tugas akhir untuk kepentingan akademisxa.yimg.com/.../22981121/961378717/name/tesis+lengkap.docx ·...
TRANSCRIPT
UNIVERSITAS INDONESIA
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PASIEN DALAM MEMILIH TEMPAT MEMBELI OBAT DI PELAYANAN KESEHATAN
SINT CAROLUS, JAKARTA
TESIS
NAMA : LIANINGSIH PARTAHUSNIUTOYO
NPM : 0806444026
PROGRAM STUDI KAJIAN ADMINISTRASI RUMAH SAKIT
PROGRAM PASCA SARJANA
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS INDONESIA
JULI 2010
UNIVERSITAS INDONESIA
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PASIEN DALAM MEMILIH TEMPAT MEMBELI OBAT DI PELAYANAN KESEHATAN
SINT CAROLUS, JAKARTA
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister
NAMA : LIANINGSIH PARTAHUSNIUTOYO
NPM : 0806444026
PROGRAM STUDI KAJIAN ADMINISTRASI RUMAH SAKIT
PROGRAM PASCA SARJANA
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS INDONESIA
2010
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Tesis ini adalah karya saya sendiri,
dan semua sumber baik yang dikutip maupun yang
dirujuk telah saya nyatakan dengan benar
Nama : Lianingsih Partahusniutoyo
NPM : 0806444026
Tanda Tangan :
Tanggal : 5 – 7 – 2010
SURAT PERNYATAAN
Yang bertanda tangan dibawah ini, saya :
Nama : Lianingsih Partahusniutoyo
NPM : 0806444026
Mahasiswa Program : Kajian Administrasi Rumah Sakit
Tahun Akademik : 2008
Menyatakan bahwa saya tidak melakukan kegiatan plagiat dalam penulisan tesis saya
yang berjudul :
Faktor-faktor yang mempengaruhi pasien dalam memilih tempat membeli obat di
Pelayanan Kesehatan Sint Carolus, Jakarta
Apabila suatu saat nanti terbukti saya melakukan plagiat maka saya akan menerima
sanksi yang telah ditetapkan.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.
Depok, 5 Juli 2010
(Lianingsih Partahusniutoyo)
KATA PENGANTAR/UCAPAN TERIMA KASIH
Saya sungguh bersyukur kepada Tuhan, Allah Yang Maha Kuasa, yang dengan
anugrahNya telah memimpin dan menolong saya selama studi hingga dapat
menyelesaikan tugas akhir ini. Penyelesaian Tesis ini dilakukan dalam rangka
memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Magister Administrasi Rumah
Sakit pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Dalam penulisan
ini perkenankan penulis menyampaikan terima kasih kepada :
1 drh.Wiku Adisasmito,M.Sc,Ph.D sebagai pembimbing, yang di tengah
kesibukan beliau telah menyediakan waktu, tenaga dan pikiran untuk
mengarahkan penulis dalam penyusunan tesis ini.
2 Dr dra Ratu Ayu Dewi Sartika,Apt, MSc, sebagai penguji yang telah
memberikan masukan-masukan yang sangat berharga dalam penyelesaian
tesis ini, dukungan semangat beliau sangat berarti bagi penulis.
3 dr Markus Waseso Suharyono,MARS selaku Direktur Utama PK Sint Carolus
yang telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk melakukan penelitian
di rumah sakit yang dipimpinnya.
4 Dra Meitini, Apt, Dra Marlina,Apt beserta jajaran unit farmasi dan Zr Merry,
wakil kepala unit rawat jalan PK Sint Carolus yang telah banyak membantu
penulis selama proses penelitian berlangsung.
5 Ibu Sylvia Richarda Doy,Skp,MARS, kepala bagian SIRS PK Sint Carolus
yang bukan hanya membantu memberikan data yang penulis perlukan tetapi
juga telah memberikan dukungan semangat kepada penulis.
6 Suami dan ketiga anak-anakku tersayang yang telah rela kehilangan waktu
kebersamaan selama penulis mengikuti studi dan mendukung penulis dengan
caranya masing-masing.
7 Sahabat-sahabat selama kuliah, dr Fina Jusuf, dr Go Ester dan dr Patricia
Hutagalung yang telah bersama-sama penulis menyelesaikan tugas-tugas
kuliah dan tak lupa mendoakan penulis selama mempersiapkan tesis ini.
8 Teman-teman kuliah baik kelas khusus maupun kelas reguler yang tak dapat
disebut satu persatu, dimana penulis telah menikmati kebersamaan selama
masa perkuliahan berlangsung dan juga terus memberikan dukungan
semangat selama proses penyelesaian tesis ini.
Kiranya Tuhan, Allah Yang Maha Pemurah membalas segala kebaikan Bapak/Ibu
sekalian dan mudah-mudahan tesis ini dapat memberikan manfaat bagi Rumah Sakit
dan pengembangan ilmu.
Jakarta, 5 Juli 2010
Penulis
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia , saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Lianingsih Partahusniutoyo
NPM : 0806444026
Program Studi : Kajian Administrasi Rumah Sakit
Departemen : Administrasi dan Kebijakan Kesehatan
Fakultas : Kesehatan Masyarakat
Jenis Karya : Tesis
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty-Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :
Faktor-faktor yang mempengaruhi pasien dalam memilih tempat membeli obat di Pelayanan Kesehatan Sint Carolus, Jakarta.
Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan hak Bebas Royalty Noneksklusif. Universitas Indonesia berhak menyimpan,mengalihmedia/format, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat dan mempublikasi tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Depok
Pada tanggal : 5 Juli 2010
Yang menyatakan
( Lianingsih Partahusniutoyo)
ABSTRAK
Nama : Lianingsih Partahusniutoyo
Program Studi : Pasca Sarjana
Program Kajian Administrasi Rumah Sakit
Judul : Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pasien Dalam Memilih
Tempat Membeli Obat Di Pelayanan Kesehatan
Sint Carolus, Jakarta.
Penelitian ini dilatarbelakangi jumlah resep dari unit rawat jalan yang ditebus di luar unit farmasi PK Sint Carolus pada tahun 2009 sebesar 21,37%. Proses pembelian obat di unit farmasi rawat jalan PK Sint Carolus masih manual, setelah berkonsultasi dengan dokter, pasien menerima resep dan memilih sendiri tempat membeli obat. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pasien dalam memilih tempat membeli obat di PK Sint Carolus. Penelitian ini dilaksanakan selama 2 bulan mulai bulan April sampai awal Juni 2010 di Poliklinik spesialis PK Sint Carolus, Jakarta. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan menggunakan data sekunder sebagai data awal dan kemudian dikembangkan dengan wawancara mendalam kepada informan yang terlibat dalam proses pemilihan tempat membeli obat di PK Sint Carolus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa besarnya persentase resep obat yang dibeli di luar unit farmasi PK Sint Carolus disebabkan oleh kualitas pelayanan unit farmasi yang belum optimal, belum semua dokter meresepkan sesuai formularium, kurangnya kontrol manajemen terhadap fungsi panitia farmasi dan terapi dan belum terjalin relationship antara pasien dengan petugas farmasi.
Kata kunci : Pemilihan tempat membeli obat, farmasi
ABSTRACT
Name : Lianingsih Partahusniutoyo
Study Programme : Post Graduate (Magister)
Title : Factors that influence patients in choosing where to buy drugs in Pelayanan Kesehatan Sint Carolus, Jakarta
This research conducted because the amount of prescription from outpatient unit which be redeemed outside pharmacy unit of PK Sint Carolus in the year of 2009 has reached the number of 21,37%. The process to buy medicine in the pharmacy unit is still working manually. After consulting with the doctor, patient receive a prescription dan choose by themselves where to buy the medicine. The objective of this research is find out factors that influence patients in choosing where to buy drugs in PK Sint Carolus. This research was conducted for 2 months since April until early June 2010 in spesialist polyclinic of PK Sint Carolus, Jakarta. This research was using qualitative approach, with secondary data as initial data dan then improved by indepth interview with informans who involved with the selection of places to buy drugs. The result of this research shows that the big percentage of prescription which bought outside the pharmacy unit of PK Sint Carolus is caused by the lack of control towards the function of pharmacy and therapy commitee, the service quality of pharmacy unit which is not optimal yet, not all the doctors prescribe according to formularium, and there hasn’t been a relationship between patients and pharmacysts.
Keywords : Selection of places to buy drugs, pharmacy
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...................................................................................................i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS.......................................................ii
HALAMAN PERNYATAAN TIDAK PLAGIAT...................................................iii
HALAMAN PENGESAHAN...................................................................................iv
KATA PENGANTAR/UCAPAN TERIMA KASIH.................................................v
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI................................vii
ABSTRAK................................................................................................................viii
DAFTAR ISI...............................................................................................................x
DAFTAR TABEL......................................................................................................xv
DAFTAR GAMBAR................................................................................................xvi
DAFTAR LAMPIRAN.............................................................................................xvi
BAB I. PENDAHULUAN...........................................................................................1
1.1. Latar Belakang……………………………………………………………..…1
1.2. Rumusan Masalah ……………………………………………...………….…2
1.3. Pertanyaan Penelitian……………………………………………………........3
1.4. Tujuan Penelitian………………………………………………………....…...3
1.5. Manfaat Penelitian…………………………………………………………….4
1.6. Ruang Lingkup Penelitian………………………………………………….....4
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Dinamika Perkembangan Rumah Sakit…………………………………......7
2.1.2. Perkembangan Layanan Rawat Jalan……………………………….....9
2.1.3. Farmasi Rumah Sakit………………………………………………...10
2.2. Obat dan Penggunaannya……………………………………………………17
2.3. Panitia Farmasi Dan Terapi………………………………………………….21
2.4. Formularium……………………………………............................................24
2.5. Peresepan Obat ……………………………………………………………..28
2.6. Kebijakan Rumah Sakit…….…………………………………………........32
2.7. Keputusan Pasien Memilih Tempat Membeli Obat…………………...…..34
BAB III. GAMBARAN UMUM PK SINT CAROLUS..………………....……….39
3.1. Sejarah PK Sint Carolus…………….………...………………….………..39
3.2. Lambang Pelayanan Kesehatan………………..…………………....……40
3.3. Visi dan Misi……………………………………..……………………….41
3.4. Sarana……………………………………………...……………………...41
3.5. Fasilitas Pelayanan…………………………………..……………....…....42
3.6.1. Pelayanan Gawat Darurat……………………..…………………...42
3.6.2. Pelayanan Rawat Jalan Spesialistik……………...………………....42
3.6.3. Pelayanan Uji Kesehatan………………………...…………....……43
3.6.4. Pelayanan Hemodialisa…………………………...…………....…...43
3.6.5. Balai Kesehatan Masyarakat……………………...………………...43
3.6.6. Poli Laktasi………………………………………...……………….44
3.6.7. Pelayanan Rawat Inap……………………………...………………44
3.6.8. Kamar Bedah………………………………………...………....…..47
3.6.9. Pelayanan Kesehatan Di Rumah……………………...…………….47
3.6.10. Pelayanan Penunjang Medik………………………...…………….47
3.6.11. Pelayanan Penunjang :Promotif dan Rehabilitatif…...……………48
3.6.12. Pelayanan Spritual Dan Sosial………………………...…………..48
3.6.13. Pelayanan Penunjang Umum…………………………...…………48
3.6. Sumber Daya Manusia…………………………………………...………..49
3.6.1. Jumlah Dokter……………………………………………...……….49
3.6.2. Jumlah Karyawan Farmasi……………………...…………........…..50
3.7. Kinerja Pelayanan Farmasi…………………………..………………...….50
3.7.1. Penerimaan Resep Dari Ranap Dan Rajal……………………...…..50
3.7.2. Penerimaan Resep di Unit Farmasi Tahun 2009...............................51
3.8. Panitia Farmasi Dan Terapi………………………………………...……..51
BAB IV. KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL…........…….55
4.1. Kerangka Teori……………………………………………………………...554.2. Kerangka Pikir................................................................................................56
4.3.Kerangka Konsep…………………………………………………………....57
4.4. Definisi Istilah…………………………………………………………..…. 58
BAB V METODE PENELITIAN……...…………………………………………...61
5.1. Rancangan Penelitian………………………………………..……………...61
5.2. Lokasi dan Waktu Penelitian…………………………………………….....61
5.3. Sumber Informasi…………………………………………………………...61
5.4. Instrumen Penelitian………………………………………………………...62
5.5. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data……………………………………….63
5.6. Pengolahan dan Analisis Data……………...……………………………… 64
5.6.1. Pengolahan Data………………………………………………………64
5.6.2. Analisis Data………….……………………………………………….66
5.6.3. Validasi Data……………………………………………………….....67
5.6.4. Penyajian Data……………………………....…………………….…..67
BAB VI HASIL PENELITIAN………..……………………………………….....68
6.1. Diskripsi Informan…………………………………………………………..68
6.2. Hasil Penelitian……………………………………………………………...73
6.2.2. Kebijakan Pengelolaan Obat………………………………………….73
6.2.2.1. Penetapan Pengurus Panitia Farmasi Dan Terapi………….....73
6.2.2.2. Proses Seleksi Obat Dalam Formularium………………….....75
6.2.2.3. Sosialisasi Formularium……………………………………...79
6..2.3. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Peresepan dokter………………..81
6.2.3.1. Pengetahuan Dokter Tentang Formularium…………………..81
6.2.3.1.1. Pendapat Dokter Tentang Formularium Di PKSC...82
6.2.3.1.2. Pertimbangan Utama Dokter Dalam Meresepkan....83
6.2.3.2. Kepatuhan Dokter Pada Formularium…………………….....84
6.2.3.3. Pengaruh Promosi Industri Farmasi……………………….....87
6.2.4. Karakteristik Obat Dan Pelayanan Obat……………………………....88
6.2.4.1. Harga………………………………………………………....89
6.2.4.2. Ketersediaan ………………………………………………...92
6.2.4.3. Waktu Tunggu……………………………………………….95
6.2.5. Pengaruh Karakteristik Pasien Dengan Keputusan Memilih Tempat
Menebus Resep……………………………………………………....100
6.2.5.1. Pendidikan ……………………………………………...…..101
6.2.5.2. Pekerjaan …………………………………………………...101
6.2.5.3. Penanggung Biaya…………………………………………...102
6.2.5.4. Status Penyakit……………………………………………....102
6.2.5.5. Faktor-faktor lain yang menentukan tempat informan
menebus resep………………………………………………103
BAB VII PEMBAHASAN…….……………………………………………...…104
7.1. Keterbatasan Penelitian……………………………………………..…….104
7.2. Tinjauan Hasil Penelitian……….…………………………………….......104
7.2.1. Kebijakan Pengelolaan Obat……………………………...…...104
7.2.1.1. Penetapan Pengurus Panitia Farmasi Dan Terapi…….105
7.2.1.2. Proses Seleksi Obat Dalam Formularium…………….106
7.2.1.3. Sosialisasi Formularium……………………………...108
7.2.2. Pola Peresepan Dokter………………………………………..110
7.2.2.1. Pengetahuan Dokter Tentang Formularium………….110
7.2.2.2. Kepatuhan Dokter Pada Formularium………………..111
7.2.2.3. Pengaruh Promosi Industri Farmasi………………….113
7.2.3. Karakteristik Obat Dan Pelayanan Obat……………………..114
7.2.3.1. Harga…………………………………………………116
7.2.3.2. Ketersediaan Obat Di Unit Farmasi…………………..117
7.2.3.3. Waktu Tunggu………………………………………..119
7.2.4. Pengaruh Karakteristik Pasien Dengan Keputusan Memilih
Tempat Menebus Resep…………………………………...…122
BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN……..…………………………….....126
8.1. Kesimpulan………………………………….………………………….126
8.2. Saran…………………….……………………………………………...127
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………..…….....129
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
TABEL Halaman
1.1. Perbandingan kunjungan rawat jalan dengan penerimaan resep di PK Sint
Carolus tahun 2007-2009.......................................................................................2
3.1. Kapasitas tempat tidur berdasarkan kelas perawatan…………………..….……46
3.2 Jumlah karyawan farmasi rumah sakit……………………………………….....50
3.3. Penerimaan resep di farmasi ranap-rajal periode Januari-Agustus
tahun 2004-2009………………………………………………………………...50
3.4 Penerimaan resep di unit farmasi PK Sint Carolus tahun 2009…….……..…...51
5.1. Daftar kode informan…………………………………………………………...65
6.1. Diskripsi informan wawancara mendalam unsur manajemen PK Sint Carolus..68
6.2. Diskripsi informan wawancara mendalam unsur panitia farmasi dan terapi…...69
6.3. Diskripsi informan wawancara mendalam unsur pelaksana rawat jalan…….…69
6.4. Diskripsi informan wawancara mendalam unsur dokter spesialis………….…..70
6.5. Diskripsi informan wawancara mendalam unsur pasien……………………….71
6.6. Pengaruh karakteristik pasien dengan keputusan memilih tempat membeli
obat......................................................................................................................72
6.7. Jumlah obat sisipan formularium tahun 2006-2009……………………………77
DAFTAR GAMBAR
GAMBAR Halaman
2.1. Peran pimpinan………………………………………………………………..33
7.1. Tahapan prosedur penetapan obat……………………………………………107
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Struktur Organisasi Pelayanan Kesehatan Sint Carolus
Lampiran 2 : Pedoman Wawancara Mendalam
Lampiran 3 : Kategorisasi Data
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Di era globalisasi saat ini yang sangat kompetitif , rumah sakit tidak dapat
lagi dipandang sebagai institusi sosial semata, yang dikelola dengan manajemen
tradisional dan mengandalkan sumber daya seadanya, tetapi rumah sakit lebih
dipandang sebagai suatu lembaga sosio-ekonomi yaitu lembaga sosial yang dikelola
dengan prinsip-prinsip ekonomi. Saat ini rumah sakit swasta non-profit semakin
berkembang kearah organisasi bisnis. Dalam UU No 44 tahun 2009 tercantum bahwa
salah satu hak rumah sakit adalah menerima imbalan jasa pelayanan. Terjadi
perubahan sistem nilai, rumah sakit yang semula terutama berfungsi sosial sudah
menjadi badan usaha bisnis yang menghasilkan surplus keuangan dari
penyelenggaraan pelayanan kesehatan.
Unit farmasi rumah sakit adalah sebuah unit atau bagian di rumah sakit yang
melakukan pekerjaan kefarmasian dan memberikan pelayanan kefarmasian
menyeluruh khususnya kepada penderita, professional kesehatan, rumah sakit dan
masyarakat pada umumnya, dipimpin oleh seorang apoteker yang sah, kompeten, dan
professional. Kewajiban apoteker adalah menetapkan dan memelihara standar untuk
menjamin mutu, penyimpanan yang tepat, pengendalian dan penggunaan yang aman
dari semua sediaan farmasi (Siregar&Amalia,2003).
Di Indonesia, peran farmasi rumah sakit dalam penjualan obat cukup signifikan.
Dari data distributor farmasi terkemuka didapatkan kontribusi penjualan obat di tiga
sektor bisnis obat di Indonesia adalah sebagai berikut : dari rumah sakit sebesar 51%,
46% dari apotik dan sisanya 3% melalui dispensing dokter.
(farmakologinews.blogspot.com,2008). Oleh sebab itu unit farmasi rumah sakit
merupakan salah satu sumber pendapatan yang signifikan bagi rumah sakit.
Penelitian yang dilakukan oleh Fathoni, dkk (2001) di Rumah Sakit Pupuk Kaltim
mendapatkan hasil bahwa pendapatan apotik rumah sakit merupakan 60% dari
pendapatan total rumah sakit. Di Pelayanan Kesehatan Sint Carolus unit farmasi
memberikan sekitar 60-61% pendapatan dari total penerimaan rumah sakit sekalipun
hanya sekitar 80% pasien yang menerima resep obat (Siregar dan Amalia,2003).
Tabel 1.1. Perbandingan kunjungan rawat jalan dengan penerimaan resep di PK Sint
Carolus tahun 2007-2009
1.2. RUMUSAN MASALAH.
Dari data 3 tahun terakhir terlihat bahwa 16-24% dari resep yang ditulis
dokter di unit rawat jalan dibeli di luar unit farmasi PK Sint Carolus sehingga
mempengaruhi total pendapatan PK Sint Carolus. Hal ini sesuai dengan pernyataan
dari Direktur Utama PK Sint Carolus bahwa kehilangan resep tersebut sangat
signifikan bagi PK Sint Carolus. Untuk itu diadakan penelitian ini dalam rangka
mencari faktor-faktor yang mempengaruhi pasien dalam memilih tempat membeli
obat.
1.3. PERTANYAAN PENELITIAN
1.3.1. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi pasien dalam memilih tempat membeli
Tahun Kunjungan
Rajal
∑ Resep Rajal
Diterima Farmasi
Selisih %
2007 121.649 66.626 55.673 10.953 16,44
2008 131.920 79.415 60.694 18.721 23,57
2009 138.144 104.131 81.880 22.251 21,37
obat di PK Sint Carolus?
1.3.2. Apakah faktor peresepan dokter di poliklinik spesialis PK Sint Carolus
mempengaruhi pasien dalam memilih tempat membeli obat?
1.3.3. Apakah faktor karakteristik obat di unit farmasi rawat jalan PK Sint Carolus
mempengaruhi pasien dalam memilih tempat membeli obat?
1.3.4. Apakah faktor pertimbangan dokter di poliklinik spesialis PK Sint Carolus
dalam meresepkan obat mempengaruhi pasien dalam memilih tempat membeli
obat?
1.4. TUJUAN PENELITIAN
1.4.1. Tujuan umum
Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pasien dalam memilih tempat
membeli obat.
1.4.2. Tujuan khusus
1. Mengetahui faktor-faktor peresepan dokter di poliklinik spesialis PK
Sint Carolus yang mempengaruhi pasien dalam memilih tempat
membeli obat.
2. Mengetahui faktor-faktor karakteristik obat di unit farmasi rawat
jalan PK Sint Carolus yang mempengaruhi pasien dalam memilih
tempat membeli obat.
3. Mengetahui faktor-faktor pertimbangan dokter di poliklinik spesialis
PK Sint Carolus dalam meresepkan obat yang mempengaruhi pasien
dalam memilih tempat membeli obat.
1.5. MANFAAT PENELITIAN
1.5.1. Bagi PK. Sint Carolus :
a. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pasien dalam memilih tempat
membeli obat.
b. Dapat menjadi bahan pertimbangan bagi manajemen PK Sint Carolus untuk
merancang strategi mengurangi jumlah resep yang ditebus diluar unit farmasi.
c. Menjadi bahan pertimbangan bagi manajemen rumah sakit Sint Carolus untuk
meminimalisir setiap potensi kehilangan penerimaan di setiap unit.
1.5.2. Bagi peneliti
a. Mendapat pengetahuan, pengalaman dan pemahaman tentang penerapan ilmu
manajemen rumah sakit khususnya dalam sistem pelayanan di unit revenue
center.
b. Mendapatkan pembelajaran tentang manajemen rumah sakit khususnya hal-
hal yang mempengaruhi pasien dalam memilih tempat membeli obat
c. Mendapat kesempatan untuk mengembangkan wawasan keilmuan yang
diperoleh selama mengikuti perkuliahan di jurusan Kajian Administrasi
Rumah Sakit.
1.5.3. Bagi institusi pendidikan
Khususnya Fakultas Ilmu Kesehatan Masyarakat dalam bidang Kajian
Administrasi Rumah Sakit sebagai tempat pembelajaran penelitian ini sebagai
pemenuhan tugas akhir dan kiranya hasil penelitian ini dapat berguna bagi
pihak-pihak yang berkepentingan.
1.6. RUANG LINGKUP PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan diagram fishbone dari Ishikawa untuk
mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan tempat membeli obat
di PK Sint Carolus tahun 2009. Dari diagram tersebut diketahui bahwa pemilihan
tempat membeli obat dipengaruhi oleh peresepan dokter spesialis yang berpraktek di
poliklinik spesialis, obat-obat yang tersedia di unit farmasi rawat jalan dan
karakteristik pasien yang berobat di poliklinik spesialis PK Sint Carolus. Faktor-
faktor penyebab masalah tersebut menjadi variabel-variabel yang akan dianalisa.
Ketiga faktor penyebab itu juga dipengaruhi oleh kebijakan manajerial PK Sint
Carolus dengan dibentuknya panitia farmasi dan terapi yang mengatur pengelolaan
obat di PK Sint Carolus.
Penelitian ini menggunakan pendekatan model sistem, dimana panitia farmasi
dan terapi, peresepan dokter, karakteristik obat dan karakteristik pasien menjadi
variabel masukan, prosesnya adalah pertimbangan dokter dalam peresepan dokter
dan keluarannya adalah pemilihan tempat membeli obat. Penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif karena peneliti ini ingin mengetahui lebih mendalam mengenai
permasalahan penerimaan resep di unit farmasi rawat jalan PK Sint Carolus tahun
2009.
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
a. Data primer yaitu sejumlah keterangan/fakta yang secara langsung diperoleh
dari sumber dimana penelitian ini dilakukan. Data primer diperoleh melalui
informan.
b. Data sekunder yaitu keterangan-keterangan yang mendukung data primer.
Data sekunder adalah data yang diperoleh dengan cara penelitian kepustakaan
melalui literatur maupun bentuk lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini.
Tehnik pengumpulan data dilakukan berdasarkan :
a. Studi kepustakaan
Merupakan suatu tehnik pengumpulan data sekunder dengan cara menelusuri
dan mengkaji dokumen-dokumen dan literatur yang ada hubungannya dengan
penelitian
b. Wawancara
Merupakan tehnik pengumpulan data dengan cara tanya jawab berdasarkan
pedoman wawancara yang dilakukan secara intensif dan mendalam terhadap
informan yang terlibat langsung dalam peresepan, ketersediaan obat dan
penerimaan resep di unit farmasi rawat jalan PK Sint Carolus.
Pengambilan data primer dan sekunder dilaksanakan di PK Sint Carolus, Jalan
Salemba Raya Nomor 41, Jakarta pada bulan April – awal Juni 2010.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. DINAMIKA PERKEMBANGAN RUMAH SAKIT
Perubahan paradigma pengelolaan rumah sakit saat ini jauh berbeda dengan
konsep rumah sakit jaman dulu dimana fungsi sosial sebagai institusi pelayanan
kesehatan masyarakat sangat dominan. Dewasa ini rumah sakit diperhadapkan pada
tantangan kritis akibat perkembangan sosial, ekonomi dan budaya yang mengglobal,
menyebabkan terjadinya perubahan pasar yang ditandai dengan makin ketatnya
kompetisi antar rumah sakit dan reformasi di bidang pelayanan kesehatan. Rumah
sakit menghadapi realita kehidupan yang semakin meterialistis, kita tidak dapat
menutup mata bahwa mutu pelayanan rumah sakit terkait dengan pesatnya
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran, yang membutuhkan
biaya tinggi. Hal ini mendorong terjadinya pergeseran pola pengelolaan rumah sakit.
Saat ini dalam pengelolaannya rumah sakit tidak hanya berorientasi pada
pelayanan kesehatan masyarakat saja, tetapi juga harus memikirkan sistem bisnis agar
dapat tumbuh dan berkembang, bila orientasi bisnis tidak diperhatikan maka akan
terjadi kegagalan berkembang, akibatnya seluruh fungsi rumah sakit menjadi
terganggu (Trisnantoro,2004). Bisnis merupakan usaha penyediaan produk dan jasa
berkualitas bagi pemuasan kebutuhan customer untuk memperoleh return jangka
panjang memadai bagi kemampuan bertahan dan berkembang bisnis tersebut
(Mulyadi,1995) dikutip dari (Trisnantoro,2004).
Meskipun demikian bisnis rumah sakit dibatasi oleh peraturan perundang-
undangan dikarenakan (UU N0 36, 2009) :
1 Pemerintah bertanggung jawab merencanakan, mengatur, menyelenggarakan,
membina dan mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan yang merata dan
terjangkau oleh masyarakat.
2 Pembangunan kesehatan diselenggarakan dengan berasaskan
perikemanusiaan, keseimbangan, manfaat, pelindungan, penghormatan
terhadap hak dan kewajiban, keadilan, gender dan nondiskriminatif dan
norma-norma agama.
3 Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang
aman, bermutu dan terjangkau.
Penyelenggaraan pelayanan kesehatan pada masyarakat juga mengacu pada
kebijakan pelayanan publik seperti yang tercantum dalam UU No 25 tahun 2009 yaitu
bahwa setiap warganegara berhak memperoleh pelayanan yang adil dan pemberian
pelayanan tidak membedakan suku, ras, agama, golongan, gender dan status
ekonomi.Sehingga semua golongan masyarakat dapat menikmati pelayanan
kesehatan sesuai dengan kebutuhannya dan dengan biaya yang terjangkau.
Dalam UU No 44 Tahun 2009 disebutkan bahwa fungsi rumah sakit adalah :
1 Penyelenggaran pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai
dengan standar pelayanan rumah sakit.
2 Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan
kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis.
3 Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam
rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan.
4 Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi
bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan
memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan.
Pengaturan penyelenggaraan Rumah Sakit bertujuan (UU No 44,2009) :
1 Mempermudah akses masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.
2 Memberikan perlindungan terhadap keselamatan pasien, masyarakat,
lingkungan rumah sakit dan sumber daya manusia di rumah sakit.
3 Meningkatkan mutu dan mempertahankan standar pelayanan rumah sakit.
4 Memberikan kepastian hukum kepada pasien, masyarakat, sumber daya
manusia rumah sakit, dan Rumah Sakit.
Pengelolaan rumah sakit memiliki karakteristik yang berbeda dengan lembaga
korporat pada umumnya, disebabkan (Djojodibroto,1997) :
1 Sebagian besar tenaga kerja rumah sakit adalah tenaga professional
2 Wewenang kepala rumah sakit berbeda dengan wewenang pimpinan
perusahaan
3 Tugas-tugas kelompok professional lebih banyak dibandingkan tugas
kelompok manajerial
4 Beban kerjanya tidak bisa diatur
5 Jumlah pekerjaan dan sifat pekerjaan di unit kerja beragam
6 Hampir semua kegiatannya bersifat urgent
7 Pelayanan rumah sakit sifatnya sangat individualistic. Setiap pasien harus
dipandang sebagai individu yang utuh, aspek fisik, aspek mental, aspek
sosiokultural, dan aspek spiritual harus mendapat perhatian penuh
8 Tugas memberikan pelayanan bersifat pribadi, pelayanan ini harus cepat,
tepat, kesalahan tidak bisa ditolerir
9 Pelayanan berjalan terus menerus 24 jam sehari
2.1.1. PERKEMBANGAN LAYANAN RAWAT JALAN
Salah satu kegiatan pelayanan medis rumah sakit yang merupakan pelayanan
terdepan yang menampilkan citra rumah sakit adalah pelayanan rawat jalan. Rawat
jalan memegang peran penting dalam pelayanan rumah sakit, karena merupakan
pintu gerbang rumah sakit, pelayanan terdepan yang memberikan kesan pertama bagi
pasien dan merupakan tempat peralihan ke unit-unit lain di rumah sakit, seperti unit
rawat inap dan unit-unit penunjang medis.(Rijadi,1997).
Tahun 1985, penerimaan rumah sakit dari kunjungan rawat jalan kurang dari
15% dari total penerimaan rumah sakit, tetapi tahun 2000 praktisi kesehatan
memperkirakan penerimaan dari rawat jalan meningkat drastis menjadi paling sedikit
50% dari total penerimaan rumah sakit (Barr & Breindel, 1995) dikutip dari Rijadi
(1997). Faktor-faktor yang berperan dalam pengembangan pelayanan rawat jalan
adalah (Cambridge Research Institute,1976; Avery&Imdieke,1984; Feste,1989 dalam
Azwar,1996) :
1. Sarana dan prasarana yang diperlukan untuk menyelenggarakan pelayanan
rawat jalan relative lebih sederhana dan murah, dan arena itu lebih banyak
didirikan.
2. Kebijakan pemerintah yang untuk mengendalikan biaya kesehatan mendorong
dikembangkannya berbagai sarana pelayanan rawat jalan. Di Amerika Serikat
sarana pelayanan rawat jalan yang dimaksud antara lain Health Maintenance
Organization (HMOs) serta Prefered Provider Organization (PPOs)
3. Tingkat kesadaran kesehatan penduduk yang makin meningkat, yang tidak
lagi membutuhkan pelayanan untuk mengobati penyakit saja, tetapi juga
untuk memelihara atau meningkatkan kesehatan yang umumnya dapat
dilayani oleh sarana pelayanan rawat jalan saja.
4. Kemajuan ilmu dan teknologi kedokteran yang telah dapat melakukan
berbagai tindakan kedokteran yang dulunya memerlukan pelayanan rawat
inap, tetapi pada saat ini cukup dilayani dengan pelayanan rawat jalan saja.
5. Utilisasi rumah sakit yang makin terbatas, dan karenanya untuk meningkatkan
pendapatan, kecuali lebih mengembangkan pelayanan rawat jalan yang ada di
rumah sakit juga terpaksa mendirikan berbagai sarana pelayanan rawat jalan
di luar rumah sakit.
2.1.2. FARMASI RUMAH SAKIT
Sebagai satu-satunya unit yang mengelola dan mendistribusikan perbekalan
farmasi, unit farmasi rumah sakit merupakan salah satu sumber pendapatan yang
signifikan bagi rumah sakit. Penelitian yang dilakukan oleh Fathoni, dkk (2001) di
Rumah Sakit Pupuk Kaltim mendapatkan hasil bahwa pendapatan apotik rumah sakit
merupakan 60% dari pendapatan total rumah sakit.
Unit farmasi rumah sakit adalah suatu unit atau bagian di rumah sakit yang
melakukan pekerjaan kefarmasian dan memberikan pelayanan kefarmasian
menyeluruh khususnya kepada penderita, profesional kesehatan, rumah sakit dan
masyarakat pada umumnya, dipimpin oleh seorang apoteker yang sah, kompeten, dan
professional. Kewajiban apoteker adalah menetapkan dan memelihara standar untuk
menjamin mutu, penyimpanan yang tepat, pengendalian dan penggunaan yang aman
dari semua sediaan farmasi (Siregar&Amalia,2003).
Saat ini orientasi paradigma pelayanan kefarmasian telah bergeser dari
pelayanan yang berorientasi pada obat (drug oriented) menjadi pelayanan yang
berorientasi pada pasien (patient oriented) dengan mengacu kepada Pharmaceutical
Care. Kegiatan pelayanan yang tadinya hanya berfokus pada pengelolaan obat
sebagai komoditi berubah menjadi pelayanan yang komprehensif dengan tujuan
untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. (Kepmenkes No 1197,2004).
Tujuan pelayanan kefarmasian dalam penggunaan obat dan alat kesehatan di rumah
sakit adalah (Kepmenkes No 1197,2004) :
1 Meningkatkan mutu dan memperluas cakupan pelayanan farmasi di rumah
sakit.
2 Memberikan pelayanan farmasi yang dapat menjamin efektifitas, keamanan
dan efisiensi penggunaan obat.
3 Meningkatkan kerjasama dengan pasien dan profesi kesehatan lain yang
terkait dalam pelayanan farmasi.
