test 1

14
E d i s i 1 / T a h u n I / J u l i 2 0 1 2 IDENTITAS DALAM TOTALITAS Cunong Nunuk Suraja Wahyudimalamari Khrisna Pabichara Yusuf Nugraha Vivi Yulianti Jiwang Muhtadin Altruis Jojo Online

Upload: kopi-sastra

Post on 26-Mar-2016

217 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

only test for majalah online

TRANSCRIPT

E d i s i 1 / Ta h u n I / J u l i 2 0 1 2

IDENTITAS DALAM TOTALITAS

Cunong Nunuk Suraja

WahyudimalamariKhrisna Pabichara

Yusuf NugrahaVivi YuliantiJiwang MuhtadinAltruis Jojo

Online

Ilustrasi sampul depan: Topeng karya Wahyudimalamhari

Online

Edisi 1 / Tahun I / Juli 2012Online

Cunong Nunuk Suraja

Redaksi Majalah Online terbuka dalam segala bentuk komunikasi berupa tegur sapa, kiriman karya, liputan kegiatan, komunitas sastra/budaya (regional/kampus/sekolah), pengajuan pemasangan Iklan Pustaka Budaya maupun Iklan Umum Komersil melalui surel ke [email protected], atau pesan pada https://www.facebook.com/kopisastra

WANGI

ULAS

TOKOH

LEGIT

LIMUN

TUNAS

Pemimpin Redaksi-Penanggung Jawab: Presiden Kopi Sastra Wakil Pemimpin Redaksi: Celoteh Jincurichi Pengumpul Naskah: Celoteh Jincurichi, Helmy Fahruroji, Havid Yazid Al Gifari, Hermawan Boat, Nugraha A. Baesuni Editor: Arif Sufyan, Indri Guli, Sanghitam Peliput Berita: Doni Dartafian A., Indra Nugraha, Rahmat Halomoan, Agus Arifin Pemotret: Hady Alvino. Sekretaris: Tidy Yulistina Andriani. Perancang Grafis dan Tata Letak: Wahyudimalamhari Ilustrasi Gambar: Wahyufimalamhari, Linda Umamah, Doni Hyoujin. Distribusi: Celoteh Jincurichi, Miftahul Falah. Iklan dan Keuangan: Nugraha A. Baesuni, Presiden Kopi Sastra, Qustan Sabar. Surel Redaksi: [email protected]

Edisi 1 / Tahun I / Juli 2012Online

KUASA MAKNA ATAS PUISI-PUISI TIGA PENYAIR MENGUAK SAPARDI DJOKO DAMONO

Cunong Nunuk Suraja

AwalanDalam buku Seno Gumira Ajidarma (2008) Kentut Kosmopolitan dikatakan bahwa inilah celakanya hidup di dunia yang terbentuk oleh makna, kare n a d a lam pro se s pe mbe rmakn aan berlangsunglah pertarungan antar makna untuk menggapai kuasa. Sedangkan kuasa atas makna, tak lebih dan tak kurang adalah suatu kibul. Makna memang begitu pluralnya sehingga tiada satu pun kuasa atas makna dapat diterima sebagai penafsiran absolut.

. . . karena hegemoni makna sebetu lnya juga merupakan konstruksi bersama. Tidak datang hanya dari negara, tapi juga boleh para penerimanya, sehingga ketika administrasi kuasa berganti , sebenarnya tidak berarti konstruksi yang tercokolkan dalam internalisasi berpuluh tahun itu berganti.

