transaksi yang dilarang dalam islam

22
Transaksi Yang Dilarang Dalam Islam Dalam ibadah kaidah hukum yang berlaku adalah bahwa semua hal dilarang, kecuali yang ada ketentuannya berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadis. Sedangkan dalam urusan mu‘amalah, semuanya diperbolehkan kecuali ada dalil yang melarangnya. Ini berarti ketika suatu transaksi baru munncul dan belum dikenal sebelumnya dalam hukum Islam, maka transaksi tersebut dapat diterima, kecuali terdapat implikasi dari dalil al-Qur’an dan al-Hadis yang melarangnya. Dengan demikian, dalam bidang mu‘amalah, semua transaksi dibolehkan kecuali yang diharamkan. Transaksi yang dilarang dalam Islam ada beberapa macam, dilarangnya transaksi itu sesuai dengan faktor penyebabnya. Adapun faktor penyebab dilarangnya transaksi tersebut, dan macam- macam transaksi yang dilarang adalah: a. Haram zatnya (haram li-zatihi) Transaksi dilarang karena objek (barang dan/atau jasa) yang ditransaksikan juga dilarang, misalnya minuman keras, bangkai, daging babi, dan sebagainya. Jadi, transaksi jual beli minuman keras atau barang yang diharamkan dalam Islam adalah haram, walaupun akad jual belinya sah. Sebagaimana fiman Allah SWT dalam An-Nahl ayat 115 “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu (memakan) bangkai, darah, daging babi dan apa yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah; tetapi Barangsiapa yang terpaksa memakannya dengan tidak Menganiaya dan tidak pula melampaui batas, Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Dan Hadis nabi Rasulullah saw. ُ ه ل ى الَ ّ لَ صِ ه ل الُ لْ وُ سَ رَ ّ نَ اْ مَ لْ عَ يْ مَ لَ . اَ ةَ رْ مَ سُ ه ل الَ ل َ ت ا َ : قَ الَ قَ ( ف ا ,ً ر ْ مَ ( خَ اع َ / بَ ةَ رْ مَ سَ ّ نَ اَ رَ مُ عَ ( غَ لَ 4 ب: َ الَ ا قَ مُ هْ ( نَ عُ له الَ ىِ ( ضَ رٍ ا سَ ّ / بَ عِ نْ / ب اِ نَ ع اَ هْ و ُ ع ا َ / بَ ( ف ا َ هْ وُ لَ مَ / جَ ( فُ مْ رُ حُ ّ I ش ل اُ مِ هْ نَ لَ عَ تَ مِ ّ ر ُ ح, َ دْ و ُ هَ نْ ل اُ ه ل الَ نَ عَ ل: َ ال َ قَ مَ ّ لَ سَ وِ ه ْ يَ لَ ع" " Diriwayatkan dari Ibn Abas r.a.: Telah sampai berita kepada Umar bahwa Samurah menjual tuak. Kemudian Umar berkata, “semoga Allah memerangi Samurah, tidak tahukah dia bahwa Rasulullah saw. bersabda, Allah mengutuki orang-orang Yahudi. Telah diharamkan atas mereka lemak, maka mereka memaksanya untuk dicairkan, kemudian menjualnya.”

Upload: muhammad-sufri-hasbi-mk

Post on 20-Oct-2015

334 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

TRANSAKSI YANG DILARANG DALAM ISLAM

TRANSCRIPT

Transaksi Yang Dilarang Dalam Islam

Dalam ibadah kaidah hukum yang berlaku adalah bahwa semua hal dilarang, kecuali yang ada ketentuannya berdasarkan al-Quran dan al-Hadis. Sedangkan dalam urusan muamalah, semuanya diperbolehkan kecuali ada dalil yang melarangnya. Ini berarti ketika suatu transaksi baru munncul dan belum dikenal sebelumnya dalam hukum Islam, maka transaksi tersebut dapat diterima, kecuali terdapat implikasi dari dalil al-Quran dan al-Hadis yang melarangnya. Dengan demikian, dalam bidang muamalah, semua transaksi dibolehkan kecuali yang diharamkan. Transaksi yang dilarang dalam Islam ada beberapa macam, dilarangnya transaksi itu sesuai dengan faktor penyebabnya. Adapun faktor penyebab dilarangnya transaksi tersebut, dan macam-macam transaksi yang dilarang adalah:

a. Haram zatnya (haram li-zatihi)Transaksi dilarang karena objek (barang dan/atau jasa) yang ditransaksikan juga dilarang, misalnya minuman keras, bangkai, daging babi, dan sebagainya. Jadi, transaksi jual beli minuman keras atau barang yang diharamkan dalam Islam adalah haram, walaupun akad jual belinya sah. Sebagaimana fiman Allah SWT dalam An-Nahl ayat 115 Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu (memakan) bangkai, darah, daging babi dan apa yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah; tetapi Barangsiapa yang terpaksa memakannya dengan tidak Menganiaya dan tidak pula melampaui batas, Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan Hadis nabi Rasulullah saw. : , : . :" , "Diriwayatkan dari Ibn Abas r.a.: Telah sampai berita kepada Umar bahwa Samurah menjual tuak. Kemudian Umar berkata, semoga Allah memerangi Samurah, tidak tahukah dia bahwa Rasulullah saw. bersabda, Allah mengutuki orang-orang Yahudi. Telah diharamkan atas mereka lemak, maka mereka memaksanya untuk dicairkan, kemudian menjualnya.