4 Melaksanakan kebijakan obat di rumah sakit dalam rangka meningkatkan
penggunaan obat secara rasional
Fungsi pokok apotik rumah sakit dan apoteker menurut ASHP (American Society of
Hospital Pharmacist) adalah sebagai berikut :
1. Membuat dan mensterilisasi obat injeksi bilamana dibuat di RS
2. Membuat obat yang sederhana
3. Memberikan (dispensing) obat, bahan kimia dan preparat farmasi
4. Mengisi dan memberikan etiket pada semua container yang berisi obat dan
diberikan kepada pasien maupun lain bagian RS
5. Mengawasi semua pharmaceutical supplies yang dikirimkan dan
dipergunakan di berbagai bagian RS
6. Menyediakan persediaan antidot dan lain-lain obat untuk keadaan gawat
darurat
7. Mengawasi pengeluaran obat narkotika dan alkohol dan membuat daftar
inventory
8. Membuat spesifikasi (kualitas dan sumber) dari pembelian semua obat, bahan
kimia, antibiotika, biologicals dan preparat-preparat farmasi yang dipakai
dalam pengobatan pasien di RS
9. Memberikan informasi mengenai perkembangan terbaru berbagai obat kepada
para dokter, perawat dan lain-lain orang yang berkepentingan
10. Membantu mengajar para mahasiswa kedokteran dan perawat pada program
koasisten fakultas kedokteran/perawat
11. Melaksanakan keputusan-keputusan yang diambil oleh panitia farmasi dan
terapi
Untuk dapat menjalankan tugasnya dengan baik maka pelayanan apotik RS harus
(Aditama,2004) :
1. Punya sistem yang mendukung berjalannya kegiatan yang cepat, tepat dan
aman
2. Sebaiknya mendistribusikan pelayanan di beberapa loket untuk
mempermudah pasien
3. Mampu membuat system inventory yang dapat menurunkan penggunaan
modal kerja
4. Mampu menjalin komunikasi yang baik dengan seluruh unit kerja di rumah
sakit
5. Memiliki karyawan handal dan terlatih.
Masalah yang berkaitan dengan dispensing obat pada pasien rawat inap sangat
berbeda dengan pasien rawat jalan. Pada pasien rawat inap, proses permintaan obat ke
unit farmasi, pendistribusian dan pemberian obat kepada pasien, dilakukan oleh
perawat dan staf unit farmasi rumah sakit, sedangkan pasien rawat jalan setelah
menerima resep dan menebus obat, ia bertanggung jawab sendiri terhadap konsumsi
obatnya karena pasien berada dalam lingkungan yang tak dapat dikendalikan oleh
rumah sakit. Karena itu perlu ada jaminan mutu dan keamanan obat yang diberikan
kepada pasien. Jaminan mutu dan keamanan obat juga termasuk dalam pengolahan
resep obat yang diterima oleh unit farmasi rumah sakit, persyaratannya adalah
sebagai berikut (Siregar&Amalia,2003) :
1 Semua fungsi dispensing harus dilakukan oleh apoteker atau di bawah
pengawasan apoteker.
2 Apoteker harus mengembangkan kebiasaan mengetahui praktik penulisan dari
dokter individu yang secara khas menulis bagi penderita yang dilayani unit
farmasi rumah sakit.
3 Apoteker harus berinteraksi dengan dokter penulis yang memberi pengaruh
positif pada penulisan resep.
4 Obat harus di dispensing dan diberikan kepada pasien rawat jalan hanya
berdasarkan order tertulis atau lisan dari dokter penulis yang sah.
5 Ketepatan dari pemilihan obat, dosis, rute pemberian, serta jumlah secara
klinik harus dikaji oleh apoteker.
6 Profil pengobatan penderita dari semua penderita harus dipelihara.
7 Apoteker merupakan bagian terpadu dari setiap program pemberian obat di
rumah. Apoteker harus terlibat dalam mengevaluasi kemungkinan perawatan
kesehatan rumah guna menetapkan kemampuan mereka berpartisipasi secara
aman dan efektif dalam konsumsi obat di rumah.
8 Apoteker harus membuat dan/atau menyiapkan tepat waktu dan dengan cara
yang akurat, formulasi obat, kekuatan, bentuk sediaan dan pengemasan yang
ditulis dokter
9 Personel unit farmasi rumah sakit harus menyiapkan semua obat parenteral
untuk diberikan pada pasien rawat jalan dan pasien yang dirawat di rumah,
kecuali dalam keadaan darurat.
10 Prosedur pemeriksaan dan prosedur jaminan mutu yang tepat harus digunakan
untuk memastikan ketelitian dari semua sediaan obat dan proses dispensing.
11 Apoteker harus mengambil peran aktif dalam manajemen terapi obat
langsung.
12 Obat yang di dispensing harus diberi etiket dengan lengkap dan benar serta
dikemas sesuai dengan peraturan yang berlaku dan standar praktik yang
diterima.
13 Etiket pada wadah obat yang di dispensing untuk pasien rawat jalan, minimal
mengandung informasi berikut :
a. Nama, alamat dan nomor telepon unit farmasi rumah sakit
b. Tanggal obat di dispensing
c. Nomor seri resep
d. Nama lengkap penderita
e. Nama obat (nama generik)
f. Aturan pakai obat untuk penderita
g. Nama dokter penulis resep
h. Informasi peringatan
i. Paraf (atau nama) apoteker penanggung jawab
Dispensing adalah salah satu unsur vital dari penggunaan obat karena
memastikan bahwa suatu bentuk yang efektif dari obat yang benar dihantarkan
kepada penderita yang benar. Dispensing mencakup berbagai kegiatan, yang
dilakukan oleh seorang apoteker, mulai dari penerimaan resep atau permintaan obat
bebas dari unit rawat inap dan unit rawat jalan dengan memastikan penyerahan obat
yang tepat pada penderita tersebut serta kemampuannya mengkonsumsi sendiri
dengan baik. Tetapi sebelum obat di dispensing kepada pasien perlu dilakukan
pelayanan konseling untuk menginformasikan cara konsumsi obat yang benar.
Hal-hal yang perlu disampaikan dalam konseling antara lain (Siregar&Amalia,2003) :
1 Cara pengeluaran sediaan obat dari wadahnya
2 Cara/teknik pengkonsumsian suatu bentuk obat, misalnya obat tetes, obat
inhalasi, supositoria, tablet kunyah, tablet sublingual, tablet vagina dll
3 Jadwal waktu penggunaan/konsumsi obat, sesuai aturan penggunaan yang
tertulis
4 Lama penggunaan suatu obat
5 Penyimpanan obat yang tepat
6 Efek samping
7 Interaksi obat atau dengan makanan
8 Alergi
9 Maksud terapi
Untuk menjamin kualitas pelayanan farmasi, ditetapkan suatu standar
pelayanan yang disebut sebagai standar minimal pelayanan unit farmasi, yaitu
kegiatan minimal yang harus dilakukan unit farmasi secara terus-menerus yang masih
memberikan unjuk kerja dan hasil yang baik (Siregar&Amalia,2003)
Standar minimal untuk pelayanan farmasi adalah :
1. Waktu tunggu pelayanan
a. obat jadi : tidak lebih dari 30 menit
b. obat racikan : tidak lebih dari 60 menit
2. Tidak ada kejadian kesalahan pemberian obat : 100%
3. Kepuasan pelanggan : lebih dari 80%
4. Penulisan resep sesuai formularium : 100%
Pelayanan farmasi di rumah sakit terbagi menjadi pelayanan klinik dan non klinik.
a. Pelayanan non kilinik
Adalah pelayanan yang tidak memerlukan interaksi langsung dengan pasien
dan professional kesehatan lain
b. Pelayanan klinik
Adalah pelayanan yang secara langsung diberikan kepada penderita dan/atau
memerlukan interaksi dengan professional kesehatan lain, yang secara
langsung terlibat dalam perawatan penderita. Pelayanan farmasi klinik terdiri
dari :
1. Pelayanan langsung pada penderita, mencakup :
a. Pengambilan sejarah obat penderita
b. Pengadaan dan pemeliharaan profil pengobatan penderita
c. Edukasi dan konseling penderita
d. Pelayanan farmakokinetik klinik
e. Pelayanan pencampuran sediaan intravena
f. Pelayanan obat sitotoksik
g. Pelayanan nutrisi parenteral lengkap
h. Pemantauan efek obat
i. Pelayanan informasi/konsultasi obat kepada dokter dalam pemilihan
obat bagi penderita
j. Pelayanan spesialisasi untuk berbagai penyakit
2. Pelayanan tidak langsung pada penderita, yaitu berperanan dalam :
a. Sistem formularium/pemeliharaan formularium
b. Sentra informasi obat/keracunan
c. Panitia farmasi dan terapi
d. Evaluasi penggunaan obat
e. Pemantauan dan pelaporan reaksi obat merugikan
f. Pemantauan terapi obat
g. Investigasi obat
h. Sistem pemantauan kesalahan obat
i. Buletin farmasi
j. Program pendidikan “in service”, tentang obat bagi professional
kesehatan di rumah sakit.
2.2. OBAT DAN PENGGUNAANNYA
Obat merupakan salah satu komponen yang tidak tergantikan dalam
pelayanan kesehatan karena obat merupakan salah satu unsur yang penting dalam
upaya kesehatan, mulai dari upaya peningkatan kesehatan, pencegahan, diagnosis,
pengobatan dan pemulihan harus diusahakan agar selalu tersedia pada saat
dibutuhkan (Rancangan KONAS, 2005).
Menurut WHO (1997) obat paling sedikit memiliki 5 fungsi penting, yaitu:
1 Obat menyelamatkan hidup dan meningkatkan kesehatan
2 Pemberian obat mengandung unsur kepercayaan dan partisipasi dari
pelayanan kesehatan
3 Obat mengandung komponen biaya
4 Obat berbeda dengan produk konsumsi lain, karena :
a. Pasien tidak memilih obat tetapi obat diresepkan oleh dokter atau
direkomendasikan oleh staf farmasi
b. Sekalipun pasien memilih obat tetapi tidak mengerti tentang aspek
kesesuaian, keamanan, kualitas atau nilai biaya obat (value of money)
5 Sistem pengadaan dan penggunaan obat selalu perlu ditingkatkan agar obat
selalu tersedia pada saat dibutuhkan.
Sistem Kesehatan Nasional (SKN,2004) menyatakan bahwa penyelenggaraan
subsistem obat dan perbekalan kesehatan mengacu pada prinsip-prinsip berikut :
1 Obat dan perbekalan kesehatan adalah kebutuhan dasar manusia yang
berfungsi sosial, sehingga tidak boleh diperlakukan sebagai komoditas
ekonomi semata
2 Obat dan perbekalan kesehatan sebagai barang publik harus dijamin
ketersediaan dan keterjangkauannya, sehingga penetapan harganya
dikendalikan oleh pemerintah dan tidak sepenuhnya diserahkan kepada
mekanisme pasar
3 Obat dan perbekalan kesehatan tidak dipromosikan secara berlebihan dan
menyesatkan
4 Peredaran serta pemanfaatan obat dan perbekalan kesehatan tidak boleh
bertentangan dengan hukum, etika dan moral
5 Penyediaan obat mengutamakan obat generik bermutu yang didukung oleh
pengembangan industri bahan baku yang berbasis pada keanekaragaman
sumberdaya alam
6 Penyediaan perbekalan kesehatan diselenggarakan melalui optimalisasi
industri nasional dengan memperhatikan keragaman produk dan keunggulan
daya saing
7 Pengadaan dan pelayanan obat di rumah sakit disesuaikan dengan standar
formularium obat rumah sakit, sedangkan di sarana kesehatan lain mengacu
kepada Daftar Obat Esensial Nasional.
8 Pelayanan obat dan perbekalan kesehatan diselenggarakan secara rasional
dengan memperhatikan aspek mutu, manfaat, harga, kemudahan diakses serta
keamanan bagi masyarakat dan lingkungannya.
9 Pengembangan dan peningkatan obat tradisional yang bermutu tinggi, aman,
memiliki khasiat nyata yang teruji secara ilmiah dan dimanfaatkan secara
luas, baik untuk pengobatan sendiri oleh masyarakat maupun digunakan
dalam pelayanan kesehatan formal.
10 Pengamanan obat dan perbekalan kesehatan diselenggarakan mulai dari tahap
produksi, distribusi dan pemanfaatan yang mencakup mutu, manfaat,
keamanan dan keterjangkauan
11 Kebijakan Obat Nasional ditetapkan oleh pemerintah bersama pihak terkait
lainnya.
Selain SKN di Indonesia juga terdapat Kebijakan Obat Nasional (KONAS) yang
digunakan sebagai landasan, arah dan pedoman dalam penggunaan obat. Tujuannya
untuk menjamin (Panjaitan,2006) :
1 Ketersediaan, pemerataan dan keterjangkauan obat, terutama obat esensial
2 Keamanan, khasiat dan mutu semua obat yang beredar serta melindungi
masyarakat dari penggunaan obat yang salah dan penyalahgunaan obat
3 Penggunaan obat yang rasional
Menurut WHO (1997) tujuan kebijakan obat nasional dan peningkatan pengelolaan
obat terbagi menjadi :
1 Tujuan yang berhubungan dengan kesehatan :
a. Menyediakan obat esensial bagi seluruh populasi masyarakat
b. Menyediakan obat yang terjamin keamanan, efektifitas dan kualitasnya
c. Meningkatkan keberadaan fasilitas kesehatan dengan cara meningkatkan
kredibilitas dan penerimaan terhadap sistem kesehatan
d. Mempromosikan peresepan, dispensing dan penggunaan obat yang rasional
kepada pasien
2 Tujuan ekonomi, yaitu :
a. Menurunkan biaya belanja obat-obatan, baik bagi pemerintah, penyedia
layanan kesehatan maupun masyarakat
b. Mengurangi biaya pembelian obat dari negara lain tanpa mengurangi
supply obat
c. Menyediakan lapangan pekerjaan dalam bidang produksi dan distribusi obat
3 Tujuan pembangunan nasional, yaitu :
a. Meningkatkan kemampuan personel, baik dalam pengelolaan obat, farmasi
dan obat-obatan
b. Meningkatkan sistem komunikasi internal
c. Mendukung perkembangan industri pengemasan obat, formulasi obat dan
aspek produksi lainnya
Lebih dari 90% pelayanan kesehatan di rumah sakit menggunakan perbekalan
farmasi (obat-obatan, bahan kimia, bahan radiologi, bahan/alat kesehatan habis pakai,
alat kedokteran, dan gas medik), dan 50% dari seluruh pemasukan rumah sakit
berasal dari pengelolaan perbekalan farmasi. Karena itu, jika masalah perbekalan
farmasi tidak dikelola secara cermat dan penuh tanggung jawab maka dapat
diprediksi bahwa pendapatan rumah sakit akan mengalami penurunan
(Suciati&Adisasmito,2006)
Jenis obat terdiri dari :
1 Obat paten
adalah obat yang masih memiliki hak paten. Biasanya adalah obat yang baru
ditemukan dan ada hak paten yang dimiliki oleh penemu atau produsen
farmasi pengembang. Hak paten ini dimiliki 2 tahun sampai lebih dari 20
tahun
2 Bukan obat paten, terbagi atas :
a. Obat generik
Adalah obat dengan nama resmi “International Non Propletary Names”
(INN) yang ditetapkan dalam farmakope Indonesia atau buku standar
lainnya untuk zat berkhasiat yang dikandungnya
b. Obat bermerek
Obat generic bermerek/bernama dagang adalah obat generik dengan nama
dagang yang menggunakan nama milik produsen obat yang bersangkutan.
Obat generik bermerek pada dasarnya memiliki kandungan zat berkhasiat
sama dengan obat generik. Obat bermerek pada umumnya memiliki harga
yang lebih tinggi daripada obat generik karena :
1. Mungkin ada penambahan zat tertentu dan variasi
2. Kemasan dibuat menarik
3. Iklan untuk mendorong pemasaran obat
4. Obat bermerek adalah bisnis perusahaan farmasi
Penelitian untuk menemukan jenis obat baru biasanya dilakukan oleh
perusahaan-perusahaan farmasi raksasa di luar negeri yang sudah mapan, karena
membutuhkan biaya yang sangat besar, sekitar US$ 100 juta untuk penemuan satu
jenis obat baru. (Sirait, 1992). Ketika masa paten obat tersebut sudah lewat, barulah
pabrik obat lain diperbolehkan memproduksi versi generik obat sejenis dengan harga
yang lebih murah, Biaya penelitian obat baru dibebankan bukan saja pada obat baru
yang ditemukan, akan tetapi juga terhadap obat-obat penting hasil industri farmasi
yang bersangkutan (Sirait, 1992), sehingga harga berbagai bahan obat penting yang
beredar di seluruh dunia akan mengalami peningkatan. Terdapat jurang yang sangat
lebar antara harga obat generik dengann harga obat paten yang lisensinya dimiliki
oleh perusahaan farmasi asing. perbedaan harganya bisa sampai 10-40 kali , bahkan
ada yang sampai 80 kali (Widjajarta,2007). Penelitian WHO menunjukkan
perbandingan harga antara satu nama dagang dengan nama dagang yang lain untuk
obat yang sama, berkisar 1 : 2 sampai 1 : 5 (Rancangan KONAS,2005).
2.3. PANITIA FARMASI DAN TERAPI
Dari satu jenis bahan obat dapat diproduksi berbagai merek obat jadi dengan
rentang harga dari yang sangat rendah sampai harga yang tinggi. Keragaman obat
yang beredar di pasaran membuat para dokter tidak mungkin dapat selalu meng up
date dan membandingkan berbagai macam obat tersebut. Produk obat yang sangat
bervariasi menyebabkan tidak konsistennya pola peresepan dalam suatu sarana
pelayanan kesehatan (Jati,2009).
Rumah sakit perlu mengembangkan suatu program penggunaan obat yang
baik, guna memastikan bahwa pasien menerima perawatan terbaik
(Siregar&Amalia,2003). Karena itu menurut Laing,et al (2001) rumah sakit perlu
membuat kebijakan pengelolaan obat sebagai berikut :
1. Menyusun pedoman pengobatan standar
2. Menyusun formularium
3. Membentuk panitia farmasi dan terapi
4. Menerapkan problem-based training dalam farmakoterapi di kurikulum
pendidikan dokter dan perawat
5. Mendorong partisipasi dokter,perawat dan apoteker untuk mengikuti program
pendidikan berkelanjutan
6. Menstimulasi kelompok interaktif diantara sesama penyedia layanan
kesehatan untuk mereview penggunaan obat yang adekuat
7. Melatih apoteker dan staf farmasi untuk aktif memberikan nasihat pada
consumer mengenai obat dan kesehatan
8. Mendorong keterlibatan organisasi masyarakat untuk aktif memberikan
informasi obat pada masyarakat
9. Berkolaborasi dengan organisasi profesi untuk mengembangkan strategi
penggunaan obat yang rasional
10. Menyusun sistem monitoring untuk mengetahui dampak perubahan peraturan
Melihat pentingnya penggelolaan obat di rumah sakit, maka Pemerintah
menerbitkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan No 1009/Menkes/SK/X/1995, yang
menyatakan bahwa (Panjaitan,2006) :
1. Semua Rumah Sakit Pemerintah diwajibkan membentuk panitia
farmasi dan terapi
2. Panitia farmasi dan terapi bertugas membantu direktur menentukan
kebijakan di bidang obat, pengobatan dan farmasi
3. Tujuannya adalah untuk meningkatkan mutu, efisiensi dan efektivitas
pelayanan rumah sakit
Menurut Siregar & Amalia (2003) rumah sakit memerlukan suatu fungsi pemantauan
farmasi dan terapi yang mencakup :
1. Pengembangan kebijakan dan prosedur mengenai seleksi, distribusi,
penanganan, penggunaan, dan pemberian/konsumsi obat dan bahan uji
diagnostik
2. Pengembangan dan pemeliharaan formularium obat
3. Evaluasi dan apabila tidak ada mekanisme demikian, persetujuan protocol,
berkaitan dengan penggunaan obat investigasi atau obat percobaan
4. Penetapan dan pengkajian semua reaksi obat yang merugikan
Fungsi pemantauan farmasi dan terapi tersebut dilakukan oleh panitia farmasi dan
terapi, yang keanggotaannya melibatkan tenaga kesehatan dari berbagai profesi
seperti dokter, perawat, apoteker, kesehatan masyarakat dan tenaga kesehatan lain di
rumah sakit (WHO,2001).
Panitia Farmasi dan Terapi adalah organisasi yang mewakili hubungan
komunikasi antara para staf medis dengan staf farmasi, sehingga anggotanya terdiri
dari dokter yang mewakili spesialisasi-spesialisasi yang ada di rumah sakit dan
apoteker wakil dari Farmasi Rumah Sakit, serta tenaga kesehatan lainnya
(Kepmenkes No1197,2004). Susunan kepanitiaan panitia farmasi dan terapi serta
kegiatan yang dilakukan bagi tiap rumah sakit dapat bervariasi sesuai dengan kondisi
rumah sakit setempat (Kepmenkes No 1197,2004) :
1 Panitia Farmasi dan Terapi harus sekurang-kurangnya terdiri dari 3 (tiga)
Dokter, Apoteker dan Perawat. Untuk Rumah Sakit yang besar tenaga dokter
bisa lebih dari 3 (tiga) orang yang mewakili semua staf medis fungsional yang
ada.
2 Ketua Panitia Farmasi dan Terapi dipilih dari dokter yang ada di dalam
kepanitiaan dan jika rumah sakit tersebut mempunyai ahli farmakologi klinik,
maka sebagai ketua adalah Farmakolog. Sekretarisnya adalah Apoteker dari
instalasi farmasi atau apoteker yang ditunjuk.
3 Panitia Farmasi dan Terapi harus mengadakan rapat secara teratur, sedikitnya
2 (dua) bulan sekali dan untuk rumah sakit besar rapatnya diadakan sebulan
sekali. Rapat Panitia Farmasi dan Terapi dapat mengundang pakar-pakar dari
dalam maupun dari luar rumah sakit yang dapat memberikan masukan bagi
pengelolaan Panitia Farmasi dan Terapi.
4 Segala sesuatu yang berhubungan dengan rapat panitia farmasi dan terapi
diatur oleh sekretaris termasuk persiapan dari hasil-hasil rapat.
5 Membina hubungan kerja dengan panitia di dalam rumah sakit yang
sasarannya berhubungan dengan penggunaan obat.
Tujuannya adalah :
1 Menerbitkan kebijakan-kebijakan mengenai pemilihan obat, penggunaan obat
serta evaluasinya.
2 Melengkapi staf profesional di bidang kesehatan dengan pengetahuan terbaru
yang berhubungan dengan obat dan penggunaan obat sesuai dengan
kebutuhan. (merujuk pada SK Dirjen Yanmed nomor YM.00.03.2.3.951).
Menurut Moss,R.L et al (1990) dan Hester,F.G (1990) tugas panitia farmasi
dan terapi di rumah sakit adalah menyeleksi dan merekomendasikan obat dan alat
kesehatan yang cost effective dan cost efficient dan memonitor penggunaan obat,
efek samping obat serta hasil terapi Dokter berperan penting dalam memberikan
masukan kepada panitia farmasi dan terapi mengenai keseimbangan antara aspek
ekonomi dan ilmu pengetahuan kedokteran dalam proses seleksi obat
(Quintiliani&Quercia,2003).
Kewajiban panitia farmasi dan terapi adalah (Kepmenkes No 1197,2004):
1 Memberikan rekomendasi pada pimpinan rumah sakit untuk mencapai budaya
pengelolaan dan penggunaan obat secara rasional
2 Mengkoordinir pembuatan pedoman diagnosis dan terapi, formularium rumah
sakit, pedoman penggunaan antibiotika dan lain-lain
3 Melaksanakan pendidikan dalam bidang pengelolaan dan penggunaan obat
terhadap pihak-pihak yang terkait
4 Melaksanakan pengkajian pengelolaan dan penggunaan obat dan memberikan
umpan balik atas hasil pengkajian tersebut
Pimpinan rumah sakit menetapkan tugas, lingkup fungsi, kewajiban, tanggung jawab,
wewenang dan hak panitia farmasi dan terapi dan anggotanya, secara jelas, tegas, dan
dituangkan dalam surat keputusan direktur rumah sakit (Siregar&Amalia,2003).
Penelitian yang dilakukan oleh Suryasaputra (1998) menunjukkan bahwa
peningkatan penggerakkan fungsi panitia farmasi dan terapi memberi dampak positif
terhadap pendapatan instalasi farmasi rumah sakit.
2.4. FORMULARIUM
Formularium adalah himpunan obat yang diterima/disetujui oleh panitia
farmasi dan terapi untuk digunakan di rumah sakit dan dapat direvisi pada setiap
batas waktu yang telah ditentukan (Kepmenkes No 1197,2004). Tujuan utama
dibuatnya formularium rumah sakit adalah untuk mendorong para dokter agar
menggunakan obat yang paling efisien dari segi terapi dan biaya (Lancer,2002)
Komposisi formularium terdiri dari (Kepmenkes No 1197,2004) :
1. Halaman judul
2. Daftar nama anggota Panitia Farmasi dan Terapi
3. Daftar Isi
4. Informasi mengenai kebijakan dan prosedur di bidang obat
5. Produk obat yang diterima untuk digunakan
6. Lampiran
Manfaat formularium adalah (apoteker-istn.blogspot.com,2010):
1. Terapeutik
memudahkan dokter dan apoteker untuk memberikan obat yang rasional bagi
pasien
2. Ekonomi
menghilangkan duplikasi obat sehingga mengurangi duplikasi pengadaan obat
dan memberikan harga yang rendah kepada pasien
3. Edukasi
formularium yang baik berisi informasi monografi obat terstandar dan
informasi tambahan mengenai obat untuk kepentingan edukasi
Panduan umum formularium rumah sakit menurut WHO (1997) :
1. Jumlah obat yang masuk dalam formularium harus dibatasi, tidak semua obat
yang beredar di pasaran masuk dalam formularium
2. Kurangi jumlah obat bermerek, hanya satu obat bermerek dari satu jenis obat
generik yang secara rutin ada dalam stok
3. Obat diseleksi berdasarkan penyakit dan penatalaksanaan medis yang dapat
dilakukan di sarana pelayanan kesehatan tersebut
4. Selalu tersedia obat pilihan utama (drug of choice) yang biasa digunakan
dalam pengobatan. Obat pilihan sudah diseleksi berdasarkan efektivitas,
keamanan,toksisitas, farmakokinetik, bioequivalen, dan biaya yang efektif
merupakan aspek penting dalam pemilihan obat.
5. Obat alternatif tetap diperlukan selain obat pilihan utama (drug of choice),
tetapi jumlahnya dibatasi
6. Formularium rumah sakit harus sinergis dengan kebijakan obat nasional dan
pedoman diagnosa dan terapi
Pedoman Penggunaan Formularium di Indonesia menurut Kepmenkes No 1197 tahun
2004, meliputi :
1 Membuat kesepakatan antara staf medis dari berbagai disiplin ilmu dengan
panitia farmasi dan terapi dalam menentukan kerangka mengenai tujuan,
organisasi, fungsi dan ruang lingkup. Staf medis harus mendukung Sistem
Formularium yang diusulkan oleh panitia farmasi dan terapi.
2 Staf medis harus dapat menyesuaikan sistem yang berlaku dengan kebutuhan
tiap-tiap institusi.
3 Staf medis harus menerima kebijakan-kebijakan dan prosedur yang ditulis
oleh panitia farmasi dan terapi untuk menguasai sistem Formularium yang
dikembangkan oleh panitia farmasi dan terapi.
4 Nama obat yang tercantum dalam formularium adalah nama generik.
5 Membatasi jumlah produk obat yang secara rutin harus tersedia di Instalasi
Farmasi.
6 Membuat prosedur yang mengatur pendistribusian obat generik yang efek
terapinya sama, seperti :
a. Apoteker bertanggung jawab untuk menentukan jenis obat generik
yang sama untuk disalurkan kepada dokter sesuai produk asli yang
diminta.
b. Dokter yang mempunyai pilihan terhadap obat paten tertentu harus
didasarkan pada pertimbangan farmakologi dan terapi.
c. Apoteker bertanggung jawab terhadap kualitas, kuantitas, dan sumber
obat dari sediaan kimia, biologi dan sediaan farmasi yang digunakan
oleh dokter untuk mendiagnosa dan mengobati pasien.
Kriteria obat yang lolos seleksi dalam formularium adalah (WHO,2001) :
1. Obat sudah terbukti efektif dan aman
2. Biaya yang relatif efisien
3. Pilihan dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti pharmakokinetik
obat atau tersedianya fasilitas pengadaan dan penyimpanan
4. Mutu terjamin, termasuk bioavailabilitas dan stabilitas obat selama
penyimpanan
5. Sebaiknya obat memiliki komponen tunggal, bila dalam bentuk
kombinasi maka perbandingan dosis komponen kombinasi tetap
merupakan perbandingan yang tepat untuk populasi yang memerlukan
kombinasi tersebut dan kombinasi tetap terbukti memiliki kelebihan
daripada komponen tunggalnya baik dari segi efek terapi, keamanan
serta kepatuhan pasien terhadap pengobatan.
Apabila seorang dokter bergabung menjadi staf rumah sakit, ia wajib setuju
berpraktik sesuai dengan peraturan system formularium rumah sakit tersebut, obat
yang akan ditulis, di-dispensing, dan digunakan di rumah sakit harus sesuai dengan
sistem formularium (Siregar&Amalia,2003). Formularium obat di rumah sakit
berlaku bagi semua dokter dan atau dokter gigi, baik dokter tetap maupun mitra,
sebagai penulis resep di rumah sakit (Buku Formularium PKSC,2006). Bila obat
yang diresepkan dokter diluar formularium yang berlaku, maka petugas farmasi wajib
menghubungi dokter penulis resep untuk substitusi obat dengan yang tercantum
dalam formularium (WHO,1997) dengan argumen :
1. Obat yang rutin digunakan merupakan obat dengan biaya yang paling efektif
2. Panitia farmasi dan terapi telah melakukan seleksi obat yang memberikan efek
terapi paling baik
Metode untuk meningkatkan kepatuhan dokter pada formularium (WHO,1997) :
1 Melakukan review dan tindakan tertentu jika ada penggunaan obat diluar
formularium
2 Membatasi penggunaan dan distribusi sampel obat diluar formualrium
3 Menetapkan prosedur substitusi obat
4 Menyediakan kemudahan dalam mengakses formularium
5 Melibatkan staf medis dalam penyusunan formularium
6 Mempromosikan penggunaan formularium
2.5. PERESEPAN OBAT
Resep obat merupakan bagian dari hubungan professional antara dokter
penulis, apoteker dan penderita. Resep adalah permintaan tertulis dari dokter, dokter
gigi, dokter hewan kepada apoteker, untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi
pasien sesuai peraturan yang berlaku (KepMenkes no 1197 tahun 2004).
Layanan resep merupakan salah satu proses operasional dalam farmasi rumah sakit
yang tujuan utamanya adalah menyediakan obat dan alat kesehatan baik kepada
pasien rawat jalan maupun pasien rawat inap.
Menurut Admar (2009) pengertian penulisan resep :
1 Penulisan resep artinya mengaplikasikan pengetahuan dokter dalam
memberikan obat kepada pasien melalui kertas resep menurut kaidah dan
peraturan yang berlaku, diajukan secara tertulis kepada apoteker di apotek
agar obat diberikan sesuai dengan yang tertulis. Pihak apotek berkewajiban
melayani secara cermat, memberi informasi terutama yang menyangkut
dengan penggunaan serta mengoreksinya bila terjadi kesalahan dalam
penulisan. Dengan demikian pemberian obat lebih rasional, artinya tepat,
aman, efektif dan ekonomis.
2 Wujud akhir kompetensi dokter dalam medical care, secara konprehensif
menerapkan ilmu pengetahuan dan keahliannya di bidang farmakologi dan
terapeutik secara tepat, aman, dan rasional kepada pasiennya khususnya dan
masyarakat umumnya
Ada tiga macam formula pada penulisan resep (Fauzia,2009) :
1 Resep racikan
Komposisi, bentuk sediaan dan dosis obat ditentukan dokter berdasarkan
indikasi penyakit pasien, umur dan berat badan secara individual
2 Resep standar
Komposisi dan bentuk sediaan obat telah tercantum dalam buku resmi, antara
lain : Farmakope Belanda, FMS, FMI, dll
Contoh : Potio nigra contra tussim
3 Resep obat paten
Komposisi dan bentuk sediaan obat berupa obat paten/obat generik yang
dibuat oleh industri farmasi
Peresepan obat melibatkan beberapa keputusan (WHO,1988):
1 Kapan dokter perlu memberikan resep
2 Obat apa yang diresepkan
3 Berapa jumlah obat yang diresepkan
4 Bagaimana cara meresepkannya
Pertimbangan cara peresepan terkait dengan aspek teknis, medis, farmasi dan
ekonomi, seperti pilihan obat yang terbaik, ketepatan dosis dan harga yang ekonomis.
Menurut Bahaudin (www.pom.go.id) peresepan harus memenuhi prinsip-prinsip
berikut ini :
1 Tepat diagnosis dan tepat indikasi
2 Sesuai dengan indikasi penyakit
3 Tepat pemilihan obat
4 Tepat dosis
5 Tepat cara pemberian
6 Tepat interval waktu pemberian
7 Tepat lama pemberian
8 Waspada terhadap efek samping obat
9 Tepat informasi
10 Tepat penilaian kondisi pasien
11 Obat yang diberikan harus efektif dan aman dengan mutu terjamin serta
tersedia setiap saat dengan harga terjangkau
12 Tepat tindak lanjut (follow up)
13 Tepat penyerahan obat (dispensing)
14 Pasien patuh terhadap perintah pengobatan yang dibutuhkan
Menurut WHO (1988) pengetahuan dasar seorang dokter yang didapat di
bangku kuliah mengenai cara penegakkan diagnosis, cara pengobatan dan waktu yang
tepat untuk memberikan obat, perlu diperlengkapi dengan tambahan pengetahuan
baik dari artikel dan jurnal kedokteran maupun dengan mengikuti pelatihan formal
dan bedside training.
Menurut WHO (1988) faktor-faktor yang mempengaruhi penulisan resep
adalah :
1 Status kesehatan pasien
2 Riset dan pelatihan professional
3 Industri farmasi
4 Otoritas kesehatan dan sistem asuransi
5 Kolega dan rekan profesi kesehatan lain, seperti perawat, apoteker
6 Pasien
7 Karakter dokter dan kondisi di tempat kerja
8 Situasi global
9 Pengobatan yang sudah digunakan di negara maju
Penelitian yang dilakukan oleh Jones et al (2001) menyatakan bahwa keputusan
dokter dalam memilih obat yang diresepkan terutama dipengaruhi oleh literatur dan
pertemuan ilmiah. Menurut pendapat Quintiliani&Quercia (2003) dokter yang sering
membaca literatur secara teratur dan mengikuti sesi pelatihan, ronde besar dan
kongres nasional, lebih dapat meresepkan obat yang efektif, aman dan sudah teruji
secara klinis.
Ulfah,dkk (2004) menyatakan bahwa pertimbangan dokter dalam meresepkan obat
dipengaruhi oleh:
1. Faktor internal :
a. Pengetahuan
b. Kepercayaan
c. Pengalaman
2. Faktor eksternal :
a. Pengaruh pasien
b. Hubungan dokter-pasien
c. Promosi
d. Pengaruh sejawat
Menurut Darmansyah (1996) faktor-faktor yang mempengaruhi dokter dalam
menuliskan resep adalah :
1 Diagnosis
Proses penegakan diagnosis seringkali lebih ditentukan oleh kebiasaan
daripada deduksi ilmiah, sehingga menggiring dokter ke pengobatan
irrasional. Bila diagnosis tetap belum dapat dilakukan maka pengobatan
ditujukan pada diagnosis deferensial, disebut sebagai defensive therapy, yang
berarti penggunaan obat polifarmasi untuk menutupi berbagai kemungkinan.
