thelight photography magazine #10

56
EDISI 10/2008 www.thelightmagz.com FREE

Upload: joko-riadi

Post on 09-Jun-2015

1.454 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

Enjoyy...

TRANSCRIPT

Page 1: TheLight Photography Magazine #10

EDISI X / 2008 1

EDIS

I 10/

2008

www.thelightmagz.com

FREE

Page 2: TheLight Photography Magazine #10

2 EDISI X / 2008

THEEDITORIAL

EDISI X / 2008 3

THEEDITORIAL

PT Imajinasia Indonesia, Jl. Pelitur No. 33A, www.thelightmagz.com, Pemimpin Perusahaan/Redaksi: Ignatius Untung,

Technical Advisor: Gerard Adi, Redaksi: [email protected], Public relation: Prana Pramudya,

Marketing: [email protected] - 0813 1100 5200, Sirkulasi: Maria Fransisca Pricilia, [email protected],

Graphic Design: ImagineAsia, Webmaster: Gatot Suryanto

“Hak cipta foto dalam majalah ini milik fotografer yang bersangkutan, dan dilindungi oleh Undang-undang. Dilarang menggunakan foto dalam majalah ini dalam bentuk / keperluan apapun tanpa seijin pemiliknya.”

ABOUT THE COVERPHOTOGRAPHER: ERICH SILALAHI

Berbicara mengenai sosok dalam fotografi sering membawa kita kepada dikotomi senior dan junior. Senior bisa dikonotasikan secara positif

sebagai kelompok yang memiliki kemampuan mumpuni. Sementara junior bisa dikonotasikan secara positif sebagai kelompok yang lebih

up to date, mengikuti tren, segar, baru, unpredictable.

Namun pada kenyataannya kita banyak menemui nama-nama dalam kelompok senior dan junior yang memiliki konotasi negatif. Tidak

sedikit fotografer senior yang justru kurang disegani lagi karena tidak up to date, kadaluwarsa, ketinggalan jaman, basi, dll. Tidak sedikit

pula junior yang dikonotasikan dengan instan, belum matang, belum konsisten.

Untuk itu, pada edisi kali ini kami menghadirkan fotografer-fotografer yang baik dari kategori senior maupun junior sama-sama memiliki

kualitas yang baik. Kita bisa belajar dari Indra Leonardi dan Roy Genggam yang walaupun sudah tidak muda lagi, namun fotonya masih

“muda” dan dikagumi orang muda. Sementara di kategori yang bisa dikatakan junior di kelas profesional kita bisa belajar dari Agus Susanto

dan Erich Silalahi yang walaupun belum terlalu senior tapi cukup disegani dan mendapat respek dari fotografer senior.

Menjadi junior yang belum matang dan belum konsisten atau menjadi junior yang segar dan unpredictable adalah pilihan kita sendiri. Sama

seperti pilihan antara menjadi senior yang basi dan kadaluwarsa atau senior yang matang, konsisten dan memiliki kemampuan mumpuni.

Apa pilihan anda?

Editor in Chief

SENIOR ATAU JUNIOR, BASI ATAU SEGAR?

Page 3: TheLight Photography Magazine #10

4 EDISI X / 2008

INTERIORPHOTOGRAPHY

EDISI X / 2008 5

INTERIORPHOTOGRAPHY

ERICH SILALAHI, MENINGGALKAN KARIR MAPAN DEMI FOTOGRAFIFotografi sebagai profesi dianggap cukup bisa menghidupi sehingga dijadikan nafkah dan sumber pencaharian. Banyak fotografer yang memulai profesinya ketika belum mapan berada pada jalur karir lain. Jika motivasi orang menjadi fotografer adalah untuk menjadi kaya, mungkin tidak tepat. Karena terlalu banyak fotografer professional yang justru mengatakan bahwa kalau mau jadi kaya jangan jadi fotografer. Sehingga mungkin mereka yang tetap menekuni bidang fotografi sebagai profesi setelah tahu kondisi ini adalah mereka yang memang menekuni fotografi bukan karena fotografi dipandang melulu pada rupiah yang dihasilkan melainkan lebih kepada kepuasan batin. Salah satu fotografer yang mungkin berprinsip seperti ini adalah Erich Silalahi. Erich adalah seorang fo-tografer professional yang banyak melakukan pemotretan interior. Uniknya karir Erich sebelum menekuni fotografi sebagai profesi tergolong cukup cemerlang. Namun kecintaannya terhadap fotografi membuatnya tidak bisa pindah ke lain hati selain pada dunia fotografi.

Erich mengenal kamera sejak kelas 2 SMP. “waktu itu saya dapat hadiah ulang tahun berupa kamera. Sejak saat itu kemana-mana saya bawa kamera.” Kenang-nya. Ketika lulus SMA dan hendak melanjutkan pendidikan ke bangku perguruan tinggi anehnya Erich tidak memilih jurusan fotografi dan lebih memilih untuk masuk ke IPB dan mengambil jurusan yang sama sekali jauh dari fotografi yaitu jurusan penuluhan komunikasi pertanian. Namun walaupun tidak ada hubungan-nya dengan fotografi, rupanya Erich berencana lain. “Justru gue milih jurusan itu

Page 4: TheLight Photography Magazine #10

6 EDISI X / 2008

INTERIORPHOTOGRAPHY

EDISI X / 2008 7

INTERIORPHOTOGRAPHY

karena akan banyak keliling-keliling dan gue bisa banyak motret.” Ungkap-nya sambil tertawa.

Tahun 1992, ketika masih berstatus ma-hasiswa IPB Erich dan beberapa orang temannya mendirikan radio IPB dan ia pun memulai karirnya sebagai penyiar. Beberap atahun kemudia ia sempat pindah ke Radio Kis, Radio Mustang hingga akhirnya Hard Rock. Karir Erich di dunia radio cukup mulus. Ini terli-hat dengan diangkatnya ia menjadi program director Cosmo FM beberapa tahun kemudian. “dari situ gue mulai serius motret foto konser. Karena dapet banyak kesempatan untuk nonton konser.” Jelasnya.

“Sam nggak pernah ngajarin tutorial apalagi step by step. Tapi Sam banyak kasih influence buat gue.”

Page 5: TheLight Photography Magazine #10

8 EDISI X / 2008

INTERIORPHOTOGRAPHY

EDISI X / 2008 9

INTERIORPHOTOGRAPHY

Tahun 1995 erich merasa bosan bekerja di Radio dan ia pun memutuskan untuk mengambil pensiun dini. Dari situ ia mulai menekuni lebih serius fotografi. Sempat “mencuri ilmu” dari Sam Nu-groho, Erich pun mulai jatuh cinta pada fotografi interior. “Sam nggak pernah ngajarin tutorial apalagi step by step. Tapi Sam banyak kasih influence buat gue.” Ungkapnya. Kecerdikan Erich dalam menekuni bidangnya mem-bawanya kepada klien pertamanya. “Gue nyari klien dari friendster. Caranya gue masukin semua portfolio interior gue di gallery foto di friendster, lalu gue mulai search orang di friendster

dengan keyword hotel di bagian kolom company. Setelah muncul beberapa nama, gue mulai lihat satu per satu, dan yang kerja di hotel gede mulai gue shortlist. Tahap selanjutnya gue mulai lihat umurnya. Dari umur kita bisa perkirakan jabatannya. Kalau masih muda, mungkin masih staff, tapi kalau udah agak senior mungkin sudah dekat dengan posisi decision maker atau bahkan dia decision makernya. Setelah dapet yang gue mau, mulai deh gue invite untuk add gue. Nah ketika mereka buka invitation gue kan mereka pasti akan lihat profile gue, lihat gallery gue yang isinya foto-foto interior. Dari situ semuanya dimulai. Sampai akhirnya gue dikontrak sama Accor Group Indonesia.” Jelasnya den-gan semangat.Kurang lebih 3 bulan menangani pemotretan Accor Indonesia, Erich pun didaulat untuk melakukan pemotretan hotel dalam group Accor Asia pasifik. Foto-foto Erich pun mulai masuk ke gallery foto Accor yang tidak semua fotografer Accor bisa menembusnya.

Beberapa tahun menekuni fotografi interior, erich pun diajak untuk ber-gabung di The Loop, sebuah perusa-haan commercial photography service milik Sam Nugroho.

“Gue nyari klien dari friendster.”

Page 6: TheLight Photography Magazine #10

10 EDISI X / 2008

INTERIORPHOTOGRAPHY

EDISI X / 2008 11

INTERIORPHOTOGRAPHY

“Gue pengen bikin portfolio mobil aja sam-

pai harus nung-gu malam. Gue

nggak berani motret siang

karena minder, fotografer-

fotografer The Loop lain kan

jago-jago. Ma-kanya tunggu

mereka pulang dulu baru gue

motret.”

Page 7: TheLight Photography Magazine #10

12 EDISI X / 2008

INTERIORPHOTOGRAPHY

EDISI X / 2008 13

INTERIORPHOTOGRAPHY

Bergabung dengan The Loop yang notabene berisi fotografer-fotografer dengan kemampuan fotografi yang mumpuni, Erich pun merasa agak minder. “Gue pengen bikin portfolio mobil aja sampai harus nunggu malam. Gue nggak berani motret siang karena minder fotografer-fotografer The Loop lain kan jago-jago. Makanya tunggu mereka pulang dulu baru gue motret.” Kenangnya. Namun hasil akal-akalan-nya itu berbuah manis, satu persatu project pemotretan otomotif pun datang. Mulai dari Toyota Rush yang se-harusnya dipotret oleh Sam Nugroho, Lalu pemotretan Chevrolet Captiva untuk majalah, hingga Honda Odyssey dan Honda Civic. Berbicara mengenai persamaan

memotret mobil dan interior Erich berpendapat bahwa inti dari memotret benda mati adalah shape. “Penting untuk tahu gimana caranya supaya shapenya keluar.”. Jelasnya. Namun untuk interior, erich sedikit lebih detail. “Kalau motret interior gue berusaha ngejar supaya orang yang lihat foto gue bisa tahu karpetnya berapa tebal, spreinya silk atau bukan, dan lain sebagainya. Jadi nggak cuma ngeluari shape tapi juga karakter materialnya.” Sambungnya.Beberapa poin yang harus diperhatikan ketika memotret interior menurut Erich melibatkan eksplorasi bentuk, detail

“inti dari memotret

benda mati ada-lah shape”

“Penting untuk tahu gimana caranya supaya shapenya keluar.”

