timing of infant feeding in relation to childhood asthma and allergic diseases
DESCRIPTION
infant feedingTRANSCRIPT
Hubungan antara waktu pemberian makanan pada bayi dengan kejadian asma
serta penyakit alerdi di masa kanak-kanak
Latar belakang: Mulai muncul sejumlah bukti yang mempertanyakan rekomendasi
terbaru mengenai waktu pemberian makanan pada bayi untuk pencegahan alergi di
masa kanak-kanak. Bukti yang ada untuk penyakit asma masih nampak inkonklusif.
Tujuan: Penulis berusaha meneliti hubungan antara durasi pemberian ASI dan waktu
mulai diperkenalkannya makanan pendamping dengan terjadinya asma serta alergi
pada usia 5 tahun.
Metode: Dilakukan analisis data pada 3781 anak yang lahir secara berurutan.
Paparan diet dibagi menjadi tiga dan dianalisis sebagai variabel yang dipengaruhi
oleh waktu. Titik akhir berupa asma, rhinitis alergi, dan eksema atopik dinilai
menggunakan kuesioner Penelitian Internasional untuk Asma dan Alergi pada Masa
Kanak-Kanak, sementara antibodi IgE dianalisis dari sampel serum yang diambil
pada usia 5 tahun. Cox proportional hazard dan regresi logistik digunakan untuk
analisis.
Hasil: Median durasi pemberian ASI eksklusif dan total masing-masing adalah
selama 1.4 bulan (jarak interquartil, 0.2-3.5 bulan) dan 7.0 bulan (jarak interquartil,
4.0-11.0 bulan). Pemberian ASI total selama 9.5 bulan atau kurang nampak
berhubungan dengan peningkatan risiko asma non-atopik. Pemberian gandum,
gandum hitam, oat, atau barley pada usia 5 sampai 5.5 bulan nampak berbanding
terbalik dengan kejadian asma dan rhinitis alergi, sementara diperkenalkannya jenis
serealia lain pada usia kurang dari 4.5 bulan nampak meningkatkan risiko eksema
atopik. Diperkenalkannya telur pada usia 11 bulan atau kurang nampak berbanding
terbalik dengan kejadian asma, rhinitis alergi, dan sensitisasi atopik, sementara
diperkenalkannya ikan pada usia 9 bulan atau kurang nampak berbanding terbalik
dengan kejadian rhinitis alergi dan sensitisasi atopik.
Kesimpulan: Perkenalan serealia gandum, gandum hitam, oats, dan barley; ikan;
serta telur (sesuai dengan waktu diperkenalkannya masing-masing makanan) nampak
menurunkan risiko asma, rhinitis alergi, dan sensitisasi atopik pada masa kanak-
kanak. Durasi pemberian ASI total yang lebih lama, dan bukan pemberian ASI
eksklusif, nampak memiliki sifat protektif terhadap terjadinya asma non-atopik,
namun tidak pada asma atopik, yang menunjukkan potensi adanya efek yang berbeda-
beda dari pemberian ASI terhadap sejumlah fenotipe asma yang berbeda.
Kata kunci: Asma, rhinitis alergi, eksema atopik, sensitisasi atopik, ASI, makanan
pendamping, anak-anak
Untuk mencegah terjadinya alergi dan asma pada anak-anak, para ahli saat ini
merekomendasikan untuk memberikan ASI eksklusif pada bayi selama 4 sampai 6
bulan pertama setelah lahir, lalu kemudian, dapat mulai diperkenalkan makanan
pendamping bersama dengan ASI. Pada rekomendasi terdahulu, American Academy
of Pediatrics menyarakan bahwa meskipun semua makanan tambahan sebaiknya
tidak diperkenalkan sebelum usia 6 bulan, makanan dengan kemungkinan alergenik,
seperti produk susu, telur, kacang, dan ikan, masing-masing sebaiknya ditunda
sampai usia 1, 2, dan 3 tahun. Namun, meskipun sudah dilakukan perubahan pada
rekomendasi, bukti-bukti terbaru belum dapat mendukung kedua versi rekomendasi
ini. Secara biologis, sejumlah rekomendasi ini diberikan berdasarkan adanya
imaturitas sistem imunitas mukosa bayi. Akibatnya, paparan pada stimulasi dari
lingkungan selama periode ini, seperti diperkenalkannya makanan padat pada usia
dini, diperkirakan dapat menyebabkan sensitisasi yang diperantarai oleh IgE serta
alergi.
Dua penelitian terdahulu nampak mendukung pendapat ini, meskipun tidak
memiliki cukup bukti, dan sangat mempengaruhi sosialisasi dari rekomendasi.
Namun, mekanisme yang mendasari proses maturasi sistem imunitas mukosa masih
belum diketahui dengan jelas, sehingga diperkirakan bahwa hipotesis mengenai
defisiensi imunitas pada neonatus sebagian besar nampak sangat dilebih-lebihkan.
Apakah diperkenalkannya makanan pendamping selama satu bulan pertama setelah
lahir dapat memicu kelainan pada sistem imunitas mukosa yang berhubungan dengan
terjadinya alergi pada bayi serta mekanisme yang terlibat dalam proses ini nampak
belum diketahui dengan jelas.
