. Dunia manusia merupakan dunia
terbuka yang diprogram secara tidak sempurna, sehingga menurut Berger
dunia manusia ditandai oleh built-in-instality. Ketidkstabilan yang melekat.
Objectivation : inti dari prose objektivasi ialah bahwa kebudayaan yang
diciptakan manusia kemudian menghadapi penciptaannya sebagai suatu fakta
diluar dirinya. Dunia yang diciptakan manusia tersebut menjadi suatu yang
berada diluarnya. Menjadi suatu realitas objektif. Oleh sebab itu Berger
mengemukakan bahwa masyarakat merupakan suatu gejala dialektis.
Menurutnya : “Society is a dialectic phenomeon in that it is a human product,
and nothing but a human product, that yet continuously acts back upon its
ptoducer.”
Internalization : pada langkah atau saat internalisasi ini, menurut
pandangan Berger, dunia yang telah diobjektivasikan itu diserap kembali
kedalam struktur kesadaran subyektif individu sehinggamenetukannya. Individu
mempelajari makna yang telah diobjekvasikan sehingga terbentuk olehnya,
mengidentifikasikan dirinya dengan : makna tersebut masuk kedalam dirinya
dan menjadi miliknya. Individu tidak hanya memiliki makna tersebut tetapi juga
mewakili dan menyatakannya. Singkatnya, melalui internalisasi fakta objektif
dari dunia sosial menjadi akta subyektif dari individu. Pada tahap ini, memurut
Berger, manusia adalah produk masyarakat (man : produck of society).
Tatkala 62 orang Bapak bangsa kita yang menjadi anggota Badan
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (Dokutiru Zyunbi Tyoosakai)
bersidang pada bulan Mei, Juni dan Juli 1945 diPejambon, Jakarta dibawah
pimpinan Dr. K.R.T. Radjiman Wediodiningrat untuk menyusun Undang-
Undang Dasar, maka kegiatan mereka dapat dikategorikan sebagai kegiatan
yang oleh berger disebut eksternalisasi (bahan mengenai kegiatan persiapan
UUD 1945 didasarkan pada M. Yamin, 1959). Mereka terlibat dalam kegiatan
world-building, karena undang-undang dasar bukanlah aturan yang sudah
tersedia siap dipakai melainkan harus selalu menciptakan untuk mengisi suatu
kekososngan (built-in instability). Karena kegiatan yang dilakukan adalah
mengisi kekosongan, maka para anggota mempunyai kelelluasaan sangat
besar untuk mencipta. Dikala membahas negara, misalnya, mereka leluasa
memutuskan apakah wilayah negata terbatas pada daerah bekas jajahan Hindi
Belanda ataukah mencakup pula wilayah lain seperti Semenanjung Malaya,
Timur Protugis, Papua dan Borneo Utara. Mereka leluasa menentukan, melalui
pemungutan suara, apakah negara apan berbentuk monarki atau republik
(dalam pemungutan suara 55 orang anggota memilih republik, 6 orang memilih
monarki). Setelah diputuskan republik sebagai bentuk negara, mereka bebas
menetukan apakah Wakil Presiden berjumlah satu orang saja ataukah harus
lebih dari seorang, dan seterusnya.
Setelah undang-undang Dasar Negara RI diputuskan dan disahkan
Panitia Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945 dan kemudia
diumumkan dengan resmi dalam Berita RT pada tanggal 15 Febtuari 1946,
UUD yang diciptakan Panitia itu menghadapi mereka sebagai suatu fakta diluar
diri mereka. Menjadi suatu relairas objektif yng seakan-akan berada diluar
mereka. Kalau semua Panitia leluasa menciptakan dan mengubah rancangan
dan mengubah rancangan UUD tersebut, maka kini mereka menjadi terikat oleh
UUD tersebut dan wajib tunduk padanya. Proses inilah yang oleh Berger
dinakan objektivasi.
UUD Negara RI tahun 1945 yang telah diobjektivasikan tersebut
kemudian diniternalisasikan para warga masyarakat. Melalui berbagai berbagai
jalur sosialisasi seperti lembaga pendidikan formal dan nonformal, media
massa, organisasi sosial dan politik serta lembaga politik UUD 1945 diserap
kedalam kesadaran subyektif individu. Individu mempelajari makna UUD,
terbentuk olehnya, mengendidentifikasikan dirinya dengannya, makna UUD
masuk kedalam diri individu dan menjadi miliknya. Pada tahap ini, menuru
Berger, fakta objektif dari dunia sosial telah menjadi fakta subyektif dari
individu.
