tingkat adopsi program sapta pesona oleh … · pengelola rumah makan tradisional kelas c jakarta...
TRANSCRIPT
TINGKAT ADOPSI PROGRAM SAPTA PESONA OLEH
PENGELOLA RUMAH MAKAN TRADISIONAL KELAS C
DI JAKARTA TIMUR
AYAT TAUFIK AREVIN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Tingkat Adopsi Program Sapta
Pesona oleh Pengelola Rumah Makan Tradisional Kelas C di Jakarta Timur,
adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka
dibagian akhir tesis ini.
Bogor, Januari 2009
Ayat Taufik Arevin
NIM I32060031
ABSTRACT
AREVIN, AYAT TAUFIK. 2009. Adoption Level of Sapta Pesona (Seven Amazing) Program by the Traditional Restaurant Managers of C-class in East Jakarta. Under direction of BASITA G. SUGIHEN as the chairman of supervisory team and SITI AMANAH as a member.
The sectors of transportation, telecommunication, tourism development raised since of 1980th, have been able to overcome the social problems and economics in the ASEAN countries. Tourism development represents Indonesian pledge in the effort of accelerating economics growth. Sapta Pesona is one of the programs to promote tourism development. Sapta Pesona (the Seven Amazed Program) consists of safety, cleanliness, orderliness, comfort, beauty, hospitality, and enhancing memories. The success of Sapta Pesona program will positively contribute to the tourism businesses that are majority managed by low medium levels of restaurant businesses. The study was focused on management of C-class restaurants. Management of C-class restaurants still ran in very traditional strategy. The aims of this study were (1) to learn the participatory level of the traditional restaurant managers in adoption Sapta Pesona program, (2) to identify the factors related to the participation of the managers in adoption, and (3) to find out strategic to improve participation of the managers in adoption Sapta Pesona program. The research method used was survey, supported by participatory observation technique. The populations of the study were 63 restaurants managers at the east of Jakarta. The data collection was carried out from February until September 2008. The data analysis used was correlation test of Rank Spearman. The results showed that (1) the participation of traditional restaurant managers were of medium level, (2) the personal characters (age, experience, level of educations and communication intensity) were positively related to the participatory level of the traditional restaurant managers in adoption Sapta Pesona program, (3) the business characters were closely related to the participatory level of the traditional restaurant managers in adoption Sapta Pesona program. Key words: traditional C-class restaurant managers, adoption, Sapta Pesona.
RINGKASAN
AREVIN, AYAT TAUFIK. 2009. Tingkat Adopsi Program Sapta Pesona oleh Pengelola Rumah Makan Tradisional Kelas C Jakarta Timur. Dibimbing oleh BASITA G. SUGIHEN sebagai Ketua Komisi dan SITI AMANAH sebagai Anggota Komisi.
Pariwisata menjadi salah satu industri terbesar di dunia yang prospektif dan kompetitif. Upaya pembangunan pariwisata ditujukan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, menciptakan lapangan kerja, mengentaskan kemiskinan, mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan citra pariwisata suatu wilayah. Indonesia masih jauh tertinggal, dibandingkan dengan negara Asia lainnya, dalam merebut kunjungan wisata internasional. Indonesia juga belum mampu menjadikan pariwisata sebagai primadona dalam menghasilkan devisa bagi negara ini. Jika tidak segera berbenah, mungkin kita hanya akan menjadi penonton dalam persaingan global yang semakin ketat.
Salah satu item pajak daerah yang akan digenjot Pemprov DKI Jakarta untuk mendongkrak penerimaan asli daerah (PAD) sebagaimana ditargetkan rencana jangka menengah daerah 2007-2012 yaitu pajak hotel dan restoran (Bisnis Indonesia, 8 April 2008). Perolehan PAD kota Jakarta Timur pada tahun 2005 dari industri pariwisata total sebesar Rp. 32.117.784.180, masing dari penerimaan pajak hotel sebesar Rp. 7.109.812.177, pajak restoran Rp. 19.536.992.658 dan pajak hiburan Rp. 5.470.979.345 (http://www.jaktim.beritajakarta.com/). Hal ini membuktikan bahwa rumah makan atau restoran salah satu sarana usaha pariwisata yang memiliki potensi.
Sapta Pesona merupakan salah satu program untuk meningkatkan kesadaran masyarakat agar mampu berpartisipasi dalam pembangunan di bidang pariwisata. Unsur-unsur Sapta Pesona yaitu: (1) aman, (2) tertib, (3) bersih, (4) sejuk, (5) indah, (6) ramah-tamah, dan (7) kenangan. Sapta Pesona merupakan kunci sukses bagi semua kegiatan bisnis di bidang pariwisata. Salah satu upaya peningkatan mutu atau citra rumah makan tradsional yaitu perlunya pengelola rumah makan mengadopsi dan menerapkan unsur-unsur dalam program Sapta Pesona.
Kondisi dan cara pengelolaan rumah makan tradisional (RMT) kelas C di Jakarta Timur masih sangat sederhana baik dari sisi manajemen SDM, metode pengolahan, teknik pelayanan, dan pemeliharaan sarana dan prasarana yang dimiliki. Akibatnya mereka tidak mampu memenuhi kepuasan pelanggan dan rendah dalam kemampuan berkompetisi, sehingga berimbas pada kemajuan usahanya.
Pengelola RMT kelas C memiliki kemampuan rendah dalam adopsi program Sapta Pesona. Hal ini dipengaruhi faktor-faktor dalam ciri pribadi pengelola dan ciri lingkungan usaha rumah makan tradisional. Maka rumusan masalah penelitian ini yaitu (1) Apakah program Sapta Pesona sudah menjadi komitmen budaya bagi pengelola RMT kelas C di Jakarta Timur? (2) Ciri-ciri apa saja yang berhubungan dengan tingkat adopsi program Sapta Pesona oleh Pengelola RMT kelas C di Jakarta Timur? (3) Bagaimana bentuk tingkatan adopsi program Sapta Pesona oleh Pengelola usaha RMT kelas C di Jakarta Timur?
Populasi penelitian adalah 63 responden (pengelola RMT kelas C), dan pengumpulan data dilakukan secara sensus kepada 63 responden tersebut. Data dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh secara langsung dari responden dan informan penelitian, melalui wawancara dan pengamatan langsung di lapangan. Selanjutnya data dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif, serta untuk menguji hipotesis yang telah dirumuskan digunakan uji korelasi Rank Spearman.
Tingkat adopsi program Sapta Pesona oleh Pengelola RMT kelas C di Jakarta Timur termasuk kategori sedang. Ciri pribadi yang penting diperhatikan untuk mempercepat kemampuan adopsi pengelola RMT kelas C yaitu usia, tingkat pendidikan, pengalaman usaha, dan intensitas komunikasi. Sedangkan ciri lingkungan usaha yang menjadi pertimbangan yaitu kebijakan Pemda, skala usaha, modal tenaga kerja, sarana usaha, prasarana usaha, lokasi usaha, dan kompetitor.
Strategi mempercepat adopsi dapat dilakukan dengan meningkatkan interaksi penyuluh dengan pengelola RMT kelas C; penyuluh dan petugas suku dinas pariwisata hendaknya memotivasi pengelola RMT kelas C supaya terlibat aktif dalam kelompok usaha sejenis dan mendorong pengembangan kelompoknya sebagai wadah komunikasi antar pengelola tentang program-program yang dibutuhkan dan yang ditawarkan oleh pemerintah. Kata kunci : pengelola rumah makan tradisional kelas C, adopsi, Sapta Pesona.
Hak Cipta Milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
TINGKAT ADOPSI PROGRAM SAPTA PESONA OLEH
PENGELOLA RUMAH MAKAN TRADISIONAL KELAS C
DI JAKARTA TIMUR
AYAT TAUFIK AREVIN
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2009
Judul Tesis : Tingkat Adopsi Program Sapta Pesona oleh Pengelola
Rumah Makan Tradisional Kelas C di Jakarta Timur
Nama : Ayat Taufik Arevin
NIM : I 352060031
Disetujui
Komisi Pembimbing Dr. Ir. Basita Ginting Sugihen, M.A. Ketua
Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi/Mayor Ilmu Penyuluhan Pembangunan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.
Tanggal Ujian: 4 Desember 2008 Tanggal Lulus: ....................................
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof.(R).Dr.Ig.Djoko Susanto, SKM.
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak Februari hingga September 2008 adalah “Tingkat Adopsi Program Sapta Pesona oleh Pengelola Rumah Makan Tradisional Kelas C di Jakarta Timur”. Topik ini sengaja dipilih sebagai upaya kepedulian dan dukungan penulis terhadap program Visit Indonesia 2008. Insya Allah hasil penelitian ini dapat menjadi sumber informasi dalam penyusunan strategi pemberdayaan para pelaku usaha pariwisata, khususnya bidang usaha restoran.
Penyelesaian karya ilmiah ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Terima kasih penulis ucapkan kepada komisi pembimbing yaitu: Bapak Dr. Ir. Basita Ginting Sugihen, M.A. dan Ibu Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc. yang telah memberi saran dan dan arahan. Ungkapan terima kasih juga ingin penulis sampaikan kepada : (1) Kedua orang tua, ibu mertua, istri (Rizka Handiani), anak-anak (Abang Adit,
Teteh Fina, Ade Rahman), serta seluruh keluarga atas segala do’a dan kasih sayangnya.
(2) Ketua Yayasan Lembaga Pendidikan Pariwisata (YLBPP) Jakarta dan Direktur Akademi Pariwisata Indonesia (AKPINDO) Jakarta atas ijin melanjutkan studi program pascasarjana yang diberikan kepada penulis.
(3) Kepala Dinas Pariwisata Provinsi DKI Jakarta dan Kepala Suku Dinas Pariwisata Kota Jakarta Timur, yang telah membantu memberikan data dan informasi yang diperlukan.
(4) Para enumerator yang telah membantu pengumpulan data. (5) Seluruh responden/pengelola RMT kelas C di Jakarta Timur yang telah
berkenan diwawancarai dalam pengumpulan data penelitian. (6) Sdr. Malta dan teman-teman mahasiswa S2 dan S3 PPN - SPs IPB atas
segala bantuan, masukan dan semangatnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Januari 2009 Ayat Taufik Arevin
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Garut – Jawa Barat pada tanggal 20 Oktober 1965 dari ayah Drs. H. Juhanudin, Sp.Ed. dan Ibu Hj. Nani Patonah, Dip.Ed. Dari kedua orangtua yang berprofesi sebagai guru tersebut, penulis merupakan putra kedua dari lima bersaudara.
Tahun 1985 penulis lulus dari SMA Negeri 28 Jakarta, dan pada tahun yang sama penulis mengikuti pendidikan diploma perhotelan. Pendidikan Sarjana ditempuh di Program studi Tata Boga, Fakultas Pendidikan Teknologi Kejuruan (FPTK) IKIP Jakarta, memperoleh beasiswa Tunjangan Ikatan Dinas (TID), lulus pada tahun 1991. Pada tahun 2006, penulis mendapatkan kesempatan melanjutkan studi di Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan pada Program Pascasarjana IPB. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, dalam bentuk Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS).
Penulis pernah bekerja sebagai Guru Honor Bidang Studi Tata Boga di SMA Negeri 31 Jakarta (1989-1991). Tahun 1991 mengajukan penempatan ikatan dinas sebagai dosen Jurusan Perhotelan Akademi Pariwisata Indonesia (AKPINDO) Jakarta, dan tahun 1992 diangkat sebagai Dosen PNS Kopertis dipekerjakan (dpk) di AKPINDO Jakarta. Sebagai Dosen Luar Biasa di Program studi Tata Boga, Universitas Negeri Jakarta (UNJ) sejak tahun 2002 hingga sekarang.
Mata Kuliah yang diampu penulis sebagai dosen antara lain F&B Service, Stewarding, F&B Hygiene & Sanitation, dan F&B Service Supervisory. Penulis dipercayai sebagai Tenaga Ahli dalam Perbaikan Silabus Mata Kuliah di Program studi Tata Boga FT UNJ. Jabatan yang pernah diemban penulis di AKPINDO Jakarta selain tenaga pengajar dosen, yaitu: (1) Koordinator Program Kerjasama AKPINDO Jakarta dengan BPLP Bandung; (2) Koordinator Praktek F&B Service; (3) Ketua Jurusan Perhotelan; (4) Pembantu Direktur III Bidang Kemahasiswaan; dan (5) Pendiri dan Direktur Pusatkarier Akpindo & Stein (PAS).
Penulis memperoleh pengalaman dari organisasi profesi yaitu sebagai anggota Dewan Pengurus Pusat Indonesian Food & Beverage Executive Club (IFBEC). Penghargaan dan prestasi melalui kegiatan pengabdian pada masyarakat yaitu (1) Dosen Teladan AKPINDO Tahun 2000 sebagai penyelamat kampus dari jaringan pengguna dan pengedar Narkoba; (2) Ketua penyelenggara Job Fair di kampus AKPINDO periode 2004, 2005 dan 2006; (3) Juri lomba Sapta Pesona bagi Usaha Pariwisata di Jakarta Timur tahun 2003; (4) Ketua Pelaksana Program Penyuluhan Sapta Pesona kerjasama AKPINDO - Sudin Pariwisata Jakarta Timur tahun 2003; (5) Penyuluh bagi pengusaha Restoran dan Jasa Boga di Jakarta Timur tahun 2003; (6) Penyuluh bagi siswa SLTA Kota DEPOK tentang Bahaya Penyalahgunaan NARKOBA tahun 2004; (7) Instruktur Pembekalan Materi Bidang Restoran dan Hotel bagi Siswa SMK korban Tsunami Daerah Istimewa Aceh tahun 2006; dan (8) Ketua Proyek dan Penyuluh bagi karyawan Wisma Putera Bahagia Cimacan – Milik Pemda DKI Jakarta tahun 2007 dan 2008.
DAFTAR ISI Halaman
DAFTAR TABEL .......................................................................................... .. xii DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xiii DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xiv
PENDAHULUAN Latar Belakang ............................................................................................... 1 Masalah Penelitian ......................................................................................... 4 Tujuan Penelitian ........................................................................................... 5 Manfaat Penelitan ........................................................................................... 5 Batasan Istilah ................................................................................................ 5
TINJAUAN PUSTAKA
Rumah Makan Tradisional ............................................................................. 8 Peran dan Tugas Pengelola ............................................................................ 11 Ciri Pribadi ..................................................................................................... 12 Ciri Lingkungan Usaha .................................................................................. 19 Adopsi Inovasi ............................................................................................... 29 Program Sapta Pesona ................................................................................... 32
KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS
Kerangka Berpikir ......................................................................................... 36 Hipotesis Penelitian ...................................................................................... 46
METODE PENELITIAN
Populasi dan Sampel .................................................................................... 47 Rancangan Penelitian ................................................................................... 47 Definisi Operasional ..................................................................................... 48 Instrumentasi ............................................................................................ .... 56 Pengumpulan Data ........................................................................................ 57 Analisis Data ................................................................................................. 59
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Wilayah Penelitian................................................................ 60 Ciri Pribadi Pengelola RMT Kelas C di Jakarta Timur.................................. 62 Ciri Lingkungan Usaha RMT Kelas C di Jakarta Timur............................... . 70
Tingkat Adopsi Program Sapta Pesona Pengelola RMT Kelas C.................. 77 Hubungan Ciri Pribadi dan Ciri Lingkungan Usaha dengan Tingkat Adopsi Program Sapta Pesona Pengelola RMT Kelas C............................................ 81 Strategi Percepatan Adopsi Program Sapta Pesona Pengelola RMT Kelas C Jakarta Timur..................................................................................... 85
KESIMPULAN DAN SARAN............................................................................ 90
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 94
LAMPIRAN......................................................................................................... 99
DAFTAR TABEL
Halaman 1. Kelompok dan Populasi RMT Kelas C di Jakarta Timur ........................... 47
2. Peubah, Indikator, dan Skala Data ............................................................... 52
3. Deskripsi Ciri Pribadi RMT Kelas C di Jakarta Timur ............................... 63
4. Deskripsi Ciri Lingkungan Usaha RMT Kelas C di Jakarta Timur ............. 71
5. Skor Tingkat Adopsi Program Sapta Pesona Pengelola RMT Kelas C di
Jakarta Timur ........................................................................................ 77
6. Persepsi Pengelola RMT Kelas C terhadap Program Sapta Pesona ............ 80
7. Nilai Koefisien Korelasi (rs) antara Ciri Pribadi dengan Tingkat
Adopsi Program Sapta Pesona ..................................................................... 82
8. Nilai Koefisien Korelasi (rs) antara Ciri Lingkungan Usaha dengan
Tingkat Adopsi Program Sapta Pesona ..................................................... 84
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Tahapan Proses Adopsi Inovasi .................................................................... 31
2. Proses Introduksi, Adopsi dan Inovasi dari Asal Sumbernya ....................... 38
3. Proses Adopsi dan Difusi Sapta Pesona ....................................................... 41
4. Kerangka Berpikir Tingkat Adopsi Program Sapta Pesona Pengelola
RMT Kelas C di Jakarta Timur ..................................................................... 46
5. Persentase menurut Kategori Adopter .......................................................... 80
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Lembar Pedoman Pengumpulan Data .......................................................... 99
2. Daftar Usaha Sarana Pariwisata (USP) Jakarta Timur Tahun 2007 Jenis
Usaha Rumah Makan/Restoran .................................................................. 110
3. Peta Sebaran Potensi RMT Kelas C di Jakarta Timur ................................. 111
4. Kuesioner Penelitian ................................................................................... 112
5. Hasil Uji Korelasi Rank Spearman ............................................................. 121
6. Foto Dokumentasi Profil RMT Kelas C di Jakarta Timur ........................... 130
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perkembangan pembangunan sektor transportasi, telekomunikasi dan
pariwisata semakin pesat sejak digulirkan sejak era 1980-an, telah mampu
mengatasi masalah ekonomi dan sosial di negara-negara ASEAN. Ketiga sektor
tersebut merupakan bagian dari strategi pembangunan ekonomi berkelanjutan,
searah dengan pembangunan infrastruktur yang menjadi prioritas utama di negara-
negara berkembang. Maka diperkirakan akan menjadi sektor andalan agar Asia
mampu berkompetisi di dalam era globalisasi.
Pariwisata menjadi salah satu industri terbesar di dunia yang prospektif dan
kompetitif. Industri ini mampu menjadi sumber devisa di berbagai negara,
Singapura, Malaysia, Hongkong, Thailand, Jepang, Hawaii, dan lainnya. Bahkan
di Kepulauan Karibia, Bahama, dan Fiji menjadikan pariwisata sebagai
penyumbang terbesar dalam penciptaan pendapatan masyarakat dan Negara.
Perkembangan industri pariwisata cukup pesat pada beberapa tahun terakhir ini,
menurut catatan World Tourism Organization (WTO), pada tahun 2002 tercatat
700 juta orang melakukan perjalanan wisata internasional, dan pada tahun 2005
tercatat lebih dari 850 juta. Dari angka tersebut lebih dari 25 persen tersebar di
kawasan Asia Timur dan Pasifik.
Di Asia Tenggara, Indonesia masih jauh tertinggal dari Thailand, Singapura,
dan Malaysia dalam merebut kunjungan wisata internasional. Indonesia juga
belum mampu menjadikan pariwisata sebagai primadona dalam menghasilkan
devisa bagi negara ini. Jika tidak segera berbenah, mungkin kita hanya akan
menjadi penonton dalam persaingan global yang semakin ketat.
Pembangunan pariwisata di Indonesia mengaplikasikan tiga paradigma
utama, yaitu: (1) meningkatkan pendapatan, memperluas kesempatan kerja dan
kesempatan berusaha, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
(2) mewujudkan keadilan sosial, melestarikan serta memperkokoh jatidiri,
kemandirian bangsa, memperkaya kepribadian, mempertahankan nilai-nilai
agama, serta berfungsi sebagai media menciptakan ketertiban dunia.
(3) memperhatikan kelestarian lingkungan dan berkesinambungan.
2
Dalam rangka pemantapan citra dan daya saing pariwisata Indonesia, pada
tahun 2008 ini Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (DEPBUDPAR) kembali
mencanangkan ‘Tahun Kunjungan Wisata Indonesia’ (Visit Indonesia 2008).
Menbudpar Jero Wacik dalam acara jumpa pers Kampanye Sadar Wisata di
Gedung Sapta Pesona, Jakarta (Suara Karya 22 Nopember 2007) mengatakan:
"Kalau pada tahun 2007 ini target wisman hanya 6 juta orang dan kami optimistis
target itu terpenuhi, maka untuk tahun 2008 jumlah wisman ditargetkan naik
menjadi 7 juta orang, sementara jumlah wisnus menjadi 118 juta, yang bisa
menghasilkan devisa Rp 90 triliun". Jero Wacik juga menyerukan agar
masyarakat Indonesia ikut berpartisipasi dalam menyukseskan program nasional
Sadar Wisata. Partisipasi masyarakat diperlukan dalam hal penciptaan lingkungan
dan suasana yang kondusif bagi tumbuh dan berkembangnya kegiatan
kepariwisataan di daerah. Menbudpar juga mengatakan masyarakat harus
senantiasa mengimplementasikan tujuh hal yaitu: rasa aman, tertib, bersih, sejuk,
indah, ramah, dan kenangan. Di dalam terminologi pariwisata Indonesia, tujuh hal
tersebut dikenal dengan istilah Sapta Pesona.
Sapta Pesona merupakan tolok ukur dalam peningkatan kualitas produk
wisata guna mewujudkan kesadaran dan tanggung jawab segenap lapisan
masyarakat termasuk pemerintah maupun swasta. Penyuluhan Sadar Wisata dan
program Sapta Pesona merupakan tugas bersama, bukan hanya tugas pemerintah
atau pihak tertentu saja. Kesuksesan dunia wisata membutuhkan kebersamaan
antara pemerintah dengan pihak terkait, saling membina kerjasama dengan
berbagai pihak dalam meningkatkan sapta pesona sebagai wujud sadar wisata di
tengah masyarakat.
Untuk tingkat Pemprov DKI Jakarta, salah satu item pajak daerah yang akan
digenjot untuk mendongkrak penerimaan asli daerah (PAD), pendapatan pajak
daerah di luar pajak kendaraan bermotor, sebagaimana ditargetkan rencana jangka
menengah daerah 2007-2012 adalah pajak hotel dan restoran (Bisnis Indonesia 8
April 2008). Dalam lima tahun terakhir, pajak hotel dan restoran menyumbang
12% dari total penerimaan pajak daerah, terbesar ketiga setelah bea balik nama
(36%) dan pajak kendaraan (27%). Hal ini merupakan kenyataan bahwa usaha
3
sarana pariwisata jenis hotel dan restoran sangat memberikan kontribusi dalam
partisipasi pembangunan di wilayah DKI Jakarta.
Kota Jakarta Timur dalam program pengembangannya, dipersiapkan sebagai
kota wisata belanja dengan menggali berbagai hal yang dapat dijadikan potensi
obyek wisata, meningkatkan jumlah dan jenis atraksi wisata, mempermudah
birokrasi perizinan usaha dan industri penunjang pariwisata, serta meningkatkan
SDM. Dampak strategi tersebut sektor pariwisata pada tahun 2005 pemerintah
kota Jakarta Timur berhasil mendapatkan penerimaan masing-masing dari pajak
hotel sebesar Rp. 7.109.812.177, pajak restoran Rp. 19.536.992.658 dan pajak
hiburan Rp. 5.470.979.345. Total keseluruhan Rp. 32.117.784.180, dan
penerimaan pajak ini meningkat sebesar 64,3 persen di banding tahun sebelumnya
sebesar Rp. 20.810.713.117. (http://www.jaktim.beritajakarta.com/)
Berdasarkan data tentang Usaha Sarana Pariwisata (USP) di Jakarta Timur
pada tahun 2007 untuk jenis usaha restoran atau rumah makan terdapat 231 nama
usaha. Rumah makan tersebut dikelompokkan menurut klasifikasinya yaitu A, B,
C, dan D. Standar klasifikasi menggunakan skala usaha berdasarkan nilai total
investasi, jumlah kursi yang menyatakan kapasitas pelanggan (tamu) yang mampu
ditampung, dan jumlah karyawan yang dipekerjakan, juga mengenai kelayakan
fasilitas yang dimiliki.
Penelitian ini terfokus pada usaha Rumah Makan Tradisional kelas C
(selanjutnya disebut dengan RMT kelas C) karena termasuk pada kelompok usaha
kecil yang penuh dengan resiko. Rumah makan tradisional kelas C, sesuai dengan
jenis usaha kecil lain terbukti memiliki kontribusi yang cukup besar di bidang
pembangunan sosial-ekonomi di berbagai negara, di antaranya yaitu: 1) membuka
lapangan kerja yang luas dan bersifat fleksibel baik bagi laki-laki maupun
perempuan, untuk segala umur, dan penuh waktu, maupun paruh waktu; 2)
banyak produk baru yang bisa dikembangkan; dan 3) membuka peluang bagi
orang yang memiliki obsesi kuat, tekad besar, dan pekerja keras untuk menjadi
pemimpin untuk usahanya.
Beberapa faktor penyebab kegagalan usaha kecil menurut Puspopranoto
(2006) antara lain yaitu: (1) Akibat kebiasaan buruk atau kesehatan kurang baik;
(2) Kehilangan pasar; (3) Kurangnya pengalaman manajerial; dan (4) Lemahnya
4
daya saing dan lokasi kurang baik. Faktor ini juga yang menyebabkan keberadaan
rumah makan tradisional semakin terdesak oleh restoran modern jenis fast food
waralaba baik lokal maupun asing. Meski ukuran restoran waralaba tersebut
ukurannya lebih kecil dari restoran tradisional, namun indutri jenis ini lebih
mengutamakan profesionalisme dengan menjunjung mutu dan citra produk serta
kualitas pelayanan.
Kunci keberhasilan menurut Rakhmawati (2003) antara lain restoran fast
food modern tunduk pada peraturan dan syarat-syarat yang telah ditetapkan
frenchise-nya di kantor pusat, seperti ketetapan : standar mutu produk, standar
manajemen, standar pemasaran, standar lay-out dan standar desain, dan standar
kerja karyawan. Jika semuanya dipenuhi maka dapat diperoleh izin franchising.
Berbagai pembinaan maupun pendampingan bagi industri usaha sarana
pariwisata telah dilakukan oleh kantor Suku Dinas Pariwisata Jakarta Timur dan
telah menjadi agenda kegiatan setiap tahunnya. Terakhir kali pada bulan Juli 2007
kegiatan sosialisasi Sapta Pesona diikuti oleh 100 pengusaha dan pengelola
industri pariwisata di wilayah Jakarta Timur, seperti pengelola akomodasi/hotel,
rumah makan/restoran, griya pijat, bioskop, salon dan bola sodok. Kegiatan
sosialisasi ini selain sebagai bentuk pembinaan juga untuk meningkatkan
pelayanan dari para pengelola industri pariwisata di Jakarta Timur.
Berhasil-tidaknya usaha restoran atau rumah makan merupakan
tanggungjawab pengelola (manajer), maka diperlukan pengalaman usaha,
kemampuan berwirausaha, dan keterampilan manajerial. Tidak hanya itu
pengelola rumah makan tradisional perlu pula mengadopsi program sadar wisata
dan konsep Sapta Pesona.
Masalah Penelitian
Penelitian tingkat adopsi program Sapta Pesona oleh Pengelola rumah
makan tradisional kelas C di Jakarta Timur ini diharapkan mampu menjawab
masalah tentang :
1. Apakah program Sapta Pesona sudah menjadi komitmen budaya bagi
pengelola rumah makan tradisional kelas C di Jakarta Timur?
5
2. Ciri-ciri apa saja yang berhubungan dengan tingkat adopsi program Sapta
Pesona oleh pengelola rumah makan tradisional kelas C di Jakarta Timur?
3. Bagaimana strategi percepatan adopsi program Sapta Pesona oleh pengelola
rumah makan tradisional kelas C di Jakarta Timur?
Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian tingkat adopsi program Sapta
Pesona oleh Pengelola rumah makan tradisional kelas C di Jakarta Timur yaitu:
1. Mengetahui tingkat adopsi program Sapta Pesona oleh Pengelola rumah
makan tradisional kelas C di Jakarta Timur.
2. Menganalisis ciri-ciri yang berhubungan dengan tingkat adopsi program Sapta
Pesona oleh Pengelola rumah makan tradisional kelas C di Jakarta Timur.
3. Bahan rumusan untuk meningkatkan penerimaan nilai-nilai Sapta Pesona oleh
Pengelola rumah makan tradisional kelas C di Jakarta Timur, dan ditampilkan
dalam bentuk tindakan nyata.
Manfaat Penelitian
Penelitian tingkat adopsi program Sapta Pesona oleh Pengelola rumah
makan tradisional kelas C di Jakarta Timur diharapkan berguna bagi semua pihak
yang terkait, antara lain:
1. Ikut berpartisipasi menyukseskan program pemerintah dalam pembangunan
dan pengembangan di bidang industri pariwisata.
2. Memberikan informasi guna menerbitkan standarisasi pelayanan bagi rumah
makan dalam upaya mewujudkan budaya layanan prima.
3. Memotivasi pengusaha tradisional mengembangkan usaha rumah makan
dalam upaya meningkatkan citra dan daya saing pariwisata nasional.
Batasan Istilah
Tingkat Adopsi
Untuk mendefinisikan adopsi tidak lepas dengan istilah inovasi, karena bila
orang sebagai individu atau kelompok masyarakat mempunyai sikap menerima
inovasi, berarti orang atau kelompok masyarakat itu telah mengadopsi inovasi
6
tersebut. Dalam hal ini inovasi merupakan suatu ide atau gagasan yang dianggap
baru oleh perorangan atau unit kelompok yang mengadopsinya. Sedangkan
adopsi merupakan suatu keputusan untuk menggunakan inovasi sebagai suatu
pilihan terbaik.
Inovasi mempunyai tiga komponen, yaitu (1) ide atau gagasan, (2) metode
atau praktek, dan (3) produk (barang dan jasa). Untuk dapat disebut inovasi,
ketiga komponen tersebut harus mempunyai sifat “baru”. Sifat “baru” tersebut
tidak selalu berasal dari hasil penelitian mutakhir. Hasil penelitian yang telah lalu
pun dapat disebut inovasi, apabila diintroduksikan kepada seseorang atau unit
masyarakat yang belum pernah mengenal sebelumnya. Jadi, sifat “baru” pada
suatu inovasi dilihat dari sudut pandang calon pengadopsi atau pengetrap, bukan
kapan inovasi tersebut dihasilkan.
Adopsi sebagai suatu proses perubahan perilaku dalam bentuk pengetahuan,
sikap, maupun ketrampilan pada diri seseorang setelah menerima inovasi yang
disampaikan. Apabila nilai-nilai tersebut di atas telah diadopsi, maka diharapkan
kesadaran masyarakat akan pentingnya a spirit of cooperation tumbuh dan
berkembang. Semangat kerja sama, pada gilirannya menstimulus tumbuhnya rasa
memiliki, partisipasi, dan tanggung jawab sosial untuk meningkatkan kualitas
hidup dan kesejahteraan mereka.
Program Sapta Pesona
Sapta Pesona mengandung 7 (tujuh) unsur yang menentukan citra baik
pariwisata Indonesia, yaitu aman, tertib, bersih, sejuk, indah, ramahtamah, dan
kenangan. Bukan hanya sebagai kebutuhan pokok wisatawan, tetapi juga sebagai
tolok ukur peningkatan kualitas produk pariwisata nasional. Melalui Keputusan
Menteri Parpostel Nomor KM 05/UM.209/MPPT-89 tertanggal 18 Januari 1988,
Sapta Pesona ditetapkan sebagai program nasional yang bertujuan meningkatkan
kualitas produk dan memperbaiki mutu pelayanan pariwisata nasional.
Program Sapta Pesona merupakan salah satu inovasi dalam pembangunan
kepariwisataan di Indonesia. Diharapkan ke-tujuh unsur yang terkandung di
dalamnya mampu diadopsi oleh pihak-pihak yang harus melaksanakan Sapta
Pesona yaitu pemerintah, industri pariwisata, dan masyarakat.
7
Pengelola
Pimpinan dalam suatu organisasi atau perusahaan yang bertanggungjawab
atas kinerja dari satu atau lebih anggota atau stafnya disebut sebagai manajer atau
pengelola. Pengelola melaksanakan fungsi manajemen, yaitu melaksanakan suatu
proses yang melibatkan kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan
pengendalian yang dilakukan untuk mencapai sasaran perusahaan. Pengelola
yang bergerak dalam bisnis rumah makan atau restoran, agar lebih produktif dan
bekerja efisien mutlak memerlukan pengalaman usaha, kemampuan wirausaha,
dan keterampilan manajerial.
Rumah Makan Tradisional Kelas C
Rumah makan suatu usaha yang menyediakan jasa pelayanan makan dan
minum bagi pelanggannya, sebagai salah satu unit usaha sarana pariwisata (USP)
yang ijin operasionalnya dari pemerintah terkait dan kewajibannya membayar
retribusi (pajak) dikelompokkan berdasarkan nilai investasi, kelengkapan fasilitas
dan sistim pelayanan yang diberikan. Rumah makan kelas C adalah tergolong
sebagai perusahaan kecil. Pengertian perusahaan kecil mengacu pada ciri-ciri
manajemen berdiri sendiri, investasi modal terbatas baik dari sisi keuangan maupun
jumlah tenaga kerja, daerah operasinya lokal, dan ukuran secara keseluruhan
relatif kecil.
Rumah makan tradisional terdiri dari 2 (dua) karakteristik, yaitu positif dan
negatif. Karakter positif menggambarkan bahwa rumah makan tradisional selain
menyajikan hidangan ciri khas suatu daerah, juga suasana dengan nuansa desain
dan dekor maupun ciri khas pelayanan didominasi oleh etnik budaya. Sedangkan
karakter negatif rumah makan tradisional yang dikelola dengan segala
kesederhanaan dan keterbatasan yang dimilikinya jauh dari sentuhan modern
dengan ciri khas konvensional yaitu lebih mengutamakan keunggulan produk
daripada kualitas pelayanan.
TINJAUAN PUSTAKA
Rumah Makan Tradisional
Restoran termasuk industri pariwisata dalam kelompok usaha penyediaan
makanan dan minuman. Pada pengembangan usahanya dapat menyediakan fasilitas
dan atraksi rekreasi dan hiburan serta fasilitas lainnya. Jenis restoran antara lain
seperti restoran, café, coffee shop, kantin, dan kafetaria (Perda Provinsi DKI Jakarta
Nomor 10 Tahun 2004).
Dalam konteks pengembangan pariwisata, usaha restoran memiliki beberapa
peran penting antara lain yaitu: (1) penyedia jasa layanan kebutuhan makan dan
minum bagi wisatawan; (2) meningkatkan lama tinggal wisatawan sebagai dampak
pelayanan yang memuaskan; (3) sebagai pendukung sumber informasi memperlancar
perjalanan wisatawan; (4) memberikan jaminan keamanan, ketertiban, kebersihan,
kesejukan, keindahan, keramah-tamahan, dan kenangan bagi pengunjung
(wisatawan); (5) menyediakan peluang kerja bagi masyarakat yang membutuhkan;
dan (6) kebutuhan tenaga profesional dan kompeten turut mempengaruhi keberadaan
dan peningkatan jumlah lembaga pendidikan dan pelatihan bidang restoran.
Keputusan Menteri Keuangan RI tentang Uraian Klasifikasi Lapangan Usaha
Penyediaan Akomodasi dan Penyediaan Makan Minum mengklasifikasikan restoran
dan rumah makan menjadi 4 kelompok, berdasarkan kelasnya yang tertinggi yaitu: (a)
Restoran Talam Kencana; (b) Restoran Talam Selaka; (c) Restoran Talam Gangsa;
dan (d) Restoran Non-talam. Peringkat klasifikasi restoran diurut berdasarkan kriteria
berikut:
(1) Penggunaan sebagian atau seluruh bangunan, dengan sifat bangunan yang
permanen atau non-permanen;
(2) Kepemilikan dapur pengolahan dan tempat penyajian pada bangunan yang sama;
(3) Kelengkapan peralatan dan fasilitas proses pembuatan dan penyimpanan; dan
(4) Ijin kelayakan operasional dari instansi yang membinanya dan mengeluarkan
surat keputusan.
9
Restoran Non-talam disebut juga sebagai rumah makan, yaitu restoran yang
belum mendapatkan surat keputusan sebagai yang berklasifikasi talam. Restoran
Non-Talam terbagi lagi menjadi 3 (tiga) kelas yaitu (1) Rumah Makan Kelas A; (2)
Rumah Makan Kelas B; dan (3) Rumah Makan Kelas C. Kelas tersebut dibedakan
menurut kapasitas meja/kursi tamu, dan jumlah karyawanya.
Tradisional menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990) adalah sikap dan
cara berpikir serta bertindak yang selalu berpegang teguh pada norma dan adat
kebiasaan yang ada secara turun temurun. Dalam konteks rumah makan memiliki 2
cara tinjau berbeda, yaitu dari sisi positif dan negatif. Rumah makan tradisional
(RMT) jika ditinjau dari sisi positif yaitu suatu bentuk usaha yang menjual hidangan
(menu makanan dan minuman) khas suatu daerah, lengkap dengan suasana baik
dekorasi eksterior maupun interior, seragam karyawan, latar belakang musik atau
hiburan dan keramah-tamahan sebagai ciri dari daerah tersebut. Selanjutnya konsep
dengan unsur etnik tersebut yang menjadi kebanggaan bagi pengunjungnya, atau
sebagai daya tarik bagi wisatawan yang selalu ingin mencoba sesuatu yang baru. Hal-
hal tersebut yang memiliki nilai jual dari rumah makan tradisional. Rumah makan
tradisional berdasarkan sudut pandang negatif yaitu rumah makan yang dikelola
secara konvensional, dengan pengelola cenderung bersikap, cara pikir dan cara
bertindak yang tidak sesuai dengan tuntutan masa kini (modern).
Perbedaan pengelolaan antara bisnis tradisional dengan bisnis modern yaitu:
(1) Pebisnis tradisional cenderung berorientasi pada penjualan, fokus pada nilai
produk, kontak pelanggan tidak berkesinambungan, dan komitmen pada mutu hanya
bagi staf produksi; sedangkan (2) Pebisnis modern berorientasi untuk
mempertahankan pelanggan, fokus pada nilai pelayanan, kontak pelanggan
berkesinambungan, dan komitmen mutu berlaku bagi seluruh staf (Kotler, 2002).
Perbedaan bisnis tradisional dan modern ditambahkan Nickel (2005) yaitu:
(1) Bisnis Tradisional memuaskan pelanggan, orientasi laba dan produk, dan
cenderung menerapkan etika reaktif, dan fokus pada masalah manajerial, sedangkan
(2) Bisnis Modern sudah pada taraf mempesonakan pelanggan, orientasi laba,
pelanggan dan stakeholder, dan fokus pada kepentingan pelanggan.
10
Karakteristik RMT Kelas C
Rumah makan tradisional kelas C (selanjutnya disingkat RMT Kelas C)
merupakan bidang usaha sarana pariwisata (USP) pada kelompok usaha kecil dan
menengah, berdasarkan aturan instansi pemerintah terkait yaitu:
(1) Badan Pusat Statistik (BPS) menggolongkan pada industri rumah tangga dengan
jumlah pekerja 1–4 orang, sedangkan industri kecil memiliki pekerja 5–19 orang.
(2) Suku Dinas (Sudin) Pariwisata Jakarta Timur mengelompokkan RM kelas C
dengan kisaran jumlah meja antara 4-12, jumlah kursi antara 20-50 dan jumlah
karyawan antara 5-12.
Industri berskala kecil menurut istilah ketenagakerjaan (Depnakertrans RI)
yaitu industri yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (1) Pemilik adalah golongan
ekonomi lemah dan pada umumnya sekaligus menjadi pimpinan (single ownership
and management) dan memerlukan bimbingan kewirausahaan; (2) Administrasi
perusahaan pada umumnya masih bersifat sederhana, kurang teratur, belum
berbentuk badan hukum; (3) Tidak mampu menyediakan jaminan (coliateral) guna
mendapatkan kredit dari dunia perbankan; (4) Hubungan kerja antara pengusaha
dengan pekerja masih lebih bersifat kekeluargaan; (5) Pembiayaan/permodalan pada
umumnya belum memungkinkan dapat menyediakan bahan yang cukup untuk
kontinuitas produksi; (6) Proses produksinya masih sederhana dan sebagian besar
masih bersifat tradisional; dan (7) Produksinya pada umumnya belum tetap dan
disainnya kurang dapat mengikuti selera pasar.
Fuad (2000) memberikan ciri-ciri umum perusahaan kecil mengacu pada: (1)
Manajemen berdiri sendiri, umumnya manajer adalah juga pemilik; (2) Investasi
modal terbatas; (3) Daerah operasinya lokal; dan (4) Ukuran secara keseluruhan
relatif kecil. Menurut Puspopranoto (2006) perusahaan kecil adalah usaha yang
memenuhi dua atau lebih kriteria berikut: (1) Pihak pemilik mengelola perusahaan;
(2) Seorang atau sekelompok kecil menyediakan pembiayaan; (3) Pihak pemilik
dan para karyawan tinggal berdekatan dengan perusahaan; (4) Perusahaan itu kecil
dibandingkan dengan perusahaan lainnya dalam industri yang sama, diukur menurut
aset, jumlah karyawan, atau pendapatan penjualan.
11
The Dun & Bradstreet Corporation (Puspopranoto, 2006) mengidentifikasi
faktor-faktor penyebab kegagalan usaha kecil antara lain yaitu: (1) Kelalaian (akibat
kebiasaan buruk atau kesehatan kurang baik); (2) Faktor ekonomis (kehilangan
pasar); (3) Pengalaman (tidak cakap, kurangnya pengalaman manajerial); dan (4)
Penjualan (lemah daya saing, kesulitan persediaan, lokasi kurang baik).
