tinjauan yuridis perjanjian kerjasama kemitraan … · perjanjian yang disebutkan dalam perjanjian...
Embed Size (px)
TRANSCRIPT

TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN KERJASAMA KEMITRAAN ANTARA
PT. GOJEK INDONESIA DENGAN DRIVER
JURNAL ILMIAH
Untuk memenuhi sebagian persyaratan
Untuk mencapai derajat S-1 pada
Program Studi Ilmu Hukum
Oleh:
Musa Kharisman Aliyanto
D1A014237
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MATARAM
MATARAM
2018

i
TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN KERJASAMA KEMITRAAN ANTARA
PT. GOJEK INDONESIA DENGAN DRIVER
Oleh:
Musa Kharisman Aliyanto
D1A014237
Menyetujui,
Pembimbing Pertama,
Sahruddin., S.H., M.H
NIP. 19631231 199203 1 016

ii
TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN KERJASAMA KEMITRAAN
ANTARA PT. GOJEK INDONESIA DENGAN DRIVER
Musa Kharisman Aliyanto
NIM: D1A014237
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MATARAM
ABSTRAK
Penelitian ini memberikan sumbangsih pemikiran yang bermanfaat dalam
hukum perjanjian mengenai perjanjian kerjasama kemitraan dan sebagai masukan
antara PT. Gojek Indonesia dengan driver. Penelitian ini merupakan penelitian
hukum normatif yang dianalisis menggunakan pendekatan perundang-undangan
(statute approach) dan pendekatan konsep (conceptual approach). Hak dan
kewajiban antara para dibuat secara baku oleh pihak PT. Gojek Indonesia dan
tidak diberi kesempatan pihak driver untuk memberikan pendapat, saran ataupun
kesempatan untuk merevisi klausul perjanjian baku tersebut. Upaya hukum yang
dapat dilakukan apabila salah satu pihak wanprestasi yaitu secara musyawarah
dan melalui pengadilan.
Kata Kunci: Perjanjian Kerjasama Kemitraan, PT. Gojek Indonesia, Driver.
JURIDICAL REVIEW OF THE AGREEMENT OF PARTNERSHIP
COOPERATION BETWEEN PT. GOJEK INDONESIA WITH DRIVER
ABSTRACT
This research contributes useful thoughts in the agreement law regarding
partnership cooperation agreements and as input between PT. Gojek Indonesia
with drivers. This research is a normative legal research that is analyzed using a
statute approach and conceptual approach. Rights and obligations between the
parties are made by default by PT. Gojek Indonesia and were not given the
opportunity for the driver to provide opinions, suggestions or opportunities to
revise the standard agreement clause. Legal efforts can be made if one of the
parties is in default, namely by deliberation and through the court.
Keywords: Partnership Cooperation Agreement, PT. Gojek Indonesia, Driver.

i
I. PENDAHULUAN
Perjanjian yang disebutkan dalam perjanjian elektronik antara
perusahaan dan driver adalah Perjanjian Kerjasama Kemitraan. Perjanjian
kemitraan merupakan perjanjian yang dikenal dalam Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dan Peraturan
Pemerintah Nomor 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan. Istilah kemitraan
berasal dari bahasa Inggris, yaitu “partner contract.”
Tidak dibenarkan dalam hubungan kemitraan terjadi keterpaksaan
dalam bentuk apapun termasuk ketidakberdayaan secara ekonomis dari salah
satu pihak. Tidak dibenarkan pula terjadinya penindasan secara ekonomis
salah satu pihak terhadap pihak yang lainnya.
Kontrak antara PT. Gojek Indonesia dengan driver dibuat secara
elektronik. Kontrak Elektronik yang dibuat oleh pengelola usaha memuat
beberapa pasal kerjasama kemitraan yang dibuat secara baku dan diberlakukan
sama untuk semua mitra kerjanya. Hal yang menarik dalam kontrak elektronik
yaitu terdapat beberapa pasal dalam ketentuan perjanjian tersebut yang tidak
menguntungkan bagi mitra kerja dan tidak ada ruang bagi mitra kerja untuk
melakukan tinjauan, sanggahan dan penawaran sebagai bagian dari unsur
kesepakatan dalam perjanjian. Jika mitra driver Gojek tersebut menyetujui
dengan isi yang terkandung dalam kontrak elektronik tersebut, maka driver
cukup menekan tombol klik yang telah disediakan di dalam kontrak elektronik
tersebut.

