thelight photography magazine #14

99
EDISI XIV / 2008 1 EDISI 14/2008 www.thelightmagz.com FREE

Upload: joko-riadi

Post on 24-Jun-2015

218 views

Category:

Documents


9 download

TRANSCRIPT

Page 1: TheLight Photography Magazine #14

EDISI XIV / 2008 1

EDIS

I 14/

2008

www.thelightmagz.com

FREE

Page 2: TheLight Photography Magazine #14

2 EDISI XIV / 2008

THEEDITORIAL

EDISI XIV / 2008 3

THEEDITORIAL

PT Imajinasia Indonesia,

Jl. Pelitur No. 33A,

www.thelightmagz.com

Pemimpin Perusahaan/

Redaksi: Ignatius Untung,

Technical Advisor: Gerard Adi,

Redaksi: redaksi@thelightmagz.

com, Public relation: Prana

Pramudya, Kontributor: Novijan

Sanjaya, Thomas Herbrich,

Siddharta Sutrisno, Iklan:

[email protected] -

0813 1100 5200, Sirkulasi: Maria

Fransisca Pricilia,

[email protected],

Graphic Design: ImagineAsia,

Webmaster: Gatot Suryanto

“Hak cipta semua foto dalam majalah ini milik fotografer yang

bersangkutan, dan dilindungi oleh Undang-undang. Penggunaan

foto-foto dalam majalah ini sudah seijin fotografernya. Dilarang

menggunakan foto dalam ma-jalah ini dalam bentuk / keperluan

apapun tanpa ijin tertulis pemi-liknya.”

COVERFOTOGRAFER:

NOVIJAN SANJAYA

PURSUIT OF PERFECTIONBagi sebagian orang mengejar kesempurnaan terdengar seperti semboyan atau slogan idealis omong kosong. Alasan bahwa kesempurnaan hanya milik Tuhan seakan-akan dijadikan pembenaran untuk berhenti mengupgrade kemampuan dengan mencari kesempurnaan. Seberapa banyak kita sudah membuat diri kita tidak nyaman dengan berhenti berleha-leha dan menjadi penggemar sejati foto kita sendiri menjadi orang yang paling membenci foto kita yang dengan kadar kebencian kita terhadap foto kita masing-masing kita bergerak dengan kekuatan penuh untuk mengejar sesuatu yang lebih baik.Pada kelompok lain, ada orang-orang yang tidak menganggap kesempurnaan itu sesuatu yang mustahil untuk dikejar. Namun mereka justru menganggap inilah kesempurnaan. Saya sudah mencapai kasta kesempurnaan. Foto saya sudah sangat sempurna. Sah-sah saja memang, tapi apa benar kesempurnaan begitu statisnya.

Ya, pencarian kesempurnaan sejatinya dilakukan untuk memotivasi diri kita untuk lebih baik lagi. Orang tua kita sering berkata “gantunglah cita-cita mu setinggi langit.” Pesan tersebut bukan untuk memaksa untuk mencapainya tanpa tawar menawar sedikitpun. Namun lebih untuk memotivasi kita untuk terus berusaha. Kesempurnaan mungkin terlalu dinamis sehingga tidak pernah bisa dicapai. Pada edisi ini kami menampilkan Randi Lynn Beach yang bahkan walaupun sudah masuk ke dalam kategori profesional masih terus melakukan upaya mencapai kesempurnaan dengan mengumpulkan pelajaran dari photography heroes. Begitu juga dengan Irawati Sarah yang begitu teguh memegang idealisme fo-tografinya. Dan juga Clarissa Jayakumara & Peddy Suryadinata yang tidak pernah berhenti belajar. Semoga kita semua juga tidak pernah belajar dari orang-orang seperti ini.

The Light

Page 3: TheLight Photography Magazine #14

4 EDISI XIV / 2008

COVERSTORY

EDISI XIV / 2008 5

FASHIONPHOTOGRAPHY

IRAWATI SARAH, MELIHAT NILAI GUNA PENDIDIKAN FORMAL FOTOGRAFIDari sekian banyak fotografer yang banyak melakukan pemotretan fashion, jarang sekali kita temui seorang fotografer wanita. Padahal tidak sedikit fashion stylist dan fashion designer yang berjenis kelamin wanita. Untuk itu pada kesempatan kali ini kami hadirkan Irawati Sarah. Walaupun Irawati Sarah sehari-harinya ber-profesi sebagai fotografer komersil, namun minatnya terhadap fotografi fashion cukup besar.

Ira mulai mengenal fotgrafi secara serius pada tahun awal tahun 90an. Waktu itu Ira memiliki kamera SLR namun tidak tahu cara menggunakannya. Ira yang waktu itu sedang menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Ekonomi Trisakti pun memutus-kan untuk mulai lebih giat berlatih fotografi dengan memanfaatkan teman-teman kuliahnya yang berpenampilan menarik. Ira pun sempat ikut klub fotografi FE Trisakti. Seperti kebanyakan orang, Ira juga merasa salah mengambil jurusan

Page 4: TheLight Photography Magazine #14

6 EDISI XIV / 2008

FASHIONPHOTOGRAPHY

EDISI XIV / 2008 7

FASHIONPHOTOGRAPHY

studinya pada saat itu. Walaupun ting-gal menyelesaikan skripsi saja, Ira akh-irnya memutuskan untuk mengambil kuliah fotografi. Ia pun memilih RMIT di Melbourne, Australia. Alma mater yang sama dengan Utomo Rahardjo, Anton Ismael dan Ajie Lubis.

Keseriusan Ira menekuni fotografi lah yang membawanya ke RMIT. “Saya maunya sekalian. Kalau sudah belajar sampai lulus ya harus sudah bisa, jadi nggak usah belajar di tempat lain lagi. Maka dari itu saya ambil RMIT karena itu satu-satunya yang memilii program S1 di Australia.” Ungkapnya.

Ira merasakan betul manfaat pendidi-kan formal fotografi dalam membantuk kemampuan seorang fotografer. “Yang sekolah seharusnya tekisnya lebih mumpuni.” Ungkapnya. “Selain itu di sekolah kita belajar sejarah seni, kamar gelap, bagaimana cara bikin chemical sendiri, film sendiri, bikin kertas foto sendiri. Biarpun saat ini nggak terpakai ilmunya, tapi suatu saat ketika saya memutuskan pensiun dan mau jadi fo-tografer fine art ilmu tersebut berguna sekali” Sambungnya.

Ira merasa pendidikan formal fotografi yang ia terima telah membuatnya jadi

“Fotografer adalah painter of light, jadi ya melukislah dengan cahaya, jangan dengan photoshop.”

Page 5: TheLight Photography Magazine #14

8 EDISI XIV / 2008

FASHIONPHOTOGRAPHY

EDISI XIV / 2008 9

FASHIONPHOTOGRAPHY

jauh lebih terlatih. Terlatih melihat lighting, komposisi dan juga terlatih memunculkan style. “Seolah-olah se-muanya diinstal ke dalam diri kita seh-ingga jadi build in.” Ungkapnya. “Waktu saya kerja, saya bisa jalan tanpa perlu kebanyakan mikir, karena semuanya sudah build in.” Sambungnya.

Mengomentari penggunaan olah digital oleh banyak pehobi fotografi pada saat ini Ira memandang bahwa olah digital harus digunakan seperlu-nya, tidak berlebihan dan tidak kurang. “Fotografer adalah painter of light, jadi ya melukislah dengan cahaya, jangan dengan photoshop.” Tegasnya. “Foto kalau nggak perlu di touch up ya ng-gak usah. Tapi masalahnya fotografer sekarang lebih serius belajar komputer daripada belajar fotografi. Jadinya semua foto pasti sempat di touch up di photoshop.” Sambungnya.

Ira melihat fotografer terutama yang muda-muda semakin rentan terhadap godaan olah digital. “Yang muda-muda konsepnya gila-gilaan. Sampai-sampai kita yang senior ini bingung, kok bisa kepikir aja.” Ungkapnya. “Tapi sayang-

“... Tapi masalah-

nya fotografer

sekarang lebih

serius belajar

komputer daripada

belajar fotografi...”

Page 6: TheLight Photography Magazine #14

10 EDISI XIV / 2008

FASHIONPHOTOGRAPHY

EDISI XIV / 2008 11

FASHIONPHOTOGRAPHY

Page 7: TheLight Photography Magazine #14

12 EDISI XIV / 2008

FASHIONPHOTOGRAPHY

EDISI XIV / 2008 13

FASHIONPHOTOGRAPHY

nya banyak yang hebat sebatas konsep saja, realisasinya dominan di komputer dibading di fotografinya.” Sambungnya.

Ira juga melihat kurang beraninya fotografer muda untuk mencipta-kan gayanya sendiri. “Coba saja lihat komunitas-komunitas online, fotonya sama semua. Kalau landscape langitnya biasanya aneh, atau kalau tidak banyak mengandalkan infra red. Kalau fash-ion porsi backgroundnya besar sekali sementara modelnya kecil banget.” Jelasnya. “Tapi ya nggak heran, karena mereka belajarnya di situ, referensinya ya hanya dari sesama rekan komunitas

online.” Sambungnya.Ira melihat ada kecenderungan pehobi fotografi yang bergabung di komunitas online mayoritas masih mengejar poin. “Kalau mereka nggak ngejar poin pasti mereka berani bikin yang beda. Tapi kebanyakan mereka takut bikin yang beda karena belum tentu orang lain suka.” Jelasnya.

Sekali lagi Ira melihat begitu positifnya dampak pendidikan formal fotografi dalam menyikapi hal ini. “Di sekolah kita di push untuk punya jati diri. Ng-gak cuma niru.” Jelasnya. “Ketika kita memotret mungkin kita mengadopsi gaya dari fotografer tertentu, tapi ng-gak berhenti di situ saja. Kita harus

“Yang muda-muda konsep-

nya gila-gilaan. Sampai-sampai kita yang senior ini bingung, kok bisa kepikir aja.”

Page 8: TheLight Photography Magazine #14

14 EDISI XIV / 2008

FASHIONPHOTOGRAPHY

EDISI XIV / 2008 15

FASHIONPHOTOGRAPHY

kasih warna kita nya di situ, supaya nggak sekedar jiplak.” Sambungnya.

Ditanya tips agar seorang fotografer bisa memiliki identitas atau style prib-adi Ira menjawab bahwa cara paling utama untuk menciptakan identitas adalah melalui pengalaman. “Saya nye-sel cuma 2 tahun jadi asisten. Harusnya minimal 5 tahun jadi asisten sebelum akhirnya motret.” Jelasnya.

Ira juga mengajak fotografer-fotografer muda untuk lebih banyak berlatih teknis dan artistic fotografi. “Dulu waktu saya kuliah, saya cuma boleh motret dengan penempatan point of interest di 9 pilihan. Itupun harus dico-ba berawal dari dead centre. Selain iu

background yang diperbolehkan hanya putih. Kalau tidak bisa, boleh coba abu-abu, kalau tidak bisa juga boleh coba hitam.” Jelasnya. “Tingkat kesulitannya adalah bagaimana membuat foto yang bagus walaupun hanya dengan back-ground putih. Dengan background yang sesederhana itu kita akan berlatih untuk memaksimalkan obyek dan teknik lighting.” Sambungnya. “Banyak fotgrafer yang senang membuat back-ground menjadi yang utama, bukan pelengkap. Padahal background ya harusnya cuma jadi pelengkap. Lihat-

“Banyak fo-tografer yang senang mem-buat back-ground menjadi yang utama, bu-kan pelengkap. Padahal back-ground ya har-usnya cuma jadi pelengkap...”

Page 9: TheLight Photography Magazine #14

16 EDISI XIV / 2008

FASHIONPHOTOGRAPHY

EDISI XIV / 2008 17

FASHIONPHOTOGRAPHY

Page 10: TheLight Photography Magazine #14

18 EDISI XIV / 2008

FASHIONPHOTOGRAPHY

EDISI XIV / 2008 19

FASHIONPHOTOGRAPHY

lah fotografer yang hebat-hebat seperti Sam Nugroho misalnya. Sam Nugroho kalau motret sering bikin set yang be-sar untuk background. Tapi sebesar dan sebagus apapun backgroundnya hanya jadi pelengkap, bukan yang utama.” Lanjutnya lagi.

Ira melihat fotografer sekarang banyak yang fotonya terlihat bagus karena set dan property yang bagus, bukan obyek utamanya. “Lihat saja foto pre wed-ding. Sepertinya kalau sudah dapat

lokasi yang bagus untuk background semuanya jadi selesai. Akhirnya foto-nya porsi backgroundnya jauh lebih dominan dibanding modelnya.” Tegas-nya. “Sebenarnya mereka itu motret landscape atau motret pre wedding sih?” Sambungnya.

Berbicara mengenai perang harga yang dilakukan oleh banyak fotografer, Ira menilai seharusnya fotografer harus intropeksi. “Semua orang butuh uang, butuh pengakuan. Tapi kalau menurunkan harga terus-terusan dan gila-gilaan artinya justru menu-runkan penilaian terhadap diri sendiri.” Jelasnya. “Seharusnya fotografer bisa mempertahankan harga dirinya.” Sam-bungnya.

“Semua orang butuh uang, bu-tuh pengakuan.

Tapi kalau menurunkan

harga terus-ter-usan dan gila-gilaan artinya

justru menurunkan

penilaian terhadap diri

sendiri.”

Page 11: TheLight Photography Magazine #14

20 EDISI XIV / 2008

FASHIONPHOTOGRAPHY

EDISI XIV / 2008 21

FASHIONPHOTOGRAPHY

Page 12: TheLight Photography Magazine #14

22 EDISI XIV / 2008

FASHIONPHOTOGRAPHY

EDISI XIV / 2008 23

FASHIONPHOTOGRAPHY

Mengenai perilaku fotografer-fo-tografer professional, Ira juga bingung terhadap perilaku fotografer Indonesia yang berbeda dengan fotografer luar negeri. “Di luar negeri hampir 95% fotografer yang bagus adalah orang-orang anti sosial. Karena waktu mereka habis untuk kerja. Kalaupun ada waktu sisa, mereka pakai untuk memikirkan personal project biasanya.” Jelasnya. “Sementara 2,5% biasanya playboy dan 2,5% sisanya biasanya gay.” Sambung-nya. “Tapi kalau di Indonesia, justru 90% fotografer adalah mahluk sosial yang sangat senang bersosialisasi.” Lanjutnya. “Jadi nggak heran kalau pada akhirnya fotonya sama semua, kan motretnya sering bareng.”lanjutnya lagi.

