ucapan terima kasih · 2018. 7. 29. · hukum yaitu filsafat hukum, teori hukum dan dogmatik hukum,...
TRANSCRIPT
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis panjatkan Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha kuasa, oleh karena
atas segala Rahmat dan karunia-Nya, sehingga Penulis dapat menyelesaikan penyusunan
disertasi yang berjudul: “KEWENANGAN LEMBAGA NEGARA DALAM
PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG BERDASARKAN KONSTITUSI TIMOR-
LESTE.” Disertasi ini disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan guna
memperoleh Gelar Doktor Ilmu Hukum pada Program Studi Doktor Ilmu Hukum Fakultas
Hukum Universitas Udayana. Walaupun penulisan ini belum mencapai kesempurnaan
yang diharapkan, karena sebagai manusia biasa tidak luput dari kekurangan dan
keterbatasannya, oleh karena itu Penulis sangat mengharapkan sumbangan pemikiran
yang konstruktif terhadap penulisan ini, terutama metode penulisan, struktur bahasa, dan
sistimatika penulisan. Penulis menyadari bahwa, ilmu pengetahuan dan teknologi yang
Penulis miliki masih sangat terbatas dalam penulisan karya ilmiah. Atas kekurangan dan
keterbatasan tersebut maka, penulis mengharapkan kritik, saran dan masukan dari
berbagai pihak terhadap penulisan Disertasi ini, untuk kesempurnaan pada penulisan
berikutnya. Penulisan Disertasi ini tidak mungkin tanpa bantuan dan motivasi dari
berbagai pihak, terutama tim promotor yang berperan aktif dalam proses bimbingan
dan penulisan Disertasi ini, dan juga pihak-pihak yang turut serta, baik secara langsung
maupun tidak langsung. Oleh karena itu, melalui kesempatan ini Penulis tak lupa
mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada yang terhormat dan amat
sangat terpelajar:
1. Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH., M.H. selaku k e tu a t im Promotor,
dengan segala kesabaran dan kearifannya telah memberikan arahan, bimbingan,
koreksi, serta kesempatan untuk berkomunikasi, tanpa mengenal batas waktu, bahkan
ketulusannya memberikan dukungan bahan refrensi yang dibutuhkan dalam
penulisan disertasi ini. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa selalu memberikan
balasan sebagai amal yang tak terhingga;
2. Prof. Dr. I Wayan Parsa, SH., M.Hum selaku Ko-Promotor I, yang dengan segala
kesabaran dan kearifan dalam membangun konstruksi berfikir dari penyusunan latar
belakang masalah, tujuan, manfaat dan teori-teori serta pada metode penulisan
Disertasi ini dengan penuh semangat dan tidak mengenal waktu untuk
memberikan motivasi dan mengarahkan serta memberikan bimbingan, koreksi
pada penulisan Disertasi ini dengan baik. Atas segala kebaikannya, semoga Tuhan
Yang Maha Esa memberikan perlindungan serta amal yang tak terhingga;
3. Dr. I Nyoman Suyatna, SH., M.H. selaku Ko-Promotor II, yang dengan penuh
kesabaran dan kearifannya, telah memberikan dukungan, motivasi serta bimbingan
yang penuh dengan tanggung jawab, tanpa mengenal lelah dan waktu walaupun
banyak pekerjaan yang bertubi-tubi, namun Beliau tetap memiliki semangat yang
tinggi untuk memberikan bimbingan kepada penulis serta memberikan dorongan dan
arahan yang sangat konstruktif dalam penulisan disertasi ini dengan baik. Atas segala
kebaikannya, semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan perlindungan serta amal
yang tak terhingga.
4. Dr. Gede Marhaendra Wija Atmaja, SH., MH, sebagai Dosen Pembimbing Akademik
dan Pengasuh mata kuliah Pendukung Disertasi (MKPD-2), yang mendampinggi
penulis selama proses perkuliahan, hingga pada penulisan Disertasi ini. Atas
kesabaran dan dorongan serta motivasinya kepada penulis selama ini, Semoga Tuhan
Yang Maha Esa memberikan amal yang tak terhingga.
5. Prof. Dr. dr. A.A Raka Sudewi, Sp. S (K), selaku Rektor Universitas Udayana (Unud)
Denpasar Bali, beserta jajarannya, yang telah memberikan kesempatan kepada
peneliti untuk melanjutkan pendidikan pada program studi Doktor Ilmu Hukum pada
Fakultas Hukum Universitas Udayana Denpasar;
6. Prof. Dr. I Made Arya Utama, SH., M. Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Udayana yang telah memberikan dukungan moral dan fasilitas selama dalam proses
perkuliahan hingga pada penulisan disertasi ini;
7. Prof. Dr. Ibrahim R. SH., MH, selaku ketua koordinator program studi Doktor
Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Udayana, dengan kesabaran dan
dorongan serta motivasinya kepada penulis selama ini, semoga Tuhan Yang Maha
Esa memberikan amal yang tak terhingga;
8. Prof. Dr. I Ketut Rai Setiabudhi, SH., MS, selaku mantan koordinator Program studi
Doktor Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Udayana Denpasar, dan Dr.
I Gede Artha, SH., M.H. sebagai m a n t a n Sekretaris Program s t u d i Doktor
Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Udayana, atas kesabaran dan
dorongan serta motivasinya kepada penulis selama ini, semoga Tuhan Yang Maha
Esa memberikan amal yang tak terhingga.
9. Prof. Dr. Tatiek Sri Djatmiati, SH., MS; sebagai penguji external, yang telah
meluangkan waktu untuk menguji penulis dari proposal hingga pada Disertasi ini;
10. Prof. Dr. Yohanes Usfunan, Drs. SH., M. Hum, sebagai pengasuh Mata Kuliah
Pendukung Disertasi (MKPD-1), sekaligus sebagai penguji dalam Disertasi ini;
11. Prof. Dr. I Made Subawa, SH., MS, sebagai pengasuh Mata Kuliah sekaligus sebagai
penguji dari proposal disertasi hingga pada Disertasi ini;
12. Dr. Gede Yusa, SH., MH., yang telah meluangkan waktu untuk memberikan
pengujian terhadap penulis mulai dari ujian Proposal himgga disertasi.
13. Prof Dr. Lucas da Costa, SE., M.Si. sebagai Rektor Universitas d a P a z
(UNPAZ) Timor Leste, beserta struktur dan seluruh staf baik tenaga pengajar
maupun administrasi di lingkungan Universitas da Paz, yang telah memberikan
dukungan baik materil maupun moril kepada penulis untuk menunjang ilmu
pengetahuan dari Strata dua (S2) hingga pada program Doktor Ilmu Hukum program
pascasarjana Universitas Udayana. Dengan segala dukungannya semoga
mendapatkan amal yang setimpal dari Tuhan Yang Maha Kuasa; Pemerintah Timor-
Leste, melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang telah memberikan
kesempatan kepada penulis unuk melanjutkan pendidikan pada program Doktor Ilmu
Hukum Program Studi Doktor Ilmu Hukum Universitas Udayana Denpasar Bali-
Indonesia;
14. Julio da Costa Sarmento “Meta Malik” yang telah memberi dukungan baik materil
maupun Spiritual kepada Penulis hingga selesainya studi ini;
15. Anggota Yayasan Nicolau Lobato; yang telah memberi motivasi serta dorongan baik
secara moril maupun materil untuk penulis dalam menunjang pendidikan program
Doktor Ilmu Hukum pada Program Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar Bali-
Indonesia;
16. Ayahanda Orlando Ati Lopes dan Ibunda Gulhermina da Costa Barros, beserta
keluarga Besar Uma Lulik Acu Bei dan keluarga Besar Uma Lulik Lica Ubu, semoga
dengan segalah susahpayah yang diberikan kepada Penulis selama ini, mendapatkan
pahala dan rahmat yang setimpal dari Tuhan Yang Maha Kuasa;
17. Istriku tercinta, Imaculada de Fatima Costa, dan Putra-putri-putriku tersayang; Nilton,
Noni, Nadia dan Jimy, beserta semua s a u d a r a / i P e n u l i s , yang tidak sempat
sebutkan namanya satu persatu, dalam penulisan ini, semoga Tuhan menyertai kita
semua pada setiap langkah dalam melaksanakan aktivitas masing-masing.
18. Rekan-rekan seperjuangan Angkatan pertama Tahun 2012, angkatan kedua Tahun
2013 dan angkatan ketiga Tahun 2014 pada program s t u d i Doktor Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Udayana, semoga perjuangannya dapat dianugerahi oleh
Tuhan Yang Maha Esa;
19. Seluruh Staf Fakultas Hukum Universitas Udayana, yang dengan penuh kesabaran
untuk memberikan pelayanan administrasi akademik baik secara langsung maupun
tidak langsung kepada Penulis selama dalam proses perkuliahan hingga sekarang.
Akhir kata semoga pelayanan yang diberikan kepada Penulis dibalaskan oleh Tuhan
Yang Maha Kuasa dan selalu memberkati kita semua Amin.
Denpasar Juni 2018
Penulis
Lourenco de Deus Mau Lulo
ABSTRAK
KEWENANGAN LEMBAGA NEGARA DALAM PEMBENTUKAN
UNDANG-UNDANG BERDASARKAN KONSTITUSI REPUBLIK
DEMOKRATIK TIMOR-LESTE
Disertasi ini membahas tentang kewenangan lembaga negara dalam
pembentukan undang-undang berdasarkan Konstitusi Republik Demokratik Timor-Leste
(RDTL). Secara filosofis, pembukaan Konstitusi RDTL merupakan landasan
konstitusional yang memuat cita-cita Bangsa Timor-Leste yang terkandung cita negara
hukum untuk menjamin kepastian hukum, keadilan hukum dalam rangka memberikan
perlindungan terhadap hak asasi manusia, dan juga memberikan kewenangan kepada
lembaga legislatif, eksekutif dan yudisial, untuk meyelenggarakan pemerintahannya.
Dalam penelitian dan penulisan disertasi ini, menggunakan tiga (3) lapisan keilmuan
hukum yaitu filsafat hukum, teori hukum dan dogmatik hukum, sehingga dalam
pembahasaannya terlihat adanya aspek filsafat hukum, aspek teori hukum, dan aspek ilmu
hukum dogmatik. Permasalahan dalam penelitian ini yaitu: Landasan filosofis pembagian
kewenangan lembaga negara dalam pembentukan undang-undang; Pembagian
kewenangan materi muatan pembentukan undang-undang antara Parlemen Nasional dan
Pemerintah; dan Keberlakuan usulan RUU berdasarkan Konstitusi RDTL.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif,
dan pendekatan perundang-undangan, pendekatan historis, dan pendekatan komparatif.
Bahan hukum yang digunakan dalam penelititan dan penulisan disertasi ini, terdiri dari
bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.
Hasil penelitian ini, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Pertimbangan filosofis pembagian kewenangan lembaga negara, dalam Konstitusi
Negara Republik Demokratik Timor-Leste, adalah untuk menghindari penumpukan
kewenangan pada salah satu lembaga negara, yang dapat mengarah pada tindakan
penyalahgunaan kekuasaan.
2. Pembagian kewenangan materi muatan undang-undang antara Parlemen Nasional dan
Pemerintah adalah:
a) Materi muatan Undang-undang dari Parlemen Nasional ditetapkan dalam Tata
Tertib Parlemen Nasional, kewenangan Parlemen Nasional Pasal 95 ayat 2
Konstitusi RDTL Tahun 2002 dan Resolusi Parlemen Nasional
b) Materi muatan Undang-undang dari Pemerintah ditetapkan dalam Pasal 115 ayat
(3), Resolusi Pemerintah dan Pasal 96 ayat (1) Perijinan legislasi dari Parlemen
Nasional.
3. Keberlakuan usulan rancangan undang-undang perijinan legislatif tergantung pada:
a) Masa jabatan badan legislatif, artinya bilamana dalam perjalanan; Presiden Republik
membubarkan Parlemen Nasional, maka usulan rancangan undang-undang tersebut
tidak dapat dilajutkan dan atau, bilamana rancangan undang-undang perijinan
legislatif yang diajukan Pemerintah ditolak dua kali berturut-turut oleh Parlemen
Nasional.
b) Masa jabatan Pemerintah, artinya, bila dalam perjalanan pemerintahan; Presiden
Republik membubarkan Pemerintah dan memberhentikan Perdana Menteri, maka
usulan rancangan undang-undang perijinan legislatif tersebut tidak bisa dilanjutkan.
Kata kunci: Kewenangan, Lembaga Negara, Undang-Undang.
ABSTRACT
AUTHORITY OF COUNTRY INSTITUTIONS IN ESTABLISHMENT
LAWS BASED ON THE CONSTITUTION OF THE REPUBLIC OF INDONESIA
DEMOCRATIC TIMOR-LESTE
This dissertation deals with the authority of state institutions in the
formulation of laws under the Constitution of the Democratic Republic of Timor-Leste
(RDTL). Philosophically, the opening of the Constitution of the RDTL constitutes a
constitutional basis containing the aspirations of the State of Timor-Leste which
embodies the ideals of the rule of law to ensure legal certainty, legal justice in order to
provide protection to human rights, and also to authorize the legislative body, executive
and judicial, to organize his government. In the research and writing of this dissertation,
using three (3) layers of legal science that is legal philosophy, legal theory and legal
dogmatic, in its disclosure seen the existence of legal philosophy aspect, aspects of legal
theory, and aspects of dogmatic legal science. The problems in this research are: The
philosophical basis of the division of authority of state institutions in the formation of
laws; The division of authority on the content of the formulation of laws between the
National Parliament and the Government; and the enforcement of proposed under the
Constitution of RDTL.
The research method used is normative legal research, and approach of
legislation, historical approach, and comparative approach. The legal substances used
in the research and writing of this dissertation consist of primary legal materials,
secondary law materials and tertiary legal materials.
The results of this study, can be summarized as follows:
1. The philosophical consideration of the division of the authority of the state institution,
in the Constitution of the Democratic Republic of Timor-Leste, is to avoid the
accumulation of authority in any of the state institutions, which may lead to acts of
abuse of power.
2. Basic consideration of the Constituent Assembly of 2002 permitting the Government
to establish laws are: a) The National Parliament's Procedural Procedure is too
complicated; b) The Government has professional human resources in the field of
legislation; c) Providing an opportunity for the Government to form a bill in
accordance with the vision and mission of its government.
3. The enforcement of the proposed draft law on legislative permits depends on:
a) The term of office of the legislature, meaning when traveling; The President of
the Republic dissolved the National Parliament, then the proposed draft law can
not be woven and or, when the legislative licensing bill proposed by the
Government is rejected twice by the National Parliament in a row.
b) The term of office of the Government, that is, in the course of government; The
President of the Republic dissolved the Government and dismissed the Prime
Minister, so the proposed draft legislation permit law could not proceed.
Keywords: Authority, State Institution, Act.
RINGKASAN DISERTASI
Disertasi ini, membahas tentang: Kewenangan Lembaga Negara dalam
Pembentukan Undang-Undang Berdasarkan Konstitusi Republik Demokratik Timor-
Leste. Penulisan disertasi ini, diuraikan secara lengkap ke dalam 5 (lima) bab yang terdiri
atas:
Bab I menguraikan latar belakang mengenai lembaga kedaulatan negara, yaitu
adanya ketidakjelasan dalam pembagian kekuasaan pembentukan undang-undang yang
ditetapkan dalam Konstitusi Republik Demokratik Timor-Leste. Hal ini berkaitan dengan
kewenangan lembaga negara dalam pembentukan undang-undang, yang di lakukan oleh
2 (dua) lembaga negara yaitu; lembaga legislatif, dan lembaga eksekutif. Kedua lembaga
ini, masing-masing memperoleh kewenangan pembentukan undang-undang secara
langsung dari konstitusi, sehingga perlu dikaji secara ilmiah untuk menghindari
terjadinya penafsiran, tumpang tindih kewenangan pada lembaga negara, dan
penyalahgunaan kewenangan, yang berdampak terhadap keadilan dan kepastian hukum
dalam masyarakat, serta nilai-nilai yang hidup dan melekat pada warga negara. Penelitian
untuk penulisan disertasi ini, didasari oleh beberapa pemikiran dalam ilmu hukum, yaitu
filsafat hukum, teori hukum dan dogmatik hukum. Menurut D.H.M Meuwissen, bahwa
aspek keilmuan hukum dalam arti luas meliputi, aspek filsafat hukum, aspek teori hukum,
dan aspek ilmu hukum dogmatik.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka dalam bab ini, diuraikan
mengenai rumusan masalah, yang terdiri atas 3 (tiga) masalah yaitu: Landasan filosofis
Kewenangan Lembaga Negara Dalam Pembentukan Undang-undang; Pembagian
Kewenangan Materi Muatan Pembentukan Undang-undang antara Parlemen Nasional
dan Pemerintah; dan Keberlakuan Usulan Rancangan Undang-undang dari Pemerintah.
