tugas pak iskandar

46
I. PENDAHULUAN Daging merupakan bahan pangan yang penting dalam memenuhi kebutuhan gizi. Selain mutu proteinnya tinggi, pada daging terdapat pula kandungan asam amino esensial yang lengkap dan seimbang. Keunggulan lain, protein daging lebih mudah dicerna ketimbang yang berasal dari nabati. Bahan pangan ini juga mengandung beberapa jenis mineral dan vitamin. Karakteristik kualitas daging merupakan karakteristik yang dinilai oleh konsumen dalam memenuhi palatabilitasnya, berkaitan dengan penilaian sensorik atau organoleptik. Kualitas daging atau bahan pangan pada umumnya, dinilai oleh konsumen pada awalnya melalui pendekatan organ-organ panca indera. Sehingga karakteristik kualitas pada daging menyangkut warna, keempukan, citarasa (flavour), dan kebasahan (juiciness). Secara organoleptik (sensorik), warna dinilai oleh organ penglihatan, keempukan dinilai melalui perabaan dan pencicipan (gigi, tangan, dan lidah), citarasa dinilai melalui pencicipan dan penciuman (lidah dan hidung), dan kebasahan dinilai oleh pencicipan (lidah). Karakteristik kualitas ini sering pula disebut sebagai eating quality (kualitas makan). Penilaian karakteristik kualitas ini yang pada awalnya dinilai oleh konsumen secara organoleptik,

Upload: winky-ary-angga

Post on 19-Feb-2015

120 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Tugas Pak Iskandar

I. PENDAHULUAN

Daging merupakan bahan pangan yang penting dalam memenuhi

kebutuhan gizi. Selain mutu proteinnya tinggi, pada daging terdapat pula

kandungan asam amino esensial yang lengkap dan seimbang. Keunggulan lain,

protein daging lebih mudah dicerna ketimbang yang berasal dari nabati. Bahan

pangan ini juga mengandung beberapa jenis mineral dan vitamin.

Karakteristik kualitas daging merupakan karakteristik yang dinilai oleh

konsumen dalam memenuhi palatabilitasnya, berkaitan dengan penilaian sensorik

atau organoleptik. Kualitas daging atau bahan pangan pada umumnya, dinilai oleh

konsumen pada awalnya melalui pendekatan organ-organ panca indera. Sehingga

karakteristik kualitas pada daging menyangkut warna, keempukan, citarasa

(flavour), dan kebasahan (juiciness). Secara organoleptik (sensorik), warna dinilai

oleh organ penglihatan, keempukan dinilai melalui perabaan dan pencicipan (gigi,

tangan, dan lidah), citarasa dinilai melalui pencicipan dan penciuman (lidah dan

hidung), dan kebasahan dinilai oleh pencicipan (lidah). Karakteristik kualitas ini

sering pula disebut sebagai eating quality (kualitas makan).

Penilaian karakteristik kualitas ini yang pada awalnya dinilai oleh

konsumen secara organoleptik, berkembang menjadi penilaian dengan

menggunakan peralatan untuk menghindari subyektifitas. Namun demikian para

pakar dibidang organoleptik menyatakan bahwa justru penilaian dengan

menggunakan alatlah yang lebih subyektif karena alat merupakan imitasi dari

organ-organ panca indera yang digunakan lebih awal dalam penilaian tersebut.

Alat yang dipergunakan untuk menilai keempukan daging diciptakan melalui

imitasi dari kemampuan gigi geligi (geraham) dalam melakukan gigitan pertama

dan selama pengunyahan pada daging. Pendekatan statistik melalui penggunaan

sejumlah panelis terlatih dan pengulangan berulang kali dalam penilaian kualitas

secara sensorik/organoleptik dimaksudkan adalah untuk lebih mengobjektifkan

hasil penilaian tersebut.

Penentuan harga pada saat jual beli ternak siap potong,

umumnyadidasarkan pada taksiran pada saat ternak masih hidup, meskipun

Page 2: Tugas Pak Iskandar

dibeberapa tempat terutama ternak besar, penentuan harga ditentukan olehberat

karkas yang dihasilkan oleh ternak yang bersangkutan. Bila hargaternak hidup

ditentukan berdasarkan penaksiran, maka pembeli harus sudahbisa

memperkirakan berapa banyak karkas yang akan didapat, berapa nilaidari hasil

ikutan seperti kulit, jeroan dan sisa karkas lainnya.Penampilan ternak saat hidup

mencerminkan produksi dan kualitaskarkasnya. Ketepatan penaksir dalam

menaksir nilai ternak tergantung padapengetahuan penaksir dan kemampuan

menterjemahkan keadaan dariternak itu Pada dasarnya, kualitas karkas adalah

nilai karkas yang dihasilkan oleh ternak relatif terhadap suatu kondisi pemasaran.

Faktor yang menentukan nilai karkas meliputi berat karkas, jumlah daging yang

dihasilkan dan kualitas daging dari karkas yang bersangkutan.

Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh ternak yang akan

dipotong agar diperoleh kualitas daging yang baik, yaitu

1. ternak harus dalam keadaan sehat, bebas dari berbagai jenis penyakit,

2. ternak harus cukup istirahat, tidak diperlakukan kasar, serta tak

mengalami stres agar kandungan glikogen otot maksimal,

3. penyembelihan dan pengeluaran darah harus secepat dan sesempurna

mungkin,

4. cara pemotongan harus higienis.

Page 3: Tugas Pak Iskandar

KARKAS RUMINANSIA BESAR ( SAPI )

Karkas adalah bagian tubuh yang telah mengalami proses pemotongan

tanpa kepala, keempat kaki bagian bawah mulai dari carpus dan tarsus, kulit,

darah dan organ dalam (hati, saluran pencernaan, jantung, saluran reproduksi,

paru-paru, limpa kecuali ginjal. Karkas dapat dibagi dalam bentuk recahan karkas

(yeld grade) atau potongan karkas.  Potongan komponen karkas berbeda-beda dari

satu tempat ketempat lain sesuai dengan sistem pemotongan untuk dijual dan

kebiasaan masyarakat dalam memilih depot perdagingan pada karkas.  Namun

setiap spesies mempunyai potongan komponen karkas tersendiri

Potongan komponen karkas pada sapi ditetapkan atas Round, Rump, Loin,

Ribs, Chuck, Shank, Flank, Plate dan Brisket. Potongan komponen karkas pada

babi yaitu Ham, Loin, Boston, Butt, Ribs, Picnic dan Jowl. Potongan komponen

karkas domba dibagi menjadi delapan bagian yaitu  Leg (paha), Loin (lemusir),

Rack (punggung-rusuk), Neck (leher), Middle neck (tengkuk) dan Shank (kaki)

Kualitas karkas

Pada dasarnya, kualitas karkas adalah nilai karkas yang dihasilkan oleh

ternak  relatif terhadap suatu kondisi pemasaran. Faktor yang menentukan nilai

karkas meliputi berat karkas, jumlah daging yang dihasilkan dan kualitas daging

dari karkas yang bersangkutan. Nilai karkas dikelompokkan berdasarkan jenis

kelamin atau tipe ternak yang menghasilkan karkas, umur atau kedewasaan

ternak, dan jumlah lemak intramuskular atau marbling didalam otot. Faktor nilai

karkas dapat diukur secara subjektif, misalnya dengan pengujian organol eptik

atau metode panel. Disamping kualitas (nilai) karkas, juga dikenal kualitas hasil,

yaitu estimasi jumlah daging yang dihasilkan dari suatu karkas (Soeparno, 1998).