Ira mengaku bahwa saat ini ia sedang meyenangi membuat foto-foto yang terlihat sederhana walaupun sebe-narnya sulit. “Saya suka simple tapi tetap unbelievable.” Tegasnya. “Saya suka yang nggak terduga, walaupun kadang diunderestimate tapi nggak apa-apa.

Di akhir pembicaraan kami, Ira ber-pesan agar fotografer-fotografer muda mau lebih sabar. “Sabar, nggak semuanya bisa instan. Mulailah dari

“Di luar negeri hampir 95% fo-tografer yang bagus adalah orang-orang anti sosial. Karena waktu mereka habis untuk kerja. Kalaupun ada waktu sisa, mereka pakai untuk memikir-kan personal project biasanya.”

Page 13: TheLight Photography Magazine #14

24 EDISI XIV / 2008

FASHIONPHOTOGRAPHY

EDISI XIV / 2008 25

FASHIONPHOTOGRAPHY

bawah, prosesnya diikuti, jangan gam-pang puas dan sombong.” Jelasnya. Ira juga menyarankan fotografer muda untuk menciptakan foto-foto yang unik dan memiliki identitas, tidak hanya bisa meniru. “Ingat, peniru yang bagus ban-yak sekali, tapi fotografer yang bagus sedikit.” Tutupnya.

“Ingat, peniru yang bagus

banyak sekali, tapi fotografer

yang bagus sedikit.”

Page 14: TheLight Photography Magazine #14

26 EDISI XIV / 2008

FASHIONPHOTOGRAPHY

EDISI XIV / 2008 27

FASHIONPHOTOGRAPHY

Page 15: TheLight Photography Magazine #14

28 EDISI XIV / 2008

FINEART & JURNALISM PHOTOGRAPHY

EDISI XIV / 2008 29

FINEART & JURNALISM PHOTOGRAPHY

Ada pepatah, timbalah ilmu hingga ke negeri seberang. Layaknya seseorang yang ingin menjadi pemain sepak bola yang hebat yang rajin menyaksikan laga sepak bola liga-liga terbaik dunia, begitu pula dengan fotografi. Setelah kenyang menghadirkan fotografer-fotografer terbaik negeri ini, kali ini kami menghadirkan seorang nara sumber yang merupakan fotografer professional yang berdomisili di Amerika Serikat. Ia adalah Randi Lynn Beach. Seperti nara sumber asing terdahu-lu, kali ini kami juga akan membiarkan interview kami dalam bahasa Inggris untuk menghindarkan kesalahan penerjemahan.

How did you know photography, what makes you interested on it? My father was a photographer and I remember great photography books in the house by Andre Kertesz, Wynn Bullock, Bill Brandt, Roman Vishniac, Edward Weston, etc. Their images were burned into my consciousness at a very early age.

Tell us your daily activity.Every day is different. I do all of my assignments on location mostly in California. Some are daily newspaper assignments and others are magazine or corporate jobs. I spend a few hours a day working in the office and the rest either shooting on location or, when I have time, I work on Pix Channel. In addition to that I spend time with my family and enjoy the California lifestyle.

RANDI LYNN BEACH, MENGEJAR KESEMPURNAAN FOTOGRAFI DARI “PHOTOGRAPHY HEROES”

Tell us about your mission on doing pix channel? What leads you to a de-cision on doing it? What’s your goal? My mission for Pix Channel was to meet my photography heroes and to find a mentor. Also I wanted to debunk photo myths if there were any and to show a behind the scenes look at photography through the eyes of the legends. I thought it had tremendous historic significance.

What & how “photography” means to you? Is just a hobby, a job/profes-sion, or something more than that? Please explain why?“Photography” means everything to me. It’s my career, my passion, my identity. I love the journalism aspect of telling a story. I love the fine-art side of expressing myself. I love the people I get to meet every week. It’s a great

“Without compassion and empathy you can’t have a compelling photograph.”

Page 16: TheLight Photography Magazine #14

30 EDISI XIV / 2008

FINEART & JURNALISM PHOTOGRAPHY

EDISI XIV / 2008 31

FINEART & JURNALISM PHOTOGRAPHY

Page 17: TheLight Photography Magazine #14

32 EDISI XIV / 2008

FINEART & JURNALISM PHOTOGRAPHY

EDISI XIV / 2008 33

FINEART & JURNALISM PHOTOGRAPHY

learning experience.

How do you see the correlations between photography and life? How a photographer should see it? Photography and life are intertwined. Without compassion and empathy you can’t have a compelling photograph. I feel photography shows the human ex-perience in the best and most accurate way that no other medium can.

What inspired you on taking photo? It started as an instinct and curiosity. The camera was there and I thought I would try it. I was a child when I started so I don’t have an intellectual answer. As I got older I realized it is something I had an aptitude for and I never got bored. It offered a surprise every time.

What kind of picture deserved to be labeled as “good picture” to you. Why? It’s personal, whatever moves you. It has to make a connection and make you want to look at it and wonder.

Both on technical & non technical aspect, what should a photography interest done to improve their skill on photography? That’s also personal. It’s all about emot-

“...whatever moves you. It

has to make a connection

and make you want to look at

it and wonder.”

“In order to stand out, you need to follow

your own heart. Pleasing out-

side sources is defeating and boring. I think

people, viewers, can always tell

the difference.”

Page 18: TheLight Photography Magazine #14

34 EDISI XIV / 2008

FINEART & JURNALISM PHOTOGRAPHY

EDISI XIV / 2008 35

FINEART & JURNALISM PHOTOGRAPHY

Page 19: TheLight Photography Magazine #14

36 EDISI XIV / 2008

FINEART & JURNALISM PHOTOGRAPHY

EDISI XIV / 2008 37

FINEART & JURNALISM PHOTOGRAPHY

ing something. The best way to im-prove your skills is to shoot what you’re interested in and constantly learn from your experiences.

On the era where the number of photographer are inclining rapidly, what should photographer do to be still recognizable & stands out of the crowd? Very few photographers stand out for me. I think it’s the same in any field, painting sculpture, music. It’s rare to find a unique talent that isn’t like what the trend dictates. In order to stand out, you need to follow your own heart. Pleasing outside sources is defeating and boring. I think people, viewers, can always tell the difference.

What have you learn from any other well known names on photography? What’s make them different from any ordinary photography interest? The reinforcement I got from meeting the great photographers on my web site, http://www.pixchannel.com/flash/index.html, is to stay true to my own voice. A non-photographer can take a moving image as well. A great image inspires regardless who takes it.

Do you believe that photography skill is a gift in some number of percentage? I mean, there’s some

Page 20: TheLight Photography Magazine #14

38 EDISI XIV / 2008

FINEART & JURNALISM PHOTOGRAPHY

EDISI XIV / 2008 39

FINEART & JURNALISM PHOTOGRAPHY

Page 21: TheLight Photography Magazine #14

40 EDISI XIV / 2008

FINEART & JURNALISM PHOTOGRAPHY

EDISI XIV / 2008 41

FINEART & JURNALISM PHOTOGRAPHY

people born as a photographer, and some don’t. Or do you believe that everybody can be a good photog-rapher through a good learning system?Like in any field some people are more gifted than others. But I think anyone can pick up a camera and learn to take great pictures. Workshops, classes, school, lots and lots of practice can help a person evolve over time. Tastes

change too. Some photographs, like wine, get better with age. And some make you cringe with embarrassment. I think it’s important to pursue what interests you. I’m not very technical my-self. I prefer minimal set-up and so do the people I photograph. My lighting skills will never match that of the sun.

What kind of mindset do we have to have to learn photography (for amateurs) and to be still exist on the industry (for professional)?Have an open mind. In order to be cre-ative, you have to leave yourself open to ideas. Experiment and explore what excites you.

What kind of habit do a photog-raphy interest have to have to get improved day by day?Practice. The more pictures you take, the better you get. A pattern will emerge and you will notice the things that compel you.

“In order to be creative, you

have to leave yourself open to

ideas. Experiment and

explore what excites you.”

Page 22: TheLight Photography Magazine #14

42 EDISI XIV / 2008

FINEART & JURNALISM PHOTOGRAPHY

EDISI XIV / 2008 43

FINEART & JURNALISM PHOTOGRAPHY

Page 23: TheLight Photography Magazine #14

44 EDISI XIV / 2008

FINEART & JURNALISM PHOTOGRAPHY

EDISI XIV / 2008 45

FINEART & JURNALISM PHOTOGRAPHY

Do you believe that books, music, film, fashion that we consume im-pact on our quality of photography?Absolutely. Most art forms are visual. Even sound conjures visual images for me. All of those things can influence photography. Everything is connected.

What kind of book, music, film, fash-ion that you consume/like most?My tastes run the gamut. Beethoven, David Bowie, Marvin Gaye, is what I listen to in my car now. There were so many French film directors who had beautiful photography in their movies. I loved Ingmar Bergman’s movies. Cur-rently there were some older Sopranos episodes that were photographed in my style. I love dramatic light that doesn’t look lit.

What inspired you most, picture or thought behind the picture? Please explain.The “thought” inspires me the most. There has to be a reason why I’m taking the image. I have been work-ing on a project called, Soil, where I photograph farmers from all over the world. It’s about how globalization is affecting agriculture. I am driven to do the project because I can think of few issues that are more important than

Page 24: TheLight Photography Magazine #14

46 EDISI XIV / 2008

FINEART & JURNALISM PHOTOGRAPHY

EDISI XIV / 2008 47

FINEART & JURNALISM PHOTOGRAPHY

Page 25: TheLight Photography Magazine #14

48 EDISI XIV / 2008

FINEART & JURNALISM PHOTOGRAPHY

EDISI XIV / 2008 49

FINEART & JURNALISM PHOTOGRAPHY

Page 26: TheLight Photography Magazine #14

50 EDISI XIV / 2008

FINEART & JURNALISM PHOTOGRAPHY

EDISI XIV / 2008 51

TRAVELPHOTOGRAPHY

the world’s food supply. On a personal level the farmers have such interesting stories. I want raise an awareness to the things I’m concerned about. That’s just one example.

About comfort zone, how do you see “comfort zone”? Is it a condition that we have to enjoy, or a condition that we have to avoid? Why?Maybe both. I think it’s okay to use a technique that works for you. However in order to grow, you need to step away from your safety net. Failing at photography isn’t the same as failing at

heart surgery. Taking chances and risks is part of the fun.

After meeting some well known name in photography, what separate them with the “ordinary” photogra-pher most? Except their work/photo of course.Confidence. They are sure of them-selves. They seem to know where they excel and what their limits are. Another trait I noticed is that they are very curi-ous. The camera is the best tool to ex-plore the world in my humble opinion.

“Failing at photography isn’t the same as failing at heart surgery. Taking chances and risks is part of the fun.”

Page 27: TheLight Photography Magazine #14

52 EDISI XIV / 2008

LIPUTANUTAMA

EDISI XIV / 2008 53

LIPUTANUTAMA

KAMERA APA YANG SESUAI UNTUK SAYA?Di berbagai komunitas, mailing list, forum kita selalu mendapati pertanyaan yang sama dan berulang-ulang, “Kamera apa yang tepat untuk saya?”. Ironisnya, setelah sekian banyak dan sedemikian seringnya pertanyaan-pertanyaan semacam itu muncul jawaban yang keluar dari pertanyaan-pertanyaan itu masih cenderung berbelit, panjang, dan bahkan sering kali tidak memberi petunjuk yang lebih tera-rah bagi penanyanya. Tidak jarang sang penanya malah menjadi lebih bingung dalam memilih kamera daripada waktu sebelum ia menanyakan pertanyaan itu. Penyebabnya mungkin saja karena memang pertanyaan tersebut bertendensi memunculkan jawaban yang relatif dan bergantung pada kebutuhan dan ke-mampuan pribadi masing-masing penanya, atau jangan-jangan rancunya moti-vasi antara kebutuhan dan keinginan baik dari si penanya maupun si penjawab.

Fotografi sering kali berawal dari hobby. Karena berawal dari hobby seringkali fotografi lebih banyak dipengaruhi hal-hal emosional dibanding rasional. Lihat saja betapa banyak orang-orang yang ditinggalkan pasangannya karena hobby, berapa banyak tagihan credit card yang digunakan untuk membiayai hobby, berapa banyak hubungan yang retak atau bahkan bubar karena dikalahkan oleh hobby. Memang benar hal ini tidak terjadi pada fotografi saja namun pada sebagian besar hobby, mulai dari memancing hingga basket, mulai dari remote control hingga golf, mulai dari traveling hingga diving.

Merasa memiliki kewajiban untuk mendudukkan fotografi secara proporsional,

“Karena berawal dari hobby seringkali fotografi lebih banyak dipengaruhi hal-hal emosional dibanding rasional.”

Page 28: TheLight Photography Magazine #14

54 EDISI XIV / 2008

LIPUTANUTAMA

EDISI XIV / 2008 55

LIPUTANUTAMA

kami pun tergerak mengadakan survey kecil-kecilan mengenai kamera, kebutuhan dan optimalisasi penggu-naannya. Tujuannya adalah membantu mereka yang masih kurang yakin akan kamera yang mereka butuhkan, dan juga menginspirasikan pelaku fotografi untuk sedikit lebih rasional dengan melakukan investasi pada alat-alat yang tepat dan sesuai dengan kebutu-han, bukan berdasarkan pada keingi-nan dan gengsi belaka.

Kami menyebar pertanyaan secara terbuka ke 5 mailing list fotografi besar di Indonesia. Kami juga menanyai komunitas-komunitas fotografi di In-donesia. Total responden yang terlibat dalam survey kecil-kecilan ini berjum-lah 423 orang. 82% dari total respon-den menggunakan kamera DSLR entry level, sementara sisanya terbagi antara DSLR medium level & advanced level sebanyak 14%, pengguna prosumer sebanyak 2%, dan sisanya pengguna medium format dan large format.

