transformasi lembaga keuangan mikro agribisnis … · mengikuti sistem dan usaha agribisnis. jika...

25
Laporan Analisis Kebijakan TRANSFORMASI LEMBAGA KEUANGAN MIKRO AGRIBISNIS (LKM-A) MENJADI LEMBAGA KEUANGAN MANDIRI PERDESAAN Sahat M. Pasaribu Herlina Tarigan PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2015

Upload: dokhue

Post on 03-Mar-2019

238 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Laporan Analisis Kebijakan

TRANSFORMASI LEMBAGA KEUANGAN MIKRO AGRIBISNIS (LKM-A) MENJADI LEMBAGA KEUANGAN

MANDIRI PERDESAAN

Sahat M. Pasaribu

Herlina Tarigan

PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

KEMENTERIAN PERTANIAN

2015

DAFTAR ISI

1. Pendahuluan ........................................................................... 1 1.1. Latar Belakang ........................................................................ 1 1.2. Rumusan Masalah ................................................................... 3

1.3. Tujuan .................................................................................... 3 1.4. Justifikasi ................................................................................ 3

1.5. Hasil Yang Diharapkan ............................................................. 4 2. Metodologi .............................................................................. 4

2.1. Kerangka Pemikiran ................................................................. 4 2.2. Lokasi Kajian, Data dan Responden .......................................... 5 2.3. Pengumpulan, Pengolahan dan Analisis Data ............................. 6

3. Hasil dan Pembahasan ............................................................. 6 3.1. LKM-A yang Layang Dikembangkan .......................................... 6

LKM-A Lembang Agri, Desa Cikajang, Lembang, Bandung Barat .. 9 LKM-A Sauyunan, Desa Caluncat, Kecamatan Cangkuang, Bandung 11 3.2. Kemampuan LKM-A Melaksanakan Kegiatan Agribisnis .............. 14

3.3. LKM-A sebagai Lembaga Keuangan Mandiri Perdesaan: Sintesis .. 16 4. Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan .......................................... 19

4.1. Kesimpulan ............................................................................. 19 4.2. Implikasi Kebijakan .................................................................. 20

Referensi ................................................................................ 22

1

1. Pendahuluan

1.1. Latar Belakang

Permasalahan paling mendasar yang dihadapi petani saat ini adalah

kurangnya modal kerja, yakni uang tunai yang digunakan untuk membiayai

usahataninya. Petani tidak memiliki agunan yang cukup untuk memenuhi

persyaratan pinjaman/kredit bank. Ini berarti bahwa petani tidak akan pernah dapat

mengakses fasilitas yang disediakan pihak perbankan selama agunan digunakan

sebagai salah satu syarat peminjaman uang tunai. Oleh karena itu, harus diakui

bahwa kurangnya modal kerja ini akan sangat berpengaruh terhadap kinerja

usahatani.

Hingga saat ini (2015) program bantuan sosial dalam kegiatan agribisnis

masih berlangsung dan sejumlah Gapoktan di berbagai daerah masih menerima

Bantuan Langsung Masyarakat Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (BLM

PUAP). Jumlah penerima BLM PUAP sejak 2008 tercatat lebih dari 50.000 Gapoktan.

Hasil penelitian sebelumnya melaporkan bahwa sebagian diantara penerima BLM

PUAP ini berhasil mengembangkan Lembaga Keuangan Mikro-Agribisnis (LKM-A)

sebagaimana diharapkan oleh program ini, namun sebagian besar lainnya tidak

berhasil mengembangkannya (Pasaribu et al., 2011). Hasil penelitian ini selanjutnya

mengungkapkan gambaran pengembangan kelembagaan Gapoktan dan Unit Usaha

Simpan Pinjam/LKM-A sebagai berikut:

a. Pembentukan kelembagaan Gapoktan dan LKM-A hanyalah sarana bantu,

karena pemerintah masih terfokus pada upaya peningkatan produksi melalui

penerapan teknologi produksi.

b. Pembentukan kelembagaan ditekankan baik untuk memperkuat ikatan-ikatan

horisontal maupun memperkuat ikatan vertikal.

c. Kelembagaan Gapoktan dan LKM-A dibentuk lebih untuk tujuan distribusi

bantuan dan memudahkan kontrol dari pemerintah, masih kurang kuat dalam

aspek pemberdayaan masyarakat.

d. Bentuk kelembagaan yang dikembangkan bersifat seragam dan mulai

menggunakan pendekatan agribisnis, namun masih tersekat-sekat dan belum

terintegratif.

e. Pembinaan untuk kelembagaan Gapoktan dan LKM-A yang telah dilakukan

melalui pendekatan kelompok, namun pendekatan partisipatif masih belum

dilakukan secara maksimal.

f. Pengembangan kelembagaan Gapoktan dan LKM-A cenderung menggunakan

pendekatan struktural dari pada pendekatan kultural.

2

g. Introduksi inovasi teknologi dan rekayasa kelembagaan lebih menekankan

pada pendekatan budaya material (bantuan dana, alsintan, sarana produksi)

dibanding non material (membangun sistem nilai).

h. Introduksi kelembagaan Gapoktan dan LKM-A dilakukan dalam rangka untuk

memperoleh dana BLM PUAP, belum pada konsolidasi usaha ekonomi produktif

sehingga mencapai skala ekonomi.

i. Aspek modal masih dijadikan jurus klasik perancang kebijakan pemerintah

untuk memecahkan masalah marjinalisasi ekonomi masyarakat pedesaan,

namun masih lemah dari aspek pemberdayaan masyarakat.

j. Kelembagaan pendukung belum dikembangkan dengan baik, karena

pelaksanaan pembangunan terjebak dalam pendekatan sektoral.

k. Sikap dan tindakan (aparat) pemerintah di atas tampaknya disebabkan karena

pola pikir yang lemah dalam pemahaman di bidang kelembagaan dan

pemberdayaan masyarakat.

Beberapa permasalahan mendasar yang melatarbelakangi pentingnya

transformasi kelembagaan meliputi masalah struktur kelembagaan yang tidak

lengkap, status badan hukum bersifat informal, pembagian tugas yang belum jelas,

sistem koordinasi yang belum efektif, serta jenis kegiatan usaha yang belum

mengikuti sistem dan usaha agribisnis. Jika kelembagaan yang telah

dikembangkan, seperti kelembagaan kelompok tani, gabungan kelompok tani

(Gapoktan), dan LKM-A tidak mengalami percepatan transformasi ke arah yang lebih

maju, maka masa depan kelembagaan-kelembagaan tersebut akan mengalami

kemandekan (stagnant). Harus disadari bahwa setiap perubahan memerlukan

wadah atau kelembagaan. Dalam kaitan ini, perluk upaya mentransformasikan

kelembagaan Gapoktan dan LKM-A ke arah kelembagaan yang profesional dan

berbadan hukum (Saptana et al., 2014). Bagaimana mengubah seluruh pelaku usaha

pada seluruh jaringan agribisnis, baik secara individual maupun kelompok, menjadi

pelaku ekonomi produktif merupakan tantangan besar dalam kebijakan

pengembangan agribisnis di perdesaan.

Memerhatikan perkembangan ketersediaan modal kerja petani di perdesaan

saat ini, salah satu solusi yang diduga dapat efektif membantu kesulitan permodalan

petani adalah dengan mentransformasi Gapoktan dengan LKM-A menjadi lembaga

keuangan yang kuat dan mandiri. Mendorong LKM-A menjadi lembaga keuangan

yang mampu membantu petani di perdesaan sangat dibutuhkan untuk mengisi

kesulitan akses petani ke perbankan. LKM-A dapat menjadi alternatif lembaga

keuangan yang dekat dengan petani (secara fisik/lokasi maupun psikologis),

sehingga upaya untuk memperkuat LKM-A dapat dinilai sebagai salah satu cara

untuk membantu masalah keuangan petani kedepan. Dalam kaitan ini, LKM-A yang

berhasil menunjukkan kemampuan mengelola dana dan berkembang perlu dipelajari

3

apakah mampu ditransformasikan menjadi lembaga keuangan yang kuat. Kajian ini

dimaksudkan untuk mengevaluasi LKM-A tersebut dan merekomendasikan

pengembangan LKM-A menjadi lembaga keuangan perdesaan yang mandiri atau

dapat diintegrasikan kedalam kegiatan lembaga Gapoktan, koperasi (berbadan

hukum) ataupun BUMDesa/BUMPetani.

