toksiko-infeksi pada ikan
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Bahan makanan, selain merupakan sumber gizi bagi manusia,
juga merupakan sumber makanan bagi mikroorganisme. Pertumbuhan
mikroorganisme dalam bahan pangan dapat menyebabkan perubahan
yang menguntungkan seperti perbaikan bahan pangan secara gizi, daya
cerna ataupun daya simpannya. Selain itu pertumbuham mikroorganisme
dalam bahan pangan juga dapat mengakibatkan perubahan fisik atau
kimia yang tidak diinginkan, sehingga bahan pangan tersebut tidak layak
dikomsumsi. Kejadian ini biasanya terjadi pada pembusukan bahan
pangan. Bahan pangan dapat bertindak sebagai perantara atau substrat
untuk pertumbuhan mikroorganisme patogenik dan organisme lain
penyebab penyakit. Penyakit menular yang cukup berbahaya seperti tifus,
kolera, disentri, atau tbc, mudah tersebar melalui bahan makanan.
Gangguan-gangguan kesehatan, khususnya gangguan perut
akibat makanan disebabkan, antara lain oleh kebanyakan makan, alergi,
kekurangan zat gizi, keracunan langsung oleh bahan-bahan kimia,
tanaman atau hewan beracun; toksin-toksin yang dihasilkan bakteri;
mengkomsumsi pangan yang mengandung parasit-parasit hewan dan
mikroorganisme.
Secara umum, istilah keracuan makanan yang sering digunakan
untuk menyebut gangguan yang disebabkan oleh mikroorganisme,
mencakup gangguan-gangguan yang diakibatkan termakannya toksin
yang dihasilkan organisme-organisme tertentu dan gangguan-gangguan
akibat terinfeksi organisme penghasil toksin. Toksin-toksin dapat
ditemukan secara alami pada beberapa tumbuhan dan hewan atau suatu
produk metabolit toksik yang dihasilkan suatu metabolisme. Dengan
demikian, intoksikasi pangan adalah gangguan akibat mengkonsumsi
toksin dari bakteri yang telah terbentuk dalam makanan, sedangkan
infeksi pangan disebabkan masuknya bakteri ke dalam tubuh melalui
makanan yang telah terkontaminasi dan sebagai akibat reaksi tubuh
terhadap bakteri atau hasil-hasil metabolismenya.
1
Produk perikanan merupakan salah satu jenis pangan yang perlu
mendapat perhatian terkait dengan keamanan pangan. Mengingat di satu
sisi, Indonesia merupakan negara maritim terbesar di Asia Tenggara
sehingga sektor perikanan memegang peranan penting dalam
perekonomian nasional. Terutama dalam penyediaan lapangan kerja,
sumber pendapatan nelayan dan sumber devisa negara. Selain itu,
produk perikanan juga merupakan sumber protein hewani yang
dibutuhkan oleh manusia. Namun di sisi lain, produk perikanan dapat
menjadi media perantara bagi bakteri patogen dan parasit yang dapat
menginfeksi manusia.
1.2 TUJUAN
1.2.1 Mengetahui mikroflora pada ikan
1.2.2 Mengetahui toksiko-infeksi pangan ikan
1.2.3 Mengetahui kerusakan ikan
1.2.4 Mengetahui penyakit akibat mikroflora pada ikan
1.2.5 Mengetahui cara pencegahan toksiko infeksi pada ikan
1.3 MANFAAT
1.3.1 Menambah pengetahuan tentang ikan dan mikroflora di dalamnya
1.3.2 Mengetahui toksiko-infeksi pada ikan dan kerusakan ikan
1.3.3 Mengetahui penyakit akibat mikroflora dan cara penanganan ikan
agar tidak terjadi toksiko infeksi
2
BAB II
ISI
2.1. PENGERTIAN IKAN
Secara umum yang dimaksud dengan hasil perikanan adalah ikan
dan binatang-binatang lainnya yang hidup di air tawar atau air asin atau
pertemuan keduanya yang dapat dimakan atau digunakan sebagai bahan
makanan. Ikan dan produk-produk perikanan lainnya merupakan sumber
protein hewani yang relatif murah jika dibandingkan dengan sumber protein
hewani lainnya.
Ikan segar adalah ikan yang baru saja ditangkap dan belum
mengalami proses pengawetan maupun pengolahan lebih lanjut. Definisi lain
dari ikan segar adalah Ikan yang belum mengalami perubahan fisik maupun
kimiawi atau yang masih mempunyai sifat sama seperti ketika ditangkap (baik
rupa, bau, rasa maupun teksturnya.
Adapun, hasil perikanan dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Ikan darat dan diadromous atau jenis ikan yang berimigrasi antara air laut
dan air tawar untuk bertelur dan berpijak
2. Ikan laut
3. Krustasea, moluska dan avertebrata lainnya
4. Ikan paus
5. Anjing laut dan beberapa mamalia perairan
6. Berbagai binatang air seperti penyu, kura-kura, kodok, buaya, dan
residunya seperti mutiara, lokan, spons, koral
7. Tumbuhan air seperti ganggang dan rumput laut
Komposisi kimia daging ikan meliputi air : 60 – 84 %, protein : 18 – 30
%, lemak : 0,1 – 2,2 %, karbohidrat : 0,0 - 1,0 %, dan sisanya merupakan
vitamin & mineral. Daging ikan tersusun oleh unsur-unsur organik, yaitu
oksigen (75%), hidrogen (10%), karbon (9,5%), dan nitrogen (2,5%). Unsur-
unsur tersebut merupakan penyusun senyawa-senyawa protein, karbohidrat,
lipida (lemak), vitamin, enzim, dan sebagainya. Unsur-unsur organik terdapat
pada daging ikan adalah kalsium, fosfor, dan sulfur. Seperlima dari bagian
tubuh ikan merupakan komponen protein yang tersusun oleh asam-asam
amino yang sangat diperlukan oleh tubuh manusia.