Page 8: TheLight Photography Magazine #10

14 EDISI X / 2008

INTERIORPHOTOGRAPHY

EDISI X / 2008 15

INTERIORPHOTOGRAPHY

Page 9: TheLight Photography Magazine #10

16 EDISI X / 2008

INTERIORPHOTOGRAPHY

EDISI X / 2008 17

INTERIORPHOTOGRAPHY

dan juga space. “Hotel semakin mahal baisanya ceilingnya semakin tinggi. Nah terkadang hotel yang ceilingnya nggak tinggi maunya di foto kelihatan tinggi. Di situ tugas kita untuk mem-beri kesan tinggi.” Jelasnya. Pemilihan angle juga sesuatu yang penting bagi Erich.

Untuk memperkaya pengetahuannya tentang interior yang tidak terasah oleh sekolah interior erich pun rajin membeli majalah bekas. “Gue koleksi majalah bekas. Terutama majalah interior dan fashion.” Tegasnya. Na-mun Erich belum tertarik untuk mulai menspesialisasikan diri di fashion.

“Di fashion fotografernya banyak dan jago-jago. Jadi kalau mau masuk sana akan capek karena saingannya banyak. Belum lagi karena pemainnya banyak jadinya relatif lebih susah untuk bikin style yang unik karena kebanyakan udah dibikin orang. Kalau di interior karena belum banyak jadi masih ban-yak style yang bisa dicoba.” Jelasnya.

Dalam memotret interior, Erich selalu memulai dengan berusaha menangkap kesan dari ruangan tersebut. “Awalnya gue berusaha menangkap kesan dari ruangan tersebut dan gue berusaha merumuskan mau dibikin kayak apa nih ruangan. Kesannya mau dirubah jadi gimana. Langkah selanjutnya adalah cari kelemahan dari ruangan tersebut dan cari penyelesaiannya. Intinya yang bagus mau ditonjolkan sementara yang lemah diredam.” Jelas-nya. Namun setelah menangani begitu banyak pemotretan interior sesekali Erich menemui ruangan-ruangan dengan desaign interior yang konflik. Misalnya di satu elemen berusaha menunjukkan kesan warm, tapi di sisi lain menunjukkan kesan cold. “kalau ketemu kasus kayak gitu ya harus dipi-lih salah satu mau yang mana, nggak harus semua diambil.” Jelasnya.

“Kalau motret interior gue

berusaha ngejar supaya orang

yang lihat foto gue bisa tahu

karpetnya bera-pa tebal, spre-

inya silk atau bukan, dan lain

sebagainya. Jadi nggak cuma

ngeluari shape tapi juga kara-kter material-

nya.”

“Di fashion fo-tografernya banyak dan jago-jago. Jadi kalau mau masuk sana akan capek kar-ena saingannya banyak. Belum lagi karena pe-mainnya banyak jadinya relatif lebih susah un-tuk bikin style yang unik kar-ena kebanyakan udah dibikin orang. Kalau di interior karena belum banyak jadi masih ban-yak style yang bisa dicoba.”

Page 10: TheLight Photography Magazine #10

18 EDISI X / 2008

INTERIORPHOTOGRAPHY

EDISI X / 2008 19

INTERIORPHOTOGRAPHY

Page 11: TheLight Photography Magazine #10

20 EDISI X / 2008

INTERIORPHOTOGRAPHY

EDISI X / 2008 21

INTERIORPHOTOGRAPHY

adalah harus sabar, karena lampu yang digunakan banyak sehingga jangan sampai detailnya terlewatkan.” Tam-bahnya. Dalam memotret interior, Erich biasa mendapatkan hanya 4 foto interior dalam satu hari. “Untuk 1 set up saja butuh waktu 4 sampai 5 jam. Karena lighting set upnya banyak dan harus teliti.” Sambungnya.

Untuk olah digital atau digital imaging, Erich melihat dalam foto interior peng-gunaan olah digital masih dibutuhkan sewajarnya. “Paling sering DI dibutuh-kan untuk cleaning kabel, lampu.” Aku-nya. “Yang jelas untuk motret interior apalagi untuk keperlua iklan kuncinya

“Awalnya gue berusaha me-nangkap kesan dari ruangan tersebut dan gue berusaha merumuskan mau dibikin kayak apa nih ruangan.

Page 12: TheLight Photography Magazine #10

22 EDISI X / 2008

INTERIORPHOTOGRAPHY

EDISI X / 2008 23

INTERIORPHOTOGRAPHY

“Untuk 1 set up saja butuh waktu 4 sampai 5 jam. Kare-na lighting set upnya banyak dan harus teliti.”

Page 13: TheLight Photography Magazine #10

24 EDISI X / 2008

INTERIORPHOTOGRAPHY

EDISI X / 2008 25

INTERIORPHOTOGRAPHY

Page 14: TheLight Photography Magazine #10

26 EDISI X / 2008

INTERIORPHOTOGRAPHY

EDISI X / 2008 27

UNDERWATERPHOTOGRAPHY

Berbicara mengenai kesalahan yang sering dilakukan oleh fotografer interior Erich melihat kesalahan paling sering fotografer interior adalah terlalu mendramatisir. “Banyak orang yang motret dengan angle ekstrim. Padahal dalam kehidupan sehari-hari kita ng-gak pernah lihat angle begitu. Kalau konteksnya untuk keperluan artistic sih boleh-boleh saja, tapi kalau untuk keperluan foto interior jadi kurang pas.” Tegasnya. “kesalahan kedua adalah adanya tabrakan mood. Misalnya inte-rior klasik dikasih lighting set up yang warm, jadinya kesannya penuh banget.” Sambungnya.

Di akhir pembicaraan kami, Erich ber-bagi tips untuk para fotografer muda. “Yang pertama jangan males bikin PR, yaitu cari info mengenai apapun yang

akan kita foto. Saya pernah disuruh motret wine yang satu botolnya harg-anya ratusan juta rupiah. Padahal saya sama sekali nggak ngerti soal wine. Ma-kanya sebelum pemotretan saya cari info sebanyak-banyaknya soal wine, supaya klien merasa tenang karena kita tahu produk mereka. Dengan begitu mereka akan lebih bisa diskusi sama kita soal foto tersebut.” Ungkapnya. “dan yang tidak kalah penting, jangan bikin hal yang sama dengan yang su-dah dibikin orang lain, cari yang baru. Salah satunya dengan memperbanyak referensi. “ tutupnya.

jangan males bikin PR, yaitu

cari info mengenai

apapun yang akan kita foto.

“dan yang tidak kalah penting, jangan bikin hal yang sama den-gan yang sudah dibikin orang lain, cari yang baru. Salah sa-tunya dengan memperbanyak referensi. “

Page 15: TheLight Photography Magazine #10

28 EDISI X / 2008

PORTRAITUREPHOTOGRAPHY

EDISI X / 2008 29

PORTRAITUREPHOTOGRAPHY

INDRA LEONARDI, IKON PORTRAITURE INDONESIASemua fotografer pernah memotret portraiture. Jika kita datang ke sebuah studio foto dan lab cuci cetak, kita akan menemui banyak sekali foto portraiture yang dipajang di dinding-dindingnya. Hampir setiap rumah memajang foto portraiture. Seperti pernah kami bahas pada beberapa edisi sebelumnya, portraiture merupa-kan satu bidang dalam fotografi yang bisa dikatakan gampang-gampang susah. Gampang karena seringkali dihadirkan apa adanya tanpa perlu pernak-pernik yang aneh-aneh namun justru itulah yang membuatnya menjadi susah karena foto yang dibuat harus tetap dapat terlihat mengesankan bahkan dengan kes-ederhanaannya. Portraiture juga cukup sulit ketika dituntut untuk menghadirkan aura, emosi, dan cerita di balik sang model yang seringkali adalah orang biasa.Untuk membongkar tips mengatasi segala kesulitan portraiture kami pun men-datangi Indra Leonardi, seorang fotografer yang sudah dianggap sebagai icon fotografi portraiture Indonesia.

Indra Leonardi lahir dan besar di keluarga yang sangat akrab dengan fotografi. “kalau tidak salah di keluarga saya ada 7 sampai 8 orang yang suka fotografi.” Ung-

Page 16: TheLight Photography Magazine #10

30 EDISI X / 2008

PORTRAITUREPHOTOGRAPHY

EDISI X / 2008 31

PORTRAITUREPHOTOGRAPHY

kapnya membuka pembicaraan kami. Awal pembelajaran fotografi Indra adalah dengan melihat dan belajar dari orang tuanya yang waktu itu sudah menjalankan usaha fotografi. Namun waktu itu ia belum tertarik dengan fotografi. “Saya lebih tertarik dengan dunia balap waktu itu.” Akunya.

Masuknya Indra Leonardi ke dunia fotografi secara serius pun diakui Indra akibat dorongan orang tuan-ya. “Saya masuk Brooks (sekolah fo-tografi – red.) pun didorong orang tua karena saya harus meneruskan bisnis fotografi orang tua. Dan di asia sendiri banyak sekali yang seperti saya waktu itu. Jadi mereka juga sekolah fotografi karena harus

“Saya lebih tertarik dengan dunia balap waktu itu.”

Page 17: TheLight Photography Magazine #10

32 EDISI X / 2008

PORTRAITUREPHOTOGRAPHY

EDISI X / 2008 33

PORTRAITUREPHOTOGRAPHY

meneruskan bisnis keluarga.” Ungkap-nya. Di tahun-tahun awal studinya di Brooks, Indra belum jatuh cinta pada fotografi. Ia menjalaninya karena harus dijalani saja. Namun di tahun ketiga Indra mulai merasakan ketertarikan. Indra pun mulai serius. Setelah lulus indra sempat bekerja di Los Angeles ikut fotografer yang sering melakukan pemotretan selebriti.Keinginannya untuk belajar dari fotografer senior yang ia sukai mendor-ongnya untuk sering mengirimkan su-rat dan portfolionya kepada fotografer-fotografer senior yang dikaguminya, berharap suatu saat ia dipanggil untuk bisa bekerja sebagai asisten atau seke-dar magang. “Dalam hidup kita harus Think Bigger. Kalau kita nyebar 10 surat, paling bagus kita dapet 8. Maka dari itu saya nyebar banyak.” Jelasnya.