Faktor kualitas daging yang dimakan terutama meliputi warna, keempukan dan

tekstur, flavor dan aroma termasuk bau dan cita rasa dan kekasan jus daging

( juiciness). Disamping itu, lemak intramuskular, susut masak (cooking loss)

yaitu: Berat sampel daging yang hilang selama pemasakan atau pemanasan,

retensi cairan dan pH daging, ikut menentukan kualitas daging

Page 4: Tugas Pak Iskandar

Aspek-Aspek yang Harus Diperhatikan Untuk Menghasilkan Karkas /

Daging yang Berkualitas dengan Tujuan utama untuk usaha peternakan pedaging

adalah untuk menghasilkan produk daging dan karkas yang berkualitas baik.

Kualitas daging dan karkas ini secara umum sangat dipengaruhi oleh tiga aspek,

yaitu aspek produksi, aspek pemanenan (pemotongan), dan aspek penanganan

segera setelah pemanenan (pemotongan) (Soeparno, 1994) .

1. Aspek Produksi

Aspek produksi menyangkut seluruh rangkaian proses produksi

peternakan termasuk di dalamnya adalah faktor genetik dan lingkungan. Faktor

genetik yang turut mempengaruhi kualitas daging dan karkas adalah spesies,

breed (bangsa), tipe ternak, dan jenis kelamin ternak. Sebagai contoh adalah

kerbau memiliki serat daging yang lebih kasar dari pada sapi. Sapi potong

bangsa angus lebih memiliki kecenderungan menimbun lemak intramuskular

dari pada bangsa sapi yang lain. Pada sapi madura memiliki persentase karkas

yang lebih rendah dibanding dengan sapi bali meskipun daging total yang

diperoleh bisa jadi lebih banyak. Demikian halnya bahwa tipe ternak perah

akan memiliki kecenderungan penimbunan lemak pada ginjal dan pelviksnya

(Soeparno, 1994).

2. Aspek pemanenan (pemotongan)

Sebelum Pemotongan Selain aspek produksi sebagaimana disebutkan di

atas, penyembelihan ternak memiliki peranan penting dalam mempertahankan

kualitas daging / karkas yang di hasilkan. Ini terkait dengan kerja fisiologis

ternak, perubahan-perubahan baik fisik  maupun biokemis segera setelah

disembelih, dan pencemaran daging oleh mikroorganisme (Soeparno, 1994).

Pada prinsipnya dalam persiapan penyembelihan ternak adalah bagaimana

mengkondisikan ternak baik secara fisik, emosional, dan fisiologis siap

untuk disembelih dengan sebaik-baiknya sehingga pada proses penyembelihan-

nya darah yang dikeluarkan sebanyak mungkin dan ternak tidak merasa

tersiksa (Soeparno,1994). Berkenaan dengan kesiapan ternak untuk siap

disembelih maka beberapa hal perlu diperhatikan sebelum ternak disembelih.

Page 5: Tugas Pak Iskandar

a. Ternak harus diistirahatkan secukupnya dan tenang sesaat menjelang

eksekusi. 

b. ternak harus dihindarkan dari tekanan dan perlakuan menyakiti.

c. ternak harus dalam keadaan sehat (Soeparno, 1994).Ternak yang cukup

istirahat dan tenang sebelum penyembelihan diharapkanakan mendapatkan

kualitas karkas / daging bermutu tinggi dibandingkan dengan ternak yang

sebelum penyembelihan dalam kondisi kelelahan dan mendapat tekanan

(stres).

Kualitas karkas dan daging dipengaruhi oleh faktor sebelum dan

setelah pemotongan. Faktor sebelum pemotongan yang dapat mempengaruhi

kualitas daging antara lain genetik, spesies, bangsa, tipe ternak, jenis kelamin,

umur, pakan termasuk  bahan aditif (hormon, antibiotik atau mineral), dan stress.

Faktor setelah pemotonganyang mempengaruhi kualitas daging antara lain

meliputi metode pelayuan, stimulasi listrik, metode pemasakan, pH karkas dan

daging, bahan tambahan termasuk enzim pengempuk daging, hormon dan

antibiotik, lemak intramuskuler atau marbling, metode penyimpanan dan

preservasi, macam otot daging dan lokasi pada suatu otot daging (Soeparno,

1998). Faktor lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap kualitas karkas dan

daging diantaranya adalah status nutrisi dan konsumsi pakan, umur dan berat

tubuh ternak saat dipotong, bahan aditif, dan stres. Status nutrisi bisa jadi

merupakan faktor  lingkungan yang terpenting yang mempengaruhi komposisi

karkas dan daging. Ternak yang mengkonsumsi pakan dengan kandungan energi

tinggi akan meningkatkan kadar lemak tubuhnya

Bagian – Bagian Karkas

Page 6: Tugas Pak Iskandar

1. Leg (paha)

Sampil. dalam bahasa Inggris chuck, didapat dari daging paha atas, bahu

dan punuk.  Sampil merupakan daging yang kurang lunak namun penuh rasa

karena kandungan kolagen yang cukup tinggi. Karena harganya yang lumayan

bersahabat dibandingkan potongan prima seperti has dalam, sampil adalah salah

satu potongan daging yang cocok untuk dipakai dalam hidangan sehari-hari.Untuk

mengatasi sifatnya yang kurang lunak, sampil sebaiknya dimasak dengan

cara stewing (dimasak dalam cairan, seperti rendang, kari atau semur), atau

diungkep (dimasak dengan sedikit cairan dengan panci tertutup rapat). 

Daging sampil juga bisa dipotong kecil-kecil untuk kemudian digunakan

dalam sop atau dalam oseng-oseng,  diolah menjadi bakso, abon atau empal. Jika

Anda ingin membuat hamburger yang lezat dan ekonomis, maka sampil yang

digiling sangatlah cocok untuk dibuat hamburger.Sampil kecil, dalam bahasa

Inggris blade tetapi juga disebut clod, oyster atau oyster blade, merupakan sampil

bagian bahu atas dan bawah yang berbentuk segi empat. Sampil kecil merupakan

potongan daging yang tebal namun empuk, bisa dimasak menjadi rendang, kari,

steak, oseng-oseng.Kijen atau chuck tender berbentuk kerucut yang terlapis kulis

luar yang tipis. Potongan ini juga cukup empuk untuk dimasak sebagai steak,

namun juga bisa dibuat rendang, sop dan oseng-oseng.

Page 7: Tugas Pak Iskandar

2. Rack (dada)

Sandung lamur, dalam bahasa Inggris brisket, adalah potongan dari bagian

dada. Potongan ini agak berlemak, dan bisa dimasak dalam berbagai hidangan

seperti soto atau pho, atau hidangan berkuah yang dimasak dengan api kecil

hingga empuk seperti Asem-Asem Sandung Lamur atau Sandung Lamur Cabai

Hijau. Di negara-negara Barat sandung lamur digunakan untuk membuat corned

beef serta smoked brisket. Potongan sandung lamur lainnya adalah sandung lamur

bagian pangkal (brisket naval end) dan sandung lamur bagian ujung (brisket point

end).

3. Loin ( lemusir )

Lamusir depan, atau cube roll, diambil dari bagian punggung, dipotong

dari rusuk keempat hingga rusuk keduabelas. Lamusir termasuk daging yang

lunak karena terdapat butir-butir lemak didalamnya. Cara meyiapkannya dengan

dipanggang dalam oven, dibakar atau digrill. Iga adalah potongan daging yang

berasal sekitar tulang rusuk, yaitu dari rusuk keenam hingga keduabelas. Tulang

iga, atau short ribs, bisa diolah menjadi sop seperti sop konro atau dimasak semur.

Iga juga bisa dipanggang, dibarbecue, dan diungkep. Rib-eye steak adalah

potongan dalam bentuk steak, bisa dengan tulang (bone in) atau tanpa tulang

(boneless).

