tradisi weton dalam perkawinan masyarakat kabupaten pati perspektif hukum...
TRANSCRIPT
TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT
KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
RISTA ASLIN NUHA
NIM. 1113044000059
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
2019 M/1440 H
iv
ABSTRAK
Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059. Tadisi Weton Dalam
Perkawinan Masyarakat Kabupaten Pati Perspektif Hukum Islam.
Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1440 H/ 2019 M.
ix + 70 halaman 26 halaman lampiran
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui praktik tradisi weton
dalam perkawinan masyarakat Kabupaten Pati, mengetahui pandangan
masyarakat Desa Sidokerto tentang tradisi weton dalam perkawinan
serta untuk mengetahui perspektif hukum Islam tentang tradisi weton
dalam perkawinan masyarakat Desa Sidokerto.
Adapun penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif,
berdasarkan objeknya menggunakan penelitian antropologi hukum, dan
jenis penelitian adalah penelitian lapangan (field research). Kriteria data
yang didapatkan berupa data primer dan data sekunder. Teknik
pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, observasi, studi
pustaka, dan studi dokumentasi setelah itu data tersebut dianalisis.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa masih banyak masyarakat
Desa Sidokerto yang melakukan praktik tradisi weton dalam
perkawinan. Praktik tradisi weton dalam perkawinan untuk menentukan
perjodohan dan menentukan hari melangsungkan pernikahan. Meskipun
masyarakat Desa Sidokerto berbeda pandangan tentang tradisi weton
dalam perkawinan; ada yang setuju dan ada juga yang tidak setuju,
tradisi weton dalam perkawinan ini masih kuat dipegang serta dijalankan
hingga sekarang ini sebagai bentuk menghormati para leluhur. Tradisi
weton dalam perkawinan ini tidak bertentangan dengan hukum Islam,
karena tradisi ini sekadar berupa ikhtiar dan kehati-hatian dalam
menentukan perjodohan maupun hari pernikahan, supaya mendapatkan
kebaikan serta keberuntungan selama mengarungi kehidupan rumah
tangga. Dan tradisi weton dalam perkawinan ini dikategorikan sebagai
‘urf yang sahih.
Kata Kunci : Perkawinan, Weton, Hukum Islam
Pembimbing : H. Qosim Arsadani, S.Ag., M.A.
Daftar Pustaka : Tahun 1974 s.d. Tahun 2019
v
KATA PENGANTAR
بسم ميحرلا نمحرلا هللا
Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam, yang telah memberikan
limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada umat manusia di muka bumi ini, khususnya
kepada penulis. Shalawat beriringan salam disampaikan kepada Nabi Muhammad
SAW, keluarga, serta para sahabatnya yang merupakan suri tauladan bagi seluruh
umat manusia.
Dalam proses penyusunan skripsi ini penulis menerima banyak bantuan dari
berbagai pihak, sehingga dapat terselesaikan atas izin-Nya. Oleh karena itu, dalam
kesempatan ini penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih kepada semua pihak
yang telah memberikan bantuan, baik moril maupun materil, khususnya kepada:
1. Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, M.A., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta beserta Wakil
Dekan I, II, dan III Fakultas Syariah dan Hukum.
2. Dr. Hj. Mesraini, S.H., M.Ag., Ketua Program Studi Hukum Keluarga
beserta Achmad Chairil Hadi, M.A., Sekretaris Program Studi Hukum
Keluarga, yang selalu mendukung dan memotivasi penulis untuk segera
menyelesaikan penyusunan skripsi ini.
3. H. Qosim Arsadani, S.Ag., M.A., Dosen Fakultas Syariah dan Hukum
sekaligus sebagai Dosen Pembimbing skripsi penulis, yang telah sabar dan
selalu memberikan arahannya untuk membimbing penulis dalam proses
penyusunan skripsi ini.
4. Drs. H. Ahmad Yani, M.Ag., Dosen Fakultas Syariah dan Hukum sekaligus
Dosen Penasihat Akademik penulis, yang telah sabar mendampingi hingga
semester akhir.
vi
5. Dr. Syahrul A’dam, M.Ag. dan Hj. Rosdiana, M.A. yang telah bersedia
menjadi penguji dalam sidang munaqasyah dan memberikan masukan serta
arahannya demi kesempurnaan skripsi ini.
6. Seluruh civitas akademika serta dosen Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
berkontribusi mengajarkan penulis berbagai macam keilmuan mulai dari teori
hingga praktiknya. Semoga Allah SWT membalas kebaikan Bapak dan Ibu.
Amiin.
7. Paling teristimewa dan spesial dalam hidup penulis, Pae tercinta Asmuri dan
Bue terkasih Supartini yang tak pernah jenuh dan menyerah untuk
memberikan dukungan motivasi serta tidak henti-hentinya mendoakan
penulis dalam menempuh pendidikan serta kakak-kakak dan adik-adik
penulis, Erna Asfiyanti, Edi Cholin Na’im, Ifa Astutik, Muhammad Ircham,
dan si bungsu Muhammad Masrukhan.
8. Sahabat-sahabat terbaik Ali Ahmadi, Syahreza Amri Wildan, Taufiqul
Hakim, Gus Iqbal, Izzatus Syafa’at, Muhammad Irfan Fathir H., M. Nadhif
Julianto, Abdul Wahid, M. Luthfi Andalusia, Muhammad Roihan, dan Gus
Baha yang selalu setia menemani penulis jatuh bangun bersama, mencari
referensi ke perpustakaan bersama, dan saling mendukung dalam menggapai
kesuksesan.
9. Teman-teman Kelompok Kerja Nyata (KKN) Gerakan Edukasi Rakyat Go
Excellent Transformation (GERGET), Rosita, Estri, Erick, Piqri, Hasan,
Yudis, Jannah, Memei, Sopi, dan Budi sebulan kita pernah bersama
menjalani kewajiban sebagai mahasiswa melakukan pengabdian kepada
masyarakat, semoga persaudaraan kita tetap terjaga selamanya. Amiin.
10. Sahabat-sahabat Indekos Nirmala Kang Mamat, Kang Sigit, Boy Reza, Ali
Komeng, serta Bang Roihan, di manapun kalian menginjakkan kaki semoga
kita selalu seduluran dan sukses semuanya.
vii
11. Keluarga besar di tanah perantauan Hukum Keluarga 2013 B, Keluarga Besar
Prodi Ahwal Syakhsiyyah (KBPA) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Ciputat, Silaturrahmi
Mahasiswa Pati (SIMPATI) Jakarta & Sekitarnya, Ikatan Alumni Salafiyah
(IKLAS) Jawa Barat, DPN Gerakan Mahasiswa Satu Bangsa (GEMASABA),
serta Keluarga Mathali’ul Falah (KMF) Jakarta yang telah memberikan
kesempatan penulis untuk belajar berorganisasi dengan baik dan benar serta
saling memberikan dukungan terbaik untuk kesuksesan bersama.
12. Adik-adik Mahasiswa dan Mahasiswi yang senantiasa menyemangati penulis
dalam mengerjakan skripsi ini, semoga kalian juga bisa secepatnya
menyelesaikan kewajiban menuntut ilmu di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
serta menjadi orang-orang yang sukses dan bermanfaat.
Tiada cita-cita dapat terwujud dengan sendirinya kecuali dengan pertolongan
Allah SWT sehingga penulis dapat memberikan kontribusinya dalam khazanah ilmu
pengetahuan. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih perlu mendapatkan
perbaikan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang konstruktif akan penulis perhatikan
dengan baik. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya, dan
pembaca yang budiman pada umumnya serta dicatat sebagai amal baik di sisi Allah
SWT. Amiin.
Jakarta, 2 Agustus 2019
1 Dzulhijjah 1440 H
Rista Aslin Nuha
viii
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN ..................................................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ..................................................................................... iii
ABSTRAK ................................................................................................................ iv
KATA PENGANTAR .............................................................................................. v
DAFTAR ISI ............................................................................................................. viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ..................................................................... 7
C. Batasan dan Rumusan Masalah .................................................... 7
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................... 8
E. Kerangka Teori............................................................................. 8
F. Review Studi Terdahulu ............................................................... 10
G. Metode Penelitian......................................................................... 12
H. Sistematika Penulisan .................................................................. 14
BAB II PERKAWINAN, WETON, DAN ‘URF
A. Pengertian dan Dasar Hukum Perkawinan ................................... 16
B. Rukun dan Syarat Perkawinan ..................................................... 21
C. Tujuan Perkawinan....................................................................... 23
D. Hak dan Kewajiban Suami Istri ................................................... 25
E. Kafa’ah dalam Perkawinan .......................................................... 28
F. Pengertian Weton ......................................................................... 30
G. Sakralitas Weton dalam Pernikahan............................................. 32
ix
H. Pengertian ‘Urf ............................................................................. 34
I. Macam-Macam ‘Urf..................................................................... 35
J. Kehujjahan ‘Urf ........................................................................... 36
BAB III POTRET KABUPATEN PATI JAWA TENGAH
A. Potret Kabupaten Pati ................................................................... 38
B. Letak Geografis ............................................................................ 42
C. Kondisi Demografis ..................................................................... 42
BAB IV TRADISI WETON DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
A. Tradisi Weton di Kabupaten Pati ................................................. 46
B. Pandangan Masyarakat Kabupaten Pati Tentang Tradisi Weton
Dalam Perkawinan ....................................................................... 51
C. Pandangan Hukum Islam Tentang Tradisi Weton Dalam
Perkawinan ................................................................................... 53
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................. 62
B. Saran ............................................................................................. 63
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 65
LAMPIRAN .............................................................................................................. 71
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah negara yang dibangun oleh pilar-pilar keragaman. Baik itu
etnik, budaya, adat maupun agama. Untuk yang terakhir, agama di Indonesia hadir
dan berkembang dengan segala norma yang mengikat setiap penganutnya.
Selanjutnya, norma ini mulai menyerap dalam institusi masyarakat. Masyarakat
muslim, diatur perilakunya oleh hukum Islam. Baik itu yang berkaitan dengan
hubungan sosial, maupun hubungan vertikal. Titik fungsional hukum Islam terus-
menerus membentuk struktur sosial masyarakat muslim dalam menjalani
kehidupan sosialnya.1 Salah satu perilaku masyarakat muslim dalam kehidupan
sosial yang diatur oleh hukum Islam yaitu perkawinan.
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.2 Perkawinan
merupakan kebutuhan hidup manusia sejak zaman dulu, sekarang, dan masa akan
datang. Islam memandang ikatan perkawinan sebagai ikatan yang kuat (mitsaqan
ghalidzan), ikatan yang suci (transenden), suatu perjanjian yang mengandung
makna magis, suatu ikatan yang bukan saja hubungan atau kontrak keperdataan
biasa, tetapi juga hubungan menghalalkan terjadinya hubungan badan antara
suami istri sebagai penyaluran libido seksual manusia yang terhormat. Oleh
karena itu, hubungan tersebut dipandang sebagai ibadah.3
Perkawinan amat penting dalam kehidupan manusia, perseorangan maupun
kelompok. Dalam hal ini dapat dilihat terjadinya cemoohan di dalam masyarakat,
bila ada di kalangan mereka yang tidak bersedia berumah tangga, sedangkan
syaratnya telah terpenuhi. Dengan jalan perkawinan yang sah, pergaulan laki-laki
1 Yayan Sopyan, Islam Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasional, (Jakarta: PT Wahana Semesta Intermedia, 2012), h. 11 2 Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
3 Yayan Sopyan, Islam Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasional, h. 127
2
dan perempuan terjadi secara terhormat sesuai kedudukan manusia sebagai
makhluk yang mulia. Pergaulan hidup berumah tangga dibina dalam suasana
damai, tenteram dan rasa kasih sayang antara suami istri. Anak keturunan dari
hasil perkawinan yang sah menghiasi kehidupan keluarga dan sekaligus
merupakan kelangsungan hidup manusia secara bersih dan terhormat.4
Perkawinan dianggap sah apabila memenuhi rukun dan syarat nikah. Rukun nikah
ada lima, yaitu:5
1. Shigat (Ijab dan qabul),
2. Adanya calon suami,
3. Adanya calon istri,
4. Dua orang saksi, dan
5. Wali dari calon istri.
Bagi yang bisa berbahasa Arab, shigat (ijab dan qabul) harus diucapkan
secara jelas (sharih), lengkap dengan ijab dan qabul sebagaimana akad lainnya.6
Syarat perkawinan ialah syarat yang berkaitan dengan rukun-rukun perkawinan,
yaitu syarat-syarat bagi kelima rukun perkawinan tersebut di atas:7
Syarat calon suami:
1. Bukan mahram (perempuan yang haram untuk dinikahi) dari calon istri;
2. Tidak terpaksa atau atas kemauan sendiri;
3. Orangnya tertentu atau jelas orangnya;
4. Tidak sedang menjalankan ihram (niat mulai menjalankan) haji atau
umrah.
Syarat calon istri:
1. Tidak ada halangan hukum, yakni tidak bersuami, bukan mahram dan
tidak sedang dalam idah;
2. Merdeka atas kemauan sendiri;
4 A. Hamid Sarong, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Banda Aceh: PeNA, 2010),
h. 1 5 Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’i 2, (Penerjemah: Muhammad Afifi, Abdul Hafiz),
(Jakarta: Almahira, 2010), h. 453 6 Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’i 2, h. 453
7 Abd. Shomad, Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia,
(Jakarta: Kencana, 2010), h. 277-279
3
3. Jelas orangnya;
4. Tidak sedang berihram haji atau umrah;
Syarat wali:
1. Laki-laki;
2. Baligh;
3. Waras akalnya;
4. Tidak dipaksa;
5. Adil;
6. Tidak sedang ihram haji.
Syarat saksi-saksi:
1. Laki-laki;
2. Baligh;
3. Waras akalnya;
4. Dapat mendengar dan melihat;
5. Bebas, tidak dipaksa;
6. Tidak sedang mengerjakan ihram;
7. Memahami yang dipergunakan untuk ijab qabul.
Syarat-syarat ijab qabul:
1. Dilakukan dengan bahasa yang dimengerti kedua belah pihak (pelaku
akad dan penerima akad dan saksi);
2. Singkat hendaknya menggunakan ucapan yang menunjukkan waktu
lampau atau salah seorang menggunakan kalimat yang menunjukkan
waktu lampau sedang lainnya dengan kalimat yang menunjukkan waktu
yang akan datang.
Dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa
perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. Pasal 15
Kompilasi Hukum Islam disebutkan pula bahwa untuk kemaslahatan keluarga dan
rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah
mencapai umur yang ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974, yakni calon suami minimal berumur 19 tahun dan calon istri minimal
berumur 16 tahun.
4
Bersatunya dua jenis manusia, laki-laki dan perempuan dalam satu ikatan
pernikahan suci dan halal memiliki tujuan utama yaitu terciptanya sebuah
ketenangan batin. Ketenteraman jiwa yang dirasakan seorang lelaki kala
bersanding dengan istri yang suci lagi terhormat, serta ketenangan dan
kenyamanan yang dia temukan dalam naungan kehidupan keluarga yang bahagia.
Dan inilah yang ditunjukkan oleh ayat yang mulia, لتسكنىآ إليها “agar kamu
cenderung dan merasa tenteram kepadanya”.8
Ikatan cinta dan kasih, yang mana Allah SWT telah mengikatkannya pada
hati suami dan istri, ىدة ورحمة و جعل بينكم م “dan Dia telah menjadikan di antara kamu
cinta tulus dan kasih”. Sekiranya tanpa nikmat ini, niscaya seorang suami takkan
bercengkerama dengan istri sehingga persahabatan maupun kerekatan hati takkan
pernah melanggeng. Namun, Allah SWT dengan kekuasaan dan guyuran rahmat-
Nya menanamkan emosi ini: emosi cinta suami terhadap istrinya dan emosi cinta
istri terhadap suaminya. Sehingga, suami akan bersedih lantaran hal-hal yang
membuat istri bersedih, dan bahagia lantaran hal-hal yang membuat istrinya
berbahagia. Begitulah suami dan istri, mereka saling bertukar perasaan: emosional
dengan emosional, dan cinta dengan cinta.9
Ada beberapa pertimbangan seorang laki-laki dalam pemilihan pasangan,
yaitu karena hartanya, kedudukannya, kecantikannya, dan agamanya. Dari
keempat pertimbangan tersebut, yang perlu diutamakan adalah faktor agamanya.10
Adapun yang dimaksud dengan keberagamaan di sini adalah komitmen
keagamaannya atau kesungguhannya dalam menjalankan ajaran agamanya. Ini
dijadikan pilihan utama karena itulah yang akan langgeng. Kekayaan suatu ketika
akan lenyap dan kecantikan suatu ketika dapat pudar demikian pula kedudukan,
suatu ketika akan hilang.11
8 Muhammad Ali Ash-Shobuni, Pernikahan Islami, (Penerjemah: Ahmad Nurrohim),
(Solo: Mumtaza, 2008), h. 10 9 Muhammad Ali Ash-Shobuni, Pernikahan Islami, h. 11
10 Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2016), h. 15
11 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), h.
49
5
Kafa’ah dalam perkawinan merupakan faktor yang dapat mendorong
terciptanya kebahagiaan suami istri dan lebih menjamin keselamatan perempuan
dari kegagalan atau kegoncangan rumah tangga.12
Kafa’ah dianjurkan oleh Islam
dalam memilih calon suami atau istri, tetapi tidak menentukan sah atau tidaknya
perkawinan. Kafa’ah adalah hak bagi wanita atau walinya. Karena suatu
perkawinan yang tidak seimbang, serasi atau sesuai akan menimbulkan problema
berkelanjutan, dan besar kemungkinan menyebabkan terjadinya perceraian oleh
karena itu, boleh dibatalkan.13
Islam telah mengatur tata cara pelaksanaan dalam membina rumah tangga.
Jika seluruh umat Islam mengikutinya, insya Allah akan tercipta keturunan yang
baik, manusia yang mulia di muka bumi ini.14
Kebudayaan Jawa merupakan salah
satu bagian dari kebudayaan yang ada di Indonesia. Kebudayaan Jawa dengan
keanekaragamannya banyak mengilhami masyarakat Jawa dalam tindakan
maupun perilaku keberagamannya. Masyarakat Jawa memiliki keunikan
tersendiri. Dalam segala tindakannya biasanya tidak lepas dari mengikuti tradisi
atau kebiasaan yang dianut oleh para leluhurnya. Keunikannya dapat dilihat mulai
dari kepercayaan masyarakat, bahasa, kesenian, dan tradisinya.15
Di dalam masyarakat Jawa terdapat tradisi weton. Weton adalah perhitungan
hari lahir kedua calon mempelai. Namun perhitungan ini, bukanlah penentu
apakah calon menantu diterima atau tidak. Hal ini lebih sering dipahami sebagai
ramalan nasib masa depan kedua mempelai. Apabila jatuh pada kebaikan, itulah
doa yang diharapkan oleh kedua orang tua. Namun jika jatuh pada hal yang
kurang beruntung, diharapkan kedua mempelai lebih berhati-hati serta berdoa dan
bertawakal kepada Allah SWT agar selamat dunia akhirat.16
12
Abd. Rahman Ghazali, Fikih Munakahat, (Jakarta: Prenada Media, 2003), h. 51 13
Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2009), h. 57 14
Huzaimah Tahido Yanggo, Masail Fiqhiyyah: Kajian Islam Kontemporer, (Bandung:
Penerbit Angkasa, 2005), h. 134 15
Clifford Geetz, Abangan, Santri, Priyai Dalam Masyarakat Jawa, (Penerjemah: Aswab
Mahasin), (Jakarta: Pustaka Jaya, 1989), h. 13 16
M. Hariwijaya, Tata Cara Penyelenggaraan Perkawinan Adat Jawa, (Yogyakarta:
Hanggar Kreator, 2008), h. 7
6
Tradisi weton merupakan tradisi secara turun-temurun dari nenek moyang.
Masih banyak masyarakat Kabupaten Pati khususnya Desa Sidokerto yang
menggunakan weton dalam berbagai kegiatan, baik digunakan oleh laki-laki
maupun perempuan dari anak-anak hingga orang tua. Tidak hanya digunakan
dalam perkawinan saja, weton juga digunakan dalam khitanan, slametan, dan lain
sebagainya. Apabila tidak menggunakan weton dikhawatirkan tidak baik dalam
keturunan selanjutnya. Cara menghitung weton kedua pasangan calon suami istri
dijumlahkan ada berapa dan hari apa wetonnya. Misalnya, wetonnya 13 dan 12
kalau dijumlahkan ada 25. Nanti 25 itu dalam perkawinan diambilkan hari yang
jumlahnya 13. Jadi, 13 itu hari apa, 13 dijumlahkan dengan 25 itu ada 38. Kalau
dibagi tiga-tiga itu nikahnya hanya boleh (kalau sisanya) 2, itu hitungan untuk
perkawinan. Lainnya hari itu (13), ada hari 12, 10, 11, 8, dan banyak sekali hari
itu.17
Oleh karena itu, kedua calon mempelai yang akan melangsungkan
perkawinan dianjurkan untuk menggunakan weton guna kehati-hatian dalam
menentukan pasangan suami atau istri dan hari pernikahan agar rumah tangga
harmonis dan bahagia. Cara menghitung weton itu kedua pasangan calon suami
istri wetonnya dijumlahkan, lalu dibagi tiga-tiga, itu nikahnya hanya boleh jika
sisanya dua. Kalau tidak menggunakan weton berarti tidak orang Jawa. Tradisi
weton perlu dilaksanakan, dihati-hati dan diingat-ingat selama-lamanya.18
Melihat fenomena di atas, tradisi weton yang masih begitu kentalnya di
masyarakat Kabupaten Pati menjadikan penulis ingin melakukan penelitian untuk
mengetahui lebih jauh. Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap adanya
tradisi weton dalam perkawinan masyarakat Kabupaten Pati. Oleh karena itu,
penulis ingin mengkaji lebih dalam lagi dengan judul skripsi “Tradisi Weton
Dalam Perkawinan Masyarakat Kabupaten Pati Perspektif Hukum Islam”.
