tugas pkn
TRANSCRIPT
TUGAS PKN
Tentang
Analisis Teori – Teori Pkn dalam Aplikasi Kehidupan
D
I
S
U
S
U
NOleh:
FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
TAHUN 2014
1. PERSPEKTIF KEWARGANEGARAAN
“Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang
bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara.”
(Pasal 26 UUD 1945 ayat (1)
“Penduduk ialah warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di
Indonesia.”
(Pasal 26 UUD 1945 ayat (2)
“Hal-hal mengenai warga negara dan penduduk diatur dengan undang-undang.”
(Pasal 26 UUD 1945 ayat (3)
Pengertian kewarganegaraan dapat dibedakan dalam : (1) kewarganegaraan dalam arti
yuridis dan sosiologis serta (2) kewarganegaraan dalam arti formal dan material.
1. Kewarganegaraan Dalam Arti Yuridis dan Sosiologis
Yang dimaksud kewarganegaraan dalam arti yuridis, adalah ikatan hukum
(de rechtband) antara negara dengan orang-orang pribadi (natuurlijke personen) yang
karena ikatan itu menimbulkan akibat bahwa orang-orang itu jatuh di bawah lingkungan
kuasa pribadi dari negara yang bersangkutan.
Dengan kata lain pengertian kewarganegaran dalam arti yuridis adalah
adanya ikatan antara warganegara dengan negara dan tanda adanya ikatan itu
antara lain bentuk pernyataan secara tegas seorang individu menjadi anggotadari suatu
negara atau warganegara dari negara tersebut atau dalam bentuk konkritnya berupa
surat-surat (dokumen, surat keterangan atau putusan dari lembaga negara itu).
Sedangkan kewarganegaraan dalam arti sosiologis, adalah kewarganegaraan
yang terikat pada suatu negara oleh karena adanya suatu perasaan kesatuan ikatan,
dikarenakan satu keturunan, suku, kepercayaan/agama, kebersamaan, sejarah,
daerah, sehingga menimbulkan ikatan emosional yang kuat serta ada ikatan
dengan penguasa (pemerintah) atau dengan kata lain adanya penghayatan kultur
(budaya) yang tumbuh dan berkembang dalam suatu persekutuan daerah atau
negara di mana dia bertempat tinggal.
Dari kewarganegaraan dalam arti yuridis maupun sosiologis mengakibatkan
ada kalanya seorang diakui warganegaranya hanya karena secara yuridis, atau
merasa menjadi warganegara dari suatu negara, karena adanya ikatan-ikatan
emosional (sosiologis). Oleh karena itu sungguh sangat ideal apabila seseorang
menjadi warganegara dari suatu negara karena diakui secara yuridis maupun
sosiologis.
2. Kewarganegaraan Dalam Arti Formal dan Material
Kewargaan dalam arti formal adalah tempat kewarganegaraan itu dalam
sistematika hukum. Hal ini dapat dipahami kewarganegaraan itu menyangkut salah satu
tiang/syarat negara, yaitu rakyat. Oleh karena itu kewarganegaantermasuk dalam
ranah hukum publik, sebab kaidah-kaidah yang mengenai adanya negara semata-
mata bersifat publik.
Sedangkan yang dimaksud Kewarganegaraan dalam arti material (isinya)
adalah akibat hukum dari pengertian kewarganegaraan itu sendiri. Misalnya apakah
hak dan kewajiban yang konkrit dari seorang warganegara, apa perbedaan antara
warganegara dengan warganegara asing ditinjau dari status dan ikatan hukumnya.
II. KONSEP BHINEKA TUNGGAL IKA
Beberapa kutipan kata kunci yang mencerminkan cita-cita, nilai, dan konsep demokrasi :
“…mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekan Negara Indonesia
yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur” (alinea 2); “…maka rakyat Indonesia
menyatakan dengan ini kemerdekaannya” (alin”a 3); “…maka disusunlah Kemerdekaan,
Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-undang Dasar Negara Indonesia, yang
terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan rakyat
dengan berdasar kepada ….dst…kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/perwakilan, ..”(alinea 4),. Kemudian dalam Mukadimah Konstitusi
RIS, “Maka demi ini kami menyusun kemerdekaan kami itu dalam suatu Piagam negara
yang berbentuk republik-federasi, berdasarkan …dst…kerakyatan…” (alinea 3); “….Negara-
hukum Indonesia Merdeka yang berdaulat sempurna”. Selanjutnya dalam Mukadimah
UUDS RI 1950, “…dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia …dst… yang
merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”. (alinea2); “…yang berbentuk republik-
kesatuan, berdasarkan ..dst…kerakyatan…dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia
merdeka yang berdaulat sempurna” (alinea 4).
(Pembukaan UUD 1945)
Konsep Bhinneka Tunggal Ika yang diangkat dari penggalan kakawin Sutasoma
karya besar Mpu Tantular dan secara harfiah diartikan sebagai bercerai berai tetapi satu
atau Although in pieces yet One, merupakan ilustrasi dari jati diri bangsa Indonesia yang
secara natural, dan sosial-kultural dibangun diatas keanekaragaman. (etnis, bahasa, budaya
dll). Secara akademis, konsep bhinneka tunggal ika tersebut dapat dipahami dalam konteks
konsep generik multiculturalism atau multikulturalisme.
Multikulturalisme setidaknya menunjuk pada tigal hal, yakni: (1) sebagai bagian dari
pragmatism movement pada akhir abad ke 19 di Eropa dan Amerika Serikat; (2) sebagai
political and cultural pluralism pada abad ke 20 sebagai respon terhadap imperialisme Eropa
di Afrika dan imigrasi besar-besaran orang Eropa ke Amerika Serikat dan Amerika Latin; dan
(3) sebagai official national policy yang dilakukan di Canada pada 1971 dan Australia tahun
1973 dan di beberapa Negara Eropa.
Secara konseptual multikulturalisme merupakan pergumulan antara pilihan menjadi
monocultural nation-state yang didasarkan pada prinsip …each nation is entitled to its own
souvereign state and to engender, protect and preserve its own unique culture and history,
atau menjadi multilingual and multi-ethnic empires yang dianggap sangat opresif, seperti
Austro-Hungarian Empire dan Ottoman Empires. Namun demikian dalam praksis kehidupan
kenegaraaan yang berbasis pemikiran monoculturalism ternyata ideologii nation-state
dengan prinsip unity of disscent, unity of culture, unity of language and often unity of religion
tidak mudah diwujudkan. Dalam kondisi tidak dicapainya cultural unity, karena dalam
kenyataannya justeru memiliki cultural diversity, Negara melakukan berbagai kebijakan,
yang salah satunya adalah melakukan compulsory primary education dalam satu bahasa,
yang sering menimbulkan cultural conflict sebagai akibat dari pengabaian terhadap bahasa
lokal/daerah.
Indonesia dikonsepsikan dan dibangun sebagai multicultural nation-state dalam
konteks negara-kebangsaan Indonesia modern, bukan sebagai monocultural nation-state.
Hal itu dapat dicermati dari dinamika praksis kehidupan bernegara Indonesia sejak
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 sampai saat ini dengan mengacu
pada konstitusi yang pernah dan sedang berlaku, yakni UUD 1945, Konstitusi RIS 1949, dan
UUDS 1950, serta praksis kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang menjadi dampak
langsung dan dampak pengiring dari berlakunya setiap konstitusi serta dampak
perkembangan internasional pada setiap jamannya itu.