b. Haram selain zatnya (haram li gairihi)1) Melanggar prinsif an taradin minkum yaitu Penipuan (Tadlis)Setiap transaksi dalam Islam harus didasarkan pada prinsip kerelaan antara kedua belah pihak (sama-sama rida). Mereka harus mempunyai informasi yang sama sehingga tidak ada pihak yang merasa dicurangi (ditipu) karena ada sesuatu yang di mana salah satu pihak tidak mengetahui informasi yang diketahui pihak lain, ini disebut tadlis, dan tadlis dapat terjadi dalam 4 (empat)hal, yaitu:a) Kuantitas, tadlis dalam kuantitas contohnya adalah pedagang yang mengurangi takaran (timbangan) barang yang dijualnya.b) Kualitas, tadlis dalam kualitas contohnya adalah penjual yang menyembunyikan cacat barang yang ditawarkannya. Dalam tadlis kualitas terdapat dua bentuk yaitu yang pertama dengan cara menyembunyikan cacat yang ada pada barang yang bersangkutan, dan yang kedua dengan menghiasi atau memperindah barang yang ia jual sehingga harganya bisa naik dari biasanya. c) Harga, tadlis dalam harga contohnya adalah memanfaatkan ketidaktahuan pembeli akan harga pasar dengan menaikan harga produk di atas harga pasar.d) Waktu penyerahan, tadlis dalam waktu penyerahan contohnya adalah petani buah yang menjual buah diluar musimnya padahal petani mengetahui bahwa dia tidak dapat menyerahkan buah yang dijanjikannya itu pada waktunya. Adapun dasar hukum tentang larangan penipuan (tadlis) terhadap bertransaksi adalah sebagai berikut:a) Al-Baqarah ayat 42Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui. b) Al-Araf ayat 85Dan (kami telah mengutus) kepada penduduk Mad-yang saudara mereka, Syu'aib. ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu. Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan timbangannya, dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya. yang demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu orang-orang yang beriman". c) An-Nahl ayat 105Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka Itulah orang-orang pendusta. d) Hadis nabi yang diriwayatkan Abu Hurairah r.a : , , , : " " : ,: " " Diriwayatkan Abu Huraira r.a: Rasulullah saw. pernah lewat dihadapan orang yang menjual setumpuk makanan. Lalu beliau memasukkan tangannya kedalam tumpukan makanan itu, ternyata tangan beliau mengenai makanan basah di dalamnya. Kemudian beliau bertanya kepada orang itu, mengapa ini basah wahai penjual makanan? Orang itu menjawab, Makanan yang di dalam itu terkena hujan wahai Rasulullah. Beliau bersabda, Mengapa tidak kamu letakkan di atasnya supaya diketahui oleh orang yang akan membelinya? Barang siapa menipu, dia bukan dari golonganku. 2) Melanggar prinsip la tazlimuna wa la tuzlamuna) GararGarar artinya keraguan, atau tindakan yang bertujuan untuk merugikan pihak lain. Suatu akad mengandung unsur Garar, karena tidak ada kepastian, baik mengenai ada atau tidak ada objek akad, besar kecilnya jumlah maupun menyerahkan akad tersebut. Garar disebut juga tagrir adalah situasi di mana terjadi incomplete information karena adanya ketidakpastian dari kedua belah pihak yang bertransaksi. Dalam tadlis yang terjadi adalah pihak yang satu tidak mengetahui apa yang diketahui pihak yang lain. Sedang dalam gharar atau tagrir, baik pihak yang satu dengan yang lainnya sama-sama tidak mengetahui sesuatu yang ditransaksikan. Larangan jual beli Garar dalam hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah r.a. : Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a.: Rasulullah saw. melarang jual beli dengan cara melempar krikil kepada barang yang dibelinya dan melarang menjual barang yang tidak jelas rupa dan sifatnya (bai al-gharar). b) Ihtikar (Penimbunan barang)Penimbunan adalah membeli sesuatu yang dibutuhkan masyarakat, kemudian menyimpannya, sehingga barang tersebut berkurang dipasaran dan mengakibatkan peningkatan harga. Penimbunan seperti ini dilarang karena dapat merugikan orang lain dengan kelangkaannya/sulit didapat dan harganya yang tinggi. Dengan kata lain penimbunan mendapatkan keuntungan yang besar di bawah penderitaan orang lain. Larangan menimbun harta juga terdapat dalam Hadis nabi sebagai beriku: : : " " Diriwayatkan dari Mamar bin Abdillah r.a., dari Rasulullah saw.: beliau bersabda, Barang siapa menimbun (barang pokok), dia bersalah (berdosa). c) Reakayasa permintaan (Baian Najsy)Rekayasa permintaan yaitu produsen atau pembeli menciptakan permintaan palsu, seolah-olah ada banyak permintaan terhadap suatu produk sehingga harga jual produk tersebut akan naik. Dasar hukum terhadap larangan baian najsy terdapat dalam Hadis Nabi: : Diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a.: Rasulullah saw melarang najsy (penipuan yaitu menawar tinggi dengan maksu membeli, tetapi untuk menaikkan penawaran orang lain). d) RibaRiba adalah penyerahan pergantian sesuatu dengan sesuatu yang lain, yang tidak dapat terlihat adanya kesamaan menurut timbangan syara pada waktu akad-akad, atau disertai mengakhirkan dalam tukar menukar atau hanya salah satunya. Dasar hukum tentang larangan riba sangatlah banyak baik dalam al-Quran maupun Hadis Nabi, diantaranya adalah sebagai berikut:Surat Al-Baqarah ayat 275Orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. Hadis dari Jabir : , .: " "Diriwayatkan dari Jabir r.a.: Rasulullah saw. Mengutuk pemakan riba, orang yang memberi makan (keluarganya) dengan harta riba, panulis riba, dan kedua saksi riba. Beliau bersabda, Semua itu (hukumnya) sama e) Perjudian (Maysir)Transaksi perjudian adalah transaksi yang melibatkan dua pihak atau lebih, di mana mereka menyerahkan uang/harta kekayaan lainnya, kemudian mengadakan permainan tertentu, baik dengan kartu, adu ketangkasan, tebak sekor bola, atau media lainnya. Pihak yang menang berhak atas hadiah yang dananya dikumpulkan dari kontribusi para pesertannya. Sebaliknya, bila dalam permainan itu kalah, maka uangnya pun harus direlakan untuk diambil oleh pemenang. Allah telah melarang judi (maysir) sebagaimana firma-Nya dalam surat Al-Maidah ayat 90Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. f) Suap-menyuap (Risywah)Yang dimaksud dengan perbuatan risywah adalah memberi sesuatu kepada pihak lain untuk mendapatkan sesuatu yang bukan haknya. Suap dilarang karena suap dapat merusak sistem yang ada di dalam masyarakat, sehingga menimbulkan ketidakadilan sosial dan persamaan perlakuan. Pihak yang membayar suap pasti akan diuntungkan dibandingkan yang tidak membayar. Allah telah melarang pebuatan risywah atau suap-menyuap sebagaimana dalam al-Quran surat Al-Baqarah ayat 188Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui.

