terapi modalitas keperawatan jiwa
TRANSCRIPT
TERAPI MODALITAS KEPERAWATAN JIWA
1. Terapi Lingkungan (milliu therapy)
2. Terapi Religius
3. Terapielectro Convulsive Therapy (ECT)
Disusun untuk memenuhi tugas keperawatan jiwa
Dosen: Suyamto, A.Kep,MPH
ANGGOTA KELOMPOK :
1). IMANIAR HIRDIN N.K (2220111992/25)
2). JORDAN PANGESTA HADA (2220111993/26)
3). LINA KURNIAWATI (2220111994/27)
4). MEGAMURTI DESILIAWATI (2220111995/28)
AKADEMI KEPERAWATAN NOTOKUSUMO
YOGYAKARTA
2012/2013
BAB I
PENDAHULUAN
Gangguan jiwa atau penyakit jiwa merupakan penyakit dengan multi kausal, suatu
penyakit dengan berbagai penyebab yang sangat bervariasi. Kausa gangguan jiwa selama ini
dikenali meliputi kausa pada area organobiologis, area psikoedukatif, dan area sosiokultural.
Dalam konsep stress-adaptasi penyebab perilaku maladaptive dikostrukkan sebagai tahapan
mulai adanya factor predisposisi, factor presipitasi dalam bentuk stressor pencetus,
kemampuan penilaian terhadap stressor, sumber koping yang dimiliki, dan bagaimana
mekanisme koping yang dipilih oleh seorang individu. Dari sini kemudian baru menentukan
apakah perilaku individu tersebut adaptif atau maladaptive.
Banyak ahli dalam kesehatan jiwa memiliki persepsi yang berbeda-beda terhadap apa
yang dimaksud gangguan jiwa dan bagaimana gangguan perilaku terjadi. Perbedaan
pandangan tersebut tertuang dalam bentuk model konseptual kesehatan jiwa. Pandangan
model psikoanalisa berbeda dengan pandangan model social, model perilaku, model
eksistensial, model medical, berbeda pula dengan model stress – adaptasi. Masing-masing
model memiliki pendekatan unik dalam terapi gangguan jiwa.
Berbagai pendekatan penanganan klien gangguan jiwa inilah yang dimaksud dengan
terapi modalitas. Suatu pendekatan penanganan klien gangguan jiwa bervariasi yang
bertujuan mengubah perilaku klien gangguan jiwa dari perilaku maladaptive menjadi perilaku
adaptif.
Agama membuat manusia hidup bermakna, bertujuan dan mempunyai panduan.
Dengan agama, orang akan berpikir positif, mempunyai kendali dan harga diri, serta
mempunyai metode pemecahan masalah spesifik yang memperbaiki daya tahan mental.
Individu dengan komitmen agama yang tinggi terlibat langsung dengan masyarakat luas,
sehingga didukung dan diterima. Skor religius terbukti menjadi indicator hubungan baik dan
harmoni antar keluarga. Kegiatan ibadah dan Tomography-Radio ligan (PET) membuktikan
kepadatan reseptor 5HT1A social bersama serta berulang kali membangkitkan rasa
kebersamaan dan solidaritas. Pencitraan otak dengan Positron Emision yang rendah
ditemukan pada orang dengan komitmen agama tinggi yang tenang. Seorang penganut agama
yang taat,cenderung bermoral terpuji,berakhlak yang baik,taat pada norma social dan
mendapat dukungan masyarakat.
Secara biologis,tutur kata yang halus dan baik seperti ketika berdoa,mampu
mengubah partikel air menjadi kristal heksagonal yang bukan saja indah,tetapi juga sehat. Dia
bukti hubungan potensi internal manusia dengan kondisi eksternal alam semesta. Penelitian
psikoneuro-imunologik menunjukkan korelasi positif langsung antara aktivitas ibadah dengan
kesehatan jiwa. Kadar CD-4(Limfosit T helper) yang tinggi merefleksikan daya tahan
imunologi yang tinggi ditemukan pada orang dengan skor religiusitas yang tinggi. Sholat
tahajud rutin selama delapan minggu mampu meningkatkan kadar limfosit dan
immunoglobulin serta meningkatkan kekebalan tubuh. Puasa Ramadhan pada dua minggu
pertama meningkatkan kadar kortisol firasat stress. Namun, puasa pada dua minggu terakhir
meningkatkan respons kekebalan imunologik. Mendengarkan ayat-ayat Al-Quran dapat
menurunkan intensitas tegangan otot.
Religiusitas berkorelasi negatif dengan skor depresi. Pasien transplantasi jantung yang
taat beribadah jauh lebih mampu bertahan hidup daripada yang tidak beribadah. Komitmen
agama terbukti juga menurunkan kadar C Reaktive Protein (CRP) yang bersama IL-6
mencegah serangan jantung koroner. Peningkatan pemahaman beragama dan doa mampu
menekan intensitas depresi. Skor anxietas yang lebih rendah ditemukan pada pasien yang
mendapat ceramah agama dan bimbingan doa. Komitmen agama berkorelasi negatif dengan
bunuh diri sehingga terapi religi digunakan untuk menekan perilaku bunuh diri.
