the meaning of educational change

30
The Meaning Of Educational Change Pembahasan chapter 3 dengan judul The Meaning of Educational Change, atau makna perubahan pendidikan. Pada bab ini Fullan memfokuskan pada empat bahasan. Pertama, Permasalahan Umum dari makna perubahan individu di masyarakat. Kedua, makna subjektif dari perubahan diantara individu di bidang pendidikan. Ketiga, makna objektif dari perubahan pendidikan dan keempat, implikasi realitas objektif dan subjektif untuk memahami perubahan kependidikan. Dalam makna subjektif ditemukan, ‘tekanan’ kelas bagi guru dan siswa, sekitar 200.000 pertemuan per tahunnya. tekanan multidimensionalitas dan simultanitas; adaptasi kondisi selalu berubah atau unpredictability (ketidakmampuan untuk memperhitungkan apa yang akan terjadi) (Huberman, 1983 & Crandall et. al., 1982). Dalam makna objektif dinyatakan tiga komponen program atau kebijakan: (a) materi baru atau revisi, (b) pendekatan 1

Upload: zikriguci

Post on 10-Feb-2016

6 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

The Meaning of Educational Change

TRANSCRIPT

Page 1: The Meaning of Educational Change

The Meaning Of Educational Change

Pembahasan chapter 3 dengan judul The Meaning of Educational Change,

atau makna perubahan pendidikan. Pada bab ini Fullan memfokuskan pada empat

bahasan. Pertama, Permasalahan Umum dari makna perubahan individu di

masyarakat. Kedua, makna subjektif dari perubahan diantara individu di bidang

pendidikan. Ketiga, makna objektif dari perubahan pendidikan dan keempat,

implikasi realitas objektif dan subjektif untuk memahami perubahan kependidikan.

Dalam makna subjektif ditemukan, ‘tekanan’ kelas bagi guru dan siswa,

sekitar 200.000 pertemuan per tahunnya. tekanan multidimensionalitas dan

simultanitas; adaptasi kondisi selalu berubah atau unpredictability (ketidakmampuan

untuk memperhitungkan apa yang akan terjadi) (Huberman, 1983 & Crandall et. al.,

1982). Dalam makna objektif dinyatakan tiga komponen program atau kebijakan: (a)

materi baru atau revisi, (b) pendekatan pembelajaran dan (c) kepercayaan/keyakinan

(misal, asumsi dan teori yang melandasi suatu program atau kebijakan). Sedangkan

tentang implikasi perubahan pendidikan dikatakan ada enam aspek yang dapat

diamati (a) the soundness dari perubahan yang diusulkan, (b) memahami kegagalan

perubahan yang direncanakan dengan baik, (c) petunjuk untuk memahami hakekat

dan feasibilitas suatu perubahan, (d) realitas status-quo, (e) kedalaman perubahan dan

(e) pertanyaan tentang penilaian. Hal ini akan penulis jelaskan lebih lanjut

1

Page 2: The Meaning of Educational Change

2

A. Permasalahan Umum dari makna perubahan pendidikan

Pengalaman-pengalaman baru pada awalnya selalu bereaksi dalam

konteks susunan realitas yang bisa dianggap “familiar” dimana orang harus

mampu menyertakan tujuan pribadi terhadap pengalaman tanpa

memperhitungkan betapa bermaknanya hal tersebut terhadap yang lainnya.

Marries tidak menganggap “dorongan konservatif” ini tidak sesuai dengan

perkembangannya: “Tampaknya dorongan konservatif adalah untuk

mengkonsolidasikan kemampuan dan pelengkapnya, dimana jaminan

kepemilikan menentukan jaminan untuk menguasai sesuatu yang baru.”