ii
Mengenai autosuspend biasanya pihak kantor operasional GO-JEK
tidak memberikan alasan ke driver mengapa ia bisa terkena sanksi berupa
autosuspend yang berakibat saldo deposit tidak dapat ditarik dan dianggap
hangus. Dengan adanya hubungan kemitraan, maka seharusnya dalam
pelaksanaannya terjadi wanprestasi tidak mengakibatkan kerugian bagi salah
satu pihak.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penulis merumuskan
permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah pengaturan perjanjian
kerjasama kemitraan yang dilakukan oleh PT. Gojek Indonesia dengan driver;
dan 2. Bagaimanakah upaya hukum apabila terjadi wanprestasi dalam
pelaksanaan perjanjian kerjasama kemitraan antara PT. Gojek Indonesia
dengan driver. Adapun tujuan dari dilaksanakannya penelitian ini yaitu :1.
Mengetahui pengaturan perjanjian kerjasama kemitraan yang dilakukan oleh
PT. Gojek Indonesia dengan driver;dan 2. Mengetahui upaya hukum apabila
terjadi wanprestasi dalam pelaksanaan perjanjian kerjasama kemitraan antara
PT. Gojek Indonesia dengan driver. Manfaat dari penelitian ini yaitu: 1.
Secara teoritis memberikan sumbangsih pemikiran yang bermanfaat dalam
pengembangan ilmu hukum, khususnya hukum perjanjian mengenai perjanjian
kerjasama kemitraan; dan 2. Secara praktis sebagai masukan untuk para pihak
pengambil kebijakan antara PT. Gojek Indonesia dengan driver mengenai
pelaksanaan perjanjian kerjasama kemitraan yang dilakukan oleh PT. Gojek
Indonesia dengan driver serta upaya hukum apabila terjadi wanprestasi dalam
pelaksanaan perjanjian kerjasama kemitraan antara PT. Gojek Indonesia

iii
dengan driver. Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Metode
pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: 1. Pendekatan
Perundang-undangan (Statute Approach); dan Pendekatan Konseptual
(Conceptual Approach). Sumber dan jenis data yang digunakan dalam
penulisan ini yaitu: Bahan hukum primer, Bahan hukum sekunder, dan Bahan
hukum tersier. Teknik dan pengumpulan data dalam penelitian ini
dikumpulkan dengan teknik studi dokumen yaitu dengan membaca dan
mempelajari buku-buku, literatur, dan Peraturan Perundang-Undangan yang
berlaku yang dapat menunjang penelitian ini serta dokumen-dokumen yang
ada relevansinya dengan permasalahan yang diteliti. Bahan hukum yang
digunakan dalam penelitian ini dalam bentuk kualitatif. Setelah di dapatnya
data-data yang tersusun secara sistematis dan lengkap baru kemudian
dianalisis secara kualitatif dengan maksud mempelajari sesuatu masalah yang
ingin diteliti secara mendasar dan mendalam sampai pada akar
permasalahannya, sehingga akan diperoleh suatu kejelasan masalah yang
dibahas. Pengambilan kesimpulan dilakukan dengan metode deduktif yaitu
menarik suatu kesimpulan dari data yang sifatnya umum ke khusus untuk
mendapatkan kejelasan terhadap suatu kebenaran sehingga memperoleh
gambaran yang jelas mengenai masalah yang diteliti.