Hasil riset Parsa (2005), salah satu unsur sukses dipengaruhi pengetahuan para
pengelola melalui pendidikan lanjutan tentang pemasaran dan lokakarya. Suatu
lingkungan yang mendukung profesionalisme akan menumbuhkan produktivitas lebih
baik. Unsur-unsur penyebab kegagalan bisnis rumah makan yaitu: (1) Kurangnya
pengalaman dalam berbisnis dan rendahnya pengetahuan pengelolaan restoran; (2)
Ketidakmampuan untuk memelihara standard operasional, terlalu banyak masalah
dalam layanan, serta rendahnya standard kebersihan dan kesehatan; dan (3) Untuk
rumah makan yang bernuansa etnis (tradisional), hilangnya keaslian berakibat
hilangnya integritas konseptual.
Peran dan Tugas Pengelola
Peran pengelola atau manajer secara konkret dikemukakan Puspopranoto
(2006) sebagai berikut: (1) Orang dalam organisasi yang bertanggung jawab atas
kinerja dari satu atau lebih orang lain; (2) Orang yang tugasnya menggunakan sumber
daya material seperti informasi, teknologi, bahan baku, fasilitas, dan uang untuk
memproduksi barang dan jasa yang dapat ditawarkan organisasi (perusahaan) kepada
para pelanggan; dan (3) Tugas setiap manajer terkait dengan satu tanggung jawab
utama, yaitu membantu organisasi dalam mencapai kinerja tinggi melalui
pemanfaatan semua sumber daya, baik tenaga manusia maupun material.
Tugas-tugas di dalam organisasi menurut Fuad (2000) dapat dibedakan
berdasarkan tiga tingkatan manajemen yaitu: (1) Manajemen Tertinggi (Top
Management), bertugas mengembangkan rencana-rencana yang luas dan
melakukan pengambilan keputusan strategis. (2) Manajemen Menengah (Middle
Management), tanggung jawab yang harus dilaksanakan para manajer tingkat ini
12
adalah mengembangkan rencana-rencana operasi untuk melaksanakan semua rencana
yang telah disusun manajemen puncak. (3) Manajemen Pelaksana (Operating
Management), bertanggung jawab untuk melaksanakan semua rencana yang telah
dibuat manajemen menengah serta bertugas untuk mengawasi para pekerja dalam
menjalankan pekerjaan sehari-hari. Manajer pelaksana sering pula disebut
pengawas atau penyelia tingkat pertama (First line supervisor).
Hal yang dikerjakan manajer menurut Nickels (Puspopranoto 2006) yaitu:
(1) Merencanakan; menetapkan sasaran organisasi, menyusun strategi guna mencapai
sasaran, menentukan sumber daya yang dibutuhkan, menetapkan standar yang
tepat.
(2) Mengorganisasikan; (a) mengalokasikan sumber daya dan pemberian tugas,
(b) menetapkan prosedur untuk mencapai sasaran dan menyiapkan struktur
organisasi yang menunjukkan garis kewenangan/tanggung jawab, (c) merekrut,
menyeleksi, melatih, dan mengembangkan karyawan, (d) menempatkan
karyawan di tempat di mana mereka sangat efektif.
(3) Memimpin/mengarahkan; memandu dan memotivasi karyawan untuk bekerja
secara efektif merealisasikan sasaran dan tujuan organisasi.
(4) Mengendalikan; mengukur kinerja dibandingkan tujuan perusahaan, memantau
kinerja relatif terhadap standar, memberi penghargaan atas kinerja yang menonjol,
dan mengambil tindakan korektif sesuai dengan kebutuhan.
Ciri Pribadi
Ciri pribadi yaitu segala sesuatu yang melekat pada diri seseorang yang sifatnya
khas untuk setiap orang. Ciri pribadi muncul karena terjadinya proses alam seperti:
usia, persepsi terhadap sesuatu, motivasi, maupun proses yang sengaja diciptakan
untuk meningkatkan kualitas diri, seperti: tingkat pendidikan, intensitas komunikasi,
frekuensi mencari inforniasi. Ciri pribadi mempengaruhi seseorang dalam
memberikan respon terhadap stimuli yang diterimanya, dan akan mengubah
perilakunya.
13
Lionberger (1960) menyatakan faktor-faktor internal yang mempengaruhi cepat
lambatnya adopsi adalah usia, tingkat pendidikan, status sosial ekonomi, pola
hubungan dan kekosmopolitan, keberanian mengambil resiko, sikap terhadap
perubahan, motivasi berkarya, aspirasi, sifat fatalisme dan diagnosisme (sistem
kepercayaan yang tertutup).
Soekartawi (1988) menjelaskan terdapat 11 peubah yang mempengaruhi proses
difusi dan adopsi inovasi yaitu: usia, pendidikan, keberanian mengambil resiko, pola
hubungan, sikap terhadap perubahan, pendapatan usaha tani, luas usaha tani, status
pemilikan tanah, prestise masyarakat, sumber informasi yang digunakan dan jenis
inovasi.
Pengaruh ciri pribadi terhadap perubahan perilaku, dikemukakan pada paragraf
tersebut, menunjukkan bahwa ciri pribadi mutlak dipertimbangkan dalam program-
program penyuluhan. Ciri pribadi yang melekat pada diri seseorang, baik yang
muncul dari kawasan kepribadiannya maupun yang dimiliki karena status dan
peranannya, akan memunculkan kekuatan atau dorongan untuk bertindak terutama
yang menguntungkan dirinya.
Usia
Usia mempengaruhi kecepatan perubahan perilaku, karena usia akan
mempengaruhi kemampuan fisik dan kemampuan fikir. Orang yang lebih tua
cenderung kurang responsif terhadap ide-ide baru. Padmowihardjo (1978)
menyatakan bahwa kemampuan seseorang untuk belajar berkembang secara gradual,
sejalan dengan meningkatnya usia. Akan tetapi setelah mencapai usia tertentu akan
berkurang secara gradual pula, dan sangat nyata pada usia 55-60 tahun. Sementara itu
Vener dan Davidson (Lunandi, 1986) menyatakan bahwa dengan bertambahnya
usia secara fisiologis terdapat perubahan daya penglihatan dan pendengaran yang
dapat menurunkan tingkat efektivitas belajar orang dewasa. Klausmeijer dan
Goodwin (1966) mengemukakan bahwa ada pengaruh usia terhadap minat seseorang
terhadap macam pekerjaan tertentu sehingga usia seseorang juga akan berpengaruh
terhadap motivasinya untuk belajar.
14
Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan Padmowihardjo (1994)
mengatakan usia bukan merupakan faktor psikologis, tetapi sesuatu yang diakibatkan
oleh usia adalah faktor fisiologis. Terdapat dua faktor yang menentukan kemampuan
seseorang berhubungan dengan usia. Faktor pertama adalah mekanisme belajar dan
kematangan otak, organ-organ sensual dan otot organ-organ tertentu. Faktor kedua
adalah akumulasi pengalaman dan bentuk-bentuk proses belajar lainnya. Selanjutnya
Wiraatmadja (1990) mengemukakan bahwa usia petani akan mempengaruhi
penerimaan petani terhadap hal-hal baru.
Seseorang yang muda usia mungkin memiliki pengalaman dan pendidikan
kurang, tetapi memiliki energi atau semangat untuk mencoba usahanya; sedangkan
orang yang sudah berumur memiliki pengalaman dan pendidikan lebih tinggi
sehingga menentukan keberhasilan dalam usahanya (Bird, 1989).
Pendidikan
Pendidikan menunjukkan tingkat intelegensi yang berhubungan dengan daya
pikir seseorang. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka semakin luas
pengetahuannya. Pengaruh pendidikan terhadap perubahan perilaku, hasil penelitian
Maryani (1995), menunjukkan bahwa mereka yang berpendidikan tinggi lebih mudah
untuk menerima informasi dan berkemampuan menganalisis masalah yang
dihadapinya.
Pendidikan merupakan proses pembentukan watak seseorang, sehingga
memperoleh pengetahuan, pemahaman dan cara bertingkah laku (Winkel, 1991).
Gonzales (Jahi, 1988) merangkum pendapat beberapa ilmuwan bahwa pendidikan
merupakan suatu faktor yang menentukan dalam mendapatkan pengetahuan.
Pendidikan menggambarkan tingkat kemampuan kognitif dan derajat ilmu
pengetahuan yang dimiliki seseorang.
Russel (1993) mengatakan bahwa pendidikan senantiasa mempunyai dua
sasaran, yaitu pengajaran dan pelatihan perilaku yang lebih baik. Salam (1997)
mengemukakan bahwa pendidikan pada hakekatnya merupakan usaha yang disadari
15
untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan manusia yang dilaksanakan di
dalam maupun di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup. Tichenor et al., (Padi,
2005) mengemukakan bahwa kenaikan pendidikan formal menunjukkan suatu
perluasan dan penganekaragaman ruang kehidupan, jumlah kelompok referensi yang
lebih besar, keterampilan dan kesadaran ilmu pengetahuan dan masalah umumnya
lainnya yang lebih besar serta lebih luasnya dedahan pada isi media tentang lingkup
masalah.
Pendidikan diartikan sebagai rangkaian proses belajar-mengajar yang
menghasilkan perubahan perilaku. Pendidikan menjadi urutan pertama dalam
menentukan tingkat keinovatifan seseorang, demikian pendapat Rogers dan
Shoemaker (1971). Menurut Slamet (1975) tingkat pendidikan warga belajar akan
mempengaruhi pemahamannya terhadap sesuatu yang akan dipelajari. Artinya, hasil
belajar yang diperoleh dari proses belajar (proses pendidikan) akan membuat warga
belajar mampu melihat hubungan yang nyata antara berbagai fenomena yang
dihadapi. Selain itu, hasil belajar yang pernah diperoleh warga belajar dari pendidikan
yang pernah diikutinya akan mempengaruhi semangatnya untuk belajar.
Pengalaman Usaha
Pengalaman berusaha merujuk pada jumlah tahun lamanya seorang pengelola
berbisnis rumah makan. Pengalaman berusaha yang lebih lama dapat menumbuhkan
motivasi yang lebih kuat untuk berbuat sesuatu yang menguntungkan. Pengalaman
seseorang bertambah sejalan dengan bertambahnya usia. Pengalaman dapat diukur
secara kuantitatif berdasarkan jumlah tahun seseorang dalam bidang usaha; serta
pengalaman yang bersifat kualitatif. Konsekuensi masa depan ditentukan oleh
pengalaman masa lalu, dampak dari pengalaman, serta pengamatan seseorang
terhadap yang lain. (Bandura, 1986)
Hal ini sependapat dengan Stanton (1978) bahwa motivasi untuk berbuat
tergantung dari pengalamannya, sebab pengalaman akan menentukan minat dan
kebutuhan yang dirasakan. Dalam proses belajar-mengajar, pengalaman juga
16
memiliki peran penting. Klausmeijer dan Goodwin (1966) menyatakan bahwa
pengalaman masa lampau akan mempengaruhi efisiensi belajar karena menurut
Havelock (1969) pengalaman masa lampau yang telah dimiliki seseorang akan
mempengaruhi kecenderungannya merasa memerlukan dan siap untuk menerima
pengetahuan pengetahuan baru. Pengalaman seseorang juga akan memberikan
kontribusi terhadap minat dan harapannya untuk belajar lebih banyak (Dahama and
Bhatnagar, 1980). Pemahaman terhadap pengalaman merupakan awal dan proses
belajar karena pengalaman akan dapat mengarahkan perhatian warga belajar kepada
minat, kebutuhan dan masalah masalah yang dihadapi.
Intensitas Komunikasi
Soekartawi (1988) menyatakan bahwa jumlah sumber informasi yang
digunakan oleh seseorang berhubungan positif dengan tingkat penerapan dan
penyebaran inovasi. Aktifitas mencari informasi adalah salah satu peubah komunikasi
yang berhubungan positif dengan tingkat penerapan inovasi (Van den Ban and
Hawkins, 1988). Perilaku pencarian informasi berhubungan dengan tingkat
pendidikan. Orang-orang yang berpendidikan tinggi cenderung mencari isi informasi
melalui media cetak, demikian pendapat Schramm (1973).
Kajian berbagai hasil penelitian dan pendapat para ahli menunjukkan bahwa
intensitas komunikasi menentukan kecepatan perubahan perilaku. Pengelola rumah
makan melalui aktivitas komunikasi aktif dan komunikasi pasif akan lebih cepat
mengubah perilaku bisnisnya. Aktifitas komunikasi aktif artinya pengelola rumah
makan sengaja mencari informasi tentang cara atau strategi menjalankan bisnisnya,
sedangkan komunikasi pasif artinya pengelola rumah makan sekedar menerima
informasi tentang bisnis restoran dari pihak lain.
Keanggotaan kelompok
Keanggotaan dalam kelompok mencerminkan perilaku komunikasi seseorang
karena dalam kelompok terjadi proses komunikasi dan proses pendidikan. Seseorang
dapat berubah perilakunya karena pengaruh kelompok. Kelompok, menurut Slamet
17
(1995) adalah dua atau lebih orang yang berhimpun atas dasar kesamaan, berinteraksi
melalui pola atau struktur tertentu guna mencapai tujuan bersama, dalam kurun waktu
yang relatif panjang.
Sherip (Bahraini, 1984) mengartikan kelompok sebagai suatu kesatuan sosial
yang terdiri atas dua atau lebih individu yang telah mengadakan interaksi sosial yang
cukup intensif dan teratur, sehingga diantara individu sudah terdapat pembagian
tugas, struktur, dan norma-norma tertentu, yang khas bagi kesatuan sosial tersebut.
Hare (Bahraini, 1984) suatu kelompok bisa berbentuk asosiasi, yaitu organisasi yang
dibentuk oleh dan untuk pekerja yang berfungsi mewakili para pekerja dari satu atau
beberapa perusahaan saja yang bertujuan meningkatkan profesionalisme atau
kesejahteraan pekerja. Dalam kelompok terjadi interaksi antara anggota satu dan
anggota lainnya, mempunyai tujuan yang menjadi pedoman gerak kelompok dan
anggota, membentuk norma yang mengatur ikatan dan aktivitas anggota, serta
mengembangkan peranan dan jaringan ikatan perorangan dalam kelompok.
Menurut Slamet (1995) kelompok mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (1)
terdiri dan individu-individu, (2) saling ketergantungan antara individu, (3) partisipasi
yang terus menerus dan individu, (4) mandiri atau mengarahkan diri sendiri, (5)
selektif dalam hal anggota, tujuan dan kegiatan, serta, (6) memiliki keragaman yang
terbatas. Soekartawi (1988) juga mengatakan bahwa salah satu faktor yang
mempengaruhi proses adopsi adalah interaksi antar individu, interaksi individu-
individu dengan kelompok-kelompok masyarakat.
Keberanian Mengendalikan Resiko
Entrepreneurship menurut Hendro (2006) memiliki tiga komponen utama
yaitu: wirausaha, wiraswasta, atau pengusaha. Ada hal berbeda, yaitu antara
wirausaha dan wiraswasta. Wirausaha berasal dari kata "wira" artinya berani dan
"usaha" yang bersumber bahasa Melayu. Begitu juga kata wiraswasta yang berasal
dari kata "wira" berani dan 'swasta’ yang berarti non pemerintahan, dahulu orang
cenderung hanya bekerja di sektor pemerintahan saja, sehingga bila seseorang berani
mengambil risiko dan keluar dari sektor pemerintahan, maka disebut wiraswasta.
18
Secara umum menurut Fuad (2000) pengertian wiraswastawan menunjuk
kepada pribadi tertentu yang secara kualitatif lebih dari kebanyakan manusia pada
umumnya, yaitu pribadi yang memiliki kemampuan untuk: (a) Berdiri di atas
kekuatan sendiri dalam mengambil keputusan dan menetapkan tujuan;
(b) Memperkenalkan fungsi faktor produksi baru, merespon secara kreatif dan
inovatif; (c) Belajar dari pengalaman (mawas diri), memiliki semangat bersaing dan
berprestasi yang kuat; (d) Menguasai berbagai pengetahuan; ketrampilan dalam
menyusun, menjalankan, dan mencapai tujuan organisasi usaha.
Hendro (2006), setiap wirausahawan (entrepreuneur) yang sukses memiliki
empat unsur pokok yaitu:
(1) Kemampuan (hubungannya dengan IQ dan skill) dalam membaca peluang,
berinovasi, mengelola, dan menjual;
(2) Keberanian (hubungannya dengan emotional quotient dan mental) dalam
mengatasi ketakutannya, mengendalikan resiko, dan untuk keluar dari zona
kenyamanan;
(3) Keteguhan hati (hubungannya dengan motivasi diri): persistence (ulet), pantang
menyerah, determinasi (teguh akan keyakinannya), dan kekuatan akan pikiran
(power of mind) bahwa anda juga bisa; dan
(4) Kreatifitas yang menelurkan sebuah inspirasi sebagai cikal bakal ide untuk
menemukan peluang berdasarkan intuisi (hubungannya dengan pengalaman).
Keterampilan Teknis
Fuad (2000) memberikan tiga keterampilan yang perlu dikuasai oleh manajer
berdasarkan tingkatan manajemen yaitu: (1) Manajemen Puncak membutuhkan
ketrampilan bersifat konseptual (Conceptual Skills), (2) Manajemen Menengah dituntut
memiliki ketrampilan bersifat manajerial (Managerial Skills), dan (3) Manajemen
Pelaksana sebagai pengawas atau penyelia tingkat pertama (First line supervisor)
membutuhkan ketrampilan bersifat teknik (Technical Skills).
Untuk melaksanakan fungsi-fungsinya, para manajer atau pengelola usaha
memerlukan berbagai kemampuan dan keterampilan. Menurut Katz (1974) terdapat 3
19
(tiga) macam keterampilan manajer yaitu: (1) Keterampilan teknis adalah
kemampuan untuk menggunakan peralatan, prosedur atau teknik-teknik dari suatu
bidang tertentu; (2) Keterampilan manusiawi adalah kemampuan untuk interaksi
dengan orang lain dalam memahami dan memotivasi serta mendorong orang lain baik
sebagai individu atau kelompok; dan (3) Keterampilan konseptual adalah kemampuan
mental para manajer untuk mengkoordinasi dan mengintegrasikan seluruh
kepentingan dan kegiatan organisasi sehingga organisasi dapat dilihat sebagai suatu
kesatuan yang utuh.
Ketiga kemampuan dan keterampilan tersebut sama pentingnya, namun
kepentingan itu sangat tergantung kepada kedudukan manajer itu dalam tingkat
organisasi. Komposisi teknis lebih besar untuk manajer rendah dan kemampuan
konsepsional lebih utama bagi manajer tingkat atas, karena harus mengambil putusan
yang berpengaruh luas dan berjangka waktu yang panjang.
Ciri Lingkungan Usaha
Schoell (1993) menyatakan faktor-faktor yang menunjukkan kekuatan utama
dari perusahaan kecil adalah: (1) Fleksibilitas lebih besar. Perusahaan kecil
cenderung lebih dapat menyesuaikan rencana dengan sangat cepat dalam
merespon perubahan lingkungan; (2) Lebih banyak perhatian secara pribadi terhadap
pelanggan dan karyawan; dan (3) Biaya tetap lebih rendah. Biaya personalia lebih
hemat, hal ini memungkinkan untuk menjual produknya pada harga lebih rendah. 4)
Motivasi pemilik lebih besar, pemilik usaha kecil memiliki perusahaannya sendiri
maka hal ini memotivasinya untuk bekerja lebih keras.
Tingkat pendapatan usaha, ukuran luas usaha, dan sumber informasi yang
digunakan turut mempengaruhi cepat lambatnya adopsi Lionberger (1960). Faktor-
faktor dari lingkungan usaha berikut yaitu: (1) pasar input antara lain tenaga kerja,
bahan baku, modal, dan usaha; dan (2) pasar output antara lain tuntutan pelanggan
dan pengaruh terhadap kompetitor, turut mempengaruhi keuntungan dari perusahaan,
dan pada akhirnya akan mempengaruhi penilaian untung ruginya suatu investasi.
20
Kebijakan Pemda
Kebijakan pembangunan pariwisata bertujuan, memperluas kesempatan kerja,
berusaha, meningkatkan devisa negara, memperkenalkan alam dan lingkungan
Indonesia. Adapun pengembangan dan pembinaannya, lewat penataran, penyuluhan
dalam rangka sosialisasi peraturan perundangan di bidang kepariwisataan.
Menyelenggarakan kursus keterampilan industri kecil. Kerjasama dengan pihak
swasta terkait.
Sejak diterapkannya Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000 mengenai pembagian
wewenang antara sistem dan organisasi pemerintah pusat dan daerah, maka peran
pemerintah daerah semakin besar dalam mengurus ketatalaksanaan administrasi
pemerintahan wilayahnya. Sehubungan dengan hal tersebut Peraturan Daerah (Perda)
Propinsi DKI Jakarta Nomor 10 tahun 2004 tentang Kepariwisataan, merupakan salah
satu kebijakan Pemda. Peraturan yang terkait dengan kegiatan operasional usaha
penunjang pariwisata, khususnya usaha rumah makan, yaitu:
(1) Pasal 9; mengatur tentang Dinas Pariwisata melakukan pembinaan terhadap
industri pariwisata melalui peningkatan standar kualitas pelayanan dan
peningkatan daya saing usaha pariwisata, sebagai upaya mewujudkan iklim usaha
yang kondusif.
(2) Pasal 16; Setiap industri pariwisata, wajib melakukan upaya pelestarian
lingkungan melalui AMDAL.
(3) Pasal 24; setiap industri pariwisata harus memperoleh ISUP (Izin Usaha
Sementara Usaha Pariwisata) dari Kepala Dinas Pariwisata, sebagai syarat Izin
Mendirikan Bangunan (IMB) dan untuk menyusun dokumen Analisa Mengenai
Dampak Lingkungan (AMDAL) serta Izin Tetap Usaha Pariwisata (ITUP).
(4) Pasal 31; Dinas Pariwisata menyelenggarakan pelatihan untuk meningkatkan
mutu tenagakerja bidang kepariwisataan berpedoman pada standar kompetensi
profesi kepariwisataan berdasarkan profesi/jabatan masing-masing.
21
(5) Pasal 32; Setiap tenaga kerja pariwisata wajib memiliki Sertifikat Profesi
Kepariwisataan sebagai lisensi kekaryaan berdasarkan profesi/jabatan di
bidangnya masing-masing.
(6) Pasal 35; tentang kewajiban dan larangan di antaranya tentang kewajiban untuk:
- menjamin dan bertanggung jawab terhadap keamanan, keselamatan,
ketertiban dan kenyamanan;
- memelihara kebersihan, keindahan dan kesehatan lokasi kegiatan;
- memberikan kesempatan kepada karyawan untuk melaksanakan ibadah;
- menjamin keselamatan dan kesehatan pekerja;
- membayar Pajak Daerah dan Retribusi Daerah; dan tentang larangan di
antaranya menggunakan tenaga kerja di bawah umur.
(7) Pasal 40; aturan tentang usaha penyediaan makanan dan minuman, terdiri dari
restoran, bar, pusat jajan, jasa boga, dan bakeri harus disertifikasi halal oleh
lembaga yang berkompeten. Tanda sertifikasi diletakkan pada tempat yang mudah
dibaca oleh konsumen.
(8) Pasal 41; Dinas Pariwisata melakukan pembinaan terhadap penyelenggaraan
kepariwisataan.
(9) Pasal 42 Dinas Pariwisata melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan
kepariwisataan
Skala Usaha
Skala usaha dapat diukur dengan melihat luas areal yang diusahakan oleh
petani atau satuan ternak yang dimiliki peternak. skala usaha dapat dilihat dari
keuntungan yang diperoleh dengan cara menjabarkan berbagai prasyarat teknis
maupun ekonomi yang memberikan kontribusi terhadap keuntungan tersebut.
(Soedjana, 2007)
Suatu industri dapat diklasifikasikan atas dasar skala atau besar kecilnya
usaha. Besar kecilnya usaha bisnis ditentukan oleh besar kecilnya modal yang
ditanamkan. Klasifikasi industri berdasarkan skala usaha dapat dibagi menjadi 3
22
kriteria sebagai berikut: 1) Industri skala usaha kecil, 2) Industri skala menengah, dan
3) Industri skala usaha besar (Prawirosentono, 2002).
Dari waktu ke waktu, karena nilai uang yang selalu makin turun,
menyebabkan kriteria usaha berdasarkan modal yang ditanamkan sering berubah-
ubah. Pengertian usaha kecil tercantum dalam UU No. 9 Tahun 1995, yang
menyebutkan bahwa usaha kecil adalah usaha dengan kekayaan bersih paling banyak
Rp. 200 juta (tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha) dengan hasil
penjualan tahunan paling banyak Rp. 1.000.000.000.
BPS memberikan batasan jumlah tenaga kerja dalam menentukan skala usaha
terutama di sektor industri, yaitu industri kerajinan rumah tangga (IKRT) dengan 1-4
pekerja, dan industri kecil (IK) dengan 5-19 pekerja termasuk pemiliknya.3
Departemen Perindustrian dan Perdagangan juga memberikan batasan yang sama
dalam membagi skala usaha, yaitu industri dagang mikro (1- 4 pekerja), industri
dagang kecil (5-19 pekerja), dan industri dagang menengah (20-99 pekerja).
Skala usaha dalam suatu sistem usaha rumah makan dapat juga diukur dengan
berbagai cara, antara lain dari nilai investasi, biaya tetap, biaya variabel, total omzet
penjualan, luas areal rumah makan, dan jumlah kursi yang menggambarkan kapasitas
tamu yang mampu di tampung.
Modal Keuangan
Permodalan dan bentuk usaha industri pariwisata sebagaimana di maksud
dalam Pasal 7 Perda DKI Jakarta No. 10 tahun 2004 adalah sebagai berikut:
(a) seluruh modalnya dimiliki oleh Warga Negara Republik Indonesia dapat
berbentuk Badan Hukum atau usaha perseorangan sesuai dengan peraturan
perundangan yang berlaku;
(b) modal patungan antara Warga Negara Republik Indonesia dan Warga Negara
Asing, bentuk usahanya harus Perseroan Terbatas;
(c) seluruh modalnya dimiliki warga negara asing dalam bentuk penanaman modal
asing wajib mematuhi peraturan perundangan yang berlaku.
23
Modal merupakan faktor penunjang utama dalam kegiatan usaha rumah
makan tradisional. Tanpa adanya modal, pemilik RMT Kelas C akan sulit
mengembangkan usaha yang dilakukannya. Dalam pengertian ekonomi, (Hernanto,
1993) mengatakan bahwa modal merupakan barang atau uang yang bersama-sama
dengan faktor produksi lain dan tenaga kerja serta pengelolaan menghasilkan barang-
barang baru yakni produksi pertanian.
Berdasarkan sumbernya, menurut (Hernanto, 1993) modal dapat dibedakan
menjadi: (1) milik sendiri, (2) pinjaman atau kredit; (a) kredit bank, dan (b) dari
pelepas uang/tetangga/famili dan lain-lain, (3) warisan, (4) dari usaha lain, dan (5)
kontrak sewa. Modal sendiri, pemilik RMT bebas menggunakan. Modal yang berasal
dari kredit yang milik orang lain tentunya ada persyaratan.
Persyaratan dapat diartikan pembebanan yang menyangkut waktu
pengambilan maupun jumlah serta angsurannya. Untuk modal yang berasal dari
warisan, tergantung dari pemberi. Sumber modal dari luar usaha RMT dimaksud bila
pemilik RMT memiliki usaha dari luar usaha RMT yang cukup besar. Modal dari
kontrak sewa diatur menurut jangka waktu tertentu sampai peminjam dapat
mengembalikan.
Ketersediaan modal mempengaruhi kemampuan pemilik RMT Kelas C dalam
upaya mengembangkan usaha rumah makan tradisionalnya, karena berpengaruh pada
produktivitas hasil usaha secara optimal. Dengan demikian, keterbatasan modal usaha
RMT Kelas C berhubungan dengan kompetensi pemilik RMT Kelas C dalam
mengelola usaha rumah makannya.
Modal Tenaga Keja
Sumber daya pariwisata dalam pembangunan kepariwisataan, sebagaimana di
maksud dalam Pasal 7 Perda DKI Jakarta No. 10 tahun 2004, terdiri atas: sumber
daya alam ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, berupa letak geografi, kepulauan, laut,
flora dan fauna, sungai, danau, hutan, bentang alam, iklim; sumber daya hasil karya
manusia, berupa hasil-hasil rekayasa sumber daya alam, perkotaan, kebudayaan,
24
nilai-nilai sosial, warisan sejarah, dan teknologi; sumber daya manusia berupa,
kesiapan, kompetensi, komitmen dan peran serta masyarakat.
Modal tenaga kerja merupakan salah satu faktor produksi yang penting dalam
melaksanakan kegiatan usaha RMT, bahkan kekurangan tenaga kerja dapat
mengakibatkan turunnya produksi. Pekerja dengan tingkat keahlian tertentu memiliki
status lebih tinggi daripada pekerja tanpa keahlian (Boserup, 1984). Perbedaan status
(karena perbedaan keahlian, keterampilan dan latihan yang dimiliki seseorang), yang
menurut Belante dan Jackson (1983) disebut sebagai modal tenaga keja (human
capital) termasuk pula ukuran sampai batas mana masyarakat menilai keahlian,
keterampilan dan latihan tersebut.
Pendidikan dan latihan menurut Simanjuntak (Tjiptoherijanto, 1982)
merupakan salah satu aspek yang penting dalam pengembangan sumber daya
manusia. Pendidikan dan latihan di satu pihak dapat meningkatkan produktifitas
kerja, sedangkan di pihak lain merupakan indikator tingkat kemiskinan masyarakat
bilamana suatu negara memiliki sejumlah besar penduduk buta hurup dan
berpendidikan rendah.
Sarana Usaha
Sarana kepariwisataan (tourism superstructure) adalah perusahaan-perusahan
yang memberikan pelayanan langsung kepada wisatawan, baik secara langsung
maupun tidak, dan kehidupan usahanya banyak bergantung pada kedatangan para
wisatawan tersebut.
Yoeti (1996) membagi tiga bagian penting dari sarana kepariwisataan, yaitu:
sarana pokok, sarana pelengkap, dan sarana penunjang. Sarana pokok kepariwisataan
yaitu agen perjalalanan, perusahaan angkutan, hotel, restoran, obyek dan atraksi
wisata. Perusahaan tersebut merupakan fasilitas minimal yang harus ada pada daerah
tujuan wisata (DTW). Jika salah satu tidak ada, dapat dikatakan perjalanan wisata
tidak berjalan seperti diharapkan.
Sarana pelengkap kepariwisataan, Nyoman S.Pendit (Yoeti, 1996), merupakan
perusahaan pariwisata sekunder, karena tidak seluruhnya bergantung kepada
25
wisatawan melainkan bagi masyarakat setempat. Perusahaan termasuk ini yaitu; toko
pakaian dan perhiasan, toko kelontong, photostudio, usaha binatu, cukur rambut,
salon kecantikan dan lainnya. Sedangkan sarana penunjang kepariwisataan seperti
niteclub, steambath, casinos, dan lain-lain.
Sarana adalah segala sesuatu yang dapat dipakai sebagai alat/media dalam
mencapai maksud atau tujuan. Sarana rumah makan mencakup perabotan dan
peralatan yang diperlukan sebagai kelengkapan setiap gedung/ruangan dalam
menjalankan fungsinya untuk meningkatkan mutu dan relevansi hasil produk dan
layanannya. Berdasarkan jenisnya sarana rumah makan dibagi dalam 4 (empat)
kelompok yaitu:
(1) Sarana pengolahan, mencakup: (a) sarana untuk melaksanakan proses persiapan,
seperti pisau pemotong, alat bantu dan wadah (b) peralatan memasak, sesuai
tugas/kegiatan para juru masak di dapur (c) peralatan penyajian hidangan. (c)
peralatan penyimpanan bahan segar dan makanan siap saji.
(2) Sarana pelayanan mencakup: (a) furniture seperti meja, kursi, almari persediaan
alat; (b) lenan (jenis kain) seperti taplak meja, serbet tamu, dan serbet kerja.
(3) Peralatan makan dan minum tamu seperti piring, gelas, cangkir, sendok, garpu,
dan pisau makan.
(4) Sarana penunjang seperti seragam karyawan dan asesoris kerjanya.
Manajemen sarana yang profesional merupakan suatu keharusan, dimulai
dengan adanya rencana strategik, rencana tahunan, rencana operasional yang
diterjemahkan dalam rencana kerja anggaran tahunan yang disepakati bersama.
Kemudian didukung oleh unit pengelola yang handal yang memiliki program
perencanaan, pengadaan, pemanfaatan, pemeliharaan serta pengendaliannya.
Kelayakan sarana, baik kwalitas dan kwantitasnya, yang mendukung kegiatan
usaha dan pelayanan pada pelanggan rumah makan merupakan aset perusahaan
karena dapat mendorong peningkatan produktifitas, kepuasan pelanggan dan pada
gilirannya akan membantu meningkatkan kesejahteraan tamu dan karyawan serta
sebagai kebanggaan dalam memberikan citra perusahaan. Sebagai aset perusahaan,
26
sarana perlu dinventarisir dan didokumentasikan dengan baik, dipelihara dan
dimanfaatkan secara efektif, efisien dan terintegrasi.
Prasarana Usaha
Prasarana (infrastructures) adalah semua fasilitas yang dapat memungkinkan
proses perekonomian berjalan dengan lancar dan dalam upaya memudahkan manusia
untuk memenuhi kebutuhannya. Kreck (Yoeti, 1996) membagi prasarana atas dua
bagian yang penting yaitu (1) Prasarana Perekonomian (economic infrastructure),
terdiri atas pengangkutan (transportation), prasarana komunikasi (communication
infrastructure), sistim instalasi (utilities), dan sistem perbankan; dan (2). Prasarana
Sosial, terdiri atas sistim pendidikan, pelayanan kesehatan, faktor keamanan, dan
petugas pelayanan. Sedangkan Wahab (Yoeti, 1996) membagi menjadi tiga prasarana
yaitu: (1) Prasarana umum, bertujuan untuk membantu kelancaran roda
perekonomian; (2) Prasarana kebutuhan masyarakat banyak; dan (3) Prasarana
kepariwisataan.
Perbedaan antara pasarana kepariwisataan dengan sarana kepariwisataan adalah
semua fasilitas yang memungkinkan agar sarana kepariwisataan dapat hidup dan
berkembang serta dapat memberikan pelayanan pada wisatawan untuk memenuhi
kebutuhan mereka yang beraneka ragam (Yoeti, 1996). Restoran atau rumah makan
agar dapat melayani tamu-tamunya dengan baik dan lancar, membutuhkan (a)
instalasi tenaga listrik, instalasi air, gas, dan sumber energi lainnya; (b) alat
transportasi; (c) distributor bahan dan peralatan; (d) tenaga maintenance, yang
merawat dan memperbaiki peralatan/mesin; (e) tenaga pelayanan kesehatan,
keamanan, dan pendidikan; (f) sistim telekomunikasi; dan (g) sistem perbankan dan
moneter.
Prasarana rumah makan adalah perangkat penunjang utama suatu proses atau
usaha rumah makan agar tujuan tercapai. Prasarana rumah makan dapat dibagi dalam
2 (dua) kelompok yaitu: (1) Prasarana bangunan. Mencakup lahan dan bangunan
gedung baik untuk keperluan ruang makan, ruang kantor, ruang karyawan, ruang
dapur, ruang gudang basah dan kering, fasilitas umum seperti toilet dan musholla.
27
(2) Prasarana umum berupa air, penampungan sampah, saluran limbah, listrik,
instalasi gas/BBM, peralatan pemadam kebakaran, lahan parkir dan taman.
Pembangunan maupun pengembangan prasarana rumah makan ini mengacu
pada masterplan rumah makan, sehingga misi, tujuan dan suasana rumah makan yang
diharapkan dapat tercapai. Demikian pula pada kegiatan pengadaan, pengoperasian,
perawatan dan perbaikan alat sangat diperlukan agar peralatan dapat dioperasikan
dengan baik.
Lokasi Usaha
Dalam industri pariwisata lokasi menjadi keunggulan bersaing yang kuat,
dalam hal ini misalnya restoran yang berhadapan dengan pusat taman kota akan
mempunyai keunggulan bersaing dibandingkan restoran yang terletak satu blok lebih
jauh yang tidak dapat melihat taman itu secara langsung. Rumah makan yang
berlokasi tepat di pintu keluar jalan tol akan dapat memiliki keunggulan tingkat
kunjungan lebih tinggi dibandingkan yang berada satu blok lebih jauh. Restoran di
puncak gunung mengiklankan pemandangan pegunungan sebagai keunggulan
bersaing dan restoran yang mempunyai pemandangan laut melakukan hal yang sama.
Perusahaan pariwisata harus mencari manfaat yang diciptakan oleh lokasi
mereka dan mengunakan manfaat tersebut untuk membedakan diri dari kompetitor
mereka. Dalam hal kemudahan akses juga menjadi pertimbangan pelanggan rumah
makan, misalnya di beberapa kota besar, banyak orang tidak suka menghabiskan
waktu lebih dari 10 menit untuk pergi ke suatu restoran. Maka dari itu, rumah makan
di daerah urban harus berada dalam radius 10 menit berkendara dari pelanggannya.
Di jalan raya yang bersekat, jalur pemisah dapat membuat restoran di seberang jalan
seperti sulit didatangi. Pengemudi mungkin akan lebih memilih mencari restoran siap
saji di sisi jalan yang sama, ketimbang harus mencari putaran untuk menyeberang
(Kotler, 2002).
28
Kompetitor
Setiap perusahaan akan memiliki dan berhadapan dengan banyak kompetitor
(pesaing). Konsep pemasaran menyatakan bahwa agar berhasil sebuah perusahaan
harus memuaskan kebutuhan dan keinginan konsumennya lebih baik daripada para
pesaingnya. Para pemasar harus berusaha keras untuk tidak saja menyesuaikan diri
dengan kebutuhan pelanggan sasaran. Mereka juga harus menyesuaikan diri dengan
strategi perusahaan lain yang melayani pasar sasaran yang sama. Perusahaan harus
memperoleh keunggulan strategis dengan cara memposisikan produknya secara
mantap dalam benak konsumen.
Tidak ada strategi bersaing yang cocok (pas) bagi semua perusahaan, karena
masing-masing perusahaan perlu mempertimbangkan ukuran dan posisi di dalam
industrinya dalam hubungannya dengan pesaing. Perusahaan besar yang dominan
dalam sebuah industri dapat menggunakan strategi tertentu yang tidak mungkin
dilakukan oleh perusahaan kecil. Tetapi perusahaan kecil pun dapat memilih strategi
yang memberikan keunggulan tertentu. Sebagai contoh, sebuah restoran waralaba
besar dapat memanfaatkan daya belinya untuk beriklan secara nasional. Biaya yang
besar ditanggung bersama oleh ratusan atau ribuan restoran. Tetapi restoran yang
kecilpun mampu dengan cepat menyesuaikan diri terhadap kecenderungan setempat,
dan dapat menawarkan menu yang lebih bervariasi karena tidak perlu meng-
khawatirkan standar menu untuk ribuan restoran. Maka perusahaan besar dan kecil
harus mencari strategi pemasaran yang memberikan keunggulan spesifik dalam
menghadapi pesaing yang beroperasi di pasar masing-masing (Kotler, 2002).
Kotler (2002) merumuskan bahwa setiap perusahaan berhadapan dengan empat
level persaingan yaitu: (1) Sebuah perusahaan dapat menganggap pesaingnya adalah
perusahaan lain yang menawarkan produk dan jasa serupa kepada pelanggan yang
sama dengan harga yang sama; (2) Sebuah perusahaan dapat menganggap pesaingnya
adalah semua perusahaan dengan produk atau kelas produk yang sama; (3) Sebuah
perusahaan dapat menganggap pesaingnya adalah semua perusahaan pemasok jasa
yang sama; dan (4) Lebih luas lagi, sebuah perusahaan dapat menganggap pesaingnya
29
adalah semua perusahaan yang bersaing untuk memperoleh uang dari pelanggan yang
sama.
Perusahaan dapat memperoleh keunggulan bersaing yang kuat melalui pene-
rimaan dan pelatihan kompetensi karyawannya secara lebih baik dibandingkan
pesaingnya, misalnya dalam hal kesopanan santun, menciptakan semangat kerja pada
para karyawan, pelayanan konsumen secara konsisten dan cermat, untuk memahami
pelanggan, berkomunikasi secara jelas dengan pelanggan, dan menanggapi secara
cepat permintaan dan masalah pelanggan.
Adopsi Inovasi
Inovasi
Havelock (Syafruddin, 2003) menyatakan bahwa inovasi merupakan segala
perubahan yang dirasakan sebagai sesuatu yang baru oleh masyarakat yang
mengalaminya. Mardikanto (1993) mengemukakan bahwa inovasi adalah suatu ide,
perilaku, produk, informasi, dan pratek-praktek baru yang belum banyak diketahui,
diterima, dan digunakan/diterapkan oleh sebagian besar warga masyarakat dalam
suatu lokalitas tertentu, yang mendorong terjadi perubahan-perubahan disegala aspek
kehidupan masyarakat demi terwujudnya perbaikan mutu hidup setiap individu/warga
masyarakat yang bersangkutan.
Menurut Samsudin (Syafruddin, 2003) inovasi adalah sesuatu yang baru yang
disampaikan kepada masyarakat lebih baik dan lebih menguntungkan dari hal-hal
sebelumnya. Selain itu Depari (1995) menyatakan bahwa inovasi adalah gagasan,
tindakan, atau barang yang dianggap baru oleh seseorang.
Adopsi
Rogers dan Shoemaker (1971) adopsi adalah proses mental, dalam mengambil
keputusan untuk menerima atau menolak ide baru dan menegaskan lebih lanjut
tentang penerimaan dan penolakan ide baru tersebut. Selanjutnya menurut
Mardikanto (1993) adopsi sebagai proses perubahan perilaku berupa pengetahuan,
sikap, maupun keterampilan pada diri seseorang setelah menerima “inovasi” yang
30
disampaikan penyuluh kepada sasarannya. Penerimaan disini mengandung arti tidak
sekedar “tahu” tetapi dengan benar-benar dapat dilaksanakan atau diterapkan dengan
benar serta menghayatinya. Penerimaan inovasi dapat diamati secara langsung
maupun tidak langsung oleh orang lain sebagai cerminan dari adanya perubahan
sikap, pengetahuan, dan keterampilannya.
