tutorial a blok 14.docx
TRANSCRIPT
LAPORAN TUTORIAL SKENARIO A BLOK 14
Disusun oleh:KELOMPOK 11
Nisrina Ariesta (04111001011)
K. M. Dimas A. (04111001021)
M. Reza Pahlevi (04111001032)
Vindy Cesariana (04111001037)
Agien Tri Wijaya (04111001041)
Yuni Paradita Djunaidi (04111001042)
Arasy Al Adnin (04111001044)
Kiki Rizki Arinda (04111001075)
Lina Wahyuni Hrp. (04111001093)
Dodi Maulana (04111001096)
Diva Zuniar Ritonga (04111001108)
Veranika Santiani (04111001136)
Randa Deka P. (04111001141)
Tutor: dr. Asmarani M.Kes
PENDIDIKAN DOKTER UMUM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSTAS SRIWIJAYA
TAHUN 2012
KATA PENGANTAR
Pertama-tama marilah kita mengucapkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha
Kuasa karena atas berkat, rahmat, dan karunia-Nya lah kami dapat menyusun laporan tutorial
blok 13 ini sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.
Laporan ini merupakan tugas akhir dari prosesi tutorial yang telah kami lakukan selama
dua kali secara berkelompok.
Laporan ini berisi hasil seluruh kegiatan tutorial blok 14 dengan membahas skenario A.
Di sini kami membahas sebuah kasus yang kemudian dipecahkan secara kelompok berdasarkan
sistematikanya mulai dari klarifikasi istilah, identifikasi masalah, menganalisis, meninjau ulang
dan menyusun keterkaitan antar masalah, serta mengidentifikasi topik pembelajaran. Dalam
dinamika kelompok ini pula ditunjuk moderator serta notulis.
Bahan laporan ini kami dapatkan dari hasil diskusi antar anggota kelompok, text book,
jurnal, dan media internet.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih setulus-tulusnya kepada Tuhan Yang Maha
Kuasa, orang tua, tutor, dan para anggota kelompok yang telah mendukung baik moril maupun
materil dalam pembuatan laporan ini. Kami mengakui dalam penulisan laporan ini terdapat
banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami memohon maaf dan mengharapkan kritik serta saran
dari pembaca demi kesempurnaan laporan kami di kesempatan mendatang. Semoga laporan ini
dapat bermanfaat bagi para pembaca. Terima kasih.
Palembang, Januari 2013
Penulis
2
Daftar Isi
Halaman Judul........................................................................................................1
Kata Pengantar........................................................................................................2
Daftar Isi.................................................................................................................3
Hasil Tutorial dan Belajar Mandir..........................................................................
I. Skenario....................................................................................4
II. Klarifikasi Istilah....................................................................................5
III. Identifikasi Masalah...............................................................................6
IV.Analisis Masalah....................................................................................7
V. Hipotesis....................................................................................30
VI.Keterkaitan Antar Masalah...........................................................31
VII. Identifikasi Topik Pembelajaran.....................................................32
VIII. Sintesis ...............................................................................33
IX. Kerangka Konsep.................................................................................67
X. Kesimpulan.............................................................................68
Daftar Pustaka..………………………………………………………………….69
3
I. Skenario
Skenario A Blok 14 Tahun 2012/2013
Anamnesis
Tn. B, 35 tahun, mempunyai BB 95 kg dan TB 165 cm, datang ke Poliklinik Khusus Endokrin &
Metabolisme RSMH Palembang dengan keluhan utama merasa mudah lelah sejak 3 bulan yang
lalu. Dia juga mengeluh merasa cepat haus dan lapar sejak 2 bulan yang lalu disertai sering
buang air kecil di malam hari. Di samping itu ia juga mengeluh kesemutan dan gatal-gatal
seluruh tubuh sejak 6 bulan yang lalu. Dari anamnesis juga diketahui bahwa Tn. B mempunyai
riwayat keluarga menderita hipertensi (ayah) dan diabetes (ibu dan kakek).
Pemeriksaan Fisik :
Tekanan darah 160/95 mmHg, achanthosis nigricans, obesitas sentral dengan lingkar perut
120 cm
Pemeriksaan Laboratorium
Rutin : Hb 14 g%, Ht 42%, leukosit 7600 mm3, trombosit 165.000/ mm3
Gula darah puasa 277 mg/dLHbA1C 8,6%OGTT (puasa) 146 mg/dL; (2 jam post prandial) 246 mg/dLTotal protein 7,7 g/dLAlbumin 4, g/dLGlobulin 2,9 g/dLUreum 22 mg/dLKreatinin 0,6 mg/dLSodium 138 mmol/lPotasium 3,6 mmol/l
Total Cholesterol 270 mg/dLCholesterol LDL 210 mg/dLCholesterol HDLTrigliserida 337 mg/dL
Urinalisis : Urin reduksi +2, mikroalbumin (+)
4
II. Klarifikasi Istilah
Endokrin : berkenaan dengan sekresi hormonal
Hipertensi : tingginya tekanan darah arteri secara persisten
Diabetes : kelainan yang ditandai dengan ekskresi urin yang banyak
Acanthosis nigricans : achanthosis diffuse seperti beludru dengan pigmentasi gelap,
khususnya di ketiak (hiperpigmentasi di lipatan kulit)
Obesitas sentral : deposit utama lemak tubuh yang terlokalisasi di sekitar perut dan
tubuh bagian atas
HbA1c : pemeriksaan jumlah glukosa dalam darah (1-3 bulan)
OGTT : tes untuk mengukur kadar glukosa dengan berpuasa semalam
Cholesterol : eukariotik sterol yang merupakan prekursor asam empedu dan
hormon steroid serta merupakan unsur terpenting dalam membran
sel
Urin reduksi : pemeriksaan kadar glukosa dalam urin
Mikroalbuminuria : peningkatan albumin urin yg sangat sedikit
5
III. Identifikasi Masalah
1. Tn. B (35 tahun, BB 95 kg, TB 165 cm) mempunyai keluhan utama merasa mudah lelah
sejak 3 bulan yang lalu
2. Sejak 2 bulan lalu mengeluh merasa cepat haus dan lapar, serta sering buang air pada
malam hari
3. Sejak 6 bulan lalu mengeluh kesemutan dan gatal-gatal
4. Mempunyai riwayat hipertensi (ayah) dan diabetes (ibu dan kakek)
5. Pemeriksaan fisik
6. Pemeriksaan labor
7. Urinalisis
6
IV. Analisis Masalah
1. Tn. B (35 tahun, BB 95 kg, TB 165 cm) mempunyai keluhan utama merasa mudah
lelah sejak 3 bulan yang lalu
a. Berapa IMT dan interpretasinya Tn. B?
IMT = BB (kg)
(TB(m))2
IMT = 95 kg
(1,65 m)2 = 34,89kg/m2
IMT = 34,89
Berdasarkan klasifikasi berat badan orang Eropa- Asia (WHO 1998) yaitu,
Klasifikasi IMT (kg/m2 ) - Eropa IMT (kg/m2 ) - Asia
Kurus <18,5 <18,5
Normal 18,5-24,9 18,5-22,9
Kegemukan
Pre-obes
Obes I
Obes II
Obes III
≥25
25-29,9
30-34,9
35-39,9
≥40
≥23
23-24,9
25-29,9
≥30
dapat diperkirakan bahwa Tn.B (orang Indonesia-Asia) termasuk dalam golongan orang
dengan obesitas II.
Berat badan ideal untuk Tn. B diukur dengan cara Broca, yaitu;
BB ideal = (Tinggi Badan – 100) – 10% (Tinggi Badan – 100)
= (165-100) – 10%(165-100)
= 65-6,5 = 58,5 kg
b. Resiko penyakit yang bisa dialami oleh orang obesitas?
Resiko Penyakit Jantung
Resiko serangan jantung, gagal jantung kongestif, kematian mendadak,
7
angina, ataupun nyeri dada meningkat pada orang yang kelebihan berat badan
(overweight) atau obesitas. Obesitas juga dikaitkan dengan tekanan darah
tinggi, kadar trigliserida yang tinggi dan penurunan kolesterol HDL
(kolesterol baik).
Resiko Stroke
Aterosklerosis, atau penyempitan pembuluh darah, yang dapat menyebabkan
pembekuan darah, adalah kondisi yang mengawali banyak kasus stroke.
Aterosklerosis dipicu oleh tekanan darah tinggi, kolesterol tinggi, merokok,
dan kurang olahraga. Obesitas juga dikaitkan dengan diet atau pola makan
yang tinggi lemak, meningkatnya tekanan darah, dan kurang olahraga. Jadi
obesitas sekarang dianggap sebagai faktor resiko sekunder yang sangat
penting untuk stroke.
Resiko Diabetes Tipe 2
Kenaikan berat badan sebesar 5 – 10 kg dari berat badan yang sehat akan
meningkatkan resikoseseorang terkena diabetes tipe 2 sebesar dua kali
lipat daripada orang yang tidak mengalami kelebihan berat badan. Lebih dari
80 persen penderita diabetes diketahui mengalami kelebihan berat badan
ataupun obesitas.
Resiko Kanker
Obesitas dikaitkan dengan peningkatan resiko beberapa jenis kanker,
termasuk kanker endometrium (kanker pada lapisan rahim), usus besar,
kandung empedu, prostat, ginjal, dan kanker payudara pasca-menopause.
Wanita yang mengalami peningkatan berat badan lebih dari 10 kg dari usia 18
tahun sampai usia paruh baya meningkatkan resikoterhadap kanker payudara
pasca-menopause sebesar dua kali lipat dibandingkan dengan wanita yang
berat badannya tetap stabil.
Resiko Fatty Liver atau Perlemakan Hati
Penyebab utama dari penyakit perlemakan hati non alkoholik adalah resistensi
insulin, sebuah gangguan metabolisme di mana sel-sel menjadi tidak sensitif
terhadap efek insulin. Salah satu faktor resikoyang paling umum untuk
resistensi insulin adalah obesitas, terutama obesitas sentral. Studi
8
menunjukkan adanya hubungan yang sangat erat antara obesitas dan derajat
kerusakan hati.
Resiko Penyakit Kandung Empedu
Resiko batu empedu adalah sekitar 3 kali lebih besar pada orang obese
dibandingkan dengan orang non-obese.
Resiko Gangguan Pernafasan
Obstructive sleep apnea (yaitu terganggunya pernafasan saat tidur) lebih
umum terjadi pada orang gemuk. Obesitas dikaitkan dengan peningkatan
resiko terjadinya asma dan bronkitis berat, serta obesitas sindrom
hipoventilasi dan insufisiensi pernapasan.
Resiko Arthritis
Gangguan muskuloskeletal, termasuk osteoarthritis, jauh lebih umum terjadi
di antara pasien obesitas, terutama pasien yang didiagnosis dengan obesitas
kronis. Studi kesehatan menunjukkan bahwa obesitas adalah prediktor kuat
untuk gejala osteoartritis, terutama di lutut. Resiko osteoartritis meningkat
setiap kenaikan 1 kg berat badan.
c. Bagaimana hubungan antara BB, jenis kelamin dan umur dengan keluhan utama
Tn. B?
Hubungan antara BB, jenis kelamin dan umur saling mendukung terhadap
keluhan yang terjadi. Berdasarkan BB Tn. B yang 95 Kg dan tinggi 165 cm
didapatkan IMTnya 34.894. Dengan IMT yang demikian maka kita dapat
menggolongkan Tuan B kedalam kategori obesitas tipe 2. Seperti diketahui bahwa
obesitas terjadi karena akumulasi oleh total kolesterol, trigliserida, LDL, dan derivat
lemak lainnya. Jenis kelamin laki-laki memperparah keadaan peningkatan kadar lipid
nya, karena tidak seperti wanita yang memiliki kadar estrogen yang cukup untuk
membantu menstimulasi pembentukan HDL untuk membawa LDL yang mudah
teroksidasi dari jaringan ekstrahepatik ke hepar untuk diregulasi. Oleh karena itu lah
hal ini memperparah keadaan obesitasnya. Data menunjukkan bahwa orang yang
berusia 20—40 tahun ke atas berisiko untuk obesitas. Pada laki-laki sering ditemui
obesitas sentral.
9
d. Bagaimana mekanisme dari mudah lelah?
Mekanisme lelah
1. Hal ini disebabkan resistensi insulin yang dialami Tn. B, sehingga terjadi
gangguan pada sel-sel tubuhnya untuk menggunakan glukosa yang ada di plasma
walaupun kadar glukosa darah yang tinggi, dan pada akhirnya aktifitas
pembentukan energi yang berasal dari glukosa menjadi berkurang dan energi yang
terbentuk pun sedikit sekali astenia (kurangnya energi)
2. Bila jumlah glukosa yang memasuki tubulus ginjal dalam filtrat glomerolus
meningkat diatas kadar kritis , hal ini secara normal dapat timbul bila konsentrasi
glukosa darah meningkat diatas 180 mg/dl, suatu kadar yang disebut sebagai nilai
ambang darah untuk timbulnya glukosa dalam urin volume urin meningkat akibat
terjadinya diuresis osmotik dan kehilangan air yang bersifat obligatorik pada saat
yang bersamaan (poliuria) kejadian ini selanjutnya menyebabkan dehidrasi
(hiperosmolaritas). Glukosuria menyebabkan kehilangan kalori yang cukup besar
(4,1 kkal untuk setiap gram karbohidrat yang disekresikan keluar) sehingga hal ini
menyebabkan Tn. B merasa lelah yang berlebihan.
e. Bagaimana metabolisme lemak, karbohidrat dan protein pada Tn. B?
Gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein pada Tn.B disebabkan
oleh berkurangnya sekresi insulin/ penurunan sensitivitas jaringan terhadap insulin.
Seperti pada keabnormalitasan yang dialaminya, diantaranya:
Hiperglikemia -> karbohidrat dimetabolisme di dalam tubuh menjadi glukosa.
Glukosa ini kemudian akan beredar di aliran darah untuk diambil oleh sel-sel dengan
menggunakan hormon insulin. Pada penderita diabetes tipe 2 maupun sindroma
metabolik, terjadi resistensi insulin, sehingga glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel.
Hal ini mengakibatkan kadar glukosa tetap tinggi di dalam darah, sehingga memicu
terjadinya hiperglikemia.
Dislipidemia -> peningkatan trigliserida (>150 mg%) dan penurunan kolestrol
HDL (< 40 mg% pada pria) merupakan dislipidemia yang khas pada sindroma
metabolik. Peningkatan trigliserida plasma diduga akibat peningkatan masukan asam
10
lemak bebas ke hati sehingga terjadi peningkatan trigliserida. Namun, peningkatan
trigliserida ini tidak hanya diakibatkan oleh peningkatan masukan asam lemak bebas
ke hati. Penurunan kolesterol HDL disebabkan oleh peningkatan trigliserida sehingga
terjadi transfer trigliserida ke HDL. Namun, pada subyek resistensi insulin dengan
kadar trigliserida normal, juga ditemukan penurunan kolesterol HDL. Diduga
mekanismenya adalah gangguan masukan lipid post prandial pada kondisi resistensi
insulin sehingga terjadi gangguan produksi Apolipoprotein A-I (Apo A-1) oleh hati
yang selanjutnya mengakibatkan penurunan HDL.
