tinjauan hukum ekonomi syari’ah terhadap upah giling padi...
TRANSCRIPT
TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARI’AH TERHADAP
UPAH GILING PADI DIBAYAR DENGAN BERAS
(Studi Kasus di Desa Kacangan Kecamatan Andong
Kabupaten Boyolali)
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh
Gelar Sarjana dalam Hukum Islam
Oleh :
RIRIN SUKASIH
NIM. 21414046
JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA
2019
Motto
“Allah akan meninggikan orang-orang yang berilmu beberapa derajat”
(Q. S Al-Mujadilah 11)
“Sesali masa lalu karena ada kekecewaan dan kesalahan, tetapi
jadikanlah penyesalan itu sebagai senjata untuk mengukir masa depan
yang indah” (RIRIN)
PERSEMBAHAN
Puji syukur Allah Swt, yang telah , memberikan segala keridhoan dan
kesempatan sehingga saya bisa menyelesaikan studi di IAIN Salatiga. Skrispsi ini
dipersembahkan untuk:
1. Kedua orang tuaku Bapak Mohammad Rojudin dan Ibu Parmi tercinta sebagai
motivator terbesar dalam hidupku yang tak mengenal lelah dan mendoakan serta
menyayangiku, terima kasih atas semua pengorbanan, keringat dan kesabaran
mengantarkan sampai kini.
2. Keluarga besar yang selalu membantu doa dan suportnya yang tak pernah lelah
memberikan tampa pamrih.
3. Nurul Hidayah, terima kasih telah membantu dan menyemangati skripsi ini
walaupun dengan canda dan kadang serius.
4. Almamater tercinta, Institut Agama Islam Salatiga.
5. Kawan-kawanku, Lia Rahmawati, Sofwatul Khasanah, Esha F, Wisnu Wirawan,
Sugeng Sutopo yang telah memberikan semangat, saran, dukungan serta
motivasinya tiada henti.
ABSTRAK
Sukasih, Ririn (2019). Tinjauan Hukum Ekonomi Syari‟ah Terhadap Upah
Giling Padi Dibayar Dengan Beras (Studi Kasus Di Desa Kacangan
Kecamatan Andong Kabupaten Boyolali). Skripsi. Fakultas Syariah Program
Studi Hukum Ekonomi Syariah. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga.
Dosen Pembimbing: Yahya, S. Ag., M.H.I.
Kata Kunci: Upah-Mengupah, Penggilingan Padi, Hukum Ekonomi Syariah.
Muamalah adalah hubungan anatara sesama manusia yang dapat berubah sesuai
perkembangan zaman. Salah satu aspek muamalah yang terdapat dalam kehidupan di
tengah-tengah masyarakat umum adalah masalah upah-mengupah. Sebagaimana yang
telah terjadi di Desa Kacangan dalam pengupahan gilingan padi dibayar dengan beras
yang melibatkan pemilik dan pengguna jasa pengilingan padi. Dalam pengupahan
tersebut tidak ada unsur paksaan dari pihak pengguna penggilingan padi maupun
pihak jasa penggilingan padi. Semua itu dilakukan atas dasar kepercayaan. Penelitian
ini berfokus pada praktik pengupahan jasa penggilingan padi dibayar dengan beras di
Desa Kacangan Kecamatan Andong dan bagaimana tinjauan hukum ekonomi syari‟ah
terhadapnya.
Jenis lapangan ini dilakukan dengan mengumpulkan data dan informasi yang
diperoleh langsung dari informan dan mengamati secara langsung praktik di
lapangan. Peneliti menggunakan jenis penelitian kualitatif dan pendekatan yuridis
normatif dengan teknik pengumpulan data observasi, wawancara dan dokumentasi.
Teknik analisis data yang digunakan deduktif dengan teknik pengecekan
keabsahannya menggunakan Triangulasi.
Hasil penelitian menyebutkan praktik pengupahan jasa penggilingan padi di
Desa Kacangan terdapat 2 dua macam sistem pembayaran yaitu dengan upah uang
dan upah beras. Pada praktik upah beras menjadi hal biasa saat pengambilan hanya
dengan takaran perkiraan yaitu per karung diambil satu manci atau 1 liter. Upah
penggilingan padi di Desa Kacangan Kecamatan Andong Kabupaten Boyolali belum
sepenuhnya sesuai dengan hukum ekonomi syari‟ah karena dalam transaksi tersebut
tidak memenuhi ketentuan asas-asas dalam berakad, khususnya asas amanah
(kejujuran), keadilan, dan perjanjian yang pasti. Meskipun dalam transaksi antara
kedua belah pihak tersebut terdapat ijab qabul yang sah dan sama-sama
menyutujuinya dan syarat yang tidak terpenuh dalam penetapan harga dan
pengambilan upah berupa beras yang tidak transparan, karena praktik upah mengupah
yang dilakukan tidak disaksikan oleh kedua pihak ketika pengambilan upah tersebut.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................. i
NOTA PEMBIMBING ............................................................................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ iii
PERNYATAAN KEASLIAN .................................................................................. iv
MOTTO ..................................................................................................................... v
PERSEMBAHAN .................................................................................................... vi
KATA PENGANTAR ............................................................................................. vii
ABSTRAK ................................................................................................................ x
DAFTAR ISI ............................................................................................................ xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................................... 4
C. Tujuan Penelitian ................................................................................................ 5
D. Manfaat Penelitian ............................................................................................. 5
E. Tinjauan Pustaka ................................................................................................. 6
F. Metode Penelitian ............................................................................................... 7
G. Sistematika Penulisan ....................................................................................... 12
BAB II IJARAH DAN ‘URF
A. Ijarah ............................................................................................................... 13
1. Pengertian Ijarah ......................................................................................... 13
2. Dasar Hukum ijarah .................................................................................... 16
3. Syarat dan Rukun Ijarah .............................................................................. 22
4. Macam-macam ijarah .................................................................................. 29
5. Sistem pengupahan dan gugurnya ijarah .................................................... 26
6. Ketentuan Undang-Undang Tentang Pengupahan ....................................... 31
B. ‘Urf Menurut Hukum Islam
1. Pengertian ‟Urf............................................................................................. 33
2. Macam-macam „urf ...................................................................................... 36
3. Kedudukan „urf dalam menentukan hukum ................................................. 40
4. Syarat-syarat „urf untuk dijadikan landasan hukum ................................... 41
BAB III LAPORAN HASIL PENELITIAN
A. Gambaran Umum Desa Kacangan Kecamatan Andong Kabupaten Boyolali. 43
1. Sejarah singkat Desa Kacangan ................................................................... 43
2. Visi dan misi Desa Kacangan ...................................................................... 49
B. Pelaksanaan Sistem Pengupahan Penggilingan Padi di Desa Kacangan
Kecamatan Andong Kabupaten Boyolali ........................................................ .50
C. Bentuk Akad Antara Pemilik Penggilingan Padi Dengan Masyarakat Pengguna
Jasa Penggilingan Padi. .................................................................................... 53
BAB IV ANALISIS DATA
A. Analisa Hukum Islam terhadap Praktik Pengupahan Jasa Penggilingan Padi
Dibayar dengan Beras di Desa Kacangan Kecamatan Andong Kabupaten
Boyolali ............................................................................................................ 57
B. Tinjauan Hukum Ekonomi Syari‟ah entang Pengupahan Jasa Penggilingan Padi
Dibayar dengan Beras Di Desa Kacangan Kecamatan Andong Kabupaten
Boyolali ............................................................................................................ 61
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ....................................................................................................... 67
B. Saran ................................................................................................................. 68
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 69
LAMPIRAN-LAMPIRAN ...................................................................................... 71
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak kelahirannya belasan abad yang lalu, Islam telah tampil sebagai agama
yang memberikan perhatian pada keseimbangan hidup antara dunia dan akhirat,
antara hubungan manusia dengan Tuhan, antara hubungan manusia dengan
manusia, dan antara urusan ibadah dengan urusan muamalah.
Konsep Islam mengenai muamalah amatlah baik karena menguntungkan
semua pihak yang ada di dalamnya. Namun, jika moral manusia tidak baik, maka
pasti ada pihak yang dirugikan.
Banyak diantara kaum muslimin saat ini mengabaikan ilmu muamalah dan
melalaikan sisi ini. Mereka tidak lagi peduli seandainya harus memakan harta
yang haram, asalkan keuntungan mereka bertambah dan penghasilan mereka
berlipat. Ini adalah kesalahan besar yang harus berusaha dihindari oleh setiap
orang yang menekuni perdagangan, agar dia dapat membedakan antara yang halal
dan yang haram, dan agar penghasilannya menjadi baik serta jauh dari perkara-
perkara yang syubhat sebisa mungkin.1
Allah Swt berfirman dalam al-Qur‟an
آيا لا حؤكها حجازة ا أا انر حك كى بانبا طم إلا أ انكى ب أي
ا بكى زح كا الل فسكى , إ لاحقخها أ كى , حسا ض ي ع
1 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2010), Jilid 5, hlm. 32-33.
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil kecuali dengan jalan perniagaan
yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu”. (Q.S. Surat al-
Nisa(4) : 29).2
Adapun syariah di dalam hal muamalah berfungsi sebagai suatu aturan main
bagi umat manusia dalam rangka menjalankan fungsi sosialnya di muka bumi ini,
sebuah fungsi yang tidak terlepas dari peranan manusia dalam menjalankan sektor
muamalah yang berkaitan dengan harta dan ekonomi.
Usaha manusia dalam rangka mewujudkan kesejahteraan hidup umat di muka
bumi ini sangat berkaitan dengan kegiatan ekonomi. Sistem ekonomi yang
dikembangkan oleh Islam memiliki tujuan untuk mewujudkan tingkat
pertumbuhan ekonomi umat manusia dalam jangka panjang dan juga dalam
rangka memaksimalkan tingkat kesejahteraan umat manusia.3
Islam adalah agama yang universal dan dinamis, ajarannya mencakup semua
persoalan, baik yang menyangkut masalah ibadah maupun yang menyangkut
masalah muamalah. Muamalah adalah aturan-aturan Allah Swt, untuk mengatur
manusia dalam kaitannya dengan kehidupan duniawi dalam pergaulan sosial.4
Muamalah adalah hubungan anatara sesama manusia yang dapat berubah
sesuai perkembangan zaman. Salah satu aspek muamalah yang terdapat dalam
2Departemen Agama RI, Qur‟an dan Terjemahannya, (Bandung: CV Penerbit Diponegoro,
2011), cet. Ke-13, hlm. 83. 3 Nurul Huda dan Muhammad Heykal, Lembaga Keuangan Islam (Jakarta: Prenadamedia Group,
2015), hlm. 3. 4 Ibid, hlm. 1.
kehidupan di tengah-tengah masyarakat umum adalah masalah upah-mengupah
(ijarah).
Salah satu contoh praktik upah-mengupah yang terjadi di tengah-tengah
masyarakat Desa Kacangan Kecamatan Andong Kabupaten Boyolali ialah upah
giling padi yang dibayar dengan beras dari hasil gilingan padi tersebut. Berbeda
dengan praktik upah-mengupah yang berlaku pada umumnya yang menggunakan
uang sebagai alat upah terhadap suatu pekerjaan.
Di Desa Kacangan Kecamatan Andong Kabupaten Boyolali, masyarakat
menggiling padinya ke tempat penggilingan dengan upah tidak berbentuk uang,
melainkan berbentuk beras dari hasil padi yang digiling tersebut. Mengenai
jumlah beras yang harus dibayar, sejauh ini tidak ada aturan-aturan khusus yang
mengatur tentang upah tersebut baik dari penggiling maupun dari masyarakat
yang menggiling padi ke tempat penggilingan. Sangat jarang, bahkan tidak pernah
sama sekali masyarakat memberikan upah giling padi dalam bentuk uang.
Dalam perusahaan penggilingan gabah di Desa Kacangan Kecamatan
Andong Kabupaten Boyolali terdapat praktik yang memberikan sebuah jasa
penggilingan dengan pembayaran berbentuk beras atau dengan sistem karungan.
dan hanya menggunakan patokan karung, padahal ukuran karung tidak bisa
dijadikan sebagai patokan hasil setelah diselep, seperti halnya gabah yang kotor
ataupun cara mengikat karungnya yang kurang rapi sehingga karung tersebut tidak
bisa terisi sepenuhnya dan tidak bisa dijadikan tonase hasilnya.
Mulai dari beberapa tahun yang lalu hingga sekarang, beras merupakan alat
transaksi yang digunakan untuk membayar upah giling padi di penggilingan-
penggilingan padi Desa Kacangan Kecamatan Andong Kabupaten Boyolali
tersebut. Hal ini, sepertinya sudah menjadi sebuah tradisi atau adat kebiasaan
yang sering dilakukan berulang-ulang oleh masyarakat di sana. Latar belakang
permasalahan di atas sangat menarik untuk diketahui hukumnya dan menarik
peneliti untuk melakukan penelitian dengan judul: Tinjauan Hukum Ekonomi
Syari‟ah terhadap Upah Giling Padi Dibayar Dengan Beras (Studi Kasus di Desa
Kacangan Kecamatan Andong Kabupaten Boyolali).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti merumuskan masalah penelitian
sebagai berikut;
1. Bagaimana praktik upah giling padi dibayar dengan beras di Desa Kacangan
Kecamatan Andong Kabupaten Boyolali?
2. Bagaiman tinjauan hukum ekonomi syari‟ah terhadap upah giling padi
dibayar dengan beras di Desa Kacangan Kecamatan Andong Kabupaten
Boyolali?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui praktik upah giling padi dibayar dengan beras di Desa
Kacangan Kecamatan Andong Kabupaten Boyolali.
b. Untuk mengetahui tinjauan hukum ekonomi syari‟ah terhadap upah
giling padi dibayar dengan beras di Desa Kacangan Kecamatan Andong
Kabupaten Boyolali.
2. Kegunaan Penelitian
Adapun manfaat dari rumusan masalah dan tujuan penelitian di atas
adalah:
a. Secara teoritis
Diharapkan penelitian ini mampu memberikan kontribusi pemikiran bagi
pengembangan ilmu syari‟ah dibidang muamalah, khususnya dalam
hukum ekonomi syari‟ah terkait upah mengupah.
b. Secara praktis
1) Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan yang dapat
memberikan informasi mengenai tinjauan hukum ekonomi syari‟ah
terhadap upah giling padi dibayar dengan beras di Desa Kacangan
Kecamatan Andong Kabupaten Boyolali.