Berbicara mengenai portraiture, Indra menjelaskan bahwa awal dari potraiture adalah dari dunia lukis. “Jaman dulu bangsawan, raja, orang kaya, dan orang penting di rumahnya selalu ada lukisan dirinya yang ber-tema portraiture. Nah perkembangan teknologi membuat portraiture yang dulu banyak dilakukan dengan lukisan perlahan mulai tergantikan dengan fotorgafi.” Jelasnya. Indra mengakui portraiture terus berkembang, jika dulu orang menggunakan lukisan di kanvas dengan bingkai emas sekarang tren-nya bisa berbeda. Namun Indra yakin portraiture akan tetap ada walaupun banyak bidang fotografi lain yang

“Dalam hidup kita harus Think

Bigger. Kalau kita nyebar 10

surat, paling bagus kita da-

pet 8. Maka dari itu saya nyebar

banyak.”

“Portraiture itu seperti baju putih. Orang boleh punya baju warna hi-tam, baju pol-kadot dan lain sebagainya tapi pasti punya baju putih.”

Page 18: TheLight Photography Magazine #10

34 EDISI X / 2008

PORTRAITUREPHOTOGRAPHY

EDISI X / 2008 35

PORTRAITUREPHOTOGRAPHY

Page 19: TheLight Photography Magazine #10

36 EDISI X / 2008

PORTRAITUREPHOTOGRAPHY

EDISI X / 2008 37

PORTRAITUREPHOTOGRAPHY

berkembang lebih pesat saat ini. “Por-traiture itu seperti baju putih. Orang boleh punya baju warna hitam, baju polkadot dan lain sebagainya tapi pasti punya baju putih.” Jawabnya sambil tertawa.

Namun untuk bisa bertahan Indra berpendapat bahwa portraiture harus berkembang. “portraiture berkembang karena tren juga berkembang. Klien mulai terbiasa dengan barang bagus karena mereka melihat banyak foto bagus di internet, majalah dan TV. Untuk itu kita juga harus berkembang.“ ungkapnya. “Cobalah think outside the box. Bikin yang belum pernah dibikin orang lain. Bukan cuma pada tahapan teknis tapi justru lebih ke eksplorasi artistiknya. Fotografi itu bukan sekedar teknis, tapi aplikasi dan improvisas-inya. Foto portraiture baru ada soulnya ketika ada konsepnya, ada emosinya.” Tambahnya. Indra menyadari foto tidak bisa merepresentasikan 100% kehidu-pan si model, namun portraiture harus berhasil menghadirkan cerita dari si model. Dalam memotret portraiture Indra selalu memulai dari melihat struktur wajah si model, hobbynya, ke-hidupan sehari-harinya, dan yang tidak kalah penting foto tersebut gunanya untuk apa. “Kadang orang bikin foto

“portraiture berkembang

karena tren juga berkembang.

Klien mulai ter-biasa dengan barang bagus

karena mereka melihat banyak

foto bagus di in-ternet, majalah

dan TV. Untuk itu kita juga

harus berkem-bang.“

Page 20: TheLight Photography Magazine #10

38 EDISI X / 2008

PORTRAITUREPHOTOGRAPHY

EDISI X / 2008 39

PORTRAITUREPHOTOGRAPHY

Page 21: TheLight Photography Magazine #10

40 EDISI X / 2008

PORTRAITUREPHOTOGRAPHY

EDISI X / 2008 41

PORTRAITUREPHOTOGRAPHY

portraiture tidak pernah memikirkan aplikasi. Misalnya fotonya gayanya klasik, dengan frame yang klasik tapi dipasang di rumah dengan style milenium, jadinya nggak cocok. Maka dari itu saya selalu Tanya fotonya mau dipasang di mana, kalau perlu saya li-hat tempatnya, temboknya seperti apa, warnanya apa, dari situ saya bisa kasih saran apa fotonya bagusnya kayak apa, framenya warna apa dan bentuknya seperti apa.” Jelasnya.“Selain aplikasi penempatan fotonya, fotografer portraiture harus menger-jakan PRnya untuk mengeksplorasi

modelnya. Cari tahu benar-benar kehidupan modelnya. Dari situ bisa muncul konsepnya. Makanya jangan males cari info tentang si model, ajak diskusi. Kita dulu yang harus membuka diri untuk bisa membuka diri orang lain.” Tambahnya.

Salah satu kesulitan portraiture diband-ingkan fotografi lain adalah sering-nya portraiture dipaksa memotret model yang bukan seorang model professional. Indra pun menyadari dan menghadapi hal tersebut. “Kalau menghadapi model yang bukan model professional saya lebih suka untuk ketemu terlebih dahulu, biasanya saya tunjukin referensi-referensi foto, kalau perlu pasang musik biar lebih santai. Intinya frekuensi antara fotografer dan model harus sama sehingga bisa nyam-bung.” Jelasnya. “Banyak fotografer ketika menghadapi model yang bukan model professional malah jadi keta-kutan sendiri. Padahal harus diingat dalam pemotretan yang dipotret dan yang memotret sama groginya. Untuk itu harus dicairkan dulu suasananya. Jangan lupa juga perhatikan peruba-han mood, kalau sudah mulai capek ya istirahat dulu. Kadang footgrafer takut dan lebih banyak ngumpet di belakang kamera. Banyak fotografer yang cuma

“Kita dulu yang harus membuka

diri untuk bisa membuka diri

orang lain.”

Page 22: TheLight Photography Magazine #10

42 EDISI X / 2008

PORTRAITUREPHOTOGRAPHY

EDISI X / 2008 43

PORTRAITUREPHOTOGRAPHY

Page 23: TheLight Photography Magazine #10

44 EDISI X / 2008

PORTRAITUREPHOTOGRAPHY

EDISI X / 2008 45

PORTRAITUREPHOTOGRAPHY

berani mengintip lewat kamera, tapi waktu berhadapan langsung malah gugup.” Sambungnya.

Ketika memotret, Indra juga meyarank-an untuk tidak terbawa lingkungan dan pembawaan. “Misalnya ketika memotret model yang seorang militer. Jangan ikut-ikutan jadi kaku. Dan bahkan nggak harus fotonya dibikin kaku, tegas dan keras seperti karakter militer. Banyak yang jadi ikutan kaku apalagi kalau motretnya di tempat seperti markas militer atau sejenisnya.” Jelasnya. “Dalam memotret kita harus pinter-pinter mengamati situasi, harus pintar-pintar memainkan mood, mis-alnya kalau mau motret dengan gaya yang lebih ceria dan santai mungkin bisa disuruh loncat-loncat dulu. Intinya ketegangannya harus dipindahkan. Tapi harus pintar-pintar, jangan justru bikin suasana makin berantakan.” Tambahnya.

Berbicara mengenai teknis, Indra meyadari teknis merupakan sesuatu yang penting walaupun bukan yang utama. “memotret portraiture adalah bagaimana menampilkan cerita dan emosi si model dengan teknis yang pas. Tidak perlu berlebihan tapi janagn kurang juga.” Jelasnya. Indra melihat

“Kadang orang bikin foto portrai-ture tidak pernah

memikirkan ap-likasi. Misalnya

fotonya gayanya klasik, dengan

frame yang klasik tapi dipasang di ru-

mah dengan style milenium, jadinya

nggak cocok. Maka dari itu saya selalu

Tanya fotonya mau dipasang di mana,

kalau perlu saya lihat tempatnya,

temboknya seperti apa, warnanya apa,

dari situ saya bisa kasih saran apa

fotonya bagusnya kayak apa, frame-

nya warna apa dan bentuknya seperti

apa.”

Page 24: TheLight Photography Magazine #10

46 EDISI X / 2008

PORTRAITUREPHOTOGRAPHY

EDISI X / 2008 47

PORTRAITUREPHOTOGRAPHY

fotografer muda banyak yang terlalu berkutat di masalah teknis tapi justru banyak melupakan tren, artistic dan emosi si model. Indra juga melihat banyak fotografer yang menjadi malas karena teknologi. “Teknologi memang harus dipelajari tapi jangan sampai membersihkan debu atau membenarkan lipatan baju saja dilaku-kan di photoshop. Karena lebih mudah melakukannya waktu motret.” Ungkapnya. Indra berpendapat seharusnya fotografi tidak lebih banyak dilakukan di komputer tapi saat memotret. Komputer hanya membantu mendapatkan hal-hal yang tidak bisa didapat waktu memotret.

harus diingat dalam pe-motretan yang dipotret dan yang memotret sama groginya.

Page 25: TheLight Photography Magazine #10

48 EDISI X / 2008

PORTRAITUREPHOTOGRAPHY

EDISI X / 2008 49

PORTRAITUREPHOTOGRAPHY

Page 26: TheLight Photography Magazine #10

50 EDISI X / 2008

PORTRAITUREPHOTOGRAPHY

EDISI X / 2008 51

PORTRAITUREPHOTOGRAPHY

Di akhir pembicaraan kami dengan-nya, Indra mengomentari kebiasaan tidak selektif fotografer muda. “Banyak fotografer yang asal jepret aja. Model diberondong dengan jepretan seban-yak-banyaknya, tapi yang jadi nggak banyak. Artinya nggak selektif.” Ung-kapnya. “Sebenarnya ketika kita yakin akan kemampuan kita, kita nggak perlu ngeberondong model dengan jepretan sebanyak itu. Di Amerika ada seorang fotografer. Suatu saat ia dimnta untuk memotret seorang selebriti terkenal. Karena berada di kota yang berbeda, fotografer itu harus bepergian dengan pesawat. Ketika sampai di tempat sang selebriti setelah menempuh perjalanan beberapa lama, asisten fotografer pun mulai menyiapkan lighting set dan equipmentnya. Waktu itu mer-eka menggunakan slide large format. Dan ketika setting sudah selesai, sang selebriti pun berdiri pada tempat yang ditentukan. Fotografer itu pun mulai mengeker dan menjepret. Hebatnya, setelah hanya menjepret sekali saja tanpa bisa melihat hasilnya karena menggunakan slide sang fotografer mengisyaratkan bahwa pemotretan sudah selesai dan menginstruksikan asistennya untuk mengepak kembali semua alatnya. Bayangkan setelah melakukan perjalanan jauh dengan

pesawat, ia hanya melakukan sekali jepretan. Ada permainan psikologis di situ. Sang fotografer secara tidak lang-sung ingin menyampaikan, “lo penting, gue juga.” Jelasnya sambil tertawa. Inti dari cerita tersebut, selain karena tingkat kemampuan sang fotografer yang sudah begitu tinggi sehingga bahkan dengan hanay sekali jepret pun ia yakin sudah berhasil, tapi ia juga menunjukkan betapa tinggi penghar-gaannya terhadap kemampuannya. Banyak fotografer yang mengobral skillnya dengan menjepret sebanyak-banyaknya, dan lebih parahnya adalah ketika tidak banyak yang bagus.