17
Wakijan, Sesepuh Desa Sidokerto, Interview Pribadi, Pati, 26 Desember 2018 18
Wakijan, Sesepuh Desa Sidokerto, Interview Pribadi, Pati, 26 Desember 2018
7
B. Identifikasi Masalah
Dari uraian latar belakang masalah di atas, penulis mengidentifikasi beberapa
masalah yang ada dalam bahasan ini. Masalah-masalah tersebut di antaranya
adalah:
1. Apakah yang dimaksud dengan tradisi weton dalam perkawinan?
2. Dari mana asal mula tradisi weton dalam perkawinan?
3. Apa makna tradisi weton dalam perkawinan bagi masyarakat Kabupaten
Pati?
4. Bagaimana praktik tradisi weton dalam perkawinan masyarakat di Desa
Sidokerto?
5. Bagaimana persepsi masyarakat Kabupaten Pati tentang tradisi weton
dalam perkawinan?
6. Bagaimana eksistensi tradisi weton dalam perkawinan masyarakat di
Kabupaten Pati?
7. Bagaimana pengaruh tradisi weton terhadap kelangsungan perkawinan?
8. Bagaimana cara menyikapi perkawinan terkendala tradisi weton?
9. Bagaimana perspektif hukum Islam tentang tradisi weton dalam
perkawinan di Kabupaten Pati?
C. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Agar pembahasan dalam penelitian ini tidak melebar, maka pembahasan
mengenai persoalan tradisi weton dibatasi hanya pada tradisi weton dalam
perkawinan yang ada di Kabupaten Pati dengan kasus di Desa Sidokerto
Kecamatan Pati, praktik tradisi weton dalam perkawinan, pandangan
masyarakat tentang tradisi weton, dan bagaimana Islam memandang tradisi
tersebut.
2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah penulis rinci dalam bentuk pertanyaan penelitian
sebagai berikut:
a. Bagaimana praktik tradisi weton dalam perkawinan masyarakat
Kabupaten Pati?
8
b. Bagaimana pandangan masyarakat Desa Sidokerto tentang tradisi
weton dalam perkawinan?
c. Bagaimana perspektif hukum Islam tentang tradisi weton dalam
perkawinan masyarakat Desa Sidokerto?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan dari sebuah penelitian adalah mengungkapkan secara jelas
sesuatu yang akan dicapai pada penelitian yang akan dilakukan. Dari
pemahaman tersebut maka tujuan dari diadakannya penelitian ini adalah
sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui praktik tradisi weton dalam perkawinan
masyarakat Kabupaten Pati.
b. Untuk mengetahui pandangan masyarakat Desa Sidokerto tentang
tradisi weton dalam perkawinan.
c. Untuk mengetahui perspektif hukum Islam tentang tradisi weton
dalam perkawinan masyarakat Desa Sidokerto.
2. Manfaat Penelitian
Sesuai dengan tujuan penelitian yang hendak dicapai, demikian pula
dengan penelitian yang penulis adakan ini diharapkan dapat bermanfaat
sebagai berikut:
a. Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan manfaat
bagi penulis dan masyarakat dalam memahami tradisi yang ada di
Indonesia.
b. Penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran (sebagai
informasi ilmiah) bagi akademisi tentang tradisi weton dalam
perkawinan masyarakat Kabupaten Pati perspektif hukum Islam.
E. Kerangka Teori
Perkawinan merupakan salah satu perintah agama kepada yang mampu untuk
segera melaksanakannya. Karena perkawinan dapat mengurangi kemaksiatan,
baik dalam bentuk penglihatan maupun dalam bentuk perzinaan. Orang yang
berkeinginan untuk melakukan pernikahan, tetapi belum mempunyai persiapan
9
bekal (fisik dan nonfisik) dianjurkan oleh Nabi Muhammad SAW untuk berpuasa.
Orang berpuasa akan memiliki kekuatan atau penghalang dari berbuat tercela
yang sangat keji, yaitu perzinaan.19
Perkawinan di Jawa tidak dipandang semata-mata sebagai penggabungan dua
jaringan keluarga yang luas, tetapi yang dipentingkan adalah pembentukan sebuah
rumah tangga sebagai unit yang berdiri sendiri. Pandangan ini tampak jelas di
dalam istilah yang lazim untuk kawin ialah omah-omah, yang berasal dari kata
omah atau rumah.20
Pesta perkawinan yang meriah, pada zaman dahulu hanya dilakukan oleh para
bangsawan, khususnya raja. Para bangsawan atau priyayi itu sangat njelimet
dalam menentukan jodoh bagi anaknya. Mereka mempertimbangkan bibit, bebet
dan bobot. Bibit adalah faktor darah dan keturunan. Siapakah orang tua dan
keluarganya, apakah sehat jasmani dan ruhani, dari latar budaya bagaimana dan
sebagainya. Bebet adalah faktor status sosial mempelai dan keluarganya. Apakah
mempelai berasal dari keluarga yang baik-baik dan sebagainya. Sedangkan bobot
adalah faktor harta benda. Hal ini menyangkut kesiapan kedua calon pengantin
dalam hal materi.21
Ada lima faedah (keuntungan) perkawinan, yakni memperoleh
anak, mematahkan (menyalurkan syahwat), menghibur diri, menambah anggota
keluarga, dan berjuang melawan kecenderungan nafsu (dengan menangani dan
mengatasi bermacam keadaan yang timbul karena semua itu).22
Dalam perkawinan masyarakat Jawa, terdapat tradisi weton yang hingga
sekarang masih digunakan untuk menentukan kecocokan dalam pasangan dan hari
dalam melangsungkan pernikahan yang sudah dilakukan secara turun-temurun
dari nenek moyang. Weton itu ilmu mengingat, jadi wetonnya apa. Misalnya,
wetonnya Rabu Pahing itu harus mengingatnya selamanya hidup karena penting.
Weton itu digunakan, misalnya akan nikah itu membutuhkan weton. Selain
19
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 7 20
P. Haryono, Kultur Cina dan Jawa Pemahaman Menuju Asimilasi Kultural, (Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1994), h. 46 21
M. Hariwijaya, Tata Cara Penyelenggaraan Perkawinan Adat Jawa, (Yogyakarta:
Hanggar Kreator, 2008), h. 6 22
Al-Imam Abu Hamid Al-Ghazali, Menyingkap Hakikat Perkawinan, (Penerjemah:
Muhammad Al-Baqir), (Jakarta: Penerbit Mizan Anggota IKAPI, 2015), h. 24
10
pernikahan itu, akan mencari kerja dan lain-lain. Weton itu harus diamati, harus
diingat selamanya hidup. Weton itu penting.23
Adat istiadat yang sudah menjadi kebiasaan dalam Islam disebut dengan ‘Urf.
Kata ‘Urf berasal dari kata ‘arafa ya’rufu sering diartikan dengan “al-ma’ruf”
dengan arti sesuatu yang dikenal. Pengertian dikenal ini lebih dekat kepada
pengertian diakui orang lain.24
Di antara ahli bahasa Arab ada yang menyamakan
kata ‘adat dan ‘urf tersebut, kedua kata itu mutaradif (sinonim). Seandainya
kedua kata itu dirangkaikan dalam satu kalimat, seperti: “Hukum itu didasarkan
kepada ‘adat dan ‘urf.” Tidaklah berarti kata ‘adat dan ‘urf itu berbeda
maksudnya karena kedua kata itu memiliki arti yang sama, maka dalam contoh
tersebut ‘urf adalah sebagai penguat terhadap kata ‘adat.25
Abdul Wahab Khallaf mengutip beberapa pendapat dari ulama ushul fiqh
mengenai berhujjah dengan ‘urf dan menjadikannya sebagai sumber hukum fiqh.
Ulama Mazhab Maliki banyak mendasarkan hukumnya atau amal perbuatan
penduduk Madinah. Abu Hanifah dan para pengikutnya berbeda pendapat
mengenai sejumlah hukum berdasarkan ‘urf mereka. Imam Syafi’i ketika tinggal
di Mesir, ia mengubah sebagian hukum yang pernah menjadi pendapatnya ketika
yang ia berada di Bagdad, karena perbedaan ‘urf. ‘Urf yang diperbolehkan dalam
Islam yaitu yang tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadis. Dari segi
keabsahannya dari pandangan syara’, ‘urf terbagi dua, yaitu: ‘Urf al-shahih
(kebiasaan yang dianggap sah) dan al- ‘urf al-fasid (kebiasaan yang dianggap
rusak). Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa ‘urf al-shahih yaitu ‘urf yang tidak
bertentangan dengan syara’.26
F. Review Studi Terdahulu
Sebelumnya penulis sedikit kesulitan untuk mendapatkan review yang benar-
benar sama dengan judul skripsi, akan tetapi penulis menemukan sebuah skripsi
yang sekiranya dapat dijadikan sebagai bahan studi review, yaitu:
23
Sarni, Sesepuh Desa Sidokerto, Interview Pribadi, Pati, 26 Desember 2018 24
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 387 25
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, h. 387 26
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih, (Penerjemah: M. Zuhri, Ahmad Qarib),
(Semarang: Dina Utama, 1994), h. 124
11
No. Judul Pembahasan Perbedaan
1. Weton: Mengkaji
Peranan Tukang
Petung Dalam
Perkawinan (Studi
Antropologi di Desa
Krandon Kota Tegal)
oleh Hardian Sidiq
pada tahun 2016.
Membahas tentang
sejauh mana peranan
tukang petung pada
masyarakat Desa
Krandon.
Perbedaan dalam skripsi
yang akan penulis tulis
adalah perhitungan weton
dalam menentukan cocok
tidaknya pasangan calon
pengantin dan
menentukan hari
pernikahan yang ada di
Kabupaten Pati
digabungkan, berbeda
dengan perhitungan
tukang petung yang ada
di Kota Tegal dengan
memisahkannya.
2. Perhitungan Weton
dalam Perkawinan
Masyarakat Jawa
(Studi Kasus di Desa
Mojowarno
Kecamatan Kaliori
Kabupaten Rembang)
oleh Kharisma Putri
Aulia Aznur pada
tahun 2016.
Membahas yang
melatarbelakangi
masyarakat Desa
Mojowarno,
Kecamatan Kaliori,
Kabupaten Rembang
masih melakukan
perhitungan weton
dalam perkawinan.
Perbedaan dengan skripsi
yang penulis angkat
adalah perhitungan weton
di Desa Mojowarno,
Kabupaten Rembang
dianggap sebagai ‘urf
yang fasid, sedangkan
tradisi weton di
Kabupaten Pati sebagai
‘urf yang sahih.
3. Tradisi Weton Dalam
Perkawinan
Masyarakat Jatimulyo
Menurut Pandangan
Islam (Studi Pada
Membahas tentang
pengaruh weton
terhadap
kelangsungan
pernikahan pada
Perbedaan dengan skripsi
yang penulis angkat
adalah tradisi
perhitungan weton dalam
perkawinan masyarakat
12
Kelurahan Jatimulyo
Kecamatan
Lowokwaru Malang)
oleh Enna Nur
Achmidah pada tahun
2008.
masyarakat
Kelurahan
Jatimulyo.
Jatimulyo, Malang tidak
terdapat cara perhitungan
weton yang jelas,
sedangkan tradisi weton
dalam masyarakat
Kabupaten Pati terdapat
cara perhitungan weton
yang sangat jelas.
G. Metode Penelitian
Pembahasan masalah-masalah dalam penyusunan ini, perlu adanya suatu
penelitian untuk memperoleh suatu data yang relevan dengan masalah yang akan
dibahas dan deskripsi dari masalah tersebut secara gamblang dan akurat. Berikut
ini beberapa metode yang akan penulis gunakan antara lain:
1. Pendekatan Penelitian
Metode pendekatan yang digunakan adalah antropologi hukum.
Antropologi hukum adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari manusia
dengan kebudayaan yang khusus di bidang hukum.27
Dengan melihat dan
mengamati secara langsung kehidupan masyarakat Kabupaten Pati yang
melakukan tradisi weton dalam perkawinan.
2. Jenis Penelitian
Jenis penilitian yang digunakan dalam penelitian dengan pendekatan
antropologi hukum ini adalah penelitian lapangan (field research) yang
bersumber pada data-data yang bersifat deskriptif. Penelitian lapangan (field
research) ini adalah penelitian yang sumber datanya terutama diambil dari
objek penelitian―masyarakat atau komunitas sosial―secara langsung di
daerah penelitian.28
3. Sumber Data
27
Hilman Hadikusuma, Antropologi Hukum Indonesia, (Bandung: P.T. Alumni, 2010),
cet. ke-3, h. 10 28
Yayan Sopyan, Pengantar Metode Penelitian, (Ciputat: UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2010), h. 32
13
Pada umumnya sumber data dalam sebuah penelitian terbagi menjadi
beberapa sumber. Pembagian ini dapat dibedakan antara data yang diperoleh
dari lapangan dan dari bahan perpustakaan, adapun sumber data yang penulis
gunakan dalam penelitian ini antara lain sebagai berikut:
a. Data primer, yaitu data-data yang diperoleh secara langsung dari
masyarakat baik yang diambil dengan wawancara, observasi, buku
primbon atau lainnya. Data yang langsung dari sumber asalnya yakni
perilaku masyarakat melalui penelitian, berbagai hal yang
berhubungan dengan objek penelitian yang dihadapi kemudian
diamati dan dicatat untuk pertama kalinya oleh peneliti. Adapun
yang termasuk data primer dalam penelitian ini adalah dokumen atau
catatan yang dibuat oleh pelaku atau saksi mata, dan bisa juga
berupa kesaksian secara lisan dari pelaku atau saksi mata yang
mengetahui perihal pelaksanaan tradisi weton dalam perkawinan.
b. Data sekunder, yaitu data-data yang dikumpulkan, diolah, dan
disajikan oleh pihak lain mencakup dokumen-dokumen resmi, kitab-
kitab, ataupun hasil penelitian. Data sekunder diperoleh atau berasal
dari bahan perpustakaan, data ini digunakan oleh penulis untuk
melengkapi data primer.
4. Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data yang akurat dan berkualitas dalam penelitian ini
penulis melakukan teknik pengumpulan data dengan menggunakan metode
sebagai berikut:
a. Interview (wawancara) yaitu cara pengumpulan yang dilakukan
dengan bertanya dan mendengarkan jawaban langsung dari sumber
utama (orang yang diwawancarai) atau pihak-pihak yang mendukung
tercapainya tujuan penelitian ini.
b. Dokumentasi yaitu teknik pengumpulan data dengan cara meneliti
dokumentasi-dokumentasi yang ada dan memiliki relevansi dengan
tujuan penelitian.
14
c. Studi pustaka yaitu mengidentifikasi secara sistematis dan
melakukan analisis terhadap buku-buku yang memuat informasi
yang berkaitan dengan tema, objek dan masalah penelitian yang akan
dilakukan.
5. Metode Analisis Data
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif, yakni jenis penelitian yang
temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau hitungan
lainnya.29
Metode berpikir yang penulis gunakan adalah metode berpikir
induktif, dimana penulis menganalisa data dimulai dari kasus-kasus yang
diteliti kemudian digeneralisasikan pada suatu kesimpulan yang bersifat
umum.
6. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat analitik merupakan kelanjutan dari penelitian
deskriptif yang bertujuan bukan hanya sekadar memaparkan karakteristik
tertentu, tetapi juga menganalisa dan menjelaskan mengapa atau bagaimana
hal itu terjadi.30
7. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian yang peneliti lakukan adalah di Kabupaten Pati
khususnya di Desa Sidokerto, Kecamatan Pati, Kabupaten Pati.
8. Teknik Penulisan
Adapun teknik penulisan yang digunakan dalam skripsi ini mengacu
kepada “Pedoman Penulisan Skripsi” yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah
dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun
2017.
H. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan adalah penjelasan tentang bagian-bagian yang akan
ditulis di dalam penelitian secara sistematis. Secara garis besar skripsi ini terdiri
29
Anselm Strauss dan Juliet Corbin, Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif, alih bahasa
Muhammad Shodiq dan Imam Muttaqien, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 4 30
Yayan Sopyan, Metodologi Penelitian Hukum, (Ciputat: Buku Ajar, 2009), h. 28
15
dari lima bab dengan beberapa sub bab. Agar mendapat arah dan gambaran yang
jelas mengenai hal yang tertulis, berikut ini sistematika penulisannya:
Bab Pertama, merupakan bab pendahuluan yang menguraikan tentang latar
belakang masalah, identifikasi masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, kerangka teori, review studi terdahulu, metodologi penelitian,
dan sistematika penulisan.
Bab Kedua, membahas mengenai pengertian dan dasar hukum perkawinan,
rukun dan syarat perkawinan, tujuan perkawinan, hak dan kewajiban suami istri,
kafa’ah dalam perkawinan, pengertian weton, sakralitas weton dalam pernikahan,
pengertian ‘urf, macam-macam ‘urf, dan kehujjahan ‘urf.
Bab Ketiga, membahas mengenai profil Kabupaten Pati, letak geografis, dan
kondisi demografis, supaya pembaca dapat mengetahui deskripsi dari lokasi
penelitian.
Bab Keempat, membahas mengenai tradisi weton di Desa Sidokerto,
pandangan masyarakat Kabupaten Pati tentang tradisi weton dalam perkawinan,
dan pandangan hukum Islam tentang tradisi weton dalam perkawinan.
Bab Kelima, merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran
terkait kajian yang dimaksud dari awal hingga akhir pembahasan beserta
lampiran-lampiran terkait.
16
BAB II
PERKAWINAN, WETON DAN ‘URF
A. Pengertian dan Dasar Hukum Perkawinan
1. Pengertian Perkawinan
Secara arti kata nikah berarti “bergabung” (ظى), “hubungan kelamin”
.(ػقذ) ”dan juga berarti “akad (غء)1 Secara terminologi perkawinan (nikah)
yaitu akad yang membolehkan terjadinya istimta‟ (persetubuhan) antara
seorang pria dengan seorang wanita, selama seorang wanita tersebut bukan
seorang wanita yang diharamkan baik dengan sebab keturunan atau seperti
sebab susuan.2 Perkawinan atau pernikahan menurut fikih:
ػ ش ش اج انض بع ز ز اس م د ح أ ش بن ث م ج انش بع ز ز اس ك ه ي ذ ف ن ع بس انش ؼ ظ ذ ق ػ ب
.م ج ش بن ث ح أ ش ان 3
Artinya: “Perkawinan menurut syara‟ yaitu akad yang ditetapkan syara‟
untuk membolehkan bersenang-senang antara laki-laki dengan perempuan
dan menghalalkan bersenang-senang perempuan dengan laki-laki.”
Akad nikah yang telah dilakukan akan memberikan status kepemilikan
bagi suami istri, dimana status kepemilikan akibat akad tersebut bagi suami
berhak memperoleh kenikmatan biologis dan segala yang terkait dengan itu
secara sendirian tanpa dicampuri atau diikuti oleh lainnya. Begitu pula bagi
istri sebagaimana suami ia juga berhak memperoleh kenikmatan biologis
yang sama, akan tetapi tidak bersifat khusus untuk dirinya sendiri, dalam hal
ini istri boleh menikmati secara biologis atas diri suami bersama istri suami
yang lainnya. Sehingga kepemilikan di sini merupakan hak berserikat antara
para istri.4
Perkawinan merupakan salah satu perintah agama kepada yang mampu
untuk segera melaksanakannya, karena perkawinan dapat mengurangi
1 Wahbah Al-Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 1986), h. 29
2 Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern, (Jakarta: Graha Ilmu,
2011), h. 4 3 Wahbah Al-Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, h. 29
4 Wahbah Al-Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, h. 29
17
kemaksiatan, baik dalam bentuk penglihatan maupun dalam bentuk
perzinaan, orang yang berkeinginan untuk melakukan pernikahan, tetapi
belum mempunyai persiapan bekal (fisik dan non fisik) dianjurkan oleh Nabi
Muhammad SAW untuk berpuasa.5
Perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan Pasal 1 disebutkan “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.” Sedangkan perkawinan menurut Kompilasi
Hukum Islam (KHI) Pasal 2 disebutkan “Perkawinan menurut hukum Islam
adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan
untuk menaati perintah Allah SWT dan melaksanakannya merupakan
ibadah.”
2. Dasar Hukum Perkawinan
Pada hakikatnya perkawinan merupakan akad yang membolehkan antara
laki-laki dan perempuan melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak
diperbolehkan, dapat dikatakan bahwa hukum asal dari perkawinan yaitu
boleh atau mubah. Dengan berlangsungnya akad perkawinan, maka pergaulan
laki-laki dan perempuan menjadi mubah. Berikut ini dijelaskan mengenai
dasar hukum dari sebuah perkawinan.
a. Al-Qur’an
Ayat-ayat Al-Qur‟an yang mengatur hal ihwal perkawinan itu ada
sekitar 85 ayat di antara lebih dari 6000 ayat yang tersebar dalam sekitar
22 surat dari 114 surat dalam Al-Qur‟an. Keseluruhan ayat Al-Qur‟an
tentang munakahat tersebut disepakati keberadaannya (thubut) sebagai
firman Allah SWT atau disebut juga dengan qath‟iy al-tsubut.6
Firman Allah SWT dalam QS. An-Nuur (24): 32
5 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h. 7
6 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2006), h.6
18
للا ى غ آء ش ق اف ك إ ى ك آئ ي إ ى ك بد ج ػ ي ذ بن انص ى ك ي بي اال ذ ك أ
(24:32)انس/ى ه ػ غ اس للا ه ع ف ي
Artinya: “Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di
antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-
hamba sahayamu yang laki-laki dan hamba-hamba sahayamu yang
perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan member kemampuan kepada
mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya)
lagi Maha Mengetahui.” (QS. An-Nuur (24): 32)
b. Hadis
Perkawinan merupakan yang disyariatkan dalam agama Islam,
merupakan suatu perjanjian yang kuat, sebagaimana sabda Nabi
Muhammad SAW yang melarang seseorang hidup sendirian tanpa kawin
karena sesungguhnya dengan perkawinan dapat memelihara diri dari
kemungkinan melakukan perbuatan yang terlarang.7 Hal tersebut
berdasarkan kepada hadis Nabi Muhammad SAW dari Abdullah bin
Mas‟ud yang berbunyi:
،ش ص ج ه ن ط غ أ ج،فإ ض ز ه حف بء ج ان ىك ي بع ط ز اس بةي ج انش ش ش ؼ ي ب
)ساانجخبسبء ج ن إ ف و بنص ث ه ؼ ف غ ط ز س ى ن ف ،ج ش ف ه ن ص د أ
(يسهى8
Artinya: “Wahai generasi muda, barang siapa di antara kamu telah
mempunyai kemampuan (secara fisik dan harta), hendaklah ia kawin,
karena perkawinan itu lebih menutup mata dari penglihatan yang tidak
baik dan lebih menjaga kehormatan. Bila ia tidak mampu untuk kawin
hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu baginya pengekang hawa
nafsu.” (HR. Bukhari Muslim)
c. Ijma
7 Kamal Mukhtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang,
1974), h. 24 8 Abu Abdullah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Bukhari (Bab Nikah No.
