[tnc] makalah kel tnc ^o^[gun trafficking in sea].doc
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Permasalahan yang kemudian timbul dan semakin marak dewasa ini
terkait dengan semakin meningkatnya tindak kejahatan, bukan hanya dalam negeri
tetapi melibatkan berbagai negara dalam suatu bentuk kejahatan terorganisir
dengan modus operandi yang telah menimbulkan kerisauan dan keprihatinan.
Kejahatan yang melibatkan atau berdampak pada beberapa negara ini disebut
sebagai transnational crime. Salah satu bentuk transnational crime adalah
perdagangan senjata ilegal (gun trafficking). Masalah perdagangan dan
penyelundupan senjata ilegal atau lebih dikenal dengan istilah ”illicit trade in
small arms and light weapons” telah muncul sebagai masalah global karena
sumbangannya terhadap kekerasan dan instabilitas di berbagai kawasan, termasuk
telah merusak pembangunan dan membahayakan keamanan umat manusia
(human security). Bahkan, menurut mantan Sekjen PBB Kofi Annan, proliferasi
pedagangan senjata dan amunisi telah berdampak kepada peningkatan aksi-aksi
kekerasan yang berhubungan dengan kejahatan terorisme. Tidak dapat disangkal
lagi bahwa perdagangan dan penyelundupan senjata telah menjadi ”pembunuh
yang paling mematikan” pada dasawarsa terakhir. Lebih dari itu, masalah ini telah
melampaui kerumitan persoalan kemanusiaan dan telah berdampak
membahayakan keamanan nasional. Penyelundupan senjata telah memungkinkan
kelompok separatis bersenjata dan pemberontak menantang wewenang
pemerintahan yang sah sehingga menciptakan pelanggaran hukum dan merusak
ketertiban di masyarakat.
Oleh karena itu, diperlukan pembahasan dan pengkajian tentang gun
trafficking, agar dapat ditemukan solusi untuk mengatasi tindak kejahatan
transnasional tersebut. Makalah ini akan membahas khusus gun trafficking yang
ada di Asia Tenggara. Karena kestabilan keamanan di kawasan ini sangat penting
untuk dikaji, selaku masyarakat yang berada di kawasan ini. Selain itu, pemilihan
kawasan Asia Tenggara dikarenakan wilayah ini subur untuk tumbuh dan
berkembangnya konflik, pelanggaran HAM dan terorisme.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Pembuatan dan pengembangan senjata pada dasarnya dilakukan untuk
memenuhi tuntutan pertahanan dan keamanan dalam suatu negara. Karena itu ada
beberapa negara yang bertindak sebagai produsen dan beberapa lagi menjadi
konsumen. Sebagai contoh Amerika yang merupakan eksportir utama dalam hal
persenjataan dan negara berkembang yang menjadi importir karena adanya
perbedaan kemajuan teknologi.
Namun, akibat terjadi over produksi senjata sehingga memerlukan pasar
yang lebih luas. Salah satu jalan yang ditempuh ialah dengan mengirim senjata ke
negara-negara konflik. Akan tetapi karena ketatnya peraturan perdagangan senjata
maka timbul penjualan secara ilegal, termasuk di Asia Tenggara yang penjagaan
di perbatasannya sangat rentan. Munculnya penyelundupan senjata di kawasan
Asia Tenggara menimbulkan pertanyaan-pertanyaan seperti apa yang
mendorong munculnya aksi kejahatan ini, bagaimana pelaksanaannya, dan
apa dampak yang diakibatkannya terutama dalam kawasan itu sendiri?
Sehingga dapat diambil satu tindakan untuk menanggulangi dan mengurangi
tindak kejahatan transnasional tersebut
.
