tinjauan pustaka - marnotanahfpub · web viewkecamatan rawan tanah longsor dan banjir bandang...

30
ANCAMAN BANJIR BANDANG - LONGSOR VS. KEKERINGAN - KELANGKAAN AIR BERSIH DI JAWA TIMUR I. PENDAHULUAN “BENCANA LONGSOR DAN BANJIR BANDANG ADALAH KESALAHAN SEMUA PIHAK” Kejadian bencana alam tanah longsor dan banjir- bandang yang meluas di berbagai daerah Jawa Timur, adalah dampak dari “pemanenan hutan” dan perubahan fungsi hutan secara besar-besaran menjadi lahan pertanian dan pemukiman di daerah hulu sungai dan daerah pegunungan. Hal ini menjadi tanggung jawab semua pihak, termasuk masyarakat, suasta dan pemerintah, serta PT Perhutani yang memegang monopoli dalam pengelolaan hutan di Jawa Timur. Alih areal hutan menjadi lahan pertanian juga dapat dilakukan oleh masyarakat, mungkin karena kurang memahami hakekat dan fungsi hutan yang sebenarnya. Bencana tanah longsor dan banjir-bandang juga merupakan peninggalan masalah masa lalu dan sebagai akibat dari ketidak-efektifan pemerintah dalam menata kawasan hutan di Jawa Timur. Saat ini tidak mudah untuk membenahi dan mengatur kembali lingkungan kawasan hutan yang telah rusak di Jawa Timur. II. KASUS-KASUS AKTUAL di JAWA TIMUR 2.1. Longsor – Banjir Bandang Pacet, Mojokerto Musibah tanah longsor di pemandian air panas Pacet, Mojokerto, menelan korban tewas 30 orang (angka sementara), ratusan tertimbun/ hilang (JP 12-12-2002) bersama dengan aset-aset yang tiada ternilai harganya 1

Upload: ngobao

Post on 18-Jun-2018

227 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

ANCAMAN BANJIR BANDANG - LONGSOR VS. KEKERINGAN - KELANGKAAN AIR BERSIH DI JAWA TIMUR

I. PENDAHULUAN

“BENCANA LONGSOR DAN BANJIR BANDANG ADALAH KESALAHAN SEMUA PIHAK”

Kejadian bencana alam tanah longsor dan banjir-bandang yang meluas di berbagai daerah Jawa Timur, adalah dampak dari “pemanenan hutan” dan perubahan fungsi hutan secara besar-besaran menjadi lahan pertanian dan pemukiman di daerah hulu sungai dan daerah pegunungan. Hal ini menjadi tanggung jawab semua pihak, termasuk masyarakat, suasta dan pemerintah, serta PT Perhutani yang memegang monopoli dalam pengelolaan hutan di Jawa Timur.

Alih areal hutan menjadi lahan pertanian juga dapat dilakukan oleh masyarakat, mungkin karena kurang memahami hakekat dan fungsi hutan yang sebenarnya. Bencana tanah longsor dan banjir-bandang juga merupakan peninggalan masalah masa lalu dan sebagai akibat dari ketidak-efektifan pemerintah dalam menata kawasan hutan di Jawa Timur. Saat ini tidak mudah untuk membenahi dan mengatur kembali lingkungan kawasan hutan yang telah rusak di Jawa Timur.

II. KASUS-KASUS AKTUAL di JAWA TIMUR

2.1. Longsor – Banjir Bandang Pacet, Mojokerto

Musibah tanah longsor di pemandian air panas Pacet, Mojokerto, menelan korban tewas 30 orang (angka sementara), ratusan tertimbun/ hilang (JP 12-12-2002) bersama dengan aset-aset yang tiada ternilai harganya (JP, 13/12 2002). Bagaimana musibah ini dapat dijelaskan?

Musibah banjir bandang di Pacet adalah BENCANA ALAM, datangnya tiba-tiba, tidak dapat diduga, dan tidak dapat ditolak manusia, seolah-olah telah menjadi takdir.Keppres No. 32/1990 : Kawasan lindung yang memiliki kemiringan 45 derajat lebih dilarang ditanami pohon-pohonan yang siap tebang (jenis pohon yang bernilai ekonomi tinggi). Fakta di Pacet menunjukkan bahwa jenis pohonnya adalah pinus dan mahoni (jenis siap tebang yg bernilai ekonomi tinggi). Siapa yang melanggar aturan?Keppres No. 32/1990 : di dalam radius 32 meter dari batas aliran sungai dilarang ditanami pohon siap tebang. Faktanya lahan tepian sungai ini juga ditanami jenis pohoj siap tebang.

1

Analisis Citra SatelitPenyebab banjir bandang di Pacet akan dikaji oleh MENRISTEK

dengan menggunakan metode foto citra satelit. Analisis situasi daerah sekitar lokasi kejadian dapat dengan metode ini diharapkan dapat menghasilkan langkah-langkah solutif, termasuk pembangunan sejumlah dam-pengendali (cek dam) di daerah hulu, dan mengusulkan bantuan dari pemerintah pusat.

Ramai-ramai Class action (JP 14-12-2002)Sebagian keluarga korban tragedi Pemandian Air Panas Pacet dan

beberapa elemen masyarakat siap mengajukan gugatan class action. Pihak pengelola area wisata pemandian air hangat dianggap telah lalai dalam memperhatikan keselamatan jiwa manusia. Gugatan secara hukum diajukan terhadap pihak pengelola, yaitu PT. Perhutani.

DPC PPP Mojokerto dan DPD PAN Jatim juga siap mendukung upaya class action. DPRP Kab. Mojokerto berencana juga malakukan langkah class action dengan pihak yang digugat adalah PT Perhutani. Institusi ini dinilai selama ini sebatas mengeksploitasi hutan, tanpa mau serius memperhatikan dampak negatifnya. Imbasnya Pemkab Mojokerto sering mendapat musibah akibat rusaknya hutan.

Menteri Negara LH tampaknya juga mempersilahkan upaya class action. Tujuannya untuk mengetahui siapa yang salah dalam tragedi tsb. Masyarakat mempunyai hak untuk menggugat penyelenggara negara yg dinilai merugikan keselamatan dan kepentingan umum. IPM (Ikatan Pengacara Mojokerto) membentuk tim pencari fakta untuk mendukung upaya class action.

