tugas 3 (bab 2) edisi unmul
DESCRIPTION
metopenTRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Limbah Industri
Limbah adalah buangan yang kehadirannya pada suatu saat dan tempat tertentu tidak
dikehendaki lingkungannya karena tidak mempunyai nilai ekonomi. Limbah yang
mengandung bahan polutan yang memiliki sifat racun dan berbahaya dikenal dengan
limbah B3, yang dinyatakan sebagai bahan yang dalam jumlah relatif sedikit telah
berpotensi untuk merusak lingkungan hidup dan sumberdaya (Ginting, 2007).
Berdasarkan nilai ekonominya limbah dibedakan menjadi limbah yang mempunyai nilai
ekonomis dan limbah yang tidak memiliki nilai ekonomis. Limbah yang memiliki nilai
ekonomis yaitu limbah dimana dengan melalui suatu proses lanjut akan memberikan
suatu nilai tambah. Limbah non ekonomis adalah suatu limbah yang walaupun telah
dilakukan proses lanjut dengan cara apapun tidak akan memberikan nilai tambah
kecuali sekedar untuk mempermudah sistem pembuangan. Limbah jenis ini sering
menimbulkan masalah pencemaran dan kerusakan lingkungan (Kristianto, 2002).
2.2 Limbah Cair
Secara umum dapat dikemukakan bahwa limbah cair adalah cairan buangan yang
berasal dari rumah tangga dan industry serta tempat-tempat umum lainnya dan
mengandung bahan atau zat yang dapat membahayakan kesehatan manusia serta
mengganggu kelestarian lingkungan hidup (Kusnoputranto, 1985).
Beberapa sumber air limbah menurut Kusnoputranto (1985).antara lain adalah:
1. Air limbah rumah tangga (domestic wastes water)
2. Air limbah kota praja (municipal wastes water)
3. Air limbah industri (industrial wastes water)
1
Pengolahan limbah cair industri mempunyai tujuan:
1. Penghilangan bahan tersuspensi dan terapung
2. Penghilangan organisme patogen
3. Pengolahan bahan organik yang terbiodegradasi
4. Peningkatan pengertian tentang dampak pembuangan limbah yang tidak diolah atau
sebagian diolah terhadap lingkungan
5. Peningkatan pengetahuan dan pemikiran tentang efek jangka panjang yang mungkin
akan ditimbulkan oleh komponen tertentu dalam limbah yang dibuang ke badan air
6. Peningkatan kepedulian nasional untuk perlindungan lingkungan
7. Pengembangan berbagai metoda yang sesuai untuk pengolahan limbah
(Pandia, 1995).
2.3 Proses Pengolahan Air Limbah Metode Lumpur Aktif
Proses lumpur aktif adalah salah satu proses yang paling banyak dipakai untuk
pengolahan air limbah secara biologis. Di dalam sistem ini bakteri disuspensikan untuk
terus bergerak dan tidak mengendap melalui adukan, arus resirkulasi atau gerakan lain
yang ditimbulkan oleh aerator. Dengan demikian lumpur aktif merupakan bahan yang
mengandung populasi bakteri aktif yang digunakan dalam pengolahan air limbah. Pada
proses kontinyu, lumpur aktif yang terbawa bersama air limbah hasil pengolahan
dipisahkan dalam tangki pengendap dan sebagian lumpur aktifnya disirkulasikan
kembali ke tangki aerasi, sedangkan bagian lainnya diambil sebagai hasil pekatan
(Hanel, 1979).
Proses pengolahan air limbah secara biologis dengan sistem biakan tersuspensi telah
digunakan secara luas di seluruh dunia untuk pengolahan air limbah. Proses ini secara
prinsip merupakan proses aerobik dimana senyawa organik dioksidasi menjadi CO2,
H2O, NH4 dan sel biomassa baru. Suplai oksigen biasanyan dengan menghembuskan
udara secara mekanik. Sistem pengolahan air limbah dengan biakan tersuspensi yang
paling umum dan telah digunakan secara luas yakni proses pengolahan dengan sistem
lumpur aktif (activated sludge process) (Asmadi dan Suharno, 2012).
