tesis analisis penerapan keselamatan pasien di rumah sakit …
TRANSCRIPT
TESIS
ANALISIS PENERAPAN KESELAMATAN PASIEN DI
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH INCHE ABDOEL MOEIS
TAHUN 2017
ROSITA JAYANTI BARDAN
P1806215066
MAGISTER ADMINISTRASI RUMAH SAKIT
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
i
ANALISIS PENERAPAN KESELAMATAN PASIEN DI
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH INCHE ABDOEL MOEIS
TAHUN 2017
TESIS
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister
Program Studi
Magister Administrasi Rumah Sakit
Disusun dan diajukan oleh
ROSITA JAYANTI BARDAN
P1806215066
kepada
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
ii
iii
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Rosita Jayanti Bardan
Nim : P1806215066 Program Studi : Kesehatan Masyarakat
Jurusan : Administrasi Rumah Sakit
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis merupakan
hasil karya saya sendiri dan bukan merupakan pengambilan tulisan atau
karya orang lain. Apabila di kemudian hari terbukti bahwa pernyataan
saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai ketentuan
yang berlaku.
Makassar, November 2017
Yang membuat pernyataan
Rosita Jayanti Bardan
iv
PRAKATA
Assalamualaikum Wr. Wb.
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala
limpahan rahmat dan karunia-Nya dan salawat serta salam tak lupa
penulis panjatkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai uswatun
khasanah bagi umat manusia sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis
yang berjudul “Analisis Penerapan Keselamatan Pasien Di Rumah Sakit
Umum Daerah Inche Abdoel Moeis Tahun 2017”. Pembuatan Tesis ini
merupakan salah satu syarat untuk penyelesaian studi penulis pada
jenjang pendidikan Pascasarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat,
Universitas Hasanuddin.
Terima kasih sebesar-besarnya dan saya persembahkan skripsi ini
terkhusus kepada kedua orang tua tercinta Ibunda dan Ayahanda serta
Adinda terima kasih atas segala pengorbanan, kesabaran, doa, dukungan,
dan bantuan yang tak ternilai hingga penulis dapat menyelesaikan studi,
kiranya amanah yang diberikan kepada penulis tidak tersia-siakan.
Penulis menyadari bahwa tesis ini tidak terlepas dari segala
keterbatasan dan kendala, tetapi berkat bantuan dan dorongan dari
berbagai pihak, baik moral maupun material sehingga dapat berjalan
dengan baik. Oleh karena dengan segala kerendahan hati penulis
menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya serta
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Dr. dr. Noer Bahry Noor,
M.Sc selaku pembimbing I dan Prof. Dr. Sangkala. M.Si, selaku
pembimbing II yang telah meluangkan waktunya memberikan petunjuk,
v
arahan dan motivasinya.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima
kasih dan penghargaan yang tinggi kepada deretan orang-orang yang
telah ikhlas membantu, pahlawan tanpa tanda jasa, Civitas Akademika
kepada :
1. Rektor Universitas Hasanuddin Makassar Prof. Dr. Dwia Aries
Tina Pulubuhu, MA., dan seluruh Wakil Rektor dalam Lingkungan
Universitas Hasanuddin.
2. Bapak Direktur Sekolah Pascasarjana dan para Wakil Direktur serta
seluruh staf yang telah memberikan bantuan selama penulis
mengikuti pendidikan di Sekolah Pascasarjana Universitas
Hasanudin serta kepada bapak/ibu dosen, terima kasih untuk
segala ilmu yang telah diberikan
3. Bapak Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Prof. Dr. drg. A.
Zulkifli Abdullah, M.Kes.
4. Dr. Ridwan M. Thaha, M.Sc., selaku Ketua Program Studi
Pascasarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Hasanuddin.
5. Bapak Dr. Syahrir A. Pasinringi, MS., selaku ketua Departemen
Administrasi Rumah Sakit.
6. Bapak Prof. Dr. dr. H.M. Alimin Maidin, MPH selaku penguji I,
Bapak Dr. Syahrir A. Pasinringi, MS selaku penguji II, dan Ibu Dr.
Herlina SKM, M.Kes selaku penguji III yang telah memberikan
bimbingan dan arahan selama ini demi kesempurnaan tulisan ini.
vi
7. Direktur Rumah Sakit Inche Abdoel Moies telah memberikan izin
penelitian dan membantu selama penelitian berlangsung.
8. Semua pihak yang telah memberikan bantuan kepada penulis baik
berupa materi dan non materi yang tidak dapat penulis sebutkan
satu per satu, terima kasih untuk bantuan dan dukungannya.
Semoga semua bantuan yang diberikan kepada penulis mendapat
balasan dari Tuhan Yang Maha Esa. Penulis menyadari bahwa tesis ini
masih jauh dari kesempurnaan karena keterbatan penulis. Oleh karena
itu, saran dan kritik demi penyempurnaan tesis ini sangat penulis
harapkan. Akhir kata, semoga apa yang disajikan dalam skripsi ini dapat
bermanfaat bagi setiap yang membacanya.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Makassar, November 2017
vii
viii
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN .................................................................. ii
PERNYATAAN KEASLIAN .................................................................. iii
PRAKATA ............................................................................................ iv
ABSTRAK ............................................................................................ vii
ABSTRACT .......................................................................................... viii
DAFTAR ISI ........................................................................................ ix
DAFTAR TABEL ................................................................................. xi
DAFTAR GAMBAR ............................................................................. xii
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................... xiii
DAFTAR SINGKATAN ........................................................................ xiv
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................... 1
A. Latar Belakang .................................................................... 1
B. Kajian Masalah ................................................................... 12
C. Rumusan Masalah .............................................................. 17
D. Tujuan Penelitian ................................................................ 17
E. Manfaat Penelitian .............................................................. 18
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................... 19
A. Keselamatan Pasien (Patient Safety) .................................. 19
B. Budaya Keselamatan Pasien ............................................. 23
C. Insiden Keselamatan Pasien .............................................. 39
D. Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Insiden
Keselamatan Pasien .......................................................... 41
E. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Budaya Keselamatan
Pasien ................................................................................ 44
F. Kerja Tim ............................................................................ 58
G. Mapping Teori .................................................................... 64
H. Kerangka Teori .................................................................. 65
I Kerangka Konsep................................................................ 66
x
J. Defenisi Operasional .......................................................... 67
K. Penelitian Terdahulu .......................................................... 68
BAB III METODE PENELITIAN ........................................................... 74
A. Pendekatan dan Jenis Penelitian ....................................... 74
B. Pengelolaan Peran sebagai Peneliti .................................. 74
C. Lokasi dan Waktu Penelitian .............................................. 74
D. Sumber Data ...................................................................... 75
E. Prosedur Pengumpulan Data ............................................. 76
F. Teknik Analisa Data ........................................................... 77
G. Pengecekan Validitas Temuan .......................................... 78
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................... 79
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ................................... 79
B. Hasil Penelitian .................................................................. 86
C. Pembahasan ...................................................................... 103
BAB V PENUTUP .............................................................................. 149
A. Kesimpulan ........................................................................ 149
B. Saran ................................................................................. 152
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 155
LAMPIRAN .......................................................................................... 160
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Jumlah Insiden Keselamatan Pasien di RS Inche Abdoel
Moeis Samarinda Tahun 2012-2015 .................................. 8
Tabel 2 Faktor keselamtan pasien Pengembangan WHO .............. 44
Tabel 3 Penelitian Terdahulu Terkait Judul Penelitian Penulis ........ 68
Tabel 4 Karateristik Informan di RSUD I.A.Moeis Samarinda
Tahun 2017 ........................................................................ 85
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Kajian Masalah Penelitian .............................................. 14
Gambar 2. Faktor organisasi dan personal dalam system sosio
teknikal ........................................................................... 22
Gambar 3. Faktor-faktor yang mempengaruhi dampak
keselamatan pasien ....................................................... 23
Gambar 4. MappingTeori Faktor yang mempengaruhi penerapan
Budaya Keselamatan Pasien ......................................... 64
Gambar 5. Modifikasi teori faktor-faktor yang mempengaruhi
budaya keselamatan pasien ........................................... 65
Gambar 6. Kerangka Konsep .......................................................... 66
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
halaman
Lampiran I Persetujuan Menjadi Informan ................................... 161
Lampiran II Informed Consent ...................................................... 162
Lampiran III Pedoman Wawancara Mendalam (In Depth
Interview) ................................................................... 163
Lampiran IV Dokumentasi Penelitian ............................................. 167
xiv
DAFTAR SINGKATAN
WHO : World Health Organization
IOM : Institute Of Medicine
KTD : Kejadian Tidak Diharapkan
EMRO : Eastern Mediterranean
AFRO : African Regions
KNC : Kejadian Nyaris Cedera
JCI : Joint Commission International
KKP-RS : Komisi Keselamatan Pasien Rumah Sakit
GKPRS : Gerakan Keselamatan Pasien Rumah Sakit
TKPRS : Tim Keselamatan Pasien Rumah Sakit
SDM : Sumber Daya Manusia
HSOPSC : Hospital Survey Of Patient Safety Culture
MAPSAF : Manchester Patient Safety Assesment Framework
NORUM : Nama Obat Rupa dan Ucapan Mirip
LASA : Look Alike Sound
AHRQ : Agency for Healthcare Research and Quality
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Rumah Sakit adalah salah satu institusi pelayanan kesehatan yang
menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna
melalui pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Agar dapat
memenangkan persaingan dan pelayanan tetap berlanjut, maka perlu
diupayakan secara terus menerus untuk peningkatan mutu pelayanan
kesehatan di rumah sakit tersebut. Melalui Akreditasi rumah sakit, mutu
pelayanan kesehatan yang diselenggarakam sesuai dengan standar yang
ditetapkan (KARS, 2012).
Keselamatan pasien adalah suatu sistem yang dilaksanakan di
rumah sakit untuk membuat asuhan pasien lebih aman (Permenkes No.
1691 Tahun 2011). Keselamatan pasien menjadi salah satu dimensi
dalam mutu pelayanan kesehatan sebagaimana yang dipaparkan oleh
Institute of Medicine (IOM, 2004), sehingga keselamatan pasien perlu
dikelola dengan baik agar rumah sakit dapat memberikan pelayanan yang
berkualitas. Selain itu menurut WHO (2005) keselamatan pasien
merupakan prinsip dasar dalam pemberian pelayanan dan merupakan
komponen yang kritikal dalam manajemen. Oleh karena itu keselamatan
pasien bukan hanya menjadi tanggung jawab moral perawat sebagai
salah satu bagian terdepan dalam pemberian pelayanan kepada pasien
tetapi juga seluruh pihak yang berada dalam rumah sakit dalam hal ini
2
pengelola rumah sakit (Cook, 2004).
Keselamatan pasien muncul dan berkembang seiring dengan
semakin bertambahnya jumlah insiden keselamatan pasien. Keselamatan
pasien berfokus pada usaha untuk menurunkan angka insiden
keselamatan pasien yang sebenarnya dapat dicegah (Raleigh, 2009).
Insiden keselamatan pasien dalam Permenkes No. 1691 Tahun 2011
adalah setiap kejadian yang tidak disengaja dan kondisi yang
mengakibatkan atau berpotensi mengakibatkan cedera yang dapat
dicegah pada pasien, terdiri dari kejadian tidak diharapkan, kejadian
nyaris cedera, kejadian tidak cedera, dan kejadian potensi cedera.
Institute of Medicine pada Tahun 1999 dalam To Err is Human : Building a
Safer Health Care System mengemukakan bahwa 44.000 sampai 98.000
orang setiap tahunnya meninggal di rumah sakit Amerika akibat insiden
keselamatan pasien padahal sebenarnya hal tersebut dapat dicegah.
Kematian akibat insiden keselamatan pasien menempati urutan kedelapan
penyebab kematian pasien di Amerika Serikat.
Keselamatan pasien (patient safety) rumah sakit adalah suatu
sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien menjadi lebih aman.
Sistem ini mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan
akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang
seharusnya d ambil (Permenkes No 1691/2011). Proses dan hasil
pelayanan tersebut harus mampu memberikan jaminan bagi pelanggan
sehingga terbebas dari resiko. Hal ini berlaku bagi seluruh institusi
penyelenggara pelayanan kesehatan seperti rumah sakit (Cahyono,2008).
3
Keselamatan pasien merupakan tanggung jawab semua pihak
yang berkaitan dengan pemberi pelayanan kesehatan. Stakeholder
mempunyai tanggung jawab memastikan tidak ada tindakan yang
membahayakan pasien. Masyarakat, pasien, dokter, tenaga perawat,
tenaga kesehatan, peneliti, kalangan professional, lembaga akreditasi
rumah sakit dan pemerintah memiliki tanggung jawab bersama dalam
upaya keselamatan pasien (Ballard,2003). Keselamatan pasien menjadi
prioritas utama dalam layanan kesehatan dan merupakan langkah kritis
pertama untuk memperbaiki kualitas pelayanan serta berkaitan dengan
mutu dan citra rumah sakit (Depkes,2008).
Isu tentang keselamatan pasien mendapatkam perhatian
pemerintah seperti yang dituangkan dalam Undang-Undang Kesehatan
Nomor 36 Tahun 2009 dan Undang-Undang Rumah Sakit Nomor 44
Tahun 2009. Rumah sakit wajib melaksanakan pelayanan kesehatan yang
aman, bermutu, anti diskriminasi, dan efektif, dengan mengutamakan
kepentingan pasien. Rumah sakit wajib memenuhi hak pasien
memperoleh keamanan dan keselamatan selama dalam perawatan di
rumah sakit. Acuan bagi rumah sakit untuk pelaksanaan program
keselamatan pasien di rumah sakit sesuai nstandar yang ditetapkan,
tertuang dalam Permenkes RI Nomor n1691 Tahun 2011.
Rumah sakit (RS) adalah institusi yang kompleks sehingga
kesalahan memang bisa terjadi. Pada tahun 2000 IOM (Institute of
Medicine) di Amerika Serikat menerbitkan laporan : “TO ERR IS HUMAN ,
Building a Safer Health System” yang memuat 2 penelitian tentang KTD
4
(kejadian tidak diharapkan/Adverse Event) pada pasien di RS. Ditemukan
angka KTD sebesar 2,9% dan 3,7% dengan angka kematian 6,6% dan
13,6%.Dengan data ini kemudian dihitung (ekstrapolasi) dari jumlah
pasien rawat inap di RS di Amerika Serikat sebesar 33.6 juta pertahun
didapat angka kematian pasien rawat inap akibat KTD tersebut di seluruh
Amerika Serikat berkisar 44.000 s/d 98.000 per tahun. Sebagai
perbandingan angka kecelakaan lalu lintas pada tahun tersebut hanyalah
43.458. Kemudian WHO dalam publikasi tahun 2004 menampilkan angka
KTD di RS dari berbagai Negara maju adalah sebesar 3,2% s/d 16,6%
pada pasien rawat inap, berbagai publikasi menemukan angka 10%, dan
sebagian diantaranya dapat meninggal (Depkes RI, 2008).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Holloway et al,. (2007) dalam
Lumenta (2008) mengenai KTD pada pasien stroke di bagian neurologi
University Rochester Medical Center di dapatkan 72 kasus (41%) pasien
yang mengalami jatuh. Data lain yang menyebutkan bahwa prevalensi
infeksi nosokomial pada perawatan akut di Australia sebesar 4% dan di
Belanda sebesar 8-10%. Selain itu menurut studi Evans et al (2001) dalam
Lumenta (2008), insiden jatuh pada RS Australia sebesar 38% pada tahun
1998. Sedangkan kejadian yang tidak di inginkan yang berhubungan
dengan komunikasi sebagai bagian utama dari handover sebesar 65%.
Kejadian yang tidak di inginkan dari pengobatan sebesar 38% akibat
ketidaktepatan dalam pengelolaan obat obatan yang sebagian besar di
perankan oleh perawat (Bates, 1995).
New South Wales dalam Third Report on Incident Management in
5
the NSW Public Health System 2005–2006 (2006) memperlihatkan data
mengenai angka insiden di Rumah Sakit Umum New South Wales
Australia dalam tiga tahun terakhir. Pada tahun 2003-2004 sebanyak 452
insiden, 2004-2005 sebanyak 429 insiden, dan 2005-2006 sebanyak 499
insiden. Angka insiden terbanyak terjadi pada tahun 2005- 2006 dan
meningkat setiap tahunnya. Tahun 2006 juga dilakukan studi oleh the
World Health Organisation (WHO), Eastern Mediterranean and African
Regions (EMRO and AFRO), dan WHO Patient safety di 8 negara
berkembang. Hasilnya insiden keselamatan pasien terjadi pada 2,5%-
18,4% dari 15.548 rekam medis di 26 rumah sakit, 83% diantaranya dapat
dicegah, 30% berhubungan dengan kematian pasien dan 34% berkaitan
dengan kesalahan terapeutik pada situasi klinik yang relatif tidak kompleks
(Wilson et al., 2012). Selain itu, WHO juga melaporkan studi pada 58
rumah sakit di Argentina, Colombia, Costa Rica, Mexico and Peru oleh
IBEAS (The Latin American Study of Adverse Events) dan melibatkan
11.379 pasien rawat inap. Hasilnya 10% admisi mengalami insiden
keselamatan pasien akibat pelayanan kesehatan.
Mengenai data di Indonesia, angka kejadian tidak di harapkan /
KTD atau kejadian nyaris cedera/ KNC (Near Miss) masih langka di
laporkan (Depkes, 2008). Berdasarkan laporan pada tahun 2010 pada
bulan Januari sampai dengan bulan April, Provinsi Jawa Barat menempati
urutan pertama mengenai KTD sebesar 33,33%, Banten dan Jawa
Tengah 20%, DKI Jakarta 16,67%, Bali 6,67%, Jawa Timur 3,33%.
Berdasarkan penyebab kejadian lebih dari 70% di akibatkan oleh tiga hal
6
yaitu masalah prosedur, dokumentasi, dan medikasi (KKP-RS, 2010).
Data-data di atas menunjukkan bahwa banyaknya masalah patient safety
yang seharusnya dapat di cegah dengan penerapan standar International
Patient Safety Goal dalam akreditasi JCI.
Berdasarkan data yang tercantum di atas banyak Provinsi yang
tidak tercatat di Komisi Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKP-RS) pada
tahun 2010. Bukan berarti Provinsi yang tidak tercantum dalam laporan
KKP-RS bebas dari insiden yang berkaitan dengan keselamatan pasien.
Namun di karenakan mereka tidak mempunyai data mengenai kejadian
yang berkaitan dengan keselamatan pasien atau tidak melakukan
pelaporan kepada KKP-RS.
Berdasarkan laporan KKP-RS mengenai insiden keselamatan
pasien periode Januari hingga April 2011 di peroleh data bahwa
berdasarkan unit penyebab, 11,32% di sebabkan oleh unit keperawatan
disusul oleh farmasi sebanyak 6,17% serta dokter dan sarana prasarana
sebanyak 4,12%.
Angka insiden keselamatan pasien juga dilaporkan oleh berbagai
negara. Depkes RI Tahun 2006 dalam Panduan Nasional Keselamatan
Pasien Rumah Sakit membeberkan laporan dari WHO pada Tahun 2004
bahwa di beberapa negara, insiden keselamatan pasien terjadi dengan
rentang 3,2 % - 16,6 % kasus.
Insiden keselamatan pasien juga ditemukan di Indonesia. Tahun
2007 Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS) melaporkan
insiden keselamatan pasien sebanyak 145 insiden. DKI Jakarta
7
merupakan provinsi yang menempati urutan tertinggi yaitu 37,9 %, Jawa
Tengah yaitu 15,9 %, DI Yogyakarta yaitu 13,8 %, Jawa Timur yaitu 11, 7
%, Sumatera Selatan yaitu 6,9 %, Jawa Barat yaitu 2,8 %, Bali yaitu 1,4
%, Kalimantan timur yaitu 0,69 %, dan Aceh yaitu 0,68 %. Data lain
mengenai insiden keselamatan pasien di Indonesia menunjukkan bahwa
kejadian nyaris cedera (KNC) lebih banyak dilaporkan daripada kejadian
tidak diinginkan (KTD). Pelaporan kejadian nyaris cedera sebesar 47,6 %
sedangkan kejadian tidak diinginkan sebesar 46,2 %. Di Indonesia,
meskipun publikasi tentang malpraktik cukup sering muncul di media
massa, namun data resmi insiden keselamatan pasien masih jarang
ditemui. Penelitian pertama tentang keselamatan pasien di Indonesia
dilakukan di 15 rumah sakit dengan 4500 rekam medik. Hasilnya
menunjukkan angka insiden keselamatan pasien berkisar antara 8,0%-
98,2% untuk kesalahan diagnosis dan 4,1%-91,6% untuk kesalahan
pengobatan.
Salah satu rumah sakit yang angka kejadian insiden keselamatan
pasiennya cukup tinggi di Kota Samarinda adalah Rumah Sakit Inche
Abdoel Moeis. Jumlah kejadian insiden keselamatan pasien dapat dilihat
pada tabel di bawah ini berdasarkan data yang diperoleh dari Bagian
Patient Safety Rumah Sakit Inche Abdoel Moeis.
8
Tabel 1 Jumlah Insiden Keselamatan Pasien di RS Inche Abdoel Moeis
Samarinda Tahun 2012-2015
Jenis Insiden Keselamatan
Pasien
Tahun Standar Kemenkes No. 129 Tahun 2008 2012 2013 2014 2015
Infeksi Nosokomial
1,5 % 8,4 % 6,9 % 5,6 % < 1,5 %
Pasien Jatuh 2 3 5 1 0 Kasus
Kesalahan Pemberian Obat
5 9 9 8 0 kasus
Sumber : Bagian Patient Safety RS Inche Abdoel Moeis Samarinda, 2015
Tabel di atas menunjukkan tiga jenis insiden keselamatan pasien
yang terjadi di Rumah Sakit Inche Abdoel Moeis Samarinda. Infeksi
nosokomial belum memenuhi standar yang telah ditetapkan dalam
Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit (Kemenkes No. 129 Tahun
2008) yang seharusnya <1,5 %. Pada tahun 2012 angka kejadian infeksi
nosokomial yaitu sebesar 1,5 %, infeksi nosokomial pada tahun 2013
sebesar 8,4 %, pada tahun 2014 sebesar 6,9 %, dan tahun 2015
sebesar 5,6 %. Tren infeksi nosokomial meningkat dari tahun 2012 ke
tahun 2013 dan menurun dari tahun 2013 ke tahun 2014 dan 2015.
Kejadian pasien jatuh cenderung meningkat dari tahun 2012 sampai tahun
2014 masing-masing 2 kasus, 3 kasus, dan 5 kasus. Dan menurun pada
tahun 2015 yaitu hanya 1 kasus. Begitupun dengan kejadian kesalahan
pemberian obat meningkat setiap tahunnya sejak 2012-2014 yaitu 5
kasus, 9 kasus, dan 9 kasus. Tapi menurun pada tahun 2015 yaitu 8
kasus. Padahal dalam Kemenkes No. 129 Tahun 2008 tentang Standar
Pelayanan Minimal Rumah Sakit telah ditetapkan bahwa tidak boleh ada
kejadian pasien jatuh dan kesalahan pemberian obat pada pasien
9
(standar 0 kasus). Besarnya jumlah insiden di Rumah Sakit Inche Abdoel
Moeis Samarinda ini mengindikasikan bahwa pihak Rumah Sakit Inche
Abdoel Moeis Samarinda perlu melakukan tindakan demi mengurangi
bahkan jika perlu meniadakan insiden keselamatan pasien.
Insiden keselamatan pasien dapat dikurangi atau dicegah
kejadiannya dengan mengetahui faktor yang berkontribusi terhadap
terjadinya insiden keselamatan pasien. Sebelumnya telah dipaparkan
bahwa program keselamatan pasien merupakan program yang
dilaksanakan untuk mengurangi dan mencegah terjadinya insiden
keselamatan pasien. Dalam Panduan Nasional Keselamatan Pasien
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Tahun 2006 dipaparkan
bahwa tujuan dari pelaksanaan keselamatan pasien salah satunya adalah
untuk menurunkan angka kejadian tidak diinginkan (KTD) di rumah sakit.
Institute of Medicine (1999) juga mengemukakan bahwa untuk
mengurangi insiden keselamatan pasien perlu dilakukan peningkatan
program keselamatan pasien. Program keselamatan pasien akan
membuat petugas sulit melakukan kesalahan dan mudah melakukan yang
benar (IOM, 1999). Ballard (2003) menyatakan bahwa keselamatan
pasien merupakan komponen penting dan vital dalam asuhan yang
berkualitas. Keselamatan pasien juga merupakan salah satu indikator
yang mempengaruhi mutu rumah sakit.
Selain dipengaruhi oleh pelaksanaan program keselamatan pasien,
insiden keselamatan pasien juga dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor.
WHO dalam Human Factors in Patient Safety : Review of Topics and
10
Tools pada tahun 2009 mengemukakan beberapa faktor yang
mempengaruhi insiden keselamatan pasien. WHO mengembangkan
empat kategori faktor yang sangat berhubungan dengan penyebab insiden
keselamatan pasien. Kategori faktor individu yang terdiri atas
kewaspadaan situasi, pengambilan keputusan, stres, dan kelelahan.
Kategori faktor kerja tim yang terdiri atas kerja tim dan supervisi. Kategori
faktor organisasi dan manajemen terdiri atas budaya keselamatan,
kepemimpinan manajer, dan komunikasi. Kategori faktor lingkungan terdiri
atas lingkungan kerja dan bahaya. Henriksen (2008) juga menjelaskan
bahwa insiden keselamatan pasien dipengaruhi oleh faktor individu seperti
kemampuan, pengalaman, kelelahan kerja. Faktor sifat dasar pekerjaan
seperti kompleksitas pengobatan, alur pekerjaan, interupsi. Faktor
lingkungan fisik meliputi pencahayaan, temperatur. Faktor manajemen
seperti budaya keselamatan, pengembangan karyawan, kepemimpinan.
Selain itu juga faktor eksternal organisasi seperti perkembangan teknologi,
kebijakan pemerintah terkait pelayanan kesehatan juga disebutkan
sebagai faktor yang dapat mempengaruhi insiden keselamatan pasien.
Penerapan program keselamatan pasien lebih efektif dibandingkan
dengan faktor-faktor lain dalam menurunkan angka kejadian insiden
keselamatan pasien. Lima tahun setelah laporan IOM (1999), keselamatan
pasien telah menjadi salah satu prioritas utama pelayanan kesehatan dan
diupayakan secara ekstensif dari tingkat global sampai sistem mikro.
Beberapa perubahan yang patut disyukuri, yaitu kesadaran global akan
arti dan pentingnya gerakan keselamatan pasien. Sehingga penting bagi
11
sebuah rumah sakit untuk megetahui faktor-faktor yang mempengaruhi
pelaksanaan program keselamatan pasien itu sendiri.
Raj Behal (2004) dalam The Patient Safety Handbook menjelaskan
bahwa keberhasilan pelaksanaan program keselamatan pasien oleh staf
di rumah sakit dapat dipengaruhi oleh beberapa komponen. Salah satu
komponen tersebut adalah budaya keselamatan pasien. Penelitian
mengenai budaya keselamatan pasien dan pengaruhnya bagi program
keselamatan pasien telah dilakukan oleh beberapa tokoh. Penelitian
Nygren et al., (2013) menunjukkan bahwa budaya keselamatan pasien
menjadi faktor pendukung dalam meningkatkan keselamatan pasien.
Budaya keselamatan pasien akan mendorong pelaporan insiden dan
menghilangkan kebiasaan blame atau menyalahkan ketika terjadi insiden
keselamatan pasien. Penelitian serupa juga dilakukan oleh McCaughan D.
(2013), hasil penelitiannya memperlihatkan bahwa komponen kunci
budaya keselamatan pasien yaitu kepemimpinan, kerjasama, dan belajar
dari kesalahan berperan besar terhadap keselamatan pasien.
Penerapan program keselamatan pasien merupakan syarat untuk
diterapkan di semua rumah sakit yang diakreditasi oleh Komite Akreditasi
Rumah Sakit. Penyusunan program keselamatan pasien mengacu kepada
Nine Life-Saving Patient Safety Solutions dari WHO Patient Safety (2007)
yang digunakan juga oleh Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit
(KKPRS) dan dari Joint Commission International (JCI). Sasaran
keselamatan pasien terdiri atas enam sasaran, yaitu ketepatan identifikasi
pasien, peningkatan komunikasi yang efektif, peningkatan keamanan obat
12
yang perlu diwaspadai (high alert), kepastian tepat lokasi, tepat prosedur,
dan tepat pasien operasi, pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan
kesehatan, dan pengurangan risiko jatuh.
Berdasarkan data insiden keselamatan pasien Rumah Sakit Inche
Abdoel Moeis, pendapat, dan hasil penelitian para tokoh yang sudah
dipaparkan di atas maka peneliti tertarik melakukan penelitian untuk
menganalisis penerapan keselamatan pasien di Rumah Sakit Inche
Abdoel Moeis.
B. Kajian Masalah
Insiden keselamatan pasien merupakan setiap kejadian yang tidak
disengaja dan kondisi yang mengakibatkan atau berpotensi
mengakibatkan cedera yang dapat dicegah pada pasien. Angka insiden
keselamatan pasien cukup tinggi di berbagai negara seperti yang telah
dilaporkan. Insiden keselamatan pasien juga tercatat tinggi kejadiannya di
berbagai rumah sakit Indonesia. RS Inche Abdoel Moeis Samarinda
adalah salah satu rumah sakit yang insiden keselamatan pasiennya cukup
tinggi. Insiden keselamatan pasien yang terjadi yaitu infeksi nosokomial,
pasien jatuh, dan kesalahan pemberian obat. Masing-masing insiden
tersebut melebihi standar yang telah ditetapkan.
Pengurangan dan pencegahan insiden keselamatan pasien perlu
dilakukan oleh rumah sakit. Namun perlu diketahui terlebih dahulu faktor-
faktor yang mempengaruhi insiden keselamatan pasien itu sendiri.
Berbagai organisasi dan tokoh telah mengemukakan faktor yang
13
berpengaruh terhadap insiden keselamatan pasien. Panduan Nasional
Keselamatan Pasien Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Tahun
2006 misalnya, menyebutkan bahwa pelaksanaan program keselamatan
pasien merupakan program yang dapat menurunkan angka kejadian tidak
diinginkan (KTD) di rumah sakit. Institute of Medicine (1999) juga
mengemukakan bahwa untuk mengurangi insiden keselamatan pasien
perlu dilakukan peningkatan program keselamatan pasien. Program
keselamatan pasien akan membuat petugas sulit melakukan kesalahan
dan mudah melakukan yang benar (IOM, 1999). Ballard (2003)
menyatakan bahwa keselamatan pasien merupakan komponen penting
dan vital dalam asuhan yang berkualitas. Keselamatan pasien juga
merupakan salah satu indikator yang mempengaruhi mutu rumah sakit.
Henriksen (2008) juga menyebutkan faktor individu, faktor sifat
dasar pekerjaan, faktor lingkungan fisik, faktor manajemen, dan faktor
eksternal organisasi sebagai penyebab terjadinya insiden keselamatan
pasien. Namun program keselamatan pasien dianggap sebagai faktor
yang langsung memberikan efek terhadap terjadinya insiden keselamatan
pasien. Keselamatan pasien telah menjadi salah satu prioritas utama
pelayanan kesehatan dan diupayakan secara ekstensif dari tingkat global
sampai sistem mikro. Beberapa perubahan yang patut disyukuri, yaitu
kesadaran global akan arti dan pentingnya gerakan keselamatan pasien.
Indonesia sendiri telah mencanangkan Gerakan Keselamatan Pasien
Rumah Sakit (GKPRS) pada 21 Agustus 2005 dan setiap rumah sakit
wajib untuk membentuk tim keselamatan pasien rumah sakit.
14
Program keselamatan pasien tidak terlepas dari segala faktor yang
bisa mempengaruhi pelaksanaan keselamatan pasien itu sendiri. Raj
Behal (2004) dalam The Patient Safety Handbook mengungkapkan bahwa
keberhasilan pelaksanaan program keselamatan pasien oleh staf di rumah
sakit dapat dipengaruhi oleh beberapa komponen. Salah satu komponen
tersebut adalah budaya keselamatan pasien. Penelitian oleh Nygren et al.,
(2013) juga menunjukkan bahwa budaya keselamatan pasien menjadi
faktor pendukung dalam meningkatkan keselamatan pasien. Penelitian
serupa juga dilakukan oleh McCaughan D. (2013), hasil penelitiannya
memperlihatkan bahwa komponen kunci budaya keselamatan pasien yaitu
kepemimpinan, kerjasama, dan belajar dari kesalahan berperan besar
terhadap keselamatan pasien.
Berikut merupakan gambar kajian masalah seperti yang telah
dipaparkan di atas :
insiden keselamatan pasiennya cukup tinggi di Rumah sakit Inche
Abdoel Moeis
Penerapan Patient safety sudah berjalan tetapi hasil dari
penerapan belum cukup
baik.