2.2. Longsor Kawasan Wisata Sedudo, Kabupaten Nganjuk

Kawasan wisata air terjun Sedudo, Desa Ngliman, Kec. Sawahan, Nganjuk; dinyatakan ditutup karena dilanda bencana tanah longsor (JP, 14-12-2002). Hujan deras awal desember 2002 di lereng G. Wilis mengakibatkan tanah longsor di lokasi air terjun dan sekitarnya. Batu-batu, kerikil, lumpur dan materian vegetasi berjatuhan dari atas bersama dengan aliran air banjir. Kerugian yang besar menimpa aset-aset wisata pemandian-air terjun.

Hasil Analisis menunjukkan bahwa terjadinya tanah longsor karena semakin sedikitnya jumlah (populasi) pohon di lereng G. Wilis, bahkan sebagian gundul. Pepohonan hilang karena penebangan (pohon yang ekonomis) oleh manusia dan kebakaran hutan pada musim kemarau lalu.

2.3. Puluhan kecamatan di Kab Jember RAWAN BENCANA ALAM(Tragedi Baban Silosanen)

Sistem informasi mengenai “bencana alam” yang terjadi di wilayah Kabupaten Jember telah dikoordinasikan oleh BAKESBANG Kab. Jember.

2

Instansi ini telah berupaya semaksimal mungkin untuk menyampaikan informasi, himbauan, dan peringatan kepada masyarakat berkaitan dengan aneka bentuk bencana-alam yang terjadi di Kabupaten Jember.

Sebanyak 22 wilayah kecamatan di Kab. Jember dinyatakan rawan bencana alam banjir, tanah longsor, badai, dan/atau angin kencang. Daerah rawan banjir meliputi 17 kecamatan, lokasi paling rawan adalah di sekitar kawasn hutan gundul Baban Silosanen, Kec. Silo. Daerah tanah longsor meliputi Kec. Jelbuk, Arjasa, Sumberjambe, Silo dan Mayang. Daerah rawan badai laut – topan - lesus adalah Kencong, Puger, Ambulu, Tempurejo dan Wuluhan.

Hujan deras dan angin kencang mengakibatkan bencana banjir bandang yang mengalir dari kawasan hutan gundul Baban Silosanen, Kecamatan Silo, Jember (JP 12-12-2002). Empat jembatan ambrol dan beberapa unit rumah rusak, transportasi lumpuh total. Banjir yg parah melanda Desa Karangharjo dan Harjomulyo, sebanyak 27 rumah tergenang air, tiga di antaranya rusak berat, 34 KK atau 85 warga diungsikan (JP 13-12-2002). Banjir tahun ini dianggap yang paling parah. Banjir lumpur juga terjadi di Desa Garahan, 17 rumah terendam lumpur , ancaman kiriman lumpur dikhawatirkan akan terjadi lagi dari kawasan hutan Baban Silosanen.

Aliran permukaan air yang deras menggelontor tanah yang berasal dari daerah garapan hutan yang gundul, longsoran berikutnya dikhawatirkan mengandung material batu-batu. Penggundulan hutan di kawasan Baban Silosanen dituding warga sebagai penyebab terjadinya banjir bandang.

2.4. Wilayah Kabupaten Malang Kritis: Terancam bahaya banjir dan tanah longsor

Ancaman bahaya banjir dan tanah longsor di wilayah kabupaten Malang sangat serius selama musim hujan 2002/2003. Empat faktor penyebab yang dianggap paling bertanggung jawab ialah: (1). Hutan Gundul, (2). Kualitas kritis DAM, (3). Erosi dan Sedimentasi tinggi, dan (4). Curah hujan tinggi.

Faktor utama penyebab munculnya hutan gundul, adalah: 1. Penebangan illegal (“penjarahan”)2. Pemanenan hutan produksi oleh PERHUTANI3. Kebakaran hutan4. Kematian pohon akibat kekeringan/kemarau panjang.

Kualitas Dam Penahan sangat jelek, karena: (1) Sedimentasi sangat tinggi, sehingga penuh sedimen, (2) Bangunan fisik DAM telah tua, (3) Vegetasi pengaman DAM sudah berkurang.Lokasi rawan

1. Lereng G. Semeru bagian selatan2. Lereng G.Kawi – Panderman:

2.1. Banjir bandang 2001 di Pagak, 50 unit rumah rusak , kerugian sekitar 1 miliar rp

3

2.2. Banjir bandang 2002 di Karangwidoro , Kec Dau, 1 orang tewas, 65 unit rumah rusak, 6 unit DAM jebol, kerugian sekitar 2.9 miliar rp.

3. Lereng G. Arjuno – Welirang3.1. Banjir bandang 1997/98 di Singosari, satu orang tewas, 2 unit jembatan ambrol, 100 unit rumah rusak, kerugian 10 miliar rp.

4. Lereng G. Bromo5. Peg. Kapur selatan

Banjir bandang th 2000 di Kecamatan Tirtoyudo, 10.000 ha sawah rusak, 206 unit rumah rusak, 4 unit jembatan ambrol, kerugian Rp 6 miliar .

Akibat banjir lumpur dan sedimentasi, biaya pengerukan bendungan meningkat drastis, milyaran rupiah. Besarnya sedimendasi dalam waduk diakibatkan oleh erosi tanah yang intensif di daerah aliran waduk yang terletak di wilayah Kabupaten Malang dan Kota Batu. Program penghijauan dan reboisasi menjadi hal yang sangat mendesak.

Tempat wisata alam (wana wisata), Coban Rondo (Pujon) dan Coban Pelangi (Poncokusumo), ditutup karena ancaman longsor dianggap sangat serius. Dinas Pariwisata Kab Malang meminta kepada Perhutani, kemudian Perhutani mengirim surat resmi ke Departemen Kehutanan.

2.5. Gunung Panderman dan Arjuno KRITIS, Kota Batu Siaga I

Musim kemarau panjang berdampak pada kerawanan kebakaran hutan di kawasan G. Panderman. Berbagai dampak negatif terjadi akibat kebakaran hutan. Ribuan kera seru lumbung warga, akibat kehabisan makanan karena hutan di G. Panderman terbakar (JP 14-10-2002). Sekitar 3000 ekor kera turun ke rumah-rumah penduduk Dusun Toyomarto, menyerbu lumbung makanan di rumah-rumah penduduk. Sekitar 2000 ekor sapi perah milik penduduk juga terancam kekurangan pakan rumput-hijauan, yang biasanya diambil dari hutan-hutan.