BAB II
KONSEP
Pengertian kejahatan transnasional menurut Bambang Cipto adalah:
Kejahatan Transnasional adalah kelompok terorganisir yang tujuan utamanya mendapat uang baik secara legal maupun tidak legal dengan menjual barang dagangan apapun yang dapat memberikan keuntungan maksimal dengan resiko sesedikit mungkin.1
Kemudian Antonio Nicasso dan Lee Lemothe berpendapat:
Kejahatan transnasional adalah sindikat yang terorganisir tersusun secara rapi dengan berangotakan sebuah masyarakat rahasia yang berasal dari beberapa Negara dengan tujuan untuk menjalankan operasi rahasia dan didukung oleh kemampuan informasi dan komunikaksi yang lengkap, guna melumpuhkan sistem yang menjadi sasarannya.2
Sesuai pasal 1 ayat 1 UU Darurat RI No. 12 tahun 1951, definisi dari
pelaku perdagangan senjata gelap adalah:
Barang siapa, yang tanpa hak memasukkan ke Indonesia, membuat, menerima, mencoba, memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mmempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan, atau mengeluarkan dari Indonesia suatu senjata api, amunisi atau sesuatu bahan peledak, dihukum dengan hukuman mati atau hukuman seumur hidup atau hukuman penjara sementara setinggi-tingginya dua puluh tahun.
Salah satu bentuk kejahatan transnasional ini adalah perdagangan senjata
illegal yang didefinisikan oleh Komisi Perlucutan Senjata PBB sebagai “(trade)
which is contrary to the laws of States and/or international law”. Definisi ini
memunculkan kemungkinan dua jenis pasar senjata ilegal: grey market dan black
market. Grey market merujuk pada situasi dimana perdagangan terjadi dengan
sepengetahuan pemerintahan nasional, walaupun mungkin melanggar aturan
internasional. Sementara black market merujuk pada perdagangan yang terjadi
sepenuhnya di luar kontrol pemerintahan nasional.3 Salah satu bentuk senjata yang
1 Bambang Cipto, 2007, Hubungan Internasional di Asia Tenggara, Pustaka Pelajar: Yogjakarta, hal. 224.
2 Antonio Nicasso dan Lee Lemothe, 2003, Mafia Global: Sebuah Ekspose Kejahatan Saat Ini, Gramedia Pustaka: Jakarta, Hal 1.
3Http://pjvermonte.wordpress.com/2006/07/15/corporate-warriors-dan-perdagangan-senjata-ilegal/ diakses tanggal 19 Mei 2015 pukul 16.17 Wib.
paling umum diperdagangkan adalah small arms. Definisi small arms oleh sebuah
kelompok ahli untuk PBB pada tahun 1997 adalah:
semua senjata yang dapat dibawa oleh seseorang untuk penggunaan perorangan. Diantaranya, meliputi revolver dan pistol semi otomatis, senapan dan karaben, submachine guns, senjata-senjata serbu,dan senjata-senjata mesin (light machine guns), serta termasuk amunisi dan bahan peledak.4
Peredaran senjata ini tentunya didorong oleh perdagangan internasional,
yang didefinisikan sebagai perdagangan yang dilakukan oleh penduduk suatu
negara dengan penduduk negara lain atas dasar kesepakatan bersama. Penduduk
yang dimaksud dapat berupa antarperorangan (individu dengan individu), antara
individu dengan pemerintah suatu negara atau pemerintah suatu negara dengan
pemerintah negara lain. Pelaksanaan perdagangan internasional antarnegara
memerlukan perjanjian-perjanjian untuk mengatur lalu lintas perdagangan
tersebut. Selain itu, juga untuk menentukan mana yang termasuk perdagangan
legal dan ilegal. Khusus untuk perdagangan senjata, digunakan hukum
perdagangan dan hukum internasional.
Majelis Umum PBB telah membentuk the UN Programme of Action to
Prevent, Combat, and Eradicate the Illicit Trade in Small Arms and Light
Weapons in All Its Aspects dalam rangka meningkatkan dan mengembangkan
norma dan langkah-langkah terhadap kontrol atas small arms pada tingkat global,
regional dan nasional. Di dalamnya mencakup isu-isu penting terkait perdagangan
small arms yaitu brokering, marking dan tracing.