1.2. Rumusan Masalah

Kelembagaan agribisnis dalam LKM-A masih lemah, terutama dalam hal: (a)

kompatibilitas antara struktur organisasi yang dibangun dengan peran atau fungsi

yang harus dijalankan; (b) ketersediaan aturan main yang jelas dan transparan; (c)

upaya peningkatan keterampilan teknis dan kapabilitas manajerial; (d) jiwa

kewirausahaan pelaksana kegiatan bisnis; dan (e) jaringan kerja (networking) bisnis

yang lebih luas. Lemahnya kedudukan LKM-A dalam hal SDM dan secara

administratif membutuhkan pemikiran yang serius untuk memberdayakannya hingga

menjadi lembaga keuangan yang kuat, baik secara mandiri maupun terintegrasi

dalam Badan Usaha Milik Desa atau Badan Usaha Milik Petani. Secara keseluruhan,

masalah mendasar yang dihadapi petani jika ingin menguatkan petani dan

memenuhi semua permasalahan diatas adalah tersedianya modal kerja yang

memadai atau cukup menurut kemampuan manajemen yang dapat dikendalikan

Gapoktan/Poktan/petani.

1.3. Tujuan

Secara umum, kajian ini bertujuan untuk mengevaluasi LKM-A penerima BLM

PUAP yang dinilai oleh dinas pertanian setempat (atau menurut data sekunder di

tingkat pusat) menunjukkan kinerja usaha agribisnis yang baik dan dinilai mampu

berkembang menjadi lembaga keuangan mandiri. Secara khusus, kajian ini

bertujuan untuk:

a. Mengidentifikasi LKM-A yang layak dikembangkan menjadi lembaga

keuangan.

b. Mengevaluasi kemampuan LKM-A melaksanakan kegiatan agribisnis.

c. Merumuskan tindak lanjut transformasi LKM-A menjadi lembaga keuangan

mandiri perdesaan.

1.4. Justifikasi

Kesulitan petani mendapatkan sumber permodalan untuk membiayai usaha

pertanian diperlihatkan oleh kenyataan bahwa akses petani ke bank sangat terbatas.

Kinerja usahatani kurang optimal antara lain disebabkan oleh kurangnya modal kerja

yang dimiliki petani. Untuk meningkatkan kinerja usahatani, ketersediaan modal

kerja menjadi salah satu prasyarat utama dan oleh karena itu diperlukan lembaga

keuangan yang melayani petani dan dapat menyediakan kebutuhan usahatani tanpa

mengharuskan agunan sebagai syarat meminjam dana. LKM-A diduga mampu

4

menyediakan dana dan atau menyiapkan kebutuhan petani untuk melakukan

budidaya sesuai rekomendasi untuk keberhasilan usaha pertanian. Oleh karena itu,

LKM-A perlu diberdayakan dan dimampukan untuk menjadi alternatif lembaga

keuangan mandiri di perdesaan.

1.5. Hasil yang Diharapkan

Hasil yang diharapkan dari kajian ini adalah (a) tersedianya informasi tentang

LKM-A yang layak didorong sebagai lembaga keuangan mandiri perdesaan; (b)

diketahuinya kemampuan LKM-A dalam melaksanakan kegiatan agribisnis; dan (c)

diperolehnya rumusan tentang tindak lanjut mentransformasi LKM-A menjadi

lembaga keuangan mandiri perdesaan.

2. Metodologi

2.1. Kerangka Pemikiran

Sebagian besar pendapatan rumahtangga miskin di perdesaan umumnya

berasal dari kegiatan budidaya atau usaha agribisnis. Agar program PUAP cukup

efektif dalam penanggulangan kemiskinan maka dalam pelaksanaan program

tersebut harus dipertimbangkan beberapa hal sebagai berikut: (a) pelaksanaan

program PUAP diprioritaskan pada desa-desa pertanian miskin yang memiliki potensi

pengembangan usaha agribisnis; (b) sasaran program PUAP diprioritaskan pada

rumahtangga tani miskin; dan (c) upaya peningkatan pendapatan rumahtangga

miskin ditempuh melalui pengembangan usaha agribisnis (Departemen Pertanian,

2009a).

Ashari (2009) melaporkan bahwa secara garis besar sumber dana yang

tersedia bagi masyarakat di perdesaan dapat dikelompokkan menjadi: (1)

Sumberdana yang berasal dari masyarakat; (2) Kredit dari lembaga non-formal; (3)

Kredit program pemerintah; dan (4) Kredit dari bank swasta dan koperasi. Dari

keempat sumber tersebut, umumnya petani memperoleh tambahan modal untuk

meningkatkan produktivitas usahataninya dengan menerapkan teknologi yang ada.

Penguatan modal petani merupakan strategi utama dalam pelaksanaan program

PUAP. Penguatan modal finansial tersebut diupayakan melalui penyaluran dana BLM

sebesar Rp 100 juta rupiah per desa sesuai dengan usulan Gapoktan. Dana tersebut

tidak dapat dimanfaatkan untuk konsumsi rumahtangga tetapi harus dimanfaatkan

untuk modal usaha agribisnis dan bukan untuk modal usaha lainnya.

Kedepan, Gapoktan diharapkan mampu mengembangkan sistem simpan

pinjam yang mengarah pada terbentuknya LKM-A yang mudah diakses oleh

rumahtangga tani miskin secara berkelanjutan. Selain itu, Gapoktan diharapkan pula

dapat menjadi lembaga ekonomi perdesaan yang mampu berperanan dalam

penyediaan jasa pengadaan input usaha agribisnis, jasa pemasaran dan pengolahan

hasil pertanian yang dihasilkan oleh rumahtangga tani miskin (Departemen

Pertanian, 2009b). Dengan demikian, program PUAP tersebut diharapkan menjadi

5

motor penggerak ekonomi perdesaan yang membangkitkan perluasan kesempatan

kerja di wilayah perdesaan, baik kesempatan kerja di tingkat usaha budidaya (on

farm) maupun usaha agribisnis pertanian lainnya (off farm).

Permasalahan terkait dengan aksesibilitas petani terhadap lembaga

keuangan/bank sudah dibicarakan secara luas oleh berbagai kalangan pada banyak

kesempatan. Namun, tidak satupun, sepanjang yang diketahui memberikan solusi

terhadap persoalan yang dihadapi petani tentang keterbatasan petani mengakses

dan menembus persyaratan peminjaman oleh pihak bank. Oleh karena itu,

diperlukan terobosan lain agar petani memperoleh kesempatan memiliki modal kerja

yang cukup untuk mebiayai usaha pertaniannya. Terobosan tersebut diduga dapat

diperoleh dengan memberdayakan Gapoktan/LKM-A dan menjadikannya sebagai

lembaga keuangan yang kuat dan mampu menyediakan kebutuhan dana

usahatani/uang tunai dan yang terhadapnya petani dapat mengakses fasilitas yang

disediakan. Dengan memberdayakan LKM-A ini, maka lembaga tersebut akan

menjadi alternatif lembaga keuangan yang berpihak kepada petani dan menjadi

solusi terhadap sulitnya akses petani ke perbankan. Namun demikian, rencana

tersebut perlu memperoleh dukungan politik pembiayaan pembangunan pertanian

pemerintah (pusat maupun daerah).

Meningkatkan kemampuan LKM-A di perdesaan pada dasarnya adalah bagian

dari politik pembiayaan yang dimaksudkan untuk meningkatkan aksesibilitas petani

terhadap lembaga keuangan. Politik pembiayaan pembangunan pertanian sendiri

perlu disandingkan dengan tujuan dan ketersediaan pendanaannya yang di masa

depan harus memerhatikan aspek sosial ekonomi, termasuk aspek kebutuhan dan

peningkatan tanggungjawab petani. Tersedianya modal kerja petani diperkirakan

dapat meningkatkan kinerja usaha pertanian dan pada akhirnya mencapai tujuan

yang lebih besar, yakni meningkatnya pendapatan petani dan tersedianya hasil-hasil

pertanian secara lokal (Pasaribu, 2012).

2.2. Lokasi Kajian, Data, dan Responden

Kajian ini dilaksanakan di Provinsi Jawa Barat dengan mengambil contoh di 2

(dua) kabupaten, yakni Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Bandung.

Pemilihan lokasi hingga kelompok tani yang diwawancara secara kelompok dilakukan

secara purposif menurut data sekunder yang tersedia pada Direktorat Pembiayaan

Pertanian, Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian yang selanjutnya dikonsultasikan

dan dikonfirmasi dengan Dinas Pertanian setempat.

Jenis data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Data

primer diperoleh melalui wawancara menggunakan kuesioner/daftar pertanyaan,

sementara data sekunder didapatkan dengan mengolah ulang hasil-hasil

kajian/laporan atau publikasi terkait lainnya.

6

Responden dipilih menurut kelompok tani terpilih seperti disebutkan diatas,

sementara jumlah responden bukan menjadi pertimbangan utama sejauh responden

yang terpilih merepresentasikan kebutuhan kajian ini. Representasi disini berarti

memiliki makna kelengkapan dan kedalaman informasi atau data yang digali sesuai

dengan keperluan kajian.