Kebakaran hutan juga berdampak pada kerlangkaan sumber air. Audit lingkungan oleh KAPEDAL Batu menunjukkan bahwa dari 1111 titik sumber air yang terdeteksi ternyata 50% di antaranya debit airnya mati (JP 14-10-2002).

Akibat selanjutnya adalah ancaman kelangkaan air bersih yang dihadapi oleh masyarakat yang tinggal di lereng-lereng bukit/gunung, ancaman ini mulai terasa berat selama tiga tahun terakhir selama musim kemarau. PEMKOT Batu menyediakan anggaran sekitar Rp 300 juta (JP 9-8-2002) untuk membangun sarana air bersih di Desa Oro-oro Ombo, Ngaglik dan Songgokerto yg terletak di lereng G. Panderman.

Pada musim hujan tahun ini, ancaman banjir bandang di kota Batu, akibat dari tanah longsor di G. Panderman dan Arjuno, direspon oleh Pemkot dengan menetapkan Status Kota Batu Siaga I. Ada 15 titik rawan longsor yang terletak di releng gf. Panderman dan Arjuno, yakni Desa Tlekung, Gunungsari, Tulungrejo, dan Pesanggrahan (JP 13-12-2002).

4

Imam Kabul (Walikota Batu) geram pada PERHUTANI (JP 17-12-2002), dianggap kurang serius mengelola hutan di wilayah Kota Batu. Penjarahan hutan lindung meliputi areal seluas 3000 ha (KRPH Junggo), 1000 ha (KRPH Punten), 900 ha (KRPH Karangan), dan 1000 ha (KRPH Oro-oro Ombo). Hutan-hutan di lereng gunung telah dibuka dan digarap sebagai lahan pertanian. Pemkot Batu mempersiapkan PERDA tentang status hutan di Kota Batu, Pengelolaan hutan diserahkan ke PEMKOT sebagai hutan lindung. Sambil menunggu PERDA, saat ini sudah ada Surat Keputusan Walikota Batu No. 22 tahun 2002 tentang pengalihan status pengelolaan hutan lindung ke Pemkot Batu. Data pada PT Perhutani menunjukkan bahwa total hutan di Kota Batu 11.700 ha, terdiri atas 7000 ha hutan produksi dan sekitar 4700 ha hutan lindung. (JP 18-12-2002). Pengalihan status pengelolaan hutan ini terkendala oleh adanya dua Peraturan Pemerintah:(1). PP Nomor 14 Tahun 2000 tentang Pengelolaan Hutan di P. Jawa oleh

Perhutani, dan(2). PP No. 34 Tahun 2002 tentang wewenang Perhutani pengelola hutan di

Indonesia.

2.6. Wonorejo, Kabupaten Tulungagung LONGSOR

Bencana tanah longsor terjadi di kawasan sekitar Waduk Wonorejo, Tulungagung (JP 13-12-2002). Tidak ada korban jiwa, saat batu-batu dan tanah longsor terjadi kebetulan jalan-raya sedang sepi. Ancaman tanah longsor dan banjir bandang masih menghantui masyarakat sekitar bersamaan dengan hujan lebat yang terus terjadi. Kecamatan rawan tanah longsor dan banjir bandang adalah Pagerwojo, Pucanglaban, Sendang, dan Kalidawir. Wilayah ini berada di lereng G. Wilis.

2.7. Tangkis Kali Porong Mengkhawatirkan (JP 17-12-2002)

Kekhawatiran warga Jabon dan sekitarnya akan longsornya tangkis K. Porong akibat penambangan pasir “liar” menggunakan mesin penyedot pasir, ditepis enteng oleh Dinas PU Pengairan, Kab. Sidoarjo.

Kemampuan mesin penyedot dapat mengikis tanah dan pasir di dasar sungai hingga melampaui batas aman.

Pengerukan Kali Buntung sepanjang 5.5 km telah dilakukan sejak Agustus 2002 dan diperkirakan selesai sebelum husim hujan tiba (JP 8-10-2002). Kegiatan pengerukan sedimen sungai berjalan lancar, namun maslaah lain timbul adalah akibat penumpukan sedimen hasil kerukan di sepanjang tepian sungai. Hal ini jelas mengandung kerawanan-kerawnaan, termasuk efektifitas hasil pengerukan sungai; sedimen hasil kerukan dapat kembali masuk ke dalam sungai.

5

2.8. Cemoro Sewu, Sarangan, Magetan Terancam (JP 14-10-2002)

Musim kemarau panjang mendorong terjadinya kebakaran hutan di lereng G. Lawu. Kencangnya hembusan angin mempercepat kobaran api memasuki kawasan hutan lindung. Kebakaran hutan pinus di sekitar kawasan telaga Sarangan membuat Perhutani KPH Lawu kang-kabut. Hutan lindung (dengan vegetasi pinus) yang ludes terbakar seluas 150-200 ha.

2.9. Ancaman Banjir Kota Surabaya (JP 31-10-2002)

Pola hidup dan perilaku masyarakat kota Surabaya dianggap menjasi faktor serius dalam kaitannya dengan ancaman banjir kota. Mereka masih suka membuang sampah di sembarang tempat, termasuk saluran-saluran air drainase.

Dinas Pengendalian dan Penanggulangan (DPP) Banjir Kota Surabaya telah menyelesaikan 60% pengerusak saluran pembuangan air hujan ke laut. Namun baru beberapa bulan dikeruk, saluran drainse sudah penuh lagi dengan aneka bentuk sedimen, sampah dan limbah. Bagaimana mengatasinya?. Pada TA 2002 DPP Kota Surabaya menerima anggaran untuk penanganan banjir sekitar 33 milyar (JP 10-8-2002). Berbagai proyek teknik-sipil dilaksanakan untuk mengantisipasi banjir, saluran drainase, gorong-gorong, pompa air, Bozem, dll. Proyek-proyek ini semuanya ditujukan untuk mempercepat aliran air hujan menuju ke laut; sedangkan proyek-proyek untuk memaksimumkan jumlah air hujan yang masuk ke dalam tanah masih dipertanyakan?.

Tiga akar masalah banjir kota Surabaya adalah:1. Perbedaan elevasi antara pusat kota Surabaya dengan pesisir

pantai sangat tipis, sehingga aliran air hujan di permukaan sangat lambat.

