tugas ujian jiwa-dr. zainie hassan, spkj (k) erizka rivani fakultas kedokteran universitas...
DESCRIPTION
Tugas UjianSkizofreniaObat Anti PsikotikMekanisme PertahananTRANSCRIPT
1. Etiologi biologi dari skizofrenia
Skizofrenia merupakan sindrom klinik dari berbagai psikopatologi yang
melibatkan gangguan kognisi, emosi, persepsi, dan aspek perilaku lainnya.
Skizofrenia terdiri dari lima gejala utama yakni gejala positif, gejala negative,
gejala kognitif, gejala afektif, dan gejala agresifitas.
Gambar 1. Gejala Positif dan Negatif Pada Skizofrenia
Gambar 2. Lima gejala utama skizofrenia
Skizofrenia selama ini diduga memiliki kausa yang heterogen, namun
dengan gejala perilaku yang sedikit banyak serupa. Etiologi skizofrenia saat ini
terbagi menjadi tiga, yakni pendekatan etiologi dengan model diathesis-stres,
etiologi neurobiology, dan etiologi factor psikososial.
Seperti gangguan jiwa yang lain, berbagai gejala dari skizofrenia
dihipotesiskan berasal dari kelainan pada regio otak yang berbeda. Gejala positif
dari skizofrenia dihipotesiskan terjadi akibat malfungsi dari sirkuit mesolimbik,
terutama melibatkan kelainan pada nucleus akumbens. Gejala negative dan gejala
afektif diduga berkaitan dengan malfungsi pada sirkuit mesokorteks dan korteks
prefrontal ventromedial. Gejala kognitif berkaitan dengan malfungsi pada korteks
prefrontal dorsolateral, dan kelainan pada korteks orbitofrontal dan amigdala
berhubungan dengan gejala agresi dan impulsivitas.
Hipotesis ini sebenarnya terlalu menyederhanakan etiologi dan mekanisme
yang sebenarnya dari gangguan skizofrenia dan gejala yang diakibatkan olehnya,
karena setiap area otak memiliki lebih dari satu fungsi dan setiap fungsi biasanya
diatur oleh lebih dari satu area otak.
Gambar 3. Lokalisasi Kelainan pada Area Otak yang Mendasari Gejala
Kausa biologis dari skizofrenia sebenarnya sampai saat ini masih berupa
berbagai hipotesis. Kelainan pada area otak yang berkaitan dengan gejala diduga
diakibatkan oleh kelainan sirkuit dan fungsi dari berbagai neurotransmitter.
Neurotransmiter utama yang berkaitan adalah dopamine, dan neurotransmitter
lain seperti serotonin, norepinefrin, GABA, dan glutamate.
Rumusan paling sederhana hipotesis dopamine tentang skizofrenia
menyatakan bahwa skizofrenia timbul akibat aktivitas dopaminergik yang
berlebihan. Terdapat lima jalur neuron dopaminergik pada otak, empat
diantaranya berkaitan dengan skizofrenia.
Gambar 4. Jalur Dopamin
Jalur dopamine mesolimbik membentang dari badan sel dopaminergik di
area tegmental ventral di batang otak hingga ke akson terminal di salah satu area
limbic otak yakni nucleus akumbens di striatum ventral. Jalur ini diduga memiliki
peran penting pada beberapa perilaku emosional, termasuk gejala positif dari
psikosis (halusinasi dan waham). Jalur ini juga penting dalam pengaturan
motivasi, kesenangan, dan penghargaan.
Pengamatan menemukan bahwa penyakit atau obat-obatan yang
meningkatkan dopamine akan meningkatkan atau menghasilkan gejala positif
psikosis, dan obat yang menurunkan kadar dopamine akan mengurangi dan
bahkan menghilangkan gejala positif.
Semua obat antipsikotik yang diketahui dapat mengatasi gejala positif
merupakan obat golongan blockade reseptor dopamine D2. Observasi inilah yang
diformulasikan sebagai hipotesis dopamine pada skizofrenia, atau yang lebih
tepatnya disebut sebagai “hipotesis dopamin-mesolimbik pada gejala positif
skizofrenia”, karena dipercaya bahwa hiperaktivitas dari jalur ini yang
menimbulkan gejala positif pada skizofrenia.
Gambar 5. Hipotesis Dopamin Dalam Menimbulkan Gejala Positif
Berbeda dengan mekanisme timbulnya gejala positif yang berkaitan dengan
hiperaktivitas dari neuron dopaminergik, timbulnya gejala negative, gejala
gangguan afektif, dan gejala gangguan kognitif diakibatkan oleh kekurangan
aktivasi dari neuron dopaminergik pada area otak yang bersangkutan. Keadaan
deficit dopamin yang menimbulkan gejala negative ini menunjukkan keadaan
hipoaktivitas bahkan kerusakan dari system saraf dopamine. Hal ini dapat
berkaitan dengan gangguan hiperaktifitas oksitotoksik dari system glutamate
sebelumnya yang pada akhirnya menyebabkan gangguan fungsi neuron
dopaminergik.
Gambar 6. Jalur Dopamin Dalam Menimbulkan Gejala Negatif, Gejala Gangguan
Afektif, dan Gejala Gangguan Kognitif
Secara teori, meningkatkan dopamine pada jalur mesokortikal dapat
memperbaiki gejala negative, gejala gangguan afektif, dan gejala gangguan
kognitif. Namun karena pada jalur mesolimbik terjadi hiperaktifitas dari
dopamine, maka meningkatkan dopamine justru akan memperparah gejala positif.
Tantangan penatalaksanaan skizofrenia terletak pada dilema ini, yakni bagaimana
cara mengurangi aktivitas dopamine pada jalur mesolimbik sehingga gejala positif
dapat dihilangkan, dengan tetap meningkatkan aktivitas dopamine di jalur
mesokorteks. Solusi untuk masalah ini adalah dengan penemuan obat antipsikotik
atipikal yang selain bekerja pada neuron dopaminergik, juga memengaruhi kerja
neuron serotonergik.
Jalur dopamine lain yang penting dan berkaitan dengan skizofrenia adalah
jalur nigrostriatal yang merupakan bagian dari system saraf ekstrapiramidal yang
mengatur gerakan motorik. Defisiensi dari dopamine pada jalur ini menyebabkan
gangguan gerakan seperti pada penyakit Parkinson (gejala: tremor, kekakuan, dan
akinesia/bradikinesia). Defisiensi dopamine pada ganglia basalis juga
menimbulkan gangguan seperti akatisia dan diskinesia. Hiperaktivitas dari jalur
nigrostriatal menyebabkan gangguan hiperkinetik seperti korea, diskinesia, dan
tik. Blokade kronik terhadap reseptor dopamine D2 pada jalur ini menyebabkan
gangguan yang dikenal sebagai tardive diskinesia diinduksi neuroleptik. Pada
seseorang dengan skizofrenia yang belum mendapat medikasi, aktivitas
dopaminergik pada jalur nigrostriatal berada pada batas normal.