Rogers dan Shoemaker (1971) mengemukakan lima tahap proses adopsi yaitu
awareness, interest, evaluation, trial, adoption. Kemudian Wiriatmadja (1978)
menguraikan indikasi-indikasi pada tiap tahapnya yaitu: (1) pada tahap kesadaran
atau penghayatan sasaran sudah maklum atau menghayati sesuatu hal yang baru atau
yang aneh (tidak biasa). Hal ini diketahui sebagai hasil berkomunikasi dengan
penyuluh; (2) pada tahap minat sasaran mulai ingin mengetahui perihal yang baru
atau aneh itu. Ia menginginkan keterangan lebih rinci dan mulai bertanya-tanya; (3)
pada tahap penilaian sasaran mulai berpikir dan menilai keterangan. Juga
menghubungkan dengan keadaan sendiri (kesanggupan, resiko, modal, dan
seterusnya); (4) pada percobaan sasaran mulai mencoba dan menerapkannya secara
lebih luas. Bila gagal dalam percobaan ini orang biasa akan berhenti, namun sesorang
yang ulet akan mengulangi percobaan hingga mendapat keyakinan; dan (5) pada
tahap penerimaan sasaran sudah yakin akan kebenaran atau keunggulan hal baru itu.
Maka ia akan menerapkan anjuran secara lebih luas dan kontinyu. Juga akan
menganjurkannya kepada tetangga, teman, dan orang lain yang dikenalnya.
Rogers (1983) selanjutnya melengkapi proses keputusan inovasi tersebut
menjadi lima tahapan yang dianggapnya lebih menggambarkan alur penerimaan
inovasi, yaitu:
(1) Tahap pengenalan (knowledge), terjadi ketika seseorang atau pembuat keputusan
lainnya membuka diri terhadap inovasi dan memperoleh beberapa pengertian
mengenai bagaimana inovasi tersebut berfungsi;
(2) Tahap persuasi (persuasion), terjadi ketika individu atau pengambil keputusan
lainnya membentuk sikap senang atau tidak senang terhadap inovasi. Pada tahap
ini seseorang lebih terlibat secara psikologis dengan inovasi dan giat mencari
keterangan atau informasi mengenai inovasi;
31
(3) Tahap keputusan (decision), terjadi ketika individu atau pembuat keputusan
lainnya dalam situasi menentukan pilihan menerima atau menolak inovasi;
(4) Tahap implementasi (implementation), terjadi ketika individu atau pembuat
keputusan lainnya membuat keputusan mengunakan inovasi;
(5) Tahap konfirmasi (confirmation), terjadi ketika individu atau pembuat keputusan
mencoba memperkuat keputusan inovasi atau menarik keputusan inovasi,
mungkin akan menolak keputusan sebelumnya jika dihadapkan pada informasi
yang bertentangan dengan inovasi yang telah diterapkan atau pernah ditolak.
Untuk mempermudah dalam memahami proses adopsi inovasi dapat dilihat
pada gambar berikut:
Gambar 1. Tahapan Proses Adopsi Inovasi
Faktor-Faktor Mempengaruhi Adopsi Inovasi
Beberapa hasil penelitian yang menunjukkan adanya faktor-faktor yang
mempengaruhi adopsi inovasi. Suparlan (Syafruddin, 2003) menyatakan bahwa
adopsi inovasi dipengaruhi oleh (a) tidak bertentangan dengan pola kebudayaan yang
telah ada, (b) struktur sosial masyarakat dan pranata sosial, dan (c) persepsi
masyarakat terhadap inovasi. Menurut Deptan (2001), bahwa kecepatan proses adopsi
dipengaruhi oleh klasifikasi pengadopsi, ciri-ciri pribadi, sosial, budaya dan
lingkungan serta sumber informasi. Di lain pihak Lionberger dan Gwin (1993)
Inovasi
Kesadaran (awareness)
Minat (interest)
Penilaian (evaluation)
Mencoba (trial)
Penolakan (rejection)
Konfirmasi (confirmation)
Menerapkan (adoption)
Introduksi
32
mengelompokkan faktor yang mempengaruhi adopsi teknologi antara lain, variabel
internal (personal), variabel eksternal (situasional) dan variabel kelembagaan
(pendukung).
Adopsi inovasi di usaha kecil menengah (UKM) didorong oleh persepsi
manfaat, sumber daya yang meliputi kecukupan dana untuk mengadopsi dan
dukungan terhadap pengembangan diri karyawan, kesiapan dukungan sistem yang
meliputi pengertian dan pemahaman pemilik/pengelola terhadap suatu inovasi.
Inovasi dapat mempengaruhi strategi perusahaan, kecukupan staff, dan kecukupan
infrastruktur, pasar yang meliputi tuntutan pelanggan dan pengaruh terhadap
kompetitor (persaingan). Faktor infrastruktur diwakili oleh biaya bahan, serta vendor
dan konsultan yang meliputi kemudahan memperoleh jasa konsultan dan kecukupan
bantuan konsultan. Faktor lembaga perbankan tentang kecukupan dukungan
keuangan dan kecukupan dukungan non keuangan dari pemerintah berupaa regulasi,
kebijakan, dan pembinaan.
Program Sapta Pesona
Program Sapta Pesona merupakan salah satu inovasi, yang didefinisikan
sebagai sebuah konsep yang menggambarkan partisipasi dan dukungan masyarakat
dalam mendorong terwujudnya iklim yang kondusif pengembangan kepariwisataan di
suatu wilayah/tempat. Partisipasi dan dukungan masyarakat tersebut terkait dengan
penciptaan kondisi yang mampu mendorong tumbuh dan berkembangnya industri
pariwisata, antara lain unsur keamanan, kebersihan, ketertiban, kenyamanan,
keindahan, keramahan, dan unsur kenangan.
Sebelum krisis moneter 1997, program Visit Indonesia Year pernah menuai
sukses dengan mendongkrak jumlah wisatawan mancanegara dan devisa sektor
pariwisata. Sejarahnya, dimulai pada 1991 saat pariwisata masih berada di bawah
Departemen Pariwisata Pos dan Telekomunikasi yang dipimpin Soesilo Sudarman.
Tahun itulah pertama kali Visit Indonesia Year (VIY) ditetapkan.
Proses pelaksanaannya antara lain lewat kampanye sadar wisata. Bentuknya beragam,
mulai dari penyuluhan hingga lokakarya. Isinya antara lain menggugah kesadaran
33
kebersihan, keamanan, sampai mempersiapkan hal terkecil berupa kenangan yang
bisa dibawa pulang. Program VIY 1991 dianggap sukses. Pada 1990, jumlah wisman
yang semula 2,18 juta, meningkat menjadi 2,57 juta pada 1991. Kenaikan itu
dianggap istimewa karena saat itu banyak negara disibukkan dengan Perang Teluk.
Maka, VIY diperpanjang 10 tahun dalam sebuah program bernama Dekade
Kunjungan Wisata Indonesia (Dekuni) yang berlaku mulai 1992 hingga 2000.
Tahun ini dimulai program Visit Indonesia Year 2008 yang diluncurkan
bertepatan dengan momentum 100 tahun kebangkitan nasional. Menteri Pariwisata
dan Kebudayaan Jero Wacik optimistis tercapainya target 7 juta wisman dan US$6,4
miliar devisa dari sektor pariwisata. Beberapa target yang dikemukakan, seperti Bali
1,5 juta wisman, Sumatra Barat 1 juta, Jakarta 1,6 juta, dan Jawa Barat 600 ribu. Dari
empat daerah itu saja, jelasnya, sudah tercapai 4,7 juta wisatawan asing.
Penjabaran Konsep Sapta Pesona
Program Sapta Pesona bertujuan untuk menyadarkan warga masyarakat untuk
bangkit, dan berpartisipasi aktif dalam sektor pariwisata. Partisipasi semua warga
masyarakat diarahkan pada kemampuan memiliki kesadaran wisata, kesadaran
tentang lingkungannya, kesadaran sebagai tuan rumah, kesadaran akan seni budaya,
kesadaran akan hukum dan kesadaran akan berwisata. Melalui partisipasi aktif
anggota masyarakat sesuai dengan seluruh aspek sapta pesona, diharapkan dapat
menciptakan kondisi kawasan wisata yang aman, bersih, tertib, nyaman, indah,
ramah, dan memenuhi unsur kenangan.
Agar masyarakat dapat berperan aktif sesuai dengan tujuan yang diharapkan
maka perlu disusun strategi untuk memudahkan mereka mengadopsi. Penjabaran
Sapta Pesona seperti tercantum pada Panduan Sadar Wisata yang dapat disesuaikan
dengan lingkungan usaha rumah makan seperti berikut di bawah ini.
Aman (Keamanan), bertujuan menciptakan lingkungan yang aman bagi
wisatawan dan berlangsungnya kegiatan kepariwisataan, sehingga wisatawan tidak
merasa cemas dan dapat menikmati kunjungannya ke suatu destinasi wisata. Bentuk
aksi: (1) Memelihara keamanan lingkungan, aman dari gangguan preman dan
34
pengutil; (2) Membantu memberi informasi kepada wisatawan; (3) Menjaga
lingkungan yang bebas dari bahaya penyakit menular; dan (4) Meminimalkan resiko
kecelakaan dalam penggunaan fasilitas publik.
Tertib (Ketertiban), bertujuan menciptakan lingkungan yang tertib bagi
berlangsungnya kegiatan kepariwisataan yang mampu memberikan layanan teratur
dan efektif bagi wisatawan. Bentuk aksi: (1) Mewujudkan budaya antri; (2)
Memelihara lingkungan dengan menaati peraturan yang berlaku; (3) Disiplin
waktu/tepat waktu; dan (4) Semua sisi kehidupan berbangsa dan bermasyarakat
menunjukkan keteraturan yang tinggi.
Bersih (Kebersihan), bertujuan: menciptakan lingkungan yang bersih bagi
berlangsungnya kegiatan kepariwisataan yang mampu memberikan layanan higienis
bagi wisatawan. Bentuk aksi: (1) Tidak membuang sampah/limbah sembarangan;
(2) Turut menjaga kebersihan sarana dan lingkungan obyek dan daya tarik wisata;
(3) Menyiapkan sajian makanan dan minuman yang higienis; (4) Menyiapkan
perlengkapan penyajian makanan dan minuman yang bersih; dan (5) Pakaian dan
penampilan petugas bersih dan rapi
Sejuk (Kesejukan), bertujuan: menciptakan lingkungan yang nyaman dan
sejuk bagi berlangsungnya kegiatan kepariwisataan yang mampu menawarkan
suasana yang nyaman, sejuk, sehingga menimbulkan rasa “betah” bagi wisatawan,
sehingga mendorong lama tinggal dan kunjungan yang lebih panjang. Bentuk aksi:
(1) Memelihara penghijauan di obyek dan daya tarik wisata serta jalur wisata; dan
(2) Menjaga kondisi sejuk dalam ruangan umum, hotel, penginapan, restoran dan alat
transportasi dan tempat lainnya.
Indah (Keindahan), bertujuan: menciptakan lingkungan yang indah bagi
berlangsungnya kegiatan kepariwisataan yang mampu menawarkan suasana yang
menarik dan menumbuhkan kesan yang mendalam bagi wisatawan, sehingga
mendorong promosi ke kalangan/pasar yang lebih luas dan potensi kunjungan ulang.
Bentuk Aksi: (1) Menjaga keindahan obyek dan dayatarik wisata dalam tatanan yang
alami dan harmoni; (2) Menata tempat tinggal dan lingkungan secara teratur, tertib
35
dan serasi serta menjaga karakter kelokalan; dan (3) Menjaga keindahan vegetasi,
tanaman hias dan peneduh sebagai elemen estetika lingkungan yang bersifat natural.
Ramah (Keramah-tamahan), bertujuan: menciptakan lingkungan yang ramah
bagi berlangsungnya kegiatan kepariwisataan yang mampu menawarkan suasana
yang akrab, bersahabat serta seperti di ”rumahsendiri” bagi wisatawan, sehingga
mendorong minat kunjungan ulang dan promosi yang positif bagi prospek pasar yang
lebih luas. Bentuk aksi: (1) Bersikap sebagai tuan rumah yang baik dan rela
membantu wisatawan; (2) Memberi informasi tentang adat istiadat secara sopan; (3)
Para petugas bisa menampilkan sikap dan perilaku yang terpuji; dan (4) Menampilkan
senyum dan keramah-tamahan yang tulus.
Kenangan, bertujuan: menciptakan memori yang berkesan bagi wisatawan,
sehingga pengalaman perjalanan/kunjungan wisata yang dilakukan dapat terus
membekas dalam benak wisatawan, dan menumbuhkan motivasi untuk kunjungan
ulang. Bentuk aksi: (1) Menggali dan mengangkat keunikan budaya lokal; (2)
Menyajikan makanan dan minuman khas lokal yang bersih, sehat dan menarik; dan
(3) Menyediakan cinderamata yang menarik, unik/khas serta mudah dibawa.
KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS
Kerangka Berpikir Prinsip Pembangunan Pariwisata
Pembangunan pariwisata harus mampu memberikan kesejahteraan kepada
masyarakat dengan memberikan kesempatan agar masyarakat mampu berperan
serta secara aktif untuk mendapatkan manfaat yang sebesar-besarnya. Usaha
pariwisata harus mengedepankan kepentingan masyarakat sehingga masyarakat
dapat mengambil bagian dalam pengelolaan sumber daya dan obyek wisata atau
daerah tujuan wisata. Menuruti kode etik pariwisata dunia, bahwa dalam
pembangunan bidang pariwisata perlu untuk memiliki keterkaitan dengan
pengaturan pelestarian lingkungan hidup, pemberdayaan masyarakat setempat,
perencanaan berorientasi pada perlindungan sumber daya alam dan budaya, hak
asasi manusia, hak dan kewajiban para pelaku pariwisata, pelestarian warisan
budaya dan globalisasi.
Jika memperhatikan prinsip-prinsip dan unsur-unsur yang harus dipenuhi
dalam pembangunan pariwisata tersebut, maka kata kunci pembangunan
pariwisata adalah bagaimana membangun partisipasi masyarakat. Namun
berdasarkan studi yang dilakukan Kementerian Budpar RI (2003), diperoleh fakta
bahwa: “Partisipasi masyarakat dalam pengembangan daerah tujuan wisata
(DTW) di Indonesia masih rendah”. Hal ini disebabkan: (1) tidak adanya
ketentuan yang jelas dan rinci tentang pelibatan masyarakat dalam pengembangan
DTW; (2) kebijakan tentang peran serta masyarakat dalam pengembangan
pariwisata hanya berisi himbauan agar masyarakat diikutsertakan dalam upaya
pengembangan tersebut tanpa adanya penjelasan persyaratan, tata cara dan tahap-
tahap pelaksanaannya; dan (3) tradisi politik dan budaya Indonesia yang kurang
mendukung yaitu kondisi perekonomian yang kurang baik, kurangnya keahlian di
bidang kepariwisataan, kurangnya saling pengertian antara pihak-pihak yang
terlibat, kualitas sumber daya manusia yang rendah, dan keterbatasan modal
masyarakat.
37
Partisipasi Pengelola RMT
Masyarakat sebagai salah satu pemangku kepentingan (stakeholder)
pembangunan memiliki peran strategis tidak saja sebagai penerima manfaat,
namun sekaligus menjadi pelaku yang mendorong keberhasilan pengembangan
kepariwisataan. Keberhasilan pengembangan pariwisata perlu iklim yang
kondusif dalam bentuk dukungan dan partisipasi masyarakat melalui peningkatan
sadar wisata.
Sadar wisata didefinisikan sebagai sebuah konsep yang menggambarkan
partisipasi dan dukungan masyarakat dalam mendorong terwujudnya iklim yang
kondusif pengembangan kepariwisataan di suatu wilayah/tempat. Partisipasi dan
dukungan masyarakat tersebut terkait dengan penciptaan kondisi yang mampu
mendorong tumbuh dan berkembangnya industri pariwisata, antara lain unsur
keamanan, kebersihan, ketertiban, kenyamanan, keindahan, keramahan dan unsur
kenangan (Sapta Pesona). Sadar wisata sebagai bentuk komitmen strategis dalam
pengembangan pariwisata harus mengakar, dipahami dan disikapi secara tepat dan
konkret dikalangan masyarakat. Tiap produk pariwisata harus mengandung Sapta
Pesona sebagai tolok ukur peningkatan kualitas produk pariwisata.
Untuk wilayah DKI Jakarta, jasa akomodasi yaitu hotel dan rumah makan
merupakan sarana pendukung pembangunan sektor pariwisata yang cukup
potensial. Selain dapat mencipatakan situasi nyaman dan aman bagi pengunjung
(tamu), karena hotel dan rumah makan mempunyai peran cukup penting dalam
pembangunan pariwisata untuk menarik pengunjung selain sektor lainnya.
Kontribusi sektor kuliner terutama restoran dalam memberikan sumbangan bagi
peningkatan pendapatan asli daerah juga cukup tinggi.
Pengelola rumah makan merupakan orang terdepan (front-liner) dalam
menjamin kepuasan kualitas produk makanan, minuman, serta pelayanan bagi
pelanggannya. Pengelola juga yang bertanggungjawab atas profesionalisme dan
jaminan kesejahteraan karyawannya. Pelanggan dan karyawan merupakan aset
dalam menjadikan bisnis yang dikelolanya sehat dan mampu berkembang. Maka
jika kondisi usaha rumah makan tradisional yang ada di kota besar seperti Jakarta,
sekarang ini justru semakin terdesak oleh restoran waralaba baik lokal maupun
dari luar negeri, adalah akibat rendahnya pengalaman usaha, kemampuan
38
wirausaha, dan keterampilan manajerial bagi pengelola yang terkadang sekaligus
pemilik usaha rumah makan tradisional. Maka penelitian ini ingin mengetahui
tingkat adopsi pengelola rumah makan tradisional (RMT) kelas C untuk
menjadikan Sapta Pesona sebagai komitmen budaya bagi seluruh pemangku
kepentingan (stakeholder) dalam bisnis yang dijalaninya.
Adopsi, Kategori dan Klasifikasinya
Rogers (Hanafi, 1986) pada dasarnya adopsi merupakan proses yang terjadi
di dalam diri seseorang ketika menghadapi suatu inovasi, sebelum mengadopsi
inovasi mereka memerlukan waktu untuk berfikir lebih rasional, jika inovasi
tersebut dapat memberikan suatu harapan, maka dengan sendirinya secara
bertahap mereka akan mengadopsi teknologi tersebut secara utuh. Slamet (1987)
menyatakan bahwa penyuluhan bertujuan untuk merubah perilaku petani yaitu
perwujudan dari bertambahnya pengetahuan, perubahan sikap, keterampilan, dan
dapat meningkatkan tingkat adopsinya dalam suatu kegiatan.
Gambar 2. Proses Introduksi, Adopsi, dan Difusi Inovasi dari Asal Sumbernya
Inovator
Laggard
Early Adopter
Early Majority
Late Majority
Sumber Inovasi (Sudin Pariwisata): - Teknologi - Kelembagaan - Kebijakan
2,5% 13,5% 34% 34% 16%
39
Berikut kategori adopter berikut ciri-cirinya yang disarikan dari
Wiriaatmadja (1978), Rogers (1983), dan Mardikanto (1993) yaitu:
(1) Pelopor (innovator); sebagai mereka yang langsung mencoba menerapkan
inovasi sebelum yang lainnya bahkan sebelum direkomendasikan penyuluh,
berusia setengah baya (40-an), memiliki lahan usaha luas, usahanya maju,
pendapatan dan status sosial tinggi, pengetahuan tinggi, dan aktif mencari
informasi. Namun kurang peduli pada sekitarnya, cenderung tidak aktif
menyebarluaskan pengetahuan dan pengalamannya. Gerak-gerik mereka akan
selalu diamati dan diperhatikan oleh orang lain.
(2) Pelopor (early adopter); merupakan golongan pembaharu yang mencoba
menerapkan inovasi setelah melalui proses pengamatan. Mereka beusia lebih
muda antara 25 dan 40 tahun, pendidikan lebih tinggi, banyak berhubungan
dengan sumber informasi seperti penyuluh dan mass media (TV, radio, surat
kabar, majalah dan buletin). Keaktifannya berpartisipasi dan besar dalam
prakarsa, maka kelompok ini disegani dan dianggap sebagai contoh oleh
masyarakat.
(3) Pengikut dini (early majority); sebagai tokoh masyarakat yang cenderung jaga
gengsi untuk tidak segera terpengaruh terhadap anjuran atau sesuatu hal yang
baru. Mencoba menerapkan inovasi setelah pertimbangan yang berulangkali
dan melihat bukti dari orang lain. Usianya lebih dari 40-an, memiliki
pendidikan, pengalaman, dan status sosial tergolong sedang. Jika tokoh ini
sudah menerapkan anjuran, maka golongan pengikut akhir dan kelompok
lamban akan mengikutinya.
(4) Pengikut akhir (late majority); usia lebih dari 45 tahun, kurang kemampuan,
pendidikan kurang, dan kurang aktif berpartisipasi. Tetapi jika dipengaruhi
oleh tokoh masyarakat (pengikut awal), maka merekapun akan melaksanakan
anjuran yang baru tersebut. Jadi mengadopsi lebih disebabkan karena
perasaan malu dan segan melihat sebagian besar menerapkan, bukan karena
penilaian yang positif terhadap inovasi.
(5) Kelompok lamban atau kolot (laggard); usianya sudah tua 50 tahun ke atas,
pendidikan kurang, dan sosial-ekonominya juga kurang. Mereka kurang
menyukai perubahan atas sesuatu yang lazim dilakukan. Dibutuhkan waktu
40
lama untuk meyakinkan mereka agar mengadopsi inovasi, atau bahkan akan
menolak selamanya.
Pengetahuan dan keterampilan tentang program sapta pesona yang dapat
dimanfaatkan untuk mengembangkan sumberdaya yang ada untuk dipadukan
dengan berbagai pengetahuan tentang standar dan teknik pelayanan penting bagi
keberhasilan pengelola RMT untuk membangun usahanya. Keterbelakangan
masyarakat ekonomi menengah ke bawah antara lain karena kekurangan pada
bidang ini. Ditambah lagi dengan sikap mental yang sering kurang sesuai
dengan tuntutan pembangunan. Masyarakat sering masih bersikap tradisional,
sulit untuk diajak berpikir dan bertindak yang berbeda dengan tradisi yang sudah
dimilikinya selama ini.
Faktor Mempengaruhi Adopsi Pengelola RMT
Penelitian di bidang pariwisata mengenai tingkat adopsi program Sapta
Pesona sejauh ini belum ada. Maka penelitian ini memanfaatkan literatur dan
jurnal ilmiah di bidang lain dengan keeratan teoritis terkait. Adopsi program
Sapta Pesona diduga berhubungan dengan beberapa faktor dari ciri pribadi, ciri
usaha, dan lingkungan usaha RMT kelas C.
Hasil penelitian Subagiyo (2005) membuktikan bahwa tingkat adopsi
inovasi para nelayan dipengaruhi oleh faktor-faktor antara lain :
(1) Karakteristik responden yaitu usia, tingkat pendidikan, luas lahan;
(2) Variabel faktor internal yaitu motivasi, keterlibatannya dalam organisasi,
komunikasi interpersonal, tingkat, kosmopolitan, dan terpaan media masa; dan
(3) Variabel eksternal yaitu kebijakan pemerintah, peran tokoh-tokoh informal,
formal dan tokoh agama, sistem sosial dan nilai-nilai/norma-norma.
Sudarmadji (Balitbang Pertanian, 2000) mengatakan seringnya seorang
kelayan mengadakan kontak atau komunikasi dengan penyuluh melalui berbagai
kegiatan akan menambah pengetahuan dan keterampilannya dalam mengadopsi
teknologi dengan lebih baik. Soekartawi (1988) bahwa mereka yang
berpendidikan tinggi adalah relatif lebih cepat dalam melaksanakan adopsi
inovasi. Lionberger dan Gwin (1982) mengelompokkan faktor yang
mempengaruhi adopsi teknologi antara lain, variabel internal (personal), variabel
eksternal (situasional) dan variabel kelembagaan (pendukung). Kecepatan proses
41
adopsi dipengaruhi oleh klasifikasi pengadopsi, ciri-ciri pribadi, sosial, budaya
dan lingkungan serta sumber informasi (Deptan, 2001).
Adopsi dalam proses penyuluhan, pada hakekatnya dapat diartikan sebagai
proses perubahan perilaku baik yang berupa pengetahuan (cognitive), sikap
(affective), maupun keterampilan (psychomotor) pada diri seseorang setelah
menerima inovasi yang disampaikan oleh penyuluh. Penerimaan disini
mengandung arti tidak sekedar tahu, tetapi sampai benar-benar melaksanakan
ataupun menerapkan dengan benar serta menghayatinya dalam kehidupan
penerimaan inovasi tersebut, biasanya dapat diamati secara langsung oleh orang
lain, sebagai cerminan adanya perubahan sikap, pengetahuan dan keterampilan
(Mardikanto, 1993).
Gambar 3. Proses Adopsi dan Difusi Sapta Pesona
Pada proses adopsi dan difusi program Sapta Pesona seperti peneliti
gambarkan di atas dapat diuraikan dalam beberapa langkah yaitu:
(1) Dalam rangka mendongkrak devisa dari sektor pariwisata melalui proses
pemberdayaan masyarakat untuk berpartisipasi mengembangkan pariwisata di
wilayahnya, pemerintah Indonesia membuat suatu konsep dalam bentuk
program Sapta Pesona. Proses sosialisasi antara lain melalui kampanye sadar
wisata yang bentuknya beragam, mulai dari penyuluhan hingga lokakarya.
Isinya antara lain menggugah kesadaran akan keamanan, kebersihan,
1. Penyu luhan
2. Proses Adopsi
3. Proses Difusi
Pemerintah/Institusi (Sumber Inovasi)
Pengelola RMT (penerima/pengadopsi inovasi)
Sapta Pesona (inovasi)
Stakeholder RMT (penerima/pengetrap
inovasi lain)
Stakeholder RMT (penerima/pengetrap
inovasi lain)
Stakeholder RMT (penerima/pengetrap
inovasi lain)
4. Evaluasi 5. Umpan Balik
42
ketertiban, kenyamanan, keindahan, keramahan, sampai hal terkecil berupa
kenangan. Target program adalah segenap lapisan masyarakat termasuk
pemerintah maupun swasta.
(2) Pengelola rumah makan tradisional merupakan salah satu target yang
diharapkan mampu mengadopsi Sapta Pesona. Melalui proses adopsi oleh
pengelola RMT diharapkan akan mengembangkan usahanya melalui
peningkatan kualitas dan kemampuan bersaing.
(3) Proses adopsi yang dilakukan oleh pengelola RMT yaitu dengan menyebarkan
melalui pemberian pelatihan kepada stakeholder, diantaranya pramusaji,
sehingga mampu mengetrapkan pada kegiatan pelayanan kepada tamunya.
Penyebaran melalui pelatihan ini disitilahkan dengan proses difusi.
(4) Pemerintah selayaknya turun langsung untuk mengevaluasi efektifitas
pelaksanaan program Sapta Pesona oleh masyarakat, dalam hal ini pengelola
RMT, apa yang menjadi keunggulan dan kelemahan padanya.
(5) Pihak pengelola RMT-pun tidak hanya berpartisipasi pasif terhadap suatu
program pemerintah, diharapkan merekapun dapat berpartisipasi aktif
memberikan umpan balik kepada pemerintah apa yang menjadi hambatan
dalam pelaksanaan Sapta Pesona.
Selanjutnya penelitian ini ingin mengetahui hubungan antara beberapa
faktor yang berasal dari ciri pribadi (X1) dan ciri lingkungan usaha (X2) dengan
tingkat adopsi program Sapta Pesona oleh pengelola RMT (Y).
Hubungan Ciri Pribadi dengan Adopsi Program Sapta Pesona oleh Pengelola RMT kelas C
Ciri pribadi yang diduga berhubungan dengan pengelola RMT kelas C
dalam adopsi program Sapta Pesona adalah usia (X1.1), pendidikan (X1.2),
intensitas komunikasi (X1.3), keanggotaan kelompok (X1.4), pengalaman usaha
(X1.5), keberanian mengendalikan resiko (X1.6), dan keterampilan teknis (X1.7)
memiliki peran yaitu:
(1) Usia akan mempengaruhi kemampuan psikologis, fisiologis, dan cara berpikir.
Seseorang muda usia mungkin memiliki pengalaman dan pendidikan kurang,
tetapi memiliki energi atau semangat untuk mencoba usahanya; sedangkan
orang yang sudah berumur memiliki pengalaman dan pendidikan lebih tinggi
43
sehingga menentukan keberhasilan dalam usahanya. Maka kemampuan adopsi
sangat dipengaruhi oleh tingkat usia atau kedewasaan seseorang.
(2) Pendidikan merupakan proses pembentukan watak, sehingga seseorang
memperoleh pengetahuan, pemahaman dan perilaku sesuai dengan tujuan
pendidikan tersebut. Pendidikan menentukan tingkat keinovatifan seseorang
seorang dewasa, diperoleh dalam bentuk formal dan diperkaya melalui jalur
non-formal.
(3) Intensitas komunikasi menentukan kecepatan perubahan perilaku. Bentuk
komunikasi sebagai sarana penyampaian inovasi bisa diusahakan baik secara
lisan misalnya interaksi dengan penyuluh atau para pakar, ataupun secara tidak
langsung dengan sumber informasi dalam bentuk media massa majalah, koran,
radio, dan televisi.
(4) Keanggotaan kelompok merupakan bagian interaksi sosial yang cukup intensif
dan teratur, sehingga diantara indvidu terdapat pembagian tugas, struktur, dan
norma-norma tertentu, yang khas bagi kesatuan sosial tersebut. Hal ini turut
mempengaruhi efektifitas adopsi inovasi.
(5) Pengalaman usaha akan mempengaruhi pengelola RMT kelas C dalam
pengambilan keputusan untuk mengadopsi inovasi dalam upaya
pengembangan usaha rumah makan yang dikelolanya.
(6) Keberanian mengendalikan resiko bagi seorang pengelola merupakan salah
satu faktor yang penting dalam pengembangan usahanya. Kemauan dan
kemampuan mengambil resiko merupakan salah satu nilai utama dalam
kewirausahaan. Wirausahawan yang tidak mau ambil resiko akan sukar
memulai atau berinisiatif meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya
dalam mengadopsi suatu inovasi dengan lebih baik.
(7) Keterampilan yang dibutuhkan oleh manajer tergantung kepada tempat pada
tingkatan organisasi, yang rendah lebih membutuhkan keterampilan dan
kemampuan teknis dibandingkan dengan keterampilan manajerial pada
manajer tingkat atas. Keterampilan teknis merupakan syarat yang perlu
dikuasai pengelola RMT kelas C, keterampilan ini meliputi pemahaman dan
kompetensi dalam aktivitas yang spesifik, khususnya yang berkaitan dengan
suatu metode, proses, prosedur tertentu yang bersifat teknis.
44
Hubungan Ciri Lingkungan Usaha dengan Adopsi Program Sapta Pesona oleh Pengelola RMT kelas C
Ciri lingkungan usaha RMT kelas C yang diduga berpengaruh pada
kemampuan adopsi yaitu kebijakan pemda (X2.1), skala usaha (X2.2), modal
keuangan (X2.3), modal tenaga kerja (X2.4), sarana usaha (X2.5), prasarana usaha
(X2.6), lokasi usaha (X2.7), dan kompetitor (X2.8). Peranan masing-masing ciri
lingkungan usaha tersebut sebagai pendorong bagi pengelola RMT kelas C dalam
adopsi program Sapta Pesona yaitu:.
(1) Kebijaksanaan Pemda; implikasi otonomi daerah yaitu kewenangan daerah
mempunyai otonomi untuk mengatur dan mengurus masyarakat setempat.
Perubahan sistem ini akan mengalami implikasi positif dan negatif terhadap
pelaku bisnis kecil dan menengah. Jika kondisi ini tidak segera dibenahi maka
akan menurunkan daya saing UKM.
(2) Skala usaha; luas RMT kelas C, kapasitas duduk, atau jumlah karyawan yang
merupakan karakter dari skala usaha pumempunyai hubungan yang positip
dengan tingkat produktifitas. Maka hal ini akan pula berpengaruh pada
kemauan, kemampuan, dan kesempatan pengelola RMT kelas C dalam
mengadopsi suatu inovasi.
(3) Modal keuangan; permodalan merupakan faktor utama yang diperlukan untuk
mengembangkan suatu unit usaha. Besaran modal RMT kelas C sangatlah
relatif, oleh karena pada umumnya usaha kecil dan menengah merupakan
usaha perorangan, yang mengandalkan pada modal dari si pemilik dengan
jumlah sangat terbatas. Sedangkan modal pinjaman dari bank atau lembaga
keuangan lainnya sulit diperoleh, karena persyaratan secara administratif dan
teknis yang diminta oleh bank tidak dapat dipenuhi.
(4) Modal tenaga kerja; keterbatasan modal tenaga kerja bagi RMT kelas C, baik
dari segi pendidikan formal maupun pengetahuan dan keterampilannya sangat
berpengaruh terhadap optimalisasi perkembangan usahanya. Disamping itu
dengan keterbatasan kondisi modal tenaga kerja dapat mempengarui kualitas
adopsi perkembangan teknologi baru dan peningkatan dayasaing.
(5) Sarana Usaha; seluruh fasilitas utama untuk kebutuhan operasional rumah
makan tersebut dan kepuasan pelayanan bagi pelanggannya. Sarana yang
dimaksud dikelompokan menjadi tiga terdiri dari: (a) sarana pokok yaitu
45
peralatan makan (sendok, garpu, pisau, piring, mangkuk, dan gelas); (b)
sarana pelengkap yaitu jenis perabot rumah makan (meja, kursi, dan
lemari/meja tempat persediaan alat makan); (c) sarana penunjang yaitu
perlengkapan lenan (taplak meja, dan serbet tamu), asesoris meja (tempat
lada-garam, vas bunga, nomor meja, dan asbak), dan perlengkapan
penghidang (macam-macam baki).
(6) Prasarana usaha; seluruh fasilitas penunjang untuk kelancaran operasional
rumah makan dan kepuasan pelayanan bagi pelanggannya, terdiri dari instalasi
komunikasi, PLN, gas, air bersih, penampungan sampah dan saluran limbah,
fasilitas taman parkir, fasilitas penunjang keselamatan kerja, dan fasilitas
ibadah.
(7) Lokasi usaha; meskipun tidak terlalu mendominasi kondisi lokasi usaha yang
strategis (kedekatan dengan target pasar, sumber perolehan bahan baku, dan
dampak lingkungan terhadap citra perusahaan) turut berpengaruh pada tingkat
kunjungan dan pendapatan RMT kelas C. Selanjutnya sangat tergantung pada
kemampuan pengelola untuk memaksimalkan potensi lokasi usaha yang
dimiliki.
(8) Kompetitor; iklim usaha belum sepenuhnya kondusif, hal ini terlihat antara
lain masih terjadinya persaingan yang kurang sehat antara pengusaha-
pengusaha kecil dengan pengusaha-pengusaha besar. Perlu dikembangkan
kemitraan yang saling membantu antara usaha rumah makan atau antara RMT
kelas C dengan pengusaha besar. Maka diperlukan pengendalian,
pengawasan, dan kebijaksanaan dari Pemerintah untuk menumbuh
kembangkan UKM, dalam hal ini RMT kelas C, berhubungan dengan
terpenuhinya suasana kondusif.
Ciri-ciri Berhubungan dengan Tingkat Adopsi Program Sapta Pesona oleh Pengelola RMT Kelas C
Tingkat adopsi pengelola RMT kelas C (Y) dapat dibedakan menurut
tahapannya yaitu tahap kesadaran, minat, penilaian, mencoba, penerimaan,
konfirmasi, dan penolakan. Selanjutnya berdasar tipologi tersebut akan
berhubungan dengan keputusan pengelola RMT kelas C dalam adopsi program
Sapta Pesona pada kegiatan bisnisnya.
46
Berdasarkan kerangka pemikiran tentang hubungan antara ciri pribadi dan
ciri lingkungan usaha dengan tingkat adopsi program Sapta Pesona oleh Pengelola
RMT kelas C dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 4. Kerangka Berpikir Tingkat Adopsi Program Sapta Pesona oleh Pengelola RMT Kelas C
Hipotesis Penelitian
Berdasarkan permasalahan dan kerangka berpikir yang telah dikemukakan,
maka hipotesis penelitian adalah:
(1) Ciri pribadi memiliki hubungan nyata dengan tingkat adopsi program Sapta
Pesona oleh Pengelola RMT Kelas C Jakarta Timur.
(2) Ciri lingkungan usaha memiliki hubungan nyata dengan tingkat adopsi
program Sapta Pesona oleh Pengelola RMT Kelas C Jakarta Timur.
Tahapan Adopsi Program Sapta Pesona (Y): 1. Kesadaran 2. Minat 3. Penilaian 4. Mencoba 5. Penerimaan 6. Konfirmasi 7. Penolakan
Ciri Pribadi (X1) 1. Usia (X1.1) 2. Pendidikan (X1.2) 3. Pengalaman berusaha (X1.3) 4. Intensitas komunikasi (X1.4) 5. Keanggotaan kelompok (X1.5) 6. Kemampuan mengendalikan
resiko (X1.6) 7. Keterampilan teknis (X1.7)
Lingkungan Usaha RMT (X2) 1. Kebijakan Pemda (X2.1) 2. Skala usaha (X2.2) 3. Modal keuangan (X2.3) 4. Modal tenaga kerja (X2.4) 5. Sarana usaha (X2.5) 6. Prasarana usaha (X2.6) 7. Lokasi usaha (X2.7) 8. Kompetitor (X2.8)
METODE PENELITIAN
Populasi dan Sampel
Populasi penelitian adalah seluruh pengelola usaha RMT kelas C di
Jakarta Timur. Populasi RMT kelas C yang ada di Jakarta Timur adalah 63 unit
usaha (Tabel 1). Setiap seorang responden dalam penelitian ini mewakili
seorang pengelola yang ada pada setiap unit usaha RMT kelas C di Jakarta Timur.
Jumlah pengelola usaha RMT kelas C di Jakarta Timur adalah 63 orang, maka
populasi penelitian ini adalah 63 pengelola dan pengumpulan data dilakukan
secara sensus kepada 63 pengelola RMT tersebut.
Rumah makan dikelompokkan menurut jumlah meja tersedia, kelompok
pertama memiliki kapasitas 2 hingga 5 meja, kelompok kedua kapasitas lebih dari
5 hingga 8 meja, dan kelompok ketiga diatas 8 hingga 12 meja. Setiap satu meja
rata-rata terdapat 4 kursi. Maka kapasitas rumah makan dihitung berdasarkan
jumlah kursi tersedia.
Tabel 1. Kelompok dan Populasi RMT kelas C di Jakarta Timur
Kelompok RMT kelas C menurut Kapasitas Duduk
Populasi RMT (unit)
8 s.d 20 tamu 16
> 20 s.d 32 tamu 32
> 32 s.d 48 tamu 15
TOTAL = 63 Ket: 1 unit usaha = 1 pengelola RMT kelas C
Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif (descriptive
research). Dalam metode ini, dilakukan eksplorasi dan klarifikasi atas fenomena
yang terjadi, sesuai dengan tujuan penelitian untuk menguraikan sifat-sihat dari
suatu keadaan. Menurut Nazir (1999), metode deskriptif adalah pencarian fakta
dengan interpretasi yang tepat serta bertujuan untuk membuat gambaran secara
sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat dan fenomena yang
diselidiki.
48
Berdasarkan tujuan penelitian yang hendak dicapai, maka jenis penelitian
yang digunakan adalah penelitian survey korelasional yang dilaksanakan untuk
melihat hubungan antara peubah-peubah penelitian dan menguji hipotesis yang
telah dirumuskan sebelumnya. Penelitian terdiri dari dua peubah bebas yaitu ciri
pribadi pengelola RMT kelas C (X1) dan ciri lingkungan usaha RMT kelas C (X2),
peubah intervening yaitu tingkat adopsi pengelola RMT kelas C (Y).
Untuk mengetahui adanya hubungan dilakukan uji statistik, sehingga
menggunakan pendekatan kuantitatif dan untuk menjelaskan substansi hasil uji
statistik digunakan pendekatan kualitatif.
Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian secara sengaja dipilih yaitu rumah makan tradisional
(RMT) kelas C yang berada di wilayah Kota Jakarta Timur. Pelaksanaan
penelitian ini pada bulan Februari sampai dengan September 2008.
Kota Jakarta Timur dipilih sebagai lokasi penelitian dengan alasan sebagai
berikut yaitu: (a) Merupakan sentra UKM terbesar di DKI Jakarta; (b) Kota
Jakarta Timur dalam program pengembangannya dipersiapkan sebagai kota wisata
belanja, dan usaha sarana pariwisata jenis restoran merupakan pemberi kontribusi
terbesar; (c) Penyuluhan Sapta Pesona menjadi kalender kegiatan tahunan melalui
aktifitas yang padat, namun dalam tiga tahun belakangan kurang intensif dengan
alasan masalah anggaran; (d) Jika dibandingkan RMT kelas di atasnya, adopsi
para pengelola RMT kelas C masih sangat rendah. Hal ini ada kaitannya dengan
faktor, baik internal dan eksternal, yang mempengaruhi kemauan, kemampuan,
dan kesempatan pengelola RMT kelas C dalam adopsi program Sapta Pesona.
Definisi Operasional dan Pengukuran Peubah
Definisi operasional dalam kegiatan penelitian ditetapkan untuk mencegah
terjadinya kesalahan arah terhadap konsep yang telah ditetapkan, dengan
demikian pengukuran terhadap peubah dapat dilakukan secara jelas dan terukur.
Definisi operasional dalam penelitian ini adalah:
Ciri Pribadi (X1)
Ciri pribadi pengelola RMT kelas C adalah ciri-ciri dari dalam diri pribadi
pengelola RMT kelas C di Jakarta Timur yang diduga berhubungan dengan
49
tingkat adopsi pengelola RMT kelas C dalam usaha rumah makan di Jakarta
Timur, yang meliputi:
(1) Umur (X1.1), adalah lamanya (tahun) hidup responden yang dihitung sejak
dilahirkan sampai dengan saat wawancara/penelitian dilakukan.