1905, 5065, 5066), (Beirut: Bait Al-Afkar Ad-Dauliyah, 2002 M/ 1463 H), h. 1292 dan Muslim,
(IV/128), At-Tirmidzi, (No. 1018), An-Nasa‟iy, (VI/56-58), Ad-Darami (II/132) dan Al-Baihaqi
(VII/77)
19
Dalam perspektif fikih, nikah disyariatkan dalam Islam berdasarkan
Al-Qur‟an, Sunnah dan Ijma‟. Dan dari segi Ijma‟, para ulama sepakat
mengatakan nikah itu disyariatkan. Hukum asal suatu perkawinan adalah
boleh atau mubah. Namun dengan melihat kepada sifatnya adalah
sunnatullah.9 Sementara ulama mazhab Syafi‟i sebagaimana yang dikutip
oleh Abdul Rahman Ghazali berpendapat bahwa hukum asal perkawinan
adalah mubah. Sedangkan ulama Zahiriyah berpendapat bahwa
perkawinan wajib dilakukan oleh seseorang yang telah mampu. Para
ulama Malikiyah mutakhirin berpendapat bahwa nikah itu wajib untuk
sebagian orang, sunah untuk sebagian lainnya dan mubah untuk
segolongan lainnya.10
Hukum Islam mengenal lima kategori hukum yang lazim dikenal
dengan sebutan al-ahkam al-khamsah (hukum yang lima yaitu wajib
(harus), sunah (anjuran, dorongan), mubah (kebolehan), makruh (kurang,
tidak disukai) dan haram (larangan keras). Jika dihubungkan dengan al-
ahkam al-khamsah (lima kategori hukum) ini, maka hukum melakukan
perkawinan atau pernikahan dapat dibedakan ke dalam lima macam11
dan
hukum tersebut bisa berubah menjadi wajib, sunah, mubah, makruh,
haram tergantung kepada illat hukum, yaitu:
1. Mubah (diperbolehkan), yaitu pernikahan yang dilakukan tanpa
ada faktor-faktor yang mendorong atau memaksa atau yang
menghalangi, ini asal hukumnya.
2. Sunnah bagi seseorang yang mampu untuk melangsungkan
perkawinan tetapi dia merasa mampu untuk menjaga dirinya
dari kemungkinan melakukan hal-hal yang diharamkan jika
tidak menikah, maka nikah bagi dirinya hukumnya sunah.
3. Wajib bagi orang yang telah cukup sandang pangan dan
dikhawatirkan terjerumus pada perzinaan.
9 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fikih Munakahat
dan Undang-Undang Perkawinan, h. 43 10
Abdul Rahman Ghazali, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 16 11
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah jilid 3, (Jakarta: Cakrawala Publishing, 1990), h. 209
20
4. Makruh bagi seorang laki-laki yang tidak memiliki keinginan
seksual sama sekali atau memiliki rasa cinta kepada anak-anak
atau diyakini akan mengakibatkannya lalai dalam berbagai
kewajiban agamanya karena pernikahannya itu.12
5. Haram manakala seorang laki-laki yang akan melaksanakan
pernikahan itu tidak memiliki kemampuan melakukan aktivitas
biologis hubungan suami istri, dan tidak memiliki kemampuan
menjamin perbelanjaan atas istrinya.13
d. Peraturan Perundang-undangan di Indonesia
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
merumuskan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang
pria dengan seorang wanita untuk membentuk rumah tangga (keluarga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa.
Pertimbangannya ialah sebagai negara yang berdasarkan Pancasila,
dimana sila yang pertamanya ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka
perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama atau
kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir atau
jasmani, tetapi unsur batin atau rohani juga mempunyai peranan yang
penting. Membentuk keluarga yang bahagia rapat hubungannya dengan
keturunan yang pula merupakan tujuan perkawinan, memelihara, dan
pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang tua.14
Selain Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974,
Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga mengatur tentang hukum
perkawinan, dengan berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991
tanggal 10 Juli 1991 diberlakukannya Kompilasi Hukum Islam yang
berisikan pedoman bagi orang-orang Islam mengenai perkawinan,
12
Abdur Rahman I. Doi, Perkawinan dalam Syariat Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992),
h. 9 13
Ahmad Sudirman Abbas, Pengantar Pernikahan: Analisa Perbandingan Antar
Madzhab, (Jakarta: PT. Prima Heza Lestari, 2006), h. 18 14
M. Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal UU Nomor 1 Tahun 1974 Dari Segi
Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Ind.Hillco-Co, 1990), h. 2
21
pewarisan dan perwakafan.15
Adanya Kompilasi Hukum Islam ini sangat
membantu para hakim dalam menyelesaikan setiap permasalahan tentang
perkawinan.
B. Rukun dan Syarat Perkawinan
Rukun dan syarat mengandung arti yang berbeda dari segi bahasa, bahwa
rukun itu adalah sesuatu yang berada dalam hakikat dan merupakan bagian atau
unsur yang mewujudkannya, sedangkan syarat adalah suatu yang berada di
luarnya dan tidak merupakan unsurnya.16
Menurut Wahbah Zuhaili rukun nikah
ada lima, yaitu:17
1. Shighat (Ijab dan qabul);
2. Adanya calon suami;
3. Adanya calon istri;
4. Dua orang saksi; dan
5. Wali dari calon istri.
Rukun dan syarat perkawinan menentukan suatu perbuatan hukum, terutama
yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum.
Rukun dan syarat mengandung arti yang sama dalam hal pernikahan, keduanya
merupakan sesuatu yang harus diadakan dalam pernikahan. Dalam suatu acara
pernikahan rukun dan syarat tidak boleh tertinggal, artinya perkawinan tidak sah
apabila rukun dan syaratnya tidak ada.18
Syarat sahnya perkawinan merupakan ketentuan yang harus dipenuhi agar
pernikahan yang dilaksanakan dinyatakan sah dan diakui secara hukum sehingga
hak dan kewajiban yang berkenaan dengan perkawinan dapat berlaku. Dengan
demikian perkawinan dinyatakan sah apabila sudah memenuhi dua syarat berikut
ini:19
15
Kama Rusdiana dan Jaenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: Lembaga
Penelitian UIN Jakarta dengan UIN Jakarta Press, 2007), h. 1 16
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqih Munakahat
dan Undang-Undang Perkawinan, h. 59 17
Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi‟i 2, (Penerjemah: Muhammad Afifi dan Abdul
Hafiz), (Jakarta: Almahira, 2010), h. 453 18
Amir Syarifuddin, Fikih Sunnah, (Bandung: Al-Ma‟arif, 1994), h. 59 19
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid 3, h. 270
22
1. Perempuan yang akan dinikahi adalah perempuan yang halal untuk
dijadikan sebagai istri.
2. Adanya saksi yang menyaksikan prosesi akad perkawinannya.
Perkawinan yang sarat nilai dan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan
rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah perlu diatur dengan syarat
dan rukun tertentu agar tujuan disyaratkannya perkawinan tercapai. Menurut
hukum Islam syarat dan rukun perkawinan adalah:20
1. Harus adanya calon suami dan calon istri yang telah aqil dan baligh.
2. Adanya persetujuan yang bebas antara kedua calon pengantin.
3. Harus adanya wali nikah bagi calon pengantin perempuan.
4. Harus ada 2 (dua) orang saksi laki-laki muslim yang adil.
5. Harus ada mahar (mas kawin) yang diberikan oleh pengantin laki-laki
kepada pengantin perempuan.
6. Harus ada ijab dan qabul. Ijab artinya pernyataan kehendak dari calon
pengantin wanita yang diwakili oleh walinya dan qabul artinya
pernyataan kehendak (penerimaan) dari calon pengantin pria kepada
calon wanita, yang tidak boleh berjarak yang lama antara ucapan ijab
dengan pernyataan qabul.21
Sedangkan dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan terdapat syarat-syarat perkawinan sebagai berikut:
1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur
21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
3. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau
dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin
dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih
hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
20
Ahmad Rafiq, Hukum Keluarga di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
1998), cet. ke-3, h. 69-72 21
Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara
Peradilan Agama dan Zakat Menurut Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), h. 20
23
4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan
tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari
wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan
darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup
dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
5. Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut
dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih
diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam
daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan
perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin
setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3)
dan (4) pasal ini.
6. Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku
sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari
yang bersangkutan tidak menentukan lain.
C. Tujuan Perkawinan
Tujuan perkawinan menurut agama Islam di antaranya sebagaimana
disampaikan oleh Abdul Rahman Ghazali ialah untuk memenuhi petunjuk agama
dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan bahagia.22
Begitu
mulianya tujuan dari perkawinan, selain tujuan dari perkawinan yang telah
disebutkan di atas, terdapat tujuan yang utama yaitu menciptakan ketenangan jiwa
dan rasa kasih sayang antar suami dan istri. Allah SWT berfirman dalam QS. Ar-
Rum (30): 21 dan QS. Al-A‟raf (7): 189:
ي ك ى ث ؼ م ج ب اإ ن ك بن ز س اج أ ص ك ى ف س أ ي ن ك ى ه ق خ أ آ بر ي خ د س د ح
)انشو/ و ز ف ك ش ق بدن ف ر ان ك (30:21إ
Artinya: “Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan
pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan
merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan
22
Abd. Rahman Ghazali, Fikih Munakahat, h. 22
24
sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
(kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir”. (QS. Ar-Ruum (30): 21)
ب إ ن ك بن س ج بص ي ؼ م ج ذ ح اد ف س ي ه ق ك ى خ ان ز (7:189)لػشاف/
Artinya: “Dialah yang menciptakan kamu dari jiwa yang satu (Adam) dan
daripadanya Dia menciptakan pasangannya, agar dia merasa tenang
kepadanya”. (QS. Al-A‟raf (7): 189)
Melalui ayat di atas dapat diambil pelajaran, nafs wahidah “jiwa yang satu”
memberi kesan bahwa pasangan suami istri harus menyatu, menjadi satu jiwa,
satu arah dan satu tujuan. Liyaskunuu ilaihaa “agar ia merasa tenang kepadanya”
ayat ini berlaku timbal balik, baik istri maupun suami harus bisa saling
menumbuhkan rasa ketenangan dan kenyamanan batin. Al-Qur‟an menggunakan
kata .karena kata ini memiliki makna ketenangan yang didahului kegelisahan س ك
Lahirnya ketenangan ini disebabkan adanya rasa mawaddah “kasih” dan rahmah
“sayang” yang Allah SWT tumbuhkan dalam hati pasangan suami istri.23
Secara rinci tujuan perkawinan menurut Mardani yaitu sebagai berikut:24
1. Menghalalkan hubungan kelamin untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat
kemanusiaan.
2. Membentuk rumah tangga (keluarga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
3. Memperoleh keturunan yang sah.
4. Menumbuhkan kesungguhan berusaha mencari rezeki penghidupan yang
halal, memperbesar rasa tanggung jawab.
5. Membentuk rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah
(keluarga yang tenteram, penuh cinta kasih dan kasih sayang).
6. Ikatan perkawinan yang mitsaqan ghalidzan sekaligus menaati perintah
Allah SWT bertujuan untuk membentuk dan membina tercapainya ikatan
lahir dan batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dalam
23
Lilik Ummu Kultsum dan Abd. Moqsith Ghazali, Tafsir Ayat-Ayat Ahkam, (Ciputat:
UIN Press, 2015), h. 206-207 24
Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern, h. 11
25
kehidupan rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan syarat
hukum Islam.
Menurut Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin seperti yang dikutip
oleh Abdul Rahman Ghazali menyebutkan bahwa tujuan perkawinan itu ada lima,
yaitu:25
1. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan,
2. Memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwatnya dan
menumpahkan kasih sayangnya,
3. Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan
kerusakan,
4. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak
serta kewajiban, juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta
kekayaan yang halal,
5. Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tentram
atas dasar cinta dan kasih sayang.
Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
tujuan dari perkawinan adalah seperti dalam pasal 1 yang menyebutkan bahwa
“Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Pasal 1 tersebut
sangat jelas bahwa tujuan dari perkawinan adalah membentuk keluarga atau
rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sedangkan dalam pasal 3 Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa
“Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah,
mawaddah, dan rahmah.”
D. Hak dan Kewajiban Suami Istri
Perkawinan adalah perbuatan hukum yang mengikat antara seorang pria dan
wanita (suami dan istri) yang mengandung nilai ibadah kepada Allah SWT di satu
pihak dan di pihak lainnya mengandung aspek keperdataan yang menimbulkan
25
Abd. Rahman Ghazali, Fikih Munakahat, h. 24
26
hak dan kewajiban antara suami dan istri. Oleh karena itu, antara hak dan
kewajiban merupakan hubungan timbal balik antara suami dengan istrinya.26
Di dalam membentuk rumah tangga suami mempunyai hak begitu pula istri
memiliki hak yang sama dan suami mempunyai beberapa kewajiban begitu pula
dengan istri memiliki kewajiban yang harus dipenuhi.27
Allah SWT telah
berfirman di dalam surat al-Baqarah (2): 228:
ش ؼ بن ث ه ػ ز ان م ث ي ن ج س د ه ػ بل ج هش ن ف (2:228)انجقشح/خ
Artinya: “Dan mereka (para perempuan) mempunyai hak seimbang dengan
kewajibannya menurut cara yang patut. Tetapi para suami mempunyai kelebihan
di atas mereka”. (QS. Al-Baqarah (2): 228)
Hak-hak dalam hubungan suami istri ada tiga macam, yaitu:28
1. Hak-hak bersama antara suami dan istri
Hak-hak bersama antara suami dan istri meliputi:
a. Suami istri dan masing-masing dari keduanya diperkenankan untuk
bersenang-senang di antara mereka berdua.
b. Keharaman keluarga dari kedua belah pihak. Maksudnya, istri haram
(dinikahi) ayah suaminya, kakek, anak, dan anak keturunan dari
anaknya, sebagaimana suami juga haram menikahi ibu istrinya, anak
perempuannya, dan anak keturunan dari anaknya.
c. Keabsahan hak saling mewarisi antara keduanya karena telah
terlaksananya akad nikah.
d. Keabsahan nasab anak dari suami sebagai pasangan yang sah dalam
rumah tangga.
e. Pergaulan dengan cara yang baik.
2. Hak-hak istri yang wajib ditunaikan suami
a. Hak istri yang menjadi kewajiban suami yang bersifat materi yang
biasa disebut nafkah.
26
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 51 27
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat
dan Undang-Undang Perkawinan, h. 159 28
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid 3, h. 407
27
b. Hak istri yang menjadi kewajiban suami yang tidak bersifat materi
ataupun yang tidak berkaitan dengan materi adalah sebagai berikut:29
(1) Menggauli istrinya secara baik dan patut. Hal ini sesuai dengan
firman Allah SWT dalam surat an-Nisaa‟ (4) ayat 19:
ش ؼ بن ث ش بش ػ ئ ش ا ش ك ر أ س ؼ ف ز ش ك إ ف ف للا م ؼ ج ب
(4:19بء/)انساش ث اك ش خ ف
Artinya: “Dan bergaulah dengan mereka menurut cara yang
patut. Jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah)
karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah
menjadikan kebaikan yang banyak padanya”. (QS. An-Nisaa‟ (4):
19)
(2) Menjaganya dari segala sesuatu yang mungkin melibatkannya
pada suatu perbuatan dosa dan maksiat.
(3) Suami wajib mewujudkan kehidupan perkawinan yang diharapkan
Allah untuk terwujudnya keluarga yang bahagia.
3. Hak suami yang wajib ditunaikan istri
Kewajiban istri terhadap suaminya yang merupakan hak suami dari
istrinya tidak ada yang berbentuk materi secara langsung. Yang ada adalah
kewajiban dalam bentuk nonmateri. Ini merupakan hak terbesar yang dimiliki
suami.30
Adapun kewajiban yang bersifat non materi itu adalah:
a. Menggauli suaminya secara baik sesuai dengan kodratnya.
b. Memberikan rasa tenang dalam rumah tangga untuk suaminya, dan
memberi rasa cinta dan kasih sayang kepada suaminya dalam batasan-
batasan yang berada dalam kemampuannya.
c. Taat dan patuh kepada suaminya, selama suaminya tidak
menyuruhnya untuk melakukan perbuatan maksiat. Kewajiban
29
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat
dan Undang-Undang Perkawinan, h. 160 30
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid 3, h. 467
28
mematuhi suami ini dapat dilihat dalam firman Allah SWT QS. An-
Nisaa‟ (4): 34:
(4/34)انسبء:للا ع ف بد ث ت غ ه ن بد ظ بف د بد ز ب ق بد ذ بن بنص ف
Artinya: “Maka perempuan-perempuan yang shalih adalah mereka
yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak
ada, karena Allah telah menjaga (mereka)”. (QS. An-Nisaa‟ (4): 34)
d. Menjauhkan dirinya dari memperlihatkan muka yang tidak enak
dipandang dan suara tidak enak didengar.
e. Menjaga dirinya dan menjaga harta suaminya bila suaminya sedang
tidak berada di rumah.
f. Menjauhkan dirinya dari segala sesuatu perbuatan yang tidak
disenangi oleh suaminya.
E. Kafa’ah dalam Perkawinan
Dalam istilah fikih, “sejodoh” disebut dengan “kafa‟ah”, artinya ialah sama,
serupa, seimbang, atau serasi.31
Yang dimaksud dengan kafa‟ah atau kufu‟ dalam
perkawinan, menurut istilah hukum Islam, yaitu keseimbangan dan keserasian
antara cal on istri dan suami sehingga masing-masing calon tidak merasa berat
untuk melangsungkan perkawinan. Atau laki-laki sebanding dengan calon
istrinya, sama dalam kedudukan, sebanding dalam tingkat sosial dan derajat dalam
akhlak serta kekayaan. Jadi, tekanan dalam hal kafa‟ah adalah keseimbangan,
keharmonisan, dan keserasian. Hal tersebut berdasarkan kepada hadis Nabi
Muhammad SAW dari Abu Hurairah yang berbunyi:
ث ذ ر ش انذ ث ز اد ف ش ب،ف بظ ن ذ ب بن ن ج ب ج س ن ذ ب بن ث غن أ ح ل س ش ان ك خ ر ذ ا
)ساانجخبس(32
Artinya: “Wanita yang dikawinkan karena empat hal, yaitu: hartanya,
kedudukannya, kecantikannya, dan agamanya. Maka carilah wanita yang taat
beragama, niscaya akan beruntung.” (HR. Bukhari)
31
Kamal Mukhtar, Asas-Asas Hukum Islam tentang Perkawinan, h. 69 32
Muhammad bin Ismail Al Bukhari, Shahih Al Bukhari, (Beirut: Dar Thauq Al Najjah,
1422 H), Jilid 7, h. 7
29
Dalam syariat Islam, kafa‟ah diberlakukan sebagai sesuatu yang
dipertimbangkan dalam pernikahan, namun tidak berkaitan dengan keabsahannya.
Hal tersebut sebagaimana dijelaskan oleh Imam Zakaria al-Ahshari:
ف ه ن ان أ ح ش ه ن ق بد ل ث م ز ذ ن ص ان ك بح ل ح ف ز ج ش ؼ ح ان :ف انك ف بء م بف ص
ب ق بغ إس 33
Artinya: “Pasal tentang kafa‟ah yang menjadi pertimbangan dalam nikah,
bukan pada soal keabsahannya, namun hal tersebut merupakan hak calon istri
dan wali, maka mereka berdua berhak menggugurkannya.”
Dalam kriteria yang digunakan untuk menentukan kafaah, ulama berbeda
pendapat. Hal ini secara lengkap diuraikan oleh Al-Jaziri seperti yang dikutip oleh
Abdul Ghofur Anshori berikut ini:34
Menurut ulama Hanafiyah yang menjadi dasar kafaah antara kedua calon
mempelai adalah:
1. Nasab, yaitu keturunan atau kebangsaan;
2. Islam, yaitu dalam silsilah kerabatnya banyak yang beragama Islam;
3. Hirfah, yaitu profesi dalam kehidupan;
4. Kemerdekaan dirinya;
5. Diyanah atau tingkat kualiatas keberagamaannya dalam Islam; dan
6. Kekayaan.
Menurut ulama Malikiyah yang menjadi kriteria kafaah hanyalah dinayah
atau kualitas keberagamaan dan bebas dari cacat fisik. Menurut ulama Syafiiyah
yang menjadi kriteria kafaah itu adalah:
1. Kebangsaan atau nasab;
2. Kualitas keberagamaan;
3. Kemerdekaan diri; dan
4. Usaha atau profesi.
Menurut kalangan ulama Hanabilah yang menjadi kriteria kafaah adalah
sebagai berikut:
33
Imam Zakaria al-Anshari, Fathul Wahab bi Syarhi Minhaj al-Thalab, (Beirut: Dar al-
Fikr), juz II, h. 47 34
Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2011), h.