Faktor yang mempengaruhi budaya keselamatan pasien menurut total Safety Culture (2000) : 1. Faktor personal
2. Perilaku
3. Lingkungan kerja
Menurut WHO (2009) budaya keselamatan pasien dipengaruhi oleh ; 1. Organisasi dan managerial
2. Kerja Tim
3. Pegawai / Individual
4. Lingkungan
Faktor yang mempengaruhi keselamatan pasien oleh O’donnel and Richard Boyle (2008) : 1. Kepemimpinan
2. Teamwork
3. Keterlibatan Pegawai
4. Kebijakan
5. Teknologi
6. Komunikasi
Gambar 1. Kajian Masalah Penelitian (Raj Behal (2004), Kemenkes RI (2006), IOM (1999), WHO (2009), Henriksen (2008))
15
Budaya keselamatan pasien dalam suatu organisasi dapat dinilai
pada faktor-faktor ditingkat unit, tingkat rumah sakit sebgai variable hasil
(Katherine, et all, 2008). Menurut WHO (2009) ada empat kategori faktor-
faktor yang mempengaruhi budaya keselamatan pasien ; Organisai /
Managerial, Kerja tim, pegawai individual, serta lingkungan kerja. Geller
(2000) dalam bukunya the Pscychology of safety handbook menjelaskan
bahwa untuk mencapai total safety culture suatu organisasi harus
didukung oleh ; faktor personal (pengetahuan, sikpa, motivasi, dan
kemampuan), faktor perilaku (kerja sama, kepemimpinan, komunikasi,
pengawasan dan pelatihan), serta faktor lingkungan (sarana dan
parasaran, mesin, mekanik serta standar prosedur operasional dan
kebersihan)
Program keselamatan pasien lebih efektif dilaksanakan untuk
menurunkan dan meniadakan insiden keselamatan pasien. Meskipun
masih terdapat faktor lain yang juga dapat mempengaruhi insiden
keselamatan pasien. Faktor-faktor tersebut yaitu faktor individu, faktor
kerja tim, faktor organisasi dan manajemen, dan faktor lingkungan (WHO,
2009). Salah satu faktor yang diteliti adalah organisasi dan managerial
budaya keselamatan yang masih rendah ditandai dengan tingkat
pelaporan insiden keselamatan pasien yang rendah.
Kepemimpinan di Rumah Sakit Inche Abdoel Moeis mempunyai 3
domain perilaku kepemimpinan yang mampu menjadi agent perubahan
(Change Agent) bagi perilaku anggota dalam suatu organisasi yakni
16
pengarahan (Direction), pengawasan (Supervision), serta koordinasi
(Coordination) (Gilles, 1994). Salah satu domain perilaku kepempinan
yang menjadi kajian masalah penelitian adalah pengawasan (Supervision)
kepala ruangan yang hampir 50 % tidak ada pelaporan atas insiden
keselamatan pasien.
Kompetensi dalam berkomunikasi menjadi suatu hal yang penting
karena komunikasi yang efektif berhubungan dengan pengelolaan dalam
menyelesaikan konflik. Komunikasi efektif juga berperan dalam
tersosialisasinya isu pelayanan keperawatan dan isu organisasi.
Komunikasi memeiliki dua aspek penting yatiu sikap dalam berkomunikasi
dan alat untuk berkomunikai (Wise & Kowalski, 2006). Komunikasi data
secara verbal, tertulis, mapun lisan. Keterampilan komunikasi dapat
berupa mendengar aktif, mendorong saluran informasi, asertif,
memberikan umpam balik, upaya mencitpkan perantara apabila terdapat
masalsah dalam berkomunikais, membentukan jaringan, menyatakan
komunikasi sebagai vivi.
Waishe & Boaden (2006) juga berpendapat budaya keselamatan
pasien positif, meliputi komunikasi yang didasarkan pada :
1. Kepercayaan dan transparansi
2. Proses dan alur informais yang baik
3. Persepsi bersama tentang arti penting keselamatan pasien
4. Perhatian dan pengenanalan pada pentingnya kesalahan
Dengan demikian peneliti merasa perlu untuk menganalisis tentang
perilaku kepemimpinan, kerja tim, dan komunikasi dalam penerapan
keselamatan pasien di instalasi pelayanan RS Inche Abdoel Moeis
17
Samarinda Tahun 2017
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah yang
dikemukakan tersebut di atas, maka peneliti mengajukan rumusan
masalah yaitu : “Bagaimana pengaruh budaya keselamatan pasien
terhadap pelaksanaan keselamatan pasien di instalasi pelayanan dan
penunjang pelayanan RS Inche Abdoel Moeis Tahun 2017?” “Analisis
penerapan keselamatan pasien di RS Inche Abdoel Moeis Tahun 2017”.
Adapun pertanyaan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana analisis perilaku kepemimpinan Kepala Ruangan dalam
penerapan keselamatan pasien di Rumah Sakit Inche Abdoel Moeis
Tahun 2017?
2. Bagaimana analisis komunikasi dalam penerapan keselamatan pasien
di Rumah Sakit Inche Abdoel Moeis Tahun 2017?
3. Bagaimana analisis kerja tim dalam penerapan keselamatan pasien di
Rumah Sakit Inche Abdoel Moeis Tahun 2017?
D. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum :
Untuk menganalisis penerapan keselamatan pasien di RS Inche
Abdoel Moeis.Tahun 2017.
2. Tujuan khusus :
a. Untuk Menganalisis perilaku kepemimpinan Kepala Ruangan dalam
penerapan keselamatan pasien di Rumah Sakit Inche Abdoel
Moeis Tahun 2017.
18
b. Untuk Menganalisis komunikasi dalam penerapan keselamatan
pasien di Rumah Sakit Inche Abdoel Moeis Tahun 2017.
c. Untuk Menganalisis kerja tim dalam penerapan keselamatan pasien
di Rumah Sakit Inche Abdoel Moeis Tahun 2017.
E. Manfaat Penelitian
1. Bagi Pengembangan Ilmu Pengetahuan
Penelitian ini diharapkan dapat menambah kepustakan tentang
maagemen mutu dan penerapan patient safety, serta dapat
memberikan kontribusi terhadap ilmu perumahsakitan khususnya
mengenai keselamatan pasien.
2. Bagi Institusi Rumah Sakit
Penelitian ini berguna bagi rumah sakit untuk dapat lebih
meningkatkan kinerja dan mutu pelayanannya. Karena patient safety
dapat mempengaruhi mutu pelayanan sebuah rumah sakit. Juga
sebagai bahan untuk pengambilan keputusan dalam rangka
peningkatan kualitas sumber daya manusia yang dimiliki khususnya
mengenai keselamatan pasien dan penielitian diharapkan mampu
menjadi masukan untuk pihak managemen dalam mengidentifikasi
faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penerapan keselamatan
pasien dirumah sakit khusunya terkait kepemimpinan, komunikasi dan
kerja tim dilingkungan rumah sakit.
3. Bagi Peneliti
Menambah pengetahuan peneliti dalam bidang penelitian
khususnya yang berkaitan dengan keselamatan pasien di rumah sakit.
19
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Keselamatan Pasien (Patient Safety)
1. Pengertian
Keselamatan pasien rumah sakit adalah suatu sistem
dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman yang
meliputi asesmen risiko, identifikasi, dan pengelolaan hal yang
berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan, dan analisis insiden,
kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta
implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko dan
mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan
akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan
yang seharusnya diambil. Keselamatan pasien (patient safety)
rumah sakit adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat
asuhan pasien lebih aman.
Menurut Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah
Sakit oleh Depkes Republik Indonesia tahun 2006, terdapat tujuh
langkah menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit. Langkah-
langkah tersebut yaitu :
a. Membangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien,
menciptakan kepemimpinan & budaya yg terbuka & adil.
b. Memimpin dan mendukung staf, membangun komitmen & fokus
yang kuat serta jelas tentang keselamatan pasien di rumah sakit
Anda.
20
c. Mengintegrasikan aktivitas pengelolaan risiko, mengembangkan
sistem dan proses pengelolaan risiko, serta melakukan
identifikasi & asesmen hal yang potensial bermasalah.
d. Mengembangkan sistem pelaporan, memastikan staf agar dgn
mudah dapat melaporkan kejadian / insiden, serta rumah sakit
mengatur pelaporan kepada KKP-RS.
e. Melibatkan dan berkomunikasi dengan pasien,
mengembangkan cara-cara komunikasi yg terbuka dgn pasien.
f. Melakukan kegiatan belajar & berbagi pengalaman tentang
keselamatan pasien, mendorong staf untuk melakukan analisis
akar masalah untuk belajar bagaimana & mengapa kejadian itu
timbul .
g. Mencegah cedera melalui implementasi sistem keselamatan
pasien, menggunakan informasi yang ada tentang kejadian/
masalah untuk melakukan perubahan pada sistem pelayanan.
Dalam pelaksanaan patient safety rumah sakit harus
membentuk Tim Keselamatan Pasien Rumah Sakit (TKPRS). Tim
ini ditetapkan oleh kepala rumah sakit sebagai pelaksana kegiatan
keselamatan pasien. Anggota tim keselamatan pasien rumah sakit
terdiri dari manajemen rumah sakit dan unsur dari profesi
kesehatan di rumah sakit. Tugas dari tim ini adalah :
a. mengembangkan program keselamatan pasien di rumah sakit
sesuai dengan kekhususan rumah sakit tersebut.
b. menyusun kebijakan dan prosedur terkait dengan program
21
keselamatan pasien rumah sakit.
c. menjalankan peran untuk melakukan motivasi, edukasi,
konsultasi, pemantauan (monitoring) dan penilaian (evaluasi)
tentang terapan (implementasi) program keselamatan pasien
rumah sakit.
d. bekerja sama dengan bagian pendidikan dan pelatihan rumah
sakit untuk melakukan pelatihan internal keselamatan pasien
rumah sakit.
e. melakukan pencatatan, pelaporan insiden, analisa insiden, dan
mengembangkan solusi untuk pembelajaran.
f. memberikan masukan dan pertimbangan kepada kepala rumah
sakit dalam rangka pengambilan kebijakan keselamatan pasien
rumah sakit membuat laporan kegiatan kepada kepala rumah
sakit.
2. Tujuan Keselamatan pasien
Tujuan system keselamatan pasien rumah sakit adalah ;
a. Terciptanya budaya keselamatan pasien dirumah sakit
b. Meningkatnya akuntabilitas rumah sakit terhadap pasien dan
masyarakat
c. Menurun nya kejadian tak diharapkan (KTD) dirumah sakit
d. Terlaksana nya program-program pencegahan sehingga tidak
terjadi penanggulangan KTD
Sedangkan tujuan keselamatan pasien secara internasional
adalah
22
a. Mengidentifikasi pasien secara benar
b. Meningkatkan komunikasi yang efektif
c. Meningkatkan keamanan dari pengobatan resiko tinggi
d. Mengeliminasi kesalahan penempatan, kesalahan pengenalan
pasien dan kesalahan prosedur operasi
e. Mengurangi resiko infeksi yang berhubungan dengan pelayanan
kesehatan
f. Mengurangi resiko pasien terluka karena jatuh
3. Faktor yang mempengaruhi keselamatan pasien
Meningkat perhatian terhadap kinerja dan perilaku manusia dengan
menggunakan system , akan mengurangi kerusakan, hilangnya
nyawa, kerusakan property, luks, kerugian financial.
Pengembangan model organisasi dan faktor personal oleh Moray
(2000) dpat digambarkan sebagai berikut ;
Gambar 2. Faktor organisasi dan personal dalam system sosio teknikal (Moray, 2000).
Bagan diberikut ini menunjukkan bagaimana situasi
organisasi, unit manager, kebiasan pegawai dan faktor individu
dapat mempengaruhi situasi keselamatan pasien dirumah sakit ;
Faktor organisasi/ manager
senior
Unit manager / Budaya tim
Kebiasan Pegawai/
eror
Dampak Keselamatan
Pasien
Faktor individu
23
Tim (Kelompok)
Tim (Kelompok)
Pengaruh social, budaya, dan aturan
Organisasi dan managemen
Tim (kelompok)
Gambar 3. Faktor-faktor yang mempengaruhi dampak keselamatan pasien (Jackson & flin, 2003).
B. Budaya Keselamatan Pasien
1. Pengertian Budaya Keselamatan Pasien
Beberapa definisi mengenai budaya keselamatan pasien telah
dikemukakan oleh tokoh. Sorra dan Nieva (2004) mengemukakan
budaya keselamatan pasien adalah suatu keluaran dari nilai individu
dan kelompok, perilaku, kompetensi, dan pola serta kebiasaan yang
mencerminkan komitmen dan gaya serta kecakapan dari manajemen
organisasi dan keselamatan kesehatan. Sedangkan Jianhong (2004)
menjelaskan bahwa budaya keselamatan dalam pelayanan kesehatan
merupakan keyakinan dan nilai perilaku yang dikaitkan dengan
keselamatan pasien yang secara tidak sadar dianut bersama oleh
anggota organisasi. Budaya keselamatan pasien sangat penting
perannya dalam rumah sakit. Sebab budaya keselamatan pasien
mendorong rumah sakit untuk melaksanakan program keselamatan
Individu
Lingkungan kerja/ Perlengkapan
Pasien
24
pasien dan mencegah terjadinya insiden keselamatan pasien melalui
pelaksanaan analisis akar masalah insiden keselamatan pasien.
Budaya keselamatan pasien terdiri atas budaya keselamatan
positif dan negatif. Budaya keselamatan positif menurut Pronovost et
al., (2003) adalah karakteristik budaya keselamatan pasien yang
proaktif, meliputi komitmen dari pimpinan untuk mendiskusikan dan
belajar dari kesalahan, mendorong dan mempraktekkan kerjasama tim,
membuat sistem pelaporan kejadian (KTD, KNC, Sentinel) serta
memberikan penghargaan bagi staf yang menjalankan program
keselamatan pasien dengan baik. Budaya keselamatan pasien positif
akan meningkatkan produktivitas. Sedangkan budaya keselamatan
negatif meliputi tingkatan karir yang curam antara staf medis degan
staf lain, hubungan tim kerja yang renggang, dan keengganan
mengakui kesalahan. Budaya keselamatan negatif akan merusak
keefektifan dari suatu tim dan menimbulkan efek dari desain organisasi
yang baik.
2. Dimensi Budaya Keselamatan Pasien
Agency for Healthcare Research and Quality (2004) menilai
budaya keselamatan pasien melalui tiga aspek. Aspek-aspek tersebut
adalah :
a. Tingkat unit, mencakup espektasi supervisor/manajer dan tindakan
promosi keselamatan berkaitan dengan sejauhmana pihak
pimpinan rumah sakit mempromosikan serta mendukung tindakan
keselamatan pasien, pembelajaran organisasi dan perbaikan
25
berkelanjutan berkaitan dengan sejauhmana petugas rumah sakit
mau dan bersedia belajar secara terus-menerus demi peningkatan
kinerja melalui peniadaan kejadian tidak diinginkan, kerjasama
dalam unit berkaitan dengan sejauhmana petugas suatu divisi
kompak dan bekerjasama dalam tim, keterbukaan komunikasi
berkaitan dengan sejauhmana keterbukaan antar anggota dan
pimpinan, umpan balik dan komunikasi tentang error berkaitan
dengan sejauhmana umpan diberikan oleh pimpinan, respon non-
punitive terhadap error berkaitan dengan sejauhmana pengakuan
akan kesalahan ditanggapi dengan hukuman, staffing berkaitan
dengan sejauhmana ketersediaan
b. SDM yang kompeten dan pengelolaannya dilakukan secara efektif.
c. Tingkat Rumah Sakit, meliputi dukungan manajemen terhadap
keselamatan pasien berkaitan dengan sejauhmana manajemen
memberikan dukungan pada penciptaan budaya keselamatan,
kerjasama antar unit berkaitan dengan sejauhmana kekompakan
dan kerjasama tim lintas unit atau bagian, pergantian shift dan
perpindahan pasien berkaitan dengan sejauhmana kelancaran
pergantian gilir kerja.
d. Keluaran/Outcome, meliputi keseluruhan persepsi tentang
keselamatan pasien berkaitan dengan sejauhmana pengetahuan
dan pemahaman petugas tentang keselamatan pasien yang
berlaku di rumah sakit, frekuensi pelaporan kejadian berkaitan
dengan tingkat keseringan petugas dalam melaporkan kejadian
26
kesalahan yang terjadi di rumah sakit, tingkat keselamatan
pasien berkaitan dengan sejauhmana petugas menilai tingkat
keselamatan pasien di rumah sakit terkait dengan program-program
keselamatan pasien yang telah dilakukan pihak rumah sakit, jumlah
pelaporan kejadian berkaitan dengan sejauhmana insiden
dilaporkan oleh petugas berdasarkan insiden yang terjadi.
3. Pembagian Budaya Keselamatan Pasien
Budaya keselamatan pasien juga terbagi atas informed culture,
reporting culture, just culture, dan learning culture
a. Informed Culture, keselamatan pasien sudah diinformasikan ke
semua karyawan, arti penting dari keselamatan pasien, ada upaya
dari rumah sakit dalam menciptakan keselamatan pasien, adanya
kebijakan yang menjadi draft/rencana strategis tentang
keselamatan pasien oleh tatanan manajerial, adanya pelatihan,
pengembangan berupa jurnal berdasarkan evidence-based,
informasi tentang kendala dan hambatan dalam menciptakan
keselamatan pasien.
b. Reporting Culture, adanya program evaluasi/sistem pelaporan,
adanya upaya dalam peningkatan laporan, hambatan dan kendala
dalam pelaporan, adanya mekanisme penghargaan, dan sanksi
yang jelas terhadap pelaporan.
c. Just Culture, staf di rumah sakit terbuka dan memiliki motivasi
untuk memberikan informasi terhadap hal yang bisa atau tidak bisa
diterima, adanya ketakutan apabila staf melaporkan kejadian
27
kesalahan, kerjasama antar sesama staf.
d. Learning Culture, adanya sistem umpan balik terhadap kejadian
kesalahan dan pelaporannya, adanya pelatihan di rumah sakit yang
menunjang peningkatan pengetahuan SDM.
4. Tingkat Maturitas Budaya Keselamatan Pasien
Tingkat maturitas budaya keselamatan pasien terdiri atas lima
tingkatan. Berikut adalah tingkatan maturitas budaya keselamatan
pasien.
a. Patologis, yaitu keadaan belum terdapat sistem yang mendukung
budaya keselamatan pasien dan lingkungan kerja masih bersifat
menyalahkan.
b. Reaktif, yaitu suatu keadaan dimana budaya keselamatan pasien
bersifat fragmentasi, dikembangkan hanya sekedar menjawab
akreditasi organisasi dan reaktif terhadap cedera medis yang
terjadi.
c. Kalkulatif, suatu keadaan budaya keselamatan pasien tertata baik
namun implementasinya masih bersifat segmentasi.
d. Proaktif, suatu keadaan budaya keselamatan pasien bersifat
komprehensif, berskala luas, dan melibatkan stakeholder,
pendekatan yang berbasis pada bukti (evidence based) sudah
diterapkan dalam organisasi.
e. Generatif, suatu keadaan budaya keselamatan pasien menjadi misi
sentral dalam organisasi, organisasi selalu mengevaluasi efektivitas
intervensi dan selalu belajar dari kegagalan dan kesuksesan
28
5. Pengukuran Budaya Keselamatan Pasien
Pengukuran budaya keselamatan pasien dapat dilakukan
berdasarkan dimensi yang mendasari ataupun berdasarkan tingkat
maturitas dari organisasi dalam menerapkan budaya keselamatan
pasien. Beberapa organisasi mengembangkan standar pengukuran
dengan masing-masing instrumennya antara lain AHRQ, Stanford, dan
MaPSaF (Manchester Patient Safety Assesment Framework). Namun
sejauh ini kuesioner HSOPSC (Hospital Survey Of Patient Safety
Culture) dari AHRQ yang paling banyak direkomendasikan untuk
mengukur budaya keselamatan pasien karena telah menjamin validitas
dan reliabilitasnya secara internasional.
Pengukuran budaya keselamatan pasien yang dikembangkan
oleh AHRQ melalui dua belas instrumen seperti yang tercantum dalam
dua belas dimensi AHRQ yang disampaikan sebelumnya. Stanford
mengembangkan instrumen Safety Attitudes Questionnaire (SAQ)
dengan mengidentifikasikan enam elemen budaya keselamatan pasien
yang terdiri dari kerjasama, iklim keselamatan, kepuasan kerja, kondisi
stres, persepsi manajemen dan kondisi kerja. Stanford Instrument
menilai budaya keselamatan pasien dari lima elemen, antara lain
organisasi, departemen, produksi, pelaporan, dan kesadaran diri.
Sedangkan Modified Stanford Instrument (MSI) hanya mengidentifikasi
tiga elemen yang berpengaruh pada budaya keselamatan pasien yaitu
nilai keselamatan, takut/reaksi negatif, persepsi keselamatan. Adapun
MaPSaF mengembangkan tingkat kematangan (maturity) organisasi
29
dalam menerapkan budaya keselamatan pasien yang terdiri dari lima
elemen yaitu patologis, reaktif, kalkulatif, proaktif, dan generatif dimana
tingkat manturitas generatif adalah paling tinggi dimana budaya
keselamatan pasien sudah terintegrasi dengan tujuan rumah sakit.
6. Sasaran Keselamatan Pasien
Sasaran Keselamatan Pasien merupakan syarat untuk
diterapkan di semua rumah sakit yang diakreditasi oleh Komisi
Akreditasi Rumah Sakit. Sasaran tersebut mengacu kepada Nine Life-
Saving Patient Safety Solutions dari WHO Patient Safety tahun 2007.
Sasaran tersebut juga digunakan oleh Komite Keselamatan Pasien
Rumah Sakit PERSI (KKPRS PERSI) dan dari Joint Commission
International (JCI). Maksud dari sasaran keselamatan pasien adalah
mendorong perbaikan spesifik dalam keselamatan pasien. Sasaran-
sasaran menyoroti bagian-bagian yang bermasalah dalam pelayanan
kesehatan dan menjelaskan bukti serta solusi dari konsensus berbasis
bukti dan keahlian atas permasalahan ini. Enam sasaran keselamatan
pasien rumah sakit adalah :
Sasaran I : Ketepatan Identifikasi Pasien
a. Standar SKP I
Rumah sakit mengembangkan pendekatan untuk
memperbaiki atau meningkatkan ketelitian identifikasi pasien.
b. Maksud dan Tujuan Sasaran I
Kesalahan karena keliru dalam mengidentifikasi pasien
dapat terjadi di hampir semua aspek/tahapan diagnosis dan
30
pengobatan. Kesalahan identifikasi pasien bisa terjadi pada pasien
yang dalam keadaan terbius/tersedasi, mengalami disorientasi,
tidak sadar, bertukar tempat tidur/kamar/ lokasi di rumah sakit,
adanya kelainan sensori, atau akibat situasi lain. Maksud sasaran
ini adalah untuk melakukan dua kali pengecekan yaitu: pertama,
untuk identifikasi pasien sebagai individu yang akan menerima
pelayanan atau pengobatan; dan kedua, untuk kesesuaian
pelayanan atau pengobatan terhadap individu tersebut. Kebijakan
dan/atau prosedur yang secara kolaboratif dikembangkan untuk
memperbaiki proses identifikasi, khususnya pada proses untuk
mengidentifikasi pasien ketika pemberian obat, darah, atau produk
darah; pengambilan darah dan spesimen lain untuk pemeriksaan
klinis; atau pemberian pengobatan atau tindakan lain. Kebijakan
dan/atau prosedur memerlukan sedikitnya dua cara untuk
mengidentifikasi seorang pasien, seperti nama pasien, nomor
rekam medis, tanggal lahir, gelang identitas pasien dengan bar-
code, dan lain-lain. Nomor kamar pasien atau lokasi tidak bisa
digunakan untuk identifikasi. Kebijakan dan/atau prosedur juga
menjelaskan penggunaan dua identitas berbeda di lokasi yang
berbeda di rumah sakit, seperti di pelayanan rawat jalan, unit gawat
darurat, atau ruang operasi termasuk identifikasi pada pasien koma
tanpa identitas. Suatu proses kolaboratif digunakan untuk
mengembangkan kebijakan dan/atau prosedur agar dapat
memastikan semua kemungkinan situasi untuk dapat diidentifikasi.
31
c. Elemen Penilaian Sasaran I
1. Pasien diidentifikasi menggunakan dua identitas pasien, tidak boleh
menggunakan nomor kamar atau lokasi pasien.
2. Pasien diidentifikasi sebelum pemberian obat, darah, atau produk
darah.
3. Pasien diidentifikasi sebelum mengambil darah dan spesimen lain
untuk pemeriksaan klinis
4. Pasien diidentifikasi sebelum pemberian pengobatan dan tindakan /
prosedur.
5. Kebijakan dan prosedur mengarahkan pelaksanaan identifikasi
yang konsisten pada semua situasi dan lokasi.
Sasaran II : Peningkatan Komunikasi yang Efektif
a. Standar SKP II :
Rumah sakit mengembangkan pendekatan untuk meningkatkan
efektivitas komunikasi antar para pemberi layanan.
b. Maksud dan Tujuan Sasaran II
Komunikasi efektif, yang tepat waktu, akurat, lengkap, jelas, dan
yang dipahami oleh pasien, akan mengurangi kesalahan, dan
menghasilkan peningkatan keselamatan pasien. Komunikasi dapat
berbentuk elektronik, lisan, atau tertulis. Komunikasi yang mudah
terjadi kesalahan kebanyakan terjadi pada saat perintah diberikan
secara lisan atau melalui telepon. Komunikasi yang mudah terjadi
kesalahan yang lain adalah pelaporan kembali hasil pemeriksaan kritis,
seperti melaporkan hasil laboratorium klinik cito melalui telepon ke unit
32
pelayanan. Rumah sakit secara kolaboratif mengembangkan suatu
kebijakan dan/atau prosedur untuk perintah lisan dan telepon
termasuk: mencatat (atau memasukkan ke komputer) perintah yang
lengkap atau hasil pemeriksaan oleh penerima perintah; kemudian
penerima perintah membacakan kembali (read back) perintah atau
hasil pemeriksaan; dan mengkonfirmasi bahwa apa yang sudah
dituliskan dan dibaca ulang adalah akurat. Kebijakan dan/atau
prosedur pengidentifikasian juga menjelaskan bahwa diperbolehkan
tidak melakukan pembacaan kembali (read back) bila tidak
memungkinkan seperti di kamar operasi dan situasi gawat darurat di
IGD atau ICU.
c. Elemen Penilaian Sasaran II
1. Perintah lengkap secara lisan dan yang melalui telepon atau hasil
pemeriksaan dituliskan secara lengkap oleh penerima perintah.
2. Perintah lengkap lisan dan telpon atau hasil pemeriksaan
dibacakan kembali secara lengkap oleh penerima perintah.
3. Perintah atau hasil pemeriksaan dikonfirmasi oleh pemberi perintah
atau yang menyampaikan hasil pemeriksaan.
4. Kebijakan dan prosedur mengarahkan pelaksanaan verifikasi
keakuratan komunikasi lisan atau melalui telepon secara konsisten.
Sasaran III : Peningkatan Keamanan Obat yang Perlu Diwaspadai
(High-Alert)
a. Standar SKP III
Rumah sakit mengembangkan suatu pendekatan untuk
33
memperbaiki keamanan obat-obat yang perlu diwaspadai (high- alert).
b. Maksud dan Tujuan Sasaran III
Bila obat-obatan menjadi bagian dari rencana pengobatan
pasien, manajemen harus berperan secara kritis untuk memastikan
keselamatan pasien. Obat-obatan yang perlu diwaspadai (high-alert
medications) adalah obat yang sering menyebabkan terjadi
kesalahan/kesalahan serius (sentinel event), obat yang berisiko tinggi
menyebabkan dampak yang tidak diinginkan (adverse outcome)
seperti obat-obat yang terlihat mirip dan kedengarannya mirip (Nama
Obat Rupa dan Ucapan Mirip/NORUM, atau Look Alike Sound/LASA).
Obat-obatan yang sering disebutkan dalam isu keselamatan pasien
adalah pemberian elektrolit konsentrat secara tidak sengaja (misalnya,
kalium klorida 2meq/ml atau yang lebih pekat, kalium fosfat, natrium
klorida lebih pekat dari 0.9%, dan magnesium sulfat = 50 % atau lebih
pekat). Kesalahan ini bisa terjadi bila perawat tidak mendapatkan
orientasi dengan baik di unit pelayanan pasien, atau bila perawat
kontrak tidak diorientasikan terlebih dahulu sebelum ditugaskan, atau
pada keadaan gawat darurat. Cara yang paling efektif untuk
mengurangi atau mengeliminasi kejadian tersebut adalah dengan
meningkatkan proses pengelolaan obat-obat yang perlu diwaspadai
termasuk memindahkan elektrolit konsentrat dari unit pelayanan pasien
ke farmasi. Rumah sakit secara kolaboratif mengembangkan suatu
kebijakan dan/atau prosedur untuk membuat daftar obat-obat yang
perlu diwaspadai berdasarkan data yang ada di rumah sakit. Kebijakan
34
dan/atau prosedur juga mengidentifikasi area mana saja yang
membutuhkan elektrolit konsentrat, seperti di IGD atau kamar operasi,
serta pemberian label secara benar pada elektrolit dan bagaimana
penyimpanannya di area tersebut, sehingga membatasi akses, untuk
mencegah pemberian yang tidak sengaja/ kurang hati- hati.
c. Elemen Penilaian Sasaran III
1. Kebijakan dan/atau prosedur dikembangkan agar memuat proses
identifikasi, menetapkan lokasi, pemberian label, dan penyimpanan
elektrolit konsentrat.
2. Implementasi kebijakan dan prosedur.
3. Elektrolit konsentrat tidak berada di unit pelayanan pasien kecuali
jika dibutuhkan secara klinis dan tindakan diambil untuk mencegah
pemberian yang kurang hati-hati di area tersebut sesuai kebijakan.
4. Elektrolit konsentrat yang disimpan pada unit pelayanan pasien
harus diberi label yang jelas, dan disimpan pada area yang dibatasi
ketat (restricted).
Sasaran IV : Kepastian Tepat-Lokasi, Tepat-Prosedur, Tepat Pasien
Operasi
a. Standar SKP IV
Rumah sakit mengembangkan suatu pendekatan untuk memastikan
tepat lokasi, tepat-prosedur, dan tepat- pasien.
b. Maksud dan Tujuan Sasaran IV
Salah lokasi, salah-prosedur, pasien-salah pada operasi, adalah
sesuatu yang mengkhawatirkan dan tidak jarang terjadi di rumah sakit.
35
Kesalahan ini adalah akibat dari komunikasi yang tidak efektif atau
yang tidak adekuat antara anggota tim bedah, kurang/tidak melibatkan
pasien di dalam penandaan lokasi (site marking), dan tidak ada
prosedur untuk verifikasi lokasi operasi. Di samping itu, asesmen
pasien yang tidak adekuat, penelaahan ulang catatan medis tidak
adekuat, budaya yang tidak mendukung komunikasi terbuka antar
anggota tim bedah, permasalahan yang berhubungan dengan tulisan
tangan yang tidak terbaca (illegible hand writing) dan pemakaian
singkatan adalah faktor-faktor sering terjadi. Rumah sakit perlu untuk
secara kolaboratif mengembangkan suatu kebijakan dan/atau prosedur
yang efektif di dalam mengeliminasi masalah yang mengkhawatirkan
ini. Digunakan juga praktek berbasis bukti, seperti yang digambarkan
di Surgical Safety Checklist dari WHO Patient Safety (2009), juga di
The Joint Commission’s Universal Protocol for Preventing Wrong Site,
Wrong Procedure, Wrong Person Surgery.
Penandaan lokasi operasi perlu melibatkan pasien dan
dilakukan atas satu pada tanda yang dapat dikenali. Tanda itu harus
digunakan secara konsisten di rumah sakit dan harus dibuat oleh
operator/orang yang akan melakukan tindakan, dilaksanakan saat
pasien terjaga dan sadar jika memungkinkan, dan harus terlihat
sampai saat akan disayat. Penandaan lokasi operasi dilakukan pada
semua kasus termasuk sisi (laterality), multipel struktur (jari tangan, jari
kaki, lesi) atau multipel level (tulang belakang). Maksud proses
verifikasi praoperatif adalah untuk memverifikasi lokasi, prosedur, dan
36
pasien yang benar, memastikan bahwa semua dokumen, foto
(imaging), hasil pemeriksaan yang relevan tersedia, diberi label
dengan baik, dan dipampang, melakukan verifikasi ketersediaan
peralatan khusus dan/atau implant-implant yang dibutuhkan. Tahap
“Sebelum insisi” (Time out) memungkinkan semua pertanyaan atau
kekeliruan diselesaikan. Time out dilakukan di tempat, dimana tindakan
akan dilakukan, tepat sebelum tindakan dimulai, dan melibatkan
seluruh tim operasi. Rumah sakit menetapkan bagaimana proses itu
didokumentasikan secara ringkas, misalnya menggunakan checklist.
c. Elemen Penilaian Sasaran IV
1. Rumah sakit menggunakan suatu tanda yang jelas dan dimengerti
untuk identifikasi lokasi operasi dan melibatkan pasien di dalam
proses penandaan.
2. Rumah sakit menggunakan suatu checklist atau proses lain untuk
memverifikasi saat preoperasi tepat lokasi, tepat prosedur, dan
tepat pasien dan semua dokumen serta peralatan yang diperlukan
tersedia, tepat, dan fungsional.
3. Tim operasi yang lengkap menerapkan dan mencatat prosedur
“sebelum insisi/ time-out” tepat sebelum dimulainya suatu
prosedur/tindakan pembedahan.
4. Kebijakan dan prosedur dikembangkan untuk mendukung proses
yang seragam untuk memastikan tepat lokasi, tepat prosedur, dan
tepat pasien, termasuk prosedur medis dan dental yang
dilaksanakan di luar kamar operasi.