3
2.2. MIKROFLORA PADA IKAN
Mikrobia yang terdapat pada ikan dapat berupa bakteri, fungi, dan
atau yeast. Bakteri pada umumnya pertama-tama yang berkembanng sangat
cepat kemudian diikuti oleh perkembangan jamur dan yeast. Tergantung dari
asal (tempat) ikan ditangkap, keadaan, dan sanitasi penangkapan, maka
mikroflora masing-masing ikan akan berlainan. Jenis-jenis ikan yang
ditangkap di daerah yang bersuhu rendah banyak mengandung bakteri
psikrofil dari golongan Pseudomonas, antara lain Pseudomonas pelludium,
Pseudomonas geniculatum, Pseudomonas povonacea, Pseudomonas
nigricans, Pseudomonas fluorenscence, Pseudomonas ovalis, Pseudomonas
fragi, Pseudomonas multistriatum, Psudomonas schuylkilliensis. Sementara
itu golongan bakteri Achromobacter, Aerobacter, Flavobacterium,
Micrococcus, dan Cytophaga juga juga ditemukan. Ikan-ikan yang berasal
dari daerah panas, misalnya daerah tropis, banyak mengandung bakteri
mesofil yang kebanyakan dari golongan Micrococcus. Ikan yang hidup di air
tawar kebanykan mengandung Aeromonas, Lactobacillus, Brevibacterium,
Alcaligenus, dan Streptococcus. Meskipun demikian jenis-jenis bakteri yang
terdapat pada ikan selain tergantung sumber pencemarnya juga tergantung
pada jenis hasil perikanan, perlakuan yang diberikan kepada hasil perikanan,
dan kerusakan yang ada pada ikan. Ikan-ikan yang berlendir pada
permukaan tubuhnya banyak mengandung jenis-jenis Pseudomonas,
Alcaligenus, Micrococcus, Flavobacterium, Corynebacterium, Sarcina,
Serratia, Vibrio, Bacillus.
Bakteri yang bersifat patogen juga sering dijumpai terdapat pad ikan,
seperti Clostridium, Salmonella, Shigella, dan Vibrio. Bakteri klostridia yang
sering diketemukan terdapat pada ikan adalah Clostridium sporogenes,
Clostridium welchii, dan Clostridium tetani. Pada ikan salem, sturgeon, dan
ikan merah sering terdapat Clostridium tertium dan Clostridium botulinum
Tipe E, sedangkan pada ikan mackarel sering ditemukan Clostridium
capitovalis, dan Clostridium perferingens. Bakteri Salmonella dan Shigella
banyak hidup pada air danau, air di muara-muara sungai, dan air selokan.
Vibrio yang sering dijumpai terdapat pada ikan adalah Vibrio
parahaemolyticus.
4
2.3. TOKSIKO-INFEKSI PANGAN IKAN
Mikroorganisme yang menyebabkan penyakit asal makanan menurut
Naim (2004) dapat dibagi dalam 2 kelompok yaitu infeksi dan intoksidasi,
sedangkan Ray (2001) menambahkan dengan kelompok toksikoinfeksi.
Penyakit asal makanan yang bersifat infeksi terjadi bila bakteri hidup
termakan bersama makanan dalam jumlah yang hidup dan untuk beberapa
bakteri dapat bertahan hidup terhadap keasaman lambung yang merupakan
salah satu barrier protektif tubuh. Bakteri yang bertahan hidup ini, kemudian
memasuki usus halus tempat dimana bakteri ini akan bermultiplikasi dan
menyebabkan timbulnya gejala klinis. Infeksi dapat bersifat invasif atau non-
invasif, pada infeksi non-invasif, mikroorganisme akan menempel pada
permukaan usus atau sel epitil kemudian bermultiplikasi dan berkolonisasi di
permukaan usus, sedangkan infeksi yang bersifat invasif keberadaanya tidak
terbatas pada lumen usus tetapi dapat juga berpenetrasi menembus sel usus
dan dapat menyebar ke seluruh tubuh (Naim 2004).
Karakteristik mikroorganisme penyebab penyakit asal makanan yang
bersifat infektif adalah:
1. Sel hidup dari bakteri patogen harus dikonsumsi melalui makanan.
2. Sel yang bertahan dari asam lambung akan mempenetrasi sel epitil usus,
dan memperbanyak diri.
3. Level dosis agar dapat menyebabkan infeksi adalah sangat besar.
4. Gejala klinis terjadi setelah 24 jam.
5. Gejala klinis pada usus bersifat lokal.
Bakteri yang termasuk golongan ini adalah Salmonella typhi, Salmonella
paratyphi, Listeria monocytogenes, Escherichia coli patogenik, Shigella sp,
Campylobacter sp, Yersenia enterocolistica, Vibrio cholerae, Brucella sp,
Streptococcal sp, Q fever ( Ray 2001).
Penyakit asal makanan yang bersifat intoksikasi, bakteri akan tumbuh
dan berkembang dalam makanan serta memproduksi toksin. Bila makanan
tersebut dikonsumsi, toksin yang terbentuk (bukan mikroorganismenya) akan
menyebabkan gejala klinis (Naim 2004).
Karakteristik penyakit asal makanan yang bersifat intoksikasi adalah:
1. Toksin diproduksi oleh bakteri patogen yang tumbuh dalam makanan.
2. Toksin dapat tahan atau tidak tahan (labil) terhadap panas.
3. Menelan makanan yang mengandung toksin.
5
4. Gejala klinis yang ditimbulkan biasanya cepat, kurang lebih 30 menit
setelah menyantap makanan tercemar.
5. Gejala klinis yang ditimbulkan bisa berbeda, enterotoksin akan
menyebabkan gejala lambung, sedangkan neurotoksin akan menyebabkan
gejala syaraf.
6. Tidak timbul gejala demam.
Mikroorganisme yang termasuk golongan ini adalah Staphylococus aureus,
Clostridium botulinum, Aspergillus flavus, Aspergillus parasiticus, Penicillium
viridatum, Penicillium patulum dan Claviceps purpurea (Ray 2001).
Selain kedua penyakit asal makanan tersebut di atas, Ray (2001)
menambahkan adanya golongan yang ketiga yang disebut penyakit asal
makanan yang bersifat toksiko-intoksikasi walaupun perbedaan tidak selalu
jelas.
Karakteristik penyakit asal makanan yang bersifat toksikoinfeksi adalah:
1. Membentuk spora, membutuhkan bakteri vegetatif dalam jumlah yang
banyak sampai menimpulkan infeksi.
2. Sel vegetatif atau bentuk spora tidak memperbanyak diri di dalam saluran
pencernaan, tetapi bersporlasi dan mengeluarkan toksin.
3. Bakteri Gram negatif, sel hidup yang ditelan dalam jumlah yang sedang.
4. Bakteri Gram positif secara cepat memperbanyak diri di dalam saluran
pencernaan.
5. Banyak sel yang mati dan melepaskan toksin.
6. Toksin akan menyebabkan gejala gastro intestinal.
Bakteri yang termasuk golongan ini adalah Clostridium perfringens, Bacillus
cereus, Vibrio cholerae, Escherichia coli enteropatogenik (Ray 2001).