Komitmen agama secara klinis berperan sebagai sarana promotif,preventif,kuratif dan
rehabilitatif gejala depresi,ansietas,penyalahgunaan obat,serta perilaku antisosial.Dominasi
tokoh-tokoh kedokteran jiwa yang atheis dan terapi religi dilakukan oleh orang yang tidak
paham agama dalam terapi psikiatri terpuruk pada jalan setapak yang diperolok-olokan.
Sudah saatnya kita menaruh minat dan belajar lebih banyak lagi tentang terapi religi,yang
secara empiris memperlihatkan hasil nyata dan menakjubkan.
Pada tahun 1938 Dr Ugo Cerletti menjadi tertarik bahwa babi siap untuk dipotong
dengan menjadi terkejut elektrik melalui candi. Ini membuat mereka sadar tapi tidak
membunuh mereka. Memang, mereka bisa bertahan shock jika diizinkan untuk pulih.
Memutuskan untuk mencobanya pada pasiennya Dr Cerletti menemukan kejutan listrik
seperti yang disebabkan pasien obsesif dan sulit nya mental untuk menjadi lemah lembut dan
dikelola. Sejumlah besar insulin juga kimia terkejut pasien dalam keadaan koma yang
berlangsung sekitar satu jam dan juga mulai digunakan. Dokter-dokter lain cepat diadopsi
terapi baru.
Terapi electroconvulsive dapat berbeda dalam penerapannya dalam tiga cara:
penempatan elektroda, frekuensi perawatan, dan gelombang listrik stimulus. Ketiga bentuk
aplikasi memiliki perbedaan signifikan dalam kedua efek samping dan hasil positif. Setelah
pengobatan, terapi obat biasanya dilanjutkan, dan beberapa pasien menerima kelanjutan /
ECT pemeliharaan. Di Inggris dan Irlandia, terapi obat dilanjutkan selama ECT.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Terapi Lingkungan
A. Konsep terapi lingkungan
Lingkungan telah didefinisikan dengan berbagai pandangan, lingkungan
merujuk pada keadaan fisik, psikologis, dan sosial diluar batas sistem, atau
masyarakat dimana sistem tersebut berada (Murray Z, 1985).
B. Pengertian terapi lingkungan (milieu therapy)
Berasal dari bahasa Perancis, yang berarti perencanaan ilmiah dari lingkungan
untuk tujuan yang bersifat terapeutik atau mendukung kesembuhan.
Terap Lingkungan adalah tindakan penyembuhan pasien melalui manipulasi dan
modifikasi unsur-unsur yang ada pada lingkungan dan berpengaruh positif terhadap
fisik dan psikis individu serta mendukung proses penyembuhan. ( Farida
Kusumawati & Yudi Hartono, 2011)
Terapi lingkungan adalah bentuk terapi yaitu menata lingkungan agar terjadi
perubahan perilaku pada klien dari perilaku maladaptive menjadi perilaku adaptif.
Perawat menggunakan semua lingkungan rumah sakit dalam arti terapeutik.
Bentuknya adalah memberi kesempatan klien untuk tumbuh dan merubah
perilakunya dengan memfokuskan pada nilai terapeutik dalam aktivitas dan
interaksi.
Tujuan dari terapi lingkungan ini adalah memampukan klien dapat hidup di
luar lembaga yang diciptakan melalui belajar kompetensi yang diperlukan untuk
beralih dari lingkungan rumah sakit ke lingkungan rumah tinggalnya
C. Tujuan terapi lingkungan
1. Menurut Farida Kusumawati dan Yadi Hartono :
a) Membantu individu untuk mengembangkan rasa harga diri
b) Mengembangkan kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain
c) Membentu belajar mempercayai orang lain
d) Mempersiapkan diri untuk kembali ke masyarakat
2. Menurut Stuart dan Sundeen :
a) Meningkatkan pengalaman positif klien, khususnya yang mengalami
gangguan mental, dengan cara membantu individu dalam mengembangkan
harga diri
b) Meningkatkan kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain
c) Menumbuhkan sikap percaya kepada orang lain
d) Mempersiapkan diri untuk kembali ke masyarakat
e) Mencapai perubahan yang positif
D. Karakteristik terapi lingkungan
Lingkungan harus bersifat terapeutik yaitu, mendorong terjadinya proses
penyembuhan. Lingkungan tersebut harus memiliki karakteristik sebagai berikut :
1. Klien merasa akrab dengan lingkungan yang diharapkannya
2. Klien merasa senang dan nyaman serta tidak merasa takut dengan
lingkungannya
3. Kebutuhan-kebutuhan fisik klien mudah terpenuhi
4. Lingkungan rumah sakit yang bersih
5. Lingkungan menciptakan rasa aman dari terjadinya luka akibat impuls-impuls
klien
6. Personal dari lingkungan rumah sakit menghargai klien sebagai individu yang
memiliki hak, kebutuhan dan pendapat serta menerima perilaku klien sebagai
respon adanya stress
7. Lingkungan yang dapat mengurangi pembatasan-pembatasan atau larangan