Dari hasil yang didapatkan, terlihat bahwa lebih dari 90% responden me-nyebut manual mode, aperture priority, speed priority, dan setting ISO sebagai sesuatu yang wajib dan sangat sering mereka gunakan. Dengan begitu tidak

berlebihan jika kami simpulkan bahwa fungsi-fungsi tersebut menjadi basic requirement sebuah kamera yang layak dibeli. Alasan yang dikemukakan kar-ena dengan fitur-fitur tersebut proses dasar penciptaan sebuah foto bisa berlangsung dengan benar dan terkon-trol. Mereka meyakini proses pembe-lajaran fotografi harus dimulai dengan fitur-fitur tersebut. Bahkan tidak sedikit dari mereka atau lebih tepatnya 46% dari mereka merasa fitur-fitur tersebut sudah cukup bagi mereka. Bahkan bagi mereka yang banyak melakukan pe-motretan di dalam studio, seharusnya fitur-fitur di atas sudah jauh dari cukup karena pemotretan di studio sebagian besar hanya berhubungan dengan ISO, bukaan diafragma dan speed. Untuk itu, bagi anda yang banyak melakukan pemotretan di dalam studio, mungkin ini saat yang tepat untuk kembali men-gevaluasi investasi anda agar alokas-inya lebih tepat dan lebih berguna. Seorang fotografer komersil yang namanya enggan disebutkan di sini (sebut saja SA) menganjurkan mereka yang banyak melakukan pemotretan di dalam studio untuk melakukan investasi pada lighting equipment dan asesorisnya, lensa dan perlengkapan studio lainnya ketimbang pada kamera yang memiliki banyak fitur dan mahal

Yang menarik bagi kami ada-

lah fitur-fitur baru yang

sering dijadikan bumbu pemanis

oleh produsen kamera malah

hampir tidak disebutkan.

“...namun ada sedikit gamba-ran bahwa angka dari mereka yang kemampuan penggunaan fotografinya belum sesuai dengan investa-sinya juga tidak bisa dikatakan sedikit.”

Page 29: TheLight Photography Magazine #14

56 EDISI XIV / 2008

LIPUTANUTAMA

EDISI XIV / 2008 57

LIPUTANUTAMA

namun jarang terpakai fiturnya. SA mengakui bahwa fungsi pada kamera untuk pemotretan studio yang paling banyak digunakan hanya ISO, diafrag-ma dan speed.

Selanjutnya, 43% responden menye-but setting white balance, exposure compensation, pilihan auto focus dan metering sebagai sesuatu yang juga cukup sering mereka gunakan. Keban-yakan yang menggunakan fitur-fitur ini di luar fitur-fitur dasar sebelumnya ada-lah mereka yang banyak melakukan pemotretan outdoor. Kondisi penca-hayaan yang tidak ideal memaksa mer-eka memanfaatkan fungsi-fungsi ini. Namun memang, fitur-fitur ini juga bisa ditemui bahkan pada kamera DSLR entry level sekalipun hanya saja mung-kin pilihannya tidak sebanyak dengan kamera di kelas yang lebih advance.

Selanjutnya, 72% responden menye-butkan kecepatan auto focus, kecepa-tan frame per second yang dihasilkan dari fungsi continuous shooting diakui sebagai harga mati bagi mereka yang menggunakan kamera untuk keper-luan jurnalistik dan liputan. Selain itu, kemampuan burst RAW juga menjadi sesuatu yang menarik bagi mereka. Sementara ukuran megapixel bukan

menjadi prioritas bagi mereka yang menggunakan kamera untuk keper-luan jurnalistik. Kamera bermegapixel 6 pun sudah cukup bagi mereka karena ukuran outputnya pun relatif tidak ter-lalu besar. Ketahanan body dan fungsi kamera di segala medan dan kondisi cuaca justru menjadi hal yang lebih penting daripada megapixel.

12% Responden menyebutkan fungsi Dust Reduction, vibration reduction atau image stabilization sebagai ses-uatu yang juga menarik bagi mereka, walaupun dari alasan yang dikemu-kakan terlihat bahwa fungsi-fungsi ini tidak banyak membantu proses penciptaan foto bagi mereka.

Yang menarik bagi kami adalah fitur-fitur baru yang sering dijadikan bumbu pemanis oleh produsen kamera malah hampir tidak disebutkan. Fungsi-fungsi itu antara lain, shooting mode (landscape, portrait, panorama, night mode, dll), fungsi editing on camera, fungsi movie dan fungsi GPS. Untuk fungsi GPS, responden belum melihat kegunaan fungsi itu, walaupun ada satu dua responden yang mengeta-hui kegunaannya yaitu sebagai bukti otentik yang mendukung hak cipta foto tersebut melalui data koordinat

Tidak jarang sang penanya malah menjadi lebih bingung dalam memilih kamera daripada waktu sebelum ia menanyakan pertanyaan itu.

Page 30: TheLight Photography Magazine #14

58 EDISI XIV / 2008

LIPUTANUTAMA

EDISI XIV / 2008 59

LIPUTANUTAMA

lokasi pemotretan yang tercatat di EXIF. Sementara fungsi-fungsi shooting mode, movie dan editing on camera dianggap sebagai fungsi yang tidak berguna sama sekali.

Dari seluruh responden yang ada, 73% di antaranya cukup menguasai kemam-puan dasar operasional kamera. Ini terlihat dari alasan dan jawaban yang mereka lontarkan seputar kegunaan fungsi-fungsi tersebut. Sementara 27% sisanya bisa dikatakan kurang men-guasai fitur-fitur penggunaan dasar kamera. Ini terlihat dari jawaban yang

tidak tepat mengenai fungsi penggu-naan fitur-fitur mendasar pada kamera. Ironisnya, dari 27% mereka yang kami anggap kurang menguasai fitur-fitur dasar pengoperasian kamera, 30% di antaranya menggunakan kamera DSLR medium dan advance level. Mungkin angka tersebut tidak merepresentasi-kan kondisi dunia fotografi Indonesia dengan tepat, namun ada sedikit gam-baran bahwa angka dari mereka yang kemampuan penggunaan fotografinya belum sesuai dengan investasinya juga tidak bisa dikatakan sedikit.

Kami juga mendeteksi kemungkinan responden memiliki kamera ida-man di luar dari kamera yang mereka

punyai saat ini, tujuannya adalah untuk mengkonfrontasi jawabannya dengan jawaban mereka mengenai kebutuhan mereka terhadap kamera. Dari situ diharapkan bisa didapatkan gambaran apakah responden sudah bijak melakukan investasi di kamera sesuai kebutuhan atau terjebak pada keinginan yang sebenarnya melebihi kebutuhan dan kemampuan mereka dalam berfotografi. Hasil yang didapat, 48% dari responden dianggap tidak konsisten dengan menginginkan kam-era yang melebihi kebutuhan mereka walaupun membutuhkan kapital yang lebih besar. Namun angka 52% yang merupakan kelompok yang memiliki keinginan yang sesuai dengan kebu-tuhan dan kemampuannya akan kami terima sebagai sesuatu yang tidak terlalu buruk. Dari 52% responden ini, 41% merasa puas dengan kamera yang mereka miliki saat ini dan belum bercita-cita memiliki kamera yang lebih canggih karena merasa kebutuhannya sudah terakomodir oleh kamera yang dimiliki saat ini, sementara sisanya memang menginginkan kamera yang lebih advance, namun dengan alasan yang sesuai jika dikonfrontasikan dengan kebutuhan dan kemampuan mereka dalam menggunakan kamera.

Page 31: TheLight Photography Magazine #14

60 EDISI XIV / 2008

LIPUTANUTAMA

EDISI XIV / 2008 61

TRAVELPHOTOGRAPHY

Demikian sedikit pertimbangan atas pengalaman mereka-mereka yang te-lah menekuni fotografi selama bebera-pa waktu. Mengenai kamera apa yang paling tepat untuk anda, tentunya bisa anda simpulkan dari jawaban-jawaban di atas. Kami yakin bahwa betapapun nikmatnya berfotografi, akan lebih membanggakan dan lebih bijaksana jika dilakukan dengan investasi pada alat yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan.

“...betapapun nikmat-nya berfotografi, akan lebih membanggakan dan lebih bijaksana jika dilakukan dengan investasi pada alat yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan. “

Page 32: TheLight Photography Magazine #14

62 EDISI XIV / 2008

THEFRESHMEN

EDISI XIV / 2008 63

THEFRESHMEN

HARDI WINARSO, PENERUS FOTOGRAFI JARANGSalah satu spesialisasi dalam fotografi yang tergolong jarang peminatnya adalah portraiture. Walaupun hampir di setiap studio foto pinggir jalan selalu ada foto bergaya portraiture namun harus diakui Indonesia sangat kekurangan fotografer portraiture yang baik. Padahal sebagian kalangan meyakini bahwa portraiture adalah awal dari munculnya fotografi.Untuk itu pada kesempatan kali ini kami menghadirkan seorang pehobi fotografi yang tergolong belum begitu tinggi jam terbangnya. Namun kemampuan dan pemikirannya membuatnya layak kami ganjar sebagai freshmen bulan ini. Ia bernama Hardi Winarso.

Hardi mulai jatuh cinta pada fotografi ketika berkuliah dibidang information tech-nology di Universitas Bina Nusantara. Ia nekat bergabung dengan klub fotografi setempat walaupun ia tidak memiliki kamera. Bermodalkan kenekatannya itu ia mulai memepelajari fotografi dengan sesekali meminjam kamera temannya. Lulus dari Bina Nusantara, Hardi bekerja sebagai staf marketing di sebuah peru-

Page 33: TheLight Photography Magazine #14

64 EDISI XIV / 2008

THEFRESHMEN

EDISI XIV / 2008 65

THEFRESHMEN

Page 34: TheLight Photography Magazine #14

66 EDISI XIV / 2008

THEFRESHMEN

EDISI XIV / 2008 67

THEFRESHMEN

sahaan. Dari pekerjaannya itu pula ia mulai lebih intens mendalami fotografi karena ia berkesempatan untuk sering menggunakan kamera kantornya.

“Awalnya gue suka foto jurnalis. Karena menurut gue foto jurnalis adalah foto yang jujur.” Akunya. “Gue selalu suka foto yang berhubungan dengan people. Kalau motret people itu ras-anya jujur sekali, kalau sedih ya sedih sekali, kalau kaya ya kaya banget, kalau miskin ya miskin banget.” Sambungnya.Setelah puas mendalami foto jurnalis, Hardi pun mencoba mengadu perun-tungannya di bisnis pemotretan wed-ding. Namun rupanya minatnya tidak berada di sana. Hardi pun memutuskan untuk menekuni bidang fotografi lain walaupun sesekali masih memotret wedding. “Kalo motret wedding gue bersa motret kok cuma untuk cari uang aja. Bukan motret apa yang gue senangi. Akhirnya gue jadi sebel sama wedding.” Jelasnya. Hardi melihat ban-yak fotografer wedding yang akhirnya memotret hanya kejar target. Selama list acaranya sudah difoto semua maka pekerjaan dianggap beres.

Beralih dari wedding, Hardi pun mulai jatuh cinta pada portraiture. “Waktu itu gue mulai serius dan inspired banget

“Gue selalu suka foto yang berhubungan dengan people. Kalau motret people itu rasanya jujur sekali, kalau sedih ya sedih sekali, kalau kaya ya kaya banget, kalau miskin ya miskin banget.”

Page 35: TheLight Photography Magazine #14

68 EDISI XIV / 2008

THEFRESHMEN

EDISI XIV / 2008 69

THEFRESHMEN

Page 36: TheLight Photography Magazine #14

70 EDISI XIV / 2008

THEFRESHMEN

EDISI XIV / 2008 71

THEFRESHMEN

Page 37: TheLight Photography Magazine #14

72 EDISI XIV / 2008

THEFRESHMEN

EDISI XIV / 2008 73

THEFRESHMEN

sama Indra Leonardi.” Jelasnya. “Gue nggak pernah ngelihat fotonya Indra sebagai sesuatu yang ribet. Justru yang tersulit adalah bisa dipercaya untuk memotret orang-orang sekelas itu. Perlu sesuatu yang lebih dari sekedar teknis.” Sambungnya. Hardi juga mengaku banyak belajar dari berbagai sumber. “Gue banyak lihat karya orang lain termasuk fo-tografer luar negeri. Referensi mostly dari internet dan yang paling penting

gue banyak sekali nanya sama orang lain yang gue anggap lebih bisa.” Sam-bungnya.

Walaupun banyak bertanya kepada fotografer-fotografer yang lebih senior, Hardi juga melihat celah untuk meng-gali ilmu dari orang-orang non fo-tografer. “Awalnya memang belajar dari orang-orang fotografi, tapi lama-lama gue tertarik untuk belajar dari orang non fotografi tapi yang berhubungan dengan fotografi.” Akunya. “Gue belajar dari orang awam karena mau tahu apa adanya, Orang awam itu simple berpikirnya. Kalau bagus ya dibilang bagus, kalau jelek ya dibilang jelek. Walaupun bikinnya susah kalau jelek ya tetap jelek.” Sambungnya.

“Kalo motret wedding gue berasa motret kok cuma untuk cari uang aja. Bukan motret apa yang gue senangi.

“Gue nggak pernah ngelihat

fotonya Indra sebagai sesuatu yang ribet. Jus-tru yang tersu-lit adalah bisa dipercaya un-tuk memotret

orang-orang sekelas itu. Per-lu sesuatu yang lebih dari seke-

dar teknis.”

Page 38: TheLight Photography Magazine #14

74 EDISI XIV / 2008

THEFRESHMEN

EDISI XIV / 2008 75

THEFRESHMEN

Saat ini Hardi lebih sering memotret orang dengan pendekatan portraiture. “Gue suka motret orang with their work, with their life. Dari situ bisa muncul cerita atau kesimpulan tentang orang itu dan itu menarik buat gue.” Jelasnya.

Setelah mendalami fotografi secara se-rius dalam beberapa tahun belakangan ini, hardi pun merasa ada perubahan terhadap cara ia memandang sebuah foto. “Sekarang gue lagi diposisi men-cari foto seperti apa sih yang bagus? Banyak foto gue yang dulu gue suka, sekarang gue buang.”Jelasnya. “Dulu motret orang lagi duduk di pinggir jalan gue anggap portraiture, tapi sekarang nggak bisa. Portraiture lebih dalam dari itu.” Lanjutya. Hardi menilai untuk menghasilkan karya portrai-ture yang baik fotografer harus kenal obyek yang di foto. “Kalau nggak kenal bagaimana kita bisa mengeluarkan “tentang dia” nya.” Ungkapnya.

“Gue bela-jar dari orang awam karena mau tahu apa

adanya, Orang awam itu sim-

ple berpikirnya. Kalau bagus ya dibilang bagus,

kalau jelek ya dibilang jelek.

