tinjauan yuridis pembubaran ormas dalam undang-...
TRANSCRIPT
TINJAUAN YURIDIS PEMBUBARAN ORMAS DALAM UNDANG-
UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2017 TENTANG ORGANISASI
KEMASYARAKATAN DALAM KONSEP NEGARA HUKUM
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk
Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
IMAM SARIFUDDIN
NIM: 1113045000024
PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/2019 M
iv
ABSTRAK
Imam Sarifuddin. NIM 1113045000024. TINJAUAN YURIDIS PEMBUBARAN
ORMAS DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2017 TENTANG
ORGANISASI KEMASYARAKATAN DALAM KONSEP NEGARA HUKUM.
Program Studi Hukum Tata Negara (Siyasah), Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Syarif Hidayatullah Jakarta, 1440 H/2019 M.
Keluarnya Undang-undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang
Perubahan atas Undang-undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi
Kemasyarakatan menjadi Undang-undang telah mengganti substansi Undang-
undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
Salah satu yang menjadi titik tekan adalah peniadaan proses peradilan
dalam rangkaian proses pembubaran organisasi kemasyarakatan. Padahal
penyelenggaraan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan merupakan
salah satu kunci atau pilar dalam negara hukum dan penegakan hak asasi manusia,
mengingat organisasi masyarakat merupakan salah satu manifestasi hak
konstitusional wagra negara dalam bidang kebebasan berkumpul dan berserikat.
Potensi kesewenang-wenangan pemerintah serta peluang tereduksinya kebebasan
hak berkumpul dan berserikat menjadi terbuka semakin luas.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian yuridis normatif dan library
reasearc dengan melakukan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan,
buku-buku, jurnal hukum, disertasi, tesis, dan skripsi hukum.
Hasil penelitian menunjukkan Faktor yang melatarbelakangi digantinya
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 dengan Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan yaitu: Pertama, adanya keadaan
yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat
berdasarkan Undang-Undang. Kedua, ada Undang-Undang tetapi tidak memadai.
Ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat
v
Undang-Undang secara prosedur biasa karena membutuhkan waktu yang lama
sedangkan keadaan mendesak tersebut perlu segera diselesaikan.
Kelebihan dari Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Organisasi
Kemasyarakatan ini adalah perluasan pendefinisian dan larangan serta sanksi
terhadap ormas yang bertentangan dengan dengan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Tahun 1945. Sedangkan kekurangan dari Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2017 ini adalah hilangnya mekanisme peradilan yang dianggap bisa
menimbulkan kesewenang-wenangan pemerintah untuk membubarkan ormas
yang dirasa bertentangan dengan pemerintah tanpa adanya putusan pengadilan
terlebih dahulu.
Cara untuk melengkapi kekurangan yang terdapat dalam Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2017 menurut konsep Negara hukum di Indonesia yaitu dengan
cara tetap menggunakan proses peradilan dalam proses pembubaran ormas.
Sedangkan untuk mengatasi permasalah tentang inefesiensi dalam proses
peradilan karna lamanya waktu yang dibutuhkan dalam proses pembubaran
ormas, maka pemerintah dapat memberikan batasan waktu kepada Lembaga
peradilan dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pembubaran ormas
tersebut.
Kata Kunci : Pembubaran Ormas, UUD No 16 Tahun 2017, Negara Hukum.
Pembimbing : Dr. H. RUMADI, M.Ag
Daftar Pustaka : 1983 s.d. 2017
vi
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Ilahi Rabbi yang serta selalu
melimpahkan kasih sayang-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan kita,
Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga, dan sahabatnya serta kita sebagai
pengikutnya.
Maksud penulisan skripsi ini adalah untuk melengkapi salah satu syarat
penyelesaian studi program S1 (Strata Satu) pada Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi ini berjudul
“TINJAUAN YURIDIS PEMBUBARAN ORMAS DALAM UNDANG-
UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2017 TENTANG ORGANISASI
KEMASYARAKATAN DALAM KONSEP NEGARA HUKUM”.
Dalam penyelesaian skripsi ini tentunya tidak terlepas dari bantuan dan
motivasi dari berbagai pihak, baik secara personal maupun kelembagaan. Untuk
itu, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada semua pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung, telah
membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini. Maka perkenankan penulis
menghaturkan ucapan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. Ahmad Thalabi Kharlie, S.H., MA., M.H. Dekan
Fakultas Syariah dan Hukum.
2. Bapak Dr. H. Rumadi, M.Ag. Pembimbing dalam penyelesaian
skripsi ini. Beliau dengan tulus telah memberikan bimbingan dan
arahan yang sangat berarti demi kelancaran penyusunan skripsi ini.
3. Ibu Sri Hidayati, M.Ag. Ketua Jurusan Hukum Tata Negara dan
Ibu Masyrofah, S.Ag., M.Si. Sekertaris Jurusan Hukum Tata
Negara.
4. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmunya kepada
penulis sehingga penulis bisa dapat menyelesaikan studi di jurusan
vii
Hukum Tata Negara Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
5. Ayah dan Ibunda penulis tercinta yang selalu memberikan nasehat,
semangat, dan kasih sayangnya.
6. Adik penulis tersayang dan semua saudara penulis yang ikut
berjasa dalam penyelesaian skripsi ini. Terima kasih atas dukungan
dan kasih sayang kalian. Penulis begitu menyayangi dan mencintai
kalian semua .
7. Sahabat-sahabat yang menemani penulis dari awal kuliah sampai
sekarang: Aliza Aulia, Bagus Priyanto, Masagus Ahmad Fahrobi,
Imam Firmansyah, Dudu Abdul Manan, dan Bintang Tri Fajar.
8. Sahabat-sahabat penulis Prodi Hukum Tata Negara angkatan 2013.
Terima kasih atas persahabatanya dan kebersamaanya. Semoga kita
bisa terus menyambung tali silaturahmi.
9. Teman-teman Alumni MAN 1 Bandar Lampung yang sudah
menyemangati dan selalu mengingatkan penulis untuk
menyelesaikan skripsi ini. Terutama teman-teman satu asrama
penulis: Sayid Fikri, Agung Darmansyah, Syarif Hidayatullah,
Ahmad Hadi Nurkhalis, dan Imam Gunadi.
10. Seluruh pihak yang berkontribusi dalam penulisan skripsi ini baik
secara langsung maupun tidak langsung yang tidak bisa penulis
sebutkan satu persatu.
Jakarta, 05 Agustus 2019
Penulis
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
..................................................................................................................... Erro
r! Bookmark not defined.
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN........................................... ii
LEMBARAN PERNYATAAN ................................................................... iii
ABSTRAK................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ................................................................................. vi
DAFTAR ISI ............................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah .......................................................................... 6
C. Batasan dan Rumusan Masalah ......................................................... 6
D. Tujuan Penelitian .............................................................................. 7
E. Manfaat Penelitian ............................................................................ 7
F. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ................................................. 8
G. Metode Penelitian ............................................................................. 9
H. Sistematika Penulisan ........................................................................ 13
BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP NEGARA HUKUM .................... 14
A. Konsep Negara Hukum Menurut Teori Ilmu Negara ........................ 14
1. Definisi Teori Tujuan Negara ................................................ 14
2. Teori Kekuasaan Negara ........................................................ 15
B. Teori tentang Negara Hukum ........................................................... 17
1. Istilah Negara Hukum ............................................................ 17
2. Definisi Negara Hukum ......................................................... 20
ix
3. Unsur-Unsur Negara Hukum.................................................. 23
4. Prinsip-Prinsip Negara Hukum............................................... 25
5. Ciri-Ciri Negara Hukum ........................................................ 26
C. Teori Kedaulatan Menurut Konsep Negara Hukum .......................... 30
1. Definisi Teori Kedaulatan...................................................... 30
BAB III PENGATURAN ORMAS DALAM PERUNDANG-
UNDANGAN ................................................................................ 32
A. Organisasi Kemasyarakatan Menurut Peraturan Perundang-
Undangan......................................................................................... 32
1. Definisi Organisasi Masyarakat ............................................. 32
2. Sejarah Lahirnya Ormas ........................................................ 34
3. Tujuan dan Maksud Terbentuknya Organisasi Masyarakat .... 37
4. Pendirian Organisasi Masyarakat ........................................... 39
5. Pembubaran Organisasi Masyarakat ...................................... 45
B. Latar Belakang Munculnya Perppu Dan Undang-Undang Nomor
16 Tahun 2017 Tentang Ormas ........................................................ 46
1. Definisi Perppu ....................................................................... 46
2. Munculnya Undang – Undang Nomor 16 Tahun 2017
3. Tentang Ormas ....................................................................... 47
4. Pro dan Kontra Undang - Undang Ormas ................................ 51
BAB IV PEMBUBARAN ORMAS DALAM NEGARA HUKUM ........... 55
A. Perbandingan Pembubaran Ormas dalam Undang-Undang Nomor
17 tahun 2013 dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 ....... 55
1. Pembubaran Ormas Berdasarkan Undang-Undang Nomor
2. 17 Tahun 2013 Tentang Ormas .............................................. 55
x
Pembubaran Ormas Berdasarkan Undang-Undang Nomor
16 Tahun 2017 Tentang Penetapan Perppu Nomor 2 Tahun
2017 Tentang Ormas ............................................................. 59
B. Analisis Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang
Penetapan Perppu Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Ormas ditinjau
dari Teori Negara Hukum ................................................................ 65
BAB V PENUTUP ...................................................................................... 74
A. Kesimpulan ...................................................................................... 74
B. Saran................................................................................................ 75
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 76
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pemerintah akhirnya menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang perubahan atas
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakat
(ormas). Perppu yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 10 Juli
2017 itu diterbitkan untuk mengantisipasi kegiatan ormas yang dinilai
mengancam eksistensi bangsa dan menimbulkan konflik.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tidak lagi memadai sebagai
sarana untuk mencegah ideologi yang bertentangan dengan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945. Aturan ormas yang sudah ada, menurut Wiranto
sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, lemah
dari segi substansi yang terkait dengan norma, larangan dan sanksi, serta
prosedur hukum. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tidak mewadahi
asas hukum administrasi contrario actus. Asas yang menyatakan bahwa
lembaga yang mengeluarkan izin atau mengesahkan adalah lembaga yang
seharusnya mempunyai wewenang mencabut atau membatalkannya".1
Pengertian soal ajaran dan tindakan yang bertentangan dengan dasar
Negara pun hanya dirumuskan secara sempit dalam Undang-Undang ormas
itu hanya terbatas pada ajaran ateisme, marxisme, dan leninisme, padahal
sejarah Indonesia membuktikan bahwa ajaran lain juga bisa bertentangan
dengan Pancasila.
Sekarang perppu tentang ormas resmi menjadi Undang-Undang
menggantikan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013. Pengambilan
keputusan pengesahan perppu ormas menjadi Undang-Undang dilakukan
dalam rapat paripurna yang digelar di DPR, kompleks parlemen, Senayan,
1 Tempo.co, „‟Wiranto Umumkan Penerbitan PERPPU 2/2017 tentang ormas‟‟,dari :
https://nasional.tempo.co/read/890822/wiranto-umumkan-penerbitanPERPPU-ORMAS-22017-tentang-ormas, diakses pada tanggal 14 Februari 2018
2
Jakarta, Selasa (24/10/2017). Rapat sempat berjalan alot karena sikap fraksi
mengenai ormas ini terbelah.
Ada 3 peta kekuatan terkait sikap fraksi dalam mendukung perppu
ormas. PDIP, Hanura, NasDem, dan Golkar telah menyatakan mendukung
perppu ormas itu disahkan menjadi Undang-Undang pengganti Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang ormas.
Kemudian 3 fraksi, yaitu PKB, Demokrat, dan PPP, juga mengatakan
setuju perppu ormas disahkan menjadi Undang-Undang namun dengan
catatan mereka meminta dilakukan revisi bila perppu itu disahkan menjadi
Undang-Undang. Sementara itu, Gerindra, PKS, dan PAN masih tegas
konsisten sejak awal menyatakan menolak perpu ormas.
Dalam rapat paripurna yang dipimpin Wakil Ketua DPR Fadli Zon ini,
sejumlah anggota dewan menyampaikan pandangan sikapnya sama seperti
sikap resmi tiap fraksi. Sidang paripurna ini juga sempat diskors. Hadir dalam
sidang Mendagri Tjahjo Kumolo, Menkum HAM Yasonna Laoly, dan
Menkominfo Rudiantara. Hasilnya, 7 fraksi sepakat dengan perppu ormas,
namun dengan catatan akan ada revisi setelah disahkan menjadi Undang-
Undang. Namun 3 fraksi, yakni PAN, Gerindra, dan PKS, tetap tegas
menolak. Voting pun kemudian dilakukann dengan 7 fraksi melawan
3 fraksi, perppu ormas akhirnya disepakati menjadi Undang-Undang Nomor
16 tahun 2017.2
Secara garis besar perppu ormas itu berisi empat hal besar pertama,
perluasan pendefinisian tentang ormas yang dianggap bertentangan dengan
Pancasila. Jika dalam Undang-Undang ormas yang dimaksud ormas yang
membawa ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila hanya
mencakup ateisme, komunisme/marxisme-leninisme, maka dalam perppu
ormas ini ditambah dengan paham lain yang bertujuan mengganti/mengubah
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Perluasan definisi ini didasarkan
pada kenyataan tantangan kehidupan bernegara yang hendak mengganti dasar
2Hary Lukita Wardani, “Sah! PERPPU Ormas Resmi Jadi UU” dari :
https://news.detik.com/berita/3697962/sah-PERPPU-ormas-resmi-jadi-uu, diakses pada tanggal 14
Februari 2018
3
Negara bukan hanya dari kelompok yang sudah disebut dalam Undang-
Undang ormas, melainkan juga dari kelompok ideologi lain, termasuk
ideologi yang berbalut agama.
Kedua, perincian atas sejumlah larangan yang tidak boleh dilakukan
ormas. Larangan-larangan ini sebenarnya sudah ada dalam Undang-Undang
ormas, tapi dalam perppu ormas ini larangannya lebih diperinci item-itemnya,
terkait dengan nama, lambang dan bendera, pendanaan, tindakan permusuhan
berdasar suku agama, ras atau golongan, penistaan agama, tindakan kekerasan
dan mengganggu ketertiban umum, melakukan tindakan yang menjadi tugas
aparat penegak hukum, sampai tindakan separatisme dan menganut,
mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan
dengan Pancasila.
Ketiga, menyederhanakan mekanisme dan prosedur pembubaran
ormas. Jika dalam Undang-Undang ormas mekanisme dan prosedurnya
dianggap panjang dan berbelit-belit, di dalam perppu ini menyederhanakan
mekanismenya menjadi tiga langkah: (1) peringatan tertulis cukup satu kali
dan ditunggu sampai tujuh hari; (2) penghentian kegiatan; dan (3) pencabutan
surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum sekaligus
dinyatakan pembubaran. Mekanisme peradilan yang sebelumnya ada dalam
Undang-Undang ormas dihilangkan, inilah salah satu poin yang menyulut
kontroversi.
Keempat, penambahan ancaman pidana Undang-Undang ormas
sebelumnya dapat dikatakan miskin ancaman pidana. Perppu ini justru
memberikan ancaman pidana yang cukup berat, bukan hanya untuk pengurus
ormas, melainkan juga anggotanya. Ancaman hukumannya 6 bulan sampai 1
tahun, 5 sampai 20 tahun untuk tindak pidana tertentu. Bukan hanya itu,
perppu ini juga membuka peluang adanya pidana tambahan di samping
pidana penjara. Pemerintah memberikan penjelasan terkait dikeluarkanya
perppu ini dengan beberapa argumen.
4
Pertama, Negara berkewajiban melindungi kedaulatan Negara
Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945.
Kedua, pelanggaran terhadap asas dan tujuan organisasi
kemasyarakatan yang didasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945
merupakan perbuatan yang sangat tercela dalam pandangan moralitas bangsa
Indonesia terlepas dari latar belakang etnis, agama, dan kebangsaan
pelakunya.
Ketiga, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang ormas
mendesak untuk segera dilakukankan perubahan karena belum mengatur
secara komprehensif mengenai keormasan yang bertentangan dengan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 sehingga terjadi kekosongan
hukum dalam hal penerapan sanksi yang efektif.
Keempat, terdapat ormas tertentu yang dalam kegiatannya tidak
sejalan dengan asas ormas sesuai dengan anggaran dasar ormas yang telah
terdaftar dan telah disahkan pemerintah, dan bahkan secara faktual terbukti
ada asas ormas dan kegiatannya yang bertentangan dengan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945.
Kelima Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang ormas belum
menganut asas contrarius actus sehingga tidak efektif untuk menerapkan
sanksi terhadap ormas yang menganut, mengembangkan, serta menyebarkan
ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945.
Seperti biasa, perppu ini menyulut perdebatan publik yang secara
garis besar bisa dibagi dalam tiga kelompok. Pertama, kelompok yang
sepenuhnya menerima dan mendukungnya. Perppu dianggap sebagai jawaban
cerdas atas situasi mutakhir ancaman terhadap ideologi Negara. Nahdlatul
Ulama (NU) dan 13 organisasi Islam yang tergabung dalam Lembaga
Persahabatan ormas Islam (LPOI) dapat disebut mewakili arus ini.
Kedua, kelompok yang menolak total seluruh isi perppu. Mereka
berargumentasi tidak ada situasi genting yang memaksa sebagai persyaratan
5
normatif-konstitusional sebagaimana diatur dalam Pasal 22 Undang-Undang
Dasar 1945. Mereka tidak melihat adanya gerakan-gerakan, termasuk yang
berbaju agama, yang bisa dikategorikan sebagai ancaman terhadap ideologi.
Kalaupun ada, gerakan itu bagian dari kebebasan berpikir dan berekspresi
yang dijamin konstitusi. Undang-Undang ormas menurut kelompok ini, sudah
lebih dari cukup untuk melindungi ideologi Negara.
Perppu ini juga dianggap, bukan saja langkah mundur demokrasi,
melainkan juga ancaman terhadap demokrasi itu sendiri. Lebih dari itu, ormas
ini membuka munculnya otoritarianisme baru karena menghilangkan
mekanisme peradilan dalam pembubaran ormas. Sejumlah aktivis Hak Asaso
Manusia tentu tidak semua, oposisi politik Presiden Joko Widodo pendukung
ideologi Islamisme dengan berbagai variasinya berada dalam barisan ini.
Ketiga, kelompok yang pada prinsipnya menerima perppu, tapi
mereka memberikan sejumlah catatan kritis. Catatan kritis itu terutama terkait
dengan kemungkinan adanya penyimpangan (abuse) dalam implementasi
yang bisa menjadi ancaman bagi demokrasi. Ancaman hukuman seumur
hidup dan pidana 5 sampai 10 tahun yang juga dikenakan kepada pengurus
ormas yang dianggap melakukan penodaan agama terlalu berlebihan. Kita
sudah punya pasal 156a KUHP yang ancaman maksimalnya hanya 5 tahun
penjara yang dalam implementasinya sering eksesif.
