tesis ra2531 perancangan kawasan wisata alam berkelanjutan
TRANSCRIPT
TESIS RA2531
PERANCANGAN KAWASAN WISATA ALAM BERKELANJUTAN DI KECAMATAN PACET KABUPATEN MOJOKERTO
ERINA WULANSARI
NRP. 3213203006
DOSEN PEMBIMBING
Dr- Ing., Ir. Bambang Soemardiono Ir. Ispurwono Soemarno, M.Arch, Ph.D
PROGRAM MAGISTER BIDANG KEAHLIAN PERANCANGAN KOTA PROGRAM STUDI/ JURUSAN ARSITEKTUR FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA 2015
THESIS RA 2531
SUSTAINABLE DESIGN OF NATURE TOURISM AREA IN PACET DISTRICT MOJOKERTO REGENCY
ERINA WULANSARI
NRP. 3213203006
ADVISOR
Dr. Ing. Ir. Bambang Soemardiono Ir. Ispurwono Soemarno, M.Arch, Ph.D
MASTER POSTGRADUATE PROGRAMME URBAN DESIGN MAJOR DEPARTMENT OF ARCHITECTURE FACULTY OF CIVIL AND PLANNING ENGINEERING SEPULUH NOPEMBER INSTITUTE OF TECHNOLOGY SURABAYA 2015
iv
PERANCANGAN KAWASAN WISATA ALAM BERKELANJUTAN
DI KECAMATAN PACET
KABUPATEN MOJOKERTO
Nama Mahasiswa : Erina Wulansari
NRP : 3213203006
Pembimbing : Dr. Ing. Ir. Bambang Soemardiono
Co- Pembimbing : Ir. Ispurwono Soemarno, M.Arch, Ph.D
Kawasan sekitar obyek wisata yang ada di Kecamatan Pacet diindikasi mulai
mengalami degradasi nilai lingkungan (dilihat dari proses fisik dan biologi) dan mulai
menunjukkan ketidakseimbangan dengan nilai sosial dan nilai ekonomis sebagai suatu
kawasan wisata yang berkembang. Hal ini ditunjukkan dengan adanya bencana alam
berupa longsor dan banjir bandang yang terjadi pada obyek Wanawisata Air Panas di
Desa Padusan pada tahun 2002. Berkembangnya kegiatan wisata alam di Kecamatan
Pacet Kabupaten Mojokerto seperti yang terlihat saat ini, memberikan dampak positif
dan negatif yang cukup signifikan. Dampak positif dapat dilihat dari sektor ekonomi
sebagai aspek non fisik, dimana kawasan wisata selalu membutuhkan kegiatan/fasilitas
pendukung ekonomi ditengah-tengah kegiatan wisata alam yang pada prinsipnya harus
melestarikan aset sumber daya alam sekitar. Sedangkan dampak negatifnya dapat dilihat
dari kondisi lingkungan alami sekitar, terutama ketersediaan ruang-ruang terbuka yang
dikorbankan untuk kepentingan fasilitas pendukung wisata. Keberadaan ruang-ruang
terbuka atau ruang luar yang belum optimal penataannya, menjadi potensi utama
rancangan yang dapat mempengaruhi nilai ekologis, estetika, dan sosial suatu kawasan
wisata alam secara komprehensif. Studi ini bertujuan menghasilkan suatu usulan
rancangan kawasan wisata alam yang mengedepankan aspek berkelanjutan dengan
mengadopsi konsep ekowisata.
Untuk mencapai tujuan tersebut, paradigma pendekatan penelitian yang
digunakan adalah pendekatan kualitatif dengan metode pengumpulan data melalui teknik
Focus Group Discussion (FGD). Analisis yang digunakan untuk menjawab sasaran
penelitian adalah analisis tumpang tindih (superimpose), analisi character appraisal,
analisis behavioral map, dan analisis triangulasi untuk merumuskan serta menentukan
konsep rancangan.
Hasil akhir penelitian ini adalah terjawabnya seluruh pertanyaan penelitian dan
konsep rancangan kawasan wisata alam yang berkelanjutan. Hasil penelitian
merumuskan terdapat 18 prinsip perancangan yang mendasari konsep utama yakni
menciptakan ruang-ruang terbuka sebagai ruang rekreasi alternatif yang nyaman, aman,
menyenangkan, berbudaya, serta sebagai kontrol ruang dalam pengembangan pariwisata
berkelanjutan kedepannya.
Kata kunci: kawasan wisata alam, berkelanjutan, ruang terbuka, prinsip perancangan
v
SUSTAINABLE DESIGN OF NATURE TOURISM AREA IN PACET
DISTRICT MOJOKERTO REGENCY
Student Name : Erina Wulansari
NRP : 3213203006
Advisor : Dr. Ing. Ir. Bambang Soemardiono
Co- Advisor : Ir. Ispurwono Soemarno, M.Arch, Ph.D
The area around the existing tourism attractions in Pacet District are indicated to
began degrading environmental values (as seen from the physical and biological
processes) and started to show imbalance with social and economic value as a thriving
tourist area. This is shown by the presence of natural disasters such as landslides and
flash floods that occurred on the object of Hot Springs Village Wanawisata Padusan in
2002.Nature tourism activities development in the Pacet District Mojokerto Regency as
seen today, gave significant positive and negative impacts. The positive impact can be
seen from the economic sector as non-physical aspects, where the tourism area always
need activities/facilities to support the economy in the midst of nature tourism activities
which in principle should be to preserve the natural resource assets around. While the
negative impacts can be seen from the surrounding natural environment, especially the
availability of open spaces sacrificed for the sake of supporting tourism facilities. The
existence of open spaces or outdoor space where the arrangement are not optimal,
became a major potential designs that could affect the ecological, aesthetic, and social
value of nature area in a comprehensive manner. This study will aim to produce a draft
proposal of nature tourism that emphasizes sustainable aspect by adopting the concept of
ecotourism.
To achieve these objectives, the research approach paradigm used is a qualitative
approach to data collection methods through technique Focus Group Discussion (FGD).
The analysis used to answer the research target is the overlapping (superimpose)
analysis, character appraisal analysis, behavioral analysis folder, and triangulation
analysis to formulate and define the design concept.
The final result of this study is answered the whole research question and concept
design of a sustainable nature tourism. The research results, formulated 18 design
principles underlying the main concept of creating open spaces as a convenient
alternative recreation room, safe, fun, cultured, as well as a control room in the future
development of sustainable tourism.
Keyword: nature-based tourism, sustainable, open space, design principles
i
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur senantiasa dipanjatkan atas kehadhirat Allah SWT
atas segala rahmat, karunia, hidayah, dan kemudahan yang diberikan, sehingga
penyusunan tesis dengan judul “Perancangan Kawasan Wisata Alam Berkelanjutan Di
Kecamatan Pacet Kabupaten Mojokerto dapat terselesasikan dengan baik dan tepat
waktu. Tesis ini telah disusun sebagai syarat untuk mendapatkan gelar akademik
Magister Teknik (MT) dan menyelesaikan pendidikan Program Pascasarjana di Bidang
Keahlian Perancangan Kota, Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan,
Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya.
Penelitian ini tidak lepas dari bimbingan dan kerja sama dari berbagai pihak. Oleh
karena itu penyusun tesis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada pihak tersebut, diantaranya :
1. Kedua orang tua tercinta, ayah Narjono dan ibunda Ety Yuliati, keluarga besar
(adik-adikku) dan kekasih hati (Bahar Ali) yang telah memberikan dukungan,
do’a, kasih sayang serta fasilitas selama menempuh pendidikan.
2. Kepada yang terhormat Bapak Dr. Ing. Ir. Bambang Soemardiono selaku dosen
pembimbing I dan Bapak Ir. Ispurwono Soemarno, M.Arch, Ph.D selaku dosen
pembimbing II, yang telah memberikan bimbingan dan arahan bermanfaat bagi
penyelesaian tesis ini dengan penuh kesabaran.
3. Kepada yang terhormat Ibu Prof. Ir. Endang Titi Sunarti D., M.Arch, Ph.D dan
Ibu Dr. Eng. Ir. Dipl-Ing. Sri Nastiti N.E, M.T selaku dosen penguji, yang telah
memberikan masukan, saran, dan kritik yang membangun selama penyusunan
tesis ini.
4. Dr. Ir. Murni Rachmawati, M.T selaku Ketua Program Studi Pascasarjana
Arsitektur ITS yang telah memberikan kesempatan pada penyusun untuk
menempuh dan menyelesaikan pendidikannya.
5. Pihak- pihak instansi pemerintahan Kabupaten Mojokerto yakni Badan Kesatuan
Bangsa dan Politik Kabupaten Mojokerto, Badan Perencanaan dan Pembangunan
Daerah Kabupaten Mojokerto, Dinas Pendidikan Olahraga, Budaya, dan
Pariwisata Kabupaten Mojokerto, Pemangku Kecamatan Pacet, serta pemangku
desa seluruh Kecamatan Pacet yang telah berbesar hati memberikan data untuk
kebutuhan penelitian dan membantu dalam proses FGD.
ii
6. Kawan- kawan mahasiswa Pascasarjana Arsitektur ITS Bidang Keahlian
Perancangan Kota angkatan 2013, Diah Kusuma Ningrum, Ratiza Azwartika,
Putri Mulyo, Anindita Ramadhani, Nindya Rosita, Syamsuri Satria, Heru
Prasetiyo, Hildayanti, Nur Adyla, Rizki, Annisa, Dan Katherine yang selalu
mendukung dan bekerja sama dengan baik selama masa perkuliahan.
7. Para stakeholders dan seluruh pihak yang telah membantu baik secara langsung
dan tidak langsung yang tidak dapat disebutkan satu demi satu.
Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan yang telah diberikan dan semoga
penelitian ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak.
Surabaya, Juli 2015
Penyusun
vi
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ...........................................................................................................i
Abstrak………… .......................................................................................................iv
Daftar Isi ...................................................................................................................vi
Daftar Tabel ..............................................................................................................viii
Daftar Diagram ..........................................................................................................ix
Daftar Gambar ...........................................................................................................ix
Daftar Pustaka ............................................................................................................xi
BAB 1 PENDAHULUAN ........................................................................................1
1.1 Latar Belakang ...............................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah ..........................................................................................2
1.3 Tujuan dan Sasaran Penelitian .......................................................................3
1.4 Manfaat Penelitian .........................................................................................4
1.5 Ruang Lingkup Penelitian..............................................................................4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ...............................................................................7
2.1 Pariwisata .......................................................................................................7
2.2 Konsep- konsep Pengembangan Kawasan Pariwisata ...................................12
2.3 Perancangan Kawasan Wisata .......................................................................23
2.4 Studi Preseden Terkait Perancangan Kawasan Wisata Alam ........................42
2.5 Sintesa Tinjauan Pustaka ...............................................................................44
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN ..................................................................51
3.1 Pendekatan Penelitian ....................................................................................51
3.2 Komponen Penelitian dan Definisi Operasional ............................................52
3.3 Metode Pengumpulan Data ............................................................................54
3.4 Metode Analisis Data .....................................................................................60
3.5 Kerangka Tahapan Penelitian ........................................................................64
vii
BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN ...................................................... 67
4.1 Gambaran Umum Wilayah Studi.......................................................... 67
4.2 Mengidentifikasi dan Menganalisis Kesesuaian Lahan Untuk
Perancangan Kawasan Wisata Alam .................................................... 85
4.3 Identifikasi Dan Analisis Keberadaan Ruang Terbuka
Dalam Menunjang Kegiatan Rekreasi Atau Wisata Alam ................... 94
4.4 Identifikasi dan Analisis Aspek Fisik Elemen Perancangan
Kawasan Wisata Alam .......................................................................... 103
4.5 Identifikasi dan Analisis Aspek Non Fisik Elemen Perancangan
Kawasan Wisata Alam .......................................................................... 113
4.6 Perumusan Prinsip Perancangan dan Usulan Konsep Rancangan
Kawasan Wisata Alam Kecamatan Pacet ............................................. 117
BAB 5 KESIMPULAN..................................................................................... 137
5.1 Kesimpulan ........................................................................................... 137
5.2 Rekomendasi ......................................................................................... 140
viii
DAFTAR TABEL
Tabel 2. 1 Perbandingan Pariwisata dan Rekreasi .....................................................8
Tabel 2. 2 Penggunaan Lahan Menurut Fenomena Alam..........................................16
Tabel 2. 3 Kriteria Desain Berdasar Klasifikasi Hirarki Ruang Terbuka ..................28
Tabel 2. 4 Sintesa Kajian Pustaka ..............................................................................46
Tabel 2. 5 Prinsip Perancangan Kawasan Wisata Alam ............................................48
Tabel 3. 1 Karakteristik Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif .................................51
Tabel 3. 2 Komponen Penelitian dan Definisi Operasional .......................................53
Tabel 3. 3 Representasi Sampling Dari Para Pakar/Ahli Dalam Perancangan
Kawasan Wisata Alam Berkelanjutan Di Kecamatan Pacet .....................56
Tabel 3. 4 Desain Pengumpulan Data Yang Didasarkan Atas Kebutuhan
Komponen Penelitian ................................................................................58
Tabel 3. 5 Tahapan Analisis Data ..............................................................................61
Tabel 4. 1 Komposisi Kelerengan Kecamatan Pacet .................................................69
Tabel 4. 2 Jenis dan Lokasi Persebaran ODTW Kawasan Wisata Alam
Kecamatan Pacet Kabupaten Mojokerto Tahun 2015 ...............................78
Tabel 4. 3 Pemasukan Keuangan Kecamatan Pacet Dalam Sektor Pariwisata Tahun
2013-2014 ..................................................................................................85
Tabel 4. 4 Skoring Kelas Kemiringan Lahan.............................................................86
Tabel 4. 5 Skoring Kelas Jenis Tanah ........................................................................87
Tabel 4. 6 Skoring Kelas Jenis Penggunaan Lahan ...................................................87
Tabel 4. 7 Skoring Kelas Rawan Bencana .................................................................88
Tabel 4. 8 Skoring Kelas Vegetasi/ Tutupan Lahan ..................................................88
Tabel 4. 9 Skoring Kerapatan Vegetasi .....................................................................89
Tabel 4. 10 Karakteristik Fisik Site Terpilih .............................................................90
Tabel 4. 11 Aspek dan Persyaratan Perancangan Ruang Terbuka Skala
Lingkungan Pada Kawasan Wisata ........................................................95
Tabel 4. 12 Identifikasi dan Analisis Character Appraisal Aksesibilitas Kawasan Wisata
Alam .......................................................................................................97
Tabel 4. 13 Analisis Charater Appraisal Jalur Konektifitas ......................................101
Tabel 4. 14 Analisis Character Appraisal Segmen 1 .................................................103
Tabel 4. 15 Analisis Character Appraisal Segmen 2 ................................................105
ix
Tabel 4. 16 Analisis Character Appraisal Segmen 3 ................................................. 107
Tabel 4. 17 Analisis Character dan Penilaian Visual Pemandangan Alam ............... 108
Tabel 4. 18 Identifikasi Sarana Rekreasi di Kawasan Wisata Alam
Kecamatan Pacet .................................................................................... 111
Tabel 4. 19 Analisis Behavioral Mapping Dalam Melihat Kebutuhan Ruang
Rekreasi Alam ........................................................................................ 114
Tabel 4. 20 Perumusan Prinsip dan Konsep Perancangan Kawasan ......................... 118
DAFTAR DIAGRAM
Diagram 2. 1 Kerangka Konseptualisasi Pustaka ...................................................... 50
Diagram 3. 1 Proses Kerja FGD dalam Penelitian .................................................... 57
Diagram 3. 2 Kerangka Tahapan Penelitian .............................................................. 65
Diagram 4. 1 Jumlah Kunjungan Wisatawan Daya tarik Wisata .............................. 79
Diagram 4. 2 Model Proses Overlay Layer dalam GIS ............................................. 89
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. 1 Orientasi Lokasi Studi Kecamatan Pacet Kabupaten Mojokerto .......... 5
Gambar 4. 1 Orientasi Kecamatan Pacet Terhadap Kabupaten Mojokerto ............... 68
Gambar 4. 2 Kondisi Kemiringan Lahan Kecamatan Pacet ...................................... 69
Gambar 4. 3 Kondisi Jenis Tanah Kecamatan Pacet ................................................. 70
Gambar 4. 4 Kondisi Hidrologi Kecamatan Pacet ..................................................... 72
Gambar 4. 5 Kondisi Intensitas Curah Hujan Kecamatan Pacet ............................... 73
Gambar 4. 6 Kondisi Vegetasi Di Kawasan Wisata Alam Kecamatan Pacet ........... 73
Gambar 4. 7 Kondisi Penggunaan Lahan Eksisting .................................................. 74
Gambar 4. 8 Rencana Pola Ruang Kecamatan Pacet ................................................ 75
Gambar 4. 9 Potensi Pemandangan Alam Kecamatan Pacet ..................................... 76
ix
Tabel 4. 16 Analisis Character Appraisal Segmen 3 ................................................. 107
Tabel 4. 17 Analisis Character dan Penilaian Visual Pemandangan Alam ............... 108
Tabel 4. 18 Identifikasi Sarana Rekreasi di Kawasan Wisata Alam
Kecamatan Pacet .................................................................................... 111
Tabel 4. 19 Analisis Behavioral Mapping Dalam Melihat Kebutuhan Ruang
Rekreasi Alam ........................................................................................ 114
Tabel 4. 20 Perumusan Prinsip dan Konsep Perancangan Kawasan ......................... 118
DAFTAR DIAGRAM
Diagram 2. 1 Kerangka Konseptualisasi Pustaka ...................................................... 50
Diagram 3. 1 Proses Kerja FGD dalam Penelitian .................................................... 57
Diagram 3. 2 Kerangka Tahapan Penelitian .............................................................. 65
Diagram 4. 1 Jumlah Kunjungan Wisatawan Daya tarik Wisata .............................. 79
Diagram 4. 2 Model Proses Overlay Layer dalam GIS ............................................. 89
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. 1 Orientasi Lokasi Studi Kecamatan Pacet Kabupaten Mojokerto .......... 5
Gambar 4. 1 Orientasi Kecamatan Pacet Terhadap Kabupaten Mojokerto ............... 68
Gambar 4. 2 Kondisi Kemiringan Lahan Kecamatan Pacet ...................................... 69
Gambar 4. 3 Kondisi Jenis Tanah Kecamatan Pacet ................................................. 70
Gambar 4. 4 Kondisi Hidrologi Kecamatan Pacet ..................................................... 72
Gambar 4. 5 Kondisi Intensitas Curah Hujan Kecamatan Pacet ............................... 73
Gambar 4. 6 Kondisi Vegetasi Di Kawasan Wisata Alam Kecamatan Pacet ........... 73
Gambar 4. 7 Kondisi Penggunaan Lahan Eksisting .................................................. 74
Gambar 4. 8 Rencana Pola Ruang Kecamatan Pacet ................................................ 75
Gambar 4. 9 Potensi Pemandangan Alam Kecamatan Pacet ..................................... 76
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kabupaten Mojokerto merupakan salah satu daerah di Jawa Timur yang
memiliki sumber daya alam hutan potensial yang terdiri atas hutan lindung seluas
17.007,80 Ha dan hutan produksi seluas 15.137,827 Ha (RTRW Kabupaten
Mojokerto 2009-2029). Sumber daya alam hutan tersebut beberapa diantaranya
dimanfaatkan dan dikembangkan sebagai pariwisata alam. Kepariwisataan
Kabupaten Mojokerto termasuk dalam kawasan pengembangan koridor tengah
(Perda Propinsi Jawa Timur No.2 Tahun 2006) dengan daya tarik wisata unggulan
berupa wisata cagar budaya dan wisata alam. Daya tarik wisata alam yang
berkembang di Kabupaten Mojokerto tersebar di Kecamatan Pacet dengan tiga
obyek daya tarik wisata unggulannya yang terletak di Desa Padusan yakni
Wanawisata Air Panas (wisata geothermal) dan Air Terjun Coban Canggu serta di
Desa Pacet yakni wisata pemandian Ubalan yang memiliki latar belakang
pemandangan alam cukup bagus.
Kawasan sekitar obyek wisata yang ada di Kecamatan Pacet diindikasi mulai
mengalami degradasi nilai lingkungan (dilihat dari proses fisik dan biologi) seperti
yang terjadi di kawasan Wanawisata Air Panas. Hal ini ditunjukkan dengan adanya
bencana alam berupa longsor dan banjir bandang yang terjadi pada obyek
Wanawisata Air Panas di Desa Padusan pada tahun 2002. Selain itu kondisi sekitar
kawasan obyek wisata tersebut saat ini mengalami penurunan kualitas lanskap
terutama ruang terbuka sebagai potensi utama wisata alam. Hal ini dapat dilihat dari
pengembangan bentuk kegiatan dan perubahan fungsi lahan yang cukup
mengkhawatirkan akibat adanya perkembangan fasilitas penunjang kegiatan wisata
(kios, villa, pasar, dan lainnya) yang tidak sesuai dengan kondisi site. Keberadaan
ruang-ruang terbuka atau ruang luar yang belum optimal penataannya dengan
kondisi lingkungan alami lanskap didalam suatu kawasan wisata alam, menjadi
potensi utama rancangan yang dapat mempengaruhi nilai ekologis, estetika, dan
sosial suatu kawasan wisata alam secara komprehensif.
2
Perancangan sebuah kawasan yang berkaitan atau bersentuhan langsung
dengan alam merupakan bagian dari arsitektur lanskap. Arsitektur lanskap adalah
bagian dari kawasan lahan yang dibangun atau dibentuk oleh manusia di luar
bangunan, jalan, utilitas, dan sampai ke alam bebas yang dirancang terutama sebagai
ruang untuk tempat tinggal manusia (Eckbo, 1950). Pada prinsipnya arsitektur
lanskap memiliki definisi, konsep-konsep dan teori yang bertolak dari suatu
hubungan antara manusia, alam lingkungannya dan aktivitas manusia untuk
mengendalikan, menata dan mengatur lingkungannya agar tercipta ruang terbuka
yang menyenangkan. Kawasan wisata alam sebagai lingkungan terbuka yang
menyenangkan berkembang dengan segala kegiatan rekreasi didalamnya, dibuat
untuk menciptakan lingkungan fisik ruang luar/bentang alam yang dapat mendukung
tindakan dan aktivitas rekreasi manusia yang menunjang keinginan, kepuasan, dan
kenyamanannya (Knudson, 1980 dalam Ruhiyat, 2008).
Dengan demikian, pemilihan kawasan wisata alam sebagai objek penelitian
dengan isu perlunya merancang ruang-ruang terbuka atau ruang luar dalam
mendukung kegiatan wisata alam di Kecamatan Pacet, memungkinkan untuk
diterapkan dalam konteks perancangan berkelanjutan.
1.2 Rumusan Masalah
Berkembangnya kegiatan wisata alam di Kecamatan Pacet Kabupaten
Mojokerto seperti yang terlihat saat ini, memberikan dampak positif dan negatif
yang cukup signifikan. Dampak positif dapat dilihat dari sektor ekonomi sebagai
aspek non fisik, dimana kawasan wisata selalu membutuhkan kegiatan/fasilitas
pendukung ekonomi ditengah-tengah kegiatan wisata alam yang pada prinsipnya
harus melestarikan aset sumber daya alam sekitar. Sedangkan dampak negatifnya
dapat dilihat dari kondisi lingkungan alami sekitar terutama ketersediaan ruang-
ruang terbuka yang dikorbankan untuk kepentingan fasilitas pendukung wisata.
Beberapa fenomena dari dampak-dampak tersebut yang menjadi fokus permasalahan
dalam penelitian ini diantaranya adalah (1) adanya indikasi degradasi/kerusakan
nilai lingkungan (dilihat dari proses fisik dan biologis) akibat perkembangan
kegiatan wisata yang tumbuh secara sporadis dengan mengkonversi lahan pertanian
sebagai fungsi konservasi, (2) berkembangnya kegiatan sektor ekonomi lokal yang
3
cukup baik namun tidak diimbangi dengan penataan sarana pendukung kegiatan
ekonomi yang memadai sehingga para pelaku ekonomi tersebut cenderung
berkembang secara sporadis tanpa memperhatikan kondisi lingkungan sekitar, (3)
belum adanya rancangan ruang terbuka di kawasan wisata dalam mendukung
kegiatan wisata dan rekreasi yang menyenangkan, memperhatikan kenyamanan,
dan kebutuhan wisatawan ataupun penduduk lokal setempat. Berdasarkan pada
uraian beberapa rumusan permasalahan di atas, adapun yang menjadi pertanyaan
penelitian dan akan dijawab peneliti dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimanakah karakteristik lahan di Kecamatan Pacet yang sesuai untuk
perancangan kawasan wisata alam jika dilihat dari kondisi fisik lingkungan
alami ?
2. Bagaimanakah mewujudkan rancangan wilayah Kecamatan Pacet sebagai
kawasan wisata alam yang mengedepankan nilai ekologis, ekonomis, dan sosial
dengan mempertimbangkan keberadaan ruang terbuka?
1.3 Tujuan dan Sasaran Penelitian
Studi ini bertujuan menghasilkan suatu usulan rancangan kawasan wisata
alam yang mengedepankan aspek- aspek berkelanjutan secara komprehensif.
Sehingga untuk mencapai tujuan tersebut di atas, sasaran studi yang ingin dicapai
adalah sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi dan menganalisis kondisi fisik lingkungan alami kawasan
untuk menemukan kesesuaian lokasi perancangan
2. Mengidentifikasi dan menganalisis elemen perancangan kawasan meliputi
aspek fisik non fisik yang mempertimbangkan persepsi stakeholder (demand)
dalam merancang kawasan wisata alam.
3. Merumuskan prinsip perancangan kawasan untuk menghasilkan usulan
konsep rancangan Kawasan Wisata Alam Desa Padusan Kecamatan Pacet
Kabupaten Mojokerto.
4
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diberikan dalam penelitian ini meliputi :
a) Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah untuk memberikan masukan
studi terhadap bidang ilmu perancangan lanskap terutama dalam
perancangan dan penataan kawasan wisata alam dengan
mempertimbangkan aspek kelestarian ekologis.
b) Manfaat Praktis
Adapun manfaat praktis yang dapat diberikan dari penelitian ini yakni
memberikan panduan kepada masyarakat, pengunjung kawasan wisata,
pemerintah, serta investor melalui sebuah prinsip perancangan dalam
merancang kawasan wisata alam berkelanjutan.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Pembahasan pada ruang lingkup terdiri dari ruang lingkup wilayah dan ruang
lingkup substansi yang dijelaskan dalam sub bab sebagai berikut.
1.5.1 Ruang Lingkup Wilayah
Dalam penelitian ini memiliki ruang lingkup wilayah berupa kawasan wisata
alam di Kecamatan Pacet dan secara administratif Kecamatan Pacet merupakan
bagian dari Kabupaten Mojokerto yang berbatasan dengan :
Sebelah Utara : Kecamatan Kutorejo
Sebelah Timur : Kecamatan Trawas
Sebelah Selatan : Kabupaten Malang
Sebelah Barat : Kecamatan Gondang
Sebagai pemahaman lebih lanjut dapat dilihat peta orientasi lokasi studi pada
gambar 1.1
5
Gambar 1. 1 Orientasi Lokasi Studi Kecamatan Pacet Kabupaten Mojokerto
Sumber : Hasil Olahan Peta RTRW kabupaten Mojokerto, 2015
1.5.2 Ruang Lingkup Substansi
Lingkup substansi penelitian ini mencakup hal- hal yang berkaitan dengan
perumusan usulan perancangan kawasan wisata alam berkelanjutan diantaranya
adalah konsep-konsep pengembangan wisata yang mempertimbangkan kelestarian
alam, perancangan ruang terbuka, dan perancangan lanskap arsitektur suatu kawasan
wisata.
6
“Halaman ini sengaja dikosongkan”
7
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Penelitian ini memiliki fokus terhadap bidang pariwisata dan perancangan
kawasan wisata khususnya wisata alam seperti yang telah disinggung dalam sub bab
tujuan dan sasaran penelitian pada bab sebelumnya. Bab tinjauan pustaka ini terdiri
dari sub bab 2.1 yang membahas kepariwisataan, sub bab 2.2 membahas konsep-
konsep pengembangan kawasan wisata, sub bab 2.3 membahas tentang perancangan
kawasan wisata, sub bab 2.4 membahas tentang studi preseden terkait, dan terakhir
sub bab 2.5 membahas tentang sintesa tinjauan pustaka.
2.1 Pariwisata
2.1.1 Pemahaman Pariwisata dan Rekreasi
Menurut Wahab dalam Yoeti (1994) Pariwisata adalah suatu aktivitas
manusia yang dilakukan secara sadar yang mendapat pelayanan secara bergantian
diantara orang-orang dalam suatu negara itu sendiri/ diluar negeri, meliputi
kediaman orang-orang dari daerah lain sebagai titik awal untuk sementara waktu
mencari kepuasan yang beraneka ragam dan berbeda dengan apa yang dialaminya.
Sedangkan menurut Suwantoro (1997), pengertian pariwisata adalah proses
kepergian sementara dari seseorang atau lebih menuju tempat lain di luar tempat
tinggalnya. Dorongan kepergiannya adalah karena berbagai kepentingan baik karena
kepentingan ekonomi, sosial, kebudayaan, politik, agama, kesehatan, maupun
kepentingan lainnya sekedar ingin tahu, menambah pengetahuan, ataupun untuk
belajar.
Dari kedua pengertian tersebut, disimpulkan bahwa pariwisata merupakan
suatu aktivitas manusia secara sadar berupa perjalanan yang dilakukan orang untuk
sementara waktu dari suatu tempat ke tempat lain. Perjalanan tersebut untuk
kepentingan rekreasi atau untuk kepentingan lain seperti ekonomi, sosial,
kebudayaan, politik, agama, kesehatan maupun kepentingan lainnya seperti sekedar
ingin tahu, menambah pengalaman, atau untuk belajar sesuatu dan juga karena
kepentingan yang berhubungan dengan kegiatan olah raga. Disamping pemahaman
8
pariwisata yang sederhana, terdapat pemahaman mengenai rekreasi yang berkorelasi
dan tidak dapat terpisahkan dengan pemahaman pariwisata.
Rekreasi dapat dipandang sebagai pengalaman pribadi (apa yang
dilakukannya untuk seseorang), seperti kegiatan (bentuk yang diperlukan) atau
sebagai lembaga (struktur yang dibuat tersedia untuk masyarakat). Namun
pemahaman lain, rekreasi dapat dilihat sebagai proses (apa yang terjadi pada
individu) dan sebagai struktur (kerangka kerja dimana rekreasi dipraktekkan)
(Torkildsen, 1986 dalam Veal, 2004). Sumber pustaka lain melihat pemahaman
rekreasi dalam sebuah konteks perencanaan, dimana rekreasi adalah sebuah proses
yang menghubungkan waktu luang seseorang ke dalam ruang. Sehingga dalam
praktisnya perencanaan rekreasi merupakan penyatuan pengetahuan dan teknik dari
desain lingkungan dan pengetahuan sosial untuk mengembangkan beberapa
alternatif dalam penggunaan waktu luang, energi, ruang dan mengakomodasi
kebutuhan manusia (Gold, 1980 dalam Bovy dan Lawson, 1998). Untuk pemahaman
lebih lanjut perbedaan antara pariwisata dan rekreasi sebagai pertimbangan dasar
perancangan kawasan wisata alam dapat dipahami dari pendapat Bovy dan Lawson
(1998) berikut.
Tabel 2. 1 Perbandingan Pariwisata dan Rekreasi
Perbandingan Pariwisata Rekreasi Ruang Terbuka
Fasilitas Dikembangkan oleh sektor privat Biasanya dengan pendanaan sektor publik
Pilihan memiliki persaingan internasional yang kuat
dibatasi oleh waktu dan jarak
Kualitas lingkungan
Tujuan yang unik atau memiliki karakter pembeda merupakan faktor penting
Berada didaerah pinggiran (suburban)
Organisasi Agen perjalanan memainkan peran utama
Memungkinkan kelompok, komunitas, dan asosiasi terlibat
jumlah pengguna Dibatasi oleh akomodasi yang tersedia di lokasi
Disebabkan oleh daya tampung populasi, akses dan fasilitas
Permintaan terhadap sumberdaya
Sensitive terhadap permintaan yang berlebihan
Konsentrasi tertinggi pada weekend dan hari libur publik
Keuntungan ekonomi
Tinggi karena masuknya modal, pengeluaran akibat wisata dan pekerja
Rendah dengan adanya batasan pekerja dan pengeluaran
Sumber : Bovy and Lawson, 1998
9
Dengan melihat penjabaran terkait perbedaan pemahaman yang dilihat dari
karakteristik pariwisata dan rekreasi di atas, bahwa wisata alam dalam konteks
penelitian ini merupakan bentuk dari rekreasi ruang terbuka karena beberapa
karakteristik tersebut dapat teridentifikasi pada kondisi di lapangan. Namun terdapat
karakteristik pemahaman pariwisata dalam konteks kawasan wisata alam yakni pada
aspek kualitas lingkungan dimana, kawasan wisata alam Kecamatan Pacet memiliki
tujuan yang unik sebagai karakter pembeda dari wisata alam lain yakni berupa
wisata kolam air panas. Perbedaan karakteristik tersebut di atas nantinya akan dilihat
peneliti sebagai bahan pertimbangan dalam merumuskan konsep rancangan
kawasan wisata alam Kecamatan Pacet yang cenderung mengarah pada karakteristik
rekreasi alam ruang terbuka.
2.1.2 Aspek Pokok Pariwisata
Pengembangan kepariwisataan disuatu daerah berarti mengembangkan
potensi fisik didaerah tersebut. Disetiap obyek atau kawasan wisata mempunyai
aspek-aspek yang saling tergantung satu sama lainnya, hal ini diperlukan agar
wisatawan dapat menikmati suatu pengalaman yang memuaskan dan diharapkan
wisatawan dapat berkunjung kembali. Aspek-aspek yang mempengaruhi wisata
dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori menurut Suwantoro (1997), yaitu :
1. Daya tarik daerah tujuan wisata
Daya tarik wisata di daerah tujuan wisata adalah segala sesuatu yang memicu
seseorang/kelompok mengunjungi suatu tempat akan daerah tujuan wisata
karena memiliki makna tertentu seperti lingkungan alam, tempat bersejarah,
atau peristiwa-peristiwa tertentu. Daya tarik wisata yang ada juga dapat
mencerminkan kategori jenis wisata. Adapun jenis wisata yang didasarkan
atas daya tarik yang dimiliki menurut Yoeti (1994) adalah :
a. Potensi alam di kawasan meliputi keindahan dan keasrian alami
kawasan ataupun kenaekaragaman flora dan fauna, yang mampu
menawarkan jenis kegiatan pariwisata aktif maupun pasif.
b. Potensi budaya di kawasan berupa kebiasaan hidup masyarakat di
kawasan wisata yang dapat dikembangkan untuk menunjang kegiatan
pariwisata.
10
c. Hasil ciptaan manusia seperti benda- benda bersejarah, gerai seni,
kesenian rakyat, dan museum.
2. Fasilitas yang tersedia di daerah tujuan wisata
Fasilitas adalah segala sesuatu yang melengkapi dan memudahkan proses
berjalannya kegiatan wisata. Fasilitas cenderung mendukung bukan
mendorong pertumbuhan dan berkembang pada saat yang sama ketika
atraksi yang merupakan daya tarik wisata di kawasan wisata berkembang.
Dalam melakukan perjalanan kesuatu tempat atau daerah yang menjadi
tujuan wisata diperlukan pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan dan
keinginan wisatawan. Untuk itu sebelum melakukan perjalanan terlebih
dahulu perlu diketahui tentang fasilitas transportasi, akomodasi, dan fasilitas
perbelanjaan, obyek dan atraksi wisata yang ada di daerah tujuan, aktifitas
rekreasi yang dapat dilakukan. Sehingga ketersediaan atau kelengkapan
fasilitas juga akan memperkuat daya tarik di daerah tujuan wisata.
3. Aksesibilitas
Aksesibilitas menurut Warpani (2007) merupakan daya hubung antar zona
untuk mempermudah mencapai tujuan dari dan ke daerah tujuan wisata.
Adapun wujud unsur yang dijadikan tolak ukur pada dasarnya berupa :
a. Klasifikasi kelas jalan
b. Jarak kawasan wisata ke Kecamatan pintu gerbang utama
c. Ketersediaan jumlah moda angkutan beserta jaringan trayek
d. Kondisi prasarana dan sarana perhubungan darat, laut, dan udara
e. Frekuensi dan kecepatan layanan moda transportasi menuju kawasan
wisata.
Yoeti (1994) juga membagi produk wisata menjadi tiga bagian yaitu:
1. Aspek Lingkungan Alamiah
Aspek lingkungan alamiah adalah benda-benda yang tersedia dan terdapat di
alam semesta. Hal-hal yang menjadi atribut dalam pengembangan produk
wisata antara lain:
a. Keindahan, yaitu berkaitan dengan kondisi iklim, bentuk tanah dan
pemandangan.
11
b. Kelestarian, yaitu yang berkaitan dengan kelestarian dari flora dan
fauna dan kebersihan
2. Aspek Lingkungan Buatan
Aspek lingkungan buatan merupakan segala sesuatu yang terdapat di daerah
tujuan wisata yang merupakan buatan manusia. Atribut yang termasuk dalam
lingkungan buatan adalah:
a. Atraksi Wisata, adalah berbagai sajian wisata yang dipersiapkan
terlebih dahulu agar dapat dilihat dan dinikmati. Atraksi wisata dapat
berupa tari-tarian, nyanyian, kesenian rakyat tradisional, upacara adat
dan lain-lain.
b. Benda-benda Tradisional, yaitu benda-benda bersejarah, kebudayaan
dan keagamaan dengan beberapa indikatornya yaitu; adanya
monumen bersejarah, adanya museum bersejarah, perpustakaan, dan
kerajinan tradisional (handicraft).
c. Hospitality (keramah tamahan), yaitu berkaitan dengan tata cara
budaya tradisional dari masyarakat yang merupakan salah satu aspek
yang penting untuk ditawarkan kepada wisatawan.
3. Aspek Prasarana dan Sarana Wisata
Aspek prasarana dan sarana dinilai berdasarkan faktor-faktor kualitas yang
terdiri sarana wisata dan transportasi. Hal-hal yang berkaitan dengan sarana
dan prasarana wisata terkait beberapa atribut yaitu:
a. Recreative and Sportive Plant atau sarana rekreasi
b. Residental Tourist Plant, yaitu fasilitas yang dapat menampung
kedatangan wisatawan yang berbentuk akomodasi wisata. Fasilitas ini
terdiri dari penginapan hotel atau tempat makan atau restoran.
c. Sarana pelengkap atau penunjang kepariwisataan (suplementing
tourism superstructure), sarana pelengkap/penunjang ini adalah
tempat-tempat yang menyediakan fasilitas untuk rekreasi yang
fungsinya tidak hanya melengkapi sarana pokok kepariwisataan,
tetapi yang terpenting adalah untuk membuat wisatawan dapat lebih
lama tinggal di tempat wisata.
12
d. Sarana penjualan yaitu berupa toko-toko yang menjual barang-barang
cindera mata atau benda-benda lain khusus bagi wisatawan.
e. Utilitas, yaitu terkait dengan ketersediaan listrik dan sanitasi seperti
toilet dan air bersih.
f. Prasarana sosial yang juga sangat penting adalah sarana pendidikan
dan kesehatan.
g. Transportasi, pengangkutan yang dapat membawa wisatawan dari
daerah asalnya menuju tempat wisata. Dalam aspek ini terdapat dua
hal yang terkait yaitu ketersediaan sarana transportasi dan
aksesibilitas. Sarana transportasi terkait dengan moda kendaraan yang
digunakan dalam perjalanan menuju tempat wisata. Sedangkan
aksesibilitas adalah kemudahan mencapai kawasan tujuan wisata
Komponen pariwisata yang telah dijabarkan di atas, beberapa komponen
pariwisata memiliki maksud yang setara dengan unsur pariwisata di sumber yang
lain, sehingga dapat saling menggantikan dan melengkapi.
Pendapat yang diungkapkan oleh Yoeti (1985) terkait sumber daya alam
sebagai penyedia produk merupakan bagian dari lingkungan alamiah yang dapat
dimanfaatkan baik secara langsung ataupun tidak langsung sebagai daya tarik
wisata. Pendapat tersebut dipertegas lagi oleh Suwantoro (1997) terkait daya tarik
wisata. Daya tarik wisata yang ada di daerah tujuan wisata dapat berupa potensi
lingkungan alam dengan sumberdayanya. Dapat disimpulkan bahwa unsur utama
pembentuk pariwisata adalah daya tarik wisata yang telah tersedia oleh lingkungan
alam.
2.2 Konsep- konsep Pengembangan Kawasan Pariwisata
2.2.1 Konsep Keruangan dalam Pengembangan Kawasan Pariwisata
Adisasmita (2010) mendefiniksan kawasan sebagai bentangan permukaan
(alam) dengan batas- batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek fungsional
dan memiliki fungsi tertentu seperti kawasan lindung, kawasan budidaya, kawasan
pesisir, dan kawasan pariwisata. Kawasan wisata juga dapat diartikan sebagai suatu
area dimana didalamnya terdapat sejumlah obyek wisata dan sejumlah atraksi
13
wisata, yang secara keseluruhan tergabung dalam DTW (Daerah Tujuan Wisata)
(Suharso, 2009).