Perjanjian internasional lainnya tentang perdagangan senjata ialah the UN
Firearms Protocol yang menjadi bagian dalam negosiasi UN Convention Against
Transnational Organized Crime tahun 2001. Protokol ini sifatnya lebih sempit
atau terfokus bila dibandingkan dengan Program Aksi PBB sebelumnya.
Setidaknya ada 4 elemen penting di dalamnya yaitu langkah marking, langkah
menghubungkan marking dengan record-keeping, langkah tracing untuk
mengindentifikasi sumber penyedia ilegal, dan langkah kriminalisasi perdagangan
senjata ilegal.
4 Http://ytm.or.id/pdf/kertasposisi4.pdf diakses tanggal 19 Mei 2015 pukul 16.17 Wib.
Dalam menghadapi perdagangan senjata illegal di kawasan Asia Tenggara
diperlukan kerjasama di tingkat regional untuk menjaga keamanan kawasan.
Konsep tentang keamanan didefinisikan oleh Arnold Wolfers yang menyatakan
“Security, in any objective sense, measures the absence of threats to acquired
values and in a subjective sense, the absence of fear that such values will be
attacked”5. Definisi keamanan ini menekankan pada kebebasan dari ancaman-
ancaman seperti militer yang difokuskan pada negara, serta mengindikasikan
adanya perbedaan aktor keamanan seperti individu, nasional atau internasional.
Sedangkan menurut Barry Buzan konsep keamanan dapat dikaji sebagai pengaruh
dari masing-masing posisi ekstrim antara kekuatan dan perdamaian. Menurutnya
keamanan berkaitan dengan kelangsungan hidup dimana isu-isu yang mengancam
kelangsungan hidup kolektif tertentu dipandang sebagai ancaman yang
eksistensial. Sehingga perlu tindakan yang memprioritaskan isu tersebut untuk
ditangani sesegera mungkin, sebab ini menyangkut human security.6 Coopertif
security yang menekankan pada upaya menciptakan keamanan melalui dialog,
konsultasi, pembentukan rasa saling percaya tanpa harus melalui pendekatan-
pendekatan formal institusional. Ini dapat dilihat pada kerjasama keamanan
negara-negara Asia Pasifik melalui forum ARF (ASEAN Regional Forum).7
Dalam mengkaji masalah gun trafficking digunakan bebeapa unit analisis
yaitu individu, kelompok/organisasi, dan negara yang ada di kawasan Asia
Tenggara:
1. Individu, yang dimaksud dengan individu di sini adalah pelaku
perdagangan senjata ilegal yang berupa perorangan, yang penggunaannya
untuk kepentingan pribadi.
2. Kelompok atau organisasi, yang dimaksud kelompok atau organisasi
adalah sekelompok orang yang bekerja secara terorganisir dalam praktek
penjualan senjata ilegal, baik sebagai pengedar maupun pemakai. Seperti
kelompok separatisme, teroris, dan pemberontak dalam suatu negara.
5 Anak Agung Banyu Perwita dan Yanyan Mochamad Yani, 2006, Pengantar Ilmu Hubungan Internasional, PT. Remaja Rosdakarya : Bandung, Hal. 121.6 Ibid, Hal. 122.7 Ibid, Hal 129.
3. Negara, yang dimaksud negara di sini adalah negara yang terlibat dalam
perdagangan senjata ilegal, baik sebagai pelaku maupun sebagai pihak
yang menangani tindak kejahatan tersebut.
Indonesia memiliki undang-undang mengenai perdagangan senjata
ilegal, yaitu Undang-Undang darurat RI No. 12 tahun 1951. Undang-undang ini
sangat kuat melarang masuknya senjata api secara ilegal ke wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Undang-undang ini dapat menjerat para
penyimpan, pemilik, dan pengimpor senjata ilegal dengan hukuman berat mulai
dari kurungan 20 tahun, seumur hidup, sampai hukuman mati. Jika tindak pidana
ini terkait dengan aksi terorisme maka dapat ditambah dengan jeratan hukum
mengenai Antiterorisme sesuai UU No. 15 tahun 2003.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Perdagangan Senjata Ilegal
Adapun konsep senjata dalam gun trafficking ini ialah senjata dalam
bentuk small arms. Setidaknya ada empat karakteristik senjata untuk
dikategorikan sebagai small arms, yaitu portable, murah, durable dan tradeable.