Gambar 7. Jalur Dopamin Nigrostriatal- Berkaitan Dengan Efek Samping obat
Anti Psikotik
Meskipun neurotransmiter dopamine telah menjadi pusat perhatian sebagian
besar penelitian skizofrenia, terdapat peningkatan perhatian yang ditujukan pada
neurotransmitter lain.
Serotonin telah banyak mendapat perhatian dalam penelitian skizofrenia sejak
dinyatakan bahwa obat antagonis serotonin-dopamin (SDA) seperti klozapin,
risperidon, sertindol, memiliki aktivitas terkait serotonin yang poten. Secara
spesifik, antagonism pada reseptor 5-HT2 serotonin ditekankan sebagai sesuatu
yang penting dalam mengurangi gejala psikotik sekaligus mengatasi gejala
negative.
Sejumlah peneliti melaporkan bahwa pemberian obat antipsikotik jangka
panjang menurunkan aktivitas neuron noradrenergic di lokus sereleus dan bahwa
efek terapetik beberapa antipsikotik melibatkan aktivitasnya pada reseptor
adrenergic-α dan adrenergic-α2. Terdapat peningkatan jumlah data yang
menyatakan bahwa system noradrenergic memodulasi system dopaminergik
dalam suatu cara sehingga abnormalitas system noradrenergic yang
mempredisposisikan pasien untuk mengalami relaps yang sering.
Neurotransmiter asam amino inhibitorik, asam γ-aminobutirat (GABA) juga
dianggap terlibat dalam patofisiologi skizofrenia. Data yang tersedia sejalan
dengan hipotesis bahwa sejumlah pasien skizofrenia mengalami kehilangan
neuron GABAnergik di hipokampus. Hilangnya neuron GABAnergikk secara
teoritis dapat mengakibatkan hiperaktivitas neuron dopaminergik dan
noradrenergic.
Hipotesis lain diajukan tentang glutamate, yang mencakup hiperaktivitas,
hipoaktivitas, dan neurotoksisitas terinduksi glutamate. Glutamat dilibatkan
karena ingesti akut fensiklidin, suatu antagonis glutamate, menimbulkan sindrom
yang menyerupai skizofrenia.
Dua neuropeptida, kolesistokinin dan neurotensin, ditemukan di sejumlah
regio otak yang terlibat dalam skizofrenia. Konsentrasinya mengalami perubahan
pada keadaan psikotik.
Kelainan dan perubahan aktivitas berbagai system neurotransmitter di
berbagai area otak terkait skizofrenia sampai saat ini masih diduga diakibatkan
oleh dua hipotesis, yakni hipotesis neurodegenerative dan hipotesis
neurodevelopmental.
2. Mekanisme terjadi halusinasi dengar
Halusinasi merupakan persepsi sensoris yang palsu dan tidak disertai
stimulus eksternal yang nyata. Halusinasi merupakan gangguan persepsi dimana
pasien mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi. Berbeda dengan
ilusi dimana pasien mengalami persepsi yang salah terhadap stimulus, salah
persepsi pada halusinasi terjadi tanpa adanya stimulus eksternal yang terjadi.
Stimulus internal dipersepsikan sebagai sesuatu yang nyata oleh pasien.
Menurut Stuart (2007), faktor penyebab terjadinya halusinasi adalah:
a. Faktor Predisposisi
Faktor Biologis
Halusinasi timbul akibat kelainan di area otak yang dinamakan system
limbic. Terdapat berbagai malfungsi dari system neurotransmitter di
daerah tersebut, yang paling lama diketahui adalah adanya
hiperaktivitas dari neuron dopaminergik.
Gambar 8. Kelainan pada Jaras Mesolimbik yang Dipengaruhi Dopamin dan
Neurotransmiter Lainnya- Menghasilkan Halusinasi Sebagai Salah Satu
Gejala Positif
Faktor Psikologis
Keluarga, pengasuh dan lingkungan pasien sangat mempengaruhi respon
dan kondisi psikologis pasien. Salah satu sikap atau keadaan yang dapat
mempengaruhi gangguan orientasi realitas adalah penolakan atau tindakan
kekerasan dalam rentang hidup pasien.
Sosial Budaya
Kondisi sosial budaya mempengaruhi gangguan orientasi realita seperti:
kemiskinan, konflik sosial budaya (perang, kerusuhan, bencana alam) dan
kehidupan yang terisolasi disertai stres.
b. Faktor Presipitasi
Factor Biologis
Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak, yang mengatur
proses informasi serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam
otak yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif
menanggapi stimulus yang diterima oleh otak untuk diinterpretasikan.
Stres Lingkungan
Ambang toleransi terhadap stres yang berinteraksi terhadap stresor
lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan perilaku.
Mekanisme Koping
Mekanisme koping mempengaruhi respon individu dalam menanggapi
stresor.
Halusinasi merupakan salah satu respon maladaptif individu yang berada dalam
rentang respon neurobiologis. Ini merupakan respon persepsi paling maladaptif. Jika
individu yang sehat persepsinya akurat, mampu mengidentifikasi dan
menginterprestasikan stimulus berdasarkan informasi yang diterima melalui panca
indera (pendengaran, penglihatan, penghidu, pengecapan, dan perabaan), pasien
dengan halusinasi mempersepsikan suatu stimulus panca indera walaupun sebenarnya
stimulus tersebut tidak ada.