Dalam hal memaknai kuasa m a k n a t e r s e b u t d a p a t menyangkut pada lawan makna homogenitas pada heterogenitas yang oleh Seno Gumira Ajidarma diisyaratkan sebagai bukan satu-satunya penyebab membedakan kebudayaan urban dengan kebudayaan tradisional yang

Edisi 1 / Tahun I / Juli 2012Online

seolah-olah menjadi lebih mudah disiasati karena dalam homogenitas pun setiap anggota masyarakat tidak mungkin menjadi individu yang sama dan sebangun dengan lainnya, sehingga berbagai macam klasi f ikasi perbedaan masih mungkin dilakukan. Berangkat dari memaknai kuasa homogenitas dan heterogenitas dapat dihubungkan dengan tesis Nirwan Dewanto (2010) tetang puisi yang sangat mungkin kata-kata berjuang untuk tidak mengatakan apa-apa. Tetapi p u i s i m u s t a h i l m e n c a p a i kekosongan semacam itu, sebab kata terlanjur punya arti yang dibaku-bekukan oleh kamus dan wicara umum. Puisi, dengan begitu selalu menjaga tegangan antara arti dan kekosongan. Jika penyair tahu bahwa ia mustahil mencapai keadaan nirarti, nirrupa atau nirsuara, maka ia selalu terus memperlihatkan usaha ke arah sana – usaha yang mungkin sia-sia, tetapi y a n g b e l u m t e n t u t i d a k bermakna.Puisi adalah nyanyi sunyi, untuk mengutip judul kumpulan sajak Amir Hamzah. Sebuah paradoks: bahwa untuk mencapai sunyi, kita memerlukan nyanyi; atau, untuk bernyanyi, kita harus sedekat mungkin dengan sunyi. Kekosongan, atau kesunyian, adalah tujuan terjauh yang harus dicapai penyair, ketika bahasa selalu m e n j a d i p e n j a r a b a h a s a .

Ketika berhenti di sini, yakni pada sebuah sajak Sapardi Djoko Damono, kita mengerti ada yang telah musnah: beberapa patah kata yang segera dijemput angin begitu diucapkan dan tak sampai kepada siapa pun. ... kita menjalani sebuah paradoks dengan sukarela – yaitu mengerti tentang ketidakberartian: ada beberapa patah kata, siapa pun yang mengucapkannya, mungin 'ia' sendiri, mungkin mereka, mungkin kita, yang tak sampai ke siapa pun; namun kita juga mengerti bahwa anginlah yang menjemputnya. Tidak juga penting tentang apa isi kata-kata itu, juga ke mana beberapa patah kata itu pergi, tetapi, ia, juga kita, sepenuhnya paham, meski si ia tak menceritakan apa pun, misalnya saja lanskap apa yang dilihatnya di sini, atau apa pula perasaannya; bersama ia, kita maklum bahwa kata-kata mengelak dari beban arti, dari tangkapan siapa pun yang hendak menundukkannya sebaga alat komunikasi. Pada sisi lain Suminto A. Sayuti (2010) menandai bahwa elemen yang secara spontan bergegas keluar dari sudut paling rahasia dari personalitas diri tersebut menjatuhkan warna unik pada apa yang diciptakannya. Lanskap, deskripsi, pemetaan dan pilhan atmosfer puisi, kadang bahkan menjungkirbalikkan entensi sadarnya secara subtil. Tentu, juga menjungkirbalikkan intensi sadar

Edisi 1 / Tahun I / Juli 2012Online

sadar dan persepsi kita sebagai pembaca. Penyair (Sapardi Djoko Damono) pun memil ih dan menetapkan suatu makna atau simbolisme, yang dalam sejumlah hal tidak serupa dengan gagasan kita, tetapi seringkali secara substansial, malah bertabrakan. Lebih jauh Sunu Warsono (2010) mengungkapkan bahwa dapat dipahami bahwa sajak imajis tidak bertolak dari atau tersusun berdasarkan ide atau gagasan tertentu yang telah jelas dalam benak si penyair sehingga kata-ka ta hanya had i r sebaga i kendaraan untuk menyampaikan ide, gagasan, atau suatu tesis tertentu. Kata-kata yang muncul lebih sebagai unsur yang bersama-sama membentu imaji (gambar) y a n g u t u h .