Tujuan dari penelitian ini adalah mempelajari hubungan antara durasi
pemberian ASI dan usia diperkenalkannya bahan makanan pendamping serta
terjadinya asma dan alergi pada usia 5 tahun. Pada penelitian dengan jumlah subjek
yang lebih sedikit dari kohort ini, penulis telah melaporkan bahwa diperkenalkannya
oats dan ikan sejak dini maisng-masing memiliki hubungan yang berbanding terbalik
dengan kejadian asma dan rhinitis alergi, sementara pengenalan lambat dari kentang,
gandum hitam, gandum, telur, daging, dan ikan nampak memiliki hubungan yang
berbanding lurus dengan sensitisasi atopik. Saat ini penulis telah memiliki data untuk
keseluruhan kohort, dan pada penelitian ini penulis bertujuan untuk mempelajari
apakah hasil pengamatan kami sebelumnya dapat dibuktikan pada keseluruhan subjek
dari kohort. Serupa dengan analisis yang telah dilakukan sebelumnya, penulis turut
mempertimbangkan masalah hubungan sebab-akibat yang berlawanan dengan asumsi
pada penelitian ini. Penulis juga memperluas sudut pandang pada artikel ini dengan
turut mempertimbangkan diperkenalkannya makanan pendamping sebagai variabel
yang dipengaruhi oleh waktu, serta melakukan pertimbangan yang lebih spesifik
mengenai berbagai fenotipe asma yang berbeda.
METODE
Subjek dan desain penelitian
Penelitian ini dilakukan berdasarkan pada hasil dari penelitian Prediksi dan
Pencegahan Diabetes Tipe 1 (DIPP) di Finlandia, yang mulai dilakukan pada tahun
1994. Ini merupakan suatu penelitian kohort prospektif multidisipliner yang
dilakukan pada masyarakat umum yang memeriksa berbagai faktor yang berpotensi
dapat memperkirakan dan mencegah terjadinya manifestasi diabetes tipe 1. Bayi yang
lahir dengan HLA yang menghasilkan kerentanan terhadap diabetes tipe 1 akan
direkruit dari 3 rumah sakit universitas di Finlandia (Turku, Oulu, dan Tampere) lalu
akan diperiksa dalam interval 3- samai 12-bulan untuk menilai adanya antibodi terkait
diabetes, pertumbuhan, dan paparan dari lingkungan. Prosedur penelitian sudah
disetujui oleh komite etik lokal, dan orang tua sudah menandatangani lembar
informed consent tertulis.
Di bulan September 1996 dan Oktober 1997, Penelitian Gizi DIPP mulai
dilakukan dalam kerangka kerja penelitian DIPP, masing-masing di Oulu (Finlandia
Utara) dan Tampere (Finlandia Selatan). Penelitian ini memeriksa hubungan antara
diet maternal selama kehamilan dan laktasi dengan diet anak selama masa infant
sampai terjadinya diabetes tipe 1, penyakit alergi, dan asma pada masa kanak-kanak.
Pada usia 5 tahun, 4075 anak-anak yang masih berpartisipasi untuk menjalani
pemeriksaan diet lanjutan (lahir antara 2 September 1996 sampai 5 September 2004)
kemudian diundang untuk berpartisipasi pada penelitian alergi. Diantara semua anak
ini, 3781 (93% dari semua yang diundang) kemudian ambil bagian dalam penelitian.
Penilaian diet
Diet dari anak dinilai menggunakan kuesioner diet sesuai umur pada usia 3, 6,
dan 12 bulan lalu dilakukan pemeriksaan lanjutan ‘‘usia saat diperkenalkannya
bentuk makanan baru’’ untuk mencatat usia dimana mulai diperkenalkannya makanan
pendamping. Kuesioner yang diberikan pada usia 3-, 6-, dan 12-bulan menilai diet
anak mulai saat lahir sampai usia 3 bulan serta masing-masing setelah bulan ke tiga
dan bulan ke enam. Kuesioner memberikan pertanyaan mengenai pola pemberian
ASI, penggunaan formula bayi dan susu sapi, penggunaan suplemen diet, dan jenis
makanan yang sudah diterima oleh anak sampai usia tersebut. Kuesioner
dikembalikan ke pusat penelitian pada masing-masing usia setelah selesai di isi.
Kuesioner ‘‘usia saat mulai diperkenalkannya bentuk makanan baru’’ akan disimpan
dan diisi oleh keluarga sampai usia 2 tahun dan diperiksa oleh seorang perawat yang
sudah terlatih pada tiap kunjungan kontrol. Usia saat diperkenalkannya masing-
masing jenis bahan makanan akan dicatat pada formulir saat diperkenalkannya jenis
makanan baru. Orang tua diminta untuk mencatat bulan (misal, 4 bulan) dimana
makanan mulai diperkenalkan dengan tingkat akurasi sampai 0,5 bulan (misalnya, 4,5
bulan). Pada analisis ini, paparan yang diteliti adalah durasi pemberian ASI eksklusif
dan total serta usia saat mulai diperkenalkannya susu sapi; umbi-umbian (kentang,
wortel, dan lobak); buah-buahan dan buah beri; gandum, gandum hitam, oats, dan
barley; daging sapi; ikan; telur; dan jenis serealia lain (jagung, beras, dan milet soba),
yang merupakan jenis makanan yang paling sering diberikan dalam diet bayi di
Finlandia pada usia ini. Pemberian makanan di bangsal persalinan juga turut
dipertimbangkan saat menghitung durasi pemberian ASI eksklusif.