2) Penelitian ini dimaksudkan sebagai suatu syarat untuk memenuhi
tugas akhir guna memperoleh gelar S.H., pada Fakultas Syariah di
IAIN Salatiga.
D. Tinjauan Pustaka
Afifah Nurul Jannah, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pelaksanaan Upah
Karyawan Di Masjid Agung Jawa Tengah. Hasil penelitiannya adalah kebijakan
pengupahan yang terdapat dalam peraturan kepegawaian badan pengelola Masjid
Agung Jawa Tengah sampai saat ini belum terealisasi sepenuhnya. Namun, pihak
Masjid Agung Jawa Tengan masih tetap memperhatikan hak-hak karyawan yang
mesti mereka peroleh, yaitu meliputi: upah pokok, upah lembur, dan uang intensif
sesuai dengan pekerjaan masing-masing karyawan serta dana sosial sebagai
keperdulian masjid kepada karyawan. Sedangkan dari akad ijarah yang dilakukan
oleh pihak Masjid Agung Jawa Tengah sebagai musta‟jir dan karyawan sebagai
mu‟jir sudah sesuai dengan prinsip Islam, yang mana dalam akad atau surat
keputusan telah menerangkan jenis pekerjaan, waktu, tenaga, serta upah secara
jelas.5
Wiwin Norma Yunita, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pemberian Upah
Penjemur Padi (Studi Kasus UD Sumber Makmur Desa Randusongo Kec. Gerih
Kab. Ngawi). Hasil penelitiannya adalah buruh penjemur padi dalam menerima
upahnya bergantung pada cuaca dan tidak sepadan dengan tenaga yang mereka
keluarkan, dalam hukum Islam pemberian upah penjemur padi di UD Sumber
Makmur telah memenuhi syarat sahnya ujrah, karena ada kesepakatan kedua
belah pihak. Dan hukum Islam menyikapi pemberian upah penjemur padi di UD
5 Afifah Nurul Jannah, Tinjauan Hukum Islam Tentang Pelaksanaan Upah Karyawan
Masjid Agung Jawa Tengah, skripsi mahasiswa IAIN Walisongo Semarang, 2009
Sumber Makmur diperbolehkan karena mendatangkan manfaat bagi warga
sekitar.6
Abdul Ghofur, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Upah Pekerja Penggilingan
Padi di Kecamatan Babadan Kabupaten Ponorogo, 2007. Penelitian ini meliputi
akad kerja sistem pengupahan dan resiko kerusakan mesin. Penelitian ini
berkesimpulan bahwa akadnya tidak sesuai dengan hukum Islam karena syarat
rukun ijarah tidak terpenuhi mengenai resiko kerusakan mesin sesuai dengan
hukum Islam.
Penelitian-penelitian di atas berbeda dengan penelitian penulis dalam
objeknya dimana penelitian ini berfokus pada tinjauan hukum ekonomi syari‟ah
terhadap upah penggilingan padi dibayar dengan beras.
E. Metode Penelitian
Metode dalam hal ini diartikan sebagai salah satu cara yang harus dilakukan
untuk mencapai tujuan dengan menggunakan alat-alat tertentu, sedangkan
penelitian adalah suatu usaha untuk menemukan, mengembangkan dan menguji
suatu pengetahuan, usaha dimana dilakukan menggunakan metode-metode
tertentu.
1. Jenis Penelitian dan Pendekatannya.
6 Wiwin norma Yunita, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pemberian Upah Penjemur
Padi, (Studi Kasus UD Sumber Makmur Desa Randusongo Kecamatan Gerih Kabupaten Ngawi),
Skripsi mahasiswa IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2011.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
lapangan (field research) dan kualitatif. Penelitian lapangan merupakan
penelitian yang dilakukan dengan mengumpulkan data dan informasi yang
diperoleh langsung dari informan dan mengamati secara langsung tugas-tugas
yang berhubungan dengan tinjauan hukum ekonomi syari‟ah terhadap upah
giling padi dibayar dengan beras di Desa Kacangan Kecamatan Andong
Kabupaten Boyolali. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian yaitu
yuridis normatif.
2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Kacangan Kecamatan Andong
Kabupaten Boyolali.
3. Kehadiran Peneliti
Dalam penelitian ini penulis bertindak sebagai pengumpul data di
lapangan dengan menggunakan alat penelitian yang aktif dalam
mengumpulkan data-data di lapangan, selain peneliti yang dijadikan alat
pengumpulan data adalah dokumen-dokumen yang menunjang keabsahan
hasil penelitian serta alat-alat bantu lain yang dapat mendukung terlaksananya
penelitian, seperti kamera dan alat perekam.
Oleh karena itu kehadiran seoarang peneliti di lokasi penelitian sangat
menunjang keberhasilan suatu penelitian, alat bantu memahami masalah yang
ada, serta hubungan dengan informan menjadi lebih dekat sehingga informasi
yang didapat menjadi lebih jelas. Maka kehadiran peneliti menjadi sumber
data yang mutlak.
4. Sumber Data
Sumber data yang diperlukan dalam penelitian ini terbagi dalam dua
kategori, yaitu:
a. Data Primer (primary data) adalah data penelitian yang diperoleh secara
langsung dari masyarakat yang menggiling dan pemilik padi yang
dihasilkan berupa rekaman, hasil foto, dokumen serta rekaman video dan
dari pemilik penggilingan padi.
b. Data Sekunder (secondary data) adalah data pelengkap informasi yang
diambil dari buku-buku seperti buku fikih, kitab hadits, tafsir, skripsi,
internet, jurnal dan bacaan yang dianggap relevan dengan penelitian ini.
5. Prosedur Pengumpulan data
Prosedur pengumpulan data yaitu prosedur yang sistematika dan
standar untuk memperoleh data yang diperlukan. Tehnik pengumpulan data
yang peneliti gunakan adalah sebagai berikut:
a. Wawancara
Wawancara yaitu sebuah teknik pengumpulan data dimana peneliti
langsung berdialog dengan pemilik mesin giling dan pengguna jasa diling
padi untuk menggali informasi mengenai masalah yang diteliti.
b. Observasi
Metode penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data
dengan pengamatan langsung kepada obyek penelitian. Obeservasi ini
dilakukan dengan menggunakan alat indera penglihatan dan pendengaran
secara langsung terhadap obyek yang diteliti. Pengamatan ini yang
dilakukan secara langsung pada obyek yaitu di penggilingan padi Desa
Kacangan.
c. Dokumentasi
Dokumentasi adalah teknik pengumpulan data yang tidak langsung
ditujukan pada subyek penelitian, namun melalui dokumen.7 Di dalam
melaksanakan metode dokumentasi, peneliti menyelidiki benda-benda
tertulis seperti buku-buku, majalah, dokumen, peraturan-peraturan,
notulen rapat, catatan harian, dan sebagainya.8 Serta peneliti juga
mengambil data yang bersumber dari foto ataupun video yang berkaitan
dengan masalah yang diteliti.
6. Teknik Analisis Data
Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif, yaitu dengan menyajikan,
menggambarkan atau menguraikan sejelas-jelasnya seluruh masalah yang ada
pada rumusan masalah, secara sistematis, faktual dan akurat9 mengenai
“Tinjauan Hukum Ekonomi Syari‟ah Terhadap Upah Giling Padi Dibayar
7 M. Iqbal Hasan, Metodologi Penelitian dan Aplikasinya, (Bogor: Ghalia Indonesia,
2002), hlm 87. 8 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, (Jakarta: Rineka Cipta,2013), hlm.198201.
9 Burhan Mungin, Analisis Data Penelitian Kuantitatif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003),
hlm.5.
Dengan Beras di Desa Kacangan Kecamatan Andong Kabupaten Boyolali”.
Adapun di dalam penarikan kesimpulan penulis menggunakan metode
deduktif, yaitu penarikan kesimpulan dari permasalahan yang umum menjadi
khusus.
7. Pengecekan Keabsahan Data
Untuk mengetahui data yang dikumpulkan dalam suatu penelitian
memilik tingkat penelitian kebenaran atau tidak, maka akan dilakukan dengan
pengecekan data yang disebut dengan validitas data. Maka validitas data
tersebut akan membuktikan apakah data tersebut sudah sesuai dengan data
yang dilapangan atau belum. Teknik yang digunakan dalam pengecekan
keabsahan data adalah Triangulasi.
8. Tahap-tahap Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode kualitatif jadi
tahap-tahapnya adalah sebagai berikut:
a. Tahap sebelum lapangan, yaitu hal-hal yang dilakukan sebelum
melakukan penelitian seperti pembuatan proposal peneltian, mengajukan
surat ijin penelitian, menetapkan fokus penelitian dan sebagainya yang
harus dipenuhi sebelum melakukan penelitian.
b. Tahap pekerjaan lapangan, yaitu mengumpulkan data dengan melakukan
interview dengan pelaksana pengupahan.
c. Tahap analisa data, apabila semua data telah terkumpul dan dirasa cukup
maka tahap selanjutnya adalah menganalis data-data tersebut dan
menggambarkan hasil penelitian sehingga bisa memberi arti pada objek
yang diteliti.
d. Tahap penulisan laporan, yaitu apabila semua data telah terkumpul dan
telah dianalisis serta dikonsultasikan kepada pembimbing maka yang
dilakukan peneliti selanjutnya adalah menulis hasil penelitian tersebut
sesuai dengan pedoman penulisan yang telah ditentukan.
F. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini, ada sistematika penulisan yang sesuai
dengan petunjuk teknis penulisan skripsi yang sistematikanya terbagi menjadi
lima bab pembahasan, yaitu:
Bab I, Pendahuluan. Bab ini berisi tentang latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka,
metodologi penelitian, lokasi penelitian, kehadiran peneliti, sumber data,
prosedur pengumpulan data, teknik analisis data, pengecekan keabsahan data,
tahap-tahap penelitian.
Bab II, Landasan Teori. Bab ini berisi tentang pengertian upah
(ijarah), dasar hukum, rukun dan syarat, sistem pengupahan dalam Islam,
gugurnya upah karena barang rusak, berakhirnya akad ijarah dan „urf.
Bab III, Hasil penelitian membahas tentang praktik pengupahan
penggilingan padi.
Bab IV, Pembahasan. Bab ini berisi analisis penelitian membahas
tentang praktik pengupahan giling padi dibayar dengan beras di Desa
Kacangan Kecamatan Andong Kabupaten Boyolali dan tinjauan hukum
ekonomi syari‟ah terhadap upah giling padi dibayar dengan beras di Desa
Kacangan Kecamatan Andong Kabupaten Boyolali
Bab V, Penutup. Bab ini berisi tentang kesimpulan dan saran-saran.
BAB II
IJARAH DAN ‘URF
A. IJARAH
1. Pengertian Ijarah
Ijarah dalam konsep Islam adalah imbalan yang diterima seseorang atas
pekerjaanya dalam bentuk imbalan materi di dunia secara adil dan layak dan
dalam bentuk imbalan pahala di akhirat (Imbalan yang lebih baik).10
Upah mengupah dalam hukum ekonomi syariah dikenal dalam istilah
ijarah, secara etimologi kata al- ijarah berasal dari kata al-ajru‟ yang berarti
al-„iwad yang dalam bahasa Indonesia berarti ganti atau upah.11
Sedangkan
secara istilah ijarah adalah akad pemindahan hak guna (manfaat) suatu barang
atau jasa dalam waktu tertentu dengan adanya pembayaran upah, tanpa diikuti
dengan pemindahan kepemilikan atas barang itu sendiri. Oleh karenanya,
Hanafiah mengatakan bahwa ijarah adalah akad atas manfaat disertai
imbalan.12
10
Ahmad Ifham Sholihin, Buku Pintar Ekonomi Syariah, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2013), hal. 784.
11 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 13, Cet. Ke-1 (Bandung: PT. Alma‟arif,
1987), hal.15.
12 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, jilid 5(Jakarta Gema Insani,2011), h. 387.
Ijarah dalam penelitian secara etimologi adalah upah sewa yang
diberikan kepada seseorang yang telah mengerjakan satu pekerjaan sebagai
balasan atas pekerjaanya. Untuk definisi ini digunakan istilah-istilah ajr, ujrah
dan ijarah. Kata ajara-hu dan ajara-hu digunakan apabila seseorang
memberikan imbalan atas orang lain. Istilah ini hanya digunakan pada hal-hal
positif, bukan pada hal-hal negatif. Kata al-ajr (pahala) biasanya digunakan
untuk balasan di akhirat, sedangkan kata ujrah (upah) digunakan untuk
balasan di dunia.13
Ijarah adalah pemilikkan jasa dari seorang yang menyewakan oleh
orang yang menyewa, serta pemilikan harta dari pihak menyewa oleh seorang
menyewakan. Dengan demikian, ijarah berarti merupakan transaksi terhadap
jasa tertentu, dengan disertai kompensasi tertentu pula.14
Ijarah dalam konsep
awalnya yang sederhana adalah akad sewa sebagaimana yang telah terjadi
pada umumnya. Hal yang harus diperhatikan dalam akad ijarah ini adalah
bahwa pembayaran oleh penyewa merupakan timbal balik dari manfaat yang
telah ia nikmati. Maka yang menjadi objek dalam akad ijarah adalah manfaat
itu sendiri, bukan bendanya. Benda bukanlah objek akad ini, meskipun akad
ijarah kadang-kadang menganggap benda sebagai objek dan sumber manfaat.
13
A. Riawan Amin.Sc., Buku pintar Transaksi Syari‟ah (menjelankan Kerja Sama Bisnis Dan
Menyelesaikan Sengkata Berdasarkan Panduan Islam), (Jakarta Selatan:Penerbit Hikmah (Pt Mizan
Publika), 2010), H. 145.