dan memberikan kesempatan kepada klien untuk menentukan pilihannya
danmembentuk perilaku yang baru
Menurut Florence Nightingale terapi lingkungan harus memilki karakteristik:
1. Memudahkan perhatian terhadap apa yang terjadi pada individu dan kelompok
selama 24 jam
2. Adanya proses pertukaran informasi
3. Klien merasakan keakraban dengan lingkungan
4. Klien merasa senang, nyaman, aman dan tidak merasa takut baik dari ancaman
psikologis maupun ancaman fisik
5. Penekanan pada sosialisasi dan interaksi kelompok dengan fokus komunikasi
terapeutik
6. Staf membagi tanggung jawab bersama klien
7. Personal dari lingkungan menghargai klien sebagai individu yang memiliki
hak, kebutuhan dan tanggung jawab
8. Kebutuhan fisik klien mudah terpenuhi
E. Macam-macam terapi lingkungan
a. Model terapi moral
Model ini sangat umum dikenal oleh masyarakat serta biasanya dilakukan dengan
pendekatan agama atau moral yang menekankan tentang dosa dan kelemahan
individu. Model terapi seperti ini sangat tepat diterapkan pada lingkungan
masyarakat yang masih memegang teguh nilai-nilai keagamaan dan moralitas di
tempat asalnya, karena model ini berjalan bersamaan dengan konsep baik dan
buruk yang diajarkan oleh agama. Maka tidak mengherankan apabila model inilah
yang menjadi landasan utama pembenaran kekuatan hukum untuk berperang
melawan penyalahgunaan narkoba.
b. Model terapi sosial
Model ini memakai konsep dari program terapi komunitas, dimana adiksi terhadap
obat-obatan dipandang sebagai fenomena penyimpangan sosial (sosial disorder).
Tujuan dari model terapi ini adalah mengarahkan perilaku yang menyimpang
tersebut ke arah perilaku sosial yang lebih layak. Hal ini didasarkan atas
kesadaran bahwa kebanyakan pecandu narkoba hampir selalu terlibat dalam
tindakan a-sosial termasuk tindakan kriminal. Kelebihan dari model ini adalah
perhatiannya kepada perilaku adiksi pecandu narkoba yang bersangkutan, bukan
pada obat-obatan yang disalahgunakan. Prakteknya dapat dilakukan melalui
ceramah, seminar dan terutama terapi kelompok (encounter group). Tujuannya tak
lain adalah melatih pertanggungjawaban bersama-sama. Inilah yang menjadi
keunikan dari model terapi sosial, yaitu memfungsikan komunitas sedemikian
rupa sebagai agen perubahan (agen of change).
c. Model terapi psikologis
Model ini diadaptasi dari teori psikologis Mc Lellin, dkk yang menyebutkan
bahwa perilaku adiksi obat adalah buah dari emosi yang tidak berfungsi
selayaknya karena terjadi konflik, sehingga pecandu memakai obat pilihannya
untuk meringankan atau melepas beban psikologisnya. Model terapi ini
mementingkan peenyembuhan emosional dari pecandu narkoba yang
bersangkutan, dimana jika emosinya dapat dikendalikan maka mereka tidak akan
mempunyai masalah lagi dengan obat-obatan. Jenis dari terapi model psikologis
ini biasanya banyak dilakukan pada konseling pribadi, baik dalam pusat
rehabilitasi maupun dalam terapi pribadi.
d. Model terapi budaya
Model ini menyatakan bahwa perilaku adiksi obat adalah hasil sosialisasi seumur
hidup dalam lingkungan sosial atau kebudayaan tertentu. Dalam hal ini, keluarga
seperti juga lingkungan dapat dikatagorikan sebagai “lingkungan sosial dan
kebudayaan tertentu”.
Dasar pemikirannya adalah, bahwa praktek penyalahgunaan narkoba oleh anggota
keluarga tertentu adalah hasil akumulasi dari semua permasalahan yang terjadi
dalam keluarga yang bersangkutan. Sehingga model ini banyak menekankan pada
proses terapi untuk kalangan keluarga dari para pecandu narkoba tersebut.
F. Jenis-jenis kegiatan terapi lingkungan
a. Terapi rekreasi
Yaitu terapi yang menggunakan kegiatan pada waktu luang, dengan tujuan klien
dapat melakukan kegiatan secara konstruktif dan menyenangkan serta
mengembangkan kemampuan hubungan sosial. Misalnya berenang, main kartu
dan karambol.
b. Terapi kreasi seni
Perawat dalam terapi ini dapat sebagai leader atau bekerja sama dengan orang lain
yang ahli dalam bidangnya karena harus sesuai dengan bakat dan minat, serta
memberikan kesempatan pada klien untuk menyalurkan atau mengekspresikan
perasaannya. Misalnya menari dan menyanyi.
c. Terapi dengan menggambar dan melukis
Memberikan kesempatan klien untuk mengekspresikan tentang apa yang terjadi
dengan dirinya. Dengan menggambar atau menurunkan ketegangan dan
memusatkan pikiran pada kegiatan.
