uin syarif hidayatullah jakarta analisa...
TRANSCRIPT
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
ANALISA KUANTITATIF DENGAN METODE
ATC/DDD DAN PENILAIAN DRUG RELATED
PROBLEM’S PENGGUNAAN ANTIBIOTIK DI
RUANG ISOLASI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH
CENGKARENG PERIODE JANUARI-DESEMBER
2016
SKRIPSI
NUR RIZQIATUL AULIA
1113102000016
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA
AGUSTUS 2017
ii
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
ANALISA KUANTITATIF DENGAN METODE
ATC/DDD DAN PENILAIAN DRUG RELATED
PROBLEM’S PENGGUNAAN ANTIBIOTIK DI
RUANG ISOLASI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH
CENGKARENG PERIODE JANUARI-DESEMBER
2016
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi
NUR RIZQIATUL AULIA
1113102000016
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA
AGUSTUS 2017
iii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Skripsi ini adalah karya saya sendiri,
dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk
telah saya nyatakan dengan benar
Nama : Nur Rizqiatul Aulia
NIM : 1113102000016
Tanda Tangan :
Tanggal :
iv
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING
Nama : Nur Rizqiatul Aulia
NIM : 1113102000016
Program Studi : Farmasi
Judul Skripsi : ANALISA KUANTITATIF DENGAN METODE ATC/DDD
DAN PENILAIAN DRUG RELATED PROBLEM’S
PENGGUNAAN ANTIBIOTIK DI RUANG ISOLASI RUMAH
SAKIT UMUM DAERAH CENGKARENG PERIODE
JANUARI-DESEMBER 2016
Disetujui Oleh :
Pembimbing I
Dr. Azrifitria, M. Si., Apt.
NIP. 197211292005012004
Pembimbing II
Harfia Mudahar, M.Si, Apt
NIP. 197001162003122001
Mengetahui,
Ketua Program Studi Farmasi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Dr. Nurmeilis, M.Si., Apt.
NIP. 197404302005012003
v
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi ini diajukan oleh:
Nama : Nur Rizqiatul Aulia
NIM : 1113102000016
Program Studi : Farmasi
Judul Skripsi : ANALISA KUANTITATIF DENGAN METODE
ATC/DDD DAN PENILAIAN DRUG RELATED
PROBLEM’S PENGGUNAAN ANTIBIOTIK DI RUANG
ISOLASI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH
CENGKARENG PERIODE JANUARI-DESEMBER 2016
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan Diterima
sebagai Persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana
Farmasi pada Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
DEWAN PENGUJI
Pembimbing I : Dr. Azrifitria, M. Si., Apt. ( )
Pembimbing II : Harfia Mudahar, M.Si, Apt ( )
Penguji I : Dr. Delina Hasan M.Kes.,Apt ( )
Penguji II : Dr. M. Yanis Musdja., M.Sc ( )
Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 09 Agustus 2017
vi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
ABSTRAK
Nama : Nur Rizqiatul Aulia
Program Studi : Farmasi
Judul Skripsi : Analisa Kuantitatif dengan Metode ATC/DDD dan
Penilaian Drug Related Problem’s Penggunaan Antibiotik
di Ruang Isolasi Rumah Sakit Umum Daerah Cengkareng
Periode Januari-Desember 2016
Infeksi merupakan salah satu penyebab mortalitas dan morbiditas di seluruh
fasilitas kesehatan. Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah
infeksi oleh bakteri yang pengobatannya menggunakan antibiotik. Penyakit
infeksi terbesar di Indonesia adalah tuberkulosis, pneumonia dan HIV.
Penggunaan antibiotik yang berlebihan akan menyebabkan resistensi. Penelitian
ini merupakan penelitian deskriptif menggunakan desain cross sectional, dengan
pengambilan data secara retrospektif, bertujuan mengetahui kuantitas dan kualitas
penggunaan antibiotik pasien tuberkulosis, pneumonia dan HIV di ruang isolasi
RSUD Cengkareng tahun 2016. Metode yang digunakan untuk penilaian
kuantitatif adalah metode ATC/DDD dan untuk kualitatifnya adalah penilaian
Drug Related Problems (DRPs) klasifikasi Pharmaceutical Care Network Europe
(PCNE) V.07 dengan kategori yang diambil adalah kategori permasalahan dan
penyebab. Penelitian ini juga menilai hubungan usia, lama rawat inap, jumlah
obat, jumlah antibiotik dan penyakit penyerta terhadap kejadian DRPs. Penelitian
ini menunjukkan bahwa dari 100 rekam medis yang pasien didapatkan kuantitas
penggunaan antibiotik yang terbesar adalah obat antituberkulosis 4 FDC (Fix
Dose Combination) dengan 45,819 DDD/Patient days. Penilaian kualitas dengan
DRPs didapatkan 4 permasalahan efektivitas terapi dan 4 permasalahan reaksi
obat yang tidak dihendaki. Pada kategori penyebab didapatkan 36 penyebab
dengan 19 penyebab berhubungan dengan pemilihan obat, 0 penyebab
berhubungan dengan pemilihan bentuk sediaan, 15 penyebab berhubungan dengan
pemilihan dosis, 2 penyebab berhubungan dengan penentuan lama pengobatan, 30
penyebab merupakan penyebab yang berpotensi menimbulkan permasalahan
efektivitas terapi dan reaksi obat yang tidak diinginkan. Pada penelitian ini juga
didapatkan tidak adanya hubungan usia, lama rawat inap, jumlah antibiotik dan
penyakit penyerta terhadap kejadian DRPs (P > 0,05) tetapi terdapat hubungan
bermakna jumlah obat yang digunakan pasien terhadap kejadian DRPs (P=0,004).
Kata kunci: Analisa antibiotik, tuberkulosis, HIV, pneumonia, ruang isolasi,
ATC/DDD, drug related problems PCNE V.07.
vii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
ABSTRACT
Name : Nur Rizqiatul Aulia
Program Study : Pharmacy
Title : Quantitive Analysis with ATC/DDD Method and
Assesment of Drug Related Problem’s Antibiotic Use in
Isolation Room of Cengkareng General Hospital from January
to December 2016 Period
Infection is one of the causes mortality and morbidity in all health facilities. One
of the most frequent infections is infection by bacteria whose treatment is
antibiotic. The biggest infectious diseases in Indonesia are tuberculosis,
pneumonia and HIV. Excessive use of antibiotics will lead to resistance. This
research is a descriptive research using cross sectional design, with retrospective
data retrieval, aiming to know the quantity and quality of antibiotic usage of
tuberculosis, pneumonia and HIV patients in isolation room of Cengkareng
Hospital in 2016. The method used for quantitative assessment is ATC / DDD
method and for Qualitative is the assessment of Drug Related Problems (DRPs)
classification of Pharmaceutical Care Network Europe (PCNE) V.07 with the
categories taken is the category of problems and causes. This study also assessed
the association of age, the length of hospitalization, number of drugs, number of
antibiotics and comorbidities to the incidence of DRPs. This study showed that of
the 100 medical records that patients obtained the largest quantity of antibiotic use
were 4 FDC (Fix Dose Combination) antituberculosis drugs with 45,819 DDD /
Patient days. Assessment of quality with DRPs found 4 problems of therapy
effectiveness and 4 unreasonable drug reaction problems. In the causative
category there were 36 cases with 19 causes related to drug selection, 0 causes
related to the selection of dosage forms, 15 causes related to dose selection, 2
causes related to treatment duration, 30 cases were potentially caused problems of
therapeutic effectiveness and drug reactions Which are not desirable. This study
also found no association of age, the length of hospitalization, a number of
antibiotics and comorbidities to the incidence of DRPs (P> 0.05) but there was a
significant association of the amount of drug used by patients on the incidence of
DRPs (P = 0.004).
Keywords: Analysis of antibiotics, tuberculosis, HIV, pneumonia, isolation room,
ATC / DDD, drug related problems PCNE V.07
viii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur tak terhingga saya panjatkan kepada Allah azza wa
jalla yang telah memberikan segala bentuk kasih sayangNya kepada saya.
Sholawat serta salam semoga selalu tercurah kepada junjungan kita Nabi
Muhammad SAW. Berkat rahmat dan pertolongan Allah, penulis dapat
menyelesaikan proposal skripsi yang berjudul “Analisa Kuantitatif dengan
Metode ATC/DDD dan Penilaian Drug Related Problem’s Penggunaan Antibiotik
di Ruang Isolasi Rumah Sakit Umum Daerah Cengkareng Periode Januari-
Desember 2016” bertujuan untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar
Sarjana Farmasi di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak mulai
dari masa perkuliahan hingga penyusunan skripsi, sangatlah sulit untuk
menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terimakasih dan
penghargaan sebesar-besarnya kepada:
1. Ibu Dr. Azrifitria, M.Si., Apt selaku dosen pembimbing I yang dengan
penuh kesabaran telah banyak memberikan bimbingan, ilmu, waktu, dan
tenaga dalam penelitian ini.
2. Ibu Harfia Mudahar, M.Si, Apt selaku dosen pembimbing II yang dengan
penuh kesabaran telah banyak memberikan bimbingan, ilmu, waktu, dan
tenaga selama dilaksanakannya penelitian di RSUD Cengkareng.
3. Prof. Dr. Arief Sumantri S.KM, M.KM selaku Dekan Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Ibu Dr. Nurmeilis, M.Si., Apt. Selaku Ketua Program Studi Farmasi
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
5. Ibu Nelly Suryani Ph.D, Msi., Apt selaku dosen Penasehat Akademik (PA)
atas motivasi dan bantuan selama empat tahun penulis menimba ilmu di
Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
ix UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
6. Bapak dan Ibu dosen pengajar Program Studi Farmasi Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
7. Ibu Nurma Velayati Arista, S.Farm., Apt, Bapak Sopran Sibarani, S.Farm.,
Apt dan seluruh civitas RSUD Cengkareng yang telah memberikan
kesempatan dan kemudahan untuk melakukan penelitian.
8. Harta saya yang paling berharga, Bapak Edy Muhyidin dan Ibu Sri
Hidayati atas kasih sayang, doa, teladan, dukungan dan bimbingan yang
tak henti mengalir. Terima kasih telah menjadi murobbi ruhy. Insyaallah di
surga tersedia untuk Bapak dan Ibu.
9. Adik dan kakak-kakak saya M. Yakfi Chunaini, A. Johan Masruhin,
Masrichatul Aliyah, Andri Ahwani dan Wawan Hidayat, terima kasih
untuk selalu mendukung saya. Semoga kita selalu berbakti kepada bapak
dan ibu serta selalu dalam naungan kasihNya.
10. Teman-teman seperjuangan Farmasi angkatan 2013, terima kasih atas
persaudaraan dan pertemanan yang berkesan selama 4 tahun ini.
11. Pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah
membantu kelancaran pengerjaan skripsi ini.
Semoga Allah azza wa jalla membalas kebaikan semua pihak yang telah
membantu. Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penulis berharap kritik dan
saran atas kekurangan dan keterbatasan penelitian ini. Semoga hasil penelitian ini
bermanfaat untuk banyak pihak dan perkembangan ilmu pengetahuan.