PERKEMBANGAN MUTAKHIR DALAM TEORI SOSIOLOGI
Sebagaimana telah disebutkan, Ritzer (1992) mencatat perkembangan
dalam teori sosiologi yang menurutnya berlangsung sejak tahun 80-an,
terutama di Amerika Serikat. Ritzer mencurahkan perhatian pada tiga
perkembangan, yaitu meningkatnya perhatian terhadap (1) kaitan mikro-makro
(micro-macro linkage) dalam sosiologi di Amerika Serikat, (2) hubungan antara
agency dan structure dalam sosiologi di Eropa, dan (3) sintesis teori.
Menurut ritzer teori sosiologi di Amerika Serikat ditandai oleh apa yang
dinamakan ekstremisme mikro-makro (micro-macro extremism), yaitu konflik
antara teori dan teoretikus ekstrem mikro dan enktrem makro. Kalau para
perintis seperti Marx, Durkheim dan Weber mempunyai perhatian besar
terhadap keterkaitan terhadap keterkaitan antara mikro-makro, maka
menurutnya para ahli sosiologi abad 20 si Amerika telah meninggalkan
perhatian mereka terhadap keterkaitan tersebut dan secara ektrem telah
membatasi diri pada salah satu jenjang saja-mikro ataupun makro (extreme
microscopic and macroscopic theories). Dipihak ekstrem makro Ritzer
menggolongkan fungsionalisme struktural, teori konflik, beberapa verietas teori
Neo-Marxis dan strukturalisme sedangkan dikubu ekstrem mikro ia
megidentifikasi interaksionalisme simbolik, fenomenologi, etnometodologi,
sosiologi eksistensial, sosiologi perilaku dan teori pertukaran (lihat Ritzer,
1992:397-510).
Namun sejak tahun 80-an dalam sosiologi Amerika telah terjadi gerakan
kearah integrasi mikro-makro. Ritzer (1992:399) mengutip berbagai pernyataan
ahli sosiologi yang intinya ialah bahwa pertentangan antara teori mikro dan
makro kini telah berakhir, bahwa satu teori tidak bersifat lebih mendasar
daripada teori yang lain, dan bahwa antara keduanya dijumpai kesaling
terkaitan timbal balik.
Sebagai contoh mengenai integrasi mikro-makro, Ritzer menyajikan
pokok pemikirannya sendiri mengenai paradigma sosiologi terpadu (integrated
sociological paradigm). Dengan mengkaitkan dimensi mikro-makro dengan
dimensi objektif-subjektif Ritzer menyimpulkan bahwa analisis sosial dapat
dilakukan pada empat jenjang : (1) jenjang makro-mikro objektif (misalnya :
kaljian terhadap masyarakat, hukum, birokrasi), (2) makro-subjektif (misalnya
kajian terhadap kebudayaan, arutan, nilai), (3) mikro-objektif (mislnya kajian
terhadap pola prilaku, tindakan, interaksi), dan (4) mikro-subyektif (seperti
kajian terhadap konstruksi sosial terhadp realitas).
Contoh lain yang disajikan Ritzer mengenai integrasi makro-mikro ialah
pokok pikiran Alexander, Wiley, Coleman, Collins, dan Berger-Eyre-Zelditch, Jr.
Ritzer mengedentifikasikan berbagai titik persamaan dalam pemikiran-
pemikiran tersebu, meskipun diantara mereka dijumpai pula perbedaan penting
dalam hal penekanan yang masih mengingatkannya pada perbedaan makro-
mikro dimasa lalu.
Kalau ahli sosiologi di Amerika mengupayakan integrasi makro-mikro,
maka menurut Ritzer para ahli sosiologi di Eropa mengupayakan integrasi
agency-structure. Menurut Ritzer kedua klasifikasi tersebut tidak dapat
disamakan, karena konsep mikro tidak selalu sama dengan agen, dan makro
pun tidak selalu sama dengan struktur. Berbeda dengan klasifikasi makro-mikro
dalam sosiologi di Amerika, maka konsep agency di Eropa dapat mengacu baik
pada perilaku individu mapun pada kolektiva (kelompok, organisasi, nasion)
dan kelas sosial, sedangkan konsep struktur dapat mengacu pada struktur
sosial berskala besar maupun pada struktur mikro seperti interaksi manusia
(lihat Ritzer, 1992:425-456).