iv
II. PEMBAHASAN
Pengaturan Perjanjian Kerjasama Kemitraan yang Dilakukan oleh PT.
Gojek Indonesia dengan Driver
Perjanjian adalah kesepakatan yang terjadi ketika para pihak saling
berjanji untuk melaksanakan perbuatan tertentu. Menurut Subekti, perjanjian
adalah peristiwa ketika seseorang atau lebih berjanji untuk melaksanakan
suatu hal.1
Menurut Pasal 1313 KUH Perdata, perjanjian adalah suatu perbuatan
dengan mana satu pihak atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang atau lebih. Dalam Pasal 1313 KUH Perdata tentang definisi
perjanjian, dapat diambil dua point yang menunjukkan bahwa kontrak
dan perjanjian adalah sama, yaitu adanya suatu perbuatan dan adanya
satu pihak atau lebih yang mengikat diri.
Perjanjian kerjasama kemitraan antara PT. Gojek Indonesia dengan
driver dilakukan secara elektronik (e-contract). Hal ini karena perjanjian
tersebut hanya ada di aplikasi GO-JEK driver dan juga sudah dijelaskan dalam
Pasal 1 mengenai Ketentuan Umum dan Pasal 5 Angka (5.2) mengenai
Kontrak Elektronik dalam Perjanjian Kerjasama Kemitraan antara PT. Gojek
Indonesia dengan driver.
Berdasarkan Pasal 2 tentang Hubungan Kerjasama dan Pasal 5 Ayat
(5.2) mengenai Kontrak Elektronik dalam Perjanjian Kerjasama Kemitraan
antara PT. Gojek Indonesia dengan driver dapat disimpulkan bahwa jika
driver melakukan tindakan mengklik persetujuan secara elektronik atas
perjanjian kemitraan GO-JEK, mengakses dan menggunakan aplikasi GO-
1 Subekti, dalam R. Joni Bambang S., Hukum Ketenagakerjaan, Cet. 1, Pustaka Setia
Bandung, Bandung, 2013, hlm. 81.

v
JEK, itu berarti bahwa driver telah setuju dengan perjanjian kerjasama
kemitraan yang terdapat dalam aplikasi. Selain itu, dengan menyetujui
perjanjian kerjasama kemitraan, berarti driver juga telah setuju jika ada
perubahan terhadap syarat dan ketentuan yang diberlakukan.
Bentuk atau pola kemitraan antara PT. Gojek Indonesia dengan driver
tidak dicantumkan dalam Perjanjian Kerjasama Kemitraan. Berdasarkan pola
kemitraan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 26 Undang-Undang Nomor
Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dan Pasal
2 sampai dengan Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1997 tentang
Kemitraan, bentuk atau pola kemitraan antara PT. Gojek Indonesia dengan
driver adalah bentuk lainnya. Hal tersebut karena dalam pelaksanaannya,
kontrak kerjasama kemitraan antara PT. Gojek Indonesia dengan driver
melakukan bagi hasil keuntungan sebesar 80 (delapan puluh) persen untuk
pihak driver dan 20 (dua puluh) persen untuk pihak PT. Gojek Indonesia.
Berbicara mengenai kemitraan tentu tidak lepas dari hak dan
kewajiban masing-masing pihak. Berdasarkan perjanjian kerjasama kemitraan,
terdapat ketidakseimbangan hak dan kewajiban antara PT. Gojek Indonesia
dengan driver. Kebanyakan dari 5 (lima) pasal yang tercantum dalam
perjanjian kerjasama kemitraan, penulis hanya menemukan kewajiban mitra
driver dan hak PT. Gojek Indonesia, dan penulis tidak menemukan mengenai
hak mitra driver dan kewajiban PT. Gojek Indonesia. Selain itu jika
diinterpretasikan, kewajiban driver secara tidak langsung adalah termasuk hak
PT. Gojek Indonesia.