(2) Pendidikan (X1.2), adalah lamanya (tahun) pendidikan formal dan jenis
pelatihan yang pernah diikuti responden hingga dilakukannya wawancara.
(3) Pengalaman usaha (X1.3) adalah jumlah tahun lamanya responden sebagai
pengelola dan atau berusaha rumah makan, pengalaman sebelumnya, asal
pengalaman diperoleh sejak awal sampai saat penelitian dilaksanakan.
(4) Intensitas komunikasi (X1.4), adalah derajat tingkat frekuensi komunikasi,
lamanya interaksi, sumber informasi (penyuluh, media massa, dan kegiatan
pertemuan). Termasuk bentuk interaksi dengan sumber informasi, dan jenis
komunikasi (personal, kelompok, dan massa) yang paling sering diikuti
sampai saat wawancara/penelitian dilaksanakan.
(5) Keanggotaan kelompok (X1.5), adalah keterlibatan responden dalam kelompok
formal dan atau kelompok informal, meliputi nama kelompok,
status/kedudukan, lamanya keikutsertaan dalam kelompok, dan frekuensi
pertemuan yang diadakan kelompok.
(6) Keberanian mengambil resiko (X1.6) adalah resiko yang paling sering dihadapi
responden, dampaknya terhadap pengembangan usaha rumah makan, jenis
resiko yang mampu dihadapi, dan usaha yang dilakukan terhadap resiko yang
tidak mampu dihadapi. Termasuk keputusan yang akan diambil responden
jika usahanya menghadapi kemerosotan ataupun keuntungan besar, dan sikap
keberanian mengambil resiko pada beberapa kasus dalam pengelolaan rumah
makan tradisional.
(7) Keterampilan teknis (X1.7) adalah keterampilan yang meliputi pemahaman dan
kompetensi dalam aktivitas yang spesifik berkaitan dengan suatu metode,
proses, dan prosedur tertentu yang bersifat teknis terkait dengan fungsi
manajemen dalam perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan
pengendalian.
50
Ciri Lingkungan Usaha (X2)
Ciri usaha adalah ciri-ciri di luar pribadi pengelola yang berhubungan
dengan kegiatan pengelolaan usaha RMT kelas C di Jakarta Timur, yang meliputi:
(1) Kebijakan Pemda (X2.1) adalah pengaruh kebijakan Pemda di era otonomi
dalam penetapan peraturan, perizinan, memonitor dan pembinaan
keberlangsungan usaha rumah makan. Perlunya mengetahui reaksi dan
perilaku para pengelola atas pemberlakuan sistem yang ada, juga apakah ada
implikasi positif dan negatif terhadap pelaku bisnis kecil dan menengah. Hal
ini sebagai umpan balik bagi Pemda setempat atas kebijakan yang dibuatnya.
(2) Skala usaha (X2.2) adalah kapasitas usaha menurut luas lahan rumah makan,
kapasitas kursi, jumlah pramusaji, dan total tenaga kerja yang digunakan
untuk menjalankan usaha rumah makan pada saat pengambilan data
dilaksanakan. Indikatornya kapasitas usaha adalah jumlah kursi maksimal
tersedia yang menggambarkan jumlah pelanggan maksimal. Indikator jumlah
tenaga kerja adalah jumlah orang tenaga kerja yang terlibat dalam kegiatan
usaha rumah makan.
(3) Modal keuangan (X2.3) adalah gambaran mengenai asal modal, kecukupan
modal yang dikelola, lembaga keuangan yang menjadi rekanan, dan tingkat
kemudahan dalam memperoleh modal keuangan baik sebagai investasi awal
maupun untuk pengembangan perusahaan.
(4) Modal tenaga kerja (X2.4), istilah lain human capital adalah ukuran atau nilai
keahlian, keterampilan dan latihan baik dari segi pendidikan formal maupun
pengetahuan dan keterampilannya yang berpengaruh terhadap optimalisasi
perkembangan usahanya dan kualitas adopsi perkembangan teknologi baru
dan peningkatan daya saing.
(5) Sarana usaha (X2.5) adalah tersedianya sarana dengan kondisi memenuhi
syarat kuantitas guna mendukung kelancaran operasional pelayanan dan
kelayakan dalam memenuhi kepuasan pelanggan rumah makan.
(6) Prasarana usaha (X2.6) adalah tersedianya prasarana yang menunjang
komunikasi, ketersediaan energi, air bersih, penampungan sampah dan
saluran limbah, fasilitas taman parkir, fasilitas penunjang keselamatan kerja,
dan fasilitas ibadah.
51
(7) Lokasi usaha (X2.7) adalah kondisi lokasi usaha yang berpengaruh pada tingkat
kunjungan dan pendapatan, indikatornya yaitu daya jangkau, kualitas
pemandangan, dan citra kesan menurut pendapat pelanggan.
(8) Kompetitor (X2.8) adalah merujuk kepada orang atau sekelompok orang yang
menjadi pesaing. Bentuk persaingan usaha antar usaha sejenis pada akhirnya
akan membangkitkan pengusaha untuk membuat strategi dalam menghadapi
persaingan dan agar lebih unggul daripada yang lainnya.
Tingkat Adopsi (Y)
Adopsi pengelola RMT kelas C adalah ikut sertanya responden
memanfaatkan konsep Sapta Pesona dengan mengambil inisiatif sendiri untuk
mengubah sistem atau nilai-nilai yang mereka junjung, sebagai dampak dari
adopsi inovasi. Tahapan adopsi inovasi terdiri dari tujuh yaitu:
(1) Tahap kesadaran adalah tingkatan di mana responden membuka diri terhadap
keberadaan inovasi dan memperoleh pengetahuan tentang program Sapta
Pesona.
(2) Tahap minat adalah tingkatan di mana responden membentuk sikap menyukai
atau tidak menyukai terhadap program Sapta Pesona.
(3) Tahap penilaian adalah tingkatan di mana responden memberikan penilaian
terhadap isi materi dan cara penyampaian program Sapta Pesona.
(4) Tahap mencoba adalah tingkatan di mana responden mencoba menerapkan
nilai-nilai yang ada pada program Sapta Pesona ke dalam kegiatan usahanya
dan tingkat kesulitan dalam tahap ini.
(5) Tahap penerimaan adalah tingkatan di mana responden memperkuat
keputusan adopsi inovasi program Sapta Pesona terhadap kegiatan usahanya.
(6) Tahap konfirmasi adalah tingkatan di mana responden memperoleh umpan
balik dari karyawan, tamu, tingkat pendapatan, dan citra perusahaan atas
keputusannya mengadopsi program Sapta Pesona.
(7) Tahap penolakan adalah tingkatan di mana responden akan terus menerapkan
dan menghimbau pada orang lain tentang program Sapta Pesona, serta
sikapnya terhadap inovasi program lainnya.
52
Tabel 2. Peubah, Indikator, dan Skala Data
Kelompok Peubah
Nomor & Nama Peubah Definisi Indikator Skala
Data
Ciri Pribadi (X)
1. Umur (X1.1) Lamanya tahun ke-hidupan responden Jumlah tahun kehidupan Rasio
2. Pendidikan (X1.2)
Lamanya pendidi-kan formal & pela-tihan yg pernah diikuti responden
Jumlah tahun mengikuti pendidikan formal Rasio
Jenis pelatihan pernah diikuti. Ordinal
3. Pengalaman Usaha (X1.3)
Lamanya respon-den melakukan usaha rumah makan
Jumlah tahun lamanya melakukan kegiatan usaha rumah makan saat ini dijalani.
Rasio
Jumlah tahun lamanya melakukan kegiatan usaha rumah makan sebelumnya
Rasio
Asal muasal pengalaman usaha rumah makan. Ordinal
4. Intensitas Komunikasi (X1.4)
Intensitas kontak & kualitas komu-nikasi antara responden dengan sumber informasi
Jenis sumber informasi Ordinal
Frekuensi dan lamanya berinteraksi Rasio
Bentuk interaksi pada sumber informasi Ordinal
Bentuk komunikasi bisnis yang dipilih untuk diikuti. Ordinal
5. Keanggota- an kelom- pok (X1.5)
Keanggotaan & keikutsertaan responden dalam kegiatan kelompok profesional
Keikutsertaan dalam kelompok Ordinal
Nama Kelompok Ordinal
Status dalam kelompok Ordinal
Frekuensi pertemuan Rasio
Motivasi keikutsertaan Ordinal
53
Kelompok Peubah
Nomor & Nama Peubah Definisi Indikator Skala
data
6. Kemampuan Mengendali- kan resiko (X1.6)
Kemampuan me-ngendalikan resiko yang muncul pada pengembangan usaha rumah makan
Jenis resiko paling sering dihadapi & dampaknya. Ordinal
Kemampuan mengenali dan mengendalikan hambatan/gangguan lain
Ordinal
Bentuk rencana pengem-bangan usaha Ordinal
Keterampilan Teknis (X2.4)
Keterampilan teknis dalam mengelola tenaga kerja.
Tanggapan jenis keteram-pilan yang perlu dikuasai dalam pengelolaan usaha
Ordinal
Keterampilan teknis ber-kaitan metode, proses, dan prosedur dalam: - kegiatan seleksi kayawan - menentukan kebutuhan pelatihan karyawan,
- pengarahan pelayanan - penilaian kinerja - evaluasi & umpan balik kepuasan pelanggan
Ordinal
Ciri Ling-kungan Usaha (X2)
Kebijakan Pemda (X2.1)
Tanggapan atas kebijakan Pemda setempat terkait dengan keberlang-sungan usaha.
Tanggapan atas: - administrasi perizinan, - pungutan pajak/retribusi - monitoring dan kegiatan pembinaan
Ordinal
Skala Usaha (X2.2)
Data usaha rumah makan yang dikelola oleh responden pada saat pe-nelitian dilakukan
Luas total bangunan Rasio
Kapasitas berdasarkan jumlah kursi tersedia Rasio
Jumlah pengunjung harian yang memperoleh pelayanan
Rasio
Jumlah omzet yang diperoleh per-hari Rasio
Modal keu-angan (X2.3)
Gambaran menge-nai modal yang dikelola dan keterlibatan pada lembaga keuangan dalam investasi awal & pengem-bangan usaha
Asal modal keuangan Ordinal
Tingkat kecukukan besar-an modal keuangan dan modal investasi
Rasio
Lembaga keuangan sum-ber modal usaha Ordinal
Tingkat kemudahan da-lam memperoleh modal dari lembaga keuangan.
Rasio
54
Kelompok Peubah
Nomor & Nama Peubah Definisi Indikator Skala
Data
Modal tenaga kerja (X2.4)
Kondisi modal tenaga kerja dari segi pendidikan formal maupun pengetahuan dan keterampilan.
Asal tenaga kerja Ordinal Latar belakang pendidikan karyawan Ordinal
Status kepegawaian karyawan Ordinal
Frekuensi pemberian pelatihan karyawan Rasio
Tanggapan atas kecocok-kan jenis pelatihan Ordinal
Sarana usaha (X2.5)
Kondisi sarana rumah makan yang dikelola responden
Kelayakan sarana yaitu: - alat makan tamu - alat minum tamu - perabot rumah makan - asesoris meja - seragam karyawan - peralatan memasak - area dapur - gudang bahan makanan - area cuci peralatan
Ordinal
Jumlah frekuensi kegiatan inventarisasi peralatan Rasio
Prasarana usaha (X2.6)
Kondisi prasarana rumah makan yang dikelola responden
Kelayakan prasarana yaitu: - instalasi listrik, - instalasi gas, - instalasi air bersih, - penampungan sampah - saluran limbah, - pemadam kebakaran - fasilitas parkir - fasilitas toilet umum - fasilitas ibadah sholat
Ordinal
Lokasi usaha (X2.7)
Pengaruh lokasi usaha yg dikelola responden terhadp tingkat kunjungan.
Tingkat strategis menurut pengunjung Ordinal
Pengaruh lokasi terhadap tingkat kunjungan tamu Ordinal
Kondisi lingkungan Ordinal Kelompok pengunjung Ordinal Jenis pengunjung Ordinal
Kompetitor (X2.8)
Bentuk persaingan antara usaha yg dijalankan respon-den dgn kompeti-tor usaha sejenis
Bentuk persaingan: produk, harga, pelayanan, dan promosi
Ordinal
Strategi dalam mengha-dapi persaingan Ordinal
55
Kelompok Peubah
Nomor & Nama Peubah Definisi Indikator Skala
Data Adosi pro-gram Sapta Pesona (Y) Tahap
Kesadaran (Y1)
Tingkatan di mana responden membuka diri.
Tingkat pengetahuan tentang program Sapta Pesona
Rasio
Tingkat pemahaman tentang tujuan Sapta Pesona
Rasio
Tahap Kepeminatan (Y2)
Tingkatan di mana responden mem-bentuk sikap menyukai atau tidak menyukai.
Keingintahuan tentang program Sapta Pesona Ordinal
Minat terhadap isi materi program Sapta Pesona Ordinal
Mengenal manfaat prog-ram Sapta Pesona Ordinal
Tahap Penilaian (Y3)
Tingkatan di mana responden membe-rikan penilaian
Kesan terhadap penyuluh program Sapta Pesona Ordinal
Kesan terhadap isi materi program Sapta Pesona Ordinal
Tahap Mencoba (Y4)
Tingkatan di mana responden menco-ba menerapkan nilai-nilai.
Kecocokan penerapan program Sapta Pesona pada usaha rumah makan
Ordinal
Keinginan mencoba me-nerapkan program Sapta Pesona
Ordinal
Kesulitan penerapan butir-butir Sapta Pesona Ordinal
Tahap Penerimaan (Y5)
Tingkatan di mana responden mem-perkuat keputusan adopsi inovasi
Proses kegiatan usaha terkait penerapan program Sapta Pesona
Ordinal
Intensitas bentuk aksi penerapan butir-butir Sapta Pesona
Ordinal
Tahap konfirmasi (Y6)
Tanggapan respon-den atas umpan balik keputusan penerapan Sapta Pesona
Tanggapan atas faktor yang dipengaruhi: a. Kepuasan pengunjung b. Jumlah omzet c. Citra perusahaan d. Kepuasan karyawan e. Produktivitas kerja karyawan
Ordinal
Tahap penolakan (Y7)
Tingkatan di mana responden meno-lak atau tidak menolak
Sikap menolak/tidak menolak menerapkan program Sapta Pesona
Ordinal
Alasan menolak/tidak menolak menerapkan program Sapta Pesona
Ordinal
56
Instrumentasi
Instrumen yang dipakai pada penelitian adalah kuesioner yang berisi daftar
pertanyaan yang berhubungan dengan peubah dalam penelitian. Daftar pertanyaan
untuk peubah yang berhubungan dengan tingkat adopsi pengelola RMT kelas C di
Jakarta Timur, terdiri atas ciri pribadi pengelola meliputi: umur, pendidikan
formal, intensitas komunikasi, dan keanggotaan kelompok. Ciri usaha pengelola
RMT kelas C meliputi: skala usaha, pengalaman usaha, kewirausahaan, dan
keterampilan manajerial. Daftar pertanyaan peubah interevening, yakni tingkat
adopsi serta peubah terikat, yakni kinerja pengelola dalam usaha rumah makan
tradisional kelas C di Jakarta Timur.
Uji Validitas
Validitas instrumen adalah validitas pengukuran variabel. Makna validitas
dalam suatu instrumen tercermin dari pertanyaan ’apakah kita sungguh-sungguh
mengukur hal yang memang ingin kita ukur?” (Kerlinger, 2004). Instrumen yang
sahih atau valid, berarti memiliki validitas tinggi, demikian pula sebaliknya.
Sebuah instrumen dikatakan sahih, apabila mampu mengukur apa yang diinginkan
atau mengungkapkan data dari peubah yang diteliti secara tepat (Hasan, 2002).
Penelitian ini menggunakan teknik validitas konstruk (construct validity),
dengan langkah-langkah sebagai berikut: (1) penyesuaian daftar pertanyaan
dengan esensi kerangka konsep yang diperoleh dalam kajian pustaka, terutama
yang berfokus pada variabel dan indikator-indikator yang diteliti; (2) memeriksa
butir tes satu persatu untuk mengetahui hubungannya dengan tujuan yang ingin
diukur; dan (3) konsultasi dengan dosen pembimbing dan pihak lain tentang
materi alat ukur.
Uji Reliabilitas
Reliabilitas atau keandalan adalah ketepatan instrumen pengukur (Kerlinger,
2004). Keandalan juga berarti konsistensi internal suatu test atau alat pengukur di
dalam mengukur gejala yang sama. Suatu instrumen yang andal adalah instrumen
yang jika digunakan untuk mengukur himpunan obyek yang sama berulangkali
akan memperoleh hasil yang sama atau serupa pula.
57
Reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat
pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Pengujian reliabilitas alat ukur
dalam penelitian ini menggunakan rumus koefisien alpha, yaitu:
k
α = [ 1 - (Vi - Vt) ]
k – 1
keterangan:
α = reliabilitas alat ukur ; k = banyaknya butir pertanyaan
Vi = jumlah varians butir pertanyaan; Vt = varians total
Uji coba akan instrumen dilakukan di kota Cibinong, pada 10 orang
pengelola RMT kelas C di luar populasi penelitian yang mempunyai karakteristik
dan kondisi yang hampir sama dengan responden, pada akhir Juni 2008. Hasil uji
reliabilitas instrumen menunjukkan bahwa nilai r yang diperoleh sebesar 0,828.
Jika dibandingkan dengan nilai tabel, rtabel = 0,666 (signifikansi 5 %) dan rtabel =
0,798 (signifikansi 1 %). Ternyata nilai r (α) lebih besar dari rtabel ; jadi instrumen
dapat dipercaya.
Pengumpulan Data
Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah kombinasi antara
data kuantitatif dan data kualitatif. Data kuantitatif adalah data yang nilainya
numerik atau angka sedangkan data kualitatif adalah data dalam bentuk penjelasan
atau keterangan, yang dikategorikan menjadi tiga yaitu: hasil pengamatan,
wawancara mendalam, dan bahan tertulis berupa petikan atau keseluruhan bagian
dokumen atau kasus historis.
Data primer tentang ciri pribadi dan ciri lingkungan usaha yang
berhubungan dengan pengelola RMT kelas C dalam adopsi program Sapta Pesona
dan tingkat adopsi pengelola RMT kelas C. Dalam pengumpulan data primer ini
peneliti melibatkan enumerator, diperoleh melalui:
(1) Metode survei-korelasional menggunakan kuesioner sebagai instrumen utama
untuk mengumpulkan data kuantitatif tentang: (a) Ciri pribadi yaitu: umur
(X1.1), pendidikan (X1.2), pengalaman usaha (X1.3), intensitas komunikasi
(X1.4), keanggotaan kelompok (X1.5); dan (b) Ciri lingkungan usaha yaitu:
58
kebijakan Pemda (X2.1), skala usaha (X2.2), modal keuangan (X2.3), dan
modal tenaga kerja (X2.4).
(2) Metode wawancara tidak terstruktur dan metode observasi, dengan peneliti
sebagai instrumen (participant-observer) untuk mengumpulkan data kualitatif
tentang: (a) Ciri pribadi yaitu: kemampuan mengendalikan resiko (X1.6),
keterampilan teknis (X1.7); (b) Ciri lingkungan usaha yaitu: sarana usaha
(X2.5), prasarana usaha (X2.6), lokasi usaha (X2.7), kompetitor (X2.8); (c)
Tingkat adopsi program Sapta Pesona oleh Pengelola RMT kelas C menurut
tahapan kesadaran (Y1), minat (Y2), penilaian (Y3), mencoba (Y4),
penerimaan (Y5), konfirmasi (Y6), dan penolakan(Y7).
Irawan (2006) mengingatkan bahwa penelitian dengan kuesioner ini
memerlukan responden dalam jumlah yang cukup agar validitas dapat dicapai
dengan baik, sebab apa yang digali dari kuesioner cenderung informasi umum
tentang fakta atau opini yang diberikan responden. Satu-satunya instrumen
terpenting dalam penelitian kualitatif adalah peneliti itu sendiri. Peneliti mungkin
menggunakan alat-alat bantu untuk mengumpulkan data seperti tape recorder.
Kelebihan participant-observer antara lain: (1) dapat melihat langsung,
merasakan dan mengalaminya; (2) mampu menetukan kapan data jenuh dan
penelitian dihentikan; dan (3) data terkumpul dan dapat langsung dianalisa.
Hal yang perlu diperhatikan peneliti menurut Irawan (2006) adalah:
(1) tidak mudah menjaga obyektifitas dan netralitas; (2) instrumen ini sangat
dipengaruhi oleh kemampuan dalam menulis, menganalisis, dan melaporkan
hasil penelitian; dan (3) harus memiliki cukup kesabaran untukmengikuti dan
mencatat perubahan-perubahan yang terjadi pada obyek/subyek yang diteliti.
Data sekunder diperoleh melalui wawancara ciri lingkungan usaha RMT
kelas C untuk mengetahui pendapat pejabat Dinas Pariwisata Propinsi DKI
Jakarta dan Sudin Pariwisata Jakarta Timur tentang kebijakan Pemda (X2.1). Data
didukung dengan wawancara pihak terkait yaitu pengunjung dan masyarakat
sebagai informan untuk kasuistik yaitu tuntutan sesuai ciri lingkungan usaha (X2).
59
Analisis Data
Data yang telah terkumpul diolah melalui tahapan editing, coding, dan
tabulasi dengan interval yang dihasilkan pada masing-masing hasil pengukuran.
Data yang diperoleh, diolah dan analisis secara kuantitatif dan kualitatif.
Pengujian hipotesis menggunakan statistik non parametrik untuk mengukur
keeratan hubungan antara ciri pribadi pengelola RMT dan ciri lingkungan usaha
RMT dengan tingkat adopsi program Sapta Pesona oleh pengelola RMT.
Pengujian hipotesis adalah dengan menggunakan analisis uji korelasi Rank
Spearman pada α = 0,05 atau α = 0,01 (Siegel, 1992) dan untuk memudahkan
pengolahan data digunakan program SPSS (Statistical Package for the Social
Science) versi 15.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Wilayah Penelitian
Jakarta Timur berbatasan dengan Jakarta Utara, di bagian timur dengan
Bekasi, di bagian selatan dengan Depok dan di bagian barat dengan Jakarta
Selatan dan Jakarta Pusat. Luas wilayah Kota Jakarta Timur adalah 187,73 km².
Jakarta Timur merupakan kota administrasi Terluas di provinsi DKI Jakarta,
dengan jumlah penduduk di wilayah Kota Jakarta Timur yaitu 1.959.022 jiwa
(Data BPS 2007) dengan kepadatan sekitar 10.455 jiwa/km², yang tersebar pada 10
kecamatan terdiri dari 65 kelurahan/desa.
Potensi Wisata Jakarta Timur
Potensi obyek wisata yang dimiliki Jakarta Timur berjumlah 29 obyek
terdiri dari Wisata Rekreasi (3), Wisata Sejarah (1), Wisata Monumen (1), Wisata
Minat khusus (3), Wisata Belanja (16), Wisata Industri (1), dan Wisata Olah Raga
(4). Sejumlah obyek wisata andalan Kotamadya Jakarta Timur, yang selama ini
menjadi daya tarik bagi wisatawan nusantara maupun manca negara, adalah
Taman Mini Indonesia Indah, Monumen Pancasila Sakti, Kawasan Wiladatika,
Makam Pangeran Jayakarta, Pasar Burung, Pusat Perdagangan Permata, Condet
Cagar Buah, dan Perkampungan Industri Kecil.
Seluruh obyek wisata tersebut mampu menyerap diatas 15 juta pengunjung
tiap tahunnya (sejak 2001) dan mampu menampung hampir seribu tenaga kerja.
Jumah tenaga kerja tersebut belum termasuk yang ada di fasilitas pariwisata
seperti hotel dan restoran, serta usaha penunjang pariwisata lainnya seperti pusat
olahraga, rekreasi dan hiburan. Maka tidak salah jika Kota Jakarta Timur dalam
program pengembangannya, disiapkan sebagai kota wisata belanja dengan
menggali berbagai hal yang dapat dijadikan potensi obyek wisata, di samping
meningkatkan jumlah dan jenis atraksi wisata serta meningkatkan SDM.
Jenis Usaha Rumah Makan di Jakarta Timur
Perizinan mendirikan usaha rumah makan dikeluarkan oleh Gubernur
Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, melalui Kepala Dinas Pariwisata
Propinsi DKI Jakarta, dan atas rekomendasi dari Kepala Suku Dinas Pariwisata
61
wilayah kota Jakarta Timur. Persyaratan untuk memperoleh Izin Sementara
Usaha Pariwisata (ISUP), mengajukan Surat Permohonan yang dilengkapi dengan
Akte Pendirian Perusahaan, Kejelasan Bukti Status Tempat dari Dinas Tata Kota,
Bukti Tidak Keberatan Lingkungan yang diketahui RT, RW, Lurah dan Camat
setempat, melampirkan Gambar Situasi dan Denah Ruangan, dan Nomor Pokok
Wajib Pajak (NPWP). Sedangkan persyaratan untuk memperoleh Izin Tetap
Usaha Pariwisata (ITUP), surat permohonan dilengkapi Izin Mendirikan
Bangunan (IMB), Tanda Daftar Izin perusahaan dari Lurah diketahui Camat
setempat, Keterangan domisili perusahaan dari Lurah diketahui Camat setempat,
dan salinan Izin Sementara Usaha Pariwisata (ISUP).
Perda Propinsi DKI Jakarta Nomor 10 Tahun 2004 tentang Kepariwisataan
menjelaskan tentang Restoran yaitu jenis usaha penyediaan makanan dan
minuman yang melakukan pengolahan bahan-bahan masakan dan hidangan pada
suatu tempat atau lokasi tetap tertentu dengan bangunan permanen, termasuk di
dalamnya dapat menyediakan fasilitas dan atraksi rekreasi dan hiburan serta
pengembangan fasilitas lainnya, antara lain seperti Rumah Makan, Café, Coffee
Shop, Kantin, Kafetaria dan pengembangan fasilitas sejenis lainnya.
Atas dasar Perda Propinsi DKI Jakarta Nomor 10 Tahun 2004 dan
penjelasan tentang restoran, dapat diuraikan bahwa klasifikasi usaha rumah makan
di Jakarta Timur mengacu pada: (1) Bentuk usaha dan permodalan, (2) kelompok
hidangan, (3) lokasi pengolahan, (4) Kondisi bangunan (usaha), (5) penyediaan
fasilitas dan atraksi rekreasi dan hiburan; serta (6) pengembangan fasilitas lainnya.
Jenis restoran antara lain seperti Rumah Makan, Café, Coffee Shop, Kantin,
Kafetaria dan pengembangan fasilitas sejenis lainnya.
Berdasarkan Daftar Usaha Sarana Pariwisata (USP) Jakarta Timur Tahun
2007 Jenis Usaha Rumah Makan/Restoran, yang diterbitkan oleh Suku Dinas
Pariwisata Jakarta Timur (terlampir), jumlah jenis usaha rumah makan di Jakarta
Timur pada tahun 2007 (data sekunder) berdasarkan klasifikasinya yaitu (1)
Rumah Makan Kelas A terdapat 8 usaha, (2) RM Kelas B terdapat 15 usaha, (3)
RM Kelas C terdapat 68 usaha, (4) RM Kelas D terdapat 21, dan selebihnya
sebanyak 119 usaha rumah makan belum teridentifikasi oleh Pemda Jakarta Timur
(Sudin Pariwisata).
62
Populasi rumah makan kelas C, menurut Daftar Usaha Sarana Pariwisata
(USP) Jakarta Timur Tahun 2007 Jenis Usaha Rumah Makan/Restoran,
berjumlah 68 rumah makan. Dari hasil survei terdata hanya 63 rumah makan,
selisih 5 rumah makan diduga pindah ke lokasi lain, terjadi peningkatan kelas
menjadi A/B, atau penurunan kelas menjadi D.
Pada Peta Sebaran Potensi Rumah Makan Tradisional Kelas C di Jakarta
Timur (terlampir) menunjukkan bahwa sebanyak: (1) 27% berada di wilayah
kecamatan Kramat Jati, (2) 22% di Pulogadung, (3) 19% di kecamatan Jatinegara,
(4) 11% di Duren Sawit, (5) 8% di Cipayung dan (6) 13% lainnya menyebar di
kecamatan lainnya. Hal ini membuktikan bahwa tidak ada kecamatan yang
mendominasi sebagai lokasi yang paling strategis untuk berusaha rumah makan.
Keunggulan bagi kecamatan Kramat Jati yaitu terdapat pasar Kramat Jati,
terminal Cililitan, dan Batu Ampar (Condet) sebagai kawasan cagar budaya
Betawi. Kecamatan Pulogadung selain sebagai kawasan industri juga memiliki 2
terminal Bus, yaitu Terminal Pulogadung dan Terminal Rawamangun. Kecamatan
Jatinegara merupakan kawasan yang cukup ramai, di wilayah ini terdapat
Terminal Bus Kampung Melayu, Stasiun Kereta Api, dan Pasar Jatinegara sebagai
sentra wisata belanja. Kecamatan Duren Sawit merupakan sentra industri kayu
(mebel) dan kawasan perumahan. Kecamatan Cipayung merupakan kawasan
tujuan wisata karena terdapat Taman Mini Indonesia Indah.
Berdasarkan hasil survei Pemilik RMT kelas C di Jakarta Timur lebih
memilih lokasi dekat terminal bus, pasar, dan pusat industri dibandingkan dengan
daerah perumahan maupun daerah tujuan wisata. Target konsumen RMT kelas C
di Jakarta Timur yaitu para pelanggan yang sedang melakukan perjalanan dan
berbelanja di pasar ataupun bertransaksi di kawasan industri. Hal tersebut
membuktikan teori dari Kotler (1996) yaitu: a restaurant’s location in its market
and its ability to differentiate itself from its competition also help determine
whether it will survive. Keadaan ini cukup potensial untuk promosi tidak langsung
tentang Jakarta Timur kepada masyarakat di luar wilayah tersebut.
Ciri Pribadi Pengelola RMT Kelas C di Jakarta Timur
Ciri pribadi pengelola RMT kelas C Jakarta Timur yang diamati dalam
penelitian ini adalah: (1) usia, (2) pendidikan, (3) pengalaman usaha, (4) intensitas
63
komunikasi, (5) keanggotaan kelompok, (6) kemampuan mengendalikan resiko,
dan (7) keterampilan teknis. Deskripsi lengkap disajikan pada Tabel berikut:
Tabel 3. Deskripsi Ciri Pribadi Pengelola RM kelas C Jakarta Timur
No Ciri Pribadi (X1) Rataan Kisaran Kategori Persentase (%)
1 Usia (tahun) 49 22–75 Muda (22 - 39) Sedang (40 - 57) Tua (58 – 75)
25,4 60,3 14,3
2 Pendidikan formal (tahun) 12 6 – 18
SD (6) SMP (9) SMA (12) Diploma(13-15) S-1 (16) S-2 (18)
7,9 17,5
46 11,1 15,9
1,6
3 Pengalaman usaha (tahun) 11 0,5–48
Rendah (0,5-16) Sedang (17 - 32) Tinggi (33 - 48)
76,2 22,2
1,6
4 Intensitas komunikasi (skor) 3 2 – 6
Rendah (2-3) Sedang (4) Tinggi (5-6)
73,0 20,6
6,3
5 Keanggotaan kelompok (skor) 2 1 – 6
Rendah (1-2) Sedang (3-4) Tinggi (5-6)
76,2 6,3
17,5
6 Kemampuan mengendalikan resiko (skor)
42 30 – 52 Rendah (30-37) Sedang (38-44) Tinggi (45-52)
17,5 63,5 19,0
7 Keterampilan teknis (skor) 24 10 – 35
Rendah (10-18) Sedang (19-26) Tinggi (27-35)
12,7 57,1 30,2
Keterangan: n = 63 Usia
Usia pengelola RMT kelas C di Jakarta, sebagai pengelola RMT kelas C
dalam penelitian ini, bervariasi mulai dari 22 tahun sampai dengan 75 tahun,
dengan rataan 49 tahun. Berdasarkan Tabel frekuensi di atas, sebanyak 60,3
persen dari pengelola RMT kelas C berusia antara 40-57 tahun. Kelompok usia
tersebut termasuk tenaga kerja produktif, karena berada diantara 15 sampai
dengan 64 tahun (BPS, 2001). Pengelola RM pada kelompok ini masih memiliki
produktifitas untuk mengembangkan diri dan mengembangkan usahanya. Mereka
memiliki kemampuan bekerja atau beraktivitas yang lebih tinggi dibandingkan
dengan pengelola yang sudah tidak produktif.
64
Kecenderungan lain bahwa dalam proses adopsi inovasi baru, pengelola
RMT kelas C yang berusia muda lebih tanggap bila dibandingkan dengan
pengelola yang berusia lebih tua. Selain masalah fisik, pengelola RMT kelas C
yang lebih tua cenderung penuh pertimbangan dan kehati-hatian dalam
pengambilan keputusan, sehingga kurang responsif terhadap ide-ide baru. Hal ini
sejalan dengan pernyataan Wiriaatmadja (1990), bahwa usia seseorang
mempengaruhi penerimaannya terhadap hal-hal baru.
Sebagian besar (74,6%) pengelola RMT kelas C berusia di atas 40 tahun,
berdasarkan hasil wawancara mendalam, fenomena tersebut muncul karena
diperlukan kedewasaan dengan pengalaman dan tingkat kemandirian kuat.
Mengelola usaha rumah makan dianggap sulit bagi tenaga kerja berusia muda (di
bawah 30 tahun). Hal ini terkait resiko yang harus dihadapi seperti resiko
produksi, penentuan harga, resiko pelayanan, dan pelaksanaan pemasarannya.
Investasi yang diperlukan juga tidak sedikit, mengingat pengelola RMT adalah
sebagai pemilik. Orang muda lainnya beralasan yaitu takut untuk memutuskan
menjadi seorang wirausahawan. Adanya kecenderungan ingin tetap nyaman
bekerja atau tetap pada posisinya, mendapat gaji, inventaris dan sebagainya. Tidak
terpikirkan bilamana suatu saat mereka kehilangan pekerjaan.
Maka strategi melalui pemberian dorongan ataupun peningkatan motivasi
kepada mereka yang usia di bawah 40 tahun agar tertarik untuk berwirausaha dan
berprofesi sebagai pengelola RM. Seseorang yang muda usia mungkin memiliki
pengalaman dan pendidikan kurang, tetapi memiliki energi atau semangat untuk
mencoba usahanya; sedangkan orang yang sudah berusia memiliki pengalaman
dan pendidikan lebih tinggi sehingga menentukan keberhasilan dalam usahanya
(Bird, 1989). Upaya dilakukan dengan cara memperkenalkan para pelaku bisnis
RMT, utamanya mereka yang mampu mengadopsi program Sapta Pesona.
Keteladanan dan tuntunan para tokoh tersebut berpengaruh sebagai sumber
inspirasi keinginan untuk mencoba ataupun menerapkan program yang telah
dinilai mampu memberikan kesuksesan.
Pendidikan
Sumberdaya manusia pengelola rumah makan kelas C yang diteliti memiliki
keragaman yang tinggi dalam hal tingkat pendidikan. Tingkat pendidikan
65
pengelola RMT kelas C bervariasi mulai dari SD (7,9%), SMP (17,5%), SMA
(46%), Diploma (11,1%), S-1 (15,9%), dan S-2 (1,6%). Beberapa di antaranya
yaitu 7,9% pernah mendapat pendidikan non-formal tentang ilmu komputer,
bisnis dan farmasi. Terdapat sekitar 10% mengikuti pendidikan khusus di bidang
yang berhubungan dengan usaha rumah makan, yaitu dari usaha katering,
pendampingan oleh restoran hotel, kelompok usaha rumah makan, dan dari dinas
peternakan DKI.
Lamanya mengikuti pendidikan formal, dilengkapi pendidikan nonformal
dan terlebih pendidikan khusus menambah pengalaman dan kedewasaan berpikir
seseorang. Pendidikan memiliki tujuan menciptakan manusi-manusia yang
berkualitas, termasuk dari segi ilmu pengetahuan dan teknologi. Pendidikan juga
mempengaruhi perilaku seseorang, baik dari segi pola pikir, bertindak serta
kemampuan menerapkan inovasi baru. Jadi pendidikan menjadi urutan pertama
dalam menentukan tingkat keinovatifan seseorang (Rogers & Shoemaker, 1971)
dan seseorang yang berpendidikan tinggi lebih mudah untuk menerima informasi
dan berkemampuan menganalisis masalah yang dihadapinya Maryani (1995).
Berikut ini berbagai alasan yang memotivasi pengelola RMT kelas C
untuk mengelola usaha rumah makan. Pengelola RMT kelas C dengan latar
belakang tingkat pendidikan tinggi (28,6%) mengelola sektor usaha ini karena
alasan pensiun muda dari pekerjaan atau terkena pemutusan hubungan kerja
(PHK), dan bermaksud memutar uang dari tunjangan yang diperoleh. Mereka
yang memiliki latar belakang rendah mengawali usaha melalui pengalaman
sebagai karyawan, kemudian memutuskan untuk berwirausaha. Sedangkan bagi
mereka yang berpendidikan menengah, memutuskan untuk meraih masa depan
melalui kegiatan usaha ini daripada melanjutkan pendidikan tinggi.
Bentuk pendidikan, baik formal maupun nonformal, terbukti mampu
meningkatkan daya pikir dan meluaskan pengetahuan seseorang. Mengingat
kenyataan usia pengelola RMT kelas C dan rata-rata memiliki pendidikan
tertinggi SMA (46%), maka penyuluhan merupakan strategi tepat bagi
pendidikan orang dewasa. Materi yang dirancang bagi pendidikan orang dewasa
sangat fleksibel, karena dapat disesuaikan dengan kebutuhan mereka.
66
Kewirausahaan (entrepreneurship) merupakan materi yang dapat memperkuat
kemampuan berwirausaha melalui berbagai keberanian dalam memutuskan.
Pengalaman Usaha
Konsekuensi masa depan ditentukan oleh pengalaman masa lalu, dampak
dari pengalaman, serta pengamatan seseorang terhadap yang lain (Bandura 1986).
Hasil survei terhadap pengelola RMT kelas C di Jakarta Timur, pengalaman usaha
pengelola RMT kelas C didistribusikan menjadi tiga tingkatan. Pengalaman
usaha terendah antara 0,5 hingga 16 tahun dialami oleh 76,2%. Maka pengelola
RMT kelas C masih perlu menggali pengalaman, karena pengalaman usaha yang
dimiliki merupakan bagian dari proses belajar bagi pengelola rumah makan.
Selanjutnya atas pijakan pengalaman yang dimiliki dapat memberikan
kemampuan mengasah intuisi bagaimana mengatasi suatu masalah tentang
kegiatan pengolahan, menentukan harga, memilih karyawan dan memeliharanya
sebagai bagian dari aset perusahaan. Hal demikian turut mempengaruhi tingkat
kepuasan tamu atas pelayanan yang diterimanya.
Intensitas Komunikasi
Kualitas intensitas komunikasi pengelola rumah makan kelas C di Jakarta
Timur sangat rendah, yaitu sebanyak 73% mengandalkan sumber informasi bisnis
dari orang tua dan keluarga dekat saja. Jumlah pengelola RMT kelas C tersebut
lebih memilih bentuk interaksi secara langsung, dan komunikasi secara personal.
Kualitas intensitas komunikasi ini berkaitan erat dengan tingkat pendidikan di
bawah SMA bagi 71,4% pengelola RMT kelas C. Hal ini sesuai dengan pendapat
Schramm (1973) bahwa perilaku pencarian informasi berhubungan dengan tingkat
pendidikan. Orang-orang yang berpendidikan tinggi cenderung mencari isi
informasi melalui media cetak.
Pengelola RMT kelas C yang mulai mencari informasi melalui dengan
memanfaatkan teman bisnis, media massa elektronik, dan beberapa sumber
bacaan koran, majalah ataupun buku sebagai sumber informasi bagi kelangsungan
usahanya sebanyak 20,6 %. Sebagian kecil pengelola RMT kelas C (6,3%)
mencoba memperluas wawasan mendapatkan informasi bisnis dengan mengikuti
67
suatu pertemuan kelompok sejenis, juga memperoleh kesempatan mengikuti
kegiatan seminar dan lokakarya yang diselenggarakan oleh instansi terkait.
Strategi peningkatan intensitas komunikasi antar pengelola dan pengusaha
RMT dapat dilakukan melalui wadah organisasi kelompok usaha sejenis. Melalui
wadah tersebut diupayakan adanya kegiatan berbagi pengalaman dengan para
pengusaha yang lebih dahulu sukses.
Keanggotaan Kelompok
Keterlibatan pengelola RMT kelas C dalam organisasi kelompok pengelola
dan pengusaha rumah makan masih rendah, hanya 17,5 % pengelola rumah makan
kelas C di Jakarta Timur yang terdaftar sebagai anggota kelompok. Diperoleh data
terdapat seorang sebagai ketua kelompok, dan seorang lainnya sebagai pengurus
bendahara di kelompok yang berbeda. Kelompok yang konsisten mengadakan
pertemuan yaitu kelompok pengusaha RM Padang, dan RM Lapo (Medan).
Kegiatan yang diselenggarakan oleh kelompok adalah selain untuk meningkatkan
kekerabatan melalui arisan, berbagi pengalaman dan informasi seputar bisnis
rumah makan, mengatasi masalah dalam hal kesulitan memperoleh bahan baku,
hingga berdiskusi membahas mengenai kesepakatan harga jual produk. Mereka
sepakat meskipun tidak ada persaingan harga, pelanggan loyal jika puas terhadap
pelayanan yang diterima.
Hasil wawancara terhadap pengelola RMT kelas C yang tidak terlibat
keanggotan kelompok (76,2%) menyampaikan beberapa alasan dan penyebab,
antara lain: (1) menganggap tidak perlu menjadi anggota kelompok karena
mengurangi waktu/kesempatan untuk berusaha yang berdampak pada penurunan
omzet, (2) sulit untuk memberikan kepercayaan kepada bawahan untuk mengolah
hidangan sesuai standar, (3) pengelola masih harus terlibat langsung dalam
pemberian pelayanan bagi pelanggannya. Sebagian lagi pengelola RMT kelas C
(6,3%) belum terlibat dalam kelompok karena belum ada waktu luang dan belum
ada informasi tentang keberadaan kelompok.