Tujuan penelitian untuk penulisan Disertasi ini, untuk menganalisis secara
holistik dan kritis terhadap dasar pemikiran filosofis, teoritis dan yudisial terhadap
kewenangan lembaga negara dalam pembentukan undang-undang. Manfaat penelitian
ini, adalah agar dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu
hukum, khususnya pada hukum tata negara dan hukum administrasi negara, disamping
itu, memberikan pemikiran dan pengetahuan tentang asas-asas pembentukan undang-
undang negara RDTL.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian
hukum normatif, yang berpijak dari adanya norma kabur dan norma kosong.
Bab II menguraikan tentang landasan teoritis, yang berkaitan dengan kewenangan
lembaga negara dalam pembentukan undang-undang berdasarkan Konstitusi Republik
Demokratik Timor-Leste. Landasan teoritis yang digunakan dalam penelitian ini, terdiri
atas: teori trias politika, teori kewenangan, teori perundang-undangan, teori sistem
pemerintahan, konsep negara hukum dan asas-asas serta landasan pembentukan undang-
undang, yang digunakan sebagai pisau analisis dalam membahas permasalahan
penelitian.
Bab III merupakan hasil penelitian dan pembahasan terhadap rumusan masalah
pertama dan masalah kedua yaitu mengenai, landasan filosofis pembagian kewenangan
lembaga negara dalam pembentukan undang-undang; dan pembagian kewenangan materi
muatan undang-undang antara Parlemen Nasional dan Pemerintah.
Bab IV merupakan hasil penelitian dan pembahasan terhadap rumusan masalah
yang ketiga yaitu mengenai, keberlakuan usulan rancangan undang-undang dari
pemerintah.
Bab V merupakan bagian terakhir yang memuat kesimpulan dan saran sebagai
berikut:
1. Pertimbangan filosofis pembagian kewenangan lembaga negara, dalam Konstitusi
Negara Republik Demokratik Timor-Leste, adalah untuk menghindari penumpukan
kewenangan pada salah satu lembaga negara, yang dapat mengarah pada tindakan
penyalahgunaan kekuasaan. Mengingat Negara Republik Demokratik Timor-Leste
(NRDTL) adalah negara hukum, maka untuk memperoleh, menggunakan
kewenangan serta batas-batasnya, harus diatur secara jelas supaya dapat
dipertanggungjawabkan menurut peraturan perundang-undangan, dan selain itu, agar
adannya saling kontrol antara lembaga negara satu sama lain, guna menjamin sistem
check and balances.
2. Pembagian kewenangan materi muatan undang-undang antara Parlemen Nasional dan
Pemerintah adalah:
a) Materi muatan Undang-undang dari Parlemen Nasional ditetapkan dalam Pasal
95 ayat 2 Konstitusi RDTL Tahun 2002 dan Resolusi Parlemen Nasional
b) Materi muatan Undang-undang dari Pemerintah ditetapkan dalam Pasal 115 ayat
(3), Resolusi Pemerintah dan Pasal 96 ayat (1) Perijinan legislasi dari Parlemen
Nasional
3. Keberlakuan usulan rancangan undang-undang perijinan legislatif tergantung pada:
a) Masa jabatan badan legislatif, artinya bilamana dalam perjalanan; Presiden
Republik membubarkan Parlemen Nasional, maka usulan rancangan undang-
undang tersebut tidak dapat dilajutkan dan atau
b) Masa jabatan Pemerintah, artinya, bila dalam perjalanan pemerintahan; Presiden
Republik membubarkan Pemerintah dan memberhentikan Perdana Menteri, maka
usulan rancangan undang-undang perijinan legislatif tersebut tidak bisa
dilanjutkan.
c) Bilamana rancangan undang-undang perijinan legislatif yang diajukan
Pemerintah ditolak dua kali berturut-turut oleh Parlemen Nasional.
5.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas dapat diberikan saran kepada pihak-pihak yang
berperan dalam pembentukan undang-undang Negara Timor-Leste, baik yang terlibat
secara langsung maupun tidak langsung dalam proses pembentukan undang-undang,
untuk mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
1) Perlu dilakukan Amandemen terhadap konstitusi, untuk memperjelas pembagian
kewenngan lembaga negara berdasarkan prinsip pemisahan kekuasaan atau
pembagian kekuasaan, agar dalam melaksanakan fungsinya, dapat menghindari
adanya penyalahgunaan kewenangan serta menjamin adanya prinsip check and
balance. Ketidak-jelasan pembagian kewenangan lembaga negara dalam
melaksanakan fungsinya, sehingga kalimatnya menjadi, ketidak jelasan yang bisa
berdampak terhadap penyalahgunaan kewenangan, kesewenang-wenangan, hingga
pada akhirnya terjadi praktek tindak pidana korupsi; dan tumpang tindih kewenangan
yang berdampak terhadap proses penyelenggaraan pemerintahan.
2) Perlu dilakukan Amandemen terhadap perijinan legislasi dari Parlemen Nasional
kepada Pemerintah untuk membentuk undang-undang tentang materi muatan yang
ditetapkan dalam Pasal 96 ayat (1) Konstitusi RDTL agar Pemerintah dalam
melaksanakan undang-undang sesuai dengan kewenangannya, dengan maksud:
a) Untuk mengatur secara jelas materi muatan undang-undang yang diberikan
kepada pihak ekseutif, supaya dalam pelaksanaan fungsinya sebagai lembaga
pembentuk undang-undang dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien.
b) Perlu dibentuk undang-undang tentang hierarki peraturan perundang-undangan,
guna menentukan materi muatan masing-masing tingkatan peraturan perundang-
undangan yang dibentuk, guna menghindari adanya konflik norma, kekaburan
norma, dan kekosongan norma.
c) Perlu dibentuk badan legislasi nasional untuk merancang RUU tentang materi
muatan yang menjadi kewenangan Parlemen Nasional maupun Pemerintah,
sehingga terdapat pembagian kewenangan yang jelas untuk mengajukan materi
muatan RUU antara Parlemen Nasional dan Pemerintah dapat dibentuk.
Denpasar, Juni 2018
Penulis
Lourenço de Deus Mau Lulo
DAFTAR ISI
Halaman Judul ................................................................................................................... i
Halaman Sampul ............................................................................................................... ii
Halaman Pernyataan Gelar .............................................................................................. iii
Halaman Pengesahan Tim Promotor ............................................................................... iv
Halaman Pernyataan Bebas Plagiarisme .......................................................................... v
Halaman Ucapan Terima Kasih ....................................................................................... vi
Abstrak .............................................................................................................................. x
Abstract ............................................................................................................................ xi
Ringkasan Disertasi ........................................................................................................ xii
Daftar isi ......................................................................................................................... xv
Daftar Table ................................................................................................................. xviii
Daftar Bagan .................................................................................................................. xix
Daftar Singkatan ............................................................................................................. xx
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang Masalah ................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................ 32
1.3 Ruang Lingkup Masalah .............................................................................. 33
1.4. Tujuan Penelitian .......................................................................................... 33
1.4.1 Tujuan Umum ................................................................................... 33
1.4.2 Tujuan Khusus .................................................................................. 34
1.5 Manfaat Penelitian ........................................................................................ 34
1.5.1 Manfaat Teoritis ............................................................................... 35
1.5.2 Manfaat praktis ................................................................................. 35
1.6 Orisinalitas Penelitian ................................................................................... 35
1.7 Kerangka Berfikir ......................................................................................... 39
1.8 Metode Penelitian ......................................................................................... 42
1.8.1 Jenis Penelitian ................................................................................. 43
1.8.2 Jenis Pendekatan ............................................................................... 45
1.9 Sumber Bahan Hukum .................................................................................. 50
1.9.1 Bahan Hukum Primer ........................................................................ 50
1.9.2 Bahan Hukum Sekunder ................................................................... 51
1.9.3 Bahan Hukum Terser ........................................................................ 51
1.9.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ................................................ 52
1.9.5 Teknik Analisis Bahan Hukum ......................................................... 52
1.10 Sistematika Penulisan ................................................................................... 53
BAB II LANDASAN TEORITIS .................................................................................. 55
2.1 Teori Trias Politika ....................................................................................... 55
2.2 Teori Kewenangan ........................................................................................ 72
2.2.1 Pengertian Kewenangan ...................................................................... 79
2.3 Teori Perundang-Undangan ....................................................................... 106
2.3.1 Pengertian Peraturan Perundang-Undangan ................................... 110
2.3.2 Pengertian Undang-Undang ............................................................ 128
2.3.3 Peraturan Perundang-Undangan Negara RDTL ............................. 129
2.3.4 Pembentukan Undang-Undang ....................................................... 145
2.3.5 Landasan Pembentukan Undang-Undang....................................... 151
2.4 Asas-asas Pembentukan Undang-Undang .................................................. 154
2.5 Teori Sistem Pemerintahan ......................................................................... 177
2.5.1 Sistem Pemerintahan Parlementer .................................................. 185
2.5.2 Sistem Pemerintahan Presidensil .................................................... 193
2.5.3 Sistem Pemerintahan Semi-Presidensil .......................................... 195
2.5.4 Konsep Sistem Pemerintahan Negara Republik
Demokratik Timor-Leste ................................................................ 201
2.6 Konsep Negara Hukum ............................................................................... 204
BAB III PEMBAGIAN KEWENANGAN LEMBAGA NEGARA DALAM
PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA PARLEMEN
NASIONAL DAN PEMERINTAH .............................................................. 236
3.1 Landasan Filosofis Kewenangan Lembaga Negara
Dalam Pembentukan Undang-Undang Berdasarkan
Konstitusi RDTL ....................................................................................... 237
3.2 Pembagian Kewenangan Materi Muatan Pembentukan
Undang-Undang Antara Parlemen Nasional Dan Pemerintah .................... 242
3.2.1 Kewenangan Parlemen Nasional .................................................... 246
3.2.2 Kewenangan Pemerintah ................................................................ 254
3.2.3 Rancangan Peraturan Perundang-Undangan .......................... 260
3.2.4 Pembagian Materi Muatan Undang-undang ................................... 284
3.2.4.1 Materi Muatan Undang-Undang Dari Parlemen
Nasional .............................................................................. 285
3.2.4.2 Materi Muatan Undang-undang Dari Pemerintah ............. 291
BAB IV KEBERLAKUAN USULAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG
BERDASARKAN KONSTITUSI REPUBLIK DEMOKRATIK
TIMOR-LESTE ............................................................................................. 305
4.1 Keberlakuan Usulan Rancangan Undang-Undang .................................... 305
4.2 Pengesahan dan Pengundangan Undang-Undang oleh
Presiden Republik Demokratik Timor-Leste .............................................. 314
BAB V PENUTUP ....................................................................................................... 340
5.1 Kesimpulan ................................................................................................. 340
5.2 Saran ................................................................................................................ 341
DAFTAR KEPUSTAKAAN ........................................................................................ 343
BAB I
PENDAHULUAN
1.2 Latar Belakang Masalah
Negara merupakan organisasi yang tertinggi dari organisai yang lain dalam
suatu negara dan organisasi itu merupakan tata kerja dari alat-alat kelengkapan negara
yang merupakan suatu keutuhan, tata kerja dimana melukiskan hubungan serta
pembagian tugas dan kewajiban antara masing-masing alat perlengkapan negara itu,
untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Dengan kata lain negara adalah organisasi yang
dalam suatu wilayah dapat memaksakan kekuasaannya secara sah terhadap semua
golongan kekuasaan lainnya, dan yang dapat menetapkan tujuan-tujuan dari kehidupan
bersama itu.1 Negara yang berdasarkan atas hukum atau rechtsstaats pada umumnya
bercirikan demokrasi konstitusionil, dimana Undang-Undang Dasar merupakan landasan
yang membatasi kekuasaan pemerintah sedemikian rupa, sehingga penyelenggaraan
kekuasaan tidak bersifat sewenang-wenang.2
Pembukaan Konstitusi Republik Demokratik Timor-Leste Tahun 2002
merupakan landasan konstitusional yang memuat cita-cita bangsa Timor-Leste yang
didalamnya terkandung cita negara hukum yaitu untuk menjamin keadilan hukum, dan
kepastian hukum dalam rangka memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia,
untuk mewujudkan tujuan-tujuan negara yang ditetapkan pada Pasal 6 Konstitusi
Republik Demokratik Timor-Leste, sehingga memberikan kewenangan kepada lembaga
1 Miriam Budiardjo, 1982, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia, Jakarta: h. 38-39. 2 Miriam Budiardjo, Ibid. h. 96
legislatif, eksekutif dan yudisial, untuk menyelenggarakan pemerintahannya, salah satu
kewenangan diantaranya adalah kewenangan untuk membentuk undang-undang yang
dilakukan oleh lembaga legislatif dan eksekutif.
Berkaitan dengan pembagian kewenangan lembaga negara menurut ketentuan
Konstitusi Republik Demokratik Timor-Leste, adanya ketidakjelasan pembagian
kewenangan lembaga negara, karena kewenangan lembaga negara dalam pembentukan
undang-undang dimiliki oleh lembaga legislatif dan eksekuitf. Hal ini berdampak
terhadap interpertasi dan multi penafsiran dalam penyelenggaraan pemerintahan negara.
Dalam Disertasi yang berjudul “Kewenangan Lembaga Negara dalam Pembentukan
Undang-undang Berdasarkan Konstitusi Republik Demokratik Timor-Leste” ini
dilakukan pengkajian terhadap permasalahan, berdasarkan keilmuaan hukum yaitu:
filsafat hukum, teori hukum dan dogmatik hukum.
Aspek filosofis, kewenangan pembentukan undang-undang merupakan
kewenangan atribusi yang diperoleh melalui konstitusi. Dari segi ontologi, dalam konteks
negara hukum, sumber dan batas-batas kekuasaan ditentukan oleh hukum dan harus
dipergunakan dalam koridor hukum. Secara epistemologis, supaya terhindar dari
penumpukan kekuasaan yang dapat mengarah pada tindakan penyalahgunaan kekuasaan,
maka dalam konsep negara hukum juga disyaratkan adanya pemisahan atau pembagian
kekuasaan. Dari aspek aksiologis, kekuasaan yang bersifat menentukan tidak semata-
mata karena diperoleh dengan cara menundukkan pihak yang lemah melalui kekuatan
fisik, melainkan terletak dalam kekuasaan terhadap suara hati nurani manusia.