37
Sasaran V : Pengurangan Risiko Infeksi Terkait Pelayanan Kesehatan
a. Standar SKP V
Rumah sakit mengembangkan suatu pendekatan untuk
mengurangi risiko infeksi yang terkait pelayanan kesehatan.
b. Maksud dan Tujuan Sasaran V
Pencegahan dan pengendalian infeksi merupakan tantangan
terbesar dalam tatanan pelayanan kesehatan, dan peningkatan biaya
untuk mengatasi infeksi yang berhubungan dengan pelayanan
kesehatan merupakan keprihatinan besar bagi pasien maupun para
profesional pelayanan kesehatan. Infeksi biasanya dijumpai dalam
semua bentuk pelayanan kesehatan termasuk infeksi saluran kemih,
infeksi pada aliran darah (blood stream infections) dan pneumonia
(sering kali dihubungkan dengan ventilasi mekanis). Pusat dari
eliminasi infeksi ini maupun infeksi- infeksi lain adalah cuci tangan
(hand hygiene) yang tepat. Pedoman hand hygiene bisa dibaca
kepustakaan WHO, dan berbagai organisasi nasional dan
internasional. Rumah sakit mempunyai proses kolaboratif untuk
mengembangkan kebijakan dan/atau prosedur yang menyesuaikan
atau mengadopsi petunjuk hand hygiene yang diterima secara umum
dan untuk implementasi petunjuk itu di rumah sakit.
c. Elemen Penilaian Sasaran IV
1. Rumah sakit mengadopsi atau mengadaptasi pedoman hand
hygiene terbaru yang diterbitkan dan sudah diterima secara umum
38
(al.dari WHO Patient Safety).
2. Rumah sakit menerapkan program hand hygiene yang efektif.
3. Kebijakan dan/atau prosedur dikembangkan untuk mengarahkan
pengurangan secara berkelanjutan risiko dari infeksi yang terkait
pelayanan kesehatan.
Sasaran VI : Pengurangan Risiko Pasien Jatuh
a. Standar SKP VI
Rumah sakit mengembangkan suatu pendekatan untuk
mengurangi risiko pasien dari cedera karena jatuh.
b. Maksud dan Tujuan Sasaran VI
Jumlah kasus jatuh cukup bermakna sebagai penyebab cedera
bagi pasien rawat inap. Dalam konteks populasi/masyarakat yang
dilayani, pelayanan yang disediakan, dan fasilitasnya, rumah sakit
perlu mengevaluasi risiko pasien jatuh dan mengambil tindakan untuk
mengurangi risiko cedera bila sampai jatuh. Evaluasi bisa termasuk
riwayat jatuh, obat dan telaah terhadap konsumsi alkohol, gaya jalan
dan keseimbangan, serta alat bantu berjalan yang digunakan oleh
pasien. Program tersebut harus diterapkan rumah sakit.
c. Elemen Penilaian Sasaran VI
1. Rumah sakit menerapkan proses asesmen awal atas pasien
terhadap risiko jatuh dan melakukan asesmen ulang pasien bila
diindikasikan terjadi perubahan kondisi atau pengobatan, dan lain-
lain.
2. Langkah-langkah diterapkan untuk mengurangi risiko jatuh bagi
39
mereka yang pada hasil asesmen dianggap beresiko jatuh.
3. Langkah-langkah dimonitor hasilnya, baik keberhasilan
pengurangan cedera akibat jatuh dan dampak dari kejadian tidak
diharapkan.
4. Kebijakan dan/atau prosedur dikembangkan untuk mengarahkan
pengurangan berkelanjutan risiko pasien cedera akibat jatuh di
rumah sakit.
C. Insiden Keselamatan Pasien
1. Pengertian Insiden Keselamatan Pasien
Insiden keselamatan pasien menurut Permenkes No. 1691
Tahun 2011 adalah setiap kejadian yang tidak disengaja dan kondisi
yang mengakibatkan atau berpotensi mengakibatkan cedera yan dapat
dicegah pada pasien. Selain itu menurut Depkes (2008), insiden
keselamatan pasien juga merupakan akibat dari melaksanakan suatu
tindakan (commission) atau tidak mengambil tindakan yang
seharusnya diambil (omission). Namun demikian penyebab terjadinya
insiden keselamatan pasien di rumah sakit sangat kompleks,
melibatkan semua bagian dalam sistem yang berlaku dalam rumah
sakit.
2. Jenis-Jenis Insiden Keselamatan Pasien
Berdasarkan Permenkes No. 1691 Tahun 2011, insiden
keselamatan pasien terdiri dari :
a. Kejadian tidak Diharapkan (KTD)
Adalah suatu kejadian yang tidak diharapkan yang
40
mengakibatkan cedera pada pasien akibat melaksanakan suatu
tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil,
dan bukan karena penyakit dasarnya atau kondisi pasien. Kejadian
tersebut dapat terjadi di semua tahapan dalam perawatan dari
diagnosis, pengobatan, dan pencegahan (Reason, 1990).
b. Kejadian tidak Cedera
Adalah suatu insiden yang sudah terpapar ke pasien, tetapi
tidak mengakibatkan cedera.
c. Kejadian Nyaris Cedera
Adalah terjadinya insiden yang belum sampai terpapar ke
pasien. Misalnya suatu obat dengan overdosis lethal akan diberikan
tetapi staf lain mengetahui dan membatalkannya sebelum obat
diberikan kepada pasien.
d. Kejadian Potensial Cedera
Adalah kondisi yang sangat berpotensi untuk menimbulkan
cedera tetapi belum terjadi insiden. Misalnya obat-obatan LASA
(Look Alike Sound Alike) disimpan berdekatan.
e. Kejadian Sentinel
Adalah suatu kejadian tidak diinginkan yang mengakibatkan
kematian atau cedera yang serius. Biasanya dipakai untuk kejadian
yang sangat tidak diharapkan atau tidak dapat diterima seperti
operasi pada bagian tubuh yan salah. Pemilihan kata “sentinel”
terkait dengan keseriusan cedera yang terjadi sehingga pencarian
fakta-fakta terhadap kejadian ini mengungkapkan adanya masalah
41
yang serius pada kebijakan dan prosedur yang berlaku.
D. Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Insiden Keselamatan
Pasien
Institute Of Medicine melalui laporannya To Err Is Human :
Building A Safer Health System menekankan bahwa yang
meningkatkan pencegahan terhadap insiden adalah berupa faktor
yang sistemik artinya tidak hanya berasal dari kinerja seorang perawat
dokter, atau tenaga kesehatan lain (Sanders et al, 1993). Laporan
tersebut juga memberi perhatian pada faktor komunitas manusia yang
terlibat pada masalah pelayanan kesehatan. Insiden keselamatan
pasien dihasilkan dari interaksi atau kecenderungan dari beberapa
faktor yang diperlukan kecuali beberapa faktor yang tidak sesuai.
Kekurangan pada faktor-faktor tersebut terlihat pada sistem, telah lama
ada sebelum terjadi suatu insiden. Yang menjadi poin penting adalah
pada pemahaman bahwa ada kebutuhan untuk menyadari dan
memahami fungsi dari banyaknya sistem yang masing-masing
berkaitan dengan setiap penyedia layana kesehatan dan bagaimana
kebijakan serta tindakan yang diambil pada suatu bagian (dalam
sistem tersebut) akan berdampak pada keamanan, kualitas, dan
efisiensi pada sistem bagian lainnya.
Pendekatan sistem memberikan perspektif yang luas dalam
mencari solusi dalam lingkungan secara fisik dan budaya. Sebagai
contoh yaitu bagaimana pengaturan unit, prosedur pelayanan
kesehatan, transfer pengetahuan oleh organisasi, kesalahan teknis,
42
kurangnya kebijakan dan prosedur, komunikasi antar tim dan isu dalam
ketenagaan mempengaruhi seorang individu dalam memberikan
layanan yang aman dan berkualitas. Apabila hal tersebut tidak
terpenuhi maka akan menghasilkan error atau kesalahan (Carayon,
2003). Menurut Carayon (2003) tipe error dan bahaya dapat
terklarifikasi menurut domain atau kejadian dalam spektrum pelayanan
kesehatan. Akar permasalahan dari bahaya teridentifikasi menurut
definisi berikut yaitu :
a. Latent Failure, yaitu melibatkan pengambilan keputusan yang
mempengaruhi kebijakan, prosedur organisasi, dan alokasi sumber
daya.
b. Active Failure, yaitu kontak langsung dengan pasien
c. Organizational Failure, yaitu kegagalan secara tidak langsung yang
melibatkan manajemen, budaya, organisasi, proses/protokol,
transfer pengetahuan, dan faktor eksternal
d. Technical Failure, yaitu kegagalan secara tidak langsung dari
fasilitas atau sumber daya eksternal
Depkes (2008) mengungkapkan bahwa faktor yang
berkontribusi terjadap terjadinya insiden keselamatan pasien adalah
faktor eksternal/luar rumah sakit, faktor organisasi dan manajemen,
faktor lingkungan kerja, faktor tim, faktor petugas dan kinerja, faktor
tugas, faktor pasien, dan faktor komunikasi. Agency for Healthcare
Research and Quality / AHRQ (2003) mengatakan bahwa faktor yang
dapat menimbulkan insiden keselamatan pasien adalah komunikasi,
43
arus informasi yang tidak adekuat, masalah SDM, hal-hal yang
berhubungan dengan pasien, transfer pengetahuan di rumah sakit, alur
kerja, kegagalan teknis, kebijakan dan prosedur yang tidak adekuat.
WHO (2009) juga turut mengembangkan model yang sangat
berhubungan dengan penyebab insiden keselamatan pasien. WHO
membagi penyebab insiden keselamatan pasien dalam empat kategori.
Kategori tersebut yaitu kategori organisasi dan manajerial, kerja tim,
individu, dan lingkungan. Organisasi dan manajerial terdiri atas budaya
keselamatan dan kepemimpinan manajer, dan komunikasi. Kerja tim
terdiri atas kerja tim dan supervisor. Individu terdiri atas kewaspadaan
situasi, pengambilan keputusan, stres, dan kelelahan. Terakhir
adalah lingkungan yang terdiri atas lingkungan kerja dan bahaya.
Selain itu dalam Buku Medical Management yang ditulis oleh
Markar dan Sullivan (2012), National Patient Safety Agency
menjelaskan bahwa faktor yang berkontribusi dalam insiden
keselamatan pasien terdiri atas faktor pasien, faktor individu, faktor
tugas/pekerjaan, faktor komunikasi, faktor kelompok/tim, faktor
pendidikan dan pelatihan, faktor peralatan dan sumber daya, faktor
kondisi kerja, dan faktor organisasi. Faktor pasien meliputi kondisi
klinik, faktor sosial, faktor fisik, faktor psikologis/mental, dan hubungan
interpersonal. Faktor individu meliputi keadaan fisik, psikologi, sosial,
dan kepribadian. Faktor tugas meliputi pedoman/prosedur, desain
pekerjaan. Faktor komunikasi meliputi komunikasi verbal, non-verbal,
tertulis, dan elektronik. Faktor tim meliputi peran, kesesuaian,
44
kepemimpinan, dukungan. Faktor pendidikan dan pelatihan yaitu
kompetensi. Faktor peralatan dan sumber daya meliputi pengadaan
peralatan dan penggunaan. Faktor kondisi kerja meliputi lingkungan,
desain lingkungan fisik, dan beban kerja. Faktor organisasi meliputi
struktur organisasi, kebijakan, dan budaya keselamatan.
E. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Budaya Keselamatan Pasien
1. Who Health Organization( WHO)
WHO (2009) mengembangkan 4 kategori faktor dengan
10 topik keselamatan pasien yang relevan.
Tabel 2
Faktor keselamtan pasien Pengembangan WHO (2009)
Kategori Topik
Organisasi/ Managergial 1. Budaya Keselamatan
2. Kepemimpinan Manager
3. Komunikasi
Kerja Tim 4. Kerja Tim- Struktur/proses(Dinamika)
5. Team Leadership (Supervisor)
Individual Pekerja
Kemampuan Kognitif (berpikir)
Sumber daya manusia
6. Kewaspadaan situasi
7. Pengambilan Keputusan
8. Stres
9. Kelelahan
Lingkungan Kerja 10. Lingkungan Kerja dan Bahaya
2. Total Safety Culture
Total Safety Culture (2000) membutuhkann perhatian khusus
terhadap tiga (3) faktor antara lain :
45
a. Faktor Personal (Pengetahuan, sikap, motivasi, kompetensi,
kepribadian)
b. Faktor perilaku (Kepemimpinan, kewaspadaan situasi,
komunikasi, kerja tim, stress, kelelahan, kepemimpinan tim,
pengambila keputusan).
c. Lingkungan (perlengkapan, peralatan, mesin, kebersihan,
teknik standar prosedur operasional).
3. O’Donell dan Richard Boyle
O’Donell dan Richard Boyle (2008) mengemukakan
bahwa hal-hal yang berkaitan dalam mempengaruhi budaya
dalm suatu organisasi yang berjalan ialah
a. Kepemimpinan
b. Teamwork
c. Keterlibatan pegawai
d. Kebijakan
e. Teknologi
f. Komunikasi
Berdasarkan uraian teori setelah di kolaborasikan, maka
peneltian ini akan menggunakan teori WHO (2009) akan
mengkaji pengaruh faktor-faktor organisasi/ manajerial terdiri
dari kepemimpinan, komunikasi dan kerja tim.
a. Kepemimpianan
Ada 3 domain perilaku kepemimpinan yang mampu menjadi
agen perubahan (Change Agent) bagi perilaku anggota
46
dalam suatu organisasi yakni pengarahan (Direction),
pengawasan (supervision), serta koordinasi (coordination)
(Gilles, 1994).
1) Pengarahan
Pengarahan mengacu kepada penugasan, perintah,
kebijakan, peratutaran, standar, pendapat, saran, dan
pertanyaan untuk mengarahan perilaku bawahan.
Kebijakan prosedur, standar, dan tugas menjadi alat
dalam memimpin orang lain untuk menghasilkan perilaku
yang diinginkan.
2) Supervisi
Pelayanan keperawatan dikatakan sebagai
kegiatan kegiatan dinamis yang bertujuan untuk
meningkatkan motivasi dankepuasan antara duan
komponen yang terlibat yaitu supervisor atau pimpinan.
Supervisor merupakan perilaku kepemimpinan
yang berfungis untuk memerikasa pekerjaan,
mengevaluasi kerja, memerikasa pekerjaan (Gillies,
2005). Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih banyak
banyak dukungan yang diberikan oleh pemimpin atau
supervisor untuk keselamatan pasien akan meningkatkan
frekuensi keterbukaan dan pelaporan atas insiden
keselamatan pasien.
47
3) Koordinasi
Kegiatan kepemimpinan yang mencakup semua
kegiatan yang memungkinkan staf untuk bekerja
bersama secara harmonis. Koordinasi penting dilakukan
untuk keberhasilan suatu organisasi kesehatan.
Umumnya koordinasi kegiatan sfat terjadi selama
pertemuan kelompok kerja utama karena beberapa
anggota mengkhususkan diri dalam tugas terkait, seperti
kegiatan menyempurnakan tujuan, identifikasi masalah,
dan analisis data.
b. Komunikasi
Kompetensi dalam berkomunikasi menjadi suatu
hal yang penting karena komunikasi efektif berhubungan
dengan pengelolaan dalam penyelesaian konflik.
Komunikasi efektif juga berperan dalam tersosialisasinya
isu pelayananan keperwatan dan siu organisasi.
Komunikais memliki dua aspek penting, yaitu sikap saat
berkomunikasi dan alat untuk berkomunikasi (Wise &
Kowalski, 2005).
Walshe & Boaden (2006) juga berpendapat
budaya keselamatan pasien positif meliputi komunikasi
yang didasarkan pada :
1) Kepercayaan dan transparansi
2) Proses dan alur informasi yang baik
48
3) Persepsi bersama tentang arti penting keselamatan
pasien
4) Perhatian dan pengenalan pada pentingnya
kesalahan.
Elemen peningkatan komunikasi yang efektif
menurut Permenkes (2011) sebagai beikut:
1) Perintah lengkap secara lisan dan melalui telepon
atau hasil pemeriksaan dituliskan secara lengkap oleh
penerima perintah.
2) Perintah lengkap lisan dan telpon atau hasil
pemeriksaan dibacakan kembali secara lengkap oleh
penerima perintah.
3) Perintah atau hasil pemeriksaan dikonfirmasi oleh
pemberi perintah atau yang menyampaikan hasil
Pemeriksaan
4) Kebijakan dan prosedur mengarahkan pelaksanaan
verifikasi keakuratan komunikasi lisan atau melalui
telepon secara konsisten.
c. Kerja Tim
Tim adalah unsure kehidupan oraganisasi karena
suatu pekerjaan melibatkan orang-orang dengan
berbagai macam keahlian untuk berkerjasama untuk satu
tujuan. Kejadian tim adalah proses dinamis yang
melibatkan dua atau lebih orang dalam suatu aktivitas
49
untuk menyelesaikan suatu tujuan. Hampir semua
pekerjaan rumah sakit dilakukan oleh berbagai disipilin
ilmu contohnya ; tim ruang pembedahan, shift antar
pekerja, dan unit medis dan perawatan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses Tim
1) Tujuan bersama- pengertian bersama tentang tujuan
dan betapa pentingnya komitmen semua anggota
dalam mencapai
2) Komunikasi – saluran amna yang dipilih dan
bagaimana grup terhubung.
3) Manajemen konflik- bagaimana konflik dan perbedaan
pendapat diatasi. Apakah konflik tersebut mendukung
atau/tidak.
4) Pembuat keputusan –bagaimana dan oelh siapa
5) Evalusi performa – bagaimana anggota dihargai,
secara formal atau informal
6) Divisi pekerja – bagaimana pekerjaan ditugaskan
7) Kepemimpinan- bagaimana pemimpin dipilih dan apa
fungsinya
8) Monitor proses – bagaimana tugas diproses dan
diperiksa
9) Bagaimana umpan baliknya
Dirumah sakit, definisi dari tim dan kerja tim
tergantung bagaimana profesi yang berbeda-beda
50
mengatur pekerjaannya. Makary et al (2006) melaporkan
bahwa dokter melakukan kerja tim dengan baik jika
suster juga mengantisipasi kebutuhan dokter dan dapat
mengikuti instruksi dengan baik.
D. Komunikasi
Komunikasi merupakan satu-satunya penghubung
antara manusia yang satu dengan yang lainnya. Sekarang ini
masyarakat ini menjadi semakin menyadari arti pentingnya
komunikasi, komunikasi sudah menjadi bagian penting bagi
kehidupan manusia dalam bermasyarakat dan berorganisasi
karena komunikasi merupakan satu- satunya sarana untuk
berinteraksi antara sesama manusia.
Menurut Schramm dan Roberts dalam Nugroho berasal
dari perkataan latin, Communicate yang berarti berpartisipasi,
memberitahu atau menjadi milik bersama. Dalam arti menjadi
milik bersama perkataan communicate masih digunakan
sehingga kini dalam istilah Inggris yaitu common yang berarti
milik bersama.
Fungsi komunikasi secara umum untuk memberikan
penerangan, pendidikan, hiburan dan mempengaruhi seseorang
atau sekelompok orang artinya dengan komunikasi manusia
dapat saling menerima, menyampaikan pikiran, gagasan,
informasi pada seseorang atau sekelompok orang (Wilbur, 199).
51
Adapun kata komunikasi menurut Onong Uchajana
Effendy yaitu berasal dari perkataan bahasa latin :
Communication yang berarti "Pemberitahuan atau "Pertukaran
Pikiran" .
Maka secara garis besar dalam suatu proses komunikasi
yang terdapat unsur- unsur kesamaan makna agar terjadi
suatu pertukaran pikiran atau pengertian antara komunikator
(penyebar pesan) dan komunikasi (penerima Pesan) (Effendy,
1992).
Komunikasi sebagai suatu proses mengenai pembagian
proses primer dan sekunder (Astrid, 1974). Menurut Rogers
dalam Nugroho, proses primer dalam komunikasi adalah
proses komunikasi langsung tanpa penggunaan perantara
yang dapat melipat gandakan jumlah penerima pesan.
Sedangkan proses komunikasi sekunder adalah komunikasi
dengan peralatan teknologi sehingga memungkinkan
komunikator untuk melipat gandakan jumlah penerima pesan
dan melampaui hambatan waktu dan geografis.
Komunikasi mempunyai arti yang sangat penting dalam
kehidupan manusia, karena melalui komunikasi orang
berusaha mendefinisikan sesuatu. Untuk memahami lebih
lanjut mengenai arti penting komunikasi dalam kehidupan
manusia berdasarkan definisi Lasswell dapat diturunkan lima
unsure komunikasi yang saling bergantung satu sama lain,
52
yaitu :
1. Source (Sumber) adalah pihak yang berinisiatif atau
mempunyai kebutuhan untuk komunikasi.
2. Message (Pesan) adalah apa yang dikomunikasikan oleh
sumber kepada penerima. Pesan merupakan seperangkat
simbol verbal maupun non verbal yang mewakili perasaan,
nilai, gagasan atau maksud sumber tadi.
3. Channel (saluran) merupakan alat atau wahana yang
digunakan sumber untuk menyampaikan pesannya kepada
penerima.
4. Receiver (Penerima) adalah orang yang menerima pesan
dari sumber.
5. Feedback (Umpan balik) yaitu apa yang terjadi pada
penerima setelah ia menerima pesan yang disampaikan oleh
sumber (Deddy, 2001).
Konsep komunikasi tersebut juga sesuai dengan
konsep komunikasi Carl L Hovland yaitu komunikasi adalah
proses yang memungkinkan seseorang atau komunikator
menyampaikan rangsangan (biasanya lambang-lambang verbal)
untuk merubah perilaku orang lain (komunikan).
Komunikasi berfungsi sebagai jembatan, yang di
jembatani cita-cita dan aspirasi dengan masyarakat secara
timbal balik, adanya semacam take and give (memberi dan
menerima), aspirasi dan cita-cita masyarakat tertampung
53
sehingga mereka merasa ikut serta dan dengan sendirinya
ada dukungan dan dorongan dari masyarakat. Dalam
melaksanakan perannya (komunikasi) menggunakan
perangkat dari perintah keras yang ada dalam tubuh
organisasi maupun yang terdapat di dalam masyarakat. Sadar
bahwa kegiatan komunikasi adalah kegiatan yang dinamis
dan banyak aspek teknis, psikologis, maupun politis dan
sosiologis, maka humas harus bersikap kreatif, ulet,
pantangan menyerah, selalu terbuka untuk meneruskan mutu
profesi, pengetahuan, serta dedikasi (Widjaja, 2004).
Komunikasi adalah persyaratan kehidupan manusia.
Kehidupan manusia akan tampak hampa atau tiada kehidupan
sama sekali apabila tidak ada komunikasi, interaksi antara
manusia, baik secara perorangan, kelompok ataupun
organisasi tidak mungkin dapat terjadi. Dua orang dikatakan
melakukan interaksi apabila masing- masing melakukan reaksi
atau aksi. Aksi dan reaksi yang dilakukan manusia ini (baik
secara perorangan, kelompok atau organisasi), dalam ilmu
komunikasi disebut sebagai tindakan komunikasi (Sasa, 2003).
Secara lebih terinci, kajian ilmiah dalam komunikasi meliputi 4:
1) Komunikasi Antarpribadi (interpersonal communication).
Komunikasi antarpribadi pada dasarnya merupakan jalinan
hubungan interaktif antara seorang individu dan individu lain, di
mana lambang-lambang pesan secara efektif digunakan, terutama
54
lambanglambang bahasa. Konsep “jalinan hubungan” atau
relationship sangat penting dalam kajian komunikasi antar pribadi.
“Jalinan hubungan” adalah seperangkat harapan yang ada pada
partisipan yang dengan itu mereka menunjukkan perilaku tertentu di
dalam berkomunikasi.
2) Komunikasi kelompok (group communication). Bidang kajian ini
pada dasarnya mempelajari pola-pola interaksi antarindividu dalam
suatu kelompok sosial (kelompok kecil), dengan titik berat tertentu,
misalnya pengambilan keputusan. Dalam komunikasi kelompok dan
pengambilan keputusan, istilah kepemimpinan (leadership)
sangatlah penting. Hal ini disebabkan karena kepemimpinan
memilki dua fungsi, yaitu mempertahankan kelangsungan kelompok
dan pencapaian tujuan.
3) Komunikasi organisasional/institusional (organizational/institutional
communication). Komunikasi organisasional atau institusional
berkenaan dengan komunikasi yang berlangsung dalam jaringan
kerjasama antar pribadi dan/atau antarkelompok dalam suatu
organisasi atau institusi.
4) Komunikasi massa (mass communication) merupakan suatu bentuk
komunikasi dengan melibatkan khalayak luas yang biasanya
menggunakan teknologi media massa, seperti surat kabar, majalah,
radio, televisi, dan internet.
Stewart L Tubbs dan Sylvia maoss dalam buku Human
Communication menguraikan adanya tiga model dalam komunikasi.
55
Pertama model komunikasi linear, yaitu adanya pandangan komunikasi
satu arah (one way communication). Dalam model ini komunikator
memberikan stimulus dan komunikate memberikan respon atau
tanggapan yang diharapkan. Tanpa mengadakan interaksi seleksi dan
interpretasi. Model ini juga biasa disebut sebagai teori jarum hipodermik.
Kedua adalah interaksional, dalam model ini diperkenalkan adanya umpan
balik (feed back). Penerima melakukan seleksi, interpretasi, dan
memberikan respon terhadap pesan dari pengirim. Komunikasi dalam
model ini dipertimbangkan sebagai proses dua arah. Komunikator maupun
komunikate memiliki peran ganda, dalam arti waktu mereka menjadi
sender, pada waktu lain mereka sebagai receiver. Model yang ketiga
adalah transaksional, komunikasi dipahami dalam konteks hubungan
diantara dua orang atau lebih.
Pandangan ini menekankan bahwa semua perilaku adalah
komunikatif, tidak ada satu pun yang tidak bisa dikomunikasikan. Satu
komponen komunikasi dengan komponen yang lainnya. Adapun yang
dimaksud dengan model komunikasi adalah gambaran sederhana dari
proses komunikasi yang memperlihatkan kata antara satu komponen
komunikasi dengan komponen lainnya. Adapun penyajian model dalam
hal ini bertujuan untuk mempermudah memahami proses komunikasi dan
melihat komponen dasar yang perlu ada dalam suatu proses komunikasi
(Arni, 2001).
a. Sifat komunikasi
Ditinjau dari sifatnya komunikasi diklasifikasikan sebagai
56
berikut: komunikasi verbal (verbal communication), meliputi
komunikasi isan (oral communication), dan komunikasi tulisan
(written communication), komunikasi nonverbal (nonverbal
communication) antara lain komunikasi gial (gestural /body
communication) dan komunikasi gambar (pictorial communication),
komunikasi tatap muka (face to face communication) dan komunikasi
bermedia (mediated communication).
b. Tujuan komunikasi
Ditinjau dari tujuannya, komunikasi terbagi empat yaitu : social
change, yakni perubahan sosial. Seseorang mengadakan
komunikasi dengan orang lain, diharapkan adanya perubahan sosial
dalam kehidupannya, seperti halnya kehidupannya akan lebih baik
dari sebelum berkomunikasi, attitude change, perubahan sikap.
Seseorang berkomunikasi juga ingin mengadakan perubahan sikap
yaitu opinion change, perubahan pendapat. Seseorang dalam
berkomunikasi mempunyai harapan untuk mengadakan perubahan
pendapat dan behavior change yaitu perubahan perilaku. Seseorang
berkomunikasi juga ingin mengadakan perubahan perilaku.
c. Tekhnik Komunikasi
Istilah tekhnik berasal dari bahasa Yunani : “technikos” yang
berarti keterampilan atau keperigelan.29 Berdasarkan keterampilan
berkomunikasi yang dilakukan komunikator tekhnik komunikasi
diklasifikasikan yaitu : komunikasi informatif, yaitu memberikan
57
keterangan-keterangan (fakta-fakta), kemudian komunikan
mengambil kesimpulan dan keputusan sendiri. Dalam situasi tertentu
pesan informatif justru lebih berhasil dari pada persuasif, misalnya
jika audiensi adalah kalangan cendekiawan.
Komunikasi persuasif, yaitu berisikan bujukan. Yakni
membangkitkan pengertian dan kesadaran manusia bahwa apa yang
kita sampaikan akan memberikan perubahan sikap, tetapi perubahan
ini adalah atas kehendak sendiri (bukan dipaksakan). Perubahan
tersebut diterima atas kesadaran sendiri. Komunikasi
instruktif/koersif, yaitu penyampaian pesan yang bersifat memaksa
dengan menggunakan sanksi-sanksi apabila terlaksanakan. Bentuk
yang terkenal dari penyampaian model ini adalah agitasi dengan
penekanan-penekanan yang menimbulkan tekanan batin dan
ketakutan dikalangan publik (khalayak).
Koersif dapat berbentuk perintah-perintah, intruksi dan
sebagainya. Hubungan manusiawi, yaitu bila ditinjau dari ilmu
komunikasi hubugnan manusiawi itu termasuk kedalam komunikasi
antar personal (interpersonal communication), sebab berlangsung
pada umumnya antara lain dua orang secara dialogis. Dikatakan
bahwa hubungan manusiawi itu komunikasi karena action oriented,
mengandung kegiatan mengubah sikap, pendapat, atau perilaku
seseorang.
Menurut Dr. Lassewll, ada lima unsur yang harus ada agar
58
komunikasi ini berjalan, yakni: Who (siapa) yang kemudian disebut
komunikator atau sender (pengirim komunikasi), what (apa) yang
kemudian disebut massege atau pesan komunikasi, whom (siapa)
yang kemudian disebut komunikan atau receiver (khalayak), channel
(media) apa yang kemudian disebut sarana atau media dan effect
(dampak komunikasi) yang kemudian disebut dampak atau efek
komunikasi yang diimplikasikan dalam umpan balik.
F. Kerja Tim
Ada beberapa definisi mengenai tim dari berbagai literatur.
Stueart dan Moran (2002, p. 399) mendefinisikan bahwa tim kerja
adalah sekelompok orang yang saling berinteraksi dan
mengkoordinasikan pekerjaan mereka agar tercapai tujuan kerja
secara spesifik. Francis and Young menjelaskan tim sebagai kumpulan
dari orang-orang yang penuh semangat dan memiliki tanggung jawab
untuk mencapai tujuan bersama, yang saling bekerja sama dan senang
melakukan tugas-tugasnya, serta mampu menghasilkan hasil yang
terbaik, dalam Stott (1995, p. 25). Suatu tim kerja membangkitkan
sinergi positif lewat upaya yang terkoordinasi. Upaya-upaya individual
mereka menghasilkan suatu tingkat kinerja yang lebih besar daripada
jumlah masukan individual (Robbins, 2001, p. 347).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kerja sama tim adalah
usaha untuk bekerja sama dengan orang lain secara kooperatif dan
menjadi bagian dari kelompok. Bukan bekerja secara terpisah atau
59
saling berkompetisi. Dari berbagai definisi di atas dapat disimpulkan
bahwa suatu kelompok dapat dikatakan tim apabila; terdiri dari 2 (dua)
orang atau lebih, saling berinteraksi dan bekerja sama antara anggota
dalam suatu pekerjaan bersama, serta terdapat suatu tujuan bersama
(kolektif) yang ingin dicapai.
a. Perbedaan Tim dengan Kelompok
Setiap tim adalah kelompok, akan tetapi tidak semua kelompok adalah
tim. Tim berbeda dengan kelompok dalam banyak aspek. Cleland
menjabarkan beberapa perbedaan antara tim dan kelompok, dalam
Stueart dan Moran (2002, p. 400), yaitu;
Tim Kelompok
Membagi dan merotasikan peran pimpinan
Saling berbagi tanggung jawab dan wewenang
Memiliki akuntabilitas baik secara individu maupun kelompok
Memiliki anggota tim yang bekerja sama untuk menghasilkan sesuatu
Memiliki produk hasil kerja sama
Saling berbagi hasil dan penghargaan
Berdiskusi, memutuskan bersama, dan saling berbagi pekerjaan.
Memiliki pimpinan yang ditunjuk
Memiliki sedikit sekali pembagian dari wewenang atau tanggung jawab
Memiliki akuntabilitassecara individu saja
Hasil yang diperoleh berkat usaha tiap individu
Memiliki produk hasilkerja individu
Sangat jarang berbagi pengalaman
Berdiskusi, memutuskan, serta mendelegasikan pekerjaan secara individu.
60
Dari tabel di atas dapat dijelaskan bahwa perbedaan tim dan
kelompok terlihat karena tim lebih memiliki kesatuan dan loyalitas
untuk mencapai tujuan bersama. Selain itu, tim juga berusaha untuk
dapat saling berbagi pekerjaan dan tanggung jawab antar anggota
sehingga produk (hasil kerja) yang dihasilkan oleh sebuah tim dapat
dikatakan sebagai produk (hasil kerja) bersama.
b. Tipe-Tipe Tim
Tim kerja biasanya dipimpin satu dari dua cara, self-managed dan self-
directed team. Self-managed team adalah tim yang secara mandiri
menyediakan poses kepemimpinannya sendiri (masing-masing dari
anggota tim memiliki kesempatan dan menjajal kemampuan leadership
masing-masing). Self directed- team memiliki seorang pimpinan yang
bertugas mengkoordinasikan segala aktifitas yang dilakukan oleh tim
tersebut.