Perubahan bisa terjadi karena dipaksakan atas kita (melalui peristiwa

alamiah atau perubahan yang disengaja) ataupun karena kita secara sukarela

turut serta dalam atau bahkan memprakarsai perubahan ketika kita mendapati

ketidakpuasan, ketidakkonsistenan atau ketidaktoleransian pada keadaan yang

sekarang (pembahasan pada chapter II sources of educational change). Di

salah satu kasus, makna perubahan akan jarang tampak pada permulaan dan

ambivalensinya akan meliputi transisinya. Inovasi apapun “tidak dapat

diasimilasikan kecuali apabila tujuannya terbagi” (Marris, h. 121, di buku edisi

bahasa Italia).

Toffler (1970, 1980) juga mempopulerkan beberapa aspek dari

fenomena terhadap kegelisahan, tekanan dan berlebihannya informasi, sebagai

suatu akibat dari perubahan yang cepat dan tidak menentu. Masa depan

mungkin tidak terjadi pada kita, atau mungkin perubahan tidak ada dimana-

Page 3: The Meaning of Educational Change

3

mana seperti yang diklaim oleh Toffler, tetapi tidak boleh ragu bahwa hal

tentang perubahan yang sebenarnya benar-benar ada dalam pendidikan dan

dimana-mana, dan ketika muncul memperlihatkan pengaruhnya dalam

pengertian kejutan di masa depan.

Implikasi gagasan-gagasan dan prinsip-prinsip yang digambarkan oleh

Marris, Toffler dan yang lainnya sangat diperhatikan dalam hubungannya

dengan pemahaman kita terhadap perubahan kependidikan dalam dua

pengertian – yang satu berhubungan dengan tujuan perubahan, dan yang lain

mengenai proses perubahan tersebut.

Pokok dari bagian ini adalah bahwa perubahan yang sesungguhnya,

entah itu diinginkan atau tidak, entah itu mengikuti kesengajaan atau

dipaksakan, menunjukkan pengalaman kolektif dan pribadi yang serius yang

dicirikan dengan ambivalensi dan ketidaktentuan, dan apabila perubahan

terjadi dapat menimbulkan adanya pengertian penguasaan, penyelesaian, dan

perkembangan professional (sebagai contoh lihat studi kasus Huberman pada

1981). Kegelisahan terhadap ketidaktentuan dan kesenangan terhadap

penguasaan merupakan pokok tujuan subjektif dari perubahan kependidikan,

serta terhadap kegagalan atau keberhasilannya – kenyataan belum pernah

diakui atau dinilai dalam sebagian besar upaya pada pembaharuan.

B. Makna subjektif dari perubahan pendidikan

realitas subjektif kegiatan harian para guru dijelaskan oleh Jackson

(1968), Smith dan Geoffrey (1968), Lortie (1975), House dan Lapan (1978)

Page 4: The Meaning of Educational Change

4

dan Huberman (1980). Penjelasannya adalah bahwa para guru terbawa pada

pola pengajaran ‘budaya teknis’ guru ragu-ragu tentang bagaimana

mempengaruhi siswanya, khususnya tentang tujuan non kognitif, dan bahkan

para guru ragu apakah yang disampaikan memiliki pengaruhnya. Sedangkan

para siswa merupakan gabungan individu-individu  yang dipengaruhi oleh

kekuatan yang berbeda dan beragam yang tidak mungkin digeneralisasikan.

keputusan pembelajaran seringkali dibuat berdasarkan alasan pragmatis

mencoba dan gagal, dengan sedikit kesempatan untuk merefleksikan atau

berpikir secara rasional, para guru harus menghadapi kekacauan harian yang

konstan, dalam kelas pada waktu menyelesaikan konflik antarpersonal dan

disiplin, dan dari luar lingkungan kelas dalam mengumpulkan uang dari

perlombaan-perlombaan sekolah, membuat pengumuman, berhadapan dengan

kepala sekolah, orang tua, staff kantor pusat, dll. Para guru harus melewati

pekerjaan harian yang berat dan membosankan dengan upah mendapatkan

sedikit hari-hari yang menyenangkan, menjalankan kurikulum, menyampaikan

keseluruhan pelajaran, memiliki pengaruh kepada satu atau dua pribadi siswa.