Perlu ada pembinaan, kegiatan pendampingan dan penyuluhan dalam
rangka memberi kesadaran kepada pengelola rumah makan kelas C tentang
manfaat pembentukan dan keterlibatannya dalam kelompok terhadap
kelangsungan bisnisnya. Melalui keanggotaan dalam kelompok, pengelola rumah
68
makan mengalami proses komunikasi dan proses pendidikan. Keterlibatan dalam
kelompok berpengaruh pada perilakunya, misalkan mengikuti jejak atas
kesuksesan anggota kelompok, untuk menyusun strategi sesuai kondisi yang ada
di tempat usahanya.
Kemampuan Mengendalikan Resiko
Lebih dari sebagian pengelola RMT kelas C di Jakarta Timur memiliki
tingkat kemampuan ambil resiko sedang (63,5%). Data survei dan wawancara
mendalam menggambarkan bahwa: (1) resiko produksi, harga, pelayanan, dan
promosi masih mampu dikendalikan pengelola RMT kelas C, (2) hambatan lain
berupa sepi pengunjung, kesulitan bahan baku, kenaikan harga BBM,
ketenagakerjaan, keamanan, pungutan liar, dan pengamen juga masih dapat diatasi
dengan baik, (3) adanya keterlibatan keluarga dan karyawan dalam membantu
menghadapi resiko dan mengatasi hambatan yang ada, (4) pengelola RMT kelas C
memiliki semangat untuk mengembangkan usaha dengan memperluas usaha di
tempat lain.
Sebanyak 17,5% pengelola RMT kelas C yang rendah dalam kemampuan
ambil resiko, cenderung pasrah saja tanpa berusaha mencari jalan keluar ketika
menghadapi kesulitan memperoleh bahan baku. Untuk mengatasi kenaikan harga
BBM, mereka mengurangi porsi atau pengurangan bahan. Cenderung mengambil
langkah mem-PHK untuk mengatasi masalah ketenagakerjaan dan merekrut
karyawan baru sebagai penggantinya. Mereka juga lebih memilih berdiskusi
dengan keluarga untuk mengatasi masalah yang sedang dihadapinya.
Berbeda dengan 19% pengelola RMT kelas C lainnya yang memiliki
kategori lebih berani mengambil resiko. Untuk mengatasi masalah kesulitan bahan
baku, hal yang dilakukan yaitu mencari pemasok atau pasar lain dalam upaya
mempertahankan kekhas-an menu yang dijual. Upaya antisipasi kenaikan harga
BBM (minyak tanah) mereka berusaha untuk mencari alternatif mengganti bahan
bakar gas, dan lebih memilih menaikan harga jual dalam upaya menjaga kualitas
produknya. Sedangkan dalam upaya mempertahankan loyalitas karyawan, mereka
memberikan pelatihan dan peduli pada kesejahteraannya. Dalam hal
pengembangan usaha, mereka lebih memilih melakukan diversifikasi usaha dan
69
pembukaan cabang di tempat lain. Merekapun melibatkan kelompok dan sumber
informasi lain dalam rangka mencari solusi atas masalah yang mereka hadapi.
Hasil data menunjukkan bahwa pengelola rumah makan kelas C di Jakarta
Timur yang memiliki kemampuan mengambil resiko terdapat 82,5%.
Kemampuan mengambil resiko merupakan bagian dari jiwa kewirausahaan, yaitu
kemampuan dalam membaca peluang, berinovasi, mengelola, dan menjual
(Hendro, 2006).
Keterampilan Teknis
Pengelola usaha, baik itu usaha RMT maupun bentuk usaha lainnya,
membutuhkan keterampilan bersifat teknis (Technical Skills). Keterampilan
teknis adalah kemampuan untuk menggunakan peralatan, prosedur atau teknik-
teknik dari suatu bidang tertentu (Katz, 1974). Keterampilan teknis diperlukan
dalam pelaksanaan fungsi pengawasan.
Penelitian ini berusaha mencari informasi tentang tingkat kemampuan dan
keterampilan teknis yang dimiliki pengelola RMT kelas C di Jakarta Timur,
terutama dalam pengelolaan produk, harga, pelayanan, promosi, hal-hal yang
terkait dengan pengelolaan karyawan sejak rekrutmen hingga evaluasi kinerja, dan
evaluasi kepuasan pelanggan. Hasil yang diperoleh yaitu 12,7% berada pada
tingkat rendah, 57,1% tingkat sedang, dan selebihnya 30,2% tingkat tinggi.
Hasil tersebut menggambarkan bahwa pengelola RMT kelas C di Jakarta
Timur sebanyak 87,3% telah memiliki kemampuan dan keterampilan teknis dalam
pengelolaan aset karyawan dan pelanggan. Kemampuan dalam mempertahankan
kualitas produk, penyesuaian harga dengan keadaan pasar, memberikan pelayanan
sesuai kebutuhan tamu, dan berpromosi untuk merebut hati pelanggan. Meski
tenaga kerja umumnya berasal dari teman atau keluarga dengan kemampuan
terbatas, pengelola dengan keterampilan teknisnya telah memberikan pelatihan
sesuai kebutuhan operasional. Pengelola RMT kelas C juga peduli terhadap
kepuasan pelanggan, secara rutin memperoleh umpan balik tentang kualitas dari
pelanggan dengan cara bertanya langsung.
Pengelola RMT kelas C Jakarta Timur yang merespon alasan pentingnya
keterampilan di bidang produksi untuk menghasilkan produk berkualitas yaitu
35%, respon tentang keterampilan mengelola harga 20%, respon tentang
70
keterampilan mengelola pelayanan 12%, dan respon tentang perlunya
keterampilan promosi 18%. Data ini membuktikan bahwa fokus memberikan
pelayanan terbaik untuk kepuasan pelanggan masih sangat rendah. Hasil
penelitian ini menjawab tentang ciri pengelolaan pebisnis tradisional cenderung
berorientasi pada penjualan, fokus pada nilai produk, kontak pelanggan tidak
berkesinambungan, dan komitmen pada mutu hanya bagi staf produksi (Kotler,
2002), dan pebisnis modern sudah pada taraf mempesonakan pelanggan, orientasi
laba, pelanggan dan stakeholder (sosial), dan fokus pada kepentingan pelanggan
(Nickel, 2005).
Ciri Lingkungan Usaha RMT kelas C di Jakarta Timur
Ciri lingkungan usaha RMT kelas C Jakarta Timur yang diamati dalam
penelitian ini adalah: (1) kebijakan Pemda, (2) skala usaha, (3) modal keuangan,
(4) modal tenaga kerja, (5) sarana usaha, (6) prasarana usaha, (7) lokasi usaha, dan
(8) kompetitor. Deskripsi selengkapnya disajikan pada Tabel 4.
Kebijakan Pemda
Pendapat pengelola RMT kelas C tentang kebijakan Pemerintah Daerah
terkait dengan keberlangsungan usaha rumah makan menunjukkan tingkat
kepuasan sangat tinggi sebanyak 22,2%, tingkat kepuasan sedang 55,6%, dan
selebihnya 22,2% merasa tidak puas. Dari data yang diperoleh dapat dijelaskan
bahwa tingkat kepuasan pengelola RMT kelas C pada umumnya cukup puas atas
kebijakan Pemerintah Daerah setempat tentang pelayanan administrasi perijinan,
pungutan pajak dan retribusi. Begitupula dalam hal kegiatan pengawasan,
pembinaan daya saing, pembinaan kualitas produk, dan pembinaan kualitas
pelayanan.
Berdasarkan informasi hasil survei, pemerintah daerah kota Jakarta Timur
beserta jajarannya di tingkat kecamatan dan kelurahan telah cukup berperan dalam
tatalaksana administrasi sesuai UU Nomor 32 Tahun 2004 dan PP Nomor 25
Tahun 2000. Demikian halnya dengan kegiatan pengawasan dan pembinaan di
bidang pariwisata sesuai Perda Propinsi DKI Jakarta Nomor 10 tahun 2004,
khususnya Pasal 35 tentang kewajiban dan larangan; Pasal 41 tentang pembinaan
71
terhadap penyelenggaraan kepariwisataan; dan Pasal 42 Dinas Pariwisata
melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan kepariwisataan.
Tabel 4. Deskripsi Ciri Lingkungan Usaha RM Kelas C Jakarta Timur
Keterangan: n = 63
No Ciri Lingkungan Usaha (X2)
Rataan/ Median Kisaran Kategori Persentase
(%)
1 Kebijakan Pemda (skor) 18 7 – 28
Kurang mendukung (7-13) Cukup mendukung (14-21) Sangat mendukung (22-28)
22,2 55,6 22,2
2
Skala usaha a. Luas usaha (m²) 116 50 – 600
Sempit (50-233) Sedang (>233-416) Luas (>416-600)
93,7 3,2 3,2
b. Kapasitas (kursi) 35 10 – 100 Sedikit (10-40) Sedang (>40-70) Banyak (>70-100)
65,1 22,2 12,7
c. Jumlah tenaga kerja (orang) 7 2 – 25
Sedikit (2-9) Sedang (10-17) Banyak (18-25)
82,5 12,7 4,8
d. Jumlah pengun- jung perhari (orang)
102 50 – 300 Sedikit (50-133) Sedang (134-216) Banyak (217-300)
79,4 11,1 9,5
e. Omzet perhari (ribu rupiah) 1780 150-6500
Rendah (<2267rb) Sedang(2267-4383) Tinggi (>4383)
34,9 9,5 4,8
3 Sumber modal keuangan (skor) 6 3 – 7
Rendah akses sumber luar (3-4) Cukup akses sumber luar (5) Tinggi akses sumber luar (6-7)
7,9
23,8
68,3
4 Modal tenaga kerja (skor) 32 16 – 43
Rendah (16-24) Sedang (25-34) Tinggi (35-43)
12,7 42,9 44,4
5 Sarana usaha (skor) 47 30 – 63
Rendah (30-40) Sedang (41-52) Tinggi (53-63)
11,1 71,4 17,5
6 Prasarana usaha (skor) 26 17 – 40
Rendah (17-24) Sedang (25-32) Tinggi (33-40)
34,9 52,4 12,7
7 Lokasi usaha (skor) 17 12 – 23
Rendah (12-15) Sedang (16-19) Tinggi (20-23)
28,6 61,9 9,5
8 Kompetitor (skor) 11 4 – 17
Rendah (4-8) Sedang (9-12) Tinggi (13-17)
25,4 36,5 38,1
72
Perlu diupayakan agar kebijakan pemerintah terkait mampu mendukung dan
memenuhi kebutuhan para pengelola untuk meningkatkan kemampuan berusaha.
Kebijakan yang perlu di pertahankan seperti penyuluhan di bidang kesehatan dan
pariwisata, sedangkan yang perlu diupayakan yaitu peningkatan kemampuan
manajemen, kemampuan berwirausaha, dan peningkatan kualitas tenaga kerja
sehingga mampu meningkatkan kualitas sarana dan prasarana usaha, serta lokasi
usaha dengan demikian akan tercipta persaingan sehat antara industri usaha.
Skala Usaha
Data skala usaha rumah makan kelas C di Jakarta Timur hasil penelitian
menunjukkan yaitu:
1) Luas rumah makan 93,7% rendah yaitu antara 50 hingga 233 meter persegi,
dengan rataan sebesar 116 m². SK Menparpostel No. KM.37/PW.304/MPPT-
86, mencantumkan salah satu persyaratan yaitu tentang luas rumah makan
dihitung berdasarkan kapasitas tempat duduk, dengan perbandingan yaitu
1,5m²/tempat duduk. Maka rumah makan dengan luas rumah makan 50 meter
persegi secara standar hanya bisa menampung antara 30 hingga 33 tempat
duduk.
2) Rumah makan kelas C di Jakarta Timur sebanyak 65,1% adalah sedikit (antara
10 hingga 40) dengan rataan 35 tempat duduk. Kapasitas tempat duduk rataan
35, jika memperhatikan persyaratan SK Menparpostel tersebut, harus memiliki
luas 52,5 m². Jadi luas rumah makan minimal sudah sebanding dengan rataan,
hal ini sesuai dengan persyaratan.
3) Jumlah karyawan (tenaga kerja) yang dipekerjakan oleh sebagian besar
(82,5%) rumah makan kelas C di Jakarta Timur yaitu berkisar antara 2-9 orang
karyawan, dengan rataan 7 orang tenaga kerja. Jika dibandingkan dengan
rataan kapasitas tempat duduk 35 orang, maka setiap seorang tenaga kerja
menangani rata-rata 5 orang. Untuk jenis rumah makan kelas hal ini masih
dalam batas kewajaran, yaitu semestinya setiap tamu memperoleh pelayanan
sesuai dengan harapan.
4) Rumah makan kelas C di Jakarta Timur memiliki jumlah pengunjung harian
terendah (79,4%) yaitu berkisar antara 50 hingga 133 orang pengunjung,
dengan rataan 102 orang pengunjung.
73
5) Informasi yang diperoleh dari sebagian (49,2%) rumah makan kelas C di
Jakarta Timur yaitu jumlah pendapatan (omzet) terendah (34,9%) mampu
mencapai Rp. 2.267.000,- (dua juta dua ratus enam puluh tujuh ribu rupiah)
per-hari, dengan rataan Rp. 1.780.000,- (satu juta tujuh ratus delapan puluh
ribu rupiah) per-hari. Dihubungkan dengan rataan 102 orang pengunjung, maka
setiap tamu membelanjakan uangnya rata-rata Rp. 17.450,- (tujuh belas ribu
empat ratus lima puluh rupiah) di rumah makan kelas C Jakarta Timur tersebut.
Jika dihitung pendapatan dalam setahun (365 hari) hasil penjualan yang
mampu dicapai rumah makan kelas C Jakarta Timur dengan rataan Rp.
1.780.000,- (satu juta tujuh ratus delapan puluh ribu rupiah) per-hari, omzet
setahun total yaitu berkisar Rp. 649.700.000,- (enam ratus empat puluh
sembilan juta tujuh ratus ribu rupiah) per-tahun.
Data hasil penelitian tentang skala usaha dapat membuktikan hal yang
tercantum dalam pengertian usaha kecil tercantum pada UU No. 9 Tahun 1995,
yang menyebutkan bahwa usaha kecil adalah usaha dengan kekayaan bersih
paling banyak Rp. 200 juta (tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha)
dengan hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 1.000.000.000,-. Sedangkan
total penghasilan rumah makan kelas C Jakarta Timur masih jauh lebih rendah
Rp. 350.000.000,-
Modal Keuangan
Tanggapan pengelola RMT kelas C tentang besaran modal keuangan dan
kemudahan dalam memperoleh modal keuangan antara tingkat sedang (23,8%)
dan tinggi (68,3%) yaitu 92,1%. Rendahnya modal keuangan dan kesulitan
memperoleh modal keuangan hanya dialami oleh sedikit pengelola RMT kelas C
yaitu 7,9%.
Fenomena yang muncul bahwa seluruh (100%) pengelola RMT kelas C
mengandalkan modal sendiri (berasal dari warisan keluarga), sebanyak 25% yang
mencari bantuan modal dari bank pemerintah, 18% dari bank swasta, 15% dari
lembaga koperasi, 15% dari pegadaian, dan 11,7% masih memanfaatkan dana
pinjaman dari rentenir.
Ketersedian modal dan asal modal yang telah diuraikan di atas sekaligus
membuktikan bahwa rumah makan kelas C sebagai usaha kecil menengah (UKM)
74
dengan administrasi perusahaan yang pada umumnya masih bersifat sederhana,
kurang teratur, belum berbentuk badan hukum tidak mampu menyediakan
jaminan (coliateral) guna mendapatkan kredit dari dunia perbankan
(Depnakertrans). Hal ini menjadi penyebab investasi modal terbatas (Fuad, 2000),
dan pembiayaan hanya mampu disediakan oleh seorang atau sekelompok kecil
(Puspopranoto, 2006).
Modal Tenaga Kerja
Hasil penelitian mengungkap bahwa kualitas tenaga kerja berdasarkan asal
tenaga kerja, latar belakang pendidikan, status karyawan, dan kualitas materi
pelatihan yang dimiliki. Kondisi tenaga kerja RMT Kelas C Jakarta Timur yang
berhasil dikumpulkan yaitu tenaga kerja kualitas rendah 12,7%, kualitas sedang
42,9%, dan kualitas tinggi 44,4%.
Hal ini membuktikan kenyataan meski karakteristik usaha kecil cenderung
menggunakan pekerja yang masih ada hubungan kekeluargaan dengan pengusaha
namun kualitasnya masih dapat dipertanggungjawabkan yaitu rata-rata
menggunakan karyawan berlatarbelakang antara lulusan SMP dan SMU. Hal ini
disesuaikan dengan kemampuan perusahaan dalam memberi upah bagi
karyawannya.
Dalam upaya meningkatkan kualitas tenaga kerja, sebanyak 60% dari
pengelola RMT kelas C memberikan pelatihan pada saat pertama kali karyawan
bekerja. Bentuk materi pelatihan yang diberikan pada umumnya yaitu mengenai
cara produksi, cara pelayanan, kecepatan pelayanan, cara komunikasi,
keramahtamahan pelayanan, mengenai keutamaan keamanan, kebersihan, dan
kesehatan dalam pelaksanaan kerja. Materi tersebut direspon sebagai modal
utama bagi tenaga kerja dan merupakan faktor penting dalam melaksanakan
kegiatan usaha rumah makan.
Sarana Usaha
Penelitian ini mengukur obyek sarana usaha RMT Kelas C di Jakarta Timur
dari sisi kuantitas dan kualitas peralatan makan-minum, meja makan dan
asesorisnya, seragam karyawan, dan peralatan memasak sebagai penunjang bisnis
rumah makan. Juga tentang ketersediaan tempat penyimpanan kering dan basah,
75
termasuk kualitas kebersihan area kerja di dapur dan restoran, serta ada tidaknya
kegiatan inventarisasi terhadap sarana usaha tersedia.
Hasil penelitian tentang kuantitas dan kualitas sarana usaha yaitu 11,1% dari
RMT Kelas C berada pada tingkat kondisi yang rendah, 71,4% diantaranya pada
tingkat sedang, dan sisanya 17,5% tingkat tinggi. Dapat dideskripsikan bahwa
sebagian besar RMT kelas C di Jakarta Timur memiliki peralatan makan-minum
dengan kondisi layak pakai dan jumlahnya mencukupi, sesuai dengan standar
kebutuhan operasional sehari-hari usaha mereka. Begitupun dengan kualitas
kebersihan peralatan memasak dan area dapur sudah sesuai standar di kelasnya.
Kegiatan inventarisasi peralatan, bagi 60% RMT kelas di Jakarta Timur,
belum dilakukan secara rutin. Kegiatan ini hanya dilakukan jika diperlukan saja,
misalkan usaha mereka terganggu karena kurangnya peralatan. Seandainya
inventarisasi peralatan dilakukan secara rutin, kekurangan alat dapat segera
diantisipasi jika perlu diperbaiki atau membeli baru. Proses inventarisasi jika
dilakukan secara rutin harian, terutama peralatan makan-minum, juga mengurangi
terjadinya keluhan pelanggan mengenai kondisi dan kelayakannya.
Prasarana Usaha
Penilaian terhadap kondisi prasarana usaha RMT Kelas C di Jakarta Timur
meliputi kelayakan instalasi listrik, gas, air bersih, tempat penampungan sampah,
saluran limbah, pemadam kebakaran, area parkir, toilet umum dan tempat ibadah
solat. Hasil penelitian menunjukkan dari 63 rumah makan kelas C sebanyak
34,9% tingkat kelayakannya rendah, 52,4% tingkat sedang, dan hanya 12,7% yang
memiliki tingkat kelayakan tinggi.
Berdasarkan pengamatan juga diperoleh kenyataan bahwa 68% tidak
menyediakan fasilitas ibadah sholat. Hal ini menyulitkan karyawan dan dapat
mengganggu kegiatan operasional karena karyawan perlu mencari tempat ibadah
di musholla terdekat. Sedangkan bagi pelanggan yang ingin menikmati makanan
di tempat juga tidak memperoleh fasilitas kemudahan tersebut.
Kenyataan lain sebanyak 10% dari rumah makan tidak memiliki fasilitas
toilet umum, dan 22,2% memiliki fasilitas toilet yang kurang layak dari segi
fasilitas kelengkapan maupun kebersihannya. Sebanyak 9,52% rumah makan
tidak memiliki fasilitas parkir kendaraan, hal ini mengganggu lalu-lintas
76
disekitarnya, dan berakibat kemacetan jika rumah-makan dalam keadaan ramai.
Hal yang paling berisiko yaitu sebanyak 46% dari 63 rumah makan tidak memiliki
fasilitas pemadam kebakaran. Atas kenyataan-kenyataan tersebut perlu menjadi
perhatian bagi pemerintah setempat untuk merumuskan persyaratan pokok yang
perlu dilengkapi oleh para pengelola rumah makan.
Lokasi Usaha
Hasil observasi tentang lokasi RMT kelas C di Jakarta Timur terdapat dua
hal yang perlu menjadi pertimbangan yaitu lokasi rumah makan cukup strategis
dan situasi lingkungan sekitarnya. Kedua hal tersebut besar pengaruhnya terhadap
tingkat kunjungan, kelompok tamu yang datang, dan jenis tamu yang datang
apakah pengunjung tetap atau tidak tetap. Menurut lokasi usaha, RMT kelas C di
Jakarta Timur terdiri dari 28,6% memiliki tingkatan rendah, 61,9% tingkat
sedang, dan lainnya 9,5% tingkat tinggi. Tingkatan rendah artinya lokasi kurang
strategis dan lingkungan kurang mendukung, kebalikannya tingkatan tinggi berarti
lokasi usaha sangat strategis dengan situasi lingkungan terbaiknya.
Hasil tersebut di atas menggambarkan bahwa sebagian besar RMT Kelas C
menurut pengelolanya memiliki lokasi yang cukup strategis, namun lingkungan
kurang ideal baik dari sisi kebersihan maupun keamanannya. Telah dikemukakan
sebelumnya tentang peta lokasi, pada umumnya RMT Kelas C di Jakarta Timur
berada di sekitar terminal bis, pasar tradisional, daerah wisata belanja dan setasiun
kereta. Maka lingkungan yang terbentuk sangat tergantung pada kondisi terminal
bis dan pasar, yang pada umumnya untuk wilayah Jakarta Timur kurang tertata
secara apik. Hal ini juga berpengaruh pada kelompok tamu/pengunjung yang
datang ke rumah makan tersebut, yaitu masyarakat umum dan bukan pelanggan
tetap.
Kompetitor
Konsep pemasaran menyatakan bahwa agar berhasil sebuah perusahaan
harus memuaskan kebutuhan dan keinginan konsumennya lebih baik daripada
para pesaingnya. Tidak ada strategi bersaing yang cocok (pas) bagi semua
perusahaan, karena masing-masing perusahaan perlu mempertimbangkan ukuran
dan posisi di dalam industrinya dalam hubungannya dengan pesaing (Kotler,
77
2002). Maka penelitian ini ingin mengetahui tingkat persaingan usaha RMT Kelas
C di Jakarta Timur dengan rumah makan sekelas lainnya.
Tingkat persaingan pada umumnya dianggap rendah oleh 25,4% RMT Kelas
C di Jakarta Timur, 36,5% menganggap tingkat persaingan cukup ketat,
sedangkan 38,1% RMT lainnya menganggap tingkat persaingan sangat ketat. Data
ini menggambarkan bahwa pada umumnya tingkat persaingan RMT Kelas C di
Jakarta Timur tidak begitu ketat, baik dari bentuk persaingan produk, harga,
pelayanan, maupun promosi. Mengacu pada teori sebelumnya hal ini
mempengaruhi kemampuan dan semangat berusaha bagi pengelola untuk lebih
unggul dari yang lainnya. Para pengelola RMT Kelas C hanya beranggapan
persaingan hanya untuk wilayah sempit di sekitar wilayah usahanya, belum
memperhitungkan RMT yang berdiri di kecamatan atau wilayah kota lainnya.
Tingkat Adopsi Program Sapta Pesona
oleh Pengelola RMT kelas C Penelitian tentang tingkat adopsi program Sapta Pesona oleh pengelola
RMT Kelas C meliputi tujuh hal yaitu tingkat kesadaran, tingkat minat, tingkat
penilaian, tingkat mencoba, tingkat penerapan, tingkat konfirmasi, dan tingkat
penolakan. Berdasarkan hasil survei menunjukkan tingkat adopsi pengelola RMT
kelas C pada posisi sedang, karena rataan 1,70 berada di antara skor 1,67 dengan
2,33 (lihat data Tabel 5).
Tabel 5. Skor Tingkat Adopsi Program Sapta Pesona Pengelola RMT kelas C di Jakarta Timur
No Tingkat Adopsi Skor 1 Kesadaran 1,40 2 Minat 1,68 3 Penilaian 1,52 4 Mencoba 2,30 5 Penerapan 1,78 6 Konfirmasi 1,70 7 Penolakan 1,51
Rataan 1,70 Keterangan: n = 63, skor 1,00 – 1,66 = rendah 1,67 – 2,33 = sedang 2,34 – 3,00 = tinggi
78
Tingkat kesadaran pengelola RMT Kelas C di Jakarta Timur yang diamati
meliputi pengenalan program pemerintah di bidang pariwisata, tujuan program
sapta pesona, dan kesadaran tentang kisaran tahun pertamakali diperkenalkannya
program Sapta Pesona. Tingkat kesadaran rendah dengan skor 1,40, hal ini
diperkuat dengan hasil analisis terhadap jawaban pengelola RMT kelas C atas
kuesioner yang disebarkan, yaitu 54% tidak mengenal program pemerintah di
bidang pariwisata, 49% tidak tahu program Sapta Pesona beserta tujuannya, dan
52% tidak tahu kapan program Sapta Pesona mulai diluncurkan.
Tingkat minat pada program Sapta Pesona hanya diperoleh dari pengelola
RMT kelas C 34 orang (54%) yang memberi tanggapan atas pertanyaan-
pertanyaan yang diajukan pada kuesioner. Dari sejumlah 34 orang pengelola RMT
kelas C tersebut, sebanyak 53% memperoleh informasi program Sapta Pesona
melalui media massa dan media elektronik, 32% memperoleh informasi dari para
penyuluh pariwisata, serta hanya 15% yang berusaha mencari informasi melalui
kegiatan seminar dan pertemanan bisnis. Data ini memberikan bukti bahwa
peranan penyuluh pariwisata dalam sosialisasi program pemerintah di bidang
pariwisatam khususnya Sapta Pesona, masih terlalu rendah. Perlu dicari upaya
menguatkan minat para pengelola untuk lebih memahami suatu program, sehingga
mampu menerapkan dan memanfaatkan program tersebut pada kegiatan bisnisnya.
Tingkat penilaian pengelola RMT kelas C terhadap manfaat program Sapta
Pesona terkait dengan keberlangsungan usaha rumah makan juga rendah yaitu
memiliki skor 1,52 yang berada diantara skor 1 dan 1,66. Kesan terhadap
penyuluh sebanyak 67% tidak mengenal dan bahkan tidak tahu jika ada penyuluh
di bidang pariwisata, 10% di antara pengelola RMT kelas C yang mengenali
penyuluh mengatakan kurang menarik dalam hal penyampaian informasi, dan
23% lainnya mengatakan cukup menarik. Hal tersebut dikarenakan selama ini
peran penyuluh hanya melakukan sosialisai peraturan pemerintah kepada beberap
pengelola RMT kelas C (kurang menyeluruh). Materi penyuluhan belum terkait
dengan kegiatan dalam memajukan usaha mereka. Sedangkan berdasarkan
penilaian isi program 21% pengelola RMT kelas C mengaku tidak paham, dan
52% mengatakan sulit untuk dapat memahami isi program Sapta Pesona.
Pengelola RMT, tanpa mengetahui isi program Sapta Pesona, sebenarnya telah
79
menerapkan sebagian butir seperti keamanan, ketertiban, kebersihan, kesejukkan,
keindahan, keramahtamahan, dan kenangan. Beberapa diantara mereka
menganggap sebagai tuntuan dan kebutuhan dasar bagi tamunya, maka mereka
menjadikan habitual dalam kegiatan pelanyanan oleh karyawannya. Kenyataan
tersebut merupakan pekerjaan rumah bagi para penyuluh pariwisata untuk lebih
intensif dalam menjalankan fungsinya.
Pada tahap mencoba, setelah diberikan informasi dan pemahaman oleh
peneliti, keinginan pengelola RMT kelas C untuk menerapkan butir-butir Sapta
Pesona dalam kegiatan usaha mereka cukup tinggi dengan skor 2,30 yang berada
diantara interval 1,67 dan 2,33. Umumnya pengelola RMT kelas C sulit untuk
menerapkan butir keamanan dan ketertiban. Hal ini sesuai dengan kenyataan
bahwa usaha mereka yang berlokasi di pusat keramaian seperti daerah wisata
belanja, lingkungan pasar, terminal, dan setasiun.
Kemampuan pengelola RMT kelas C pada tahap penerapan butir-butir
program Sapta Pesona cukup tinggi skornya 1,78. Tingkat intensitas untuk
menerapkan dalam enam unsur pertama program Sapta Pesona (keamanan,
ketertiban, kebersihan, kesejukan, keindahan, dan keramahtamahan) pada bentuk
aksi pengelola RMT kelas C pada kegiatan sehari-hari bisnisnya yaitu cukup
sering. Namun untuk unsur kenangan tidak sering dilakukan, baru pada tahap
kemampuan menyajikan hidangan ciri khas lokal, sedangkan untuk cinderamata
yang unik khas lokal belum terpikirkan.
Kemampuan pengelola RMT kelas C untuk mengkonfirmasikan cukup
tinggi (skor 1,70) atas keputusan mencoba menerapkan butir dan unsur yang ada
dalam program Sapta Pesona. Berdasarkan rekaman informasi bahwa penerapan
Sapta Pesona berpengaruh terhadap kepuasan pengunjung, jumlah pendapatan,
citra perusahaan, kepuasan karyawan, dan produktifitas kerja karyawan. Skor
meningkat jika pengelola memiliki tingkat pengetahuan, sikap, dan perilaku yang
tinggi sebagai dampak pemahamannya pada program Sapta Pesona.
Tingkat penolakan pengelola RMT kelas C terhadap program Sapta Pesona
sebagai suatu inovasi dalam kegiatan bisnisnya rendah dengan skor 1,51 berada di
antara 1 dan 1,66. Penolakan pada umumnya karena ketidaktahuan dan
80
ketidakpahaman mereka tentang unsur-unsur yang ada dalam program Sapta
Pesona.
Tabel 6. Persepsi Pengelola RMT kelas C terhadap Program Sapta Pesona
Hasil analisis persepsi program Sapta Pesona pada Tabel 6 menunjukkan
bahwa masih ada keraguan pengelola RMT kelas C untuk memutuskan
mengadopsi dan menerapkan butir-butir Sapta pesona pada kegiatan usahanya.
Keraguan tentang program Sapta Pesona akan mampu mewujudkan keamanan,
kebersihan, kesejukan, keindahan, keramahtamahan, dan kenangan. Bahkan
terdapat tidak setuju jika menerapkan program Sapta Pesona akan mampu
mewujudkan ketertiban.
0,0%
5,0%
10,0%
15,0%
20,0%
25,0%
30,0%
35,0%
40,0%
45,0%
50,0%
InnovatorEarly Adopter
EarlyMajority
LateMajority Laggard
9,5%
42,9%
36,5%
6,3% 4,8%
Gambar 5. Persentase Kategori Adopter
Pengelola RMT kelas C di Jakarta Timur mengadopsi program Sapta Pesona
dalam kurun waktu yang berbeda-beda. Menurut ciri-cirinya, yang disarikan dari
Wiriaatmadja (1978), Mardikanto (1982), dan Rogers (1983), pengelola RMT
kelas C di Jakarta Timur dapat dikelompokkan dalam 5 (lima) kategori adopter
Persepsi Sapta Pesona Aman Tertib Bersih Sejuk Indah Ramah Kenangan
Tidak Setuju
22 (34,9%)
32 (50,8%)
18 (28,6%)
20 (31,7%)
23 (36,5%)
13 (20,6%)
8 (12,7%)
Ragu 27 (42,9%)
17 (27,0%)
30 (47,6%)
32 (50,8%)
31 (49,2%)
38 (60,3%)
48 (76,2%)
Setuju 14 (22,2%)
14 (22,2%)
15 (23,8%)
11 (17,5%)
9 (14,3%)
12 (19,0%)
7 (11,1%)
Total 63 (100%)
63 (100%)
63 (100%)
63 (100%)
63 (100%)
63 (100%)
63 (100%)
81
(gambar 5) terdiri dari: (1) 9,5% sebagai innovator (inovator); (2) 42,9% early
adopter (pelopor); (3) 36,5% early majority (pengikut dini); (4) 6,3% late majority
(pengikut akhir); dan (5) 4,8% laggard (kelompok lamban).
Hubungan Ciri Pribadi dan Ciri Lingkungan Usaha dengan
Tingkat Adopsi Program Sapta Pesona
Pada bagian ini disajikan hasil penelitian berisi uraian sesuai dengan tujuan
yang telah ditetapkan tentang:
(1) hubungan antara ciri pribadi pengelola rumah makan tradisional kelas C di
Jakarta Timur dengan tingkat adopsi program Sapta Pesona; dan
(2) hubungan antara ciri lingkungan usaha rumah makan tradisional kelas C di
Jakarta Timur dengan tingkat adopsi program Sapta Pesona.
Hubungan Antara Ciri Pribadi dengan Tingkat Adopsi Program Sapta Pesona
Hasil analisis dari uji statistik non-parametrik Rank Spearman (rs) disajikan
pada Tabel 7. Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak ada keeratan hubungan
antara ciri pribadi dengan tingkat kesadaran, karena peluang kesalahan (galat)
lebih tinggi dari α = 0,01 maupun α = 0,05. Namun terdapat hubungan cukup tipis
yaitu antara tingkat pendidikan dan tingkat kesadaran pengelola RMT kelas C
pada α = 0,10. Hal ini berarti dari 57 pengelola RMT kelas C (90%) terbukti
memiliki kesadaran yang dipengaruhi oleh tingkat pendidikan yang dimiliki,
sebanyak 6 pengelola RMT kelas C (10%) yang tidak memiliki hubungan.
Antara ciri pribadi dengan minat pengelola RMT kelas C pada program
Sapta Pesona tidak memiliki keeratan hubungan. Hasil analisis menunjukkan
bahwa hubungan antara ciri pribadi dengan minat memiliki peluang kesalahan
diatas 50%. Penelitian ini membuktikan bahwa usia, tingkatan pendidikan,
pengalaman yang dimiliki, intensitas komunikasi dan keanggotaan kelompok
tidak mampu mempengaruhi minat pengelola RMT kelas C untuk mengadopsi
program Sapta Pesona. Bahkan kemampuan berwirausaha dan keterampilan teknis
(manajemen) memiliki tingkat kesalahan (galat) di atas 90%, artinya sangat tidak
berhubungan nyata.
82
Tabel 7. Nilai Koefisien Korelasi (rs) antara Ciri Pribadi dengan Tingkat Adopsi Program Sapta Pesona
n = 63 pengelola RMT kelas C ; * Berhubungan nyata pada α = 0,05 ** Berhubungan sangat nyata pada α = 0,01
Kemampuan menilai dan memahami isi program Sapta Pesona berhubungan
nyata dengan usia pengelola RMT kelas C pada α = 0,01 dan berhubungan sangat
nyata dengan lamanya pengalaman usaha pada α = 0,05. Namun tingkat
pendidikan, intensitas komunikasi, keanggotaan kelompok, kemampuan
berwirausaha dan manajemen tidak mampu mempengaruhi kemampuan menilai
dan memahami isi program Sapta Pesona. Maka penelitian ini mampu
membuktikan bahwa tingkat adopsi program Sapta Pesona oleh Pengelola RMT
kelas C dipengaruhi oleh usia dan lamanya pengalaman usaha.
Keinginan mencoba pengelola RMT kelas C, yaitu menerapkan butir-butir
Sapta Pesona pada kegiatan usaha RMT kelas C di Jakarta Timur tidak memiliki
keeratan hubungan dengan ciri pribadi pengelola RMT kelas C. Ketidakeratan
hubungan dibuktikan dengan peluang kesalahan (nilai p) umumnya lebih tinggi
dari α = 0,01 maupun α = 0,05.
Ketidakeratan hubungan juga terjadi antara ciri pribadi dengan tingkat
adopsi pengelola RMT kelas C dalam bentuk aksi penerapan unsur aman, tertib,
bersih, sejuk, indah, ramah dan kenangan. Hasil penelitian membuktikan adanya
arah hubungan negatif (berlawanan). Hubungan negatif nyata pada α = 0,05 antara
intensitas komunikasi dengan tingkat adopsi program Sapta Pesona. Artinya jika
tingkat intensitas komunikasi pengelola RMT kelas C naik maka keinginan
menerapkan unsur-unsur dalam program Sapta Pesona akan menurun, atau juga
No Kesa-daran Minat Peni-
laian Men-coba
Pene-rapan
Konfir-masi
Peno-lakan
1 Usia -0,030 -0,080 0,312* -0,032 0,025 0,108 -0,032
2 Pendidikan 0,208 0,035 -0,007 0,088 -0,137 -0,147 0,041
3 Pengalaman 0,130 0,072 0,424** 0,142 0,075 0,257* 0,068
4 Intensitas Komunikasi 0,169 -0,046 0,018 -0,099 -0,295* -0,328** -0,125
5 Keanggotaan Kelompok 0,187 0,071 0,071 0,074 -0,133 -0,140 -0,016
6 Kemampuan Resiko -0,018 -0,008 0,025 0,162 0,119 0,106 0,146
7 Keterampilan Teknis 0,053 0,012 0,011 -0,097 0,196 -0,051 -0,025
83
sebaliknya jika keinginan pengelola RMT kelas C untuk menerapkan unsur-unsur
Sapta Pesona semakin tinggi maka tingkat intensitas komunikasi semakin
menurun.
Tingkat adopsi dalam hal kemampuan mengkonfirmasi, tentang pengaruh
penerapan program Sapta Pesona (terhadap kepuasan pengunjung, tingkat
pendapatan, citra perusahaan, kepuasan dan produktifitas karyawan) berhubungan
nyata dengan pengalaman pengelola RMT kelas C pada α = 0,05. Namun
kemampuan konfirmasi berhubungan negatif (berlawanan) sangat nyata dengan
intensitas komunikasi pada α = 0,01. Tanda negatif menunjukkan arah perubahan
yang berlawanan, yaitu jika tingkat intensitas komunikasi naik maka kemampuan
konfirmasi akan menurun, sebaliknya jika kemampuan konfirmasi semakin tinggi
maka tingkat intensitas komunikasi semakin menurun.
Ciri pribadi tidak memiliki keeratan hubungan nyata dengan tindakan
pengelola RMT kelas C dalam hal menerima maupun menolak keputusan
mengadopsi, karena memiliki peluang kesalahan (galat) di atas 25%. Artinya
bahwa keputusan pengelola RMT kelas C untuk mengadopsi program Sapta
Pesona dan program bidang pariwisata lainnya tidak dipengaruhi oleh faktor ciri
pribadi yang dimiliki pengelola RMT kelas C.
Hubungan Ciri Lingkungan Usaha dengan tingkat
Adopsi Program Sapta Pesona
Hasil analisis uji statistik non-parametrik Rank Spearman (rs) disajikan pada
Tabel 8. Tidak ditemukan keeratan hubungan yang nyata antara ciri lingkungan
usaha dengan tingkat kesadaran pengelola RMT kelas C pada program Sapta
Pesona, baik pada peluang kesalahan (galat) lebih tinggi dari α = 0,01 maupun α =
0,05.
Hubungan antara kebijakan Pemda dan skala usaha terhadap tingkat
kesadaran pengelola RMT kelas C terjadi pada peluang kesalahan 18% dan 12%,
artinya dari 63 RMT kelas C terjadi hubungan pada 52 dan 56 RMT kelas C.
Hubungan cukup tipis antara keberadaan lokasi usaha dan adanya persaingan
usaha (kompetitor) terhadap tingkat kesadaran nyata pada α = 0,10.
84
Tabel 8. Nilai Koefisien Korelasi (rs) antara Ciri Lingkungan Usaha dengan Tingkat Adopsi Program Sapta Pesona
n = 63 pengelola RMT kelas C ; * Berhubungan nyata pada α = 0,05 ** Berhubungan sangat nyata pada α = 0,01
Besaran modal keuangan sebagai salah satu ciri lingkungan usaha RMT
kelas C di Jakarta Timur berhubungan nyata dengan minat pengelola RMT kelas
C terhadap program Sapta Pesona pada α = 0,10. Artinya dari 63 pengelola RMT
terdapat 6 pengelola yang tidak memiliki minat terhadap program. Ciri lingkungan
usaha lainnya tidak memiliki hubungan dengan minat karena memiliki peluang
kesalahan lebih dari 10%.
Hubungan antara ciri lingkungan usaha pada sub peubah sarana usaha
berhubungan dengan kemampuan penilaian sangat nyata pada α = 0,01, karena
dari setiap 1000 kasus memiliki peluang kesalahan pada 2 pengelola RMT kelas C
dengan koefisien korelasi (Spearman) sebesar 0,378. Jadi dari 63 pengelola RMT
hanya berpeluang kurang dari 1 orang yang tidak memberikan penilaian terhadap
program Sapta Pesona. Sedangkan komponen skala usaha dan modal tenaga kerja
berhubungan dengan kemampuan menilai pada α = 0,10.
Ciri lingkungan usaha pada sub peubah skala usaha dan modal tenaga kerja
berhubungan nyata pada α = 0,05 dengan keinginan mengadopsi pada taraf
mencoba mengaplikasikan pada kegiatan usaha RMT kelas C di Jakarta Timur.
Sedangkan pada sub peubah prasarana usaha dan persaingan usaha terjadi
hubungan dengan keinginan mencoba pengelola RMT kelas C pada α = 0,10.