Lebih lanjut, Robbins (2005) menjelaskan empat tipe tim yang
biasa ditemukan dalam sebuah organisasi, dalam Rizka (2006, p. 13-
14), yaitu:
1. Pemecahan Masalah
Anggota tim ini biasanya berbagi gagasan atau menawarkan
saran mengenai bagaimana proses dan metode kerja dapat
diperbaiki. Tim melakukan pertemuan beberapa jam setiap
minggu untuk berdiskusi mengenai cara-cara meningkatkan
kualitas, efisiensi, dan lingkungan kerja.
61
2. Tim Kerja Pengelolaan-Diri
Tim ini biasanya menjalankan berbagai tanggung jawab dari
atasan, meliputi perencanaan, dan penjadwalan pekerjaaan,
penentuan tugas untuk para anggota, menjalankan keputusan,
mengatasi permasalahan, hingga bekerja dengan pelanggan.
3. Tim Lintas Fungsional
Tim ini terdiri dari para anggota yang berasal dari level pekerjaan
yang sama, tapi berasal dari area kerja yang berbeda, yang
saling bekerja sama untuk menyelesaikan sebuah tugas.
4. Tim Virtual
Tim yang menggunakan teknologi komputer sebagai sarana
untuk menghubungkan anggota yang berjauhan secara fisik
dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Menggunakan jaringan,
video conference, atau email untuk saling berkomunikasi.
c. Langkah Awal Dalam Pengembangan Tim
Melakukan perekrutan terhadap orang-orang untuk saling bekerja
sama bukanlah sebuah jaminan bahwa suatu tim kerja dapat terbentuk
dengan baik. Sebuah tim haruslah dibangun atau dikembangkan.
Wilson (1996, p. 50-52) dalam Stueart (2002, p. 402-403) menguraikan
langkah awal yang harus diikuti oleh setiap pimpinan tim dalam suatu
tim kerja, agar tercipta suatu tim kerja yang sukses, yaitu:
1. Fokus pada kompetensi (keahlian) dalam memberi tugas kepada
anggota tim
62
2. Bangunlah suatu tujuan tim yang jelas serta segera
komunikasikan tujuan utama yang hendak dicapai
3. Bangunlah suatu deadline (batas waktu) serta peraturan dasar
ketika pertama kali melakukan pertemuan.
4. Pelihara suatu orientasi hasil dari struktur tim
5. Bekali tim dengan iklim kolaborasi/kerja sama serta berbagi
kekuasaan (share power)
6. Upayakan konsensus/kesepakatan.
7. Usahakan menjaga agar tim tetap termotivasi
8. Bangunlah rasa kepercayaan diri bagi tiap tim
9. Bangunlah rasa percaya dan saling menghormati
10. Jadilah fleksibel
11. Lengkapi dengan dukungan eksternal dan apresiasi terhadap
prestasi tim.
Sedangkan Goetsch (2004, p. xvi) memperkenalkan Ten-Step
Model yang patut diikuti untuk efektifnya suatu tim kerja, yaitu;
1. Menetapkan arah dan tujuan yang jelas untuk setiap tim
2. Menetapkan peran dan peraturan dasar yang jelas bagi setiap
tim
3. Menetapkan akuntabilitas untuk setiap kinerja tim
4. Mengembangkan keterampilan kepemimpinan bagi tim
5. Mengembangkan kemampuan komunikasi, baik untuk pemimpin
63
maupun anggota tim
6. Mengembangkan kemampuan pemecahan masalah bagi
pemimpin maupun anggota tim
7. Menetapkan jabaran definisi terhadap proses pengambilan
keputusan, dan usahakan agar setiap tim berpartisipasi dalam
setiap prroses tersebut.
8. Membangun perilaku tim yang positif, ber-etika serta rasa percaya
di antara anggota tim.
9. Memberikan pengakuan dan penghargaan bagi performa (kinerja)
tim yang efektif
10. Evaluasi berkelanjutan, mengembangkan, dan memperkuat tim.
Langkah-langkah tersebut perlu dilakukan dan dipertimbangkan
agar penempatan anggota pada suatu tim dilakukan secara tepat
sesuai dengan kemampuan yang dimiliki tiap anggota tim. Secara
lebih jelas, Bowen (1998) menekankan bahwa tujuan kegiatan
merupakan faktor utama untuk mempertimbangkan pembentukan tim,
Asrori (2003, p. 114). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tujuan
dari suatu tim merupakan hal utama yang harus
diprioritaskan dalam pembentukan tim.
64
G. Mapping Teori
Total Safety Culture
1. Faktor Personel
2. Perilaku
3. Lingkungan kerja
WHO (2008)
1. Organisasi dan Managerial : Kepemimpinan Manager, Komukasi, Kerja Tim
2. Kerja Tim
3. Pegawai/ Individual : Pengambilan kkepitisam kewaspadaan situasi
4. Lingkungan : Lingkungan kerja dan bahaya organisasi
O’donnel and Richard Boyle (2008) 1. Kepemimpinan
2. Tim Work
3. Keterlibatan Pegawai
4. Kebijakan
5. Teknologi
6. Komunikasi
Penerapan keselamatan Pasien
6 Sasaran Keselamatan Pasien
1. Ketepatan Identifikasi Pasien 2. Peningkatan Komunikasi yang Efektif
3. Peningkatan Keamanan Obat yang Perlu Diwaspadai (High-Alert)
4. Kepastian Tepat-Lokasi, Tepat-Prosedur, Tepat Pasien Operasi
5. Pengurangan Risiko Infeksi Terkait Pelayanan Kesehatan
6. Pengurangan Risiko Pasien Jatuh
Gambar 4. MappingTeori Faktor yang mempengaruhi penerapan Budaya Keselamatan Pasien
65
H. Kerangka Teori
Dari beberapa teori yang telah menjabarkan faktor-faktor yang mempengaruhi budaya keselamatan pasien
faktor-faktor yang mempengaruhi budaya keselamatan pasien
1. Organisasi dan Managemen
2. Kepemimpinan
3. Team Work
4. Komunikasi
5. Kebijakan
6. Teknologi
7. Keterlibatan Pegawai
8. Pengetahuan
9. Sikap
10. Kompetensi
11. Pengambilan Keputusan
12. Lingkungan Kerja
Who (2009), O’donnel and Richard Boyle (2008), Total Safety Kultur (2000)
Penerapan keselamatan Pasien
6 Sasaran Keselamatan Pasien
1. Ketepatan Identifikasi Pasien 2. Peningkatan Komunikasi yang Efektif
3. Peningkatan Keamanan Obat yang Perlu Diwaspadai (High-Alert)
4. Kepastian Tepat-Lokasi, Tepat-Prosedur, Tepat Pasien Operasi
5. Pengurangan Risiko Infeksi Terkait Pelayanan Kesehatan
6. Pengurangan Risiko Pasien Jatuh WHO Patient Safety tahun 2007
Gambar 5. Modifikasi teori faktor-faktor yang mempengaruhi budaya keselamatan pasien Who (2009), O’donnel and Richard Boyle (2008), Total Safety Kultur (2000), WHO Patient Safety (2007).
66
I. Kerangka Konsep
Kepemimpinan
1. Pengarahan
2. Supervisi
3. Koordinasi
Komunikasi
1. Kepercayaan dan Keterbukaan
2. Proses dan informasi
3. Arti penting keselamatan patient
4. Perhatian dan pengenalan pentingnya Keselamatan
Kerja Tim
1. Komitmen pada tujuan
2. Komunikais ide dan gagasan
3. Efektivitas interpersonal
Penerapan keselamatan Pasien
6 Sasaran Keselamatan Pasien
1. Ketepatan Identifikasi Pasien 2. Peningkatan Komunikasi yang Efektif 3. Peningkatan Keamanan Obat yang
Perlu Diwaspadai (High-Alert) 4. Kepastian Tepat-Lokasi, Tepat-
Prosedur, Tepat Pasien Operasi 5. Pengurangan Risiko Infeksi Terkait
Pelayanan Kesehatan 6. Pengurangan Risiko Pasien Jatuh
WHO Patient Safety tahun 2007
Keterangan :
Variabel Independen
Variabel Dependen
Gambar 6. Kerangka Konsep
67
J. Defenisi Operasional
Definisi operasional variabel dibutuhkan dalam rangka memberikan
batasan-batasan yang jelas atas variabel yang diteliti dalam penelitian ini.
Adapun definisi operasional variabel penelitian ini yaitu:
a. Kepemimpinan yang dibahas dalam penelitian ini, dihubungkan dengan
perilaku kepemimpinan yang mampu menjadi agen perubahan (Change
Agent) bagi perilaku anggota dalam suatu organisasi yakni pengarahan
(Direction), pengawasan (supervision), serta koordinasi (coordination)
b. Komunikasi yang dibahas dalam penelitian ini adalah proses kompleks
yang melibatkan perilaku dan memungkinkan individu untuk berhubungan
dengan orang lain dan dunia sekitarnya. Komunikasi antara kepala
ruangan atau kepala instalasi dengan bawahannya yaitu perawat.
c. Kerja Tim yang dibahas dalam penelitian ini adalah proses dinamis yang
melibatkan dua atau lebih orang dalam suatu aktivitas untuk
menyelesaikan suatu tujuan. Hampir semua pekerjaan rumah sakit
dilakukan oleh berbagai disipilin ilmu contohnya ; tim ruang pembedahan,
shift antar pekerja, dan unit medis dan perawatan.
68
K. Penelitian Terdahulu
Tabel 3 Penelitian Terdahulu Terkait Judul Penelitian Penulis
No. Judul & Peneliti Tujuan Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian Perbedaan
dengan
Penelitian
Sebelumnya
1.
The relationship
between patient
safety
culture and
adverse events:
a study in
palestinian
hospitals (Najjar
et al., 2015)
Untuk menyelidiki
hubungan antara
budaya
keselamatan
pasien dan tingkat
kejadian yang
tidak diharapkan
pada level unit di
Rumah Sakit
Palestina
Menggunakan
metode penelitian
retrospektif.
Budaya
keselamatan pasien
diukur dengan
menggunakan
Survey Budaya
Keselamatan
Pasien Rumah
Sakit (HSOPSC)
dan Kejadian Tidak
Diinginkan diukur
dengan
menggunakan IHI
Global Trigger Tool
Terdapat hubungan antara
budaya keselamatan pasien
dan tingkat kejadian tidak
diinginkan pada level unit
rumah sakit. Unit yang memiiki
budaya keselamatan pasien
yang positif, tingkat kejadian
yang tidak diharapkan juga
lebih rendah
Tidak melihat
semua unit di
rumah sakit namun
beberapa unit saja
Exploring the
causes of
adverse events
Untuk menyelidiki
penyebab
kejadian tidak
Penelitian dilakukan
pada 21 rumah
sakit di Belanda.
Penyebab kejadian tidak
diinginkan dikelompokkan atas
empat kategori yaitu tekhnikal,
1. Hanya meneliti
faktor organisasi
69
2. in Hospitals and
Potential
Prevention
Strategies (Smits
et al., 2012)
diinginkan dan
strategi
pencegahan untuk
meminimalisir
peluang terjadinya
kejadian tidak
diinginkan di
rumah sakit
Reviewer yang
sudah dilatih
diminta untuk
memilih semua
faktor yang
berkontribusi
terhadap kejadian
yang tidak
diinginkan
organisasi, manusia/individu,
dan faktor pasien. Pada faktor
organisasi terdapat faktor
budaya. Faktor organisasi
berkontribusi 14 % dalam
menyebabkan terjadinya KTD
dan pengaruhnya
terhadap insiden
keselamatan
pasien
2. Tidak menghitung
persentase
kontribusi faktor
terhadap terjadinya
insiden
3.
Intensive Care
Unit Safety
Culture and
Outcomes
(Huang et al.,
2010)
Untuk menguji
hubungan budaya
keselamatan
dengan outcome
pasien pada
Intensive Care
Unit
Penelitian
merupakan
penelitian kohort.
Terdapat 30 ICU
yang menjadi
tempat penelitian,
pada Bulan Januari
2001-
Maret 2005.
Instrumen yang
digunakan dalam
menilai budaya
keselamatan
adalah Safety
Attitudes
Questionnaire-ICU
Version
1. Dimensi budaya
keselamatan pasien yang
berhubungan dengan
kematian pasien hanya
persepsi terhadap
manajemen.
2. Dimensi budaya
keselamatan pasien yang
berhubungan dengan lama
rawat pasien adalah iklim
keselamatan pasien,
persepsi terhadap
manajemen, dan kepuasan
kerja.
Outcome
pelayanan pasien
yang diteliti hanya
terjadinya insiden
tidak melihat
outcome pelayanan
yang lain seperti
LOS
Exploring Untuk menguji Menggunakan Rumah sakit yang memiliki Tidak
70
4.
relationships
between hospital
patient safety
culture and
adverse events
(Mardon et al.,
2010)
hubungan budaya
keselamatan
pasien (AHRQ
Survey on Patient
Safety Culture)
dengan tingkat
komplikasi dan
kejadian tidak
diinginkan di
rumah sakit (
AHRQ Patient
Safety Indicators)
regresi berganda,
data mengenai
budaya
keselamatan pasien
dikumpulkan pada
tahun 2005 dan
2006 sedangkan
data kejadian tidak
diinginkan diambil
pada tahun 2005
dari 179 rumah
sakit
budaya keselamatan pasien
yang positif, tingkat komplikasi
dan kejadian tidak diinginkan
akan rendah dengan
menggunakan AHRQ Patient
Safety Indicators (PSIs).
Dimensi yang paling
berpengaruh terhadap insiden
keselamatan pasien adalah
pergantian shift dan
perpindahan pasien
menghubungkan
budaya
keselamatan
pasien dengan
kejadian komplikasi
yang terjadi pada
pasien
5.
Organizational
Safety Culture
and Medical
Error Reporting
by Israeli Nurses
(Kagan &
Barnoy, 2013)
Untuk meneliti
hubungan antara
budaya
keselamatan
pasien dengan
insiden dan rata-
rata pelaporan
medical error oleh
perawat di Israel
Responden
penelitian sebanyak
247 perawat yang
bekerja pada
pelayanan
kesehatan di Israel.
Statistik yang
digunakan dalam
penelitian ini adalah
uji regresi berganda
1. Budaya keselamatan pasien
baik pada tingkat organisasi,
unit, maupun individu
berhubungan negatif
dengan rata-rata kejadian
medical errror
2. Budaya keselamatan
merupakan faktor utama
yang memberikan pengaruh
terhadap pelaporan insiden
keselamatan pasien
Tidak melihat
pengaruh budaya
keselamatan
pasien terhadap
pelaporan insiden
6.
The relationship
between patient
safety culture
Untuk
memberikan
gambaran
Penelitian dilakukan
28 unit rawat inap
dan gawat darurat
1. Budaya keselamatan pasien
yang tinggi berhubungan
dengan rendahnya kejadian
Penelitian tidak
hanya dilakukan
pada unit rawat
71
and adverse
events: A
questionnaire
survey (Wang et
al., 2013)
persepsi perawat
mengenai budaya
keselamatan
pasien dan
frekuensi kejadian
tidak diinginkan
serta menguji
hubungan budaya
keselamatan
pasien dengan
frekuensi kejadian
tidak diinginkan
pada tiga rumah
sakit umum di
Guanzhou, Cina.
Responden
sebanyak 463
perawat. Uji statistik
yang digunakan
adalah regresi
logistik berganda
yang tidak diinginkan
2. Dimensi budaya
keselamatan pasien yang
berhubungan dengan
kejadian yang tidak
diinginkan adalah
pembelajaran organisasi &
perbaikan berkelanjutan
serta frekuensi pelaporan
kejadian
inap dan unit gawat
darurat melainkan
unit- unit yang
berhubungan
dengan pelayanan
pasien
7.
Prevalence and
consequences of
patient safety
incidents in
general practice
in the
Netherlands: a
retrospective
medical record
review study
(Gaal et al.,
2011)
Untuk mengetahui
kejadian insiden
keselamatan
pasien meliputi
jenis-jenis insiden
dan angka
kejadiannya serta
faktor-faktor yang
menyebabkan
inisiden
keselamatan
pasien
Penelitian ini
merupakan
penelitian
retrospektif dengan
melihat data rekam
medis pasien dari
1000 pasien pada
Rumah Sakit
Belanda
1. Terdapat 211 pasien yang
teridentifikasi mengalami
insiden keselamatan pasien.
Faktor organisasi,faktor
perawatan, faktor komunikasi,
faktor diagnosis, faktor
pencegahan, dan faktor triase
diindentifikasi menjadi faktor
penyebab insiden
2. Faktor organisasi meliputi
faktor eksternal, peraturan,
perpindahan pengetahuan,
prioritas manajemen, dan
budaya keselamatan pasien
1. Penelitian
merupakan cross
sectional study
2. Hanya melihat
faktor budaya
keselamatan dan
pengaruhnya bagi
insiden dan tidak
melihat pengaruh
faktor lainnya
The role of Untuk menguji Penelitian Dari 11 dimensi budaya Penelitian hanya
72
8.
patient safety
culture in the
causation of
unintended
events in
hospitals
( Marleen Smits,
Cordula Wagner
et al., 2012)
hubungan budaya
keselamatan
pasien dengan
kejadian tidak
diinginkan di
rumah sakit
merupakan cross-
sectional study.
Penelitian dilakukan
di 28
unit pada 20 rumah
sakit di Belanda.
keselamatan pasien yang
diteliti hanya tiga dimensi yang
berhubungan dengan budaya
keselamatan pasien yaitu
respon tidak menyalahkan
ketika terjadi kesalahan,
dukungan manajemen, dan
kemauan untuk melaporkan
kesalahan. Kemauan untuk
melaporkan kesalahan
menjadi dimensi yang paling
mempengaruhi terjadinya
kejadian tidak diinginkan
dilakukan pada
satu rumah sakit
9.
Development of
an evidence-
based
framework of
factors
contributing to
patient safety
incidents in
hospital settings
: a systematic
review
(Lawton et al.,
2012)
Untuk
mengembangkan
kerangka
mengenai faktor
yang berkontribusi
terhadap insiden
keselamatan
pasien dari
penelitian-
penelitian yang
meneliti faktor-
faktor yang
berkontribusi
terhadap insiden
Penelitian-
penelitian
mengenai faktor
yang berkontribusi
terhadap insiden
keselamatan pasien
dikumpulkan dan
dipilih yang
memenuhi kriteria
inklusi
Berdasarkan review yang
dilakukan pada beberapa
penelitian yang memenuhi
kriteria inklusi diperoleh faktor-
faktor yang mempengaruhi
insiden keselamatan pasien.
Faktor-faktor tersebut adalah
kegagalan aktif, sistem
komunikasi, peralatan,
kebijakan eksternal, faktor
individu, ketanggapan,
manajemen SDM dan level
staffing, faktor pasien,
lingkungan fisik, kebijakan dan
Hanya melihat
pengaruh faktor
organisasi terhadap
insiden dan tidak
melihat pengaruh
faktor lainnya
73
keselamatan
pasien di rumah
sakit
prosedur, budaya
keselamatan, beban kerja,
kepemimpinan dan supervisi,
karakteristik tugas, faktor tim,
pendidikan
dan pelatihan.
11. The Effect of
Organizational
Culture on
Patient Safety
(McCaughan,
2013)
Untuk melihat
hubungan antara
budaya
keselamatan
pasien dengan
keselamatan
pasien
Penelitian
dilaksanakan di
beberapa rumah
sakit di Inggris
Beberapa komponen kunci
dari budaya keselamatan
pasien yaitu kepemimpinan,
kerjasama tim, dan belajar dari
kesalahan berpengaruh
terhadap keselamatan pasien
secara khusus dan mutu
rumah sakit secara umum
Penelitian penulis
berfokus pada dua
belas dimensi
budaya
keselamatan
pasien bukan
hanya pada
kepemimpinan dan
kerjasama tim
12. Factors
Influencing
Patient Safety in
Sweden :
Perceptions of
Patient Safety
Officers in The
Country Councils
(Nygren, 2013)
Untuk mengetahui
faktor yang
mempengaruhi
keselamatan
pasien di rumah
sakit
Sebanyak 218
responden
digunakan dalam
penelitian ini,
instrumen
penelitian
menggunakan
kuesioner
Budaya keselamatan pasien
merupakan faktor yang dapat
mempengaruhi keselamatan
pasien. Budaya keselamatan
pasien akan menciptakan
kebiasaan untuk melakukan
analisis akar masalah
keselamatan pasien dan
menghilangkan budaya
menyalahkan ketika terjadi
insiden
keselamatan pasien.
Kuesioner
keselamatan
pasien
menggunakan
enam sasaran
keselamatan
pasien.
74
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan
menggunakan pendekatan fenomenologi yang merupakan jenis penelitian
kualitatif yang melihat secara dekat interpretasi individual tentang
pengalaman-pengalamnnya (Sugiarto 2015 dalam Finriani 2016).
B. Pengelolaan Peran sebagai Peneliti
Informasi yang didapat oleh peneliti mengenai penerapan
keselamatan pasien di instalasi rawat inap, hingga observasi penerapan
keselamatan pasien yang telah dilaksanakan oleh RSUD Inche Abdoel
Moeis, dan pencapaian penerapan keselamatan pasien. Informasi yang
didapat oleh peneliti kemudian dieksplorasi oleh peneliti sebagai
instrument penelitian. Suasana lingkungan rumah sakit, instalasi rawat
inap diciptakan sedemikian rupa pada waktu melakukan penjejakan
maupun pada waktu melakukan eksplorasi data, peneliti menciptakan
suasana santai dan bersahabat tanpa kecurigaan, sehingga para informan
tidak merasakan bahwa percakapan yang sedang dilakukan adalah
wawancara dan observasi.
C. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di Instalasi Rawat Inap RSUD
Inche Abdoel Moeis,Samarida Kalimantan Timur pada bulan Agustus-
Oktober 2017.
75
D. Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan
data sekunder.
1. Data Primer, data yang didapat dari obyek penelitian melalui : a. Wawancara mendalam (in depth interview)
Wawancara mendalam dilakukan terhadap informan yang
mengetahui permasalahan secara mendalam, dimana informan
tersebut mampu dan memiliki pengetahuan luas serta bersedia
memberikan informasi dengan baik yakni :
1) Kepala instalasi Rawat inap dan rawat jalan, yang terlibat
langsung dalam proses kegiatan penyelenggaraan penerapan
keselamatan pasien.
2) Perawat, Bidan dan tenaga kesehatan lainya, dimana mereka
yang terlibat langsung pada proses penerapan keselamatan
pasien.
b. Pengamatan (Observasi)
Metoda ini dilakukan dengan cara mengamati langsung
terhadap keseharian informan dalam melaksanakan tugasnya,
dimana metode ini dapat membantu menjelaskan data yang
didapatkan melalui teknik wawancara mendalam atau dengan kata
lain dilakukan sebagai suatu bentuk triangulasi guna menjamin
validitas data yang telah didapatkan. Hal tersebut dimaksudkan
untuk mengetahui kesesuaian antara ketentuan yang telah
ditetapkan dengan pelaksanaannya.
76
2. Data Sekunder, data ini diperoleh dari hasil pemeriksaan/ telaah
dokumen dan laporan-laporan yang terkait dengan obyek penelitian
yaitu berupa :
a. Dokumen struktur organisasi instalasi Rawat inap
b. Dokumen uraian tugas pokok dan fungsi
c. Survei budaya keselamatan pasien yang telah dilaksanakan
d. Survey pencapaian pelaksanan keselamatan pasien
e. Dokumen Angka kejadian insiden keselamatan pasien
E. Prosedur Pengumpulan Data
Prosedur pengumpulan data pada penelitian ini dengan
menggunakan metode wawancara, dokumentasi, rekaman arsip,
observasi dan metode dokumentasi.
1. Metode interview (wawancara )
Wawancara digunakan sebagai teknik pengumpulan data untuk
mengetahui hal-hal yang lebih mendalam dari responden yang
didasarkan pada laporan tentang diri sendiri atau self report atau
pengetahuan dan atau keyakinan pribadi (Sugiyono, 2009).
2. Metode dokumentasi adalah metode pengumpulan data yang
bersumber pada hal-hal yang tertulis seperti buku-buku, majalah,
dokumen, peraturan-peraturan, notulen rapat, catatan harian dan
sebagainya (Arikunto dalam Listiani, 2006). Dalam penelitian ini,
metode dokumentasi digunakan untuk memperoleh data yang
berhubungan dengan alur pelayanan di instalasi rawat inap.
3. Rekaman arsip, dapat berbentuk manual atau terkomputerisasi berupa
77
bagan rumah sakit, struktur organisasi instalasi rawat inap.
4. Observasi dengan peneliti mengamati secara langsung kondisi di
lapangan, baik berupa keadaan fisik maupun perilaku yang terjadi
selama berlangsungnya penelitian.
F. Teknik Analisa Data
Teknik analisis data dimulai dengan cara mengatur urutan data
dengan cara mengorganisir data yang telah terkumpul, baik dari hasil
wawancara mendalam, telaah dokumen, catatan lapangan, serta foto
yang diambil sebagai bahan dokumentasi. Data yang terkumpul kemudian
dikategorikan dan dipilah-pilah.Pemilahan dan pengkategorisasian data
tersebut bertujuan untuk menemukan tema.
Teknik analisa data dalam penelitian ini mengikuti petunjuk Miles
dan Huberman (Maleong, 2002) yang melalui tiga alur sebagai berikut :
1. Reduksi data Pertama-tama adalah melakukan pemilahan, pemusnahan,
penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data kasar yang
ada yang ditemukan di lapangan, memilih dan mengelompokkan data,
serta membuang data yang tidak diperlukan.
2. Penyajian data
Alur analisis yang kedua adalah menyajikan data yang telah dianalisis
pada alur pertama, kemudian disajikan dalam bentuk naratif.
3. Penarikan kesimpulan
Alur selanjutnya adalah mencari makna atau hal-hal yang spesifik
untuk diangkat sebagai alur sebab akibat.
78
G. Pengecekan Validitas Temuan
Untuk menjamin keabsahan data, maka peneliti melakukan
pengumpulan data dengan beberapa metode yaitu : dengan teknik
triangulasi dengan pengumpulan data dari informan yaitu kepala instalasi
rawat inap, Perawat, Bidan dan tenaga kesehatan lainnya yang bertugas
diintalasi rawat inap.
1. Teknik triangulasi data, dengan maksud agar data yang telah
terkumpul dapat dilacak keabsahannya.
2. Teknik triangulasi sumber, dengan wawancara mendalam untuk
mengecek data dengan fakta dari sumber lain, data dari masing-
masing informan, telah dicocokkan dan dibandingkan dengan informan
lainnya untuk meyakinkan keabsahan data.
3. Teknik triangulasi, metode pengambilan data untuk keabsahan data
BAB IV.
79
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
1. Gambaran Umum Rumah Sakit Inche Abdoel Moeis
Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang
menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna
yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat
.Rumah Sakit diselenggarakan berasaskan Pancasila dan didasarka
kepada nilai kemanusiaan, etika dan profesionalitas, manfaat, keadilan,
persamaan hak dan anti diskriminasi, pemerataan, perlindungan dan
keselamatan pasien, serta mempunyai fungsi social (Undang-undang no
44 tentang Rumah Sakit, 2009)
Berbagai jenis tenaga kesehatan dengan perangkat keilmuan
masing-masing berinteraksi satu sama lain. Ilmu pengetahuan dan
teknologi kedokteran yang berkembang sangat pesat yang harus diikuti
oleh tenaga kesehatan dalam rangka pemberian pelayanan yang bermutu
membuat semakin kompleksnya permasalahan dalam Rumah Sakit
(Manajemen Sumber Daya Manusia, 2012).
Wujud dari pelaksanaan Otonomi Daerah, dalam rangka
meningatkan pemenuhan kebutuhan masyarakat dalam hal pelayanan
kesehatan ditingkat kota Samarinda, maka pemerintah kota Samarinda
membangun Rumah Sakit Umum Daerah I.A.MOEIS. Berdasarkan
PERDA No 8 Tahun 2007. RSUD merupakan bagian dari Perangkat
Daerah berupa Lembaga Teknis Daerah. Sebagai unsur pendukung tugas
80
Kepala Daerah yang diberikan wewenang otonomi menyelenggarakan
Pelayanan Kesehatan masyarakat yang diberikan kewenangan
memberikan pelayanan pada semua jenis penyakit dan sesuai dengan
bidang manejemen rumah sakit kelas C sesuai surat keputusan menteri
kesehataan No.1216/Menkes/SK.XI/2007.
Rumah Sakit Umum Daerah Inche Abdoel Moeis milik
Pemerintah Kota Samarinda yang dibangun pada awal 2006 di wilayah
Samarinda Seberang. Dioperasionalkan oleh Pemerintah Kota Samarinda
pada tanggal 24 Januari tahun 2007 diawali dengan pelayanan Unit
Gawat Darurat dan Poliklinik Rawat Jalan dengan kualifikasi kelas C
terletak di atas tanah seluas 12,4 Ha dengan bangunan yang didirikan
seluas 12.175,06 M2. Pembukaan secara resmi dilakukan oleh bapak
Walikota pada tanggal 1 September 2007. Merupakan bangunan gedung
berlantai dua, berlokasi di jalan H.A.M.M Rifaddin Samarinda Seberang,
Kelurahan Harapan Baru, Kecamatan Samarinda Seberang. Memiliki
jumlah tempat tidur 112 buah, dengan tingkat hunian 55% pertahun.
Wilayah jangkauan pelayanan Rumah sakit meliputi Samarinda Seberang
sampai dengan Palaran hingga perbatasan Kabupaten Kutai Kartanegara
dan Kabupaten Kutai Timur.
Berlakunya Undang-undang Sistem Jaminan Sosial Nasional
serta penerapan Jaminan Kesehatan Nasional pada 1 Januari 2014
berhubungan dengan perubahan kebijakan sistem pembiayaan kesehatan
dan rujukan pelayanan kesehatan secara berjenjang. Hal ini memberikan
dorongan untuk mengembangkan Rumah Sakit menuju Rumah Sakit
81
kelas B ,mengingat posisi Rumah Sakit Inche Abdoel Moeis secara
geografis terletak di poros jalan utama Trans Kalimantan maka dapat
dikembangkan menjadi Rumah Sakit Rujukan Regional Provinsi
Kalimantan Timur yang mengampu tiga wilayah yaitu Samarinda, Kutai
Kartanegara, Kutai Barat.Sesuai dengan Permenkes nomor 56 tahun
2014 tentang kalsifikasi Rumah sakit penulis tertarik dengan dua unit yaitu
pelayanan di kamar Operasi dan laboratorium patologi klinik di RS I A
Moeis ,
Unit bedah memiliki 19 orang tenaga perawat dan dibawahi oleh
dokter spesialis bedah,rata-rata tindakan operasi 10 kali perhari, data
tindakan operasi tahun 2013, 855 kasus, 2014, 1560 kasus dan 2015,
2057 kasus. Dengan pertumbuhan operasi 1,32 maka termasuk dalam
criteria baik `A` hal ini menurut PP direktur jendral perbendaharaan
kemenkeu nomor 54/PB/2013 tentang Pedoman Penilaian kinerja satuan
kerja Badan Layanan Umum bidang layanan kesehatan. Namun dari hasil
komunikasi dengan petugas masih merasa belum optimal terutama terkait
dengan Sumber daya manusia di unikt Bedah ini, jumlah kamar bedah
yang sedikit, dan banyaknya operasi yang harus dirujuk ke RS lain terkait
tipe RS di Era JKN.
Instalasi laboratorium patologi klinik memiliki 10 orang petugas
analis laboratorium dibawah kepala ruangan satu orang.data pemeriksaan
tahun 2013, 19611, tahun 2014 , 27573 , dan tahun 2015 , 26268, terjadi
penurunan pemeriksaan laboratorium patologi klinik di RS I A Moeis,
dengan pertumbuhan laboratorium 0,46 yaitu criteria `C`,Dengan latar
82
belakang ini maka penulis akan mempelajari dan menemukan permasalah
yang terjadi di 2 unit ini dan menawarkan solusi kepada pihak RSUD Inche
Abdul Moeis Kota Samarinda.
2. Organisasi dan Manajemen
a. Visi
Visi Rumah Sakit I.A.Moies yaitu: Menjadi Rumah Sakit yang Unggul
Pilihan Masyarakat.
b. Misi
1. Mengembangkan kompetensi sumber daya manusia Rumah Sakit
dalam pengembangan knowledge, skill, dan attitude.
2. Memberikan pelayanan yang berstandar mutu dan dikemas santun
yang berdampak kepada peningkatan kesejahteraan karyawan.
3. Mengembangkan bangunan RS yang menarik, nyaman, dan
berfungsi secara optimal untung mendukung vsi Samarinda.
4. Menyediakan peralatan medis yang canggih dan mutahir sesuai
ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran agar mempunyai daya
saing sehingga dapat meningkatkan kelas RS menjadi kelas B.
5. Mengembangkan perangkat manajemen yang inovatif dan
responsive yang mampu menjawab tantangan RS dimasa akan
dating dalam rangka peningkatan good govermance yang dinamis.
6. Berperan aktif dalam menurunkan kematian ibu dan bayi di Kota
Samarinda menuju percepatan pencapaian millennium
development goals.
83
c. Tujuan
Tujuan Rumah Sakit Umum Daerah Inche Abdoel Moeis, yaitu :
1. Meningkatkan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia rumah
sakit.
2. Meningkatkan sarana dan prasarana pendukung kerja rumah sakit.
3. Mengembangkan Sistem Informasi Managemen Rumah Sakit.
4. Meningkatkan kualitas manajemen yang inovatif, responsif dan
akuntabel.