Hubungannya dengan dimensi geografi, konsep spasial pariwisata dapat
dilihat dalam beberapa aspek yakni tebaran keruangan daya tarik wisata, lokasi
akomodasi, dan simpul jasa angkutan. Aspek spasial geografi pariwisata merupakan
faktor penting karena pemanfaatan aspek spasial berarti menghadirkan unsur aspek
fisik kepada wisatawan. Dimensi geografi pada dasarnya sangat menekankan pada
hubungan antar ruang (spatial) dengan beberapa isu mengenai dan berpengaruh
terhadap skala ruang, distribusi, pergerakan dan fenomena wisatawan, hubungan
wisatawan dan lingkungan, dampak pariwisata, serta model hubungan ruang.
Gunn (1994) memberikan beberapa pertimbangan dalam melihat pariwisata
dalam konteks ruang wilayah; Geografi yang akan mempengaruhi permintaan pasar,
karena akan tergantung pada jarak, waktu, dan kemudahan akses. Suatu wilayah
terdiri dari beberapa bagian Geografi dasar dan bagian fungsional pariwisata, suatu
wilayah pariwisata akan memiliki tiga unit fungsional utama, yaitu komplek objek
tujuan wisata, masyarakat dan koridor sirkulasi, dimana wilayah koridor yang
menyatukan dan memberikan akses wisatawan kedalam destinasi wisata.
Menurut Suharso (2009), konsep spasial dalam suatu perjalanan pariwisata
mempunyai komponen sebagai berikut:
1. Daerah asal wisatawan (origin)
Menyangkut tempat tinggal wisatawasan terutama wisatawan domestik atau
daerah tempat tinggal wisatawan bisa berada didalam Wilayah Pengembangan
Pariwisata (WPP), namun jumlahnya lebih kecil dibanding dengan jumlah
wisatawan keseluruhan.
2. Pintu gerbang (entrance)
Memiliki pintu masuk atau keluar wisatawan ke WPP, pintu gerbang yang akan
sering digunakan oleh wisatawan domestik pada umumnya melalui gerbang
lokal.
3. Jalur penghubung (circulation corridor)
Menyangkut pola pergerakan serta pola perjalanan pariwisata, yakni prasarana
dan sarana penghubung yang digunakan wisatawan untuk mencapai atraksi dan
objek wisata.
14
4. Lingkungan pariwisata (destination zone)
Lingkungan pariwisata mempunyai objek pariwisata beserta jalur internalnya
dengan beberapa komponen yakni pusat pelayanan, gerbang masuk lingkungan,
konsentrasi objek, serta jalur penghubung dan jaringan internal. Komponen
pembentuk lingkungan pariwisata tersebut dapat menciptakan suatu pengalaman
perjalanan (travel experience) tersendiri bagi pengunjung kawasan wisata.
Model spasial dalam pengembangan kawasan wisata lainnya dapat dilihat pada studi
yang dilakukan oleh Lue dan Crompton (1992) dalam Gunn (1994) yang membagi
lima konfigurasi yaitu.
1. Single destinations : sebagian besar kegiatan dalam satu tujuan/ destinasi
2. En route : beberapa destinasi dikunjungi dalam satu tujuan utama sebagai akhir
perjalanan
3. Base camp : mengunjungi destinasi lainnya didalam tempat tujuan utama
4. Regional Tour : beberapa destinasi dikunjungi ketika berada dalam satu sasaran
wisata daerah
5. Trip Chaining : rangkaian perjalanan dari beberapa destinasi wisata.
Gambar 2. 1 Konfigurasi Ruang Kawasan Wisata (Gunn, 1994)
Dari penjabaran beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa konsep
spasial dalam pengembangan kawasan wisata erat kaitannya dengan kondisi
Geografi. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Gunn (1994) bahwa suatu wilayah
terdiri dari beberapa bagian Geografi dasar dan bagian fungsional pariwisata yang
memiliki tiga unit fungsional utama. Hal tersebut ditegaskan oleh Suharso (2009)
terkait komponen dalam konsep spasial pariwisata serta penelitian Lue dan
Crompton (1992) dalam Gunn (1994) yang mekonfigurasikan konsep spasial
pengembangan kawasan wisata berdasarkan destinasi wisata.
15
2.2.2 Konsep Pembangunan Berkelanjutan dalam Pengembangan Kawasan
Wisata
Pembangunan berkelanjutan menurut World Commission on Environmental
and Development Tahun (1987) dalam UNEP WTO (2005) diartikan sebagai
pembangunan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa
mengorbankan kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan
mereka sendiri. Dalam hal ini terdapat dua konsep uatama yang dikemukakan, yaitu
kebutuhan dan keterbatasan kemampuan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan
generasi sekarang dan yang akan datang. Dengan demikian diperlukan pengaturan
agar lingkungan tetap mampu mendukung kegiatan pembangunan dalam rangka
memenuhi kebutuhan manusia.
Menurut Ardiwidjaja (2003), berkelanjutan dapat diartikan sebagai
kelestarian yang menyangkut aspek fisik, sosial, dan politik dengan memperhatikan
pengelolaan sumberdaya alam yang mencakup hutan, tanah dan air, pengelolaan
dampak pembangunan terhadap lingkungan serta pembangunan sumberdaya
manusia. Selain itu menurut Swarbrooke (1998), mengatakan bahwa pada
hakekatnya parisiwata berkelanjutan harus terintegrasi pada tiga dimensi. Adapun
tiga dimensi tersebut adalah dimensi sosial, dimensi ekonomi, dimensi lingkungan.
Berdasarkan konteks pembangunan berkelanjutan, pariwisata berkelanjutan dapat
didefinisikan sebagai pembangunan kepariwisataan yang sesuai dengan kebutuhan
wisatawan dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan alam. Daerah tujuan
wisata yang sukses tergantung pada keindahan dan keutuhan lingkungan sekitar.
Daerah tujuan wisata yang tidak dapat menjaga keutuhan lingkungan baik fisik
ataupun sosial budaya akan mengalami penurunan kualitas, penduduk lokal akan
mengalami kerugian akibat kerusakan lingkungan, hilangnya kekhasan budaya asli
serta berkurangnya keuntungan dibidang ekonomi. Selain itu menurut Gunn (1994),
suatu kawasan wisata yang baik & berhasil harus memperhatikan :
a. Mempertahankan kelestarian lingkungan
b. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat di kawasan tersebut
c. Menjamin kepuasan pengunjung
d. Meningkatkan keterpaduan dan unit pembangunan masyarakat disekitar
kawasan dan zona pengembangannya.
16
2.2.3 Kelestarian Lingkungan
Kelestarian lingkungan dalam konteks pembangunan berkelanjutan erat
kaitannya dengan upaya menyeimbangkan sistem ekologi lingkungan yang
terbentuk dalam suatu kawasan. Kelestarian lingkungan dalam proses perancangan
lanskap kawasan merupakan salah satu sumberdaya atau elemen yang harus
dipertimbangkan. Perencanaan dan perancangan lanskap yang mempertimbangkan
kelestarian lingkungan sebagai elemen sumberdaya, selalu menggunakan
pendekatan proses penilaian lingkungan untuk menentukan kesesuaian kawasan
terhadap perencanaan, rancangan, dan preservasi ruang terbuka (Gold. M, 1980).
Proses penilaian lingkungan sebagai upaya menjaga konsistensi kelestarian
lingkungan sebuah kawasan di jabarkan oleh Mc. Harg terdiri dari nilai sosial dan
nilai lingkungan itu sendiri. Nilai sosial dapat terbentuk dari adanya sumber daya
alam vital bagi kehidupan (lahan, udara, serta air) yang dimanfaatkan dalam
pengembangan beberapa aktivitas seperti rekreasi dan perumahan (Mc. Harg, 1971).
Sedangkan nilai lingkungan dapat diidentifikasi melalui proses fisik dan biological
(geologi permukaan, fisiografi, hidrologi, jenis tanah, ekologi tanaman, habitat
binatang khas, dan penggunaan lahan) di seluruh kawasan (Mc. Harg, 1971).
Salah satu bentuk upaya pelestarian alam dalam proses perencanaan dan
perancangan lanskap adalah melihat fenomena alam serta kemungkinan kesesuaian
penggunaan lahan yang ada. Berikut adalah klasifikasi fenomena alam dengan
kesesuaian penggunaan lahan menurut Mc. Harg, 1971.
Tabel 2. 2 Penggunaan Lahan Menurut Fenomena Alam
Fenomena Alam Penggunaan Lahan Yang Disarankan
Air permukaan dan lahan tepi perairan Pelabuhan, marina, pengolah air, industri yang butuh air, ruang terbuka untuk institusi dan perumahan, pertanian, hutan, dan rekreasi
Rawa- rawa Rekreasi Banjir 50- tahunan Pelabuhan, marina, pengolah air, industri
yang butuh air, pertanian, hutan, rekreasi, ruang terbuka untuk institusi dan perumahan.
Kantong air bawah tanah Pertanian, hutan, rekreasi, industri yang tidak menghasilkan limbah beracun atau menjijikkan, ruang terbuka untuk institusi dan perumahan
17
Fenomena Alam Penggunaan Lahan Yang Disarankan
Daerah resapan air Pertanian, hutan, rekreasi, industri yang tidak menghasilkan limbah beracun atau menjijikkan, ruang terbuka untuk institusi dan perumahan
Lahan pertanian utama Pertanian, hutan, rekreasi, ruang terbuka untuk institusi dan perumahan jarang < 1 rumah per 10 Ha
Lahan dengan slope curam (> 20%) Hutan, rekreasi, rumah dengan kepadatan 1 rumah/ 1,2 Ha, berhutan
Hutan dan lahan berpohon lebat Hutan, rekreasi, rumah dengan kepadatan 1 rumah/ 0,4 Ha, berhutan
Sumber : Mc. Harg, (1971)
2.2.4 Pendekatan Ekowisata
I. Definisi Ekowisata
Pada dasarnya konsep ekowisata merupakan turunan atau bentuk dari
penjabaran prinsip pembangunan berkelanjutan sebagaimana telah dijabarkan
pada sub bab sebelumnya. Ekowisata sering merujuk sebagai sesuatu yang
Hijau, Konservasi, dan berkelanjutan. Kata eko- diimplikasikan sebagai ekologi
yang memiliki hubungan antara organism kehidupan dan lingkungan mereka,
sehingga membentuk jalinan antara pengembangan wisata dan lingkungannya.
Pemahaman lain terkait ekowisata menurut pendapat Honey (1999) dalam
Drumm dan Moore (2002) menjelaskan bahwa ekowisata sebenarnya merupakan
perjalanan menuju area yang masih rentan, murni, dan biasanya daerah yang
dilindungi dan diusahakan memiliki dampak yang rendah dan biasanya dalam
skala kecil. Ekowisata biasanya memiliki tujuan membantu mendidik para
wisatawan, membantu menyediakan dana untuk konservasi, pemberdayaan
masyarakat lokal, dan menghargai setiap budaya lokal yang berbeda. Pada
hakekatnya ekowisata yang melestarikan dan memanfaatkan alam dan budaya
masyarakat, jauh lebih ketat dibanding dengan hanya keberlanjutan.
Pembangunan ekowisata berwawasan lingkungan jauh lebih terjamin hasilnya
dalam melestarikan alam dibanding dengan keberlanjutan pembangunan. Sebab
ekowisata tidak melakukan eksploitasi alam, tetapi hanya menggunakan jasa
alam dan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pengetahuan, fisik/ dan
psikologis wisatawan.
18
II. Prinsip Ekowisata
Ekowisata pada dasarnya memiliki prinsip ataupun kriteria yang harus dipenuhi
dalam upaya pengembangan ataupun perancangan kawasan wisata alam. Prinsip
penting yang harus mendasari konsep ekowisata menurut Wight (1992) dalam Gunn
(1994) adalah:
1. Seharusnya tidak menurunkan sumber daya alam dan harusnya
dikembangkan dalam sebuah perilaku lingkungan yang sensitif
2. Seharusnya melibatkan tangan pertama, partisipasi, dan pengalaman yang
memberikan pencerahan
3. Seharusnya pendidikan terlibat dalam seluruh bagian- komunitas lokal,
pemerintah, organisasi diluar pemerintah, industri, dan wisatawan (sebelum,
selama proses, dan setelah perjalanan)
4. Seharusnya menggabungkan seluruh pengakuan para pihak dari nilai inti
yang dihubungkan pada nilai hakiki dari sebuah sumber daya
5. Seharusnya melibatkan penerimaan dari kekhasan sebuah sumberdaya yang
dimiliki, dan mengakui sumberdaya sebagai sebuah keterbatasan, yang
melibatkan pengelolaan supply-oriented
6. Seharusnya menyediakan keuntungan jangka panjang : bagi sumberdaya,
komunitas lokal dan industri (keuntungan yang mungkin dalam bentuk
konservasi, ilmu pengetahuan, sosial, budaya, atau ekonomi).
7. Seharusnya mendorong tanggung jawab moral dan etika serta tingkah laku
seluruh pihak
8. Seharusnya mendorong pemahaman dan melibatkan hubungan antara banyak
pihak, yang dapat terdiri dari pemerintah, organisasi di luar pemerintah,
industri, ilmu pengetahuan, dan penduduk lokal (sebelum pengembangan dan
selama proses).
Menurut Drumm dan Moore (2002), pada dasarnya ekowisata harus
diimplementasikan secara fleksibel. Adapun elemen penting bagi keberhasilan akhir
dari sebuah inisiatif konsep ekowisata, maka ekowisata haruslah.
1. Memiliki dampak yang rendah pada kawasan lindung yang masih memiliki
sumber daya alami
19
2. Melibatkan stakeholders (individu, komunitas, eko- wisatawan, pelaku
operator wisata, dan institusi pemerintah) di dalam perencanaan,
pengembangan, perancangan, dan bagian implentasi serta monitoring.
3. Menghasilkan pendapatan untuk melindungi area konservasi dan
4. Pendidikan seluruh stakeholder tentang peranan mereka dalam upaya
konservasi.
Dari prinsip atau kriteria secara makro terkait pemahaman ekowisata seperti
yang telah dijabarkan maka, terdapat beberapa persamaan pendapat yang dapat
dipertimbangkan menjadi poin penting dari konsep ekowisata pada objek penelitian
nantinya. Adapun poin penting tersebut yakni melihat konsep ekowisata sebagai
upaya pengembangan wisata yang harus melihat keterbatasan sumberdaya dan harus
mempertimbangkan aspek konservasi serta harus melibatkan stakeholder (individu,
komunitas, eko- wisatawan, pelaku operator wisata, dan institusi pemerintah).
III. Pendekatan Pengelolaan Ekowisata
Sebagaimana yang telah dikaji pada sub bab sebelumnya, ekowisata merupakan
bentuk wisata yang dikelola dengan pendekatan konservasi. Apabila ekowisata
pengelolaan alam dan budaya masyarakat yang menjamin kelestarian dan
kesejahteraan, sementara konservasi merupakan upaya menjaga kelangsungan
pemanfaatan sumberdaya alam untuk waktu kini dan masa mendatang. Di dalam
pemanfaatan areal alam untuk ekowisata haruslah mempergunakan pendekatan
pelestarian dan pemanfaatan. Kedua pendekatan dalam pengelolaan ekowisata ini
dilaksanakan dengan menitikberatkan pelestarian dibanding pemanfaatan. Untuk
memahami hal tersebut konsep ekowisata dapat dituangkan secara fisik spasial yang
membagi suatu kawasan wisata berdasarkan pada pendekatan pelestarian. Konsep
spasial menurut Wallance (1995) dalam Laporan Akhir BPP- PSPL Universitas
Riau (2006) mengilustrasikan kemungkinan dan kebutuhan akan zonasi pada konsep
ekowisata yang memunculkan variasi spektrum zonasi seperti berikut ini :
1. Pedesaan mungkin mencakup semua wilayah yang bersebelahan dengan taman
wisata, taman wisata tersebut bekerja dengan pemilik lahan perorangan untuk
mengembangkan kegiatan-kegiatan wisata.
20
2. Zonasi Intensif/rekreasi. Zonasi ini mungkin mencakup areal-areal rekreasi
yang berkembang di taman wisata dekat masyarakat lokal atau lokasi-lokasi
yang berkaitan dengan taman wisata tapi berada di dalam komunitas
masyarakat. Zona ini dirancang untuk pengunjung dalam jumlah besar.
3. Zona Intensif/alami. Zona ini akan mencakup lokasi-lokasi kunjungan dengan
nilai-nilai yang dominan dalam hal kehidupan liar (wildlife), ekosistem, atau
riwayat kultural dan natural, tetapi dengan kendala sumberdaya yang bertaraf
sedang-sedang saja. Zona ini cenderung mengarah pada lokasi-lokasi dengan
berbagai jarak dari kota-kota pelabuhan.
4. Zona Ekstensif/natural. Zona ini mencakup lokasi-lokasi dengan nilai-nilai
yang menonjol dalam hal kehidupan liar, ekosistem, serta nilai sejarah kultural
atau natural, dengan kendala sumberdaya yang lebih bersifat spesifik terhadap
lokasi. Lokasinya mempunyai jarak yang bervariasi dari kota-kota pelabuhan.
5. Semiprimitif. Zona ini mencakup wilayah-wilayah pedalaman atau pantai-
pantai yang terpencil, yang biasanya pada pulau-pulau yang lebih besar yang
tidak berpenghuni. Zona ini berjarak 1 mil dari setiap jalan atau wilayah pantai
yang bisa dilalui kendaraan bermotor.
6. Asli/ilmiah. Zona ini merupakan pulau-pulau atau bagian-bagian dimana nilai
ekosistemnya adalah tertinggi dengan tanpa atau sangat sedikit introduksi-
introduksi spesies eksotik. Biasanya zona ini terpencil dan tidak
berpenghuni,serta mempunyai kendala sumberdaya lebih spesifik lagi dari
lokasi
Berbeda dengan konsep tersebut di atas, secara sederhana konsep spasial dalam
ekowisata menurut Drumm et.al (2004) tergantung pada.
1. Manajemen tujuan dan prioritas dari site
2. kualitas dan keragaman sumber daya alam dan budaya serta tingkat
perubahan atau kerusakan
3. Jenis penggunaan zona yang telah direncanakan (banyaknya jenis zona yang
digunakan mengakibatkan konflik dengan satu sama lain dan dengan
demikian harus terpisah secara geografi).
Lebih jauh dari sekedar pembagian zona dalam perencanaan ekowisata, Boo
(1991) dalam Gunn (1994) mengidentifikasi 6 elemen yang dibutuhkan dalam
21
perencanaan dan perancangan dalam sebuah area yang memiliki sumber daya.
Adapun elemen tersebut adalah : (a). sistem koleksi pada pintu masuk, (b). pelatihan
pariwisata untuk para personil, (c). sistem penerjemahan jejak wisata, (d). pusat
pengunjung dengan interpretasi, (e). sistem monitoring dampak lingkungan, (f).
pelayanan (penginapan dan kedai makanan ringan). Berbeda dengan pendapat
sebelumnya, Gunn (1988, 85) dalam Gunn (1994) menentukan konsep spasial
dengan tujuan bagaimana mewujudkan fungsi pariwisata yang terintegrasi dengan
konsep ekowisatanya. Dimana konsep zona tersebut melingkupi zona perlindungan
sumber daya, zona penggunaan rendah, zona rekreasi, zona wisatawan, dan zona
pelayanan komunitas. Untuk pemahaman lebih lanjut dapat dilihat ilustrasi gambar
berikut.
Gambar 2. 2 Konsep Spasial Ekowisata (Gunn, 1988 dalam Gunn, 1994)
Pendekatan spasial dalam konsep ekowisata seperti yang telah terjabarkan, pada
dasarnya merupakan pengembangan dari konsep dasar yang dirumuskan oleh
UNESCO (1995) terkait zonasi kawasan cagar biosfer. Adapun pembagian zonasi
sebagai upaya pengelolaan cagar biosfer adalah.
1. Zona Inti
Zona ini merupakan kawasan konservasi atau kawasan lindung dengan luas
yang memadai, dan memiliki perlindungan hukum jangka panjang dalam
melestarikan sumberdaya keanekaragaman hayati dan ekosistemnya.
22
2. Zona Penyangga
Zona ini merupakan area yang mengelilingi zona inti yang dapat melindungi
zona inti dari dampak negatif kegiatan manusia, dimana dalam zona ini
hanya diperuntukkan bagi kegiatan yang sesuai dengan tujuan konservasi
yang dapat dilakukan.
3. Zona Transisi
Zona ini merupakan zona terluar yang berhimpit dengan zona penyangga,
dimana pada zona ini kegiatan pengelolaan sumberdaya alam secara lestari
dikembangkan dengan model pembangunan berkelanjutan.
Gambar 2. 3 Zonasi Cagar Biosfer (UNESCO, 1995)
Dari seluruh pendekatan dan pengelolaan ekowisata secara spasial yang telah
terjabarkan di atas pada dasarnya adalah sebuah bentuk pengembangan konsep dasar
dari apa yang telah dirumuskan oleh UNESCO (1995). Jika dilihat dari kompleksitas
sebuah konsep spasial dari beberapa pengembangan tersebut, maka konsep spasial
Wallance (1995) dalam Laporan Akhir BPP- PSPL Universitas Riau (2006) yang
dikolaborasikan dengan konsep spasial dalam Gunn (1994) akan menjadi paduan
konsep yang komprehensif untuk dipertimbangkan dalam merancang objek
penelitian.
23
2.3 Perancangan Kawasan Wisata
2.3.1 Perancangan Kawasan Wisata Alam Bagian Dari Arsitektur Lanskap
Interpretasi masyarakat awam mengenai arsitektur lanskap pada umunya
adalah suatu bentang alam atau suatu perencanaan lingkungan, perencanaan tapak
atau perancangan perkotaan. Arsitektur lanskap diterjemahkan oleh Eckbo (1969)
adalah bagian dari kawasan lahan yang dibangun atau dibentuk oleh manusia di luar
bangunan, jalan, utilitas dan sampai ke alam bebas, yang dirancang terutama sebagai
ruang untuk tempat tinggal manusia. Arsitektur lanskap saat ini menjadi lebih
terlibat di dalam perencanaan sebuah site, perancangan kota, rekreasi dan
permasalahan wilayah. Hal tersebut dikarenakan fungsi dari perancangan lanskap
yang menghubungkan kemungkinan kondisi fisik terbaik terhadap orang dan dunia
disekitar mereka. Lebih spesifik terkait arsitektur lanskap terlibat dalam proses
perancangan kawasan ditegaskan oleh pendapat Laurie (1994) bahwa arsitektur
lanskap merupakan semua yang dapat dan harus dilakukan dengan mengubah dan
atau menyesuaikan kawasan lahan agar siap terhadap program baru. Pendapat lain
lagi dikemukakan oleh Newton (1971) bahwa Arsitektur Lanskap adalah seni dan
pengetahuan yang mengatur permukaan bumi dengan ruang-ruang serta segala
sesuatu yang ada di atas bumi untuk mencapai efisiensi, keselamatan, kesehatan dan
kebahagiaan umat manusia.
Dalam merancang arsitektur lanskap, terdapat empat elemen yang perlu
diperhatikan dan diwaspadai oleh perancang menurut Eckbo (1969) yaitu.
1. Kepribadian yang mewakili desainer
2. Permasalahan teknis
Permasalahan teknis disebabkan oleh pola gradasi (grading patterns) yang
meliputi kesuburan permukaan tanah, struktuk batuan, potongan lahan
curam, softscape, kepadatan tanah, perubahan tingkat vegetasi, dan
perubahan pola drainase. Selain itu juga disebabkan oleh faktor konstruksi
bangunan.
3. Fungsional atau permasalahan penggunaan
Meliputi hubungan antara pengguna, site, kondisi lingkungan disekitar juga
terkait aktifitas dan kondisi spesifik di luar ruangan (kualitas pemandangan
baik atau buruk).
24
4. Permasalahan estetika
Meliputi harmonisasi dan keindahan yang tersusun dalam sebuah ruang yang
ditentukan oleh penempatan bangunan, pohon, bentuk tanah, batuan, pola
permukaan tanah, dan peletakkan semak.
Perencanaan lanskap merupakan kemampuan untuk mengumpulkan dan
mengintepretasikan data, memproyeksikan masa depan, mengidentifikasi masalah
dan member pendekatan yang beralasan untuk memecahkan masalah tersebut
(Knudson, 1980). Perencanaan Lanskap dapat dilakukan melalui beberapa
pendekatan diantaranya adalah.
1. Pendekatan sumberdaya
Merupakan suatu pendekatan melalui penentuan tipe- tipe serta alternatif
aktivitas rekreasi dan wisata berdasarkan pertimbangan kondisi dan situasi
sumberdaya
2. Pendekatan aktivitas
Merupakan suatu pendekatan melalui penentuan tipe dan alternatif aktivitas
berdasarkan seleksi terhadap aktivitas pada masa lalu untuk memberikan
kemungkinan yang dapat dilakukan pada masa mendatang
3. Pendekatan ekonomi
Merupakan suatu pendekatan melalui penentuan tipe, jumlah, dan lokasi
kemungkinan aktivitas berdasarkan pertimbangan ekonomi
4. Pendekatan perilaku
Merupakan suatu pendekatan melalui penentuan kemungkinan aktifvitas
berdsarkan pertimbangan perilaku manusia.
Mengingat interpretasi orang awam yang melihat arti dari Lanskap adalah
sebagai sebuah perencanaan tapak, Menurut Laurie (1994) perencanaan tapak
merupakan bentuk pendekatan ke masa depan terhadap suatu lahan yang diikuti
imajinasi dan kepekaan terhadap analisis tapak. Menurut Gold (1980) dalam Gunn
(1994), prinsip umum dalam perencanaan Lanskap terutama perencanaan pada suatu
kawasan rekreasi/ wisata adalah:
1. Semua orang harus melakukan aktivitas dan memakai fasilitas rekreasi
2. Rekreasi harus dikoordinasikan dengan kemungkinan rekreasi yang lain
untuk menghindari duplikasi
25
3. Rekreasi harus berintegrasi dengan pelayanan umum lain seperti kesehatan,
pendidikan, dan transportasi
4. Fasilitas harus dapat beradaptasi dengan permintaan di masa yang akan
datang
5. Masyarakat dan sistem sosial budayanya harus terlibat dalam proses
perancanaan
6. Perencanaan lokal dan regional harus berintegrasi
7. Terlebih dahulu harus tersedia lahan yang akan dikembangkan dan dirancang
sebagai kawasan wisata
8. Fasilitas yang ada harus menjadikan lahan yang tersedia menjadi seefektif
mungkin dalam menyediakan tempat yang sesuai dengan daya dukung
lingkungannya demi kenyamanan, keamanan, dan kebahagiaan pengunjung.
Perencanaan lanskap kawasan wisata alam merupakan suatu perencanaan
yang menyesuaikan dengan bentuk program rekreasi yang menjaga kelestarian suatu
lanskap. Program wisata alam dibuat untuk menciptakan lingkungan fisik luar atau
bentang alam yang dapat mendukung tindakan dan aktivitas rekreasi manusia yang
menunjang keinginan, kepuasan dan kenyamanannya, dimana proses perencanaan
dimulai dari pemahaman sifat dan karakter serta kebijakan manusianya dalam
menggunakan tapak untuk kawasan wisata (Knudson, 1980).
2.3.2 Ruang Dalam Perancangan Lanskap
Untuk merancang atau mendesain proyek arsitektur lanskap, seorang
desainer lanskap perlu memahami tentang ruang terutama ruang luar (outdoor/ open
space). Manusia bergerak dan selalu berada di dalam ruang. Ruang tidak dapat
dipisahkan dari kehidupan manusia di mana berada, menghayati, berpikir, dan juga
menciptakan ruang untuk menyatakan bentuk dunianya. Semua kehidupan dan
kegiatan manusia sangat berkaitan dengan ruang. Hubungan antara manusia dengan
suatu obyek, secara visual atau yang terlihat, terdengar, tercium, teraba, dan terasa
selalu menimbulkan kesan ruang. Oleh karena itu, titik tolak perancangan ruang
harus selalu didasarkan pada kehidupan manusia baik secara dimensional maupun
psikologis dan emosional.
26
I. Ruang Terbuka
Ruang terbuka adalah karakter arsitektur dari ruang luar, baik yang
mempunyai batasan maupun terbuka yang berisi struktur elemen Lanskap.
Ruang terbuka merupakan keseluruhan lanskap, termasuk perkerasan, jalan,
trotoar, taman, tempat rekreasi, dan sebagainya. Ruang luar sendiri memiliki arti
sebagai lingkungan luar buatan manusia yang memiliki arti sepenuhnya dengan
maksud tertentu dan sebagai bagian dari alam (Ashihara, 1993). Ruang terbuka
dapat didefinisikan sebagai hamparan tanah/lahan dan air di wilayah perkotaan
yang tidak tercakup oleh mobil atau bangunan, atau sebagai hamparan lahan
yang belum dikembangkan dalam wilayah perkotaan (Gold, 1980 dalam Wolley,
2003). Sedangkan dari sudut pengguna, Ruang terbuka dapat dilihat sebagai
arena ruang yang memungkinkan untuk berbagai jenis kegiatan yang mencakup
kebutuhan pilihan dan sosial seperti ruang rekreasi, ruang olahraga, dan ruang
alami (Gehl, 1987 dalam Wolley, 2003). Ruang terbuka dapat diklasifikasikan
berdasarkan kegiatan, bentuk, sifat, dan kesan fisiknya (Hakim dan Utomo,
2003). Berdasarkan kegiatan, ruang terbuka dikelompokkan sebagai berikut.
1. Ruang Terbuka Aktif adalah ruang terbuka yang mempunyai unsur-unsur
kegiatan di dalamnya seperti plaza, lapangan olahraga, tempat bermain anak,
penghijauan di tepi sungai dan lainnya.
2. Ruang Terbuka Pasif adalah ruang terbuka yang di dalamnya tidak
mengandung unsur-unsur kegiatan manusia, seperti penghijauan sebagai
sumber pengudaraan lingkungan yang berada pada tepian jalur jalan,
peghijauan sebagai jarak terhadap rel kereta api dan penghijauan bantaran
sungai
Berdasarkan bentuknya, ruang terbuka dikelompokkan sebagai berikut.
1. Ruang Terbuka Bentuk Memanjang (koridor) pada umumya hanya
mempunyai batas pada sisi-sisinya, seperti jalan dan sungai
2. Ruang Terbuka Bentuk Membulat (kawasan) pada umumnya mempunyai
batas di sekelilingnya, seperti lapangan upacara, area rekreasi, dan lapangan
olahraga.
Berdasarkan sifatnya, ruang terbuka dikelompokkan sebagai berikut.
27
1. Ruang Terbuka Lingkungan merupakan ruang terbuka yang terdapat pada suatu
lingkungan dan sifatnya umum.
2. Ruang Terbuka Antar Bangunan merupakan ruang terbuka yang terbentuk oleh
massa bangunan dan dapat bersifat umum ataupun pribadi sesuai dengan fungsi
bangunannya.
Berdasarkan kesan fisiknya, ruang terbuka dikelompokkan sebagai berikut.
1. Ruang Positif adalah ruang terbuka yang diolah dengan peletakan massa
bangunan atau obyek yang melingkupi dan memiliki fungsi.
2. Ruang Negatif/mati (death space) adalah ruang terbuka yang menyebar dan
tidak berfungsi dengan jelas serta bersifat negatif, biasanya terjadi secara
spontan tanpa kegiatan tertentu. Ruang ini terbentuk dengan tidak direncanakan,
tidak terlingkup, dan tidak dapat digunakan (ruang yang terbentuk dengan tidak
sengaja, ruang yang tersisa). Dalam desain lanskap, ruang negatif sebaiknya
dihindari.
Jika menurut Hakim dan Utomo mengelompokkan ruang terbuka dalam
beberapa tipe, pendapat lain mengelompokkan ruang terbuka hanya dibedakan
menjadi dua yakni square dan streets. Square memiliki konotasi yang bersifat statis
berupa taman, lapangan, dan alun- alun. Sedangkan streets memiliki konotasi yang
bersifat dinamis berupa sirkulasi jalan dan jejalur (Hatmoko, 1994). Kategori ruang
terbuka square dan streets ini diimplikasikan bahwa jika ingin memiliki ruang-ruang
untuk bersosialisasi dan untuk fungsi-fungsi rekreatif, kita tidak harus mengadakan
taman kota yang luas, tetapi dapat juga dengan merancang suatu lapangan bermain
atau jalur jalan yang hidup. Disisi lain jika diabaikan, suatu tanah lapang ataupun
jalan tersebut akan dapat menjadi ruang terbuka yang tidak dapat digunakan untuk
beraktifitas (J.W. Kussoy, 2011). Melihat fenomena implikasi ruang terbuka tersebut
diperlukan suatu penilaian terhadap kualitas ruang terbuka. Menurut Tibbalds, 1993
dalam J.W Kussoy, 2011 Untuk menilai kualitas ruang terbuka kota terdapat delapan
kriteria yang berkaitan dengan bentuk fisik bangunan atau asesori kota diantaranya
adalah :
1. Aktivitas dan fungsi campuran
2. Ruang public dan ruang khusus
3. Pergerakan dan keramahan pedestrian
28
4. Manusia dan kepadatan
5. Struktur, kejelasan, dan identitas
6. Kerapian, keamanan, dan kenyamanan
7. Kekayaan visual kawasan
Selain klasifikasi ruang terbuka seperti yang telah disebutkan di atas, dalam
merancang suatu ruang terbuka perlu dipertimbangkan pula skala dan hirarki ruang
terbuka tersebut dalam suatu luasan kawasan/ kota. Beberapa narasumber
mengklasifikasikan ruang terbuka dan kriteria desain ruang terbuka berdasarkan
skala dan hirarkinya, seperti yang dijabarkan pada tabel 2.3 berikut.
Tabel 2. 3 Kriteria Desain Berdasar Klasifikasi Hirarki Ruang Terbuka
Klasifikasi
Ruang
Terbuka
Kriteria Desain Ruang Terbuka Menurut :
Permen PU
No.5/PRT/M/2008 Alexander (2012)
Victoria
Division Parks
(2013)
Local Open Space
Mendefinisikan local open space adalah berupa Ruang terbuka hijau taman rukun tetangga/warga yang harus : Memiliki luas
lahan minimal 1250 m²
Berlokasi kurang dari 1000 meter dari permukiman penduduk disekitarnya
Memiliki luas area yang ditanami tanaman 70%-80% dari luas keseluruhan
Minimal memiliki 10 pohon dengan fungsi pelindung dan jenis pohon kecil- sedang
Mendefinisikan local open space adalah berupa taman kecil yang melayani kebutuhan rekreasi di tengah penduduk berpopulasi sedang yang harus : Memiliki luas lahan 0.4 Ha
hingga 1 Ha Berlokasi yang dapat ditempuh
dengan berjalan 5 menit atau 400 meter dari permukiman
Mempertimbangkan keterhubungan aksesibilitas, jaringan pedestrian dan bersepeda yang aman
Memiliki keterhubungan antara seluruh jaringan pedestrian dan bersepeda dengan titik tujuan kunci/utama.
Bertanggung jawab terhadap unsur/ elemen site alami
Dibangun berdasar sense of place (jiwa tempat)
Membantu melestarikan biodiversitas dan nilai alami kawasan
Harus menjangkau lokal area dengan berjelan kaki dalam raidus 150 meter hingga 300 meter
Harus memiliki luas lahan kurang dari 5 ha atau site yang kecil
Harus memiliki proporsi minimum lebar ruang terbuka 30 meter untuk bisa dijangkau
Neighbourhood Open Space
Mendefinisikan Neighbourhood Open Space adalah berupa RTH Taman kelurahan yang
Mendefinisikan Neighbourhood Open Space (NOS) sebagai fokus kegiatan rekreasi dan kegiatan sosial komunitas. Sehingga komunitas tertarik
Harus dapat dijangkau dengan berjalan kaki sekitar 400
29
Klasifikasi
Ruang
Terbuka
Kriteria Desain Ruang Terbuka Menurut :
Permen PU
No.5/PRT/M/2008 Alexander (2012)
Victoria
Division Parks
(2013)
harus : Memiliki luas
lahan minimum 9000 M²
Berlokasi pada wilayah administrasi kelurahan
Memiliki luas area yang ditanami tanaman 80%-90% dari luas keseluruhan
Minimal memiliki 25 pohon dengan fungsi pelindung dan jenis pohon kecil- sedang untuk taman aktif dan 50 pohon untuk taman pasif
untuk menggunakan berbagai fasilitas dan fitur didalamnya untuk memanfaatkan kesempatan bersosialisasi. Merancang NOS harus : Memiliki luas lahan 1 Ha
hingga 5 Ha Berlokasi di tengah
permukiman sekitarnya dengan jarak jangkauan 800 meter atau 10 menit dengan berjalan
Mempertimbangkan keterhubungan aksesibilitas, jaringan pedestrian dan bersepeda yang aman
Memiliki keterhubungan antara seluruh jaringan pedestrian dan bersepeda dengan titik tujuan kunci/utama.
Bertanggung jawab terhadap unsur/ elemen site alami
Dibangun berdasar sense of place (jiwa tempat)
Membantu melestarikan biodiversitas dan nilai alami kawasan
meter dari hunian
Harus memiliki luas lahan minimal 0,75 Ha hingga 1 Ha/2 Ha
Harus memiliki proporsi minimum lebar ruang terbuka 50 meter untuk bisa dijangkau
District Open Space
Mendefinisikan District Open Space adalah berupa RTH Taman Kecamatan yang harus : Memiliki luas
lahan minimum 24.000 M²
Berlokasi pada wilayah administrasi kecamatan
Memiliki luas area yang ditanami tanaman 80%-90% dari luas keseluruhan
Minimal memiliki 50 pohon dengan fungsi pelindung
Mendefinisikan Neighbourhood Open Space (DOS) didesain dengan prinsip untuk mengorganisasikan kegiatan olahraga formal dan beberapa kondisi ruang alami (ruang terbuka yang tidak dikembangkan). Merancang DOS harus : Memiliki luas lahan 5 Ha
hingga lebih dari 15 Ha Berlokasi di tengah kawasan
setempat dengan akses pencapaian maksimum 2 kilometer atau 5 menit berkendara
Mengakomodasi dan mendukung kegiatan olahraga formal dan rekreasi
Berlokasi pada distribusi
Mendefinisikan Neighbourhood Open Space (DOS) sebagai ruang terbuka yang melayani 6 lingkungan dengan populasi 15.000 sampai 25.000. untuk merancang harus : Memiliki luas
lahan hingga 10 Ha
Tersedia kegiatan rekreasi dan fasilitas untuk olahraga
Memiliki
30
Klasifikasi
Ruang
Terbuka
Kriteria Desain Ruang Terbuka Menurut :
Permen PU
No.5/PRT/M/2008 Alexander (2012)
Victoria
Division Parks
(2013)
dan jenis pohon kecil- sedang untuk taman aktif dan 100 pohon untuk taman pasif
jaringan jalan kabupaten dengan pengawasan pasif
Dilayani oleh jaringan transportasi public
Mempertimbangkan keterhubungan aksesibilitas, jaringan pedestrian dan bersepeda yang aman
Mengakomodasi beragam kelompok pengguna, kelompok, dan asosiasi
kegiatan rekreasi informal dan ruang terbuka pasif
Dapat diakses oleh permukiman sekitar dengan berjalan kaki dan jalur sepeda yang aman serta disediakan sejauh 1 Km dari permukiman
Regional Open Space
Mendefinisikan Regional Open Space adalah berupa RTH Taman Kota yang harus : Memiliki luas
lahan minimum 144.000 M²
Memiliki luas area yang ditanami tanaman 80%-90% dari luas keseluruhan
memiliki jenis vegetasi berupa pohon tahunan, perdu, dan semak yang ditanam secara mengelompok atau menyebar
Mendefinisikan Neighbourhood Open Space (ROS) sebagai ruang terbuka yang mengakomodasi ruang kegiatan rekreasi dan olahraga sebagai fitur konservasi terhadap lingkungan yang baik dan signifikan. Merancang ROS harus : memiliki lahan yang
dialokasikan untuk area bermain dan fasilitas olahraga lebih dari 20 Ha
berlokasi menyesuaikan kemampuan sumberdaya dan kesempatan untuk melindungi ruang tertentu
dikoneksikan pada jaringan jalan utama dan jaringan transportasi public
memiliki ruang olahraga yang dialokasikan untuk mengakomodasi dimensi olahraga anak dan dewasa
mengakomodasi prinsip keanekaragaman hayati dan manajemen lingkungan
Mendefinisikan Neighbourhood Open Space (ROS) sebagai ruang terbuka yang melayani hingga luar wilayah/ kota dengan ukuran umum 10-30 Ha serta mempertimbangkan keberadaanlingkungan lokal bersejarah
Sumber : Sintesa Sumber Pustaka, 2015
31
Dari penjabaran tabel di atas, beberapa kriteria dalam merancang ruang
terbuka menurut hirarkinya dapat diterapkan dalam konteks penelitian yang
memiliki karakter kawasan cenderung kepada tingkat Neighbourhood Open
Space (NOS) atau kawasan dengan beberapa kumpulan lingkungan. Peneliti
menemukan ketiga narasumber memiliki perbedaan sudut pandang dalam
merancang sebuah ruang terbuka yang dapat dilihat dari kriteria- kriteria
rancangan. Alexander (2012) memiliki sudut pandang yang lebih rinci dan
komprehensif dalam merancang ruang terbuka dalam suatu kawasan, karena
mempertimbangkan ruang terbuka alami dan ruang terbuka rekreasi yang
memiliki keterhubungan dengan aktifitas dan area sekitarnya. Sedangkan
narasumber lain memiliki sudut pandang yang masih bersifat umum dan
menjabarkan ketentuan penempatan. Sehingga dengan melihat konteks, karakter
lokasi penelitian, serta harapan yang ingin dicapai, sudut pandang Alexander
(2012) yang lebih komprehensif akan dijadikan referensi dalam merancang
ruang terbuka untuk mendukung kawasan wisata alam di Kecamatan Pacet.