c. Tidak sahnya (lengkap) akadnyaSuatu transaksi tidak masuk kategori haram li gairihi maupun la tazlimuna wa la tuzlamun, belum tentu halal. Masih ada kemungkinan transaksi tersebut menjadi haram bila akad transaksi itu tidak sah atau tidak lengkap. Suatu transaksi dapat dikatakan tidak sah dan/atau tidak lengkap akadnya, bila terjadi salah satu atau lebih faktor-faktor berikut:1) Terjadi taalluq (jual beli bersyarat)Taalluq terjadi apabila ada dua akad saling dikaitkan di mana berlakunya akad pertama tergatung pada akad kedua, sehingga dapat mengakibatkan tidak terpenuhinya rukun (sesuatu yang harus ada pada akad) yaitu abjek akad. Adapun dasar hukum larangan jual beli bersyarat, sebagaimana dalam Hadis yang diriwayatkan Al-Thabarani Rasulullah saw. melarang jual beli dengan syarat. 2) Two in in one (safqatain fi al-safqah)Two in in one atau safqatain fi al-safqah adalah kondisi di mana satu transaksi diwadahi oleh dua akad sekaligus, sehingga terjadi ketidakpastian mengenai akad mana yang harus digunakan (berlaku). Contoh dari two in in one atau safqatain fi al-safqah adalah transaksi sewa-beli. Dalam transaksi ini terjadi ketidakjelasan dalam akad, karena tidak diketahui akad mana yang berlaku akad jual beli atau akad sewa. Adapun dasar hukumnya adalah sebagaimana Hadis yang diriwayatkan Amr ibn Syuaib r.a., Tidak dihalalkan meminjam dan menjual, dua syarat dalam satu transaksi jual beli, keuntungan yang belum dapat dijamin, dan menjual sesuatu yang bukan milikmu. -----------------------------------------------------------------------Daftar PustakaA. Karim, Ir. Adiwarman, Bank Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo, cet 3, 2006Saleh al-Fauzan, Fiqih Sehari-hari, (Penterjemah: Abdul Hayyie, Al-Mulakhkhasul Fiqhi), Jakarta: Gema Insani Pers, 2005Al-Din, Al-Hafizh Zaki, Ringkasan Shahih Muslim, (Penterjemah: Syinqithy Djamaluddin, Mukhtashar Shahih Muslim), Bandung: Mizan, 2002Hasan, M. Ali, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2003Sri Nurhayati, Wasilah, Akuntansi Syariah di Indonesia, Jakarta: Salemba Empat, 2009Muhammad, Asy-Syekh, Terjemah Fat-Hul Qarib, Jilid 1, (Penterjemah: Ahmad Sunarto, Fat-Hul Qarib), Surabaya: Al-Hidayah, t.tAl-Asqalani, Ibnu Hajar, Bulughul Maram, (Penterjemah: Irfan Maulana Hakim, Bulugh Al-Maram), Bandung: Khazanah, 2010

Problematika Ihtikar , Penimbunan Barang ( Monopoli) Problematika Ihtikar , Penimbunan Barang ( Monopoli)

I. PendahuluanPerdagangan dalam pandangan Islam merupakan salah satu dari aspek kehidupan yang bersifat horizontal, yang dikelompokkan ke dalam masalah muamalah, yakni masalah-masalah yang berkenaan dengan hubungan antarmanusia dalam kehidupan bermasyarakat. Sekalipun sifatnya adalah hubungan yang horizontal namun sesuai dengan ajaran Islam, rambu-rambunya tetap mengacu kepada al Quran dan hadis. Dari pespektif agama, aktivitas perdagangan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang digariskan oleh agama akan bernilai ibadah. Artinya, dengan perdagangan itu, selain mendapatkan keuntungan-keuntungan materil guna memenuhi kebutuhan ekonomi, pelakunya sekaligus dapat mendekatkan diri kepada Allah Swt. Islam berpegang pada asas kebebasan dalam tatanan muamalah. Setiap orang bebas membeli, menjual serta menukar barang dan jasa. Mereka menawarkan dan menjual barang miliknya dan membeli barang-barang yang dibutuhkannya. Ini berbeda dengan paham sosialis yang menolak kebebasan pasar. Kebebasan yang digariskan oleh Islam juga berbeda dengan kebebasan yang diusung oleh ekonomi kapitalis yang menganut pasar bebas sebebas-bebasnya. Perdagangan yang dijalankan dengan cara yang tidak jujur, mengandung unsur penipuan, yang karena itu ada pihak yang dirugikan, dan praktik-praktik lain yang sejenis merupakan hal-hal yang dilarang dalam Islam. Melakukan perdagangan dengan cara menimbun barang ( ihtikar ) dengan tujuan agar harga barang tersebut mengalami lonjakan sangat dilarang dalam Islam. Terlebih bila barang tersebut sedang langka, sementara masyarakat sangat membutuhkannya. Makalah ini membahas pengertian ihtikar, dasar hukum serta dampak ihtikar dalam dunia perdagangan.