5. Teraihnya peningkatan status rumah sakit menjadi kelas B
pendidikan.
d. Falsafah
Sebagai Rumah Sakit yang selalu siap memberikan pelayanan
kesehatan secara menyeluruh sesuai dengan perkembangan teknologi
dan kebutuhan masyarakat termasuk bagi mereka yang berkekurangan.
e. Badan Hukum
Rumah Sakit Umum Daerah Inche Abdoel Moeis milik
Pemerintah Kota Samarinda yang dibangun pada awal 2006 di wilayah
Samarinda Seberang. Dioperasionalkan oleh Pemerintah Kota
Samarinda pada tanggal 24 Januari tahun 2007 diawali dengan
pelayanan Unit Gawat Darurat dan Poliklinik Rawat Jalan dengan
kualifikasi kelas C terletak di atas tanah seluas 12,4 Ha dengan
bangunan yang didirikan seluas 12.175,06 M2. Pembukaan secara
resmi dilakukan oleh bapak Walikota pada tanggal 1 September 2007.
Merupakan bangunan gedung berlantai dua, berlokasi di jalan H.A.M.M
Rifaddin Samarinda Seberang, Kelurahan Harapan Baru, Kecamatan
Samarinda Seberang. Memiliki jumlah tempat tidur 112 buah, dengan
84
tingkat hunian 55% pertahun. Wilayah jangkauan pelayanan Rumah
sakit meliputi Samarinda Seberang sampai dengan Palaran hingga
perbatasan Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kabupaten Kutai Timur.
3. Jenis Pelayanan
a. Pelayanan Rawat Jalan
1. Poliklinik Umum
2. Poliklinik Spesialis, terdiri atas Penyakit dalam, Spesialis bedah,
poli anak, Poli Jantung, Poli Anak, Poli Bedah, Poli Obgyn, Poli
Syaraf, Poli Mata, Poli Kulit dan Kelamin, Penyakit dalam.
3. Instalasi Gawat Darurat, terdiri atas pelayanan IGD Bedah
b. Pelayanan Rawat Inap
c. Pelayanan Penunjang Medis dan Terapi
1. Instalasi Laboratorium, terdiri dari pemeriksaan kimia darah,
pemeriksaan hematologi, pemeriksaan serologi, pemeriksaan
bakteriologi, pemeriksaan liquor, pemeriksaan transudat dan
exudat, pemeriksaan urine, dan pemeriksaan tinja.
2. Instalasi Radiologi, terdiri atas pelayanan foto tanpa bahan
kontras, foto dengan bahan kontras, Computerized Radiografi
(CR), CT Scan dan USG.
3. Medical Check-Up
4. Instalasi Farmasi
5. Instalasi Fisioterapi, terdiri dari Exercise Therapy, Electro
Therapy (Diathermi / UKG, Ultrasonic, Interferensi, Traksi
Cervical, Traksi Lumbal).
d. Penunjang Media Lainnya
1. Hemodialisa
85
2. Instalasi Gizi
Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Sakit Umum Daerah Inche
Abdoel Moeis dengan jumlah 20 informan. Hasil penelitian akan
dijelaskan di bawah ini.
1. Karakteristik Informan
Instalasi rawat inap merupakan tempat analisis yang menjadi
objek penelitian. Informan dipilih secara purposive sampling dengan
menyesuaikan pada tujuan penelitian.
Dalam penelitian ini peneliti berhasil memperoleh informan dengan
total 8 orang informan. Informan tersebut antara lain Direktur, Wakil
Direktur Pelayanan, Dokter Rawat Inap, Dokter Rawat Jalan, Kepala
Instalasi Rawat Inap, Kepala instalasi Rawat Jalan, Kepala Ruangan
Rawat Inap, Kepala Ruangan Rawat Jalan.
Adapun untuk lebih jelasnya karakteristik informan dapat dilihat
pada table sebagai berikut.
Tabel 4 Karateristik Informan di RSUD I.A.Moeis Samarinda Tahun 2017
No. Inisial Informan
Jabatan
Tempat Tugas
1 Informan I Direktur Manajemen
2 Informan II Wakil Direktur Pelayanan Manajemen
3 Informan III Dokter Rawat Inap
Instalasi Rawat Inap
4 Informan IV Dokter Rawat Jalan
Instalasi Rawat Jalan
5 Informan V Kepala Instalasi Rawat
Inap Instalasi Rawat
Inap
6 Informan VI Kepala Instalasi Rawat
jalan Instalasi Rawat
Jalan
7 Informan VII Kepala Ruangan Rawat Inap
Instalasi Rawat Inap
8 Informan VIII Kepala Ruangan Rawat Jalan
Instalasi Rawat Jalan
86
B. Hasil Penelitian
Untuk mencapai tujuan umum penelitian yaitu mendapatkan
informasi mengenai analisis penerapan keselamatan pasien. Adapun
tujuan penelitian yaitu untuk menganalisis gaya kepemimpinan,
komunikasi, kerja tim yang dilakukan di RSUD Ichae Abdoel Moies
Samarinda Tahun 2017.
1. Kepemimpinan
Ada 3 domain perilaku kepemimpinan yang mampu menjadi agen
perubahan (Change Agent) bagi perilaku anggota dalam suatu organisasi
yakni pengarahan (Direction), pengawasan (supervision), serta koordinasi
(coordination) (Gilles, 1994).
1) Pengarahan
a. Delegasi wewenang Direktur dan Wakil Direktur Pelayanan
terhadap bawahannya terkait penerapan keselamatan pasien
Berdasarkan wawancara tentang delegasi wewenang kepala ruangan,
diperoleh informasi yaitu :
“saya kan baru menjabat Direktur di rumah sakit ini pada bulan Januari, saya juga akan membentuk tim keselamatan pasien untuk dapat mengevaluasi program-program keselmatan pasien, saya juga telah mendelegasikan wewenang saya kepada bahawan tentang penerapan keselamatan pasien agar melaporkan insiden kecelakaan yang terjadi, saya juga memberitahu bawahan untuk mengutamakan keselamatan pasien, saya juga sering turun langsung kelapangan untuk melihat keadaan”.
(Informan I)
“Saya selalu mendelegasikan wewenang saya kepada bawahan apalagi menyangkut penerapan keselamatan pasien, selalu saya sampaikan kepada karyawan, selalu saya ingatkan karyawan, saya selalu melakukan pengawasan juga”.
(Informan II)
87
“Kalau Direktur dan Wadir Pelayanan memang selalu memberi tahu agar mengutamakan keselamatan pasien, cuma penerapannya yang belum maksimal karena apabila terjadi KTD atau KNC kami langsung melaporkan ke Kepala Ruangan, tetapi selanjutnya kepala ruangan tidak melaporkan ke bagian manajemen karena takut diberi sanksi”
(Informan III)
“Kalau delegasinya Direktur dan Wadir Pelayanan tentang penerapan keselamatan pasien sangat baik caranya, Cuma yang bagian manajemen itu atau diatas kami yang tidak ada tindaklanjutnya kalau kami melaporkan masalah kayak KNC dan KTD”
(Informan IV)
“Wewenangnya Direktur dan Wadir Pelayanan itu tentang penerapan keselamatan pasien sangat baik menurut aku, sering sekali kami diberitahukan untuk mejaga keselamatan pasien, aku kira untuk bagaimana penerapannya belum maksimal sihh kan disini tuh kalau melaporkan hal-hal seperti juga tidak ada tindaklanjut”
(Informan V)
Berdasarkan hasil wawancara dengan informan tentang delegasi
wewenang Direktur dan Wadir Pelayanan terhadap bawahannya terkait
penerapan keselamatan pasien diperoleh informasi bahwa semua
informan mengatakan bahwa kepala ruangan telah mendelegasikan
wewenangnya agar menerapkan keselamatan pasien di instalasi tersebut
tetapi mereka takut untuk melaporkan masalah keselamatan pasien ke
bagian manajemen karena tidak pernah ditindaklanjuti untuk laporan
tersebut sehinga membuat penerapan keselamatan belum maksimal.
b. Pemberian penghargaan oleh Direktur dan Wadir Pelayanan
bagi yang memiliki kinerja baik dalam meningkatkan program
keselamatan pasien
Berdasarkan wawancara tentang pemberian penghargaan Direktur dan
88
Wadir Pelayanan, diperoleh informasi yaitu :
“saya baru akan memberikan penghargaan bagi karyawan yang memiliki kinerja baik dalam meningkatkan program keselamatan pasien, karena selama ini tidak pernah dilakukan oleh pimpinan yang sebelumnya”.
(Informan I)
“Saya akan membuat program seperti itu agar bisa meningkatkan kinerja karyawan terhadapa penerapan keselamatan pasien, agar memotivasi karyawan juga”.
(Informan II)
“Tidak pernah ada penghargaan yang di berikan sama kami apalagi kalau masalah keselamatan pasien”
(Informan III)
“Setau saya tidak pernah kami di kasi penghargaan begitu”
(Informan IV)
“Tidak pernah, itukan keselamatan pasien hal sangat penting di rumah sakit seharusnya sih ada supaya kami lebih termotivasi untuk meningkatkan keselamatan pasien”
(Informan V)
Berdasarkan hasil wawancara dengan informan tentang pemberian
penghargaan oleh Direktur dan Wadir Pelayanan yang memiliki kinerja
baik dalam meningkatkan program keselamatan pasien yaitu semua
informan mengatakan bahwa mereka tidak pernah diberikan penghargaan
untuk yang memiliki kinerja baik dalam meningkatkan program
keselamatan pasien.
c. Pemberian sanksi oleh Direktur dan Wadir Pelayanan yang
tegas terhadap kesalahan yang dilakukan oleh karyawan terkait
penerapan keselamatan pasien
Berdasarkan wawancara tentang pemberian sanksi oleh Direktur dan
Wadir Pelayanan, diperoleh informasi yaitu :
“saya selalu memberitahu bawahan saya apabila terjadi kesalahan yang dilakukan oleh karyawan terkait penerapan keselamatan pasien maka saya akan memberi sanksi tegas terhadap mereka.”
(Informan I)
89
“saya Wadir Pelayanan memang tidak pernah memberi sanksi tegas karena selama ini belum ada kesalahan besar dalam keselamatan pasien tapi kalau ada maka saya tidak segan-segan untuk memberi sanksi kepada karyawan”.
(Informan II)
“Tidak pernah, karena melapor ke bagian atas yang ujung-ujungnya tidak ada tindaklajut”
(Informan IV)
“Paling cuma diberi peringatan biasa, tidak pernah ada sanksi tegas, nah itu yang membuat belum maksimal penerapan keselamatan pasien di rumah sakit ini”
(Informan V)
Berdasarkan hasil wawancara dengan informan tentang pemberian sanksi
oleh Direktur dan Wadir Pelayanan yang tegas terhadap kesalahan yang
dilakukan oleh karyawan terkait penerapan keselamatan pasien yaitu
semua informan mengatakan bahwa kepala ruangan tidak pernah
memberikan sanski yang tegas hanya saja cuma di beri peringatan biasa
terhadap kesalahan yang dilakukan oleh karyawan terkait penerapan
keselamatan pasien.
2) Supervisi
a. Direktur dan Wadir Pelayanan memberikan kebebasan kepada
karyawan yang ingin memberikan pendapat terkait issue
penerapan keselamatan pasien?
Berdasarkan wawancara tentang kebebasan menyatakan pendapat dan
memberi usulan kebijakan yang sesuai untuk diterapkan, diperoleh
informasi yaitu :
“Kalau kami kadang bebas menyatakan pendapat kadang tidak bebas apalagi memberi usulan kebijakan”
(Informan VIII)
90
“kadang terbatas sekali kalau kami memberi usulan kebijakan” (Informan V)
“kadang kalau masalah menyatakan pendapat dan kasi usulan disini sangat terbatas, karena Cuma orang-orang yang lebih tinggi yang bisa”
(Informan IV)
Kami yang orang bawah terbatas kalau memberi masukan ataupun usulan seperti itu.
(Informan VII)
“Terbatas sekali menurut ku itu harus juga meminta pendapat sama kami ini yang kepala ruangan krn kami yang jalankan di instalasi”
(Informan III)
Berdasarkan hasil wawancara dengan informan tentang kebebasan
menyatakan pendapat dan memberi usulan kebijakan yang sesuai untuk
diterapkan yaitu semua informan menyatakan bahwa mereka sangat
terbatas untuk menyatakan pendapat dan memberi usulan kebijakan yang
sesuai untuk diterapkan, hanya untuk orang- orang pihak atas yang
mengatur.
b. Direktur dan Wadir Pelayanan selalu memberikan bimbingan
dan dorongan kepada karyawan terkait penerapan
keselamatan pasien?
Berdasarkan wawancara tentang pemberian bimbingan dan dorongan
kepada karyawan terkait penerapan keselamatan pasien, diperoleh
informasi yaitu :
“Saya selalu kasi bimbingan dan dorongan kepada staf apalagi kalau rapat saya selalu informasikan untuk bisa terus meningkatkan penerapan keselamatan pasien”.
(Informan I)
“Saya sebagai wakil direktur pelayanan harus selalu mengingatkan, membimbing apalagi memberikan dorongan dalam peningkatan keselamatan pasien supaya bisa
91
mengurangi angka insiden kecelakaan”. (Informan II)
“Iya, selalu diberi bimbingan, dorongan sama wadir pelayanan dan direktur apalagi kalau sedang rapat dengan mereka pasti kami membahas bagaimana peningkatan penerapan keselamatan pasien dirumah sakit ini. Mereka selalu mengingatkan kami tentang hal itu”.
(Informan IV)
“Direktur dan Wadir Pelayanan selalu mengingatkan untuk mengurangi insiden kecelakaan pada pasien, kami juga diberi bimbingan dan motivasi untuk hal itu. Jadi saya kira untuk bimbingan kami selalu di bimbing dengan mereka”.
(Informan V)
Berdasarkan hasil wawancara dengan informan tentang pemberian
bimbingan dan dorongan kepada karyawan terkait penerapan
keselamatan pasien yaitu semua informan menyatakan bahwa mereka
selalu diberikan bimbingan dan motivasi untuk meningkatkan penerapan
keselamatan pasien di rumah sakit dan untuk mengurangi angka
kecelakaan pasien.
c. Direktur dan Wadir Pelayanan selalu melakukan pengawasan
terkait penerapan prosedur keselamatan pasien?
Berdasarkan wawancara tentang pengawasan yang dilakukan terkait
penerapan prosedur keselamatan pasien , diperoleh informasi yaitu :
“Saya selalu melakukan pengawasan untuk hal prosedur keselamatan pasien karena saya ingin mengurangi angka insiden kecelakaan, maka dari itu saya selalu was-was, saya selalu beritahu bawahan saya untuk hal ini”.
(Informan I)
“Pengawasan yang saya lakukan itu seperti mengecek data-data insiden keselamatan pasien, kalau ada yang bermasalah panggil kepala instalasi atau kepala ruangan untuk menjelaskan penyebab terjadinnya agar dicarikan solusi secepatnya dan
92
tidak terulang kembali”. (Informan II)
“Iya, mereka selalu tanya kami masalah penerapan prosedur keselamatan pasien, mereka selalu kan awasi kami, minta data – data keselamatan pasien, kalau bermasalah kami yang dipanggil juga”.
(Informan VII)
“Direktur dan wadir pelayanan yang selalu melakukan pengawasan bagaimana kami menjalankan penerapan prosedur keselamatan pasien, mereka kan minta datanya jadi kalau misalnya ada yang bermasalah sedikit kami yang dipanggil untuk menjelaskan kenapa bisa terjadi hal seperti itu.
(Informan VII)
Berdasarkan hasil wawancara dengan informan tentang pengawasan
yang dilakukan oleh direktur dan wadir pelayanan terkait penerapan
prosedur keselamatan pasien yaitu semua informan menyatakan bahwa
mereka selalu melakukan pengawasan dengan melihat data-data
keselamatan pasien, apabila ada hal yang bermasalah mereka langsung
memanggil kepala instalasi atau kepala ruangan yang terkait agar
menjelaskan penyebab terjadinya masalah tersebut dan untuk bisa
dicarikan solusi dan agar tidak terulang kembali untuk hal yang sama.
d. Direktur dan Wadir Pelayanan secara rutin mengadakan
pelatihan keselamatan pasien bagi pegawai ?
Berdasarkan wawancara tentang pelatihan keselamatan pasien yang
diadakan secara rutin bagi pegawai oleh direktur dan wadir pelayanan :
“saya selalu anjurkan untuk mengadakan pelatihan keselamatan pasien untuk meningkatkan kemampuan pegawai, selama kami selalu adakan hal seperti itu, jadi tidak ada masalah untuk hal ini”.
(Informan I)
“Iya selalu kami adakan untuk pelatihan keselamatan pasien untuk staf karena itu hal yang sangat penting, kan untuk
93
mencegah terjadinya insiden kecelakaan harus dimulai dari sumber daya manusia, peningkatan pengetahuan sangat diperlukan”.
(Informan II)
“Iya memang ada pelatihan seperti itu diadakan tetapi menurut saya jarang juga, tetapi ada kok untuk mengkatkan kemampuan kami sebagai tenaga juga bisa mengurangi insiden kecelakaan pasien”.
(Informan III)
“Ada tapi jarang diadakan pelatihan seperti itu, padahal kami kan harus update pengetahuan tentang keselamatan pasien karena dalam pelatiha itu kami selalu diajarkan bagaimana bisa mengurangi insiden kecelakaan apalagi kami kan di instalasi yang sering terjadi hal seperti itu”.
(Informan IV)
Berdasarkan hasil wawancara dengan informan tentang pelatihan
keselamatan pasien yang diadakan secara rutin bagi pegawai oleh
direktur dan wadir pelayanan yaitu dua informan menyatakan bahwa
mereka selalu mengadakan pelatihan keselamatan pasien dirumah sakit
untuk menambah pengetahuan staf agar dapat menurunkan angka
insiden kecelakaan pasien dan enam informan lainnya menyatakan bahwa
ada pelatihan keselamatan pasien tetapi jarang diadakan.
2. Koordinasi
a) Direktur dan Wadir Pelayanan memiliki hubungan yang baik
kepada karyawan ?
Berdasarkan wawancara tentang hubungan baik karyawan dengan
direktur dan wadir pelayanan, diperoleh informasi sebagai berikut dibawah
ini :
94
“kami memang memiliki hubungan yang baik dengan karyawan, tidak pernah kok terjadi masalah yang dapat menyebabkan hubungan kami renganggang dengan karyawan, kalaupun ada masalah kami diskusikan baik-baik”.
(Informan I) “Hubungan kami dan karyawan sangat baik, tidak ada masalah apa-apa, selalu kan kami bina hubungan yang baik dengan mereka, saya selalu bilang kalau ada masalah laporkan kesaya ”.
(Informan I) “Sangat baik hubungan kami dengan direktur dan wadir pelayanan, setiap ada masalah kami selalu bicarakan dengan mereka”.
(Informan V)
“Iya baik kok hubungan kami dengan direktur dan wadir pelayanan, apalagi mereka kan selau beritahu kami kalau ada masalah harus di diskusikan bersama mereka”.
(Informan VI)
Berdasarkan hasil wawancara dengan informan tentang hubungan baik
karyawan dengan direktur dan wadir pelayanan yaitu semua informan
menyatakan bahwa mereka memiliki hubungan yang baik antara direktur
dan wadir pelayanan, hubungan yang baik selalu dibina.
b) Direktur dan Wadir Pelayanan selalu mampu menciptakan
suasana kerja yang kondusif dan aman ?
Berdasarkan hasil wawancara dengan informan tentang kemampuan
direktur dan wadir pelayanan meciptakan suasana kerja yang kondusif
dan aman yaitu semua informan menyatakan bahwa mereka selalu
berada dalam suasana kerja yang aman dan kondusif karena telah diatur
sangat baik oleh pihak manajemen.
c) Direktur dan Wadir Pelayanan melibatkan karyawan dalam
membuat keputusan terkait penerapan keselamatan pasien ?
Berdasarkan hasil wawancara dengan informan pelibatan karyawan dalam
95
membuat keputusan terkait penerapan keselamatan pasien yaitu semua
informan menyatakan bahwa mereka selalu dilibatkan dan diminta
pendapat yang dapat dijadikan masukan ataupun saran dalam membuat
keputusan terkait penerapan keselamatan pasien dirumah sakit.
3. Komunikasi
Kompetensi dalam berkomunikasi menjadi suatu hal yang penting
karena komunikasi yang efektif berhubungan dengan pengelolaan dalam
menyelesaikan konflik. Komunikasi efektif juga berperan dalam
tersosialisasinya isu pelayanan keperawatan dan isu organisasi.
Komunikasi memeiliki dua aspek penting yatiu sikap dalam berkomunikasi
dan alat untuk berkomunikai (Wise & Kowalski, 2006). Komunikasi data
secara verbal, tertulis, mapun lisan. Keterampilan komunikasi dapat
berupa mendengar aktif, mendorong saluran informasi, asertif,
memberikan umpam balik, upaya mencitpkan perantara apabila terdapat
masalsah dalam berkomunikais, membentukan jaringan, menyatakan
komunikasi sebagai vivi.
a) Mendapat umpan balik positif apabila ada suatu kejadian yang
dilaporkan
Berdasarkan wawancara tentang mendapat umpan balik positif, diperoleh
informasi yaitu :
“Iya saya selalu ingatkan kepada staf untuk melaporkan ke pihak manajemen setiap ada kejadian, agar bisa di tindak lanjuti, kalau masalah mereka sudah laporakan tetapi tidak ada tindak lanjut itu berarti pihak manajemen yang salah, harus saya tegur mereka itu”.
(Informan I)
96
“Selalu saya beritahu staf untuk melaporkan segera kepihak manajemen jika ada kejadian yang terjadi untuk bisa ditindak lanjuti segara karena hal itu bisa jadi masalah untuk kami juga,
(Informan II)
“Kami pernah melaporkan ke bagian atas tapi tidak ada tindak lanjutnya dari mereka, misalnya sarana yang harus diganti karena sudah tidak layak pakai yang bisa menyebabkan pasien mengalami kecelakaan”.
(Informan IV)
“Saya pernah melaporkan ke pihak manajemen tapi ya begitulah tidak ada tindak lanjut, terbatas juga untuk menyatakan pendapat”
(Informan VII)
“Saya jarang melaporkan kalau ada kejadian yang berhubungan dengan keselamatan pasien, karena pihak atas seperti acuh tak acuh begitu”
(Informan VIII)
Berdasarkan hasil wawancara dengan informan tentang mendapat umpan
balik positif yaitu dua informan menyatakan bahwa mereka selalu
memberikan umpan balik yang positif apabila ada suatu kejadian yang
dilaporkan dan enam informan lainnya mengatakan bahwa mereka tidak
pernah mendapatkan umpan balik positif.
b) Wajib memperingatkan apabila melihat segala sesuatu yang
dapat mengancam keselamatan pasien
Berdasarkan wawancara tentang wajib memperingatkan apabila melihat
segala sesuatu yang dapat mengancam keselamatan pasien, diperoleh
informasi yaitu :
“Saya wajib beri peringatan jika melihat segala sesuatu yang dapat mengancam keselamatan pasien, kalau tidak di dengarkan saya beri sanksi tegas kepada mereka”.
(Informan II)
97
“Wajib kami kasi peringatan kalau ada hal yang mengancam keselamatan pasien karena itu hal yang sangat kami jaga dirumah sakit ini agar mengurangi insiden kecelakaan pasien
(Informan II)
“Sangat, keharusan untuk di patuhi hal yang mengancam keselamatan pasien, setiap ada yang kami liat harus kami peringatkan untuk berhati-hati”
(Informan IV)
“Apapun yang berhubungann dengan keselamatan pasien saya selalu peringatkan, wajib untuk semua staf disini”
(Informan VII)
Berdasarkan hasil wawancara dengan informan tentang wajib
memperingatkan apabila melihat segala sesuatu yang dapat mengancam
keselamatan pasien yaitu Semua informan menyatakan bahwa apabila
melihat rekan kerja atau bawahan mereka melakukan sesuatu yang
mengancam keselamatan pasien maka wajib diberikan peringatan agar
lebih berhati-hati.
c) Kebebasan menyatakan pendapat dan memberi usulan
kebijakan yang sesuai untuk diterapkan
Berdasarkan wawancara tentang kebebasan menyatakan pendapat dan
memberi usulan kebijakan yang sesuai untuk diterapkan, diperoleh
informasi yaitu :
“kami kadang bebas dan tidak bebas apalagi memberi usulan kebijakan ataupun menyatakan pendapat”
(Informan VIII)
“kadang terbatas kalau kami memberi usulan kebijakan” (Informan V)
“Kalau masalah menyatakan pendapat dan kasi usulan disini kadang sangat terbatas, karena Cuma orang-orang yang lebih tinggi yang bisa”
(Informan IV)
98
Kami yang orang bawah terbatas kalau memberi masukan ataupun usulan seperti itu.
(Informan VII)
“Terbatas sekali menurut ku itu harus juga meminta pendapat sama kami ini yang kepala ruangan krn kami yang jalankan di instalasi”
(Informan III)
Berdasarkan hasil wawancara dengan informan tentang kebebasan
menyatakan pendapat dan memberi usulan kebijakan yang sesuai untuk
diterapkan yaitu semua informan menyatakan bahwa mereka kadang
sangat terbatas untuk menyatakan pendapat dan memberi usulan
kebijakan yang sesuai untuk diterapkan, hanya untuk orang- orang pihak
atas yang mengatur.
d) Informasi perawatan pasien yang penting selalu tersedia saat
pergantian shift?
Berdasarkan hasil wawancara, hasil observasi dan telaah dokumen
dengan informan tentang informasi perawatan pasien yang penting selalu
tersedia saat pergantian shif yaitu dapat disimpulkan bahwa informasi
tersebut selalu tersedia untuk mengingatkan para staf yang sedang atau
akan bertugas untuk pergantian shift.
1). Arti Penting Keselamatan Pasien
a) Setiap masalah pasien yang terjadi dirumah sakit selalu
didiskusikan bersama dan dicarai jalan keluarnya
Berdasarkan hasil wawancara tentang setiap masalah pasien yang terjadi
dirumah sakit selalu didiskusikan bersama dan dicarai jalan keluarnya
99
yaitu semua informan mengatakan bahwa mereka selalu
mendiskusikannya bersama dan dicari jalan keluar dengan pihak
manajemen agar tidak terjadi lagi masalah yang sama dikemudian hari.
b) Diunit ini mendiskusikan bagaimana cara mencegah
terjadinya kesalahan atau Kejadian Tidak Dinginkan
Berdasarkan hasil wawancara tentang mendiskusikan bagaimana cara
mencegah terjadinya kesalahan atau Kejadian Tidak Dinginkan yaitu
semua informan mengatakan bahwa untuk instalasi mereka memang
selalu berdiskusi cara mencegah terjadinya kesalahan atau Kejadian
Tidak Dinginkan untuk mengurangi insiden kecelakaan pada pasien.
2).Perhatian dan pengenalan pentingnya keselamatan
a) Staf diberi kesempatan untuk bertanya apabila ada sesuatu
yang berjalan tidak semestinya
Berdasarkan hasil wawancara tentang pemberian kesempatan kepada
staf untuk bertanya apabila ada sesuatu yang berjalan tidak semestinya
yaitu semua informan mengatakan bahwa staf selalu diberikan
kesempatan untuk bertanya dan tidak ada pembatasan untuk bertanya.
b) Tidak pernah terjadi masalah sewaktu operan antar unit
Berdasarkan hasil wawancara tentang masalah yang pernah terjadi
sewaktu operan antar unit yaitu semua informan mengatakan bahwa
pernah ada masalah tetapi hanya masalah kecil dan tidak pernah dibesar-
besarkan serta hanya diselesaikan diunit tersebut dan juga tidak
mempengaruhi kinerja karyawan.
100
4. Kerja Tim
Tim adalah unsure kehidupan oraganisasi karena suatu pekerjaan
melibatkan orang-orang dengan berbagai macam keahlian untuk
berkerjasama untuk satu tujuan. Kejadian tim adalah proses dinamis yang
melibatkan dua atau lebih orang dalam suatu aktivitas untuk
menyelesaikan suatu tujuan. Hampir semua pekerjaan rumah sakit
dilakukan oleh berbagai disipilin ilmu contohnya ; tim ruang pembedahan,
shift antar pekerja, dan unit medis dan perawatan. Dirumah sakit, definisi
dari tim dan kerja tim tergantung bagaimana profesi yang berbeda-beda
mengatur pekerjaannya. Makary et.al., (2006) melaporkan bahwa dokter
melakukan kerja tim dengan baik jika suster juga mengantisipasi
kebutuhan dokter dan dapat mengikuti instruksi dengan baik.
1) Komitmen Pada Tujuan
a) Mendukung rumah sakit ini dalam meningkatkan program
keselamatan pasien yang lebih baik
Berdasarkan wawancara tentang kebebasan menyatakan mendukung
rumah sakit ini dalam meningkatkan program keselamatan pasien yang
lebih baik, diperoleh informasi yaitu :
“Kalau yang masalah begitu saya sangat mendukung, ini juga kan untuk kenyamanan pasien saat berada disini”
(Informan II)
“Semua staf disini sangat mendukung apabila dilakukan peningkatan program keselamatan pasien, kan belum maksimal agar lebih baik lagi”.
(Informan V) “Saya sebagai kepala instalasi sangat mendukung program keselamatan pasien untuk lebih meningkatkan kepuasan pasien”
(Informan VII)
101
Berdasarkan hasil wawancara dengan informan tentang kebebasan
menyatakan mendukung rumah sakit ini dalam meningkatkan program
keselamatan pasien yang lebih baik yaitu semua informan menyatakan
bahwa mereka sangat mendukung rumah sakit dalam meningkatkan
program keselamatan pasien yang lebih baik karena penerapan dirumah
sakit belum maksimal.
b) Koordinasi dengan direktur dan wadir pelayanan terhadap
kegiatan yang terkait dengan peningktan program keselamatan
pasien
Berdasarkan wawancara tentang koordinasi dengan kepala ruangan
terhadap kegiatan yang terkait dengan peningktan program keselamatan
pasien, diperoleh informasi yaitu :
“Setiap ada masalah selalu kami berkoordinasi dengan direktur dan wadir pelayanan”
(Informan IV)
“Saya merasa kami sering berkoordinasi apalagi untuk meningkatkan program keselamatan pasien”
(Informan V)
“Saya sebagai kepala instalasi bersama direktur dan wadir pelayanan kami selalu berdiskusi dan berkoordinasi bagaimana meningkatkan program keselamatan pasien”
(Informan VIII)
Berdasarkan hasil wawancara dengan informan tentang koordinasi
dengan direktur dan wadir pelayanan terhadap kegiatan yang terkait
dengan peningkatan program keselamatan pasien yaitu semua informan
menyatakan bahwa mereka selalu berkoordinasi dengan kepala ruangan
apabila terkait dengan peningktan program keselamatan pasien.
102
2) Komunikasi ide dan gagasan
a) Kenyaman dan tidak kesusahan saat pembagian tugas dengan
rekan kerja
Berdasarkan wawancara tentang kenyaman dan tidak kesusahan saat
pembagian tugas dengan rekan kerja , diperoleh informasi yaitu :
“Saya sangat nyaman saat kami mendapat pembagian tugas karena menurut saya pembagiannya sangat adil”
(Informan III)
“Saya tidak pernah merasa kesusahan ya kalau untuk pembagian tugas”
(Informan IV)
“Saya kan kepala ruangan sangat nyaman untuk pembagian tupoksi kan sudah sesuai untuk kepala ruangan”
(Informan V)
“Nyaman sih menurut saya karena pembagian tuganya sudah merata”
(Informan VI)
“Selama ini saya merasa tidak kesusahan untuk pembagian tugas”
(Informan VII)
Berdasarkan hasil wawancara dengan informan tentang kenyaman dan
tidak kesusahan saat pembagian tugas dengan rekan kerja yaitu semua
informan menyatakan bahwa mereka sangat nyaman dan tidak pernah
merasa kesusahan saat pembagian tugas dengan rekan kerja karena
mereka merasa hal tersebut sudah adil.
103
3) Efektivitas Interpersonal
a) Anda dan rekan kerja anda mampu berkordinasi dengan baik
untuk mewujudkan pelayanan pasien yang sesuai dengan
prosedur keselamatan pasien
Berdasarkan hasil wawancara dengan informan tentang kemampu
berkordinasi dengan baik untuk mewujudkan pelayanan pasien yang
sesuai dengan prosedur keselamatan pasien yaitu semua informan
menyatakan bahwa mereka sangat mampu berkordinasi dengan baik
karena hal tersebut sudah menjadi kewajiban mereka untuk mewujudkan
pelayanan pasien yang sesuai dengan prosedur keselamatan pasien.
C. Pembahasan
a. Kepemimpinan
Ada 3 domain perilaku kepemimpinan yang mampu menjadi agen
perubahan (Change Agent) bagi perilaku anggota dalam suatu organisasi
yakni pengarahan (Direction), pengawasan (supervision), serta koordinasi
(coordination) (Gilles, 1994).
Menurut Stoner (1982) definisi kepemimpinan adalah suatu proses
pengarahan dan pemberian pengaruh pada kegiatan-kegiatan dari
sekelompok anggota yang saling berhubungan tugasnya. Menurut
Handoko (1997) ada tiga implikasi dari definisi tersebut yaitu (1)
kepemimpinan menyangkut orang yaitu bawahan atau pengikut, (2)
kepemimpinan menyangkut suatu pembagiankekuasaan yang tidak
seimbang diantara para pemimpin dan anggota kelompok, (3) pemimpin
dapat mempergunakan pengaruh. Kepemimpinan bagian yang terpenting
104
dari manajemen yaitu merupakan kemampuan yang dipunyai seseorang
untuk mempengarui orang-orang lain agar bekerja mencapai tujuan dan
sasaran.