2 Pengaruh industri farmasi
Pengaruh promosi sangat efektif, walaupun dilakukan dengan cara yang tidak
menyolok, seperti seminar atau memberi kepustakaan yang mendukung
produknya
Saat ini jumlah obat yang beredar di Indonesia kira-kira 13.000 jenis
(Kompas.com,2010) dari 199 perusahaan farmasi (id.answers.yahoo.com). Banyak
industri farmasi yang memberikan imbalan yang tidak etis kepada dokter agar dapat
survive dalam persaingan bisnis. Wiraniaga dari perusahaan farmasi memasarkan
produk mereka langsung kepada dokter di ruang praktek dengan iming-iming hadiah,
tiket pertandingan olahraga, dukungan biaya perjalanan, sampel, dan sebagainya
(Hester,F.G,1990). Karena itu tidak heran jika komponen biaya obat dari total biaya
pelayanan kesehatan sangat tinggi, dapat mencapai lebih dari 60%
(Simamora&Suryawati,2003).
Disini ada konflik kepentingan dokter dalam memberikan pelayanan kepada
pasien. Konflik kepentingan ialah suatu keadaan dimana pertimbangan profesional
(professional judgement) mengenai suatu kepentingan primer (primary interest)
dipengaruhi oleh suatu kepentingan sekunder (secondary interest) (Thompson,1993)
dikutip dari (Setiabudy,2009). Merupakan hal yang wajar bila dokter mengalami
konflik kepentingan dalam menjalankan profesinya, tetapi konflik kepentingan dapat
dikatakan melanggar etika bila keputusan dokter dibuat demi keuntungan pribadi.
Dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) sudah ada peraturan
mengenai konflik kepentingan dokter di rumah sakit, yaitu (Setiabudy,2009) :
1 Pasal 3: Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak
boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan
kemandirian profesi
2 Pasal 2 : Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya
sesuai dengan standar profesi tertinggi
Dalam menjalankan profesinya seorang dokter juga terikat dengan sumpah
dokter dan etika kedokteran, yang diimplementasikan paling tidak dalam 4 butir
syarat berikut ini (Wonodirekso,2005) :
1 Perilaku (sadar etika dan hukum)
2 Penguasaan ilmu pengetahuan (dalam hal ini ilmu kedokteran)
3 Terampil dan mahir (teknis medis)
4 Kinerja (giat, kreatif, inovatif, dan produktif)
2.6. KEBIJAKAN RUMAH SAKIT
Hampir 80% kesalahan dalam penyelenggaraan atau penatalaksanaan di
rumah sakit disebabkan oleh sistem, kebijakan dan prosedur yang tidak jelas dan
tidak konsisten, hanya sekitar 10 – 20% yang diakibatkan oleh faktor manusia
(Firmanda,2005). Angka tersebut menunjukkan betapa besarnya pengaruh kebijakan
terhadap proses penyelenggaraan pelayanan. Setiap kebijakan yang dibuat oleh
pimpinan rumah sakit akan memberi dampak simultan terhadap seluruh rangkaian
proses penyelenggaraan pelayanan maupun penatalaksanaan pasien. Kebijakan dapat
dimanifestasikan dalam pernyataan, tindakan, peraturan, dan juga hukum sebagai
hasil keputusan tentang bagaimana cara melaksanakan sesuatu (Ayuningtyas,2008).
Kebijakan manajemen rumah sakit tidak terlepas dari keterlibatan pimpinan
rumah sakit, Winardi (2000) menyatakan bahwa peran seorang pemimpin dapat
digambarkan seperti dibawah ini :
Bagan 2.1 : Peran pimpinan (Winardi,2000)
MEMBUAT KEPUTUSAN-KEPUTUSAN
MENETAPKAN SASARAN-SASARAN
BERKOMUNIKASI
MENGARAHKAN & MENSUPERVISI
MENGORGANISASI & MENEMPATKAN PEKERJA
KONTROL
MERENCANAKAN & MENYUSUN KEBIJAKAN
Peran Pimpinan
Lebih dari 50% obat-obatan di dunia diresepkan dan diberikan secara tidak
tepat, tidak efektif dan tidak efisien (Bahaudin,www.pom.go.id). Penggunaan obat di
rumah sakit melibatkan tanggung jawab multidiplin, antara lain (WHO,1997):
1 Peresepan oleh dokter
2 Penyiapan dan penyerahan obat oleh staf di unit farmasi
3 Pemberian obat oleh perawat atau tenaga kesehatan lain
4 Pemantauan efek obat pada pasien oleh tim pelayanan kesehatan.
Dokter memainkan peran yang dominan dalam proses penyelenggaraan
pelayanan kesehatan di rumah sakit, termasuk dalam hal peresepan obat.tetapi tidak
dapat dipungkiri bahwa manajemen sebagai pimpinan rumah sakit memiliki otoritas
dalam proses pengelolaan rumah sakit.
Kebijakan pimpinan rumah sakit dalam peresepan obat ditujukan pada
pengobatan yang rasional, melalui serangkaian kebijakan seperti pedoman
pengobatan standar (treatment guideline) dan clinical pathway yang mengarah pada
penegakkan diagnosis berdasarkan bukti yang valid (evidence-based), serta
pembentukkan panitia farmasi dan terapi yang bertugas menyusun formularium obat
rumah sakit dan membuat ketentuan agar para dokter mematuhi formularium yang
sudah ditetapkan.
2.7. KEPUTUSAN PASIEN MEMILIH TEMPAT MEMBELI OBAT
Pelayanan jasa, termasuk pelayanan kesehatan di rumah sakit tidak dapat
disamaratakan seperti produk barang karena jasa yang diberikan rumah sakit
memiliki ciri-ciri yang khas, yaitu (Rijadi,1997):
1 Transient (sekali pakai habis)
2 Dilakukan oleh staf pelaksana rumah sakit
3 Sulit distandarisasi
4 Pelaksanaannya tanpa supervisi, sangat individual
5 Sangat dipengaruhi pendapat klien
6 Peran budaya perusahaan akan dominan
Ketika kualitas jasa yang diberikan tidak memenuhi persepsi customer, maka jasa
tersebut tidak dapat diganti atau diulangi lagi, dan customer akan mencari tempat
pelayanan kesehatan lain yang dapat memenuhi persepsinya.
Sebelum mengambil keputusan untuk berobat, pasien sudah melewati tahap –
tahap pemikiran berikut (WHO,1997) :
1 Pasien menyadari kalau keadaan tubuhnya tidak normal seperti biasanya atau
tubuhnya mengalami gangguan atau ia menyadari kalau dirinya sedang sakit.
2 Pasien menyadari bahwa karena kondisinya ia memerlukan
pertolongan/pengobatan agar gejalanya hilang.
3 Ketika pasien menyadari bahwa ia memerlukan pertolongan maka ia akan
memilih tempat layanan kesehatan : rumah sakit, puskesmas, dokter pribadi,
apoteker, penyembuh alternatif, saudara.
4 Ketika pasien sudah mendapat resep maka ia mendapat rekomendasi dimana
ia akan membeli obat, di farmasi atau di tempat lain, membeli semua resep
atau hanya sebagian saja.
5 Setelah pasien memutuskan tempat dan saat membeli obat, maka ia akan
memikirkan bagaimana cara mengkonsumsi obat , apakah obat akan
diteruskan bila gejala penyakitnya sudah hilang, apa yang harus dilakukan
bila terjadi efek samping obat, apa yang akan dilakukan dengan obat yang
tidak habis dikonsumsi
Keputusan seseorang untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan tergantung dari 3
faktor utama (Anderson,1968) dikutip dari (Santosa,2000) :
1 Karakteristik predisposisi
Menggambarkan bahwa setiap individu mempunyai kecenderungan yang
berbeda-beda dalam menggunakan pelayanan kesehatan. Hal ini disebabkan
karena :
a. Perbedaan ciri demografi : jenis kelamin, umur dan status
perkawinan
b. Struktur social : tingkat pendidikan, pekerjaan, suku,dll
c. Sikap atau persepsi terhadap pemanfaatan pelayanan kesehatan dan
keyakinan bahwa pelayanan dapat menolong proses kesembuhan
penyakit
2 Karakteristik pendukung
Suatu keadaan atau kondisi yang membuat seseorang mampu melakukan
tindakan untuk memenuhi kebutuhannya akan pelayanan kesehatan. Dapat
digolongkan dalam :
a. Sumber daya keluarga : penghasilan keluarga, keikutsertaan dalam
asuransi kesehatan, kemampuan membeli jasa pelayanan dan
pengetahuan tentang informasi pelayanan kesehatan yang dibutuhkan
b. Sumber daya masyarakat : jumlah sarana pelayanan kesehatan yang
ada, jumlah tenaga kesehatan yang tersedia di suatu wilayah, rasio
jumlah penduduk-jumlah tenaga kesehatan dan lokasi tempat tinggal.
3 Karakteristik kebutuhan
Seseorang yang sedang sakit akan berupaya mencari pengobatan. Kebutuhan
merupakan stimulus langsung untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan pelayanan kesehatan antara
lain pengetahuan tentang kesehatan, sikap terhadap fasilitas kesehatan dan
pengalaman terhadap kualitas fasilitas pelayanan kesehatan tersebut. Variabel
kebutuhan ini terbukti secara statistik bermakna terhadap pemanfaatan
pelayanan kesehatan seseorang, disamping faktor lain, seperti jumlah
keluarga. Makin banyak jumlah anggota keluarga atau adanya anggota
keluarga yang masih balita dan usia lanjut, makin sering memanfaatkan
pelayanan kesehatan.
Tiga faktor yang mempengaruhi pilihan konsumen (Putri,2010) :
1 Konsumen Individu
Pilihan merek dipengaruhi oleh :
a. Kebutuhan konsumen
b. Persepsi atas karakteristik merek
c. Sikap kearah pilihan
d. Sebagai tambahan, pilihan merek dipengaruhi oleh demografi
konsumen, gaya hidup, dan karakteristik personalia.
2 Pengaruh Lingkungan
Lingkungan pembelian konsumen ditunjukkan oleh :
a. Budaya (norma kemasyarakatan, pengaruh kedaerahan atau kesukuan)
b. Kelas sosial (keluasan grup sosial ekonomi atas harta milik konsumen)
c. Grup tata muka (teman, anggota keluarga, dan grup referensi)
d. Faktor menentukan yang situasional ( situasi dimana produk dibeli
seperti keluarga yang menggunakan mobil dan kalangan usaha).
3 Strategi pemasaran
Merupakan variabel dimana pemasar mengendalikan usahanya dalam
memberitahu dan mempengaruhi konsumen. Variabel-variabelnya adalah (1).
Barang, (2). Harga, (3). Periklanan dan (4). Distribusi yang mendorong konsumen
dalam proses pengambilan keputusan.
Menurut Kotler (1995), Perilaku pembelian dipengaruhi oleh 4 faktor utama, yaitu :
1. Budaya : kultur, subkultur, kelas sosial
2. Sosial : kelompok acuan, keluarga, peran, status
3. Pribadi : umur, tahap siklus hidup, pekerjaan, kondisi ekonomi, gaya
hidup, kepribadian, konsep pribadi
4. Psikologis : motivasi, persepsi, pengetahuan, kepercayaan, pendirian
Provider yang berorientasi pada konsumen hendaknya selalu memikirkan apa
yang dibutuhkan oleh konsumen, apa yang diinginkan konsumen, dan pelayanan yang
bagaimana disenangi oleh konsumen sehingga konsumen tidak hanya puas, akan
tetapi menjadi loyal dan kembali lagi.
BAB III
GAMBARAN UMUM PELAYANAN KESEHATAN SINT CAROLUS
3.1. SEJARAH PK SINT CAROLUS
Berdirinya Pelayanan Kesehatan Sint. Carolus diawali oleh kedatangan 10
Suster ordo Carolus Borromeus ke Batavia membaktikan dirinya dalam karya
kesehatan di Indonesia pada 7 Oktober 1918. Rumah Sakit Sint. Carolus dibuka resmi
oleh Perhimpunan Carolus pada 21 Januari 1919. Dengan kapasitas 40 tempat tidur.
Pada tahun 1967, untuk dapat melayani masyarakat yang memerlukan pertolongan
segera, dibuka P3K yang buka selama 24 jam dan dilayani oleh dokter. Pelayanan
inilah yang menjadi cikal bakal UGD saat ini. Agar pelayanan dapat menjangkau
masyarakat lebih luas sejak 1969 berturut-turut didirikan Balai Kesehatan
Masyarakat di 5 wilayah DKI (Paseban, Tanjung priok, Klender, Cijantung dan
Cengkareng), sebagai pusat pelayanan kesehatan yang melayani langsung kepada
semua tingkat sosial masyarakat secara paripurna dan terpadu (preventif, promotif,
kuratif dan rehabilitatif). Pada tahun 1977 dibangun gedung "Semar" yang sebagian
ruangannya diperuntukan bagi masyarakat yang kurang mampu. Biaya pembangunan
gedung tersebut sebagian didapat dari sumbangan Bapak Soeharto yang menjabat
Presiden RI saat itu.
Sejak tahun 1980 mengingat orientasi yang semakin luas dalam upaya
merealisasikan tingkat kesehatan masyarakat, unit operasional RS St Carolus
berkembang menjadi “Pelayanan Kesehatan St Carolus” ( PK. Sint Carolus ).
Di bidang manajemen, juga diadakan pembenahan-pembenahan seperti: dari
Manajemen Karismatik, menjadi Manajemen Matriks yang mengandalkan keputusan
bersama. Pelayanan keperawatan yang menjadi ujung tombak rumah sakit inipun
mulai berkembang ke arah profesional, dengan mulai disekolahkannya perawat D3 ke
jenjang S1 keperawatan sejak tahun 1985. Di Bidang medik mulai banyak dokter
spesialis purna waktu maupun paruh waktu .
Pada tahun 1989 saat HUT PKSC pe 70, diresmikan penggunaan GEDUNG
MEDIK oleh dr. Adhyatma MPH yang menjabat Menteri Kesehatan saat itu. Gedung
tersebut digunakan untuk UGD, Radiologi, Kamar Operasi, Ruang Perawatan Intensif
dan Ruang Perawatan.
Sejak tahun 1995, PK Sint Carolus telah lulus akreditasi Rumah Sakit yang
dilaksanakan oleh Departemen Kesehatan RI. Proses akreditasi ini terus
berkelanjutan hingga akreditasi terakhir tahun 2007 untuk 16 bidang pelayanan
(Administrasi dan Manajemen, Pelayanan Medik, Pelayanan Keperawatan, Pelayanan
UGD, Rekam Medik, Farmasi, Radiologi, Laboratorium, Kamar Operasi, Infeksi
nosokomial, Rehabilitasi Medik, Pelayanan Perinatologi, Pelayanan Gizi, Pelayanan
Intensif, K3 dan Pelayanan Bank Darah).
3.2. LAMBANG PELAYANAN KESEHATAN SINT CAROLUS
SALIB : Iman
TANGAN : Harapan
BUNGA : Kasih
SAYAP : Pelayanan kepada masyarakat
WARNA PUTIH : PK Sint Carolus mengabdikan diri kepada masyakrakat tanpa
pamrih
WARNA HIJAU : Kesehatan
WARNA MERAH : Cinta Kasih
3.3. VISI DAN MISI PK St Carolus
VISI : Menjadi Pelayanan Kesehatan yang dikenal melayani dengan sentuhan
manusiawi, utuh dan terpadu atas dasar cinta kasih dan terbuka bagi sesama
melalui sumber daya manusia yang mampu dan mau bekerja keras dan terus
belajar mengembangkan diri.
MISI :
1 Memberikan pelayanan kesehatan bermutu dengan sikap bela rasa, sabar,
rendah hati, hormat terhadap kehidupan dan adil terutama kepada mereka
yang paling membutuhkan.
2 Memberikan pelayanan kesehatan melalui Balkesmas, Rawat Inap, Rawat
Jalan dan Pelayanan Penunjang dengan memperhatikan aspek fisik, mental,
sosial dan spiritual.
3 Menyediakan pelayanan kesehatan bagi warga masyarakat dari semua agama,
ras, golongan dan strata sosial serta ekonomi dengan cara subsidi silang.
4 Menyediakan sarana dan prasarana untuk meningkatkan kesejahteraan dan
pengembangan diri bagi semua yang berkarya sesuai dengan kebutuhan dan
kemampuan P.K. St. Carolus.
5 Menciptakan suasana atau iklim kerja yang serasi dan mendukung
persaudaraan sejati, rasa memiliki serta disiplin demi kemajuan P.K. St.
Carolus
3.4 SARANA
Luas lahan : 47.000 meter persegi
Luas bangunan : 51.000 meter persegi
Luas Taman : 14.700 meter persegi
Luas Jalan dan Parkir : 6.300 meter persegi
3.5. FASILITAS PELAYANAN
3.5.1. Pelayanan Gawat Darurat
Unit Gawat Darurat (UGD) PK St. Carolus buka selama 24 jam. Unit ini
dilengkapi dengan sarana penunjang diagnostik seperti: laboratorium cito dan
radiologi, serta ambulans transportasi. Unit yang mempunyai fasilitas 10
tempat tidur ini juga dilengkapi dengan “Pelayanan Bantuan Informasi Medis”
(PBIM), yang siap membantu masyarakat yang memerlukan panduan
penanganan masalah kesehatan dengan segera.
3.5.2. Pelayanan Rawat Jalan Spesialistik
Unit Rawat Jalan Spesialistik , yang buka dari pukul 08.00 – 21.00 ini
melayani berbagai pelayanan dokter spesialis dan pemeriksaan diagnostik.
dengan 24 poliklinik spesialis dan subspesialis yaitu :
a. Penyakit Dalam, Ginjal, Hati, Jantung, Paru-paru, Hematologi dan
Onkologi, Allergi dan Immunologi, Bedah Umum, Bedah Digestif,
Bedah Urologi, Bedah Tulang, Bedah Plastik, Bedah Mulut, Bedah
Vaskuler, Bedah Syaraf, Kebidanan dan Penyakit Kandungan, Syaraf,
Jiwa, Mata, THT, Kulit dan Kelamin, serta Rehabilitasi Medik.
b. Psikologi: melayani psikotest untuk berbagai keperluan, baik individu,
kelompok maupun instansi.
c.. Pemeriksaan Diagnostik: EKG, Treadmil, EEG, USG, Echocardiografi,
Audiologi, Spirometri, Uroflometri.
Gedung unit rawat jalan terdiri dari dua sayap, yaitu sayap selatan dan sayap utara :
a. sayap selatan terdiri dari dua lantai, yaitu :
1 Lantai 1 : Penyakit dalam, Jantung,Paru,Saraf,Psikiatri,Gizi,
dokter gigi, pemeriksaan diagnostik : USG, EMG, EEG
2 Lantai 2 merupakan poliklinik anak terpadu yang terdiri dari :
dokter spesialis anak, bedah anak. gigi anak, jantung anak dan
uji kesehatan
b. sayap utara terdiri dari dua lantai, yaitu :
1 Lantai 1 : bedah umum, bedah digestif, bedah tulang, bedah
saraf, bedah urologi, bedah plastik, bedah onkologi, bedah
vaskuler, kebidanan dan kandungan, mata, THT, rehabilitasi
medik
2 Lantai 2 : klinik kulit, psikologi
3.5.3 Pelayanan Uji Kesehatan
Pelayanan ini ditujukan untuk mengetahui kondisi kesehatan klien dan untuk
mendeteksi sedini mungkin gangguan atau penyakit yang diderita klien,
sehingga dapat dilakukan upaya-upaya pencegahannya. Berbagai tipe
pemeriksaan tersedia di unit ini, sesuai kebutuhan dan permintaan klien; mulai
dari tipe yang sederhana hingga tipe yang sangat lengkap. Pelayanan Uji
Kesehatan ini juga melayani permintaan untuk dilakukan pemeriksaan di
tempat kerja, di instansi atau perusahaan.
3.5.4 Pelayanan Hemodialisa
Unit Hemodialisa ini siap melayani 24 jam tindakan cuci darah untuk pasien
gagal ginjal. Tersedia mesin cuci darah yang terpisah untuk pasien dengan
penyakit menular.
3.5.5 Balai Kesehatan Masyarakat
PK St. Carolus memiliki lima buah Balai Kesehatan Masyarakat (Balkesmas)
guna menjangkau masyarakat yang kurang mampu di kelima wilayah Ibu
Kota ini. Balkesmas dan Balai Pengobatan tersebut adalah:
1 Balkesmas Paseban – untuk wilayah Jakarta Pusat.
2 Balkesmas Klender – untuk wilayah Jakarta Timur.
3 Balkesmas Cijantung – untuk wilayah Jakarta Timur.
4 Balkesmas Tanjung Priok – untuk wilayah Jakarta Utara.
5 Balkesmas Cengkareng – untuk wilayah Jakarta Barat.
3.5.6 Poli Laktasi
Program PPASI yang diselenggarakan di klinik Laktasi PK St. Carolus,
bertujuan: Membantu klien yang mengalami kesulitan dalam memberikan Air
Susu Ibu (ASI) kepada bayinya, terutama dalam upaya memberikan “ASI
Eksklusif”. PPASI juga menyediakan ‘Hot Line Service’ – 24 jam untuk
melayani masyarakat yang memerlukan informasi tentang pemberian ASI
serta permasalahannya. Selain pelayanan di Klinik Laktasi, PPASI juga
menyelenggarakan pelatihan-pelatihan bagi Petugas Kesehatan maupun
masyarakat awam agar dapat menjadi ‘Pembina Ibu Menyusui’ di masyarakat.
3.5.7 Pelayanan Rawat Inap
Pelayanan rawat inap mempunyai kapasitas 399 tempat tidur ,
Pelayanan perawatan di rawat inap ini meliputi:
1 Perawatan penyakit dalam.
2 Perawatan bedah.
3 Perawatan kebidanan
4 Perawatan anak.
5 Perawatan perinatologi.
6 Perawatan neurologi.
7 Perawatan intensif
8 Perawatan jiwa
9 Kemoterapi.
Perawatan Intensif: meliputi Intensif Umum, Intensif Pasca Bedah, dan
Intensif Jantung (Cardiovascular).
Khusus perawatan perinatologi: tersedla pelayanan perawatan untuk tingkat
“High Care, Medium Care, hingga Normal Care (Perawatan Biasa)”,
ditunjang oleh pemberian ASI Eksklusif.
Jenis kelas perawatan yang tersediapun bervariasi: mulai dari SuperVIP, VIP,
Kelas Utama, Kelas I, Kelas II, Kelas III, dan Kelas Khusus untuk pelayanan
sosial bagi masyarakat yang kurang mampu.
Tabel 3.1 Kapasitas Tempat Tidur Berdasarkan Kelas Perawatan
Kapasitas Tempat
Tidur
Presentase
Super VIP
- Super VIP A
- Super VIP B
- Super VIP C
7
3
2
2
1,8
VIP
- VIP A
- VIP B
- VIP C
26
4
13
9
6,5
Utama 11 2,8
I AC 42 10,5
II
- II AC
- II Non AC
141
101
38
35,3
III 156 39,1
ICU 16 4,0
Total
399 100,0
3.5.8 Kamar Bedah
Kamar Bedah melayani berbagai operasi, seperti: bedah umum, bedah digestif,
bedah orthopaedi, bedah syaraf, bedah kebidanan, bedah mata, bedah vaskuler,
bedah plastik, dan lain-l Terdapat ruang pulih yang berkapasitas 6 tempat tidur
ini, di tahun 2003 telah mampu menambah pelayanan bedah dengan fasilitas
dan peralatan baru, yaitu operasi katarak dengan tehnik Phaco dan Bedah
jantung.
3.5.9 Pelayanan Kesehatan Di Rumah
Guna melengkapi pelayanan secara paripurna, maka sejak tahun 1995 PK St.
Carolus membuka Pelayanan Kesehatan di Rumah (PKR); dengan demikian
kesinambungan asuhan keperawatan terhadap pasien di rumah tetap dapat
dilakukan oleh anggota keluarga atau orang terdekat dengan klien di bawah
pemantauan tim yang terdiri dari perawat dan dokter PKR.
Pasien-pasien yang dapat dirawat di rumah adalah:
1 Pasien pasca rawat inap di PK St. Carolus yang masih memerlukan asuhan
medik dan / atau asuhan keperawatan lanjutan.
2 Pasien yang masih harus dirawat di rumah sakit namun karena sebab-
sebab tertentu tidak dapat melanjutkan perawatannya di rumah sakit.
3 Pasien ‘long term care’ (membutuhkan asuhan keperawatan dalam waktu
yang panjang).
4 Pasien yang dirujuk oleh dokter atau perawat dari luar PK St. Carolus.
Jangkauan pelayanan PKR ini meliputi : kelima wilayah di DKI Jakarta
(Jakarta pusat Jakarta timur, Jakarta barat, Jakarta selatan, Jakarta utara),
Bekasi, dan Depok.
3.5.10 Pelayanan Penunjang Medik : Diagnostik dan Terapi
Penunjang medik berupa: Laboratorium (patologi klinik dan patologi
anatomi), Radiologi (röntgen dengan atau tanpa kontras, serta CT Scanning -
whole body), Endoscopy dan Farmasi (untuk rawat inap, rawat jalan, dan
farmasi 24 jam).
3.5.11 Pelayanan Penunjang : Promotif dan Rehabilitatif
Sesuai visi-misi PK St. Carolus untuk memberikan pelayanan yang holistik
dan paripurna, maka selain pelayanan kuratif disediakan pula pelayanan
promotif dan rehabilitatif, meliputi:
1 Pelayanan Gizi
2 Pelayanan Fisioterapi
3 Club Sehat: Club jantung sehat, club asma, club diabetes mellitus, dan
club osteoporosis; serta mungkin masih akan terbentuk club lainnya di
kemudian hari.
3.5.12 Pelayanan Spiritual dan Sosial
Pelayanan ini melengkapi seluruh pelayanan kepada pasien yang tidak hanya
berupa pelayanan dari segi fisiknya saja. Pelayanan ini meliputi:
1 Pelayanan pastoral : berupa pendampingan dari aspek spiritual (tanpa
membe-dakan agama maupun latar belakang) agar pasien mampu
menemukan makna hidup dalam pertemuannya dengan Allah melalui
penderitaan.
2 Pelayanan sosial medis: ditujukan bagi pasien atau keluarganya yang
mengalami masalah-masalah sosial dalam kaitannya dengan
keberadaan pasien di rumah sakit, dengan maksud untuk
memberdayakan masyarakat dalam menanggulangi masalah sosialnya.
3.5.13 Pelayanan Penunjang Umum
Selain berbagai bentuk pelayanan langsung seperti yang telah dipaparkan
diatas, pelayanan penunjang yang tidak langsung berhubungan dengan pasien
juga tidak kalah penting untuk mendukung kelancaran, kenyamanan, dan
keamanan pasien.
Pelayanan Penunjang Umum tersebut meliputi:
1 Rekam Medik.
2 Pelayanan Administrasi Pasien Masuk,
3 Pelayanan Sanitasi dan Amdal,
4 Pelayanan Pemeliharaan Bangunan,
5 Pelayanan Pemeliharaan Alat Medik dan Alat Komunikasi
6 Pelayanan Keamanan
7 Pelayanan Pemeliharaan Tekstil
8 Pelayanan Sentral Sterilisasi
9 Pelayanan Rekening Pasien.
3.6. SUMBER DAYA MANUSIA
3.6.1. Jumlah Dokter
1 Dokter Spesialis purnawaktu : 16 orang
2 Dokter Spesialis tamu : 87 orang
3 Dokter Spesialis masih dalam status PKWT : 4 orang
4 Dokter Umum purnawaktu : 40 orang
5 Dokter Umum dalam status PKWT : 2 orang
6 Dokter Gigi purnawaktu : 9 orang
Keterangan : PKWT : Perjanjian Kerja Waktu Tertentu ( 6 bulan ), status
kepegawaian sebelum menjadi purnawaktu.
3.6.2. Jumlah karyawan farmasi rumah sakit
Tabel 3.2 Jumlah karyawan farmasi rumah sakit
No Jumlah
karyawan
Farmasi
rawat
jalan
utara
Farmasi
rawat
jalan
selatan
Farmasi
24 jam
Farmasi
anak
Farmasi
produksi
Total
1 Apoteker 1 1 1 - - 3
2 Asisten
apoteker
12 11 25 6 1 55
3 Administrasi 2 3 5 2 2 14
4 Pekarya 2 2 3 3 10
3.7. KINERJA PELAYANAN FARMASI
3.7.1. Penerimaan Resep Di Farmasi Dari Ranap – Rajal Periode Januari-
Agustus Tahun 2004-2009 :
Tabel 3.3 Penerimaan resep di farmasi ranap-rajal periode Januari-Agustus tahun
2004-2009
Tahun Rawat Inap Rawat Jalan
2004 131.944 113.417
2005 118.785 101.351
2006 130.045 113.155
2007 131.724 101.276
2008 133.450 106.733
2009 113.972 108.747
3.7.2. Penerimaan Resep di Unit Farmasi PK Sint Carolus Tahun 2009
Tabel 3.4 Penerimaan resep di unit farmasi PK Sint Carolus tahun 2009
No Bula
n
URJ Lain2 BKM
Paseba
n
KIA UGD Klinik
JPK
Rana
p
Jumlah
1 Jan 6.626 1.296 1.102 528 512 2.712 14.066 26.843
2 Feb 5.866 1.129 2.545 445 550 2.563 15.146 28.244
3 Mar 6.973 800 2.590 457 534 2.166 17.818 31.338
4 Apr 6.748 1.463 2.150 374 406 1.954 16.729 29.824
5 Mei 6.473 1.311 2.204 367 474 1.913 13.046 25.788
6 Juni 6.304 1.331 3.396 494 464 1.839 13.514 27.342
7 Juli 7.415 1.375 2.756 482 691 2.575 12.085 27.379
8 Agust 7.456 1.431 2.224 515 526 2.241 11.568 25.961
9 Sept 6.833 1.522 1.762 486 459 1.937 11.079 24.078
10 Okt 7.415 1.283 1.797 507 406 1.978 11.320 24.706
11 Nov 6.966 1.477 1.612 547 371 2.350 11.506 24.829
12 Des 6.805 1.675 1.631 609 511 2.076 10.148 23.455
3.8. PANITIA FARMASI DAN TERAPI
Panitia farmasi dan terapi di PK Sint Carolus pertama kali dibentuk pada
tanggal 20 September 2001 berdasarkan Surat Keputusan direksi No
022/SKD/IX/2001/DM yang ditandatangani oleh direktur medik. Dalam SK tersebut
direksi memutuskan pemberlakuan formularium obat PK Sint Carolus edisi 1.
Pengurus panitia farmasi dan terapi terdiri dari 1 orang dokter spesialis penyakit
dalam sebagai ketua, 1 dokter umum sebagai wakil ketua, 2 orang apoteker sebagai
sekretaris dan 18 orang anggota yang terdiri dari 11 dokter spesialis, 1 dokter gigi, 4
dokter umum dan 2 perawat. Dalam buku formularium tercantum tahapan usulan obat
untuk formularium dan daftar nama-nama obat. Formularium tahun 2001 ini belum
mencantumkan tugas dan wewenang panitia farmasi dan terapi juga tata tertib
pengelolaan obat di PK Sint Carolus.
Pada tanggal 1 Desember 2004 dilakukan revisi keanggotaan panitia farmasi
dan terapi PK Sint Carolus dengan SK No 014/SKD/XII/2004/DIRUT tetapi
formularium obat tidak mengalami perubahan.
Pada tanggal 1 September 2006 Direksi PK Sint Carolus menerbitkan 2 Surat
Keputusan, yaitu :
1. SK 019/SKD/IX/2006/Dirut, yang berisi :
a. Perubahan susunan keanggotaan panitia farmasi dan terapi PK Sint
Carolus. Ketua panitia farmasi dan terapi adalah dokter spesialis
penyakit dalam, wakil ketua adalah dokter umum dengan magister
administrasi rumah sakit, 2 orang apoteker bertugas sebagai sekretaris
I dan II serta 16 anggota yang terdiri dari dokter spesialis yang
mewakili setiap spesialisasi dan perawat di PK Sint Carolus.
b. Tugas panitia farmasi dan terapi PK Sint Carolus, yaitu :
1 Membuat dan mengkaji formularium obat rumah sakit
2 Mengkaji efek terapeutik, keamanan obat dan penggunaan obat
formularium obat rumah sakit secara terus-menerus dengan
melibatkan satuan kerja lainnya atau konsultan bila diperlukan
3 Memberikan informasi serta masukan kepada staf medis,
perawatan dan farmasi dalam rangka pengembangan dan
implementasi standar terapi yang rasional
c. Wewenang panitia farmasi dan terapi, yaitu :
1 Mengusulkan kepada direksi pilihan berdasarkan kriteria yang
ditetapkannya, kandidat obat-obat pada jenis/golongan
terapeutik masing-masing terdiri dari produk original, produk
generik dan maksimal 3 produk non original
2 Terlibat dalam penyelenggaraan tahapan prosedur penetapan
obat formularium obat rumah sakit sebagai berikut :
a. Menetapkan obat yang akan masuk ke tahap evaluasi awal
melalui usulan permintaan dari sedikitnya 3 (tiga) dokter
pengguna dengan menyebutkan alasan dan perkiraan jumlah
pemakaiannya
b. Melalui presentasi produk di Komite Medik untuk kemudian
memutuskan berdasarkan kriteria yang ada, untuk
mengusulkan kepada direksi untuk dapat diadakan
penyediaannya secara konsinyasi
c. Mengevaluasi pemanfaatan dan efek terapi obat tersebut
pada tahap pengamatan selama 6 (enam) bulan di masa
konsinyasi tersebut
d. Bila memenuhi kriteria yang ditetapkan selama masa
pengamatan 6 (enam) bulan, panitia mengusulkan nama
produk tersebut kepada direksi untuk selanjutnya melalui
rapat direksi yang melibatkan bagian pembelian/Logistik
Farmasi ditetapkan untuk dapat dimasukkan ke dalam
formularium
e. Mengevaluasi obat-obatan dalam formularium setiap tahun,
bila tidak memenuhi kriteria yang ditetapkan, maka akan
diusulkan kepada direksi untuk dikeluarkan dari daftar
formularium
f. Memantau permintaan dan pemakaian obat non formularium
dan mengevaluasinya setiap 3 (tiga) bulan, dengan
melibatkan satuan kerja terkait, untuk menjadi bahan
pertimbangan penentuan perbaikan/perubahan formularium
g. Keputusan atau rekomendasi dibuat dalam rangka
pengembangan standar terapi rasional.
2 SK 020/SKD/IX/2006/Dirut, yang menetapkan :
a. Menarik peredaran formularium obat PK Sint Carolus edisi I dan
menetapkan diberlakukannya formularium obat PK Sint Carolus edisi
II sebagai acuan dalam pemakaian obat menuju pada penggunaan obat
yang rasional, efektif dan efisien.
b. Formularium obat PK Sint Carolus edisi II berlaku bagi semua dokter
dan atau dokter gigi, baik dokter tetap maupun mitra, sebagai penulis
resep di PK Sint Carolus
Formulir usulan obat baru sebagai obat sisipan terlampir dalam buku formularium
obat tahun 2006. Notulen rapat panitia farmasi dan terapi sudah terdokumentasi dan
kumpulan notulen itu dibundel tersendiri tiap-tiap tahun.
Pada tahun 2010 panitia farmasi dan terapi sedang menyusun formularium
edisi III yang rencananya akan mulai berlaku pada bulan Juni 2010.
BAB IV
KERANGKA KONSEP
4.1.KERANGKA TEORI
Obat merupakan salah satu unsur yang penting dalam upaya kesehatan, mulai
dari upaya peningkatan kesehatan, pencegahan, diagnosis, pengobatan dan pemulihan
harus diusahakan agar selalu tersedia pada saat dibutuhkan ( Rancangan KONAS,
2005). Pengobatan yang rasional akan meningkatkan mutu pelayanan & mencegah
pemborosan sumber dana (Panjaitan,2006). Peresepan obat di rumah sakit mengacu
pada formularium yang sudah disusun oleh panitia farmasi dan terapi.