Gambar 9. Rentang Respon Terhadap Stimulus (Stressor)- Respon Maladaptif
Berupa Halusinasi
Jenis halusinasi antara lain :
a. Halusinasi pendengaran (auditorik) 70 %
Karakteristik ditandai dengan mendengar suara, teruatama suara – suara orang,
biasanya pasien mendengar suara orang yang sedang membicarakan apa yang
sedang dipikirkannya dan memerintahkan untuk melakukan sesuatu.
b. Halusinasi penglihatan (visual) 20 %
Karakteristik dengan adanya stimulus penglihatan dalam bentuk pancaran
cahaya, gambaran geometrik, gambar kartun dan/atau panorama yang luas dan
kompleks. Penglihatan bisa menyenangkan atau menakutkan.
c. Halusinasi penghidu (olfactory)
Karakteristik ditandai dengan adanya bau busuk, amis dan bau yang
menjijikkan seperti : darah, urine atau feses. Kadang – kadang terhidu bau
harum. Biasanya berhubungan dengan stroke, tumor, kejang dan dementia.
d. Halusinasi peraba (tactile)
Karakteristik ditandai dengan adanya rasa sakit atau tidak enak tanpa stimulus
yang terlihat. Contoh : merasakan sensasi listrik datang dari tanah, benda mati
atau orang lain.
e. Halusinasi pengecap (gustatory)
Karakteristik ditandai dengan merasakan sesuatu yang busuk, amis dan
menjijikkan, merasa mengecap rasa seperti rasa darah, urin atau feses.
f. Halusinasi sinestetik
Karakteristik ditandai dengan merasakan fungsi tubuh seperti darah mengalir
melalui vena atau arteri, makanan dicerna atau pembentukan urine.
g. Halusinasi Kinesthetic
Merasakan pergerakan sementara berdiri tanpa bergerak.
Halusinasi dapat terjadi pada pasien dengan gangguan jiwa seperti
skizofrenia, depresi atau keadaan delirium, demensia, dan k o n d i s i
y a n g b e r h u b u n g a n d e n g a n p e n g g u n a a n a l k o h o l d a n s u b s t a n s i
l a i n n y a . H a l u s i n a s i d a p a t j u g a t e r j a d i d e n g a n e p i l e p s i ,
k o n d i s i i n f e k s i s i s t e m i k d e n g a n gangguan metabolik. Halusinasi juga dapat
dialami sebagai efek samping dari berbagai pengobatan yang meliputi anti depresi,
anti kolinergik, anti inflamasi dan antibiotik,sedangkan obat-obatan
halusinogenik dapat membuat terjadinya halusinasi sama seperti pemberian
obat diatas. Halusinasi dapat juga terjadi pada saat keadaan individu n o r m a l y a i t u p a d a
i n d i v i d u y a n g m e n g a l a m i i s o l a s i , p e r u b a h a n s e n s o r i k s e p e r t i
kebutaan, kurangnya pendengaran atau adanya permasalahan pada
pembicaraan.Penyebab halusinasi pendengaran secara spesifik tidak diketahui namun banyak
faktor yang mempengaruhinya seperti faktor biologis , psikologis , sosial
budaya,dan stressor pencetusnya adalah stress lingkungan, biologi,
pemicu masalah sumber-sumber koping dan mekanisme koping.
Psikopatologi dari halusinasi yang pasti belum diketahui. Banyak teori yang
diajukan yang menekankan pentingnya faktor-faktor psikologik, fisiologik dan
lain-lain. Ada yang mengatakan bahwa dalam keadaan terjaga yang normal otak
dibombardir oleh aliran stimulus yang yang datang dari dalam tubuh
ataupun dari luar tubuh. Input ini akan m e n g i n h i b i s i p e r s e p s i
y a n g l e b i h d a r i m u n c u l n y a k e a l a m s a d a r . B i l a i n p u t
i n i dilemahkan atau tidak ada sama sekali seperti yang kita jumpai pada keadaan
normal atau patologis, maka materi-materi yang ada dalam unconsicisus atau
preconscious bisa dilepaskan dalam bentuk halusinasi. Pendapat lain mengatakan bahwa
halusinasi dimulai dengan adanya keinginan yang direpresi ke unconsicious
dan kemudian karena sudah retaknya kepribadian dan rusaknya daya
menilai realitas maka keinginan tadi diproyeksikan keluar dalam bentuk stimulus
eksterna.
3. Mekanisme delusional perception
Delusional perception merupakan salah satu gejala yang termasuk dalam
criteria diagnosis skizofrenia menurut PPDGJ-III. Dalam PPDGJ-III dijelaskan
bahwa delusional perception merupakan pengalaman inderawi yang tak wajar,
yang bermakna sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau mukzizat.
Delusional perception juga merupakan gejala urutan pertama dari criteria
diagnosis skizofrenia oleh Kurt Schneider. Arti yang aneh, tidak sesuai, dan
mengacu kepada diri sendiri diberikan kepada situasi atau benda yang biasa, tanpa
alasan yang jelas. Contohnya saat lampu merah berubah menjadi hijau itu berarti
istrinya akan pergi dari rumah, saat laptop dihidupkan ia akan menjadi hamil, dan
lain sebagainya. Karena persepsi terhadap objek itu sendiri tetap sesuai, Schneider
menggolongkan persepsi waham ini kedalam gangguan pikiran, bukan gangguan
persepsi. Delusional perception ini merupakan suatu waham.
Kadang objek tidak hanya diartikan secara benar-benar ‘aneh’, namun
kehilangan jarak dan bergabung dengan persepsi subjek atau tubuh yang
bersangkutan. Seorang pasien dengan skizofrenia misalnya berkata saat melihat
mobil melintasi jalan, ia merasa ‘suatu besi, keras, tajam, dan dingin’ memasuki
tubuhnya, persis seperti mobil yang dilihatnya tadi. Pasien lain mengatakan
bahwa ia merasa suatu ‘energi roh orang lain’ menembus dirinya melalui kening
saat ia bertatapan mata dengan orang lain.
Pada delusional perception, obyek (benda, orang, situasi) mendapatkan
ekspresi fisiognomik yang berlebihan dan kadang digabungkan dengan tubuhnya
sendiri. Perubahan ini dijelaskan dengan konsep persepsi intensional Husserl dan
konsep persepsi bersamaan Merleau-Ponty.
Walaupun patogenesis waham tidak diketahui dengan pasti, namun ada
beberapa teori yang sudah dikembangkan. Pada hipotesis pembentukan waham,
kiranya perlu dipertimbangkan beberapa hal yang berikut ini, yaitu :
a. Waham terdapat pada penyakit-penyakit umum dan psikiatrik.
b. Tidak semua orang dengan gangguan tersebut mengalami waham.
c. Isi waham menentukan tipe-tipe waham.
d. Waham dapat hilang bila diberi pengobatan terhadap gangguan yang
mendasar.
e. Waham dapat menetap atau menjadi sistematik.
f. Waham dapat menyertai perubahan persepsi seperti halusinasi dan
gangguan sensorik.
g. Keberadaan waham dapat dikaburkan bila fungsi sosial, intelektual dan
emosional tidak terganggu.