Sebagaimana dirumuskan dalam pembukaan Konstitusi Negara Timor-Leste, pada alinea
ketiga berisikan hakekat lembaga dalam penyelenggaraan pemerintahan negara Timor-
Leste bahwa, “perlu membangun suatu budaya demokratis dan kelembagaan yang sesuai
untuk suatu Negara Hukum, di mana penghormatan bagi UUD dan bagi lembaga-
lembaga yang terpilih secara demokratis, merupakan landasan yang tidak dapat
dipertanyakan. Alinea ke empat, berisikan nilai-nilai, keadilan, kepastian, dan
kemanfaatan hukum dalam masyarakat, yang menyatakan bahwa “Dengan sungguh-
sungguh menegaskan kembali tekadnya untuk melawan segala bentuk tirani, penindasan,
penguasaan dan pemisahan sosial, budaya dan keagamaan, untuk mempertahankan
kemerdekaan nasional, menghormati dan menjamin hak-hak asasi manusia dan hak-hak
asasi warga negara, untuk menjamin asas pemisahan kekuasaan dalam penataan Negara,
dan untuk menetapkan aturan-aturan inti yang mendasar dari demokrasi multi-partai,
dengan tujuan untuk membangun suatu negara yang adil dan makmur dan
mengembangkan masyarakat yang bersatu dan bersahabat.”
Aspek teoritis, kewenangan lembaga negara dalam pembentukan undang-
undang dan pengembangan hak asasi manusia, demokrasi dan pembagian kekuasaan,
dapat dibenarkan melalui beberapa teori yaitu: Teori trias politika, teori kewenangan, dan
teori perundang-undangan. Berdasarkan teori trias politika yang dikemukakan oleh
Montesquieu bahwa, disetiap Negara selalu terdapat tiga cabang kekuasaan yang
diorganisasikan ke dalam struktur pemerintahan yaitu: Legislatif, Eksekutif, dan
Yudikatif yang berhubungan dengan pembentukan hukum dan undang-undang Negara.
Teori kewenangan, mengatakan bahwa, kewenangan merupakan kekuasaan formal yang
dimiliki oleh pejabat atau institusi, oleh karena itu, kewenangan merupakan suatu hak
yang dimiliki oleh seorang pejabat atau institusi yang bertindak menjalankan
kewenangannya, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selanjutnya,
teori perundang-undangan, merupakan salah satu kajian hukum dalam lapisan teori
hukum yang berkaitan dengan kewenangan lembaga negara dalam pembentukan undang-
undang.
Berkaitan dengan penelitian dan penulisan Disertasi ini, maka teori trias
Politika, teori kewenangan, dan teori perundang-undangan tersebut di atas, digunakan
sebagai pisau analisis, untuk menjustifikasi terhadap kewenangan lembaga negara dalam
pembentukan undang-undang, yang berkaitan dengan landasan filosofis kewenangan
lembaga negara dalam pembentukan undang-undang berdasarkan Konstitusi RDTL, dan
pembagian kewenangan materi muatan undang-undang antara Parlemen Nasional dan
Pemerintah, dalam konteks hakekat lembaga negara dalam penyelenggaraan
pemerintahan negara Timor-Leste. Teori sistem pemerintahan dan konsep negara hukum
digunakan dalam Disertasi ini, untuk menjelaskan sistem pemerintahan yang berkaitan
dengan kewenangan Pemerintah dalam membentuk undang-undang, dan konsep negara
hukum digunakan untuk menjelaskan konsep negara hukum yang di adopsi dalam
Konstitusi RDTL Tahun 2002, berkaitan dengan landasan filosofis kewenangan lembaga
negara dalam pembentukan undang-undang, dan pembagian kewenangan materi muatan
undang-undang antara Parlemen Nasional dan Pemerintah. Selain itu, landasan dan asas-
asas pembentukan undang-undang digunakan dalam Disertasi ini, yang berkaitan dengan
keberlakukan usulan rancangan undang-undang dari Pemerintah mengenai perijinan
legislatif tidak dapat digunakan lebih dari satu kali, dan tidak berlaku lagi ketika
Pemerintah diberhentikan.
Aspek yuridis (dogmatik), pembagian kewenangan lembaga negara dalam
pembentukan undang-undang, dalam ketentuan Pasal 69 Konstitusi RDTL Tahun 2002
menyatakan bahwa, lembaga-lembaga negara dalam melaksanakan fungsinya masing-
masing harus mengikuti asas pemisahan kekuasaan, dan asas pemisahan kekuasaan yang
dimaksud, bahwa lembaga-lembaga kedaulatan negara, harus dipisahkan baik bentuknya
maupun dalam melaksanakan fungsinya masing-masing. Formulasi kalimat “saling
ketergantungan” dapat diartikan bahwa, dalam pelaksanaan tugas dan fungsi lembaga
negara, adanya saling mempengaruhi antara satu lembaga negara terhadap lembaga lain,
artinya diantara lembaga negara dalam melaksanakan fungsi kewenangannya tidak secara
terpisah, karena ada kalimat interpendensia (ketergantungan), hal demikian akan
berpengaruh terhadap proses penyelenggaraan pemerintahan, karena adanya intervensi
kepentingan politik antara lembaga negara yang saling menjatuhkan satu sama lain.
Berdasarkan pemaparan di atas maka, kewenangan lembaga negara dalam
pembentukan undang-undang merupakan salah satu syarat negara hukum, dalam
penyelenggaraan pemerintahan negara, guna mewujudkan nilai-nilai kepastian, keadilan
dan kemanfaatan hukum dalam masyarakat, maka dalam ketentuan Pasal 96 Konsititusi
RDTL Tahun 2002, menentukan Parlemen Nasional dapat mengijinkan Pemerintah untuk
mengusulkan RUU berdasarkan materi muatan yang diatur dalam ayat (1) huruf (a)
sampai huruf (l) dan selain itu, Pasal 97 mengatur tentang inisiatif undang-undang berasal
dari anggota Parlemen, fraksi-fraksi dalam Parlemen Nasional dan Pemerintah.
Berdasarkan pengaturan dalam Pasal 96 dan Pasal 97 Konstitusi RDTL
tersebut maka, kewenangan pembentukan undang-undang, bukan hanya dimiliki oleh
lembaga legislatif (Parlemen Nasional) namun, Pemerintah juga mempunyai kewenangan
untuk membuat undang-undang, dalam bentuk usulan rancangan undang-undang.
Secara substansial dalam Konstitusi RDTL menentukan penerapan sistem
pemisahan sebagaimana dalam ajaran teori trias politika, namun dalam praktek
ketatanegaraan Republik Demokratik Timor-Leste tidak secara mutlak menerapkan
sistem pemisahan kekuasaan, sebagaimana ketentuan dalam Pasal 69 tentang asas
pemisahan kekuasaan, melainkan lebih cenderung menerapkan sistem pembagian
kekuasaan daripada pemisahan kekuasaan, karena adanya kalimat “asas pemisahan
kekuasaan” dan “saling ketergantungan” sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal
69 Konstitusi negara RDTL Tahun 2002.
Kewenangan lembaga negara dalam pembentukan undang-undang, dimiliki
oleh Parlemen Nasional dan Pemerintah, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 92
menyatakan bahwa, “Parlemen Nasional adalah lembaga kedaulatan Republik
Demokratik Timor-Leste yang mewakili semua warga negara Timor-Leste dan diberikan
wewenang legislatif, pengawasan, dan pengambilan keputusan politik.” Selanjutnya,
dalam Pasal 95 ayat (1) Konstitusi Negara RDTL Tahun 2002 yang menyatakan,
“Parlemen Nasional berwenang dan bertanggung jawab untuk membuat undang-undang
mengenai persoalan-persoalan dasar yang menyangkut kebijakan dalam dan luar negeri.”
Selain itu, Parlemen Nasional dapat mengijinkan Pemerintah untuk mengusulkan RUU
terhadap materi muatan yang ditetapkan dalam Pasal 96 ayat (1) Konstitusi RDTL bahwa,
Parlemen Nasional dapat mengijinkan Pemerintah untuk membuat undang-undang
mengenai hal-hal, sebagaimana huruf (a) samapai dengan huruf (l), dan ayat (2) Pasal 96
Konstitusi RDTL menentukan bahwa, undang-undang mengenai perijinan legislatif akan
menentukan pokok, pengertian, ruang lingkup dan masa berlakunya perijinan tersebut,3
dan selanjutnya ayat (3) mengatur undang-undang tentang perijinan legislatif tidak dapat
digunakan lebih dari satu kali dan tidak berlaku lagi ketika Pemerintah diberhentikan,
dengan berakhirnya masa legislatif atau dengan pembubaran Parlemen Nasional.
Berkaitan dengan materi muatan undang-undang yang diusulkan oleh
Parlemen Nasional dan Pemerintah, yang ditentukan dalam konstitusi maka, penggunaan
teori perundang-undangan, landasan pembentukan undang-undang, dan asas-asas
pembentukan undang-undang yang digunakan dalam Disertasi ini, untuk menjustifikasi
serta menjelaskan masalah kedua, dalam ketentuan Konstitusi RDTL Parlemen Nasional
dapat mengijinkan Pemerintah untuk mengusulkan rancangan undang-undang
berdasarkan materi muatan yang ditentukan dalam Pasal 96 ayat (1) Konstitusi RDTL
Tahun 2002. Selanjutnya, dalam ketentuan Pasal 97 ayat (1) huruf (c) menentukan bahwa,
3 Lihat Pasal 96 Konstitusi RDTL Tahun 2002, (Perijinan Legislatif) ayat (1) Parlemen Nasional
dapat mengijinkan Pemerintah untuk membuat undang-undang mengenai hal-hal yang berkaitan dengan
visi dan misi Pemerintah.
Pemerintah memiliki kewenangan inisiatif undang-undang. Selain undang-undang
perijianan dan inisiatif legislasi dari Parlemen Nasional, Pemerintah juga secara eksklusif
memiliki kewenangan untuk membentuk peraturan-peraturan yang berkaitan dengan tata
cara penyelenggaraan pemerintahannya, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Apabila dilihat dari aspek sosiologis, kewenangan Pemerintah dalam
melaksanakan tugas dan fungsi sebagai pelayanan publik tidak efisien, karena pemerintah
sebagai lembaga eksekutif sekaligus sebagai lembaga legislatif, hal ini akan berdampak
terhadap penyalahgunaan kewenangan dan kesewenang-wenangan dalam melaksanakan
fungsinya. Selain itu, kepentingan Pemerintah lebih dominan dalam konsep RUU
tersebut, ketimbang anggota Parlemen Nasional, maka hak-hak warganegara secara
demokrasi tidak dijalankan secara efisien, oleh lembaga yang mewakili rakyat secara
konstitusional, dan hal demikian berdampak terhadap asas kepastian hukum, keadilan,
dan kemanfaatan hukum dalam masyarakat.
Konsekuensinya, pengaturan kewenangan lembaga yang berwenang dalam
membentuk undang-undang tidak jelas, dan hal tersebut, sangat mempengaruhi kebijakan
Pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintahan negara oleh karena:
1) Ketidakjelasan pengaturan ketentuan kewenangan lembaga Negara dalam
penyelenggaraan pemerintahan.
2) Ketidakjelasan pengaturan ketentuan fungsi-fungsi lembaga Negara dalam
pelaksanaan tindakan pemerintahan.
3) Ketidakjelasan prosedur pengambilan keputusan tindakan Pemerintah.
4) Pertanggungjawaban terhadap tindakan sewenang-wenang dengan cara saling
menunjuk jari (tuduh-menuduh) di antara lembaga negara, artinya
pertanggungjawabannya tidak jelas. Atas dasar tindakan pemerintahan atau
lembaga yang berwenang tersebut berakibat terhadap tidak terlaksananya hak-hak
warganegara secara konstitusional.
Ketidak-jelasan pengaturan pembagian kewenangan lembaga negara dalam
penyelenggaraan pemerintahan akan berdampak terhadap proses penyelenggaraan
pemerintahan yang efektif dan efisien, dengan konsekuensi:
1) Tidak adanya jaminan terhadap asas legalitas (kepastian hukum);
2) Tidak adanya jaminan terhadap keadilan sosial bagi masyarakat;
3) Tidak adanya jaminan terhadap hak-hak warga Negara secara konstitusional.
4) Tidak adanya jaminan prinsip check and balance; dan
5) Tindakan sewenang-wenang tidak mencerminkan asas pemisahan kekuasaan
dalam konstitusi.
Apabila ditelaah dalam pembentukan undang-undang Negara RDTL, justru
Pemerintah lebih dominan dalam melaksanakan fungsi legislasi (membentuk undang-
undang), daripada melaksanakan fungsi eksekutif (melaksanakan undang-undang). Hal
ini secara yuridis menunjukkan adanya tumpang tindih fungsi kewenangan pada lembaga
eksekutif. Maksud tumpang tindih kewenangan pada lembaga eksekutif, artinya,
kewenangan Pemerintah adalah sebagai lembaga melaksanakan undang-undang,
sedangkan pembentukan undang-undang adalah kewenangan lembaga legislatif, namun
dalam Konstitusi RDTL, Pemerintah memperoleh kewenangan secara atribusi untuk
membentuk usulan rancangan undang-undang (RUU) yang berkaitan dengan visi dan
misinya, oleh karena itu, perlu dilakukan suatu penelitian secara ilmiah untuk
memperjelas kewenangan lembaga Negara, baik secara teoritis maupun secara yuridis,
karena kewenangan lembaga Negara dalam pembentukan undang-undang sangat
mempengaruhi cita Negara hukum yang demokratis dan asas legalitas untuk menjamin
kepastian hukum dan keadilan sosial. Guna mewujudkan keinginan rakyat dan
kehormatan atas martabat manusia, sebagaimana diatur pada Pasal 1 ayat (1) Konstitusi
RDTL bahwa “Republik Demokratis Timor-Leste adalah Negara yang demokratis,
berdaulat, merdeka dan bersatu, berdasarkan kekuatan hukum, keinginan Rakyat dan
kehormatan atas martabat manusia. Ketentuan Pasal 1 ayat (1) tersebut merupakan dasar
penyelenggaraan pemerintahan negara dan Pasal 6 Konstitusi RDTL mengatur tentang
tujuan-tujuan Negara yang menurut ketentuan ayat (1), tujuan Negara adalah:
a) Untuk mempertahankan dan menjamin kedaulatan Negara;
b) Untuk menjamin dan memajukan hak-hak dan kebebasan-kebebasan asasi
warga negara serta kehormatan bagi asas-asas Negara demokratis yang
berdasarkan kekuatan hukum;
c) Untuk mempertahankan dan menjamin demokrasi politik serta keikutsertaan
rakyat dalam penyelesaian masalah-masalah negara;
d) Untuk menjamin pembangunan ekonomi, kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi;
e) Untuk memajukan pembangunan suatu masyarakat yang berlandaskan
keadilan sosial, dengan mewujudkan kesejahteraan lahir dan batin warga
negara;
f) Untuk melindungi lingkungan hidup serta melestarikan sumber daya alam;
g) Untuk menegakkan dan menjunjung tinggi watak dan warisan budaya rakyat
Timor-Leste
h) Untuk memajukan pendirian dan pengembangan hubungan persahabatan
serta kerjasama antara semua Bangsa dan Negara;
i) Untuk memajukan pembangunan yang rukun dan terpadu dari sektor-sektor
dan daerah- daerah serta pemerataan pembagian hasil nasional secara adil;
j) Untuk menciptakan, memajukan dan menjamin persamaan kesempatan yang
nyata antara orang perempuan dan laki-laki.
Penyelenggaraan pemerintahan Negara bertujuan untuk memberi perlindung
an terhadap hak-hak rakyat secara konstitusional maka, pembagian kewenangan
pembentukan undang-undang dilakukan oleh lembaga legislatif sebagai lembaga yang
mewakili rakyat untuk melaksanakan fungsi membuat undang-undang diseluruh
territorial Negara Timor-Leste. Lembaga legislatif tidak serta-merta membuat semua
undang-undang dengan sendirinya, karena secara konstitusional Parlemen Nasional
memberikan sebagian kewenangan pembentukan undang-undang kepada Pemerintah
untuk mengusulkan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pelaksanaan
pemerintahan. Pengaturan kewenangan pembentukan undang-undang, bukan hanya
dibentuk oleh lembaga legislatif semata, tetapi lembaga eksekutif (Pemerintah) juga
mempunyai kewenangan untuk membentuk undang-undang, sebagaimana diatur dalam
Konstitusi RDTL Pasal 97 ayat (1) huruf (c) tentang inisiatif undang-undang dan Pasal
96 yang mengatur tentang perijinan legislatif dari Parlemen Nasional kepada Pemerintah
tentang materi muatannya sebagaimana diatur pada ayat (1) huruf (a) sampai huruf (l).