71-72
30
1. Kualitas keagamaan;
2. Usaha atau profesi;
3. Kekayaan;
4. Kemerdekaan diri; dan
5. Kebangsaan.
F. Pengertian Weton
Weton adalah hari kelahiran. Dalam bahasa Jawa, Wetu bermakna keluar atau
lahir, kemudian mendapat akhiran –an yang membentuknya menjadi kata benda.
Yang disebut dengan weton adalah gabungan antara hari dan pasaran saat bayi
dilahirkan ke dunia.35
Dengan kata lain, weton merupakan penggabungan,
penyatuan, penghimpunan, atau penjumlahan hari lahir seseorang, yaitu hari ahad,
senin, selasa dan seterusnya dengan hari pasaran, yaitu legi, pahing, pon, dan
seterusnya.
Nilai dari masing-masing hari dapat dilihat pada tabel 2.1 di bawah ini:36
Tabel 2.1
Nilai atau Isi Hari dan Orientasi
No. Hari Nilai Orientasi
1. Senin 4 Barat
2. Selasa 3 Barat Laut
3. Rabu 7 Utara
4. Kamis 8 Timur Laut
5. Jumat 6 Timur
6. Sabtu 9 Selatan
7. Minggu 5 Barat Daya
Untuk memudahkan perhitungan hari, maka pertama yang dihitung adalah
hari sabtu mulai dari arah selatan dan begitu seterusnya searah jarum jam,
35
Romo RDS Ranoewidjojo, Primbon Masa Kini: Warisan Nenek Moyang untuk Meraba
Masa Depan, (Jakarta: Bukune, 2009), h. 17 36
Asif Nizaruddin, Interpretasi Kitab Primbon Lukmanakim Adammakna dalam
Perspektif Budaya dan Akidah Islam, (Jakarta: Pondok Pesantren Sholawat Darut Taubah, 2018),
h. 150
31
sehingga diketahui ada orientasi atau arah mata angin yang memang kosong
(suwung) atau tidak memiliki tempat yaitu arah tenggara.
Nilai dari masing-masing pasaran dapat dilihat pada tabel 2.2 di bawah ini:37
Tabel 2.2
Nilai atau Isi Pasaran dan Orientasi Serta Anasir
No. Pasaran Nilai Arah Unsur
1. Kliwon 8 Tengah,
Perpaduan 4 Arah
Perpaduan 4 Unsur
2. Legi 5 Timur Air
3. Pahing 9 Selatan Api
4. Pon 7 Barat Angin
5. Wage 4 Utara Tanah
Untuk memudahkan perhitungan pasaran, maka pertama yang dihitung adalah
pasaran pahing mulai dari arah selatan dan begitu seterusnya searah jarum jam,
sehingga diketahui posisi khusus pasaran kliwon tepat berada di tengah yang
merupakan perpaduan dari empat anasir tersebut.
Setiap orang Jawa mempunyai weton, karena weton memiliki arti hari
kelahiran seseorang sesuai dengan hari pasarannya. Hari pasaran, terdiri dari lima
hari dengan urutan nama; kliwon, legi, pahing, pon, wage. Lima hari tersebut
dinamakan pasaran, karena masing-masing nama itu sejak zaman kuno digunakan
untuk menentukan dibukanya pasar bagi para pedagang, sehingga pada hari yang
ditentukan, untuk suatu pasar akan banyak kunjungan pedagang menjual
dagangannya, dan banyak dikunjungi orang yang berbelanja. Kalau mengungkap
dari leluhur zaman dahulu, nama lima hari tersebut sebenarnya diambil atau
berasal dari nama lima roh. Nama-nama roh tersebut adalah Batara Legi, Batara
Pahing, Batara Pon, Batara Wage, Batara Kliwon. Bagian pokok dari jiwa
37
Asif Nizaruddin, Interpretasi Kitab Primbon Lukmanakim Adammakna dalam
Perspektif Budaya dan Akidah Islam, h. 151
32
manusia yang sudah menjadi pengetahuan dan keyakinan leluhur orang Jawa
sejak zaman purba sampai sekarang.38
Berhubung lima hari pasaran itu pada hakikatnya mengambil dari nama jiwa
manusia yang disebut “Sedulur Papat Lima Pancer”, dari itu dalam kalangan
masyarakat Jawa sampai sekarang ini terdapat naluri menggunakan nama lima
pasaran tersebut untuk dijadikan titikan bagi perangan seseorang menurut hari
Pasaran kelahirannya.39
Sedulur papat lima pancer yakni arah wetan, kidul, kulon,
dan lor serta pancer (tengah). Tengah adalah pusat kosmis (semesta) manusia
Jawa. Arah kiblat ini juga terkait dengan perjalanan hidup manusia, yang
hidupnya selalu ditemani juga oleh sedulur papat lima pancer. Sedulur papat,
yaitu kawah, getih, puser, dan adhi ari-ari. Sedangkan pancer (ego, atau manusia
itu sendiri). Letak sedulur papat ini sejalan dengan arah kiblat manusia Jawa juga.
Kawah berwarna putih, berada di sebelah timur (wetan, witan) ini yang
mengawali kelahiran, dia pembuka jalan. Getih, berwarna merah di sebelah
selatan, puser berwarna hitam di sebelah barat, dan adhi ari-ari berwarna kuning
berada di arah utara. Sedangkan yang di tengah adalah pancer, yaitu Mar atau
Marti yang keluar lewat margahina, secara lahiriah.40
G. Sakralitas Weton dalam Pernikahan
Sakralitas merupakan sesuatu yang mengandung keramat atau suci dan bisa
mendatangkan keberuntungan, kebaikan, keberkahan, kemalangan, keburukan,
dan lain sebagainya. Jadi yang disebut sakral selalu dikaitkan dengan keyakinan
dan ritual keagamaan, sedangkan yang profan masuk pada kategori kebudayaan.
Keduanya secara teori dan konsep bisa dibedakan, tetapi pada praktik dan
kenyataannya sesungguhnya tidak bisa dipisahkan antara yang sakral dan yang
profan, antara agama dan budaya.41
38
Soenandar Hadikoesoema, Filsafat Ke-Jawan Ungkapan Lambang Ilmu Gaib Dalam
Seni-Budaya Peninggalan Leluhur Jaman Purba, (Jakarta: Yudhagama Corporation, 1998), h. 57 39
Soenandar Hadikoesoema, Filsafat Ke-Jawan Ungkapan Lambang Ilmu Gaib Dalam
Seni-Budaya Peninggalan Leluhur Jaman Purba, h. 59 40
Suwardi Endraswara, Mistik Kejawen: Sinkretisme, Simbolisme dan Sufisme dalam
Budaya Spiritual Jawa, (Yogyakarta: Narasi, 2018), h. 53-54 41
Komaruddin Hidayat, Sakral dan Profan, artikel diakses pada 5 April 2019 dari
https://nasional.sindonews.com/read/1231400/18/sakral-dan-profan-1502983114
33
Orang Jawa begitu besar dalam memperhatikan keselamatan, sehingga pada
akhirnya akan tergolong orang beruntung (begja). Keberuntungan juga ditandai
apabila dalam pernikahan mendapat keturunan yang baik. Karena itu filosofi Jawa
banyu kuwi mili mudhun, artinya bahwa perwatakan orang tua akan menurun pada
anaknya—selalu mendapat penekanan. Dengan kata lain, perkawinan adalah masa
persiapan atau peletakan fondasi keluarga, sehingga selalu diupayakan menuju ke
kesempurnaan hidup.42
Sempurna itu artinya tidak mungkin mengalami kesulitan
dan yang mendorong orang mencari sempurna itu ialah pengharapan bahwa orang
mungkin tidak mengalami kesulitan selamanya.43
Dalam tradisi Jawa, memang jodoh termasuk misteri yang siapa pun tidak ada
yang tahu. Jelas. Karena, Tuhan jelas sedikitnya merahasiakan tiga hal: pesthi,
jodho, wahyu. Untuk meraih tiga hal ini, dalam tradisi Jawa harus melalui
petungan khusus. Orang Jawa, ada yang sekedar menerapkan petungan untuk
mencari (menemukan) jodohnya. Ada pula, yang menerapkan petungan ke dalam
mistik, sekurang-kurangnya melalui tirakat. Ini, juga sejajar dengan salat tahajud
dan istiqarah—dalam hal penentuan jodoh.44
Dalam menjalani tradisi kejawen demikian, orang Jawa selalu mengacu pada
budaya leluhur yang turun-temurun. Orang Jawa juga sering menyebut leluwur
artinya leluhur yang telah meninggal, tetapi memiliki karisma tertentu. Leluhur
dianggap memiliki kekuatan tertentu, apalagi kalau orang yang telah meninggal
tersebut tergolong wong tuwo (orang tua) baik dari segi umur maupun ilmunya.
Karena itu, sadar atau tidak orang kejawen telah banyak memanfaatkan karya-
karya leluhur sebagai pijakan dan pijaran hidupnya.45
Bertitik tolak dari dasar-dasar filosofis serta keyakinan dari para pengguna
Weton maka dapat diketahui bahwa terdapat latar belakang teologis yang
mengarah pada mistik-magis dan kelenik. Dengan mistik dimaksudkan bahwa
42
Suwardi Endraswara, Falsafah Hidup Jawa, (Yogyakarta: Cakrawala, 2018), cet. ke-6,
h. 128 43
Ki Ageng Suryomentaram, Kesempurnaan dan Wujud Ilmu Jawa, (Jakarta: Yayasan
Idayu, 1979), h. 5 44
Suwardi Endraswara, Falsafah Hidup Jawa, h. 132-133 45
Suwardi Endraswara, Mistik Kejawen: Sinkretisme, Simbolisme dan Sufisme dalam
Budaya Spiritual Jawa, (Yogyakarta: Narasi, 2018), h. 8
34
orang berusaha untuk mencari keselarasan dengan ketentuan-ketentuan (takdir)
Tuhan. Dengan mengikuti perhitungan-perhitungan sebagaimana yang terdapat
dalam Primbon itu berarti bahwa orang berupaya menyelaraskan dengan takdir.
Sedangkan dimaksud dengan magis merupakan tindakan manusia yang
memaksakan kehendaknya dengan bantuan kekuatan adiduniawi yang hasilnya
sering dapat mengubah kodrat ilahi. Dimensi magis itu terlihat pada penempatan
angka-angka sebagai angka bernilai keramat yang menentukan baik buruknya
waktu, demikian juga pandangan tentang hari-hari bulan yang ditentukan sebagai
bulan naas atau hari dan bulan yang tidak menguntungkan sebagai hasil dari
perhitungan.46
Walaupun demikian, dalam masyarakat Jawa khususnya masyarakat Islam,
masih ada yang secara apriori terhadap nilai-nilai budaya Jawa ini. Hal ini
disebabkan nilai-nilai budaya Jawa dianggapnya sebagai “klenik” atau kebatinan
(spiritual) yang menurut mereka dianggap bid‟ah atau kufur. Untuk itu tidak ada
jeleknya dalam kerangka keilmuan kita dapat belajar dan memahami nilai-nilai
mana yang dianggap pantas sebagai pelengkap ajaran Islam, dan mana yang dapat
mengurangi atau merusak ajaran Islam.47
H. Pengertian ‘Urf
Kata „urf berasal dari kata „arafa, ya‟rifu ( ف ش ؼ ف ش ػ ). Sering diartikan
dengan al-ma‟ruf ( ف ش ؼ ان ) dengan arti: “sesuatu yang dikenal”.48
Al-„Urf adalah
apa yang dikenal oleh manusia dan menjadi tradisinya, baik ucapan, perbuatan
maupun pantangan-pantangan dan disebut juga adat.49
„Urf yang bermakna
berbuat baik dapat ditemukan dalam Al-Qur‟an surat Al-A‟raf (7): 199:
ف ؼ ان ز خ ج ان ػ ض ش ػ أ ف ش ؼ بن ث ش ي أ (7:199الػشاف/.) ه ب
Artinya: “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma‟ruf,
serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh”. (QS. Al-A‟raf (7): 199)
46
Ridin Sofwan, Dimensi Teologis Petungan Waktu Menurut Tradisi Jawa, (Semarang:
Pusat Pengkajian Islam dan Budaya Jawa (PP-IBJ) IAIN Walisongo, 2005), h. 85-86 47
Asmoro Achmadi, Filsafat dan Kebudayaan Jawa, (Surakarta: CV Cendrawasih,
2004), h. 134 48
Zulbaidah, Ushul Fiqh 1, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2016), h. 146 49
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih Kaidah Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka
Amani, 2003), cet. ke-11, h. 117
35
Dalam kajian ushul fiqh, „urf adalah suatu kebiasaan masyarakat yang sangat
dipatuhi dalam kehidupan mereka sehingga mereka merasa tenteram. Kebiasaan
yang telah berlangsung lama itu dapat berupa ucapan dan perbuatan, baik yang
bersifat khusus maupun yang bersifat umum. Dalam konteks ini, istilah „urf sama
dan semakna dengan istilah al-„adah (adat istiadat).50
Hakikat adat dan „urf itu
adalah sesuatu yang sama-sama dikenal oleh masyarakat dan telah berlaku secara
terus-menerus sehingga diterima keberadaannya di tengah umat.51
I. Macam-Macam ‘Urf
„Urf ditinjau dari sisi kualitasnya (bisa diterima dan ditolaknya oleh syari‟ah)
ada dua macam „urf, yaitu:52
1. „Urf yang fasid atau „urf yang batal, yaitu „urf yang bertentangan dengan
syari‟ah. Seperti ada kebiasaan menghalalkan minuman-minuman yang
memabukkan, menghalalkan makan riba, adat kebiasaan memboroskan
harta, dan lain sebagainya.
2. „Urf yang shahih atau al-„adah ashahihah yaitu „urf yang tidak
bertentangan dengan syari‟ah. Seperti memesan dibuatkan pakaian
kepada penjahit. Bahkan cara pemesanan itu pada masa sekarang sudah
berlaku untuk barang-barang yang lebih besar lagi, seperti memesan
mobil, bangunan-bangunan, dan lain sebagainya.
Ditinjau dari ruang lingkup berlakunya, adat kebiasaan bisa kita bagi menjadi:
1. Adat atau „urf yang bersifat umum, yaitu adat kebiasaan yang berlaku
untuk semua orang di semua negeri. Misalnya membayar bis kota dengan
tidak mengadakan ijab qabul atau juga contoh pesanan di atas.
2. Adat atau „urf yang khusus, yaitu yang hanya berlaku di suatu tempat
tertentu atau negeri tertentu saja. Misalnya adat gono-gini di Jawa.
Di samping itu adat juga bisa berupa:
50
Firdaus, Ushul Fiqh: Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam, (Depok:
Rajawali Pers, 2017), h. 108 51
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2012), h. 71 52
Djazuli, Ilmu Fiqh: Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam,
(Jakarta: Kencana, 2006), h. 90-91
36
1. Perkataan, seperti di Arab menyebut walad hanya untuk anak laki-laki
saja. Atau di Indonesia menyebut bapak kepada orang yang lebih tinggi,
baik umurnya, jabatannya, atau ilmunya.
2. Perbuatan, seperti cara berpakaian yang sopan dalam menghadiri
pengajian-pengajian.
Adat yang sudah berlangsung lama, dalam hubungannya dengan hukum
syara‟ yang datang kemudian ada tiga macam:53
1. Adat yang sudah ada sebelum datangnya agama Islam, karena dianggap
baik oleh hukum syara‟ dinyatakan berlaku untuk umat Islam, baik dalam
bentuk diterimanya dalam Al-Qur‟an maupun mendapat pengakuan dari
Nabi. Umpamanya pembayaran diat atau tebusan darah sebagai
pengganti hukum qishash telah berlaku di tengah masyarakat Arab dan
ternyata terdapat pula dalam Al-Qur‟an untuk dipatuhi umat Islam. Adat
dalam bentuk ini dengan sendirinya diamalkan dalam Islam karena telah
dikukuhkan dalam nash Al-Qur‟an.
2. Adat yang berlaku sebelum datangnya Islam, namun karena adat tersebut
dianggap buruk dan merusak bagi kehidupan umat, dinyatakan Islam
sebagai suatu yang terlarang. Umpamanya kebiasaan berjudi, minum
khamar dan bermuamalat dalam bentuk riba. Disepakati oleh ulama
bahwa adat dalam bentuk ini tidak boleh dilakukan.
3. Adat atau kebiasaan yang terdapat di tengah masyarakat belum diserap
menjadi hukum Islam, namun tidak ada nash syara‟ yang melarangnya.
Adat dalam bentuk ini dapat dijadikan dalil dalam menetapkan hukum
syara‟. Untuk itu berlaku kaidah fiqh: يذكخ yang berarti adat itu انؼبدح
dapat menetapkan hukum.
J. Kehujjahan ‘Urf
„Urf yang shahih itu wajib dipelihara pada tasyri‟ dan pada hukum. Mujtahid
harus memeliharanya pada tasyri‟nya itu. Dan bagi hakim memeliharanya itu pada
hukumnya. Karena apa yang saling diketahui orang itu dan apa yang saling
dijalani orang itu dapat dijadikan hujjah, kesepakatan dan kemaslahatan mereka.
53
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, h. 71-72
37
Selama tidak menyalahi syari‟at, maka wajib memeliharanya. Syari‟ memelihara
kesahihan „arfu Arab itu dalam tasyri‟. Dia itu diwajibkan hanya kepada orang
berakal. Syarat kafaah (setara) itu hanya dalam perkawinan. Kefanatikan keluarga
itu hanya dalam masalah perkawinan dan warisan.54
Para ulama sepakat bahwa „urf shahih dapat dijadikan dasar hujjah selama
tidak bertentangan dengan syara‟. Ulama Malikiyah terkenal dengan pernyataan
mereka bahwa amal ulama Madinah dapat dijadikan hujjah, demikian pula ulama
Hanafiyah menyatakan bahwa pendapat ulama Kufah dapat dijadikan dasar
hujjah. Imam Syafi‟i terkenal dengan qaul qadim dan qaul jadidnya. Ada suatu
kejadian tetapi beliau menetapkan hukum yang berbeda pada waktu beliau masih
berada di Makkah (qaul qadim) dengan setelah beliau berada di Mesir (qaul
jadid). Hal ini menunjukkan bahwa ketiga madzhab itu berhujjah dengan „urf.
Tentu saja „urf fasid tidak mereka jadikan sebagai dasar hujjah.55
54
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005), cet. ke-5, h.
105 55
Kamal Mukhtar, dkk., Ushul Fiqh Jilid 1, (Jakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), h. 149
38
BAB III
POTRET KABUPATEN PATI JAWA TENGAH
A. Potret Kabupaten Pati
Kabupaten Pati adalah salah satu daerah otonom di provinsi Jawa Tengah,
Indonesia. Kabupaten Pati terkenal dengan julukan Pati Bumi Mina Tani karena
penduduknya mayoritas bekerja dalam bidang pertanian. Kabupaten Pati
mempunyai suasana yang sangat tenang karena kotanya tidak berkembang
sehingga dijuluki Kota Pensiunan serta juga dikenal dengan Kota Seribu
Paranormal atau Hogwarts van Java karena sejak zaman Majapahit sampai
sekarang masih banyak ditemukan warga Kabupaten Pati yang menekuni ilmu
magis, spiritual, mistis dan klenik.