Gambar itu pada dasarnya adalah dunia kata yang tersusun melalui kata-kata yang dipilih penyair. Dalam konteks itu, kata-kata lebih berperan sebagai pendukung pembaca dengan dunia kata atau dunia intusisi penyair. Hal ini didukung oleh pendapat Sapardi Djoko Damono (1983) bahwa kata-kata adalah segalanya dalam puisi. Kata-kata tidak sekedar berperan sebagai alat yang m e n g h u b u n g k a n p e m b a c a dengan ide penyair, seperti peran kata-kata dalam bahasa sehari-hari dan prosa pada umumnya, t e t a p i s e k a l i g u s s e b a g a i pendukung imaji dan penghubung pembaca dengan dunia intusisi penair. Meskipun peranannya sebagai penghubung tak bisa dilenyapkan, namun yang utama adalah sebagai obyek yang mendukung imaji. Hal inilah yang membedakannya dari kata-kata dalam bukan puisi. Tesis-tesis ini sangat berseberangan dengan kredo Sutardji Coulzum Bachri yang membebaskan kata dari beban makna, ide dan penjajahan pengertian dan dimaknai kata-kata boleh bebas ber jumpal i tan membelah dan bergabung semau-maunya.

“Hal ini didukung oleh pendapat Sapardi Djoko Damono (1983) bahwa k a t a - k a t a a d a l a h segalanya dalam puisi.”

Edisi 1 / Tahun I / Juli 2012Online

MataJaman Sekumpulan Sajak Tiga Penyair Menguak Sapardi Djoko Damomo

Dengan kulit buku berwarna kelam besuasana mistis sosok tangan kiri menggengam buah apel berwarna hijau menyarankan sebuah ingatan akan bencana turunnya manusia pertama ke bumi dari sorga tetapi sosol tangan kanan menjulur melampaui margin buku dan muncul di kulit buku bagian belakang menggegam pangkal batang yang mungkin pedang, golok ataupun pentungan. Ketiga penyair yang sengaja menguak Sapardi Djoko Damono dalam lirik imajis dan berbekal runutan tradisi pantun yang tertemukan dalam nafas puisi Indonesia moderen telah dirintis Amir Hamzah, Chairil Anwar hingga ke tongkat estafet kepenyairan Afrizal Malna dan Joko Pinurbo, tercatat nama Budhi Setyawan, Jumari HS dan Sosiawan Leak yang berdomisili pada kota yang berbeda dan latar belakang kehidupan yang beragam. Buku Kumpulan Puisi MataJaman ini lahir tanpa angka tahun.

Berbekal keraguan titi mangsa kelahiran buku ini dari kawah penerbitan masih dirancukan lagi dengan tanpa titi mangsa pada puisi-puisi Budhi Setyawan kecuali beberapa puisi Sosiawan Leak y a n g t e r b e n t a n g a n t a r a 2004–2009 dan Jumari HS pada rentang 1999–2010. Dapat diduga buku ini terbit pada tahun 2011 atau 2012. Masa-masa yang cukup hinggar berbagai kelompok penyair memunculkan antologinya mulai dari Senandung Bandung, Radja dan Ratoe Ketjil, Negeri Poci hingga Puisi Mbeling 2012: Suara-s u a r a y a n g D i p i n g g i r k a n .

Edisi 1 / Tahun I / Juli 2012Online

Sebuah gairah penciptaan yang dipicu semaraknya teknologi informatika dalam wujud pertemanan Facebook. Tak heran posisi tempat tinggal ketiga penyair ini juga di tiga kota. Ketiganya mencoba menguak Sapardi Djoko Damono yang telah dimitoskan sebagai penyair liris-imajis walaupun oleh Nirwan Dewanto (2010) diposisikan sebagai titik tengah diantara penyair Pujanggga Baru, Angkatan 45 dan penyair yang datang kemudian setelah tahun 2000. Tradisi syair yang bernama pantun dan yang dari barat dikenal dengan sebutan sonet(a) menjadi ciri pokok perkembangan puisi-puisi moderen Indonesia setelah perang dunia.