Kelompok mayoritas bisa menyesatkan dan menganggap kelompok
tertentu melakukan penodaan agama sebagaimana praktik yang selama ini
terjadi. Perppu ini justru semakin memperberat ancaman hukumannya. Pro-
kontra tentu wajar dan sehat saja dalam demokrasi, bahkan perdebatan itu
merupakan bagian dari proses pendewasaan demokrasi. Karena bangsa ini
sudah memilih demokrasi sebagai jalan konstitusionalnya, pro-kontra tersebut
harus berjalan sehat dan tetap dalam koridor demokrasi.3
Dalam Undang-Undang ormas yang baru, yakni Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2017 yang disahkan pada 22 November 2017, diharapkan
3 Rumadi ahmad, “Apakah PERPPU No 2 Talun 2017 Ancaman Demokrasi?”, dari:
http://mediaIndonesia.com/news/read/113186/PERPPU-no-2-tahun-2017-ancaman-
demokrasi/2017-07-17, diakses pada tanggal 14 Februari 2018
6
mampu memberikan kontribusi yang signifikan untuk mengatur ruang
lingkup ormas yang ada di Indonesia. Nyatanya Undang-Undag Nomor 16
Tahun 2017 masih meninggalkan beberapa masalah, khususnya terkait
mengenai peniadaan sistem peradilan di dalam mekanisme pembubaran
ormas yang dinilai bertentangan dengan konsep Negara hukum. Berdasarkan
uraian latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk membahas suatu karya
ilmiah berbentuk skripsi dengan judul “Tinjauan Yuridis Pembubaran
Organisasi Kemasyarakatan Dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2017 Dalam Konsep Negara Hukum”
B. Identifikasi Masalah
1. Inkonsistensi pembubaran ormas dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2017 tentang ormas dalam konsep Negara hukum di Indonesia.
2. Perbandingan antara Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 dengan
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang ormas.
3. Implikasi adanya Undang-Undang ormas yang baru terhadap demokrasi di
Indonesia.
C. Batasan dan Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah yang penulis kemukakan di atas, agar
permasalahan yang akan penulis bahas tidak meluas, maka penulis
membatasinya hanya mengenai tinjauan yuridis tentang pembubaran ormas
menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang ormas dalam
konsep Negara hukum di Indonesia.
Fokus penelitian ini terbatas pada masalah pembubaran ormas yang
dianggap bertentangan dengan Pancasila dan ideologi Negara Republik
Indonesia.
Berdasarkan pada batasan masalah diatas dan dalam rangka
mempermudah penulis dalam menganalisa permasalahan, penulis menyusun
suatu rumusan masalah sebagai berikut:
7
1. Apa saja faktor yang melatarbelakangi digantinya Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2013 dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017
tentang Organisasi Kemasyarakatan?
2. Apa saja kelebihan dan kekurangan Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan?
3. Bagaimana cara melengkapi kekurangan yang terdapat dalam Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2017 menurut konsep Negara hukum di
Indonesia?
D. Tujuan Penelitian
Dalam penulisan ini, ada beberapa tujuan yang hendak dicapai oleh
penulis, dan tujuan yang dimaksud adalah:
1. Untuk memenuhi dan melengkapi salah satu pokok persyaratan akademis
guna mencapai gelar Sarjana Hukum di Fakultas Syariah dan Hukum di
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Untuk menerapkan serta mengembangkan ilmu pengetahuan hukum yang
telah diperoleh selama perkuliahan yang bersifat teoritis dan realita yang
ada di masyarakat.
3. Untuk mengetahui dan memahami pembubaran ormas menurut Negara
hukum di Indonesia.
E. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini terbagi menjadi dua, yaitu sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis, hasil penelitian ini dapat menambah wawasan
keilmuan bagi penulis pribadi tentang pengembangan dan memperluas
wawasan pengetahuan mengenai pembubaran ormas di Indonesia serta
sebagai pengaplikasian ilmu tentang studi menurut tinjauan yuridis.
Idealnya, menjadi tambahan ilmu mengenai masalah pembubaran ormas
dalam konsep Negara hukum kepada mahasiswa Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
8
2. Manfaat Praktis
Secara Praktis, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan
rujukan terutama mengenai pembubaran ormas dalam konsep Negara
hukum ditinjau dari aspek yuridis. Selain itu, manfaat besarnya dapat
dijadikan referensi ataupun bahan bacaan untuk mahasiswa yang juga
membahas tentang objek studi kajian tentang pembubaran ormas dalam
konsep Negara hukum Indonesia dalam pendekatan yuridis normatif.
Integrasi keilmuan ini dari aspek Hukum Tata Negara dapat memberikan
informasi kepada pembaca tentang pembubaran ormas di Indonesia.
F. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Untuk mengetahui kajian terdahulu yang telah ditulis oleh yang lainnya,
maka penulis me-riview beberapa skripsi terdahulu yang pembahasannya
hampir sama dengan pembahasan yang penulis angkat. Dalam hal ini penulis
menemukan beberapa skripsi, yaitu:
1. Skripsi yang ditulis oleh Igam Arya Wada, yang berjudul “Wewenang
Pemerintah Dalam Pembubaran Organisasi Masyarakat”, perumusan
masalahnya adalah bagaimanakah implikasi hukum terhadap ormas yang
melakukan pelanggaran hukum, dan apakah yang menjadi parameter
ormas dapat dibubarkan. Penelitian ini adalah yuridis normatif, lokasi
penelitian di Jember, dan dalam karya ilmiah ini Igam Arya Wada
menyatakan bahwa implikasi hukum jika ormas melanggar hal-hal yang
telah tertulis dalam bab larangan pada pasal 59 Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2013 tersebut maka ormas tersebut berhak untuk diberikan sanksi
tegas oleh pemerintah berupa sanksi administratif. Dalam hal pemberian
sanksi administratif tersebut dapat diberikan secara bertahap mulai dari
pemberian surat peringatan maksimal 3 kali, setelah itu pemberhentian
bantuan sementara, kemudian pembekuan surat keterangan terdaftar (SKT)
dan juga pencabutan surat keterangan terdaftar (SKT) yang dampaknya
kepada pembubaran ormas. Selain itu juga sanksi pidana sesuai dengan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) untuk oknum-oknum
9
ormas yang tidak bertanggung jawab dan melakukan pelanggaran hukum
yang berupa kekerasan,pengrusakan fasilitas umum,penghasutan, ataupun
tindak pidana lain yang dilakukan oknum ormas terhadap orang lain juga
diberlakukan sesuai dengan tindak pidananya masing-masing.
2. Terdapat juga tulisan yang mengkaji bagaimana proses pembubaran
organisasi kemasyarakatan yang ditulis oleh M. Najib Ibrahim. Tulisan
tersebut berjudul, Hak Berserikat (Suatu Kajian Terhadap Pembekuan Dan
Pembubaran Organisasi Kemasyarakatan Dalam Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1985 Tentang Organisasi Kemasyarakatan). Secara garis besar
tulisan tersebut membahas tentang kajian terhadap pandangan hak
berserikat di Indonesia sesuai dengan aturan yang ada, serta bagai mana
mekanisme dalam pembekuan dan pembubaran ormas baik secara aturan
maupun prinsip Hak Asasi Manusia. Berdasarkan penelusuran yang
dilakuan, penulis hanya dapat menemukan tulisan tersebut sebagai
penelitian yang serupa dengan apa yang akan dikaji di dalam penelitian
ini. Secara umum terdapat 2 (dua) parameter yang menjadi perbedaan
dalam tulisan ini. Pertama, hak yang akan di kaji yaitu hak atas kebebasan
berserikat dan hak atas peradilan yang fair dalam konteks pembubaran hak
atas kebebasan berserikat. Terdapat penambahan atas hak yang akan di
kaji. Kedua, objek yang akan diteliti ialah Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 2 tahun 2017 tentang perubahan atas Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2013 tentang ormas menjadi Undang-Undang.
G. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian
kualitatif di mana penelitian ini merupakan jenis data dan analisa data
10
yang digunakan bersifat naratif, dalam bentuk pernyataan-pernyataan yang
menggunakan penalaran.4
Adapun pendapat lain mengatakan bahwa objek penelitian
kualitatif adalah objek yang alamiah atau natural setting, sehingga metode
penelitian ini sering disebut sebagai metode naturalistik. Objek yang
alamiah adalah objek yang apa adanya, tidak dimanipulasi oleh peneliti
sehingga kondisi pada saat peneliti memasuki objek, setelah berada di
objek dan setelah keluar dari objek relatif tidak berubah.5
Pembahasan tentang penelitian kualitatif di atas dapat penulis
simpulkan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan, untuk
dirumuskan menjadi suatu generalisasi yang dapat diterima oleh akal sehat
manusia dan mudah dipahami oleh diri sendiri maupun orang lain.
Dalam jenis penelitian kualitatif penulis menganalisa sejauh mana
pembubaran ormas menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017
tentang ormas sudah sesuai dengan konsep Negara hukum sebagaimana
dengan ketentutan yang berlaku sampai saat ini. Di sisi lain penulis
melakukan penelitian pustaka (library reaserch) dari berbagai sumber.
Seperti, peraturan perundang-undangan, buku, jurnal hukum, disertasi,
tesis, dan skripsi hukum.
2. Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan yuridis
normatif (legal research):
Penelitian hukum normatif disebut juga penelitian hukum doktrinal.
Pada penelitian hukum jenis ini, acap kali hukum dikonsepkan sebagai apa
yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan atau hukum
dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan
4 Yayan Sopyan, Pengantar Metode Penelitian, (Tangsel: Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Jakarta, 2010), h. 26.
5 Fahmi Muhammad Ahmadi, dan Djaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Tangsel:
Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2010), h. 54.
11
berperilaku manusia yang dianggap pantas.6 Objek penelitian pustaka ini
adalah Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017
tentang ormas ditinjau dari konsep Negara hukum.
Pada dasarnya pendekatan normatif adalah metode penelitian
hukum terhadap aturan hukum yang tertulis. Pada penelitian hukum
normatif peraturan perundangan yang menjadi objek penelitian menjadi
sumber data primer.7
Pendekatan normatif berdasarkan pada logika dan penormaan yang
ada pada masyarakat, sehingga ada pendapat lain bahwa penelitian hukum
dibangun berdasarkan disiplin ilmu dan cara-cara kerja ilmu hukum
normatif, yaitu ilmu hukum yang objeknya hukum itu sendiri.
Menurut Johny Ibrahim bahwa sebagai ilmu praktis normologis,
ilmu hukum normatif berhubungan langsung dengan praktik hukum yang
berhubungan langsung dengan praktik hukum yang menyangkut dua aspek
utama yaitu :8
a. Tentang pembentukan hukum
b. Tentang penerapan hukum
Tipe penelitian yang digunakan penulis dalam menulis skripsi ini
adalah yuridis normatif (legal research), yaitu penelitian yang difokuskan
dengan menerapkan kaidah-kaidah atau norma- norma dalam hukum
positif. Penelitian ini dengan cara mengkaji peraturan-peraturan serta
literatur yang berisi konsep teoritis yang kemudian dihubungkan dengan
isu hukum yang menjadi permasalahan.
6 Amiruddin dan H. Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2004, Cet. Pertama), h. 118.
7 Fahmi Muhammad Ahmadi, dan Djaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, h.38.
8 Hardijan Rusli, Metode Penelitian Hukum Normatif: Bagaimana, dalam Jurnal Law
Review Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan. Vol. 5. No. 3. Maret, 2006, h. 41.
12
3. Teknik Pengumpulan Data
Penulis menggunakan teknik pengumpulan data merupakan cara
mengumpulkan bahan-bahan hukum yang dibutuhkan untuk menjawab
rumusan masalah penelitian. Menurut Peter cara mengumpulkan data
meliputi sumber hukum primer dan sumber hukum sekunder. Antara lain
sebagai berikut :9
a) Sumber hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat
autoritatif, artinya mempunyai otoritas, bahan-bahan hukum primer
terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah
dalam pembuatan undang-undang dan putusan-putusan hakim.
b) Sumber hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum
yang bukan merupakan dokumentasi-dokumentasi resmi. Publikasi
tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum,
jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan
pengadilan. Ada juga bahan hukum seperti skripsi, tesis dan
disertasi hukum.
4. Analisis Data
Teknik analisis data adalah proses penyederhanaan data ke dalam
bentuk yang lebih mudah dibaca atau mudah dipahami dan diinformasikan
kepada orang lain.10
Pada tahapan ini, data yang diperoleh dari Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2017, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945, diolah dan dimanfaatkan sedemikian rupa hingga dapat
menyimpulkan kebenaran-kebenaran yang dapat digunakan untuk
menjawab persoalan yang diajukan dalam penelitian. Adapun data-data
tersebut dianalisis menggunakan metode deskriptif, yaitu menganalisis dan
menjelaskan suatu permasalahan dengan memberikan suatu gambaran
secara jelas sehingga menemukan jawaban yang diharapkan.
9 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Surabaya: Prenada Media Group, 2016), h.
181.
10 Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif, (Bandung: Alfabeta, 2004), h.
244.
13
5. Teknis Penulisan Skripsi
Penulisan skripsi ini berpedoman pada “Buku Pedoman Penulisan
Skripsi Fakultas Syari‟ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan oleh FSH UIN Jakarta tahun 2017.”
H. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan dalam penulisan skripsi ini, penulis membuat
sistematika penulisan dengan membagi kepada lima (5) bab, tiap-tiap bab
terdiri dari sub-sub bab dengan rincian sebagai berikut :
BAB I Pendahuluan. Bab ini berisi latar belakang masalah,
identifikasi masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, tinjauan (review) kajian terdahulu, metode penelitian dan
sistematika penulisan.
BAB II Tinjauan Umum Konsep Negara Hukum. Bab ini
menguraikan konsep negara hukum menurut teori ilmu negara, dan teori
tentang negara hukum, serta teori kedaulatan menurut konsep negara hukum.
BAB III Pengaturan Ormas Dalam Perundang-Undangan. Bab ini
menguraikan organisasi kemasyarakatan menurut perundang-undangan, dan
latar belakang munculnya perppu dan undang-undang nomor 16 tahun2017
tentang ormas.
BAB IV Pembubaran Ormas Dalam Negara Hukum. Bab ini berisi
perbandingan pembubaran ormas dalam undang-undang nomor 17 tahun
2017 dengan undang-undang nomor 17 tahun 2013, dan analisis undang-
undang nomor 16 tahun 2017 tentang penetapan perppu nomor 2 tahun 2017
tentang ormas ditinjau dari teori negara hukum.
BAB V Penutup. Bab ini berisi kesimpulan dan saran.
14
BAB II
TINJAUAN UMUM KONSEP NEGARA HUKUM
A. Konsep Negara Hukum Menurut Teori Ilmu Negara
1. Definisi Teori Tujuan Negara
Negara adalah suatu kekuasaan yang mempunyai tugas dan fungsi
konstitusional dalam menjalankan roda-roda pemerintahan yang terkait
dengan keputusan pemerintah dan kepentingan rakyat. Namun, hadirnya
konstitusi dan Undang-Undang Dasar 1945 merupakan mandat yang harus
diimplementasikan.
Maleha Soemarsono menegaskan dalam perspektif kajian teori
ilmu Negara, masalah tujuan Negara dapat dilihat dari 3 (tiga) sudut
peninjauan, yaitu;1
a. Tujuan Negara berkaitan dengan tujuan akhir manusia
b. Tujuan kekuasaan
c. Tujuan kemakmuran
Untuk itu pola menjalankan kekuasaan Negara harus berdasarkan
konstitusi, sebab tujuan didirikannya suatu Negara bersumber pada
konstitusi. Dalam hubungan timbal balik inilah Negara tanpa konstitusi,
maka Negara tidak akan mampu berdiri tegak. Begitu sebaliknya, amanat
Undang-Undang Dasar 1945 yang memerintahkan pada Negara agar tidak
kerap menyeleweng dari aturan.
Diskursus soal Negara sebenarnya sudah dijelaskan oleh beberapa
sarjana terkenal terkait pengertian Negara adalah sebagai berikut;2
1. Roger H. Soltau
“Negara adalah alat agency atau wewenang/authority yang mengatur atau mengendalikan persoalan-persoalan bersama atas
nama masyarakat.
1 Maleha Soemarsono, “Negara Hukum Indonesia Ditinjau Dari Sudut Teori Tujuan
Negara”, dalam Jurnal Hukum dan Pembagunan, Vol. 37. No. 2, April-Juni 2007, h. 301-302.
2 Moh. Kusnadi, dan Bintang R. Saragih, Ilmu Negara, (Jakarta: Radar Jaya Pratama,
2000), h. 57.
15
2. Max Weber
“Negara adalah suatu masyarakat yang mempunyai monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam sesuatu wilayah.”
3. Robert M. Mac. Iver
“Negara adalah asosiasi yang menyelenggarakan penertiban dalam suatu masyarakat dalam suatu wilayah dengan berdasarkan sistem
hukum yang diselenggarakan oleh suatu pemerintah yang untuk maksud tersebut diberi kekuasaan memaksa.”
4. Miriam Budiardjo
“Negara adalah suatu daerah territorial yang rakyatnya diperintah (governed) oleh sejumlah pejabat dan yang berhasil menuntut dari warga negaranya ketaatan pada peraturan perundang-undangnya
melalui penguasaan (kontrol) monopolistis dari kekuasaan yang sah.” Dari bebeperapa pendapat sarjana di atas penulis mengartikan
bahwa Negara dituntut mampu menyelesaikan semua persoalan yang
terkait dengan kepentingan penguasa dan rakyat. Oleh sebab itu, menurut
Bintan R. Saragih, apabila kepentingan umum dirugikan, maka Negara
harus campur tangan antara masyarakat hukum yang satu terhadap
masyarakat hukum lainnya.3
2. Teori Kekuasaan Negara
Teori kekuasaan Negara sudah diperbincangkan sejak zaman
Yunani kuno. Misalnya, Plato, dan Aristoteles, dua pemikir besar di zaman
itu menyatakan bahwa Negara memerlukan kekuasaan yang mutlak.
Kekuasaan ini diperlukan untuk mendidik warganya dengan nilai-nilai
moral yang rasional.4
3 Moh. Kusnadi, dan Bintang R. Saragih, Ilmu Negara, h. 19.
4 Abdul Ghoffar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD
1945 dengan Delapan Negara Maju, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 10-11.
16
Definisi mengenai kekuasaan telah banyak dikemukakan oleh para
ahli. Max Weber dalam bukunya Wirtschafgt und Gessellshaft (1992)
seperti yang dikutip oleh Miriam Budiardjo5: “Kekuasaan adalah
kemampuan untuk, dalam suatu hubungan sosial, melaksanakan kemauan
sendiri sekalipun mengalamai perlawanan, dan apapun dasar kemampuan
ini (macht beduetet jede chance innerhalb einer soziale Beziehung den
eigenen Willen durchzusethen auch gegen Widerstreben durchzustzen,
gleichviel worauf diese chance beruht).”
Sementara itu apabila kita mengacu pada teori kekuasaan menurut
pendapat Ramlan Surbakti dan Robert Dahl. Sebagaimana yang dikutip
oleh Siti Nuraini dalam buku “Memahami Ilmu Politik” menurut Ramlan
Surbakti, kekuasaan diartikan sebagai berikut : “Kekuasaan secara umum
diartikan sebagai kemampuan menggunakan sumber-sumber pengaruh
yang dimiliki untuk mempengaruhi pihak lain sehingga pihak lain
berperilaku sesuai dengan kehendak pihak yang mempengaruhi. Dalam
arti sempit kekuasaan dapat dirumuskan sebagai kemampuan untuk
menggunakan sumber-sumber pengaruh untuk mempengaruhi proses
pembuatan dan pelaksanaan keputusan sehingga keputusan
menguntungkan dirinya, kelompoknya ataupun masyarakat pada
umumnya6.