Penilaian titik akhir penelitian
Pada usia 5 tahun, keluarga dari anak yang berpartisipasi dalam penelitian
akan mengisi kueisoner yang dimodifikasi dari kuesioner Penelitian Internasional
untuk Asma dan Alergi pada Masa Kanak-Kanak (ISAAC) mengenai riwayat gejala
alergi dan asma pada anak-anak, dan dilakukan pengambilan sampel darah dari
masing-masing anak untuk menganalisis kadar IgE serum. Asma didefinisikan
sebagai penyakit asma menurut diagnosis dokter ditambah adanya gejala berupa
wheezing atau penggunaan obat asma selama 12 bulan terakhir. Usia anak saat
diagnosis asma ditentukan menggunakan pertanyaan berikut: ‘‘pada usia berapa anak
didiagnosis menderita penyakit asma?’’ Rhinitis alergi didefinisikan sebagai bersin,
hidupng tersumbat, atau rhinitis selain yang terjadi akibat infeksi saluran pernapasan
disertai dengan gejala gatal pada mata dan keluarnya air mata selama 12 bulan
terakhir. Eksema atopik didefinisikan sebagai eksema atopik menurut diagnosis
dokter. Konsentrasi IgE spesifik dianalisis menggunakan ImmunoCAP fluoroenzyme
immunoassay (Phadia Diagnostics, Uppsala, Swedia) untuk sejumlah alergen dari
makanan dan alergen inhalasi berikut: telur, susu sapi, ikan, gandum, tungau debu
rumah, kucing, rumput timothy, dan birch. Atopi didefinisikan sebagai sensitisasi
(≥0.35 kU/L) terhadap alergen yang diperiksa.
Karakteristik sosiodemografik dan perinatal
Informasi mengenai jenis kelamin anak, usia ibu, tingkat pendidikan ibu, dan
jumlah saudara kandung dicatat menggunakan suatu kuesioner terstruktur yang diisi
oleh orang tua setelah persalinan. Informasi mengenai durasi kehamilan, jenis
persalinan, berat badan lahir dan panjang badan saat lahir, serta kebiasaan merokok
pada ibu selama kehamilan diperoleh dari Catatan Persalinan Medis Rumah Sakit
Universitas Oulu dan Tampere. Riwayat alergi pada orang tua dan eksema atopik
pada usia 6 bulan (‘‘Pada usia berapa anak mulai mengalami eksema atopik?’’) yang
diperoleh dari kuesioner ISAAC kemudian digunakan untuk mengukur titik akhir
penelitian.
Analisis Statistik
Uji Mann-Whitney U digunakan untuk memeriksa perbedaan median durasi
pemberian ASI dan usia saat mulai diperkenalkannya makanan pendamping
berdasarkan pada adanya eksema atopik pada usia 6 bulan dan riwayat alergi pada
orang tua. Penulis menggunakan analisis regresi logistik untuk mempelajari
hubungan antara paparan makanan dengan rhinitis alergi, eksema atopik, dan
sensitisasi atopik. Kasus eksema yang terjadi sebelum diperkenalkannya masing-
masing jenis makanan pendamping akan dieksklusi dari analisis supaya kami dapat
memperkirakan hubungan waktu antara paparan makanan dengan titik akhir berupa
kejadian eksema. Digunakan kerangka kerja persamaan perkiraan umum
menggunakan perkiraan varian berlapis untuk memperkirakan koefisien regresi
logistik yang mungkin menunjukkan kemungkinan adanya ketergantungan antar
saudara kandung. Penulis menggunakan regresi Cox proportional hazards untuk
memperkirakan waktu sampai terjadinya titik akhir penelitian berupa asma karena
kami memiliki informasi mengenai waktu kejadian asma. Biasanya lebih sulit untuk
menilai waktu terjadinya titik akhir lain menggunakan kuesioner, sehingga pada
kasus ini kami menggunakan regresi logistik. Penulis juga melakukan stratifikais
asma berdasarkan sensitisasi atopik (yaitu asma atopik dan nonatopik). Proporsi
perancu diuji dengan menambahkan interaksi linear dari variabel paparan berdasarkan
waktu pada model statistik. Diperkenalkannya paparan makanan dianggap sebagai
kovariat yang dipengaruhi oleh waktu pada model Cox. Penulis menguji
kemungkinan adanya saling ketergantungan pada saudara kandung (452 pasangan
saudara kandung) dengan melakukan 2 rangkaian uji Cox: satu dimana semua anak-
anak turut dimasukkan dalam perhitungan dan satu lagi dimana anak-anak dengan 1
saudara kandung atau lebih akan dieksklusi. Hasil dari ke 2 rangkaian model statistik
ini nampak serupa, sehingga kami menggunakan model yang memasukkan semua
anak. Untuk menghindari pembagian kategori berdasarkan outcome, waktu
diperkenalkannya paparan makanan akan dibagi menjadi tiga, dan kategori terakhir
akan digunakan sebagai kategori rujukan.