Pada tataran ideal semua konstitusi tersebut sungguh-sungguh menganut paham
demokrasi dalam dan untuk masyarakat yang bersifat multikultural, yang mengandung arti
bahawa paham demokrasi konstitusional sejak awal berdirinya Negara Republik Indonesia
tahun 1945 sampai saat ini merupakan landasan dan orientasi kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara Indonesia yang bersifat multikultural.
Harus diakui bahwa proses demokratisasi kehidupan masyarakat, bangsa, dan
negara Indonesia yang bersifat multikultural itu sampai saat ini masih belum mencapai tarap
yang membanggakan dan membahagiakan, seperti masih berkembangnya fenomena
kasuistis dari etnosentrisme dan primordialisme lain yang menyertai desentralisasi dan
otonomi daerah, yang diwarnai konflik horizontal antar suku, agama, ras dan golongan yang
terjadi di berbagai penjuru tanah air.
Dalam konteks multikulturalisme, komitmen final tentang NKRI, Pembukaan UUD
1945 yang diterima secara konsisten dengan Pancasila di dalamnya, wawasan Nusantara
yang mempersatukan wilayah Indonesia dari Merauke sampai Sabang, serta pengakuan
kebudayaan Indonesia yang merajut puncak-puncak budaya dari semua etnis yang ada di
Indonesia, merupakan indikasi yang kuat bahwa Indonesia tidak menganut konsep
American’s melting pot, atau Australia’s ethnic selection, atau Malaysia’s three ethnicity
coexistence, atau Argentina’s social-cultrural assortment tetapi lebih mendekati pada konsep
eclectic model dari Canada’s cultural mosaic dengan konsepsi Bhinneka Tunggal Ika Mpu
Tantular.
Pendidikan Pancasila yang berisikan interaksi antara peserta didik dalam latar
pendidikan formal dan nonformal, dan antara anggota masyarakat dalam latar pendidikan
informal, dengan seluruh sumber inspirasi dan informasi yang memungkinkan setiap orang
baik secara individual maupun kolektif mampu mewujudkan esensi nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila dan sebagai proses idealisasi kehidupan masyarakat, bangsa,
dan negara Indonesia yang multikultural-bhinneka tunggal ika. Yang menjadi integrating
forces adalah sistem nilai Pancasila yang baik secara substantif masing-masing silanya
maupun secara sistemik keseluruhan lima silanya sangat menghargai dan mewadahi
keberagaman dalam keyakinan, dalam dimensi kemanusiaan, dalam semangat
mempersatukan Indonesia, dalam mewujudkan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan dalam mewujudkan keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pendidikan kewarganegaraan untuk Indonesia, secara filosofik dan substantif-
pedagogis/andragogis, merupakan pendidikan untuk memfasilitasi perkembangan pribadi
peserta didik agar menjadi warga negara Indonesia yang religius, berkeadaban, berjiwa
persatuan Indonesia, demokratis dan bertanggung jawab, dan berkeadilan, serta mampu
hidup secara harmonis dalam konteks multikulturalime-bhinneka tunggal ika.
10. Perlu dikembangkan budaya kewarganegaraan Indonesia yang multikultural, yang
berintikan “civic virtue” atau kebajikan atau akhlak kewarganegaraan. Kabajikan itu
sepenuhnya harus terpancar dari nilai-nilai Pancasila yang secara substantif mencakup
keterlibatan aktif warganegara, hubungan kesejajaran/egaliter, saling percaya dan toleran,
kehidupan yang kooperatif, solidaritas, dan semangat kemasyarakatan multikultural. Semua
unsur akhlak kewarganegaraan itu diyakini akan saling memupuk dengan kehidupan “civic
community” atau “civil society” atau masyarakat madani yang multikultural berdasarkan
Pancasila.
III. KONTRAVERSI AMANDEMEN MASA JABATAN
PRESIDEN
“Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya
dapat dipilih kembali.”
(UUD 1945 Pasal 7)
“Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya
dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan. “
(UUD 1945 Amandemen Perubahan Pasal 7)
Perpanjangan masa jabatan Presiden yang belum lama ini telah dilontarkan Seperti
anggota Fraksi Partai Demokrat, Ruhut Sitompul,mendapat kecaman publik. Karena
sebenarnya dengan keadaan Indonesia yang seperti ini usulan itu hanya akan membuat
Indonesia berpikir mundur. Kenapa masa jabatan Presiden perlu dibatasi?
Untuk menjawab pertanyaan ini ada baiknya kita mereview pemikiran yang melatar
belakangi ide pembatasan itu. Setelah Soeharto terguling, sejumlah elemen masyarakat
menuntut, salah satunya adalah perubahan (amandemen) UUD 1945. Tuntutan ini
kemudian direspons Majelis Permusyawaratan Rakyat(MPR). Melalui Panitia Ad Hoc (PAH)
I Badan Pekerja, MPR menggodok dan melakukan amandemen sejumlah pasal. Salah
satunya pasal 7 tentang masa jabatan presiden., perubahan pasal 7 masuk dalam agenda I
yang dibahas pada tahun 1999. Pasal 7 UUD 1945 sebelum amandemen itu berbunyi:
"Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan
sesudahnya dapat dipilih kembali. Saat itu,semua fraksi menyepakati perubahan pasal 7
UUD 1945 itu. Tidak ada satu pun fraksi yang menolak termasuk Fraksi TNI/Polri,
kesepakatan itu dicapai karena semua fraksi menganggap Indonesia perlu belajar dari
kepemimpinan dua presiden sebelumnya: Soekarno dan Soeharto. Karena pasal itu,
Seokarno mengangkat dirinya sebagai presiden seumur hidup. Begitu pun Soeharto, yang
mencoba mengakali pasal itu. Dimana ia selalu dipilih terus hingga enam periode. Dan
pembatasan terhadap masa kepemimpinan Presiden perlu dilakukan karena untuk
keberlangsungan demokrasi. "Jangan sampai demokrasi membuat masyarakat
mengkultuskan individu.
Rincian bahaya jika masa jabatan presiden tak dibatasi yaitu:
1. Seseorang akan otoriter
2. Abuse of Power, menyalahgunakan kekuasaan
3. Regenerasi kepemimpinan nasional macet
4. Seseorang bisa menjadi dictator.
5. Timbulnya kultus individu
Lalu sesuai permasalahan Indonesia "Kalau ada pikiran apakah mungkin masa
jabatan presiden kembali diubah sehingga tidak perlu ada pembatasan, maka seorang
persiden akan menolak dan menentang pikiran itu jika mengingat rincian diatas. Ada
presiden yang dipilih berulang sampai enam kali. Pelajarannya: kekuasaan yang begitu
langgeng menimbulkan permasalahan dan tidak baik di kehidupan bernegara.
Selain itu motif seseorang untuk mengamandemen masa jabatan persiden itu bisa
saja karna adanya sikap semakin menguat dan mengentalnya budaya kultus individu
terhadap seseorang pemilik kekuasaan dan dari para elite politik serta lingkaran dalam
Istana pemerintahan. Akibatnya, bukan hanya muncul usulan sangat naif (seperti dilontarkan
Ruhut), melainkan juga upaya mencari pembenaran oleh para staf khusus Pemimpin atas
berbagai sikap, perilaku, dan ucapan pemimpin.
Uraian singkat di atas menggarisbawahi bahwa dalam situasi dan kultur demikian
usulan perpanjangan masa jabatan presiden seperti yang dilontarkan Ruhut Sitompul
tampaknya bukan semata-mata inisiatif mantan pengacara . Hal itu dapat dipandang
sekaligus sebagai strategi politik PD dan orang-orang dekat kepemimpinan seorang
Presiden dalam mencari peluang melanggengkan kekuasaan persiden melalui amandemen
konstitusi. Barangkali inilah bahaya besar yang tengah dihadapi bangsa kita, yakni ketika
kecenderungan personalisasi kekuasaan telah menghinggapi para pemimpin negeri ini.