14 Nasrun Haroen, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Gaya media Pratama, 2007), h. 228.
Dalam akad ijarah tidak selamanya manfaat diperoleh dari sebuah benda,
akan tetapi juga bisa berasal dari tenaga manusia. Ijarah dalam hal ini bisa
disamakan dengan upah mengupah dalam masyarakat.15
Adapun perbedaan
pendapat para ulama dalam mendefinisikan ijarah, antara lain sebagai berikut
:
a. Menurut Hasbi Ash-Shidiqi :
عقد يضع انبادنت عه يفعت انشئ بدة يحددة آ حهكا
بعض ف بع انافع
Artinya : Ijarah adalah akad yang objeknya penukaran manfaat untuk
masa tertentu, yaitu pemilikan manfaat dengan imbalan, sama
dengan menjual manfaat.16
b. Ulama hanafiyah :
يال انفعت بعض عه عقد جازةالإ
Artinya : Ijarah adalah akad atas manfaat dengan imbalan berupa harta.17
c. Ulama Syafi‟iyah :
نهبرل قابهت يعهيت يفعت يقصدة عقدعه جازةالإ عقد
ويعه باحت بعضالإ
15
M. Yasid Afandi, Fiqih Muamalah dan Implementasinya dalam Lembaga Keuangan Syari‟ah,
(Yogyakarta: Logung Pustaka) h.180.
16 Hasbi As-Shidiqy, Pengantar Fiqih Muamalah, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1972), cet.
Ke-1, hlm. 97.
17 Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Amzah, 2015), hlm. 316.
Artinya : Akad ijarah adalah suatu akad atas manfaat yang dimaksud dan
tertentu yang bisa diberikan dan dibolehkan dengan imbalan
tertentu.
d. Ulama Malikiyyah dan Hanabilah menyatakan bahwa ijarah adalah
menjadikan milik suatu kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu
dengan pengganti.18
e. Menurut fatwa DSN MUI No. 09/DSN-MUI/IV/2000 tentang
pembiayaan Ijarah, Ijarah adalah akad pemindahan hak guna (manfaat)
atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran
sewa/upah, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu
sendiri. Dengan demikian, akad ijarah tidak ada perubahan kepemilikan,
tetapi hanya perpindahan hak guna saja dari yang menyewakan pada
penyewa.19
Dalam definisi fikih, ijarah disebut pemindahan hak guna (manfaat) atas
suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa/upah,
tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri.20
Dari beberapa pengertian tersebut dapat ditarik pengertian bahwa Ijarah
adalah suatu jenis perikatan atau perjanjian yang bertujuan mengambil
18 Rachmat Syafi’I, Fiqih Muamalah, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2001), hlm. 121-122.
19 Fatwa DSN NO.09/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Pembiayaan Ijarah. Lihat dalam
Himpunan Fatwa DSN untuk Lembaga Keuangan Syariah, Edisi Pertama, DSN-MUI, BI,
2001, hal. 55.
20 Muhammad, Model-model akad pembiayaan di bank syariah, Yogyakarta: UUI Press,
2009, hal. 124.
manfaat suatu benda yang diterima dari orang lain dengan jalan membayar
upah sesuai dengan perjanjian dan kerelaan kedua belah pihak dengan rukun
dan syarat yang telah ditentukan.
2. Dasar Hukum Ijarah
Dasar hukum atau landasan hukum ijarah adalah al-Qur‟an, hadits, dan
ijma‟.
a. Dasar hukum ijarah dari al-Qur‟an adalah:
1) Al-Qur‟an Surat At-Thalaq: 6.
أسك نخضقا عه لا حضاز جدكى ث سكخى ي ح ي
حخ فقا عه م فؤ ألاث ح ك , إ , فئ ه ح ضع
إ عسف, كى ب سا ب , أح ز أج نكج فآح أزضع
حعاسسحى فسخسضع ن إخس
Artinya: Tempatkanlah mereka (para istri) dimana kamu menurut
kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka
untuk menyempitkan (hati) mereka dan jika mereka (istri-
istri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah
kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin,
kemudian jika mereka menyusui (anak-anak)mu untukmu
maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan
musyawarahkanlah diantara kamu (segala sesuatu) dengan
baik dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan
lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.” (QS. Ath-
Thalaq: 6)21
21
Al-Qur‟an dan Terjemahanya, Departemen Agama Republik Indonesia, (Bandung:
CV Penerbit Diponegoro), hal. 446.
2) Q.S. Al-Baqarah : 233
ا ي ى خ ه ا س ذ إ ى ك ه ع ح ا ج ل ف ى ك د لا أ اع ض س خ س ح أ ى ح د ز أ إ
با ى خ آح ف س ع ن ق اح * ا أ ه اع ا الل ه ع ح ا ب الل س ص ب
Artinya : “dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain,
Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan
pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu
kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat
apa yang kamu kerjakan”. (Q.S. Al-Baqarah : 233)22
3) Al-Qur‟an Surat An-Nahl ayat 97
يؤي ث أ م صانحاأ ع ى ي ى حاةطبت فهجز نجز
ه ياكااع أجسى بؤحس
Artinya:“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki
maupun perempuan dalam Keadaan beriman, Maka
Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan
yang baik dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan
kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa
yang telah mereka kerjakan”. (Q.S. An-Nahl : 97)23
b. Dasar hukum ijarah bersumber dari hadits
1) Hadits dari Abu Hurairah ra:
22 Al-Qur‟an dan Terjemahanya, Departemen Agama Republik Indonesia, (Bandung: CV
Penerbit Diponegoro), hal. 29.
23 Al-Qur‟an dan Terjemahanya, Departemen Agama Republik Indonesia, (Bandung:
CV Penerbit Diponegoro), hal. 222.
زسل الل صه الل عه سهى الل ع قال: قال زض ع اب سسة
ى ث ب ط ع أ م ج ز ت اي انق و خ ص خ ا ت أ ث ل ث : قال الل عزجم
ز د غ ى ن ي ف خ اس ف اس ج أ س ج ؤ اسخ م ج ز ث م ك ؤ ف اس ح ع با م ج ز , ف
)زا يسهى( س ج أ
Artinya: Dari Abu Hurairah ra. ia berkata bahwasannya Rasulullah
SAW telah bersabda “tiga golongan yang aku musuhi
kelak dihari kiamat ialah: seseorang yang memberi
perjanjian dengan nama-Ku, kemudian ia berhianat,
seseorang yang menjual orang merdeka dan menikmati
hasilnya, dan seseorang yang memperkerjakan kuli, lalu
pekerja dengan baik namun ia tidak memenuhi upahnya.”
(H.R. Muslim).24
2) Hadits dari Ibnu Umar ra:
ض سز ع اب ع ه صه الل ع الل ل زس ال قال: ق ا ع الل ى ه س
)زا اب ياج(ق س ع ف ج أ م ب ق س ج أ س ج ال اط ع أ
Artinya: Dari Ibnu Umar ra. ia berkata bahwasannya Rasulullah
SAW bersabda: “Berikanlah kepada kuli upahnya sebelum
keringatnya kering”. (H.R. Ibnu Majah).25
24
Imam Abi Al-Husain Muslim Ibn Al-Hajj, Sahih Muslim, (Berikut: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah,
2003), hal. 769.
25 Ibnu Hajar Al Asqolani, Bulughul Marom Min Adilatil Ahkam, (Jakarta: Daruun Nasyir Al
Misyriyyah, t.th), hal. 188.
Dari beberapa ayat dan hadits di atas, maka dapat diketahui bahwa
praktik ijarah diperbolehkan di dalam Islam, karena banyak mengandung
manfaat dan mendatangkan mashlahat di dalam kehidupan di masyarakat. Di
samping itu, dengan adanya praktik upah-mengupah di dalam kehidupan
bermasyarakat dapat menjadi sarana untuk saling tolong-menolong antar
sesama manusia dalam mengarungi kehidupan di dunia ini, bahkan Rasulullah
sallahu wa‟alaihi wassalam mengatakan agar memberikan upah kepada para
buruh sebelum kering keringatnya.
c. Ijma‟
Ijma' adalah kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu hukum
dalam agama berdasarkan al-Qur'an dan Hadits dalam suatu perkara yang
terjadi umat Islam pada masa sahabat telah berijma‟ bahwa ijarah
dibolehkan sebab bermanfaat bagi manusia.26
Ibnu Rusyd dalam kitab
Bidayah al-Mujtahid, juga mengatakan bahwa “sesungguhnya sewa-
menyewa itu dibolehkan oleh seluruh fuqaha negeri besar dan fuqaha masa
pertama”.27
Ijarah merupakan “akad pemindahan hak guna atas barang atau
jasa, melalui pembayaran upah sewa , tanpa diikuti pemindahan kepemilikan
atas barang itu sendiri.28
26
H Abd. Rahman Dahlan, M.A., Ushul Fiqih Cetakan Pertama 2010. Hal. 145.
27 Ibnu Rusyd, Bidayah al Mujtahid juz 2, (Semarang: Maktabah Usaha Keluarga), hal. 165.
28 Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syari‟ah dariteori ke praktek, (Jakarta: Gema Insani
Press, 2001), hal. 117.
d. Ijarah dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia
Upah merupakan salah satu hak normatif buruh. Upah yang diterima
oleh buruh merupakan bentuk prestasi dari pengusaha ketika buruh itu
sendiri telah memberikan prestasi pula kepada pengusaha yakni suatu
pekerjaan yang telah dilakukan.
Bab 1 pasal 1 angka 30 Undang-undang Nomor 13 tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaaan menegaskan: “Upah adalah hak pekerja/buruh
yang di terima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari
pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh ditetapkan dan dibayar
menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan atau peraturan praturan
perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan
keluarganya atas susatu pekerjaan dan jasa yang telah atau akan
dilakukan”.29
Tujuan pemerintah mengatur upah dan pengupahan pekerja/buruh
adalah untuk melindungi pekerja dari kesewenang-wenangan pengusaha
dalam pemberian upah setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan
yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan pekerja
menerima upah dari pemberi kerja secara adil dan tidak merugikan salah satu
pihak dan dilindungi oleh undang-undang. Peran pemerintah dalam hal ini
29 Undang-Undang Republik Indonesia No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
adalah menetapkan kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh
agar dapat memenuhi kebutuhan hidup pekerja maupun keluarganya.
Berdasarkan uraiaan tentang dasar hukum atau dalil-dalil syara‟ dan
juga dasar perundang-undangan yang berkenaan dengan masalah
pengupahan sebagaimana telah diuraikan di atas, maka tidak ada lagi
keraguan tentang kebolehan mengadakan transaksi sewa menyewa atau upah
mengupah, dengan kata lain sewa-menyewa atau upah mengupah dibolehkan
dalam hukum Islam maupun perundang-undangan apabila bernilai secara
syar‟i dan tidak merugikan pihak pekerja/buruh.
3. Syarat dan Rukun Ijarah
a. Syarat Ijarah
Terlebih dahulu akan dijelaskan perbedaan antara rukun dan syarat sewa-
menyewa menurut hukum Islam. Yang dimaksud dengan rukun sewa
menyewa adalah sesuatu yang merupakan bagian dari hakikat sewa-menyewa
dan tidak akan terjadi sewa menyewa tanpa terpenuhinya rukun tersebut.
Sedangkan yang dimaksud dengan syarat sewa-menyewa ialah sesuatu yang
mesti ada dalam sewa-menyewa, tetapi tidak termasuk salah satu bagian dari
hakekat sewa-menyewa itu sendiri. Sebagai sebuah transaksi umum, ijarah
baru diangap sah apabila telah memenuhi rukun dan syaratnya sebagaimana
yang berlaku secara umum dalam transaksi lainnya. Adapun syarat-syarat
akad ijarah adalah sebagai berikut:30
1) Pelaku ijarah haruslah berakal
Kedua belah pihak yang berakad, menurut ulama Syafi‟iyah
dan Hanabilah, disyaratkan telah baligh dan berakal. Oleh sebab itu,
apabila orang yang belum atau tidak berakal, seperti anak kecil dan
orang gila, menyewakan harta mereka atau diri mereka (sebagai
buruh), menurut mereka, al-ijarah tidak sah. Secara umum dapat
dikatakan bahwa para pihak yang melakukan ijarah mestilah orang-
orang yang sudah memiliki kecakapan bertindak yang sempurna,
sehingga segala perbuatan yang dilakukannya dapat
dipertangungjawabkan secara hukum.
Secara umum dapat dikatakan bahwa para pihak yang
melakukan ijarah mestilah orang-orang yang sudah memiliki
kecakapan bertindak yang sempurna, sehingga segala perbuatan yang
dilakukannya dapat dipertangungjawabkan secara hukum.
Para ulama dalam hal ini berpendapat bahwa kecakapan
bertindak dalam lapangan muamalah ini ditentukan oleh hal-hal yang
bersifat fisik dan kewajiban, segala segala tindakan yang dilakukannya
dapat dipandang sebagai sesuatu perbuatan yang sah.
30 Ghufran A.mas‟adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2002), hal.186.
2) Keridhoan pihak yang berakad
Kedua belah pihak yang berakad menyatakan kerelaannya
untuk melakukan akad al-ijarah. Apabila salah seorang diantaranya
terpaksa melakukan akad itu, maka akadnya tidak sah. Hal ini
berdasarkan kepada firman Allah dalam surat Al-Nisa ayat 29.
حجازةع حك كى بانباطم إلاأ انكى ب آيالاحؤكها اي ا انر ا أ
الل كا فسكى إ لاحقخهاأ كى ا بكىحساض ي زح
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali
dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-
suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh
dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu. (Q.S. An-Nisa : 29).31
Akad sewa-menyewa tidak boleh dilakukan salah satu pihak atau kedua-
duanya atas dasar keterpaksaan, baik dari pihak yang berakad atau pihak
lain:32
1) Objek ijarah diserahkan secara langsung dan tidak cacat.
Objek ijarah itu boleh diserahkan dan dipergunakan secara langsung
dan tidak cacat. Oleh sebab itu, para ulama fiqih sepakat menyatakan
31 Al-Qur’an dan Terjemahanya, Departemen Agama Republik Indonesia, (Bandung: CV
Penerbit Diponegoro), hal. 65.
32 Nasroen Haroen, Fiqih Muamalah, (Jakarta: PT Grafindo Persada Pertama, 2007), hal.
232-233.
bahwa tidak boleh menyewakan sesuatu yag tidak boleh diserahkan dan
dimanfaatkan langsung oleh penyewa.
2) Objek ijarah sesuatu yang dihalalkan oleh syarat.
