tugas isus

55
TUGAS Kepada : Dr. Susie Setyowati, SpPd, K-EMD Disusun oleh : AdhiatmaYudhono 1420221104 FK UPN “VETERAN” JAKARTA KEPANITERAAN ILMU PENYAKIT DALAM PERIODE 10 AGUSTUS 2015 – 17 OKTOBER 2015

Upload: adhiatma

Post on 03-Dec-2015

237 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

gjhk

TRANSCRIPT

TUGAS

Kepada :

Dr. Susie Setyowati, SpPd, K-EMD

Disusun oleh :

AdhiatmaYudhono

1420221104

FK UPN “VETERAN” JAKARTA

KEPANITERAAN ILMU PENYAKIT DALAM

PERIODE 10 AGUSTUS 2015 – 17 OKTOBER 2015

BAB I

PENDAHULUAN

Diabetes Melitus (DM) adalah suatu sindroma klinis kelainan metabolik, ditandai oleh

adanya hiperglikemik yang disebabkan oleh defek sekresi insulin, defek kerja insulin atau

keduanya.1

World Health Organization (WHO) memperkirakan, prevalensi global diabetes

melitus tipe 2 akan meningkat dari 171 juta orang pada 2000 menjadi 366 juta tahun 2030.

WHO memperkirakan Indonesia menduduki ranking ke-4 di dunia dalam hal jumlah

penderita diabetes setelah China, India dan Amerika Serikat. Pada tahun 2000, jumlah

penderita diabetes mencapai 8,4 juta dan diperkirakan pada tahun 2030 jumlah penderita

diabetes di Indonesia akan berjumlah 21,3 juta. Tetapi, hanya 50% dari penderita diabetes di

Indonesia menyadari bahwa mereka menderita diabetes, dan hanya 30% dari penderita

melakukan pemeriksaan secara teratur. 2

Peningkatan insidensi diabetes melitus di Indonesia tentu akan diikuti oleh

meningkatnya kemungkinan terjadinya komplikasi kronik diabetes melitus. Berbagai

penelitian prospektif menunjukkan meningkatnya penyakit akibat penyumbatan pembuluh

darah, baik mikrovaskular seperti retinopati, nefropati maupun makrovaskular seperti

penyakit pembuluh darah koroner dan juga pembuluh darah tungkai bawah. Dengan

demikian, pengetahuan mengenai diabetes dan komplikasi vaskularnya menjadi penting

untuk diketahui dan dimengerti 3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Menurut American Diabetes Association (ADA) 2005, Diabetes melitus merupakan

suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena

kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Sedangkan menurut WHO 1980

dikatakan bahwa diabetes melitus sebagai suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi

yang merupakan akibat dari sejumlah faktor di mana didapat defisiensi insulin absolut atau

relatif dan gangguan fungsi insulin. 4

2.2 Klasifikasi

Klasifikasi Diabetes Melitus menurut American Diabetes Association (ADA), 2005,

yaitu1 :

1. Diabetes Melitus Tipe 1

DM ini disebabkan oleh kekurangan insulin dalam darah yang terjadi akibat kerusakan

dari sel beta pankreas. Gejala yang menonjol adalah sering kencing (terutama malam

hari), sering lapar dan sering haus, sebagian besar penderita DM tipe ini berat badannya

normal atau kurus. Biasanya terjadi pada usia muda dan memerlukan insulin seumur

hidup.

2. Diabetes Melitus Tipe 2

DM ini disebabkan insulin yang ada tidak dapat bekerja dengan baik, kadar insulin dapat

normal, rendah atau bahkan meningkat tetapi fungsi insulin untuk metabolisme glukosa

tidak ada atau kurang. Akibatnya glukosa dalam darah tetap tinggi sehingga terjadi

hiperglikemia, dan 75% dari penderita DM type II ini dengan obesitas atau kegemukan

dan biasanya diketahui DM setelah usia 30 tahun.

3. Diabetes Melitus Tipe lain

a. Defek genetik pada fungsi sel beta

b. Defek genetik pada kerja insulin

c. Penyakit eksokrin pankreas

d. Endokrinopati

e. Diinduksi obat atau zat kimia

f. Infeksi

g. Imunologi

4. DM Gestasional

2.3 Prevalensi

World Health Organization (WHO) memperkirakan, prevalensi global diabetes

melitus tipe 2 akan meningkat dari 171 juta orang pada 2000 menjadi 366 juta tahun 2030.

WHO memperkirakan Indonesia menduduki ranking ke-4 di dunia dalam hal jumlah

penderita diabetes setelah China, India dan Amerika Serikat. Pada tahun 2000, jumlah

penderita diabetes mencapai 8,4 juta dan diperkirakan pada tahun 2030 jumlah penderita

diabetes di Indonesia akan berjumlah 21,3 juta. Tetapi, hanya 50% dari penderita diabetes di

Indonesia menyadari bahwa mereka menderita diabetes, dan hanya 30% dari penderita

melakukan pemeriksaan secara teratur.2

2.4 Patogenesis

2.4.1 Diabetes mellitus tipe 1

Pada saat diabetes mellitus tergantung insulin muncul, sebagian besar sel pankreas

sudah rusak. Proses perusakan ini hampir pasti karena proses autoimun, meskipun rinciannya

masih samar. Ikhtisar sementara urutan patogenetiknya adalah: pertama, harus ada kerentanan

genetik terhadap penyakit ini. Kedua, keadaan lingkungan seperti infeksi virus diyakini

merupakan satu mekanisme pemicu, tetapi agen noninfeksius juga dapat terlibat. Tahap

ketiga adalah insulitis, sel yang menginfiltrasi sel pulau adalah monosit/makrofag dan

limfosit T teraktivasi. Tahap keempat adalah perubahan sel beta sehingga dikenal sebagai sel

asing. Tahap kelima adalah perkembangan respon imun. Karena sel pulau sekarang dianggap

sebagai sel asing, terbentuk antibodi sitotoksik dan bekerja sama dengan mekanisme imun

seluler. Hasil akhirnya adalah perusakan sel beta dan penampakan diabetes.5

2.4.2 Diabetes Melitus Tipe 2

Pasien DM tipe 2 mempunyai dua defek fisiologik : sekresi insulin abnormal dan

resistensi terhadap kerja insulin pada jaringan sasaran (target). Abnormalitas yang utama

tidak diketahui. Secara deskriptif, tiga fase dapat dikenali pada urutan klinis yang biasa.

Pertama, glukosa plasma tetap normal walaupun terlihat resistensi insulin karena kadar

insulin meningkat. Pada fase kedua, resistensi insulin cenderung memburuk sehingga

meskipun konsentrasi insulin meningkat, tampak intoleransi glukosa dalam bentuk

hiperglikemia setelah makan. Pada fase ketiga, resistensi insulin tidak berubah, tetapi sekresi

insulin menurun, menyebabkan hiperglikemia puasa dan diabetes yang nyata.5

2.5 Manifestasi Klinik

Berdasarkan keluhan klinik, biasanya pasien Diabetes Melitus akan mengeluhkan apa

yang disebut 4P : polifagi dengan penurunan berat badan, Polidipsi dengan poliuri, juga

keluhan tambahan lain seperti sering kesemutan, rasa baal dan gatal di kulit 1.

Kriteria diagnostik :

1. Gejala klasik DM ditambah Gula Darah Sewaktu ≥200 mg/dl. Gula darah sewaktu

merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memerhatikan waktu makan

terakhir.

2. Gejala Klasik ditambah Kadar Gula Darah Puasa ≥ 126 mg/dl. Puasa diartikan pasien

tidak mendapat kalori tambahan sedikit nya 8 jam,

3. Kadar gula darah 2 jam pada TTGO ≥200 mg/dl. TTGO dilakukan dengan standard WHO,

menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 gram glukosa anhidrus yang

dilarutkan dalam air.8

Gejala tidak klasik ditambah hasil pemeriksaan gula darah abnormal minimal 2x.3

Dengan cara pelaksanaan TTGO berdasarkan WHO ’94

Tiga hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari (dengan

karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti biasa.

Berpuasa paling sediikt 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan, minum air putih

tanpa gula tetap diperbolehkan.