Personalisasi kekuasaan lazimnya berawal ketika para pemimpin gagal memisahkan urusan
negara di satu pihak, dan urusan keluarga di pihak lain. Padahal, kejatuhan para kepala
negara dan kepala pemerintahan di banyak negara sedang berkembang pada umumnya
berpangkal pada kegagalan dalam soal ini, yakni tatkala urusan keluarga yang bersifat privat
dipandang dan diperlakukan sebagai urusan negara yang bersifat publik.. Seperti diketahui,
Presiden Soeharto juga jatuh atau dipaksa mundur dari jabatannya lantaran telanjur
mengidentikkan diri sebagai negara Orde Baru itu sendiri selama hampir tiga dekade
kekuasaannya.
Oleh karena itu sebelum bahaya besar tersebut mengancam masa depan bangsa
kita, pimpinan PD dan Presiden sendiri semestinya memberikan klarifikasi yang lebih jernih
tentang usulan terhadap amandemen masa jabatan kepersidenan. Di sisi lain, parpol-parpol
di luar PD semestinya juga tidak terkesan mencoba ”mengail di air yang keruh”.
Persoalannya, fondasi utama yang melatarbelakangi munculnya gerakan reformasi pada
1997-1998 adalah penolakan secara mutlak dan permanen terhadap masa jabatan presiden
lebih dari dua periode. Karena itu jika Pasal 7 UUD 1945 hasil amandemen pada 1999
diubah kembali, maka negeri kita tinggal selangkah lagi kembali ke sistem politik otoriter.
Dengan demikian maka tidak perlu adanya amandemen undang-undang masa
jabatan persiden karena masalah yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini yang memebuat
terhambatnya Indonesia untuk mencapai cita-cita bangsa bukanlah karna sistem periode
pemerintahan,melainkan karna sistem pelaku pemerintahannya. Adanya motif lain yang
bukan mengacu pada kepentingan negara pada inisiatif pengamandemenan masa jabatan
persiden, yaitu motif mengentalnya budaya kultus individu. Negara indonesia ini berjalan
berdasarkan pancasila yang di dalamnya terdapat asas demokrasi,oleh karena itu perlu
adanya pembatasan masa kepemimpinan persiden. Sehingga demokrasi tidak membuat
kultus individu.
Sebaiknya perlu diperhatikan tujuan dari sebuah perubahan unsur-unsur atau
kandungan yang ada dalam konstitusi negara. Untuk mencapai sepenuhnya cita-cita negara
Indonesia bukan saja sistem konstitusi yang harus dirubah,melainkan juga perlu
diperhatikan bagaimana sistem tersebut dijalankan oleh pemimpin dan pemilik kewenangan.
IV. KEWARGANEGARAAN ANAK DALAM
PERKAWINAN CAMPURAN
”Warga Negara Indonesia adalah: anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang
ayah Warga Negara Indonesia dan Ibu Warga Negara Asing”
(Pasal 4 huruf c UU Kewarganegaraan Baru)
”Warga Negara Indonesia adalah anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang
ayah Warga Negara Asing dan ibu Warga Negara Indonesia”
(Pasal 4 huruf d UU Kewarganegaraan Baru)
”Dalam hal status Kewarganegaraan Republik Indonesia terhadap anak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 huruf c, huruf d, huruf h, huruf i dan Pasal 5 berakibat anak
berkewarganegaraan ganda, setelah 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin anak
tersebut harus menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya”
(Pasal 6 ayat 1 Kewarganegaraan Baru)
Dari Pasal 6 ayat 1 UU Kewarganegaraan Baru tersebut di atas maka
kewarganegaraan ganda anak dalam suatu perkawinan campuran bersifat terbatas sampai
pada usia 18 tahun saja, kemudian dia diberi waktu 3 tahun untuk memilih apakah akan
menjadi WNI atau WNA.
Terhadap anak-anak yang lahir sebelum Undang-Undang ini diundangkan, mereka
dapat memperoleh kewarganegaraan ganda atau dapat menjadi WNA. Mereka dapat
memperoleh kewarganegaraan ganda, bila orangtua atau walinya mendaftarkan mereka
kepada Menteri melalui Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia paling lambat 4 (empat)
tahun setelah Undang-Undang ini diundangkan.
Dengan didaftarkannya anak-anak tersebut, maka mereka memperoleh Surat
Keputusan dari Menteri Hukum dan HAM bahwa mereka adalah WNI. Bila sampai dengan
Tahun 2010 anak-anak tersebut tidak didaftarkan maka mereka dianggap sebagai WNA
(wawancara dengan Bapak Nengak Mahardika, Divisi Pelayanan Hukum dan HAM, Kanwil
Hukum dan HAM Propinsi Jatim, periksa Pasal 41 UU No. 12 Tahun 2006 jo. Permen
Hukum dan HAM No. M.01-HL.03.01 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pendaftaran Anak
untuk Memperoleh Kewarganegaraan RI). Sedangkan anak-anak yang lahir di Indonesia
setelah Undang-Undang ini diundangkan, pencatatan dilakukan pada Kantor Kependudukan
dan Catatan Sipil dan memperoleh akte kelahiran sebagai WNI.
Masalah kewarganegaraan seseorang tidak hanya terbatas pada paspor serta izin
tinggal di suatu negara tetapi mempunyai implikasi yang lebih jauh yaitu juga meliputi hak-
hak dan kewajiban sebagai warga negara yang harus dijalaninya. Dalam Hukum Perdata
Internasional Indonesia sebagaimana tertuang dalam pasal 16 AB bahwa kewarganegaraan
seseorang menentukan hukum yang berlaku baginya di bidang status personal yaitu meliputi
hubungan-hubungan kekeluargaan seperti hubungan antara suami istri, ayah dan
anak,perwalian termasuk soal-soal yang bertalian dengan perkawinan, pembatalan
perkawinan, perceraian, status di bawah umur dan lain-lain.
Bila seseorang berkewarganegaraan asing, maka terhadap status personalnya
berlaku hukum asing yaitu hukum nasional dari negaranya. Bila anak tersebut
berkewarganegaraan ganda, maka anak tersebut tunduk pada dua yurisdiksi dari dua
negara yang berbeda, sehingga asas kewarganegaraan yang dianut dalam Hukum Perdata
Internasional Indonesia melalui Pasal 16 AB sulit diterapkan terhadap kasus-kasus yang
berkaitan dengan status personalnya.
V. HAK ASASI MANUSIA
”Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan
dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”
(Pasal 28 UUD 1945)
Pengadilan Hak Asasi Manusia sangat sekali diperlukan karena dengan begitu
diharapkan dapat memberikan kepastian hukum bagi masyarakat yang mendambakan
penegakan hak-hak asasinya.
Pengadilan Hak Asasi Manusia sebagai lembaga yang membela hak asasi manusia
di Indonesia, keberadaan pengadilan HAM sendiri sangat urgen dan relevan saat ini. Sebab,
di tengah euforia kebebasan pada masa reformasi sekarang ini, pelanggaran dan
penindasan atas hak asasi orang lain justru banyak terjadi. Di tengah kemiskinan rakyat
akibat krisis ekonomi dan krisis multidimensi lainnya, pengisapan manusia yang kuat atas
manusia lainnya yang lemah tetap merajalela. Ironisnya, eksplisit atau implisit itu dilakukan
justru dengan alasan kebebasan.