4. Shortloin, has luar, sirloin

Shortloin dan has luar (striploin) adalah potongan daging bagian belakang

sapi. Sirloin adalah bagian daging yang terletak persis di belakang shortloin dan di

atasnya tenderloin atau has dalam. Di Indonesia sirloin juga disebut sebagai has

luar. Potongan shortloin and has luar dipotong lagi menjadi steak seperti

Porterhouse Steak, T-Bone steak, strip steak. Otot dari bagian sapi ini masih

bekerja cukup keras, namun beban pekerjaannya tidak seberat sampil, punuk dan

betis depan sehingga dagingnya lumayan lunak. Meskipun jenis daging ini

termasuk dalam kategori prima, harganya tidak semahal has dalam. Has luar bisa

Page 8: Tugas Pak Iskandar

dimasak dengan berbagai cara yaitu sebagai steak, diiris tipis-tipis untuk

keperluan sukiyaki, yakiniki atau shabu-shabu.

5. Has dalam

Has dalam, dalam bahasa Inggris tenderloin atau fillet, adalah potongan

daging yang paling empuk dan kandungan lemaknya tidak besar. Lokasi potongan

daging ini ditengah-tengah sirloin. Karena daging ini sangat lunak, cara

memasaknya dengan cepak supaya tekstur daging tidak rusak. Has dalam bisa

dipotong untuk dipanggang dalam oven, atau bisa juga dipotong dalam

bentuk steak (tenderloin steak, fillet mignon). Biasanya steak tartare dibuat dari

has dalam. Harga jenis potongan ini adalah yang paling mahal dibandingkan

dengan potongan yang lainnya.

6. Flank ( perut )

Samcan atau flank,  adalah potongan dari bagian otot perut. Bentuknya

panjang dan datar, dan kurang lunak. Di Prancis daging ini dinamakan bavette,

dimasak secukupnya saja dan dimakan rare supaya daging tidak menjadi a lot

karena dimasak terlalu lama. Samcan yang diiris tipis-tipis seringkali dijual

sebagai daging oseng-oseng. Samcan bisa didiamkan dalam marinade satu malam

atau beberapa hari untuk membantu proses pelunakan dan setelah dimasak

dipotong menjadi irisan tipis  atau bisa juga dipukul-pukul sebelum dimasak.

7. Shank ( kaki depan )

Sengkel, dari bahasa Belanda schenkel, dalam bahasa Inggris shank atau

shin merupakan daging yang terdapat di bagian atas betis sapi. Potongan daging

ini tidak lunak, dan bisa dibuat menjadi kari, sop, digiling untuk dijadijan daging

cincang yang tidak begitu berlemak.

Page 9: Tugas Pak Iskandar

II. HASIL DAN PEMBAHASAN

Kualitas karkas dan daging dipengaruhi oleh faktor sebelum dan setelah

pemotongan. Faktor sebelum pemotongan yang dapat mempengaruhi kualitas

daging antara lain genetik, spesies, bangsa, tipe ternak, jenis kelamin, umur, pakan

termasuk bahan aditif (hormon, antibiotik atau mineral), dan stress. Faktor setelah

pemotongan yang mempengaruhi kualitas daging antara lain meliputi metode

pelayuan, stimulasi listrik, metode pemasakan, pH karkas dan daging, bahan

tambahan termasuk enzim pengempuk daging, hormon dan antibiotik, lemak

intramuskuler atau marbling, metode penyimpanan dan preservasi, macam otot

daging dan lokasi pada suatu otot daging. Faktor kualitas daging yang dimakan

terutama meliputi warna, keempukan dan tekstur, flavor dan aroma termasuk bau

dan cita rasa dan kekasan jus daging (juiciness). Disamping itu, lemak

intramuskular, susut masak (cooking loss) yaitu berat sampel daging yang hilang

selama pemasakan atau pemanasan, retensi cairan dan pH daging, ikut

menentukan kualitas daging.

2.1 Faktor Sebelum pemotongan

Kualitas daging dipengaruhi oleh faktor sebelum dan setelah pemotongan.

Faktor sebelum pemotongan yang dapat mempengaruhi kualitas daging adalah

genetik, spesies, bangsa, tipe ternak, jenis kelamin, umur, pakan dan bahan aditif

(hormon, antibiotik, dan mineral), serta keadaan stres.

a.  Genetic/Keturunan

Nilai heritabilitas keempukan daging sapi sekitar 45%, artinya

45% keempukan daging sapi saat dimasak ditentukan oleh faktor

genetik atau tetua ternak yang dipotong. Faktor genetik akan menentukan

keempukan daging antargrade dan potongan daging sejenis.

b. Spesies

Dari taksonomi ternak yang paling diperhatikan yaitu spesiesnya, karena

spesies menentukan apakah ternak tersebut banyak dipelihara di Indonesia,

Page 10: Tugas Pak Iskandar

mampu memproduksi daging atau susu, serta mempunyai produksi daya

adaptasi yang tinggi, dan sebagainya. Spesies menentukan tingkat perdagingan

suatu ternak.

c. Bangsa

Bangsa ternak termasuk kedalam factor genetic atau factor keturunan.

Bangsa suatu ternak juga menentukan kualitas suatu daging ternak itu sendiri.

Misalnya ternak sapi-sapi introduksi, seperti: 1) sapi limousine, persentase

daging dalam karkas cukup tinggi, 2) sapi angus, mempunyai kemampuan

dalam menurunkan marbling (perlemakan dalam daging) ke anak-anaknya. 3)

sapi Hereford, perdagingannya tebal. Dan sebagainya. Jadi dilihat dari bangsa

ternak itu sendiri sangat penting dalam mennentukan kualitas daging.

d. Tipe ternak

Tipe ternak menentukan keempukan daging itu sendiri, seperti tipe ternak

potong dan tipe ternak perah. Tipe ternak potong lebih empuk daripada tipe

ternak perah. Karena tipe ternak potong itu sendiri dipelihara untuk

menghasilkan daging, dan sebaliknya.

e. Umur

Semakin tua usia hewan, susunan jaringan ikat semakin banyak, sehingga

daging yang dihasilkan semakin liat, jika ditekan dengan jari, daging yang

sehat akan memiliki konsistensi kenyal (padat) (Tambunan, 2010).

Umumnya daging yang berasal dari sapi tua akan lebih liat dibandingkan

dengan daging yang berasal dari sapi muda. Hasil penelitianpun menunjukkan

bahwa umur potong sapi berkorelasi positif dengan keempukan daging yang

dihasilkannya, artinya makin tua ternak sudah dapat dipastikan dagingnya akan

lebih liat. Daging yang berasal dari sapi tua baunya lebih menyengat

dibandingkan dengan daging yang berasal dari sapi muda. Namun pada

kenyataannya, kuat lemahnya bau daging pada sapi tidak dipermasalahkan

konsumen, lain halnya dengan daging domba dan daging kambing, karena

kedua ternak kecil ini bau dagingnya sangat unik dan lebih kuat dibandingkan

Page 11: Tugas Pak Iskandar

dengan sapi. Oleh karena itu konsumen daging domba atau kambing lebih

menyukai daging yang berasal dari ternak muda. Ternak sapi tua yang gemuk

akan menghasilkan daging yang berlemak oleh karena itu rasanya akan lebih

gurih dan banyak disukai konsumen. Selain itu daging yang berlemak

kandungan airnya lebih sedikit sehingga pada saat dimasak penyusutannya

tidak terlalu besar.

Umur ternak saat dipotong berpengaruh terhadap keempukan daging. Sapi

yang dipotong pada umur 9-30 bulan umumnya memiliki daging yang empuk.