Ciputat, Agustus 2017
Penulis
x UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR ISI
Halaman
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ......................................................... ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ..................................................... iii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ...................................................... iv
HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................................... v
ABSTRAK .................................................................................................................. vi
ABSTRACT ............................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR .............................................................................................. viii
DAFTAR ISI ................................................................................................................ x
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................. xii
DAFTAR TABEL .................................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................ xiv
BAB I ............................................................................................................................ 1 1.1 Latar Belakang ................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .............................................................................................. 3
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................................ 4
2.1 Antibiotika .......................................................................................................... 5
2.1.1 Definisi Antibotik ........................................................................................ 5
2.1.2 Penggolongan Antibiotika ........................................................................... 5
2.1.3 Penggunaan Antibiotik ................................................................................ 7
2.1.4 Resistensi Antibiotik .................................................................................... 9
2.1.5 Evaluasi Antibiotik .................................................................................... 11
2.2 Penyakit Infeksi ............................................................................................... 16
2.2.1 Tuberkulosis............................................................................................... 16
2.2.2 Pneumonia ................................................................................................. 29
2.2.3 HIV AIDS .................................................................................................. 37
BAB III ....................................................................................................................... 50 3.1 Jenis Penelitian ................................................................................................. 50
3.2 Kerangka Konsep ............................................................................................. 50
3.3 Populasi dan Sampel ........................................................................................ 52
3.3.1 Populasi ...................................................................................................... 52
3.3.2 Sampel ....................................................................................................... 52
3.4 Tempat dan Waktu Penelitian .......................................................................... 53
3.5 Definisi Oprasional ........................................................................................... 53
3.6 Prosedur Penelitian ........................................................................................... 58
3.6.1 Persiapan (Permohonan Izin) ..................................................................... 58
3.6.2 Pengumpulan Data Penelitian .................................................................... 58
3.6.3 Pengolahan Data ........................................................................................ 59
3.6.4 Analisis Data .............................................................................................. 59
BAB IV ....................................................................................................................... 62 4.1 Analisa Univariat .............................................................................................. 62
4.1.1 Karakteristik Pasien ................................................................................... 62
4.1.3 Kuantitas Penggunaan Antibiotik pada Pasien Tuberkulosis,Pneumonia
dan HIV di Ruang Isolasi RSUD Cengkareng Tahun 2016 ............................... 73
4.2 Analisis Bivariat ............................................................................................. 100
BAB V ....................................................................................................................... 103
xi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
5.1 Kesimpulan ..................................................................................................... 103
5.2 Saran ............................................................................................................... 103
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 104
LAMPIRAN ............................................................................................................. 110
xii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Patogenesis Tuberkulosis .......................................................................... 16
Gambar 2. Kerangka Konsep Penelitian ..................................................................... 50
xiii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1 Skema Klasifikasi untuk Drug Related Problems V7.0 ............................. 14
Tabel 2.2 Kisaran dosis OAT lini pertama bagi pasien dewasa ................................. 23
Tabel 2.3 Dosis Paduan OAT KDT (Kombinasi Dosis Tetap) .................................. 24
Tabel 2.4 Panduan OAT Pengobatan Ulang .............................................................. 24
Tabel 2.5 Acuan penilaian tingkat kegagalan fungsi ginjal ....................................... 27
Tabel 2.6 Dosis yang dianjurkan OAT penyakit ginjal kronis................................... 27
Tabel 2.7 Jenis Sindrom Pneumonia dan Penyebabnya ............................................. 29
Tabel 2.8 Terapi Empirik Pneumonia Ventilator Resisten Metisilin ......................... 35
Tabel 2.9 Terapi Empirik Pneumonia Nosokomial (Non-Ventilator) ....................... 35
Tabel 2.10 Pneumonia yang Berhubungan dengan Masyarakat ................................ 36
Tabel 2.11 Stadium Klinis Infeksi HIV ..................................................................... 38
Tabel 2.12 Tingkat Imunodefisiensi Berdasarkan Jumlah Sel CD4 .......................... 39
Tabel 2.13 Pemberian kotrimoksazol sebagai profilaksis primer .............................. 42
Tabel 2.14 Diagnosis Klinis dan Tatalaksana Infeksi Oportunistik ........................... 43
Tabel 2.15 Pengobatan Pneumocytis Pneumonia (PCP)............................................ 47
Tabel 2.16 Pengobatan infeksi Mycobacterium Tuberculosis ................................... 48
Tabel 3.1 Permasalahan drug related problems PCNE 2016..................................... 51
Tabel 3.2 Penyebab drug related problems PCNE 2016 ............................................ 51
Tabel 3.3 Definisi Oprasional .................................................................................... 53
Tabel 4.1 Karakteristik Pasien Ruang Isolasi di RSUD Cengkareng tahun 2016 62
Tabel 4.2 Distribusi Penyakit Penyerta (N=130) ....................................................... 65
Tabel 4.3 Distribusi Penggunaan Antibiotik .............................................................. 68
Tabel 4.4 Jumlah Penggunaan Obat dan Antibiotik .................................................. 70
Tabel 4.5 Hasil Kultur ................................................................................................ 71
Tabel 4.6 Jenis pemberian Antibiotik ........................................................................ 72
Tabel 4.7 Kesesuaian antibiotik dengan formularium ............................................... 73
Tabel 4.8 Jumlah Hari awat Inap ............................................................................... 74
Tabel 4.9 Profil DU (Drug Utilization) 90% ............................................................. 74
Tabel 4.10 Permasalahan Drug Related Problems PCNE V.07 ................................ 79
Tabel 4.11 Penyebab Drug Related Problems PCNE V.07 ....................................... 80
Tabel 4.12 Klasifikasi kategori penyebab .................................................................. 81
Tabel 4.13 Distribusi obat tidak efektif/pengobatan gagal& efek obat tidak optimal 82
Tabel 4.14 Distribusi Obat Tidak Diperlukan ............................................................ 83
Tabel 4.15 Distribusi Indikasi tidak terobati .............................................................. 84
Tabel 4.16 Distribusi Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki ..................................... 86
Tabel 4.17 Distribusi Penyebab yang Berkaitan dengan Pemilihan Obat ................. 88
Tabel 4.18 Interaksi Obat Berdasarkan Tingkat Keparahan dan Mekanisme ............ 90
Tabel 4.19 Jenis Obat yang Mengalami Interaksi Mayor .......................................... 91
Tabel 4.20 Distribusi dosis terlalu rendah (n=10) ...................................................... 96
Tabel 4.21 Distribusi Dosis Terlalu Tinggi (n=2) ...................................................... 96
Tabel 4.22 Pengaturan Dosis Terlalu Sering (n=3) .................................................... 97
Tabel 4.23 Distribusi Lama Pengobatan Terlalu Panjang ....................................... 100
Tabel 4.24 Hasil Analisis Bivariat ........................................................................... 101
xiv UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Surat Permohonan Izin Penelitian ke RSUD Cengkareng................... 110
Lampiran 2. Surat Permohonan Izin Penelitian ke Unit PTSP Jakarta Barat .......... 111
Lampiran 3. Surat Persetujuan Pelaksanaan Penelitian dari Unit PTSP .................. 112
Lampiran 4. Surat Persetujuan Pelaksanaan Penelitian dari RSUD Cengkareng .... 113
Lampiran 5. Perhitungan DDD/ 100 Patient Days .................................................. 114
Lampiran 6. Hasil Perhitungan DDD/ 100 Patient Days ......................................... 116
Lampiran 7. Rekapitulasi Penilaian DRPs ............................................................... 118
Lampiran 8. Data Leukosit Pasien Sebelum dan Sesudah Pemakaian Antibiotik ... 123
Lampiran 9. Data Interaksi Obat .............................................................................. 125
Lampiran 10. Data Perhitungan Kreatinin ............................................................... 128
Lampiran 11. Analisis Bivariat Hubungan DRPs dan Jumlah Antibiotik ............... 129
Lampiran 12. Analisis Bivariat Hubungan DRPs dan Jumlah Usia ........................ 129
Lampiran 13. Analisis Bivariat Hubungan DRPs dan Lama Rawat Inap ................ 130
Lampiran 14. Analisis Bivariat Hubungan DRPs dan Penyakit Penyerta ............... 130
Lampiran 15. Analisis Bivariat Hubungan DRPs dan Jumlah Obat ........................ 131
Lampiran 16. Analisis Bivariat Hubungan DRPs dengan Penggunaan 4 FDC ...... 131
1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Infeksi merupakan salah satu penyebab kematian dan kesakitan di rumah
sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya di Indonesia. Salah satu
permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh bakteri. Penyakit
infeksi terbesar di Indonesia adalah tuberkulosis, pneumonia dan HIV. Menurut
WHO 2015, Indonesia merupakan negara dengan penderita tuberkulosis terbanyak
yaitu 10% dari seluruh penderita di dunia dan menyumbangkan 40 % morbiditas
di Asia Tenggara. Pada tahun 2015 ditemukan jumlah kasus tuberkulosis
sebanyak 330.910 kasus, meningkat bila dibandingkan semua kasus tuberkulosis
yang ditemukan pada tahun 2014 yang sebesar 324.539 kasus. Pneumonia
merupakan penyebab dari 15% kematian balita, yaitu diperkirakan sebanyak
922.000 balita Indonesia di tahun 2015. Infeksi HIV sendiri terjadi peningkatan
dari tahun ke tahun. Pemberian antibiotik masih merupakan pilihan utama untuk
mengatasi infeksi saat ini (WHO, Global Tuberculosis Report, 2015 ; WHO,
Research in Tropical Disease, 2016 ; Rosita 2013).
Antibiotik adalah zat-zat kimia yang dihasilkan oleh fungi dan bakteri, yang
memiliki khasiat mematikan atau menghambat pertumbuhan kuman (Tjay dan
Rahardja, 2007). Di negara yang sudah maju 13-37% dari seluruh penderita yang
dirawat di rumah sakit mendapatkan antibiotik baik secara tunggal atau
kombinasi, sedangkan di negara berkembang 30-80% penderita yang dirawat di
rumah sakit mendapatkan antibiotik dan penggunaan antibiotik yang tidak rasional
sangat banyak dijumpai baik di negara maju maupun berkembang. Adapun
manfaat penggunaan antibiotik tidak perlu diragukan lagi, akan tetapi
penggunaannya yang berlebihan akan segera diikuti dengan munculnya kuman
kebal antibiotik, sehingga manfaatnya akan berkurang. Resistensi kuman terhadap
antibiotik, terlebih lagi multi drug resistance merupakan masalah yang sulit
diatasi dalam pengobatan pasien. Hal ini muncul sebagai akibat pemakaian
antibiotik yang kurang tepat dosis, macam dan lama pemberian sehingga kuman
berubah menjadi resisten untuk itu penggunaan antibiotik perlu dievaluasi (Amrin
2
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Study Grup dalam Ketut, 2014; Brahma Marak and Wahlang 2012 ; Ding et al.
2016).