Diperiksa kadar glukosa darah puasa

Diberikan glukosa 75 gram (dewasa) atau 1,75 g/kg BB (anak-anak) , dilarutkan dalam

250 ml air dan diminum dalam 5 menit.

Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam setelah

minum larutan glukosa selesai

Diperiksa kadar gula darah 2 jam setelah beban glukosa

Selama proses pemeriksaan tidak boleh merokok dan tetap istirahat

Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, maka dapat

digolongkan ke dalamkelompok TGT (toleransi glukosa terganggu) atau GDPT (glukosa

darah puasa terganggu) dari hasil yang diperoleh

TGT : glukosa darah plasma 2 jam setelah pembenanan antara 140-199 mg/dl

GDPT : glukosa darah puasa antara 100-125 mg/dl

2.6 Komplikasi

a. Penyulit akut

1. Ketoasidosis diabetik

KAD adalah suatu keadaan dimana terdapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan

penningkatan hormon kontra regulator (glukagon, katekolamin, kortisol dan hormon

pertumbuhan). Keadaan tersebut menyebabkan produksi glukosa hati meningkat dan

penggunaan glukosa oleh sel tubuh menurun dengan hasil akhir hiperglikemia.

Berkurangnya insulin mengakibatkan aktivitas kreb cycle menurun, asetil Ko-A dan

Ko-A bebas akan meningkat dan asetoasetil asid yang tidak dapat diteruskan dalam

kreb cycle tersebut juga meningkat. Bahan-bahan energi dari lemak yang kemudian di

oksidasi untuk menjadi sumber energi akibat sinyaling sel yang kekurangan glukosa

akan mengakibatkan end produk berupa benda keton yang bersifat asam. Disamping

itu glukoneogenesis dari protein dengan asam amino yang mempunyai ketogenic

effect menambah beratnya KAD. Kriteria diagnosis KAD adalah GDS > 250 mg/dl,

pH <7,35, HCO3 rendah, anion gap tinggi dan keton serum (+). Biasanya didahului

gejala berupa anorexia, nausea, muntah, sakit perut, sakit dada dan menjadi tanda khas

adalah pernapasan kussmaul dan berbau aseton.

2. Koma Hiperosmolar Non Ketotik

Ditandai dengan penurunan kesadaran dengan gula darah lebih besar dari 600 mg%

tanpa ketosis yang berartidan osmolaritas plasma melebihi 350 mosm. Keadaan ini

jarang mengenai anak-anak, usia muda atau diabetes tipe non insulin dependen karena

pada keadaan ini pasien akan jatuh kedalam kondisi KAD, sedang pada DM tipe 2

dimana kadar insulin darah nya masih cukup untuk mencegah lipolisis tetapi tidak

dapat mencegah keadaan hiperglikemia sehingga tidak timbul hiperketonemia

3. Hipoglikemia

Ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah < 60 mg% tanpa gejala klinis atau

GDS < 80 mg% dengan gejala klinis. Dimulai dari stadium parasimpatik: lapar, mual,

tekanan darah turun. Stadium gangguan otak ringan : lemah lesu, sulit bicara

gangguan kognitif sementara. Stadium simpatik, gejala adrenergik yaitukeringat

dingin pada muka, bibir dan gemetar dada berdebar-debar. Stadium gangguan otak

berat, gejala neuroglikopenik : pusing, gelisah, penurunan kesadaran dengan atau

tanpa kejang.

b. Penyulit menahun

1. Mikroangiopati

Terjadi pada kapiler arteriol karena disfungsi endotel dan trombosis

• Retinopati Diabetik

retinopati diabetik nonproliferatif, karena hiperpermeabilitas dan inkompetens vasa.

Kapiler membentuk kantung-kantung kecil menonjol seperti titik-titik

mikroaneurisma dan vena retina mengalami dilatasi dan berkelok-kelok. Bahayanya

dapat terjadi perdarahan disetiap lapisan retina. Rusaknya sawar retina darah bagian

dalam pada endotel retina menyebabkan kebocoran cairan dan konstituen plasma ke

dalam retina dan sekitarnya menyebabkan edema yang membuat gangguan pandang.

Pada retinopati diabetik prolferatif terjadi iskemia retina yang progresif yang

merangsang neovaskularisasi yang menyebabkan kebocoran protein-protein serum

dalam jumlah besar. Neovaskularisasi yang rapuh ini berproliferasi ke bagian dalam

korpus vitreum yang bila tekanan meninggi saat berkontraksi maka bisa terjadi

perdarahan masif yang berakibat penurunan penglihatan mendadak. Dianjurkan

penyandang diabetes memeriksakan matanya 3 tahun sekali sebelum timbulnya gejala

dan setiap tahun bila sudah mulai ada kerusakan mikro untuk mencegah kebutaan.

Faktor utama adalah gula darah yang terkontrol memperlambat progresivitas

kerusakan retina.

• Nefropati Diabetik

Ditandai dengan albuminura menetap > 300 mg/24 jam atau > 200 ig/menit pada

minimal 2x pemeriksaan dalam waktu 3-6 bulan. Berlanjut menjadi proteinuria akibat

hiperfiltrasi patogenik kerusakan ginjal pada tingkat glomerulus. Akibat glikasi

nonenzimatik dan AGE, advanced glication product yang ireversible dan

menyebabkan hipertrofi sel dan kemoatraktan mononuklear serta inhibisi sintesis

nitric oxide sebagai vasadilator, terjadi peningkatan tekanan intraglomerulus dan bila

terjadi terus menerus dan inflamasi kronik, nefritis yang reversible akan berubah

menjadi nefropati dimana terjadi keruakan menetap dan berkembang menjadi chronic

kidney disease.9

• Neuropati diabetik

Yang tersering dan paling penting adalah neuropati perifer, berupa hilangnya sensasi

distal. Berisiko tinggi untuk terjadinya ulkus kaki dan amputasi. Gejala yang sering

dirasakan kaki terasa terbakar dan bergetar sendiri dan lebih terasa sakit di malam

hari. Setelah diangnosis DM ditegakkan, pada setiap pasien perlu dilakukan skrining

untuk mendeteksi adanya polineuropati distal dengan pemeriksaan neurologi

sederhana, dengan monofilamen 10 gram, dilakukan sedikitnya setiap tahun.6

2. Makroangiopati

• Pembuluh darah jantung atau koroner dan otak

Kewaspadaan kemungkinan terjadinya PJK dan stroke harus ditingkatkan terutama

untuk mereka yang mempunyai resiko tinggi seperti riwayata keluarga PJK atau DM

• Pembuluh darah tepi

Penyakit arteri perifer sering terjadi pada penyandang diabetes, biasanya terjadi

dengan gejala tipikal intermiten atau klaudikasio, meskipun sering anpa gejala. Terkadang

ulkus iskemik kaki merupakan kelainan yang pertama muncul.9

2.7 Penatalaksanaan

Tujuan pengobaan mencegah komplikasi akut dan kronik, meningkatkan kualitas hidup

dengan menormalkan KGD, dan dikatakan penderita DM terkontrol sehingga sama dengan

orang normal. Pilar penatalaksanaan Diabetes mellitus dimulai dari :

1. Edukasi

Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan partisipasi aktif pasien, keluarga dan

masyarakat.

2. Terapi gizi medis

Terapi gizi medik merupakan ssalah satu dari terapi non farmakologik yang sangat

direkomendasikan bagi penyandang diabetes. Terapi ini pada prinsipnya melakukan

pengaturan pola makan yang didasarkan pada status gizi diabetes dan melakukan

modifikasi diet berdasarkan kebutuhan individual.