d. Literatur atau biblio therapy
Terapi dengan membaca seperti novel, majalah dan buku-buku lain. Dimana klien
diharapkan untuk mendiskusikan pendapatnya setelah membaca. Tujuannya
adalah untuk mengembangkan wawasan diri dan bagaimana mengekspresikan
perasaan dan pikiran serta perilaku yang sesuai dengan norma-norma yang ada.
e. Pet therapy
Terapi ini bertujuan untuk menstimulasi respon klien yang tidak mampu
mengadakan hubungan interaksi dengan orang-orang dan klien biasanya merasa
kesepian, menyendiri dan menggunakan objek binatang untuk bermain.
f. Plant therapy
Terapi ini bertujuan untuk mengajar klien untuk memelihara segala sesuatu atau
makhluk hidup, dan membantu hubungan yang akrab antara satu pribadi kepada
pribadi lainnya dengan memelihara tumbuhan, mulai dari menanam dan
memelihara, serta menggunakannya saat tanaman dipetik.
Syarat menciptakan terapi Lingkungan pada Kondisi Khusus adalah sebagai
berikut:
1. Klien dengan harga diri rendah (low self esteem), depresi (depression),
bunuh diri (suicide)
Syarat lingkungan secara psikologis harus memenuhi hal-hal sebagai berikut :
a. Ruangan aman dan nyaman
b. Terhindar dari alat-alat yang dapat digunakan untuk menciderai diri
sendiri atau orang lain
c. Alat-alat medis, obat-obatan dan jenis cairan medis di lemari dalam
keadaan terkunci
d. Ruangan harus ditempatkan di lantai satu dan keseluruhan ruangan
mudah dipantau oleh petugas kesehatan
e. Tata ruangan menarik dengan cara menempelkan poster yang cerah
dan meningkatkan gairah hidup klien
f. Warna dinding cerah
g. Adanya bacaan ringan, lucu dan memotivasi hidup
h. Hadirkan musik ceria, tv dan film komedi
Lingkungan sosial :
a. Komunikasi terapeutik dengan cara semua petugas menyapa klien
sesering mungkin
b. Memberikan penjelasan setiap akan melakukan kegiatan keperawatan
atau kegiatan medis lainnya
c. Menerima klien apa adanya jangan mengejek serta merendahkan
d. Meningkatkan harga diri klien
e. Membantu menilai dan meningkatkan hubungan sosial secara bertahap
f. Membantu klien dalam berinteraksi dengan keluarganya
g. Sertakan keluarga dalam rencana asuhan keperawatan, jangan
membiarkan klien sendiri terlalu lama di ruangnnya.
2. Klien dengan amuk
Lingkungan fisik :
a. Ruangan aman, nyaman dan mendapat pencahayaan yang cukup
b. Klien satu kamar, satu orang, bila sekamar lebih dari satu jangan
dicampur antara yang kuat dengan yang lemah
c. Ada jendela berjeruji dengan pintu dari besi terkunci
d. Tersedia kebijakan dan prosedur tertulis tentang protokol pengikatan
dan pengasingan secara aman serta protokol pelepasan pengikatan.
Lingkungan Psikososial :
a. Komunikasi terapeutik, sikap bersahabat dan perasaan empati
b. Observasi klien tiap 15 menit
c. Jelaskan tujuan pengikatan atau pengekangan secara berulang-ulang
d. Penuhi kebutuhan fisik klien
e. Libatkankeluarga
G. Aspek-aspek lingkungan fisik
1. Lingkungan Fisik tetap
Mencakup struktur dari bentuk bangunan baik eksternal maupun internal.
Bagian eksternal meliputi struktur luar rumah sakit, yaitu lokasi dan letak
gedung sesuai dengan program pelayanan kesehatan jiwa, salah satunya
kesehatan jiwa masyarakat. Berada di tengah-tengah pemukiman penduduk
atau masyarakat sekitarnya serta tidak diberi pagar tinggi. Hal ini secara
psikologis diharapkan dapat membantu memelihara hubungan terapeutik
pasien dengan masyarakat. Memberikan kesempatan pada keluarga untuk
tetap mengakui keberadaan pasien serta menghindari kesan terisolasi.
Bagian internal gedung meliputi penataan struktur sesuai keadaan rumah
tinggal yang dilengkapi ruang tamu, ruang tidur, kamar mandi tertutup, WC,
dan ryang makan. Masing-masing ruangan tersebut diberi nama dengan tujuan
untuk memberikan stimulasi pada pasien khususnya yang mengalami ganggua
Setiap ruangan harus dilengkapi dengan jadwal kegiatan harian, jadwal terapi
aktivitas kelompok, jadwal kunjungan keluarga, dan jadwal kegiatan khusus
misalnya rapat ruangan.
2. Lingkungan fisik semi tetap
Fasilitas-fasilitas berupa alat kerumahtanggaan meliputi lemari, kursi, meja,
peralatan dapur, peralatan makan, mandi, dsb. Semua perlengkapan diatur
sedemikian rupa sehingga memungkinkan pasien bebas berhubungan satu dengan
yang lainnya serta menjaga privasi pasien.