Penelitian yang lain terhadap upaya perubahan menunjukkan bahwa

tidak semua guru mengalami kenyamanan. Baik Gross et.al (1971) dan

Charters dan Pellegrin (1973) dalam penelitian mereka terhadap empat kasus

dari susunan kepegawaian yang berbeda (yang terkenal hanya dua dari sekian

banyak penelitian) menemukan bahwa para guru menerima mandat (perintah)

untuk dilaksanakan kepada siswa dalam keadaan merasa kacau, frustasi,

Page 5: The Meaning of Educational Change

5

gelisah dan berusaha agar tidak tertinggal. Tetapi, para guru harus percaya

dengan melaksanakan inovasi karena inovasi adalah acts of Faith, akan

berguna dan berhasil walaupun, hasil tidak segera terlihat (House, 1974).

C. Makna objektif dari perubahan pendidikan

Orang-orang tidak memahami sifat atau percabangan dari sebagian besar

perubahan kependidikan. Mereka menjadi terlibat dalam perubahan secara

sukarela maupun tidak. Secara subjektif aspek-aspek yang berbeda ini dialami

secara menyeluruh, dengan cara yang membingungkan. Seringkali perubahan

tidak tersusun atas hal-hal yang multidimensional. Secara objektif, menjadi

mungkin untuk mengklarifikasi tujuan sebuah perubahan kependidikan dengan

mengidentifikasi dan menggambarkan dimensi-dimensi utamanya secara

terpisah. Ketidaktahuan terhadap dimensi-dimensi ini menjelaskan sejumlah

fenomena yang menarik dalam bidang perubahan kependidikan: sebagai

contoh, mengapa orang menerima suatu inovasi yang mereka tidak pahami,

mengapa sebagian aspek dari suatu perubahan diimplementasikan sedangkan

yang lainnya tidak; dan mengapa strategi perubahan mengabaikan komponen-

komponen inti tertentu. Menurut Schutz, Beeger & Luckmann Konsep realitas

objektif  ini rumit.

Kesulitannya adalah bahwa perubahan kependidikan bukan entitas

tunggal. Merupakan sebuah multidimensi tingkat tertentu. Terdapat setidaknya

tiga komponen atau dimensi yang diungkapkan dalam mengimplementasikan

kebijakan atau program baru: (1) kemungkinan digunakannya materi yang

Page 6: The Meaning of Educational Change

6

diperbaiki atau baru (sumber instruksional langsung seperti teknologi atau

materi kurikulum), (2) kemungkinan digunakannya pendekatan pengajaran

baru (yaitu aktifitas atau strategi pengajaran baru), dan (3) kemungkinan

berubahnya keyakinan (yaitu teori dan asumsi kependidikan yang mendasari

program atau kebijakan baru tertentu).

Dalam mengambil perubahan kependidikan yang lain untuk

menggambarkan signifikansi perubahan dimensi yang berbeda. Hampir setiap

program mengubah bagian atau menyatakan ketiga aspek, entah menunjuknya

pada seni, bahasa, penelitian sosial, karir pendidikan, penggunaan

mikrokomputer, Program Lanjutan atau Pionir, pendidikan khusus dan

sebagainya. Intinya adalah bahwa program perubahan pendidikan memiliki

realita objektif yang mungkin lebih atau kurang dapat didefinisikan dalam

pengertian apa yang diyakini, praktik pengajaran, dan sumber yang tercakup.

Inovasi yang merupakan seperangkat sumber dan materi adalah aspek yang

paling terlihat dari perubahan, dan yang termudah adalah memanfaatkannya,

tetapi hanya secara literal.

Singkatnya, tujuan mengetahui realita objektif dari perubahan terletak

pada pengakuan pada program dan kebijakan baru di “luar sana” dan bahwa

mungkin lebih atau kurang spesifik dalam pengertian terhadap apa yang

dilibatkan untuk materi perubahannya, praktik pengajaran dan keyakinan.