II. Unsur- unsur Ruang Terbuka
Ruang terbuka pada dasarnya dipisahkan dipisahkan dari alam dengan
member kerangka atau bingkai (frame), jadi bukan alam itu sendiri yang dapat
meluas tak terhingga (Ashihara, 1993). Ruang luar memiliki unsur- unsur
pembentuk/penyusun yang memiliki kesejajaran dengan istilah ruang dalam
pada pemahaman arsitektur ruang. Menurut Hakim dan kawan-kawan (1991),
unsur penyusun yang dimaksud diantaranya adalah.
1. Konstruksi
Unsur konstruksi menjadi aspek yang dipertimbangkan dalam mendesain
ruang luar. Unsur yang terkait dengan aspek konstruksi melingkupi :
konstruksi tanah, jalur sirkulasi, drainase, pembatas, dan elemen
pendukung seperti kolam, air mancur, lighting, signage, dan lainnya.
2. Pembatas
Unsur pembatas sebagai elemen yang membentuk batas ruang dan terdiri
dari 3 bagian yaitu: (a) bidang alas (tanah, rumput, perkerasan), (b)
32
bidang langit- langit (gazebo, canopy transparent dan langit), (c) bidang
dinding (pagar, bangunan, deretan pohon).
3. Sirkulasi
Merupakan unsur penting yang menyusun ruang luar dan erat kaitannya
dengan aktifitas pergerakan. Sirkulasi terbagi atas 2 kategori dasar yaitu
sirkulasi untuk kendaraan dan untuk manusia. Terdapat beberapa faktor
yang menciptakan terjadinya sirkulasi (pergerakan) diantaranya adalah.
a) Kinematika dan bentuk lintasan pergerakan
b) Kecepatan dan sifat gerakan
c) Faktor yang mendorong pergerakan dan membuat manusia cenderung
bergerak (misal, menuju benda- benda yang diinginkan, menuju
sesuatu yang menyenangkan).
d) Faktor yang menolak pergerakan
e) Pengarah gerakan
f) Pengarah untuk berhenti
g) Jenis- jenis pergerakan dan pengaruhnya terhadap manusia
h) Pengaruh jarak dalam pergerakan
4. Jalur Pedestrian
Merupakan bagian dari sarana sirkulasi yang dikhususkan bagi manusia
atau para pejalan kaki. Secara umum jalur pedestrian dibagi menjadi 2
bagian berdasarkan letaknya yaitu jalur pedestrian paralel dengan jalur
jalan kendaraan serta jalur pedestrian independen atau yang melewati
tapak/ site.
5. Parkir
Parkir seringkali menjadi suatu permasalahan akibat meningkatnya
kebutuhan transportasi. Dalam hal ini ruang luar dapat berfungsi sebagai
lahan parkir atau tempat pemberhentian dalam waktu tertentu bagi
kendaraan. Jenis parkir dapat digolongkan berdasarkan lokasi parkirnya
yaitu parkir yang menempati badan atau bahu jalan dan parkir pada lahan
yang disediakan khusus dalam sebuah area/kavling.
33
6. Tata Hijau
Tata hijau yang identik dengan vegetasi pada dasarnya memiliki 2
elemen dasar menurut sifat materialnya yaitu hard material (perkerasan
lahan, pagar, bangunan) dan soft material (pepohonan, air, tanah, dan
rumput). Tata hijau sebagai unsur pembentuk ruang luar akan mencakup
beberapa segi pertimbangan dalam penataannya yaitu: sifat botanis
tanaman (pohon, perdu, semak), sifat ekologisnya (habitat seperti dataran
tinggi, lereng, pantai), efek visualnya (bentuk, warna,tekstur), fungsi
tanaman (kontrol visual, pembatas fisik, pengendali iklim, pencegah
erosi, dan nilai estetis), serta perletakkan tanaman (variasi, penekanan,
kesinambungan, kesatuan/keserasian, kesederhanaan).
7. Taman
Unsur taman sebagai pengsisi ruang luar umumnya dikategorikan sebagai
taman mikro dalam skala lingkungan. Taman dapat terdiri dari suatu
lanskap yang ditata secara khuus dan berisi dominasi tanaman perdu
dengan kategori tanaman hias, kolam, dan perabotan yang mendukung
seperti bangku dan lampu.
8. Perabot
Perabot yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah perabot ruang luar
yang juga merupakan unsur penting dalam mendukung vitalitas suatu
ruang luar. Perabot ruang luar meliputi bangku, lampu, gazebo, dan
sebagianya perlu didesain dengan mempertimbangkan nilai estetika.
Meninjau kembali beberapa pendapat ahli mengenai ruang dalam lanskap
seperti yang telah dijelaskan di atas, pendapat- pendapat tersebut merupakan
serangkaian pemahaman yang memiliki keterkaitan satu sama lain. Hal tersebut
dapat dilihat dari pemahaman awal mengenai pengertian ruang terbuka/ ruang
luar hingga dijabarkan unsur- unsur pembentuk ruang luar oleh Hakim (1991).
Keseluruhan rangkaian pustaka terkait ruang dalam lanskap ini, pada konteks
studi nantinya akan sangat penting dan bermanfaat untuk membantu menemukan
kriteria dalam merancang sebuah kawasan wisata alam terutama yang berkaitan
dengan fisik kawasan.
34
2.3.3 Ruang dalam Konteks Spasial Kota
Ruang kota terwujud dalam dimensi fisik (nyata), sosial serta mental (psikis).
Bentuk kota memperhatikan aspek morfologi kota secara fungsional, visual dan
struktural. Semua hal tersebut membutuhkan sebuah pandangan terhadapnya dari
perspektif ”dari atas” (sistem politik, ekonomi, budaya) serta ”dari bawah” (tindakan
perilaku sehari-hari). Kota secara fisik merupakan hasil bentukan antara bangunan
dengan ruang terbuka yang mendukung identifikasi tekstur dan pola bentukan ruang.
Pemahaman terhadap kualitas struktur ruang perkotaan menurut Trancik (1986)
dapat dinilai dari tiga pendekatan, yaitu figure ground theory, linkage theory dan
place theory.
I. Figure Ground Theory
Teori figure ground menekankan adanya public civics space atau open space
pada kota sebagai figure. Melalui figure ground plan dapat diketahui antara lain
pola atau tipologi, konfigurasi solid void yang merupakan bentuk kawasan atau
pattern kawasan. Kualitas ruang luar sangat dipengaruhi oleh figure bangunan-
bangunan yang melingkupinya, dimana tampak bangunan merupakan dinding
ruang luar, oleh karena itu tata letak, bentuk dan fasade sistem bangunan harus
berada dalam sistem ruang luar yang membentuknya. Sistem hubungan di dalam
tekstur figure ground mengenal dua kelompok elemen, yaitu solid (bangunan)
dan void (ruang terbuka). Ada tiga elemen dasar yang bersifat solid dan empat
elemen dasar yang bersifat void.
Elemen solid dan void di dalam tekstur perkotaan jarang berdiri sendiri,
melainkan dikumpulkan dalam satu kelompok, disebut juga "unit perkotaan". Di
dalam kota keberadaan unit adalah penting, karena unit-unit berfungsi sebagai
kelompok bangunan bersama ruang terbuka yang menegaskan kesatuan massa di
kota secara tekstural. Melalui kebersamaan tersebut penataan kawasan akan
tercapai lebih baik kalau massa dan ruang dihubungkan dan disatukan sebagai
suatu kelompok. Pola kawasan kota secara tekstural dibedakan mejadi enam,
yaitu grid, angular, kurvalinear, radial koncentris, aksial, dan organis. Artinya,
setiap kawasan tersebut dapat dimengerti bagiannya melalui salah satu dari
tekstur tersebut. Mengacu pada penjelasan di atas, perlu diketahui bahwa fungsi
pola sebuah tekstur perlu juga karena massa dan ruang selalu berhubungan erat
35
dengan aktivitas di dalam kawasannya, dibutuhkan suatu keseimbangan yang
baik antara kuantitas dan kualitas massa dan ruang yang bersifat publik dan
privat sehingga pola pembangunan kota memungkinkan kehidupan didalamnya
berjalan dengan baik.
II. Linkage Systems Theory
Perkembangan kota sering mempunyai kecenderungan membuat orang
merasa tersesat dalam gerakan di daerah kota yang belum dikenal. Hal ini sering
terjadi di daerah yang tidak mempunyai linkage (penghubung), yang
memperhatikan dan menegaskan hubungan-hubungan dan gerakan-gerakan
sebuah tata ruang perkotaan. Linkage Theory merupakan teori yang menjelaskan
bahwa jaring-jaring sirkulasi yang menghubungkan antar bagian kawasan atau
bangunan turut membangun struktur kota dan jaring-jaring menjadi acuan dalam
mengorganisasikan sistem pergerakan. Terdapat tiga pendekatan untuk
memahami Linkage perkotaan, yaitu linkage visual, linkage struktural, dan
linkage kolektif.
Linkage Theory merupakan salah satu pendekatan yang dinamis dari sistem
sirkulasi dan menjadi motor penggerak dari bentuk kota (Trancik, 1986). Selain
itu linkage juga berfungsi sebagai pengikat atau mata rantai dari bagian-bagian
wilayah kota. Ia juga bertindak sebagai penyatu dari berbagai aktivitas dan
bentuk fisik kota (Maki, 1964). Dalam konteks urban desain, linkage
menunjukkan hubungan pergerakan yang terjadi pada beberapa bagian dari zone
makro dan mikro, dengan atau tanpa aspek kesamaan fungsi yang berkaitan
dengan fisik, historis, ekonomi, sosial, budaya dan politik (Karsono, 1996).
Menurut Shirvani (1985), linkage menggambarkan keterkaitan elemen bentuk
dan tatanan masa bangunan, dimana pengertian bentuk dan tatanan massa
bangunan tersebut akan meningkatkan fungsi kehidupan dan makna dari tempat
tersebut. Karena konfigurasi dan penampilan massa bangunan dapat membentuk,
mengarahkan, menjadi orientasi yang mendukung elemen linkage tersebut.
36
III. Place Theory
Place theory ditekankan bahwa integrasi kota tidak hanya terletak pada
konfigurasi fisik morfologi, tetapi integrasi antara aspek fisik morfologi ruang
dengan masyarakat atau manusia yang merupakan tujuan utama dari teori ini,
melalui pandangan bahwa urban desain pada dasarnya bertujuan untuk
memberikan wadah kehidupan yang baik untuk penggunaan ruang kota baik
publik maupun privat. Pentingnya place theory dalam spasial desain yaitu
permahaman tentang budaya/culture dan karakteristik suatu daerah yang ada
menjadi ciri khas untuk digunakan sebagai salah satu pertimbangan agar
penghuni (masyarakat) tidak merasa asing di dalam lingkungannya.
Sebagaimana tempat mempunyai masa lalu (linkage history), tempat juga terus
berkembang pada masa berikutnya. Artinya, nilai sejarah sangat penting dalam
suatu kawasan kota. Aspek spesifik lingkungan menjadi indikator yang sangat
penting dalam menggali potensi, mengatur tingkat perubahan serta kemungkinan
pengembangan di masa datang, teori ini memberikan pengertian bahwa semakin
penting nilai-nilai sosial dan budaya, dengan kaitan sejarah di dalam suatu ruang
kota.
2.3.4 Kualitas Fisik dan Visual Image Kawasan
I. Definisi Visual Kawasan
Pengertian visual kawasan menurut beberapa pandangan para perancang kota
secara umum erat kaitannya dengan indera penglihatan. Shirvani (1985)
mengatakan bahwa salah satu faktor penting yang menjadikan kota/kawasan
memiliki kualitas lingkungan yang baik adalah dari kualitas visual kawasan
tersebut. Pendapat Shirvani tersebut didukung oleh Cullen (1961) yang
menyatakan bahwa karakter visual yang menarik adalah karakter formal yang
dinamis dapat dicapai melalui pandangan yang menyeluruh berupa suatu amatan
berseri atau menerus (serial vision) yang memiliki unit visual yang dominasinya
memiliki keragaman dalam suatu kesinambungan yang terpadu dan berpola
membentuk satu kesatuan yang unik.
Meninjau kembali beberapa pendapat mengenai definisi visual di atas dapat
disimpulkan bahwa aspek visual yang identik dengan indera penglihatan menjadi
37
faktor penting yang mempengaruhi kualitas lingkungan kawasan. Dimana aspek
visual yang dimaksud memiliki karakter yang dinamis karena memiliki
keragaman dan berpola unik. Sehingga dalam konteks penelitian ini aspek visual
kawasan dipertimbangkan dalam merancang kawasan wisata alam yang melihat
potensi alam (pemandangan alam) sebagai visual kawasan.
II. Pembentuk Kualitas Visual
Kualitas visual dapat dilihat melalui petunjuk visual yang merupakan images
perception dan dapat dirasakan dengan mata (sign) (Ching, 1995). Kualitas
visual menjadi atribut khusus pada suatu sistem visual yang ditentukan oleh
nilai- nilai kultural dan properti fisik yang hakiki (Smardon, 1986). Terkait
dengan sistem visual, Cullen (1961) berpendapat bahwa terdapat 3 hal penting
yang mendukung pembentukan kualitas visual antara lain: rangkaian pandangan
(optic), Reaksi pengamat dengan tempat (place), dan elemen-elemen ruang
didalamnya (content). Rangkaian pandangan dan 2 elemen lainnya tersebut
menjadi poin penting yang menentukan pemandangan kota. Pernyataan Cullen
(1961) tersebut dipertegas oleh pernyataan Ashihara (1993), bahwa bila jalan di
suatu kota terlihat menarik, maka kota tersebut akan terlihat menarik, sebaliknya
bila jalan dalam sebuah kota terlihat membosankan maka suatu kota akan terlihat
membosankan. Terkait dengan elemen-elemen ruang dalam pernyataan Cullen
(1961), Smardon (1986) mengungkapkan bahwa karakter visual dibentuk oleh
tatanan atau interaksi dan komposisi berbagai elemen-elemen yang dijabarkan
sebagai berikut.
1. Bentuk (form), bentuk yang tercipta deri elemen-elemen yang
berhubungan dan membentuk suatu kelompok
2. Garis (line), suatu yang nyata atau imajiner yang mengarahkan mata jika
melihat perbedaan warna, bentuk, dan tekstur, yang ditentukan oleh daya
tangkap mata dari perbandingan panjang dan lebarnya, naik dan
turunnya, serta derajat kesinambungannya (Ching, 1995)
3. Warna, corak, intensitas dipermukaan suatu bentuk, warna adalah atribut
yang paling mencolok yang membedakan suatu bentuk terhadap
lingkungannya. Warna juga mempengaruhi bobot visual suatu bentuk
38
4. Tekstur, karakter permukaan suatu bentuk. Tekstur mempengaruhi baik
perasaan seseorang pada waktu menyentuh maupun kualitas pemantulan
cahaya menimpa permukaan bentuk tersebut.
5. Skala & proporsi, ukuran nyata yang berhubungan antara komponen-
komponen lanskap dan lingkungannya atau hubungan proporsi antara
bangunan atau karya arsitektur satu dengan lainnya yang menciptakan
suasana teratur diantara unsur-unsur visual.
Selain itu untuk mempertegas kualitas visual dapat mempertimbangkan
beberapa kriteria penilaian menurut Smardon (1986) yang dapat dijelaskan
sebagai berikut.
1. Dominasi
Berkaitan dengan peraturan pemerintah, sesuatu yang berpengaruh,
Sesuatu yang berpengaruh terhadap pengalaman seseorang, ditimbulkan
oleh satu atau dua elemen yang sangat kontras, yang secara visual
sangat menonjol.
2. Keragaman
Perbedaan pola – pola elemen yang bervariasi dan hubungan jalan
dengan elemen – elemen tersebut.
3. Kesesuaian
Kesesuaian elemen visual dengan fungsi
4. Keharmonisan
Keselarasan elemen – elemen visual
Berkaitan dengan kualitas fisik tersebut, Krier (1983) mengatakan bahwa
kualitas estetik setiap elemen urban space dibentuk oleh hubungan struktural detail
detail yang ada. Hubungan struktural dapat diartikan sebagai hubungan antar
elemen-elemen pembentuk urban space, diantaranya meliputi hubungan antar
bangunan. Secara keseluruhan pendapat para pakar/ahli dalam memaknai kualitas
fisik dan visual kawasan yang terbentuk dari ruang luar akan menjadi salah satu
aspek yang akan difokuskan dalam merancang sebuah kawasan wisata alam.
39
2.3.5 Identitas dan Citra Kawasan
Identitas dan citra kawasan dalam perancangan kawasan wisata merupakan
aspek penting yang mendukung pengembangan wisata di Kecamatan Pacet. Menurut
ilmu perancangan kota terdapat beberapa teori besar yang digunakan arsitek kota
dalam merancang pekerjaan lanskap perkotaan. Identitas kawasan merupakan
sesuatu yang spesifik dan didefinisikan sebagai suatu kondisi kondisi saat seseorang
mampu mengenali atau memanggil kembali (ingatan) suatu tempat yang memiliki
perbedaan dengan tempat lain karena memiliki karakter dan keunikan. Identitas
adalah hal mendasar yang sangat penting. Hal ini dikarenakan identitas adalah
sesuatu yang digunakan untuk mengenali, membedakan suatu tempat dengan tempat
lainnya (Lynch, 1984;131). Identitas kota bisa berwujud fisik atau non-fisik,
aktifitas sosial, nilai ekonmis, atau pengejawantahan politik. Seorang pengamat bisa
menangkap berbagai bentuk identitas dari suatu kota maupun kawasan, baik itu
berwujud fisik maupun non-fisik. Kemampuan menangkap adanya identitas kota
tergantung dari latar belakang si pengamat, yang menurutnya lebih menarik dan
mudah untuk diingat dan dijadikan ciri akan dijadikannya sebagai identitas kawasan
tersebut.
Berbeda dengan identitas kawasan, citra kawasan/ kota dapat dilihat dan
dipahami melalui bentuk kota yang merupakan hasil dari nilai dan citra kehidupan
dimana, kota dipandang sebagai tempat tinggal manusia yang merupakan
menifestasi dari hasil perencanaan dan perancangan, yang dipenuhi oleh berbagai
unsur seperti bangunan, jalan, dan ruang terbuka. Di sisi lain, citra kawasan/ kota
didefinisikan sebagai hasil dari suatu kesan pengamatan masyarakat terhadap unsur-
unsur yang nyata dan tidak nyata. Mendasari kesan-kesan masyarakat, Lynch
membuat kategori bentuk kota dalam 5 elemen. Dalam mengartikan suatu kota,
Lynch menyatakan kota adalah sesuatu yang dapat diamati – dimana letak jalur
jalan, batas tepian, distrik atau kawasan, titik temu, dan tetengernya dapat dengan
mudah dikenali dan dapat dikelompokkan dalam pola keseluruhan bentuk kota
(Lynch, 1960:47). Adapun ke- lima elemen tersebut adalah sebagai berikut ;
40
1. Path (Jalur)
Merupakan elemen penting dalam citra kota yang dapat dilihat dari rute- rute
sirkulasi yang biasanya digunakan orang untuk melakukan pergerakan secara
umum, yakni jalan, gang utama, jalan transit, lintasan kereta api, saluran, sungai
dan lainnya. Path memiliki identitas yang lebih baik jika memiliki tujuan yang
besar (misalnya ke stasiun, tugu, alun-alun), serta ada penampakan yang kuat
(misalnya fasade gedung, pohon besar, sungai), atau ada belokan/tikungan yang
jelas.
2. Edge (Tepian)
Merupakan elemen linear yang tidak dapat dilihat/ dipakai sebagai path. Edge
berada pada batas antara dua kawasan tertentu dan berfungsi sebagai pemutus
linear, misalnya pantai, tembok, batasan antara lintasan kereta api, sungai,
topografi,dsb. Edge lebih bersifat sebagai referensi daripada misalnya elemen
sumbu yang bersifat koordinasi (Linkage). Edge merupakan penghalang
walaupun kadang-kadang ada tempat untuk masuk. Edge merupakam
pengakhiran dari sebuah District atau batasan sebuah District dengan yang
lainnya. Edge memiliki identitas yang lebih baik jika kontinuitas tampak jelas
batasnya. Demikian pula fungsi batasnya harus jelas : membagi atau
menyatukan.
3. Node (Simpul)
Merupakan simpul atau lingkaran daerah strategis dimana arah arah atau
aktivitasnya saling bertemu dan dapat diubah ke arah atau aktivitas yang lain,
misalnya persimpangan lalu lintas, stasiun, lapangan terbang, jembatan, atau
bagian kota secara keseluruhan dalam skala makro misalnya pasar, taman,
Square, dsb. Adapun ciri- cirri dari node diantaranta adalah pusat kegiatan,
pertemuan beberapa ruas jalan, dan tempat pergantian alat transportasi.
4. District (kawasan)
Merupakan kawasan-kawasan kota dalam skala dua dimensi. Sebuah kawasan /
District memiliki ciri khas yang mirip (baik dalam hal bentuk, pola, dan
wujudnya), dan khas pula dalam batasnya, dimana orang merasa harus
mengakhiri atau memulainya. District dalam kota dapat dilihat sebagai referensi
Interior maupun Eksterior. District mempunyai identitas yang lebih baik jika
41
batasnya dibentuk dengan jelas tampilannya dan dapat dilihat homogen, serta
fungsi dan posisinya jelas (introver/ekstrover atau berdiri sendiri atau dikaitkan
dengan yang lain).
5. Landmark (penanda/tetenger)
Merupakan lambang dan symbol untuk menunjukkan suatu bagian kota,
biasanya dapat berupa bangunan gapura batas kota (yang menunjukkan letak
batas bagian kota), atau tugu kota (menunjukkan ciri kota atau kemegahan suatu
kota), patung atau relief ( menunjukkan sisi kesejarahan suatu bagian kota), atau
biasa pula berupa gedung dan bangunan tertentu yang memiliki suatu
karakteristik tersendiri yang hanya dimiliki kota tersebut. Sehingga keberadaan
suatu Landmark mampu menunjukkan dan mengingatkan orang tentang tetenger
suatu kota.
Citra atau image sebuah kawasan dapat terbentuk dengan sendirinya (alami)
ataupun sengaja dibuat. Pencintraan yang sengaja dibentuk adalah jika suatu
kawasan menyebar luaskan informasi yang mudah ditangkap menjadi suatu Image
(baik itu hal yang bersifat faktual atau non-faktual) akan wilayahnya agar diketahui
masyarakat secara luas melalui media-media komunikasi. Berbeda dengan citra
kawasan yang terbentuk dengan sendirinya, image atau citra berasal dari kondisi
faktual kawasan tersebut, baik secara fisik maupun non-fisik. Kondisi faktual yang
dirasakan dan dialami langsung oleh pengamat memiliki dampak yang lebih tajam
dalam pembentukan citra nya, karena lingkungan yang dirasakannya tadi adalah
suatu bentuk yang terkait satu sama lain antara kondisi fisik dan manusianya.
Menurut Lynch, terdapat beberapa hal yang mempengaruhi image atau citra suatu
kawasan yaitu :
1. Identity, seseorang terlebih dahulu bisa mengidentifikasikan suatu
kawasan/tempat tersebut menjadi sesuatu yang spesifik, mengenali dan bisa
menemukan perbedaan dengan yang lain (Individuality or Oneness).
2. Structure, seseorang bisa melihat hubungan atau pola dari suatu obyek dengan
obyek lainnya (Pattern relation)
3. Meaning, objek tersebut harus memiliki makna atau arti baik itu secara fungsi
ataupun emosional.
42
Merujuk pada pembahasan mengenai identitas dan citra kawasan, dapat dilihat
korelasi antara keduanya bahwa untuk membentuk suatu citra kawasan diperlukan
pemahaman tentang identitas kawasannya terlebih dahulu. Pemahaman identitas
kawasan dapat diidentifikasi dari kondisi fisik atau non fisik kawasan yang dapat
dirasakan oleh indra dan memberikan cirri bagi kawasan tersebut. Sehingga jika
dikaitkan pada konteks studi penelitian ini, permasalahan terkait belum terciptanya
pencitraan kawasan wisata alam Kecamatan Pacet akan terjawab melalui
penggunaan teori/ pustaka yang digunakan dalam proses analisis dan pembahasan.
2.4 Studi Preseden Terkait Perancangan Kawasan Wisata Alam
Terkait dengan konteks studi penelitian ini memiliki tujuan yang berfokus
pada perumusan konsep perancangan kawasan pariwisata khususnya wisata alam di
Kecamatan Pacet. Untuk itu ditambahkan beberapa literatur/ studi kasus terkait
perancangan kawasan wisata khususnya pariwisata alam sebagai bahan
pertimbangan. Hal tersebut mengingat pada dasarnya dalam merancang sebuah
kawasan tidak dapat terlepas dari studi preseden yang telah ada sebelumnya dan
memiliki kemiripan dengan konteks penelitian ini. Adapun beberapa literatur/ studi
preseden tersebut adalah sebagai berikut :
I. Site Suitability Evaluation For Ecotourism In Surat Thani Province,
Thailand
Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi dan
memprioritaskan potensi situs ekowisata di provinsi Surat Thani, Thailand,
menggunakan Sistem Informasi Geografis (GIS) dan Analytic Hierarchy Process
(AHP). Penelitian ini menilai daerah yang cocok potensi ekowisata berdasarkan
karakteristik bio-fisik dari ekosistem tanah dan data sosial ekonomi.
Adapununsur yang dilihat diantaranya adalah lanskap atau kealamian (visibilitas,
penggunaan lahan / tutupan), satwa liar (reservasi / perlindungan, keragaman
spesies), topografi (elevasi, kemiringan), aksesibilitas (dekat dengan situs
budaya, jarak dari jalan) dan karakteristik masyarakat (ukuran permukiman).
Kriteria tersebut dan faktor-faktor yang dipilih sesuai dengan pendapat ahli
profesional. Pertama, persediaan sumber daya dan daftar kriteria ekowisata
dikembangkan dengan menggunakan metode AHP yang kemudian pada tahap
43
berikutnya teknik GIS digunakan untuk mengukur peringkat site yang berbeda
sesuai dengan kriteria yang ditetapkan. Dengan metode demikian dapat
mengidentifikasi site potensial dengan peringkat "terbaik". Selanjutnya, peta
kesesuaian lahan untuk ekowisata diciptakan, berdasarkan kombinasi linear dari
kriteria dan faktor dengan bobot masing-masing. Tingkat kesesuaian masing-
masing faktor diklasifikasikan sebagai sangat cocok (S1), cukup sesuai (S2),
sesuai marginal (S3) dan tidak cocok (N) untuk ekowisata.
Jika dikaitkan dengan penelitian perancangan kawasan wisata alam
Kecamatan pacet, studi preseden ini memberikan pertimbangan bagi peneliti
dalam melakukan teknik analisis pemilihan site di lokasi studi dalam rangka
pengendalian atau kontrol ruang yang akan terkena dampak pembangunan
pengembangan kegiatan wisata.
II. Konsep Penataan Lanskap Untuk Wisata Alam Di Kawasan Taman Wisata
Alam, Sorong
Kesimpulan dan hasil penelitian ini menyatakan bahwa, Taman Wisata Alam
Sorong (TWAS) berpotensi untuk dikembangkan sebagai kawasan wisata alam
dengan tindakan konservasi yang tepat dalam bentuk pemanfaatan dan aktivitas
yang disesuaikan dengan kondisi biofisik dan potensi obyek dan atraksi wisata
alam yang ada. Zonasi yang dihasilkan berbasis pada karakter biofisik kawasan
dan keberagaman potensi obyek dan atraksi wisata alam, yaitu zona intensif,
zona semi intensif dan zona ekstensif. Konsep penataan lanskap mengacu pada
konsep mempertahankan kondisi lanskap alami TWAS sebagai lanskap hutan
hujan dataran rendah yang dibagi dalam 4 ruang utama yaitu ruang penerimaan
dan pelayanan, ruang wisata inti, ruang wisata penunjang dan ruang konservasi.
Selain itu penelitian ini menghasilkan pula konsep penataan sirkulasi dimana,
jalur wisata terbentuk dengan adanya jalur penghubung antara ruang dengan
obyek wisata yang dialokasikan dalam setiap zona yang ada. Dari kondisi yang
ada, akses jalan raya dan jalan masuk kawasan merupakan jalur sirkulasi utama
yang menghubungkan setiap ruang dan obyek wisata yang ada. Jalur sirkulasi
tersebut merupakan jalur sirkulasi yang dapat dilalui dengan kendaraan maupun
berjalan kaki. Untuk akses jalan tanah dan jalan pengerasan yang
44
menghubungkan masing-masing obyek wisata dalam setiap ruang merupakan
jalur sirkulasi pendukung yang dapat dilalui dengan berjalan kaki.
Dengan melihat hasil penelitian dari studi preseden ini, peneliti memahami
dan terinspirasi bahwa terdapat beberapa konsep penataan lanskap yang
memungkinkan untuk diadopsi dalam perancangan kawasan wisata alam
Kecamatan Pacet karena dinilai relevan dengan substansi topik pembahasan.
2.5 Sintesa Tinjauan Pustaka
Berdasarkan hasil kajian teori tersebut dapat ditemukan beberapa poin- poin
pustaka penting terkait perancangan kawasan wisata alam pada lokasi studi yang
diawali melalui sebuah pemahaman pariwisata dan rekreasi, pengenalan konsep-
konsep pengembangan kawasan pariwisata, dan pemahaman mengenai perancangan
kawasan wisata alam. Sebagai langkah awal seperti yang telah diutarakan adalah
memahami pariwisata dan rekreasi, dimana pariwisata berbeda dengan rekreasi.
Pemahaman pariwisata pada dasarnya cenderung sederhana dan bersifat makro,
dibanding pemahaman rekreasi yang lebih mengarah kepada suatu hal yang lebih
detail dan bersifat mikro. Hal tersebut dikarenakan rekreasi menyangkut sebuah
kegiatan di dalam pariwisata, sehingga diantara keduanya memiliki korelasi. Kajian
pustaka terkait pemahaman pariwisata dan rekreasi ini sangat penting dalam
penelitian ini untuk mengetahui dan menyusun kerangka bentuk kegiatan- kegiatan
di dalam sebuah kawasan wisata alam.
Setelah melakukan pemahaman terkait pariwisata dan rekreasi, kajian
mengenai pengenalan konsep pengembangan kawasan wisata diperlukan dalam
penelitian ini untuk melihat kerangka konsep yang dapat menentukan kebutuhan
rancangan suatu kawasan wisata alam. Sesuai dengan tema penelitian yang memiliki
lokus terhadap pariwisata alam dan pembangunan berkelanjutan, maka kajian
konsep ekowisata menjadi fokus utama dalam penelitian ini. Konsep ekowisata yang
merupakan turunan dari prinsip pembangunan berkelanjutan memiliki prinsip,
pendekatan dan pengelolaan, serta karakteristik khas. Beberapa narasumber yang
ahli dibidang ekowisata telah merumuskan beberapa prinsip untuk memulai
mengaplikasikan konsep ekowisata seperti pendapat Wight (1992) dalam Gunn
(1994), Drumm dan Moore (2002). Prinsip yang dimaksud dalam bab ini masih
45
bersifat umum namun mudah diadaptasi sehingga akan membantu peneliti dalam
memperoleh prinsip perancangan yang bersifat khusus pada objek penelitian. Untuk
melengkapi sebuah prinsip perancangan juga telah dikaji beberapa pustaka
mengenai pemahaman lanskap khususnya lanskap kawasan wisata.
Untuk merancang sebuah kawasan wisata alam pada objek penelitian, perlu
adanya prinsip perancangan yang spesifik menyangkut perencanaan, penataan dan
pengelolaan lanskap kawasan. Beberapa pendekatan dalam perancangan lanskap
kawasan wisata alam dari Knudson (1980) dan Gold (1988) akan dipergunakan oleh
peneliti mengingat pendapat keduanya sesuai dengan konteks penelitian. Karena
seyogyanya program wisata alam dibuat untuk menciptakan lingkungan fisik luar
atau bentang alam yang dapat mendukung tindakan dan aktivitas rekreasi manusia
yang menunjang keinginan, kepuasan dan kenyamanannya, dimana proses
perencanaan dimulai dari pemahaman sifat dan karakter serta kebijakan manusianya
dalam menggunakan tapak untuk kawasan wisata (Knudson, 1980). Selain kajian
mengenai perancangan lanskap kawasan wisata alam yang digunakan sebagai
masukan untuk memperoleh prinsip perancangan, peneliti telah mengkaji pustaka
terkait pemahaman kualitas fisik dan visual image kawasan serta struktur ruang
kawasan dalam konteks spasial menurut Trancik (1986). Hal tersebut dilakukan oleh
peneliti mengingat pendapat narasumber tersebut relevan dengan objek penelitian,
khususnya terkait tiga pendekatan dalam menilai struktur ruang kawasan dalam
konteks spasial yakni figure ground theory, linkage theory dan place theory. Dengan
melakukan kajian terkait teori- teori struktur ruang kota/kawasan tersebut
diharapkan prinsip perancangan yang diperoleh memiliki sifat yang komprehensif,
sehingga dapat menyelesaikan dan menjawab akhir dari sasaran penelitian.
Pemahaman lebih lanjut terkait sintesa kajian pustaka dapat dijabarkan pada tabel
2.4 sedangkan untuk temuan prinsip desain umum dari kajian pustaka dapat
dijabarkan pada tabel 2.5.
46
Tabel 2. 4 Sintesa Kajian Pustaka
Aspek Pokok Sub Aspek
Bahasan Substansi Bahasan dan Kajian
Aspek Pariwisata Sebagai Subjek Yang Melingkupi Keseluruhan Penelitian Pariwisata Berkelanjutan
Pemahaman pariwisata dan rekreasi (Yoeti, 1994)
(Suwantoro, 1997)
(Veal, 1998)
(Bovy dan Lawson,
2004)
pariwisata berbeda dengan rekreasi. Pemahaman pariwisata pada dasarnya cenderung sederhana dan bersifat makro, dibanding pemahaman rekreasi yang lebih mengarah kepada suatu hal yang lebih detail dan bersifat mikro. Hal tersebut dikarenakan rekreasi menyangkut sebuah kegiatan di dalam pariwisata, sehingga diantara keduanya memiliki korelasi
Aspek pokok pariwisata (Yoeti, 1994)
(Suwantoro, 1997)
(Warpani, 2007)
Komponen pariwisata yang telah dijabarkan di atas, beberapa komponen pariwisata memiliki maksud yang setara dengan unsur pariwisata di sumber yang lain, sehingga dapat saling menggantikan dan melengkapi. Adapun komponen tersebut diantaranya adalah : a) Daya Tarik Wisata yang terdiri dari
lingkungan alamiah dan lingkungan buatan b) Ketersediaan prasarana dan sarana wisata
yang melingkupi aksesibilitas, Kondisi lingkungan, Prasarana dasar, Sarana penunjang kegiatan wisata.
Konsep pariwisata berkelanjutan UNEP WTO (2005)
Ardiwidjaja (2003)
Gunn (1994)
Beberapa pendapat mengemukakan kesamaan, bahwa pariwisata berkelanjutan dapat didefinisikan sebagai pembangunan kepariwisataan yang sesuai dengan kebutuhan wisatawan dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan alam. Daerah tujuan wisata yang sukses tergantung pada keindahan dan keutuhan lingkungan sekitar. Dengan mempertimbangkan hal- hal sebagai berikut : 1) kelestarian lingkungan 2) kesejehateraan kawasan 3) kepuasan pengunjung 4) keterpaduan dan unit pembangunan
masyarakat disekitar kawasan dan zona pengembangannya
Ekowisata Prinsip Ekowisata (Gunn, 1994)
(Drumm dan Moore,
2002)
melihat konsep ekowisata sebagai upaya pengembangan wisata yang harus melihat keterbatasan sumberdaya dan harus mempertimbangkan aspek konservasi serta harus melibatkan stakeholder (individu, komunitas, eko- wisatawan, pelaku operator wisata, dan institusi pemerintah)
Pengelolaan ekowisata dan konsep keruangan
Jika dilihat dari kompleksitas sebuah konsep spasial dari beberapa pengembangan tersebut, maka konsep spasial Wallance (1995) yang
47
Aspek Pokok Sub Aspek
Bahasan Substansi Bahasan dan Kajian
(Wallance, 1995)
(Gunn, 1994)
(Drumm et.all,
2004)
dikolaborasikan dengan konsep spasial Gunn (1988) akan menjadi paduan konsep yang komprehensif untuk dipertimbangkan dalam merancang objek penelitian.
Aspek Perancangan Kawasan Wisata Sebagai Objek Fisik Dalam Merancang Perancangan Kawasan Wisata
Perancangan dan pengelolaan lanskap kawasan wisata (Laurie, 1994)
(Eckbo, 1969)
(Knudson, 1980)
(Gold, 1994)
Perancangan lanskap kawasan wisata alam merupakan suatu perancangan yang menyesuaikan dengan bentuk program rekreasi yang menjaga kelestarian suatu lanskap. Dan dapat didekati dengan : a) pendekatan sumberdaya b) pendekatan aktivitas c) pendekatan ekonomi d) pendekatan perilaku
Ruang dalam lanskap (Hakim dan Utomo,
2003)
(Ashihara, 1993)
(Gold, 1980)
(Hakim, 1991)
Keseluruhan rangkaian pustaka terkait ruang dalam lanskap ini, pada konteks studi nantinya akan sangat penting dan bermanfaat khususnya terkait kualitas ruang terbuka yang dapat menjadi fungsi rekreatif dengan kriteria sebagai berikut : a) aktifitas dan fungsi campuran b) ruang public dan ruang khusus c) pergerakan dan keramahan pedestrian d) struktur, kejelasan, dan identitas e) kerapian, keamanan, dan kenyamanan f) kekayaan visual kawasan
Kualitas fisik dan visual image kawasan (Shirvani, 1985)
(Cullen, 1961)
(Ching, 1995)
(Smardon, 1986)
(Ashihara, 1993)
pendapat para pakar/ahli dalam memaknai kualitas fisik dan visual kawasan yang terbentuk dari ruang luar akan menjadi salah satu aspek yang akan difokuskan dalam merancang sebuah kawasan wisata alam terutama pendapat yang diungkapkan oleh Smardon (1986) tentang elemen pembentuk karakter dan kualitas visual kawasan
Sumber : Hasil Kajian Pustaka, 2015
Terkait dengan prinsip perancangan sebagaimana yang telah disinggung
dalam uraian sebelumnya, menurut Eckbo (1969) untuk merancang sebuah lanskap
adalah dengan memutuskan dengan baik bagaimana mengembangkan program yang
sudah ada ke dalam sebuah kawasan lahan yang tersedia untuk menyesuaikan atau
sebaliknya. Keputusan yang diambil dalam perancang lanskap adalah ditetapkan dan
dikontrol oleh sebuah kerangka kerja dari prinsip perancangan yang ditetapkan
sebelumnya. Prinsip perancangan dalam konteks studi ini diperoleh dari kajian
pustaka yang ditemukan dan kemudian disesuaikan dengan kebutuhan sasaran studi.
48
Adapun prinsip umum perancangan yang dibutuhkan dalam menyusun prinsip
khusus perancangan sebuah kawasan, khusunya kawasan wisata alam berkelanjutan
yang telah diuraikan pada bahasan sub bab sebelumnya adalah sebagai berikut :
Tabel 2. 5 Prinsip Perancangan Kawasan Wisata Alam
Aspek Pokok Sub Aspek Prinsip Perancangan
Ekowisata Prinsip Ekowisata 1) Harus memiliki dampak yang rendah pada kawasan lindung yang masih memiliki sumber daya alami dalam arti memperhatikan dan mempertahankan kelestarian lingkungan
2) Harus melibatkan stakeholder didalam perancangan kawasan
3) Harus Menjamin kepuasan pengunjung 4) Seharusnya melibatkan penerimaan dari
kekhasan sebuah sumberdaya yang dimiliki, dan mengakui sumberdaya sebagai sebuah keterbatasan, yang melibatkan pengelolaan supply-oriented
5) Seharusnya menyediakan keuntungan jangka panjang : bagi sumberdaya, komunitas lokal dan industri (keuntungan yang mungkin dalam bentuk konservasi, ilmu pengetahuan, sosial, budaya, atau ekonomi)
6) Harus meningkatkan keterpaduan dan unit pembangunan masyarakat disekitar kawasan dan zona pengembangannya
Pengelolaan Ekowisata dan konsep keruangan
Dalam pemanfaatan areal alam untuk ekowisata haruslah mempergunakan pendekatan pelestarian dan pemanfaatan lingkungan. Adapun tipe pemanfaatan areal yang memperhatikan pembagian zona sesuai konsep ekowisatanya dan mewujudkan fungsi pariwisata adalah : zona perlindungan sumber daya zona penyangga zona penggunaan rendah zona rekreasi zona wisatawan zona pelayanan komunitas
Perancangan Kawasan Wisata
Perancangan dan Pengelolaan Lanskap
1) Semua orang harus melakukan aktivitas dan memakai fasilitas rekreasi
2) Rekreasi harus dikoordinasikan dengan kemungkinan rekreasi yang lain untuk menghindari duplikasi
3) Rekreasi harus berintegrasi dengan pelayanan umum lain seperti kesehatan, pendidikan, dan transportasi
4) Fasilitas pendukung wisata harus dapat beradaptasi dengan permintaan di masa yang akan datang
5) Masyarakat dan sistem sosial budayanya harus
49
Aspek Pokok Sub Aspek Prinsip Perancangan
terlibat dalam proses perancangan 6) Harus tersedia lahan yang akan dikembangkan
dan dirancang sebagai kawasan wisata. 7) Fasilitas yang ada harus menjadikan lahan
yang tersedia menjadi seefektif mungkin dalam menyediakan tempat yang sesuai dengan daya dukung lingkungannya demi kenyamanan, keamanan, dan kebahagiaan pengunjung.