2.3. Pengumpulan, Pengolahan dan Analisis Data

Kajian ini dilaksanakan dengan menitikberatkan pendekatan kualitatif serta

pengamatan semi partisipatif. Unit responden dalam kajian ini adalah kelembagaan

Gapoktan dan LKM-A, sehingga pengumpulan data dan informasi dilakukan dengan

teknik wawancara dan pengamatan langsung di lapangan. Data dan informasi

tentang kinerja, perkembangan kelembagaan Gapoktan dan LKM-A, serta rencana

kegiatan LKM-A juga dikumpulkan. Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif

dengan fokus pada analisis transformasi kelembagaan LKM-A ke arah kelembagaan

keuangan mandiri di perdesaan.

3. Hasil dan Pembahasan

3.1. LKM-A yang Layak Dikembangkan

Sebagai bagian dari pelaksanaan Program Bantuan Langsung Masyarakat-

Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (BLM-PUAP) sejak tahun 2008, LKM-A

dibentuk sebagai lembaga keuangan yang akan dikembangkan dibawah pengawasan

Gapoktan. Program BLM-PUAP dimaksudkan untuk mengatasi keterbatasan modal

petani dan meningkatkan akses petani terhadap lembaga permodalan, dengan

menyediakan dana yang berasal dari APBN.

Secara umum, Program PUAP memberikan kontribusi terhadap bertambahnya

curahan jam kerja pada usahatani. Demikian juga dengan kinerja yang semakin

baik, khususnya dalam manajemen usahatani yang ditunjukkan oleh pemanfaatan

sarana produksi pertanian yang semakin berimbang serta praktek usahatani yang

mengarah pada usaha pertanian yang baik (GAP). Peran pendamping (khususnya

penyuluh) cukup menonjol dalam meningkatkan manajemen usahatani di lapangan.

Perputaran uang yang dipinjamkan bervariasi, tergantung pada kebijakan

pengurus Gapoktan yang bersangkutan. Kehatian-hatian pemilihan calon peminjam

dana dari kalangan anggota kelompok tani yang secara selektif mengajukan

permohonan pinjaman berdampak positif terhadap kelancaran pengembalian

pinjaman oleh peminjam. Secara umum, keberhasilan usaha ekonomi didukung oleh

ketersediaan modal yang berasal dari BLM PUAP. Kegiatan agribisnis yang dilakukan

untuk komoditas pangan dan hortikultura serta usaha industri rumahtangga

menunjukkan kecenderungan keberhasilan yang ditandai oleh nilai B/C ratio diatas

1. Namun, keberhasilan ini tidak dapat diklaim semata-mata karena bantuan modal

dari BLM PUAP, meskipun bantuan tersebut telah memberikan sumbangan untuk

keberhasilan petani pada banyak kegiatan agribisnis (on-farm) (Pasaribu et al.,

7

2011). Perlu juga diperhatikan bahwa tidak semua Gapoktan penerima BLM-PUAP

mampu mengelola dana bantuan yang diberikan, bahkan mayoritas dari penerima ini

tidak berhasil meningkatkan kegiatan agribisnis atau usahatani ke arah yang lebih

baik.

Secara nasional, Gapoktan penerima BLM-PUAP dan sudah memiliki LKM-A

yang menjalankan kegiatan agribisnis perlu mendapat perhatian. Tanpa

mengabaikan Gapoktan dengan LKM-A yang kinerjanya lemah, LKM-A yang memiliki

potensi untuk dikembangkan perlu dibantu, didorong, dan diperkuat agar mampu

menjadi lembaga keuangan yang mandiri yang menggerakkan usaha ekonominya di

perdesaan. Dengan mengidentifikasi LKM-A yang memiliki potensi untuk

dikembangkan, layak mendapat perkuatan modal kerja dan mengembangkannya

menjadi lembaga keuangan yang sehat dan dapat dengan mudah dan secara

langsung diakses petani. Perlu dicatat bahwa pengembangan LKM-A sejalan dengan

perwujudan dari nawacita agenda pemerintahan saat ini sebagaimana dicantumkan

dalam butir 3 agenda tersebut, yaitu “membangun Indonesia dari pinggiran dengan

memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan”. Lebih

lanjut, pengembangan LKM-A juga sejalan dengan cita-cita membangun kedaulatan

pangan seperti tercantum dalam RJPMN 2015-2019 (Direktorat Pembiayaan

Pertanian, 2015).

Dalam konteks inilah kajian ini dilakukan dengan melihat lebih jauh di tingkat

lapangan. Provinsi Jawa Barat dipilih karena lokasi yang relatif dekat (mengingat

laporan ini harus segera disiapkan) dan sudah memiliki Gapoktan dengan LKM-A

yang layak untuk dikembangkan.

Realisasi penyaluran dana BLM-PUAP per 31 Desember 2014 di Provinsi Jawa

Barat mencapai 3.740 Gapoktan yang tersebar di 25 kabupaten/kota. Setiap

Gapoktan mempunyai kegiatan yang terintegrasi melalui pendekatan agribisnis yang

didalamnya terdapat satu unit kegiatan terkait permodalan usahatani. Melalui unit

usaha simpan pinjam, petani dibantu untuk mengatasi kebutuhan modal usaha

maupun modal kerja dalam rangka meningkatkan produksi dan pendapatan petani

Usaha simpan pinjam Gapoktan diharapkan menjadi lembaga keuangan mikro

yang bergerak dibidang agribisnis (LKM-A). Proses penumbuhan LKM-A memerlukan

jalan yang panjang dan upaya yang kuat dari berbagai pihak, terutama terkait

dengan kesadaran petani tentang fungsi lembaga keuangan melalui pendampingan,

peningkatan SDM pengelola secara teori maupun praktek pengelolaan keuangan,

penguatan dan peningkatan modal (likuiditas) serta pengurusan badan hukum dan

ijin usaha.

Dari 3.740 Gapoktan penerima BLM PUAP, sekitar 15,5 persen atau 580 telah

menerima Surat Keputusan Registrasi LKM-A. Sampai tahun 2015 baru sekitar 5

persen LKM-A yang memiliki Badan Hukum. Artinya, masih sedikit sekali LKM-A

yang dinilai telahmemenuhi persyaratan yang ditentukan sesuai dengan Pedoman

8

Pengembangan LKM-A. Gambaran ini mengingatkan pentingnya kerja keras dari

pihak terkait, baik pemerintah pusat, provinsi maupun tim teknis di kabupaten untuk

membangkitkan kesadaran masyarakat perdesaan tentang pentingnya peran LKM-A

sebagai lembaga pelayanan pembiayaan yang mengakar pada masyarakat setempat

dan bertindak sebagai sumber keuangan untuk menanggulangi keterbatasan modal

kerja, serta mudah dijangkau oleh petani.

Kecilnya jumlah LKM-A yang berbadan hukum diduga disebabkan oleh

beberapa persoalan karakteristik petani dan pertanian perdesaan yang menghambat

proses transformasi kelembagaan ke arah lembaga ekonomi yang lebih mandiri dan

modern. Dari hasil kajian, beberapa persoalan yang dihadapi kelembagaan LKM-A di

perdesaan (Pasaribu et al, 2011) adalah: (1) Penguasaan lahan yang kecil dan

cenderung semakin kecil akibat masalah fragmentasi lahan; (2) Kurangnya

penguasaan teknologi agribisnis seperti pembibitan, usahatani, maupun pasca

panen; (3) Kurangnya pengembangan produk (product development) dan promosi

produk; (4) Kemampuan SDM yang rendah dalam hal kewirausahaan dan

membangun jaringan kerjasama dengan kelembagaan ekonomi modern; (5) Kurang

efektif dalam melakukan koordinasi vertikal maupun horizontal; dan (6) lemahnya

konsolidasi kelembagaan dalam aspek manajemen, permodalan, maupun partisipasi

anggota.