Kegentingan yang sebenarnya terjadi pada hubungan antara kebijakan-

kebijakan atau program-program baru dan ribuan realitas subjektif yang

Page 7: The Meaning of Educational Change

7

tertanam dalam konteks organisasional dan kepribadian orang serta sejarah

perorangannya. Bagaimana realitas subjektif ini ditunjukkan atau diabaikan

adalah krusial supaya perubahan potensial menjadi bermanfaat pada tingkat

keefektifan dan penggunaan individu. Mungkin cukup baik dengan mengulang

bahwa perubahan dalam praktik actual sehubungan dengan ketiga dimensi –

secara materi, pendekatan pengajaran, keyakinan – apa yang orang-orang

pikirkan dan lakukan – menentukan hasil perubahan.

D. Implikasi realitas objektif dan subjektif

Implikasi objektif dan subjektif dari pengimplementasian perubahan

yang sebenarnya, tidak ada cara lain yang bahkan suatu bagian dari perubahan

yang sedemikian jelas bisa diimplementasikan. Seluruh program yang baru

mungkin tidak sepenuhnya diimplementasikan, dan tidak dapat dikembangkan

pada poin yang menjadi berguna. Dan apabila demikian, mungkin didapati

bahwa sebagian tidak wajar, gagasan yang tidak ada gunanya pada urutan yang

pertama. Nasehat yang baik untuk memelihara kesehatan berpikir ketika

perubahan tampak tidak dapat dipahami. Pembicaraan yang aneh atau strategi

yang berubah? Terkadang sulit untuk melihat perbedaannya.

Versi yang kedua tentang ketidakotentikan perubahan berhubungan

dengan kebijakan atau program baru yang sungguh-sungguh diharapkan, dan

secara naïf diadopsi, oleh para penirunya yang tidak menyadari dan mungkin

tidak pernah menyadari implikasinya. Fenomena ini diperhitungkan untuk

kejelasan yang keliru dalam Goodlad dan Klein’s (1970) yang menemukan

Page 8: The Meaning of Educational Change

8

bahwa para guru menganggap mereka menggunakan pendekatan yang baru

tetapi sebenarnya tidak; juga diperhatikan pada observasi Sarason tentang

tendensi, dimana sejumlah besar orang mendukung sebuah inovasi karena

tingkat persetujuan tanpa menyadari perubahan spesifik apa yang mungkin

terlibat. Dengan mengetahui dimensi objektif dan subjektif perubahan

membantu kita untuk memahami peristiwa ini.

Ketiga, dimensi objektif dapat dan telah digunakan untuk menganalisa

perubahan yang terjadi dengan tujuan untuk memahami bentuk dan seberapa

mudah dan diinginkannya perubahan tersebut (lihat Leithwood, 1981). Sebagai

contoh, mungkin kita menguji sebuah perubahan kurikulum tertentu atau arah

dan menemukan bahwa (a) tujuannya spesifik dan jelas, tetapi tujuan

implementasinya samar-samar, atau (b) kepercayaan dan tujuannya abstrak,

samar-samar dan tidak berhubungan dengan dimensi lain (misalnya, strategi

pengajaran), atau (c) jumlah perubahan yang tercakup (misalnya jumlah

aktivitas perubahan yang berbeda) meliputi atau membingungkan ketika terjadi

secara bersamaan. Analisis yang demikian bisa mengarah pada satu dari

sejumlah kesimpulan apapun – perubahan yang dikemukakan tanpa harapan

membingungkan; perubahan yang dikemukakan terlalu masuk akal (misalnya

preskriptif); perubahan memiliki banyak kemungkinan tetapi perlu

perkembangan lebih lanjut dan atau sumber-sumber selama implementasinya,

dan jika tidak tersedia maka tugas selanjutnya akan tidak mudah.