3. Lingkungan fisik tidak tetap
Lebih ditekankan pada jarak hubungan interpersonal individu serta sangat
dipengaruhioleh social budaya.
4. Lingkungan Psikososial
Lingkungan yang kondusif yaitu fleksibel dan dinamis yang memungkinkan
pasien berhubungan dengan orang lain dan dapat mengambil keputusan serta
toleransi terhadap tekanan eksternal.
Beberapa prinsip yang perlu diyakini petugas kesehatan dalam berinteraksi dengan
pasien:
a. Tingkah laku dikomunikasikan dengan jelas untuk mempertahankan,
mengubah tingkah laku klien
b. Penerimaan dan pemeliharaan tingkah laku klien tergantung dari tingkah
laku partisipasi petugas kesehatan dan keterlibatan klien dalam kegiatan
belajar
c. Perubahan tingkah lakuklien tergantung pada perasaan klien sebagai
anggota kelompok dan klien dapat mengikuti ataiu mengisi kegiatan
d. Kegiatan sehari-hari mendorong interaksi klien
e. Mempertahankan kontak dengan lingkungan misalnya adanya kalender
harian danadanya papan nama dan tanda pengenal bagi petugas kesehatan.
adanya papan nama dan tanda pengenal bagi petugas kesehatan.
H. Peran perawat dalam terapi lingkungan
1. Pencipta lingkungan yang aman dan nyaman
a. Perawat menciptakan dan mempertahankan iklim atau suasana yang akrab,
menyenangkan, saling mengahrgai di antara sesama perawat, petugas
kesehatan dan klien
b. Perawat yang menciptakan suasana yang aman dari benda-benda atau
keadaan-keadaan yang menimbulkan terjadinya kecelakaan atau luka terhadap
klien atau perawat
c. Menciptakan suasana yang nyaman
d. Klien diminta berpartisipasi melakukan kegiatan bagi dirinya sendiri dan
orang lain seperti yang biasa dilakukan dirumahnya. Misalnya membereskan
kamar.
2. Penyelenggaraan proses sosialisasi
a. Membantu klien belajar berinteraksi dengan orang lain, mempercayai orang
lain sehingga meningkatkan harga diri dan berguna bagi orang lain
b. Mendorong klien untuk berkomunikasi tentang ide-ide, perasaan dan
perilakunya secara terbuka sesuai dengan aturan di dalam kegiatan-kegiatan
tertentu
c. Melalui sosialisasi klien belajar tentang kegiatan-kegiatan atau kemampuan
yang baru, dan dapat dilakukannya sesuai dengan kemampuan dan minatnya
pada waktu luang
3. Sebagai teknis perawatan
Fungsi perawat adalah menberikan atau memenuhi kebutuhan dari klien,
memberikan obat-obatan yang telah ditetapkan, mengamati efek obat dan
perilaku-perilaku yang menonjol atau menyimpang serta mengidentifikasi
masalah-masalah yang timbul dalam terapi tersebut.
4. Sebagai leader atau pengelola
Perawat harus mampu mengelola sehingga tercipta lingkungan terapeutik yang
mendukung peenyembuhan dan memberikan dampak baik secara fisik maupun
secara psikologis kepada klien.
2. Terapi Religius
A. Definisi
Terapi psikoreligius merupakan suatu pengobatan dalam praktek keperawatan
khususnya keperawatan jiwa yang menggunakan pendekatan keagamaan antara lain
doa-doa, dzikir, ceramah keagamaan, dan lain-lain untuk meningkatkan kekebalan dan
daya tahan dalam menghadapi berbagai problem kehidupan yang merupakan stressor
psikososial guna peningkatan integrasi kesehatan jiwa (Ilham A, 2008).
Terapi psikoreligius merupakan suatu pengobatan alternatif dengan cara pendekatan
keagamaan melalui doa dan dzikir yang merupakan unsur penyembuh penyakit atau
sebagai psikoterapeutik yang mendalam, bertujuan untuk membangkitkan rasa percaya
diri dan optimisme yang paling penting selain obat dan tindakan medis (Rozalino R,
2009).
Pendekatan keagamaan dalam praktek kedokteran dan keperawatan dalam dunia
kesehatan, bukan untuk tujuan mengubah keimanan seseorang terhadap agama yang
sudah diyakininya, melainkan untuk membangkitkan kekuatan spiritual dalam
menghadapi penyakit merupakan terapi psikoreligius (Yosep I, 2009).
Yang dimaksud dengan terapi spiritual kurang lebih adalah terapi dengan memakai
upaya-upaya untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Ini sama dengan terapi keagamaan,
religius, atau psikoreligius, yang berarti terapi dengan menggunakan faktor agama,
kegiatan ritual keagamaan, seperti sembahyang, berdoa, memanjatkan puji-pujian,
ceramah keagamaan, kajian kitab suci, dan sebagainya. Hanya saja terapi spiritual lebih
umum sifatnya dan tidak selalu dengan agama formal masing-masing individu
(Wicaksana I, 2008).