II. Pembahasana. Pengertian Ihtikaral Ihtikar berasal dari kata -- yang berarti aniaya, sedangkan berarti ( menyimpan makanan, dan kata berarti ( mengumpulkan dan menahan ) . Para ulama mendefenisikan ihtikar sebagai berikut : 1. Ulama mazhab Maliki mendefenisikan dengan ; Penyimpanan barang oleh produsen baik makanan, pakaian dan segala barang yang merusak pasar.2. Ulama mazhab Hanafi mendefenisikan dengan; Menimbun bahan makanan pokok sambil menunggu harganya menjadi naik 3. Ulama Syafiiyah sebagaimana yang dijelaskan oleh Wahbah Zuhaili mendefenisikan Menahan sesuatu yang dibeli pada waktu mahal supaya bisa dijual dengan harga yang lebih dari waktu membeli karena orang sangat membutuhkan. 4. Fathi ad Duraini mendefenisikan ihtikar yaitu : .

Tindakan menyimpan harta, manfaat atau jasa dan enggan menjual dan memberikannya kepada orang lain, yang mengakibatkan melonjaknya harga pasar secara drastis disebabkan persediaan terbatas atau stok barang hilang sama sekali dari pasar, sedangkan masyarakat, Negara atau pun hewan memerlukan produk, manfaat atau jasa tersebut.Secara esensi definisi di atas sama, dan dapat difahami bahwa iktikar yaitu: Membeli barang ketika harga mahal. menyimpan barang tersebut sehingga kurang persediaannya di pasar. Kurangnya persediaan barang membuat permintaan naik dan harga juga naik. Penimbun menjual barang yang di tahannya ketika harga telah melonjak. Penimbunan barang menyebabkan rusaknya mekanisme pasar.

Ulama berbeda pendapat mengenai jenis barang yang di timbun, yaitu : Ulama Malikiyah, sebagian ulama Hanabilah, Abu Yusuf dan Ibn Abidin ( pakar fiqh Hanafi) menyatakan bahwa larangan ihtikar tidak terbatas pada makanan, pakaian dan hewan, tetapi meliputi seluruh produk yang diperlukan masyarakat. Menurut mereka, yang menjadi ilat ( motifasi hukum ) dalam larangan melakukan ihtikar itu adalah kemudharatan yang menimpa orang banyak. Oleh sebab itu kemudharatan yang menimpa orang banyak tidak terbatas pada makanan, pakaian dan hewan, tetapi mencakup seluruh produk yang diperlukan orang banyak. Imam asy Syaukani tidak merinci produk apa saja yang disimpan sehingga seseorang dapat dikatakan sebagai muhtakir jika barang itu untuk dijual ketika harga melonjak. Bahkan imam Syaukani tidak membedakan apakah penimbunan itu terjadi ketika pasar berada dalam keadaan normal ( pasar stabil), ataupun dalam keadaan pasar tidak stabil. Sebagian ulama Hanabilah dan Imam al Ghazali mengkhususkan keharaman ihtikar pada jenis produk makanan saja. Alasan mereka karena yang dilarang dalam nash hanyalah makanan. Ulama Syafiiyyah dan Hanafiyah membatasi ihtikar pada komoditi yang berupa makanan bagi manusia dan hewan. Ihtikar menurut Fathi ad Duraini, tidak saja menyangkut komoditas, tetapi juga manfaat serta komoditas dan bahkan jasa dari pemberi jasa dengan syarat, embargo yang dilakukan para pedagang dan pemberi jasa ini dapat membuat harga pasar tidak stabil, padahal komoditas manfaat atau jasa tersebut sangat diperlukan oleh masyarakat, Negara dan lain-lain.Umpamanya, pedagang gula pasir dan terigu pada awal bulan Ramadhan tidak mau menggelar dagangannya, karena mengetahui minggu terakhir bulan Ramadhan masyarakat sangat membutuhkan gula dan terigu untuk menghadapi lebaran. Dengan menipisnya stok gula pasir dan terigu di pasar, harga jualnya akan naik. Ketika itu para pedagang menjual gula dan terigunya sehingga mereka mendapatkan keuntungan yang berlipat ganda. Demikian juga halnya dengan barang-barang yang lain terutama keperluan Sembilan bahan pokok.

b. Dasar Hukum Pelarangan Ihtikar Dasar hukum yang digunakan para ulama fiqh yang tidak membolehkan ihtikar adalah kandungan nilai-nilai universal al Quran yang menyatakan bawa setiap perbuatan aniaya, terrnasuk didalamnya ihtikar diharamkan oleh agama Islam.Diantara ayat-ayat tersebut adalah firman Allah:

.Dan tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan taqwa dan janganlah tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran(al Maidah : 2 )

Maka jika kamu tidak mengerjakan ( meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat , maka bagimu pokok hartamu, kamu tidak menganiaya dan tidak dianiaya.( al Baqarah: 279) .Dan Dia tidak sekali-kali menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan ( al Hajj: 78) Allah tidak menginginkan kesulitan apapun bagi kamu ( almaidah:6)