Dari ketiga penyair yang mencoba menguak mistei kepenyairan Sapardi Djoko Damono dengan gaya liris dan bentuk sonet(a) dan pantun-syair moderen, Budhi Setyawan yang paling setia dengan bentuk kwatrin yang dapat dilacak dari puisi Sapardi yang terkumpul pada Mata Jendela (2010)

TANGAN WAKTU

selalu terulur ia lewat jendelayang panjang dan menakutkanselagi engkau bekerja, atau mimpi puntanpa berkata suatu apa

bila saja kautanya: mau apaberarti terlalu jauh kau sudah terbawasebelum sungguh menjadi sadarbahwa sudah terlanjur terlantar

belum pernah ia minta izinmemutar jarum-jarum jam tuayang segera tergesa-gesa saja berdetaktanpa menoleh walau kauseru

selalu terulur ia lewat jendelayang makin keras dalam pengalamanmengarah padamu tambah tak tahumemegang leher bajumu

1959

Bandingkan dengan sajak Budhi Setyawan.

Di Luar Wilayah

kupu-kupu berlari mendaki perbukitan anginlembut jejaknya nampak di kening senjalampu berjalan sendiri di jalanandi antara hiruk pikuk jengkerik

kemasan manis dunia terlalu banyak menipusebab isi tak sesuai mereknyamenerkam letupan hasrat untuk menjajahwilayah di luar kehendak makhluk

cerita bersambung di bawah tekananudara dingin panas bergelayutankeringat semut mnempel di daun nilakehidupan sarat mengandung tanda baca

Edisi 1 / Tahun I / Juli 2012Online

Budhi Setyawan mencoba merunut kwatrin dengan pola sampiran pada pantun yang oleh Chairil Anwar sudah ditilik Nirwan Dewanto (2010) dengan mengambil bentuknya tapi diperluas bukan pada baris tetapi pada bait demi bait. Perhatikan bait pertama sajak Budhi Setyawan yang memotret alam dapat disama-sejajarkan sebagai sampiran dalam pantun demikian juga kecenderungan puisi Sapardi Djoko Damono yang tampaknya lebih disiplin menempatkan potretan alamnya sebagai sampiran.

selalu terulur ia lewat jendela

yang panjang dan menakutkan

selagi engkau bekerja, atau mimpi pun

tanpa berkata suatu apa

selalu terulur ia lewat jendela

yang makin keras dalam pengalaman

mengarah padamu tambah tak tahu

memegang leher bajumu

Sajak Budhi Setyawan yang lain dapat juga disandingkan di sini seperti Betapa Ku Takjub (h. 8), Pengejaran (16), Terbit Cahaya (h. 18), Yang Mengepung Kota (h. 23), Bulan Ikan (33), dan Sangkan Paran Puisi (38). Sisa sajak yang lain beragam bentuk dicova walau tak juga meninggalkan kesan lirik dan sampirab pantun pada bait-bait yang memotret keadaan situasai alam atau di luuar tuubuh penyair.

Perhatikan salah satu bentuk soneta dalam kumpulan puisi Sapardi Djoko Damono Kolam (2009) berikut:

Edisi 1 / Tahun I / Juli 2012Online

URAT DAUN

/1/ia pernah ingin sekali tahusiapa yang menyisipkan selembar daundi sela-sela halaman buku(yang penuh dengan catatan kaki)di antara halaman 89 dan 90yang sampai hari inibelum juga selesai dibaca

/2/ia pernah ingin sekali bertanyamengapa daun itu tetap hijaudan tidak hanya tinggal uratyang bentuknya mengingatkannyapada ambang pohon kehidupan

/3/ia pernah ingin sekali menutuptelingat dan mulutnya rapat-rapat

Bandingkan dengan soneta Jumari HS berikut:

DI ATAS PERAHU

Di atas perahu kecil Pada luasnya lautDi mataku ikan-ikan itu bersembahyangDan cakkrawala mentakbrkan asma Mu

Di angkasa,Camar-camar berlintasanOmbak pun berdebur di dadaDan pencarianku menemukan sayap malaikatMenerbangkan jiwa ini ke langit cinta

Di atas perahu kecilPada luasnya lautaku hanyyalah rintk gerimisDi musim kemarau: Menggelepar dalam rindu!Kudus, 2010