Kekuasaan dalam perkembanganya digunakan untuk
mempengaruhi kebijakan umum dengan tujuan agar kebijakan tersebut
sesuai dengan keinginan memegang kekuasaan itu sendiri. Hal ini relevan
dengan definisi yang disampaikan oleh para ilmuan politik yang secara
umum menjelaskan bahwa kekuasaan adalah mempengaruhi seseorang
agar bertingkah laku sesuai dengan yang diinginkan. Kekuasaan
mempunyai jangkauan cukup luas meliputi kemampuan untuk
5 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008),
h. 63.
6 Siti Nuraini, “Hubungan Kekuasaan Elit Pemerintahan Desa”, Jurnal Kybernan,
Vol.1.Maret 2010, Bekasi. h.11
17
mempengaruhi pihak lain, kemampuan untuk memerintah, kemampuan
untuk memberi keputusan, serta mempengaruhi pihak lain.
Memang Negara dan kekuasaan adalah dua hal yang sangat relavan
dalam menjalankan kepentingan umum, akan tetapi juga Negara dan
keuasaan tidak seolah-olah terlepas dari genggaman hukum sebagai aturan
yang mengatur tindakan pemegang kekuasaan Negara agar tidak
menyalahgunakan aturan hukum yang ada. Dalam konteks ini, tentu
karena adanya formalisasi kekuasaan Negara pada Negara hukum. Yaitu,
Negara yang ada kekuasaanya tetapi tindaknnya harus berdasarkan hukum.
B. Teori tentang Negara Hukum
1. Istilah Negara Hukum
Dari segi terminologi ditemukan beberapa penamaan atau sebutan
tentang Negara hukum. Misalnya di Indonesia biasa disebut dengan istilah
Negara hukum proklamasi, Negara hukum Pancasila, Negara hukum
Indonesia.7 Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan
bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang-Undang Dasar.8
Dalam teori ilmu Negara menegaskan bahwa hubungan antara
Negara dan hukum harus dilihat sebagai hubungan timbal balik.
Kekuasaan (Negara) tanpa hukum, tidak memiliki kewibawaan, sedangkan
hukum tanpa dukungan (sanksi), sulit ditegakkan. Dalam hubungan
tersebut, hukum meligitimasi Negara, sedangkan Negara mempositifkan
(menciptakan, menegaskan, dan memberlakukan) dan menegakkan
7 Nurul Qamar, Negara Hukum Atau Negara Undang-Undang, (Makassar: Pustaka
Refleksi, 2010), h. 4.
8 Andi Salman Maggalatung, “Hubungan Antara Fakta, Norma, Moral, dan Doktrin
Hukum Dalam Pertimbangan Putusan Hakim”, dalam Jurnal Cita Hukum, Vol. 1. No. 2,
Desember 2014, h. 186.
18
hukum. Jadi, yang menjadi ciri khas Negara hukum ialah hubungan antara
Negara dan hukum. Keduanya saling terkait dan saling mengisi.9
Karena itulah Negara hukum mempunyai kedudukan yang sangat
penting terhadap upaya penegakan prinsip-prinsip kehidupan bernegara,
kedudukan tersebut bertujuan dalam rangka mewujudkan cita-cita
penegakan hukum yang prosedural berdasarkan sumber hukum tertinggi
negara (konstitusi dan Undang-Undang Dasar 1945).
Dalam teori ilmu Negara konsep Negara hukum telah kita jumpai
sejak jaman Yunani. Artistoteles, berpendapat bahwa yang dimaksud
Negara hukum;10
“Adalah Negara yang berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan bagi seluruh warga Negara. Dengan adanya keadilan dalam masyarakat, maka akan tercapai kebahagiaan. Untuk itu
harus ditanamkan norma-norma susila pada rakyat, agar mereka menjadi warga Negara yang baik, dan peraturan hukum juga harus mencerminkan keadilan.”
Istilah Negara hukum yang dipergunakan, dapat dianalogikan
dengan padangan yang dipergunakan dalam bahasa asing pada Negara-
Negara Eropa Kontinental atau Negara Civil Law System (sistem yang
menggunakan pembagian dasar ke dalam hukum perdata dan hukum
publik), dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah rechsstaat11
.
Beberapa pendapat tersebut menjelaskan bahwa kekuasaan itu
adalah mutlak mengatur suatu Negara yang tidak hanya bersumber pada
kedudukan dan kewenangan bagi penguasa, melainkan setiap tindakan
kekuasaan Negara yang bersumber pada konsep Negara hukum dituntut
mematuhi dan mentaati peraturan perundang-perundangan.
9 Krisna Harahap, Konstitusi Republik Indonesia Menuju Perubahan Ke 5, (Bandung:
Grafitri, 2004), h. 12.
10 Maleha Soemarsono, “Negara Hukum Indonesia Ditinjau Dari Sudut Teori Tujuan
Negara”, h. 305.
11 Nurul Qomar, Negara Hukum Atau Negara Undang-Undang, h. 5.
19
Negara hukum telah merupakan suatu diskusi panjang dalam
sejarah peradaban umat manusia. Karena ribuan tahun yang lalu diskusi ini
telah ada dalam gagasan umat manusia dalam kaitannya membentuk suatu
Negara yang ideal, meskipun dalam formatnya yang masih sangat
sederhana. Para filsuf Yunani misalnya, sejak kira-kira abad V sebelum
Masehi, telah menggagas cita-cita Negara hukum yang ideal.12
Untuk membendung adanya kesewenang-wenangan dari kekuasaan
yang mempraktikkan sistem yang absolut dan mengabaikan hak-hak
rakyat muncul ide dilahirkannya Negara hukum.13
Dengan demikian,
untuk mewujudkan tujuan Negara sebagai Negara hukum, maka
dibentuklah sebuah lembaga peradilan yang memikul tugas dan
kewenangan untuk menegakkan hukum.14
Karena itu konsep Negara hukum adanya pemisahan kekuasaan
Negara yang mempunyai tugas dan fungsi pokok yang bersifat
konstitusional, sehingga pembagian kekuasaaan ini sesuai dengan tugas
dan fungsinya untuk mengontrol keseimbangan diantara kekuasaan lainnya
serta menghindari praktik kesewenang-wenangan pemerintah dalam
menyelesaikan persoalan hukum yang terjadi.
John Locke pernah menegaskan terkait esensi tugas Negara
sebagaimana di bawah ini;15
“Negara secara alamiah diatur oleh hukum alam yang harus
dipatuhi oleh setiap orang sebagai hukum, memberi arahan dalam
kehidupan manusia di mana setiap orangmempunyai kebebasan dan
persamaan, tidak seorang pun boleh mengganggu kehidupan,
kemerdekaan atau memenjarakan orang lain.”
12 Sayuti, “Konsep Rechsstaat Dalam Negara Hukum Indonesia”, dalam Jurnal Nalar
Fiqh, Vol. 4. No. 2, Desember 2011, h. 81.
13 Muntoha, Negara Hukum Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945, (Yogyakarta:
Kaukaba, 2013), h. 1.
14 Andi Salman Maggalatung, “Hubungan Antara Fakta, Norma, Moral, dan Doktrin
Hukum Dalam Pertimbangan Putusan Hakim”, h. 186.
15 Sayuti, “Konsep Rechsstaat Dalam Negara Hukum Indonesia”, h. 87.
20
Salah satu cara menghindari tindakan kesewenang-wenangan itulah
hukum tidak hanya sebagai pedoman masyarakat. Namun, hukum sebagai
alat kontrol sosial (social control) yang bersumber pada kepastian dan
kemanfaatan hukum itu sendiri, sehingga adanya hukum adalah sebagai
tumpuan dan harapan bagi masyarakat sebagai pencari keadilan untuk
memperjuangkan hak-haknya sebagai warga Negara.
Meskipun kewenangan pemerintah itu bersifat prosedural Negara
hukum dipandang sebagai satu pilihan terbaik dalam menata kehidupan
kenegaraan yang berdasarkan demokrasi dengan suatu konstitusi yang
mengatur hubungan antar Negara dan rakyat.16
Artinya, setiap persoalan
hukum yang terjadi baik itu pemerintah ataupun masyarakat harus melalui
metode penyelesaian hukumnya.
Berdasarkan sumber hukum konstitusi dan Undang-Undang Dasar
1945 tentu hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak
boleh ditetapkan secara sepihak oleh dan atau hanya untuk kepentingan
penguasa. Hal ini bertentangan dengan prinsip demokrasi, karena hukum
tidak dimaksudkan hanya untuk menjamin kepentingan beberapa orang
yang berkuasa, melainkan menjamin kepentingan keadilan bagi semua
orang sehingga Negara hukum yang dikembangkan bukan absolute
rechtsstaat, tetapi democratische rechtsstaat.17
2. Definisi Negara Hukum
Menurut sejarahnya bahwa embrio tentang gagasan Negara hukum
telah dikemukakan oleh Plato, ketika ia mengintroduksi konsep Nomoi,
sebagai karya tulis ketiga yang dibuat di usia tuannya. Sementara itu,
dalam dua tulisan pertama, politeia dan Politicos, belum muncul istilah
Negara hukum. Dalam Nomoi, Plato mengemukakan bahwa
16 Nurul Qomar, Negara Hukum Atau Negara Undang-Undang, h. 1.
17 Muntoha, “Demokrasi dan Negara Hukum”, dalam Jurnal Hukum, Vol. 16. No. 3, Juli
2009, h. 380.
21
penyelenggara Negara yang baik ialah yang didasarkan pada pengaturan
(hukum) yang baik.18
Pengertian Negara hukum juga ditegaskan oleh Hugo Grabbe
bahwa;
“Seharusnya Negara hukum (rechsstaat) dan setiap tindakan
Negara harus didasarkan pada hukum atau dapat dipertanggungjawabkan pada hukum.”
Plato berpendapat terkait pengertian Negara hukum secara normatif
bahwa;19
“Negara hukum tersebut adalah untuk mencegah kekuasaan
sewenang-wenang oleh penguasa Negara dan untuk melindungi hak-hak rakyat dari tindakan pemerintahan yang tidak adil dan kesewenang-wenangan yang membuat penderitaan bagi rakyat.”
Pendapat A. Hamid S. Attami merujuk pada pada pandangan
Bunkers, mengatakan bahwa;20
“Negara hukum (rechsstaat) secara sederhana adalah Negara yang
menempatkan hukum sebagai dasar kekuasaan Negara dan penyelenggaraan kekuasaan tersebut dalam segala bentuknya dilakukan di bawah kekuasaan hukum.”
Sedangkan menurut Philipus M. Hadjon mendefinisikan Negara
hukum sebagai berikut;21
“Negara hukum hakekatnya bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum bagi rakyat, bahwa perlindungan hukum bagi rakyat terhadap tindak pemerintah dilandasi oleh dua prinsip, prinsip hak asasi manusia dan prinsip Negara hukum. Pengakuan
dan perlindungan terhadap hak asasi manusia mendapat tempat utama dan dapat dikatakan sebagai tujuan daripada Negara hukum.”
18 Nurul Qamar, Negara Hukum Atau Negara Undang-Undang, h. 6.
19 Nurul Qamar, Negara Hukum Atau Negara Undang-Undang, h. 6-7.
20 Nurul Qamar, Hak Asasi Manusia dalam Negara Hukum Demokrasi, h. 10.
21 Nurul Qomar, Hak Asasi Manusia dalam Negara Hukum Demokrasi, h. 24.
22
Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa
Negara Indonesia adalah Negara hukum,22
dalam konteks kehidupan
berbangsa dan bernegara pemerintah dan masyarakat harus tunduk pada
tatanan hukum yang berlaku. Sebagai Negara hukum, Indonesia
mempunyai implementasi serangkaian proses hukum yang terbagi menjadi
dua bagian. Yaitu, proses pembuatan hukum, dan penegakan hukum.
Mekanisme pembuatan hukum secara garis besar juga diharuskan
bersumber pada pelaksanaan konstitusi dan Undang-Undang Dasar 1945
agar setiap tindakan pemerintah dan aparat penegak hukum menjaga
keseimbangan (check and balance) terhadap kewenangan yang diatur.
Dalam hal ini, untuk menghindari penegakan hukum yang tidak
prosedural.
Bahkan Algra dan Jansen memberikan pandangan yang substantif
bahwa;23
“Negara hukum menjadikan hukum sebagai aturan main dalam penyelenggaraan kenegaraan, pemerintahan dan kemasyarakatan, sementara tujuan hukum itu sendiri antara lain. Opleged om de semenselving vreedzaam, rechsvaarding, en doelmatig te ordenen,
(diletakkan untuk menata masyarakat yang damai, adil dan bermakna).”
Artinya sasaran dari Negara hukum adalah terciptanya kegiatan
kenegaraan, pemerintahan, dan kemasyarakatan yang bertumpu pada
keadilan, kedamaian, dan kemanfaatan atau kebermaknaan. Dalam Negara
hukum, eksistensi hukum dijadikan sebagai instrument dalam menata
kehidupan kenegaraan, pemerintahan, dan kemasyarakatan.
Secara sederhana pengertian Negara hukum dikatakan oleh
Bohtling bahwa;24
22 Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945.
23 Nurul Qamar, Hak Asasi Manusia dalam Neara Hukum Demokrasi, h. 11-12.
24 Nurul Qamar, Hak Asasi Manusia dalam Neara Hukum Demokrasi, h. 27.
23
“Negara hukum adalah Negara di mana kebebasan kehendak pemegang kekuasaan dibatasi oleh ketentuan hukum.”
Pendapat tersebut menunjukkan bahwa kedaulatan hukum
merupakan instrumen utama dalam deklarasi Negara hukum yang
mencantumkan dalam konstitusinya sebagai Negara yang berdasarkan atas
hukum, sehingga dengan deklarasi inilah kewenangan pemerintah sebagai
pelaksana kekuasaan harus mengontrol sesuai koridor hukum yang
berlaku.
Andi Salman Maggalatung menegaskan tentang tujuan daripada
konsep Negara hukum sebagai berikut;25
“Segala bentuk yang berkaitan dengan menjalankan tujuan Negara Indonesia harus berlandaskan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku dan hukum yang hidup dan berkembang dalam
masyarakat.” Berdasarkan pendapat di atas cenderung pada tujuan Negara yang
yang dapat memberikan ruang atau kesempatan bagi masyarakat dalam
memperjuangkan hak-haknya sebagai warga Negara agar mendapatkan
perlindungan demi tegaknya supremasi hukum, sehingga karena dengan
implikasi hukum itulah kedaulatan tidak hanya berpihak pada penguasa.
Akan tetapi pada masyarakat.
Secara formal Negara hukum mampu mengimplementasikan fungsi
dan tujuan penegakan hukum yang bertindak sesuai dengan ketentuan
hukum, karena penuangan hukum dalam suatu Negara adalah suatu
keniscayaan agar prinsip-prinsip itu dijalankan oleh aparat penegak
hukum, dan pemegang kekuasaan agar tidak serta merta melakukan
tindakan yang menyimpang dari aturan.
3. Unsur-Unsur Negara Hukum
Sebelum berangkat pada gagasan atau ide soal Negara hukum,
tentu Negara hukum itu dapat diartikan sebagai Negara di mana tindakan
25 Andi Salman Maggalatung, “Hubungan Antara Fakta, Norma, Moral, dan Doktrin
Hukum Dalam Pertimbangan Putusan Hakim”, h. 186.
24
pemerintah maupun rakyatnya didasarkan atas hukum untuk mencegah
adanya tindakan sewenang-wenang dari pihak penguasa dan tindakan
rakyat menurut kehendaknya sendiri.26
Ide tentang konsep Negara hukum merupakan hal yang sangat
mendasar dalam sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, karena
adanya konsep ini adalah bentuk penuangan hukum dalam mengatur suatu
Negara agar dapat berjalan secara prosedural. Oleh karena itu menurut
Stahl, konsep Negara hukum yang disebut dengan istilah rechsstaat
mencakup empat elemen penting, yaitu;
1. Perlindungan hak asasi manusia
2. Pembagian kekuasaan
3. Pemerintahan berdasarkan undang-undang
4. Peradilan tata usaha Negara
Dalam konteks bernegara yang berdasarkan atas hukum tentu hak-
hak warga Negara mempunyai kedudukan yang di mata hukum atau yang
dikenal dengan istilah persamaan (equal) di hadapan hukum. Artinya,
Negara hukum tidak hanya bertumpu pada aturan yang sifatnya formal,
akan tetapi, juga penting memperhatikan hak-hak warga Negara tersebut.
International Commission of Jurist menentukan pada syarat-syarat
representative government under the rule of law, sebagai berikut;27
1. Adanya proteksi konstitusional
2. Adanya pengadilan yyang bebas dan tidak memihak
3. Adanya pemilihan umum yang bebas
4. Adanya kebebasan untuk menyatakan pendapat dan berserikat
5. Adanya tugas oposisi
6. Adanya pendidikan civic
26 Moh. Kusnadi, dan Bintang R. Saragih, Ilmu Negara, h. 91.
27 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Edisi ke-dua,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h. 130-131.
25
Prinsip-prinsip Negara hukum selalu berkembang seiring dengan
perkembangan masyarakat dan Negara. Prof. Utrecht membedakan dua
macam Negara hukum, yaitu Negara hukum formil atau Negara hukum
klasik, dan Negara hukum materiil atau Negara hukum modern.
Negara hukum formil menyangkut pengertian hukum yang bersifat
formil dan sempit, yaitu dalam arti peraturan perundang-undangan tertulis
terutama. Tugas Negara adalah melaksanakan praturan perundang-
undangan tersebut untuk menegakkan ketertiban. Tipe Negara hukum
tradisional ini dikenal dengan istilah penjaga malam. Negara hukum
materiil mencakup pengertian yang lebih luas termasuk keadilan di
dalamnya.
Dari persoalan prinsip Negara hukum modern ini hukum sebagai
aturan untuk menegakkan keadilan tanpa menciderai prinsip-prinsip
Negara hukum itu sendiri, termasuk lembaga peradilan yang menjembatani
antara masyarakat dengan aparat penegak hukum sebagai salah satu
metode penyelesaian hukum agar tidak ada tindak sewenang-wenang.
4. Prinsip-Prinsip Negara Hukum
Negara Indonesia yang diformalkan menjadi Negara hukum tentu
harus mempunyai kriteria dalam menegakkan hukum agar sesuai dengan
prinsip-prinsip yang tertuang di dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Dalam hal ini, ada perumusan prinsip untuk menopang pelaksanaan suatu
Negara yang berdasarkan atas hukum.
Berdasarkan berbagai prinsip Negara hukum yang telah
dikemukakan tersebut dan melihat kecenderungan perkembangan Negara
hukum modern yang melahirkan prinsip-prinsip penting baru untuk
mewujudkan Negara hukum, maka terdapat dua belas prinsip pokok
sebagai pilar-pilar utama yang menyangga berdirinya Negara hukum.
Menurut Jimly Asshiddiqie kedua belas prinsip tersebut adalah sebagai
berikut;28
28 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi,), h. 131-132.