Pengaturan kewenangan Pemerintah yang diatur pada Pasal 115 ayat (3)
menyatakan bahwa, E da exclusiva competencia legislativa do Governo a materia
respeitante a sua propria organização e funcionamento, bem como a da administração
directa e indirecta do Estado (Pemerintah mempunyai wewenang legislatif eksklusif atas
urusan yang menyangkut penataan dan tata kerjanya sendiri, serta atas penyelenggaraan
negara, baik secara langsung maupun tidak langsung). Kemudian Pasal 103 menyatakan
bahwa o Governo e o orgão de sobrania respolsavel pela conducão e execucão da
politica géral do país e o orgão superior da administracão pública (Pemerintah adalah
badan kedaulatan yang bertanggung jawab atas pengarahan dan pelaksanaan kebijakan
umum Negara dan merupakan badan pemerintahan tertinggi). Pasal 104 ayat (1)
menyatakan bahwa o Governo e constituido pelo primeiro ministro, pelo ministro e de
pelo secretaries de Estado (Pemerintah terdiri atas Perdana Menteri, para menteri, dan
para Sekertaris Negara).
Berdasarkan pemaparan di atas, bahwa Negara Republik Demokratik Timor-
Leste menganut sistem pembagian kekuasaan walaupun secara konstitusional
menegaskan bahwa penyelenggaraan fungsi-fungsi lembaga Negara harus tunduk pada
prinsip asas pemisahan kekuasaan, namun dalam implementasi kewenangan tersebut
lebih cenderung ke pembagian kekuasaan. Sistem pembagian kewenangan lembaga
negara dalam pembentukan undang-undang, bersentuhan dengan sistem koordinasi dan
pengawasan antar lembaga yang satu terhadap lembaga yang lain guna menjamin
penyelenggaraan pemerintahan yang bersih (clean government) atau pemerintahan yang
baik (good governance).
Kewenangan lembaga negara dalam pembentukan undang-undang,
merupakan salah satu alternatif dalam penyelesaian persoalan-persoalan yang berkaitan
dengan nilai-nilai kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan hukum dalam
masyarakat. Persoalan-persoalan yang berkaitan dengan kewenangan lembaga Negara
dalam penyelenggaraan Pemerintahan Negara Republik Demokratik Timor-Leste
(RDTL) yakni:
Pertama, Pemerintah di pimpin oleh seorang Perdana Menteri sebagai kepala
pemerintahan, dapat diberhentikan (dibubarkan) oleh Presiden Republik, apabila
program yang diajukan ditolak oleh Parlemen Nasional dua kali berturu-turut. Hal
ini diatur pada Pasal 86 huruf (g) yang menentukan bahwa “Presiden Republik
dapat membubarkan Pemerintah dan memberhentikan Perdana Menteri, apabila
programnya ditolak dua kali secara berturut-turut oleh Parlemen Nasional” dalam
perspektif politik legislasi tidak mengatur tentang syarat-syarat yang menjadi
dasar lembaga legislatif untuk menolak program yang diajukan oleh Pemerintah.
Guna menghindari terjadinya tindakan sewenang-wenang maka perlu adanya
undang-undang yang mengatur mengenai syarat-syarat penolakan program
Pemerintah oleh Parlemen Nasional. Dalam Negara yang berasaskan negara
hukum maka, setiap tindakan penyelenggaraan pemerintahan harus berdasarkan
asas legalitas, bukan berdasarkan atas kepentingan politik belaka.
Kedua, Kewenangan Presiden Republik untuk membubarkan Pemerintah atau
memberhentikan Perdana menteri yang diatur pada Pasal 86 huruf (g) menyatakan
bahwa, “dibubarkan Pemerintah dan diberhentikan Perdana Menteri apabila
programnya ditolak dua kali secara berturut-turut oleh Parlemen Nasional”
bertentangan dengan Pasal 67 lembaga-lembaga kedaulatan Negara, yang terdiri
dari Presiden Republik, Parlemen Nasional, Pemerintah dan Pengadilan. Empat
(4) lembaga tersebut yang mendefinisikan sistem ketatanegaraan negara Timor-
Leste, dan ketika Presiden membubarkan Pemerintah, maka secara otomatis
ketiga lembaga negara tersebut (Parlemen Nasional dan Yudisial) ikut bubar
dengan sendirinya, karena untuk mencerminkan ciri dari suatu sistem harus
memiliki bagian-bagian yang saling menghubungkan satu dengan yang lainnya,
(saling ketergantungan) dan apabila salah satu bagian dari sistem tersebut tidak
ada, maka ciri khas dari suatu sistem tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
Akibat dari pembubaran Pemerintah terhadap hak-hak rakyat secara
konstitusional, oleh karena secara politik, Perdana Menteri ditunjuk oleh
mayoritas Anggota Parlemen Nasional yang dipilih melalui pemilihan umum
untuk membawa aspirasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan
negara.
Ketiga, Prosedur pemberhentian dan atau pembubaran Pemerintah tidak menentukan
syarat-syarat yang menjadi dasar pertimbangan Parlemen Nasional, untuk
mengajukan usulan mosi tidak percaya kepada Presiden Republik, untuk
membubarkan Pemerintah sesuai dengan Pasal 111 Konstitusi RDTL ayat (1)
bahwa, O Parlamento Nacional pode votar mocoes de censura ao Governo sobre
a execução do seu programa ou assunto de relevante interesse nacional, por
iniciativa de um quarto dos Deputados em efectividade de funçoes (atas usulan
seperempat anggota yang sedang bertugas, Parlemen Nasional dapat mengajukan
mosi tidak percaya pada Pemerintah berkaitan dengan pelaksanaan programnya,
atau atas hal-hal yang menyangkut kepentingan negara) dan ayat (1) dan Pasal
112 Konstitusi RDTL menyatakan bahwa, Implicam a demissao do Governo
(Pemerintah diberhentikan bila):
a) O inicio da nova legislatura (Masa pembuatan undang-undang yang baru
mulai);
b) A aceitacao pelo Presidente da Republica do pedido de demissao apresentado
pelo Primeiro-Ministro (Presiden Republik menerima pengunduran diri dari
Perdana Menteri);
c) A morte ou impossibilidade fisica permanente do Primeiro-Ministro (Perdana
Menteri mangkat atau menyanggang kecacatan tetap);
d) A rejeicao do programa do Governo pela segunda vez consecutiva (Program
Pemerintah ditolak untuk kedua kali secara berturut-turut);
e) A nao aprovação de um voto de confianca (tidak dikabulkan suatu mosi
percaya);
f) A aprovação de uma moção de censura por uma maioria absoluta dos
Deputados em efectividade de funçoes (mosi tidak percaya disetujui oleh
mayoritas mutlak dari para anggota yang sedang bertugas).
Ke empat, Pemerintah dipimpin oleh Perdana Menteri sebagai kepala kksekutif,
kewenangan Pemerintah diatur dalam Pasal 115 Konstitusi RDTL ayat (1) sampai
dengan ayat (3) dan Pasal 117 ayat (1) dan masa jabatan sangat ditentukan oleh
Presiden Republik dan Parlemen Nasional, pembubaran Pemerintah dilakukan
oleh Presiden Republik, karena Pemerintah mendapat mosi tidak percaya dari
Parlemen Nasional sebagaimana diatur dalam Pasal 112 huruf (e) dan (f) serta
Pasal 110 dan Pasal 111 Konstitusi RDTL.
Ke lima, Pemerintah juga diberikan kewenangan legislasi, sebagaimana diatur pada Pasal
96 ayat (1) huruf (a) sampai dengan huruf (l) dan Pasal 97 mengenai inisiatif
undang-undang. Selanjutnya kewenangan Pemerintah dalam ketentuan Pasal 115
ayat (3) bahwa Pemerintah mempunyai wewenang legislatif eksklusif, atas urusan
penataan tata kerjanya sendiri. Persoalannya, lembaga eksekutif diberikan
kewenangan untuk membentuk undang-undang menurut konstitusi. Berkaitan
dengan penyelenggaraan pemerintahan secara normatif kewenangan
pembentukan undang-undang masih menimbulkan beberapa permasalahan
sebagai berikut:
1) Hierarki Peraturan Perundang-undangan;
Hierarki peraturan perundang-undangan merupakan salah satu hal yang
penting dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, oleh karena itu,
hierarki peraturan perundang-undangan sangat penting bagi negara-negara berkembang,
salah satunya adalah Negara Republik Demokratik Timor-Leste, yang hingga saat ini
belum memiliki undang-undang yang mengatur tentang hierarki peraturan perundang-
undangan. Materi muatan peraturan perundang-undangan, menjadi kewenangan
lembaga/badan yang berwenang maka sering terjadi kesulitan bagi penyelenggaraan
negara dan pejabat pemerintahan dalam menentukan peraturan perundang-undangan
yang tepat. Hal inilah yang acapkali menimbulkan ketidakpastian hukum dalam Negara
Republik Demokratik Timor-Leste.
2) Ketidakpastian hukum;
Pandangan Gustav Radbruch secara umum diartikan bahwa kepastian hukum
tidak selalu harus diberi prioritas pemenuhannya pada tiap sistem hukum positif, seolah-
olah kepastian hukum itu harus ada lebih dulu, baru kemudian keadilan dan kemanfaatan.
Gustav Radbruch kemudian meralat teorinya bahwa ketiga tujuan hukum sederajat.4
Gustav Radbruch, pencetus tiga nilai dasar hukum dari Jerman pernah mengatakan bahwa
hukum yang baik adalah ketika hukum tersebut memuat nilai keadilan, kepastian hukum
dan kegunaan. Artinya, meski ketiganya merupakan nilai dasar hukum, namun masing-
masing nilai mempunyai tuntutan yang berbeda satu dengan yang lainnya, sehingga
ketiganya mempunyai potensi untuk saling bertentangan dan menyebabkan adanya
ketegangan antara ketiga nilai tersebut (Spannungsverhältnis).5
Dalam mewujudkan tujuan hukum, Gustav Radbruch menyatakan perlu
digunakan asas prioritas dari tiga nilai dasar yang menjadi tujuan hukum. Hal ini
disebabkan karena dalam realitasnya, keadilan hukum sering berbenturan dengan
kemanfaatan dan kepastian hukum dan begitupun sebaliknya. Diantara tiga nilai dasar
tujuan hukum tersebut, pada saat terjadi benturan, maka mesti ada yang dikorbankan.
Untuk itu, asas prioritas yang digunakan oleh Gustav Radbruch harus dilaksanakan
dengan urutan sebagai berikut: 6
a) Asas kepastian hukum (rechtmatigheid). Asas ini meninjau dari sudut yuridis.
b) Asas keadilan hukum (gerectigheit). Asas ini meninjau dari sudut filosofis,
dimana keadilan adalah kesamaan hak untuk semua orang di depan pengadilan
c) Asas kemanfaatan hukum (zwechmatigheid atau doelmatigheid atau utility).
Dengan urutan prioritas sebagaimana dikemukakan tersebut diatas, maka
sistem hukum dapat terhindar dari konflik internal.
4 Nur Agus Susanto, 2014, Dimensi Aksiologis Dari Putusan Kasus “ST” Kajian Putusan
Peninjauan Kembali Nomor 97 PK/Pid.Sus/2012, Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember. Dalam Tesis
Jaka Mulyata, 2015, Keadilan, Kepastian, Dan Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia Nomor: 100/Puu-X/2012 Tentang Judicial Review Pasal 96 Undang-Undang Nomor: 13 Tahun
2003 Tentang Ketenagakerjaan, Program Magister (S-2) Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sebelas
Maret Surakarta, h. 11 5 Ibid. h.12 6 Ibid
Bertitik tolak dari uraian asas-asas di atas bahwa, tujuan hukum yang
mendekati realistis adalah kepastian hukum dan kemanfaatan hukum. Kaum Positivisme
lebih menekankan pada kepastian hukum. Sedangkan kaum Fungsionalis mengutamakan
kemanfaatan hukum, dan sekiranya dapat dikemukakan bahwa “summum ius, summa
injuria, summa lex, summa crux” yang artinya, bahwa hukum yang keras dapat melukai,
kecuali keadilan yang dapat menolongnya, dengan demikian kendatipun keadilan bukan
merupakan tujuan hukum satu-satunya akan tetapi tujuan hukum yang paling substantif
adalah keadilan.7 Menurut Utrecht, kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu
pertama, adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa
yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa keamanan hukum bagi individu
dari kesewenangan Pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu
individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara
terhadap individu.8
Ajaran kepastian hukum ini berasal dari ajaran Yuridis-Dogmatik yang
didasarkan pada aliran pemikiran positivistis di dunia hukum, yang cenderung melihat
hukum sebagai sesuatu yang otonom, yang mandiri, karena bagi penganut pemikiran ini,
hukum tak lain hanya kumpulan aturan. Bagi penganut aliran ini, tujuan hukum tidak lain
dari sekedar menjamin terwujudnya kepastian hukum. Kepastian hukum itu diwujudkan
oleh hukum dengan sifatnya yang hanya membuat suatu aturan hukum yang bersifat
7 Dominikus Rato, 2010, Filsafat Hukum Mencari: Memahami dan Memahami Hukum, Laksbang
Pressindo, Yogyakarta, h.59. 8 Riduan Syahrani, 1999, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Penerbit Citra Aditya Bakti. Bandung,
h.23.
umum. Sifat umum dari aturan-aturan hukum membuktikan bahwa hukum tidak
bertujuan untuk mewujudkan keadilan atau kemanfaatan, melainkan semata-mata untuk
kepastian.9 Sedangkan ajaran negara berdasarkan atas hukum (de rechts staat dan the
rule of law) mengandung pengertian bahwa hukum adalah supreme dan kewajiban
bagi setiap penyelenggara negara atau pemerintah untuk tunduk pada hukum (subject
to the law). Tidak ada kekuasaan diatas hukum (above to the law).10 Atas dasar
pernyataan diatas maka, tidak boleh ada kekuasaan yang sewenang-wenang
(arbitrary power) atau penyalahgunaan kekuasaan (misuse of power) baik pada
negara berbentuk kerajaan maupun Republik.
Negara hukum yang demokrasi, hukum merupakan alat untuk membatasi
kekuasaan, setiap tindakan penyelenggaraan pemerintahan negara, lembaga negara
yang berwenang harus tunduk pada hukum, tunduk pada hukum mengandung
pengertian, pembatasan kekuasaan seperti halnya ajaran pemisahan dan pembagian
kekuasaan. Oleh sebab itu, negara berlandaskan hukum memuat unsur pemisahan
atau pembagian kekuasaan.11 Aristoteles merumuskan negara hukum adalah negara
yang berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya.