Edisi 1 / Tahun I / Juli 2012Online

Dengan pola soneta yang terbatasi pada 14 baris peyair yang mencoba mnguak kemiterian penciptaan soneta Sapardi Djoko Damono tergelincir pada baris ke limabelas seperti pada sajak Tembang Bagi Istri (h. 46), dan Hujan di Brunei (h. 52). dan sebuah puisi yang selintas nampak seperti hitungan soneta dengn 14 baris:

SAJAK BUAH KULDI

Kutemukan sisa tubuhmuDi antara kursi-kursi pejabat yang menjumawaDan aromanya begitu menyengat, mengundang tikus-tikusMengerumuni, lalu melahap tanpa peduli ketiaknyaMenciptakan mimpi buruk di negeri ini

Di mana-mana,Bahkan di hotel-hotel tubuhmuMembuat lapar dan hampir setiap orang mengunyahnyaDalam gairah, segairah kemarau panjangMembakar hutan-hutan pulau-pulau bahkan cintaSampai sungai mengalir gelisahSampai laut bergelombang dendam!

Kutemukan sisa tubuhmuAku termangu memandangi kekalahan-kekalahan!

Sesuatu yang menyaran dalam sajak ini hanyalah kesan tentang buah kuldi dengan ungkapan:Bahkan di hotel-hotel tubuhmuMembuat lapar dan hampir setiap orang mengunyahnya

Tetapi ungkapan ini terasa kering imaji yang dtimbulkan walau adda gaung tentang penciptaan dosa pertama manusia hingga terusir dari sorga. Lalu apa yang dicapai dengan: Aku termangu memandangi kekalahan-kekalahan!

Mampukah penyair kedua ini mengak ketokohan Sapardi Djoko Damono dalam bentuk-bentuk kreatif sonetanya? Ternyata penyair ini sudah m e n c o b a m e n s o n e t a k a n gagasannya walau kekuarang baris maupun kelebihan baris dari 14 blas yang disyaratkan sebagao soneta.

Edisi 1 / Tahun I / Juli 2012Online

Penyair ketiga Sosiawan Leak adalah penyair yang mencoba menguak Sapardi Djoko Damono pada sisi puisi prosa lirisnya. Kemauan enyair bercerita menjadikan sajaknya tidak bernyanyi liris tetapi lebih memprosa bahkan seandainya dijadikan cerita pendek atau novel yang lebih terbuka rentang enginderaan imaji kreatifnya. Simak kutipan berikut:

PERTEMPURAN BAPAK IBU

sudah lama bapak an ibu bermusuhanmereka saling mengumpat di meja makandi hadapan ayam panggangikan bakar dan sayur mayur yang dibeli di jalananjuga buah-buahan import usai gajiansembunyi-sembunyimeeka saling tamparsaat berebut antri ke kamar mandilantas adu muut, adu bdan hingga gedabigan di kamarmeski tidak sedang bermesraan

sudah lama bapak dan ibu pisah ranjang saling mengarang keburukanbagi musuhnyasmbil menjaring simpati kamimemasang spanduk, poster dan panji-panjidi jalanan, perempatan dan gang-gangsamping kamarmengobral janji dimkoran dan televisisambil memberi ongkos jajan dan uang sekolah kamimeninabobolan dengan dongeng perdamaianmengajarkan budi pekertietika dan doa, sembari tetap bermusuhan

sudah lama bapak dan ibu melamar perceraiantapi tak pernah kesampaiansebab biayanya terabaikanoleh pajak listrik, telepon, air minum dan belanja harianhingga rumah, hanya jadi medan pertempurandan kami, cuma menjelma angkauntuk membilang kemenanganpelangi-mojosongo, solo2009

Edisi 1 / Tahun I / Juli 2012Online

Bandingkan dengan sajak Sapardi Djoko Damono yang menguat dalam karakterisasinya walau tak mengabaikan prosa liris dan imajisnya.

POHON BELIMBING

Sore ini kita berpapsan dengan pohon belimbing wuluh yang kita tanam di halaman rumah kita bebrapa tahun yang lalu, is sedang berjalan-jalan sendirian di trotoar. Jangan kausapa, nanti ia bangun dari tidurnya.