Secara administrasi, sejak tahun 2006 Kabupaten Pati terdiri dari 21
kecamatan, 401 desa dan 5 kelurahan.1 Berdasarkan angka tahun 2017 yang
diterbitkan Badan Pusat Statistik Kabupaten Pati, bahwa penduduk Kabupaten
Pati berdasarkan proyeksi penduduk tahun 2017 sebanyak 1.246.691 jiwa yang
terdiri atas 603.907 jiwa penduduk laki-laki dan 642.784 jiwa penduduk
perempuaan yang terdiri dari 424.616 kepala keluarga.2 Dengan luas wilayah
Kabupaten Pati sekitar 1.503,68 km² persegi, rata-rata tingkat kepadatan
penduduk Kabupaten Pati adalah 829,09 jiwa per km².3
Berdasarkan kepadatan penduduk Kabupaten Pati pada tahun 2017,
Kecamatan Pati merupakan kecamatan dengan kepadatan penduduk tertinggi
sebesar 2.532 jiwa/km2.4 Dengan jumlah penduduk sebanyak 107.590 jiwa yang
terdiri atas 51.735 jiwa penduduk laki-laki dan 55.855 jiwa penduduk
perempuan.5 Pembagian wilayah administrasi menurut kecamatan pada tahun
1 Badan Pusat Statistik Pati, Kabupaten Pati Dalam Angka 2018, (Pati: BPS Pati, 2018),
h. 25 2 Badan Pusat Statistik Pati, Kabupaten Pati Dalam Angka 2018, h. 57
3 Badan Pusat Statistik Pati, Kabupaten Pati Dalam Angka 2018, h. 68
4 Badan Pusat Statistik Pati, Kabupaten Pati Dalam Angka 2018, h. 49
5 Badan Pusat Statistik Pati, Kabupaten Pati Dalam Angka 2018, h. 57
39
2017, di Kecamatan Pati terdapat 24 desa, 5 kelurahan, 100 Rukun Warga (RW)
dan 570 Rukun Tetangga (RT).6
Desa Sidokerto, Kecamatan Pati, Kabupaten Pati merupakan salah satu dari
24 desa yang terdapat di Kecamatan Pati, Kabupaten Pati. Masyarakat Desa
Sidokerto, Kecamatan Pati keseluruhannya berjumlah 6.529 jiwa yang terdiri atas
3.247 laki-laki dan 3.282 perempuan yang terdiri dari 3.014 kepala keluarga.7
Sebagian besar masyarakat Desa Sidokerto bermata pencaharian sebagai petani
karena lahan pertanian di Desa Sidokerto sangat luas, ada juga masyarakat yang
bekerja sebagai tukang batu, pedagang, dan Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang
hanya sedikit.8
Masyarakat Desa Sidokerto menurut agama dapat dilihat pada tabel 3.1 di
bawah ini:9
Tabel 3.1
Penduduk Desa Sidokerto Menurut Agama
No. Agama Penduduk
1. Islam 6.336 orang
2. Kristen 103 orang
3. Katolik 78 orang
4. Hindu 0 orang
5. Budha 1 orang
Ada delapan puluh lima persen memeluk agama Islam, selainnya agama non-
Islam (Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha). Kegiatan atau aktivitas keagamaan di
Desa Sidokerto berjalan dengan sangat baik dan tertib, baik dalam memperingati
hari-hari besar Islam maupun pengajian rutinan yang dilakukan oleh masyarakat
Desa Sidokerto. Seperti pengajian umum, maulid Nabi Muhammad SAW, isra’
mi’raj, satu suro, dan hari raya idulfitri. Sedangkan yang non-Islam menyesuaikan
6 Badan Pusat Statistik Pati, Kabupaten Pati Dalam Angka 2018, h. 26
7 Data Laporan Bulanan Desa, Desa Sidokerto bulan November Tahun 2018
8 Kuswanto, Kepala Desa Sidokerto, Interview Pribadi, Pati, 28 Desember 2018
9 Data Laporan Monografi, Desa Sidokerto, Semester II bulan Juli-Desember Tahun
2017, Pati: 2017, h. 4
40
dengan kepercayaannya.10
Semua itu, didukung adanya sarana ibadah di Desa
Sidokerto yang dapat dilihat pada tabel 3.2 di bawah ini:11
Tabel 3.2
Sarana Ibadah di Desa Sidokerto
No. Sarana Ibadah Jumlah
1. Masjid 7 buah
2. Surau/Mushola 13 buah
3. Gereja 1 buah
4. Kuil/Pura 0 buah
Masyarakat Desa Sidokerto memegang teguh tradisi kebudayaan Jawa dan
tradisi Islam. Menurut yang dikatakan oleh Nur Rohmat sebagai salah satu tokoh
agama di Desa Sidokerto, bahwa masyarakat Desa Sidokerto masih kuat
memegang teguh tradisi Jawa dan ajaran-ajaran agama Islam supaya tidak
menyimpang dalam menjalankan tradisi Jawa. Sebab, masih ada orang untuk
ditanyai atau konsultasi, seperti orang tua atau banyak masyarakat menyebutnya
dengan sesepuh di Desa Sidokerto. Karena adat istiadat biasanya seperti itu,
asalkan tidak perlu terlalu diyakini dan dibalik semua itu ada Allah SWT Yang
Maha Mengetahui.12
Masyarakat Desa Sidokerto selain aktif dalam hal-hal keagamaan, juga tidak
melupakan pendidikan bagi anak-anaknya sebagai generasi penerus bangsa ke
depannya. Seperti yang disampaikan oleh Kuswanto selaku Kepala Desa
Sidokerto, bahwa masyarakat Desa Sidokerto sekarang memasuki era modern
dengan tuntutan pendidikan yaitu sembilan tahun masa pendidikan, minimal
Sekolah Menengah Atas (SMA) atau sederajat.13
Untuk mendukung dalam
10
Kuswanto, Kepala Desa Sidokerto, Interview Pribadi, Pati, 28 Desember 2018 11
Data Laporan Monografi, Desa Sidokerto, Semester II bulan Juli-Desember 2017, h. 3 12
Nur Rohmat, Tokoh Agama Desa Sidokerto, Interview Pribadi, Pati, 27 Desember
2018 13
Kuswanto, Kepala Desa Sidokerto, Interview Pribadi, Pati, 28 Desember 2018
41
memajukan pendidikan di Desa Sidokerto terdapat beberapa sarana pendidikan
formal yang dapat dilihat pada tabel 3.3 di bawah ini:14
Tabel 3.3
Sarana Pendidikan di Desa Sidokerto
No. Sarana Pendidikan Jumlah
1. Sekolah TK 1 buah
2. SD Negeri 3 buah
3. SLTP Negeri 1 buah
4. SMU Negeri 0 buah
Supaya semua kegiatan masyarakat Desa Sidokerto berjalan dengan baik,
setidaknya harus didukung prasarana yang baik pula. Adapun sarana yang ada di
Desa Sidokerto, Kecamatan Pati, Kabupaten Pati, yaitu: Kantor Desa: 1 buah,
Poliklinik: 1 buah, Koperasi: 1 buah, Toko: 4 buah, Kios: 31 buah, Warung: 8
buah, Industri sedang: 3 buah, Industri kecil: 4 buah, Hotel: 2 buah, Rumah
makan: 5 buah dan prasarana yang ada di Desa Sidokerto adalah sebagai berikut:15
1. RT dan RW
Desa Sidokerto terdiri dari 3 RW dan 24 RT.
2. Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa (LPMD)
Jumlah Kader Pemberdayaan Masyarakat (KPM) terdapat 15 orang.
Adanya lembaga ini sangat penting untuk memberdayakan masyarakat
Desa Sidokerto.
3. Poliklinik
Jumlah poliklinik di Desa Sidokerto ada 1 buah. Adanya poliklinik ini
sangat penting untuk berobat masyarakat Desa Sidokerto.
4. Pembinaan ketentraman dan perlindungan masyarakat
14
Data Laporan Monografi, Desa Sidokerto, Semester II bulan Juli-Desember 2017, h. 1-
2 15
Data Laporan Monografi, Desa Sidokerto, Semester II bulan Juli-Desember 2017, h. 1
42
Jumlah anggota Linmas ada 20 orang dan jumlah petugas pos
kamling/pos ronda ada 32 orang. Adanya lembaga ini sangat penting
untuk menjaga ketentraman serta melindungi masyarakat Desa Sidokerto.
Dengan adanya kelembagaan dan prasarana yang telah ada di Desa
Sidokerto, maka kegiatan masyarakat dapat menjadi lebih mudah dan terorganisir
dengan baik sehingga kegiatan masyarakat dapat berjalan dengan baik.
B. Letak Geografis
Desa Sidokerto, Kecamatan Pati, Kabupaten Pati merupakan salah satu dari
29 desa di Kecamatan Pati, Kabupaten Pati. Desa Sidokerto sendiri berada pada
posisi yang strategis yaitu berada di tengah-tengah ibukota Kabupaten Pati,
sehingga Desa Sidokerto termasuk perkotaan. Wilayah Desa Sidokerto,
Kecamatan Pati merupakan dataran rendah, dimana sebagian besar wilayahnya
berupa pertanian, perkebunan dan permukiman penduduk.
Luas wilayah Desa Sidokerto sebesar 278.900 Ha. Secara administrasi Desa
Sidokerto terbagi dalam 3 wilayah RW dan 24 RT.16
Desa Sidokerto mempunyai
beberapa Dukuh, diantaranya Dukuh Kunden (pusat pemerintahan desa), Dukuh
Ndangsewu, Dukuh Ndekeso, Dukuh Ndopang, Dukuh Njambean, dan Dukuh
Kebondalem.
Batas wilayah Desa Sidokerto sebagai berikut:
Sebelah Utara : Desa Mulyoharjo
Sebelah Barat : Desa Tamansari
Sebelah Timur : Desa Kutoharjo
Sebelah Selatan : Desa Randukuning
C. Kondisi Demografis
Dalam menjalankan roda pemerintahan desa, Desa Sidokerto dipimpin oleh
seorang kepala desa atau kebanyakan masyarakat Desa Sidokerto menyebutnya
dengan Petinggi. Keberadaan Petinggi tersebut dipilih langsung oleh masyarakat
Desa Sidokerto dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi calon Petinggi.
Sedangkan dalam menjalankan tugas-tugasnya sebagai Petinggi, Petinggi dibantu
16
Data Laporan Monografi, Desa Sidokerto, Semester II bulan Juli-Desember 2017, h. 1
43
oleh sekretaris desa, seksi-seksi, dan staf-staf pemerintahan Desa Sidokerto,
Kecamatan Pati, Kabupaten Pati.
Masyarakat Desa Sidokerto sebagian besar bermata pencaharian sebagai
petani, selain itu ada yang berprofesi sebagai pengusaha, pengrajin, buruh tani,
buruh industri, buruh bangunan, pedagang, Pegawai Negeri Sipil (PNS), dan lain-
lain. Masyarakat Desa Sidokerto selalu gotong royong dalam pembangunan desa
karena desa tidak dapat dibangun oleh satu atau dua orang saja melainkan harus
secara bersama-sama.
Beberapa potensi penduduk Desa Sidokerto, Kecamatan Pati, Kabupaten Pati
adalah sebagai berikut:17
1. Bidang Pertanian
Pati Bumi Mina Tani merupakan julukan Kabupaten Pati karena luasnya
sawah di daerah ini, yaitu 70% Kabupaten Pati adalah sawah. Sehingga
mayoritas penduduk Kabupaten Pati khususnya Desa Sidokerto berkerja
dalam bidang pertanian atau mata pencaharian sebagian besar masyarakat
Desa Sidokerto adalah petani. Luas tanah sawah di Desa Sidokerto
sebesar 168.374 Ha yang terdiri dari 123.451 Ha irigasi teknis dan
123.451 Ha irigasi setengah teknis.
2. Bidang Seni Budaya
Kabupaten Pati terkenal akan seni dan kebudayaannya, salah satunya
kesenian budaya tradisional yang terkenal di Kabupaten Pati adalah Gong
Cik dan Barongan Mbah Wage. Adapun tokoh seniman atau budayawan
asal dari Kabupaten Pati diantaranya ada Anis Sholeh Ba’asyin, Nur
Askhonah, Sigit Hardadi, Soimah Pancawati dan lain-lain. Desa Sidokerto
terdapat satu perkumpulan kebudayaan atau sanggar, yang anggotanya
berjumlah 16 budayawan.
3. Bidang Keagamaan
Banyak masyarakat menyebut Kabupaten Pati sebagai Kota Santri karena
banyaknya pondok pesantren dan ulama besar yang berasal dari
Kabupaten Pati, juga memiliki banyak tempat wisata religinya
17
Data Laporan Monografi, Desa Sidokerto, Semester II bulan Juli-Desember 2017
44
diantaranya ada Makam Sunan Prawoto, Makam Sunan Ngerang, Makam
Sunan Makhdum, Makam Prabu Angling Dharma, Makam Syekh Ahmad
Mutamakkin, dan lain-lain. Adapun tokoh agama yang berasal dari
Kabupaten Pati diantaranya ada KH. Bisri Syansuri, KH. Abdullah Salam,
KH. Suyuthi Abdul Qadir, KH. MA. Sahal Mahfudh, Ulil Abshar
Abdalla, dan lain-lain. Dengan adanya sarana dan prasarana untuk
mendukung dalam menjalankan kegiatan keagamaan di Desa Sidokerto,
maka kegiatan keagamaan yang dijalankan masyarakat Desa Sidokerto
berjalan dengan baik.
4. Bidang Pendidikan
Terdapat ada banyak sekolahan dan madrasah serta perguruan tinggi di
Kabupaten Pati, diantaranya ada SMAN 1 Pati, SMK Cordova, MA
Salafiyah Kajen, Sekolah Tinggi Agama Islam Pati (STAIP), Institut
Pesantren Mathali’ul Falah (IPMAFA) Pati, dan lain-lain. Adapun tokoh
pendidikan yang berasal dari Kabupaten Pati diantaranya ada M. Amin
Abdullah, Ahmad Sholeh Dimyathi, KH. MA. Sahal Mahfudh, dan lain-
lain. Masyarakat Desa Sidokerto menurut pendidikan: belum sekolah: 84
orang, tidak tamat SD: 259 orang, tamat SD: 277 orang, tamat SLTP:
1.693, tamat SMU: 2.665 orang, tamat Akademi: 161 orang, tamat
Perguruan Tinggi: 185, dan buta huruf: 0 orang. Dari data masyarakat
Desa Sidokerto menurut pendidikan tersebut, dapat dilihat bahwa tidak
ada masyarakat Desa Sidokerto yang buta huruf.
5. Bidang Perekonomian
Selain terkenal dengan Bandeng Prestonya, Kabupaten Pati merupakan
salah satu dari dua kabupaten penghasil buah manggis terbesar di Jawa
Tengah. Sarana perekonomian di Desa Sidokerto, Kecamatan Pati dalam
mendukung kegiatan-kegiatan masyarakat di Desa Sidokerto, diantaranya
adalah: Koperasi simpan pinjam: 1 buah, Toko: 4 buah, Kios, 31 buah,
Warung: 8 buah, Industri sedang: 3 buah dengan jumlah tenaga kerja 16
orang, Industri kecil: 4 buah dengan jumlah tenaga kerja 10 orang, Hotel:
2 buah dengan jumlah tenaga kerja 15 orang, dan Rumah makan: 5 buah
45
dengan jumlah tenaga kerja 12 orang. Dengan adanya sarana tersebut
maka perekonomian masyarakat di Desa Sidokerto, Kecamatan Pati,
Kabupaten Pati dapat lebih baik, maju dan sejahtera.
46
BAB IV
TRADISI WETON DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
A. Tradisi Weton di Kabupaten Pati
Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat
kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk menaati perintah Allah SWT dan
melaksanakannya merupakan ibadah.1 Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan
kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Idealnya dalam
perkawinan terdiri dari satu orang suami dan satu orang istri, dan suami istri
mempunyai derajat (kedudukan), hak dan kewajiban yang sama di hadapan
agama, sosial, dan hukum.2
Karena pernikahan itu merupakan ikatan untuk hidup bersama dalam rumah
tangga dalam waktu yang panjang, bahkan seumur hidup, maka sebelum terjadi
perkawinan pada umumnya didahului dengan pemilihan jodoh. Banyak cara yang
dilakukan untuk memilih jodoh; ada yang mengikuti tuntunan agama, ada pula
yang berdasar tradisi yang sudah mengakar di masyarakat. Pengaruh tradisi pada
umumnya lebih mendominasi pemilihan jodoh ini, misalnya pada masyarakat
Jawa: laki-laki mempunyai hak untuk memilih calon istri, sedangkan perempuan
dalam posisi pasif karena berada pada pihak yang dipilih.3
Bagi masyarakat Jawa, perkawinan merupakan sesuatu yang sakral, sehingga
harus dipersiapkan dengan baik dan matang, supaya rumah tangganya menjadi
harmonis, bahagia, dan kekal. Dalam mencapai keharmonisan, selain harus ada
persiapan dan kematangan masyarakat Jawa juga menggunakan tradisi weton (hari
lahir) dalam perkawinan. Tradisi weton merupakan tradisi Jawa yang hingga
sekarang masih dilakukan masyarakat Jawa, baik ketika akan mendirikan rumah,
memulai usaha atau kerja, sunatan, perkawinan, dan lain-lain.
1 Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam
2 Yayan Sopyan, Islam-Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasional, h. 158 3 Sri Suhandjati Sukri, Orang Jawa Mencari Jodoh, (Bandung: Penerbit Nuansa
Cendekia, 2019), h. 25
47
Tradisi Jawa yang masih erat dipegang oleh masyarakat Kabupaten Pati
khususnya masyarakat Desa Sidokerto hingga sekarang ini adalah tradisi weton
dalam perkawinan. Weton adalah suatu pedoman kelahiran anak bagi keluarga
yang berbudaya. Dari mulai kelahiran sampai ke pernikahan semuanya
menggunakan weton. Karena weton sudah menjadi budaya Jawa yang turun-
temurun. Tradisi weton ini dalam masyarakat masih banyak yang
menggunakannya, termasuk dalam perkawinan. Setiap perkawinan masyarakat
masih banyak menggunakan weton untuk keselamatan kedua calon pasangan
suami istri. Bahkan, meskipun calon pasangan suami istri itu berada di luar Jawa
selama masih masyarakat Jawa, perkawinan itu tetap menggunakan weton dan
yang mencarikan wetonnya itu orang tua calon pasangan suami istri. Selain
digunakan dalam perkawinan, weton juga digunakan dalam berbagai kegiatan di
masyarakat. Seperti digunakan untuk khitanan, mendirikan rumah, mendirikan
usaha, memulai cocok tanam, menggali sumur, dan lain-lain. Tradisi Weton
adalah budaya Jawa yang masih kental, dipegang erat dan tradisi yang turun-
temurun dari nenek moyang.4
Weton itu penting, karenanya weton harus diamati dan harus diingat seumur
hidup. Hampir semua kegiatan atau aktivitas sehari-hari di masyarakat itu
membutuhkan weton, seperti dalam perkawinan, mendirikan rumah, menggali
sumur, dan lain-lain. Hari dan pasaran itu penting, karenanya seseorang harus
mengingat wetonnya selama-lamanya. Weton itu satu-satunya jalan yang harus
selalu diamati, diingat, dan dimengerti untuk masyarakat Jawa.5
Semua menggunakan weton, baik laki-laki maupun perempuan, muda
maupun tua, perlu menggunakan weton dan dihati-hati selamanya. Kalau tidak
menggunakan weton berarti tidak orang Jawa, ada yang tidak menggunakan weton
tetapi tidak orang Jawa. Akibat tidak menggunakan weton itu tidak baik, baik
dalam mempunyai keturunan maupun akan mempunyai keturunan. Karena itu,
weton sangat penting untuk digunakan bagi masyarakat Jawa dan tidak boleh
4 Busono, Tokoh Agama Desa Sidokerto, Interview Pribadi, Pati, 26 Desember 2018
5 Sarni, Sesepuh Desa Sidokerto, Interview Pribadi, Pati, 26 Desember 2018
48
ditinggalkan sebagai bentuk menghormati para leluhur yang telah mewariskan
tradisi weton dari turun-temurun.6
Adapun cara menghitung weton untuk pemilihan jodoh dalam perkawinan
yaitu mencari tahu terlebih dahulu berapa weton dari calon pasangan suami dan
calon passangan istri. Setelah mengetahui weton kedua calon pasangan suami istri
kemudian menjumlahkan weton kedua calon pasangan suami istri tersebut. Selesai
menjumlahkannya kemudian dicarikan hari yang sisanya 2. Setelah ditemukan
hari yang sisa 2, dijumlahkan antara jumlah weton kedua pasangan suami istri
dengan hari yang telah dicarikan. Hari yang dicarikan ini akan menjadi hari
melangsungkan pernikahan. Tabel 4.1 berikut ini adalah nilai masing-masing hari
dan arahnya:7
Tabel 4.1
Hari, Nilai dan Arah
Hari Nilai Arah
Ahad 5 Wetan (Timur)
Senin 4 Pojok Lor Kulon (Barat Laut)
Selasa 3 Pojok Kidul Kulon (Barat Daya)
Rabu 7 Kulon (Barat)
Kamis 8 Kidul Wetan (Tenggara)
Jumat 6 Lor (Utara)
Sabtu 9 Kidul (Selatan)
Nilai dari masing-masing pasaran dan arah dapat dilihat pada tabel 4.2 di
bawah ini:
6 Wakijan, Sesepuh Desa Sidokerto, Interview Pribadi, Pati, 26 Desember 2018
7 Sarni, Sesepuh Desa Sidokerto, Interview Pribadi, Pati, 26 Desember 2018
49
Tabel 4.2
Pasaran, Nilai dan Arah
Pasaran Nilai Arah
Kliwon 8 Tengah
Legi 5 Wetan (Timur)
Pahing 9 Kidul (Selatan)
Pon 7 Kulon (Barat)
Wage 4 Lor (Utara)
Menurut Wakijan, cara menghitung perkawinan itu kedua pasangan calon
suami istri dijumlahkan ada berapa, hari apa wetonnya. Misalnya, wetonnya 13
dan 12, kalau dijumlahkan ada 25. Nanti, kalau 25 itu dalam perkawinan
diambilkan hari yang jumlahnya itu 13. Jadi, 13 itu hari apa. Tiga belas tersebut
dijumlahkan dengan 25 itu ada 38. Kalau dibagi tiga-tiga masih sisa 2, itu
nikahnya hanya boleh (kalau sisanya) 2, itu hitungan untuk perkawinan. Lainnya
hari itu, ada hari 12, 13, 10, 11, 8, dan masih banyak lagi hari itu. Sepeti misalnya,
Selasa Wage ada 7, Rabu Kliwon ada 15, Kamis Legi ada 13, Jumat Pahing ada
15, Sabtu Pon ada 16, dan lain-lain. Misalkan lagi, 15 dengan 16 jumlahnya 31,
ini dipasangkan dengan hari 10, 10 hari apa saja. Ada Minggu Legi 10, Selasa Pon
ada 10, dan lain-lain. Kemudian dipasangkan 31 tadi dengan 10 jumlahnya 41.
Setelah itu, 41 ini dibagi tiga-tiga sisanya masih 2. Kalau 41 diambil 30 tinggal
11, 11 diambil 9 sisa 2.8
Apapun menggunakan weton, maka weton itu harus diamati dan diingat-ingat
selama hidup. Apalagi dalam perkawinan weton itu sangat penting. Namun, kalau
nikah jangan sampai mendapat pasangan yang wetonnya itu Kamis Kliwon. Jika
mendapat pasangan yang wetonnya Kamis Kliwon, maka harus dibatalkan.
Karena Kamis itu 8 Kliwon 8, seseorang tidak akan kuat menjalani rumah tangga
bersama seorang perempuan yang wetonnya Kamis Kliwon. Semua weton boleh
yang tidak boleh hanya satu yaitu Kamis Kliwon. Apabila mengalami seperti itu
8 Wakijan, Sesepuh Desa Sidokerto, Interview Pribadi, Pati, 26 Desember 2018
50
tidak boleh diterjang, harus dibatalkan dan mencari pasangan yang lainnya yang
wetonnya tidak Kamis Kliwon.9
Selain itu, menurut Wakijan kalau tidak cocok dapat diubah wetonnya dalam
perkawinan. Misalnya, 10 dengan 15 jumlahnya 25, itu agar bisa hasilnya 2,
dibagi tiga-tiga hasilnya 2 dicarikan hari apa. Hari 25 itu agar sisanya 2 dalam ijab
qabul. Kalau hari 25 dipasangkan dengan hari 10 jumlahnya 35. Tapi, kalau hari
10 ternyata tidak cocok karena ada hari geblak dari bapaknya, harus dicarikan hari
yang lainnya. Bisa hari 25 dengan 16 jumlahnya 41, diambil 30 jumlahnya 11.