Keadilan merupakan syarat bagi tercapainya kebahagiaan hidup untuk warga Negara
dan sebagai daripada keadilan itu perlu diajarkan rasa susila kepada setiap manusia
9 Achmad Ali, 2002, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Penerbit
Toko Gunung Agung, Jakarta, h.82-83 10 Bagir Manan, 2003, Lembaga Kepresidenan, FH UII Press, Jakarta, h. 11 dalam konsep teori
dalam sistem kelembagaan negara (suatu tinjauan legal standing Mahkamah Konstitusi terkait kasus
sengketa Mahkamah Agung dan komisi yudisial) 11 Ibid.
agar ia menjadi warganegara yang baik. Peraturan yang sebenarnya menurut
Aristoteles ialah peraturan yang mencerminkan keadilan bagi pergaulan antar warga
negaranya, maka menurutnya yang memerintah negara bukanlah manusia melainkan
“pikiran yang adil.” Penguasa hanyalah pemegang hukum dan keseimbangan saja.12
Sedangkan Kelsen, menyatakan bahwa, hukum adalah sebuah sistem norma. Norma
adalah pernyataan yang menekankan aspek “seharusnya” atau das sollen, dengan
menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan. Norma-norma adalah
produk dan aksi manusia yang deliberatif. undang-undang yang berisi aturan-aturan yang
bersifat umum menjadi pedoman bagi individu bertingkah laku dalam bermasyarakat,
baik dalam hubungan dengan sesama individu maupun dalam hubungannya dengan
masyarakat. Aturan-aturan itu menjadi batasan bagi masyarakat dalam membebani atau
melakukan tindakan terhadap individu. Adanya aturan itu dan pelaksanaan aturan tersebut
menimbulkan kepastian hukum.13
Timor-Leste merupakan salah satu negara yang berlandaskan hukum,
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat (1) Konstitusi RDTL Tahun 2002
ditentukan bahwa, Republik Demokratis Timor-Leste adalah Negara hukum.14 Artinya,
dalam negara hukum, setiap aspek tindakan pemerintahan baik dalam lapangan
12 Aristoteles, 2008, Politik “La Politica” diterjemahkan dalam bahasa Inggris oleh Benjamin
Jowett dan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Syamsur Irawan Khairie, Cetakan Kedua,
Visimedia, Jakarta, h 43 13 Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta, h.158. 14 Lihat Pasal 1 ayat (1) Konstitusi Republik Demokratik Timor-Leste Tahun 2002 Republik
Demokratis Timor-Leste adalah Negara yang demokratis, berdaulat, merdeka dan bersatu, berdasarkan
kekuatan hukum, keinginan Rakyat dan kehormatan atas martabat manusia.
pengaturan maupun dalam lapangan pelayanan harus didasarkan pada peraturan
perundang-undangan atau berdasarkan asas legalitas. Artinya pemerintah tidak dapat
melakukan tindakan pemerintahan tanpa dasar kewenangan. Muhammad Yamin
menggunakan kata negara hukum sama dengan rechtsstaat atau government of law.15
Atas dasar negara hukum rechtssaat atau government of law, bahwa yang menjadi
dasar bagi negara hukum adalah, dimana kekuasaan tumbuh pada hukum dan semua
orang sama di hadapan hukum atau negara yang menempatkan hukum sebagai dasar
kekuasaan negara dan penyelenggaraan kekuasaan tersebut dalam segala bentuknya
dilakukan di bawah kekuasaan hukum.16 Terkait dengan prinsip negara hukum adalah
adanya asas legalitas, peradilan yang bebas, dan perlindungan terhadap hak asasi
manusia, dan tindakan penyelenggara negara harus berdasarkan hukum, jadi hukum
haruslah diatas kekuasaan.17
Dalam ketentuan dalam Pasal 1 ayat (1) Konstitusi RDTL Tahun 2002
bahwa, Republik Demokratis Timor-Leste adalah Negara yang demokratis, berdaulat,
merdeka dan bersatu, berdasarkan kekuatan hukum, keinginan rakyat dan kehormatan
atas martabat manusia. Negara berdasarkan hukum dan bukan berdasarkan atas
kekuasaan. Hukum justru membuat kekuasaan menjadi sah dengan menunjukkan
15 Muhammad Yamin, 1982, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, Ghalia Indonesia,
Jakarta h. 72, menguraikan, “Republik Indonesia ialah negara hukum (rechtsstaat, government of law)
tempat keadilan yang tertulis berlaku, bukanlah negara polisi atau negara militer, tempat polisi dan
prajurit memegang pemerintah dan keadilan, bukanlah pula negara kekuasaan (machtsstaat) tempat
tenaga senjata dan kekuatan badan melakukan sewenang-wenang. 16 Mochtar Kusumaatmadja, 1995, Pemantapan Cita Hukum dan Asas Hukum Nasional di Masa
Kini dan Masa Yang Akan Datang, makalah, Jakarta, h. 1-2 17 Yusril Ihza Mahendra, 1996, Dinamika Tata Negara Indonesia: Kompilasi Masalah Konstitusi,
Dewan Perwakilan dan Partai Politik, Gema Insani Press, Jakarta, h. 90
mekanisme penyelenggaraan dan batas suatu tindakan. Peradilan haruslah merdeka
dari pengaruh Pemerintah dan perlindungan hak asasi manusia dijalankan. 18
Berdasarkan uraian Pasal 1 ayat (1) di atas, dapat disimpulkan bahwa,
ketidakpastian hukum sangat mempengaruhi proses penyelenggaraan pemerintahan
negara, oleh karena itu, lembaga-lembaga negara yang berwenang membentuk undang-
undang, dalam hal ini, Parlemen Nasional dan Pemerintah Republik Demkratik Timor-
Leste, perlu memperhatikan undang-undang mengenai proses pembentukan peraturan
perundang-undangan, dan hierarki peraturan perundang-undangan serta materi muatan
peraturan perundang-undangan Negara Republik Demokratik Timor-Leste, guna
mewujudkan kepastian, keadilan dan kemanfaatan hukum dalam masyarakat. Oleh
karena konsekuensi dari ketidakpastian hukum akan berdampak terhadap proses
penyelenggaraan pemerintahan negara, maka perlu diperhatikan tujuan-tujuan negara
sebagaimana ketentuan dalam konstitusi yaitu:
Pertama; Sebagai konsekuensi belum adanya undang-undang tentang hierarki dan materi
muatan Peraturan Pemerintah yang mengalami kesulitan dalam membuat
kebijakan maupun keputusan dalam penyelenggaraan pemerintahan karena belum
ada undang-undang tentang hierarki dan materi muatan peraturan perundang-
undangan. Padahal undang-undang tersebut berfungsi sebagai landasan hukum
bagi penyelenggaraan negara dan pejabat pemerintahan dalam membuat peraturan
dan menetapkan kebijakan-kebijakan Nasional dan Internasional.
18 Bagir Manan dan Kuntara Magnar, 1997, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia,
edisi Revisi, Alumni Bandung, h. 79
Kedua; Menimbulkan konflik norma hukum (antinomy) antara peraturan perundang-
undangan yang lebih rendah tingkatannya dengan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi tingkatannya, secara vertikal maupun horizontal
antara satu bentuk peraturan perundang-undangan dengan peraturan perundang-
undangan lain yang sama tingkatannya.
Ketiga; Menimbulkan konflik kewenangan karena kewenangan yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan kemungkinan tidak jelas atau saling
bertentangan. Dengan demikian menimbulkan kesulitan bagi penyelenggara
negara dan pejabat pemerintahan dalam menjalankan fungsi-fungsinya, baik
dalam fungsi pembentukan keputusan, fungsi perbuatan materil maupun dalam
fungsi pelayanan umum (servisu publiku). Sistem koordinasi antara lembaga-
lembaga negara yang satu dengan lembaga negara yang lainnya.
Keempat; Menimbulkan multi interpretasi dari masing-masing penyelenggara negara dan
pejabat pemerintahan terhadap peraturan perundang-undangan maupun
peraturan kebijakan. Dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara Republik
Demokratik Timor-Leste kadang-kadang masih menimbulkan tumpang tindih
kewenangan antar penyelenggara negara dan pejabat pemerintahan. Hal ini
disebabkan karena adanya kesamaan dalam pengaturan kewenangan.
Kelima; sumber (referensi) peraturan perundang-undangan negara lain, tidak sama
dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat negara pengadopsinya, sebagaimana
Negara Republik Demokratik Timor-Leste, sumber hukum yang digunakan
dalam pembentukan peraturan perundang-undangan pada umumnya berasal
sumber dari negara-negara berbahasa Portugis seperti; dari hukum Portugal,
Barsil, Mosambique, Cabo Verde, Regulasi UNTAET, dan hukum Indonesia.
Kadang sumbernya, secara filosofis, tidak sesuai kondisi masyarakat Timor-
Leste, sehingga pengaturan yang bersifat pluralistik ini cenderung saling
bertentangan dengan kebiasaan masyarakat, sehingga menimbulkan kesulitan
dalam penerapannya.
Ke enam; Belum adanya undang-undang tentang hierarki peraturan perundang-undangan
dan materi muatan peraturan perundang-undangan menimbulkan konsekuensi
lain yaitu, tidak adanya suatu standar mengenai pembentukan peraturan
perundang-undangan, karena undang-undang tentang hierarki dan materi muatan
peraturan perundang-undangan yang berfungsi sebagai pedoman dalam
membentukan peraturan perundang-undangan, sangat penting bagi Negara-
negara yang baru berkembang, untuk menghindari adanya konfilk norma yang
satu terhadap norma yang lain.
Ketujuh; Bahasa merupakan alat komunikasi anggota masyarakat yang satu terhadap
masyarakat yang lainnya, dengan demikian Bahasa yang digunakan dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan harus menggunakan Bahasa yang
sederhana dan mudah dimengerti semua warganegara. Konsekuensi penggunaan
Bahasa dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan Negara
Republik Demokratik Timor-Leste pada umumnya, menggunakan Bahasa
Portugis, sedangkan masyarakat Timor-Leste pada umumnya tidak mengerti
Bahasa Portugis, dengan demikian sering terjadi ketidakadilan dan
ketidakpastian dalam proses peradilan terhadap hak-hak warganegara secara
Konstitusional.
Konsekuensi ketidakpastian hukum di atas, Herlien Budiono19 mengatakan
bahwa, kepastian hukum merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan dari hukum,
terutama untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan
makna karena tidak dapat dijadikan sebagai pedoman perilaku bagi semua orang.
Selanjutnya, Apeldoorn mengatakan bahwa kepastian hukum memiliki dua segi yaitu
dapat ditentukannya hukum dalam hal yang konkret dan keamanan hukum. Hal ini berarti
pihak yang mencari keadilan ingin mengetahui apa yang menjadi hukum dalam suatu hal
tertentu sebelum ia memulai perkara dan perlindungan bagi para pihak dalam
kesewenangan hakim20
Berkaitan dengan asas kepastian hukum, undang-undang yang dibentuk oleh
lembaga Negara yang berwenang, sering dirubah-rubah sesuai dengan masa peiode
Pemerintah dan berakhirnya masa pembuatan undang-undang oleh lembaga legislatif.
Hal ini bertentangan dengan asas kepastian hukum yang dianut oleh Negara, dan apabila
19 I.H. Hijmans, 2006, dalam Het recht der werkelijkheid, dalam Herlien Budiono, Asas
Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia-Hukum Perjanjian Berlandaskan Asas-Asas Wigati
Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 208 20 A. Madjedi Hasan, 2009, Kontrak Minyak dan Gas Bumi Berazas Keadilan dan Kepastian
Hukum, Fikahati Aneska, Jakarta: tanpa hlm.
ditelusuri dari segi moral politik, terdapat empat alasan utama negara diselenggarakan
berdasarkan hukum antara lain: 21
1) Hanya dengan berdasarkan hukum dapat tercapai kepastian hukum yang
merupakan kebutuhan masyarakat untuk dapat memperhitungkan tindakan
negara.
2) Hanya melalui penyelenggaraan negara berdasarkan hukum kesamaan nilai-
nilai keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum, serta hak-hak warga Negara
yang hakiki dapat diwujudkan.
3) Hukum yang dibuat lembaga legislatif merupakan bentuk legitimasi
demokratis bahwa penggunaan kekuasaan didasarkan pada persetujuan warga
negara.
4) Alasan utama negara hukum tersebut, dipandang sebagai tuntutan akal budi
sebagai penata kehidupan bermasyarakat yang membedakan manusia dengan
binatang. Hukum dibuat dan dijalankan secara rasional, bukan atas dasar
dorongan irasional atau istingtual.
Dalam doktrin ilmu hukum sebagaimana dikemukakan Fuller22, terdapat
delapan prinsip yang meliputi: (1) general; (2) made known or available to the affected
party (promulgation); (3) prospective, not retroactive; (4) clear and understandable; (5)
free from contradictions; they should not (6) require what is impossible; (7) be too
frequently changed; finally (8) there should be congruence between the law and official
action. Pendapat Fuller diterjemahkan oleh Satjipto Rahardjo sebagai berikut23:
a) Harus ada peraturan-peraturan terlebih dahulu, hal ini berarti, bahwa tidak ada
tempat bagi keputusan-keputusan secara ad-hoc, atau tindakan-tindakan yang
bersifat arbiter;
b) Peraturan-peraturan itu dibuat harus diumumkan secara layak;
c) Peraturan-peraturan itu tidak boleh berlaku surut;
d) Perumusan-perumusan peraturan-peraturan itu harus jelas dan terperinci, ia
harus dapat dimengerti oleh rakyat;
e) Hukum tidak boleh meminta dijalankannya hal-hal yang tidak mungkin;
21 Franz Magnis Suseno, 1991, Etika Politik; Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern,
Gramedia, Jakarta, h. 295. 22 H.L.A Hart, 1983, Essays in Jurisprudence and Philosophy, Clarendon, Oxford, h. 347. 23 Satjipto Rahardjo, 1980, Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung. h. 78.
f) Di antara sesama peraturan tidak boleh terdapat pertentangan satu sama lain;
g) Peraturan-peraturan harus tetap, tidak boleh sering diubah-ubah;
h) Harus terdapat kesesuaian antara tindakan-tindakan para pejabat hukum dan
peraturan-peraturan yang telah dibuat.
Keberlakuan usulan rancangan undang-undang yang dibentuk Pemerintah
melalui perijinan legislatif oleh Parlemen Nasional kepada Pemerintah, bertentangan
dengan syarat ke-7 yakni peraturan harus tetap dan tidak boleh sering diubah-ubah.
Ketentuan Pasal 96 ayat (3) Konstitusi RDTL ini juga menjadi problematika yuridis
dimana suatu hukum yang baik dengan menghindari frekuensi perubahan aturan.
Perijinan legislatif sendiri juga tidak sesuai dengan sistem pemisahan kekuasaan
(separation of power). Pemisahan kekuasaan tidak menghendaki adanya koordinasi
antara lembaga penyelenggaan negara. Namun dalam konstitusi terdapat kalimat “saling
ketergantungan dan interpendensi” antar lembaga-lembaga Negara sebagaimana diatur
dalam Pasal 67 Konstitusi RDTL Tahun 2002.
Secara politik, keberlakuan suatu undang-undang yang tergantung dari
periode pemerintahan menimbulkan tendensi untuk saling menjatuhkan antara lembaga
Negara. Misalnya, dalam perjalanan pemerintahan, Parlemen Nasional tidak lagi
sependapat dengan undang-undang yang dibuat oleh Pemerintah atau menganggap bahwa
undang-undang yang di buat oleh Pemerintah menghalangi tujuan Parlemen Nasional
maka, Parlemen Nasional akan berupaya menggulingkan Pemerintah, melalui mosi tidak
percaya pada Pemerintah berkaitan dengan pelaksanaan programnya atau atas hal-hal
yang menyangkut kepentingan negara.
Berkaitan dengan keberlakuan undang-undang hanya 1 (satu) periode, dapat
menyebabkan ketidakstabilan dibidang ekonomi, pertahanan dan keamanan. Undang-
undang yang dibuat melalui perijinan legislatif menyangkut masalah perekonomian, dan
masalah tersebut mencakup sistem moneter; sistem perbankan dan keuangan, definisi
dasar-dasar kebijakan perlindungan lingkungan hidup dan pembangunan yang
berkesinambungan, aturan dan peraturan umum untuk penyiaran radio dan televisi dan
media massa lainnya.