Namun, dalam tataran praktik harus kita akui, kebijakan politik dan pembangunan di
seluruh aspek kehidupan bangsa ini telah menempatkan hak-hak asasi manusia menjadi
simbol tak bermakna ketika harus berhadapan dengan kepentingan “pembangunan” dan
“stabilitas”. Pihak yang seringkali menjadi korban adalah kelompok warga negara miskin,
perempuan dan anak, dan juga kelompok minoritas. Hal tersebut yang menjadikan perlu
dibentuknya pengadilan Hak Asasi Manusia, dengan begitu jelas mempertegas komitmen
bangsa Indonesia terhadap hak asasi manusia dan membawa dampak bagi penegakan
hukum di Indonesia.
Oleh karena itu, adanya pengadilan Hak Azasi Manusia tersebut haruslah membawa
dampak positif terhadap upaya penegakan hukum terutama yang berkaitan dengan
penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia.
VI. PERUBAHAN RUMUSAN PANCASILA SILA
PERTAMA
“Ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya,”
(Piagam Jakarta 22 Juni 1945)
“Ke-Tuhanan Yang Maha Esa.”
(Rumusan Pancasila sila pertama)
Sebagai negara yang bermayoritas penduduk agama islam, Pancasila sendiri yang
sebagai dasar negara Indonesia tidak bisa lepas dari pengaruh agama yang tertuang dalam
sila pertama yang berbunyi sila “Ketuhanan yang Maha Esa”. yang pada awalnya berbunyi
“… dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluknya” yang sejak saat itu
dikenal sebagai Piagam Jakarta.
Namun dua ormas Islam terbesar saat itu dan masih bertahan sampai sekarang yaitu
Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah menentang penerapan Piagam Jakarta tersebut,
karena dua ormas Islam tersebut menyadari bahwa jika penerapan syariat Islam diterapkan
secara tidak langsung namun pasti akan menjadikan Indonesia sebagai negara Islam dan
secara “fair” hal tersebut dapat memojokkan umat beragama lain. Yang lebih buruk lagi
adalah dapat memicu disintegrasi bangsa terutama bagi provinsi yang mayoritas beragama
nonislam. Karena itulah sampai detik ini bunyi sila pertama adalah “ketuhanan yang maha
esa” yang berarti bahwa Pancasila mengakui dan menyakralkan keberadaan Agama, tidak
hanya Islam namun termasuk juga Kristen, Katolik, Budha dan Hindu sebagai agama resmi
negara pada saat itu.
Atas perubahan bunyi sila pertama menjadi Ketuhanan yang Maha Esa membuat
para pemeluk agama lain di luar islam merasa puas dan merasa dihargai. Searah dengan
perkembangan, sila Ketuhanan yang Maha Esa dapat dijabarkan dalam beberapa point
penting atau biasa disebut dengan butir-butir Pancasila. Diantaranya: Bangsa Indonesia
menyatakan kepercayaannya dan ketaqwaanya kepada Tuhan Yang Maha Esa, Manusia
Indonesia percaya dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan
kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama antra pemeluk agama
dengan penganut kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Maha Esa,
membina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan kepercayaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa, Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah
masalah yang menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa,
mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan
agama dan kepercayaannya masing-masing serta tidak memaksakan suatu agama dan
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada orang lain. Dari butir-butir tersebut
dapat dipahami bahwa setiap rakyat Indonesia wajib memeluk satu agama yang diyakini.
Tidak ada pemaksaan dan saling toleransi antara agama yang satu dengan agama yang
lain.
VII. SUMBER DAYA ALAM NEGARA
“Bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
(UUD 1945 Pasal 33 ayat 3)
Isi ayat pasal di atas bermakna bahwa segala sesuatu mengenai sumber daya alam
termasuk di dalamnya air beserta kekayaan alam lainnya milik atau berada dalam wilayah
teritori NKRI berarti dikuasai, diatur, dikelola, dan didistribusikan oleh negara atau
pemerintah dengan segenap lembaga pengelolanya untuk dipergunakan bagi
memakmurkan atau mensejahterakan rakyat Indonesia seluruhnya.
Sejauh ini pemerintah Indonesia sendiri berusaha untuk menjalankan kewajibannya
sehubungan dengan isi ayat pasal tersebut. Sehingga dibentuklah lembaga-lembaga yang
ditugasi untuk mengurusi dan mengelola elemen-elemen alam milik bumi Indonesia.
Contohnya saja negara kita memiliki beberapa BUMN (Badan Usaha Milik Negara) yang
mengurusi hal-hal tersebut seperti, PAM (Perusahaan Air Minum), Lemigas (Lembaga
Minyak dan Gas), Pertamina, PLN (Perusahaan Listrik Negara), dan lain sebagainya. Ini
semua menunjukan negara sudah menjalankan kewajibannya sesuai amanah ayat pasal di
atas untuk tahap pertama.
Namun setelah terbentuknya lembaga-lembaga tadi tugas pemerintah belum
sepennuhnya selesai. Kenyataan yang ada sekarang ini adalah masih banyaknya rakyat
yang merasa dirugikan atau kurang diperlakukan dengan adil menyangkut kebutuhannya
akan elemen-elemen alam tersebut. Padahal seharusnya setiap rakyat memperoleh hak
dalam hal ini kebutuhan akan air bersih, bahan bakar, dan sumber daya alam lainnya.
Seharusnya rakyat tidak mengalami kesulitan dalam memperoleh hal-hal tadi mengingat
negara ini sangatlah kaya akan unsur-unsur alam tersebut. Namun, mengapa untuk air
bersih saja rakyat harus mengalami kesulitan bahkan harus mengeluarkan biaya yang cukup
mahal? Mengapa harga bahan bakar (bensin, gas, dan minyak tanah) terus naik?
Bagaimana dengan tarif listrik? Apakah semua ini mencerminkan negara kita yang “katanya”
gemah ripah lohjinawi? Mungkin jawabannya bisa kita lihat dari banyaknya kasus-kasus
korupsi para pejabat lembaga-lembaga pengelola urusan-urusan tersebut. Masih banyaknya
penyalahgunaan kekuasaaan oleh para petinggi di pemerintahan ini. Seharusnya mereka
memperhatikan nasib para pedagang kecil yang kesulitan mendapatkan bahan bakar untuk
keperluan dagangnya karena harga minyak terlalu mahal, para supir angkot yang
mengalami kesulitan untuk setoran karena harga bensin yang terus melambung, para petani
kecil yang mengalami kesusahan karena biaya produksi untuk panen yang tinggi sementara
mereka harus menjual murah hasil panennya untuk bersaing dengan para pengusaha
pertanian besar, dan masih banyak lagi permasalahan lainnya yang mnyebabkan pula
kesulitan di pihak para konsumen. Akhirnya perekonomian Indonesia menjadi terpuruk
sampai detik ini.
Namun kita sebagai masyarakat bukan berarti kita selalu menyalahkan “pihak atas”
saja. Kita semua harus bercermin pada diri kita masing-masing. Karena segala sesuatu
harus dimulai sejak dini, dari bawah, dan mulai dari hal yang kecil. Agar Indonesia dapat
terlepas dari belenggu kemiskinan yang sudah berlarut-larut ini.
VIII. MAKNA PEMBUKAAN UUD 1945 ALINEA
KEDUA
“Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang
berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu
gerbang kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan
makmur”
(Pembukaan UUD 1945 Alinea Kedua)
Kalimat tersebut menunjukkan kebanggaan dan penghargaan kita akan perjuangan
bangsa Indonesia selama ini. Hal Ini juga berarti adanya kesadaran keadaan sekarang yang
tidak dapat dipisahkan dari keadaan kemarin dan langkah yang kita ambil sekarang akan
menentukan keadaan yang akan datang. Dalam alinea ini jelas apa yang dikehendaki atau
diharapkan oleh para "pengantar" kemerdekaan, ialah Negara Indonesia yang merdeka,
bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Nilai-nilai itulah yang selalu menjiwai segenap bangsa
Indonesia dan terus berusaha untuk mewujudkannya.