Islam tidak membenarkan terjadi sewa menyewa atau perburuhan
terhadap sesuatu perbuatan yang dilarang agama, misalnya sewa rumah
untuk maksiat, menyewa orang untuk membunuh orang (pembunuh
bayaran) dan orang Islam tidak boleh menyewakan rumah kepada orang
non muslim untuk dijadikan tempat ibadah mereka, menurut mereka objek
sewa menyewa dalam contoh di atas termaksud maksiat. Sedangkan kaidah
fikih menyatakan bahwa “sewa menyewa dalam masalah maksiat tidak
boleh”.
3) Objek ijarah berupa harta tetap yang dapat diketahui
Jika manfaat itu tidak jelas dan menyebabkan perselisihan, maka
akadnya tidak sah karena ketidak jelasannya menghalangi penyerahan dan
penerimaan sehingga tidak tercapai maksud akad tersebut. Kejelasan objek
akad (manfaat) terwujud dengan penjelasan, tempat manfaat, masa waktu
dan penjelasan, objek kerja dalam penyewaan para pekerja.
4) Manfaat
Disyaratkan bahwa manfaat itu dapat dirasakan, ada harganya, dan
dapat diketahui.
5) Penjelasan waktu
a. Ulama Hanafiyah tidak mensyaratkan untuk menetapkan awal waktu
akad, sedangkan ulama Syafi‟iyah mensyaratkannya, sebab bila tidak
dibatasi hal itu dapat menyebabkan ketidaktahuan waktu yang wajib
dipenuhi.
b. Penjelasan jenis pekerjaan sangat penting dan diperlukan ketika
menyewa orang untuk bekerja sehingga tidak terjadi kesalahan atau
pertentangan.
c. Penjelasan waktu kerja tentang batas waktu kerja sangat bergantung
pada pekerjaan dan kesepakatan dalam akad.
b. Rukun Ijarah
Menurut Mahzab Hanafi yang dimaksud dengan rukun akad adalah unsur-
unsur pokok yang membentuk akad, yaitu pernyataan kehendak masing-
masing pihak berupa ijab dan qabul. Az-Zarqo menyebutkan empat unsur
akad, yaitu para pihak, objek akad, tujuan akad, dan rukun akad. Rukun akad
adalah pernyataan kehendak para pihak, yaitu ijab qabul.33
Rukun adalah unsur-unsur yang membentuk sesuatu itu terwujud karena
adanya unsur-unsur tersebut yang membentuknya. Misalnya rumah, terbentuk
karena adanya unsur-unsur yang membentuknya, yaitu pondasi, tiang, lantai,
33
Wangsawidjaja, Pembiyayaan Bank Syariah, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
2012), hal. 132.
dinding, atap, dan seterusnya. Dalam konsep Islam unsur-unsur yang
membentuk itu disebut rukun.34
Menurut jumhur Ulama, rukun ijarah ada (4) empat, yaitu :35
1. Aqid (orang yang berakad)
Yaitu orang yang melakukan akad sewa menyewa atau upah
mengupah. Orang yang memberikan upah dan penyewa disebut mu‟jir
dan orang yang menerima upah untuk melakukan sesuatu dan menyewa
sesuatu disebut musta‟jir.
2. Sighat
Pernyataan kehendak yang lazimnya disebut sighat akad (sighatul-
„aqad), terdiri atas ijab dan qabul dapat melalui: ucapan, utusan dan
tulisan, isyarat, secara diam-diam, dengan diam-diam semata. Syarat-
syaratnya sama dengan ijab dan qabul pada jual beli hanya saja dalam
ijarah harus menyebutkan masa atau waktu yang ditentukan.
3. Upah
Upah yaitu sesuatu yang diberikan musta‟jir atas jasa yang telah
diberikan atau diambil manfaatnya oleh mu‟ajjir.
4. Manfaat
34
Muhammad Al Albani, Shahih Sunan Ibnu Majjah, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007),
hal. 303.
35 Moh. Saefullah, Fiqih Islam Lengkap, (Surabaya: Terbit Terang, 2005), hal.178.
Untuk mengontrak seseorang musta‟jir harus diketahui bentuk
kerjanya, waktu, upah, serta tenaganya. Oleh karna itu jenis pekerjaanya
harus dijelaskan, sehingga tidak kabur. Karena transaksi upah yang masih
kabur hukumnya adalah fasid.
c. Syarat-syarat perjanjian kerja dalam undang-undang.
Perjanjian sah dan mengikat adalah perjanjian yang memenuhi unsur-
unsur dan syarat-syarat yang ditetapkan undang-undang. Perjanjian yang sah
dan mengikat diakui dan memiliki akibat hukum (legally concluded contract).
Menurut ketentuan Pasal 1320 KUHP, setiap perjanjian selalu memiliki empat
unsur melekat syarat-syarat yang ditentukan undang-undang.
a) Persetujuan kehendak
Unsur subjek, minimal ada dua pihak dalam perjanjian yang
mengadakan persetujuan kehendak (ijab qabul) antara pihak yang satu
dan pihak yang lain. Kedua pihak dalam perjanjian harus memenuhi
syarat-syarat kebebasan menyatakan kehendak, tidak lain. Persetujuan
kehendak adalah kesepakatan seia sekata antara pihak-pihak mengenai
pokok perjanjian. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu juga
dikehendaki oleh pihak yang lainnya.
b) Kewenangan (kecakapan)
Unsur subjek (kewenangan berbuat), setiap pihak dalam
perjanjian wenang melakukan perbuatan hukum menurut undang-
undang. Pihak-pihak yang bersangkutan harus memenuhi syarat-syarat,
yaitu sudah dewasa artinya sudah berumur 21 tahun penuh, walaupun
belum 21 tahun penuh, tetapi sudah pernah kawin, sehat akal (tidak
gila), tidak di bawah pengampuan, dan memiliki surat kuasa apabila
mewakili pihak lain.
c) Objek (prestasi) tertentu
Unsur objek (prestasi) tertentu atau dapat ditentukan berupa
memberikan suatu benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau
tidak berwujud melakukan berbuatan tertentu atau tidak melakukan
perbuatan tertentu. Suatau objek tertentu merupakan suatu objek
perjanjian, prestasi wajib dipenuhi
d) Tujuan perjanjian
Unsur tujuan, yaitu apa yang ingin dicapai pihak-pihak itu
harus memenuhi syarat halal. Tujuan perjanjian yang akan dicapai
pihak-pihak itu sifatnya harus halal artinya tidak dilarang undang-
undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum, dan tidak
bertentangan dengan kesusilaan masyarakat.36
Perjanjian yang tidak memenuhi unsur-unsur dan syarat-syarat
seperti yang ditentukan diatas tidak akan diakui oleh hukum walaupun
diakui oleh pihak-pihak yang membuatnya, tetapi tidak mengikat
36 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta: PT Citra Aditya,
Bakti, 1993), hal. 299..
artinya, tidak wajib dilaksanakan. Apabila dilaksanakan juga, sampai
suatu ketika ada pihak yang tidak mengakui dan menimbulkan
sengketa. Apabila diajukan ke pengadilan akan membatalkan atau
menyatakan perjanjian itu batal.
4. Macam-macam Ijarah
Dalam fikih muamalah upah dapat di klasifikasikan menjadi dua :37
a) Upah yang telah disebutkan (ajrun musamma) adalah upah yang sudah
disebutkan itu syaratnya ketika disebutkan harus disertai kerelaan belah
pihak yang berakad.
b) Upah yang sepadan (anjrun mitsli) adalah upah yang sepadan dengan
kerjanya serta sepadan dengan kondisi pekerjaan (profesi kerja) jika
akad ijarahnya telah menyebutkan jasa (manfaat) kerjanya.
5. Sistem Pengupahan dan Gugurnya Upah (Ijarah)
a. Sistem Pengupahan (Ijarah)
Jika upah itu suatu pekerjaan, maka kewajiban pembayaran upahnya
pada waktu berahir pekerjaan. Bila tidak ada pekerjaan lain, jika akad
sudah berlangsung dan tidak disyaratkan mengenai pembayaran dan tidak
ada ketentuan penanguhannya, menurut Abu Hanifah wajib diserahkan
upahnya secara berangsur sesuai dengan manfaat yang diterimanya.
Menurut Imam Syafi‟i dan Ahmad, sesungguhnya ia berhak dengan akad
37
M.I Yusato dan MK Widjajakusuma, Menggagas Bisnis Islam, (Jakarta: Gema Insni Pres,
2001), hal. 67.
itu sendiri, jika mu‟ajir menyerahkan zat benda yang di sewa kepada
musta‟jir, ia berhak menerima bayarannya karena penyewa (musta‟jir)
sudah menerima kegunaannya.38
Hak menerima upah bagi musta‟jir adalah sebagai berikut :
1) Ketika pekerjaan selesai dikerjakan, beralasan kepada hadis yang
diriwayatkan Ibnu Majah, Rasulullah Saw bersabda :
اب ع عه صه الل ل الل ا قال : قال زس ع الل سزض ع
جف عسق س قبم أ ا الاج سهى : أعط
()زا اب ياج
“dari Ibnu Umar RA, berkata bahwa Rasulullah telah bersabda:
Berikanlah olehmu upah buruh itu sebelum keringatnya kering.”
(Riwayat Ibnu Majah) 39
2) Jika menyewa barang, uang sewaan dibayar ketika akad sewa,
kecuali bila dalam akad ditentukan lain, manfaat barang yang di
ijarah kan mengalir selama penyewaan berlangsung.
b. Pembatalan dan Berakhirnya Ijarah
38
Hendi Suhendi, OP.Cit, hal. 121.
39 Drs. Sohari Sahrani,M.M., M.H.: Dra. Hj. Ru‟fah Abdullah, M.M., Fikih Muamalah, cet.1
( Bogor : penerbit Ghalia Indonesia,2001), hal. 172
Ijarah adalah jenis akad lazim, yaitu akad tidak membolehkan adanya
fasakh pada salah satu pihak, karena ijarah merupakan akad pertukaran,
kecuali bila didapati hal-hal yang mewajibkan fasakh. Ijarah akan menjadi
batal (fasakh) bila terdapat hal-hal sebagai berikut :
1) Terjadinya cacat pada barang sewaan yang terjadi pada tangan
penyewa.
2) Rusaknya barang yang disewakan, seperti rumah menjadi runtuh
dan sebagainya.
3) Rusaknya barang yang diupahkan (ma‟jur „alaih), seperti baju
yang diupahkan untuk dijahitkan.
4) Terpenuhinya manafaat yang diadakan, berakhirnya masa yang
telah ditentukan dan selesainya pekerjaan.
5) Menurut Hanafiyah, boleh fasakh ijarah dari salah satu pihak
seperti yang menyewa toko untuk dagang, kemudian dagangannya
ada yang mencuri, maka ia dibolehkan memfasakhkan sewaan
itu.40
6. Ketentuan Undang-Undang Tentang Pengupahan
40 Drs. Sohari Sahrani,M.M., M.H.: Dra. Hj. Ru‟fah Abdullah, M.M., Fikih
Muamalah, cet.1 ( Bogor : penerbit Ghalia Indonesia,2001), hal. 173
Upah memegang peranan yan sangat penting dan merupkan suatu ciri
khas suatu hubungan kerja dan juga tujuan utama dari seorang pekerja untuk
melakukan pekerjaan pada orang lain dan badan hukum ataupun perusahaan.
Undang-undang No.13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan pada bab 10
mengatur tentang pengupahan. Menurut Pasal 88 Ayat (1) UU
ketenagakerjaan, setiap pekerja atau buruh berhak memperoleh penghasilan
yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Kebijakan pemerintah mengenai pengupahan yang melindungi pekerja/buruh
meliputi:
1. Upah minimum;
2. Upah kerja lembur;
3. Upah tidak masuk kerja karena berhalangan;
4. Upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar
pekerjaannya;
5. Upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya;
6. Bentuk dan cara pembayaran upah;
7. Denda dan potongan upah
8. Hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah;
9. Stuktur dan sekala pengupahan yang proposional;
10. Upah untuk pembayaran pesangon; dan
11. Upah perhitungan pajak penghasilan
Pasal 89 UU ketenangakerjaan mengatur bahwa upah minimum
ditetapkan pemerintah berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan
memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Upah minimum
dapat terdiri atas upah minimum berdasarkan wilayah provinsi atau
kabupaten/kota.
Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 89 UU ketenagakerjaan. Dalam hal
pengusaha yang tidak mampu membayar upah minimum yang telah
ditentukan tersebut, dapat dilakukan penangguhan yang tata cara
penanguhannya diatur dengan Keputusan Mentri Tenanggakerja Dan
Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: KEP.231/MEN/2003 Tentang Tata
Cara Penangguhan Pelaksanaan Upah Minimum.
Kemudian, pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan
antara pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh tidak
boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Jika kesepakatan tersebut lebih rendah
atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, maka kesepakatan
tersebut batal demi hukum, dan pengusaha wajib membayar upah pekerja atau
buruh menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.41
41 Undang Undang Republik Indonesia No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
B. ‘Urf Menurut Hukum Islam
1. Pengertian ‘Urf
Kata urf secara etimologi berarti “sesuatu yang dipandang baik dan
diterima oleh akal sehat”. ´Urf adalah bentuk-bentuk mu'amalah
(berhubungan kepentingan) yang telah menjadi adat kebiasaan dan telah
berlangsung konsisten di tengah masyarakat. ´Urf juga disebut dengan apa
yang sudah terkenal dikalangan umat manusia dan selalu diikuti, baik ´urf
perkataan maupun ´urf perbuatan.42
Dalam disiplin ilmu fikih, ada dua kata yang serupa yaitu ´urf dan adat.
Kedua kata ini perbedaanya adalah adat didefinisikan sebagai suatu perbuatan
yang dikerjakan secara berulang-ulang tanpa hubungan yang rasional.
Perbuataan tersebut menyangkut perbuatan pribadi, seperti kebiasaan
seseorang makan tidur. Kemudian „urf didefinisikan kebiasaan mayoritas
umat baik dalam perkataan maupun perbuataan.43
Adapun makna „urf secara terminologi menurut Dr. H. Rahmad Dahlan
adalah seseuatu yang menjadi kebiasaan manusia, dan mereka mengikutinya
dalam bentuk setiap perbuatan yang populer diantara mereka ataupun suatu
kata yang biasa mereka kenal dengan pengertian tertentu, bukan dalam
42
Muhammad Nurul Wathoni, Filsafat Pendidikan Islam, (Uwais Inspirasi Indonesia, 2013),
hal. 6.