Kadang foot-grafer takut

dan lebih ban-yak ngumpet

di belakang kamera. Ban-

yak fotografer yang cuma be-rani mengintip lewat kamera,

tapi waktu ber-hadapan lang-

sung malah gu-gup.” “memotret por-

traiture adalah bagaimana me-nampilkan cer-

ita dan emosi si model den-

gan teknis yang pas. Tidak perlu berlebihan tapi janagn kurang

juga.”

“Sebenarnya ketika kita yakin akan kemam-puan kita, kita nggak perlu ngeberondong model dengan jepretan sebanyak itu.

Page 27: TheLight Photography Magazine #10

52 EDISI X / 2008

LIPUTANUTAMA

EDISI X / 2008 53

LIPUTANUTAMA

JALUR OTODIDAK MEMPELAJARI FOTOGRAFILebih dari 90% peminat fotografi meniti jalan otodidak untuk meningkatkan kemampuan mereka berfotografi. Amat sedikit yang berkesempatan mengenyam pendidikan formal fotografi. Ada beberapa alasan yang mendasari hal ini, mu-lai dari sedikitnya jumlah perguruan tinggi yang menyediakan program studi fotografi di Indonesia, relatif tingginya biaya studi fotografi di luar negeri, hingga pada ketidaksetujuan orang tua dari anak yang tertarik melanjutkan pendidikan tinggi di program studi fotografi dengan alasan ketidaktahuan bahwa profesi fotografi kini bisa menghidupi.

Sebagian besar yang dengan alasan apapun tidak mengenyam bangku sekloah fotografi terpaksa berguru di “jalan” dan di komunitas-komunitas. Namun kelom-pok ini tidak bisa dianggap remeh, karena justru kelompok otodidak inilah pula yang mendominasi nama-nama papan atas dunia perfotografian professional. Mulai dari Sam Nugroho yang lulusan Arsitektur, Roy Genggam yang lulusan sinematografi, Gerard Adi yang juga lulusan arsitektur, Heret Frasthio yang lulusan komunikasi, Henky Christianto yang lulusan fakultas ekonomi, Djoni Darmo yang lulusan teknik, dan masih banyak nama yang menjadi besar dan diakui karena kemampuan fotografinya. Memang nama-nama fotografer professional yang pernah mengenyam pendidikan fotografi formal juga tidak sedikit, seperti Indra

Page 28: TheLight Photography Magazine #10

54 EDISI X / 2008

LIPUTANUTAMA

EDISI X / 2008 55

LIPUTANUTAMA

Leonardi, Kayus Mulia, Anton Ismael, Irawati Sarah, Sonny Sandjaya, Novijan Sanjaya, Arkadius Pribadi, Ajie Lubis dan masih banyak nama besar lainnya.

Yang menarik dari kami adalah ba-gaimana orang-orang yang karena alasan apapun tidak berguru dari institusi formal fotografi namun bisa menjadi besar dan sukses di fotografi. Jika pendidikan formal fotografi meng-hadirkan ilmu yang sistematis, teren-cana dan memberikan kesempatan kepada orang yang mempelajarinya untuk mengenal dasar-dasar fotografi yang baku seperti exposure, hubungan kecepatan dan diafragma, teknik pan-ning, teknik kamar gelap, teknik dodg-ing & burning, hingga pengenalan dan penggunaan medium format camera, large format camera atau view camera dengan hitungan swing & tiltnya, jalur otodidak relatif tidak menghadirkan segala kemudahan untuk mengenal se-gala hal ajaib tersebut dengan mudah.

Beberapa nama yang sudah terlanjur besar di fotografi melalui jalur otodidak menganggap komunitas, workshop, seminar sebagai sekolah fotografi mereka. Mereka rajin datang dari satu seminar ke seminar yang lain, dari satu workshop ke workshop lain, atau bah-

kan kalau perlu ke kursus singkat. Tidak sedikit pula yang belajar dari komu-nitas baik komunitas online maupun offline. Workshop, seminar dan kursus singkat menyediakan kesempatan untuk belajar fotografi secara prak-tis. Tidak terlalu banyak teori namun memberikan pengetahuan yang aplikatif. Memang di satu sisi hal ini bisa menyebabkan kemampuan basic kelompok yang belajar dari workshop dan seminar tidak sekuat mereka yang berguru di perguruan tinggi. Namun pada banyak kasus pemotretan umum mereka terlihat sama fasihnya berfo-tografi.Sementara di sisi lain komunitas meng-hadirkan kesempatan saling berbagi dan saling menerima ilmu dari sesama rekan dalam komunitas yang sedang sama-sama belajar. Mereka belajar dengan melihat foto rekan satu komu-nitas, mereka belajar dengan hunting bersama, mereka belajar dari tukar pikiran, saling bertanya, dan saling membagikan informasi. Tapi apakah itu cukup dan apakah itu aman?

AT, seorang fotografer senior berang-gapan bahwa proses pembelajaran melalui jalur otodidak bisa sangat me-nyenangkan. Dan justru karena terlalu menyenangkan tadi banyak juga yang

“belajar di komu-nitas sama seperti

orang buta yang belajar berjalan

kepada orang buta yang sudah lebih

lama buta. Berhasil atau tidaknya ber-

gantung kepada diri kita sendiri dan

juga orang yang mengajari kita.

Hal yang memung-kinkan terjadinya kegagalan adalah ketika orang buta

yang dipilih un-tuk mengajari kita

ternyata bukan orang buta yang

bisa “melihat”.

“Di jalur oto-didak kita bisa meyakini dan menggunakan satu teknik yang sebenarnya salah dalam jangka waktu yang lama tan-pa ada yang memberi tahu bahwa itu salah.

Page 29: TheLight Photography Magazine #10

56 EDISI X / 2008

LIPUTANUTAMA

EDISI X / 2008 57

LIPUTANUTAMA

terjebak. “belajar di komunitas sama seperti orang buta yang belajar ber-jalan kepada orang buta yang sudah lebih lama buta. Berhasil atau tidaknya bergantung kepada diri kita sendiri dan juga orang yang mengajari kita. Hal yang memungkinkan terjadinya kega-galan adalah ketika orang buta yang dipilih untuk mengajari kita ternyata bukan orang buta yang bisa “melihat”. Ketika kita berguru pada orang yang juga sedang belajar, kita sebenarnya hanya mempelajari pengalamannya. Belum tentu pengalamannya berada di jalur yang benar, walaupun belum tentu berada di jalur yang salah juga.” Ungkapnya. AT melihat hal ini sebagai resiko memilih jalur otodidak. “Di jalur otodidak kita bisa meyakini dan meng-gunakan satu teknik yang sebenarnya

salah dalam jangka waktu yang lama tanpa ada yang memberi tahu bahwa itu salah. Kalau di jalur pendidikan for-mal ada dosen yang memberi tahu ke-salahan selain logika fotografi kita yang mulai berjalan setelah dasar-dasar fotografi ditanamkan.” Tambahnya.Namun suka atau tidak suka, hal tersebut harus dijalani ketika kita memilih jalur otodidak. “penyelesaian-nya adalah, pilihlah baik-baik orang yang dijadikan inspirasi atau guru. Jangan karena fotonya paling bagus di komunitas dianggap sebagai maestro fotografi dunia. Kalau bisa pilihlah yang terbukti punya kredibilitas yang baik.” Ungkapnya. “Jangan silau dengan nama besar. Saya kenyang sekali lihat fotografer yang besarnya hanya

namanya saja. Belum tentu nama besar menjamin kemampuannya. Kalau ia fotografer professional, lihat apakah pekerjaannya masih banyak dengan harga yang masuk akal, lihat apakah fotonya masih bisa bersaing dengan fotografer muda yang lebih up to date.” Tambahnya.

AT melihat kejelian memilih komunitas atau fotografer untuk menginspirasi dan untuk berguru menentukan ba-gaimana jadinya ia ketika jam terbang-nya sudah tinggi.Jika AT melihat kesempatan untuk meningkatkan kemampuan fotografi seseorang masih ada walaupun salah memilih komunitas ataupun fotografer sebagai inspirasi, HI seorang fotografer professional asal Malaysia berpendapat lebih tegas. “Bagi saya siapa fotografer atau komunitas yang menginspirasi seorang fotografer menentukan apakah ia akan jadi fotografer baik atau tidak. Jika dia memilih komunitas atau fotografer yang tidak kompeten untuk menjadi inspirasi ataupun tempat berguru artinya ia tidak memiliki darah fotografi dalam dirinya.” Ungkapnya. “Sederhana saja, ketika anda memiliki darah fotografi di dalam diri anda, anda tidak akan salah pilih komunitas atau orang yang dijadikan inspirasi atau

“ketika anda memiliki darah fotografi di da-lam diri anda, anda tidak akan salah pilih ko-munitas atau orang yang di-jadikan inspirasi atau tempat berguru. Ketika anda memiliki darah fotografi anda pasti bisa membedakan mana komu-nitas dan fo-tografer yang baik dan layak dijadikan in-spirasi dan tem-pat berguru mana yang tidak.

Page 30: TheLight Photography Magazine #10

58 EDISI X / 2008

LIPUTANUTAMA

EDISI X / 2008 59

LIPUTANUTAMA

tempat berguru. Ketika anda memiliki darah fotografi anda pasti bisa membe-dakan mana komunitas dan fotografer yang baik dan layak dijadikan inspirasi dan tempat berguru mana yang tidak. Sederhananya lagi seperti ini, ketika anda dihadapkan kepada 2 kendaraan untuk anda pilih, yang satu bajaj, yang satu lagi sebuah mobil bermerk Bent-ley. Bajaj terasa lebih familiar karena sudah dikenal di mana-mana, sementa-ra Bentley tidak pernah akrab di telinga kita. Bajaj terlihat lebih ramah, semen-tara Bentley terkesan angkuh. Mereka yang memilih bajaj artinya memiliki batas atas apresiasi sekelas bajaj, se-mentara mereka yang memilih Bentley memiliki batas atas apresiasi sekelas Bentley.” Tambahnya. HT berpendapat karena fotografi memiliki kandungan cita rasa seni yang cukup kental mem-buat seseorang yang ingin belajar pada awalnya harus bisa membedakan mana foto yang baik mana yang tidak. Mana komunitas yang bisa memberikan banyak ilmu dan pengetahuan mana komunitas yang hanya menawarkan persahabatan. Mana fotorgafer yang memiliki kemampuan dan cita rasa tinggi mana yang tidak.