2. Perubahan peruntukan / penggunaan lahan di seluruh wilayah kota dan sekitarnya, sehingga sangat mengurangi kesempatan air hujan untuk dapat memasuki tanah (infiltrasi dan perkolasi), dan memaksimumkan limpasan permukaan

3. Selokan/saluran drainase yang tidak jelas ujung-pangkalnya, dimensinya sangat minim, tersumbat sampah dan lainnya.

4. Kiriman banjir dari daerah atas / hulu.

2.10. BANJIR LAHAR DINGIN G. KELUD MENGANCAM WILAYAH Blitar dan KediriSemakin berkurangnya areal hutan yang seharusnya berfungsi

sebagai penyangga di kawasan lereng G. Kelud dalam empat tahun terakhir ini, diperkirakan dapat menimbulkan ancaman bencana tanah longsor, dan banjir lahar dingin. Sejumlah areal hutan di Krisik, G. Gedang dan Kali Badak telah berubah menjadi pemukiman penduduk, perkebunan, dan tegalan/ lahan pertanian palawija. Sejumlah areal hutan lainnya menjadi gundul atau populasi pohonnya jarang-jarang. Sejumlah dam pengendali material G.

6

Kelud sudah penuh sedimen dan harus dikeruk kalau memungkinkan, atau bangunan dam ditinggikan.

Sisa material letusan G. Kelud 1990, saat ini masih 150 juta meter kubik, yang setiap saat dapat berubah menjadi lahar dingin kalau curah hujan cukup tinggi.

2.11. Empat wilayah Kecamatan di Bondowoso Rawan Longsor

Luas lahan kritis di wilayah ini sekitar 41.000 ha, sekitar 36.000 ha adalah lahan kritis milik penduduk, dan 5000 ha termasuk kawasan hutan dibawah pengelolaan PT Perhutani (Kmp, 23-11-2002).

Wilayah kecamatan yang terancam tanah longsor adalah Wringin, Pakem, Tegal Ampel dan Binakal. Tingkat kerawanan tanah kritis dicirikan oleh kondisi tanah yang sudah merekah (retak-retak), sehingga curah hujan yang tinggi akan mengakibatkan longsor.

Musibah tanah longsor pada awal tahun 2002 telah menelan 18 korban jiwa , 144 unit rumah penduduk rusak dan roboh.

Upaya-upaya reboisasi dan penghijauan telah dilakukan oleh PEMKAB, bekerjasama dengan PT Perhutani, Departemen Kehutanan, dan masyarakat sekitar. Namun hasilnya masih belum dapat dibuktikan.

2.12. Bencana Kekeringan Itu Melanda 29 Desa di Klaten

Duapuluh sembilan desa di lima kecamatan di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, mengalami krisis air bersih dalam musim kemarau ini dan mereka sangat membutuhkan bantuan. Di Kabupaten Klaten, kekeringan terluas terjadi di Kemalang yang melanda 12 desa di kecamatan itu. "Kemalang sebanyak 12 desa, Jatinom delapan desa, Karangnongko lima desa, sedangkan Manisrenggo, Tulung, dan Bayat masing-amsing dua desa". Pemkab dalam penanganan kekeringan saat ini, telah mengerahkan empat armada tangki air untuk mengirim ke daerah yang dilanda krisis air bersih setiap harinya. Menurut dia, pemkab telah memberikan bantuan air bersih sekitar 1.100 tangki hingga sepekan terakhir ini. "Kami telah menaikan alokasi anggaran dari sekitar Rp 18 juta menjadi Rp 168 juta pada pascaperubahan APBD. Setiap armada yang memuat bantuan air bersih itu, rata-rata mampu pengiriman sebnayak tiga kali per harinya.

7

Ancaman bencana kekeringan (Sumber: KOMPAS/WAWAN H PRABOWO, Kamis, 10 September 2009 | 09:31 WIB)

Di Kecamatan Kemalang, krisis air bersih sudah mulai merata melanda wilayahnya. "Kecamatan sudah meminta Pemkab setempat untuk menaikan dropping air bersih terutama di Desa Panggang dan Talun.

2.13. Bencana Kekeringan Makin Meluas

(Sumber: Hak Cipta © 1997-2010 Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jl. Ragunan 29, Pasar Minggu, Jakarta Selatan 12540, Indonesia. Telp. (021) 7806202   Fax. (021) 7800644   e-mail: [email protected]

Musim kemarau dan musim hujan sama-sama bencana bagi sebagian daerah di Indonesia. Di kala musim hujan air bah datang, demikian pula bila musim kemarau, kekeringan melanda. Akan tetapi hingga akhir bulan Oktober 2002, hujan yang ditunggu-tunggu banyak pihak ternyata belum juga turun. Sejumlah daerah sentra-sentra produksi tanaman pangan seperti Pulau Jawa, Bali dan Lombok mengalami kekeringan semakin nyata. Hampir semua surat kabar melaporkan kekeringan telah membuat lahan-lahan pertanian tidak dapat diolah. Petani pasrah menghadapi musim kemarau yang terjadi seperti saat ini.

Di Jawa Barat kekeringan merusak 59.206 ha lahan pertanian, di Jawa Tengah 21 kabupaten atau sekitar 18.149 ha areal tanaman padi kekurangan air. Di Bali, tiga kabupaten yaitu Kabupaten Jembrana, Buleleng dan Karangasem terancam kekeringan yang lebih parah dibanding kabupaten lainnya. Mengatasi kekeringan tahun ini diharapkan pemerintah segera turun tangan, dengan kebijakan jangka panjang untuk meringankan beban petani.

Menurut hasil pantauan Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG), kekeringan tahun ini disebabkan sedang berlangsungnya fenomena alam El Nino. Gejala alam El Nino adalah penyimpangan cuaca di lautan Pasifik dimana kondisi lautan sedang memanas, sehingga mempengaruhi cuaca wilayah sekitarnya termasuk Indonesia. El Nino mengakibatkan musim kemarau di Indonesia menjadi lebih kering

8

dan lebih lama dari biasanya. Hujan tidak segera turun, lahan tidak bisa digarap, tanaman padi rusak, dan ketahanan pangan terancam. El Nino terjadi empat tahun sekali, pada tahun ini menurut prakiraan BMG sebenarnya terjadi dalam intensitas lemah, tidak shebat tahun 1997/1998 yang lalu.

Departemen Pertanian memperkirakan produksi padi tahun ini tidak terpengaruh oleh kemarau panjang yang terjadi belakangan ini. Mentan Bungaran Saragih menegaskan kekeringan yang terjadi pada sejumlah wilayah sentra produksi saat ini tidak akan mengakibatkan penurunan produksi pangan tahun 2002. Kekeringan tahun ini hanya musim kemarau biasa, apalagi menurut laporan BMG peluang terjadinya El Nino sangat kecil.