Kau pernah bilang ia tidak begitu nyaman sebenarnya di pekarangan kita yang tak terurus dengan baik, juga karena konon ia tidak disukai rumput di sekitarnya yang bosan menerima buahnya berjatuhan dan membusuk karena kau jarang memetiknya. Kau, kan, yang tak suka sayur asem?

Aku paham, cinta kita telah kausayur selama ini tanpa belimbing wuluh. Demi kamu, tau! Yang tak bisa kupahami adalah kenapa kau melrangku menyapa pohon itu ketika ia berpapasan dengan kita di jalan. Yang tak akan mungkin bisa kupahami adalah kenapa kau tega membiarkan pohon belimbing itu berjalan dalam tidur?

Kau, kan, yang pernah bilang bahwa pohon itu akan jadi tua juga akhirnya?

Tengoklah bagaimana Sapardi Djoko Damono mengadkmimaji dan gagasan pohon belimbing menjadi pertengaran suami istri seperti yang dilakukan Sosiawan Leak walau tak segaduh melempar-lemparkan perabotan rumah tanga dalam pertempuran dakam rumah sepasang suami istri yang bertengkar.

Edisi 1 / Tahun I / Juli 2012Online

Simpulan

Ketiga penyair itu dengan jurus masing-masing telah menguak Sapardi Djoko Damono dalam tiga jurus lihai yang dikuasai secara mumpuni. Apalagi jika ketiganya tega mengulik misteri puisi Goenawan Mohamad yang juga mempunyai sisi lirik dalam warna yang beda bukan titik tengah perpuisian moderen Indonesia dari gerakanan pantun klasik Chairil Anwar yang termoderenkan dengan keleluasaan dalam membebaskan aturan beku-baku syair maupun pantun. Milik Goenawan tentu akan lebih rumit itu dijejaki kecuali melalu sajak-sajak Sosiawan Leak dan beberapa milik JumariHS maupun Budhi Setyawan.

Bogor, Mei ke 24, 2012

Cunong Nunuk Suraja lahir di Yogyakarta,9 Oktober 1951. Kini pengajar Intercultural Communication di FKIP - Universitas Ibn Khaldun Bogor. Menulis thesis tentang Puisi Digital untuk S2 di FIB-UI jurusan Susastra 2006. Karyanya yang pernah dipublikasikan: Bulak Sumur – Malioboro. (Antologi Puisi Bersama). 1975. Yogyakarta: Dema UGM, Lirik-lirik Kemenangan. (Antologi Puisi Indonesia). 1994. Yogayakarta:

Taman Budaya Propinsi DIY, Antologi Puisi Indonesia 1997. (Antologi Puisi Bersama). 1997. Bandung: Komunitas Sastra Indonesia dan Penerbit Angkasa Bandung, The American Poetry Annual. 1996. New York: The Amherst Society, The Lasting Joy, The national Library of Poetry. 1998. Owings Mills: The National Library of Poetry, The Chorus of the Soul, The International Library of Poetry. 2000. Owings Mills: The International Library of Poetry, Graffiti Gratitude. (Antologi Puisi Cyber). 2001. Bandung: Yayasan Multimedia Sastra dan Penerbit Angkasa Bandung, Pasar Kembang, Yogyakarta dalam sajak. (Antologi Puisi Bersama). 2001. Yogyakarta: Komunitas Sastra Indonesia Yogyakarta, Graffiti Imaji. (Kumpulan Cerpen Pendek). 2002. Jakarta: Yayasan Multimedia Sastra dan Penerbit Damar Warga, Les Cyberlettres (Antologi Puisi Cyberpunk). 2005. Jakarta: Yayasan Multimedia Sastra, Mekar di Bumi. (Visiografi Eka Budianta). 2006. Jakarta: Pustaka Alvabet, Jogja 5,9 Skala Richter (Antologi Seratus Puisi). 2006. Yogyakarta: Penerbit Bentang