Untuk memperlihatkan adanya hasrat mengintegrasikan berbagai
jenjang analisis di Eropa, Ritzer mengajukan sejumlah kasusupaya integrasi.
Karya yang dijadikannya acuan antara lain pokok pikiran Giddens, Aecher,
Boudieau, dan Habermas.
Sintesis antara berbagai teori sosiologi merupakan kecendrungan ketiga
yang menurut Rizer berlangsung secara gencar sejak tahun 80-an. Upaya
sitesis yang didefenisikan Ritzer (1992:457-510) dijumpai dalam fungsionalisme
dalam bentuk neofungsionalisme (neofunctionalisme) yang dipelopori
Alexander. Dalam teori konflik berlangsung sintesis dengan mikro-sosiologi.
Dalam teori neo-maksis dijumpai sintesis dengan berbagai pendekatan non-
Marxis seperti ide posmodermisme. Interaksionisme simbolik yang siap
bersintesis dengan berbagai pendekatan lain seperti pemkiran Durkheim,
Weber, Simmel, dan Marx. Fenomenologi serta ernometodologi mulai dijajaki
sintesis dengan interaksionalisme simbolik.
Teori yang mengkhususkan diri pada interaksi sosial mula-mula
bersumber pada pemikiran para tokoh sosiologi klasik dari Eropa seperti Georg
Simmel dan Max Weber.
RINGKASAN
Untuk menjelaskan proses perubahan sosial dan mendasar dan
berjangka panjang di Eropa seperti industrialisasi, urbanisasi, dan rasionalisasi
para ahli sosiologi klasik di masa lampau mulai berteori. Teori, menurut
Kornbium, merupakan seprangkat konsep saling terkait ynag bertujuan
menjelaskan sebab-sebab terjadinya gejala yang dapat diamati.
Inti penjelasan ilmiah ialah pencarian faktor penyebab. Dalam proses
pencarian sebab ini dibedakan antara faktor yang harus dijelaskan
(explanandum) dan faktor penyebab (explanans) atau antara variabel
tergantung (dependent variabel) dan variabel bebas (independent variabel). Di
samping penjelasan kausal dikenal pula bentuk penjelasan fungsional.
Teori menjawab pertanyaan : “Mengapa ?” Pertanyaan yang hendak
dijawab oleh teori sosiologi ialah mengapa dan bagaimana masyarakat
dimungkinkan, dan dikenal dengan nama the problem of order.
Karena sosiologi mempunyai banyak teori dan banyak paradigma maka
sosiologi dinamakan suatu ilmiah berparadigma majemuk.
Analogi organik merupakan suatu cara memandang masyarakat yang
banyak kita jumpai di kalangan penganut teori fungsional isme dan mulai
dijumpai dalam karya Comte. Pendekatan Comte berupa peminjaman konsep
ilmu-ilmu biologi dinamakan pendekatan organicism. Comte merupakan perintis
pendekatan positivisme yang memakai metode ilmiah untuk mengumpulkan
data empiris. Positivisme dan organisme kita jumpai pula dalam karya Spencer.
Spencer berpandangan bahwa masyarakat manusia pun berkembang
secara evolusioner dari bentuk sederhana ke bentuk kompleks. Dalam proses
peningkatan kompleksitas dan diferensiasi ini, menurut Spencer, terjadi pula
diferensiasi fungsi. Durkheim secara rinci membahas konsep fungsi dan
menggunakannya dalam analisis terhadap berbagai pokok pembahasannya.
Radcliffe-Brown mengemukakan bahwa fungsi merupakan sumbangan
suatu kegiatan terhadap kesinambungan struktur sosial. Malinowski bahkan
berpandangan bahwa setiap unsur kebudayaan mempunyai fungsi penting
dalam masyarakat.
Parsons merupakan tokoh sosiologi modern yang mengembangkan
analisis fungsional dan secara sangat rinci menggunakannya dalam karya-
karyanya. Merton melakukan rincian lebih lanjut dalam analisis fungsional
dengan memperkenalkan konsep fungsi, disfungsi, fungsi laten, dan fungsi
manifes.