Evaluasi penggunaan antibiotik dapat melalui evaluasi kuantitatif dan
penilaian drug related problems. Evaluasi kuantitatif penggunaan antibiotik di
rumah sakit menggunakan metode Anatomical Therapeutic Chemical / Defined
Daily Doses (ATC / DDD) dimana dengan metode ini akan diperoleh data
pemakaian antibiotik yang baku dan dapat dibandingkan dengan tempat lain
sesuai standar WHO (Kemenkes, 2011). Pada tahun 2015, publikasi penggunaan
antibiotik dengan ATC/DDD di Asia Tenggara hanya 31 % dengan publikasi di
Indonesia 1,5% (Bachhav & Kshirsagar, 2015). Perkembangan lebih lanjut dari
metode DDD adalah Drug Utilization 90 % (DU 90%). DU 90 % menunjukkan
jumlah obat yang penggunaannya mencapai 90 % dari seluruh obat yang
diresepkan setelah perhitungan DDD, 10 % sisanya merupakan obat-obatan
tertentu yang digunakan untuk kondisi yang terjadi pada pasien dengan riwayat
intoleransi obat atau efek samping (WHO Int WG Drug Statistics Methodology,
2003). Hasil penelitian penggunaan antibiotik pada salah satu rumah sakit umum
di Bandung pada tahun 2010 adalah 95719,01 DDD/1000 patient days. Penelitian
menyimpulkan bahwa pada caturwulan ke-1 hingga caturwulan ke-3 terjadi
peningkatan persentase penggunaan dan jumlah golongan antibiotik yang masuk
ke dalam segmen DU 90% yaitu pada caturwulan ke-1 yang memenuhi segmen
DU 90% adalah penisilin, sefalosporin, kuinolon, dan makrolida sedangkan pada
catur wulan ke-2 dan ke-3 ditambah dengan sulfonamida (Sholih et al., 2015).
Evaluasi penggunaan antibotik juga dapat dilihat dari terjadinya Drug
Related Problems (DRPs) sebagai akibat penggunaan antibiotik yang tidak
rasional. DRPs yang terbaru adalah klasifikasi PCNE (Pharmaceutical Care
Network Europe) versi V7.0 2016 yang membahas DRPs berdasarkan
permasalahan dan penyebab, pada versi ini pembahasan permasalahan terdiri dari
tiga domain utama yaitu efektivitas terapi, reaksi obat yang tidak diinginkan dan
lainnya. Pada pembahasan penyebab terdapat perbedaan dibandingkan versi
sebelumnya dimana dalam pembahasan ini domain utama penyebab terbagi
menjadi tiga faktor yaitu peresepan, peracikan dan penggunaan obat. Di
Indonesia, penelitian mengenai DRPs penggunaan antibiotik menggunakan
3
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
klasifikasi PCNE versi ini belum banyak dilakukan termasuk pada penyakit
infeksi. Pada hasil penelitian 2015 mengenai DRPs penggunaan antibiotik di suatu
rumah sakit di Etiopia terdapat 75,7 % permasalahan penggunaan antibiotik yang
meliputi 29,6 % membutuhkan penambahan antibiotik, 28,9 % penggunaan
antibiotik yang tidak diperlukan, 28,9 % dosis terlalu rendah, 15,1 % dosis terlalu
tinggi, 9,2 % antibiotik tidak efektif, 17 % tidak patuhnya pasien dan DRPs
potensial 8,6 % ( PCNE, 2016; Lampert et al., 2017; Huri et al., 2014; Yadesa et
al., 2015).
Rumah sakit umum daerah Cengkareng merupakan rumah sakit rujukan
yang ada di daerah Jakarta Barat. Penelitian mengenai evaluasi penggunaan
antibiotik di ruang isolasi RSUD Cengkareng belum dilakukan dan sedang
dibutuhkan. Ruang isolasi ini dikhususkan untuk pasien dengan penyakit infeksi
yang mudah menular dengan penyakit terbanyaknya adalah tuberkulosis,
pneumonia dan HIV. Berdasarkan uraian di atas maka perlu dilakukan penelitian
mengenai evaluasi penggunaan antibiotik hususnya pada pasien penyakit infeksi
tuberkulosis, pneumonia dan HIV di ruang isolasi rumah sakit umum daerah
Cengkareng dengan metode ATC / DDD dan analisis drug related problems
menggunaan tabel skema PCNE versi V7.0 2016 yang merupakan penelitian
deskriptif menggunakan desain cross sectional dan pengambilan data pasien
dilakukan secara retrospektif melalui rekam medis pasien periode Januari-
Desember 2016.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, disusunkan rumusan
masalah penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimanakah kuantitas penggunaan antibiotik pada pasien penyakit
infeksi ditinjau dari metode Anatomical Therapeutic Chemical / Defined
Daily Doses (ATC / DDD) di ruang isolasi rumah sakit umum daerah
Cengkareng ?
2. Bagaimanakah rasionalitas penggunaan antibiotik pada pasien penyakit
infeksi ditinjau dari jenis antibiotik (profilaksis dan pengobatan), dosis,
rute pemberian, waktu pemberian, durasi, dan frekuensi pemberian yang
4
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
mengacu kepada pedoman penggunaan antibiotik nasional dan
internasional di ruang isolasi rumah sakit umum daerah Cengkareng ?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum :
Melakukan evaluasi penggunaan antibiotik di ruang isolasi rumah sakit
umum daerah Cengkareng.
1.3.2 Tujuan Khusus :
1. Menentukan karakteristik pasien di ruang isolasi yang menerima
antibiotik.
2. Memperoleh nilai DDD masing-masing jenis antibiotik yang
digunakan pada pasien di ruang isolasi RSUD Cengkareng.
3. Mengetahui tingkat rasionalitas penggunaan antibiotik ditinjau dari
jenis antibiotik (profilaksis dan pengobatan), dosis, rute pemberian,
waktu pemberian, durasi, dan frekuensi pemberian.
1.4 Manfaat Hasil Penelitian
Hasil penelitian diharapkan bermanfaat untuk:
1.4.1 Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk menambah
ilmu pengetahuan dalam bidang kefarmasian khususnya pada bidang
evaluasi antibiotik di ruang isolasi RSUD Cengkareng.
1.4.2 Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan masukan untuk
RSUD Cengkareng dalam hal evalusi penggunaan antibiotik pada penyakit
infeksi.
5 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Antibiotika
2.1.1 Definisi Antibotik
Pengertian antibiotik secara sempit adalah senyawa yang dihasilkan oleh
berbagai jenis mikroorganisme (bakteri, fungi, aktinomesetes) yang menekan
pertumbuhan mikroorganisme lainnya. Namun, penggunaannya secara umum
sering kali memperluas istilah antibiotik hingga meliputi senyawa antimikroba
sintetik, seperti sulfonamida dan kuinolon (Hardman dan Limbird, 2008).
Antibiotik adalah zat-zat kimia yang dihasilkan oleh fungi dan bakteri,
yang memiliki khasiat mematikan atau menghambat pertumbuhan kuman,
sedangkan toksisitasnya bagi manusia relatif kecil (Tjay dan Rahardja, 2007).
2.1.2 Penggolongan Antibiotika
2.1.2.1 Antibiotika Berdasarkan Spektrum Aktivitas
Berdasarkan spektrum aktivitasnya, antibiotik dibagi menjadi dua
golongan yaitu (Tripathi, 2009) :
a. Antibiotika aktivitas sempit (narrow spectrum).
Obat-obat ini terutama aktif untuk beberapa bakteri saja, misalnya : Penisilin
G, Streptomisin, Eritromisin.
b. Antibiotika aktivitas luas (broad spectrum).
Obat-obat ini bekerja pada lebih banyak jenis bakteri, misalnya Tetrasiklin
dan Kloramfenikol.
2.1.2.2 Antibiotika Berdasarkan Jenis Aksinya
Berdasarkan jenis aksinya, antibiotik dibagi menjadi dua golongan yaitu:
(Tripathi, 2009)
a. Bakteriostatik
Yang termasuk golongan bakteriostatik adalah Sulfonamida, Tetrasiklin,
Kloramfenikol, Eritromisin, Etambutol, Klindamisin dan Linezolid.
6
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
b. Bakterisidal
Yang termasuk golongan bakterisidal adalah Penisilin, Aminoglikosida,
Polipeptida, Rifampin, Isoniazid, Pirazinamid, Sefalosporin, Vankomisin, Asam
Nalidiksat, Siprofloksasin, Metronidazol dan Kotrimazol.
Berdasarkan sifat toksisitas selektif, ada mikroba yang bersifat
menghambat pertumbuhan mikroba, dikenal sebagai aktivitas bakteriostatik dan
ada yang bersifat membunuh mikroba dikenal sebagai aktivitas bakterisid. Kadar
minimal yang diperlukan untuk menghambat pertumbuhan mikroba atau
membunuhnya, masing-masing dikenal sebagai kadar hambat minimal (KHM)
dan kadar bunuh minimal (KBM). Antimikroba tertentu aktivitasnya dapat
meningkat dari bakteri statik menjadi bakterisid bila kadar antimikrobanya
ditingkatkan melebihi KHM (Gunawan et al, 2009).
2.1.2.3 Antibiotik Berdasarkan Mekanisme Kerja
Berdasarkan mekanisme kerjanya antibiotik dibagi sebagai berikut:
(Brunton et all, 2006)
a. Senyawa-senyawa yang menghambat sintesis dinding sel bakteri, termasuk
golongan β-laktam dan senyawa lain seperti vankomisin.
1. Antibiotik β-Laktam
Yang termasuk ke dalam golongan β-Laktam adalah penisilin,
sefalosporin, karbapenem dan monobaktam.
2. Vankomisin
Vankomisin adalah suatu glikopeptida trisiklik yang penting karena
efektivitasnya terhadap organisme resisten multi-obat seperti stafilokokus
resisten metisilin.
b. Senyawa-senyawa yang bekerja langsung pada membran sel meningkatkan
permeabilitas dan menyebabkan kebocoran senyawa intraseluler termasuk
polimiksin.
c. Senyawa-senyawa yang mengganggu fungsi subunit ribosom untuk
menghambat sintesis protein secara reversibel contohnya kloramfenikol,
tetrasiklin, eritromisin, dan klindamisin.
d. Senyawa-senyawa yang terikat pada subunit ribosom 30S dan mengubah
sintesis protein contohnya aminoglikosida.
7
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
e. Senyawa yang mempengaruhi metabolisme asam nukleat bakteri dengan
cara menghambat RNA polimerase contohnya rifampin.
f. Antimetabolit, termasuk trimetoprim dan sulfonamida, yang menghambat
enzim penting dalam metabolisme folat.
2.1.2.4 Antibiotika Berdasarkan Struktur Kimia
Berdasarkan struktur kimianya, antibiotik dibagi sebagai berikut: (Tripathi,
2009)
a. Sulfonamida dan turunannya : Sulfadiazin dan lainnya, Sulfon-Dapson
(DDS), Asam Paraaminosilat (PAS).
b. Diaminopirimidin : Asam Nalidiksat, Norfloksasin, Siprofloksasin,
Gatifloksasin, dll.
c. Antibiotik β-laktam : Penisilin , Sefalosporin, Monobaktam, Karbapenem.
d. Tetrasiklin : Oksitetrasiklin, Doksisiklin, dll.
e. Derivat Nitrobenzen : Kloramfenikol.
f. Aminoglikosida : Gentamisin, Amikasin, Neomisin, dll.
g. Antibiotik Makrolida : Eritromisin, Klaritromisin, Azitromisin, dll.
h. Antibiotik Linkosamid : Linkomisin, Klindamisin.
i. Antibiotik Glikopeptida : Vankomisin.
j. Oxazolidinon : Linesolid.
k. Antibiotik polipeptida : Polimiksin B, Basitrasin.
l. Nitroimidazol : Metronidazol, Tinidazol, dll.
m. Derivat asam nikotinat : Isoniazid, Pirazinamid, Etionamid.
n. Antibiotik polien : Nistatin, Amfoterisin B, Hamisin.
o. Lainnya : Rifampin, Etambutol.