Disamping ayat-ayat diatas disebutkan juga dalam Sunnah Rasulullah

- - Menceritakan akan kami Said bin Amr Asyatsiy, mencritakan Hatim bin Ismail dari Muhamad bin Ajlan dari Muhamad bin Amr bin Atha dari Said bin Musayyab dari Mamar bin Abdillah dari Rasulullah saw, Tidak ada orang yang menimbun barang kecuali orang yang durhaka ( salah) HR.Muslim

Kata bersalah disini bukanlah kata yang boleh dianggap enteng. Sebab kata itu dipakai al Quran untuk mengindentifikasi orang-orang yang durhaka dan congkak, seperti Firaun, Haman dan para kaki tangannya. Allah swt berfirman: Sesungguhnya Firaun dan Haman beserta tentara-tentaranya adalah orang-orang yang bersalah. ( al Qashas: 8)An Nawawi berkata dalam Syarh Shahih Muslim Hadits diatas dengan jelas menunjukkan haramnya ihtikar. Para ulama Syafii mengatakan bahwa ihtikar yang diharamkan adalah penimbunan barang-barang pokok tertentu, yaitu membelinya pada saat harga mahal dan menjualnya kembali. Ia tidak menjual saat itu juga, tapi ia simpan sampai harga melonjak naik. Tetapi jika dia mendatangkan barang dari kampungnya atau membelinya pada saat harga murah lalu ia menyimpannya karena kebutuhannya, atau ia menjualnya kembali saat itu juga, maka itu bukan ihtikar dan tidak diharamkan. Adapun selain bahan makanan, tidak diharamkan penimbunan dalam kondisi apapun juga. Begitulah perinciannya dalam madzhab kami.

- - .

Dari Umar bin Khatab, ia berkata aku mendengar Rasulullah saw bersabda , barangsiapa menimbun makanan dari orang-orang Muslim,maka Allah membalasnya dengan penyakit kusta dan kebangkrutan.

: : { }

Diriwayatkan dari Maqil bin Yasar: Barang siapa mempengaruhi harga pasar di kalangan muslimin sehingga menjadi mahal, niscaya Allah menempatkannya di tengah-tengah jilatan api neraka pada hari kiamat.

Hadis yang diriwayatkan oleh Maqil bin Yasar RA, sahabat Rasulullah saw, ketika sedang menderita sakit keras, ia didatangi oleh Ubaidillah bin Ziyad ( salah seorang gubernur dari bani Umaiyah) untuk membesuknya. Ubaidillah berkata kepada Maqil,: Hai Maqil, apakah engkau telah menganggap bahwa saya telah menumpahkan darah yang haram? saya tidak tahu jawab Maqil. Ubaidillah bertanya lagi, apakah engkau pernah mengetahuiku intervensi dalam urusan harga dikalangan kaum muslimin? saya tidak tahu, jawab Maqil, kemudian Maqil berkata, dudukkanlah saya. Mereka pun mendudukkannya. Ia berkata, wahai Ubaidillah, dengarkanlah ! saya akan menceritakan kepadamu sesuatu yang pernah kudengar dari Rasulullah saw suatu ketika saya mendengar Rasulullah saw bersabda, maka di sampaikannya hadis tersebut. Para pelaku monopoli mempermainkan barang yang dibutuhkan oleh umat dan memanfaatkan hartanya untuk membeli barang, kemudian menahannya sambil menunggu naiknya harga barang itu tanpa memikirkan penderitaan masyarakat karenanya. Umar bin khatab, pada masa kekhalifahannya sangat mendorong para pedagang untuk mengimpor barang agar terpenuhi kebutuhan pasar umat Islam, sebaliknya sikapnya keras dalam menghadapi para penimbun barang yang buru-buru membeli barang-barang tersebut. Kemudian menimbunnya dari umat Islam, dan mengeluarkan perintahnya untuk melarang para penimbun barang untuk berjual beli di pasar umat Islam. Diantara perkataan umar dalam hal ini, barangsiapa yang datang ke tanah kami dengan barang dagangan hendaklah dia menjualnya sebagaimana yang diinginkannya, dia adalah tamuku sampai dia keluar, dia adalah teladan kami, dan janganlah menjual di pasar kami seorang penimbun barang. Umar juga berkata: tidak boleh ada penimbunan barang di pasar kami dan janganlah dipercaya orang-orang yang ditangannya ada kelebihan harta dari rizki Allah yang turun di tanah kami, maka menimbunnya dari kami, akan tetapi siapa saja yang mengimpor dengan hartanya pada musim dingin dan panas, maka dia adalah tamu Umar, maka silakan dia menjual sebagaimana Allah kehendaki, dan silakan menahan sebagaimana Allah kehendaki.