Pengertian terapi spiritual atau terapi religius adalah sebuah terapi dengan
pendekatan terhadap kepercayaan yang dianut oleh klien, pendekatan ini dilakukan oleh
seorang pemuka agama dengan cara memberikan pencerahan, kegiatan ini dilakukan
minimal 1 kali seminggu untuk semua klien dan setiap hari untuk pasien. Terapi
spiritual berbeda dengan berdoa, doa tersebut ditiupkan disebuah gelas berisi air minum
kemudian meminta klien meminum air tersebut, meskipun sama - sama menggunakan
sebuah perilaku dalam sebuah agama atau kepercayaan tetapi akan sangat berbeda
dengan terapi spiritual (Rosyidi I, 2009).
a. Unsur-unsur psikoreligi
Adapun unsur-unsur yang terdapat dalam terapi psikoreligius sebagai berikut (Ilham
A, 2008) :
a. Doa-doa
Dalam dimensi psikoreligius, do’a berarti permohonan peyembuhan kepada
Tuhan Yang Maha Esa
b. Dzikir
Dzikir adalah mengingat Tuhan dengan segala kekuasaan-Nya, mengucapkan baik
secara lisan maupun dalam hati segala kuasa-Nya
Dari sudut ilmu kedokteran jiwa atau keperawatan jiwa atau kesehatan jiwa, doa dan
dzikir (psikoreligius terapi) merupakan terapi psikiatrik setingkat lebih tinggi daripada
psikoterapi biasa (Ilham A, 2008) :
1) Proses keperawatan pada terapi pskoreligi
Adapun proses keperawatan dalam terapi psikoreligius (Ilham A, 2008) antara
lain:
a. Pengkajian
Pada dasarnya informasi yang perlu digali secara umum adalah :
1) Afiliasi agama
a) Partisipasi klien dalam kegiatan agama apakah dilakukan secara aktif atau
tidak
b) Jenis partisipasi dalam kegiatan agama
2) Keyakinan agama atau spiritual, mempengaruhi :
a) Praktik kesehatan : diet, mencari dan menerima terapi, ritual atau upacara
keagamaan
b) Presepsi penyakit : hukuman, cobaan terhadap keyakinan
c) Strategi koping
3) Nilai agama atau spiritual, mempengaruhi :
a) Tujuan dan arti hidup
b) Tujuan dan arti kematian
c) Kesehatan dan pemeliharaannya
d) Hubungan dengan Tuhan, diri sendiri dan orang lain
a) Pengkajian Data
1. Pengkajian data subyektif
pedoman pengkajian spiritual yang disusun oleh Stoll dalam Craven & Hirnie,
pengkajian mencakup 4 area, yaitu :
a) Konsep tentang Tuhan atau ketuhanan
b) Sumber harapan dan kekuatan
c) Praktik agama dan ritual
d) Hubungan antara keyakinan spiritual dan kondisi kesehatan
2. Pengkajian data objektif
Meliputi :
a) Pengkajian afek dan sekap, perilaku, verbalisasi, hubungan interpersonal
dan lingkungan
b) Pengkajian data objektif terutama dilakukan melalui observasi
Pada umumnya karakteristik klien yang potensial mengalami distres spiritual
adalah sebagai berikut :
a) Klien tampak kesepian dan sedikit pengunjung
b) Klien yang mengekspresikan rasa takut dan cemas
c) Klien yang mengekspresikan keraguan terhadap sistem kepercayaan
atau agama
d) Klien yang mengekspresikan rasa takut terhadap kematian
e) Klien yang akan menjalani operasi
f) Penyakit yang berhubungan dengan emosi atau implikasi sosial dan
agama
g) Mengubah gaya hidup
h) Preokupasi tentang hubungan agama dan kesehatan
i) Tidakk dapat dikunjungi oleh pemuka agama
j) Tidak mampu atau menolak melakukan ritual spiritual
k) Menganggap bahwa penyakit yang dideritanya merupakan hukuman
dari Tuhan
l) Mengekspresikan kemarahannya kepada Tuhan
m) Mempertanyakan rencana terapi karena bertentangan dengan
keyakianan agama
n) Sedang menghadapi sakaratul maut (dying)
b) Diagnosa
Distres spiritual mungkin mempengeruhi fungsi manusia lainnya. Berikut ini
adalah diagnosa keperawatan distres spiritual sebagai etiologi atau penyebab
masalah lain :
1) Gangguan penyesuaian terhadap penyakit yang berhubungan dengan
ketidakmampuan untuk merekonsiliasi penyakit dengan keyakinan
spiritual.
2) Koping individual tidak efektif yang berhubungan dengan kehilangan
agama sebagai dukungan utama (merasa ditinggalkan oleh Tuhan).
3) Takut berhubungan dengan belum siap untuk menghadapi kematian dan
pengalaman hidup setelah mati.
4) Berduka yang disfungsional : keputusasaan yang berhubungan dengan
keyakinan bahwa agama tidak mempunyai arti.