Page 9: The Meaning of Educational Change

9

Keempat, dan berhubungan dengan poin ketiga, analisa aspek objektif

dan subjektif bisa sangat berguna untuk perencanaan efektif dan lebih spesifik

terhadap perubahan yang kita inginkan. Entah perubahan itu dipilih sendiri

atau eksternal, jika kita mengetahui dimana keberadaan kita saat ini dalam

hubungannya dengan suatu program perubahan atau kebijakan tertentu, kita

dapat mengembangkan rencana yang ditujukan pada dimensi yang berbeda

dalam upaya membahas tentang perubahan spesifik dalam praktik.

Kelima, status quo penuh dengan kekukuhan yang menyisakan sedikit

ruang untuk perubahan. Kita harus memahami eksistensi realitas dari peserta

yang besar dalam hubungannya dengan kemudahan perubahan apapun. Pada

Bagian II dan III kita akan melihat bahwa memahami realita yang berbeda dari

kelompok utama menjadi jalan panjang untuk menjelaskan gambaran

keseluruhannya; yaitu, jumlah keseluruhan tujuan subjektif yang menyediakan

suatu gambaran yang lebih komprehensif dari perubahan kependudukan secara

keseluruhan.

Keenam, perubahan yang terjadi bisa sangat mendalam, bertentangan

dengan inti keyakinan dan kemampuan yang dipelajari dan konsepsi

pendidikan, menciptakan keraguan tentang tujuan, pengertian kompetensi, dan

konsep diri. Jika permasalahan ini diabaikan atau terlalu jelas, perubahan yang

dangkal akan terjadi dengan sangat baik; paling buruk, orang akan mundur

untuk melindungi diri, tanpa mempertimbangkan menolak semua perubahan

yang diajukan. Bahkan perubahan yang tampaknya tidak kompleks bagi

Page 10: The Meaning of Educational Change

10

promotor perubahan dapat menimbulkan banyak keraguan dan ketidakpastian

pada mereka yang tidak familiar dengan bagian ini.

Tetapi pertanyaannya sekarang: bagaimana kita mengetahui bila

perubahan tertentu itu berharga, dan siapa yang memutuskan? Sarason dan

Doris (1979, h.361) memberikan beberapa indikasi kesulitan dan tentu saja

ketidakmungkinan yang akan muncul dengan jawaban yang pasti:

Praktik dan kebiasaan institusional merupakan pertahanan yang efektif

untuk kekuatan perubahan dan memiliki fitur-fitur yang baik maupun buruk,

dengan mudah kita lupa. Di satu pihak, kita tidak ingin institusi kita berubah

sebagai jawaban setiap idea tau mode yang baru dan di sisi lain, kita tidak

ingin mereka secara membabi buta mempertahankan status quo. Sehubungan

dengan tendensi, maka seseorang akan cenderung untuk menentang

sebagaimana hal yang lain dengan sikap kuno. Jika seseorang bertentangan

dalam hal tendensinya, maka akan cenderung untuk memandangnya sebagai

upaya salah yang lain yang lebih lanjut memperkecil kualitas pendidikan setiap

orang.

Jawaban singkatnya adalah bahwa suatu perubahan itu baik tergantung

pada penilaian seseorang, entah diimplementasikan atau tidak, dan dengan

konsekuensi apa. Sebagian orang secara membabi buta mendukung perubahan

tertentu yang mereka nilai, melupakan pertanyaan tentang implementasi dan

konsekuensinya. Yang lainnya tidak pasti tentang nilai perubahan karena

mereka hanya terlalu menyadari kurang jelasnya dan ketidakpastian yang

Page 11: The Meaning of Educational Change

11

menyerap transisi dari penilaian tujuan, untuk ditiru melalui implementasi,

pada hasilnya.

Sejauh ini dalam permasalahan tentang tujuan dalam hubungannya

dengan apa yang terkandung dalam inovasi. Fullan menyimpulkan bahwa

individu menjadi jelas tentang praktik pendidikan baru yang mereka inginkan

(dan/ atau orang lain yang menginginkannya) untuk diimplementasikan.