vi
Disini terlihat sifat adanya perjanjian baku dan mengandung klausula
eksonerasi, yaitu perjanjian yang diperuntukkan bagi driver yang melibatkan
diri dalam perjanjian ini. Klausula eksonerasi adalah syarat yang berisi untuk
membebaskan atau membatasi tanggung jawab seorang dalam melakukan
perjanjian.
Suatu perjanjian tidak saja mengikat pada apa yang dicantumkan
semata-mata dalam perjanjian, tetapi juga pada apa yang menurut sifatnya
perjanjian dihendaki oleh keadilan, kebiasaan atau undang-undang,
selanjutnya bahwa hak-hak atau kewajiban-kewajiban yang sudah lazim
diperjanjikan dalam suatu perjanjian, meskipun pada kenyataannya tidak
dimasukkan kedalam surat perjanjian, harus juga dianggap telah tercantum
dalam perjanjian.2
Dalam ketentuan kontrak, pihak pengelola tidak secara tegas dan
transparan menuliskan skema bagi hasil yang diterapkan. Penerapan kontrak
elektronik di PT. Gojek Indonesia yang dilakukan oleh pihak pengelola
aplikasi dengan pihak mitra (driver GO-JEK) yaitu dengan kontrak kerjasama
yang berbentuk kemitraan dengan presentase bagi hasil keuntungan sebesar 80
(delapan puluh) persen untuk mitra (driver GO-JEK) dan 20 (dua puluh)
persen untuk pihak PT. Gojek Indonesia.
Kontrak elektronik yang diterapkan oleh PT. Gojek Indonesia sudah
sesuai dengan aturan yang terdapat dalam Undang-Undang No. 11 Tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Peraturan Pemerintah
2 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Bandung, 1980, hlm. 140.

vii
No. 82 tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi
Elektronik. Namun, kontrak elektronik tersebut disusun dan dibuat oleh pihak
PT. Gojek Indonesia, tanpa ada keterlibatan pihak mitra (driver GO-JEK)
untuk memberikan sanggahan, tambahan dan koreksi dari isi klausul yang
diperjanjikan baik di tahap pra kontrak maupun pelaksanaan kontrak.
Sehingga dari lima pasal yang mengatur antara hak dan kewajiban para pihak,
terdapat beberapa pasal yang merugikan pihak mitra (driver GO-JEK). Pihak
mitra (driver GO-JEK) tidak dapat merubah atau mengkoreksi isi klausul
tersebut, dan hanya diberikan pilihan untuk menerima atau menolak kontrak
tersebut. Hal tersebut yang mengakibatkan kontrak elektronik bersifat baku,
karena isi klausul tersebut dibuat secara sepihak oleh pihak pengelola aplikasi
(PT. Gojek Indonesia).
Penjatuhan hukuman suspend oleh PT. Gojek Indonesia kepada driver
dengan dalih orderan fiktif, terdapat kesalahan PT. Gojek Indonesia
diantaranya tidak menjabarkan kesalahan driver dan tidak menanggapi
keluhan driver yang meminta kejelasan terkait pembekuan statusnya.
Mengenai pemutusan hubungan kemitraan secara tidak langsung yang bersifat
sepihak oleh PT. Gojek Indonesia bertentangan dengan Pasal 1338 Ayat (3)
dan Pasal 1339 KUH Perdata.
Memang perjanjian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
menganut asas kebebasan berkontrak. Asas ini dapat disimpulkan dari Pasal
1338 KUH Perdata. Sebenarnya yang dimaksudkan oleh pasal tersebut tidak
lain dari pernyataan bahwa setiap perjanjian mengikat kedua belah pihak.