Walaupun bikin-nya susah kalau

jelek ya tetap jelek.”

Page 39: TheLight Photography Magazine #14

76 EDISI XIV / 2008

THEFRESHMEN

EDISI XIV / 2008 77

THEFRESHMEN

“Sekarang gue lagi diposisi mencari foto seperti apa sih yang ba-gus? Banyak foto gue yang dulu gue suka, seka-rang gue buang.”

Page 40: TheLight Photography Magazine #14

78 EDISI XIV / 2008

THEFRESHMEN

EDISI XIV / 2008 79

THEFRESHMEN

Ditanya mengenai pehobi fotografi masa kini Hardi melihat banyak pehobi fotografi masa kini yang berbakat tapi sayangnya banyak yang tidak tahu foto yang baik itu yang seperti apa. Untuk itu Hardi menilai perlunya pehobi fotografi untuk bertemu banyak orang. Selain itu pehobi fotografi juga ditun-tut untuk bisa menerima kritik.

“Kalau nggak kenal bagaima-na kita bisa mengeluarkan “tentang dia” nya.”

Page 41: TheLight Photography Magazine #14

80 EDISI XIV / 2008

EDITORIALPHOTOGRAPHY

EDISI XIV / 2008 81

EDITORIALPHOTOGRAPHY

ATASI MASALAH AKURASI WARNADENGAN LARGE FORMAT PRINTERHP DESIGNJET Z SERIES.

Printer color mode CMYK yang mampu mensimulasikan color gamut RGB dengan tinta red, green dan blue.

THEADVERTORIAL

'Akurasi warna' kata-kata ini sudah puluhan tahun menjadi masalah yang menghantui pekerja fotografi. Bayangkan ketika Anda melahirkan sebuah ide foto yang begitu brilian, Anda mencurahkan segala kemampuan Anda pada tiap detailnya. Seperti memilih orang-orang terbaik dalam bidangnya untuk membantu Anda, mulai make-up artist, stylist, set builder hingga art director. Namun pada saat foto dicetak, hasilnya sangat berbeda dengan yang apa yang Anda harapkan.

Sebetulnya, akurasi warna bergantung pada banyak hal. Sebagian besar fotografer tidak mengenal istilah color gamut atau batas kemampuan sebuah alat untuk mereproduksi warna. Artinya, ada warna-warna yang memang tidak mungkin diproduksi dengan akurat lewat

alat-alat tertentu. Hal ini berhubungan dengan karakteristik color mode yang digunakan. Ada warna-warna dalam color mode RGB yang tidak bisa direproduksi dengan cara apapun oleh color mode CMYK. Begitu juga sebaliknya.

Sayangnya kamera yang kita gunakan sehari- hari menggunakan color mode RGB, sementara printer menggunakan color mode CMYK. Artinya ada keterbatasan kemampuan mereproduksi warna dari kamera ke printer yang sifatnya 'bawaan'. Color mode RGB yang berasal dari cahaya, memiliki kemampuan sangat tinggi untuk mereproduksi warna-warna bersaturasi tinggi. Sementara color mode CMYK yang berasal dari pigmen tinta, memiliki keterbatasan untuk mereproduksi warna bersaturasi tinggi.

Di sisi lain, akurasi warna juga bergantungpada karakter media yang digunakan. Media cetak memiliki daya serap dan karakter yang berbeda-beda. Artinya ketika mencetak, diperlukan 'saling pengertian' antara software yang melakukan proses pencetakan, dengan media di mana foto akan dicetak. Salah satu cara untuk melakukannya adalah membuat ICC profile dari media yang digunakan untuk mencetak foto tersebut. Namun, lagi- lagi hal ini memerlukan software dan hardware yang begitu mahal dan sulit dioperasikan.

Namun, kini ada sebuah solusi yang mampu menyelesaikan masalah di atas, yaitu dengan memakai large format HP Designjet Z Series. Printer ini tersedia dalam 2 pilihan: 8 tinta (cyan, light cyan, magenta, light magenta, yellow, light grey, photo black dan matte black) serta 12 tinta (cyan, magenta, light magenta, yellow, grey, light grey, matte black, photo black, red, green, blue, dan gloss enhancher). Penambahan tinta

red, green dan blue pada tipe 12 tinta bertujuan untuk memperluas color gamut dalam mereproduksi warna. Artinya walaupun masih tetap menggunakan color mode CMYK, namun color gamut HP Designjet Z Printer Series dengan 12 tinta berusaha mensimulasikan color gamut RGB dengan tinta red, green dan blue.

Masalah berikutnya mengenai ICC prof ile juga diperhatikan oleh HP Designjet Z Printer Series. Caranya, dengan menambahkan spectrophotometer di dalamnya untuk membuat ICC profile dari media yang digunakan. Media apapun yang Anda gunakan akan mudah dikenali karakternya dan tercapai 'saling pengertian' antara software yang digunakan untuk melakukan pencetakan dengan media yang digunakan.

Ket ika kedua masalah t ersebut t erselesaikan, mendapatkan akurasi warna dengan HP Designjet Z Printer Series bukanlah hal yang sulit! Tim The Light sendiri sudah membukt ikan betapa mudahnya menghasilkan foto yang akurat, pada saat mengikuti pameran fotografi FOCUS 2008 yang lalu. Ketika itu The Light mencetak 43 foto milik 30 orang fotografer profesional. Ketakutan akan ketidakakuratan warna sudah terbayang dari jauh-jauh hari. Hingga pada saat pencetakan, The Light dibuat kaget akan hasil yang

akurat dengan monitor sehingga tidak diperlukan satu color correction pun. Fotografer-fotografer profesional yang sempat mampir ke stand pameran

pun mengaku puas dengan akurasi warna

y a n g

dihasilkan oleh HP Designjet Z Series tersebut.

Jadi bagi Anda yang menginginkan akurasi warna pada setiap hasil cetak foto Anda, cobalah HP Designjet Z Series. HP Designjet Z Series tersedia pada pilihan lebar 24 Inci dan 44 Inci (Tipe Z2100 dan Z3100), 42 Inci dan 60 Inci (tipe Z6100).

Untuk keterangan lebih lanjut, hubungiPT Elite Digital Pro (021 -47867588).

Page 42: TheLight Photography Magazine #14

82 EDISI XIV / 2008

THELEPASAN

EDISI XIV / 2008 83

THELEPASAN

GOOD PICTURE ATAWA GAMBAR INDAHOleh: Siddhartha Sutrisno*(Bagian kedua)

“ For performance, nature has no mercy, and sacrifices the performer to get it done.”(Ralph Waldo Emerson-The Complete Essays and Other Writing)

Komposisi, Metodologis, Sistematis, Dramatis, dan Si Pengkhianat

Dalam sebuah lukisan yang sangat terkenal -begitu banyak dibuat tiruan dan fotonya- karya Leonardo da Vinci “The Last Supper” -dikerjakan selama tiga tahun dari 1495 sampai 1498 di Milan- yang berupa mural. Dilukis dengan pendekatan sangat sistematis, studi komposisi yang metodologis dan “ilmiah” pada bidang

berukuran (14,5’ x 28’), lebarnya hampir dua kali tingginya. Lukisan ini meng-gambarkan Yesus dengan murid-muridnya duduk di belakang meja panjang, layaknya sebuah panggung pertunjukan, menghadap ke penon-ton. Komposisi pengelompokannya adalah 12 apostel. Murid-murid Yesus terdiri atas empat kelompok dengan tiga figur apostel menyatakan secara tersirat perlambang teologis agama Kristen dan simbol angka. Phytagorean –telah sedikit disinggung pada tulisan yang lalu- komposisinya memiliki kes-atuan matematis dengan basis angka 3 + 4 = 7 dan 3 x 4 = 12. angka-angka tersebut menyiratkan perlambang

agama Kristen, dengan Holy Trinity (3), Four Gospels (4), Seven Cardinal Virtues (7), dan seterusnya. Sungguh konsep yang jenial. Tetapi, angka 3 dan 4 juga menyiratkan angka simbolis mazhab Phytagoras, Trivium, Quadrivium of the Seven Liberal Arts. Banyak seja-rawan mengatakan bahwa Leonardo Da Vinci memiliki sikap yang skeptis terhadap Gereja, sehingga angka-angka simbol Phytagoras lebih sesuai untuk menafsir karyanya. Komponen-komponen lukisannya tidak semata-mata demi komposisi, tetapi memiliki arti berlapis-lapis, mempunyai makna yang lain, lebih dari apa yang terlihat,

“Mungkin, sekali lagi mungkin, inilah salah satu sebab-nya mengapa para seniman misalnya merupakan sekel-ompok manusia yang paling merasa tidak terikat kepa-da konvensi”

Page 43: TheLight Photography Magazine #14

84 EDISI XIV / 2008

THELEPASAN

EDISI XIV / 2008 85

THELEPASAN

metafisika. Sosok Kristus yang berada di tengah dengan komposisi segitiga dan latar langit terang di belakangnya menggambarkan kesendiriannya. Di samping itu, semua paras wajah murid-muridnya mendapatkan ‘pencahayaan’ hingga ekspresi roman muka mereka jelas, kecuali seorang murid yang mengkhianati Sang Guru, Judas. Wajah Judas yang tertutup ‘bayangan’ meng-gambarkan berbagai pesan kepada yang melihat lukisan itu. Sepintas, lukisan itu adalah karya yang sempur-na, bahkan secara logika matematika. Ketika lights and shadows (terminologi yang diakrabi oleh kebanyakan pelukis dan fotografer) sebagai perangkat “naratif” lukisan itu di analisis, terbukti ditemukan beberapa kejanggalan. Se-hingga muncul beberapa pertanyaan seperti: Darimana sumber cahayanya? Apakah mungkin bayangannya akan jatuh seperti itu? Dan sebagainya. Sebagai seniman, Da Vinci mengang-gap kreatifitasnya di atas segala aturan perspektif dan geometri –termasuk cahaya dan bayang-bayang- yang ber-laku hingga jika diperhatikan bahkan perspektif lukisan itu juga tidak benar! Terasa musykil jika itu bukan karena faktor kesengajaan karena Da Vinci adalah seorang jenius matematika. Da Vinci menganggap bahwa pelu-

kis adalah manusia unggul hingga ia menekankan bahwa seharusnya salah satu dari Seven Liberal Arts adalah seni lukis. “The Last Supper” dianggap karya yang indah-baik bahkan nyaris sem-purna. Teknik, komposisi, perspektif, metafora-simbolisasi, bahkan pesan terangkum begitu kuatnya. Satu hal lagi, filsafat Plato dari belasan abad sebelumnya masih menjadi konsepsi/dasar pemikiran yang kuat pada karya Da Vinci.

Paradoks KeindahanBelajar dari Da Vinci, dalam konsep kre-atifitas –yang melahirkan keindahan- suatu kata yang paling sering “diobral” oleh pekerja seni, tercantum penger-tian, bahwa ide harus dirumuskan kem-bali –termasuk ide tentang keindahan- tingkah laku harus disesuaikan kembali dan benda-benda harus dikerjakan dan diolah kembali. Seakan berlaku perkataan dari kitab Genesis:

“Pada mulanya…bumi belum berben-tuk dan kosong.”

Mungkin, sekali lagi mungkin, inilah salah satu sebabnya mengapa para seniman misalnya merupakan sekel-ompok manusia yang paling merasa tidak terikat kepada konvensi, baik

“Seni dan nilai kein-

dahan dipa-hami seba-

gai produksi di dalam

wilayah kua-sa. Tidak ada

nilai estetik yang oto-

nom, karena keindahan

adalah hasil suatu

proses sosial, dari suatu

perjuangan untuk

menguasai kriteria

estetika itu.”

Apakah yang kita dambakan dalam meman-dang keindah-an? Maksudnya adalah agar kita pun menjadi in-dah. Kita mengira, pastilah ada banyak keba-hagiaan yang terkait pada keindahan. Namun, itu hanyalah suatu kekeliruan.- Friedrich Nietzsche -

Page 44: TheLight Photography Magazine #14

86 EDISI XIV / 2008

THELEPASAN

EDISI XIV / 2008 87

THELEPASAN

itu konvensi ilmiah, baik itu konvensi sosial, baik itu konvensi moral, atau bahkan konvensi kesenian sendiri, termasuk pembicaraan tentang kein-dahan ini. Kalau para sosiolog suka menyebut kebudayaan sebagai social construction, maka seniman meman-dang konstruksi ini bukan terutama sebagai proyek bersama melainkan pertama-tama sebagai proyek individ-ual. Padahal, seperti yang diungkapkan

Bourdieu dalam bukunya, Distinction:

“Seni dan nilai keindahan dipahami se-bagai produksi di dalam wilayah kuasa. Tidak ada nilai estetik yang otonom, karena keindahan adalah hasil suatu proses sosial, dari suatu perjuangan untuk menguasai kriteria estetika itu.”

Menarik bahwa sikap seperti itu bukan-nya lahir dari suatu pilihan intelektual yang eksplisit, melainkan hasil doron-gan suatu spiritualitas esoterik yang tak dirumuskan. Dalam spiritualitas seperti ini tanggungjawab pertama-tama bukanlah suatu pengertian moral dan sosial, melainkan personal. Dengan de-mikian, disiplin bukanlah penundukan keinginan dan kemauan sendiri kepada kehendak umum atau kepentingan bersama, melainkan kesetiaan kepada kewajiban yang dipilih dan ditentukan sendiri. Begitu pula tanggungjawab ditujukan pertama-tama kepada karya. Kejujuran bukanlah terutama berupa satunya kata dengan perbuatan, melainkan kesesuaian antara ekspresi dan intuisi kreatif. Kebajikan yang dikejar bukanlah kesalehan, melainkan kepribadian dan orisinalitas. Bagi yang mempercayai bahwa orisinalitas itu ada.