Direktur dan wakil direktur pelayanan dengan memberikan
pengarahan ke bawahannya yaitu perawat dengan memberi penugasan,
perintah, kebijakan, peraturan, standar tentang keselamatan pasien yang
harus dilakukan dengan baik untuk mengurangi terjadi kecelakaan pada
pasien.
A. Pengarahan
Pengarahan mengacu kepada penugasan, perintah, kebijakan,
peratutaran, standar, pendapat, saran, dan pertanyaan untuk mengarahan
perilaku bawahan. Kebijakan prosedur, standar, dan tugas menjadi alat
dalam memimpin orang lain untuk menghasilkan perilaku yang diinginkan.
1. Delegasi wewenang oleh kepala ruangan terhadap
bawahannya terkait penerapan keselamatan pasien
Kejadian yang tidak diharapkan atau kejadian nyaris cedera bukan
hanya saja kesalahan dari faktor manusianya/kelalaian petugas pemberi
pelayanan namun terdapat faktor lain yang memberikan kontribusi
sehingga terjadi kejadian yang merugikan pasien, seperti yang di
kemukakan oleh Reason. J.T dalam (Reason J.T et al., 2008) tentang
Swiss Chees Model yang menggambarkan proses terjadinya kecelakaan
melalui ilustrasi potongan-potongan keju Swiss. Terdapat empat lapisan
yang menyusun terjadinya suatu kejadian kecelakaan, yaitu:
organizational influences (pengaruh pengorganisasian dan kebijakan
105
manajemen dalam terjadinya kecelakaan, unsafe supervision
(pengawasan yang tidak baik), precondition for unsafe act (kondisi yang
mendukung munculnya aktivitas yang tidak aman).
Pendelegasian tugas merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari pengelolaan ruangan Pendelegasian digolongkan menjadi 2 jenis
yaitu terencana dan insidentil. Pendelegasian terencana adalah
pendelegasian yang memang otomatis terjadi sebagai konsekuensi sistem
penugasan yang diterapkan di ruang rawat inap, bentuknya dapat
pendelegasian tugas kepala ruang kepada ketua tim, kepada penanggung
jawab shift. Pendelegasian insidentil terjadi bila salah satu personil ruang
rawat inap berhalangan hadir, maka pendelegasian tugas harus dilakukan.
Berdasarkan hasil wawancara dengan informan tentang delegasi
wewenang kepala ruangan terhadap bawahannya terkait penerapan
keselamatan pasien diperoleh informasi bahwa direktur dan wadir
pelayanan telah mendelegasikan wewenangnya agar menerapkan
keselamatan pasien di instalasi tersebut tetapi mereka takut untuk
melaporkan masalah keselamatan pasien ke bagian manajemen karena
tidak pernah ditindaklanjuti untuk laporan tersebut sehinga membuat
penerapan keselamatan belum maksimal.
Studi penelitian Katz&Navon et al., (2005) telah menunjukan
bahwa kepemimpinan yang baik mempunyai hubungan yang signifikan
dengan perilaku keamanan kerja yang lebih baik dan menurunkan angka
kecelakaan serta meningkatkan kepatuhan terhadap keselamatan.
Sebuah penelitian lain Shipton et al, (2008) di Inggris mengungkapkan
106
bahwa persepsi staf tentang efektivitas kepemimpinan manajer senior
memiliki hubungan dengan menurunnya keluhan pasien dan
meningkatnya kepemimpinan klinik.
Berdasarkan hal tersebut untuk menciptakan budaya
keselamatan pasien maka seluruh lapisan mulai dari komitmen pimpinan
sampai karyawan harus dibenahi. Persepsi karyawan terhadap pimpinan
dan manajemen memiliki pengaruh paling besar dalam membangun
budaya keselamatan pasien, untuk mencapai tujuan secara optimal,
manajer/pimpinan harus bersinergi dengan karyawan di berbagai lapisan,
oleh karena itu model kepemimpinan yang paling sesuai adalah model
kepemimpinan transformasional. Kepemimpinan transformasional adalah
sebuah peroses dimana pimpinan dan para bawahannya berusaha untuk
mencapai tingkat moralitas dan motivasi yang lebih tinggi, hal ini berbeda
dengan model kepemimpinan transaksional untuk memotivasi agar
bawahan melakukan tanggungjawab mereka, para pemimpin
transaksional sangat mengandalkan pada sistem pemberian penghargaan
dan hukuman kepada bawahannya (Givens J.R. 2008).
Maka disimpulkan bahwa pelaksanaan pelaporan insiden
keselamatan pasien belum dilakukan secara optimal. Hal tersebut dapat
dilihat masih adanya gap pelaporan yang dilakukan oleh karyawan rumah
sakit dan hasil penelitian yang dilakukan pada informan yang
menyimpukan bahwa belum optimalnya pelaksanaan pelaporan insiden
keselamatan pasien ini sebenarnya datang dari unit itu sendiri, yaitu masih
adanya ketakutan akan budaya menyalahkan yang mengakibatkan
107
keengganan unit/individu untuk melaporkan insiden yang terjadi. Dan
dukungan manajemen yang kurang optimal dengan tidak segera
memberikan feedback atas laporan insiden keselamatan pasien yang
menjadi alasan yang sangat kuat.
2. Pemberian penghargaan oleh kepala ruangan bagi yang
memiliki kinerja baik dalam meningkatkan program
keselamatan pasien
Supervisi merupakan bagian penting dari manajemen keperawatan,
karena dengan supervisi dapat mengatasi masalah dalam organisasi
dengan cepat. Tugas pengawasan atau supervisi tidak bisa dipisahkan
dari fungsi kepemimpinan. Supervisor atau pengawas di mata karyawan
dianggap sebagai figur ayah dengan peran yang bukan hanya
mengawasi, mengarahkan juga harus bisa menampung segala keluhan
baik yang berkaitan dengan pekerjaan maupun masalah-masalah pribadi
yang menghambat saat bekerja. Superviser juga harus mengetahui sejauh
mana kemampuan bawahannya dan tingkat kerja samadiantara karyawan
yang dibawahinya.
Superviser harus mampu turun tangan untuk membantu
memecahkan masalah tersebut tanpa menunda-nunda. Sehingga dapat
tercipta suasana kerja yang nyaman dan menyenangkan. Seorang
supervisor juga harus mampu memotivasi karyawan dalam bekerja dan
menyelesaikan tugas-tugas misalnya dengan memberikan pujian atau
penghargaan atas apa yang telah dilakukan oleh karyawan dengan hasil
yang baik dan sesuai dengan apa yang diharapkan. Hal tersebut selain
108
dapat memacu semangat kerja karyawan juga dapat meningkatkan
kepuasan kerja karyawan (Mulyaningsih, 2013).
Penghargaan adalah ganjaran yang diberikan untuk memotivasi
para karyawan agar produktivitasnya tinggi Tohardi (2002). Penghargaan
adalah insentif yang mengaitkan bayaran atas dasar untuk dapat
meningkatkan produktivitas para karyawan guna mencapai keunggulan
yang kompetitif Henri Simamora (2004). Penghargaan adalah reward
dalam bentuk uang yang diberikan kepada mereka yang dapat bekerja
melampaui standar yang telah ditentukan.
Sedamaryanti (2001) juga menjelaskan bahwa penghargaan
berfungsi sebagai motivasi untuk mengulangi perilaku yang disetujui
secara sosial, juga untuk memperkuat perilaku yang disetujui secara
sosial. Maksud dan tujuan dari penghargaan adalah agar karyawan
menjadi lebih giat lagi usahanya untuk memperbaiki atau mempertinggi
prestasi yang telah dicapainya. Jadi dalam sisi yang lebih luas,
penghargaan dirancang agar mampu menarik perhatian,
mempertahankan dan mendorong karyawan agar bekerja lebih produktif,
di mana penghargaan harus mencerminkan win-win result, bagi karyawan
dan perusahaan. Secara luas penghargaan diciptakan untuk menarik,
menahan, dan memotivasi kinerja karyawan.
Wibowo (2007) menyatakan penghargaan memiliki berbagai jenis
dan bentuk tergantung pada waktu, tempat, untuk siapa, dan atas dasar
apa penghargaan tersebut diberikan. Penghargaan biasanya diberikan
dalam bentuk medali, piala, gelar, sertifikat, plakat atau pita. Suatu
109
penghargaan kadang-kadang disertai dengan pemberian hadiah berupa
uang seperti hadiah nobel untuk kontribusi terhadap masyarakat, dan
hadiah pulitzer untuk penghargaan bidang literatur. Bentuk penghargaan
bisa bermacam -macam, ada dalam bentuk bonus, promosi, penambahan
tanggung jawab yang bagi beberapa pegawai bisa menjadi beban namun
bagi beberapa pegawai lainnya dapat menjadi poin penghargaan bagi
dirinya.
Menurut Jiunkpe (2008) bahwa pemberian reward (penghargaan)
terhadap perawat merupakan suatu imbalan yang diberikan dalam bentuk
material dan non material seperti pelaksanaan pendokumentasian asuhan
keperawatan. Sebuah ucapan terima kasih dapat dijadikan sebuah
reward. Kekuatan ucapan terima kasih ini memberikan arti dan manfaat
yang sangat luar biasa. Pekerjaan yang dimotivasi dengan ucapan terima
kasih oleh seorang atasan kepada bawahan, dapat menjadi sumber
inspirasi kedisiplinan waktu untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut.
Berdasarkan hasil wawancara dengan informan tentang pemberian
penghargaan oleh direktur dan wadir pelayanan bagi yang memiliki kinerja
baik dalam meningkatkan program keselamatan pasien yaitu mereka tidak
pernah diberikan penghargaan untuk yang memiliki kinerja baik dalam
meningkatkan program keselamatan pasien.
Hasil penelitian Sanjaya (2013) Di Rumah Sakit Umum Puri
Raharja dalam melaksanakan program penerapan keselamatan pasien,
pihak manajemen rumah sakit sudah melakukan planning yang baik untuk
menyusun program keselamatan pasien. Meskipun perencanaan sudah
110
dilaksanakan dengan baik namun output dari program tersebut kurang
maksimal. Dalam menjalankan fungsi manajernen, rnanajemen, seorang
manajer diharapkan memiliki kemampuan yang cukup dalam
mengorganisasikan pegawainya. Salah satu kemampuan yang dimaksud
adalah kemampuan motivasi sumber daya manusia yang ada. Manajer
dan asisten keperawatan sebaiknya memberikan motivasi untuk
menimbulkan dorongan kepada perawat. Dengan diberikannya motivasi
seperti adanya penghargaan yang berikan kepada perawat, diharapkan
perawat akan bersemangat dalam melaksanakan program penerapan
keselamatan pasien.
Retnowati (2002) menyatakan bahwa persepsi terhadap imbalan
terjadi tidak begitu saja tetapi ada faktor yang mempengaruhinya meliputi
sikap, motif, keentingan, minat, pengalaman, dan harapan. Adapun hasil
penelitian Simamora (2004) bahwa pemberian penghargaan merupakan
upaya untuk memperkuat hubungan kinerja dan dengan demikian
memotivasi karyawan yang terpengaruh.
Penelitian yang dilakukan oleh Novinda (2010) yang menyatakan
bahwa terdapat hubungan penghargaan dengan kinerja perawat dimana
semakin baik penghargaan yang diberikan maka semakin baik pula kinerja
perawat yang dihasilkan, sehingga dapat dikatakan bahwa penghargaan
dapat tercapai jika kinerja keperawatan dapat terlaksana dengan baik.
Menurut Achmad. R (2001) bahwa penggunaan Sistem Manaiemen
Kinerja sebagai dasar bagi kebijakan pemberian reward yang umum
disebut Merit System ataupun untuk dasar bagi pembagian bonus,
111
imbalan, sefta pujian. tadi bisa dikatakan bahwa dengan adanya
pemberian reward maka akan memberikan motivasi bagi karyawan untuk
berlomba-lomba memberikan prestasi kinerja yang baik.
Pernyataan-pernyataan di atas menjelaskan bahwa penghargaan
merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi karyawan, selain sebagai
motivasi kerja yang tinggi, penghargaan juga memberikan arti bahwa
karyawan tersebut dianggap ada dalam perusahaan, terutama karyawan
yang telah lama berkontribusi bagi kelangsungan hidup perusahaan.
Selain bagi karyawan lama, pemberian penghargaan tersebut juga sangat
berarti bagi karyawan yang berusaha keras untuk mencapai prestasi kerja
yang baik. Dengan adanya penghargaan, karyawan akan merasa bahwa
usahanya dalam berprestasi dihargai oleh perusahaan, dan hal ini tentu
memacu dan memotivasi karyawan untuk berprestasi lebih baik lagi.
3. Pemberian sanksi oleh kepala ruangan yang tegas terhadap
kesalahan yang dilakukan oleh karyawan terkait penerapan
keselamatan pasien
Pada prinsipnya sanksi (punishment) adalah segala sesuatu yang
dapat memperlemah perilaku dan cenderung untuk mengurangi frekuensi
perilaku yang berikutnya dan biasanya terdiri dari permintaan suatu
konsekuensi yang tidak diharapkan. Sanksi yang dimaksud merupakan
konsekuensi yang tidak menyenangkan terhadap respon perilaku tertentu.
Maka secara umum sanksi adalah tindakan berupa siksaan yang
dikenakan kepada orang yang melakukan kesalahan atau pelanggaran
tertentu seperti pelanggaran undang-undang dan sebagainya.
112
Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat dijelaskan bahwa sanksi adalah
suatu konsekuensi yang tidak menyenangkan (siksa) terhadap suatu
respons perilaku tertentu dengan tujuan untuk memperlemah perilaku
tersebut dan mengurangi frekuensi perilaku yang berikutnya. Ngalim
Purwanto (1988) membagi sanksi (punishment) menjadi dua macam yaitu:
Sanksi prefentif yaitu sanksi yang dilakukan dengan maksud atau
supaya tidak terjadi pelanggaran. Sanski ini bermaksud untuk
mencegah agar tidak terjadi pelanggaran, sehingga hal ini
dilakukannya sebelum terjadi pelanggaran dilakukan. Contoh
perintah, larangan, pengawasan, perjanjian dan ancaman.
Sanksi represif yaitu sanksi yang dilakukan, oleh karena adanya
pelanggaran, oleh adanya dosa yang telah diperbuat. Jadi sanksi
itu terjadi setelah terjadi kesalahan.
Siagian (1998) menjelaskan bahwa disiplin juga merupakan bagian
penting dari sanksi. Disiplin merupakan tindakan manajemen untuk
mendorong para anggota organisasi memenuhi berbaga kebutuhan yang
harus dipenuhi oleh para anggota organisasi. Siagian juga menjelaskan
bahwa pada dasarnya dalam suatu organisasi terdapat dua jenis disiplin,
yaitu :
Disiplin yang bersifat preventif yaitu pendisiplinan preventif
merupakan bentuk pendisiplinan yang bersifat tindakan yang
mendorong para bawahan untuk taat pada berbagai ketentuan
yang berlaku dan memenuhi standar yang telah ditetapkan.
113
Disiplin yang bersifat korektif yaitu pendisiplinan korektif lebih
ditujukan kepada pemberian sanksi kepada bawahan atas sejumlah
pelanggaran yang telah dilakukannya. Dengan kejelasan dan
penjelasan tentang pola sikap,tindakan, dan perilaku yang
diinginkan dari setiap anggota organisasi maka diusahakan
jangansampai para pegawai berperilaku negatif. Siagian (1998)
menyebutkan bahwa agar upaya pendisiplinan di kalangan pegawai
dapat tercapai, maka sanksi pendisiplinan harus diterapkan secara
bertahap. Pendisiplinan secara bertahap yaitu dengan mengambil
langkah yang bersifat sanksi pendisiplinan, mulai dari yang tingkat
ringan hingga yang terberat misalnya :
1. Peringatan lisan.
2. Pernyataan tertulis perihal ketidakpuasan oleh atasan
langsung.
3. Penundaan gaji berkala.
4. Penundaan kenaikan pangkat.
5. Pembebasan dari jabatan.
6. Pemberhentian sementara.
7. Pemberhentian atas permintaan sendiri.
8. Pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan
sendiri.
9. Pemberhentian tidak dengan hormat.
Dalam pengimplementasiannya, sanksi seringkali menjadi
penyebab kontroversi dalam perusahaan, sebab sebagian karyawan
114
menganggap sanksi adalah hal merugikan dan tidak wajar karena tidak
memacu kerja. Mereka mengangap sanksi tersebut sebagai suatu
pemaksaan. Jelas dalam anggapan di atas bahwa sebagian karyawan
tidak tertarik dan menentang diterapkannya sanksi dalam perusahaan. Di
sini perlu ketegasan seorang pemimpin khususnya manajer untuk
menjelaskan fungsi dan tujuan dari pengimplementasian sanksi tersebut;
bahwa sanksi tidak akan diberlakukan pada karyawan yang tidak
melanggar peraturan.
Berdasarkan hasil wawancara dengan informan tentang pemberian
sanksi oleh direktur dan wadir pelayanan yang tegas terhadap kesalahan
yang dilakukan oleh karyawan terkait penerapan keselamatan pasien yaitu
semua informan mengatakan bahwa tidak pernah memberikan sanski
yang tegas hanya saja cuma di beri peringatan biasa terhadap kesalahan
yang dilakukan yang oleh karyawan terkait penerapan keselamatan
pasien.
Hasil penelitian Aris (2013) Dimensi sanksi terhadap kesalahan di
RSU PKU Muhammdiyah Bantul diinterpretasikan cukup. Begitu pula
dengan hasil penelitian yang dilakukan Putri (2010) 2-3 tahun yang lalu.
Pemberian sanksi kepada unit kerja atau individu yang melakukan
kesalahan adalah hal paling sulit dilakukan olehpihak rumah sakit. sanksi
terhadap kesalahan harus digunakan sebagai pelajaran yang berharga
dan jika perlu disertai dengan sanksi yang sesuai dengan prosedur untuk
mencegah terjadinya atu terulangnya kekeliruan yang sama. Tetapi hal ini
115
harus dijauhkan dengan blaming culture, melainkan sebagai upaya untuk
perbaikan dalam upaya meningkatkan keselamatan pasien.
B. Supervisi
Pelayanan keperawatan dikatakan sebagai kegiatan kegiatan
dinamis yang bertujuan untuk meningkatkan motivasi dan kepuasan
antara dua komponen yang terlibat yaitu supervisor atau pimpinan.
Supervisor merupakan perilaku kepemimpinan yang berfungis untuk
memeriksa pekerjaan, mengevaluasi kerja, memerikasa pekerjaan (Gillies,
2005). Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih banyak banyak
dukungan yang diberikan oleh pemimpin atau supervisor untuk
keselamatan pasien akan meningkatkan frekuensi keterbukaan dan
pelaporan atas insiden keselamatan pasien.
Menurut Sujono (2007, dalam Andriani 2012) mengatakan bahwa
supervisi merupakan upaya untuk membantu pembinaan dan peningkatan
kemampuan pihak yang di supervisi agar mereka dapat melaksanakan
tugas kegiatan yang telah ditetapkan secara efisien dan efektif.
Supervisi yang dilakukan oleh Direktur dan wakil direktur
menunjukkan bahwa lebih banyak banyak dukungan yang diberikan oleh
pemimpin atau supervisor untuk keselamatan pasien akan meningkatkan
frekuensi keterbukaan dan pelaporan atas insiden keselamatan pasien.
Dan untuk koordinasi kegiatan sfat terjadi selama pertemuan kelompok
kerja utama karena beberapa anggota mengkhususkan diri dalam tugas
terkait, seperti kegiatan menyempurnakan tujuan, identifikasi masalah,
dan analisis data tentang keselamatan pasien di rumah sakit.
116
1) Direktur dan Wadir Pelayanan selalu memberikan bimbingan dan
dorongan kepada karyawan terkait penerapan keselamatan
pasien
Motivasi adalah dorongan alamiah yang terdapat dalam diri
responden untuk berkeinginan mendukung atau tidak mendukung
penerapan patient safety.Konsep motivasi merupakan sebuah konsep
penting dalam studi tentang kinerja individual. Dengan kata lain, motivasi
merupakan sebuah determinan penting bagi kinerja individual dimana
makin meningkatnya motivasi seorang individu maka makin meningkat
pula kinerja yang dilakukan.
Berdasarkan hasil wawancara tentang pemberian bimbingan dan
dorongan kepada karyawan terkait penerapan keselamatan pasien dapat
disimpulkan bahwa mereka yaitu karyawan selalu diberikan bimbingan
dan motivasi untuk meningkatkan penerapan keselamatan pasien di
rumah sakit dan untuk mengurangi angka kecelakaan pasien.
Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Sihotang (2006) di Rumah Sakit Umum Doloksanggul yang meneliti
hubungan motivasi kerja terhadap kinerja perawat dalam memberikan
pelayanan untuk pasien. Berdasarkan data deskriptif penelitian tersebut
menunjukkan bahwa prestasi perawat dalam kategori baik dan lebih
banyak yang menyatakan bahwa dengan peningkatan jabatan dan
pencapaian prestasi akan meningkatkan kinerja perawat.Selain itu Badi’ah
(2008) juga menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara
117
faktor motivasi internal dan faktor motivasi eksternal dengan kinerja
perawat.
2) Direktur dan Wadir Pelayanan selalu melakukan pengawasan
terhadap penerapan terkait penerapan prosedur keselamatan
pasien
Pelaksanaan pengawasan pada dasarnya merupakan tanggung
jawab manajemen rumah sakit. Keberhasilan pengawasan sangat
dipengaruhi oleh supervisor. Dalam hal ini bisa atasan langsung, pimpinan
kantor, aparat fungsional, maupun masyarakat (Nirwan dan Zamzami,
1999). Menurut Saydam (1996), jika supervisor ini dekat dengan karyawan
dan menguasai liku-liku pekerjaan serta penuh dengan sifat- sifat
kepemimpinan maka suasana kerja akan bergairah dan bersemangat dan
sebaliknya, apabila supervisor tersebut angkuh, mau benar sendiri, tidak
mau mendengarkan, akan menciptakan situasi kerja yang tidak
mengenakkan, dan dapat menurunkan semangat kerja.
Berdasarkan hasil wawancara tentang pengawasan yang dilakukan
oleh direktur dan wadir pelayanan terkait penerapan prosedur
keselamatan pasien dapat disimpulkan bahwa pimpinan yaitu direktur dan
wakil direktur pelayanan selalu melakukan pengawasan dengan melihat
data-data keselamatan pasien, apabila ada hal yang bermasalah mereka
langsung memanggil kepala instalasi atau kepala ruangan yang terkait
agar menjelaskan penyebab terjadinya masalah tersebut dan untuk bisa
dicarikan solusi dan agar tidak terulang kembali untuk hal yang sama.
118
Pengawasan tetap dibutuhkan untuk mencegah ketidakpuasan
pada kinerja. Dengan itu dapat diketahui bahwa pelaksanaan supervisi
juga memiliki andil terhadap kinerja perawat. Sejalan dengan penelitian
Mulyono (2012) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan supervisi
terhadap kinerja perawat. Seperti yang dikemukakan oleh Nainggolan
(2010) bahwa pelaksanaan supervisi oleh kepala ruangan memiliki
pengaruh terhadap kinerja perawat pelaksana di Rumah Sakit Islam
Malahayati Medan.
3) Direktur dan Wadir Pelayanan secara rutin mengadakan pelatihan
keselamatan pasien bagi pegawai
Hughes (2008) menyatakan bahwa langkah awal memperbaiki
pelayanan yang berkualitas adalah keselamatan, sedang kunci dari
pelayanan bermutu dan aman adalah membangun budaya keselamatan
pasien. Menurut Mitchell dalam Hughes (2008), perawat merupakan kunci
dalam pengembangan mutu melalui keselamatan pasien. Peningkatan
pengetahuan merupakan dampak yang diharapkan dari pelatihan mutu
dan keselamatan pasien. Pelatihan merupakan salah satu sarana
menambah kebutuhan akan pengetahuan baru dan untuk meningkatkan
kinerja individu dan kinerja sistem (Henriksen & Dayton, 2006).
Berdasarkan hasil wawancara tentang pelatihan keselamatan
pasien yang diadakan secara rutin bagi pegawai oleh direktur dan wadir
pelayanan dapat disimpulkan bahwa ada pelatihan keselamatan pasien
tetapi jarang diadakan oleh pimpinan untuk menambah pengetahuan staf
agar dapat menurunkan angka insiden kecelakaan pasien.
119
Marquis dan Huston (2006) menyatakan bahwa program
pengembangan staf melalui pelatihan dan pendidikan merupakan program
yang efektif untuk meningkatkan produktifitas bagi perawat. Dukungan
yang adekuat dalam bentuk pelatihan professional dan pengembangan
pengetahuan merupakan salah satu upaya untuk menciptakan lingkungan
kerja yang positif bagi perawat agar asuhan yang aman dapat diberikan
(ICN, 2007).
Kemampuan kognitif seseorang mempengaruhi kemampuan
individu tersebut dalam melakukan tindakan yang tidak menimbulkan
risiko terhadap keselamatan pasien. Pengetahuan merupakan
kepercayaan yang dapat dipertanggungjawabkan serta sesuatu yang
eksplisit dan terpikirkan (Krough, Ichiyo, & Nonaka, 2000 dalam Thite,
2004; Cho, 1998, dalam Set iarso, Harjanto, Triyono, & Subagyo, 2009).
Menurut Baron dan Greenberg (200), pengetahuan merupakan sebuah
perubahan yang relatif menetap dalam perilaku yang dihasilkan dari
pengalaman.
Organisasi yang ingin mengembangkan budaya belajar yang efektif
perlu memetakan pengetahuan yang dimiliki oleh staf Riset Delphi Group
yang dikemukakan dalam Set iarso , et al. (2009), menemukan 45% aset
pengetahuan tersimpan dalam pikiran staf dalam bentuk pengetahuan dan
pengalaman, sedangkan sisanya berada dalam dokumen kertas dan
dokumen elektronik dalam berbagai bentuk. Cahyono (2008) menyatakan
bahwa pengetahuan SDM kesehatan, termasuk perawat adalah hal yang
berhubungan dengan komitmen yang sangat diperlukan dalam upaya
untuk membangun budaya keselamatan pasien.
120
C. Koordinasi
Kegiatan kepemimpinan yang mencakup semua kegiatan yang
memungkinkan staf untuk bekerja bersama secara harmonis. Koordinasi
penting dilakukan untuk keberhasilan suatu organisasi kesehatan.
Umumnya koordinasi kegiatan sfat terjadi selama pertemuan kelompok
kerja utama karena beberapa anggota mengkhususkan diri dalam tugas
terkait, seperti kegiatan menyempurnakan tujuan, identifikasi masalah,
dan analisis data.
1) Direktur dan Wadir Pelayanan memiliki hubungan yang baik
kepada karyawan
Keharmonisan hubungan para pegawai dengan adanya sikap yang
baik dari pimpinan yang ditunjukkan ketika memberikan tugas-tugas yang
harus dikerjakan oleh pegawai, ketika memberikan informasi yang baru,
mengajak, memberi perintah, mengatur, menggerakkan, membimbing,
menegur, dan lain-lain. Aktvitas pimpinan harus di imbangi dengan
kemampuan dan keterampilan serta sikap yang tepat.
Berdasarkan hasil wawancara dengan informan tentang hubungan
baik karyawan dengan direktur dan wadir pelayanan dapat disimpulkan
bahwa mereka memiliki hubungan yang baik antara direktur dan wadir
pelayanan, hubungan yang baik selalu dibina.
Scord dan Backman dalam Azwar (2002), mengatakan sikap
adalah “keteraturan tertentu dalam hal perasaan (afeksi), pemikiran
(kognisi), dan prediposisi tindakan (konasi) seseorang terhadap suatu
aspek di lingkungan sekitarnya”. Sedangkan Syafii dalam Harbani
121
Pasolong (2008:3), menyatakan bahwa “pemimpin adalah orang yang
mempengaruhi pihak lain melalui proses kewibawaan komunikasi
sehingga orang lain tersebut bertindak sesuatu dalam mencapai tujuan
tertentu”. Berdasarkan pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa sikap
pimpinan dapat diartikan sebagai reaksi atau respon tertentu yang
digunakan seseorang mempengaruhi pengikutnya untuk melakukan kerja
sama dalam mencapai tujuan organisasi. Sikap yang ditampilkan oleh
seorang pemimpin dapat mempengaruhi cara kerja dan semangat
bawahan atau pegawai dalam melakukan pekerjaan.
Menurut Maxwell (1995:104) mengatakan bahwa “Sikap seseorang
tidak dapat menghentikan perasaannya, tetapi sikap bisa menjaga agar
perasaan tidak menghentikan seseorang”. Jadi, pentingnya seorang
pimpinan untuk memiliki sikap positif karena dengan sikap yang demikian
pemimpin akan menjadi lebih tangguh, lebih kuat, dan juga memiliki
pikiran yang positif dalam menghadapi persoalan yang dihadapi dan
penting untuk diingat bahwa pemimpin pasti mempengaruhi para
bawahannya, dengan memiliki sikap yang baik maka pemimpin pun akan
menarik orang-orang untuk bersikap baik, demikian pula sebaliknya. Jadi
pemimpin secara tidak langsung pasti mempengaruhi bawahannya.
2) Direktur dan Wadir Pelayanan selalu mampu menciptakan
suasana kerja yang kondusif dan aman
Menurut Nitisemito (2000) mengatakan bahwa lingkungan kerja
adalah segala sesuatu yang ada disekitar para pekerja yang dapat
mempengaruhi dirinya dalam menjalankan tugas-tugas yang diembankan.
122
Sedangkan menurut Sedarmayanti (2001) menyebutkan bahwa
Lingkungan kerja adalah keseluruhan alat perkakas dan bahan yang
dihadapi, lingkungan sekitarnya dimana seseorang bekerja, metode
kerjanya, serta pengaturan kerjanya baik sebagai perseorangan maupun
sebagai kelompok dapat ditarik kesimpulannya bahwa kondisi lingkungan
kerja baik akan menunjang produktivitas karyawan yang pada akhirnya
berdampak pada kenaikan tingkat kinerja karyawan.
Berdasarkan hasil wawancara tentang kemampuan direktur dan
wadir pelayanan meciptakan suasana kerja yang kondusif dan aman
dapat disimpulkan bahwa mereka selalu berada dalam suasana kerja
yang aman dan kondusif karena telah diatur sangat baik oleh pihak
manajemen.
Sikap dan perilaku pegawai dalam melaksanakan tugasnya akan
dipengaruhi oleh faktor lingkungan, baik internal maupun eksternal.
Namun, dalam kenyataannya sikap dan perilaku pegawai lebih banyak
dipengaruhi oleh lingkungan kerja internal, karena lingkungan kerja
internal berada disekitar pegawai dalam menjalankan tugas. Seperti yang
dikemukakan Agus (1999) bahwa Lingkungan kerja internal adalah segala
sesuatu yang ada di sekitar tempat pekerjaan dan dapat mempengaruhi
dirinya dalam menjalankan tugas-tugas yang dibebankan.
3) Direktur dan Wadir Pelayanan melibatkan karyawan dalam
membuat keputusan terkait penerapan keselamatan pasien
Pengambilan keputusan merupakan inti kepemimpinan, artinya
bahwa kualitas kepemimpinan seorang manajer akan ikut ditentukan oleh
123
kualitas dari keputusan-keputusan yang diambil dalam sebuah
organisasi/instansi. Seorang pimpinan diharapkan sebagai penggerak
pegawai-pegawai yang ada agar bekerja seoptimal mungkin sesuai
dengan tugas-tugas yang telah ditetapkan. Keberhasilan pimpinan dalam
menggerakan bawahannya sangat dipengaruhi cara pimpinan dalam
pengambilan keputusan.
Berdasarkan hasil wawancara tentang pelibatan karyawan dalam
membuat keputusan terkait penerapan keselamatan dapat disimpulkan
bahwa mereka selalu dilibatkan dan diminta pendapat yang dapat
dijadikan masukan ataupun saran dalam membuat keputusan terkait
penerapan keselamatan pasien dirumah sakit.
Partisipasi dalam pengambilan keputusan merupakan suatu
penerapan manajemen sumber daya manusia yang memberikan tanda
kepada karyawan bahwa mereka dihargai oleh perusahaan. Karyawan
dapat berpartisipasi secara langsung maupun tidak langsung dalam
pengambilan keputusan dan memiliki kesempatan untuk mempengaruhi
keputusan yang ada dalam berbagai tingkat organisasi.
Karyawan merasa menjadi bagian dari organisasi ketika mereka
berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang menyangkut masa
depan perusahaan. Melalui partisipasi ini, karyawan mulai melihat
perusahaan sebagai refleksi dari keputusan mereka. Keterlibatan
karyawan juga membangun loyalitas karena dengan melibatkan karyawan
dalam pengambilan keputusan berarti perusahaan mempercayai
karyawannya.
124
Pengetahuan karyawan juga dapat menjadi keunggulan kompetitif
bagi perusahaan. Karyawan terkadang memiliki pengetahuan yang lebih
banyak tentang pekerjaan mereka dibandingkan dengan para manajer
(Miller dan Monges,1986 dalam Joyce Elele dan Dail Fields, 2010).