43 Nasrrun Haroen, Ushul Fiqih I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hal. 138.
pengertian etimologi, dan ketika mendengar kata itu, mereka tidak
memahaminya dalam pengertian lain.44
Sedangkan Contoh ´urf perkataan adalah kebiasaan menggunakan kata-
kata anak (walad) untuk anak laki-laki bukan untuk anak perempuan.
Kebiasaan orang menggunakan kata-kata “daging” pada selain daging ikan.
Sedangkan contoh ´urf perbuataan, ialah kebiasaan orang melakukan jual beli
dengan saling memberikan barang-uang tanpa menyebutkan lafal ijab qabul,
kebiasaan si istri sebelum diserahkan kepada suaminya sebelum istri
menerima maharnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengertian
„urf bisa dibagi menjadi dua yaitu secara terminologi dan secara definisi kata.
„Urf secara terminologi berarti sesuatu yang sudah dimengerti oleh
sekelompok manusia yang dipandang baik dan diterima oleh akal manusia dan
telah berlaku konsisten di masyarakat dan selalu diikuti oleh kelompok
manusia tersebut baik berupa perbuatan dan ucapan dan tidak mengartikan
satu bukan mengartikan yang lainya.
Sedangkan secara definisi kata yaitu ada dua kata yang menurut
mayoritas ulama yaitu „urf dan Adat adalah sama keduanya berarti sesuatu
yang dikenal dan diulang.45
44
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, Jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2011), hal. 387.
45 Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, cet ke-6,
1996), hal. 134
Ketika berbicara urf secara langsung berhubungan arti dengan Ijma
dalam subtansinya. Tetapi dalam hal ini urf juga berbeda dengan ijma‟.
Perbedaan antara „urf dengan ijma‟ yang dalam beberapa aspek yaitu:46
a. Dalam segi ruang lingkupnya „Urf terbentuk oleh kesepakatan terhadap
sesuatu perkataan atau perbuatan, berbaur didalamnya orang awam dan
orang elite, yang melek dan buta huruf, mujtahid dan bukan mujtahid, dan
dapat tercapai bahwa dia akan dilakukan dan dikenal oleh sebagian besar
orang dan tidak mesti dilalukan oleh semua orang. Sedangkan ijma‟
hanya terbentuk dengan kesepakatan mujtahid saja terhadap hukum
syara‟ yang amali, tidak termasuk di dalamnya selain mujtahid baik
kelompok pedagang, pegawai atau pekerja apa saja.
b. „Urf terwujud dengan persepakatan semua orang dan kesepakatan
sebagian terbesarnya, dimana keingkaran beberapa orang tidak merusak
terjadinya „urf. Sedangkan ijma‟ hanya terwujud kesepakatan bulat
seluruh mujtahid kaum muslimin di suatu masa terjadinya peristiwa
hukum, penolakan seseorang atau beberapa orang mujtahid membuat
ijma‟ tidak terjadi.
c. „Urf yang dijadikan landasan ketentuan hukum apabila berubah membuat
ketentuan hukumnya berubah pula dan tidak mempunyai kekuatan hukum
seperti yang berlandaskan nash dan ijma‟ sedangkan ijma‟ sharih yang
46 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, hal. 389.
dijadikan landasan ketentuan hukum kekuatan ijma‟ sharih yang
dijadikan landasan ketentuan hukum kekuatan hukum yang berdasarkan
nash dan tidak ada lagi peluang kekuatan untuk berijtihad terhadap
ketentuan hukum yang ditetapkan ijma‟.
2. Macam-macam ‘Urf
Para ulama ushul membagi „urf menjadi tiga macam yaitu:47
a. Dari segi objeknya „urf dibagi kepada : kebiasaan yang menyangkut
ungkapan dan kebiasaan yang berbentuk perbuatan.
1) Kebiasaan yang menyangkut ungkapan (al-„Urf al-lafzi)Kebisaan yang
menyangkut ungkapan ialah kebiasaan masyarakat yang mengunakan
kebiasaan atau ungkapan tertentu dalam mengungkapkan sesuatu.
Misalnya ungkapan ikan dalam masyarakat mengungkapkan lauk pauk.
Padahal dalam maknanya ikan itu berarti ikan laut. Tetapi ini sudah
umum pada suatu daerah tertentu.
Apabila dalam memahami ungkapan itu diperlukan indikator lain,
maka tidak dinamakan „urf, misalnya ada seseorang datang dalam
keadaan marah dan ditanganya ada tongkat kecil, saya berucap “ jika
saya bertemu dia maka saya akan bunuh dia dengan tongkat ini.” Dari
ucapanya ini dipahami bahwa yang dia maksud membunuh tersebut
47 Ma’ruf Amin, Fatwa dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarata: eLSAS, 2008), hal. 211-222.
adalah memukul dengan tongkat. Ungkapkan seperti ini merupakam
majaz bukan „Urf..
2) Kebiasaan yang berbentuk perbuatan (al-„urf al-amali)
b. Dari segi cakupanya „urf dibagi menjadi dua yaitu kebiasaan yang bersifat
umum dan kebiasaan yang bersifat khusus.
1) Kebiasaan yang bersifat umum (al-„urf al-„am)
Kebiasaan yang umum adalah kebiasaan tertentu yang berlaku
secara luas di seluruh masyarakat, daerah dan negara. Seperti mandi
di kolam, dimana sebagai orang terkadang melihat aurat temanya, dan
akad istishna‟ (perburuhan). Misalnya lagi dalam jual beli mobil,
seluruh alat yang diperlukan untuk memperbaiki mobil seperti kunci,
tang, dongkrak, dan ban serep termasuk dalam harga jual, tanpa akad
sendiri dan biaya tambahan. Contoh lain adalah kebiasaan yang
berlaku bahwa berat barang bawaan bagi setiap penumpang pesawat
terbang adalah dua puluh kilogram.65
Ulama Madzab Hanafi
menetapkan bahwa „urf ini („urf„am) dapat mengalahkan qiyas, yang
kemudian dinamakan istihsan„urf . „urf ini dapat men-takhsis nash
yang „am yang bersifat zhanni, bukan qath‟i. Di antara meninggalkan
keumuman dari nash zhanni karena adanya „urf ialah larangan nabi
Saw mengenai jual beli yang disertai dengan adanya syarat. Dalam hal
ini, jumhur ulama madzab Hanafy dan Maliky menetapkan kebolehan
diberlakukanya semua syarat, jika memang berlakunya syarat itu
dipandang telah menjadi „urf (tradisi).
2) Kebiasaan yang bersifat khusus (al-urf al-khash)
Kebiasaan yang bersifat khusus adalah kebiasaan yang berlaku
di daerah dan di masyarakat tertentu. Sedangkan menurut Abu Zahra
lebih terperinci lagi yaitu„urf yang berlaku di suatu negara, wilayah
atau golongan masyarakat tertentu. Misalnya di kalangan para
pedagang apabila terdapat cacat tertentu pada barang yang dibeli
dapat dikembalikan dan untuk cacat lainya dalam barang itu,
konsumen tidak dapat mengembalikan barang tersebut. Atau juga
kebiasaan mengenai penentuan masa garansi terhadap barang-barang
tertentu. „Urf semacam ini tidak boleh berlawanan dengan nash.
Hanya boleh berlawanan dengan qiyas yang ilat-nya ditemukan tidak
melalui jalan qathiy, baik berupa nash maupun yang menyerupai nash
dari segi jelas dan terangnya.
c. Dari segi keabsahanya dari pandangan syara‟, „urf terbagi dua, yaitu:48
1) Al-„Urf al-Sahihah („urf yang abasah)
Yaitu adat kebiasaan masyarakat yang sesuai dan tidak
bertentangan dengan hukum aturan Islam. Dengan kata lain, kata „urf
yang tidak mengubah ketentuan yang haram menjadi halal, atau
`48 Sudirman, Fiqh Konteporer, (Deepublish, 2018), hal. 276.
sebaliknya, mengubah ketentuan halal menjadi haram. Misalnya,
kebiasaan dalam suatu masyarakat, hadiah (hantaran) yang diberikan
kepada pihak wanita ketika pinangan, tidak dikembalikan kepada
pihak laki-laki, jika peminangan dibatalkan oleh pihak laki-laki.
Sebaliknya, jika yang membatalkan pihak wanita, maka “hantaran”
yang diberikan kepada wanita yang dipinang dikembalikan dua kali
lipat jumlahnya kepada laki-laki yang meminangnya. Demikian juga,
dalam hal jual beli dengan pemesanan (inden), pihak pemesan
memberi uang muka atau panjar atas barang yang dipesannya.
2) Al-urf Al-Fasidah („urf yang rusak/salah)
Yaitu adat kebiasaan masyarakat yang bertentangan dengan
ketentuan dan dalil-dalil syara‟. Sebaliknya dari al„urf ash-shahihah,
maka adat kebiasaan yang salah adalah yang menghalalkan hal-hal
haram, atau mengharamkan yang halal. Misalnya, kebiasaan
berciuman antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram dalam
acara pertemuan-pertemuan pesta.
Para ulama sepakat, bahwa al„urf al-fasidah tidak dapat
menjadi landasan hukum, dan kebiasaan tersebut batal demi hukum.
Oleh karena itu, dalam rangka meningkatkan pemasyarakatan dan
pengamalan hukum islam pada masyarakat, sebaiknya dilakukan
dengan cara yang ma‟ruf, diupayakan mengubah adat istiadat yang
bertentangan dengan ketentuan.
3. Kedudukan ‘urf dalam menentukan hukum
Dalam literatur yang membahas kchujahan 'urf atau 'adat dalam
istinbath hukum, hampir selalu yang dibicarakan adalah tentang 'urf atau 'adat
secara umum. Namun di atas telah dijelaskan bahwa 'urf atau 'adat yang sudah
diterima dan diambil alih oleh syara' atau yang secara tegas telah ditolak oleh
syara‟, tidak perlu diperbincangkan lagi tentang kehujahannya. Dengan
demikian, pembicaraan tentang kehujahannya 'urf sedapat mungkin dibatasi
pada 'urf bentuk keempat (sebagaimana disebutkan di atas), baik yang
termasuk pada „adat atau 'urf yang umum dan yang tetap (yang ndak mungkin
mengalami perubahan), maupun „adat khusus dan yang dapat mengalami
perubahan bila waktu atau tempat terjadinya sudah berubah.
Secara umum „urf atau „adat itu diamalkan oleh semua ulama fikih
terutama di kalangan ulama mahzab Hanafiyah dan Malikiyah. Ulama
Hanafiyah menggunakan istihsan dalam berijtihad dan salah satu bentuk
istihsan itu adalah istihsan (istihsan yang menyandar pada 'urf. Oleh ulama
Hanafiyah, Urf itu didahulukan atas qiyas khafi dan juga didahulukan atas
nash yang umum dalam arti: 'urf itu men-takhsis umum nash. Ulama
Malikiyah memadukan 'urf atau tradisi yang hidup di kalangan ahli Madinah
sebagai dasar dalam menetapkan hukum dan mendahulukannya dan hadis
ahad. Ulama Syafi'iyah banyak mengagumkan 'urf dalam hal tidak
menemukan ketentuan batasannya dalam syara' maupun dalam penggunaan
bahasa. 49
Para ulama menyatakan bahwa „urf merupakan satu sumber istinbath
hukum, menetapkan bahwa bisa menjadi dalil sekiranya tidak ditemukan
sumber dari Al-Quran dan Sunnah. Apabila suatu „urf bertentangan dengan
Al-Qur‟an atau Sunnah maka „urf ditolak.
4. Syarat-syarat ‘urf untuk dijadikan landasan hukum
a. ‘Urf mengandung kemaslahatan yang logis,
Syarat ini merupakan sesuatu yang mutlak ada pada ‘urf yang
sahih. Sehingga dapat diterima masyarakat umum. Dan dalam arti tidak
bertentangan dengan Al-Qur‟an dan Sunnah Rasulallah. Sebaliknya,
apabila ‘urf itu mendatangkan kemudhratan dan tidak dapat dilogika, maka
‘urf yang demikian tidak dapat dibenarkan dalam Islam. seperti istri yang
membakar hidup-hidup dirinya bersamaan dengan pembakaran jenazah
suaminya yang meninggal. Meskipun ‘urf hal ini dinilai baik dari segi rasa
agama suatu kelompok, tetapi kebiasaan seperti ini tidak dapat diterima
akal sehat. Demikian juga kebiasaan memakan ular.
49 Amir Syarifudin, Ushul Fiqih Jilid II, (Jakarta: Prenada Media, 2014), hal. 399.
b. ‘Urf tersebut berlaku umum pada masyarakat yang terkait dengan
lingkungan ‘urf, atau minimal dikalangan sebagian besar masyarakat. ‘Urf
itu juga berlaku pada mayoritas kasus yang terjadi di tengah-tengah
masyarakat dan keberlakuanya dianut oleh mayoritas masyarakat tersebut.
Syarat ini semakin jelas dengan melihat contoh yang berkembang dalam
masyarakat. Umpamanya, umumnya masyarakat Indonesia dalam
melaksanakan transaksi senantiasa menggunakan alat tukar resmi, yaitu
mata uang Rupiah. Karenanya, dalam satu transaksi tidak mengapa tidak
menyebutkan secara jelas tentang jenis mata uangnya, karena semua
orang telah mengetahui dan tidak ada kemungkinan lain dari penggunaan
mata uang Rupiah yang berlaku, kecuali dalam kasus tertentu.
c. Urf yang dijadikan dasar bagi penetapan suatu hukum telah berlaku pada
saat itu, bukan ‘urf yang muncul kemudian. Berarti ‘urf ini harus telah ada
sebelum penetapan hukum. Kalau ‘urf itu datang kemudian, maka tidak
diperhitungkan.
d. ‘Urf itu tidak bertentangan dengan nash, sehingga menyebabkan hukum
yang dikandung nash itu tidak bisa diterapkan. Syarat ini sebenarnya
memperkuat terwujudnya ‘urf yang sahih karena bila ‘urf bertentangan
dengan nash atau bertentangan dengan prinsip syara’ yang jelas dan pasti,
ia termasuk ‘urf yang fasid dan tidak dapat diterima sebagai dalil
menetapkan hukum. Misalnya kebiasaan di suatu negeri bahwa sah
mengembalikan harta amanah istri atau anak dari pihak pemberi atau
pemilik amanah. Kebiasaan seperti ini dapat dijadikan pegangan jika terjadi
tuntutan dari pemilik pihak pemilik harta itu sendiri.