Ada tiga kategori dari teori pembentukan waham :
a. Waham yang timbul pada sistem kognitif muncul karena adanya pola yang
berbeda dari motivasi yang ada (mekanisme psikodinamika dan teori fungsi
sosial).
b. Waham timbul sebagai akibat dari defek kognitif fundamental yang
mengakibatkan kapasitas pasien untuk membuat kesimpulan dari bukti-
bukti (gangguan hubungan sebab akibat).
c. Waham yang timbul dari proses kognitif yang normal menunjukkan adanya
pengalaman persepsi abnormal (mekanisme psikobiologik, hipotesis
pengalaman yang menyimpang)
Teori-teori ini penting untuk tidak saling mengistimewakan satu dengan yang
lainnya.
4. Membangkang merupakan simtomatologi apa?
5. Faktor-faktor yang menyebabkan seseorang cenderung terkena skizofrenia
Skizofrenia merupakan suatu sindrom dengan penyebab yang hingga saat ini
masih terus diteliti. Namun factor predisposisi yang menyebabkan seseorang
cenderung terkena skizofrenia dibagi menjadi tiga, yakni model diathesis stress,
factor biologis, dan factor psikososial.
a. Model Diatesis-Stres
Satu model untuk integrasi factor biologis dan factor psikososial dan
lingkungan adalah model diathesis stress. Model ini mendalilkan bahwa
seseorang memiliki suatu kerentanan spesifik (diathesis) yang jika
dikenai oleh suatu pengaruh lingkungan yang menimbulkan stress,
menimbulkan perkembangan gejala skizofrenia. Pada model diathesis-
stres yang paling umum diathesis dapat biologis atau lingkungan atau
keduanya.
Suatu stresor lingkungan dapat mencetuskan onset pertama skizofrenia,
atau onset ulangan, atau perburukan gejala pada seseorang dengan
predisposisi genetic skizofrenia.
Walker dan Diforio menyatakan eksposur terhadap stress direspon tubuh
dengan pelepasan kortisol yang diatur oleh aksis hipotalamus-hipofisi
adrenal yang ternyata juga mempengaruhi neuro transmitter dopamine.
Stres dengan respon peningkatan kortisol ini mencetuskan atau
mengekserbasi kelainan dari neurotransmisi dopamine dan
neurotransmitter lainnya, menghasilkan onset dari penyakit.
Peran kortisol, hormone respon tubuh terhadap stress, pada penyakit
skizofrenia dijelaskan berdasarkan penelitian yang menemukan bahwa
level dasar dari hormone kortisol pada pasien sizofrenia lebih tinggi
dibandingkan dengan subyek normal. Kadar kortisol pada pasien juga
dilaporkan berkaitan dengan keparahan dari gejala.
Penelitian juga menemukan bahwa obat-obatan yang meningkatkan kadar
kortisol dapat memperparah gejala skizofrenia, konsumsi obat neuroleptik
dapat menumpulkan aktivitas aksis HPA, dan kadar kortisol ditemukan
lebih tinggi pada orang dengan gangguan skizotipal dibanding populasi
normal. Keterlibatan kortisol diperkuat dengan penemuan yang
menyatakan bahwa pasien skizofrenia mengalami kelainan pada
hipokampus, yang merupakan area yang berperan dalam menghasilkan
kortisol. Dijelaskan bahwa aksis HPA dan kortisol memiliki peran dalam
pathogenesis skizofrenia akibat efek ‘knock-on’ atau eksitasi yang
ditimbulkannya pada system saraf, secara spesifik pada system
dopaminergik.
Saat ini penelitian melanjutkan focus pada stresor apa saja, seberapa
berat, yang mampu meningkatkan kadar kortisol yang signifikan untuk
mencetuskan gejala pada pasien dengan predisposisi biologis skizofrenia.
Selain stresor fisik yang memaksa seseorang untuk berespon agar dapat
menjaga keutuhan diri dan menjauh dari ancaman fisik yang dapat
melukai, stresor psikis dan social ternyata juga turut berperan. Stresor
psikis dapat berupa ketegangan, kecemasan, kehilangan, dan lain
sebagainya. Stresor social berupa suatu ancaman yang dapat mengancam
integritas dan status kehormatan seseorang di lingkungan sosialnya.
Berbagai stresor psikis ini direspon dengan mekanisme pertahanan yang
berbeda (tergantung integritas kepribadian dan maturitas ego), dan
menimbulkan perubahan biologis berupa aktivasi berbagai system saraf
dan hormonal seseorang.
Gambar 10. Model Diatesis Stres
b. Faktor Biologis
Terkait dengan gangguan nerotransmiter dan area otak yang mengalami
perubahan. Hipotesis neurootransmiter yang paling terkenal adalah
hipotesis dopaminergik, dimana area otak yang terlibat dalam skizofrenia
adalah system limbic, korteks serebri, dan ganglia basalis. Beberapa
penelitian menyatakan bahwa thalamus dan batang otak juga ikut terlibat.
c. Genetika
Berbagai macam penelitian telah dengan kuat menyatakan suatu
komponen genetika terhadap penurunan skizofrenia. Penelitian klasik
awal tentang genetika dari skizofrenia dilakukan di tahun 1930-an
menemukan bagwa seseorang kemungkinan menderita skizofrenia jika
anggota keluarga lainnya juga menderita skizofrenia dan kemungkinan
seseorang menderita skizofrenia adalah berhubungan dengan dekatnya
hubungan persaudaraan tersebt (sebagai contoh: sanak saudara derajat
pertama dan kedua).
Lebih dari setengah kromosom telah dihubungkan dengan dengan
skizofrenia yaitu lengan panjang kromosom 5,11,18 dan lengan pendek
kromosom 19, dan kromosom X adalah yang paling sering berhubungan
dengan skizofrenia.
d. Faktor Psikososial
Skizofrenia ditinjau dari factor psikososial sangat dipengaruhi oleh factor
keluarga dan stressor psikososial. Pasien yang keluarganya memiliki
emosi ekspresi (EE) yang tinggi memiliki angka relaps lebih tinggi
daripada pasien yang berasal dari keluarga berekspresi yang rendah. EE
didefinisikan sebagai perilaku yang intrusive, terlihat berlebihan, kejam,
dan kritis. Disamping itu stress psikologik dan lingkungan paling
mungkin mencetuskan dekompensasi psikotik yang lebih terkontrol.
Di negara industri sejumlah pasien skizofrenia berada dalam kelompok
sosioekonomi rendah. Pengamatan tersebut telah dijelaskan oleh
hipotesis pergeseran ke bawah (downward drift hypothesis), yang
menyatakan bahwa orang yang terkena bergeser ke kelompok
sosioekonomi rendah karena penyakitnya. Suatu penjelasan alternative
adalah hipotesis akibat sosial, yang menyatakan stress yang dialami oleh
anggota kelompok sosioekonomi rendah berperan dalam perkembangan
skizofrenia.