E. Esensi Perubahan Kurikulum Di Indonesia

Menurut Nasution, perubahan kurikulum mengenai tujuan maupun alat-

alat atau cara-cara untuk mencapai tujuan itu. Mengubah kurikulum sering

berarti turut mengubah manusia, yaitu guru, pembina pendidikan, dan mereka-

mereka yang mengasuh pendidikan. Itu sebab perubahan kurikulum dianggap

sebagai perubahan sosial, suatu social change. Perubahan kurikulum juga

disebut devolupment (pembaharuan) atau inovasi kurikulum.

Selanjutnya kurikulum dapat ditafsirkan sebagai apa yang dalam

kenyataan terjadi dengan murid didalam kelas. Kurikulum dalam arti ini tak

mungkin direncanakan sepenuhnya betapapun rincinya dirrencanakan, karena

dalam interaksi dalam kelas selalu timbul hal-hal yang spontan dan kreatif

yang tak dapat diramalkan sebelumnya. Dalam hal ini guru lebih besar

kesempatannya menjadi pengembang kurikulum dalam kelasnya. Akhirnya

kurikulum dapat dipandang sebagai cetusan jiwa pendidik yang berusaha

Page 12: The Meaning of Educational Change

12

untuk mewujudkan cita-cita, nilai-nilai yang tertinggi dalam kelakuan anak

didiknya. Kurikulum ini sangat erat hubungannya dengan kepribadian guru.

Kurikulum yang formal mengubah pedoman kurikulum, relatif lebih

terbatas dari pada kurikulum yang riil. Kurikulum yang riil bukan sekedar

buku pedoman, melainkan segala sesuatu yang dialami anak dalam kelas,

ruang olahraga, warung sekolah, tempat bermain, karya wisata, dan banyak

kegiatan lainnya, pendek kata mengenai seluruh kehidupan anak sepanjang

bersekolah. Mengubah kurikulum dalam arti yang luas ini jauh lebih luas dan

dengan demikian lebih pelik, sebab menyangkut banyak variabel. Perubahan

kurikulum disini berarti mengubah semua yang terlibat didalamnya, yaitu

guru sendiri, murid, kepala sekolah, penilik sekolah juga orang tua dan

masyarakat umumnya yang berkepentingan dalam pendidikan sekolah. Seperti

yang telah penulis paparkn di atas, bahwa perubahan kurikulum adalah

perubahan sosial, curriculum change is social change.

F. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Kurikulum

Menurut Soetopo dan Soemanto, ada sejumlah faktor yang dipandang

mendorong terjadinya perubahan kurikulum pada berbagai Negara dewasa ini.

1. Bebasnya sejumlah wilayah tertentu di dunia ini dari kekuasaan kaum

kolonialis. Dengan merdekanya Negara-negara tersebut, mereka

menyadari bahwa selama ini mereka telah dibina dalam suatu sistem

Page 13: The Meaning of Educational Change

13

pendidikan yang sudah tidak sesuai lagi dengan cita-cita nasional

merdeka. Untuk itu , mereka mulai merencanakan adanya perubahan

yang cukup penting di dalam kurikulum dan sistem pendidikan yang

ada.

2. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat sekali. Di

satu pihak, perkembangan dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan

yang diajarkan di sekolah menghasilkan diketemukannya teori-teori

yang lama. Di lain pihak, perkembangan di dalam ilmu pengetahuan

psikologi, komunikasi, dan lain-lainnya menimbulkan diketemukannya

teori dan cara-cara baru di dalam proses belajar mengajar. Kedua

perkembangan di atas, dengan sendirinya mendorong timbulnya

perubahan dalam isi maupun strategi pelaksanaan kurikulum.