Menanggapi tren hunting bersama atau sesi pemotretan bersama, HT

berkomentar lebih keras lagi. “Hunt-ing bersama itu bukan tempat belajar. Coba lihat apa bangganya memiliki foto yang modelnya sama, lighting set upnya mirip, bedanya hanya kompo-sisi dan exposure saja.” Ungkapnya. “Dalam proses belajar ada yang namanya eksplorasi cita rasa pribadi. Di situ anda perlu egois. Apa maunya anda, lakukanlah. Sementara dalam sesi hunting bersama anda tidak bisa egois. Namun saya tidak menyatakan hunting bersama sebagai salah satu yang diharamkan. Hanya saja, jangan gunakan itu sebagai tempat belajar.

Lebih baik untuk sarana bersosialisasi saja.” Sambungnya.

AT pun menganggap sesi hunting bersama sebagai salah satu perangkap dalam jalur otodidak. “Banyak yang awalnya hanya ingin punya pengala-man memotret. Karena tidak ada uang untuk menyewa lampu, sewa studio, sewa model untuk seorang diri maka mulailah dengan hunting bersama yang terasa lebih bersahabat di kantong. Namun lama kelamaan jadi ketagihan dan bahkan lebih parah lagi ketika hasil hunting bersama diakui sebagai portfolio untuk berjualan jasa fotografi.” Ungkapnya. “Memang tidak ada aturan baku mengenai portfolio, namun saya pribadi tidak akan men-gakui hasil hunting bersama sebagai portfolio karena eksplorasinya bersa-ma-sama.”tambahnya.

fotografi memiliki kandungan cita

rasa seni yang cukup kental

membuat ses-eorang yang in-gin belajar pada

awalnya harus bisa membeda-

kan mana foto yang baik mana

yang tidak. Mana komunitas yang

bisa memberikan banyak ilmu dan

pengetahuan mana komunitas yang hanya me-nawarkan persa-

habatan. Mana fotorgafer yang

memiliki kemam-puan dan cita

rasa tinggi mana yang tidak.

“Dalam proses belajar ada

yang namanya eksplorasi cita

rasa pribadi. Di situ anda perlu

egois. Apa mau-nya anda, laku-kanlah. Semen-tara dalam sesi

hunting ber-sama anda tidak

bisa egois.

Page 31: TheLight Photography Magazine #10

60 EDISI X / 2008

LIPUTANUTAMA

EDISI X / 2008 61

LIPUTANUTAMA

AT sendiri mulai mendalami fotografi melalui jalur otodidak dengan sangat hati-hati. “saya selalu selektif memilih workshop. Tidak semua workshop saya ikuti. Dan bahkan lebih banyak workshop yang kurang baik diband-ing yang baik menurut saya. Salah satu cara mengevaluasi apakah workshop, seminar, kursus singkat, dan komunitas tertentu memberikan hasil yang positif bagi kita atau tidak adalah dengan bertanya kepada diri sendiri, apakah setelah mengikuti workshop, seminar, kursus singkat, ataupun komunitas tertentu saya menjadi lebih mengerti esensi fotografi sehingga bisa men-gaplikasikannya pada kasus lain atau saya hanya bisa membuat apa yang dibuat pembicara atau rekan yang ada di workshop, seminar, kursus singkat dan komunitas tertentu. Ketika esensi fotografinya yang didapat artinya anda sudah belajar dengan benar.” Jelasnya.

Beberapa buku, majalah dan komuni-tas tertentu juga dianggap HT men-jebak dan membodohi mereka yang sedang belajar dengan menampilkan data teknis yang tidak berbicara apa-apa. “Makin banyak media yang mengobral data teknis seperti kamera yang dipakai, lensa yang dipakai, bu-kaan diafragma, kecepatan, ISO/ASA,

dll sebagai pelengkap sebuah foto. Memangnya apa arti data teknis terse-but?” Ungkapnya. “beberapa waktu yang lalu seorang murid saya pernah bertanya kepada saya. Ia melihat suatu foto hi key di sebuah majalah dengan data teknis di bawahnya menyebutkan bahwa bukaan 2,8 dan speed 1/125. Ia bertanya mengapa ia tidak bisa mendapatkan hasil yang sama ketika mencoba mengikutinya di studionya. Padahal ia menggunakan bukaan dan speed yang sama. Ia tidak memper-timbangkan kondisi pencahayaan di studionya yang berbeda dengan di

foto yang ia contoh. Ia tidak memper-timbangkan power lighting equipment yang mungkin sekali berbeda antara yang ia gunakan dan yang digunakan di foto yang ia lihat itu. Ia juga tidak mempertimbangkan lensa yang digu-nakan, kamera yang digunakan, dan masih banyak kondisi yang berbeda. Akhirnya ia bertanya kepada saya, jadi apa gunanya data teknis itu pak? Dan saya pun menjawab “sampah, tidak ada gunanya.” Jelasnya. “Hasil pemotretan bisa sangat berbeda bahkan dengan alat yang sama, bukaan dan kecepatan yang sama ketika dilakukan di tempat yang berbeda, dengan model yang memiliki warna kulit yang berbeda, dengan power dari lighting equipment yang berbeda. Jadi bodoh sekali jika

“Hasil pemotretan bisa sangat berbeda bahkan ketika di-lakukan dengan alat yang sama, bukaan dan kece-patan yang sama ketika dilakukan di tempat yang berbeda, den-gan model yang memiliki warna ku-lit yang berbeda, dengan power dari lighting equipment yang berbeda. Jadi bodoh sekali jika kita menganggap data teknis seba-gai sesuatu yang bisa membantu mencerna esensi dari teknik foto-nya...”

Page 32: TheLight Photography Magazine #10

62 EDISI X / 2008

LIPUTANUTAMA

EDISI X / 2008 63

JURNALISTIKPHOTOGRAPHY

kita menganggap data teknis seba-gai sesuatu yang bisa membantu mencerna esensi dari teknik fotonya, karena kita tidak tahu kondisi di lokasi pemotretan. Terlalu banyak hal yang mempengaruhi sehingga data teknis jadi tidak ada gunanya lagi.” Sambung-nya.

Belajar fotografi di jalur otodidak me-mang bukan perkara mudah. Walau-pun kesempatan improvisasi terbuka amat sangat lebar, namun pintu-pintu jebakan juga terbuka sama lebarnya. Pada akhirnya untuk lolos dari jeba-kan tersebut dibutuhkan pemaha-man bukan penghapalan dari semua informasi yang diterima. Ketika kita menerima pengetahuan atau informasi melalui kasus pemotretan cobalah untuk mencernanya melalui koridor esensi dan logika, bukan pada koridor menghapal dan menjiplak. Dengan begitu apapun contoh yang kita lihat ilmu yang kita dapatkan dari contoh itu akan membuat kita bisa mengaplikasi-kannya pada kasus lain, bukan mem-batasi kita hanya pada kemampuan menghasilkan foto dengan kasus yang sama.

Ketika kita menerima

pengetahuan atau informasi melalui kasus

pemotretan cobalah untuk mencernanya

melalui koridor esensi dan logi-ka, bukan pada koridor meng-

hapal dan men-jiplak.

Page 33: TheLight Photography Magazine #10

64 EDISI X / 2008

JURNALISTIKPHOTOGRAPHY

EDISI X / 2008 65

JURNALISTIKPHOTOGRAPHY

AGUS SUSANTO, JAM TERBANG JUNIOR, KEMAMPUAN SENIORDari semua fotografer jurnalistik yang pernah hadir di majalah ini semuanya bisa digolongkan sebagai senior. Untuk itu, sebagai penyegaran kali ini kami meng-hadirkan Agus Susanto, seorang fotografer yang belum bisa dikatakan senior namun belum bisa dikatakan junior juga karena foto-fotonya yang begitu menye-garkan.

Agus Susanto mengawali ketertarikannya dengan fotografi ketika duduk di bangku SMA di Yogya. Saat itu ia banyak melakukan pemotretan ketika keliling kota dan keliling jawa naik motor bersama temannya. Saat itu Agus masih meng-gunakan kamera pocket. Ketika lulus SMA, Agus mendaftarkan diri di Universitas Islam Indonesia Yogyakarta dan diterima. Setelah membayar uang masuk UII, pengumuman UMPTN pun keluar dan Agus diterima di jurusan administrasi niaga

Page 34: TheLight Photography Magazine #10

66 EDISI X / 2008

JURNALISTIKPHOTOGRAPHY

EDISI X / 2008 67

JURNALISTIKPHOTOGRAPHY

Page 35: TheLight Photography Magazine #10

68 EDISI X / 2008

JURNALISTIKPHOTOGRAPHY

EDISI X / 2008 69

JURNALISTIKPHOTOGRAPHY

Universitas Sebelas Maret Solo. Uang masuk UII pun dikembalikan dan ia pergunakan untuk membeli kamera SLR. Sejak saat itu ia mulai lebih serius lagi mendalami fotografi. Ia banyak mendokumentasikan kegiatan maha-siswa pencinta alam di kampusnya dan itu mengawali ketertarikannya dengan dunia jurnalistik. Beberapa saat kemu-dian ketika Agus tidak bisa mengguna-kan kamera SLR yang lebih canggih ia dikenalkan dengan komunitas Himpu-nan Senifoto Bengawan (HSB) dan di situ ia banyak menimba ilmu. Selama kuliah Agus rajin memotret, termasuk meliput demo mahasiswa yang pada akhirnya dimuat di majalah kampus.

Setelah lulus kuliah di UNS, Agus merantau ke Jakarta dan kuliah di IKJ sambil bekerja di sebuah majalah foto. Namun karena kesibukannya kuliahnya pun terlantar dan berhenti.Tahun 2000, Agus diterima menjadi salah satu pewarta foto Kompas. Sejak bergabung dengan Kompas hingga saat ini Agus pernah sempat menan-gani bidang fashion, olahraga, hiburan, kuliner, politik hingga kini ditempatkan di metro.Agus belajar fotografi di kompas hanya melalui teguran para seniornya ketika melihat fotonya yang kurang baik.