c. Pendapat Ulama Tentang Hukum IhtikarBerdasarkan pada ayat-ayat al Quran dan Sunnah Rasulullah Saw, para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa ihtikar tergolong ke dalam perbuatan yang dilarang ( haram ). Seluruh ulama sepakat menyatakan bahwa melakukan ihtikar itu hukumnya haram, meskipun terjadi perbedaan pendapat tentang cara menetapkan hukumnya, sesuai dengan sistem pemahaman hukum.Pertama : ulama Syafiiyyah, Hanabillah, Malikiyah, Zaidiyah dan Zahiriyyah. Menurut mereka, melakukan ihtikar hukumnya haram. Alasan yang mereka kemukakan adalah ayat dan hadis-hadis yang telah disebutkan. Menurut Malikiyyah, ihtikar hukumnya haram dan harus dapat dicegah oleh pemerintah dengan segala cara, karena perbuatan itu memberikan mudharat yang besar terhadap kehidupan masyarakat, stabilitas ekonomi masyarakat dan negara.Dalam masalah ihtikar yang paling utama yang harus diperhatikan adalah hak konsumen, karena menyangkut orang banyak. Sedangkan hak orang yang melakukan ihtikar hanya merupakan hak pribadi. Sekiranya hak pribadi bertentangan dengan hak orang banyak, maka hak orang banyaklah yang harus diutamakan dan didahulukan.Mazhab Syafiiyah berpendapat , bahwa hadis yang menyatakan ihtikar merupakan suatu pekerjaan yang salah, mengandung pengertian yang dalam. Sebab orang yang melakukan kesalahan dengan sengaja, berarti telah berbuat suatu pengingkaran terhadap ajaran agama, merupakan perbuatan yang diharamkan. Apalagi ancaman dalam hadis itu adalah jadi penghuni neraka. Ulama Hanabilah mengatakan, ihtikar merupakan perbuatan yang diharamkan oleh syariat, karena membawa kemudharatan yang besar terhadap masyarakat. Pengharaman terhadap perbuatan ihtikar apabila terdapat tiga unsur, yaitu :1. Barang yang ditimbun harus dibeli terlebih dahulu.2. Barang yang dibeli merupakan bahan makanan yang dibutuhkan masyarakat.3. Adanya kesulitan masyarakat untuk mendapatkan bahan makanan yang dibutuhkan. Kedua, Ulama Hanafiyah menyatakan, menurut meraka perbuatan ihtikar hukumnya makruh tahrim ( istilah hukum haram dari kalangan fiqh hanafi yang didasarkan kepada dalil zanni. Dalam persoalan ihtikar, menurut mereka larangan secara tegas hanya muncul dari hadis ahad. Sedangkan kehujjahan hadis ahad adalah zanni. Disamping itu sesuai dengan kaidah yang sifatnya qathi seseorang bebas membeli dan menual barang dagangannya tanpa campur tangan orang lain. Menjual barang atau tidak adalah masalah prinadi seseorang. Ulama Hanafiyah tidak secara tegas menyatakan haram dalam menetapkan hukum ihtikar, karena menurut mereka dalam masalah ini terdapat dua dalil yang bertentangan, yaitu : (a) berdasarkan hak milik yang dimiliki pedagang, mereka bebas melakukan jual beli sesuai dengan kehendak mereka. (b) adanya larangan berbuat mudharat kepada orang lain dalam bentuk apapun. Larangan disini tidak langsung tertuju kepada perbuatan ihtikar melainkan larangan itu muncul disebabkan mudharat yang ditimbulkan tindakan itu. Sayyid Sabiq dalam fiqih sunnah menyatakan bahwa para ulama sepakat mengharamkan ihtikar dengan tiga syarat:1. Syarat berlakunya penimbunan adalah keberadaannya sampai batas membuat penduduk negeri itu kesulitan untuk membeli barang yang ditimbun, karena realita penimbunan tidak akan terjadi kecuali di dalam kondisi ini. Seandainya belum sampai menyulitkan penduduk negri untuk membeli barang maka tidak akan terjadi penghimpunan barang dan tidak terjadi dominasi terhadapnya supaya bisa dijual dengan harga tinggi.2. Bahwa barang yang ditimbun adalah kelebihan dari kebutuhannya berikut tanggungan untuk persediaan setahun penuh. 3. Bahwa orang tersebut menunggu saat-saat memuncaknya harga barang agar ia dapat menjualnya dengan harga yang tinggi karena orang sangat membutuhkan barang tersebut. Syarat yang dikemukakan Sayid Sabiq tersebut menjelaskan bahwa ihtikar tidak hanya terfokus pada barang yang dibeli. Namun semata menghimpun sembari menunggu harganya melambung sehingga bisa menjualnya dengan harga yang tinggi bisa dinilai sebagai penimbunan, baik penghimpunan barang itu dengan cara membelinya atau mengumpulkannya dari tanah pertanian yang luas karena memonopoli kepemilikan areal produksi jenis tersebut atau kelangkaan pertaniannya; atau menghimpun dari pabrik karena memonopoli kepemilikan industry jenis itu atau karena kelangkaan industri. Semua itu merupakan penimbunan.Akad membeli barang untuk ditimbun merupakan akad yang secara formal adalah sah karena memenuhi seluruh rukun dan syaratnya. Itu seperti jual beli selama azan shalat jumat, jual beli formalnya sah , tetapi haram karena adanya larangan tegas tentangnya. Babilli menyatakan bahwasanya proses penimbunan bukan hanya mengkorupsi komoditas yang ditimbun namun juga kekayaan yang ditimbun. Korupsi kekayaan, menurut Babilli, adalah menyetop keuntungan dari barang dan menghentikan sirkulasinya, dan akan mengakibatkan tersendatnya distribusi kekayaan.Menurut Maududi, Larangan terhadap penimbunan barang disamping untuk memberikan pelayanan pada tujuan-tujuan tertentu, ia juga bertujuan untuk mengeliminasi kejahatan black market ( pasar gelap) yang biasanya muncul seiring dengan adanya penimbunan barang. Penimbunan barang adalah halangan terbesar dalam pengaturan persaingan dalam pasar Islam. Hal tersebut dikarenakan pengaruhnya terhadap jumlah barang yang tersedia dari barang yang ditimbun, dimana beberapa pedagang memilih untuk menahan barang dagangannya dan tidak menjualnya karena menunggu naiknya harga. Prilaku ini mempunyai pengaruh negative dalam fluktuasi kemampuan persediaan dan permintaan barang. Penimbunan dapat menyebabkan pergeseran kurva penawaran dan permintaan , yaitu perbuatan yang melanggar hukum dari penjual. Dalam tingkat international, menimbun barang merupakan penyebab terbesar dari krisis ekonomi yang di alami oleh manusia sekarang dimana beberapa Negara kaya dan maju secara ekonomi memonopoli produksi dan perdagangan beberapa kebutuhan makanan dan industry dunia dan lain sebagainya. Bahkan Negara-negara tersebut memonopoli pembelian bahan-bahan baku dari Negara terbelakang ekonominya dan memonopoli penjualan barang-barang industry yang dibutuhkan oleh Negara-negara yang terbelakang ekonominya. Hal tersebut membuat bahaya besar pada keadilan distribusi kekayaan dan pendapatan dalam tingkat dunia.