Kolesterol LDL biasanya normal, namun mengalami perubahan sturktur menjadi
small dense LDL. Pada kasus ini, terjadi peningkatan LDL. Peningkatan LDL juga
diduga berhubungan dengan peningkatan trigliserida. Di hati trigilserida dikemas
sebagai VLDL bersama dengan kolesterol, fospolipid, dan protein yang kemudian
dilepaskan ke sirkulasi darah. VLDL ini dimetabolisme oleh LPL di endotel kapiler.
Trigliserida ini akan dilepaskan dan kemudian disimpan di adiposit.VLDL ini juga
diubah menjadi LDL setelah kehilangan trigliserida.
2. Sejak 2 bulan lalu mengeluh merasa cepat haus dan lapar, serta sering buang air
pada malam hari
a. Bagaimana mekanisme dari :
i. Cepat haus
Tingginya kadar glukosa darah (hiperglikemia) puasa dan
postprandial akan meningkatkan viskositas darah, dan hal ini akan
memicu rangsangan rasa haus yang bertujuan untuk menurunkan
viskositas darah. Selain itu, darah yang mengandung sangat banyak
glukosa ini, akan segera dikeluarkan oleh ginjal ketika telah
melewati ambang batas ginjal terhadap glukosa, maka timbul
glikosuria. Glikosuria ini akan meningkatkan diuresis osmotik yang
meningkatkan pengeluaran urin (poliuria). Karena banyak urin yang
keluar maka tubuh kehilangan banyak cairan. Kehilangan cairan ini
akan meningkatkan rasa haus yang meningkatkan asupan cairan dari
luar (polidipsia).
11
ii. Cepat lapar
Penumpukan sel adiposa menyebabkan terjadinya resistensi insulin
sehingga transpor glukosa ke sel terganggu. Hal ini menyebabkan sel
kekurangan energi sehingga merangsang pusat lapar di
hipothalamus.
iii. Sering buang air pada malam hari
Tuan B ini mengalami hiperglikemia atau peningkatan kadar
glukosa darah. Peningkatan kadar glukosa darah menyebabkan
osmolaritas darahnya juga meningkat sehingga viskositas darahnya
juga meningkat. Peningkatan viskositas darah Tuan B ini
merangsang ginjal untuk mengeluarkan gula yang berlebihan
didalam darah sehingga terjadilah pengeluaran urin yang sering atau
berlebihan akibat peningkatan kadar glukosa darah yang disebut
12
obesitas
Penumpukan sel adiposa
TNF alfa , IL-6 , adiponektin , leptin , resistin , PAI-1
Resistensi insulin
Gangguan transpor glukosa ke sel
Sel kekurangan energi
Mempengaruhi pusat lapar di otak
Polifagi
dengan poliuria. Tingginya kadar glukosa ini merupakan akibat dari
hiperglikemia yang terjadi karena adanya resistensi insulin.
b. Bagaimana hubungan antara keluhan (cepat haus, lapar, buang air di
malam hari) yang terjadi sejak 2 bulan lalu dengan keluhan utama (mudah
lelah)?
Suatu keadaan yang hiperglikemia akan mempengaruhi kerja tubulus
ginjal mengingat perannya untuk mereabsorbsi kembali glukosa. Kadar
glukosa yang dapat ditoleransi oleh ginjal hanya mencapai 160-180 mg/dl.
Jika lebih dari kadar tersebut maka akan terjadi Glukosuria, glukosa keluar
bersama urine. Pengeluaran kadar glukosa yang tinggi ini membutuhkan air
yang cukup banyak. Pada kasus Tn. B, kemungkinan terjadi gangguan
reseptor insulin untuk mengaktifkan GLUT 4 yang akan membawa glukosa
masuk ke dalam sel. Keadaan ini akan menimbulkan hiperglikemik pada ECF
dan hipoglikemik ICF, memaksa tubuh untuk mempertahankan homeostasis
dengan cara pengeluaran urine yang meningkat, poliuri.
Setelah terjadi poliuria maka kadar glukosa darah akan menurun tetapi
bersamaan dengan itu, air yang digunakan untuk tansport glukosa juga telah
banyak hilang sehingga akan menyebakan respon rasa haus pada hipotalamus
Gangguan insulin dan reseptornya membuat glukosa tidak dapat masuk ke
dalam sel sehingga proses glikolisis juga terganggu, akhirnya energi yang
dihasilkan akan berkurang dan menyebabkan lemas. Disamping itu sel
kekurangan glukosa akan menyebabkan respon untuk makan banyak.
c. Bagaimana dampak dari cepat haus, lapar dan sering buang air pada
malam hari dengan kondisi Tn. B?
- Rasa Lapar meningkat
Gejala meningkatnya nafsu makan sering disebut juga poliphagi.
Gejala ini muncul karena berkurangnya cadangan gula di dalam tubuh,
walaupun sebenarnya kadar gula dalam darah tinggi. Hal ini disebabkan
ketidakmampuan insulin dalam mendistribusikan gula sebagai sumber
13
energi dalam tubuh sehingga membuat tubuh merasa lemas. Akibatnya
penderita diabetes sering muncul keinginan untuk makan terus menerus.
- Rasa Haus meningkat
Gejala meningkatnya rasa haus disebut juga polidipsi. Gejala ini
muncul akibat tubuh terlalu banyak mengeluarkan urine sehingga
keinginan untuk minum terus menerus tidak dapat dihindari sebagai
pengganti cairan yang keluar. Rasa haus ini akan muncul terus menerus
selama kadar gula dalam darah tidak terkontrol dengan baik. Sebaliknya
minum secara terus menerus dapat menyebabkan penderita ingin buang air
kecil terus menerus.
- Poliuria
Poliuria merupakan salah satu tanda khas dari diabetes (selain
polidipsia, polifagia). Poliuria berkaitan dengan hiperglikemia. Di ginjal,
pada saat filtrasi glukosa akan masuk ke kapsul bowmann kemudian
menuju tubulus renalis proximalis. Disana glukosa akan direabsorpsi
masuk ke dalam aliran darah di ginjal. Penyerapan glukosa ini dilakukan
secara transpor aktif (menggunakan energi). Hal ini menyebabkan adanya
ambang batas glukosa yang diserap di ginjal, yaitu 160-180 mg/dl. Akibat
dari kelebihan jumlah glukosa yang masuk ke ginjal (tubulus renalis),
masih ada glukosa yang tidak terserap ke dalam aliran darah. Sifat glukosa
adalah mudah berikatan dengan air, sehingga reabsorpsi air menurun.
Banyaknya glukosa yang masih beredar di tubulus renalis juga
menyebabkan peningkatan tekanan osmotik pada tubulus renalis. Hal ini
yang kemudian akan menyebabkan poliuria. Gejala ini biasanya sering
muncul pada malam hari ketika penderita diabetes sedang istirahat malam,
dimana pada saat itu kadar gula dalam darah relatif lebih tinggi daripada
siang hari.
3. Sejak 6 bulan lalu mengeluh kesemutan dan gatal-gatal
a. Bagaimana mekanisme dari :
i. Kesemutan
14
Neuropati dan katarak pada diabetes disebabkan oleh gangguan
jalur poliol (glukosa sorbitol fruktosa) akibat kekurangan
insulin. Pada jaringan saraf, terjadi penimbunan sorbitol dan fruktosa
serta penurunaan mioinositol yang menimbulkan neuropati.
Perubahan biokimia pada jaringan saraf akan mengganggu kegiatan
metabolik sel-sel Schwann dan menyebabkan hilangnya akson.
Kecepatan konduksi motorik akan berkurang pada tahap dini
pperjalanan neuropati. Selanjutnya timbul nyeri, parestesia
(kesemutan), berkurangnyan sensasi getar dan proprioseptik, dan
gangguan motorik yang disertai hilangnya refleks-refleks tendon
dalam, kelemahan otot, dan atrofi.
ii. Gatal- gatal seluruh tubuh
Keadaan hiperglikemi dapat menyebabkan gangguan fagositosis
(immune compromise) sehingga dapat memicu terjadinya infeksi
opurtunistik seperti jamuran dan menimbulkan rasa gatal-gatal
(itching).
Candida albicans adalah jenis jamur yang menyebabkan gangguan
kulit bagi penderita diabetes. Wanita cenderung terinfeksi di vagina.
Sering terjadi pada sudut mulut (angular cheilitis, menyerupai
sobekan), diantara jari kaki, kuku (onikomikosis). Jamur ini
menyebabkan gatal, kemerahan, bisul dan kerak. Infeksi jamur yang
paling umum adalah kadas, kurap dan kutu air.
Selain itu kulit yang kering atau gangguan sirkulasi pembuluh
darah pada daerah tersebut dapat menimbulkan gatal-gatal.
b. Bagaimana hubungan antara kesemutan dan gatal-gatal dengan KU?
Efek klinis yang ditimbulkan dari keadaan hiperglikemi adalah gangguan
pada pembuluh darah dan saraf (neurophatic symptom) yang dapat
menyebabkan kesemutan, nyeri ujung kaki dan rasa baal. Selain itu keadaan
15
hiperglikemi juga dapat menyebabkan gangguan fagositosis (immune
compromise) sehingga dapat memicu terjadinya infeksi opurtunistik seperti
jamuran dan menimbulkan rasa gatal-gatal (itching).
4. Mempunyai riwayat hipertensi (ayah) dan diabetes (ibu dan kakek)
a. Bagaimana hubungan antara genetik dengan kondisi Tn. B?
Diabetes mellitus adalah penyakit multifaktorial inheritence. Keturunan
atau herediter hanya sebagai faktor predisposisi, yang dipengaruhi oleh
lingkungan dan gaya hidup. Hipertensi yang memiliki predisposisi genetik
adalah hipertensi primer.
Ibu Tn. B menderita diabetes. Apabila seorang wanita memiliki kadar
glukosa yang tinggi selama masa kehamilan, maka fetus akan ikut melakukan
proses adaptasi dengan cara meningkatkan kerja insulin yang dihasilkan sel β
pulau Langerhans dan kemungkinan besar Tn. B dilahirkan alam kondisi giant
baby. Hal itu pula yang memicu perubahan nilai normal pusat lapar pada Tn.
B sehingga ia memiliki nafsu makan yang lebih besar dibandingkan anak-anak
normal.
Dan salah satu penyebab resistensi insulin, ialah diakibatkan karena
mutasi pada kromosom 7p, mutasi GLUT 2 dan GLUT 4, mutasi gen
pengkode insulin, serta mutasi pada gen pengkode reseptor insulin yang
berkaitan dengan faktor genetic
b. Kemungkinan yang terjadi pada anak dari ayah hipertensi dan ibu
diabetes?
Mati rasa dan gatal pada Mr. B disebabkan telah terjadinya salah satu
komplikasi DM, yaitu neuropati. Pada neuropati terjadi kerusakan saraf
perifer akibat hiperglikemi. Kerusakan saraf perifer ini menyebabkan
turunnya sensitifitas atau mati rasa seperti pada jari tangan, dan terjadinya
sensasi gatal. Rasa gatal ini juga terkait adanya penurunan NGF yang terjadi
pada penderita DM. penurunan NGF ini menyebabkan regulasi neuropeptida
16
substansi P yang merangsang sel mast mengeluarkan histamin, memediasi
rasa gatal pada kulit menjadi tidak terkontrol.
5. Pemeriksaan fisik
a. Bagaimana interpretasi, mekanisme, dan pengaruhnya terhadap keluhan
dari :
i. Tekanan Darah 160/95 mmHg
Berdasarkan klasifikasi tekanan darah dari JNC7, maka tekanan
darah diklasifikasikan sebagai berikut,
Kriteria Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)
Normal < 120 < 80
Prehypertension 120 - 139 80 - 89
Stage I
hypertension
140 - 159 90 - 99
Stage II
hypertension
> 160 > 100
Dari klasifikasi tersebut, Tn. B termasuk hipertensi tahap 1.
17
Mekanisme
Sumber :Ganbar 10-12 dari Buku Ajar Patologi ed 7 oleh Kumar, Vinay et al.
EGC
Hubungan hipertensi dengan keadaan Tn. B pada skenario adalah
bahwa kemungkinan hipertensi yang terjadi pada Tn. B diturunkan
secara genetis oleh ayah Tn. B. Faktor lingkungan juga mungkin
memodifikaso ekspresi gen pada peningkatan tekanan. Stress,
18
Volume plasma dan ECF
Curah Jantung (autoregulasi)
Resistensi perifer
Ketebalan Dinding Pembuluh darah
Hormon natriuretik reaktivasi
vaskular
Hipertensi
Retensi garam dan air
Ekskresi natrium kurang memadai
Defek dalam homeostasis natrium ginjal
Defek dalam pertumbuhan dan struktur otot polos pembuluh
Vasokonstriksi fungsional
Pengaruh LingkunganPengaruh Genetik
kegemukan, merokok, aktivitas fisik kurang, dan konsumsi garam
dalam jumlah besar dianggap sebagai faktor eksogen dalam
hipertensi.
ii. Achanthosis nigricans
Acanthosis Nigricans merupakan penebalan kulit seperti beludru yang berwarna kehitaman pada kulit atau hiperpigmentasi kulit pada daerah lipatan tubuh. Biasanya terjadi pada ketiak, belakang leher, lipatan tangan dan pusar. Tingginya kadar insulin di plasma diperkirakan berkontribusi pada pengembangan acanthosis nigricans. Hal ini terjadi karena jumlah insulin yang tidak berikatan dengan reseptornya meningkat sehingga insulin banyak berikatan dengan reseptor yang mirip dengan reseptor insulin (IGF-1R) sehingga terjadi resistensi insulin, yang kemudian tumbuh jaringan baru yang menyebabkan penebalan kulit dan perubahan warna (hiperpigmentasi).
Aktivasi IGF-1R pada keratinosit dan fibroblast terjadi karena
IGF-1R mempunyai struktur yang sama dengan reseptor insulin.
Selain itu hyperinsulinemia menyebabkan IGF reseptor semakin
banyak. Ikatan insulin dengan IGF-1R menyebabkan proliferasi
sehingga terjadi hyperkeratosis dan papilomatosis.
iii. Obesitas sentral dengan lingkar perut 120 cm
Masuk dalam kategori obesitas sentral apabila wanita dengan
lingkar perut lebih dari 80 cm dan pada pria lingkar perut lebih dari
90 cm. Pada kasus ini, Tn. B memiliki lingkar perut sebesar 120 cm.