Menurut data Small Arms Survey, terdapat 639 juta pucuk senjata yang terdata di
dunia. Dengan demikian setidaknya ada lebih dari satu buah senjata di tiap 12
orang di muka bumi ini. Jumlah tersebut belum termasuk kepemilikan senjata
pribadi yang tidak terdata yang tersebar di berbagai negara besar. Jumlah persis
senjata ilegal sulit dipastikan. Namun, sirkulasi senjata jenis ringan dan berkaliber
ringan yang beredar di dunia diperkirakan 900 juta pucuk dan sekitar separuhnya
beredar di kalangan masyarakat sipil.
Diperkirakan peningkatan perdagangan dan bisnis senjata telah melibatkan
individu, kelompok-kelompok subnasional dan aktor-aktor non-negara, yang
bertindak sebagai pengguna. Semakin maraknya tindak kejahatan ini dikarenakan
gun trafficking merupakan sumber pendapatan nomor satu dari segi penghasilan
melalui tindak kejahatan. Dilihat dari sisi permintaan, praktek perdagangan small
arms mencakup tiga segmen pasar, yaitu kepentingan pertahanan negara,
kelompok non-negara dan pada konteks mikro, individu. Di sisi penawaran,
negara-negara penghasil senjata melihat ini sebagai bisnis yang menguntungkan.
Di samping itu, mudahnya akses terhadap perdagangan senjata berkaitan
erat dengan terorisme internasional dan perdagangan obat-obatan terlarang.
Bahkan, telah diakui secara universal, perdagangan senjata telah menjadi
”destabilizing factor” yang memperpanjang konflik, mengesampingkan perjanjian
perdamaian, memperumit upaya-upaya pencapaian perdamaian serta
memperlambat pembangunan ekonomi-sosial. Ada tiga jenis penjualan senjata
ilegal, yaitu: antarpemerintah; pemerintah untuk aktor non-negara (misalnya
kelompok pemberontak) di negara lain penjualan komersial, termasuk yang tidak
secara langsung antara penjual dan penerima, misalnya, ditengahi penjualan.
B. Faktor Pendorong
1. Akses senjata api yang tidak hanya dimiliki oleh aktor negara;
2. Kurangnya kontrol pemerintahan nasional;
3. Tidak ada transparansi public;
4. Kurangnya pendataan kepemilikan senjata;
5. Kurangnya kontrol TNI;
6. Motif pertahanan dan keamanan (khususnya bagi kelompok separatis);
7. Motif Ekonomi.
C. Perdagangan Senjata Ilegal di Asia Tenggara
Pada dasarnya, terjadinya penyelundupan senjata di kawasan Asia
Tenggara tidak terlepas dari adanya beberapa konflik internal dan gerakan
separatisme yang terjadi di Filipina, Indonesia, Kamboja, Myanmar, dan Thailand.
Ironisnya salah satu pemicu maraknya perdagangan senjata ilegal ini adalah
adanya kontrol dan peraturan ketat terhadap izin perdagangan senjata, yang
dikenakan oleh produsen senjata di negara-negara maju terhadap konsumen
senjata di negara-negara berkembang, seperti negara-negara ASEAN. Selain itu,
pasokan penyelundupan senjata juga datang dari persenjataan yang masih bebas
beredar di kalangan masyarakat sipil di negara-negara yang pernah terlibat perang
saudara berkepanjangan seperti Kamboja, Laos, ataupun wilayah perbatasan
kedua negara dengan Thailand.
Secara umum ada beberapa faktor yang memperkuat eksistensi
perdagangan gelap senjata di Asia Tenggara diantaranya:
- letak geografis Asia Tenggara yang strategis dan dikelilingi perairan;
- secara internal di dalam tubuh negara di kawasan ini terdapat
pengkhianatan yang mendukung kegiatan small arms dengan memasok
pesenjataan konvensional yang umumnya berasal dari kelompok
militer atau kalangan pejabat pemerintah;
Di kawasan regional Asia Tenggara permasalahan small arms bukanlah
sesuatu yang baru karena telah ada sejak tahun 1960-an. Beberapa kasus atau
konflik yang terjadi disebabkan oleh small arms di Asia Tenggara, adalah
Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Molukas dan Poso di Indonesia, kemudian
Liberation Tigers of Tamil Eelam (LTTE), Songkhla, Pattani, Yala dan propinsi
Narathiwat di Thailand, serta Moro Islamic Liberation Front (MILF) di Filipina.
Salah satu daerah sumber senjata selundupan di Asia Tenggara adalah
Filipina bagian selatan. Senjata selundupan dari daerah tersebut dipasok atas
permintaan pihak di beberapa negara termasuk di Indonesia khususnya daerah
rawan konflik. Untuk daerah Poso, Sulawesi Tengah, penyelundupan senjata dari
daerah Filipina Selatan dibawa masuk melalui pintu kepulauan Sangihe Talaud di
Sulawesi Utara. Biasanya, senjata jenis M16 diselundupkan melalui metode
lompat kodok, yakni penyelundupan dengan cara berpindah dari satu pulau ke
pulau lain di daerah kepulauan Sangihe Talaud, untuk selanjutnya dibawa sampai
ke Poso.
Jalur lain yang digunakan selain jalur Talaud adalah wilayah perbatasan
Malaysia dan Kalimantan. Dari Filipina bagian selatan, para penyelundup
membawa senjata-senjata tersebut dahulu ke Tawao (Malaysia). Seterusnya
senjata selundupan kemudian dimasukkan ke Nunukan (Kalimantan Timur),
untuk dibawa ke Poso. Beberapa titik transit sebelum senjata-senjata selundupan
asal Filipina Selatan sampai di Poso, yakni desa-desa pesisir di Kabupaten Parigi
Moutong, Kepulauan Togean di Kabupaten Tojo Unauna, dan Kolonodale atau
Bungku Selatan di Kabupaten Morowali lewat pelabuhan dan pintu masuk kedua
negara yakni Pulau Miangas dan Marore.8
Dari titik-titik transit tersebut di atas, senjata dipindahkan ke Poso, dengan
mempertimbangkan perkembangan situasi. Disaat situasi memanas, senjata
dibawa ke Poso melalui laut, sebagian dengan memanfaatkan perahu nelayan
yang bergerak di malam hari agar memudahkan pemindahan dan menghindari
pemeriksaan aparat. Bahkan, juga diangkut melalui perjalanan darat, dengan
modus mobilisasi bantuan kemanusiaan. Biasanya, senjata laras pendek dan
amunisi dimasukkan ke dalam karung-karung berisi beras atau kotak-kotak mie
instant, untuk mengelabui pemeriksaan aparat. Sebaliknya, dalam situasi tenang,
senjata api dan amunisi mudah diselundupkan ke Poso. Ketika aparat keamanan
melonggarkan pemeriksaan terhadap kendaraan yang keluar masuk Poso, senjata
dan amunisi selundupan tersebut mudah dibawa masuk, baik dengan kendaraan
roda empat, maupun dengan sepeda motor. Metode penyelundupan lain yang
digunakan yaitu dengan membongkar bagian-bagian senjata dan memasukkan ke
dalam pipa paralon, agar kemudian mudah dibawa dan tak terdeteksi.
Senjata-senjata selundupan ini disuplai dan digunakan selama konflik
bernuansa SARA di Sulawesi Tengah. Sejak pecahnya konflik di Poso, banyak
fakta tentang penggunaan berbagai jenis senjata api illegal. Di antaranya,
8 Harian Sinar Harapan, 28 Agustus 2002, hal. 29.
termasuk kategori bolt action rifle, seperti SMLE No.5 jungle carbine (Inggris),
yang lazim dikenal dengan LE (Lee-Enfield) atau jungle. Adapula jenis senapan
serbu, seperti M16 buatan Colt (USA) dan AK-47 (Avtomat Kalashnikova)
buatan Rusia, senapan semi otomatif seperti SKS (Samozarydnyj Karabin
Simonova atau Simonov selfloading carabine) buatan Rusia dan M1 Carbin
(USA). Juga terdapat senjata kategori sub-machine gun, seperti Uzi (Israel).
Bahkan, ada senjata mesin (machine gun) FN Minimi (Belgia), Bren MK.3
(Inggris) dan RPD yang juga buatan Rusia. Walaupun konflik di Sulawesi Tengah
telah mereda, namun kepemilikan senjata secara illegal masih banyak di wilayah
tersebut. Menurut Kantor Berita ANTARA dalam website resmi Departemen
Pertahanan Nasional RI, TNI dan Polri telah melakukan operasi Sintuwu Maroso
(Operasi Pemulihan Keamanan Poso) XII yang dilaksanakan sejak tanggal 14 Juli
2005 hingga tanggal 14 Januari 2006. Selama periode itu, berhasil ditemukan 219
senjata api beserta 1.327 butir peluru, 12 bom, dan 5 buah granat9.
Kabar terkini megenai peredaran senjata api illegal yang ditengarai berasal
dari selundupan di daerah perairan perbatasan antara Filipina dan Indonesia per 13
januari 2010 masih menunjukkan .begitu banyak dan mudahnya terjadi
penyelundupan. Dari data Polda Sulawesi Tengah, sebanyak 368 pucuk senjata,
dimana 294 diantaranya berupa senjata bahu, 16 pucuk jenis dumdum, 40 pucuk
senjata genggam laras pendek, 18 buah magazine dan sebanyak 2503 butir
amunisi berhasil diamankan oleh pihak aparat.10 Kapolda Sulteng merilis bahwa
pihaknya telah lama mengidentifikasi adanya tindak kejahatan transnasional yang
menjadikan wilayahnya sebagai daerah tujuan dari hasil perdagangan dan
penyelundupan senjata. Lebih lanjut dikatakan bahwa pihak kepolisian telah
melakukan kordinasi dengan TNI AL khususnya dalam hal peningkatan
pengamanan wilayah perairan yang sering “kecolongan” oleh jaringan
penyelundupan khususnya penyelundupan senjata.
Khusus untuk Filipina sebagai daerah asal berbagai senjata illegal yang
dipakai di daerah rawan konflik seperti Poso, TNI AL dan AL Filipina akan
9 http://www.dephan.go.id//modules.php?name=News&file=article&sid=7122 diakses tanggal 4 april 1010 Pk. 14.26
10 http://kotapalu.net/ratusan-senjata-api-di-palu-dimusnahkan-liputan-6, di akses tanggal 4 April 2010 Pk. 14.01 WITA.
menggelar operasi terkoordinasi pada April 2010.11 Selain patroli laut, TNI juga
merencanakan memasang sejumlah radar di daerah Kalimantan Timur dan
Sulawesi Utara. Tujuannya untuk memantau lalu lintas kapal yang melewati jalur
tersebut. Hal tersebut juga merupakan upaya untuk mengantisipasi serta
mengeliminir senjata illegal yang masuk ke wilayah Sulawesi khususnya yang
berasal dari Filipina.
D. Dampak yang Ditimbukan
Perdagangan senjata yang terjadi, tidak hanya mengakibatkan gangguan
kestabilan di kawasan Asia Tenggara. Namun, membawa dampak lain seperti:
1. Makin memperpanjang konflik dan berbagai bentuk pelanggaran hak asasi
manusia di kawasan ini;
2. Penyebaran small arms ini dalam jumlah banyak menjadi daya hancur
yang cukup besar seperti missile, aircraft bombers atau sophisticated
tanks;
3. Perdagangan senjata yang melibatkan pemerintah suatu negara ke
organisasi yang ada di negara lain, akan menimbulkan perselisihan
antarnegara tersebut;
4. Maraknya aksi kejahatan ini, memicu negara-negara di kawasan Asia
Tenggara untuk bekerjasama dalam menanganinya.
E. Hukum yang Berlaku
Saat ini, hukum yang ada di kawasan Asia Tenggara secara regional,
masih kurang kuat dalam mengatasi tindak kejahatan transnasional termasuk gun
trafficking, sebab ASEAN belum memiliki hukum yang mengatur tiap negara
anggotanya mengenai masalah ini. Kerjasama bilateral dalam menangani gun
trafficking pun terkendala oleh pihak negara belum melakukan perjanjian
ekstradisi. Faktor lainnya, kurangnya fasilitas yang memadai untuk melakukan
operasi dalam usaha menangkap dan menyita senjata-senjata gelap yang
diperdagangkan, yang pada umumnya transaksi dilakukan di perairan. Terlebih
11 http://www.dephan.go.id/modules.php?name=News&file=article&sid=7634, di akses tanggal 4 April 2010 Pk. 14.06 WITA.
lagi koordinasi yang kurang antar negara di kawasan Asia Tenggara dalam usaha
menaggulangi permasalahan small arms tersebut. Khusus di Indonesia,
terbatasnya kapal patroli, TNI AL menjadi hambatan dalam memantau dan
mencegah aksi penyelundupan senjata serta bahan peledak dari Filipina dan
Malaysia ke Sulawesi Utara.
F. Penanggulangan
Penanganan masalah perdagangan senjata ilegal perlu penanganan secara
bersama antarnegara-negara dan semua pihak yang ada di dalamnya. Dengan
penyelesaian secara politik dan hukum baik di tingkat nasional, regional, dan
internasional. Penanggulangan ini telah disadari oleh negara-negara ASEAN pada
tanggal 29 Maret 2010 dimana wakil dari 10 negara, organisasi internasional serta
akademisi ini membahas mengenai perdagangan senjata ilegal di kawasan Asia
Tenggara. Hasil dari kesepakatan ini masih bersifat politik dimana belum
mengikat secara hukum. Namun, kelanjutan kesepakatan hukumnya akan dibahas
pada bulan Juni 2010. 12
Kerjasama TNI AL Indonesia dan Angkatan Laut Filipina dapat menjadi
contoh bagi negara lain di kawasan ini untuk sering melakukan patroli secara
bersama-sama. Meskipun kerjasama bilateral ini belum didukung oleh perangkat
hukum seperti MoU, perjanjian ekstradisi dan lain-lain, kerjasama ini tetap harus
dijaga. Walaupun kedepannya perangkat hukum tersebut akan sangat diperlukan.
Salah satu bentuk penanggulangan lainnya adalah pemberlakuan standarisasi
sistem internasional yang mengatur ekspor dan dokumentasi tujuan dari senjata-
senjata yang akan diperdagangkan, termasuk mengenai jaringan para pialang,
agen, keuangan, dan pengangkut. Selain itu, diperlukan komitmen dari negara-
negara untuk manjalankan larangan transfer senjata kepada pengguna ilegal atau
para pelanggar HAM berat.
12 http://www.maju-indonesia-ku.co.cc/2010/03/10-negara-asia-bahas-perdagangan.html , tanggal akses 4 April 2010 Pk. 13.55 WITA.
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Perdagangan senjata ilegal telah merambak, di kawasan Asia Tenggara
yang memiliki letak strategis, hal ini utamanya di dorong oleh konflik internal dan
gerakan separatis. Geografis perairan kawasan inipun memudahkan perpindahan
barang secara ilegal. Kejahatan ini mengakibatkan makin maraknya pelanggaran
HAM dan meningkatkan konflik berdarah di dalam internal negara kawasan Asia
Tenggara. Secara regional, kawasan ini belum memiliki hukum yang mengatur
tindak pidana gun trafficking dalam kawasannya. Yang ada hanyalah kerjasama
bilateral antar negara yang terkait kasus perdagangan senjata ilegal ini.
B. SARAN
Diperlukan suatu komitmen yang kuat antar negara-negara di kawasan
Asia Tenggara untuk bersama-sama memerangi gun trafficking. Cara pertama
yang harus di lakukan oleh ASEAN sebagai organisasi kawasan ini adalah dengan
menetapkan peraturan yang dapat mengatur serta mengeleminir kejahatan
transnasional berupa perdagangan senjata gelap. Gerakan separatis dan terorisme
bersenjata di berbagai wilayah di Asia Tenggara sebenarnya dapat menjadi alasan
kuat bagi ASEAN membentuk suatu rezim keamanan regional melalui pengaturan
lalu lintas perdagangan senjata.
DAFTAR PUSTAKA
Jurnal :_____ 2001. Kerjasama ASEAN dalam Menanggulangi Kejahatan Lintas Negara.
Direktorat Jenderal Kerjasama ASEAN Departemen Luar Negeri Republik Indonesia: Jakarta.
Makalah :_____2005. Peredaran Senjata Api di Sulawesi Tengah :Mata Rantai, Motif dan
Penanggulangannya. Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah : Palu. (Makalah disampaikan dalam seminar tentang Peredaran Senjata Api di Sulawesi Tengah,dilakukan oleh Yayasan Tanah Merdeka, Palu)
Buku :Cipto, Bambang. 2007. Hubungan Internasional di Asia Tenggara. Pustaka
Pelajar: Yogjakarta.
Nicasso, Antonio dan Lee Lemothe. 2003. Mafia Global: Sebuah Ekspose Kejahatan Saat In. Gramedia Pustaka: Jakarta.
Perwita, Anak Agung Banyu dan Yanyan Mochamad Yani, 2006, Pengantar Ilmu Hubungan Internasional, PT. Remaja Rosdakarya : Bandung.
Ecip, Sinansari, Darwis Waru, Alip Yog Kunandar (2002). Rusuh Poso rujuk Malino, Cahaya Timur, Jakarta.
Surat Kabar:Harian Sinar Harapan, 28 Agustus 2002, hal. 29.
Internet :
http://ardava.com/2010/03/22/tni-al-dan-al-filipina-kerjasama-awasi-perbatasan-dari-penyelundupan-senjata/ di akses tanggal 4 April 2010 Pk. 12.11 WITA.
http://id.wikipedia.org/wiki/Perdagangan_internasional diakses tanggal 3 April 2010 pukul 13.34 wita.http://kotapalu.net/ratusan-senjata-api-di-palu-dimusnahkan-liputan-6, di akses
tanggal 4 April 2010 Pk. 14.01 WITA.
http://pjvermonte.wordpress.com/2006/07/15/corporate-warriors-dan-perdagangan-senjata-ilegal/ diakses tanggal 3 April 2010 pukul 13.33 wita.
http://www.dephan.go.id//modules.php?name=News&file=article&sid=7122, di akses tanggal 4 April 2010 Pk. 14.26 WITA.
http://www.dephan.go.id/modules.php?name=News&file=article&sid=7634, di akses tanggal 4 April 2010 Pk. 14.06 WITA.
http://www.indonesia.go.id/id/index.php/content/index.php?option=com_content&task=view&id=3840&Itemid=692, di akses tanggal 4 April 2010 Pk. 14.06 WITA.
http://www.maju-indonesia-ku.co.cc/2010/03/10-negara-asia-bahas-perdagangan.html, tanggal akses 4 April 2010 Pk. 13.55 WITA.
http://ytm.or.id/pdf/kertasposisi4.pdf, diakses tanggal 2 April 2010 pukul 12.45 wita.