Selain itu, hasil kajian yang sama mencatat, ada sembilan faktor kritis dalam

upaya transformasi kelembagaan Gapoktan dan LKM-A, yaitu: (1) Sistem produksi

petani masih berorietasi produk pertanian primer sehingga nilai tambahnya rendah

(teknologi yang digunakan bersifat sederhana bahkan cenderung tertinggal); (2)

Sistem usaha agribisnis berdayasaing dan berkelanjutan belum dijadikan landasan

pembangunan pertanian dan pemberdayaan ekonomi produktif; (3) Kebijakan politik

pertanian dalam pembangunan perekonomian rakyat masih lemah. Hal ini terlihat

dari penempatan petani sebagai objek pembangunan, bukan subjek. Akibatnya,

pengambilan putusan-putusan politik kurang demokratik dan cenderung inklusif; (4)

Sistem menejemen dan keorganisasian masih lemah, kurang memanfaatkan basis

kolektivitas masyarakat, pengertian agribisnis yang bias, kemitraan yang dibangun

masih bersifat asimetris, pengambilan keputusan bersifat tertutup sehingga nilai

tambah tidak terdistribusi secara adil; (5)Sistem penyelenggaraan pembangunan

pertanian masih didasarkan pada kepemimpinan formal dan dukungan infrastruktur

yang relatif terbatas; (6) Masih lemahnya struktur, fungsi, dinamika, dan konsolidasi

internal organisasi; (7) Pengembangan sistem dan usaha agribisnis yang belum

terintegrasi baik secara verikal maupun horizontal; (8) Kurangnya sifat dan

ketrampilan kewirausahaan; dan (9)Kurangnya dukungan sistem informasi yang

handalmenyangkut aspek produksi, pemasaran, pengolahan maupun permintaan.

Kajian yang dilaksanakan saat ini merupakan langkah lanjutan yang mencoba

mengidentifikasi LKM-A yang layak dikembangkan menjadi lembaga keuangan

9

mandiri dengan mengevaluasi kemampuan LKM-A dalam melaksanakan kegiatan

agribisnis khususnya kegiatan agribisnis komoditas yang sesuai dengan kondisi

agroekosistem wilayahnya. Berikut diuraikan keragaan singkat dua LKM-A di

Kabupaten Bandung dan Bandung Barat, Provinsi Jawa Barat.

LKM-A Lembang Agri, Desa Cikajang, Lembang, Bandung Barat

LKM-A Lembang Agri merupakan salah satu dari sembilan LKM-A di

Kabupaten Bandung Barat. Tumbuh dan dikembangkan oleh Gapoktan Lembang

Agri, sebagai langkah untuk menyelesaikan persoalan pembiayaan petani

hortikultura yang sulit mengakses permodalan ke lembaga keuangan formal.

Sekalipun secara organisasi LKM-A tidak terpisahkan dari struktur organisasi

Gapoktan, seharusnya pertanggungjawaban pengelolaan dana harus dilakukan

secara terpisah sesuai Permentan No. 273/Kpts/OT.160/4/2007.

LKM-A Lembang Agri berkedudukan di Desa Cikidang, Kecamatan Lembang.

Lembaga ini sudah memiliki kantor sendiri dengan perangkat keras maupun lunak

yang relatif memadai. Usaha digerakkan oleh tenaga SDM yang berpendidikan SMP

hingga Diploma, berusia muda, bersemangat, dan terlibat langsung dalam

usahatani. Sistem usaha agribisnis maupun simpan-pinjam dibangun secara

komputerisasi dengan membuka web sendiri untuk kepentingan komunikasi dan

promosi.

LKM-A Lembang Agri merupakan lembaga keuangan dengan kegiatan simpan

pinjam modal usahatani hortikultura (khususnya sayuran). Pengembangan unit

simpan pinjam dalam struktur organisasi Gapoktan Lembang Agri merupakan proses

penumbuhan dan pengembangan LKM-A yang progresif dan dinamis hingga pada

waktu yang relatif cepat (tahun 2011) Gapoktan terpilih menjadi juara III Nasional

PUAP berprestasi. Berturut-turut tahun 2013 dan 2014, Gapoktan ini terpilih menjadi

juara Gapoktan Penggerak Pembangunan Hortikultura dan juara pertama LKM-A

tingkat Provinsi Jawa Barat.

Sesuai kondisi agroeksistem wilayahnya, Lembang Agri mengkhususkan diri

bergerak pada tanaman hortikultura meliputi komoditas cabe, tomat, kubis, buncis,

brokoli, dan wortel. Menyadari memiliki masyarakat yang mudah sekali mengalihkan

penggunaan uang pada barang-barang konsumsi, lembaga ini sepakat memberikan

pinjaman modal usahatani dalam bentuk sarana dan prasarana usahatani sesuai

alasan kebutuhan anggota saat mengajukan pinjaman. Pemaduan unit usaha

penyedia sarana dan pra sarana produksidengan unit usaha simpan pinjam secara

operasional, dilakukan sebagai bagian dari strategi menekan kemungkinan

tunggakan atau ketidaklancaran pengembalian pinjaman.

Selain simpan pinjam, Gapoktan menangani penyediaan input (benih, pupuk

dan obat), dan pemasaran hasil. Saat ini Gapoktan memiliki 3 (tiga) kios saprodi.

Pengurus tidak saja berharap pengembalian pinjaman berlangsung lancar, tetapi ikut

10

memikirkan dan mengusahakan agar usahatani anggota bisa berhasil. Keberhasilan

usahatani dianggap penentu kelancaran pengembalian pinjaman dan perputaran

modal. Guna mendukung hal tersebut, pengurus berperan aktif melakukan pelatihan

dengan mengundang PPL, mitra tani, petugas/pengamat hama, bahkan petugas

perusahaan obat-obatan.

Secara operasional, LKM-A Lembang Agri sudah memiliki panduan dalam

bentuk Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART). Dengan misi

meningkatkan kesejahteraan masyarakat pedesaan melalui peningkatan pendidikan,

pengetahuan, ketrampilan, dan sifat kepemimpinan serta peningkatan produksi

pertanian, lembaga berperan sebagai motor penggerak perekonomian dan

pendidikan non formal petani. Pencapaian misi ini dilakukan melalui kegiatan unit

usaha penyediaan saprotan, pemasaran, diklat, konsultasi pertanian dansimpan

pinjam.

LKM-A Lembang Agri menggunakan modal awal dana penguatan modal

program PUAP. Sebagian modal berasal dari iyuran pokok sebesar Rp 100,000 per

anggota, iyuran wajib sebesar Rp 5,000 per anggota per bulan, dan iyuran sukarela.

Usahatani hortikultura merupakan usahatani berbiaya tinggi sehingga modal yang

tersedia kurang memadai. Guna peningkatan likuiditas/modal, pengurus mencoba

membangun kerjasama dengan beberapa pihak yang seperti Yayasan Daarut

Tauhid, PT Alamanda Sejati Utama, dan PT Cibodas Agro Lestari. Kerjasama ini

bermanfaat menambah permodalan sehingga lebih banyak anggota yang bisa

mendapatkan pinjaman modal usahatani.

Disamping beragam hak, AD/ART juga mengatur kewajiban bagi anggota

Gapoktan/LKM-A, terutama aturan-aturan kewajiban membayar pinjaman. Unit

usaha penyediaan input dan pemasaran output secara tidak langsung berfungsi

sebagai pengikat kemungkinan peminjam tidak mengembalikan pinjaman karena

Gapoktan bisa langsung memotong pinjaman saat membeli produksi dan melakukan

restrukturisasi hutang jika petani benar-benar gagal panen. Cara yang ditempuh

dengan memperikan pertolongan tambahan pinjaman jika hal tersebut potensial

memberi keberhasilan bagi petani.

Beberapa permasalahan yang dihadapi LKM-A Lembang Agri:

1. Permodalan. Pertanian hortikultura merupakan usahatani berbiaya tinggi

(high cost) sehingga untuk bisa melayani petani dalam jumlah banyak

dibutuhkan jumlah modal yang besar. Dengan kapasitas modal terbatas,

masih petani kecil yang bisa dilayani (20 juta per kelompok atau 3 juta per

petani). LKM-A memerlukan pertambahan modal dengan tingkat bungan

yang ringan.

2. Pasar. Agar harga produksi hortikultura dan pemasaran bisa berjalan lebih

stabil, Gapoktan melakukan koordinasi dengan semua anggota dalam rangka

11

penataan pola tanam. Dibutuhkan kemampuan membaca pasar yang jeli

karena harus bersaing dengan berbagai sentra hortikultura di Indonesia.

3. Risiko. Tanaman hortikultura memiliki risiko gagal panen atau gagal harga

yang cukup tinggi. Petani berusaha menyiasati usahatani dengan bertanam

tumpangsari. Kegagalan pada satu komoditas diharapkan bisa diatasi atau

dikurangi dengan hasil komoditas lain. Situasi ini mengharuskan LKM-A atau

Gapoktan memiliki kemampuan melakukan restrukturisasi hutang dengan

menunda jatuh tempo hutang hingga musim tanam selanjutnya atau

menambah jumlah hutang dengan harapan bisa meningkatkan produksi

komoditas lain yang belum menghasilkan.