Sapi betina yang digunakan sebagai induk, dagingnya menjadi kurang empuk

saat umurnya tua. Keempukan daging menurun sejalan dengan bertambahnya

umur ternak.

f.  Pakan dan Bahan Aditif (Hormone, Antibiotic, dan Mineral)

Ternak yang digemukkan dengan pakan biji-bijian cenderung mencapai

bobot potong lebih cepat dibanding ternak yang mendapat pakan dari padang

penggembalaan. Dengan demikian, daging dari ternak yang diberi pakan biji-

bijian

biasanya lebih empuk karena ternak dipotong pada umur lebih muda.

g. Keadaan Stress

·         DFD (Dark Firm Dry)

Daging Dark Firm Dry (DFD) yaitu daging yang berwarna gelap,

bertekstur keras, kering, memiliki nilai pH tinggi dan daya mengikat air tinggi

(Aberle et al., 2000). Daging ini dihasilkan akibat ternak kelelahan setelah

mengalami transportasi yang jauh, sehingga terjadi perubahan dalam sifat fisik,

kimia maupun sensori (Wulf et al., 2002).Menurut Taylor (1984), pigmen yang

memberikan warna pada daging adalah struktur hem. Hem ini berkombinasi

dengan protein membentuk hemoglobin dan mioglobin. Munculnya warna

merah cerah pada daging disebabkan oleh adanya ikatan oksigen pada atom

besi (Fe2+) pada struktur molekul mioglobin.Perbedaan warna daging

disebabkan oleh adanya H2O2 dan enzim yang dihasilkan oleh

mikroorganisme. Senyawa H2O2 menyebabkan oksidasi oksimioglobin

Page 12: Tugas Pak Iskandar

menjadi metmioglobin yang berwarna coklat (Varnam & Sutherland,1995).

Kandungan H2O2 yang dihasilkan oleh bakteri yang memfermentasi secara

alamiah kemungkinan lebih banyak dibandingkan dengan jumlah H2O2 yang

dihasilkan olehL . plantarum selama memfermentasi daging. Hal ini

menyebabkan warna daging terfermentasi alamiah lebih gelap dibandingkan

dengan daging difermentasi L. plantarum.

·         PSE (Pale Soft Exudatife)

Daging PSE (Pale Soft Exudative) disebabkan Stress dalam waktu yang

lama sebelum penyembelihan shg pH tetap tinggi stlh penyembelihan. Produksi

asam laktat postmortem dari glikogen yang sangat cepat dan tidak terkendali,

sehingga mengakibatkan pH daging yang sangat rendah sesaat setelah

pemotongan, sementara temperatur otot masih tetap tinggi. Daya ikat air oleh

proteinnya sangat rendah. Penurunan pH yang cepat, seperti pada saat

pemecahan ATP yang cepat, akan mengakibatkan kontraksi aktomiosin dan

menurunkan DIA protein (Bendall, 1960). Demikian pula suhu yang tinggi

akan mempercepat penurunan pH otot pascamerta, dan akan meningkatkan

penurunan DIA sebagai akibat dari meningkatnya denaturasi protein otot dan

meningkatnya perpindahan air keruang ekstraselular.

2.2 Faktor Setelah Pemotongan

Faktor setelah pemotongan yang mempengaruhi kualitas daging adalah

metode pelayuan, metode pemasakan, tingkat keasaman (pH) daging, bahan

tambahan (termasuk enzim pengempuk daging), lemak intramuskular

(marbling), metode penyimpanan dan pengawetan, macam otot daging, serta

lokasi otot.

a. Metode Pelayuan

Pelayuan adalah penanganan daging segar setelah penyembelihan dengan

cara menggantung atau menyimpan selama waktu tertentu pada temperatur di

atas titik beku daging (-1,50C). Daging yang kita beli di pasar atau swalayan

adalah daging yang telah mengalami proses pelayuan. Selama pelayuan,

Page 13: Tugas Pak Iskandar

terjadi aktivitas enzim yang mampu menguraikan tenunan ikat daging. Daging

menjadi lebih dapat mengikat air, bersifat lebih empuk, dan memiliki flavor

yang lebih kuat.

Hewan yang baru dipotong dagingnya lentur dan lunak, kemudian terjadi

perubahan-perubahan sehingga jaringan otot menjadi keras, kaku, dan tidak

mudah digerakkan. Keadaan inilah yang disebut dengan rigor mortis.

Dalam kondisi rigor, daging menjadi lebih alot dan keras dibandingkan

dengan sewaktu baru dipotong. Oleh karena itu, jika daging dalam keadaan

rigor dimasak, akan alot dan tidak nikmat. Untuk menghindarkan daging dari

rigor, daging perlu dibiarkan untuk menyelesaikan proses rigornya sendiri.

Proses tersebut dinamakan proses aging (pelayuan). Daging biasanya

dilayukan dalam bentuk karkas atau setengah karkas. Hal ini dilakukan untuk

mengurangi luas permukaan yang dapat diinfeksi oleh mikroba.

Tujuan dari pelayuan daging adalah:

a. Agar proses pembentukan asam laktat dari glikogen otot berlangsung

sempurna sehingga pertumbuhan bakteri akan terhambat

b. Pengeluaran darah menjadi lebih sempurna,

c. Lapisan luar daging menjadi kering, sehingga kontaminasi mikroba

pembusuk dari luar dapat ditahan,

d. Untuk memperoleh daging yang memiliki tingkat keempukan optimum

serta cita rasa khas.

b. Metode Pemasakan

Daging dengan jaringan ikat sedikit seperti has, dianjurkan dimasak

dengan pemanasan kering (goreng, bakar, panggang, barbeque). Daging

dengan jaringan ikat banyak seperti sengkel, dianjurkan dimasak secara lama

dan lambat dengan suhu rendah dan menggunakan sedikit air. Suhu

pemasakan memengaruhi keempukan daging. Jika daging tanpa lemak

dipanaskan, protein kontraktil mengeras dan cairan hilang sehingga

menurunkan keempukan daging. Potongan daging yang empuk bila dimasak

pada suhu rendah akan menjadi lebih empuk dibanding pemasakan pada suhu

Page 14: Tugas Pak Iskandar

sedang, dan dengan pemasakan suhu sedang, daging lebih empuk dibanding

pemasakan dengan suhu tinggi. Oleh karena itu, suhu pemasakan perlu

diperhatikan untuk menghasilkan daging yang empuk.

Susut masak adalah perhitungan berat yang hilang selama pemasakan

atau pemanasan pada daging. Pada umumnya, makin lama waktu pemasakan

makin besar kadar cairan daging hingga mencapai tingkat yang konstan. Susut

masak merupakan indicator nilai nutrisi daging yang berhubungan dengan

kadar jus daging yaitu banyaknya air yang terikat dalam dan diantara serabut

otot. Jus daging merupakan komponen dari daging yang ikut menetukan

keempukan daging (Soeparno, 1992).

c. Tingkat Keasaman (pH) Daging

Nilai pH merupakan salah satu criteria dalam penentuan kualitas daging,

khususnya di Rumah Potong Hewan (RPH).  Setelah pemotongan hewan

(hewan telah mati), maka terjadilah proses biokimiawi yang sangat kompleks

di dalam jaringan otot dan jaringan lainnya sebagai konsekuen tidak adanya

aliran darah ke jaringan tersebut, karena terhentinya pompa jantung.  Salah satu

proses yang terjadi dan merupakan proses yang dominan dalam jaringan otot

setelah kematian (36 jam pertama setelah kematian atau postmortem) adalah

proses glikolisis anaerob atau glikolisis postmortem.  Dalam glikolisis anaerob

ini, selain dihasilkan energi (ATP) maka dihasilkan juga asam laktat.  Asam

laktat tersebut akan terakumulasi di dalam jaringan dan mengakibatkan

penurunan nilai pH jaringan otot.