Ruang Terbuka 1) Harus Berlokasi di tengah permukiman sekitarnya dengan jarak jangkauan 800 meter atau 10 menit dengan berjalan
2) Harus Mempertimbangkan keterhubungan aksesibilitas, jaringan pedestrian dan bersepeda yang aman
3) Harus Memiliki keterhubungan antara seluruh jaringan pedestrian dan bersepeda dengan titik tujuan kunci/utama.
4) Harus Bertanggung jawab terhadap unsur/ elemen site alami
5) Harus Dibangun berdasar sense of place (jiwa tempat)
6) Harus Membantu melestarikan biodiversitas dan nilai alami kawasan
7) Harus memiliki aktifitas dan fungsi campuran didalamnya
8) Harus memilliki struktur, kejelasan, identitas, dan kekayaan visual
Sumber : Hasil Sintesa Kajian Pustaka, 2015
50
Diagram 2. 1 Kerangka Konseptual Pustaka
Sumber : Pemahaman Pustaka, 2015
Prinsip dan Komponen Penelitian
Perancangan Kawasan Wisata Alam
Site suitability evaluation for
ecotourism in Surat Thani Province,
Thailand
Konsep penataan lanskap untuk wisata
alam di Kawasan Taman Wisata Alam
Sorong
51
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
Bab ini berisikan metode yang digunakan dalam penelitian perancangan
kawasan wisata alam berbasis pembangunan berkelanjutan. Metode yang akan
dibahas meliputi pendekatan penelitian, komponen penelitian dan definisi
operasional, metode pengumpulan data, metode analisis data, dan kerangka tahapan
penelitian.
3.1 Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini berupa pendekatan
kualitatif (exploratory research) untuk mendapatkan data yang mendalam melalui
eksplorasi objek penelitian. Pendekatan penelitian kualitatif adalah pendekatan
penelitian yang diarahkan untuk pencapaian tujuan memperoleh penjelasan secara
mendalam atas penerapan sebuah teori. Karakteristik dari penelitian kualitatif serta
yang membedakan dengan penelitian kuantitatif adalah sebagai berikut.
Tabel 3. 1 Karakteristik Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif
Kualitatif
(Post- Positivism)
Kuantitatif
(Positivism)
Campuran
Karakteristik a) Berkembang
dinamis
b) Instrument
terbuka
c) Data wawancara,
observasi,
dokumentasi dan
audio visual
d) Analisis tekstual
dan gambar
e) Interpretasi tema
a) Pre-determined
b) Instrument
penelitian ketat
c) Data performa,
sikap,
observasi, dan
data sensus
d) Analisis
statistik
e) Interpretasi
statistik
a) Pre-determined yang
dinamis
b) Instrument tertutup dan
terbuka
c) Data berganda dan
terbuka
d) Analisis statistik dan
tekstual
e) Lintas- interpretasi data
base
Metode a) Naratif
b) Fenomenologi
c) Etnografi
d) Grounded theory
e) Studi kasus
a) Eksperimen
b) Non-
eksperimen
(survai, kaji
tindak,
asosiatif)
a) Parallel konvergensi
b) Sekuensial eksplanatoris
c) Sekuensial eksploratoris
d) Embedded
e) Transformative
f) Multi tahapan
Sumber : Indrawan dan Yaniawati, 2014
52
Selain itu karakteristik lainnya yang akan ditemukan dalam penelitian ini
nantinya adalah pada penggunaan beberapa metode penelitian yang lebih sederhana.
Pada umumnya pendekatan kualitatif membutuhkan keterlibatan peneliti secara
partisipatoris dalam rangkaian kegiatan penelitian, disamping itu peneliti bertindak
sebagai pengambil keputusan dalam menetapkan hal penting saat pengumpulan data
dan analisis data. Pendekatan kualitatif dalam hal ini seungguhnya adalah prosedur
penelitian yang menghasilkan data-data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau
lisan dari orang-orang dan prilaku yang dapat diamati. Sehingga data yang
dikumpulkan adalah data yang berupa kata/kalimat maupun gambar (bukan angka-
angka). Data-data ini bisa berupa naskah wawancara, catatan lapangan, foto, video,
dokumen pribadi, memo ataupun dokumen resmi lainnya (Maleong, 1994).
Penelitian kualitatif ini juga dapat dimaknai sebagai rangkaian kegiatan penelitian
yang mengembangkan pola pikir induktif dalam menarik suatu kesimpulan dari
suatu fenomena tertentu. Pola berfikir Induktif ini adalah cara berfikir dalam rangka
menarik kesimpulan dari sesuatu yang bersifat khusus kepada yang sifatnya umum.
Dengan pendekatan ini harapan peneliti mampu memperoleh gambaran yang
lengkap dari permasalahan yang dirumuskan dengan memfokuskan pada proses dan
pencarian makna dibalik fenomena yang muncul dalam penelitian, dengan harapan
agar informasi yang dikaji lebih bersifat komprehensif, mendalam, alamiah dan apa
adanya.
3.2 Komponen Penelitian dan Definisi Operasional
Komponen penelitian adalah suatu atribut atau sifat atau nilai dari orang,
objek atau kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang ditetapkan oleh peneliti
untuk dipelajari atau ditarik kesimpulannya. Dalam konteks penelitian ini, aspek
penelitian yang digunakan pada dasarnya mengacu dengan temuan prinsip
perancangan pada bahasan sub bab sintesa pustaka. Adapun pengorganisasian
komponen penelitian beserta definisi operasionalnya yang digunakan dapat dilihat
pada tabel 3.2 berikut.
53
Tabel 3. 2 Komponen Penelitian dan Definisi Operasional
Prinsip Perancangan Komponen
Penelitian
Definisi Operasional
1) Harus memiliki dampak yang
rendah pada kawasan lindung
yang masih memiliki sumber daya
alami dengan memperhatikan dan
mempertahankan kelestarian
lingkungan
Kualitas lingkungan Tingkat dukungan fisik
lingkungan dalam suatu
area/zona wisata
2) Harus membantu melestarikan
biodiversitas dan nilai alami
kawasan
Keragaman
sumberdaya alami
Kuantitas keragaman
sumberdaya hayati seperti
pegunungan, air terjun,
kekhasan flora fauna
Vegetasi Tingkat Keragaman,
kerapatan dan persebaran
vegetasi yang khas
3) Harus tersedia lahan yang
dikembangkan dan dirancang
Kesesuaian Lahan Tingkat Kualitas lahan
yang sesuai untuk
dibangun berdasarkan
kondisi fisik lingkungan
4) Harus bertanggungjawab terhadap
unsur site alami
Penggunaan lahan
(ruang terbuka tidak
terbangun)
Kondisi ketersediaan
fisik lahan (hidrologi,
topografi, jenis tanah) di
kawasan wisata yang
mendukung perancangan
dan pengelolaan lansekap
5) Fasilitas pendukung wisata harus
dapat beradaptasi dengan
permintaan di masa datang
Fasilitas pendukung
wisata
Ketersediaan dan kualitas
sarana pendukung wisata
(hotel, penginapan,
restoran, pelayanan
umum lainnya seperti
ruang terbuka)
6) Fasilitas yang tersedia harus
efektif dan memberikan
kenyamanan, keamanan, dan
kesenangan pengunjung
Fasilitas utama
rekreasi
Ketersediaan dan kualitas
sarana utama rekreasi
dalam obyek wisata dan
luar obyek wisata
7) Harus berlokasi di tengah
permukiman
Lokasi Letak ruang- ruang
terbuka di kawasan
wisata yang berpotensi
menjadi daya tarik wisata
8) Harus mempertimbangkan
keterhubungan aksesibilitas,
jaringan pedestrian, dan bersepeda
Aksesibilitas Kemudahan pencapaian
menuju lokasi wisata
dilihat dari jarak dan
sarana transportasi
Konektivitas Kualitas keterhubungan
dan keterkaitan antar
obyek wisata dilihat dari
ketersediaan prasarana
pendukung kawasan
9) Harus memiliki struktur,
kejelasan, identitas, dan kekayaan
Struktur dan kejelasan
kawasan
Tingkat kejelasan
kawasan dalam ditemu
54
Prinsip Perancangan Komponen
Penelitian
Definisi Operasional
visual alam kenali oleh pengunjung
Identitas kawasan Pengenalan obyek/
elemen kota yang khas
pada kawasan dan
menjadi pembeda dengan
kawasan lain
Kekayaan visual
pemandangan alam
Kualitas tampilan fisik
alam seperti keindahan
dan keunikan alam
10) Harus melibatkan stakeholder
dalam perancangan kawasan serta
menjamin kepuasan pengunjung
Kepuasan pengunjung Tingkat keamanan,
kenyamanan, kesenangan
terhadap tempat wisata
Keterlibatan pelaku
wisata
Bentuk aspirasi
masyarakat dalam
membangun kawasan
11) Semua orang harus melakukan
kegiatan rekreasi
Daya tarik wisata Jumlah dan jenis
ketersediaan daya tarik
wisata
Aktivitas rekreasi Ragam kegiatan rekreasi
yang menarik dan
dilakukan wisatawan di
kawasan wisata
12) Seharusnya menyediakan
keuntungan jangka panjang bagi
komunitas lokal dan industri
(keuntungan yang mungkin dalam
bentuk konservasi, ilmu
pengetahuan, sosial, budaya,
ekonomi)
Kegiatan ekonomi
mikro
Ragam usaha mikro
masyarakat lokal dalam
mendukung wisata
Produk lokal berbasis
agro
Jenis dan persebaran
produk lokal berbasis
agro yang menunjang
wisata
Sumber : Hasil Sintesa Pustaka, 2015
3.3 Metode Pengumpulan Data
Sub bab ini berisikan bahasan mengenai jenis data- data yang dibutuhkan
dalam penelitian beserta teknik pengumpulan dan penyajiannya. Mengingat
pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini bersifat kualitatif, maka data yang
akan tersaji pada pelaporan akhir didominasi oleh gambar, grafik, foto, dan mapping
yang dilengkapi dengan penjelasan deskriptif.
3.3.1 Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian yang akan dilakukan ini terdapat dua jenis data yang akan
dikumpulkan yakni data primer dan data sekunder, sehingga teknik pengumpulan
data yang akan dilakukan dalam studi penelitian meliputi.
55
I. Data Primer
Jenis data primer yang akan didapatkan dalam penelitian dapat berupa data
responden dan data fisik kawasan/ lingkungan. Untuk mendapatkan data
primer, beberapa teknik pengumpulan data yang digunakan nantinya adalah.
1. Metode Observasi
Perolehan data dan informasi dengan metode observasi adalah
dengan melakukan pengamatan langsung dan dokumentasi di lapangan
mengenai karakteristik lokasi studi dtinjau dari segi lingkungan, karakteristik
wisata, pola kegiatan wisata, permasalahan yang ada terkait penyediaan
prasaran dan sarana penunjang. Dalam metode observasi data yang didapat
nantinya dapat berupa visualisasi kondisi kawasan wisata alam Kecamatan
Pacet, dengan penjabaran deskriptif kualitatif.
2. Metode Wawancara
Wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara
langsung semi terstruktur. Wawancara ini akan digunakan dengan
menyiapkan instrumen penelitian berupa pertanyaan-pertanyaan kunci yang
kemungkinan jawabannya berupa uraian pendapat responden. Dalam
wawancara langsung ini setiap responden diberi pertanyaan yang sama, dan
pengumpul data mencatatnya. Dalam penelitian yang akan dilakukan ini,
metode wawancara dilakukan terhadap informan kunci atau stakeholders
yang representatif terhadap studi kasus pengembangan kawasan wisata alam.
Informan kunci sebagai obyek wawancara pada dasarnya telah ditentukan
secara purposeful sampling. Peneliti akan memilih partisipan dan individu
untuk dijadikan narasumber dan tempat- tempat yang akan diamati. Standar
yang digunakan untuk memilih partisipan dan tempatnya adalah mereka yang
kaya dengan informasi (Patton, 1990 dalam Indrawan dan Yaniawati, 2014).
3. Metode Focus Group Discussion (FGD)
Metode ini memungkinkan untuk dipergunakan dalam memperoleh
informasi dan data kualitatif dari beberapa pihak (stakeholders) dengan cara
melakukan sebuah diskusi kecil yang dimaksudkan mengungkap pemaknaan
dari suatu kalompok berdasarkan hasil diskusi yang terpusat pada suatu
permasalahan tertentu. FGD juga dimaksudkan untuk menghindari
56
pemaknaan yang salah dari seorang peneliti terhadap fokus masalah yang
sedang diteliti.
Secara keseluruhan teknik pengumpulan data yang digunakan lebih
memprioritaskan pada teknik wawancara dan FGD untuk menjamin
perolehan data yang valid dan akurat. Teknik wawancara dilakukan apabila
terdapat keterbatasan waktu atau kesulitan di dalam menemukan pihak
responden. Hal ini dapat terjadi dikarenakan responden yang dilibatkan
dalam penelitian ini adalah individu-individu yang memiliki jabatan
fungsional.
Untuk memperoleh data primer dengan metode pengumpulan data
yang telah dijelaskan pada uraian di atas, dibutuhkan beberapa responden
sebagai sampling yang dapat mewakili dalam menjawab sasaran penelitian.
Teknik pengambilan sampling untuk kegiatan FGD dalam penelitian ini
ditentukan secara purposeful sampling seperti halnya metode wawancara.
Dapat diartikan bahwa peneliti akan menggunakan responden yang sama
untuk pengumpulan data primer dengan metode FGD dan wawancara.
Adapun rincian responden tersebut dapat dilihat pada tabel 3.3 berikut.
Tabel 3. 3 Representasi Sampling Dari Para Pakar/Ahli Dalam
Perancangan Kawasan Wisata Alam Berkelanjutan Di Kecamatan
Pacet
No. Stakeholder Posisi Stakeholder Jumlah
Responden
1. Badan Perencanaan
Pembangunan,dan
Pengembangan Daerah (Bappeda) Kabupaten
Mojokerto
Staff Bidang Fisik dan
Pembangunan
1
2. Dinas Pariwisata Kasi Kepariwisataan 1
4. Desa Padusan dan Desa
Pacet Kecamatan Pacet
Kabupaten Mojokerto
Kasi Pembangunan Desa
Padusan dan Pacet Kecamatan
Pacet 2
5. Masyarakat Budayawan lokal Kecamatan
Pacet 2
Pelaku usaha mikro setempat 8
Wisatawan 10
Sumber : Pemahaman Kebutuhan Sampling, 2015
57
Dengan melihat tabel representasi sampling di atas dapat diuraikan bahwa
responden terbagi atas stakeholder pemerintahan, stakeholder swasta, dan
stakeholder masyarakat. Stakeholder pemerintahan dipilih dari Bappeda
Kabupaten Mojokerto, Dinas Pariwisata, serta perangkat kecamatan dengan
persentasi 16%. Sedangkan Stakeholder masyarakat yang dipilih adalah
budayawan lokal, pelaku usaha mikro (pemilik vila/penginapan, pengusaha
home industry, pedagang), serta wisatawan dengan persentasi 74%. Dalam
menentukan jumlah responden peneliti melakukan secara bebas dan acak namun
dapat mewakili terjawabnya sasaran penelitian.
Proses kerja peneliti dalam rangka pengumpulan data melalui FGD pada
dasarnya melibatkan metode brainstorming terhadap partisipan. Metode
brainstorming merupakan teknik pengumpulan data dengan wawancara
kelompok terarah serta memiliki fokus pada permasalahan yang akan diteliti.
Kebenaran data yang diperoleh melalui metode brainstorming ini tidak bersifat
subjektif individu namun menjadi kebenaran kelompok.
Sebelum memulai brainstorming terhadap partisipan di dalam FGD yang
akan dilakukan, peneliti selaku pewawancara akan membangun suasana dengan
pembukaan terkait topik, kemudian memberi gambaran umum lokasi penelitian
isu-isu didalamnya, tujuan dan sasaran penelitian. Setelah pewawancara
melakukan serangkaian kegiatan tersebut, kemudian pewawancara memberikan
kesempatan partisipan untuk menyampaikan pendapatnya secara spontan dan
bebas. Untuk pemahaman lebih lanjut terkait proses FGD yang dilakukan dalam
penelitian ini dapat dilihat pada diagaram berikut.
Diagram 3. 1 Proses Kerja FGD dalam Penelitian
Sumber : Pemahaman metode brainstorming dalam proses FGD, 2015
58
II. Data Sekunder
Pada umumnya data sekunder dapat diperoleh melalui survey
instansional yakni dengan cara mengunjungi instansi terkait untuk
mengumpulkan data dan informasi yang dibutuhkan. Selain itu data sekunder
juga dapat diperoleh dari studi literatur yang terkait dan mendukung pada
lokasi penelitian. Jenis data sekunder yang dibutuhkan dalam penelitian ini
berupa data tabulasi angka dan informasi peta.
Tabel 3. 4 Desain Pengumpulan Data Yang Didasarkan Atas Kebutuhan
Komponen Penelitian
Prinsip Perancangan Komponen
Penelitian Jenis Data
Teknik
Pengumpulan
Data
1) Harus memiliki dampak
yang rendah pada
kawasan lindung yang
masih memiliki sumber
daya alami dengan
memperhatikan dan
mempertahankan
kelestarian lingkungan
Kualitas lingkungan Data kawasan/
lingkungan
Survey
sekunder
2) Harus membantu
melestarikan biodiversitas
dan nilai alami kawasan
Keragaman
sumberdaya alami
Data kawasan/
lingkungan
Survey
sekunder,
observasi
lapangan
Vegetasi Data kawasan/
lingkungan
Observasi
lapangan
3) Harus tersedia lahan yang
dikembangkan dan
dirancang
Kesesuaian Lahan Data kawasan/
lingkungan
Survey
sekunder
4) Harus bertanggungjawab
terhadap unsur site alami
Penggunaan lahan
(ruang terbuka tidak
terbangun)
Data kawasan/
lingkungan
Survey
sekunder
5) Fasilitas pendukung
wisata harus dapat
beradaptasi dengan
permintaan di masa
datang
Fasilitas pendukung
wisata
Data kawasan/
lingkungan
Survey
sekunder,
observasi
lapangan
6) Fasilitas yang tersedia
harus efektif dan
memberikan
kenyamanan, keamanan,
dan kesenangan
pengunjung
Fasilitas utama
rekreasi
Data kawasan/
lingkungan
Observasi
lapangan
7) Harus berlokasi di tengah
permukiman
Lokasi Data kawasan/
lingkungan
Observasi
lapangan
8) Harus
mempertimbangkan keterhubungan
Aksesibilitas Data kawasan/
lingkungan
Observasi
lapangan
Konektivitas Data kawasan/ Observasi
59
Prinsip Perancangan Komponen
Penelitian Jenis Data
Teknik
Pengumpulan
Data
aksesibilitas, jaringan
pedestrian, dan bersepeda
lingkungan lapangan
9) Harus memiliki struktur,
kejelasan, identitas, dan
kekayaan visual alam
Struktur dan kejelasan
kawasan
Data kawasan/
lingkungan, data
reponden
Observasi
lapangan
Identitas kawasan Data kawasan/
lingkungan, data
responden
Observasi
lapangan
Kekayaan visual
pemandangan alam
Data kawasan/
lingkungan, data
responden
Observasi
lapangan
10) Harus melibatkan
stakeholder dalam
perancangan kawasan
serta menjamin kepuasan
pengunjung
Kepuasan pengunjung Data responden Observasi
lapangan
Keterlibatan pelaku
wisata
Data responden,
data tabulasi
Observasi
lapangan
11) Semua orang harus
melakukan kegiatan
rekreasi
Daya tarik wisata Data tabulasi Survey
sekunder,
observasi
lapangan
Aktivitas rekreasi Data kawasan/
lingkungan, data
responden
Observasi
lapangan
12) Seharusnya menyediakan
keuntungan jangka
panjang bagi komunitas
lokal dan industri
(keuntungan yang
mungkin dalam bentuk
konservasi, ilmu
pengetahuan, sosial,
budaya, ekonomi)
Kegiatan ekonomi
mikro
Data responden ,
data tabulasi
Survey
sekunder,
observasi
lapangan
Produk lokal Data responden ,
data tabulasi
Survey
sekunder,
observasi
lapangan
Sumber : Pemahaman Kebutuhan Data, 2015
3.3.2 Teknik Penyajian Data
Penyajian data merupakan tahapan setelah melakukan pengumpulan data.
Teknik penyajian data yang baik sangat diperlukan untuk mempermudah peneliti
dalam mengarahkan pengorganisasian teknik analisis yang akan digunakan. Proses
penyajian data dapat berupa pengelompokkan data, penyortiran data, dan penyajian
data itu sendiri (Muhadjir, 2000 dalam Darjosanjoto, 2006). Adapun penjabaran
proses tersebut akan diuraikan sebagai berikut.
60
1) Structuring Data
Mengelompokkan dan mengorganisasikan data yang sejenis, dimana
pengelompokkan data dilakukan berdasarkan variabel penelitian yang telah
ditentukan sebelumnya.
2) Reduction Data
Pengurangan atau penyortiran data yang dianggap kurang berfungsi dan terkait
dengan sasaran penelitian. Reduksi data dalam penelitian kualitatif juga
melakukan kegiatan merangkum, memilih hal-hal pokok, serta memfokuskan
pada hal-hal yang penting. Sehingga mereduksi data merupakan proses berpikir
sensitif yang memerlukan kecerdasan, keleluasaan, dan kedalaman wawasan
(Indrawan dan Yaniawati, 2014).
3) Display Data
Penyajian data yang telah dikelompokkan dan disortir dapat berupa grafik, tabel,
diagram, sketsa untuk mempermudah pembacaan data.
Secara spesifik teknik penyajian data pada penelitian ini dikelompokkan menjadi
beberapa jenis yaitu.
a) Data Fisik
Berupa data kondisi fisik faktual dilapangan yang merepresentasikan
kebutuhan perancangan elemen- elemen lansekap. Nantinya data ini
disajikan dalam bentuk dokumentasi foto serta peta.
b) Data Behaviour Observation
Berupa data rekam aktifitas dan rute pergerakan wisatawan di lokasi studi
sehingga terlihat jelas kebutuhan wisatawan sebagai pengguna ruang di
dalam objek penelitian. Nantinya data ini disajikan dalam pemetaan ruang
pada peta dasar lokasi penelitian.
3.4 Metode Analisis Data
Untuk melaksanakan penelitian sehingga tujuan penelitian dapat tercapai
perlu dipilih metode analisis yang tepat untuk mengolah data-data dan informasi
yang telah dikumpulkan melalui survei baik primer ataupun sekunder. Sesuai dengan
jenis data yang dikumpulkan dan tujuan analisis, maka kegiatan analisis pada
61
penelitian menggunakan analisis kualitatif. Sehingga metode yang akan digunakan
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
Tabel 3. 5 Tahapan Analisis Data
No Sasaran Detail
Penelitian Tahap Analisis Data Teknik
Analisis Output
1 Mengidentifikasi dan
menganalisis kondisi
biofisik kawasan untuk
menemukan kesesuaian
lokasi
Menilai aspek biofisik
(kemiringan, jenis
tanah, rawan bencana,
potensi visual lanskap,
keragaman hayati)
dalam upaya
menemukan kesesuaian
lokasi perancangan
Tumpang
tindih
(superimpose)
dengan Arc
GIS 9.3
Karakter Site
yang sesuai
untuk
perancangan
dan zona
penataan
ruang kawasan
2 Mengidentifikasi dan
menganalisis elemen
perancangan kawasan
baik fisik ataupun non
fisik yang
mempertimbangkan
persepsi stakeholder
Menganalisis elemen
rancangan kawasan
wisata alam dengan
pendekatan konsep
ekowisata
Character
Appraisal
Analysis,
Behavioral
MapAnalysis
Karakter
setiap Elemen
rancangan
sesuai kondisi
objek
penelitian
3 Merumuskan prinsip
perancangan khusus
kawasan wisata alam
Kecamatan Pacet
Menganalisis dengan
mendiskusikan antara
prinsip perancangan
yang ditemukan dalam
kajian pustaka dengan
hasil analisa fisik/ non
fisik sebelumnya dan
hasil diskusi
stakeholder Analisis
Triangulasi
Prinsip
perancangan
kawasan
wisata alam
4 Merumuskan usulan
konsep rancangan mengintegrasikan hasil
analisis temuan prinsip
perancangan dan
melakukan konfirmasi
kepada stakeholder
serta kesesuaiannya
terhadap fakta empiri/
kondisi di lapangan
Konsep
rancangan
kawasan
Sumber : Hasil Pemahaman Pustaka, 2015
A. Analisis Tumpang Tindih
Analisis tumpang tindih merupakan suatu teknik analisis spasial dengan
melakukan tumpang tindih pada peta-peta untuk menghasilkan tujuan atau peta
yang diharapkan. Alat analisis yang digunakan adalah Arc GIS 9.3 yang dapat
membantu membuat model spasial dari sebuah area grografis. Melalui analisis
ini dapat diketahui kondisi suatu wilayah berdasarkan data dan informasi yang
62
ada. Dalam penelitian ini analisis superimpose digunakan untuk mengetahui
kesesuaian site yang dapat diukur dengan melihat kondisi biofisik kawasan di
Kecamatan Pacet yang terletak di lereng Gunung Welirang. Dalam analisa ini,
teknik overlay yang digunakan adalah metode Weighted Overlay. Weighted
Overlay merupakan salah satu fasilitas yang ada dalam ArcGis 9.3 yang
mengkombinasikan berbagai macam input dalam bentuk peta grid dengan
pembobotan (weighted faktor) dari hasil penilaian/ skoring variabel dengan
menggunakan skala pembobotan yang telah dilakukan sebelumnya. Hasil peta
keluaran menunjukkan pengaruh tiap input tersebut pada suatu wilayah
geografis.Ilustrasi Weighted Overlay pada Gambar 3.1.
Metode ini sangat baik dipergunakan untuk mengadakan kajian keruangan,
hasil inventarisasi terhadap komponen tanah meliputi data sifat fisik di analisis
untuk dapat dipergunakan dalam mengidentifikasi kemampuannya. Data tanah,
kelerengan, rawan bencana, hidrologis, keragaman hayati dapat digunakan
secara keruangan melalui analisis ini sehingga dapat diketahui lokasi-lokasi yang
memiliki kesesuaian terhadap site perancangan. Metode ini menggunakan
beberapa peta tematik yang kemudian digambarkan atau ditampalkan di dalam
peta dasar. Prosedur analisis superimpose adalah sebagai berikut:
a. Membuat peta dasar dari wilayah studi.
b. Membuat peta-peta lain sesuai kebutuhan dalam studi.
c. Menentukan kriteria sesuai dengan kebutuhan studi.
d. Melakukan overlay antar peta yang satu dengan yang lain sesuai kebutuhan.
Gambar 3.1
Ilustrasi Operasional Weighted Overlay
Sumber : ArcGis 9.3, 2010
63
B. Analisis Character Appraisal
Analisis character appraisal atau analisis penilaian karakter pada dasarnya
digunakan untuk menganalisis dan menilai data kawasan/ lingkungan secara
menyeluruh yang meliputi sejumlah fitur karakter, termasuk: penilaian bangunan
(usia, jenis, skala, tinggi dan gaya); cakupan situs; ukuran lot; bangunan
kemunduran pada semua batas; blok ukuran; penilaian street (pola, desain,
lebar); lansekap fitur (rincian pagar / tembok, jenis pohon, paving dan street
furniture); dan karakteristik visual lainnya. Dalam analisis penilaian karakter ini
diikuti dengan penggunaan kriteria untuk menentukan pentingnya karakter itu,
dan elemen kunci di daerah penelitian dan yang relatif signifikan pada area studi.
C. Analisis Triangulasi
Pada hakikatnya tujuan dari analisis triangulasi ini menurut Moleong
(1998) ialah mendiskusikan informasi tentang hal yang sama yang diperoleh
dari berbagai pihak, agar dapat diinterpretasikan secara konsisten dan dapat
dipercaya.Triangulasi sebagai salah satu teknik pemeriksaan data secara
sederhana dapat disimpulkan sebagai upaya untuk mengecek data dalam
suatu penelitian, dimana peneliti tidak hanya menggunakan satu sumber data,
satu metode pengumpulan data atau hanya menggunakan pemahaman pribadi
peneliti saja tanpa melakukan pengecekan kembali dengan penelitian lain.
Triangulasi ini merupakan teknik yang didasari pola pikir fenomenologi yang
bersifat multiperspektif. Artinya untuk menarik kesimpulan yang
komprehensif, diperlukan tidak hanya satu cara pandang namun lebih dari
satu sudut pandang. Dari beberapa cara pandang tersebut akan bisa
dipertimbangkan beragam fenomena yang muncul, dan selanjutnya dapat
ditarik kesimpulan yang lebih komprehensif dan lebih bisa diterima
kebenarannya.
Analisis triangulasi dalam penelitian ini nantinya digunakan untuk
merumuskan prinsip perancangan serta merumuskan konsep rancangan
kawasan wisata alam Kecamatan Pacet. Pada proses analisis triangulasi
peneliti akan mendiskusikan fakta empiris dengan referensi dan pendapat
stakeholder yang didapat melalui sebuah diskusi.
64
Gambar 3. 1 Substansi Analisis Triangulasi Data
Sumber : Pemahaman komponen substansi triangulasi, 2015
3.5 Kerangka Tahapan Penelitian
Kerangka tahapan penelitian merupakan rangkaian urutan proses dalam suatu
penelitian yang berfungsi untuk menjelaskan secara rinci dan singkat mengenai
urutan setiap proses dalam penelitian. Adapun tahapan penelitian dalam
perancangan kawasan wisata alam di Kecamatan Pacet Kabupaten Mojokerto dapat
dilihat pada diagram 3.1.
65
Diagram 3. 2 Kerangka Tahapan Penelitian Sumber : Pemahaman Tahapan Penelitian, 2015
66
“Halaman ini sengaja dikosongkan”
67
BAB 4
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Bab ini secara keseluruhan menguraikan tentang tahapan dalam menjawab
sasaran- sasaran penelitian melalui analisis dan pembahasan yang mendetail. Tahap
pertama sebelum menjawab sasaran adalah penjabaran mengenai kondisi umum
wilayah studi yang diuraikan dalam sub bab 4.1, kemudian diikuti dengan sub bab
4.2 hingga sub bab 4.5 yang menjabarkan analisis pembahasan sesuai sasaran yang
telah di rumuskan serta sub bab 4.6 yang menjabarkan tentang usulan konsep
rancangan kawasan wisata alam Kecamatan Pacet.
4.1 Gambaran Umum Wilayah Studi
4.1.1 Letak Administratif dan Geografis Kecamatan Pacet
Kecamatan Pacet merupakan salah satu bagian wilayah Kabupaten
Mojokerto yang memiliki orientasi kawasan berada di bagian paling selatan wilayah
Kabupaten Mojokerto. Kecamatan Pacet berada pada ketinggian antara 205 meter
sampai dengan 900 meter di atas permukaan laut. Wilayah Kecamatan Pacet terdiri
dari 20 desa dengan jumlah penduduk 60.000 jiwa serta memiliki luas wilayah
45.404 Km2 atau 45,4 Hektar dengan batas fisik wilayah sebagai berikut.
Sebelah Utara : Kec. Gondang dan Kec. Kutorejo
Sebelah Timur : Kec. Trawas
Sebelah Selatan : Hutan (Perhutani) dan Kota Batu
Sebelah Barat : Kecamatan Gondang
Untuk pemahaman lebih lanjut terkait orientasi dan batas administratif Kecamatan
Pacet dapat dilihat gambar 4.1.
68
Gambar 4. 1 Orientasi Kecamatan Pacet Terhadap Kabupaten Mojokerto
Sumber : Hasil Olahan Peta RTRW Kabupaten Mojokerto, 2015
4.1.2 Kondisi Fisik Dasar Kecamatan Pacet
A. Topografi Kawasan
Kondisi topografi pada dasarnya meliputi kemiringan lahan dan ketinggian
lahan. Kawasan Kecamatan Pacet memiliki keragaman klasifikasi
kemiringan lahan antara 2% hingga lebih dari 40% dan berada pada
ketinggian rata- rata 470 dpl. Untuk kondisi kemiringan lahan dengan
klasifikasi 2%-8% mendominasi wilayah ini dengan persebaran di bagian
utara yang meliputi Desa Pandanarum, Desa Kuripansari, Desa Warugunung,
Desa bendungan Jati, Desa Sumberkembar, Desa Candiwatu, Desa
Kesimentengah, Desa Petak, Desa Pacet, Desa Kembangbelor, dan Desa
Cepokolimo. Selain didominasi klasifikasi kemiringan lahan 2%- 8%,
sebagian lahan di Kecamatan Pacet juga memiliki luasan lahan dengan
karakter kemiringan lahan lebih dari 40% yang tersebar di bagian selatan.
Hal ini disebabkan kawasan tersebut merupakan lereng pegunungan yang
memiliki pemanfaatan lahan sebagai hutan konservasi. Untuk pemahaman
lebih lanjut terkait pemetaan sebaran kemiringan lahan di Kecamatan Pacet
dapat dilihat pada tabel 4.1 dan gambar 4.2.
69
Tabel 4. 1 Komposisi Kelerengan Kecamatan Pacet
Desa 0-2% 2 – 8% 8 – 15% 15 – 40%
40% keatas
Bendungan Jati 135,737 57,335 144,828 8,062 Candi Watu 149,492 140,72 9,884
Celaket 106,184 329,372 Cembor 33,929 93,751 151,518
Cempokolimo 1,589 258,838 65,792 16,797 Kembang
Belor 46,699 171,437 56,468 kemiri 89,862 10,134 255,664 115,756 44,574
Kesiman Tengah 34,208 202,255 1,591
Kuripan sari 88,182 67,095 48,146 Mojokembang 160,063 115,404
Nogosari 254,013 98,609 Pacet 6,574 16,027 189,9
Padusan 28,682 183,681 Pandan Arum 113,116 51,537 0,009
Petak 87,519 140,434 104,737 Sajen 121,638 18,756 147,091
SumberKembar 181,856 39,336 139,801 Tanjung Kenongo 110,119 57,319 32,146
Waru gunung 115,549 162,72 32,329 Wiyu 36,14 83,973 61,856 28,306 Total 1350,131 1012,858 1927,69 501,527 1062,933
Sumber : RDTRK Kecamatan Pacet, 2009
Gambar 4. 2 Kondisi Kemiringan Lahan Kecamatan Pacet
Sumber : Hasil Olahan Peta Tematik RTRW Kabupaten Mojokerto, 2015
70
B. Geologi dan Jenis Tanah
Geologi dan jenis tanah merupakan satu kesatuan yang membentuk dan
mempengaruhi struktur tanah. Geologi atau jenis batuan yang mendominasi
di Kecamatan Pacet adalah jenis alluvium dan miosen fasies sedimen dengan
struktur batuan sekunder yang banyak dimanfaatkan sebagai tegalan dan
sawah. Sedangkan jenis tanah yang terdapat di Kecamatan Pacet terdiri dari
jenis tanah andosol, litosol, mediteran, non calcic brown, dan brown forest
oil. Dari ketiga jenis tanah tersebut yang mendominasi sebesar 80% di
Kecamatan Pacet adalah jenis tanah mediteran. Jenis tanah mediteran atau
batuan kapur memiliki sifat yang sukar untuk menyerap air sehingga tanah
jenis ini tidak sesuai bagi peruntukkan lahan pertanian. Adapun penjabaran
lebih lanjut terkait persebaran jenis tanah di Kecamatan Pacet dapat dilihat
pada gambar 4.3.
Gambar 4. 3 Kondisi Jenis Tanah Kecamatan Pacet
Sumber : Hasil Olahan Peta Tematik RTRW Kabupaten Mojokerto, 2015
C. Hidrologi
Kondisi hidrologi pada dasarnya terkait dengan pola tata air yang sangat
ditentukan oleh besarnya curah hujan, jumlah mata air atau sumber air, dan
pola aliran sungai dan bendungan. Kecamatan Pacet memiliki potensi
71
hidrologi berupa cekungan air tanah (CAT) dari sumber air utama Brantas
dan Pasuruan. Selain itu Kecamatan Pacet memiliki sumber sumber mata air
yang berjumlah 3 titik di Desa Pacet, 2 titik di Desa Cepokolimo, 1 titik di
Desa Padusan, 2 titik di Desa Claket, 1 titik di Desa Kembangbelor dan 4
titik di Desa Sajen. Sumber air yang berada di Desa Pacet salah satunya
adalha Sumber Air Ubalan yang dipergunakan untuk mengisi kolam renang
Ubalan, selain itu juga dimanfaatkan penduduk untuk kebutuhan air bersih.
Sumber Air Padusan mengeluarkan zat belerang dan dimanfaatkan sebagai
kolam renang air panas dari Kawasan Wisata Padusan. Keberadaan sungai
dan anak sungai di wilayah Kecamatan Pacet ini sangat penting terutama
untuk mendukung aktivitas pertanian, disamping untuk menunjang aktivitas
pariwisata di kawasan tersebut. Potensi air tanah yang ada digunakan untuk
melayani internal kawasan dan juga melayani sebagian wilayah dari
Kabupaten dan Kota Mojokerto. Kondisi yang demikian menyebabkan
ketersediaan cadangan air bersih di Kecamatan Pacet menjadi sangat penting
untuk menjaga ketersediaan sumber air bersih di wilayah bawahannya.
Disamping potensi air permukaan terdapat juga potensi air bawah tanah yang
terindikasikan dengan kedalaman efektif air tanah. Semakin dangkal
kedalaman efektif tanah semakin mudah air bersih ditemukan di kawasan
tersebut. Berdasarkan hasil perhitungan kedalam efektif tanah di Kecamatan
Pacet sebagian besar mempunyai kedalaman diatas 90 cm yang mencapai
luasan 8804,578 Ha, dimana wilayah desa yang memiliki dominan
kedalaman 90 cm adalah Desa Padusan.Untuk pemahaman lebih lanjut
terkait kondisi hidrologi di Kecamatan Pacet dapat dilihat pada gambar 4.4.
72
Gambar 4. 4 Kondisi Hidrologi Kecamatan Pacet
Sumber : Hasil Olahan Peta Tematik RTRW Kabupaten Mojokerto, 2015
D. Curah Hujan
Kondisi curah hujan rata- rata mm/hari di Kecamatan Pacet adalah 20,8
dengan puncak curah hujan tinggi pada bulan februari tahun 2014 yakni pada
angka 29 mm/hr. Jika dilihat dari sudut persebaran curah hujan dalam skala
kawasan, terdapat empat klasifikasi intensitas total curah hujan di Kecamatan
Pacet. Dari keempat klasifikasi tersebut intensitas hujan pada angka 20,23
mm-22,78 mm yang mendominasi bagian wilayah utara hingga ke selatan
Kecamatan Pacet. Adapun penjabaran lebih lanjut dapat dilihat pada gambar
4.5.
73
Gambar 4. 5 Kondisi Intensitas Curah Hujan Kecamatan Pacet Sumber : Hasil Olahan Peta Tematik RTRW Kabupaten Mojokerto, 2015
E. Tutupan vegetasi
Kawasan Kecamatan Pacet memiliki bagian wilayah yang terletak di lereng
pegunungan dengan vegetasi khas didalamnya yakni pohon pinus/ cemara
(Casuarina equisetifolia), dan pohon jati (Tectona grandis). Sedagkan bagian
wilayah lain Kecamatan Pacet memiliki tutupan vegetasi berupa tanaman
padi, pohon sono, dan berbagai tanaman rindang yang tumbuh dan dapat
dilihat di sepanjang jalan utama menuju Kawasan Wisata Pacet.
Gambar 4. 6 Kondisi Vegetasi Di Kawasan Wisata Alam Kecamatan Pacet
Sumber : Observasi Lapangan, 2015
4.1.3 Kondisi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Kecamatan Pacet
A. Penggunaan Lahan dan Rencana Pola Ruang
Penggunaan lahan eksisting saat ini di Kecamatan Pacet didominasi oleh
lahan pertanian dan hutan. Lahan pertanian yang ada sebgaian besar bersifat
74
pertanian tanaman pangan produktif yang dipertahankan. Sedangkan area
hutan di sisi selatan wilayah Kecamatan Pacet merupakan area hutan
produksi dan lindung yang dikelola oleh PT. Perhutani. Selain memiliki
fungsi sebagai hutan produksi dan lindung, PT. Perhutani mengelola area
hutan tersebut sebagai area pariwisata yakni berupa wana wisata dan
pemandian air panas.
Gambar 4. 7 Kondisi Penggunaan Lahan Eksisting
Sumber : Hasil Olahan Peta Tematik RTRW Kabupaten Mojokerto, 2015
Selain melihat kondisi penggunaan lahan eksisting yang ada, dalam suatu
perancangan kawasan wisata alam perlu melihat arahan/ rencana penggunaan lahan
atau pola ruang 20 tahun ke depan. Hal tersebut dipergunakan untuk melihat
kebijakan lahan- lahan yang diperbolehkan/ diijinkan untuk dibangun. Rencana pola
ruang Kecamatan Pacet mengarahkan pengembangan dan pembangunan berada di
pusat Ibu Kota Kecamatan Pacet yakni di Desa Pacet dengan dominasi peruntukkan
berupa kawasan permukiman perkotaan dan sarana pendukungnya. Sehingga jika
dikaitkan dengan konteks studi penelitian, kemungkinan terbesar pembangunan/
rancangan diperbolehkan pada kawasan- kawasan permukiman. Untuk pemahaman
lebih lanjut terkait arahan/ rencana pola ruang Kecamatan Pacet 20 tahun ke depan
dapat dilihat pada gambar 4.8.