Tujuan terapi gizi ini adalah untuk mencapai dan mempertahankan :

1. Kadar glukosa darah yang mendekati normal

a) Glukosa darah berkisar antaara 90-130 mg/dl

b) Glukosa darah 2 jam post prandial < 180 mg/dl

c) Kadar HbA1c < 7%

2. Tekanan darah <130/80

3. Profil lipid :

a) Kolesterol LDL <100 mg/dl

b) Kolesterol HDL >40 mg/dl

c) Trigliserida <150 mg/dl

4. Berat badan senormal mungkin, BMI 18 – 24,9

Beberapa faktor yang harus diperhatikan sebelum melakukan perubahan pola makan

diabetes antara lain, tinggi badan, berat badan, status gizi,, status kesehatan, aktivitas

fisik dan faktor usia. Selain itu ada beberapa faktor fisiologi seperti masa kehamilan,

masa pertumbuhan, gangguan pencernaan pada usia tua, dan lainnya. Pada keadaan

infeksi berat dimana terjadi proses katabolisme yang tinggi perlu dipertimbangkan

pemberian nutrisi khusus. Masalah lain yang tidak kalah pentingnya adalah masalah

status ekonomi, lingkungan kebiasaan dan tradisi dalam lingkungan yang

bersangkutan serta kemampuan petugas kesehatan yang ada.

Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari :

Komposisi nutrien berdasarkan konsensus nasional adalah Karbohidrat 60-70%, Lemak 20-

25% dan Protein 10-15%.

KARBOHIDRAT (1 gram=40 kkal)

Kandungan total kalori pada makanan yang mengandung karbohidrat lebih ditentukan oleh

jumlahnya dibandingkan jenis karbohidrat itu sendiri.

Total kebutuhan kalori perhari, 60-70 % diantaranya berasal dari sumber karbohidrat

Jika ditambah MUFA sebagai sumber energi maka jumlah karbohidrat maksimal 70% dari

total kebutuhan perhari

Jumlah serat 25-50 gram/hari.

Penggunaan alkohol dibatasi dan tidak boleh lebih dari 10 ml/hari.

Pemanis yang tidak meningkatkan jumlah kalori sebagai penggantinya adalah pemanis

buatan seperti sakarin, aspartam, acesulfam dan sukralosa. Penggunaannya pun dibatasi

karena dapat meningkatkan resiko kejadian kanker.

Fruktosa tidak boleh lebih dari 60 gr/hari

Makanan yang banyak mengandung sukrosa tidak perlu dibatasi.

PROTEIN

Kebuthan protein 15-20% dari total kebutuhan energi perhari.

Pada keadaan kadar glukosa darah yang terkontrol, asupan protein tidak akan

mempengaruhi konsentrasi glukosa darah .

Pada keadaan kadar glukosa darah yang tidak terkontrol, pemberian protein sekitar 0,8-1,0

mg/kg BB/hari .

Pada gangguan fungsi ginjal, jumlah asupan protein diturunkan sampa 0,85 gr/kg BB/hari

dan tidak kurang dari 40 gr.

Jika terdapat komplikasi kardiovaskular maka sumber protein nabati lebih dianjurkan

dibandingkan protein hewani.

LEMAK

Batasi konsumsi makanan yang mengandung lemak jenuh, jumlah maksimal 10% dari

total kebutuhan kalori perhari.

Jika kadar kolesterol LDL ≥ 100 mg/dl, asupan asam lemak jenuh diturunkan sampai

maksimal 7% dari total kalori perhari.

Konsumsi kolesterol maksimal 300 mg/hari, jika kadar kolesterol LDL ≥100 mg/dl, maka

maksimal kolesterol yag dapat dikonsumsi 200 mg perhari.

B. Kebutuhan Kalori

Menetukan kebutuhan kalori basa yang besarnya 25-30 kalori/ kg BB ideal ditambah atau

dikurangi bergantung pada beberapa factor yaitu jenis kelamin, umur, aktivitas, berat badan

dan lain-lain.

PENENTUAN KEBUTUHAN KALORI

Kebutuhan basal :

Laki-laki = berat badan ideal (kg) x 30 kalori

Wanita = berat badan ideal (kg) x 25 kalori

Koreksi :

umur

• 40-59 th : -5%

• 60-69 : -10%

• >70% : -20

aktivitas

• Istirahat : +10%

• Aktivitas ringan : +20%

• Aktivitas sedang : +30%

• Aktivitas berat : +50%

berat badan

• Kegemukan : - 20-30%

• Kurus : +20-30%

stress metabolik : + 10-30%

Makanan tersebut dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi 20%, makan siang

30% dan makan malam 25%, serta 2-3 porsi ringan 10-15% diantara porsi besar.

Berdasarkan IMT dihitung berdasarkan berat badan (kg) dibagi dengan tinggi badan

kuadrat (m2).

Kualifikasi status gizi :

BB kurang : < 18,5

BB normal : 18,5 – 22,9

BB lebih : 23 – 24,9

3. Latihan Jasmani

Kegiatan fisik bagi penderita diabetes sangat dianjurkan karena mengurangi resiko

kejadian kardiovaskular dimana pada diabetes telah terjadi mikroangiopati dan

peningkatan lipid darah akibat pemecahan berlebihan yang membuat vaskular menjadi

lebih rentan akan penimbunan LDL teroksidasi subendotel yang memperburuk

kualitas hidup penderita. Dengan latihan jasmani kebutuhan otot akan glukosa

meningkat dan ini akan menurunkan kadar gula darah.

Aktivitas latihan :

5-10 menit pertama : glikogen akan dipecah menjadi glukosa

10-40 menit berikutnya : kebutuhan otot akan glukosa akan meningkat 7-20x.

Lemak

juga akan mulai dipakai untuk pembakaran sekitar 40%

> 40 menit : makin banyak lemak dipecah ±75-90% .

Dengan makin banyaknya lemak dipecah, makin banyakk pula benda keton yang

terkumpul dan ini menjadi perhatian karena dapat mengarah ke keadaan asidosis.

Latihan berat hanya ditujukan pada penderita DM ringan atau terkontrol saja,

sedangkan DM yang agak berat, GDS mencapai > 350 mg/dl sebaiknya olahraga yang

ringan dahulu. Semua latihan yang memenuhi program CRIPE : Continous,

Rhythmical, Interval, Progressive, Endurance. Continous maksudnya

berkesinambungan dan dilakukan terus-menerus tanpa berhenti. Rhytmical artinya

latihan yang berirama, yaitu otot berkontraksi dan relaksi secara teratur. Interval,

dilakukan selang-seling antara gerak cepat dan lambat. Progresive dilakukan secara

bertahap sesuai kemampuan dari intensitas ringa sampai sedang hingga 30-60 menit.

Endurance, latihan daya tahan untuk meningkatkan kemampuan kardiopulmoner

seperti jalan santai, jogging dll.

4. Intervensi Farmakologis

Intervensi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum tercapai degan

pengaturan makanan dan latihan jasmani.

1. Obat hipoglikemik oral

a. Insulin secretagogue :

sulfonilurea : meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Merupakan obat pilihan

utama untuk pasien dengan berat badan normal dan kurangm namun masih boleh diberikan

kepada pasien dengan berat badan lebih. Contohnya glibenklamid.

Glinid : bekerja cepat, merupakan prandial glucose regulator. Penekanan pada peningkatan

sekresi insulin fase pertama.obat ini berisiko terjadinya hipoglikemia. Contohnya : repaglinid,

nateglinid.

b. Insulin sensitizers

Thiazolindindion. Mensensitisasi insulin dengan jalan meningkatkan efek insulin endogen

pada target organ (otot skelet dan hepar). Menurunkan resistensi insulin dengan

meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga ambilan glukosa di perifer

meningkat. Agonis PPARγ yang ada di otot skelet, hepar dan jaringan lemak.

c. glukoneogenesis inhibitor

Metformin. Bekerja mengurangi glukoneogenesis hepar dan juga memperbaiki uptake

glukosa perifer. Terutama dipakai pada penyandang diabetes gemuk. Kontraindikasi pada

pasien dengan gangguan ginjal dan hepar dan pasien dengan kecendrungan hipoksemia.

d. Inhibitor absorbsi glukosa

α glukosidase inhibitor (acarbose). Bekerja menghambat absorbsi glukosa di usus halus

sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Obat ini tidak

menimbulkan efek hipoglikemi

Hal-hal yang harus diperhatikan :

OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan decara bertahap sesuai respon kadar

glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis maksimal.sulfonilurea generasi I dan II 15-30

menit sebelum makan. Glimepirid sebelum/sesaat sebelum makan. Repaglinid, Nateglinid

sesaat/sebelum makan. Metformin sesaat/pada saat/sebelum makan. Penghambat glukosidase

α bersama makan suapan pertama. Thiazolidindion tidak bergantung jadwal makan.