Alinea ini mewujudkan adanya ketetapan dan ketajaman penilaian :
1. Bahwa perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampai pada tingkat yang
menentukan;
2. Bahwa momentum yang telah dicapai tersebut harus dimanfaatkan untuk menyatakan
kemerdekaan;
3. Bahwa kemerdekaan tersebut bukan merupakan tujuan akhir tetapi masih harus diisi
dengan mewujudkan negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.
IX. MAKNA PEMBUKAAN UUD 1945 ALINEA KEDUA
“Kemudian daripada itu untuk membentuk susunan pemerintahan negara Indonesia
yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial,
maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang
Dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam susunan negara Republik Indonesia yang
berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa,
kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan 13
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan,
serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
(Pembukaan UUD 1945 Alinea keempat)
Alinea ini merumuskan dengan padat sekali tujuan dan prinsip-prinsip dasar, untuk
mencapai tujuan bangsa Indonesia setelah menyatakan dirinya merdeka.
Tujuan nasional negara Indonesia dirumuskan dengan "... Pemerintah Negara Indonesia
yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan
untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kebidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan
keadilan sosial"
Sedangkan prinsip dasar yang dipegang teguh untuk mencapai tujuan itu adalah
dengan menyusun kemerdekaan Indonesia itu dalam suatu Undang-undang Dasar Negara
Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang
berkedaulatan rakyat dan berdasarkan PancasiIa. Dengan rumusan yang panjang dan
padat ini, alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 sekaligus menegaskan:
1. Negara Indonesia mempunyai fungsi yang sekaligus menjadi tujuannya yaitu:melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial;
2. Negara Indonesia berbentuk Republik dan berkedaulatan rakyat;
3. Negara Indonesia mempunyai dasar falsafah Pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Maha
Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.
“Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak
mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni
dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.”
(UUD 1945 Pasal 28C Ayat 1 )
“Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara
kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.”
(UUD 1945 Pasal 28C Ayat 2 )
Mencermati perkembangan pemilu demi pemilu di Indonesia yang sudah dilaksanakan
beberapa kali, seharusnya membuat masyarakat dan bangsa Indonesia semakin cerdas
dalam menjalankan etika dan moral politik yang menjadi dasar dalam mengimplementasi
Konsep Sistem Politik yang demokratis. Namun peristiwa politik berupa insiden kekerasan
dan konflik sosial masih mewarnai dalam pelaksanaan pemilu. Fenomena penting yang
perlu dicermati perkembangan dalam pemilu terutama dalam pemilu gubernur dan
bupati/walikota disamping sering timbul konflik juga diwarnai money politik. Padahal tujuan
utama pemilu memberikan proses pendidikan politik warga negara dan pendemokrasian
politik, sosial dan ekonomi. Namun ternyata hasilnya, menunjukan bahwa, partisipasi
masyarakat terhadap pemilu masih rendah, berbagai daerah jumlah pemilih yang tidak
melaksanakan hak pilihnya alias golput.
Pemimpin yang terpilih juga sebagian besar tidak mencerminkan aspirasi rakyat dengan
indikasinya para kepala daerah (Gubernur, Bupati/Walikota) terpilih di samping tidak
profesional dan kompeten juga banyak yang terlibat dalam kasus hukum (korupsi).
Dengan demikian bagaimana mendesain sistem pemilu yang bisa mendorong
terwujudnya praktek demokrasi yang berkualitas. Demokrasi memang suatu konsep politik
yang menjadi harapan semua pihak bahwa dengan terciptanya sistem demokrasi yang
dipraktekkan suatu negara mampu memperbaiki keadaan ekonomi dan politik, seperti
disebutkan diatas. Jadi demokrasi memberikan keleluasaan yang lebih dinamis tidak hanya
demokrasi politik saja seperti selama ini dirasakan, tapi juga demokrasi sosial dan
demokrasi ekonomi.
Demokrasi merupakan konsep yang menjamin terwujudnya perbaikan kondisi ekonomi
dan sosial masyarakat jika benar-binar bias diimplementasikan dalam pemilu. Adapun sudut
pandang kegunaan dan keuntungan dengan menjalankan prinsip demokrasi menjamin
kehidupan masyarakat yang lebih berkualitas diantaranya :
1. Dengan demokrasi, pemerintahan dapat mencegah timbulnya pemerintahan otoriter
yang kejam dan licik;
2. Menjamin tegaknya hak asasi bagi setiap warga negara;
3. Memberikan jaminan terhadap kebebasan pribadi yang lebih luas;
4. Demokrasi juga memberikan jaminan kebebasan terhadap setiap individu warga
negara untuk menentukan nasibnya sendiri;
5. Demokrasi memberikan kesempatan menjalankan tanggung jawab moral;
6. Demokrasi juga memberikan jaminan untuk membantu setiap individu warga negara
untuk berkembang sesuai dengan potensi yang dimiliki secara luas;
7. Demokrasi juga menjunjung tinggi persamaan politik bagi setiap warga negara;
8. Demokrasi juga mampu memberikan jaminan kemakmuran bagi masyarakatnya.
Mewujudkan budaya demokrasi memang tidak mudah. Perlu ada usaha dari semua
warga negara. Yang paling utama, tentu saja, adalah adanya niat untuk memahami nilai-nilai
demokrasi serta mempraktekanya secara terus menerus, atau membiasakannya.
Bawasanya demokrasi di Indonesia masih dimaknai hanya sebagai ornament
demokrasi karena pada hakekat utamanya mensejahterakan rakyat melalui sistem
demokrasi itu belum terwujud. Banyaknya parpol baru membuat masyarakat bingung
memilih menentukan figure seorang pemimpin yang ideal dan setiap parpol hanya
mementingkan pribadi serta kelompoknya masing-masing sehingga aspirasi rakyat menjadi
tidak terwakili.
Memahami nilai-nilai demokrasi memerlukan pemberlajaran, yaitu belajar dari
pengalaman negara-negara yang telah mewujudkan budaya demokrasi dengan lebih baik
dibandingkan kita. Dalam usaha mempraktekan budaya demokrasi, kita kadang-kadang
mengalami kegagalan disana-sini, tetapi itu tidak mengendurkan niat kita untuk terus
berusaha memperbaikinya dari hari kehari. Suatu hari nanti, kita berharap bahwa demokrasi
telah benar-benar membudaya di tanah air kita, baik dalam kehidupan berkeluarga,
bermasyarakat, maupun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
XI. TEKS PROKLAMASI
“Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia.
Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan
dengan tjara saksama dan dalam tempoh jang sesingkat-singkatnja.”
(Teks Proklamasi , Bung Karno)
Lewat proklamasi, pengakuan kedaulatan Indonesia telah diserukan kepada setiap
warga dunia, bahwa akan ada sebuah negara baru yang telah bebas dari jajahan negara
lain. Lahirnya sebuah negara baru ini, memiliki kedudukan yang sama dengan negara-
negara lain yang telah ada sebelumnya.
Secara umum, makna proklamasi kemerdekaan suatu bangsa sangat diperjuangkan
karena melepas belenggu penjajahan dari bangsa lain, hidup yang sederajat dengan
bangsa-bangsa lain yang telah merdeka dalam pergaulan antar bangsa dan di dunia
internasional serta mencapai tujuan nasionalis bangsa.
Jika kita lihat dari sudut pandang hukum, proklamasi merupakan sebuah pernyataan
yang berisi tentang keputusan Negara Indonesia untuk membuat atau menetapkan aturan
hukum nasional Indonesia dan menghapus arturan hukum kolonial.