Sebagai hasilnya, keputusan yang dibuat bersama dengan para karyawan
akan lebih baik karena keputusan yang dibuat merupakan gabungan dari
informasi yang lebih lengkap. Karyawan yang terlibat secara langsung
dalam pengambilan keputusan akan lebih baik dalam menjalankan hasil
keputusan. Partisipasi dalam pengambilan keputusan juga dapat
meningkatkan moral para karyawan karena mereka mempersepsikan
bahwa melalui partisipasi berarti perusahaan memandang karyawan
sebagai rekan yang berharga dan berkompeten.
Partisipasi dalam pengambilan keputusan mempunyai bentuk yang
berbeda-beda seperti partisipasi dalam keputusan kerja, konsultasi,
partisipasi jangka pendek, partisipasi informal, kepemilikan, dan
perwakilan (Cotton at al., 2002 dalam Samson SamGananakkan, 2010).
Bentuk partisipasi dalam pengambilan keputusan yang berbeda dapat
menghasilkan outcome yang berbeda.
b. Komunikasi
Komunikasi merupakan proses kompleks yang melibatkan perilaku
dan memungkinkan individu untuk berhubungan dengan orang lain dan
dunia sekitarnya. Menurut Potter dan Perry (1993), komunikasi terjadi
pada tiga tingkatan yaitu intrapersonal, interpersonal dan publik. Makalah
ini difokuskan pada komunikasi interpersonal yang terapeutik. Komunikasi
125
interpersonal adalah interaksi yang terjadi antara sedikitnya dua orang
atau dalam kelompok kecil, terutama dalam keperawatan. Komunikasi
interpersonal yang sehat memungkinkan penyelesaian masalah, berbagai
ide, pengambilan keputusan, dan pertumbuhan personal. Menurut Potter
dan Perry (1993), Swansburg (1990), Szilagyi (1984), dan Tappen (1995)
ada tiga jenis komunikasi yaitu verbal, tertulisa dan non-verbal yang
dimanifestasikan secara terapeutik.
Kompetensi dalam berkomunikasi menjadi suatu hal yang penting
karena komunikasi yang efektif berhubungan dengan pengelolaan dalam
menyelesaikan konflik. Komunikasi efektif juga berperan dalam
tersosialisasinya isu pelayanan keperawatan dan isu organisasi.
Komunikasi memeiliki dua aspek penting yatiu sikap dalam berkomunikasi
dan alat untuk berkomunikai (Wise & Kowalski, 2006). Komunikasi data
secara verbal, tertulis, mapun lisan. Keterampilan komunikasi dapat
berupa mendengar aktif, mendorong saluran informasi, asertif,
memberikan umpam balik, upaya mencitpkan perantara apabila terdapat
masalsah dalam berkomunikais, membentukan jaringan, menyatakan
komunikasi sebagai vivi. Komunikasi yang efektif dapat dilakukan baik
lisan maupun tertulis. Komunikasi lisan diselenggarakan melalui proses :
operan, konferens, konsultasi, dan informal antar staf. Komunikasi tertulis
diselenggarakan melalui media yaitu papan tulis, buku laporan ruangan,
atau pesan-pesan khusus tertulis.
126
A. Kepercayaan dan Keterbukaan
1) Mendapat umpan balik positif apabila ada suatu kejadian yang
dilaporkan
Umpan balik dalam proses komunikasi adalah sebuah balasan
yang di kirimkan oleh komunikan kepada komunikator, setelah menerima
pesan dari sang komunikator. Umpan balik disini biasanya berbentuk
langsung setelah si komunikan menerima pesan. Namun menurut buku
Hafied Cangara umpan balik atau bisa dari unsur lain seperti pesan dan
media meski pesan belum sampai pada penerima. Umpan balik dari lima
unsur tersebut adalah elemen paling penting untuk mengetahui berhasil
atau gagalnya komunikasi tersebut. Maka sebagai komunikator, kita akan
dapat langsung mengetahui apakah tujuan dari pesan kita tersampaikan
atau tidak.
Dalam Ilmu Komunikasi dikenal beberapa jenis umpan balik. Ada di
antaranya yang merupakan analogi pada konteks komunikasi yang lain
atau merupakan sifatnya. Jenis-jenis umpan balik tersebut adalah :
1. Umpan balik Positif – umpan balik Negatif
umpan balik positif adalah isyarat / gejala yang ditunjukkan oleh
komunikan yang menandakan bahwa ia / mereka memahami, membantu
dan mau bekerja sama dengan komunikator untuk mencapai sasaran
komunikasi tertentu, dan tidak menunjukkan perlawanan / pertentangan.
umpan balik negatif adalah isyarat / gejala yang ditunjukkan oleh
komunikan yang menandakan bahwa ia / mereka memiliki sikap serta
perilaku yang dapat berkisar dari mulai tidak setuju hingga tidak menyukai
127
pesan, cara penyampaian, atau bahkan diri sang komunikator. Segalanya
sesuatu yang merupakan lawan dari feedback positif adalah feedback
negatif.
2. umpan balik Netral – umpan balik Zero
umpan balik Netral adalah jenis feedback yang sulit untuk dinilai
sebagai isyarat / gejala yang menunjukkan respon positif atau negatif.
Dengan kata lain feedback netral adalah feedback yang tidak jelas
wujudnya; apakah itu positif atau negatif. umpan balik k Zero adalah
feedback yang sulit dimengerti oleh komunikator. Komunikator tidak tahu
harus menafsirkan isyarat / gejala yang muncul dari komunikan.
3. umpan balik Internal – umpan balik Eksternal
umpan balik Internal adalah yang menunjukkan sumber dari isyarat
/ gejala yang menjadi feedback. Bila itu muncul dari dalam diri
komunikator, maka itu disebut feedback internal. Maksudnya, misalnya
ketika komunikator telah mengatakan sesuatu, tapi kemudian ia ingat
sesuatu dan meralat apa yang telah ia katakan, maka yang kita lihat itu
dapat kita katakan sebagai hal yang terjadi karena ada feedback internal
pada diri komunikator.
4. umpan balik Verbal – umpan balik Non-Verbal
umpan balik Verbal menunjuk pada bentuk atau wujud dari apa
yang disampaikan komunikan sebagai reaksinya pada suatu perilaku
komunikasi tertentu yang sedang berlangsung. umpan balik Non-Verbal
adalah yang wujudnya bukan berupa lisan atau tulisan, seperti ekspresi
128
wajah, gerak-gerik, cara duduk, cara berdiri, cara menatap, bentuk
senyuman, isyarat tangan, dan sebagainya.
Berdasarkan hasil wawancara dengan informan tentang mendapat
umpan balik positif yaitu mereka tidak pernah mendapat umpan balik yang
positif apabila ada suatu kejadian yang dilaporkan tidak pernah
ditindaklanjuti.
Umpan balik terkait dengan keselamatan kepada pihak
manajemen di rasakan masih kurang bahkan oleh tenaga pelaksana di
rasakan tidak ada. Padahal dalam penerapan sistem manajemen yang
berdasarkan model Competency-Based Human Asset, kompetensi
seseorang dinilai dari sudut hard skill (pengetahuan dan keahlian) dan
soft skill (perilaku,motivasi, talenta). Seorang perawat harus selalu
memperbaharui/update pengetahuan dan ketrampilannya, kemampuan
teknis, berpikir kritis dan ketrampilan hubungan interpersonal, dalam
lapangan yang selalu berubah. Kompetensi juga mengembangkan
budaya kerja yang positif, karena keyakinan akan kompetensi rekan kerja
akan meningkatkan kerja tim/teamwork.
Berbeda dengan hasil penelitian Aris (2013) Pada dimensi timbal
balik kesalaahan di RS PKU Bantul asuk Muhammdiyah dalama
interpretasi baik. Hal ini menunjukan bahwa apabila terjadi suatu
kesalahan medis maka akan diberikan respon yang baik terhadap laporan
tersebut. Kesalahan akan segera dicari jalan keluarnya. Setelah kejadian
selesai maka akan dievaluasi terhadap kasus yang terjadi dan akan dicari
cara pencegahan agar kesalahan tersebut tidak terulang kembali.
129
2) Wajib memperingatkan apabila melihat segala sesuatu yang
dapat mengancam keselamatan pasien
Insiden keselamatan pasien tidak terjadi hanya karena satu atau
dua penyebab melainkan banyak penyebab yang bisa berkontribusi, mulai
dari sistem yang menggerakkan pelayanan kesehatan, sarana &
prasarana sampai dengan kinerja perseorangan yang bersentuhan
langsung dengan pasien, yang kesemuanya berkolaborasi sehingga
insiden tidak dapat dicegah. Demikian pula pada pengendaliannya,
suatu variabel yang berisiko menyebabkan insiden keselamatan pasien
harus dikendalikan secara menyeluruh meliputi sistem dan lingkungan
yang melingkupinya.
Keselamatan Pasien (Patient Safety) merupakan sesuatu yang jauh
lebih penting dari pada sekedar efisiensi pelayanan. Perilaku perawat
dengan kemampuan perawat sangat berperan penting dalam pelaksanaan
keselamatan pasien. Perilaku yang tidak aman, lupa, kurangnya
perhatian/motivasi, kecerobohan, tidak teliti dan kemampuan yang tidak
memperdulikan dan menjaga keselamatan pasien berisiko untuk
terjadinya kesalahan dan akan mengakibatkan cedera pada pasien,
berupa Near Miss (Kejadian Nyaris Cedera/KNC) atau Adverse Event
(Kejadian Tidak Diharapkan/KTD) selanjutnya pengurangan kesalahan
dapat dicapai dengan memodifikasi perilaku. Perawat harus melibatkan
kognitif, afektif dan tindakan yang mengutamakan keselamatan pasien.
Salah satu sasaran keselamatan pasien adalah tercapainya
pengurngan resiko infeksi terkait pelayanan kesehatan. Infeksi adalah
130
inivsai tubuh oleh pathogen atau mikroorganisme yang mampu
menyebabkan sakit. Rumah sakit merupakan salah satu tempat yang
paling mungkin rentan mendapat infeksi karena mengandung populasi
mikroorganisme yang sangat tinggi dengan jenis virus yang mungkin
resisten terhadap antibiotik (Potter & Perry, 2005). Infeksi umumnya
dijumpai dalam semua bentuk pelayanan kesehatan termasuk infeksi
saluran kemih terkait kateter, infeksi aliran darah (blood stream infections)
dan pneumonia (sering kali dihubungkan dengan ventilasi mekanis).
Berdasarkan hasil wawancara dengan informan tentang wajib
memperingatkan apabila melihat segala sesuatu yang dapat mengancam
keselamatan pasien yaitu bahwa maka wajib diberikan peringatan agar
lebih berhati-hati.
Perawat dalam memberikan asuhan keperawatan kepada pasien
harus menerapkan keselamatan pasien. Perawat harus melibatkan
kognitif, afektif, dan tindakan yang mengutamakan keselamatan pasien.
Perawat dalam memberikan asuhan keperawatan harus penuh dengan
kepedulian. Persepsi perawat untuk menjaga keselamatan pasien sangat
berperan penting dalam pencegahan, pengendalian, dan peningkatan
keselamatan pasien (Choo dkk, 2011). Dalam pelaksanaan program
patient safety di rumah sakit berkareditasi, kejadian pasien jatuh
merupakan salah satu indikator berjalan tidaknya program ini.
Menurut Potter & Perry (2009) beberapa intervensi yang dapat
dilakukan perawat untuk mencegah terjadinya jatuh pada pasien antara
lain; Mengorientasikan pasien pada saat masuk rumah sakit dan
131
menjelaskan sistem komunikasi yang ada, bersikap hati-hati saat mengkaji
pasien dengan keterbatasan gerak, melakukan supervise ketat pada awal
pasien dirawat terutama malam hari, memberikan alas kaki yang tidak
licin, memberikan pencahayaan yang adekuat, memasang pengaman
tempat tidur terutama pada pasien dengan penutunan kesadaran dan
gangguan mobilitas, dan menjaga lantai kamar mandi agar tidak licin.
B. Proses dan Informasi
1) Kebebasan menyatakan pendapat dan memberi usulan kebijakan
yang sesuai untuk diterapkan
Berdasarkan hasil wawancara tentang kebebasan menyatakan
pendapat dan memberi usulan kebijakan yang sesuai untuk diterapkan
dapat disimpulkan bahwa mereka sangat terbatas untuk menyatakan
pendapat dan memberi usulan kebijakan yang sesuai untuk diterapkan,
hanya untuk orang- orang pihak atas yang mengatur. Sebagian besar staf
akan tidak bebas berbicara jika mereka memberi usulan ataupun
pendapat yang akan berdampak positif kepada rumah sakit dan merasa
tidak bebas bertanya terhadap keputusan atau tindakan dari mereka
yang mempunyai otoritas lebih tinggi.
Hal ini merupakan hal yang menunjukkan bahwa ketidak terbukaan
dan ketidakkeadilan yang menjadi dasar dalam budaya keselamatan
pasien sudah tidak terbentuk. Namun masih di dapatkan informasi bahwa
masih ada staf yang merasa sungkan untuk berbicara sehingga perlu di
dorong dan di beri motivasi agar mau bebas berbicara. Manager dan
pimpinan tim keselamatan pasien perlu untuk melakukan pendekatan
132
sistem, bertindak tidak dengan menyalahkan seseorang yang disebabkan
ketidakmampuannya atau kurang motivasi, namun berfokus pada aspek
desain sistem yang buruk sebagai penyebab masalah.
2) Informasi perawatan pasien yang penting selalu tersedia saat
pergantian shift
Pengembangan dan peminatan terhadap handover di klinis telah
berkembang selama beberapa tahun terakhir ini, baik secara nasional
maupun internasional, terutama setelah World Health Organization
meluncurkan The Nine Patient Safety Solutions pada Mei 2007. Salah
satu solusi ini berhubungan dengan "komunikasi selama penyerahan
pasien" (Australian Healtcare and Hospitals Association, 2009).
Transfer informasi dan tanggung jawab penting untuk perawatan
pasien dari satu ke penyedia layanan kesehatan lain dan merupakan
komponen integral dari komunikasi dalam perawatan kesehatan. Titik kritis
perpindahan ini dikenal sebagai handover atau handoff atau serah terima
pasien. Serah terima pasien yang efektif mendukung informasi penting
dan kontinuitas perawatan dan pengobatan. Handover ini bertujuan untuk
menyampaikan informasi dari setiap pergantian shift serta memastikan
efektifitas dan keamanan dalam perawatan pasien (McCLoughen, et al
2008 dalam Scovell, 2010). Tujuan penelitian ini adalah untuk menggali
peran handover dalam meningkatkan keselamatan pasien di rumah sakit.
Berdasarkan hasil wawancara, hasil observasi dan telaah dokumen
dengan informan tentang informasi perawatan pasien yang penting selalu
tersedia saat pergantian shif yaitu dapat disimpulkan bahwa informasi
133
tersebut selalu tersedia untuk mengingatkan para staf yang sedang atau
akan bertugas untuk pergantian shift.
C. Arti Penting Keselamatan Pasien
1) Setiap masalah pasien yang terjadi dirumah sakit selalu
didiskusikan bersama dan dicarai jalan keluarnya
Melalui diskusi, kita dilatih untuk berpikir kritis dan kreatif, berpikir secara
logis dan sistematis serta menyampaikan gagasan kepada orang lain dengan
menggunakan bahasa yang baik dan benar secara lisan. Dengan berdiskusi kita
dapat berlatih menggunakan pengetahuan dan gagasan-gagasan kita untuk
menyampaikan pendapat, mempertahankan pandangan-pandangan,
mengatakan setuju atau menolak pandangan orang lain dengan cara-cara yang
baik. Melalui diskusi pula kita dilatih untuk menghargai orang lain walaupun kita
berbeda pendapat atau pandangan. Selain itu, dalam diskusi juga bisa berlatih
memperkenalkan diri dan dengan diskusi bisa mencari jalan keluar.
Berdasarkan hasil wawancara tentang setiap masalah pasien yang
terjadi dirumah sakit selalu didiskusikan bersama dan dicarai jalan
keluarnya yaitu dapat disimpulkan bahwa mereka selalu
mendiskusikannya bersama dan dicari jalan keluar dengan pihak
manajemen agar tidak terjadi lagi masalah yang sama dikemudian hari.
2) Diunit ini mendiskusikan bagaimana cara mencegah terjadinya
kesalahan atau Kejadian Tidak Dinginkan
Keselamatan pasien (patient safety) rumah sakit merupakan
suatusistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman.
Sistem tersebut terdiri dari: assesmen resiko, identifikasi dan pengelolaan
hal yang berhubungan dengan resiko pasien, pelaporan dan analisis
134
insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta
implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya resiko. Sistem
tersebut diharapkan dapat mencegah terjadinya cedera yang disebabkan
oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak
melakukan tindakan yang seharusnya dilakukan.
Berdasarkan hasil wawancara tentang mendiskusikan bagaimana
cara mencegah terjadinya kesalahan atau Kejadian Tidak Dinginkan yaitu
dapat disimpulkan bahwa untuk instalasi memang selalu berdiskusi cara
mencegah terjadinya kesalahan atau Kejadian Tidak Dinginkan untuk
mengurangi insiden kecelakaan pada pasien.
Mencegah cedera melalui implementasi sistem keselamatan pasien
dengan menggunakan informasi yang ada tentang kejadian/masalah
untuk melakukan perubahan pada sistem pelayanan yang didiskusikan
bersama
D. Perhatian dan pengenalan pentingnya keselamatan
1) Staf diberi kesempatan untuk bertanya apabila ada sesuatu yang
berjalan tidak semestinya
Berdasarkan hasil wawancara tentang pemberian kesempatan
kepada staf untuk bertanya apabila ada sesuatu yang berjalan tidak
semestinya yaitu dapat disimpulkan bahwa staf selalu diberikan
kesempatan untuk bertanya dan tidak ada pembatasan untuk bertanya.
Penyebab positif dan signifikannya pengaruh komunikasi
diakibatkan karena pimpinan selalu memberikan kesempatan kepada
karyawan untuk bertanya tentang permasalahan kerja yang memang
135
dianggap benar-benar penting sehingga berdampak pada tingginya
kepuasan kerja karyawan dalam menyelesaikan pekerjaan tersebut.
Kondisi tersebut didukung dengan pimpinan senantiasa memberikan
bimbingan kepada karyawan dalam menyelesaikan pekerjaannya dengan
standar yang telah di tetapkan.
2) Tidak pernah terjadi masalah sewaktu operan antar unit
Operan merupakan komunikasi antar perawat yang berisi tentang
laporan kegiatan dan rencana kegiatan yang dilakukan kepada pasien
selama sif. Komunikasi harus efektif dan akurat agar tugas-tugas yang
akan di lanjutkan oleh perawat selanjutnya berjalan dengan baik (Kerr,
2002, Lardner, 1996 dalam Sugiharto, 2012)
Berdasarkan hasil wawancara tentang masalah yang pernah terjadi
sewaktu operan antar unit yaitu dapat disimpulkan bahwa pernah ada
masalah tetapi hanya masalah kecil dan tidak pernah dibesar-besarkan
serta hanya diselesaikan diunit tersebut dan juga tidak mempengaruhi
kinerja karyawan.
Pelaksanaan serah terima pasien dilakukan berawal dari kantor
perawat kemudian dilanjutkan ke ruangan pasien dengan seluruh staf
keperawatan (Wallis, 2010). Pelaksanaan serah terima pasien juga
dilakukan pada saat pertukaran shiftyaitu shift pagi, siang, dan malam,
informasi yang diberikan mencakup nama pasien, usia, diagnosa serta
asuhan keperawatan dengan menggunakan model ISOBAR (Identification
of patient, Situation and status, Observations, Background and history,
136
assessment and action, Responsibility and risk Management) (ACSQHC,
2009).
c. Kerja Tim
Tim adalah unsur kehidupan oraganisasi karena suatu pekerjaan
melibatkan orang-orang dengan berbagai macam keahlian untuk
berkerjasama untuk satu tujuan. Kejadian tim adalah proses dinamis yang
melibatkan dua atau lebih orang dalam suatu aktivitas untuk
menyelesaikan suatu tujuan. Hampir semua pekerjaan rumah sakit
dilakukan oleh berbagai disipilin ilmu contohnya ; tim ruang pembedahan,
shift antar pekerja, dan unit medis dan perawatan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses Tim
• Tujuan bersama- pengertian bersama tentang tujuan dan
betapa pentingnya komitmen semua anggota dalam
mencapai
• Komunikasi – saluran amna yang dipilih dan bagaimana grup
terhubung.
• Manajemen konflik- bagaimana konflik dan perbedaan
pendapat diatasi. Apakah konflik tersebut mendukung
atau/tidak.
• Pembuat keputusan –bagaimana dan oleh siapa
• Evalusi performa – bagaimana anggota dihargai, secara
formal atau informal
• Divisi pekerja – bagaimana pekerjaan ditugaskan
• Kepemimpinan- bagaimana pemimpin dipilih dan apa
137
fungsinya
• Monitor proses – bagaimana tugas diproses dan diperiksa
• Bagaimana umpan baliknya
Dirumah sakit, definisi dari tim dan kerja tim tergantung bagaimana
profesi yang berbeda-beda mengatur pekerjaannya. Makary et al (2006)
melaporkan bahwa dokter melakukan kerja tim dengan baik jika suster
juga mengantisipasi kebutuhan dokter dan dapat mengikuti instruksi
dengan baik.
A. Komitmen Pada Tujuan
1) Mendukung rumah sakit ini dalam meningkatkan program
keselamatan pasien yang lebih baik
Rumah sakit sebagai pemberi layanan kesehatan harus
memperhatikan dan menjamin keselamatan pasien. Rumah sakit
merupakan organisasi yang berisiko tinggi terhadap terjadinya Inciden
keselamatan pasien yang diakibatkan oleh kesalahan manusia. Kesalahan
terhadap keselamatan paling sering disebabkan oleh kesalahan manusia
terkait dengan risiko dalam hal keselamatan, dan hal ini disebabkan oleh
kegagalan sistem di mana individu tersebut bekerja (Reason, 2009).
Keselamatan pasien di rumah sakit melibatkan partisipasi dari
semua petugas kesehatan, terutama perawat. Perawat sebagai salah satu
tenaga kesehatan yang mempunyai jumlah cukup dominan di rumah sakit
yaitu sebesar 50 sampai 60% dari jumlah tenaga kesehatan yang ada.
Pelayanan asuhan keperawatan yang diberikan kepada pasien
merupakan pelayanan yang terintegrasi dari pelayanan kesehatan yang
lainnya dan memiliki peran yang cukup penting bagi terwujudnya
138
kesehatan dan keselamatan pasien.
Keselamatan pasien adalah usaha suatu tim, tim yang paling
efektif mempunyai tujuan yang sama dalam bekerja, dan adanya kerja tim
yang tidak efektif menciptakan berbagai peluang untuk terjadinya
kesalahan/errors (Merry & Brown, 2002; White, 2004). Pronovost (2003)
dalam Rachmawati (2012) menyatakan bahwa kesenjangan komunikasi di
antara anggota tim adalah dasar dari kebanyakan kesalahan medis yang
terjadi.
Berdasarkan hasil wawancara dengan informan tentang dukungan
untuk rumah sakit ini dalam meningkatkan program keselamatan pasien
yang lebih baik yaitu bahwa mereka sangat mendukung rumah sakit
dalam meningkatkan program keselamatan pasien yang lebih baik karena
penerapan dirumah sakit belum maksimal. Peningkatan keselamatan
pasien (patient safety) dapat dilakukan dengan melakukan pelatihan
kepada para perawat. Hal ini sesuai dengan penelitian terdahulu yang
menyatakan bahwa terdapat peningkatan yang bermakna dari
pelaksanaan timbang terima dan penerapan keselamatan pasien sebelum
dan sesudah diberikan pelatihan timbang terima. Pada penelitian ini juga
diketahui bahwa sebuah komitmen penting untuk meningkatkan
pelaksanaan timbang terima dan penerapan keselamatan pasien melalui
kebijakan dalam bentuk standar dan prosedur timbang terima,
pengarahan dan evaluasi pelaksanaan timbang terima, untuk
kesinambungan asuhan keperawatan yang berdampak pada peningkatan
keselamatan pasien (Dewi, 2011).
139
Membangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien merupakan
suatu cara bagaimana menciptakan kepemimpinan dan budaya terbuka
dan adil yang artinya rumah sakit mempunyai kebijakan apa yang mesti
dilakukan staf segera setelah insiden, bagaimana langkahlangkah
pengumpulan fakta dan dukungan apa yang diberikan kepada staf,
budaya pelaporan dan belajar dari insiden serta melakukan penilaian
keselamatan pasien (Depkes, 2006).
Pelayanan kesehatan yang bermutu yaitu pelayanan kesehatan
yang dapat memuaskan setiap pemakai jasa pelayanan sesuai dengan
kode etik dan standar pelayanan yang telah ditetapkan. Pelayanan
perawatan yang sesuai dengan standar memiliki dampak yang lebih besar
terhadap citra pelayanan rumah sakit.
Strategi meningkatkan keselamatan pasien oleh Permenkes (2011)
melalui enam sasaran keselamatan pasien rumah sakit meliputi identifikasi
pasien dengan tepat, meningkatkan komunikasi yang efektif,
meningkatkan keamanan obat perlu diwaspadai, memastikan tepat lokasi,
tepat prosedur, tepat pasien operasi, mengurangi risiko infeksi terkait
pelayanan kesehatan dan mengurangi risiko jatuh. Joint Commision
International (JCI) menetapkan sasaran internasional keselamatan pasien
dengan meningkatkan keamanan obat-obatan, memastikan lokasi
pembedahan, prosedur yang benar dan pembedahan pada pasien yang
benar, memastikan keamanan risiko jatuh pasien (JCI, 2011).
Strategi untuk mengurangi kesalahan dan meningkatkan
keselamatan pasien telah dilakukan banyak dikemukakan peneliti.
140
Strategi membangun sistem pelaporan non hukuman. Perawat pada
posisi yang unik untuk mengembangkan alat,proses, dan praktik yang
berusaha untuk mengurangi dan menghilangkan semua jenis kesalahan
keselamatan pasien yaitu dengan mengembangkan Risiko berbasis
kesalahan, Risiko berbasis kesalahan peraturan, mengembangkan
kemampuan untuk mengenali adanya risikotinggi dan perilaku berbasi
pengetahuan (Mattox,2012).
2) Koordinasi dengan kepala ruangan terhadap kegiatan yang terkait
dengan peningktan program keselamatan pasien
Kerjasama dalam tim adalah salah satu pilar mutu selain scientific
approach dan continuous quality improvement dalam memberikan
pelayanan yang bersdifat customer focus, termasuk dalam upaya
meningkatkan keselamatan pasien. Pekerjaan yang besar dan berat dapat
diselesaikan dengan baik bila ada kerjasama dalam tim (Roobins, 1996).
Hasil penelitian ini selaras dengan laporan AHRQ, tentang Hospital
Survey on Patient Safety Culture tahun 2009 Comparative Databased
Report bahwa team work pada tingkat unit di rumah sakit yang diteliti
sebagai salah satu area kekuatan dalam patient safety culture. Kejadian
yang berhubungan dengan keselamatan pasien merupakan proses
belajar untuk lebih menjadi baik. Perawat merupakan bagian dari
budayakeselamatan pasien mampu belajar dari laporan kejadian
keselamatan pasien baik itu kejadian tidak diinginkan dan kejadian nyaris
cidera (Jeffs, Law & Baker, 2007).
Berdasarkan hasil wawancara dengan informan tentang koordinasi
dengan kepala ruangan terhadap kegiatan yang terkait dengan peningktan
141
program keselamatan pasien yaitu bahwa mereka selalu berkoordinasi
dengan kepala ruangan apabila terkait dengan peningktan program
keselamatan pasien.
Hasil penelitian Apriningsih (2013) Dalam team work di unit RS
menunjukkan sejauh mana anggota suatu divisi kompak dan bekerja
sama dalam tim. Juga adanya keterbukaan yang menunjukkan sejauh
mana keterbukaan antar-anggota dan pimpinan. Ada pula umpan balik
dan komunikasi tentang kesalahan yang menunjukkan sejauh mana
umpan balik diberikan para pimpinan. Kemudian, respon non-punitif
terhadap kesalahan: menunjukkan sejauh mana pengakuan akan
kesalahan tidak ditanggapi dengan hukuman.
Kerjasama tim yang dilakukan oleh pemimpin dengan bawahan
merupakan suatu kelompok kecil orang dengan keterampilan yang saling
melengkapi yang berkomitmen pada tujuan bersama, sasaran-sasaran
kinerja dan pendekatan yang mereka jadikan tanggung jawab bersama
(Katzenbach & Douglas, dalam Cahyono, (2008). Pemimpin disini
diartikan sebagai atasan langsung dari perawat pelaksana, dengan kata
lain adalah kepala ruangan/supervisor. Menurut Yahya (2007) dalam
Konveksi Nasional Mutu Rumah Sakit dalam membangun budaya
keselamatan pasien ada dua model kepemmpinan sekaligus yang
dibutuhkan, yakni kepemimpinan transaksional dan kepemimpinan
transaksional.
Kerjasama merupakan bentuk attitude dari perawat dalam bekerja
di dalam tim karena membuat individu saling mengingatkan, mengoreksi,
142
berkomunikasi sehingga peluang terjadinya kesalahan dapat dihindari.
Hasil penelitian ini sejalan dengan kenyataan dilapangan bahwa dalam
melakukan asuhan keperawatan kepada pasien, perawat melakukannya
hanya kepada pasien yang menjadi tanggungjawabnya dari pada bekerja
dalam tim. Setiap perawat memiliki tanggung jawab dan tugasnya
tersendiri terhadap pasien sehingga perawat lain tidak saling mengetahui
terhadap pekerjaan rekannya.
Kepala ruang harus melakukan kegiatan pengarahan dalam
berkoordinasi dengan perawat melalui : saling memberi motivasi,
membantu pemecahan masalah, melakukan pendelegasian,
menggunakan komunikasi yang efektif, melakukan kolaborasi dan
koordinasi. Kegiatan saling memberi motivasi merupakan unsur yang
penting dalam pelaksanaan tugas pelayanan dan asuhan keperawatan di
ruangan. Hal-hal yang perlu dilakukan oleh kepala ruang adalah selalu
memberikan reinforcement terhadap hal-hal yang positif, memberikan
umpan balik, memanggil perawat yang kurang termotivasi, mungkin
prestasi yang dicapai perlu diberikan penghargaan.
a. Komunikasi ide dan gagasan
1) Direktur dan wadir pelayanan selalu ikut berkoordinasi terhadap
kegiatan yang terkait dengan peningktan program keselamatan
pasien
Mintzberg (1983) memperkenalkan mekanisme koordinasi yang
dapat membantu organisasi untuk meningkatkan proses koordinasi yang
efektif dan menyelesaikan permasalahan yang ditemui. Suatu organisasi
143
harus mengetahui mekanisme koordinasi yang paling tepat dan
dibutuhkan untuk mencapai tujuan secara efisien dan efektif.
Berdasarkan hasil wawancara dengan informan tentang kebebasan
menyatakan mendukung rumah sakit ini dalam meningkatkan program
keselamatan pasien yang lebih baik yaitu dapat disimpulkan bahwa
mereka sangat mendukung rumah sakit dalam meningkatkan program
keselamatan pasien yang lebih baik karena penerapan dirumah sakit
belum maksimal.
2) Kenyaman dan tidak kesusahan saat pembagian tugas dengan
rekan kerja
Depkes (2008) mengungkapkan bahwa faktor yang berkontribusi
terhadap terjadinya insiden keselamatan pasien adalah: faktor
eksternal/luar rumah sakit, faktor organisasi dan manajemen, faktor
lingkungan kerja, faktor tim, faktor petugas & kinerja, faktor tugas, faktor
pasien, dan faktor komunikasi. Sebagaimana dinyatakan Flippo, kondisi
kerja yang nyaman aman dan menarik merupakan keinginan karyawan
untuk dipenuhi perusahaan.
Didalam lingkungan kerja, perawat dan tim kesehatan membentuk
interaksi sosial dan terapeutik untuk membangun kepercayaan dan
memperkuat hubungan. Semua orang memiliki kebutuhan interpribadi
akan penerimaan, keterlibatan, identitas, privasi, kekuatan dan control
serta perhatian (Stewart & Logan, 2005). Perawat membutuhkan
persahabatan dukungan, bimbingan dan dorongan dari pihak lain untuk
mengatasi tekanan akibat stres pekerjaan dan harus dapat menerapkan
komunikasi yang baik dengan klien, sejawat dan rekan kerja.
144
Upaya selanjutnya dalam memaksimalkan kemampuan potensi
sumber daya manusia pada suatu organisasi, yaitu dengan memberikan
tempat bagi pegawai pada posisi yang sesuai kemampuannya dengan
cara melakukan pembagian kerja sesuai porsi pada unit kerjanya. Dalam
pembagian kerja tersebut tersebut kegiatan dibagi-bagi sesuai porsi kerja
pada unit organisasi. Pembagian kerja dimaksud, yaitu upaya
memudahkan seseorang dalam melaksanakan tugas dan pekerjaannya
yang memungkinkan orang itu dapat mempelajari dan memiliki
keterampilan kerja yang memadai, sehingga mampu bekerja dan
berpengalaman dalam pekerjaannya untuk mendukung tugas, fungsi dan
tanggungjawab yang diberikan pimpinan kepadanya.