LKM-A Sauyunan, Desa Caluncat, Kecamatan Cangkuang, Bandung

Gapoktan dan LKM-A Sauyunan terdapat di Desa Ciluncat, Kecamatan

Cangkuang, Kabupaten Bandung Barat. Lembaga ini bergerak dibidang agribisnis

padi, namun sektor ekonomi yang berkembang secara wilayah merupakan kombinasi

seimbang sektor perdagangan, industri, dan pertanian. Selama sepuluh tahun

terakhir, perkembangan kedua sektor yang pertama secara signifikan menekan

sektor pertanian. Ini terlihat dari konversi lahan yang terjadi secara pesat,

ditunjukkan fakta hamparan lahan pertanian yang semakin menyempit. Lahan

pertanian yang bertahan sebagian letaknya terjepit diantara bangunan pemukiman,

pertokoan, maupun pabrik.

Gapoktan Sauyunan terdiri dari 4 (empat) kelompok tani dengan salah satu

unit usahanya adalah simpan pinjam yang dikelola oleh LKM-A Sauyunan. Lembaga

ini bergerak di bidang agribisnis padi dan merupakan salah satu dari 13 LKM-A (di

Kabupaten Bandung terdapat 22 LKM-A) yang sudah memiliki Badan Hukum.

Pengesahan Badan Hukum No.17/BH/518-KOP/III/2015 dengan SISP

518/SISP/25/KK/III/2015.

Bagi LKM-A Sauyunan, kedudukan sebagai lembaga ber-Badan Hukum

memberi manfaat tambahan diantaranya membangun kepercayaan diri sebagai

lembaga yang bisa dipertanggungjawabkan sehingga membuka peluang

bekerjasama dengan lembaga lain. Badan Hukum ini menandakan lembaga tersebut

secara kepengurusan, permodalan, kepemilikan dan kelayakan rencana kerja dinilai

sudah memenuhi standar yang ditetapkan.

Selain bantuan melalui program PUAP, modal LKM-A berasal dari simpanan

pokok sebesar Rp 250.000 per anggota, simpanan wajib Rp 5000 per bulan,

simpanan sukarela, dan bunga dari hasil pemberian pinjaman ke anggota. Jumlah

modal yang bergerak saat ini mencapai 400-an juta. Aset tidak bergerak tercatat

165 juta.

Mekanisme pemberian pinjaman mengikuti langkah-langkah: (1) Penyusunan

rencana usaha (RU) oleh anggota yang hendak meminjam; (2) Pengajuan pinjaman

12

dengan RU disampaikan kepada ketua kelompok; (3) Ketua kelompok mempelajari

RU dan memberikan memo untuk mengajukan pinjaman ke pengurus LKM-A; dan

(4) Berdasarkan RU dan memo ketua kelompok yang dianggap lebih mengenal

usahatani dan karakter peminjam, pengurus LKM-A mengeluarkan pinjaman

sejumlah yang dibutuhkan. Penjaminan ketua kelompok belum mampu meniadakan

persoalan penagihan. Untuk kasus yang berat atau sulit, LKM-A melibatkan Babinsa

sebagai juru tagih. Sekitar 47 dari 144 orang anggota gapokta secara aktif mengikuti

kegiatan simpan pinjam. Pinjaman dikenakan bunga sebesar 2 persen perbulan

dengan lama pinjaman rata-rata satu musim tanam.

Kehadiran LKM-A Sauyunan telah memberi dampak positif terhadap kehidupan

sosial ekonomi masyarakat setempat, khususnya petani anggota Gapoktan.

Dampak dimaksud meliputi: (1) Mampu mengatasi kebutuhan modal usahatani

tanpa agunan yang seringkali menjadi penghambat petani mengakses perbankan;

(2) Berkurangnya jumlah bank keliling (rentenir) yang beroperasi di dalam desa

akibat sebagian penduduk memilih meminjam ke LKM-A; dan (3) Berhasil

mengurangi peminjaman modal usahatani ke bandar/pedagang pengumpul padi

yang seringkali menentukan harga produksi sepihak lebih rendah dari harga pasar.

Mengingat permodalan menjadi permasalahan paling mendasar yang dihadapi

petani, fungsi dan peran LKM-A menjadi sangat strategis dalam rangka

mengembangkan usaha pertanian. Kurangnya modal kerja yang tidak dapat diatasi

bisa berdampak pada perolehan produksi dalam arti mengandung risiko terhadap

pendapatan. Risiko lain yang dinilai mendesak untuk diatasi adalah bencana

kekeringan dan serangan hama. Petani memandang kepentingan terhadap adanya

asuransi pertanian sudah sangat mendesak.

Transformasi LKM-A menjadi lembaga keuangan yang mandiri di pedesaan

memerlukan selektifitas, setidaknya berdasarkan pengalaman pelaksanaan usaha

simpan pinjam yang telah berlangsung. Identifikasi terhadap beberapa LKM-A yang

ada mutlak diperlukan untuk menganalisis persyaratan minimum agar LKM-A bisa

berperan menjadi lembaga keuangan yang bisa diakses petani secara mudah dan

menjalankan usaha permodalan dengan berdaya saing dan berkelanjutan. Sistesis

terhadap beragam kasus LKM-A berfungsi mendapatkan gambaran potensi, peluang

dan hambatan dalam menjadikannya menjadi lembaga keuangan yang mudah

diakses petani sekaligus mempunyai fungsi kontrol yang efektif terhadap potensi

penyelewengan penggunaan, kemacetan pengembalian pinjaman, maupun

kegagalan usahatani. Lembaga keuangan mandiri pedesaan diharapkan menjadi

solusi persoalan permodalan usahatani saat kelembagaan perbankan sulit untuk

diakses akibat persyaratannya yang tidak memungkinkan terpenuhi petani.

Hasil identifikasi terhadap kedua LKM-A di atas maka aspek-aspek penting

dipenuhi oleh LKM-A adalah:

13

Aspek LKM-A Lembang Agri

LKMA Sauyunan Keterangan

Komoditas Hortikultura Padi Sesuai agroekosistem setempat.

Status Badan

Hukum

Sudah berbadan hukum

(2015)

Sudah berbadan

hukum (2015)

Keduanya dinilai sudah

memenuhi persyaratan menjalankan kegiatan bisnis

Struktur Organisasi

Merupakan bagian dari Gapoktan dan sudah

memiliki struktur pengelolaan tersendiri.

Merupakan bagian dari Gapoktan dan

sudah memiliki struktur pengelolaan tersendiri.

Secara struktur sudah mandiri dalam mengelola

permodalan

Tujuan atau

orientasi organisasi

Pemberdayaan dalam

rangka pengembangan agribisnis dan peningkatan pendapatan

petani

Pemberdayaan

dalam rangka pengembangan agribisnis dan

peningkatan pendapatan petani

-

Tingkat pengembalian

pinjaman

Secara keseluruhan kembali dengan tingkat

masalah dibawah 10 persen

Secara keseluruhan kembali dengan

tingkat masalah dibawah 5 persen

Strategi mengatasi

persoalan tunggakan

Restrukturasi hutang Menangguhkan pinjaman

selanjutnya. Pada situasi kegagalan

panen dilakukan restrukturasi hutang.

Pengelola LKM-A ikut menganalisis keadaan

usahatani

Nilai-nilai dan kekuatan

kelancaran pemanfaatan dan

pengembalian pinjaman

Rasa malu, keinginan usahatani maju,

kebanggaan dipercaya

Rasa malu, terbangunnya

pengawasan berlapis (ketua kelompok dan pengelola LKM-A)

Kekuatan dominan internal

Dampak kehadiran

LKM-A

Berkurangnya ketergantungan modal

terhadap bandar (risiko tekanan harga jual

produksi)

Berkurangnya ketergantungan

terhadap rentenir yang berbungan

tinggi/mencekik

Berdampak terhadap aksesibilitas petani terhadap

modal dan peningkatan penerimaan petani

Permodalan dan strategi mengatasi

Hanya mampu melayani anggota dalam jumlah pinjaman kecil.

Pengurus bermitra dengan swasta.

Hanya mampu melayani sebagian kecil anggota.

Seleksi peminjam lebih ketat.

Keduanya memerlukan pertambahan modal.

Ketrampilan SDM

Memiliki pendidikan formal dan pengalaman

yang relatif memadai.

Pendidikan formal yang rendah dengan

semangat melayani

Keduanya belum optimal namun memiliki potensi

untuk ditingkatkan

14

Aspek LKM-A Lembang Agri

LKMA Sauyunan Keterangan

yang tinggi. ketrampilannya.

Harapan terhadap

pemerintah

Bantuan modal berupa pinjaman lunak,

penjaminan usaha

Bantuan modal berupa pinjaman

lunak dan penjaminan terhadap risiko

usaha.

Keduanya memerlukan perolehan pertambahan

modal usaha.

Tingkat bunga pinjaman yg diharapkan

6 persen per tahun 5 persen per tahun Diperlukan subsidi

Organisasi, tujuan atau orientasi organisasi, SDM, strategi dan kekuatan sistem

pengendalian/pengembalian pinjaman, serta badan hukum merupakan aspek

penting dalam menilai kelayakan LKM-A untuk ditransformasi menjadi lembaga

keuangan yang mandiri. Kelima aspek di atas menggambarkan menejemen

pengelolaan dan teknis lembaga yang berkaitan dengan keprofesionalan dalam

meningkatkan kinerja lembaga serta kemampuan membangun pola dan budaya

kerja. Pelatihan, pendampingan, pembinaan dan fasilitasi masih tetap diperlukan

sehingga LKM-A bisa menciptakan aturan-aturan, prosedur standar, sistem

monitoring dan evaluasi, serta mekanisme pengembangan permodalan yang bisa

diakses, dimanfaatkan, dan dikembangkan oleh petani. Secara bersamaan LKM-A

mampu menyediakan modal yang cukup sesuai dengan besaran kebutuhan

usahatani komoditas yang berkembang di wilayah bersangkutan.

Seperti disebutkan sebelumnya, kesulitan petani dalam mengakses lembaga

keuangan formal adalah prosedural dan syarat mutlak adanya agunan.

Keterbatasan pengetahuan dan aset petani, sifat usahatani yang sangat tergantung

kuat pada faktor eksternal seperti iklim, benih, hama penyakit dan sebagainya

mengingatkan pentingnya lembaga permodalan dan penjaminan (seperti asuransi

pertanian) yang memiliki mekanisme dan aturan yang tidak seketat lembaga

keuangan formal. Dalam hal ini kehadiran pemerintah sebagai pihak yang paling

bertanggungjawab atas kesejahteraan masyarakat khususnya petani, perlu

memberdayakan petani dengan pengembangan organisasi yang sudah melembaga

di masyarakat dan memanfaatkan modal sosial seperti kepercayaan, rasa malu,

saling mempercayai dan saling mengontrol sebagai unsur positif pengaturan yang

memiliki keketatan maupun fleksibilitas tersendiri.

3.2. Kemampuan LKM-A Melaksanakan Kegiatan Agribisnis

LKM-A Lembang Agri dan LKM-A Sauyudan memiliki kekhasan dalam

melaksanakan kegiatan agribisnisnya. Perbedaan keduanya diakibatkan perbedaan

komoditas yang dikelola sesuai basis komoditas setempat. Komoditas hortikultura

15

membutuhkan modal usahatani yang tinggi, risiko serangan hama penyakit yang

tinggi, ketergantungan terhadap iklim yang tinggi, dan persaingan pasar yang lebih

kompetitif dengan sifat produksi yang gampang busuk. Konsekuensinya,

membutuhkan penjaminan dalam hal pengembalian pinjaman maupun penjaminan

atas risiko usaha yang tinggi pula. Akibatnya, kondisi ini mempengaruhi dinamika

pengurus LKM-A dalam membangun komunikasi dan koordinasi baik secara vertikal

maupun horizontal secara internal maupun eksternal.

LKM-A Lembang Agri melakukan komunikasi internal secara face to face dan

media handphone. Pemukiman dan hamparan lahan yang berdekatan membuat

komunikasi berjalan lebih intensif. Sementara secara eksternal komunikasi banyak

dilakukan melalui handphone, email/website, dan menghadiri seminar atau pameran

(oleh pemerintah maupun swasta/perusahaan). Keberhasilan pemasaran komoditas

hortikultura yang kompetitif sangat ditentukan oleh kecepatan melakukan

komunikasi dan optimalisasi jejaring yang dibangun. LKM-A secara aktif melakukan

kerjasama dengan beberapa pihak lain terkait produksi dan pemasaran.

Penyeragaman besaran BLM PUAP kepada semua Gapoktan menyebabkan

memiliki kekuatan dan manfaat yang berbeda. Bagi Gapoktan berbasis komoditas

hortikultura jumlah tersebut jauh dari cukup. Pengurus mencoba melakukan mitra

permodalan dengan beberapa yayasan atau perusahaan yang bersedia menanamkan

modal untuk dikelola oleh LKM-A Lembang Agri dengan perhitungan pembagian hasil

atau pertambahan keuntungan. Keterbatasan modal membuat pengurus melakukan

selektifitas peminjam dengan peraturan yang jelas dan tegas. Realitanya, LKM-A

belum mampu memberi pinjaman sejumlah total biaya produksi. Peminjam

sebagian besar adalah petani berlahan sempit atau petani menanam komoditas

berbiaya kecil seperti wortel atau buncis.

Karakteristik komoditas hortikultura yang dibutuhkan sepanjang tahun dan

harus bersaing dengan komoditas yang sama dari beberapa sentra hortikultura di

Jawa Barat (puncak, Garut, dll) maupun di tanah air (Berastagi, Wonosobo),

pengurus Gapoktan melakukan pengaturan pola tanam agar tidak terjadi banjir

produksi sejenis komoditas pada saat bersamaan dan menyebabkan harga anjlok.

Pengaturan pola tanam menjaga agar produksi bisa tersedia secara berkelanjutan.

Hal ini berfungsi mengurangi risiko penurunan harga jual komoditas, dan pada

akhirnya menentukan kemampuan petani mengembalikan pinjaman modalnya.

Risiko usahatani yang besar dan biaya yang tinggi mendorong pengurus

Gapoktan dan pengelola LKM-A melakukan usaha agribisnis secara terintegrasi.

Penanggungjawab unit usaha sarana dan pra sarana, unit usaha produksi, dan unit

usaha permodalan memiliki ruang pekerjaan sendiri-sendiri, tetapi dalam

implementasinya terhadap usahatani dan pinjaman anggota memiliki hubungan yang

saling mendukung sekaligus mengkontrol. Misalnya, pinjaman modal diberikan

dalam bentuk input produksi dan pembayarannya langsung dipotong saat

16

pemasaran hasil. Kelancaran dalam penyerahan produksi dan pembayaran hutang

menentukan kelancaran perolehan pinjaman pada musim tanam selanjutnya.Sistem

agribisnis terintegrasi seperti di atas mendorong Gapoktan memperhatikan seluruh

rangkaian agribisnis secara seimbang, karena keberhasilan sistem dipengaruhi

masing-masing sub sistem, termasuk mekanisme kerja sub sistem permodalan yang

ditangani LKM-A. Ketersediaan modal dan aksesibilitas petani terhadap modal

tersebut sangat menentukan usahatani dan produksi.

Kondisi ini agak berbeda dengan LKM-A Sauyudan yang berbasis padi. Sifat

komoditasnya yang relatif lebih memiliki fleksibilitas daya tahan dengan biaya

usahatani yang lebih rendah (sekitar 6-8 juta per ha). Pinjaman modal yang

diberikan kepada petani diperketat dalam seleksi penentuan peserta (seleksi berlapis

oleh ketua kelompok, pengurus Gapoktan, dan pengelola LKM-A), namun ada tidak

mengikat dalan input maupun produksi. Pinjaman diberikan dalam bentuk uang,

bukan saprodi.

Hingga saat ini, kedua Gapoktan belum menangani pengolahan hasil secara

baik. Pemasaran komoditas masih mengandalkan segar, untuk padi dalam bentuk

gabah kering giling. Sifat komoditas pertanian yang gampang busuk perlu ditangani

berupa pengolahan hasil secara lebih serius. Langkah ini berperan meningkatkan

nilai tambah komoditas dan peningkatan pendapatan petani.

3.3. LKM-A sebagai Lembaga Keuangan Mandiri Perdesaan: Sintesis

Sejauh ini, permodalan masih merupakan persoalan penting yang dihadapi

petani dalam menjalankan agribisnis di pedesaan. Sekalipun lembaga perbankan

mengembangkan kiprahnya hingga ke wilayah tersebut, namun undang-undang dan

aturan yang diterapkan dalam dunia perbankan menjadi tembok-tembok yang

membatasi aksesibilitas petani untuk memanfaat permodalan yang disediakan

lembaga itu. Belum lagi sifat sistem usahatani yang khas, musiman, banyak

tergantung pada faktor-faktor eksternal.

Kehadiran LKM-A sebagai lembaga keuangan mikro yang tidak menyaratkan

agunan dengan prosedur yang sederhana, mengedepankan pemberdayaan petani

dengan kekuatan modal sosial yang tumbuh di masyarakat, telah direspon sangat

positif oleh masyarakat petani. Namun demikian, masih terdapat berbagai

keterbatasan yang dihadapi lembaga ini dalam mengoptimalkan pelayanan

keuangan, diantaranya:

1. Keterbatasan ketersediaan modal yang bisa dipinjamkan kepada anggota

dibanding kebutuhan modal petani. Menurut petani, diperlukan ketersediaan

modal lembaga tiga kali lipat modal produksi per musim tanam.