Kemudian 11 diambil 9 sisanya 2, itu hasil yang dibolehkan. Kalau sisanya 1
tidak boleh dalam berumah tangga. Karena sisanya harus masih 2, sebab sisa 2 itu
adalah laki-laki dan perempuan atau calon suami dan calon istri.10
Perkawinan yang menggunakan weton diharapkan dapat berjalan secara
lancar dan bahagia rumah tangganya. Dengan melaksanakan weton perkawinan,
rumah tangganya akan menemui keberuntungan dan keharmonisan sehingga
rumah tangganya dapat senantiasa rukun, sejahtera, bahagia dan kekal.
Sebaliknya, apabila perkawinan tidak menggunakan weton dikhawatirkan akan
tidak berjalan secara lancar dan banyak menemui masalah di dalam rumah
tangganya. Masih banyak masyarakat yang menjalankan tradisi weton karena
masih adanya leluhur dan masih kuatnya kepercayaan masyarakat terhadap tradisi
weton.
Untuk memudahkan dalam menghitung weton perjodohan maupun hari
pernikahan, dapat dilihat pada bagan di bawah ini:
9 Sarni, Sesepuh Desa Sidokerto, Interview Pribadi, Pati, 26 Desember 2018
10 Wakijan, Sesepuh Desa Sidokerto, Interview Pribadi, Pati, 26 Desember 2018
51
B. Pandangan Masyarakat Kabupaten Pati Tentang Tradisi Weton Dalam
Perkawinan
Tradisi weton yang masih banyak dijalankan dalam masyarakat Kabupaten
Pati khususnya di Desa Sidokerto sampai sekarang ini merupakan tradisi Jawa
yang telah turun-temurun dari leluhur. Penggunaan eton dalam perkawinan adalah
paling mendominasi yang dijalankan masyarakat Desa Sidokerto. Setiap manusia
yang lahir memiliki weton (hari lahir) yang dapat mendatangkan kebaikan dan
keburukan dalam kelangsungan perkawinan maupun yang lainnya. Masih banyak
masyarakat Desa Sidokerto yang percaya adanya tradisi weton dalam pemilihan
jodoh, mencari hari baik untuk melangsungkan perkawinan maupun yang lainnya.
Namun, tidak mengharuskan masyarakat yang lain untuk mempercayainya.
Karena pada hakikatnya semua hari itu baik, manusia diberi hak untuk dapat
memilih. Tradisi weton dalam perkawinan merupakan pedoman dan upaya untuk
mendapatkan keselamatan, keberuntungan, dan kebahagiaan serta untuk
Weton Calon Suami Weton Calon Istri
Jumlah Weton Kedua Calon
Jumlah Weton Kedua Calon Hari Pernikahan
Jumlah, lalu dibagi tiga-tiga
Sisa 2
Jodoh
52
menghindari musibah maupun keburukan dalam mengarungi bahtera rumah
tangga. Segala yang ada di bumi ini sudah ada yang mengaturnya, yaitu Allah
SWT. Berikut ini adalah beberapa pandangan masyarakat Desa Sidokerto terkait
tradisi weton dalam perkawinan:
Menurut Sarni, weton itu sebagai ilmu yang harus diingat-ingat selama hidup
karena penting. Misalnya, seseorang wetonnya Rabu Pahing, maka Rabu Pahing
itu wetonnya yang harus diingat selamanya hidup. Weton juga sebagai satu-
satunya jalan harus diamati dan dimengerti bagi orang Jawa. Dalam perkawinan
menggunakan weton itu amat penting, selain itu juga dalam memulai pekerjaan,
membangun rumah, pindahan, khitanan, dan lain-lain. Dan apabila wetonnya
dalam perkawinan pasangan calon suami dan istri tidak cocok, maka dibatalkan
dan mencari yang lainnya serta tidak boleh diterjang.11
Menurut Wakijan, mengungkapkan bahwa weton adalah sebuah kelahiran
seseorang, misalnya seseorang lahir pada hari Sabtu, hari Sabtu tersebut
merupakan kelahiran seseorang. Weton perlu dilaksanakan, dihati-hati, dan
diingat-ingat sampai selamanya hidup. Semua menggunakan weton, baik laki-laki
maupun perempuan dari muda sampai yang tua. Apabila tidak menggunakan
weton berarti bukan orang Jawa. Akibatnya tidak menggunakan weton itu tidak
baik dalam keluarga maupun keturunannya.12
Menurut Mutsripah, weton itu penting untuk perkawinan, khitanan,
membangun rumah, dan lain-lain. Karena orang Jawa maka masih menggunakan
weton dalam apapun, apabila menggunakan weton perkawinan tersebut lancar,
rumah tangga tidak ada musibah, dan lain-lain. Sebaliknya apabila tidak
menggunakan weton maka rumah tangganya bisa terkena musibah yang terjadi
pada orang tuanya atau pada pasangan suami istri tersebut.13
Menurut Jumani, mengatakan bahwa weton adalah hari kelahiran seseorang,
yang dapat digunakan untuk memulai kerja, perkawinan, mendirikan rumah, dan
lain-lain. Latar belakang masih menggunakan weton karena masih ada orang-
11
Sarni, Sesepuh Desa Sidokerto, Interview Pribadi, Pati, 26 Desember 2018 12
Wakijan, Sesepuh Desa Sidokerto, Interview Pribadi, Pati, 26 Desember 2018 13
Mutsripah, Tokoh Masyarakat Desa Sidokerto, Interview Pribadi, Pati, 26 Desember
2018
53
orang terdahulu (sesepuh), jadi masih menganut orang-orang tua atau sesepuh
yang masih hidup. Meskipun tidak apa-apa tanpa menggunakan weton dalam
perkawinan, tapi dapat terjadi benturan batin dengan sesepuh dahulu. Perkawinan
yang menggunakan weton kalau cocok itu rumah tangga lancar, tapi kalau tidak
cocok biasanya tetap dijalankan.14
Menurut Nur Rohmat, weton sama dengan hari kelahiran seseorang. Hitungan
weton Jawa dalam penyelidikan asal mulanya seperti perempuan haid dan nifas.
Kebanyakan kalau ada orang yang ditanyai bisa begini cocok, lalu dikumpulkan
dan dicocokkan. Kalau adatnya orang Jawa weton itu biasanya tidak
meninggalkan. Allah SWT menciptakan hari dan semua hari itu baik. Tapi
manusia diberikan hak untuk memilih. Hari itu tidak ada bedanya karena sama
saja. Misalnya, menurut orang yang mengaji kalau memulai mengaji itu yang baik
di hari Rabu. Hukumnya tradisi weton yang pasti boleh, tapi kalau terlalu diyakini
malah jadi murtad.15
Sebagian besar masyarakat Kabupaten Pati khususnya Desa Sidokerto
memandang tradisi weton sebagai hari kelahiran seseorang yang harus diamati
dan dimengerti masyarakat, yang digunakan untuk perkawinan, memulai
pekerjaan, mendirikan rumah, khitanan, dan lain-lain. Weton sebagai budaya Jawa
yang dalam perkawinan bertujuan untuk kelancaran, keharmonisan, dan
kebahagiaan selama menjalani rumah tangga. Jadi, weton menjadi hal yang
penting selain syarat-syarat perkawinan Islam bagi masyarakat Desa Sidokerto.
Sudah semestinya orang Jawa melestarikan tradisi weton ini karena sudah menjadi
budaya Jawa secara turun-temurun dari leluhur.
C. Pandangan Hukum Islam Tentang Tradisi Weton Dalam Perkawinan
Tradisi weton merupakan budaya Jawa yang masih banyak digunakan
masyarakat Kabupaten Pati khususnya Desa Sidokerto yang telah turun-temurun
dari nenek moyang, baik dalam perkawinan, memulai pekerjaan, mendirikan
rumah, membangun sumur, khitanan, dan lain-lain. Menurut Busono, tradisi
weton itu bukan sesuai dengan hukum Islam. Kalau hukum Islam itu ada
14
Jumani, Tokoh Masyarakat Desa Sidokerto, Interview Pribadi, Pati, 27 Desember 2018 15
Nur Rohmat, Tokoh Agama Desa Sidokerto, Interview Pribadi, Pati, 28 Desember
2018
54
hubungannya dengan Al-Qur’an dan Hadis, sedangkan weton itu adalah tanda
pembuatan nama anak itu. Misalnya, kelahirannya Selasa, Selasa itu adalah dicari
dengan bahasa Jawa, Sutarno. Apabila kelahirannya Sabtu, Sutayan, apabila Rabu,
Rohiman itu dengan pedoman kata-kata yang ada di depan. Menurutnya tidak ada
praktik tradisi weton yang tidak sesuai dengan hukum Islam, semuanya bagus.
Seandainya orang itu mencari jodoh contohnya, kalau orang tua itu menyadari
zaman-zaman yang modern seharusnya mencari keselamatan anak itu sendiri dan
bagi keluarga.16
Ketika seseorang lahir itu adalah weton, yang masih banyak digunakan pada
masyarakat di Desa Sidokerto karena tradisinya orang Jawa. Menurut M. Subchi,
tradisi weton itu tidak sesuai dengan hukum Islam karena tradisi weton itu adalah
perhitungan Jawa yang tidak sesuai dengan syariat Islam. Orang Islam itu
dasarnya Al-Qur’an dan Hadis, di sana tidak memuat masalah itu. Kuatnya
masyarakat Desa Sidokerto memegang tradisi weton menjadikan sulit untuk
mengubahnya. Kalau tradisi yang lain bisa diubah, seperti dulu kalau ada orang
meninggal ketika akan memberangkatkan jenazahnya masyarakat menyapu
halaman terlebih dahulu, sekarang setelah diberi pengetahuan sudah tidak ada
lagi. Kalau dulu ada orang yang meninggal yang di depan keluarganya, sekarang
tidak lagi. Tapi kalau masalah tradisi weton itu masih kuat sehingga sulit untuk
mengubahnya.17
Masih adanya orang tua atau sesepuh yang ditanyai, tradisi weton masih kuat
dipegang masyarakat Desa Sidokerto dan masih banyak juga yang menggunakan
weton dalam perkawinan. Menurut Nur Rohmat, kalau adatnya orang Jawa itu
biasanya tidak meninggalkan weton. Memang benar, Allah SWT yang membuat
hari, semua hari itu baik. Manusia diperintahkan untuk memilih, manusia
mempunyai hak untuk memilih. Namun, seperti itu jangan dibalikkan kalau weton
itu terlalu diyakini, jangan seperti itu. Hakikatnya tidak boleh sebab semua itu
yang mengatur hanya satu yaitu Allah SWT. Hukumnya tradisi weton yang pasti
boleh, tapi kalau terlalu diyakini menjadi murtad. Hari itu tidak ada bedanya dan
16
Busono, Tokoh Agama Desa Sidokerto, Interview Pribadi, Pati, 26 Desember 2018 17
M. Subchi, Tokoh Agama Desa Sidokerto, Interview Pribadi, Pati, 28 Desember 2018
55
sama saja, tapi untuk hitungan dan patokan. Semua itu tergantung pada
kepercayaa masing-masing. Kalau yakin semua hari dan weton itu yang membuat
Allah SWT, yang menentukan juga Allah SWT.18
Hukum perkawinan dalam agama Islam mempunyai kedudukan yang sangat
penting. Oleh karena itu, peraturan-peraturan tentang perkawinan diatur dan
diterangkan secara jelas dan terperinci. Hukum perkawinan Islam pada dasarnya
tidak hanya mengatur tata cara pelaksanaannya saja, melainkan juga segala
persoalan yang berhubungan dengan perkawinan. Dalam perkawinan yang sesuai
dengan hukum Islam, selain syarat-syarat sah nikah, para pemeluk agama Islam
juga sebaiknya memperhatikan empat perkara ini untuk memilih calon pengantin
untuk melangsungkan perkawinan, yaitu kekayaan, kecantikan, nasab, dan agama.
Seperti dalam hadis Nabi Muhammad SAW dari Abu Hurairah yang berbunyi:
يه تشبت ي ا، فاظفش بزات الذ لذيى ا لجمال ا لحسب ا تىكح المشأة لسبع لمال ذا
)ساي البخاسي(19
Artinya: “Wanita yang dikawinkan karena empat hal, yaitu: hartanya,
kedudukannya, kecantikannya, dan agamanya. Maka carilah wanita yang taat
beragama, niscaya akan beruntung.” (HR. Bukhari)
Masyarakat Jawa memiliki kriteria tersendiri yang hampir sama dengan
tuntunan hadis di atas, yaitu bibit (keturunan), bebet (tingkah laku), dan bobot
(kualitas hidup). Perbedaannya dengan Hukum Islam, masyarakat Jawa
menggunakan tradisi weton dalam perkawinan. Tradisi weton yang dilaksanakan
masyarakat Kabupaten Pati khususnya Desa Sidokerto dalam perkawinan
bertujuan untuk menentukan pemilihan jodoh atau kecocokan pasangan dan
menentukan hari dalam melangsungkan perkawinan. Masalah tentang perbedaan
hukum dibolehkannya atau tidak tradisi weton dalam perkawinan tersebut akan
dilihat dengan melalui „urf.
Al-„Urf adalah apa yang dikenal oleh manusia dan menjadi tradisinya, baik
ucapan, perbuatan maupun pantangan-pantangan dan disebut juga adat.20
Adapun
18
Nur Rohmat, Tokoh Agama Desa Sidokerto, Interview Pribadi, Pati, 28 Desember
2018 19
Muhammad bin Ismail Al Bukhari, Shahih Al Bukhari, (Beirut: Dar Thauq Al Najjah,
1422 H), Jilid 7, h. 7
56
secara terminologi, seperti dikemukakan Abdul Karim Zaidan dikutip oleh Satria
Effendi, istilah „urf berarti: “Sesuatu yang tidak asing lagi bagi satu masyarakat
karena telah menjadi kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan mereka baik,
berupa perbuatan atau perkataan”. Istilah „urf dalam pengertian tersebut sama
dengan pengertian istilah al-„adah (adat istiadat). Misalnya, „urf berupa perbuatan
atau kebiasaan di satu masyarakat dalam melakukan jual beli kebutuhan ringan
sehari-hari seperti garam, tomat, dan gula, dengan hanya menerima barang dan
menyerahkan harga tanpa mengucapkan ijab dan kabul (qabul). Contoh „urf yang
berupa perkataan, seperti kebiasaan di satu masyarakat untuk tidak menggunakan
kata al-lahm (daging) kepada jenis ikan. Kebiasaan-kebiasaan seperti itu menjadi
bahan pertimbangan waktu akan menetapkan hukum dalam masalah-masalah
yang tidak ada ketegasan hukumnya dalam Al-Qur’an dan Sunnah.21
„Urf ditinjau dari sisi kualitasnya (bisa diterima dan ditolaknya oleh syariah)
ada dua macam „urf, yaitu:22
1. „Urf yang fasid atau „urf yang batal, yaitu „urf yang bertentangan dengan
syariah. Seperti ada kebiasaan menghalalkan minuman-minuman yang
memabukkan, menghalalkan makan riba, adat kebiasaan memboroskan
harta, dan lain sebagainya.
2. „Urf yang shahih atau al-„adah ashahihah yaitu „urf yang tidak
bertentangan dengan syariah. Seperti memesan dibuatkan pakaian kepada
penjahit. Bahkan cara pemesanan itu pada masa sekarang sudah berlaku
untuk barang-barang yang lebih besar lagi, seperti memesan mobil,
bangunan-bangunan, dan lain sebagainya.
Dari segi ruang lingkup penggunaannya, „urf terbagi kepada:23
1. „Adat atau „urf umum (عشف عام), yaitu kebiasaan yang telah umum
berlaku di mana-mana, hampir di seluruh penjuru dunia, tanpa
memandang negara, bangsa, dan agama. Umpamanya: (a)
20
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih Kaidah Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka
Amani, 2003), cet. ke-11, h. 117 21
Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2017), h. 140 22
Djazuli, Ilmu Fiqh: Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam,
(Jakarta: Kencana, 2006), h. 90 23
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 391-392
57
menganggukkan kepala tanda menyetujui dan menggelengkan kepala
tanda menolak atau menidakkan. Kalau ada orang berbuat kebalikan dari
itu, maka dianggap aneh atau ganjil, (b) di mana-mana bila memasuki
pemandian umum (kolam renang) yang memungut bayaran, orang hanya
membayar seharga tariff masuk yang ditentukan tanpa memperhitungkan
berapa banyak air yang dipakainya dan berapa lama ia menggunakan
pemandian tersebut.
2. „Adat atau „urf khusus (عشف خاص), yaitu kebiasaan yang dilakukan
sekelompok orang di tempat tertentu atau pada waktu tertentu; tidak
berlaku di semua tempat dan di sembarang waktu. Umpamanya: (a) „adat
menarik garis keturunan melalui garis ibu atau perempuan (matrilineal)
di Minangkabau dan melalui bapak (patrilineal) di kalangan suku Batak,
(b) orang Sunda menggunakan kata “paman” hanya untuk adik dan ayah,
dan tidak digunakan untuk kakak dari ayah; sedangkan orang Jawa
menggunakan kata “paman” itu untuk adik dan untuk kakak dari ayah,
(c) bagi masyarakat tertentu, penggunaan kata “budak” untuk anak-anak
dianggap menghina, karena kata itu hanya terpakai untuk hamba sahaya;
tetapi bagi masyarakat lainnya kata “budak” biasa digunakan untuk anak-
anak.
Para ulama yang mengamalkan „urf itu dalam memahami dan meng-istinbath-
kan hukum, menetapkan beberapa persyaratan untuk menerima „urf tersebut,
yaitu:24
1. „Adat atau „urf itu bernilai maslahat dan dapat diterima akal sehat. Syarat
ini telah merupakan kelaziman bagi „adat atau „urf yang sahih, sebagai
persyaratan untuk diterima secara umum. Umpamanya tentang kebiasaan
istri yang ditinggal mati suaminya dibakar hidup-hidup bersama
pembakaran jenazah suaminya. Meski kebiasaan itu dinilai baik dari segi
rasa agama suatu kelompok, namun tidak dapat diterima oleh akal yang
sehat. Demikian pula tentang kebiasaan memakan ular.
24
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 2, h. 401-402
58
2. „Adat atau „urf itu berlaku umum dan merata di kalangan orang-orang
yang berada dalam lingkungan „adat itu, atau di kalangan sebagian besar
warganya. Dalam hal ini al-Suyuthi mengatakan:
ل ف د ش ط ي ن ل ن إ ف ت د ش ط اا ر إ ة اد ع ال ش ب ت ع ا ت م و إ
Artinya: “Sesungguhnya „adat yang diperhitungkan itu adalah yang
berlaku secara umum. Seandainya kacau, maka tidak akan
diperhitungkan.”
Umpamanya: kalau alat pembayaran resmi yang berlaku di suatu tempat
hanya satu jenis mata uang, umpamanya dollar Amerika, maka dalam
suatu transaksi tidak apa-apa untuk tidak menyebutkan secara jelas
tentang jenis mata uangnya, karena semua orang telah mengetahui dan
tidak ada kemungkinan lain dari penggunaan mata uang yang berlaku.
Tetapi bila di tempat itu ada beberapa alat pembayaran yang sama-sama
berlaku (ini yang dimaksud dengan: kacau), maka dalam transaksi harus
disebutkan jenis mata uangnya.
3. „Urf yang dijadikan sandaran dalam penetapan hukum itu telah ada
(berlaku) pada saat itu; bukan „urf yang muncul kemudian. Hal ini berarti
„urf itu harus telah ada sebelum penetapan hukum. Kalau „urf itu datang
kemudian, maka tidak diperhitungkan. Dalam hal ini ada kaidah yang
mengatakan:
م و إ اظ ف ل ال ي ل ع ل م ح ت ز ال ف ش لع ا ت م ال ن د ق ا ب الس ن اس ق م ال ا ش خ أ
Artinya: “Urf yang diberlakukan padanya suatu lafaz (ketentuan hukum)
hanyalah yang datang beriringan atau mendahului, dan bukan yang
datang kemudian.”
Dalam hal ini, Badran memberikan contoh: Orang yang melakukan akad
nikah dan pada waktu akad itu tidak dijelaskan apakah maharnya dibayar
lunas atau dicicil, sedangkan „adat yang berlaku waktu itu adalah
melunasi seluruh mahar. Kemudian „adat di tempat itu mengalami
perubahan, dan orang-orang telah terbiasa mencicil mahar. Lalu muncul
suatu kasus yang menyebabkan terjadinya perselisihan antara suami istri
tentang pembayaran mahar tersebut. Suami berpegang pada „adat yang
59
sedang berlaku (yang muncul kemudian), sehingga ia memutuskan untuk
mencicil mahar, sedangkan si istri minta dibayar lunas (sesuai adat lama
ketika akad nikah berlangsung). Maka berdasarkan pada syarat dan
kaidah tersebut, si suami harus melunasi maharnya, sesuai dengan „adat
yang berlaku waktu akad berlangsung dan tidak menurut „adat yang
muncul kemudian.
4. „Adat tidak bertentangan dan melalaikan dalil syara‟ yang ada atau
bertentangan dengan prinsip yang pasti. Sebenarnya persyaratan ini
hanya menguatkan persyaratan penerimaan „adat sahih; karena kalau
„adat itu bertentangan dengan nash yang ada atau bertentangan dengan
prinsip syara‟ yang pasti, maka ia termasuk „adat yang fasid yang telah
disepakati ulama untuk menolaknya.
Tradisi weton dalam perkawinan masyarakat Kabupaten Pati khususnya
masayarakat Desa Sidokerto telah menjadi warisan secara turun-temurun dari
leluhur yang masih sangat kuat memegangnya dan masih banyak yang
menggunakannya. Apabila dianalisis menggunakan „urf, tradisi weton dalam
perkawinan telah memenuhi persyaratan sebagai „urf dan dapat dikategorikan
dalam „urf yang sahih. Persyaratan „urf yang sahih tersebut adalah sebagai
berikut:
1. „Urf itu bernilai maslahat dan dapat diterima akal sehat.