Nilai pH otot (otot bergaris melintang atau otot skeletal atau yang disebut

daging) saat hewan hidup sekitar 7,0-7,2 (pH netral).  Setelah hewan

disembelih (mati), nilai pH dalam otot (pH daging) akan menurun akibat

adanya akumulasi asam laktat.  Penurunan nilai pH pada otot hewan yang sehat

dan ditangani dengan baik sebelum pemotongan akan berjalan secara bertahap,

yaitu dari nilai pH sekitar  7,0-7,2 akan mencapai nilai pH menurun secara

bertahap dari 7,0 sampai 5,6 – 5,7 dalam waktu 6-8 jam postmortem dan akan

mencapai nilai pH akhir sekitar 5,5-5,6.  Nilai pH akhir (ultimate pH value)

Page 15: Tugas Pak Iskandar

adalah nilai pH terendah yang dicapai pada otot setelah pemotongan

(kematian).   Nilai pH daging tidak akan pernah mencapai nilai di bawah 5,3. 

Hal ini disebabkan karena pada nilai pH di bawah 5,3 enzim-enzim yang

terlibat dalam glikolisis anaerob tidak aktif berkerja. (Lukman, 2010)

d. Bahan Tambahan (Termasuk Enzim Pengempuk Daging)

Enzim dari tanaman, seperti papain (dari pepaya), bromelin (dari nenas),

dan fisin (getah pohon daun ara), baik berbentuk cair maupun bubuk, dapat

digunakan untuk mengempukkan daging. Kelemahan enzim ini adalah kadang-

kadang hanya bereaksi pada permukaan daging, selain berpengaruh negatif

terhadap sifat daging.

Papain dari getah pepaya paling banyak digunakan sebagai pengempuk

daging. Kualitas getah sangat menentukan aktivitas enzim proteolitik, dan

kualitas enzim bergantung pada bagian tanaman asal getah tersebut. Aktivitas

enzim dipengaruhi oleh proses pembuatan, umur, dan varietas pepaya. Papain

stabil pada pH larutan 5,0. Papain sangat aktif dan tahan terhadap

panas. Papain bekerja optimum pada suhu 50-60oC dan pH 5-7, serta aktivitas

proteolitik antara 70-1.000 unit/gram.

Enzim bromelin dari nenas juga banyak digunakan untuk mengempukkan

daging. Enzim bromelin dapat menguraikan serat-serat daging sehingga

menjadi lebih empuk. Buah nenas yang belum matang mengandung bromelin

lebih sedikit dibandingkan buah nenas matang yang masih segar. Kandungan

bromelin paling banyak terdapat dalam bagian kulit.

Marinasi adalah cara meningkatkan keempukan daging dengan

menambahkan bahan perasa, seperti garam atau kecap, asam (cuka, jeruk

lemon), dan enzim (papain, bromelin, fisin atau jahe). Penambahan beberapa

sendok makanminyak zaitun akan melindungi permukaan daging dari udara

dan daging akan tetap segar dan warnanya lebih cerah dalam waktu lebih lama.

Dengan marinasi terjadi pelunakan kolagen oleh garam, meningkatnya

pertahanan air, hidrolisis serta pemecahan ikatan silang jaringan ikat oleh

asam.

Page 16: Tugas Pak Iskandar

e.  Lemak Intramuscular (Marbling)

Berdasarkan marbling, karkas sapi dibedakan menjadi: 1) prime, bila

marbling-nya berlebih, 2) choice, bila marbling-nya sedang, 3) seledt, bila

marbling-nya sedikit, 4) standart, bila marbling-nya sangat sedikit.

Marbling adalah lemak yang terdapat diantara serabut otot

(intramuscular).  Lemak berfungsi sebagai pembungkus otot dan

mempertahankan keutuhan daging pada waktu dipanaskan.  Marbling

berpengaruh terhadap citarasa daging. Selama proses penggemukan,

peningkatan lemak karkas akan mempengaruhi komposisi karkas dan hasil

daging (Priyanto et al., 1999).

f.  Metode Penyimpanan dan Pengawetan

Ada beberapa yang dilakukan dalam menentukan kualitas daging dengan

metode penyimpanan dan pengawetan, antara lain sebagai berikut:

1) Laju Pendingin

Karkas sebaiknya cepat didinginkan setelah pemotongan untuk mencegah

penurunan kualitas. Jika karkas didinginkan sebentar, hasilnya adalah

pendinginan singkat dan menyebabkan daging keras/alot. Pendinginan

singkat terjadi pada saat otot didinginkan kurang dari 60°F sebelum rigor

mortis selesai. Jika karkas dibekukan sebelum rigor mortis selesai, hasilnya

adalah rigor cair (thaw rigor) dan daging menjadi keras/alot. Pada kondisi

pendinginan normal, karkas yang terlindungi lemak sekitar rib eye kurang

dari 1,2 cm mungkin akan menurunkan keempukan karena pendinginan

singkat. Pelayuan karkas hasil pendinginan singkat atau rigor cair dapat

memengaruhi keempukan. Agar daging lebih empuk, harus dihindari

pendinginan singkat, 6-12jam pertama setelah ternak dipotong (mati).

2. Pembekuan

Pembekuan kurang memengaruhi keempukan daging. Bila daging

dibekukan secara cepat akan terbentuk kristal es kecil, dan bila

daging dibekukan lambat/lama akan terbentuk kristal es besar.

Page 17: Tugas Pak Iskandar

Terbentuknya kristal es besar dapat mengganggu serat otot daging sehingga

sangat sedikit meningkatkan keempukan. Kristal es yang besar dapat

menurunkan cairan daging selama thawing (pencairan). Daging yang kurang

berair akan kurang empuk jika dimasak.

3) Thawing

Daging beku yang sudah mengalami pencairan secara lambat dalam

refrigerator umumnya lebih empuk dibanding yang dimasak dalam kondisi

beku. Pencairan secara lambat mengurangi kekerasan dan jumlah cairan

daging yang hilang. Pencairan menggunakan microwave hendaknya

dilakukan dengan daya yang rendah.

Akibat proses pengolahan dan komponen bumbu yang digunakan,

beberapa produk olahan tersebut memiliki nilai gizi lebih baik dibandingkan

dengan daging segarnya. Produk olahan daging tersebut dapat juga

digunakan sebagai alternatif sumber protein hewani.

g. Macam Otot Daging

Keempukan daging bervariasi sesuai dengan jenis otot atau letak

daging pada karkas. Contoh, daging sapi jenis has dalam lebih empuk

dibanding daging sengkel karena adanya perbedaan jaringan ikat pada jenis

daging tersebut. Has dalam memiliki jaringan ikat yang lebih sedikit

dibandingkan dengan sengkel. Jumlah jaringan ikat berkaitan dengan fungsi

otot pada ternak hidup. Sengkel terutama digunakan dalam pergerakan

sehingga memiliki jaringan ikat lebih banyak. Sementara itu, has dalam hanya

mendukung fungsi ternak sehingga jaringan ikatnya lebih sedikit.

h. Lokasi Otot

Menurut Lawrie (1995), penyebab utama kealotan daging adalah karena

terjadinya pemendekan otot pada saat proses rigormortis sebagai akibat dari

ternak yang terlalu banyak bergerak pada saat pemotongan. Otot yang

memendek menjelang rigormortis akan menghasilkan daging dengan panjang

sarkomer yang pendek, dan lebih banyak mengandung kompleks aktomiosin

atau ikatan antarfilamen, sehingga daging menjadi alot (Soeparno, 1994).