Tahap akhir dalam penyelenggaraan pelayanan rawat jalan adalah pasien
menebus resep obat di unit farmasi rawat jalan rumah sakit. Terdapat interaksi dan
ketergantungan yang rumit antara berbagai komponen dan aspek rumah sakit sebagai
suatu sistem pelayanan kesehatan sehingga seluruh rangkaian proses pelayanan
dapat berlangsung sesuai dengan alur yang sudah ditetapkan oleh manajemen rumah
sakit. Komponen yang mempengaruhi keluaran (output) pemilihan tempat membeli
obat adalah masukan (input), proses dan lingkungan. Masukan (input), meliputi
kebijakan manajerial dalam pengelolaan obat di rumah sakit dengan dibentuknya
panitia farmasi dan terapi, peresepan dokter, karakteristik obat dan pelayanan obat di
unit farmasi dan karakteristik pasien yang memilih tempat membeli obat. Proses
merupakan pertimbangan yang dilakukan dokter ketika menulis resep untuk pasien.
Keluaran (output) adalah pemilihan tempat membeli obat. Lingkungan adalah
keadaan di luar rumah sakit tetapi ikut mempengaruhi unsur masukan (input) antara
lain kebijakan dan peraturan-peraturan pemerintah dalam hal ini Kementerian
Kesehatan yang ditetapkan berkaitan dengan pemberian pelayanan obat-obatan
kepada masyarakat.
4.2. KERANGKA PIKIR
Untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan tempat
membeli obat di PK Sint Carolus tahun 2009, digunakan diagram Fishbone dari
Ishikawa. Dari diagram tersebut diketahui bahwa pemilihan tempat membeli obat
dipengaruhi oleh kebijakan manajerial,peresepan dokter spesialis yang berpraktek di
poliklinik spesialis, obat-obat yang tersedia di unit farmasi rawat jalan dan
karakteristik pasien yang berobat di poliklinik spesialis PK Sint Carolus.
4.3. KERANGKA KONSEP
Mengacu dari teori WHO (1988), Anderson (1968) yang dikutip dari Santoso
(2000) dan Bahaudin (www.pom.go.id) maka disusunlah kerangka konsep penelitian
ini menurut pendekatan sistem sebagai berikut :
4.4. DEFINISI ISTILAH
KELUARANPROSESMASUKAN
Kebijakan Manajerial :
Panitia Farmasi Dan
Terapi
Peresepan Dokter
Pengetahuan
Kepatuhan Pada
Formularium
Promosi Industri
Farmasi
Karakteristik Obat :
Harga
Ketersediaan
Waktu tunggu
Karakteristik Pasien :
Pendidikan
Pekerjaan
Kasus Penyakit
Penanggung Biaya
Pertimbangan Dokter Dalam
Peresepan Obat :
Status Kesehatan
Diagnosis
Pemilihan Obat
Jenis Obat
Takaran Dosis
Cara Pemberian
Lama Pemberian
Efektivitas Biaya
Pemilihan Tempat
Membeli Obat
No Variabel Definisi istilah
1 Peraturan-Peraturan
Panitia Farmasi Dan
Terapi
Peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh
manajemen tentang tugas dan wewenang panitia
farmasi dan terapi dan penggunaan formularium
obat di PK Sint Carolus
Sumber informasi : manajemen, pengurus panitia
farmasi dan terapi dan dokumen
Cara : wawancara mendalam dan telaah dokumen
2 Peresepan Dokter Penulisan resep dokter spesialis yang berpraktek di
poliklinik spesialis PK Sint Carolus
Sumber informasi : dokter
Cara : wawancara mendalam
3 Pengetahuan Pengetahuan dokter mengenai formularium obat
yang berlaku di PKSC
Sumber informasi : dokter dan dokumen
Cara : wawancara mendalam dan telaah dokumen
4 Kepatuhan pada
formularium
Ketaatan dokter dalam menulis resep yang sesuai
dengan formularium obat PKSC
Sumber informasi : dokter dan dokumen
Cara : wawancara mendalam, observasi dan telaah
dokumen
6 Karakteristik Obat Ciri-ciri obat dan pelayanan obat di unit farmasi
rawat jalan sayap selatan lantai 1, poliklinik
spesialis PKSC
Sumber informasi : manajemen, pelaksana rawat
jalan, pasien dan dokumen
Cara : wawancara mendalam, observasi dan telaah
dokumen
7 Harga Harga obat di unit farmasi rawat jalan selatan
lantai 1 poliklinik spesialis PKSC
Sumber informasi : manajemen, pasien dan
dokumen
Cara : wawancara mendalam dan telaah dokumen
8 Ketersediaan Tersedianya obat yang diresepkan oleh dokter
spesialis poliklinik PKSC di unit farmasi rawat
jalan selatan lantai 1 PKSC
Sumber informasi : manajemen, kepala unit
farmasi rawat jalan, pasien dan dokumen
Cara : wawancara mendalam, observasi dan telaah
dokumen
9 Waktu tunggu Waktu pasien menunggu obat, mulai saat
menyerahkan resep ke unit farmasi sampai
menerima obat
Sumber informasi : manajemen, pelaksana rawat
jalan, pasien dan dokumen
Cara : wawancara mendalam, observasi dan telaah
dokumen
10 Karakteristik Pasien Ciri-ciri khusus pasien yang berobat di poliklinik
spesialis PKSC
Sumber informasi : pasien
Cara : wawancara
11 Pendidikan Pasien Pendidikan formal terakhir informan
Sumber informasi : pasien
Cara : wawancara
12 Pekerjaan Pasien Pekerjaan informan
Sumber informasi : pasien
Cara : wawancara
13 Status penyakit Pasien Status penyakit informan berdasarkan diagnose
dokter
Sumber informasi : pasien
Cara : wawancara
14 Penanggung biaya
Pasien
Pihak yang membayar biaya pengobatan informan
Sumber informasi : pasien
Cara : wawancara
15 Pemilihan tempat
membeli obat
Pasien memilih tempat membeli obat, di unit
farmasi atau di luar unit farmasi PK Sint Carolus
Sumber informasi : manajemen, pelaksana rawat
jalan dan pasien
Cara : wawancara mendalam dan observasi
BAB V
METODE PENELITIAN
5.1. RANCANGAN PENELITIAN
Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif dengan
pendekatan kualitatif. Studi ini dimaksudkan untuk menganalisis faktor-faktor yang
mempengaruhi peresepan, ketersediaan obat dan penerimaan resep di unit farmasi di
PK Sint Carolus terhadap pemilihan tempat membeli obat.
Dengan pendekatan kualitatif secara konseptual dapat mengetahui secara
lengkap dan mendalam tentang pengetahuan, sikap dan persepsi baik manajemen PK
Sint Carolus sebagai penyelenggara pelayanan kesehatan maupun pasien sebagai
penerima pelayanan, serta dapat menggali faktor yang yang berperan dalam
penerimaan resep di unit farmasi rawat jalan PK Sint Carolus.
5.2. LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan di Pelayanan Kesehatan. Sint Carolus, yang terletak di jalan
Salemba Raya no 41, Jakarta Pusat. pada bulan April sampai awal Juni 2010.
5.3. SUMBER INFORMASI
Penentuan informan sebagai sumber informasi mengacu prinsip kesesuaian
(appropriateness) dan kecukupan (adequacy) melalui metode kunci utama (key
informan) yang dalam penelitian ini adalah mereka yang terdiri dari kelompok
informan :
1 Informan dari manajemen rumah sakit yang secara mendalam mengetahui dan
memberikan informasi yang menggambarkan pembuatan kebijakan, yaitu :
a. direktur utama PK Sint Carolus
b. direktur medik
2 Informan dari panitia farmasi dan terapi yang secara mendalam mengetahui
dan memberikan informasi tentang formularium obat di PK Sint Carolus,
yaitu :
a. ketua panitia farmasi dan terapi
b. wakil ketua
c. sekretaris, yang sehari-hari bertugas sebagai kepala farmasi PKSC
3 Informan dari unit rawat jalan yang secara mendalam mengetahui dan
memberikan informasi tentang pelaksanaan pelayanan pasien di unit rawat
jalan yaitu :
a. duty manager
b. kepala unit rawat jalan
c. wakil kepala unit rawat jalan
d. kepala unit farmasi rawat jalan
4 Informan yang terdiri dari 4 orang dokter spesialis yang berpraktek di
poliklinik spesialis PK Sint Carolus, dengan kriteria telah menjalankan
profesinya lebih dari 5 tahun.
5 Informan yang terdiri dari 7 orang pasien yang berobat di poliklinik spesialis
PK Sint Carolus, baik yang memutuskan untuk membeli ataupun tidak
membeli obat di unit farmasi PK Sint Carolus
Penambahan informan akan dilakukan bila diperlukan untuk memperdalam informasi
atau kelengkapan data. Penambahan informan secara teknis menggunakan metode
snowballing interview.
5.4. INSTRUMEN PENELITIAN
Pada penelitian kualitatif instrumen penelitian yang utama adalah peneliti
sendiri dan dibantu dengan instrumen penelitian lain, yaitu :
1 pedoman wawancara mendalam
2 alat pencatat dan perekam suara (voice recorder)
3 kamera
Penyusunan pedoman wawancara mendalam disesuaikan dengan kerangka konsep penelitian
5.5. JENIS DAN TEHNIK PENGUMPULAN DATA
Jenis data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder
a. Pengumpulan data primer diperoleh dari wawancara mendalam terhadap
manajemen PK Sint Carolus, panitia farmasi dan terapi, pelaksana di unit rawat
jalan, dokter spesialis yang berpraktek di poliklinik spesialis dan pasien yang
berobat di poliklinik spesialis PK Sint Carolus.
Hasil dicatat dan direkam dengan alat perekam
b. Pengumpulan data sekunder diperoleh melalui telaah dokumen yang terkait
dengan kebijakan peresepan obat berupa :
1 surat keputusan (SK) yang berhubungan dengan penelitian
2 buku formularium PK Sint Carolus
3 dokumen lain yang terkait dengan penelitian
c. Observasi pelayanan di poliklinik spesialis bangunan sayap selatan lantai 1
Data sekunder dikumpulkan dengan melakukan check list terhadap arsip dan
dokumen yang mendukung penelitian ini melalui penelusuran dokumen berdasarkan
daftar yang telah ditetapkan.
Unit Dokumen/data
Manajemen PKSC 1 Surat keputusan
2 Peraturan-peraturan
Unit sistem informasi rumah sakit Laporan kegiatan PK Sint Carolus
triwulan 1, 2, 3, 4 tahun 2009
Panitia farmasi dan terapi 1 Peraturan-peraturan
2 Buku formularium
3 Formulir usulan obat
4 Notulen rapat
5 Protap usulan obat sisipan
Dan berbagai dokumen yang terkait dengan
penelitian ini
Poliklinik rawat jalan bangunan
selatan lantai 1
1 Jadwal praktek dokter spesialis
2 Petunjuk arah ruangan
3 Alur pasien rawat jalan
Unit farmasi 1 Prosedur tetap
2 Standar pelayanan minimal
Ruang praktek dokter di poliklinik
spesialis bangunan sayap selatan lt 1
Buku formularium obat PK Sint
Carolus tahun 2006
5.6. PENGOLAHAN DATA DAN ANALISIS DATA
5.6.1. Pengolahan Data
a. Pembuatan transkrip
Data yang diperoleh melalui wawancara mendalam dikelompokkan dan
diklasifikasikan berdasarkan jenis pertanyaan dalam bentuk transkrip.
Data hasil dikumpulkan dan disusun dalam bentuk transkrip dengan
mencocokkan rekaman sedekat mungkin dengan yang dimaksud informan.
Transkrip dibuat dengan menambahkan catatan lapangan serta hal-hal lain
yang tidak dapat tertangkap oleh alat perekam, seperti ekspresi, situasi
sekitar dan bahasa tubuh yang terkait dengan topik wawancara.
b. Pengkodean
pengkodean meliputi identitas informan, kode berkas arsip dan kode topik
bahasan.
kode identitas informan
Semua informan mendapatkan nomor identitas yang terdiri dari :
digit kesatu adalah kode kategori unsur informan
1 – unsur manajemen rumah sakit
2 – unsur panitia farmasi dan terapi
3 – unsur pelaksana unit rawat jalan
4 - unsur dokter spesialis
5 – unsur pasien
digit kedua adalah kode informan
Tabel 5.1 Daftar kode informan
Unsur
manajemen
Unsur panitia
farmasi dan
terapi
Unsur
pelaksana URJ
Unsur dokter
spesialis
Unsur pasien
Kode Informan Kode Informan Kode Informan Kode Informan Kode Informan
1.1 Direktur
utama
2.1 Ketua 3.1 Duty
manager
4.1 Dokter A 5.1 Pasien 1
1.2 Direktur
medik
2.2 Wakil
ketua
3.2 Kepala
URJ
4.2 Dokter B 5.2 Pasien 2
2.3 sekretaris,
merangkap
ka farmasi
PKSC
3.3 Waka
URJ
4.3 Dokter C 5.3 Pasien 3
3.4 Ka
farmasi
URJ
4.4 Dokter D 5.4 Pasien 4
5.5 Pasien 5
5.6 Pasien 6
5.7 Pasien 7
Kode berkas transkrip
Tiap berkas transkrip diberi kode yang mencantumkan nomor
identitas informan dan waktu pengambilan data.
Form kode transkrip adalah sebagai berikut :
No identitas Metode pengambilan data Tanggal, bulan, tahun
contoh
1.1 WM 20 Mei 2010
transkrip wawancara mendalam dari unsur manajemen dengan
informan direktur utama PK Sint Carolus pada tanggal 20 Mei 2010
c. Peringkasan data
Transkrip yang telah disusun diberi kode kemudian dibaca ulang untuk
memdapatkan pemahaman yang lebih tajam. Faktor-faktor yang ada
diringkas dan dikelompokkan sesuai jenis kata kunci yang dapat
menangkap isi teks. Data yang tidak perlu dibuang, kemudian data
diorganisir sehingga didapat ringkasan data.
d. Ringkasan data diintepretasikan dan secara keseluruhan disajikan dalam
bentuk matriks
5.6.2. Analisis Data
Analisa data mengatur secara sistematis transkrip wawancara mendalam. Hasil
pengolahan data primer dan sekunder dilakukan analisis berdasarkan isi (content
analysis) yaitu menganalisis dan mengidentifikasi sesuai dengan topik bahasan dari
setiap hasil wawancara menjadi berbagai kategori topik bahasan yang sama, sesuai
topik dalam pertanyaan penelitian dan tujuan penelitian.
Ringkasan data disajikan dalam bentuk tabulasi untuk memberikan gambaran
yang berhubungan dengan variabel-variabel yang diteliti. Hasil penelitian
dibandingkan dengan teori yang dikemukakan dalam tinjauan pustaka.
5.6.3. Validasi Data
Untuk mendapatkan data dengan validitas tinggi, penelitian ini menggunakan
metode Triangulasi meliputi :
1 Triangulasi Sumber, yaitu :
a. Cross check data dengan fakta dari sumber melalui informan yang
berbeda, sampai menghasilkan data yang saling memperkuat atau tidak
ada kontradiksi satu dengan yang lainnya.
b. Membandingkan dan melakukan kontras data pada kategori informan
berbeda dengan telaah topik yang berkaitan.
2 Triangulasi metode, yaitu :
Dilakukan dengan cara menggunakan metode yang berbeda dalam
pengumpulan data. Dalam penelitian ini digunakan wawancara mendalam dan
observasi
3 Triangulasi Data, dilakukan dengan cara :
a. Analisa dilakukan oleh peneliti serta meminta pendapat ahli (pembimbing)
agar intepretasi yang dilakukan hasilnya optimal dan menghindari
subyektivitas peneliti
b. Minta umpan balik dari informan
5.6.4. Penyajian Data
Data hasil disusun dan disajikan menjadi informasi dalam bentuk narasi agar
mudah dimengerti dan merupakan gambaran kejadian. penyajian data dibuat dalam
bentuk matriks, dikategorikan sesuai dengan pertanyaan penelitian.
BAB VI
HASIL PENELITIAN
6.1. DESKRIPSI INFORMAN
Penelitian ini dilakukan di Pelayanan Kesehatan Sint Carolus yang terletak di
jalan Salemba Raya nomor 41, Jakarta Pusat. Penelitian dilakukan oleh peneliti
sendiri pada bulan April sampai awal Juni 2010. Deskripsi identitas informan
wawancara mendalam tampak pada tampilan tabel dibawah ini
Tabel 6.1 Deskripsi informan wawancara mendalam unsur manajemen PK Sint
Carolus
No Jabatan Umur (tahun)
Jenis kelamin
Pendidikan Lama masa kerja (tahun)
Lama menjabat (tahun)
1 Direktur utama
48 L Dokter, magister administrasi rumah sakit
10 5
2 Direktur medik
55 P Dokter, spesialis mikrobiologi klinik, magister administrasi rumah sakit
18 4,5
Tabel 6.2 Deskripsi informan wawancara mendalam unsur panitia farmasi dan terapi
No Jabatan Umur Jenis kelamin
Pendidikan Lama profesi(tahun)
Lama menjabat(tahun)
1 Ketua 62 L Dokter, spesialis 23 6
penyakit dalam
2 Wakil ketua - P Dokter, magister
administrasi
rumah sakit
13 9
3 Sekretaris 52 P Apoteker 15 10
Tabel 6.3 Deskripsi informan wawancara mendalam unsur pelaksana unit rawat
jalan
No Jabatan Umur Jenis kelamin
Pendidikan Lama profesi(tahun)
Lama menjabat(tahun)
1 Duty
Manager
46 p S1 Keperawatan 20 1
2 Kepala URJ 44 P Dokter umum 13 5
3 Wakil ketua
URJ
50 P S1 Keperawatan 13 9
4 Kepala
farmasi
rawat jalan
53 P Apoteker 13 9
Tabel 6.4 Deskripsi informan wawancara mendalam unsur dokter spesialis
No Informan Umur Jenis
kelamin
Pendidikan Lama
profesi
(tahun)
Lama
bekerja
di PKSC
(tahun)
Status
1 Dokter A 53 L Dokter, 12 18 Purna
spesialis
penyakit dalam
waktu
2 Dokter B 58 L Dokter,
spesialis bedah
umum
22 14 Purna
waktu
3 Dokter C 68 L Dokter
spesialis peny
dalam
13 34 Purna
waktu
4 Dokter D 51 L Dokter
spesialis
jantung
12 3 Purna
waktu
Tabel 6.5 Deskripsi informan wawancara mendalam unsur pasien
No Nama Umur
(tahun)
Jenis
kelamin
Pendidikan Pekerjaan Alamat
1 Pasien 1 48 L D3 Karyawan
PT.
Kamp Areman
Rt 02/08 No 6,
Gramedia Depok
2 Pasien 2 62 P SLTA - Perum Citra
Graha Prima
No 3, Bogor
3 Pasien 3 73 L D3 - Pondok
Kelapa Selatan
No 11A,
Jakarta Timur
4 Pasien 4 82 P - - Taman Kota
Blok B2/7,
Bekasi
5 Pasien 5 28 p SMU Karyawati Kompleks
AURI Jl
Wiradarma II
Blok R/7,
Jatiwaringin
6 Pasien 6 59 L SMA Wiraswasta Senen Dalam
VI/17, JakPus
7 Pasien 7 34 L S1 Karyawan
PT PLN
Kav DKI
Duren Sawit
Rt 01/05 No
14, JakTim
Tabel 6.6 Pengaruh karakteristik pasien dengan keputusan membeli obat di PKSC
No Kode
Informan
Kasus Penyakit Pendidikan Pekerjaan Penanggung
Biaya
Membeli
Obat di
PKSC
1 Pasien 1 Post opname radang usus D3 Karyawan
PT
Gramedia
Perusahaan Ya
2 Pasien 2 Post stroke SLTA - OOP Ya
3 Pasien 3 Post op tumor kandung
kemih, penyempitan pemb
drh koroner, osteoporosis
D3 - OOP Ya
4 Pasien 4 Hipertensi, osteoporosis - - OOP Tidak
5 Pasien 5 Post Tuberculosis SMU Karyawati Perusahaan Ya
6 Pasien 6 Post opname stroke, post
op hernia
SMA Wiraswasta OOP Tidak
7 Pasien 7 Gatal-gatal S1 Karyawan
PT PLN
Perusahaan Tidak
6.2. HASIL PENELITIAN
6.2.1. KEBIJAKAN PENGELOLAAN OBAT
Kebijakan Manajemen PK Sint Carolus dalam mengelola obat di rumah sakit
diimplementasikan dengan dibentuknya panitia farmasi dan terapi dan penyusunan
peraturan-peraturan terkait dengan penggunaan obat di PK Sint Carolus.
6.2.1.1. Penetapan Pengurus Panitia Farmasi dan Terapi
Kepada informan ditanyakan, bagaimana proses penetapan susunan
keanggotaan panitia farmasi dan terapi PK Sint Carolus tahun 2006? Jawaban
informan dari unsur panitia farmasi dan terapi seperti tampak pada wawancara
mendalam berikut ini :
2.1. “…..yang menentukan direksi, semua anggota panitia direksi yang menentukan ,yang baru saya gak ikut menentukan, yang dulu iya……ada kriterianya ketua harus spesialis, ketua harus mengetahui obat dsb…..setiap kepala bagian ada wakilnya di panitia farmasi dan terapi, komite medik juga ada…..”
2.2. “……yang memilih mungkin direktur utama dengan direktur medik kali yah karena isinya kan dokter-dokter,… semua staf medik itu ada wakilnya, komposisinya terdiri dari perwakilan-perwakilan staf medik meskipun ada yang digabung untuk yang bagian besar satu, misalnya penyakit dalam ada wakilnya satu,obsgyn ada satu, anak satu ,yang kecil-kecil digabung seperti kulit, mata , THT. dokter gigi ada wakilnya, dokter umum juga ada wakilnya.…..panitia farmasi bukan dibawah komite medik lagi dulu kan menjadi salah satu bagian komite medik karena itu ada perwakilan komite medik juga……”
2.3. “….proses pemilihan ada rapat di direksi kemudian dipilihlah orang-orangnya yang menjadi pengurus……rapat rutin harusnya sebulan sekali tapi selama ini kalau ada usulan obat baru dirapatkan, susah ngumpulin dokter spesialisnya.. kalau seperti sekarang ini sedang menyusun formularium yang baru, rapatnya sering sekali, sebulan 2 – 3 kali, bahkan bisa seminggu sekali…..”
Penelusuran dokumen yang menjadi landasan dari penetapan pengurus panitia
farmasi dan terapi adalah SK Direksi PK Sint Carolus nomor 019/SKD/IX/2006/Dirut
tentang perubahan susunan keanggotaan panitia farmasi. Pada SK tersebut terlampir
susunan keanggotaan panitia farmasi dan terapi tahun 2006 sebagai berikut :
a. 1 orang ketua merangkap anggota, yaitu dokter spesialis penyakit dalam
b. 1 orang wakil ketua merangkap anggota yaitu dokter umum, magister
administrasi rumah sakit
c. 2 orang sekretaris merangkap anggota yaitu apoteker
d. 16 anggota, yaitu masing-masing : dokter spesialis bedah, dokter spesialis
kesehatan jiwa, dokter spesialis anestesi, dokter spesialis jantung & pembuluh
darah, dokter spesialis kebidanan & kandungan, dokter umum yang bertugas
di Balai Kesehatan Masyarakat (BKM) Klender, dokter gigi, dokter spesialis
THT, dokter spesialis syaraf, dokter spesialis mata, dokter spesialis mata,
dokter spesialis anak, dokter spesialis kulit dan kelamin, dokter spesialis paru,
dokter umum yang bertugas di klinik Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK),
perawat yang bertugas di rawat inap, seorang perawat yang bertugas di Biro
Pengembangan Usaha Pelayanan Kesehatan (BPUPK)-pelayanan pelanggan.
Pada penelusuran dokumen kumpulan notulen rapat panitia farmasi dan terapi tahun
2009, panitia farmasi dan terapi telah mengadakan rapat sebanyak 9 kali, waktunya
tidak rutin. Sebagian besar topik pembahasan dalam rapat adalah mengenai usulan
obat baru. Hasil pembahasan dalam rapat sudah terdokumentasi dalam kumpulan
notulen rapat panitia farmasi dan terapi tahun 2009.
Berdasarkan informasi dan penelusuran data sekunder tampak bahwa ketua
dan wakil ketua panitia farmasi dan terapi PK Sint Carolus yang sekarang menjabat
ditetapkan oleh direksi, baru setelah itu bersama-sama ketua dan wakil ketua, direksi
memilih dokter-dokter spesialis dan anggota lain yang bersedia menjadi anggota
panitia farmasi dan terapi. Ketua panitia farmasi dan terapi yang ditetapkan oleh
direksi adalah dokter spesialis purna waktu yang sudah cukup senior. Jumlah anggota
panitia farmasi dan terapi ada 20 orang termasuk ketua, wakil ketua dan 2 orang
sekretaris Susunan anggota pengurus panitia farmasi dan terapi sudah mewakili
semua spesialisasi yang ada, apoteker, dokter umum dan perawat yang bertugas di
PK Sint Carolus tetapi keanggotaan belum terbagi dalam seksi-seksi yang merupakan
satuan kerja yang lebih kecil. Sepanjang tahun 2009 diadakan 9 kali rapat panitia
farmasi dan terapi, rapat tidak diadakan secara rutin tergantung ada/tidaknya masalah
yang perlu dibahas.
6.2.1.2. Proses Seleksi Obat Dalam Formularium
Obat dan perbekalan kesehatan yang diperlukan dalam pelayanan di rumah
sakit disediakan oleh unit farmasi rumah sakit. Proses seleksi obat dalam
formularium PK Sint Carolus tahun 2006, obat sisipan dan rencana seleksi obat pada
formularium yang sedang direvisi tampak pada hasil wawancara mendalam dengan
informan dari unsur manajemen berikut ini :
1.1. .“ …….kami sedang membereskan itu dengan merapikan formularium, membatasi jumlah obat yang masuk.. dari awal sampai akhir direksi terlibat langsung dalam mengambil keputusan , jenis obat apa saja yang masuk ……. panitia farmasi dan terapi adalah tim yang dibentuk direksi untuk mengolah itu, mereka yang mengolah usulan obat dari para dokter, kemudian mereka melihat quality obat itu, dari harga…… setelah dalam bentuk draf ,diusulkan ke direksi, direksi yang memutuskan, jumlah obat dalam formularium dalam tiap golongan menjadi keputusan direksi…….”
1.2. “……obat yang masuk dalam formularium ,yaitu yang memberikan discount paling banyak…….formularium yang lalu me too nya banyak, sehingga karena nama obatnya sudah ada di formularium kan kita harus sediakan, itu menyebabkan cost nya banyak , sekarang untuk formularium yang baru kita sederhanakan, kita batasi 5 me too dan meskipun rekomendasi obat dari panitia farmasi dan terapi tapi yang memutuskan,tetap direksi, harus paraf direksi baru obat tersebut boleh disediakan sebagai obat sisipan …….dulu kan,cukup ketua panitia farmasi dan terapi,… kalau ada dokter yang mengusulkan obat baru, mungkin gak enak sesama teman sejawat dan sudah ditanya-tanya terus, dikejar-kejar terus…..yah sudah di acc saja sehingga itu yang mengakibatkan banyak sekali obat sisipan…..”
Panitia farmasi dan terapi berperan besar dalam menyetujui usulan obat yang
masuk dalam formularium. Dalam masa berlakunya formularium dapat saja
diproduksi golongan obat-obat baru, karena itu dalam peraturan yang ditetapkan
panitia farmasi dan terapi tercantum tata cara bagi dokter yang akan mengusulkan
obat baru untuk dimasukkan sebagai obat sisipan dalam formularium yang berlaku.
Penerapan peraturan seleksi obat dalam formularium tampak pada hasil wawancara
mendalam dengan informan dari unsur panitia farmasi dan terapi yang menyatakan :
2.1. “…sampai saat ini kita memakai 1 obat paten, 1 obat generik dan 5 me too nya, seleksinya yang sampai saat ini kita jalanin, yang paling banyak peminatnya dulu, ada beberapa obat sebagai cadangan yang boleh masuk kalau yang 5 me too ini tidak terpakai…….harusnya sih dari mutu dan sebagainya tapi kita kan tidak bisa menentukan, kalau kita yang menentukan nanti dokter lain bilang ini jelek…gimana……”
2.2. “….setelah dibentuk panitia, kita mengundang semua dokter, kita presentasikan,….yang lalu sudah jalan, sudah sampai terbentuk formularium , tetapi mungkin evaluasinya yang kurang, 3 tahun itu kan lama yah, sudah ada banyak penambahan obat-obat baru…… prosedurnya penambahan obat baru minimal diusulkan oleh 3 orang dokter,dokter apa, mengusulkan obat ini, alasannya apa…..kalau usulnya diterima, kita masukkan di obat sisipan, kemudian obat sisipan itu ternyata
berkembang jadi banyak, dulu itu kelemahannya………formularium yang dulu mee too nya 3, sekarang yang baru me too nya 5 karena variasinya banyak…. ”
2.3. “……dulu usulan obat baru sudah ada aturannya harus dengan persetujuan 3 dokter, tapi belum dibuat protapnya tertulis....kalau akan mengusulkan obat, dokter harus menulis memo ke sekretaris, baru kita berikan formulir usulan obatnya…..tidak semua obat yang diusulkan akan disetujui panitia farmasi dan terapi…. padahal kalau sudah disetujui dan obatnya disediakan kadang juga tidak dipakai, kita ingatkan lagi ke dokter yang mengusulkan, dok, obatnya kok tidak dipakai….ternyata dokternya juga lupa kalau sudah ngusulin obat…yah karena sudah dikejar-kejar detailer itu…..”
Pada penelusuran dokumen formularium PK Sint Carolus tahun 2006 terdapat
1384 obat, terdiri dari :
a. sistem pencernaan : 136
b. sistem kardiovaskular dan hemopoetik : 205
c. sistem pernapasan : 93
d. sistem neuromuscular : 192
e. hormon : 42
f. obat-obatan kontraseptif : 6
g. antibiotika : 176
h. kemoterapoetik : 57
i. sistem genitor-urinaria : 34
j. sistem endokrin dan metabolisme : 61
k. vitamin dan mineral : 151
l. nutrisi : 44
m. sediaan untuk mata, telinga dan tenggorokan : 74
n. sediaan untuk kulit : 132
o. anestetik : 18
p. alergi dan sistem imun : 31
q. vaksin, antisera dan imunologik : 28
r. antidote : 7
s. cairan intravena : 44
Pada penelusuran dokumen buku formularium tahun 2006, prosedur penetapan
seleksi awal obat yang masuk dalam formularium sudah tercantum dalam SK direksi
No 019/SKD/IX/2006/DIRUT tetapi belum mencantumkan prosedur tetap (protap)
seleksi obat sisipan yaitu obat yang baru diusulkan setelah formularium tahun 2006
diterbitkan. Pada penelusuran dokumen kumpulan notulen rapat panitia farmasi dan
terapi tahun 2006-2009, dalam setiap pembahasan usulan obat baru maka formulir
usulan obat sisipan selalu disertakan, yang diusulkan oleh minimal tiga orang dokter
disertai alasan mengusulkan obat. Usulan obat bisa disetujui, ditolak atau ditunda dan
ditandatangani oleh ketua panitia farmasi dan terapi. Pada penelusuran dokumen
kumpulan notulen rapat panitia farmasi dan terapi, sejak formularium tahun 2006
jumlah obat yang diusulkan sebagai obat sisipan adalah :
Tabel 6.7 Jumlah obat sisipan formularium tahun 2006-2009
Tahun 2006 2007 2008 2009
Jumlah obat yang diusulkan
82 95 107 53
Jumlah obat yang disetujui
panitia farmasi dan terapi
sebagai obat sisipan
50 73 94 52
Berdasarkan informasi dan data sekunder rencana perubahan proses seleksi
obat pada formularium yang akan datang sebenarnya sudah tercantum dalam SK
direksi No 019/SKD/IX/2006/DIRUT tetapi selama ini belum diterapkan :
a. Selama ini proses seleksi usulan obat baru hanya sampai persetujuan panitia
farmasi dan terapi dan langsung dimasukkan sebagai obat sisipan dan obat
disediakan di unit farmasi, proses seleksi belum melibatkan direksi meskipun
dalam SK direksi PK Sint Carolus Nomor 019/SKD/IX/2006/DIRUT
diyatakan bahwa bila obat memenuhi kriteria yang telah ditetapkan selama
masa pengamatan 6 (enam) bulan, panitia mengusulkan nama obat tersebut
kepada direksi untuk selanjutnya melalui rapat direksi yang melibatkan bagian
pembelian/logistik farmasi ditetapkan untuk dapat dimasukkan dalam
formularium
b. Dalam SK diatas dinyatakan bahwa prosedur penetapan obat formularium
rumah sakit melalui presentasi produk di komite medik dan
mempertimbangkan masukan dari konite medik, tetapi sampai tahun 2009
prosedur itu belum dijalankan, baru pada tahun 2010 sudah mulai dilakukan
presentasi produk obat.
c. Ketika satu obat yang diusulkan sudah disetujui oleh panitia farmasi dan
terapi, obat yang sudah ada dalam formularium yang sama golongannya, tidak
dikurangi jumlahnya sehingga makin lama jumlah obat dalam satu golongan
semakin banyak
d. Prosedur persetujuan obat baru tanpa melihat dulu data pengeluaran obat
selama 1 tahun/6 bulan terakhir untuk melihat apakah ada obat yang jarang
dipakai atau bahkan tidak pernah dipakai dan dapat dipertimbangkan untuk
dihapus dari formularium agar obat baru yang diusulkan dapat menggantikan
obat tersebut.
e. Dalam formularium tahun 2006 belum tercantum prosedur tetap (protap)
seleksi obat sisipan namun demikian secara tidak tertulis panitia farmasi dan
terapi sudah mempunyai aturan seleksi obat sisipan
f. Seringkali karena rasa tidak enak hati dengan rekan sejawat yang
mengusulkan maka usulan obat disetujui
g. Obat yang diusulkan kadang-kadang tidak dipakai karena ternyata usulan dari
detailer kepada dokter, dokter sudah ditanya-tanya dan dikejar-kejar detailer
untuk mengusulkan obat sehingga akhirnya dokter mengusulkan
6.2.1.3. Sosialisasi Formularium
Panitia farmasi dan terapi perlu mensosialisasikan penggunaan formularium
pada dokter-dokter yang merupakan user, agar dokter dapat tetap konsisten
memanfaatkan formularium dalam penulisan resep, menggunakan obat yang tersedia
di unit farmasi rumah sakit sehingga kebutuhan obat pasien terpenuhi, dan pasien
diharapkan tidak membeli obat di luar unit farmasi rumah sakit. Gambaran dari
sosialisasi formularium tampak pada hasil wawancara mendalam dengan informan
dari unsur manajemen yang menyatakan :
1.1. “…..dalam waktu dekat kalau tidak salah 1 Juni akan kami terapkan formularium yang baru, sudah kami sosialisasikan melalui komite medik……dulu tidak tersosialisasi dengan baik....”
Gambaran dari sosialisasi formularium tampak pada hasil wawancara
mendalam dengan informan dari unsur panitia farmasi dan terapi yang menyatakan :
2.1. “….sudah disosialisasikan di komite medik, itu kan tempat ngumpulnya dokter-dokter, jadi semua diundang, semua apa yang kita mau lakukan, kita bicarakan …kalau ada sisipan kita kasih bukunya dan .tiap 6 bulan sekali kita evaluasi…….. ”
2.3. “…..kalau dokter sedang ada pertemuan, panitia farmasi dan terapi ikut mensosialisasikan formularium ke dokter kira-kira setengah jam…..tidak rutin
Gambaran dari sosialisasi formularium tampak pada hasil wawancara
mendalam dengan informan dari unsur pelaksana rawat jalan yang menyatakan :
3.3. “….buku formularium dibagikan ke asisten yang membantu dokter,perawatnya, satu ruangan dapat satu buku…”
3.4 “.....pernah juga ngundang pakar dari luar tapi yang ngundang bukan atas nama panitia farmasi dan terapi, waktu itu kebetulan direksi yang ngundang profesor farmakologi dari RSCM tentang obat di OK, itu bagus , akhirnya dilaksanakan, tadinya pola antibiotik kan tidak seperti itu , akhirnya diinformasikan oleh professor itu secara teori begini, begini … akhirnya diterapkan oleh dokter-dokter…..”
Gambaran dari sosialisasi formularium tampak pada hasil wawancara
mendalam dengan informan dari unsur dokter spesialis yang menyatakan :
4.2. “….dulu ada tapi kita gak pernah peduli,saya suka-suka, saya mau tulis…tulis, pada waktu itu memang kita sering tulis obatnya tidak ada…”
4.3. “….tahu tapi ndak pernah baca….untuk PJPK saja, pasien ndak…..”
4.4. “…….saya tahu ada formularium, tapi saya tidak pernah lihat disini ada tidak…..”
Berdasarkan informasi maka dapat disebutkan bahwa panitia farmasi dan
terapi hanya melakukan sosialisasi formularium secara informal dan tidak rutin di
ruang komite medik, tempat berkumpulnya para dokter. Buku formularium tahun
2006 tidak dibagikan secara langsung kepada setiap dokter tetapi melalui perawat
yang bertugas sebagai asisten dokter, tiap satu kamar praktek dokter tersedia satu
buku formularium sehingga dapat dimengerti kalau informan 4.3 dan 4.4 tidak
mengetahui adanya formularium di ruang praktek karena ruang praktek dipakai
bergantian dengan dokter lain, selain itu mungkin juga karena perawat yang bertugas
bergantian dinas pagi dan dinas sore sehingga informasi tentang adanya buku
formularium tidak sampai kepada dokter. Sosialisasi penggunaan obat pernah
dilakukan tetapi belum diagendakan secara rutin.
Pada pengamatan sekilas di meja praktek informan 4.3 dan 4.4 peneliti tidak
melihat adanya buku formularium. Wawancara informan 4.1 dan 4.2 dilakukan di
ruang komite medik sehingga peneliti tidak dapat mengamati adanya buku
formularium.tetapi pada wawancara informan 4.1 dan 4.2 sudah mengetahui buku
formularium.
Berdasarkan informasi dan pengamatan dapat disimpulkan bahwa sosialisasi
formularium tahun 2006 belum maksimal, terbukti ada 2 informan yang tidak
mengetahui bahwa di kamar prakteknya ada buku formularium hal ini antara lain
disebabkan sosialisasi belum dilakukan secara formal dengan mengundang semua
dokter yang berpraktek di PK Sint Carolus.
6.2.2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Peresepan Dokter
Peresepan dokter-dokter di poliklinik spesialis PK Sint Carolus terkait dengan
ketersediaan obat di unit farmasi dan obat yang tersedia adalah obat yang namanya
tercantum dalam formularium obat PK Sint Carolus. Karena semua informan adalah
dokter spesialis dan sudah memiliki pengalaman profesi lebih dari 10 tahun maka
peneliti mengasumsikan bahwa semua informan memiliki pengetahuan dan
pengalaman yang sama. Karena itu yang akan dibahas dibawah ini adalah faktor
pengetahuan dokter tentang formularium, kepatuhan pada formularium dan pengaruh
promosi industri farmasi terkait dengan ketersediaan obat yang diresepkan oleh
dokter
6.2.2.1. Pengetahuan dokter Tentang Formularium
Meskipun formularium PK Sint Carolus yang berlaku saat ini sudah
diterbitkan sejak tahun 2006 tetapi tidak semua informan dokter spesialis mengetahui
tentang peraturan dan daftar obat dalam formularium, seperti tampak pada
wawancara mendalam berikut ini :
4.1. “ ..untuk pengendalian, maksudnya pengendalian penyediaan obat di logistik, dan juga harga, sehingga tidak semua orang menulis obat semaunya sendiri….pengobatan menjadi cost efektif…..”
4.2. “ ….untuk mempermudah pengadaan obat artinya obat yang beredar di carolus dalam tanda kutip terbatas….kalau dulu kan bebas, dokter A mau pakai obat ini, dokter B mau pakai obat lain…...?
4.3. “ …untuk karyawan saja…..”
4.4. “ ….untuk pengadaan, jumlah obatnya kan lebih sedikit sehingga lebih mudah diatur…..”
Pada penelusuran dokumen, SK direksi PK Sint Carolus Nomor
020/SKD/IX/2006/DIRUT menyatakan bahwa formularium obat PK Sint Carolus
edisi II sebagai acuan dalam pemakaian obat menuju pada penggunaan obat yang
rasional, efektif dan efisien dan berlaku bagi semua dokter dan atau dokter gigi, baik
dokter tetap maupun mitra, sebagai penulis resep di PK Sint Carolus.
Berdasarkan informasi dan data sekunder tampak informan 4.1, 4.2, dan 4.4
sudah mengetahui tujuan disusunnya formularium obat di PK Sint Carolus, tetapi
informan 4.3. belum mengetahuinya dan beranggapan bahwa formularium ditujukan
untuk karyawan PK Sint Carolus saja.
6.2.2.2. Pendapat Dokter Tentang Formularium Di PK Sint Carolus
Informan yang pernah membaca buku formularium PK Sint Carolus tahun
2006 tentu mempunyai suatu pendapat tentang formularium ini. Pendapat dari para
informan merupakan masukan bagi panitia farmasi dan terapi untuk terus menerus
melakukan perbaikan agar tujuan disusunnya formularium dapat tercapai. Persepsi
informan tentang formularium obat PK Sint Carolus tercermin dalam hasil
wawancara berikut ini :
4.1. “……selalu bisa ada yang lebih bagus, kalau ada yang sistematikanya seperti MIMS lebih bagus…. saya gak hafal, lebih gampang kalau kita telepon apotik, yang ada obatnya apa saja……”
4.2. “……mungkin kalau ada formularium dan rumah sakit konsekuen dengan obat itu berarti obatnya selalu ada sehingga pasien tidak mengalami kesulitan,misalnya harus pergi keluar…”
Pada pengamatan, selain formularium obat PK Sint Carolus edisi II tahun
2006 yang dipakai untuk kepentingan semua pasien yang berobat di PK Sint Carolus,
juga ada formularium lain yang digunakan khusus untuk pasien Program Jaminan
Pemeliharaan Kesehatan (PJPK) dengan susunan obat yang sama tetapi jumlah
obatnya lebih sedikit.
Pada penelusuran dokumen, daftar obat dalam buku formularium tahun 2006
tidak mencantumkan indikasi, , kontra indikasi, takaran dosis, peringatan dan efek
samping obat, formularium hanya memberikan informasi singkat mengenai nama
obat, bentuk sediaan dan komposisi obat.
Format susunan daftar obat dalam formularium tahun 2006 adalah sebagai berikut :
No Nama generik Nama dagang Bentuk
sediaan/kekuatan
komposisi pabrik
Pada penelusuran dokumen, SK direksi PK Sint Carolus Nomor
020a/SKD/VI/DIRUT menyatakan bahwa khusus untuk karyawan dan peserta PJPK
mengacu pada formularium PJPK.
Berdasarkan informasi, pengamatan dan data sekunder ternyata informan 4.1
sudah mengetahui format susunan daftar obat dalam formularium tahun 2006
sehingga dapat memberikan pendapatnya berdasarkan perbandingan dengan buku
MIMS. Informan 4.3 dan 4.4 belum pernah melihat dan mengetahui isi buku
formularium tahun 2006 bahkan Informan 4.3. beranggapan bahwa formularium tidak
digunakann untuk pasien umum dan hanya digunakan untuk pasien PJPK (Program
Jaminan Pemeliharaan Kesehatan) saja.
6.2.2.3. Pertimbangan Utama Dokter Dalam Meresepkan
Salah satu upaya dokter dalam menyembuhkan pasien adalah dengan
memberikan obat.. Pemilihan obat yang tepat dan efektif sangat mempengaruhi
proses kesembuhan pasien. Dokter yang sudah menjalankan profesinya lebih dari 10
tahun tentu sudah memiliki pertimbangan yang baku dalam memilih obat. Berikut
hasil wawancara dengan dokter spesialis mengenai hal-hal yang menjadi
pertimbangan utama dalam meresepkan obat :
4.1. “ …. cost effective……”
4.2. “…….kita lihat jenis infeksinya,….biaya tetap masuk pertimbangan, kalau di bedah pemberian obat itu tergantung hasil kulturnya, kita lihat yang paling cocok dan yang paling murah……”
4.3. “…..penyakit pasien toh…..kalau orangnya tidak mampu yah pakai yang generik…”
4.4. “……saya lebih banyak berdasarkan base evidence medicine, yang kedua faktor harga, karena yang berobat kesini penyakitnya kan kronis, pengobatannya jangka panjang, kalau dikasih obat yang mahal tapi pasien tidak melanjutkan pengobatan…..yah lebih baik obatnya murah, terjangkau ……”
Berdasarkan informasi, pertimbangan utama informan dalam meresepkan obat
juga tergantung dari spesialisasi dokter yang bersangkutan. Informan 4.2 sebagai
dokter spesialis bedah menyatakan hasil kultur kuman sangat menentukan pilihan
obat. Informan 4.4 adalah dokter spesialis jantung yang kebanyakan pasiennya
menderita penyakit kronis dan sebagian sudah berusia lanjut maka memilih obat
dengan harga yang terjangkau agar meningkatkan kepatuhan pasien dalam
mengkonsumsi obat. Tetapi ada kesamaan dari semua informan yang diwawancarai
yaitu faktor kesesuaian diagnosis dan harga obat merupakan pertimbangan penting
dalam memilih obat.
6.2.2.4. Kepatuhan Dokter Pada Formularium
Obat yang masuk dalam formularium sudah diseleksi berdasarkan efektivitas,
keamanan sehingga penebusan resep di unit farmasi rumah sakit adalah salah satu
faktor untuk menghindarkan pasien dari pengobatan yang tidak bermutu dan tidak
terjamin keamanannya, selain itu obat yang sesuai dengan formularium tersedia di
unit farmasi rumah sakit sehingga pasien tidak perlu mencari-cari lagi ke tempat lain.
Gambaran dari kepatuhan dokter terhadap formularium tampak pada hasil wawancara
mendalam dengan informan dari unsur manajemen yang menyatakan :
1.1.“……..disini masalahnya low inforcement terhadap kepatuhan menggunakan formularium, penyebabnya macam-macam, pertama dokter tidah hafal, kedua, sosialisasi yang kurang dijalankan dengan baik , ketiga, diri dokter sendiri yang tidak mau…..patuhlah terhadap formularium yang sudah disepakati……pada umumnya yang tidak patuh dokter-dokter tamu yang pasiennya memang banyak atau dokter full time disini yang sudah pensiun kemudian statusnya menjadi dokter tamu, tapi pasiennya banyak, sebenarnya dokter ini lebih banyak praktek di rumah sakit lain daripada disini mungkin karena itu obat-obatnya lebih mengikuti cara di rumah sakit itu….. kami akan memberikan kewenangan kepada petugas farmasi kita untuk menyampaikan kepada para dokter untuk menyampaikan jenis obat lain dengan golongan yang sama,dengan persetujuan dokter obat akan diganti dengan yang ada,tapi bila dokter tetap tidak mau maka minta persetujuan dari direksi, nanti direksi yang akan memutuskan untuk mengganti obat tersebut sesuai dengan yang ada….”
1.2. “…………kalau menurut saya bukan tidak patuh yah, formularium dengan sekian ribu item,dan dokternya tidak hanya praktek di carolus tapi di rumah sakit lain juga, tidak mungkin menghafalkan tapi kita punya mekanisme untuk itu, kalau obat tidak ada kita lapor supaya bisa diganti dengan yang ada di farmasi. dan sebagian besar dokter kita bisa bekerja sama. jadi bukan karena tidak comply tapi karena keterbatasan manusia………..”
Gambaran dari kepatuhan dokter terhadap formularium dalam peresepan pada hasil
wawancara mendalam dengan informan dari unsur panitia farmasi dan terapi tampak
dinyatakan seperti dibawah ini :
2.1. “…..selama ini dengan formularium yang lama kurang konsisten, sekarang mulai 1 April 2010 sudah konsisten,sudah disosialisasikan, sebenarnya yang banyak
masalah antibiotik saja , yang lain sih sudah sesuai dengan jalurnya……kalau resep tidak sesuai formularium pasti ditolak…….”
2.3. “………. tapi sekarang saya akui banyak kemajuan, kalau dulu (sebelum tahun 2007-2008) kita bilang : dok obatnya tidak ada di formularium, dokternya jawab copy aja, sekarang gak, mengacu kesini, pada umumnya sudah sesuai dengan formularium………”
Pendapat informan dari unsur pelaksana rawat jalan terhadap kepatuhan dokter
terhadap formularium tampak pada jawaban informan tersebut dibawah ini :
3.1. “……kan .gak semua dokter memakai formularium yang ada, itu menyangkut kode etik juga…..”
3.4. “…….dulu nulis apa yang dokter ingat aja, kadang diluar formularium tapi kita komunikasikan ke dokternya kalau obatnya tidak ada di formularium, yang ada di kita obatnya ini, ini, ini, jenisnya apa, nah dokter pilih yang mana …..biasanya sih dokternya mau aja, kalau disini sih agak mudah…….dokternya juga gak hafal obatnya ribuan, apalagi dokter tamu, tapi lama-lama udah terbiasa ………pokoknya kita coba pake obat yang ada dulu ……..”
Jawaban dari informan dokter spesialis sebagai penulis resep terhadap pertanyaan
kepatuhan pada formularium adalah sebagai berikut :
4.1. “ saya gak ingat obatnya apa saja tapi saya tahu ada formularium, saya gak ingat jumlahnya obatnya, tapi selalu kalau dapat telpon dari apotik obatnya gak ada, saya ikutin apa yang ada.....”
4.2. “….. formularium ini di carolus sudah lama,tetapi mulai benar-benar dijalankan belum begitu lama, kalau sekarang sih sampai saat ini saya belum pernah ada hambatan, belum pernah dapat surat dari apotik bilang tidak ada, belum pernah…”
4.3. “…..pokoknya kalau karyawan saya kasih aja yang generik, pasti masuk, kalau bukan karyawan ndak pakai formularium, pakai seenaknya , kalau ndak ada disini yah suruh beli diluar …..”
4.4. “……wah saya tidak tahu obatnya apa saja, tapi selama ini saya tidak pernah dikasih tahu obatnya tidak ada karena sebagian besar saya pakai obat generik, yang paling sering captopril, itu murah sekali hanya sekitar dua ratus rupiah, dibandingkan dengan obat lain yang bisa sampai enam ribu- tujuh ribu. ….”
Pada pengamatan terhadap resep yang diterima di unit farmasi rawat jalan ada
beberapa obat dalam resep yang tidak sesuai dengan formularium tetapi sebagian
besar obat sudah sesuai dengan formularium.. Bila ada obat yang tidak tersedia di
unit farmasi baik karena tidak ada dalam formularium maupun karena stoknya
kosong maka apoteker menelpon dokter penulis resep dan menanyakan apakah dokter
bersedia obatnya disubstitusi dengan obat lain yang golongannya sama, pada
umumnya dokter bersedia obatnya disubstitusi. Peneliti mengamati bahwa dokterpun
tidak segan-segan untuk mendatangi unit farmasi untuk berkonsultasi mengenai obat.
Pada resep obat dari dokter tertentu yang tidak tersedia di unit farmasi karena tidak
sesuai formularium biasanya petugas farmasi sudah tahu kalau untuk obat tersebut
dokter penulis resep tidak mau obatnya disubstitusi sehingga diinformasikan kepada
pasien bahwa obat tidak ada dan akan dibuat copy resepnya.
Pada penelusuran dokumen, SK direksi PK Sint Carolus Nomor
020/SKD/IX/2006/DIRUT menyatakan bahwa formularium obat PK Sint Carolus
edisi II sebagai acuan dalam pemakaian obat yang rasional, efektif dan efisien serta
berlaku bagi semua dokter dan atau dokter gigi, baik dokter tetap maupun mitra,
sebagai penulis resep di PK Sint Carolus
Berdasarkan informasi, pengamatan dan penelusuran dokumen tampak
meskipun sudah ada SK drektur rumah sakit bahwa peresepan mengacu pada
formularium dan berlaku bagi semua dokter tetapi belum semua dokter mematuhinya.
Informan 4.1 tidak hafal nama-nama obat dalam formularium tetapi mau mematuhi
formularium dengan mensusbtitusi dengan obat yang tersedia di unit farmasi.
Informan 4.3. menyatakan bahwa menulis resep seenaknya tetapi pada pengamatan
terhadap beberapa resep obat yang ditulisnya dan setelah dikonfirmasi ke asisten
apoteker yang bertugas di unit farmasi rawat jalan ternyata resep-resep yang
ditulisnya sudah sesuai dengan formularium. Hal ini mungkin karena informan 4.3.
selalu memberikan obat yang menjadi standar dalam diagnosis dan sering dipakai.
6.2.2.5. Pengaruh Promosi Industri Farmasi
Dengan banyaknya obat yang beredar di pasaran mengakibatkan persaingan
perusahaan obat untuk mempengaruhi dokter dalam penulisan resep semakin tidak
rasional. Pengaruh promosi industri farmasi dapat diamati pada resep dokter yang
tidak sesuai formularium, selalu merujuk pada perusahaan farmasi yang sama dan
harga obat yang mahal. Pendapat manajemen mengenai promosi industri farmasi
dalam peresepan tampak pada wawancara dibawah ini :
1.1. “....kita memang sudah batasi detailer hanya dapat bertemu dokter pada hari senin dan kamis tapi kesulitannya, disini ruang poliklinik terbuka, banyak pintu ke poliklinik spesialis dan tidak setiap pintu ada penjaganya sehingga detailer bebas keluar masuk....”. 1.2. “…..harus comply, kalau tidak patuhnya karena tidak hafal yah… tapi kalau karena tidak comply kita gak bisa terima…salah satu upayanya adalah secara tidak langsung, kalau itu kan pribadi masing-masing, gak mungkin hati nurani dokter kita yang intervensi…..”
Pendapat informan dari unsur panitia farmasi dan terapi terhadap pengaruh promosi industri farmasi dalam peresepan adalah sebagai berikut :
2.3. “….. dulu kalau ada obat baru,donasi sampel dari detailer, langsung deh obatnya beredar di carolus, tapi sekarang gak bisa, harus diproses dulu…..”
Dokter spesialis merupakan target dari promosi industri farmasi karena berdasarkan
resep yang ditulis dokterlah produk obatnya bisa terjual. Dibawah ini tampak
pendapat informan dari unsur dokter spesialis tentang promosi industri farmasi :
4.1. “………kalau memang ada yang baru yah bisa saja, tapi saya ketemu detailer cuma buat tanda tangan saja, cukup satu detik, saya lebih banyak mendapat informasi obat dari internet bukan dari detailer………”
4.2. “….. mungkin begini yah, saya ini barangkali termasuk kategori dokter yang sudah tua, sehingga tentu tidak semudah itu farmasi mempengaruhi saya, karena kita kan punya pengalaman………”
4.3. “…….ndak terlalu yah, kalau obat sudah resmi di majalah-majalah, sudah dipakai, ada laporan-laporan (beliau menunjukkan majalah Compendium of Indonesian Medicine) maka saya lihat apa cocok ………..”
4.4. “…….buat saya sih tidak, kalau obatnya mahal kan tidak terjangkau ….kalau dari detailer saya paling lihat saja…….”
Pada pengamatan tampak para detailer bebas berlalu lalang di poliklinik
spesialis PK Sint carolus diluar hari yang sudah ditentukan yaitu Senin dan Kamis,
yang menurut informan 1.1 salah satu sebab ialah ruang poliklinik sangat terbuka dan
juga memiliki banyak pintu dan tidak semua pintu dijaga oleh petugas keamanan
rumah sakit.
Pada penelusuran dokumen sebagian resep-resep yang diterima unit farmasi
rawat jalan tampak bahwa masing-masing dokter sudah mempunyai pola penulisan
resep yang khas, disebabkan sudah lama berpraktek sebagai dokter spesialis sehingga
sudah memiliki pengalaman dalam memberikan terapi yang cocok pada pasien.
Berdasarkan informasi, pengamatan dan data sekunder tampak bahwa
sebagian besar penulisan resep tidak terpengaruh oleh promosi dari industri farmasi.
Informan sudah mempunyai pendapat dan pola masing-masing dalam penulisan
resep. Dalam wawancara dengan informan 4.2. tampak bahasa tubuh dan penekanan
intonasi perkataan menegaskan pernyataannya bahwa ia. termasuk dokter yang sudah
tua sehingga sudah memiliki sikap dan pola peresepan yang baku berdasarkan
pengalamannya selama ini tanpa dipengaruhi oleh promosi industri farmasi.
6.2.3. Karakteristik Obat Dan Pelayanan Obat
Tujuan dari kebijakan manajemen dalam pelayanan farmasi adalah
memberikan pelayanan obat yang memuaskan pasien baik dari segi harga yang
kompetitif dengan rumah sakit dan apotik lain yang letaknya berdekatan, ketersediaan
obat yang lengkap dan bermutu serta pelayanan yang cepat.
Wawancara mendalam dilakukan baik pada unsur manajemen dan pelaksana
pelayanan sebagai pemberi jasa pelayanan maupun pasien yang memanfaatkan jasa
pelayanan kesehatan PK Sint Carolus agar dapat membandingkan informasi dari
kategori informan yang berbeda.
6.2.3.1. Harga
Harga obat yang berbeda-beda antar provider membuat pasien mempunyai
kesempatan untuk memilih tempat membeli obat. Apalagi bila apotik yang letaknya
dekat tempat tinggal informan dapat memberikan harga lebih murah daripada unit
farmasi PK Sint Carolus, tentu informan lebih memilih membeli obat disitu.
Penentuan harga jual obat ditetapkan oleh manajemen PK Sint Carolus karena itu
peneliti melakukan wawancara mendalam dengan unsur manajemen untuk
mengetahui kebijakan mengenai harga obat di unit farmasi PK Sint Carolus, berikut
adalah pernyataan dari informan manajemen :
1.2. “……. sesuai dengan visi misi carolus mestinya tidak boleh harga obat kita lebih mahal daripada apotik lain,….. kita lakukan perbandingan tapi biasanya kan obat-obat yang mahal seperti human albumin, anti biotik, tapi mungkin nanti akan lebih banyak lagi item obatnya yang kita bandingin.…obat yang mahal pasti kita benchmark dengan apotik sekitar terus kita turunkan lebih rendah tapi karena masih ada keluhan obat di carolus mahal, akan lebih banyak item yang akan kita benchmark…..”
Dibawah ini merupakan pendapat sekretaris panitia farmasi dan terapi yang sehari-
hari bertugas sebagai kepala farmasi rumah sakit, terhadap pertanyaan mengenai
harga obat di unit farmasi PK Sint Carolus :
2.3.” ………kalau dengan sekitar sini kita gak kemahalan kok, dulu pernah ada obat yang saya bandingin dengan apotik dan rumah sakit di sekitar sini karena ada pasien yang komplain obatnya mahal, tapi ternyata gak kemahalan juga, mungkin ada beberapa kali yang disini lebih mahal tapi ada juga obat yang disini lebih murah, tapi sebagian besar murah disini lebih mahal disana……..”
Pemilihan obat yang cost efektif juga mempengaruhi kepatuhan pasien dalam
mengkonsumsi obat sesuai resep. Dibawah ini adalah hasil wawancara dengan
informan dari unsur dokter spesialis yang sering dikunjungi penderita penyakit
kronis:
4.4. “……harga obat di carolus ini murah lho, dibandingkan dengan rumah sakit lain tempat saya bekerja, disini lebih murah, apalagi dibanding apotik “X” yang dekat sini……kalau pasien disini paling sering saya pakai captopril, murah sekali harganya apalagi kalau pasiennya tidak mampu……..”
Bagi pasien meskipun selisih harga antara unit farmasi PK Sint Carolus dengan
apotik dekat rumah hanya sedikit tetapi cukup bermakna karena komponen biaya
pengobatan bukan hanya untuk obat-obatan saja tetapi juga biaya dokter,
pemeriksaan penunjang, biaya transport ke rumah sakit dan lain-lain. Gambaran dari
harga obat di unit farmasi PK Sint Carolus pada hasil wawancara mendalam dengan
informan dari unsur pasien adalah sebagai berikut :
5.1. “………kalau penyakit seperti saya ini kan obatnya memang mahal….biasanya saya ngambil obat di kimia farma dekat kantor Gramedia Palmerah , cukup pake kartu karyawan aja, kalau disini bayar dulu nanti diganti kantor 90%....... sekarang karena baru diopname jadi sekalian kontrol ke dokter, bapaknya cuti. …….dibanding kimia farma kayaknya disana lebih mahal, apa karena saya ngambil obatnya banyak, rata-rata 900 ribu…….”
5.2. “……. dokternya milih obatnya bagus tuh,… murah sih…..sekitar 60 ribu buat 1 bulan
5.3. “……. harga obat yah cukuplah karena sekarang kan memang harga obat mahal……….”
5.4. “ ………..saya gak beli obat disini karena ada saudara saya kerja di apotik jatinegara………disana saya dapat discount, abis sama saudara sih. saya gak pernah beli obat disini kecuali waktu mama saya di opname disini…………. kalau ditanya mahal atau gak, wah saya gak bisa jawab…………”
5.5. “……….. saya baru pertama kali kesini, dikasih tahu teman katanya dokternya lebih murah obatnya juga lebih murah dibandingin dengan di rumah sakit yang lama, ternyata memang disini lebih murah, yang sekarang ini obatnya cuma 28.500 buat dua minggu, dulu sampe seratus ribu lebih, gak sampe 2 minggu cuma buat 10 hari…….”.
5.6. “ ……saya gak beli obat disini karena udah ada apotik langganan dekat rumah, udah kenal jadi lebih murah, bisa beda sekitar 30-40%, ………..obatnya mahal sekitar 350 ribu cuma 3 macam., mestinya kalo 3 macam itu sekitar 100 ribu yah, buat saya kalo separo nya 175 ribu juga masih kemahalan……..”
5.7. “…….saya gak beli obat disini karena sering kurang duitnya,sedang saya bawa duitnya pas-pasan….kalau penyakit kayak saya gini obatnya mahal sekitar 600 ribuan, buat sekitar 3 minggu………kalau saya nilai biaya obat dimana-mana juga sama …..saya biasa beli di apotik 24 jam…..saya jadi member obatnya lebih murah dikit , kalau member kan dapat discount 10%,….bapak ini ada vitamin tapi gak diganti kantor,jadi kita nyetir sendiri aja, kalau ada obat yang di rumah masih banyak, bisa minta ganti dengan vitamin. vitaminnya banyak, mahal-mahal, kalau disini dicek, ditelpon, ditanya ini obat atau vitamin,kalo vitamin dibalikkin ke saya, gak diganti makanya gak bisa ……saya pernah dikasih obat generik tapi gak bereaksi, jadi sekarang obatnya paten semua…….”
Menurut penelusuran dokumen SK direksi PK Sint Carolus Nomor
023/SKD/VII/2007/DIRUT tentang falsafah dan tujuan bidang pelayanan farmasi di
PK Sint Carolus menyatakan pelayanan farmasi PK Sint Carolus adalah bagian yang
tidak terpisahkan dari sistem PK Sint Carolus yang berorientasi kepada pelayanan
pasien, penyediaan obat yang bermutu sesuai dengan kebutuhan pasien dan
terjangkau. Pada penelusuran copy kuitansi pembelian resep, 1 jenis obat memiliki
rentang harga yang bervariasi dan obat yang memiliki efek serupapun tersedia dalam
beberapa jenis obat.
Berdasarkan informasi dan data sekunder tampak masih ada ketidaksesuaian
persepsi mengenai keterjangkauan biaya obat antara manajemen dengan pasien.
Informan 1.2 sebagai unsur manajemen menyatakan bahwa sesuai visi dan misi PK
Sint Carolus seharusnya harga obat tidak lebih mahal daripada rumah sakit dan
apotik di sekitarnya.Informan 5.6 dan 5.7 menyatakan harga obat mahal terutama
untuk vitamin seperti yang dikatakan informan 5.7. Informan 5.1 dan 5.3 mengakui
karena penyakitnya dianggap cukup berat maka harga obatnya mahal. Informan 5.2
dan 5.5 menyatakan harga obat murah dibandingkan dengan rumah sakit
lain.Pendapat Informan 5.7 yang menebus resep di apotik langganan bukan semata-
mata karena mendapat discount tetapi karena bisa diberikan vitamin yang seharusnya
tidak mendapat penggantian biaya dari perusahaan tetapi dalam kuitansi nama
vitamin diganti dengan nama obat lain sehingga informan 5.7 tetap mendapat vitamin
dengan biaya dari perusahaan. Kalau informan 5.7 menebus resep di unit farmasi PK
Sint Carolus , kuitansi obat dibuat sesuai dengan obat yang diberikan.. Tampaknya
berat ringannya penyakit yang diderita pasien dan kemampuan ekonomi pasien turut
mempengaruhi dokter dalam memilih obat yang diresepkan.
6.2.3.2. Ketersediaan
Keputusan pasien untuk membeli obat di unit farmasi terkait dengan
ketersediaan obat yang ada di unit farmasi rawat jalan PK Sint Carolus. Farmasi
hanya menyediakan obat-obat yang ada dalam daftar formularium karena itu
kepatuhan dokter terhadap formularium mempengaruhi kelengkapan resep obat.
Gambaran dari ketersediaan obat di unit farmasi PK Sint Carolus tampak pada hasil
wawancara mendalam dengan informan dari unsur manajemen yang menyatakan :
1.2. “…………kita melihat juga ada pasien misalnya diberi obat 5 item yang 4 item ada yang 1 nih gak ada padahal sesungguhnya di formularium ada tapi kita tidak tersedia stoknya di apotik, ah dari pada di copyresepkan satu, udah lima-limanya
saya ambil diluar aja, jangan sampai terjadi seperti itu karena itu kerjasama pengadaan dengan logistic harus baik…..kita sedang membenahi pengadaan dan pembelian obat di farmasi. rencananya kita akan menempatkan 1 apoteker di logistik, mungkin dalam bulan depan, meskipun dia tetap dibawah farmasi……..dengan adanya apoteker ada disana dia bisa melihat mana yang kurang…….”
Dibawah ini merupakan pendapat sekretaris panitia farmasi dan terapi yang sehari-
hari bertugas sebagai kepala farmasi rumah sakit, terhadap pertanyaan mengenai
ketersediaan obat di unit farmasi PK Sint Carolus :
2.3. “ ……….. karena pasiennya kan maunya dapat obat lengkap kalau cuma 1 gak ada udah sekalian beli di luar. Pokoknya kita berusaha obat dilengkapi dulu. cuma kalau berbicara obat, masalahnya berkaitan dengan logistik. jadi itu yang tidak bisa terselesaikan. Menurut kita cito,mungkin menurut mereka gak,….. padahal obat sudah ditunggu pasien ditunggu dokter, apalagi di rawat inap ………mereka kan gak dibawah saya, saya gak bisa ngatur mereka, kan ada kepalanya sendiri, dibawah kepala gudang………………. begitu sore ada permintaan lagi, gak bisa ngambil, kan tutup, mereka cuma sampai jam setengah tiga……stok obat dibuat untuk 3 hari disesuaikan dengan permintaan obat yang seminggu 3 kali….”
Gambaran dari ketersediaan obat di unit farmasi PK Sint Carolus tampak pada hasil
wawancara mendalam dengan kepala unit farmasi rawat jalan yang menyatakan :
3.4. “…..kadang-kadang permintaan obat tidak diantar, mungkin karena di gudang kosong tetapi tidak diinformasikan ke kita, tiba-tiba obatnya gak datang….., kebanyakan logistik membeli obat di PBF, kalau di PBF tidak ada mereka tidak mengusahakan cari di tempat lain padahal kita kan terserah mau beli di PBF atau apotik luar, yang penting obatnya ada …mungkin karena kalau di PBF ada discountnya, kalau di apotik atau tempat lain kan gak ada…...pola dokter kan bervariasi, kadang hari ini obat tertentu gak keluar tapi besoknya keluar banyak sedangkan bagian logistic kan gak melihat perkembangan itu,…… kita akan usul ke manajemen supaya gudangnya buka lebih lama supaya bila ada permintaan obat sore hari dapat dilayani….”
Bila obat yang diresepkan dokter tidak tersedia baik sebagian atau seluruhnya
di unit farmasi maka pasien menganggap obat-obatan yang tersedia di unit farmasi
rawat rumah sakit itu tidak lengkap. Gambaran dari ketersediaan obat di unit farmasi
PK Sint Carolus tampak pada hasil wawancara mendalam dengan informan dari
unsur pasien yang menyatakan :
5.1. “…..obat selalu ada….”
5.2. “…..gak pernah tebus diluar , selalu ada …..”
5.3. “…..obat semua ada disini….”
5.5. “…….obat ada disini…..”
5.6. “ …….yang dulu pernah dokternya bilang obatnya gak ada disini, emang udah dicari 3 apotik gak ada,, adanya di kimia farma garuda………”
5.7. “…… kalau saya merasa semuanya komplit disini, gak pernah gak ada….soalnya resep dari dokter…….”
Unit logistik merupakan gudang dari seluruh barang kebutuhan rumah sakit,
bukan hanya farmasi saja dan mempunyai kepala logistik sendiri. Untuk melayani
kebutuhan logistik farmasi, ditempatkan 3 orang asisten apoteker.
Pada pengamatan PK Sint Carolus memiliki 4 farmasi satelit, 2 unit farmasi
yang melayani pasien rawat jalan, 1 farmasi 24 jam yang melayani pasien UGD dan
rawat inap , 1 farmasi poliklinik anak dan 1 farmasi produksi yang memproduksi
obat-obatan yang dipakai internal rumah sakit dan balai kesehatan masyarakat yang
dikelola oleh PK Sint Carolus. Bila stok di unit farmasi rawat jalan kosong atau tidak
cukup, selain melakukan permintaan obat ke logistik, dapat juga melakukan
permintaan ke farmasi satelit yang lain.
Pada pengamatan di unit farmasi rawat jalan, ketidaksediaan obat disebabkan
antara lain :
a. stok obat di gudang logistik kosong sehingga permintaan dari unit farmasi
tidak dapat dipenuhi
b. jumlah obat yang tersedia tidak mencukupi, dapat disebabkan karena jumlah
obat yang tersedia di unit farmasi/logistik sedikit atau dokter memberikan
obat untuk jangka lama (misalnya 3 bulan) sehingga jumlah obatnya banyak
sekali
c. obat tidak sesuai dengan formularium PK Sint Carolus dan dokter tidak setuju
obatnya disubstitusi.
d. jam kerja petugas di gudang logistic hanya 1 shift sampai pk 14.30 sehingga
bila sore/malam persediaan obat di unit farmasi kosong tidak dapat diminta
ke logistik
Pada penelusuran dokumen :
a. SK direksi PK Sint Carolus Nomor 020a/SKD/VI/DIRUT tentang kebijakan
pelayanan farmasi di PK Sint Carolus menyatakan bahwa semua obat yang
keluar harus berdasarkan atas resep dokter sesuai prosedur tetap yang berlaku
dan mengacu pada formularium PK Sint Carolus
b. Formularium tahun 2006 tercantum tata laksana pelayanan farmasi di PK Sint
Carolus yang menyatakan bahwa bila obat yang diresepkan dokter diluar
formularium yang berlaku, maka petugas farmasi wajib menghubungi dokter
penulis resep untuk substitusi obat dengan yang tercantum dalam
formularium
Berdasarkan informasi,pengamatan dan data sekunder ternyata banyak faktor
yang menyebabkan obat tidak tersedia di unit farmasi, antara lain :
a. Obat tidak sesuai dengan formularium
b. Sistem pengadaan obat di logistik belum sinergis dengan di unit farmasi
c. Jam kerja di unit logistik hanya sampai jam 14.30, sehingga bila sore/malam
hari unit farmasi membutuhkan obat tidak dapat dilayani
d. Waktu pemesanan obat ke logistik lama karena selain melayani obat, logistik
juga melayani permintaan barang-barang lain kebutuhan rumah sakit
e. Tidak ada informasi ke unit farmasi bila ada obat dari logistik tidak dikirim
atau hanya dikirim sebagian
f. Unit logistik hanya mau membeli obat dari pedagang besar farmasi (PBF),
bila stok obat di PBF kosong, unit logistik tidak berusaha membeli obat di
tempat lain, misalnya apotik atau rumah sakit lain
g. Kesulitan untuk mengatur stok obat di unit farmasi karena :
1 fluktuasi jumlah pasien
2 fluktuasi kasus penyakit
3 fluktuasi jumlah pemakaian obat
6.2.3.3. Waktu Tunggu
Waktu tunggu obat yang lama menyebabkan pasien enggan untuk membeli
obat di unit farmasi rumah sakit, padahal farmasi rumah sakit memberikan kontribusi
pemasukan yang signifikan bagi rumah sakit.
Gambaran dari waktu tunggu pelayanan obat tampak pada hasil wawancara
mendalam dengan informan dari unsur manajemen yang menyatakan :
1.1. “……....mungkin salah satu penyebab ialah secara system operational procedure belum memberikan kenyamanan bagi pasien terutama waktu menunggu obat yang terlalu lama dan informasi yang kurang yang sampai kepada pasien berkaitan dengan waktu tunggu, kemudian dalam bidang kebijakan manajerial kita belum menerapkan system operasional procedure yang lebih optimal berkaitan dengan peresepan obat dokter maksud saya kalau sudah memakai system paperless maka akan mempercepat pelayanan di farmasi dan memutuskan mata rantai waktu tunggu yang terlampau lama….. system layanan menyiapkan obat yang belum efektif, antara obat jadi dengan obat racikan waktunya masih bersamaan, mestinya kalau tingkat kecepatan mau ditingkatkan obat jadi dilayani lebih dulu tidak harus sesuai nomor urutan yang kaku, selama ini semua masih dalam bentuk urutan…kedua, system yang belum cepat untuk obat yang dibeli sebagian oleh pasien, obat itu kan sebenarnya sudah diinput di komputer pada waktu resep datang tetapi waktu ditawarkan kepada pasien, dia hanya mau beli sebagian atau mau dibeli diluar maka system komputernya harus dirubah lagi, system ini yang belum fleksibel……
1.2. “ lihat antrian panjang, pasien kan malas. Mungkin juga karena sudah nunggu dokter lama, pasien pengen cepat pulang dan beli obatnya deket rumah aja”
Gambaran dari waktu tunggu pelayanan obat tampak pada hasil wawancara
mendalam dengan informan dari unsur pelaksana unit rawat jalan yang menyatakan :
3.1.”…. kendalanya banyak, gak bisa kita menghakimi kok lama, tapi dari rentetan itu mana yang bisa kita kendalikan sehingga pasien puas… itu kan bisa diantisipasi sebelumnya….. gak ada rantai peta, mapping, ,alur obat begini, dimana sih kendalanya itu bisa dilingkari…tidak link, selain itu waktu pasien menyerahkan resep, ntar liat dulu obatnya yah bu, belum lagi kalau uangnya kurang…diinput ulang lagi, itu makan waktu, baru di penerimaan resep gak cukup 5 menit,,,untuk persediaan menurut saya ada gudang kecil di unit farmasi , jadi tidak setiap saat minta ke logistik………..”
3.3. “…….saya pernah tanya mereka kenapa lama alasannya masing-masing obat pakai kartu stok, setelah obat diambil harus melidi, ambil panadol melidi dulu,
kemudian pindah amoksilin mesti melidi lagi… ambil satu melidi… ambil satu melidi…jadi lama…………mestinya ada studi banding pelayanan farmasi di rumah sakit lain…….”
3.4 “….. kita udah buat rawat jalan, untuk obat paten 15 menit, untuk racikan 30 menit,……. sesuai dengan nomor yang paling duluan yah dikerjain duluan……., kalau obat racikan kan ada proses buat salinan ulang resepnya dulu di formulir racikan, dihitung jumlah obatnya berapa, karena resep kan prinsipnya gak boleh dicoret-coret, sekalian di cek, benar gak perhitungan obatnya dan apakah benar obat yang ditulis dalam salinan resep, jadi lebih lama………dulu kita hanya punya 1 alat pengisi kapsul dan hanya digunakan buat obat TH, kalau buat obat lain masih manual karena ukurannya kapsulnya gak pas,…memang jadi lama apalagi kalau jumlah nya banyak, setelah diblender,dibagi-bagi baru dimasukkan satu-satu ke dalam kapsul, baru sekitar 2 bulan ini kita punya alat sendiri, sekarang ada 2, ada yang ukuran 0 dan 00….”
Persepsi pasien mengenai waktu tunggu pelayanan obat di PK Sint Carolus tampak
pada hasil wawancara mendalam dengan informan dari unsur pasien yang
menyatakan :
5.1. “……kalau pas rame bisa nunggu sekitar 40-60 menit……”
5.2. “….kalau racik sih memang lama….tapi gak apa-apa…...”
5.3. “…..selama ini selalu beli obat disini karena sekalian berobat…..obatnya belum selesai jadi belum tau lama atau gak……….”
5.4. “ ………saya gak beli obat disini, saya beli di apotik jatinegara karena ada saudara yang kerja disana,….. namanya ke dokter,beli obat di apotik pasti nunggu, disana juga nunggu, pasiennya banyak juga tapi nunggunya cepat, kalau keluarga kan spesial, pokoknya kalau keluarga serba spesial deh…..”
5.5. “………belum tau yah, masih nunggu obat nih…..”
5.7. “…….ada kali 10 menit, kalau racikan agak lama juga bisa 20 menit……kalau di apotik 24 jam obat bisa diantar, gak usah nambah ongkos lagi..….”
Pada pengamatan di dalam ruang farmasi rawat jalan, obat racikan lebih
banyak diresepkan oleh dokter spesialis saraf dan dokter spesialis kesehatan jiwa.
Resep racikan yang sudah sering diresepkan dan apoteker di unit farmasi rawat jalan
sayap selatan sudah memiliki resep racikan tersebut yang diberi kode, antara lain TH
1, TH 2 dan TH*, obat selalu disediakan dalam bentuk yang sudah diracik dan
dimasukkan dalam kapsul sehingga bila petugas menerima resep tersebut, obat
dapat segera dikemas. Pada umumnya waktu tunggu obat racikan tergantung dari
jumlah obat yang dibuat, banyaknya resep yang diterima unit farmasi, kelengkapan
obat dan pekarya yang meracik obat, bila pekarya ini sedang mengambil obat cito ke
logistik maka waktu penyiapan obat makin lama.
Di atas dinding ruang farmasi terpasang monitor yang cukup besar untuk
menampilkan nomor resep yang sudah selesai obatnya, tetapi belum difungsikan
karena kekurangan SDM karena prosesnya dengan mengetik di komputer dan
tampilannya akan tampak di monitor. Pada jam sibuk dimana fungsi monitor itu
sangat berguna untuk mempercepat pelayanan tetapi justru pada saat itu semua SDM
farmasi sangat sibuk mempersiapkan obat dan tidak sempat untuk menginput nomor
resep yang sudah selesai di komputer. Sampai saat ini obat yang sudah selesai
diinformasikan melalui pengeras suara, petugas penyerahan obat menyebutkan nama
pasien beserta dengan nama dokternya.
Pada penelusuran dokumen buku pedoman kerja farmasi tahun 2007 sudah
ada protap pembuatan obat racikan disertai alurnya. Dalam dokumen standar
pelayanan minimal farmasi PK Sint Carolus adalah sebagai berikut :
a. Setiap resep obat non racikan diserahkan kepada pasien dalam waktu ≤ 15
menit.
Penyiapan obat yang lama karena :
1. persediaan obat di farmasi satelit habis/kurang, sehingga harus
mengambil di farmasi satelit yang lain atau di gudang farmasi
2. dalam 1 lembar resep terdapat lebih dari 3 R/
3. resep ditebus pada jam yang ramai pengunjung
4. tulisan dokter kurang jelas, sehingga harus dikonsultasikan dulu
dengan dokter yang bersangkutan
5. obat tidak tercantum dalam formularium RS, sehingga harus
dikonsultasikan dulu dengan dokter yang bersangkutan untuk diganti
dengan obat sejenis
6. resep kurang lengkap atau kekeliruan dokter menuliskan dosis,
sehingga harus dikonsultasikan dulu dengan dokter yang bersangkutan
b. Setiap resep obat racikan diserahkan kepada pasien dalam waktu ≤ 30 menit
Penyiapan obat yang lama karena :
1. persediaan obat di farmasi satelit habis/kurang, sehingga harus
mengambil di farmasi satelit lain atau di gudang farmasi
2. obat racikan yang dibuat jumlahnya banyak
3. salah menghitung dosis, sehingga harus diulang
4. resep ditebus pada jam yang ramai pengunjung
5. tulisan dokter kurang jelas, sehingga harus dikonsultasikan dulu
dengan dokter yang bersangkutan
6. obat tidak tercantum dalam formularium RS, sehingga harus
dikonsultasikan dulu dengan dokter yang bersangkutan untuk diganti
dengan obat sejenis
7. resep kurang lengkap atau kekeliruan dokter menuliskan dosis,
sehingga harus dikonsultasikan dulu dengan dokter yang
bersangkutan.
Berdasarkan informasi, pengamatan peneliti dan data sekunder,faktor-faktor
yang menyebabkan waktu tunggu obat lama dapat dibedakan menjadi :
a. Faktor internal farmasi, yaitu :
1. stok obat di unit farmasi belum online, sehingga bila petugas
penerimaan resep ragu-ragu apakah obat tersedia atau tidak, ia akan
mengecek dulu kartu stok obat yang ada di kotak obat sebelum
menginput nama obat di komputer
2. setiap obat memiliki kartu stok masing-masing, yang harus diisi oleh
asisten apoteker setiap kali mengambil obat di kotak obat
3. kalau obat habis diluar waktu permintaan rutin ,maka dilakukan
permintaan obat cito ke bagian logistik, dan obat harus diambil oleh
pekarya di unit farmasi, padahal ia mempunyai tugas meracik obat
sehingga jumlah tenaga kerja berkurang dan akibatnya pasien harus
menunggu lebih lama (pada permintaan obat rutin obat diantar oleh
petugas logistik)
4. lama menyiapkan resep racikan, baik puyer yang dimasukkan ke
dalam kapsul maupun racikan dalam bentuk salep
5. Alur resep racikan lebih panjang daripada resep non racikan
6. Jumlah item obat pada resep non racikan bisa sampai 6 -8 obat atau
jumlah obat racikan banyak ( 60 – 180 dosis obat puyer dimasukkan
ke dalam kapsul )
7. pada tahun 2009 alat pengisi kapsul hanya ada 1, yaitu di farmasi
satelit URJ selatan bawah sehingga alat juga dipinjam oleh farmasi
satelit yang lain, di unit farmasi satelit URJ selatan bawahpun hanya
digunakan untuk obat tertentu saja karena ukuran alat belum tentu pas
dengan ukuran kapsul yang lain.
8. resep datang bersamaan sehingga menumpuk pada jam-jam sibuk
yaitu pk 11.00 – 13.00 dan pada pk 18.00, hal ini terkait dengan jam
praktek dokter, pada saat itu pasien harus menunggu obat lebih lama
b. Faktor eksternal farmasi :
1. Dokter : obat yang diresepkan tidak sesuai formularium atau resep
kurang lengkap sehingga perlu dikonsultasikan dulu dengan
dokter penulis resep
2. Logistik :
a. stok obat di farmasi kurang/kosong karena proses pengiriman
obat dari logistic lama
b. komunikasi dengan antara unit farmasi dan logistik belum
terjalin dengann baik
3. Pasien :
a. pasien sudah menyerahkan resep ke farmasi tetapi karena
uang tidak mencukupi, obat hanya dibeli separuh resep
atau hanya dibeli sebagian saja, sehingga petugas
penerima resep harus melakukan input ulang di komputer
b. pada pasien langganan :
1. bila nomor rekam medis masih menggunakan nomor
pasien umum sehingga harus diubah datanya lebih
dulu
2. ada asuransi tertentu yang memberikan batasan biaya
obat sehingga petugas penerima resep harus
menyesuaikan jumlah obat dengan biaya obat yang
ditanggung oleh asuransi
Dari rangkuman diatas tampak bahwa masalah waktu tunggu obat yang lama
tidak hanya semata dilihat sebagai masalah internal farmasi saja tetapi juga terkait
dengan unit pelayanan lain.
6.2.4. Pengaruh Karakteristik Pasien Yang Mempengaruhi Pasien Dalam
Memilih Tempat Membeli Obat
Karakteristik informan yang dibahas dalam penelitian ini meliputi pendidikan,
pekerjaan, status penyakit dan penanggung biaya pengobatan.
6.2.4.1. Pendidikan
Informasi tentang pendidikan sangat penting dalam hubungannya dengan
pengertian informan terhadap informasi pengobatan dari dokter dan kepatuhan
informan terhadap pengobatan. Dalam penelitian ini, 2 dari 3 informan yang
berpendidikan SLTA membeli obat di unit farmasi PK Sint Carolus. 1 dari 2
informan berpendidikan D3 membeli di unit farmasi PK Sint Carolus. 1 informan
berpendidikan S1 membeli obat di apotik langganan dan 1 informan lagi tidak
diketahui tingkat pendidikannya karena sudah lanjut usia dan wawancara dilakukan
dengan anak perempuan informan yang tidak mengetahui pendidikan terakhir ibunya.
dan informan ini selalu membeli obat di apotik langganan.
Dari informasi diatas tampak tingkat pendidikan informan tidak
mempengaruhi pemilihan informan terhadap tempat membeli obat.
6.2.4.2. Pekerjaan
Pekerjaan informan berkaitan dengan pemilihan tempat membeli obat. Bagi
informan yang masih bekerja, jenis pekerjaan yang dilakukan menentukan tingkat
pendapatan keluarga yang terkait dengan tempat informan berobat dan membeli obat,
selain itu juga dengan ada/tidaknya penggantian biaya pengobatan dari perusahaan
tempat informan bekerja. Bagi informan yang tidak bekerja atau sudah pensiun
berarti biaya pengobatan ditanggung oleh keluarga/anak.
Jenis pekerjaan 3 informan adalah karyawan, dimana biaya pengobatan
ditanggung oleh perusahaan. Hanya 1 dari 3 informan ini yang membeli obat di unit
farmasi PK Sint Carolus. 1 dari 3 informan yang tidak bekerja karena lanjut usia,
membeli obat di unit farmasi PK Sint Carolus. 1 informan lagi mempunyai usaha
sendiri dan membeli obat di apotik langganan.. Bagi informan yang tidak bekerja
biaya pengobatan ditanggung oleh anaknya karena itu keputusan memilih tempat
menebus resep lebih banyak ditentukan oleh anaknya.
Dari informasi diatas tampak bahwa pekerjaan informan tidak mempengaruhi
pemilihan tempat membeli obat.
6.2.4.3. Penanggung biaya
3 informan bekerja sebagai karyawan/ti dan biaya pengobatan ditanggung
perusahaan. 2 dari 3 informan ini biayanya ditanggung 100% dan 1 informan
biayanya ditanggung perusahaan 90%. Karena ke 3 perusahaan tempat informan
bekerja tidak bekerjasama dengan PK Sint Carolus dalam pengobatan rawat jalan
maka informan bebas memilih tempat menebus obat.
Pada pengamatan peneliti di bagian penerimaan resep, bila penanggung biaya
adalah perusahaan asuransi, dimana PK Sint Carolus sudah ditentukan menjadi mitra
dalam memberikan pelayanan kesehatan pada kliennya maka obat langsung dibeli di
unit farmasi PK Sint Carolus dan biaya obat diklaim ke perusahaan asuransi yang
bersangkutan, tetapi bila penanggung biaya adalah perusahaan tempat pasien bekerja,
pengobatan dibayar secara kontan oleh informan dan kuitansi diklaim ke perusahaan
sehingga informan dapat memilih tempat membeli obat sesuai dengan keinginannya.
Dari informasi dan pengamatan, karena semua informan yang biaya
pengobatannya ditanggung perusahaan bukan merupakan klien perusahaan asuransi,
maka penanggung biaya dalam hal ini perusahaan tidak mempengaruhi informan
dalam memilih tempat membeli obat.
6.2.4.4. Status Penyakit
3 informan datang ke poliklinik PK Sint Carolus untuk melakukan kontrol
penyakitnya ke dokter setelah menjalani rawat inap. 2 diantaranya membeli obat di
unit farmasi PK Sint Carolus , 1 diantara 2 informan ini biasanya membeli obat di
apotik langganan tetapi karena baru menderita penyakit yang cukup berat dan belum
masuk kantor dimana lokasi apotik langganan berdekatan dengan kantor maka ia
membeli obat di unit farmasi PK Sint Carolus. sedangkan 1 informan lagi membeli
obat di apotik langganan. 3 informan lain menderita penyakit kronis, 1 informan
membeli obat di unit farmasi PK Sint Carolus dan 2 informan membeli obat di apotik
langganan. 1 informan lagi adalah pasien yang baru pertama kali berobat ke
poliklinik spesialis PK Sint Carolus dan sekaligus membeli obat di unit farmasi PK
Sint Carolus
Dari informasi diatas peneliti tidak melihat hubungan antara kasus penyakit
yang tidak berat dengan pemilihan tempat membeli obat. Tetapi tampaknya pada
informan yang penyakitnya cukup berat, lebih praktis untuk membeli obat di unit
farmasi PK Sint Carolus sekalian kontrol ke dokter.
6.2.4.5. Faktor-faktor lain yang menentukan tempat informan menebus resep
Dari informasi data alamat informan ada 3 informan yang berdomisili cukup
jauh dari PK Sint Carolus yaitu di Bogor, Depok dan Bekasi. Jarak tempat tinggal
tidak termasuk karakteristik yang diteliti tetapi melihat sebagian informan berdomisili
di luar Jakarta ini sudah lama berlangganan dengan PK Sint Carolus, maka peneliti
ingin mengetahui lebih jauh tentang faktor-faktor yang mempengaruhi informan
untuk berobat ke PK Sint Carolus.
Dari tabel 6.6 diketahui lokasi tempat tinggal informan untuk melihat keterkaitan
jarak tempat tinggal informan dengan pemilihan tempat membeli obat. Dari 3
informan berdomisili di luar kota Jakarta. 2 diantaranya membeli obat di unit farmasi
PK Sint Carolus sedangkan 1 informan membeli obat di apotik langganan. 4 informan
lain berdomisili di Jakarta, 2 diantaranya membeli obat di unit farmasi PK Sint
Carolus sedangkan 2 informan lainnya menebus obat di luar.
Berdasarkan informasi tampak tidak ada keterkaitan antara jarak tempat
tinggal informan dengan PK Sint Carolus dengan pemilihan tempat membeli obat.
BAB VII
PEMBAHASAN
Hasil penelitian diperoleh melalui wawancara mendalam, observasi serta
penelusuran terhadap dokumen-dokumen, dengan merujuk pada literatur dan hasil
studi yang telah ada.
7.1. KETERBATASAN PENELITIAN
Peneliti dalam melaksanakan rangkaian kegiatan penelitian merasakan
keterbatasan-keterbatasan diantaranya adalah :
a. Kurangnya pengalaman peneliti dalam melakukan wawancara mendalam
sehingga kurang dapat memanfaatkan peluang untuk menggali lebih dalam
informasi yang disampaikan
b. Hasil penelitian ini cenderung mengalami bias karena pandangan
subyektivitas peneliti
c. Permasalahan memiliki keterkaitan dengan banyak unit/bagian di rumah sakit
dan peneliti kurang dapat melakukan observasi lebih mendalam
d. Keterbatasan waktu penelitian sehingga peneliti kurang dapat melakukan
observasi lebih mendalam
7.2. TINJAUAN HASIL PENELITIAN
7.2.1. KEBIJAKAN PENGELOLAAN OBAT
Kebijakan Manajemen PK Sint Carolus dalam mengelola obat di rumah sakit
diimplementasikan dengan dibentuknya panitia farmasi dan terapi, hal ini sesuai
dengan pernyataan WHO (2001) bahwa rumah sakit perlu membuat kebijakan
pengelolaan obat di rumah sakit agar pasien mendapatkan obat yang sesuai dengan
kebutuhannya dalam dosis yang sesuai dan periode waktu tertentu, serta dengan biaya
serendah mungkin baik bagi pasien maupun komunitasnya dan Laing,et al (2001)
bahwa untuk meningkatkan efektivitas penggunaan obat rasional, rumah sakit perlu
membuat kebijakan dengan membentuk panitia farmasi dan terapi.
Surat Keputusan Menteri Kesehatan No 1009/Menkes/SK/X/1995,
mewajibkan semua rumah sakit pemerintah membentuk panitia farmasi dan terapi
(Panjaitan, 2006). Meskipun PK Sint Carolus adalah rumah sakit swasta, tetapi sejak
tahun 2001 telah memiliki panitia farmasi dan terapi dan telah menyusun
formularium obat yang digunakan di rumah sakit dan membuat peraturan-peraturan
yang mendukung terlaksananya fungsi pemantauan penggunaan obat. Saat ini yang
berlaku adalah formularium edisi II yang disusun pada tahun 2006 dan sedang
disusun formularium edisi III.
Kebijakan dan peraturan Panitia farmasi dan terapi yang berlaku di PK Sint
Carolus saat ini berdasarkan Surat Keputusan Direksi PK Sint Carolus nomor
019/SKD/IX/2006/Dirut yang berisi susunan keanggotaan, tugas dan wewenang
panitia farmasi dan terapi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Siregar dan Amalia
(2003) bahwa panitia farmasi dan terapi dibentuk berdasarkan surat keputusan dari
pimpinan rumah sakit, termasuk didalamnya sudah diatur tugas, tanggung jawab dan
wewenang.
7.2.1.1. Penetapan Pengurus Panitia Farmasi Dan Terapi
Menurut Kepmenkes No 1197,2004, ketua Panitia Farmasi dan Terapi dipilih
dari dokter yang ada di dalam kepanitiaan dan jika rumah sakit tersebut mempunyai
ahli farmakologi klinik, maka sebagai ketua adalah Farmakolog. Sekretarisnya adalah
Apoteker dari instalasi farmasi atau apoteker yang ditunjuk. PK Sint Carolus tidak
mengikuti prosedur pemilihan ketua panitia farmasi dan terapi sesuai Kepmenkes
diatas karena sulit menentukan anggota-anggota panitia farmasi dan terapi yang
jumlahnya banyak dan harus mewakili semua spesialisasi yang ada, karena itu bila
ketua dan wakil ketua sudah dipilih maka dapat dilakukan pendekatan kepada dokter
spesialis yang ada untuk bersedia menjadi anggota.
Jumlah pengurus panitia farmasi dan terapi yang hanya duduk sebagai
anggota ada 16 orang tetapi belum terbagi dalam satuan kerja yang lebih kecil
sehingga cenderung membuat para anggota tidak ikut terlibat dalam meningkatkan
fungsi panitia farmasi dan terapi. Di Rumah Sakit Fatmawati, keanggotaan panitia
farmasi dan terapi telah dibagi dalam 4 seksi yaitu Seksi Pelayanan, Seksi
Pendidikan, Seksi Penelitian dan Seksi Pelayanan Informasi Obat (Firmanda,2005).
Keberadaan seksi-seksi ini dapat membantu dan meringankan beban kerja ketua
panitia farmasi dan terapi dan meningkatkan aktivitas panitia farmasi dan terapi,
seperti menyelenggarakan presentasi produk, pertemuan ilmiah, sosisalisasi
formularium dan sebagainya.
7.2.1.2. Proses Seleksi Obat Dalam Formularium tahun 2006
Saat ini jumlah obat yang beredar di pasaran ada sekitar 13.000 jenis obat
(Kompas.com,2010), tetapi Jumlah obat yang masuk dalam formularium harus
dibatasi, tidak semua obat yang beredar di pasaran masuk dalam formularium
(WHO,1997). Kriteria obat yang lolos seleksi dalam formularium adalah obat yang
sudah terbukti efektif dan aman serta dengan biaya yang relatif efisien (WHO,2001)
selain itu penyediaan obat yang banyak akan meningkatkan biaya belanja obat rumah
sakit.
Banyaknya obat yang beredar dengan beragam mutu, khasiat dan harga serta
munculnya obat-obat baru tidak jarang justru menyebabkan kebingungan bagi dokter
untuk memilih obat dan kesulitan bagi apoteker dan pengelola logistik farmasi dalam
menyediakan obat di rumah sakit. Sebagian besar obat yang beredar merupakan
duplikasi sediaan yang ada, dengan isi dan dosis yang sama tetapi harga berbeda
(apoteker-istn.blogspot.com,2010). Formularium merupakan salah satu alat
manajemen untuk mengendalikan jumlah obat yang beredar di rumah sakit.
Dalam SK direksi PK Sint Carolus Nomor 019/SKD/IX/2006/DIRUT sudah
ditetapkan tahapan prosedur penetapan obat formularium obat rumah sakit, yang
dapat digambarkan dalam bagan berikut ini :
Bagan 7.1 Tahapan prosedur penetapan obat
Dalam pelaksanaannya,proses seleksi obat hanya dilakukan sampai tahap pertama
saja yaitu usulan dari minimal 3 orang dokter, kemudian bila disetujui oleh panitia
farmasi dan terapi, obat langsung dimasukkan sebagai obat sisipan dalam
usulan dari min 3 dokter kepada PFT
presentasi produk
pengamatan manfaat & efek
persetujuan direksi
formularium dan disediakan di farmasi rumah sakit tanpa dilakukan presentasi
produk, pengamatan efek dan manfaat obat serta tidak melalui persetujuan direksi.
Berdasarkan wawancara dengan informan 2.2 memang terungkap bahwa
seharusnya proses pengusulan obat baru tidaklah semudah itu yang mengakibatkan
jumlah obat generik bermerek (di PK Sint Carolus disebut sebagai obat me too)
sebagai sisipan dalam formularium tahun 2006 bertambah banyak, padahal sudah
ditetapkan dalam formularium tahun 2006 hanya ada 3 obat me too. Dalam WHO
(1997) dikatakan bahwa jumlah obat bermerek (obat me too) harus dikurangi, hanya
satu obat bermerek dari satu jenis obat generik yang secara rutin ada dalam stok,
demikian juga dalam Kepmenkes No 1197 tahun 2004 dinyatakan bahwa jumlah
produk obat yang secara rutin harus tersedia di Instalasi Farmasi harus dibatasi.
Adanya obat yang diusulkan dan sudah disetujui oleh panitia farmasi dan
terapi tetapi tidak digunakan oleh dokter pengusul membuktikan bahwa usulan obat
bukanlah didorong oleh kebutuhan dokter akan obat tersebut. Rasa tidak enak hati
dengan rekan sejawat yang mengusulkan obat terutama kepada dokter senior
merupakan hal yang wajar dialami oleh dokter yang bertugas sebagai pengurus
panitia farmasi dan terapi, karena itu bila seluruh proses seleksi obat diterapkan
sesuai dengan kebijakan direksi dalam SK Nomor 019/SKD/IX/2006/DIRUT maka
akan menghilangkan persetujuan usulan obat dengan alasan tersebut.
Pada tanggal 21 Oktober 2009 panitia farmasi dan terapi mengirimkan surat
kepada direksi dengan nomor surat 048/FARM/X/2009 yang isinya permohonan
kepada direksi untuk ikut menyeleksi obat yang masuk dalam formularium. Ternyata
intervensi direksi dalam proses seleksi obat terbukti dapat menurunkan jumlah obat
yang diusulkan pada tahun 2009 seperti tampak pada tabel 6.7. Hal ini sesuai dengan
pendapat Winardi (2000) bahwa peran pimpinan selain menyusun kebijakan adalah
melakukan kontrol terhadap pelaksanaan kebijakan tersebut.
Pada formularium edisi III yang sedang disusun, direksi terlibat langsung
sejak pengusulan obat sampai persetujuan, surat persetujuan usulan obat
ditandatangani oleh direktur medik.
Dengan adanya keterlibatan langsung manajemen dalam penggunaan formularium di
rumah sakit maka diharapkan :
1 Obat baru yang diusulkan untuk masuk dalam formularium akan lebih bersifat
base evidence medicine karena harus melalui presentasi untuk melihat
manfaat dan efek terapi obat secara ilmiah dan berdasarkan data pengeluaran
obat di farmasi.
2 Anggaran belanja rumah sakit untuk pembelian obat-obatan akan lebih efektif
dan efisien karena jumlah item obat terbatas
3 Keterlibatan direksi rumah sakit dalam proses seleksi obat sangat
mempengaruhi kepatuhan dokter terhadap peraturan-peraturan yang ada
dalam formularium
4 Peresepan obat menjadi lebih rasional
7.2.1.3. Sosialisasi Formularium
Salah satu metode untuk meningkatkan kepatuhan pada formularium adalah
mempromosikan penggunaan formularium (WHO,1997). Meskipun semua informan
sudah mengetahui adanya formularium di PK Sint Carolus tetapi informan 4.3 dan
4.4 belum pernah membaca buku formularium PK Sint Carolus tahun 2006 sehingga
tidak mengetahui obat apa saja yang tercantum dalam formularium, tetapi pada
penelusuran resep tampak sebagian besar resep sudah sesuai dengan formularium.
Informan 4.4 tidak pernah membaca buku formularium PK Sint Carolus tahun
2006 , ia memperolah informasi pengobatan dari media CIM ,tetapi pola
peresepannya sudah sesuai formularium. Hal ini mengindikasikan bahwa informasi
tentang pengobatan yang rasional bisa didapatkan lewat media apa saja dan sikap
professional dokter dalam memberikan pelayanan berperan penting dalam proses
pemilihan obat. Hal ini sesuai dengan penelitian Alwi (2002) di RSMH Palembang
bahwa sikap dokter mempunyai hubungan bermakna dengan kepatuhan pada
formularium. Informan 4.2 menyatakan bahwa ketika sosialisasi formularium kurang
dijalankan maka ia tidak peduli dengan keberadaan formularium rumah sakit dan
menulis resep sesuai dengan keinginannya, tapi ketika formularium mulai
disosialisasikan tampak bahwa informan berusaha menulis resep sesuai dengan
formularium dan kalaupun obat ternyata tidak tersedia di unit farmasi, informan
bersedia untuk mengganti obatnya dengan obat sejenis yang tersedia.
Sosialisasi formularium yang belum dijalankan dengan optimal juga
disebabkan belum adanya seksi khusus yang menangani sosialisasi dalam susunan
pengurus panitia farmasi dan terapi tahun 2006. Selama ini tampaknya beban kerja
hanya dibagi antara ketua dan sekretaris saja, anggota-anggota yang lain belum
terlibat langsung dalam kegiatan yang dilakukan panitia farmasi dan terapi. Hal ini
menunjukkan bahwa meskipun hanya sebagai suatu panitia, ketua panitia farmasi dan
terapi perlu mengorganisir fungsi anggota-anggotanya agar masing-masing anggota
mempunyai peran khusus dalam kepanitiaan. Selain itu karena sebagian besar
anggota panitia farmasi dan terapi adalah dokter spesialis termasuk ketua adalah
dokter spesialis penyakit dalam, yang setiap hari sudah disibukkan dengan praktek
melayani pasien sehingga sulit untuk mengelola seluruh tugas dan tanggung jawab
panitia farmasi dan terapi tanpa dilakukan pembagian tugas (job description) yang
jelas diantara anggota-anggota panitia farmasi dan terapi.
Kesulitan yang dialami selama ini dimana dokter-dokter tamu menulis resep
tidak sesuai dengan formularium seperti yang dinyatakan oleh informan 1.1 kiranya
dapat diminimalisir dengan melakukan pendekatan pribadi oleh seksi sosialisasi,
karena itu perlu dipikirkan untuk menempatkan dokter yang secara keilmuan dan
senioritas sudah diakui dan disegani di PK Sint Carolus.
7.2.2. Pola Peresepan Dokter
Dalam melayani pasien, dokter memeriksa, mendiagnosa dan memberikan
obat dalam waktu yang relatif singkat. Agar dalam waktu singkat dokter dapat
mengambil keputusan yang tepat dibutuhkan informasi yang benar tentang penyakit
dan informasi tentang obat yang jumlahnya cukup banyak dan bervariasi.
Pengetahuan dasar seorang dokter yang didapat di bangku kuliah mengenai cara
penegakkan diagnosis, cara pengobatan dan waktu yang tepat untuk memberikan
obat, perlu diperlengkapi dengan tambahan pengetahuan baik dari artikel dan jurnal
kedokteran maupun dengan mengikuti pelatihan formal dan bedside training
(WHO,1988). Proses pemilihan obat merupakan salah satu tahap penting dalam
pengobatan. Dokter harus menetapkan jenis obat yang benar-benar diperlukan bagi
pasien, pilihan obat yang diresepkan haruslah yang paling efektif dan aman bagi
pasien karena seperti yang dinyatakan oleh WHO (1997) bahwa pasien tidak memilih
obat sendiri tetapi obat diresepkan oleh dokter dan pasien juga tidak mengerti
tentang aspek kesesuaian obat, keamanan, kualitas atau biaya obat.
Banyak faktor yang mempengaruhi dokter dalam meresepkan obat, baik
faktor internal antara lain pengetahuan, pengalaman dan kepercayaan dan faktor
eksternal yaitu pengaruh pasien, hubungan dokter-pasien, promosi dan pengaruh
sejawat (Ulfah dkk,2004). Selain pengetahuan di bidang kedokteran, proses
peresepan dokter di rumah sakit juga dipengaruhi oleh pengetahuan dokter tentang
keberadaan formularium obat di rumah sakit tersebut, kepatuhan dokter terhadap
formularium dan promosi industri farmasi.
7.2.2.1. Pengetahuan Dokter Tentang Formularium
Tujuan utama dibuatnya formularium rumah sakit adalah untuk mendorong
para dokter agar menggunakan obat yang paling efisien dari segi terapi dan biaya
(Lancer,2002). Kepmenkes No 1197 tahun 2004 menyatakan bahwa penggunaan
formularium akan membatasi jumlah produk obat yang secara rutin harus tersedia di
Instalasi Farmasi.
Dalam wawancara didapat 2 informan tidak mengetahui tujuan penggunaan
formularium di rumah sakit dan peraturan-peraturan yang terkait dengan formularium
padahal pengetahuan dokter tentang formularium erat kaitannya dengan kepatuhan
dokter terhadap formularium. Pengetahuan dokter terhadap formularium rumah sakit
ikut menentukan pola peresepan dokter.Hasil penelitian Alwi (2002) di RSMH
Palembang menunjukkan bahwa dokter yang mempunyai pengetahuan tentang
formularium lebih patuh dibandingkan dengan dokter yang tidak mempunyai
pengetahuan. Tetapi pada penelusuran resep ternyata sebagian besar obat yang
diresepkan sudah sesuai dengan obat-obatan yang tersedia di unit farmasi rawat jalan
yang berarti sesuai dengan formularium obat PK Sint Carolus bahkan beberapa resep
menggunakan obat generik. Peneliti melihat bahwa hal ini disebabkan karena :
a. Sudah ada kerjasama yang baik antara dokter spesialis yang berpraktek di
poliklinik spesialis dengan apoteker dan petugas unit farmasi rawat jalan
b. Obat yang tidak tersedia di unit farmasi selalu dikomunikasikan oleh
apoteker/petugas farmasi kepada dokter penulis resep untuk disubstitusi
dengan obat lain yang sejenis
c. Dokter yang diwawancarai sudah berpraktek lebih dari 10 tahun sehingga
sudah memiliki pola peresepan yang baku berdasarkan pengalaman dan
pengetahuannya
d. Dokter mendapatkan informasi pengobatan yang rasional melalui berbagai
media, seperti informan 4.3 yang mendapatkan informasi obat dari jurnal dan
majalah CIM (Compendium of Indonesian Medicine) dan informan 4.1 yang
mendapat informasi obat melalui internet. Hal ini sesuai dengan pendapat
Quintiliani&Quercia (2003) bahwa dokter yang sering membaca literatur
secara teratur lebih dapat meresepkan obat yang efektif, aman dan sudah teruji
secara klinis.
7.2.2.2. Kepatuhan Dokter Pada Formularium
Dokter memiliki otonomi dalam menjalankan profesinya termasuk
menentukan diagnosis dan terapi yang tepat bagi pasiennya. Masing-masing dokter
mempunyai pola pikir dan sudut pandang yang berbeda ketika memutuskan terapi
terbaik dalam suatu kasus penyakit. Dalam praktek pribadi hal itu tidak menjadi
masalah, tetapi apabila seorang dokter bergabung menjadi staf rumah sakit, ia wajib
setuju berpraktik sesuai dengan peraturan sistem formularium rumah sakit tersebut,
obat yang akan ditulis, di-dispensing, dan digunakan di rumah sakit harus sesuai
dengan sistem formularium (Siregar&Amalia,2003).
Pada pengamatan peneliti terhadap resep-resep dokter spesialis baik yang
diwawancarai maupun yang tidak diwawancarai, sebagian besar resep sudah
mengacu pada obat yang tersedia di unit farmasi, hal ini disebabkan pada tahap awal
seleksi obat panitia farmasi dan terapi sudah melibatkan dokter spesialis sebagai user
(WHO,1997), obat yang paling banyak dipakai oleh dokter spesialis itu yang
dimasukkan dalam formularium. Seleksi tidak berdasarkan efektivitas dan keamanan
obat serta efisiensi biaya seperti yang tercantum dalam WHO (2001) tetapi pada
umumnya obat yang diusulkan adalah obat yang sudah lama beredar di pasaran dan
efektivitas serta keamanannya sudah diketahui.
Ketidakpatuhan pada formularium menurut informan 1.2 juga disebabkan
kesulitan dokter untuk menghafal nama-nama obat yang ada dalam formularium.
Untuk mengatasi hal itu PK Sint Carolus sudah menerapkan seperti dinyatakan oleh
WHO (1997) bahwa bila obat yang diresepkan dokter di luar formularium yang
berlaku, maka petugas farmasi wajib menghubungi dokter penulis resep untuk
substitusi obat dengan yang tercantum dalam formularium.
Dalam meresepkan, informan 4.3 tidak pernah memperhatikan kesesuaian
obat dengan formularium obat PK Sint Carolus, ia lebih banyak mendapat informasi
obat dari literatur dan CIM, tetapi pada umumnya resep sudah sesuai dengan
formularium PK Sint Carolus. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Jones
et al (2001) bahwa keputusan dokter dalam memilih obat yang diresepkan terutama
dipengaruhi oleh literatur dan pertemuan ilmiah. Tampaknya bagi informan yang
pernah terlibat dalam organisasi rumah sakit lebih mudah untuk mematuhi
formularium seperti informan 4.1 yang merupakan mantan direktur utama dan
informan 4.2 yang menjadi anggota panitia farmasi dan terapi, hal ini dikuatkan
dengan pendapat informan 1.1 bahwa ketidakpatuhan terhadap formularium biasanya
dilakukan oleh dokter-dokter tamu. Dokter tamu yang jam prakteknya lebih lama di
rumah sakit lain daripada di PK Sint Carolus, sudah terbiasa menggunakan obat yang
tersedia disana sehingga pola peresepannya mengikuti ketersediaan obat di rumah
sakit lain. Padahal dalam buku formularium PKSC tahun 2006 sudah tertulis bahwa
formularium obat di rumah sakit berlaku bagi semua dokter dan atau dokter gigi, baik
dokter tetap maupun mitra, sebagai penulis resep di rumah sakit. Faktor senioritas dan
jumlah pasiennya yang banyak tampaknya menyebabkan manajemen PK Sint Carolus
segan untuk menegur dokter-dokter tamu ini.
Ketidakpatuhan dalam penulisan resep berdasarkan pada formularium akan :
1 Mempengaruhi persediaan obat, di satu sisi akan terjadi kekurangan atau
kekosongan obat, di sisi lain adanya stok obat yang berlebihan.
2 Diperlukan investasi yang lebih besar untuk melengkapi jenis obat yang lebih
banyak dari standar formularium
3 Mempengaruhi mutu pelayanan, karena obat sering kosong, waktu pelayanan
menjadi lama karena harus konsultasi dokter untuk pergantian obat, adanya
resep yang ditolak, obat tidak bisa dibeli, kesinambungan pengobatan
terganggu serta pembiayaan total pengobatan menjadi tinggi.
4 mempengaruhi citra rumah sakit di mata pasien dan masyarakat karena
ketidaklengkapan obat dipersepsikan dengan kualitas pelayanan yang kurang
baik
7.2.2.3. Pengaruh Promosi Industri Farmasi
Saat ini ada sekitar 199 perusahaan farmasi yang beroperasi di Indonesia
(id.answers.yahoo.com) dan bersaing mempromosikan produknya. Gencarnya
promosi obat oleh detailer menjadi salah satu faktor penentu proses pengambilan
keputusan pemilihan obat, meskipun dalam kenyataannya tidak semua obat yang
dipromosikan memiliki bukti manfaat dan keamanan yang dapat diandalkan.
Pada penelitian tampak bahwa sebagian besar penulisan resep tidak
terpengaruh oleh promosi dari industri farmasi, dokter sudah mempunyai pendapat
dan pola masing-masing dalam penulisan resep. Meskipun demikian pernah terjadi
ada dokter yang tidak pernah meresepkan obat yang sudah diusulkannya, sehingga
diduga bahwa dokter pengusul sebenarnya tidak memerlukan obat tersebut, dokter
mengusulkan karena sudah lelah ditanya-tanya terus oleh detailer.
Dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia telah disebutkan bahwa dalam
melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh
sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi
(Setiabudy,2009)
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 104/PMK/XI/2008 menyatakan bahwa
batas maksimal biaya promosi untuk perusahaan farmasi adalah 2% dari penjualan
atau 25 milyar dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1010/Menkes/PER/XI/2008
yang melarang perusahaan-perusahaan farmasi asing untuk menjual produknya di
Indonesia tanpa memiliki fasilitas produksi yang berlokasi di Indonesia
(www.idx.co.id) akan membatasi ruang gerak industri farmasi untuk mempromosikan
produknya di Indonesia, termasuk promosi langsung kepada dokter-dokter di rumah
sakit.
7.2.3. Karakteristik Obat Dan Pelayanan Obat
Di masa depan, fungsi unit rawat jalan akan menjadi primadona pelayanan
rumah sakit (Rijadi,1997). Peningkatan jumlah kunjungan rawat jalan akan ikut
mendongkrak penerimaan resep di unit farmasi rawat jalan sebagai salah satu unit
penunjang medis. Farmasi akan mempunyai peran yang semakin strategis. Pernyataan
direktur utama PK Sint Carolus bahwa persentase pendapatan farmasi sekitar 60-61%
dari total pendapatan bruto rumah sakit menunjukkan bahwa pendapatan farmasi
mempunyai daya ungkit yang besar terhadap pendapatan rumah sakit.
Hasil survei yang dilakukan PK Sint Carolus akhir tahun 2009 menyatakan
bahwa 84,03% responden membeli obat di unit farmasi PK Sint Carolus dan 15,97%
membeli obat diluar. Alasan pasien untuk menebus obat di luar adalah :
a. Pelayanan lama
b. Harga obat mahal
c. Obat tidak tersedia
d. Mempunyai apotik langganan
e. Cara pembayaran yang ribet harus mondar-mondir ke kasir – farmasi.
Peneliti mencoba membandingkan dengan hasil penelitian Handayani,dkk (2009)
mengenai persepsi konsumen apotek terhadap pelayanan apotek di tiga kota di
Indonesia, yaitu Jakarta, Yogyakarta dan Makasar, ternyata lima alasan terbanyak
konsumen memilih apotek adalah sebagai berikut :
a. Jaraknya dekat = 62,5%
b. Pelayanannya cepat = 49,5%
c. Harga obatnya murah = 46,4%
d. Pelayanannya ramah = 42,8%
e. Obatnya lengkap = 42,4%
(jawaban bisa lebih dari satu).
Perbandingan dua penelitian diatas tampak 4 dari 5 faktor penting yang menentukan
pasien untuk memilih tempat menebus resep adalah sama yaitu
a. Kecepatan pelayanan
b. Harga obat
c. Ketersediaan obat
d. Jarak dekat dengan apotek langganan.
Salah satu faktor yaitu kedekatan jarak antara rumah/kantor dengan apotek bukan
merupakan hal mutlak bagi pasien PK Sint Carolus, kalau pasien sudah bersedia
untuk berobat ke dokter spesialis di poliklinik spesialis PK Sint Carolus tentu lebih
mudah mendorong pasien untuk sekaligus menebus obat di unit farmasi PK Sint
Carolus asalkan aspek-aspek lainnya dapat dipenuhi. Aspek-aspek lain itu adalah
harga, ketersediaan dan waktu tunggu pelayanan obat, yang akan dibahas dibawah
ini.
7.2.3.1. Harga
Disamping merupakan unsur yang penting dalam upaya kesehatan, obat
sebagai produk dari industri farmasi dengan sendirinya tidak lepas dari aspek
ekonomi dan teknologi.(Rancangan Konas,2005). Meskipun harga obat paten dapat
mencapai 10-40 kali harga obat generik (Widjajarta,2007) tetapi banyak dokter tidak
memilih obat generik, terutama antibiotik. Besarnya margin yang diambil oleh
rumah sakit menentukan harga jual obat, informasi dari unsur manajemen
menyatakan sebagai rumah sakit swasta yang berbasis charity PK Sint Carolus
berusaha untuk mengurangi margin agar harga obat lebih dapat terjangkau oleh
pasien.
Pada wawancara mendalam dengan pasien, faktor harga sangat menentukan
pasien untuk memilih tempat membeli obat, pasien tentu saja akan memilih tempat
membeli obat yang harganya lebih murah. 2 dari 7 informan dari unsur pasien
menyatakan harga obat di unit farmasi PK Sint Carolus mahal, padahal mahalnya
harga obat sangat mempengaruhi kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat sesuai
dengan yang diresepkan dokter, terutama pada pasien dengan penyakit kronis
(Sagall,2006).
Pada penelitian harga obat di unit farmasi PK Sint Carolus bukan semata-mata
“kemahalan”, tetapi dari jawaban informan dapat disimpulkan demikian :
a. Pada pasien langganan, selain bekerjasama dengan PK Sint Carolus,
perusahaan juga bekerjasama dengan apotik lain, sehingga kedekatan lokasi
apotik langganan dengan rumah/tempat bekerja juga merupakan alasan pasien
memilih menebus resep di apotik langganan meskipun harga obat kira-kira
sama.
b. Pada perusahaan yang sudah memiliki kerjasama dengan PK Sint Carolus,
cara bayar untuk tiap-tiap pelayanan tidaklah sama. Bisa terjadi, untuk rawat
inap biaya langsung ditagih ke perusahaan tetapi untuk rawat jalan, pasien
harus membayar kontan terlebih dahulu, nanti kuitansi biaya pengobatan di
klaim ke perusahaan. Hal ini memberatkan pasien yang harga obatnya mahal
karena pasien harus membawa uang kontan yang cukup banyak. Tetapi selain
bekerjasama dengan PK Sint Carolus, perusahaan juga bekerjasama dengan
apotik, dimana kalau karyawan perusahaan tersebut menebus obat di apotik
langganan cukup memperlihatkan kartu karyawan saja dan biaya langsung
ditagih dari apotik ke perusahaan tersebut.
c. Discount yang diberikan oleh apotik langganan sebagai member akan
membuat pasien lebih memilih apotik langganan karena selain lebih murah
juga lokasi yang lebih dekat dengan rumah/tempat bekerja
d. Status penyakit pasien yang cukup berat menyebabkan dokter memilih obat
yang memang harganya lebih mahal terutama antibiotik
Rencana manajemen PK Sint Carolus untuk melakukan benchmarking dengan
rumah sakit dan apotik di sekitar PK Sint Carolus merupakan tindakan tepat yang
secara nyata akan mendapatkan data yang akurat mengenai selisih harga obat.Saat ini
benchmarking ditujukan pada obat antibiotik karena selama ini keluhan yang sering
dilontarkan adalah harga obat antibiotik kemahalan, menurut peneliti cakupan obat
yang dibandingkan perlu diperluas lagi bukan hanya obat antibiotik saja tetapi juga
obat-obat yang lain, termasuk vitamin karena menurut informan 5.7 harga vitamin di
PK Sint Carolus lebih mahal dan perbedaannya cukup besar.
7.2.3.2. Ketersediaan Obat Di Unit Farmasi
Ketersediaan obat di farmasi merupakan payung untuk melindungi
masyarakat dari penggunaan obat yang tidak terjamin kualitas dan keamanannya.
sesuai dengan Kepmenkes No 1197, 2004, pelayanan farmasi harus dapat menjamin
efektivitas, keamanan dan efisiensi penggunaan obat. Peresepan dokter harus
mengacu pada formularium PK Sint Carolus untuk menjamin ketersediaan obat,
seperti dinyatakan dalam Sistem Kesehatan Nasional (2004) bahwa pengadaan dan
pelayanan obat di rumah sakit disesuaikan dengan standar formularium obat di rumah
sakit.
Sebagian besar pasien yang menjadi informan mengatakan bahwa semua obat
tersedia di unit farmasi rawat jalan PK Sint Carolus. Pada pengamatan peneliti
menemukan ada beberapa resep yang obatnya tidak tersedia di unit farmasi,
jumlahnya memang sedikit sekali dibandingkan jumlah resep yang obatnya lengkap.
Informan 5.6 pernah berobat ke dokter spesialis bedah dan dokter tersebut
mengatakan bahwa obat dalam resep tidak ada di unit farmasi PK Sint Carolus dan
harus dibeli di luar tetapi memang setelah dicari di 3 apotik tidak ada dan obat baru
tersedia di apotik yang keempat, hal ini mungkin terkait dengan penyakit informan
yang baru menjalani operasi hernia dan seminggu sebelumnya informan juga dirawat
di PK Sint Carolus dengan diagnosis stroke.
Selain itu ketersediaan obat di unit farmasi sangat tergantung pada pengiriman
obat dari unit logistik. Kekurangan atau kehabisan stok obat di unit farmasi sebelum
hari permintaan tidak dapat dihindarkan karena pemakaian obat yang berfluktuasi
setiap hari. Karena itu unit farmasi menerapkan mekanisme permintaan obat cito,
yaitu permintaan obat di luar hari permintaan yang sudah ditetapkan, yang dilakukan
melalui komputer di unit farmasi rawat jalan yang terkoneksi dengan komputer di
unit logistik farmasi.
Kendala lain kehabisan obat yang sulit diselesaikan menurut informan 2.3
adalah obat kosong di Pedagang Besar Farmasi (PBF) meskipun mungkin di rumah
sakit atau apotik lain obat masih tersedia. Seringkali pesanan ke PBF hanya dijawab
dengan “ obat sedang kosong”, sehingga petugas farmasi akan kesulitan untuk
menginformasikannya ke dokter karena menurut dokter di tempat lain obatnya masih
ada. Lebih baik jika PBF yang bersangkutan mengirim surat pemberitahuan kepada
kepala unit farmasi dan menginformasikan penyebab obat tidak ada, seperti yang
dilakukan oleh beberapa PBF yang peneliti lihat di ruang kepala unit farmasi rawat
jalan. Informan 1.2 menyatakan bahwa salah satu faktor yang menentukan obat
masuk dalam formularium setelah seleksi awal oleh panitia farmasi dan terapi adalah
jumlah discount yang diberikan oleh industri farmasi yang memproduksi obat
tersebut. Tetapi melihat kenyataan diatas, direksi merencanakan untuk membuat
kesepakatan yang lebih tegas dengan industri farmasi yang obatnya masuk dalam
formularium tahun 2010 mengenai kelancaran distribusi obat ke PK Sint Carolus.
Salah satu hal penting yang perlu diingat adalah bahwa obat yang dibeli di
unit farmasi rumah sakit bukan merupakan sesuatu yang diinginkan pasien. Pasien
terpaksa membeli obat karena penyakitnya. Karena itu ketersediaan obat di unit
farmasi harus benar-benar dilengkapi seperti dikatakan informan 1.3, sehingga pasien
tidak perlu mencari lagi di apotik lain seperti dikatakan informan 4.2, dan tidak
menambah kesusahan pasien yang sedang menderita sakit.
7.2.3.3. Waktu Tunggu
Pengobatan di unit rawat jalan rumah sakit merupakan rantai kegiatan
pelayanan yang dilakukan pasien sejak pasien tiba di rumah sakit dan mendaftar ke
bagian registrasi, berkonsultasi dengan dokter, melakukan pemeriksaan penunjang
bila diinstruksikan dokter sampai pasien menebus resep di unit farmasi. Penebusan
resep merupakan tahap akhir dari seluruh kegiatan pasien dalam melakukan
pengobatan di rumah sakit sehingga jika pasien merasa waktu yang dihabiskan untuk
melakukan kegiatan pengobatan sebelumnya sudah terlalu lama, maka pasien
cenderung untuk melakukan tahap akhir pengobatan yaitu pembelian obat di apotik
lain saja, terutama apotik yang dekat dengan rumah.
Berdasarkan hasil survei pelayanan farmasi yang dilakukan PK Sint Carolus
tahun 2009 tampak salah satu alasan pasien tidak menebus obat di unit farmasi adalah
waktu tunggu obat yang lama. Menurut Siregar dan Amelia (2003) standar waktu
tunggu pelayanan obat racikan tidak lebih dari 60 menit dan obat jadi tidak lebih dari
30 menit. Standar pelayanan minimal pelayanan farmasi di PK Sint Carolus lebih
pendek yaitu 30 menit untuk obat racikan dan 15 menit untuk obat non racikan. Pada
penelitian tampaknya standar minimal waktu pelayanan tidak selalu dapat ditepati,
terutama untuk obat racikan. Prosedur pembuatan obat racikan yang lebih panjang
dan jumlah dosis obat racikan yang banyak tampaknya merupakan faktor dominan
yang menyebabkan lamanya waktu tunggu obat racikan. Meskipun tersedia
beranekaragam obat jadi tetapi bagi beberapa dokter tertentu terutama dokter spesialis
saraf dan dokter spesialis kesehatan jiwa tampaknya perlu dibuat racikan satu macam
obat yang terdiri dari beberapa obat dalam dosis tertentu, yang menurutnya lebih
efektif dalam memberikan kesembuhan. Kombinasi obat dalam resep merupakan ciri
khas dan ketrampilan dokter masing-masing.
Waktu tunggu obat dapat memanjang karena kejadian yang terjadi dalam
pemberian obat di unit farmasi tidak selalu dapat diprediksi sebelumnya. Hal ini
disebabkan faktor penyebabnya bukan hanya dari unit farmasi saja tetapi juga terkait
dengan unit/personal/kejadian lain di luar unit farmasi. Waktu tunggu obat juga
terkait dengan waktu tunggu dokter yang lama, seperti dikatakan oleh informan 1.3.
Dalam jadwal praktek dokter yang ada di meja kepala unit rawat jalan, jam praktek
dokter tidak sama untuk setiap dokter, ada dokter yang mulai praktek pk 08.00, pk
09.00 dan pk 10.00. Bila dokter datang terlambat maka jam prakteknya akan
mundur, terutama pada dokter yang mempunyai jadwak praktek pk 8.00, sehingga
jadwal prakteknya hampir bersamaan dengan dokter yang jadwal prakteknya pk
09.00, demikian pula bila dokter yang mempunyai jadwal praktek pk 09.00 terlambat
datang maka jadwal prakteknya hampir bersamaan dengan dokter yang mempunyai
jadwal praktek pk 10.00. Akibatnya jumlah resep yang diterima unit farmasi sampai
pk 10.00 tidaklah terlalu banyak, resep obat baru akan menumpuk sekitar pk 11.00 –
13.00. Alasan keterlambatan dokter yang sering dilontarkan adalah dokter bedah
melakukann operasi di pagi hari atau dokter sedang visite pasien di ruang rawat inap,
tetapi peneliti mengamati bahwa banyak dokter yang terlambat datang bukan karena
kedua alasan tersebut. Tampaknya kepala unit rawat jalan dengan latar belakang
dokter umum dan duty manager yang berpendidikan S1 keperawatan akan mengalami
kesulitan untuk mengkomunikasikan hal ini secara langsung kepada dokter spesialis
yang bersangkutan, karena itu diperlukan intervensi manajemen untuk membuat
kebijakan yang mengatur kedisiplinan dokter untuk mematuhi jadwal praktek yang
sudah disepakati.
Pada pengamatan di ruang tunggu pasien tidak terpampang jadwal praktek
dokter dan brosur jadwalpun tidak tersedia. Setelah dikonfirmasi dengan wakil kepala
unit rawat jalan, ternyata dulu sebelum poliklinik spesialis direnovasi sudah ada
jadwal praktek dokter yang terpasang di ruang tunggu tetapi setelah renovasi posisi
ruang praktek masing-masing dokter berubah, di bangunan sayap utara khusus untuk
praktek dokter yang banyak melakukan tindakan kedokteran seperti dokter spesialis
bedah dan dokter spesialis kebidanan sedangkan ruang praktek dokter spesialis yang
lainnya ada di bangunan sayap selatan. Renovasi telah dilakukan hampir 3 tahun yang
lalu tapi sampai sekarang jadwal praktek dokter belum terpampang di poliklinik
spesialis bangunan sayap selatan. Brosur obat hanya tersedia di meja registrasi dan
diberikan bila pasien meminta. Brosur tidak diletakkan pada tempat yang mudah
dilihat dan diambil pasien dengan alasan karena sering diambil semaunya atau pernah
terjadi brosur dipermainkan oleh pasien gangguan jiwa yang berobat ke dokter
spesialis kesehatan jiwa. Kondisi ini menyulitkan pasien terutama pasien baru yang
belum mengetahui jadwal praktek dokter yang dituju dan juga bagi pasien yang
dikonsulkan ke dokter spesialis yang lain.
Banyaknya penyebab masalah waktu tunggu yang terkait dengan unsur lain
menurut informan 3.1 perlu dibuat alur pelayanan dan respond time di tiap pelayanan
sehingga dapat ditemukan tempat-tempat hambatannya secara akurat. Hal ini sesuai
dengan rencana manajemen yang dilontarkan oleh informan 1.2 bahwa rumah sakit
akan menerapkan Lean Service untuk memperbaiki pelayanan di unit rawat jalan.
Masalah yang ada di unit farmasi rawat jalan tidak dapat dianggap sebagai
tanggung jawab unit farmasi sendiri, yang harus diselesaikan oleh kepala unit farmasi
tanpa melibatkan pihak lain, tetapi masalah itu ternyata juga berkaitan dengan
unit/bagian/personal lain di unit rawat jalan dan rumah sakit secara keseluruhan.
Sehingga untuk menyelesaikannya perlu melibatkan pihak lain yang secara struktural
kedudukannya lebih tinggi, yang dapat melakukan intervensi di semua
unit/bagian/personal yang terkait, yaitu dalam hal ini adalah manajemen rumah sakit.
Keterlibatan manajemen rumah sakit ialah dalam bentuk membuat kebijakan
berdasarkan hasil evaluasi terhadap masalah dan melakukan kontrol terhadap
implementasi kebijakan tersebut di lapangan. Kebijakan dapat dimanifestasikan
dalam pernyataan, tindakan, peraturan, dan juga hukum sebagai hasil keputusan
tentang bagaimana cara melaksanakan sesuatu (Ayuningtyas,2008). Peraturan-
peraturan yang dibuat manajemen rumah sakit akan bersifat mengikat terhadap setiap
unit/bagian/personal yang berada dalam organisasi rumah sakit.
7.2.4. Pengaruh Karakteristik Pasien Yang Mempengaruhi Pasien Dalam
Memilih Tempat Membeli Obat
Pada penelitian ternyata faktor-faktor karakteristik pasien seperti pendidikan,
pekerjaan dan penanggung biaya tidak mempunyai pengaruh yang cukup kuat
terhadap keputusan pasien untuk membeli obat di unit farmasi PK Sint Carolus.
Status kesehatan pasien yang cukup berat tampaknya merupakan salah satu bahan
pertimbangan pasien untuk membeli obat di unit farmasi PK Sint Carolus.
Tetapi peneliti melihat ada fenomena lain yang menyebabkan informan dari
luar kota Jakarta datang berobat ke poliklinik spesialis PK Sint Carolus meskipun
tidak semua informan tersebut membeli obat di unit farmasi PK Sint Carolus.
Fenomena itu ternyata adalah relationship antara informan dengan dokter spesialis
yang mengobatinya. Jarak yang cukup jauh tampaknya tidak menghalangi informan
untuk datang berobat ke PK Sint Carolus, bukan karena di wilayah yang dekat tempat
tinggal mereka tidak ada rumah sakit atau dokter spesialis yang berpraktek tetapi
tampaknya sudah terjalin relationship yang baik dengan dokter spesialis yang
mengobatinya selama ini dimana kemudahan menghubungi dokter melalui nomor
handphone dokter kapanpun bila diperlukan seperti yang dinyatakan oleh informan
5.4 merupakan salah satu nilai tambah bagi pasien untuk.terus berobat dengan dokter
yang sama.
Demikian juga dalam memilih tempat membeli obat, tampaknya relationship
yang baik dengan apotik langganan merupakan salah satu faktor yang menentukan
informan untuk membeli obat disitu. Selama beberapa minggu peneliti mengamati
pelayanan di unit farmasi rawat jalan, peneliti belum melihat jalinan relasi yang
terbina antara pasien dengan petugas farmasi unit rawat jalan. Petugas farmasi
memang melayani dengan ramah dan sopan tetapi tidak ada kedekatan secara
emosional dengan pasien-pasien yang sudah sering berobat ke PK Sint Carolus dan
tidak ada senyum yang menunjukkan keinginan untuk memberikan pelayanan yang
memuaskan pasien.
Menurut peneliti penyebabnya adalah :
a. Posisi meja pelayanan farmasi yang tidak sejajar antara pasien dengan petugas
farmasi, kontak mata antara petugas dengan pasien tidak sejajar, untuk
berbicara dengan pasien petugas perlu mendongakkan kepalanya sehingga
tidak tercipta komunikasi yang baik antara petugas dengan pasien yang
menebus resep. Terutama pada saat jam sibuk dimana jumlah kunjungan
pasien meningkat, proses pelayanan berlangsung cepat karena banyaknya
pasien yang perlu dilayani sehingga komunikasi antara petugas dan pasien
sebatas hal-hal yang perlu saja.
b. Meja farmasi sepanjang 3,2 meter hanya cukup untuk 3 petugas melayani,
yaitu 2 petugas penerima resep dan 1 petugas penyerahan obat, karena ada 2
printer dibawah meja untuk 2 komputer penerima resep. Pada jam sibuk,
jumlah petugas penyerahan obat ditambah, dari 1 orang menjadi 2 orang,
maka petugas yang kedua hanya melayani dengan berdiri dalam posisi agak
jauh dengan pasien, terkesan hanya bertugas menyerahkan obat saja, tidak
lebih dari itu.
c. Farmasi PK Sint Carolus masih berkutat pada masalah operasional seperti
stok obat yang sering kosong sehingga sering dilakukan permintaan obat cito
ke logistik sehingga jumlah SDM di unit farmasi berkurang. Jumlah resep
yang meningkat pada jam sibuk menyebabkan perbandingan jumlah resep dan
jumlah SDM makin tidak seimbang sehingga karena mengejar kecepatan dan
ketepatan dalam pelayanan, sulit bagi petugas untuk dapat melakukan
komunikasi yang intens dengan pasien.
d. Petugas sudah lama bekerja di unit farmasi PK Sint Carolus sehingga
menganggap pelayanan kepada pasien merupakan rutinitas yang dijalani
setiap hari, tidak ada dorongan untuk memberikan kepuasan kepada pasien
sebagai customer rumah sakit.
Ternyata keputusan pasien dalam memilih tempat membeli obat bukan hanya
semata-mata ditentukan oleh variabel karakteristik obat saja yaitu harga, ketersediaan
dan waktu tunggu pelayanan obat tetapi kedekatan, kenyamanan dan kepercayaan
pasien terhadap penyedia layanan juga sangat menentukan.(Warren,2008)
Pelayanan rumah sakit khususnya pelayanan farmasi merupakan pelayanan
jasa, dimana jasa diproduksi dan dikonsumsi pada saat yang bersamaan, jasa tersebut
tidak dapat diganti atau diulangi lagi sehingga kepuasan atau ketidakpuasan terhadap
pelayanan akan mempengaruhi keputusan pasien selanjutanya, apakah pasien akan
terus memilih tempat menebus resep obat di unit farmasi PK Sint Carolus atau
menebus resep di luar unit farmasi PK Sint Carolus.
Saat ini masyarakat memiliki beraneka ragam pilihan pelayanan kesehatan
termasuk pelayanan farmasi, mereka mempunyai posisi tawar yang cukup kuat
sehingga dalam memilih pelayanan tidak hanya mempertimbangkan aspek produk
pelayanannya saja, tetapi juga aspek proses dan jalinan relasinya. Dengan banyaknya
rumah sakit dan apotik baru yang bermunculan di sekitar PK Sint Carolus yang
menawarkan benefit (keuntungan) yang lebih besar dengan biaya lebih ekonomis
merupakan ancaman sekaligus peluang bagi PK Sint Carolus untuk dapat
meningkatkan kualitas pelayanannya, PK Sint Carolus harus dapat memberikan nilai
tambah dalam memberikan pelayanan kepada pasien. Pelayanan yang hanya sesuai
dengan standar saja akan kalah bersaing dengan rumah sakit atau apotik lain karena
tolok ukur yang dipakai adalah standar pelayanan minimal. Farmasi PK Sint Carolus
perlu menciptakan budaya kerja yang berorientasi pada kepentingan pasien yang
nantinya akan mempengaruhi sistem pelayanan. Perubahan konsep pengelolaan
farmasi merupakan fenomena yang harus terjadi, demi meningkatkan kualitas
pelayanan. Kinerja professional akan menghasilkan kualitas yang tinggi, dimana
pasien merasa dipuaskan dan utilisasi rumah sakit meningkat, akibatnya pendapatan
rumah sakit akan meningkat dan rumah sakit memiliki citra yang positif di mata
masyarakat..
Obat yang dibeli diluar unit farmasi rumah sakit Sint Carolus, akan
mengurangi penerimaan unit farmasi dan pendapatan rumah sakit secara keseluruhan.
Padahal saat ini rumah sakit dituntut untuk terus mengikuti irama perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi kedokteran dengan menyediakan peralatan medis yang
harganya sangat mahal. Untuk membeli peralatan medis dibutuhkan dana yang
sangat besar karena itu PK Sint Carolus perlu mengkaji kinerja pelayanannya
terutama unit revenue center. Dibentuknya tim khusus untuk menganalisis kinerja
penunjang medik, termasuk farmasi, menunjukkan kesungguhan manajemen PK Sint
Carolus dalam menangani masalah resep yang ditebus di luar unit farmasi PK Sint
Carolus tetapi hasil penemuan yang didapat perlu didukung dengan wawancara
mendalam dengan pasien yang berobat di PK Sint Carolus agar dapat menggali
persepsi pasien terhadap pelayanan di unit farmasi dan rumah sakit pada umumnya.
BAB VIII
KESIMPULAN DAN SARAN
8.1. KESIMPULAN
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa :
1 Kebijakan tentang tugas dan wewenang panitia farmasi dan terapi belum
didukung dengan kontrol manajemen terhadap implementasinya di lapangan.
Sehingga peresepan obat belum sepenuhnya mengikuti peraturan-peraturan
yang disusun oleh manajemen PK Sint Carolus.
2 Karakteristik obat dan pelayanan obat di unit farmasi PK Sint Carolus belum
sepenuhnya mempengaruhi pasien untuk memilih membeli obat di unit
farmasi PK Sint Carolus karena dalam penelitian didapatkan bahwa
karakteristik obat tidak hanya menyangkut unit farmasi saja tetapi juga terkait
dengan unit/bagian lain di rumah sakit. Seperti harga yang ditentukan oleh
manajemen, ketersediaan dan waktu tunggu obat yang terkait dengan stok
obat dan kesesuaian resep dengan formularium. Karena itu pemecahan
masalahnya harus melibatkan direksi rumah sakit.
3 Pertimbangan dokter dalam memilih obat tidak mengacu pada formularium,
tetapi lebih banyak dipengaruhi oleh pengalaman dan pengetahuan dari jurnal
kedokteran. Faktor kesesuaian diagnosis dengan jenis obat dan harga obat
merupakan 2 pertimbangan utama dokter dalam memilih obat. Tetapi tidak
semua jenis obat yang dipilih dokter tersedia di unit farmasi PK Sint Carolus
sehingga ketidaklengkapan obat mempengaruhi pasien dalam memilih
rtempat membeli obat.
4 Belum terjalin komunikasi yang efektif antara pasien dengan petugas farmasi
PK Sint Carolus padahal pemilihan tempat membeli obat juga dipengaruhi
oleh relationship antara pasien dengan petugas farmasi.
8.2. SARAN
Disarankan kepada manajemen PK Sint Carolus untuk melihat permasalahan
di farmasi dalam perpektif yang lebih luas, sebagai satu kesatuan dari pelayanan yang
bertujuan untuk memberikan kepuasan kepada pasien/keluarga. Usulan pemecahan
masalah adalah sebagai berikut :
1. Optimalisasi peran manajemen PK Sint Carolus dalam mengontrol
implementasi kebijakan peresepan obat agar semua dokter meresepkan sesuai
dengan formularium dan mempengaruhi pasien dalam memilih tempat
membeli obat.
2. Manajemen PK Sint Carolus perlu membuat kebijakan untuk meningkatkan
kualitas pelayanan farmasi yang terintegrasi dengan unit/bagian lain di rumah
sakit sehingg antara lain :
a. Perlu segera diterapkan sistem stok obat online yang akan memangkas
waktu tunggu obat di penerimaan resep dan penyiapan obat
b. Peningkatan kinerja logistik farmasi dan kerjasamanya dengan unit
farmasi untuk menjamin ketersediaan obat
c. Mengubah tampilan luar unit farmasi rawat jalan sayap selatan agar
tampak lebih menarik dan mendukung kelancaran kerja petugas
3. Manajemen PK Sint Carolus perlu meningkatkan kualitas pelayanan rawat
jalan agar semua pasien yang berobat di PK Sint Carolus dapat menuntaskan
semua tahap pelayanan termasuk pemilihan tempat membeli obat di PK Sint
Carolus (one stop service)
4. Peningkatan kompetensi karyawan, antara lain :
a. Pengembangan SDM di jajaran manajemen dalam bentuk pelatihan
manajerial tingkat manajer dan tingkat kepala unit
b. Pengembangan SDM front liner (termasuk petugas farmasi, perawat,
dokter umum) dalam customer service. Dalam memberikan pelayanan
kepada customer, petugas perlu memiliki sikap empati yaitu
kepedulian dan memberikan perhatian pribadi kepada customer.
Customer yang datang ke poliklinik dan unit farmasi khususnya adalah
orang yang menderita sakit atau keluarga dari penderita, mereka
memerlukan pelayanan yang empatik dimana ada sentuhan manusiawi
dan cinta kasih sesuai dengan visi PK Sint Carolus.
4 Peningkatan fungsi panitia farmasi dan terapi dengan menetapkan pembagian
tugas diantara para anggotanya dalam seksi-seksi sesuai dengan kebutuhan di
PK Sint Carolus
5 Dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai strategi pemasaran unit farmasi
rawat jalan dengan melakukan analisis bauran pemasaran
DAFTAR PUSTAKA
1. Aditama, T.Y, Manajemen Administrasi Rumah sakit, Universitas Indonesia,
Jakarta, 2004
2. Admar,J, Perihal Resep dan Dosis Serta Latihan Menulis Resep, USU Press,
Medan, 2009
3. Alwi,M, Analisis Kepatuhan Dokter Menulis Resep Berdasarkan
Formularium Di Rumah Sakit Mohammad Hoesin Palembang Pada Tahun
2002, Tesis, FKM-UI, Jakarta, 2002
4. Ayuningtyas,D,Kotak Hitam Sistem Penetapan Kebijakan dan Faktor-Faktor
Yang Mempengaruhinya, Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan,Vol 11. No
02,Juni,2008
5. Azwar, A, Menjaga Mutu Pelayanan Kesehatan, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta, 1996
6. Azwar, A, Pengantar Administrasi Kesehatan, Edisi Ketiga, Binarupa Aksara,
Jakarta, 1996
7. Bahaudin,N,Kebijakan Penggunaan Obat Rasional (POR) di Indonesia,
Direktur Bina Penggunaan Obat Rasional, Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan, Depkes RI,www.pom.go.id, diunduh 28 Maret 2010
8. Buku Formularium Pelayanan Kesehatan Sint Carolus,Jakarta, 2006
9. Darmansjah,I,Rasionalisasi Penggunaan Obat, disampaikan pada seminar
sehari Peresepan Obat dan Masalahnya, PT Persero Asuransi Kesehatan
Indonesia,28 Nop 1996
10. Djojodibroto,R.D,Kiat Mengelola Rumah Sakit, Hipokrates,Jakarta,1997
11. farmakologinews.blogspot.com, September 2008, Diunduh 19 Februari 2010
12. Firmanda,D, Proses Penyusunan Formularium Obat Di Rumah Sakit
Fatmawati, Disampaikan Pada Seminar Standarisasi Pelayanan Obat Di
Pontianak, 18 Juni 2005, www.scribd.com, diunduh 15 Maret 2010
13. Fauzia, Bentuk Sediaan Obat Cair, Departemen Farmasi Kedokteran Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia,2009,
repository.ui.ac.id/dokumen/lihat/2516.pdf, diunduh 21 Maret 2010
14. Handayani, Raharni, Gitawati, Persepsi Konsumen Apotek Terhadap
Pelayanan Apotek Di Tiga Kota Di Indonesia, Makara, Kesehatan, Vol 13,
No.1, Juni 2009
15. id.answers.yahoo.com, diunduh 19 Juni 2010
16. Jati,SP, Evaluasi Manajemen Obat di Rumah Sakit, 19 Januari 2009, diakses
dari www.scribd.com, diunduh pada tanggal 9 April 2010
17. Jones,MI, SM Greenfield, CP Bradley, Prescribing New Drugs : Qualitative
Study of Influences on Consultants and General Practitioners, British Medical
Journal, Academic Research Library, Aug 18, 2001
18. Kementerian Kesehatan RI, Rancangan Kebijakan Obat Nasional, Jakarta,
2005
19. Kementerian Kesehatan RI, Standar Pelayanan Rumah Sakit, Dirjen
Yanmed, Depkes RI, Jakarta, 1992
20. Kementerian Kesehatan RI, Sistem Kesehatan Nasional, Jakarta, 2004
21. Keputusan Menteri Kesehatan RI No 1197/Menkes/SK/X/2004 Tentang
Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit, Departemen Kesehatan RI,2004
22. Kompas.com, Pemerintah Belum Mampu Kendalikan Harga Obat, 7 April
2010, diunduh 8 Juni 2010
23. Laing,RO,HV Hogerzeil,D Ross-Degnan,,Ten Recommendation To Improve
Use of Medicines in Developing Countries,Health Policy and
Planning,Oxford University Press,2001
24. Lancer,E.G,What Should Your Formulary Look Like,Healthcare Executive,
Jan/Feb 2002,ProQuest Health Management
25. Materi Kuliah Apoteker ISTN : Panitia Farmasi dan Terapi (PFT), apoteker-
istn.blogspot.com, diunduh 9 juni 2010
26. Moss,R.L,JD Bowman, W Smith,The Role of the Pharmacy and Therapeutics
Committee in Material Management,Hospital Material Management
Quarterly,Feb 1990,ProQuest Health Management
27. Panjaitan, R, Penggunaan Obat Rasional, Pertemuan Perncanaan Kesehatan
Nasional, Jakarta, Sept 2006
28. Putri,AML,Tiga Faktor Yang Mempengaruhi Pilihan Konsumen,
ayua0891.student.ipb.ac.id, 18 Juni 2010, diunduh 29 Juni 2010
29. Quintiliani,R,RA.Quercia, How To Create a Therapeutics Committee That is
Scientifically and Economically Sound, Formulary, Oct 2003,ProQuest Health
Management
30. Rijadi, S, Manajemen Unit Rawat Jalan di Rumah Sakit, Pusat Penelitian
Kesehatan Universitas Indonesia, Jakarta, 1997
31. Sagall,RJ, Can Your Patients Afford The Medications You Prescribe?, Family
Practise Management, April 2006, ProQuest Health Management
32. Santosa,YA,Tesis, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pasien Dalam
Pembelian Obat Di Apotik Instalasi Farmasi RSIJT Tahun 1999, FKM-
UI,2000
33. Setiabudy,R, Conflict of Interest Profesi Dokter di Rumah Sakit,MKEK-
IDI,Wil DKI Jakarta,Dipresentasikan Pada Muktamar IDI ke-
27,Palembang,19 Nopember,2009
34. Simamora,S,S Suryawati,,Diskusi Kelompok Kecil Untuk Menurunkan Biaya
Obat Peserta Wajib PT.ASKES di Palembang,Jurnal Manajemen Pelayanan
Kesehatan Vol 06,No 03,2003
35. Sirait,M,Tiga Dimensi Farmasi, Ilmu-Teknologi,Pelayanan kesehatan dan
Potensi Ekonomi, Institut Darma Mahardika, Jakarta ,2001
36. Siregar,C.J.P dan L Amalia, Farmasi Rumah Sakit Teori dan Penerapan,
EGC, Jakarta, 2003
37. Soejitno,S,dkk,Reformasi Perumahsakitan di Indonesia, Ditjen
Yanmed,Depkes-WHO,Hastarimasta CV,Jakarta,2000
38. Suciati, S dan W Adisasmito, Analisis Perencanaan Obat Berdasarkan ABC
Index Kritis di Instalasi Farmasi, Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan Vol
09, No 01,Maret 2006
39. Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI No 1197, Standar Pelayanan Farmasi
di Rumah Sakit, Depkes RI, Jakarta, 2004
40. Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI No 1027, Standar Pelayanan
Kefarmasian di Apotek, Depkes RI, Jakarta, 2004
41. Suryasaputra,D,Analisis Fungsi Penggerakkan Panitia Farmasi dan Terapi
Dalam Komite Medik Di Rumah Sakit Umum Kabupaten Daerah Tingkat II
Tasikmalaya, Tesis, FKM-UI, Jakarta, 1998
42. Trisnantoro, L, Memahami Ilmu Ekonomi Dalam Manajemen Rumah Sakit,
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2004
43. Ulfah,N.M,dkk, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Peresepan Obat Generik
di Instalasi Rawat Jalan RSUP Dr.Sardjito,Jurnal Manajemen Pelayanan
Kesehatan Vol.07/No 02/Juni/2004
44. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 Tentang
Pelayanan Publik
45. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan
46. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah
Sakit
47. WHO, How To Develop and Implement A National Drug Policy,Second
Ed,,Geneva, 2001
48. WHO, Managing Drug Supply, The Selection, Procurement, Distribution, and
Use of Pharmaceuticals, Second Edition,Kumarian Press,Inc, West
Hartford,USA,1997
49. WHO, Psychoactive Drugs : Improving Prescribing Practices, Edited by
Ghodse,H and I,Khan,Geneva,1988
50. Widjajarta,M, Obat Mahal,Peluang Maraknya Obat Palsu,Perspektif Baru,
Edisi 573,Maret,2007,www.perspektifbaru.com
51. Winardi,Kepemimpinan Dalam Manajemen,,Rineka Cipta,Jakarta,2000
52. Wonodirekso,S,Etika Profesi Dalam Praktek Dokter: Penyelamat Dalam
Persaingan Pasar Bebas,Majalah Kedokteran Indonesia,Vol 55 No 5,
Mei,2005
53. www.idx.co.id diunduh 17 Juni 2010
PK Sint Carolus dipimpin oleh seorang Direktur Utama ( CEO ) yang bertanggung
jawab kepada Yayasan Sint Carolus.
PENGURUS PSC
DIREKTUR UTAMA
DirekturKeperawatan
DirekturAdm & Keuangan
DirekturKESMAS
DirekturSDM & Umum
DirekturMedik
KomiteKeperawatan
KomiteMedik
- Staf Dir. Bid. Pely & Asuhanpasien
- Staf Dir. Bid.TenagaKeperawatan
Staf Dir. Bid. Keu Staf Dir.Bid.Program
-BPUPK- BPM+KP- Humas + Hukum- SIRS- Pengendalian Internal- Sekretariat
Staf Dir. Bid.SDM
Staf Dir. Bid.Yanmed & Jangdik
- U. Theresia- U. Carolus- U. Lidwina- U. Yohanes- U. Elizabeth- U. Lukas- U. Fransiskus- U. Xaverius- U. Immanuel- U. Yosef
- U. Ignatius 1&2- U. Maria- U. Pius- U. Antonius- U. Yacinta- U.Goretty- UPI- U. Haemodialisa- PasSosmed
- Keuangan- Akuntansi- Pembelian- PA+RP- Logistik- PTB
- Balkesmas Paseban- Balkesmas Cijantung- Balkesmas Tg. Priok- Balkesmas Cengkareng- Balkesmas Klender- BP. Tigaraksa- PKRS (+ Klub Kes)- PKR
- Sekuriti,- Transportasi- Pel. Gizi- Pemeliharaan Textil- SanAmdal + KesLing- Pemel Alat Medik & Elektronika
- SDM
- URJ- UGD- Laboratorium- Radiologi-USG- Farmasi- Ujikes- Kamar Bedah- Endoskopi- Rehabilitasi Medik- Rekam Medik- Sentral Sterilisasi- Klinik JPK
BadanPertimbanganMedik& KomiteEtikRS
STRUKTUR ORGANISASI PK ST. CAROLUS
PEDOMAN WAWANCARA MANAJEMEN PK SINT CAROLUS
IDENTITAS INFORMAN
1
2
3
4
5
6
7
Nomor Informan :
Nama :
Usia : Jenis kelamin :
L/P
Pendidikan terakhir :
Jabatan :
Lama masa kerja :
Lama masa jabatan sekarang :
B Waktu wawancara
1
2
Hari/Tanggal :
Jam mulai – jam selesai
C Perkenalan
Pewawancara memperkenalkan diri dan menjelaskan tujuan wawancara
mendalam dalam penelitian ini
Selamat Pagi/ Siang/ Sore
Saya Lianingsih,saat ini saya sedang menyusun tugas akhir dalam rangka
penyelesain studi pada Program Pasca Sarjana Fakultas Kesehatan masyarakat
Universitas Indonesia- Peminatan Kajian Administrasi Rumah Sakit.
Saya mohon kesediaan Bapak/ Ibu untuk membantu memberikan informasi
sehubungan dengan penyusunan tugas akhir ini. Untuk kenyamanan Bapak/ Ibu,
semua data yang terkumpul hanya digunakan untuk keperluan pendidikan saja.
Demikian, terimakasih atas bantuannya.
Pertanyaan untuk informan yang berasal dari manajemen PK Sint Carolus
A. Evaluasi
1 Apakah semua jajaran manajemen sudah mengetahui jumlah dan persentase
resep obat di unit farmasi rawat jalan yang tidak ditebus di farmasi PK Sint
Carolus setiap tahun?
2 Apakah manajemen sudah menghitung berapa potensi kehilangan pendapatan
rumah sakit terkait dengan resep obat di unit farmasi rawat jalan yang ditebus
diluar
3 Apakah pendapatan yang hilang itu cukup signifikan?
4 Apakah manajemen sudah melakukan evaluasi/mencari penyebab pasien tidak
menebus resep di unit farmasi PK Sint Carolus? ( probing : penyebab dari
farmasi, dokter penulis resep, pasien, kebijakan manajerial)
5 Apakah manajemen sudah memikirkan solusi untuk mengatasi masalah
tersebut? (probing:melibatkan berbagai unsur dalam RS, melibatkan dokter
spesialis penulis resep,
6 Apakah manajemen sudah merencanakan/ melakukan tindakan tertentu untuk
mengatasi masalah tersebut? (probing: melakukan evaluasi kinerja farmasi,
evaluasi kinerja poliklinik spesialis,melibatkan dokter spesialis, alur
pasien ,membahas dengan melibatkan berbagai unsur RS, membentuk tim
kerja yang melibatkan berbagai unsur RS, mempresentasikan hasil
pencapaian farmasi, design ruang poliklinik)
7 Apakah manajemen pernah mendiskusikan masalah ini dengan komite medik
dan komite farmasi dan terapi ? (probing: terkait pengobatan rasional,
kepatuhan pada formularium, ketersediaan obat, alur pengadaan &
distribusi obat, kebijakan pemesanan obat ke perusahaan farmasi)
8 Apakah manajemen sudah mensharingkan masalah ini kepada para dokter
spesialis yang berpraktek di poliklinik spesialis?(probing: penulisan resep
sesuai foemualrium, ketersediaan obat, usulan obat dari dokter, up date
formularium)
9 Apakah manajemen sudah melakukan evaluasi terhadap kinerja unit farmasi
rawat jalan? (probing: cara evaluasi: sesuai teori serqual, melibatkan
berbagai unsur di RS, umpan balik, apakah ada perubahan signifikan yang
perlu dilakukan
B. Harga obat
1 Menurut bapak/ibu bagaimana harga jual obat di unit farmasi PKSC?
(probing: persentase keuntungan rata-rata obat, persentase keuntungan lebih
tinggi,bandingkan persentase keuntungan obat generic,obat original, me too,
membeli banyak harga lebih murah sehingga harga jual lebih murah, harga
jual mempengaruhi keputusan pasien membeli obat di unit farmasi PKSC)
2 Apakah manajemen pernah membandingkan harga jual obat di PK Sint
Carolus dengan RS/apotik lain yang letaknya berdekatan?
C Kebijakan
1 Tolong jelaskan instrumen kebijakan apa saja (pedoman, peraturan, petunjuk
teknis, dll) yang tersedia untuk melaksanakan kebijakan penggunaan obat di
poliklinik spesialis PKSC
2 Menurut Bapak/ Ibu/ Saudara apakah instrument tersebut aplikatif untuk
dilaksanakan? Jelaskan. (Probing: kendala)
3 Kebijakan yang dilakukan oleh manajemen terkait farmasi sebagai revenue
center?
4 Bagaimana koordinasi antar unit yang terkait dengan peresepan obat yang
sesuai formularium di PK Sint Carolus ? ( farmasi, unit rawat jalan)
5 Apakah kebijakan peresepan obat sesuai dengan formularium berpihak pada
pasien? (Probing : efektivitas & keamanan obat)
6 Kebijakan apa yang selama ini dilakukan agar pasien menebus resep obat di
unit farmasi PKSC? (Probing : strategi,pelayanan farmasi,dokter )
7 Kebijakan apa yang telah dilakukan oleh manajemen untuk menghindari
konflik kepentingan peresepan obat yang rasional dengan promosi industri
farmasi ? (Probing : apakah dilaksanakan di lapangan,kendala)
D Implementasi
1 Menurut Bapak/Ibu apakah keberadaan formularium PKSC memberikan
dampak positif dalam peresepan obat? (Probing : pengobatan yang
rasional,jumlah penerimaan resep)
2 Menurut Bapak/Ibu apakah dengan adanya formularium memudahkan dalam
pengelolaan obat di farmasi PKSC? (Probing : pengadaan,
penyimpanan,distribusi logistic farmasi)
3 Menurut Bapak/Ibu apakah formularium PKSC perlu disosialisasikan terus-
menerus ?(Probing : strategi yang digunakan)
PEDOMAN WAWANCARA PANITIA FARMASI & TERAPI
A IDENTITAS INFORMAN
1
2
3
4
5
6
7
Nomor Informan :
Nama :
Usia : Jenis kelamin : L/P
Pendidikan terakhir : :
Jabatan :
Lama masa kerja :
Lama masa jabatan sekarang :
B Waktu wawancara
1 Hari/Tanggal :
2 Jam mulai – jam selesai
C Perkenalan
Pewawancara memperkenalkan diri dan menjelaskan tujuan wawancara
mendalam dalam penelitian ini
Selamat Pagi/ Siang/ Sore
Saya Lianingsih,saat ini saya sedang menyusun tugas akhir dalam rangka
penyelesain studi pada Program Pasca Sarjana Fakultas Kesehatan
masyarakat Universitas Indonesia- Peminatan Kajian Administrasi Rumah
Sakit.
Saya mohon kesediaan Bapak/ Ibu untuk membantu memberikan informasi
sehubungan dengan penyusunan tugas akhir ini. Untuk kenyamanan Bapak/
Ibu, semua data yang terkumpul hanya digunakan untuk keperluan
pendidikan saja. Demikian, terimakasih atas bantuannya.
Pertanyaan untuk informan yang berasal dari komite farmasi dan terapi PK
Sint Carolus
A. Organisasi
1 Apakah ada struktur organisasi komite farmasi dan terapi ?
2 Bagaimana proses pemilihan pengurus komite farmasi dan terapi ?
3 Bagaimana komposisi pengurus komite farmasi dan terapi ?
4 Apakah ada SK pengangkatan dari direktur rumah sakit ?
5 Apakah ada uraian tugas dan petunjuk pelaksanaan ?
6 Berapa lama masa kerja untuk satu periode ?
7 Apakah komite farmasi dan terapi memiliki staf khusus ? (Probing : setiap
hari khusus melakukan segala sesuatu yang berhubungan dengan komite
farmasi dan terapi)
B. Kebijakan
1 Tolong jelaskan instrumen kebijakan apa saja (pedoman, peraturan, petunjuk
teknis, dll) yang tersedia untuk melaksanakan kebijakan penggunaan obat di
poliklinik spesialis PKSC
2 Apakah menurut Bapak/ Ibu/ Saudara kebijakan peresepan obat sesuai
formularium ini sudah dijalankan secara konsisten? Jelaskan. (Probing:
kendala)
3 Menurut Bapak/ Ibu/ Saudara bagaimana sebaiknya system pengembangan
formularium rumah sakit sehingga dapat memberikan pengobatan yang
efisien, efektif dan biaya yang terjangkau? Jelaskan
4 Bagaimana proses seleksi obat yang masuk dalam formularium RS? ( probing
: apakah sesuai dengan aturan yang berlaku, kendala )
5 Apakah dilakukan evaluasi terhadap formularium? ( probing : berapa
lama,rutin, tata cara, kendala, tindak lanjut )
6 Apakah pernah dilakukan audit resep dokter spesialis di poliklinik spesialis ?
(Probing : kendala)
C. Kegiatan
1 Apakah komite farmasi dan terapi memiliki rencana kegiatan yang lengkap
dan dalam bentuk tertulis?
2 Sejauh mana rencana kegiatan tersebut telah dilaksanakan ? ( Probing :
kendala )
3 Upaya apa yang telah dilakukan oleh komite farmasi dan terapi untuk
mendorong penggunaan obat yang rasional? ( Probing : kendala)
4 Upaya apa yang telah dilakukan oleh komite farmasi dan terapi untuk
mendorong para dokter spesialis di poliklinik spesialis agar meresepkan obat
sesuai formularium PKSC? ( Probing : kendala)
5 Apakah komite farmasi dan terapi pernah melakukan sosialisasi penggunaan
formularium PKSC kepada dokter spesialis yang berpraktek di poliklinik
spesialis ? . (Probing: dimana, kapan, sudah berapa kali dilakukan, apakah
rutin dilakukan, adakah pengaruhnya terhadap pola peresepan obat dokter
spesialis, kendala, target sosialisasi)
6 Apakah komite farmasi dan terapi memberikan informasi obat/ menerbitkan
bulletin obat yang dibagikan pada dokter spesialis di poliklinik spesialis
PKSC (Probing : sudah berapa kali dilakukan, apakah rutin dilakukan,
adakah pengaruhnya terhadap pola peresepan obat dokter spesialis, kendala)
7 Apakah komite farmasi dan terapi pernah mengundang pakar-pakar dari
dalam maupun luar rumah sakit untuk memberikan masukan bagi pengelolaan
komite farmasi dan terapi PKSC ? (Probing : berapa kali,bidang kepakaran,
tanggapan dari dokter spesialis, bagaimana pengaruhnya terhadap pola
peresepan dokter spesialis)
D. Sarana/prasarana
1 Apakah komite farmasi dan terapi memiliki ruang kerja/ ruang rapat
tersendiri ?
2 Apakah komite farmasi dan terapi memiliki sarana prasarana untuk
mendukung tugasnya? misalnya computer,mesin fax
3 Apakah komite farmasi dan terapi memiliki anggaran biaya untuk mendukung
kelancaran kerjanya ? misalnya dana konsumsi rapat
E. Formularium
1 Menurut Bapak/ Ibu/ saudara, permasalahan apa saja terkait penulisan resep
dokter spesialis sesuai dengan formularium ? Jelaskan
2 Apa tindakan yang sudah dilakukan oleh komite farmasi dan terapi untuk
mengatasi permasalahan diatas? Jelaskan.
3 Apakah semua dokter yang berpraktek di poliklinik spesialis sudah
mengetahui adanya formularium yang berlaku di PKSC ? dan tujuan
penggunaan formularium ?
4 Bagaimana komite farmasi dan terapi meningkatkan pengetahuan dokter
mengenai pemilihan obat yang efektif dan efisien ? Jelaskan. (Probing: jenis
pelatihan/ seminar, penyelenggara, frekuensi pelatihan/ seminar, kendala)
5 Apakah pernah terjadi usulan penambahan obat baru diluar waktu yang
ditetapkan untuk seleksi obat? ( Probing : berapa kali, alasan, jenis obat,
dokter pengusul )
6 Apakah penambahan obat baru dalam formularium, dilakukan sesuai dengan
tata tertib yang berlaku?
F. Implementasi
1 Apakah di semua ruang praktek dokter sudah tersedia buku formularium ?
(Probing : bentuk & ukuran buku formularium, kemudahan dibaca)
2 Apakah selama ini penulisan resep oleh dokter spesialis di poliklinik spesialis
PK Sint Carolus sudah sesuai dengan buku formularium? (Probing :
kendala)
3 Apakah pernah ada resep obat dokter spesialis yang tidak sesuai dengan
formularium kemudian disubstitusi dengan obat lain yang ada dalam
formularium? (Probing : tata caranya, siapa yang berhubungan dengan
dokter, apakah memperlambat proses pelayanan )
4 Apakah obat yang namanya tercantum dalam formularium selalu tersedia di
unit farmasi ? (Probing : kendala, logistic farmasi,alur permintaan obat dari
farmasi ke gudang, alur distribusi obat,sdm di gudang farmasi)
5 Tindakan apa yang dilakukan bila obat yang diresepkan tidak tersedia di unit
farmasi ? (probing:RS membeli obat dari luar, pasien membeli di luar, dokter
diminta mengganti obat sesuai formularium, koordinasi farmasi dengan
dokter)
6 Apakah farmasi sudah menerapkan standar minimal pelayanan?
7 Apakah pelayanan farmasi berorientasi pada obat ( drug oriented) atau pada
pasien (patient oriented)
8 Bagaimana kolaborasi unsur-unsur yang ada di poliklinik spesialis untuk
meningkatkan penerimaan resep
9 Cara menjamin mutu dan keamanan obat yang diberikan pada pasien
10 Proses dispensing dan konseling pada pasien
PEDOMAN WAWANCARA DOKTER SPESIALIS
A IDENTITAS INFORMAN
1
2
3
4
5
6
7
Nomor Informan :
Nama :
Usia : Jenis kelamin :
L/P
Pendidikan terakhir :
Status kepegawaian : purna waktu/ paruh waktu
Lama masa kerja sebagai dokter spesialis :
Lama masa kerja sebagai dokter spesialis di PKSC :
B Waktu wawancara
1
2
Hari/Tanggal :
Jam mulai – jam selesai :
C Perkenalan
Pewawancara memperkenalkan diri dan menjelaskan tujuan wawancara
mendalam dalam penelitian ini
Selamat Pagi/ Siang/ Sore
Saya Lianingsih,saat ini saya sedang menyusun tugas akhir dalam rangka
penyelesain studi pada Program Pasca Sarjana Fakultas Kesehatan
masyarakat Universitas Indonesia- Peminatan Kajian Administrasi Rumah
Sakit.
Saya mohon kesediaan Bapak/ Ibu untuk membantu memberikan informasi
sehubungan dengan penyusunan tugas akhir ini. Untuk kenyamanan Bapak/
Ibu, semua data yang terkumpul hanya digunakan untuk keperluan
pendidikan saja. Demikian, terimakasih atas bantuannya.
Pertanyaan untuk informan dokter spesialis yang berpraktek di poliklinik
spesialis PK Sint Carolus
A. Pengetahuan tentang formularium
1 Apakah dokter mengetahui formularium yang ada di PKSC?
2 Apakah dokter pernah melihat/membaca/menggunakan formularium PKSC
(probing : persepsi, kendala penggunaan)
3 Menurut pendapat dokter apakah manfaat dari formularium? (probing :
pengobatan rasional, biaya efisien,obat tersedia, efek samping ,efektivitas
hasil pengobatan sudah diketahui)
4 Menurut pendapat dokter apakah penulisan resep berdasarkan formularium
PKSC dapat membantu pasien untuk meringankan biaya pengobatan?
(probing: pilihan obat dengan harga murah-mahal, bandingkan dengan
diagnosis)
5 Menurut pendapat dokter apakah keberadaan formularium di RS dapat
membantu dokter dalam memilih obat dalam resep? (probing :ketersediaan
obat di farmasi,formularium menjadi tempat referensi obat, seleksi obat,
kendala, usulan)
6 Apakah dokter pernah membutuhan suatu obat tapi tidak ada dalam
formularium? (probing : alasan,frekuensi, tindakan yang dilakukan, usulan
pada komite farmasi dan terapi)
7 Menurut pendapat dokter bagaimana mutu obat-obatan yang tercantum dalam
formularium PKSC? (probing: efektivitas, keamanan, keterjangkauan)
8 Menurut pendapat dokter apakah bentuk, ukuran , isi dan cara penyusunan
formularium sudah cukup baik? (probing : persepsi dokter,mudah
diingat,jumlah, kendala, usulan)
B. Kebijakan
1 Apakah dokter mengetahui adanya kebijakan penulisan resep sesuai dengan
formularium di PKSC ? (probing : sosialisasi,informasi tertulis, mengikuti
pertemuan komite farmasi & terapi ,terlibat dalam seleksi obat)
2 Menurut pendapat dokter apakah tujuan dari kebijakan diatas? (probing :
pengobatan yang rasional, efektivitas pengobatan, efisiensi biaya obat,
penggunaan obat generik, penulisan resep obat dengan nama generik)
3 Apakah rumah sakit menyediakan panduan klinis pengobatan? (probing :
pedoman diagnosis dan terapi,rutin di up date,frekuensi, sesuai dengan
standar organisasi profesi, lebih memilih model mana)
C. Pertemuan ilmiah
1 Apakah dokter cukup sering mengikuti pertemuan ilmiah? (probing:
frekuensi, rutin, topik yang diikuti, sesuai bidang keilmuan/termasuk bidang
lain yang masih terkait)
2 Apakah pertemuan ilmiah yang dokter ikuti selama ini menjadi sumber
informasi perkembangan obat (probing: launching obat baru,
3 Apakah pertemuan ilmiah yang dokter ikuti mempengaruhi pemilihan obat
dalam resep? (probing: mencoba obat baru, lebih memilih obat lama yang
sudah diketahui efektivitasnya, pola penulisan resepsudah baku)
D. Promosi industri farmasi
1 Apakah keragaman obat yang beredar di pasaran membingungkan dokter
dalam memilih obat? (probing: mengikuti perkembangan obat baru atau
tidak, melalui media, rutin, implementasi dalam peresepan, solusi)
2 Menurut pengalaman dokter selama ini,sumber informasi obat lebih
cepat/mudah didapat dari mana (probing: farmasi RS, bulletin
ilmiah,pertemuan ilmiah, organisasi profesi, detailer, internet, dll)
3 Bagaimana pengaruh promosi obat oleh industri farmasi dalam penulisan
resep dokter? (probing: reward dari industri farmasi, tekanan untuk menulis
resep dengan nama obat tertentu, konflik kepentingan, pertentangan antara
kepatuhan pada formularium dan promosi obat))
E. Penulisan resep
1 Apakah pertimbangan utama dalam pengobatan pasien? (probing:kesembuhan
pasien, pengobatan rasional, kesesuaian dengan pedoman diagnosis dan
terapi,biaya, kemudahan pasien dalam mengkonsumsi obat, penggunaan obat
baru,selera pasien, berikan satu contoh penyakit misal : typhoid)
2 Apakah yang menjadi pertimbangan utama dokter dalam pemilihan obat?
(probing: jenis obat,obat lama yang sudah dikenal efektivitasnya, obat baru
yang dipromosikan detailer, cara pemberian , lama pemberian,efisiensi biaya,
kepatuhan pasien mengkonsumsi obat, takaran dosis: obat baru dosisnya
lebih kecil misal amlodipine 5 mg)
PEDOMAN WAWANCARA PASIEN POLIKLINIK SPESIALIS
A IDENTITAS INFORMAN
1
2
3
4
5
6
7
Nomor Informan :
Nama :
Usia : Jenis kelamin :
L/P
Pendidikan :
Pekerjaan :
Penyakit yang diderita :
Berobat pada dokter spesialis :
B Waktu wawancara
1
2
Hari/Tanggal :
Jam mulai – jam selesai :
C Perkenalan
Pewawancara memperkenalkan diri dan menjelaskan tujuan wawancara
mendalam dalam penelitian ini
Selamat Pagi/ Siang/ Sore
Saya Lianingsih,saat ini saya sedang menyusun tugas akhir dalam rangka
penyelesain studi pada Program Pasca Sarjana Fakultas Kesehatan
masyarakat Universitas Indonesia- Peminatan Kajian Administrasi Rumah
Sakit.
Saya mohon kesediaan Bapak/ Ibu untuk membantu memberikan informasi
sehubungan dengan penyusunan tugas akhir ini. Untuk kenyamanan Bapak/
Ibu, semua data yang terkumpul hanya digunakan untuk keperluan
pendidikan saja. Demikian, terimakasih atas bantuannya.
A. Persepsi pasien
1 Apakah bapak/ibu/sdr membeli obat di unit farmasi PK Sint Carolus?
(probing :ya, tidak, alasan )
2 Bila tidak, dimanakah biasanya bapak/ibu/sdr membeli obat? (probing :
apotik langganan, toko obat bebas, , apakah obat diganti dengan obat
sejenis dengan harga lebih murah, service tambahan yang diberikan : via
telepon, layanan antar jemput resep, bonus membeli obat )
3 Menurut pendapat bapak/ibu/sdr bagaimana kualitas obat yang tersedia
di unit farmasi PK Sint Carolus? (probing : efektivitas pengobatan,
keamanan, tanggal kadaluarsa, perubahan bentuk,warna, pernah
mengalami kejadian obat tidak sesuai standar )
4 Menurut pendapat bapak/ibu/sdr bagaimana harga obat di unit farmasi
PKSC? (probing : mahal, sedang, murah, Tidak tahu, alasan)
5 Menurut pendapat bapak/ibu/sdr bagaimana kualitas pelayanan unit
farmasi PKSC? (sikap petugas : ramah, judes,cekatan, bersedia
memberikan informasi, profesionalisme dalam melayani)
6 Apakah bapak/ibu/sdr mendapat informasi yang jelas mengenai obat
yang diberikan? (cara dan waktu mengkonsumsi obat,interval pemberian,
dosis, obat diminum sampai habis atau sesuai gejala, efek samping,
kepatuhan pasien)
7 Menurut pendapat bapak/ibu/sdr bagaimana prosedur pembelian obat
di unit farmasi (probing : praktis, berbelit-belit, lama)
8 Bagaimana tanggapan bapak/ibu/sdr mengenai waktu menunggu obat?
(probing : tergantung jam sibuk, tergantung jenis obat : racikan, obat
jadi, tergantung dokter : datang tepat waktu, terlambat)
9 Menurut pendapat bapak/ibu/sdr bagaimana kondisi ruang tunggu?
(probing : kenyaman ruang tunggu,ruang tunggu sempit/lega,crowded,
bercampur dengan pasien yang sakit , kebersihan ruangan,kebisingan,
ada TV ,bahan bacaan sehingga tidak bosan, toilet bersih, fasilitas untuk
pasien dengan kesulitan berjalan,orang tua, tersedia kantin yang bersih)
10 Bagaimana tanggapan bapak/ibu/sdr mengenai ketersediaan obat di unit
farmasi PKSC? (lengkap, tidak lengkap : sering, frekuensi, pernah satu
kali, apa yang dilakukan farmasi bila obat tidak ada,apakah obat akan
diusahakan untuk dicari/dibeli, apa yang dilakukan pasien bila obat tidak
ada)
B. Kasus penyakit
1 Apakah diagnosa penyakit bapak/ibu/sdr menurut dokter? ( penyakit
infeksi, penyakit degeneratif, penyakit kronis, hanya satu kali berobat,
harus control teratur, perlu operasi atau dilakukan tindakan tertentu)
2 Apakah karena penyakit yang diderita, bapak/ibu/sdr sering berobat ke
PKSC? ( probing : kontrol rutin,frekuensi, hanya bila ada keluhan, hanya
untuk menebus resep ulang saja,)
3 Apakah selama ini harga obat-obatan yang diresepkan masih cukup
terjangkau? (probing : kesesuaian obat dengan harga yang harus
dibayar, sulit dijangkau oleh masyarakat dengan golongan ekonomi
tertentu, apakah dokter spesialis lebih memilih obat mahal, penyakit
kronis: digunakan obat generik)
4 Bagaimana pilihan obat dalam resep menurut bapak/ibu/sdr? (probing :
rasional, obat generic, pilihan obat mahal, obat cepat menyembuhkan,
apakah obat bisa diganti dengan yang lebih murah, jumlah item obat
terlalu banyak )
C. Penanggung biaya
1 Siapakah yang menanggung biaya pengobatan bapak/ibu/sdr? (probing :
out of pocket, asuransi, perusahaan tempat bekerja)
2 Bila bukan out of pocket, berapa besar biaya yang ditanggung? (probing :
biaya diganti penuh, sebagian, persentase penggantian, ada limit biaya
pengobatan, tergantung jenis obatnya, jenis tindakan dokter)