Lendir yang menutupi ikan dan kerang-kerangan bisa mengandung
bakteri dari genera Pseudomonas, Achromobacter, Micrococcus ,
Flavebacterium, Corynebacterium, Sarcina, dan Serratia, yang semuanya
ditemukan di air. Jika air dimana ikan dan kerang-kerangan berasal
mengandung kotoran atau sampah bahan-bahan mentah, jenis jasad renik
yang bisa menimbulkan penyakit pada manusia kelihatannya berada di
antara jasad renik bekerja sama dengan ikan dan kerang-kerangan.
Penghuni beberapa air, air segar, dan air asin adalah Clostridium botulinum
jenis S.
6
Di dalam usus ikan ditemukan hadir Achromobacter, Bacillus,
Clostridium, Escherichia, dan Flavobacterium. Bakteri usus ini bisa menjadi
sangat lazim sebagai pencemar ikan terbuka. Inilah alasan mengapa di
sekitar masalah ini dinyatakan bahwa ikan yang tetap segar lebih baik
daripada ikan yang terbuka atau sudah dibersihkan bagian dalamnya,
sekurang-kurangnya untuk sementara.
a. Clostridium botulinum
C. botulinum adalah suatu bakteri gram positif yang berbentuk
batang dengan ukuran panjang rata-rata 3,0 - 8,0 µm, dan lebar 0,5 - 0,8
µm. Bakteri ini merupakan bakteri pembentuk spora yang hidup secara
anaerobic. Sel-sel bakteri ini dapat hidup secara terpisah (tunggal),
membentuk pasangan atau membentuk rantai pendek atau panjang.
Sifat-sifat bakteri ini di antaranya dapat memfermentasi glukosa dan
maltose, tetapi tidak dapat memfermentasi laktosa, dapat memproduksi
gas H2S dan dapat mencairkan gelatin. Bakteri ini tidak dapat mereduksi
nitrat maupun memproduksi indol.
Toksin yang diproduksi oleh C. botulinum dapat dibedakan atas 8
macam, yaitu toksin A, toksin B, toksin C1 atau CA, toksin C2 atau CB,
toksin D, toksin E, toksin F, dan toksin G. Adapun, yang dapat
menyebabkan intoksikasi pada manusia dan sering ditemukan pada ikan
dan hasil-hasil olahan ikan adalah toksin E. Berdasarkan jenis toksin yang
diproduksinya, C. botulinum dibedakan atas 8 strain, yaitu strain A, B, C1,
C2, D, E, F, dan G. Strain E tidak bersifat proteolitik (menimbulkan bau
busuk/putretaktif jika tumbuh pada makanan yang mengandung protin
tinggi) tetapi dapat menyebabkan intoksikasi pada manusia.
Produksi toksin oleh C. botulinum dipengaruhi oleh kemampuan
dari sel bakteri untuk tumbuh dan kemudian mengalami autolisis. Faktor-
faktor yang mempengaruhi hal tersebut adalah komposisi makanan atau
substrat, kadar air, pH, daya oksidasi reduksi, kandungan garam, serta
suhu dan waktu penyimpanan. Strain E banyak ditemukan pada ikan,
termasuk ikan kakap, telur, dan makanan-makanan hasil laut lainnya.
Suhu penyimpanan suatu makanan mempengaruhi kecepatan
pertumbuhan sel dan pembentukan toksin oleh C. botulinum. Suhu
minimum umtuk pertumbuhan sel vegetatif pada umumnya lebih rendah
7
daripada suhu minimum untuk germinasi sporanya. Suhu maksimum
untuk pertumbuhan strain E adalah 450C, sedangkan suhu optimumnya
adalah 26-280C. Strain E adalah strain yang paling tahan hidup pada
suhu rendah. Telah ditemukan bahwa strain E masih dapat tumbuh serta
membentuk gas dan toksin pada suhu 3,30C selama 1-1,5 bulan.
Botulinum merupakan suatu protein yang sangat beracun
sehingga walaupun tertelan dalam jumlah sedikit sudah dapat
menyebabkan keracunan. Botulinum diproduksi oleh sel C. botulinum
dalam bentuk toksin progenitor. Toksin ini kemudian dapat diaktifkan oleh
enzim-enzim tertentu di dalam tubuh manusia atau hewan menjadi
komponen yang beracun. Toksin progenitor mempunyai bagian yang
tidak beracun yang bersifat sebagai pelindung, sehingga toksin yang
sudah tertelan dapat tahan terhadap reaksi dari cairan perut atau enzim
pepsin yang terdapat di dalam usus besar. Di dalam usus halus
(duodenum), toksin progenitor tersebut dapat diaktifkan oleh enzim,
misalnya tripsin untuk toksin E, menjadi komponen yang aktif melalui
reaksi yang bersifat agak asam. Komponen yang aktif tersebut
mempunyai berat molekul yang sama dengan toksin progenitor.
Komponen tersebut kemudian masuk ke dalam sistem limfatik, toksin
dihidrolisis menjadi dua bagian yaitu yang sangat beracun dan bagian lain
yang tidak beracun. Toksin E mempunyai BM 350.000 dengan bagian
dapat dipisahkan lagi menjadi dua unit yang dalam keadaan terpisah
masing-masing tidak bersifat racun.
Toksin yang telah aktif di dalam tubuh akan dibawa melalui
pembuluh darah ke sistem syaraf kholigenergik. Toksin ini bekerja pada
bagian akhir dari sistem syaraf dengan cara mencegah bagian sinaptik
untuk melepaskan asetilkolin yang dapat menggerakkan otot-otot melalui
reaksi dengan ujung-ujung otot. Mekanisme pencegahan pelepasan
asetilkolin dari bagian sinaptik tersebut belum diketahui dengan jelas.
Penghambatan pelelpasan asetilkolin dapat megakibatkan kelumpuhan
atau paralisis. Racun botulinum membutuhkan adanya kalsium untuk
menghambat pelepasan asetilkolin. Ion kalsium mungkin berfungsi dalam
mengikat racun botulinum dengan bagian sinaptik.
8
b. Staphylococcus aureus
Bakteri yang dapat menyebabkan keracunan stapilokokus asalah
strain tertentu dari Staphylococcus aureus. S. aureus termasuk dalam
familia Micrococcaceae. Kecuali bebarapa strain, bakteri ini umumnya
membentuk pigmen kuning keemasan, memproduksi koagulase, dan
dapat memfermentasi glukosa dan mannitol dengan memproduksi asam
dalam keadaan anaerobik. Bakteri ini berdifat anaerobik sangat lambat.