Page 18: Tugas Pak Iskandar

Menurut Soeparno (1994) menjelaskan bahwa peregangan otot atau

pencegahan terhadap pengerutan otot akan meningkatkan keempukan daging,

karena panjang sarkomer miofibril meningkat. Penggantungan karkas dapat

meningkatkan panjang sejumlah otot sehingga daging menjadi empuk.

Keempukan daging juga dapat disebabkan oleh tekstur daging. Semakin halus

teksturnya, maka daging menjadi empuk (Soeparno,2005).

Kontribusi jaringan ikat pada kekerasan daging juga sangat penting seperti

pada jaringan muskuler. Kandungan, kualitas dan penyebaran jaringan ikat

dalam otot merupakan penanggung jawab utama terhadap perbedaan kekerasan

antar otot (Boccard dkk., 1967).

Bagian tubuh sapi yang bisa dikonsumsi disebut sebagai karkas.

Karkas yang dihasilkan oleh sapi berkisar antara 4%5 – 55 % dari berat

tubuhnya, tergantung pada bangsa dan kondisi sapi. Perolehan karkas

dapat diperkirakan pada saat sapi masih hidup, dengan cara grading

(klasifikasi).

Klasifikasi ternak sapi berdasarkan karkas adalah sebagai berikut

1. Berdasarkan Kualitas, digolongkan menjadi beberapa kelompok, yaitu :

Prime. Ciri klasifikasi ini adalah seluruh tubuh berdaging tebal,

mempunyai selubung lemak yang berat, dengan bentuk dan tampilan

yang sangat bagus. Ternak sapi dengan kondisi ini sangat gemuk

Choice. Bentuk dan tampilannya sedikit dibawah prime, karena

selaput lemak, daging dan perototan lebih sedikit, tetapi tetap lunak.

Klasifikasi ini dibagi lagi menjadi : high, middle, atau low choice

carcass. Klasifikasi ini diperoleh melalui pemberikan pakan berupa biji-

bijian.

Good. Ternak sapi pada klasifikasi ini mengandung sedikit lemak ,

biasanya pada ternak muda. Klasifikasi ini ini dibagi lagi menjadi :

high, middle, dan low good yang sering digunakan. Ternak sapi

dengan klasifikasi ini biasanya terbentuk karena diberi pakan dengan

Page 19: Tugas Pak Iskandar

sedikit biji-bijian atau terbentuk di padang penggembalaan yang baik

tanpa biji-bijian.

Standard. Ini adalah klasifikasi pada ternak-ternak di bawah umur 4

tahun, yang berdaging dan berotot tipis, serta sedikit mengandung lemak

sangat sedikit.

Commercial. Klasifikasi untuk sapi-sapi yang berumur di atas 4

tahun dengan kualifikasi sama dengan pada standard.

Utility. Klasifikasi ternak sapi dengan kondisi dibawah grade commercial.

Cutter. Ternak sapi dengan grade ini badannya sangat kurus, tinggal kulit

pembalut tulang dengan susunan tulang yang menonjol.

Canner. Kualitasnya lebih buruk daripada cutter.

2. Berdasarkan kuantitas ( yield grade, cutability)

dibagi berdasarkan persentase daging dan perlemakan tubuh menjadi 5

macam yaitu : cutability 1(dengan daging hampir tanpa lemak/ lean meat)

hingga cutability 5 (yang banyak sekali mengandung lemak tubuh). Rumus

untuk menghitung yield grade pada sapi sebagai berikut. Yield grade : 250 +

(2,50 x tebal lemak punggung, inchi) – (0,32 x luas otot mata rusuk, inchi

kuadrat) + (0,20 x persen lemak ginjal, jantung, pelvis) + (0,0038 x

bobot karkas panas, pound)

Page 20: Tugas Pak Iskandar

Bagian Karkas Sapi

Dalam bangsa ternak yang sama, komposisi karkas dapat berbeda. Setiap

bangsa ternak akan menghasilkan karkas dengan karakteristiknya sendiri.

Misalnya, sapi Angus mempunyai kecenderungan yang khas untuk menimbun

lemak intramusculer. Demikian halnya dengan perbedaan utama antara bangsa

sapi tipe perah (dairy) dan tipe daging (beef) adalah terletak pada ciri dari

pendistribusian lemak diantara depot-depot lemaknya. Karkas sapi tipe perah

cenderung mempunyai proporsi lemak ginjal dan pelvis (lemak internal) yang

lebih tinggi dan proporsi lemak subkutan yang lebih rendah dibanding dengan

sapi tipe daging, dan sebaliknya (Aberle et al., 2001). Perbedaan komposisi tubuh

dan karkas terutama disebabkan oleh perbedaan ukuran tubuh atau bobot pada saat

dewasa. Sebagai contoh, bila perbandingan komposisi karkas antara bangsa tipe

besar dan tipe kecil didasarkan pada bobot yang sama, maka bangsa tipe besar

akan lebih besar perdagingannya dan lebih banyak mengandung protein, proporsi

tulangnya lebih tinggi dan proporsi lemak lebih rendah daripada sapi tipe kecil

(Williams, 1982; Black, 1983).

Perbedaan ini disebabkan karena pada bobot yang sama, ternak tipe besar

secara fisiologis adalah lebih muda. Sapi Eropa tipe kecil seperti Angus, Hereford

dan Shorthorn mengandung lebih banyak lemak pada saat penggemukan daripada

tipe besar seperti Charolais (Williams, 1982). Sebelumnya Arthaud et al. (1969)

Page 21: Tugas Pak Iskandar

dari penelitiannya menjelaskan bahwa karkas dan daging, sapi Angus jantan lebih

berat dibandingkan dengan sapi kebiri pada bangsa yang sama. Priyanto et al.

(1993) menyimpulkan bahwa bangsa sapi Brahman, Hereford dan Persilangan

Brahman-Hereford yang diberikan dua macam perlakuan pakan (hijauan dan

konsentrat), maka peningkatan proporsi lemak dan penurunan proporsi daging

yang dihasilkan tidak nyata berbeda jika perbandingan tersebut dilakukan antar

bangsa ternak dalam perlakuan pakan yang berbeda, tetapi nyata berbeda jika

perbandingan tersebut dilakukan antar bangsa ternak dalam masing-masing

perlakuan pakan yang sama.

Page 22: Tugas Pak Iskandar

FAKTOR – FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KLASIFIKASI KARKAS

SAPI

Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan karkas dan komponennya

adalah genetik, lingkungan, makanan, dan kemampuannya beradaptasi.  Makanan

merupakan faktor yang penting diperhatikan untuk memperoleh bobot karkas

yang tinggi dari seekor ternak.  Ternak membutuhkan makanan sejak dalam

kandungan untuk tumbuh dan berkembang menjadi foetus dan dilahirkan,

kemudian tumbuh  menjadi  dewasa. bentuk grafik pertumbuhan ternak ditentukan

oleh jumlah makanannya.  Bila jumlah makanan yang dikonsumsi tinggi, maka

pertumbuhan akan cepat bagi ternak untuk mencapai bobot badan yang

diharapkan serta bobot karkas yang maksimal sesuai dengan potensi genetiknya.

Jumlah makanan dan mutu makanan yang baik tidak dapat merubah tubuh ternak

secara genetis bertubuh kecil, tetapi pemberian makanan dalam jumlah yang

rendah tidak akan mampu memberikan pertambahan bobot badan dan

pertumbuhan karkas secara optimal sesuai dengan potensi genetik yang ada pada

masing-masing ternak seperti kecepatan tumbuh, persentase karkas yang tinggi,

hanya mungkin dapat terealisasi apabila ternak tersebut dapat memperoleh

makanan yang cukup.