Hal ini dipastikan obesitas sentral. Obesitas entral sering terjadi pada
laki-laki karena storage-receptor lipid pada pria salah satunya adalah
di visceral. Obesitas sentral berbahaya karena pada obesitas sentral
terjadi kerugian adipokin dimana terjadi peningkatan kadar resistin,
leptin, IL-6, TNF-alpha, dan penurunan adiponektin. Sebagaimana
fungsi dari adiponektin adalah berperan memperbaiki sensitivitas
insulin dan menghambat peradangan vaskuler. Adiponektin
berhubungan terbalik dengan leptin. Jika terjadi penurunan kadar
19
ditambah lagi dengan peningkatan leptin, resistin, IL-6, dan TNF-
alpha akan memperburuk keadaan untuk menimbulkan inflamasi
pada endotel sehingga endotel mengalami disfungsi.
6. Pemeriksaan labor
a. Bagaimana interpretasi dari hasil pemeriksaan labor?
Hasil Nilai Normal Interpretasi
Blood analysis
Hemoglobin 14g% 13-17,5 g % Normal
Hematokrit 42 g % 40-48 % Normal
Leukosit 7600 mm3 5000-10.0000 Normal
Trombosit 165.000 mm3 150000-400000 Normal
Blood glucose 277 mg/Dl < 110 mg/dL Meningkat
HbA1C 8,6 % 4,5 – 6,3 % Meningkat
OGTT fasting glucose 146 mg/dL 70 – 110 mg/dL Meningkat
OGTT 2 hour post prandial 246 mg/dL < 140 mg/dL Meningkat
Total protein 7,7 g/dL 6,7 -8,7 g/dL Normal
Albumin 4,8 g/dL 3,8 – 4,4 g/dL Meningkat
Globulin 2,9 g/dL 1,5 -3,0 g/dL Normal
Ureum 22 mg/dL 22 – 40 mg/dL Normal
Kreatinin 0,6 mg/dL 0,5-1,2 mg/dL (P) Normal
Sodium 138 mmol/l 135-155 mmol/l Normal
Potassium 3,6 mmol/l 3,6-5,5 mmol/dl Normal
Total cholesterol 220 mg/dL <200 mg/dL Meningkat
Cholesterol LDL 210 mg/dL <130 md/dL Meningkat
20
Cholesterol HDL 38 mg/dL > 65 mg/dL Menurun
Trigliserida 337 mg/dL < 200 mg/dL Meningkat
7. Urinalisis
a. Bagaimana interpretasi, mekanisme, dan pengaruhnya terhadap keluhan
dari :
i. Urin reduksi 2+
Pemeriksaan untuk mendeteksi adanya glukosa dalam urine
dengan menggunakan reagen (missal : benedict, fehling, nylander).
Nilai rujukan
Negative (-) tidak ada perubahan warna, tetap biru sedikit
kehijauan (tidak ada glukosa)
Positif 1 warna hijau kekuningan dan keruh (terdapat 0,5-1%
glukosa)
Positif 2 warna kuning keruh (terdapat 1-1,5% glukosa)
Positif 3 warna jinga, seperti lumpur keruh (2-3,5% glukosa)
Positif 4 merah keruh (> 3,5% glukosa)
Normal Urine reduksi adalah negative (tidak ada glukosa dalam
urin). Pada kasus Tn. B didapatkan nilai (++) untuk reduksi urin, hal
ini mengindikasikan warna kuning keruh pada urine dengan kadar 1-
1,5% glukosa.
Mekanisme glukosuria pada kasus ini terjadi karena keadaan
hiperglikemia mempengaruhi kerja tubulus ginjal mengingat
perannya untuk mereabsorbsi kembali glukosa. Kadar glukosa yang
dapat ditoleransi oleh ginjal hanya mencapai 160-180 mg/dl. Jika
lebih dari kadar tersebut maka ginjal akan mengeluarkan glukosa
bersama urin.
ii. Mikroalbuminuria (+)
21
Microalbuminuria (30–300 mg/24 hours), dihubungkan dengan
peningkatan resiko terkena diabetik nefropati 10-20 kali. Dalam
keadaan fisiologis, albumin tidak dapat terfiltrasi di glomerulus
karena ukuran molekulnya yang besar. Microalbuminuria diduga
terjadi karena kerusakan/kebocoran glomerulus ataupun nefron-
nefron sehingga albumin bisa masuk ke dalam tubulus renalis yang
kemudian dikeluarkan bersama urin.
8. a. Apa differential diagnosis dan kriteria masing-masing dari kasus ini?
DM I DM 2 Dislipidemia Sindrom metabolik
Hipertensi Pada kasus
Mudah lelah + + - + + +Polidipsia + + - + - +Poliuria + + - + - +Polifagia + + - + - +Obesitas +/- + + + +/- +Ikterus - - + - - -Glukosa darah Naik Naik Turun/normal Naik Normal NaikInsulin Turun Turun Naik/normal Turun Normal ?HDL Naik Naik + Turun Turun TurunTrigliserida Naik Naik + Naik Naik NaikKolesterol ? Naik + Naik Naik/normal NaikAlbumin Naik Naik - Naik Naik NaikAcanthosis nigrican
- + - + - +
Tek. Darah Naik/turun/normal
Naik/turun/normal
Turun/naik Naik Naik Naik
Faktor genetik + +/- +/- +/- + +
Nama
Penyakit
Kriteria/ Gejala
Etiologi Obesitas Awitan Gejala InsulinOnset
Kejadian
Diabetes
Melitus Tipe
1
Destruksi sel β
karena
Autoimun atau
Jarang,
sering kali
Awitan gejala
eksplosif dengan
polidipsia,
Kadar insulin
dalam darah
sangat
Dimulai di
usia muda,
sejak kanak-
22
Idiopatik kurus
poliuria, turunnya
berat badan,
polifagia, lemah,
somnolen yang
terjadi beberapa
hari atau beberapa
minggu. Rentan
terhadap
terjadinya
ketoasidosis
rendah,
sangat
tergantung
terhadap
insulin dari
luar
kanak
Diabetes
Melitus Tipe
2
Resistensi
insulin karena
pengaruh
lingkungan
dan genetik
Sebagian
besar
Dapat tidak
menimbulkan
gejala apapun, dan
diagnosis hanya
dibuat
berdasarkan
pemeriksaan
laboratorium.
Pada
hiperglikemia
lebih berat, pasien
mungkin
menderita
polidipsia,
poliuria, lemah,
dan somnolen.
Biasa tidak
mengalami
ketoasidosis
Tidak
defisiensi
insulin
absolut,
hanya relatif,
bahkan
mungkin
normal.
Sejumlah
insulin tetap
disekresi dan
masih cukup
untuk
mengalami
ketoasidosis.
Dapat terjadi
pada semua
usia, tetapi
sebagian
besar dimulai
pada usia
dewasa,
tetapi tidak
menutup
kemungkinan
di usia
dewasa
Diabetes Tipe
Spesifik
Kelainan
genetik pada
Pasien
sering kali
Gejala yang
muncul
Keadaan
insulin
Terjadi
sebelum usia
23
sel β, pada
kerja insulin,
penyakit pada
pankreas,
endolrinopati,
induksi obat
atau zat kimia,
infeksi, atau
sindrom
genetik lain
yang berkaitan
obesitastergantung
penyebabnya
tergantung
penyebabnya.
Dapat terjadi
resistensi
terhadap
insulin, atau
kelainan
kerja insulin
14 tahun
Diabetes
Gestasional
Terjadinya
resistensi
insulin
berhubungan
dengan
perubahan
metabolisme
pada akhir
kehamilan
(late
pregnancy)
Obesitas
merupakan
faktor
resiko
diabetes
gestasional
Mirip gejala
Diabetes melitus
Tipe 2
Mirip gejala
Diabetes
melitus Tipe
2
Hanya terjadi
pada saat
kehamilan
Diabetes
Insipidus
Berkurangnya
sekresi Anti-
diuretic
hormone
(ADH) bisa
dikarenakan
penyebab
primer yaitu
agenesis atau
- Polidipsia dan
poliuria dengan
volume urin
antara 5 hingga 10
L/hari. Anoreksia,
rasa penuh pada
perut. Polidipsia
dan poliuria juga
terjadi pada
Tidak ada
gangguan
insulin
Semua usia,
tetapi lebih
sering pada
dewasa
24
kerusakan
neurohipofisis,
dan penyebab
sekunder
karena asupan
cairan
berlebihan.
malam hari
shingga pasien
sering kali
mengeluh
tidurnya
terganggu
b. Apa saja komplikasi yang timbul?
Komplikasi dari obesitas:
Kardiovaskular: gagal jantung, pembesaran jantung dan arrhythmia, cor
pulmonale, pelebaran vena, dan pulmonary embolism.
Endocrine: polycystic ovarian syndrome (PCOS), gangguan menstruasi,
dan infertilitas.
Gastrointestinal: gastroesophageal disease (GERD), penyakit
perlemakan hati, batu empedu, hernia, kanker colorectal.
Ginjal dan urogenitalia: inkontinensia urin, glomerulopathy, kanker
payudara, kanker uterus, kelahiran mati.
Intergumen: tanda regangan kulit, acanthosis nigricans, lymphedema,
cellulitis, carbuncle, intertrigo.
Musculoskeletal: hyperuricemia, immobilitas, osteoarthritis, low back
pain.
Neurologic: stroke, meralgia paresthetica, sakit kepala, carpal tunnel
syndrome, dementia.
Respiratory: dyspnea, sleep apnea obstruktif, sindrom hipoventilasi,
pickwian syndrome, asthma.
Psycologis: depresi, kurang percaya diri, stigma social.
Komplikasi dari diabetes:
Akut:
o Koma hipoglikemia
o Ketoasidosis
25
o Koma hiperosmolar nonketotik
Kronik:
o Makroangiopati, mengenai pembuluh darah besar; pembuluh darah
jantung, pembuluh darah tepi, pembuluh darah otak.
o Mikroangiopati, mengenai pembuluh darah kecil; retinopati diabetic,
nefropati diabetik.
o Neuropati diabetik.
o Rentan infeksi, seperti tuberculosis paru, gingivitis, dan infeksi
saluran kemih.
o Kaki diabetic.
Komplikasi dari hipertensi:
Arterosklerosis
Gagal jantung
Stroke
c. Apa prognosis dari kasus ini?
Prognosis penyakit yang dialami Tn. B adalah Dubia ad Bonam,
tergantung pada kepatuhannya menjalankan terapi dan usahanya dalam menjaga
berat badan/ mengontrol pola makan. Jika ditangani dengan baik (sekitar 60%),
dapat bertahan hidup seperti orang normal. Jika tidak ditangani dengan baik akan
meningkatkan resiko gagal ginjal kronikdan penyakit kardiovaskuler.
d. Bagaimana penatalaksanaan terhadap Tn. B?
Penatalaksanaan Non Farmakologi :
a. Latihan fisik
Dengan meningkatkan aktivitas fisik terbukti dapat menurunkan kadar
lipid dan resistensi insulin didalam otot rangka.
b. Diet
Sasaran utama dari diet terhadap sindrom metabolik adalah dapat
menurunkan risiko penyakit kardiovaskular dan diabetes mellitus.
c. Edukasi
26
Dengan pengetahuan yang memadai tentang bahaya dan
penatalaksanaan sindrom metabolik, maka akan membantu menurunkan
risiko penyulit dari sindrom metabolik.
Farmakologis :
a. Sulfonilurea
i. Menurunkan sekresi glukagon.
ii. Menutup potassium channel.
iii. Dapat menyebabkan hipoglikemia.
b. Biguanid
i. Gol. biguanid yang sering digunakan metformin
ii. Menurunkan gluconeogenesis
iii. Memperlambat absorbsi glukosa dari traktus GI
iv. Stimulasi langsung glikolisis di jaringan
v. Menurunkan plasma glucagon
vi. Meningkatkan pemakaian glukosa di usus
c. Glitazone
i. Agonis PPAR
ii. Merangsang ekspresi beberapa protein yang dapat
memperbaiki sensitivitas insulin dan memperbaiki
glikemia.
iii. Mempengaruhi pelepasan mediator resistensi insulin .
d. Inhibitor α-glukooksidase
i. Termasuk dlm acarbose (Precose,Glucobay) &
miglitol(Glyset) memiliki cara kerja mengurangi kadar
glukosa dgn menginterfensi penyerapan sari pati dlm
usus.
ii. Acarbose cenderung menurunkan kadar insulin stlh
makan
iii. Alpha glucosidase inhibitor ini tdk seefektif obat lain
bila diguna sbg terapi tunggal.Bila dikombinasi dgn
27
metformin,insulin atau sulfonylurea,bisa meningkatkan
efektivitasnya.
iv. Efek samping:produksi gas dlm perut & diare.Mungkin
mempengaruhi penyerapan zat besi.
e. Vildagliptin-Dipeptyl peptidase 4 inhibitor
i. Berpotensi,selektif& reversibel.Dgn ini,vidagliptin
memperpanjang waktu kerja GLP-1 sehingga terjadi
peningkatan insulin &menekan sekresi glucagon.
ii. Memperbaiki sensivitas sel alfa&beta terhadap
glukosa,krn meningkatnya glucose-dependent insulin
secretion & menurunkan sekresi glukagon
f. Insulin
i. Obat utk pasien yg tdk bisa kontrol diabetes dgn diet
atau pengobatan oral ,kombinasi insulin & obat-obatan
lain bisa sgt efektif.
ii. Pada pasien DM 11 yg buruk,pengantian insulin total
menjadi kebutuhan. Beberapa btk insulin : NPH –
insulin standar yg stimulasi insulin scr alami, Insulin
lispro&aspart-fast acting insulin
e. Bagaimana upaya pencegahan terhadap kasus ini?
Perubahan gaya hidup dapat mengurangi resiko penyakit seperti pada
kasus
28
The US Preventive Services Task Force merekomendasi konsultasi diet
intensif dan melakukan aktivitas fisik selama 30 menit terhadap pasien dewasa
yang mempunyai faktor risiko untuk terjadinya penyulit kardiovaskular. Para
dokter keluarga lebih efektif dalam membantu pasien menerapkan kebiasaan
hidup sehat. The Diabetes Prevention Program telah membuktikan bahwa
intervensi gaya hidup yang ketat pada pasien prediabetes dapat menghambat
progresivitas terjadinya diabetes lebih dari 50% (dari 11% menjadi 4,8%).
f. Pada tingkat berapa kompetensi dokter umum terhadap kasus ini?
Kompetensi dokter umum untuk Sindrom Metabolik adalah Tingkat
Kemampuan 4 yaitu, mampu membuat diagnosis klinik berdasarkan
pemeriksaan fisik dan pemeriksaanpemeriksaan tambahan yang diminta oleh
dokter (misalnya : pemeriksaan laboratorium sederhana atau X-ray). Dokter dapat
memutuskan dan mampu menangani problem itu secara mandiri hingga tuntas.