PENUTUP

Ihtikar merupakan suatu upaya seseorang atau lembaga untuk menimbun barang, manfaat atau jasa sehingga menjadi langka di pasaran dan dapat diperkirakan harganya melonjak naik. Perbuatan ihtikar merupakan sebuah penganiayaan terhadap orang lain yang dilakukan secara sengaja untuk memperoleh keuntungan pribadi. Namun apabila menimbun barang ( komoditi ) manfaat atau jasa tersebut tidak memberi mudharat, dalam artian tidak menimbulkan keresahan di tengah masyarakat serta tidak untuk tujuan memonopoli dan meraih keuntungan yang besar, maka hal tersebut tidak di larang. Para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa ihtikar yang menyebabkan kelangkaan barang dan merusak mekanisme pasar hukumnya haram dan untuk mengatasi hal ini pemerintah harus campur tangan untuk mengawasi harga dan pengaturan perantara perdagangan.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Ibn Manzhur, Lisanul Arab, Qairo: Dar al MaarifMaktabah Syamilah, Al Muntaqiy Syarh Al Muawatta,Maktabah Syamilah, Inayah Syah Hidayah, ( Fiqh Hanafi )Wahbah Zuhaily, Al Fiq al Islamiy wa Adillatuhu, Damaskus: dar al Fikr, 1985Fathi ad Duraini, al Fiqh al Islami al Muqarran, Damsyik, ttp,ttAbdul Hafiz Farghaliy, al Buyu Fi al Islam, Qairo, Darul Mahwah, ttImam Abi al Husainy Muslim Ibn al Hajjaj a Qusyairy an Naisyaburiy, Shahih Muslim, Kairo: Dar al Hadis, 1991 An Nawawi, Syarh Sahih Muslim, Kairo: 1996Al hafiz Abi Abdillah Muhamad bin Yusuf al Qazwiniy, Sunan Ibnu Majah, Dar al ihya al Kutub al Arabiah Nailul Authar, Bab M Ja a f al Ihtikr, Juz 8,Yusuf Qardhawi, Halal Haram dalam Islam. Diterjemah oleh : Wahid ahmadi dkk Surakarta: Era Intermedia, 2003Jaribah bin Ahmad al Haritsi, al Fiqh al Iqtishadi Li Amiril Mukminin Umar ibn al Khatab, diterjemah oleh Asmuni solihan Zamakhsyari, Jakarta : Khalifa, 2006 Nasrun Harun, Fiqh Muamalah, Jakarta : Gaya Media Pratama, 2000 Ibnu Qudamah al Maqdisi, al Mughni, ( Maktabah Syamilah ) Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Cairo: Juz 3 Yusuf Ahmad Mahmud, Bisnis Islami dan Kritik atas Praktik Bisnis Ala Kapitalis, Penerjemah: Yahya Abdurrahman, Bogor : Al Azhar Press, 2009Adiwarman a.Karim, Ekonomi Islam suatu Kajian Kontemporer, Jakarta : Gema Insani, 2001

11.1 Latar Belakang Masalah

Di tengah krisis ekonomi yang berkepanjangan yang menimpa negara Indonesia, khususnya umat Islam, banyak sekali orang-orang yang ingin memperoleh keuntungan dengan jalan yang tidak halal, yaitu tidak sesuai dengan peraturan-peraturan dalam Islam. Misalnya saja, masalah penimbunan barang pokok telah banyak sekali terjadi karena ingin mempeoleh keutnngan yang lebih untuk pribadinya sendiri, sedangkan orang-orang yang berada di kalangan bawah menjadi rugi karenanya.Oleh karena itu, banyak sekali penguasa yang mengeruk keutnungannya dengan cara ihtikar (penimbunan) khususnya makanan pokok, jenis sekali ini sangat menguntungkan mereka karena dengan menimbun barang poko tersebut. Mereka memaksa masyarakat untuk membeli dengan harga 2 kali lipat, karena barang yang ada di pasaran sudah habis dan para konsumen mau tidak mau harus membelinya dari mereka. Oleh karenanya, ihtikar sangat dilarang oleh agama Islam karena sangat merugikan orang-orang kecil dan hukumnya berdosa.

1.2 Identifikasi Masalah

Adanya perbedaan para ulama fiqh dalam menentukan/menetapkan hukum ihtikar, maka penulis akan membahas beberapa masalah tentang pengertian, hukum, dan apa-apa yang ada dalam masalah bihtikar dengan rincian sebagai berikut:1. Pengertian ihtikar.2. Hukum ihtikar.3. Waktu diharamkannya ihtikar.Ketiga permasalahan di atas, akan dibahas dalam bab berikutnya dengan singkat dan jelas.