Faktor genetik dan lingkungan mempengaruhi laju pertumbuhan dan

komposisi tubuh yang meliputi distribusi berat dan komposisi kimia komponen

karkas. Faktor lingkungan dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu faktor fisiologi

dan nutrisi. Umur, berat hidup, dan laju pertumbuhan juga dapat mempengaruhi

komposisi karkas. Proporsi tulang, otot, dan lemak sebagai komponen utama

karkas dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut. Bila proporsi salah satu variabel

lebih tinggi, maka proporsi salah satu atau kedua variabel lainnya lebih rendah.

Komposisi kimia karkas terutama terdiri atas air, protein, lemak dan abu secara

proporsional juga dapat berubah bila salah satu variabel mengalami perubahan

(Soeparno, 2005). Karkas dapat digunakan untuk menentukan berat dan

persentase tanpa tulang, serta produk retail hasil trimming (Greiner et al., 2003).

Faktor yang diperhitungkan dalam mengestimasi jumlah daging dari suatu karkas

Page 23: Tugas Pak Iskandar

(kualitas hasil) pada daging ruminansia besar meliputi ketebalan lemak subkutan,

luas area urat daging mata rusuk, persentase lemak visceral (lemak penyelubung

ginjal, jantung dan pelvis) terhadap berat karkas

.

A. Pengaruh Lemak Terhadap Klasifikasi Karkas Sapi

Perlemakan (marbling) dibagi menjadi slightly abundant, moderate,

modest, small, slight, traces, dan yang tampa lemak. Daging yang termasuk

peringkat kualitas tinggi menurut USDA ( prime, choice, good, dan standart)

terdapat pada hewan-hewan yang masuk kedewasaanya lebih awal. Ini

mencerminkan bahwa konsumen sekarang lebih suka memilih daging tampa

lemak.

B. Pengaruh Bangsa Terhadap Klasifikasi Karkas Sapi/Kerbau

Perbedaan bangsa atau breed pada ternak sapi mempunyai dampak pada

besarnya proporsi lemak dibandingkan proporsi daging dan tulang selama

penggemukan. Pada sapi Hereford menghasilkan proporsi lemak yang lebih

banyak pada daerah subkutan, sedikit lemak intermuskuler dan lemak internal

dibandingkan pada sapi Friesian (Leat dan Cox, 1980). Menurut Berg dan

Butterfield (1976) genetik sapi mempengaruhi pertumbuhan relatif dari

otot,tulang dan lemak. Pada stadium awal pertumbuhan otot, tulang dan lemak

mempunyai pola pertumbuhan yang serupa, relatif terhadap bobot karkas baik

pada sapi jantan kastrasi Hereford maupun Friesian. Meskipun demikian, pada

saat awal fase penggemukan sapi Hereford mempunyai berat karkas yang lebih

ringan, Setelah itu karkas sapi Friesian mempunyai lebih banyak otot dan tulang

tetapi lebih sedikit lemak dibanding Hereford. Selanjutnya Fortin et al., (1981)

melaporkan bahwa persentase lemak karkas sapi Angus lebih tinggi dibandingkan

sapi Friesian, baik yang mengkonsumsi energi rendah maupun energi tinggi.

Komposisi karkas sapi dapat berbeda pada bangsa ternak yang sama.

Bangsa ternak dapat menghasilkan karkas dengan karakteristiknya masingmasing.

Ada bangsa ternak yang mempunyai persentase lemak yang lebih tinggi

dibandingkan dengan bangsa ternak lainnya pada bobot potong yang sama,

Page 24: Tugas Pak Iskandar

demikian pula dengan komposisi daging dan tulang juga akan berbeda (Aberle et

al., 2001; Lawrie, 2003). Selanjutnya, perbedaan utama antara bangsa sapi tipe

perah (dairy cattle) dengan tipe daging (beef cattle) adalah ciri distribusi lemak

diantara depot-depot lemak karkas. Tipe perah cenderung mempunyai proporsi

lemak ginjal dan pelvis yang lebih tinggi dan proporsi lemak subkutan dan lemak

intermuskuler daripada bangsa sapi tipe pedaging. Menurut Leat dan Cox (1980)

bangsa sapi tipe perah memiliki ukuran sel-sel lemak yang lebih kecil dan

jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan sel-sel lemak bangsa sapi pedaging.

Menurut Soeparno (1998) genetik, jenis kelamin dan umur mempengaruhi

laju pertumbuhan komposisi tubuh yang meliputi distribusi berat dan komposisi

kimia serta proporsi komponen karkas (otot, tulang dan lemak). Bila proporsi

salah satu komponen karkas tinggi maka proporsi komponen lainnya akan lebih

rendah. Menurut Aberle et al. (2001) sapi Angus terkenal dengan sifat menyimpan

lemak intramuskuler (marbling) yang sangat baik.

Mc. Carthy et al. (1985) melaporkan bahwa perbandingan komposisi

karkas antara bangsa sapi tipe besar dengan tipe kecil pada bobot potong yang

sama maka sapi tipe besar lebih berdaging (lean), lebih banyak mengandung

protein, proporsi tulang lebih tinggi dan lemak lebih rendah dibandingkan tipe

kecil. Sapi Hereford dan sapi Shorthorn Cross (SX) mempunyai distribusi bobot

otot yang berbeda pada karkas, namun otot pada bagian perut (flank) dan leher

(chuck) relatif sama (Mukhoty dan Berg, 1973). Thompson dan Barlow (1981)

melaporkan bahwa sapi Brahman Cross (BX) mempunyai karkas yang lebih berat

dibandingkan sapi Hereford.

C. Pengaruh Jenis Kelamin Terhadap Klasifikasi Karkas Sapi/Kerbau

Jenis kelamin (sex) mempengaruhi pertumbuhan jaringan dan komposisi

karkas. Sapi dara (heifer) menyelesaikan fase penggemukan pada bobot yang

lebih ringan dibandingkan sapi jantan kebiri (steer), dan sapi kebiri menyelesaikan

fase penggemukan tersebut lebih ringan dibandingkan sapi pejantan (bull). Oleh

karena itu bobot potong optimal lebih kecil pada sapi dara dan lebih besar pada

sapi jantan bila dibandingkan dengan sapi kebiri atau kastrasi. Penggemukan sapi

Page 25: Tugas Pak Iskandar

jantan memerlukan waktu yang lebih lama dibandingkan sapi dara atau sapi kebiri

(Berg dan Butterfield, 1976). Sapi jantan mempunyai otot yang lebih banyak dan

lemak lebih rendah jika dibandingkan sapi dara, sedangkan sapi kebiri terletak

diantara keduanya. Tulang dan jaringan ikat (connective tissue) pada sapi jantan

dan kebiri lebih tinggi jika dibandingkan sapi dara (Fortin et al., 1981).

Sapi dara cenderung mempunyai persentase urat daging kaki belakang

bagian proximal dan abdomen yang lebih besar dibandingkan dengan sapi jantan,

dan pada sapi kebiri persentase tersebut lebih besar dibandingkan sapi jantan. Sapi

jantan mempunyai proporsi urat daging bagian leher dan dada yang lebih besar

daripada sapi dara, sedangkan sapi kebiri diantara keduanya (Mukhoty dan Berg,

1973). Pada sapi, lemak cenderung disimpan lebih banyak pada ginjal dan rongga

pelvis. Banyaknya lemak bervariasi diantara spesies dan merupakan pertimbangan

utama dalam menentukan nilai karkas (Minish dan Fox, 1979). Crouse et al.,

(1985) mendapatkan tebal lemak punggung sapi jantan kastrasi 0.76 cm

sedangkan sapi pejantan 0.97 cm, sementara Johnson et al., (1988) mendapatkan

tebal lemak punggung sapi jantan kastrasi lebih tinggi dibandingkan sapi pejantan,

yaitu 1.14 cm VS 0.94 cm.