viii
Tetapi dari pasal ini kemudian dapat ditarik kesimpulan bahwa orang leluasa
untuk membuat perjanjian apa saja asal tidak melanggar kepatutan, kebiasaan,
undang-undang ketertiban umum dan kesusilaan.
Dalam Undang-Undang Nomor Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha
Mikro, Kecil, dan Menengah dan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1997
tentang Kemitraan, salah satu unsur yang tercantum dalam definisi kemitraan
yaitu adanya prinsip yang saling memperkuat dan saling menguntungkan.
Akan tetapi mengenai sanksi suspend terhadap driver sangat merugikan driver
karena deposit driver GO-JEK yang menjadi haknya driver tidak bisa diambil
oleh driver dan dianggap hangus. Selain itu pihak kantor PT. Gojek Indonesia
juga tidak memberikan alasan mengapa driver dikenai sanksi suspend.
Selain itu deposit driver GO-JEK yang dianggap hangus oleh pihak
PT. Gojek Indonesia dapat dikategorikan sebagai tindak pidana penggelapan
dengan pemberatan, sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 374 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Dalam perjanjian kerjasama elektronik antara PT. Gojek Indonesia
dengan driver hampir setiap pasalnya terdapat klausul eksonerasi, contohnya
yang tercantum dalam Pasal 3 Ayat (3.4) mengenai Kode Etik dan Kewajiban
Mitra dan Pasal 5 Ayat (5.1) mengenai Penyelesaian Sengketa.
Dalam perjanjian baku telah ditentukan klausul-klasulnya oleh salah
satu pihak. Persoalannya kini, apakah dengan adanya berbagai klausul-klausul
tersebut, perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat. Penulis berpendapat
bahwa perjanjian baku bukan merupakan perjanjian karena bertentangan

ix
dengan Pasal 1320 KUH Perdata. Ini diwakili oleh Sluitjar dan Mariam
Darusbadrulzaman. Sluijter berpendapat substansi kontrak itu bukan kontrak,
tetapi undang-undang swasta yang diberlakukan bagi debitur. Sedangkan
pandangan Mariam Darusbadrulzaman juga mengkaji dari aspek kebebasan.
Di sini pihak debitur tidak mempunyai kekuatan tawar menawar dalam
menentukan isi kontrak dengan pihak kreditur. Dengan demikian, kebebasan
berkontrak yang tercantum dalam Pasal 1338 KUH Perdata tidak mempunyai
arti bagi debitur, karena hak-hak debitur dibatasi oleh kreditur.
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,
berpendirian bahwa perjanjian baku adalah sah, akan tetapi undang-undang ini
melarang pencantuman klausula baku yang bersifat sebelah dan jika
dicantumkan dalam perjanjian, maka klausula baku tersebut adalah batal demi
hukum.3
Upaya Hukum Apabila Terjadi Wanprestasi dalam Pelaksanaan
Perjanjian Kerjasama Kemitraan antara PT. Gojek Indonesia dengan
Driver
Apabila terjadi wanprestasi salah satu pihak dalam pelaksanaan
perjanjian kerjasama kemitraan antara PT. Gojek Indonesia dengan driver,
maka penyelesaiannya dapat dilakukan dengan dua cara yaitu secara litigasi
dan non litigasi. Hal tersebut diatur dalam Perjanjian Kerjasama Kemitraan
Pasal 5 Ayat (5.1) mengenai Penyelesaian Sengketa. Berdasarkan pasal
3 Suharnoko., Hukum Perjanjian: Teori dan Analisa Kasus, Cet. 6, Ed. 1. Kencana
Prenada Media Group, Jakarta, 2004, hlm. 125-126.