Perubahan undang-undang yang bergantung pada periode pemerintahan akan
menimbulkan ketidakstabilan di bidang ekonomi, investor akan sangat menimbang-
nimbang untuk menanamkan modalnya di Negara RDTL. Kebijakan ekonomi yang
sangat bergantung pada kebijakan politik, di satu sisi dapat menguntungkan pelaku usaha
namun di sisi lain, dapat merugikan pelaku usaha jika Pemerintah tidak responsif terhadap
kepentingan dunia usaha. Kondisi ini, secara umum dapat merugikan Negara RDTL
sebagai negara yang baru membangun, undang-undang yang dibentuk melalui perijinan
legislatif juga mencakup definisi kejahatan, hukuman, upaya pengamanan dan masing-
masing persyaratannya, definisi prosedur hukum perdata dan hukum pidana, penataan
kehakiman dan kedudukan kehakiman, aturan dan peraturan umum untuk kepegawaian
negeri, kedudukan pegawai negeri dan tanggung jawab Negara, pengabdian militer atau
kewajiban warga negara, aturan dan peraturan umum bagi penuntutan resmi dan
penyitaan atas kepentingan umum serta cara dan bentuk intervensi, penyitaan,
nasionalisasi dan pengswastaan serta dasar-dasar umum untuk penataan pemerintahan
umum. Perubahan undang-undang ini tentu akan melanggar hak asasi yang seharusnya
dilindungi.
Bertitik tolak dari perijinan legislasi dari Parlemen Nasional kepada
Pemerintah dan disamping itu, Pemerintah juga secara eksklusif mempunyai kewenangan
untuk membentuk undang-undang yang berkaitan dengan tata cara pelaksanaan
pemerintahannya baik secara langsung maupun tidak langsung. Atas dasar kewenangan
Pemerintah untuk membentuk undang-undang sebagai lembaga legislatif, dan disisi lain,
Pemerintah mempunyai kewenangan untuk melaksanakan undang-undang, sebagai
lembaga eksekutif.
Logika sederhananya, bahwa kalau RUU itu berasal dan merupakan inisiatif
dari pihak eksekutif, maka sedikit banyak mewarnai kepentingan dari pihak eksekutif itu
sendiri, sementara eksekutif sebagai pihak pelaksana undang-undang bukan pembuat
undang-undang, sehingga kalau pihak pelaksana sudah masuk dan ikut campur ke ranah
membuat dan yang nantinya dia sendiri akan melaksanakan, bukankah ini menjadi sebuah
lelucon yang tak lucu, membuat sekaligus juga melaksanakan. Di samping logika di atas,
kalau berbicara masalah profesionalitas, bahwa yang dikatakan profesional secara singkat
dan sederhana adalah bekerja sesuai tupoksi (tugas pokok dan fungsi).
Dalam kaitannya dengan logika sederhana di atas, maka secara doktriner dapat
dijelaskan bahwa, kekuasaan legislatif merupakan lembaga yang bertugas membuat
peraturan perundang-undangan, sedangkan kekuasaan eksekutif merupakan lembaga
yang bertugas melaksanakan peraturan perundang-undangan yang di bentuk oleh
lembaga legislatif, namun menurut ketentuan Konstitusi RDTL Parlemen Nasional
memberikan ijin kepada Pemerintah untuk membentuk undang-undang tentang materi
muatan yang telah ditentukan dalam Pasal 96 ayat (1) dan Pasal 97 ayat (1) bagian huruf
(c) tentang inisiatif undang-undang dari Pemerintah.
Pengaturan kewenangan pembentukan undang-undang yang dilakukan oleh
lembaga legislatif dan eksekutif, menimbulkan tumpang tindih kewenangan kepada
lembaga eksekutif. Apabila Pemerintah diberikan kewenangan untuk membentuk
undang-undang maka, fungsi utama dalam pelaksanaan undang-undang tidak efektif.
Artinya lembaga pelaksana (eksekutif) tidak boleh ikut campur tangan dalam proses
“membuat” undang-undang, meskipun ada kewenangan dalam membuat peraturan
perundang-undangan, namun harus dibatasi atau cukup membuat peraturan internal yang
mengatur tatacara kerjanya pemerintahan, demikian pula sebaliknya, lembaga legislatif
tidak boleh ikut campur dalam proses “melaksanakan”.
Dalam kaitannya dengan pembagian kekuasaan, Lord Acton telah
memperingatkan bahwa “power tends to corrupt; and absolute power tends to corrupt
absolutely” (semakin besar kekuasaan, akan semakin besar pula kecenderungan untuk
disalahgunakan),24 sehingga dalam konsep negara hukum, sumber untuk memperoleh dan
menggunakan kekuasaan serta batas-batasnya, harus secara jelas diatur dan
dipertanggungjawabkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
24 Miriam Budiardjo, 1993, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, h. 53
Penggunaan kekuasaan Pemerintah harus berlangsung di dalam batasan-
batasan peraturan yang berlaku bagi cukup banyak kategori orang dan tindakan.25
Segenap peraturan ini, apapun bentuknya, harus diberlakukan secara seragam. Kehendak
pembuat undang-undang (lawgiver) harus diwujudkan lewat peraturan-peraturan umum.
Pembuat undang-undang (legislator) tidak dapat menghukum ataupun memihak
individu-individu tertentu secara langsung, sehingga terhindar pula dari melakukan
kontrol personal secara langsung.
Pelaksanaan undang-undang (administrator) berurusan dengan individu
hanya sebatas aturan-aturan yang ditentukan. Berdasarkan pemikiran ini, pelaksana
undang-undang menghindari upaya penggunaan kekuasaan publik untuk mencapai tujuan
pribadi, sebab untuk bertindak dalam batas-batas yang ditentukan oleh undang-undang,
harus ada orang lain dengan kewenangan terakhir untuk menentukan makna hukum, dan
dalam pelaksanaannya membutuhkan metode yang berbeda dengan metode administratif.
Pejabat ini adalah hakim (judge).26 Jika pelaksana hukum juga merangkap sebagai hakim,
maka mungkin saja makna aturan-aturan hukum yang wajib dilaksanakannya malah
“dipelintir” sedemikian rupa agar sesuai dengan tujuan-tujuan pribadinya. Selain itu, bisa
pula timbul kekacauan dalam metode administratif dan metode peradilan, sebab masing-
masing metode memiliki keutamaan sendiri dan tidak bisa diabaikan demi
penyelenggaraan negara dengan sebaik-baiknya. Untuk mewujudkan kesejahteraan
25 Roberto M., 2007, Teori Hukum Kritis: Posisi Hukum dalam Masyarakat Modern, Nusamedia,
Bandung, h. 234 26 Ibid. h. 235
rakyat sesuai dengan tujuan negara maka semestinya, Parlemen Nasional, cukup
mengawasi atau mengontrol atas pelaksanaan program Pemerintah sesuai dengan
kewenangannya. Selain itu, Pemerintah melaksanakan programnya sesuai dengan
kewenangan yang diberikan oleh undang-undang, inilah yang dinamakan bekerja secara
profesional, yaitu bekerja menurut bidang masing-masing. Seorang wasit bekerjalah
sesuai dengan bidang perwasitan, demikian pula sebaliknya dengan pemain. Hal
demikian secara yuridis normatif, terhadap rancangan undang-undang yang berasal dari
eksekutif memang ada proses pembahasan di tingkat legislative, namun perlu diingat
bahwa, kalau suatu rancangan undang-undang (RUU), konsepnya berasal dari eksekutif
maka ini artinya, Ide dasar dan philosofisnya maupun unsur “kepentingan” telah diwarnai
oleh eksekutif.
Apabila Pemerintah diberikan wewenang untuk membentuk undang-undang
maka logika sederhananya, bahwa bagaimana mungkin bisa obyektif manakala “pemain
sekaligus berposisi sebagai wasit”, baik itu dalam ranah “membuat” maupun dalam
tataran “melaksanakan.” Kekuasaan eksekutif cukup membentuk peraturan hanya sebatas
aturan pelaksana, seperti peraturan Pemerintah, keputusan Pemerintah, keputusan
Presiden (sistem pemerintahan presidensil) dan sebagainya. Sebagai aturan pelaksana
teknis dari sebuah undang-undang hasil “produksi” dari lembaga legislatif, yang memang
secara teknis pelaksanaan pihak eksekutif yang lebih tahu “medan” yang harus dihadapi.
Perlu juga diketahui bahwa, apabila Pemerintah yang merancang undang-undang, mulai
dari tingkat undang-undang dimana ide dasar dan philosofisnya sudah secara otomatis
melibatkan secara penuh pihak eksekutif yang walaupun ada pembahasan di tingkat
legislatif, dan setelah disahkan. Selanjutnya serahkan kepada Pemerintah untuk
menjalankan (melaksanakan) artinya, konsep dasar dari Pemerintah setelah itu, kembali
kepada kekuasaan Pemerintah (eksekutif) untuk membuat aturan pelaksana seperti
peraturan Pemerintah, dan sebagainya, lalu dimana letak kekuasaan legislatif yang telah
disepakati untuk mengembangkan fungsinya sebagai legislator.
Bertitik tolak dari uraian di atas maka, dalam penelitian penulisan Disertasi
ini, hanya fokus pada kewenangan lembaga Negara dalam pembentukan undang-undang
yang dibatasi pada kewenangan lembaga legislatif dan kewenangan lembaga eksekutif
dalam pembentukan undang-undang berdasarkan Konstitusi RDTL. Formulasi judul
penelitian sebagai berikut: “Kewenangan Lembaga Negara Dalam Pembentukan
Undang-Undang Berdasarkan Konstitusi Negara Republik Demokratik Timor Leste.”
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka peneliti mengidentifikasi
permasalahan yang diteliti sebagai berikut:
1) Landasan filosofis kewenangan lembaga Negara dalam pembentukan undang-
undang berdasarkan Konstitusi Republik Demokratik Timor-Leste
2) Pembagian kewenangan materi muatan undang-undang antara Parlemen Nasional
dan Pemerintah.
3) Keberlakuan usulan rancangan undang-undang berdasarkan Konstitusi Republik
Demokratik Timor-Leste
1.3 Ruang Lingkup Masalah
Ruang lingkup masalah dalam penelitian ini adalah:
1) Melakukan pengkajian terhadap landasan filosofis kewenangan lembaga
negara dalam pembentukan undang-undang berdasarkan Konstitusi Republik
Demokratik Timor-Leste.
2) Melakukan pengkajian terhadap pembagian kewenangan materi muatan
undang-undang antara Parlemen Nasional dan Pemerintah
3) Melakukan pengkajian terhadap keberlakuan usulan rancangan undang-
undang dari Pemerintah mengenai perijinan legislatif.
1.4. Tujuan Penelitian
Pada dasarnya setiap penulisan karya ilmiah memiliki tujuan-tujuan yang
hendak dicapai, oleh karena itu, dalam penulisan ini dapat dikemukakan tujuan umum
dan tujuan khusus sebagaimana uraian di bawah.
1.4.1 Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini yaitu untuk menganalisis secara holistik dan kritis
terhadap dasar pemikiran filosofis, teoritis, yuridis, dan sosiologis terhadap kewenangan
lembaga Negara dalam pembuatan undang-undang baik lembaga legislatif maupun
lembaga eksekutif, serta menganalisis keberlakuan usulan undang-undang dari Parlemen
Nasional dan Pemerintah.
Tujuan dasar dari penelitian ini, adalah untuk mengetahui dan mengevaluasi
pelaksanaan fungsi legislasi oleh Parlemen Nasional dan Pemerintah Republik
Demokratik Timor-Leste, guna mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi
pelaksanaan fungsi legislasi serta bagaimana langkah-langkah yang perlu dilakukan
untuk mencari solusinya. Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah: Secara
teoritis diharapkan dapat mengembangkan ilmu Hukum Tata Negara khususnya hukum
Pemerintahan yang berkaitan dengan fungsi legislasi Pemerintah dan secara praktis
diharapkan memberikan sumbangan pemikiran, khususnya kepada Parlemen Nasional
dan Pemerintah dalam rangka penyelenggaraan fungsi legislasi Negara Republik
Demokratik Timor-Leste.
1.4.2 Tujuan Khusus
Berdasarkan permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini, ada tujuan
khusus sebagai berikut:
a) Melakukan analisis terhadap landasan filosofis kewenangan lembaga negara
dalam pembentukan undang-undang berdasarkan Konstitusi negara Republik
Demokratik Timor-Leste.
b) Melakukan analisis terhadap hakikat pembagian kewenangan materi muatan
undang-undang antara Parlemen Nasional dan Pemerintah berdasarkan Konstitusi
negara Republik Demokratik Timor-Leste
c) Melakukan analisis terhadap pentingnya ketentuan yuridis keberlakuan undang-
undang yang dibentuk oleh lembaga eksekutif berdasarkan konstitusi serta dalam
penyelenggarakan Pemerintahan Negara Republik Demokratik Timor-Leste.
1.5 Manfaat Penelitian
Penulisan suatu karya ilmiah tentu bermanfaat bagi setiap instutisi akademik,
Pemerintah, peneliti maupun individu yang membutuhkannya. Oleh karena itu, dalam
penulisan ini manfaat yang dicapai dibedakan menjadi manfaat teoritis dan manfaat
praktis sebagai berikut:
1.5.1 Manfaat Teoritis
Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran bagi pengembangan Ilmu Hukum, khususnya pada Teori Hukum Tata Negara
dan Hukum Administrasi Negara, di samping itu, memberikan pemikiran dan
pengetahuan tentang asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan di Negara
RDTL. Oleh karena itu, penelitian ini bermanfaat untuk pengembangan ilmu hukum tata
negara dan Hukum Adminstrasi negara.
1.5.2 Manfaat Praktis
Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran ilmu pengetahuan pada umumnya dan khusunya Hukum Tata Negara dan
Hukum Administrasi Negara, dan penelitian ini diharapkan dapat menyelesaikan
masalah-masalah yang sering dihadapi oleh lembaga Negara, terutama kewenangan
lembaga Negara dalam pembentukan undang-undang pada umumnya dan khususnya
Negara Republik Demkratik Timor-Leste.
1.6 Orisinalitas Penelitian
Disertasi ini merupakan suatu karya ilmiah berdasarkan penelitian yang
diartikan sebagai pengetahuan yang rasional, hasil berpikir kritis secara sistematis, teratur
dengan mengunakan metode-metode tertentu, melalui penalaran (Induktif atau Deduktif)
upaya untuk menguak misteri-misteri di seputar kehidupan duniawi sebagaimana adanya
demi pemecahan berbagai masalah kemanusian atau demi pembangunan ilmu itu sendiri.
Sebagai suatu ilmu, penelitian hukum menuntut sifat-sifat keilmiahan. Bernard Arief
Sidharta,27 memperjelas istilah ilmu menunjuk pada kegiatan intelektual yang memiliki
struktur dan unsur-unsur yang terdiri atas hal-hal sebagai berikut:
a) Pra anggapan yang berfungsi sebagai titik tolak dan asas yang membimbing;
b) Bangunan sistimatis yang mencakup metode, substansi (perangkat
pengertian/konsep dan perangkat teori);
c) Keberlakukan intersubyektif; dan
d) Tanggung jawab etis.
Terkait dengan tanggungjawab etis suatu karya ilmiah sebagaimana
disebutkan oleh Bernard Arief Sidharta di atas, seorang peneliti wajib untuk memberikan
pertanggungjawaban ilmiah terhadap hasil karyanya, salah satunya dengan menjamin
keaslian (orisinalitas) dari penelitian yang dilakukan. Terkait dengan orisinalitas,
penelitian ini pada dasarnya terfokus pada kajian mengenai wewenang lembaga negara
dalam pembentukan undang-undang. Pada umumnya kajian terhadap wewenang lembaga
negara dalam pembentukan undang-undang bukan merupakan sesuatu hal yang baru
sama sekali namun fokus kajian terhadap wewenang lembaga Negara dalam
27 I Nyoman Suyatna, 2011, Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik Dalam Pembentukan
Peraturan Daerah, Disertasi, Program Studi Ilmu Hukum Universitas Brawijaya, Malang, h. 26
pembentukan undang-undang berdasarkan Konstitusi RDTL, dalam penelitian ini akan
menunjukan keaslian dari penelitian ini sendiri.