3. Pertumbuhan yang pesat dari penduduk dunia. Dengan bertambahnya

penduduk, maka makin bertambah pula jumlah orang yang

membutuhkan pendidikan. Hal ini menyebabkan bahwa cara atau

pendekatan yang telah digunakan selama ini dalam pendidikan perlu

ditinjau kembali dan kalau perlu diubah agar dapat memenuhi kebutuhan

akan pendidikan yang semakin besar. Ketiga faktor di atas itulah yang

secara umum banyak mempengaruhi timbulnya perubahan kurikulum

yang kita alami dewasa ini.

Page 14: The Meaning of Educational Change

14

G. Kesulitan-kesulitan dalam merubah kurikulum

Sejarah menunjukkan bahwa sekolah itu sangat sukar menerima

pembaharuan. Ide yang baru tentang pendidikan memerlukan waktu sekitar 75

tahun sebelum dipraktikan secara umum di sekolah-sekolah.

Manusia itu pada umumnya bersifat konservatif (tertutup) dan guru termasuk

golongan itu juga. Guru-guru lebih senang mengikuti jejak-jejak yang lama

secara rutin. Ada kalanya karena cara yang demikianlah yang paling mudah

dilakukan. Mengadakan pembaharuan memerlukan pemikiran dan tenaga

yang lebih banyak. Tak semua orang suka bekerja lebih banyak daripada yang

diperlukan. Akan tetapi ada pula kalanya, bahwa guru-guru tidak mendapat

kesempatan atau wewenang untuk mengadakan perubahan karena peraturan-

peraturan administratif. Guru itu hanya diharapkan mengikuti instruksi atasan.

Pembaharuan kurikulum kadang-kadang terikat pada tokoh yang

mencetuskannya. Dengan meninggalnya tokoh itu lenyap pula pembaharuan

yang telah dimulainya itu. Dalam pembaharuan kurikulum ternyata bahwa

mencetuskan ide-ide baru lebih “mudah” daripada menerapkannya dalam

praktik. Dan sekalipun telah dilaksanakan sebagai percobaan, masih banyak

mengalami rintangan dalam penyebarluasannya, oleh sebab harus melibatkan

banyak orang dan mungkin memerlukan perubahan struktur organisasi dan

administrasi sistem pendidikan.

Page 15: The Meaning of Educational Change

15

Disadari atau tidak pembaharuan kurikulum pastinya memerlukan biaya yang

lebih banyak untuk fasilitas dan alat-alat pendidikan baru, yang tidak selalu

dapat dipenuhi. Tak jarang pula pembaharuan ditentang oleh mereka yang

ingin berpegang pada yang sudah lazim dilakukan atau yang kurang percaya

akan yang baru sebelum terbukti kelebihannya. Bersifat kritis terhadap

pembaharuan kurikulum adalah sifat yang sehat, karena pembaharuan itu

jangan hanya sekedar mode yang timbul pada suatu saat untuk lenyap lagi

dalam waktu yang tidak lama.

H. Analisis Perubahan Kurikulum dari Tahun 1968-2006

Perkembangan Kurikulum di Indonesia

NO TAHUN FOKUS ORIENTASI

1 1968 Subject Matter (Mata Pelajaran)

2 1975 Terminal Objectives (Tiu, Tik)

3 1984 Keterampilan Proses (CBSA Project)

4 1994 Munculnya Pembagian Kamar Antara Kurikulum Nasional

Dengan Kurikulum Muatan Local

5 2004 Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK)

6 2006 Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)

Kurikulum 1968 merupakan perwujudan dari perubahan orientasi pada

pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Penekanan dalam

Page 16: The Meaning of Educational Change

16

Kurikulum 1968, pada upaya untuk membentuk manusia Pancasila sejati,

kuat, dan sehat jasmani, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan jasmani,

moral, budi pekerti, dan keyakinan beragama. Isi pendidikan diarahkan pada

kegiatan mempertinggi kecerdasan dan keterampilan, serta mengembangkan

fisik.