2.1.3 Penggunaan Antibiotik
Berdasarkan tujuan pengguaannya, antibiotik dibedakan menjadi antibiotik
terapi dan antibiotik profilaksis. Antibiotik terapi dibedakan menjadi antibiotik
terapi empiris dan terapi definitif.
Penggunaan antibiotik untuk terapi empiris adalah penggunaan antibiotik
pada kasus infeksi yang belum diketahui jenis bakteri penyebabnya. Tujuan
pemberian antibiotik untuk terapi empiris adalah eradikasi atau penghambatan
8
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
pertumbuhan bakteri yang diduga menjadi penyebab infeksi, sebelum diperoleh
hasil pemeriksaan mikrobiologi (Permenkes, 2011).
Rute pemberian oral seharusnya menjadi pilihan pertama untuk antibiotik
empiris pada terapi infeksi. Pada infeksi sedang sampai berat dapat
dipertimbangkan menggunakan antibiotik parenteral. Sedangkan Lama pemberian
antibiotik empiris diberikan untuk jangka waktu 48-72 jam. Selanjutnya harus
dilakukan evaluasi berdasarkan data mikrobiologis dan kondisi klinis pasien serta
data penunjang lainnya.
Dasar pemilihan jenis dan dosis antibiotik untuk terapi empiris adalah sebagai
berikut: (Permenkes, 2011).
1. Data epidemiologi dan pola resistensi bakteri yang tersedia
dikomunitas atau dirumah sakit setempat.
2. Kondisi klinis pasien.
3. Ketersediaan antibiotik.
4. Kemampuan antibiotik untuk menembus ke dalam jaringan / organ
yang terinfeksi.
5. Untuk infeksi berat yang diduga disebabkan oleh polimikroba
dapat digunakan antibiotik kombinasi.
Penggunaan antibiotik untuk terapi definitif adalah penggunaan antibiotik
pada kasus infeksi yang sudah diketahui jenis bakteri penyebab dan pola
resistensinya. Tujuan pemberian antibiotik untuk terapi definitif adalah eradikasi
atau penghambatan pertumbuhan bakteri yang menjadi penyebab infeksi,
berdasarkan hasil pemeriksaan mikrobiologi (Permenkes, 2011).
Rute pemberian antibiotik oral seharusnya menjadi pilihan pertama untuk
terapi infeksi. Pada infeksi sedang sampai berat dapat dipertimbangkan
menggunakan antibiotik parenteral. Jika kondisi pasien memungkinkan,
pemberian antibiotik parenteral harus segera diganti dengan antibiotik peroral.
Lama pemberian antibiotik definitif berdasarkan pada efikasi klinis untuk
eradikasi bakteri sesuai diagnosis awal yang telah dikonfirmasi. Selanjutnya harus
dilakukan evaluasi berdasarkan data mikrobiologis dan kondisi klinis pasien serta
data penunjang lainnya.
9
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Dasar pemilihan jenis dan dosis antibiotik definitif adalah sebagai berikut:
(Permenkes, 2011)
1. Efikasi klinik dan keamanan berdasarkan hasil uji klinik.
2. Sensitivitas.
3. Biaya.
4. Kondisi klinis pasien.
5. Diutamakan antibiotik lini pertama/spektrum sempit.
6. Ketersediaan antibiotik (sesuai formularium rumah sakit).
7. Sesuai dengan Pedoman Diagnosis dan Terapi (PDT) setempat yang
terkini.
8. Paling kecil memunculkan risiko terjadi bakteri resisten.
Antibiotika profilaksis adalah antibiotik yang diberikan pada jaringan atau
cairan tubuh yang belum terinfeksi, namun diduga akan terkena infeksi. Antibiotik
profilaksis diindikasikan ketika besar kemungkinan terjadinya infeksi, atau terjadi
infeksi kecil yang berakibat fatal. Penggunaan antibiotik profilaksis dibedakan
menjadi antibiotik profilaksis bedah dan non bedah (Permenkes, 2011).
2.1.4 Resistensi Antibiotik
Resistensi dibedakan sebagai kejadian tidak terhambatnya pertumbuhan
bakteri dengan pemberian antibiotik secara sistemik dengan dosis normal yang
seharusnya atau pada kadar hambat minimalnya. Multiple drug resistance
merupakan resistensi pada mikroorganisme terhadap dua atau lebih obat maupun
golongan obat. Istilah lainnya, cross resistance adalah resistensi obat yang belum
pernah dipaparkan pada mikroba tersebut namun cara kerjanya mirip dengan
antimikroba yang sudah mengalami resistensi (Tripathi n.d., 2009).
Timbulnya resistensi terhadap suatu antibiotik terjadi berdasarkan salah
satu atau lebih mekanisme berikut : (Whittem & Gaon, 1998)
a. Bakteri dapat mensintesis enzim inaktivator antibiotik. Misalnya
Staphylococcus resisten terhadap penisilin G karena dapat menghasilkan
bektalaktamase yang merusak antibiotik tersebut.
b. Bakteri dapat mengubah permeabilitas membrannya terhadap molekul
antibiotik, misalnya pada penggunaan tetrasiklin yang hanya akan dapat
10
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
masuk ke dalam sel bakteri yang rentan (sensitif), namun tidak ditemukan
pada beberapa bakteri yang resisten.
c. Bakteri dapat mengembangkan perubahan struktur sasaran molekul antibotik,
contohnya resistensi pada beberapa bakteri terhadap antibiotik golongan
aminoglikosida merupakan proses yang berkaitan dengan hilang atau
berubahnya struktur protein spesifik pada subunit ribosom 30S bakteri yang
merupakan reseptor pada bakteri yang sensitif.
d. Bakteri mampu mengembangkan perubahan jalur metabolik yang langsung
dihambat oleh molekul antibiotik, misalnya beberapa bakteri yang resisten
terhadap sulfonamid tidak membutuhkan PABA ekstraseluler, tetapi bersifat
seperti sel mamalia yang dapat langsung menggunakan asam folat.
e. Bakteri mampu mengembangkan perubahan enzim, yakni enzim tersebut
dapat melakukan fungsi metabolismenya, namun tidak rentan dipengaruhi oleh
molekul antibiotik, misalnya pada beberapa bakteri yang rentan terhadap
sulfonamid, enzim dihidropteroat sintase pada mikroorganisme tersebut
mempunyai afinitas terhadap sulfonamid yang jauh lebih tinggi daripada
afinitasnya terhadap PABA.
Faktor-faktor yang memudahkan berkembangnya resistensi di klinik adalah
sebagai berikut: (Utami, 2012)
1. Penggunaan antibiotik yang irasional, misalnya periode penggunaan
terlalu singkat, dosis terlalu rendah, diagnosis awal yang salah, atau
digunakan dalam potensi yang tidak adekuat.
2. Faktor pasien, contohnya pasien dengan pengetahuan yang salah akan
cenderung menganggap wajibnya pemberian antibiotik dalam penyakit
apapun meskipun disebabkan oleh virus misalnya flu, batuk-pilek.
3. Faktor peresepan, yakni seringkali ditemukan kesulitan dalam menentukan
antibiotik yang tepat pada banyak tenaga klinis yang disebabkan
kurangnya pelatihan dalam hal penyakit infeksi dan tatalaksana
antibiotiknya.
4. Penggunaan di rumah sakit, yakni adanya infeksi endemik atau epidemik
yang memicu penggunaan antibiotik yang lebih masif di rumah sakit.
11
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
5. Penggunaan monoterapi, karena dibandingkan dengan penggunaan terapi
kombinasi, penggunaan monoterapi lebih mudah menimbulkan resistensi.
6. Gaya hidup, terutama bagi tenaga kesehatan, misalnya mencuci tangan
setelah memeriksa pasien atau desinfeksi alat-alat yang akan dipakai untuk
memeriksa pasien.
7. Penggunaan untuk hewan atau binatang ternak, misalnya pada beberapa
antibiotik yang juga dipakai untuk mencegah dan mengobati penyakit
infeksi pada hewan ternak.
8. Promosi komersial dan penjualan besar-besaran oleh perusahaan farmasi,
didukung pengaruh globalisasi, memudahkan terjadinya pertukaran barang
sehingga jumlah antibiotik yang beredar semakin luas.
9. Penelitian, yaitu kurangnya penelitian yang dilakukan pada ahli untuk
menemukan antibiotik baru.
10. Pengawasan, yaitu lemahnya pengawasan yang dilakukan pemerintah
dalam distribusi dan pemakaian antibiotik.
2.1.5 Evaluasi Antibiotik
Dalam evaluasi antibiotik terhadap dua kategori yaitu evaluasi secara
kuantitatif dan kualitatif.
2.1.5.1 Evaluasi Kuantitatif
Evaluasi antibiotika secara kuantitatif dilakukan dengan metode ATC/DDD.
Tujuan sistem ATC/DDD adalah sebagai alat penelitian pada penggunaan obat
dalam rangka meningkatkan kualitas penggunaan obat (Lewandowski, Co-
investigator, & Lewandowski, 2015).
a. ATC ( Anatomical Therapeutic Chemical)
Pada sistem klasifikasi Anatomi Terapi Kimia (ATC), zat aktif dibagi
menjadi kelompok-kelompok yang berbeda sesuai dengan organ atau sistem
dimana obat tersebut bekerja dan menghasilkan efek terapi, farmakologi dan sifat
kimia. Obat diklasifikasikan dalam kelompok tingkat yang berbeda. Tingkat
pengelompokan obat dijabarkan sebagai berikut :
Level pertama, kelompok utama anatomis
A Alimentary tract and metabolism
B Blood and blood forming organs
12
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
C Cardiovascular system
D Dermatologicals
G Genito urinary system and sex hormon
H Systemic hormonal preparations, excl. Sex hormone
J Antiinfectives for systemic use
L Antineoplastic and immunomodulating agent
M Musculo-skeletal system
N Nervous system
P Antiparasitic products, insecticidies and repellents
R Respiratory sytem
S Sensory organs
V Various
Level kedua, subkelompok terapi / farmakologis
Level ketiga dan keempat, subkelompok terapi/ farmakologis/kimia
Level kelima, senyawa kimia
( WHO Collaborating Centre for Drug Statistics Methodology, 2014)
b. DDD ( Defined Daily Dose)
Metode Defined Daily Dose adalah suatu metode yang dikembangkan WHO
untuk menghitung kuantitas penggunaan antibiotik dalam suatu intitusi pelayanan
kesehaan. Perhitungan dilakukan untuk setiap pemakaian dalam 100 hari rawat
atau 100 pasien bila diterapkan dilingkungan rumah sakit. Hasil perhitungan
dibandingkan dengan standar DDD yang telah ditetapkan WHO. DDD
diasumsikan sebagai dosis pemeliharaan rata-rata perhari yang digunakan untuk
indikasi utamanya orang dewasa. DDD hanya dimiliki oleh obat yang mempunyai
kode ATC. Unit ini memiliki keunggulan yaitu dapat merefleksikan dosis obat
secara global tanpa dipengaruhi oleh variasi generik dari setiap etnik. Analisis
penggunaan obat dalam unit kuantitas dapat membantu dalam mengidentifikasi
penggunaan yang overuse dan underuse dalam pengobatan ( WHO Collaborating
Centre for Drug Statistics Methodology, 2014).
c. Aplikasi ATC/DDD
Kuantitas penggunaan antibiotik adalah jumlah penggunaan antibiotik di
rumah sakit yang diukur secara retrospektif dan prospektif melalui studi validasi.