Persentase lemak pada sapi akan bertambah selama terjadi pertumbuhan

(Aberle et al., 2001). Penelitian Arnim (1985) pada sapi Peranakan Ongole

menunjukkan bahwa perbedaan umur mempengaruhi bobot lemak pelvis, dimana

pada umur 2,5 tahun mempunyai bobot lemak pelvis 1.14 kg sedangkan umur 3.5

tahun sebesar 1.65 kg. Menurut Ockerman et al., (1984) kastrasi terhadap sapi

jantan muda berpengaruh terhadap karakteristik karkas. Pada sapi jantan yang

tidak dikastrasi, karkasnya lebih panjang dibandingkan sapi yang tidak dikastrasi,

demikian pula bagian urat daging bagian paha (round) lebih berat serta urat

daging mata rusuk (loin eye area) yang lebih luas. Sedangkan sapi yang dikastrasi

(steer) dagingnya lebih ber-marbling, kualitas daging lebih baik, lemak yang

menyelimuti daging (intermusculer fat) lebih tebal, serabut otot “putih”

persentasenya lebih banyak dan diameter serabut otot pada otot longissimus lebih

kecil dibandingkan karkas sapi yang tidak dikastrasi.

Page 26: Tugas Pak Iskandar

Kirchgessener et al., (1994) menyatakan bahwa kandungan lemak sapi

jantan kastrasi (steer) lebih tinggi dibandingkan sapi pejantan (bull) apabila sapi

tersebut dipotong. Gerrand et al., (1987) melaporkan bahwa sapi jantan kastrasi

(steer) mempunyai serabut kolagen diantara otot yang lebih sedikit dibandingkan

sapi jantan (bull). Menurur Restle dan Vaz (1997) melaporkan bahwa antara steer

dan young bull (pejantan muda) sapi Hereford umur 14 bulan tidak menunjukkan

perbedaan yang nyata pada parameter: berat hidup, persentase karkas, panjang

karkas dan luas urat daging mata rusuk. Namun demikian, berat karkas dan

konformasi karkas pada sapi yang tidak dikastrasi (young bull) relatif lebih baik.

D. Pengaruh Umur dan Berat Potong Terhadap Klasifikasi Karkas Sapi

Gerrand et al., (1987) melaporkan bahwa, sapi jantan kastrasi yang

dipotong secara berseri pada umur 9, 12, 15 dan 18 bulan menunjukkan hubungan

yang linear terhadap berat potong, berat karkas, tebal lemak punggung (fat

thickness), luas urat daging mata rusuk, skor marbling (skor 2,8 sampai 6.1) dan

USDA quality grade. Menurut Song dan Choi (1993) dalam Basuki (2000) lama

pemeliharaan sapi dengan pakan yang rasional dapat meningkatkan persentase

karkas, luas urat daging mata rusuk, tebal lemak punggung, persentase potongan

eceran karkas (retail cuts) dan perbaikan skor marbling dari urat daging mata

rusuk. Shahin et al., (1993) melaporkan bahwa perbedaan lama penggemukan

pada sapi berpengaruh terhadap laju pertumbuhan relatif dari lemak dan proporsi

lemak pada karkas. Komposisi tubuh pada sapi yang dipelihara dalam jangka

waktu yang berbeda (124 hari VS 175 hari) ternyata sangat besar korelasinya

dengan kandungan energi pakan.

Menurut Mahbout dan Lodge (1994), kandungan otot, tulang dan lemak

pada karkas domba Omani meningkat dengan bertambahnya berat potong.

Meskipun demikian proporsi otot dan tulang pada karkas yang telah dilayukan

(cold carcass) menurun sedangkan proporsi lemak meningkat, rasio daging-tulang

meningkat sedangkan rasio daging-lemak menurun dengan meningkatnya berat

potong. Sapi jantan Aberden Angus yang dipotong secara berseri sesuai

peningkatan bobot potong menunjukkan bahwa semakin besar bobot potong dan

Page 27: Tugas Pak Iskandar

berat karkas maka persentase karkas dan persentase lemak juga meningkat,

utamanya lemak subkutan, ginjal, jantung,, lemak intermuskuler dan lemak

internal (Morris et al., 1993 dalam Basuki, 2000).

Page 28: Tugas Pak Iskandar

III. PENUTUP

KESIMPULAN

Karkas adalah bagian tubuh yang telah mengalami proses pemotongan

tanpa kepala, keempat kaki bagian bawah mulai dari carpus dan tarsus, kulit,

darah dan organ dalam (hati, saluran pencernaan, jantung, saluran reproduksi,

paru-paru, limpa kecuali ginjal. Karkas dapat dibagi dalam bentuk recahan karkas

(yeld grade) atau potongan karkas.  Potongan komponen karkas berbeda-beda dari

satu tempat ketempat lain sesuai dengan sistem pemotongan untuk dijual dan

kebiasaan masyarakat dalam memilih depot perdagingan pada karkas.  Namun

setiap spesies mempunyai potongan komponen karkas tersendiri.

Faktor umur dan berat tubuh sering merupakan faktor yang saling terkait

satudengan yang lainnya. Biasanya baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-

samaantara umur dan berat tubuh akan mempengaruhi komposisi karkas. Ternak

yangdipotong pada umur yang tua akan memiliki kealotan daging yang lebih

tinggidaripada ternak muda. Dengan bertambahnya umur biasanya diikuti

pertambahan berat badan. Kondisi ini diikuti dengan peningkatan pertumbuhan

organ-organtertentu terutama yang berkaitan dengan depot lemak

Page 29: Tugas Pak Iskandar

IV. DAFTAR PUSTAKA

Adegoke, G.O dan K.O Falade. 2005. Quality of meat. J. Food Agric. Environ.

3:87-90.

Almatsier, S. 2003. Prinsip dasar ilmu gizi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Bahar B. 2003. Panduan Praktis Memilih Produk Daging Sapi. Jakarta : Gramedia

Pustaka Utama.

Blakely, J. dan D.H Bade 1998. Ilmu peternakan. Cetakan keempat. Terjemahan:

B. Srigandono. Universitas Gajah Mada Press. Yogyakarta.

Bunter dan Bennet. 2004. Animal Science and Industry. Cetakan keempat.

Prentice Hall, Inc. New Yersey.

Ensminger, M.E. 1991. Animal Science. The Interstate Printed and Publisher

Denville. Illionis.

Herawaty, R., J. Rahman, N. Jamarun, Refnita, H. Muis dan Mirzah. 1992.

Penuntun praktikum analisa bahan makanan ternak. Fakultas Peternakan

Universitas Andalas, Padang.

http://ftp.lipi.go.id/pub/Proses Pemotongan Ternak di RPH.pdf

Lawrie RA. 1991. Ilmu Daging. Parakkasi Aminuddin, penerjemah. Jakarta: UI

Press. Terjemahan dari : Meat Science.

Lawrie, R. A. 1995. Ilmu daging. Terjemahan: A. Parakkasi. Universitas

Indonesia Press. Jakarta.

Lawrie. 2003. Ilmu Daging-edisi kelima. UI-Perss. Jakarta

Mitchel, J. R. 1990. Guide to Meat Inspection in The Tropis. Commonwealth

Agriculture Bureaux Franham Royal. England.

Nugroho, C,P. 2008. Agribisnis Ternak Ruminansia PT Gramedia Pustaka Utama.

Jakarta.

Nurwantoro dan Sri Mulyani. 2003. Teknologi hasil ternak. Fakultas Peternakan

Universitas Diponegoro. Semarang.

Romars et al. 1994. Prosedur Analisa untuk Bahan Makanan dan Pertanian.

Yogyakarta : Liberty.

Soeparno. 1998. Ilmu dan Teknologi Daging. Yogyakarta : UGM Press.