Sebagai pengganti kurikulum 1968 adalah kurikulum 1975.  Dalam

kurikulum ini menggunakan pendekatan Prosedur Pengembangan Sistem

Instruksional (PPSI), mengarah kepada tercapainya tujuan spesifik, yang

dapat diukur dan dirumuskan dalam bentuk tingkah laku siswa. Dalam

pelaksanaannya banyak menganut psikologi tingkah laku dengan menekankan

kepada stimulus respon (rangsang-jawab) dan latihan (drill).

Kurikulum 1984 berorientasi kepada tujuan instruksional, didasari

oleh pandangan bahwa pemberian pengalaman belajar kepada siswa dalam

waktu belajar yang sangat terbatas di sekolah harus benar-benar fungsional

dan efektif. Oleh karena itu, sebelum memilih atau menentukan bahan ajar,

yang pertama harus dirumuskan adalah tujuan apa yang harus dicapai siswa.

Pendekatan pengajarannya berpusat pada anak didik melalui Cara Belajar

Siswa Aktif (CBSA). CBSA adalah pendekatan pengajaran yang memberikan

kesempatan kepada siswa untuk aktif terlibat secara fisik, mental, intelektual,

dan emosional dengan harapan siswa memperoleh pengalaman belajar secara

maksimal, baik dalam ranah kognitif, afektif, maupun psikomotor

Page 17: The Meaning of Educational Change

17

Materi pelajaran dikemas dengan menggunakan pendekatan spiral

yakni pendekatan yang digunakan dalam pengemasan bahan ajar berdasarkan

kedalaman dan keluasan materi pelajaran. Semakin tinggi kelas dan jenjang

sekolah, semakin dalam dan luas materi pelajaran yang diberikan.

Ciri-ciri yang menonjol dari pemberlakuan kurikulum 1994, di

antaranya adalah pembagian tahapan pelajaran di sekolah dengan sistem

caturwulan Pembelajaran di sekolah lebih menekankan materi pelajaran yang

cukup padat (berorientasi kepada materi pelajaran/isi). Dalam pelaksanaan

kegiatan, guru harus memilih dan menggunakan strategi yang melibatkan

siswa aktif dalam belajar, baik secara mental, fisik, dan sosial. Untuk

mengaktifkan siswa guru dapat memberikan bentuk soal yang mengarah

kepada jawaban konvergen, divergen dan penyelidikan. Dan dalam

pengajaran suatu mata pelajaran harus menyesuaikan dengan kekhasan

konsep/pokok bahasan dan perkembangan berpikir siswa, sehingga

diharapkan akan terdapat keserasian antara pengajaran yang menekankan pada

pemahaman konsep dan pengajaran yang menekankan keterampilan

menyelesaikan soal dan pemecahan masalah.

Kurikukum yang dikembangkan pada tahun 2004 diberi nama

Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Pendidikan berbasis kompetensi

menitikberatkan pada pengembangan kemampuan untuk melakukan

(kompetensi) tugas-tugas tertentu sesuai dengan standard performan yang

telah ditetapkan. Hal ini mengandung arti bahwa pendidikan mengacu pada

Page 18: The Meaning of Educational Change

18

upaya penyiapan individu yang mampu melakukan perangkat kompetensi

yang telah ditentukan. Implikasinya adalah perlu dikembangkan suatu KBK

sebagai pedoman pembelajaran.

Selanjutnya pada tahun 2006, dikembangkannya kurikulum KTSP.

KTSP adalah suatu ide tentang pengembangan kurikulum yang diletakan pada

posisi yang paling dekat dengan pembelajaran yakni sekolah dan satuan

pendidikan. KTSP merupakan paradigma baru pengembangan kurikulum,

yang memberikan otonomi luas pada setiap satuan pendidikan, dan pelibatan

masyarakat dalam rangka mengefektifkan proses belajar mengajar di sekolah.

Otonomi diberikan agar setiap satuan pendidikan dan sekolah memiliki

keleluasaan dalam mengelola sumber daya, sumber dana, sumber belajar dan

mengalokasikannya sesuai prioritas kebutuhan, serta lebih tanggap terhadap

kebutuhan setempat.