Jika dilihat dari sudut pandang politik ideologis, proklamasi merupakan sebuah
pernyataan negara Indonesia yang melepaskan diri dari penjajahan dan membuat atau
membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka,bebas, dan berdaulat.
Proklamasi juga merupakan puncak dari perjuangan bangsa Indonesia dalam mencapai
dan memperjuangkan kemerdekaan.
Proklamasi juga menjadi sebuah alat hukum internasional untuk menyatakan kepada
seluruh rakyat indonesia dan seluruh dunia, bahwa Indonesia dapat mengambil nasibnya ke
dalam tangannya sendiri untuk memegang seluruh hak kemerdekaan.
Proklamasi merupakan sebuah lampu mercusuar yang selalu menunjukkan jalannya
sebuah sejarah, memberikan inspirasi, dan banyak motivasi motivasi dari perjalanan bangsa
Indonesia di segala keadaan.
Proklamasi kemerdekaan yang telah dilakukan, merupakan lambang lahirnya bangsa
Indonesia sebagai bangsa dan negara yang merdeka, baik secara de facto maupun secara
de jure. Kemerdekaan yang diperoleh dengan perjuangan yang sangat panjang tersebut
harus diteruskan oleh generasi penerus bangsa untuk memajukan bangsa. Oleh karena itu,
sebagai generasi muda kita harus senantiasa mengisi kemerdekaan yang telah kita raih
sekarang ini dengan ikut serta dalam memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial sesuai dengan UUD 1945.
XII. REALITA KEHIDUPAN FAKIR MISKIN DAN ANAK
TERLANTAR
" Fakir miskin dan anak- anak terlantar dipelihara oleh negara ".
( UUD 1945 Pasal 34)
Bagaimanakah kenyataan yang terjadi di negara kita tercinta? Sadarkah dengan
bumi pertiwi yang menyimpan tangis ringkiknya?
Mari berkaca pada realita , saat berhenti di lampu merah, seorang bocah berjualan
koran, seorang bocah menyuarakan suara parau nya, bahkan juga ada fakir yang meminta-
minta. Saking miskinnya mereka, mencopet mereka jadikan sebagai hobi, membanci pun
mereka jadikan profesi, mengasong pun mereka tetap dikejar-kejar para patroli! Mereka
tidak berpendidikan, mereka tidak punya uang untuk sekolah, mereka tidak punya uang
makan yang bergizi, tak punya uang tinggal di rumah mewah. Mereka di bodohi, mereka
dililit hutang, mereka tinggal di kolong jembatan, mereka menjadi penghias kota indah dan
gemerlap kelap kelip ketika malam tiba. Malam tak menjadikan mereka beristirahat, mereka
tetap berpikir bagaimana cara agar esok hari dapat rezeki, dapat sesuap nasi!
Di peliharakah mereka oleh negara? Adakah kita melihat tindakan konkret dari pasal
34 ayat 1 yang berbunyi Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara?
“TIDAK! TIDAK sama sekali”
Lihat Koruptor! keluar dari penjara masih bugar adanya, wajah semakin kinclong
saja, badan semakin semangat, adakah rencana lagi seusai keluar penjara? Lihat koruptor,
sepertinya mereka lah yang dipelihara oleh negara!
Beri tindakan nyata! Isukan ini! jangan puas dengan satu isu saja agar ini bisa masuk
ke telinga pemerintah!!!
Hukum tidak berbanding lurus dengan kebijakan dan realita yang ada.
XIII. ANTARA HAK HIDUP DAN HUKUMAN MATI
“Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.”
(UUD 1945 Pasal 28A)
“(1) Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf
kehidupannya
(2) Setiap orang berhak hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin
(3) Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat”
(Pasal 9 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (“UU HAM”)
Lebih lanjut, dikatakan bahwa setiap orang berhak atas kehidupan, mempertahankan
kehidupan, dan meningkatkan taraf kehidupannya. Hak atas kehidupan ini bahkan juga
melekat pada bayi yang belum lahir atau orang yang terpidana mati. Dalam hal atau
keadaan yang sangat luar biasa yaitu demi kepentingan hidup ibunyadalam kasus aborsi
atau berdasarkan putusan pengadilan dalam kasus pidana mati. Maka tindakan aborsi atau
pidana mati dalam hal dan atau kondisi tersebut, masih dapat diizinkan. Hanya pada dua hal
tersebut itulah hak untuk hidup dapat dibatasi. Dari penjelasan di atas dapat diketahui
bahwa dalam kondisi tertentu seperti pidana mati, hak untuk hidup dapat dibatasi.
Berkaitan dengan hal ini, diberitakan bahwa Mahkamah Konstitusi (“MK”) dalam
putusannya pada 30 Oktober 2007 menolak uji materi hukuman mati dalam UU Narkotika
dan menyatakan bahwa hukuman mati dalam UU Narkotika tidak bertentangan dengan hak
hidup yang dijamin UUD 1945 lantaran jaminan hak asasi manusia dalam UUD 1945 tidak
menganut asas kemutlakan. Menurut MK, hak asasi dalam konstitusi mesti dipakai dengan
menghargai dan menghormati hak asasi orang lain demi berlangsungnya ketertiban umum
dan keadilan sosial. Dengan demikian, MK, hak asasi manusia harus dibatasi dengan
instrumen Undang-Undang, yakni Hak untuk hidup itu tidak boleh dikurangi, kecuali
diputuskan oleh pengadilan.
Alasan lain pertimbangan putusan MK salah satunya karena Indonesia telah terikat
dengan konvensi internasional narkotika dan psikotropika yang telah diratifikasi menjadi
hukum nasional dalam UU Narkotika. Sehingga, menurut putusan MK, Indonesia justru
berkewajiban menjaga dari ancaman jaringan peredaran gelap narkotika skala internasional,
yang salah satunya dengan menerapkan hukuman yang efektif dan maksimal.
Masih dalam artikel yang sama dijelaskan bahwa dalam konvensi tersebut Indonesia
telah mengakui kejahatan narkotika sebagai kejahatan luar biasa serius terhadap
kemanusiaan (extra ordinary) sehingga penegakannya butuh perlakuan khusus, efektif dan
maksimal. Salah satu perlakuan khusus itu, menurut MK, antara lain dengan cara
menerapkan hukuman berat yakni pidana mati. Dengan menerapkan hukuman berat melalui
pidana mati untuk kejahatan serius seperti narkotika, MK berpendapat, Indonesia tidak
melanggar perjanjian internasional apa pun, termasuk Konvensi Internasional Hak Sipil dan
Politik (ICCPR) yang menganjurkan penghapusan hukuman mati. Bahkan MK menegaskan,
Pasal 6 ayat 2 ICCPR itu sendiri membolehkan masih diberlakukannya hukuman mati
kepada negara peserta, khusus untuk kejahatan yang paling serius.
Dalam pandangan MK, keputusan pembikin undang-undang untuk menerapkan
hukuman mati telah sejalan dengan Konvensi PBB 1960 tentang Narkotika dan Konvensi
PBB 1988 tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika, Pasal 3
Universal Declaration of Human Rights, dan UU HAM sebab ancaman hukuman mati dalam
UU Narkotika telah dirumuskan dengan hati-hati dan cermat, tidak diancamkan pada semua
tindak pidana Narkotika yang dimuat dalam UU tersebut.
Lebih lanjut, melihat pada UU HAM, MK memandang bahwa UU itu juga mengakui
adanya pembatasan hak asasi seseorang dengan memberi pengakuan hak orang lain demi
ketertiban umum. Dalam hal ini, MK menganggap hukuman mati merupakan bentuk
pengayoman negara terhadap warga negara terutama hak-hak korban.