Pada bulan Juli (2001) yang lalu BMG dan BPPT merencanakan membuat hujan buatan di DAS Kedungomobo, Wonogiri dan sekitarnya senilai Rp 800 juta. Namun ditangguhkan pelaksanaannya karena dikawatirkan dapat menimbulkan kerugian cukup besar para petani tembakau Jawa Tengah. Pengalaman tahun 2000 yang lalu pernah dibuat hujan buatan pada musim kemarau dan mengakibatkan petani tembakau rugi Rp 6 milyar.

Kekeringan lahan pertanian secara rutin terjadi hampir setiap tahun dan dampak ikutannya dapat menurunkan produksi pangan, diharapkan pihak-pihak yang terkait dengan masalah ini dapat memberikan penyuluhan pengetahuan tentang iklim dan cuaca guna mengantisipasi gejala alam ini. Petani perlu menambah pengetahuannya misalnya dalam memilih alternative jenis tanaman yang tetap dapat produktif ditanam pada musim kemarau.

Bencana akibat fenomena El Nino tidak dapat ditolak oleh sebab itu perlu disiasati agar lahan pertanian tetap produktif. Agar lahan tetap produktif di musim kemarau penghematan penggunaan air perlu dilakukan. Penyuluhan tentang penghematan air seperti pembuatan embung, pompanisasi, pemilihan tentang tanaman palawija yang hemat air, pemilihan varietas, teknologi budidaya tanaman hemat air ditujukan agar petani tidak kehilangan mata pencaharian saat El Nino tiba karena lahan tidak dapat diolah.

2.14. Diskusi Dampak Bencana Kekeringan(Jumat, 11 Agustus 2006, 10:42 WIB Jakarta, MPBI)

Semakin meluasnya wilayah yang mengalami krisis air sebagai dampak kekeringan yang terjadi tahun ini mendorong Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia (MPBI) untuk menggelar diskusi tentang Potensi dan Dampak Kekeringan Terhadap keberlangsungan Hidup Masyarakat Indonesia. Diskusi berlangsung di sekretariat MPBI dengan menghadirkan nara sumber Dr. Gatot Irianto (Direktur Pengelolaan Air Ditjen PLA Departemen Pertanian) dan Dr. Paulus Agus Winarso (anggota Dewan Riset Nasional).

Menurut Dr. Gatot, masalah kekeringan sampai sekarang belum tertangani tuntas karena salah satu penyebabnya adalah belum adanya kesamaan persepsi tentang kekeringan itu sendiri. Beragamnya interpretasi ini pada akhirnya juga berpengaruh terhadap cara atau pemecahan masalah yang dipilih atas bencana kekeringan yang terjadi. Perbedaan interpretasi antar pemangku kepentingan ini karena adanya kepentingan yang berbeda-beda antar mereka, sehingga tindak lanjut

9

dari masing-masing pemangku kepentingan ini dalam menangani masalah kekeringan juga berbeda-beda.

Agar masalah kekeringan yang terjadi belakangan ini kesalahannya jangan ditimpakan kepada para petani. Selama ini petani selalu dituding sebagai pihak yang bertanggungjawab atas terjadinya kekeringan, krisis air akibat pemanfaatan air berlebihan untuk sawah-sawah mereka. Kalau ada petani di wilayah-wilayah tertentu yang menambah frekuensi tanamnya dari dua kali menjadi tiga kali setahun, belum tentu kebutuhan air yang mereka gunakan jauh lebih besar dari hotel-hotel atau industri di kota-kota besar. Perlu untuk dikaji lebih lanjut, seberapa besar penggunaan air oleh hotel, pabrik, dan industri rakus air lainnya di Jakarta. Jangan-jangan mereka ini penggunaan airnya jauh lebih besar dari para petani yang selama ini dituding sebagai penyebab krisis air dan kekeringan itu.

Terkait dengan distribusi air yang tidak merata di daerah-daerah pertanian, mensiasatinya dengan menggandeng kerjasama dengan jajaran pemerintah daerah, termasuk pelibatan aparat kepolisian dan Koramil (komando Rayon Militer). Selama ini petani-petani yang berada di daerah atas (hulu) adalah pihak yang paling diuntungkan. Selain memperoleh jatah waktu paling lama, mereka juga terus-menerus dilewati air, baik untuk memasok kebutuhan petani di wilayah tengah maupun di daerah hilir. Agar tidak lagi terulang kecurangan-kecurangan seperti sebelumnya, aparat keamanan kami libatkan dan jatah waktu pengairannya juga diubah. Petani yang tinggal di bawah (hilir) justru memperoleh jatah waktu paling lama.

Krisis air akibat kekeringan yang melanda beberapa wilayah belakangan ini sebenarnya sudah diprediksikan banyak pakar sejak awal tahun lalu. Namun kekeringan masih belum tertangani. Bukan hanya daerah-daerah endemik lama yang mengalami kekeringan tetapi muncul sejumlah daerah endemik kekeringan baru.

Di Provinsi Banten misalnya, daerah endemik kekeringan meliputi Kab. Lebak, Pandeglang, Serang dan Kabupaten Tangerang. Untuk wilayah Propinsi Jawa Barat, daerah yang mengalami kekeringan meliputi Kabupaten Indramayu, Cirebon, Bandung (Kab), Tasikmalaya, dan Kabupaten Cianjur. Sementara untuk wilayah Propinsi Jawa Tengah, kekeringan terjadi di Kabupaten Pemalang dan Cilacap.

Untuk mengantisipasi dan mengurangi risiko bencana kekeringan yang lebih buruk, pemerintah dalam hal ini Departemen Pertanian membuat kebijakan seperti; memantau perkembangan dan penanggulangan kekeringan daerah endemik; mengembangkan “water harvesting” dan irigasi hemat air; pendayagunaan sumberdaya alam untuk penanggulangan kekeringan, diversifikasi komoditas dan pendapatan; dan memanfaatkan harga komoditas sebagai insentif mendorong produksi pangan nasional.

Dukungan departemen pertanian baik dalam bentuk dukungan kegiatan maupun dukungan pendanaan antara lain diwujudkan dalam bentuk; pengembangan Embung; pengembangan Sumur Resapan; pengembangan Dam Parit; pengembangan Irigasi Air Tanah Dangkal; pengembangan Irigasi Air Tanah Dalam; pengembangan Irigasi Sprinkler; pengembangan Irigasi Tetes; pengadaan Pompa; tata air mikro; dan peningkatan efisiensi sektor non pertanian.