26
1. Supremasi Hukum (Supremacy of Law)
2. Persamaan dalam Hukum (Equality before the Law)
3. Asas Legalitas (Due Process of Law)
4. Pembatasan Kekuasaan
5. Organ-Organ Penunjang yang Independen
6. Peradilan Bebas dan Tidak Memihak
7. Peradilan Tata Usaha Negara
8. Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court)
9. Perlindungan Hak Asasi Manusia
10. Bersifat Demokratis (Democratishe Rechsstaat)
11. Transparansi dan Kontrol Sosial
Perkembangan prinsip-prinsip hukum Negara hukum tersebut
dipengaruhi oleh semakin kuatnya penerimaan paham keadulatan rakyat
dan demokrasi dalam kehidupan bernegara menggantikan model-model
Negara tradisional. Prinsip-prinsip Negara hukum (nomocratie) dan
prinsip-prinsip kedaulatan rakyat (democratie) dijalankan secara
beriringan sebagai dua sisi dari satu mata uang.
Sebagai Negara hukum, Indonesia menerima secara final kedua
belas prinsip itu mengandung kepastian hukum. Karena model-model
konsep Negara hukum seperti ini, maka setiap penegakan hukum pada
umumnya akan mengikuti prosedur yang berlaku. Sebab itu konsep ini
dituangkan serta diakui secara konstitusional.
5. Ciri-Ciri Negara Hukum
Istilah “the rule of law” mulai popular dengan terbitnya buku
Albert Venn Dicey pada tahun 1885 dengan judul Introduction to study of
the law of the Constitution. Sementara itu, istilah “rechsstaat” mulai
populer di Eropa sejak abad XIX kendatipun pemikiran mengenai hal
tersebut sudah lama ada. Konsep yang terakhir ini lahir dari suatu
perjuangan absolutism, sehingga sifatnya revolusioner. Sebaliknya, konsep
the rule of law berkembang secara evolusiner.
27
Albert Venn Dicey memperkenalkan adanya tiga ciri-ciri dari
Negara hukum;29
1. Supremacy of Law (Supremasi hukum, artinya yang
mempunyai kekuasaan yang tertinggi di dalam Negara adalah
hukum)
2. Equality Before The Law (Persamaan dalam kedudukan hukum
bagi setiap orang)
3. Human Rights (Konstitusi tidak merupakan sumber dari hak-
hak asasi manusia dan jika hak-hak asasi manusia diletakkan
dalam konstitusi, itu hanya sebagai penegasan bahwa hak asasi
itu harus dilindungi)
Mengenai Supremacy of Law yang dilontarkan oleh A.V. Dicey
mengandung maksud bahwa hukum mempunyai kedudukan yang tertinggi
dalam rangka mencegah kekuasaan (pemerintah) agar tidak menyimpang
dari undang-undang. Dengan demikian, kekuasaan akan tunduk kepada
hukum, bukan sebaliknya hukum tunduk kepada kekuasaan.
Apabila hal ini terjadi, berarti kekuasaan dapat membatalkan
hukum, sehingga hukum itu dijadikan alat untuk membenarkan kekuasaan.
Oleh sebab itu, hukum tidak boleh menjadi alat, tetapi harus menjadi
tujuan, walaupun tujuan yang dimaksud bukanlah hukum ansich,
melainkan untuk melindungi kepentingan rakyat, sehingga antara hukum
dan kepentingan rakyat merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan.
Mengenai soal deklarasi Negara hukum terbukti oleh berbagai
pernyataan yang mencerminkan Indonesia sebagai Negara hukum antara
lain;30
29 Krisna Harahap, Konstitusi Republik Indonesia Menuju Perubahan Ke 5, h. 22-23.
30 Sugiyanto, dan Bambang Giyanto, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Lembaga
Administrasi Negara, 2008), h. 16-17.
28
1. Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia
Tahun 1945 (setelah diamandemen) pasal 1 ayat (3) disebutkan
bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum.
2. Bab X pasal 27 ayat (1) yang menyatakan segala warga Negara
bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintah
wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak
ada kecualinya.
3. Dalam sumpah/janji Presiden/Wakil Presiden, terdapat kata-
kata “memegang teguh Undang-Undang Dasar dan
menjalankan segala Undang-Undang dan peraturannya dengan
selurusnya.”
4. Pasal 28 ayat (5) “untuk penegakan dan melindungi hak asasi
manusia sesuai dengan prinsip Negara hukum yang demokratis,
maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan
dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.”
5. Pasal 28 “setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia
orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara.”
6. Dalam penjelasan UUD 1945 yang sekarang sudah dihapus
sistem pemerintahan Negara, tapi maknanya masih dapat
dipakai yaitu Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas
hukum (rechsstaat) tidak berdasarkan kekuasaan belaka
(machsstaat), dan pemerintah berdasarkan sistem konstitusi
(hukum dasar) tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak
terbatas).
7. Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
disebutkan “sebagai negara yang berdasarkan pada Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, segala aspek kehidupan dalam kemasyarakatan,
29
kebangsaan, dan kenegaraan termasuk pemerintahan harus
senantiasa berdasarkan atas hukum.”
Artinya setiap orang atau organisasi masyarakat yang dianggap
melakukan tindakan yang bertentangan paham ideologi Pancasila. Tentu
pemerintah harus menjunjung tinggi lembaga peradilan sebagai lembaga
penegak hukum yang mempunyai tugas untuk memutuskan perkara
tersebut.
Karena dengan bagaimanapun hak untuk hidup, hak untuk tidak
dipaksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama,
hak untuk tidak diperbudak, hak untuk sebagai pribadi di hadapan hukum,
dan hak untuk tidak dapat dituntut atas dadasr hukum yang berlaku surut
adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan
apapun.31
Sumber hukum di atas tersebut memperkuat bahwa ciri-ciri Negara
hukum adalah Negara yang mampu menegakkan supremasi hukum, hak
asasi manusia, dan setiap orang mempunyak kedudukan yang sama di
muka hukum, sehingga ciri-ciri ini juga tertuang di dalam undang-undang
yang mengatakan, untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia
sesuai dengan prinsip Negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan
hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan
perundang-undangan.32
Artinya secara normatif adanya undang-undang di atas
memperjelas agar pemerintah dalam membubarkan organisasi masyarakat
harus melalui jalur hukum yaitu lembaga peradilan untuk menjaga
keseimbangan (check and balances) antara lembaga eksekutif dan lembaga
yudikatif sebagai kekuasaan Negara yang juga menjalankan amanah
undang-undang.
31 Pasal 28 huruf I ayat (1) Undang-Undang Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945.
32 Pasal 28 huruf I ayat (5) Undang-Undang Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945.
30
C. Teori Kedaulatan Menurut Konsep Negara Hukum
1. Definisi Teori Kedaulatan
Kedaulatan ini adalah suatu nilai yang dinormakan dalam konsep
bernegara agar Negara dan rakyat mempunyai hak yang sama dalam
memperjuangkan hak-haknya sebagai warga Negara untuk mendapatkan
perlindungan serta kedudukan yang sama di hadapan hukum demi
tegaknya prinsip supremasi hukum.
Istilah kedaulatan dalam teori Hukum Tata Negara merupakan
padanan istilah sovereignty (Ingris), souverainete (Prancis), souvereniteit
(Belanda), souranus (Italia). Semua istilah tersebut berasal dari kata latin,
superanus, yang mempunyai arti “tertinggi”.
Dalam perkembangannya, muncul teori-teori kedaulatan yang
mencoba untuk merumuskan siapa dan apakah yang berdaulat dalam suatu
negara. Laski menyatakan sebagai berikut;
“The modern state is a sovereign state. It is, therefore, independent
in the face of other communities. It may infuse its will towards them with a substance which need not be affected by the will of any external power. It is, moreover, internally supreme over the territory that it control.”
Jadi, menurut anggapan Laski, kedaulatan merupakan suatu
keharusan yang dimiliki oleh Negara yang ingin independen atau merdeka
dalam menjalankan kehendak rakyat yang dipimpinnya, sehingga
kedaulatan merupakan hal yang mempengaruhi seluruh kehidupan
bernegara.
Hal ini senada dengan pernyataan Bodin, yang dikenal sebagai
bapak teori kedaulatan, yang merumuskan kedaulatan sebagai berikut;
“Suatu keharusan tertinggi dalam suatu Negara, di mana kedaulatan dimiliki oleh Negara dan merupakan ciri utama yang membedakan organisasi Negara dari organisasi yang lain di dalam Negara, karena kedaulatan adalah wewenang tertinggi yang tidak dibatasi
oleh hukum dari pada penguasa atas warga negara dia dan orang-orang lain dalam wilayahnya.”
31
Pada perkemabangan berikutnya, prinsip-prinsip kedaulatan
tersebut dirumuskan secara berbeda-beda yang disesuaikan dengan konsep
Negara dan pemerintahan yang berlaku. Setidaknya, ada lima bentuk
kedaulatan yang dapat diketahui sebagai berikut;33
1. Kedaulatan Tuhan
2. Kedaulatan Raja
3. Kedaulatan Rakyat
4. Kedaulatan Negara
5. Kedaulatan Hukum
Dari semua teori kedaulatan ini, kedaulatan hukum merupakan
puncak keadilan bagi masyarakat yang membedakan dari aspek kedaulatan
lainnya. Karena itu, kekuasaan tertinggi berada pada hukum yang
bersumber pada kesadaran hukum pada setiap orang, sehingga setiap
tindakan baik itu dari penguasa maupun rakyat mempunyai kedudukan
yang sama dalam sendi-sendi kehidupan bernegara.
Namun ada juga yang mengatakan kedaulatan rakyat dalam teori
dan sejarah kenegaraan dialnjukan dan kedaulatan hukum, sekalipun
mengenai hal ini ada dua pendapat yaitu;34
1. Bahwa hukum berdaulat karena sifatnya yang imperative dan
tanpa diterima oleh rakyat pun hukum tetap berlaku (Hans
Kelsen).
2. Bahwa hukum berdaulat karena ia bersumber kepada
kesadaran-kesadaran hukum dari rakyat.
Dari pengertian yang kedua ini kedaulatan hukum merupakan
kelanjutan dari kedaulatan rakyat. Oleh sebab itu, pada dasarnya hukum
yang baik adalah hukum yang diterima oleh rakyat karena ia
mencerminkan kesadaran hukumnya.
33 Jazim Hamidi, dkk, Teori Hukum Tata Negara, (Jakarta: Salemba Humanika, 2012), h.
3-4.
34 Moh. Kusnadi, dan Bintang R. Saragih, Ilmu Negara, h. 135.
32
BAB III
PENGATURAN ORMAS DALAM PERUNDANG-UNDANGAN
A. Organsasi Kemasyarakatan Menurut Peraturan Perundang-Undangan
1. Definisi Organisasi Masyarakat
Organisasi adalah suatu perkumpulan atau wadah untuk melakukan
gerakan di bidang kegiatan-kegiatan baik itu kegiatan sosial keagamaan
maupun kemasyarakatan, wadah ini mempunyai peranan yang sangat
penting dalam upaya memaksimalkan aspirasi dari masyarakat untuk
memajukan pembangunan nasional.
Organisasi kemasyarakatan ini mempunyai suatu kemerdekaan
berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat serta memajukan
dirinya dalam memperjuangkan haknya secara individu ataupun kolektif
untuk membangun masyarakat, bangsa, dan Negara Kesatuan Republik
Indonesia sebagai perwujudan hak asasi manusia1, secara normatif hak
asasi dan kebebasan ini dalam konteks individu dan kolektif, sehingga
setiap orang yang mempunyai kebebasan pada era demokratis paling tidak
mempunyai kewajiban untuk menghormati dan tunduk pada peraturan
perundang-undangan.
Secara mendasar pengertian tentang organisasi masyarakat (ormas)
ditegaskan sebagai berikut;2
“Organisasi masyarakat adalah organisasi yang didirikan dan
dibentuk oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan
aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan dan tujuan
untuk berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya tujuan
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila.”
1 Arianti, Tinjauan Sosiologi Hukum Terhadap Aksi Organisasi Masyarakat Front
Pembela Islam (FPI) Dalam Kaitannya Dengan Konflik Keagamaan Di Kota Makassar,
(Makassar: Fakultas Hukum Unhas, 2014).
2 Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi
Kemasyarakatan.
33
Untuk lebih berperan dan bisa disebut dalam melaksanakan
fungsinya sebagai organisasi kemasyarakatan berserikat dan berkumpul
dalam satu wadah pembinaan dan pengembangan yang sejenis. Penentuan
organisasi kemasyarakatan yang mempunyai ruang lingkup nasional,
provinsi, kabupaten/kota.3
Sedangkan menurut M. Billah dan Abdul Hakim G. Nusantara,
umumnya Indonesia mencerminkan kebangkitan kesadaran golongan
masyarakat menengah terhadap masalah kemiskinan, ketidakadilan sosial,
dan masalah hak asasi manusia. Kini, ormas di Indonesia dapat pula
dikatakan sebagai cerminan kesadaran tentang dampak program
pembangunan yang dilaksanakan pemerintah serta tindakan yang
diambilnya dalam melaksanakan program tersebut.4
Di sisi lain, juga dapat mendorong kemajuan negara dari aspek
pembangunan nasional serta penegakan hukum untuk mencapai tujuan
Negara, meskipun adalah wadah juga mempunyai keharusan dalam
menghormati aturan atau tata tertib yang ada demi tegaknya aturan di
Negara hukum ini.
Karena itulah tujuan penormaan hukum dalam suatu Negara
sehingga menjadi Negara hukum agar setiap tindakan seseorang
didasarkan pada hukum yang berlaku, sebab Negara hukum pada masa
yang lalu mengikat penguasa untuk tidak boleh bertindak sebelum ada.
Dan bagaimana dengan Negara hukum pada zaman modern ini Negara
hukum dan abad modern ini memberi kebijaksanaan kepada penguasa.5
Negara hukum yang memberikan kebijaksanaan kepada penguasa
tentu tindakan penguasa untuk membubarkan ini harus melalui prosedur
3 Pasal 8 Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
4 Tirta Nugraha Mursitama, Laporan Pengkajian Hukum tentang Peran dan Tanggung
Jawab Organisasi Kemasyarakatan Dalam Pemberdayaan Masyarakat, (Jakarta: Pusat Penelitian
dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional BPHN, 2011), h. 4.
5 Moh. Kusnadi, dan Bintang R. Saragih, Ilmu Negara, (Jakarta: Radar Jaya Pratama,
2000), h. 136-137.
34
hukum yang berlaku untuk melindungi hak-haknya sebagai warga Negara,
sehingga pembubaran dalam Negara hukum ini, penguasa penting untuk
melalui pengadilan sebagai suatu terobosan dalam penegakan hukum dan
keadilan.
2. Sejarah Lahirnya Ormas
Berdirinya Budi Utomo pada tanggal 5 Mei 1908 yang kemudian
dapat membangkitkan bangsa ini dengan membentuk kelompok-kelompok
terlihat dari berdirinya Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928
yang diikuti dengan adanya Jong Java, Jong Sumatera, Jong Ambon.
Secara historis keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia diawali
oleh perjalanan perjuangan yang didukung oleh kelompok-kelompok atau
organisasi masyarakat yang mempunyai keinginan dan tujuan yang sama
yaitu kemerdekaan Indonesia, yang terwujud pada tanggal 17 Agustus
l945.
Dalam perjalanan perjuangan kemerdekaan Indonesia Kehadiran
beberapa organisasi, merupakan fakta yang tidak terbantahkan, karena
organisasiorganisasi pada zaman itu mempunyai tujuan yang sama
membangun kesadaran masyarakat Indonesia sehingga menghantarkan
mampu kemerdekaan Indonesia. Organisasi-organisasi tersebut sampai
saat ini, masih diakui keberadaannya dan berkembang dengan cara
melakukan kiprahnya di tengah-tengah masyarakat pada berbagai bidang
kehidupan sosial kemasyarakatan, misalnya organisasi keagamaan, yang
bergerak di bidang pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi
rakyat. Organisasi-organisasi dimaksud diantaranya adalah :6
a. Tahun 1908, Budi Oetomo berbasis subkultur Jawa;
b. Tahun 19l1, Serikat Dagang Islam, kaum entrepreneur Islam yang
bersifat ekstrovert dan politis;
6 Nia Kania Winayanti, Dasar Hukum Pendirian dan Pembubaran Ormas ,(Yogyakarta,
Pustaka Yustisia, 2011), h. 3.
35
c. Tahun 1912, Muhammadiyah dari kultur Islam modernis yang bersifat
introvert dan social;
d. Tahun 1912, Indiche Party dari subkultur campuran yang
mencerminkan elemen politis nasionalisme nonrasial dengan slogan
“tempat yang member nafkah yang menjadikan Indonesia sebagai
tanah airnya”.
e. Tahun 1913, Indische Social Democratiche Vereniging,
mengejawantahkan nasionalisme politik radikal dan berorientasi
Marxist.
f. Tahun 1915, Trikoro Dharmo, sebagai imbrio Jong Java.
g. Tahun 1918, Jong Java;
h. Tahun 1925, Manifesto Politik;
i. Tahun 1926, Nahdlatoel „Ulama (NU) dari subkultur santri dan ulama
serta pergerakan lain seperti subetnis Jong Ambon, Jong Sumatera,
maupun Jong Selebes yang melahirkan pergerakan nasionalisme yang
berjati diri Indonesia;
j. Tahun 1928, Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928;
k. Tahun 1931, Indonesia Muda.
Keberadaan organisasi kemasyarakatan diatas, merupakan sejarah
tumbuh dan berkembangnya kesadaran sekaligus ekspresi kebebasan
mengeluarkan pendapat dalam konteks berserikan dan berkumpul. Pada
pemerintahan orde baru, secara konkret banyak organisasi kemasyarakatan
lainnya berdiri meskipun sistem politik pada saat itu kurang memberikan
kebebasan kepada masyarakat untuk berekspresi, pembatasan dan larangan
untuk kegiatan yang mengarah pada hal-hal politik harus tunduk dan patuh
pada satu kendali, yaitu stabilitas nasional.
Dalam konteks organisasi kemasyarakatan dan partai politik
dikendalikan melalui instrument asas tunggal, yaitu bahwa semua
organisasi, baik ormas maupun parpol harus berasas tunggal, yaitu
Pancasila. Sampai saat ini masih terdapat organisasi kemasyarakatan
36
(ormas) warisan pemerintahan Orde Baru. Karena memang ada beberapa
yang sengaja dibuat, tumbuh, dan berkembang sebagai penguat kekuasaan
pemerintahan Orde Baru.
Disisi lain, yang tumbuh dan berkembang dengan keterbatasan
berekspresi karena tidak berafiliasi dengan kekuasaan Orde Baru namun
tetap mampu menunjukkan jati diri dan eksistensinya. Ormas yang hidup
dan tumbuh pada masa pemerintahan Orde Baru baik yang berafiliasi
dengan kekuasaan maupun tidak, misalnya :
a. Kemahasiswaan seperti Himpunan mahasiswa Islam (HMI),
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Perhimpunan
Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), dan Gerakan
Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI);
b. SOKSI;
c. kepemudaan seperti Pemuda Pancasila, AMPI, FK-PPI;
Organsiasi-organisasi kemasyarakatan diatas, lahir dari suatu
kesadaran, dan sangat memperdayakan masyarakat karena organisasi
merupakan manifestasi dari kepedulian dan peran serta masyarakat dalam
pembangunan bangsa, yang diwujudkan dalam berbagai bentuk program
dan kegiatan kemasyarakatan, sesuai dengan visi dan misinya masing-
masing, termasuk di dalamnya menyampaikan pandangan, kritikan, dan
mungkin konsep tandingan atas berbagai kebijakan yang diambil
pemerintah.