2. Insulin

Sekresi insulin fisiologis terdiri dari sekresi insulin basal dan sekresi insulin prandial.

Terapi insulin diupayakan mampu meniru pada sekresi insulin yang fisiologis.

Defisiensi insulin mungkin hanya berupa defisiensi insulin basa, insulin prandial atau

keduanya. Defisiensi insulin basal menyebabkan timbulnya hiperglikemia pada keadaan

puasa, sedangkan defisiensi nsulin prandial akan menimbulkan hiperglikemia setelah

makan.

Terapi insulin untuk substitusi ditujukan untuk melakukan koreksi terhadap defisiensi

yang terjadi.

Terapi insulin dapat diberikan secara tunggal berupa insulin kerja cepat (rapid insulin),

kerja pendek (short acting), kerja menengah (intermediate acting) atau insuli campuran

tetap (premixed insulin)

Insulin diperlukan dalam keadaan : penurunan berat badan yang cepat, hiperglikemia

yang berta disertai ketosis, ketoasidosis diabetik, hiperglikemia hiperosmolar non ketotik,

hiperglikemia dengan asidosis laktat, gagal dengan kombinasi OHO dengan dosis yang

hampir maksimal, stress berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke), kehamilan

dengan DM/DM Gestasional yang tidak terkendali dengan perencanaan makan, gangguan

fungsi hepar atau ginjal yang berat, kontraindikasi atau alergi OHO.

3. Terapi Kombinasi

Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah untuk kemudian

diinaikan secara bertahap sesuai dengan respon kadar glukosa darah. Untuk kombinasi OHO

dengan insulin, yang banyak dipakai adalah kombinasi OHO dan insulin basal (kerja

menengah atau kerja lama) yang divberikan pada malam hari atau menjelang tidur. Dengan

pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat diperoleh kendali glukosa yag baik dengan

dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin kerja menengah adalah 6-10 unit yang

diberikan sekitar jam 22.00, kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan menilai

kadar gula darah puasa keesokan harinya. Bila dengan cara seperti ini kadar gula darah

sepanjang hari masih tidak terkendali, maka OHO dihentikan dan diberikan insulin

PENCEGAHAN

• Pencegahan Primer

Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada kelompok yang memiliki faktor

resiko, yakni mereka yang belum terkena tetapi berpotensi untuk mendapat DM dan

kelompok intoleransi glukosa. Materi penyuluhan meliputi program penurunan berat

badan, diet sehat, latihan jasmani dan menghentikan kebiasaan merokok. Perencanaan

kebijakan kesehatan ini tentunya diharapkan memahami dampak sosio-ekonomi

penyakit ini, pentingnya menyediakan fasilitas yang memadai dalam upaya

pencegahan primer6.

• Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat timbulnya penyulit

pada pasien yang telah menderita DM. Program ini dapat dilakukan dengan pemberian

pengobatan yang cukup dan tindakan deteksi dini penyulit sejak awal pengelolaan

penyakit DM. Penyulihan ditujukan terutama bagi pasien baru, yang dilakukan sejak

pertemuan pertama dan selalu diulang pada setiap pertemuan berikutnya. Pemberian

antiplatelet dapat menurunkan resiko timbulnya kelainan kardiovaskular pada

penyandang Diabetes.

• Pencegahan Tersier

Pencegahan tersier ditujukan pada kelompok penyandang diabetes yang telah

mengalami penyulit dalam upaya mencegah terjadinya kecacatan lebih menlanjut.

Pada pencegahan tersier tetap dilakukan penyuluhan kepada pasien dan juga

kelurganya dengan materi upaya rehabilitasi yang dapat dilakakukan untuk mencapai

kualitas hidup yang optimal. Upaya rehabilitasi pada pasien dilakukan sedini mungkin

sebelum kecacatan menetap, misalnya pemberian aspirin dosis rendah80-325 mg/hari

untuk mengurangi dampak mikroangiopati. Kolaborasi yang baik antar para ahli di

berbagai disiplin, jantung, ginjal, mata, bedah ortopedi, bedah vaskular, radiologi,

rehabilitasi medik, gizi, pediatrist dll sangat diperlukan untuk menunjang keberhasilan

pencegahan tersier.

DAFTAR PUSTAKA

1. Gustaviani R. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Dalam : buku ajar ilmu

penyakit dalam. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I dkk, editor. Jilid III. Edisi IV. Jakarta

: balai penerbit FKUI, 2006; 1857.

2. Persi.Faktor Lingkungan dan Gaya Hidup Berperan Besar Memicu Diabetes.2008

[ diakses tanggal 12 Januari 2011] http: //pdpersi.co.id

3. Waspadji S. Komplikasi kronik diabetes : mekanisme terjadinya, diagnosis dan strategi

pengelolaannya. Dalam : buku ajar ilmu penyakit dalam. Sudoyo AW, Setiyohadi B,

Alwi I dkk, editor. Jilid III. Edisi IV. Jakarta : balai penerbit FKUI, 2006; 1906.

4. Soegondo S. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus tipe 2 di

Indonesia 2011. Jakarta : PERKENI, 2011

5. Foster DW.Diabetes melitus. Dalam : Harrison Prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam.

Asdie, A, editor. Volume 5. Jakarta : EGC, 2000; 2196.

6. PERKENI. Konsensus Pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 di Indonesia.

2006. Pengurus Besar Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Jakarta. 2006

7. Waspadji S. Komplikasi Kronik Diabetes : Mekanise Terjadinya, Diagnosis, dan Strategi

Pengelolaan. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi III. Departemen Ilmu Panyakit

Dalam FKUI; 2006; hal. 1920

8. Gustavani R. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam. Edisi III. Departemen Ilmu Panyakit Dalam FKUI; 2006; hal. 1873

9. Price, Sylvia Aderson. Pankreas: Metabolisme glukosa dan diabetes mellitus.

Patofisiologi : Konsep klinis proses-proses/ Sylvia Anderson price, Lorraine Mc Carty

Wilson; alih bahasa, Brahm U. Pendit[et.al.]editor bahasa Indonesia. Jakarta;2005;

hal.1259

A. Definisi Goiter

Goiter adalah pembesaran pada kelenjar tiroid. Pembesaran ini dapat terjadi pada

kelenjar yang normal (eutirodisme), pasien yang kekurangan hormon tiroid

(hipotiroidisme) atau kelebihan produksi hormon (hipetiroidisme).1,2

Hipotiriodisme adalah kelainan struktural atau fungsional kelenjar tiroid sehingga

sintesis dari hormon tiroid menjadi berkurang. Hipertiroid didefinisikan sebagai respon

jaringa-jaringan tubuh terhadap pengaruh metabolisme hormon tiroid yang berlebihan.2,3

B. Klasifikasi Goiter

Menurut American Society for Study of Goiter membagi goiter menjadi:12

1. Goiter Nodusa Non Toksik

2. Goiter Diffusa Non Toksik

3. Goiter Diffusa Toksik

4. Goiter Nodusa Toksik

Istilah Toksik dan Non Toksik dipakai karena adanya perubahan dari segi fungsi

fisiologis kelenjar tiroid seperti hipertiroid dan hipotiroid, sedangkan istilah nodusa dan

diffusa lebih kepada perubahan bentuk anatomi. Struma difus adalah pembesaran yang

merata dengan konsistensi lunak pada seluruh kelenjar tiroid. Struma nodusa adalah jika

pembesaran tiroid terjadi akibat nodul, apabila nodulnya satu maka disebut uninodusa,

apabila lebih dari satu, baik terletak pada satu atau kedua sisi lobus, maka disebut

multinodusa.12

1. Goiter Nodusa Non Toksik

Struma nodosa nontoksik merupakan struma nodosa tanpa disertai tanda- tanda

hipertiroidisme. Pada penyakit struma nodosa nontoksik tiroid membesar dengan

lambat. Awalnya kelenjar ini membesar secara difus dan permukaan licin.

Pembesaran kelenjar tiroid ini bukan merupakan proses inflamasi atau neoplastik dan

tidak berhubungan dengan abnormalitas fungsi tiroid.12

a) Epidemiologi

Perbandingan struma nodosa pada perempuan dan laki –laki adalah 5-10 : 1.