x
tersebut, ada dua cara yang ditempuh dalam penyelesaian sengketa, yaitu
melalui musyawarah dan pengadilan.
GO-JEK memilih penyelesaian sengketa melalui Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan. Ini artinya sengketa yang terjadi antara pihak PT. Gojek
Indonesia dengan driver yang berada di daerah lain diluar DKI juga
diselesaikan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Hal ini diatur dalam
perjanjian kerjasama kemitraan Pasal 5 Ayat (5.1) mengenai Penyelesaian
Sengketa. Perjanjian tersebut menyediakan perjanjian penyelesaian sengketa
yang tidak realistis dan pasti tidak akan ada yang menempuhnya. Penyelesaian
sengketa melalui Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sebenarnya hendak
menyatakan bahwa penyedia jasa transportasi berbasis aplikasi tersebut tidak
melayani tuntutan hukum yang diajukan oleh driver.
Pada dasarnya kontrak dibuat untuk saling menguntungkan dan bukan
untuk saling merugikan atau untuk merugikan pihak lain. Oleh karena
itu, walaupun undang-undang memungkinkan pihak yang dirugikan
untuk membatalkan kontrak, selayaknya wanprestasi-wanprestasi kecil
atau tidak esensial tidak dijadikan alasan untuk pembatalan kontrak,
melainkan hanya pemenuhan kontrak baik disertai tuntutan ganti rugi
maupun tidak.4
Dengan demikian, walaupun pihak driver yang wanprestasi tidak dapat
mengajukan salah satu pembelaan atau tangkisan, pihak PT. Gojek Indonesia
tidak selamanya dapat menuntut pembatalan kontrak apabila prestasi yang
dilakukan terlambat atau tidak sempurna.
Salah satu tangkisan atau pembelaan yang dapat dilakukan oleh pihak
driver yang dituduh wanprestasi dengan dalih orderan fiktif yaitu tidak
4 Ahmadi Miru, Hukum Kontrak Perancangan Kontrak, Cet. 5, Rajawali Pers, Jakarta,
2013, hlm. 76.

xi
dipenuhinya kontrak (wanprestasi) terjadi karena keadaan terpaksa
(overmacht). Hal tersebut karena orderan secara otomatis masuk ke aplikasi
driver. Selain itu, salah satu penyebab terjadinya orderan fiktif yaitu driver
menyelesaikan orderan dari pelanggan yang sama secara berulang-ulang.
Padahal orderan dari pelanggan yang sama tersebut masuk secara otomatis ke
aplikasi driver dan driver juga tidak mengingat nama-nama pelanggan yang
pernah dilayani oleh driver.
Kebanyakan driver harus menerima orderan yang masuk tersebut.
Karena apabila ia tidak menerima orderan tersebut, dapat mengakibatkan
performa di aplikasi driver menurun. Performa bertujuan untuk mengukur
kinerja dari driver dalam melayani pelanggan, terutama dalam hal penerimaan
order. Performa dihitung berdasarkan jumlah order yang masuk ke aplikasi
driver. Jika driver tidak mengambil order yang masuk ke aplikasinya dan jika
order di cancel (dari sisi customer/driver/call center) maka tingkat
penyelesaian orderannya akan turun. Turunnya performa tersebut tentu sangat
mempengaruhi apakah driver mendapat bonus harian atau tidak.
Overmacht atau force majeure merupakan keadaan di mana seorang
debitur terhalang untuk melaksanakan prestasinya karena keadaan atau
peristiwa yang tidak terduga pada saat dibuatnya kontrak, keadaan atau
peristiwa tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur,
sementara si debitur tersebut tidak dalam keadaan beritikad buruk.5
5 Munir Fuady, Hukum Kontrak Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, Cet. 2, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2001, hlm. 113.

xii
Dalam pelaksanaannya, apabila driver dianggap wanprestasi oleh
pihak PT. Gojek Indonesia, biasanya pihak driver terkena sanksi berupa
suspend (putus hubungan kemitraan) atau membayar ganti rugi sesuai dengan
kesalahan yang dilakukan. Hal tersebut karena dianggap telah menimbulkan
kerugian bagi perusahaan.
Dengan membuat perjanjian salah satu atau lebih pihak dalam
perjanjian tersebut mengikatkan dirinya untuk memenuhi kewajiban
sebagaimana yang dijanjikan. Ini berarti di antara para pihak yang membuat
perjanjian lahirlah perikatan. Dari suatu perjanjian dapat lahir berbagai macam
kewajiban atau prestasi yang wajib dipenuhi. Tidak saja prestasi yang telah
ditentukan yang wajib dipenuhi oleh salah satu pihak dalam perjanjian,
melainkan juga prestasi yang ditentukan oleh undang-undang, dan dilakukan
secara bertimbal balik antara kedua belah pihak dalam perjanjian.6
6 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Pada Umumnya, Cet. 2, PT.
RajaGafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm. 42-45.