13
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Evaluasi penggunaan antibiotik secara retrospektif dapat dilakukan dengan
memperhatikan ATC/DDD (Anatomical Therapeutic Chemical/Defined Daily
Dose). Untuk mempermudah perhitungan dapat dilakukan dengan menggunakan
piranti lunak ABC calc yang dikembangkan oleh World Health Organization
(WHO). Berikut adalah rumus perhitungan konsumsi antibiotik, DDD 100
patient-days.
Cara perhitungan:
Kumpulkan data semua pasien yang menerima terapi antibiotik
Kumpulkan lamanya waktu perawatan pasien rawat inap (total
Length Of Stay, LOS semua pasien)
Hitung jumlah dosis antibiotik (gram) selama dirawat
Hitung DDD 100 patient-days :
DDD 100 patient-days=(Jumlah gram antibiotik yang digunakan oleh pasien)
Standar DDD WHO dalam gram x
100
(𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐿𝑂𝑆)
d. DU 90 %
DU 90% merupakan jumlah obat yang membentuk 90% obat yang
digunakan. Indikator ini dapat digunakan untuk menentukan kualitas peresepan
obat dan untuk membandingkan kesesuaian obat yang digunakan dengan
formularium yang ada. DU 90% dapat diperoleh dengan cara mengurutkan obat
berdasarkan volume penggunaannya dalam DDD kemudian diambil obat yang
memenuhi segmen 90% penggunaan. Obat tersebut kemudian dapat dilihat
kecocokannya dengan formularium yang ada (Bergman, 1998).
2.1.5.2 Drug Related Problems
Pharmaceutical Care Network Europe (PCNE) mendefinisikan DRPs
adalah suatu kondisi kejadian terkait dengan terapi obat yang secara nyata atau
potensial mengganggu hasil klinis kesehatan (PCNE, 2010). DRPs dapat juga
dikatakan sebagai suatu pengalaman atau kejadian tidak menyenangkan yang
dialami oleh pasien dan melibatkan atau diduga berkaitan dengan terapi obat serta
secara aktual maupun potensial mempengaruhi outcome terapi pasien.
Pharmaceutical Care Network Europe (PCNE) pada tahun 2016
mengeluarkan skema klasifikasi untuk Drug Related Problems V7.0 dengan
klasifikasi permasalahan dan penyebab sebagai berikut:
14
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tabel 2.1 Skema Klasifikasi untuk Drug Related Problems V7.0
a. Permaasalahan
Domain Utama Kode
V7.0
Masalah
1. Efektivitas terapi P1.1 Obat tidak efektif atau pengobatan gagal
P1.2 Efek obat tidak optimal
P1.3 Obat tidak diperlukan
P1.4 Indikasi tidak terobati
2. Reaksi obat yang tidak
dikehendaki (ROTD)
P2.1 Pasien menderita ROTD
3. Lain-lain P3.1 Pasien tidak puas dengan terapi yang
diterimanya meskipun terapi tersebut
optimal baik dari segi efektivitas maupun
biaya
P3.2 Keluhan pasien/masalah tidak jelas, tidak
termasuk kedua kategori masalah terkait
b. Penyebab
Domain Utama Kode
V7.0
Penyebab
Per
esep
an
1. Pemilihan Obat C1.1 Obat tidak tepat berdasarkan
guidelines atau formularium
C1.2 Obat tidak tepat (kontraindikasi)
C1.3 Tidak ada indikasi untuk
penggunaan obat
C1.4 Kombinasi obat-obat atau obat-
makanan tidak tepat termasuk
kejadian interaksi obat
C1.5 Duplikasi kelompok terapi atau
bahan aktif yang tidak tepat
C1.6 Ada indikasi tetapi obat tidak
diresepkan
C1.7 Banyak obat diresepkan untuk
indikasi yang sama
C1.8 Kebutuhan obat yang bersifat
sinergis/preventif tidak
diresepkan
C1.9 Ada indikasi baru dan obat belum
diresepkan
2. Pemilihan Bentuk Sediaan
3.
C2.1 Bentuk sediaan obat tidak tepat
4. Pemilihan Dosis C3.1 Dosis obat terlalu rendah
C3.2 Dosis obat terlalu tinggi
C3.3 Frekuensi pemberian lebih jarang
dari aturan pakai
15
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
C3.4 Frekuensi pemberian melebihi
aturan pakai
5. Penentuan Lama Pengobatan C4.1 Lama pengobatan terlalu pendek
C4.2 Lama pengobatan terlalu panjang
Per
aci
kan
6. Peracikan C5.1 Obat yang diresepkan tidak
tersedia
C5.2 Kesalahan peresepan ( Tidak
adanya informasi penting)
C5.3 Kesalahan peresepan (
Berhubungan dengan software
peresepan)
C5.4 Kesalahan peracikan obat
(Kesalahan obat atau dosis yang
diracik)
Pen
ggu
naan
7. Proses Penggunaan Obat C6.1 Waktu penggunaan obat atau
interval pemberian dosis tidak
tepat
C6.2 Pemberian obat lebih jarang dari
aturan penggunaan
C6.3 Pemberian obat melebihi aturan
penggunaan
C6.4 Obat tidak diberikan
C6.5 Obat yang diberikan salah
8. Pasien C7.1 Pasien lupa minum obat
C7.2 Pasien menggunakan obat yang
tidak diperlukan
C7.3 Pasien mengkonsumsi makanan
yang berinteraksi dengan obat
C7.4 Penyimpanan obat oleh pasien
tidak tepat
C7.5 Pasien memperoleh/menggunakan
obat dengan cara yang salah
C7.6 Pasien tidak mampu
menggunakan obat
C7.7 Penyalahgunaan obat
(Penggunaan obat yang
berlebihan)
C7.8 Pasien tidak dapat menggunakan
obat / bentuk obat secara langsung
9. Lain-lain C8.1 Tidak dilakukan pemantauan hasil
terapi atau pemantauan hasil
terapi tidak tepat
C8.2 Penyebab lain, tentukan
C8.3 Penyebab tidak jelas
16
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.1.5.3 Hubungan antibiotik dengan suhu tubuh dan kadar leukosit
Evaluasi antibiotik juga dapat dilihat dari perkembangan data laboratorium
pasien yang mempunyai gejala infeksi seperti nilai leukosit dan suhu tubuh
pasien. Peningkatan leukosit total (leukositosis) mengindikasikan adanya infeksi,
inflamasi, nekrosis jaringan, atau neoplasia leukemik. Pada Infeksi leukosit akan
meningkat untuk memulai dan mempertahankan mekanisme pertahanan tubuh
untuk mengatasi infeksi. Menurut Nurul, 2015 terdapat hasil yang bermakna
antara leukosituria pada tersangka infeksi saluran kemih di RSUD Cengkareng.
Salah satu keadaan tubuh yang menandakan terjadinya infeksi adalah peningkatan
suhu tubuh atau disebut demam. Demam adalah temperatur tubuh di atas normal
(>37,1°C), dapat disebabkan oleh kelainan di dalam otak sendiri atau oleh bahan-
bahan toksik yang mempenga-ruhi pusat pengaturan suhu tubuh. Demam juga
didefinisikan sebagai keadaan dimana seorang individu mengalami atau beresiko
terhadap terjadinya kenaikan suhu tubuh terus menerus lebih tinggi dari 100°F
(37,8°C) per oral atau 101°F (38,8°C) per rektal. Jika antibiotik diberikan dan
pasien mengalami kemajuan terapi yang digambarkan dengan data laboratorium
normal maka dapat dikatakan antibiotik yang digunakan tepat (Restinia et al. 2012
; (Pagana, 2007) ; Ayu & Irwanti 2015).
2.2 Penyakit Infeksi
2.2.1 Tuberkulosis
2.2.1.1 Patogenesis
Gambar 1. Patogenesis Tuberkulosis
Kumar A, 2010 dalam buku Dasar Patologis Penyakit
17
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Makrofag adalah sel utama yang terinfeksi oleh M. Tuberculosis. Di awal
infeksi, basil tuberkulosis pada dasarnya berkembang biak tanpa kendali,
sedangkan pada tahap infeksi selanjutnya, respon sel T penolong merangsang
makrofag untuk menahan proliferasi bakteri (Kumar, 2010).
M. tuberculosis masuk ke dalam makrofag melalui proses endositosis yang
diperantarai oleh beberapa reseptor makrofag, reseptor manosa mengikat
lipoarabinomanan. Suatu glikolipid di dinding sel bakteri, dan reseptor
komplemen mengikat mikobakteri yang telah diopsonisasi. Setelah berada di
dalam makrofag, M. Tuberculosis berkembang biak di dalam fagosom dan
lisosom. Ini adalah suatu proses aktif karena tuberkulosis hidup dapat
menghambat pembentukan fagolisosom. Oleh karena itu, tahap awal tuberkulosis
primer (< 3 minggu) pada orang yang belum tersensitisasi ditandai oleh proliferasi
bakteri di dalam makrofag alveolus paru dan rongga udara, yang menyebabkan
bakteremia dan pembenihan di berbagai tempat (Kumar, 2010).
Sekitar 3 minggu setelah infeksi, terbentuk respon TH1 terhadap M.
Tuberculosis yang mengaktifkan makrofag untuk menjadi bersifat bakterisidal.
Sel TH1 dirangsang oleh antigen-antigen mikobakteri yang mengalir ke kelenjar
limfe regional, yang disajikan bersama dengan protein-protein MHC kelas II oleh
sel penyaji antigen. Diferensiasi sel TH1 bergantung pada keberadaan IL-12, yang
dihasilkan oleh sel penyaji antigen yang telah bertemu dengan mikobakteri
(Kumar, 2010).
Sel TH1 matang, di kelenjar limfe dan paru, menghasilkan IFN-𝛾. IFN-𝛾
adalah mediator penting yang mendorong makrofag menjadi komponen untuk
menahan infeksi M. tuberculosis. IFN-𝛾 merangsang pembentukan fagolisosom di
makrofag yang terinfeksi, bentukan fagolisosom di makrofag yang terinfeksi, dan
memajankan bakteri ke lingkungan asam. Selain merangsang makrofag untuk
mematikan mikobakteri, respon TH1 merangsang pembentukan granuloma dan
nekrosis perkijuan. Makrofag aktif, yang dirangsang oleh IFN-𝛾, menghasilkan
TNF, yang merekrut monosit. Monosit-monosit ini berdiferensiasi menjadi
histosit epitelioid yang menandai respon granulomatosa. Pada banyak orang,
respon ini menahan bakteri dan tidak menyebabkan kerusakan jaringan yang
signifikan atau terjadi penyakit (Kumar, 2010).