Pembagian kerja merupakan salah satu faktor yang paling penting
karena adanya pembagian kerja akan dapat memberikan kejelasan bagi
para karyawan untuk dapat melaksanakan tugasnya dengan baik sesuai
dengan beban kerja yang menjadi tanggung jawab serta mencegah
kemungkinan terjadinya tumpang tindih pekerjaan, pemborosan dan saling
melempar tanggung jawab bilamana terjadi kesalahan dan kesulitan.
Namun pembagian kerja harus diikuti dengan penempatan karyawan
pada tempat yang tepat (The right man on the right place). Selain
penempatan karyawan pada tempat yang tepat juga perlu diperhatikan
tentang penyesuaian beban kerja. Pembagian kerja harus disesuaikan
dengan kemampuan seseorang karyawan, karena mungkin saja seorang
karyawan sanggup diberi tugas yang banyak, namun apakah ia mampu
untuk menyelesaikanya. Pembagian kerja dilakukan dengan asumsi
145
bahwa semakin kecil tugas yang dibebankan maka akan semakin cepat
penyelesaiannya dari waktu, semakin ringan dari segi tenaga yang
digunakan, semakin mudah didalam penggunaan pikiran, semakin hemat
biaya yang digunakan.
Menurut Hasibuan (2007) bahwa pembagian kerja itu berkaitan
dengan informasi tertulis yang menguraikan tugas dan tanggung jawab,
kondisi pekerjaan, hubungan pekerjaan, dan aspek-aspek pekerjaan
pada suatu jabatan tertentu dalam organisasi”. Pembagian kerja yang
diuraikan dengan jelas dan terperinci sangat membantu pegawai dalam
pelaksanaan tugas untuk menjalankan tugas dan fungsinya, sehingga
keahlian dalam pengalaman dan tanggungjawab yang dimiliki pegawai
secara perlahan akan tumbuh dan meningkat menuju perbaikan kinerja
secara menyeluruh.
Kinerja pegawai dimaksud merupakan penyelesaian pekerjaan
yang berkualitas, tepat waktu disertai dengan kualitas dan kuantitas serta
mutu yang dihasilkan sesuai dengan target yang telah ditentukan. Kinerja
pegawai menurut Jamari dalam Rivai (2009), dikatakan: “sebagai
perwujudan wewenang, tugas dan tanggungjawab yang dibebankan
kepadanya untuk mencapai tujuan yang telah digariskan oleh organisasi”.
Pelayanan keperawatan yang berkualitas dapat dipengaruhi oleh
jumlah tenaga perawat dan adanya kepuasan perawat yang ada dalam
suatu rumah sakit. Kepuasan perawat dapat dipengaruhi oleh kebijakan
manajemen. Kinerja perawat yang baik dapat mencerminkan tingkat
kepuasan kerja (Nursalam, 2007). Kepuasan kerja juga merupakan suatu
146
bentuk interaksi manusia dengan lingkungan pekerjaannya. Kepuasan
kerja yang tinggi merupakan tanda bahwa organisasi telah melakukan
manajemen perilaku yang efektif . Faktor lingkungan kerja juga merupakan
salah satu faktor lain yang mampu mempengaruhi kepuasan kerja
karyawan. Lingkungan kerja yang baik dalam arti sempit adalah tempat /
lokasi kerja aman, nyaman, bersih dan tenang, peralatan yang baik,
teman sejawat akrab, pimpinan yang pengertian akan memberikan
kepuasan karyawan.
Setiap organisasi memiliki serangkaian tugas atau kegiatan yang
harus diselesaikan untuk mencapai tujuan. Kegiatan perlu dikumpulkan
sesuai dengan spesifikasi tertentu. Pengelompokan kegiatan dilakukan
untuk memudahkan pembagian tugas pada perawat sesuai dengan
pengetahuan dan ketrampilan yang mereka miliki serta disesuaikan
dengan kebutuhan klien. Ini yang disebut dengan metoda penugasan
keperawatan. Metoda penugasan tersebut antara lain: metode fungsional,
metode alokasi klien/keperawatan total, metode tim keperawatan, metode
keperawatan primer, dan metode moduler (Swansburg, 1999).
Berdasarkan hasil wawancara dengan informan tentang kenyaman
dan tidak kesusahan saat pembagian tugas dengan rekan kerja yaitu
semua informan menyatakan bahwa mereka sangat nyaman dan tidak
pernah merasa kesusahan saat pembagian tugas dengan rekan kerja
karena mereka merasa hal tersebut sudah adil.
Hasil penelitian Herni (2014) menunjukkan bahwa besarnya
pengaruh Pembagian Kerja menunjukkan besaran nilai signifikan Kinerja
147
Pegawai secara optimal artinya pengaruh Pembagian Kerja terhadap
Kinerja Pegawai menunjukkan pengaruh positif. Nilai tersebut
menunjukkan bahwa Pembagian Kerja yang dilakukan oleh pimpinan
terhadap bawahan telah dijalankan secara penuh. Pimpinan telah
melakukan Pembagian Kerja secara konsisten dan terprogram sedemikian
rupa, sehingga Kinerja Pegawai meningkat, hal ini diketahui dari evaluasi
yang dilakukan secara rutin. Melihat kenyataan di lapangan pelaksanaan
Pembagian Kerja ini telah dilakukan dengan penuh kesungguhan dengan
tujuan untuk meningkatkan Kinerja Pegawai secara menyeluruh.
b. Efektivitas Interpersonal
1) Anda dan rekan kerja anda mampu berkordinasi dengan baik
untuk mewujudkan pelayanan pasien yang sesuai dengan
prosedur keselamatan pasien
Rumah sakit merupakan sarana pelayanan kesehatan yang padat
karya, padat modal, padat teknologi serta mempunyai peranan
melaksanakan kesehatan paripurna dengan mengutamakan upaya
penyembuhan dan pemulihan yang dilaksanakan secara serasi dan
terpadi dengan upaya peningkatan dan pencegahan serta melaksanakan
rujukan dan menyelenggarakan pendidikan dan penelitian. Adtiama (2009)
menyatakan bahwa dalam menyelenggarakan tugasnya rumah sakit
mempunyai fungsi pelayanan medik, pelayanan penunjang medik,
pelayanan perawatan pelayanan rehabilitasi dan pencegahan serta
peningkatan kesehatan.
148
Sehubungan dengan pelayanan di rumah sakit, sistem yang
bagian-bagiannya adalah unit yang ada harus berfungsi dengan baik.
Fungsi ini memungkinkan adanya kesatuan, keterpaduan antar unit, antar
pejabat serta keharmonisan antar organisasi. Agar Rumah sakit dapat
mencapai tujuannya, maka fungsi koordinasi memegang peranan penting
dalam prosesnya, sehingga mampu menciptakan kualitas pelayanan yang
optimal bagi para pasien.
Berdasarkan hasil wawancara dengan informan tentang kemampu
berkordinasi dengan baik untuk mewujudkan pelayanan pasien yang
sesuai dengan prosedur keselamatan pasien yaitu dapat disimpulkan
bahwa mereka sangat mampu berkoordinasi dengan baik dengan saling
membantu rekan kerja karena hal tersebut sudah menjadi kewajiban
mereka untuk mewujudkan pelayanan pasien yang sesuai dengan
prosedur keselamatan pasien.
Willian dalam Aditama (2008) menyampaikan bahwa hal yang perlu
dinilai pada karyawan rumah sakit meliputi pengetahuan tentang
pekerjaan, produktivitas, kemampuan menyelesaikan tugas, perilaku
dalam pekerjaan, kemampuan mengambil keputusan dan hubungan
kerjasama dengan orang lain. Dengan demikian, koordinasi antar unit dan
antar profesi bentuk interaksi dan hubungan kerjasama antara satu unit
dengan unit yang ada pada organisasi menjadi penting. Kinerja layanan
kesehatan sebagai ukuran hasil kerja pegawai dalam memberikan
pelayanan kesehatan, dan kepuasan merupakan salah satu tujuan dari
pemberian pelayanan kesehatan.
149
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian ini mengenai penerapan keselamatan
pasien di RSUD Inche Abdoel Moeis Samarinda Tahun 2017, peneliti
merumuskan kesimpulan sebagai berikut:
1. Penerapan keselamatan pasien di RSUD Inche Abdoel Moeis
Samarinda Tahun 2017 dilihat dari gaya kepemimpinan yaitu
pengarahan, direktur dan wakil direktur pelayanan telah
mendelegasikan wewenang dengan sangat baik sehingga mampu
diterima oleh bawahannya tetapi ada kendala dalam pelaksanaan
pelaporan insiden keselamatan pasien pasien belum dilakukan
secara maksimal yang disebabkan adanya gap pelaporan dengan
pihak manajemen, sehingga dukungan manajemen yang kurang
optimal dengan tidak segera memberikan feedback atas laporan
insiden keselamatan pasien yang menjadi alasan yang sangat kuat.
Pemberian penghargaan bagi karyawana yang memiliki kinerja
yang baik tidak pernah dilakukan, dimana penghargaan merupakan
salah satu kebutuhan pokok bagi karyawan, selain sebagai motivasi
kerja yang tinggi. Pemberian sanksi tegas bagi karyawan yang
melakukan kesalahan terkait penerapan keselamatan pasien tidak
pernah dilakukan. Dilihat dari gaya kepemimpinan yaitu pada
supervisi, kebebasan sangat terbatas untuk menyatakan pendapat
150
dan memberi usulan kebijakan yang sesuai untuk diterapkan.
Pemberian bimbingan dan motivasi selalu diberikan untuk
meningkatkan penerapan keselamatan pasien di rumah sakit dan
untuk mengurangi angka kecelakaan pasien. Pengawasan
dilakukan dengan melihat data-data keselamatan pasien, apabila
ada hal yang bermasalah mereka langsung memanggil kepala
instalasi atau kepala ruangan yang terkait agar menjelaskan
penyebab terjadinya masalah tersebut dan untuk bisa dicarikan
solusi dan agar tidak terulang kembali untuk hal yang sama.
Pelatihan keselamatan pasien dirumah sakit yang diadakan untuk
menambah pengetahuan staf. Dilihat dari gaya kepemimpinan yaitu
pada Koordinasi, hubungan yang baik dimiliki oleh karyawan antara
direktur dan wadir pelayanan, hubungan yang baik selalu dibina.
Karyawan selalu berada dalam suasana kerja yang aman dan
kondusif karena telah diatur sangat baik oleh pihak manajemen.
Pelibatan karyawan dan diminta pendapat yang dapat dijadikan
masukan ataupun saran dalam membuat keputusan.
2. Penerapan keselamatan pasien di RSUD Inche Abdoel Moeis
Samarinda Tahun 2017 dilihat dari komunikasi yaitu pada
kepercayaan dan keterbukaan, yang dilakukan oleh kepala
ruangan dengan perawat telah berjalan dengan baik, tetapi untuk
pihak manajemen tidak pernah mendapat umpan balik positif dan
apabila melaporkan kasus insiden keselamatan pasien akan diberi
sanksi, pihak manajemen merasa mereka tidak memiliki tanggung
151
jawab untuk hal tersebut sehingga perawat merasa tidak perlu
melaporkan kasus-kasus yang terjadi di ruangan. Pemberian
peringatan apabila terjadi sesuatu yang akan mengancam
keselamatan pasien telah telah di laksanakan dengan baik. Dilihat
dari komunikasi yaitu pada proses dan informasi, adanya
keterbatasan dalam menyatakan pendapat dan memberi usulan
kebijakan yang sesuai untuk diterapkan di rumah sakit. Ketersedian
informasi pergantian shift untuk mengingatkan para staf yang
sedang atau akan bertugas untuk pergantian shift. Dilihat dari
komunikasi yaitu pada arti penting keselamatan pasien,
pendiskusian selalu dilakukan bersama dan dicari jalan keluar
dengan pihak manajemen agar tidak terjadi lagi masalah yang
sama dikemudian hari. Instalasi selalu berdiskusi cara mencegah
terjadinya kesalahan atau Kejadian Tidak Dinginkan untuk
mengurangi insiden kecelakaan pada pasien. Dilihat dari
komunikasi yaitu pada perhatian dan pengenalan pentingnya
keselamatan, staf selalu diberikan kesempatan untuk bertanya dan
tidak ada pembatasan untuk bertanya. Masalah pernah terjadi
antar unit tetapi hanya masalah kecil dan tidak pernah dibesar-
besarkan serta hanya diselesaikan diunit tersebut dan juga tidak
mempengaruhi kinerja karyawan.
3. Penerapan keselamatan pasien di RSUD Inche Abdoel Moeis
Samarinda Tahun 2017 dilihat dari kerja tim yaitu pada komitmen
pada tujuan, para karyawan sangat mendukung rumah sakit dalam
152
peningkatan program penerapan keselamatan pasien yang lebih
baik karena keamanan dan kenyaman sarana dan prasarana yang
akan digunakan oleh pasien sehingga menyebabkan penerapan
keselamatan pasien belum maksimal di RSUD Inche Abdoel Moeis
Samarinda. Dilihat dari kerja tim yaitu pada komunikasi ide dan
gagasan, koordinasi terhadap kegiatan yang terkait dengan
peningktan program keselamatan pasien selalu dilakukan dan
pembagian tugas yang adil dan merata telah dilakukan sehingga
membuat perawat merasa nyaman dan tidak kesusahan dalam
menjalankan tugasnya. Karyawan sangat nyaman dan tidak pernah
merasa kesusahan saat pembagian tugas dengan rekan kerja
karena mereka merasa hal tersebut sudah adil. Dilihat dari kerja
tim yaitu efektivitas interpersonal pada karyawan sangat mampu
berkordinasi dengan baik karena hal tersebut sudah menjadi
kewajiban mereka untuk mewujudkan pelayanan pasien yang
sesuai dengan prosedur keselamatan pasien.
B. Saran
Beberapa saran yang peneliti rekomendasikan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut.
1. Diharapkan atasan dalam hal ini Direktur, Wakil Direktur Pelayanan,
Kepala Instalasi dan Kepala Ruangan dan petugas aktif dalam
menyelesaikan dan mencari solusi masalah keselamatan pasien. Agar
masalah keselamatan pasien tidak berulang kembali.
153
2. Diharapkan untuk membentuk tim keselamatan pasien rumah sakit
agar dapat mengevaluasi program-program keselamatan pasien yang
berjalan sehingga diketahui sejauhmana program tersebut efektif
dalam peningkatan keselamatan pasien.
3. Diharapkan kepada pimpinan, manajemen rumah sakit, kepala unit,
dan kepala ruangan untuk menciptakan lingkungan kerja dimana
petugas tidak takut dalam bertanya maupun mengemukakan pendapat
terkait masalah keselamatan pasien yang sedang terjadi.
4. Diharapkan pimpinan melibatkan petugas dalam pengambilan
keputusan terkait keselamatan pasien.
5. Diharapkan rumah sakit dapat menciptakan no blame culture karena
dari hasil penelitian diperoleh bahwa petugas masih takut melaporkan
insiden yang terjadi dikarenakan takut diberi hukuman dan merasa
akan dikeluarkan dari rumah sakit jika diketahi melakukan kesalahan.
6. Bagi pihak pimpinan rumah sakit membentuk tim keselamatan pasien
rumah sakit, diharapkan dapat mengembangkan program-program
pelatihan keselamatan pasien kepada petugas.
7. Bagi kepala instalasi/kepala ruangan, lebih intens dalam melakukan
pembimbingan, pengarahan, dan supervisi kepada petugas. Dari
jawaban responden mengenai bentuk dukungan yang diperoleh dalam
melaksanakan keselamatan pasien salah satunya adalah diberi
pengarahan dan pengenalan keselamatan pasien. Hal ini tentu harus
lebih ditingkatkan lagi.
8. Petugas kesehatan lebih meningkatkan penerapan komunikasi dalam
154
timbang terima pasien (penyerahan informasi mengenai pasien) dari
petugas sebelumnya kepada petugas selanjutnya yang akan
melaksanakan proses pelayanan kepada pasien.
9. Tim keselamatan pasien Rumah Sakit Inche Abdoel Moeis sebaiknya
melakukan survey budaya keselamatan pasien setiap tahun sebab
budaya keselamatan pasien dapat mempengaruhi pelaksanaan
keselamatan pasien.
10. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan melakukan observasi terhadap
pelaksanaan keselamatan pasien jika ingin meneliti pelaksanaan
keselamatan pasien. Agar hasil penelitian lebih objektif.
155
DAFTAR PUSTAKA
Agency for Healthcare Research and Quality. (2004). Hospital Survey on
Patient Safety Culture. US.Department of Health anh Human Service.
Alex, Nitisemito. 2000. Manajemen Personalia. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Andriani. (2012) .Kepuasan Kerja Perawat pada Aplikasi Metode Tim Primer dalam Pelaksanaan Tindakan Asuhan Keperawatan (Studi Kuantitatif di Rumah Sakit Dr. Saiful Anwar Malang). Jurnal Aplikasi Manajemen. 10(2): 419 –424.
Apriningsih. (2013). Kerjasama Tim dalam Budaya keselamatan pasien di rs x (studi kualitatif di suatu rsud di propinsi jawa barat). Jurnal Ilmiah Kesehatan. 5 (3 ).
Arep, Ishak dan Hendri Tanjung. (2003). Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Universitas Trisakti. Jakarta.
Aris. (2013). Analisis Budaya Keselamatan Pasien di RSU PKU Muhammadiyah. (Skripsi). Bantul. Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Azwar,Saifuddin.2002. Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya Edisi Ke-2. Yogyakarta:Pustaka Offset.
Badi’ah (2008). Hubungan Motivasi Perawat dengan Kinerja Perawat di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Daerah Panembahan Senopati Bantul Tahun 2008. Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan. 12 : 74 –82.
Baron, R.A., & Greenberg, J. (2000). Behaviour in organizations (7th Ed.). New Jersey: Prentice Hall.
Cahyono, JBS. (2008). Membangun Budaya Keselamatan Pasien dalam Praktek Kedokteran. Jakarta.
Choo, dkk. (2010). Nurse’s Role in Medication Safety. Journal of Nursing Management, 18 (5).
Demir C, C. Y. (2002). Determinants of patient satisfaction in miliary teaching hospital. UK: J Health care Qual.2002:24:30-34.
Depkes. (2006). Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit. Jakarta: Departemen Kesehatan. Jakarta.
Dewi, I. M. (2011). Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi kapabilitas anggota DPRD dalam pengawasan keuangan daerah (APBD). Semarang: Universitas Diponegoro, Fakultas Ekonomi.
156
Dick AW, Perencevich EN, Pogorzelska-Maziarz M, Zwanziger J, Larson EL, Stone PW. (2015). A decade of investment in infection prevention: A cost-effectiveness analysis. American Journal Of Infection Control. 43(1):4-9.
Donabedian, A. (2005). Evaluating of the Quality of Medical Care. The Milbank Quarterly, 83(4): 691-729.
Effendy, Onong Uchjana. (1992). Hubungan Masyarakat. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Bandung.
Gellies, (2005). Manajmen Keperawatan Suatu Pendekatan Sistem, Edisi Terjemahan. Alih Bahasa Dika Sukmana dkk. Jakarta.
Givens, J.R. (2008), Transformational leadership: The impact on organizational and personal outcomes. Emerging Leadership Journeys, 1(1), 4–24.
Handako. T. Hani. (2001). Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia. Ed.2. Yogyakarta: BPFE. Yogyakarta.
Hartwell, J. E. (2006). Food service in hospital : Development of a Theoretical Model for Patient Experience and Satisfaction Using one Hospital in The UK National Health Service as a case study. Journal of Foodservice,17: 226-238
Harnoto. (2002). Manajemen Sumber Daya Manusia 2nd ed. Jakarta: PT. Prenhallindo: Jakarta.
Henriksen K., & Dayton E. (2006). Issues in the design of training for quality and safety. Quality and Safety Health Care, 15 (1): 17–24.
Institute of Medicine. (2004). Keeping Patients Safe: Transforming the Work Environment of Nurses.
Hughes RG. (2008). Patient safety and quality: An evidence-based handbook for nurses. Rockville MD: Agency for Healthcare Research and QualityPublications.
James L, G. J. (1997). Organizations Behaviour Structure Process. Chicago: Irwin Book Team. Chicago.
Jeffs, L., Law, M., & Baker, G. R. (2007). Creating reporting & learning cultures in health-care organizations. The Canadian Nurse, 103(3): 16.
Jiunkpe, (2008). Finansial dan Nonfinansial Rewards.
157
Katz-Navon, T., Naveh, E., & Stern, Z. (2005). Safety climate in healthcare organisations: A multidimensional approach. Academy of Management Journal, 48: 1075–1090.
Komite Keselamatan Rumah Sakit (KKP-RS) PERSI. (2007). Pedoman pelaporan insiden keselamatan pasien (IKP). Jakarta.
Komite Akreditasi Rumah Sakit (KARS). 2012 . Instrumen Akreditasi Rumah Sakit Standar Akreditasi Versi 2012. Jakarta.
Kondrup J. (2004). Properhospital Nutrition As A Human Right. Clinical Nutrition , 23:135-7.
Kotler P. (2009). Manajemen Pemasaran Edisi 12 Jilid I. Jakarta: PT Indeks. Jakarta.
Kotler P. (1999). Perizinan dan Akreditasi Rumah Sakit. Yogyakarta: Nuha Medika.
Kyle Ue (2005). Does nutritional risk, as assessed by Nutritional Risk Index, increase during hospital stay? Clinical Nutrition , 24:516-24.
Lele Joyce dan Dail Field, (2010), "Participative Decision Making and OrganizationalCommitment Comparing Nigerian and American Employees, Cross Cultural Management”, An International Journal. 17 (4).
Marquis BL & Huston CJ. (2006). Leadership roles and management functions in nursing: Therory and application (5th Ed.). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Michael V. Tolliver, A. H. (2015). Hospitals are hungry for changes in food service. http://www.beckershospitalreview.com/hospital- management-administration/hospitals-are-hungry-for-changes-in- food-service.html .
Mulyaningsih. (2013). Peningkatan Kinerja Perawat dalam Penerapan MPKP dengan Supervisi oleh Kepala Ruang di RSJD Surakarta. Gaster. 10(1):57-70.
Mulyono M. Hadi dkk. (2012). Faktor Yang Berpengaruh Tehadap Kinerja Perawat di RS Tingkat III. 16.06.01 Ambon.Jurnal AKK. 2 (1): 18-26.
Nainggolan. (2010). Pengaruh Pelaksanaan Supervisi Kepala Ruangan Terhadap Kinerja Perawat Pelaksana Di Rumah Sakit Islam Malahayati Medan (Skripsi). Universitas Sumatera Utara : Medan
Novinda .S. (2011). Jurnal:Hubungan Penghargaan dengan Kinerja Perawat Pelaksana di RS Haji Medan.
158
Nursalam (2007). Proses & dokumentasi keperawatan konsep & praktik, Edisi Pertama, Jakarta : Salemba Medika.
Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1691/Menkes/PER/VIII/2011. (2011). tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI
Potter, C.J, Taylor. P.A., & Perry, C. (2009). Potter &Perry’s Fundamentals of Nursing, Edition. Australia : Mosby-Elsevier.
Pronovost, P., & Sexton, B. (2005). Assessing safety culture: guidelines & recommendations. Quality & Safety in Health Care, 14: 231-233.
Rachmawati, E., (2012). “Model Pengukuran Budaya Keselamatan Pasien di Putri, 2010. Penerapan Budaya Patient Safety di RS PKU Muhammadiyah, (Skripsi). Bantul. UMY.
Reason, J. (2008). The human contribution: Unsafe acts, accidents and heroic recoveries.
Retnowati. (2002). Persepsi terhadap sistem reward, kepuasan kerja dan motivasi kerja dosen menurut gender di Universitas Negeri Jakarta Tahun 2001. (Tesis). Depok. Universitas Indonesia.
Rivai, V., & Sagala, E.J. (2009). Manajemen sumber daya manusia untuk perusahaan: Dari teori ke praktik (Edisi Ke-2). Jakarta: Rajawali Pers.
Robbins S. (1996) Perilaku Organisasi Jilid 1: Konsep, Kontroversi, Aplikasi. penerjemah. Jakarta: Prenhallindo.
SamGnanakkan, Samson, (2010),“ Mediating Role of Organizational Commitment on HR Practices and Turnover Intention Among ICT Professionals,”Journal of Management Research. 10(1): 39-61,
Sanjaya, l.D.G.W. Ketut, S', (2013). Faktor-faktor Manajerial yang Melatarbelakangi TingginYa Kejadian Jumlah Pasien Dengan Dekubitus (lndikator Patient Safety) Pada Pasien Rawat lnaP Di Rumah Sakit Umum Puri Raharja Tahun 2012. Community Health. I(2): 72-79.
Sedarmayanti. (2001). Manajemen Perkantoran Modern. Bandung: Mandar Maju. Bandung.
Setiarso, B., Harjanto, N., Triyono, & Subagyo, H. (2009). Penerapan knowledge management pada organisasi . Yogyakarta: Graha Ilmu.
Shipton, H., Armstrong, C., West, M., & Dawson, J. (2008) The impact of leadership and quality climate on hospital performance. International Journal for Quality in Health Care, 6: 439–445.
159
Siagian, D.S. (2003). Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Bumi Aksara.
Sihotang, B.F. (2006). Pengaruh Motivasi Terhadap Produktivitas Kerja Perawat Di Rumah Sakit Umum Doloksanggul Tahun 2006. (Skripsi). Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.Medan.
Swanburg Russel C (1993). Pengantar kepemimpinan dan manajemen keperawatan (untuk perawat klinis), Jakarta : EGC. Jakarta.
Supranto. (2001). Pengukuran Tingkat Kepuasan Pelanggan. Jakarta: Rineka Cipta.
Tappen. (2004). Essential of Nursing Leadership and Management: Third Edition. Philadelphia: F.A Davis Company.
The Joint Commission on Accreditation of Healthcare Organizations., 2011. U.S Department of Health and Human Services. Oakbrook Terrace, Illinois USA.
Tjiptono, F. (2002). Manajemen Jasa cetakan ketiga. Yogyakarta: Penerbit Andi. Yogyakarta.
Undang Undang Republik Indonesia No 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Jakarta: Sekretariat Negara RI; 2009.
Waite ML, A. S. (2000). Ward hostess study at Basildon and Thurrock General Hospital NHS Trust. Proceeding of the Nutrition Society. 59:183A.
Wibowo. (2007). Manajemen Kinerja. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada. Jakarta.
World Health Organization. (2009). Human factors in patient safety review of topics and tools; report for methods and measures working. WHO.
Wijono, D. (2000). Manajemen Mutu pelayanan Kesehatan. Surabaya: Airlangga University Press. Surabaya.
Wilson M, M. A. (1997). The implementation of hazard analysis and critical control points in hospital catering.
Yahya,A. (2006, November). Konsep dan Program Patient Safety. Disampaikan pada konvensi nasional mutu rumah sakit ke VI. Bandung.
160
L
A
M
P
I
R
A
N
161
LAMPIRAN 1
PERSETUJUAN MENJADI INFORMAN
Assalamualaikum Wr. Wb
Selamat Pagi/Siang/Sore
Perkenalkan nama saya Rosita Jayanti Bardan. Saya adalah
mahasiswi S2 angkatan 2015 Bagian Manajemen Rumah Sakit, Fakultas
Kesehatan Masyarakat, Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin.
Saya bermaksud melakukan penelitian tentang “Analisis Penerapan
Keselamatan Pasien Di Rumah Sakit Umum Daerah Inche Abdoel Moeis
Samarinda Tahun 2017”. Penelitian ini dilakukan sebagai tahap akhir
dalam penyelesaian studi di Program Pascasarjana akultas Kesehatan
Masyarakat, Universitas Hasanuddin. Saya berharap Bapak/Ibu,
Saudara/Saudari bersedia untuk menjadi informan dalam penelitian ini
dimana saya akan melakukan wawancara mendalam terkait dengan
penelitian. Semua informasi yang Saudara/Saudari berikan terjamin
kerahasiaannya, dengan cara hanya mencantumkan inisial nama dari
Saudara/Saudari dan tidak mencantumkan identitas informan ke dalam
hasil penelitian saya. Setelah Saudara/Saudari membaca maksud dan
kegiatan penelitian di atas, saya mohon untuk mengisi nama dan tanda
tangan di bawah ini.
Saya yang bertanda tangan dibawah ini, setuju untuk ikut serta dalam
penelitian.
Nama : ________________________________________
Tanda tangan : ________________________________________
Terima kasih atas kesedian Saudara/Saudari untuk ikut serta di dalam
penelitian ini.
162
LAMPIRAN II
INFORMED CONSENT
Nama Informan :
Jabatan Informan :
A. Petunjuk
1. Menyampaikan Ucapan terima kasih kepada informan atas
kesediannya meluangkan waktu yang untuk diwawancara
2. Menjelaskan tentang maksud dan tujuan wawancara
B. Pelaksanaan Wawancara
1. Perkenalan diri pewawancara
2. Menjelaskan maksud wawancara kepada informan
3. Memninta kesediaan informan unuk diwawancara
C. WAWANCARA
1. Meminta izin untuk memulai wawancara
2. Melakukan wawancara sesuai dengan isi wawancara yang telah
disusun
3. Selesai wawancara, mengucapkan terima kasih dan mohon diri
163
LAMPIRAN III
PEDOMAN WAWANCARA MENDALAM (IN DEPTH INTERVIEW)
A. Penjelasan Wawancara
Penelitian ini dilaksanakan untuk mengetahui pandangan informan
mengenai penerapan keselamatan pasien dalam pelayanan di RSUD
I.A Moeis Samarinda, mengidentifikasi masalah ataupun kendala yabg
dihadapi berkaitan dengan keselamatan pasien yang sudah ada.
Sebagaimana dengan tujuan umum dari penelitian ini yaitu Untuk
menganalisis penerapan keselamatan pasien di Rumah Sakit Umum
Daerah Inche Abdoel Moeis Samarinda Tahun 2017.
B. Daftar Pertanyaan
Kepemimpinan
A. Pengarahan
1) Apakah Direktur dan Wadir Pelayanan anda mendelegasikan
wewenang dengan baik terhadap bawahannya terkait penerapan
keselamatan pasien?
2) Apakah Direktur dan Wadir Pelayanan anda memberikan
penghargaan bagi anda dan teman-teman yang memiliki kinerja
baik dalam meningkatkan program keselamatan pasien?
3) Apakah Direktur dan Wadir Pelayanan memberikan sanski yang
tegas terhadap kesalahan yang dilakukan oleh karyawan terkait
penerapan keselamatan pasien?
164
B. Supervisi
1) Apakah Direktur dan Wadir Pelayanan memberikan kebebasam
kepada karyawan yang ingin memberikan pendapat terkait issue
penerapan keselamatan pasien?
2) Apakah Direktur dan Wadir Pelayanan selalu memberikan
bimbingan dan dorongan kepada karyawan terkait penerapan
keselamatan pasien?
3) Apakah Direktur dan Wadir Pelayanan selalu melakukan
pengawasan terhadap penerapan terkait penerapan prosedur
keselamatan pasien?
4) Apakah Direktur dan Wadir Pelayanan secara rutin mengadakan
pelatihan keselamatan pasien bagi pegawai ?
C. Koordinasi
3) Apakah Direktur dan Wadir Pelayanan memiliki hubungan yang
baik kepada karyawan ?
4) Apakah Direktur dan Wadir Pelayanan selalu mampu menciptakan
suasana kerja yang kondusif dan aman ?
5) Apakah Direktur dan Wadir Pelayanan melibatkan karyawan dalam
membuat keputusan terkait penerapan keselamatan pasien ?
Komunikasi
1. Kepercayaan dan Keterbukaan
1) Apakah anda mendapat umpan balik positif apabila ada suatu
kejadian yang dilaporkan?
165
2) Apakah setiap orang wajib memperingatkan apabila melihat segala
sesuatu yang dapat mengancam keselamatan pasien?
4. Proses dan Informasi
1) Apakah anda bebas menyatakan pendapat dan member usulan
kebijakan yang sesuai untuk diterapkan ?
2) Apakah pegawai bebas menyatakan pendapat dan memberi usulan
kebijakan yang sesuai diharapkan?
3) Apakah informasi perawatan pasien yang penting selalu tersedia
saat pergantian shift?
5. Arti Penting Keselamatan Pasien
2) Apakah setiap masalah pasien yang terjadi dirumah sakit selalu
didiskusikan bersama dan dicarai jalan keluarnya?
3) Apakah diunit ini mendiskusikan bagaimana cara mencegah
terjadinya kesalahan atau Kejadian Tidak Dinginkan?
6. Perhatian dan pengenalan pentingnya keselamatan
a. Apakah staf diberi kesempatan untuk bertanya apabila ada sesuatu
yang berjalan tidak semestinya?
b. Apakah tidak pernah terjadi masalah sewaktu operan antar unit?
Kerja Tim
1. Komitmen Pada Tujuan
1) Apakah anda dan rekan kerja anda untuk mendukung rumah sakit
ini dalam meningkatkan program keselamatan pasien yang lebih
baik?
166
2) Apakah rekan kerja anda tidak merasa keberatan ketika diajak
berdiskusi tentang peningkatan keselamatan pasien?
2. Komunikasi ide dan gagasan
i. Apakah direktur dan wadir pelayanan selalu ikut berkoordinasi
terhadap kegiatan yang terkait dengan peningktan program
keselamatan pasien?
ii. Apakah anda nyaman dan tidak kesusahan saat pembagian tugas
dengan rekan kerja saya?
3. Efektivitas Interpersonal
1) Apakah anda dan rekan kerja anda mampu berkordinasi dengan
baik untuk mewujudkan pelayanan pasien yang sesuai dengan
prosedur keselamatan pasien?
167
LAMPIRAN IV
DOKUMENTASI PENELITIAN
168
169