Sel dari bakteri ini bersifat gram positif dan berbentuk bulat (kokus),
berukuran diameter 0,5-1,5 µm, tidak membentuk spora, katalase positif,
dan biasanya sel-selnya terdapat dalam kelompok seperti buah anggur.
Akan tetapi, juga mungkin terdapat secara terpisah (tunggal), membentuk
pasangan atau dalam jumlah 4 sel (tetrad). S. aureus tahan terhadap lisis
yang disebabkan oleh enzim lysozim, dan memproduksi enzim fosfatase
dan deoksiribonuklease.
Pembentukan enterotoksin oleh S. aureus di dalam makanan
dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor-faktor tersebut misalnya sifat dan
komposisi substrat, suhu, waktu, pH, aw, adanya garam NaCl dan nitrit,
antibiotic, dan sebagainya. Substrat yang baik untuk pertumbuhan sel dan
produksi enterotoksin adalah substrat yang mengandung protein atau
asam-asam amino, garam anorganik, dan vitamin. Arginin merupakan
asam amino yang esensial untuk produksi enterotoksin adalah garam
kalium (K2HPO4, KH2PO4) dan magnesium (MgSO4). Sedangkan vitamin
yang dibutuhkan terutama adalah thiamin dan asam nikotinat.
Enterotoksin pada umumnya diproduksi oleh S.aureus di dalam
makanan basah yang sudah pernah dimasak atau dipanaskan. Jenis
makanan yang dapat ditumbuhi S.aureus misalnya daging dan ikan yang
telah dimasak atau diolah. Meskipun telah dimasak, makanan masih
mugkin mengalami kontaminasi. Misalnya, oleh tangan atau lingkungan
selama penyimpanan sebelum dikonsumsi. Berbeda dengan keracunan
mikroba lainnya, keracunan stapilokokus hamper selalu berasal dari
makanan yang telah dimasak. Hal ini disebabkan karena pada makanan
yang telah dimasak, jumlah mikroba yang lain dapat menghambat
pertumbuhannya sudah sangat kurang.
9
c. Vibrio cholerae
V. cholerae merupakan bakteri bentuk batang yang melengkung
seperti koma atau lurus, bersifat gram negatif, bergerak dengan flagel
monotrikus, tidak membentuk spora, berukuran panjang 1-3 µm, dan
lebar 0,4 - 0,6 µm, tersusun dalam kelompok berbentuk huruf S atau
spiral atau tunggal. Beberapa spesies mempunyai dua atau lebih flagella
polar pada salah satu ujungnya. Bakteri ini hidup secara anaerob
fakultatif, dapat tumbuh pada kisaran pH 6,4 - 9,6, dengan pH optimum
7,8 – 8,0. Di samping itu, ia memiliki suhu optimum pada 18 – 370C,
dengan konsentrasi NaCl 3%. V.cholerae bersifat oksidase positif,
katalase positif, memfermentasi gula-gula menghasilkan asam tanpa gas
(reaksi + - - + + -), dapat mengoksidase glutamate dan suksinat, mungkin
membentuk pigmen kuning, reaksi V-P positif, dalam medium pepton
yang cukup triptofan dan nitrat, maka reaksi indol positif ( I + ), mereduksi
nitrat menjadi nitrit, urease negative, bila ditambah sulfat akan menjadi
merah (nitroso indol reaksi). Beberapa strain ditemukan tidak bersifat
hemolisis.
V.cholerae dapat hidup di dalam air laut. Bakteri ini dapat hidup
dan menetap 0,5-1,5 bulan di dalam saluran pencernaan hewam laut
seperti kerang, kepiting, dan ranjungan. V.cholerae El Tor dapat hidup di
dalam air tawar sampai 19 hari, sedangkan biotipe klasikal hanya dapat
hidup selama 7 hari. Di dalam makanan hasil laut yang masih mentah,
V.cholerae dapat hidup 2 -4 hari bila disimpan pada suhu 30 - 320C, atau
selama 4 – 9 hari pada suhu 5 – 100C. Di dalam air laut, Biotipe El Tor
dapat hidup selama 10 – 13 hari pada suhu 30 – 320C, atau 58 – 60 hari
pada suhu 5 – 100C.
Gejala yang timbul berpangkal pada usus halus. Bila kuman
tertelan, lolos dari barrier asam lambung, langsung bermultiplikasi dalam
suasana alkalis di usus halus. Sambil berkembang biak kuman
membentuk eksotoksin yang sangat paten yaitu enterotoksin yang
dianggap bertanggung jawab terhadap patologis penyakit tersebut. Toksin
secara terus-menerus merangsang sel mukosa dinding usus untuk
mengeluarkan cairan isotonis, dengan mekanisme kerja sebagai berikut :
enterotoksin diserap oleh epithel isis, mengakibatkan adenil cyclase
dalam mukosa meningkatkan pengubahan ATP menjadi ADP. Pengaruh
10
ADP ini yang meningkatkan pengeluaran air dan elektrolit secara hebat
oleh dinding usus, sehingga terjadi sekresi cairan isotonis dari dinding
usus tersebut.
Epithel dinding usus maupun dinding kapiler pada lamina propria
tidak mengalami peradangan. Kuman sendiri tetap tinggal dalam rongga
usus, tidak pernah menyebabkan bakterimia atau menyebar ke organ
lain. Dengan demikian, bakteri ini tidak bersifat envasif. Oleh karena
itu, patofisiologinya berhubungan langsung dengan aktivitas usus dalam
pengeluaran Na bikarbonat dan K bikarbonat. Akibatnya, terjadi
hemokonsentrasi, peningkatan kadar protein dalam plasma, sehingga
terjadi hipovolemi shock dan asidosis.
Serangan yang berlarut dapat menyebabkan kulit menjadi keriput
dan bola mata menegrut karena dehidrasi, sedangkan pengeluaran air
seni sangat berkurang karena kekurangan cairan. Gejala-gejala lainnya
adalah menurunnya tekanan darah, kejang, kehilangan larutan elektrolit
dari darah (hipokloremia), kolaps, dan akhirnya dapat menyebabkan
kematian, kecuali bila kehilangan cairan dan elektrolit dapat diganti
dengan cepat melalui transfuse. Penderita biasanya tidak mengalami
demam yang parah atau kelainan mental.
d. Vibrio parahaemolyticus
V.parahaemolyticus merupakan bakteri batang pendek, lurus atau
agak melengkung dengan ujung membulat, gram negatif, anaerobik
fakultatif, kadang-kadang membentuk formasi dalam bentuk rantai, dan
membentuk flagellum polar tunggal bila tumbuh pada medium cair.