Tokoh teori konflik ialah Marx. Sumbangan Marx kepada sosiologi
terletak pada teorinya mengenai kelas. Weber pun dianggap sebagai penganut
terori konflik.
Dahrendorf melihat bahwa struktur masyarakat industri telah mengalami
perubahan besar sejak zamannya Marx sehingga menolak beberapa di antara
pandangan Marx. Coser terkenal karena pendangannya bahwa konflik
mempunyai fungsi positif bagi masyarakat.
Hubungan antara dua orang kekasih renggang dan akhirnya terputus
tatkala salah seorang dipindahkan ke daerah lain sehingga biaya untuk
berkomunitas menjadi sangat mahal. Seorang dermawan memberikan secara
berkala sumbangan dalam jumlah besar pada suatu yayasan amal, dan
yayasan penerima sumbangan secara berkala pula menyatakan rasa terima
kasihnya secara terbuka di muka umum,namun sumbangan dihentikan tatkala
dermawan yang bersangkutan merasa bahwa pengurus yayasan kurang
memperhatikan rasa terima kasih mereka. Seorang siswa senantiasa belajar
dengan rajin karena orang tuanya selalu memuji prestasi belajarnya,
sedangkan seorang siswa lain enggan belajar karena terus-menerus dikritik.
Pelanggaran lalu lintas berkurang tatkala kebanyakan pelanggar dapat segera
ditahan, diadili dan dijatuhi hukuman denda tinggi atau hukuman kurungan.
Kasus ini mencerminkan adanya asas pertukaran dalam hubungan sosial
antarmanusia, dan oleh sejumlah ahli sosiologi asas pertukaran dikembangkan
menjadi teori untuk menjelaskan ada-tidaknya hubungan sosial.
Teori pertukaran pada awal mula-mula dikembangkan oleh para ahli
antropologi Inggris seperti Malinowski, dan diperhalus oleh ahli antropologi
Perancis seperti Mauss dan Levi-Strauss. Homans berpendapat bahwa
pertukaran yang berulang-ulang mendasari hubungan sosial yang
berkesinambungan antara oeang tertentu. Teori Blau berusaha menjembatani
dua jenjang analisis sosiologi, dan tidak semua interaksi melibatkan pertukaran.
Simmel berpandangan bahwa muncul dan berkebangnya kepribadian
seseorang tergantung pada jaringan hubungan sosial yang dimilikinya. Weber
memperkenalkan interaksionalisme dengan menyatakan bahwa sosiologi ialah
ilmu yang berusaha memahami tindakan sosial.
Tokoh sosiologi modern dari Amerika Serikat yang merintis pemikiran
dasar mengenai interaksionalisme ialah, antara lain, William James, Charles
Horton Cooley, Jhon Dewey, dan George Herbert Mead. James terkenal karena
merumuskan dan mengembangkan konsep diri (self). Ia berpendapat bahwa
perasaan seseorang mengenai dirinya sendiri, seseorang muncul dari
interaksinya dengan orang lain. Cooley terkenal karena antara lain
mengembangkan konsep looking glass self yang intinya alah bahwa seseorang
mengevaluasi dirinya sendiri atas dasar sikap dan perilaku orang lain
terhadapnya. Menurut Dewey, seseorang berkmembang dalam rangka
usahanya untuk penyesuaian diri manusia pada dunia. Sumbangan Dewey
terletak pada pandangannya bahwa pikiran seseorang berkembang dalam
rangka usahanya untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan, dan bahwa
pikiran tersebut ditunjang oleh interaksinya dengan orang lain. Sumbangan
pikiran penting Mead antara lain terletak pada pandangannya bahwa diri
seseorang berkembang melalui tahap tertentu, dan bahwa dalam proses
perkembangan diri ini seseorang belajar mengambil peran orang lain.
Thomas memperkenalkan konsef defenisi situasi dalam sosiologi
interaksi, yang intiny ialah bahwa sebelum bertindak untuk menanggapi suatu
rangsangan dari luar, individu selalu memberi makna pada situasi yang
dihadapinya. Blumer menjabarkan lebih lanjut memikirkan interaksionalisme
simbolik.
Dalam teori Erving Goffman pun berpangkal tolak pada interaksi tatap
muka. Namun kalau dalam teori para ahli lain pelaku digambarkan sebagai
individu yang memberikan reaksi terhadap tindakan individu atau kelompok lain.
Peter Berger membuat suatu kerangka pemikiran untuk memperlihatkan
hubungan antara individu dan masyarakat.