BAB III
LAPORAN HASIL PENELITIAN
A. Gambaran Umum Desa Kacangan Kecamatan Andong Kabupaten Boyolali
1. Sejarah Singkat Desa Kacangan Kecamatan Andong Kabupaten Boyolali.
Desa Kacangan adalah desa yang bisa dikatakan desa yang utama di
Kecamatan Andong, karena dia merupakan satu-satunya desa yang
mempunyai pusat pembelanjaan di Kecamatan Andong dan memiliki pasar
tradisional yang selalu aktif dan menjadi pusat pembelanjaan tradisional
pada hari Pahing dan Wage. Tidak hanya pada hari Pahing dan Wage saja,
pasar Kacangan aktif setiap hari, hanya saja pada hari-hari tersebut bisa
dibilang hari pasarannya yang banyak dipadati pengunjung dari berbagai
daerah kecamatan lain seperti dari Klego, Kemusu, Gemolong dan
sebagainya.
Desa Kacangan telah ada sejak masa pendudukan Jepang, dimana
wilayah Karesidenan Surakarta saat itu merupakan daerah istimewa yang
dikenal dengan Solo Ko (Kasunanan) dan Mangkunegaran Ko
(Mangkunegaran). Wilayah Mangkunegaran meliputi wilayah Kabupaten
Karanganyar, Wonogiri dan sebagian kota Solo, sedangkan wilayah
Kasunanan meliputi Kabupaten Sragen, Boyolali dan kota Surakarta.
Boyolali saat itu belum merupakan daerah kabupaten tetapi hanya suatu
daerah tepi dengan pemerintahan tertinggi adalah wedono di bawah
pemerintahan Kasunanan.50
Pada saat itu, Desa Kacangan merupakan salah satu desa di Kecamatan
Andong yang masuk dalam wilayah Kawedanan Simo. Dengan demikian
dapat diasumsikan bahwa Desa Kacangan adalah desa yang memiliki
existensi pemerintahan desa secara formal namun lahirnya tidak ada yang
mengetahui persis kejadiannya.51
a. Kondisi Geografis
Kabupaten Boyolali adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa
Tengah. Kabupaten Boyolali terletak pada posisi geografis antara 110º
22‟ - 110º 50‟ Bujur Timur dan antara 7º 7‟ - 7º36‟ Lintang Selatan,
dengan ketinggian antara 75-1500 meter di atas permukaan laut.
Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Semarang dan Grobogan di
sebelah utara, Kabupaten Sragen, Karanganyar, Sukoharjo dan
Surakarta di sebelah timur, Kabupaten Sukoharjo dan Daerah Istimewa
Yogyakarta di sebelah Selatan, serta Kabupaten Magelang dan
Semarang di sebelah Barat. Boyolali terdiri atas 19 kecamatan, yang
dibagi lagi atas 206 desa dan 7 kelurahan.3 Desa Kacangan sendiri
merupakan salah satu dari 16 desa yang ada di wilayah Kecamatan
50 Peraturan Desa Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes)
Tahun 2013-2018, Desa Kacangan Kecamatan Andong Kabupaten Boyolali. 51
Ibid
Andong. Luas wilayah Kecamatan Andong adalah 5.452,7790 Ha. Desa
Kacangan terletak di Ibu Kota Kecamatan, berbatasan disebelah Utara
Desa Pranggong dan Kedungdowo, sebelah timur Desa Senggrong,
sebelah selatan Desa Mojo, dan sebelah barat Desa Andong Kecamatan
Andong.52
Luas wilayah Desa Kacangan secara keseluruhan adalah 2.850.635
Ha, terdiri dari:53
1) Tanah sawah tadah hujan : 417.620 Ha.
2) Tanah tegalan : 958.645 Ha.
b. Keadaan Desa Kacangan Kecamatan Andong
Desa Kacangan adalah desa yang cukup luas dan cukup padat
penduduk, Desa Kacangan terdiri dari 16 RT dan 3 RW. Berdasarkan
perhitungan data jumlah penduduk Desa Kacangan terakhir terdapat
4.766 jiwa yang terdiri dari 2.348 penduduk laki-laki dan 2.418
penduduk perempuan
c. Keadaan Sosial
Desa Kacangan adalah desa yang sebagian besar penduduknya
masih kental dengan hidup bergotong royong. Gotong royong tersebut
adalah bentuk kegiatan sosial yang meliputi berbagai kegiatan saling
52 Data Tentang Keadaan Geografis Kabupaten Boyolali
53 Peraturan Desa Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes)
Tahun 2013-2018, Desa Kacangan Kecamatan Andong Kabupaten Boyolali.
bekerja sama satu dengan lainnya. Di Desa Kacangan juga dibentuk
organisasi karangtaruna. Organisasi desa ini mempunyai kegiatan-
kegiatan yang dilakukan bersama untuk membantu berbagai kebutuhan
desa maupun masyarakat, seperti halnya ketika ada acara pernikahan,
dimana acara pernikahan tersebut membutuhkan warga setempat untuk
dimintai tolong dalam berbagai kebutuhan, seperti : menyiapkan
berbagai kebutuhan dan alat yang digunakan untuk acara pernikahan,
among tamu, sinoman, dan sebagainya. Dari sisi lain karangtaruna
tersebut mempunyai peran untuk menentramkan dan memakmurkan
desa dengan upaya mengadakan pos ronda, menyewakan kebutuhan
acara pernikahan dengan harga yang relatif sngat murah, seperti :
menyekawan meja dan kursi.
Di Desa Kacangan juga terdapat berbagai kegiatan agama maupun
umum, dimana kegiatan tersebut berguna juga untuk menguatkan rasa
persaudaraan satu dengan lainnya seperti yasinan bersama, tahlilan
bersama, membaca albarjanji bersama, dan khusus untuk ibu rumah
tangga ada arisan dan perkumpulan yang disebut Pemberdayaan
Kesejahteraan Keluarga.
d. Keadaan Ekononi
Keadaan ekonomi masyarakat di Desa Kacangan pada umumnya
bersumber dari usaha pertanian tadah hujan sawah maupun tegal, namun
setelah ada kemajuan pada desa Kacangan yang utamanya adalah
bersumber dari pasar kacangan, banyak masyarakat setempat mulai
beralih pekerjaan yaitu dengan cara berdagang di Pasar Kacangan. Para
petani, karena beberapa faktor, tidak mempunyai mesin selep sendiri.
Ada 3 buah tempat penggilingan padi di Kacangan, namun 1 buah sudah
tutup karena sepi pelanggan dan karena fasilitas yang kurang memadahi
sebagi tempat selep padi.
e. Keadaan Pendidikan
Dilihat dari pendidikan, mayoritas masyarakat di Desa Kacangan
dapat dikatakan cukup baik, hal ini bisa dilihat dari keadaan penduduk
dan sarana-sarana pendidikan di Desa Kacangan. Secara umum, semua
penduduk Desa Kacangan pada saat ini pernah merasakan dunia
pendidikan, terlihat bahwa semua anak-anak usia sekolah mendapatkan
pendidikan sesuai dengan tingkat umurnya. Lembaga pendidikan yang
ada di Desa Kacangan dan sekitarnya pun terdiri dari Taman Kanak-
kanak (TK), PAUD, SD/Sederajat, SMP/Tsanawiyah, SMA/MA/SMK
sampai Perguruan Tinggi dan juga ada lembaga pendidikan keagamaan
untuk anak-anak pada sore hari dan lembaga pendidikan di pondok
pesantren yang berada di Desa Kacangan.
Pada saat ini, penduduk Desa Kacangan masih banyak didomisili
oleh masyarakat yang tamatan SMP/sederajat dan SMA/sederajat,
namun juga sebagian dari masyarakat Desa Kacangan melanjutkan
pendidikannya ke jenjang perguruan tinggi, karena sebagian jumlah
penduduk ada yang berprofesi sebagai guru, bidan, perawat, pegawai
bank, dan sebagainya. Dari sebagian mereka ada yang mengabdikan
dirinya di Desa Kacangan sendiri dan ada juga yang mengabdi di luar
kota. Sehingga dapat dikatakan bahwa masyarakat Desa Kacangan
mempunyai pendidikan yang cukup baik, meski tidak semua masyarakat
mempunyai pendidikan yang cukup baik, namun bisa dikatakan
mayoritas masyarakat Kacangan mempunyai pendidikan yang cukup
baik.
f. Keadaan Keagamaan
Mayoritas masyarakat di desa Kacangan adalah beragama Islam,
dan sangat kental dengan adat istiadat dan budaya Islam yang berada di
Desa Kacangan tersebut. Ada beberapa juga dari sebagian masyarakat
yang beragama kristen, dan masyarakat yang beragama Kristen tersebut
adalah pendatang, bukan asli pribumi dari desa Kacangan tersebut.
Tempat peribadatan masyarakat Kacangan adalah terdiri dari 8
masjid dan 13 mushola, yang dimana masjid dan mushola tersebut
pembangunanya yang utama adalah swadaya dari masyarakat setempat,
dan ada juga donasi ataupun bantuan dari luar. Di Desa Kacangan juga
terdapat pondok pesantren bernama Zumrotut Tholibin yang didirikan
oleh K.H Zuhdi Hasan, yang berdiri pada tahun 1906 M.
Adapun kegiatan-kegiatan keagamaan yang diadakan masyarakat di
Desa Kacangan adalah anatara lain:
1) Kegiatan belajar yang dilakukan pondok Peantren Zumrotut
Tholibin di Desa Kacangan.
2) Sekolah Diniyah/ TPQ untuk anak-anak yang dilaksanakan setiap
hari Senin, Selasa, Rabu dan Kamis di masjid darussalam
3) Pembacaan Yasin dan Tahlil seminggu sekali pada malam Jum‟at
yang diadakan bergilir di rumah penduduk.
4) Pengajian rutin untuk masyarakat muslim desa Kacangan sebulan
sekali pada tanggal 15 setiap bulannya di masjid Darussalam.
5) Pembacaan Sholawat Nariyyah oleh ibu-ibu muslimat seminggu
sekali pada hari Selasa malam yang diadakan bergilir di rumah
penduduk.
6) Pembacaan Manaqib oleh ibu-ibu pada malam Minggu sebulan
sekali yang diadakan bergilir di rumah penduduk.
2. Visi dan Misi Desa Kacangan
a. Visi
Desa Kacangan yang maju, tentram dengan pertanian dan
industri kecil yang handal.
b. Misi
1) Mewujudkan Desa Kacangan yang maju dan tentram
2) Menjadikan Desa Kacangan sebagai daerah pertanian yang
berwawasan agribisnis
3) Menjadikan Desa Kacangan sebagai daerah sentra industri kecil
c. Struktur Organisasi
B. Praktik Pengupahan Penggilingan Padi di Desa Kacangan Kecamatan Andong
Kabupaten Boyolali
Pada dasarnya sistem pengupahan penggilingan padi di Desa Kacangan
menggunangan uang, namun banyak dari pelanggan yang sering lupa maupun
tidak mempunyai uang ketika pengambilan beras yang berada di penggilingan
tersebut, sehingga menimbulkan inisiatif dari pihak penggilingan beras maupun
pihak yang menggilingkan untuk mengganti upahnya dengan beras, dan sekarang
menjadi adat kebiasaan dari mayoritas mereka upah uangnya diganti dengan
beras, karena berbagai alasan diantara lain ketika beras diantarkan ke rumah si
pemilik beras tidak berada di rumah, sehingga dari pihak jasa merasa keberatan
dikarenakan penerimaan upahnya tertunda. Dan ketika beras diantarkan ke
konsumen, namun pada saat itu diantarkan konsumen tersebut tidak mempunyai
uang, ataupun tidak ada uang yang pas untuk membayarnya sehingga
menimbulkan penerimaan upahnya tertunda dan pihak jasa merasa keberatan.
Dari sebab-sebab itulah, timbul pengupahan penggilingan padi
menggunakan dengan beras, namun pada umum dan awalnya sistem pembayaran
jasa penggilingan padi menggunakan uang, namun berjalanya waktu yang sering
ada masalah dalam masalah pengupahan, pihak jasa dan konsumen mengganti
pembayaran uang tersebut dengan menggunakan beras. Berdasarkan praktik yang
ada di lapangan masyarakat dalam menggilingkan gabahnya menggunakan jasa
penggilingan padi dengan membayar sejumlah uang atas jasa tersebut dan akan
menerima hasil selep berupa gabah menjadi beras. Apabila melihat sejarah tarif
penggilingan padi di Desa Kacangan, mulanya tarif/upah jasa penggilingan padi
yang ditetapkan oleh pemilik mesin penggilingan adalah berupa uang.
Hal tersebut sudah menjadi ketetapan pasti dan adat kebiasaan masyarakat
daerah di desa Kacangan. Bagi masyarakat upah uang merupakan hal yang
umum dalam sistem pembayaran jasa penggilingan padi, karena setiap mayoritas
jasa penggilingan padi yang upahnya dengan upah yang ditetapkan oleh jasa
penggilingan padi yakni berupa dengan uang. Namun berjalannya waktu sering
ada masalah pengupahan, kedua pihak mengganti pembayaran uang tersebut
dengan menggunakan beras, tidak menghilangkan pengupahan seperti biasanya,
pihak jasa penggilingan padi tetap menerima upah dari sebagian masyarakat yang
membayarnya dengan uang, meskipun masyarakat yang membayar upahnya
dengan uang hanya sebagian kecil saja. Dari kasus tersebut sehingga terdapat dua
macam bentuk sistem pembayaran jasa penggilingan padi di Desa Kacangan ini,
diantaranya:
1. Upah uang
Pembayaran dengan uang sudah menjadi hal yang umum dalam
transaksi apa pun yang mana besaran atau nominal upah (uang) disesuaikan
dengan nilai barang. Dalam hal pembayaran jasa penggilingan padi tidak ada
ketentuan yang baku, karena setiap daerah mempunyai kebijakan yang
berbeda-beda. Salah satunya penggilingan padi bapak Parjono, dalam hal
pengambilan upah jasa penggilingan padi menetapkannya berdasarkan jenis
karung padi/gabah. Untuk karung jenis pupuk UREA tarif yang dipatok
berkisar Rp 7000,- sampai dengan Rp 8000,- per karung padi/gabah.