“Saya nggak tau teori, tapi saya banyak belajar di lapangan karena di jurnalistik ilmunya banyak di lapangan.” Ungkap-nya.

Agus juga gemar memotret feature suatu tempat atau cerita di balik suatu tempat.Untuk menghasilkan foto feature yang baik Agus berpendapat terkadang sang fotografer harus berkali-kali datang ke tempat tersebut sebelum memotret. “Untuk bisa merasakan rasanya tempat itu kadang kita harus berkali-kali ke situ.” Jelasnya.

Untuk memotret feature, Agus selalu melakukan pendekatan terlebih da-hulu. “Kalau object sudah tidak curiga akan kehadiran kita, baru kita bisa me-motret dengan baik.” Jelasnya. Hal ini juga diterapkan ketika harus melaku-kan pemotretan di daerah rawan. “Kalau motret di daerah rawan, begitu sampai jangan langsung keluarkan kamera. Sebaiknya duduk-duduk dulu di warung, minum dulu, ngobrol sama orang setempat. Jadi mereka nggak kaget dan nggak curiga.” Tambahnya.

Pendekatan ke obyek ini yang di-anggap Agus sering dilupakan oleh fotografer junior. “Yang muda-muda

“Saya nggak tau teori, tapi saya banyak belajar

di lapangan kar-ena di jurnalistik ilmunya banyak

di lapangan.”

“Untuk bisa merasakan ras-

anya tempat itu kadang kita

harus berkali-kali ke situ.”

“Saya banyak cari foto-foto bagus di inter-net, cari foto dari majalah yang bagus-bagus. Semakin sering kita me-lihat foto yang bagus, semakin mata kita ter-latih untuk bikin foto yang sama bagus-nya. Memang pada awalnya nyontek, namun lama kelamaan jadi terlatih un-tuk improvisasi sendiri.”

Page 36: TheLight Photography Magazine #10

70 EDISI X / 2008

JURNALISTIKPHOTOGRAPHY

EDISI X / 2008 71

JURNALISTIKPHOTOGRAPHY

Page 37: TheLight Photography Magazine #10

72 EDISI X / 2008

JURNALISTIKPHOTOGRAPHY

EDISI X / 2008 73

JURNALISTIKPHOTOGRAPHY

maunya cepat aja. Jadi begitu sampai lokasi maunya langsung motret, ng-gak mau coba pendekatan ke obyek dulu, ajak ngobrol.” Jelasnya. “Padahal terkadang sebagai seorang wartawan, pewarta foto juga harus mencari tahu sejarah seuatu tempat, ekspresi, emosi dari obyek fotonya sebelum memotret. Dan dengan melakukan pendekatan kita jadi lebih tahu hal-hal seperti itu.”

Namun dari semua bidang dalam jur-nalistik yang pernah ditekuninya, Agus mengaku paling menggemari bidang olahraga. “Di olahraga, klimaksnya nggak terprediksi, bisa kapan saja. Di situ serunya, jadi kita harus terus siap.”

Page 38: TheLight Photography Magazine #10

74 EDISI X / 2008

JURNALISTIKPHOTOGRAPHY

EDISI X / 2008 75

JURNALISTIKPHOTOGRAPHY

Page 39: TheLight Photography Magazine #10

76 EDISI X / 2008

JURNALISTIKPHOTOGRAPHY

EDISI X / 2008 77

JURNALISTIKPHOTOGRAPHY

Jelasnya. Dalam memotret olahraga, jika menemui satu obyek yang berpo-tensial untuk membuat berita biasanya ia terus mengincar. “Misalnya sepak bola, kalau dari awal sudah ada satu pemain yang temperamental, ya sudah lupakan yang lain dulu incar yang itu dulu. Tungguin kapan ia berulah. Pasti dapat kok.” Jelasnya.Melihat satu per satu foto Agus Su-santo, membuat kami bisa mengambil kekuatan utama foto Agus dibanding fotografer jurnalis lain, yaitu komposis-inya. Foto Agus terlihat di atas rata-rata karena selain memiliki nilai berita yang merupakan syarat mutlak foto jurnal-istik yang baik namun juga memiliki komposisi yang cantik.Agus sendiri mengaku banyak belajar komposisi dari banyak melihat refer-ensi. “Saya banyak cari foto-foto bagus di internet, cari foto dari majalah yang bagus-bagus. Semakin sering kita melihat foto yang bagus, semakin mata kita terlatih untuk bikin foto yang sama bagusnya. Memang pada awalnya nyontek, namun lama kelamaan jadi terlatih untuk improvisasi sendiri.” Ung-kapnya. “Referensi foto jurnalistik tidak harus dari Koran atau majalah politik, tapi bahkan majalah fashion pun bisa jadi rerefensi dan inspirasi yang me-narik untuk membuat foto jurnalistik

yang baik.” Sambungnya.

Setelah banyak melihat foto yang bagus, Agus yakin kemampuan untuk memvisualisasikan foto di kepala menjadi lebih baik lagi. “Fotografer jurnalistik tidak harus selalu hanya me-nangkap momen apa adanya, tapi juga harus rajin memvisualisasikan kemung-kinan-kemungkinan momen yang bisa terjadi. Sehingga yang didapat bukan sekedar nilai beritanya tapi juga enak dilihat.” Ungkapnya.

Berbicara mengenai hal yang paling ia tidak sukai dalam memotret adalah ketika harus meliput peresmian suatu tempat atau ulang tahun perusahaan atau orang. “Motret orang salaman itu paling susah dan menyebalkan. Karena susah untuk jadi bagus. Tapi karena ini pekerjaan ya tetap nggak bisa ditolak, haru mau menjalani.” Jelasnya sambil tersenyum.

Menjalani hidupnya sebagai pewarta foto yang bertugas untuk di bidang metro yang mewajibkannya rajin

berkeliling mencari berita dan obyek foto yang baik, Agus sesekali menemui kejenuhan akibat rutinitasnya itu. Untuk menyiasati hal tersebut Agus selalu mencari tantangan baru den-gan mencari berita baru yang sedang panas-panasnya untuk dikerjakan. “Atau bahkan kalau perlu kita mencari berita yang orang lain belum terpikir. Caranya salah satunya ya dengan cari di internet.” Akunya.

Seperti kebanyakan fotografer jurnal-istik lain, Agus juga pernah meliput konflik. Namun sedikit berbeda den-gan fotografer-fotografer yang pernah hadir di sini, Agus justru senang ketika

“Referensi foto jurnalistik tidak

harus dari Koran atau majalah

politik, tapi bah-kan majalah

fashion pun bisa jadi rerefensi dan inspirasi

yang menarik untuk membuat

foto jurnalistik yang baik.”

“Meliput konflik itu artinya kesempatan memiliki foto-foto yang langka.”

Page 40: TheLight Photography Magazine #10

78 EDISI X / 2008

JURNALISTIKPHOTOGRAPHY

EDISI X / 2008 79

JURNALISTIKPHOTOGRAPHY

Page 41: TheLight Photography Magazine #10

80 EDISI X / 2008

JURNALISTIKPHOTOGRAPHY

EDISI X / 2008 81

JURNALISTIKPHOTOGRAPHY

Page 42: TheLight Photography Magazine #10

82 EDISI X / 2008

JURNALISTIKPHOTOGRAPHY

EDISI X / 2008 83

JURNALISTIKPHOTOGRAPHY

ditugaskan untuk meliput konflik dan perang. “Meliput konflik itu artinya kesempatan memiliki foto-foto yang langka.” Ungkapnya. Agus tidak pernah takut sama sekali akan resiko meliput konflik. Agus yakin kode etik jurnalis-tik sudah cukup melindunginya dari hal-hal yang dapat membahayakannya, sejauh sang fotografer juga tahu aturan dan tidak melanggar kode etik yang berlaku.Kemampuan khusus yang harus dimi-liki oleh seorang fotografer jurnalistik dalam meliput konflik dan perang ada-lah harus bisa mengirimkan gambar bahkan dalam kondisi apapun. Karena hal itu berhubungan dengan waktu dan momen. Ketika seorang fotografer yangs edang meliput daerah konflik terlambat mengirimkan foto maka nilai foto tersebut jadi ikut berkurang.

Di akhir pembicaraan kami, Agus berpesan kepada fotografer muda untuk lebih banyak belajar di lapangan selain mengerti isu dan berita yang sedang dibicarakan, dan salah satu caranya adalah dengan banyak melihat website.

Page 43: TheLight Photography Magazine #10

84 EDISI X / 2008

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

EDISI X / 2008 85

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

Dari sedikit nama fotografer senior yang masih eksis, bukan sekedar terdengar nama besarnya tapi juga masih produktif dan masih punya kemampuan bersaing dengan yang muda-muda muncul nama Roy Genggam. Mungkin banyak yang bertanya-tanya mengapa kami tidak pernah menghadir-kan Roy Genggam di majalah ini padahal tim kami punya hubungan yang sangat baik dengan Roy Genggam. Adalah penyegaran yang kami tujuan. Di tengah begitu banyaknya majalah fotografi, workshop, seminar yang menampilkan Roy Genggam, kami justru memilih untuk menyimpannya untuk menghadirkan mae-stro-maestro fotografi seperti Roy Genggam dalam suasanan yang lebih segar di mana exposure mereka sudah tidak sebanyak sebelumnya. Namun kharisma, kemampuan dan kehebatan Roy Genggam sepertinya tidak habis karena masih bisa tetap segar ditampilkan bahkan ketika sudah begitu banyak tulisan dan pemikirannya beredar melalui majalah, workshop dan seminar. Berikut cuplikan pembicaraan kami dengannya di studionya di bilangan pondok pinang.

Roy Genggam mulai mengenal dunia seni ketika pada awalnya ia berniat untuk menjadi seniman lukis atau patung. Sejak SMA Roy sudah menghasilkan uang dari lukis. Ia lahir dari seorang ibu yang seorang pelukis dan ayah yang seorang arsitek. Ketika bermaksud melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi Roy dianjurkan pamannya untuk masuk ke sekolah film. Ia pun mendaftar di IKJ dan diterima. Mulai saat itu Roy mulai mengurangi melukis dan mulai memproduksi film pendek.