Beberapa penelitian dan penulisan tentang wewenang lembaga Negara dalam
pembentukan undang-undang dapat ditemukan sebagai berikut:
1) Anis Ibrahim, Judul Disertasi28 “Legislasi dalam Perspektif Demokrasi:
Analisis Interaksi Politik dan Hukum Dalam Poses Pembentukan Peraturan
Daerah di Jawa Timur, pada Program doktor ilmu hukum Universitas
diponegoro Semarang, yang dipertahankan pada tanggal 6 Maret 2008, dalam
Disertasinya tersebut mengkaji 2 (dua) permasalahan yaitu: (1) Bagaimanakah
interaksi politik Berlangsung dalam proses pembentukan Peraturan Daerah
(legislasi Perda) di Jawa Timur, ditinjau dari perspektif demokrasi? dan (2)
Bagaimanakah konsep ideal proses pembentukan Peraturan Daerah (legislasi
Perda) dalam perspektif demokrasi ke depan?
2) I Nyoman Suyatna,29 Judul Disertasinya: “Asas-asas Umum Pemerintahan
yang Baik dalam Pembentukan Peraturan Daerah” pada Program Studi Ilmu
Hukum Universitas Brawijaya Malang 2011. Permasalahan yang dikaji ada 3
(tiga) masalah yaitu: (1) Mengapa Asas-asas umum pemerintahan yang baik
harus dijadikan landasan dalam pembentukan Perda? (2) Bagaimanakah
bentuk penerapan asas-asas umum pemerintahan yang baik dalam
28 Anis Ibrahim, 2008, Legislasi dalam Perspektif Demokrasi: Analisis Interaksi Politik dan
Hukum Dalam Proses Pembentukan Peraturan Daerah di Jawa Timur, Disertasi, Program Doktor Ilmu
Hukum Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung, h.54 29 I Nyoman Suyatna, Op. Cit, h. 550-551.
pembentukan perda? Ketiga (3) Bagaimanakah konsep pengaturan asas-asas
umum pemerintahan yang baik dalam pembentukan perda?
3) Yuliandri, dengan judul Azas-azas Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan Berkelanjutan. Dalam disertasi Doktor dalam Ilmu Hukum
(perundang-undangan), pada Program Studi Ilmu Hukum Program
Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya 2007, Yuliandri merumuskan
masalahnya sebagai berikut:
a) Mengapa pembentukan undang-undang dewasa ini tidak menghasilka
n undang-undang yang berkualitas sesuai dengan tujuan pembentuka
nnya?
b) Apakah azas-azas pembentukan peraturan perundang-undangan yang
baik dalam pembuatan undang-undang?
c) Persyaratan apa saja yang harus dipenuhi agar pembentukan undang-
undang memiliki kharakteristik berkelanjutan?
4) Febrian, dengan judul Disertasinya, “Hirarki Aturan Hukum di Indonesia”
pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Airlangga Surabaya 2004.
Febrian merumuskan masalahnya sebagai berikut:
a) Apakah bentuk dari aturan Hukum?
b) Siapakah yang memiliki wewenang membentuk aturan Hukum?
c) Bagaimanakah pengujian aturan (Norma) Hukumnya?
5. Tesis Soimin, yang berjudul Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
Negara Indonesia, pada program pasca sarjana Universitas Muhammadiyah
Malang, Tahun 2009, yang kemudian dibukukan dan mengkaji lembaga
Negara yang berwenang merumuskan kebijakan dalam penyunan naskah
peraturan perundang-undangan, baik lembaga Negara yang berada pada
pemerintah pusat maupun yang berada di Pemerintah daerah. Kemudian
analisa pembahasan mengetengahkan kajian politik hukum berdasarkan
ketentuan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
Mencermati berbagai hasil penelitian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
judul disertasi kewenangan lembaga pembentukan undang-undang yang penulis susun
memiliki karakteristik (keaslian penelitian) tersendiri. Oleh karena itu, justifikasi
orisinalitas penelitian merupakan bentuk etika keilmuan penulis untuk menjunjung
kejujuran akademis dalam penulisan karya ilmiah dengan tidak melakukan plagiarism
terhadap karya orang lain dengan cara mencantumkan setiap kutipan atau pemikiran yang
penulis tuangkan kembali dalam bahasa penulis sendiri dengan mencantumkan sumber
kutipan di catatan kaki. Lengkapnya, judul disertasi penelitian yang penulis lakukan yaitu
“Kewenangan Lembaga Negara Dalam Pembentukan Undang-undang Berdasarkan
Konstitusi Republik Demokratik Timor-Leste”
Focus kajian penelitian ini, kewenangan lembaga negara dalam pembentukan
undang-undang dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan, dikaitkan dengan
kewenangan pembentukan undang-undang. Berdasarkan perbandingan dengan ke lima
penelitian di atas, dapat dikatakan bahwa tidak ada kesamaan penelitian terdahulu dengan
penelitian ini.
1.7 Kerangka berfikir
Kewenangan merupakan kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk
melakukan sesuatu berdasarkan hak yang diperolehnya. Dalam literatur ilmu politik,
ilmu pemerintahan, dan ilmu hukum sering ditemukan istilah kekuasaan, kewenangan,
dan wewenang. Kekuasaan sering disamakan begitu saja dengan kewenangan, dan
kekuasaan sering dipertukarkan dengan istilah kewenangan, demikian pula sebaliknya.
Bahkan kewenangan sering disamakan juga dengan wewenang. Kekuasaan biasanya
berbentuk hubungan dalam arti bahwa “ada satu pihak yang memerintah dan pihak lain
yang diperintah” (the rule and the ruled).30
Berdasarkan pengertian tersebut di atas, dapat terjadi kekuasaan yang tidak
berkaitan dengan hukum. Kekuasaan yang tidak berkaitan dengan hukum oleh Henc van
Maarseven disebut sebagai “blote match,” 31 sedangkan kekuasaan yang berkaitan
dengan hukum oleh Max Weber disebut sebagai wewenang rasional atau legal, yakni
wewenang yang berdasarkan suatu sistem hukum ini dipahami sebagai suatu kaidah-
kaidah yang telah diakui serta dipatuhi oleh masyarakat dan bahkan yang diperkuat oleh
Negara. Lembaga kedaulatan Negara Republik Demokratik Timor-Leste, terdiri atas:
Presidente da Repúblika (Presiden Republik), Parlamento Nasional (Parlemen
Nasional); Governo (Pemerintah); dan Tribunal (Pengadilan).
Negara Republik Demokratik Timor Leste, merupakan negara hukum yang
30 Miriam Budiardjo,1998, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 35-36 31 Suwoto Mulyosudarmo, 1990, Kekuasaan dan Tanggung Jawab Presiden Republik Indonesia,
Suatu Penelitian Segi-Segi Teoritik dan Yuridis Pertanggungjawaban Kekuasaan, Universitas Airlangga,
Surabaya, h. 30
demokratis. Sistem pemerintahan semi Presidensial dan lembaga kedaulatan Negara
dalam pelaksanaan fungsinya harus mengikuti asas pemisahan kekuasaan. Dalam
pembuatan peraturan perundang-undangan, Parlemen Nasional selaku lembaga legislatif
memiliki kewenangan untuk membentuk peraturan perundang-undangan dan selain itu,
Parlemen Nasional mengijinkan Pemerintah untuk membentuk undang-undang,
terhadap materi muatan undang-undang ditentukan pada Pasal 96 ayat (1) Huruf (a)
sampai (l) Konstitusi RDTL. Selain perijinan Legislasi dari Parlemen Nasional,
pemerintah juga secara eksklusif mempunyai wewenang untuk membentuk undang-
undang atas urusan penataan tata cara kerjanya sendiri, sebagaimana diuraikan pada
Pasal 115 ayat (3) di atas. Adapun kerangka pemikiran disertasi ini dapat dilihat dalam
bagan berikut:
Bagan 1
Kerangka Berpikir
P. Filososfis:
Ketidakjelasan pembagian
kewenangan pembentukan UU
yg akan menimbulkan tendensi
untuk saling menjatuhkan
antara Lembaga Negara.
.
Teori Sistem
pemerintahan,
Konsep
negara hukum
Hasil penelitian 1) Kewenangan
lembaga
pembentuk
undang-undang
2) Masa
pemberlakuan
UU perijinan
legislasi
Parlemen kepada
Pemerintah
Metode
Penelitian
Landasan
Teoritis
Rumusan
Masalah
L. Belakang
Masalah
Penelitian
Hukum
Normatif yg
menjustifikasi
terhadap
norma, kabur
dan norma
kosong
Pembagian
kewenangan materi
muatan UU antara
Parlemen Nasional
dan Pemerintah
Bahan hukum primer
Bahan hukum sekunder
Bahan hukum tersier
Keberlakuan UU yg
diusulkan
Pemerintah dgn
sendirinya berakhir
bersamaan
berakhirnya masa
pemerintah
Kesimpulan
Dalam penelititan
dan penulisan
disertasi ini,
disimpulkan
terhadap kedua
masalah yang
dirumuskan pada
latar belakang
masalah.
Pendekatan
perundang-
undangan,
Pendekatan
komparatif,
Pendekatan
konseptual
KEWENANGAN LEMBAGA NEGARA DALAM PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG
BERDASARKAN KONSTITUSI NEGARA REPUBLIK DEMOKRASI TIMOR LESTE
Teori Trias
politica,
Teori
kewenangan,
Teori
Perundang-
undangan
P. Yuridis
a)Kekaburan norma Psl. 69, Psl.
96, Psl. 97 dan Psl. 115 ayat (3)
b)Kekosongan norma; belum
adanya hierarki peraturan Per-
UU-an
P. sosiologis:
Keberlakuan UU yg bergantung dari
masa jabatan, politis bertentangan
dengan asas-asas pembentukan
peraturan per-uu-an yang baik yg
berdampak thdp asas kepastian dan
kemanfaatan hukum dalam
masyarakat
Saran
Menyarankan
kepada pihak-
pihak yang
berkepentingan
terhadap kedua
masalah yang
dikemukakan
dalam penelitian
penulisan
disertasi ini.
Landasan filosofis
kewenangan
lembaga negara
dalam pembentukan
undang-undang
1.8 Metodelogi Penelitian
Bagian ini, menguraikan metode penelitian yang digunakan, untuk
menganalisis terhadap “kewenangan lembaga negara dalam membentuk undang-undang,
berdasarkan Konstitusi Republik Demokratik Timor-Leste”.
Istilah metode penelitian terdiri atas dua kata, yaitu kata metode dan
kata penelitian. Kata metode berasal dari Bahasa Yunani yaitu methodos yang berarti cara
atau menuju suatu jalan. Sedangkan penelitian adalah pemeriksaan yang teliti,
penyelidikan.32 Jadi metode penelitian merupakan kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan
suatu cara kerja (sistematis) untuk memahami suatu subjek atau objek penelitian, sebagai
upaya untuk menemukan jawaban yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah dan
termasuk keabsahannya.33 Adapun pengertian penelitian adalah suatu proses
pengumpulan dan analisis data yang dilakukan secara sistematis, untuk mencapai tujuan-
tujuan tertentu. Pengumpulan dan analisis data dilakukan secara ilmiah, baik bersifat
kuantitatif maupun kualitatif, eksperimental maupun non eksperimental, interaktif
maupun non interaktif.34
Dari pengertian di atas, dapat diketahui bahwa metode penelitian adalah suatu
cara untuk memecahkan masalah ataupun cara mengembangkan ilmu pengetahuan
32 Subarso & Ana Retnoningsih, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi lux, widya Karya-
Semarang, h.546 33 Rosady Ruslan, 2003, Metode Penelitian Public Relations dan Komunikasi, Jakarta: Rajawali
Pers, h. 24 34 Nana Syaodih Sukmadinata, 2005, Metode Penelitian Pendidikan, Bandung: Rosda Karya, h. 5
dengan menggunakan metode ilmiah. Secara lebih luas lagi Sugiyono,35
menjelaskan bahwa metode penelitian adalah cara-cara ilmiah untuk mendapatkan data
yang valid, dengan tujuan dapat ditemukan, dikembangkan dan dibuktikan,
suatu pengetahuan tertentu sehingga pada gilirannya dapat digunakan untuk
memahami, memecahkan, dan mengantisipasi masalah.
Dari berbagai upaya mencari kebenaran tersebut, hanya penelitian yang
dilakukan secara sistimatis, menggunakan metode, dan memegang konsistensi keilmuan
yang tinggi. Penelitian sebagai upaya mencari kebenaran adalah suatu kegiatan ilmiah
yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk
mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu melalui proses.36 Sebagai sebuah
karya ilmiah, penelitian ini juga didasarkan atas metode yang digunakan sebagaimana
uraian di bawah ini.
1.8.1 Jenis penelitian
Menurut Jhony Ibrahim, penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum
yang berusaha menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi
normatifnya.37 Sedangkan menurut Abdulkadir Muhamad, menyatakan bahwa penelitian
hukum normatif, adalah penelitain hukum yang menguji hukum tertulis, dari berbagai
aspek yaitu aspek teori, sejarah, filosofis, perbandingan, struktur dan komposisi, lingkup
dan materi. Konsistensi penjelasan umum dan pasal demi pasal, formalitas, dan
35 Sugiyono, 2009, Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D
Alfabeta: Bandung, h. 6 36 Abdulkadir Muhamad., Loc.Cit. 37 Jhony Ibrahim, 2005, Metode & Ilmu penelitian hukum Normatif, Bayu Media, Cet. 1, h. 57
mengikatnya suatu undang-undang serta bahasa hukum yang digunakan38. Atas dasar
pendapat tersebut di atas, jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian hukum normatif yaitu untuk memperoleh kejelasan secara normatif atas
permasalahan yang diteliti beserta hasil yang diperoleh terkait dengan kewenangan
lembaga Negara dalam pembentukan undang-undang berdasarkan Konstitusi RDTL
Tahun 2002.
Penelitian untuk penulisan Disertasi ini, focus kajiannya terhadap
permasalahan dari adanya norma kabur antara Pasal 69 Konstitusi RDTL Tahun 2002,
Asas pemisahan kekuasaan, dan Pasal 97 Konstitusi RDTL Tahun 2002, tentang inisiatif
undang-undang. Selanjutnya, Pasal 96 tentang perijinan legislatif oleh Parlemen Nasional
kepada Pemerintah dan materi muatan perijinan legislatif kepada Pemerintah
sebagaimana diatur pada Pasal 96 ayat (1) Huruf (a) sampai (l) sebagai berikut:
a) Definisi kejahatan, hukuman, upaya pengamanan dan masing-masing
persyaratannya;
b) Definisi prosedur hukum perdata dan hukum pidana;
c) Penataan kehakiman dan kedudukan kehakiman;
d) Aturan dan peraturan umum untuk kepegawaian negeri, kedudukan pegawai
negeri dan tanggung jawab Negara;
e) Dasar-dasar umum untuk penataan pemerintahan umum;
f) Sistem moneter;
g) Sistem perbankan dan keuangan;
h) Definisi dasar-dasar kebijakan perlindungan lingkungan hidup dan
pembangunan yang berkesinambungan;
i) Aturan dan peraturan umum untuk penyiaran radio dan televisi dan media
massa lainnya;
j) Pengabdian militer atau kewajiban warga negara;
38 Abdulkadir Muhamad, Op.Cit. h.101-102
k) Aturan dan peraturan umum bagi penuntutan resmi dan penyitaan atas
kepentingan umum;
l) Cara dan bentuk intervensi, penyitaan, nasionalisasi dan pengswastaan sarana
penghasilan dan tanah atas alasan kepentingan umum, serta persyaratan untuk
penetapan ganti rugi berkaitan dengan hal-hal tersebut.