Model dengan dan tanpa penyesuaian akan digunakan sesuai dengan data
yang ada. Pada model dengan penyesuaian, akan dimasukkan faktor perancu
potensial dengan dasar konseptual (jenis kelamin anak, jumlah saudara kandung,
asma pada orang tua, rhinitis pada orang tua, rumah sakit tempat anak dilahirkan, dan
kebiasaan merokok pada ibu selama kehamilan) serta berdasarkan pada kemaknaan
statistik (misal pada P < 0.20; musim dimana anak dilahirkan, lamanya masa
kehamilan, usia maternal, tingkat pendidikan ibu, adanya binatang peliharaan di
rumah pada usia 1 tahun, jenis persalinan, dan berat badan lahir).
Pendekatan regresi balik searah multipel digunakan untuk memilih jenis
makanan yang memiliki hubungan bermakna secara statistik dengan titik akhir
penelitian. Pertama, semua makanan yang nampak bermakna (P < 0.05) pada model
tanpa penyesuaian akan diteliti secara bersamaan untuk menilai hubungannya dengan
masing-masing titik akhir penelitian. Pada analisis regresi searah dengan jenis
makanan lain, penulis menggunakan variabel ‘‘semua jenis serealia,’’ yang meliputi
oat, gandum, gandum hitam, serta barley, dan bukan variabel sereal spesifik. Karena
adanya hubungan yang kuat antar jenis serealia spesifik, maka mereka semua diteliti
bersama-sama. Selain itu, selama tahun pertama penelitian, semua jenis serealia ini
ditanyakan secara bersamaan, yang berarti bahwa jumlah pengamatan nampak sedikit
lebih rendah untuk jenis serealia spesifik dibandingkan untuk ‘‘semua jenis sereal.’’
Variabel yang masih tersisa pada tahap terakhir model multipel searah akan
disesuaikan secara bersamaan untuk berbagai kovariat yang sudah disebutkan
sebelumnya. Dilakukan uji yang sesuai untuk menilai interaksi eksema pada usia 6
bulan dan riwayat alergi pada orang tua serta variabel diet terhadap risiko terjadinya
titik akhir penelitian guna mengevaluasi potensi adanya hubungan sebab akibat yang
berlawanan dengan asumsi. Bila interaksi nampak bermakna (P < 0.05), maka model
lalu akan distratifikasi sesuai waktunya.
Terakhir, penulis menilai interaksi antara durasi pemberian ASI total dan usia
saat mulai diperkenalkannya masing-masing bahan makanan pendamping untuk
mengevaluasi apakah ASI dapat memodifikasi hubungan antara bahan makanan
tambahan dengan titik akhir penelitian. Kemaknaan statistik ditentukan pada nilai P
kurang dari 0.05. Masalah multiplisitas turut dipertimbangkan dalam
mempertimbangkan hasil analisis. Digunakan program SAS versi 9.2 (SAS Institute,
Cary, NC) untuk analisis.
HASIL
Dari 3781 anak yang berpartisipasi dalam penelitian, data untuk masing-
masing titik akhir penelitian yang dapat dimasukkan dalam analisis dapat diperoleh
pada: asma, 3142 (83%) anak; rhinitis alergi, 3112 (82%) anak; eksema atopik, 3109
(82%) anak; dan sensitisasi atopik, 3675 (97%) anak. Diantara beberapa anak-anak
ini, asma ditemukan pada 6.2% (194/3142), asma atopik pada 3.5% (107/3037), asma
nonatopik pada 2.6% (79/3037), rhinitis alergi pada 14% (442/3112), dan eksema
atopik pada 37% (1165/3109), serta 38% (1379/3675) mengalami sensitisasi pada
semua jenis alergen. Saat kami memeriksa adanya tumpang tindih pada titik akhir
penelitian, kami menemukan bahwa dari semua anak yang mengalami asma, 40%
juga mengalami rhinitis alergi, 53% mengalami eksema atopik, 61% mengalami
sensitisasi pada semua alergen, dan 25% mengalami baik rhinitis alergi maupun
eksema atopik dan mengalami sensitisasi pada semua jenis alergen (Gambar 1).
Median durasi pemberian ASI eksklusif adalah selama 1.4 bulan (jarak
interkuartil [IQR], 0.2-3.5 bulan) dan pemberian ASI total selama 7.0 bulan (IQR,
4.0-11.0 bulan; Tabel I). Susu sapi diperkenalkan pada median usia 1.8 bulan (IQR,
0.5-5.0 bulan); setelah itu, umbi-umbian merupakan jenis makanan pendamping
selanjutnya yang diberikan pada median usia 3.5 bulan (IQR, 3.0-4.0 bulan).