Struma nodosa endemik terjadi pada 10% populasi suatu daerah. Sedangkan

struma nodosa yang bersifat sporadik disebabkan oleh multifaktor seperti

lingkungan dan genetik dan tidak melibatkan populasi umum.

Struma endemis biasanya timbul pada masa kanak – kanak. Struma sporadik

karena penyebab lain jarang terjadi sebelum pubertas dan tidak memiliki usia

insiden puncak. Struma multinodosa biasanya terjadi pada wanita berusia lanjut,

dan perubahan yang terdapat pada kelenjar berupa kombinasi bagian yang

hiperplasia dan bagian yang berinvolusi.

b) EtiologiPenyebab paling banyak dari struma non toksik adalah kekurangan iodium.

Akan tetapi pasien dengan pembentukan struma yang sporadis, penyebabnya

belum diketahui. Struma non toksik disebabkan oleh beberapa hal, yaitu :2,3,13

1) Kekurangan iodium: Defisiensi iodin merupakan penyebab terbanyak struma

nontoksik endemik maupun sporadik.. Pembentukan struma terjadi pada

difesiensi sedang yodium yang kurang dari 50 mcg/d. Sedangkan defisiensi

berat iodium adalah kurang dari 25 mcg/d dihubungkan dengan hipotiroid dan

kretinisme.

2) Kelebihan iodium.

3) Goitrogen :

a) Obat : Propylthiouracil, litium, phenylbutazone, aminoglutethimide,

expectorants yang mengandung yodium

b) Agen lingkungan : Phenolic dan phthalate ester derivative dan

resorcinol berasal dari tambang batu dan batubara.

c) Makanan, Sayur-Mayur jenis Brassica ( misalnya, kubis, lobak cina,

brussels kecambah), padi-padian millet, singkong, dan goitrin dalam

rumput liar.

4) Dishormonogenesis: Kerusakan dalam jalur biosintetik hormon kelejar tiroid

5) Riwayat radiasi kepala dan leher : Riwayat radiasi selama masa kanak-kanak

mengakibatkan nodul benigna dan maligna

c) PatofisiologiStruma yang terjadi akibat kekurangan iodium yang dapat menghambat

pembentukan hormon tiroid oleh kelenjar. Hal tersebut memungkinkan hipofisis

mensekresikan TSH dalam jumlah yang berlebihan. TSH kemudian menyebabkan

sel-sel tiroid mensekresikan tiroglobulin dalam jumlah yang besar (kolid) ke

dalam folikel, dan kelenjar tumbuh makin lama makin bertambah besar.2,3,14

Hal yang mendasari pertumbuhan nodul pada struma nodosa nontoksik

adalah respon dari sel-sel folikular tiroid yang heterogen dalam satu kelenjar

tiroid pad tiap individu. Dalam satu kelenjar tiroid yang normal, sensitivitas sel-

sel dalam folikel yang sama terhadap stimulus TSH dan faktor perumbuhan lain

( IGF dan EGF ) sangat bervariasi. Terdapat sel-sel autonom yang dapat

bereplikasi tanpa stimulasi TSH dan sel-sel sangat sensitif TSH yang lebih cepat

bereplikasi. Sel- sel akan bereplikasi menghasilkan sel dengan sifat yang sama.

Sel-sel folikel dengan daya replikasi yang tinggi ini tidak tersebar merata dalam

satu kelenjar tiroid sehingga lama –kelamaan tumbuh bernodul –nodul.4,13,14

Aktivitas fungsional sel –sel folikular juga sangat bervariasi. Sel –sel

autonom dapat mengambil dan mensintesis iodin tanpa bantuan TSH. Sel –sel ini

akan mensintesis tiroglobulin ( termasuk T4 dan T3) dan memiliki aktivitas

endositotik. Ketidakseimbangan antara sintesis tiroglobulin dan aktivitas

endositotik ini menyebabkan pertumbuhan nodul yang bervariasi. Penyebab dari

munculnya sel –sel autonom ini kemungkinan disebabkan karena adanya mutasi

pada reseptor TSH sel folilkular.4,12,13

2. Goiter Diffusa Non Toksik

Goiter difus adalah bentuk goiter yang membentuk satu buah pembesaran yang

tampak tanpa membentuk nodul. Bentuk ini biasa ditemukan dengan sifat non-toksik

(fungsi tiroid normal), oleh karena itu bentuk ini disebut juga goiter simpel.12

Pada goiter simpel, terdapat dua fase evolusinya, yaitu hiperplastik dan involusi

koloid. Pada fase hiperplastik, kelenjar tiroid membesar secara difus dan simetris,

walaupun pembesarannya tidak terlalu besar (hingga 100-150 gram). Folikel-

folikelnya dilapisi oleh sel kolumner yang banyak dan berdesakan. Akumulasi sel ini

tidak sama di keseluruhan kelenjar. Apabila setelah itu konsumsi iodin ditingkatkan

atau kebutuhan tubuh akan hormon tiroid menurun, terjadi involusi sel epitel folikel

sehingga terbentuk folikel yang besar dan dipenuhi oleh koloid. Biasanya secara

makroskopik tiroid akan terlihat coklat dan translusen, sementara secara histologis

akan terlihat bahwa folikel dipenuhi oleh koloid serta sel epitelnya gepeng dan

kuboid.12

Etiologi struma difusa nontoksik diantaranya :2,3,4

1) Defisiensi iodium

2) Autoimmun thyroiditis: Hashimoto atau postpartum thyroiditis

3) Kelebihan iodium (efek Wolff-Chaikoff) atau ingesti lithium, dengan

penurunan pelepasan hormon tiroid.

4) Stimulasi reseptor TSH oleh TSH dari tumor hipofisis, resistensi hipofisis

terhadap hormon tiroid, gonadotropin, dan/atau tiroid-stimulating

immunoglobulin

5) Inborn errors metabolisme yang menyebabkan kerusakan dalam biosintesis

hormon tiroid.

6) Terpapar radiasi

3. Goiter Diffusa Toksik

Struma diffusa toksik (tirotoksikosis) merupakan hipermetabolisme karena

jaringan tubuh dipengaruhi oleh hormon tiroid yang berlebihan dalam darah.

Penyebab tersering adalah penyakit Grave (gondok eksoftalmik/exopthalmic goiter),

bentuk tiroktosikosis yang paling banyak ditemukan di antara hipertiroidisme

lainnya.2,3,15

a) Epidemiologi

Jumlah penderita penyakit ini di seluruh dunia pada tahun 1999

diperkirakan 200 juta, 12 juta di antaranya terdapat di Indonesia. Angka kejadian

hipertiroid yang didapat dari beberapa klinik di Indonesia berkisar antara 44,44%

– 48,93% dari seluruh penderita dengan penyakit kelenjar gondok. Diantara

pasien-pasien dengan hipertiroid, 60 – 80% merupakan penyakit Grave. Insidensi

tiap tahun pada wanita berusia diatas 20 tahun sekitar 0,7% per 1000. tertinggi

pada usia 40 – 60 tahun. Angka kejadian penyakit Grave 1/5 – 1/10 pada laki-laki

maupun perempuan, dan tidak umum diapatkan pada anak-anak. Prevalensi

penyakit grave sama pada orang kulit putih dan Asia, dan lebih rendah pada orang

kulit hitam. 2

b) Etiologi

Penyakit Graves merupakan salah satu penyakit autoimun yang disebabkan

thyroid-stimulating antibodies (TSAb). Antibodi ini berikatan dan mengaktifkan

thyrotropin receptor (TSHR) pada sel tiroid yang mensintesis dan melepaskan

hormon tiroid. Penyakit Graves berbeda dari penyakit imun lainnya karena

memiliki manifestasi klinis yang spesifik, seperti hipertiroid, vascular goitre,

oftalmopati, dan yang paling jarang infiltrative dermopathy.2,15

Penyakit ini mempunyai predisposisi genetik yang kuat, dimana 15%

penderita mempunyai hubungan keluarga yang erat dengan penderita penyakit

yang sama. Sekitar 50% dari keluarga penderita penyakit Graves, ditemukan

autoantibodi tiroid didalam darahnya. Penyakit ini ditemukan 5 kali lebih banyak

pada wanita dibandingkan pria, dan dapat terjadi pada semua umur. Angka

kejadian tertinggi terjadi pada usia antara 20 tahun sampai 40 tahun.3,4,15

Faktor- faktor resiko antara lain : faktor genetik, faktor imunologis, infeksi,

faktor trauma psikis, penurunan berat badan secara drastis, chorionic

gonadotropin, periode post partum, kromosom X, dan radiasi eksternal.2,3,4,15

1) Faktor genetik

Penyakit Hashimoto dan penyakit graves sering terjadi secara

mengelompok dalam keluarga nampak bersifat genetik. Dalam praktek sehari-

sehari sering ditemukan pengelompokkan penyakit graves dalam satu

keluarga atau keluarga besarnya dalam beberapa generasi. Abnormalitas ini

meliputi antibodi anti-Tg, respon TRH yang abnormal. Meskipun demikian

TSAb jarang ditemukan. Predisposisi untuk penderita penyakit gaves

diturunkan lewat gen yang mengkode antigen HLA.