Hal lain yang juga penting diketahui adalah orang yang dijatuhi hukuman mati
(terpidana mati) oleh pengadilan masih memiliki upaya hukum lain sehingga masih ada
peluang tidak dihukum mati. Hal ini kami telah kami bahas dalam artikel Apakah Terpidana
Mati Juga Perlu Pembinaan?
Dengan demikian, hak untuk hidup memang benar dijamin dalam konstitusi
Indonesia, namun hak tersebut dapat dibatasi dengan instrumen undang-undang.
Konstitusionalitas hukuman mati yang diatur sejumlah undang-undang, salah satunya UU
Narkotika, juga telah diperkuat juga oleh putusan MK seperti yang telah kami jelaskan
sebelumnya.
XIV. KORUPSI
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri
atau orang lain yang suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling
sedikit Rp. 200.000.000.00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah).”
(UU RI No 31 Th 1999 ttg Pemberantassan Tindak Pidana Korupsi Pasal 2 ayat 1)
“Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam
keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan.”
(UU RI No 31 Th 1999 ttg Pemberantassan Tindak Pidana Korupsi Pasal 2 ayat 2)
Kenyataannya, banyak hukum ini melenceng dan seolah ‘ bisa dibeli’.
Guna mendulang suara pada Pemilu Legislatif 9 April 2014 mendatang, berbagai
janji ditebar oleh para calon wakil rakyat, termasuk janji untuk melanjutkan gerakan
antikorupsi.
Sejak reformasi bergulir pada 1998, gerakan antikorupsi bergema sangat kencang.
Terbitnya Undang-Undang No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (UU Tipikor) adalah bukti kesungguhan bangsa ini untuk perang melawan korupsi.
Sejak kehadiran UU ini, sudah ratusan pejabat publik yang diseret dan diproses hukum. Ada
mantan menteri, anggota DPR, gubernur, bupati, anggota DPRD provinsi dan DPRD
kabupaten/kota yang terpaksa harus berurusan dengan hukum terkait dengan dugaan suap
atau korupsi.
Begitu luar biasanya semangat untuk perang melawan korupsi, sampai-sampai UU
Tipikor pernah nyaris ‘memakan tuannya’ tatkala dua komisioner Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) yakni Bibit Samad Riyanto serta Chandra M Hamzah dijadikan tersangka
korupsi dan ditahan, justru saat menjalankan tugasnya. Masih terngiang dalam ingatan kita
kasus yang dikenal dengan julukan “Cicak versus Buaya”. Tuduhan korupsi terhadap Bibit –
Chandra memang akhirnya dihentikan atas perintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
dan karena tidak cukup bukti yang mendukung tuduhan terhadap keduanya. Namun, dari
kasus “Cicak versus Buaya” ini tampak tergambar dengan jelas betapa mudahnya aparat
penegak hukum menjadikan seseorang sebagai tersangka kasus korupsi.
Bersenjatakan UU Tipikor, kewenangan aparat penegak hukum tampak menjadi
begitu luas dan terbuka, dan nyaris berlangsung tanpa kritik dan kontrol. Korbannya adalah
warga negara juga, yang terkadang sudah harus menyandang status koruptor, meski kasus
hukumnya belum mendapat putusan yang berkekuatan hukum tetap atau bahkan masih
samar-samar.
Dalam beberapa kesempatan memberikan keterangan sebagai ahli dalam pengujian
UU Tipikor di Mahkamah Konstitusi (MK), penulis tak pernah ragu-ragu untuk mengatakan
bahwa konstruksi hukum yang dibangun oleh UU Tipikor ini tidak adil. UU Tipikor yang ada
sekarang membuka peluang pemberian wewenang yang berlebihan dan bersifat terbuka
kepada aparat penegak hukum.
Dalam kasus-kasus yang sebelumnya tidak masuk ranah hukum tipikor, misalnya,
atas nama gerakan antikor upsi, kasus tersebut akhirnya “dipaksakan” untuk diproses di
pengadilan di tipikor.
Salah satu contoh aktual adalah kasus bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia
(CPI). Dari sisi substansi hukumnya, bioremediasi PT CPI adalah kasus lingkungan hidup,
yang salah satu bagian di dalamnya ialah bioremediasi sebagai metode untuk pemulihan
tanah yang terkontaminasi limbah.
Kasus ini seharusnya diproses berdasarkan UU No 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Namun semua fakta hukum itu seolah
disingkirkan oleh penegak hukum, dan kasus biormediasi dipaksakan masuk ke ranah
tipikor.
Padahal, merujuk Pasal 14 UU Tipikor No 31 Tahun 1999, satu tindak pidana lain yang
diatur UU lain menjadi tindak pidana korupsi apabila dalam UU lain dinyatakan hal tersebut
adalah tindak pidana korupsi.
UU Lingkungan sendiri tidak menjelaskan bahwa pelanggaran terhadap lingkungan
hidup termasuk tindak korupsi. Ini berbeda dengan kasus Gayus Tambunan, di mana tindak
pidana perpajakan yang diatur dalam UU Perpajakan memang dikategorikan sebagai
korupsi. Sedangkan pada kasus bioremediasi yang merupakan kasus lingkungan, baik
dasar hukum maupun filosofisnya sama sekali tidak terkait dengan UU Tipikor.
Dalam kasus bioremediasi, penegak hukum mendalilkan bahwa kasus itu masuk
kategori tipikor karena adanya kerugian negara sebagaimana diatur pada Pasal 2 dan Pasal
3 UU Tipikor. Ini menjadi masalah hukum yang berbeda. Karena pada dasarnya ada
kekeliruan sejak proses pembuatan UU, yakni adanya kalimat “dapat merugikan keuangan
negara” pada dua pasal UU Tipikor itu. Kata “dapat” penafsirannya adalah “bisa ada dan
bisa tidak”. Terkesan ada keragu-raguan dalam pencantuman kata “dapat” tersebut.
Padahal, hukum pidana tidak boleh ragu-ragu. Perbuatan yang dituduhkan harus ada
atau tidak sama sekali. Kalau tidak sama sekali, maka kalimat “kerugian negara” harus
dihapus. Tapi kalau ada, maka kerugian itu harus ada, dan itu harus dapat dibuktikan.
Namun bagi sesama akademisi bidang hukum yang terpengaruh gerakan
antikorupsi, kerugian negara tidak perlu ada. Yang penting ada hubungan antara perbuatan
dan potensi kerugian negara, maka hal itu sudah bisa dikategorikan korupsi. Meski kerugian
negaranya tidak bisa dibuktikan saat itu, itu tidak menjadi masalah. Ini yang disebut
penegakan hukum terbelenggu opini gerakan antikorupsi, sehingga menghilangkan aspek
keadilan dan kepastian hukum.
Penting dicatat bahwa proyek bioremediasi PT CPI bernaung di bawah Kontrak Kerja
Sama Minyak dan Gas Bumi (Migas) yang bersifat jangka panjang. Dalam kontrak migas,
pemerintah dan perusahaan kontraktor migas (PT CPI) berbagi hasil produksi migas,
setelah dikurangi biaya produksi yang diklaimkan oleh kontraktor. Jika ada kelebihan biaya
produksi yang diklaimkan, maka ada mekanisme pengembalian. Begitu pula jika kurang, ada
penyesuaian dalam bentuk lifting minyak yang diproduksi.