Makanan pendamping lain diperkenalkan dengan urutan berikut: buah-buahan dan
buah beri, oats, gandum, gandum hitam, barley, daging sapi, ikan, dan telur (Tabel I).
Anak-anak yang mengalami eksema atopik pada usia 6 bulan memiliki kemungkinan
yang lebih besar untuk memperoleh sereal, daging sapi, ikan, dan susu lebih lambat
dari mereka yang tidak mengalami eksema pada usia 6 bulan. Serupa dengan ini,
makanan pendamping umumnya juga diberikan lebih lambat pada anak-anak yang
orang tuanya memiliki riwayat alergi (Tabel I).
Anak laki-laki lebih mungkin mengalami asma, mengalami rhinitis alergi, dan
mengalami sensitisasi pada semua jenis allergen, dan anak-anak dari orang tua
dengan asma dan rhinitis alergi memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk
mengalami asma, rhinitis alergi, dan eksema atopik serta mengalami sensitisasi
terhadap semua jenis alergen (Tabel II). Anak-anak dengan 3 saudara kandung atau
lebih memiliki kemungkinan yang lebih rendah untuk mengalami asma, rhinitis
alergi, dan eksema atopik (Tabel II).
Hasil dari analisis tanpa penyesuaian untuk dipaparkan pada Gambar 2 dan
untuk rhinitis alergi, sensitisasi atopik, serta eksema atopik pada Gambar 3. Total
pemberian ASI selama 9.5 bulan atau kurang nampak memiliki hubungan berbanding
lurus dengan risiko asma, terutama asma nonatopik (Gambar 2). Diperkenalkannya
susu sapi pada usia atau sebelum usia 4 bulan memiliki hubungan yang berbanding
lurus dengan eksema atopik (Gambar 3). Selain itu, diperkenalkannya umbi-umbian
pada usia kurang dari 3.2 bulan dan susu sapi pada usia 0.9 sampai 4.0 bulan nampak
berhubungan dengan sensitisasi atopik (Gambar 3). Diperkenalkannya serealia
gandum, gandum hitam, oat, dan barley pada usia kurang dari 5.0 dan/atau 5.0 sampai
5.5 bulan nampak berbanding terbalik dengan asma, terutama asma atopik (Gambar
2), rhinitis alergi, dan sensitisasi atopik (Gambar 3). Diperkenalkannya sereal oat
spesifik (5.0 dan/atau 5.0-5.5 bulan), gandum (5.1 dan/atau 5.1-6.5 bulan), gandum
hitam (5.5 dan/atau 5.5-7.0 bulan), serta barley (5.5 dan/atau 5.5-7.5 bulan) memiliki
hubungan yang berbanding terbalik terutama dengan asma atopik, rhinitis alergi, dan
sensitisasi atopik (data tidak dipaparkan). Diperkenalkannya jenis serealia lain,
biasanya dalam bentuk jagung, beras, milet, dan gandum buckwheat, pada usia 4.0
bulan menunjukkan hubungan yang berbanding lurus dengan kejadian eksema atopik
(Gambar 3). Diperkenalkannya ikan (6.0 dan/atau 6.0-9.0 bulan) serta telur (8.0
dan/atau 8.0-11.0 bulan) nampak berbanding terbalik dengan inversely kejadian
asma, terutama asma atopik (Gambar 2), rhinitis alergi, dan sensitisasi atopik
(Gambar 3). Hasil ini nampak tidak berubah setelah dilakukan penyesuaian untuk
sejumlah faktor perancu yang sudah disebutkan sebelumnya (data tidak dipaparkan).
Kami juga melakukan analisis dengan menganalisis variabel makanan dalam bentuk
kontinyu, dan hasil nampak serupa dengan yang diperoleh berdasarkan pembagian
data menjadi tiga kelompok (data tidak dipaparkan).
Saat makanan yang nampak bermakna pada analisis tanpa penyesuaian
kemudian disesuaikan untuk faktor perancu potensial, maka ASI total; serealia
gandum, gandum hitam, oat, dan barley; serta telur kemudian muncul sebagai jenis
makanan penting yang berhubungan dengan semua kejadian asma. Hanya telur dan
ASI total yang maisng-masing berhubungan dengan kejadian asma atopik dan non-
atopik (Tabel III). Serealia gandum, gandum hitam, oat, dan barley; ikan; dan telur
merupakan jenis makanan penting yang berhubungan dengan rhinitis alergi. Hanya
jenis serealia lain (jagung, beras, milet, dan gandum buckwheat) yang berhubungan
dengan kejadian eksema atopik (Tabel III). Ikan dan telur merupakan jenis makannan
penting yang berhubungan dengan sensitisasi atopik (Tabel III). Saat jenis serealia
spesifik diperiksa bersamaan menggunakan model analisis searah, oats nampak
berhubungan dengan risiko asma atopik dan rhinitis alergi; selain itu, barley
berhubungan dengan semua risiko kejadian asma, sementara gandum hitam
merupakan serealia terpenting yang berhubungan dengan sensitisasi atopik (data tidak
dipaparkan). Tidak ditemukan adanya interaksi yang bermakna antara eksema atopik
pada usia 6 bulan dan riwayat alergi pada orang tua serta makanan pendamping
dengan titik akhir penelitian, yang mungkin menunjukkan bahwa tidak terdapat bukti
adanya hubungan sebab akibat yang berkebalikan dengan perkiraan. Sehingga hasil
tidak distratifikasi lebih lanjut menurut kejadian eksema atopik pada usia 6 bulan atau
riwayat alergi pada orang tua. Tidak ditemukan adanya interaksi yang bermakna (P <
0.05) antara durasi pemberian ASI total dan semua jenis makanan pendamping.