Beberapa pendapat mengatakan bahwa penyebab sosial dari skizofenia di
setiap kultur berbeda tergantung dari bagaimana penyakit mental diterima
di dalam kultur, sifat peranan pasien, tersedianya sistem pendukung
sosial dan keluarga, dan kompleksitas komunikasi sosial.
6. Mekanisme pertahanan
Status internal manusia selalu diliputi dengan kecemasan sebagai produk dari
konflik antara struktur kepribadian yaitu Id, Ego, dan Super Ego. Kemudian status
internal tersebut bermanifestasi ke dalam perilaku konkrit yang tercermin dalam
suatu mekanisme pertahanan diri atau mekanisme pertahanan ego.
Id adalah instansi kepribadian yang paling mendasar, orisinil, bersifat
impulsive, dan paling primitive; aspek biologis yang merupakan system original,
yaitu suatu realitas psikis yang sesungguhnya, dunia batin atau subyektif manusia
dan tidak memiliki koneksi secara langsung dengan realitas obyektif. Pada
mulanya yang ada hanyalah Id. Id terletak di ketidak sadaran, sehingga tidak
bersentuhan langsung dengan realitas. Oleh karena itu Id dikenal dengan istilah
pleasure principal yang berprinsip pada kesenangan dan berusaha menghindari
rasa sakit. Inti utama dari kecenderungan Id adalah menuntut agar apa yang
diinginkannya dapat diperoleh dengan segera. Id berisi hal-hal yang dibawa sejak
lahir seperti libido seksualitas dan insting-insting organism.
Ego adalah aspek psikologis karena adanya kebutuhan sinkronisasi antara
kebutuhan Id dengan realitas dunia eksternal. Ego merupakan komponen
kepribadian yang bertugas sebagai eksekutor. Ego terbentuk melalui diferensiasi
dari Id karena setiap manusia selalu mempunyai kontak dengan dunia luar. Sistem
kerjanya memakai prinsip realistis dan mengatur interaksi dan transaksi antara
dunia internal individu dengan realitas eksternal. Untuk melaksanakan tugas itu
ego memiliki tiga fungsi yakni reality testing, identify, dan defense mechanism.
Superego merupakan aspek sosiologis yang dibentuk melalui jalan
internalisasi dalam upaya menekan dorongan Id. Superego artinya larangan-
larangan atau norma-norma yang berasal dari luar. Superego merupakan kekuatan
moral dan etik dari kepribadian. Superego merupakan struktur kepribadian
(bagian dari dunia internal) yang mewakili nilai-nilai realitas eksternal. Superego
memakai prinsip idealistik yakni mengejar hal-hal yang bersifat moralitas dan
mendorong individu untuk mematuhi nilai-nilai yang berlaku di realitas eksternal
sehingga dapat menghindari konflik antara individu dengan realitas eksternal.
Superego ibarat polisi internal yang mendorong kita untuk tidak melanggar nilai
dan norma yang berlaku dalam realitas eksternal, dengan atau tanpa orang lain
yang mengawasi.
Energi Id akan meningkat karena rangsangan (impuls) sehingga menimbulkan
ketegangan atau pengalaman yang tidak enak dan menguasai Ego agar bertindak
secara konkrit dalam memenuhi rangsangan tersebut sesegera mungkin. Di sisi
lain Super ego berusaha untuk menentang dan menguasai Ego agar tidak
memenuhi hasrat dari Id karena tidak sesuai dengan konsepsi Ideal. Ego berdiri di
tengah-tengah kekuatan dahsyat kebutuhan biologis dan norma. Ketika terjadi
konflik di antara kekuatan-kekuatan ini, ego merasa terjepit dan terancam, serta
merasa seolah-olah akan lenyap dan tidak berdaya digilas kedua kekuatan
tersebut. Perasaan terjepit dan terancam ini disebut kecemasan, sebagai tanda bagi
ego bahwa sedang berada dalam bahaya dan berusaha tetap bertahan.
Kunci untuk kepribadian yang sehat adalah keseimbangan Id, Ego,dan
Superego. Ego berusaha sekuat mungkin menjaga kestabilan hubungannya
dengan id dan superego. Namun ketika kecemasan begitu menguasai, ego harus
berusaha mempertahankan diri. Secara tidak sadar, seseorang akan bertahan
dengan cara memblokir seluruh dorongan-dorongan atau dengan menciutkan
dorongan-dorongan tersebut menjadi wujud yang lebih dapat diterima konsepsi
dan tidak terlalu mengancam. Timbullah apa yang disebut sebagai mekanisme
pertahanan.
Menurut Sigmund Freud, mekanisme pertahanan ego bersumber dari bawah
sadar yang digunakan ego untuk mengurangi konflik antara dunia internal
seseorang dengan realitas eksternal. Freud menggunakan istilah mekanisme
pertahanan ego untuk menunjukkan proses tidak sadar yang melindungi individu
dari kecemasan pemutarbalikkan kenyataan.
Pada dasarnya strategi-strategi ini tidak mengubah kondisi obyektif bahaya.
Mekanisme pertahanan ego hanya mengubah cara individu mempersepsi atau
memikirkan masalah itu. Bila individu menggunakan mekanisme pertahanan
sesuai dengan taraf perkembangannya maka individu tersebut menggunakan
mekanisme pertahanan yang matang.Bila individu menggunakan mekanisme
pertahanan yang tidak efektif dan tidak sesuai dengan tahapan perkembangannya,
dikatakan individu tersebut menggunakan mekanisme pertahanan imatur.
Mekanisme pertahanan dibagi menjadi empat kelompok menurut George
Valliant, yakni mekanisme pertahanan narsistik, mekanisme pertahanan imatur,
mekanisme pertahanan neurotik, dan mekanisme pertahanan matur. Mekanisme
pertahanan narsistik digunakan oleh anak-anak dan seseorang dengan psikosis.
Mekanisme pertahanan neurotik digunakan oleh orang dewasa yang sedang
berada dalam kondisi stres, sedangkan mekanisme pertahanan matur digunakan
oleh seseorang sesuai dengan taraf perkembangannya dan bisa dikatakan
merupakan mekanisme pertahanan yang cukup baik.