75
Gambar 4. 8 Rencana Pola Ruang Kecamatan Pacet
Sumber : Hasil Olahan Peta Tematik RTRW Kabupaten Mojokerto, 2015
B. Potensi Sumber Daya Alam
Potensi sumber daya alam yang dimaksudkan dalam konteks studi ini adalah
keberadaan pemandangan alam sebagai salah satu potensi utama yang
dipertimbangkan dalam merancang kawasan wisata alam. Orientasi wilayah
Kecamatan pacet yang berada di lereng pegunungan Penanggungan dan
dikelilingi oleh tiga pegunungan lainnya, memberikan kekhasan alam
tersendiri melalui konfigurasi vegetasi, kontur, dan tutupan lahan yang ada
berupa pertanian dan hutan. Beberapa titik lokasi yang memiliki view
pemandangan alam yang berpotensi diantaranya sebagai berikut.
76
Gambar 4. 9 Potensi Pemandangan Alam Kecamatan Pacet
Sumber : Hasil Observasi, 2015
C. Kawasan Rawan Bencana Alam
Tipe bencana alam yang terjadi di wilayah studi adalah berupa rawan
bencana longsor dan rawan bencana letusan gunung berapi. Wilayah yang
ditetapkan sebagai kawasan rawan bencana letusan gunung berapi adalah
sekitar area hutan lindung dan produksi, sedangkan kawasan rawan bencana
longsor berada pada area dengan ketinggian lahan rata- rata di atas 25%.
Untuk pemahaman lebih lanjut dapat dilihat gambar 4.10.
77
Gambar 4. 10 Kawasan Rawan Bencana Alam Kecamatan Pacet Sumber : Hasil Olahan Peta Tematik RTRW Kabupaten Mojokerto, 2015
4.1.4 Kondisi Kepariwisataan Kecamatan Pacet
A. Daya Tarik Wisata (DTW)
Definisi daya tarik wisata menurut beberapa sumber adalah segala sesuatu
yang menarik dan memiliki nilai keanekaragaman kekayaan alam, budaya,
dan hasil buatan manusia dan menjadi daya tarik bagi orang untuk
mengunjungi suatu daerah tertentu. Kecamatan Pacet merupakan wilayah
yang ditetapkan dalam RTRW Kabupaten Mojokerto sebagai kawasan
strategis pengembangan wisata, memiliki beberapa daya tarik wisata ataupun
atraksi wisata berupa wisata alam dan wisata buatan. Namun kecenderungan
pengembangan wisata yang ada adalah memanfaatkan sumber daya alam
berupa pemandangan alami, potensi hutan, dan potensi kesejukan udara.
Kawasan wisata Kecamatan Pacet sebagai kawasan tujuan wisata memiliki 2
obyek wisata alam, 3 obyek wisata buatan, dan 1 obyek wisata purbakala.
78
Tabel 4. 2 Jenis dan Lokasi Persebaran ODTW Kawasan Wisata Alam Kecamatan Pacet Kabupaten Mojokerto Tahun 2015
No. Jenis Wisata Daya Tarik Wisata
Lokasi Pengelola
1. Wisata Alam Wanawisata Padusan
Desa Padusan
Perhutani Disbudpar
Air Terjun Coban Canggu
Disbudpar
2. Wisata Buatan
Pemandian Ubalan
Desa Pacet Disbudpar
Pacet Mini Park
Desa Pandan Arum
Swasta
Rafting Kromong
Desa Pacet Swasta
Joglo Park Desa Petak Swasta
3. Wisata Purbakala
Candi Kesimen
Desa Kesimen Tengah
Disbudpar
Sumber : Hasil Observasi, 2015
Dari jenis wisata dan bentuk daya tarik wisatanya yang ada di kawasan
wisata kecamatan pacet, daya tarik wisata alam merupakan jenis wisata yang
paling diminati wisatawan sehingga menjadi daerah tujuan wisata primadona
di kabupaten Mojokerto. Hal ini dapat dilihat dari jumlah kunjungan yang
meningkat setiap tahunnya, seperti yang terlihat pada tabel 4.3 dan gambar
diagram 4.1.
Tabel 4.3 Jumlah Pengunjung ODTW Kawasan Wisata Alam
Kecamatan Pacet Kabupaten Mojokerto Tahun 2006- 2010
No. Daya Tarik Wisata
Jumlah Kunjungan (jiwa) 2006 2007 2008 2009 2010 2014
1. Wanawisata Padusan
95.537 127.255 371.349 308.719 368.860 460.608
2. Air Terjun Coban Canggu
4.538 7.199 15.347 10.431 7.833 21.103
3. Pemandian Ubalan
34.925 37.404 93.982 37.143 138.211 16.940
Total 135.000 171.849 480.678 356.293 383.464 498.651 Sumber : Dinas Pariwisata Kabupaten Mojokerto, 2014
79
0
100000
200000
300000
400000
500000
20062007 2008 2009 2010 2014
Wanawisata Padusan
Air Terjun Coban Canggu
Pemandian Ubalan
Diagram 4. 1 Jumlah Kunjungan Wisatawan Daya tarik Wisata Tahun 2006-2014 Kecamatan Pacet
Dari tampilan grafik data di atas dapat dilihat kecenderungan minat
wisatawan dalam mengunjungi tempat daya tarik wisata yang memilih
Wanawisata Padusan sebagai tempat berekreasi.
1) Daya Tarik Wisata Air Terjun Coban Canggu
Air terjun Coban Canggu yang terletak di Desa Padusan, Kecamatan
Pacet, berdekatan dengan wana wisata Padusan. Air Terjun Coban Canggu
merupakan air terjun dengan ketinggian ±15 m yang dikelilingi oleh
pepohonan lebat dengan udara yang sejuk. Sepanjang perjalanan menuju
lokasi air terjun pengunjung bisa beristirahat di gazebo-gazebo yang telah
disediakan. Terdapat pula warung-warung untuk membeli makanan atau
minuman. Namun sejak terjadi musibah banjir dan longsor yang menimpa
Desa Padusan, jalan setapak menuju lokasi air terjun tertutup dengan
bebatuan sehingga setelah melalui barisan anak tangga pengunjung harus
“hiking” supaya dapat mencapai lokasi air terjun. Selain itu, hempasan
longsor yang membawa bebatuan juga merusak beberapa gazebo sehingga
tidak lagi terdapat tempat untuk beristirahat di dekat lokasi air terjun.
Banyaknya bebatuan yang terdapat di sekitar lokasi air terjun menjadikan
wana wisata Air Terjun Coban Canggu terkesan masih sangat alami.
Berdasarkan pengamatan di lapangan dan beberapa pendapat masyarakat
terkait ketersediaan prasarana dan sarana di lokasi wisata sudah terpenuhi
terutama sarana penunjang seperti mushollah, kamar mandi dan tempat
80
parkir kendaraan. Namun terdapat beberapa sarana wisata seperti kamar
mandi yang kondisinya tidak layak pakai.
Gambar 4. 11 Kondisi Daya Tarik Wisata Air Terjun Coban Canggu Sumber : Observasi Lapangan, 2015
2) Daya Tarik Wisata Wanawisata Air Panas Padusan
Padusan terletak di Desa Padusan, Kecamatan Pacet, yang berjarak ±32
km dari pusat Kota Mojokerto yang dapat dijangkau dengan kendaraan
pribadi maupun angkutan umum. Padusan merupakan wana wisata berupa
kolam air panas seluas ±64 m2 yang airnya bersumber dari lereng Gunung
Welirang dan konon dipercaya dapat menyembuhkan berbagai macam
penyakit. Di wana wisata Padusan banyak terdapat warung yang menjual
makanan dan sayur-sayuran. Selain itu pemilik kendaraan juga dapat
menggunakan jasa cuci mobil yang disediakan oleh penduduk setempat.
Setelah sempat ditutup untuk kunjungan wisatawan setelah musibah longsor
yang melanda beberapa tahun lalu, Padusan telah dibangun kembali dengan
fasilitas yang semakin diperlengkap seperti disediakannya taman bermain
anak-anak. Selama ini wana wisata Padusan menjadi sumber PAD terbesar
bagi Kabupaten Mojokerto.
Sedangkan untuk prasarana dan sarana yang disediakan terbilang lengkap
mulai dari tempat parkir, toilet/ WC, Musholla, gazebo, warung/ kios, pos
jaga. Dari segi prasarana juga terbilang lengkap dan baik antara lain telah
tersedia air bersih, listrik dan jaringan jalan yang cukup baik.
81
Gambar 4. 12 Kondisi Kawasan Wanawisata Air Panas Padusan Sumber : Observasi Lapangan, 2014
3) Daya Tarik Wisata Ubalan
Pemandian Ubalan merupakan pemandian yang berada di desa Pacet yang
menggunakan sumber mata air pegunungan disekitarnya. Letak obyek wisata
ini sekitar 1 Km dari pusat kota Mojokerto. Obyek utama yang ada di dalam
wanawisata obyek ini berupa kolam renang dari sumber air alami
pegunungan, dilengkapi pula dengan taman bermain, wisata sepeda air, dan
panggung hiburan, yang dilengkapi berbagai fasilitas, antara lain: musholla,
restoran, penginapan, gazebo dan areal parkir yang cukup luas.
Gambar 4. 13 Kondisi Daya Tarik Wisata Pemandian Ubalan
Sumber : Observasi Lapangan, 2011
B. Prasarana dan Sarana Pendukung
Keberadaan prasarana dan sarana pendukung di Kawasan Wisata Alam
Kecamatan Pacet secara keseluruhan telah terpenuhi dan mampu
mengakomodasi kebutuhan wisatawan disamping kebutuhan masyarakat
setempat yang berjumlah 1575 jiwa. Prasarana yang tersedia antara lain
82
berupa jaringan listrik dan jaringan air bersih yang diperoleh dari mata air
pegunungan. Selain prasarana, sarana yang tersedia meliputi fasilitas
pendidikan, fasilitas peribadatan, fasilitas kesehatan dan fasilitas
perdagangan dan jasa. Perkembangan fasilitas perdagangan dan jasa di
Kecamatan Pacet sebagai kawasan wisata cenderung mengalami
peningkatan. Fasilitas perdagangan dan jasa yang ada saat ini diantaranya
berupa kios, warung, rumah makan, dan villa yang masing- masing
jumlahnya lebih dari 10 unit. Sedangkan untuk fasilitas lainnya seperti
fasilitas peribadatan, fasilitas pendidikan, dan fasilitas kesehatan cenderung
tetap atau tidak mengalami penambahan jumlah.
1) Sistem Transportasi dan Aksesibilitas
Jalan sebagai prasarana penghubung dibidang transportasi darat merupakan
salah unsur yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat. Prasarana
jalan pada hakekatnya menyangkut berbagai aspek kehidupan, baik aspek
sosial ekonomi, budaya maupun ketahanan dan keamanan. Prasarana jalan
juga sangat penting dalam rangka menunjang pengembangan/peningkatan
pembangunan dan mendorong serta menciptakan keseimbangan
pembangunan antar daerah/kecamatan. Kecamatan Pacet sebagai kawasan
wisata alam saat ini memiliki beberapa ruas jalan dengan dimensi lebar jalan
tidak lebih dari tiga meter, perkerasan jalan berupa aspal dan berkondisi
cukup memprihatinkan. Hal tersebut dikarenakan jalan menuju lokasi obyek
wisata dilalui oleh kendaraan berat kelas III B sehingga banyak jalan
berlubang. Sedangkan untuk akses jalan menuju permukiman penduduk
perkerasan jalan yang ada saat ini berupa paving.
Gambar 4. 14 Kondisi Aksesibilitas Menuju Kawasan Wisata Pacet Sumber : Observasi Lapangan, 2011
83
2) Jaringan Air Bersih
Pemenuhan kebutuhan air bersih di Kecamatan Pacet dipenuhi oleh sumber
mata air padusan dan disalurkan secara langsung ke rumah- rumah melalui
pipa PVC.
3) Jaringan Listrik
Kebutuhan sumber energy listrik di Kecamatan Pacet bersumber dari aliran
listrik PLN. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan rata- rata masyarakat
menggunakan daya untuk kebutuhan rumah tangga sebesar 450 watt.
Sedangkan untuk pemenuhan kebutuhan fasilitas pendukung wisata seperti
villa dan rumah makan digunakan pemakaian daya sekitar 1300 watt.
4) Ruang Terbuka Hijau (RTH)
Ruang terbuka hijau yang dimaksud dalam pengamatan penelitian adalah
berupa taman dan jalur hijau. Untuk RTH berupa taman yang ada di wilayah
studi berada di dua titik lokasi di Desa Pacet. RTH taman yang ada saat ini
tidak berfungsi sebagaimana fungsi taman dan terkesan lahan pasif yang
ditutupi oleh vegetasi rumput, tanaman perdu, dan cemara. RTH lainnya
adalah taman monument di ujung jalan yang tidak terawat. Untuk RTH jalur
hijau yang ada di wilayah studi adalah berupa jalur hijau jalan yang cukup
memberikan keteduhan di beberapa titik ruas jalan.
Gambar 4. 15 Kondisi RTH Di Kawasan Wisata Desa Pacet
Sumber : Observasi Lapangan, 2011
5) Fasilitas Perdagangan dan Jasa
Fasilitas perdagangan dan jasa yang tersedia di kawasan wisata Kecamatan
Pacet berupa kios, toko, warung makan, rumah makan untuk mememuhi
kebutuhan pengunjung/ wisatawan. Persebaran fasilitas perdagangan dan jasa
berada di sepanjang jalur utama dari Desa Pacet menuju obyek wisata air
panas padusan dan air terjun padusan.
84
Gambar 4. 16 Kondisi Fasilitas Perdagangan dan Jasa
Di Kawasan Wisata Alam Pacet Sumber : Observasi Lapangan, 2011
C. Sosial Budaya Masyarakat
Kegiatan masyarakat Kecamatan Pacet di dominasi oleh kegiatan pertanian
atau perkebunan. Meskipun Kecamatan Pacet dikenal sebagai kawasan
pengembangan wisata, hal tersebut tidak mempengaruhi terjadinya
diferensiasi mata pencaharian masyarakat yang berfokus pada kegiatan
pariwisata seperti pedagang kios/ rumah makan. Namun, masyarakat
setempat tetap berpartisipasi dalam kegiatan pariwisata secara langsung
sebagai mata pencaharian tambahan.
Selain karakteristik ekonomi, masyarakat Desa Padusan juga mempunyai
karakteristik sosial masyarakat yang mencerminkan perilaku kedesaan.
Bentuk dari karakteristik sosial tersebut adalah terjaganya nilai kelestarian
budaya Gugur Desa (gotong royong), dan kebiasaan memperingati hari- hari
besar islam di langgar/ mushollah terdekat, mengingat sebagian besar
penduduknya beragama islam sebanyak 98%. Namun, masyarakat yang
antusias akan nilai budaya di desanya hanyalah masyarakat tertentu
khususnya masyarkat yang sudah sepuh/ berusia lanjut. Sedangkan, para
pemuda desa sebagai penerus bangsa kurang berminat terhadap kegiatan-
kegiatan yang merujuk pada pelestarian budaya. Hal ini disebabkan adanya
indikasi pengaruh- pengaruh dari luar yang dibawa oleh wisatawan kota.
85
Adapun bentuk perubahan sosial para pemuda akibat indikasi pengaruh
wisatawan kota adalah kenakalan para pemuda desa yang mulai meresahkan
masyarakat seperti mabuk minuman keras dan berjudi permainan bilyard.
Selain itu menurut hasil pengamatan lapangan, para pemuda desa kini kurang
mengidahkan budaya islam seperti sholat dan mengaji berjamaah di langgar/
mushollah. Sehingga keagamaan yang seharusnya dilakukan oleh para
remaja mushollah (remus) menjadi terbengkalai.
D. Perekonomian Wilayah Kecamatan Pacet
Sebagai wilayah yang memiliki potensi pengembangan di bidang pertanian,
perkebunan, dan pariwisata, Kecamatan Pacet memiliki kondisi
perekonomian cukup baik dilihat dari pendapatan keuangan kecamatan per
tahunnya yang tumbuh secara signifikan sebesar 5%. Berdasarkan data BPS
Kecamatan Pacet Dalam Angka Tahun 2014, pendapatan wilayah terbesar
berasal dari kontribusi sektor pariwisata. Adapun jumlah pemasukan atau
pendapatan wilayah Kecamatan Pacet dari sektor pariwisata pada tahun
2013-2014 dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 4. 3 Pemasukan Keuangan Kecamatan Pacet Dalam Sektor
Pariwisata Tahun 2013-2014
No. Obyek Wisata Pemasukan Keuangan
(Dalam Rp.) Jumlah 2013 2014
1 Wisata Air Panas 982.798.000 1.865.449.000 2.848.247.000 2 Wana Wisata 3.289.932.500 4.327.802.500 7.617.735.000 3 Air Terjun Coban Canggu 93.846.000 112.014.000 205.860.000 4 Ubalan 73.380.000 58.812.000 132.192.000 Jumlah 4.439.956.500 6.364.077.500 10.804.034.000 Sumber : BPS Kecamatan Pacet Dalam Angka, 2013-2014
4.2 Mengidentifikasi dan Menganalisis Kesesuaian Lahan Untuk
Perancangan Kawasan Wisata Alam
4.2.1 Kesesuaian Lahan
Mengidentifikasi dan menganalisis karakter lahan melalui penilaian
Kesesuaian lahan merupakan salah satu bentuk upaya pelestarian lingkungan
ditengah meningkatnya kegiatan pembangunan saat ini. Teknik penilaian kesesuaian
86
lahan dilakukan pada komponen- komponen fisik dasar alam yang mempengaruhi
kelestarian lingkungan seperti kondisi tanah, kondisi hidrologis, kondisi vegetasi,
serta kondisi kualitas udara. Sehingga dalam tahapan penilaian kesesuaian lahan
dalam pembangunan perlu adanya metode tumpang tindih (sumperimpose) untuk
melihat nilai- nilai atau karakteristik suatu lahan.
Penilaian kesesuaian lahan pada penelitian ini dilakukan sebagai tahap
pertama dalam menentukan site lahan yang sesuai atau layak untuk dirancang
dengan konsep pembangunan berkelanjutan. Teknik analisis yang dilakukan pada
tahap ini adalah menggunakan analisis sumperimpose sederhana dengan Software
Arc GIS 9.3. Analisis superimpose atau tumpang tindih yang berbasis pada penilaian
dan pembobotan membutuhkan parameter pada tiap variable- variable yang akan
dinilai. Adapun variabel dan parameter yang digunakan dalam tahap identifikasi dan
analisis karakter kesesuaian lahan adalah sebagai berikut.
A. Kemiringan/ kelerengan lahan
Untuk menganalisis variabel tersebut, parameter yang akan digunakan
diadopsi dari beberapa pedoman teknis yang mengatur tentang kemiringan
lahan untuk peruntukkan kawasan pertanian, industri, dan penanganan
khusus kawasan puncak. Sehingga diperoleh parameter yang sesuai untuk
wilayah penelitian adalah sebagai berikut :
Tabel 4. 4 Skoring Kelas Kemiringan Lahan
Sumber : Penanganan Khusus Kawasan Puncak “Kriteria Lokasi & Standar Teknik”, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah
B. Jenis Tanah
Untuk menganalisis variable jenis tanah, parameter yang akan digunakan
adalah dari pedoman teknis peruntukkan hutan produksi. Hal ini mengingat
sebagian besar wilayah studi merupakan hutan produksi yang diusahakan
Kelas Kisaran Lereng (%) Ketereangan
Hasil Nilai Kelas x bobot
Skoring
1 0-8 Datar 20 5 2 8-15 landai 40 4 3 15-25 Agak curam 60 3 4 25-45 curam 80 2
5 > 45 Sangat curam 100 1
87
sebagai kegiatan pariwisata. Adapun parameter tersebut adalah sebagai
berikut :
Tabel 4. 5 Skoring Kelas Jenis Tanah
Kelas Jenis Tanah Kepekaan terhadap
Erosi
Hasil Nilai Kelas x bobot
Skoring
1 Alluvial, tanah, glei, planosol,
hidromorf Tidak peka
15 1
2 Latosol Agak peka 30 2
3 Brown forest soil, mediteran
Kurang peka
45 3
4 Andosol, podsolik, literite grumosol peka 60 4
5 Regosol, litosol rganosol, Sangat peka 75 5
Sumber : Penanganan Khusus Kawasan Puncak “Kriteria Lokasi & Standar Teknik”, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah
C. Penggunaan Lahan
Untuk menganalisis variabel penggunaan lahan berdasar jenisnya, parameter
yang digunakan dalam konteks penelitian mengacu dari kriteria teknis
peruntukkan kawasan wisata dalam Permen PU No.41/PRT/M/2007. Dimana
dalam permen PU menjelaskan bahwa dalam pengembangan kawasan wisata
jenis penggunaan lahan yang disarankan adlah lahan bukan lahan pertanian
produktif. Sehingga dengan melihat kondisi/ karakteristik guna lahan di
kawasan wisata, untuk klasifikasinya dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 4. 6 Skoring Kelas Jenis Penggunaan Lahan
Kelas Jenis Penggunaan Lahan Kesesuaian Skoring
1 Pertanian/ perkebunan
Sangat buruk
1
2 Hutan buruk 2 3 Permukiman sedang 3 4 Ladang Baik 4 5 Semak Belukar Sangat baik 5
Sumber : Pengamatan peta tematik penggunaan lahan dan adopsi dari Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.41/PRT/M/2007.
88
D. Daerah Rawan Bencana
Variabel daerah rawan bencana dalam analisis kesesuaian lahan yang diukur
adalah potensi timbulnya kejadian bencana alam berupa banjir bandang dan
longsor serta letusan vulkanik yang terjadi di kawasan wisata. Berdasar
pendapat stakeholder dan masyarakat setempat kejadian bencana alam banjir
bandang dan longsor sebanyak 1 kali, banjir biasa dimusim penghujan
tergolong sering, dan letusan vulkanik tidak pernah terjadi. Mengingat hal
tersebut skoring yang akan diberikan untuk kawasan/ daerah rawan bencana
adalah :
Tabel 4. 7 Skoring Kelas Rawan Bencana
Kelas Bencana Alam Keterangan Skoring
1 Letusan vulkanik Sangat Buruk
1
2 Banjir bandang dan longsor Buruk 2
3 Banjir biasa Baik 3 Sumber : Pengamatan peta rawan bencana, 2015.
E. Vegetasi/tutupan lahan
Vegetasi dalam analisis penilaian kesesuaian lahan kawsasan wisata erat
hubungannya dengan salah satu faktor pemicu kerentanan longsor sehingga
dalam hal ini parameter yang digunakan adalah berdasarkan pada Permen PU
No.22/PRT/M/2007. Dimana dalam peraturan tersebut vegetasi dinilai
berdasarkan verifikasi jenis tumbuhan dan pola tanam. Untuk lebih jelasnya
dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 4. 8 Skoring Kelas Vegetasi/ Tutupan Lahan
Kelas Verifikasi Tanaman Skoring I Alang- alang, rumput- rumputan,
tumbuhan semak dan perdu 3
II Tumbuhan berdaun jarum seprti pinus dan cemara
2
III Tumbuhan berakar tunjang yang perakarannya tersebar seperti jati,
mahoni, asam jawa, dll.
1
Sumber : Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.41/PRT/M/2007.
89
Sedangkan parameter lain terkait kerapatan vegetasi yang juga
dipertimbangkan dalam menilai kesesuaian lahan, didasarkan pada teori Van
Zuidam, 1979 dalam Wulansari, 2011.
Tabel 4. 9 Skoring Kerapatan Vegetasi
Kelas Kerapatan Vegetasi
Keterangan Skoring
1 > 75 Sangat lebat/rapat
1
2 50-75 Lebat 2 3 25-50 Sedang 3 4 10-25 Jarang 4 5 <10 Lahan terbuka 5
Sumber :. Van Zuidam, 1979 dalam Rudiyanto, 2011
Setelah diketahui parameter yang akan digunakan dalam penilaian superimpose,
langkah selanjutnya adalah pengoperasian software Arc GIS 9.3 dengan melakukan
pengklasifikasian nilai kesesuaian lahan terhadap peta- peta kondisi fisik dasar serta
menumpangnindihkan seluruh peta yang telah terklasifikasi. Adapun model analisis
superimpose dengan menggunakan software Arc GIS 9.3 adalah sebagai berikut.
Diagram 4. 2 Model Proses Overlay Layer dalam GIS Sumber : Pemahaman teknik analisa spasial, 2015
Dengan model grafik di atas maka dapat diaplikasikan sesuai dengan kondisi
wilayah studi penelitian dengan hasil sebagai berikut.
90
Gambar 4. 17 Tahapan Superimpose dan Hasil Kesesuaian Lahan Sumber : Hasil Analisis, 2015
Dari proses analisis di atas dihasilkan peta kesesuaian lahan dengan
penjabaran karakteristik hasil temuan sebagaimana dijelaskan pada tabel 4.9.
Selanjutnya akan dipilih sebagai site utama perancangan dengan pertimbangan
bahwasannya pada site tersebut mewakili dalam menjawab permasalahan
perancangan yang ada seperti dijelaskan dalam bab pendahuluan. Adapun beberapa
pertimbangan yang diputuskan adalah melalui penilaian karakter site yang sesuai
untuk pembangunan, dapat dilihat gambar sebagai berikut.
Tabel 4. 10 Karakteristik Fisik Site Terpilih
No. Karakterisitik Fisik di lokasi Hasil Kesesuaian Lahan
Keterangan
1 Memiliki kemiringan minimum 2% hingga maksimum 15%
Pola ruang yang diijinkan untuk dibangun berupa permukiman dan hutan produksi
Memiliki karakteristik tanah berjenis mediteran yang bersifat tidak peka terhadap erosi sehingga aman untuk dibangun dengan konstruksi yang bersyarat
Dilalui oleh jaringan jalan lokal primer dengan lebar jalan ± 5- 8 meter
Tidak memiliki karakteristik area rawan bencana alam baik longsor ataupun letusan vulkanik
Sesuai Lokasi- lokasi dengan karakteritistik demikian dapat dilihat pada gambar 4.17 Berdasarkan teori Mc. Harg lahan dengan karakteristik demikian dapat dibangun industri ramah lingkungan, RTH, institusi dan perumahan
91
No. Karakterisitik Fisik di lokasi Hasil Kesesuaian Lahan
Keterangan
2 Memiliki kemiringan lahan minimum 2% dan maksimum 40%
Pola peruntukkan ruang didominasi oleh lahan pertanian produktif (LP2B), taman hutan raya, dan hutan lindung
Memiliki dominasi jenis tanah litosol dan andosol yang peka terhadap erosi tanah dan tingkat kesuburan tinggi
Tidak memiliki karakteristik area rawan bencana alam baik longsor ataupun letusan vulkanik
Kawasan ini dilalui oleh jaringan jalan lokal sekunder dan jalan lingkungan yang memiliki lebar ± 2-3 meter
Cukup Sesuai Lokasi- lokasi dengan karakteritistik demikian dapat dilihat pada gambar 4.17 Berdasarkan teori Mc. Harg lahan dengan karakteristik demikian dapat dibangun Hutan, rekreasi, rumah dengan kepadatan 1 rumah/ 1,2 Ha. Namun kondisi eksisting yang ada, untuk hunian memiliki kepadatan 10 rumah atau bangunan/ 1,2 Ha.
3 Memiliki kemiringan lahan minimum 15% hingga maksimum > 40%
Pola peruntukkan ruang didominasi oleh taman hutan raya, hutan lindung, dan hutan produksi
Memiliki dominasi jenis tanah litosol dan andosol yang peka terhadap erosi tanah dan tingkat kesuburan tinggi
Memiliki karakteristik area rawan bencana letusan vulkanik dan longsor/ banjir bandang
Kawasan ini hanya dilalui oleh jaringan jalan lingkungan yang memiliki lebar 2-3 meter
Tidak Sesuai Lokasi- lokasi dengan karakteritistik demikian dapat dilihat pada gambar 4.17
Sumber : Hasil Analisis, 2015
92
Gambar 4. 18 Klasifikasi Site Hasil Analisis Kesesuaian Lahan
Sumber : Hasil Analisis, 2015
Langkah selanjutnya setelah pemilihan site terpilih di Kawasan Wisata Alam
Pacet adalah melakukan penilaian karakter (Character Appraisal) terhadap elemen
sumber daya lanskap yang meliputi vegetasi dan tata hijau, nilai kualitas
pemandangan alam, serta ruang terbuka/ ruang luar. Untuk mendapatkan hasil
analisis yang lebih rinci maka perlu adanya pembagian segmen- segmen pada site
terpilih. Adapun pembagian segmen pada site terpilih dapat diamati pada gambar
4.18 berikut.
93
Gambar 4. 19 Segmentasi Site Terpilih Sumber : Hasil Olahan Peta RTRW Kabupaten Mojokerto, 2015
Keterangan Gambar 4.18 :
Segmen 1
Segmen 1 sebagai segmen pembuka atau gerbang memasuki kawasan wisata alam
Kecamatan Pacet, memiliki karakteristik peruntukkan ruang berupa fasilitas
pelayanan umum, permukiman, dan fasilitas pendukung pariwisata terutama restoran
dan pertokoan. Jaringan jalan sebagai akses yang melintasi segmen 1 memiliki lebar
8 meter dan didukung oleh prasarana pedestrian, namun street furniture masih
terbatas. Potensi elemen perancangan yang ada disegmen 1 ini adalah koridor jalan
raya Pacet sebagai pintu gerbang kawasan wisata alam. Selain itu, pada segmen ini
memiliki spot- spot view alami yang memiliki nilai strategis dalam perancangan
lanskap ataupun sebagai salah satu atraksi wisata.
Segmen 2
Segmen 2 dikategorikan sebagai segmen perantara yang memiliki karakteristik
peruntukkan ruang berupa permukiman, lahan pertanian (sawah tadah hujan),
obyek daya tarik wisata, serta fasilitas pendukung pariwisata. Aksesibilitas berupa
jaringan jalan yang ada di segmen 2 ini memiliki kondisi lebih sempit yakni dengan
lebar jalan 3 meter, dan tidak didukung pedestrian. Potensi elemen rancangan yang
ada di segmen 2 ini adalah berupa ruang terbuka (taman skala kecamatan) yang
94
tidak terawat serta belum tersedianya pedestrian yang tidak mendukung
penggunanya. Selain itu, pada segmen ini memiliki spot- spot view alami yang
memiliki nilai strategis dalam perancangan lanskap ataupun sebagai salah satu
atraksi wisata.
Segmen 3
Segmen 3 sebagai segmen utama yang memiliki karakteristik potensi atraksi wisata
berupa pemandangan alam serta obyek daya tarik wisata air terjun Coban Canggu
dan Wanawisata Air Panas Padusan. Peruntukkan ruang di segmen ini di masih
dominasi oleh hamparan areal pertanian yang memiliki latar pegunungan
Penanggungan serta fasilitas pendukung pariwisata berupa villa penginapan bagi
wisatawan. Kondisi aksesibilitas berupa jaringan jalan pada segmen ini memiliki
lebar hanya 2-3 meter tanpa didukung pedestrian bagi pejalan kaki. Sehingga timbul
beberapa permasalahan terkait aksesibilitas terutama pada waktu liburan. Sebgai
segmen utama, segmen ini memiliki spot- spot view alami yang memiliki nilai
strategis dalam perancangan lanskap ataupun sebagai salah satu atraksi wisata.
4.3 Identifikasi Dan Analisis Keberadaan Ruang Terbuka Dalam
Menunjang Kegiatan Rekreasi Atau Wisata Alam
Ruang terbuka berdasarkan sintesa pustaka memiliki fungsi berbeda pada
setiap hirarki yang berbeda. Menurut fungsinya, ruang terbuka yang terdapat di
kawasan studi dapat dikategorikan dalam ruang terbuka alam dan ruang terbuka
rekreasi. Ruang terbuka alam memiliki tujuan memberikan suatu pengaturan dimana
orang dapat menikmati alam lebih dekat dan melindungi fungsi keanekaragaman
hayati dan area yang memiliki nilai alami atau keaslian. Sedangkan ruang terbuka
rekreasi memiliki tujuan memberikan suatu pengaturan untuk bermain informal dan
aktivitas fisik, relaksasi dan interaksi sosial. Selain dua kategori yang dibedakan
berdasar fungsi, ruang terbuka yang terdapat di kawasan wisata alam Kecamatan
Pacet ini juga termasuk dalam hirarki Neighbourhood Open Space (NOS). Dengan
potensi keberadaan 3 kategori ruang terbuka yang dirancang sesuai dengan
kebutuhan lingkungan alam dan mengakomodasi kegiatan manusia sebagai
penggunanya akan memberikan solusi bagi permasalahan dan disisi lain mendukung
95
pembangunan kawasan wisata alam pacet yang berkelanjutan. Untuk merancang
ruang terbuka di dalam kawasan wisata alam kecamatan Pacet dibutuhkan prinsip
perancangan yang dapat dihasilkan melalui analisis penilaian karakter. Berikut
adalah beberapa aspek yang diidentifikasi dan dianalisis untuk menghasilkan prinsip
perancangan perancangan ruang terbuka di kawasan wisata alam kecamatan Pacet.
Tabel 4. 11 Aspek dan Persyaratan Perancangan Ruang Terbuka Skala Lingkungan Pada Kawasan Wisata
Aspek Yang Ditinjau Persyaratan Rancang NOS Lokasi a) Harus berada ditengah pemukiman penduduk Luas Area b) Harus memenuhi 1 Ha hingga 5 Ha Keterjangkauan/ Akses c) Harus dapat dijangkau dengan jarak 800 meter atau 10 menit
dengan berjalan dari permukiman sekitar d) Harus aksesibel, memiliki pedestrian yang aman, dan koneksi
bersepeda Konektifitas e) Harus mengkoneksikan titik- titik tujuan wisata dengan jalur
pejalan kaki dan bersepeda Aktifitas f) Perlu dukungan pengawasan secara pasif
g) Harus bertanggung jawab terhadap fitur alam pada lokasi h) Harus dapat menciptakan rasa atau keterikatan pada tempat i) Harus melestarikan keanekaragaman hayati dan nilai- nilai
lokal pada area alami termasuk budaya Sumber : Sintesa Pustaka, 2015
4.3.1 Peran, Fungsi, dan Potensi
4.3.2 Lokasi
Pada umumnya ruang terbuka yang terdapat di Kecamatan Pacet baik berupa
ruang terbuka alami atau ruang terbuka rekreasi berada melingkupi permukiman
penduduk. Hal ini dikarenakan perkembangan ruang terbangun di kawasan ini
tumbuh secara sporadis dan cenderung mengkonversi lahan- lahan pertanian atau
ladang. Berdasarkan pendapat responden, secara detail dalam membangun atau
merancang ruang terbuka yang bersifat taman dan memiliki fungsi rekreatif haruslah
ditempatkan pada lokasi yang pasti dimanfaatkan oleh penduduk dan wisatawan.
4.3.3 Luas Area
Kecamatan Pacet merupakan salah satu bagian wilayah kabupaten mojokerto
yang memiliki luas 45, 4 Ha dan dihuni oleh 60.000 jiwa penduduk. Dari hasil
analisis kesesuaian lahan untuk perancangan sesuai dengan konteks penelitian, luas
96
lahan yang sesuai untuk pengembangan ataupun pembangunan di kecamatan pacet
memiliki luas ± 405,2 Ha yang didalamnya termasuk ruang terbangun 107,5 Ha dan
ruang terbuka 297,6 Ha. Sehingga berdasar kriteria perancangan yang dibahas pada
sub bab sebelumnya kondisi eksisting luasan area memenuhi kriteria rancangan
ruang terbuka untuk skala lingkungan permukiman dengan jenis rancangan ruang
terbuka berupa ruang terbuka alam dan ruang terbuka rekreasi. Namun, sebesar 86%
dari 22 responden berpendapat bahwa luas area yang cukup luas tersebut harus dapat
dirancang dengan dua tipe ruang terbuka yang telah disebutkan. Selain itu harus
membedakan secara jelas pembagian proporsi luas penggunaan pada ruang terbuka
tersebut agar masyarakat, pemerintah, ataupun investor pengembang mengetahui
dengan jelas batasan- batasan area untuk merancang ruang terbuka.
Gambar 4. 20 Ilustrasi Luasan Area Dalam Analisis Memperoleh Prinsip Rancangan
Sumber : Hasil Olahan Pemetaan, 2015
Mengarah pada pembahasan yang lebih mikro, pembagian luasan proporsi ruang
hijau (ruang terbuka alam) dan ruang terbuka rekreasi dalam perancangan ruang
terbuka sejenis taman skala kelurahan/lingkungan, dapat mengacu pada kriteria
peraturan menteri pekerjaan umum yang menjelaskan bahwa tiap jiwa
membutuhkan ruang hijau seluas 0,2 M². Sehingga dapat dihitung proporsi luasan
ruang terbuka alam yang harus tersedia adalah sebagai berikut :
Lrta = Jumlah penduduk tahun akhir (Ds. Pacet, Ds. Padusan, Ds. Sajen, Ds. Petak)
x standar kebutuhan per jiwa
45,4 Ha 405,2 Ha 107,5 Ha Terbangun
297,6 Ha
97
Dengan mengaplikasikan rumus sederhana tersebut, perancangan ruang terbuka
sejenis taman skala kecamatan haruslah memenuhi :
Lrta = (6173 + 1450 + 4184 + 3554 ) x 0.3 M² = 4608.3 M²
Proporsi : Ltotal ruang terbuka taman eks (100%) = Lrta + Lrtr
8000 (100%) = 4608.3 + 3391.7
100% = 57.6% + 42.4%
Dari logika perhitungan sederhana maka diperoleh proporsi luasan ruang terbuka
alami (rta) sebesar 57.6% dan ruang terbuka rekreasi (rtr) sebesar 42.4%.
4.3.4 Keterjangkauan dan Aksesibilitas
Keterjangakuan merupakan salah satu persyaratan yang harus
dipertimbangkan dalam merancang suatu ruang terbuka dalam kawasan wisata alam.
Keterjengkauan memiliki erat kaitannya dengan aksesibilitas kawasan. Berikut
adalah identifikasi dan analisis penilaian karakteristik aksesibilitas di kawasan
wisata alam Pacet.
Tabel 4. 12 Identifikasi dan Analisis Character Appraisal Aksesibilitas Kawasan Wisata Alam
Segmen 1
Analisis : Keterjangkauan permukiman dengan ruang terbuka disekitarnya berdasar kriteria dari sintesa pustaka adalah 800 meter. Dapat dilihat pada gambar disamping bahwa, radius 800 meter pada segmen 1 sudah memenuhi bahkan melebihi batas wilayah segmen 1. Hal ini menunjukkan bahwa rancangan ruang terbuka pada segmen 1 ini nantinya dapat dimanfaatkan oleh wilayah sekitar dengan akses 10 menit jika berjalan kaki. Jalan beserta elemen disekitarnya (koridor) sebagai akses memiliki peran penting dalam merancang ruang terbuka. Dapat dilihat kondisi koridor 1, 2, dan 3, merupakan akses utama sebagai gerbang masuk dan keluar wisatawan yang didukung oleh lebar jalan selebar 6-8 meter serta dilengkapi tegakan vegetasi khas juga jalur pedestrian. Dengan kondisi akses yang demikian, wisatawan merasakan keleluasaan dalam berkendara, sedangkan penduduk setempat dapat menggunakan jalur pedestrian yang ada. Namun mengingat kondisi jalur pedestrian pada koridor jalan tersebut tidak layak digunakan, maka perlu perbaikan kualitas pedestrian yang layak digunakan.
Keterangan :
Jarak Keterjangkauan 800 M
Eksisting Pedestrian
1
2
3
1
2
3
98
Segmen 2
Analisis : Persyaratan keterjangkauan yang harus dapat diakses oleh permukiman sekitarnya dengan jarak 800 meter terpenuhi bahkan melebihi pada segmen 2. Permukiman yang ada pada segmen 2 dapat menjangkau ruang- ruang terbuka baik ruang terbuka alami ataupun rekreasi tidak harus menempuh jarak 800 meter. Sehigga berdasarkan kondisi di lokasi studi, untuk merancang ruang terbuka jarak keterjangkauan permukiman dengan ruang terbuka dapat ditentukan berdasarkan tipe pengembangan ruang terbuka itu sendiri. Menurut pendapat responden dalam FGD, ketersediaan ruang- ruang terbuka yang dekat dengan permukiman perlu dirancang dengan akses yang mendukung para pengguna jalan terutama pejalan kaki. Hal ini dikarenakan kedekatan permukiman dengan ruang terbuka disekitarnya.
Segmen 3
Analisis : Karakter site pada Segmen 3 memiliki area yang cukup luas dibanding dengan segmen lainnya. Keberadaan permukiman yang memusat di bagian utara dapat menjangkau ruang- ruang terbuka disekitarnya dan memenuhi persyaratan 800 meter. Persyaratan jarak keterjangkaun tersebut dapat diakses oleh permukiman diluar segmen 3. Dapat dilihat kondisi jalan di koridor 1,2,3 merupakan akses yang dilalui menuju obyek wisata unggulan dengan kondisi lebar jalan 2-3 meter tanpa dilengkapi jalur pedestrian. Dengan kondisi akses yang demikian, beberapa wisatawan berpendapat tidak merasakan keleluasaan dalam mengakses koridor ini karena jalan cukup sempit dan ketika puncak hari libur kepadatan juga ditimbulkan oleh pengunjung villa pada koridor 3 yang menggunakan badan jalan untuk berjalan menuju obyek wisata. Berdasarkan Pendapat responden untuk dapat menikmati ruang terbuka yang ada di sepanjang koridor tersebut perlu rancangan koridor yang mengakomodasi jalur khusus wisatawan villa dan memisahkannya dengan jalur kendaraan.