2.15. Kekeringan Sergap 110 ribu Hektare Sawah (Republika Newsroom, Rabu, 16 Juli 2008 pukul 17:19:00

10

Sedikitnya 110 ribu hektare (ha) areal sawah di Jawa Barat dilanda musibah kekeringan. Dari lahan yang terkena kekeringan itu, 40 ribu hektare di antaranya telah dinyatakan gagal panen (puso). Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Jabar (Rudi Gunawan), menandaskan bahwa akibat bencana kekeringan tersebut, petani di Jabar mengalami kerugian hingga puluhan miliar rupiah. Kerugian tersebut belum termasuk biaya produksi yang telah dikeluarkan oleh petani.

Lahan sawah menderita kekeringan (Sumber: http://www.republika.co.id:8080/berita/)

Daerah yang paling parah dilanda musibah kekeringan itu, sebut Rudi, di antaranya, Kabupaten Cirebon, Indramayu, Subang, Kuningan, Purwakarta, Karawang, Tasikmalaya, Ciamis, Banjar, Garut, Sumedang, serta Bandung. Kasus kekeringan lahan pertanian tahun ini sudah sangat meresahkan petani. Sebab, lanjut dia, dari 500 ribu ha areal persawahan yang ditanami, lebih dari 20 persennya dilanda kekeringan. Meski masih ada yang terselamatkan, namun biaya yang harus dikeluarkan tidak sedikit. Pihak HKTI belum mengetahui nasib petani yang merugi tersebut. Pihaknya berharap, petani tersebut mendapat kompensasi atas kerugian yang dialaminya.

2.16. KEKERINGAN, 5000 HA SAWAH GAGAL PANEN(Selasa, 31 Maret 2009 , 10:11:00)

11

Sedikitnya 5000 hektar lahan sawah milik warga di Kecamatan Langsa Timur mengalami kekeringan. Akibatnya panen padi warga untuk tahun ini di kecamatan tersebut mengalamai gagal panen. Adapun 5000 areal sawah tersebut berada di Desa Alue Merbau, Desa Bukit Metuah, Desa Senebok Antara, Desa Alur Pinang dan Desa Matang Cengai. Menurut salah seorang petani Desa Alue Merbau, kekeringan itu terjadi akibat cuaca panas beberapa pekan terakhir ini. Selain itu juga kerena tidak berfungsinya saluran irigasi yang berada di desa tersebut. Sudah tiga bulan lahan pertanian tidak bisa dialiri air, karena tanggul saluran irigasi yang berada di Desa Bukit Metuah dan Desa Lubuk Punti, Kecamatan Manyak Payed, Aceh Tamiang yang biasanya mengaliri air ke sawah kami, pada Desember 2008 lalu telah jebol. Keringnya sawah mereka diawali saat terjadinya malapetaka pecahnya tanggul irigasi yang selama ini mengairi sawah mereka. Sejak saat itu air tidak lagi dapat mereka peroleh, sehingga lahan tanaman padi mengalami kekeringan dan hasil panen pada tahun ini menurun drastis.

Para petani di Desa Alur Merbau sedang memperlihatkan hasil panen mereka yang gagal akibat sawahnya kekeringan, Senin (30/3). Foto: Bahtiar

Husin/Metro Aceh (sumber: http://www.jpnn.com/uploads/berita/dir31032009/img31032009163151.jpg)

Biasanya dengan luas lahan 13 rante, kami dapat mengasilkan padi hingga 2,8 ton, namun panen kali ini hasil yang kami dapatkan hanya 1 ton saja karena padi banyak yang mati dan kosong. Hal yang sangat disayangkan lagi, akibat gagal panen itu sejumlah petani mulai patah semangat dan enggan untuk menanam padi lagi di lahan tersebut. Areal perawahan mereka tersebut mulai ditinggalkan, karena modal yang dikeluarkan dengan hasil tidak berimbang.

Sementara itu, salah seorang tokoh Pemuda Kota Langsa, Edi Syahputra, menyikapi kondisi gagal panen tersebut mengatakan, dirinya sangat menyesalkan sikap ketidakpedulian Pemko Langsa. Menurutnya, tidak seharusnya pihak Pemko tidak peduli dan menelantarkan kondisi yang dialami masyarakatnya itu. Apalagi petani yang berada di kawasan Langsa Timur diketahui sejak berdirinya Pemko

12

Langsa yang dimekarkan dari Kabupaten Induk Aceh Timur hingga kini telah memberikan kontribusi tidak sedikit dari hasil pertanian palawija kepada pemerintah. Daerah ini merupakan lumbung padi satu-satunya milik Kota Langsa, Pemko Langsa harus segera mencari solusi untuk melakukan perbaikan irigasi tersebut, jangan sampai masyarakat di sana (Langsa Timur) terus menderita dengan rusaknya irigasi.

2.17.

13

ANALISIS FAKTOR PENYEBAB BENCANA

Bencana alam yang terjadi di Jawa Timur hingga akhir tahun 2002 ini terasa sangat memprihatinkan. Kejadian-kejadian banjir bandang, banjir lumpur, tanah longsor, erosi-sedimentasi, pencemaran air, badai-topan-angin puyuh, kebakaran hutan, kelangkaan air bersih, gempa bumi dan lainnya, telah mengakibatkan kerugian material dan korban jiwa yang sangat besar. Ancaman bencana alam ini diyakini masih akan berlanjut pada tahun 2003, bahkan diperkirakan tidak kalah parahnya dibandingkan dengan kejadian selama tahun 2002.

Banyak komentar, analisis dan kajian-kajian praktis dan penelitian ilmiah telah dan sedang dilakukan untuk mencari alternatif solusi yang ampuh. Berbagai proyek pembangunan telah dirancang dan didanai untuk dilaksanakan dalam kaitannya dengan penanganan bencana alam tersebut dengan sekala anggaran milyaran rupiah. Namun semua upaya itu masih belum mampu memupus kekhawatiran sebagian besar masyarakat Jawa Timur terhadap ancaman bencana alam tahun 2003.