29
V. Hipotesis
Tn. B mengalami diabetes mellitus tipe 2 dan hipertensi yang dikaitkan obesitas sentral ,
hipertensi, dan hiperglikemia (sindrom metabolik)
30
VI. Keterkaitan Antar Masalah
6 bulan
o Kesemutan
o Gatal- gatal seluruh tubuh
3 bulan
o Mudah lelah
2 bulan
o Cepat haus
o Cepat lapar
o Sering buang air di malam hari
31
Tn. B
(35 tahun, BB 95 kg, TB 165 cm)
Sekarang
anamnesisPemeriksaan
FisikPemeriksaan
Labor
urinalisis
VII. Identifikasi Topik Pembelajaran
Pokok Bahasan What I know What I don’t knowWhat I have to prove
How I will learn
Resistensi insulin Definisi Penyebab, mekanismeHubungan resistensi insulin dengan sindroma metabolik
Internet, textbook, journal.
Sindroma metabolik
DefinisiKomplikasi, penyebab, manifestasi klinik & tata laksana
Penanganan terhadap pasien sindrom metabolik
Obesitas DefinisiKomplikasi, penyebab, manifestasi klinik & tata laksana
Hubungan obesitas dengan sindroma metabolik
Diabetes melitus DefinisiPatofisiologi, penyebab, manifestasi klinik & tata laksana
Hubungan diabetes dengan sindroma metabolik
Hipertensi DefinisiPatofisiologi, penyebab, manifestasi klinik & tata laksana
Hubungan hipertensi dengan sindroma metabolik
32
VIII. Sintesis
Resistensi Insulin
Resistensi insulin adalah suatu keadaan terjadinya gangguan respons metabolik
terhadap kerja insulin, akibatnya untuk kadar glukosa plasma tertentu dibutuhkan kadar
insulin yang lebih banyak daripada ‘normal’ untuk mempertahankan keadaan normoglikemi
(euglikemi). Resistensi insulin dapat disebabkan oleh gangguan pre reseptor, reseptor dan
post reseptor. Gangguan pre reseptor dapat disebabkan oleh antibodi insulin dan gangguan
pada insulin. Gangguan reseptor dapat disebabkan oleh jumlah reseptor yang kurang atau
kepekaan reseptor yang menurun. Sedangkan gangguan post reseptor disebabkan oleh
gangguan pada proses fosforilasi dan pada signal transduksi di dalam sel otot. Daerah utama
terjadinya resistensi insulin adalah pada postreseptor sel target di jaringan otot rangka dan
sel hati. Kerusakan postreseptor ini menyebabkan kompensasi peningkatan sekresi insulin
oleh sel beta, sehingga terjadi hiperinsulinemi pada keadaan puasa maupun postprandial.
Resistensi insulin sangat sulit diukur. Cara yang dianggap baku adalah pengukuran
dengan teknik klem insulin pada binatang percobaan dengan cara mengukur jumlah rata-rata
glukosa yang diberikan intravena untuk mempertahankan normoglikemi bila insulin
diinfuskan. Dikatakan resistensi insulin jika dibutuhkan insulin lebih banyak untuk
mencapai kadar glukosa darah normal, tetapi cara ini sulit dilakukan. Cara yang umum
dilakukan untuk mengukur sensitivitas insulin adalah cara surogat dengan memeriksa kadar
insulin puasa atau kadar insulin sebagai respons terhadap pemberian glukosa.
Sensitivitas insulin adalah kemampuan insulin menurunkan konsentrasi glukosa darah
dengan cara menstimulasi pemakaian glukosa di jaringan otot dan lemak, dan menekan
produksi glukosa oleh hati. Resistensi insulin adalah keadaan sensitivitas insulin berkurang.
Pada sebagian orang kepekaan jaringan terhadap kerja insulin tetap dapat dipertahankan
33
sedangkan pada sebagian orang lain sudah terjadi resistensi insulin dalam beberapa
tingkatan. Pada seorang penderita dapat terjadi respons metabolik terhadap kerja insulin
tertentu tetap normal, sementara terhadap satu atau lebih kerja insulin yang lain sudah terjadi
gangguan.
Resistensi insulin merupakan sindrom yang heterogen, dengan faktor genetik dan
lingkungan berperan penting pada perkembangannya. Selain resistensi insulin berkaitan
dengan kegemukan, terutama gemuk di perut, sindrom ini juga ternyata dapat terjadi pada
orang yang tidak gemuk. Faktor lain seperti kurangnya aktifitas fisik, makanan mengandung
lemak, juga dinyatakan berkaitan dengan perkembangan terjadinya kegemukan dan
resistensi insulin.
Dikatakan bahwa pembesaran depot lemak viseral yang aktif secara lipolitik akan
meningkatkan keluaran asam lemak bebas portal dan menurunkan pengikatan dan ekstraksi
insulin di hati, sehingga menyebabkan terjadinya hiperinsulinemi sistemik. Lebih lanjut
peningkatan asam lemak bebas portal akan meningkatkan produksi glukosa di hati melalui
peningkatan glukoneogenesis, menyebabkan terjadinya hiperglikemi.
Pada tingkat otot skelet, kadar asam lemak bebas yang tinggi dapat menurunkan
pemakaian glukosa yang distimulasi oleh insulin melalui kompetisi substrat (siklus glukosa-
asam lemak). Penyimpanan maupun oksidasi glukosa dihambat oleh asam lemak bebas, hal
ini berhubungan tidak langsung dengan oksidasi lemak pada kegemukan dan DMT 2.
Pada penderita obesitas yang disertai resistensi insulin ditemukan adanya akumulasi
trigliserid dan asam lemak dalam otot (intramyoselular) dan diduga menghambat kerja
insulin pada tingkat seluler dengan menghambat translokasi glucose transporter 4
intraseluler ke membran sel. Sedangkan deposisi trigliserid pada hati (steatosis) akibat
peningkatan distribusi asam lemak bebas melalui sirkulasi portal ke hati, meningkatkan
glukoneogenesis dan menyebabkan kegagalan kerja insulin.
Jaringan adipose yang selama ini hanya dikenal sebagai organ tempat penyimpanan
asam lemak bebas seperti trigliserid ternyata juga merupakan organ endokrin yang
menghasilkan beberapa hormon disebut adipokine, yang mempengaruhi sensitivitas insulin
walaupun peran masing-masing adipokine dalam memediasi terjadinya resistensi insulin
belum sepenuhnya jelas. Termasuk di dalamnya adalah Tumor Necrosis Factor-a (TNF-a),
34
leptin, resistin, interleukin-6, dan adiponektin. Tidak seperti yang lainnya, adiponektin
ternyata unik oleh karena dapat meningkatkan sensitivitas insulin.
Spiegelman dkk. menyatakan bahwa suatu sitokin Tumor Necrosis Factor-alfa (TNF-
a), mempunyai peranan langsung pada perkembangan resistensi insulin pada kegemukan,
TNF-a dilaporkan menyebabkan gangguan ambilan glukosa yang dirangsang insulin pada
jaringan otot dan sel-sel adipose dan menekan translokasi glucose transporter 4 (GLUT4).
Lebih lanjut TNF-a dapat menurunkan aktifitas lipoprotein lipase (LPL) dan meningkatkan
lipogenesis di hati. Jadi TNF-a berperan baik secara lokal maupun sistemik pada resistensi
insulin yang berhubungan dengan kegemukan. Leptin dianggap sebagai mediator resistensi
insulin pada obesitas karena kadar leptin plasma berkorelasi dengan total massa lemak
tubuh. Ekspresi leptin lebih banyak ditemukan pada lemak subkutan. Hiperinsulinemi akut
akan menurunkan kadar leptin, sebaliknya kadar leptin akan meningkat pada resistensi
insulin dan hiperinsulinemi kronik.
Resistin diduga merupakan penghubung antara jaringan adipose dan resistensi insulin
dengan cara menghambat ambilan glukosa yang dimediasi oleh insulin dan diferensiasi
adiposit. In vivo, pemberian rekombinan resistin pada mencit normal menimbulkan
resistensi insulin, sedangkan pemberian antibodi anti resistin meningkatkan sensitivitas
insulin pada binatang obes dan resisten insulin.
Sama seperti TNF a, interleukin 6 adalah suatu sitokin proinflamasi yang kadarnya
meningkat pada obesitas. Pada penelitian ditemukan bahwa interleukin 6 menyebabkan
pelepasan glukagon, kortisol dan meningkatkan pelepasan glukosa di hati. Interleukin 6
ternyata mempunyai hubungan erat dengan resistensi insulin. Abnormalitas kerja insulin
dapat disebabkan oleh disregulasi dari satu atau lebih protein yang terlibat dalam mekanisme
signal insulin, atau pada jalur aktifitas protein yang dirangsang oleh insulin seperti
metabolisme glukosa, anti-lipolisis, aktivasi lipoprotein lipase (LPL). Dinyatakan bahwa
aktifitas tirosin kinase dari reseptor insulin akan menurun pada kegemukan dan DMT2 yang
terjadi juga pada resistensi insulin.
Menurut Groop, hiperglikemi atau diabetes melitus terjadi jika sudah ada kegagalan
sel-beta pankreas dan kadar insulin plasma berkurang sekitar 50% dari sebelumnya sehingga
tidak mampu mengatasi kenaikan kadar glukosa darah.
35
Pada keadaan toleransi glukosa normal, insulin disekresikan sesuai dengan kadar
glukosa darah. Pada intoleransi glukosa, kadar insulin plasma puasa yang tinggi
menggambarkan adanya resistensi insulin; pada keadaan demikian sekresi insulin meningkat
sesuai dengan meningkatnya kadar glukosa darah dan masih mampu mengatasi peningkatan
glukosa darah sehingga tidak terjadi hiperglikemi. Pada keadaan toleransi glukosa
terganggu, sekresi insulin sama dengan semula atau sudah berkurang sekitar 70% dan
kepekaan jaringan terhadap kerja insulin (resistensi insulin) berkurang sekitar 50%.
De Fronzo dkk melakukan pemeriksaan tes toleransi glukosa oral pada orang normal,
pada mereka dengan toleransi glukosa terganggu, dan 77 orang diabetes melitus dengan
berat badan normal, dan mengukur kadar insulin puasa ; trnyata hubungan antara kadar
glukosa plasma puasa dan kadar insulin plasma puasa berbentuk huruf U terbalik, disebut
Starling’s curve of the pancreas pada saat glukosa plasma puasa meningkat dari 80 mg/dl
sampai 140 mg/dl terlihat kadar insulin puasa meningkat tajam mencapai puncaknya sebesar
2-2,5 kali kontrol orang sehat dengan berat badan dan umur yang sama.
Kenaikan kadar insulin plasma ini dapat diinter-pretasikan sebagai usaha pankreas
yang mulai terganggu dalam mengimbangi kenaikan glukosa darah. Akan tetapi apabila
kadar glukosa plasma meningkat melebihi 140 mg/dl, agaknya sel beta tidak sanggup lagi
mengimbangi kenaikan kadar glukosa tersebut, mulailah terjadi kegagalan sel beta dan
sekresi insulin mulai berkurang.
Pada saat kadar insulin plasma puasa mulai menurun, maka efek penekanan insulin
terhadap produksi glukosa hati, khususnya glukoneogenesis mulai berkurang sehingga
pelepasan glukosa hati meningkat, mengakibatkan kadar glukosa plasma puasa akan makin
meningkat pula.
Pada penderita diabetes melitus yang gemuk, kadar insulin plasma puasa biasa tetap
tinggi walaupun kadar glukosa plasma puasa lebih dari 250 mg/dl. Adanya kadar insulin
plasma yang tinggi bersamaan dengan kadar glukosa plasma puasa yang tinggi menunjukkan
bahwa pada penderita tersebut terjadi resistensi insulin yang sangat hebat.
36
Sindrom Metabolik
I. Definisi
Sindrom metabolik adalah kondisi dimana seseorang memiliki tekanan darah tinggi
(hipertensi), kegemukan, kadar gula darah tinggi, dan kadar lemak darah tidak normal. Ketika
kondisi-kondisi tersebut berada pada waktu yang sama pada satu orang, maka orang tersebut
memiliki resikomenderita penyakit jantung koroner, stroke, dan diabetes.
II. Etiologi
Suatu hipotesis menyatakan bahwa penyebab primer dari sindrom metabolik adalah
resistensi insulin. Resistensi insulin mempunyai korelasi dengan timbunan lemak viseral yang
dapat ditentukan dengan pengukuran lingkar pinggang atau waist to hip ratio. Hubungan antara
resistensi insulin dan penyakit kardiovaskular diduga dimediasi oleh terjadinya stres oksidatif
yang menimbulkan disfungsi endotel yang akan menyebabkan kerusakan vaskular dan
pembentukan atheroma. Hipotesis lain menyatakan bahwa terjadi perubahan hormonal yang
mendasari terjadinya obesitas abdominal. Suatu studi membuktikan bahwa pada individu yang
mengalami peningkatan kadar kortisol didalam serum (yang disebabkan oleh stres kronik)
mengalami obesitas abdominal, resistensi insulin dan dislipidemia. Para peneliti juga
mendapatkan bahwa ketidakseimbangan aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal yang terjadi akibat
stres akan menyebabkan terbentuknya hubungan antara gangguan psikososial dan infark
miokard
III. Epidemiologi
37
Prevalensi Sindrom Metabolik bervariasi tergantung pada definisi yang digunakan dan
populasi yang diteliti. Berdasarkan data dari the Third National Health and Nutrition
Examination Survey (1988 sampai 1994), prevalensi sindrom metabolik (dengan menggunakan
kriteria NCEP-ATP III) bervariasi dari 16% pada laki-laki kulit hitam sampai 37% pada wanita
Hispanik. Prevalensi Sindrom Metabolik meningkat dengan bertambahnya usia dan berat badan.
Karena populasi penduduk Amerika yang berusia lanjut makin bertambah dan lebih dari separuh
mempunyai berat badan lebih atau gemuk, diperkirakan Sindrom Metabolik melebihi merokok
sebagai faktor resikoprimer terhadap penyakit kardiovaskular. Sindrom metabolik juga
merupakan prediktor kuat untuk terjadinya DM tipe 2 di kemudian hari.
IV. Faktor Risiko
Faktor resikoini ada yang bisa diubah dan ada yang tidak bisa diubah. Yang tidak bisa
diubah antara lain :
pertambahan usia,
keturunan (genetik),
jenis kelamin.
Adapun beberapa faktor yang bisa diubah, antara lainnya :
Kegemukan
Kadar gula darah tinggi
Tekanan darah tinggi
Faktor resikometabolik sindrom adalah ketika tekanan darah lebih dari 130/85 mmHg.
Kadar kolesterol tidak normal
Trigliserida
Kadar trigliseridalebih dari 150 mg/dl .
Pola makan yang salah
Kehidupan yang stress
Penggunaan substansi yang merugikan kesehatan, seperti alkohol, rokok,
atau obat-obatan yang fungainya menaikkan gula darah seperti
kortikosteroid.