Sumber : Hasil Analisis, 2015
Berdasarkan pada hasil analisa yang telah dilakukan, maka dapat
disimpulkan dan diperoleh beberapa prinsip perancangan terkait aksesibilitas dalam
merancang sebuah ruang terbuka di dalam kawasan wisata alam. Bahwasannya
Keterangan :
Jarak Keterjangkauan 800 M
Eksisting Pedestrian
Keterangan :
Jarak Keterjangkauan 800 M
1
1
2
2
3
3
1
1
2
2
3
3
99
keterjangkauan dan aksesibilitas untuk perancangan ruang terbuka kawasan wisata
alam :
1. Harus mempertimbangkan keberadaan ruang terbuka yang dekat dan tipe ruang
terbuka yang dirancang
2. Perlu perancangan koridor jalan khusus yang mengakomodasi jalur khusus
wisatawan villa dan memisahkannya dengan jalur kendaraan.
4.3.5 Konektivitas dan Sirkulasi
Konektifitas atau keterhubungan dalam suatu kawasan wisata dapat
ditunjukkan dengan adanya jaringan jalan, jalur pedestrian, jalur sepeda, dan jalur
ruang terbuka hijau (RTH). Konektifitas di kawasan wisata alam memiliki tujuan
untuk menghubungkan antar titik obyek wisata ataupun titik daya tarik wisata
lainnya (spot pemandangan alam yang menarik, PKL, dan sarana pendukung wisata
lainnya). Saat ini konektifitas yang ada hanya berupa jaringan jalan dan terhubung
secara merata antar titik obyek wisata dengan permukiman ataupun obyek wisata
dengan sarana pendukung wisata. Untuk pemahaman lebih lanjut terkait kondisi
konektivitas dan sirkulasi di kawasan studi dapat dilihat gambar 4.21 berikut.
100
Gambar 4. 21 Konektivitas dan Sirkulasi Di Kawasan Studi
Sumber : Hasil identifikasi dan analisis, 2015
Keterangan : Obyek Wisata Daya tarik wisata lainnya
Jalur Konektifitas
1
1
2
3
4
Jalur ini merupakan jalur yang menghubungkan obyek wisata di Desa Petak (Joglo Park) dengan daya tarik wisata lainnya di Desa Sajen dan jalur ini sebagai akses masuk dan keluar wisatawan
Jalur ini merupakan jalur utama yang menghubungkan obyek wisata di Desa Petak (Joglo Park) dengan obyek wisata Desa Pacet- Desa Padusan dan selalu dilalui oleh wisatawan .
1
2
Jalur ini merupakan jalur yang menghubungkan obyek wisata di Desa Petak (Joglo Park), daya tarik wisata lainnya di Desa Pacet dengan daya tarik wisata lainnya berupa penginapa villa dengan latar belakang keindahan alam di Desa claket
3
Jalur ini merupakan jalur yang menghubungkan obyek wisata di Desa Petak (Joglo Park), daya tarik wisata lainnya di Desa Pacet berupa keindahan pemandangan alam jalur ini juga menghubungkan pada obyek wisata rafting serta taman hutan raya R. Soeryo.
4
101
Tabel 4. 13 Analisis Charater Appraisal Jalur Konektifitas
Jalur Konektifitas
(JK)
Analisis Penilaian Karakter Pendapat Responden (wisatawan dan peserta
FGD)
Kesimpulan
1 Sebagai jalur konektifitas, jalur 1 merupakan ruang luar berupa jalan yang terbentuk cukup luas sehingga dapat memberikan sirkulasi yang cukup baik dalam suatu zona penerima atau pintu gerbang kawasan wisata. Namun disisi lain jalur pedestrian yang ada tidak berfungsi optimal, terputus, dan dimanfaatkan oleh PKL untuk membuka lapak dagangan. Sehingga fungsi konektifitas yang ada saat ini belum berfungsi secara optimal. Penambahan jalur pedestrian pada koridor yang terputus diperlukan untuk mempermudah wisatawan bersirkulasi dari satu tempat ke tempat lainnya. Selanjutnya dapat dirancang sebuah jalur bersepeda, mengingat lebar jalan memiliki luas 6 hingga 8 meter. Melihat sisi lain JK 1 dari Desa Pacet menuju Desa padusan, JK 1 ini memiliki lebar jalan yang cukup sempit yaitu 2-3 meter dan memiliki sirkulasi yang cukup padat. Hal ini dikarenakan JK 1 ini jalur utama penghubung menuju obyek wisata unggulan. Selain itu fenomena keberadan villa penginapan yang memiliki penghuni hingga ratusan orang pada puncak hari libur, menambah padatnya sirkulasi yang terjadi pada jalur ini. Perancangan JK ini perlu memberikan keleluasaan bagi penghuni villa/ penduduk pendatang dalam bersikulasi menuju obyek wisata unggulan di Desa Padusan.
Setelah peneliti menganalisis karakter dari beberapa jalur konektifitas, dapat dihasilkan beberapa kriteria pedestrian yang perlu disediakan untuk menunjang fungsi yang berbeda. Selanjutnya peneliti menggali persepsi responden mengenai kriteria jalur pedestrian dan jalur bersepeda di dalam sebuah kawasan wisata alam. Hasil dari wawancara dan FGD reponden, Secara garis besar jalur pedestrian harus dirancang dengan aman, nyaman, teduh serta harus optimis digunakan oleh masyarakat setempat terlebih wisatawan. Mereka berpendapat
Dari hasil analisis penilaian karakter dan pendapat responden dapat diperoleh beberapa prinsip perancangan untuk aspek konektifitas. Bahwa merancang ruang terbuka dalam kawasan wisata alam, 1. Harus memiliki jalur
konektifitas antar obyek wisata dan sekitarnya
2. Jalur pedestrian sebagai bentuk konektifitas harus dirancang dengan aman, nyaman, teduh, serta harus optimis digunakan oleh masyarakat maka harus sesuai fungsi.
3. Jalur bersepeda
2 Tidak jauh berbeda dengan karakter di JK 1, JK 2 memiliki jalur konektifitas dengan lebar jalan 5-6 meter serta memiliki jalur pedestrian yang terputus dan tidak dapat digunakan
102
Jalur Konektifitas
(JK)
Analisis Penilaian Karakter Pendapat Responden (wisatawan dan peserta
FGD)
Kesimpulan
secara maksimal. Sirkulasi yang terjadi pada JK 2, tidak terlalu terlihat sebagai sirkulasi yang rumit mengingat karakter JK 2 ini sebagai akses masuk dan keluar wisatawan dari arah wilayah kecamatan lain. Meskipun JK 2 tidak memiliki sirkulasi yang rumit, keberadaan jalur pedestrian yang kontinu diperlukan untuk menunjang pergerakan wisatawan.
bahwa ketika projek pedestrian ini dibangun jangan sampai tidak ada yang menggunakan. Sedangkan untuk penyediaan jalur bersepeda tidak perlu dikembangkan pada semua jalur konektifitas, namun perlu disediakan mengikuti rute para bikers dan harus dirancang dengan mengutamakan keselamatan bagi penggunanya, mengingat kawasan yang memiliki kemiringan bervariasi. Dan perlu pula dipertimbangkan tipe bikers antara mount bikers (pengendara sepeda gunung untuk olahraga) dan ordinary bikers (pengendara sepeda bebas).
sebagai bentuk konektifitas harus dirancang dengan mengutamakan keselamatan.
3 JK 3 merupakan jalur konektifitas yang memiliki karakter bottle neck dimana lebar jalan pada pangkal ruas jalan cukup lebar yakni 6-8 meter dan kemudian menyempit hingga 2-3 meter. Kondisi yang demikian akan mempersulit sirkulasi kendaraan terutama kendaraan roda 4 serta sirkulasi wisatawan yang memilih berjalan kaki pada puncak kunjungan wisata di hari libur. Untuk menyikapi karakter jalur konektifitas tersebut maka perlu adanya penambahan lebar jalan yang dilengkapi dengan jalur pedestrian.
4 JK 4 ini merupakan jalur konektifitas yang baru berkembang pemanfaatannya akibat adanya obyek wisata rafting. Lebar jalan untuk JK ini yaitu 2-3 meter dengan sirkulasi yang tidak terlalu padat. JK ini sering dimanfaatkan sebagai rute bersepeda menuju taman hutan raya R. Soeryo. Kondisi JK yang cukup sempit diperlukan upaya pelebaran jalan yang harus dilengkapi dengan jalur pedestrian. mengingat sepanjang JK ini memiliki visual pemandangan alam yang bagus menurut persepsi wisatawan.
Sumber : Hasil Analisis, 2015
103
4.4 Identifikasi dan Analisis Aspek Fisik Elemen Perancangan Kawasan
Wisata Alam
4.4.1 Tata Hijau/ Vegetasi
Vegetasi dan tata hijau merupakan elemen softscape dalam perancangan
lanskap yang saling mengisi dan memiliki fungsi dalam membentuk estetika ruang
kota, meningkatkan kualitas udara, serta memberikan keteduhan terhadap populasi
sekitarnya. Vegetasi dalam sub bab ini pada dasarnya adalah bagian dari tata hijau
yang mengisi ruang ruang jalan, lahan, dan ruang terbuka taman. Pembahasan
vegetasi dan tata hijau akan dianalisis dengan menggunakan teknik analisis penilaian
karakter (Character Appraisal) dalam tiap segmennya. Adapun aspek yang akan
dianalisis lebih rinci diantaranya adalah terkait jarak tanam pohon (kerapatan),
tinggi ruang dibawah pohon, dan fungsi pohon/ tanaman.
Tabel 4. 14 Analisis Character Appraisal Segmen 1
Lokasi Pengamatan :
Keterangan :
Analisis Terhadap Aspek Pengamatan :
Jarak Tanam Pohon Tinggi Ruang Dibawah Pohon
Fungsi Pohon/ Tanaman
Pada TP 1 ini jarak tanam pohon rata- rata sebesar 10 meter- 20 meter dengan jenis dominasi pohon berupa angsana. Jarak tanam yang terlalu lebar dan cenderung tidak beraturan di sepanjang koridor TP 1 menandakan bahwa tingkat kerapatan tegakan pohon cukup rendah
Tinggi ruang dibawah kanopi pohon pada TP 1 ini tergolong variatif. Pada sisi kiri jalan tinggi ruang pohon lebih dari 5 meter. Sedangkan pada sisi kanannya
Dengan mempertimbangkan standar pedoman PU dan karakter tata hijau lainnya pada TP 1 yakni berupa hamparan sawah di kanan dan kiri koridor,
1
2
3
4
….
Titik Pengamatan (TP)
1 2 3 4
104
dari standar pola tanam yang ditentukan dalam perancangan lanskap jalan yakni sebesar 1,5 meter. Kerapatan pohon yang rendah serta penggunaan jenis pohon akan memberikan ruang bagi pergerakan angin di lokasi lereng pegunungan sehingga berbahaya bagi kendaraan pengguna jalan raya.
Jarak tanam pohon pada TP 2 memiliki karakteristik yang sama dengan TP 1 yakni tingkat kerapatan vegetasi yang rendah karena kurang dari 1,5 meter. Yang berbeda adalah penggunaan jenis tanaman berupa pohon kelapa dan akasia. Perbedaan jenis pohon dan ketidak teraturan kerapatan tanam akan memberikan view dan fungsi yang berbeda. Selain itu karakter jarak tanam yang demikian akan memberikan ruang bagi dorongan angin yang kencang namun tidak terlalu membahayakan karena disepanjang koridor TP 2 memiliki deretan bangunan disekitarnya.
Karakter jarak tanam/ kerapatan pohon pada koridor TP 3 ini memiliki jarak rata- rata 1,5 meter- 2 meter, dengan jenis penggunaan pohon bermassa daun padat (angsana). Kerapatan jarak pohon pada gambar TP 3 dapat dinilai cukup rapat dan hijau sesuai dengan standar rancangan lanskap jalan yang ditentukan. Jarak tanam pohon yang berdekatan tidak akan memberikan ruang bagi hembusan angin yang masuk di ruang jalan
Jarak tanam pohon pada TP 4 memiliki karakter yang sama dengan TP 3.
memiliki tinggi ruang pohon 2-2,5 meter. Perbedaan Tinggi ruang pohon yang bervariasi akan mempengaruhi fungsi keberadaan pohon itu sendiri terhadap visual lanskap jalan.
Dapat diamati pada gambar TP 2, penggunaan jenis pohon kelapa yang tidak memiliki kanopi membentuk tinggi ruang setingg batang pohon tersebut yakni ± 6- 7 meter. Koridor yang memiliki penempatan jenis pohon yang demikian tidak sesuai jika dibangun pedestrian bagi pejalan kaki, karena tidak adanya kanopi yang melindungi pejalan kaki sebagaimana yang distandarkan dalam pedoman PU tentang rancangan lanskap jalan
Tinggi ruang pohon yang terbentuk pada TP 3 dan 4 memiliki kesamaan karakter yakni memiliki tinggi ± 1,5- 2 meter dengan kanopi pohon yang tidak cukup lebar namun berdaun lebat bermassa padat. Sehingga dengan karakteristik pohon yang demikian pada koridor ini memiliki jalur pedestrian di sisi kanan dan kiri jalan.
maka fungsi keberadaan vegetasi pohon di TP 1 yang sesuai adalah sebagai pereduksi atau pemecah angin yang berpotensi datang dari sisi kanan dan kiri (areal sawah yang cukup luas). Namun kondisi yang ada sekarang ini fungsi pohon tersebut masih bersifat sebagai peneduh.
Penggunaan jenis tanaman campuran pada koridor TP 2 ini, khususnya pohon kelapa, hanya memberikan fungsi estetik dan penandaan dari keberadaan bangunan disebelahnya.
Karakteristik fungsi vegetasi pohon pada TP 3 dan TP 4 memiliki kesamaan yakni sebagai peneduh bagi pengguna pedestrian serta sebagai pemecah angin. Sehingga dalam hal ini pemilihan jenis pohon berupa angsana sesuai dengan standar yang ditetapkan dalam standar perancangan lanskap jalan
105
Kesimpulan : Dari hasil analisis tersebut di atas di dapatkan karakteristik vegetasi dan tata hijau yang mewakili kondisi pada segmen 1. Dan dapat disimpulkan bahwa jarak tanam pohon dan tinggi ruang pohon akan mempengaruhi fungsi dari pohon itu sendiri terhadap rancangan lanskap koridor jalan. Pada segmen 1 jenis vegetasi yang ada meliputi pohon angsana, pohon kelapa, dan tanaman perdu. Khusus untuk jenis pohon kelapa pada TP 2, memiliki keunikan fungsi tersendiri yakni sebagai penanda estetika koridor jalan yang menyatu dengan bangunan disebelahnya. Selain itu pada segmen 1 terdapat titik/ spot berbahaya bagi pengguna jalan akibat jarak tanam yang tidak rapat dan memiliki kondisi sekitar berupa hamparan sawah yang luas. Sehingga untuk menyikapi karakteristik spot- spot yang demikian dibutuhkan rancangan/penataan kembali sesuai fungsi dan kebutuhan lokasinya.
Sumber : Hasil Analisis, 2015
Tabel 4. 15 Analisis Character Appraisal Segmen 2
Lokasi Pengamatan :
Keterangan :
Analisis Terhadap Aspek Pengamatan :
Jarak Tanam Pohon Tinggi Ruang Dibawah Pohon
Fungsi Pohon/ Tanaman
Pada TP 1 jenis pohon yang ada di lokasi ini adalah berjenis pohon cemara. Jarak tanam pohon eksisting yang ditemui di lokasi adalah ± 1 meter dan bermasa daun lebat sehingga terlihat rapat. Seperti yang dapat diamati pada gambar TP 1, deretan pohon ini hanya berada di sisi kanan jalan dikarenakan posisi ketinggian koridor TP 1 lebih tinggi dibanding area
Jenis pohon pada TP 1 tidak memiliki tinggi ruang dibawah pohon, karena karakteristiknya yang tidak memiliki kanopi dan tumbuh menjulang ke atas. Sehingga keberadaan dan penempatan pohon ini tidak memberikan keteduhan namun memberikan nilai
Berdasarkan pada kriteria rancang lanskap jalan dalam pedoman PU serta melihat karakter dari jarak tanam pohon dan tinggi ruang yang tidak terbentuk maka fungsi pohon berjenis cemara yang ada pada koridor TP 1 memiliki fungsi sebagai pemecah angin dan pembatas pandangan terutama di
1
2
3
….
1 2 3
Titik Pengamatan (TP)
106
sisi kanan jalan koridor. Hal ini dikarenakan potensi tiupan angin lebih besar pada lokasi TP 3. Selain keberadaan jenis pohon cemara pada koridor tersebut juga tumbu beberapa tanaman perdu yang menghiasi pedestrian.
Koridor TP 2 merupakan koridor yang memberikan akses menuju lokasi wisata utama. Jenis pohon yang ada disepanjang koridor ini adalah berupa angsana yang memiliki kerapatan jarang karena jarak tanamnya lebih dari 2 meter. Namun demikian keberadaan pohon angsana yang termasuk memiliki kerapatan jarang, dapat memberikan keteduhan bagi pengguna pedestrian juga pedagang asongan.
Dapat diamati pada gambar koridor TP 3, jarak tanam pohon di koridor tersebut ± 2 meter – 3 meter, namun secara visual dapat dikategorikan cukup rapat. Hal ini terjadi karena terdapat dua kondisi pohon yang ditanam dan pertumbuhan alami pohon di lereng- lereng perbukitan sepanjang koridor tersebut. Sehingga koridor TP 3 tampak menjadi lebih hijau dan asri akibat kesan visual kerapatan vegetasi yang ada
keunikan visual rancangan lanskap koridor karena bentuknya yang khas dan termasuk vegetasi khas di kawasan wisata alam Kecamatan Pacet
Jenis pohon pada koridor TP 2 memiliki tinggi ruang dibawah pohon ± 1,5 meter – 2 meter. Jenis pohon angsana ini memiliki lebar kanopi yang cukup memberikan keteduhan.
Rata – rata tinggi ruang yang terbentuk dibawah pohon akibat adanya kanopi adalah 2 meter – 4 meter. Jenis pohon yang mampu membentuk tinggi ruang bawah pohon setinggi ukuran tersebut adalah jenis pohon yang berumur tua dan merupakan vegetasi alami dari lereng pegunungan Penanggungan.
sisi kanan. Selain itu jenis pohon ini juga dapat membentuk identitas kawasan karena berada pada segmen perantara.
Berdasarkan pada kriteria rancang lanskap jalan dalam pedoman PU serta melihat karakter dari jarak tanam pohon dan tinggi ruang yang terbentuk maka fungsi pohon berjenis angsan yang ada pada koridor TP 2 memiliki fungsi hanya sebagai peneduh dan pereduksi polusi kendaraan wisatawan yang terkonsentrasi pada koridor tersebut.
Berdasarkan pada kriteria rancang lanskap jalan dalam pedoman PU serta melihat karakter dari jarak tanam pohon dan tinggi ruang yang terbentuk maka fungsi pohon berjenis angsana yang ada pada koridor TP 3 memiliki fungsi hanya sebagai peneduh dan pereduksi polusi kendaraan wisatawan yang terkonsentrasi pada koridor tersebut.
Kesimpulan : Karakteristik vegetasi dan tata hijau di segmen 2 lebih beragam dan memiliki fungsi- fungsi khusus dibandingkan dengan karakteristik pada segmen 1. Keunikan tatanan vegetasi yang ditemukan pada segmen 2 adalah keberadaan pohon cemara di koridor TP 1 yang memiliki keberagaman fungsi baik dari segi ekologis atapun estetika. Dengan demikian keragaman vegetasi pada segmen 2 akan memberikan pertimbangan terhadap kebutuhan rancangan kawasan khususnya rancangan lanskap koridor yang menyatu dengan visual kawasan. Megingat beberapa narasumber bidang teori ruang terbuka yang menyatakan bahwa koridor sebagai ruang terbuka dapat dijadikan lebih hidup dan memiliki nilai sosial, maka keberadaan vegetasi akan mempengaruhi bentuk rancangan koridor yang lebih hidup.
Sumber : Hasil Analisis, 2015
107
Tabel 4. 16 Analisis Character Appraisal Segmen 3
Lokasi Pengamatan :
Keterangan :
Analisis Terhadap Aspek Pengamatan :
Jarak Tanam Pohon Tinggi Ruang Dibawah Pohon
Fungsi Pohon/ Tanaman
Jarak tanam pohon eksisting yang ada pada TP 1 ini berkisar 2 meter antar pohon. Deretan pohon yang berada di sisi kiri dan kanan jalan memiliki jenis tanaman yang berbeda serta tidak memiliki kerapatan yang cukup dari penggal jalan hingga ujung jalan TP 1.
Berbeda dengan TP 1, koridor TP 2 tidak memiliki deretan jarak tanam pohon pada bahu jalan. Secara visual, kerapatan vegetasi pada TP 2 jarang serta memiliki ragam jenis pohon berupa pinus dan kelapa yang berada di halaman rumah/ villa penginapan.
Jenis pohon pada TP 1 tidak memiliki tinggi ruang dibawah pohon karena tidak memiliki kanopi. Sehingga keberadaan dan penempatan pohon ini tidak memberikan keteduhan, dan terkesan hanya sebagai deretan pohon yang tumbuh tanpa ditata.
Jenis pohon pada TP 2 memiliki tinggi ruang dibawah pohon yang berbeda antara jenis pinus/ cemara dengan pohon kelapa. Untuk pohon cemara memiliki tinggi ruang bawah pohon ± 1,5 meter sedangkan pohon kelapa memiliki tinggi ruang bawah pohon ± 2-3 meter. Keberadaan kanopi pada kedua jenis pohon yang ada
Fungsi deretan pohon pada TP 1 dapat diidentifikasi adalah sebagai penahan/ pemecah angin yang datang dari sisi ruang terbuka lebar di sisi kiri dan kanan jalan. Namun kondisi yang ada saat ini, tegakan dan kerapatan tanam pohon masih jarang.
Fungsi pohon/ tanaman yang ada di TP 2 dapat diidentifikasi memiliki fungsi sebagai peningkat kualitas estetika dan visual hunian villa. Namun, kerapatan tegakan pohon yang cukup rapat di setiap hunian, memberikan kesan visual dan keasrian secara keseluruhan pada TP 2.
1
2
….
Titik Pengamatan (TP)
1 2
108
pada TP 2 memberikan keteduhan terhadap penggunaan jalan tersebut.
Kesimpulan : Karakteristik vegetasi dan tata hijau di segmen 3 lebih beragam akibat ditata/ direncanakan oleh pemilik hunian/ villa. Keunikan tatanan vegetasi yang ditemukan pada segmen 3 adalah keberadaan pohon cemara dan pohon kelapa pada unit hunian/villa yang memiliki fungsi baik dari segi ekologis atapun estetika, namun fungsi tersebut dapat memberikan kesan visual dan keasrian koridor secara keseluruhan. Dengan demikian keragaman vegetasi pada segmen 3 akan memberikan pertimbangan terhadap kebutuhan rancangan kawasan khususnya rancangan lanskap koridor yang menyatu dengan visual kawasan.
Sumber : Hasil Analisis, 2015
4.4.2 Kualitas Visual Pemandangan Alam Sebagai Daya Tarik Wisata Alam
Pemandangan alam pada umumnya merupakan salah satu daya tarik wisata
utama pada suatu kawasan wisata alam. Berdasarkan hasil observasi terhadap
responden wisatawan dan pelaku usaha wisata di lokasi penelitian, preferensi
wisatawan yang mengunjungi kawasan wisata pacet saat ini memiliki perubahan
minat dan selera berwisata. Wisatawan merasakan kebosanan mengunjungi obyek
wisata yang ada dan lebih memilih mengunjungi spot- spot pada kawasan wisata
alam pacet yang memiliki kualitas visual pemandangn alam yang menarik, asri, serta
teduh. Berikut adalah analisis penilaian karakter visual pemandangan alam yang ada
di kawasan wisata alam Kecamatan Pacet.
Tabel 4. 17 Analisis Character dan Penilaian Visual Pemandangan Alam
Segmen 1
Analisa Character Appraisal: 1. Pemandangan alam berupa hamparan sawah dan ladang yang luas
serta memiliki latar belakang pegunungan dengan gradasi hijau tua yang menonjolkan bentuk mengelompok serta garis naik turun yang ditimbulkan akibat deretan pohon yang memiliki tinggi tidak sama rata. Sehingga mengarahkan pandangan wisatawan untuk menikmati pemandangan tersebut. Selaian itu latar belakang langit biru menyatu membentuk komposisi warna
Penilaian Terhadap Karakter Visual Pemandangan Alam : Menurut penilaian 12 responden secara kualitatif, 75% menilai kekuatan kualitas visual pemandangan alam pada segmen 1 secara keseluruhan berada pada titik pengamatan 1. Namun kelemahannya adalah keindahan pemandangan alam yang ada pada titik 1 ini tidak dapat dinikmati karena wisatawan harus berhenti di pinggir jalan yang dapat menimbulkan kemacetan dan membahayakan jiwa wisatawan. Sehingga menurut responden, harus disediakan tempat tersendiri untuk menikmati potensi
1
2
….
Titik Pengamatan (TP)
109
dalam visual landscape. Pada titik pengamatan ini, proporsi antara bangunan yang lebih sedikit daripada vegetasinya memberikan suasana menenangkan dan sejuk.
2. Peneliti melakukan pengamatan pada posisi lebih rendah dibanding dengan objek yang dilihat. Pemandangan alam yang dapat dilihat pada titik pengamatan 2 ini adalah berupa pegunungan dengan komposisi vegetasi hutan dan bangunan rumah di perkampungan yang membedakan kondisi pada titik pengamatan 1.
visual pemandangan alam pada titik pengamatan 1 yang aman dan nyaman.
Segmen 2
Analisa Character Appraisal : 1. Secara keseluruhan karakter visual yang terbentuk pada TP 1 ini
tidak berkelompok, hal ini dikarenakan skala bangunan lebih menonjol dibanding skala vegetasi meskipun proporsi bangunan lebih sedikit jumlahnya. Garis- garis imajiner dalam karakter visual TP 1 ini terbentuk karena adanya perbedaan warna (hijau : vegetasi, Merah dan coklat : bangunan) dan bentuk serta jaringan jalan. Sehingga melalui kepekaan penglihatan dan perasaan TP 1 ini memiliki komposisi visual yang menarik.
2. Karakter visual yang terbentuk pada TP 2 ini tidak berkelompok dan cenderung menyebar sehingga garis imajiner yang terbentuk tidak memberikan makna atau terlihat rumit dan tidak dapat dinikmati sebagai pemandangan alam yang cukup menarik. Pada titik pengamatan ini, memiliki proporsi yang terlihat sama antara bangunan dan vegetasinya.
Penilaian Terhadap Karakter Visual Pemandangan Alam : Menurut penilaian 12 responden secara kualitatif, 91% menilai kekuatan kualitas visual pemandangan alam pada segmen 2 secara keseluruhan berada pada titik pengamatan 1. Pada titik pengamatan ini wisatawan tidak dapat menikmati dalam waktu lama dikarenakan akses jalan yang sempit dan tidak memungkinkan adanya ruang untuk memarkir kendaraan. Sehingga untuk menikmati kekuatan visual pemandangan alam pada titik ini dapat dilakukan melalui berjalan kaki dan seharusnya terdapat sarana pejalan kaki yang layak dan khusus penikmat pemandangan alam.
Segmen 3
Penilaian Terhadap Karakter Visual Pemandangan Alam : Menurut penilaian 12 responden secara kualitatif, 58% menilai kekuatan kualitas visual pemandangan alam terdapat pada titik pengamatan 2, 25 % pada titik pengamatan 1, dan 17% pada titik pengamatan 3. Dengan mempertimbangkan kondisi saat ini yang berada pada area terbangun dan berpotensi untuk pengembangan lahan terbangun, maka kualitas visual pada TP1 dan TP2
….
Titik Pengamatan (TP)
….
Titik Pengamatan (TP)
1
2
1
2
110
Analisa Character Appraisal : 1. Karakter pemandangan alam pada TP1 ini memiliki bentuk
mengelompok yang dapat terlihat dari latar belakang berupa hutan dengan dominasi warna hijau tua serta kelompok vegetasi tanaman padi yang ditanam berpola dengan dominasi warna hijau muda. Gradasi bentuk dan warna serta pola garis tanam vegetasi sawah yang terbentuk inilah menjadi salah satu nilai visual pada TP1.
2. Pemandangan alam berupa hamparan sawah dan ladang yang luas serta memiliki latar belakang pegunungan dengan vegetasi khas yaitu pinus. Pada TP 2 ini tidak memiliki karakter yang jelas terutama bentuk visual objek, namun pada TP2 memiliki suasana yang sejuk dan berangin sehingga menjadi tujuan wisatawan untuk singgah sesaat menikmati udara dan hamparan sawah yang hijau. Karakter visual pada TP2 didominasi oleh vegetasi tanaman pertanian dan latar belakang yang ada didominasi oleh vegetasi pinus dengan skala jarak penglihatan pendek dan terlihat kecil.
perlu dilestarikan, dan untuk menikmatinya harus tersedia sarana bagi pejalan kaki yang nyaman dan aman.
Sumber : Hasil Analisis, 2015
4.4.3 Fasilitas Pendukung Wisata
Berdasarkan kajia pustaka terkait sarana pariwisata, fasilitas pendukung
wisata di Kawasan Wisata alam pada dasarnya terbagi atas tiga jenis diantaranya
adalah :
a. Recreative and Sportive Plant atau sarana rekreasi
Di kawasan studi, sarana rekreasi aktif dapat dijumpai didalam masing- masing
obyek wisata seperti, Wana Wisata Padusan dengan sarana out bond, kolam
renang, dan bermain anak, Wisata Air Panas Padusan dengan sarana kolam
berendam sumber air panas serta sarana bermain anak, Wisata Ubalan dengan
kelengkapan sarana bermain anak dan kolam renang umum. Selain ketersediaan
sarana di dalam masing- masing obyek wisata, sarana rekreasi aktif dapat
ditemukan pula di luar obyek wisata seperti keberadaan ruang terbuka yang
memiliki kualitas visual lanskap pemandangan alam cukup bagus dan menarik.
Hal ini dapat dijumpai disepanjang koridor jalan yang dikanan kirinya masih
berupa hamparan sawah atau ladang dengan latar Gunung Welirang yang
memiliki kekhasan vegetasi berupa pohon pinus.
111
Tabel 4. 18 Identifikasi Sarana Rekreasi di Kawasan Wisata Alam
Kecamatan Pacet No. Obyek Wisata Sarana Rekreasi Aktif 1 Wana Wisata
Padusan
1. Pengguna sarana rekreasi outbond terdiri dari kelompok
usia anak hingga dewasa. Sarana rekreasi ini dirancang dengan memanfaatkan tegakan pohon pinus dengan konsep sarana outbond yang beragam.
2. Sarana rekreasi berupa kolam renang ini dirancang untuk memenuhi kebutuhan rekreasi wisatawan kelompok umur dewasa, namun juga disediakan untuk kelompok umur anak. Sarana rekreasi ini dirancang di dalam area hutan pinus memiliki tujuan untuk mengakomodasi kebutuhan jasmani wisatawan yang ingin mendapatkan udara sejuk ketika menikmati sarana kolam renang, sehingga wisatawan merasa nyaman, segar, dan relax.
2 Wisata Air
Panas Obyek wisata air panas memiliki sarana rekreasi utama berupa kolam berendam air panas dari sumber air geothermal bumi yang mengandung zat sulfur. Pengguna sarana ini tidak memiliki batasan umur, karena tujuan sarana ini dibangun hanya untuk kolam berendam.
3 Wisata Ubalan
Wisata Ubalan merupakan wisata buatan dan dilengkapi dengan sarana rekreasi yang memiliki tujuan menghibur pengunjung, sehingga wisatawan yang menggunakan sarana rekreasi di dalam obyek wisata ini terdiri dari berbagai kelompok usia. Sarana rekreasi yang banyak digunakan adalah taman bermain anak, dan kolam renang.
4 Air Terjun Coban Canggu
Berbeda dengan obyek wisata yang dibahas sebelumnya, sarana rekreasi utama di obyek wisata Coban Canggu ini adalah ruang terbuka disekitar air terjun yang cukup luas dan digunakan wisatawan untuk menikmati visual tebing dibalik air terjun serta untuk melepas lelah.
5 Air Terjun Grenjengan
Dibandingkan dengan air terjun Coban Canggu, Air terjun grenjengan memiliki skala ukuran yang lebih kecil. Sarana rekreasi utama adalah ruang terbuka disekitar air terjun yang tidak cukup luas atau sempit. Sehingga wisatawan hanya menikmati sarana rekreasi
1 2
112
tersebut dalam waktu singkat antara 10-15 menit. 6 Ruang terbuka
diluar obyek wisata
Ketiga gambar di atas merupakan ruang- ruang terbuka yang memiliki nilai kualitas pemandangan alam cukup baik berdasarkan penilaian wisatawan. Fenomena ini memberikan fakta bahwa keberadaan ruang terbuka dikawasan wisata alam Kecamatan Pacet mampu menjadi sarana rekreasi utama ataupun sarana rekreasi alternatif bagi wisatawan. Apabila dipahami lebih lanjut persepsi wisatawan menyikapi fenomena ini, sarana rekreasi tidaklah harus berupa bangunan buatan. Sedangkan dari sudut pandang peneliti menilai, keberadaan ruang terbuka sebagai sarana rekreasi alam juga mampu mengontrol pembangunan sarana penunjang wisata yang semakin bertambah dan selalu mengkonversi lahan pertanian potensial ataupun menutupi visual pemandangan alam yang bernilai. Sehingga ruang terbuka sebagai sarana rekreatif alami harus dipertahankan.
Sumber : Hasil Identifikasi Peneliti, 2015
Dari penyajian tabel informasi tersebut di atas, adapun karakteristik sarana
rekreatif yang dapat disimpulkan berdasarakan observasi dan identifikasi peneliti
di kawasan studi diantaranya adalah :
a) Ketersediaan Sarana rekreasi aktif dan utama yang ada saat ini pada
dasarnya mengikuti tema obyek wisata itu sendiri dan tampilan fisiknya
lebih bersifat buatan rancangan arsitek.
b) Sarana rekreasi aktif diluar obyek wisata berupa ruang terbuka atau ruang
luar yang dapat digunakan untuk sekedar menikmati visual pemandangan
alam.
c) Sarana rekreatif diluar obyek wisata yang bersifat alami haruslah
dipertahankan dari segala bentuk dampak pembangunan sarana
penunjang wisata.
b. Residental Tourist Plant, yaitu fasilitas yang dapat menampung kedatangan
wisatawan yang berbentuk akomodasi wisata. Fasilitas ini terdiri dari
penginapan hotel atau tempat makan atau restoran yang ramai digunakan pada
hari libur. Persebaran fasilitas ini di kawasan studi dapat dilihat disepanjang
koridor masuk Desa Pacet hingga Desa Padusan.
113
Gambar 4. 22 Kondisi Sarana Akomodasi Wisata
Sumber : Observasi Lapangan, 2015
c. Sarana pelengkap atau penunjang kepariwisataan (suplementing tourism
superstructure), sarana pelengkap/penunjang ini adalah tempat-tempat yang
menyediakan fasilitas untuk rekreasi yang fungsinya tidak hanya melengkapi
sarana pokok kepariwisataan, tetapi yang terpenting adalah untuk membuat
wisatawan dapat lebih lama tinggal di tempat wisata. Adapun sarana pelengkap
yang dapat diidentifikasi pada kawasan studi diantaranya adalah bangunan
restoran ikan bakar, sarana penjualan produk industri rumah tangga dan streets
food yang memanfaatkan jalur pedestrian.
Gambar 4. 23 Kondisi Sarana Pelengkap Penunjang Wisata
Sumber : Observasi Lapangan, 2015
4.5 Identifikasi dan Analisis Aspek Non Fisik Elemen Perancangan
Kawasan Wisata Alam
4.5.1 Daya Tarik Wisata dan Aktifitas Rekreasi
Pola aktifitas yang terjadi di dalam kawasan wisata alam Pacet memiliki
keragaman pola dan dapat dilihat suatu kebutuhan ruang yang harus mengakomodasi
Keterangan : : Restoran : Penginapan (Villa dan Hotel)
Restoran dikawasan studi sebagian besar tidak memiliki fasilitas parkir yang memadai sehingga memanfaatkan badan jalan.
Kumpulan bangunan villa di sepanjang koridor jalan Desa Padusan memiliki halaman parkir yang luas ditiap unit villa, namun tidak memadai dan sirkulasi parkir kendaraan yang tidak terakomodasi dengan baik
114
keragaman aktifitas tersebut. Untuk mengetahui keragaman pola aktifitas dalam
suatu kawasan dilakukan observasi terhadap perilaku wisatawan dan untuk
mengetahui kebutuhan ruang yang ditimbulkan oleh aktifitas digunakan analisis
cognitive map. Berikut adalah identifikasi pola aktifitas beserta analisisnya yang
dijabarkan dalam bentuk tabulasi.
Tabel 4. 19 Analisis Behavioral Mapping Dalam Melihat Kebutuhan Ruang Rekreasi Alam
Identifikasi dan Analisis : Pola aktifitas yang terlihat pada lokasi studi dengan waktu yang ditentukan dapat diamati sebagai keterkaitan aktifitas rekreasi terhadap kebutuhan ruang yang saat ini belum terwadahi. Dapat dilihat pada gambar di atas, wisatawan dewasa dan remaja mendominasi beberapa spot- spot ruang di kawasan wisata alam Pacet pada pukul 09.00-11.00. Persebaran konsentrasi kegiatan pada pukul tersebut dipengaruhi oleh urutan motivasi dalam mengunjungi obyek wisata atau tujuan wisata. Tujuan
Identifikasi dan Analisis : Berbeda dengan pola aktifitas pada waktu pengamatan sebelumnya, pada waktu pengamatan 11.00-14.00 ini dapat dilihat distribusi kegiatan wisatawan pada kawasan wisata alam Pacet ini mulai terlihat padat di spot- spot obyek wisata unggulan. Kelompok wisatawan dewasa, anak- anak, dan remaja mulai melakukan pergerakan masih berdasarkan rute tujuan wisata. Kelompok wisatawan remaja pada pukul pengamatan 11.00-14.00 mulai melakukan kegiatan rekreasi dengan
Pengamatan Pukul 09.00-11.00
Pengamatan Pukul 11.00-14.00
Keterangan :
: Wisatawan Dewasa (> 20 tahun)
: Wisatawan Remaja (14-19 tahun)
: Wisatawan Anak- anak (<14 tahun) TW.. : Tujuan Wisata
TW2
TW3
TW2
TW3
TW1
TW1
Keterangan : : Wisatawan Dewasa (> 20 tahun) : Wisatawan Remaja (14-19 tahun) : Wisatawan Anak- anak (<14 tahun)
TW.. : Tujuan Wisata
115
wisata (TW1) menjadi tujuan utama dalam berekreasi untuk kategori wisatawan anak- anak dan dewasa dalam keluarga. Setelah mengunjungi TW 1 kecenderungan kelompok keluarga ini pada waktu pengamatan yang sama memilih rute tujuan TW 2 (Wanawisata Padusan) sebagai ruang berekreasi/ berkegiatan. Namun sebelum menuju TW 2, sebagian besar dari wisatawan dewasa, anak- anak, maupun remaja, sering mengunjungi segmen 2 sebagai area transit untuk beristirahat sejenak menikmati suasana alam dan kuliner khas yang berada disepanjang jalan raya Pacet. Wisatawan dalam kegiatan transitnya pada segmen 2 sering memanfaatkan bangunan atau area yang tidak berpenghuni sebagai area parkir dan bersosialisasi sekedar melepas lelah. Sehingga dengan melihat pola kegiatan wisatawan, pada segmen 2 diperlukan ruang terbuka bagi wisatawan transit serta dapat dikembangkan beberapa fasilitas pendukung kegiatan ekonomi yang terintegrasi dengan keberadaan ruang terbuka tersebut.
mengunjungi TW 2 dan TW 3. Sedangkan untuk kelompok dewasa juga kelompok anak- anak yang tergabung dalam keluarga juga terkonsentrasi pada TW 2 dan pada akhirnya berpindah pada TW 3 (Wisata Ubalan). Sebagai tujuan akhir rute kegiatan rekreasi, wisatawan seluruh kelompok umur memutuskan untuk singgah dan transit sebelum pulang ke daerah asal. Mereka singgah/ transit pada Segmen 2 untuk melakukan kegiatan berbelanja oleh- oleh khas, menikmati kuliner khas, dan sekedar untuk melepas lelah setelah berekreasi. Melihat fenomena pola kegiatan yang demikian, memberikan informasi bahwa selain kegiatan rekreasi pada obyek wisata alam, segmen 2 sebagai area singgah memiliki fungsi dan peran yang cukup penting bagi aktifitas wisatawan. Dengan memanfaatkan beberapa ruang terbuka yang tersedia di segmen 2, dapat dikembangkan untuk mengakomodasi kegiatan wisatawan pada segmen 2 sekaligus menjadi peluang bagi pengusaha mikro dalam menangkap potensi pasar di segmen 2.
Kesimpulan : Pola aktifitas yang terbentuk dipengaruhi oleh motivasi wisatawan dalam memilih
urutan tujuan wisata dan penggunaan ruang- ruang terbuka. Wisatawan yang terkonsentrasi berkegiatan di segmen 2, memberikan gambaran
potensi pengembangan segmen 2 sebagai area singgah atau transit melalui perancangan ruang terbuka yang mengakomodasi kegiatan wisatawan pada segmen 2 dan dapat diintegrasikan dengan beberapa fasilitas pendukung kegiatan ekonomi mikro.
