tinjauan hukum ekonomi syariah dan hukum positif indonesia...

130
TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA TERHADAP PERPINDAHAN STATUS KEPEMILIKAN ATAS KEDUDUKAN OBJEK SEWA PADA AKAD IJARAH MUNTAHIYAH BIT-TAMLIK (Studi Kasus di PT. Bank BRISyariah Tbk.) SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.) Oleh: ADAM APRILYANTO NIM 11140460000050 PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH (MUAMALAT) FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATTULLAH JAKARTA 2019 M/1440 H

Upload: dangduong

Post on 18-Aug-2019

237 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF

INDONESIA TERHADAP PERPINDAHAN STATUS KEPEMILIKAN

ATAS KEDUDUKAN OBJEK SEWA PADA AKAD IJARAH

MUNTAHIYAH BIT-TAMLIK

(Studi Kasus di PT. Bank BRISyariah Tbk.)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

ADAM APRILYANTO

NIM 11140460000050

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH (MUAMALAT)

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATTULLAH

JAKARTA

2019 M/1440 H

Page 2: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

i

Page 3: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

ii

Page 4: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

iii

Page 5: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

iv

ABSTRAK

Adam Aprilyanto. NIM 11140460000050. TINJAUAN HUKUM EKONOMI

SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA TERHADAP

PERPINDAHAN STATUS KEPEMILIKAN ATAS KEDUDUKAN OBJEK

SEWA PADA AKAD IJARAH MUNTAHIYAH BIT-TAMLIK (Studi Kasus di

PT. Bank BRISyariah Tbk.) Program Studi Hukum Ekonomi Syariah, Fakultas

Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1439

H/2019 M.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana mekanisme akad

IMBT pada Bank Syariah, mengetahui bagaimana ketentuan Hukum Ekonomi

Syariah terkait perpindahan status kepemilikan atas objek sewa yang

menggunakan akad IMBT, danmengetahui bagaimana perlindungan hukum

terhadap objek IMBT di PT. Bank BRISyariah Tbk.

Metode pada penelitian ini adalah menggunakan jenis penelitian Normatif.

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara Riset Kepustakaan (Peraturan-

peraturan terkait Hukum Ekonomi Syariah dan Hukum Konvensional yang ada di

Indonesia serta literatur-literatur terkait lainya) dan Wawancara terhadap Pihak

Bank BRISyariah). Kemudian, digunakan analisis kualitatif yang memberikan

gambaran-gambaran (deskripsi) dengan kata-kata atas temuan, dan karenanya ia

lebih mengutamakan mutu/kualitas dari data, bukan kuantitas.

Dari hasil analisis penulis diperoleh bahwa mekanisme praktek akad IMBT

pada PT. Bank BRISyariah Tbk.terdapat ketidaksesuaian antara praktek dengan

ketentuan hukum yang tertulis terkait dengan perpindahan status kepemilikan atas

objek sewanya. Ketidaksesuaian tersebut terdapat pada praktek perpindahan status

kepemilikan atas objek sewa di PT. Bank BRISyariah Tbk. dengan ketentuan

Fatwa DSN-MUI, POJK/SEOJK, PBI/SEBI, KHES, dan SHARIA‟AH

STANDARD AAOIFI yang terkait dengan akad IMBT. Dari ketidaksesuaian

yang terjadi tersebut menimbulkan dilema hukum terhadap kedudukan objek

tersebut. Sehinggaperlindungan hukum atas objek yang dimana sertifikat status

kepemilikan langsung tertulis atas nama nasabah tersebut diwujudkan dengan cara

bank mengikatkannya dengan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) untuk

objek yang berbentuk rumah/ bangunan atau Akta Jaminan Fidusia utuk objek

yang berbentuk kendaraan bermotor. Dari perspektif hukum, APHT dan Akta

Jaminan Fidusia memiliki kekuatan hukum yang kuat dalam melindungi hak-hak

bank jika dalam masa sewa-menyewa, nasabah melakukan wanprestasi ataupun

mengalami gagal bayar.

Kata kunci: Ijarah Muntahiyah Bit-Tamlik, Bank Syariah, Hukum Ekonomi

Syariah, Akta Pemberian Hak Tanggungan dan Akta Jaminan Fidusia.

Pembimbing : Dr. Muh. Fudhail Rahman, Lc., MA

Daftar Pustaka : Tahun 1996 s/d Tahun 2017

Page 6: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

v

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala

rahmatdan hidayah-Nya, serta sholawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW

sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul TINJAUAN

HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

TERHADAP PERPINDAHAN STATUS KEPEMILIKAN ATAS

KEDUDUKAN OBJEK SEWA PADA AKAD IJARAH MUNTAHIYAH BIT-

TAMLIK (Studi Kasus di PT. Bank BRISyariah Tbk.) Banyak pihak yang telah

membantu Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini baik secara langsung maupun

tidak langsung. Maka dalam kesempatan ini Penulis ingin mengucapkan

terimakasih kepada:

1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA, selaku Dekan Fakultas Syariah dan

Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak A.M Hasan Ali, MA, selaku Ketua Program Studi Hukum Ekonomi

Syariah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3. Bapak Dr. Abdurrauf Lc, MA, selaku Sekretaris Program Studi Hukum

Ekonomi Syariah

4. Dr. Muh. Fudhail Rahman, Lc., MA, selaku dosen pembimbing skripsi yang

senantiasa meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan masukan bagi

Penulis sehingga dapat meyelesaikan skripsi ini.

5. Ah. Azharuddin Lathif, M. Ag., M.H., selaku Dosen Pembimbing Akademik.

6. Para Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

yang dengan ikhlas dan baik memberikan ilmunya kepada Penulis selama

masa kuliah.

7. Staff karyawan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum,

PerpustakaanUmum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan staf akademik

Fakultas Syariah dan Hukum.

Page 7: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

vi

8. Kepadaorangtua saya tercinta yaitu Bapak Marsin Budiman dan Ibu Halifah,

terimakasih untuk cinta, dukungan, doamu siang dan malam setiap hari,

tenagamu selama ini, dan semuanya yang telah engkau berikan untukku.

9. Saudara-saudaraku terkhusus kedua kakakku yaitu Rara Anggita dan Wahyudi

Pradana yang selama ini berkorban membiayaiku dari awal hingga sekarang,

tanpa mereka tidak mungkin ku bisa seperti sekarang. Dan adikku yaitu Deo

Septian yang terus mendukungku.

10. Sanak-sanak saudara mulai dari bibiku tercinta Wahaina yang sangat berjasa

dari lahir hingga saat ini, nenek, kung-kung pho-pho, pak-pak, thaiku, paman,

bibi, dan sepupu yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Terimakasih untuk

doa-doa dan dukungannya.

11. Keluarga Besar C.O.I.N.S, Forward, GIBEI, dan HMI, terimakasih telah

memberikan ruang kepada Penulis selama masa-masa kuliah untuk

meningkatkan kapasitas diri.

12. Sahabat-sahabat KKN ANGKASA 28 & Keluarga besar Desa Cibitung Kulon.

13. Sahabat-sahabat seperjuangan Hukum Ekonomi Syariah A yang selalu

mendukung dan membantu dalam menyelesaikan skripsi ini. Terkhusus

sahabat sepermainan Alen, Ojan, Rifqon, ami, sami, Chae, Desya, Amel, Faai,

dan Winda.

14. Teman-teman seperjuangan Hukum Ekonomi Syariah 2014 yang berjuang

bersama selama perkuliahan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

15. Serta teman-teman yang tidak bisa Penulis sebutkan satu persatu, terimakasih

atas doa-doa terbaiknya.

Jakarta, 20 Februari 2019

Adam Aprilyanto

Page 8: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

vii

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI .............................................. i

LEMBAR PENGESAHAN .............................................................................................. ii

LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................................. iii

ABSTRAK ........................................................................................................................ iv

KATA PENGANTAR ....................................................................................................... v

DAFTAR ISI.................................................................................................................... vii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................. 1

A. Latar Belakang Masalah.......................................................................................... 1

B. Identifikasi Masalah ................................................................................................ 7

C. Batasan Masalah ..................................................................................................... 8

D. Rumusan Masalah ................................................................................................... 8

E. Tujuan Penelitian .................................................................................................... 8

F. Manfaat Penelitian .................................................................................................. 9

G. Metode Penelitian ................................................................................................... 9

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEPEMILIKAN, IJARAH MUNTAHI-

YAH BIT-TAMLIK, HAK TANGGUNGAN, DAN JAMINAN FIDUSIA ............... 14

A. Teori Kepemilikan Menurut Hukum Ekonomi Syariah ........................................ 14

1. Pengertian Kepemilikan .................................................................................... 14

2. Macam-macam kepemilikan dalam Islam ........................................................ 15

3. Sebab-sebab kepemilikan .................................................................................. 16

4. Klasifikasi Kepemilikan .................................................................................... 17

5. Berakhirnya kepemilikan .................................................................................. 19

B. Teori Ijarah Muntahiyah Bit-tamlik (IMBT) ........................................................ 20

1. Pengertian Ijarah Mutahiyah Bit-tamlik (IMBT) .............................................. 20

2. Dasar Hukum IMBT ......................................................................................... 21

3. Mekanisme Pembiayaan IMBT ........................................................................ 26

Page 9: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

viii

4. Ketentuan Ijarah Muntahiyah Bit-tamlik (IMBT) ............................................ 27

5. Persayratan Ijarah Mutahiyah Bit-tamlik (IMBT) ............................................ 28

C. Hak Tanggungan ................................................................................................... 29

1. Asas-asas Hak Tanggungan .............................................................................. 30

2. Ciri-ciri Hak Tanggungan ................................................................................. 31

3. Objek Hak Tanggungan .................................................................................... 34

4. Para Pihak dalam Perjanjian Pemberian Hak Tanggungan ............................... 35

5. Isi Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) ................................................. 36

6. Pendaftaran Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) .................................. 39

7. Sertifikat Hak Tanggungan ............................................................................... 40

8. Eksekusi Hak Tanggungan................................................................................ 41

9. Hapusnya Hak Tanggungan .............................................................................. 44

D. Jaminan Fidusia .................................................................................................... 45

1. Ruang Lingkup Jaminan Fidusia....................................................................... 46

2. Objek Jaminan Fidusia ...................................................................................... 46

3. Akta Jaminan Fidusia ........................................................................................ 47

4. Pendaftaran Jaminan Fidusia ............................................................................ 48

5. Sertifikat Jaminan Fidusia ................................................................................. 49

6. Eksekusi Jaminan Fidusia ................................................................................. 51

7. Hapusnya Jaminan Fidusia................................................................................ 52

E. Review Penelitian Terdahulu ................................................................................ 54

BAB III PT. BANK BRISYARIAH TBK. DAN PRODUK-PRODUKNYA ............. 57

BAB IV ANALISIS TENTANG AKAD IJARAH MUNTAHIYAH BIT-TAMLIK

DI PT.BANK BRISYARIAH TBK................................................................................ 69

A. Mekanisme Pelaksanaan Akad IMBT di PT. Bank BRISyariah Tbk. .................. 69

B. Tinjauan Hukum Ekonomi Syariah pada Perpindahan Status Kepemilikan atas

Objek IMBT .................................................................................................................. 71

1. Perpindahan Status Kepemilikan atas Objek IMBT Berdasarkan Ketentuan

Fatwa DSN-MUI ....................................................................................................... 71

2. Perpindahan Status Kepemilikan atas Objek IMBT Berdasarkan Ketentuan

Otoritas Jasa Keuangan OJK ..................................................................................... 72

3. Perpindahan Status Kepemilikan atas Objek IMBT Berdasarkan Ketentuan

Bank Indonesia .......................................................................................................... 73

4. Perpindahan Status Kepemilikan atas Objek IMBT Berdasarkan Kompilasi

Hukum Ekonomi Syariah (KHES) ............................................................................ 75

Page 10: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

ix

5. Perpindahan Status Kepemilikan atas Objek IMBT Berdasarkan SHARI‟AH

STANDARDS dari ACCOUNTING AND AUDITING ORGANIZATION FOR

ISLAMIC FINANCIAL INSTITUTIONS (AAOIFI). ............................................. 76

B. Perlindungan Hukum Terhadap Objek IMBT di PT. Bank BRISyariah Tbk. ...... 78

1. Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) ...................................................... 78

2. Akta Penjaminan Fidusia .................................................................................. 82

BAB V PENUTUP ........................................................................................................... 86

A. Kesimpulan ........................................................................................................... 86

B. Saran ..................................................................................................................... 87

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 88

Lampiran-lampiran ........................................................................................................ 93

Page 11: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Industri pembiayaan di Indonesia mulai tumbuh dan berkembang lagi

dalam beberapa tahun belakangan ini, setelah sebelumnya terpuruk akibat

krisis moneter yang melanda Indonesia pada tahun 1997-1999. Hal ini dapat

dilihat dari banyaknya perusahaan-perusahaan di Indonesia dalam pengadaan

kendaraan operasional memakai jasa perusahaan pembiayaan. Dari data

Statistik Lembaga Pembiayaan Per Juli 2018 yang dilaporkan oleh OJK,

terdapat 356 jumlah Lembaga Pembiayaan dengan aset sebesar 580.644 miliar,

liabilitas sebesar 423.273 miliar, dan ekuitas sebesar 157.371 miliar.

Istilah lembaga pembiayaan mungkin belum sepopuler dengan istilah

lembaga keuangan dan lembaga perbankan. Meskipun lembaga pembiayaan

merupakan lembaga keuangan bersama-sama dengan lembaga perbankan,

namun dilihat dari padanan istilah dan penekanan kegiatan usahanya antara

lembaga pembiayaan dan lembaga keuangan berbeda. Istilah lembaga

pembiayaan merupakan padanan dari istilah bahasa Inggris financing

institutions. Lembaga pembiayaan ini kegiatan usahanya lebih menekankan

pada fungsi pembiayaan, yaitu dalam bentuk penyediaan dana atau barang

modal dengan tidak menarik dana secara langsung dari masyarakat. Adapun

lembaga keuangan merupakan padanan dari istilah Inggris Financial

Instututions. Sebagai badan usaha, lembaga keuangan menjalankan usahanya

dibidang jasa keuangan, baik penyediaan dana untuk membiayaai usaha

produktif dan kebutuhan konsumtif, maupun jasa keuangan bukan pembiayaan.

Jadi dalam kegiatan usahanya lembaga keuangan lebih menekankan pada

fungsi keuangan, yaitu jasa keuangan pembiayaan dan jasa keuangan bukan

pembiayaan. Dengan demikian, usaha usaha pembiayaan lebih sempit

Page 12: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

2

pengertiannya dibandingkan dengan istilah lembaga keuangan. Lembaga

pembiayaan adalah bagian dari lembaga keuangan.1

Bank Syariah dapat dikatagorikan lembaga pembiayaan namun lebih

condong kedalam katagori lembaga Keuangan seperti yang dijelaskan

sebelumnya. Bank Syariah adalah bank atau lembaga yang menjalankan

kegiatan usahanya sesuai dengan alqur‟an dan hadits, dan mengacu pada

prinsip-prinsip syariah.2

Sebagaimana fungsi pada umumnya, Perbankan

Syariah melakukan fungsi penghimpunan dana dari masyarakat dan

penyaluran dana ke masyarakat. Dari beragam produk dalam Perbankan

Syariah, terdapat akad yang digunakan sebagai landasan dasar atas produk-

produk yang ada. Pada aspek penyaluran dana, dalam perbankan syariah

terdapat beberapa bentuk akad yang digunakan antara lain: pembiayaan atas

dasar akad mudharabah (bagi hasil), pembiayaan atas dasar akad musyarakah

(bagi hasil), pembiayaan atas dasar akad murabahah (jual-beli), pembiayaan

atas dasar akad salam (jual-beli pesanan), pembiayaan atas dasar akad istisna‟

(jual-beli pesanan), pembiayaan atas dasar akad qordh (pinjaman

qordhulhasan), pembiayaan atas dasar akad multijasa pembiayaan atas dasar

akad ijarah (sewa-menyewa) dan ijarah muntahiyah bi tamlik (sewa-beli).3

Dengan akad yang beragam, perbankan syariah dapat menawarkan produk

dengan sistem yang variatif sehingga perbankan syariah merupakan beyond

banking bagi nasabah di Indonesia4. Salah satu bentuk penyaluran pembiayaan

yang diberikan oleh bank syariah menurut Undang Undang No. 21 Tahun

2008 tentang Perbankan Syariah adalah penyewaan barang bergerak atau tidak

kepada nasabah berdasarkan akad ijarah dan/atau sewa beli dalam bentuk

Ijarah Muntahiya Bittamlik (IMBT) atau akad lain yang tidak bertentangan

1 Sunaryo, Hukum Lembaga Pembiayaan, Cet. Ke-3, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 1-2.

2 Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, cet.II, (Jakarta: Prenadamedia

Group, 2010), h. 61. 3 Bank Indonesia, Kodifikasi Produk Perbankan Syariah, (Direktorat Perbankan Syariah Bank

Indonesia, 2008). 4

Miko Polindi, “Implementasi Ijarah dan Ijarah Muntahiah Bit-tamlik (IMBT) dalam

Perbankan Syariah di Indonesia”, Al-intaj, Vol.2 No. 1, (Maret 2016): h. 30.

Page 13: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

3

dengan prinsip syariah. IMBT merupakan kombinasi antara sewa menyewa

(ijarah) dan jual beli atau hibah di akhir masa sewa.5

Jika di perbankan syariah dikenal dengan IMBT, maka di lembaga

pembiayaan konvensional dikenal dengan sewa guna usaha (leasing). Sewa

Guna Usaha (Leasing) adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan

barang modal baik secara Sewa Guna Usaha dengan hak opsi (Finance Lease)

maupun Sewa Guna Usaha tanpa hak opsi (Operating Lease) untuk digunakan

oleh Penyewa Guna Usaha (Lessee) selama jangka waktu tertentu berdasarkan

pembayaran secara angsuran. Sewa Guna Usaha dengan hak opsi (Finance

Lease) dimana pada akhir kontrak lessee ada hak opsi atas barang modalnya

untuk mengembalikan, membeli, atau memperpanjang masa kontraknya.6 Jika

dilihat dari pengertian antara IMBT dan Finance Lease maka dapat dikatakan

keduanya adalah perjanjian yang tidak jauh berbeda. Karena memang dalam

konteks perbankan syariah masa kini IMBT diadopsi oleh leasing sehingga

praktiknya di lapangan hampir sama.7

Jika ditinjau dalam perspektif Hukum Positif Indonesia, akad IMBT

merupakan Perjanjian tak Bernama (Onbenoemde atau innominaatcontracten).

Lahirnya perjanjian tidak bernama adalah berdasarkan asas kebebasan

berkontrak atau partij otonomiyangberlaku di dalam hukum perjanjian.8

Perjanjian IMBT memang tidak dijelaskan secara jelas dalam KUHPerdata,

sehingga perjanjian ini dikategorikan sebagai perjanjian tidak bernama.

Walaupun demikian, perjanjian tidak bernama tetap berlandaskan ketentuan

KUHPerdata, sebagaimana diatur dalam Pasal 1319 yang berbunyi:

“Semua perjanjian, baik yang mempunyai nama khusus, maupun yang tidak

dikenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan-peraturan umum,

yan termuat di dalam bab ini dan bab yang lalu.”

5

Adiwarman A. Karim, Bank Islam (Analisis fiqih dan Keuangan), Cet.III, (Jakarta:

RajaGrafindo Persad, 2006), h. 165. 6 Sunaryo, Hukum Lembaga Pembiayaan, h. 56.

7Muhammad Syafi‟I Antonio, Bank Syariah: dari Teori ke Praktik(Jakarta: Gema Inzani dan

Tazkia Cendekia, 2001), h. 177. 8Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu(Bandung:

Alumni, 1973), h. 19.

Page 14: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

4

Pasal ini menyatakan bahwa perjanjian apa saja, baik yang diatur dalam

KUHPerdata Buku III Bab V sampai dengan Bab XVIII dan yang terdapat di

luar Buku III KUHPerdata tunduk pada ketentuan-ketentuan umum dari

KUHPerdata Buku III dan Bab II. Sehingga akad IMBT walaupun termasuk

kategori perjanjian tidak bernama tetap harus tunduk pada ketentuan

KUHPerdata.9

Di Indonesia, ketentuan syariah yang lebih spesifik atas akad IMBT

diantaranya terdapat didalam ketentuan:

1. Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) melalui

Fatwa yang bernomor 27/DSN-MUI/III/2002 Tentang Al-Ijarah Al-

Muntahiyah Bi Al-Tamlik.

2. Peraturan Bank Indonesia Nomor: 7/46/PBI/2005 Tentang Akad

Penghimpunan dan Penyaluran Dana Bagi Bank yang Melaksanakan

Kegiatan Usaha Bedasarkan Prinsip Syariah.

3. Kompilasi Hukuum Ekonomi Syariah (KHES) buku ke-II pasal 278-285.

4. Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) No. 10/14/DPBS pada tanggal 17

Maret 2008 Perihal Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan

Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank

Syariah.

5. Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan (SEOJK) Nomor 36/SEOJK.03/2015

tentang Produk dan Aktifitas Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah.

Secara umum prosedur pembiayaan pemilikan rumah dengan akad ijarah

muntahiyyah bittamlik pada Bank Syariah secara garis besar, yaitu:10

1. Pengajuan permohonan pembiayaan pemilikan rumah dengan akad ijarah

muntahiyyah bittamlik oleh nasabah pada bank.

2. Penandatangan akad pembiayaan pemilikan rumah dengan akad ijarah

muntahiyyah bittamlik antara bank dengan nasabah.

9 Nasrullah Ali Munif, ”Analisis Akad Ijarah Muntahiya Bittamlik dalam Perspektif Hukum

Islam dan Hukum Positif di Indonesia”, An-Nisbah, Vol. 03, No. 02, (Apri; 2017): h. 268. 10

Afit Kurniawan dan Nur Inayah, “Tinjauan Kepemilikan dalam KPR Syariah: Antara

Murabahah, Ijarah Muntahiyyah Bittamlik dan Musyarakah Mutanaqisah”, Vol. 1 No. 2, (Desember

2013): h. 295.

Page 15: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

5

3. Dilakukan akad Al Bai‟, antara bank dengan penjual. Pembayaran oleh

bank atas pembelian rumah langsung ke rekening penjual.

4. Dilakukan akta jual beli rumah oleh nasabah dan penjual secara notariil.

Sertifikat atas tanah langsung atas nama nasabah. Sertifikat akan disimpan

oleh Bank dan akan dikembalikan kepada nasabah pada akhir masa sewa.

Tanah dan bangunan yang menjadi obyek IMBT akan diikat dengan hak

tanggungan.

5. Dilakukan akad Ijarah antara bank dengan nasabah. Nasabah membayar

uang sewa tiap bulan pada bank.

6. Pada akhir masa sewa bank menghibahkan rumah beserta tanah yang

disewakan kepada nasabah.

Kepemilikan bank atas tanah dan bangunan yang berada diatasnya adalah

kepemilikan sempurna karena adanya akad yang mengalihkan kepemilikan

yaitu akad Al-Bai‟ antara penjual kepada bank. Dengan kepemilikan sempurna

ini, bank menyewakan tanah dan bangunan kepada nasabah dengan diakhiri

oleh pemindahan kepemilikan melalui hibah di akhir masa sewa.

Namun pada penerapannya, terdapat beberapa ketidaksesuaian terhadap

prinsip Syariah seperti yang dituliskan di jurnal Afit Kurniawan dan Nur

Inayah (2013), diantaranya:

1. Pemberlakuan Wakalah menyebabkan sejak awal akad terjadi bukti

kepemilikan rumah (sertifikat tanah) telah tercantum atas nama nasabah.

Dengan demikian secara yuridis nasabah adalah pemilik atas tanah dan

bangunan. Hal ini dilatar belakangi pertimbangan kemudahan dan efisiensi

biaya serta memenuhi ketentuan hukum mengenai hak tanggungan di

Indonesia yang dibebankan pada jaminan. Sertifikat sebagai tanda bukti

kepemilikan atas tanah diikat dengan hak tanggungan dan disimpan oleh

Bank. Langkah ini merupakan bentuk antisipatif bank namun tidak

mengubah kenyataan bahwa kebijakan yang diterapkan pihak Bank Syariah

mengakibatkan pihak bank tidak memiliki dasar hukum sebagai pemberi

sewa dalam pembiayaan pemilikan rumah dengan akad IMBT karena

secara yuridis berdasarkan bukti kepemilikan itu telah diatasnamakan

Page 16: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

6

langsung kepada nasabah sehingga rumah tersebut merupakan milik sah

nasabah/musta‟jir. Bank Syariah dalam hal ini bertindak sebagai pihak

yang menyewakan sekaligus pemilik asset (tanah dan bangunan), maka

bukti kepemilikan yaitu sertifikat atas tanah harus tercatat atas nama Bank

Syariah dahulu dan pada akhir masa sewa setelah dilakukan hibah baru

dibalik nama menjadi atas nama nasabah.

2. Dalam akad IMBT, pihak pemberi sewa (bank) dapat meminta barang

jaminan pada penyewa (nasabah) yaitu berupa sebidang tanah dan

bangunan rumah yang berada di atasnya, yang juga merupakan asset yang

disewakan. Pembebanan jaminan atas asset yang disewakan tidak tepat,

karena selama nilai sewa belum dilunasi oleh nasabah, kepemilikan atas

rumah beserta tanah tersebut masih berada dipihak Bank. Sehingga tidak

memungkinkan bagi nasabah untuk menjaminkan asset yang disewakan

yang bukan milik nasabah sendiri sebagai orang yang berutang.

3. Mengenai biaya pemeliharaan, tanggung jawab atas biaya pemeliharaan

asset dibebankan sepenuhnya pada nasabah. Hal ini tidak sesuai dengan

Fatwa DSN No.09/DSN-MUI/IV/2000 bahwa biaya pemeliharaan asset

pada pihak Bank dan nasabah, mengingat hak milik atas asset (rumah

beserta tanah) secara fiqih sepanjang masa sewa berlangsung berada pada

pihak bank, sehingga sebagai seorang pemilik, bank berkewajiban

menanggung biaya pemeliharaan. Hal ini menjadi tidak adil bagi nasabah

untuk menanggung penuh biaya pemeliharaan atas rumah tersebut,

sementara pihak Bank Syariah menerima bagian keuntungan dari uang

sewa yang dibayarkan nasabah tiap bulan tanpa ikut menanggung

kerusakan yang mungkin terjadi, khususnya kerusakan yang terjadi bukan

disebabkan karena pelanggaran dari penggunaan yang dibolehkan atas

rumah yang disewakan, juga bukan karena kelalaian pihak penyewa

(nasabah) dalam menjaga rumah beserta tanah tersebut.

4. Dalam Fatwa tentang IMBT dinyatakan bahwa pemindahan hak

kepemilikan atas obyek sewa hanya dapat dialihkan setelah masa

ijarah/sewa selesai, yang berarti hak kepemilikan atas rumah beserta atas

Page 17: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

7

tanah selaku objek sewa masih berada pada pihak bank selaku pemberi

sewa dan sebagai seorang pemilik seharusnya pihak bank menanggung

risiko atas obyek miliknya.

Terkait dengan bukti kepemilikan rumah, hal serupa juga terjadi pada Bank

BRI Syariah. Dalam jurnal yang ditulis pada tahun 2016 oleh Mila Sartika dan

Hendri Setiawan Adinugra dengan judul Implementasi Ijarah dan IMBT pada

Bank BRI Syariah Cabang Yogyakarta menyebutkan bahwa aset sejak masa

ijarah sudah dicatatkan atas nama nasabah.

Sebagaimana penjelasan terkait kejanggalan di atas, dimana dalam

prakteknya sejak awal sertifikat kepemilikan adalah atas nama nasabah

walaupun belum ada perpindahan kepemilikan melalui jual-beli/hibah dari

bank kepada nasabah. Tentu saja konstruk atau model yang seperti ini

menimbulkan dilema hukum terutama pada hukum positif begitu pula dengan

hukum islam. Seharusnya sertifikat kepemilikan adalah atas nama bank ketika

belum terjadi perpindahan kepemilikan melalui jual-beli/hibah. Namun ketika

ini dipaksakan, banyak menimbulkan persoalan-persoalan terkait efisiensi

dimana terjadi Double Tax dan biaya-biaya pengalihan yang lebih dari

biasanya sehingga sertifikat pemilikan langsung atas nama nasabah. Dengan

legal title yang seperti ini (sertifikat langsung atas nama nasabah) akan

menimbulkan pertanyaan; Apakah tepat dengan konstruk/model Hukum Positif

Indonesia? Apakah konstruk/model hukum ini akan menimbulkan problem

hukum nantinya? Sehingga perlu dilakukan pengkajian lebih lanjut. Maka dari

itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan melanjutkan masalah

dari penelitian sebelumnya dengan judul “Tinjauan Perpindahan Status

Kepemilikan atas Objek pada Akad Ijarah Muntahiyah Bit-tamlik di Indonesia”

B. Identifikasi Masalah

Beberapa poin yang dapat penulis indentifikasikan untuk diteliti,

diantaranya sebagai berikut:

1. Terdapat pertentangan antara Hukum Syariah dengan Hukum Positif

Indonesia terkait perpindahan status kepemilikan barang pada akad IMBT

Page 18: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

8

2. Pemberlakuan wakalah yang menyebabkan sedari awal bukti kepemilikan

(sertifikat) telah tercantum atas nama nasabah dapat menimbulkan

problem hukum nantinya

3. Objek yang disewakan oleh bank kepada nasabah dapat menjadi barang

jaminan bagi bank itu sendiri

4. Biaya pemeliharan objek tidak dibebankan sama sekali dan resiko yang

tidak disengaja kepada bank (penyewa) dimana hal ini tidak sesuai dengan

Fatwa DSN-MUI No.09/DSN-MUI/IV/2000 tentang Ijarah.

5. Perlindungan hukum terhadap objek jaminan yang dimiliki oleh bank

C. Batasan Masalah

Untuk menghindari pembahasan yang terlalu luas dan melebar, penulis

melakukan pembatasan masalah dalam penelitian ini agar penulisan skripsi ini

lebih spesifik dan tepat sasaran. Selain itu, untuk meneliti seluruh indentifikasi

masalah di atas memerlukan suatu usaha dari penulis dimana penulis memiliki

keterbatasan kemampuan maka penelitian hanya akan dibatasi pada

bagaimana ketentuan Hukum Ekonomi Syariah terkait konsep perpindahan

status kepemilikan atas objek sewa pada akad IMBT.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan Identifikasi Masalah dan Batasan Penelitian yang telah ditulis

di atas, maka penulis merumuskan masalahnya yaitu:

1. Bagaimana mekanisme akad IMBT di PT. Bank BRISyariah Tbk.?

2. Bagaimanatinjauan Hukum Ekonomi Syariah pada Perpindahan Status

Kepemilikan atas Objek IMBT?

3. Bagaimana Perlindungan Hukum Terhadap Objek IMBT di PT. Bank

BRISyariah Tbk.?

E. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui bagaimana mekanisme akad IMBT di PT. Bank BRISyariah

Tbk.

2. Mengetahui tinjauan Hukum Ekonomi Syariah pada Perpindahan Status

Kepemilikan atas Objek IMBT

Page 19: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

9

3. Mengetahui bagaimana perlindungan hukum terhadap objek IMBT di PT.

Bank BRISyariahTbk.

F. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini bagi penulis secara umum adalah

menyumbangkan gagasan dan buah pikir sebagai hasil berdasarkan prosedur

ilmiah serta melatih kepekaan kegiatan penulis sebagai mahasiswa terhadap

masalah-masalah yang berkembang dilingkungan sekitar, sedangkan manfaat

lebih khususnya lagi, antara lain:

1. Manfaat teoritis, yaitu bagi program studi Hukum Ekonomi Syariah, hasil

penelitian ini dapat menambah khazanah pengetahuan, melengkapi, dan

memberi informasi yang berharga mengenai bagaimana konsepperpindahan

status kepemilikan atas objek sewa menurut Hukum Ekonomi Syariah dan

Tinjuan Hukum atas Perlindungan Hukum atas Objek Sewa tersebut.

2. Manfaat praktis, yaitu hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi

kalangan pelajar, mahasiswa, akademisi lainnya dan terutama para pelaku

yang terkait dalam penelitian ini.

G. Metode Penelitian

Pengumpulan data merupakan bagian terpenting di dalam sebuah

penelitian, dalam hal ini sangat dibutuhkan data-data yang akurat, lengakap,

objektif serta relevan dalam persoalan yang diteliti. Untuk memeproleh data

yang yang tepat diperlukan metode penelitian. Metode adalah tata cara atau

prosedur yang harus ditempuh dalam melakukan suatu kegiatan, dalam hal ini

kegiatan tersebut adalah penelitian hukum.11

Sedangkan penelitian adalah

kegiatan yang dilakukan seseorang dengan teliti untuk mencermati sesuatu hal

atau kejadian karena adanya keinginan untuk mengetahui sesuatu hal atau

kejadian tersebut.12

Adapun perolehan data yang diperlukan, yaitu

menggunakan metode sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

11

Tommy Hendra Purwaka, Metodologi Hukum, (Jakarta:Penerbit Universitas Atma Jaya,

2007), h. 9. 12

Tommy Hendra Purwaka, Metodologi Hukum, h. 11.

Page 20: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

10

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis

penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan

dikarenakan penelitian ini hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis

atau bahan-bahan hukum yang lain. Selain itu, cara mengakses dan

penelitiannya banyak diambil dari bahan pustaka, yakni bahan yang

berisikan pengetahuan ilmiah yang baru dan mutakhir, atau pengetahuan

baru tentang fakta yang diketahui, maupun mengenai gagasan (ide), dalam

hal ini mencakup, buku, jurnal, disertasi atau tesis dan bahan hukum lainya.

Penelitian hukum normatif ini sepenuhnya menggunakan bahan hukum

primer dan bahan hukum sekunder.13

2. Pendekatan Penelitian

Pada penelitian ini penulis akan menggunakan metode pendekatan

konseptual (conceptual approach). Pendekatan konseptuan merupakan

jenis pendekatan dalam penelitian hukum yang memberikan sudut

pandang analisa penyelesaian permasalahan dalam penelitian hukum

dilihat dari aspek konsep-konsep hukum yang melatar belakanginya, atau

bahkan dapat dilihat dari nilai-nilai yang terkandung dalam penormaan

sebuah peraturan kaitannya dengan konsep-konsep yang digunakan.

Pendekatan ini beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin

yang berkembang di dalam ilmu hukum. Pendekatan ini menjadi penting

sebab pemahaman terhadap pandangan/doktrin yang berkembang dalam

ilmu hukum dapat menjadi pijakan untuk membangun argumentasi hukum

ketika menyelesaikan isu hukum yang dihadapi. Pandangan/doktrin akan

memperjelas ide-ide dengan memberikan pengertian-pengertian hukum,

konsep hukum, maupun asas hukum yang relevan dengan permasalahan.14

3. Sumber Pengumpulan Data

Sumber Pengumpulan Data yang digunakan dalam penelitian ini

menggunakan 2 (dua) sumber, diantaranya:

13

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengatar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rajawali Pers,

2006), h.118. 14

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 95.

Page 21: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

11

a. Sumber berupa bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang

bersifat autoritatif (mempunyai otoritas). Bahan hukum primer terdiri

dari Perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam

pembuatan perundang-undangan, dan putusan-putusan hakim.15

Yang

akan dijadikan bahan hukum primer dalam penelitian ini adalah

Peraturan-peraturan terkait Hukum Ekonomi Syariah dan Hukum

Konvensional yang ada di Indonesia.

b. Sumber berupa bahan hukum sekunder, yaitu berupa publikasi tentang

hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi meliputi

buku-buku teks, kamus-kamus hukum, dan jurnal-jurnal hukum.16

Yang akan dijadikan bahan hukum sekunder dalam penelitian ini

adalah segala literatur-literatur kepustakaan yang berkaitan dengan

materi yang literatur-literatur kepustakaan yang berkaitan dengan

penelitian.

Sumber data dalam penelitian ini ialah Fatwa DSN-MUI No. 27/DSN-

MUI/III/2002 tentang Al-Ijarah Al-Muntahiyah Bi Al-Tamlik,

POJK/SEOJK, PBI/SEBI, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES),

dan SHARI‟AH STANDARD (AAOIFI).

4. Teknik Pengumpulan Data

Dalam mengumpulkan data-data yang diperlukan, penulis

menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut:

a. Riset Kepustkaan (Library Research). Studi pustaka dilakukan dengan

cara menginventarisasikan dan mengutip buku-buku literatur ilmu

hukum, ketentuan perundang-undangan, serta karangan-karanagan

ilmiah dan catatan-catatan kuliah yang ada kaitannya dengan penulisan

skripsi ini.17

Serta dengan cara membaca, mempelajari, mengutip dan

menghimpun data yang diperoleh dari buku literatur, serta peraturan-

15

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, cet. ke-9(Jakarta: Kencana Prenadamedia

Group, 2014), h. 181. 16

Ibid, h. 181. 17

Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum (Bandung: PT Citra Aditnya Bakti,

2004), h. 66.

Page 22: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

12

peraturan lainnya yang berhubugan dengan permasalahan yang akan di

bahas.

b. Wawanacara (Interview). Wawancara dilakukan secara langsung

(bertatap muka) dan menggunakan alat perekam suara. Pedoman

wawancara berupa daftar pertanyaan terbuka yang tidak membatasi

jawaban dari informan sehingga informan dapat memberikan jawaban

sesuai dengan pendapat mereka. Data yang diperoleh dari hasil

wawancara merupakan data primer yang akan diolah sesuai kebutuhan

penelitian. Data tersebut akan dinyatakan dalam bentuk tulisan

deskriptif yang menggambarkan mengenai Mekanisme akad IMBT di

Bank Syariah.

5. Metode Analisis Data

Analisis data sebagai tindak lanjut proses pengolahan data merupakan

kerja seorang peneliti yang memerlukan ketelitian, dan pencurahan daya

pikir secara optimal.18

Analisis data yang digunakan dalam penelitian

hukum normatif ini adalah menggunakan analisi kualitatif yang

merupakan analisis data yang tidak menggunakan angka, melainkan

memberikan gambaran-gambaran (deskripsi) dengan kata-kata atas temuan,

dan karenanya ia lebih mengutamakan mutu/kualitas dari data, bukan

kuantitas.19

Metode analisis data dalam penelitian hukum menggunakan

penafsiran hukum, penalaran hukum, dan argumentasi rasional.20

6. Sistematika Penulisan

Dalam Penelitian ini, penulis membagi sistematika penulisan skripsi

kedalam lima BAB, diantaranya sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN, bab ini memuat latar belakang masalah,

identifikasi masalah, batasan masalah dan rumusan masalah, tujuan dan

manfaat penelitian, dan metode penelitian.

18

Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Cet.2 (Jakarta : Sinar Grafika, 1996),

h. 77 19

H. Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani. Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis

dan Disertasi. Cet.3 (Jakarta:Rajawali Pers, 2014) h. 19 20

Tommy Hendra Purwaka, Metodologi Hukum, h. 29

Page 23: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

13

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEPEMILIKAN, IJARAH

MUNTAHIYAH BIT-TAMLIK, HAK TANGGUNGAN, DAN JAMINAN

FIDUSIA.bab ini memuat hal-hal yang berkaitan dengan konsep kepemilikan

berdasarkan Hukum Ekonomi Syariah,Konsep Ijarah Muntahiyah Bit-tamlik

(IMBT), Hak Tanggungan, dan Jaminan Fidusia.

BAB III PT. BANK BRISYARIAH TBK. DAN PRODUK-

PRODUKNYA, bab ini memuat mengenai informasi tentang subjek penelitian

yaitu PT. Bank BRISyariah dan Produk-produknya.

BAB IV ANALISISDAN PEMBAHASAN, bab ini membahas

mengenaimekanisme pelaksanaan Akad IMBT di PT. Bank BRISyariah Tbk.

yang didapat dari hasil wawancara, Tinjauan hukum dari perpindahan

statuskepemilikan atas objek sewa berdasarkan Hukum Ekonomi Syariah, dan

Perlindungan Hukum terhadap Objek IMBT.

BAB V PENUTUP, bab ini merupakan Bab akhir dari Penulisan skripsi,

oleh karena itu bab ini berisi kesimpulan dan saran-saran yang konstruktif atas

hasil penelitian.

Page 24: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

14

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Pada bagian ini, Penulis akan menguraikan teori-teori yang terkait dengan

pembahasan. Teori-teori ini bertujuan untuk memberikan pemahaman dasar

kepada pembaca terkait denga tema yang dibahas untuk menjadi landasan berpijak

sekaligus gerbang sebelum memasuki isi pembahasan. Adapun teori-teori ini

Penulis dapatkan dari buku-buku teks, Fatwa DSN-MUI, dan Peraturan-peraturan

yang dibuat oleh lembaga berwenang

A. Teori Kepemilikan Menurut Hukum Ekonomi Syariah

1. Pengertian Kepemilikan

a. Secara etimologi Kata “kepemilikan” dalam bahasa Indonesia terambil

dari kata “milik” yang merupakan kata serapan dari kata “al-milk”

dalam bahasa Arab.1Al-milk diambil dari akar kata “ ملكا-يملك-ملك “ yang

artinya memiliki. Dalam bahasa arab kata “ا ماكيتة” berarti memelihara

dan menguasai sesuatu secara bebas.2

b. Secara terminologi, Al-Milk yaitu pengkhsusan seseorang terhadap

suatu benda yang memungkinkannya untuk bertindak hukum terhadap

benda itu (sesuai dengan keinginannya), selama tidak ada halangan

syara‟.3

c. Menurut para ahli:4

1) Muhammad Mushthafa al-Salaby mendefinisikan Al-milk adalah

“Pengkhususan (keistimewaan) atas sesuatu benda yang

menghalangi orang lain bertindak atasnya dan memungkinkan

1 Ibn Manzhur, Allamah Abi al-Fadhl Jamal al-Din Muhammad ibn Mukram, Lisan al-Arab,

(Beirut: Daar al-Fikr, 1990), h. 492. 2 Musthafa Ahmad al-Zarqa‟, al-Madkhal al-Fiqh al-„Amm, (Beirut : Dar al-Fikr, 1968), h.

240. 3 Mardani, Hukum Bisnin Syariah (Jakarta: KENCANA, 2014), h. 113.

4 Ali Akbar, “Konsep Kepemilikan dalam Islam”, Jurnal Ushuludin Vol. XVIII, no. 2 (Juli

2012): h 125- 126.

Page 25: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

15

pemiliknya melakukan tindakan secara langsung terhadap benda

itu, selama tidak ada halangan syara‟.

2) Musthafa Ahmad Zarqa‟ mendefinisikan Kepemilikan adalah

kekhususan (keistimewaan) yang bersifat menghalangi orang lain)

yang syara‟ memberikan kewenangan kepada pemiliknya

melakukan tindakan kecuali terdapat halangan.

3) Abdul Karim Zaidan mendefinisikan al-Milk adalah Pengkhususan

(keistimewaan) atas sesuatu benda yang memungkinkan

pemiliknya secara pribadi untuk menggunakan atau melakukan

suatu tindakan terhadap harta tersebut tanpa ada sesuatu yang

mencegah menurut syariat Islam.

4) Wahbah al-Zuhaily mendefinisikan Hak milik ialah suatu

kekhususan terhadap sesuatu harta yang menghalangi orang lain

dari harta tersebut. Pemiliknya bebas melakukan tasharruf kecuali

ada halangan syar‟iy.

2. Macam-macam kepemilikan dalam Islam5

a. Kepemilikan individu (al-milkiyat alfardiyah/ private property),

adalah hukum syara‟ yang ditentukan pada zat ataupun kegunaan

(utility) tertentu, yang memungkinkan siapa saja yang mendapatkannya

untuk memanfaatkan barang tersebut, serta memperoleh kompensasi

baik karena barangnya diambil kegunaan (utility)–nya oleh orang lain

seperti disewa, ataupun karena dikonsumsi untuk dihabiskan zatnya

seperti dibeli dari barang tersebut.

b. Kepemilikan Umum (al-milkiyyat al-‟ammah/public property), adalah

izin alsyari‟ kepada suatu komunitas untuk bersama-sama

memanfaatkan benda/barang. Sedangkan benda-benda yang tergolong

kategori kepemilikan umum adalah benda-benda yang telah dinyatakan

oleh al-syari‟ sebagai benda-benda yang dimiliki suatu komunitas

secara bersama-sama dan tidak boleh dikuasai oleh hanya seorang saja.

5Ibid., h. 131-156

Page 26: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

16

c. Kepemilikan Negara (al-Milkiyyat al- Dawlah/ State property), adalah

harta yang ditetapkan Allah menjadi hak seluruh kaum

muslimin/rakyat, dan pengelolaannya menjadi wewenang

khalifah/negara, dimana khalifah/negara berhak memberikan atau

mengkhususkannya kepada sebagian kaum muslim/rakyat sesuai

dengan ijtihad/kebijakannya.

d. Kepemilikan mutlak, dimana kepemilikan hakiki semua kekayaan di

alam semesta ini adalah Allah SWT.

e. Kepemilikan Relatif, maksudnya walaupun harta itu milik Allah SWT,

tetapi kepemilikan manusia diakui secara de jure karena Allah sendiri

yang mengaruniakan kepadanya kekayaan itu dan Dia mengakui

kepemilikan tersebut.

3. Sebab-sebab kepemilikan

a. Menurut ulama ada empat cara pemilikan yang disyariatkan Islam,

yaitu:6

1) Melalui penguasaan harta yang belum dimiliki seseorang atau

lembaga hukum lainya, yang dalam Islam disebut harta yang mubah,

contohnya bebatuan di sungai yang belum dimiliki seseorang atau

badan hukum, apabila seseorang mengambil bebatuan itu lalu

membawanya pulang, maka bebatuan itu menjadi miliknya.

2) Melalui transaksi yang ia lakukan dengan seseorang atau suatu

lembaga badan hukum, seperti jual-beli, hibah, dan wakaf.

3) Melalui peninggalan seseorang, seperti menerima harta warisan dari

ahli warisnya yang wafat.

4) Hasil/buah dari harta yang telah dimiliki seseorang, baik dari hasil

itu datang secara alami, misalnya buah pohon dikebun, anak sapi

yang lahir, maupun melalui usaha kepemilikan, misalnya

keuntungan dagang yang diperoleh oleh pedagang, gaji yang

didapat oleh pekerja, dan lain-lain.

6 Nasrun Harun, Fiqh Muamalah (Jakarta:Gaya Media Pratama, 2007), h.32.

Page 27: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

17

b. Sedangkan menurut Pasal 18 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah,

benda dapat diperoleh dengan cara:

1) Pertukaran

2) Pewarisan

3) Hibah

4) Pertambahan alamiah

5) Jual-beli

6) Luqathah

7) Wakaf

8) Cara lain yang dibenarkan menurut Syariah

4. Klasifikasi Kepemilikan7

Kepemilikan itu diklasifikasikan kepada:

a. Milik tam, yaitu suatu kepemilikan yang meliputi benda dan

manfaatnya sekaligus, artinya benda (zat benda) dan kegunaanya dapat

dikuasai. Al-milk al-tamini dapat diperoleh dengan banyak cara, jual-

beli misalnya. Ciri-ciri milik tam yaitu:

1) Sejak awal, pemilikan terhadap materi dan terhadap manfaat harta

itu bersifat sempurna.

2) Pemilikannya tidak didahului oleh sesuatu yang dimiliki

sebelumnya, maksudnya materi dan manfaatnya sudah ada sejak

pemilikan benda itu.

3) Pemilikan tidak dibatasi oleh waktu.

4) Pemilikannya tidak boleh digugurkan

5) Apabila hak milik itu kepunyaannya bersama, maka masing-

masing orang dilarang bebas menggunakan miliknya itu.

b. Milik naqish, yaitu bila seseorang hanya memiliki salah satu dari

benda-benda tersebut, memiliki benda tanpa memiliki manfaatnya atau

memiliki manfaat (kegunaan)-nya saja tanpa memiliki zatnya. Milik

naqish yang berupa penguasaan terhadap barang (benda) disebut milik

raqabah, sedangkan milik naqish yang berupa penguasaan terhadap

7 Mardani, Hukum Bisnin Syariah, h. 120-122.

Page 28: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

18

kegunaannya saja disebut milik manfaat atau hak guna pakai, dengan

cara i‟arah, wakaf, dan wasyiah. Adapun ciri-ciri milik naqish, yaitu:

1) Boleh dibatasi oleh waktu, tempat, dan sifatnya.

2) Tidak boleh diwariskan menurut ulam Hanafiyah; karena

manfaatnya tidak termasuk harta dalam pengertian mereka,

sedangkan jumhur ulama membolehkannya, seperti pewarisan

pemanfaatan rumah kepada seseorang.

3) Orang yang akan memanfaatkan harta itu dapat menuntut harta itu

dari pemiliknya dan apabila harta itu telah diserahkan oleh

pemiliknya kepada orang yang akan memanfaatkannya, maka harta

itu menjadi amanah di tangannya dan dia dikenakan ganti rugi

apabila bertindak sewenang-wenang terhadap harta itu.

4) Orang yang memanfaatkan harta itu berkewajiban mengeluarkan

biaya pemeliharaanya, seperti hewan ternak harus diberi makan

mobil harus dibersihkan dan diisi bensin dan olinya.

5) Orang yang memanfaatkan barang itu berkewajiban

untukmengembalikan harta itu, apabila diminta oleh pemiliknya.

c. Dilihat dari segi tempat, kepemilikan dibagi menjadi tiga bagian,

yaitu:8

1) Milk al-„ain disebut pula milk al-raqabah, yaitu memiliki semua

benda, baik benda tetap (ghairu manqul) maupun benda-benda

yang dapat dipindahkan (manqul) seperti pemilikan terhadap

rumah, kebun, mobil, dan motor, pemilikan terhadap benda-benda

disebut milk al-„ain.

2) Milk al-manfa‟ah, yaitu seseorang yang hanya memiliki

manfaatnya saja dari suatu benda, seperti benda hasil meminjam,

wakaf, dan lain sebagainya.

3) Milk al-dayn, yaitu pemilikan karena adanya hutang, misalnya

sejumlah uang dipinjamkan kepada seseorang atau pengganti

8 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), h. 40.

Page 29: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

19

benda yang dirusakkan. Utang wajib dibayar oleh orang-orang

yang berutang.

d. Dilihat dari segi shurah (cara berpautan milik dengan yang

dimilikinya), milik dibagai menjadi dua bagian, yaitu:9

1) Milk al-mutamayyiz, yaitu sesuatu yang berpautan dengan yang

lain, yang memiliki batasan-batasan yang dapat memisahkannya

dengan yang lain. Misalnya, antara sebuah mobil dengan seekor

kerbau sudah jelas batasannya.

2) Milk al-sya‟i atau milk al-musya‟, yaitu milik yang berpautan

dengan suatu nisbih dari kumpulan sesuatu, betapa besar dan

betapa kecil kumpulan itu. Misalnya, memiliki sebuah rumah,

seperti daginh domba dan harta yang dikongsikan lainnya, seperti

seekor sapi yang dibeli oleh empat orang yang disembelih dan

dibagikan dagingnya.

5. Berakhirnya kepemilikan

Ada beberapa sebab yang meyebabkan berakhirnya kepemilikan tam, yaitu:

a. Pemilik meninggal dunia, sehingga seluruh miliknya berpindah tangan

kepada ahli warisnya.

b. Harta yang dimiliki itu rusak atau hilang.

Adapun sebab berakhirnya kepemilikan naqisah, yaitu:

a. Habisnya berlaku kemanfaatan itu, misalnya pemanfaatan sawah,

padinya sudah dipanen.

b. Barang yang dimanfaatkan itu rusak atau hilang, seperti runtuhnya

rumah yang dimanfaatkan.

c. Orang yang memanfaatkan wafat, menurut ulama Hanafiyah, karena

manfaat tidak dapat diwariskan, sedangkan menurut jumhur ulama

manfaat dapat diwariskan, karena manfaat termasuk harta.

d. Wafatnya pemilik harta, apabila pemanfaatan harta itu dilakukan

melalui al-i‟arah (pinjam meminjam) dan al-ijarah (sewa-menyewa)

menurut ulama Hanafiyah, karena akad Al-ijarah bagi mereka tidak

9Ibid., h. 41.

Page 30: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

20

boleh diwariskan, sedangkan menurut jumhur ulama, baik pinjam

meminjam maupun sewa menyewa tidak berhenti masa berlakunya

apabila pemilikannya meninggal karena kedua akad ini, menurut

mereka, boleh diwariskan.

B. Teori Ijarah Muntahiyah Bit-tamlik (IMBT)

1. Pengertian Ijarah Mutahiyah Bit-tamlik(IMBT)

a. Secara etimologi Ijarah Muntahiyah Bit-tamlik (IMBT) At-ta‟jiir

menurut bahasa; diambil dari kata al-ajr,yaitu imbalan atas sebuah

pekerjaan, dan juga dimaksudkan dengan pahala.10

Adapun al-ijarah:

nama untuk upah, yaitu suatu yang diberikan berupa upah terhadap

pekerjaan. Sedangkan al-ijarah dalam istilah para ulama ialah suatu

akad yang mendatangkan manfaat yang jelas lagi mubah berupa suatu

dzat yang ditentukan ataupun yang disifati dalam sebuah tanggungan,

atau akad terhadap pekerjaan yang jelas dengan imbalan yang jelas

serta tempo waktu yang jelas.11

Sedangkan at-tamliik secara bahasa

bermakna: menjadikan orang lain memiliki sesuatu. Adapun menurut

istilah ia tidak keluar dari maknanya secara bahasa. Dan at-tamliik bisa

berupa kepemilikan terhadap benda, kepemilikan terhadap manfaat,

bisa dengan ganti atau tidak.

b. PengertianIjarah Mutahiyah Bit-tamlik(IMBT) berdasarkan peraturan-

peraturan yang ada di Indonesia:

1) Penjelasan pasal 19 ayat (1) UU Perbankan Syariah, yang

dimaksud dengan akad IMBTadalah akad penyediaan dana dalam

rangka memindahkan hak guna atau manfaat dari suatu barang atau

jasa berdasarkan transaksi sewa dengan opsi pemindahan

kepemilikan barang12

2) Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan No. 36/SEOJK/.03.2015

tentang Produk dan Aktivitas Bank Umum Syariah dan Unit Usaha

10

Adiwarman Kharim, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada, 2004) h. 128. 11

Muhammad Syafi‟I Antonio, Bank Syariah: dari Teori ke Praktik, h. 117. 12

UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.

Page 31: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

21

Syariah mendefinisikan Pembiayaan IMBT adalah penyediaan

dana dalam rangka memindahkan hak guna atau manfaat dari suatu

barang atau jasa berdasarkan transaksi sewa dengan opsi

pemindahan kepemilikan barang.13

2. Dasar Hukum IMBT

Pada Fatwa DSN-MUI nomor 27 tentang Al-Ijarah Al-Muntahiyah Bi

Al-Tamlik, dasar hukum IMBT terdapat pada bagian MENGINGAT

diantaranya:

a. QS. Al-Zukruf [43]:32

Artinya “Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami

telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam

kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka

atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat

mempergunakan sebagian yang lain. dan rahmat Tuhanmu lebih baik

dari apa yang mereka kumpulkan.”

Penjelasan dari Ibnu Katsir terhadap ayat ini bahwa, Apakah

mereka membagi-bagi rahmat Tuhanmu?Yakni urusan ini

bukanlah mereka yang menentukannya, melainkan hanyalah Allah

Swt. Allah lebih mengetahui di manakah Dia meletakkan risalah-Nya.

Karena sesungguhnya tidak sekali-kali Dia menurunkan Al-Qur‟an ini

melainkan kepada makhluk yang paling suci hati dan jiwanya, serta

13

Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan (SEOJK) 03/2015 tentang Produk dan Aktivitas Bank

Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah.

Page 32: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

22

paling mulia dan paling suci rumah dan keturunannya.Kemudian

Allah Swt. menjelaskan bahwa Dia telah membeda-bedakan di antara

makhluk-Nya dalam membagikan pemberian-Nya kepada mereka

berupa harta, rezeki, akal, dan pengertian serta pemberian lainnya

yang menjadi kekuatan lahir dan batin bagi mereka.

Agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain

sebagai pekerja.Menurut suatu pendapat, makna ayat ialah agar

sebagian dari mereka dapat memanfaatkan sebagian yang lain untuk

melakukan pekerjaan-pekerjaan, karena yang lemah memerlukan yang

kuat dan begitu pula sebaliknya. Demikianlah menurut pendapat

Qatadah dan lain-lainnya. Qatadah dan Ad-Dahhak mengatakan bahwa

makna yang dimaksud ialah agar sebagian dari mereka dapat

menguasai sebagian yang lain; pendapat ini semakna dengan pendapat

di atas.

Dan rahmat Tuhanmu lebih baik daripada apa yang mereka

kumpulkan. Artinya, rahmat Allah kepada makhluk-Nya lebih baik

bagi mereka daripada harta benda dan kesenangan duniawi yang ada di

tangan mereka.14

b. QS. Al Baqarah Ayat 233

ا ءاتيتم بالمعروف وان ارتم ان تسترضعىااولدكم فالجناح عليكم اذا سلمتم م

واتقىااللهىاعلمىا اناهلل بماتغملىن بصير

Artinya ” Dan, jika kamu ingin anakmu disusunkan oleh orang lain,

tidak dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut

yang patut. Bertakwalah kamukepada Allah dan ketahuilah bahwa

Allah maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”

Yang menjadi dalil dari ayat tersebut adalah ungkapan “apabila

kamu memberikan pembayaran yang patut”. Ungkapan tesebut

menunjukkan adanya jasa yang diberikan berkat kewajiban membayar

14

Tafsir Ibnu Katsir, “Tafsir Surah Az-Zukhruf, ayat 26-35”, artikel diakses pada 4 ferbruari

2019 dari http://www.ibnukatsironline.com/2015/10/tafsir-surat-az-zukhruf-ayat-26-35.html

Page 33: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

23

upah (fee) secara patut. Dalam hal ini termasuk didalamnya jasa

penyewaan atau leasing.15

c. Hadits Nabi riwayat „Abd ar-Razzaq dari Abu Hurairah dan Abu Sa‟id

al-Khudri, Nabi s.a.w. bersabda:

Artinya “Barang siapa mempekerjakan pekerja, beritahukanlah

Upahnya”

Maksud hadist diatas adalah kejelasan tentang upah kerja ini

diperlukan untuk menghilangkan perselisihan antara kedua belah

pihak. Penentuan upah atau sewa boleh didasarkan kepada urf atau

adat kebiasaan.16

d. Hadits Nabi riwayat Ahmad, Abu Daud, dan Nasa‟i dari Sa`d Ibn Abi

Waqqash, dengan teks Abu Daud, ia berkata:

Artinya “Kami pernah menyewakan tanah dengan (bayaran) hasil

tanaman yang tumbuh pada parit dan tempat yang teraliri air; maka

Rasulullah melarang kami melakukan hal tersebut dan memerintahkan

agar kami menyewakan tanah itu dengan emas atau perak (uang).”

e. Hadits Nabi riwayat Tirmizi dari 'Amr bin 'Auf al-Muzani, Nabi s.a.w.

bersabda:

15 Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktek, Cet.1 (Jakarta: Gema

Insani Press, 2001), h. 117-118.

16

Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalah (Jakarta: Amzah, 2013), h. 326

Page 34: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

24

Artinya “Perjanjian boleh dilakukan di antara kaum muslimin kecuali

perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang

haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka

kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang

haram.”

Hadist di atas menjelaskan bahwa hukum asal dari persyaratan-

persyaratan yang telah disepakati oleh kaum Muslimin dalam berbagai

akad yang dilaksanakan adalah diperbolehkan. Karena mengandung

maslahat dan tidak ada larangan syari‟at tentang hal itu. Tentunya,

selama syarat-syarat itu tidak menyeret pelakunya terjerumus kedalam

suatu yang diharamkan Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu

„alaihi wa sallam . Apabila mengandung unsur haram sehingga bisa

menyeret pelakunya terjerumus dalam perkara yang haram maka

syarat-syarat tersebut tidak diperbolehkan.

f. Hadits Nabi riwayat Ahmad dari Ibnu Mas‟ud:

Artinya “Rasulullah melarang dua bentuk akad sekaligus dalam satu

obyek.”

Maksudnya seorang muslim tidak boleh melangsungkan dua jual-

beli dalam satu akad atau dua akad dalam satu transaksi. Namun ia

harus melangsungkan kedua-duanya secara sendiri-sendiri karena jika

dilakukan bersamaan maka terdapat ketidakjelasan yang membuat

Page 35: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

25

orang muslim lainnya tersakiti, atau memakan hartanya dengan tidak

benar.17

g. Kaidah fiqh:

Artinya “Pada dasarnya, segala bentuk mu‟amalat boleh dilakukan

kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”

Maksud kaidah ini adalah bahwa dalam setiap muamalah dan

transaksi, pada dasarnya boleh, seperti jual beli, sewa menyewa, gadai

kerjasama (mudharabah dan musyarakah) perwakilan, dan lain-lain,

kecuali yang tegas-tegas diharamkan seperti mengakibatkan

kemudaratan, tipuan, judi, dan riba.18

h. Ijma

(1) Menurut ulama Hanabillah, pihak yang melakukan transaksi

memiliki kebebasan penuh dalam menentukan kesepakatan dan

syarat dalam sebuah akad, dan hukumnya adalah mubah (boleh)

sepanjang tidak bertentangan dengan syara‟.

(2) Menurut Ulama Malikiyah menyatakan, akad ijarah bisa

digabungkan dengan akad jual beli dalam satu transaksi, karena

tidak ada hal yang menafikan substansi keduanya.

(3) Menurut ulama Syafi‟iyah dan Hanabilah berdasarkan fatwa dari

konferensi fiqh Internasional pertama di Bait at-Tamwil al-Kuwaiti

(7-11 Maret 1987) yang mengakui keabsahan akad al-ijarah al-

muntahiyah bit-tamlik yang diakhiri dengan akad hibah.

(4) Ketetapan ulama fiqh dunia No. 44 dalam sebuah konferensi di

Kuwait (10-15 Desember 1988) yang menghadirkan alternatif

solusi, yakni akad ini diganti dengan jual beli kredit, atau akad

ijarah, dimana akhir perjanjian, penyewa diberi beberapa opsi,

yaitu memperpanjang masa kontrak sewa, menyelesaikan akad

17

Ismail Nawawi, Fiqh Muamalah(Hukum Ekonomi, Bisnis, dan Sosial)(Surabaya: Putra

Media Nusantara, 2010), h. 41. 18

Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), h. 58

Page 36: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

26

dengan mengembalikan objek sewa, atau membeli objek sewa

dengan harga yang berlaku di pasaran.19

3. Mekanisme Pembiayaan IMBT

Skema Pembiayaan IMBT di Bank Syariah:

Keterangan:

1 Nasabah datang ke Bank Syariah untuk mengajukan permohonan

pembiayaan IMBT sekaligus menjelaskan spesifikasi objek yang

diinginkan kepada pihak bank.

2 Setelah pembiayaan sewa disetujui, Nasabah membuat janji atau

wa‟ad yang menyatakan bahwa nasabah akan melakukan akad

IMBT

3 Bank Syariah kemudian membeli objek dari suplier/penjual sesuai

dengan spesifikasi yang diminta oleh nasabah.

4 Penandatangan akad yang menyatakan hak dan kewajiban dari

kedua belah pihak.

19

Dimyauddin Djuwani, Pengantar Fiqh Muamalah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h.

131.

Page 37: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

27

5 Bank Syariah mewakilkan kepada Suplier/penjual untuk

menyerahkan objek pembiayaan yang telah disetujui

6 Penyerahan objek IMBT dilakukan oleh suplier/penjual yang telah

diberi kuasa untuk mewakili pihak bank.

7 Setelah objek IMBT diterima, nasabah membayar biaya sewa atas

objek tersebut sesuai dengan kesepatan.

8 Setelah masa sewa berakhir, maka Bank Syariah akan

menyerahkan kepemilikan objek menggunakan akad Hibah.

4. Ketentuan Ijarah Muntahiyah Bit-tamlik(IMBT)

a. Berdasarkan Fatwa DSN-MUI Nomor 27/DSN-MUI/III/2002 tentang

Al-Ijarah Al-Muntahiyah Bi Al-Tamlik:20

1) Ketentuan Umum

a) Semua rukun dan syarat yang berlaku dalam akad Ijarah (Fatwa

DSN nomor: 09/DSN-MUI/IV/2000) berlaku pula dalam akad

al-Ijarah al-Muntahiyah bi al-Tamlik.

b) Perjanjian untuk melakukan akad al-Ijarah al-Muntahiyah bi al-

Tamlik harus disepakati ketika akad Ijarah ditandatangani.

c) Hak dan kewajiban setiap pihak harus dijelaskan dalam akad.

2) Ketentuan Khusus

a) Pihak yang melakukan al-Ijarah al-Muntahiah bi al-Tamlik

harus melaksanakan akad Ijarah terlebih dahulu. Akad

pemindahan kepemilikan, baik dengan jual beli atau

pemberian, hanya dapat dilakukan setelah masa Ijarah selesai.

b) Janji pemindahan kepemilikan yang disepakati di awal akad

Ijarah adalah wa'd ( الىعد ), yang hukumnya tidak mengikat.

Apabila janji itu ingin dilaksanakan, maka harus ada akad

pemindahan kepemilikan yang dilakukan setelah masa Ijarah

selesai.

20

Fatwa DSN-MUI No. 27/DSN-MUI/III/2002 tentang Al-Ijarah Al-Muntahiyah Bi Al-

Tamlik

Page 38: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

28

b. Berdasarkan PBI Nomor 7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan

Dana dan Penyaluran Dana Bagi Bank yang Melaksanakan Kegiatan

Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah berikut:21

1) Bank dapat membiayai pengadaan objek sewa berupa barang yang

telahdimiliki Bank atau barang yang diperoleh dengan menyewa dari

pihaklain untuk kepentingan nasabah berdasarkan kesepakatan;

2) objek dan manfaat barang sewa harus dapat dinilai dan

diidentifikasisecara spesifik dan dinyatakan dengan jelas termasuk

pembayaran sewa dan jangka waktunya;

3) Bank wajib menyediakan barang sewa, menjamin pemenuhan

kualitasmaupun kuantitas barang sewa serta ketepatan waktu penyediaan

barang sewa sesuai kesepakatan;

4) Bank wajib menanggung biaya pemeliharaan barang/aset sewa

yangsifatnya materiil dan struktural sesuai kesepakatan;

5) Bank dapat mewakilkan kepada nasabah untuk mencarikan barang yang

akan disewa oleh nasabah;

6) nasabah wajib membayar sewa secara tunai dan menjaga keutuhanbarang

sewa, dan menanggung biaya pemeliharaan barang sewa sesuai dengan

kesepakatan;

7) nasabah tidak bertanggung jawab atas kerusakan barang sewa yang

terjadi bukan karena pelanggaran perjanjian atau kelalaian nasabah;

5. Persayratan Ijarah Mutahiyah Bit-tamlik (IMBT)

a. Persyaratan IMBT berdasarkan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan

Nomor 36/SEOJK.03/2015 tentang Produk dan Aktivitas Bank Umum

Syariah dan Unit Usaha Syariah:

1) Bank sebagai penyedia dana dalam kegiatan ijarah dengan nasabah,

juga ber-tindak sebagai pemberi janji (wa‟ad) antara lain untuk

memberikan opsi pengalihan hak kepemilikan barang sewa kepada

na-sabah sesuai kesepakatan.

21

PBI Nomor 7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana Bagi

Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah

Page 39: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

29

2) Perpindahan kepemilikan suatu aset dari Bank kepada nasabah

dapat dilakukan jika aktivitas penyewaan telah berakhir atau di-

akhiri dan aset ijarah telah diserahkan kepada nasabah dengan

membuat akad terpisah.

3) Barang sewa harus dapat dinilai dan di-identifikasi secara spesifik

dan dinyatakan dengan jelas termasuk besarnya nilai sewa dan

jangka waktunya.

4) Pembayaran sewa tidak dapat dilakukan dalam bentuk piutang

maupun dalam ben-tuk pembebasan utang.

5) Barang yang disewakan harus berwujud dan sudah tersedia atau

siap pakai (ready stock).

6) Metode penyusutan, umur manfaat, dan nilai residu mengacu pada

standar akuntansi yang berlaku dan Pedoman Akuntansi Perbankan

Syariah Indonesia (PAPSI).

7) Bank melakukan analisis atas permohonan pembiayaan dari

nasabah yang antara lain meliputi aspek personal berupa analisa

karakter (character) dan/atau aspek usaha antara lain meliputi

analisa kapasitas usaha (capacity), keuangan (capital), dan/atau

prospek usaha (condition).

8) Bank dan nasabah menuangkan kesepaka-tan pembiayaan dalam

perjanjian tertulis atau bentuk lain yang dapat dipersamakan

dengan itu.

9) Bank menerapkan transparansi informasi produk dan perlindungan

nasabah sesuai ketentuan yang berlaku.

10) Bank memiliki kebijakan dan prosedur un-tuk mitigasi risiko.

11) Bank memiliki sistem pencatatan dan pen-gadministrasian

rekening yang memadai.

C. Hak Tanggungan

Seperti yang telah dikatakan narasumber, dalam pengikatan Objek IMBT

yang objeknya rumah rumah atau bangunan, maka pengikatannya

menggunakan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT). Pembahasan terkait

Page 40: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

30

APHT ini dapat kita temukan pada Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996

tentang HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA

YANG BERKAITAN DENGAN TANAH selanjutnya disebut dengan

Undang-undang Hak Tanggungan. Namun selain Undang-undang Hak

Tanggungan, perlu diperhatikan pula Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960

tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria selanjutnya disebut Undang-

undang Pokok Agraria, seperti ditegaskan oleh Undang-undang Hak

Tanggungan pada bagian Mengingat sub 2. Pada pembahasan ini penulis akan

menguraikan secara berurutan dimulai dari ketentuan-ketentuan mengenai

Asas-asas Hak Tanggungan, Ciri-ciri Hak Tanggungan, Objek Hak

Tanggungan, Para Pihak dalam Perjanjian Pemberian Hak Tanggungan,

IsiAkta Pemberian Hak Tanggungan (APHT), Pendaftaran Hak Tanggungan,

Sertifikat Hak Tanggungan, Eksekusi Hak Tanggungan dan Hapusnya Hak

Tanggungan.

1. Asas-asas Hak Tanggungan

Berkenaan dengan asas-asas tentang Hak Tanggungan ini, Prof. Sutan

Remy Syandeini (1999: xi) menyebutkan 14 asas hak tanggungan, yaitu:22

a. Memberikan kedudukan prioritas bagi kreditor pemegang hak

tanggungan (berlaku prinsip droit de preference).

b. Hak tanggungan tidak dapat dibagi-bagi (dengan beberapa

kekecualian). Pada prinsipnya, roya parsial tidak dimungkinkan.

c. Hak tanggungan hanya dapat dibebankan atas tanah yang sudah ada

saja.

d. Selain atas tanahnya, hak tanggungan juga dapat dibebankan ke atas

benda-benda yang berkaitan dengan tanah tersebut. Dapat juga

dibebankan atas benda-benda yang akan ada di kemudian hari yang

berkaitan dengan tanah tersebut.

e. Perikatan hak tanggungan bersifat assessoir.

f. Hak tanggungan dapat juga diikatkan kepada utang yang baru akan ada

di kemudian hari.

22

Munir Fuady, Hukum Jaminan Utang (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2013), h. 71

Page 41: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

31

g. Hak tanggungan dapat juga menjamin terhadap lebih dari satu utang.

h. Hak tanggungan rnengikuti benda objeknya, di tangan siapapun benda

tersebut berada (berlaku prinsip droit de suite).

i. Terhadap objek hak tanggungan tidak dapat diletakkan sita oleh

pengadilan.

j. Objek hak tanggungan hanya mencakup tanah-tanah tertentu (berlaku

asas spesialitas).

k. Hak tanggungan wajib didaftarkan (berlaku asas publisitas).

l. Terhadap hak tanggungan dapat diberikan janji-janji tertentu.

m. Jika mengeksekusi hak tanggungan, maka tidak boleh dengan cara

mendaku (langsung menjadi milik kreditor)

n. Eksekusi hak tanggungan mudah dan pasti. Dalam konteks ini,

sertifikat hak tanggungan bersifat eksekutorial.

2. Ciri-ciri Hak Tanggungan

Ciri-ciri hak tanggungan memang tidak dijelaskan secara tegas dalam

Undang-undang Hak Tanggungan. Namun tersirat dalam Pasal 1 ayat 1

dimana memberikan perumusan tentang Hak Tanggungan, yaitu:23

a. Hak Jaminan

b. Atas tanah berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang

merupakan kesatuan dengan tanah yang bersangkutan

c. Untuk pelunasan suatu hutang

d. Memberikan kedudukan yang diutamakan.

Namun untuk lebih jelasnya lagi mengenai Hak Tanggungan, M.

Bahsan mengemukakan secara singkat tentang ciri-ciri Undang-undang

Hak Tanggungan adalah sebagai berikut:24

a. Memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahulu kepada

pemegangnya. Dalam hal ini pemegang hak tanggungan sebagai

kreditor memperoleh hak didahulukan dari kreditor lainnya untuk

23

J. Satrio, Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan, Cet. V, (Bandung: PT Citra Aditya

Bakti, 2007), h. 300. 24

M. Bahsan, Hukum Jaminan dan Hukum Kredit Perbankan Indonesia, (Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada), 2007), h. 22-25.

Page 42: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

32

memperoleh pembayaran piutangnya dari hasil penjualan (pencairan)

objek jaminan kredit yang diikat dengan hak tanggungan tersebut.

Kedudukan sebagai kreditor yang mempunyai hak didahulukan dari

kreditor lain (kreditor preferen) akan sangat menguntungkan kepada

yang bersangkutan dalam memperoleh pembayaran kembali

(pelunasan) pinjaman uang yang diberikannya kepada debitur yang

ingkar janji (wanprestasi).

b. Selalu mengikuti objek jaminan utang dalam tangan siapa pun objek

tersebut berada. Bila objek jaminan utang yang diikat dengan hak

tanggungan beralih ke pihak lain karena suatu sebab seperti pewarisan,

penjualan, penghibahan dan sebab lainnya, pembebanan hak

tanggungan atas objek jaminan utang tersebut tetap melekat. Hak

tanggungan tetap melekat pada objek hak tanggungan tersebut.

Sebaliknya bila piutang yang objek jaminan utangnya telah diikat

dengan hak tanggungan beralih kepada pihak lain karena cessie,

subrogasi atau sebab lain, hak tanggungan tersebut ikut beralih karena

hukum kepada kreditor yang baru. Peralihan tersebut tidak perlu

dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah

(PPAT). Pencatatan mengenai beralihnya hak tanggungan tersebut

cukup dilakukan berdasarkan akta yang membuktikan beralihnya

piutang yang dijamin dengan hak tanggungan tersebut kepada kreditor

yang baru.

c. Memenuhi asas spesialitas dan asas publisitas. Pemenuhan asas

spesialitas dan asas publisitas dalam rangka pembebanan hak

tanggungan adalah sebagaimana yang tsercermin dari ketentuan-

ketentuan UU No. 4 Tahun 1996 sepanjang mengenai pembuatan akta

pemberian hak tanggungan dan pendaftarannya. Kedua asas tersebut

sangat berkaitan dengan langkah-langkah yang wajib dilakukan dalam

rangka pembebanan hak tanggungan atas objek jaminan utang dan

akan mengikat pihak ketiga serta memberikan kepastian hukum kepada

pihak-pihak yang berkepentingan. Pemenuhan asas spesialitas tercapai

Page 43: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

33

melalui pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan di hadapan

Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) sesuai dengan persyaratannya.

Sementara itu, pemenuhan asas publisitas tercapai dengan dilakukan

pendaftaran pembebanan hak tanggungan ke Kantor Pertanahan

setempat sehingga akhirnya dikeluarkan Sertifikat Hak Tanggungan.

Sertifikat Hak Tanggungan merupakan dokumen pembebanan atas

tanah tersebut. Dengan dipenuhinya asas spesialitas dan asas publisitas

tersebut maka akan diperoleh pengikatan jaminan utang secara

sempurna. Pengikatan objek jaminan secara sempurna akan

memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang

berkepentingan terutama bagi kreditor dan debitur.

d. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya. Bila debitur wanprestasi

yaitu tidak melunasi utangnya sesuai dengan yang diperjanjikan

kepada kreditor, kreditor yang bersangkutan akan melakukan eksekusi

atas objek jaminan yang diikat dengan hak tanggungan. Undang-

undang Hak Tanggungan menetapkan cara eksekusi objek jaminan

yang dapat ditempuh (dilakukan) oleh kreditor yaitu sebagai berikut:

1) Eksekusi berdasarkan hak pemegang hak tanggungan peringkat

pertama untuk menjual objek hak tanggungan atas kekuasaan

sendiri melalui pelelangan umurn dani kemudian mengambil

pembayaran piutangnya dari hasi penjualan tersebut.

2) Berdasarkan titel eksekutorial yang terdapat dalam Sertifikat Hak

Tanggungan sesuai dengan irah-irah yang mencantumkan kata-kata

"Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa" yang

mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan

pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan

berlaku sebagai pengganti grosse acte hypotheek sepanjang

mengenai hak atas tanah, penjualan objek jaminan utang dapat

segera dilakukan. Irah-irah yang dicantumkan pada Sertifikat Hak

Tanggungan dimaksudkan untuk menegaskan adanya kekuatan

eksekutorialnya sehingga apabila debitur cedera janji dapat segera

Page 44: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

34

dieksekusi seperti halnya suatu putusan pengadilan yang telah

mempunyai kekuatan hukum tetap, melalui tata cara dan dengan

menggunakan lembaga parate executie sesuai dengan peraturan

Hukum Acara Perdata. Kedua cara eksekusi hak tanggungan

tersebut di atas memberikan kemudahan bagi kreditor untuk

melakukan pencairan (penjualan) objek hak tanggungan. Selain

keempat ciri yang dikemukakan di atas, masih terdapat beberapa

ciri lainnya pada hak tanggungan, yaitu memberikan hak

kebendaan kepada pemegang hak tanggungan dan objek hak

tanggungan harus diikat seutuhnya (dalam pengertian objek hak

tanggungan tidak dibagi-bagi atau diikat sebagian).

3. Objek Hak Tanggungan

Terkait dengan ketentuan mengenai Objek Hak Tanggungan,

ditegaskan dalam Undang-undang Hak Tanggungan pada Pasal 4. Pada

Pasal 4 ayat (1) sampai (2) menuliskan bahwa:

a. Hak atas tanah yang dapat dibebani dengan hak tanggungan adalah:

1) Hak Milik

2) Hak Guna Usaha

3) Hak Guna Bangunan

b. Selain hak-hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hak

pakai atas tanah negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib

didaftarkan dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan

Walaupun tidak secara tegas disebutkan dalam ayat ini, namun

mengingat hak tanggungan merupakan bagian dari pengaturan

Undang-undang Pokok Agraria, maka kiranya bisa disimpulkan

bahwa hak-hak atas tanah yang menjadi objek hak tanggungan, dapat

disamakan pula dengan hak-hak atas tanah menurut Undang-undang

Pokok Agraria. Karena memang hal ini ditegaskan didalam penjelasan

atas Pasal 4 (1) Undang-undang Hak Tanggungan bahwa hak-hak atas

tanah yang dimaksud adalah sebagaimana hak-hak atas tanah dalam

Undang-undang Pokok Agraria.

Page 45: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

35

Selain itu, pada Pasal 4 ayat (4) yang berbunyi “Hak Tanggungan

dapat juga dibebankan pada hak atas tanah berikut bangunan,

tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau akan ada yang

merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, dan yang merupakan

milik pemegang hak atas tanah yang pembebanannya dengan tegas

dinyatakan di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang

bersangkutan”.

Adapun yang dimaksud dengan hasil karya dalam Penjelasan Pasal 4

ayat (4) ini, adalah misalnya candi, patung, gapura, relief, yang

merupakan satu kesatuan dengan tanah yang bersangkutan. Bangunan

yang dapat dibebani Hak Tanggungan bersamaan dengan tanahnya

tersebut meliputi bangunan yang berada di atas maupun di bawah

permukaan tanah misalnya basement, yang ada hubungannya dengan

hak atas tanah yang bersangkutan. Jadi, selain tanah, dan bangunan,

tanaman beserta hasil karya yang merupakan satu kesatuan dengan

tanahnya dapat dijadikan objek hak tanggungan.

Perlu diingat pula, karena hak tanggungan merupakan hak

kebendaan, maka keberadaan benda objek jaminan merupakan syarat

yang sangat penting bagi eksistensi suatu jaminan. Bukan hanya itu,

bahkan hak tanggungan akan mengikuti benda objek yang dijaminkan.

Kemanapun benda tersebut berada atau dialihkan. Pasal 7 Undang-

undang Hak Tanggungan dengan tegas menentukan bahwa hak

tanggungan tetap mengikuti objeknya, kedalam tangan siapapun objek

tersebut berada.25

4. Para Pihak dalam Perjanjian Pemberian Hak Tanggungan

Seperti setiap perjanjian yang lain, dalam perjanjian pemberian hak

tanggungan ada 2 (dua) pihak yang saling berhadapan, yaitu kreditur dan

Debitur. Kreditur setelah proses pemberian hak tanggungan, akan disebut

pemegang hak tanggungan. Kemudian debitur yaitu pihak pemberi hak

tanggungan dimana dalam hal ini bisa debitur sendiri atau melalui pihak

25

Munir Fuady, Hukum Jaminan Utang (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2013), h. 72.

Page 46: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

36

ketiga, sehingga mereka akan disebut debitur pemberi hak tanggungan

atau pihak ketiga pemberi hak tanggungan.

a. Pemberi Hak Tanggungan

Dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-undang Hak Tanggungan

disebutkan, bahwa ”Pemberi hak tanggungan adalah orang

perseorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk

melakukan perbuatan hukurn terhadap objek hak tanggungan yang

bersangkutan.”

b. Penerima/Pemegang Hak Tanggungan

Dalam Pasal 9 Undang-undang Hak Tanggungan disebutkan,

bahwa ”Pemegang Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau

badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang.”

Selain kedua pihak diatas, pihak Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)

juga tidak bisa dilepaskan dari bagian hak tanggungan. PPAT adalah

pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta pemindahan

hak atas tanah, akta pembebanan hak atas tanah, dan akta emberian

kuasa membebankan Hak Tanggungan menurut peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

5. Isi Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT)

Pemberian hak tanggungan harus dituangkan dalam akta Pejabat

Pembuat Akta Tanah, ini dapat disimpulkan dari Pasal 10 ayat (2)

Undang-Undang Hak Tanggungan. Sebenarnya dari redaksi Pasal 10 ayat

(2) tersebut tidak dijumpai kata-kata dari mana bahwa ketentuan tersebut

merupakan ketentuan hukum yang bersifat memaksa. Namun, kalau

menganggap bahwa ketentuan tersebut merupakan pelaksanaan lebih

lanjut dari suatu ketentuan umum yang tertuang dalam Pasal 19 Peraturan

Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tertulis ”Setiap pejanjian yang

bermaksud memindahkan hak atas tanah, memberikan sesuatu hak baru

atas tanah, menggadaikan tanah atau meminjam uang dengan hak atas

tanah sebagai tanggungan, harus dibuktikan dengan suatu akte yang

dibuat oleh dan dihadapan penjabat yang ditunjuk oleh Menteri Agraria

Page 47: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

37

(selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah ini disebut: penjabat). Akte

tersebut bentuknya ditetapkan oleh Menteri Agraria.” di mana ada kata-

kata "harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat di hadapan Pejabat

yang ditunjuk” maka kesimpulan seperti diatas kiranya bisa diterima.

Selanjutnya, hal-hal yang wajib dimuat didalam APHT dapat kita lihat

pada Pasal 11 Ayat (1) Undang-undang Hak Tanggungan. Disitu dikatakan

bahwa yang wajib dicantumkan dalam APHT diantaranya:

a. Nama dan identitas pemegang dan pemberi Hak Tanggungan.

b. Domisili pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada huruf a, dan apabila

di antara mereka ada yang berdomisili di luar Indonesia, baginya harus

pula dicantumkan suatu domisili pilihan di Indonesia, dan dalam hal

domisili pilihan itu tidak dicantum kan, kantor PPAT tempat

pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan dianggap sebagai

domisili yang dipilih.

c. Penunjukan secara jelas utang atau utang-utang yang dijamin

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 10 ayat (1)

d. Nilai tanggungan.

e. Uraian yang jelas mengenai obyek Hak Tanggungan.

Selain dari 5 hal yang wajib dicantumkan didalam APHT diatas,

dalam APHT ini dapat juga dicantumkan dengan materi seperti janji-

janji yang dianggap perlu. Janji-janji yang dimaksud merupakan upaya

kreditur untuk sedapat mungkin menjaga agar objek jaminan tetap

mempunyai nilai yang tinggi, khususnya nanti pada waktu eksekusi.

Karenanya, sedapat mungkin semua kemungkinan mundurnya nilai

objek jaminan, sebagai akibat dan ulah pemberi jaminan atau karena

suatu bencana.26

Adapun janji-janji tersebut meliputi:

a. Janji yang membatasi kewenangan pemberi hak tanggungan untuk

menyewa dan/atau menentukan atau mengubah sewa atas objek

hak tanggungan

26

J. Satrio, Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan, h. 312.

Page 48: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

38

b. Janji yang membatasi kewenangan pemberi hak tanggungan untuk

mengubah bentuk dan/atau susunan objek hak tanggungan

c. Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang hak

tanggungan untuk mengelola tanah objek hak tanggungan

d. Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang hak

tanggungan untuk menyelamatkan tanah objek hak tanggungan

e. Janji bahwa pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak

untuk menjual atas kekuasaannya sendiri terhadap tanah objek hak

tanggungan, apabila kreditor dalam keadaan wanprestasi

f. Janji yang diberikan oleh pemegang hak tanggungan pertama

bahwa objek hak tanggungan tidak akan dibersihkan dari hak

tanggungan

g. Janji bahwa pemberi hak tanggungan tidak akan melepaskan

haknya atas tanah objek hak tanggungan;

h. Janji bahwa pemegang hak tanggungan akan memperoleh seluruh

atau sebagian dari ganti rugi untuk pelunasan piutang, jika terjadi

pembebasan tanah untuk kepentingan umum atau pelepasan hak

i. Janji bahwa pemegang hak tanggungan akan memperoleh seluruh

atau sebagian uang asuransi yang diterima oleh pemberi hak

tanggungan, jika objek hak tanggungan diasuransikan

j. Janji bahwa pemberi hak tanggungan akan mengosongkan tanah

objek hak tanggungan, jika terjadi eksekusi hak tanggungan

k. Janji bahwa sertifikat atas tanah yang telah dibubuhi catatan

pembebanan hak tanggungan dipegang oleh pemegang hak

tanggungan.

l. Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang hak

tanggungan untuk memiliki sendiri (mendaku) terhadap tanah

objek hak tanggungan, manakala debitor cidera janji yang

berakibat batal deli hukum (null and void).

Page 49: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

39

6. Pendaftaran Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT)

Salah satu perwujudan pemberian kepastian hukum, sebagaimana

yang disebutkan dalam bagian menimbang pada pembukaan Undang-

Undang Hak Tanggungan, adalah adanya kewajiban pendaftaran hak

tanggungan. Ketentuan Pendaftaran APHT dapat kita temui pada Undang-

undang Hak Tanggungan meliputi:

a. Pasal 13 ayat (1) “Pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan

pada Kantor Pertanahan.” Pada Pasal 13 ayat (1) ini memiliki

penjelasan bahwa salah satu asas hak tanggungan adalah asas

publisitas. Oleh karena itu, didaftarkannya pemberian hak tanggungan

merupakan syarat mutlak untuk lahirnya hak tanggungan.

b. Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah penan datanganan

Akta Pemberian Hak Tanggungan sebagai-mana dimaksud dalam

Pasal 10 ayat (2), PPAT wajib mengirimkan Akta Pemberian Hak

Tanggungan yang bersangkutan dan warkah lain yang diperlukan

kepada Kantor Pertanahan.

c. Pasal 13 ayat (2) “Pendaftaran Hak Tanggungan sebagaimana

dimaksud pada ayat dilakukan oleh Kantor Pertanahan dengan

membuatkan buku tanah Hak Tanggungan dan menca-tatnya dalam

buku tanah hak atas tanah yang menjadi obyek Hak Tanggungan serta

menyalin catatan tersebut pada sertifikat hak atas tanah yang

bersangkutan.” Penjelasan Pasal 13 ayat (3) menjelaskan bahwa PPAT

wajib melaksanakan ketentuan pada ayat ini karena jabatannya. Sanksi

atas pelanggarannya akan ditetapkan dalam peraturan perundang-

undangan yang mengatur jabatan PPAT

d. Pasal 13 ayat (4) “Tanggal buku tanah Hak Tanggungan sebagaimana

dimaksud pada ayat (3) adalah tanggal hari ketujuh setelah

penerimaan secara lengkap surat-surat yang di-perlukan bagi

pendaftarannya dan jika hari ketujuh itu jatuh pada hari libur, buku

tanah yang bersangkutan diberi bertanggal hari kerja berikutnya.”

Pasal 13 ayat (4) menjelaskan agar pembuatan buku tanah hak

Page 50: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

40

tanggungan tersebut tidak berlarut-larut sehingga dapat merugikan

pihak-pihak yang berkepentingan dan mengurangi jaminan kepastian

hukum, ayat ini menetapkan satu tanggal yang pasti sebagai tanggal

buku tanah itu, yaitu hari ketujuh dihitung dari hari dipenuhinya

persyaratan berupa surat-surat untuk pendaftaran secara lengkap.

e. Pasal 13 ayat (5) “Hak Tanggungan lahir pada hari tanggal buku

tanah Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (4).

Penjelasan dari pasal ini bahwa dengan dibuatnya buku tanah hak

tanggungan itu mengikat juga pihak ketiga.

7. Sertifikat Hak Tanggungan

Penjelasan mengenai Sertifikat Hak Tanggungan terdapat pada

Undang-undang Hak Tanggungan Pasal 14. Pada pasal ini memberikat

ketentuan terkait Sertifiakat Hak Tanggungan, meliputi:

a. Sebagai tanda bukti adanya hak tanggungan, Kantor Pertanahan

menerbitkan Sertifikat Hak Tanggungan sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku. (Pasal 14 ayat 1)

b. Sertipikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

memuat irah-irah dengan kata-kata “DEMI KEADILAN

BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”. (Pasal 14

ayat 2)

c. Sertipikat Hak Tanggunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan

pengadilan yang telah memperoleh kekeuatan hukum tetap dan berlaku

sebagai pengganti grosse acte Hypotheek sepanjang mengenai hak atas

tanah. (Pasal 14 ayat 3)

Pada penjelasan ayat 3 ini menerangkan bahwa irah-irah yang

dicantumkan pada Sertifikat Hak Tanggungan dan dalam ketentuan

pada ayat ini, dimaksud-kan untuk menegaskan adanya kekuatan

eksekutorial pada Sertifikat Hak Tanggungan sehingga apabila

debitur cedera janji, siap untuk dieksekusi seperti halnya suatu

putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap

Page 51: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

41

melalui tata cara dan dengan menggunakan lembaga parate

executie sesuai dengan peraturan Hukum Acara Perdata.

d. Kecuali apabila diperjanjikan lain, sertipikat hak atas tanah yang telah

dibubuhi catatan pembebanan Hak Tanggungan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) dikembalikan kepada pemegang hak

atas tanah yang bersangkutan. (Pasal 14 ayat 4)

Sesuai dengan ketentuan tersebut di atas bagi pihak bank sebagai

pemberi kredit yang melakukan pengikatan objek jaminan kredit

melalui hak tanggungan, hendaknya memerhatikan kepentingannya

terhadap sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan. Bila bank

menghendaki untuk menyimpan sertifikat hak atas tanah tersebut,

hendaknya mencantumkannya sebagai salah satu klausul dalam

janji-janji pada isi Akta Pemberian Hak Tanggungan. Bila klausul

tersebut tidak dicantumkan pada isi Akta Pemberian Hak

Tanggungan, kantor pertanahan menyerahkan sertifikat hak atas

tanah kepada pemiliknya sebagaimana ditetapkan oleh ketentuan

Pasal 14 ayat (4).”

e. Hak Tanggungan lahir pada hari tanggal buku tanah Hak Tanggungan

sebagaimana dimaksud pada ayat (4). (Pasal 14 ayat 5)

8. Eksekusi Hak Tanggungan

Proses eksekusi hak tanggungan merupakan proses menjual benda

yang merupakan objek hak tanggungan ketika utang dari debitor pemberi

hak tanggungan sudah tidak dibayar pada waktu jatuh tempo yang telah

disepakati. Terkait dengan ketentuan eksekusi ini terdapat dapat dalam

Undang-undang Hak Tanggungan, yaitu:

1) Apabila debitur cedera janji, maka

a) Pihak pemegang hak tanggungan pertama untuk menjual objek hak

tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6.

b) Titel eksekutorial yang terdapat dalam Sertifikat Hak Tanggungan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), objek hak

tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara

Page 52: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

42

yang ditentukan dalam peraturan pelunasan piutang perundang-

undangan untuk pelunasan piutang pemegang hak tanggungan

dengan hak mendahulu daripada kreditor-kreditor lainnya (Pasal 20

ayat (1)).

Pasal 20 ayat (1) ini menjelaskan bahwa Ketentuan ayat ini

merupakan perwujudan dari kemudahan yang disediakan oleh

undang-undang ini bagi para kreditor pemegang hak tanggungan

dalam hal harus dilakukan eksekusi.

Pada prinsipnya, setiap eksekusi harus dilaksanakan dengan

melalui pelelangan umum karena dengan cara ini diharapkan dapat

diperoleh harga yang paling tinggi untuk objek hak tanggungan.

Kreditor berhak mengambil pelunasan piutang yang dijamin dari

hasil penjualan objek hak tanggungan. Dalam hal hasil penjualan

itu lebih besar daripada piutang tersebut yang setinggi-tingginya

sebesar nilai tanggungan, sisanya menjadi hak pemberi hak

tanggungan.

2) Atas kesepakatan pemberi dan pemegang hak tanggungan, penjualan

objek hak tanggungan dapat dilaksanakan di bawah tangan jika dengan

demikian itu akan dapat diperoleh harga tertinggi yang

menguntungkan semua pihak (Pasal 20 ayat (2).

Pasal 20 ayat (2) menjelaskan bahwa dalam hal penjualan melalui

pelelangan umum diperkirakan tidak akan menghasilkan harga

tertinggi, dengan menyimpang dari prinsip sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) diberi kemungkinan melakukan eksekusi melalui

penjualan di bawah tangan, asalkan hal tersebut disepakati oleh

pemberi dan pemegang hak tanggungan, dan syarat yang

ditentukan pada ayat (3) dipenuhi. Kemungkinan ini dimaksudkan

untuk mempercepat penjualan objek hak tanggungan dengan harga

penjualan tertinggi.

3) Pelaksanaan penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya

dapat dilakukan setelah lewat waktu 1 bulan sejak diberitahukan secara

Page 53: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

43

tertulis oleh pemberi dan atau pemegang hak tanggungan kepada

pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan sedikitnya dalam

dua surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan dan atau

media massa setempat, serta tidak ada pihak yang menyatakan

keberatan (Pasal 20 ayat (2) dan (3))

Pasal 20 ayat (3) antara lain menjelaskan terkait persyaratan yang

ditetapkan pada ayat ini dimaksudkan untuk melindungi pihak-

pihak yang berkepentingan, misalnya pemegang hak tanggungan

kedua, ketiga, dan kreditor lain dari pemberi hak tanggungan.

4) Setiap janji untuk melaksanakan eksekusi hak tanggungan dengan cara

yang bertentangan dengan ketentuan pada ayat (1), ayat (2), dan ayat

(3) batal demi hukum (Pasal 20 ayat (4)).

5) Sampai saat pengumuman untuk lelang dikeluarkan, penjualan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dihindarkan dengan

pelunasan utang yang dijamin dengan hak tanggungan itu beserta

biaya-biaya eksekusi yang telah dikeluarkan (Pasal 20 ayat (5))

(Walaupun pencairan objek jaminan utang pada prinsipnya harus

dilakukan melalui pelelangan umum, ketentuan UU No 4 Tahun

1996 memungkinkan pencairan objek hak tanggungan dengan cara

penjualan di bawah tangan dengan memenuhi persyaratan yang

ditetapkan oleh ketentuan undang-undang tersebut. Penjualan

secara di bawah tangan dilakukan oleh kreditor tanpa melalui cara

pelelangan umum tetapi wajib memenuhi persyaratan tertentu).

6) Apabila pemberi hak tanggungan dinyatakan pailit, pemegang hak

tanggungan tetap berwenang melakukan segala hak yang diperolehnya

menurut ketentuan undang-undang ini (Pasal 21).

Pasal 21 menjelaskan ketentuan ini lebih memantapkan kedudukan

diutamakan pemegang hak tanggungan dengan mengecualikan

berlakunya akibat kepailitan pemberi hak tanggungan terhadap

objek hak tanggungan.

Page 54: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

44

9. Hapusnya Hak Tanggungan

Dalam Pasal 18 Undang-undang Hak Tanggungan disebutkan sebab-

sebab hapusnya hak tanggungan, yaitu:

a. Hak Tanggungan hapus karena hal-hal sebagai berikut :

1) Hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan;

2) Dilepaskannya Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan;

3) Pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan pene-tapan peringkat

oleh Ketua Pengadilan Negeri;

4) Hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan.

b. Hapusnya Hak Tanggungan karena dilepaskan oleh pemegangnya

dilakukan dengan pemberian pernyataan tertulis mengenai

dilepaskannya Hak Tanggungan ter-sebut oleh pemegang Hak

Tanggungan kepada pemberi Hak Tanggungan.

c. Hapusnya Hak Tanggungan karena pembersihan Hak Tanggungan

berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri terjadi

karena permohonan pembeli hak atas tanah yang dibebani Hak

Tanggungan tersebut agar hak atas tanah yang dibelinya itu

dibersihkan dari beban Hak Tanggungan sebagaimana diatur dalam

Pasal 19.

d. Hapusnya Hak Tanggungan karena hapusnya hak atas tanah yang

dibebani Hak Tanggungan tidak menyebabkan hapusnya utang yang

dijamin.

Kemudian, terkait dengan Penghapusan Hak Tanggungan perlu

diperhatikan pula Pasal 19 Undang-undang Hak Tanggungan, yaitu:

a. Pembeli obyek Hak Tanggungan, baik dalam suatu pelelangan umum

atas perintah Ketua Pengadilan Negeri maupun dalam jual beli

sukarela, dapat meminta kepada pemegang Hak Tanggungan agar

benda yang dibelinya itu dibersihkan dari segala beban Hak

Tanggungan yang melebihi harga pembelian.

b. Pembersihan obyek Hak Tanggungann dari beban Hak Tanggungan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan pernyataan

Page 55: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

45

tertulis dari pemegang Hak Tanggungan yang berisi dilepaskannya

Hak Tanggungan yang melebihi harga pembelian.

c. Apabila obyek Hak Tanggungan dibebani lebih dari satu Hak

Tanggungan dan tidak terdapat kesepakatan di antara para pemegang

Hak Tanggungan tersebut mengenai pembersihan obyek Hak

Tanggungan dari beban yang melebihi harga pembeliannya sebagai-

mana dimaksud pada ayat (1), pembeli benda tersebut dapat

mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang

bersangkutan untuk menetapkan pembersihan itu dan sekaligus

menetapkan ketentuan mengenai pembagian hasil penjualan lelang di

antara para yang berpiutang dan peringkat mereka menurut peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

d. Permohonan pembersihan obyek Hak Tanggungan dari Hak

Tanggungan yang membebaninya sebagaimana dimaksud pada ayat (3)

tidak dapat dilakukan oleh pembeli benda tersebut, apabila pembelian

demikian itu dilakukan dengan jual beli sukarela dan dalam Akta

Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan para pihak telah

dengan tegas memperjanjikan bahwa obyek Hak Tanggungan tidak

akan diber-sihkan dari beban Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 11 ayat (2) huruf f.

D. Jaminan Fidusia

Seperti yang telah dikatakan narasumber, dalam pengikatan Objek IMBT

yang objeknya berupa kendaraan bermotor, maka pengikatannya

menggunakan Akta Jaminan Fidusia. Pembahasan terkait Akta Jaminan

Fidusia ini dapat kita temukan pada Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999

tentang JAMINAN FIDUSIA yang selanjutnya disebut dengan Undang-

undang Fidusia. Namun selain Undang-undang Fidusia, perlu diperhatikan

pula Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. Pada

pembahasan ini penulis akan menguraikan secara berurutan dimulai dari

ketentuan-ketentuan mengenai Ruang Lingup Jaminan Fidusia, Objek Jaminan

Page 56: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

46

Fidusia, Akta Jaminan Fidusia, Pendaftran Jaminan Fidusia, Sertifkat Jaminan

Fidusia, Eksekusi Jaminan Fidusia, dan Hapusnya Jaminan Fidusia.

1. Ruang Lingkup Jaminan Fidusia

Undang-undang Fidusia memiliki batasan-batasan yang harus

diperhatikan ketika ketentuan ini dijalankan. Terkait dengan hal tersebut,

Undang-undang Fidusia Pasal 2 sampai Pasal 3 menyebutkan:

a. Undang-undang ini berlaku terhadap setiap perjanjian yang bertujuan

untuk membebani Benda dengan Jaminan Fidusia.

b. Undang-undang ini tidak berlaku terhadap:

1) Hak Tanggungan yang berkaitan dengan tanah dan bangunan,

sepanjang peraturan perundang-undangan yang berlaku

menentukan jaminan atas benda-benda tersebut wajib didaftar;

2) Hipotek atas kapal yang terdaftar dengan isi kotor berukuran 20

(dua puluh) M3 atau lebih;

3) Hipotek atas pesawat terbang; dan

4) Gadai.

2. Objek Jaminan Fidusia

Ketentuan mengenai Objek apa saja yang dapat dijadikan Jaminan

Fidusia dapat kita lihat pada Undang-undang Jaminan Fidusia pada Pasal 1

ayat (4), Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 20. Objek-objek tersebut meliputi:

a. Benda yang harus dapat dimiliki dan dialihkan secara hukum.

b. Benda berwujud.

c. Benda tidak berwujud, termasuk di dalamnya berupa piutang. Benda

bergerak.

d. Benda tidak bergerak yang tidak dapat diikat dengan hak tanggungan.

e. Benda tidak bergerak yang tidak dapat diikatkan dengan hipotek.

f. Benda yang sudah ada, maupun terhadap benda yang akan diperoleh

kemudian. Dalam konteks benda yang akan diperoleh kemudian, tidak

diperlukan suatu akta pembebanan fidusia tersendiri.

g. Satu satuan atau jenis benda.

Page 57: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

47

h. Lebih dari satu jenis atau satuan benda. Hasil dari benda yang telah

menjadi objek fidusia.

i. Hasil klaim asuransi dari benda yang menjadi objek jaminan fidusia.

j. Benda persediaan (inventori, stok perdagangan). Pesawat terbang dan

helikopter yang telah terdaftar di Indonesia.

3. Akta Jaminan Fidusia

Pembebanan fidusia dilakukan dengan menggunakan instrumen yang

disebut dengan "akta jaminan fidusia". Akta jaminan fidusia ini harus

rnemenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. Harus berupa akta notaris.

b. Harus dibuat dalam bahasa Indonesia.

c. Harus berisikan sekurang-kurangnya hal-hal sebagai berikut:

1) Identitas pihak pemberi fidusia;

2) nama lengkap;

3) agama;

4) tempat tinggal/tempat kedudukan;

5) tempat lahir;

6) tanggal lahir;

7) jenis kelamin;

8) status perkawinan;

9) pekerjaan;

d. Identitas pihak penerima fidusia, dengan rincian yang sama seperti

dalam identitas pihak pemberi di atas.

e. Hari, tanggal, dan jam pembuatan akta fidusia.

f. Data perjanjian pokok yang dijamin dengan fidusia.

g. Uraian mengenai benda yang menjadi objek jaminan fidusia; yakni

identifikasi benda tersebut dan surat kepemilikannya. Akta bendanya

selalu berubah-ubah contohnya benda dalam persediaan (inventory),

maka harus disebutkan jenis, merek, dan kualitas benda tersebut.

h. Nilai penjaminannya.

i. Nilai benda yang menjadi objek-jaminan fidusia tersebut.

Page 58: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

48

4. Pendaftaran Jaminan Fidusia

Mengingat betapa pentingnya fungsi pendaftaran bagi suatu jaminan

utang, termasuk di dalamnya jaminan fidusia ini, Undang-undang tentang

Fidusia mengaturnya dengan mewajibkan setiap jaminan fidusia untuk

didaftarkan kepada pejabat yang berwenang. Ketentuan-ketentuan terkait

pendaftaran dapat dilihat pada Pasal 11, 12, dan 13, yaitu:

a. Benda yang dibebani dengan jaminan fidusia wajib didaftarkan (Pasal

11 ayat (1)).

b. Dalam hal benda yang dibebani dengan jaminan fidusia berada di luar

wilayah negara Republik Indonesia, kewajiban sebagaimana dimaksud

dalam ayat (1) tetap berlaku (Pasal 11 ayat (2)).

Pasal 11 ini dapat dipahami bahwa pendaftaran benda yang

dibebani jaminan fidusia dilaksanakan di tempat kedudukan

pemberi fidusia, dan pendaftarannya mencakup benda, baik yang

berada di dalam maupun di luar wilayah negara Republik

Indonesia untuk memenuhi asas publisitas, sekaligus merupa-kan

jaminan kepastian terhadap kreditor lainnya mengenai benda yang

telah dibebani jaminan fidusia.

c. Pendaftaran jaminan fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11

ayat (1) dilakukan di Kantor Pendaftaran Fidusia (Pasal 1.2 ayat (1)).

Untuk pertama kali, Kantor Pendaftaran Fidusia didirikan di

Jakarta dengan wilayah kerja mencakup seluruh wilayah negara

Republik Indonesia (Pasal 12 ayat (2)).

Kantor Pendaftaran Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)

berada dalam lingkup tugas Departemen Kehakiman (Pasal 12 ayat

(3)).

Ketentuan mengenai pembentukan Kantor Pendaftaran Fidusia

untuk daerah lain dan penetapan wilayah kerjanya diatur dengan

Keputusan Presiden (Pasal 12 ayat (4)).

Penjelasan Pasal 12 antara lain menjelaskan: dalam hal Kantor

Pendaftaran Fidusia belum didirikan di tiap daerah Tingkat II,

Page 59: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

49

wilayah kerja Kantor Pendaftaran Fidusia di ibukota provinsi

meliputi seluruh daerah Tingkat II yang berada di lingkungannya.

Pendirian Kantor Pendaftaran Fidusia di daerah Tingkat II, dapat

disesuaikan dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999

tentang Pemerintah Daerah.

d. Permohonan pendaftaran jaminan fidusia dilakukan oleh penerima

fidusia, kuasa atau wakilnya dengan melampirkan pernyataan

pendaftaran jaminan fidusia (Pasal 13 ayat (1 )).

Pernyataan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memuat:

1) identitas pihak pemberi dan penerima fidusia

2) tanggal, nomor akta jaminan fidusia, nama, dan tempat kedudukan

notaris yang membuat akta jaminan fidusia

3) data perjanjian pokok yang dijamin fidusia

4) uraian mengenai benda yang menjadi objek jaminan fidusia

5) nilai penjaminan

6) nilai benda yang menjadi objek jaminan fidusia

Kantor Pendaftaran Fidusia mencatat jaminan fidusia pada Buku

Daftar Fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan

permohonan pendaftaran (Pasal 13 ayat (3)).

Penjelasan Pasal 13 ayat (3) menuliskan ketentuan ini

dimaksudkan agar Kantor Pendaftaran Fidusia tidak melakukan

penilaian terhadap kebenaran yang dicantumkankan dalam

pernyataan pendaftaran jaminan fidusia, tetapi hanya

melakukan pengecekan data sebagai mana dimaksud dalam

Pasal 13 ayat (2).

e. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pendaftaran jaminan fidusia

dan biaya pendaftaran diatur dengan Peraturan Pemerintah (Pasal 13

ayat (4)).

5. Sertifikat Jaminan Fidusia

a. Kantor Pendaftaran Fidusia menerbitkan dan menyerahkan kepada

penerima fidusia Sertifikat Jaminan Fidusia pada tanggal yang sama

Page 60: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

50

dengan tanggal penerimaan permohonan pendaftaran (Pasal 14 ayat

(1)).

Sertifikat Jaminan Fidusia yang merupakan salinan dari Buku Daftar

Fidusia memuat catatan tentang hal-hal sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 13 ayat (2) (Pasal 14 ayat (2)).

Jaminan fidusia lahir pada tanggal yang sama dengan dicatat-nya

jaminan fidusia dalam Buku Daftar Fidusia (Pasal 14 ayat (3)).

Penjelasan Pasal 14 ayat (3) menjelaskan: ketentuan ini tidak

mengurangi berlakunya Pasal 613 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata bagi pengalihan piutang atas nama dan kebendaan tak

berwujud lainnya.

b. Dalam Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal

14 ayat (1) dicantumkan kata-kata "Demi Keadilan Berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa" (Pasal 15 ayat (1)).

Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan

pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 15

ayat (2)).

Penjelasan Pasal 15 ayat (2) menjelaskan: dalam ketentuan ini, yang

dimaksud dengan kekuatan eksekutorial adalah langsung dapat

dilaksanakan tanpa melalui pengadilan dan bersifat final serta

mengikat para pihak untuk melaksanakan putusan tersebut.

c. Apabila debitur cedera janji, penerima fidusia mempunyai hak untuk

menjual benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaannya

sendiri (Pasal 15 ayat (3)).

Penjelasan Pasal 15 ayat (3) menjelaskan: salah satu ciri jaminan

fidusia adalah kemudahan dalam pelaksanaan eksekusinya, yaitu

apabila pihak pemberi fidusia cedera janji. Oleh karena itu, dalam

undang-undang ini dipandang perlu. diatur secara khusus tentang

eksekusi jaminan fidusia melalui lembaga parate eksekusi.

Page 61: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

51

d. Apabila terjadi perubahan mengenai hal-hal yang tercantum dalam

Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat

(2), penerima fidusia wajib mengajukan permohonan pendaftaran atas

perubahan tersebut kepada Kantor Pendaftaran Fidusia (Pasal 16 ayat

(1))

Penjelasan Pasal 16 ayat (1) menjelaskan: perubahan mengenai hal-hal

yang tercantum dalam Sertifikat Jaminan Fidusia, harus diberitahukan

kepada para pihak. Perubahan ini tidak perlu dilakukan dengan akta

notaris dalam rangka efisiensi untuk memenuhi kebutuhan dunia usaha.

e. Kantor Pendaftaran Fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal

penerimaan permohonan perubahan, melakukan pencatatan perubahan

tersebut dalam Buku Daftar Fidusia dan menerbitkan pernyataan

perubahan yang merupakan bagian tak terpisahkan dari Sertifikat

Jaminan Fidusia (Pasal 16 ayat (2)).

6. Eksekusi Jaminan Fidusia

Eksekusi terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia

merupakan solusi yang selama ini dilakukan oleh kreditur jika debitur

tidak dapat melunasi hutangnya. Terkait dengan eksekusi objek jaminan,

terdapat beberapa ketentuan yang ada di dalam Undang-undang Fidusia.

a. Apabila debitur atau pemberi fidusia cedera janji:

1) Pasal 29 ayat (1) huruf a, “Pelaksanaan titel eksekutorial

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) oleh penerima

fidusia”

2) Pasal 29 ayat (1) huruf b, “Penjualan benda yang menjadi objek

jaminan fidusia atau kekuasaan penerima fidusia sendiri meliputi

pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil

penjualan”

3) Pasal 29 ayat (1) huruf c, “Penjualan di bawah tangan yang

dilakukan berdasarkan kesepakatan pemberi dan penerima fidusia

jika dengan cara demikian dapat diperoleh harga tertinggi yang

menguntungkan para pihak”

Page 62: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

52

b. Pelaksanaan penjualan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c

dilakukan setelah lewat waktu 1 bulan sejak diberitahukan secara

tertulis oleh pemberi dan atau penerima fidusia kepada pihak-pihak

yang berkepentingan dan diumumkan sedikitnya dalam dua surat kabar

yang beredar di daerah yang bersangkutan (Pasal 29 ayat (2)).

c. Pemberi fidusia wajib menyerahkan benda yang menjadi objek

jaminan fidusia dalam rangka pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia

(Pasal 30). Penjelasan Pasal 30 menjelaskan: dalam hal pemberi

fidusia tidak menyerahkan benda yang menjadi objek jaminan fidusia

pada waktu eksekusi dilaksanakan, penerima fidusia berhak

mengambil benda yang menjadi objek jaminan fidusia dan apabila

perlu dapat meminta bantuan pihak yang berwenang.

d. Dalam hal benda yang menjadi objek jaminan fidusia terdiri atas benda

perdagangan atau efek yang dapat dijual di pasar atau di bursa,

penjualannya dapat dilakukan di tempat-tempat tersebut sesuai dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 31).

e. Setiap janji untuk melaksanakan eksekusi terhadap benda yang

menjadi objek jaminan fidusia dengan cara yang bertentangan dengan

ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dan Pasal 31, batal

demi hukum (Pasal 32).

f. Setiap janji yang memberikan kewenangan kepada penerima fidusia

untuk memiliki benda yang menjadi objek jaminan fidusia apabila

debitur cedera janji, batal demi hukum (Pasal 33).

g. Dalam hal hasil eksekusi melebihi nilai penjaminan, penerima fidusia

wajib mengembalikan kelebihan tersebut kepada pemberi fidusia.

Apabila hasil eksekusi tidak mencukupi untuk pelunasan utang, debitur

tetap bertanggung jawab atas utang yang belum terbayar (Pasal 34).

7. Hapusnya Jaminan Fidusia

Dalam Undang-undang Fidusia ditentukan terkait hapusnya jaminan

Fidusia, diantaranya:

a. Hapusnya utang yang dijamin dengan fidusia (Pasal 25 ayat (1) huruf a)

Page 63: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

53

b. Pelepasan hak atas jaminan fidusia oleh penerima fidusia (Pasal 25

ayat (1) huruf b)

c. Musnahnya benda yang menjadi objek jaminan fidusia (Pasal 25 ayat

(1) huruf c)

d. Penjelasan Pasal 25 ayat (1) menjelaskan: sesuai dengan sifat ikutan

dari jaminan fidusia, maka adanya jaminan fidusia tergantung pada

adanya piutang yang dijamin pelunasannya. Apabila piutang tersebut

hapus karena hapusnya utang atau karena pelepasan, dengan

sendirinya jaminan fidusia yang bersangkutan menjadi hapus.

Hal yang dimaksud dengan hapusnya utang antara lain karena

pelunasan dan bukti hapusnya utang berupa keterangan yang dibuat

kreditor.

e. Musnahnya benda yang menjadi objek jaminan fidusia tidak

menghapuskan klaim asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10

huruf b (Pasal 25 ayat (2).

Penjelasan Pasal 25 ayat (2) menjelaskan: dalam hal benda yang

menjadi objek jaminan fidusia musnah dan benda tersebut

diasuransikan, klaim asuransi akan menjadi pengganti objek jaminan

fidusia tersebut.

f. Penerima fidusia memberitahukan kepada Kantor Pendaftaran Fidusia

mengenai hapusnya jaminan fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat

(1) dengan melampirkan pernyataan mengenai hapusnya utang,

pelepasan hak, atau musnahnya benda yang menjadi objek jaminan

fidusia tersebut (Pasal 25 ayat (3)).

g. Dengan hapusnya jaminan fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal

25, Kantor Pendaftaran Fidusia mencoret pencatatan Jaminan Fidusia

dari Buku Daftar Fidusia (Pasal 26 ayat (1)). Kantor Pendaftaran

Fidusia menerbitkan surat keterangan yang menyatakan Sertifikat

Jaminan Fidusia yang bersangkutan tidak berlaku lagi (Pasal 26 ayat

(2)).

Page 64: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

54

E. Review Penelitian Terdahulu

Sebelum melakukan penelitian ini, penulis telah melakukan analisa

terhadap beberapa sumber dari penelitian terdahulu. Penulis mendapatkan

bahwa masih terdapat beberapa hal yang perlu untuk ditelusuri lebih

mendalam. Adapun penelitian terdahulu yang telah di analisa oleh penulis

antara lain:

1. Skripsi yang ditulis oleh Rahmi Izzati, dan Sri Nurhayati pada tahun 2013

yang berjudul Analisis Penerapan Transaksi Ijarah Muntahiya Bittamlik

(IMBT) dalam Pembiayaan Pemilikan Rumah (PPR) Berdasarkan Fatwa

DSN MUI, Peraturan Bank Indonesia, PSAK 107, PAPSI 2013, Dan FAS

8 (Studi Kasus Pada Bank XYZ). Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui kesesuaian transaksi Ijarah Muntahiya Bittamlik (IMBT)

dalam Pembiayaan Pemilikan Rumah (PPR) Berdasarkan Fatwa DSN

MUI, Peraturan Bank Indonesia, PSAK 107, PAPSI 2013, Dan FAS 8

(Studi Kasus Pada Bank XYZ). Hasil penelitian menuliskan bahwa hanya

berdasarkan Surat Edaran Bank Indonesia No. 10/ 14 / DPbS tentang

Pelaksanaan Prinsip Syariah Dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan

Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah yang telah sesuai.

Sisanya, seperti berdasarkan Fatwa DSN MUI, PSAK 107, PAPSI 2013,

dan FAS 8 dinyatakan belum sesuai dengan ketentuan. Perbedaan

penelitian ini dengan penelitian yang penulis lakukan yaitu terdapat pada

tempat penelitian yang diteliti. Penelitian ini tidak menyebutkan dimana

tempat penelitian ini dilakukan sementara penelitian yang dilakukan

penulis yakni pada PT. Bank BRISyariah Tbk.

2. Jurnal yang ditulis oleh Afit Kurniawan dan Nur Inayah pada tahun 2013

yang berjudul Tinjauan Kepemilikan dalam KPR Syariah: antara

Murabahah, Ijarah Muntahiyyah Bittamlik, dan Musyarakah Mutanaqisah.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana penerapan ketiga

akad tersebut terutama terkait status kepemilikan. Hasil penelitan

mengungkapkan bahwa:

Page 65: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

55

a. Tidak tepat menjadikan aset (tanah dan bangunan) yang disewakan

oleh bank sebagai jaminan dari nasabah karena pada hakikatnya aset

yang dijaminkan nasabah adalah milik bank.

b. Biaya pemeliharaan aset dibebankan kepada nasabah. Hal ini tidak

sesuai dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 9/DSN-

MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Ijarah

c. Penggunaan akad Wakalah dari bank ke nasabah dalam pembelian aset

seharusnya sertifikat atas nama bank, bukan langsung atas nama

nasabah.

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis

yaitu terdapat pada tempat penelitian dan pembatasan masalah. Penulis

meneliti perpindahan status kepemilikan pada PT. Bank BRISyariah Tbk.

yang ditinjau berdasarkan Fatwa DSN-MUI, POJK/SEOJK, PBI/SEBI/,

KHES, dan AAOIFI. kemudian melanjutkannya dengan menganalisis

kedudukan objek IMBT pada PT. Bank BRISyariah Tbk. tersebut.

3. Jurnal yang ditulis oleh Miko Polindi pada tahun 2016 yang berjudul

Implementasi Ijarah danIjarah Muntahia Bit-tamlik (IMBT) dalam

Perbankan Syariah di Indonesia. Peneltian ini bertujuan untuk mengetahui

bagaimana pelaksanaan Ijarah dan IMBT pada Perbankan Syariah di

Indonesia. Hasil dari penelitian ini menuliskan bahwa akad IMBT sesuai

dan memiliki banyak kelebihan untuk digunakan dalam produk KPR

namun masih jarang digunakan oleh Perbankan Syariah. Perbedaan

penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis yakni

terdapat pada pembahasan yang lebih khusus terkait mekanisme praktek

akad IMBT pada PT. Bank BRISyariah Tbk.

4. Jurnal yang ditulis oleh Nasrullah Ali Munif pada tahun 2017 yang

berjudul Analisis Akad Ijarah Muntahiyah Bittamlik dalam Perspektif

Hukum Islam dan Hukum Positif Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui bagaimana kesesuaian akad IMBT dalam perspektif Hukum

Perdata di Indonesia. Hasil dari penelitian ini menyebutkan bahwa akad

IMBT merupakan perjanjian tidak bernama (Pasal 1319) yang timbul dari

Page 66: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

56

asas kebebasan berkontrak (Pasal 1338) dan IMBT juga telah memenuhi

syarat-syarat sah dari perjanjian (Pasal 1320) serta unsur-unsur perjanjian.

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis

yaitu terdapat pada batasan masalah dan pedekatan penelitiannya.

Penelitian yang dilakukan Penulis lebih terkhusus dengan Perpindahan

status kepemilikan yang kemudian ditinjau dengan Hukum Ekonomi

Syariah dan Hukum Positif Indonesia dengan menjadikan PT. Bank

BRISyariah Tbk. sebagai tempat penelitian.

Dari beberapa referensi yang telah penulis analisis di atas, terdapat

pernbedaan-perbedaan dalam penelitian ini penulis membahas tentang

Tinjauan Hukum Ekonomi Syariah dan Hukum Positif Indonesia terhadap

Perpindahan Status Kepemilikan atas Kedudukan Objek Sewa pada Akad

Ijarah Muntahiyah Bit-Tamlik (Studi Kasus di PT. Bank BRISyariah Tbk.)

Page 67: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

57

BAB III

PT. BANK BRI SYARIAH TBK. DAN PRODUK-PRODUKNYA

Pada bab ini, Penulis akan memberikan sekilas informasi tentang subjek

penelitian yang Penulis gunakan pada penelitian ini. Pada penelitian ini, Penulis

menjadikan PT. Bank BRISyariah sebagai subjek dimana terdapat produk yang

menggunakan akad IMBT dari sekian banyak produk yang dikeluarkan.

PT Bank BRISyariah Tbk. (selanjutnya disebut BRISyariah atau Bank)

bermula dari akuisisi PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk terhadap Bank

Jasa Arta pada 19 Desember 2007. Bank secara resmi beroperasi setelah

mendapatkan izin usaha dari Bank Indonesia melalui surat

No.10/67/KEP.GBI/DpG/2008 pada 16 Oktober 2008. BRISyariah pun

menjejakkan langkahnya semakin jauh sejakditandatanganinya akta pemisahan

Unit Usaha Syariah PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk untuk melebur ke

dalam PT Bank BRISyariah pada 19 Desember 2008. Proses spin off tersebut

berlaku efektif pada tanggal 1 Januari 2009 denganpenandatanganan yang

dilakukan oleh Sofyan Basir selakuDirektur Utama PT Bank Rakyat Indonesia

(Persero) Tbk danVentje Rahardjo selaku Direktur Utama PT Bank

BRISyariah.1Setelah sembilan tahun melayani masyarakat, pada tahun tanggal 9

Mei 2018, BRIsyariah mulai melantai di Bursa Efek Indonesia dan menjadi

sebuah perusahaan terbuka, PT Bank BRIsyariah Tbk, atau disingkat BRIsyariah.

Dengan aksi korporasi ini, BRIsyariah menjadi bank syariah anak Bank BUMN

pertama yang menjual sahamnya ke masyarakat.2

Berdasarkan laporan keuangan pada tahun 2017, aset bank BRIsyariah

meningkat 13,93% dari tahun sebelumnya. Pada tahun 2016 asetnya tercarat

sebesar 27.687.882 miliar menjadi 31.543.384 miliar. Dari peningkatan tersebut

ternyata disebabkan oleh penyaluran pembiayaan, diantaranya:3

1 Laporan Tahunan PT. Bank BRISyariah tahun 2017 hal. 53

2Sejarah BRIsyariah diakses pada 4 Januari 2019 dari https://ir-

brisyariah.com/brisyariah_at_a_glance.html 3 Laporan Tahunan PT. Bank BRISyariah tahun 2017 hal . 154-158

Page 68: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

58

1. Giro dan Penempatan pada Bank Indonesia

Posisi per 31 Desember 2017 mencapai sebesar Rp4,02 triliun, meningkat

sebesar Rp201,45 miliar atau 5,28% dibandingkan posisi per 31

Desember 2016 sebesar Rp3,81 triliun. Peningkatan ini disebabkan oleh

meningkatnya penempatan dana pada Fasilitas BI Syariah sebesar Rp1

triliun atau 104,36% namun disisi lain, penempatan pada Sertifikat BI

Syariah yang menurun sebesar Rp1,15 triliun atau (52,87%).

2. Giro dan Penempatan pada Bank Lain

Posisi per 31 Desember 2017 mencapai sebesar Rp245,82 miliar, menurun

sebesar Rp207,57 miliar atau (45,78%) dibandingkan posisi per 31

Desember 2016 sebesar Rp453,39 miliar Kinerja segmen lainnya tahun

2017 mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya. Bank

mencatat laba bersih dari segmen lainnya sebesar Rp21.451 juta. Jumlah

tersebut mengalami penurunan sebesar 77,22% dibandingkan laba bersih

tahun sebelumnya yang tercatat sebesar Rp94.184 juta.

3. Investasi pada Surat Berharga

Posisi per 31 Desember 2017 mencapai sebesar Rp7,41 triliun, naik

sebesar Rp2,71 triliun atau 57,48% dibandingkan posisi per 31 Desember

2016 sebesar Rp4,71 triliun. Peningkatan investasi pada surat berharga

disebabkan strategi Perseroan untuk mengalokasikan kelebihan likuiditas

dana yang belum optimal terserap ke pembiayaan.

4. Piutang Murabahah dan Istishna

Posisi per 31 Desember 2017 mencapai sebesar Rp10,87 triliun, naik

sebesar Rp104,72 miliar atau 0,97% dibandingkanposisi piutang per 31

Desember 2016 sebesar Rp10,78 triliun. Kontribusi kedua pembiayaan

tersebut terhadap total pembiayaan masih mendominasi yakni sebesar

56,79% sedikit menurun bila dibandingkan dengan kontribusi pada bulan

Desember 2016 yaitu sebesar 59,89%.

5. Pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah

Posisi per 31 Desember 2017 mencapai sebesar Rp6,29 triliun, turun

sebesar Rp168,40 miliar atau (2,61%) dibandingkanposisi per 31

Page 69: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

59

Desember 2016 sebesar Rp6,46 triliun. Hal inidisebabkan terutama

menurunnya pembiayaan MudharabahModal kerja dan Investasi sebesar

Rp402,79 miliar. Kontribusikedua pembiayaan tersebut terhadap total

pembiayaansebesar 34,14% sedikit menurun bila dibandingkan dengan

kontribusi pada bulan Desember 2016 yaitu sebesar 36,81%.

6. Ijarah

Posisi per 31 Desember 2017 mencapai sebesar Rp1,15 triliun, meningkat

signifikan sebesar Rp860,74 miliar atau 300,77% dibandingkan posisi

piutang Ijarah per 31 Desember 2016 sebesar Rp286,18 miliar. Hal ini

disebabkan terutama meningkatnya pembiayaan IMBT sebesar Rp927,90

miliar. Kontribusi pembiayaan ini terhadap total pembiayaan sebesar 6,23%

meningkat bila dibandingkan dengan kontribusi pada bulan Desember

2016 yaitu sebesar 1,63%.

7. Pinjaman Qardh

Posisi per 31 Desember 2017 mencapai sebesar Rp524,10 miliar,

meningkat sebesar Rp230,98 miliar atau 78,80% dibandingkan posisi

piutang per 31 Desember 2016 sebesar Rp293,12 miliar. Peningkatan ini

disebabkan terutama oleh meningkatnya pinjaman Qardh Value Chain

sebesar Rp316,59 miliar.

Kegiatan Usaha

Sesuai dengan Anggaran Dasar Perusahaan yang terakhir, yang tertuang

dalam AKTA No.52 tanggal 31 Agustus 2016 yang dibuat dihadapan Fathiah

Helmi, SH, notaris di Jakarta, pasal 3 ayat 1, Maksud dan tujuan Perseroan

ialah Menyelenggarakan usaha perbankan berdasarkan prinsip syariah. Untuk

mencapai maksud dan tujuan tersebut di atas, BRISyariah dalam

melaksanakan kegiatan usaha perbankanberdasarkan prinsip syariah

melakukan kegiatan usahasebagai berikut:4

1. Menghimpun dana dalam bentuk simpanan berupagiro, tabungan atau

bentuk lainnya yang dipersamakandengan itu berdasarkan akad wadi‟ah

atau akad lainyang tidak bertentangan dengan prinsip syariah;

4 Lihat, Laporan Tahunan PT. Bank BRISyariah tahun 2017 hal . 56-58

Page 70: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

60

2. Menghimpun dana dalam bentuk investasi berupadeposito, tabungan, atau

bentuk lainnya yangdipersamakan dengan itu berdasarkan akad

mudharabahatau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsipsyariah;

3. Menyalurkan pembiayaaan bagi hasil berdasarkan akadmudharabah, akad

musyarakah, atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah;

4. Menyalurkan pembiayaan berdasarkan akad murabahah,akad salam, akad

istishna‟, atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah;

5. Menyalurkan pembiayaan berdasarkan akad qardhatau akad lain yang

tidak bertentangan dengan prinsipsyariah;

6. Menyalurkan pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak

kepada nasabah berdasarkan akad ijarah dan/atau sewa beli dalam bentuk

ijarah muntahiyah bittamlik atau akad lain yang tidak bertentangan dengan

prinsip syariah;

7. Melakukan pengambilalihan utang berdasarkan akad hawalah atau akad

lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah; Melakukan usaha

kartu debit dan/atau kartu pembiayaan berdasarkan prinsip syariah;

8. Melakukan pemberian jasa pelayanan perbankan berdasarkan akad antara

lain: 1) Wakalah; 2) Hawalah; 3) Katalah; 4) Rahn;

9. Membeli, menjual dan/atau menjamin atas risiko sendiri surat berharga

pihak ketiga yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata (underlying

transaction) berdasarkan prinsip syariah;

10. Membeli surat berharga berdasarkan prinsip syariah yang diterbitkan oleh

Pemerintah dan/atau Bank Indonesia;

11. Menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga, dan melakukan

perhitungan dengan pihak ketiga atau antar pihak ketiga berdasarkan

prinsip syariah;

12. Memindahkan uang untuk kepentingan sendiri dan/atau nasabah

berdasarkan prinsip syariah;

13. Menempatkan dana pada, meminjam dana dari atau meminjamkan dana

kepada Bank lain, baik menggunakan surat, sarana telekomunikasi

maupun dengan wesel unjuk, cek atau sarana lainnya;

Page 71: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

61

14. Menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat-surat berharga

berdasarkan prinsip Wadi‟ah yad Amanah atau prinsip lain berdasarkan

prinsip syariah; Melakukan kegiatan penitipan termasuk penatausahaannya

untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak berdasarkan

prinsip syariah;

15. Memberikan fasilitas letter of credit (L/C) berdasarkan prinsip syariah;

16. Memberikan fasilitas garansi bank berdasarkan prinsip syariah;

17. Melakukan kegiatan wali amanat berdasarkan Akad Wakalah;

18. Melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan Bank sepanjang disetujui

oleh Bank Indonesia dan mendapat fatwa Dewan Syariah Nasional.

Selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud, Bank dapat pula :

1. Melakukan kegiatan valuta asing berdasarkan prinsip syariah;

2. Melakukan kegiatan penyertaan modal pada bank umum syariah atau

lembaga keuangan yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip

syariah;

3. Melakukan kegiatan penyertaan modal sementara untuk mengatasi akibat

kegagalan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dengan syarat harus

menarik kembali penyertaannya;

4. Bertindak sebagai pendiri dan pengurus dana pensiun berdasarkan prinsip

syariah;

5. Melakukan kegiatan dalam pasar modal sepanjang tidak bertentangan

dengan prinsip syariah dan ketentuan peraturan perundang-undangan di

bidang pasar modal;

6. Menyelenggarakan kegiatan atau produk bank berdasarkan prinsip syariah

dengan menggunakan sarana elektronik;

7. Menerbitkan, menawarkan dan memperdagangkan surat jangka pendek

berdasarkan prinsip syariah, baik secara langsung atau tidak langsung,

melalui pasar uang;

8. Menerbitkan, menawarkan dan memperdagangkan surat berharga jangka

panjang berdasarkan prinsip syariah, baik secara langsung atau tidak

langsung, melalui pasar modal;

Page 72: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

62

9. Menyediakan produk atau melakukan kegiatan usaha bank umum syariah

lainnya yang berdasarkan prinsip syariah.

Produk dan Layanan

1. Tabungan Faedah BRISyariah iB

Merupakan produk tabungan dengan akad wadi‟ah. Tabungan faedah ini

memiliki beberapa segmen, yaitu:5

a. Tabungan Faedah BRISyariah iB Segmen Reguler

Merupakan produk Tabungan yang diperuntukkan bagi nasabah

individu, dengan dilengkapi buku tabungan dan kartu ATM serta

fasilitas e-channel mobile Banking dan internet Banking.

b. Tabungan Faedah BRIsyariah iB segmen Payroll

Merupakan produk tabungan yang diperuntukkan bagi nasabah

kerjasama (PKS) sebagai sarana pembayaran gaji/payroll karyawan

dengan fitur khusus FAEDAH.

c. Tabungan Faedah BRIsyariah iB segmen Siswa/Co-Branding

Merupakan produk tabungan yang diperuntukkan bagi nasabah

kerjasama (PKS) yang dapat dipergunakan sebagai kartu siswa ataupun

co-branding dengan fitur khusus FAEDAH.

d. Tabungan Faedah BRIsyariah iB segmen Bisnis Non-Individu

Merupakan produk tabungan yang diperuntukkan bagi nasabah

badan/non individu baik berupa Badan Hukum maupun Non Badan

Hukum dengan dilengkapi buku tabungan.

2. Tabungan Haji BRISyariah iB

Merupakan produk simpanan dari BRIsyariah menggunakan akad

Mudharabah sesuai prinsip syariah, khusus bagi calon Haji yang bertujuan

untuk memenuhi kebutuhan Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH).

BRIsyariah juga meluncurkan program Tabungan Haji untuk Anak, yaitu

Tabungan Haji BRIsyariah iB yang diperuntukkan bagi anak-anak agar

dapat menabung sejak dini mempersiapkan kebutuhan Biaya Perjalanan

5 Lihat, Laporan Tahunan PT. Bank BRISyariah tahun 2017 hal . 58-63

Page 73: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

63

Ibadah Haji (BPIH). Selain itu Tabungan Haji juga dapat digunakanbagi

Nasabah yang ingin beribadah Umroh.

3. Tabungan Impian BRISyariah iB

Merupakan tabungan berjangka dari BRIsyariahmenggunakan akad

Mudharabah Mutlaqah denganprinsip bagi hasil yang dirancang untuk

mewujudkanimpian Nasabahnya dengan terencana memakaimekanisme

autodebet setoran rutin bulanan melaluiTabungan Faedah BRIsyariah

sebagai rekening induk.Tabungan ini memiliki fitur yang dilengkapi oleh

sertifikat asuransi yang preminya gratis persembahan dari Bank

BRIsyariah.

4. TabunganKu BRISyariah iB

Tabungan untuk perorangan menggunakan akad wadiahdengan

persyaratan mudah dan ringan yang diterbitkansecara bersama oleh Bank-

Bank di Indonesia gunamenumbuhkan budaya menabung serta

meningkatkankesejahteraan masyarakat.

5. Tabungan Mikro BRISyariah iB

Merupakan produk tabungan dengan akad wadi‟ah yangdiperuntukkan

khusus untuk memperlancar kegiatantransaksi nasabah pembiayaan mikro.

6. Tabungan Simpanan Pelajar iB (SimPel)

SimPel iB atau kependekan dari Simpanan Pelajar iB adalah tabungan

yang diperuntukkan bagi siswa yang diterbitkan secara nasional, dengan

persyaratan mudah dan sederhana serta fitur yang menarik, dalam rangka

edukasi dan inklusi keuangan untuk mendorong budaya menabung sejak

dini.

7. Giro

a. Giro Faedah Wadiah BRISyariah iB

Merupakan produk simpanan dari BRIsyariah menggunakan akad

titipan (Wadiah) sesuai prinsip syariah bagi nasabah perorangan

maupun perusahaan untuk kemudahan transaksi bisnis sehari-hari

dimana penarikan dana menggunakan cek & bilyet giro.

b. Giro Faedah Mudharabah BRIsyariah iB

Page 74: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

64

Giro Faedah Mudharabah BRIsyariah iB yaitu investasi dana nasabah

dengan menggunakan akad Mudharabah Mutlaqah sehingga nasabah

dapat diberikan imbal hasil berupa bagi hasil yang lebih

menguntungkan.

8. Deposito

a. Deposito BRISyariah iB

Merupakan produk investasi berjangka dari BRIsyariah menggunakan

Akad Musharabah sesuai prinsip syariah bagi nasabah perorangan

maupun perusahaan dengan jangka waktu penempatan 1, 3, 6, dan 12

bulan.

b. Simpanan Faedah BRIsyariah iB

Merupakan produk investasi berjangka dari BRIsyariah menggunakan

Akad musharabah sesuai prinsip syariah bagi nasabah perorangan

maupun perusahaan dengan jangka waktu penempatan kurang dari 1

bulan (7, 14, 21, 28 hari).

Produk Pembiayaan

1. Pembiayaan Retail Konsumer, yang terdiri dari :

a. KPR BRISyariah iB (Kepemilikan Rumah)

Pembiayaan Kepemilikan Rumah kepada perorangan untuk memenuhi

sebagian atau keseluruhan kebutuhan akan hunian dengan mengunakan

prinsip jual beli (Murabahah) / sewa menyewa (Ijahrah) dimana

pembayarannya secara angsuran dengan jumlah angsuran yang telah

ditetapkan di muka dan dibayar setiap bulan.

b. KPR Sejahtera BRISyariah iB

Produk Pembiayaan Kepemilikan Rumah (KPR iB) yang diterbitkan

Bank BRISyariah untuk pembiayaan rumah dengan dukungan bantuan

dana Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) kepada

Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) dalam rangka pemilikan

rumah sejahtera yang dibeli dari pengembang (develover).

c. KKB (Kepemilikan Kendaraan Bermotor)

Page 75: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

65

Pembiayaan Kepemilikan Mobil dari BRISyariah kepada nasabah

perorangan untuk memenuhi kebutuhan akan kendaraan dengan

mengunakan prinsip jual beli (Murabahah) dimana pembayarannya

secara angsuran dengan jumlah angsuran yang telah ditetapkan di

muka dan dibayar setiap bulan

d. Gadai

Pembiayaan dengan agunan berupa emas, dimana emas yang

diagunkan disimpan dan dipelihara oleh BRIS selama jangka waktu

tertentu dengan membayar biaya penyimpanan dan pemeliharaan atas

emas.

e. Pembiayaan Umroh BRISyariah iB

Pembiayaan Umrah BRISyariah iB hadir membantu anda untuk

menyempurnakan niat anda beribadah dan berziarah ke Baitullah.

f. Pembiayaan Kepemilikan Emas (PKE) BRISyariah iB

Pembiayaan kepada perorangan untuk tujuan kepemilikan emas

dengan menggunakan Akad Murabahah dimana pengembalian

pembiayaan dilakukan dengan mengangsur setiap bulan sampai

dengan jangka waktu selesai sesuai kesepakatan.

g. KMF BRISyariah iB

Kepemilikan Multi Faedah Pembiayaan yang diberikan khusus kepada

karyawan untuk memenuhi segala kebutuhan (barang/jasa) yang

bersifat konsumtif dengan cara yang mudah.

h. KMF Pra Purna BRISyariah iB

Fasilitas pembiayaan kepada para PNS aktif yang akan memasuki

masa pensiunan untuk memenuhi sebagian atau keseluruhan kebutuhan

paket barang atau jasa dengan menggunakan prinsip jual beli

(murabahah) atau sewa menyewa (ijarah) dimana pembayarannya

secara angsuran dengan jumlah angsuran yang telah ditetapkan di

muka dan dibayar setiap bulan sampai memasuki masa pensiunan.

i. KMF Purna BRISyariah iB

Page 76: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

66

KMF PURNA iB adalah Kepemilikan Multifaedah fasilitas

pembiayaan yang diberikan kepada para pensiunan untuk memenuhi

sebagian atau keseluruhan kebutuhan paket barang atau jasa dengan

menggunakan prinsip jual beli (murabahah) atau sewa menyewa

(ijarah) dimana pembayarannya secara angsuran dengan jumlah

angsuran yang telah ditetapkan di muka dan dibayar setiap bulan.

j. IMBT Konsumer BRIS iB

Fasilitas pembiayaan yang diberikan kepada Nasabah untuk memenuhi

kebutuhan konsumtif Nasabah dengan system sewa menyewa aset

milik BRISyariah yang diperoleh melalui pembelian dari Nasabah/

Pihak ke-3, dengan opsi pengalihan kepemilikan atas Aset oleh

BRISyariah kepada Nasabah pada saat fasilitas pembiayaan lunas (jual

beli/hibah).

2. Pembiayaan Retail Kemitraan

a. Multifinance

Pembiayaan yang diberikan kepada lembagakeuangan yang melakukan

kegiatan usaha pembiayaan untuk pengadaan barang dan/atau jasa

untuk kemudian disalurkan lebih lanjut kepada enduser yang

mengajukan pembiayaan kepemilikan barang/ jasa kepada

multifinance tersebut sesuaidengan akad syariah.

b. Koperasi karyawan

Pembiayaan yang diberikan kepada koperasiuntuk kemudian

disalurkan lebih lanjut kepadapara anggotanya yang mengajukan

pembiayaan kepemilikan barang/ jasa sesuai dengan akad

syariah.

c. BMT (Baitul Mal waTamwil)

Pembiayaan yang diberikan kepada lembagakeuangan yang berbentuk

BMT untuk kemudiandisalurkan lebih lanjut kepada para nasabahnya

yang mengajukan pembiayaan kepemilikan barang/jasa.

3. Pembiayaan Mikro

a. Mikro 25 iB

Page 77: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

67

b. Mikro 75 iB

c. Mikro 200 iB

d. KUR

Skema pembiayaan mikro BRISyariah menggunakanakad Murabahah

(jual beli) dan Ijarah MuntahiyaBittamlik (IMBT), dengan tujuan

pembiayaan untukmodal kerja, investasi dan konsumsi.Pembiayaan ini

diberikan kepada calon nasabahdengan rentang umur Minimal 21

tahun atau telahmenikah untuk usia lebih besar atau sama dengan

18 tahun. Maksimal 65 tahun pada saat akhir jangka waktu

pembiayaan.

4. Pembiayaan Linkage - Channeling BRIS iB

Pembiayaan Linkage Channeling BRIS iB adalah pola pemberian Fasilitas

Pembiayaan konsumtif Multiguna dan Multijasa kepada Calon Nasabah

yang merupakan Pegawai/Karyawan suatu instansi/perusahaan yang juga

merupakan Anggota Koperasi, melalui perantara Koperasi Karyawan

(KOPKAR)/Koperasi Pegawai Republik Indonesia (KPRI).

5. Pembiayaan SME 200-500 BRIS IB

Pembiayaan SME 500 BRIS iB merupakan fasilitas pembiayaan yang

diberikan oleh Bank BRISyariah kepada Nasabah dengan menggunakan

konsep pembiayaan Murabahah maupun Ijarah Muntahiyya Bit Tamlik

(IMBT), dimana Bank memberikan Fasilitas Pembiayaan kepada Nasabah

untuk tujuan Modal Kerja maupun Investasi yang sesuai dengan Prinsip

Syariah.

6. Pembiayaan SME > 500BRIS iB

Pembiayaan investasi yang diberikan kepada Nasabah untuk pembelian

kendaraan roda empat/ lebih yang digunakan untuk penunjang kegiatan

usaha dan untuk pembelian tempat usaha untuk kegiatan produktif.

7. Pembiayaan Modal Kerja Revolving (PMKR) BRIS iB

PMKR BRIS iB adalah fasilitas pembiayaan yang digunakan untuk

memenuhi kebutuhan modal kerja usaha nasabah yang tidak berdasarkan

kontrak (non project based), menggunakan akad musyarakah, dengan sifat

Page 78: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

68

revolving (nasabah dapat melakukan penarikan dan penurunan pokok

secara berulang kali sesuai kebutuhan, sepanjang tidak melebihi plafon

yang telah ditentukan.

8. Layanan Perbankan

Employee benefit Program (EmBP) adalah program kerjasama dengan

suatu perusahaan yang dituangkan dalam Master Agreement berupa

pemberian fasilitas pembiayaan langsung kepada Karyawan/ti dari

perusahaan yang memenuhi kriteria Bank BRISyariah, dengan persyaratan

yang relatif mudah/ringan bagi karyawan/ti.

Page 79: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

69

BAB IV

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Bab IV dapat dikatakan sebagai pembahasan inti dari dilakukanya pemaparan-

pemaparan sebelumnya. Penulis pada bab ini akan menunjukan hasil analisa

terkait dengan Tinjauan Hukum Ekonomi syariah terkait dengan Perpindahan

Status Kepemilikan atas Objek sewa. Selain itu, Penulis juga akan menjelaskan

hasil analis dari Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) dan Jaminan Fidusia

dalam memberikan perlindungan untuk Objek IMBT yang diperjanjikan antara

Bank dan Nasabah.

A. Mekanisme Pelaksanaan Akad IMBT di PT. Bank BRISyariah Tbk.

Pada bagian ini, penulis akan membahas tentang bagaimana mekanisme

Akad IMBT di Bank Syariah. Sebelumnya penulis telah melakukan

wawancara dengan mengajukan beberapa pertanyaan secara informal kepada

pihak Bank Syariah. Maka dari itu, pada bagian ini penulis akan memaparkan

hasil temuannya terkait dengan Akad IMBT pada PT. Bank BRISyariah Tbk.

Narasumber adalah Ibu Asmiyatul Z yang menjabat sebagai Product

Development Section Head. Adapun isi dari hasil wawancara tersebut terkait

dengan mekanisme pelaksanaan IMBT di PT Bank BRISyariah Tbk., yaitu:

1. Pengajuan permohonan pembiayaan pemilikan rumah/kendaraan bermotor

(objek bebasis aset, bukan modal kerja) dengan akad ijarah muntahiyyah

bittamlik oleh nasabah pada bank.

2. Setalah permohonan disetujui, selanjutnya penandatangan akad

pembiayaan pemilikan rumah/kendaraan bermotor dengan akad ijarah

muntahiyyah bittamlik antara bank dengan nasabah.

3. Dilakukan akad Al Bai‟ antara bank dengan suplier penyedia barang yang

sesuai dengan spesifikasi nasabah. Namun Nasabah dimungkinkan untuk

mencari sendiri barang maupun suplier yang diinginkannya. Dalam hal ini,

maka kedudukan nasabah adalah sebagai wakil dari bank. Kemudian

pembayaran oleh bank atas pembelian rumah/kendaraan bermotor tersebut

akan langsung dicairkan ke rekening suplier.

Page 80: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

70

4. Dilakukan akta jual beli rumah/kendaraan bermotor oleh nasabah dan

suplier secara notariil. Sertifikat atas objek pembiayaan tersebut langsung

tertulis atas nama nasabah.

5. Sertifikat objek atas nama nasabah tersebut langsung diikat dengan Akta

Pemberian Hak Tanggungan (APHT) jika objeknya adalah

rumah/bangunan atau diikat dengan Akta Jaminan Fidusia jikat objeknya

adalah kendaraan bermotor Sertifikat akan disimpan oleh Bank dan akan

dikembalikan kepada nasabah pada akhir masa sewa. Tanah dan bangunan

yang menjadi obyek IMBT akan diikat dengan hak tanggungan.

6. Dilakukan akad Ijarah antara bank dengan nasabah. Nasabah membayar

uang sewa tiap bulan pada bank.

7. Pada akhir masa sewa bank menghibahkan objek yang disewakan kepada

nasabah.

Dari hasil wawancara tersebut,terkait dengan fokus penelitian yang

manadidapati bahwa sejak awal perjanjian IMBT, sertifikat kepemilikan langsung

tertulis atas nama Nasabah. Hal ini pun sama seperti yang ditemukan Penulis pada

literatur-literatur sebelumnya yang mana menyatakan bahwa sertifikat

kepemilikan atas objek IMBT tersebut langsung tertulis atas nama nasabah. Jika

diperhatika pada poin 7, yakni Bank Syariah menghibahkan Objek IMBT pada

akhir masa sewa maka akan menjadi pertanyaan terkait kepemilikan atas objek

IMBT tersebut.dalam hal ini narasumber mengatakan bahwa objek IMBT pada

hakikatnya adalah milik pihak Bank sebelum masa sewa berakhir.Pencatatan

sertifikat kepemilikan yang tertulis atas nama tersebut hanya sekedar formalitas

agar terhindar dari double tax dan biaya peralihan yang dua kali.

Dari analisis Penulis terhadap pelaksanaan IMBT di PT. Bank Syariah Tbk

berdasarkan skema IMBT yang bersumber dari DSN-MUI, secara keseluruhan

tidak ada yang berbeda antara praktek IMBT yang ada di PT. Bank BRISyariah

Tbk. dengan skema IMBT yang bersumber dari DSN-MUI. Terkait dengan

sertifikat kepemilikan yang langsung tertulis atas nama nasabah, dalam hal ini PT.

Bank BRISyariah Tbk. mengikatkan sertifikat tersebut dengan Akta Penjaminan

Hak Tanggungan atau Akta Jaminan Fidusia.

Page 81: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

71

B. Tinjauan Hukum Ekonomi Syariah pada Perpindahan Status

Kepemilikan atas Objek IMBT

Pada bagian ini, Penulis akan menjelaskan hasil analisis terhadap konsep

Perpindahan Status Kepemilikan atas Objek Sewa yang diatur didalam Hukum

Ekonomi Syariah seperti Fatwa, POJK/SEOJK, PBI/SEBI, KHES, dan

AAOIFI.

1. Perpindahan Status Kepemilikan atas Objek IMBT Berdasarkan

Ketentuan Fatwa DSN-MUI

Seperti yang sudah dijelaskan pada Latar belakang di atas, akad IMBT

adalah akad yang digunakan dalam lembaga pembiayaan/keuangan syariah

di Indonesia untuk memberikan hak kepemilikan atas objek yang telah

disewa oleh nasabah. Namun dalam prakteknya seperti yang didapat oleh

Penulis dari hasil wawancara yang telah dilakukan, Narasumber

membenarkan bahwa sertifikat kepemilikan langsung tercatat atas nama

nasabah. Jika memperhatikan Fatwa DSN Nomor: 27/DSN-MUI/III/2002

tentang Al-Ijarah Al-Muntahiyah Bi Al-Tamlik pada bagian kedua (1)

yang menuliskan “Pihak yang melakukan al-Ijarah al-Muntahiah bi al-

Tamlik harus melaksanakan akad Ijarah terlebih dahulu. Akad pemindahan

kepemilikan, baik dengan jual beli atau pemberian, hanya dapat dilakukan

setelah masa Ijarah selesai.”1 Sekilas praktek yang seperti ini tidak sesuai

dengan bunyi ketentuan Fatwa DSN diatas. Namun narasumber

mengatakan bahwa objek IMBT pada hakikatnya adalah milik pihak Bank

sebelum masa sewa berakhir. Pencatatan sertifikat kepemilikan yang

tertulis atas nama tersebut hanya untuk menghindari double tax dan biaya

peralihan yang dua kali.

Selain akad IMBT, akad Wakalah juga digunakan antara bank dengan

nasabah yang dimaksudkan agar nasabah mewakili bank untuk mencari

objek yang dikehendaki oleh nasabah. Dalam Fatwa DSN no. 10/DSN-

MUI/IV/2000 tentang Wakalah terdapat ketentuan terkait Syarat-syarat

1 Lihat, Fatwa DSN Nomor: 27/DSN-MUI/III/2002 tentang Al-Ijarah Al-Muntahiyah Bi Al-

Tamlik terkait ketentuan Al-Ijarah Al-Muntahiyah Bi Al-Tamlik.

Page 82: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

72

muwakkil (yang mewakilkan) yaitu salah satunya harus “Pemilik sah yang

dapat bertindak terhadap sesuatu yang diwakilkan.” Penulis memahami

bahwa Muwakkil dalam hal ini adalah pihak bank, walaupun memberikan

kuasa kepada nasabah untuk mencari barang yang dibutuhkan, tetap saja

bank adalah pemilik dari objek yang akan diperjanjikan. Dalam akad

Wakalah, nasabah hanya perwakilan dari bank dalam mencari objek yang

akan dierjanjikan.

Dari analisis yang dilakukan oleh Penulis terkait perpindahan status

kepemilikan pada objek sewa berdasarkan Fatwa DSN-MUI, menurut

Penulis hanya Fatwa DSN Nomor: 27/DSN-MUI/III/2002 tentang Al-

Ijarah Al-Muntahiyah Bi Al-Tamlik dan Fatwa DSN no. 10/DSN-

MUI/IV/2000 tentang Wakalah yang relevan untuk dijadikan pedoman

dalam meninjau praktek yang dilakukan di bank syariah tersebut. Adapun

Fatwa DSN no. 9/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Ijarah yang

Syarat dan Rukunnya berlaku pula pada akad Al-Ijarah Al-Muntahiyah Bi

Al-Tamlik, namun tidak terdapat penjelasan terkait Perpindahan Status

Kepemilikan atas Objek Sewa.

2. Perpindahan Status Kepemilikan atas Objek IMBT Berdasarkan

Ketentuan Otoritas Jasa Keuangan OJK

Dari sekian banyak peraturan yang dibuat oleh Otoritas Jasa

Keuangan (OJK), menurut Penulis hanya ada beberapa ketentuan yang

terkait dengan akad IMBT, diantaranya:

a. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan atau POJK no. 31/POJK.05/2014

tentang Penyelenggaraan Usaha Pembiayaan Syariah, yang terdapat

dalam Pasal 4 (1) hanya menyatakan bahwa IMBT adalah kegiatan

Pembiayaan Jasa.

b. POJK no. 16/POJK.03/2014 tentang Penilaian Kualitas Aset Bank

Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah, membahas tentang ketentuan

Cadangan Khusus Penyisihan Penghapusan Aset (PPA), Cadangan

Umum PPA, dan Perhitungan PPA untuk akad IMBT.

Page 83: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

73

Dari Kedua Peraturan Otoritas Jasa Keuangan diatas, Penulis tidak

menemukan pengaturan terkait Perpindahan Status kepemilikan atas objek

sewa pada akad IMBT. Kemudian pada tahun 2015 Otoritas Jasa

Keuangan mengeluarkan Surat Edaran (SEOJK) no. 36/SEOJK.03/2015

tentang Produk dan Aktivitas Bank Umum Syariah dan Unit Usaha

Syariah. Pada Surat Edaran ini, Penulis menemukan pada bagian

persyaratan 3.2 yang berbunyi “Perpindahan kepemilikan suatu aset dari

Bank kepada nasabah dapat dilakukan jika aktivitas penyewaan telah

berakhir atau diakhiri dan aset ijarah telah diserahkan kepada nasabah

dengan membuat akad terpisah”2. Dari bunyi diatas, Penulis memahami

bahwa untuk memindahkan kepemilikan objek harus dilakukan ketika

jangka waktu sewa telah berakhir. kemudian kata “diakhiri” dapat

diartikan ketika nasabah ingin mempersingkat waktu sewa dengan cara

mempercepat pembayaran kepada bank.Sekilas terdapat ketidak sesuaian

yang manasertifikat status kepemilikan yang langsung tertulis atas nama

nasabah walaupun proses sewa-menyewanya belum berakhir. Namun

narasumber mengatakan bahwa objek IMBT pada hakikatnya adalah milik

pihak Bank sebelum masa sewa berakhir. Pencatatan sertifikat

kepemilikan yang tertulis atas nama tersebut hanya untuk menghindari

double tax dan biaya peralihan yang dua kali.

3. Perpindahan Status Kepemilikan atas Objek IMBT Berdasarkan

Ketentuan Bank Indonesia

Terkait dengan Akad IMBT, Penulis menemukan beberapa Ketentuan

yang telah dikeuarkan oleh Bank Indonesia. Namun tidak semua ketentuan

tersebut menjelaskan tentang Perpindahan Status Kepemilikan atas Objek

Sewa. Ketentuan-ketentuan tersebut, diantaranya:

a. PBI no. 9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prisnsip Syariah dalam

Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana Serta Pelayanan

2 Lihat, SEOJK no. 36/SEOJK.03/2015 tentang Produk dan Aktivitas Bank Umum Syariah

dan Unit Usaha Syariah pada bagian 3.2

Page 84: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

74

Jasa Bank Syariah, hanya menyatakan bahwa IMBT adalah akad yang

digunakan dalam Penyaluran dana yang memenuhi prinsip syariah.

b. SEBI no. 14/33/DPbS perihal Penerapan Kebijakan Produk

Pembiayaan Kepemilikan Rumah dan Pembiayaan Kendaraan

Bermotor bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah, hanya

menyebutkan bahwa akad IMBT dapat digunakan untuk kegiatan KPR.

Pembahasan terkait ketentuan Perpindahan Status Kepemilikan

terdapat PBI no.7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpun dan Penyaluran

Dana bagi Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip

Syariah, meskipun tidak secara detail. Ketentuan yang terkait tersebut

dapat dilihat pada Pasal 16 (1) poin b, c, dan d yang berbunyi:3

b. Pelaksanaan IMBT hanya dapat dilakukan setelah Akad Ijarah

dipenuhi.

c. Bank wajib mengalihkan kepemilikan barang sewa kepada nasabah

berdasarkan hibah, pada akhir periode perjanjian sewa.

d. Pengalihan kepemilikan barang sewa kepada penyewa dituangkan

dalam Akad tersendiri setelah masa Ijarah selesai.

Dari hasil wawancara yang dilakukan oleh Penulis dimana narsumber

membenarkan praktek perpindahan status kepemilikan langsung atas nama

nasabah maka jika ditinjau dari tiga poin diatas, Penulis menyimpulkan

bahwa praktek seperti ini tidak sesuai dengan PBI no.7/46/PBI/2005

tentang Akad Penghimpun dan Penyaluran Dana bagi Bank yang

Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah dimana

menurut PBI ini, perpindahan status kepemilikan atas objek sewa hanya

bisa dilakukan ketika masa Ijarah/sewa telah selesai.

Namun, pada PBI no.7/46/PBI/2005 ini Penulis menemukan sedikit

pembatasan dimana pengalihan objek dengan akad IMBT hanya bisa

dilakukan dengan hibah. Berbeda dengan Fatwa DSN-MUI tentang Al-

3 Lihat, PBI no.7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpun dan Penyaluran Dana bagi Bank

yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah Pasal 16

Page 85: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

75

Ijarah Al-Muntahiyah Bi Al-Tamlik yang menyatakan bahwa pengalihan

Objek dapat menggunakan hibah dan jual beli. Sekilas terdapat ketidak

sesuaian yang mana sertifikat status kepemilikan yang langsung tertulis

atas nama nasabah walaupun proses sewa-menyewanya belum berakhir.

Namun narasumber mengatakan bahwa objek IMBT pada hakikatnya

adalah milik pihak Bank sebelum masa sewa berakhir. Pencatatan

sertifikat kepemilikan yang tertulis atas nama tersebut hanya untuk

menghindari double tax dan biaya peralihan yang dua kali.

Kemudian pada ketentuan Bank Indonesia lainnya, Penulis mendapati

pula pada SEBI no. 10/14/DPbS perihal Pelaksanaan Prinsip Syariah

dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta

Pelayanan Jasa Bank Syariah, dimana pada bagian III. 7 terkait

persyaratan IMBT yang dinyatakan dalam poind ”Pelaksanaan pengalihan

kepemilikan dan/atau hak penguasaan obyek sewa dapat dilakukan setelah

masa sewa disepakati selesai oleh Bank dan nasabah penyewa”.4 Dari poin

ini Penulis memahami bahwa pengalihan status kepemilikan baru dapat

dilaksanakan ketika masa sewa yang telah disepakati antara bank dan

nasabah telah berakhir. Tidak seperti praktek yang dimana perpindahan

kepemilikannya telah dilakukan diawal masa sewa.

4. Perpindahan Status Kepemilikan atas Objek IMBT Berdasarkan

Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES)

Terkait dengan hasil wawancara yang dilakukan oleh Penulis, dimana

narasumber membenarkan praktek perpindahan status kepemilikan objek

IMBT yang langsun atas nama nasabah, jika ditinjau berdasarkan

Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES), Penulis mendapati

ketentuan mengenai IMBT yang terdapat pada bagian buku II pasal 278-

285. Terkait dengan perpindahan status kepemilikan atas objek, dapat

dilihat pada pasal 280 poin (2) yang berbunyi “Akad perpindahan

kepemilikan hanya dapat dilakukan setelah masa Ijarah Muntahiyah Bi

4 Lihat, SEBI no. 10/14/DPbS perihal Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan

Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah pada bagian III.7

Page 86: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

76

tamlik berakhir”.5

Dari Pasal 280 poin (2) tersebut maka Penulis

berpendapat bahwa untuk dapat memindahkan status kepemilikan atas

objek sewa tidak boleh dilakukan sebelum masa sewa berakhir. Sekilas

terdapat ketidak sesuaian yang mana sertifikat status kepemilikan yang

langsung tertulis atas nama nasabah walaupun proses sewa-menyewanya

belum berakhir. Namun narasumber mengatakan bahwa objek IMBT pada

hakikatnya adalah milik pihak Bank sebelum masa sewa berakhir.

Pencatatan sertifikat kepemilikan yang tertulis atas nama tersebut hanya

untuk menghindari double tax dan biaya peralihan yang dua kali.

5. PerpindahanStatus Kepemilikan atas Objek IMBT Berdasarkan

SHARI’AH STANDARDS dari ACCOUNTING AND AUDITING

ORGANIZATION FOR ISLAMIC FINANCIAL INSTITUTIONS

(AAOIFI).

Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial

Institutions atau AAOFI didirikan pada tahun 1991 dan berpusat di

Bahrain. AAOIFI adalah organisasi nirlaba internasional terkemuka yang

terutama bertanggung jawab untuk pengembangan dan penerbitan standar

untuk industri keuangan Islam global. Ini telah mengeluarkan total 100

standar di bidang Syariah, akuntansi, audit, etika dan tata kelola untuk

keuangan Islam internasional. Didukung oleh sejumlah anggota lembaga,

termasuk bank sentral dan otoritas pengatur, lembaga keuangan,

perusahaan akuntansi dan audit, dan firma hukum, dari lebih dari 45

negara. Standar-standarnya saat ini diikuti oleh semua lembaga keuangan

Islam terkemuka di seluruh dunia dan telah memperkenalkan tingkat

harmonisasi progresif praktik keuangan Islam internasional.

Behubungan dengan dengan Perpindahan Status Kepemilikan atas

Objek sewa, Penulis melihat pada SHARI‟AH STANDARD (November

5 Lihat, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) Pasal 278-285

Page 87: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

77

2017) BAB Ijarah and Ijarah Munthia Bittamleek. Pada bab ini, Penulis

mendapatkan bagian yang menyatakan;6

(3/1) For the permissibility of an Ijarah contract concerning a specified

asset, the lease contract should be preceded by acquisition of either the

asset to be leased or the usufruct of that asset”. Artinya “Untuk

diizinkannya kontrak Ijarah mengenai aset tertentu, kontrak sewa harus

didahului dengan akuisisi aset yang akan disewa atau pembuatan aset

tersebut.”

3/1/1. If the asset or the usufruct thereof is owned by the Institution,

which should in principle be the case, an Ijarah contract may be

executed as soon as agreement is reached by the two parties. Artinya

“Jika aset atau hak miliknya dimiliki oleh Lembaga, yang pada

prinsipnya menjadi kasus ini, kontrak Ijarah dapat dilaksanakan segera

setelah kesepakatan dicapai oleh kedua pihak.”

3/1/2. However, if the asset is to be acquired by the customer [see

item 3/2 below], or by a third party, the Ijarah contract shall not be

executed unless and until the Institution has acquired that asset.

Artinya “Namun, jika aset tersebut akan diperoleh dari nasabah [lihat

butir 3/2 di bawah ini], atau dari pihak ketiga, kontrak Ijarah tidak

akan dilaksanakan kecuali dan sampai Lembaga memperoleh aset itu.

Dari Pernyataan diatas, dalam poin 3/1 Penulismemahami bahwa

lembaga/ bank harus memiliki objek IMBT terlebih dahulu dengan cara

mengakuisisi atau membuat sendiri objek yang akan di sewakan. Dalam

hal lembaga/bank telah memiliki objek yang akan disewakan, setelah

kedua belah pihak telah bersepakat maka perjanjian IMBT dapat langsung

dilaksananakan. Kemudian ketika objek tersebut diperoleh dari nasabah

misalnya dalam kasus Sale and Lease Back, maka tetap saja lembaga/bank

harus memiliki aset tersebut. Sehingga Penulis menyimpulkan bahwa

perpindahan kepemilikan atas objek IMBT haruslah dimiliki bank terlebih

6 Lihat, Shari,ah Standard, Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial

Institutions (AAOIFI) hal. 239-240

Page 88: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

78

dahulu barulah kemudian diakhir masa sewa-menyewa berpindah kepada

nasabah. Terkait dengan hasil wawancara yang membenarkan praktek

perpindahan status kepemilikan atas objek sewa yang langsung beralih

atas nama nasabah, maka Penulis berpendapat ini tidak sesuai dengan

SHARI‟AH STANDARDS dari ACCOUNTING AND AUDITING

ORGANIZATION FOR ISLAMIC FINANCIAL INSTITUTIONS

(AAOIFI) ini.

B. Perlindungan Hukum Terhadap Objek IMBT di PT. Bank

BRISyariah Tbk.

Pada bagian sebelumnya, telah dinyatakan bahwa sertifikat status

kepemilikan yang seharusnya terlebih dahulu tercatat atas nama bank

kemudian baru beralih ketika masa sewa objek telah selesai. Namun pada

prakteknya Penulis menemukan bahwa sertifikat Status Kepemilikan langsung

tercatat atas nama nasabah sehingga dapat dikatakan secara legal tittle atau

secara tertulis bahwa barang tersebut adalah milik nasabah. Penulis

berpendapat bahwa tentu disini terdapat celah yang memungkinkan terjadinya

permasalahan hukum yang akan timbul ketika dipertengahan jalan, nasabah

melakukan wanprestasi atau nasabah mengalami gagal bayar. Dalam hal ini,

narasumberpun membenarkan bahwa memang secara hukum praktek seperti

ini sedikit lemah. Maka dari itu, untuk menjamin objek yang sertifikat

kepemilikannya telah tercatat atas nama nasabah tersebut dengan pengadaan

Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) untuk benda yang berupa

rumah/bangunan dan Akta Penjaminan Fidusia untuk benda yang berupa

kendaraan bermotor. Narasumber menyampaikan bahwa kedua akta ini

memiliki hukum yang kuat dalam melindungi hak-hak bank jika nasabah

melakukan wanprestasi ataupun nasabah mengalami gagal bayar di

pertengahan jalan. Sehingga, pada bagian ini penulis akan membahas

mengenai ketentuan hukum tentang bagaimana Akta Pemberian Hak

Tanggungan dan Akta Penjaminan Fidusia ini dalam melindungi hak dan

kewajiban antara Pihak Bank Syariah dan Nasabah.

1. Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT)

Page 89: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

79

Seperti yang telah dikatakan sebelumnya, dalam pengikatan Objek

IMBT yang objeknya berupa rumah atau bangunan, maka pengikatannya

menggunakan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT). Ini

dimaksudkan agar bank menjadi pihak yang paling utama dalam

mendapatkan pelunasan hutang ketika objek IMBT tersebut dieksekusi,

dilelang, atau dijual ketika nasabah tersebut wanprestasi atau tidak mampu

lagi melunasi hutangnya. Namun, pada bagian ini Penulis akan melakukan

pembahasan yang lebih spesifik bagaimana dengan mengacu pada

Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang HAK TANGGUNGAN

ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN

DENGAN TANAH selanjutnya Penulis sebut dengan Undang-undang

Hak Tanggungan. Namun selain Undang-undang Hak Tanggungan, perlu

diperhatikan pula Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan

Dasar Pokok-pokok Agraria selanjutnya disebut Undang-undang Pokok

Agraria, seperti ditegaskan oleh Undang-undang Hak Tanggungan pada

bagian Mengingat sub 2.

Untuk mengetahui lebih dalam terkait perlindungan atas Objek IMBT

yang sertifikatnya langsung tercatat atas nama nasabah, terlebih dahulu

Penulis menjelaskan kedudukan hukum pada Hak Tanggungan. Dalam

Undang-undang Hak Tanggungan Pasal 1 berbunyi “Hak Tanggungan atas

tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya

disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak

atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak

berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu,

untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang

diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.”7 Dari

bunyi pasal ini, Penulis memahami bahwa Hak Tanggungan memberikan

suatu Hak Jaminan kepada siapa saja yang memilikinya. Hak Jaminan

7 Lihat, Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta

Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah, Pasal 1

Page 90: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

80

disini harus mencakup berupa Tanah berikut dengan benda-benda yang

melekat diatasnya atau benda-benda yang tidak melekat tetapi masih satu

kesatuan dengan tanah itu. Kemudian terdapat pernyataan ”untuk

pelunasan utang tertentu”, disini tampak sifat accessoirdimana Hak

Tanggungan ini tidak dapat berdiri sendiri tanpa adanya perjanjian pokok

sebelumnya. Dalam hal ini, perjanjian pokoknya adalah utang-piutang

antara Bank Syariah dengan Nasabah dari diadakannya Akad IMBT.

Selain itu, yang Penulis pahami dari Pasal 1 terkait dengan “memberikan

kedudukan yang diutamakan” bahwa Hak Tanggungan ini menjadikan

pemegang Hak Tanggungan sebagai kreditur preferen (Kreditur preferen

berati bahwa kreditur yang bersangkutan didalam mengambil pelunasan

atas hasil eksekusi benda pemberi jaminan tertentu (yang dalam

hubungannya dengan hak tanggungan) secara khusus diperikatkan untuk

menjamin tagihan kreditur8).

Masuk kedalam inti pembahasan, Penulis memulai dengan pertanyaan

bagaiman Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) dapat melindungi

Objek IMBT? Dimana seharusnya objek IMBT tersebut sebenarnya adalah

milik Bank Syariah namun sertifikat kepemilikannya tertulis atas nama

nasabah. Telah kita ketahui sebelumnya bahwa setelah Bank Syariah

menyetujui pembiayaan IMBT yang diajukan oleh Nasabah, maka Objek

IMBT secara fisik akan diserahkan kepada Nasabah sementara Sertifikat

Kepemilikannya dipegang oleh Bank Syariah karena sertifikat

kepemilikan tersebut telah dibebankan dengan Hak Tanggungan. Jika

ditinjau dari Undang-undang Hak Tanggungan Pasal 4 tentang Objek Hak

Tanggungan, maka Objek IMBT yang status kepemilikannya tercatat atas

nama nasabah (Hak Milik) termasuk kedalam ketentuan pasal ini.9

Dalam proses pembebanan Hak Tanggungan atas sertifikat

kepemilikan Objek IMBT, terlebih dahulu harus dibuat Akta Pemberian

8 J. Satrio, Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan, Cet. V, (Bandung: PT Citra Aditya

Bakti, 2007), h. 303. 9 Lihat, Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta

Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah, Pasal 4

Page 91: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

81

Hak Tanggungan (APHT).APHT ini berisikan klausula-klausula janji

antara Pihak Bank Syariah dengan Nasabah. Terkait dengan perjanjian,

harus diingat bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku

sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.10

Ketika Bank

Syariah mensyaratkan Janji yang menyatakan:

a. Bank Syariah akan memperoleh seluruh atau sebagian dari ganti rugi

untuk pelunasan piutang, jika terjadi pembebasan tanah untuk

kepentingan umum atau pelepasan hak

b. Bank akan memperoleh seluruh atau sebagian uang asuransi yang

diterima oleh Nasabah, jika objek hak tanggungan diasuransikan

c. Bank Syariah mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaannya

sendiri terhadap tanah objek hak tanggungan, apabila kreditor dalam

keadaan wanprestasi11

Maka, tentu klausula janji pada (APHT) akan sangat berguna bagi Pihak

Bank Syariah dalam melindungi Ojek IMBT yang hakikatnya adalah milik

bank syariah.

Namun tidak berhenti sampai disitu, karena menurut Undang-undang

Hak Tanggungan, APHT wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan

selambat-lambatnya 7 hari setelah penanda tanganan APHT tersebut.12

Kewajiban pendaftaran ini merupaka salah satu bentuk untuk mewujudkan

kepastian hukum. Dari didaftarkannya APHT ini, maka terpenuhilah asas

publisitas sehingga kepastian hukum dari Hak Tanggungan ini menjadi

sempurna. Bukti dari pendaftaran ini adalah dengan diberikannya

Sertifikat Hak Tanggungan kepada Bank Syariah oleh Kantor Pertanahan.

Sertifikat Hak Tanggungan yang diterbitkan Kantor Pertanahan ini

memuat irah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN

YANG MAHA ESA” sehingga mempunyai kekuatan sebagai grosse akta

yang mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan Putusan

10

Lihat, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pasal 1338 11

Lihat, Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta

Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah, Pasal 12 12

Lihat, Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta

Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah, Pasal 13

Page 92: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

82

Pengadilan13

. Jika sewaktu-waktu Nasabah melakukan wanprestasi, maka

dengan Sertifikat Hak Tanggungan ini, Bank Syariah dapat melaksanakan

eksekusi terhadap hak selaku kreditur atas objek jaminan tanpa melalui

ketentuan hukum acara, tanpa penyitaan atau melibatkan juru sita, dan

tanpa izin pengadilan atau dalam kata lain Bank Syariah melaksanaka

parete eksekusi seperti ia menjual benda miliknya sendiri.14

Dari penjelasan diatas, Penulis menyimpulkan bahwa Objek IMBT

yang hakikatnya adalah milik namuntercatat atas nama Nasabah, jika

Objek tersebut dibebankan dengan Hak Tanggungan maka tidak sulit bagi

Bank Syariah untuk melindungi objeknya tersebut. Hanya saja, terkait

dengan janji dalam klausul APHT harus diperhatikan secara detail serta

syarat-syarat yang menjadi diwajibkan oleh Udang-undang Hak

Tanggungan harus benar-benar dijalankan sehingga tercipta kepastian

hukum.

2. Akta Penjaminan Fidusia

Selain Akta Pemberian hak Tanggungan, Bank Syariah juga

menggunakan Akta Jaminan Fidusia dalam pengikatan Objek IMBT yang

objeknya adalah kendaraan bermotor. Ini dimaksudkan agar bank menjadi

pihak yang paling utama dalam mendapatkan pelunasan hutang ketika

objek IMBT tersebut dieksekusi, dilelang, atau dijual ketika nasabah

tersebut wanprestasi atau tidak mampu lagi melunasi hutangnya.

Pembahasan terkait Akta Jaminan Fidusia ini dapat kita temukan pada

Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang JAMINAN FIDUSIA

yang selanjutnya disebut dengan Undang-undang Fidusia.

Untuk mengetahui lebih dalam terkait bagaiman Jaminan Fidusia

melindungi Objek IMBT yang sertifikatnya langsung tercatat atas nama

nasabah, terlebih dahulu Penulis menjelaskan kedudukan hukum pada

Jaminan Fidusia. Dalam Undang-undang Jaminan Fidusia Pasal 1

13

Lihat, Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta

Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah, Pasal 14 14

Lihat, Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta

Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah, Pasal 6

Page 93: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

83

berbunyi “Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik

yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak

khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan

sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996

tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi

Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan

kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor

lainnya”.15

Dari bunyi pasal ini, Penulis memahami bahwa Jaminan

Fidusia memberikan suatu hak jaminan kebendaan yang menjadikan Bank

Syariah (kreditur) memiliki kedudukan yang lebih baik (didahulukan) dari

kreditur lainya.16

Menurut Penulis, kedudukan yang lebih baik ini

maksudnya dalam hal memperoleh suatu pelunasan utang atas agunan

yang diserahkan Nasabah.Terkait dengan kalimat “bagi hutang tertentu”,

Penulis menyimpulkan bahwa tampak sifat accessoir dimana Jaminan

Fidusia ini tidak dapat berdiri sendiri tanpa adanya perjanjian pokok

sebelumnya. Dalam hal ini, perjanjian pokoknya adalah utang-piutang

antara Bank Syariah dengan Nasabah dari diadakannya Akad IMBT. Sifat

accessoir pada Jaminan Fidusiaini juga semakin jelas karena Jaminan

Fidusia akan hapus jika hutang yang dijamin dengan Jaminan Fidusia ini

berakhir/hapus.17

Masuk kedalam inti pembahasan, Penulis memulai dengan pertanyaan

bagaiman Akta Jaminan Fidusia dapat melindungi Objek IMBT? Dimana

seharusnya objek IMBT tersebut sebenarnya adalah milik Bank Syariah

namun sertifikat kepemilikannya tertulis atas nama nasabah. Telah kita

ketahui sebelumnya bahwa setelah Bank Syariah menyetujui pembiayaan

IMBT yang diajukan oleh Nasabah, maka Objek IMBT secara fisik akan

diserahkan kepada Nasabah sementara Sertifikat Kepemilikannya

dipegang oleh Bank Syariah karena sertifikat kepemilikan tersebut telah

dibebankan dengan Jaminan Fidusia.

15

Lihat, Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, Pasal 1 16

Lihat, Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, Pasal 27 17

Lihat, Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, Pasal 25

Page 94: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

84

Dalam proses pembebanan Jaminan Fidusia atas sertifikat

kepemilikan Objek IMBT, terlebih dahulu harus dibuat Akta Jaminan

Fidusia. Akta Jaminan Fidusia ini berisikan klausula-klausula janji antara

Pihak Bank Syariah dengan Nasabah. Terkait dengan perjanjian, harus

diingat bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai

undang-undang bagi mereka yang membuatnya.18

Akta Jaminan Fidusia

ini wajib didaftarkan pada Kantor Pendaftaran Fidusia yang ada di

Jakarta.19

Kewajiban pendaftaran ini merupakan salah satu bentuk untuk

mewujudkan kepastian hukum. Dari didaftarkannya Akta Jaminan Fidusia

ini, maka terpenuhilah asas publisitas sehingga kepastian hukum dari Hak

Tanggungan ini menjadi sempurna. Bukti dari pendaftaran ini adalah

dengan diberikannya Sertifikat Jaminan Fidusia kepada Bank Syariah oleh

Kantor Pendaftaran Fidusia.

Sertifikat Jaminan Fidusia yang diterbitkan Kantor Pendaftaran

Fidusia ini memuat irah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN

KETUHANAN YANG MAHA ESA” sehingga mempunyai kekuatan

sebagai grosse akta yang mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama

dengan Putusan Pengadilan dan memperoleh kekuatan hukum tetap20

. Jika

sewaktu-waktu Nasabah melakukan wanprestasi, maka dengan Sertifikat

Jaminan Fidusia ini, Bank Syariah dapat melaksanakan eksekusi terhadap

hak selaku kreditur atas objek jaminan tanpa melalui ketentuan hukum

acara, tanpa penyitaan atau melibatkan juru sita, dan tanpa izin pengadilan

atau dalam kata lain Bank Syariah melaksanaka parete eksekusi seperti ia

menjual benda miliknya sendiri.21

Dari penjelasan diatas, Penulis menyimpulkan bahwa Objek IMBT

yang hakikatnya adalah milik namun tercatat atas nama Nasabah, jika

Objek tersebut dibebankan dengan Jaminan Fidusia maka tidak sulit bagi

Bank Syariah untuk melindungi objeknya tersebut. Memang salah satu ciri

18

Lihat, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pasal 1338 19

Lihat, Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, Pasal 12 20

Lihat, Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, Pasal 15 (2) 21

Lihat, Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, Pasal 15 (3)

Page 95: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

85

Jaminan Fidusia adalah kemudahan dalam pelaksanaan eksekusinya yaitu

apabila pihak Pemberi Fidusia cidera janji. Oleh karena itu, dalam

Undang-undang ini dipandang perlu diatur secara khusus tentang eksekusi

Jaminan Fidusia melalui lembaga parate eksekusi.22

Hanya saja, terkait

syarat-syarat yang menjadi diwajibkan oleh Udang-undang Hak

Tanggungan harus benar-benar dijalankan sehingga tercipta kepastian

hukum.

22

Lihat, Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, Penjelasan Pasal 15

Page 96: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

86

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh penulis, maka disimpulkan

bahwa terdapat beberapa perbedaan antara teori dan praktek yang selama ini

terjadi seperti pada akad Ijarah Muntahiyah Bit-Tamlik (IMBT). Dalam teorinya,

akad IMBT adalah akad sewa menyewa atas suatu objek yang diakhiri dengan

peralihan objek kepemilikan dari bank ke nasabah. Namun pada prakteknya,

sertifikat status kepemilikan langsung tertulis atas nama nasabah walaupun masa

sewa menyewa antara bank dan nasabah belum selesai. Selain akad IMBT, antara

bank dan nasabah mengadakan akad wakalah dalam hal nasabah ingin mencari

sendiri objek yang dikehendaki. Nasabah akan mewakili bank untuk memperoleh

objek dari suplier. Namun akad wakalah ini tidak menjadikan nasabah sebagai

pemilik dari objek tersebut karena nasabah adalah wakil dari bank.

Dari analisis penulis pada ketentuan Hukum Ekonomi Syariah (Fatwa DSN-

MUI, POJK/SEOJK, PBI/SEBI, KHES, dan SHARI‟AH STANDARD AAOIFI)

terkait perpindahan status kepemilikan atas objek IMBT dipahami bahwa

peralihan kepemilikan atas objek IMBT hanya dapat dilakukan ketika masa sewa-

menyewa telah berakhir. Pada hakikatnya objek IMBT adalah milik pihak Bank

Syariah. Namun pada praktek yang dilakukan di PT. Bank BRISyariah Tbk. yang

mana peralihan status kepemilikan langsung tercatat atas nama nasabah

dikarenakan untuk menghindari Double Tax dan biaya peralihan ganda.

Terkait perlindungan atas objek yang dimana sertifikat status kepemilikan

langsung tertulis atas nama nasabah tersebut, ternyata bank mengikatkannya

dengan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) untuk objek yang berbentuk

rumah/bangunan atau Akta Jaminan Fidusia utuk objek yang berbentuk kendaraan

bermotor. Dari perspektif hukum, APHT dan Akta Jaminan Fidusia memiliki

kekuatan hukum yang kuat dalam melindungi hak Bank Syariah jika dalam masa

sewa-menyewa, nasabah melakukan wanprestasi ataupun mengalami gagal bayar.

Page 97: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

87

B. Saran

- Kepada para pemangku jabatan (stakeholder) seperti DSN-MUI, Otoritas Jasa

Keuangan, Bank Indonesia, dan Mahkamah Agung agar lebih memperhatikan

praktek IMBT yang ada di Bank Syariah kemudian membuat regulasi khusus

terkait Double Tax ataupun biaya peralihan ganda pada pembiayaan akad

IMBT.

- Kepada pihak Bank BRISyariah sebaiknya menjalankan pembiayaan dengan

akad IMBT harus sesuai dengan ketentuan syariah secara keseluruhan.

- Bagi para pembaca sebaiknya memahami permasalahan yang ada kemudian

ikut andil peran dalam menyempurnakan dan mengharmonisasikan

Pembiayaan akad IMBT yang ada di Bank BRISyariah ini. Selain itu,

pembaca diharapkan melakukan penelitian lanjutan terhadap Bank Syariah

lain yang memiliki produk dengan akad IMBT.

Page 98: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

88

DAFTAR PUSTAKA

Buku dan Literatur:

Adiwarman Kharim, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan. Jakarta:

PT. Raja Grafindo Persada, 2004.

Akbar, Ali. “Konsep Kepemilikan dalam Islam”, Jurnal Ushuludin Vol.

XVIII, no. 2 (Juli 2012): h 125- 126.

Al-Zarqa‟, Musthafa Ahmad. al-Madkhal al-Fiqh al-„Amm. Beirut:Dar

al-Fikr, 1968.

Antonio, Muhammad Syafi‟I. Bank Syariah: dari Teori ke Praktik.

Jakarta: Gema Inzani dan Tazkia Cendekia, 2001.

Asikin, Zainal dan Amirudin, Pengantar Metode Penelitian Hukum,

Cet.2 Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 2004.

Bahsan, M. Hukum Jaminan dan Hukum Kredit Perbankan Indonesia.

Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007.

Djuwani, Dimyauddin. Pengantar Fiqh Muamalah. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2008

Fuady, Munir. Hukum Jaminan Utang. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2013.

Harun, Nasrun. Fiqh Muamalah. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007

Inayah, Nur dan Afit Kurniawan. “Tinjauan Kepemilikan dalam KPR

Syariah: Antara Murabahah, Ijarah Muntahiyyah Bittamlik dan Musyarakah

Mutanaqisah”, Vol. 1 No. 2 (Desember 2013): h. 295.

Karim, Adiwarman A. Bank Islam (Analisis fiqih dan Keuangan), Cet.III,

Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006.

Page 99: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

89

Laporan Tahunan PT. Bank BRISyariah Tbk. Tahun 2017

Manzhur, Ibn. “Allamah Abi al-Fadhl Jamal al-Din Muhammad ibn

Mukram, Lisan al-Arab”. Beirut: Daar al-Fikr, 1990.

Mardani. Hukum Bisnin Syariah. Jakarta: KENCANA, 2014.

Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum, cet. ke-9.Jakarta: Kencana

Prenadamedia Group, 2014.

Muhammad, Abdulkadir. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: PT

Citra Aditnya Bakti, 2004.

Munif, Nasrullah Ali. ”Analisis Akad Ijarah Muntahiya Bittamlik dalam

Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia”, An-Nisbah, Vol. 03,

No. 02. (Apri 2017): h. 268.

Nurbani, ErliesSeptiana dan H. Salim HS. Penerapan Teori Hukum Pada

Penelitian Tesis dan Disertasi. Cet.3. Jakarta: Rajawali Pers, 2014.

Polindi, Miko. “Implementasi Ijarah dan Ijarah Muntahiah Bit-tamlik

(IMBT) dalam Perbankan Syariah di Indonesia”. Al-intaj, Vol.2 No. 1, (Maret

2016): h. 30.

Prodjodikoro, Wirjono. Hukum Perdata tentang Persetujuan-Persetujuan

Tertentu. Bandung: Alumni. 1973.

Purwaka, Tommy Hendra. Metodologi Hukum. Jakarta: Penerbit

Universitas Atma Jaya, 2007

Rachmadi Usman, Hukum Kebendaan, Cet. Ke-2.Jakarta: Sinar Grafika,

2013.

Satrio, J.. Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan, Cet. V. Bandung:

PT Citra Aditya Bakti, 2007.

Page 100: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

90

Soemitra, Andri. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah. cet.II. Jakarta,

Prenadamedia Group, 2010.

Sofyan, Sri Soedewi Masjchoen. Hukum Perdata: Hukum Benda.

Yogyakarta: Liberty, 1981.

Suhendi, Hendi. Fiqh Muamalah. Jakarta: Rajawali Pers, 2008.

Sunaryo. Hukum Lembaga Pembiayaan, Cet. Ke-3. Jakarta, Sinar

Grafika, 2013.

Sutedi, Adrian. Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Cet. Ke-

6. Jakarta: Sinar Grafika, 2014.

Usman, Rachmadi. Pasal-pasal tentang Hak Tanggungan atas Tanah.

Jakarta: Djambatan, 1999.

Waluyo, Bambang. Penelitian Hukum Dalam Praktek, Cet.2. Jakarta:

Sinar Grafika, 1996.

Widjaja, Gunawan dan Kartini Muljadi. Seri Hukum Harta kekayaan:

Kedudukan berkuasa dan Hak Milik, Cet. Ke-2. Jakarta: Kencana, 2005.\

Regulasi:

Bank Indonesia, Kodifikasi Produk Perbankan Syariah. Direktorat

Perbankan Syariah Bank Indonesia, 2008.

Fatwa DSN-MUI No. 27/DSN-MUI/III/2002 tentang Al-Ijarah Al-

Muntahiyah Bi Al-Tamlik.

PBI no. 9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prisnsip Syariah dalam

Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana Serta Pelayanan Jasa Bank

Syariah.

PBI no.7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpun dan Penyaluran Dana

bagi Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah.

Page 101: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

91

Peraturan Bank Indonesia Nomor: 7/46/PBI/2005 Tentang Akad

Penghimpunan dan Penyaluran Dana Bagi Bank yang Melaksanakan Kegiatan

Usaha Bedasarkan Prinsip Syariah.

Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 2 Tahun 2008 tentang

Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES).

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan atau POJK no. 31/POJK.05/2014

tentang Penyelenggaraan Usaha Pembiayaan Syariah.

POJK no. 16/POJK.03/2014 tentang Penilaian Kualitas Aset Bank

Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah.

Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions,

SHARI‟AH STANDARD, 2016.

SEBI no. 10/14/DPbS perihal Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam

Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank

Syariah.

SEBI no. 14/33/DPbS perihal Penerapan Kebijakan Produk Pembiayaan

Kepemilikan Rumah dan Pembiayaan Kendaraan Bermotor bagi Bank Umum

Syariah dan Unit Usaha Syariah.

Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) No. 10/14/DPBS pada tanggal 17

Maret 2008 Perihal Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan

Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah.

Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan (SEOJK) 03/2015 tentang Produk

dan Aktivitas Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah.

Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 36/SEOJK.03/2015 tentang

Produk dan Aktivitas Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah.

Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang HAK TANGGUNGAN

ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN

TANAH

Page 102: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

92

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang JAMINAN FIDUSIA

Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah

Page 103: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

93

Lampiran-lampiran

Page 104: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

Wawancara

Adam : Kalau di Bank, IMBT itu bisa untuk rumah dan kendaraan.

Bagaimana kalau untuk barang-barang modal kerja?

Narasumber : Tidak, dia basic nya adalah aset. Kalau barang modal kerja

itu ke musyarakah atau murabahah. Tapi yang terkait dengan

IMBT itu hanya basicnya aset.

Adam : Apakah benar praktek yang selama ini, sertifikat kepemilikan

langsung atas nama nasabah?

Narasumber : iya memang, memang langsung dibalik namanya itu langsung

atas nama nasabah. Kalo harus dua kali kan, biayanya siapa

yang nanggung

Adam : Apakah diawal perjanjian langsung disepakati

kepemilikannya diakhir masa sewa langsung beralih?

Narasumber : IMBT itu kan Ijarah Muntahiyah Bittamlik, diakhir

kepemilikan ada perpindahan, diakhir sewa ada pemindahan

kepemilikan. Perpindahan kepemilikan itu kalau dia selesai

sampai dengan jatuh tempo maka bank akan menghibahkan

kepada nasabah. Kalau misalkan dia tidak sesuai dengan jatuh

tempo, boleh gak dijual sama bank? Boleh yaa karna itu kan

asetnya bank. Kalau ternyata yang beli bukan nasabahnya itu

lagi, kan kita sudah ada APHT. APHT itu kan secara hukum

itu kuat, meskipun agak aneh sih.. asetnya bank sendiri

ngapain diikat secara itu, cuma kan memang selama ini masih

terjadi perdebatan dan memang gak ketemu hukum positif

sama hukum syariahnya.

Page 105: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

Adam : Bagaimana hak bank atas objek IMBT jika nasabah

mengalami gagal bayar?

Narasumber : setelah dijual, pada saat eksekusi, lelang, dan lain sebagainya,

yang pertama kali punya hak atas aset itu adalah bank. Itu

pakenya APHT. Atau kalau misalkan dia pengadaan objeknya

kendaraan bermotor itu pakenya fidusia.

Adam : kalau untuk rumah?

Narasumber : APHT. Memang benar, secara hukumnya memang, ee.. apa

ya, sebetulnya agak lemah lah ya. Secara prinsip syariah itu

miliknya bank tapi kenapa langsung dibalik namanya atas

nama nasabah.

Adam : berarti kesepakatan sewa dan perpindahan kepemilikan

dilakukan diawal perjanjian?

Narasumber : kesepakatan sewanya, yaa diawal.

Adam : kalau kesepakatan perpindahan kepemilikannya langsung di

awal juga gak mbak?

Narasumber : Sebetulnya kalo perpindahan kepemilikannya itu nanti ya,

setelah sewa berakhir. Kayak akad jual beli, akad hibahnya itu

kan nanti setelah sewa berakhir. Secara prinsip syariah

harusnya dibelakang, biasanya yang memperaktekan begitu

(Kesepakatan perpindahan kepemilikan ditanda tangani diawal)

dilapangan untuk mempermudah, kan gak mungkin,

katakanlah nasabah bolak balik kesitu buat tanda tangan akad

lagi, makanya ditanda tanganilah didepan. Padahal secara

prakteknya standar operasionalnya ya dibelakang.

Adam : ketika nasabah telah disetujui, dirasa layak dibiayai, apakah

nasabah mencari sendiri barang yang dibutuhkan?

Page 106: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

Narasumber : bisa nasabah mencari sendiri atau misalkan dari bank,

tergantung. Makanya kan pemblian aset itu, pengadaan objek

itu bisa langsung dari bank atau nasabah. Kalau nasabah berarti

kan bank mewakilkan kepada nasabah untuk membeli. Tapi

kalau itu dari bank, katakanlah bank punya developer sendiri

nah maka berarti kan langsung dari bank nya. Nanti dana

pencairannya otomatis langsung dicairkan ke rekening si

penjual barangnya ini. Jadi metode pengadaan barangnya bisa

langsung dari bank atau dari nasabah. Dari nasabah berati bank

yang mewakilkan kepada si nasabah.

Adam : saya mendapat wawasan baru, ternyata ada APHT

Narasumber : iya ada catatan notaril

Adam : apakah banknya ke notaris?

Narasumber : bank punya notaris. Karena pengikatannya kan pake notaris.

Itu sebagai pengamannya bank.

Adam : Apakah pernah terjadi permasalahan selama diberlakukannya

akad IMBT di Bank BRISyariah?

Narasumber : Sudah ada mas yang kol 2

Adam : Apakah permasalahan tersebut diselesaikan di meja

pengadilan atau secara baik-baik ya bu?

Narasumbr : So far masih secara baik-baik, karna belum masuk NPF

Adam : Kaparn terakhir pernah terjadi eksekusi dan apakah

permasalahan nasabah tersebut karena itikad tidak baik atau

memang karena keadaan nasabah tersebut?

Narasumber : belum ada yang dieksekusi karena masih kol 2.

Page 107: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA
Page 108: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA
Page 109: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA
Page 110: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA
Page 111: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA
Page 112: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA
Page 113: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA
Page 114: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA
Page 115: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA
Page 116: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA
Page 117: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA
Page 118: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA
Page 119: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA
Page 120: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

No. 10/ 14 / DPbS Jakarta, 17 Maret 2008

S U R A T E D A R A N

Kepada

SEMUA BANK SYARIAH

DI INDONESIA

Perihal : Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana

dan

Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah

Sehubungan dengan telah diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia

Nomor

9/19/PBI/2007 Tanggal 17 Desember 2007 tentang Pelaksanaan Prinsip

Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana

serta Pelayanan Jasa Bank Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2007 No. 165, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia No. 4793), perlu diatur ketentuan pelaksanaan dalam

suatu Surat Edaran Bank Indonesia dengan pokok ketentuan sebagai

berikut :

Page 121: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

. . .

III.7. Pembiayaan Atas Dasar Akad Ijarah Muntahiya Bittamlik

Disamping ketentuan sebagaimana dimaksud pada Bab III.6.

angka 1, untuk kegiatan penyaluran dana dalam bentuk

Pembiayaan atas dasar Ijarah Muntahiya Bittamlik berlaku

pula persyaratan paling kurang sebagai berikut :

a. Bank sebagai pemilik obyek sewa juga bertindak sebagai

pemberi janji (wa’ad) untuk memberikan opsi pengalihan

kepemilikan dan/atau hak penguasaan obyek sewa kepada

nasabah penyewa sesuai kesepakatan;

b. Bank hanya dapat memberikan janji (wa’ad) untuk

mengalihkan kepemilikan dan/atau hak penguasaan

obyek sewa setelah obyek sewa secara prinsip dimiliki

oleh Bank;

c. Bank dan nasabah harus menuangkan kesepakatan adanya

opsi pengalihan kepemilikan dan/atau hak penguasaan

obyek sewa dalam bentuk tertulis;

d. Pelaksanaan pengalihan kepemilikan dan/atau hak

penguasaan obyek sewa dapat dilakukan setelah masa

sewa disepakati selesai oleh Bank dan nasabah penyewa;

dan

e. Dalam hal nasabah penyewa mengambil opsi

pengalihan kepemilikan dan/atau hak penguasaan objek

sewa, maka Bank wajib mengalihkan kepemilikan

dan/atau hak penguasaan obyek sewa kepada nasabah

Page 122: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

yang dilakukan pada saat tertentu dalam periode atau

pada akhir periode Pembiayaan atas dasar Akad

Ijarah Muntahiya Bittamlik.

. . .

BANK INDONESIA,

SITI CH. FADJRIJAH

DEPUTI GUBERNUR

Page 123: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA
Page 124: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA
Page 125: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA
Page 126: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA
Page 127: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA
Page 128: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA
Page 129: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA
Page 130: TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44780/1/ADAM...TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA