tugas isbd
Embed Size (px)
TRANSCRIPT
BAB IPENDAHULUANA. LATAR BELAKANG MASALAHKebudayaan lokal Indonesia adalah kebudayaan yang hanya dimiliki oleh bangsa indonesia dan setiap kebudayaan mempunyai ciri khas masingmasing. Bangsa indonesia juga sangat mempunyai kebudayaan local yang sangat kaya dan beraneka ragam oleh sebab itu sebagai penerus kita wajib menjaganya karena ketahanan kebudayaan lokal berada pada generasi mudanya dan jangan sampai kita terbuai apalagi terjerumus pada budaya asing karena tidak semua budaya asing sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia bahkan tidak sedikit kebudayaan asing membawa dampak negatif. Sebagai negara kepulauan pasti sulit untuk mempertahankan persatuan dan kesatuan antara masyarakat. Namun hal itu pasti bisa terwujud jika kita perduli untuk menjaga, mempelajari, serta melestarikan sehingga kebudayaan lokal yang sangat kaya di Indonesia ini tetap utuh dan tidak punah apalagi sampai dibajak atau dicuri oleh negara lain karena kebudayaan tersebut merupakan identitas suatu bangsa dan negara.
Sejarah Tari Ranup LampuanTari Ranup Lampuan pertama kali diciptakan pada tahun 1959 oleh salah satu seniman terkenal dari Aceh yang bernama Yusrizal. Nama Tari Ranup Lampuan ini diambil dari kata Ranup dan Lampuan. Kata Ranup sendiri dalam bahasa Aceh berarti Sirih, sedangkan Puan adalah tempat/wadah sirih khas Aceh. Konon, tarian ini diangkat dari kebiasaan adat masyarakat Aceh dalam menyambut tamu terhormat dengan menyuguhkan sirih sebagai tanda terima mereka.Menurut beberapa sumber sejarah yang ada, Tari Ranup Lampuan telah mengalami perjalanan beberapa perubahan hingga menjadi seperti bentuk yang sekarang ini. Tarian ini awalnya dibawakan oleh beberapa penari wanita dengan diiringi musik orkestra atau band. Pada tahun 1959 Tari Ranup Lampuan dimodifikasi dengan menambahkan 3 orang penari pria, yang terdiri dari 2 orang pengawal menggunakan pedang dan satu orang pemegang vandel.Namun sekitar tahun 1966 tarian ini kemudian didiubah lagi ke bentuknya yang semula. Hal ini dilakukan sesuai dengan saran dari para tetua adat, yaitu dengan menampilkan para penari wanita saja. Selain itu perubahan durasi juga dilakukan karena dirasa terlalu panjang, sehingga tarian ini mulai mengalami pemadatan.Pengembangan Tari Ranup Lampuan ini tidak berhenti begitu saja, pada tahun 1972 tarian ini mengalami perubahan lagi, yaitu pada musik pengiringnya. Iringan musik yang awalnya merupakan musik orkestra atau band kemudian diganti dengan alat musik tradisional seperti serune kale, gendrang, dan rampai agar kesan tradisionalnya lebih terasa. Setelah berbagai perubahan tersebut, kemudian menjadi bentuknya yang sekarang.
Mengapa tarian ranup lampuan ada ?Ranup lampuan dalam bahasa aceh, berarti sirih dalam puan, oleh yuslizar istilah ranup lampuan di ambil sebagai judul dari beberapa karya-karya tari yang diciptakannya dengan mengangkat latar belakang adat istiadat masyarakat aceh, khususnya adat pada penyambutan tamu. Bedasarkan hal yang demikian, maka tari ini digolongkan ke dalam tari adat atau upacara. Sebagai koreografi tari ini menceritakan bagaimana dara aceh menghidangkan sirih kepada tamu yang datang: mulai proses dari memetik daun sirih, membungkus, kemudian meletakkannya ke dalam puan, hingga sampai menyungguhkan sirih kepada orang-orang tertentu dari kelompok tamu yang datang.Peristiwa Pekan Kebudayaan Aceh 1 dapat dipastikan membawa dampak positif bagi pengembangan tarian Aceh ke depan. Dikatakan demikian setelah Pekan Kebudayaan Aceh 1, para sesupuh Aceh melihat dan merasakan betapa pentingnya peran kesenian untuk mempersatukan daerah Aceh yang waktu itu terombang-ambing dalam konflik DI-TII pada waktu itu. Dari pengalaman tersebut akhirnya mereka para pemuka masyarakat sepakat, bahwa Aceh perlu memiliki sebuah tarian monumental untuk penyambutan tamu. Gagasan ini berawal dari pemikiran A. K. Abdullah seorang tentara yang bertugas di bidang ROHDAM (Rohaniwan KODAM) yang sudah bertugas hampir seluruh sumatera. Ia melihat hampir di seluruh daerah yang pernah di kunjunginya selalu ada tari penyambutan tamu dengan menyungguhkan sirih dalam cerana. Disinilah timbul pemikirannya; Mengapa Aceh tidak membuat hal yang sama? Berangkat dari pertanyaan tersebut A. K. Abdullah pun berinisiatif mengumpulkan beberapa seniman tari untuk melakukan dialog dan mencari kesepakatan untuk membuat sebuah tarian penyambutan tamu. Atas kesepakatan bersama untuk menggarap tarian tersebut akhirnya di percaya kepada Yuslizar.Sebagai langkah pertama untuk menunjang proses kreasi Yuslizar, A. K. Abdullah menceritakan pengalaman pengalamanya ketika berada di provinsi lain di sumatera, seperti di Provinsi Sumatera Utara dan Sumatera Selatan. Setelah mendengar saran dari A. K. Abdullah, Yuslizar mulai membuat persiapan-persiapan yang diperlukan untuk terciptanya tari tersebut, antara lain menjumpai orang-orang tua adat guna mencari informasi untuk mendapatkan masukan dalam proses perciptaan tari persembahan tersebut.Setelah perciptaan tari selesai, timbul masalah dan tantangan berikutnya dimana Yuslizar agak kewalahan untuk memberikan nama bagi tarian yang di ciptakannya dan belum adanya musik iringan yang sekaligus merupakan pariner dari tarian tersebut. Adapun orang-orang yang hadir di rumah Tuanku Burhan tempat di adakannya pertemuan tersebut adalah ; Tuanku Burhan adalah sebagai tuan rumah sekaluarga, A. K. Abdullah, A Aziz kunun dan istri, Sjamaun gaharu, T Hamzah dan istri, Mayor T Ismail dan istri (cut jah samalanga), Nyak adam kamil dan istri, Alm T Djohan, Cut ainun mardiah (Pocut Seulimum), T Ismail Bitai, Alm Ny Hamidi, A. D. Manua, yang nantinya menciptakan musik iringi ranup lampuan.Atas kesepakatan para tokoh-tokoh di atas setuju menjadikan tari tersebut sebagai tari persembahan, dan pemberian nama yang diusulkan oleh Tuanku Burhan, yaitu Ranup Lampuan pun mendapat senggahan semua dari pihak yang hadir. Persetujuan juga di berikan terhadap A. D. Manua untuk membuat musik iringan yang selanjutnya di aransir oleh Max Sapulete, Max Sapulete tersebut mengubah variasi pembukaan lagu tersebut,penari pertama adalah; Ida Burhan, Tri suyatinah, Murniati, Nong bit, Sri mukmintasi, Cut keumala, Romlah, Nurhasmi Hamidi dan Ola. Mereka menari secara bergiliran. Dalam hal ini Sal Murgiyanto mengatakan, Ruang, Waktu dan Tenaga adalah elemen-elemen dasar dari gerak. Untuk penampilan pertama tari tersebut dinarikan oleh 9 orang penari, Dengan demikian akhirnya lengkap sudah perangkat tari tersebut sebagai tari persembahan yang siap di tampilkan.Tari Ranup Lampuan merupakan salah satu karya seni monumental yang dilahirkan oleh para seniman Aceh. Ranup Lampuan dalam bahasa Aceh, berarti sirih dalam puan. Puan adalah tempat sirih khas Aceh. Karya tari yang berlatar belakang adat istiadat ini secara koreografi menceritakan bagaimana kebiasaan masyarakat Aceh menyambut tamu ini setiap gerakannya mempunyai arti tersendiri. Seperti gerakan salam sembah, memetik sirih lalu membuang tangkainya, membersihkan sirih, menyapukan kapur, lalu memberi gambir dan pinang, sampai menyuguhkan sirih kepada yang datang. Almarhum Yusrizar yang yang lahir di Banda Aceh pada 23 Juli 1937, adalah pencipta Tarian Ranup Lam Puan yang fenomenal. Tarian Ranup Lampuan diciptakan beliau ditahun 1959,. Dan juga beliau menciptakan: Tari Meusare-sare, Bungong Sieyueng-yueng, Tron U Laot, Poh Kipah, Tari Rebana, dan Sendratari Cakra Donya Iskandar Muda.Tari ini,pada mulanya hanya terdapat di Kota Banda Aceh,dan dengan cepat menyebar ke setiap kabupaten dan kota lainnya di seluruh Aceh.Pada awalnya, tari ini tidak menggunakan selendang sebagai properti, dan penarinya memakai sanggul Aceh yang tinggi dihiasi hiasan kepala. Tarian yang berdurasi tiga sampai sembilan menit ini diiringi orkestra atau band. Adapun sosok pencipta musik dari irama tarian lanup lam puan adalah Almarhum T Djohan pengarang lagu Tanoh Lon Sayang. Tari Ranup Lampuan merupakan kreasi mentradisi setelah menjalani proses panjang untuk menjadi tari tradisi dengan terus menyesuaikan diri sesuai zaman. Maka tahun 1959 ketika tim kesenian Aceh akan melakukan lawatan kerajaan ke Malaysia dalam rangka pertukaran cendramata, tari Ranup Lampuan dimodifikasi dengan menambah tiga orang penari pria, dua penari sebagai pemegang pedang dan satu penari sebagai pemegang vandel.Kemudian sekitar tahun 1966, setelah mendengar saran dari para tetua adat, bahwa pekerjaan menyuguhkan sirih adalah pekerjaan kaum perempuan, maka alangkah baiknya jika tari tersebut ditarikan oleh perempuan saja. Begitu juga tentang persoalan durasi waktu pertunjukan yang dirasakan terlalu panjang, sehingga tari Ranup Lampuan mengalami pemadatan. Hal ini berjalan sekitar delapan tahun.Pasca PKA II tahun 1972, dengan munculnya seni tradisional memberi pengaruh terhadap tari Ranup Lampuan khususnya untuk iringan tarian. Semula iringan musik Orkes atau band selanjutnya peran ini diganti dengan iringan alat musik tradisional yaitu Serune kale, Gendrang, dan Rapai. Pengubahan ini sejalan dengan permintaan dari panitia Festival tari tingkat nasional 1974 yang meminta tari tradisional tampil dengan diiringi musik tradisional pula. Hal itu diubah ketika acara peresmian gedung pertamina di Blang Padang.Bagi mereka pencinta tari Aceh, menelusuri jejak Tari Ranup Lampuan sama seperti merekam budaya Aceh, tari yang merefleksikan kehidupan sehari-hari orang Aceh yang terkenal ramah dan suka memuliakan tamu. Sudah seharusnya penciptanya pun mendapat tempat untuk diabadikan dan selalu diingat masyarakat Aceh.B. Permasalahan yang akan dikaji.Dari latar belakang dan sejarah diatas maka permasalahan yang akan saya kaji yaitu sebagai berikut:a. bagaimana kesuksesan pelestarian terbukti dengan fenomena tari kreasi menjadi tari tradisi (Tari Ranup Lampuan)?b. Apakah Tari Ranup Lampuan itu?c. Bagaimanakah pandangan menurut agama,sosial dan budaya tentang tari saman?
BAB IIPEMBAHASANA. PEMBAHASAN MATERIa. Tari Ranup Lampuan merupakan salah satu tarian tradisional yang berasal dari daerah Aceh. Tarian ini termasuk tarian penyambutan yang biasanya dibawakan oleh penari wanita dengan menyuguhkan sirih sebagai tanda terima masyarakat. Tari Ranup Lampuan merupakan salah satu tarian tradisional yang cukup terkenal di Aceh, dan sering ditampilkan untuk menyambut para tamu terhormat maupun acara penyambutan adat lainnya.
b. Fungsi Dan Makna Tari Ranup LampuanTari Ranup Lampuan lebih difungsikan sebagai tarian penyambutan adat atau penyambutan para tamu terhormat yang sedang berkunjung ke sana. Tarian penyambutan ini selalu identik dengan sirih dan puan, yang dalam tradisi masyarakat Aceh memiliki nilai-nilai dan makna khusus di dalamnya. Dalam adat masyarakat Aceh, sirih dan puan dapat dimaknai sebagai simbol persaudaraan antar masyarakat. Sehingga ketika tamu disuguhkan sirih tersebut,berarti dia sudah diterima dengan baik oleh masyarakat di sana. Begitu juga apabila tamu sudah menikmati suguhan tersebut, berarti dia menerima sambutan baik yang diberikan oleh masyarakat di sana.c. Pertunjukan Tari Ranup LampuanTari Ranup Lampuan biasanya dibawakan oleh para penari wanita. Jumlah penari tersebut biasanya terdiri dari 5-7 orang penari. Dalam pertunjukannya, para penari dibalut dengan busana tradisional yang cantik serta membawa puan dan sirih yang nantinya akan disuguhkan kepada para tamu. Dengan diiringi oleh alunan musik tradisional, mereka menari dengan gerakannya yang khas di hadapan para tamu dan penonton.Gerakan dalam Tari Ranup Lampuan ini biasanya didominasi oleh gerakan lemah lembut yang melambangkan kesopanan dan ketulusan para penari. Apabila di perhatikan secara seksama, setiap gerakan pada tarian ini memiliki makna khusus di dalamnya. Gerakan gerakan tersebut seperti gerakan salam sembah, memetik sirih, membersihkan sirih, meyapukan kapur, memberi gambir serta pinang dan yang terakhir adalah menyuguhkan sirih kepada para tamu.
d. Pengiring Tari Ranup LampuanTari Ranup Lampuan awalnya diiringi oleh musik orkestra atau band. Namun setelah tahun 1972 musik pengiring Tari Ranup Lampuan ini diubah dengan menggunakan alat musik tradisonal Aceh seperti sarune kale, genderang dan rampai. Hal ini dilakukan agar terkesan lebih tradisional dan mewakili kesenian tradisional Aceh. Untuk irama yang dimainkan saat mengiringi tarian ini tentunya juga disesuaikan dengan gerakan para penari.
e. Kostum Tari Ranup LampuanKostum yang digunakan para penari dalam pertunjukan Tari Ranup Lampuan ini biasanya adalah busana tradisional acah. Untuk busana yang digunakan para penari biasanya baju lengan panjang dan celana panjang. Pada bagian pinggang menggunakan kain sarong atau kain sonket khas Aceh dan sabuk sebagai pemanis. Sedangkan pada bagian kepala menggunakan kerudung yang dihias dengan bunga-bunga dan kain selendang yang menjutai ke bawah.f. Perkembangan Tari Ranup LampuanDalam perkembangannya, Tari Ranup Lampuan masih terus dilestarikan dan dikembangkan hingga sekarang. Berbagai kreasi serta variasi dalam segi gerak, pengiring, dan busana, juga sering ditambahkan di setiap penampilannya. Hal ini tentu hanya dilakukan agar terlihat menarik, namun tidak meninggalkan ciri khas dan keasliannya.
B. PANDANGAN SISI AGAMA Tari ranup lampuan di tarikan secara massal oleh yuslizar untuk keidahan tarian ini maka di lengkapi dengan propeti selendang.Dalam penampilanya saat ini para penari ranup lampuan menggunakan jiebab,hal ini disesuaikan dengan syariat islam yang berlaku di provinsi aceh saat ini.Selain itu juga tari ranup lampuan sudah di tampilkan di dalam dan di luar gedung pertunjuksn.Namun sangat ironis masyarakat tidak mengetahui lagi siapa penciptanya
Menurut sisi agama Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh Utara setuju dengan imbauan Bupati Muhammad Thaib yang melarang wanita dewasa menari di tempat umum dan tidak menjadi hal bila tarikan oleh anak anak dibawah umur. Majelis Ulama berpendapat menari seperti itu adalah sebuah maksiat berlabel haram bila dikerjakan oleh wanita dewasa.
Ketua MPU Aceh Utara, Mustafa Ahmad, mengatakan imbauan Bupati Muhammad Thaib adalah sebuah terobosan sangat positif. Sebab, dalam Islam perempuan dewasa dilarang menari di depan laki-laki. "Dalam Hadist Turmizi, ada 15 larangan bagi kaum perempuan yang dapat mengundang musibah dan malapetaka. Satu poin di antaranya disebutkan wanita dewasa dilarang menari di hadapan kaum lelaki. Wanita di sini adalah perempuan akil baliq atau sudah disukai oleh laki-laki," kata Mustafa.Tarian yang dimaksud bukan hanya tarian Aceh Ranup Lampuan, tapi semua tarian yang diperagakan dengan menggerakkan anggota tubuh yang dilakukan perempuan dewasa. "Tarian-tarian seperti itu haram karena sudah mengarah ke pekerjaan maksiat," kata dia. Bahkan, katanya, tari Saman sudah termasuk haram karena pergerakannya berlebihan dalam memainkan anggota tubuh."Kami sebagai pemberi saran bidang agama sangat mendukung Bupati bila ini diterapkan. Dan, kalau ini perlu jalan, maka Bupati harus menuangkan ke dalam satu bentuk aturan seperti qanun," ujarnya.Walaupun banyak pendapat dari berbagai pihak ulama seperti diatas namun Tari Ranup Lampuan ini juga masih sering ditampilkan di berbagai acara penyambutan, seperti penyambutan tamu terhormat maupun jenis penyambutan adat lainnya sampai saat sekarang.Selain itu tarian ini juga sering ditampilkan di berbagai acara budaya seperti pertunjukan seni, festival budaya, dan promosi pariwisata. Hal ini dilakukan sebagai usaha pelestarian dan memperkenalkan kepada generasi muda maupun masyarakat luas akan Tari Ranup Lampuan ini.. C. SISI SOSIAL DAN BUDAYAA. pentingnya Pelestarian Suatu KebudayaanDalam sebuah kebudayaan sangatlah penting adanya bentuk-bentuk pelestarian yang dilakukan. Dengan tujuan meminimalisir dampak dari budaya grobal yang mengancam masuk ke suatu daerah, haruslah ada upaya untuk menjaga nilai-nilai yang berlaku dalam satu kebudayaan agar ancaman tersebut dapat dihindari.Diketahui bersama bahwa suatu kebudayaan memiliki sifat dinamis, yang berarti kebudayaan itu teruslah bergerak dan berubah-ubah. Namun yang harus di perhatikan ialah bahwa suatu kebudayaan itu dapat bergerak atau berubah-ubah haruslah melihat nilai normatif yang berlaku pada kebudayaan suatu daerah. Kebudayaan dapat dilestarikan dalam dua bentuk yaitu :
1. Culture ExperienceMerupakan pelestarian budaya yang dilakukan dengan cara terjun langsung kedalam sebuah pengalaman kultural. contohnya, jika kebudayaan tersebut berbentuk tarian, maka masyarakat dianjurkan untuk belajar dan berlatih dalam menguasai tarian tersebut. Dengan demikian dalam setiap tahunnya selalu dapat dijaga kelestarian budaya kita ini.
2. Culture Knowledge Merupakan pelestarian budaya yang dilakukan dengan cara membuat suatu pusat informasi mengenai kebudayaan yang dapat difungsionalisasi kedalam banyak bentuk. Tujuannya adalah untuk edukasi ataupun untuk kepentingan pengembangan kebudayaan itu sendiri dan potensi kepariwisataan daerah. Dengan demikian para Generasi Muda dapat mengetahui tentang kebudayaanya sendiri.Selain dilestarikan dalam dua bentuk diatas, kita juga dapat melestarikan kebudayaan dengan cara mengenal budaya itu sendiri. Dengan hal ini setidaknya kita dapat mengantisipasi pencurian kebudayaan yang dilakukan oleh negara - negara lain. Penyakit masyarakat kita ini adalah mereka terkadang tidak bangga terhadap produk atau kebudayaannya sendiri. Kita lebih bangga terhadap budaya-budaya impor yang sebenarnya tidak sesuai dengan budaya kita sebagai orang timur. Budaya daerah banyak hilang dikikis zaman. Oleh sebab kita sendiri yang tidak mau mempelajari dan melestarikannya. Akibatnya kita baru bersuara ketika negara lain sukses dan terkenal dengan budaya yang mereka curi secara diam-diam.Selain itu peran pemerintah dalam melestarikan budaya bangsa juga sangatlah penting. Bagaimanapun pemerintah memiliki peran yang cukup strategis dalam upaya pelestarian kebudayaan daerah ditanah air. Pemerintah harus mengimplementasikan kebijakan-kebijakan yang mengarah pada upaya pelestarian kebudayaan nasional. Salah satu kebijakan pemerintah yang pantas didukung adalah penampilan kebudayaan-kebudayaan daerah disetiap event-event akbar nasional, misalnya tari-tarian , lagu daerah, dan sebagainya. Semua itu harus dilakukan sebagai upaya pengenalan kepada generasi muda, bahwa budaya yang ditampilkan itu adalah warisan dari leluhurnya. Bukan berasal dari negara tetangga.Demikian juga upaya-upaya melalui jalur formal pendidikan. Masyarakat harus memahami dan mengetahui berbagai kebudayaan yang kita miliki. Pemerintah juga dapat lebih memusatkan perhatian pada pendidikan muatan lokal kebudayaan daerah.Selain hal-hal tersebut diatas, secara umum masih ada berbagai cara dalam melestarikan budaya, salah satunya adalah sebagai berikut :a. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia dalam memajukan budaya localb. Lebih mendorong kita untuk memaksimalkan potensi budaya lokal beserta pemberdayaan dan pelestariannyac. Berusaha menghidupkan kembali semangat toleransi, kekeluargaan, keramah-tamahan dan solidaritas yang tinggi.d. Selalu mempertahankan budaya Indonesia agar tidak punahe. Mengusahakan agar semua orang mampu mengelola keanekaragaman budaya local
Secara kontekstual langkah atau upaya yang dapat dilakukan adalah :1. Mengajarkan ke orang lain2. Menciptakan Ruang Apresiasi3. Mendiskripsikan kedalam bentuk buku-buku
B. Hal-hal Yang Terjadi Setelah Ada PelestarianSifat dinamis dalam suatu kebudayaan mengakibatkan adanya perubahan-perubahan. Perubahan tersebut dapat dilihat dari dua aspek. Yakni;1. Aspek positif Perubahan gerak dapat meningkatkan nilai estetika dalam tari ranup lampuan Eksistensi Tari Ranup Lampuan tersebut akan menjadi kebanggaan suatu daerah Terjadinya penyebaran Tari Ranup lampuan kedaerah lainnya Keberadaan Tari Ranup Lampuan tidak menjadi benturan-benturan nilai pada suatu tertentu. Memperjelas Identitas Kedaerahan2. Aspek negatif Perubahan gerak mampu memicu hilangnya keaslian gerak dari tari ranup lampuan Akan mengalami degradasi nilai ketika terjadi perubahan secara ekstrim Secara tekstual (jumlah penari, music pengiring, kostum, pola lantai, dll) bentuk penyajian Tari Ranup Lampuan mengalami pergeseran Tradisi sawer bertentangan dengan nilai normative yang berlaku di Aceh sehingga terlihat seperti satu bentuk pelecehan kepada bentuk kesenian Tari Ranup Lampuan. (sawer bukan budaya aceh melainkan berkembang di jawa dan daerah lain Nusantara)
Namun demikian sangatlah penting adanya rasa tanggup jawab moral kepada kebudayan saat ini agar kebudayaan yang ada di Indonesia teruslah terjaga kelestariannya.
C. Pandangan kebudayaan daerah Matee Aneuk Meupat Jeurat, Gadoh Adat Pat TamitaNarit maja di atas menyiratkan makna yang sangat mendalam, agar adat dan kebudayaan dijaga dan dilestarikan. Pesan tersebut juga memberi inpirasi dan motivasi yang kuat agar kita semua untuk merenung kembali betapa pentingnya melestarikan kebudayaan. Dalam hal ini, sudah menjadi kewajiban kita untuk melestarikan dan menjaga kemurnian kebudayaan Aceh yang sudah mentradisi dalam masyarakat Aceh.Kebudayaan merupakan cerminan dari kehidupan suatu masyarakat. Kebudayaan itu sangat kental dengan corak kehidupan suatu masyarakat. Untuk memahami kebudayaan secara mendalam, pengertian budaya dapat dilihat dari pendapat beberapa ahli. Ki Hajar Dewantara mengatatakan bahwa kebudayaan berarti buah budi manusia yang merupakan hasil perjuangan manusia terhadap pengaruh alam dan zaman. Sutan Takdir Ali Syahbana mengatakan bahwa kebudayaan adalah manifestasi dari cara berpikir manusia. Koentjaraningrat mengatakan bahwa kebudayaan berarti keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakannya dengan belajar secara keseluruhan hasil budi pekertinya. Kesemua pendapat ahli di atas mempunyai inti yang mengatakan bahwa kebudayaan itu merupakan ciptaan manusia dalam mejalani kehidupan. Selanjutnya, C. Kluckhohn mengatakan bahwa kebudayaan universal mengandung tujuh unsur, yaitu sistem religi dan upacara keagamaan, sistem organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, sistem mata pencaharian hidup, sistem teknologi dan peralatan, bahasa, dan kesenian. Salah-satu dari tujuh unsur kebudayaan tersebut di atas, di dalamnya terdapat seni, tari (kesenian). Pada kesempatan ini, seni tari yang dibahas yang akan ditekankan pada tari tradisional Aceh. Seni tari tersebut merupakan hasil ciptaan manusia yang digunakan untuk tujuan tertentu.Seni tari tradisional Aceh mempunyai keindahan yang menyebabkan seseorang tidak merasa bosan untuk mendengar atau melihatnya. Apabila kita menyaksikan tari tradisional Aceh akan menimbulkan rasa senang, serta merasa puas, rasa aman, nyaman dan bahagia, dan bila perasaan itu sangat kuat, kita merasa terpaku, terharu, terpesona, serta menimbulkan keinginan untuk mengalami kembali perasaan itu walaupun sudah dinikmati berkali-kali.Kesenian tradisional di Aceh pada umumnya mempunyai keindahan yang mengagumkan. Hal ini dapat kita saksikan jika ada pertunjukan seni misalnya, seudati, saman, didong, rapai geleng, dan lain-lain selalu banyak penonton, walaupun sudah sering melihatnya. Pertunjukan seudati selalu banyak penantonnya, pertandingan saman juga selalu ramai pengunjung, padahal pertunjukan kesenian sudah berkali-kali dilihatnya. Jadi, dapat kita katakan bahwa tari tradisional di Aceh sudah merupakan kebanggan masyarakat Aceh.Kesenian tradisional di Aceh semua mempunyai ciri-ciri tersendiri. Saman, seudati, meusekat, rapai geleng, rapai pulot, rath duk, dan ranub lampuan mempunyai ciri dan bahasa tersendiri walau terlihat ada unsur-unsur yang sama. Hal ini sesuai dengan konsep seni bahwa semua benda atau peristiwa kesenian mengandung tiga aspek yang mendasar, yakni wujud atau rupa (appearance), bobot atau isi (content, subtance), dan penampilan, penyajian (presentation). Wujud kesenian terdiri atas bentuk (form) atau unsur yang mendasar, dan susunan/struktur (structure). Bobot kesenian mempunyai tiga aspek yakni suasana (mood), gagasan (idea), dan ibarat/pesan (message). Penampilan seni ada tiga unsur yang berperan yaitu bakat (talent), keterampilan (skill), dan sarana atau media (medium atau vehicle). Diakui atau tidak tari tradisional Aceh telah mulai bergeser dari nilai-nilai budaya keacehannya. Keprihatinan ini di depan mata kita. Siapa yang akan peduli? Mungkinkah generasi muda Aceh suatu saat nanti tidak dapat melihat lagi keberadaan tari tradisional yang murni.Kita semua dapat melihat tari tradisional Aceh masih ditarikan, masih diajarkan dan bahkan sudah mendunia. Tapi kita jangan menutup mata terhadap semua permasalaha terhadap eksistensi tari tradisional Aceh dewasa ini. Tari tardisional Aceh sudah kehilangan rohnya, sudah kehilangan qithoh-nya. Dari kenyataan tersebut dari dirumuskan permasalahannya sebagai berikut, (1) bagaimanakah keseragaman gerak tari tradisional Aceh dewasa ini?, (2) bagaimanakah tata rias penari tradisional Aceh dewasa ini?, (3) bagaimanakah konsistensi penari dan jumlah penari tari tradisional Aceh dewasa ini?, (4) bagaimanakah roh/image terhadap tari tradisional Aceh dewasa ini?Mengapa penyimpangan-penyimpanagan dalam tari tradisional Aceh kerap terjadi? Solusi terhadap penyimpangan tari tradisional Aceh harus dipikirkan bersama, pelaku seni, pengajar tari, dan instansi terkait harus benar-benar mencurahkan perhatian untuk meluruskan kembali adat budaya kita, khususnya tari tradisional Aceh. Permasalah-permasalahan di atas perlu direnungi kembali dan dibahas secara mendalam.
Keseragaman Gerak Tari Tradisional AcehKetimpangan terhadap tari tradisional Aceh yang paling utama dan paling kentara adalah ketimpangan terhadap keseragaman gerak. Dewasa ini telah terjadi ketidak seragaman gerak pada tari-tari tradisional Aceh. Gerakan-gearakan dalam salah satu tarian dapat berbeda apabila diajarkan/ditarikan oleh orang yang berbeda. Jika tari diamati dengan teliti, tampak secara jelas terdapat banyak unsur di dalamnya. Di antara unsur yang sangat signifikan adalah gerak dan ritme. Seorang penulis dan kritikus tari dari Amerika bernama John Martin berpendapat bahwa substansi baku dari tari adalah gerak. Ketidak konsistensi gerak tari tradisional Aceh di antaranya dapat diperhatikan pada tari ranup lampuan dan tari saman. Pada tari ranup lampuan telah banyak penyimpangan gerak, yakni dapat dilihat pada tidak adanya keseragaman gerak antara kelompok tari yang satu dengan kelompok tari lainnya. Hal ini dapat dilihat di antaranya pada gerak melangkah (ada yang mehentakkan kaki dan ada yang melangkah biasa). Pada gerak memetik sirih dan mengancip pinang ada kelompok yang melakukan dan ada pula yang tidak melakukannya.Pada tari saman terdapat beberapa gerak dan juga ritme yang khas. Gerak yang ada dalam saman banyak di antaranya singkih, lingang, tungkuk, langak, anguk, girik, gerak selalu, gerutup, guncang, dan surang-saring. Ritme yang ada dalam saman adalah rengum, dering, sek, redet, dan saur. Setiap tari saman yang dimainkan harus sesuai dengan gerak serta ritme yang ada dalam tari saman karena memang seperti wujud dari saman. Oleh karena itu, jika ada tari yang menamakan tari saman yang tidak sesuai dengan pola yang ada, bukan merupakan tari saman.Ketimpangan gerak tari saman, dewasa ini kerap terjadi dan bahkan terdapat gerakan-gerakan yang tidak dilakukan atau dilakukan dengan tidak sempurna. Tidak dilakukannya salah satu gerak dalam tari saman atau tidak sesuainya gerak yang dilakukan akan mengakibatkan bergesernya nilai-nilai sebuah tari tradisional
Tata Rias Penari Tradisional AcehSeni terwujud berdasarkan medium tertentu, baik dengaran (audio), maupun lihatan (visual), dan gabungan keduanya. Tiap-tiap golongan seni tadi ditentukan bentuknya oleh material seninya atau mediumnya. Tiap medium memiliki ciri khasnya sendiri dengan keterbatasan dan kelebihan masing-masing. Tari tradisional Aceh juga mempunyai medium tersendiri. Warna pakaian yang dipakai penari juga mempunyai warna tersendiri, misalnya saja pakaian tari saman yang mempunyai makna, yakni kuning sebagai lambang keagungan, hijau sebagai lambang kemakmuran, merah sebagai lambang keberanian, putih sebagai lambang kesucian. Jenis pakaian yang dipakai juga terdiri atas bulang teleng, ikotni rongok, baju kantong, upuh pawak, suel naru, ikotni pumu, dada kupang, sensim ketip, dan tajuk kepies. Dari segi medium sendiri sudah dapat dilihat ciri pembeda tari saman sehingga masyarakat dengan mudah mengetahui mana yang disebut saman dan mana yang bukan.Demikian juga dengan tari tradisi lainnya, pakaian yang digunakan untuk tari ranup lampuan tidak mungkin digunakan untuk seudati, demikian juga pakaian tari seudati tidak mungkin digunakan untuk tari saman, dan sebaliknya. Dengan demikian pakaian yang sudah mentradisi itu tidak dapat digunakan secara sembarangan. Akibat dari tindakan-tindakan yang tidak mentradisi itu akan mencedrai adat dan budaya Aceh.Bila dilihat dari tata rias, tata rias dalam tari tradisional Aceh yang diharapkan adalah tata rias yang sesuai dengan budaya keacehan. Artinya dari pakaian, mec-up, sanggul, harus sesuai budaya Aceh. Budaya Aceh dalam hal ini tidak dapat dipisahkan dengan syariat Islam. Budaya Aceh dengan syariat Islam bagai dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Oleh karena itu, segala sesuatu hal yang dihias dalam tata rias tari tradisional Aceh harus sesuai dengan syariat Islam.Dewasa ini yang sangat mencolok perbedaanya dengan tata rias yang keacehan, misalnya pada tata rias sangul yang sebagian besar menaikannya atau ditinggikan. Selain itu, pada tata rias sanggul juga terdapat banyak asesoris, sehingga kelihatannya seperti putri bunga, yang lebih ironis lagi sirihpun diselipkan di kepalanya.
Konsistensi Penari dan Jumlah Penari Tari Tradisional AcehKonsistensi penari merupakan ketentuan yang tidak dapat dipungkiri oleh oleh penari tari tradisional, yang paling utama dilihat dari jumlah penari, jenis kelamin. Artinya sebuah tari tradisional yang harus ditarikan oleh 7 orang tidak akan benar jika ditarikan oleh 5 atau 6 orang saja. Hal tersebut kerap terjadi pada tari ranup lampuan. Tari ranup lampuan semestinya ditarikan oleh 7 orang akan sangat janggal jika ditarikan oleh 5 atau 6 orang. Selain ketentuan tari tersebut harus tarikan oleh jumlah penari yang ganjil, tari ranup lampuan akan kehilangan estetisnya jika hanya ditarikan oleh 5 orang penari saja.Selain konsistensi jumlah penari, kosistensi jenis kelamin penari menjadi hal utama dalam tari tradisional Aceh. Tari tradisional Aceh ada yang dikenal dengan tari laki-laki dan ada yang dikenal dengan tari perempuan. Misalnya saja tari seudati dan tari saman yang dikenal dengan tarian laki-laki tidak mungkin ditarikan oleh perempuan. Kemustahilan ditarikan oleh perempuan, karena dalam tarian-tarian tersebut sebagaimana kita ketahui terdapat gerakan-gerakan yang tidak mungkin dilakukan oleh perempuan. Misalnya saja dalam tari seudati, terdapat gerakan grop, dan peh dada, yang sangat tidak mungkin dilakukan oleh perempuan. Sebagaimana salah satu penggalan syair lagu Liza Aulia ..jak keuno rakat tajak meunari, tameuseudati tapeh-peh dada. Jelaslah gerakan-gerakan tersebut hanya layak dilakukan oleh laki-laki.Gerakan-gerakan kodrati itu juga terdapat dalam tari saman, seperti aungan, dereuk, yang juga tidak mungkin dilakukan oleh seorang perempuan Aceh. Oleh karena itu, untuk seudati dan saman biarlah menjadi tari tradisinya para laki-laki. Jangan dipaksakan untuk ditarikan oleh perempuan. Keprihatinan terhadap adanya seudati inong dan saman inong juga dikemukan Profesor Margaret J. Katomi Faha, Dr. Phil. di perpustakaan Unsyiah, lantai III pada tanggal 23 November 2012.Pada kesempatan lain, hal senada juga diungkapkan oleh Dr. Rajab Bahry, M.Pd. salah seorang tokoh Gayo dan pelatih tari saman bahwa tari saman itu juga tidak etis ditarikan oleh perempuan. Komitmen tersebut telah menguatkan pendidirian masyarakata Aceh untuk menetapkan tari seudati dan tari saman tidak wajar ditarikan oleh perempuan.Apabila tarian tersebut ditariakan oleh perempuan akan menimbulkan pengikisan nilai-nilai budaya dari sebuah tari. Atau dengan kata lain tari ranup lampuan telah kehilangan rohnya sebagai tari pemulia jamee. Karena menurut orang Aceh mulia jamee ranup lampuan, mulia rakan mameh suara.Praktik penyimpangan itu juga berlangsung pada pertukaran budaya dengan mahasiswa jurusan Dance Course of Art (DCA) Universitas Deaking Australia belajar tari seudati di sanggar seni Lempia, taman Budaya, Banda Aceh. Tari seudati tersebut ditarikan oleh penari perempuan. Memang tidak ada efeknya bagi penari asing namun telah terjadi kesalahan persepsi dalam memahami budaya Aceh. Kondisi demikian, baik disadari atau tidak telah mencemari roh tari seudati sebagai cerminan budaya Aceh.
Roh dan Image Tari Tradisional AcehSumardjo mengatakan, Batasan seni yang bertolak dari unsur seniman akan memunculkan masalah ekspresi, kreasi, orisinilitas, intuisi, dan lain lain. Sementara itu, yang bertolak dari benda seni akan menekankan pentingnya aspek bentuk, material, struktur, simbolik, dan sebagainya. Yang bertolak dari publik seni akan akan melibatkan apresiasi, interprestasi, evaluasi, konteks, dan sebagainya. Masalah yang perlu mendapat perhatian kita adalah masalah orisinilitas. Apakah sebuah seni (dalam konteks ini seni tari) dapat disebut orisinil atau tidak tentu harus kita lihat dari konsep seni, yaitu wujud, bobot, dan penampilannya. Dengan demikian, nama tari yang disebutkan harus sesuai dengan wujud, bobot, dan penampilan yang telah baku. Seandainya menyimpang dari konsep dasarnya, jangan disebut saman dengan tari yang sudah ada karena akan merugikan pemilik tari dan juga yang lebih parah akan memberikan informasi yang keliru tentang budaya Aceh kepada dunia luar.Informasi yang keliru itu telah terjadi dalam tari tradisional Aceh. Informasi yang keliru itu terjadi karena praktik-praktik yang mencedrai tari tradisi itu. Selain dari pakaian dan mec-up yang tidak sesuai, setelah selesainya tari ranup lampuan kerap terjadi pemberian sirih yang diikuti dengan pemberian uang/saweran. Sebagaimana kita ketahui bahwa tari ranup lampuan merupakan tari penyambutan/pemulia jamee.Dalam konsep masyarakat Aceh tidak ada transaksi pada saat memberikan sesuatu kepada tamu, apalagi sirih yang disungguhkan itu sebagai lambang kemuliaan. Tindakan tersebut dapat dikatakan sebagai tindakan yang mencedrai budaya Aceh.Keprihatinan itu juga dikemukan oleh Prof. Dr.Bahren T. Sugihem, M.A. sebagai salah seorang pembedah buku The Musical Journeys in Sumatra karangan Profesor Margaret J. Katomi Faha, Dr. Phil. di perpustakaan Unsyiah, lantai III pada tanggal 23 November 2012, bahwa tari ranup lampuan yang ditarikan sekarang telah kehilangan rohnya sebagai tari memuliakan tamu. Penampilan tari tersebut, menurut Beliau sudah menyimpang atau bertolak belakang dengan budaya Aceh. Tari ranup lampuan tidak perlu adanya saweran/pemberian uang, begitu tukas Prof. Bahren.Tindakan tersebut telah menimbulkan pengikisan nilai-nilai budaya dari sebuah tari. Atau dengan kata lain tari ranup lampuan telah kehilangan rohnya sebagai tari pemulia jamee. Karena menurut orang Aceh mulia jamee ranup lampuan, mulia rakan mameh suara.
BAB IIIPENUTUPA. KESIMPULANKesimpulan yang dapat saya simpul yaitu:1. Tari tradisional Aceh dewasa ini sudah mulai bergesel keberadaan nilai tradisinya. Bergerasernya tradisi dalam sebuah tari disebabkan dengan munculnya ide-ide kreasi dari teman-teman yang berkecimpung dalam berkesenian Aceh. Kreasi-kreasi itu, sangat kita hargai, tapi kreasi-kreasi itu hendaknya tidak mencedrai tradisi. Atau dengan kata lain kreasi tidak menamakan dirinya sebagai tari tradisi.2. Tari tradisional Aceh perlu dilakukan revitalisasi dalam kesesuan pakaian, keseragaman gerak, kesesuaian mec-up dan kesuaian image yang ditawarkan kepada masyarat luar, sehingga Aceh dapat menjadi tujuan wisata Islami yang berkarakter keacehan.3. Berdasarkan kesimpulan di atas, dapat disarankan hal-hal berikut.4. Perlu dilakukan kongres tari tradisi dengan melibatkan seniman (ahli di bidangnya) seluruh Aceh.5. Pilahlah antara tari tradisi dan tari kreasi dalam praktek berkesenian di Aceh, sehingga kreasi tidak mencedrai tradisi.6. Pelaku seni, pengajar tari, dan instansi terkait harus benar-benar mencurahkan perhatian untuk meluruskan kembali adat budaya kita, khususnya tari tradisional Aceh.7. Fungsi Ranub untuk suguhan kepada tamu (dapat dimakan ) guna menghormati yang menyuguhkannya.tarian tradisional satu ini merupakan tarian penyambutan yang berasal dari daerah Aceh. Namanya adalah Tari Ranup Lampuan.
Daftar pustaka
https://dmilano.wordpress.com/2011/05/08/ranup-lam-puan/[1] Widyosiswoyo, Sartono, 1996. Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Ghalia Indonesia. Hlm. 33-34.[2] Ibid, Hlm. 36.[3] Djelantik, A.A.M., 1999. Estetika: Sebuah Pengantar. Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. Hlm. 17-18.[4] Sudarsono. tanpa tahun. Tarian-Tarian di Indonesia 1, Jakarta: Proyek Pengembangn Media Kebudayaan Direktoran Jenderal Kebudayaan Depdikbud. Hlm. 15.[5] Kesuma, Asli, dkk., 1991. Diskripsi Tari Saman Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Kanwil Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Hlm. 12-37.[6] Sumardjo, Jakob. 2000. Filasafat Seni. Bandung: Penerbit ITB, hlm. 30[7] Ibid. hlm. 58.[8] Serambi Indonesia, 24 November 2012.[9] Sumardjo, Jakob. Op.cit. Hlm. 51.
LAMPIRAN
anak aceh tari ranup lampuan ranup (daun sirih)
puan atau tempat sirih penari lanup lampuan
memberi sirih pada tamu ranup lam puan
23