Sedangkan untuk karung padi yang menggunakan jenis karung pakan ayam
tarifnya bisa lebih besar, yakni berkisar Rp 10.000,- hingga 15.000,-. Dan
jika gabah itu diambil dan diantar tambah ongkos Rp 5000,. Sistem
pengupahan ini tidak menggunakan tonase timbangan, hanya saja
menggunakan ukuran berdasarkan karung, padahal setiap karung yang sama
besarnya belum tentu sama hasilnya, kadang ada jenis gabah yang kotor
terdapat banyak kotoran (kawul) sehingga isi karung tersebut tidak maksimal
murni dengan gabah.
2. Upah beras
Pembayaran dengan upah beras sekarang menjadi hal yang biasa di
penggilingan padi di Desa Kacangan, terdapat beberapa rincian, adalah
penggilingan padi tersebut apabila jenis karung padi/gabah 1 karung UREA
(pupuk) takarannya 1 manci yang dimana ukuran manci tersebut adalah
buatan sendiri yaitu jika manci itu penuh akan muat 1 liter, jika dibuat
tonase, 1 manci yang penuh dengan beras itu adalah seberat 8 ons. Adapun
perincian upahnya yaitu; jenis karung padi/gabah 1 karung pakan ayam
takarannya 1,5 manci; karung padi/gabah kurang dari 1/2 karung takarannya
1/2 manci. Jika gabah tersebut diambil dan ketika sudah selesai proses
penggilingan diantarkan tambah biaya ongkos sebanyak ½ manci beras.
Untuk manci yang berukuran 1 liter, dan jika dalam pengambilan upah
sgilingan berupa beras menggunakan takaran manci maka beras yang
diambil sebanyak 1 liter, apabila dinominalkan 1 liter beras harganya
berkisar Rp 8000,- sampai dengan Rp 10.000,-.
C. Bentuk Akad Antara Pemilik Penggilingan Padi Dengan Masyarakat Pengguna
Jasa Penggilingan Padi.
Pengambilan upah pada jasa gilingan padi yang terdapat dalam praktik jasa
penggilingan padi di Desa Kacangan milik Bapak Parjono dan Bapak Rajudin
menetapkan upah berupa uang maupun beras, dengan berpatokan pada ukuran
karung, menurut penuturannya pemilik mesin gilingan mengambil upah beras
dalam transaksi penyelepan padi/gabah tidak dilakukan secara tertulis, tetapi
dilakukan secara lisan, sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibu Zubaidah ini.
Seperti biasa pemilik mesin giling padi beroperasi di Desa Kacangan, bagi
masyarakat yang ingin meyelepkan gabah menunggu jasa penggilingan padi yang
mengambil gabahnya ke rumah, ataupun diantarkan sendiri ke tempat
penggilingan padi yang beroperasi. Ketika jasa penggilingan padi mengambil
gabah kerumah konsumen/ketika konsumen mengantarkan bgabahnya ke
penggilingan padi, jasa penggilingan padi akan bertanya bayar menggunakan
upah berupa uang atau beras, jika menggunakan beras, maka pihak jasa
penggilingan padi setelah selesai mengerjakan langsung mengurangi berasnya
sebagai upah, tanpa diketahui oleh si pemilik beras tersebut. Hal tersebut juga
diungkapkan Ibu Hartinah, menyatakan bahwa tidak ada transaksi tertulis. Untuk
upah atas jasa selep ditentukan di akhir transaksi, dan dalam waktu pengambilan
upah berupa beras masyarakat tidak tahu takaran pasti yang diambil oleh pemilik
mesin selep, karena hal tersebut hanya dilakukan secara sepihak yakni oleh
pemilik mesin selep. Berdasarkan observasi peneliti di lokasi penggilingan padi,
dari hasil pengamatan peneliti contoh transaksi yang berlangsung adalah sebagai
berikut:
a. Proses akad
Masyarakat yang ingin menyelepkan gabahnya mengantarkan
gabahnya ke tempat penggilingan padi, atau bisa juga bagi mereka yang
sudah berlangganan menghubungi pihak pemilik mesin giling padi via
telepon guna melakukan pengambilan gabah di rumahnya. Setelah dilakukan
penyelepan dilanjutkan dengan penentuan biaya ongkos penggilingan, akan
membayar dengan uang atau beras, jika dengan beras maka jasa penggiling
padi ketika mengantarkan berasnya sudah mengurangi beras tersebut sebagai
upahnya. Jika dengan uang, maka akan diterimanya langsung oleh
masyarakat, tanpa disertai adanya nota bukti pembayaran dari penyelepan
gabah masyarakat tersebut. Menurut masyarakat proses penyelepan dan
dengan sistem upah tersebut sudah menjadi adat di Desa Kacangan.
b. Proses penggilingan
Jasa penggilingan memberikan hasil gabah menjadi beras. Sedangkan
masyarakat/pemilik gabah hanya menunggu hasilnya saja. Dalam proses
penggilingan padi/gabah sendiri umunya terdapat 2 tahap, yakni:
1) Pecah kulit (PK)
Gabah dimasukkan ke dalam mesin selep untuk guna memecah
kulit gabah, memisahkan kulit gabah dan isinya.
2) Dimasukkan ke pemutihan pada mesin poles, proses pembersihan dan
pemutihan isi gabah menjadi beras.
c. Penerimaan hasil penggilingan
Setelah proses penyelepan selesai, pihak jasa penggilingan akan
mengantarkan beras tersebut ke masyarakat yang menggilingkan gabahnya,
dan ada juga sebagian masyarakat yang mengambilnya sendiri ke tempat
jasa penggilingan padi tersebut. Untuk hasil setiap karung gabah sendiri
berbeda-beda tergantung bobot dan kualitas gabah tersebut. Apabila gabah
kualitas bagus 1 karung pakan ayam gabah biasanya menghasilkan beras
diantara 28 kg sampai 34 kg, sedangkan untuk gabah kualitas rendah
menghasilkan beras diantara 24 kg sampai 28 kg.
Dari paparan di atas mulai dari proses akad, penggilingan, dan juga
penerimaan hasil berlaku untuk jasa penggilingan padi di Desa Kacangan,
antara masyarakat selaku pengguna jasa mesin giling padi dengan pemilik
mesin giling padi tidak melakukan pembaharuan perjanjian atau kesepakatan
mengenai harga upah baik berupa uang atau beras dengan nominal maupun
dengan seberapa takaran beras yang diambil. Karena masyarakat di Desa
Kacangan hanya mengikuti adat yang sudah berlaku yang telah ditentukan
oleh penggiling padi dan pengguna jasa penggiling padi dulunya.
Dengan demikian bahwa ketentuan transaksi dari pemilik gilingan
padi dengan masyarakat yang menggilingkan menunjukkan tidak ada
kesepakatan, karena itu sudah menjadi adat atau rutinitas di Desa Kacangan
ketika ingin menggilingkan gabahnya. Sehingga yang menjadi jaminan atas
transaksi tersebut adalah kepercayaan untuk memegang amanah dari
pelayanan jasa penggilingan padi tersebut.
BAB IV
ANALISIS DATA
A. Analisa Hukum Islam Terhadap Akad Jasa Penggilingan Padi di Desa
Kacangan Kecamatan Andong Kabupaten Boyolali
Usaha jasa penggilingan padi adalah suatu usaha yang dalam pemahaman
fikih muamalah dapat dikategorikan sebagai upah mengupah. Ijarah dalam
konsep Islam, Ijarah adalah imbalan yang diterima seseorang atas pekerjaanya
dalam bentuk imbalan materi di dunia (adil dan layak) dan dalam bentuk imbalan
pahala di akhirat (imbalan yang lebih baik).54
Ijarah merupakan salah satu bentuk
perikatan atau perjanjian dalam Islam. Perjanjian atau perikatan dalam Islam
biasa disebut dengan akad. Adapun pengertian akad adalah suatu perikatan antara
ijab dan qabul dengan cara yang dibenarkan syara‟ yang menetapkan adanya
akibat-akibat dan hukum pada objeknya. Dalam akad pada dasarnya
dititikberatkan pada kesepakatan antara dua belah pihak yang ditandai dengan
ijab qabul. Sebagaimana data yang peneliti peroleh, masyarakat di Desa
Kacangan biasa memanfaatkan mesin penggilingan padi untuk mengupas/
memproses gabah menjadi beras, yang mana beras tersebut merupakan
kebutuhan pokok bagi masyarakat. Di dalam praktik jasa penggilingan ini,
masyarakat yang ingin menggilingkan gabah menuju ke jasa penggilingan padi
54
Ahmad Ifham Sholihin, Buku Pintar Ekonomi Syariah, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2013), hal. 784.
dengan cara pemilik penggilingan padi mengambil atau pemilik gabah
mengantarkan sendiri ke tempat penggilingan padi.
Transaksi penggilingan padi/gabah tersebut tidak dilakukan secara tertulis,
tetapi dilakukan secara lisan. Untuk tarif penggilingan, masyarakat membayar
ongkos gilingan gabah bisa dalam bentuk uang maupun beras. Dalam hal besaran
ongkos giling gabah sendiri, pemilik mesin penggilingan padi sudah memiliki
kebijakan.
Dalam hukum Islam, untuk tindakan-tindakan ibadah berlaku asas bahwa
bentuk-bentuk ibadah yang sah adalah bentuk-bentuk yang disebutkan dalam
dalil-dalil syari‟ah. Sedangkan, dalam tindakan-tindakan muamalat berlaku asas
sebaliknya, yaitu bahwa segala sesuatu itu sah dilakukan sepanjang tidak ada
larangan tegas atas tindakan itu.
Pada praktiknya, dalam sistem pembayaran jasa penggilingan padi di Desa
Kacangan ini tidak hanya menggunakan uang saja sebagai alat transaksi
pembayaran tetapi juga menggunakan beras. Hal tersebut didasarkan pada kaidah
fikih:
الصم ف الشاء الإبا حت حخ دل اندنم عه انخحسى
Artinya : “hukum yang pokok dari segala sesuatu adalah boleh, sehingga
terdapat dalil yang mengharamkan”.
Asas konsensualisme, bahwasanya setiap perjanjian atau perikatan
didasarkan atas kesepakatan bersama antara kedua belak pihak yang melakukan
perjanjian tersebut.
Dalam transaksi penggilingan padi ini, penentuan tarif berupa uang
dilakukan secara sepihak yakni oleh pemilik mesin penggilingan padi sendiri.
Dalam hal pengambilan upah berupa beras juga dilakukan secara sepihak.
Meskipun masyarakat mengetahui perkiraan takaran takaran pengambilan upah
berupa beras adalah satu manci, tetapi ketika pengambilan upah beras itu
berlangsung takaran pasti hanya diketahui pemilik mesin saja. Meskipun
demikian, dengan terpaksa masyarakat menyetujuinya atau sepakat dengan tarif
yang ditentukan oleh pihak pemilik mesin penggilingan padi tersebut.
Asas keadilan dan keseimbangan prestasi merupakan asas yang
menegakkan pentingnya kedua belah pihak agar tidak saling merugikan.
Transaksi harus didasarkan keseimbangan antara apa yang dikeluarkan oleh satu
pihak dengan apa yang diterima. Pada praktiknya dalam pengambilan upah
berupa beras, penakaran hanya dilakukan secara sepihak yakni oleh pemilik
penggilingan padi. Sehingga pengguna jasa penggilingan padi (konsumen) tidak
mengetahui secara pasti takaran beras yang diambil. Pada praktiknya
pengambilan upah berupa beras dilakukan secara sepihak, padahal beras
merupakan jenis barang yang dapat ditakar dan ditimbang sehingga harus
diketahui dengan pasti jenis, sifat, macam dan ukurannya. Transparansi dalam
pengambilan upah berupa beras ini sangat penting.
Kemudian asas amanah (kejujuran), dalam transaksi penggilingan padi,
tidak disertakan nota pembayaran sebagai bukti transaksi, dan untuk
pengambilan upah berupa beras dilakukan secara sepihak yakni oleh pemilik
mesin penggilingan padi. Sehingga masyarakat tidak tahu takaran pasti yang
diambil oleh pemilik mesin penggilingan. Dalam hal pengambilan upah beras ini
masyarakat mempercayakannya kepeda pemilik mesin.
Pada transaksi jasa penggilingan padi pembayaran dilakukan di akhir yang
mana ongkos penggilingan ditentukan pemilik mesin penggilingan. Di akad awal
penggilingan padi hanya disebutkan keinginan pengguna jasa untuk
menggilingkan gabahnya. Pada akad tersebut tidak di sebutkan ketentuan-
ketentuan mengenai kepemilikan bekatul dan berambut, karena hal tersebut
sudah menjadi kebiasaan bahwa bekatul dan berambut adalah menjadi hak jasa
penggilingan. Selain itu, tidak disebutkan ketentuan mengenai tarif penggilingan
baik berupa uang ataupun beras, tarif tersebut ditentukan di akhir waktu dan
ditentukan oleh satu pihak yakni pemilik jasa penggilingan padi berdasarkan
kebijakannya.
Dalam muamalah, sahnya transaksi berdasarkan kesepakatan kedua pihak
pengupah dan penggiling yang saling merelakan satu sama lain, sehingga tidak
ada yang dirugikan, dan kesepakatan yang ditempuh tanpa adanya unsur paksaan.
Dalam transaksi tersebut tidak ada unsur paksaan dari pihak pengguna
penggilingan padi maupun pihak jasa penggilingan padi. Semua itu dilakukan
atas dasar kepercayaan.
Dalam melakukan suatu transaksi tidak harus secara tertulis, seperti halnya
dalam praktik jasa penggilingan padi di Desa Kacangan ini. Dalam praktiknya
transaksi tersebut tidak sertakan nota atau kwitansi sebagai alat bukti
pembayaran. Menurut pengakuan konsumen maupun pihak jasa penggilingan
padi, apabila dalam transaksi tersebut dilakukan secara tertulis seperti adanya
nota pembayaran hanya akan membuat ribet karena memakan waktu, sedangkan
masyarakat sebagai konsumen menginginkan proses yang cepat dan praktis yang
didasari kepercayaan. Dan bagaimanapun bentuk transaksi atau akad maka sah-
sah saja selama tidak ada dalil yang melarangnya. Hanya saja dalam
pengambilan berupa beras, hendaknya pihak penggilingan padi transparan dalam
mengambil upahnya, meski para konsumen mendasarkan semua pada
kepercayaan, tetapi transparansi sangat penting mengingat upah berupa beras
merupakan jenis barang yang harus ditakar maka harus ada kejelasan dan
kepastian.