Beberapa faktor yang diyakini menjadi penyebab terjadinya bencana alam di Jawa Timur adalah:1. Curah hujan yang tinggi2. Geomorfologi dan Topografi: Bergunung, dan Lereng yang curam3. Formasi geologi: Vulkanik muda4. Vegetasi Penutup Tanah: Hutan gundul5. Perilaku manusia & masyarakat dalam berinteraksi dengan

lingkungannya: Konsumtif dan eksploitatif.6. Lemahnya sistem dan perangkat yuridis dalam kaitannya dengan

penanganan dampak bencana alam.

Tiga faktor alam (1), (2) dan (3) tampaknya berada di luar jangkauan rekayasa efektif oleh manusia. Semua itu sebenarnya diciptakan oleh Sang Pencipta sebagai “rahmatan lil alamin”, namun karena ulah manusia yang keliru pada akhirnya dapat mendatangkan “mudharat” dan bencana alam.

Faktor (4), (5) dan (6) sepenuhnya berada dibawah kendali dan rekayasa manusia dan masyarakatnya. Kasus- kasus aktual yang dijelaskan di atas, kalau dicermati membuktikan bahwa kekeliruan mengelola vegetasi penutup tanah, utamanya hutan pegunungan, mengakibatkan “air hujan” yang diciptakan sebagai “rahmatan lil alamin” berubah menjadi “mudhoratan lil alamin”, menjelma menjadi berbagai bentuk bencana / musibah seperti banjir, banjir lumpur, banjir bandang, tanah longsor, badai-topan-angin puyuh, dan lainnya.

Menurut “sunnatullah”-nya (hukum alam), air hujan yang jatuh di permukaan bumi ini harus sebanyak-banyaknya masuk ke dalam tanah (bumi), kemudian “menghidupkan” bumi (menyuburkan tanah), dan dari situ akan tumbuh aneka buah-buahan hasil pertanian untuk manusia. Melalui berbagai cara, air hujan dapat memasuki tanah (Infiltrasi dan perkolasi), di antaranya dengan bantuan pohon-pohonan, tajuk pohon membantu intersepsi air hujan, sedangkan akar pohon membantu ilfiltrasi dan perkolasi;

14

akibatnya limpasan permukaan air hujan menjadi minimal. Pohon-pohonan ini dapat berdiri sendiri secara individual, atau sekumpulan pohon sejenis (populasi, hutan tanaman), atau campuran jenis berupa ekosistem hutan lindung.

Di Jawa Timur, kawasan butan lindung seluas 349.068 ha, dan kawasan hutan produksi 621.948 ha; Total kawasan hutan seluas 971.116 ha (Ditjen RLPS , 2000).

Berbagai bentuk ulah manusia dalam memanfaatkan sumberdaya alam hutan, telah terbukti mengakibatkan populasi pohon semakin menipis atau bahkan penggundulan hutan. Sebagai akibat dari berkurangnya jumlah pohon atau hilangnya pohon-pohonan, maka permukaan tanah menjadi tidak terlindung terhadap pukulan air hujan. Akibatnya hanya sedikit sekali air hujan yang dapat memasuki tanah (infiltrasi dan perkolasi) dan sebagian besar air hujan “HARUS” mengalir di permukaan tanah yang curam (surface runoff) dengan menghanyutkan apa saja yang ada di permukaan tanah. Terjadilah erosi, pengikisan tanah dan akhirnya terjadilah tanah longsor, banjir, banjir lumpur atau banjir bandang.

Di daerah bawah (hilir), bencana banjir biasanya terjadi karena banjir kiriman dari daerah atas (hulu), dan air hujan yang jatuh tidak dapat masuk ke dalam tanah, serta saluran drainase air hujan semakin minim karena tersumbat oleh berbagai bentuk sampah/limbah, atau karena dihuni oleh berbagai kepentingan manusia.

IV. KERANGKA SOLUSI

Kalau analisis yang dikemukakan dalam Bab III di atas benar, maka hanya ada satu solusi hakiki yang dapat diusulkan untuk dilakukan, yaitu “KEMBALI KEPADA SUNNATULLAH-nya AIR HUJAN”.

Secara lebih operasional, HUKUM ALAM air hujan ini dapat dijabarkan menjadi empat macam strategi, yaitu :1. Memasukkan air hujan sebanyak-banyaknya ke dalam bumi, sesuai

dengan karakteristik dan kemampuan permukaan bumi2. Menyalurkan air hujan di permukaan bumi secepat mungkin menuju

sungai dan/atau laut3. Menampung air hujan di permukaan bumi untuk sementara waktu guna

diambil manfaatnya4. Mengembalikan air hujan secepatnya ke atmosfer di tempat-tempat yang

relevan.

Implementasi keempat strategi tersebut mensyaratkan adanya “teknologi tepat guna” yang dilakukan oleh “sumberdaya manusia yang berdaya” dan dikendalikan oleh “sistem kelembagaan yang efektif”.

4.1. TEKNOLOGI TEPAT GUNA

15

Berbagai teknologi tepat guna telah ada dan siap digunakan untuk memfasilitasi meresapnya air hujan ke dalam bumi; beberapa di antaranya adalah:

1. Teknologi yg bersifat mekanik-sipil, seperti Bozem, Zone resapan, Sumur resapan, Kolam resapan, dan lainnya

2. Teknologi yang bersifat biologis, yang populer dengan istilah PENGHIJAUAN, REBOISASI, AGROFORESTRI, GSP (Gerakan Sejuta Pohon), Kebun Campuran, dan lainnya.

Reboisasi adalah penanaman pohon-pohonan di dalam kawasan hutan:1. Kawasan hutan produksi: Jenis pohon yang mempunyai nilai ekonomi

tinggi, seperti Jati, Mahoni, Damar, Pinus, Akasia, Sengon, dll. Seharusnys sistem penanamannya tidak 100% monokultur dengan tegakan sejenis siap tebang; paling tidak ada 10-20% jalur permanen tegakan pohon lindung.

2. Kawasan Hutan Lindung: Jenis pohon yang mempunyai nilai hidrologi tinggi dan nilai ekonomi rendah, seperti Pohon Beringin, Terembesi dll. Reboisasi kawasan hutan lindung dengan jenis-jenis tegakan yg bernilai ekonomis-tinggi berarti menjadi “bom waktu” untuk pencurian dan penjarahan.

3. Taman Nasional: Jenis pohon-pohonan yang mempunyai nilai estetika dan nilai ekologi tinggi, serta nilai ekonomi rendah.