Menurut Pasal 96 ayat (3) menyatakan bahwa, undang-undang mengenai
perijinan legislatif tidak dapat digunakan lebih dari satu kali dan tidak berlaku lagi ketika
Pemerintah diberhentikan, dengan berakhirnya masa legislatif atau dengan pembubaran
Parlemen Nasional, selanjutnya Pasal 115 tentang wewenang Pemerintah dalam
ketentuan ayat (3) menyatakan bahwa, “Pemerintah mempunyai wewenang legislasi
eksklusif atas urusan yang menyangkut penataan dan tata cara kerjanya sendiri, serta atas
penyelenggaraan pemerintahannya, baik secara langsung maupun tidak langsung”.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, apabila dikaitkan dengan Pasal 69
Konstitusi RDTL, asas pemisahan kekuasaan dan Pasal 97 Konstitusi RDTL Tahun 2002
tentang inisiatif undang-undang dari Pemerintah masih menimbulkan kekaburan norma,
oleh karena itu, perlunya penjelasan secara jelas tentang kewenangan lembaga Negara
dalam pembentukan undang-undang, agar tidak terjadinya multi tafsir dan atau
interprestasi terhadap kewenangan Parlemen Nasional dan Pemerintah dalam
pembentukan undang-undang.
1.8.2 Jenis Pendekatan
Jhony Ibrahim menjelaskan bahwa dalam penelitian hukum normatif dapat
digunakan beberapa model pendekatan yaitu39: Pendekatan peraturan perundang-
39 Jhony Ibrahim, Op. Cit, h. 246
undangan (statute approach), pendekatan kasus (case approach) pendekatan
perbandingan (comparative approach), pendekatan sejarah (historical approach),
pendekatan filsafat (philosophical approach), dan pendakatan konseptual (conceptual
approach). Oleh karenanya dalam penelitian ini, metode pendekatan yang digunakan
adalah sebagai berikut:
a) Pendekatan perundang-undangan (statute approach) dilakukan dengan menelaah
semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang
sedang dilakukan. Bagi penelitian untuk kegiatan praktis, pendekatan undang-
undang ini, akan membuka kesempatan bagi penulis untuk mempelajari adakah
konsistensi dan kesesuaian antara suatu undang-undang dengan undang-undang
lainnya atau antara Undang-Undang Dasar atau antara undang-undang dan
regulasi. Hasil dari telaah tersebut merupakan suatu argument untuk memecahkan
isu hukum yang dihadapi. Bagi penelititan untuk kegiatan akademis, penulis perlu
mencari ratio legis dan dasar ontologis lahirnya suatu undang-undang,40 sehingga
dalam penelitian untuk penulisan Disertasi ini, diacu juga pemikiran-pemikiran
ataupun pendapat-pendapat para ahli hukum yang terkait dengan norma-norma
hukum, yang dipersoalkan dalam penelitian ini yakni, Pasal 67 Konstitusi RDTL
Tahun 2002 tentang lembaga Negara, Pasal 69 Konstitusi RDTL Tahun 2002 asas
pemisahan kekuasaan, Pasal 95 Konstitusi RDTL Tahun 2002, kewenangan
lembaga legislatif dan Pasal 97 K-RDTL Tahun 2002 tentang inisiatif undang-
40 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian hukum normatif, Edisi Pertama, Cetakan ke 2, Kencana
Prenada Media Group, Surabaya.h, 93
undang, dan Pasal 115 K-RDTL Tahun 2002 tentang kewenangan Pemerintah,
serta Undang-Undang RDTL Nomor 17 Tahun 2005 tentang perijinan legislasi
Parlemen Nasional kepada Pemerintah untuk membentuk undang-undang
mengenai materi muatannya, hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Perdata,
UU-RDTL Nomor 13 Tahun 2008 tentang perijinan legislasi kepada Pemerintah
untuk membentuk undang-undang mengenai materi muatannya yaitu Codigo
Penal Timor-Leste (Hukum Pidana Timor-Leste). Selanjutnya, Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2012 tentang perijinan legislatif kepada Pemerintah untuk
membentuk undang-undang tentang lingkungan hidup, Undang-Undang RDTL
Nomor 6 Tahun 2013 menyatakan bahwa Autorização legislativa em matéria de
execução de penas e medidas privativas e não privativas da liberdade A presente
lei de autorização legislativa resulta da exigência de consagração de um regime
de execução de penas e medidas aplicadas em virtude de uma decisão penal, ao
abrigo do disposto no Código Penal e no Código de Processo Penal (Otorisasi
legislatif untuk pelaksanaan hukuman dan penahanan dan non-penahanan.
undang-undang otorisasi legislatif ini mengikuti persyaratan konsekrasi rezim dan
langkah-langkah hukuman yang diterapkan sesuai dengan keputusan pidana di
bawah ketentuan hukum pidana dan Hukum Acara Pidana), serta peraturan
pemerintah Konstitusional ke VI dan peraturan Tata Tertib Parlemen Nasional.
b) Pendekatan kasus (case approach) dilakukan dengan cara melakukan telaah
terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu hukum yang dihadapi yang telah
menjadi putusan pengadilan yanag telah mempunyai kekuatan yang tetap.
c) Pendekatan perbandingan (Comparative approach) dilakukan dengan
mengadakan studi perbandingan hukum. Menurut Gutteridge, bahwa
perbandingan hukum merupakan suatu metode studi dan penelitian hukumdengan
uraian: 41
Comparative law is becoming increasingly important , partially due to the
globalisation of society and the ever – increasing process europeanisation
Comparative law can involve an attempt to find new ideas for solving exixting
legal problems in ones own jurisdition (or another jurisdiction that has been
researched). Another aim of comparative law can be the harmonisation or
unification of the law (pendekatan Perbandingan hukum menjadi semakin
penting, sebagian karena globalisasi masyarakat dan pernah-meningkatkan
proses penelitian. Perbandingan hukum dapat melibatkan upaya untuk
menemukan ide-ide baru untuk memecahkan masalah hukum yang ada di
wilayah hukum itu sendiri (atau yurisdiksi lain yang telah diteliti).
Tujuan lain dari perbandingan hukum dapat menjadi harmonisasi atau
unifikasi hukum).42 Penelitian ini menggunakan pendekatan perbandingan untuk
memperoleh informasi mengenai fungsi pembentukan undang-undang (legislasi)
dalam Sistem Pemerintahan yang terdiri atas: Fungsi legislasi dalam Sistem
Pemerintahan Parlementer, fungsi legislasi dalam Sistem Pemerintahan
Presidensiil, dan fungsi legislasi dalam Sistem Pemerintahan semi-Presidensiil
41 Ibid. h.172 42 Ibid.
(campuran) untuk membandingkan fungsi legislasi dalam sistem Pemerintahan
negara Timor-Leste.
d) Pendekatan historis (historical approach) dilakukan dengan menelaah latar
belakang apa yang dipelajari dan perkembangan pengaturan mengenai isu yang
dihadapai. Telaah demikian diperlukan oleh Penulis untuk mengunkapkan
filofofis dan pola pikir yang melahirkan sesuatu yang sedang dipelajari.
e) Pendekatan filsafat (philosophical approach) dalam penelitian ini, digunakan
untuk menjustifikasi dan melakukan evaluasi terhadap hakekat, fungsi serta
tujuan dari pembagian kewenangan pembentukan undang-undang antara
Parlemen Nasional dan Pemerintah berdasarkan Konstitusi Timor-Leste, dan
menganalisis terhadap problematik yuridis normatif keberlakuan undang-undang
yang di bentuk oleh Parlemen Nasional dan Pemerintah berdasarkan Konstitusi
RDTL. Penyelenggaraan pemerintahan Negara secara legitimasi kewenangan
lembaga Negara untuk melaksanakan fungsi kewenangannya harus di dasarkan
pada peraturan perundang-undangan guna terciptanya keadilan, kepastian hukum
dan kemanfaatan hukum, sebagaimana pada tujuan Negara, tentu harus
diformulasikan melalui suatu aturan atau peraturan perundang-undangan yang
dibentuk oleh pejabat atau lembaga Negara yang berwenang.
f) Pendekatan konseptual (conceptual approach) dilakukan dengan beranjak dari
pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang didalam ilmu
hukum. Dengan mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam
ilmu hukum, guna menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian
hukum, konsep-konsep hukum dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu
yang dihadapi.43
1.9 Sumber Bahan Hukum
Pembuatan hukum dengan kebiasaan dan undang-undang sering disebut
sebagai dua sumber hukum. Dalam konteks ini, hukum hanya dipahami sebagai norma
umum, mengabaikan norma individual yang bagaimanapun juga merupakan bagian dari
hukum seperti yang lainnya. Dalam penelitian hukum normatif selalu digunakan sumber
bahan hukum yang terdiri atas bahan hukum primer (primary source or authorities)
seperti undang-undang, keputusan pengadilan dan bahan hukum sekunder (secondary
sources or authorities) misalnya buku-buku yang ditulis oleh para ahli, karangan barbagai
panelitian pembentukan hukum (law reform organization) dan lain-lain44. Selanjutnya
menurut Morris L. Cohen:45 bahwa “sumber bahan hukum primer akan terdiri dari:
1) Berbagai jenis peraturan perundang-undangan serta putusan pengadilan
2) sumber bahan hukum sekunder akan berupa berbagai bentuk kepustakaan di
bidang hukum maupun bidang yang terkait termasuk didalamnya
3) Pandangan-pandangan dari para pakar hukum”.
Berkaitan dengan pendapat tersebut di atas, maka dalam penelitian ini, sumber
bahan hukum yang digunakan dalam penelitian sebagai berikut:
43 Ibid. h. 95 44 C.F.G Sunaryati Hartono, 2006, Penelitian hokum di Indonesia pada akhir abad ke 20, Alumni
Bandung, h.141 45 Morris L. Cohen dan Kent C. Olson, 1968, Legal Reserach in A Nutshell, West Publishing
Company, St. Paul Minnesota, h. 1-3.
1.9.1 Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif,
artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari peraturan
perundang–undangan, risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-
putusan hakim. Bahan hukum primer yang digunakan dalam penulisan ini yakni:
Konstitusi RDTL, Undang-Undang RDTL Nomor 13 Tahun 2008 tentang Perijinan
Legislasi Dari Parlemen Nasional Kepada Pemerintah untuk membentuk undang-undang
Mengenai Materi Muatannya, Codigo Penal (Hukum Pidana) dan Codigo Prosesu Penal
(Hukum Acara Pidana) dan UU RDTL Nomor 5 Tahun 2011 tentang Usulan Rancangan
Undang-Undang Dari Pemerintah, Undang-Undang RDTL Nomor 17 Tahun 2005
tentang Perijinan Legislasi Parlemen Kepada Pemerintah Mengenai Materi Muatan
Codigo Civil (Hukum Perdata) dan Codigo Prosesu Civil (Hukum Acara Perdata),
Undang-Undang RDTL Nomor 6 Tahun 2015 tentang pemerintahan Konstitusional yang
ke VI.
1.9.2 Bahan Hukum Sekunder
Bahan Hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer yang didapatkan dari literatur, majalah, maupun
informasi, baik dari media cetak maupun media elektronik yang mendukung penelitian
ini. Data sekunder ini terdiri dari literatur-literatur dan makalah-makalah, karya-karya
ilmiah, journal serta artikel-artikel yang berkaitan dengan objek penelitian, termasuk
artikel-artikel yang didapatkan lewat penelusuran internet.
1.9.3 Bahan Hukum Terser
Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang mendukung bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder dengan memberikan pemahaman dan pengertian atas
bahan hukum lainnya, seperti Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Kamus Hukum.
1.9.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah
menggunakan metode studi literatur yang dilakukan untuk mendapatkan bahan hukum
primer maupun sekunder. Pengumpulan atau inventarisasi bahan hukum ini terlebih
dahulu dengan mengklarifikasikan bahan hukum tersebut pada pokok permasalahan yang
dibahas, yaitu bahan hukum mengenai kewenangan lembaga Negara dan hukum tata
Pemerintahan. Bahan-bahan hukum yang telah dikumpulkan dan diinventarisasi tersebut
kemudian akan diolah dan dikaji secara mendalam sehingga diperoleh gambaran yang
utuh mengenai persoalan hukum yang diteliti. Bahan hukum primer maupun sekunder
yang telah disinkronisasi secara sistematis kemudian dikaji lebih lanjut berdasarkan teori-
teori hukum yang ada sehingga diperoleh rumusan ilmiah untuk menjawab persoalan
hukum yang dibahas dalam penelitian hukum ini46.
1.9.5 Teknik Analisis Bahan Hukum
Untuk mendapatkan hasil atas permasalahan yang diteliti maka, bahan-bahan
hukum primer maupun bahan hukum sekunder, dengan teknik analisis bahan-bahan
hukum yang dipergunakan dalam kajian ini adalah teknik analisis “deskripsi, interpretasi,
46 Ibid. h. 35.
evaluasi, argumentasi, dan sistematisasi. Teknik deskripsi adalah suatu kondisi atau posisi
dari proposisi-proposisi hukum atau non hukum.
Dalam penelitian untuk penulisan Disertasi ini, diuraikan permasalahan dari
ketidakcermatan pembentukan undang-undang yang dampak pada ketidakpastian hukum,
dan ketidakadilan hukum dalam masyarakat. Penggunaan interpretasi, pada penelitian ini,
guna mencari kaidah hukum di balik suatu aturan melalui upaya penafsiran dengan
mengedepankan pendekatan hermeneutika. Teknik evaluasi yang merupakan penilaian
tepat atau tidak tepat, setuju atau tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah oleh
peneliti terhadap suatu pandangan, proposisi, pernyataan, rumusan norma, keputusan,
baik yang tertera dalam bahan primer maupun dalam bahan sekunder. Teknik digunakan
sebagai upaya untuk membatasi pemikiran Penulis tentang tema penelitian ini, agar tidak
meluas dikarenakan banyaknya pandangan para sarjana. Disamping itu teknik evaluasi
digunakan untuk menentukan posisi Penulis terhadap beberapa pandangan sarjana yang
diuraikan.
Menurut Van Hoecke yang dikutip Arief Sidharta, teknik evaluasi terbagi
dalam 3 tingkatan, yakni:47
a) Tataran teknis yaitu kegiatan yang semata-mata menghimpun dan menata
materi aturan-aturan hukum berdasarkan hierarki sumber hukum
b) Tataran teleologis yang berupa sistematisasi berdasarkan substansi atau isi
hukum
c) Tataran sistematisasi eksternal yaitu mensistematisasi hukum dalam rangka
mengintegrasikannya ke dalam tatanan masyarakat yang selalu berkembang.
47 Bernard Arief Sidharta, 2000, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Sebuah Penelitian tentang
fundasi kefilsafatan dan sifat keilmuan ilmu hukum sebagai landasan pengembangan ilmu hukum nasional
Indonsesia, CV Mandar Maju, Bandung h. 151
Upaya sistematisasi digunakan dalam penyusunan penelitian ini, agar lebih
memudahkan pengkajian terhadap berbagai permasalahan hukum yang menjadi
pembahasan.
1.10 Sistematika Penulisan
Berdasarkan rumusan permasalahan, tujuan penelitian, dan desain penelitian
sebagaimana diuraikan di atas, maka penelitian ini disajikan dalam sistimatika yang
terdiri dari empat bab sebagai berikut:
BAB I Berupa bab pendahuluan terdiri atas latar belakang, permasalahan, tujuan, manfaat
penelitian, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penelitian; BAB II
Membahas tentang landasan teoritis. Dalam bab ini, menguraikan beberapa teori, konsep,
dan asas-asas yang berhubungan dengan permasalahan di atas baik secara umum maupun
secara khusus tentang kewenangan lembaga Negara dalam pembentukan undang-undang;
BAB III Berupa pembahasan terhadap 2 (dua) masalah yaitu, pertama, landasan filosofis
pembagian kewenangan lembaga negara dalam pembentukan undang-undang
berdasarkan Konstitusi Republik Demokratik Timor-Leste; dan yang kedua, pembagian
kewenangan materi muatan undang-undang antara Parlemen Nasional dan Pemerintah;
BAB IV Berupa pembahasan masalah ke 3, menguraikan tentang keberlakuan usulan
undang-undang berdasarkan Konstitusi Republik Demokratik Timor-Leste; dan yang
terakhir adalah Bab V Penutup yang terdiri atas simpulan dan saran.