Adanya gen Gm menunjukkan bahwa orang tersebut mampu

memproduksi immunoglobulin tertentu. Sehingga gen HLA berparan dalam

mengatur fungsi limfosit T-supresor dan T-helper dalam memroduksi TSAb,

dan Gm menunjukkan kemampuan limfosit B untuk membuat TSAb.

2) Faktor imunologis

Penyakit graves merupakan contoh penyakit autoimun yang organ

spesifik, yang ditandai oleh adanya antibodi yang merangsang kelenjar tiroid

(thyroid stimulating antibody atau TSAb).

Teori imunologis penyakit graves :

a) persistensi sel T dan sel B yang autoreaktif

b) diwariskannya HLA khusus dan gen lain yang berespon immunologik

khusus

c) rendahnya sel T dengan fungsi supresor

d) adanya ekspresi HLA yang tidak tepat

e) adanya klon sel T atau B yang mengalami mutasi

f) stimulus poliklonal dapat mengaktifkan sel T

g) adanya reeksposure antigen oleh kerusakan sel tiroid.

Keadaan normal sistem imun tidak bereaksi atau memproduksi

antibodi yang tertuju pada komponen tubuh sendiri yang disebut mempunyai

toleransi imunologik terhadap komponen diri. Apabila toleransi ini gagal dan

sistem imun mulai bereaksi terhadap komponen diri maka mulailah proses

yang disebut autoimmunity. Akibatnya ialah bahwa antibodi atau sel bereaksi

terhadap komponen tubuh, dan terjadilah penyakit. Toleransi sempurna terjadi

selama periode prenatal. Toleransi diri ini dapat berubah atau gagal sebagai

akibat dari berbagai faktor, misalnya gangguan faktor imunologik, virologik,

hormonal dan faktor lain, sedangkan faktor-faktor tersebut dapat berefek

secara tunggal maupun sinkron dengan faktor lainnya. Adanya autoantibodi

dapat menyebabkan kerusakan autoimune jaringan, dan sebaliknya seringkali

autoantibodi ini akibat dari kerusakan jaringan.2,15

Pada penyakit Graves anti-self-antibody dan cell mediated response,

yang biasanya ditekan, justru dilipatgandakan. Reaksinya mencakup

meningkatnya TSAb, Anti TgAb, Anti TPO-Ab, reaksi antibodi terhadap

jaringan orbita, TBII dan respons CMI (Cell Mediated Immunoglobulin).2,15

Hipertiroidisme pada penyakit graves disebabkan karena TSAb.

Setelah terikat dengan reseptor TSH, antibodi ini berlaku sebagai agonis TSH

dan merangsang adenilat siklase dan cAMP. Diperkirakan ada seribu reseptor

TSH pada setiap sel tiroid. Kecuali berbeda karena efeknya yang lama, efek

seluler yang ditimbulkannya identik dengan efek TSH yang berasal dari

hipofisis. TSAb ini dapat menembus plasenta dan transfer pasif ini mampu

menyebabkan hipertiroidisme fetal maupun neonatal, tetapi hanya berlangsung

selama TSAb masih berada dalam sirkulasi bayi. Biasanya pengaruhnya akan

hilang dalam jangka waktu 3-6 bulan. 2,15

Pada penyakit graves terjadi kegagalan sistem imun umum.

Terbentuknya TSAb dapat disebabkan oleh: 2,3,4,15

a) Paparan infeksi atau zat lain yang menyebabkan terbentuknya antibodi

yang dapat bereaksi silang dengan jaringan tiroid. Salah satu bahan yang

banyak diteliti adalah organisme Yersinia enterocolica. Beberapa subtipe

organisme ini mempunyai binding sites untuk TSH, dan beberapa pasien

dengan penyakit graves juga menunjukkan antibodi terhadap anti-

Yersinia.

b) Produksi TSAb diawali dengan injury yang merubah susunan normal

komponen tiroid, mungkin sebagian dari reseptor TSH berubah jadi

antigenik, sehingga bertindak sebagai stimulus bagi pembentukan TSAb.

c) Produksi TSAb disebabkan karena aktivasi sel limfosit B yang selama

dirahim tidak deleted. Kemampuan sel T untuk membentuk TSAb harus

dirangsang dan mengalami diferensiasi menjadi antibody-secreting cells

yang secara terus-menerus distimulasi. Aktivasi, pengembangan dan

kelanjutannya mungkin terjadi karena rangsangan interleukin atau sitokin

lain yang diproduksi oleh sel T helper inducer.

Secara ringkas dapat dikatakan bahwa penyakit Graves adalah kondisi

autoimmun dimana terbentuk antibodi terhadap reseptor TSH. Penyakit graves

adalah gangguan multifaktorial, susceptibilitas genetik berinteraksi dengan

faktor endogen dan faktor lingkungan untuk menjadi penyakit. Termasuk

dalam hal ini HLA-DQ dan HLA-DR juga gen non HLA seperti TNF-β,

CTLA 4 (Cytotoxic T Limphocyte Antigen 4), dan gen reseptor TSH. Penyakit

graves bersifat poligenik dan suseptibilitas gennya dipengaruhi oleh faktor

lingkungan seperti stress, merokok, dan beberapa faktor infeksi. 2,15

3) Trauma Psikis

Pada stress kadar glukokortikoid naik tetapi justru menyebabkan

konversi dari T3 ke T4 terganggu, produksi TRH terhambat, dan akibatnya

produksi hormon tiroid justru turun. Secara teoritis stres mengubah fungsi

limfosit T supresor atau T helper, meningkatkan respon imun dan

memungkinkan terjadinya penyakit graves. Baik stress akut maupun kronik

menimbulkan supresi sistem imun lewat non antigen specific mechanism,

diduga karena efek kortisol dan CRH ditingkat sel immun.

4) Radiasi Tiroid eksternal

Dilaporkan kasus eksoftalmus dan tirotoksikosis sesudah mengalami

radioterapi daerah leher karena proses keganasan. Secara teoritis radiasi ini

yang merusak kelenjar tiroid dan menyebabkan hipotiroidisme, dapat

melepaskan antigen serta menyulut penyakit tiroid autoimmun. Iradiasi

memberi efek bermacam-macam pada subset sel T, yang mendorong

disregulasi imun.

5) Chorionic Gonadothropin Hormon

Hipertiroidisme dapat disulut oleh stimulator yang dihasilkan oleh

jaringan trofoblastik. Tirotropin trofoblast ini bukan suatu IgG, tetapi secara

imunologik cross-react dengan TSH manusia. Diduga bahan ini ialah hCG

(yang mempunyai sub unit alfa yang sama dengan TSH) atau derivat hCG.