Kelompok mekanisme pertahanan narsistik:
a. Denial
Bila individu menyangkal kenyataan, maka dia menganggap tidak ada atau
menolak adanya pengalaman yang tidak menyenangkan (yang sebenarnya
mereka sadari sepenuhnya) dengan maksud untuk melindungi dirinya
sendiri.
b. Distorsi
Merubah realitas agar sesuai dengan kebutuhan dunia dalamnya. Contoh:
terbentuknya waham, halusinasi
c. Proyeksi
Biasanya sangat cepat dalam memperlihatkan ciri pribadi individu lain
yang tidak dia sukai dan apa yang dia perhatikan itu akan cenderung
dibesar-besarkan. Teknik ini mungkin dapat digunakan untuk mengurangi
kecemasan karena dia harus menerima kenyataan akan keburukan dirinya
sendiri.
d. Identifikasi proyeksi
Aspek yang tidak diinginkan dari diri diendapkan kepada orang lain
sehingga orang memproyeksikan merasa bersatu dengan obyek proyeksi.
aspek yang keluar dimodifikasi oleh dan ditutupi dari resipien. Pertahanan
memungkinkan seseorang untuk menjauhi dan membuat dirinya sendirinya
mengerti dengan mengeluarkan tekanan pada orang lain untuk mengalami
perasaan yang serupa dengan perasaannya.
e. Pembelahan
Obyek eksternal dibagi menjadi “baik“ dan “jahat” disertai oleh pergeseran
suatu obyek yang tiba-tiba dari satu kategori eksrim kepada kategori
lainnya.
Kelompok mekanisme pertahanan imatur:
a. Acting Out
Pemeran mempunyai sifat yaitu dapat mengurangi kecemasan yang
dibangkitkan oleh berbagai keinginan yang terlarang dengan membiarkan
ekspresinya dan melakukan dalam keadaan biasa. Mengeluarkan keinginan
yang tak sadar ke alam sadar secara langsung.
b. Blocking
Inhibisi sementara atau transien dari pikiran terjadi pada penghambatan
(blocking). penghentian arus pikir yang tiba-tiba. Contoh: tiba- tiba diam
seribu bahasa.
c. Hipokondriasis
Melebih-lebihkan atau terlalu menekankan penyakit untuk tujuan
penghindaran dan regresi. Celaan yang timbul dari kehilangan, kesepian,
atau impuls agresif yang tidak dapat diterima terhadap dirinya diubah
menjadi celaan diri dan keluhan nyeri, penyakit somatic, dan neurasthenia.
Pada hipokondriasis, pertanggungjawaban dapat dihindari, rasa bersalah
dapat dielakkan, dan dorongan naluri dapat dihindari. Karena introyeksi
hipokondrial bersifat ego-distonik, orang yang menderita mengalami
disforia dan rasa penderitaan.
d. Identifikasi
Mekanisme dengan membawa kepribadian orang lain masuk ke dalam diri
sendiri, karena dengan begitu dapat menyelesaikan masalah perasaan yang
mengganggunya. Anak-anak remaja sering mengidentifikasi diri dengan
bintang-bintang favorit, musisi, artis, atlet, dan sebagainya, untuk
meneguhkan identitas diri.
e. Introyeksi
Internalisasi kualitas suatu obyek. Meskipun penting untuk pengembangan,
juga melayani fungsi defensive spesifik. Bila digunakan sebagai
pertahanan, itu dapat melenyapkan perbedaan antara subyek dengan obyek.
Melalui introyeksi obyek yang dicintai, kesadaran yang menyakitkan dari
keterpisahan atau ancaman kehilangan dapat dihindari. Introyeksi dari
suatu obyek yang ditakuti melayani untuk menghindari kecemasan ketika
karakter agresif obyek yang diinternalisasikan, sehingga menempatkan
agresi dibawah control sendiri.
f. Perilaku pasif agresif
Mengekspresikan agresi terhadap lainnya secara tidak langsung melalui
pasif, masokisme, dan perubahan dirinya. Manifestasi dari perilaku pasif-
agresif termasuk kegagalan, penundaan, dan penyakit yang mempengaruhi
orang lain lebih dari diri sendiri.
g. Regresi
Mencoba untuk kembali ke fase awal libidinal yang berfungsi untuk
menghindari ketegangan dan bangkitan konflik pada tingkat perkembangan
sekarang.
h. Fantasi schizoid
Terlibat dalam pengunduran autistic dalam rangka untuk menyelesaikan
konflik dan untuk memperoleh kepuasan. Keintiman interpersonal
dihindari, dan eksentrisitas berfungsi untuk mengusir orang lain. Orang
tersebut tidak sepenuhnya percaya pada fantasinya dan tidak berakting
keluar.
i. Somatisasi
Mengkonversi derivative psikis menjadi gejala tubuh dan cenderung untuk
bereaksi dengan manifestasi somatic daripada manifestasi psikis
Kelompok pertahanan neurotic adalah:
a. Pengendalian
Usaha berlebihan untuk menangani atau mengatur peristiwa atau objek
dalam lingkungan untuk menekan kecemasan dan memecahkan konflik
dalam diri.
b. Displacement
Mengalihkan pikiran kepada bentuk yang lain dimana secara emosional
pikiran tadi masih ada hubungan.
c. Disosiasi
Bersifat sementara, tetapi secara drastic mengubah karakter seseorang atau
identitas pribadi untuk menghindari tekanan emosional.
d. Eksternalisasi
Kecendrungan untuk merasakan kepribadian sendiri, termasuk impuls
instinkual, konflik, mood, sikap, dan gaya berpikir, pada dunia luar dan
elemen objek luas.
e. Inhibisi
Pembatasan atau penolakan fungsi ego terjadi secara disadari.
f. Intelektualisasi
Menghadapi situasi yang seharusnya menimbulkan perasaan yang amat
menekan dengan cara analitik, intelektual dan sedikit menjauh dari
persoalan. Dengan kata lain, bila individu menghadapi situasi yang menjadi
masalah, maka situasi itu akan dipelajarinya atau merasa ingin tahu apa
tujuan sebenarnya supaya tidak terlalu terlibat dengan persoalan tersebut
secara emosional.
g. Isolasi
Membagi atau memisahkan ide dari efek yang menyertai. Isolasi social
terjadi karena tidak adanya hubungan obyek.
h. Rasionalisasi
Memberikan penjelasan yang rasional dalam upaya untuk membenarkan
sikap, keyakinan, atau perilaku yang mungkin tidak dapat diterima. Alasan
ini umumnya ditentukan secara naluriah.
i. Pembentukan reaksi
Mengubah impuls yang tidak dapat diterima menjadi kebalikannya.
Pembentukan reaksi adalah karakteristik neurosis obsesional, namun juga
terjadi dalam bentuk neurosis lain.
j. Represi
Menekan peristiwa tertentu dari alam sadar ke alam tak sadar.