38
Kolesterol HDL
Kolesterol HDL membantu menghilangkan timbunan lemak dalam
pembuluh darah. Semakin banyak kadar HDL dalam darah anda, semakin
baik untuk jantung anda. Ketika kadar kolesterol HDL rendah, terdapat
resikoserangan jantung hingga stroke.
V. Patogenesis
VI. Penegakan Diagnosis
Terhadap individu yang dicurigai mengalami Sindrom Metabolik hendaklah dilakukan
evaluasi klinis, yang meliputi :
Anamnesis, tentang :
Riwayat keluarga dan penyakit sebelumnya.
Riwayat adanya perubahan berat badan.
Aktifitas fisik sehari-hari.
Asupan makanan sehari-hari
Pemeriksaan fisik, meliputi :
Pengukuran tinggi badan, berat badan dan tekanan darah
39
Pengukuran Indeks Massa Tubuh (IMT) , menggunakan rumus :
Berat badan (kg)
Tinggi badan (m)2
Pengukuran lingkaran pinggang merupakan prediktor yang lebih baik terhadap
resikokardiovaskular daripada pengukuran waist-to-hip ratio.
Pemeriksaan laboratorium, meliputi :
Kadar glukosa plasma dan profil lipid puasa.
Pemeriksaan kadar HbA1C
Pemeriksaan klem euglikemik atau HOMA (homeostasis model assessment)
untuk menilai resistensi insulin secara akurat biasanya hanya dilakukan dalam
penelitian dan tidak praktis diterapkan dalam penilaian klinis.
Highly sensitive C-reactive protein
Kadar asam urat dan tes faal hati dapat menilai adanya NASH.
USG abdomen diperlukan untuk mendiagnosis adanya fatty liver karena
kelainan ini dapat dijumpai walaupun tanpa adanya gangguan faal hati
Kriteria Diagnosis sindrom Metabolik
Unsur
SM
WHO NCEP
ATP III
EGIR ACE IDF
Hipertensi Dlm pengobatan
dan atau
TD>140/90
Dlm
pengobata
n dan atau
TD>130/8
5
Sistolik ≥140
dan diastolik
≥90 atau dlm
pengobatan
TD>130/8
5
Sistolik
≥130 dan
diastolik
≥85 atau
dlm
pengobata
n
Dislipidemia TG >150
HDL, L<35 dan
P<40
TG>150
dan HDL,
P<50 dan
L<40
TG>180
HDL<40 atau
dlm pengobatan
dislipidemia
TG >150
dan HDL
L<40 dan
P<50
TG > 150
atau dlm
pengobata
n
40
HDL pada
L <40 dan
P<50
Obesitas IMT>30 dan atau
rasio perut-
pinggul P>0,85
dan L>0,95
Lingkar
perut
L>102 dan
P>88
Lingkar perut
L>94 dan P≥80
Obesitas
sentral
L<90 dan
P>80
Gangguan
Metabolism
e
Glukosa
DM tipe 2 atau
TGT
GD puasa
>110
GD puasa ≥110 GD puasa
110-125
dan 2 jam
PP 140-
200
GD puasa
≥100 atau
didiagnosis
DM tipe 2
Lain-lain Mikroalbuminuri
a >20 μg/mnt
Hiperinsulinemi
a (konsentrasi
insulin puasa >
kuartil atas
populasi non
diabetes)
Kriteria
Diagnosis
DM tipe 2 atau
TGT + 2
kriteria.
Jika toleransi
glukosa normal,
perlu 3 kriteria
Minimal 3
kriteria
Sama dengan
WHO
Obesitas
sentar
ditambah 2
kriteria
VII. Komplikasi
Komplikasi dari obesitas:
Kardiovaskular: gagal jantung, pembesaran jantung dan arrhythmia, cor
pulmonale, pelebaran vena, dan pulmonary embolism.
Endocrine: polycystic ovarian syndrome (PCOS), gangguan menstruasi,
dan infertilitas.
41
Gastrointestinal: gastroesophageal disease (GERD), penyakit
perlemakan hati, batu empedu, hernia, kanker colorectal.
Ginjal dan urogenitalia: inkontinensia urin, glomerulopathy, kanker
payudara, kanker uterus, kelahiran mati.
Intergumen: tanda regangan kulit, acanthosis nigricans, lymphedema,
cellulitis, carbuncle, intertrigo.
Musculoskeletal: hyperuricemia, immobilitas, osteoarthritis, low back
pain.
Neurologic: stroke, meralgia paresthetica, sakit kepala, carpal tunnel
syndrome, dementia.
Respiratory: dyspnea, sleep apnea obstruktif, sindrom hipoventilasi,
pickwian syndrome, asthma.
Psycologis: depresi, kurang percaya diri, stigma social.
Komplikasi dari diabetes:
Akut:
o Koma hipoglikemia
o Ketoasidosis
o Koma hiperosmolar nonketotik
Kronik:
o Makroangiopati, mengenai pembuluh darah besar; pembuluh darah
jantung, pembuluh darah tepi, pembuluh darah otak.
o Mikroangiopati, mengenai pembuluh darah kecil; retinopati diabetic,
nefropati diabetik.
o Neuropati diabetik.
o Rentan infeksi, seperti tuberculosis paru, gingivitis, dan infeksi
saluran kemih.
o Kaki diabetic.
Komplikasi dari hipertensi:
Arterosklerosis
Gagal jantung
Stroke
42
VIII. Tatalaksana
1. Latihan Fisik :
Pasien hendaklah diarahkan untuk memperbaiki dan meningkatkan derajat
aktifitas fisiknya secara teratur dalam jangka panjang.
Kombinasi latihan fisik aerobik dan latihan fisik menggunakan beban
merupakan pilihan terbaik.
Penggunan dumbbell ringan dan elastic exercise band merupakan pilihan
terbaik untuk latihan dengan menggunakan beban.
Jalan kaki dan jogging selama 1 jam perhari juga terbukti dapat
menurunkan lemak viseral secara bermakna pada laki2 tanpa mengurangi
jumlah kalori yang dibutuhkan.
2. Diet
Berdasarkan studi dari the Dietary Approaches to Stop Hypertension
(DASH), pasien yang mengkonsumsi diet rendah lemak jenuh dan tinggi
karbohidrat terbukti mengalami penurunan tekanan darah yang berarti
walaupun tanpa disertai penurunan berat badan.
Pilihan untuk menurunkan asupan karbohidrat adalah dengan mengganti
makanan yang mempunyai indeks glikemik tinggi dengan indeks glikemik
rendah yang banyak mengandung serat. Makanan dengan indeks glikemik
rendah dapat menurunkan kadar glukosa post prandial dan insulin bahkan
dalam jangka pendek, terbukti dapat menurunkan kadar trigliserida,
meningkatkan kadar HDL-cholesterol dan menurunkan berat badan.
3. Edukasi
Dokter keluarga mempunyai peran besar dalam penatalaksanaan pasien dengan
Sindrom Metabolik, karena mereka dapat mengetahui dengan pasti tentang gaya
hidup pasien serta hambatan2 yang dialami mereka dalam usaha memodifikasi
gaya hidup tersebut. Dokter keluarga juga diharapkan dapat mengetahui
pengetahuan pasien tentang hubungan gaya hidup dengan kesehatan, yang
kemudian memberikan pesan tentang peranan diet dan latihan fisik yang teratur
dalam menurunkan resikopenyulit dari Sindrom Metabolik. Dokter keluarga
43
hendaklah mencoba membantu pasien mengidentifikasi sasaran jangka pendek
dan jangka panjang dari diet dan latihan fisik yang diterapkan.
4. Farmakoterapi :
- Penurunan berat badan, obat yang bisa digunakan dalam menurunkan
berat badan adalah sibutramin dan orsilat. Cara kerjanya di sentral
memberikan efek mengurangi asupan energi dengan efek mempercepat
rasa kenyang dan mempertahankan pengeluaran energi.
- Hipertensi, untuk menurunkan tekanan darah dan bermanfaat khusus untuk
faktor resikokardiovaskular adalah valsatran yang merupakan penghambat
reseptor angiotensin, dapat mengurangi mikroalbuminuria yang diketahui
sebagai faktor resikoindependen kardiovaskular. Selain itu, ACE Inhibitor
juga digunakan untuk menurunnkan tekanan darah dan jugauntuk
menurunkan resistensi insulin serta mencegah DM tipe
- Intoleransi glukosa, terapi farmakologi yang dapat digunakan adalah
golongan tiazolidindion dan metformin. Tiazolidindion memiliki pengaruh
yang ringan tapi persisten dalam menurunkan tekanan darah sistolik dan
diastolik. Tiazolidindion dan metformin dapat menurunkan kadar lemak
bebas. Penggunaan metformin dapat mengurangi progresi diabetes 31%
dan efektif untuk pasien muda dengan obesitas.
- Dislipidemia, terapinya dengan gemfibrozil yang tidak hanya memperbaiki
profil lipid, tetapi juga secara bermakna menurunkan resikokardiovaskular.
Fenofibrat secara khusus digunakan untuk menurunkan trigliserida dan
meningkatkan kolesterol HDL, telah menunjukkan perbaikan profil lipid
yang sangat efektif dan mengurangi resikokarddiovaskular. Kombinasi
fenofibrat dan statin memperbaiki kadar trigliserida, kolesterol HDL, dan
LDL.
- Penggunaan aspirin dan statin dapat menurunkan kadar C-reactive protein
dan memperbaiki profil lipid sehingga diharapkan dapat menurunkan
resikopenyakit kardiovaskular.
IX. Preventif
44
The US Preventive Services Task Force merekomendasi konsultasi diet intensif
terhadap pasien2 dewasa yang mempunyai faktor2 resikountuk terjadinya penyulit
kardiovaskular. Para dokter keluarga lebih efektif dalam membantu pasien
menerapkan kebiasaan hidup sehat. The Diabetes Prevention Program telah
membuktikan bahwa intervensi gaya hidup yang ketat pada pasien prediabetes
dapat menghambat progresivitas terjadinya diabetes lebih dari 50% ( dari 11%
menjadi 4,8%)
X. Prognosis
Prognosis penyakit yang dialami melati Tn. B, tergantung pada kepatuhannya
menjalankan terapi dan usahanya dalam menjaga berat badan/ mengontrol pola
makan. Jika ditangani dengan baik, dapat bertahan hidup seperti orang normal.
Jika tidak ditangani dengan baik akan meningkatkan resiko gagal ginjal
kronikdan penyakit kardiovaskuler.
45
Obesitas
Kelebihan berat badan adalah suatu kondisi dimana perbandingan berat badan dan tinggi
badan melebihi standar yang ditentukan. Sedangkan obesitas adalah kondisi kelebihan lemak,
baik di seluruh tubuh atau terlokalisasi pada bagian bagian tertentu. Obesitas merupakan
peningkatan total lemak tubuh, yaitu apabila ditemukan kelebihan berat badan >20% pada pria
dan >25% pada wanita karena lemak (Ganong W.F, 2003). Faktor-faktor penyebab obesitas
masih terus diteliti. Baik faktor lingkungan maupun genetik berperan dalam terjadinya obesitas.
Faktor lingkungan antara lain pengaruh psikologi dan budaya. Dahulu status sosial dan ekonomi
juga dikaitkan dengan obesitas. Individu yang berasal dari keluarga sosial ekonomi rendah
biasanya mengalami malnutrisi. Sebaliknya, individu dari keluarga dengan status sosial ekonomi
lebih tinggi biasanya menderita obesitas. Kini diketahui bahwa sejak tiga dekade terakhir,
hubungan antara status sosial ekonomi dengan obesitas melemah karena prevalensi obesitas
meningkat secara dramatis pada setiap kelompok status sosial ekonomi (Zhang, 2004).
Meningkatnya obesitas tak lepas dari berubahnya gaya hidup, seperti menurunnya aktivitas fisik,
dan kebiasaan menonton televisi berjam-jam. Faktor genetik menentukan mekanisme pengaturan
berat badan normal melalui pengaruh hormon dan neural. Selain itu, faktor genetik juga
menentukan banyak dan ukuran sel adiposa serta distribusi regional lemak tubuh.
Obesitas berhubungan erat dengan distribusi lemak tubuh. Tipe obesitas menurut pola
distribusi lemak tubuh dapat dibedakan menjadi obesitas tubuh bagian atas (upper body obesity)
dan obesitas tubuh bagian bawah (lower body obesity). Obesitas tubuh bagian atas merupakan
46
dominansi penimbunan lemak tubuh di trunkal . Terdapat beberapa kompartemen jaringan lemak
pada trunkal, yaitu trunkal subkutaneus yang merupakan kompartemen paling umum,
intraperitoneal (abdominal), dan retroperitoneal. Obesitas tubuh bagian atas lebih banyak
didapatkan pada pria, oleh karena itu tipe obesitas ini lebih dikenal sebagai “android obesity”.
Tipe obesitas ini berhubungan lebih kuat dengan diabetes, hipertensi, dan penyakit
kardiovaskuler daripada obesitas tubuh bagian bawah. Obesitas tubuh bagian bawah merupakan
suatu keadaan tingginya akumulasi lemak tubuh pada regio gluteofemoral. Tipe obesitas ini lebih
banyak terjadi pada wanita sehingga sering disebut “gynoid obesity”. Tipe obesitas ini
berhubungan erat dengan gangguan menstruasi pada wanita (David., 2004).
Gambar 2.1 Data survei obesiti mengikut umur
Pengukuran Antropometri sebagai Skreening Obesitas
Obesitas dapat dinilai dengan berbagai cara, metode yang lazim digunakan saat ini antara
lain pengukuran IMT (Index Massa Tubuh), lingkar pinggang, serta perbandingan lingkar
pinggang dan panggul. Sebuah studi menyatakan bahwa pengukuran lingkar leher juga dapat
digunakan sebagai screening obesitas. Berikut ini penjelasan masing-masing metode pengukuran
antropometri tubuh:
a. IMT
47
Metode yang sering digunakan adalah dengan cara menghitung IMT, yaitu
BB/TB2 dimana BB adalah berat badan dalam kilogram dan TB adalah tinggi badan
dalam meter (Caballero B., 2005). Klasifikasi IMT dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Table 2.1 Klasifikasi IMT (International Diabetes Federation, 2005).
Klasifikasi IMT (kg/m2)BB kurang (underweight) <18,5Normal 18,5-24,9BB lebih (overweight) 25,0-29,9Obesitas, kelas I 30,0-34,9Obesitas, kelas II 35,0-39,9Obesitas ekstrim, kelas III >40
b. Lingkar Pinggang
IMT memiliki korelasi positif dengan total lemak tubuh, tetapi IMT bukan
merupakan indikator terbaik untuk obesitas Selain IMT, metode lain untuk
pengukuran antropometri tubuh adalah dengan cara mengukur lingkar pinggang.