Secara klinis gejala tirotoksikosis ini terlihat pada hyperemesis gravidarum,

dimana T4 dan juga T3 dapat meningkat disertai menurunnya TSH, kalau

hebat maka klinis terlihat tanda hipertiroidisme juga. Apabila muntahnya

berhenti maka kadar hormon tiroid diatas kembali normal.

c) Patofisiologi

Pada penyakit Graves, limfosit T mengalami perangsangan terhadap

antigen yang berada didalam kelenjar tiroid yang selanjutnya akan merangsang

limfosit B untuk mensintesis antibodi terhadap antigen tersebut. Antibodi yang

disintesis akan bereaksi dengan reseptor TSH didalam membran sel tiroid

sehingga akan merangsang pertumbuhan dan fungsi sel tiroid, dikenal dengan

TSH-R antibody. Adanya antibodi didalam sirkulasi darah mempunyai korelasi

yang erat dengan aktivitas dan kekambuhan penyakit. Mekanisme autoimunitas

merupakan faktor penting dalam patogenesis terjadinya hipertiroidisme,

oftalmopati, dan dermopati pada penyakit Graves.2

Sampai saat ini dikenal ada 3 autoantigen utama terhadap kelenjar tiroid

yaitu tiroglobulin (Tg), thyroidal peroxidase (TPO) dan reseptor TSH (TSH-R).

Disamping itu terdapat pula suatu protein dengan BM 64 kiloDalton pada

permukaan membran sel tiroid dan sel-sel orbita yang diduga berperan dalam

proses terjadinya perubahan kandungan orbita dan kelenjar tiroid penderita

penyakit Graves.2

Sel-sel tiroid mempunyai kemampuan bereaksi dengan antigen diatas dan

bila terangsang oleh pengaruh sitokin (seperti interferon gamma) akan

mengekspresikan molekul-molekul permukaan sel kelas II (MHC kelas II, seperti

DR4) untuk mempresentasikan antigen pada limfosit T.2,15

Terjadinya oftalmopati Graves melibatkan limfosit sitotoksik (killer cells)

dan antibodi sitotoksik lain yang terangsang akibat adanya antigen yang

berhubungan dengan tiroglobulin atau TSH-R pada fibroblast, otot-otot bola mata

dan jaringan tiroid. Sitokin yang terbentuk dari limfosit akan menyebabkan

inflamasi fibroblast dan miositis orbita, sehingga menyebabkan pembengkakan

otot-otot bola mata, proptosis dan diplopia.2,4,15

Dermopati Graves (miksedema pretibial) juga terjadi akibat stimulasi

sitokin didalam jaringan fibroblast didaerah pretibial yang akan menyebabkan

terjadinya akumulasi glikosaminoglikans. 2

Berbagai gejala tirotoksikosis berhubungan dengan perangsangan

katekolamin, seperti takikardi, tremor, dan keringat banyak. Adanya

hiperreaktivitas katekolamin, terutama epinefrin diduga disebabkan karena

terjadinya peningkatan reseptor katekolamin di dalam otot jantung.2

d) Gambaran Klinis

Pada penyakit graves terdapat dua kelompok gambaran utama yaitu tiroidal

dan ekstratiroidal yang keduanya mungkin tidak tampak. Ciri-ciri tiroidal berupa

goiter akibat hiperplasia kelenjar tiroid dan hipertiroidisme akibat sekresi hormon

tiroid yang berlebihan. Gejala-gejala hipertiroidisme berupa manifestasi

hipermetabolisme dan aktifitas simpatis yang berlebihan. Manifestasi

ekstratiroidal berupa oftalmopati dan infiltrasi kulit lokal yang biasanya terbatas

pada tungkai bawah. Oftalmopati yang ditemukan pada 50% sampai 80% pasien

ditandai dengan mata melotot, fissura palpebra melebar, kedipan berkurang, lid

lag (keterlambatan kelopak mata dalam mengikuti gerakan mata) dan kegagalan

konvergensi. Gambaran klinik klasik dari penyakit graves antara lain adalah

hipertitoidisme, goiter difus dan eksoftalmus.4,15

e) Tes Laboratorik

Kadar T3 dan T4 meninggi, ambilan yodium radioaktif biasanya meningkat.

Kombinasi hasil pemeriksaan laboratorium Thyroid Stimulating Hormone

Sensitive (TSHS) yang tak terukur atau jelas subnormal dan Free T4 (FT4)

meningkat, jelas menunjukkan hipertiroidisme. Pemeriksaan auto antibodi tiroid

membantu untuk membedakan penyakti autoimun dengan penyebab lain.15

4. Goiter Nodusa Toksik

Struma nodular toksik adalah kelenjar tiroid yang mengandung nodul tiroid

yang mempunyai fungsi yang otonomik, yang menghasilkan suatu keadaan

hipertiroid.2,4,12

a) Epidemiologi

Struma nodular toksik lebih sering terjadi pada wanita daripada pria. Pada

wanita dan pria berusia diatas 40 tahun, rata – rata prevalensi nodul yang bisa

teraba adalah 5 – 7 % dan 1 – 2 %. Kebanyakan pasien struma nodular toksik

berusia lebih dari 50 tahun.

Pada area endemik kekurangan iodium, struma nodular toksik terjadi

sekitar 40 % dari kasus hipertiroidism, 10 % berbentuk nodul toksik yang solid

(mononoduler/adenoma toksik) dan 30% berbentuk multinoduler. Grave disease

terjadi sekitar 58 % dari seluruh kasus hipertiroidisme.

b) Etiologi dan Patogenesis

Fungsi otonomik dari kelenjar tiroid berhubungan dengan kekurangan

iodium. Berbagai variasi mekanisme , diantaranya :2,3,4,12

1) Keadaan yang menjurus pada struma nodular toksik

Defisiensi iodium berdampak pada penurunan kadar T4, yang mencetus

hiperplasia sel tiroid untuk mengkompensasi kadar T4 yang rendah.

Peningkatan replikasi sel tiroid merupakan faktor predisposisi sel tunggal

untuk mengalami mutasi somatik dari reseptor TSH. Aktifasi konstitutif dari

reseptor TSH bisa membuat faktor autokrin yang mempromosikan

pertumbuhan yang menghasilkan proliferasi klonal. Sel klon memproduksi

nodul yang multiple.

2) Mediator pertumbuhan yang terlibat diantaranya:

Produksi Endhotelin 1 (ET – 1) meningkat pada kelenjar tiroid tikus

yang mengalami hiperplasia, ini menunjukkan bahwa produksi ET-1

meningkatkan pertumbuhan kelenjar tiroid dan vaskularisasinya. ET-1

merupakan suatu vasokonstriktor, mitogen dari vascular endothelium, sel otot

polos dan sel folkular tiroid.

C. Penegakkan Diagnosis Goiter

1. Anamnesis

Pada anamnesis, keluhan utama yang diutarakan oleh pasien bisa berupa

benjolan di leher yang sudah berlangsung lama, maupun gejala-gejala hipertiroid

atau hipotiroidnya. Jika pasien mengeluhkan adanya benjolan di leher, maka harus

digali lebih jauh apakah pembesaran terjadi sangat progresif atau lamban, disertai

dengan gangguan menelan, gangguan bernafas dan perubahan suara. Setelah itu baru

ditanyakan ada tidaknya gejala-gejala hiper dan hipofungsi dari kelenjer tiroid. Perlu

juga ditanyakan tempat tinggal pasien dan asupan garamnya untuk mengetahui

apakah ada kecendrungan ke arah goiter. Sebaliknya jika pasien datang dengan

keluhan ke arah gejala-gejala hiper maupun hipofungsi dari tiroid, harus digali lebih

jauh ke arah hiper atau hipo dan ada tidaknya benjolan di leher.3,4,16

Gejala-gejala hipotiroidisme pada bayi baru lahir adalah kesukaran bernapas,

sianosis, ikterus, kesulitan makan, tangisan kasar, hernia umbilikalis dan retardasi

berat dan retardasi pematangan tulang yang nyata. Epifisis tibia proksimal dan

epifisis femur distal terdapat pada semua bayi cukup bulan dengan berat badan lebih

dari 2500 g. Tidak adanya epifisis ini merupakan bukti kuat adanya hipotiroidisme.

Hipotiroidisme pada anak-anak ditandai adanya retardasi pertumbuhan dan tanda-

tanda retardasi mental. sedangkan hipertiroidisme pada anak-anak terdapat

pertumbuhan cepat dengan pematangan tulang yang lebih cepat.