5) Keputusasaan yang berhubungan dengan keyakinan bahwa tidak ada yang
peduli termasuk Tuhan.
6) Ketidakberdayaan yang berhubungan dengan perasaan menjadi korban.
7) Gangguan harga diri yang berhubungan kegagalan untuk hidup sesuai
dengan ajaran agama.
8) Gangguan pola tidur yang berhubungan dengan distres spiritual.
9) Resiko tindak kekerasan terhadap diri sendiri berhubungan dengan
perasaan bahwa hidup ini tidak berarti.
c) Perencanaan
1) Periksa keyakinan spiritual pribadi perawat
2) Fokuskan perhatian pada persepsi klien terhadap kebutuhan spiritualnya.
3) Kaji pesan non verbal klien tentang kebutuahn spiritualnya.
4) Beri respon secara singkat, spesifik dan faktual.
5) Dengarkan secara aktif dan tunjukkan empati yang berarti menghayati
masalah klien
6) Terapkan teknik komunikasi terapeutik dengan teknik mendukung,
menerima, bertanya, memberi informasi, refleksi, menggali perasaan dan
kekuatan yang dimiliki klien.
7) Tingkatkan kesadaran dengan kepekaan pada ucapan atau pesan verbal
klien.
8) Bersikap empati yang berarti memahami perasaan klien.
9) Pahami masalah klien tanpa menghukum walaupun tidak menyetujui klien.
10) Tentukan arti dari situasi klien bagaimana klien berespon terhadap
penyakit
11) Bantu memfasilitasi klien agar dapat memenuhi kewajiban agama
12) Beri tahu pelayanan spiritual yang tersedia di rumah sakit.
d) Evaluasi
1) mampu beristirahat dengan tenang.
2) Menyatakan penerimaan keputusan moral atau etika.
3) Mengekspresikan rasa damai berhubungan dengan Tuhan.
4) Menunjukkan hubungan yang hangat dan terbuka dengan pemuka agama
5) Menunjukkan afek positif tanpa perasaan marah, rasa bersalah dan ansietas
6) Menunjukkan perilaku lebih positif
7) Mengekspresikan arti positif terhadap situasi dan keberadaannya
3. Terapi ECT
A. Definisi
Electroshock Therapy atau biasa juga disebut dengan Electro Convulsive
Therapy merupakan terapi untuk menciptakan seizure (kejang) di otak menggunakan
listrik yang dikenakan pada pasien yang telah dibius.
ECT biasanya diterapkan ke pasien melalui beberapa kali pertemuan (6-12
kali) dalam waktu lebih dari 2 minggu. Pasien ECT adalah mereka yang memiliki
depresi akut dimana sudah tidak bisa diobati dengan obat anti-depressant dan mood
swing medication. Sebelum diberi terapi, pasien akan dibius supaya tidak sadarkan
diri dan kemudian diberikan obat untuk melemaskan otot, hal ini diperuntukkan agar
tidak ada otot maupun sumsum tulang belakang yang rusak, pasien juga diberi blok
karet di mulutnya untuk menghindari penggigitan lidah ketika diberi terapi. Kemudian
dokter akan mengalirkan listrik ke otak pada voltase tertentu yang menyebabkan si
pasien akan mengalami kejang (seizure) selama beberapa saat, entah kejang di otak
saja maupun yang terlihat ditubuh juga, setelah itu pasien akan didiamkan sampai
tersadar dengan sendirinya.
B. Indikasi ECT
Indikasi ECT :
1. Pasien dengan depresi mayor yang tidak berespon terhadap anti depresan atau
yang tidak dapat meminum obat (terapi famakologis dengan dosis efektif
tinggi dan psikoterapi)
2. Pasien bunuh diri akut yang cukup lama tidak menerima pengobatan untuk
mencapai efek terapeutik
3. Namun perlu dipertimbangkan khusus jika ingin melakukan ECT bagi ibu
hamil, anak-anak dan lansia karena terkait dengan efek samping yang
mungkin ditimbulkan.
C. Kontra indikasi ECT
1. Absolut
a) Infark myocard,
b) CVE,
c) massa intracranial
2. Relatif
a) Angina tidak terkontrol,
b) Gagal jantung kongestif,
c) Osteoporosis berat,
d) fraktur tulang besar,
e) glaukoma,
f) retinal detachment
D. Efek samping
Efek samping ECT secara fisik hampir mirip dengan efek samping dari
anesthesia umum. Secara psikis efek samping yang paling sering muncul adalah
kebingungan dan memory loss setelah beberapa jam kemudian. Biasanya ECT akan
menimbulkan amnesia retrograde dan antegrade. Beberapa ahli juga menyebutkan
bahwa ECT dapat merusak struktur otak. Namun hal ini masih diperdebatkan karena
masih belum terbukti secara pasti.