Tingkat skala (luas) usaha dan kemampuan memelihara prasarana usaha
berhubungan nyata dengan kemampuan pengelola RMT kelas C menerapkan
No Ciri Lingkungan Usaha
Kesa- Daran Minat Penilai-
An Men- coba
Pene- rapan
Konfir- masi
Peno- lakan
1 Kebijakan Pemda 0,170 0,142 0,085 0,165 0,134 0,273* 0,240 2 Skala Usaha 0,198 0,073 0,209 0,272* 0,270* 0,156 0,102 3 Modal Keuangan 0,034 0,216 0,056 0,160 0,043 0,131 0,008 4 Modal Tenaga 0,175 -0,043 0,221 0,300* 0,080 0,002 -0,015 5 Sarana Usaha 0,158 -0,019 0,378** 0,166 0,325** 0,291* 0,278* 6 Prasarana Usaha 0,168 0,148 -0,007 0,227 0,250* 0,264* 0,293* 7 Lokasi Usaha 0,228 0,034 0,226 0,107 0,070 0,020 -0,043 8 Kompetitor 0,212 -0,074 0,161 0,207 0,094 0,013 0,193
85
unsur-unsur program Sapta Pesona pada α = 0,05. Hubungan sangat nyata pada α
= 0,01 terjadi antara kualitas (kemampuan merawat) sarana usaha dengan tingkat
adopsi pengelola RMT kelas C dalam bentuk aksi penerapan unsur aman, tertib,
bersih, sejuk, indah, ramah dan kenangan. Semakin baik kualitas sarana usaha
maka semakin baik kemampuan pengelola RMT kelas C dalam menerapkan
program Sapta Pesona, dari setiap 1000 kasus hanya terjadi 9 peluang kesalahan
dengan koefisien korelasi pada angka 0,325.
Kemampuan konfirmasi pengelola RMT kelas C tentang pengaruh
penerapan program Sapta Pesona terhadap kepuasan pengunjung, jumlah
pendapatan (omzet), citra perusahaan, kepuasan karyawan, dan tingkat
produktivitas kerja karyawan berhubungan nyata pada α = 0,05 dengan kebijakan
Pemda, kondisi sarana usaha, dan prasarana usaha. Jadi pada setiap seratus kasus
hanya terjadi kurang dari 5 peluang kesalahan atau tidak adanya hubungan antara
kebijakan Pemda, kualitas sarana dan prasarana usaha dengan kemampuan
pengelola RMT kelas C dalam konfirmasi program Sapta Pesona.
Kondisi sarana usaha dan prasarana usaha yang dimiliki pengelola RMT
kelas C berhubungan nyata pada α = 0,05 dengan keputusan untuk menolak
adopsi program Sapta Pesona. Artinya mereka menolak karena baik-tidaknya
kondisi sarana usaha dan prasana usaha yang dimiliki bukan akibat pengaruh dari
mengadopsi program Sapta Pesona. Penolakan mengadopsi program Sapta
Pesona juga berhubungan dengan kebijakan Pemda pada α < 0,10. Mereka
menolak karena penyuluhan Sapta Pesona hanya berkaitan dengan kebijakan
Pemda dan tidak memiliki dampak terhadap kemajuan usaha mereka.
Strategi Percepatan Adopsi Program Sapta Pesona Pengelola RMT Kelas C Jakarta Timur
Berdasarkan bahasan hasil analisis keeratanhubungan antara ciri pribadi
dan ciri lingkungan usaha terhadap tingkat adopsi program Sapta Pesona oleh
Pengelola RMT kelas C di Jakarta Timur, maka berikut merupakan strategi
percepatan adopsi program Sapta Pesona yaitu:
(1) Program Sapta Pesona harus bersifat inovasi yang tepat guna.
Meskipun telah diperkenalkan sejak 1991 melalui kampanye Sadar Wisata,
kenyataan hasil survei pada penelitian ini menemukan bahwa tingkat
86
kesadaran pengelola RMT Kelas C di Jakarta Timur masih sangat rendah.
Bahkan masih ada keraguan pengelola RMT kelas C untuk memutuskan
mengadopsi dan menerapkan butir-butir Sapta pesona pada kegiatan
usahanya. Salah satu faktor yang mempengaruhi percepatan adopsi adalah
sifat dari inovasi itu sendiri. Inovasi yang akan diintroduksi harus mempunyai
banyak kesesuaian (daya adaptif) terhadap kondisi sosial, ekonomi, dan
budaya dari pengelola RMT. Sapta Pesona sebagai inovasi yang tepat guna
dengan kriteria-kriteria berikut:
(a) Sapta Pesona harus dapat dirasakan sebagai kebutuhan oleh
pengelola RMT kebanyakan.
Jika diharapkan masyarakat (pengelola RMT) akan menerima
(mengadopsi) suatu inovasi, para warga masyarakat harus yakin bahwa
inovasi itu memenuhi suatu kebutuhan yang benar-benar dirasakan
(Bunch, 2001). Sapta Pesona akan menjadi kebutuhan apabila dapat
memecahkan masalah yang sedang dihadapi pelaku usaha bidang
pariwisata, khususnya bagi pengelola RMT. Jika para pengelola RMT
melalui penilaiannya kemudian berminat untuk mencoba menerapkan
butir-butir Sapta Pesona, akan mampu mengatasi masalah misalkan saja
seperti keamanan dan keindahan yang memberikan jaminan kebersihan
lingkungan guna mendukung keamanan pangan dari kontaminasi.
(b) Sapta Pesona harus memberi keuntungan secara konkrit bagi
pengelola RMT.
Faktor tunggal yang paling menentukan dalam menimbulkan semangat
akan suatu program adalah peningkatan pendapatan perorangan yang
dapat dicapai dengan teknologi anjuran program (Bunch, 2001). Secara
lebih tegas Soekartawi (1988) mengatakan bahwa jika memang benar
teknologi baru akan memberikan keuntungan yang relatif lebih besar dari
nilai yang dihasilkan teknologi lama, maka kecepatan adopsi inovasi
akan berjalan lebih cepat. Perlu di berikan kesadaran tentang dampak
positif dari penerapan butir-butir dalam program Sapta Pesona adalah
terpenuhinya kepuasan pelanggan. Konsep berpikir bahwa kepuasan
konsumen akan mendorong meningkatnya profit adalah bahwa konsumen
87
yang puas akan bersedia membayar lebih untuk “produk” yang diterima
dan lebih bersifat toleran akan kenaikan harga. Konsumen yang puas
akan membeli “produk” lain yang dijual oleh perusahaan, sekaligus
menjadi “pemasar” yang efektif melalui word of mouth yang bernada
positif. Hal ini dapat membantu meningkatkan penjualan dan kredibilitas
Perusahaan. Konsep Sapta Pesona dapat menjadi Attributes related to
purchase (Dutka, 1994) meliputi: courtesy, communication, ease or
convenience acquisition, company reputation, dan company competence.
(c) Sapta Pesona harus mendayagunakan sumberdaya yang sudah ada.
Teknologi atau inovasi program Sapta Pesona untuk para pengelola RMT
harus menggunakan sumberdaya yang sudah mereka miliki. Kalau
sumberdaya dari luar mutlak diperlukan, harus dapat dipastikan bahwa
sumberdaya itu murah, dapat diperoleh secara teratur dengan mudah dari
suatu sumber tetap yang dapat diandalkan (Bunch, 2001) dan perlu
dijamin bahwa perusahaan sanggup membiayai. Implementasi dari
program Sapta Pesona sebaiknya masih dapat mengandalkan sumber
daya tersedia tanpa harus melakukan perubahan atau renovasi yang ketat.
Ada baiknya dilakukan secara bertahap dari mulai penerapan rasa aman,
tertib, bersih, sejuk, indah, ramah-tamah, dan kenangan.
(d) Penerapan Sapta Pesona harus terjangkau oleh kemampuan
finansial perusahaan.
Hasil penelitian Musyafak et al. (2002) menunjukkan bahwa beberapa
kendala adopsi adalah inovasi/teknologi dirasa mahal sehingga tidak
terjangkau oleh kemampuan finansial, dan ketersediaan sarana produksi
tidak terjamin. Kendala adopsi yang datang secara internal dari inovasi
itu sendiri adalah inovasi tersebut dirasakan mahal. Sedangkan kendala
adopsi dari luar inovasi itu sendiri adalah orientasi usaha, pasar, dan
ketersediaan sarana pendukung (saprodi, dll). Sebagus apapun teknologi
kalau tidak terjangkau oleh kemampuan finansial pengguna, maka akan
susah untuk diadopsi. Apalagi kebanyakan RMT kelas C merupakan
usaha kecil dengan modal terbatas. Maka jika implementasi program
88
Sapta Pesona dirasakan murah akan lebih cepat diadopsi dibanding
inovasi yang mahal.
(e) Sapta Pesona harus sederhana, tidak rumit dan mudah dicoba.
Semakin mudah butir-butir Sapta Pesona untuk dapat dipraktekkan, maka
makin cepat pula proses adopsi inovasi yang dilakukan pengelola RMT.
Sapta Pesona yang memiliki kecenderungan rumit dalam penerapan yaitu
butir keamanan, keramahtamahan, dan kenangan. Pada butir keamanan
belum menyentuh kemanan pangan, belum ada standar pelayanan yang
mengandung unsur keramahtamahan dan kenangan. Oleh karena itu,
agar proses adopsi dapat berjalan cepat, maka penyajian inovasi harus
lebih sederhana (Sukartawi,1988). Dengan demikian kompleksitas suatu
inovasi mempunyai pengaruh yang besar terhadap percepatan adopsi
inovasi. Untuk menemukan teknologi dengan kriteria tersebut, dilakukan
dengan mengevaluasi apakah teknologi yang diintroduksikan sederhana
(tidak rumit), jika memang rumit lakukan peragaan, percontohan,
pelatihan secara partisipatif.
(2) Memilih metode penyuluhan Sapta Pesona yang efektif.
Faktor lain yang mempengaruhi percepatan adopsi dan difusi inovasi adalah
tepat tidaknya dalam menggunakan metode penyuluhan. Penggunaan metode
yang efektif akan mempermudah untuk dipahami oleh pengelola RMT.
Dalam penyuluhan selalu ada unsur komunikasi, akan tetapi dalam
komunikasi belum tentu ada unsur penyuluhan. Perbedaan mendasar adalah
adanya unsur pendidikan dalam penyuluhan, sedangkan dalam komunikasi
tidak selalu ada. Dengan demikian dalam penyuluhan perlu adanya materi
yang perlu disiapkan dan penyampaian yang sistematis. Materi penyuluhan
pariwisata biasanya berupa inovasi-inovasi di bidang pariwisata. Agar pesan
inovasi tersebut dapat diterima dan diaplikasikan oleh target sasaran maka
diperlukan metode penyuluhan. Menurut van den Ban dan Hawkins (1996)
dan Adam (1988), terdapat tiga klasifikasi metode penyuluhan yaitu metode
penyuluhan media massa, metode penyuluhan kelompok, dan metode
penyuluhan individu.
89
(3) Memberdayakan agen penyuluhan pariwisata secara optimal.
Petugas penyuluhan mempunyai korelasi yang sangat kuat terhadap
keberhasilan suatu program. Menurut Mundy (2000), kecepatan adopsi suatu
inovasi tergantung pada beberapa hal, yaitu sifat inovasi, sifat adopter, dan
perilaku pengantar perubahan (peneliti atau penyuluh). Menurut Bunch
(2001), rancangan terbaik di duniapun tidak akan menjadi program yang
berhasil kalau petugasnya tidak berkemampuan dan kemauan untuk
menjadikannya berhasil. Seringkali kompetensi dan motivasi petugas menjadi
faktor pembatas efektifitas suatu program, dan yang paling sering menjadi
masalah adalah kurangnya motivasi. Agen penyuluhan merupakan individu
atau institusi yang mempunyai tugas pokok memberikan pendidikan
nonformal tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan usaha pariwisata
dengan maksud agar mereka mampu, sanggup, dan berswadaya memperbaiki
atau meningkatkan kesejahteraan diri dan bila memungkinkan mampu
meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekelilingnya. Agen penyuluh dapat
berasal dari pengelola RMT, dan penyuluh profesional (penyuluh dinas),
sedangkan peneliti/pengkaji berperan sebagai pendukung. Pemahaman
tentang golongan pengelola RMT adopter sangat diperlukan. Golongan
inovator dan early adopter perlu diidentifikasi untuk dijadikan agen transfer
inovasi ke pengelola RMT lain. Kedua kelompok adopter tersebut akan
sangat membantu proses difusi inovasi dalam sistem sosial masyarakat.
Penyuluh yang baik harus menguasai ilmu dan mempunyai seni. Seni dalam
penyuluhan dapat diartikan sebagai daya kreatifitas dan improvisasi penyuluh
dalam melaksanakan tugasnya, sehingga tercapai perubahan mental, sikap,
dan perilaku Pengelola RMT untuk mengadopsi suatu inovasi yang
diintroduksikan. Pemberdayaan berarti memberi motivasi (Wahyuni, 2000),
dengan demikian memberdayakan petugas penyuluh berarti menumbuhkan
motivasi pada individu petugas penyuluh agar dapat memberikan kinerja yang
terbaik.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Rumah Makan Tradisional Kelas C adalah kelompok rumah makan non-talam
dengan jumlah pekerja antara 5 hingga 12 orang, dengan kapasitas antara 20
hingga 50 kursi. Ciri usaha RMT kelas C yaitu:
a. Menggunakan sebagian bangunan permanen sebagai tempat usaha, dan
sebagian lagi sebagai rumah tinggal pemilik, terkadang berikut berikut
pekerjanya. Dapur pengolahan berada satu atap dengan area pelayanan.
b. Pemilik merangkap atau berlaku sebagai pengelola (manajer) RMT tersebut
dan memiliki kedekatan hubungan dengan para pekerjanya.
c. Ijin kelayakan operasional diterbitkan oleh kantor suku dinas kesehatan;
melalui proses penilaian kondisi tempat, sarana, dan prasarana dari sisi
kesehatan, kebersihan, dan keamanan produk olahan. Sedangkan ijin usaha
dikeluarkan oleh suku dinas pariwisata, karena tergolong sebagai industri
penunjang pariwisata.
d. RMT kelas C menurut jenis usahanya menjual hidangan (menu) khusus
yang menjadi ciri khas tradisional dari suatu daerah (budaya lokal) tertentu.
Namun di sisi lain cara pelayanan RMT kelas C masih dikelola secara
tradisional (belum moderen); yaitu orientasi pada penjualan, fokus pada
nilai produk, komitmen pada mutu hanya bagi staf produksi, kurang fokus
pada kepentingan pelanggan.
e. Kurangnya pengalaman manajerial, pengalaman berbisnis, dan rendahnya
pengetahuan pengelolaan restoran (ketidakmampuan untuk memelihara
standard operasional) menjadi penyebab rendahnya tingkat penjualan dan
lemahnya daya saing. Kondisi tersebut menyebabkan perbankan dan
pemilik modal tidak tertarik untuk berinvestasi bagi RMT kelas C.
2. Tingkat adopsi program Sapta Pesona oleh pengelola usaha rumah makan
tradisional kelas C di Jakarta Timur termasuk kategori sedang. Pengelola RMT
telah mengadopsi sebagian dari program Sapta Pesona. Menurut tingkat
adopsi, mereka berada pada tingkat menilai dan sedang menuju proses
mencoba, sehingga Program Sapta Pesona belum menjadi komitmen budaya
bagi pengelola RMT kelas C di Jakarta Timur.
91
3. Ciri pribadi yang berhubungan positif dengan tingkat adopsi program Sapta
Pesona pengelola usaha rumah makan tradisional kelas C di Jakarta Timur
adalah usia, tingkat pendidikan, dan pengalaman usaha. Sedangkan intensitas
komunikasi berhubungan negatif dengan tingkat adopsi program Sapta Pesona
pengelola usaha rumah makan tradisional kelas C di Jakarta Timur. Maka ciri
pribadi yang penting diperhatikan untuk meningkatkan kemampuan adopsi
program Sapta Pesona adalah:
a. Untuk mencapai efektifitas yang tinggi maka target penyuluhan sebaiknya
adalah para pengelola RMT kelas C yang berusia kurang dari 50 tahun,
dengan tingkat pendidikan minimal SMA, dan pengalaman usaha dibawah
16 tahun.
b. Intensitas komunikasi penyuluhan dilakukan melalui kegiatan pelatihan
seperti lokakarya (workshop) dengan kasus-kasus nyata kesulitan yang
dihadapi pengelola RMT kelas C dalam menerapkan program Sapta Pesona.
4. Ciri lingkungan usaha yang berhubungan dengan tingkat adopsi program Sapta
Pesona pengelola usaha rumah makan tradisional kelas C di Jakarta Timur
adalah kebijakan Pemda setempat, skala usaha, modal tenaga kerja, sarana
usaha, prasarana usaha, lokasi usaha, dan kompetitor. Hal penting diperhatikan
untuk meningkatkan kemampuan adopsi program Sapta Pesona pengelola
RMT kelas C terkait dengan ciri lingkungan usaha adalah:
a. Kebijakan Pemda setempat selain mengatur perijinan usaha, pungutan
retribusi, dan sosialisasi peraturan untuk kepentingan pemerintah setempat
dan lingkungan masyarakat di sekitarnya, sesuai Perda Propinsi DKI Jakarta
Nomor 10 tahun 2004 tentang Kepariwisataan, Dinas Pariwisata (melalui
Suku Dinas Pariwisata) perlu melakukan pengembangan dan pembinaan
melalui penataran dan penyuluhan tentang:
- peningkatan standar kualitas pelayanan dan peningkatan daya saing
usaha pariwisata,
- upaya pelestarian lingkungan melalui AMDAL,
- sertifikasi profesi kepariwisataan, dalam rangka meningkatkan mutu
tenagakerja bidang kepariwisataan berpedoman pada standar kompetensi
profesi kepariwisataan berdasarkan profesi/jabatan.
92
- usaha penyediaan makanan dan minuman harus disertifikasi halal oleh
lembaga yang berkompeten.
b. Penyuluhan sadar wisata dan sapta pesona merupakan tugas bersama, bukan
hanya tugas pemerintah pusat maupun daerah. Kesuksesan pembangunan
bidang pariwisata membutuhkan kebersamaan antar departemen di dalam
pemerintahan, juga dengan organisasi/kelompok industri sejenis, lembaga
swadaya masyarakat (LSM), lembaga pendidikan, maupun individu
masyarakat yang saling membina kerjasama dalam meningkatkan sapta
pesona sebagai wujud sadar wisata di tengah masyarakat.
Saran
1. Kemampuan manajerial pengelola RMT kelas C perlu ditingkatkan, terutama
dalam hal kemampuan bertugas mengawasi para pekerja dalam menjalankan
pekerjaan sehari-hari, karena tingkatan mereka adalah manajer pelaksana
atau penyelia. Beban tugas yang perlu difungsikan yaitu:
a. kemampuan mengorganisasikan sumber daya dan menetapkan prosedur
pencapaian sasaran,
b. menyiapkan struktur organisasi yang menunjukkan garis kewe-
nangan/tanggung jawab,
c. merekrut, menyeleksi, melatih, dan mengembangkan karyawan, serta
menempatkan karyawan di tempat di mana mereka sangat efektif.
2. Usaha meningkatkan kemampuan adopsi program Sapta Pesona pengelola
usaha rumah makan tradisional kelas C di Jakarta Timur dilakukan dengan
meningkatkan intensitas komunikasi pengelola RMT melalui kegiatan
penyuluhan maupun melalui media organisasi kelompok usaha RMT.
3. Penyuluh dan petugas Suku Dinas Kesehatan maupun Suku Dinas Pariwisata
hendaknya memotivasi pengelola usaha RMT kelas C di Jakarta Timur untuk
membentuk organisasi kelompok pengusaha RMT dan terlibat aktif dan
mendinamikakan kelompok sebagai wadah belajar dengan program-program
yang dibutuhkan.
4. Kelembagaan lain, seperti sumber modal dan koperasi perlu secara bersama-
sama mendukung upaya nyata peningkatan kemampuan berusaha pengelola
93
usaha RMT kelas C di Jakarta Timur dengan memberi kemudahan dalam akses
modal.
5. Penyuluh pariwisata harus kompeten dalam hal pengetahuan industri
kepariwisataan dan memiliki keterampilan menyuluh, serta memiliki strategi
sikap dalam menghadapi kliennya. Kompetensi penyuluh perlu menghayati
asas, prinsip dan metoda penyuluhan, hindari kesalahan persepsi tentang
kegiatan penyuluhan yaitu:
a. Penerangan (pemberian informasi) bersifat komunikasi searah, hanya
menyentuh ranah kognitif,
b. Non dialogis yg cenderung anjuran, instruksi bahkan keharusan lebih
mengutamakan pencapaian target pemerintah,
c. Perencanaan top down, seharusnya mengacu pada kepentingan kelompok
dengan fasilitasi penyuluh,
d. Rekayasa sosial, sasaran penyuluhan adalah obyek bukan subyek
perencanaan,
e. Target pembangunan harus memenuhi kebutuhan rakyat sekaligus
pemerintah, dan
Penyuluhan efektif menjadikan rakyat mandiri, tidak menjadi tergantung,
apatis dan labil.
DAFTAR PUSTAKA
Adams, M.E. 1988. Agricultural Extension in Developing Countries [First Edition]. Singapore:
Longman Singapore Publisher Pte Ltd.
Anonim. 2008. Metode Aplikasi Teknologi di Kawasan Transmigrasi. http://202.78.200.96/ hasil_penelitiantrans/Metode%20Aplikasi%20Teknologi.pdf Minggu, 08 Juni 2008
Ardiwidjaja, Roby. Menilik Kebijakan Pembangunan Kepariwisataan http://www.sinarharapan.co.id/feature/wisata/2004/0624/wis02.html
Badan Litbang Pertanian. 2000. Penyebaran Inovasi Pertanian Era Otonomi Daerah Prosiding Lokakarya Nasional. Jakarta: Pusat Perpustakaan Dan Penyebaran Teknologi Pertanian.
Badan Litbang Pertanian. 2004. Rancangan Dasar: Program Rintisan Dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian (PRIMA TANI). Jakarta: Badan Litbang Pertanian.
Bahraini. 1984. Hubungan Dinamika Kelompok Tani Hamparan dan Penerapan Teknologi Padi Sawah pada Peserta dan Non-peserta Intensifikasi Khusus [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Bandura, A.J. 1986. Social Foundations of Thought and Action: A Social Cognitive Theory. New Jersey: Prentice Hall, Inc.
______, Berita Pajak: Pajak Hotel dan Restoran Digenjot. Bisnis Indonesia, 8 April 2008 Bird, B.J. 1989. Entrepreneurial Behavior. Glenview, Illinois: Scott Foresman and Company. Boserup, Esther. 1984. Peranan Wanita dalam Perkembangan Ekonomi [terjemahan].
Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Belante, D. dan M. Jackson. 1983. Ekonomi Ketenagakerjaan. Jakarta: Lembaga Penerbit
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Bunch, Roland. 2001. Dua Tongkol Jagung: Pedoman Pengembangan Pertanian Berpangkal pada Rakyat [edisi ke dua]. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Dahama dan Bhatnagar. 1980. Communication for Development. New Delhi – Bombay – Calcutta, India: Oxford and IBH Publishing Co.
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia, Panduan Sadar Wisata, Jakarta. http://www.budpar.go.id/filedata/1468_1263-1468357sadarwisata.pdf
http://www.budpar.go.id/filedata/1468_1264-1468362bukusakusadarwisata11.pdf Depari, E dan C.M Andrew. 1978. Peranan Komunikasi Massa dalam Pembangunan.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia, Renstra Pembangunan Kebudayaan dan Kepariwisataan Nasional, 2004-2009 Depdikbub, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Jakarta: PT. Balai Pustaka Deptan. 2001. Penyuluhan Pertanian. Yayasan Pengembangan Sinar Tani.
95
Dutka, Alan, 1994. AMA Hand Book for Customer Satisfaction. NTC Business Book, Lincolnwood, Illinois.
Fuad, M. 2000. Pengantar Bisnis. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Hanafi, Abdillah. 1986. Memasyarakatkan Ide-ide Baru. Surabaya: Usaha Nasional.
Hasan, M.I. 2002. Pokok-pokok Materi Metodologi Penelitian & Aplikasinya. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Hendro dan Chandra. 2006. Be a Smart and Good Entrepreuneur. Jakarta: CLA Publishing dan Universitas Bina Nusantara.
Hernanto, F. 1993. Ilmu Usahatani. Jakarta: Penebar Swadaya. Hornby, AS. 1987. Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English. New York:
Oxford University Press. Ife J. 1995. Community Development: Creating community alternatives-vision, analysis and
practice. Melbourne: Longman House. Irawan, Prasetya. 2006. Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif Untuk Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta: DIA FISIP UI. ______, Kajian Peningkatan Peran Serta Masyarakat Dalam Pengembangan Daerah Tujuan
Wisata, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata bekerjasama dengan Kelompok Penelitian dan Pengembangan Kepariwisataan, LPPM ITB, Jakarta, 2003
Jahi, Amri. 1988. Komunikasi Massa dan Pembangunan Pedesaan di Negara-negara Dunia Ketiga: Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia.
Katz, R. L. (1974). Skills of an Effective Administrator. Harvard Business Review 52, no.5 (September-October): 90-102.
Kerlinger, Fred N. 2004. Asas-asas Penelitian Behavioral. Cetakan ke-10. Penerjemah Landung R.Simatupang. Disunting oleh H.J.Koesoemanto. Yogyakarta: Gajah Mada University Press
Klausmeijer, Herbert J dan William Goodwin. 1966. Learning and Human Abilities, Educational Psychology. Harper & Row, Publisher, New York and London.
Kottler, Philip. 1996. Marketing for Hospitality & Tourism. Upper Saddle River, New Jersey: Prentice Hall, Inc.
Kottler, Philip.2002. Edisi Bahasa Indonesia: Pemasaran Perhotelan dan Kepariwisataan. Jakarta: PT Prenhallindo.
Kusmayadi, dan Endar Sugiarto. 2000. Metodologi Penelitian dalam Bidang Kepariwisataan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Lionberger, H.F. 1960. Adoption of New Ideas and Practices. The Iowa State University Press.
Lionberger, H.F. dan PH Gwin. 1993. Communication Strategies: A Guide for Agricultural Change Agent. Illionis: University of Missiori.
Lunandi, AG. 1986. Pendidikan Orang Dewasa. Jakarta: Gramedia.
96
Mardikanto, T. 1993. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Surakarta: Percetakan Sebelas Maret University.
Maryani. 1995. Kreativitas Transmigrasi Berdasarkan Daerah Asal dalam Pemanfaatan Lahan Pekarangan [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Mintarti. 2001. Efektifitas Buklet Makjan sebagai Media Pembelajaran untuk Meningkatkan Perilaku Berusaha bagi Pedagang Makanan Jajanan (Kasus di Kabupaten Cianjur) [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Mundy, Paul. 2000. Adopsi dan Adaptasi Teknologi Baru. PAATP3. Bogor
Musyafak, A. Hazriani, Suyatno, A. Sahari, J dan Kilmanun, J.C. 2002. Studi Dampak Teknologi Pertanian di Kalimantan Barat. Pontianak: Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Barat.
Nazir, Mohammad. 1999. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia
Nickel, WG. 2005. ”Understanding Business”, 7th Ed., McGraw-Hill Companies, Inc., New York, USA.
Ndraha, T. 1990. Pembangunan Masyarakat: Mempersiapkan Masyarakat Tinggal Landas. Bandung: Rineka Cipta.
Padi. 2005. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kinerja Kewirausahaan Petani Ikan: Kasus Petani Pengelola Pusat Pelatihan dan Pertanian Swadaya Ikan Gurame, Ikan Mas, dan Ikan Hias di Kabupaten Bogor [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Padmowihardjo, S. 1994. Materi Pokok: Psikologi Belajar Mengajar. Jakarta: Universitas Terbuka.
Parsa, H.G. (2005). 'Why Restaurants Fail'. Cornell University Pitana, I Gde. 2005. Sosiologi Pariwisata. Penerbit Andi Yogyakarta.
______, Potensi Kota, Demografi, dan Letak Geografis Kotamadya Jakarta Timur, http://www.timur.jakarta.go.id/
Prawirosentono, Prawiro. 2002. Pengantar Bisnis Modern (Studi Kasus Indonesia dan Analisis Kuantitatif)
______, Presiden Republik Indonesia: Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2005 tentang Kebijakan Pembangunan Kebudayaan dan Pariwisata.
______, Profil Pariwisata Kotamadya Jakarta Timur. http://www.jaktim.beritajakarta.com/ Puspopranoto, Sawaldjo. 2006. Manajemen Bisnis: Konsep, Teori, dan Aplikasi. Jakarta :
Penerbit PPM. Rahayu, Emik. 2008. Membangun pariwisata berbasis masyarakat
http://www.wawasandigital.com/index.php?option=com_content&task=view&id=21528&Itemid=62 Rabu, 9 April 2008
Rakhmawati, Lenny dan Jeliteng Pribadi. 2003. Perbedaan Lay-out dan Desain Interior Restoran Fast Food dengan Restoran Tradisional dalam Kaitannya dengan Kepuasan
97
Konsumen di Banda Aceh [laporan penelitian]. Banda Aceh: Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala.
Roger, EM. and F.F. Shoemaker. 1971. Communication of Innovation: A Cross Cultural Approach. New york: The Free Press.
Rogers, EM. 1983. Diffusion of Innovations [Fourth Edition]. New york: The Free Press. Rusell, B. 1993. Pendidikan dan Tatanan Sosial. S. Abadi, penerjemah. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Salam, H.B. 1997. Pengantar Pedagogi: Dasar-dasar Ilmu Mendidik. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.
Schoell, William., Joseph P.Guiltiman dan Laura Valvatne. 1993. Marketing Essentials: Mastering Concepts and Practice. New Jersey: Prentice Hall, Inc.
Schramm, W. dan Porter W. 1973. Men, Women, Message, and Media. New York: Harper and Row Publisher.
Slamet, M. 1975. Psikologi Belajar Mengajar. BPLP, Ciawi Bogor.
________, 1978. Kumpulan Bahan Bacaan Penyuluhan Pertanian. Edisi ke-3 Bogor-IPB. ________, 1995. Kelompok, Organisasi dan Kepemimpinan. Bogor: IPB, tidak dipublikasikan.
Siegel, S. 1992. Statistik Nonparametrik: untuk Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta: PT. Gramedia Utama. Padmowihardjo, S. 1978. Beberapa Konsepsi Belajar dan Aplikasinya. Tidak Dipublikasikan.
Soedjana, Tjeppy D. 2007. Sistem Usaha Tani Terintegrasi Tanaman-Ternak Sebagai Respons Petani Terhadap Faktor Risiko. Jurnal Litbang Pertanian, 26(2), 2007.
Soekartawi. 1988. Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian. Jakarta: UI-Press.
Stanton, Thomas F. 1978. Cara-cara Mengajar dengan Hasil yang Baik. Penerjemah: J.F.Tahalele. Bandung: CV Diponegoro.
Subagiyo, Rusidi dan R. Sekarningsih. 2005. Kajian Faktor-faktor Sosial yang Berpengaruh terhadap Adopsi Inovasi Usaha Perikanan Laut di Desa Pantai Selatan Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Vol. 8, No.2, Juli 2005 : 300-312.
Suranti, Ratna Suranti. 2005. Pariwisata Budaya dan Peran Serta Masyarakat, Workshop Wisata Budaya Bagi Kelompok Masyarakat Propinsi DKI Jakarta 12 Juli 2005.
Syafruddin, 2003. Pengaruh Media Cetak Brosur dalam Proses Adopsi dan Difusi Inovasi Beternak Ayam Broiler di Kota Kendari [Tesis]. Yogyakarta: Program Studi Ekonomi Pertanian Jurusan Ilmu-Ilmu Pertanian, Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.
Tjiptoherijanto, dkk (1982) Sumber Daya Manusia, Kesempatan Kerja dan Pembangnan Ekonomi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
______, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan, Sekretariat Negara, Jakarta, 1990
Van den Ban, A.W. and Hawkins, H.S. 1996. Agricultural Extension [second edition]. New York: John Wiley & Son, Inc.
98
Wahyuni, S. 2000. Pemberdayaan Kelembagaan Mayarakat Tani Mendukung Percepatan Adopsi dan Keberlanjutan Adopsi Teknologi Usahatani Lahan Rawa. Makalah disampaikan pada Workshop Sistem Usahatani Lahan Pasang Surut-ISDP, Badang Litbang Pertanian, 26-29 Juni 2000, Cipanas-Bogor.
Winkel, W.S. 1991. Psikologi Pengajaran. Jakarta: Grasindo. Wiriatmadja, S. 1990. Pokok-pokok Penyuluhan Pertanian. Jakarta: CV. Yasaguna.
Wiwoho, B. 1990. Pariwisata, Citra dan Manfaatnya. Jakarta: PT. Bina Rena Pariwara.
Yoeti, H.Oka A. 1996. Pengantar Ilmu Pariwisata. Bandung: Penerbit Angkasa.
Yoeti, H.Oka A. 2006. Pariwisata Budaya, Masalah dan Solusinya. Jakarta: PT Pradnya Paramita.
99
Lampiran 1 LEMBAR PEDOMAN PENGUMPULAN DATA
NO MASALAH TUJUAN PEUBAH
DATA NOMOR PERTANYAAN KUESIONER
DATA DIKUMPUL-
KAN
SUMBER DATA
TEKNIK PEROLEH-AN DATA
I. Ciri pribadi yaitu: umur, pendidikan, intensitas komuni-kasi, keanggotaan kelompok, penga-laman usaha, kebe-ranian mengendali-kan resiko, dan keterampilan teknis berhubungan lang-sung dengan ting-kat partisipasi pengelola rumah makan tradisional kelas C dalam adopsi program Sapta Pesona di Jakarta Timur.
Mengidentifikasi ciri pribadi yaitu: umur, pendidikan, intensitas komuni-kasi, keanggotaan kelompok, penga-laman usaha, kebe-ranian mengendali-kan resiko, dan keterampilan teknis berhubungan lang-sung dengan partisi-pasi pengelola rumah makan tradi-sional kelas C dalam adopsi program Sapta Pesona di Jakarta Timur.
Ciri Pribadi
1. Umur Primer-Responden Wawancara Halaman muka
2. Pendidikan Primer-Responden Wawancara Halaman muka
3. Pengalaman Usaha
Primer-Responden Wawancara 1-3
4. Intensitas Komunikasi
Primer-Responden
Pengisian Angket
4 (a) s.d (g), 5, dan 6
5. Keanggotaan Kelompok
Primer-Responden Wawancara 7, 8 (a) s.d (c),
dan 9 (a) dan (b)
6. Kemampuan Mengendali- kan Resiko
Primer-Responden
Wawancara & pengisian
Angket
10 (a) s.d (d) 11-13 (a) s.d (g)
14-18
7. Keterampilan Teknis
Primer-Responden Wawancara 19 (a) s.d (d)
20-25
100
NO MASALAH TUJUAN PEUBAH
DATA NOMOR PERTANYAAN KUESIONER
DATA DIKUM-PULKAN
SUMBER DATA
TEKNIK PEROLEHAN DATA
II. Ciri lingkungan usaha yaitu: kebijakan pemda, skala usaha, modal keuangan, modal tenaga kerja, sarana usaha, prasarana usaha, lokasi usaha, & kompetitor berhubungan lang-sung dengan tingkat partisipasi pengelola rumah makan tradisional kelas C dalam adopsi program Sapta Pesona di Jakarta Timur.
Mengidentifikasi ciri lingkungan usaha yaitu: kebijakan Pemda, skala usaha, modal keuangan, modal tenaga kerja, sarana usaha, prasarana usaha, lokasi usaha, & kompetitor berhubungan langsung dengan partisipasi penge-lola rumah makan tradisional kelas C dalam adopsi program Sapta Pesona di Jakarta Timur.
Ciri Lingkungan Usaha
8. Kebijakan Pemda
Sekunder-Sudinpar & Primer-Responden
Wawancara & Angket 26 (a) s.d (g)
9. Skala Usaha
Sekunder-Sudinpar & Primer-Responden
Angket 27 (a) s.d (e)
10. Modal Keuangan
Primer-Responden Angket 28-31
11. Modal Tenaga Kerja
Primer-Responden
Observasi & Angket 32-37 (a) s.d (g)
12. Sarana usaha
Primer-Responden
Observasi Partisipatif &
Angket
38 (a) s.d (m) 39
13. Prasarana Usaha
Primer-Responden
Observasi Partisipatif &
Angket 40 (a) s.d (i)
14. Lokasi usaha
Primer-Responden Sekunder- pengunjung
Observasi Partisipatif &
Angket 41-45
15. Kompetitor Primer-Responden
Observasi Partisipatif &
Angket 46 (a) s.d (d)
101
NO MASALAH TUJUAN PEUBAH
DATA NOMOR PERTANYAAN KUESIONER
DATA DIKUM-PULKAN
SUMBER DATA
TEKNIK PEROLEHAN DATA
III. Pengelola rumah makan tradisional kelas C belum mampu mengadop-si program Sapta Pesona secara me-nyeluruh sehingga belum maksimal dalam mengimple-mentasikan pro-gram Sapta Pesona pada kegiatan usaha rumah makan tradisional kelas C di Jakarta Timur
Mengetahui tingkat adopsi adopsi Sapta Pesona pengelola RMT kelas C (yaitu pada tahap kesadar-an, minat, penilaian, mencoba, penerima-an, konfirmasi, atau penolakan) dalam pada kegiatan usaha rumah makan tradisional kelas C di Jakarta Timur
Pengelola RMT kelas C dalam adopsi program Sapta Pesona
16. Tahap Kesa- daran
Primer- Responden
Observasi Partisipatif &Angket
47-50
17. Tahap Ke- peminatan 51-53
18. Tahap Peni- laian 54-55
19. Tahap Mencoba 56-58
20. Tahap Penerimaan 59-77
21. Tahap Konfirmasi 78 (a) s.d (e)
22. Tahap Peno- lakan 79-83
,11i , \ r r r f , ^1, , \Rl , \
l rNnrR r^ l l l r r l00l
n-N \ l ! \ l l^ r { \ t ! r \11r1\} : r l l \ i rnt ' \ \
F FN O IGCU NG JAWA D I ALAMAT PENANGGUNGI ]AWAB USANA
KLS
RM NasiGorena a Albur
tunr n Poid.k liakai s.r
,^"_"-:;:,,il".r1 or Njrr Lai
JlRaya Pondok Gede No r
IJal saru Bundeo No 5 RT003/09
Jl Kunt No 50RT01/05
]Pcndok cabe ud* (ec Pimuranq
lr Kram6rAsen Rl00l/006
lG,eei carden Fr/r7 An 0a/0,lKe, t(edoya urara Ke Kerron
t*-*-***"lxp curuo Rr 01'07 KelPond.k
lher4arE. Dus saw,r
Lr R3F nank.d RT 0!r02
1.,, "-,,*,, "*." "",u
o',,u
li. Bai Mes'.,r<ec rarres!b
kq a pel . sealan t(e.Crandak
tsunu rj )nu Rara s 4/?3
JrKe ala Ou3 Welan ltT 03104
I
Ji riay3 rloa.,1 t)eDan Kran,3rJarr rrdah) ]<e KramaiJ.l
J Baa Fls lar . r .an n. 125
J Rara l , . idrr Ke:oi Ri t r (
i2t r5!1.r31:, 0314 ' : iaD5a
Ke Jr.r,ior 3ar tL, c;:r iiLrz
I
. r 5r ,L: ! t r Ri ! . i C 1Rl005l1i l
. r r ' i ,ar , ,ur Ki . Pordoi ceC:
1r..", c"- n. ' . r ' r : nr.r,, .
f.: 9L . aPrang Ke. Cakurg
5
c
B
1
" l:l
2
2
2
2
2.
ALAI,4AT PENANGGUNG
: I ;
* l ' l ' l 'l5
lKa, Ai.a a Bok E/7Rr oir/aot T .a.er sawr Kec Duren sawir
It t "1,," , . , "^. , . - . , ,1lxe
;da€cnaKecJaIreqa*
|
t t 'i, n-"0""
"". r*", ro,oo *. I u
105/0r? Kcla safar Beka6 Baa'
IlJ Paangan 6atu Rrc04/005 | 5
t t 'lon o**",*, *.,0. *" o* | u
]serabnKecramboaJakbm Ilcawdnq I RT010RW05 I 6
lKd Kebon Para (* Makasr
IlJr r.rahd6r UIM Dc 10/33 | l0Pon':ok Karya Ks.Pondok Aren I
l<abianq*eollKomp wR slokcRT003/013 | 6
fartRahavu K4 emdok cede
Jlr (untrNo 50 Rroro5 IiPonmr.dbeudr reL pamuarq I Lo
l ' - ' "*-1."] , , " , - , ,^" ," . , " , , " , ]
"
lr(, ciiran Be.'K, Kmma'Jarr
II P.qqunrn B:,ai No J6
lra,u Furh x{ Puocadunq I 5
lJ , I mo N.,3 Rr 07/3'
I
t^- ' - " -**- llJr K.rron Pa]l n Rr001013 | 6
lKebm M.rar Ke. rsahAbans
Ir caah Maca No 2cir, I :s
lKes:xam']nrDlJr Knkap Raya No 10 Rl t5/05 | 3KejJ3lKe.Plocadunol
ii sLiG, HFU.r6ya sr23 Rro?/id ja
ix' su'i'1e'.rava K{ ra'llnq P''o'kl
t3l llJr MLlarr r r42 Rr 0071010 | aiK! ( r i ! Purh Kec P!ocadlrc I
J Fra Pos Peneumben Rr 01106 ] 6
i , . " , " , " .o,"K' .K"b""J"* i 1o*"", t""""" t ' r rr"r"" t , . , * t i .
t'''"-*'*"^*"*"-'-ltJ, .h ' f tqearm!,No 57 | s
iK:3aro$.kecJalrcqaiaIJ .r3!os crafra Lesta. E r/r. Rl5/q 3kecPrnd" 'AsKab%nqe6el
l
l l ' li , J3ra & N. rs RT oi3 R' ,v ood , IlK: Pr r.r.nam Ke. lrlahanran I
lJrKahaano srdk E/r kav AqramlrndEiry Ksnawan
lxer outr s.h'0r1 a6r6633
|lJrPond.k Keraoa Raya sror I r5 frasbL 3h
lJr or'ra Raya No 73 iN!.,'
lJrKa turanq Komp 3 iys,Moon lsanbanq subardo
lsok E Bz No 0l
lJMaraka RayaBrokr4i Rr rD/oa lMade Kflspand!
lKe! Maakastr 0r1 366113o!