2. Penambahan modal perlu disertai dengan peningkatan kemampuan

sumberdaya manusia pengelola LKM-A.

17

3. Keterbatasan kemampuan lembaga jika harus mendapatkan bantuan modal

(tunai) dari lembaga keuangan formal.

4. Keterbatasan kapasitas SDM. Perlu pendampingan yang intensif bagi petani

dalam membangun komunikasi dan koordinasi dengan pihak-pihak luar.

Beberapa unsur pendukung penting dalam melakukan transformasi LKM-A

menjadi lembaga keuangan yang mandiri meliputi:

1. Memiliki badan hukum. Badan hukum sangat penting sebagai pelindung

petani penyimpan dan peminjam uang, azas legalitas melindungi

operasionalisasi lembaga, mengembangkan pola jejaring usaha dengan

lembaga keuangan lain dan penguatan usaha LKM-A.

2. Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART). Organisasi dengan

AD/ART akan mencakup pembagian tugas yang jelas dan menjadi unsur

pendukung berjalannya menejemen dan pelayanan keuangan yang baik yang

dapat ditingkatkan kinerja maupun transparansi serta akuntabilitasnya.

3. Modal sosial. Modal sosial dengan nilai-nilai dan norma masyarakat desa yang

mendukung kelancaran proses simpan-pinjam keuangan. Tanggungjawab

dan keterbebanan peminjam melakukan pembayaran hutang dipengaruhi rasa

kepemilikan atas aset lembaga karena sebagian modal (simpanan wajib dan

sukarela) adalah milik anggota.

4. Tata cara pelaksanaan. Aturan dan prosedur peminjaman disiapkan secara

sederhana, sehingga terjangkau oleh petani/pelaku agribisnis perdesaan.

5. Evaluasi. Mengenal dan memahami petani, termasuk mengevaluasi

kemampuan dan kemauan melakukan strukturisasi hutang tanpa

memberatkan petani namun bersifat mengamankan keuangan

lembaga/permodalan.

Faktor penghambat:

1. Bentuk badan hukum LKM-A adalah koperasi yang dikeluarkan oleh

Kementrian Perkoperasian, namun kementerian ini, sepanjang yang dapat

ditelusuri tidak mempunyai konsep atau pemahaman tentang PUAP dan LKM-

A. Hal ini membuat konsep kerja dan sinergisitas lembaga menjadi kurang

optimal.

2. Keterbatasan kemampuan LKM-A untuk mengakses dan memperoleh modal

sesuai bunga lembaga keuangan formal.

Diantara peran penting yang perlu dilaksanakan oleh pemerintah dalam rangka

memfasilitasi LKM-A melakukan transformasi menjadi lembaga keuangan mandiri di

pedesaan adalah:

18

1. Membantu proses pengurusan dan penerbitan badan hukum LKM-A, baik

secara administrasi maupun keuangan dengan sistem persentase.

2. Memberi subsidi bunga bagi LKM-A untuk menambah kemampuan akses

mendapatkan ketersediaan modal dari lembaga keuangan lain. Misalnya

dengan membantu membayar selisih bunga bank dengan kemampuan LKM-

A/petani

3. Memberikan pendidikan dan pelatihan yang diperlukan oleh SDM LKM-A agar

mampu melaksanakan pengelolaan keuangan sebagaimana lembaga

keuangan formal, tetapi dengan format dan prosedur lembaga keuangan non

formal.

4. Mendorong kerjasama berbagai kegiatan bisnis dengan pendekatan kemitraan

yang didukung pemerintah, baik tingkat pusat atau daerah (public-private

partnerships) dalam rangka akselerasi pengembangan LKM-A menjadi

lembaga keuangan mandiri.

Matriks dibawah ini menyajikan aspek-aspek penting yang perlu dipenuhi

LKM-A agar dapat bertransformasi menjadi lembaga keuangan mandiri di perdesaan:

Aspek Deskripsi

Komoditas/bisnis Pangan, hortikultura, perkebunan, tanaman obat, peternakan atau lainnya sesuai dengan agro-ekosistem setempat, termasuk on-

farm, off-farm maupun non-farm

Status Badan Hukum Memenuhi persyaratan untuk menjalankan kegiatan bisnis

Struktur Organisasi Secara struktur sesuai dengan karakteristik kemandirian dalam mengelola permodalan

Tujuan atau orientasi organisasi

Pemberdayaan dalam rangka pengembangan agribisnis dan peningkatan pendapatan petani

Tingkat pengembalian pinjaman

Harus tinggi dengan cara mengidentifikasi dan menetapkan calon nasabah yang layak untuk menghindari masalah dalam

pengembalian pinjaman dan menekan NPL serendah-rendahnya

Strategi mengatasi persoalan tunggakan

Pengelola LKM-A turut menganalisis keadaan usahatani atau menilai bisnis petani dan membantu menangani persoalan dengan

nasabah (petani) dan melakukan restrukturasi pinjaman

Nilai-nilai dan

kekuatan kelancaran pemanfaatan dan

pengembalian pinjaman

Menjalin komunikasi secara konsisten dan berkesinambungan.

Kekuatan dominan secara internal dengan menciptakan rasa malu tanpa merendahkan martabat peminjam, meningkatkan keinginan

usahatani yang lebih maju, serta menjadi kebanggaan dan dapat dipercaya

Dampak kehadiran LKM-A

Berdampak terhadap aksesibilitas petani terhadap sumber-sumber permodalan dan meningkatkan penerimaan petani. LKM-A

diorientasikan dapat mengurangi ketergantungan modal petani yang berasal dari pelepas uang/bandar (risiko tekanan harga jual produksi)

Permodalan dan Memerlukan penguatan lembaga dengan penambahan modal

19

Aspek Deskripsi strategi mengatasi secara signifikan untuk menjangkau lebih banyak petani. Mampu

melaksanakan kegiatan bisnis dengan menjalin kemitraan dengan kalangan swasta

Ketrampilan SDM Meskipun sebagian pelaksana LKM-A memiliki pendidikan formal dan pengalaman yang relatif memadai, namun peningkatan

kualitas dan kapasitas SDM perlu terus ditingkatkan

Harapan terhadap pemerintah

Dibutuhkan dorongan langsung dengan fasilitas dan program, termasuk bantuan modal berupa pinjaman lunak, penjaminan

usaha

Tingkat bunga

pinjaman yg diharapkan (subsidi

bunga)

Diperlukan subsidi bunga mengingat kemampuan LKM-A yang

diduga hanya mampu menanggulangi suku bunga hingga 6 persen per tahun

Rencana Strategis Kementerian Pertanian 2015-2019 mencantumkan langkah

operasional peningkatan kesejahteraan petani dengan, antara lain, melindungi

petani melalui penyediaan dan penyempurnaan sistem penyaluran subsidi input,

pengamanan harga produk hasil pertanian di tingkat petani dan pengurangan beban

risiko usahatani melalui asuransi pertanian serta memberdayakan petani dengan

penguatan kelembagaan petani, peningkatan ketrampilan serta akses terhadap

sumber-sumber permodalan (Kementerian Pertanian, 2015). Langkah ini senafas

dengan amanat UU No. 19/2013 tentang perlindungan dan pemberdayaan petani.

Dengan deskripsi diatas, LKM-A yang memiliki potensi untuk dikembangkan

perlu diperkuat dengan memenuhi semua persyaratan dasar lembaga keuangan,

termasuk dengan membantu memberikan ijin usaha, baik on-farm, off-farm,

maupun non-farm. Mengintegrasikan seluruh program pengembangan sesuai

dengan langkah operasional peningkatan kesejahteraan petani, LKM-A diharapkan

bertransformasi menjadi lembaga keuangan yang dapat beroperasi secara mandiri.

4. Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan

4.1. Kesimpulan

Gapoktan yang membawahi LKM-A pada umumnya memiliki sumberdaya

dengan kemampuan manajemen yang baik, meskipun mereka tidak menikmati

pendidikan tinggi. Terbatasnya modal yang dimiliki untuk dikelola juga menjadi

penyumbang terhadap rendahnya omset kegiatan yang dilakukan LKM-A, baik

kegiatan bisnis on-farm, maupun off-farm. Keterbatasan modal adalah tantangan

tersendiri LKM-A, walaupun sudah memiliki dokumen badan hukum koperasi. Akses

ke lembaga keuangan formal (perbankan) masih terbatas, bukan karena banyaknya

urusan administrasi, tetapi lebih pada ketidaksediaan aset untuk dijadikan agunan

pinjaman.