Sumber : Hasil Analisis, 2015
4.5.2 Potensi Perekonomian Dalam Mendukung Kawasan Wisata Alam
Kecamatan Pacet
Prinsip perancangan pariwisata berkelanjutan sebagaimana dibahas pada bab
pustaka sebelumnya, mengharuskan keseimbangan rancangan kawasan pada ketiga
aspek yakni ekologis, ekonomi, dan sosial. Potensi perekenomian di kawasan wisata
alam Kecamatan Pacet dapat bersumber dari pertanian, perkebunan, dan peternakan
juga dapat bersumber dari usaha bidang sektor pariwisata. Kecamatan Pacet
116
memiliki potensi ekonomi unggulan di bidang industri rumah tangga khususnya
pengolahan hasil pertanian, perkebunan, dan peternakan. Potensi industri rumah
tangga yang ada berkontribusi dan berkorelasi dalam menunjang pariwisata
Kecamatan Pacet khususnya dalam penyediaan produk makanan ringan dan
minuman hingga supply bibit tanaman jamur tiram dan ketela Pacet dalam jumlah
besar. Sebagian besar produk industri rumah tangga dihasilkan oleh kreatifitas
masyarakat lokal setempat dengan modal kecil yang dikelola. Beberapa produk
industri rumah tangga yang banyak diminati oleh wisatawan diantaranya adalah
olahan keripik dari ketela Pacet ataupun buah ketela Pacet yang khas dan diakui oleh
masyarakat luas sebagai oleh- oleh khas ketika berwisata dan menjadi identitas dari
Kawasan Wisata Alam Pacet.
Gambar 4. 24 Persebaran Industri Rumah Tangga Dalam Mendukung Pariwisata
Kecamatan Pacet Berkelanjutan Sumber : Hasil Identifikasi, 2015
Dengan melihat potensi persebaran perekonomian mikro melalui industri
rumah tangga, untuk menciptakan kawasan wisata alam berkelanjutan diperlukan
suatu dukungan rancangan kawasan melalui perbaikan wajah kampung yang
memperkenalkan spot- spot industri rumah tangga tersebut sebagai identitas
kawasan wisata alam Kecamatan Pacet.
1 2
3
5
4
Keterangan : 1. Industri pembibitan tanaman jamur JAPAM 2. Pemanenan dan pengepakkan hasil ladang
(daun bawang, tomat, dan sayuran lainnya) 3. Pembibitan dan pengolahan stroberi 4. Pengepakkan dan pengolahan Jamur Tiram 5. Pengolahan keripik ketela, keripik buah dan
sayur.
: Pemasaran eksternal (Surabaya, malang, Kota Mojokerto, Sidoarjo)
: Pemasaran internal (obyek wisata di Kecamatan Pacet dan Kecamatan Trawas)
1 2
5
4
117
4.6 Perumusan Prinsip perancangan dan Usulan Konsep Rancangan
Kawasan Wisata Alam Kecamatan Pacet
Dalam mencapai tujuan akhir penelitian, diperlukan perumusan prinsip
perancangan dan konsep yang menjawab isu dari penelitan. Untuk itu dalam tahap
ini dilakukan analisis triangulasi dengan mengkolaborasikan antara seluruh hasil
analisis, persepsi stakeholder, dan referensi atau studi preseden yang dapat
dijabarkan pada tabel 4.20.
118
Tabel 4. 20 Perumusan Prinsip dan Konsep Perancangan Kawasan
Aspek/ Sub Aspek
Hasil Analisis Referensi/ Studi Preseden
Persepsi Stakeholder Diskusi mengintegrasikan hasil analisis
Prinsip Perancangan
Kawasan Wisata Alam Pacet
Kesesuaian Lahan Ekowisata
Diperoleh zona- zona kesesuaian perancangan dengan karakteristik yang dapat terbagi dalam tiga segmen yaitu : Segmen 1 : segmen
pembuka atau gerbang memasuki kawasan wisata alam Kecamatan Pacet
Segmen 2 : segmen transisi Segmen 3 : Segmen utama
semi konservasi
Konsep pengelolaan lebih mengutamakan kelestarian alam, kenyamanan, dan konservasi. Bentuk pengelolaan zonasi seperti zona intensif manajemen, zona semi intensif, dan non zona manajemen intensif.
Untuk melindungi kawasan wisata alam perlu adanya pembagian jelas wilayah mana saja yang dapat dibangun khususnya Desa Padusan sebagai segmen utama wisata alam.
Hasil analisis yang ditemukan tidak jauh berbeda dengan referensi konsep ekowisata. Dimana perlu pembagian zona dalam perancangan kawasan wisata alam. Dilihat dari ketiga aspek yang didiskusikan bahwa dalam pengelolaan kawasan ekowisata harus mengedepankan prinsip kelestarian alam. Prinsip kelestarian alam dapat diwujudkan melalui suatu tahap pemilihan site berdasarkan nilai kesesuaian lahan dan membaginya kedalam zona untuk mewadahi berbagai kegiatan.
1) Diperlukan pembagian zonasi kawasan sebagai upaya pengelolaan site dengan konsep ekowisata
2) Zona tersebut harus mewadahi berbagai kegiatan yang sesuai
Konsep rancangan : site yang mengedepankan fungsi kelestarian alam melalui konsep zona ekowisata.
A B
C
Zona A : segmen semi konservasi Kegiatan : 1. rekreasi alam (menikmati hamparan hutan pinus berhawa sejuk), 2. rekreasi edukasi berbasis pertanian, perkebunan, dan holtikultura, 3. rekreasi edukasi berbasis industri UKM (keripik buah) Desa Padusan. Zona B : segmen transisi Kegiatan : 1. rekreasi dan wisata buatan (Ubalan, Transit Park) 2. rekreasi alam (menikmati view lanskap kawasan hutan R.Soeryo), jalur
bersepeda 3. fasilitas pendukung wisata : showroom produk UKM, restaurant,
penginapan, ATM, bank, dan penyedia jasa lainnya
Zona C : segmen pembuka Kegiatan : 1. Fasilitas pendukung wisata : showroom produk UKM,
restaurant, penginapan, ATM, bank, terminal, kantor polisi dan pasar Kecamatan Pacet.
2. Merasakan dan menikmati zona ini sebagai segmen pembuka dengan keberadaan ikon wisata alam pacet sebagai landmark dan penataan koridor yang mengutamakan kepentingan penikmat alam.
119
Aspek/ Sub Aspek
Hasil Analisis Referensi/ Studi Preseden
Persepsi Stakeholder Diskusi mengintegrasikan hasil analisis
Prinsip Perancangan
Kawasan Wisata Alam Pacet
Rancangan ruang terbuka dalam mendukung kegiatan rekreasi alam yang nyaman, menyenangkan, berbudaya dan sebagai kontrol ruang Lokasi Perkembangan ruang terbangun
di kawasan ini tumbuh secara sporadis dan cenderung mengkonversi lahan- lahan pertanian atau ladang. Memiliki potensi pengembangan ruang terbuka yang masih luas dan dapat dirancang untuk mendukung kegiatan wisata
Dilokasikan pada lahan yang memiliki interseksi persimpangan area yang memungkinkan penggunaan pagar tanaman serta dapat megakomodasi amenity, kenyamanan, dan keamanan
Secara detail dalam membangun atau merancang ruang terbuka yang bersifat taman dan memiliki fungsi rekreatif haruslah ditempatkan pada lokasi yang pasti dimanfaatkan oleh penduduk dan wisatawan.
Referensi studi tentang aspek lokasi ruang terbuka memberikan pemahaman bahwa ruang terbuka dapat berfungsi sebagai kontrol perkembangan ruang dengan memanfaatkan interseksi persimpangan. Sehingga hal ini sesuai dengan hasil studi dan persepsi stakeholder bahwa dalam merancang suatu ruang terbuka dalam kawasan wisata alam sebaiknya mempertimbangkan posisi area ruang terbuka ditengah permukiman atau persimpangan.
3) Haruslah ditempatkan pada lokasi yang pasti dimanfaatkan/ digunakan oleh penduduk dan wisatawan.
4) Tema ruang terbuka menyesuaikan dengan kesesuaian zona dan pemakainya.
Konsep rancangan :
Potensi Rancangan Ruang Terbuka
Dimanfaatkan oleh penduduk permukiman setempat dengan
jangkauan maksimum 800 meter
Dimanfaatkan oleh pengunjung villa dan penduduk Desa
Padusan setempat dengan jangkauan 400 meter
A B
C D E
1) A : Ruang terbuka di rancang untuk rekreasi alam (menikmati hamparan hutan pinus berhawa sejuk), jalur pendakian gunung welirang yang akan dimanfaatkan sebagian besar oleh wisatawan biasa, wisatawan minat khusus, dan penghuni villa
2) A,B: Ruang terbuka di rancang untuk rekreasi edukasi berbasis pertanian, perkebunan, dan holtikultura, dimana yang memanfaatkan adalah wisatawan dengan seluruh tingkatan pendidikan.
3) C : ruang terbuka dirancang sebagai pusat transit wisatawan dan penduduk setempat juga sebagai titik pusat pengarah tujuan menuju lokasi obyek wisata
4) D, E : ruang terbuka dengan background view yang masih alami dirancang untuk menarik minat wisatawan dan memberikan kenyamanan bagi penikmat alam
120
Aspek/ Sub Aspek
Hasil Analisis Referensi/ Studi Preseden
Persepsi Stakeholder Diskusi mengintegrasikan hasil analisis
Prinsip Perancangan
Kawasan Wisata Alam Pacet
Luas Area luas lahan yang sesuai untuk pengembangan ataupun pembangunan di kecamatan pacet memiliki luas ± 405,2 Ha yang didalamnya termasuk ruang terbangun 107,5 Ha dan ruang terbuka 297,6 Ha. Sehingga berdasar kriteria perancangan yang dibahas pada sub bab sebelumnya kondisi eksisting luasan area memenuhi kriteria rancangan ruang terbuka untuk skala lingkungan permukiman dengan jenis rancangan ruang terbuka berupa ruang terbuka alam dan ruang terbuka rekreasi. Untuk proporsi luas yang ditetapkan harus memenuhi 57.6% ruang terbuka alami, dan 42.4% ruang terbuka rekreasi
Luas lahan yang diperlukan kurang lebih 0,4 Ha hingga 1 Ha
luas area yang cukup luas tersebut harus dapat dirancang dengan dua tipe ruang terbuka yakni ruang terbuka alami dan ruang terbuka rekreasi sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Kebutuhan masyarakat saat ini adalah ruang untuk berekspresi seni bantengan yang selalu menggelar acara di jalan raya.
Ketiga narasumber menyebutkan luasan area dalam merancang ruang terbuka yang berbeda, namun pada dasarnya luas area tergantung pada skala/proporsi luas kawasan dan kebutuhan akan ruang terbuka dalam mengakomodasi berbagai aktifitas.
5) harus dapat dirancang dengan dua tipe ruang terbuka yang membedakan secara jelas pembagian proporsi luas penggunaan pada ruang terbuka yakni 57.6% ruang terbuka alami, dan 42.4% ruang terbuka rekreasi
6) ruang yang dirancang harus mengakomodasi aktifitas didalamnya khususnya seni budaya bantengan.
Konsep rancangan : Menciptakan kejelasan pembagian tipe-tipe ruang- ruang terbuka berdasarkan kegiatan yang akan timbul didalamnya pada zona semikonservasi dan zona transisi
121
Aspek/ Sub Aspek
Hasil Analisis Referensi/ Studi Preseden
Persepsi Stakeholder Diskusi mengintegrasikan hasil analisis
Prinsip Perancangan
Kawasan Wisata Alam Pacet
Keterjangkauan
dan Aksesibilitas
a) Rancangan ruang terbuka pada segmen 1 ini nantinya dapat dimanfaatkan oleh wilayah sekitar dengan akses 10 menit jika berjalan kaki. Wisatawan merasakan keleluasaan dalam berkendara, sedangkan penduduk setempat dapat menggunakan jalur pedestrian yang ada
b) Pada Segmen 2, jarak keterjangkauan permukiman dengan ruang terbuka dapat ditentukan berdasarkan tipe
a) Harus dapat dijangkau dengan jarak 800 meter atau 10 menit dengan berjalan dari permukiman sekitar
b) Harus aksesibel, memiliki pedestrian yang aman, dan koneksi bersepeda
a) Perlu perbaikan kualitas pedestrian yang layak digunakan pada segmen 1.
b) Ketersediaan ruang- ruang terbuka yang dekat dengan permukiman perlu dirancang dengan akses yang mendukung para pengguna jalan terutama pejalan kaki. Hal ini
Dari ketiga narasumber melihat keterjangkauan dan aksesibilitas merupakan faktor penting dalam merancang ruang terbuka yang diukur dengan jarak dan waktu. Aksesibel menurut ketiga narasumber adalah mengenai kemudahan pencapaian baik oleh pejalan kaki atau pengendara kendaraan.
7) Harus memiliki akses dengan rancangan koridor yang mengakomodasi jalur khusus wisatawan dan pengendara kendaraan bermotor.
Proporsi 42.4% untuk ruang terbuka rekreasi dengan kegiatan mengeksplor
seni budaya dan sarana transit wisatawan
Plaza seni
Parkir dan sarana transit
wisatawan Ruang terbuka alami berupa
kumpulan tegakkan pohon dilengkapi sarana bermain anak serta gazebo dengan
proporsi 57.6%
A
B
A B
Parkir dan sarana penginapan
eksisting
Ruang terbuka alami berupa kumpulan tegakkan pohon
dilengkapi jalur pedestrian untuk menunjang rekreasi edukasi
dengan proporsi 57.6%
122
Aspek/ Sub Aspek
Hasil Analisis Referensi/ Studi Preseden
Persepsi Stakeholder Diskusi mengintegrasikan hasil analisis
Prinsip Perancangan
Kawasan Wisata Alam Pacet
pengembangan ruang terbuka itu sendiri
c) Persyaratan jarak keterjangkaun tersebut dapat diakses oleh permukiman diluar segmen 3.Selain itu, wisatawan berpendapat tidak merasakan keleluasaan dalam mengakses koridor pada segmen 3.
dikarenakan kedekatan permukiman dengan ruang terbuka disekitarnya.
c) Untuk dapat menikmati ruang terbuka yang ada di sepanjang koridor tersebut perlu rancangan koridor yang mengakomodasi jalur khusus wisatawan villa dan memisahkannya dengan jalur kendaraan agar akses menuju lokasi wisata menjadi lancar
Konsep rancangan : aksesibilitas menuju objek wisata dan ruang terbuka dapat dicapai oleh wisatawan pejalan kaki dan bersepeda dengan waktu yang singkat dan sajian view yang tidak membosankan.
123
Aspek/ Sub Aspek
Hasil Analisis Referensi/ Studi Preseden
Persepsi Stakeholder Diskusi mengintegrasikan hasil analisis
Prinsip Perancangan
Kawasan Wisata Alam Pacet
Ket :
Potensi Pemanfaatan Ruang terbuka
A B
B : Penambahan jalur pedestrian dengan perkerasan paving untuk wisatawan penikmat alam dengan berjalan kaki danpenambahan jalur bersepeda.
Dapat diakses 10 menit antar ruang terbuka. Sedangkan menuju obyek wisata 20 menit berjalan kaki
Dapat diakses 5 menit antar ruang terbuka.
Jalur A : Before Jalur A : After
Jalur pedestrian lebar 1 meter dengan material kayu yang tidak memberikan beban lingkungan terhadap pertanian disampingnya. Jalur pedestrian terhubung dengan jalur wisatawan dalam area rekreasi pertanian.
Jalur khusus bersepeda lebar 1.25 dirancang terpisah dengan jalur pedestrian dan lebih rendah dari badan jalan untuk menciptakan keamanan dan keleluasaan pengguna.
Jalur bersepeda Jalur vegetasi dan street
furniture Jalur pedestrian
Jalan
Jalur A
Jalan Jalur bersepeda
Jalur pedestrian
Jalur B
A : Penambahan jalur pedestrian bermaterial kayu dan jalur bersepeda untuk memisahkan pengunjung villa yang ingin berjalan kaki menuju lokasi obyek wisata.
Jalur B : Before
Jalur B : After
124
Aspek/ Sub Aspek
Hasil Analisis Referensi/ Studi Preseden
Persepsi Stakeholder Diskusi mengintegrasikan hasil analisis
Prinsip Perancangan
Kawasan Wisata Alam Pacet
Konektivitas dan Sirkulasi
1) Fungsi konektifitas yang ada saat ini belum berfungsi secara optimal. Berdasar analisis penilaian karakter, JK 1 dari Desa Pacet menuju Desa padusan, memiliki lebar jalan yang cukup sempit yaitu 2-3 meter dan memiliki sirkulasi yang cukup padat. Hal ini dikarenakan JK 1 ini jalur utama penghubung menuju obyek wisata unggulan.
2) Konektifitas dan Sirkulasi yang terjadi pada JK 2, tidak terlalu terlihat sebagai sirkulasi yang rumit mengingat karakter JK 2 ini sebagai akses masuk dan keluar wisatawan dari arah wilayah kecamatan lain.
3) JK 3 merupakan jalur konektifitas yang memiliki karakter bottle neck yang mempersulit sirkulasi kendaraan terutama kendaraan roda 4 serta sirkulasi wisatawan yang memilih berjalan kaki pada puncak kunjungan wisata di hari libur.
Harus mengkoneksikan titik- titik tujuan wisata dengan jalur pejalan kaki dan bersepeda.
Jalur pedestrian harus dirancang dengan aman, nyaman, teduh serta harus optimis digunakan oleh masyarakat setempat terlebih wisatawan. Mereka berdapat bahwa ketika projek pedestrian ini dibangun jangan sampai tidak ada yang menggunakan. Sedangkan untuk penyediaan jalur bersepeda tidak perlu dikembangkan pada semua jalur konektifitas, namun perlu disediakan mengikuti rute para bikers dan harus dirancang dengan mengutamakan keselamatan bagi penggunanya, mengingat kawasan yang memiliki kemiringan bervariasi. Dan perlu pula dipertimbangkan tipe bikers antara mount bikers (pengendara
Berdasarkan hasil analisis karakter konektivitas dan sirkulasi dipengaruhi oleh kondisi fisik jalan. Selain itu belum adanya rute sirkulasi yang menghubungkan antar obyek wisata atau tempat menarik menjadikan beberapa wisatawan merasakan kejenuhan dalam berwisata. Tidak jauh berbeda dengan aksesibilitas, prinsip konektivitas menurut ketiga narasumber adalah menyediakan jalur yang mengkoneksikan spot-spot menarik yang dapat berupa jalur pedestrian dan jalur bersepeda dengan sirkulasi atau rute yang terarah.
8) Perlu pengembangan jalur konektifitas untuk mempermudah sirkulasi wisata yang mengakomodasi pejalan kaki dan bikers dengan mengutamakan keselamatan pengguna.
9) Seharusnya konektivitas antar spot menarik atau obyek wisata alam dapat tercipta dengan memberikan arahan terhadap wisatawan sebelum memasuki obyek wisata.
125
Aspek/ Sub Aspek
Hasil Analisis Referensi/ Studi Preseden
Persepsi Stakeholder Diskusi mengintegrasikan hasil analisis
Prinsip Perancangan
Kawasan Wisata Alam Pacet
sepeda gunung untuk olahraga) dan ordinary bikers (pengendara biasa)
Konsep rancangan : Mewujudkan keterhubungan lokasi wisata yang menarik wisatawan untuk berpindah secara sistematis berdasar rute lokasi wisata.
Jalur sepeda selebar 1,25 meter (warna kuning pada jalan) dirancang sebagai sistem koneksi yang menghubungkan antar ruang terbuka dan lokasi obyek wisata
Menuju Obyek Wisata Unggulan
Menuju Tahura R.Soeryo
Transit park sebagai pengarah
menuju rute koneksi
berikutnya
1
3
5
6
7
8
4
Keterangan :
Ruang Terbuka
Obyek Wisata Ubalan
Kaw. Villa celaket
tidak mengikuti urutan rute karena tidak terdapat obyek rekreasi alam yang dapat dinikmati
terdapat obyek rekreasi alam yang dapat dinikmati sehingga koneksi membentuk rute
Before After
Koridor jalan dirancang dengan 2 jalur pedestrian di kanan dan kiri dan jalur bersepeda
Lampu penerangan jalan dirancang sebagai sarana promosi hotel, restaurant, produk industri UKM, dan event wisata dengan meletakkan papan iklan di tiang lampu
126
Aspek/ Sub Aspek
Hasil Analisis Referensi/ Studi Preseden
Persepsi Stakeholder Diskusi mengintegrasikan hasil analisis
Prinsip Perancangan
Kawasan Wisata Alam Pacet
Tata Hijau/ Vegetasi
Dari hasil analisis di dapatkan karakteristik vegetasi dan tata hijau yang mewakili kondisi pada masing- masing segmen : Segmen 1 : terdapat titik/ spot
berbahaya bagi pengguna jalan akibat jarak tanam yang tidak rapat dan memiliki kondisi sekitar berupa hamparan sawah yang luas. Sehingga untuk menyikapi karakteristik spot- spot yang demikian dibutuhkan rancangan/penataan kembali sesuai fungsi dan kebutuhan lokasinya.
Keunikan tatanan vegetasi yang ditemukan pada segmen 2 adalah keberadaan pohon cemara di koridor TP 1 yang memiliki keberagaman fungsi baik dari segi ekologis atapun estetika. Dengan demikian keragaman vegetasi pada segmen 2 akan memberikan pertimbangan terhadap kebutuhan rancangan kawasan khususnya rancangan lanskap koridor yang menyatu dengan visual kawasan dan lanskap ruang terbuka lainnya.
Keunikan tatanan vegetasi
Tata hijau/ vegetasi dalam suatu kawasan wisata alam yang memiliki dominasi ruang luar dan sebagai unsur pembentuk ruang luar akan mencakup beberapa segi pertimbangan dalam penataannya yaitu: sifat botanis tanaman (pohon, perdu, semak), sifat ekologisnya (habitat seperti dataran tinggi, lereng, pantai), efek visualnya (bentuk, warna,tekstur), fungsi tanaman (kontrol visual, pembatas fisik, pengendali iklim, pencegah erosi, dan nilai estetis), serta perletakkan tanaman (variasi, penekanan, kesinambungan, kesatuan/keserasian, kesederhanaan).
Vegetasi yang ada di area wisata alam cukup unik namun lebih bersifat sebagai vegetasi pelindung karena sebagian besar berada di kawasan perum perhutani. Untuk vegetasi diluar kawasan hutan lebih berfungsi sebagai pertanian yang mendominasi. Penataan vegetasi atau tanaman/pepohonan seharusnya tersebar di seluruh ruas jalan dan ruang terbuka yang masih alami, agar udara di Kecamatan Pacet tetap sejuk dan asri.
Tata hijau/ vegetasi berdasarkan 3 sumber sebelumnya, melihat vegetasi sebagai unsur atau ruang luar dalam penataan kawasan wisata alam yang memiliki karakter dan fungsi berbeda pada setiap rancangan segmen.
10) Perlu penempatan vegetasi dan penataan tata hijau berdasarkan fungsi ekologis, sosial, dan estetika yang mencerminkan karakter dominan tiap segmen. Untuk segmen 1 : penataan vegetasi seharusnya diprioritaskan pada nilai estetika yang akan mendukung segmen 1 sebagai zona pembuka kawasan yang harus memberikan kesan tersendiri bagi pengunjung. Segmen 2 : penataan vegetasi dirancang dalam taman transit yang memiliki fungsi penyeimbang lingkungan
127
Aspek/ Sub Aspek
Hasil Analisis Referensi/ Studi Preseden
Persepsi Stakeholder Diskusi mengintegrasikan hasil analisis
Prinsip Perancangan
Kawasan Wisata Alam Pacet
yang ditemukan pada segmen 3 adalah keberadaan pohon cemara dan pohon kelapa pada unit hunian/villa yang memiliki fungsi baik dari segi ekologis atapun estetika, namun fungsi tersebut dapat memberikan kesan visual dan keasrian koridor secara keseluruhan
sekitar. Segmen 3 : penataan vegetasi berupa tanaman pertanian seharusnya dapat memberikan nilai ekonomis dan edukatif bagi wisatawan
Konsep rancangan :
Ruang Terbuka Alami dengan tata hijau berupa tanaman pertanian dan holtikultura yang dilestarikan
Penataan vegetasi pada jalur hijau dengan fungsi pemecah angin untuk keamanan pengguna jalan. Jenis tanaman : Cemara, Tanjung, Mahoni Jarak kerapatan tanam : 3 meter Bermassa daun padat
Penataan vegetasi pada jalur hijau dengan fungsi peneduh dan penyerap polusi kendaraan. Jenis tanaman : Angsana,
Tanjung Jarak kerapatan tanam : 2
meter Bermassa daun padat dan
memiliki kanopi
Penataan vegetasi pada jalur hijau dengan fungsi estetika dan peneduh
Jenis Tanaman : Cemara, Palem-paleman, Akasia Jarak kerapatan tanam : 1,5 – 2 meter
A
B
C
Penataan vegetasi pada segmen 1 yang memiliki fungsi estetika (dilihat dari keseragaman tanaman tanjung) dan kemanan pengguna jalan
A
B C
Penataan vegetasi pada transit park di segmen 2 berupa hutan kota skala kecil sebagai penyeimbang lingkungan terutama kontrol udara sejuk dan asri
Penataan vegetasi pada segmen 3 (zona semikonservasi) berupa lahan pertanian dan kebun bunga yang memiliki nilai ekonomis, dan rekreasi edukatif.
128
Aspek/ Sub Aspek
Hasil Analisis Referensi/ Studi Preseden
Persepsi Stakeholder Diskusi mengintegrasikan hasil analisis
Prinsip Perancangan
Kawasan Wisata Alam Pacet
Kualitas Visual Pemandangan
Pada segmen 1 nilai kualitas visual tertinggi berada pada titik pengamatan 1 karena memiliki karakter proporsi pemandangan antara bangunan yang lebih sedikit daripada vegetasinya memberikan suasana menenangkan dan sejuk.
Pada Segmen 2 nilai kualitas visual tertinggi berada pada titik pengamatan 1 karena memiliki keunikan yang diciptakan melalui garis- garis imajiner dalam karakter visual TP 1 ini terbentuk karena adanya perbedaan warna (hijau : vegetasi, Merah dan coklat : bangunan) dan bentuk serta jaringan jalan.
Pada segmen 3 nilai kualitas visual pemandangan alam tertinggi berada pada titik pengamatan 2, namun memiliki karakter fisik yang sama dengan titik pengamatan 1
karakteristik kualitas estetik visual pada kelompok keindahan lanskap tinggi, sedang, dan rendah menunjukkan bahwa karakteristik yang meningkatkan nilai keindahan lanskap adalah dominasi tipe lanskap, keteraturan vegetasi yang tumbuh, dan variasi bentuk, tekstur, dan warna yang tinggi. Karakteristik yang dapat mengurangi nilai keindahan adalah bentuk penggunaan lahan yang tidak alami, serta vegetasi yang terlalu rapat dan kurang teratur.
a) Untuk menikmati kekuatan visual pemandangan alam pada titik ini dapat dilakukan melalui berjalan kaki dan seharusnya terdapat sarana pejalan kaki yang layak dan khusus penikmat pemandangan alam.
b) harus disediakan tempat tersendiri untuk menikmati potensi visual pemandangan alam pada Segmen 1 titik pengamatan 1 yang aman dan nyaman.
c) kualitas visual pada TP3 perlu dilestarikan, dan untuk menikmatinya harus tersedia sarana bagi pejalan kaki yang nyaman dan aman.
Kualitas visual pemandangan alam memiliki potensi dalam mendukung kegiatan rekreasi yang ditentukan oleh level nilai berdasarkan penilaian unsure lanskap (garis, warna, struktur, skala, dan proporsi). Dari potensi tersebut menurut stakeholder perlu adanya sarana dalam menikmati visual pemandangan alam.
11) Untuk menikmati potensi kualitas visual pemandangan alam harus memperhatikan elemen lanskap termasuk vegetasi yang kurang teratur, penggunaan lahan yang tidak alami.
12) Perlu penyediaan sarana khusus untuk menikmati visual pemandangan alam yang berupa jalur pejalan kaki pada segmen 1 dan segmen 2, sedangkan untuk segmen 3 berupa menara pandang.
Konsep rancangan :
129
Aspek/ Sub Aspek
Hasil Analisis Referensi/ Studi Preseden
Persepsi Stakeholder Diskusi mengintegrasikan hasil analisis
Prinsip Perancangan
Kawasan Wisata Alam Pacet
RT segmen 1
RT segmen 2
RT segmen 3
Jalur pejalan kaki khusus untuk wisatawan penikmat view alami
Penyediaan tempat atau pos pandang untuk menikmati view pada segmen 3 yang dirancang dengan material konstruksi kayu yang ramah lingkungan serta aplikasi jalur wisatawan untuk menikmati rekreasi edukasi bercocok tanam
Aplikasi jalur khusus wisatawan dalam menikmati pemandangan alam dengan background pegunungan welirang (hutan pinus)
Ruang Terbuka
Ruang Terbuka
Villa Villa
Villa Villa
Pemandangan alam hutan pinus
Konsep RT. Segmen 3
Before
After
Migratory Bird Habitat
Tower pandang
Area rekreasi pertanian
Konservasi burung
Jalur wisatawan dalam area rekreasi dibuat untuk melindungi tanaman pertanian dan kebun bunga agar tidak rusak oleh wisatawan
Tower pandang diaplikasikan untuk mewujudkan keinginan wisatawan dalam menikmati pemandangan alam khas hutan pinus
Migratory bird habitat dirancang untuk melindungi habitat spesies burung sekaligus menjadi ikon dalam segmen 3 sebagai zona semikonservasi
Lampu penerangan diaplikasikan untuk kedua sisi jalur yakni jalur pedestrian dan jalur bersepeda untuk menciptakan keamanan penggunanya dimalam hari
130
Aspek/ Sub Aspek
Hasil Analisis Referensi/ Studi Preseden
Persepsi Stakeholder Diskusi mengintegrasikan hasil analisis
Prinsip Perancangan
Kawasan Wisata Alam Pacet
Fasilitas pendukung wisata
Karakteristik sarana rekreatif yang dapat disimpulkan berdasarakan observasi dan identifikasi peneliti di kawasan studi diantaranya adalah :
a) Ketersediaan Sarana rekreasi aktif dan utama yang ada saat ini pada dasarnya mengikuti tema obyek wisata itu sendiri dan tampilan fisiknya lebih bersifat buatan rancangan arsitek.
b) Sarana rekreasi aktif diluar obyek wisata berupa ruang terbuka atau ruang luar yang dapat digunakan untuk sekedar menikmati visual pemandangan alam.
c) Sarana rekreatif diluar obyek wisata yang bersifat alami haruslah dipertahankan dari segala bentuk dampak pembangunan sarana penunjang wisata.
d) Sarana lain diluar sarana rekreatif yang tersedia di kawasan wisata saat ini dapat mengakomodasi kebutuhan wisatawan dan dinilai masih layak untuk digunakan secara terus
Terdapat beberapa atribut sarana wisata yang harus tersedia dan melayani wisatawan di suatu kawasan wisatam enurut Yoeti (1994) ; Recreative and
sportive plant Residential tourist
plant Sarana pelengkap Sarana Transportasi
pengangkutan Utilitas dan
prasarana sosial
Sarana rekreasi untuk masing- masing obyek wisata harusnya terus dirancang mengikuti trend terbaru agar wisatawan tidak merasa bosan mengunjungi obyek wisata yang ada
Jika kawasan wisata alam Kecamatan Pacet akan dirancang sebagai kawasan wisata berkelanjutan dan peduli terhadap kelestarian alam harus memiliki sarana rekreasi alternative selain yang ada pada obyek wisata misalnya pemanfaatan ladang dan kebun sebagai sarana rekreasi dan pemanfaatan lahan kosong di sekitar foodcourt sebagai taman
Berdasarkan substansi ketiga kolom sebelumnya, memberikan kesimpulan bahwa fasilitas atau sarana rekreasi dapat dibedakan berdasarkan kategori kepentingan kegiatan didalamnya. Hal tersebut sesuai dengan temuan prinsip umum perancangan yang dihasilkan pada sintesa pustaka. Dimana dalam merancang kawasan wisata alam yang membawa prinsip berkelanjutan harus dapat beradaptasi dengan permintaan dimasa datang (up to date) dan terintegrasi dengan sarana umum kewilayahannya, dalam konteks studi berupa sarana terminal dan poskesdes.
13) Perlu penyediaan sarana rekreasi alternative untuk mengakomodasi kebutuhan dan permintaan wisatawan yang mulai berminat terhadap wisata menikmati alam.
14) Perlu mengaktifkan sarana transportasi berupa terminal tipe C yang mendukung aksesibilitas menuju kawasan wisata alam Pacet
131
Aspek/ Sub Aspek
Hasil Analisis Referensi/ Studi Preseden
Persepsi Stakeholder Diskusi mengintegrasikan hasil analisis
Prinsip Perancangan
Kawasan Wisata Alam Pacet
menerus. Namun untuk sarana transportasi dan pengangkutan belum mampu mendukung keberlanjutan kawasan wisata alam Pacet.
Perlu adanya perbaikan dan menghidupkan sarana terminal tipe C di dekat kantor Polsek Kecamatan Pacet untuk meningkatkan kemudahan wisatawan dalam mengunjungi kawasan wisata alam Pacet.
Konsep rancangan :
Ket :
Fasilitas pendukung : restauran, poskesdes, penginapan, pertokoan, showroom UKM, dan lainnya
Transit
Park
Rekreasi alam di
segmen 3
Terminal tipe C
Before
After
Merubah wajah terminal angkutan menjadi terminal wisata yang didalamnya tersedia showroom UKM untuk mengakomodasi kebutuhan wisatawan
Perbaikan papan nama terminal yang temanya menyesuaikan dengan penandaan kawasan di pintu gerbang masuk kawasan wisata alam pacet
Bangunan showroom UKM dalam terminal dirancang sederhana namun masih mengikuti tema warna dan bentuk pada bangunan penandaan kawasan wisata alam Pacet
132
Aspek/ Sub Aspek
Hasil Analisis Referensi/ Studi Preseden
Persepsi Stakeholder Diskusi mengintegrasikan hasil analisis
Prinsip Perancangan
Kawasan Wisata Alam Pacet
Aspek Non Fisik Perancangan Kawasan Wisata Alam Aktifitas Pola aktifitas yang terbentuk
dipengaruhi oleh motivasi wisatawan dalam memilih urutan tujuan wisata dan penggunaan ruang- ruang terbuka. Dari ke tiga kategori wisatawan yang dibedakan atas wisatawan dewasa, remaja, dan anak- anak, memberikan pola aktifitas berbeda di setiap spot- spot ruang terbuka di kawasan wisata alam.
c) Harus bertanggung jawab terhadap fitur alam pada lokasi
d) Harus dapat menciptakan rasa atau keterikatan pada tempat
e) Harus melestarikan keanekaragaman hayati dan nilai- nilai lokal pada area alami termasuk budaya
Kondisi yang terjadi saat ini wisatawan mengalami perubahan perilaku dalam menikmati obyek wisata yang tersedia. Wisatawan saat ini cenderung melakukan aktifitas bebas dalam menikmati alam sekitar. Sehingga membutuhkan perancangan ruang- ruang terbuka yang menarik, nyaman, dan aman ketika malam hari.
Pola aktifitas yang teridentifikasi pada lokasi studi akan memberikan pertimbangan terhadap pilihan kegiatan rekreasi yang berbasis ekowisata dimana terdapat fungsi pelestarian, edukasi, dan kesenangan seperti yang diungkapkan narasumber. Hal ini didukung dengan adanya isu terbaru mengenai perubahan perilaku dalam menikmati wisata alam. Sehingga bentuk atau pola aktifitas rekreasi yang demikian perlu terwadahi dalam suatu ruang terbuka untuk meningkatkan nilai kawasan wisata alam yang berbasis ekowisata.
15) Perlu peningkatan fungsi ruang- ruang terbuka sebagai wadah perubahan perilaku wisatawan dalam berekreasi alam yang mulai peduli terhadap kelestarian alam terutama pada segmen 3.
16) Perlu menciptakan ruang terbuka yang memberikan kenyamanan, keamanan, dan kesenangan bagi wisatawan dalam beraktifitas didalamnya baik di siang hari ataupun malam hari
Konsep rancangan : taman transit dirancang bagi wisatawan yang beristirahat sejenak sebelum melanjutkan tujuan.
133
Aspek/ Sub Aspek
Hasil Analisis Referensi/ Studi Preseden
Persepsi Stakeholder Diskusi mengintegrasikan hasil analisis
Prinsip Perancangan
Kawasan Wisata Alam Pacet
Tipe : Ruang terbuka rekreasi di tengah persimpangan 4 jalan yang memiliki luas 0,7 Ha
Plaza kesenian dirancang bagi seniman yang berlatih dan menggelar seni pertunjukkan khas bantengan
Ruang parkir, persewaan sepeda, dan sentra PKL Baso bakar di rancang menjadi satu tempat dan tidak diperkenankan berjualan di area hijau taman.
Area Ekspressi
Sarana Parkir
Area PKL
Akses masuk dan keluar taman transit bagi kendaraan bermotor
Akses masuk dan keluar taman transit bagi pejalan
kaki/ wisatawan tanpa kendaraan bermotor
Area bermain
anak Area
relaksasi Akses tertutup dengan bangunan pagar kayu,
pagar tanaman, serta jalur bersepeda
Before
After
Area komunitas bersepeda
Desain seperti gambar di atas memberikan suasana berbeda dalam mengunjungi kawasan wisata alam Pacet yang lebih asri dengan variasi kerapatan vegetasi, selain itu menciptakan ruang yang lebih leluasa dengan menempatkan label tulisan wisata alam pacet yang tidak terlalu tinggi serta warna kuning yang mudah ditangkap indera
134
Aspek/ Sub Aspek
Hasil Analisis Referensi/ Studi Preseden
Persepsi Stakeholder Diskusi mengintegrasikan hasil analisis
Prinsip Perancangan
Kawasan Wisata Alam Pacet
Potensi perekonomian kawasan wisata
Kecamatan Pacet memiliki potensi ekonomi unggulan di bidang industri rumah tangga khususnya pengolahan hasil pertanian, perkebunan, dan peternakan. Potensi industri rumah tangga yang ada berkontribusi dan berkorelasi dalam menunjang pariwisata Kecamatan Pacet khususnya dalam penyediaan produk makanan ringan dan minuman hingga supply bibit tanaman jamur tiram dan ketela Pacet dalam jumlah besar.
Dalam merancang kawasan wisata berkelanjutan, aspek ekonomi menjadi aspek yang perlu dipertimbangkan. Beberapa pustaka memberikan kriteria untuk aspek ekonomi bahwa wisata berkelanjutan : a) Seharusnya
menyediakan keuntungan jangka panjang bagi komunitas lokal dan industri (keuntungan yang mungkin dalam bentuk konservasi, ilmu pengetahuan, sosial, budaya, ekonomi)
Perekonomian di Kecamatan Pacet didominasi oleh hasil pertanian, perkebunan dan holtikultura. Sehingga banyak masyarakat yang mengembangkan usaha kecil pengolahan hasil pertanian, perkebunan, dan holtikultura. Serta sejauh ini penjualan produk dapat berkontribusi signifikan karena adanya obyek- obyek wisata unggulan.
Berdasarkan ketiga sumber pada kolom sebelumnya, memberikan kesimpulan bahwa perekonomian kawasan wisata alam di Kecamatan Pacet tidak hanya berasal dari pendapatan tiket masuk obyek- obyek wisata, namun potensi sumber daya alam hayati pertanian, perkebunan, holtikultura mampu menggerakkan idustri pengolahan skala kecil yang saling bersimbiosis dengan kegiatan wisata di kawasan tersbut. Sehingga menyikapi fenomena ini, untuk menuju kawasan wisata alam yang berkelanjutan diperlukan dukungan terhadap spot- spot/ kampung industri kecil dengan perancangan kampung industri sebagai salah satu upaya mewujudkan identitas kawasan wisata alam Kecamatan Pacet
17) Seharusnya mendukung industri kecil yang sebagian besar memanfaatkan hasil sumberdaya alam hayati (pertanian, perkebunan, holtikultura) melalui perwujudan identitas kampung industri di kawasan wisata alam Kecamatan Pacet
18) Perlu penandaan (landmark) di kawasan Kecamatan Pacet yang menunjukkan kawasan ini sebagai kawasan industri pariwisata dengan obyek wisata alam unggulan.
Konsep rancangan :
135
Aspek/ Sub Aspek
Hasil Analisis Referensi/ Studi Preseden
Persepsi Stakeholder Diskusi mengintegrasikan hasil analisis
Prinsip Perancangan
Kawasan Wisata Alam Pacet
Sumber : Hasil Analisis, 2015
Landmark kawasan wisata alam Pacet yang menunjukkan keberadaan obyek wisata alam dan potensi industri pariwisata lainnya
Mengangkat identitas kampung industri melalui penataan muka kampung (penambahan gapura) yang informatif dan kreatif
Bangunan landmark menyatu bersama penataan koridor dirancang dengan warna natural yaitu coklat muda.