2
Lumpur aktif merupakan massa biologik kompleks yang dihasilkan bila limbah organik
diberi penanganan secara aerobik. Lumpur akan mengandung berbagai ragam
mikroorganisme heterotroph termasuk bakteri, protozoa dan bentuk kehidupan yang
lebih tinggi (Laksmi, dkk., 1993). Dengan kata lain, lumpur aktif merupakan campuran
antara lumpur dan mikroorganisme yang memiliki kemampuan mengolah limbah
(Asmadi dan Suharno, 2012).
Sejak sistem lumpur aktif diciptakan pertama kali oleh Arden dan Lockett (1914),
berbagai modifikasi sistem lumpur aktif telah dikembangkan. Namun pada dasarnya
mempunyai dua konsep dasar yaitu biochemical stage pada tangki aerasi dan physical
stage pada tangki pengendap. Isi dalam bak aerasi pada proses pengolahan air limbah
dengan sistem lumpur aktif disebut sebagai mixed liquor suspended solid (MLSS), yang
merupakan campuran antara air limbah dengan biomassa mikroorganisme serta padatan
tersuspensi lainnya. MLSS adalah jumlah total dari padatan tersuspensi yang berupa
material organik dan mineral, termasuk di dalamnya adalah mikroorganisme (Asmadi
dan Suharno, 2012).
Mikroorganisme diperlukan untuk menguraikan bahan organik yang ada dalam limbah.
Mikroorganime tersebut akan berkembang biak apabila jumlah makanan yang
terkandung di dalamnya cukup tersedia, sehingga pertmbuhan mikroorganisme dapat
dipertahankan secara konstan. Salah satu langkah penting dalam proses pengolahan
biologis limbah cair adalah penyiapan/penyesuaian bakteri agar berkembang sesuai
dengan kondisi yang diinginkan. Bakteri yang berasal dari biakan murni atau
lingkungan sekitar sumber limbah yang akan diolah dikondisikan pada suatu tempat
dengan diberi umpan yang konsentrasinya sedikit demi sedikit menyerupai konsentrasi
limbah yang akan diolah. Biasanya pada tahap awal sebagai umpan digunakan bahan-
bahan kimia yang mudah diperoleh dengan komposisi yang jelas (Kahar, 2012).
Untuk bakteri aerob maka perlu ditambahkan aliran udara yang dapat berasal dari
kompresor, blower atau pompa yang disemburkan (spray aerator). Reaksi
dekomposisi/degradasi bahan organik secara aerobic dan reaksi pertumbuhan
3
mikroorganisme yang terjadi dalam sistem pengolahan air limbah ditunjukan sebagai
berikut:
[bahan organik] + O2 + nutrisi mikroba CO2 + NH3 + mikroba baru + produk akhir yang lain
[mikroba] + O5 5 CO2 + 2H2O + NH3 + energi
Proses dekomposisi bahan organik terjadi bersamaan dengan pertumbuhan
mikroorganisme (Kahar, 2012).
Proses degradasi bahan-bahan organik dan proses pertumbuhan mikroba dapat
berlangsung dengan baik jika terdapat kondisi lingkungan yang mendukung. Derajat
keasaman (pH) yang relatif netral yaitu 6,5 – 8 suhu nertral yaitu dalam rentang 25 -
35°C dan tidak terdapat senyawa toksik yang merugikan (Kahar, 2012).
2.4 Acclimated Culture (Acclimated Activated Sludge)
Adalah kultur mikroba yang dikembangkan dengan menggunakan substrat khusus/air
limbah. Merupakan kolam beraerasi dan berpengaduk, yang memungkinkan
dekomposisi material organik oleh mikroorganisme yang diinokulasikan sehingga dapat
mengendap. Bakteri dalam activated sludge diresirkulasi secara kontinu ke kolam aerasi
untuk meningkatkan rate dekomposisi organik (Veenstra & Polpraset dalam Kahar,
2012).