IlJlJalrneaarJ r mur 123 GarE r,,t6s l^..r
I Rr 001/0, Bari M*'ef 7071033
IiJr Raya acoo' No 40 lH Y6urA.ir:nar
iKeKmarJar]lJr oewisanika No.164 iAiu umaii
lKer cfi(an 0r1 30e5877
|lr ca*eo Bau No ,a Fr orrlo
'roh yu.i,iar z
lcernano cemDedak 0,1 a5r00,36]
lJr3a3' PusiabTimur Brok1225 lP.y f le 'u^irayr sHrRlko E Ker Ra.{amanqun
I
llJ Raya 8oao, No 1, xm 26. lDsaAyadaa
it li Raya Bosor rr3rrKraFarJar iA uEir.
l.rr RayaciDayury lsuqar3rrri
Ilr Raya raru. Mft rrd'6a
lrndsh Ke Prd's Rmr
lJr Bansunan 8a.ar No 35 lAriJr re
lK ' ' ]KavuPurhll.li Mabes tlankanr N.
l (eBamrruAnF.,"2J"- lJ. Bala Pusraka i nrr No3sr3! l fa, A.rrmmA s
iRuk. eP, x--, Rawammqtri
tJr Raya karnarmq K3! Dx tDE p!:r. r^/rd.,o
lKePurdl |xea,ailJr P,us N. 34lKe RdwanEn4f
t, -","""",..""."," l^""".,""".i ** ' * ' " ' - ' " " ilJ, P6' @n Ldia I ND sKe Ps$xai T rnu; lt liJr s,no!n3n BarerNl
lKdK3!!P!r , r0, , i r r54a3]l r Raya londor c. : je No i iF. .en: isNrnrr .s
lr Raya Poidor Gede No i
l, o* **',*- -..". l'. .,.,.
J orsia F.y. No 45s
iK 'Bd3-cmipr Pemuda N. ,.rD
lKeJa'0 '14' ]865N1,
l , n" ,"e".* , , , " r2r l r " r r" . - .s-""ItJr F,ahda Rd: N' d4lKd ulai r(3y! .rr ar!3r.!
J Jrmbo's i LC bubrr l ' r ' r t i r
xerirsaan gorav no t c
Rt03i00a Kel Aa Mesr:r
sei ta PanrdrN. ' r
Rl I t i .3
Jr Jarwar nqLn No 7 R1.44r05
Ka m.anq Rat: Nr 14 3
J1 Cnndel l io l3 Rl i5r i , : l
Jr o!$a No 2iBRr 0r,12
. r DrPaia{af N.27 RT r4rr :
J Fdr C-;Jr (nniP r !3 rrrr
j (e iakaan r iNo 25 Rl or2ro11P.id.k Aambu Kec ouren Sawt
sendrnaan Hrlr No 5 Rl01rr001a:rduiqar ll ir KecTanah ADang
J leq.ran No 2rA RI o13 RWKr r iL Mrran K!. Mahmai
(: Lltan KaY! Kec Mataman
r. iJ A r . r No )6 PL 07/06K,! Utan Kayu S Kec MaBmai
Pelanib!'ar rG wazar Ri 051 02a:l:m!u,an (ec -lanah Aban!
l r Lenpaia B.tu l l l -A Rl0r3
{'may..an Jakada Pusa{
G,!rn GarcEn 31k F r2;'A Rt01/9K-'1ia llrara K-'c Keroi.lsiuk
.r Liyuf B ok Dil5 Rt0r9r 06K. Jal/ Krc Puo Gaduns
.f P'rri,buNan xl/32 Rt 01r007x-arJ3r r .c Pu. Gaduno
l l t i3yJ J ' l ieqara Ba;al |75 R- l
Ke! (ranalJal i02r 91r61S6
Pulo Gaduna lrade ceiierrPr C
Kel Jati 021 1743007
J InsPeki Sa urar No 9 D sawrr
J Rawa Ter.le lr/2 K ndrstrrPu ogadunq Ke rarneqaJa
Jr . lar*arnqn No7 Rl 1101r05
Pnano R3nI C2i S77305r i
JL Bara Pusraka Banr N1 i
1", ."
P.ndok Bambu Duren Saw I
J W.'akasv G3nq 4 No 136
P:ltrrbi,a I lG w.z.f Rt o5io2Perambu.an Kec T.nah Abanq
J1 Peaambnaf N. 5RTo12;007Ke Jar Xec Pul. Gaduno
. M.iqea !! 1 Rl 0r)4 tuv 00t
.]rai KaY! Ulara K.c fialraman
J s.u alanl lT 2i1319 Rl10 i r5
K,, Pr o G.b.rq Kec C.kulrq
Jl . l . r ' : !arr T | ! Fi ar .z
PnaLtr f j t3 lAslKe .rn Benrr! (a. P.idnK G.de
Jl { ; ! rn, I . . r , i ; r l : )2r ' r ;
r r R.vr Eair , i i l i l r l r r , l
JrPirr awr Rev.u: N. :5 .L I . .n! nng ND 5Rr0r3/009Ke Krru P!r :h (ec P0oGadunq
Rf"f s.lcriudls ibu sr
NO KLS
PT MdDpo ilan Dever.ome
PT Ntrsanlara Se ahtera Ra
Pondor C lanllnq lFood C.
JI H TEN NO 74
Jl Raya Pondok Kerapaabk c
JrJarrneoara Barar abk c,7 RT0i4/0.4 KeL (ampunq Melayu
JL. Kol sug ono No 3l .32
Jl Se^ira Prme. Baru No 1c
I
lJrRayacedonq lce.rurq PP Prezai
lKer G.donq 0r1 640383e
I
1., """.,",-.,,",",".,,,,,,,,,,,,
Jr rraya tsoqoj Kxi 21 No 1i
021 377930f 41790937
lr Or sra Rayi No 92 Rl 0!/.i;
J l Fe i rJf r r l r a a,a r i
.r Pranruka R3ya N. 6r a
l , r . l . i ra i P! , i i i , r nrJr- ,
I
I
l **I
i
l"*-iL!
D.: t Rr rr
Ke.Kayu Pu[h Kec Pulo Gaduno
K€r Rempoarr Kec Bat! R!d-.n
J Pramuka Jay. N. 33 ARt0r/1Uian Kayu Ulara Kec Malraman
Jl wa6kas V Ganq 4 No 136
r Banqka r /17 RroB Rw 05aanqka MampanoP.analan
r(p Karbara RT002 RW 007
J 6.3!ku tuhmarNd 13 Rr
Rawamanorn kec P cadri!
{edrrnqan I nr Raya F,4r
J Or s!. I N. '2A
RT 004it'CiK. C r C.fp.ibk k.c lariDira
J T3i:i C p naiq RT ill rDoKej C,p Mua'a K,". Ja!.€!!!L
5
c
B
o
c
c
12
7
15
2
f f i ; "s s"d s sh"r" l ,L , 'p+. Nr nE-qi 'oa's
narofrb n PD taserJayar.s AXs
RM cahaya Batu lJi Rtrt. BGGI Ni 0rr'r'
J Cendrawas,h No 30 Deman0an
Jr Tanah l\la5 selalan No4 RlKer Kay! Puth K,cc Malraman
[: Jal X.. PrL. Oadlra
K.r o! ,?n sa4t02r 3525'e!
J Pin! l .k s i , ,bu Bi ! r N..r
J De$ S3rtka rlT 04141
KeRawamaiqmK{P.u| ! !add
r r ' . rL iot sadl iu Sarrs N.1
orenra F anlhse l l Pa/: c uubu' I rmrr 6u 'a
lcburn{Jmdff Ker cibubs
Kalelana R.mayana Jl Rrva aolorKatrrp KJ
PT Carefour ndof,esLa K! Kr.malJa!
1.,,".,.,,,",""-,.,,,",
:lJ i .p !a, ! Bui ia. Rr 02113
Lr ' . r r1,{ i i i r rU Nl i l
J ^r'ru
l,1an s 8:ral r1?Rln302Kr KlyL Mai. Kec rrlalramar
i ]v€y1 ir23 Rl9i! Fer.o..lank:: K.lJto:J| sJiU Jakse
(d RJwa Buiqa Xe. Jat rclara
K.xip EFm35 20C0 l)u;o Gebanq|(!. car.u,a Jakada I'rur
t r r , . r f l 0, , , : xa n, .o, ,wK:. c,r.as Ja?a'1; T ur
-r Pe.hlrlrqtrr x N3 10 RT rolal(r Jrl (!. Furo oaJuiq
B-Akas, T mrr Permai C 29lrBRl 006/012 sefa Mekar _Tambun
Ke (ramarJal "qlgtorq
J Jar i .qa.a Id i r Nr t lBK. Ra-a Bu.qa Ke. J.nneQara
xe srkarasa Kr. Ianderanq
I
1". ,
J J l i .qarainlrNo sr
. l Rtr ! . iaI a,Jro!J: : N I
ur. a Kec Mdtaman Jakrd
K., aedcN (Ec P3sar R.bo
K:r ,n AD xl lN.22 Fr 10/02c,r c.n,pedrr Kec JarielraE
Jr iebcl Ea.al Darad lxArl
r l r ,a.D lDasnt iT Rl Dt i !3Kr K,r(ul Kei T:iian Saf
.r RJlac.n:rerN. 21Ri0201
" {rsenaE,r No 1i trT ia/n1
arrd!nir4 f i i r .Tan3h Abanq
J Cir i3rq c! r . , r rak r i . l
i rYl.n,.i.r tunr N. r' i
J qa/a Edq. 'N. - tn 71
Nal6bu Niinanq R:stauranl
xebpaAl (e Fo4.bk Kekpa
K€ Cbubur 021 377035d7
soto Kldus Kembanq Jowo i i""';l:i;;;;;i;;; I l021 36e0{314 iPrs ou,ei sawr R 1/s Rr lE'r 's lhd IoNTroos K. ourcr sai'r I
';"?:r*#*il:":r'" 1"^'-^-"- j::rs:r"-;":l:::::JrJa,wannq,No' 1", ' "^ '* ' " IKel cumano Mer.Yu I
t lrpdd.kxeapaB.kc, 1,,y"* hl::l: l:1ru:";J:::""#l:ill;'id;"*' I 1i;:r";n";;i;-r'-
'
l , -* .* . . "" *"* ' , , ' 11 HJ3v3' sL
lj:l;.;-ilr:,,l,lrl!:'" ''- =" '--" r,1, i,1.!a,. h-.ai
J r . i r r ' rn1.< ^ i ! , l rJr I
i
1i .l11it"t.,ffii,k:;; ".],1l,,, i,r; ';..",, j. i. ',. ' ' '
l;i:1li.ii." """ "' 'I rd. l ; ! ! . f ! . 1 i a i r , ts . .
L
"--*" . ' .
J : 'n,i i i ,(:a,iR.r.t i ' t :r. ir,. lrJar:r l l i i ' ; l : i i : :: i l in"flf i^Kr. rrc.q KDiYa Behs
r1 r,.tri'.tr.,13i' '.''
j, ,' 1,.r...,*,,,,,.,,1rtt:::.Jl Lf3tri ' .tr lR3F Nr J /l
lli ,'."1 :: ";l:; h:1'j,"1':;l: i::"'
: : . - ' , "" ;
" -"" ' '
ALAMAI PENANGGUNC KLS
225
J Pondok Keapa abk G 1No 93 KeL PoDddk Kel6pa
J Raya Nusa Indah lNc 13
Jr sekasr T mur Raya No 1
Jr Raya Flanksm lLlrrP$lu I
Jl ianbore Nj i3 RT004/014
J Raya Kanaanq No i2RT 103/0r6l<e Du'en Sawi
K3 JariKec PuroGadunq
RT 02106 Ke apa Dla KecKebon Jetuk Jakana Ba6l
JrKedondons 46/15RT 13/r 0
cibuburNo 13RT.004i014
Pnma L'ngkarAsn A 7No 13RT 002/04 J3[ Bening KecPondok Gede Kodva Bekasi
16
c
c
1
1
5
Lampiran 3
Lampiran 4. Kuesioner Penelitian
TINGKAT ADOPSI PROGRAM SAPTA PESONA OLEH
PENGELOLA RUMAH MAKAN TRADISIONAL KELAS C
DI JAKARTA TIMUR
KUESIONER PENELITIAN
Nomor Responden
Nama Pengelola/Manajer : ................................................................................................ (L/P)
Usia : .........................................
Pendidikan Formal : ......................................... (SD, SLTP, SLTA, Diploma, S-1, dll.)
Pendidikan Nonformal : 1. Tidak 2. Ya, 1 kali 3. Ya, >1 kali
.........................................................................................................
Pelatihan Khusus Boga : 1. Tidak 2. Ya, 1 kali 3. Ya, >1 kali
.........................................................................................................
Nama Usaha : .........................................................................................................
Alamat Usaha : .........................................................................................................
.........................................................................................................
Perusahaan berdiri sejak : .........................................................................................................
Status Usaha : a. Lokasi Bangunan : 1. sewa 2. milik sendiri 3. kongsi
b. Kepemilikan Usaha : 1. kontrak 2. milik sendiri 3. kongsi
Nama Enumerator : .......................................
Tanggal : .......................................
Tanda tangan : .......................................
* Kuesioner ini bukan merupakan ujian, jadi tidak ada jawaban benar maupun salah. Jawaban yang diberikan tidak akan berpengaruh pada pekerjaan dan status Bp/Ibu. Maka jawablah semua pertanyaan, tidak perlu ragu menjawab sesuai pekerjaan sehari-hari, karena kami akan menjaga kerahasiaannya.
Lampiran
113
Petunjuk: Isilah titik-titik atau berilah tanda (ü) pada pilihan jawaban yang sesuai dengan kondisi dan jawaban responden!
I. Ciri Pribadi Pengelola RMT
Pengalaman Usaha
1. Berapa tahun Bp/Ibu berusaha rumah makan tradisional yang saat ini dijalani? …………............. tahun
2. Berapa tahun Bp/Ibu berusaha rumah makan sejenis sebelumnya? ................. tahun 3. Pengalaman usaha Bp/Ibu jalani selama ini diperoleh dari mana/siapa?
…………………………………………………………………………………........... (warisan keluarga, teman bisnis, dan pendidikan)
Intensitas komunikasi
4. Informasi tentang bisnis rumah makan tradisional diperoleh Bp/Ibu dari:
No. Sumber Informasi Frekuensi (kali dlm 1 bln)
Lama interaksi (jam)
a. Penyuluh ………… ……………… b. Semiloka ………… ……………… c. Televisi/Radio ………… ……………… d. Buku ………… ……………… e. Koran/majalah ………… ……………… f. Rekan bisnis ………… ……………… g. Keluarga ………… ………………
5. Bentuk interaksi Bp/Ibu pada sumber informasi tersebut yaitu
1. Mendengarkan 2. Menonton 3.Membaca 4. Menghadiri pertemuan 5. Bertanya langsung
6. Bentuk komunikasi terkait dengan bisnis rumah makan manakah yang paling sering diikuti? 1. massa, 2. personal, 3. kelompok Alasan Bp/Ibu memilih bentuk komunikasi tersebut yaitu: ......................................... .......................................................................................................................................
Keanggotaan Kelompok
7. Apakah Bp/Ibu terdaftar sebagai anggota kelompok pengelola/pengusaha rumah makan? 1. Tidak Perlu 2. Belum ada kesempatan 3. Ya
8. Apa bentuk keterlibatan Bp/Ibu dalam kelompok tersebut?
No a. Nama kelompok b. Status dlm kelompok c. Frekuensi Pertemuan
Agota P’urus Ketua Per-1 bln Per-2 bln Per-3 bln
9. a. Mengapa Bp/Ibu perlu bergabung dalam kelompok tersebut? (digali lebih dalam)
...................................................................................................................................... b. Apa alasan Bp/Ibu tidak bergabung dalam kelompok? (digali lebih dalam)
......................................................................................................................................
Lampiran
114
Kemampuan Mengendalikan Risiko
10. Risiko apa yang paling sering Bp/Ibu dihadapi dalam pengelolaan usaha ini? 1. produk, 2. harga, 3. pelayanan, 4. promosi
No. Jenis Risiko
Respon/tanggapan Dampak Risiko yang Muncul TT SR R C T ST
a. Produk b. Harga c. Pelayanan d. Promosi
Ket.: TT = Tidak Tahu SR = Sangat Rendah, R = Rendah, C = Cukup, T = Tinggi, ST = Sangat Tinggi 11. Sehubungan dengan pertanyaan nomor 10, risiko mana yang dapat dihadapi sendiri?
......................................................................................................................................... 12. Pada kasus risiko yang tidak mampu Bp/Ibu hadapi, ke mana mencari penyelesaian
masalah? 1. Atasi dengan keluarga 2. Atasi dengan karyawan 3. Atasi bersama kelompok lain
13. Masalah/hambatan/gangguan lain yang sering dialami Bp/Ibu?
Hambatan/Gangguan Hal yang akan dilakukan
a. Sepi pengunjung .............................................................................................................. b. Sulit bahan baku .............................................................................................................. c. Harga BBM .............................................................................................................. d. Ketenagakerjaan .............................................................................................................. e. Keamanan .............................................................................................................. f. Pungutan Liar .............................................................................................................. g. Pengamen .............................................................................................................. 14. Jika usaha rumah makan ini mengalami keuntungan besar, bentuk rencana
pengembangan yang akan Bp/Ibu lakukan yaitu : 1. diversifikasi usaha 2. perluasan usaha 3. pembukaan cabang usaha
No. Pertanyaan Respons/Tanggapan TT TS KS S SS
15. Keuntungan perusahaan dapat berkurang akibat: a. penggunaan karyawan tetap
b. penggunaan karyawan nonkontrak
16. Bp/Ibu perlu menindaklanjuti setiap keluhan tamu berkaitan dengan usaha rumah makannya.
17. Tata ruang rumah makan berpengaruh pada: a. efektivitas pelayanan
b. efisiensi pelayanan
18. Perawatan sarana dan prasarana merupakan faktor terpenting dalam usaha rumah makan.
Ket.: TT = Tidak Tahu, TS = Tidak Setuju, KS = Kurang Setuju, S = Setuju, SS = Sangat Setuju
Lampiran
115
Keterampilan Teknis
19. Menurut Bp/Ibu, keterampilan teknis yang terpenting dikuasai dalam pengelolaan:
Jenis Keterampilan Teknis
Respons/Tanggapan Keterangan
TT TS KS S SS a. Produk b. Harga c. Pelayanan d. Promosi Ket.: TT = Tidak Tahu, TS = Tidak Setuju, KS = Kurang Setuju, S = Setuju, SS = Sangat Setuju
20. Metode yang Bp/Ibu gunakan pada kegiatan rekrutmen karyawan adalah:
1. Keluarga/Teman 2. Iklan/Agen 3. Umum melalui pelatihan
21. Bp/Ibu menentukan kebutuhan pelatihan karyawan jika: 1. ada tawaran instansi/lembaga 2. ada keluhan pelanggan 3. rutinitas perusahaan
22. Apakah ada standar prosedur kerja yang Bp/Ibu terapkan bagi karyawan? 1. Tidak Ada 2. Ya 1 prosedur 3. Ya >1 prosedur Standar prosedur kerja tersebut yaitu tentang: .............................................................................................................................................
23. Apakah Bp/Ibu melaksanakan penilaian kinerja karyawan? 1. Tidak Ada 2. Ya 1 kali/tahun 3. Ya >1 kali/bulan
Apa alasan Bp/Ibu? ............................................................................................................ .............................................................................................................................................
24. Apakah Bp/Ibu juga melakukan evaluasi kepuasan pelanggan? 1. Tidak Ada 2. Ya 1 kali/bulan 3. Ya >1 kali/bulan
Apa alasan Bp/Ibu? ............................................................................................................ .............................................................................................................................................
25. Bp/Ibu memperoleh umpan balik tentang kualitas dari pelanggan yaitu dengan cara: 1. Tidak ada 2. Bertanya langsung 3. Pengisian angket
II. Ciri Lingkungan Usaha Kebijakan Pemerintah Daerah 26. Bagaimana pendapat Bp/Ibu tentang kebijakan Pemerintah Daerah terkait dengan
keberlangsungan usaha rumah makan?
Bentuk/Aturan Kebijakan Pemerintah Respons/Tanggapan
Keterangan STM TM C M SM
a. Pelayanan administrasi perizinan b. Pungutan pajak c. Penarikan retribusi d. Kegiatan pengawasan e. Pembinaan daya saing f. Pembinaan kualitas produk g. Pembinaan kualitas pelayanan Ket.: STM = Sangat Tidak Memuaskan, TM = Tidak Memuaskan C = Cukup,
M = Memuaskan, SM = Sangat Memuaskan
Lampiran
116
Skala usaha 27. Data skala usaha
a. Luas Rumah Makan : ..................... m² b. Kapasitas : ................................kursi c. Jumlah Karyawan : .................... orang d. Pengunjung harian : ................. tamu e. Omzet per-hari : Rp. ..............................................................................................
Sumber Modal Keuangan 28. Modal keuangan usaha
ini berasal dari: 1. modal pinjaman 2. modal sendiri 3. modal patungan
29. Bagaimana besaran mo-dal keuangan saat ini:
1. kurang 2. cukup 3. berlebih
30. Bagaimana besaran mo-dal investasi saat ini:
1. kurang 2. cukup 3. berlebih
31. Lembaga/sumber keuangan yang Bp/Ibu manfaatkan sebagai modal usaha yaitu:
Lembaga/sumber keuangan Respons/Tanggapan
Keterangan SS S C M SM
a. Bank Pemerintah b. Bank Swasta c. Koperasi d. Pegadaian e. Perorangan/kerabat f. Rentenir
Ket.: SS = Sangat Sulit, S = Sulit, C = Cukup, M= Mudah, SM = Sangat Mudah
Modal Tenaga Kerja 32. Rumah makan yang Bp/Ibu kelola ini menggunakan karyawan berasal dari:
1. Keluarga dekat 2. Teman 3. Tetangga
4. Karang taruna 5. Umum (siapa saja bisa)
33. Karyawan rumah makan ini berlatar belakang: 1. Putus Sekolah 2. Siswa Aktif 3. Tamat sekolah
34. Umumnya pramusaji berlatar belakang pendidikan yaitu: 1. SD : ................................ 3. SMU/SMK: ................................ 2. SMP : ................................ 4. Diploma : ................................
35. Status karyawan rumah makan ini yaitu : 1. Tenaga lepas 2. Tenaga harian 3. Tenaga tetap
36. Apakah Bp/Ibu memberikan pelatihan khusus bagi karyawan? 1. Tidak 2. Ya 1 kali 3. Ya > 1 kali 37. Menurut Bp/Ibu, materi pelatihan yang sesuai untuk jenis usaha ini yaitu:
Materi Pelatihan Respons/Tanggapan Hasil Observasi TT TS KS S SS
a. Cara produksi b. Prosedur pelayanan c. Kecepatan pelayanan d. Cara komunikasi e. Keramah-tamahan f. Keamanan Kerja g. Kebersihan & kesehatan Ket.: TT = Tidak Tahu, TS = Tidak Setuju, KS = Kurang Setuju, S = Setuju, SS = Sangat Setuju
Lampiran
117
Sarana Usaha
38. Jenis Sarana Respons/Tanggapan
Hasil Observasi TL KL CL L SL
a. Kualitas alat makan b. Kuantitas alat makan c. Kualitas alat minum d. Kuantitas alat minum e. Kualitas meja tamu f. Kualitas kursi tamu g. Kerapian Penataan Meja
h. Kelengkapan Asesoris Meja i. Kualitas pakaian seragam j. Kualitas alat masak k. Kebersihan area dapur l. Kebersihan gudang kering k. Kebersihan lemari es m. Kualitas area pencucian Ket.: TL= Tidak Layak, KL = Kurang Layak, C = Cukup Layak, L = Layak, SL = Sangat Layak 39. Apakah Bp/Ibu melakukan inventarisasi peralatan: 1. Jika perlu 2. Ya, tiap 3 bln 3. Ya, tiap 1 bln 4. Ya, tiap minggu 5. Ya tiap hari Prasarana Usaha
40. Jenis Prasarana Respons/Tanggapan Hasil Observasi STL TL CL L SL a. Instalasi PLN b. Instalasi gas c. Instalasi PAM d. Bak sampah e. Saluran limbah f. Pemadam kebakaran g. Fasilitas parkir h. Toilet umum i. Fasilitas ibadah sholat Ket.: STL= Sangat Tidak Layak, TL = Tidak Layak, CL = Cukup, L = Layak, SL = Sangat Layak
Lokasi usaha
41. Menurut rekaman Bp/Ibu, bagaimana tanggapan pengunjung tentang lokasi usaha rumah makan ini?
1. Sangat sulit dijangkau 2. Sulit dijangkau 3. Cukup strategis 4. Strategis 5. Sangat Strategis
42. Apakah lokasi rumah makan ini berhubungan dengan tingkat kunjungan tamu/pelanggan? 1. Sangat kurang berpengaruh 2. Kurang berpengaruh 3. Cukup berpengaruh 4. Berpengaruh 5. Sangat berpengaruh
Lampiran
118
43. Bagaimana kondisi lingkungan sekitar rumah makan ini?
1. Sangat buruk 2. Buruk 3. Cukup baik 4. Baik 5. Sangat baik
44. Menurut rekaman Bp/Ibu, kelompok tamu yang datang ke rumah makan ini :
1. Pembisnis 2. Karyawan/Buruh 3. Mahasiswa/Pelajar 4. Ibu Rumah Tangga 5. Umum
45. Menurut rekaman Bp/Ibu rata-rata jenis pengunjung rumah makan yaitu : 1. Pengunjung tidak tetap 2. Pengunjung tetap 3.Pengunjung keduanya
Kompetitor
46. Bagaimana tingkat persaingan usaha rumah makan yang Bp/Ibu kelola dengan rumah makan lainnya?
Bentuk Persaingan Respons/Tanggapan Strategi Menghadapi Persaingan TT TK CK K SK a. Produk b. Harga c. Pelayanan d. Promosi
Ket. TT = Tidak Tahu TK = Tidak Ketat CK = Cukup Ketat K= Ketat SK = Sangat Ketat
III. Adopsi Program Sapta Pesona Kesadaran
47. Apakah Bp/Ibu menge-nal program pemerintah di bidang pariwisata?
1. Tidak Kenal 2. Kurang Mengenal 3. Cukup Mengenal 4. Mengenal 5. Sangat Mengenal
48. Apakah Bp/Ibu tahu Sapta Pesona sebagai salah satu program pariwisata?
1. Tidak Tahu 2. Kurang Tahu 3. Cukup 4. Mengetahui 5. Sangat Mengetahui
49. Apakah Bp/Ibu tahu tuju-an pelaksanaan program Sapta Pesona?
1. Tidak Tahu 2. Kurang Mengetahui 3. Cukup Mengetahui 4. Mengetahui 5. Sangat Mengetahui
50. Berdasarkan rekaman Bp/Ibu sejak kapan program Sapta Pesona diperkenalkan? sekitar 1. baru-baru ini 2. 2005-an 3. 2000-an 4. 1995-an 5. 1990-an
Minat 51. Dari mana Bp/Ibu mengenal Sapta Pesona? 1. Media Massa 2. Media Elektronik 3. Seminar/Lokakarya 4. Teman Bisnis 5. Penyuluh
52. Apakah Bp/Ibu dapat menyebutkan butir-butir dalam program Sapta Pesona?
1. Tidak tahu 2. Tidak mampu 3. Cukup mampu 4. Mampu 5. Sangat mampu
53. Berdasarkan rekaman Bp/Ibu apakah program Sapta Pesona bermanfaat bagi kelangsungan usaha? 1. Tidak tahu 2. Kurang manfaat
3. Cukup manfaat 4. Bermanfaat 5. Sangat bermanfaat
Lampiran
119
Penilaian 54. Bagaimana kesan Bp/Ibu pada penyuluh
Sapta Pesona? 1. Tidak tahu 2. Kurang menarik
3. Cukup menarik 4. Menarik 5. Sangat menarik
55. Bagaimana Bp/Ibu berpendapat tentang isi program Sapta Pesona? 1. Tidak tahu 2. Kurang menarik
3. Cukup menarik 4. Menarik 5. Sangat menarik
Mencoba 56. Apakah program Sapta Pesona dapat
diterapkan pada usaha rumah makan? 1. Tidak Tahu 2. Kurang dapat 3. Cukup 4. Dapat 5. Sangat Dapat
57. Apakah Bp/Ibu sudah menerapkan butir-butir Sapta Pesona? 1. Belum coba 2. Coba beberapa
3. Coba sebagian 4. Coba banyak 5. Coba seluruhnya
58. Butir manakah dari program Sapta Pesona yang sulit untuk diterapkan? 1. keamanan 2. ketertiban 3. kebersihan 4. kenyamanan 5. keindahan 6. keramahan 7. kenangan
Menerapkan 59. Pada kegiatan apakah Bp/Ibu menerapkan unsur program Sapta Pesona?
1. Tidak tahu 2. Proses produksi makanan 3. Proses pelayanan tamu 4. Proses pengelolaan lingkungan 5. Seluruh proses Butir-butir
Sapta Pesona Bentuk Aksi Responden Intensitas Hasil Observasi TT TS CS S SS
Aman
60. Memelihara lingkungan aman. 61. Menjaga lingkungan dari bahaya
penyakit menular
62. Meminimalkan risiko kecelakaan
Tertib 63. Mewujudkan budaya antre
64. Menaati peraturan yang berlaku
65. Menerapkan disiplin waktu
Bersih
66. Membuang sampah di tempatnya 67. Menyiapkan sajian higienis 68. Menyiapkan peralatan bersih 69. Menjaga kebersihan dan kerapian
penampilan petugas
Sejuk 70. Memelihara lingkungan hijau
71. Menjaga kesejukan ruangan
Indah
72. Menata keserasian lingkungan sesuai karakter kelokalan.
73. Menjaga keindahan tanaman lingkungan alami
Ramah 74. Membantu memberi informasi 75. Menghimbau untuk senyum dan
ramah.
Kenangan 76. Menyajikan hidangan khas lokal 77. Menyediakan cinderamata unik /
khas lokal
Ket.: TT= Tidak Tahu, TS = Tidak Sering, CS = Cukup Sering, S = Sering, SS = Sangat Sering
Lampiran
120
Konfirmasi 78. Menurut rekaman Bp/Ibu penerapan Sapta Pesona berpengaruh terhadap:
Faktor yang dipengaruhi Respons/Tanggapan
Hasil Observasi TT KP CP BP SP
a. Kepuasan pengunjung
b. Jumlah pendapatan (omzet) c. Citra perusahaan d. Kepuasan karyawan e. Produktivitas kerja karyawan Ket.: TT = Tidak Tahu KP= Kurang Pengaruh, CP = Cukup Pengaruh, BP = Berpengaruh, SP = Sangat Pengaruh Penolakan 79. Apa sikap Bp/Ibu terhadap program Sapta Pesona? 1.Tidak Mendukung 2. Kurang Mendukung 3. Cukup Mendukung 4. Mendukung 5. Sangat Mendukung 80. Alasan Bp/Ibu tidak menerapkan Sapta Pesona pada kegiatan usaha ini yaitu: 1.Tidak tahu manfaat 2.Bukan keharusan 3.Butuh biaya 4.Karyawan tidak mendukung 5.Memiliki konsep/program sendiri
81. Jika mengetahui manfaatnya, apakah Bp/Ibu akan ikut serta menerapkan program Sapta
Pesona pada kegiatan usaha rumah makan ini? 1. Tidak tahu 2. Tidak menerapkan 3. Ya menerapkan
Alasannya: ........................................................................................................................ ...........................................................................................................................................
82. Apakah Bp/Ibu akan menghimbau orang lain dengan bisnis yang sama untuk menerapkan program Sapta Pesona? 1. Tidak tahu 2. Tidak menghimbau 3. Ya menghimbau
Alasannya: ........................................................................................................................ ...........................................................................................................................................
83. Jika ada program lain bidang pariwisata dari pemerintah, apakah Bp/Ibu akan peduli? 1. Tidak tahu 2. Tidak peduli 3. Ya peduli
Alasannya: .......................................................................................................................
Terima Kasih
121
Lampiran 5. Hasil Uji Korelasi Rank Spearman
Usia
Responden Pendidikan Pengalaman
Usaha Intensitas
Komunikasi Keanggotaan
Kelompok Kemampuan
Resiko Keterampilan
Teknis Usia Responden
Correlation Coefficient 1.000 .039 .220 -.026 .031 -.173 .052
Sig. (2-tailed) . .762 .083 .842 .807 .176 .687 N 63 63 63 63 63 63 63 Pendidikan Correlation
Coefficient .039 1.000 -.181 .412(**) .155 -.037 .008
Sig. (2-tailed) .762 . .157 .001 .224 .772 .950 N 63 63 63 63 63 63 63 Pengalaman Usaha
Correlation Coefficient .220 -.181 1.000 -.106 .055 -.121 .010
Sig. (2-tailed) .083 .157 . .406 .669 .346 .939 N 63 63 63 63 63 63 63 Intensitas Komunikasi
Correlation Coefficient -.026 .412(**) -.106 1.000 .329(**) .037 .149
Sig. (2-tailed) .842 .001 .406 . .008 .772 .243 N 63 63 63 63 63 63 63 Keanggotaan Kelompok
Correlation Coefficient .031 .155 .055 .329(**) 1.000 .049 .007
Sig. (2-tailed) .807 .224 .669 .008 . .702 .955 N 63 63 63 63 63 63 63 Kemampuan Resiko
Correlation Coefficient -.173 -.037 -.121 .037 .049 1.000 -.002
Sig. (2-tailed) .176 .772 .346 .772 .702 . .989 N 63 63 63 63 63 63 63 Keterampilan Teknis
Correlation Coefficient .052 .008 .010 .149 .007 -.002 1.000
Sig. (2-tailed) .687 .950 .939 .243 .955 .989 . N 63 63 63 63 63 63 63 Kebijakan Pemda
Correlation Coefficient .314(*) .168 .123 -.114 -.046 .041 -.163
122
Sig. (2-tailed) .012 .188 .337 .374 .721 .752 .203 N 63 63 63 63 63 63 63 Skala Usaha Correlation
Coefficient .039 .060 .078 -.033 .086 .186 -.020
Sig. (2-tailed) .763 .641 .542 .796 .504 .145 .877 N 63 63 63 63 63 63 63 Modal Keuangan
Correlation Coefficient .236 .154 .232 .166 .007 -.154 -.011
Sig. (2-tailed) .063 .228 .067 .192 .958 .229 .930 N 63 63 63 63 63 63 63 Modal Tenaga Kerja
Correlation Coefficient .050 -.173 .245 .003 .176 -.058 .182
Sig. (2-tailed) .695 .175 .053 .978 .167 .653 .153 N 63 63 63 63 63 63 63 Sarana Usaha
Correlation Coefficient .212 -.004 .212 -.074 -.012 .191 .203
Sig. (2-tailed) .095 .973 .095 .563 .924 .133 .111 N 63 63 63 63 63 63 63 Prasarana Usaha
Correlation Coefficient -.127 .204 -.008 .060 .159 .131 .120
Sig. (2-tailed) .322 .109 .952 .642 .214 .307 .348 N 63 63 63 63 63 63 63 Lokasi Usaha
Correlation Coefficient -.028 .033 .171 .128 .184 .306(*) -.009
Sig. (2-tailed) .829 .799 .181 .318 .149 .015 .945 N 63 63 63 63 63 63 63 Kompetitor Correlation
Coefficient -.044 .037 .067 .067 .212 .224 -.037
Sig. (2-tailed) .730 .773 .602 .601 .096 .078 .771 N 63 63 63 63 63 63 63 Kesadaran Correlation
Coefficient -.030 .208 .130 .169 .187 -.018 .053
Sig. (2-tailed) .813 .101 .310 .185 .142 .892 .682
123
N 63 63 63 63 63 63 63 Minat Correlation
Coefficient -.080 .035 .072 -.046 .071 -.008 .012
Sig. (2-tailed) .531 .788 .574 .720 .579 .953 .927 N 63 63 63 63 63 63 63 Penilaian Correlation
Coefficient .312(*) -.007 .424(**) .018 .071 .025 .011
Sig. (2-tailed) .013 .955 .001 .890 .579 .846 .931 N 63 63 63 63 63 63 63 Mencoba Correlation
Coefficient -.032 .088 .142 -.099 .074 .162 -.097
Sig. (2-tailed) .802 .495 .266 .441 .566 .204 .447 N 63 63 63 63 63 63 63 Penerapan Correlation
Coefficient .025 -.137 .075 -.295(*) -.133 .119 .196
Sig. (2-tailed) .848 .285 .558 .019 .300 .352 .124 N 63 63 63 63 63 63 63 Konfirmasi Correlation
Coefficient .108 -.147 .257(*) -.328(**) -.140 .106 -.051
Sig. (2-tailed) .400 .251 .042 .009 .273 .411 .692 N 63 63 63 63 63 63 63 Penolakan Correlation
Coefficient -.032 .041 .068 -.125 -.016 .146 -.025
Sig. (2-tailed) .803 .750 .596 .330 .902 .253 .844 N 63 63 63 63 63 63 63
* Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). ** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
124
Kebijakan
Pemda Skala Usaha Modal
Keuangan Modal
Tenaga Kerja Sarana Usaha
Prasarana Usaha
Lokasi Usaha Kompetitor
Usia Responden
Correlation Coefficient .314(*) .039 .236 .050 .212 -.127 -.028 -.044
Sig. (2-tailed) .012 .763 .063 .695 .095 .322 .829 .730 N 63 63 63 63 63 63 63 63 Pendidikan Correlation
Coefficient .168 .060 .154 -.173 -.004 .204 .033 .037
Sig. (2-tailed) .188 .641 .228 .175 .973 .109 .799 .773 N 63 63 63 63 63 63 63 63 Pengalaman Usaha
Correlation Coefficient .123 .078 .232 .245 .212 -.008 .171 .067
Sig. (2-tailed) .337 .542 .067 .053 .095 .952 .181 .602 N 63 63 63 63 63 63 63 63 Intensitas Komunikasi
Correlation Coefficient -.114 -.033 .166 .003 -.074 .060 .128 .067
Sig. (2-tailed) .374 .796 .192 .978 .563 .642 .318 .601 N 63 63 63 63 63 63 63 63 Keanggotaan Kelompok
Correlation Coefficient -.046 .086 .007 .176 -.012 .159 .184 .212
Sig. (2-tailed) .721 .504 .958 .167 .924 .214 .149 .096 N 63 63 63 63 63 63 63 63 Kemampuan Resiko
Correlation Coefficient .041 .186 -.154 -.058 .191 .131 .306(*) .224
Sig. (2-tailed) .752 .145 .229 .653 .133 .307 .015 .078 N 63 63 63 63 63 63 63 63 Keterampilan Teknis
Correlation Coefficient -.163 -.020 -.011 .182 .203 .120 -.009 -.037
Sig. (2-tailed) .203 .877 .930 .153 .111 .348 .945 .771 N 63 63 63 63 63 63 63 63 Kebijakan Pemda
Correlation Coefficient 1.000 .359(**) .218 .050 .050 .049 -.149 .093
Sig. (2-tailed) . .004 .086 .696 .700 .701 .245 .469 N 63 63 63 63 63 63 63 63
125
Skala Usaha Correlation Coefficient .359(**) 1.000 .108 .152 .306(*) .470(**) .164 .219
Sig. (2-tailed) .004 . .399 .234 .015 .000 .200 .085 N 63 63 63 63 63 63 63 63 Modal Keuangan
Correlation Coefficient .218 .108 1.000 .054 .175 .053 -.114 -.046
Sig. (2-tailed) .086 .399 . .676 .171 .682 .374 .721 N 63 63 63 63 63 63 63 63 Modal Tenaga Kerja
Correlation Coefficient .050 .152 .054 1.000 .275(*) .091 .040 -.070
Sig. (2-tailed) .696 .234 .676 . .029 .476 .759 .588 N 63 63 63 63 63 63 63 63 Sarana Usaha
Correlation Coefficient .050 .306(*) .175 .275(*) 1.000 .485(**) .086 -.031
Sig. (2-tailed) .700 .015 .171 .029 . .000 .505 .810 N 63 63 63 63 63 63 63 63 Prasarana Usaha
Correlation Coefficient .049 .470(**) .053 .091 .485(**) 1.000 -.001 .006
Sig. (2-tailed) .701 .000 .682 .476 .000 . .996 .964 N 63 63 63 63 63 63 63 63 Lokasi Usaha
Correlation Coefficient -.149 .164 -.114 .040 .086 -.001 1.000 .391(**)
Sig. (2-tailed) .245 .200 .374 .759 .505 .996 . .002 N 63 63 63 63 63 63 63 63 Kompetitor Correlation
Coefficient .093 .219 -.046 -.070 -.031 .006 .391(**) 1.000
Sig. (2-tailed) .469 .085 .721 .588 .810 .964 .002 . N 63 63 63 63 63 63 63 63 Kesadaran Correlation
Coefficient .170 .198 .034 .175 .158 .168 .228 .212
Sig. (2-tailed) .184 .120 .792 .170 .215 .189 .072 .095 N 63 63 63 63 63 63 63 63 Minat Correlation
Coefficient .142 .073 .216 -.043 -.019 .148 .034 -.074
126
Sig. (2-tailed) .268 .569 .090 .739 .885 .247 .792 .566 N 63 63 63 63 63 63 63 63 Penilaian Correlation
Coefficient .085 .209 .056 .221 .378(**) -.007 .226 .161
Sig. (2-tailed) .510 .100 .662 .081 .002 .957 .075 .208 N 63 63 63 63 63 63 63 63 Mencoba Correlation
Coefficient .165 .272(*) .160 .300(*) .166 .227 .107 .207
Sig. (2-tailed) .195 .031 .210 .017 .194 .074 .403 .104 N 63 63 63 63 63 63 63 63 Penerapan Correlation
Coefficient .134 .270(*) .043 .080 .325(**) .250(*) .070 .094
Sig. (2-tailed) .295 .032 .738 .535 .009 .049 .585 .462 N 63 63 63 63 63 63 63 63 Konfirmasi Correlation
Coefficient .273(*) .156 .131 .002 .291(*) .264(*) .020 .013
Sig. (2-tailed) .030 .221 .305 .988 .021 .036 .875 .922 N 63 63 63 63 63 63 63 63 Penolakan Correlation
Coefficient .240 .102 .008 -.015 .278(*) .293(*) -.043 .193
Sig. (2-tailed) .058 .428 .948 .908 .028 .020 .736 .129 N 63 63 63 63 63 63 63 63
* Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). ** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
127
Kesadaran Minat Penilaian Mencoba Penerapan Konfirmasi Penolakan Usia Responden
Correlation Coefficient -.030 -.080 .312(*) -.032 .025 .108 -.032
Sig. (2-tailed) .813 .531 .013 .802 .848 .400 .803 N 63 63 63 63 63 63 63 Pendidikan Correlation
Coefficient .208 .035 -.007 .088 -.137 -.147 .041
Sig. (2-tailed) .101 .788 .955 .495 .285 .251 .750 N 63 63 63 63 63 63 63 Pengalaman Usaha
Correlation Coefficient .130 .072 .424(**) .142 .075 .257(*) .068
Sig. (2-tailed) .310 .574 .001 .266 .558 .042 .596 N 63 63 63 63 63 63 63 Intensitas Komunikasi
Correlation Coefficient .169 -.046 .018 -.099 -.295(*) -.328(**) -.125
Sig. (2-tailed) .185 .720 .890 .441 .019 .009 .330 N 63 63 63 63 63 63 63 Keanggotaan Kelompok
Correlation Coefficient .187 .071 .071 .074 -.133 -.140 -.016
Sig. (2-tailed) .142 .579 .579 .566 .300 .273 .902 N 63 63 63 63 63 63 63 Kemampuan Resiko
Correlation Coefficient -.018 -.008 .025 .162 .119 .106 .146
Sig. (2-tailed) .892 .953 .846 .204 .352 .411 .253 N 63 63 63 63 63 63 63 Keterampilan Teknis
Correlation Coefficient .053 .012 .011 -.097 .196 -.051 -.025
Sig. (2-tailed) .682 .927 .931 .447 .124 .692 .844 N 63 63 63 63 63 63 63 Kebijakan Pemda
Correlation Coefficient .170 .142 .085 .165 .134 .273(*) .240
Sig. (2-tailed) .184 .268 .510 .195 .295 .030 .058 N 63 63 63 63 63 63 63
128
Skala Usaha Correlation Coefficient .198 .073 .209 .272(*) .270(*) .156 .102
Sig. (2-tailed) .120 .569 .100 .031 .032 .221 .428 N 63 63 63 63 63 63 63 Modal Keuangan
Correlation Coefficient .034 .216 .056 .160 .043 .131 .008
Sig. (2-tailed) .792 .090 .662 .210 .738 .305 .948 N 63 63 63 63 63 63 63 Modal Tenaga Kerja
Correlation Coefficient .175 -.043 .221 .300(*) .080 .002 -.015
Sig. (2-tailed) .170 .739 .081 .017 .535 .988 .908 N 63 63 63 63 63 63 63 Sarana Usaha
Correlation Coefficient .158 -.019 .378(**) .166 .325(**) .291(*) .278(*)
Sig. (2-tailed) .215 .885 .002 .194 .009 .021 .028 N 63 63 63 63 63 63 63 Prasarana Usaha
Correlation Coefficient .168 .148 -.007 .227 .250(*) .264(*) .293(*)
Sig. (2-tailed) .189 .247 .957 .074 .049 .036 .020 N 63 63 63 63 63 63 63 Lokasi Usaha
Correlation Coefficient .228 .034 .226 .107 .070 .020 -.043
Sig. (2-tailed) .072 .792 .075 .403 .585 .875 .736 N 63 63 63 63 63 63 63 Kompetitor Correlation
Coefficient .212 -.074 .161 .207 .094 .013 .193
Sig. (2-tailed) .095 .566 .208 .104 .462 .922 .129 N 63 63 63 63 63 63 63 Kesadaran Correlation
Coefficient 1.000 .446(**) .397(**) .403(**) .326(**) .295(*) .424(**)
Sig. (2-tailed) . .000 .001 .001 .009 .019 .001 N 63 63 63 63 63 63 63 Minat Correlation
Coefficient .446(**) 1.000 .311(*) .226 .286(*) .512(**) .271(*)
129
Sig. (2-tailed) .000 . .013 .075 .023 .000 .032 N 63 63 63 63 63 63 63 Penilaian Correlation
Coefficient .397(**) .311(*) 1.000 .291(*) .400(**) .315(*) .311(*)
Sig. (2-tailed) .001 .013 . .021 .001 .012 .013 N 63 63 63 63 63 63 63 Mencoba Correlation
Coefficient .403(**) .226 .291(*) 1.000 .331(**) .319(*) .344(**)
Sig. (2-tailed) .001 .075 .021 . .008 .011 .006 N 63 63 63 63 63 63 63 Penerapan Correlation
Coefficient .326(**) .286(*) .400(**) .331(**) 1.000 .620(**) .556(**)
Sig. (2-tailed) .009 .023 .001 .008 . .000 .000 N 63 63 63 63 63 63 63 Konfirmasi Correlation
Coefficient .295(*) .512(**) .315(*) .319(*) .620(**) 1.000 .485(**)
Sig. (2-tailed) .019 .000 .012 .011 .000 . .000 N 63 63 63 63 63 63 63 Penolakan Correlation
Coefficient .424(**) .271(*) .311(*) .344(**) .556(**) .485(**) 1.000
Sig. (2-tailed) .001 .032 .013 .006 .000 .000 . N 63 63 63 63 63 63 63
* Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). ** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
130
Lampiran 6. Foto Dokumentasi Profil RMT Kelas C di Jakarta Timur
Foto 1. Profil Bagian Depan RMT Kelas C Foto 2. Profil Bagian Belakang (Dapur) RMT di Jakarta Timur Kelas C di Jakarta Timur
Foto 3 dan 4 Profil Ruang Pelayanan (Makan) RMT Kelas C di Jakarta Timur
SEMINAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
NAMA : AYAT TAUFIK AREVIN NOMOR POKOK : I 352060031 PROGRAM STUDI : ILMU PENYULUHAN PEMBANGUNAN JUDUL PENELITIAN : TINGKAT ADOPSI PROGRAM SAPTA PESONA OLEH PENGELOLA RUMAH MAKAN
TRADISIONAL KELAS C DI JAKARTA TIMUR
DOSEN PEMBIMBING : Dr. Ir. BASITA G. SUGIHEN, M.A. (Ketua) Dr. Ir. SITI AMANAH, M.Sc. (Anggota)
KELOMPOK/BIDANG ILMU : ILMU-ILMU SOSIAL
HARI/TANGGAL : SENIN, 10 NOPEMBER 2008 WAKTU : PUKUL 09.00-10.00 WIB TEMPAT : AUDITORIUM B1 Lt. 1 SOSEK FAPERTA KAMPUS IPB DRAMAGA BOGOR
2
TINGKAT ADOPSI PROGRAM SAPTA PESONA OLEH PENGELOLA RUMAH MAKAN TRADISIONAL KELAS C DI JAKARTA TIMUR1
Adoption Level Sapta Pesona Program of Traditional Restaurant Managers in East Jakarta
Ayat Taufik Arevin2, Basita G.Sugihen3, Siti Amanah3 ABSTRACT
The sectors of transportation, telecommunication, tourism development raised since of 1980th, have been able to overcome the social problems and economics in the ASEAN countries. Tourism development represents Indonesian pledge in the effort of accelerating economics growth. Sapta Pesona is one of the programs to promote tourism development. Sapta Pesona (the Seven Amazed Program) consists of safety, cleanliness, orderliness, comfort, beauty, hospitality, and enhancing memories. The success of Sapta Pesona program will positively contribute to the tourism businesses that are majority managed by low medium levels of restaurant businesses. The study was focused on management of C-class restaurants. Management of C-class restaurants still ran in very traditional strategy. The aims of this study were (1) to learn the participatory level of the traditional restaurant managers in adoption Sapta Pesona program, (2) to identify the factors related to the participation of the managers in adoption, and (3) to find out strategic to improve participation of the managers in adoption Sapta Pesona program. The research method used was survey, supported by participatory observation technique. The populations of the study were 63 restaurants managers at the east of Jakarta. The data collection was carried out from February until September 2008. The data analysis used was correlation test of Rank Spearman. The results showed that (1) the participation of traditional restaurant managers were of medium level, (2) the personal characters (age, experience, level of educations and communication intensity) were positively related to the participatory level of the traditional restaurant managers in adoption Sapta Pesona program, (3) the business characters were closely related to the participatory level of the traditional restaurant managers in adoption Sapta Pesona program. Key words: traditional C-class restaurant managers, adoption, Sapta Pesona.