Namun, kritikan dan konsep tandingan tersebut, tetap berada dalam
kerangka dan bermuara pada terciptanya kesejahteraan masyarakat.
Menyadari tumbuh dan berkembangnya kesadaran masyarakat untuk ikut
berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
melalui organisasi kemasyarakatan yang mengalami perkembangan sejak
awal tahun 1980-an, maka pemerintah bersama DPR akhirnya
menerbitkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang organisasi
kemasyarakatan, sebagai landasan hukumdan pengakuan secara legal atas
37
keberadaan dan kiprah organisasi-organisasi dimaksud. Konsideran Umum
Nomor 8 Tahun 1985 tentang organisasi kemasyarakatan “Masalah
keikutsertaan masyarakat dalam pembangunan nasional adalah wajar.
Kesadaran serta kesempatan untuk itu sepatutnya ditumbuhkan,
mengingat pembangunan adalah untuk manusia dan seluruh masyarakat
Indonesia. Dengan pendekatan ini, usaha untuk menumbuhkan kesadaran
tersebut sekaligus juga merupakan upaya untuk memantapkan kesadaran
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang berorientasi
kepada pembangunan nasional.
3. Tujuan dan Maksud Terbentuknya Organisasi Masyarakat
Kehadiran organisasi kemasyarakatan yang selanjutnya disingkat
ormas, ditengah-tengah masyarakat merupakan wujud dari ekspresi
masyarakat untuk menampung aspirasi mereka, sebagaimana yang telah
diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28E ayat (3) yang
dinyatakan bahwa :
“Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”.
7
Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang dinyatakan bahwa :
“Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.
8
Selain untuk menegakkan hak asasi manusia sebagaimana yang
telah diatur dalam konstitusi, di dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2013 disebutkan beberapa tujuan terbentuknya ormas secara umum
yaitu antara lain bertujuan untuk:
7 Lihat Pasal 28 E Undang-Undang Dasar 1945
8 Lihat Pasal 28 J Undang-Undang Dasar 1945
38
a. Meningkatkan partisipasi dan keberdayaan masyarakat ;
b. Memberikan pelayanan kepada masyarakat;
c. Menjaga nilai agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa;
d. Melestarikan dan memelihara norma, nilai, moral, etika, dan budaya
yang hidup dalam masyarakat;
e. Melestarikan sumber daya alam dan lingkungan hidup;
f. Mengembangkan kesetiakawanan sosial, gotong royong, dan
toleransi dalam kehidupan bermasyarakat;
g. Menjaga, memelihara, dan memperkuat persatuan dan kesatuan
bangsa; dan
h. Mewujudkan tujuan negara.9
Selain itu juga, tujuan suatu organisasi masyarakat sudah tentu
berkaitan dengan hak dan kewajiban suatu organisasi masyarakat itu
sendiri. Hak dan kewajiban yang harus dijalankan oleh suatu ormas tidak
boleh bertentangan dengan yang ada di dalam Pasal 20 dan 21 Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2013. Di dalam Pasal 20 disebutkan beberapa
hak yang dimiliki oleh suatu organisasi masyarakat yaitu:
a. Mengatur dan mengurus rumah tangga organisasi secara mandiri
dan terbuka;
b. Memperoleh hak atas kekayaan intelektual untuk nama dan
lambang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. Memperjuangkan cita-cita dan tujuan organisasi;
d. Melaksanakan kegiatan untuk mencapai tujuan organisasi;
e. Mendapatkan perlindungan hukum terhadap keberadaan dan
kegiatan, dan
f. Melakukan kerjasama dengan pemerintah, pemerintah daerah,
swasta, lain, dan pihak lain dalam rangka pengembangan dan
9 Lihat Pasal 5 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi
Kemasyarakatan
39
keberlanjutan organisasi.10
Sedangkan untuk kewajiban yang harus dilaksanakan oleh suatu
organisasi masyarakat terdapat di dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor
17 Tahun 2013 yaitu:
a. Melaksanakan kegiatan sesuai dengan tujuan organisasi;
b. Menjaga persatuan dan keastuan bangsa serta keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia;
c. Memelihara nilai agama, budaya, moral, etika dan norma
kesusilaan serta memberikan manfaat untuk masyarakat;
d. Menjaga ketertiban umum dan terciptanya kedamaian dalam
masyarakat;
e. Melakukan pengelolaan keuangan secara transparan dan akuntabel;
dan
f. Berpartisipasi dalam pencapaian tujuan Negara.11
4. Pendirian Organisasi Masyarakat
Pendirian di dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013
Tentang Organisasi Kemasyarakatan diatur di dalam BAB IV yaitu
tentang pendirian. Di dalam Pasal 9 dinyatakan bahwa :
“Didirikan oleh 3 (tiga) orang warga negara Indonesia atau lebih, kecuali yang berbadan hukum yayasan”.
Pendirian sendiri dibedakan menjadi 2, sesuai Pasal 10 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang organisasi
kemasyarakatan disebutkan bahwa ormas dapat berbentuk badan hukum
dan tidak berbadan hukum. Untuk yang berbadan hukum pendiriannya
dijelaskan di dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 Tentang
organisasi kemasyarakatan.
10 Lihat Pasal 20 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi
Kemasyarakatan.
11 Lihat Pasal 21 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi
Kemasyarakatan.
40
Sedangkan untuk ormas yang tidak berbadan hukum pendiriannya
dijelaskan di dalam Pasal 16 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013
Tentang Organisasi Kemasyarakatan melalui cara pendaftaran dan juga
diatur di dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia
Nomor 33 Tahun 2012 tentang pedoman pendaftaran organisasi
kemasyarakatan di Lingkungan Kementerian Dalam Negeri dan
Pemerintah Daerah, melalui prosedur pendaftaran untuk mendapatkan
surat keterangan terdaftar terlebih dahulu.
Pendirian ormas yang berbadan hukum dapat dilakukan oleh warga
Indonesia asli dan juga warga Negara asing. Di dalam Pasal 11 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 Tentang organisasi
kemasyarakatan dijelaskan bentuk-bentuk ormas yang diperbolehkan oleh
pemerintah. Di dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013
tentang organisasi kemasyarakatan, disebutkan beberapa persyaratan dan
tata cara pendirian ormas berbadan hukum yang dimohonkan oleh warga
indonesia asli. Untuk ormas yang didirikan oleh warga Negara asing
disebutkan dalam BAB XIII tentang ormas yang didirikan oleh warga
Negara asing. Di dalam hal ini warga Negara asing boleh mendirikan
ormas di wilayah Indonsia sesuai bunyi Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2013 tentang organisasi kemasyarakatan, yang
dinyatakan bahwa “ormas yang didirikan oleh warga Negara asing dapat
melakukan kegiatan di wilayah Indonesia”.
Ormas yang didirikan oleh warga Negara asing harus berbadan
hukum hal tersebut terdapat di dalam Pasal 43 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2013 tentang organisasi kemasyarakatan yang
menegaskan bahwa:
Ormas yang didirikan oleh warga Negara asing sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. Badan hukum yayasan asing atau sebutan lain;
b. Badan hukum yayasan yang didirikan oleh warga Negara asing atau
warga Negara asing bersama warga Negara Indonesia; atau
41
c. Badan hukum yayasan yang didirikan oleh badan hukum asing.12
Untuk tata cara pendirian ormas yang didirikan oleh warga negara
asing wajib mendapatkan izin pemerintah sebagaimna yang tertulis di
dalam Pasal 44 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang
organisasi kemasyarakatan, yang dinyatakan bahwa:
“Badan hukum yayasan asing atau sebutan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) huruf a wajib memiliki izin pemerintah.”
13
Adapun persyaratan lain yang harus dipenuhi terdapat di dalam
Pasal 47 dan Pasal 48 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 Tentang
Organisasi Kemasyarakatan, yang menegaskan bahwa :
1) Badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2)
huruf b dan huruf c disahkan oleh menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia
setelah mendapatkan pertimbangan tim perizinan.
2) Selain harus memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan
di bidang yayasan, pengesahan badan hukum yayasan yang
didirikan oleh warga Negara asing atau warga Negara asing
bersama warga Negara Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 43 ayat (2) huruf b wajib memenuhi persyaratan paling
sedikit:
a. Warga Negara asing yang mendirikan tersebut telah tinggal
di Indonesia selama 5 (lima) tahun berturut-turut;
b. Pemegang izin tinggal tetap;
c. Jumlah kekayaan awal yayasan yang didirikan oleh warga
Negara asing atau warga Negara asing bersama warga Negara
Indonesia, yang berasal dari pemisahan harta kekayaan
12 Lihat Pasal 43 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi
Kemasyarakatan.
13 Lihat Pasal 44 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi
Kemasyarakatan.
42
pribadi pendiri paling sedikit senilai Rp1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah) yang dibuktikan dengan surat pernyataan
pengurus badan hukum pendiri mengenai keabsahan harta
kekayaan tersebut;
d. Salah satu jabatan ketua, sekretaris, atau bendahara dijabat
oleh warga Negara Indonesia; dan
e. Surat pernyataan pendiri bahwa kegiatan ormas berbadan
hukum yayasan yang didirikan tidak merugikan masyarakat,
bangsa, dan/atau Negara Indonesia.
3) Selain harus memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan
di bidang yayasan, pengesahan badan hukum yayasan yang
didirikan oleh badan hukum asing sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 43 ayat (2) huruf c, wajib memenuhi persyaratan paling
sedikit:
a. Badan hukum asing yang mendirikan yayasan tersebut telah
beroperasi di Indonesia selama 5 (lima) tahun berturut-turut;
b. Jumlah kekayaan awal yayasan yang didirikan badan hukum
asing yang berasal dari pemisahan sebagian harta kekayaan
pendiri yang dijadikan kekayaan awal yayasan paling sedikit
senilai Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) yang
dibuktikan dengan surat pernyataan pengurus badan hukum
pendiri mengenai keabsahan harta kekayaan tersebut;
c. Salah satu jabatan ketua, sekretaris, atau bendahara dijabat
oleh warga Negara Indonesia; dan
d. Surat pernyataan pendiri bahwa kegiatan ormas berbadan
hukum yayasan yang didirikan tidak merugikan masyarakat,
bangsa, dan/atau Negara Indonesia14
14 Lihat Pasal 47 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi
Kemasyarakatan.
43
Di dalam Pasal 48 melaksanakan kegiatannya, ormas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) wajib bermitra dengan Pemerintah dan
yang didirikan oleh warga Negara Indonesia atas izin Pemerintah.
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, izin adalah pernyataan
mengabulkan (tidak melarang dsb); persetujuan memperbolehkan. Ultrecht
mengatakan bahwa bilamana membuat peraturan umumnya tidak
melarang suatu perbuatan, tetapi masih juga memperkenankannya asal saja
diadakan secara yang ditentukan untuk masing-masing hal konkret, maka
keputusan administrasi Negara yang memperkenankan perbuatan tersebut
bersifat suatu izin. Menurut Bagir Manan, Izin berarti suatu persetujuan
dari penguasa berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk
memperbolehkan melakukan tindakan atau perbuatan tertentu yang secara
umum dilarang.
Perizinan suatu sendiri merupakan suatu tata cara pendaftaran
untuk mendapatkan surat keterangan terdaftar. Menurut Pasal 1 angka (2)
Permendagri Nomor 33 Tahun 2012 yang menegaskan :
Pendaftaran adalah proses pencatatan terhadap keberadaan
organisasi kemasyarakatan, di kementerian Dalam Negeri, Pemerintah
Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota berdasarkan ruang lingkup
tugas, fungsi, dan wewenang masing-masing dan diberikan surat
keterangan terdaftar.15
Sedangkan yang dimaksud dengan surat keterangan terdaftar yang
selanjutnya menurut Pasal 1 angka (3) Permendagri Nomor 33 Tahun 2012
yaitu dinyatakan bahwa :
Surat yang diterbitkan oleh Menteri Dalam Negeri, Gubernur,
Bupati/Walikota yang menerangkan bahwa sebuah organisasi
kemasyarakatan telah tercatat pada administrasi pemerintahan sesuai
dengan tahapan dan persyaratan.16
15 Lihat Pasal 1 angka (2) Permendagri Nomor 33 Tahun 2012.
16 Lihat Pasal 1 angka (3) Permendagri Nomor 33 Tahun 2012.
44
Di dalam Pasal 2 ayat (1) Permendagri Nomor 33 Tahun 2012
dinyatakan bahwa :
Setiap ormas wajib mendaftarkan keberadaannya kepada Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah.
17
Tahapan pendaftaran diterangkan dalam BAB III Tentang Tahapan
Pendaftaran mulai dari Pasal 5 sampai dengan Pasal 10 Permendagri
Nomor 33 Tahun 2012. Setelah semua persyaratan terpenuhi, dilakukan
penelitian tentang semua persyaratan yang diajukan dan apakah tersebut
layak untuk diberikan surat keterangan terdaftar, penelitian tersebut terbagi
atas penelitian dokumen dan juga penelitian lapangan.
Untuk Hal Penelitian Dokumen tersebut tercantum di dalam Pasal
11 Permendagri Nomor 33 Tahun 2012. Setelah itu Menteri, Gubernur,
Bupati/Walikota menerbitkan surat keterangan terdaftar sebagai
sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 17 Permendagri Nomor 33
Tahun 2012 yang dinyatakan bahwa :
Berita Acara Hasil Penelitan Lapangan, sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16 ayat (2) disampaikan oleh petugas peneliti lapangan
kepada pejabat yang berwenang menandatangi surat keterangan terdaftar
(SKT).18
Kemudian pejabat yang berwenang menandatangani surat
keterangan terdaftar (SKT) sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 17
Permendagri Nomor 33 Tahun 2012. Selain itu juga untuk ormas yang
didirikan oleh warga negara asing, ada juga prosedur perizinan yang
diberikan pemerintah. Hal ini terdapat di dalam Pasal 44 sampai dengan
Pasal 46 Undang-Undang Nomor 17 tahun 2013.
17 Lihat Pasal 2 ayat (1) Permendagri Nomor 33 Tahun 2012.
18 Lihat Pasal 17 Permendagri Nomor 33 Tahun 2012.
45
5. Pembubaran Organisasi Masyarakat
Perkembangan proses demokratisasi yang dibangun searah dengan
ketahanan bangsa Indonesia, pada Era Reformasi ini, mendapatkan banyak
momentum ujian yang dapat menjadi tolok ukur ketahanan Negara Bangsa
Indonesia.
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dibangun diatas sebuah
keragaman multi etnis dan suku, multi adat istiadat, dan juga multi
ideologi, mensyaratkan adanya sebuah kebersamaan yang dilingkupi
semangat toleransi dan pengertian mendalam antara komponen bangsa
Indonesia. Sebagaimana para founding state yang merumuskan
kemajemukan bangsa Indonesia dalam satu bingkai indah Bhineka
Tunggal Ika, berbeda-beda namun tetap satu, seperti itulah seharusnya
membangun sebuah Negara Bangsa Indonesia.19
Kebebasan warga Negara Indonesia dalam berorganisasi dan
mengekspresikan diri sebenarnya diatur dalam Pasal 28 Undang-Undang
Dasar 1945 , yang berbunyi;
“Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagianya ditetapkan dengan undang-undang”.
20
Berbicara tentang pembubaran ormas tentu saja berbicara tentang
pemberian sanksi kepada ormas yang melanggar hal-hal yang termuat di
dalam peraturan per-undang-undangan. Pembubaran sendiri telah diatur di
dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 yaitu pada BAB XVII
tentang sanksi khususnya ormas yang terdaftar di Lingkungan
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Diatur pula di dalam Permendagri Nomor 33 Tahun 2012. Di
dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 dijelaskan tentang
kewajiban ormas. Selain itu ormas juga memiliki larangan-larangan yang
19 Machfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, (Yogyakarta, UII Pres,
1993), h. 56.
20 Lihat Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945
46
diberikan oleh Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013. Hal ini dijelaskan
dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 untuk ormas yang
didirikan oleh warga negara asing dan BAB XVI yang mengatur tentang
larangan khusunya bagi ormas yang didirikan oleh warga Negara
Indonesia.
Jika ormas melanggar hal-hal yang telah tertulis dalam bab
larangan tersebut maka ormas tersebut berhak untuk diberikan sanksi
tegas oleh pemerintah. Hal tersebut berdampak pada pembubaran ormas,
tetapi sebelum itu terlebih dahulu ormas diberikan prosedur sanksi
administratif hingga berdampak pada pencabutan surat keterangan
terdaftar atau pencabutan status badan hukum dan juga pembubaran. Hal
ini telah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 pada
BAB XVII tentang sanksi.
Selain itu juga ada pula sanksi yang diberikan untuk ormas yang
melanggar hal-hal yang telah dilarang di dalam Undang-Undang Nomor
17 Tahun 2013 khusunya ormas yang terdaftar di lingkungan Kementerian
dalam Negeri dan Pemerintah Daerah diatur di dalam Permendagri Nomor
33 Tahun 2012, BAB V bagian ketiga tentang pembekuan surat
keterangan terdaftar dan bagian keempat tentang pencabutan surat
keterangan terdaftar.
B. Latar Belakang Munculnya Perppu Dan Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2017 Tentang Organisasi Kemasyarakatan
1. Definisi Perppu
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (perppu) adalah
Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal
ihwal kegentingan yang memaksa.
Bahwa ketentuan Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945
menyatakan:
“Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”. Pasal 7 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 12
47
Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan Perundang-Undangan menyatakan “Jenis dan Hierarki Peraturan Perundang-Undangan terdiri atas: c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang...”. Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa, Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang memiliki kedudukan yang sejajar dengan
Undang-Undang. Karena kedudukannya yang sejajar, maka kedudukan
norma Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang pada dengan
sendirinya adalah sejajar dengan norma Undang-Undang21
2. Munculnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 Tentang
Organisasi Kemasyarakatan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 adalah hasil dari
pengesahan yang dilakukan oleh DPR dari peraturan pemerintah pengganti
undang-undang (perppu) yang juga merupakan salah satu produk hukum
yang juga diakui dalam tata hukum dan hierarki peraturan perundang-
undangan. Keberadaannya sejajar dengan Undang-Undang. Hal ini dapat
dilihat dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan.
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang tersebut mengatakan, jenis dan
hierarki perundang-undangan terdiri atas Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai tata urutan yang tertinggi,
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai tata urutan yang
kedua, Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
yang berada setelah Ketetapan Mejelis Permusyawaratan Rakyat, serta
beberapa peraturan perundang-undangan lain di bawahnya. Secara
hierarkis, Undang-Undang dan berdasarkan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tersebut memang sejajar.