“ to feel beauty is better thing than to understand how we come to feel it. To have imagina-tion and taste, to love the best, to be carried by the con-templation of na-ture to a vivid faith in the ideal, all this is more, than any science can hope to be”- George Santayana -

Page 45: TheLight Photography Magazine #14

88 EDISI XIV / 2008

THELEPASAN

EDISI XIV / 2008 89

THELEPASAN

Tidaklah mengherankan bahwa dalam kerjanya seorang seniman tidak bek-erja menurut desain, seperti layaknya dituntut dari seorang ilmuwan. Option keindahan bukanlah untuk membatasi kemungkinan, misalnya untuk kep-erluan suatu operasionalisasi. Karya yang indah-baik, tak pelak lagi, adalah suatu opus, yang hampir tak dapat dihubungkan dengan operasi atau operasionalisasi, dan hanya dapat dijelaskan dalam kreasi. Operasion-alisasi adalah usaha pragmatis untuk mengorganisasi kemungkinan dan memanfaatkannya, sedangkan kreasi adalah usaha eksistensial untuk men-jelmakan diri dalam kemungkinan, bahkan kemungkinan yang terjauh, dan lahir kembali dari dalamnya. Para-doks penciptaan barangkali terletak di sana: setiap estetika sekaligus adalah sebuah re-estetika. Dalam sebuah fotograf atau sebuah lukisan, sang seniman melahirkan kembali kepriba-diannya, menciptakan kembali dirinya. Seni pada khususnya dan kebudayaan pada umumnya adalah penciptaan diri kembali melalui penciptaan karya, dan sekaligus penyempurnaan karya melalui penyempurnaan diri. Kesem-purnaan pada akhirnya bukan apa-apa. Kesempurnaan adalah keindahan (Tentu saja ini adalah keyakinan umum

para seniman, walaupun dari kalangan ini juga muncul kritik kepada mitos keindahan itu.) Dalam entusiasmenya yang begitu tinggi terhadap musik dan puisi, Friedrich Nietzsche dalam Menschliches-Allzumenschliches, tak dapat menyembunyikan sinismenya:

“Wonach sehnen wir uns beim An-blick der Schoenheit? Danach, schoen zu sein: wir waehnen, es muesse viel Glueck damit verbunden sein. Aber das ist eir irrtum.”(Apakah yang kita dambakan dalam memandang keindahan? Maksudnya adalah agar kita pun menjadi indah. Kita mengira, pastilah ada banyak kebahagiaan yang terkait pada kein-dahan. Namun, itu hanyalah suatu kekeliruan.)

Semua ini menjelaskan, mengapa seniman tidak begitu berbahagia dengan teori (sebagai suatu konvensi ilmiah), dan mengapa seni dan filsafat bukanlah kawan seiring yang baik. Hal ini bukan hanya merupakan klaim para seniman, tetapi juga merupakan pengakuan para pemikir kesenian dan perenung kebudayaan. Banyak teoritisi seni tampaknya sepakat bahwa:

“ in dem, was man Philosophie der

“Kesenian akan terjerat dalam komersialisasi, fotograf telah tergoda untuk mendukung ad-vertensi –yang pada awal kelahi-rannya tidak demikian bukan?- Opus kesenian akan menjadi komoditi, keindahan akan terde-sak oleh glamour, inspirasi dan kontemplasi akan terperangkap in the swing of things, pameran seni akan berhadapan dengan window dressing, balai budaya harus bersaing dengan art shop dan beauty parlor, sublimasi pengalaman estetik akan tera-sa lamban di depan immediate gratification dalam konsumsi, dan nyanyian jiwaku akan iden-tik dengan lagu salesman.”

Page 46: TheLight Photography Magazine #14

90 EDISI XIV / 2008

THELEPASAN

EDISI XIV / 2008 91

THELEPASAN

Kunst nennt, fehlt gewoehnlich eins von beiden: entweder die Philosophie oder die Kunst”(dalam apa yang dinamakan filsafat kesenian, biasanya salah satu dari keduanya menjadi korban: atau filsafat atau kesenian. Friedrich Schlegel)

Demikian pun kiranya tak banyak orang yang berkeberatan terhadap George Santayana ketika dia berkata:

“ to feel beauty is better thing than to understand how we come to feel it. To have imagination and taste, to love the best, to be carried by the contempla-tion of nature to a vivid faith in the ideal, all this is more, than any science can hope to be”

Dalam pada itu perlu segera dikatakan di sini, bahwa uraian tentang keindah-an, seni dan seniman, hanyalah dibuat untuk lebih memperjelas apa yang dalam tulisan ini dimaksud dengan dayacipta, yang dalam kesenian lalu berarti kapasitas untuk menciptakan wujud-wujud yang indah, baik wujud indah itu dipandang sebagai hasil usaha menggapai dan mendekati Keindahan Mutlak, ikhtiar mengenai Wajah Tak Bernama: semacam visio beatifica, ini kalau kesenian hendak dijelaskan secara transendental. Dalam

penjelasan pertama, kesenian adalah usaha untuk menangkap dan mema-terialisasikan revelasi keindahan dalam pengalaman manusia; dalam penjela-san kedua, kesenian adalah semacam iman sekuler, yang mengucapkan kepercayaanya kepada Keindahan Transendental, yang sempurna dan tersembunyi. Amir Hamzah menggam-barkan kondisi itu dalam sajaknya yang terkenal, Padamu Jua:…di mana engkaurupa tiadasuara sayuphanya kata merangkai hati

engkau cemburuengkau ganasmangsa aku dalam cakarmubertukar tangkap dengan lepas

nanar aku, gila sasarsayang berulang padamu juaengkau pelik menarik inginserupa dara di balik tirai…

Mengingatkan kita pada filsafat Im-manuel Kant. Kant mengatakan bahwa intuisi kita mengandaikan bahwa kita dipengaruhi objek dengan cara tertentu. Kemampuan subjek untuk menerima representasi (Vorstellung) objek disebutnya “sensibilitas” atau “kemampuan mengindrai” (Sinn-lichkeit). Jadi intuisi manusia adalah “intuisi indrawi”. Efek sebuah objek pada kemampuan representasi atau pikiran (Gemut) sejauh dipengaruhinya disebut “pengindraan” (Empfindung). Objek pengindraan disebutnya “pe-

kesenian adalah

semacam iman

sekuler, yang

mengucap-kan keper-

cayaanya kepada

Keindahan Transen-

dental, yang sem-purna dan tersembu-

nyi.

Page 47: TheLight Photography Magazine #14

92 EDISI XIV / 2008

THELEPASAN

EDISI XIV / 2008 93

THELEPASAN

nampakan” (Erscheinung).Kant mengatakan “penampakan objek” bukanlah “objek”. Objek di luar kita itu, menurutnya, tidak kita ketahui. Dengan istilah Kant, “das Ding an sich” (benda pada dirinya) tidak kita ketahui, noumenon. Tetapi, kenyataan empiris selalu sudah merupakan sintesis antara unsur a priori dan a posteriori.Dalam estetika transendental ini, Kant juga membuktikan kesahihan matema-tika sebagai ilmu. Alasan bahwa matematika itu mungkin adalah karena matematika bersifat sintesis a priori dan ruang dan waktu bersifat a priori. Dalam putusan “segitiga adalah bentuk yang tersusun dari tiga garis lurus”,

predikatnya (bentuk yang tersusun dari tiga garis lurus) adalah hasil konstruksi a priori, sebab kita tak bisa memban-gun segitiga pada dirinya. Di lain pihak, predikat itu tidak sekedar analisis atas subjek, sebab ruang adalah “pengin-draan eksternal”, hasil persepsi atas ob-jek dari luar. Dalam arti ini, matematika bersifat sintetis a priori dan karenanya juga matematika mungkin sebagai ilmu.

Dayacipta dalam kesenian jadinya akan diukur berdasarkan kemampuan ses-eorang mengalami revelasi keindahan dan kemantaban pengalaman tersebut secara materiil dan kemampuan untuk menyingkapkan setiap kali rahasia Keindahan Sempurna, yang tetap dip-ingit dalam misteri yang kekal. Mutu kesenian pun akan diukur berdasarkan dua kriteria tersebut: kemampuannya untuk melibatkan orang lain (yang mampu) dalam pengalaman estetik yang dihayati, dan kemampuan untuk menyingkapkan tirai-demi-tirai yang menutup sinar matahari.

Distorsi Estetika dan Lagu SalesmanDistorsi yang terjadi ialah masuk dan merembetnya estetika ke dalam bidang-bidang non estetika, dengan

“lukisan yang unik da-hulu dapat direnungkan dengan khusuk dan de-vosional, sekarang tidak dapat lagi diperlakuan demikian. Sebabnya dalam jaman industri masa kini karya seni dire-produksi secara mas-sal dengan teknologi, sehingga lukisan dapat diperbanyak secara me-kanis dan berubah men-jadi “hiasan dinding” . Bagaimana pula dengan fotograf? Apakah estetika dalam fotografi dapat menjangkau apa yang disebuat dengan aura?”

Page 48: TheLight Photography Magazine #14

94 EDISI XIV / 2008

THELEPASAN

EDISI XIV / 2008 95

THELEPASAN

akibat diterobosnya wilayah estetika oleh bidang-bidang non estetika. Dalam praktek itu berarti, kurangnya perhatian kepada bidang ekonomi dan politik dalam sejarah kebudayaan, telah menjadi sebab, bahwa kesenian tetap terbeban oleh misi ekonomi (berupa pendidikan untuk progress), dan sukar pula dia menghindar dari titipan amanat politik. Dalam tesis

yang ringkas: politisasi kesenian dan fungsionalisasi estetika secara tenden-sius, adalah reaksi langsung terhadap estetisasi kebudayaan. Sebaliknya pun benar, bahwa desakan kebudayaan progresif yang tak tahu batas, atau in-tervensi politik yang berlebihan dalam kesenian, dapat memperkeras sikap estetika para seniman. Sikap “maju sendiri” dalam ekonomi dan ilmu dan sikap “menang sendiri” dalam politik tak dapat tidak akan menimbulkan sikap “mutlak sendiri” dalam kesenian.

Dilema seperti ini tidak akan selesai dan akan muncul kembali dalam persoalan-persoalan baru. Salah satu persoalan yang cepat atau lambat akan dihadapi dalam kebudayaan Nusantara ialah dilema yang akan muncul ber-sama masuknya kebudayaan industri, yang dibawa masuk melalui industrial-isasi dan alih teknologi, maupun oleh jaringan komunikasi global yang tak

terbendung. Industri, kita tahu, adalah suatu perwujudan yang paling mantab dan rada sempurna dari kebudayaan progresif. Salah satu resiko yang akan dihadapi oleh estetika ialah, bahwa dia akan terancam untuk diserap menjadi bagian dari proses produksi industri (dan sudah). Kesenian akan terjerat dalam komersialisasi, fotograf telah tergoda untuk mendukung advertensi –yang pada awal kelahirannya tidak demikian bukan?- Opus kesenian akan menjadi komoditi, keindahan akan

terdesak oleh glamour, inspirasi dan kontemplasi akan terperangkap in the swing of things, pameran seni akan berhadapan dengan window dressing, balai budaya harus bersaing dengan art shop dan beauty parlor, sublimasi pengalaman estetik akan terasa lam-ban di depan immediate gratification dalam konsumsi, dan nyanyian jiwaku akan identik dengan lagu salesman.

Menyusuri perjalanan keindahan, rupanya, sampai titik ini tetap meru-pakan teka-teki kebudayaan. Dalam sejarah kesenian dunia, estetika pernah menjadi raja, dalam sejarah yang lebih baru politik pernah menjadi panglima, dan kita harus bertanya apakah dalam masa depan yang dekat industri bakal menjadi omnipotens yang baru? Kalau keindahan yang satu dapat menying-

Page 49: TheLight Photography Magazine #14

96 EDISI XIV / 2008

THELEPASAN

EDISI XIV / 2008 97

THELEPASAN

kirkan keindahan yang lainnya, maka tidak mustahil dia pun berpotensi menyingkirkan kehidupan. Keindahan sebagai kata kerja dalam dayacipta rupanya hanyalah barang pecah-belah di pundak manusia yang resah, dan alat yang gampang meledak di tangan manusia yang rapuh.

Aura yang PudarDalam sejarah seni terjadi banyak pergeseran. Sejak renaisans, basis-basis ritual dan kultis dari karya seni mulai terancam akibat sekularisasi masyarakat. Situasi keterancaman itu

mendorong seni akhirnya mulai men-cari otonomi dan bersamaan itu mulai bangkit pemujaan sekular atas kein-dahan itu sendiri. Dari sini aura seni memudar. Sebabnya adalah ketergan-tungan terhadap ritus dan kultis dalam karya seni. Otonomi-pun meski telah dicapai justru menimbulkan masalah baru. Masalahnya semisal, lukisan yang unik dahulu dapat direnungkan den-gan khusuk dan devosional, sekarang tidak dapat lagi diperlakuan demikian. Sebabnya dalam jaman industri masa kini karya seni direproduksi secara massal dengan teknologi, sehingga

lukisan dapat diperbanyak secara mekanis dan berubah menjadi “hiasan dinding” . Bagaimana pula dengan fotograf? Apakah estetika dalam fotografi dapat men-jangkau apa yang disebuat dengan aura?

Ternyata, sampai disini perbincangan tentang keindahan masih tak kunjung selesai. Sebagai pemanis pembicaraan, sambil pamit undur untuk tulisan bagian kedua ini saya ingin mengajukan model yang diajukan oleh Karl R. Popper, seba-gai sebuah analogi akan penelusuran kita tentang keindahan:

P1-->TT-->EE-->P2(Baca: Problem one – Tentative Theory – Error Elimination – Problem Two) Bersambung

*Penulis adalah guru kesenian, peneliti dan bekas sutradara. Tinggal di Jakarta.

“For per-formance, nature has no mercy, and sacri-

fices the performer-

to get it done.”

(Ralph Waldo Emerson-The Complete Essays and Other Writing)

Page 50: TheLight Photography Magazine #14

98 EDISI XIV / 2008

EDITORIALPHOTOGRAPHY

EDISI XIV / 2008 99

THEINSPIRATION

YOU ARE WHAT YOU DOBeberapa tahun yang lalu di suatu sore saya menghadiri sebuah undangan interview dari sebuah perusahaan periklanan multinasional. Sore itu saya tidak tampak gugup dan tidak merasa perlu mempersiapkan sesuatu untuk interview kali itu karena sebelumnya saya sudah 3 kali pindah perusahaan dan ketiganya melalui proses interview. Di perjalanan saya sudah membayangkan pertanyaan yang akan diajukan pada interview kali ini. Saya berpikir, “Ah paling-paling nggak beda jauh dengan sesi interview sebelumnya. Pertanyaannya seputar perusa-haan tempat saya pernah bekerja, iklan-iklan apa yang pernah saya kerjakan, dan seputar hal itu.”