PENDAHULUAN Latar Belakang
Pembangunan pariwisata merupakan andalan Indonesia dalam upaya mendorong pertumbuhan ekonomi. Sapta Pesona sebagai salah satu program untuk meningkatkan kesadaran masyarakat untuk mampu berpartisipasi dalam pembangunan di bidang pariwisata. Program Sapta Pesona yaitu aman, tertib, bersih, sejuk, indah, ramah-tamah, dan kenangan merupakan kunci sukses bagi semua kegiatan bisnis di bidang pariwisata. Rumah makan salah satu sarana usaha pariwisata yang cukup berpotensi. Dari total penerimaan pajak daerah di DKI Jakarta, pajak yang berasal dari bidang usaha hotel dan restoran mampu menyumbang 12%.
Pada tahun 2005 pemerintah kota Jakarta Timur berhasil mendapatkan penerimaan masing-masing dari pajak hotel sebesar Rp. 7.109.812.177, pajak restoran 1 Makalah sebagai bagian dari Tesis pada Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan SPs IPB 2 Mahasiswa pada Program Magister SPs IPB 3 Berturut-turut adalah Ketua dan Anggota Komisi Pembimbing
3
Rp. 19.536.992.658 dan pajak hiburan Rp. 5.470.979.345. Total keseluruhan Rp. 32.117.784.180, dan penerimaan pajak ini meningkat sebesar 64,3 persen di banding tahun sebelumnya sebesar Rp. 20.810.713.117. (http://www.jaktim.beritajakarta.com/)
Pengelolaan rumah makan kelas C masih tradisional, belum mampu memenuhi kepuasan pelanggan dan rendah dalam kemampuan berkompetisi. Salah satu upaya peningkatan mutu ataupun citra rumah makan tradsional yaitu perlunya pengelola rumah makan berpartisipasi dalam menerapkan unsur-unsur dalam program Sapta Pesona. Beberapa faktor penyebab kegagalan usaha kecil menurut Puspopranoto, et.al (2006) antara lain yaitu: (1) Akibat kebiasaan buruk atau kesehatan kurang baik; (2) Kehilangan pasar; (3) Kurangnya pengalaman manajerial; dan (4) Lemahnya daya saing dan lokasi kurang baik. Faktor ini juga yang menyebabkan keberadaan rumah makan tradisional semakin terdesak oleh restoran modern jenis fast food waralaba baik lokal maupun asing. Kunci keberhasilan menurut Rakhmawati, et.al (2003) antara lain restoran fast food modern tunduk pada peraturan dan syarat-syarat yang telah ditetapkan frenchise-nya di kantor pusat, seperti ketetapan: standar mutu produk, standar manajemen, standar pemasaran, standar lay-out dan standar desain, dan standar kerja karyawan.
Masalah Penelitian Penelitian tingkat adopsi program sapta Pesona oleh Pengelola rumah makan
tradisional kelas C di Jakarta Timur ini diharapkan mampu menjawab masalah tentang: (1) Apakah program Sapta Pesona belum menjadi komitmen budaya bagi pengelola
rumah makan tradisional kelas C di Jakarta Timur? (2) Ciri-ciri apa saja yang berhubungan dengan tingkat adopsi program Sapta Pesona
oleh pengelola rumah makan tradisional kelas C di Jakarta Timur? (3) Bagaimana strategi percepatan adopsi program Sapta Pesona oleh pengelola rumah
makan tradisional kelas C di Jakarta Timur? Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian tingkat adopsi program Sapta Pesona oleh Pengelola usaha rumah makan tradisional kelas C di Jakarta Timur yaitu: (1) Mengetahui penerapan unsur-unsur Sapta Pesona oleh pengelola rumah makan
tradisional kelas C di Jakarta Timur. (2) Menganalisis ciri-ciri yang berhubungan dengan tingkat adopsi program Sapta
Pesona oleh Pengelola usaha rumah makan tradisional kelas C di Jakarta Timur. (3) Bahan rumusan untuk meningkatkan tingkat adopsi program Sapta Pesona oleh
Pengelola usaha rumah makan tradisional kelas C di Jakarta Timur. KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS
Kerangka Berpikir Berdasarkan studi yang dilakukan Kementerian Budpar RI (2003), diperoleh fakta
bahwa: “Partisipasi masyarakat dalam pengembangan daerah tujuan wisata (DTW) di Indonesia masih rendah”. Hal ini disebabkan: (1) tidak adanya ketentuan yang jelas dan rinci tentang pelibatan masyarakat dalam pengembangan DTW; (2) kebijakan tentang peran serta masyarakat dalam pengembangan pariwisata hanya berisi himbauan agar masyarakat diikutsertakan dalam upaya pengembangan tersebut tanpa adanya penjelasan persyaratan, tata cara dan tahap-tahap pelaksanaannya; dan (3) tradisi politik dan budaya Indonesia yang kurang mendukung yaitu kondisi perekonomian yang kurang baik, kurangnya keahlian di bidang kepariwisataan, kurangnya saling pengertian antara pihak-pihak yang terlibat, kualitas sumber daya manusia yang rendah, dan keterbatasan modal masyarakat.
4
Pengelola rumah makan merupakan orang terdepan dalam menjamin kepuasan kualitas produk makanan, minuman, serta pelayanan bagi pelanggannya. Pengelola juga yang bertanggungjawab atas profesionalisme dan jaminan kesejahteraan karyawannya. Pelanggan dan karyawan merupakan aset dalam menjadikan bisnis yang dikelolanya sehat dan mampu berkembang. Usaha rumah makan tradisional di kota besar sekarang ini semakin terdesak oleh restoran waralaba baik lokal maupun dari luar negeri. Kondisi ini adalah akibat rendahnya pengalaman usaha, kemampuan wirausaha, dan keterampilan manajerial bagi pengelola yang terkadang sekaligus pemilik usaha rumah makan tradisional. Maka penelitian ini ingin mengetahui tingkat adopsi program Sapta Pesona oleh pengelola rumah makan tradisional (RMT) kelas C, untuk menjadikan Sapta Pesona sebagai komitmen budaya bagi seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) dalam bisnis yang dijalankannya.
Berdasarkan kerangka pemikiran tentang hubungan antara ciri pribadi dan ciri lingkungan usaha dengan tingkat adopsi program Sapta Pesona oleh pengelola RMT kelas C dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 1. Kerangka Berpikir Tingkat Adopsi Program Sapta Pesona oleh Pengelola RMT kelas C
Hipotesis Penelitian (1) Ciri pribadi memiliki hubungan nyata dengan tingkat adopsi program Sapta Pesona
oleh Pengelola RMT Kelas C Jakarta Timur. (2) Ciri lingkungan usaha memiliki hubungan nyata dengan tingkat adopsi program
Sapta Pesona oleh Pengelola RMT Kelas C Jakarta Timur. METODE PENELITIAN
Populasi dan Sampel Populasi penelitian adalah seluruh pengelola usaha RMT kelas C di Jakarta
Timur. Populasi RMT kelas C yang ada di Jakarta Timur adalah 63 unit usaha. Setiap seorang pengelola RMT kelas C dalam penelitian ini mewakili seorang pengelola yang ada pada setiap unit usaha RMT kelas C di Jakarta Timur. Populasi penelitian ini adalah 65 pengelola dan pengumpulan data dilakukan secara sensus. Pelaksanaan penelitian ini pada bulan Februari 2008 sampai dengan September 2008.
Tingkat Adopsi Program Sapta Pesona (Y): 1. Kesadaran 2. Minat 3. Penilaian 4. Mencoba 5. Penerimaan 6. Konfirmasi 7. Penolakan
Ciri Pribadi (X1) 1. Umur (X1.1) 2. Pendidikan (X1.2) 3. Pengalaman berusaha (X1.3) 4. Intensitas komunikasi (X1.4) 5. Keanggotaan kelompok (X1.5) 6. Kemampuan mengendalikan resiko (X1.6) 7. Keterampilan teknis (X1.7)
Lingkungan Usaha RMT (X2) 1. Kebijakan Pemda (X2.1) 2. Skala usaha (X2.2) 3. Modal keuangan (X2.3) 4. Modal tenaga kerja (X2.4) 5. Sarana usaha (X2.5) 6. Prasarana usaha (X2.6) 7. Lokasi usaha (X2.7) 8. Kompetitor (X2.8)
5
HASIL DAN PEMBAHASAN Ciri Pribadi Pengelola RMT Kelas C Jakarta Timur
Umur pengelola RMT Kelas C di Jakarta bervariasi mulai dari 22 tahun sampai dengan 75 tahun, dengan rataan 49 tahun. Sebanyak 60,3% berusia antara 40-57 tahun. Kelompok umur tersebut termasuk tenaga kerja produktif, karena berada diantara 15 sampai dengan 64 tahun (BPS, 2001). Orang yang lebih muda (25,4%) kurang mendominasi, alasan yang muncul yaitu takut untuk memutuskan menjadi wirausahawan. Ada kecenderungan mereka ingin tetap nyaman bekerja atau tetap pada posisinya, mendapat gaji, inventaris dan sebagainya.
SDM pengelola RMT kelas C rata-rata SMA (46%), sekitar 10% diantaranya pernah ikut pendidikan khusus di bidang usaha katering, pendampingan oleh restoran hotel, dan dari dinas peternakan. Berbagai alasan motivasi untuk mengelola usaha rumah makan. Mereka yang berlatarbelakang pendidikan tinggi (28,6%) beralasan pensiun muda dari pekerjaan atau terkena pemutusan hubungan kerja (PHK), dan memutar bekal tunjangan yang diperoleh. Hal ini membuktikan pendidikan menjadi urutan pertama dalam menentukan tingkat keinovatifan seseorang (Rogers & Shoemaker, 1971) dan seseorang yang berpendidikan tinggi lebih mudah untuk menerima informasi dan berkemampuan menganalisis masalah yang dihadapinya Maryani (1995). Konsekuensi masa depan ditentukan oleh pengalaman masa lalu, dampak dari pengalaman, serta pengamatan seseorang terhadap yang lain (Bandura 1986). Berdasarkan teori tersebut, hasil survei terhadap pengelola RMT kelas C di Jakarta Timur, yang pengalaman usaha terendah antara 0,5 hingga 16 tahun (76,2%) masih perlu menggali pengalaman. Pengalaman usaha yang dimiliki merupakan bagian dari proses belajar bagi pengelola rumah makan. Kualitas intensitas komunikasi pengelola RMT sangat rendah, sebanyak 73% mengandalkan sumber informasi bisnis dari orang tua dan keluarga dekat saja. Sesuai pendapat Schramm (1973) bahwa perilaku pencarian informasi berhubungan dengan tingkat pendidikan. Orang-orang yang berpendidikan tinggi cenderung mencari isi informasi melalui media cetak.
Keterlibatan pengelola dalam organisasi kelompok rendah hanya 17,5 % yang terdaftar sebagai anggota kelompok. Mereka yang tidak terlibat (76,2%) memiliki alasan antara lain: (1) beranggapan waktu/kesempatan untuk berusaha jadi berkurang, (2) kesulitan untuk mempercayai bawahan, (3) masih harus terlibat langsung dalam pelayanan kepada pelanggannya. Sebagian lagi (6,3%) belum terlibat dalam kelompok karena belum ada waktu luang dan belum ada informasi tentang keberadaan kelompok.
Pengelola RMT memiliki tingkat keberanian ambil resiko sedang (63,5%), hasil data menjelaskan bahwa: (1) resiko produksi, harga, pelayanan, dan promosi masih mampu dikendalikan pengelola RMT kelas C, (2) hambatan lain berupa sepi pengunjung, kesulitan bahan baku, kenaikan harga BBM, ketenagakerjaan, keamanan, pungutan liar, dan pengamen juga masih dapat diatasi dengan baik, (3) adanya keterlibatan keluarga dan karyawan dalam membantu menghadapi resiko dan mengatasi hambatan yang ada, (4) pengelola memiliki semangat untuk mengembangkan usaha dengan memperluas usaha di tempat lain. Kemampuan mengambil resiko merupakan bagian dari jiwa kewirausahaan, yaitu kemampuan dalam membaca peluang, berinovasi, mengelola, dan menjual (Hendro, 2006). Keterampilan teknis adalah kemampuan untuk menggunakan peralatan, prosedur atau teknik-teknik dari suatu bidang tertentu (Katz, 1974). Tingkat kemampuan dan
6
keterampilan teknis yang perlu dimiliki pengelola RMT yaitu pengelolaan produk, harga, pelayanan, promosi, pengelolaan karyawan, dan evaluasi kepuasan pelanggan. Hasil yang diperoleh menggambarkan bahwa 87,3% pengelola RMT telah memiliki kemampuan dan keterampilan teknis dalam pengelolaan aset karyawan dan pelanggan.
Ciri Lingkungan Usaha RMT Kelas C Jakarta Timur Pendapat pengelola RMT kelas C tentang kebijakan Pemerintah Daerah terkait
dengan keberlangsungan usaha rumah makan menunjukkan tingkat kepuasan sedang 55,6%, dan selebihnya 22,2% merasa tidak puas. Pengelola RMT cukup puas atas kebijakan Pemerintah Daerah setempat tentang pelayanan administrasi perijinan, pungutan pajak dan retribusi. Begitupula dalam hal kegiatan pengawasan, pembinaan daya saing, pembinaan kualitas produk, dan pembinaan kualitas pelayanan. Luas usaha RMT kelas C 93,7% rendah yaitu antara 50 hingga 233 meter persegi, dengan kapasitas duduk antara 10 hingga 40 (65,1%). Jumlah tenaga kerja antara 2-9 orang karyawan (82,5%). Jumlah pengunjung terendah (79,4%) yaitu berkisar antara 50 hingga 133 orang. Jumlah omzet terendah (34,9%) mampu mencapai Rp. 2.267.000,- (dua juta dua ratus enam puluh tujuh ribu rupiah) perhari. Seluruh pengelola mengandalkan modal sendiri (berasal dari warisan keluarga), hanya 25% yang mencari tambahan bantuan modal dari bank pemerintah, 18% dari bank swasta, 15% dari lembaga koperasi, 15% dari pegadaian, dan 11,7% masih memanfaatkan dana pinjaman dari rentenir. Ketersedian modal dan asal modal yang telah diuraikan di atas sekaligus membuktikan bahwa rumah makan kelas C sebagai usaha kecil menengah (UKM) dengan administrasi perusahaan yang pada umumnya masih bersifat sederhana, kurang teratur, belum berbentuk badan hukum tidak mampu menyediakan jaminan (coliateral) guna mendapatkan kredit dari dunia perbankan. Hal ini menjadi penyebab investasi modal terbatas (Fuad, 2000), dan pembiayaan hanya mampu disediakan oleh seorang atau sekelompok kecil (Puspopranoto, 2006). Tenaga kerja RMT cukup berkualitas (44,4%), karena 60% pengelola memberikan pelatihan pada saat pertama kali karyawan bekerja. Bentuk materi pelatihan yang diberikan yaitu mengenai cara produksi, cara pelayanan, kecepatan pelayanan, cara komunikasi, keramahtamahan pelayanan, mengenai keutamaan keamanan, kebersihan, dan kesehatan dalam pelaksanaan kerja. Materi tersebut direspon sebagai modal utama bagi tenaga kerja dan merupakan faktor penting dalam melaksanakan kegiatan usaha rumah makan. Kuantitas dan kualitas sarana usaha yaitu 71,4% diantaranya pada tingkat sedang, dideskripsikan bahwa sebagian besar RMT kelas C di Jakarta Timur memiliki peralatan makan-minum dengan kondisi layak pakai dan jumlahnya mencukupi berdasarkan standar kebutuhan operasional harian mereka. Kualitas kebersihan peralatan memasak dan area dapur juga sudah sesuai standar di kelasnya. Namun kegiatan inventarisasi peralatan oleh 60% RMT belum dilakukan secara rutin. Kondisi prasarana usaha meliputi kelayakan instalasi listrik, gas, air bersih, tempat penampungan sampah, saluran limbah, pemadam kebakaran, area parkir, toilet umum dan tempat ibadah solat menunjukkan tingkat kelayakannya sedang (52,4%). Lokasi dan situasi lingkungan RMT berpengaruh terhadap tingkat kunjungan, kelompok tamu yang datang, dan jenis tamu yang datang. Menurut kondisi tersebut, RMT 61,9% pada tingkatan sedang. Pengelola RMT menganggap tingkat persaingan cukup ketat (74,6%) yaitu dalam hal persaingan produk, harga, pelayanan, dan promosi.
7
Tingkat Adopsi Pengelola RMT Kelas C Kesadaran Pengelola RMT rendah dengan skor 1.40, yaitu 54% tidak mengenal
program Sapta Pesona, 49% tidak tahu tujuan program, dan 52% tidak tahu kapan program Sapta Pesona mulai diperkenalkan.
Tabel 1. Skor Tingkat Adopsi Program Tabel 2. Persentase Kesulitan Pengelola Sapta Pesona oleh Pengelola RMT Kelas C RMT Kelas C dalam Penerapan Sapta
Pesona Keterangan: n = 63, skor 1 – 1,66 = rendah 1,67 – 2,33 = sedang 2,34 – 3 = tinggi
Minat pada program Sapta Pesona ditunjukkan oleh 53% pengelola memperoleh informasi melalui media massa dan elektronik, 32% dari penyuluh pariwisata, 15% mencari informasi melalui kegiatan seminar dan pertemanan bisnis. Peranan penyuluh pariwisata dalam sosialisasi program Sapta Pesona masih rendah, maka perlu dicari upaya menguatkan minat pengelola lebih memahami, sehingga mampu menerapkan dan memanfaatkan program tersebut pada kegiatan bisnisnya.
Penilaian pengelola terhadap manfaat program Sapta Pesona juga rendah, 67% mengaku tidak mengenal dan tidak tahu adanya penyuluh bidang pariwisata, dan 52% mengatakan sulit memahami isi program. Meski demikian, keinginan mencoba pengelola (51%) cukup tinggi dalam menerapkan butir-butir Sapta Pesona pada kegiatan usahanya. Kesulitan yaitu untuk menerapkan butir keamanan dan ketertiban, penyebabnya bahwa usaha mereka yang berlokasi di pusat keramaian seperti lingkungan pasar, terminal, dan stasiun.
Kemampuan pengelola (59%) untuk menerapkan butir-butir program Sapta Pesona cukup tinggi. Tingkat intensitas menerapkan unsur kenangan berada pada tahap menyajikan hidangan ciri khas lokal, sedangkan cinderamata yang unik khas lokal belum terpikirkan oleh mereka. Konfirmasi tentang penerapan Sapta Pesona berpengaruh tipis (51%) terhadap kepuasan pengunjung, jumlah pendapatan, citra perusahaan, kepuasan karyawan, dan produktifitas kerja.
Penolakan pengelola (56%) rendah terhadap program Sapta Pesona sebagai suatu inovasi dalam kegiatan bisnisnya. Kecenderungan penolakan karena ketidaktahuan dan ketidakpahaman mereka tentang unsur-unsur yang ada dalam program Sapta Pesona.
Tabel 3. Hasil Persepsi Pengelola RMT kelas C terhadap Program Sapta Pesona
Persepsi Sapta Pesona
Aman Tertib Bersih Sejuk Indah Ramah Kenangan Tidak Setuju
22 (34,9%)
32 (50,8%)
18 (28,6%)
20 (31,7%)
23 (36,5%)
13 (20,6%)
8 (12,7%)
Ragu 27 (42,9%)
17 (27,0%)
30 (47,6%)
32 (50,8%)
31 (49,2%)
38 (60,3%)
48 (76,2%)
Setuju 14 (22,2%)
14 (22,2%)
15 (23,8%)
11 (17,5%)
9 (14,3%)
12 (19,0%)
7 (11,1%)
Total 63 (100%)
63 (100%)
63 (100%)
63 (100%)
63 (100%)
63 (100%)
63 (100%)
No Tingkat Adopsi Skor 1 Kesadaran 1,40 2 Minat 1,68 3 Penilaian 1,52 4 Mencoba 2,30 5 Penerapan 1,78 6 Konfirmasi 1,70 7 Penolakan 1,51 Rataan 1,70
Butir Sulit Frekuensi Persen
Aman 32 50,8
Tertib 17 27,0
Bersih 7 11,1
Sejuk 7 11,1 Total 63 100,0
8
Hasil analisis persepsi program Sapta Pesona menunjukkan bahwa masih ada keraguan pengelola RMT kelas C untuk memutuskan mengadopsi dan menerapkan butir-butir Sapta pesona pada kegiatan usahanya. Keraguan tentang program Sapta Pesona akan mampu mewujudkan keamanan, kebersihan, kesejukan, keindahan, keramahtamahan, dan kenangan, Bahkan terdapat tidak setuju jika menerapkan program Sapta Pesona akan mampu mewujudkan ketertiban. Pengelola RMT kelas C di Jakarta Timur mengadopsi program Sapta Pesona dalam kurun waktu yang berbeda-beda. Menurut ciri-cirinya, yang disarikan dari Wiriatmadja (1978), Mardikanto (1982), dan Rogers (1983), pengelola RMT kelas C di Jakarta Timur dapat dikelompokkan dalam 5 (lima) kategori adopter (gambar 1) terdiri dari: (1) 9,5% sebagai inovator; (2) 42,9% pelopor; (3) 36,5% pengikut dini; (4) 6,3% pengikut akhir; dan (5) 4,8% kelompok lamban.
Gambar 1. Persentase menurut Kategori Adopter Hubungan Ciri Pribadi dengan Tingkat
Adopsi Program Sapta Pesona Hasil analisis dari uji statistik non-parametrik Rank Spearman (rs) disajikan pada
tabel 4, membuktikan bahwa ciri pribadi yaitu umur, tingkatan pendidikan, pengalaman, intensitas komunikasi dan keanggotaan kelompok tidak mampu mempengaruhi tingkat kesadaran, minat, keinginan mencoba, dan tingkat penolakan pengelola untuk mengadopsi program Sapta Pesona.
Tabel 4. Nilai Koefisien Korelasi (rs) antara Ciri Pribadi dengan Tingkat Adopsi Program Sapta Pesona
n = 63 pengelola RMT kelas C ; * Berhubungan nyata pada α = 0,05 ** Berhubungan sangat nyata pada α = 0,01
No Ciri Pribadi Kesa-daran Minat Peni-
laian Men-coba
Pene-rapan
Konfir-masi
Peno-lakan
1 Umur -0,030 -0,080 0,312* -0,032 0,025 0,108 -0,032 2 Pendidikan 0,208 0,035 -0,007 0,088 -0,137 -0,147 0,041 3 Pengalaman 0,130 0,072 0,424** 0,142 0,075 0,257* 0,068
4 Intensitas Komunikasi 0,169 -0,046 0,018 -0,099 -0,295* -0,328** -0,125
5 Keanggotaan Kelompok 0,187 0,071 0,071 0,074 -0,133 -0,140 -0,016
6 Pengendalian Resiko -0,018 -0,008 0,025 0,162 0,119 0,106 0,146
7 Keterampilan Teknis 0,053 0,012 0,011 -0,097 0,196 -0,051 -0,025
0,0%
5,0%
10,0%
15,0%
20,0%
25,0%
30,0%
35,0%
40,0%
45,0%
50,0%
InnovatorEarly Adopter
EarlyMajority
LateMajority Laggard
9,5%
42,9%
36,5%
6,3% 4,8%
9
Hubungan sangat tipis terjadi antara tingkat pendidikan dan tingkat kesadaran pengelola RMT kelas C pada α = 0,10 dari 63 pengelola hanya 6 pengelola RMT kelas C (10%) yang tidak memiliki hubungan. Kemampuan menilai dan memahami isi program Sapta Pesona berhubungan nyata dengan umur pengelola RMT kelas C pada α = 0,01 dan berhubungan sangat nyata dengan lamanya pengalaman usaha pada α = 0,05. Maka penelitian ini mampu membuktikan bahwa tingkat adopsi program Sapta Pesona mampu dipengaruhi oleh umur dan lamanya pengalaman usaha.
Hasil penelitian membuktikan adanya arah hubungan negatif (berlawanan). Hubungan negatif nyata pada α = 0,05 antara intensitas komunikasi dengan tingkat adopsi dalam penerapan program Sapta Pesona. Artinya jika tingkat intensitas komunikasi pengelola RMT kelas C naik maka keinginan menerapkan unsur-unsur dalam program Sapta Pesona akan menurun, atau juga sebaliknya jika keinginan pengelola RMT kelas C untuk menerapkan unsur-unsur Sapta Pesona semakin tinggi maka tingkat intensitas komunikasi semakin menurun.
Tingkat konfirmasi tentang pengaruh penerapan program Sapta Pesona berhubungan nyata dengan pengalaman pengelola RMT kelas C pada α = 0,05. Namun berhubungan negatif (berlawanan) sangat nyata dengan intensitas komunikasi pada α = 0,01. Tanda negatif menunjukkan arah perubahan yang berlawanan, yaitu jika tingkat intensitas komunikasi naik maka kemampuan konfirmasi akan menurun, sebaliknya jika kemampuan konfirmasi semakin tinggi maka tingkat intensitas komunikasi semakin menurun.
Hubungan Ciri Lingkungan Usaha dengan Tingkat Adopsi Program Sapta Pesona
Berdasarkan tabel 5 terbukti bahwa tidak ada keeratan hubungan antara ciri lingkungan usaha dengan tingkat kesadaran dan minat pengelola pada program Sapta Pesona. Namun besaran modal keuangan berhubungan nyata dengan minat pengelola pada α = 0,10. Kondisi sarana usaha berhubungan dengan kemampuan penilaian sangat nyata pada α = 0,01 sedangkan komponen skala usaha dan modal tenaga kerja berhubungan dengan kemampuan menilai pada α = 0,10. Skala usaha dan modal tenaga kerja berhubungan nyata pada α = 0,05 dengan keinginan mencoba dan prasarana usaha dan persaingan usaha terjadi hubungan pada α = 0,10. Skala usaha dan kemampuan memelihara prasarana usaha berhubungan nyata dengan tingkat penerapan unsur-unsur program Sapta Pesona pada α = 0,05. Hubungan sangat nyata pada α = 0,01 terjadi antara kualitas sarana usaha dengan bentuk aksi penerapan unsur Sapta Pesona.
Tabel 5. Nilai Koefisien Korelasi (rs) antara Ciri Lingkungan Usaha dengan Tingkat Adopsi Program Sapta Pesona
n = 63 pengelola RMT kelas C ; * Berhubungan nyata pada α = 0,05 ** Berhubungan sangat nyata pada α = 0,01
No Ciri Lingkungan Usaha
Kesa- daran Minat Penilai-
An Men- coba
Pene- rapan
Konfir- masi
Peno- lakan
1 Kebijakan Pemda 0,170 0,142 0,085 0,165 0,134 0,273* 0,240 2 Skala Usaha 0,198 0,073 0,209 0,272* 0,270* 0,156 0,102 3 Modal Keuangan 0,034 0,216 0,056 0,160 0,043 0,131 0,008 4 Modal Tenaga 0,175 -0,043 0,221 0,300* 0,080 0,002 -0,015 5 Sarana Usaha 0,158 -0,019 0,378** 0,166 0,325** 0,291* 0,278* 6 Prasarana Usaha 0,168 0,148 -0,007 0,227 0,250* 0,264* 0,293* 7 Lokasi Usaha 0,228 0,034 0,226 0,107 0,070 0,020 -0,043 8 Kompetitor 0,212 -0,074 0,161 0,207 0,094 0,013 0,193
10
Tingkat konfirmasi berhubungan nyata pada α = 0,05 dengan kebijakan Pemda, kondisi sarana usaha, dan prasarana usaha. Tingkat penolakan terhadap program Sapta Pesona yang dilakukan pengelola RMT kelas C berhubungan nyata pada α = 0,05 dengan kondisi sarana usaha dan prasarana usaha. Perihal penolakan juga berhubungan dengan kebijakan Pemda pada α < 0,10 yaitu untuk per-seratus kasus terjadi peluang kesalahan sebesar enam kasus saja, dan hal ini masih bisa diterima sebagai suatu keeratanhubungan.
Strategi Percepatan Adopsi Program Sapta Pesona Pengelola RMT Kelas C Jakarta Timur
Berdasarkan bahasan hasil analisis keeratanhubungan antara ciri pribadi dan ciri lingkungan usaha terhadap tingkat adopsi program Sapta Pesona oleh Pengelola RMT kelas C di Jakarta Timur, maka berikut merupakan strategi percepatan adopsi program Sapta Pesona yaitu: (1) Program Sapta Pesona harus bersifat inovasi yang tepat guna.
(a) Sapta Pesona harus dapat dirasakan sebagai kebutuhan oleh pengelola RMT kebanyakan.
(b) Sapta Pesona harus memberi keuntungan secara konkrit bagi pengelola RMT. (c) Sapta Pesona harus mendayagunakan sumberdaya yang sudah ada. (d) Penerapan Sapta Pesona harus terjangkau oleh kemampuan finansial
perusahaan. (e) Sapta Pesona harus sederhana, tidak rumit dan mudah dicoba.
(2) Memilih metode penyuluhan Sapta Pesona yang efektif. (3) Memberdayakan agen penyuluhan pariwisata secara optimal.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan (1) Tingkat adopsi program Sapta Pesona oleh pengelola usaha rumah makan
tradisional kelas C di Jakarta Timur termasuk kategori sedang. Pengelola RMT telah mengadopsi sebagian dari program Sapta Pesona. Menurut tingkat adopsi, mereka berada pada tingkat menilai dan sedang menuju proses mencoba, sehingga Program Sapta Pesona belum menjadi komitmen budaya bagi pengelola RMT kelas C di Jakarta Timur.
(2) Ciri pribadi yang berhubungan positif dengan tingkat adopsi program Sapta Pesona pengelola usaha rumah makan tradisional kelas C di Jakarta Timur adalah usia, tingkat pendidikan, dan pengalaman usaha. Sedangkan intensitas komunikasi berhubungan negatif dengan tingkat adopsi program Sapta Pesona pengelola usaha rumah makan tradisional kelas C di Jakarta Timur.
(3) Ciri lingkungan usaha yang berhubungan dengan tingkat adopsi program Sapta Pesona pengelola usaha rumah makan tradisional kelas C di Jakarta Timur adalah kebijakan Pemda setempat, skala usaha, modal tenaga kerja, sarana usaha, prasarana usaha, lokasi usaha, dan kompetitor.
Saran (1) Usaha meningkatkan kemampuan adopsi program Sapta Pesona dilakukan dengan
meningkatkan intensitas komunikasi penyuluh dengan pengelola RMT dalam upaya mengembangkan pengetahuan dan kemampuan pengelola melalui kegiatan penyuluhan maupun melalui media organisasi kelompok usaha RMT.
11
(2) Penyuluh dan petugas Sudin Kesehatan maupun Pariwisata hendaknya memotivasi pengelola supaya membentuk organisasi kelompok pengusaha RMT dan terlibat aktif dan mendinamikakan kelompok sebagai wadah belajar dengan program-program yang dibutuhkan.
(3) Kelembagaan lain, seperti sumber modal dan koperasi perlu secara bersama-sama mendukung upaya nyata peningkatan kemampuan berusaha pengelola usaha RMT kelas C di Jakarta Timur dengan memberi kemudahan dalam akses modal.
DAFTAR PUSTAKA
Bandura, A.J. 1986. Social Foundations of Thought and Action: A Social Cognitive Theory. New Jersey: Prentice Hall, Inc.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2001. Proyeksi Penduduk, Angkatan Kerja, Tenaga Kerja, dan Peran Serikat Pekerja dalam Peningkatan Kesejahteraan. http://www.bps.go.id [2 Jan 2008].
[Budpar]Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia, Panduan Sadar Wisata, Jakarta. http://www.budpar.go.id/filedata/1468_1263-1468357 sadarwisata.pdf
Fuad, M. 2000. Pengantar Bisnis. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Hendro dan Chandra. 2006. Be a Smart and Good Entrepreuneur. Jakarta: CLA
Publishing dan Universitas Bina Nusantara. Katz, R. L. (1974). "Skills of an Effective Administrator." Harvard Business Review 52,
no. 5(September-October): 90-102. Mardikanto, T. 1993. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Surakarta: Percetakan
Sebelas Maret University. Maryani. 1995. Kreativitas Transmigrasi Berdasarkan Daerah Asal dalam
Pemanfaatan Lahan Pekarangan [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Presiden Republik Indonesia: Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2005 tentang Kebijakan Pembangunan Kebudayaan dan Pariwisata.
Profil Pariwisata Kotamadya Jakarta Timur. http://www.jaktim.beritajakarta.com/ Puspopranoto, Sawaldjo. 2006. Manajemen Bisnis. Jakarta : Penerbit PPM, P.91 Rakhmawati, Lenny dan Jeliteng Pribadi. 2003. Perbedaan Lay-out dan Desain Interior
Restoran Fast Food dengan Restoran Tradisional dalam Kaitannya dengan Kepuasan Konsumen di Banda Aceh [laporan penelitian]. Banda Aceh: Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala.
Roger, EM. and F.F. Shoemaker. 1971. Communication of Innovation: A Cross Cultural Approach. The Free Press. New York
Rogers, EM. 1983. Diffusion of Innovations. Fourth Edition. New york: The Free Press. Schramm, W. dan Porter W. 1973. Men, Women, Message, and Media. New York:
Harper and Row Publisher. Wiriatmadja, S. 1990. Pokok-pokok Penyuluhan Pertanian. Jakarta: CV. Yasaguna.