Parameter penentuan obesitas merupakan hal yang paling sulit dilakukan karena
perbedaan cutt of point setiap etnis terhadap IMT maupun lingkar pinggang.
Sehinggga IDF (Internasional Diabetes Federation) mengeluarkan kriteria ukuran
lingkar pinggang berdasarkan etnis (Alberti, 2005).
Tabel 2.2 Kriteria ukuran pinggang berrdasarkan etnis
Negara/grup etnis Lingkar pinggang (cm) pada obesitasEropa Pria >94 Wanita >80Asia Selatan Populasi China, Melayu, dan Asia-India
Pria >90 Wanita >80
China Pria >90 Wanita >80Jepang Pria >85 Wanita >90Amerika Tengah Gunakan rekomendasi Asia Selatan hingga
tersedia data spesifikSub-Sahara Afrika Gunakan rekomendasi Eropa hingga tersedia
data spesifikTimur Tengah Gunakan rekomendasi Eropa hingga tersedia
data spesifik
c. Rasio Lingkar Perut – Pinggul
Tabel 2.3 Rasio Lingkar perut dan pinggul
Jenis Kelamin Ukuran RLPP Normal
48
Wanita <0.85Pria <0.90
Gambar 2.2 Fenotip obesitas menurut Vague, 1947.
Obesitas adalah suatu masalah kesehatan masyarakat yang sangat serius di seluruh dunia
karena berperan dalam meningkatnya morbiditas dan mortalitas. Prevalensi obesitas berbeda-
beda di setiap negara, mulai dari 7% di Perancis sampai 32,8% di Brazil.. Prevalensi obesitas
meningkat di setiap negara. Sebagai contoh, di Amerika Serikat prevalensi meningkat dari 12%
pada tahun 1991 menjadi 17,8% pada tahun 1998. Penelitian Himpunan Studi Obesitas Indonesia
(HISOBI) mendapatkan angka prevalensi obesitas pada wanita (11,02%) lebih besar daripada
pria (9,16%). Obesitas meningkat di setiap negara, pada setiap jenis kelamin, dan pada semua
kelompok usia, ras, dan tingkat pendidikan.
49
Diabetes Melitus
Diabetes mellitus atau DM yang juga dikenal di Indonesia dengan istilah penyakit
kencing manis adalah kelainan metabolik yang disebabkan oleh banyak faktor,
dengan simtoma berupa hiperglikemia kronis dan gangguan metabolism karbohidrat, lemak
dan protein, sebagai akibat dari :
Defisiensi sekresi hormon insulin, aktivitas insulin, atau keduanya
Defisiensi transporter glukosa
Atau keduanya.
Berbagai penyakit, sindrom dan simtoma dapat terpicu oleh diabetes mellitus, antara
lain: Alzheimer, ataxia-telangiectasia, sindrom Down, penyakit Huntington,
kelainan mitokondria, distrofi miotonis, penyakit Parkinson, sindrom Prader-Willi, sindrom
Werner, Sindrom Wolfram, leukoaraiosis, demensia, hipotiroidisme, hipertiroidisme,
hipogonadisme, dan lain-lain.
Klasifikasi
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengklasifikasikan bentuk diabetes mellitus
berdasarkan perawatan dan simtoma:
1. Diabetes tipe 1, yang meliputi simtoma ketoasidosis hingga rusaknya sel beta di
dalam pankreas yang disebabkan atau menyebabkan autoimunitas, dan
bersifat idiopatik. Diabetes mellitus dengan patogenesis jelas, seperti fibrosis sistik
atau defisiensi mitokondria, tidak termasuk pada penggolongan ini.
2. Diabetes tipe 2, yang diakibatkan oleh defisiensi sekresi insulin, seringkali disertai
dengan sindrom resistansi insulin
50
3. Diabetes gestasional, yang meliputi gestational impaired glucose tolerance, GIGT
dan gestational diabetes mellitus, GDM. dan menurut tahap klinis tanpa
pertimbangan patogenesis, dibuat menjadi:
4. Insulin requiring for survival diabetes, seperti pada kasus defisiensi peptida-C.
5. Insulin requiring for control diabetes. Pada tahap ini, sekresi insulin endogenus tidak
cukup untuk mencapai gejala normoglicemia, jika tidak disertai dengan tambahan
hormon dari luartubuh.
6. Not insulin requiring diabetes.
Kelas empat pada tahap klinis serupa dengan klasifikasi IDDM (bahasa Inggris: insulin-
dependent diabetes mellitus), sedang tahap kelima dan keenam merupakan anggota klasifikasi
NIDDM (bahasa Inggris: non insulin-dependent diabetes mellitus). IDDM dan NIDDM
merupakan klasifikasi yang tercantum pada International Nomenclature of Diseases pada tahun
1991 dan revisi ke-10International Classification of Diseases pada tahun 1992.
Klasifikasi Malnutrion-related diabetes mellitus, MRDM, tidak lagi digunakan oleh
karena, walaupun malnutrisi dapat memengaruhi ekspresi beberapa tipe diabetes, hingga saat ini
belum ditemukan bukti bahwa malnutrisi atau defisiensi protein dapat menyebabkan diabetes.
Subtipe MRDM; Protein-deficient pancreatic diabetes mellitus, PDPDM, PDPD, PDDM, masih
dianggap sebagai bentuk malnutrisi yang diinduksi oleh diabetes mellitus dan memerlukan
penelitian lebih lanjut. Sedangkan subtipe lain, Fibrocalculous pancreatic diabetes, FCPD,
diklasifikasikan sebagai penyakit pankreas eksokrin pada lintasan fibrocalculous
pancreatopathy yang menginduksi diabetes mellitus.
Klasifikasi Impaired Glucose Tolerance, IGT, kini didefinisikan sebagai tahap dari cacat
regulasi glukosa, sebagaimana dapat diamati pada seluruh tipe kelainan hiperglisemis. Namun
tidak lagi dianggap sebagai diabetes.
Klasifikasi Impaired Fasting Glycaemia, IFG, diperkenalkan sebagai simtoma rasio gula
darah puasa yang lebih tinggi dari batas atas rentang normalnya, tetapi masih di bawah rasio
yang ditetapkan sebagai dasar diagnosa diabetes.
Diabetes mellitus tipe 1
51
Diabetes mellitus tipe 1, diabetes anak-anak (bahasa Inggris: childhood-onset diabetes,
juvenile diabetes, insulin-dependent diabetes mellitus, IDDM) adalah diabetes yang terjadi
karena berkurangnya rasio insulin dalam sirkulasi darah akibat hilangnya sel beta penghasil
insulin pada pulau-pulau Langerhans pankreas. IDDM dapat diderita oleh anak-anak maupun
orang dewasa.
Sampai saat ini IDDM tidak dapat dicegah dan tidak dapat disembuhkan, bahkan
dengan diet maupun olah raga. Kebanyakan penderita diabetes tipe 1 memiliki kesehatan dan
berat badan yang baik saat penyakit ini mulai dideritanya. Selain itu, sensitivitas maupun respons
tubuh terhadap insulin umumnya normal pada penderita diabetes tipe ini, terutama pada tahap
awal.
Penyebab terbanyak dari kehilangan sel beta pada diabetes tipe 1 adalah kesalahan
reaksi autoimunitas yang menghancurkan sel beta pankreas. Reaksi autoimunitas tersebut dapat
dipicu oleh adanya infeksi pada tubuh.
Saat ini, diabetes tipe 1 hanya dapat diobati dengan menggunakan insulin, dengan
pengawasan yang teliti terhadap tingkat glukosa darah melalui alat monitor pengujian darah.
Pengobatan dasar diabetes tipe 1, bahkan untuk tahap paling awal sekalipun, adalah penggantian
insulin. Tanpa insulin, ketosis dan diabetic ketoacidosis bisa menyebabkan koma bahkan bisa
mengakibatkan kematian. Penekanan juga diberikan pada penyesuaian gaya hidup (diet dan
olahraga). Terlepas dari pemberian injeksi pada umumnya, juga dimungkinkan pemberian insulin
melalui pump, yang memungkinkan untuk pemberian masukan insulin 24 jam sehari pada
tingkat dosis yang telah ditentukan, juga dimungkinkan pemberian dosis (a bolus) dari insulin
yang dibutuhkan pada saat makan. Serta dimungkinkan juga untuk pemberian masukan insulin
melalui "inhaled powder".
Perawatan diabetes tipe 1 harus berlanjut terus. Perawatan tidak akan memengaruhi
aktivitas-aktivitas normal apabila kesadaran yang cukup, perawatan yang tepat, dan kedisiplinan
dalam pemeriksaan dan pengobatan dijalankan. Tingkat Glukosa rata-rata untuk pasien diabetes
tipe 1 harus sedekat mungkin ke angka normal (80-120 mg/dl, 4-6 mmol/l). Beberapa dokter
menyarankan sampai ke 140-150 mg/dl (7-7.5 mmol/l) untuk mereka yang bermasalah dengan
angka yang lebih rendah, seperti "frequent hypoglycemic events". Angka di atas 200 mg/dl (10
52
mmol/l) seringkali diikuti dengan rasa tidak nyaman dan buang air kecil yang terlalu sering
sehingga menyebabkan dehidrasi. Angka di atas 300 mg/dl (15 mmol/l) biasanya membutuhkan
perawatan secepatnya dan dapat mengarah ke ketoasidosis. Tingkat glukosa darah yang rendah,
yang disebut hipoglisemia, dapat menyebabkan kehilangan kesadaran.
Diabetes mellitus tipe 2
Diabetes mellitus tipe 2 (bahasa Inggris: adult-onset diabetes, obesity-related diabetes,
non-insulin-dependent diabetes mellitus, NIDDM) merupakan tipe diabetes mellitus yang terjadi
bukan disebabkan oleh rasio insulin di dalam sirkulasi darah, melainkan merupakan kelainan
metabolisme yang disebabkan oleh mutasi pada banyak gen, termasuk yang mengekspresikan
disfungsisel β, gangguan sekresi hormon insulin, resistansi sel terhadap insulin yang disebabkan
oleh disfungsi GLUT10 dengan kofaktor hormon resistin yang menyebabkan sel jaringan,
terutama pada hati menjadi kurang peka terhadap insulin serta RBP4 yang menekan penyerapan
glukosa oleh otot lurik namun meningkatkan sekresi gula darah oleh hati. Mutasi gen tersebut
sering terjadi pada kromosom 19 yang merupakan kromosom terpadat yang ditemukan
pada manusia.
Pada NIDDM ditemukan ekspresi SGLT1 yang tinggi, rasio RBP4 dan
hormon resistin yang tinggi, peningkatan laju metabolisme glikogenolisis dan glukoneogenesis
pada hati, penurunan laju reaksi oksidasi dan peningkatan laju reaksi esterifikasi pada hati.
NIDDM juga dapat disebabkan oleh dislipidemia, lipodistrofi, dan sindrom resistansi
insulin.
Pada tahap awal kelainan yang muncul adalah berkurangnya sensitifitas terhadap insulin,
yang ditandai dengan meningkatnya kadar insulin di dalam darah. Hiperglisemia dapat diatasi
dengan obat anti diabetes yang dapat meningkatkan sensitifitas terhadap insulin atau mengurangi
produksi glukosa dari hepar, namun semakin parah penyakit, sekresi insulin pun semakin
berkurang, dan terapi dengan insulin kadang dibutuhkan. Ada beberapa teori yang menyebutkan
penyebab pasti dan mekanisme terjadinya resistensi ini, namun obesitas sentraldiketahui sebagai
faktor predisposisi terjadinya resistensi terhadap insulin, dalam kaitan dengan pengeluaran
dari adipokines (nya suatu kelompok hormon) itu merusak toleransi glukosa. Obesitas ditemukan
di kira-kira 90% dari pasien dunia dikembangkan diagnosis dengan jenis 2 kencing manis. Faktor
53
lain meliputi mengeram dan sejarah keluarga, walaupun di dekade yang terakhir telah terus
meningkat mulai untuk memengaruhi anak remaja dan anak-anak.
Diabetes tipe 2 dapat terjadi tanpa ada gejala sebelum hasil diagnosis. Diabetes tipe 2
biasanya, awalnya, diobati dengan cara perubahan aktivitas fisik (olahraga), diet (umumnya
pengurangan asupan karbohidrat), dan lewat pengurangan berat badan. Ini dapat memugar
kembali kepekaan hormon insulin, bahkan ketika kerugian berat/beban adalah rendah hati,,
sebagai contoh, di sekitar 5 kg ( 10 sampai 15 lb), paling terutama ketika itu ada di deposito
abdominal yang gemuk. Langkah yang berikutnya, jika perlu,, perawatan dengan lisan
antidiabetic drugs. [Sebagai/Ketika/Sebab] produksi hormon insulin adalah pengobatan pada
awalnya tak terhalang, lisan ( sering yang digunakan di kombinasi) kaleng tetap digunakan untuk
meningkatkan produksi hormon insulin ( e.g., sulfonylureas) dan mengatur pelepasan/release
yang tidak sesuai tentang glukosa oleh hati ( dan menipis pembalasan hormon insulin sampai
taraf tertentu ( e.g.,metformin), dan pada hakekatnya menipis pembalasan hormon insulin ( e.g.,
thiazolidinediones). Jika ini gagal, ilmu pengobatan hormon insulin akan jadilah diperlukan
untuk memelihara normal atau dekat tingkatan glukosa yang normal. Suatu cara hidup yang
tertib tentang cek glukosa darah direkomendasikan dalam banyak kasus, paling terutama sekali
dan perlu ketika mengambil kebanyakan pengobatan.
Sebuah zat penghambat dipeptidyl peptidase 4 yang disebut sitagliptin, baru-baru ini
diperkenankan untuk digunakan sebagai pengobatan diabetes mellitus tipe 2.[14] Seperti zat
penghambatdipeptidyl peptidase 4 yang lain, sitagliptin akan membuka peluang bagi
perkembangan sel tumor maupun kanker.
Sebuah fenotipe sangat khas ditunjukkan oleh NIDDM pada manusia adalah
defisiensi metabolisme oksidatif di dalam mitokondria pada otot lurik. Sebaliknya, hormon tri-
iodotironinamenginduksi biogenesis di dalam mitokondria dan meningkatkan sintesis ATP
sintase pada kompleks V, meningkatkan aktivitas sitokrom c oksidase pada kompleks IV,
menurunkan spesi oksigen reaktif, menurunkan stres oksidatif,[20] sedang hormon melatonin akan
meningkatkan produksi ATP di dalam mitokondria serta meningkatkan aktivitas respiratory
chain, terutama pada kompleks I, III dan IV.[21] Bersama dengan insulin, ketiga hormon ini
membentuk siklus yang mengatur fosforilasi oksidatif mitokondria di dalam otot lurik.[22] Di sisi
54
lain, metalotionein yang menghambat aktivitas GSK-3beta akan mengurangi resikodefisiensi otot
jantung pada penderita diabetes.