Pengolahan air limbah secara biologisyang banyak dijumpai adalah proses lumpur aktif.
Proses lumpur aktif adalah merupakan salah satu bentuk pengolahan air limbah secara
biologi. Sekitar tahun 1880, telah dikenal bahwa air limbah yang diaerasi dapat
mereduksi baud an menurunkan kadar polusi serta menghasilkan lumpur (Veenstra &
Polpraset dalam Kahar, 2012).
Lumpur yang dihasilkan dirangsang agar dapat menguraikan air limbah secara biologis.
Lumpur inilah yang kemudian dikenal dengan lumpur aktif. Fenomena lumpr yang
dapat menguraikan air limbah menjadi bersih in, kemudian dikembankan menjadi
metode pengolahan air limbah dengan proses-proses lumpr aktif. Proses lumpur aktif
4
modern pertama kali dikembangkan di inggris pada tahun 1914, oleh Ardern dan
Lockett (Metcalf & Eddy, 1979).
Pengolahan dengan proses lumpur aktif adalah sistem pengolahan air limbah dengan
menggunakan bakteri aerobic yang dibiakkan dalam tangki aerasi. Tujuannya adalah
untuk menurunkan karbon atau organik nitrogen. Dalam hal menurunkan organik
karbon, bakteri yang berperan adalah bakteri heterothropic. Sumber energi berasal dari
oksidasi senyawa organik dan sumber karbon adalah dari organik karbon. Organik
karbon biasanya diukur dengan besarnya BOD dan COD. Selanjutnya BOD dan COD
ini, dalam lingkup pengolahan biologis disebut sebagai substrat (Metcalf & Eddy,
1979).
Gambar 2.1 Lumpur Aktif Pada Pengolahan Model Kota
Reaksi oksidasi dan sintesisi sel adalah sebagai berikut:
CHONS + O2 + Nutrien CO2 + NH3 + C5H7NO2 + hasil akhir
(Zat Organik) (Sel Bari)
Sintesis/Respirasi:
C5H7NO2 + 5O2 Bakteri 5CO2 + 2H2O + NH3 + energi
5
Gambar 2.2 Prinsip Proses Lumpur Aktif
Gambar 2.3 Skema Activated Sludge System
Proses lumpur aktif intinya terdiri dari dua tangki, yakni bak aerasi dan bak pengendap
(clarifier). Pada bak aerasi terjadi penguraian zat organik secara biokimia oleh jasad
renik aerob dengan suplai oksigen yang cukup. Bak pengendap berfungsi untuk
memisahkan lumpur (biomassa) yang berasal dari bak aerasi. Lumpur aktif yang
mengendap sebagian dikembalikan lagi ke bak aerasi dan sebagian yang lain di buang.
Modifikasi pada proses lumpur aktif, terutama dilakukan dengan merubah konfigurasi
sistem inlet, merubah konfigurasi sistem aerator, mengubah parameter F/M, umur
lumpur, merubah suplai udara dengan oksigen murni. Proseslumpur aktif yang telah
dimodifikasi antara lain: Step Aerasi, Tapered Aeration, Contact Stabilisasi, Pure
Oxygen, Oxydation Ditch, High Rate Aeration dan Extended Aeration (Muslimin dalam
Kahar, 2012).
6
Dalam siklus hidupnya, sel mikroorganismemengalami 4 fase yaitu:
1. Fase lag
Merupakan fase adaptasi bagi mikroorganisme untuk menyesuaikan diri dengan
lingkungan yang baru. Pada mulanya mikroorganisme berkembang biak secara
konstan dan agak lambat pertumbuhannya karena adanya sasana baru dalam air
limbah tersebut. Biasanya fase ini terjadi pada tangki buffer/tangki penyelaras.
2. Fase pertumbuhan
Merupakan fase dimana mikroorganisme tumbuh dan berkembang secara
eksponensial apabila fase lag dapat dilalui dengan berhasil. Fase pertumbuhan ini
terjadi pada tangki aerasi/reactor.
3. Fase stasioner
Merupakan fase dimana mikroorganisme tidak mengalami perkembangbiakan
karena persediaan nutrien sudah hampir habis digunakan pada fase pertumbuhan.
Fase ini terjadi pada tangki aerasi.
4. Fase kematian
Merupakan fase dimana nutrien benar-benar habis, sehingga mikroorganisme akan
mengoksidasi diri sendiri dan tidak menghasilkan sel baru dan akhirnya mati. Fase
ini terjadi pada bak clarifier
(Muslimin dalam Kahar, 2012)
Gambar 2.4 Hubungan antara Waktu dan Fase Pertumbuhan Mikroorganisme pada Lumpur
Aktif
7
Pada praktiknya, kebanyakan unit lumpur aktif dioperasikan pada fase stasioner dari
pertumbuhan mikroba dan sistem aliran berkelanjutan (continuous flow system). Prinsip
pengolahan biologis adalah memanfaatkan aktivitas mikroorganisme pada fase
pertumbuhan seperti dimaksud diatas. Nutrien yang berupa bahan-bahan organik dapat
tereduksi dengan cepat untuk keperluan pertumbuhan sel yang bersifat eksponensial.
Akibatnya nutrien (bahan organik) akan cepat habis, dan selanjutnya sel akan
mengalami kematian (Muslimin dalam Kahar, 2012).
2.5 Penyisihan Substrat
2.5.1 Penyisihan BOD (BOD Removal) dan Nitrifikasi
Pada proses lumpur aktif terdapat tiga desain proses yang menunjukan prinsip-prinsip
dasar proses penyisihan BOD dan proses nitrifikasi. Contoh tersebut antara lain; tipe
Activated Sludge Single – Sludge Complete Mix tanpa nitrifikasi dan dengan nitrifikasi,
Sequencing Batch Reaktor dengan nitrifikasi, dan proses nitrifikasi bertahap.semua
contoh desain proses tersebut dapat diterapkan untuk menyisihkan BOD dengan cara
memodifikasi waktu keseluruhan proses (SRT) dan menyisihkan komponen-komponen
yang berhubungan dengan nitrifikasi. Metodologi desain proses didasari oleh nilai SRT
(Metcalf & Eddy, 2003).
Contoh desain proses yang akan dijelaskan yaitu tipe proses activated sludge complete
mix tanpa nitrifikasi dan dengan nitrifikasi. Pada tipe ini, operasi dipengaruhi oleh
padatan yang terkandung, tingkat kebutuhan oksigen, MLSS (Mixed Liquor Suspended
Solid), dan konsentrasi BOD terlarut (Metcalf & Eddy, 2003).
2.5.2 Penyisihan Nitrogen (Nitrogen Removal) (Nitrifikasi dan Denitrifikasi)
Nitrogen di dalam air limbah sebagian besar terdiri dari nitrogen organik dan ammonia.
Penyisihan nitrogen dicapai melalui serangkaian reaksi biokimia yang mengubah
nitrogen dari satu bentuk ke bentuk lainnya. Oksidasi dan reduksi dari komponen
nitrogen sering merubah kondisi alkalinitas dalam air. Nitrifikasi membutuhkan
8
alkalinitas sebesar 7,14 mg/mg NH4-N teroksidasi dan denitrifikasi mengembalikan 3,57
mg alkalinitas/mg NO3-N yang tereduksi. Konsumsi alkalinitas selama nitrifikasi dapat
mengakibatkan penurunan pH dalam cairan, sehingga dapat mempengaruhi proses
nitrifikasi secara biologis (Neethling dkk., 2010).
Nitrifikasi adalah proses oksidasi ammonium dan nitrit menjadi mitrat, karena
ammonium merupakan polutan pengkonsumsi oksigen dan penghasil racun bagi ikan,
jika pH > 7. Nitrrat bersifat relatif tidak toksik. Denitrifikasi adalah proses pengubahan
nitrit dan nitrat menjadi nitrogen dalam bentuk gas (N2). Diagram alir proses penyisihan
nitrogen dapat dilihat pada Gambar 2.5
Gambar 2.5 Diagram Alir Proses Penyisihan Nitrogen
(Neethling, dkk,, 2010).
2.5.3 Penyisihan fosfor (Phosphorus Removal)
Fosfor merupakan bagian yang akan mengalamu proses penyisihan pada proses lumpur
aktif (activated sludge) konvensional. Proses pembuangan lumpur berlebih akan
mengakibatkan penyisihan sebagian fosfor dari air limbah. Namun, secara umum
dibutuhkan untuk menurunkan konsentrasi fosfor pada efluen (P ≤ 1 mg/L), keadaan
9
tersebut hanya mungkin terjadipada kondisi proses yang baik, yaitu nilai rasio P/COD
yang rendah dikombinasikan dengan umur lumpur yang pendek. Pada air limbah
dengan kandungan nutrien yang lebih tinggi dan atau operasi sistem lumpur aktif
dengan umur lumpur yang lebih tinggi, metode tambahan untuk penyisihan fosfor akan
diperlukan (Haandel & lubbe, 2007).
Kehadiran fosfat dalam air menimbulkan permasalahan terhadap kualitas air, misalnya
terjadinya eutrofikasi. Untuk memecahkan masalah tersebut dengan mengurangi
masukan fosfat ke dalam badan air, misalnya dengan mengurangi pemakaian bahan
yang menghasilkan limbah fosfat dan melakukan pengolahan limbah fosfat. Pengukuran
kandungan fosfat dalam air limbah berfungsi untuk mencegah tingginya kadar fosfat,
sehingga tumbuh-tumbuhan dalam air berkurang jenisnya dan pada gilirannya tidak
merangsang pertumbuhan tanaman air. Kesuburan tanaman air akan menghalangi
kelancaran arus air (Haandel & lubbe, 2007).
Gambar 2.6 Diagram Alir Proses Penyisihan fosfor
10
2.6 Sedimen
Menurut Pipkin, dkk (1983) Sedimen adalah pecahan batuan, mineral atau material
organik yang ditransportasikan dari berbagai sumber dan dideposisikan oleh udara,
angina, es dan air. Pethick (1984) mendefinisikan sedimen secara umum sebagai
sekumpulan rombakan material (batuan, mineral dan bahan organik) yang mempunyai
ukuran butir tertentu.
2.6.1 Kalsifikasi Sedimen
Klasifikasi sedimen berdasarkan asal usulnya sedimen dasar laut dapat
dibedakan/digolongkan sebagai berikut:
1. Lithogenous
Jenis sedimen ini berasal dari pelapukan (weathering) batuan dari daratan, lempeng
kontinen termasuk yang berasal dari kegiatan vulkanik. Sedimen ini memasuki
kawasan laut melalui drainase air sungai.
2. Biogenous
Sedimen ini berasal dari organisme laut yang telah mati yang terdiri dari remah-
remah tulang, gigi-gigi dan cangkang-cangkang tanaman maupn hewan mikro.
Komponen kimia yang sering ditemukan dalam sedimen ini adalah CaCO3 dan
SiO2.
3. Hidrogenous
Sedimen ini berasal dari komponen kimia yang larut dalam air dengan konsentrasi
yang terlewat jenuh sehingga terjadi pengendapan (deposisi) di dasar laut.
Contohnya endapan Mangan (Mn) yang berbentuk nodul, endapan fosforite (P2O5)
dan endapan glauconite (hydro silikat yang berwarna kehijauan dengan komposisi
yang terdiri dari ion-ion K, Mg, Fe dan Si)
4. Cosmogenous
Sedimen ini berasal dari luar angkasa dimana partikel dari benda-benda angkasa
ditemukan di dasar laut dan mengandung banyak unsur besi sehingga mempnyai
respon magnetic dan berukuran antara 10 – 640 m
(Wibisono, 2005).
11
2.6.2 Sedimentasi
Pettijohn (1975) mengatakan sedimentasi sebagai proses pembentukan sedimen atau
batuan sedimen yang diakibatkan oleh pengendapan dari material pembentukannya atau
asalnya pada suatu tempat yang disebut dengan lingkungan pengendapannya yaitu delta,
danau, pantai, estuary, laut dangkal sampai laut dalam. Sedimentasi menurut Krumbein
dan Sloss (1971) adalah pembentukan sedimen/endapan atau batuan sedimen yang
diakibatkan oleh pengendapan atau akumulasi dari material pembentuk asalnya pada
lingkungan pengendapan (delta, danau, pantai, laut dangkal sampai laut dalam). Ada 4
proses sedimentasi yaitu kerusakan oleh cuaca (pelapukan), transportasi, deposisi dan
lithifikasi. Deposisi inilah yang kita kenal dengan sedimentasi.
Proses-proses yang menyangkut didalam sedimentasi adalah pelapukan, pengangkutan,
pengendapan, pemampatan dan pembatuan. Sedimentasi yang terjadi di muara sungai
terjadi akibat penumpukannya sedimen di muara baik yang berasal daru sungai maupun
dari erosi pantai sekitarnya (Krumbein dan Sloss, 1971).
12
DAFTAR PUSTAKA
1. Asmadi dan Suharno, 2012, Dasar-Dasar Teknologi Pengolahan Air Limbah,
Gosyen Publishing, Sleman, Yogyakarta.
2. Ginting, Perdana., 2007, Sistem Pengelolaan Lingkungan dan Limbah Industri,
Cetakan pertama, Yrama Widya, Bandung.
3. Hanel, Lbh., 1979, Biological Treatment of Sewage by Activated Sludge
Process, Theory and Operation, 3th edn, John Wiley and Son, New York.
4. Kahar, A., 2012, Diktat Ajar Activated Sludge Process Design, Plant Design,
Samarinda.
5. Kristianto, Philip., 2002, Ekologi Industri, ANDI, Yogyakarta.
6. Krumbein, C. dan Sloss, L. L., 1971, Stratigraphy and Sedimentation, W. H.
Freeman and Company, San Francisco.
7. Kusnoputranto, Haryoto., 1985, Kesehatan Lingkungan, FKM UI, Jakarta.
8. Metcalf & Eddy, 1991, Wastewater Engineering, Mc. Graw Hill Inc, New York.
9. Metcalf & Eddy, Inc., 2003, Waste Water Engineering Treatment and Reuse, 4th
edn, Mc. Graw Hill, New York.
10. Morris G, Neethling SJ, Cillier JJ, 2010, The Effect of Hydrophobicity and
Orientation of Cubic Particles on the Stability of Thin Films, Mineral
Engineering, United Kingdom.
11. Pandia, Setyati., 1995. Kimia Lingkungan, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi,
Depdikbud, Jakarta.
12. Pethick, J., 1984, An Introduction Geomorphology, Cahpman and Hall, USA.
13. Pettijohn, F. J., 1975, Sedimentary Rock, Halper and R Brother, New York.
14. Pipkin, John S., and Mark E. La Gory, 1983, Remarking the Sity: Social Science
Perspectives on Urban Design, SUNY Press, Albany, New York.
15. van Haandel, A. C., van der Lubbe, J. G. M., 2012, Handbook of Biological
Wastewater Treatment, IWA Publishing, London.
16. Wibisono, M. S., 2005, Pengantar Ilmu Kelautan, PT. Gramedia Widiasaran
Indonesia, Jakarta.
13