Kelompok pertahanan matur:
a. Altruisme
Menggunakan layanan konstruktif dan intuitif yang memuaskan kepada
orang lain yang seolah-olah ikut merasakan. Ini termasuk pembentukan
reaksi yang ramah dan konstruktif.
b. Antisipasi
Mengantisipasi atau berencana secara realistis atas ketidaknyamanan di
masa depan. Mekanismenya adalah tujuan yang diarahkan dan menyiratkan
perencanaan secara hati-hati atau khawatir dan premature tetapi realistis
untuk mengantisipasi afek yang berbahaya atau potesial berbahaya.
c. Ascetisisme
Menghilangkan perasaan yang menyenangkan yang timbul dari suatu
pengalaman yang menyenangkan pula.
d. Humor
Ekspresi perasaan ditunjukkan tanpa menimbulkan rasatidak senang
kepada orang lain
e. Sublimasi
Mengarahkan dorongan dari dalam dirinya kepada yang dapat diterima
masyarakat.
f. Supresi
g. Supresi
Secara sadar atau semisadar menunda perhatian atas impuls atau konflik.
Masalahnya mungkin sengaja ditahan, tetapi mereka tidak dihindari.
Ketidaknyamanan diakui tetapi diminimalkan.
7. Haloperidol dan Chlorpromazine
Tabel 1. Obat Antipsikotik
Clorpomazine
Merk Dagang : Cepezet – Meprosetil – Promactil – Largactil
Bentuk sediaan: Tablet 25 mg, 100 mg, Injeksi 25mg/ml, 2ml
Farmakodinamik : Salah satu derivat dari fenotiazin adalah Klorpromazin
(CPZ) yang merupakan 2-klor-N-(dimetil-aminopropil)-fenotiazin. Derivat
fenotiazin lain dapat dengan cara substitusi pada tempat 2 dan 10 inti
fenotiazin. CPZ berefek farmakodinamik sangat luas. Largactil diambil dari kata
large action. Sususan Saraf Pusat : CPZ menimbulkan efek sedasi disertai sikap
acuh tak acuh terhadap rangasngan lingkungan. Pada pemakaian lama dapat
timbul toleransi terhadap efek sedasi. Timbulnya sedasi amat tergantung dari
status emosinal penderita sebelum minum obat. Klorpromazin berefek
antispikosis terlepas dari efek sedasinya. Semua derivat fenotiazin mempengaruhi
ganglia basal, sehingga menimbulkan gejala parkinsonisme (efek
ekstrapiramidal). CPZ dapat mempengaruhi atau mencegah muntah yang
disebabkan oleh rangsangan pada chemoreseptor trigger zone. Fenotiazin
terutama yang potensinya rendah menurunkan ambang bangkitan sehingga
penggunanya pada pasien epilepsi harus berhati-hati. Otot Rangka: CPZ dapat
menimbulkan relaksasi otot skelet yang berada dalam keadaan spastik. Cara
kerjanya relaksasi ini diduga bersifat sentral, sebab sambungan saraf otot dan
medula spinalis tidak dipengaruhi CPZ.
Farmakokinetik : Kebanyakan antipsikosis absorbsi sempurna, sebagian
diantaranya mengalami metabolisme lintas pertama. Biovailabilitas klorpromazin
dan tioridazin berkisar antara 25-35% sedangkan haloperidol mencapai 65%.
Kebanyakan antipsikosis bersifat larut dalam lemak dan terikat kuat dengan
protein plasma(92-99%) serta mamiliki volume distribusi besar ( >7 L/kg).
Metabolit klorpromazin ditemukan di urin sampai beberapa minggu setelah
pemberian obat terakhir.
Mekanisme kerja: Obat anti psikosis memblokade dopamine pada
reseptor pasca sinaptik neuron di otak, prosesnya di sistem limbik dan sistem
ekstrapiramidal (dopamine D2 reseptor a n t a g o n i s ) . O b a t a n t i
p s i k o s i s y a n g b a r u ( m i s a l n y a r i s p e r i d o n e d i s a m p i n g
berafinitas terhadap dopamine D2 reseptor juga terhadap serotonin.
Efek samping: CPZ menghambat ovulasi dan menstruasi. CPZ juga
menghambat sekresi ACTH. Efek terhadap sistem endrokin ini terjadi
berdasarkan efeknya terhadap hipotalamus. Semua fenotiazin, kecuali klozapin
menimbulkan hiperprolaktinea lewat penghambatan efek sentral dopamine. Batas
keamanan CPZ cukup lebar, sehingga obat ini cukup aman. Efek samping
umumnya merupaan perluasan efek farmakodinamiknya. Gejala idiosinkrasi
mungkin timbul,berupa ikterus, dermatitis dan leukopenia. Reaksi ini disertai
eosinofilia dalam darah perifer.
Kardiovaskular: CPZ dapat menimbulkan hipotensi berdasarkan beberapa hal,
yaitu:
Refleks Presor yang penting untuk mempertahankan tekanan darah yang
dihambat oleh CPZ
CPZ berefek a-bloker
CPZ menimbulkan efek intropotik negatif pada jantung
Haloperidol
Merk Dagang : Haloperidol, Dores, Govotil, Haldol, Halonace, Lodomer,
Serenace, Seradol, Quilez, Upsikis
Sediaan:
Tablet 1,5 mg, 2 mg, 5 mg, larutan injeksi sebagai laktat, injeksi sebagai
dekanoat, 50 mg/ml, 1 ml
Aksi Dan Farmakologi klinis:
a. Haloperidol adalah butyrophenone antipsikotik turunan dengan sifat-sifat
yang telah dianggap sangat efektif dalam pengelolaan hiperaktivitas, gelisah,
dan mania.
b. Haloperidol adalah neuroleptic yang efektif dan juga memiliki sifat
antimuntah, tetapi memiliki kecenderungan untuk memprovokasi ditandai
efek ekstrapiramidal dan relatif lemah adrenolytic alfa-properti. Ini juga
menunjukkan anorexiant hipotermia dan efek dan mungkin terjadi tindakan
barbiturates, anestesi umum, dan obat-obatan depresan SSP lain.
Farmakokinetik: Puncak haloperidol tingkat plasma terjadi dalam waktu 2 sampai
6 jam pemberian dosis oral dan sekitar 20 menit setelah im administrasi. Mean
plasma (terminal tereliminasi) paruh telah ditetapkan sebagai 20,7 ± 4.6 (SD) jam,
dan meskipun ekskresi dimulai dengan cepat, hanya 24 sampai 60% dari obat
radioaktif tertelan diekskresikan (terutama sebagai metabolit dalam urin, beberapa
di tinja) pada akhir minggu pertama, dan sangat kecil tetapi tingkat radioaktivitas
dideteksi terus berada di dalam darah dan dikeluarkan selama beberapa minggu
setelah pemberian dosis. Sekitar 1% dari dosis yang tertelan kembali berubah
dalam urin.