Hal yang perlu diperhatikan dalam mengevaluasi pasien dengan struma

nontoksik adalah pola pertumbuhan struma, gejala obstruksi atau kompresi (rasa

tercekik di tenggorokan, suara serak, kesulitan menelan kesulitan bernafas, disfagia),

dan keluhan kosmetik. Sedangkan pada struma toksik yang perlu diperhatikan gejala

dan tanda hipertiroid.16

Indeks Wayne digunakan untuk menentukan apakah pasien mengalami

eutiroid, hipotiroid atau hipertiroid. 4

Tabel 1.

Indeks

Wayne

2.

Pemeriksaan Fisik Tiroid

1) Inspeksi

a) Pemeriksa berada di depan penderita. Penderita sedikit duduk dengan kepala

sedikit fleksi atau leher terbuka sedikit hiperekstensi agar m.

sternokleidomastoideus relaksasi sehingga kelenjar tiroid mudah dievaluasi.

b) Apabila terdapat pembengkakan atau nodul, perlu diperhatikan beberapa

komponen berikut:

Gejala subjektif Angka Gejala objektif Ada Tidak

Dispneu d’ effort +1 Tiroid teraba +3 -3

Palpitasi +2 Bruit diatas systole +2 -2

Capai/lelah +2 Eksoftalmus +2 -

Suka panas -5 Lid retraksi +2 -

Suka dingin +5 Lid lag +1 -

Keringat banyak +3 Hiperkinesis +4 -2

Nervous +2 Tangan panas +2 -2

Tangan basah +1 Nadi

Tangan panas -1 <80x/m - -3

Nafsu makan ↑ +3 80-90x/m -

Nafsu makan ↓ -3 >90x/m +3

BB ↑ -3 < 11 Hipotiroid

11-18 normal

> 19 hipertiroid

BB ↓ +3

Fibrilasi atrium +3

Jumlah

c) Lokasi: lobus kanan, lobus kiri, atau ismus

d) Ukuran: besar/kecil, permukaan rata/noduler

e) Jumlah: uninodusa atau multinodusa

f) Bentuk: apakah difus (leher terlihat bengkak) ataukah berupa noduler lokal

g) Gerakan: pasien diminta untuk menelan, apakah pembengkakannya ikut bergerak

h) Pulsasi: bila nampak adanya pulsasi pada permukaan pembengkakan

2) Palpasi

a) Pasien diminta untuk duduk, leher dalam posisi fleksi, pemeriksa berdiri di

belakang pasien dan meraba tiroid dengan menggunakan kedua tangan. Beberapa

hal yang perlu dinilai pada pemeriksaan palpasi:

b) Perluasan dan tepi

c) Gerakan saat menelan, apakah batas bawah dapat diraba atau tidak dapat diraba

trakea dan kelenjarnya

d) Konsistensi, temperatur, permukaan, dan adanya nyeri tekan

e) Hubungan dengan m. sternokleidomastoideus (tiroid letaknya lebih dalam dari

musculus ini)

f) Limfonodi dan jaringan sekitarnya

3) Auskultasi

Bruit sound pada ujung bawah kelenjar tiroid.

Sekitar 5% struma nodosa mengalami keganasan. Di klinik perlu dibedakan nodul

tiroid jinak dan nodul ganas yang memiliki karakteristik :3,4,16

1) Konsistensi keras pada beberapa bagian atau menyeluruh pada nodul dan sukar

digerakkan, walaupun nodul ganas dapat mengalami degenerasi kistik dan kemudian

menjadi lunak.

2) Sebaliknya nodul dengan konsistensi lunak lebih sering jinak, walaupun nodul yang

mengalami kalsifikasi dapat ditemukan pada hiperplasia adenomatosa yang sudah

berlangsung lama.

3) Infiltrasi nodul ke jaringan sekitarnya merupakan tanda keganasan, walaupun nodul

ganas tidak selalu melakukan infiltrasi. Jika ditemukan ptosis, miosis, dan enoftalmus

merupakan tanda infiltrasi ke jaringan sekitar

4) 20% nodul soliter bersifat ganas sedangkan nodul multipel jarang yang ganas.

5) Nodul yang muncul tiba-tiba atau cepat membesar perlu dicurigai ganas terutama

yang tidak disertai nyeri. Atau nodul lama yang tiba-tiba membesar progresif

6) Nodul dicurigai ganas bila disertai dengan pembesaran kelenjar getah bening regional

atau perubahan suara menjadi serak.

Pulsasi arteri karotis teraba dari arah tepi belakang muskulus sternokleidomastoideus

karena desakan pembesaran nodul (Berry’s Sign).

3. Pemeriksaan Fisik Khusus

a. Pumberton’s sign: mengangkat kedua tangan ke atas, muka menjadi merah

b. Tremor sign: tangan kelihatan gemetaran. Jika tremor halus, diperiksa dengan

meletakkan sehelai kertas di atas tangan

4. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium yang digunakan dalam mendiagnosis penyakit tiroid

terbagi atas :2,3,4

a. Pemeriksaan untuk mengukur fungsi tiroid. Pemeriksaan untuk mengetahui kadar

T3 dan T4 serta TSH paling sering menggunakan teknik radioimmunoassay (RIA)

dan ELISA dalam serum atau plasma darah. Kadar T4 serum di bawah 6 g/dL atau

TSH serum di atas 30 U/mL indikatif adanya hipotiroidisme neonatal. Diagnosis

dapat dikonfirmasi dengan bukti radiologis adanya retardasi umur tulang.

Tabel 2. Nilai rujukan uji fungsi tiroid

Uji Kelompok Subyek Rentang nilai Unit

TSH Usia 4 hari

2 – 20 minggu

21 – 54 tahun

55 – 87 tahun

Wanita hamil

1 – 39

1,7 – 9,1

0,7 – 4

0,4 – 4,2

0,3 – 5,2

mlU/L

T4 Neonatus

Dewasa

6,5

4,6 – 11

µg/dL

T3 Dewasa 20 – 50 tahun

Dewasa 51 – 90 tahun

70 – 204

40 – 181

ng/dL

b. Pemeriksaan untuk menunjukkan penyebab gangguan tiroid. Antibodi terhadap

macam-macam antigen tiroid yang ditemukan pada serum penderita dengan

penyakit tiroid autoimun. Seperti antibodi tiroglobulin dan thyroid stimulating

hormone antibody. Apabila ibu dicurigai menderita hipotiroid maka bayi perlu

diperiksa antibodi antitiroid. Kadar Thyroid Binding Globulin (TGB) diperiksa bila

ada dugaan defisiensi TGB yaitu bila pengobatan hormon tiroid tidak berespon.

c. Pemeriksaan radiologis

Foto rontgen dapat memperjelas adanya deviasi trakea atau pembesaran struma

retrosternal yang pada umumnya secara klinis pun sudah bisa diduga. Foto

rontgen leher posisi AP dan lateral biasanya menjadi pilihan.

USG tiroid yang bermanfaat untuk menentukan jumlah nodul, membedakan

antara lesi kistik maupun padat, mendeteksi adanya jaringan kanker yang tidak

menangkap iodium dan bisa dilihat dengan scanning tiroid.

Scanning Tiroid dasarnya adalah presentasi uptake dari I 131 yang

didistribusikan tiroid. Dari uptake dapat ditentukan teraan ukuran, bentuk lokasi

dan yang utama ialah fungsi bagian-bagian tiroid (distribusi dalam kelenjar).

Uptake normal 15-40% dalam 24 jam. Dari hasil scanning tiroid dapat

dibedakan 3 bentuk, yaitu cold nodule bila uptake nihil atau kurang dari normal

dibandingkan dengan daerah disekitarnya, ini menunjukkan fungsi yang rendah

dan sering terjadi pada neoplasma. Bentuk yang kedua adalah warm nodule bila

uptakenya sama dengan sekitarnya, menunjukkan fungsi yang nodul sama

dengan bagian tiroid lain. Terakhir adalah hot nodule bila uptake lebih dari

normal, berarti aktifitasnya berlebih dan jarang pada neoplasma.

d. Pemeriksaan histopatologis FNAB (Fine Needle Aspiration Biopsy) dapat membantu

menegakkan 80 % diagnosis. FNAB tidak perlu dilakukan pada lesi berukuran kurang

dari 10 mm. Satu sampai sepuluh persen struma multinodosa merupakan karsinoma.