Berdasarkan analisis praktik yang ada, penulis dapat mengambil
kesimpulan bahwa akad jasa penggilingan padi di Desa Kacangan Kecamatan
Andong Kabupaten Boyolali belum sepenuhnya sesuai dengan hukum Islam
karena dalam transaksi tersebut, karena dalam akad upahnya menggunakan
perkiraan juga tidak ada takaran yang pasti. Meskipun dalam transaksi antara
kedua belah pihak tersebut terdapat ijab qabul yang sah dan sama-sama
menyutujuinya.
B. Tinjauan Hukum Ekonomi Syari’ah tentang Pengupahan Penggilingan Padi
Dengan Beras Di Desa Kacangan Kecamatan Andong Kabupaten Boyolali
Pengupahan penggilingan padi dengan beras sudah menjadi adat kebiasaan
di Desa Kacangan yang telah terjadi sudah lama, meskipun pada awalnya
menggunakan tarif pembayaran dengan uang. Dalam sistem pembayaran hal
yang perlu diperhatikan adalah penetapan harga, karena dengan harga yang
sepakat suatu sistem pembayaran dikatakan berlaku. Adapun pengertian dari
harga adalah segala sesuatu yang disetujui oleh kedua belah pihak yang
bertransaksi, baik itu lebih banyak daripada nilainya, lebih sedikit, maupun sama
dengannya. Sedangkan penetapan harga adalah pemasangan nilai tertentu untuk
jasa yang akan dilakukan dengan wajar, dari pihak jasa tidak dzalim dan tidak
menjerumuskan konsumen.
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara yang didapatkan di lapangan,
upah merupakan suatu akad yang dipergunakan untuk pemilikan manfaat (jasa)
dari seorang penyewa kepada seorang yang menyewakan dan disengaja dengan
cara memberikan upah. Penetapan upah bagi tenaga kerja harus mencerminkan
keadilan dan memepertimbangkan berbagai aspek kehidupan. Dalam menetapkan
harga, pemilik penggilingan dan pengguna jasa penggilingan tidak ada kepastian,
padahal dalam suatu perjanjian sewa menyewa harga sewa/ upah harus diketahui
dengan jelas agar tidak menimbulkan kerugian satu pihak serta untuk
menghindari terjadinya perselisihan.
Apabila konsumen menginginkan pembayaran menggunakan beras maka
pemilik penggilingan akan mengambil sebagian hasil giling (beras). Tetapi dalam
mengambil takaran beras yang akan dijadikan upah tersebut hanya dilakukan
sepihak yakni oleh pemilik jasa penggilingan padi saja. Hal tersebut sesuai
penuturan salah seorang konsumen penggilingan padi yakni Ibu Zubaidah.
Menurut pemahamannya, untuk takaran yang diambil umumnya adalah 1 manci.
Seharusnya dalam pengambilan upah beras ini, pemilik gilingan padi
menjelaskan takaran yang diambil kepada konsumen sehingga tidak sekedar
mengira-ngira takaran yang diambil. Dengan begitu, pengambilan upah berupa
beras dapat diketahui dengan pasti dan jelas takaran dan timbangannya.
Setelah menganalisis data-data yang ditemukan, penulis merasa adanya
kesenjangan antara teori dan praktik yang terjadi, praktik upah mengupah yang
dilakukan tidak disaksikan oleh kedua pihak ketika pengambilan upah.
Analisis praktik sistem pengupahan pada jasa penggilingan padi di Desa
Kacangan dapat dilihat dari rukun ijarah upah sebagai berikut :
1. „Aqid ialah orang yang melakukan akad.
Pemilik padi dan penerima upah/pihak jasa penggilingan padi dalam
pelaksanaannya pengupahan pada penggilingan padi sudah terpenuhi
unsurnya maka dalam hal ini tidak menyalahi ketentuan hukum pengupahan
dalam hukum ekonomi syari‟ah.
2. Sighat (ijab dan qabul)
Dalam teorinya, sighat yang pertama harus jelas pengertiannya, dan
tidak memiliki pengertian lain, namun dalam praktik penggilingan padi
sighat sudah jelas mengenai upah yang telah ditentukan, dan sighat kedua
harus bersesuaian antara pihak yang berijab dan menerima ijab. Dalam
praktiknya sighat pada penggilingan padi ini belum memenuhi rukun ijarah,
dikarenakan ketentuan upahnya menggunakan perkiraan.
3. Upah
Upah sesuatu yang diterima oleh yang menyewakan atas jasa yang
telah diberikan atau diambil manfaatnya oleh penyewa. Dalam teorinya,
upah haruslah jelas atau sudah diketahui jumlahnya, karena itu upah
mengupah tidak sah dengan upah yang belum diketahui. Dalam praktik yang
terjadi di lapangan, upah mengupah kurang jelas dan diketahui salah satu
belah pihak saja.
4. Manfaat
Manfaat adalah tujuan atau maksud pokok mengadakan akad. Dalam
hal sistem pengupahan ini, manfaat adalah tolong-menolong seperti yang
terjadi pada sistem pengupahan penggilingan padi di Desa Kacangan bahwa
waktu, tempat sudah jelas.
Apabila ditinjau dari syarat upah mengupah, maka upah mengupah
penggilingan padi di Kacangan dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Pelaku upah mengupah haruslah berakal.
Secara umum dapat dikatakan bahwa para pihak yang melakukan
ijarah mestilah orang-orang yang sudah memiliki kecakapan bertindak
yang sempurna, sehingga segala perbuatan yang dilakukannya dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum. Di Desa Kacangan pelaku ijarah
sudah bisa dikatakan cakap dan sempurna, sebab mereka para pihak
pabrik manapun pemilik padi sudah melebihi usia 19 tahun dan sehat
jasmani rohani dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya didepan
hukum.
b. Keridhaan pihak yang berakad
Kedua belah pihak yang berakad menyatakan kerelaannya untuk
melakukan upah mengupah. Apabila salah seorang diantaranya terpaksa
melakukan itu, maka akadnya tidak sah. Sedangkan yang terjadi di
lapangan, ada beberapa masyarakat yang sedikit ada kecurigaan karena
kadang hasil penggilingan berbeda-beda, tetapi kebanyakan masyarakat
di Desa Kacangan rela terhadap upah atas dasar saling kepercayaan.
c. Objek ijarah diserahkan secara langsung dan tidak cacat objek.
ijarah itu boleh diserahkan dan dipergunakan secara langsung dan
tidak bercacat. Oleh sebab itu, para ulama fikih sepakat menyatakan
bahwa tidak boleh menyewakan sesuatau yang tidak boleh diserahkan
dan dimanfaatkan langsung oleh penyewa. Yang terjadi di lapangan,
objek ijarah termasuk objek yang bermanfaat dan diserahterimakan.
d. Objek ijarah sesuatu yang dihalalkan oleh syara‟ Islam
Tidak dibenarkan terjadinya sewa menyewa terhadap sesuatu
perbuatan yang dilarang agama, misalnya menyewa rumah untuk
perbuatan maksiat, untuk membunuh orang (pembunuh bayaran) dan
orang Islam tidak boleh menyewakan rumah kepada orang non muslim
untuk dijadikan tempat ibadah mereka. Sedangkan kaidah fikih
menyatakan : “Sewa menyewa dalam masalah maksiat tidak boleh”.
Objek pengggilingan padi termasuk objek yang halal dan bermanfaat
untuk kelangsungan hidup.
e. Objek ijarah berupa harta tetap yang dapat diketahui.
Jika manfaat itu tidak jelas dan menyebabkan perselisihan, maka
akadnya tidak sah karena ketidakjelasan menghalangi penyerahan dan
penerima sehingga tidak tercapai maksud akad tersebut. Kejelasan objek
akad (manfaat) terwujud dengan penjelasan, tempat manfaat, masa
waktu, dan penjelasan. Dalam pengupahan ini objek dan jumlahnya
dapat diketahui dengan jelas antara kedua belah pihak.
Dengan demikian, penulis dapat mengambil kesimpulan dalam
pelaksanaan pengupahan penggilingan padi dengan beras di Desa
Kacangan terdapat syarat yang tidak terpenuhi, yaitu penetapan harga
upah dan pengambilan upah berupa beras yang tidak transparan, yaitu
pemilik padi tidak mengetahui dengan pasti berapa upah beras yang
diambil.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hasil pembahasan yang telah dipaparkan pada bab-bab sebelumnya
maka penulis dapat menyimpulkan bahwa :
1. Praktik pengupahan jasa penggilingan padi di Desa Kacangan terdapat 2
dua macam sistem pembayaran yaitu dengan upah uang dan upah beras.
Upah uang dengan berkisar Rp7000- Rp 15.000. Sedangkan pada upah
beras menjadi hal biasa saat pengambilan hanya saja dengan takaran
perkiraan yaitu per karung diambil satu manci atau 1 liter.
2. Upah penggilingan padi di Desa Kacangan Kecamatan Andong Kabupaten
Boyolali belum sepenuhnya sesuai dengan hukum ekonomi syari‟ah
karena dalam transaksi tersebut tidak memenuhi ketentuan asas-asas
dalam berakad, khususnya asas amanah (kejujuran), keadilan, dan
perjanjian yang pasti, meskipun terdapat ijab qabul yang sah dan syarat
yang tidak terpenuhi dalam penetapan harga prngambilan upah berupa
beras yang tidak transparan, karena praktik upah mengupah yang
dilakukan tidak disaksikan oleh kedua pihak. Dan pada analisis „urf
terhadap praktik penggilingan padi di Desa Kacangan adalah adat
kebuasaan yang merupakan suatu tindakan yang menimbulkan perbuatan
yang tidak seutuhnya diperbolehkan dalam Islam.
B. Saran
1. Sebaiknya dalam melaksanakan suatu transaksi, pihak penyedia jasa
penggilingan memberikan penjelasan terkait proses penggilingan padi serta
ketentuan harga yang berlaku kepada pengguna jasa untuk menghindari
adanya kecurangan yang bisa berakibat pada perselisihan.
2. Hendaknya pengguna jasa penggilingan mengetahui tentang ketentuan-
ketentuan yang berlaku dalam penggilingan padi untuk menghindari adanya
kerugian.
Daftar pustaka
A. Mas‟adi, Ghufran Fiqh Muamalah Kontekstual. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada. 2002.
Afandi, M. Yasid, Fiqih Muamalah dan Implementasinya dalam Lembaga Keuangan
Syari‟ah, Logung Pustaka : Yogyakarta. 2007
Al-Maraghi, Musthofa Ahmad. Tafsir Al-Maragi. Cet I Semarang: CV Toha Putra.
1984.
Al-Qurtuby, Usman. Al-Quran Cordoba. Bandung : Cordoba Internasional. 2016.
Antonio, Muhammad Syafi‟i, Bank Syari‟ah dari teori ke praktek. (Jakarta: Gema
Insani Press. 2001.
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Edisi Revisi, Jakarta: Rineka Cipta. 2010
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Rinika Cipta,
Jakarta, 1991.
Dahlan, Abd. Rahman, Ushul Fiqh , Jakarta: Amzah, cet ke-2, 2011.
Departemen Pendidikan & Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ke
Empat. Jakarta: Balai Pustaka. 1989.
Harahap, Khairul Anwar, Pembayaran Upah Pembajak Sawah Oleh Para Petani
Ditinjau Menurut Fiqih Muamalah (Studi Kasus di Desa Parannapa Jae Kec.
Barumun tengah Kab.Padang Lawas Sumatera Utara), Skripsi Mahasiswa
UIN Syarif Kasim Riau, 2012.
Haroen, Nasrun, Fiqih Muamalah., Jakarta: Gaya media Pratama. 2007.
Hasan, M. Iqbal, Metodologi Penelitian dan Aplikasinya, Ghalia Indonesia, Bogor,
2002.
Hasan, M.Ali, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam fiqih muamalat, Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada. 2003.
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram, diterjemahkan oleh Moh.Rifa‟i dan K.A.
Qusyairi Misbah CV. Wicaksana, Semarang, 2004, Cet. Ke-3.
Jannah, Afifah Nurul, Tinjauan Hukum Islam Tentang pelaksanaan Upah Karyawan
Masjid Agung Jawa Tengah, Skripsi Mahasiswa IAIN Walisongo Semarang,
2009.
Khallaf, Abdul Wahhab , Kaidah-kaidah Hukum Islam, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, cet ke-6, 1996.
Mungin, Burhan, Analisis Data Penelitian Kualitatif, PT. RajaGrafindo Persada,
Jakarta, 2003
Nurul Huda dan Muhammad Heykal, Hukum Bisnis Islam, Pranadamedia Group,
Jakarta, 2015.
Rahman, Al-faruz. Doktrin Ekonomi Islam, jilid 2 Jakarta: Dana Bakti Wakaf. 1989.
Sabiq, Sayyid, Fiqih Sunnah, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2010, Cet. Ke-2, Juz 5.
Sabiq, Sayyid. Fikih Sunnah 13. Cet. Ke-1 Bandung: PT. Alma‟arif. 1987.
Saefulloh, Moh, Fikih Islam Lengkap, Surabaya. Terbit Terang. 2005.
Satria, Effendi, M. Zein, Ushul Fiqh, Jakarta: kencana, cet ke-1, 2005.
Suhendi, Hendi, Fiqih Muamalah, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 1995, Cet. Ke-1.
Suhendi, Hendi, Fiqih Muamalah, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2010, Cet. Ke-
6.
Syafi‟i ,Rahmat, Fiqih Muamalah, Pustaka Setia, Bandung, 2004
Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh Jilid 2, Jakarta: Kencana, 2011.
Undang-Undang Republik Indonesia No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Undang-Undang Republik Indonesia No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Yunita, Wiwin Norma, Tinjauan hukum Islam Terhadap Pemberian Upah Penjemur
Padi (Studi Kasus UD Sumber Makmur Desa Randusongo Kec. Girih Kab.
Ngawi, Skripsi Mahasiswa IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2011.
Yusato M.I dan Widjajakusuma MK, Menggagas Bisnis Islam. Jakarta: Gema Insani
press. 2002.
LAMPIRAN