18
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.2.1.2 Gambaran Klinis
Tuberkulosis primer adalah bentuk penyakit yang timbul pada orang yang
belum pernah terpajan (belum tersensitisasi). Sekitar 5% orang yang baru
terinfeksi mengalami penyakit yang secara klinis signifikan. Orang berusia lanjut
dan orang dengan imunosupresi berat dapat kehilangan imunitas mereka terhadap
basil tuberkel dan akibatnya, dapat mengalami tuberkulosis primer lebih dari
sekali. Pada tuberkulosis primer, sumber organisme berasal dari luar. Sementara
kebanyakan pasien dengan tuberkulosis primer berlanjut untuk mengalami
penyakit laten. Akan tetapi, infeksi progresif, disertai patologi paru yang
berkelanjutan, terjadi pada sebagian orang (Kumar, 2010).
Tuberkulosis sekunder adalah pola penyakit yang timbul pada pejamu
yang telah tersensitisasi. Pola ini dapat timbul segera setelah tuberkulosis primer,
tetapi umumnya terjadi akibat reaktivasi lesi primer dorman puluhan tahun setelah
infeksi awal, terutama ketika resistensi pejamu mulai melemah. Pola ini juga
dapat terjadi akibat reinfeksi eksogen karena menurunnya proteksi yang
dihasilkan oleh penyakit primer atau karena besarnya inokulum basil virulen.
Reaktivasi tuberkulosis lebih sering terjadi di daerah dengan prevalensi rendah,
sedangkan reinfeksi berperan penting di tempat yang prevalensinya tinggi
(Kumar, 2010).
Tuberkulosis paru sekunder secara klasik terlokalisir di apeks lobus atas
pada satu atau kedua paru. Hal ini mungkin terjadi karena tingginya tekanan
parsial oksigen di apeks yang mendorong pertumbuhan bakteri. Tuberkulosis
sekunder lokalisata dapat asimtomatik. Jika ada, manifestasi biasanya muncul
perlahan. Gejala sistemik yang mungkin berkaitan dengan sitokin yang
dikeluarkan oleh makrofag aktif (misalnya TNF dan IL-1), sering timbul pada
awal perjalanan penyakit dan berupa malaise, anoreksia, penurunan berat badan,
dan demam. Umumnya, demam bersifat ringan dan hilang timbul muncul
menjelang malam dan kemudian mereda) dan dapat timbul keringat malam.
Seiring dengan progresivitas keterlibatan paru, jumlah sputum ikut meningkat,
mula-mula mukoid lalu purulen. Pada sekitar separuh kasus tuberkulosis paru
terjadi hemoptisis. Nyeri pleuritik dapat terjadi akibat perluasan infeksi ke
permukaan pleura. Manifestasi tuberkulosis ekstraparu sangat banyak dan
19
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
bergantung pada sistem organ yang terkena. Limfadenitis adalah tuberkulosis
ekstraparu yang paling sering terjadi, biasanya di daerah leher. Pada pasien yang
negatif HIV, limfadenopati cenderung bersifat unifokal, dan sebagian besar pasien
tidak memperhatikan tanda-tanda kelainan di luar kelenjar limfe. Pasien positif-
HIV, di pihak lain, hampir selalu memperlihatkan kelainan di banyak kelenjar,
gejala sistemik, dan keterlibatan paru atau organ lain akibat tuberkulosis aktif
(Kumar, 2010).
2.2.1.3 Klasifikasi Pasien Tuberkulosis
a. Klasifikasi berdasarkan pemeriksaan bakteriologis
Pasien TB berdasarkan hasil konfirmasi pemeriksaan bakteriologis adalah
seorang pasien TB yang dikelompokkan berdasar hasil pemeriksaan contoh uji
biologinya dengan pemeriksaan mikroskopis langsung, biakan atau tes diagnostik
cepat yang direkomendasi oleh Kemenkes RI (misalnya: GeneXpert) (Kemenkes,
2014).
Termasuk dalam kelompok pasien ini adalah:
1. Pasien TB paru BTA positif
2. Pasien TB paru hasil biakan M.tb positif
3. Pasien TB paru hasil tes cepat M.tb positif
4. Pasien TB ekstraparu terkonfirmasi secara bakteriologis, baik
dengan BTA, biakan maupun tes cepat dari contoh uji jaringan
yang terkena.
5. TB anak yang terdiagnosis dengan pemeriksaan bakteriologis.
Catatan: Semua pasien yang memenuhi definisi tersebut diatas harus dicatat
tanpa memandang apakah pengobatan TB sudah dimulai atau belum.
b. Klasifikasi berdasarkan diagnosis klinis
Pasien TB terdiagnosis secara klinis adalah pasien yang tidak memenuhi
kriteria terdiagnosis secara bakteriologis tetapi didiagnosis sebagai pasien TB
aktif oleh dokter, dan diputuskan untuk diberikan pengobatan TB.
Termasuk dalam kelompok pasien ini adalah:
1. Pasien TB paru BTA negatif dengan hasil pemeriksaan foto toraks
mendukung TB.
20
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Pasien TB ekstraparu yang terdiagnosis secara klinis maupun
laboratoris dan histopatologis tanpa konfirmasi bakteriologis.
3. TB anak yang terdiagnosis dengan sistem skoring.
Catatan: Pasien TB yang terdiagnosis secara klinis dan kemudian
terkonfirmasi bakteriologis positif (baik sebelum maupun setelah memulai
pengobatan) harus diklasifikasi ulang sebagai pasien TB terkonfirmasi
bakteriologis.
c. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit:
Tuberkulosis paru adalah TB yang terjadi pada parenkim (jaringan) paru.
Milier TB dianggap sebagai TB paru karena adanya lesi pada jaringan paru.
Limfadenitis TB dirongga dada (hilus dan atau mediastinum) atau efusi pleura
tanpa terdapat gambaran radiologis yang mendukung TB pada paru, dinyatakan
sebagai TB ekstra paru. Pasien yang menderita TB paru dan sekaligus juga
menderita TB ekstra paru, diklasifikasikan sebagai pasien TB paru.
Tuberkulosis ekstra paru adalah TB yang terjadi pada organ selain paru,
misalnya: pleura, kelenjar limfe, abdomen, saluran kencing, kulit, sendi, selaput
otak dan tulang. Diagnosis TB ekstra paru dapat ditetapkan berdasarkan hasil
pemeriksaan bakteriologis atau klinis. Diagnosis TB ekstra paru harus diupayakan
berdasarkan penemuan Mycobacterium tuberculosis. Pasien TB ekstra paru yang
menderita TB pada beberapa organ, diklasifikasikan sebagai pasien TB ekstra
paru pada organ menunjukkan gambaran TB yang terberat (Kemenkes, 2014).
d.Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya: (Kemenkes,
2014)
1. Pasien baru TB: adalah pasien yang belum pernah mendapatkan
pengobatan TB sebelumnya atau sudah pernah menelan OAT namun
kurang dari 1 bulan (˂ dari 28 dosis).
2. Pasien yang pernah diobati TB: adalah pasien yang sebelumnya
pernah menelan OAT selama 1 bulan atau lebih (≥ dari 28 dosis).
Pasien ini selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan hasil pengobatan
TB terakhir, yaitu:
Pasien kambuh: adalah pasien TB yang pernah dinyatakan
sembuh atau pengobatan lengkap dan saat ini didiagnosis TB
21
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis atau klinis (baik
karena benar-benar kambuh atau karena reinfeksi).
Pasien yang diobati kembali setelah gagal: adalah pasien TB
yang pernah diobati dan dinyatakan gagal pada pengobatan
terakhir.
Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to
follow-up): adalah pasien yang pernah diobati dan dinyatakan lost
to follow up (klasifikasi ini sebelumnya dikenal sebagai
pengobatan pasien setelah putus berobat /default).
Lain-lain: adalah pasien TB yang pernah diobati namun hasil
akhir pengobatan sebelumnya tidak diketahui.
3. Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui.
e.Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat
Pengelompokan pasien disini berdasarkan hasil uji kepekaan contoh uji dari
Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT dan dapat berupa (Kemenkes, 2014) :
Mono resistan (TB MR): resistan terhadap salah satu jenis OAT lini
pertama saja.
Poli resistan (TB PR): resistan terhadap lebih dari satu jenis OAT lini
pertama selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan.
Multi drug resistan (TB MDR): resistan terhadap Isoniazid (H) dan
Rifampisin (R) secara bersamaan.
Extensive drug resistan (TB XDR): adalah TB MDR yang sekaligus juga
resistan terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan minimal
salah satu dari OAT lini kedua jenis suntikan (Kanamisin, Kapreomisin
dan Amikasin).
Resistan Rifampisin (TB RR): resistan terhadap Rifampisin dengan atau
tanpa resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi menggunakan metode
genotip (tes cepat) atau metode fenotip (konvensional).
f. Klasifikasi pasien TB berdasarkan status HIV
1. Pasien TB dengan HIV positif (pasien ko-infeksi TB/HIV) adalah pasien
TB dengan:
Hasil tes HIV positif sebelumnya atau sedang mendapatkan ART, atau
22
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Hasil tes HIV positif pada saat diagnosis TB.
2. Pasien TB dengan HIV negatif adalah pasien TB dengan :
Hasil tes HIV negatif sebelumnya, atau
Hasil tes HIV negatif pada saat diagnosis TB.
3. Pasien TB dengan status HIV tidak diketahui adalah pasien TB tanpa ada
bukti pendukung hasil tes HIV saat diagnosis TB ditetapkan.
2.2.1.4 Diagnosis
Diagnosis tuberkulosis paru sebagian didasarkan pada anamnesis dan
pemeriksaan fisik serta temuan radiografik berupa konsolidasi atau kavitasi di
apeks paru. Namun, yang paling utama, basil tuberkel harus ditemukan. Apusan
tahan asam dan biakan terhadap sputum pasien yang dicurigai mengidap
tuberkulosis harus dilakukan. Biakan konvensional memerlukan waktu hingga 10
minggu, tetapi biakan dengan medium cair dapat memberikan hasil dalam 2
minggu. Amplifikasi DNA M. Tuberculosis dengan PCR bahkan memungkinkan
penegakan diagnosis yang lebih cepat. Pemeriksaan PCR dapat mendeteksi hanya
10 organisme dalam sediaan klinis, dibandingkan dengan lebih dari 10.000
organisme yang dibutuhkan agar hasil apusan menjadi positif. Akan tetapi, biakan
tetap merupakan baku emas karena memungkinkan kita melakukan uji kepekaan
obat.
Sementara infeksi HIV menyebabkan peningkatan resiko tuberkulosis pada
semua stadium penyakit, manifestasi klinisnya berbeda-beda bergantung pada
derajat imunosupresi. Pasien dengan imunosupresi yang relatif ringan (hitung sel
T CD4+ dan lebih dari 300 sel/mm3) memperlihatkan tuberkulosis sekunder biasa
(kelainan di apeks disertai kavitasi). Pasien dengan imunosupresi yang lebih berat
(hitung sel T CD4+ kurang dari 200 sel/mm3) memperlihatkan gambaran klinis
yang mirip dengan tuberkulosis primer progresif (konsolidasi lobus tengah dan
bawah, limfadenopati hilus, dan lesi nonkavitasi). Derajat imunodefisiensi juga
menentukan frekuensi kelainan di luar paru, yang meningkat lebih dari 10-15%
pada pasien dengan imunosupresi ringan menjadi lebih dari 50% pada mereka
dengan imunodefisiensi berat.