Bersifat katalase, oksidase peroksidase, indol, gelatin, lysine
dekarboksilase, dan ornitin dekarboksilase positif, memfermentasi
glukosa dan menghasilkan asam tanpa gas, juga memfermentasi
malthosa dan trehalosa, tetapi jarang memfermentasi sukrosa dan
laktosa. Bakteri ini juga dapat menghidrolisis pati dan chitin.
V.parahaemolyticus dapat menimbulkan berbagai gejala penyakit,
yaitu diare encer, kejang perut, mual, muntah, pusing dan demam, dan
menggigil. Gejala gastroenteritis bervariasi dari ringan sampai berat.
Berbeda dengan gejala kolera yang biasanya tidak disertai muntah berat
dan sakit perut, infeksi V.parahaemolyticus biasanya disertai dengan sakit
11
perut yang hebat. Masa inkubasi dari mulai mengkonsumsi makanan
yang terkontaminasi sampai timbulnya gejala penyakit bervariasi dari 4 –
96 jam. Rata-rata 12 – 24 jam, yang bergantung kepada jumlah sel
bakteri yang tertelan dan daya tahan penderita.
Seperti halnya V.cholerae, V.parahaemolyticus berkembang biak
dengan cepat di dalam saluran pencernaan, dan dikeluarkan bersama
feses selama penderita terserang infeksi. Jumlah bakteri ini menurun
dengan cepat selama proses penyembuhan. Gejala infeksi ini biasanya
terbatas dan dapat sembuh dengan sendirinya dalam waktu beberapa
hari sampai 10 hari setelah timbulnya gejala, rata-rata 3 hari.
Mekanisme pathogenesis V.parahaemolyticus belum diketahui
dengan jelas. Bakteri ini mempunyai komponen yang berupa suatu
hemolisin yang merupakan penyebab timbulnya gejala gastroenteritis.
Penyebab timbulnya gejala infeksi sampai sekarang masih terus
diragukan, yaitu apakah disebabkan oleh produksi enterotoksin, atau
karena sifat invasif dari bakteri tersebut. Diduga ada hubungan satu sama
lain antara hemolisin yang bersifat tahan panas, antigen K, dan
enterotoksin. Ketiganya dipengaruhi oleh adanya plasmid, tetapi
hubungan epidemiologi yang jelas antara serotype dan kemampuan untuk
menimbulkan infeksi belum jelas.
V.parahaemolyticus juga memproduksi endotoksin seperti yang
diproduksi oleh Enterobactericeae. Endotoksin ini mungkin berperan
dalam menentukan sifat patogenik bakteri tersebut.
V.parahaemolyticus mungkin ditemukan di dalam air, terutama air
yang tinggi kandungan bahan organiknya, dan sering mengkontaminasi
makanan-makanan hasil laut seperti udang, ikan, kepiting, kerang,
lobster, dan sebagainya. Bakteri ini banyak di laut, terutama di daerah
iklim tropis atau pada musim panas. Di Indonesia kemungkinan terjadi
kontaminasi bakteri ini disebabkan terjadi kontaminasi setelah
pengolahan.
V.parahaemolyticus merupakan bakteri yang sensitif terhadap
suhu tinggi maupun suhu rendah. Ketahanan terhadap panas sangat
dipengaruhi oleh kondisi selama pertumbuhan selnya dan medium tempat
pemanasan. Sel-sel yang tumbuh atau ditumbuhkan pada suhu inkubasi
yang lebih tinggi umumnya bersifat lebih tahan terhadap panas.
12
Ketahanan terhadap panas juga bertambah bila sel dipanaskan di dalam
media yang mengandung produk-produk laut dan garam NaCl, dan juga
pada pH mendekati netral.
V.parahaemolyticus sensitif terhadap pendinginan dan
pembekuan. Proses pendinginan (chilling) biasanya lebih bersifat lethal
daripada pembekuan. Suatu penelitian menunjukkan bahwa bakteri ini
masih dapat bertahan hidup pada makanan hasil laut yang dibekukan
selama 130 hari. Oleh karena itu, disarankan untuk tidak mengkonsumsi
produk laut dalam keadaan mentah, meskipun sebelumnya telah
disimpan pada suhu rendah yaitu dengan pendinginan atau pembekuan.
2.4. KERUSAKAN IKAN
Aktivitas mikroba pada ikan dapat menyebabkan berbagai perubahan
biokimiawi dan fisikawi yang menuju pada sifat-sifat yang tidak dikehendaki
atau tidak disukai dan akhirnya menjurus pada kerusakan secara
keseluruhan yaitu busuk. Jenis-jenis bakteri yang menyebabkan terjadinya
perubahan pada ikan sulit ditentukan karena banyaknya faktor lingkungan
yang mempengaruhi hasil analisis. Bakteri penyebab kerusakan suatu jenis
ikan kemungkinan akan lain dengan penyebab kerusakan ikan lainnya.
Demikian pula bakteri penyebab kerusakan ikan di suatu daerah mungkin
juga berbeda dengan daerah lainnya. Meskipun demikian telah banyak
penelitian yang mengemukakan berbagai jenis bakteri dengan tipe-tipe
kerusakan yang ditimbulkan, atau sebaliknya pada kondisi kerusakan terentu
dapat dijumpai jenis bakteri tertentu pula.
Secara umum bakteri gram negatif dari golongan Pseudomonas dan
Achromobacter yang dapat menghasilkan asam dan aldehida adalah yang
memegang peranan terbesar pada pembusukan hasil perikanan, disusul oleh
golongan Flavobacterium. Ketiga bakteri ini menyebabkan hasil perikanan
menjadi basi dan makin lama makin menjadi busuk. Golongan bakteri
Lactobacteriaceae dan Pediococcus misalnya P.halophilus dan P. cereviciae
dapat menyebabkan timbulnya asam bebas dari golongan bakteri lactobasili,
koli, dan streptokoki, dan golongan yeast banyak pula dapat menimbulkan
kerusakan dengan menimbulkan asam, yatu berperanan pada fermentasi
asam laktat dari gula. Bakteri Leuconostoc mesentroides dapat merubah gula
reduksi menjadi dekstran yang dapat menutup seluruh permukaan tubuh
13
berupa lendir. Telah diketahui pula bahwa golongan Pseudomonas dapat
memecah rangkaian karbohidrat dengan enzim-enzim oksidase yang
dihasilkan kemudian menimbulkan pewarnaan pada ikan, misalnya P.
fluorescence dapat menimbulkan noda-noda berwarna kuning atau kuning
kehijauan sebelum ikan menjadi busuk. Kemudian Micrococcus, Sarcina, dan
Bacillus dapat menimbulkan noda-noda berwarna merah. Sementara itu
jamur dan yeast dapat menimbullkan pewarnaan berupa noda-noda
berwarna coklat pada ikan.
Pada ikan kod dan haddock yang telah menjadi busuk banyak
ditemukan Pseudomonas putrefaciens. Bau busuk umumnya merupakan
campuran berbagai senyawa yang timbul sebagai akibat proses pembusukan
pada hasil perikanan. Selain bakteri pembusuk yang berperan, diketahui pula
berbagai macam bakteri yang dapat menimbulkan zat bau, misalnya saja
bakteri Streptomyces menyebabkan ikan berbau busuk. Bakteri penghasil
ammonia adalah Bacillus subtilis, Escherichia coli, Proteus vulgaris, dan
Clostridium sporogenus. Bakteri golongan klostridia, misalnya Clostridium
botulinum, Clostridium posteurianum, Clostridium sporogenus dapat
menghasilkan enzim hidrogenase yang menyebabkan ferredoksindapat
tereduksi menghasilkan gas hydrogen. Vibrio diketahui menyebabkan
timbulnya bau yang tidak sedap yang disebabkan oleh adanya
hidrogensulfida, metilmerkaptan, dan dimetilsulfida, yang masing-masing
timbul dari pemecahan sistin, metionin, dan penggabungan dua molekul
metal merkaptan. Bau seperti tanah yang sering dijumpai pada ikan salem
disebabkan oleh golongan Actinomyces yang banyak dijumpai di air.
Streptomyces fradiae dan Streptomyces microflavor dapat merusak sisik ikan
yang mengandung keratin menjadi putresin pada keadaan basis (pH 5-9,5).
Proses perubahan pada ikan setelah mati terjadi karena aktivitas
enzim, mikroorganisme, dan kimiawi. Ketiga hal tersebut menyebabkan
kesegaran ikan menurun. Penurunan tingkat kesegaran ikan ini terlihat
dengan adanya perubahan fisik, kimia, dan organoleptik pada ikan. Setelah
ikan mati, berbagai proses perubahan fisik, kimia dan organoleptik
berlangsung dengan cepat. Semua proses perubahan ini akhirnya mengarah
pada pembusukan.
Di sini hanya akan dibahas mengenai proses perubahan karena
aktivitas mikroba . Selama ikan hidup, bakteri yang terdapat dalam saluran
14
pencernaan, insang, saluran darah dan permukaan kulit tidak dapat merusak
atau menyerang bagian-bagian tubuh ikan. Hal ini disebabkan pada bagian-
bagian tubuh ikan tersebut mempunyai batas pencegah (barrier) terhadap
penyerangan bakteri. Setelah ikan mati, kemampuan barrier tadi hilang
sehingga bakteri segera masuk kedalam daging ikan melalui keempat bagian
tadi.
Bakteri merupakan anggota mikroorganisme terbanyak pada tubuh
ikan, dapat dibagi menjadi tiga golongan berdasarkan temperatur hidupnya :
Bakteri thermophili
Bakteri ini merupakan golongan bakteri yang dapat hidup denganbaik
pada temperatur tinggi (55-80°C). Kemampuan hidup optimal pada
temperatur 60ºC
Bakteri Mesophili
Bakteri ini merupakan golongan bakteri yang dapat hidup dengan baik
pada temperatur 20-55°C. Kemampuan hidup optimal pada temperatur
37°C.
Bakteri Cryophili
Bakteri ini dapat hidup dengan baik pada temperatur 7-20°C.
Kemampuan hidup optimal pada temperatur 10°C.
Berdasarkan penelitian, ternyata kepadatan bakteri pada ketiga lokasi
tubuh ikan tidak sama: Pada insang berkisar 103 - 105 / gram, Pada kulit
berkisar 102 – 106 / gram, dan Pada usus berkisar 103 – 107 / gram.
Cara bakteri menyerang tubuh ikan :
Dari insang atau luka yang terdapat pada kulit menuju jaringan tubuh
bagian dalam
Saluran pencernaan menuju jaringan daging
Dari permukaan kulit menuju jaringan tubuh bagian dalam
Dari ketiga cara tersebut, cara yang ketiga paling sering terjadi.
Jumlah bakteri yang terdapat dalam tubuh ikan ada hubungannya
dengan kondisi perairan tempat ikan tersebut hidup. Bakteri yang umumnya
ditemukan pada ikan adalah : Pseudomonas, Alcaligenes, Micrococcus,
Sarcina, Vibrio, Favobacterium, Crynebacterium, Serratia, dan Bacillus.
Selain bakteri tersebut, untuk ikan tawar terdapat pula bakteri Aromonas,
Lactobacillus, Bevibacterium dan Sreptococcus.Selama penyimpanan pada
suhu rendah bakteri Pseudomonas, Ateromonas, Miraxella dan Acetobacter
15
meningkat lebih cepat dibandingkan dengan organisme lainnya. Pada tahap
pembusukan, bakteri-bakteri ini mencapai 80% dari total flora pada ikan.
Perbedaan jenis dan jumlah bakteri yang dijumpai pada ikan
disebabkan oleh:
perbedaan suhu yang dipengaruhi oleh musim dan letak geografis,
cara penangkapan dan cara penanganan ikan
Senyawa yang dihasilkan dalam dekompoissi bakterial yang dapat
digunakan sebagai petunjuk untuk tingkat kesegaran ikan diantaranya adalah
indol, H2S, hipoksantin, histamin, volatile reducing substance (VRS), total
volatile base (TVB) dan trimetilamin (TMA). Akibat serangan bakteri, ikan
mengalami berbagai perubahan, yaitu :
lendir menjadi lebih pekat,
bergetah, amis,
mata terbenam dan pudar sinarnya,
serta insang berubah warna dengan susunan tidak teratur dan
bau menusuk.
2.5. PENYAKIT AKIBAT MIKROFLORA PADA IKAN
a. Botulism
Disebabkan oleh toksin yang dihasilkan oleh bakteri anaerob
pembentuk spora, yaitu Clostridium botulinum yang bersumber di tanah.
Pencemaran bahan makanan oleh bakteri ini biasanya pada makanan
yang dikemas dalam kaleng yang proses pengolahannya kurang baik,
makanan yang tak mengandung asam, dan ikan asap yang proses
pengolahannya kurang baik. Beberapa KLB timbul akibat konsumsi ikan
yang tidak dibuang jerohannya, bawang putih yang direndam dalam
minyak dan kentang yang dipanggang. Saat terlihat perubahan dalam
kemasan kalengan, kaleng tampak berkarat dan menggembung. Bila hal
ini terjadi, jangan mencicipi makanan tersebut sebelum dilakukan
perebusan selama kurang lebih 15 menit yang mampu menghancurkan
toksinnya. Sebaiknya makanan tersebut dibuang. Gejala yang timbul
biasanya tampak 12 - 36 jam setelah makan-makanan tercemar, antara
lain mual, muntah, lemah, pandangan kabur, sulit bernafas, diare disusul
paralisis akibat pengaruh eksotoksin C. botulinum terhadap susunan saraf
pusat dan perifer. Korban dapat meninggal dunia akibat paralisis otot
pernafasan.16
b. Keracunan Makanan oleh Staphylococcus sp.
Disebabkan oleh enterotoksin (racun) yang dihasilkan
Staphylococcus aureus yang berasal dari manusia; sumber utamanya
hidung, tenggorokan, dan luka infeksi. Bahan makanan yang sering
tercemar adalah makanan berprotein tinggi yang tidak ditangani secara
higienis, terutama dalam temperatur hangat. Gejala keracunan timbul 2 -
3 jam bahkan 6 jam setelah menyantap makanan beracun ini dengan
tanda-tanda mual, muntah, diare, kejang perut tetapi tanpa demam dan
cepat sembuh.
c. Infeksi oleh Vibrio parahaemolyticus
Organisme ini didapatkan dalam air dan bahan makanan yang
berasal dari laut, misalnya ikan dan kerang. Wabah gastroenteritis oleh
Vibrio parahaemolyticus banyak terjadi di Jepang karena kebiasaan
penduduknya yang mengkonsumsi ikan terkontaminasi dan hasil laut lain
secara mentah. Hasil laut seperti ikan laut, kerang, kepiting, dan udang
adalah bahan pangan yang sering terinfeksi Vibrio parahaemolyticus.
Proses pemasakan dapat menghancurkan bakteri ini, tapi pencemaran
kembali dapat terjadi ketika ada kontak antara bahan makanan masak
dan yang mentah. Gejala klinis yang nampak adalah diare berair, sakit
perut, mual, muntah, demam, dan sakit kepala, dengan masa inkubasi 12
- 24 jam.
d. Cholera (kolera)
Agens etiologi Bakteri: Vibrio cholerae (enterotoksin dalam usus).
Ada dua biotipe yang berbeda: klasik dan eltor. Karakteristik agens
Bakteri gram-negatif, anaerob fakultatif, motil, berbentuk batang yang
tidak membentuk spora, dan dapat tumbuh pada suhu 18—42oC dengan
pertumbuhannya yang paling optimal pada suhu 37oC. Pertumbuhan V.
cholerae akan menurun pada aw 0,97 dan pH di luar kisaran 6—11; pH
optimal untuk pertumbuhan organisme ini adalah 7,6. Pertumbuhannya
distimulasi oleh kadar salinitas sekitar 3% namun akan dicegah jika kadar
salinitas mencapai 6%. Organisme ini resisten terhadap pembekuan
dingin tetapi sensitif terhadap panas serta asam.
V. cholerae bersifat non-invasif dan gejala diare diperantarai oleh
toksin kolera yang terbentuk di dalam usus. Masa inkubasi 1-3 hari.
Gejala Diare cair yang banyak sehingga dapat menyebabkan dehidrasi
17
berat, kolaps dan kematian dalam waktu beberapa jam saja jika tidak
dilakukan terapi rehidrasi untuk menggantikan cairan serta elektrolit yang
hilang; nyeri abdomen dan muntah-muntah. Durasi Sampai 7 hari. V.
cholerae kerapkali ditemukan pada lingkungan yang berair dan
merupakan bagian flora normal dalam air payau dan muara sungai. Cara
penularan makanan dan air terkontaminasi melalui kontak contoh
makanan yang dengan materi tinja dari penjamah makanan terlibat dalam
KLB yang terinfeksi. Penularan antarmanusia melalui jalur fekal-oral juga
sangat penting. Contoh makanan yang terlibat meliputi makanan laut,
sayuran, nasi dan es.
2.6. CARA PENANGANAN IKAN UNTUK MENCEGAH TOKSIKO-
INFEKSI
a. Cara Penanganan Ikan Bagi Produsen
1. Menggunakan suhu rendah
Bakteri pembusuk hidup di lingkungan bersuhu 0 – 30C. Bila
suhu diturunkan dengan cepat hingga 00C atau lebih rendah lagi,
aktivitas bakteri pembusuk akan terhambat atau terhenti sama sekali.
Sedangkan aktivitas enzim penyebab autolisis telah terlebih dahulu
berhenti.Suhu rendah dapat digunakan untuk mengawetkan ikan segar
atau ikan yang telah mengalami proses pengawetan, seperti ikan asin,
ikan asap, dll
2. Menggunakan suhu tinggi
Ternyata aktivitas bakteri pembusuk, jamur, maupun enzim
dapat dihentikan dengan menggunakan suhu tinggi (80-90ºC). Contoh
pengolahan ikan yang menggunakan suhu tinggi adalah: ikan asap
atau ikan kaleng.
3. Mengurangi Kadar Air
Hampir sebagian besar tubuh ikan mengandung banyak air
sehingga merupakan media yang sangat cocok bagi pertumbuhan
bakteri pembusuk maupun mikroorganisme lain. Dengan mengurangi
kadar air di dalam tubuh ikan, aktivitas bakteri akan terhambat
sehingga proses pembusukan dapat dicegah. Pengurangan kadar air
dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu :
Menggunakan udara panas
18
Cara ini umumnya memanfaatkan angin/udara yang telah dipanasi
oleh cahaya matahari (proses penjemuran). Dapat juga digunakan
aliran udara yang telah dipanasi api (misalnya oven) atau melalui
alat pengering khusus (mechanical drier)
Menggunakan proses osmosa
Pengurangan kadar air dengan proses osmosa dilakukan dengan
pertimbangan bahwa konsentrasi (tekanan osmotik) air di dalam
dan di luar tubuh ikan berbeda (misalnya pada proses
penggaraman). Dalam hal ini, konsentrasi garam yang lebih tinggi
akan menarik keluar air di dalam tubuh ikan. Proses ini baru akan
berakhir setelah konsentrasi kedua cairan tersebut sama
Menggunakan tekanan
Cara lain untuk mengurangi kadar air di dalam tubuh ikan adalah
dengan menggunakan tekanan mekanis, seperti pada pembuatan
kecap ikan, penggaraman, maupun pembuatan tepung ikan.
Menggunakan panas
Kadar air di dalam tubuh ikan juga dapat dikurangi dengan
memanfaatkan panas, seperti pada proses pengasapan dan
perebusan
4. Menggunakan Zat Antiseptik
Sejalan dengan meningkatnya pengetahuan tentang obat-
obatan, maka penggunaan zat kimia (baik sebagai antiseptik,
antimyotik, maupun antibiotik) dalam pengolahan dan pengawetan juga
semakin luas. Zat kimia yang paling umum digunakan sebagai
antiseptik adalah: asam setat (cuka), natrium benzoat, natrium nitrat
dan natrium nitrit.
5. Menggunakan Ruang Hampa Udara
Proses pengolahan dan pengawetan dengan menggunakan
ruang hampa udara pada prinsipnya bertujuan menghindari terjadinya
oksidasi lemak yang sering menimbulkan efek bau tengik. Satu hal yang
harus diperhatikan dalam menggunakan ruang hampa udara adalah
timbulnya jenis bakteri anaerob seperti Clostridium botulinum dengan
racun yang sangat berbahaya.
b. Cara Penanganan Produk Perikanan bagi Konsumen
19
Berikut beberapa cara yang dapat diterapkan dalam
penanganan produk perikanan untuk mengurangi terjadinya
kontaminasi :
Pilih dan konsumsi ikan yang masih segar dan bermutu baik
Perhatikan cara penanganan ikan secara tepat dan benar sehingga
kemungkinan besar bahayanya dapat dihindari
Simpan ikan pada suhu <4oC, jika tidak maka penyimpanan tidak
boleh lebih dari 4 jam.
Kenali ciri-ciri produk olahan ikan yang sudah tidak baik untuk
dikonsumsi, misal:
o Terjadi penggelembungan pada produk ikan kaleng
o Adanya lendir atau jamur
Baca informasi yang tercantum pada label kemasan produk olahan
ikan, antara lain tanggal daluwarsa
Penanganan untuk mencegah pembentukan scrombotoxin
adalah proses pendinginan yang dilakukan segera setelah ikan mati.
Kontaminasi Vibrio cholera dan Vibrio parahaemoliticus dapat dicegah
melalui proses pemasakan seafood secara sempurna, mencegah
terjadinya rekontaminasi seafood yang telah dimasak, dan
penyimpanan beku (freezing) juga efektif untuk membunuh bakteri jenis
ini.
BAB III
PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
20
1. Hasil perikanan adalah ikan dan binatang-binatang lainnya yang hidup
di air tawar atau air asin atau pertemuan keduanya yang dapat
dimakan atau digunakan sebagai bahan makanan.
2. Mikrobia yang terdapat pada ikan dapat berupa bakteri, fungi, dan
atau yeast.
3. Mikroorganisme yang menyebabkan penyakit asal makanan menurut
Naim (2004) dapat dibagi dalam 2 kelompok yaitu infeksi dan
intoksidasi, sedangkan Ray (2001) menambahkan dengan kelompok
toksikoinfeksi.
4. Aktivitas mikroba pada ikan dapat menyebabkan berbagai perubahan
biokimiawi dan fisikawi yang menuju pada sifat-sifat yang tidak
dikehendaki atau tidak disukai dan akhirnya menjurus pada kerusakan
secara keseluruhan yaitu busuk.
5. Penyakit akibat mikroflora pada ikan di antaranya adalah botulism,
keracuanan makanan oleh Staphylococcus aureus, infeksi oleh Vibrio
parahaemolyticus, dan kolera.
6. Cara penanganan untuk mencegah toksiko-infeksi pada ikan dapat
ditujukan kepada produsen dan konsumen.
3.2. SARAN
1. Cara penanganan ikan bagi produsen antara lain menggunakan suhu
rendah, menggunakan suhu tinggi, mengurangi kadar air,
menggunakan zat antiseptik, dan menggunakan ruang hampa udara.
2. Cara penanganan ikan bagi konsumen antara lain memilih dan
mengkonsumsi ikan yang masih segar dan bermutu baik, menyimpan
ikan pada suhu sangat rendah ( < 40C ) agar dapat tahan lebih lama,
dan mengolah ikan secara benar.
DAFTAR PUSTAKA
21
Anonim. 2005. Penyakit Bawaan Makanan; Beberapa Fakta dan Angka. http://whqlibdoc.who.int/publications/2005/9794487074_appendix1_ind.pdf diakses tanggal 10 Mei 2010
Hakim, Riza Rahman. 2010. Pengolahan Ikan. Malang: UMM. http://rizarahman.staff.umm.ac.id/files/2010/01/Pengolahan-ikan.pdf diakses tanggal 20 Mei 2010
Anisyah. 2008. Keamanan Pangan pada Produk Perikanan. http://www.foodreview.biz/login/preview.php?view&id=55714 diakses tanggal 10 Mei 2010
Jekti, Rabea Pangabekti. 1990. Pencemaran Bahan Pangan Oleh Mikroba. Jurnal Cermin Dunia Kedokteran no. 62. 1990. Online http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/11_PencemaranBahanMakananolehMikroba.pdf/11_PencemaranBahanMakananolehMikroba.html diakses tanggal 10 Mei 2010
Hadiwiyoto, Suwedo. 1993. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan. Jogja: Liberty.
Naim, R. 2004. Intoksikasi Mikrobial pada Pangan, Bahan Kuliah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.
Ray B. 2001. Fundamental Food Microbiologi. New York:CRC Press
Saksono, Lukman. 1986. Pengantar Sanitasi Makanan. Bandung : Penerbit Alumni.
Siagian, Albiner. 2002. Mikroba Patogen Pada Makanan Dan Sumber Pencemarannya. FKM USU. http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-albiner3.pdf diakses tanggal 10 Mei 2010
Supardi, Imam, Sukamto. 1999. Mikrobiologi Dalam Pengolahan Dan Keamanan
Pangan. Bandung : Penerbit Alumni.
22