Hari itu saya membawa satu folder berisi portfolio saya yang kurang lebih 50an jumlahnya.Setibanya di tempat interview, saya disambut dengan baik dan akhirnya diper-temukan dengan creative director yang akan mengepalai saya nantinya. Tanpa diminta saya pun langsung menyerahkan folder berisi kurang lebih 50an portfolio saya kepada creative director itu sambil berkata, “ini portfolio saya mas.”Creative director itu pun menjawab, “Oh nggak usah sebanyak ini. Kamu saya kasih 30 detik untuk pilih 3 portfolio terbaik kamu, sisanya saya nggak mau lihat. Ingat tunjukan 3 yang terbaik.” Saya pun menurutinya, walaupun saya memakan waktu lebih dari 30 detik karena bingung mana yang lebih baik.

Ia pun tersenyum dan berkata, “masak kamu nggak bisa milih kerjaan terbaik kamu.” Setelah beberapa saat akhirnya saya berhasil memberinya 3 portfolio ter-baik saya. Ia pun mengamati portfolio saya sesaat kemudian memulai interview.

Page 51: TheLight Photography Magazine #14

100 EDISI XIV / 2008

THEINSPIRATION

EDISI XIV / 2008 101

THEINSPIRATION

Namun, betapa kagetnya saya karena pertanyaan yang diajukan benar-benar tidak pernah ditanyakan orang kepada saya dan saya tidak pernah terpikir akan ditanya seperti itu. Sang creative director itu berkata, “saya nggak punya banyak waktu untuk ngobrol dengan kamu, saya cuma punya 3 pertanyaan buat kamu. Apa buku yang terakhir kamu baca? Apa film yang terakhir kamu tonton di bioskop? Dan iklan apa yang pernah tayang yang kamu suka? Pertanyaannya sangat sederhana, na-mun benar-benar membuat saya panik. Saya pun kesulitan menjawabnya dan sempat terdiam beberapa saat sambil mencari jawabannya.

Ada pepatah mengatakan “you are what you eat”. Lalu pepatah ini melahir-kan pepatah baru yang masih satu seri “you are what you read”. Dan mungkin tidak terlalu salah juga kalau saya bil-ang “you are what you watch”.Mungkin pepatah itu lebih banyak benarnya daripada salahnya. Saya memiliki teman yang berorientasi pada uang, maka buku-buku yang ia beli kurang lebih berjudul “1001 ide bisnis modal kecil untung besar.” Atau “Cara cepat kaya raya.”, Sementara teman saya yang lain walaupun berorientasi yang, namun ia memiliki selera yang

berbeda dalam memilih buku. Ia selalu membeli buku tentang investment itu-pun harus sesuatu yang lebih “dalam”. Ia tidak tertarik membaca buku-buku yang kurang lebih berjudul “cepat kaya lewat saham” atau “teknik praktis meraup kekayaan dari pasar modal.” Ia lebih tertarik membaca buku-buku yang kurang lebih berjudul “Psikologi investor.” Atau “Warren Buffet on invest-ment”.

Lain lagi dengan dua orang teman saya yang menekuni komputer grafis. Yang satu tertarik buku-buku yang berjudul kurang lebih seperti “24 jam sakti photoshop” atau “efek-efek muktahir

photoshop”. Sementara yang satu lagi tertarik buku-buku yang berjudul kurang lebih seperti “photoshop master class” atau “photoshop channel operations” atau “color correction”.

Saya rasa kita semua bisa membeda-kan berada dalam level apa teman-teman saya itu. Kita bisa mengevaluasi orang macam apa yang membeli buku berjudul “rahasia kiat naik gaji” dan orang macam apa yang membeli buku yang berjudul “the tomorrow people”.

Pertanyaannya adalah, buku macam apa yang kita baca akhir-akhir ini? Majalah fotografi macam apa yang kita baca dalam kurun waktu 6 bulan terakhir secara intens.Bukan porsi saya untuk menghakimi orang seperti apakah anda, namun mungkin pertanyaan seperti itu mungkin bisa menjadi evaluasi bagi diri kita masing-masing mengenai orang seperti apa kita saat ini dan akan jadi seperti apa kita dengan membaca buku-buku semacam yang kita baca dalam beberapa bulan terakhir. Dan akan menjadi apa kita dengan apa yang kita lakukan dan kita pikirkan saat ini. Apakah sudah sesuai dengan ke-inginan kita atau jangan-jangan malah salah alamat?

Page 52: TheLight Photography Magazine #14

102 EDISI XIV / 2008

THEADVERTORIAL

EDISI XIV / 2008 103

THEADVERTORIAL

Page 53: TheLight Photography Magazine #14

104 EDISI XIV / 2008

MASTERTOM

EDISI XIV / 2008 105

MASTERTOM

WHAT MAKES A GOOD PICTURE

A big theme for every photographer, for every artist! Hundreds of papers have been filled with this theme. For me, it is not such a difficult question!

The commercial point of view, which says: “A good picture is the one which is sold”, is only good for your bank ac-count, but not for your photographic maturity.

A good picture is different. Surprises me. It has power, and I love to look at it. The good picture shows something to me with intensity and in all clarity. It encourages me and awakes emotions. The good picture invites me.

In a word: You just look into a good picture, not only at the surface.

Good pictures have an intention:

- the news photo describes a situation,- the portrait shows a person in ist entire character,- the advertising photo makes me say: YES,- and so on

Good pictures are not taken by chance. This is why amateurs, who seldom take photos, never have really good ones.

How do I find good pictures? Here is my ideal situation: I flick through a magazine, and suddenly I see a good photo. I look at it, and go further in the magazine. Suddenly I feel, that there was something more in that photo, and go back to it. Good effect!Or in an exhibition: The good picture is visible even in the distance, and I can’t wait to come close to it.You see, the good picture is not deeply

understood in a second. Time is need-ed for it, but you will be rewarded! The good picture always has a secret, and it is joy to learn more about its secrets.“The good picture is like the first sen-tence in a novel. The rest is done by the viewer.”

A good picture is a good picture even in a hundred years! This is why I try to make my photos “timeless”, they should also be understood in distant future. Hopefully they find inter-est! (Some of my colleagues call me megalomaniac…) For example I try to avoid modern props. I wouldn’t use the latest D&G coat, better look for a classic trenchcoat.This is a also a reason, why I never do fashion photography. These photos

“The good picture is like the first sentence in a novel. The rest is done by the viewer.”have to be good only for NOW. This kind of photography, and most of the people working in this field, are boring and superficial to me.I mainly work for advertising agen-cies and editorial. Both fields have are keen to trendy pictures. I never cared about it. In my portfolio I always have a photo, which is 25 years old (older as some of the ADs, I work with). Its fun for me to let them guess, which is that one. They can’t find it. Because I avoided to be trendy.

This is the photo, “King Ludwig II” (I’ll speak about this photo at a later date).In the last years I notice a trend in photography, specially with young photographers: photo-serials. It is not the single photo, which counts, but is

Page 54: TheLight Photography Magazine #14

106 EDISI XIV / 2008

MASTERTOM

EDISI XIV / 2008 107

MASTERTOM

Page 55: TheLight Photography Magazine #14

108 EDISI XIV / 2008

MASTERTOM

EDISI XIV / 2008 109

MASTERTOM

the serial of 4 to 10 pictures. I don’t like it. Better try to find the single picture, which tells the whole story (not easy, I know). It is much more difficult and ambitious, to catch a situation in one single photo, but this should be your goal!There is such an overflow of pictures today, the impressive single photo has a better chance of perception than a bulk of “normal” pictures.How to find the impressive picture? Simple advice: “Before you shoot, THINK!”

Another trend, specially in the fine art scene, is the supersize print. Often to be seen in the very expensive Diasec technique (the photo is sealed in acrylic or glass, with a super-glossy surface). But for what pictures do the use it? Someone shot a wall, a simple wall, and made it as a huge print – real size. So what? It is not big art, because it is supersize! Then you better put that original piece of wall into your flat…

the good pic-ture is not deep-ly understood in a second. Time is needed for it, but you will be rewarded! The good pic-ture always has a secret, and it is joy to learn more about its secrets.

Since years I ask prominent photogra-phers: “How many good photos have you made in your career?” The answer is always surprising: “less than ten”, “five or six”, or “few”. This is said by top-stars of the business!

Isn’t that somehow annoying?

Always Good Light!Master TOM(Thomas Herbrich www.herbrich.com)

“How many good photos

have you made in your career?”

The answer is always surpri-

sing: “less than ten”, “five or

six”, or “few”. This is said by

top-stars of the business!

Page 56: TheLight Photography Magazine #14

110 EDISI XIV / 2008

THEEXPLORATION

EDISI XIV / 2008 111

THEEXPLORATION

Penggemar macro photography di Indonesia setiap harinya terus menerus tumbuh. Macro photography mungkin menjadi sesuatu yang menarik karena detail visual yang ditampilkan tidak kita lihat sehari-hari dalam kehidupan kita. Permasalahannya seiring semakin banyaknya foto makro yang beredar, tingkat kemiripan dan kesamaannya pun makin banyak. Untuk itu kali ini kami mencoba membagi sebuah tips sederhana tentang teknis lighting yang bisa menjadi pili-han tambahan dalam menghasilkan foto makro.

Ketika melakukan eksplorasi pada macro photography, kami menemukan be-berapa kesulitan ataupun masalah yaitu: -Ruang tajam yang sangat sempit, mempersulit penentuan titik focus -Kesulitan mencapai shutter speed “aman”, gambar menjadi rentan goyang (shake). Info thumb rules: t.min (tidak goyang) untuk format aps adalah 1:focal length x 1,6 (crop factor) contoh : lensa 105mmx1,6= 168 (t=1/168s) sedangkan untuk full frame tmin=1/focal length-Warna dan detail yang tidak menonjol (flat, warna tidak vibrance)

SECRET LIGHTING FOR MACRO PHOTOGRAPHYBY: NOVIJAN SANJAYA

Page 57: TheLight Photography Magazine #14

112 EDISI XIV / 2008

THEEXPLORATION

EDISI XIV / 2008 113

THEEXPLORATION

Page 58: TheLight Photography Magazine #14

114 EDISI XIV / 2008

THEEXPLORATION

EDISI XIV / 2008 115

THEEXPLORATION

Page 59: TheLight Photography Magazine #14

116 EDISI XIV / 2008

THEEXPLORATION

EDISI XIV / 2008 117

THEEXPLORATION

Pada tahun 1994 seorang fotografer Belanda yang hampir selalu meme-nangi contest foto macro, Jeff Meul B, menemukan penyelesaian masalah tersebut. Dengan menggunakan kam-era yang relatif kuno yaitu Nikon F2, beliau menggunakan 2 s/d 3 flash light (speed-light) untuk mendapatkan gam-bar yang impactfull. Penggunaan front light untuk main light, dan tambahan lampu kedua menggunakan flexible arm untuk back light.

Dari pengalaman beliau lah kami mencoba mempraktekannya. Butuh 2 hari untuk membuat bracket (dudu-kan) flash light. Anda bisa menciptakan alat ini dari bahan-bahan yang mudah didapatkan seperti plat dudukan. Den-gan tambahan sekrup dan isolasi lebar

(lakban), ditambah dengan mata kuc-ing rusak (untuk dudukan flash kedua) dan kabel sinkro flash(reiciever/trigger) dan satu flexible pipe/arm, jadilah alat pendukung tersebut.Apabila anda kesulitan merakit sendiri alat ini, anda bisa membeli bracket yang sudah jadi. Selain itu anda juga bisa minta bantuan orang kedua untuk mengarahkan lampu kedua (untuk lampu flash yang ekonomis kita bisa memakai mata kucing sederhana un-tuk remote flash)

Pada saat pemotretan kami menyetel kamera maupun flash secara manual. Apabila flash light dari brand tertentu dirasa terlalu mahal, anda bisa men-coba dengan flash light dari third party yang relatif lebih murah.

Page 60: TheLight Photography Magazine #14

118 EDISI XIV / 2008

THEEXPLORATION

EDISI XIV / 2008 119

THEEXPLORATION

Page 61: TheLight Photography Magazine #14

120 EDISI XIV / 2008

THEEXPLORATION

EDISI XIV / 2008 121

THEEXPLORATION

Page 62: TheLight Photography Magazine #14

122 EDISI XIV / 2008

THEEXPLORATION

EDISI XIV / 2008 123

THEEXPLORATION

Page 63: TheLight Photography Magazine #14

124 EDISI XIV / 2008

THEEXPLORATION

EDISI XIV / 2008 125

THEEXPLORATION

Alasan penggunaan teknik ini adalah sebagai berikut: - Dengan intensitas flash yang cukup kita dengan mudah mencapai diafragma minimum f/10, untuk mem-perlebar ruang tajam, sehingga men-gurangi resiko out of focus (walaupun harus tetap latihan memfocus yang tepat)- Flash duration cukup membekukan dan menerangi object diam, walau-pun dengan max syncro speed camera (tergantung tipe camera, synchro

speed mulai max. 1/125 s/d 1/250), kadangkala kami mencoba memakai speed lamban 1/15 s/d 1/30 s, karena pengkombinasian antara slower shut-ter speed dengan flash mempunyai beberapa efek unik seperti outline hitam di sekeliling object.- Dengan adanya backlight, warna object maupun elemen lain (daun dll) semakin hidup (vivid) serta membuat detail lain menjadi lebih crispy.

Kami menggunakan lensa macro 105mm/f:2.8, semi tele macro lens yang sangat nyaman dan tidak terlalu berat, dengan perbesaran max. 1:1.Yang perlu diperhatikan dalam memu-tuskan lensa macro pertama adalah factor pembesaran tsb, bukan dari besar kecilnya focal length.Lensa 50mm 1:1 mempunyai pemb-esaran max. yang sama dengan lensa 150mm 1:1.Faktor ini menjelaskan perbandingan besar object dengan besar proyeksi gambar di atas media perekam.Bilamana kita memiliki lensa “semi” macro, kita bisa memperbesar proyeksi dengan cara memakai “extention tube”, cara ini adalah cara yang lebih ekono-mis untuk mengupgrade kemampuan lensa kita untuk kepentingan macro photography.