Simtoma yang terjadi pada NIDDM dapat berkurang dengan dramatis, diikuti dengan
pengurangan berat tubuh, setelah dilakukan bedah bypass usus. Hal ini diketahui sebagai akibat
dari peningkatan sekresi hormon inkretin, namun para ahli belum dapat menentukan apakah
metoda ini dapat memberikan kesembuhan bagi NIDDM dengan
perubahan homeostasis glukosa.
Pada terapi tradisional, flavonoid yang mengandung senyawa hesperidin dan naringin,
diketahui menyebabkan:
Peningkatan mRNA glukokinase,
Peningkatan ekspresi GLUT4 pada hati dan jaringan
Peningkatan pencerap gamma proliferator peroksisom
Peningkatan rasio plasma hormon insulin, protein C dan leptin[28]
Penurunan ekspresi GLUT2 pada hati
Penurunan rasio plasma asam lemak dan kadar trigliserida pada hati
Penurunan rasio plasma dan kadar kolesterol dalam hati, antara lain
dengan menekan 3-hydroxy-3-methylglutaryl-coenzyme reductase, asil-
KoA, kolesterol asiltransferase
Penurunan oksidasi asam lemak di dalam hati dan aktivitas karnitina
palmitoil, antara lain dengan mengurangi sintesis glukosa-6 fosfatase
dehidrogenase dan fosfatidat fosfohidrolase
Meningkatkan laju lintasan glikolisis dan/atau menurunkan laju
lintasan glukoneogenesis
Sedangkan naringin sendiri, menurunkan transkripsi mRNA
fosfoenolpiruvat karboksikinase dan glukosa-6 fosfatase di dalam hati.
Hesperidin merupakan senyawa organik yang banyak ditemukan pada
buah jenis jeruk, sedang naringin banyak ditemukan pada buah
jenis anggur.
Diabetes mellitus tipe 3
55
Diabetes mellitus atau diabetes melitus yang terjadi hanya selama kehamilan dan pulih
setelah melahirkan, dengan keterlibataninterleukin-6 dan protein reaktif C pada
lintasan patogenesisnya. GDM mungkin dapat merusak kesehatan janin atau ibu, dan sekitar 20–
50% dari wanita penderita GDM bertahan hidup.
Diabetes melitus pada kehamilan terjadi di sekitar 2–5% dari semua kehamilan. GDM
bersifat temporer dan dapat meningkat maupun menghilang setelah melahirkan. GDM dapat
disembuhkan, namun memerlukan pengawasan medis yang cermat selama masa kehamilan.
Meskipun GDM bersifat sementara, bila tidak ditangani dengan baik dapat
membahayakan kesehatan janin maupun sang ibu. Resiko yang dapat dialami oleh bayi meliputi
makrosomia (berat bayi yang tinggi/diatas normal), penyakit jantung bawaan dan kelainan sistem
saraf pusat, dan cacat otot rangka. Peningkatan hormon insulin janin dapat menghambat
produksi surfaktan janin dan mengakibatkan sindrom gangguan pernapasan. Hyperbilirubinemia
dapat terjadi akibat kerusakan sel darah merah. Pada kasus yang parah, kematian sebelum
kelahiran dapat terjadi, paling umum terjadi sebagai akibat dari perfusi plasenta yang buruk
karena kerusakan vaskular. Induksi kehamilan dapat diindikasikan dengan menurunnya fungsi
plasenta. Operasi sesar dapat akan dilakukan bila ada tanda bahwa janin dalam bahaya atau
peningkatan resiko luka yang berhubungan dengan makrosomia, seperti distosia bahu.
Patofisiologi
Kemungkinan induksi diabetes tipe 2 dari berbagai macam kelainan hormonal, seperti
hormon sekresi kelenjar adrenal, hipofisis dan tiroid merupakan studi pengamatan yang sedang
laik daun saat ini. Sebagai contoh, timbulnya IGT dan diabetes mellitus sering disebut terkait
oleh akromegali dan hiperkortisolisme atau sindrom Cushing.
Hipersekresi hormon GH pada akromegali dan sindrom Cushing sering berakibat pada
resistansi insulin, baik pada hati dan organ lain, dengan simtoma hiperinsulinemia dan
hiperglisemia, yang berdampak pada penyakit kardiovaskular dan berakibat kematian.
GH memang memiliki peran penting dalam metabolisme glukosa dengan
menstimulasi glukogenesis dan lipolisis, dan meningkatkan kadar glukosa darah dan asam
lemak. Sebaliknya, insulin-like growth factor 1 (IGF-I) meningkatkan kepekaan terhadap insulin,
56
terutama pada otot lurik. Walaupun demikian, pada akromegali, peningkatan rasio IGF-I tidak
dapat menurunkan resistansi insulin, oleh karena berlebihnya GH.
Terapi dengan somatostatin dapat meredam kelebihan GH pada sebagian banyak orang,
tetapi karena juga menghambat sekresi insulin dari pankreas, terapi ini akan memicu komplikasi
padatoleransi glukosa.
Sedangkan hipersekresi hormon kortisol pada hiperkortisolisme yang menjadi
penyebab obesitas viseral, resistansi insulin, dan dislipidemia, mengarah pada hiperglisemia dan
turunnya toleransi glukosa, terjadinya resistansi insulin, stimulasi glukoneogenesis dan
glikogenolisis. Saat bersinergis dengan kofaktor hipertensi, hiperkoagulasi, dapat meningkatkan
resikokardiovaskular.
Hipersekresi hormon juga terjadi pada kelenjar tiroid berupa tri-
iodotironina dengan hipertiroidisme yang menyebabkan abnormalnya toleransi glukosa.
Pada penderita tumor neuroendokrin, terjadi perubahan toleransi glukosa yang
disebabkan oleh hiposekresi insulin, seperti yang terjadi pada pasien bedah pankreas,
feokromositoma glukagonoma dan somatostatinoma.
Hipersekresi hormon ditengarai juga menginduksi diabetes tipe lain, yaitu tipe 1. Sinergi
hormon berbentuk sitokina, interferon-gamma dan TNF-α, dijumpai membawa
sinyal apoptosis bagi sel beta, baik in vitro maupun in vivo. Apoptosis sel beta juga terjadi akibat
mekanisme Fas-FasL, dan/atau hipersekresi molekul sitotoksik, seperti granzim dan perforin,
selain hiperaktivitassel T CD8- dan CD4-.
Komplikasi
Komplikasi jangka lama termasuk penyakit kardiovaskular (resikoganda), kegagalan
kronis ginjal (penyebab utama dialisis), kerusakan retina yang dapat menyebabkan kebutaan,
serta kerusakansaraf yang dapat menyebabkan impotensi dan gangren dengan resikoamputasi.
Komplikasi yang lebih serius lebih umum bila kontrol kadar gula darah buruk.
Ketoasidosis diabetikum
57
Pada penderita diabetes tipe I, gejalanya timbul secara tiba-tiba dan bisa berkembang
dengan cepat ke dalam suatu keadaan yang disebut dengan ketoasidosis diabetikum. Kadar gula
di dalam darah adalah tinggi tetapi karena sebagian besar sel tidak dapat menggunakan gula
tanpa insulin, maka sel-sel ini mengambil energi dari sumber yang lain. Sel lemak dipecah dan
menghasilkan keton, yang merupakan senyawa kimia beracun yang bisa menyebabkan darah
menjadi asam (ketoasidosis). Gejala awal dari ketoasidosis diabetikum adalah rasa haus dan
sering kencing, mual, muntah, lelah dan nyeri perut (terutama pada anak-anak). Pernapasan
menjadi dalam dan cepat karena tubuh berusaha untuk memperbaiki keasaman darah. Bau napas
penderita tercium seperti bau aseton. Tanpa pengobatan, ketoasidosis diabetikum bisa
berkembang menjadi koma, kadang dalam waktu hanya beberapa jam. Bahkan setelah mulai
menjalani terapi insulin, penderita diabetes tipe I bisa mengalami ketoasidosis jika mereka
melewatkan satu kali penyuntikan insulin atau mengalami stres akibat infeksi, kecelakaan atau
penyakit yang serius. Penderita diabetes tipe II bisa tidak menunjukkan gejala selama beberapa
tahun. Jika kekurangan insulin semakin parah, maka timbullah gejala yang berupa sering kencing
dan haus. Jarang terjadi ketoasidosis. Jika kadar gula darah sangat tinggi (sampai lebih dari 1.000
mg/dL, biasanya terjadi akibat stres-misalnya infeksi atau obat-obatan), maka penderita akan
mengalami dehidrasi berat, yang bisa menyebabkan kebingungan mental, pusing, kejang dan
suatu keadaan yang disebut koma hiperglikemik-hiperosmolar non-ketotik.
Hipoglikemi
Diagnosis
Tabel: Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa dengan
metode enzimatik sebagai patokan penyaring dan diagnosis
DM (mg/dl).
Bukan
DM
Belum
pasti DM
DM
Kadar glukosa darah sewaktu:
Plasma vena <110 110 - 199 >200
Darah kapiler <90 90 - 199 >200
Kadar glukosa darah puasa:
58
Plasma vena <110 110 - 125 >126
Darah kapiler <90 90 - 109 >110
Simtoma klinis
Simtoma hiperglisemia lebih lanjut menginduksi tiga gejala klasik lainnya:
Poliuria - sering buang air kecil
Polidipsia - selalu merasa haus
Polifagia - selalu merasa lapar
Penurunan berat badan, seringkali hanya pada diabetes mellitus tipe 1 dan setelah jangka
panjang tanpa perawatan memadai, dapat memicu berbagai komplikasi kronis, seperti:
Gangguan pada mata dengan potensi berakibat pada kebutaan
Gangguan pada ginjal hingga berakibat pada gagal ginjal
Gangguan kardiovaskular, disertai lesi membran basalis yang dapat diketahui
dengan pemeriksaan menggunakan mikroskop elektron
Gangguan pada sistem saraf hingga disfungsi saraf autonom, foot
ulcer, amputasi, charcot joint dan disfungsi seksual
Dan gejala lain seperti dehidrasi, ketoasidosis, ketonuria dan hiperosmolar
non-ketotik yang dapat berakibat pada stupor dan koma.
Rentan terhadap infeksi.
Kata diabetes mellitus itu sendiri mengacu pada simtoma yang disebut glikosuria, atau
kencing manis, yang terjadi jika penderita tidak segera mendapatkan perawatan.
Penanganan
Pasien yang cukup terkendali dengan pengaturan makan saja tidak mengalami kesulitan
kalau berpuasa. Pasien yang cukup terkendali dengan obat dosis tunggal juga tidak mengalami
kesulitan untuk berpuasa. Obat diberikan pada saat berbuka puasa. Untuk yang terkendali dengan
obat hipoglikemik oral (OHO) dosis tinggi, obat diberikan dengan dosis sebelum berbuka lebih
59
besar daripada dosis sahur. Untuk yang memakai insulin, dipakai insulin jangka menengah yang
diberikan saat berbuka saja. Sedangkan pasien yang harus menggunakan insulin (DMTI) dosis
ganda, dianjurkan untuk tidak berpuasa dalam bulan Ramadhan.
Hipertensi
Yoshinaga dkk menggunakan kriteria hipertensi sebagai berikut, derajat 1-3 tekanan darah
sistolik ≥120 mm Hg dan tekanan darah diastolik ≥70 mm Hg; derajat 4-5 tekanan darah sistolik
≥130 mm Hg dan tekanan darah diastolik ≥80 mm Hg. Menurut The Fourth Report on the
Diagnosis, Evaluation, andTreatment of High Blood Pressure in Children and Adolescents
(2004), definisi hipertensi pada anak adalah apabila tekanan darah sistolik atau diastolic di atas
atau sama dengan persentil 95 menurut umur, jenis kelamin, dan tinggi badan.
I. Patofisiologi hipertensi pada sindrom metabolik
Definisi sindrom metabolik pada dewasa telah disepakati, namun kontroversi mengenai etiologi
yang mendasari sindrom metabolik sampai saat ini masih tetap ada. Hipotesis terbaik
menyatakan bahwa obesitas dan resistensi insulin merupakan kunci terjadinya sindrom
metabolik. Obesitas terjadi karena ketidakseimbangan antara asupan energi dengan luaran energi,
yaitu asupan energi yang tinggi atau luaran energi yang rendah. Asupan energi tinggi disebabkan
konsumsi makanan yang berlebihan, sedangkan luaran energi rendah disebabkan metabolisme
tubuh yang rendah, aktivitas fisik, dan efek termogenesis makanan. Kelebihan energi disimpan
dalam bentuk jaringan lemak.
Hubungan antara obesitas dan hipertensi telah lama diketahui dan telah banyak
dilaporkan oleh banyak peneliti, namun mekanisme terjadinya hipertensi akibat obesitas hingga
saat ini belum jelas. Sebagian besar peneliti menitikberatkan patofisiologi tersebut pada tiga hal
utama yaitu gangguan sistem autonom, resistensi insulin, serta abnormalitas struktur dan fungsi
pembuluh darah. Ketiga hal tersebut dapat saling mempengaruhi satu dengan lainnya.
Akhir-akhir ini diketahui bahwa peningkatan kejadian obesitas dan sindrom metabolik
terjadi akibat asupan total fruktosa meningkat. Fruktosa seperti gula lainnya menyebabkan
peningkatan kadar asam urat dengan cepat. Fruktosa adalah gula biasa yang terdapat pada madu
dan buah-buahan. Fruktosa sering ditambahkan pada minuman ringan, kue, permen, dan yogurt.
Pemberian fruktosa oral atau intravena dalam waktu 30-60 menit dapat meningkatkan asam urat
60
serum pada manusia dan hal ini dapat berkesinambungan. Glukosa dan gula sederhana lainnya
tidak mempunyai efek seperti ini. Di hati, fruktosa akan diubah menjadi fruktosa-11 fosfat dan
adenosin triphosphate (ATP) oleh enzim fruktokinase, dan selanjutnya diubah menjadi
adenosine diphosphate (ADP). Turunan ADP dimetabolisme menjadi bermacam-macam subtrat
purin. Pelepasan fosfat yang cepat bersamaan dengan reaksi adenosine monophosphate (AMP)
deaminase. Kombinasi keduanya akan meningkatkan substrat melalui fruktosa oral, dan enzim
(deaminase AMP) merupakan regulasi produksi asam urat (Gambar 1). Asam urat yang tinggi
dapat mengakibatkan disfungsi endotel dan menurunkan bioavailabilitas nitric oxide (NO)
endotel. Gangguan nitric oxide memediasi terjadinya resistensi insulin dan hipertensi.
Gambar 1 Fruktosa induksi produksi asam urat di sel hati.
Peran obesitas dan resistensi insulin pada sindrom metabolik telah banyak dilaporkan.