Menurut ritzer teori sosiologi di Amerika Serikat ditandai oleh apa yang
dinamakan ekstremisme mikro-makro , yaitu konflik antara teori dan teoretikus
ekstrem mikro dan enktrem makro. Namun sejak tahun 80-an ditandai oleh
ekstremisme mikro-makro, yaitu konflik antara teori dan teoritikus ekstrem mikro
dan ekstrem makro. Namun Ritzer mencatat bahwa sejak tahun 80-an telah
terjadi perkembangan, yaitu meningkatnya perhatian terhadap kaitan miakro-
makro dalam sosilogi di Amerika Serikat, hubungan antara agency dan
structure dalam sosiologi di Eropa, dan sintesis teori.
KONSEP PENTING
Analogi organik : anggapan mengenai adanya persamaan tertentu antara
organisme biologis dengan masyarakat.
Diferensiasi fungsi : terjadinya perubahan struktur disertai dengan perubahan
pada fungsi.
Eksplanandum (explanandum) : faktot yang harus dijelaskan.
Eksplanans (explanans) : faktor penyebab.
Eksternalisasi (externalization: Berger) : upaya manusia untuk mengisi dunia
karena manusia merupakan makhluk yang dilahirkan dengan strukutr naluri
yang tidak lengkap sehingga ditandai oleh ketidakstabilan melekat.
Ikatan Solidaritas mekanik (Durkheim) : ikatan solidaritas pada msyarakat
masih sederhana yang laksana kohesi antara benda-benda mari.
Ikatan Solidaritas organik (Durkheim) : ikatan solidaritas pada masyarakat
kompleks yang laksana kohesi antara organ hidup.
Imperatively coordinated association (Dahrendorf) : organisasi-organisasi yang
didasarkan pada kekuasaan (dominasi satu pihak atas pihak lain atas dasar
paksaan) atau wewenang (dominasi yang diterima dan diakui oleh pihak yang
didominasi).
Internalisasi (internalization; Berger) langkah atau dimana dunia yang telah
diobjektivasikan diserap kembali kedalam struktur kesadaran subyektif individu.
Konflik (Coser) : perjuangan mengenai nilai nilai serta tuntutan atas status,
kekuasaan dan sumber daya yang bersifat langka dengan maksud
menetralkan, mencederai atau melenyapkan lawan.
Ojektivasi (objectivation;Berger) : proses berkembangnya dunia yang diciptakan
manusia menjadi suatu realitas objekrif yang berada diluar manusia.
Organisisme (organicism; Comte) : analogi organisme individu untuk
menjelaskan masyarakat.
Penjelasan fungsional (Durkheim) : pencarian fungsi suatu fakta sosial.
Penjelasan ilmiah (scientific explanation) : pencarian faktor penyebab.
Penjelasan kausal (Durkheim) pencarian sebab-sebab terjadinya suatu fakta
sisoal.
Positivisme (Comte) : pendekatan yang memakai merode ilmiah yaitu
pengkajian fakta yang pasti, cermat, dan bermanfaat melalui pengamatan,
perbandingan, eksperiman, dan merode historis untuk pengumpulan data
empirik.
Prinsip kemanfaat : prinsip yang mengukur baik-buruknya suatu tindakan
dengan melihat pada penderitaan ataupun kesenangan yang dihasilkan oleh
tindakan tersebut.
Teori (Kornblum) : seperangkat konsep saling terkait yang berupaya
menjelaskan sebab-sebab suatu gejala yang dapat diamati.
Teori (Rutner) : suatu kegiatan mental, suatu proses pengembangan ide yang
akan memungkinkan ilmuwan untuk menjelaskan mengapa peristiwa tertentu
terjadi.
Teori pertukaran : teori yang mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang
mencari keuntungan dan menghindari biaya.
The problem of order ; masalah mengapa ketertiban sosial memungkinkan.
Variabel bebas (independent variabel) : faktor penyebab.
Variabel tergantung (dependent variable) : faktor yang harus dijelaskan.
Verstehen (Weber) : pemahaman terhadap tindakan sosial yang dilakukan
dengan meneliti makna subyektif yang diberikan individu terhadap tindakannya.
Web of group affilliations (Simmel) : keanggotaan kelompok seseorang yang
menentukan muncul dan berkembangnya kepribadian seseorang.