Penghijauan adalah penanaman pohon-pohonan pada lahan-lahan di luar kawasan hutan:1. Kawasan Perkebunan Rakyat:

Penanaman dengan Sistem Empat Strata (SES), yaitu:1. Strata I : Jenis Pohon Lindung, bernilai ekonomi rendah

dan bernilai hidrologi / ekologi tinggi2. Strata II: Jenis komersial, kopi, kakao, kelapa dll.3. Strata III: Jenis cover-crop, feed crops4. Strata III: Jenis Cacing Tanah.

2. Kawasan Tegal Talun / Kebun Campuran:Penanaman dengan Sistem Empat Strata (SES), yaitu:

1. Strata I : Jenis Pohon Lindung, bernilai ekonomi rendah dan bernilai hidrologi / ekologi tinggi

2. Strata II: Jenis ekonomis: buah-buahan, tanaman industri.3. Strata III: Jenis cover-crop, feed crops4. Strata III: Jenis Cacing Tanah.

3. Kawasan Tegal / Pertanian Lahan Kering:Penanaman dengan Sistem Tumpangsari, alley cropping, dll:

1. Strata I : Jenis Tanaman Lindung, bernilai ekonomi rendah dan bernilai hidrologi / ekologi tinggi

2. Strata II: Jenis ekonomis: aneka jenis palawija/ sayuran.

16

3. Strata III: Jenis cover-crop, feed crops, hedge-row4. Strata IV: Kolam / Penampung Air Hujan.

4. Kawasan Lahan Pekarangan:Penanaman dengan Sistem Agroforestri:

1. Strata I : Jenis Tanaman Lindung, bernilai ekonomi rendah dan bernilai hidrologi / ekologi tinggi, sbg pembatas lahan.

2. Strata II: Jenis pohon ekonomis: aneka buah-buahan.3. Strata III: Jenis cover-crop, feed crops, hedge-row4. Strata IV: Kolam / Penampung Air Hujan.

5. Kawasan Pemukiman / perumahan / perkotaan:1. Strata I: Jenis pohon lindung, nilai ekonomi rendah dan nilai

ekologi tinggi2. Strata II: Jenis perdu yang bernilai estetika tinggi3. Strata III: Jenis cover crop.

Berbagai bentuk teknologi sipil telah dikembangkan untuk menyalurkan air permukaan menuju ke sungai dan laut, misalnya sistem drainase kota, saluran pembuangan air, pompanisasi, dll.

Teknologi untuk menampung air hujan di permukaan bumi sementara waktu guna diambil manfaatnya, seperti embung, kolam ikan, mina-padi, reservoir, dll.

4.2. Pengembangan SDM dan Pemberdayaan Masyarakat Bertitik tolak dari hal-hal di atas maka Visi dalam pemberdayaan

masyarakat dalam kaitannya dengan upaya penyelamatan hutan tanah dan air adalah:

Memberdayakan masyarakat sehingga mampu “keluar dari” ketidak-mampuan, ketertinggalan dan kemiskinannya.

17

MISI: PANCABAKTI PEMBERDAYAAN Masyarakat

Bagaimana melestarikan

fungsi produksi H.T.A. ?

Bagaimana Bagaimana Mengolah memanfaatkan HASIL primer? Peluang Pasar? ?

Bagaimana Bagaimana Menyediakan memproduksi Sarana Penunjang? yang benar ? (AGRO-INDUSTRI) (USAHATANI)

18

STRATEGI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

MELINDUNGI

MENGAJAK

MEMBERITAHU

MEMIHAKI

MEMBANTU & MENDAMPINGI MELATIH

19

PRASYARAT PEMBERDAYAAN

SIRAMANROHANI

Manajemen

Finansial PENDAM- PINGAN

PENYEHATAN BIOFISIK

PENDIDIKAN KETRAMPILAN PENYEHATAN (Continuing Education) LINGKUNGAN

20

PRINSIP PENDAMPINGAN

PENDAM- YANG PING DIDAMPINGI

Broadcasting Receiving System SUBSTANSI System Group PESAN/ Groups INFORMASI/

Berdasarkan prinsip di atas maka upaya pemberdayaan dapat diarahkan pada:

(a). Peningkatan kualitas dan kemampuan sumberdaya manusia dan masyarakat, baik biofisik, sosial-politik, maupun mental-spiritual, melalui jalur pelayanan pendidikan (IMTAQ dan IPTEK), pelayanan kesehatan, dan perbaikan gizi dan lingkungan.

(b). Pengembangan tingkat partisipasi penduduk secara sinergis untuk membentuk kelompok usaha bersama sehingga mempunyai posisi tawar yang lebih kuat dalam bernegosiasi dengan pihak lain

(c). Pengembangan dan membuka usaha produktif yang dapat diakses oleh kelompok masyarakat secara berkelanjutan.

(d). Penguatan akses rumahtangga dalam penguasaan faktor-faktor produksi, utamanya modal dan teknologi.

(e). Pemihakan kebijakan publik yang mampu mendorong peningkatan daya beli masyarakat.

4.3. Institutional Building

Pengembangan Kelembagaan Keswadayaan masyarakat dilakukan untuk mengembangkan kelembagaan keswadayaan atau volunter

21

yang berfungsi dalam penggalangan solidaritas sosial dan partisipasi masyarakat luas untuk memecahkan masalah penyelamatan Hutan, Tanah dan Air.

Sasaran yang harus dicapai adalah terwujudnya sistem kelembagaan keswadayaan di masyarakat dan keaktifan kelompok masyarakat, kelompok asosiasi, organisasi yayasan, lembaga swadaya masyarakat dalam membantu pemecahan masalah pengelolaan sumberdaya Hutan, Tanah dan Air.

Kegiatan yang dapat diprioritaskan dalam pengembangan kelembagan keswadayaan masyarakat adalah :

(1) pengembangan skema jaringan kerja kegiatan keswadayaan, (2) pengembangan kapasitas lembaga-lembaga keswadayaan, (3) pengembangan forum komunikasi antar tokoh penggerak dan

lembaga-lembaga yang bergerak dalam kegiatan keswadayaan, (4) pengembangan kemitraan antar organisasi keswadayaan,

orcanisasi masyarakat setempat, dan pemerintah, (5) pengurangan hambatan regulasi dan iklim yang menyangkut

keberadaan peran organisasi keswadayaan.

PENUTUP

Bertitik-tolak dari uraian di atas, maka diperlukan suatu ACTION-PLAN terpadu di tingkat Jawa Timur yang melibatkan segenap stakeholder yang relevan dengan Penyelamatan HUTAN, TANAH dan AIR.

22