23
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.2.1.5 Penatalaksanaan
Tahapan Pengobatan TB (Kemenkes, 2014) :
Pengobatan TB harus selalu meliputi pengobatan tahap awal dan tahap lanjutan
dengan maksud:
Tahap awal: Pengobatan diberikan setiap hari. Panduan pengobatan pada
tahap ini adalah dimaksudkan untuk secara efektif menurunkan jumlah
kuman yang ada dalam tubuh pasien dan meminimalisir pengaruh dari
sebagian kecil kuman yang mungkin sudah resisten sejak sebelum pasien
mendapatkan pengobatan. Pengobatan tahap awal pada semua pasien baru,
harus diberikan selama 2 bulan. Pada umumnya dengan pengobatan secara
teratur dan tanpa adanya penyulit, daya penularan sudah sangat menurun
setelah pengobatan selama beberapa minggu.
Tahap lanjutan: Pengobatan tahap lanjutan merupakan tahap yang penting
untuk membunuh sisa-sisa kuman yang masih ada dalam tubuh khususnya
kuman persisten sehingga pasien dapat sembuh dan mencegah terjadinya
kekambuhan.
Berikut ini adalah kisaran dosis OAT lini pertama bagi pasien dewasa
Tabel 2.2 Kisaran dosis OAT lini pertama bagi pasien dewasa
OAT
Dosis
Harian 3 x / minggu
Kisaran dosis
(mg/kg BB)
Maksimum
(mg)
Kisaran
(mg/kg BB)
Maksium/hari
(mg)
Isoniazid (H) 5 (4-6) 300 10 ( 8-12) 900
Rifampisin (R) 10 (8-12) 600 10 (8-12) 600
Pirazinamid (Z) 25 (20-30) - 35 (30-40) -
Etambutol (E) 15 (15-20) - 30 (25-35) -
Streptomisin(S) 15 (12-18) - 15 (12-18) 1000
Catatan :
Pemberian streptomisin untuk pasien yang berumur >60 tahun atau pasien
dengan berat badan < 50 kg mungkin tidak dapat mentoleransi dosis > 500
mg/hari. Beberapa buku rujukan menganjurkan penurunan dosis menjadi
10 mg/kg/BB/hari.
24
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
a. Paduan OAT yang digunakan di Indonesia (sesuai rekomendasi WHO dan
ISTC)
Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian
Tuberkulosis di Indonesia adalah :
1. Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru : Pasien TB paru terkonfirmasi
bakteriologis, pasien TB paru terdiagnosis klinis, dan pasien TB ekstra paru.
Tabel 2.3 Dosis Paduan OAT KDT (Kombinasi Dosis Tetap)
Berat
Badan
Tahap Intensif
tiap hari selama 56 hari RHZE
(150/75/400/275)
Tahap Lanjutan
3 kali seminggu selama 16 minggu
RH (150/150)
30-37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
38-54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
55-70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
≥71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT
2. Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang pernah diobati
sebelumnya (pengobatan ulang): Pasien kambuh, pasien gagal pada pengobatan
OAT kategori 1 sebelumnya, pasien yang diobati kembali setelah putus obat.
Tabel 2.4 Panduan OAT Pengobatan Ulang
Berat Badan Tahap Intensif
tiap hari
RHZE (150/75/400/275) + S
Tahap Lanjutan
3 kali seminggu
RH (150/150) +
E(400)
Selama 56 hari Selama 28
hari
selama 20 minggu
30-37 kg 2 tab 4KDT
+ 500 mg Streptomisin
inj.
2 tab 4KDT 2 tab 2KDT
+ 2 tab Etambutol
38-54 kg 3 tab 4KDT
+ 750 mg Streptomisin
inj.
3 tab 4KDT 3 tab 2KDT
+ 3 tab Etambutol
55-70 kg 4 tab 4KDT
+ 1000 mg
Streptomisin inj.
4 tab 4KDT 4 tab 2KDT
+ 4 tab Etambutol
≥71 kg 5 tab 4KDT
+ 1000mg Streptomisin
inj.
5 tab 4KDT 5 tab 2KDT
+ 5 tab Etambutol
25
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Kategori anak : 2(HRZ)/4(HR) atau 2HRZA(S)/4-10HR
Obat yang digunakan dalam tatalaksana pasien TB resisten obat di
Indonesia terdiri dari OAT lini ke-2 yaitu Kanamisin, Kapreomisin,
Levofloksasin, Etionamide, Sikoserin, Moksifloksasin dan PAS, serta
OAT lini-1, yaitu Pirazinamid.
b.Pengobatan TB pada Keadaan Khusus
Adapun pengobatan TB pada keadaan khusus yaitu sebagai berikut:
(Kemenkes, 2014)
1. Kehamilan
Pada prinsipnya pengobatan TB pada kehamilan tidak berbeda dengan
pengobatan TB pada umumnya. Menurut WHO, hampir semua OAT aman untuk
kehamilan, kecuali golongan Aminoglikosida seperti streptomisin atau kanamisin
karena dapat menimbulkan ototoksik pada bayi (permanent ototoxic) dan dapat
menembus barier placenta. Keadaan ini dapat mengakibatkan terjadinya
gangguan pendengaran dan keseimbangan yang menetap pada bayi yang akan
dilahirkan. Perlu dijelaskan kepada ibu hamil bahwa keberhasilan pengobatannya
sangat penting artinya supaya proses kelahiran dapat berjalan lancar dan bayi yang
akan dilahirkan terhindar dari kemungkinan tertular TB. Pemberian Piridoksin 50
mg/hari dianjurkan pada ibu hamil yang mendapatkan pengobatan TB, sedangkan
pemberian vitamin K 10mg/hari juga dianjurkan apabila Rifampisin digunakan
pada trimester 3 kehamilan menjelang partus.
2. Ibu menyusui dan bayinya
Pada prinsipnya pengobatan TB pada ibu menyusui tidak berbeda dengan
pengobatan pada umumnya. Semua jenis OAT aman untuk ibu menyusui. Seorang
ibu menyusui yang menderita TB harus mendapat paduan OAT secara adekuat.
Pemberian OAT yang tepat merupakan cara terbaik untuk mencegah penularan
kuman TB kepada bayinya. Ibu dan bayi tidak perlu dipisahkan dan bayi tersebut
dapat terus diberikan ASI. Pengobatan pencegahan dengan INH diberikan kepada
bayi tersebut sesuai dengan berat badannya.
26
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Pasien TB pengguna kontrasepsi
Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal (pil KB, suntikan
KB, susuk KB) sehingga dapat menurunkan efektifitas kontrasepsi tersebut.
Seorang pasien TB sebaiknya mengggunakan kontrasepsi non-hormonal.
4. Pasien TB dengan kelainan hati
a. Pasien TB dengan Hepatitis akut
Pemberian OAT pada pasien TB dengan hepatitis akut dan atau klinis
ikterik, ditunda sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Sebaiknya
dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan rujukan untuk penatalaksanaan
spesialistik. Pasien dengan kondisi berikut dapat diberikan paduan pengobatan
OAT yang biasa digunakan apabila tidak ada kondisi kronis :
Pembawa virus hepatitis
Riwayat penyakit hepatitis akut
Saat ini masih sebagai pecandu alkohol
Reaksi hepatotoksis terhadap OAT umumnya terjadi pada pasien dengan
kondisi tersebut diatas sehingga harus diwaspadai.
b. Hepatitis Kronis
Pada pasien dengan kecurigaan mempunyai penyakit hati kronis,
pemeriksaan fungsi hati harus dilakukan sebelum memulai pengobatan. Apabila
hasil pemeriksaan fungsi hati >3 kali normal sebelum memulai pengobatan,
paduan OAT berikut ini dapat dipertimbangkan:
Pirazinamid (Z) tidak boleh digunakan
2 obat yang hepatotoksik: 2 HRSE / 6 HR, 9 HRE
1 obat yang hepatotoksik: 2 HES / 10 HE
Tanpa obat yang hepatotoksik: 18-24 SE ditambah salah satu
golongan fluorokuinolon (ciprofloxasin tidak direkomendasikan
karena potensinya sangat lemah).
Keterangan: Semakin berat atau tidak stabil penyakit hati yang
diderita pasien TB, harus menggunakan semakin sedikit OAT yang
hepatotoksik.
27
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
5. Pasien TB dengan gangguan fungsi ginjal
Paduan OAT yang dianjurkan adalah pada pasien TB dengan gagal ginjal
atau gangguan fungsi ginjal yang berat: 2 HRZE/4 HR. H dan R diekskresi
melalui empedu sehingga tidak perlu dilakukan perubahan dosis. Dosis Z dan E
harus disesuaikan karena diekskresi melalui ginjal. Dosis pemberian 3 x /minggu
bagi Z : 25 mg/kg BB dan E : 15 mg/kg BB. Pada pasien dengan gangguan fungsi
ginjal atau gagal ginjal, perlu diberikan tambahan Piridoksin (vit. B6) untuk
mencegah terjadinya neuropati perifer. Hindari penggunaan Streptomisin dan
apabila harus diberikan, dosis yang digunakan: 15 mg/kgBB, 2 atau 3 x /minggu
dengan maksimum dosis 1 gr untuk setiap kali pemberian dan kadar dalam darah
harus selalu dipantau.
Tabel 2.5 Acuan penilaian tingkat kegagalan fungsi ginjal
Tingkat Hasil pemeriksaan klirens kreatinin (KK)
1 KK (normal) dan fungsi ginjal normal namun terdapat kelainan
saluran kencing, misalnya: ginjal polikistik, kelainan struktur
2 KK (60 – 90 ml/menit)
3 KK (30 – 60 ml/menit)
4 KK (15 – 30 ml/menit)
5 KK (< 15 ml/menit) dengan atau tanpa dialisis
Tabel 2.6 Dosis yang dianjurkan OAT penyakit ginjal kronis
OAT Stadium 1-3 Stadium 4-5
Isoniazid 300 mg/hari Diberikan 3x/minggu
Dosis 300 mg/setiap pemberian
Rifampisin <50 kg: 450 mg/hari
≥50 kg: 600 mg/hari
<50 kg: 450 mg/hari
≥50 kg: 600 mg/hari
Pirazinamid <50 kg: 1,5 g/hari
≥50 kg: 2 g/hari
25-30 mg/kgBB/hari,
Diberikan 3x/minggu
Etambutol 15 mg/kgBB/hari 15-25 mg/kgBB/hari,
Diberikan 3x/minggu
6. Pasien TB dengan Diabetes Melitus (DM)
TB merupakan salah satu faktor risiko tersering pada seseorang dengan
diabetes mellitus.
Anjuran pengobatan TB pada pasien dengan Diabetes melitus:
a. Paduan OAT yang diberikan pada prinsipnya sama dengan paduan OAT
bagi pasien TB tanpa DM dengan syarat kadar gula darah terkontrol.
28
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
b. Apabila kadar gula darah tidak terkontrol, maka lama pengobatan dapat
dilanjutkan sampai 9 bulan.
c. Hati hati efek samping dengan penggunaan Etambutol karena pasien DM
sering mengalami komplikasi kelainan pada mata.
d. Perlu diperhatikan penggunaan Rifampisin karena akan mengurangi
efektifitas obat oral anti diabetes (sulfonil urea) sehingga dosisnya perlu
ditingkatkan.
e. Perlu pengawasan sesudah pengobatan selesai untuk mendeteksi dini bila
terjadi kekambuhan.