Indikasi dan penggunaan klinis: Manajemen dari manifestasi psikosis.
Kontra-Indikasi: Pada keadaan koma dan dalam kehadiran depresi SSP karena
alkohol atau obat depresan lainnya. Hal ini juga kontraindikasi pada pasien
dengan depresi berat, penyakit kejang sebelumnya, lesi ganglia basal, dan dalam
sindrom Parkinson, kecuali dalam kasus dyskinesias akibat pengobatan levodopa.
Tidak boleh digunakan pada pasien yang diketahui sensitif terhadap obat, atau di
pikun pasien dengan Parkinson yang sudah ada gejala seperti. Anak-anak:
Keamanan dan efektivitas pada anak-anak belum ditetapkan, karena itu,
haloperidol adalah kontraindikasi pada kelompok usia ini.
Interaksi Obat:
a. Haloperidol dilaporkan dapat mengganggu sifat antikoagulan phenindione
dalam kasus yang terisolasi, dan kemungkinan harus diingat efek yang serupa
terjadi ketika haloperidol digunakan dengan antikoagulan lain.
b. Dalam studi farmakokinetik, ringan sampai sedang meningkat tingkat
haloperidol telah dilaporkan ketika haloperidol diberikan secara bersamaan
dengan obat-obatan berikut: quinidine, busipirone, fluoxetine. Mungkin perlu
untuk mengurangi dosis haloperidol.
Efek SSP lain: Insomnia, reaksi depresif, dan beracun negara confusional adalah
efek yang lebih umum ditemui. Mengantuk, kelesuan, pingsan dan katalepsia,
kebingungan, kegelisahan, agitasi, gelisah, euforia, vertigo, kejang grand mal, dan
eksaserbasi gejala psikotik, termasuk halusinasi, juga telah dilaporkan.
8. Kenapa diberikan antikolinergik untuk mengatasi efek ekstrapiramidal?
Triheksifenidil adalah antikolinergik yang mempunyai efek sentral lebih kuat
daripada perifer, sehingga banyak digunakan untuk terapi penyakit parkinson.
Senyawa ini bekerja dengan menghambat pelepasan asetil kolin endogen dan
eksogen. Triheksifenidil bekerja di ganglia basalis dengan menginhibisi pada
sistem saraf parasimpatetik, sehingga mengurangi gejala sindrom parkinson.
Triheksifinidil juga mempunya efek merelaksasi otot polos; secara langsung
memberikan efek kepada otot dan secara tidak langsung melalui sistem saraf
parasimpatetik.
Dosis:
Parkinson idiopatik: Dosis awal 1 mg (hari pertama), kemudian ditingkatkan
menjadi 2 mg, 2-3 x sehari selama 3-5 hari atau sampai tercapai dosis terapi;
Pasca ensefalitis: 12-15 mg/hari;
Parkinson karena obat (gangguan ekstrapiramidal): Dosis harian total 5-
15mg/hr, pada awal terapi dianjurkan 1 mg/dosis.
Pasien > 65 thn perlu dosis lebih kecil.
Efek Samping :
Mulut kering, penglihatan kabur, pusing, cemas, konstipasi, retensi urin,
takikardi, dilatasi pupil, TIO meningkat, sakit kepala.
9. Jenis terapi dalam psikiatri
a. Organo-biologik
Insulin coma therapy
Pharmacological convulsive therapy
Electro convulsive therapy (ECT)
Operasi otakà psycho surgery
Terapi farmakolgik, dg obat psikotropika
Cara 1,2,4 – sangat jarang/tak pernah dipakai lagi
b. Psiko-edukatif
Psikoterapi
Behaviour Therapy ( terapi perilaku )
Terapi / Latihan Kerja
c. Sosio-kultural
Sosial – rekreasi
Terapi musik – tari – drama
Manipulasi Lingkungan
10. Jenis prevensi dalam kedokteran
Salah satu kegunaan pengetahuan tentang riwayat alamiah penyakit
adalah untuk dipakai dalam merumuskan dan melakukan upaya
pencegahan. Artinya, dengan mengetahui perjalanan penyakit dari waktu
ke waktu serta perubahan yang terjadi di setiap masa/fase tersebut, dapat
dipikirkan upaya-upaya pencegahan apa yang sesuai dan dapat dilakukan
sehingga penyakit itu dapat dihambat perkembangannya sehingga tidak
menjadi lebih berat, bahkan dapat disembuhkan. Upaya pencegahan yang
dapat dilakukan akan sesuai dengan perkembangan patologis penyakit itu
dari waktu ke waktu, sehingga upaya pencegahan itu di bagi atas berbagai
tingkat sesuai dengan perjalanan penyakit.
1. Pencegahan tingkat awal (Priemodial Prevention)
2. Pencegahan tingkat pertama (Primary Prevention)
3. Pencegahan tingkat kedua (Secondary Prevention)
4. Pencegahan tingkat ketiga (Tertiary Prevention)
Pencegahan tingkat awal dan pertama berhubungan dengan keadaan
penyakit yang masih dalam tahap prepatogenesis, sedangkan pencegahan
tingkat kedua dan ketiga sudah berada dalam keadaan pathogenesis atau
penyakit sudah tampak. Bentuk-bentuk upaya pencegahan yang dilakukan
pada setiap tingkat itu meliputi 5 bentuk upaya pencegahan sebagai
berikut :
1. Pencegahan tingkat awal (primodial prevention)
Pemantapan status kesehatan (underlying condition)
2. Pencegahan tingkat pertama (Primary Prevention)
Promosi kesehatan (health promotion)
Pencegahan khusus
3. Pencegahan tingkat kedua (Secondary Prevention)
Diagnosis awal dan pengobatan tepat (early diagnosis
and prompt treatment)
Pembatasan kecacatan (disability limitation)
4. Pencegahan tingkat ketiga (Tertiary Prevention)
Rehabilitasi (rehabilitation)
Tingkat pencegahan dan kelompok targetnya menurut fase penyakit
Tingkat pencegahan Fase penyakit Kelompok target
primordial
Kondisi normal
kesehatan
Populasi total dan
kelompok terpilih
Primary
Keterpaparan factor
penyebab khusus
Populasi total dan
kelompok terpilih dan
individu sehat
secondary Fase patogenesitas awal Pasien
Tertiary Fase lanjut (pengobatan Pasien
dan rehabilitasi)
Tabel 2. Jenis-Jenis Prevensi
11. Prevensi dalam kasus skizofrenia pada anak