Page 64: TheLight Photography Magazine #14

126 EDISI XIV / 2008

THEEXPLORATION

EDISI XIV / 2008 127

THEEXPLORATION

Page 65: TheLight Photography Magazine #14

128 EDISI XIV / 2008

THEEXPLORATION

EDISI XIV / 2008 129

THEEXPLORATION

Page 66: TheLight Photography Magazine #14

130 EDISI XIV / 2008

THEEXPLORATION

EDISI XIV / 2008 131

THEEXPLORATION

Page 67: TheLight Photography Magazine #14

132 EDISI XIV / 2008

THEEXPLORATION

EDISI XIV / 2008 133

THEEXPLORATION

Extension tube adalah alat yang berupa tabung yang berfungsi untuk memper-panjang jarak lensa dengan bidang perekam, sehingga proyeksinyapun ikut membesar.

Pada akhirnya alat dipakai untuk mempermudah proses kerja kita, semua kita kembalikan lagi ke tangan si pembuat gambar tersebut. Kembali lagi apakah kita cukup sensitive, karena macro fotografi bagaikan dunia lain dalam dunia fotografi. Kesabaran, kemampuan kita mengkomposisikan gambar, warna dan cahaya inilah elemen yang paling menentukan kualitas gambar kita.

CARPE DIEM

Page 68: TheLight Photography Magazine #14

134 EDISI XIV / 2008

THEEXPLORATION

EDISI XIV / 2008 135

THEEXPLORATION

Page 69: TheLight Photography Magazine #14

136 EDISI XIV / 2008

THEEXPLORATION

EDISI XIV / 2008 137

THEEXPLORATION

Page 70: TheLight Photography Magazine #14

138 EDISI XIV / 2008

THEEXPLORATION

EDISI XIV / 2008 139

THEEXPLORATION

Page 71: TheLight Photography Magazine #14

140 EDISI XIV / 2008

THEEXPLORATION

EDISI XIV / 2008 141

THEEXPLORATION

Page 72: TheLight Photography Magazine #14

142 EDISI XIV / 2008

THEEXPLORATION

EDISI XIV / 2008 143

THEEXPLORATION

Page 73: TheLight Photography Magazine #14

144 EDISI XIV / 2008

THEEXPLORATION

EDISI XIV / 2008 145

THEEXPLORATION

Page 74: TheLight Photography Magazine #14

146 EDISI XIV / 2008

THEEXPLORATION

EDISI XIV / 2008 147

THEEXPLORATION

Page 75: TheLight Photography Magazine #14

148 EDISI XIV / 2008

THEEXPLORATION

EDISI XIV / 2008 149

THEEXPLORATION

Page 76: TheLight Photography Magazine #14

150 EDISI XIV / 2008

WHERETOFIND

EDISI XIV / 2008 151

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

CLARISSA JAYAKUMARA & PEDDY SURYADINATA, KOLABORASI FOTOGRAFER & ART DIRECTORSepertinya sudah menjadi rahasia umum bahwa fotografi adalah pekerjaan team, setidaknya pada beberapa bidang spesifik seperti fotografi komersil. Namun dari sekian banyak fotografer yang menggeluti dunia komersil hapir tidak ada fotografer yang membranding diri mereka sebagai pasangan. Untuk itu, kami pun sangat tergoda untuk bertemu dan berbincang-bincang dengan Clarissa Jayakumara dan Peddy Suryadinata yang selalu membranding diri mereka secara berpasangan. Latar belakang pendidikan design yang mereka kenyam ditambah pengalaman Peddy bekerja selama beberapa tahun sebagai art director di peru-sahaan periklanan terbaik di Indonesia seperti Lowe Indonesia dan JWT rupanya menjadi modal yang sangat bernilai bagi pengembangan karir dan kemampuan mereka berfotografi saat ini.

Peddy mulai jatuh cinta pada fotografi ketika ia sempat bekerja sebagai asisten pada fotografer komersial ternama Sam Nugroho. “Waktu itu sebenarnya gue sudah tertarik mejadi fotografer, tapi karena alatnya mahal dan waktu itu belum

Page 77: TheLight Photography Magazine #14

152 EDISI XIV / 2008

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

EDISI XIV / 2008 153

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

ada penyewaan alat jadi nggak berani mulai.” Ungkapnya di awal pembi-caraan kami. “akhirnya karena sering ketemu art director advertising gue malah tertarik kerja di advertising.” Sambungnya. Selama bekerja di adver-tising Peddy mengaku banyak men-gasah kemampuan art directing yang akhirnya sangat berguna bagi seorang fotografer. Walaupun menduduki posisi art director, Peddy sering dimintai membantu melakukan pemotretan oleh creative directornya untuk iklan-iklan yang tidak ada budget. Dari situ Peddy mulai tergiur kembali ke dunia fotografi.

Sementara Clarissa mulai menyukai fotografi sejak SMA. Alumni SMA Santa Ursula Jakarta ini pun mengaku sem-pat bergabung dengan klub jurnalistik di sekolahnya dulu. “Waktu mau masuk kuliah, gue maunya masuk fotografi. Tapi konsep fotografi di kepala orang tua gue adalah yang kalau ada demo baru motret, lalu keluar masuk hutan. Atas kekhawatiran mereka akan kes-alah pengertian tentang konsep pro-fesi fotografi itu sendiri gue akhirnya ambil jurusan Visual Communication.” Ungkapnya.Selepas kuliah, Clarissa pun sempat bekerja sebagai graphic designer.

“Motret pre wedding

dengan style commercial

bikin kita punya banyak kesem-

patan untuk ex-plore konsep dan lighting.

Dan karena ke-betulan

kliennya orang-orang adver-

tising jadi seru banget karena mereka orang

yang mengerti tentang

fotografi.”

Page 78: TheLight Photography Magazine #14

154 EDISI XIV / 2008

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

EDISI XIV / 2008 155

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

Page 79: TheLight Photography Magazine #14

156 EDISI XIV / 2008

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

EDISI XIV / 2008 157

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

Page 80: TheLight Photography Magazine #14

158 EDISI XIV / 2008

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

EDISI XIV / 2008 159

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

Selain itu Clarissa juga mengajar seni untuk anak-anak berumur 5 sampai 6 tahun di negeri Paman Sam. Keinginan-nya untuk mengenyam pendidikan fotografi akhirnya tercapai juga ketika akhirnya ia mengambil gelar S2 pada jurusan fotografi. “Waktu sudah hampir lulus, gue pulang ke Indonesia untuk survey apakah fotografi cukup pros-pektif nggak di Indonesia. Kalau nggak prospektif rencannya gue mau stay di Amerika aja.” Ungkapnya. “Eh ternyata malah langsung jalan dan nggak nye-lesaiin kuliah.” Sambungnya. Setelah kembali ke Indonesia pun Clarissa masih menyempatkan diri untuk men-gajar seni anak-anak seusia yang sama seperti murid-muridnya di Amerika.

Peddy dan Clarissa bertemu pada tahun 2004 ketika diundang ke acara ulang tahun teman kerja Peddy yang juga teman Clarissa di Amerika. “waktu itu gue mau dijodohin sama cowok lain, dan si Peddy mau dijodohin sama cewek lain.” Kenang Clarissa. Setelah pertemuan pertama itu Peddy dan Clarissa tidak pernah bertemu hingga suatu saat bertemu lagi di studio Sam Nugroho ketika Clarissa sedang main ke sana untuk melihat Anton Ismael memotret. “ternyata Anton motret kerjaannya Peddy. Dari situ akhirnya

jadi sering ngobrol dan ketemu.” Ung-kapnya.

Peddy dan Clarissa bekerja sebagai couple secara resmi pada September 2007 setelah Peddy memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya sebagai Art Director. Saat ini mereka banyak mengerjakan pemotretan iklan walaupun sesekali masih memotret pre wedding. “Awalnya kita pernah tertarik ke wedding. Tapi karena nggak pernah jualan jadi nggak pernah jalan.” Ungkap Peddy. Saat ini Peddy dan Clarissa

Page 81: TheLight Photography Magazine #14

160 EDISI XIV / 2008

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

EDISI XIV / 2008 161

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

Page 82: TheLight Photography Magazine #14

162 EDISI XIV / 2008

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

EDISI XIV / 2008 163

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

Page 83: TheLight Photography Magazine #14

164 EDISI XIV / 2008

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

EDISI XIV / 2008 165

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

Page 84: TheLight Photography Magazine #14

166 EDISI XIV / 2008

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

EDISI XIV / 2008 167

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

melakukan pemotretan pre wedding hanya untuk kenalan-kenalannya yang kebetulan pekerja advertising. Dalam memotret pre wedding mereka selalu menerapkan standard dan treatment pemotretan iklan. “Motret pre wed-ding dengan style commercial bikin kita punya banyak kesempatan untuk explore konsep dan lighting. Dan karena kebetulan kliennya orang-orang advertising jadi seru banget karena mereka orang yang mengerti tentang fotografi.” Ungkap Peddy. “Persiapan-nya pun dilakukan seperti pemotretan iklan, mereka bawa referensi detail. Jadinya hasilnya bisa lebih optimal.” Sambungnya.

Berbicara mengenap persiapan pemotretan Peddy dan Clarissa menganggap sangat pentingnya pre production meeting sebelum pe-motretan. “Gue selalu nuntut harus ada pre pro. Pre pro akan mempercepat kerja pada hari pemotretan karena pada saat pemotretan sudah ketahuan apa maunya si klien.” Ungkap Clarissa. “Dengan adanya batasan-batasan yang mau dikerjain kita jadi nggak buang-buang waktu pas motret.” Sam-bungnya. Sebelum pre pro meeting biasanya Peddy dan Clarissa mendapat briefing dari advertising company yang menunjuk mereka. Berdasarkan brief tersebut mereka memikirkan treatment dan konsep fotografi yang digambar-kan dalam beberapa referensi. “Mulai

“...Karena tanpa karakter, foto yang kita hasil-kan jadi foto yang umum dan bisa dibuat oleh orang lain. Kalau bisa dibuat orang lain bagaimana harganya nggak diadu?”

Page 85: TheLight Photography Magazine #14

168 EDISI XIV / 2008

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

EDISI XIV / 2008 169

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

Page 86: TheLight Photography Magazine #14

170 EDISI XIV / 2008

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

EDISI XIV / 2008 171

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

Page 87: TheLight Photography Magazine #14

172 EDISI XIV / 2008

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

EDISI XIV / 2008 173

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

dari reference lighting, skin tone kalau untuk pemotretan model, overall color & mood, angle, lokasi, properties, ward-robe, make up, dan kadang-kadang termasuk pose.” Ungkap Clarissa. “Yang paling penting apa yang kita discuss dan diputuskan di pre pro meeting kita pegang benar jadi waktu motret nggak kemana-mana.” Sambungnya. Clarissa mengaku akan dengan sekuat tenaga memaksakan diri untuk datang tanpa diwakilkan di pre pro meeting. “Sebisa mungkin gue harus datang sendiri ke

pre pro meeting. Atau kalau benar-benar nggak bisa karena lagi motret, setidaknya yang ikut pre pro si Peddy. Tapi setelah itu, entah after office hour atau kalau perlu komunikasi lewat email pun gue lakuin.” Ungkap Clarissa.

Ditanya mengenai perbedaan commer-cial photography dengan bidang fo-tografi lain Peddy berpendapat bahwa di commercial photography presure-nya beda karena tuntutan kualitasnya tinggi. Clarissa pun senada dengan Peddy dengan mengatakan bahwa di fotografi komersil foto yang dihasilkan harus benar-benar bagus. Selain itu, Peddy mengakui bahwa fotografer komersil sangat terbatas. “Jumlahnya sedikit, karena susah untuk masuk. Advertising company sebagian besar nggak mau ambil resiko gagal. Untuk itu hanya yang bener-bener bagus dan terbukti bagus yang bisa eksis di iklan.” Ungkap Peddy.

Page 88: TheLight Photography Magazine #14

174 EDISI XIV / 2008

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

EDISI XIV / 2008 175

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

Page 89: TheLight Photography Magazine #14

176 EDISI XIV / 2008

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

EDISI XIV / 2008 177

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

Page 90: TheLight Photography Magazine #14

178 EDISI XIV / 2008

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

EDISI XIV / 2008 179

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

Clarissa berpendapat untuk bisa masuk menjadi fotografer iklan diperlukan portfolio yang punya karakter. “Un-tuk masuk ke iklan, fotografer harus punya portfolio yang memorable karea art director setiap harinya lihat foto banyak sekali dari berbagai macam fotgrafer dan bahkan fotografer yang bagus-bagus. Jadi supaya bisa kepakai sama orang iklan portfolio kita harus nempel banget di awal mereka lihat.” Ungkap Clarissa. “Masuknya memang susah sekali, tapi kalau Art Director sudah suka sama portfolio kita, pasti diperjuangkan mati-matian untuk milih kita.” Tambah Peddy.Mengenai equipment Peddy dan Cla-rissa menganggap tidak harus dimiliki oleh fotografer komersil karena kini ada kesempatan untuk bisa menyewa peralatan fotografi yang canggih. Clarissa juga berpendapat sangat besar peran karakter yang dimiliki seorang fotografer untuk bisa diterima di fotografi komersil. Walaupun pencar-ian karakter bisa dilakukan sambil jalan. Hal paling akhir yang juga sangat penting untuk bisa menjadi fotografer komersil adalah kemampuan market-ing yang baik.

Menanggapi persaingan di fotografi komersil yang semakin tidak sehat

“Untuk masuk ke iklan, fo-tografer harus punya portfo-lio yang memorable karea art director setiap harinya lihat foto banyak sekali dari ber-bagai macam fotgrafer dan bahkan fotografer yang ba-gus-bagus. Jadi supaya bisa kepakai sama orang iklan portfolio kita harus nempel banget di awal mereka lihat.”

Page 91: TheLight Photography Magazine #14

180 EDISI XIV / 2008

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

EDISI XIV / 2008 181

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

“Dengan adanya batasan-batasan yang mau dikerjain kita jadi nggak

buang-buang waktu pas motret.”

Page 92: TheLight Photography Magazine #14

182 EDISI XIV / 2008

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

EDISI XIV / 2008 183

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

dengan praktik saling bantung harga Clarissa justru mendorong fotografer-fotografer komersil untuk lebih mengapresiasi kemam-puan dan hasil karya masing-masing. “Klien pastinya mau yang paling murah, tapi kita sendiri harus menghargai skill dan karya kita.” Ungkap Clarissa. “Untuk itu karakter sangat dibutuhkan. Karena tanpa karakter, foto yang kita hasilkan jadi foto yang umum dan bisa dibuat oleh orang lain. Kalau bisa dibuat orang lain bagaimana harganya ng-gak diadu?” Sambungnya. Clarissa menganggap fotografer-fotografer yang sudah memiliki karakter tidak perlu takut dengan persaingan harga dengan ikut-ikutan menurunkan harga. “Karena kalau kita pu-nya personal touch klien pasti cari kita. Karena nggak ada yang bisa bikin foto seperti yang kita bikin.” Jelasnya.