Namun, yang menjadi perbedaan salah satunya adalah syarat dan
prosedur dikeluarkannya produk hukum tersebut sehingga berpengaruh
21 Putusan MK Nomor 39/P-XV/2017, h. 3
48
pada keabsahannya. Jika Undang-Undang dikeluarkan atas dasar
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden, maka dapat
dikeluarkan serta merta oleh Presiden dengan adanya hal ikhwal
kegentingan yang memaksa. Kegentingan yang memaksa tersebut sejauh
ini memang menjadi subjektifitas presiden, atau dalam penjelasan Undang-
Undang Dasar 1945 disebut juga noodverordenings recht22
(hak untuk
menetapkan peraturan dalam hal Negara sedang dalam keadaan darurat
atau keadaan kegentingan yang memaksa).
Dasar yuridis konstitusional lain dikeluarkannya ini dapat dilihat
dari konstitusi, yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 khususnya Pasal 12 dan Pasal 22. Pasal 12 Undang-Undang
Dasar 1945 mengatakan bahwa Presiden menyatakan keadaan bahaya.
Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan Undang-
Undang. Sedangkan pada Pasal 22 D 1945 ayat (1) dikatakan:
“Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai pengganti Undang-Undang.”
Mahkamah Konstitusi yang dikenal sebagai penafsir konstitusi (the
sole interpreter of constitution), telah memberikan tafsiran sekaligus
pembatasan mengenai kualifikasi kegentingan yang memaksa sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22 Undang-Undang Dasar 1945. Berdasarkan
Putusan MK Nomor 138/P-VII/2009 ada tiga syarat sebagai parameter
adanya “kegentingan yang memaksa” bagi Presiden untuk menetapkan
yaitu :
a. Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan
masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang;
b. Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi
kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai;
22 Maria Farida, Ilmu Perundang Undangan Dasar-Dasar dan Pembentukannya,
(Yogyakarta: Kanisius , 1998, Cet. Pertama) , h. 96.
49
c. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat
Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan
waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut
perlu kepastian untuk diselesaikan.
Adanya batasan dari Mahkamah Konstitusi tersebut harus diakui
tidak dapat membatasi subjektifitas presiden untuk mengeluarkan perppu.
Hal inilah kiranya yang mendasari dikeluarkannya perppu, yang hampir
setiap presiden pasca reformasi telah mengeluarkan produk hukum
tersebut.
Pada tanggal 10 Juli 2017 pemerintah telah menerbitkan perppu
Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Disampaikan oleh
Menko Bidang Polhukam, Wiranto, memberikan berbagai argumen
tentang terbitnya perppu tersebut. Poin pokoknya sebagai berikut:23
1. Perppu tersebut diterbitkan dalam rangka tugas pemerintah untuk
melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia;
2. Organisasi kemasyarakatan di Indonesia yang saat ini mencapai
344.039 ormas yang telah beraktifitas di segala bidang kehidupan,
baik dalam tingkat nasional maupun di tingkat daerah, harus
diberdayakan dan dibina. Sehingga dapat memberikan kontribusi
positif bagi pembangunan nasional;
3. Kenyataannya saat ini, terdapat kegiatan-kegiatan yang bertentangan
dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945, yang merupakan ancaman terhadap eksistensi bangsa
dengan telah menimbulkan konflik di masyarakat;
4. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang organisasi
kemasyarakatan tidak lagi memadai sebagai sarana untuk mencegah
meluasnya ideologi yang bertentangan dengan Pancasila dan Undang-
23 Sudjito, Membaca “Kepentingan Politik” di Balik Perppu ormas dan Implikasi
Sosilogisnya Pada Masyarakat, makalah dalam seminar nasional: QUO VADIS PERPPU
ORMAS, diselenggarakan oleh FH UII, R.Sidang Utama Lt. 3, h. 1.
50
Undang Dasar 1945, baik dari aspek substantif terkait dengan norma,
larangan dan sanksi serta prosedur hukum yang ada. Antara lain, tidak
terwadahinya asas hukum administrasi contrario actus yaitu asas
hukum bahwa lembaga yang mengeluarkan izin atau yang
memberikan pengesahan adalah lembaga yang seharusnya mempunyai
wewenang untuk mencabut atau membatalkannya;
5. Selama ini, pengertian tentang ajaran dan tindakan yang bertentangan
dengan Pancasila dirumuskan secara sempit yaitu hanya sebatas pada
ajaran Atheisme, Marxisme dan Lininisme, padahal sejarah Indonesia
membuktikan bahwa ajaran-ajaran lain juga bisa dan bertentangan
dengan Pancasila.
Atas dasar argumen di atas maka Undang-Undang ini menjadi
payung hukum untuk bagaimana pemerintah dapat lebih leluasa, dapat
menjamin bagaimana memberdayakan dan membina ormas. Terdapat pula
dalam Undang-Undang ini asas contrarius actus, dalam artian yang
memberikan ijin dan mengesahkan ormas itu diberikan hak dan
kewenangan untuk mencabut ijin itu pada saat ormas yang bersangkutan
melanggar ketentuan yang berlaku pada saat diberikan ijin.
Pada sumber yang lain, Menteri Koordinator Bidang Politik,
Hukum dan Keamanan, menjelaskan adanya 3 (tiga) pertimbangan
pemerintah dalam penerbitan perppu yang akhirnya menjadi Undang-
Undang ormas ini. Pertama, dikeluarkannya perppu tersebut memang
menjadi hak prerogratif pemerintah yang dijamin secara konstitusional.
Dengan demikian, maka wajar saja apabila pemerintah mengeluarkan
perppu tersebut. Kedua, pemerintah menilai bahwa sejauh ini, perppu
tersebut dikeluarkan karena aturan hukum yang ada belum memadai.
Penerbitan perppu tersebut diharapkan menjadi solusi untuk
menghindari kekosongan hukum. Ketiga, perppu ini dikelurakan karena
payung hukum yang lain tidak bisa mengatasi persoalan hukum,
sedangkan untuk membuat undang-undang, dibutuhkan waktu yang cukup
lama padahal persoalan hukumnya membutuhkan penanganan dan
51
penyelesaian segera. Ketiga pertimbangan tersebut yang mendasari
pemerintah mengeluarkan Perppu Nomor 2 Tahun 2017 ini24
Pada dasarnya ialah embrio atas munculnya Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2017 tentang penetapan Peraturan Pemerintah pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang perubahan atas Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang organisasi kemasyarakatan
menjadi Undang-Undang.
Sebagaimana diketahui, dasar yuridis mengenai organisasi
kemasyarakatan di Indonesia sebelumnya adalah Undang-Undang Nomor
17 Tahun 2013 tentang organisasi kemasyarakatan. Pemerintah menilai,
Undang-Undang ini telah tidak mampu mewadadahi problematika
organisasi kemasyarakatan yang sedang berkembang saat ini.
Secara lebih spesifik, pemerintah menilai, penindakan melalui
Undang-Undang tersebut terhadap organisasi kemasyarakatan yang
bertentangan dengan Pancasila sebagai ideologi negara dan Undang-
Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi tidak lagi efektif.
Tidak efektiktifnya sanksi berdasarkan Undang-Undang tersebut,
lebih lanjut dijelaskan oleh Wiranto sebagai Menko Polhukam, yaitu yang
berkaitan dengan asas hukum administrasi yang berkaitan dengan asas
contrarius actus, yaitu sebuah asas yang mengatakan bahwa lembaga yang
mengeluarkan izin atau memberikan pengesahan terhadap organisasi
kemasyarakatan adalah yang berwenang untuk membatalkannya.25
3. Pro dan Kontra Undang - Undang
Dikeluarkannya Undang-Undang ormas ini memang banyak
menuai kontroversi dan perdebatan. Buktinya, tidak lama setelah
24 Fabian Januarius Kuwado Dan Kristian Erdianto, “Ini Tiga Pertimbangan Pemerintah
Menerbitkan Perppu Ormas” dari, https://nasional.kompas.com/read/2017/07/12/12232051/initiga-pertimbangan-pemerintah-menerbitkan-perppu-ormas , diakses pada tanggal 9 April 2019.
25 Dewi Irmasari, “Ini Alasan Pemerintah Terbitkan Perppu Ormas” dalam
https://news.detik.com/berita/d-3557090/ini-alasan-pemerintah-terbitkan-perppu-ormas , diakses
pada tanggal 9 April 2019.
52
dikeluarkannya perppu tersebut, banyak sekali pihak yang mengajukan
permohonan pengujian kepada Mahkamah Konstitusi, diantaranya adalah
perkara Nomor 38/P-XV/2017 dengan pemohon Afriady Putra S, perkara
Nomor 39/P-XV/2017 dengan pemohon Ismail Yusanto sebagai mantan
Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), perkara Nomor 41/P-XV/2017
dengan pemohon aliansi Nusantara, perkara Nomor 48/P-XV/2017 dengan
pemohon Yayasan Sharia Law Institute, perkara Nomor 49/P-XV/2017
dengan pemohon PP Persatuan Islam, Perkara Nomor 50/P-XV/2017
dengan pemohon Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Yayasan Forum
Silaturrahmi Antar Pengajian Indonesia, dan Perkumpulan Pemuda
Muslimin Indonesia, perkara Nomor 52/P-XV/2017 dengan pemohon
Herdiansyah.26
Nasib dari gugatan yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi ditolak
karna menurut Mahkamah Konstitusi yang menjadi objek permohonan
Pemohon telah tidak ada, sehingga permohonan Pemohon telah kehilangan
objek.
Sebagaimana tertulis pada putusan Mahkamah Konstitusi yang
berbunyi: Menimbang bahwa Dewan Perwakilan Rakyat dalam Rapat
Paripurna pada tanggal 24 Oktober 2017 telah menyetujui Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang
perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang organisasi
kemasyarakatan menjadi Undang-Undang. Selanjutnya Presiden pada
tanggal 22 November 2017 telah mengesahkan perppu tersebut menjadi
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang penetapan peraturan
Pemerintah pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang
perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang organisasi
kemasyarakatan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2017 Nomor 239, Tambahan Lembaran Negara Republik
26 Aida Mardatillah, “Begini Alasan Pemerintah Terbitkan perppu Ormas”, dalam
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt59a6b2c3d948e/begini-alasan-pemerintah-terbitkan-
perppu-ormas , diakses pada tanggal 9 April 2019.
53
Indonesia Nomor 6139). Oleh karena itu, menurut Mahkamah,perppu
ormas yang menjadi objek permohonan Pemohon telah tidak ada, sehingga
permohonan Pemohon telah kehilangan objek27
.
Seperti biasa, perppu ini menyulut perdebatan publik yang secara
garis besar bisa dibagi dalam tiga kelompok. Pertama, kelompok yang
sepenuhnya menerima dan mendukung perppu. Perppu dianggap sebagai
jawaban cerdas atas situasi mutakhir ancaman terhadap ideologi Negara.
Nahdlatul Ulama (NU) dan 13 organisasi Islam yang tergabung dalam
Lembaga Persahabatan ormas Islam (LPOI) dapat disebut mewakili arus
ini.
Kedua, kelompok yang menolak total seluruh isi perppu. Mereka
berargumentasi tidak ada situasi genting yang memaksa sebagai
persyaratan normatif-konstitusional sebagaimana diatur dalam Pasal 22
Undang-Undang Dasar 1945. Mereka tidak melihat adanya gerakan-
gerakan, termasuk yang berbaju agama, yang bisa dikategorikan sebagai
ancaman terhadap ideologi. Kalaupun ada, gerakan itu bagian dari
kebebasan berpikir dan berekspresi yang dijamin konstitusi. Undang-
Undang ormas, menurut kelompok ini, sudah lebih dari cukup untuk
melindungi ideologi negara.
Perppu ini juga dianggap bukan saja langkah mundur demokrasi,
melainkan juga ancaman terhadap demokrasi itu sendiri. Lebih dari itu,
ini membuka munculnya otoritarianisme baru karena menghilangkan
mekanisme peradilan dalam pembubaran. Sejumlah aktivis HAM tentu
tidak semua, oposisi politik Presiden Joko Widodo pendukung ideologi
Islamisme dengan berbagai variasinya berada dalam barisan ini.
Ketiga, kelompok yang pada prinsipnya menerima perppu, tapi
mereka memberikan sejumlah catatan kritis. Catatan kritis itu terutama
terkait dengan kemungkinan adanya penyimpangan (abuse) dalam
implementasi yang bisa menjadi ancaman bagi demokrasi. Ancaman
27 Putusan MK Nomor 39/P-XV/2017, h. 221
54
hukuman seumur hidup dan pidana 5 sampai 10 tahun yang juga
dikenakan kepada pengurus yang dianggap melakukan penodaan agama
terlalu berlebihan. Kita sudah punya pasal 156a KUHP yang ancaman
maksimalnya hanya 5 tahun penjara yang dalam implementasinya sering
eksesif.
Kelompok mayoritas bisa menyesatkan dan menganggap kelompok
tertentu melakukan penodaan agama sebagaimana praktik yang selama ini
terjadi. Perppu ini justru semakin memperberat ancaman hukumannya.
Pro-kontra tentu wajar dan sehat saja dalam demokrasi, bahkan perdebatan
itu merupakan bagian dari proses pendewasaan demokrasi. Karena bangsa
ini sudah memilih demokrasi sebagai jalan konstitusionalnya. Pro-kontra
tersebut harus berjalan sehat dan tetap dalam koridor demokrasi.28
28 Rumadi Ahmad, “Apakah PERPPU No 2 Tahun 2017 Ancaman Demokrasi?”,dari :
http://mediaIndonesia.com/news/read/113186/PERPPU-no-2-tahun-2017-ancaman-
demokrasi/2017-07-17 , diakses pada tanggal 9 April 2019.
55
BAB IV
PEMBUBARAN ORMAS DALAM NEGARA HUKUM
A. Perbandingan Pembubaran Ormas dalam Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2013 dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017
1. Pembubaran Ormas Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2013 Tentang Ormas
Konstitusi memberikan jaminan kepada setiap individu atau
sekelompok orang untuk bersepakat mengikat diri pada sebuah organisasi
untuk mencapai apa yang menjadi kepentingannya. Era reformasi yang
telah berlangsung sejak tahun 1997, telah membuka peluang bagi
hubungan masyarakat sipil dan Negara yang mengalami transformasi yang
demikian cepat.1
Hal ini ditunjukkan dari gejala semakin kuatnya peran masyarakat
sipil dalam mengorganisir dirinya untuk memperjuangkan kepentingannya
ketika berhadapan dengan Negara ataupun pada saat mengisi layanan
publik. Euforia tersebut merupakan puncak manifestasi dari kemerdekaan
hati nurani dan kemerdekaan berpikir yang telah diperjuangkan pada masa
reformasi.2
Pasca reformasi, dinamika perkembangan dan perubahan sistem
pemerintahan membawa paradigma baru dalam tata kelola organisasi
kemasyarakatan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara. Pertumbuhan jumlah ormas, penyebaran dan jenis kegiatan
ormas dalam kehidupan demokrasi semakin menuntut peran fungsi dan
tanggung jawab ormas untuk berpatisipasi dalam upaya mewujudkan cita-
1 Kajian RUU Perubahan Atas UU Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi
Kemasyaratan, (Jakarta: Bagian PUU Bidang Politik, Hukum, dan HAM Sekretariat Jenderal
DPR-RI, 2010), h. 5.
2 Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik, dan
Mahkamah Konstitusi, (Jakarta Konstitusi Press, 2006), h.. 7-8.
56
cita nasional bangsa Indonesia, serta menjaga dan memelihara keutuhan
dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dinamika ormas dengan segala kompleksitasnya menuntut
pengelolaan dan pengaturan hukum yang lebih komprehensif, mengingat
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang ormas sudah tidak sesuai
dengan kebutuhan dan dinamika kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara. Hal ini lah yang melatarbelakangi lahirnya Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2013 sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1985 yang sudah berlaku selama kurang lebih 18 Tahun.
Di dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 selain memuat
tentang ketentuan umum mengenai ormas juga memuat mengenai larangan
dan sanksi bagi ormas. Larangan terhadap ormas diatur dalam Pasal 59
Undang-Undang ormas menjelaskan sebuah ormas dilarang untuk
melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras, dan golongan.
Mereka juga tidak boleh melakukan tindakan kekerasan yang mengganggu
ketentraman dan ketertiban umum, termasuk perbuatan merusak.
Melakukan tindakan separatis yang mengancam kedaulatan Negara
Kesatuan Republik Indonesia, dan kegiatan yang menjadi tugas dan
wewenang penegak hukum yang diatur berdasarkan Undang-
Undang.3Selain larangan tersebut, ormas juga dilarang untuk menerima
sumbangan dari pihak manapun yang bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan, mengumpulan dana untuk partai politik, dan
menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran yang bertentangan
dengan Pancasila.
Ada beberapa hal yang menarik, apabila dilihat muatan dari
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 dibandingkan dengan Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1985. Selain jumlah pasal yang jauh berbeda
dimana Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 memuat sebanyak 87
pasal disbanding Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 yang hanya
3 Indonesia, Undang-Undang tentang Organisasi Masyarakat, UU Nomor 17 Tahun
2013, LN Nomor 116 Tahun 2013, TLN nomor 5430. Ps. 56.
57
memuat 20 Pasal. Perbedaan pengatur dalam kedua Undang-Undang
tersebut mengindikasikan bahwa pengaturan dalam Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2013 lebih lengkap dan komprehensif dibandingkan
dengan Undang-Undang sebelumnya termasuk pengaturan mengenai
larangan terhadap ormas.
Satu hal perbedaan yang terlihat jelas dalam kedua Undang-
Undang tersebut adalah apabila dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1985 ormas dilarang menerima bantuan dari pihak asing tanpa
persetujuan Pemerintah, maka dalam Pasal 56 ayat 3 Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2013 ormas dilarang menerima bantuan dari siapapun
apabila bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Aturan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 lebih
mempresentasikan kedaulatan hukum, dibandingkan dengan Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1985 yang berdasarkan persetujuan pemerintah
yang lebih condong kepada pendekatan dan kepentingan politik.
Karenanya penulis Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 lebih dekat
kepada tujuan Negara yang menurut Aristoteles adalah untuk mencapai
kehidupan paling baik (the best life possible) yang dapat dicapai dengan
supremasi hukum.4
Sanksi bagi ormas dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013
diatur dalam Pasal 60 sampai Pasal 82 di antaranya pembubaran ormas.
Pemerintah daerah dalam Undang-Undang ini bisa menghentikan kegiatan
ormas. Undang-Undang ini menyebutkan dapat membubarkan suatu
ormas berbadan hukum melalui beberapa tahapan, yaitu pemberian sanski
administratif yang terdiri atas peringatan tertulis, penghentian bantuan,
penghentian sementara kegiatan, dan pencabutan surat keterangan terdaftar
atau pencabutan status badan hukum.5
4 George H. Sabine, A History of Political Theory, Third Edition (New York: Holt,
Rinehart and Winston, 1961), h. 35.
5 Indonesia, Undang-Undang tentang Organisasi Masyarakat, Ps. 61.
58
Peringatan tertulis dilakukan sebanyak tiga kali. Dalam Pasal 64
disebutkan jika surat peringatan ketiga tidak ditanggapi, pemerintah bisa
menghentikan bantuan dana dan melarang sementara kegiatan mereka
selama enam bulan. Dengan catatan, jika ormas tersebut berskala nasional,
harus ada pertimbangan Mahkamah Agung. Namun, jika sampai 14 hari
tidak ada balasan dari Mahkamah, pemerintah punya wewenang
menghentikan sementara kegiatan mereka.6 Dalam Pasal 68, jika ormas
masih berkegiatan padahal sudah dihentikan sementara, pemerintah bisa
mencabut status badan hukum mereka, asal mendapat persetujuan dari
pengadilan.7
Sanksi dan pembubaran ormas Undang-Undang No 17 Tahun 2013
menganut sistem sanksi berjenjang. Adapun kewenangan membubarkan
ormas berdasarkan keputusan Pengadilan. Pemerintah tidak dapat
membubarkan sebuah ormas tanpa adanya putusan Pengadilan. Penulis
berpendapat mekanisme ini sebagai instrument penting yang berperan
dalam demokrasi sebagai wujud dari kebebasan berserikat.