PEMBAHASAN
Temuan dari kohort yang cukup besar di Finlandia ini menunjukkan bahwa
pengenalan dini dari serealia, ikan, dan telur pada masa infant (sesuai dengan waktu
pengenalan masing-masing makanan) dapat memberikan perlindungan terhadap
terjadinya asma, rhinitis alergi, dan sensitisasi atopik pada usia 5 tahun. Selain itu,
durasi pemberian ASI total yang lebih panjang nampak berhubungan dengan
perlindungan terhadap kejadian asma, terutama asma nonatopik, pada masa kanak-
kanak. Tidak ada bukti yang menunjukkan adanya hubungan sebab akibat yang
berlawanan dengan perkiraan pada penelitian ini.
Sejak diperbaruinya rekomendasi dari pada ahli, beberapa penelitian kohort
prospektif menunjukkan bahwa waktu diperkenalkannya makanan pendamping tidak
berhubungan dengan risiko asma atau alergi. Penelitian lain menunjukkan bahwa
pengenalan ikan, produk susu, dan produk makanan ‘‘lain’’ atau ‘‘semua’’ jenis
makanan yang lebih lambat (terutama pada usia >6 bulan) dapat meningkatkan risiko
alergi. Pada penelitian kami sebelumnya, pengenalan serealia dan ikan yang lebih
lambat masing-masing berhubungan dengan peningkatan risiko asma dan rhinitis
alergi, sementara pengenalan telur, ikan, serealia dan kentang yang lebih lambat
nampak berhubungan dengan terjadinya sensitisasi atopik. Temuan ini nampak sesuai
dengan mayoritas hasil penelitian ini, yang menunjukkan bahwa pengenalan sereal,
ikan dan telur yang lebih lambat (tanpa terpengaruh oleh waktu diperkenalkannya
masing-masing jenis makanan) dapat meningkatkan risiko asma, rhinitis alergi, serta
sensitisasi atopik pada usia 5 tahun. Selain satu penelitian terdahulu, hasil dari
beberapa penelitian lain nampak serupa dengan hasil pengamatan kami pada semua
anak, tanpa terpengaruh risiko alergi pada anak tersebut.
Bukti yang diperoleh dari penelitian ini serta dari penelitian kami sebelumnya
menggunakan kohort yang sama adalah bahwa durasi pemberian ASI total yang lebih
lama dapat memberikan perlindungan terhadap asma, terutama jenis nonatopik
namun tidak untuk asma atopik. Hasil pengamatan ini menunjukkan kemungkinan
adanya perbedaan efek ASI pada berbagai fenotipe asma yang berbeda. Asma
merupakan penyakit dengan fenotipe yang heterogen. Karena sulitnya membedakan
antar berbagai fenotipe asma, disarankan untuk melakukan stratifikasi asma menurut
status atopi, bila memungkinkan. Penelitian pada asma atopik dan nonatopik ini
merupakan tambahan untuk penelitian yang sudah kami lakukan sebelumnya.
Terdapat bukti yang menunjukkan bahwa pada anak dengan riwayat alergi
pada keluarga, pemberian ASI eksklusif selama sekurangnya 4 bulan dapat
memberikan perlindungan terhadap alergi, terutama dermatitis atopik, walaupun
sejumlah penelitian lain tidak melaporkan adanya hubungan. Untuk asma, bukti yang
ada masih sangat kontroversial. Pembahasan terbaru menyimpulkan bahwa bukti
bahwa ASI dapat berperan sebagai strategi preventif untuk terjadinya alergi dan asma
pada masa kanak-kanak masih inkonklusif. Hasil penelitian terbaru kami nampak
menambahkan beberapa klarifikasi untuk kontroversi ini, yang menunjukkan bahwa
ASI total mungkin memiliki peranan yang lebih penting dari pemberian ASI eksklusif
untuk kejadian asma pada masa kanak-kanak, terutama asma nonatopik. Penelitian
terdahulu menemukan hasil yang serupa, dan melaporkan adanya potensi untuk
menurunkan risiko kejaidan wheezing rekuren dengan pemberian ASI total sampai
lebih dari 7 bulan. Karena penelitian kami adalah yang pertama kali dapat dengan
jelas menunjukkan adanya hubungan antara ASI total dengan risiko asma, kami
merasa bahwa masih diperlukan bukti tambahan untuk mendukung kesimpulan ini.