Efek samping khusus yang perlu diperhatikan :
1. Cardiovaskuler
a) Segera : stimulasi parasimpatis (bradikardi, hipotensi)
b) Setelah 1 menit : Stimulasi simpatis (tachycardia, hipertensi, peningkatan
konsumsi oksigen otot jantung, dysrhythmia)
2. Efek Cerebral
a) Peningkatan konsumsi oksigen.
b) Peningkatan cerebral blood flow
c) Peningkatan tekanan intra cranial
3. Efek lain
a) Peningkatan tekanan intra okuler
b) Peningkatan tekanan intragastric
E. Mekanisme kerja
ECT bertujuan untuk menginduksi suatu kejang klonik yang dapat memberi
efek terapi (therapeutic clonic seizure) setidaknya selama 15 detik. Kejang yang
dimaksud adalah suatu kejang dimana seseorang kehilangan kesadarannya dan
mengalami rejatan. Tentang mekanisme pasti dari kerja ECT sampai saat ini masih
belum dapat dijelaskan dengan memuaskan. Namun beberapa penelitian
menunjukkan kalau ECT dapat meningkatkan kadar serum brain-derived
neurotrophic factor (BDNF) pada pasien depresi yang tidak responsif terhadap
terapi farmakologis.
F. Prosedur Tindakan
1. Berikan penyuluhan kepada pasien dan keluarga tentang prosedur ECT
2. Dapatkan persetujuan tindakan (inform consent)
3. Pastikan status puasa pasien setelah tengah malam
4. Minta pasien untuk melepaskan perhiasan, jepit rambut, kacamata dan alat
bantu pendengaran. Semua gigi palsu dilepaskan.
5. Minta pasien menggunakan pakaian yang longgar dan nyaman
6. Kosongkan kandung kemih pasien
7. Berikan obat praterapi
8. Pastikan obat dan peralatan yang diperlukan tersedia dan siap pakai
9. Bantu pelaksanaan ECT :
a) Tenangkan pasien
b) Dokter atau ahli anatesi memberikan oksigen utuk menyiapkan pasien bila
terjadi apnea karena relaksan otot
c) Berikan obat
d) Pasang spatel lidah yang diberi bantalah untuk melindungi gigi pasien
menggigit lidah pasien sendiri
e) Pasang elektroda
f) Berikan syok
10. Bantu pasien selama masa pemulihan
a) Bantu pemberian oksigen dan penghisapan lendir sesuai kebutuhan
b) Pantau tanda-tanda vital
c) Setelah pernapasan pulih kembali, atur posisi miring pada pasien sampai
sadar. Pertahankan jalan napas paten
d) Jika pasien berespon, orientasikan pasien
e) Ambulasikan pasien dengan bantuan setelah memeriksa adanya hipotensi
postural
f) Ijinkan pasien tidur sebentar, jika diinginkannya
g) Berikan makanan ringan
h) Libatkan dalam kegiatan sehari-hari seperti biasa, orientasikan pasien
sesuai kebutuhan
i) Tawarkan analgetik untuk sakit kepala jika diperlukan
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Lingkungan telah didefinisikan dengan berbagai pandangan, lingkungan
merujuk pada keadaan fisik, psikologis, dan social diluar batas system, atau
masyarakat dimana system itu berada.
Terap Lingkungan adalah tindakan penyembuhan pasien melalui manipulasi dan
modifikasi unsur-unsur yang ada pada lingkungan dan berpengaruh positif terhadap
fisik dan psikis individu serta mendukung proses penyembuhan. Selain itu, terapi
religius adalah sebuah terapi dengan pendekatan terhadap kepercayaan yang dianut
oleh klien, pendekatan ini dilakukan oleh seorang pemuka agama dengan cara
memberikan pencerahan. Electroshock Therapy atau biasa juga disebut dengan
Electro Convulsive Therapy merupakan terapi untuk menciptakan seizure (kejang) di
otak menggunakan listrik yang dikenakan pada pasien yang telah dibius.
B. Saran
Gangguan jiwa atau penyakit jiwa merupakan penyakit dengan multi kausal, suatu
penyakit dengan berbagai penyebab yang sangat bervariasi. Kausa gangguan jiwa
selama ini dikenali meliputi kausa pada area organobiologis, area psikoedukatif, dan
area sosiokultural. Maka dalam konsep stress-adaptasi penyebab perilaku maladaptive
dikostrukkan sebagai tahapan mulai adanya factor predisposisi, factor presipitasi
dalam bentuk stressor pencetus, kemampuan penilaian terhadap stressor, sumber
koping yang dimiliki.
DAFTAR PUSTAKA
Kusumawati Farida, Yudi Hatono, 2011. Buku ajar keperawatan jiwa. Jakarta:
SalembaMedika.
http: // terapi-lingkungan.com
Kusumawati Farida, Yudi Hatono, 2011. Buku ajar keperawatan jiwa. Jakarta:
SalembaMedika.
www. Terapi psikoreligi-religius.com
www.mediaindonesia.com/.../Terapi-Kejut-Listrik-Se... - Amerika Serikat
www.news-medical.net/.../ Electroconvulsive-Therapy -Mechanism- ...
owthey.blogspot.com/2010/03/electro-convulsif-therapy.html
amaliarahmah.wordpress.com/2010/.../electroconvulsive-therapy-ect/