“Hasil akhirnya sih bagus, tapi gue penasaran mau li-hat mentahnya. Karena banyak fo-tografer sekarang yang bagusnya setelah di DI saja...”

Page 93: TheLight Photography Magazine #14

184 EDISI XIV / 2008

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

EDISI XIV / 2008 185

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

Page 94: TheLight Photography Magazine #14

186 EDISI XIV / 2008

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

EDISI XIV / 2008 187

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

Berbicara mengenai fotografer-fotografer muda, Clarissa dan Peddy menganggap fotografer muda secara keseluruhan bagus-bagus. “Hasil akhirnya sih bagus, tapi gue penasaran mau lihat mentahnya. Karena banyak fotografer sekarang yang bagusnya setelah di DI saja. Sah-sah saja sih, gue tetap respek sama mereka yang jago DI.” Ungkap Clarissa. “Tapi gue juga respek sama fotografer yang sabar mau negrjain detail semaksimal mungkin di

kamera dan cuma ngerjain di kom-puter apa yang hanya bisa dilakukan di komputer.” Sambungnya. Clarissa menganggap fotografer sekarang banyak yang kurang sabar dan jeli. “Ada fotografer yang bilang bahwa kalau hati lo sudah bilang ini waktunya ya jepretlah dan percayalah bahwa itu memang sudah waktunya. Dan biasanya benar.” Ungkapnya.

Di akhir pembicaraan Clarissa & Peddy berpesan kepada fotografer muda un-tuk tidak mudah menyerah dan tidak mudah puas. “Jangan berhenti belajar, jangan takut untuk coba hal baru dan yang penting jangan ngerasa sudah bagus.” Tutupnya.

“Ada fotografer yang bilang bahwa kalau hati lo sudah bi-lang ini waktu-nya ya jepretlah dan percayalah bahwa itu me-mang sudah waktunya. Dan biasanya benar.”

Page 95: TheLight Photography Magazine #14

188 EDISI XIV / 2008

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

EDISI XIV / 2008 189

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

Page 96: TheLight Photography Magazine #14

190 EDISI XIV / 2008

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

EDISI XIV / 2008 191

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

Page 97: TheLight Photography Magazine #14

192 EDISI XIV / 2008

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

EDISI XIV / 2008 193

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

“...dan yang penting jangan ngerasa sudah bagus.”

Page 98: TheLight Photography Magazine #14

194 EDISI XIV / 2008

WHERETOFIND

EDISI XIV / 2008 195

WHERETOFIND

JAKARTATelefikom FotografiUniversitas Prof. Dr. Moestopo (B), Jalan Hang Lekir I, JakPusIndonesia Photographer Organization (IPO)Studio 35, Rumah Samsara, Jl. Bunga Mawar, no. 27, Jakarta Selatan 12410Unit Seni Fotografi IPEBI (USF-IPEBI)Komplek Perkantoran Bank Indonesia, Menara Sjafrud-din Prawiranegara lantai 4, Jl. MH.Thamrin No.2, JakartaUKM mahasiswa IBII, Fotografi Institut Bisnis Indonesia (FOBI)Kampus STIE-IBII, Jl Yos Sudarso Kav 87, Sunter, Jakarta UtaraPerhimpunan Penggemar Fotografi Garuda Indonesia (PPFGA)PPFGA, Jl. Medan Merdeka Selatan No.13, Gedung Garuda Indonesia Lt.18Komunitas Fotografi Psikologi Atma Jaya, JKTJl. Jendral Sudirman 51, Ja-karta.Sekretariat Bersama Fakultas Psikologi Atma Jaya Ruang G. 100Studio 51Unversitas Atma Jaya, Jl. Jendral Sudirman 51, Jakarta

Perhimpunan Fotografi Taru-manegaraKampus I UNTAR Blok M Lt. 7 Ruang PFT. Jl. Letjen S. Parman I JakBarPt. Komatsu IndonesiaJl. Raya Cakung Cilincing Km. 4 Jakarta Utara 14140LFCN (Lembaga Fotografi Candra Naya)Komplek Green Ville -AW / 58-59, Jakarta Barat 11510HSBC Photo ClubMenara Mulia Lt. 22, Jl. Jendral Gatoto Subroto Kav. 9-11, JakSel 12930XL PhotographJl. Mega Kuningan Kav. E4-7 No. 1 JakSelKelompok Pelajar Peminat Fotografi SMU 28Jl. Raya Ragunan (Depan RS Pasar Minggu) JakSelFreePhot (Freeport Jakarta Photography Community) PT Freeport Indonesia Plaza 89, 1st Floor Jl. Rasuna Said Kav X-7 No. 6 PSFN Nothofagus (Perhimpu-nan Seni Fotografi PT Freeport Indonesia) PT Freeport Indonesia Plaza 89, 1st Floor Jl Rasuna Said Kav X-7 No. 6

CybiLensPT Cyberindo Aditama, Mang-gala Wanabakti IV, 6th floor. Jl. Gatot Subroto, jakarta 10270FSRD TrisaktiFSRD Trisakti, Kampus A. Jl. Kyai Tapa, Grogol. Surat menyurat: jl. Dr. Susilo 2B/ 30, Grogol, JakbarSKRAF (Seputar Kamera Fikom)Universitas SAHID Jl. Prof. Dr. Soepomo, SH No. 84, Jak-Sel 12870One Shoot PhotographyFIKOM UPI YAI jl. Diponegoro no. 74, JakPusLasalle CollegeSahid Office Boutique Unit D-E-F (komp. Hotel Sahid Jaya). Jl. Jend Sudirman Kav. 86, Jakarta 1220Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Al-Azhar Indo-nesiaJl. Sisingamangaraja, Kebayoran baru, Jak-Sel, 12110LSPR Photography ClubLondon School of Public RelationCampus B (Sudirman Park Office Complex)Jl. KH Mas Mansyur Kav 35Jakarta Pusat 10220FOCUS NUSANTARA

Jl. KH Hasyim Ashari No. 18, JakartaSUSAN + PROKemang raya No. 15 Lt.3, Jakarta 12730e-StudioWisma Starpage, Salemba Tengah No. 5, JKT 10440VOGUE PHOTO STUDIORuko Sentra Bisnis Blok B16-17, Tanjung Duren raya 1-38Shoot & Printjl. Boulevard Raya Blok FV-1 no. 4, Kelapa Gading Permai, jktQ FotoJl. Balai Pustaka Timur No. 17, Rawamangun, JktDigital Studio CollegeJl. Cideng Barat No. 21 A, Jak-PusDarwis Triadi School of Photog-raphyjl. Patimura No. 2, Kebayoran BarueK-gadgets centreRoxy Square Lt. 1 Blok B2 28-29, JktStyle PhotoJl. Gaya Motor Raya No. 8, Gedung AMDI-B, Sunter JakUt, 14330Neep’s Art InstituteJl. Cideng Barat 12BB, JakartaV3 TechnologyMall ambassador Lt.UG/47. Jl. Prof Dr. Satrio, Kuningan, JakartaCetakfoto.netKemang raya 49D, Jakarta 12730

POIsongraphyConocoPhillips d/a Ratu Prabu 2 jl.TB.Simatupang kav 18Jakarta 12560NV AkademieJl. Janur Elok VIII Blok QG4 No.15Kelapa Gading permaiJakarta 14240

BEKASILubang MataJl. Pondok Cipta Raya B2/ 28, Bekasi Barat, 17134

BANDUNGPAF BandungKompleks Banceuy Permai Kav A-17, Bandung 40111JepretSekretariat Jepret Lt. Basement Labtek IXB Arsitektur ITB, Jl Ganesha 10, BandungSpektrum (Perkumpulan Unit Fotografi Unpad)jl. Raya Jatinangor Km 21 Sumed-ang, JabarPadupadankan PhotographyJl. Lombok No. 9S BandungStudio intermodelJl. Cihampelas 57 A, Bandung 40116Lab Teknologi Proses Material ITBJl. Ganesha 10 Labtek VI Lt. dasar, Bandung

SatyabodhiKampus Universitas PasundanJl. Setiabudi No 190, BandungHimpunan Mahasiswa Planologi (HMP) ITBGedung Labtek XI A, Jl Ganesha 10Bandung 40132

TASIKMALAYAEco Adventure CommunityJl. Margasari No. 34 Rt. 002/ 008, Rajapolah, Tasikmalaya 46155

SEMARANGPRISMA (UNDIP)PKM (Pusat Kegiatan Mahasiswa) Joglo Jl. Imam Bardjo SH No. 1 Semarang 50243MATA Semarang Photography ClubFISIP UNDIPJl. Imam Bardjo SH. No.1, SemarangDIGIMAGE STUDIOJl. Setyabui 86A, SemarangJl. Pleburan VIII No.2, Semarang 50243Ady Photo Studiod/a Kanwil Bank BRI Semarang, Jln.Teuku Umar 24 SemarangPandawa7 digital photo studioJl. Wonodri sendang raya No. 1068C, SemarangKloz-ap Photo StudioJl. Kalicari Timur No. 22 Semarang

Page 99: TheLight Photography Magazine #14

196 EDISI XIV / 2008

WHERETOFIND

EDISI XIV / 2008 197

WHERETOFIND

DINUSTECHJl. Arjuna no. 36, Semarang 50131

SOLOHSB (Himpunan Seni Ben-gawan)Jl. Tejomoyo No. 33 Rt. 03/ 011, Solo 57156Lembaga pendidikan seni dan design visimedia collegeJl. Bhayangkara 72 Solo

YOGYAKARTAAtmajaya Photography clubGedung PUSGIWA kampus 3 UAJY, jl. babarsari no. 007 yogyakarta“UKM MATA” Akademi Seni Rupa dan Desain MSDJalan Taman Siswa 164 Yogya-karta 55151Unif Fotografi UGM (UFO)Gelanggang mahasiswa UGM, Bulaksumur, YogyaFotografi Jurnalistik ClubKampus 4 FISIP UAJY Jl Babar-sari YogyakartaFOTKOM 401gedung Ahmad Yani Lt.1 Kampus FISIPOL UPN “Veteran” Jl Babasari No.1, Tambakbayan, Yogyakarta, 55281

Jurusan FotografiFakultas Seni Media Rekam Institut Seni Indonesia Jl. Parangtritis Km. 6,5 YogyakartaKotak Pos 1210UKM Fotografi Lens ClubUniversitas Sanata Dharma Mrican Tromol Pos 29 Yogyakarta 55281

SURABAYAHimpunan Mahasiswa Pengge-mar Fotografi (HIMMARFI)Jl. Rungkut Harapan K / 4, SurabayaAR TU PICUNIVERSITAS CIPUTRA Waterpark Boulevard, Citra Raya. Surabaya 60219FISIP UNAIRJL. Airlangga 4-6, SurabayaHot Shot Photo StudioPloso Baru 127 A, Surabaya, 60133Toko DigitalAmbengan Plasa B23. jl Ngemplak No. 30 SurabayaSentra DigitalPusat IT Plasa Marina Lt. 2 Blok A-5. Jl. Margorejo Indah 97-99 Surabaya

TRAWASVANDA Gardenia Hotel & VillaJl. Raya Trawas, Jawa Timur

MALANGMPC (Malang Photo Club)Jl. Pahlawan Trip No. 25 MalangJUFOC (Jurnalistik Fotografi Club)student Centre Lt. 2 Universitas Muhammadiyah Malang. Jl. Raya Tlogomas No. 246 malang, 65144UKM KOMPENI (Komunitas Mahasiswa Pecinta Seni)kampus STIKI (Sekolah Tinggi Informatika Indonesia) Malang, Jl. Raya Tidar 100

JEMBERUFO (United Fotografer Club)Perum taman kampus A1/16 Jember 68126, Jawa TimurUniveritas Jember (UKPKM Tegalboto)Unit Kegiatan Pers Kampus Maha-siswa Universitas Jemberjl. Kalimantan 1 no 35 komlek ged. PKM Universitas Jember 68121

BALIMagic WaveKubu Arcade at Kuta BungalowsBloc A3/A5/A6 Jl. Benesari,Legian-kuta

MEDANMedan Photo ClubJl. Dolok Sanggul Ujung No. 4 Samping Kolam Paradiso Medan, Sumatra Utara 20213UKM FOTOGRAFI USUJl. Perpustakaan no.2 Kampus USU Medan 20155

BATAMBatam Photo ClubPerumahan Muka kuning indah Blok C-3, Batam 29435

PEKANBARUCCC (Caltex Camera Club)PT. Chevron Pasific Indonesia, SCM-Planning, Main Office 229, Rumbai, Pekanbaru 28271

LAMPUNGMalahayati Photography ClubJl. Pramuka No. 27, Kemiling, Bandar Lampung, 35153. Lampung-Indonesia. Telp. (0721) 271114

BALIKPAPANFOBIAIndah Foto Studio Komplek Ruko Bandar Klandasan Blok A1, Balikpapan 76112

PONTIANAKPontianak Deviantart CP: Bryan Tamara0818198901

KALTIMBadak Photographer Club (BPC)ICS Department, System Support Section, PT BADAK NGL, Bontang, Kaltim, 75324KPC Click Club/PT Kaltim Prima CoalSupply Department (M7 Buliding), PT Kaltim Prima Coal, Sangatta

SAMARINDAMANGGIS-55 STUDIO (Samarin-da Photographers Community)Jl. Manggis No. 55 Voorfo, Sa-marinda Kaltim

SOROWAKOSorowako Photographers SocietyGeneral Facilities & Serv. Dept - DP. 27, (Town Maintenance) - Jl. Sumantri Brojonegoro, SOROWAKO 91984 - LUWU TIMUR, SULAWESI SELATAN

GORONTALOMasyarakat Fotografi GorontaloGraha Permai Blok B-18, Jl. Rambutan, Huangobotu, Dungingi, Kota Gorontalo

AMBONPerforma (Perkumpulan Fotografer Maluku)jl. A.M. Sangadji No. 57 Am-bon. (Depan Kantor Gapensi kota Ambon/ Vivi Salon)

ONLINE PICK UP POINTS:www.estudio.co.idhttp://charly.silaban.net/www.studiox-one.comhttp://www.focusnu-santara.com/articles/thelightmag.php