ROY GENGGAM, FROM ZERO TO HERO

Page 44: TheLight Photography Magazine #10

86 EDISI X / 2008

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

EDISI X / 2008 87

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

Selama kuliah Roy terbilang cukup cemerlang, hingga untuk keperluan ujian akhirnya Roy membuat film bersama Garin Nugroho. Waktu itu Roy bertugas se-bagai kameraman dan Garin sebagai sutradaranya. Namun amat disayangkan film produksi mereka hilang. Roy pun ngambek dan meninggalkan bangku kuliahnya. Bahkan ketika dekannya menyuratinya untuk menawarkan membiayai pembua-tan ulang filmnya Roy tetap menolak.

“...9 dari 10 fotografer adalah anak orang kaya, hanya 1 yang anak

orang miskin yaitu saya.”

Page 45: TheLight Photography Magazine #10

88 EDISI X / 2008

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

EDISI X / 2008 89

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

Sejak saat itu Roy memutuskan untuk pindah jalur menjadi fotografer. Namun perjalanan menjadi fotografer rupanya tidak semulus yang dibayang-kan. Tidak ada order yang datang selain tawaran menjadi jurnalis. “waktu itu tawaran itu nggak saya ambil karena saya lebih suka making picture dari-pada taking picture.” Jelasnya.Beberapa saat kemudian karir Roy Genggam di fotografi dimulai ketika ia mulai bekerja di majalah Asri dan tidak lama kemudian pindah ke majalah Laras. Setelah beberap saat kemudian Laras berhenti terbit Roy pun kembali menganggur. Ia pun memutuskan un-tuk membuat studio di kawasan tebet.

Ditanya mengenai modal fotografer komersil yang tergolong besar Roy pun menyangkal. “Di setiap seminar saya selalu bilang, 9 dari 10 fotografer adalah anak orang kaya, hanya 1 yang anak orang miskin yaitu saya. Saya suka bilang begitu bukan karena apa-apa, hanya karena ingin menginspirasikan orang untuk berani menjadi fotografer tanpa takut masalah modal.” Ung-kapnya. “Saya pernah motret hanya dengan 3 lampu dengan kamera me-dium namun bisa mengalahkan hasil fotografer dengan alat yang jauh lebih

setiap film, se-tiap kamera

memiliki kara-kter yang ber-

beda sehingga membutuhkan

treatment yang berbeda pula.

Jangan pernah berpikir dengan

kamera bagus kita pasti bisa mendapatkan

hasil yang bagus.

Belum tentu.”

Page 46: TheLight Photography Magazine #10

90 EDISI X / 2008

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

EDISI X / 2008 91

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

Page 47: TheLight Photography Magazine #10

92 EDISI X / 2008

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

EDISI X / 2008 93

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

lengkap dari saya.” Sambungnya. Namun kini Roy sudah memiliki alat yang lengkap, bahkan mungkin salah satu yang terlengkap di Indonesia. “Sekarang klien sudah nggak peduli saya pakai apa.” Tegasnya.

Awal transisi dari teknologi film ke digital pun dijalani Roy dengan alot. “Awalya saya nggak mau pakai digital, lalu yang jualan pintar juga, dia ngebu-juk istri saya yang juga merangkap jadi partner saya. Akhirnya istri saya pun mulai membujuk saya dengan per-hitungan penghematan yang masuk akal. Saya pun akhirnya setuju.” Ke-nangnya. “Setiap hari, pagi-pagi sebe-lum klien datang saya menyempatkan diri untuk belajar memotret dengan digital, saya nggak mau kelihatan bodoh kalau suatu waktu saya harus motret pakai digital.” Sambungnya.

Roy berpendapat bahwa setiap film, setiap kamera memiliki karakter yang berbeda sehingga membutuhkan treatment yang berbeda pula. “Cara un-tuk tahu, ya tidak lain selain berusaha mengenalnya, banyak berlatih. Dengan begitu jadi tahu karakternya dan tahu harus diapakan.” Jelasnya. “Jangan pernah berpikir dengan kamera bagus kita pasti bisa mendapatkan hasil yang bagus. Belum tentu.” Tambahnya.

Namun kemudahan yang dihadirkan digital dipandang Roy membawa hal yang kurang baik terutama bagi mere-

“Coba lihat berapa banyak fotografer ju-nior yang punya lampu tapi pu-nya light me-ter juga? Tidak banyak. Padahal lighting tetap perlu dihitung.”

Page 48: TheLight Photography Magazine #10

94 EDISI X / 2008

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

EDISI X / 2008 95

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

“kalau kurvanya masih linear sudah bagus artinya aman untuk dkoreksi.”

Page 49: TheLight Photography Magazine #10

96 EDISI X / 2008

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

EDISI X / 2008 97

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

ka yang ingin instan. “Coba lihat berapa banyak fotografer junior yang punya lampu tapi punya light meter juga? Tidak banyak. Padahal lighting tetap perlu dihitung.” Tegasnya. “Mereka be-

ranggapan kalau ada kesalahan expo-sure sedikit bisa diperbaiki di komput-er. Padahal proses editing di komputer sama seperti melakukan push ASA di film. Grainnya ikut naik.”Tambahnya. Foto yang bagus secara kualitas digital bagi Roy adalah foto yang dengan kurva linear pun sudah bagus. “kalau kurvanya masih linear sudah bagus artinya aman untuk dkoreksi.” Jelasnya. Roy melihat banyak fotografer belum mengerti penggunaan olah digital sepenuhnya. “banyak yang motret mobil dengan digitak imaging namun key lightnya beda, tonenya beda, arah cahayanya beda, jadi terlihat janggal.”Ungkapnya. “Untuk aman di-DI, foto harus benar semua terlebih dahulu. Artinya motretnya harus jelas di atur di awal, jangan dibelakang. Ka-lau perlu di breakdown apa yang perlu di foto, lighting diagramnya, scenario DInya, sehingga semuanya terencana di awal.” Tambahnya.

Mengenai teknik lighting, Roy selalu menanyakan diri sendiri, mau dibikin jadi seperti apa fotonya. “Cahaya uta-manya satu, dan tidak selalu main light harus lebih terang. Intinya atmosfir apa yang mau dibikin.” Jelasnya. Bagi Roy Lighting tidak bisa dirumuskan karena berhubungan dengan rasa dan keuni-

“Kita belajar segala teknik

fotografi untuk kita lupakan.

Yang penting tujuannya.”

“memotret baru bisa dibilang

berhasil kalau hasilnya sama

bagusnya den-gan apa yang ada di kepal-

anya, tidak lebih dan tidak

kurang.”

Page 50: TheLight Photography Magazine #10

98 EDISI X / 2008

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

EDISI X / 2008 99

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

Page 51: TheLight Photography Magazine #10

100 EDISI X / 2008

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

EDISI X / 2008 101

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

kan. “Kita belajar segala teknik fotografi untuk kita lupakan. Yang penting tujuannya.” Tambahnya.

Bagi Roy, memotret baru bisa dibilang berhasil kalau hasilnya sama bagusnya dengan apa yang ada di kepalanya, tidak lebih dan tidak kurang. Untuk be-lajar berusaha “menggambar di kepala” Roy menyarankan untuk memperban-yak referensi “Banyak-banyak lihat pameran seni rupa, film, buku, musik karena akan memperkaya referensi jiwa seni.” Tegasnya. Fotografi bagi Roy harus memiliki konsep. “Sesederhana apapun sebuah foto harus punya kon-sep. Maka dari itu perlu untuk belajar menggambar di otak.”

Berbicara mengenai fotografi komersil,

Roy beranggapan bahwa hal teknis merupakan sesuatu yang mutlak di fotografi komersil. Selanjutnya mental professional dan kemampuan mem-bina hubungan dengan orang lain juga penting. “Janji harus tepat waktu, atti-tude juga jangan aneh-aneh.” Jelasnya. Bagi Roy fotografer komersil adalah gabungan dari seniman, tukang, pedagang, dan aktor yang menguasai permainan psikologi. “Seniman karena harus bikin hasil karya yang berseni. Tukang karena terkadang harus menuruti apa maunya klien. Peda-gang karena harus memikirkan cara menjual produknya, dan aktor karena terkadang harus bisa mengatur mood.” Jelasnya. “Kadang lebih melelahkan be-raktingnya dariapda motretnya. Harus marah sama crew kalau mereka lambat,

“Banyak-ban-yak lihat pam-

eran seni rupa, film, buku,

musik karena akan memper-kaya referensi

jiwa seni.”

“Sesederhana apapun sebuah foto harus punya konsep. Maka dari itu perlu untuk belajar menggambar di otak.”

Page 52: TheLight Photography Magazine #10

102 EDISI X / 2008

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

EDISI X / 2008 103

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

Page 53: TheLight Photography Magazine #10

104 EDISI X / 2008

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

EDISI X / 2008 105

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

“fotografer komersil adalah gabungan dari seniman, tukang, pedagang, dan aktor yang menguasai permainan psikologi.”

Page 54: TheLight Photography Magazine #10

106 EDISI X / 2008

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

EDISI X / 2008 107

WHERETOFIND

namun setelah itu harus bercanda den-gan klien, selanjutnya harus bisa kasih tau make up artis bahwa make upnya jelek tanpa menyinggung perasaaan-nya. Untuk itu staminanya harus tinggi. Stamina fisik, stamina mental dan juga financial karena pembayarannya juga butuh waktu.

Di akhir pembicaraan kami, Roy ber-pesan bagi mereka yang masih junior untuk tidak menyepelekan basic teknis karena sampai kapanpun akan berku-tat di situ. “ Ini perlu supaya tidak ada yang mutlak. Sehingga kita bisa banyak berimprovisasi” Jelasnya. Mengenai portfolio Roy menyarankan fotografer muda untuk memiliki portfolio yang baik walaupun tidak harus banyak. “dan yang paling penting manajemennya harus baik, manajemen waktu, manajemen uang, manajemen semuanya supaya tidak mengecewa-kan orang lain.” Tegasnya.

“dan yang pal-ing penting

manajemen-nya harus baik,

manajemen waktu, mana-

jemen uang, manajemen se-muanya supaya tidak mengece-

wakan orang lain.”