7. Pasien TB yang perlu mendapat tambahan kortikosteroid
Kortikosteroid hanya digunakan pada keadaan khusus yang membahayakan
jiwa pasien seperti:
a. Meningitis TB dengan gangguan kesadaran dan dampak neurologis.
b. TB milier dengan atau tanpa meningitis.
c. Efusi pleura dengan gangguan pernafasan berat atau efusi pericardial.
d. Laringitis dengan obstruksi saluran nafas bagian atas, TB saluran kencing
(untuk mencegah penyempitan ureter ), pembesaran kelenjar getah bening
dengan penekanan pada bronkus atau pembuluh darah.
e. Hipersensitivitas berat terhadap OAT.
f. IRIS ( Immune Response Inflammatory Syndrome).
Dosis dan lamanya pemberian kortikosteroid tergantung dari berat dan
ringannya keluhan serta respon klinis.
Predinisolon (per oral):
Anak: 2 mg / kg BB, sekali sehari pada pagi hari
Dewasa: 30 – 60 mg, sekali sehari pada pagi hari
Apabila pengobatan diberikan sampai atau lebih dari 4 minggu, dosis harus
diturunkan secara bertahap (tappering off).
8. Indikasi operasi
Pasien-pasien yang perlu mendapat tindakan operasi (misalnya reseksi paru),
adalah:
29
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Untuk TB paru:
Pasien batuk darah berat yang tidak dapat diatasi dengan cara
konservatif, pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang
tidak dapat diatasi secara konservatif, pasien TB MDR dengan
kelainan paru yang terlokalisir.
Untuk TB ekstra paru:
Pasien TB ekstra paru dengan komplikasi, misalnya pasien TB
tulang yang disertai kelainan neurologik.
2.2.2 Pneumonia
2.2.2.1 Definisi
Menurut World Health Organitation (WHO), pneumonia merupakan
infeksi saluran pernapasan akut yang menyerang paru-paru. Ketika paru-paru
seseorang terkena pneumonia, alveolusnya akan terisi oleh nanah dan cairan, yang
dapat menyebabkan sesak napas dan mengurangi pemasukan oksigen (WHO,
2016).
Menurut Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, pneumonia adalah
radang paru yang disebabkan oleh bakteri dengan gejala panas tinggi disertai
batuk berdahak, napas cepat, sesak, dan gejala lainnya (sakit kepala, gelisah dan
nafsu makan berkurang).
2.2.2.2 Klasifikasi Pneumonia berdasarkan Klinis dan Epideologis
Tabel 2.7 Jenis Sindrom Pneumonia dan Penyebabnya
Pneumonia Akut Didapat di Masyarakat
Streptococcus pneumoniae
Haemophillus influenzae
Moraxella catarrhalis
Staphylococcus aureus
Legionella pneomophila
Enterobacteriaceae (Klebsiella pneumoniae) dan Pseudomonas spp.
Pneumonia Atipikal Didapat di Masyarakat
Mycoplasma pneumoniae
Chlamydia spp. (C. pneumoniae, C. psittaci, C. trachomatis)
Coxiella burnetti (Q fever)
Virus : respiratory syncytal virus, virus parainfluenza (anak); influenza A dan B
(dewasa); adenovirus (perekrutan tentara); virus SARS (Severe acute respiratory
syndrome).
30
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pneumonia Nosokomial
Batang Gram-negatif yang termasuk dalam Enterobacteriaceae, Klebsiella spp.,
Serratia marcescens, Escherichia coli) dan Pseudomonas spp.
Staphylococcus aureus (biasanya resisten penisilin)
Pneumonia Aspirasi
Flora oral anaerob (Bacteroides, Prevotella, Fusobacterium, Peptostreptococcus)
bercampur dengan bakteri aerob (Streptococcus pneumoniae, Staphylococcus
aureus, Haemophillus influenza, dan Pseudomonas aeruginosa)
Pneumonia Kronik
Nocardia
Actinomyces
Granulomatosa: Mycobacterium tuberculosis dan mikobakteri atipikal,
Histoplasma capsulatum, Coccidioides immitis, Blastomyces dermatitis
Pneumonia Nekrotikans dan Abses Paru
Bakteri anaerob (sangat sering), dengan atau tanpa infeksi anaerob campuran
Staphylococcus aureus, Klebsiella pneumoniae, Streptococcus pyrogenes, dan
pneumokokus tipe 3 (jarang)
Pneumonia pada Pejamu dengan Gangguan Imunitas
Sitomegalovirus
Pneumocystis carinii
Mycobacterium avium-intracellulare
Aspergilosis invasif
Kandidiasis invasif
a.Pneumonia Akut Didapat di Masyarakat
Invasi bakteri ke paremkim paru menyebabkan alveolus terisi eksudat
peradangan sehingga terjadi pemadatan jaringan paru. Gejala utama pneumonia
akut didapat di masyarakat adalah munculnya gejala akut, seperti demam tinggi,
menggigil, dan batuk produktif dengan dahak mukopurulen, kadang kala terjadi
hemoptisis. Jika terdapat pleuritis fibrinosupuratif, akan timbul nyeri pleuritik dan
bising gesek pleura. Gambaran radiologik khas pada pneumonia lobaris adalah
lobus yang radio-opak dan biasanya terbatas tegas, sedangkan bronkopneumonia
memperlihatkan fokus-fokus radio-opak. Gambaran klinis banyak dimodifikasi
oleh pemberian antibiotik. Pasien yang telah diobati mungkin relatif afebris
dengan sedikit gejala klinis 48 sampai 72 jam setelah permulaan pemberian
antibiotik. Identifikasi organisme dan penentuan sensitivitas antibiotiknya
merupakan kunci penting bagi terapi yang tepat (Kumar, 2010).
b.Pneumonia Atipikal Didapat di Masyarakat
Kata Atipikal menunjukkan sputum dalam jumlah sedang, tidak ada tanda
fisik terjadinya pemadatan, peningkatan sedang hitung sel darah putih, dan tidak
31
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
adanya eksudat alveolus. Pneumonitis ini disebabkan oleh berbagai organisme,
yang tersering adalah Mycoplasma pneumoniae. Infeksi Mycoplasma terutama
sering terjadi pada anak dan dewasa muda. Infeksi ini timbul secara sporadis atau
sebagai epidemi lokal di lingkungan tertutup.
Mekanisme patologik umum adalah melekatnya organisme ke epitel
saluran napas atas diikuti oleh nekrosis sel dan respon peradangan. Jika proses
meluas hingga alveolus, biasanya terjadi peradangan interstisium, tetapi juga
dapat terjadi eksudasi cairan ke dalam rongga alveolus sehingga perubahan yang
terlihat pada foto toraks mungkin mirip dengan yang ditemukan pada pneumonia
bakteri. Kerusakan dan terkelupasnya epitel saluran napas menghambat clearance
mukosilia dan mempermudah terjadinya infeksi bakteri sekunder (Kumar, 2010).
c.Pneumonia Nosokomial
Didefinikan sebagai infeksi paru yang diperoleh sewaktu seseorang
dirawat inap di rumah sakit. Infeksi ini sering terjadi pada pasien yang mengidap
suatu penyakit berat, mengalami imunosupresi, mendapat terapi antibiotik jangka
panjang, atau dipasang alat akses invasif misalnya kateter intravaskular. Pasien
yang dipasang ventilasi mekanis memiliki resiko yang sangat tinggi.
Berdasarkan American Thoraric Society (ATS), pneumonia nosokomial
adalah pneumonia yang muncul setelah dirawat di rumah sakit lebih dari 48 jam
tanpa pemberian intubasi endotrakel. Pneumonia nosokomial terjadi karena
terdapat ketidakseimbangan pertahanan tubuh dengan kolonisasi bakteri sehingga
menginvasi saluran napas bagian bawah. Pneumonia nosokomial sering
disebabkan oleh bakteri Pseudomonas aeroginose, Klebsiella sp, Staphylococcus
aureus, dan Streptococcus pneumoniae. ATS membagi pneumonia nosokomial
menjadi early onset (biasanya muncul selama 4 hari perawatan di rumah sakit)
dan late onset (biasanya muncul setelah lebih dari 5 hari perawatan di rumah
sakit) (Ferrara, 2006).
d.Pneumonia Aspirasi
Pneumonia aspirasi terjadi pada pasien yang sakit berat atau mereka yang
terhirup isi lambungnya saat tidak sadar (misal setelah stroke) atau karena muntah
berulang. Pasien-pasien ini mengalami gangguan refleks menelan dan muntah
sehingga rentan mengalami aspirasi. Pneumonia yang terjadi sebagian bersifat
32
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
kimiawi, karena efek iritasi kuat dari asam lambung, dan sebagian bersifat
bakterial (dari flora mulut). Pneumonia tipe ini sering bersifat nekrotik,
memperlihatkan perjalanan yang fluminan dan menyebabkan kematian. Pada
mereka yang bertahan hidup, sering terjadi abses paru (Kumar, 2010).
e.Pneumonia Kronik
Pneumonia kronik umumnya dalah suatu lesi lokalisata pada pasien
imunokompeten, dengan atau tanpa keterlibatan kelenjar limfe regional. Terjadi
peradangan granulomatosa, yang mungkin disebabkan oleh bakteri (misalnya M.
tuberculosis) atau jamur (misalnya Histoplasma capsulatum) (Kumar, 2010).
2.2.2.3 Patogenesis
Dalam keadaan sehat, tidak terjadi pertumbuhan mikroorganisme di paru.
Keadaan ini disebabkan oleh mekanisme pertahanan paru. Apabila terjadi
ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dapat berkembang
biak dan menimbulkan penyakit. Resiko infeksi di paru sangat tergantung pada
kemampuan mikroorganisme untuk sampai dan merusak permukaan epitel saluran
napas. Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan :
1. Inokulasi langsung
2. Penyebaran melalui pembuluh darah
3. Inhalasi bahan aerosol
4. Kolonisasi dipermukaan mukosa
Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah secara kolonisasi.
Secara inhalasi terjadi pada infeksi virus, mikroorganisme atipikal, mikrobakteria
atau jamur. Kebanyakan bakteri dengan ukuran 0,5 -2,0 µm melalui udara dapat
mencapai bronkus terminal atau alveol dan selanjutnya terjadi proses infeksi. Bila
terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung, orofaring) kemudian terjadi
aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi mikroorganisme, hal ini
merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru. Aspirasi dari
sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50 %) juga
pada keadaan penurunan kesadaran, peminum alkohol dan pemakai obat.
Sekresi orofaring mengandung konsentrasi bakteri yang tinggi 10 8-10/ml,
sehingga aspirasi dari sebagian kecil sekret (0,001 - 1,1 ml) dapat memberikan
titer inokulum bakteri yang tinggi dan terjadi pneumonia.
33
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pada pneumonia mikroorganisme biasanya masuk secara inhalasi atau
aspirasi. Umumnya mikroorganisme yang terdapat disaluran napas bagian atas
sama dengan di saluran napas bagian bawah, akan tetapi pada beberapa penelitian
tidak di temukan jenis mikroorganisme yang sama (Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia, 2003).
2.2.2.4 Diagnosis
Diagnosis pneumonia komunitas ditegakkan dengan cara anamnesis, gejala
klinis pemeriksaan fisik, foto toraks dan laboratorium. