tinjauan pustaka referat
TRANSCRIPT
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Profesionalisme
Pemahaman akan profesionalisme masih belum jelas dan belum ada
standar penilaiannya. Sebutan profesionalisme berasal dari kata profesi,
profesionalisme mengacu pada pengertian profesi, sebagai suatu bidang
pekerjaan. Satu pendapat menyatakan profesionalisme yaitu suatu status, cara,
karakteristik, standar yang terkait dengan suatu profesi. Pendapat lain menyatakan
profesionalisme sebagai ajektif yang memiliki arti kualifikasi. Namun bila
ditilik dari asal katanya, profesional berasal dari kata ”profession” dari
Bahasa Latin yang berarti a public declaration with the force of a promise,
atau dalam Bahasa Indonesia yang artinya sebuah deklarasi umum
dengan kekuatan sebuah janji.
Dalam hal profesi, Mc Cully (1969) (dalam Rusyan, 1990:4) mengatakan
sebagai:“Vocation an which professional knowledge of some department a
learning science is used in its application to the other or in the practice of an art
found it.” Pengertian tersebut dapat disarikan bahwa dalam suatu pekerjaan yang
bersifat profesional dipergunakan teknik serta prosedur yang bertumpu pada
landasan intelektual, yang secara sengaja harus dipelajari dan kemudian secara
langsung dapat diabadikan bagi kemaslahatan orang lain. Faktor penting dalam
hal ini adalah intelektualitas yang di dalamnya tercakup satu atau beberapa
keahlian kerja yang dianggap mampu menjamin proses pekerjaan dan hasil kerja
yang profesional, atau tercapainya nilai-nilai tertentu yang dianggap ideal menurut
pihak yang menikmatinya.
Soedijarto (1990:57) mendefinisikan profesionalisme sebagai perangkat
atribut-atribut yang diperlukan guna menunjang suatu tugas agar sesuai dengan
standar kerja yang diinginkan. Dari pendapat ini, sebutan standar kerja merupakan
faktor pengukuran atas bekerjanya seorang atau kelompok orang dalam
melaksanakan tugas.
Sementara itu Philips (1991:43) memberikan definisi profesionalisme
sebagai individu yang bekerja sesuai dengan standar moral dan etika yang
ditentukan oleh pekerjaan tersebut.
Wignjosoebroto mendefinisikan profesional adalah suatu sikap
seseorang yang mempunyai profesi atau keahlian yang diperoleh
melalui suatu proses pendidikan maupun pelatihan khusus dan
adanya unsur semangat pengabdian (panggilan profesi) dalam
melaksanakan tugas. Dan profesionalisme adalah faham yang
mencitakan kegiatan-kegiatan kerja tertentu dalam masyarakat
berbekal keahlian yang tinggi dan berdasar rasa keterpanggilan-
-serta ikrar (fateri/profiteri) untuk menerima panggilan dengan
semangat pengabdian siap menolong orang dalam kesulitan
(Wignjosoebroto, 1993)
2.2 Karakteristik Profesi, Profesional dan Profesionalisme
2.2.1 Karakteristik Profesi
Menurut Artikel dalam International Encyclopedia of
Education, ada 10 ciri khas suatu profesi, yaitu:
1. Suatu bidang pekerjaan yang terorganisir dari jenis
intelektual yang terus berkembang dan diperluas
2. Suatu teknik intelektual
3. Penerapan praktis dari teknik intelektual pada urusan
praktis
4. Suatu periode panjang untuk pelatihan dan sertifikasi
5. Beberapa standar dan pernyataan tentang etika yang
dapat diselenggarakan
6. Kemampuan untuk kepemimpinan pada profesi sendiri
7. Asosiasi dari anggota profesi yang menjadi suatu kelompok
yang erat dengan kualitas komunikasi yang tinggi antar
anggotanya
8. Pengakuan sebagai profesi
9. Perhatian yang profesional terhadap penggunaan yang
bertanggung jawab dari pekerjaan profesi
10. Hubungan yang erat dengan profesi lain
2.2.2 Karakteristik Profesional
Karakteristik seorang profesioanal adalah:
1. Mempunyai kompetensi dalam bidang pengetahuan dan keterampilan
tertentu.
2. Mempunyai tugas dan tanggung jawab tertentu baik terhadap individu
dan masyarakat.
3. The right to train, admit, discipline and dismiss its members for failure
to sustain competences or observe the duties and responsibilities.
2.2.3 Karakteristik Seorang Profesionalisme
Biasanya dipahami sebagai suatu kualitas yang wajib
dimiliki oleh setiap eksekutif yang baik. Karakteristik
profesionalisme antara lain:
1. Mempunyai ketrampilan yang tinggi dalam suatu bidang
serta kemahiran dalam menggunakan peralatan tertentu
diperlukan dalam pelaksanaan tugas yang bersangkutan
sesuai bidangnya
2. Mempunyai ilmu dan pengalaman serta kecerdasan dalam
menganalisis suatu masalah dan peka di dalam membaca
situasi cepat dan tepat serta cermat dalam mengambil
keputusan terbaik atas dasar kepekaan
3. Mempunyai sikap berorientasi ke depan sehingga punya
kemampuan mengantisipasi perkembangan lingkungan
yang terbentang di hadapannya.
4. Mempunyai sikap mandiri berdasarkan keyakinan akan
kemampuan pribadi serta terbuka menyimak dan
menghargai pendapat orang lain, namun cermat dalam
memilih yang terbaik bagi diri dan perkembangan
pribadinya.
Sebagai seorang dokter yang profesional, maka harus:
1. Fiducity/ trust/ confident
2. Berdasarkan etik.
Berdasarkan The American Board of Internal Medicine (1995),
profesionalisme sebagai seorang dokter haruslah diajarkan dan dibentuk
oleh seorang dosen atau tutor dan telah menjadi bagian dari sikap, perilaku
dan keahlian dokter dalam menangani pasiennya yaitu:
1. Altruism: Seorang dokter wajib mendahulukan kebutuhan/urusan klien
daripada urusannya sendiri, serta senantiasa memberi yang terbaik.
2. Accountability: Dokter bertanggung jawab kepada pasien, kepada
masyarakat di kesehatan masyarakat dan pada profesi mereka.
3. Excellence: seorang dokter wajib berkomitmen pada pembelajaran
jangka panjang.
4. Duty: seorang dokter harus bersedia dan cepat tanggap bila ”dipanggil”
untuk melakukan pelayanan atau tindakan medis yang diperlukan.
5. Honor and integrity: Seorang dokter wajib berkomitmen untuk jujur,
berterus terang dan adil dalam interaksinya dengan pasien dan profesi
mereka.
6. Respect to others: seorang dokter harus menunjukkan rasa hormat
(respect) pada pasien dan keluarganya, anggota timya dan dokter lain,
mahasiswa kedokteran, residentnya dan pemagangnya.
2.3 Etik Profesi Kedokteran
2.3.1 Definisi Etika dan Etik Profesi
Kata etik (atau etika) berasal dari kata ehos (Bahasa Yunani) yang berarti
karakter, watak kesusilaan atau adat. Definisi etik adalah kumpulan asa atau nilai
yang berkenaan dengan akhlak. Etik juga dapat diartikan nilai mengenai benar dan
salah yang dianut suatugolongan atau masyarkat (Kamus Besar Bahasa Indonesia,
2010). Sedangkan menurut Martin (1993), etik didefinisikan sebagai “the
discipline which can act as the performance index or reference for our control
system”. Drs. O.P Simorangkir mendefinisikan etik atau etika sebagai pandangan
manusia dalam berperilaku menurut ukuran dan nilai yang baik. Drs. Sidi Gajalba
dalam Sistematika Filsafat mendefinisikan etika adalah teori tentang tingkah laku
perbuatan manusia dipandang dari segi baik dan buruk, sejauh yang dapat
ditentukan oleh akal. Drs. H. Burhanuddin Salam mendefinisikan bahwa etika
adalah cabang filsafat yang berbicara mengenai nilai dan norma moral yang
menentukan dalam hidupnya.
Dalam pengertian khusus dikaitkan dengans eni pergaulan manusia, etika
inikemudian dirupakan dalam bentuk aturan (code) tertulis yang secara sistematis
sengaja dibuat berdasarkan prinsip-prinsio moral yang ada dan pada saat yang
dibutuhkan akan bisa difungsikan sebagai alat untuk menghakimi segala macam
tindakan yang secara logika-rasional umum (common sense) dinilai menyimpang
dari kode etik.
Dengan demikian etika adalah refleksi dari apa yang disebut dengan self
control, karena segala sesuatunya dibuat dan diterapkan dari dan untuk
kepentingan kelompok sosial (profesi) itu sendiri. Selanjutnya, karena kelompok
profesional merupakan kelompok yang berkeahlian dan berkemahiran yang
diperoleh melalui proses pendidikan dan pelatihan yang berkualitas dan berstandar
tinggi yang dalam menerapkan semua keahlian dan kemahirannya yang tinggi itu
hanya dapat dikontrol dan dinilai dari dalam oleh rekan sejawat, sesama profesi
sendiri. Kehadiran organisasi profesi dengan perangkat built in mechanism berupa
kode etik profesi dalam hal ini jelas akan diperlukan untuk menjaga martabat serta
kehormatan profesi, dan di sisi lain melindungi masyarakat dari segala bentuk
penyimpangan maupun penyalahgunaan keahlian (Wignjosoebroto, 1999)
2.3.2 Definisi Kode Etik
Kode etik profesi merupakan bagian dari etika profesi. Kode etik profesi
merupakan lanjtan dari norma-norma yang lebih umum yang telah dibahas dan
dirumuskan dalam etika profesi. Kode etik ini lebih memperjelas, mempertegas
dan merinci norma-norma ke bentuk yang lebih sempurna walaupun sebenarnya
norma-norma tersebut sudah tersirat dalam etika profesi. Dengan demikian kode
etik profesi adalah sistem norma atau aturan yang ditulis secara jelas dan tegas
serta terperinci tentang apa yang baik dan tidak baik, apa yang benar dan apa yang
salah dan perbuatan apa yang dilakukan dan tidak boleh dilakukan oleh seorang
profesional. Menurut UU No. 8 Pokok-Pokok Kepegawaian, kode etik profesi
adalah pedoman sikap, tingkah laku dan perbuatan dalam melaksanakan tugas dan
dalam kehidupan sehari-hari.
2.3.3 Kode Etika Profesi Kedokteran
Etik profesi kedokteran mulai dikenal sejak 1800 tahun sebelum Masehi
dalam bentuk Code of Hammurabi dan Code of Hittites, yang penegakannya
dilaksanakan oleh penguasa pada waktu itu. Selanjutnya etik kedokteran muncul
dalam bentuk lain, yaitu dalam bentuk sumpah dokter yang bunyinya bermacam-
macam, tetapi yang paling banyak dikenal adalah sumpah Hippocrates yang hidup
sekitar 460-370 tahun SM. Sumpah tersebut berisikan kewajiban-kewajiban
dokter dalam berperilaku dan bersikap, atau semacam code of conduct bagi
dokter.
World Medical Association dalam Deklarasi Geneva pada tahun 1968
menghasilkan sumpah dokter (dunia) dan Kode Etik Kedokteran Internasional.
Kode Etik Kedokteran Internasional berisikan tentang kewajiban umum,
kewajiban terhadap pasien, kewajiban terhadap sesama dan kewajiban terhadap
diri sendiri. Selanjutnya, Kode Etik Kedokteran Indonesia dibuat dengan mengacu
kepada Kode Etik Kedokteran Internasional.
Selain Kode Etik Profesi di atas, praktek kedokteran juga berpegang
kepada prinsip-prinsip moral kedokteran, prinsip-prinsip moral yang dijadikan
arahan dalam membuat keputusan dan bertindak, arahan dalam menilai baik-
buruknya atau benar-salahnya suatu keputusan atau tindakan medis dilihat dari
segi moral. Pengetahuan etika ini dalam perkembangannya kemudian disebut
sebagai etika biomedis. Etika biomedis memberi pedoman bagi para tenaga medis
dalam membuat keputusan klinis yang etis (clinical ethics) dan pedoman dalam
melakukan penelitian di bidang medis.
Nilai-nilai materialisme yang dianut masyarakat harus dapat dibendung
dengan memberikan latihan dan teladan yang menunjukkan sikap etis dan
profesional dokter, seperti:
1. Principle of respect for the autonomy adalah asas menghormati hak
pasien, terutama hak dalam memperoleh informasi dan hak membuat
keputusan tentang apa yang akan dilakukan terhadap dirinya serta
menghormati martabat manusia. Ciri-cirinya adalah, a) menghargai
hak menentukan nasib sendiri, b) berterus terang, c) menghargai
privasi pasien, d) menjaga rahasia, e) melaksanakan informed consent
2. Principle of veracity adalah asas kejujuran dalam melakukan segala
tindakan kepada pasien
3. Principle of beneficence adalah asas melakukan tindakan untuk
kebaikan dan manfaat bagi pasien, ciri-cirinya antara lain : a)
Altruisme terjaga atau rela berkorban, b) menghormati martabat
manusia, c) mengusahakan agar pasien yang dirawatnya terjaga
kesehatannya, d) bersikap ramah.
4. Principle of non maleficence primum non nocere adalah asas tidak
melakukan perbuatan yang memperburuk dan merugikan pasien,
memilih pengobatan yang paling kecil risikonya bagi pasien dan
memberikan yang paling banyak manfaat bagi pasien. Ciri-cirinya
antara lain : a) menolong pasien emergensi atau darurat, b) mencegah
pasien dari bahaya lebih lanjut, c) manfaat pasien lebih besar dari
kerugian dokter.
5. Principle of Confidentiality adalah asas menjaga kerahasiaan.
6. Principle of justice adalah asas bersikap adil dan jujur bagi seluruh
masyarakat dalam bidang kesehatan (profesionalisme dalam bidang
kedokteran masa kini dan yang akan dating). Ciri-cirinya antara lain
tidak tergantung SARA, sosial, ekonomi, budaya dll.
Pendidikan etik kedokteran, yang mengajarkan tentang etik profesi dan
prinsip moral kedokteran, dianjurkan dimulai dini sejak tahun pertama pendidikan
kedokteran, dengan memberikan lebih ke arah tools dalam membuat keputusan
etik, memberikan banyak latihan, dan lebih banyak dipaparkan dalam berbagai
situasi-kondisi etik-klinik tertentu (clinical ethics), sehingga cara berpikir etis
tersebut diharapkan menjadi bagian pertimbangan dari pembuatan keputusan
medis sehari-hari. Tentu saja kita pahami bahwa pendidikan etik belum tentu
dapat mengubah perilaku etis seseorang, terutama apabila teladan yang diberikan
para seniornya bertolak belakang dengan situasi ideal dalam pendidikan.
IDI (Ikatan Dokter Indonesia) memiliki sistem pengawasan dan penilaian
pelaksanaan etik profesi, yaitu melalui lembaga kepengurusan pusat, wilayah dan
cabang, serta lembaga MKEK (Majelis Kehormatan Etik Kedokteran) di tingkat
pusat, wilayah dan cabang. Selain itu, di tingkat sarana kesehatan (rumah sakit)
didirikan Komite Medis dengan Panitia Etik di dalamnya, yang akan mengawasi
pelaksanaan etik dan standar profesi di rumah sakit. Bahkan di tingkat
perhimpunan rumah sakit didirikan pula Majelis Kehormatan Etik Rumah Sakit
(Makersi).
Pada dasarnya, suatu norma etik adalah norma yang apabila dilanggar
hanya akan membawa akibat sanksi moral bagi pelanggarnya. Namun suatu
pelanggaran etik profesi dapat dikenai sanksi disiplin profesi, dalam bentuk
peringatan hingga ke bentuk yang lebih berat seperti kewajiban menjalani
pendidikan atau pelatihan tertentu (bila akibat kurang kompeten) dan pencabutan
haknya berpraktik profesi. Sanksi tersebut diberikan oleh MKEK setelah dalam
rapat/sidangnya dibuktikan bahwa dokter tersebut melanggar etik (profesi)
kedokteran.
2.4 Tujuan Kode Etika Profesi
Prinsip‐prinsip umum yang dirumuskan dalam suatu profesi
akan berbeda satu dengan yang lainnya. Hal ini disebabkan
perbedaan adat, kebiasaan, kebudayaan, dan peranan tenaga
ahli profesi yang didefinisikan dalam suatu negar tidak sama.
Adapun yang menjadi tujuan pokok dari rumusan etika yang
dituangkan dalam kode etik (Code of Conduct) profesi adalah:
1. Standar‐standar etika menjelaskan dan menetapkan
tanggung jawab terhadap klien, institusi, dan masyarakat
pada umumnya
2. Standar‐standar etika membantu tenaga ahli profesi dalam
menentukan apa yang harus mereka perbuat kalau mereka
menghadapi dilema‐dilema etika dalam pekerjaan
3. Standar‐standar etika membiarkan profesi menjaga
reputasi atau nama dan fungsi‐fungsi profesi dalam
masyarakat melawan kelakuan‐kelakuan yang jahat dari
anggota‐anggota tertentu
4. Standar‐standar etika mencerminkan / membayangkan
pengharapan moral‐moral dari komunitas, dengan
demikian standar‐standar etika menjamin bahwa para
anggota profesi akan menaati kitab UU etika (kode etik)
profesi dalam pelayanannya
5. Standar‐standar etika merupakan dasar untuk menjaga
kelakuan dan integritas atau kejujuran dari tenaga
ahliprofesi
6. Perlu diketahui bahwa kode etik profesi adalah tidak sama
dengan hukum (atau undang‐undang). Seorang ahli profesi
yang melanggar kode etik profesi akan menerima sangsi
atau denda dari induk organisasi profesinya.
2.5 Pelayanan Kesehatan Primer (Primary Health Care)
2.5.1 Definisi
Pelayanan Kesehatan Primer/Primary Health Care (PHC) adalah strategi
yang dapat dipakai untuk menjamin tingkat minimal dari pelayanan kesehatan
untuk semua penduduk. PHC menekankan pada perkembangan yang bisa
diterima, terjangkau, pelayanan kesehatan yang diberikan adalah esensial bisa
diraih, yang esensial dan mengutamakan pada peningkatan serta kelestarian yang
disertai percaya pada diri sendiri disertai partisipasi masyakarat dalam
menentukan sesuatu tentang kesehatan.
PHC adalah pelayanan kesehatan pokok yang berdasarkan kepada metode
dan tekhnologi praktis, ilmiah dan sosial yang dapat diterima secara umum baik
oleh individu maupun keluarga dalam masyarakat, melalui partisipasi mereka
sepenuhnya, serta deengan biaya yang dapat terjangkau oleh masyarakat dan
negara untuk memelihara setiap tingkat perkembangan mereka dalam semangat
untuk hidup mandiri (Self reliance) dan menntukan nasib sendiri (self
Determination).
2.5.2 Tinjauan Sejarah
Gerakan PHC dimulai resmi pada tahun 1977, ketika sidang kesehatan
WHO ke-30. Pada Konferensi International 1978 di Alma Alta (Uni Soviet) pada
tanggal 12 September 1978, ditentukan bahwa tujuan agar menemukan titik temu
dengan PHC. Resolusi dikenal dengan Health For All by the Year 2000 (HFA
2000) atau sehat untuk semua di tahun 2000 adalah merupakan target resmi dari
bangsa-bangsa yang tergabung dalam WHO.
Pada tahun 1981 setelah diidentifikasi tujuan kesehatan untuk semua dan
strategi PHC untuk merealisasikan tujuan, WHO membuat indikator global untuk
pemantauan dan evaluasi yang dicapai tentang sehat untuk semua pada tahun
1986. Indikator tersebut adalah :
1. Perkembangan sosial dan ekonomi
2. Penyediaan pelayanan kesehatan status kesehatan
3. Kesehatan sebagai objeck atau bagain dari perkembangan sosial ekonomi.
2.5.3 Konsep Pelayanan Kesehatan Primer
Pelayanan kesehatan primer merupakan pelayanan kesehatan esensial yang
dibuat dan bisa terjangkau secara universal oleh individu dan keluarga di dalam
masyarakat. Fokus dari pelayanan kesehatan primer luas jangkauannya dan
merangkum berbagai aspek masyarakat dan kebutuhan kesehatan. PHC
merupakan pola penyajian pelayanan kesehatan dimana konsumen pelayanan
kesehatan menjadi mitra dengan profesi dan ikut serta mencapai tujuan umum
kesehatan yang lebih baik.
2.5.4 Tujuan PHC
1. Tujuan Umum
Mencoba menemukan kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan
yang diselenggarakan sehingga akan dicapai tingkat kepuasan pada
masyarakat yang menerima pelayanan.
2. Tujuan Khusus
a. Pelayanan harus mencapai keseluruhan pendudukan yang dilayani
b. Pelayanan harus dapat diterima oleh penduduk yang dilayani
c. Pelayanan harus berdasarkan kebutuhan medis dari populasi yang
dilayani
d. Pelayanan harus secara maksimum menggunakan tenaga dan sumber
– sumber daya lain dalam memenuhi kebutuhan masyarakat.
2.5.5 Fungsi PHC
1. Pemeliharaan kesehatan
2. pencegahan penyakit
3. diagnosis dan pengobatan
4. pelayanan tindaj lanjut
5. pemberian sertifikat
2.5.6 Tiga Unsur Utama PHC
1. Mencakup upaya-upaya dasar kesehatan
2. melibatkan peran serta masyarakat
3. melibatkan kerjasama lintas sektoral
2.5.7 Lima Prinsip Dasar PHC
1. Pemerataan upaya kesehatan
2. Penekanan pada upaya preventif
3. Menggunakan tehnologi tepat guna
4. melibatkan peran serta masyarakat
5. Melibatkan kerjasama lintas sektoral
2.5.8 Delapan Element PHC
1. Pendidikan mengenai masalah kesehatan dan cara pencegahan
penyakit serta pengendaliannya
2. Peningkatan penyediaan makanan dan perbaikan gizi
3. Penyediaan air bersih dan sanitasi dasar
4. Kesehatan ibu dan anak termasuk keluarga berencana
5. Immuniasi terhadap penyakit-penyakit infeksi utama
6. Pencegahan dan pengendalian penyakit endemik setempat
7. Pengobatan penyakit umum dan ruda paksa
8. Penyediaan obat-obat essensial
2.5.9 Ciri-Ciri PHC
1. Pelayanan yang utama dan intim dengan masyarakat
2. Pelayanan yang menyeluruh
3. Pelayanan yang terorganisasi
4. Pelayanan yang mementingkan kesehatan individu maupun
masyarakat
5. Pelayanan yang berkesinambungan
6. Pelayanan yang progresif
7. Pelayanan yang berorientasi kepada keluarga
8. Pelayanan yang tidak berpandangan kepada salah wsatu aspek saja
2.6 Pendekatan Profesionalisme Dokter Sebagai Primary Health Care
Terwujudnya keadaan sehat adalah hak asasi manusia (WHO, 1948) dan
sekaligus modal dasar keberhasilan pembangunan bangsa (WHO, 2002). Definisi
sehat meliputi keadaan sejahtera sempurna yang dinilai dari keadaan fisik, mental,
dan sosial yang tidak terbatas hanya pada bebas dari penyakit atau kelemahan saja
(WHO, 1948). Undang-undang No. 23 tahun 1992, sehat didefinisikan sebagai
suatu keadaan badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup
produktif secara sosial dan ekonomi.
Derajat kesehatan masyarakat dipengaruhi oleh banyak faktor, yang saling
terkait dan mempengaruhi. Jika salah satu faktor bermasalah atau terganggu maka
akan mempengaruhi faktor-faktor lainnya dan selanjutnya akan berdampak pada
derajat kesehatan masyarakat. Blum, 1974 mengemukakan empat faktor utama
yang perlu diperhatikan untuk mewujudkan masyarakat yang sehat.
1. Perilaku, hal yang berkaitan dengan kebiasaan atau gaya hidup yang
dianut dan diperlihatkan oleh masyarakat dalam menjalani kehidupan
sehari-hari.
2. Lingkungan, suatu keadaan sekitar dalam bentuk lingkungan fisik dan
lingkungan nonfisik yang saling berinteraksi dan mempengaruhi kesehatan
seseorang.
3. Pelayanan kesehatan, meliputi akses, keterjangkauan, dan mutu pelayanan
kesehatan yang tersedia di masyarakat.
4. Keturunan, merupakn kualitas dan kuantitas genetik yang bersifat
diturunkan dari generasi ke generasi berikutnya.
Pengaruh masing-masing faktor terhadap kesehatan bersifat komplek baik
secara langsung maupun secara tidak langsung atau melalui faktor lainnya.
2.6.1 Pelayanan Kesehatan
Pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang diselenggarakan sendiri
atau secara bersama bersama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan
meningkatkan kesehatan (promotif), mencegah (preventif), dan menyembuhkan
penyakit (kuratif) serta dalam memulihkan kesehatan (rehabilitatif) perseorangan,
keluarga, kelompok, dan atau masyarakat (Levey dan Loomba, 1973).
Hodgetts dan Cascio, 1983 mengklasifikasikan pelayanan kesehatan
menjadi dua macam.
1. Pelayanan Kesehatan Masyarakat (Public Health Services)
Merupakan bagian dari pelayanan kesehatan yang tujuan utamanya untuk
memelihara, menigkatkan kesehatan (promotif) serta mencegah penyakit
(preventif), dan sasaran utamanya adalah kelompok masyarakat.
2. Pelayanan Kesehatan Perorangan (Medical Services)
Merupakan bagian dari pelayanan kesehatan yang tujuan utamanya untuk
menyembuhkan (kuratif) dan memulihkan kesehatan (rehabilitatif), serta
sasaran utamanya adalah perorangan dan keluarga.
Penyelenggara pelayanan kesehatan tergantung dari kebijakan kesehatan di
setiap negara. Perbedaan menyelenggaraan kesehatan ini disebabkan karena
adanya peran dari sektor pemerintahan dan sektor swasta. Pelayanan kesehatan
masyarakat lebih ditekankan pada pemerintah sedangkan untuk pelayanan
kesehatan perorangan dipercayakan kepada sektor swasta tetapi masih melibatkan
pemerintah. Diharapkan dengan kombinasi dan kerjasama lintas sektor dan lintas
program, derajat kesehatan masyarakat yang diimpikan dapat terwujud sesuai
dengan visi “Indonesia Sehat 2010”.
Suatu pelayanan kesehatan harus memiliki ketentuan-ketentuan atau
syarat-syarat tertentu. Hal ini ditujukan agar pelayanan kesehatan yang diberikan
lebih maksimal dan menyeluruh serta dapat membantu pribadi atau kelompok
yang membutuhkan. Tersedia, mudah dicapai, penyebaran merata, mandiri,
efektif, efisien, menyeluruh dan lengkap, berkesinambungan, terpadu, dapat
diterima, wajar, dapat dijangkau, dan bermutu, merupakan syarat-syarat yang
harus dipenuhi oleh suatu sarana pelayanan kesehatan. Banyak sarana pelayanan
kesehatan, di mana masing-masing memiliki tugas, tanggung jawab dan
kewewenangan yang jelas. Diharapkan adanya suatu hubungan atau kerjasama
dalam pemenuhan kebutuhan pelayanan kesehatan antara sarana penyedia layanan
kesehatan tersebut.
2.6.2 Pelayanan Dokter dalam Primary Health Care
Pelayanan dokter melibatkan dokter sebagai penyaring di tingkat primer,
dokter spesialis di tingkat pelayanan sekunder, rumah sakit rujukan, dan pihak
pendana yang kesemuanya bekerja sama di bawah naungan peraturan dan
perundangan. Konsil Kedokteran Indonesia tahun 2006 menetapkan sembilan
karakteristik pelayanan primer yaitu: komprehensif dan holistik, kontinyu,
mengutamakan pencegahan, koordinatif dan kolaboratif, mempertimbangkan
lingkungan (tempat tinggal dan kerja), menjunjung tinggi etika dan hukum, sadar
biaya dan sadar mutu, dapat diaudit dan dipertanggungjawabkan.
Implementasi konsep primary health care dalam pelayanan kesehatan
berbeda, antara negara-negara berkembang dengan negara-negara maju. Indonesia
contohnya, sebagai salah satu negara berkembang, penyelenggaraan pelayanan
kesehatan masyarakat dan pelayanan kesehatan perorangan primer
diselenggarakan secara terpadu melalui pelayanan kesehatan primer. Hal ini
karena masalah kesehatan masyarakat Indonesia masih dominan dan jumlah serta
kategori petugas atau sarana kesehatan masih terbatas. Sedangkan di negara-
negara maju, pelayanan kesehatan perorangan dilaksanakan secara terpisah dari
pelayanan kesehatan masyarakat melalui pelayanan dokter. Pelayanan kesehatan
masyarakat diselenggarakan oleh petugas dan sarana kesehatan masyarakat yang
didirikan khusus untuk hal tersebut,
2.6.3 Kompetensi Dokter yang Diharapkan
Seorang dokter harus mempunyai kompetensi khusus, hal ini sangat perlu
ditekankan karena begitu banyak permasalahan kesehatan yang harus dibenahi.
Mellinium Development Goals (MDG’s), target pencapaian derajat kesehatan
yang lebih baik, merupakan suatu program dibidang kesehatan yang dijalankan
dalam rangka perbaikan kualitas kesehatan masyarakat.
MDG’s yang ditargetkan pada tahun 2015 menuntut seorang dokter
memiliki kompetensi lebih dalam merealisasikan program tersebut. Dalam
mewujudkan MDG’s seorang tenaga medis diharapkan mampu mengobservasi,
mendiagnosis, memberikan terapi yang tepat, dan melakukan rehabilitatif untuk
orang-orang yang menderita sakit, cidera, dan melahirkan. Program MDG’s yang
dicanangkan oleh pemerintah ini juga berkaitan dengan globalisasi kesehatan, di
mana kesiapan dan kemantapan tenaga kesehatan suatu negara akan menjadi
sorotan publik di seluruh dunia. Globalisasi dunia menuntut seorang dokter atau
tenaga kesehatan untuk lebih maksimal dalam memberikan pelayanan kesehatan.
Paradigma sehat yang lebih menekankan pada kualitas hidup dari pada
sekedar penyembuhan penyakit, membutuh tenaga kesehatan yang
profesionalisme yang diutamakan pada dokter pelayanan primer. Dokter
pelayanan primer adalah dokter yang memberikan pelayanan pertama secara
berkesinambungan dan menyeluruh kepada satu kesatuan individu, keluarga, dan
masyarakat dengan memperhatikan faktor-faktor lingkungan, ekonomi, dan sosial
budaya. Pendekatan dokter sebagai primary health care merupakan suatu solusi
dan jalan dalam mewujudkan kualitas kesehatan individu dan masyarakat yang
lebih baik. Di sisi lain, pelayanan dokter di Indonesia belum berkembang dengan
baik dan sebagaimana mestinya karena tidak ditopang oleh sistem pembiayaan
kesehatan yang sesuai. Diharapkan dengan adanya sistem pembiayaan ini,
pelayanan dokter keluarga dapat terselenggara dan berkembang sesuai dengan
yang diharapkan. Sistem pembiayaan yang selama ini berlaku bukan fee for
services, dalam arti kata, biaya pengobatan dibayar bukan atas pelayanan yang
diberikan oleh seorang dokter.
Selain itu, pengetahuan dan keterampilan dokter belum memuaskan,
dimana kompetensi yang dimiliki belum cukup untuk menyelenggarakan
pelayanan dokter. Dalam pelaksanaannya, dari seorang dokter memang dituntut
banyak hal dalam memberikan pelayanan kesehatan. Standar dan kompetensi-
kompetensi yang telah ditetap harus dipenuhi sebagaimana mestinya. Mampu
menjalin komunikasi yang efektif, melakukan prosedur klinis dan kedaruratan
klinis, mampu mengaplikasikan konsep-konsep dan prinsip-prinsip ilmu
kedokteran, dapat memanfaatkan dan mendayagunakan segala umber yang ada di
sekitar, mampu menggunakan sistem teknologi dan informasi, belajar sepanjang
hayat, dan memiliki sikap profesional dalam keseharian adalah beberapa hal dari
sekian banyak hal yang harus dimiliki, dikuasai, dan dilaksanakan oleh seorang
dokter.
Pedekatan yang dilakukan dalam mengupayakan pelayanan dokter
ditengah-tengah masyarakat hendaklah dilakukan secara berkesinambungan.
Dengan adanya peningkatan ke arah tersebut berarti penerapannya akan semakin
mantap. Walaupun masalah kesehatan di Indonesia masih dipengaruhi oleh
berbagai tatanan dan kondisi dari masyarakat dan negara ini sendiri, namun tidak
menutup kemungkinan upaya pemerintah dalam mengusahakan praktik layanan
dokter dalam masyaraat akan menjadi solusi dari masalah kesehatan yang ada di
Indonesia.
Pendekatan dokter sebagai primary health care adalah sebuah cita-cita
yang akan menjadi sebuah perubahan besar di tengah kondisi kesehatan Indonesia
yang sangat memprihatinkan. Pendekatan ini mungkin akan menjadi solusi dalam
memperbaiki status kesehatan masyarakat yang masih tertinggal jauh bila
dibandingkan dengan beberapa negara ASEAN lainnya, yaitu peringkat ke-111
dari 172 negara yang dinilai, atau satu tingkat lebih baik dari Vietnam namun jauh
tertinggal dari Malaysia, Thailand dan Singapura.
Sumber Bacaan:
Kebutuhan Kesehatan Ibu, Bayi, dan Anak Sasaran Pembangunan Kesehatan
Nasional 2004-2009, diunduh dari situs Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.
Peranan dan Fungsi Dokter Keluarga Dalam Pelayanan Kesehatan Primer,
presentasi Prof. Dr. dr. Azrul Azwar, MPH dalam acara “Revisi kurikulum
Berbasis Kompetensi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas”, Padang, 23
November 2008.
Kompetensi Dokter Umum yang Diharapkan Dalam Layanan Primer
Menyongsong Milenium Develompment Goals 2015, presentasi dr. Rosdini
Savitri, M.Kes, dalam acara “Revisi Kurikulum Berbasis Kompetensi Fakultas
Kedokteran Universitas Andalas”, Padang, 23 November 2008.
Ditulis oleh: Hendra Amalfi (Staf Bidang Ilmiah), Januari 2009.
Artikel ini mendapatkan Juara II Lomba Menulis Artikel Ilmiah EXIT 2009.
2.6.4. Definisi Rujukan
Rujukan adalah upaya melimpahkan wewenang dan tanggungjawab penanganan
kasus penyakit yang sedang ditangani oleh seorang dokter kepada dokter lain yang
sesuai.
2.6.5. Jenis-Jenis Rujukan
1. Rujukan pasien (transfer of patient),penatalaksanaan pasien dari strata pelayanan kesehatan yang kurang mampu ke strata pelayanan kesehatan yang lebih sempurna atau sebaliknya untuk pelayanan tindak lanjut.
2. Rujukan ilmu pengetahuan (transfer of knowledge),pengiriman dokter/ tenaga kesehatan yang lebih ahli dari strata pelayanan kesehatan yang lebih mampu ke strata pelayanan kesehatan yang kurang mampu untuk bimbingan dan diskusi atau sebaliknya, untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan.
3. Rujukan bahan pemeriksaan laboratorium (transfer
of specimens), pengiriman bahan- bahan pemeriksaan
laboratorium dari strata pelayanan kesehatan yang kurang
mampu ke strata yang lebih mampu atau sebaliknya, untuk
tindak lanjut.