Tradisi Weton dalam perkawinan pada masyarakat Kabupaten Pati
khususnya di Desa Sidokerto sekarang ini mempunyai kemaslahatan. Di
kemudian hari pelaksanaan tradisi weton dalam perkawinan tersebut akan
berpengaruh baik untuk kelangsungan perkawinan, baik bagi suami dan
istri, orang tua, maupun keturunannya.
2. „Urf itu berlaku umum dan merata di kalangan orang-orang yang berada
dalam lingkungan „adat itu, atau di kalangan sebagian besar warganya.
Sesungguhnya pelaksanaan tradisi weton dalam perkawinan yang
berlaku pada masyarakat Kabupaten Pati khususnya masyarakat Desa
Sidokerto tidak memandang keturunan, status sosial, agama ataupun
kedudukan lainnya.
60
3. „Urf yang dijadikan sandaran dalam penetapan hukum itu telah ada
(berlaku) pada saat itu, bukan „urf yang muncul kemudian.
Tradisi weton dalam perkawinan yang berlaku pada masyarakat
Kabupaten Pati khususnya di Desa Sidokerto telah ada sebelum
penetapan hukum. Jadi, tradisi weton dalam perkawinan yang terjadi
pada saat itu sudah dilaksanakan oleh masyarakat Desa Sidokerto.
Kemudian datang ketetapan hukum untuk dijadikan sandaran, baik dalam
menentukan cocok tidaknya pasangan pengantin ataupun menentukan
hari perkawinan.
4. „Urf tidak bertentangan dan melalaikan dalil syara‟ yang ada atau
bertentangan dengan prinsip-prinsip syara‟ yang pasti.
Tradisi weton dalam perkawinan yang berlaku pada masyarakat
Desa Sidokerto tidak bertentangan dengan hukum Islam atau prinsip-
prinsip syara‟. Karena tradisi weton dalam perkawinan yang berlaku
pada masyarakat Desa Sidokerto sekarang ini tidak ditemukan atau tidak
ada praktik-praktik yang bertentangan dengan hukum Islam, seperti
adanya sesajen, dan lain-lain.
Pada hakikatnya tradisi weton dalam perkawinan yang berlaku pada
masyarakat Kabupaten Pati khususnya di Desa Sidokerto sekarang ini sebagai
bentuk ikhtiar yang bertujuan untuk mencari kebaikan dan mencegah hal-hal yang
buruk terjadi dalam kelangsungan perkawinan. Sehingga tradisi weton dalam
perkawinan masyarakat Desa Sidokerto apabila dianalisis menggunakan „urf
termasuk dalam „urf yang sahih. Karena selain memenuhi persyaratan sebagai „urf
yang sahih juga tidak terdapat praktik-praktik yang menyimpang dari syara‟ atau
ajaran agama Islam, seperti adanya sesajen dan lain-lain. Meskipun semua hari itu
baik, manusia diberikan hak untuk memilih sebagai ikhtiar asalkan tidak terlalu
diyakini. Sebab, semua yang ada di langit dan bumi termasuk semua hari itu
adalah Allah SWT yang menciptakan serta mengaturnya.25
25
Nur Rohmat, Tokoh Agama Desa Sidokerto, Interview Pribadi, Pati, 28 Desember
2018
61
Dari uraian di atas penulis dapat menganalisis, bahwa tradisi weton dalam
perkawinan masyarakat Desa Sidokerto, Kecamatan Pati, Kabupaten Pati,
mempunyai tujuan untuk melestarikan nilai-nilai tradisi dan budaya sebagai
bentuk menghormati tradisi yang secara turun-temurun dari leluhur Desa
Sidokerto. Memang tidak mudah menjaga tradisi dan budaya di zaman modern
sekarang ini yang serba teknologi canggih serta maju. Namun, tidak ada alasan
untuk tetap melestarikan tradisi weton dalam perkawinan karena sudah menjadi
keharusan bagi masyarakat Desa Sidokerto untuk menjaga tradisi-tradisi yang
telah lama ada di Desa Sidokerto supaya tidak punah dimakan zaman. Sehingga
generasi selanjutnya masih dapat menjalankan dan akan terus menjalankan tradisi
weton dalam perkawinan masyarakat Desa Sidokerto sampai selama-lamanya.
Tradisi weton dalam perkawinan masyarakat Desa Sidokerto merupakan adat
istiadat yang diketahui oleh masyarakat dengan baik serta untuk menghormati
dengan melestarikan tradisi weton dalam perkawinan dari generasi ke generasi
berikutnya. Selain sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur, juga sebagai
bentuk ikhtiar mencari pasangan yang terbaik dan mencari hari baik dalam
melangsungkan pernikahan. Tradisi weton dalam perkawinan ditinjau dari „urf,
penulis mengategorikan tradisi weton dalam perkawinan masyarakat Desa
Sidokerto termasuk ke dalam „urf yang sahih. Karena tradisi weton dalam
perkawinan masyarakat Desa Sidokerto dapat diterima kehadirannya oleh
masyarakat Desa Sidokerto, Kecamatan Pati, Kabupaten Pati. Tradisi weton
dalam perkawinan masyarakat Desa Sidokerto bertujuan untuk meraih
kemaslahatan dan menghindari kemudaratan dalam mengarungi kehidupan rumah
tangga.
62
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Beralaskan uraian dari pembahasan yang ada di bab-bab sebelumnya, penulis
dapat mengambil beberapa kesimpulan. Kesimpulan tersebut di antaranya adalah
sebagai berikut:
1. Praktik tradisi weton pada masyarakat Kabupaten Pati khususnya di Desa
Sidokerto dilakukan oleh seseorang yang biasa masyarakat menyebutnya
sesepuh. Sesepuh ini merupakan orang tua yang mengerti dan memahami
tentang perhitungan weton. Masyarakat yang menggunakan weton akan
mendatangi dan menanyakan wetonnya kepada sesepuh, sesepuh di Desa
Sidokerto diantaranya; Wakijan, Sarni, dan lainnya. Penggunaan weton
yang biasanya masyarakat lakukan dalam perkawinan, memulai
pekerjaan, mendirikan rumah, khitanan, dan lain-lain, yang paling
banyak dalam masalah perkawinan. Praktik tradisi weton dalam
perkawinan masyarakat Desa Sidokerto untuk menentukan perjodohan
maupun menentukan hari baik bagi pasangan calon pengantin yang akan
melangsungkan perkawinan.
2. Pelaksanaan tradisi weton dalam perkawinan masyarakat Desa Sidokerto
dilakukan murni atas keinginan masyarakat sendiri dan tanpa adanya
paksaan dari orang lain. Tradisi weton merupakan bentuk ikhtiar dari hal-
hal baik, kewaspadaan dari hal-hal buruk, dan budaya Jawa secara turun-
temurun dari leluhur. Menurut masyarakat Desa Sidokerto, tradisi weton
sebagai hal yang penting. Hari kelahiran seseorang atau pedoman
kelahiran seseorang yang harus diamati, dimengerti, diingat-ingat, dan
dihati-hati selama hidup. Masyarakat Desa Sdokerto masih sangat kuat
memegangnya dan banyak yang menggunakannya serta masih relevan
dilakukan oleh masyarakat Desa Sidokerto sekarang ini. Karena masih
63
ada orang tua atau sesepuh yang mengerti serta mempelajari tradisi
weton.
3. Tradisi weton dalam perkawinan masayarakat Kabupaten Pati khususnya
masyarakat Desa Sidokerto apabila dikaji dan dianalisis menggunakan
perspektif ‘urf, maka penulis mengatagorikan tradisi ini termasuk sebagai
‘urf yang sahih. Karena tradisi ini tidak bertentangan dengan hukum
Islam dan dapat diterima kehadirannya oleh masyarakat Desa Sidokerto.
Tradisi weton ini sudah berjalan sejak lama dalam masyarakat Desa
Sidokerto dan tidak ditemukan atau terdapat praktik-praktik yang
menyimpang jauh dari ajaran agama Islam. Tradisi weton merupakan
bentuk ikhtiar yang bertujuan untuk mencari kebaikan dan mencegah hal-
hal yang buruk terjadi dalam kelangsungan perkawinan serta untuk
menjaga dan melestarikan kearifan lokal yang berasal dari Desa
Sidokerto, Kecamatan Pati, Kabupaten Pati.
B. Saran
Sesudah mempelajari pembahasan di bab-bab sebelumnya, sampai pada
penulis ingin memberikan saran, baik kepada masyarakat, pemerintahan daerah
Kabupaten Pati khususnya Desa Sidokerto, maupun teman-teman yang tertarik
untuk melakukan penelitian lebih dalam tentang tradisi weton dalam perkawinan
masyarakat Desa Sidokerto. Berikut ini adalah saran penulis antara lain:
1. Kepada masyarakat Kabupaten Pati khususnya Desa Sidokerto
Kecamatan Pati supaya tetap menjaga dan melestarikan tradisi weton
dalam perkawinan yang telah diwariskan para leluhur secara turun-
temurun. Karena dengan melestarikan tradisi tersebut kearifan lokal akan
tetap terjaga dan tradisi tersebut dapat diwariskan kepada generasi
selanjutnya. Sedangkan dalam menjalankan tradisi weton, sebaiknya
dijalankan hanya sebagai bentuk ikhtiar untuk mencari kebaikan dalam
melangsungkan perkawinan dan tidak terlalu diyakini hasil dari
perhitungan weton tersebut yang dapat melemahkan iman kita kepada
Allah SWT.
64
2. Bagi pemerintah Kabupaten Pati khususnya Desa Sidokerto, dalam
pengarsipan budaya dan tradisi masyarakat Desa Sidokerto, Kecamatan
Pati supaya lebih dioptimalkan khususnya tradisi weton dalam
perkawinan serta turut mendukung dalam mengangkat dan
memperkenalkan kearifan lokal kepada publik.
3. Untuk teman-teman yang tertarik dan ingin melanjutkan penelitian
dengan tema tradisi weton dalam perkawinan masyarakat Kabupaten Pati
khususnya Desa Sidokerto, penulis ingin menyarankan supaya
memperluas wilayah penelitian dan membuat analisis komparasi dari
setiap daerah yang melaksanakan tradisi weton dalam perkawinan.
65
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Ahmad Sudirman. Pengantar Pernikahan: Analisa Perbandingan Antar
Madzhab. Jakarta: PT. Prima Heza Lestari, 2006
Achmadi, Asmoro. Filsafat dan Kebudayaan Jawa. Surakarta: CV Cendrawasih,
2004
Anshori, Abdul Ghofur. Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta: UII Press, 2011
Ali, Zainuddin. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2007
Al-Anshari, Imam Zakaria. Fathul Wahab bi Syarhi Minhaj al-Thalab. Beirut:
Dar al-Fikr
Al Bukhari, Muhammad bin Ismail. Shahih Al Bukhari. Beirut: Dar Thauq Al
Najjah, 1422 H
Al-Ghazali, Al-Imam Abu Hamid. Menyingkap Hakikat Perkawinan. Penerjemah
Muhammad Al-Baqir. Jakarta: Penerbit Mizan Anggota IKAPI, 2015
Ash-Shobuni, Muhammad Ali. Pernikahan Islami. Penerjemah Ahmad
Nurrohim. Solo: Mumtaza, 2008
Al-Zuhaily, Wahbah. Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu. Beirut: Dar al-Fikr, 1986
Badan Pusat Statistik Pati. Kabupaten Pati Dalam Angka 2018. Pati: BPS Pati,
2018
Data Laporan Bulanan Desa, Desa Sidokerto bulan November Tahun 2018
Data Laporan Monografi, Semester II, Desa Sidokerto bulan Juli-Desember Tahun
2017
Djazuli. Ilmu Fiqh: Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam.
Jakarta: Kencana, 2006
66
Effendi, Satria. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana, 2017
Endraswara, Suwardi. Falsafah Hidup Jawa. Yogyakarta: Cakrawala, 2018
Endraswara, Suwardi. Mistik Kejawen: Sinkretisme, Simbolisme dan Sufisme
dalam Budaya Spiritual Jawa. Yogyakarta: Narasi, 2018
Firdaus. Ushul Fiqh: Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam. Depok:
Rajawali Pers, 2017
Ghazali, Abd. Rahman. Fikih Munakahat. Jakarta: Kencana, 2006
Geetz, Clifford. Abangan, Santri, Priyai Dalam Masyarakat Jawa. Penerjemah
Aswab Mahasin. Jakarta: Pustaka Jaya, 1989
Hadikoesoema, Soenandar. Filsafat Ke-Jawan Ungkapan Lambang Ilmu Gaib
Dalam Seni-Budaya Peninggalan Leluhur Jaman Purba. Jakarta:
Yudhagama Corporation, 1998
Hadikusuma, Hilman. Antropologi Hukum Indonesia. Bandung: PT Alumni, 1986
Hariwijaya, M. Tata Cara Penyelenggaraan Perkawinan Adat Jawa. Yogyakarta:
Hanggar Kreator, 2008
Haryono, P. Kultur Cina dan Jawa Pemahaman Menuju Asimilasi Kultural.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994
Khallaf, Abdul Wahab. Ilmu Ushul Fiqih. Penerjemah M. Zuhri, Ahmad Qarib.
Semarang: Dina Utama, 1994
Kultsum, Lilik Ummu dan Ghazali, Abd. Moqsith. Tafsir Ayat-Ayat Ahkam.
Ciputat: UIN Press, 2015
Mardani. Hukum Keluarga Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2016
Mardani. Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern. Yogyakarta: Graha
Ilmu, 2011
67
Mukhtar, Kamal. Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan. Jakarta: Bulan
Bintang, 1974
Mukhtar, Kamal dkk. Ushul Fiqh Jilid I. Jakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995
Nizaruddin, Asif. Interpretasi Kitab Primbon Lukmanakim Adammakna dalam
Perspektif Budaya dan Akidah Islam. Jakarta: Pondok Pesantren Sholawat
Darut Taubah, 2018
Rafiq, Ahmad. Hukum Keluarga di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
1998
Rahman, Abdur. Perkawinan dalam Syariat Islam. Jakarta: Rineka Cipta, 1992
Ramulyo, Mohd. Idris. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: PT Bumi Aksara, 2002
Ramulyo, Mohd. Idris. Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara
Peradilan Agama dan Zakat Menurut Hukum Islam. Jakarta: Sinar
Grafika, 1995
Ramulyo, M. Idris. Tinjauan Beberapa Pasal UU Nomor 1 Tahun 1974 Dari Segi
Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Ind.Hillco-Co, 1990
Ranoewidjojo, Romo RDS. Primbon Masa Kini Warisan Nenek Moyang Untuk
Meraba Masa Depan. Jakarta: Bukune, 2009
Rusdiana, Kama dan Aripin, Jaenal. Perbandingan Hukum Perdata. Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Jakarta dengan UIN Jakarta Press, 2007
Sabiq, Sayyid. Fiqih Sunnah Jilid 3. Jakarta: Cakrawala Publishing, 1990
Sarong, A. Hamid. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Banda Aceh: PeNA,
2010
Shomad, Abd. Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum
Indonesia. Jakarta: Kencana, 2010
68
Sofwan, Ridin. Dimensi Teologis Petungan Waktu Menurut Tradisi Jawa.
Semarang: Pusat Pengkajian Islam dan Budaya Jawa (PP-IBJ) IAIN
Walisongo, 2005
Sopyan, Yayan. Islam Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam
Hukum Nasional. Jakarta: PT. Semesta Rakyat Merdeka, 2012
Sopyan, Yayan. Metodologi Penelitian Hukum. Ciputat: Buku Ajar, 2009
Sopyan, Yayan. Pengantar Metode Penelitian. Ciputat: UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2010
Strauss, Anselm dan Corbin, Juliet. Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif, alih
bahasa Muhammad Shodiq dan Imam Muttaqien. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2009
Sukri, Sri Suhandjati. Orang Jawa Mencari Jodoh. Bandung: Penerbit Nuansa
Cendekia, 2019
Suryomentaram, Ki Ageng. Kesempurnaan dan Wujud Ilmu Jawa. Jakarta:
Yayasan Idayu, 1979
Syarifuddin, Amir. Fikih Sunnah. Bandung: Al-Ma’arif, 1994
Syarifuddin, Amir. Garis-Garis Besar Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2012
Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqih
Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. Jakarta: Kencana, 2007
Syarifuddin. Amir. Ushul Fiqh 2. Jakarta: Kencana, 2011
Tihami dan Sahrani, Sohari. Fikih Munakahat. Jakarta: Rajawali Pers, 2009
Yanggo, Huzaimah Tahido. Masail Fiqhiyyah: Kajian Islam Kontemporer.
Bandung: Penerbit Angkasa, 2005
69
Zuhaili, Wahbah. Fiqih Imam Syafi’i 2. Penerjemah Muhammad Afifi, Abdul
Hafiz. Jakarta: Almahira, 2010
Zulbaidah. Ushul Fiqh 1. Bogor: Ghalia Indonesia, 2016
Artikel dan Wawancara
Komaruddin Hidayat, Sakral dan Profan, artikel diakses pada 5 April 2019 dari
https://nasional.sindonews.com/read/1231400/18/sakral-dan-profan-
1502983114
Interview Pribadi dengan Busono, Tokoh Agama Desa Sidokerto, Pati, 26
Desember 2018
Interview Pribadi dengan Jumani, Tokoh Masyarakat Desa Sidokerto, Pati, 27
Desember 2018
Interview Pribadi dengan Kuswanto, Kepala Desa Sidokerto, Pati, 28 Desember
2018
Interview Pribadi dengan M. Subchi, Tokoh Agama Desa Sidokerto, Pati, 28
Desember 2018
Interview Pribadi dengan Mutsripah, Tokoh Masyarakat Desa Sidokerto, Pati, 26
Desember 2018
Interview Pribadi dengan Nur Rohmat, Tokoh Agama Desa Sidokerto, Pati, 27
Desember 2018
Interview Pribadi dengan Sarni, Sesepuh Desa Sidokerto, Pati, 26 Desember 2018
Interview Pribadi dengan Wakijan, Sesepuh Desa Sidokerto, Pati, 26 Desember
2018
Kompilasi Hukum Islam
70
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
TRANSKIP WAWANCARA DENGAN SESEPUH
DI KABUPATEN PATI
Hasil wawancara dengan Wakijan selaku sesepuh mengenai tradisi weton di Desa
Sidokerto:
1. Apa makna weton menurut Anda?
Weton itu kelahiran. Misalnya saya lahir hari sabtu, hari sabtu itu
kelahiran.
2. Dalam hal apa saja weton digunakan?
Weton digunakan untuk khitanan, perkawinan, dan lain-lain.
3. Bagaimana cara menghitung weton?
Cara menghitung weton itu kedua pasangan calon suami istri dijumlahkan
ada berapa dan hari apa wetonnya. Misalnya, wetonnya 13 dan 12 kalau
dijumlahkan ada 25. Nanti 25 itu dalam perkawinan diambilkan hari yang
jumlahnya 13. Jadi, 13 itu hari apa, 13 dijumlahkan dengan 25 itu ada 38.
Kalau dibagi tiga-tiga itu nikahnya hanya boleh (kalau sisanya) 2, itu
hitungan untuk perkawinan. Lainnya hari itu, ada hari 12, 13, 10, 11, 8,
banyak sekali hari itu. Mulai pertama, Selasa Wage: 7, Rabu Kliwon: 15,
Kamis Legi: 13, Jumat Pahing: 15, Sabtu Pon: 16, seperti itu. Nanti setelah
itu dikumpulkan orang dua (calon pasangan suami istri). Kalau misalnya
jatuh pada hari apa, hari jumat sama hari kamis, nanti jumlahnya hari
jumat dengan hari kamis berapa, Jumat Legi, atau Jumat Wage, atau Jumat
Pahing, atau Jumat Pon, atau Jumat Kliwon seperti itu. Tidak satu jurusan,
tapi 5 jurusan, 5 jumat. Kalau jumat ini jumat saja, Jumat Kliwon, Jumat
Legi, Jumat Pahing, Jumat Pon, Jumat Wage, ini 5 jurusan. Kalau 5
jurusan ini nanti ketemunya hari-hari sampai 7 hari ini. Kalau 7 hari ini
diambil misalnya hari Selasa Wage: 7, Rabu Kliwon: 15, Kamis Legi: 13,
Jumat Pahing: 15, Sabtu Pon: 16. Dijatuhkan sama yang sebelumnya tadi
pasarannya. Pasaran itu kalau Wage: 4, Kliwon: 8, Pon: 7, Pahing: 9, Legi:
5. Jadi, misalnya jatuh pada hari yang sama itu Jumat Pahing: 15 sama
Sabtu Pon: 16, jumlahnya berapa 2 (dua) hari itu, itu untuk pernikahan.
Lima belas sama 16 jumlahnya 31, ini dipasangkan dan dicarikan hari 10,
10 hari apa saja. Ada Minggu Legi: 10, Selasa Pon: 10, seperti itu caranya.
Lalu dipasangkan 31 sama 10 jumlahnya 41, kalau untuk pernikahan.
Kemudian 41 ini dibagi tiga-tiga sisanya masih 2. Kalau 41 diambil 30
tinggal 11, 11 diambil 9 sisa 2. Jadi, kalau perjodohan seperti itu.
Misalnya, ditentukan hari Sabtu Pon: 16 sama dengan Minggu Wage: 9 itu
jumlahnya 25, kumpulnya dicarikan 10 lagi jumlahnya 35 diambil 33 sisa
2.
4. Apakah weton perlu dilaksanakan?
Ya perlu dilaksanakan. Dihati-hati dan diingat-ingat sampai besok kembali
di akhir. Kalau nanti ada halangan, yang dicari ya weton. Misalnya ada
halangan kira-kira yang tidak mampu, dicarikan obat ya menggunakan
weton. Ini wetonnya apa, ya obatnya arahnya. Kalau menurut Jawa seperti
itu. Kalau sekarang tidak digunakan. Kalau saya masih saya gunakan terus.