Simpul kata, hubungan antara pemerintah dan CPI dalam proyek bioremediasi
adalah hubungan yang bersifat keperdataan. Dengan demikian semua penyelesaiannya
bersifat keperdataan. Suatu hubungan atau perbuatan keperdataan memang bisa dibawa ke
ranah pidana apabila ada itikad buruk yang kriminal. Itikad buruk saja masih masuk ranah
hukum administrasi dan perdata. Sedangkan hal itu bisa menjadi hukum pidana apabila
itikad buruk itu terdapat unsur-unsur niat jahat atau bagian dari kriminal.
Kalau saja ada itikad buruk yang mengakibatkan pelanggaran, maka domainnya
adalah hukum administrasi. Namun, dalam kasus bioremediasi, semua domainnya
diarahkan ke hukum pidana. Aspek administrasi dan hukum perdatanya disingkirkan semua.
Lalu, mengapa penegak hukum sangat antusias membawa kasus bioremediasi ke
ranah tindak pidana korupsi? Ini memang tidak lepas dari gegap gempita gerakan
antikorupsi. Dalam banyak publikasi, seolah-olah tugas Kejaksaan Agung adalah
menyelesaikan perkara korupsi yang kecil-kecil, sedangkan perkara korupsi kelas kakap
masuk ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Makanya segala hal yang menyangkut
proses hukum korupsi kakap, hal itu selalu identik dengan peran “luar biasa” yang harus
ditangani oleh KPK. Tak boleh ada yang mengritik atau mengontrol.
Lebih menyedihkan lagi, dengan mengusung tema besarnya yakni pemberantasan
korupsi, maka segala hal yang bersifat kontra terhadap langkah penegak hukum dipandang
sebagai sikap antipemberantasan korupsi, atau malah bisa dituding sebagai prokoruptor.
Inilah persoalan hukum terkait penerapan UU Tipikor dengan otoritas tunggal berada di
tangan KPK. Para ahli hukum pun banyak yang terpaksa ‘tiarap’, meski sesungguhnya
nuraninya gelisah melihat praktik penegakan hukum seperti ini.
Sejujurnya, ini merupakan lampu kuning, bahkan sebuah bencana, dalam ranah
penegakan hukum di Indonesia.
XV. HUKUM PENCEMARAN NAMA BAIK
"Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan
dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang
bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik"
(uud Pasal 27 ayat (3) UU ITE)
Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan
menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam
karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda
paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(UUD Pasal 310 ayat (1) KUHP)
Sebenarnya, untuk dapat dijerat dengan pasal pencemaran nama baik, unsur-unsur
dari pasal pencemaran nama baik harus terpenuhi. Jika unsur-unsurnya tidak terpenuhi,
maka seseorang tidak dapat dijerat dengan pencemaran nama baik.
Sampai saat ini belum ada definisi hukum di Indonesia yang tepat dan jelas tentang
apa yang disebut pencemaran nama baik. Meskipun masih dalam suatu proses perdebatan,
ketentuan-ketentuan tentang penghinaan yang ada dalam KUHP dianggap masih sangat
relevan. Penghinaan atau defamation secara harfiah diartikan sebagai sebuah tindakan
yang merugikan nama baik dan kehormatan seseorang.
Sampai saat ini belum ada definisi hukum di Indonesia yang tepat dan jelas tentang
apa yang disebut pencemaran nama baik. Menurut frase (bahasa Inggris), pencemaran
nama baik diartikan sebagai defamation, slander, libel yang dalam bahasa Indonesia
(Indonesian translation) diterjemahkan menjadi pencemaran nama baik, fitnah (lisan), fitnah
(tertulis) adalah oral defamation (fitnah secara lisan) sedangkan libel adalah written
defamation (fitnah secara tertulis). Dalam bahasa Indonesia sendiri hingga kini belum ada
istilah untuk membedakan antara slander dan libel.
Meskipun masih dalam suatu proses perdebatan, ketentuan-ketentuan tentang
penghinaan yang terdapat dalam Bab XVI, Buku II KUHP dianggap masih sangat relevan.
Penghinaan atau defamation secara harfiah diartikan sebagai sebuah tindakan yang
merugikan nama baik dan kehormatan seseorang.
Apa yang dimaksud dengan “menghina”, yaitu “menyerang kehormatan dan nama
baik seseorang” dimana yang diserang biasanya merasa “malu”. “Kehormatan” yang
diserang disini hanya mengenai kehormatan tentang “nama baik”, bukan “kehormatan”
dalam lapangan seksuil. Penghinaan dalam KUHP ada 6 macam yaitu : menista secara
lisan (smaad); menista dengan surat/tertulis (smaadschrift); memfitnah (laster); penghinaan
ringan (eenvoudige belediging); mengadu secara memfitnah (lasterlijke aanklacht); tuduhan
secara memfitnah (lasterlijke verdachtmaking)
Semua penghinaan di atas hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan dari orang
yang menderita/dinista/dihina (dalam hukum pidana dikenal dengan istilah delik aduan),
kecuali bila penghinaan itu dilakukan terhadap seorang pegawai negeri pada waktu sedang
menjalankan pekerjaannya secara sah dimana untuk hal ini pada dasarnya tidak diperlukan
atau dibutuhak aduan dari korbannya.Obyek dari penghinaan tersebut harus manusia
perseorangan, maksudnya bukan instansi pemerintah, pengurus suatu perkumpulan,
segolongan penduduk dan lain-lain.
Berdasarkan Pasal 310 ayat (1) KUHP, penghinaan yang dapat dipidana harus
dilakukan dengan cara “menuduh seseorang telah melakukan perbuatan yang tertentu”,
dengan maksud tuduhan itu akan tersiar (diketahui orang banyak). Perbuatan yang
dituduhkan tidak perlu suatu perbuatan yang boleh dihukum seperti mencuri, menggelapkan,
berzinah, dan sebagainya. Perbuatan tersebut cukup perbuatan biasa, yang sudah tentu
merupakan perbuatan yang memalukan, misalnya menuduh bahwa seseorang telah
berselingkuh. Dalam hal ini bukan perbuatan yang boleh dihukum, akan tetapi cukup
memalukan bagi yang berkepentingan bila diumumkan. Tuduhan tersebut harus dilakukan
dengan lisan, apabila dilakukan dengan tulisan (surat) atau gambar, maka penghinaan itu
dinamakan “menista/menghina dengan surat (secara tertulis)”, dan dapat dikenakan Pasal
310 ayat (2) KUHP.
Penghinaan menurut Pasal 310 ayat (1) dan (2) diatas dapat dikecualikan (tidak
dapat dihukum) apabila tuduhan atau penghinaan itu dilakukan untuk membela
“kepentingan umum” atau terpaksa untuk “membela diri”. Patut atau tidaknya pembelaan
kepentingan umum dan pembelaan diri yang diajukan oleh tersangka terletak pada
pertimbangan hakim.
Untuk kejahatan memfitnah tidak perlu dilakukan dimuka umum, sudah cukup bila
dapat dibuktikan bahwa ada maksud untuk menyiarkan tuduhan tersebut. Yang bisa
melaporkan pencemaran nama baik seperti yang tercantum dalam Pasal 310 KUHP adalah
pihak yang diserang kehormatannya, direndahkan martabatnya, sehingga namanya menjadi
tercela di depan umum. Namun, tetap ada pembelaan bagi pihak yang dituduh melakukan
pencemaran nama baik apabila menyampaikan suatu informasi ke publik. Pertama,
penyampaian informasi itu ditujukan Kedua, untuk membela diri. Ketiga, untuk
mengungkapkan kebenaran. Sehingga orang yang menyampaikan informasi, secaralisan
ataupun tertulis diberi kesempatan untuk membuktikan bahwa tujuannya itu benar. Kalau
tidak bisa membuktikan kebenarannya, itu namanya penistaan atau fitnah.