Populasi yang jelas dan sifat prospektif merupakan kelebihan dari penelitian
ini dan dianggap sebagai kondisi yang sesuai untuk meneliti peranan waktu
pemberian makanan pendamping pada masa infant terhadap terjadinya alergi dan
asma pada masa kanak-kanak. Anggota keluarga akan melakukan pencatatan
prospektif untuk pengenalan jenis makanan baru sejak anak dilahirkan sampai usia 2
tahun, dan formulir yang digunakan untuk mencatat informasi ini akan diperiksa oleh
perawat penelitian pada tiap kunjungan klinis. Proses ini dapat meminimalkan potensi
untuk terjadinya bias pengingat dan memastikan bahwa akurasi dari proses
pencatatan dapat tetap dipertahankan.
Titik akhir berupa asma, rhinitis, dan eksema atopik ditentukan berdasarkan
kuesioner ISAAC standar, yang sudah divalidasi untuk semua komponen asma.
Subjek diperoleh dari anak-anak yang awalnya membawa HLA yang menyebabkan
risiko diabetes tipe 1, yang dapat membatasi generalisabilitas dari temuan kami pada
populasi umum. Walaupun beberapa gen HLA spesifik nampak berhubungan dengan
risiko alergi dan asma, juga ditemukan adanya sejumlah bukti yang berlawanan.
Risiko absolut untuk diabetes tipe 1 pada kohort DIPP berada dalam kisaran 3%
sampai 4% pada usia 15 tahun, dan mencapai sekitar 0.7% pada populasi umum di
Finlandia. Populasi penelitian kami tidak dipilih berdasarkan riwayat alergi dalam
keluarga, dan angka kejadian kumulatif untuk rhinitis alergi (14%) serta asma (6%)
pada populasi penelitian kami nampak setara dengan kejaidan pada populasi umum di
Finlandia sebesar 15% sampai 16% untuk rhinitis alergi serta 5% untuk asma. karena
penelitian ini dilakukan pada populasi yang diperoleh dari kohort yang sama dengan
penelitian kami terdahulu, angka kesalahan tipe 1 mungkin tidak berada pada tingkat
0.05. Namun, sebagaimana yang ditunjukkan pada bagian statistik di atas, penulis
telah mempertimbangkan masalah multiplisitas dalam menginterpretasikan hasil
penelitian, dimana temuan dengan nilai P kurang dari 0.05 dianggap bermakna.
Untuk menghindari pembagian kategori berdasarkan outcome, kami
menggunakan tiga kategori ad hoc untuk mengklasifikasikan usia pada saat
diperkenalkannya makanan pendamping. Namun, ini menyebabkan adanya selisih
waktu yang sempit, misalnya, antara kategori pertama dan ketiga untuk beberapa
jenis makanan, yang kemungkinan dapat menyebabkan analisis menjadi kurang
sensitif untuk mendeteksi adanya hubungan antara diperkenalkannya makanan
dengan titik akhir penelitian. Namun, hasil penelitian menunjukkan bahwa interval
penundaan waktu pengenalan makanan pendamping memiliki hubungan yang
berbanding lurus dengan titik akhir penelitian. Untuk sejumlah kecil hasil yang
diperoleh, ditemukan kecenderungan untuk adanya hubungan berbentuk U, meskipun
sebagian besar tidak bermakna secara statistik, yang menunjukkan bahwa ukuran
sampel yang lebih kecil untuk masing-maisng kategori mungkin dapat mempengaruhi
hasil yang diperoleh. Penelitian menunjukkan hasil dengan hubungan yang lebih
linear dari hubungan bentuk U. Nilai cut-off absolut pada usia 4 sampai 6 bulan yang
telah digunakan pada sejumlah penelitian terdahulu mungkin belum optimal.
Pengenalan makanan pendamping biasanya dilakukan secara berurutan. Akibatnya,
efek risiko alergi dari tiap jenis makanan juga dapat bersifat spesifik untuk waktu
diperkenalkannya makanan. Penggunaan ‘‘pengenalan semua jenis makanan’’ untuk
menunjukkan pengenalan makanan pendamping, seperti yang dilakukan pada
sejumlah penelitian terdahulu, juga mungkin tidak adekuat. Sebagaimana yang dapat
dilihat dari penelitian ini, makanan pendamping spesifik tertentu mungkin memiliki
peranan penting, sementara jenis makanan lain tidak demikian; sehingga penggunaan
variabel gabungan absolut untuk mewakili semua makanan pendamping mungkin
akan menutupi efek dari variabel makanan spesifik dan dapat menyebabkan
terjadinya perbedaan hasil yang diperoleh antara penelitian ini dengan sejumlah
penelitian terdahulu.
Pengamatan kami pada penelitian ini nampak mendukung pendapat bahwa
ASI eksklusi yang diberikan sampai usia 4 – 6 bulan belum jelas dapat digunakan
sebagai strategi pencegahan kejadian alergi pada masa kanak-kanak dan asma.