Para pengurus LKM-A memiliki kemampuan manajerial, termasuk pengelolaan

keuangan yang memadai, setidaknya pada tingkat keberhasilan yang dicapai saat

20

ini. Hal ini mengindikasikan kekuatan yang dimiliki pengurus meskipun pencapaian

tersebut masih berada pada tingkatan dengan cakupan pelayanan yang relatif

rendah (jumlah nasabah masih terbatas). Keberhasilan ini bukan semata-mata

karena prestasi manajemen, tetapi lebih didasarkan atas peran pengurus dengan

tingkat kepercayaan pengelolaan yang ditunjukkan kepada nasabah (termasuk

pembukuan keuangan yang dapat dipertanggungjawabkan).

Gapoktan membutuhkan bantuan perkuatan agar dapat bertransformasi

menjadi lembaga keuangan yang dapat diakses petani di perdesaan. Gapoktan

dengan LKM-A yang sudah berbadan hukum dinilai layak dipertimbangkan sebagai

lembaga keuangan perdesaan yang mandiri yang terhadap lembaga ini dapat

diberikan kepercayaan mengelola dana yang lebih besar. Dana yang lebih banyak

akan menjangkau lebih banyak lagi petani yang membutuhkan modal usaha atau

modal kerja, termasuk modal untuk membiayai usahatani. Ketrampilan lanjutan

dapat diperoleh melalui berbagai pembinaan, langsung maupun tidak langsung dari

pemerintah setempat ataupun dengan bermitra usaha dengan kalangan swasta.

4.2. Implikasi Kebijakan

Secara sosial, modal utama yang dimiliki pengurus LKM-A adalah adanya

kepercayaan anggota terhadap pengelolaan bisnis/kegiatan agribisnis yang

dijalankan. Dalam kaitan dengan modah usaha, LKM-A memiliki keterbatasan.

Bantuan modal usaha agribisnis melalui Program PUAP sebesar Rp. 100 juta kepada

Gapoktan kini sangat kurang untuk menjalankan bisnis yang semakin maju,

khususnya oleh LKM-A yang sudah berbadan hukum (koperasi). Nilai bantuan

tersebut saat ini sudah dan terus meningkat, namun sulit mendeteksi sumbangan

yang diberikan nilai bantuan tersebut karena secara operasional dana bantuan ini

digabungkan dengan dana operasional yang berasal dari sumber lain. Dengan

kondisi seperti saat ini, LKM-A yang sudah berbadan hukum, maju, dan mempunyai

potensi untuk dikembangkan layak dipertimbangkan untuk menerima bantuan modal

tambahan untuk memperkuat modal usaha yang tersedia. LKM-A perlu ditingkatkan,

diperkuat, dan didorong menjadi lembaga keuangan yang mandiri di perdesaan.

Diantara keuntungan memiliki lembaga keuangan yang kuat di perdesaan

adalah (a) petani memiliki kesempatan memperoleh modal kerja untuk membiayai

usahatani, (b) mempunyai calon nasabah (petani anggota kelompok tani) yang

terseleksi dengan perputaran dana yang besar, (c) LKM-A hadir dan berlokasi di

perdesaan, dekat dengan petani, dan dapat dipercaya dan diawasi secara langsung

oleh petani, (d) LKM-A dapat mengembangkan bisnis dengan membuka unit

perdagangan khusus, seperti kios usahatani, distribusi input usahatani, pemasaran

bersama hasil pertanian, dan kegiatan bisnis lainnya, dan (e) dapat meningkatkan

keuntungan usahatani atau memperbaiki kesejahteraan petani atau masyarakat

perdesaan pada umumnya. Dengan beberapa keuntungan diatas, LKM-A yang

berprestasi (memiliki badan hukum koperasi) layak dipertimbangkan memperoleh

21

dana tambahan melalui bank dengan subsidi bunga. Subsidi bunga diajukan untuk

menolong petani dan membantu LKM-A mengembangkan usaha/bisnis.

Memerhatikan pengenaan agunan untuk meminjam modal kerja ke perbankan,

LKM-A akan mengalami kesulitan meningkatkan usaha strategisnya. Jika LKM-A tidak

dapat mengakses perbankan, apalagi yang dapat dilakukan petani? Oleh karena itu,

transformasi LKM-A menjadi lembaga keuangan yang mandiri di perdesaan harus

menjadi tujuan penguatan lembaga keuangan mikro. Pernyataan ini beralasan

karena Indonesia belum memiliki bank yang khusus melayani kepentingan petani

(bank pertanian), meskipun UU No. 19/2013 mengamanatkan pentingnya lembaga

pembiayaan untuk membantu kegiatan pertanian.

Melalui pendekatan kemitraan (public-private partnerships) berbagai kegiatan

bisnis di perdesaan dapat dilaksanakan dan diharapkan dapat berkembang dengan

produk pertanian yang memiliki daya saing. Lembaga atau instansi terkait dalam

pengembangan usaha di perdesaan perlu mengambil posisi yang tepat membantu

meningkatkan kemampuan usaha pertanian yang menghasilkan produk bermutu dan

memiliki nilai komersial. Secara khusus, pemerintah daerah (instansi terkait) perlu

menyediakan rencana bisnis terapan (applied business plan) dengan fasilitas

regulasi, promosi, dan pengawalan yang didukung oleh peran penting lembaga

keuangan seperti LKM-A dan dikerjasamakan dengan kalangan swasta setempat

hingga mampu mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat perdesaan. Secara

diagram, kegiatan kemitraan ini dapat digambarkan sebagai berikut:

Mitra usaha lokal

LKM-A

Pemerintah Daerah (lembaga/dinas terkait)

Program/Fasilitas

Program/Fasilitas

Program/Fasilitas

Petani/

Kelompok tani

Kegiatan

bisnis

Dukungan pendanaan Dukungan pendanaan

22

Terjadinya perubahan skema perkreditan saat ini dengan KUR format baru,

misalnya, terbuka kesempatan bagi LKM-A untuk mengakses perbankan. Namun,

dukungan pemerintah sangat vital dengan menyediakan fasilitas khusus agar dapat

memenuhi kebutuhan ini, seperti peraturan yang mengijinkan LKM-A melakukan

transaksi kredit ke perbankan dan diikuti oleh suku bunga rendah (subsidi) dan

fasilitas lainnya. Sumber dana lain, seperti dana CSR dapat diusulkan sebagai

sumber permodalan lain, sehingga perusahaan penyedia dana CSR bukan hanya

memberikan modal untuk menghasilkan produk tertentu, tetapi juga memiliki

kesempatan berinvestasi dan memberikan kontribusi pengembangan lembaga

keuangan mikro di perdesaan.

Referensi

Ashari. 2009. Optimalisasi Kebijakan Kredit Program Sektor Pertanian di Indonesia.

Analisis Kebijakan Pertanian 7 (1).

Departemen Pertanian. 2009a. Pedoman Umum Pengembangan Usaha Agribisnis

Perdesaan (PUAP). Deptan Press. Jakarta.

Departemen Pertanian. 2009b. Petunjuk Teknis Penyaluran dan Pemanfaatan Dana

BLM PUAP. Deptan Press. Jakarta.

Direktorat Pembiayaan Pertanian. 2015. Pengembangan LKM-A pada Gapoktan PUAP Tahun 2015. Direktorat Pembiayaan Pertanian, Direktorat Jenderal Prasarana

dan Sarana Pertanian, Kementerian Pertanian. Jakarta. p. 2.

Kementerian Pertanian, 2015. Pedoman Pengembangan LKM-A pada Gapoktan

PUAP Tahun 2015. Deptan Press. Jakarta.

Kementerian Pertanian. 2015. Rencana Strategis Kementerian Pertanian 2015-2019. Kementerian Pertanian. Jakarta.

Pasaribu, S. 2012. Politik Pembiayaan Pertanian Mendukung Ketahanan Pangan. Dalam Ananto, EE., et al. (Eds.): Kemandirian Pangan Indonesia dalam

Perspektif Kebijakan MP3EI. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian. Jakarta. pp. 108-120.

Pasaribu, SM., JF. Sinuraya, NK. Agustin, S. Wahyuni, Y. Supriyatna, Y. Marisa, J. Hestina, E. Jamal, B. Prasetyo, Saptana, Sugiarto, Supadi, dan M. Iqbal. 2011. Penentuan Desa Calon Lokasi PUAP 2011 dan Evaluasi Program Pengembangan

Usaha Agribisnis Perdesaan. Laporan Penelitian. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,

Kementerian Pertanian. Bogor.

Saptana, S. Wahyuni, dan S.M. Pasaribu. 2013. Strategi Percepatan Transformasi Kelembagaan Gapoktan dan Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis Dalam Memperkuat Ekonomi di Perdesaan. Jurnal Manajemen dan Agribisnis 10 (1): 60-70.

23