Symbol daun hijau terang dirancang untuk menunjukkan kealamian dan keasrian kawasan wisata alam serta mudah dikenali melalui indera penglihatan
Konten tulisan menunjukkan menu rekreasi alam yang ada dikawan wisata alam Pacet
Before
After
136
“Halaman ini sengaja dikosongkan”
137
BAB 5
KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan
Kecamatan Pacet sebagai kawasan yang memiliki potensi unggulan wisata
alam memiliki isu permasalahan komprehensif dalam pengembangannya baik dari
segi lingkungan, sosial, dan ekonomi. Studi penelitian dibidang perancangan
kawasan ini bermaksud untuk mewujudkan kawasan wisata alam yang berkelanjutan
melalui pemecahan beberapa isu permasalahan yang dianggap peneliti sebagai
permasalahan penting dan mendesak. Adapun jawaban dari isu permasalahan atau
jawaban atas pertanyaan penelitian yang telah diutarakan pada awal bab pelaporan
ini diantaranya adalah sebagai berikut.
I. Karakteristik lahan yang sesuai untuk perancangan kawasan wisata alam
berkelanjutan dilihat dari sisi potensi biofisik kawasan dapat dikategorikan
dalam tiga kategori yakni :
1) Zona dengan lahan sesuai, memiliki karakteristik sebagai berikut :
a) Memiliki kemiringan minimum 2% hingga maksimum 15%
b) Pola ruang yang diijinkan untuk dibangun berupa permukiman dan
hutan produksi
c) Memiliki karakteristik tanah berjenis mediteran yang bersifat tidak
peka terhadap erosi sehingga aman untuk dibangun dengan konstruksi
yang bersyarat
d) Dilalui oleh jaringan jalan lokal primer dengan lebar jalan ± 5- 8 meter
e) Tidak memiliki karakteristik area rawan bencana alam baik longsor
ataupun letusan vulkanik
2) Zona dengan lahan cukup sesuai, memiliki karakter sebagai berikut :
a) Memiliki kemiringan lahan minimum 2% dan maksimum 40%
b) Pola peruntukkan ruang didominasi oleh lahan pertanian produktif
(LP2B), taman hutan raya, dan hutan lindung
c) Memiliki dominasi jenis tanah litosol dan andosol yang peka terhadap
erosi tanah dan tingkat kesuburan tinggi
138
d) Tidak memiliki karakteristik area rawan bencana alam baik longsor
ataupun letusan vulkanik
e) Kawasan ini dilalui oleh jaringan jalan lokal sekunder dan jalan
lingkungan yang memiliki lebar ± 2-3 meter
3) Zona dengan lahan tidak sesuai, memiliki karakter sebagai berikut :
a) Memiliki kemiringan lahan minimum 15% hingga maksimum > 40%
b) Pola peruntukkan ruang didominasi oleh taman hutan raya, hutan
lindung, dan hutan produksi
c) Memiliki dominasi jenis tanah litosol dan andosol yang peka terhadap
erosi tanah dan tingkat kesuburan tinggi
d) Memiliki karakteristik area rawan bencana letusan vulkanik dan
longsor/ banjir bandang
e) Kawasan ini hanya dilalui oleh jaringan jalan lingkungan yang
memiliki lebar 2-3 meter
Melihat karakteristik lahan yang sesuai untuk perancangan, dalam penelitian ini
peneliti membagi zona perancangan kawasan sesuai konsep pengelolaan zona
ekowisata yang terbagi atas :
1) Zona Transisi memiliki karakter : peruntukkan ruang berupa fasilitas
pelayanan umum, permukiman, dan fasilitas pendukung pariwisata
terutama restoran dan pertokoan. Jaringan jalan sebagai akses yang
melintasi segmen 1 memiliki lebar 8 meter dan didukung oleh
prasarana pedestrian, namun street furniture masih terbatas.
2) Zona Penerima/ pembuka memiliki karakter : peruntukkan ruang
berupa permukiman, lahan pertanian (sawah tadah hujan), obyek daya
tarik wisata, serta fasilitas pendukung pariwisata. Potensi elemen
rancangan yang ada di segmen 2 ini adalah berupa ruang terbuka
(taman skala kecamatan) yang tidak terawat serta belum tersedianya
pedestrian yang tidak mendukung penggunanya. Selain itu, pada
segmen ini memiliki spot- spot view alami yang memiliki nilai strategis
dalam perancangan lanskap ataupun sebagai salah satu atraksi wisata
3) Zona semi konservasi memiliki karakter : potensi atraksi wisata berupa
pemandangan alam serta obyek daya tarik wisata air terjun Coban
139
Canggu dan Wanawisata Air Panas Padusan. Peruntukkan ruang di
segmen ini di masih dominasi oleh hamparan areal pertanian yang
memiliki latar pegunungan Penanggungan serta fasilitas pendukung
pariwisata berupa villa penginapan bagi wisatawan. Kondisi
aksesibilitas berupa jaringan jalan pada segmen ini memiliki lebar
hanya 2-3 meter tanpa didukung pedestrian bagi pejalan kaki. Sehingga
timbul beberapa permasalahan terkait aksesibilitas terutama pada waktu
liburan. Sebagai segmen utama, segmen ini memiliki spot- spot view
alami yang memiliki nilai strategis dalam perancangan lanskap ataupun
sebagai salah satu atraksi wisata yang berkonsentrasi terhadap
pelestarian alam dan sumberdaya alam hayati.
II. Untuk mewujudkan ruang terbuka dikawasan wisata alam dalam mendukung
kegiatan rekreasi yang nyaman, aman, dan menyenangkan diperlukan
prinsip perancangan sebagai berikut :
1) Ruang terbuka harus ditempatkan pada lokasi yang pasti
dimanfaatkan/ digunakan oleh penduduk dan wisatawan
2) Tema ruang terbuka menyesuaikan dengan kesesuaian zona dan
pemakainya.
3) Didalam ruang terbuka harus dapat dirancang dengan dua tipe ruang
terbuka yang membedakan secara jelas pembagian proporsi luas
penggunaan pada ruang terbuka yakni 57.6% ruang terbuka alami,
dan 42.4% ruang terbuka rekreasi
4) Ruang yang dirancang harus mengakomodasi aktifitas didalamnya
khususnya seni budaya bantengan.
5) Harus memiliki akses dengan rancangan koridor yang
mengakomodasi jalur khusus wisatawan dan pengendara kendaraan
bermotor
6) Perlu pengembangan jalur konektifitas untuk mempermudah sirkulasi
antar ruang terbuka yang mengakomodasi pejalan kaki dan pesepeda
dengan mengutamakan keselamatan pengguna
140
7) Seharusnya konektivitas antar spot menarik atau obyek wisata alam
dapat tercipta dengan memberikan arahan terhadap wisatawan
sebelum memasuki obyek wisata.
8) Harus mewadahi perubahan perilaku dan permintaan wisatawan
dalam berekreasi yang cenderung beralih pada kegiatan menikmati
visual pemandangan alam terutama pada segmen 3.
III. Sedangkan untuk mewujudkan rancangan kawasan wisata alam Kecamatan
Pacet yang berkelanjutan secara komprehensif (mempertimbangkan aspek
fisik dan nonfisik) diperlukan prinsip perancangan sebagai berikut :
1) Perlu penempatan vegetasi dan penataan tata hijau berdasarkan fungsi
ekologis, sosial, dan estetika yang mencerminkan karakter dominan
tiap segmen.
2) Untuk menikmati potensi kualitas visual pemandangan alam harus
memperhatikan elemen lanskap termasuk vegetasi yang kurang
teratur, penggunaan lahan yang tidak alami.
3) Perlu penyediaan sarana khusus untuk menikmati visual
pemandangan alam yang berupa jalur pejalan kaki pada segmen 2 dan
segmen 3, sedangkan untuk segmen 1 berupa tempat pandang.
4) Perlu penyediaan sarana rekreasi alternative untuk mengakomodasi
kebutuhan dan permintaan wisatawan yang mulai berminat terhadap
wisata menikmati alam.
5) Perlu mengaktifkan sarana transportasi berupa terminal tipe C yang
mendukung aksesibilitas menuju kawasan wisata alam Pacet.
6) Seharusnya dalam merancang kawasan wisata alam berkelanjutan
perlu mendukung industri kecil sebagai komponen ekonomi yang
sebagian besar memanfaatkan hasil sumberdaya alam hayati
(pertanian, perkebunan, holtikultura) melalui perwujudan identitas
kampung industri di kawasan wisata alam Kecamatan Pacet.
Dengan mempertimbangkan prinsip- prinsip perancangan kawasan wisata
alam Kecamatan Pacet yang didapatkan dalam proses penelitian, konsep utama
perancangan kawasan wisata alam berkelanjutan di Kecamatan Pacet Kabupaten
Mojokerto adalah menciptakan ruang-ruang terbuka sebagai ruang rekreasi alternatif
141
yang nyaman, aman, menyenangkan, berbudaya, serta sebagai kontrol ruang dalam
pengembangan pariwisata berkelanjutan kedepannya.
5.2 Rekomendasi
Penelitian ini memilih pendekatan penelitian kualitatif dalam
mengintepretasikan fakta terkait elemen perancangan kawasan dilapangan serta,
diuji melalui partisipan stakeholder baik melalui FGD ataupun interview semi
terstruktur. Peneliti memahami proses ini membutuhkan waktu yang cukup lama dan
cenderung memiliki subyektifitas tingkat sedang dalam menilai obyek penelitian,
sehingga peneliti merekomendasikan kedepannya penelitian sejenis dapat
mempertimbangkan metode yang tepat dalam menguji keabsahan hasil analisis data
kualitatif. Adapun rekomendasi terkait substansi diantaranya adalah :
a) Perlu penelitian lebih lanjut dan detail terkait konsep rancangan spesifik
ruang terbuka di kawasan wisata alam sebagai sarana rekreasi alternatif yang
mengedepankan nilai ekologis dan sosial, hal ini mengingat keberadaan
ruang terbuka hijau di setiap kawasan wisata alam memiliki proporsi yang
cukup besar.
b) Perlu penelitian lebih lanjut terkait penilaian rancangan kawasan yang
menggunakan pendekatan konsep ekowisata atau wisata berkelanjutan
berdasar ilmu pengetahuan perancangan kota, hal ini dikarenakan topik
penelitian bidang perancangan kota yang mendasarkan substansinya pada
tema berkelanjutan keluaran atau hasil penelitian cenderung lebih mengarah
atau mengandung unsur- unsur perencanaan kota.
142
“Halaman ini sengaja dikosongkan”
137
BAB 5
KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan
Kecamatan Pacet sebagai kawasan yang memiliki potensi unggulan wisata
alam memiliki isu permasalahan komprehensif dalam pengembangannya baik dari
segi lingkungan, sosial, dan ekonomi. Studi penelitian dibidang perancangan
kawasan ini bermaksud untuk mewujudkan kawasan wisata alam yang berkelanjutan
melalui pemecahan beberapa isu permasalahan yang dianggap peneliti sebagai
permasalahan penting dan mendesak. Adapun jawaban dari isu permasalahan atau
jawaban atas pertanyaan penelitian yang telah diutarakan pada awal bab pelaporan
ini diantaranya adalah sebagai berikut.
I. Karakteristik lahan yang sesuai untuk perancangan kawasan wisata alam
berkelanjutan dilihat dari sisi potensi biofisik kawasan dapat dikategorikan
dalam tiga kategori yakni :
1) Zona dengan lahan sesuai, memiliki karakteristik sebagai berikut :
a) Memiliki kemiringan minimum 2% hingga maksimum 15%
b) Pola ruang yang diijinkan untuk dibangun berupa permukiman dan
hutan produksi
c) Memiliki karakteristik tanah berjenis mediteran yang bersifat tidak
peka terhadap erosi sehingga aman untuk dibangun dengan konstruksi
yang bersyarat
d) Dilalui oleh jaringan jalan lokal primer dengan lebar jalan ± 5- 8 meter
e) Tidak memiliki karakteristik area rawan bencana alam baik longsor
ataupun letusan vulkanik
2) Zona dengan lahan cukup sesuai, memiliki karakter sebagai berikut :
a) Memiliki kemiringan lahan minimum 2% dan maksimum 40%
b) Pola peruntukkan ruang didominasi oleh lahan pertanian produktif
(LP2B), taman hutan raya, dan hutan lindung
c) Memiliki dominasi jenis tanah litosol dan andosol yang peka terhadap
erosi tanah dan tingkat kesuburan tinggi
138
d) Tidak memiliki karakteristik area rawan bencana alam baik longsor
ataupun letusan vulkanik
e) Kawasan ini dilalui oleh jaringan jalan lokal sekunder dan jalan
lingkungan yang memiliki lebar ± 2-3 meter
3) Zona dengan lahan tidak sesuai, memiliki karakter sebagai berikut :
a) Memiliki kemiringan lahan minimum 15% hingga maksimum > 40%
b) Pola peruntukkan ruang didominasi oleh taman hutan raya, hutan
lindung, dan hutan produksi
c) Memiliki dominasi jenis tanah litosol dan andosol yang peka terhadap
erosi tanah dan tingkat kesuburan tinggi
d) Memiliki karakteristik area rawan bencana letusan vulkanik dan
longsor/ banjir bandang
e) Kawasan ini hanya dilalui oleh jaringan jalan lingkungan yang
memiliki lebar 2-3 meter
Melihat karakteristik lahan yang sesuai untuk perancangan, dalam penelitian ini
peneliti membagi zona perancangan kawasan sesuai konsep pengelolaan zona
ekowisata yang terbagi atas :
1) Zona Transisi memiliki karakter : peruntukkan ruang berupa fasilitas
pelayanan umum, permukiman, dan fasilitas pendukung pariwisata
terutama restoran dan pertokoan. Jaringan jalan sebagai akses yang
melintasi segmen 1 memiliki lebar 8 meter dan didukung oleh
prasarana pedestrian, namun street furniture masih terbatas.
2) Zona Penerima/ pembuka memiliki karakter : peruntukkan ruang
berupa permukiman, lahan pertanian (sawah tadah hujan), obyek daya
tarik wisata, serta fasilitas pendukung pariwisata. Potensi elemen
rancangan yang ada di segmen 2 ini adalah berupa ruang terbuka
(taman skala kecamatan) yang tidak terawat serta belum tersedianya
pedestrian yang tidak mendukung penggunanya. Selain itu, pada
segmen ini memiliki spot- spot view alami yang memiliki nilai strategis
dalam perancangan lanskap ataupun sebagai salah satu atraksi wisata
3) Zona semi konservasi memiliki karakter : potensi atraksi wisata berupa
pemandangan alam serta obyek daya tarik wisata air terjun Coban
139
Canggu dan Wanawisata Air Panas Padusan. Peruntukkan ruang di
segmen ini di masih dominasi oleh hamparan areal pertanian yang
memiliki latar pegunungan Penanggungan serta fasilitas pendukung
pariwisata berupa villa penginapan bagi wisatawan. Kondisi
aksesibilitas berupa jaringan jalan pada segmen ini memiliki lebar
hanya 2-3 meter tanpa didukung pedestrian bagi pejalan kaki. Sehingga
timbul beberapa permasalahan terkait aksesibilitas terutama pada waktu
liburan. Sebagai segmen utama, segmen ini memiliki spot- spot view
alami yang memiliki nilai strategis dalam perancangan lanskap ataupun
sebagai salah satu atraksi wisata yang berkonsentrasi terhadap
pelestarian alam dan sumberdaya alam hayati.
II. Untuk mewujudkan ruang terbuka dikawasan wisata alam dalam mendukung
kegiatan rekreasi yang nyaman, aman, dan menyenangkan diperlukan
prinsip perancangan sebagai berikut :
1) Ruang terbuka harus ditempatkan pada lokasi yang pasti
dimanfaatkan/ digunakan oleh penduduk dan wisatawan
2) Tema ruang terbuka menyesuaikan dengan kesesuaian zona dan
pemakainya.
3) Didalam ruang terbuka harus dapat dirancang dengan dua tipe ruang
terbuka yang membedakan secara jelas pembagian proporsi luas
penggunaan pada ruang terbuka yakni 57.6% ruang terbuka alami,
dan 42.4% ruang terbuka rekreasi
4) Ruang yang dirancang harus mengakomodasi aktifitas didalamnya
khususnya seni budaya bantengan.
5) Harus memiliki akses dengan rancangan koridor yang
mengakomodasi jalur khusus wisatawan dan pengendara kendaraan
bermotor
6) Perlu pengembangan jalur konektifitas untuk mempermudah sirkulasi
antar ruang terbuka yang mengakomodasi pejalan kaki dan pesepeda
dengan mengutamakan keselamatan pengguna
140
7) Seharusnya konektivitas antar spot menarik atau obyek wisata alam
dapat tercipta dengan memberikan arahan terhadap wisatawan
sebelum memasuki obyek wisata.
8) Harus mewadahi perubahan perilaku dan permintaan wisatawan
dalam berekreasi yang cenderung beralih pada kegiatan menikmati
visual pemandangan alam terutama pada segmen 3.
III. Sedangkan untuk mewujudkan rancangan kawasan wisata alam Kecamatan
Pacet yang berkelanjutan secara komprehensif (mempertimbangkan aspek
fisik dan nonfisik) diperlukan prinsip perancangan sebagai berikut :
1) Perlu penempatan vegetasi dan penataan tata hijau berdasarkan fungsi
ekologis, sosial, dan estetika yang mencerminkan karakter dominan
tiap segmen.
2) Untuk menikmati potensi kualitas visual pemandangan alam harus
memperhatikan elemen lanskap termasuk vegetasi yang kurang
teratur, penggunaan lahan yang tidak alami.
3) Perlu penyediaan sarana khusus untuk menikmati visual
pemandangan alam yang berupa jalur pejalan kaki pada segmen 2 dan
segmen 3, sedangkan untuk segmen 1 berupa tempat pandang.
4) Perlu penyediaan sarana rekreasi alternative untuk mengakomodasi
kebutuhan dan permintaan wisatawan yang mulai berminat terhadap
wisata menikmati alam.
5) Perlu mengaktifkan sarana transportasi berupa terminal tipe C yang
mendukung aksesibilitas menuju kawasan wisata alam Pacet.
6) Seharusnya dalam merancang kawasan wisata alam berkelanjutan
perlu mendukung industri kecil sebagai komponen ekonomi yang
sebagian besar memanfaatkan hasil sumberdaya alam hayati
(pertanian, perkebunan, holtikultura) melalui perwujudan identitas
kampung industri di kawasan wisata alam Kecamatan Pacet.
Dengan mempertimbangkan prinsip- prinsip perancangan kawasan wisata
alam Kecamatan Pacet yang didapatkan dalam proses penelitian, konsep utama
perancangan kawasan wisata alam berkelanjutan di Kecamatan Pacet Kabupaten
Mojokerto adalah menciptakan ruang-ruang terbuka sebagai ruang rekreasi alternatif
141
yang nyaman, aman, menyenangkan, berbudaya, serta sebagai kontrol ruang dalam
pengembangan pariwisata berkelanjutan kedepannya.
5.2 Rekomendasi
Penelitian ini memilih pendekatan penelitian kualitatif dalam
mengintepretasikan fakta terkait elemen perancangan kawasan dilapangan serta,
diuji melalui partisipan stakeholder baik melalui FGD ataupun interview semi
terstruktur. Peneliti memahami proses ini membutuhkan waktu yang cukup lama dan
cenderung memiliki subyektifitas tingkat sedang dalam menilai obyek penelitian,
sehingga peneliti merekomendasikan kedepannya penelitian sejenis dapat
mempertimbangkan metode yang tepat dalam menguji keabsahan hasil analisis data
kualitatif. Adapun rekomendasi terkait substansi diantaranya adalah :
a) Perlu penelitian lebih lanjut dan detail terkait konsep rancangan spesifik
ruang terbuka di kawasan wisata alam sebagai sarana rekreasi alternatif yang
mengedepankan nilai ekologis dan sosial, hal ini mengingat keberadaan
ruang terbuka hijau di setiap kawasan wisata alam memiliki proporsi yang
cukup besar.
b) Perlu penelitian lebih lanjut terkait penilaian rancangan kawasan yang
menggunakan pendekatan konsep ekowisata atau wisata berkelanjutan
berdasar ilmu pengetahuan perancangan kota, hal ini dikarenakan topik
penelitian bidang perancangan kota yang mendasarkan substansinya pada
tema berkelanjutan keluaran atau hasil penelitian cenderung lebih mengarah
atau mengandung unsur- unsur perencanaan kota.
142
“Halaman ini sengaja dikosongkan”
xi
DAFTAR PUSTAKA
Adisasmita, H.R. (2010). Pembangunan dan Tata Ruang. Yogyakarta : Graha Ilmu.
Alexander, Ron. (2012). Classification Framework For Public Space. Department Of
Sport and Recreation Western Australia.
Ardiwidjaja, Roby. (2003). Membedah Konsep Pariwisata Berkelanjutan. Jakarta: Sinar
Harapan.
Ashihara, Yoshinobu. (1993).Merancang Ruang Luar. Surabaya:PT. Dian Surya.
Bovy, Baud.M and Lawson, Fried. (1998). Tourism and Recreation Handbook Of
Planning and Design. Oxford: Architectural Press.
BPP-PSPL. (2006). Kajian Potensi Wisata Bahari Di Pulau Bunguran Kabupaten
Natuna. UNRI
Ching, Francis D.K. (1995). A Visual Dictionary of Architecture. New York: Van
Nostrand Reinhold Company.
Cullen, Gordon. (1961). The Concise Townscape. London: The Architectural press.
Darjosanjoto, Endang T.S. (2006).Penelitian Arsitektur di Bidang Perumahan dan
Permukiman. Surabaya: ITS Press.
Drumm, A. et al., (2004). Volume II: The Business of Ecotourism Development and
Management. Arlington, Virginia: The Nature Conservancy
Drumm, Andy and Moore, Alan. (2002). Ecotourism Develompment A manual For
Conservation Planners and Managers. Arlington, Virginia: The Nature Conservancy,
USA.
Eckbo, Garret. (1969). Landscape We See. New York: McGraw-Hill Book Co.
Gold, Seymour.M. 1980. Recreation, Planning, and Design. New York : Mc. Graw Hill.
Gunn, Clare. A. (1994). Tourism Planning : Basics, Concepts, and Cases. New York:
Taylor Francis Book, Inc.
Hakim, Rustam dan Utomo,Hardi. (2003). Komponen Perancangan Arsitektur
Lansekap. Jakarta: Bumi Aksara.
Indrawan, R. dan Yaniawati, P. (2014). Metodologi Penelitian : Kuantitatif, Kualitatif
dan Campuran Untuk Manajemen Pembangunan. Yogyakarta : Andi.
xii
Knudson, DM. (1980). Outdoor Recreation. London: Mac Millan Publishing Co.,Inc.
Krier, Rob. (1983). Urban Space.Britain : Academy Editions.
Laurie, Michael. (1986). An Introduction To Landscape Architecture. American
Publisher.
Lynch, Kevin. (1960). The Image of The City. USA : M.I.T Press.
Miandy, Fabrian. (2007). Rencana Pengembangan Dan PengelolaanLanskap Kawasan
Obyek Wisata Danau Kerinci, Kabupaten Kerinci, Jambi. Jurnal : Lanskap Indonesia
Vol.3 No.1.
Maki, Fumihiko. (1964).Investigation in Collective Form.Washington University:
St. Louis.
Mc. Harg, Ian. (1971). Design With Nature (diterjemahkan oleh Gunadi, Sugeng).
Airlangga University Press.
Ministry For The Environment. (2006). Urban Design Toolkit. Wellington: Ministry For
The Environment
Moehadjir, Noeng. (2000). Metodologi Penelitian Kualitatif. Jogjakarta: Rake Sarasin
Moughtin, J.C. (1999). Urban Design : Method and Technique. Oxford: Architectural
Press.
Moleong, Lexy. J. (1998).Metode penelitian Kualitatif.Bandung: Remaja Rosdakarya,
Newton. Norman. T. (1971). Design On The Land : The Development of Landscape
Architecture. Belknap Press.
_________. (2013). Open Space Planning And Design Guide. Victoria Division Parks
Deaprtment Of Planning And Comunnity.
Shirvani, H. (1985). The Urban Design Process. New York: Van Nostrand Reinhold.
Smardon, Richard C. (1986). Foundations for Visual Project Analysis (Chapter 8 Urban
Visual Description and Analysis). New York: John Wiley & Sons.
Soemarwoto, Otto. (1997). Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Cetakan
Ketujuh (Edisi Revisi). Jakarta: Djambatan.
Suwardjoko dan Warpani.P. 2007. Pariwisata Dalam Tata Ruang Wilayah. ITB:
Bandung
Suwantoro, Gamal. (1997). Dasar-dasar Pariwisata. Yogyakarta: ANDI.
xiii
Suharso, Tunjung W. (2009). Perencanaan Objek Wisata dan Kawasan Wisata.
Malang:PPSUB.
Swarbrooke, J. (1998). Sustainable Tourism Management. London: CABI Publishing.
Trancik, Roger. (1986). Finding Lost Space, Theories of Urban Design. New York: Van
NorstrandReinhold Company.
UNEP and WTO, (2005). Making Tourism More Sustainable: A Guide for Policy
Makers.Paris: UNEP and WTO
Veal, A. J. (2004). Definitions Of Leisure and Recreation. Sydney:University Of
Technology
Woolley, Hellen. (2003). Urban Open Spaces. New: Taylor & Francis e-LibraryYork.
Yoeti, Oka. A. (1994). Pengantar Ilmu Pariwisata. Bandung : Angkasa.
Website :
http://portal.unesco.org/geography/en/ev.php-
URL_ID=8763&URL_DO=DO_TOPIC&URL_SECTION=201.html
1
Tabel Rekapitulasi Hasil FGD dan Wawancara
Aspek Pertanya-
an kunci
Wisatawan 1 Wisatawan 2 Wisatawan 3 Wisatawan 4 Wisatawan 5 Wisatawan 6 wisatawan 7 Kesepakatan Partisipan dalam
FGD
Penandaan
Kawasan
a Tidak
melihat
penanda
Perlu
penanda
fisik untuk
tetenger
tidak ada
penanda
fisik yang
menonjol
Sudah ada
penanda
berupa
gapura
usang
Pernah
melihat
penanda
gapura
Tidak
melihat
penanda
Pernah
melihat
penanda
gapura
Penandaan pada dasarnya sudah
ada, kondisinya tidak menjual
pariwisata alam di pacet sehingga
perlu renovasi
b Dari
kesejukan
udara dan
view
Senang
karena
kesejukan
dan
pemandanga
n alam
Senang
karena
kesejukan
dan
pemandanga
n alam
Senang,
kerana view
alami
berkabut
Berkesan,
karena
treknya
menantang
Perasaan
biasa saja,
karena
konsentrasi
pada trek
sepeda
Senang
karena
kesejukan
dan
pemandanga
n alam
Pacet memiliki potensi di
pemandangan alam hutan pinus
dan hawa udara yang masih sejuk,
tapi saat ini mulai berubah
kondisinya karena pengembangan
fasilitas villa dan restauran
c Tidak perlu
penanda
Perlu
penanda
setiap
tikungan
jalan
Perlu
penanda
fisik berupa
gerabang
unik dan
bisa diliat
wisatawan
Perlu gapura
penanda
unik dan
bisa diliat
wisatawan
Perlu
dikenal
dengan
bangunan
ikon atau
gapura
Perlu
penandaan
berciri khas
di tiap pintu
masuk
Perlu gapura
penanda
yang besar
dan bagus
Penandaan kawasan wisata alam
memang diperlukan untuk
mendorong promosi atau
pemasaran wisata di Pacet, karena
nanti dampaknya akan ke ekonomi
kreatif. Bentuk penandaan dapat
berupa ikon khas pacet, tidak
hanya gapura
Kenyamanan
dan
keamanan
a Nyaman
karena
pemandanga
n alam
Nyaman
karena ada
fasilitas
lengkap
Tidak
merasa
nyaman dan
aman
Tidak
merasa
nyaman dan
aman
Tidak
merasa
nyaman dan
aman
Cukup
nyaman dan
aman
Cukup
nyaman dan
aman
Nyaman dan aman dapat dilihat
dari keseriusan pemerintah dalam
mengelola kawasan wisata
termasuk fasilitas dan
prasarananya, masyarakat setempat
akan antusias dan bekerjasama
untuk pelaksanaannya
b Nyaman
adalah bikin
betah, aman
adalah tidak
ada
kecelakaan
Nyaman
adalah
keleluasaan
tidak banyak
pengunjung
dan bisa
pakai
fasilitas
maksimal
Nyaman
adalah bisa
tertairk
kembali
berwisata ke
pacet
Nyaman dan
aman karena
fasilitas
lengkap
Nyaman dan
aman dalam
berwisata
ketika
seluruh
kebutuhan
wisatawan
terakomodir
Nyaman
adalah bikin
betah dan
ingin
kembali
bersepeda
nyaman itu
dimana
orang tua
juga bisa
berekreasi
berkegiatan
ketika antar
anak
bermain
Untuk kenyamanan berwisata
memang fasilitas yang ada saat ini
belum sepenuhnya mendukung
terutama fasilitas berbelanja yang
membikin wisatawan betah dan
akan kembali lain waktu. Untuk
keamanan, warga kampung
setempat sudah turut berpartisipasi
dengan menjaga ketertiban
2
Aspek Pertanya-
an kunci
Wisatawan 1 Wisatawan 2 Wisatawan 3 Wisatawan 4 Wisatawan 5 Wisatawan 6 wisatawan 7 Kesepakatan Partisipan dalam
FGD
c Nyaman
harus punya
sarana
prasana
pendukung
Perlu
meramaikan
titik area
yang sepi
Perlu
pengelolaan
yang baik
dan wahana
wisata
beragam
Perlu
melihat
kelestarian
view alami,
kesejukan
area
Pembanguna
n jalur
bersepeda
gunung yang
tidak
mengganggu
moda
angkutan
lainnya
menyediaka
n jalur
khusus
bersepeda
gunung
mungkin
akan lebih
nyaman dan
aman bagi
pengguna
jalan lainnya
Fasilitas
yang
menunjang
untuk
wisatawan
tetap
berlama
lama
meskipun masih terdapat beberapa
kasus criminal kecil
Kegiatan
rekreasi
a Menikmati
jajanan
pinggir jalan
Berbelanja
oleh-oleh
disepanjang
jalan
Berbelanja
ke tengkulak
sekitar
sawah ketika
panen
Tidak ada
rekreasi
diluar obyek
wisata
Bersepeda
gunung,
nongkrong
pinggir jalan
menikmati
musim
durian dan
view alami
pacet
bersepeda,
melepas
lelah
dipinggir
sawah
sambil
melihat view
bersama
komunitas
Menikmati
jajanan
pinggir jalan
Masyarakat lokal mengharapkan
dan akan senang dapat berinteraksi
dengan wisatawan, terutama
masyarakat desa wisata yaitu
Padusan yang memiliki antusias
pengembangan masyarakat di
bidang pariwisata. Kegiatan diluar
obyek wisata sangat diminati oleh
wisatawan saat ini, dapat dilihat
banyak wisatawan yang berjalan
kaki menikmati alam menuju
wanawisata padusan
b Pemandanga
n alam
Jogging
track untuk
penghuni
villa, area
istirahat
sambil
menikmati
hawa sejuk
Wisata
pendidikan
tentang
alam, atraksi
yang pro
alam
Sediakan
area terbuka
untuk
menikmati
alam dan
hawa sejuk
Rekreasi
bersepeda
gunung,
berinteraksi
dengan
petani ketika
bercocok
tanam,
keliling area
dengan
berjalan juga
atraksi
Bersepeda
gunung,
menikmati
view hutan
berkabut,
walking
trek, bertani
bersama
petani, dan
lainnya
Wisata
kuliner,
berbelanja,
juga tertarik
untuk
berkebun/be
rtani
memanen
telo pacet
Aksesibilitas
dan sirkulasi
a Sangat
aksesible,
kondisi
cukup baik
Sangat
aksesible,
kondisi baik
Tidak
aksesible
Sangat
aksesible,
kondisi baik
Sangat
aksesible,
kondisi baik
Sangat
aksesible,
kondisi baik
Sangat
aksesible,
kondisi baik
Untuk aksesibilitas menuju
kawasan Pacet memang mudah,
namun akses lokal memiliki
permasalahan utama terkait lebar
3
Aspek Pertanya-
an kunci
Wisatawan 1 Wisatawan 2 Wisatawan 3 Wisatawan 4 Wisatawan 5 Wisatawan 6 wisatawan 7 Kesepakatan Partisipan dalam
FGD
b Akses yang
ada sudah
mempermud
ah
Akses yang
longgar
bebas
hambatan
Jalan yang
baik, lebar
dan bebas
PKL
Akses
leluasa,
perlu
pemisah
pejalan kaki
dan
kendaraan
bermotor
Askes yang
mengakomo
dasi
kenyamanan
semua
angkutan
yang melalui
termasuk
becak,
motor,
sepeda, bus,
truck
Perlu akses
bersepeda,
jalan yang
lebar bebas
hambatan
Perlebar
jalan dan
memberikan
kenyamanan
bagi semua
angkutan
jalan dan kemacetan ketika puncak
liburan khususnya di ruas jalan
pertigaan Pacet menuju padusan
dan trawas. Sehingga perlu akses
alternative yang sebenarnya sudah
ada tinggal dikembangkan yakni di
Desa Celaket
c Jalur sempit
satu-satunya
jalur
Masih bisa
dilalui
kendaraan
roda 4
Masih bisa
dilalui
kendaraan
roda 4
Jalur sempit
ditambah
hambatan
parkir tepi
jalan
Jalur sempit
ditambah
hambatan
parkir tepi
jalan
Tidak ada
kesulitan
Tidak
kesulitan
akses,
sirkulasi
yang
semrawut
d Hanya ada
satu akses
Hanya ada
satu akses,
perlu
alternative
akses
Hanya ada
satu akses
Hanya ada
satu akses,
perlu
alternative
akses
Hanya ada
satu akses,
perlu
alternative
akses
Hanya ada
satu akses
Hanya ada
satu akses
Parkir a Sudah
tersedia
Sudah
tersedia
Kurang luas,
sempit,
berjubel
Tidak layak,
belum ada
peneduh,
Sudah
tersedia
cukup baik
Sudah
tersedia
namun tidak
layak
Tidak layak,
memaksaka
n lahan
Parkir didalam obyek wisata
memang bukan kewenangan
pemerintah atau warga, tapi pihak
swasta sebagai pengelola.
Sehingga jika memang tidak layak
maka pengelola perlu
memperbaiki, dan warga dengan
senang hati sharing profit untuk
usaha parkir komunal jika memang
akan dibangun. Pembangunan
parkir komunal harus
disosialisasikan ke masyarakat .
untuk lahan bisa ditempatkan
b Belum
nyaman dan
aman
Tidak
nyaman
karena
lokasi
sempit
Belum
nyaman dan
aman
Belum
nyaman dan
aman
Belum
nyaman dan
aman
Belum
nyaman dan
aman
Belum
nyaman dan
aman
c Desain
standar asal
nyaman
Perlu parkir
komunal
untuk rest
area juga,
Perlu lahan
luas, dan
jalan lebar
serta koridor
Perlu parkir
komunal
untuk rest
area juga,
Perlu parkir
komunal
terutama
diluar
perlu ada
parkir
komunal
terutama di
Perlu parkir
komunal
untuk
kendaraan
4
Aspek Pertanya-
an kunci
Wisatawan 1 Wisatawan 2 Wisatawan 3 Wisatawan 4 Wisatawan 5 Wisatawan 6 wisatawan 7 Kesepakatan Partisipan dalam
FGD
desain
standar
peneduh desain
standar
obyek,
dikususkan
untuk
wisatawan
yang butuh
rest area.
Desain
standar
sekitar
pertokoan
alfamidi
besar saja didekat obyek wisata ubalan atau
desa Pacet. Untuk desain harus
dibuat senyaman mungkin juga
untuk mengakomodasi wisatawan
yang ingin beristirahat sejenak dan
tidak meperburuk sirkulasi
kendaraan wisatawan.
RTH a Tidak ada
RTH
Pernah,
berupa hutan
Tidak ada
taman,
pernah
menggunaka
n RTH
berupa hutan
Tidak ada
taman,
pernah
menggunaka
n alam
bebas
Tidak ada
taman,
menggunaka
n jalan
pinggir
sawah
Tidak
pernah
Tidak
pernah
Tidak ada taman yang melayani
Kecamatan pacet saat ini sehingga
ada wacana dari pemkab untuk
mengkosongkan bangunan di pusat
Desa pacet sebagai taman/ ruang
terbuka. Konsep taman harusnya
bisa mewadahi kegiatan sosial dan
budaya masyarakat Pacet. Dan
juga dapat dihubungkan dengan
atraksi wisata tambahan. Karena
selama ini tidak ada ruang untuk
warga berekspresi, padahal budaya
masyarakat Pacet sudah dikenal
tingkat regional.
b Minimal ada
lahan untuk
beristirahat
menikmati
alam terbuka
Berupa
taman atau
area piknik
yang
bersentuhan
dengan alam
RTH yang
didalamnya
terdapat
fasilitas
bermain
modern
Ruang
terbuka yang
bisa
dinikmati
view alami
dan istirahat
Ruang
terbuka
hijau yang
bisa
berfungsi
untuk rest
area baik
untuk
wisatawan
ataupun
pesepeda.
taman untuk
beristirahat
komunitas
sepeda,
wisatawan,
dan parkir
komunal
Ruang untuk
beristirahat
sambil
menikmati
kuliner atau
berbelanja
oleh- oleh.
Jalur
Pedestrian
a Pernah,
untuk
bersantai
sejenak
Tidak
pernah
Belum
pernah
Tidak
pernah
Pernah,
untuk
bersantai
sejenak
Pernah
untuk
beristirahat
setelah
bersepeda di
pagi-siang
hari
Pernah,
untuk
bersantai
sejenak
Jalur pedestrian saat ini memang
belum maksimal, rencana pemkab
akan menertibkan PKL di jalan
raya pacet dan akan direlokasi di
lahan food court. Namun
permasalahannya, lahan food court
saja tidak banyak dikunjungi
karena posisi bangunan yang tidak
strategis dan menyulitkan
pengunjung. Jalur pedestrian
diharapkan dapat menjangkau
b Jalur
pedestrianPe
destrian
cukup bagus
Jalur
pedestrian
cukup baik,
perlu
Jalur
pedestrianPe
destrian
cukup bagus
Jalur
pedestrianPe
destrian
cukup bagus
Pedestrian
way
digunakan
untuk PKL,
Jalur
pedestrianPe
destrian
cukup bagus
Jalur
pedestrianPe
destrian
cukup bagus
5
Aspek Pertanya-
an kunci
Wisatawan 1 Wisatawan 2 Wisatawan 3 Wisatawan 4 Wisatawan 5 Wisatawan 6 wisatawan 7 Kesepakatan Partisipan dalam
FGD
tapi tidak
berfungsi
semestinya
penyediaan
di area
pertigaan
ubalan ke
atas, daerah
villa
tapi tidak
berfungsi
semestinya
tapi tidak
berfungsi
semestinya,
perlu jalur
pedestrian
diseluruh
ruas jalan
terlalu
sempit
sehingga
tidak tertarik
untuk
berjalan kaki
di pedestrian
way
tapi tidak
berfungsi
semestinya
tapi tidak
berfungsi
semestinya,
perlu jalur
pedestrian di
seluruh ruas
jalan
seluruh obyek wisata untuk
memudahkan pejalan kaki dalam
mengakses obyek wisata terdekat
tanpa perlu berkendara. Jika
memang penelitian ini memiliki
konsep penataan jalur pedestrian
maka yang lebih utama adalah
jalur pedestrian di lokasi Desa
Padusan yang belum tersedia,
padahal dibutuhkan untuk
pengunjung villa yang biasa
berjalan kaki menuju wana wisata
padusan.
c Harus
diperlebar,
untuk
keteduhan
pohon cukup
Jalur
pedestrian
yang aman
Jalur
pedestrian
yang aman
dan nyaman,
membuat
pejalan kaki
tertarik
Jalur
pedestrian
yang aman
dan nyaman,
membuat
pejalan kaki
tertarik
Desain yang
menarik
untuk
digunakan,
teduh,
leluasa
Desainnya
yang unik
mencermink
an wisata
alam pacet,
harus
dilebarkan
Jalur
pedestrian
yang layak,
lebar, tidak
licin, dan
teduh
xiv
BIODATA PENYUSUN
Penyusun dilahirkan di Surabaya, 02 September 1989,
merupakan anak pertama dari 3 (tiga) bersaudara. Penulis telah
menempuh pendidikan/sekolah formal yaitu di TK Santi Puri-
Sidoarjo, SDN Sidodadi II- Sidoarjo, SMPN 3 Krian, dan SMA
Khadijah- Surabaya. Riwayat pendidikan tinggi penyusun diawali
dengan mengikuti SPMB dan diterima di Program Studi
Perencanaan Wilayah dan Kota – Fakultas Teknik Sipil dan
Perencanaan – Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS)
Surabaya pada tahun 2007 dan lulus pada tahun 2011. Selepas
kuliah Strata 1 (S1) penyusun aktif bekerja di perusahaan jasa
konsultan teknik bidang perencanaan tata ruang kota selama 2
tahun. Semasa bekerja, penyusun tergolong aktif terlibat dalam proyek-proyek
perencanaan tata ruang dari berbagai instansi di berbagai daerah di Provinsi Jawa Timur.
Pada tahun 2013 penyusun mengikuti program beasiswa DIKTI BPP-DN untuk calon
dosen dan diterima di Institut Teknologi Sepuluh Nopember sebagai mahasiswa Jurusan
Teknik Arsitektur Bidang Keahlian Perancangan Kota. Penulis mempunyai ketertarikan
pada bidang perancangan dan pengembangan kawasan pariwisata alam sehingga
mendorong penulis untuk menuangkannya dalam tesis.