Pembekuan dan pembubaran memang seharusnya perlu diputuskan
melalui mekanisme due process of law oleh pengadilan yang merdeka.
Proses ini menjadi sangat penting, artinya, jangan sampai wewenang dan
pembubaran dilakukan karena akan menimbulkan kesewenang-wenangan
sebagaimana yang terjadi dalam Orde Baru.
Kewenangan pembekuan dan pembubaran yang hanya diberikan
kepada eksekutif memberi peran yang besar dan sentralistik, sebab
pemerintah dapat membekukan dan membubarkan suatu organisasi yang
merupakan manifestasi dari hak asasi manusia untuk berserikat,
berkumpul, dan berorganisasi tanpa ada forum peradilan yang menyatakan
bahwa ormas tersebut memang bersalah. Menurut Moh. Machfud MD
hukum haruslah responsive dan tidak sentrailistik hanya dikuasai oleh
6 Indonesia, Undang-Undang tentang Organisasi Masyarakat, Ps. 64.
7 Indonesia, Undang-Undang tentang Organisasi Masyarakat, Ps. 68.
59
eksekutif semata. Produk hukum yang bersifat sentralistik dan lebih
didominasi oleh eksekutif akan menghasilkan hukum yang berkarakter
ortodoks.8
2. Pembubaran Ormas Berdasarkan Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2017 Tentang Penetapan Perppu Nomor 2 Tahun 2017
Tentang Ormas
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (perppu) Nomor 2 Tahun 2017
tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang
organisasi kemasyarakatan (ormas), diundangkan pada 22 November
2017. Dalam pertimbangan Undang-Undang tersebut dinyatakan bahwa
ada kekosongan hukum karena Undang-Undang berumur 4 tahun tersebut
belum mengatur secara komprehensif mengenai ormas yang bertentangan
dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.9
Dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang ormas
tidak ada substansi yang dirubah. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017
memuat kembali semua ketentuan yang diatur di dalam perppu ormas. Hal
ini terlihat dari sistematika Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 yang
hanya terdiri dari dua pasal. Pasal 1 mengatur bahwa ormas menjadi
Undang-Undang dan lampirannya sebagai bagian yang tidak terpisahkan
dari Undang-Undang ini. Pasal 2 yang menyebutkan berlakunya Undang-
Undang ini pada saat diundangkan.10
8 Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1988), h. 26.
9 Soedarmedi, Perppu Ormas Lurus Kenapa Harus Takut, dari:
https://seword.com/politik/inilah-isi-perppu-ormas-nomor-2-tahun-2017-isinya-luar-biasa-fpidan-
sejenisnya-apa-kabar-nanti/, diakses 9 April 2019.
10 Indonesia, Undang-Undang tentang Penetapan Perppu Organisasi Masyarakat, UU
Nomor 16 Tahun 2017, LN Nomor 239 Tahun 2017, TLN nomor 6139. Ps. 1-2.
60
Dalam lampiran Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang
perppu Nomor 2 Tahun 2017. Pasal 1 mengubah pengertian ormas
menjadi lebih tegas dari sebelumnya. Menurut aturan ini, ormas memiliki
pengertian organisasi kemasyarakatan yang selanjutnya disebut ormas
adalah organisasi yang didirikan dan dibentuk oleh masyarakat secara
sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan,
kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk berpartisipasi dalam
pembangunan demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.11
Definisi dari ormas dalam perppu menjadi lebih tegas jika
sebelumnya pada Undang Undang Nomor 17 Tahun 2013 berbunyi ormas
adalah organisasi yang didirikan dan dibentuk oleh masyarakat secara
sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan,
kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk berpartisipasi dalam
pembangunan demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Kini dipertegas dengan, dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Artinya
ormas harus patuh pada Undang-Undang Dasar 1945, final. Tidak boleh
Undang-Undang lain atau Piagam Jakarta.
Dalam aturan tersebut ditegaskan bahwa ormas dilarang
melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras atau golongan;
melakukan penyelahgunaan, penistaan, atau penodaan terhadap agama
yang dianut di Indonesia, melakukan tindakan kekerasan, mengganggu
ketenteraman dan ketertiban umum, atau merusak fasilitas umum dan
fasilitas sosial dan melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang
penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ormas juga dilarang melakukan kegiatan sparatis yang mengancam
kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan/atau menganut,
11 Indonesia, Undang-Undang tentang Organisasi Masyarakat, Perppu Nomor 2 Tahun
2017, LN Nomor 138 Tahun 2017, TLN nomor 6084. Ps. 1.
61
mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan
dengan Pancasila.
Mengenai mekanisme pembubaran ormas, dalam lampiran
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang penetapan perppu Nomor
2 Tahun 2017 tentang ormas ini memuat dua macam sanksi yaitu sanksi
administratif dan pidana. Sanksi administratif sebagaimana dimaksud,
menurut perppu ini, terdiri atas: a. Peringatan tertulis; b. Penghentian
kegiatan; dan/atau c. Pencabutan surat keterangan terdaftar atau
pencabutan status badan hukum.
Dalam Pasal 62 disebutkan peringatan tertulis, dalam perppu ini
dijelaskan, diberikan hanya 1 (satu) kali dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari
kerja sejak tanggal diterbitkan peringatan. Dalam hal ormas tidak
mematuhi peringatan tertulis dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud,
menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum
dan hak asasi manusia sesuai dengan kewenangannya menjatuhkan sanksi
penghentian kegiatan.12
Pengaturan tersebut lebih mensederhanakan
urutan sanksi dan mempersingkat jangka waktu sanksi dibandingkan
dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013.
Apabila ormas tidak mematuhi sanksi penghentian kegiatan
sebagaimana dimaksud, maka menurut Pasal 62 ayat (2) lampiran Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang penetapan perppu Nomor 2 Tahun
2017 tentang ormas menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
di bidang hukum dan hak asasi manusia sesuai dengan kewenangannya
melakukan pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status
badan hukum. Pencabutan status badan hukum ormas sebagaimana
dimaksud, menurut Pasal 80A, sekaligus dinyatakan bubar berdasarkan
Undang-Undang ini.13
12 Indonesia, Perppu tentang Organisasi Masyarakat, Ps. 62.
13 Indonesia, Perppu tentang Organisasi Masyarakat, Ps. 80 A.
62
Ketentuan pidana terdapat dalam Pasal 82 A bahwa setiap orang
yang menjadi anggota dan/atau pengurus ormas yang dengan sengaja dan
secara langsung atau tidak langsung melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud Pasal 59 ayat (3) huruf c dan huruf d, dipidana dengan penjara
pidana paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 1 (satu) tahun.14
Pelanggaran dalam pasal 59 ayat 3 huruf c dan d adalah: melakukan
tindakan kekerasan, mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum, atau
merusak fasilitas umum dan fasilitas sosial; dan melakukan kegiatan yang
menjadi tugas dan wewenang penegak hukum sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.15
Selain itu, setiap orang yang menjadi anggota dan/atau pengurus
ormas yang dengan sengaja dan secara langsung atau tidak langsung
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud melanggar Pasal 59 ayat (3)
huruf a, dan huruf b, dan ayat (4), dipidana dengan pidana penjara seumur
hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20
(dua puluh) tahun.16
Pelanggaran Pasal 59 ayat (3) huruf a, dan huruf b
adalah: melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras atau
golongan; melakukan penyalahgunaan, penistaan, atau penodaan terhadap
agama yang dianut di Indonesia.17
Ada beberapa substansi dalam aturan tersebut yang melahirkan
kontroversial di tengah masyarakat mengenai sanksi pidana dan proses
pembubaran ormas. Pasal 62 ayat 3 yang memberikan kewenangan penuh
kepada eksekutif untuk melakukan pencabutan badan hukum ormas, yang
di dalam Pasal 80 A ditegaskan sebagai pembubaran ormas. Ketentuan
tersebut sangat subyektif, sangat pasal karet, dan memberi kewenangan
14 Indonesia, Perppu tentang Organisasi Masyarakat, Ps. 82 A.
15 Indonesia, Perppu tentang Organisasi Masyarakat, Ps. 59 Ayat. 3.
16 Indonesia, Perppu tentang Organisasi Masyarakat, Ps. 82 A.
17 Indonesia, Perppu tentang Organisasi Masyarakat, Ps. 59 Ayat. 3.
63
mutlak kepada pemerintah memberikan tafsir, vonis hukum, serta
mencabut dan membubarkan tanpa ada mekanisme peradilan.
Wewenang pembubaran ormas yang tersentralistik dalam
kekuasaan eksekutif akan melahirkan Negara kekuasaan bukan Negara
hukum. Padahal dalam konsep Negara hukum, penyelenggaraan
kekuasaan pemerintahan tidak bersifat sentralistik. Negara hukum
(rechtsstaat) sendiri cirinya adalah adanya pembatasan kekuasaan Negara
(eksekutif).18
Pembatasan kekuasaan dalam penyelenggaraan kekuasaan Negara
mutlak diperlukan, karena apabila fungsi kekuasaan Negara terpusat dan
terkonsentrasi di tangan satu cabang kekuasaan, akan menimbulkan
kesewenang-wenangan.
Tabel perbedaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 dengan Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
Aspek
Tinjauan Undang-Undang
Nomor 17 Tahun
2013 tentang
Organisasi
Kemasyarakatan
Undang-Undang
Nomor 16 Tahun
2017 tentang
Organisasi
Kemasyarakatan
KETERANGAN
Asas Belum
menerapkan asas contrarius actus
Menerapkan
asas contrarius actus
asas yang
menyatakan badan atau
pejabat tata usaha negara yang
menerbitkan
keputusan tata usaha negara
dengan sendirinya juga berwenang
untuk membatalkannya.
18 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: PT. Rajagrafindo
Persada, 2010), h. 281.
64
Sanksi
Administratif
1. Peringatan
tertulis, 2. Penghentian
bantuan dan/atau
hibah,
3. Penghentian sementara kegiatan;
dan/atau,
pencabutan surat
keterangan terdaftar atau
pencabutan status badan hukum
pasal 61
1. Peringatan
tertulis, 2. Penghentian
kegiatan,
dan/atau,
3. Pencabutan surat keterangan terdaftar atau
pencabutan status
badan hukum.
(Pasal 61)
perubahan dalam
sanksi, di hapuskannya
penghentian
bantuan dan/ atau
hibah, serta hilanga kata “sementara”
dalam sanksi
penghentian
kegiatan.
Kuantitas, Jangka Waktu,
Mekanisme
Peringatan
Tertulis
1. Diberikan 3 (tiga) kali.
2. Masing-masing
peringatan dalam
jangka waktu maksimal 30 (tiga puluh) hari.
3. Berjenjang
dengan masing-
masing konsekwensi.
(Pasal 62)
1. Diberikan 1 (satu) kali.
2. Jangka waktu
peringatan hanya
dalam 7 (tujuh) hari kerja. (Pasal 62)
Terdapat perbedaan
mengenai
kuantitas yang di
persempit menjadi 1 (satu) kali dan waktu
yang disingkat
menjadi 7 (tujuh)
hari dalam baru.
Mekanisme Pembubaran
yang Berbadan Hukum
Melalui Putusan Pengadilan yang
telah berkekuatan hukum tetap
(incraht) pasal 68
Melalui pencabutan status
badan hukum oleh Menteri-Menteri
yang terkait (yang mengeluarkan surat keputusan
badan hukum). (Pasal 61)
Hilangnya proses pembubaran
yang berbadan hukum melalui
putusan pengadilan dalam baru.
Pihak yang
Memberikan Sanksi
1. Pemerintah
Pusat. 2. Pemerintah
Daerah.
1. Pemerintah
Pusat.
Kewenangan
bersifat sentralistik dalam
baru
65
B. Analisis Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang penetapan
Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang ormas ditinjau dari Teori Negara
Hukum.
Disahkanya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 pada 22
November 2017 sebagai bentuk pengesahan perppu Nomor 2 Tahun 2017
tentang ormas. Dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 2017 semua pasal
pada perppu Nomor 2 Tahun 2017 disahkan sebagaimana yang tercantum
dalam lampiran Undang-Undang tersebut.
Beberapa Pasal dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang
penetapan perppu Nomor 2 Tahun 2017 yang apabila ditinjau dari teori
konsep Negara hukum tidak atau belom sesuai dengan konsep Negara hukum.
Pasal 61 dan Pasal 62 dalam aturan tesebut memungkinkan pemerintah secara
sepihak mencabut status badan hukum ormas tanpa didahului oleh
pemeriksaan di Pengadilan.
Peniadaan due process of law dalam pembubaran ormas tentunya akan
mengarahkan pemerintah kepada pemerintahan yang diktator. Hal ini
bertentangan dengan Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 bahwa
Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Salah satu ciri Negara hukum
adalah adanya ciri pembatasan kekuasaan dalam penyelenggaraan kekuasaan
Negara.19
Sebagaimana disebutkan oleh Julius Stahl, sebuah Negara dapat
disebut dengan Negara hukum harus mencakup empat elemen penting,
perlindungan hak asasi manusia, pembagian kekuasaan, pemerintahan
berdasarkan Undang-Undang, Peradilan Tata Usaha Negara.20
19 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, h. 282.
20 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Konstitusi
Press, 2004), h. 122.
66
Adapun A. V. Dicey juga menyebutkan tiga ciri penting “The Rule of
Law” yaitu Supremacy of Law, Equalitiy before the Law, Due Process of
Law.21
Karenanya ketentuan pembubaran ormas yang dimuat dalam Pasal 61
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang penetapan perppu Nomor 2
Tahun 2017 merupakan sebuah langkah kemunduran. Karena dalam
pembubaran ormas tersebut menghilangkan due process of law, dan
pembagian kekuasaan, dimana eksekutif memonompoli semua mekanisme
dalam pembubaran sebuah ormas. Pengaturan tersebut tentu saja bertentangan
dengan konsep Negara hukum yang disebutkan oleh Stahl dan Dicey.
Pembatasan kekuasaan dalam penyelenggaraan kekuasaan Negara mutlak
diperlukan, karena apabila fungsi kekuasaan Negara terpusat dan
terkonsentrasi di tangan satu orang akan menimbulkan kesewenang-
wenangan dan berkecenderungan menindas hak-hak rakyat.
Lord Acton, seorang ahli sejarah Inggris, sebagaimana yang dikutip
Miriam Budiardjo menyebutkan “Manusia yang mempunyai kekuasaan
cenderung untuk menyalahgunakan kekuasaan itu, tetapi manusia yang
mempunyai kekuasaan absolut akan menyalahgunakan kekuasaannya secara
absolut. (power tends to corrupt, but absolute power corrupt absolutely).22
Ormas sebagai instrument penting yang berperan dalam demokrasi
dan sebagi wujud dari kebebasan berserikat, pembekuan dan pembubarannya
harus tetap diputuskan melalui mekanisme due process of law oleh
pengadilan yang independen. Proses hukum ini menjadi sangat penting
artinya, karena pembubaran yang dapat dilakukan oleh eksekutif secara
sendiri akan menimbulkan kesewenang-wenangan sebagaimana yang terjadi
dalam pemerintahan Orde Baru maupun Orde Lama.
21 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia , h. 123.
22 Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,
2008), h. 107.
67
Pemerintah juga dikhwatirkan akan dapat membekukan dan
membubarkan ormas tanpa disertai bukti, saksi, dan suatu keputusan yang
adil dan berimbang. Hal ini tentunya bertentangan dengan Pasal 28 E ayat 3
yang menyebutkan setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul,
dan mengeluarkan pendapat. Karenanya substansi dari aturan ormas yang
terbaru lebih bersifat sentralistik dan didominasi oleh lembaga eksekutif yang
merupakan proses pembuatan hukum yang berkarakter represif dan
ortodoks.23
Adanya mekanisme kontrol melalui gugatan ke Peradilan Tata Usaha
Negara tidak mencegah pemerintah untuk membubarkan ormas secara
sepihak sampai ada pengajuan gugatan ke Peradilan Tata Usahan Negara dan
putusan hakim tersebut telah berkekuatan hukum tetap. Karenanya sebelum
adanya putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap maka surat keputusan
pemerintah tentang pembubaran ormas tersebut yang berlaku.
Konsekuensi hukumnya adalah semua kegiatan dan atribut ormas
tersebut dilarang sampai adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum
tetap yang diperkirakan proses tersebut akan memakan waktu lama karena
pihak yang kalah akan menggunakan instrument banding, sampai dengan
kasasi. Penulis memperkirakan proses adjudikasi tersebut dapat memakan
waktu selama 1-2 tahun. Inilah yang akan menimbulkan kerugian
konstitutional bagi warga negara Indonesia yang berkumpul dalam ormas
tersebut karena tidak dapat menggunakan haknya sampai waktu tersebut.
Hal ini juga diperkuat dalam konsiderasi putusan MK 6-13-
20/PVIII/2010 yang menegaskan bahwa tindakan perampasan atau
pembatasan terhadap kebebasan sipil dalam bentuk pelarangan, yang
dilakukan secara absolut oleh pemerintah, tanpa melalui proses peradilan,
adalah tindakan Negara kekuasaan, bukan Negara hukum seperti Indonesia
sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) D 1945 bahwa Negara
Indonesia adalah Negara hukum.
23 Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, h. 26.
68
Dikatakan MK pula, tindakan pelarangan atau pembatasan terhadap
suatu kebebasan sipil, terutama tanpa melalui proses peradilan, merupakan
suatu eksekusi tanpa peradilan (extra judicial execution) yang sangat
ditentang dalam suatu Negara hukum yang menghendaki due process of law.
Due process of law seperti dipertimbangkan di atas, adalah penegakan hukum
melalui suatu sistem peradilan”.24
Merujuk pada konsiderasi hukum putusan Mahkamah Konstitusi No.
6-13-20/P-VIII/2010 di atas dapat diambil intisari bahwa tindakan
pembubaran atau pelarangan terhadap suatu kebebasan sipil, yang dilakukan
tanpa proses pengadilan dapat dikategorikan sebagai tindakan: (i) tindakan
Negara kekuasaan bukan Negara hukum; (ii) tindakan eksekusi tanpa
peradilan (extra judicial execution), bertentangan dengan prinsip Negara
hukum. Selain itu, Adanya peluang gugatan melalui Pengadilan Tata Usaha
Negara, mekanisme ini hanya akan menguji prosedur teknis semata, bahwa
pejabat tata usaha Negara telah bertindak berdasarkan apa yang diamanatkan
oleh peraturan perundang-undangan. Sehingga keliru jika asas contrarius
actus diimplementasikan dalam konteks pengujian terhadap tindakan
pembatasan kebebasan sipil.