BAB II

LARANGAN MENIMBUN BARANG POKOK

2.1 Pengertian IhtikarDi dalam kitab Fiqh Sunnah karangan Sayyid Sabiq bahwasanya ia mendefinisikan ihtikar sebagai berikut:

Artinya:Ihtikar adalah menyembunyikan sesuatu (barang) kemudian supaya barang tersebut sedikit di kalangan manusia maka harganya menjadi tinggi dan menimpa mereka karena kemudlaratan itu. (Fiqgh Sunnah, Juz 3 : 117)Ihtikar/menimbun artinya membeli barang dalam jumlah yang banyak , kemudian menyimpannya dengan maksud untuk menjualnya dengan harga tinggi kepada penduduk / masyarakat di saat mereka membutuhkannya. Biasanya barang yang ditimbun itu adalah barang yang melimpah dan harganya murah. Ketika barang sudah langka dan harganya tinggi, maka orang yang menimbun barang tersebut mengeluarkannya dengan harga tinggi, sehingga ia memperoleh keuntungan yang berlipat. Meskipun harganya tinggi, penduduk terpaksa membelinya karena mereka sangat membutuhkan barang pokok tersebut.

2.2 Hukum

Ihtikar merupakan perbuatan yang diharamkan oleh syara dan sangat dilarang karena ia menimbun makanan pokok, berakhlak yang tercela, serta menyulitkan manusia. Di antara hadits-hadits yang melarang perbuatan ihtikar adalah sebagai berikut:

1. Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Turmudzi dan Muslim:

:

Artinya:Diriwayatkan oleh Abu Daud, Tirmudzi dan Muslim, yang diterima dari Mamar, bahwasanya Nabi saw. bersabda, Barangsiapa yang menimbun (makanan pokok), maka dia itu berdosa.Dalam hadits di atas tidak dijelaskan jenis barang yang ditimbun, sehingga kalangan ulama Fiqh berbeda pendapat. Di antara mereka ada yang berpendapat, bahwasanya jenis barang apa saja yang memadlaratkan orang lain. Tapi hadits di atas jelas bahwa orang yang menimbun itu jelas-jelas telah berdosa. (Fiqh Sunnah, Juz 3 : 117)

2. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim : . ( )Artinya:Dari Mamar bin Abdillah, Rasulullah saw. bersabda, Tidaklah seseorang menimbun (makanan pokok) melainkan ia berdosa.Hadits di atas memperkuat hadits yang sebelumnya, bahwasanya orang yang menimbun (makanan pokok) maka dia telah berdosa kepada Allah swt. (Mulughul Marah, Juz II)Menurut Madzhab Jumhur dari kalangan Syafiiyyah, Malikiyah, Hanabilah dan selainyya, bahwa penimbunan barang hukumnya haram, berdasarkan pertimbangan bahwa perbuatan tersebut akan menimbulkan kemadlaratan bagi manusia. Tapi, menurut pendapat fuqaha, di kalangan madzhab Hanafiyah, bahwa penimbunan barang dagangan hukumnya makruh tahrim saja, dengan pertimbangan bahwa penimbunan tersebut diperbolehkan jika demi kemaslahatan.

3. Hadits yang diriwayatkan oleh Rojiin di dalam Jaminya: : Artinya:Rojin menyebutkan di dalam Jaminya, bahwasanya Rasulullah saw. berkata, sejelek-jeleknya hamba adalah sipenimbun, jika ia mendengar barang murah ia murka, dan jika barang menjadi mahal ia bergembira.Hadits di atas menunjukkan bahwa tidak diragukan lagi bahwasanya para penimbun dianggap sebagai sejelek-jeleknya hamba yang secara tidak langsung telah merampas hak dan kehidupan orang lain demi kepentingan dirinya sendiri. (Fiqh Sunnah, Juz 3 : 117)

4. Hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Haki, Ibnu Abi Syaibah dan Bazzar : Artinya:Telah meriwayatkan Ahmad,m Hakim, Ibnu Abi Syaibah dan Bazzar, bahwasanya Rasulullah saw. telah bersabda, Barang siapa yang menimbun barang pangan (makanan pokok) selama empat puluh hari, maka ia sungguh telah terlepas dari Allah dan Allah pun lepas darinya.Maksud hadits di atas adalah bahwasanya penimbun itu telah keluar dari kontrol Allah swt. Jadi, ia bebas melakukan apa saja yang dikehendakinya, seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Larangan yang lebih tegas tentang penimbunan ini terdapat dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Hakim dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah saw. bersabda:

Orang-orang yang menawarkan barang dan menjualnya dengan harga murah (jalib) diberirezeki., sedangkan penimbun dilaknat. (Fiqh Sunnah, Juz 3 : 117)

2.3 Waktu Diharamkannya Ihtikar

Para Ahli Fiqh, sebagaimana dikutif oleh Drs. Sudirman M, MA berpendapat bahwa penimbunan barang diharamkan bila terdapat syarat sebagai berikut:

1. Barang yang ditimbun melebihi kebutuhannya, atau dapat dijadikan persediaan untuk setahun penuh.2. Barang yang ditimbunnya dalam usaha menunggu saat naiknya harga, sehingga barang tersebut dapat dijual dengan harga yang lebih tinggi, dan para konsumen sangat membutuhkannya.3. Penimbunan itu dilakukan pada saat manusia sangat membutuhkannya, mislanya makanan, pakaian, dan lain-lain. Dengan demikian. Penimbunan barang-barang yang tidak dibutuhkan oleh konsumen, hal itu tidak dianggap sebagai penimbunan, karena tidak mengakibatkan kesulitan pada manusia.

Referensi: tarfsirMuhammad Nasib Ar-rifai, Kemudahan Dari Allah Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1, Gema Insani, 1999