5. Apakah masih banyak yang menggunakan weton?
Banyak, semua menggunakan weton baik laki-laki maupun perempuan
terus sampai tua.
6. Bagaimana cara menyikapi apabila perkawinan terkendala weton?
Kalau tidak baik begitu misalnya dua puluh lima, sepuluh sama lima belas,
kalau saya tidak saya pakai, diberhentikan. Sama dengan dua puluh empat
yang dilarang itu, sama dengan dua puluh sama dengan tiga puluh. Dua
puluh empat, dua puluh lima, dua puluh, tiga puluh, kalau itu perjodohan.
7. Apa akibatnya apabila tidak menggunakan weton dalam perkawinan?
Kalau tidak menggunakan weton itu ya tidak orang Jawa. Ya ada yang
tidak menggunakan weton tetapi tidak orang Jawa. Akibatnya itu tidak
baik. Kalau nanti mempunyai keturunan bagaimana, hasil keturunan yang
belum dijalani. Kalau tidak menggunakan lama-lama menjadi apa. Kalau
tidak cocok diubah-ubah (weton) dalam pernikahan itu. Misalnya 10 sama
15 jumlahnya 25, itu bisa hasilnya 2, dibagi tiga-tiga hasilnya 2 dicarikan
hari apa. Dua puluh lima itu sisanya 2 dalam ijab qabul itu dicarikan hari
apa yang sisanya masih 2, masih ada dua orang. Harinya 25 dua orang ini
jumlahnya 25. Kalau diambil tiga-tiga masih 2 dinaikkan hari apa. Kalau
lainnya hari 10 itu pasti ketemu 35. Sekarang kalau hari 10 itu tidak cocok,
harus dicarikan hari apa supaya bisa cocok ketemu 2. Tadi 25, kalau hari
10 tidak cocok karena ada hari geblak. Kalau geblaknya itu dari bapaknya.
Dua puluh lima sama 16 jumlahnya 41. Empat puluh satu diambil 30
jumlahnya 11. Sebelas diambil 9 sisanya 2, itu hasilnya. Kalau hasilnya 1
tidak betul kalau berumah tangga. Sisanya harus masih 2, sebab laki-laki
dan perempuan.
Hasil wawancara dengan Sarni selaku sesepuh mengenai tradisi weton di Desa
Sidokerto:
1. Apa makna weton menurut Anda?
Weton itu ilmu mengingat, jadi wetonnya apa. Misalnya, wetonnya Rabu
Pahing itu harus mengingatnya selamanya hidup karena penting.
2. Dalam hal apa saja weton digunakan?
Weton itu digunakan, misalnya akan nikah itu membutuhkan weton.
Selain pernikahan itu akan mencari kerja dan lain-lain. Weton itu harus
diamati, harus diingat selamanya hidup. Weton itu penting.
3. Bagaimana cara menghitung weton?
Weton itu menurut hari atau dina terus pasaran. Jadi, maksudnya hari ada
gandengannya, misalnya ini Jumat Pahing, ini secara hitung kuno Kamis
Legi. Hari itu 7, pasarannya 5. Jumat: 6 tempatnya di Lor (Utara), Sabtu: 9
Kidul (Selatan), Ahad: 5 Lor Wetan pojok (Timur Laut), Senin: 4 pojok
Lor Kulon (Barat Laut), Selasa: 3 pojok Kidul Kulon (Barat Daya), Rabu:
7 Kulon (Barat), Kamis: 8 pojok Kidul Wetan (Tenggara). Pasarannya,
Kliwon: 8 Tengah, Legi: 5 Wetan (Timur), Pahing: 9 Kidul (Selatan), Pon:
7 Kulon (Barat), Wage: 4 Lor (Utara). Misalnya, hari ini Jumat Pahing,
Jumat itu 6 Pahing: 9 jumlahnya 15. Kamis Legi, Kamis itu 8 Legi itu 5
jumlahnya 13. Kalau hendak nikah, hendak apa saja yang penting
menggunakan itu. Misalnya, Kamis Legi, Kamis itu 8 Legi itu 5
jumlahnya 13, dapat pasangan Ahad Pon, Ahad: 5 Pon: 7 jumlahnya 12.
Kemudian dijumlahkan ada berapa. Nikah itu ada nujumnya baru dihitung,
misalnya jumlahnya 27 diambil tiga-tiga masih sisa 2. Itu namanya nujum
hari dalam nikah, khitanan, mendirikan rumah, menggali sumur. Hari dan
pasaran itu penting.
4. Apakah weton perlu dilaksanakan?
Weton itu diamati dan diingat-ingat, apapun menggunakan weton. Diingat-
ingat selamanya hidup weton itu penting. Apalagi perkawinan penting
weton itu. Kalau nikah jangan sampai dapat pasangan Kamis Kliwon,
kalau ada dibatalkan. Kamis: 8 Kliwon: 8, tidak kuat melakukannya
bersama seorang perempuan hari Kamis Kliwon. Satu saja, Kamis Kliwon,
semua bisa yang tidak bisa hanya satu Kamis Kliwon.
5. Apakah masih banyak yang menggunakan weton?
Iya yang menggunakan weton banyak, pada saat nikah penting
menggunakan weton, pada saat akan pindahan ke sana cari hari, jalannya
ke sana menggunakan weton. Jadi weton itu satu-satunya jalan harus
diamati harus tahu harus mengerti untuk orang Jawa.
6. Bagaimana cara menyikapi apabila perkawinan terkendala weton?
Semua bisa yang tidak bisa hanya satu seorang perempuan yang wetonnya
Kamis Kliwon. Jika Kamis Kliwon maka dibatalkan cari yang lainnya.
Tidak bisa diterjang.
7. Apa akibatnya apabila tidak menggunakan weton dalam perkawinan?
Harus menggunakan weton. Akibatnya kalau menurut daerah Jawa Tengah
itu menggunakan hitungan. Misalnya Jumat Pahing, Jumat: 6 Pahing: 9
jumlahnya 15, bertemu dengan Ahad Pon, Ahad: 5 Pon: 7 jumlahnya 12,
jumlah keduanya 27. Dua puluh tujuh itu dicarikan hari untuk menikah,
setelah itu diambil tiga-tiga masih sisa 2. Sisa 2 itu calon suami dan calon
istri.
TRANSKIP WAWANCARA DENGAN TOKOH MASYARAKAT
DI KABUPATEN PATI
Hasil wawancara dengan Mutsripah selaku elemen masyarakat mengenai tradisi
weton di Desa Sidokerto:
1. Apa makna weton menurut Anda?
Iya itu untuk khitanan, perkawinan, itu kan penting. Untuk membangun
rumah itu juga menggunakan weton. Membangun sumur saja
menggunakan weton.
2. Dalam hal apa saja weton digunakan?
Untuk khitanan, perkawinan, terus sedekah-sedekah seperti itu wetonnya
yang tidak ada.
3. Apa yang melatarbelakangi maasih digunakannya weton?
Kejawen, orang Jawa, kan tradisi itu.
4. Bagaimana cara menyikapi apabila perkawinan terkendala weton?
Bisa dibatalkan, diteruskan ya terserah yang menjalankan.
5. Apa akibatnya apabila melangsungkan perkawinan tanpa menggunakan
weton?
Bisa saja terkena musibah, musibahnya ke orang tua bisa, pada diri sendiri
juga bisa.
6. Bagaimana pengaruh weton terhadap kelangsungan perkawinan?
Ya seperti orang jalan bisa lancar. Misalnya pekerjaan lancar, berumah
tangga tidak ada musibah.
7. Apakah tradisi weton tidak bertentangan dengan hukum Islam?
Soalnya weton itu kan dari orang Jawa ya menganut orang Jawa. Menurut
saya sesuai dengan agama Islam. Soalnya kalau ada yang akan nikah
seperti itu wetonnya apa. Tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Hasil wawancara dengan Jumani selaku elemen masyarakat mengenai tradisi
weton di Desa Sidokerto:
1. Apa makna weton menurut Anda?
Menurut saya weton itu hari kelahiran seseorang.
2. Dalam hal apa saja weton digunakan?
Weton digunakan saat mempunyai kerja, perkawinan, mulai kerja, kerja
bakti, atau untuk mendirikan rumah, dan lain-lain.
3. Apa yang melatarbelakangi masih digunakannya weton?
Latar belakang masih digunakannya weton yaitu karena kita masih ada
orang-orang terdahulu. Kita menganut orang-orang tua kita yang masih
hidup.
4. Bagaimana cara menyikapi apabila perkawinan terkendala weton?
Untuk menyikapi weton kalau sepengetahuan saya, pengalaman saya itu
begini, misalkan hari itu si A si B berdasarkan perkawinan tidak cocok, itu
tidak apa-apa tetap berjalan. Tapi lain hari itu ada kata-kata istilahnya
dibacakan lagi, diselamatkan lagi, nikah ulang jadi ada pernikahan ulang.
Tapi ya tetap, hanya selamatan seperti itu.
5. Apa akibatnya apabila melangsungkan perkawinan tanpa menggunakan
weton?
Sebenarnya tidak apa-apa kalau perkawinan tanpa melaksanakan weton
sebenarnya tidak apa-apa. Ya memang kita benturan walaupun itu tetap
dijalankan, kita benturan batin sama orang-orang tua dulu.
6. Bagaimana pengaruh weton terhadap kelangsungan perkawinan?
Menggunakan weton tapi kalau wetonnya itu cocok saya kira lancar, tapi
kalau tidak cocok biasanya itu tetap dijalankan.
7. Apakah tradisi weton tidak bertentangan dengan hukum Islam?
Tradisi weton itu kalau diamati sebenarnya bertentangan. Tapi orang desa
itu yang penting tidak terlalu menyimpang dari ajaran agama Islam.
Contohnya weton ini harus disembelihkan babi, itu kan menyimpang kalau
menurut Islam kan tidak boleh. Misalkan lagi wajib diadakan ketoprak,
wayang, itu kan menurut Islam tidak boleh kecuali mempunyai niat untuk
mengadakan pengajian itu justru boleh kalau menurut Islam. Kalau
mengadakan ketoprak menurut Islam tidak wajib.
TRANSKIP WAWANCARA DENGAN TOKOH AGAMA
DI KABUPATEN PATI
Hasil wawancara dengan Busono selaku tokoh agama yang juga sesepuh
mengenai tradisi weton di Desa Sidokerto:
1. Apa makna weton menurut Anda?
Makna weton adalah suatu pedoman kelahiran anak bagi keluarga budaya
jawa.
2. Apa yang melatarbelakangi masih digunakannya weton?
Penggunaan weton itu kan kalau menurut bahasa Jawa ini adalah suatu
pedoman berasal dari kelahiran untuk sampai pernikahan dan sampai
melahirkan anak-anak yang akan datang.
3. Apakah masih sesuai menerapkan weton di zaman sekarang ini?
Masih. Kalau di Jawa itu sudah budaya weton. Contoh saja apabila ada
suatu pernikahan di antara perempuan dan laki-laki itu masih dihitung
dengan secara budaya hitungan weton.
4. Apakah masih banyak yang menggunakan weton?
Masih banyak. Pokoknya di Jawa itu semuanya menggunakan hitungan
weton walaupun orang itu bekerja di Jakarta pernikahannya tetap dicari
oleh orang tua bagaimana baiknya untuk keselamatan anak itu keduanya
atau calon pengantin.
5. Apakah weton sesuai dengan hukum Islam?
Kalau weton itu bukan sesuai dengan hukum Islam, kalau hukum Islam itu
kan ada hubungan dengan Al-Qur’an dan Hadis. Dan weton itu adalah
suatu tanda pembuatan nama anak itu. Misalkan kelahirannya Selasa itu
dibuat Selasa itu adalah dicari dengan bahasa Jawa Selasa, Sutarno.
Seandainya Sabtu, Sutayan. Seandainya Rabu, Rohiman itu dengan
pedoman kata-kata yang ada di depan.
6. Apakah ada praktik tradisi weton yang tidak sesuai dengan hukum Islam?
Tidak ada. Semuanya bagus. Seandainya orang itu mencari jodoh
contohnya, kalau orang tua itu menyadari zaman-zaman yang modern
seharusnya mencari keselamatan anak itu sendiri dan bagi keluarga.
Hasil Wawancara dengan M. Subchi, S.Ag. selaku tokoh agama mengenai tradisi
weton di Desa Sidokerto:
1. Apa makna weton menurut Anda?
Weton itu ya ketika seseorang lahir.
2. Apa yang melatarbelakangi masih digunakannya weton?
Ya yang melatarbelakangi masyarakat masih menggunakan weton itu ya
karena tradisi orang Jawa itu tadi.
3. Apakah masih sesuai menerapkan weton di zaman sekarang ini?
Kalau menurut orang Jawa masih sesuai.
4. Apakah masih banyak yang menggunakan weton?
Masih. Kalau orang Jawa khususnya masih banyak.
5. Apakah weton sesuai dengan hukum Islam?
Tidak sesuai karena itu perhitungan Jawa, tidak sesuai dengan syariat
Islam.
6. Apakah ada praktik tradisi weton yang tidak sesuai dengan hukum Islam?
Orang Islam itu dasarnya Al-Qur’an dan Hadis. Di sana tidak memuat
masalah itu jadi tidak ada.
7. Bagaimana kehidupan keagamaan di Desa Sidokerto?
Kehidupan keagamaan di Desa Sidokerto ya pertama syiar, kemudian
kerukunan beragama, guyub rukun.
8. Seberapa kuatkah masyarakat di Desa Sidokerto memegang tradisi weton?
Masih kuat. Kalau saya menilai masih kuat dikaitkan masalah weton.
Rata-rata orang di sini masih kuat memegangnya.
9. Apakah tradisi weton perlu dilestarikan?
Merubahnya yang sulit, bab weton itu merubahnya sulit. Kalau lainnya
bisa. Contohnya kalau ada orang meninggal, dahulu mau
memberangkatkan (jenazahnya) menyapu halaman dan sekarang saya beri
pengetahuan sudah tidak. Atau dulu kalau ada orang yang meninggal itu
yang di depan keluarganya sekarang sudah tidak. Tapi kalau masalah
weton itu masih kuat.
Hasil wawancara dengan Nur Rohmat selaku tokoh agama mengenai tradisi weton
di Desa Sidokerto:
1. Apa makna weton menurut Anda?
Weton manusia itu waktu saya dulu tidak terlalu mengerti, tapi sekarang
saya sudah mengerti diceritakan Kyai Mun’in. Hitungan Jawa weton atau
hitungan-hitungan Jawa itu Mbah Arwani masih menggunakan tidak
berani meninggalkan. Karena Jawa itu cara hitungan Jawa weton itu di
dalam penyelidikan, seperti perempuan haid, nifas, itu di dalam
penyelidikan asal mulanya. Kebanyakan kalau ada orang yang ditanyai
bisa begini cocok, terus dikumpulkan dan dicocokkan. Kalau weton seperti
hitungan Jawa, kalau Selasa itu tiga, Rabu itu enam, itu kalau hari weton.
Weton sama saja hari kelahiran.
2. Apa yang melatarbelakangi masih digunakannya weton?
Seperti tadi saya asal mulanya tidak terlalu mengerti. Waktu Kyai Mun’in
sudah bicara demikian. Kalau menurut Kyai Arwani itu saja masih
menggunakan hitungan Jawa. Hitungan Jawa itu istilahnya asalnya dari
Wali Jawa, itu di dalam penyelidikan. Kalau dasar sebenarnya di Kitab itu
tidak ada, yang ada itu bahasannya di dalam Mujarobat atau katanya dulu
itu karangan Wali asli Wali Jawa. Katanya Kyai Mun’in seperti itu. Sebab
Kyai Arwani juga itu tidak berani meninggalkan masalah hitungan itu.
3. Apakah masih sesuai menerapkan weton di zaman sekarang ini?
Ya tergantung adatnya. Kalau adatnya orang Jawa itu biasanya tidak
meninggalkan. Allah SWT kan ya benar membuat hari, semua hari itu
baik. Tapi orang disuruh memilih, manusia kan berhak memilih. Namun,
seperti itu jangan dibalikkan kalau weton itu terlalu diyakini, jangan
diyakini seperti itu. Hakikatnya tidak boleh sebab semua itu yang
mengatur itu hanya satu yaitu hanya Allah SWT. Kalau menurut
hakikatnya seperti itu.
4. Apakah masih banyak yang menggunakan weton?
Kalau daerah di sini masih banyak, daerah saya juga masih banyak, daerah
gunung-gunung di sana juga masih banyak yang saya ketahui. Kalau orang
itu malah hanya nama menurut orang Sumatra, kalau mau khitanan, mau
menikah, itu biasanya nama orang. Ya ada kitabnya tapi ya saya pernah ke
Sumatra, itu tergantung kepercayaan diri sendiri. Kalau yakin semua Allah
SWT membuat hari weton itu ya yang membuat Allah SWT yang
menentukan Allah SWT.
5. Apakah weton sesuai dengan hukum Islam?
Kalau menurut Islam ya belum tahu saya. Kalau kitabnya sepengetahuan
saya ngaji di dalam masalah itu, kitab yang sudah pernah saya baca belum
pernah menemukan. Yang menemukan itu di dalam kitab-kitab mujarobat.
Itu katanya karangannya Syekh Subakir. Syekh Subakir itu kan termasuk
Wali Jawa asli orang Jawa. Hukumnya yang pasti boleh, jadi kalau
diyakini ya malah jadi murtad. Kalau hari diyakini kalau hari ini Senin ya
yakin hari Senin, kalau hari ini Kamis ya yakin hari ini Kamis, ya rupanya
hari Kamis jangan ditanyakan. Kalau ditanyakan, hari itu bedanya apa.
Hari itu bedanya apa, padahal kan sama saja. Tapi buat hitungan, buat
patokan. Hari ini hari apa hari Jum’at, kalau Jum’at itu menurut hari sudah
ada yang utama kan, bahasan di dalam kitab itu ada. Sebab apa, hari
Jum’at itu hari yang mulia dibandingkan hari-hari lainnya. Menurut orang
yang ngaji, kalau mau memulai ngaji itu yang baik katanya di hari Rabu,
itu di dalam kitabnya ada.
6. Apakah ada praktik tradisi weton yang tidak sesuai dengan hukum Islam?
Menurut saya ya kalau memang di dalam Islam, hari weton itu kan hari.
Makanya kenapa ditanyakan kelahiran hari apa, kalau di Indonesia kan
seperti itu. Kelahirannya tahun berapa, hari apa, tanggal berapa.
7. Bagaimana kehidupan keagamaan di Desa Sidokerto?
Kalau di sini menurut orang awam, orang awam itu kan menganut saja.
Menurut keagamaan, semua perbuatan apa yang dikerjakan, jadi semua itu
harus pakai ilmu. Tanpa ilmu sia-sia.
8. Seberapa kuatkah masyarakat di Desa Sidokerto memegang tradisi weton?
Kalau di sini kuat, hampir merata sebab masih ada orang yang ditanyai
seperti orang tua (sesepuh). Jadi kalau mau khitanan jangan di hari ini, tapi
tidak perlu diyakini. Semua itu Allah SWT dibalikkan seperti itu. Tapi
adat biasanya seperti itu. Yang melanggar itu katanya ada wala’nya. Kalau
saya ilmu titen (hafalan) itu tidak terlalu mengetahui, saya ya baru itu
ngajinya Kyai Mun’in itu katanya Mbah Arwani saja tidak meninggalkan
hitungan Jawa. Kalau menurut Kanjeng Nabi SAW, kalau orang mau
menikah, mau khitanan, yang lebih baik itu tujuh, tujuh belas, dua puluh
tujuh. Itu kalau menurut Kanjeng Nabi SAW. Itu yang mengatakan Kyai
Abdul Karim.
9. Apakah tradisi weton perlu dilestarikan?
Tergantung daerahnya. Kalau di sini dilestarikan.
TRANSKIP WAWANCARA DENGAN KEPALA DESA
DI KABUPATEN PATI
Hasil wawancara dengan Kuswanto selaku Kepala Desa Sidokerto mengenai Desa
Sidokerto:
1. Bagaimana sejarah Desa Sidokerto?
Sepengetahuan saya setiap tanggal satu suro atau muharam diperingati hari
jadi Desa Sidokerto. Termasuk tahlil keliling di cikal bakal-cikal bakal di
antaranya Mbah Santosono, Mbah Rogo Cetho, Mbah Rogo Cethi, Mbah
Jolo Tundo, Mbah Kendir Wesi, Mbah Ki Ageng Blutho, Mbah Jalak
Sentono. Kalau di sini sejarah cikal bakalnya banyak mempunyai sarean
sendiri-sendiri.
2. Bagaimana kehidupan keagamaan di Desa Sidokerto?
Kehidupan keagamaan di sini itu delapan puluh lima persen memeluk
agama Islam selainnya agama non Islam. Kalau aktivitas keagamaan di
sini itu termasuk pengajian umum, maulid nabi, isra’ mi’raj, satu suro satu
muharam, kalau hari raya idul fitri itu kan wajib, kalau yang non Islam
menyesuaikan sama kepercayaannya.
3. Seberapa kuatkah masyarakat di Desa Sidokerto memegang tradisi weton?
Kalau tradisi weton itu adat yang kental. Kalau adat kan ibaratnya kalau
Arab harus Arab, kalau Jawa harus Jawa dirawat. Termasuk adat itu sudah
peninggalan dari nenek moyang dirawat.
4. Bagaimana kondisi ekonomi di Desa Sidokerto?
Kalau Desa Sidokerto termasuk perkotaan. Mayoritas penduduk Desa
Sidokerto kan kalau asli Desa Sidokerto itu mata pencarian sebagian besar
itu petani, tukang batu, pedagang, kalau PNS hanya sedikit. Kalau di sini
pertaniannya kan luas.
5. Bagaimana kondisi pendidikan di Desa Sidokerto?
Kalau pendidikan rata-rata memasuki era modern sama tuntutan
pendidikan kan sekarang dituntut sembilan tahun masa pendidikan,
minimal SMA. Seperti pendatang pendidikannya setara S1.