Suatu asas yang baru diterapkan dalam Undang-Undang ormas ialah
asas contrarius actus menjadi alasan bagi pemerintah secara teoritik dalam
melakukan tindakan pencabutan surat keterangan atau status badan hukum
yang dimiliki oleh ormas yang dianggap melanggar. Hal ini justru
bertentangan dengan apa yang menjadi kajian dalam teori Administrasi
Negara. Terdapat 2 (dua) hal yang terhadapnya suatu keputusan (ketetapan)
yang menguntungkan dapat ditarik kembali sebagai sanksi25
:
24 Putusan Mahkamah Konstitusi 6-13-20/P-VIII/2010 tentang Pengujian Undang-undang
Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dan Undnag-Undang Nomor
4/PNPS/1963 tentang Pengamanan Terhadap Barang-barang Cetakan yang Mengganggu
Ketertiban Umum., h. 7.
25 Pilipus M. Hadjon (et.al), Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Cetakan Ketiga,
(Gajah Mada University PRESS, Yogyakarta, 1994), h. 258-259.
69
1. Pihak yang berkepentingan tidak mematuhi pembatasan-
pembatasan, syarat-syarat, atau ketentuan peraturan perundang-
undangan, yang dikaitkan pada izin, subsidi, atau pembayaran.
2. Pihak yang berkepentingan pada waktu mengajukan permohonan
untuk mendapat izin, subsidi, atau pembayaran telah memberikan
data yang sedemikian tidak benar atau tidak lengkap, hingga
apabila data itu diberikan secara benar atau lengkap maka
keputusan akan berlainan.
Berdasarkan paramaeter yang diberikan di atas menunjukkan bahwa
penerapan asas contrarius actus dalam Undang-Undang ormas tidak dapat
dibenarkan dengan alasan bahwa pemerintah tidak dapat mencabut suatu
ketetapan apabila tidak dapat ditemukannya 2 alasan. Pertama, pelanggaran
terhadap pemabatasan-pembatasan yang berkaitan dengan izin, subsidi, atau
pembayaran saat diajukannya proses pembuatan badan hukum oleh ormas.
Kedua, apabila pemerintah tidak dapat menunjukkan bahwa saat diajukannya
izin, subsidi, atau pembayaran terhadap badan hukum yang didirikan oleh
ormas terdapat data yang sedemikian tidak benar atau tidak lengkap agar
dapat mempengaruhi keputusan pemerintah. Pemerintah dalam hal ini juga
wajib mempertimbangkan dan mengindahkan asas-asas pemerintahan yang
layak, adanya syarat pertimbangan kepentingan yang pantas (keseimbangan),
asas kecermatan (sebelumnya memberi kesempatan membela diri), dan asas
pemberian dasar (memberikan alasan-lasan yang tepat bagi penarikan
kembali). Arti dari asas kepastian hukum harus diperhitungkan dalam hal
penarikan tersebut.
Pada penjelasan Undang-Undang tentang organisasi kemasyarakatan
sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 Pasal 70 ayat (1)
menjelaskan bahwa pengajuan permohonan terhadap pembubaran ormas
kepada pengadilan tidak dapat diartikan sebagai perkara voluntair yang
diperiksa secara ex parte atau berdasarkan kepentingan salah satu pihak saja,
tetapi harus diperiksa secara bersamaan contentiusa, yaitu pihak yang
berkepentingan harus ditarik sebagai termohon untuk memenuhi asas
70
audietalteram partem. Berarti kedua belah pihak diberikan kesempatan yang
sama untuk menyampaikan segala sesuatu yang diperlukan dalam proses
peradilan. Asas tersebut menjamin apa yang di pertimbangkan oleh hakim di
dalam proses peradilan adalah bentuk dari salah suatu upaya agar
mendapatkan putusan yang objektif.
Pengahapusan proses peradilan di dalam Undang-Undang ormas juga
memiliki hubunagan erat dengan penerapan asas contrarius actus yang mana
pemerintah beranggapan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013
tentang Oraganisasi Kemasyarakatan belum menerapkan asas tersebut,
sehingga dalam proses pemberian sanksi kepada ormas tidak dapat berjalan
efektif karena harus melalui proses peradilan dalam pencabutan status badan
hukum yang dalam hal ini, adanya putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap mengenai pembubaran ormas berbadan
hukum26
. Maka dengan adanya asas tersebut pemerintah dapat mencabut
status badan hukum ormas tanpa harus melalui mekanisme peradilan.
Penegasan proses peradilan inilah yang menjadi permasalahan ketika
Negara dalam hal ini pemerintah (eksekutif), dapat dengan mudah
menyatakan ormas telah melanggar yang disebut sebagai mengancam
kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945.
Tidak adanya parameter yang jelas terhadap pelanggaran tersebut, dan tidak
dapat diukur secara objektif. Mekanisme pembubaran seperti yang di atur
oleh Undang-Undang ormas baru ini adalah bentuk pemberhangusan hak
kebebasan berserikat dengan memungkinkannya kesewenang-wenangan
masuk di dalamnya.
Karenanya untuk mencegah eksesif dari pemerintah maka
kewenangan untuk memeriksa, meneliti, mengadili, dan memutuskan
pemberian sanksi untuk dibekukan atau dibubarkannya sebuah harus berada
pada lembaga yudikatif bukan lembaga eksekutif. Seharusnya Undang-
26 Lihat Pasal 68 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 tahun 2013.
71
Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang penetapan perppu Nomor 2 Tahun
2017 tetap memuat mekanisme pembubaran ormas oleh Lembaga Peradilan
dalam hal ini Lembaga Peradilan dibawah Mahkamah Agung.
Untuk mengatasi masalah inefisiensi karena lamanya waktu yang
dibutuhkan dalam pembubaran sebuah ormas. Pemerintah dapat
mempersingkat tahapan pembubaran ormas seperti memberikan batasan
waktu kepada Lembaga Peradilan dalam memeriksa, mengadili, dan memutus
perkara pembubaran ormas. Apabila dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2013 disebutkan bahwa pengadilan diberi waktu 60 hari untuk memberikan
putusan, dalam sebuah dapat dipersingkat menjadi 30 hari.
Begitu juga apabila pihak ormas tidak puas terhadap Putusan
pengadilan judex facti dan mengajukan kasasi, perlu juga ada batasan kepada
Mahkamah Agung dalam memberikan putusan. Dalam Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2013 proses di MA tidak memiliki batasan, sehingga
menyebabkan perkara pembubaran ormas bisa berlarut-larut dan
menghabiskan waktu bertahun-tahun. Karena itu, dalam sebuah perlu adanya
batasan yang diberikan kepada Mahkamah Agung dalam memeriksa perkara
seperti 45 hari sehingga ada kepastian dari perkara tersebut.
Cara tersebut adalah lebih arif dan memberikan solusi terhadap
kekhawatiran pemerintah yang apabila pembubaran ormas melibatkan
lembaga peradilan akan memakan waktu lama. Mekanisme tersebut juga
merefleksikan sebuah Negara hukum yang tetap menganut prinsip due
process of law, tidak adanya monopoli kekuasaan dalam pembubaran ormas
karena tetap melibatkan kekusaan yudikatif dalam pembubaran sebuah ormas.
Alternatif kedua yaitu, wewenang pembubaran ormas dapat diberikan
kepada Mahkamah Konsitutsi. Undang-Undang Dasar 1945 memberikan
legitimasi terhadap hak untuk bebas berserikat dan berkumpul. Kebebasan
berserikat yang merupakan salah satu hak asasi manusia yang lahir dari
kecenderungan manusia untuk berorganisasi dan mengorganisir diri guna
memperjuangkan hak dan kepentingannya. Karena kebebasan berserikat
merupakan hak konstitusional warga Negara yang dijamin di dalam Undang-
72
Undang Dasar 1945 terhadap penyimpangan dari hak konstitusional warga
Negara. Mahkamah Konstitusi dapat memberikan putusan terhadap
penyimpangan tersebut, karena MK sebagai penafsir dan penjaga konstitusi
(the interpreter and the guardian of constitution).27
Tentu alternatif kedua ini, juga dapat diterapkan dalam pembubaran
ormas. Proses peradilan di Mahkamah Konstitusi lebih singkat dibandingkan
di Lembaga Peradilan di bawah Mahkamah Agung yang mempunyai upaya
hukum dari tingkat pertama, banding, kasasi, dan peninjauan kembali.
Sedangkan Mahkamah Konsitusi keputusannya bersifat final dan
mengikat, karenanya tidak akan ada lagi upaya hukum setelah keputusan
tersebut, dan para pihak harus taat dan patuh terhadap putusan tersebut. Hal
ini tentunya dapat menyelesaikan masalah yang selama ini dikhwatirkan oleh
Pemerintah dimana proses beracara diperadilan dapat memakan waktu yang lama.
Pemberian kewenangan pembubaran ormas kepada Mahkamah
Konstitusi karena Mahkamah Konstitusi memang dibentuk untuk menjamin
agar konstitusi sebagai hukum tertinggi dapat ditegakkan sebagaimana
mestinya.28
Tujuan diadakannya Mahkamah Konstitusi adalah untuk
mengawal sekaligus menjamin agar norma-norma konstitusi tidak disimpangi
dalam penyelenggaraan negara,29
termasuk norma yang menjamin kebebasan
berkumpul dan berserikat yang dimuat dalam Pasal 28 E ayat 3.
27 Manunggal K. Wardaya, “Perubahan Konstitusi Putusan Mahkamah Konstitusi (Telaah
Atas Putusan Nomor 138/P-VII/2009)”, Jurnal Konstitusi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Volume 7, Nomor 2, April 2010, h. 9.
28 Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h. 130.
29 Hamdan Zoelva, Mengawal Konstitusionalisme, (Jakarta: Konstitusi Press, 2016), h.
94.
73
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pada permasalahan yang telah dikemukakan diatas, maka
dapat saya berikan kesimpulan sebagai berikut :
1. Faktor yang melatarbelakangi digantinya Undang-Undang Nomor
17 Tahun 2013 dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017
tentang Organisasi Kemasyarakatan yaitu: Pertama, adanya keadaan
yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum
secara cepat berdasarkan Undang-Undang, karena apabila ajaran
atau paham yang bertentangan dengan Pancasila tersebut tidak
dicegah sejak dini dikhawatirkan ajaran tersebut semakin menyebar
dan diikuti oleh banyak orang sehingga akan mengancam Ideologi
bangsa dan Kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kedua, ada Undang-Undang tetapi tidak memadai, seperti yang kita
ketahui bersama bahwa Pengaturan mengenai ormas memang sudah
di atur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang
Organisasi Kemasyarakatan, namun ketentuan tersebut sudah tidak
lagi memadai dan tidak dapat menjawab kebutuhan hukum yang ada
karena penjelasan mengenai ormas yang menyebarkan
paham/ideologi terbatas hanya pada atheisme, komunisme,
marxisme/leninisme, padahal dalam perkembangannya masih
banyak paham lain yang bertentangan dengan Pancasila selain
paham-paham tersebut di atas, kemudian tidak tersedianya asas
contrarius actus dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013
menjadikan pemerintah tidak dapat bertindak cepat dan tegas untuk
menertibkan ormas yang menyebarkan ideologi yang bertentangan
dengan Pancasila. Ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat
diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur
74
biasa karena membutuhkan waktu yang lama sedangkan keadaan
mendesak tersebut perlu segera diselesaikan sehingga apabila
menunggu revisi terhadap Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013
tentunya akan membutuhkan waktu yang lama padahal kehadiran
ormas yang menyebarkan ideologi selain Pancasila tersebut
mendesak untuk segera ditindak tegas.
2. Kelebihan dari Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang
Organisasi Kemasyarakatan ini adalah perluasan pendefinisian dan
larangan serta sanksi terhadap ormas yang bertentangan dengan
dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 untuk
membedakan sekaligus melindungi ormas yang mematuhi dan
konsisten dengan asas dan tujuan ormas berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan
ormas yang asas dan kegiatannya nyata-nyata bertentangan dengan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Undang-Undang ini tetah memisahkan kedua golongan
ormas tersebut dan disertai dengan jenis sanksi dan penerapannya
yang bersifat luar biasa. Sedangkan kekurangan dari Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2017 ini adalah hilangnya mekanisme
peradilan yang dianggap bisa menimbulkan kesewenang-wenangan
pemerintah untuk membubarkan ormas yang dirasa bertentangan
dengan pemerintah tanpa adanya putusan pengadilan terlebih
dahulu.
3. Cara untuk melengkapi kekurangan yang terdapat dalam Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2017 menurut konsep Negara hukum di
Indonesia yaitu dengan cara tetap menggunakan proses peradilan
dalam proses pembubaran ormas. Sedangkan untuk mengatasi
permasalah tentang inefesiensi dalam proses peradilan karna
lamanya waktu yang dibutuhkan dalam proses pembubaran ormas,
maka pemerintah dapat memberikan batasan waktu kepada
75
Lembaga peradilan dalam memeriksa, mengadili, dan memutus
perkara pembubaran ormas tersebut.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas penulis memberikan saran kepada
pemerintah sebagi berikut :
Agar pembekuan dan pembubaran ormas sesuai dengan prinsip
Negara hukum dan demokrasi, serta tetap terjaminnya kebebasan berserikat di
Indonesia, maka Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Penetapan
perppu Nomor 2 Tahun 2017 harus dilakukan beberapa perubahan materi
yang terdapat dalam perppu tersebut. Mekanisme pembubaran di dalam
perppu tersebut harus tetap memuat due process of law untuk menghindari
adanya kesewenang-wenangan pemerintah.
Kewenangan dalam pembubaran ormas dapat diberikan kepada
Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi sebagai penafsir dan
penjaga konstitusi (the interpreter and the guardian of constitution),
Mahkamah Konstitusi dapat memberikan keputusan terhadap
penyimpangan terhadap hak kebebasan berserikat yang diatur dalam
Undang-Undang Dasar 1945.
Untuk mengatasi masalah inefisiensi karena lamanya waktu yang
dibutuhkan dalam pembubaran sebuah ormas. Pemerintah dapat
mempersingkat tahapan pembubaran ormas seperti memberikan batasan
waktu kepada Lembaga Peradilan dalam memeriksa, mengadili, dan
memutus perkara pembubaran ormas. Apabila dalam Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2013 proses di Mahkamah Agung tidak memiliki
batasan, sehingga menyebabkan perkara pembubaran ormas bisa berlarut-
larut dan menghabiskan waktu bertahun-tahun. Maka di dalam perppu
tersebut dapat diberikan waktu kepada Mahkamah Agung maupun
Mahkamah Konsitusi dalam memeriksa perkara selama 45 hari sehigga
ada kepastian dari perkara tersebut.
76
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Alim, Muhamad. Demokrasi dan Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Madinah dan UUD 1945. Yogyakarta: UII Press, 2001.
Aripin, Fahmi Muhammad Ahmadi dan Djaenal. Metode Penelitian Hukum. Tanggerang Selatan: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2010.
Asikin, Amiruddin dan H. Zainal. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004.
Asshiddiqie, Jimly. Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi. Jakarta:
Sinar Grafika, 2012.
______. Kemerdekaan Berserikat Pembubaran Partai Politik dan Mahkamah
Konstitusi. Jakarta: Konstitusi Press, 2006.
______. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Konstitusi Press,
2004.
______. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada,
2010.
______. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi.
Jakarta: Sinar Grafika, 2012.
Budiarjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama, 2008.
Farida, Maria. Ilmu Perundang Undangan Dasar-Dasar dan Pembentukannya.
Yogyakarta: Kanisius, 1998.
Ghoffar, Abdul. Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan
UUD 1945 dengan Delapan Negara Maju. Jakarta: Kencana, 2009.
Giyanto, Sugiyanto dan Bambang. Hukum Administrasi Negara. Jakarta:
Lembaga Administrasi Negara, 2008.
Hamidi, Jazim. Teori Hukum Tata Negara. Jakarta: Salemba Humanika, 2012.
Harahap, Krisna. Konstitusi Republik Indonesia Menuju Perubahan Ke 5.
Bandung: Grafitri, 2004.
Locke, John. Two Treatises of Government. London: Everyman, 1993.
77
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Surabaya: Prenada Media Group, 2016.
MD, Mahfud. Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia. Yogyakarta: UII Pres, 1983.
______. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: LP3ES, 1998.
Moh. Kusnadi, dan Bintang R. Saragih. Ilmu Negara. Jakarta: Radar Jaya
Pratama, 2000.
Muntoha. Negara Hukum Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945. Yogyakarta:
Kaukaba, 2013.
Qamar, Nurul. Negara Hukum Atau Negara Undang-Undang. Makassar: Pustaka Refleksi, 2010.
Sabine, George H. A History of Political Theory. New York: Rinehart and Winston, 1961.
Satya Arinanto, et al., ed. Hukum Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: UII, 2008.
Sugiyono. Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif. Bandung: Alfabeta, 2004.
Sopyan, Yayan. Pengantar Metode Penelitian. Tanggerang Selatan: Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Jakarta, 2010.
Winayanti, Nia Kania. Dasar Hukum Pendirian dan Pembubaran Ormas.
Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2011.
Zoelva, Hamdan. Mengawal Konstitusionalisme. Jakarta: Konstitusi Press, 2016.
B. Undang-Undang dan Putusan Hakim
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 Tentang Organisasi Masyarakat
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Masyarakat;
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 Tentang Organisasi Kemasyarakatan;
Putusan MK Nomor 39/P-XV/2017
Putusan MK Nomor 6-13-20/P-VIII/2010
78
C. Jurnal dan Kajian Hukum
Arwanto, Bambang. “Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Akibat Tindakan Faktual
Pemerintah.” Yuridika Vol. 31 No.3, 2016: 367.
Maggalatung, Andi Salman. “Hubungan Antara Fakta, Norma, Moral, dan
Doktrin Hukum Dalam Pertimbangan Putusan Hakim.” Cita Hukum, Vol. 1. No. 2, 2014: 186.
Mursitama, Tirta Nugraha. Pengkajian Hukum tentang Peran dan Tanggung Jawab Organisasi Kemasyarakatan Dalam Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional
BPHN, 2011.
Rusli, Hardijan. “Metode Penelitian Hukum Normatif.” Law Review Fakultas
Hukum Universitas Pelita Harapan. Vol. 5. No. 3., 2006: 41.
Sayuti. “Konsep Rechsstaat Dalam Negara Hukum Indonesia.” Nalar Fiqh, Vol.
4. No. 2, 2011: 81.
Soemarsono, Maleha. “Negara Hukum Indonesia Ditinjau Dari Sudut Teori
Tujuan Negara.” Hukum dan Pembagunan, Vol. 37. No. 2, April-Juni 2007: 301-302.
Sonata, Depri Liber. “Metode Penelitian Hukum Normatif dan Empiris: Karakterirtik Khalas Dari Metode Meneliti Hukum.” Fiat Justisia Ilmu Hukum. Vol. 8. No. 1, 2014: 28.
Sudjito. Membaca “Kepentingan Politik” di Balik Perppu Ormas dan Implikasi
Sosilogisnya Pada Masyarkat. Jakarta: FH UII, 2017.
Wardaya, Manunggal K. “Perubahan Konstitusi Putusan Mahkamah Konstitusi.”
Jurnal Konstitusi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Volume 7, No 2, , 2010: 9.
D. Internet
Detik.com
Hukumonline.com
MediaIndonesia.com
Kompas.com
Selasar.com
Seword.com
Tempo.com