Obesitas sering berhubungan dengan hiperinsulinemia, khususnya tipe android. Laki-laki
obesitas cenderung mempunyai deposit lemak di daerah atas tubuh khususnya pada tengkuk,
leher, bahu, dan perut yang disebut obesitas tipe android. Pada perempuan obesitas dijumpai
deposit lemak dengan area yang sama dengan laki-laki meskipun mereka juga mempunyai batas
area segmen bawah seperti pada bokong dan pinggul yang disebut obesitas tipe ginekoid. Pada
obesitas tipe android (obesitas sentral), lemak berakumulasi sebagai lemak viseral/intra-
abdominal atau lemak subkutan abdomen. Obesitas tipe android berisiko mengalami sindrom
metabolik dan penyakit kardiovaskular, khususnya jika terdapat lemak viseral yang berlebihan.
61
Kadar adiponektin yang rendah, adanya resistensi leptin, serta berbagai sitokin yang terlepas dari
sel adiposa dan sel inflamasi yang menginfiltrasi jaringan lemak (misalnya makrofag)
menurunkan ambilan asam lemak bebas oleh mitokondria pada beberapa jaringan, menurunkan
oksidasi asam lemak bebas, dan menyebabkan akumulasi asam lemak bebas intrasel. Kelebihan
asam lemak bebas intraselular dan metabolik (fatty acyl CoA, diacyglgycerol,dan ceramide)
dapat memicu terjadi resistensi insulin (bahkan hiperisulinemia dan hiperglikemia).
Pada obesitas terjadi resistensi insulin dan gangguan fungsi endotel pembuluh darah yang
menyebabkan vasokonstriksi dan reabsorpsi natrium di ginjal yang mengakibatkan hipertensi.
Telah dibuktikan oleh penelitian yang menyatakan retensi garam berhubungan dengan
hiperinsulinemia pada obesitas yang menyebabkan hipertensi. Demikian juga insulin dapat
meningkatkan produksi norepinephrine plasma yang bermakna yang dapat meningkatkan
tekanan darah. Perbaikan tekanan darah dan respons intoleransi glukosa dengan peningkatan
aktivitas fisik pada obesitas juga berhubungan dengan penurunan kadar insulin plasma.
Resistensi insulin dapat meningkatkan tekanan darah melalui penurunan nitric oxide yang
menimbulkan vasodilatasi, peningkatan sensitivitas garam, atau peningkatan volume plasma.
Penelitian lain menunjukkan kecepatan natriuresis dan pengeluaran antinatriuresis
sesudah fast have dan memperlihatkan hubungan antara kadar insulin serum dan eskresi garam.
Retensi natrium menyebabkan hiperinsulinemia yang indenpenden dari hipoglikemia, laju filtrasi
glumerulus (LFG), aliran darah ginjal, atau kadar aldosterol plasma. Hubungan antara resisten
insulin dan tekanan darah pada anak obesitas telah diteliti oleh Umboh dkk. Sebagian besar anak
obesitas menderita pre-hipertensi dan terdapat korelasi linier yang lemah antara kadar insulin dan
tekanan darah, serta resistensi insulin mempengaruhi peningkatan tekanan darah sistolik pada
anak obese. Pada penelitian ini anak yang obesitas diambil dari anak yang BMI lebih dari
persentil ke-95, dan definisi sindrom metabolik tidak disebutkan walaupun beberapa kriteria
sindrom metabolik terdapat pada penelitian ini.
Konsumsi makanan tinggi kalori akan mengakibatkan sindrom metabolik dengan
meningkatnya massa lemak di daerah abdomen pada individu yang rentan. Masa lemak abdomen
merupakan sumber asam lemak bebas dalam sirkulasi. Penelitian dengan menggunakan model
clamp euglycemic hyperinsulinemia menunjukkan efek marker antinatriuretic pada insulin.
Peningkatan masa sel lemak menyebabkan peningkatan produksi angiotensinogen di
jaringan lemak, yang berperan penting dalam peningkatan tekanan darah. Sel lemak juga
62
membuat enzim konvertase angiotensin dan katepsin, yang memiliki efek lokal pada katabolisme
dan konversi angiotensin.
Asam lemak dapat meningkatkan stres oksidatif pada sel endotel dan proses ini
diamplifikasi oleh angiotensin. Telah dibuktikan bahwa renin angiotensin system (RAS) pada
jaringan lemak terlibat dalam patofisiologi obesitas dan penyakit yang berhubungan dengan
obesitas, termasuk hipertensi dan resitensi insulin. Kadar RAS lokal di dalam jaringan lemak
berperan dalam meningkatkan aktivitas RAS sistemik, sehingga menyebabkan kenaikan tekanan
darah.
Jumlah jaringan lemak pada individu dengan obesitas menyebabkan peningkatan RAS
dalam jaringan lemak. Selain itu, angiotensin II (komponen utama RAS) dan angiotensinogen
(prekursor angiotensin II) berperan dalam pertumbuhan, diferensiasi dan metabolism jaringan
lemak, yang dalam jangka panjang dapat mendorong penyimpanan trigliserida dalam hati, otot
rangka, serta pankreas, sehingga menyebabkan resistensi insulin.
Pada obesitas, selain pertambahan masa lemak, masa non-lemak juga meningkat, dan
terjadi hipertrofi organ seperti jantung dan ginjal. Pada ginjal terjadi glomerulomegali,
vasodilatasi arteriol aferen, dan vasokonstriksi arteriol eferen yang menyebabkan hipertensi
intraglomerular. Hipertensi intraglomerular merupakan awal terjadinya mikroalbuminuria dan
proteinuria yang selanjutnya melalui berbagai mekanisme selular akan menyebabkan
glomerulosklerosis dan fibrosis tubulointertisial pada obesitas.
Peningkatan asupan lemak akan mengubah reabsorpsi natrium di ginjal. Pada penelitian
diketahui bahwa retriksi garam atau gabungan retriksi garam dan pengurangan kalori dapat
menormalkan tekanan darah pada perempuan obesitas. Pengurangan kalori yang tidak disertai
pengurangan natrium tidak menimbulkan efek hipotensi. Pendapat tersebut dibantah oleh
penelitian lain yang melaporkan bahwa tekanan darah turun pada pasien overweight dengan
hipertensi yang kehilangan berat badan rata-rata 10,5 kg. Pada observasi, subjek penelitian dan
kelompok kontrol mengalami penurunan berat badan disertai penurunan tekanan darah,
meskipun kedua kelompok mendapat asupan garam yang tinggi. Sayangnya penelitian tidak
melakukan pemeriksaan secara objektif terhadap asupan dan ekskresi garam. Obesitas
berhubungan dengan aktivitas renin-angiotensin, hiperinsulinemia dan peningkatan aktivitas
sistem saraf simpatetik, dan semua ini berkontribusi pada reabsorpsi natrium dan berhubungan
dengan retensi cairan sehingga menyebabkan hipertensi obesitas renal (Gambar 2).
63
Gambar 2. Patogenesis hipertensi pada sindrom metabolik.
Manifestasi awal hipertensi pada obesitas diawali oleh hipertensi sistolik tanpa disertai
hipertensi diastolic (isolated systolic hypertension). Pada penelitian pengukuran tekanan darah
pada remaja dengan obesitas, ditemukan 94% subjek hipertensi sistolik. Dalam penelitian lain
pada kelompok remaja di Amerika Serikat didapatkan bahwa hipertensi sistolik tanpa hipertensi
diastolik merupakan faktor risiko terjadinya morbiditas dan mortalitas kardiovaskular pada masa
dewasa kelak. Obesitas selalu dihubungkan dengan terjadinya hipertensi tetapi masih belum
begitu jelas kenapa hipertensi tidak terjadi pada semua pasien obesitas. Reade dkk melakukan
penelitian pada anak obesitas dengan hipertensi dan yang tidak disertai hipertensi. Dalam
penelitiannya, anak obesitas disertai hipertensi cenderung mengalami obstructive sleep apnea
syndrome (OSAS) dibandingkan anak obesitas dengan normotensi. Penemuan ini sesuai dengan
hipotesis yang menyatakan bahwa OSAS merupakan salah satu faktor penyebab obesitas yang
tidak selalu mengalami hipertensi.
64
II. Pengobatan hipertensi
Kejadian hipertensi meningkat pada anak yang obesitas, umumnya terdapat pada remaja dengan
kombinasi faktor risiko kardiovaskular, riwayat keluarga maupun etnik untuk terjadinya
hipertensi. Perjalanan klinis hipertensi dengan obesitas berawal dari karekteristik tekanan darah
sistolik yang meningkat. Hipertensi sistolik merupakan faktor risiko terjadinya kesakitan dan
kematian pada kardiovaskular seperti dilaporkan pada pasien dewasa. Dalam tata laksana
hipertensi, beberapa penelitian menganjurkan untuk menurunkan berat badan. Penurunan berat
badan diikuti dengan diet dan latihan merupakan terapi primer pada hipertensi dengan obesitas.
Hipertensi persisten terindikasi mendapat terapi farmakologi karena berhubungan dengan
faktor risiko diabetes tipe 1 dan 2, hipertensi yang mengganggu organ target atau organ lainnya.
Pada keadaan seperti ini dipertimbangkan penggunaan obat antihipertensi dosis tunggal dan
diawali dengan dosis rendah. Pengobatan hipertensi pada anak menggunakan ACE inhibitor,
angiotensin receptor blockers, B-blockers, calcium chanel blockers, dan diuretik. Terapi
antihipertensi spesifik dapat dilakukan dengan melihat penyakit yang mendasarinya atau kondisi
medik yang terjadi bersamaan. Sebagai contoh, penggunaan ACE inhibitor, angiotensin receptor
blocker pada diabetes dengan mikroalbuminuria atau dengan proteinuria. Pada penelitian
Douglas dkk, (dikutip dari Matthews dan Solomon) yang memberikan obat anti hipertensi pada
hipertensi primer dan sekunder berupa CCB (calcium-channel blockers) yang terdiri dari
amlodipin dan nifedipin serta ACE inhibitor yang terdiri dari enalapril dan kaptopril yang pada
akhirnya menyatakan pilihan obat anti hipertensi tergantung pada etiologi hipertensi tersebut.
Pada pasien hipertensi yang disertai penyakit yang mendasarinya, dengan mempertimbangkan
manfaat penurunan proteinuria pada pasien dengan penyakit glomerular atau malformating
renalis, sebaiknya dipertimbangkan pemberian ACE inhibitor.
Untuk anak yang tidak disertai komplikasi primer hipertensi dan tidak mengganggu organ
target, tekanan darah dapat dicapai kurang dari persentil ke-95 berdasarkan jenis kelamin, umur,
dan tinggi badan sedangkan pada anak dengan gagal ginjal kronik, diabetes, atau dengan
gangguan organ target, tekanan darah diharapkan mencapai kurang dari persentil ke-90
berdasarkan jenis kelamin, umur dan tinggi badan. Disimpulkan bahwa obesitas dan resistensi
insulin merupakan komponen penting yang mendasari sindrom metabolik. Hipertensi pada
65
sindrom metabolik terjadi melalui beberapa faktor yaitu peningkatan aktivitas saraf simpatis,
peningkatan aktivitas sistem renin angiotensi, serta gangguan vasodilatasi. Kombinasi hipertensi
dan komponen sindrom metabolik akan meningkatkan timbulnya kerusakan organ target dan
kejadian penyakit kardiovaskular, serta mortalitas.
66
IX. Kerangka Konsep
67
Faktor lingkungan
Tn. B menderita obesitas
Penumpukan sel adiposa
TNF alfa , IL- 6 , adiponektin , leptin , resistin , PAI-1
Resistensi insulin
Gangguan transpor glukosa ke sel
Peningkatan glukosa darah
neuropati
Sumber pembentuk
energi
Sel kekurangan energi
Mudah lelah
Mepengaruhi pusat lapar di otak
Polifagi
Mempengaruhi jalur poliol, ROS, dan AGES
kesemutan
Respon tubuh
hiperinsulin
Aktivasi sistem renin angiotensin
Aktivasi saraf
simpatis
Retensi natrium dan
air
hipertensi
Merangsang IGF
Reseptor di epidermis
Hiperplasi dan hiper pigmentasi
Acantosis nigricans
filtrasi di tubulus ginjal meningkat dan hiperosmotik
plasma
glukosuria
Diuresis osmotik
poliuria
Dehidrasi haus
polidipsi
Faktor genetik
hiperglikemia
X. Kesimpulan
Tn. B, 35 tahun dengan berat badan 95 kg dan tinggi badan 165 cm mengalami
diabetes mellitus tipe 2 dan hipertensi yang dikaitkan dengan obesitas sentral ,
hipertensi, dan hiperglikemia (sindrom metabolik)
68
Sindrom Metabolik
XI. Daftar Pustaka
Merentek, Enrico. 2006. Resistensi Insulin Pada Diabetes Melitus Tipe 2. Makassar. Dalam
Cermin Dunia Kedokteran
Fauci, Anthony S, et al. 2008. Harrison’s Principles of Internal Medicine Seventeenth Edition.
United States: McGraw-Hill Companies, Inc.
Kumar, Vinay, et al. 2012. Buku Ajar Patologi Robbins ed. 7, Vol 2. Jakarta: EGC
Baron, D.N. 1995. Kapita Selekta Patologi Klinik Ed. 4. Jakarta: EGC
Fischbach, Frances Talaska dan Marshall Barnett Dunning III. 2009. A Manual of Laboratory
and Diagnostic Tests, eight edition. Wisconsin: Lippincott Williams & Wilkins
Kapita Selekta Bagian 1. Ilmu Penyakit Dalam.
A. Price, Sylvia ,M. Wilson, Lorraine. Patofisiologi Konsep Klinis Proses Proses Penyakit. 2006ed : Hartanto, Huriawati, dkk. Jakarta : Penerbit Buku KedokteranEGC
Aru W. Sudoyo, dkk. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 2006, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV Editor Jakarta
Bastard JP, Jardel C, Brickert E, et al. Elevated levels of interleukin-6 are reduced in serum and subcutaneous adipose tissue of obese women after weight loss. J Clin Endocrinol Metab 2000; 85: 3338-3342
Guyton., Hall. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11 (terjemahan). 2008. Jakarta: EGCFarmakologi. Katzung. Jakarta: EGC
Henry RR, Mudaliar S. Obesity, mechanisms and clinical management. Eckel RH (ed.). Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia 2003; 229-272
Mansjoer, arif. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Edisi III vol. 1. Jakarta : Media Aesculapius.W.A. Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland. Dorland, ed : Hartanto, Huriawati, dkk.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.Wannamethee SG, Shaper GA. Weight change and duration of and obesity in the incidence of
type 2 diabetes. Diabetes Care 1999; 22: 1266-1272 Wilding JPH. Obesity and nutritional factors in the pathogenesis of type 2 diabetes mellitus
Textbook of Diabetes. Pickup JC, Williams G (eds.), 3rd ed., Blackwell Science, Oxford 2003: 20.1-20.16
http://boards.straightdope.com/sdmb/archieve/index.php/t-39218.html
69