xiii
III. PENUTUP
Berdasarkan uraian penulis tersebut di atas, maka penulis membuat
kesimpulan sebagai berikut: 1. Perjanjian Kerjasama Kemitraan antara PT.
Gojek Indonesia dengan driver dibuat secara elektronik (e-contract). E-
contract yang dilakukan di PT. Gojek Indonesia tersebut dapat dipersamakan
dengan perjanjian baku dikarenakan e-contract tersebut dibuat secara sepihak
dan ketiadaan ruang negosiasi oleh pihak lainnya. Hak dan kewajiban antara
para pihak tidak seimbang dan proporsional karena klausul perjanjian telah
dibuat secara baku oleh pihak pengelola aplikasi (PT. Gojek Indonesia), yang
bertujuan untuk memproteksi dirinya dari segala kerugian yang mungkin
dilakukan oleh pihak mitra (driver GO-JEK). Pembuatan perjanjian kerjasama
kemitraan yang berorientasi posisi para pihak setara dan mutualisme
(keuntungan bersama) tidak dijalankan oleh berbagai pihak; dan 2. Apabila
terjadi wanprestasi salah satu pihak dalam pelaksanaan perjanjian kerjasama
kemitraan antara PT. Gojek Indonesia dengan driver, maka penyelesaiannya
dapat dilakukan dengan dua cara yaitu secara litigasi dan non litigasi.
Berdasarkan Perjanjian Kerjasama Kemitraan, ada dua cara yang ditempuh
dalam penyelesaian sengketa, yaitu melalui musyawarah dan pengadilan. Dari
uraian Kesimpulan di atas, penulis menarik beberapa saran, yaitu: 1.
Diharapkan kepada PT. Gojek Indonesia untuk memperbaiki e-contract yang
dibuatnya agar sesuai dengan prinsip kemitraan, yaitu prinsip saling
menguntungkan; 2. Pemberian kesempatan kepada pihak mitra (driver GO-
JEK) untuk melakukan koreksi dari isi perjanjian tersebut baik di tahap pra

xiv
kontrak maupun ketika pelaksanaan kontrak; 3. Pihak mitra diberikan
kesempatan untuk melakukan negosiasi baik dengan bertemu langsung
ataupun melalui dialog box yang sudah disediakan di sistem tersebut; 4.
Memberikan kesempatan kepada mitra untuk melakukan komplain apabila
hak-haknya dalam perjanjian tersebut dapat dirugikan oleh pihak perusahaan;
dan 5. Pihak PT. Gojek Indonesia memberikan alasan yang jelas kepada driver
yang terkena sanksi suspend (putus hubungan kemitraan).

xv
DAFTAR PUSTAKA
Fuady, Munir, Hukum Kontrak Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, Cet. 2,
Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001.
Miru, Ahmadi, Hukum Kontrak Perancangan Kontrak, Cet. 5, Rajawali Pers,
Jakarta, 2013.
Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja, Perikatan Pada Umumnya, Cet. 2,
PT. RajaGafindo Persada, Jakarta, 2004.
S., R. Joni Bambang, Hukum Ketenagakerjaan, Cet. 1, Pustaka Setia
Bandung, Bandung, 2013.
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Bandung, 1980.
Suharnoko, Hukum Perjanjian: Teori dan Analisa Kasus, Cet. keenam, Edisi
Pertama, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2004.
Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan,
LN. No. 91 Tahun 1997, TLN No. 3718.
Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 82 tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan
Sistem dan Transaksi Elektronik, LN No. 189 Tahun 2012, TLN No.
5348.
Indonesia, Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik, LN No. 58 Tahun 2008, TLN No. 4843.
Indonesia, Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan, LN No. 96 Tahun 2009, TLN No. 5025.
Indonesia, Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Pelindungan
Konsumen, LN No. 42 Tahun 1999, TLN No. 3821.
Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro,
Kecil, dan Menengah, LN No. 93 Tahun 2008, TLN No. 4866.