Page 55: TheLight Photography Magazine #10

108 EDISI X / 2008

WHERETOFIND

EDISI X / 2008 109

WHERETOFIND

JAKARTATelefikom FotografiUniversitas Prof. Dr. Moestopo (B), Jalan Hang Lekir I, JakPusIndonesia Photographer Organization (IPO)Studio 35, Rumah Samsara, Jl. Bunga Mawar, no. 27, Jakarta Selatan 12410Unit Seni Fotografi IPEBI (USF-IPEBI)Komplek Perkantoran Bank Indonesia, Menara Sjafrud-din Prawiranegara lantai 4, Jl. MH.Thamrin No.2, JakartaUKM mahasiswa IBII, Fotografi Institut Bisnis Indonesia (FOBI)Kampus STIE-IBII, Jl Yos Sudarso Kav 87, Sunter, Jakarta UtaraPerhimpunan Penggemar Fotografi Garuda Indonesia (PPFGA)PPFGA, Jl. Medan Merdeka Selatan No.13, Gedung Garuda Indonesia Lt.18Komunitas Fotografi Psikologi Atma Jaya, JKTJl. Jendral Sudirman 51, Ja-karta.Sekretariat Bersama Fakultas Psikologi Atma Jaya Ruang G. 100Studio 51Unversitas Atma Jaya, Jl. Jendral Sudirman 51, JakartaPerhimpunan Fotografi Taru-manegaraKampus I UNTAR Blok M Lt. 7 Ruang PFT. Jl. Letjen S. Parman I JakBarPt. Komatsu Indonesia

Jl. Raya Cakung Cilincing Km. 4 Jakarta Utara 14140LFCN (Lembaga Fotografi Candra Naya)Komplek Green Ville -AW / 58-59, Jakarta Barat 11510HSBC Photo ClubMenara Mulia Lt. 22, Jl. Jendral Gatoto Subroto Kav. 9-11, JakSel 12930XL PhotographJl. Mega Kuningan Kav. E4-7 No. 1 JakSelKelompok Pelajar Peminat Fotografi SMU 28Jl. Raya Ragunan (Depan RS Pasar Minggu) JakSelFreePhot (Freeport Jakarta Photography Community)Masterlist Management Export Import Department PT Freport Indonesia Plaza 89 6th Floor. Jl Rasuna Said Kav X-7 No. 6NothofagusPT Freport Indonesia Plaza 895th Floor. Jl Rasuna Said Kav X-7 No. 6CybiLensPT Cyberindo Aditama, Manggala Wanabakti IV, 6th floor. Jl. Gatot Subroto, jakarta 10270FSRD TrisaktiFSRD Trisakti, Kampus A. Jl. Kyai Tapa, Grogol. Surat menyurat: jl. Dr. Susilo 2B/ 30, Grogol, JakbarSKRAF (Seputar Kamera Fikom)Universitas SAHID Jl. Prof. Dr. Soe-pomo, SH No. 84, Jak-Sel 12870One Shoot PhotographyFIKOM UPI YAI jl. Diponegoro no. 74,

JakPusLasalle CollegeSahid Office Boutique Unit D-E-F (komp. Hotel Sahid Jaya). Jl. Jend Sudirman Kav. 86, Jakarta 1220Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Al-Azhar Indo-nesiaJl. Sisingamangaraja, Kebayoran baru, Jak-Sel, 12110LSPR Photography ClubLondon School of Public RelationCampus B (Sudirman Park Office Complex)Jl. KH Mas Mansyur Kav 35Jakarta Pusat 10220FOCUS NUSANTARAJl. KH Hasyim Ashari No. 18, JakartaSUSAN + PROKemang raya No. 15 Lt.3, Jakarta 12730e-StudioWisma Starpage, Salemba Tengah No. 5, JKT 10440VOGUE PHOTO STUDIORuko Sentra Bisnis Blok B16-17, Tanjung Duren raya 1-38Shoot & Printjl. Boulevard Raya Blok FV-1 no. 4, Kelapa Gading Permai, jktQ FotoJl. Balai Pustaka Timur No. 17, Rawamangun, JktDigital Studio CollegeJl. Cideng Barat No. 21 A, Jak-PusDarwis Triadi School of Photography

jl. Patimura No. 2, Kebayoran BarueK-gadgets centreRoxy Square Lt. 1 Blok B2 28-29, JktStyle PhotoJl. Gaya Motor Raya No. 8, Gedung AMDI-B, Sunter JakUt, 14330Neep’s Art InstituteJl. Cideng Barat 12BB, JakartaV3 TechnologyMall ambassador Lt.UG/47. Jl. Prof Dr. Satrio, Kuningan, JakartaCetakfoto.netKemang raya 49D, Jakarta 12730POIsongraphyConocoPhillips d/a Ratu Prabu 2 jl.TB.Simatupang kav 18Jakarta 12560

BEKASILubang MataJl. Pondok Cipta Raya B2/ 28, Bekasi Barat, 17134

BANDUNGPAF BandungKompleks Banceuy Permai Kav A-17, Bandung 40111JepretSekretariat Jepret Lt. Basement Labtek IXB Arsitektur ITB, Jl Ganesha 10, BandungSpektrum (Perkumpulan Unit Fotografi Unpad)jl. Raya Jatinangor Km 21 Sumed-ang, JabarPadupadankan PhotographyJl. Lombok No. 9S BandungStudio intermodelJl. Cihampelas 57 A, Bandung 40116

Lab Teknologi Proses Material ITBJl. Ganesha 10 Labtek VI Lt. dasar, BandungSatyabodhiKampus Universitas PasundanJl. Setiabudi No 190, Bandung

TASIKMALAYAEco Adventure CommunityJl. Margasari No. 34 Rt. 002/ 008, Rajapolah, Tasikmalaya 46155

SEMARANGPRISMA (UNDIP)PKM (Pusat Kegiatan Mahasiswa) Joglo Jl. Imam Bardjo SH No. 1 Semarang 50243MATA Semarang Photography ClubFISIP UNDIPJl. Imam Bardjo SH. No.1, SemarangDIGIMAGE STUDIOJl. Setyabui 86A, SemarangJl. Pleburan VIII No.2, Semarang 50243Ady Photo Studiod/a Kanwil Bank BRI Semarang, Jln.Teuku Umar 24 SemarangPandawa7 digital photo studioJl. Wonodri sendang raya No. 1068C, SemarangKloz-ap Photo StudioJl. Kalicari Timur No. 22 Semarang

SOLOHSB (Himpunan Seni Ben-gawan)Jl. Tejomoyo No. 33 Rt. 03/ 011, Solo 57156

Lembaga pendidikan seni dan design visimedia collegeJl. Bhayangkara 72 Solo

YOGYAKARTAAtmajaya Photography clubGedung PUSGIWA kampus 3 UAJY, jl. babarsari no. 007 yogyakarta“UKM MATA” Akademi Seni Rupa dan Desain MSDJalan Taman Siswa 164 Yogyakarta 55151Unif Fotografi UGM (UFO)Gelanggang mahasiswa UGM, Bulak-sumur, YogyaFotografi Jurnalistik ClubKampus 4 FISIP UAJY Jl Babarsari YogyakartaFOTKOM 401gedung Ahmad Yani Lt.1 Kampus FISIPOL UPN “Veteran” yogyakarta. Jl Babasari No.1, Tambakbayan, Yogya-karta, 55281

SURABAYAHimpunan Mahasiswa Pengge-mar Fotografi (HIMMARFI)Jl. Rungkut Harapan K / 4, SurabayaAR TU PICUNIVERSITAS CIPUTRA Waterpark Boulevard, Citra Raya. Surabaya 60219FISIP UNAIRJL. Airlangga 4-6, SurabayaHot Shot Photo StudioPloso Baru 127 A, Surabaya, 60133Toko DigitalAmbengan Plasa B23. jl Ngemplak No. 30 SurabayaSentra Digital

Page 56: TheLight Photography Magazine #10

110 EDISI X / 2008

WHERETOFIND

Pusat IT Plasa Marina Lt. 2 Blok A-5. Jl. Margorejo Indah 97-99 Surabaya

TRAWASVANDA Gardenia Hotel & VillaJl. Raya Trawas, Jawa Timur

MALANGMPC (Malang Photo Club)Jl. Pahlawan Trip No. 25 MalangJUFOC (Jurnalistik Fotografi Club)student Centre Lt. 2 Universitas Muhammadiyah Malang. Jl. Raya Tlogomas No. 246 malang, 65144UKM KOMPENI (Komunitas Mahasiswa Pecinta Seni)kampus STIKI (Sekolah Tinggi Informatika Indonesia) Malang, Jl. Raya Tidar 100

JEMBERUFO (United Fotografer Club)Perum Mastrip Y-8 Jember, Jawa TimurUniveritas Jember (UKPKM Tegalboto)Unit Kegiatan Pers Kampus Mahasiswa Universitas Jemberjl. Kalimantan 1 no 35 komlek ged. PKM Universitas Jember 68121

MEDANMedan Photo ClubJl. Dolok Sanggul Ujung No. 4

Samping Kolam Paradiso Medan, Sumatra Utara 20213

BATAMBatam Photo ClubPerumahan Muka kuning indah Blok C-3, Batam 29435

PEKANBARUCCC (Caltex Camera Club)PT. Chevron Pasific Indonesia, SCM-Planning, Main Office 229, Rumbai, Pekanbaru 28271

LAMPUNGMalahayati Photography ClubJl. Pramuka No. 27, Kemiling, Ban-dar Lampung, 35153. Lampung-Indonesia. Telp. (0721) 271114

BALIKPAPANFOBIAIndah Foto Studio Komplek Ruko Bandar Klandasan Blok A1, Balikpa-pan 76112

KALTIMBadak Photographer Club (BPC)ICS Department, System Support Section, PT BADAK NGL, Bontang, Kaltim, 75324KPC Click Club/PT Kaltim Prima CoalSupply Department (M7 Buliding), PT Kaltim Prima Coal, Sangatta

SAMARINDAMANGGIS-55 STUDIO (Samarin-da Photographers Community)

Jl. Manggis No. 55 Voorfo, Sa-marinda Kaltim

SOROWAKOSorowako Photographers SocietyGeneral Facilities & Serv. Dept - DP. 27, (Town Maintenance) - Jl. Sumantri Brojonegoro, SOROWAKO 91984 - LUWU TIMUR, SULAWESI SELATAN

GORONTALOMasyarakat Fotografi GorontaloGraha Permai Blok B-18, Jl. Rambu-tan, Huangobotu, Dungingi, Kota Gorontalo

AMBONPerforma (Perkumpulan Fo-tografer Maluku)jl. A.M. Sangadji No. 57 Ambon. (Depan Kantor Gapensi kota Ambon/ Vivi Salon)

ONLINE PICK UP POINTS:www.estudio.co.idhttp://charly.silaban.net/www.studiox-one.com