Namun, pengenalan makanan pendamping lebih dini (sesuai dengan waktu
pengenalan yang tepat untuk masing-masing makanan), terutama makanan alergenik
(serealia, ikan, dan telur), sementara melanjutkan pemberian ASI, dapat memberikan
perlindungan terhadap penyakit asma, rhinitis alergi, dan sensitisasi atopik. Walaupun
pengenalan dini untuk jenis serealia lain (jagung, beras, milet, dan gandum
buckwheat) nampak berhubungan dengan peningkatan risiko eksema atopik, temuan
ini mungkin hanya sebuah kebetulan, mengingat bahwa kelompok serealia lain
merupakan satu-satunya jenis makanan penting yang diamati untuk kejadian eksema
atopik saat jenis makanan lain juga turut dipertimbangkan. Efek yang ditemukan juga
dapat menunjukkan karakteristik lain dari populasi penelitian. Pada populasi infant di
Finlandia, rata-rata asupan sereal ‘‘asing’’ ini nampak cukup rendah dibandingkan
dengan sereal domestik. Kita perlu mengidentifikasi pola perilaku yang lebih luas
yang mempengaruhi pengenalan sejumlah sereal ini. Secara keseluruhan, kita dapat
berspekulasi bahwa hasil yang kami peroleh tidak mendukung pendapat bahwa sistem
imunitas usus bayi masih imatur sehingga dapat memicu sensitisasi atopik saat
makanan padat sudah mulai diperkenalkan sejak awal masa infant. Namun, validitas
dari hipotesis ini masih belum diketahui secara jelas, dan bukti yang ada saat ini
hanya berasal dari model binatang coba.
Bukti yang ada saat ini hanya berasal dari penelitian epidemiologis
observasional. Karena secara etik kita tidak mungkin melakukan randomisasi untuk
pemberian ASI, mungkin akan sulit untuk membuktikan hasil temuan ini pada uji
klinis acak. Uji klinis yang paling mendekati randomisais pemberian ASI adalah yang
dilakukan di Republik Belarus, dimana kelompok-kelompok rumah sakit bersalin
dimasukkan secara acak ke kelompok yang memperoleh promosi dan dukungan
untuk pemberian ASI (kelompok eksperimental) atau kelompok yang melanjutkan
praktek dan kebijakan pemberian ASI seperti biasa (kelompok kontrol). Walaupun uji
klinis tidak menunjukkan adanya manfaat dari promosi dan dukungan untuk
pemberian ASI terhadap risiko alergi dan asma, penelitian tersebut tidak memeriksa
peranan durasi pemberian ASI dan waktu pengenalan makanan pendamping sehingga
tidak sesuai dengan tujuan dari penelitian ini. Akibatnya, penelitian observasional
masih menjadi sumber bukti terbaik untuk menilai peranan durasi pemberian ASI dan
waktu pengenalan makanan pendamping terhadap kejadian asma dan alergi pada
anak-anak, meskipun memiliki bias asosiasi, yang semakin mempersulit penerapan
klinis dari sejumlah hasil penelitian ini. Mengingat bahwa pengenalan dini dari
makanan pendamping menunjukkan hubungan yang berbanding lurus dengan
penyakit kronik lain di masa kanak-kanak, terutama diabetes tipe 1, yang berbeda
dengan hasil pengamatan terbaru mengenai alergi dan asma, maka penerapan hasil
penelitian ini untuk menentukan kebijakan kesehatan masyarakat masih sulit
dilakukan. Kesulitan ini meunjukkan bahwa masih diperlukan bukti imunologis
tambahan untuk memastikan status sistem imunitas usus selama awal masa kehidupan
dalam kaitannya dengan waktu pengenalan makanan padat pada bayi dan terjadinya
penyakit alergi di masa kanak-kanak.
Kesimpulannya, penelitian ini menunjukkan bahwa rekomendasi pemberian
ASI eksklusif selama 4 sampai 6 sebagai strategi preventif untuk terjadinya asma dan
alergi di masa kanak-kanak masih belum didukung oleh bukti terbaru. Data pada
penelitian kami menunjukkan bahwa pengenalan dini dari makanan pendamping,
terutama serealia, ikan, dan telur (sesuai waktu pengenalan dari masing-masing jenis
makanan), dapat memberikan perlindungan terhadap kejadian asma maupun alergi.
Durasi pemberian ASI total nampak lebih bermanfaat untuk asma nonatopik
dibandingkan dengan pemberian ASI eksklusif. Temuan ini menunjukkan bahwa
pengenalan makanan pendamping sejak dini sembari melanjutkan pemberian ASI
dapat berperan lebih penting sebagai strategi preventif untuk terjadinya alergi dan
asma pada masa kanak-kanak.
Poin Penting
Durasi pemberian ASI total mungkin merupakan penentu yang lebih penting untuk
terjadinya asma pada masa kanak-kanak dibandingkan pemberian ASI eksklusif.
Pengenalan serealia gandum, gandum hitam, oats, dan barley pada usia 5.5 bulan
atau kurang; ikan pada usia 9 bulan atau kurang; dan telur pada usia 11 bulan atau
kurang dapat mengurangi risiko asma, rhinitis alergi, dan sensitisasi atopik pada
masa kanak-kanak.
Rekomendasi terbaru untuk ASI dan pengenalan makanan pendamping untuk
pencegahan asma dan alergi di masa kanak-kanak mungkin perlu dipertimbangkan
lebih jauh dengan memperhatikan berbagai bukti terbaru.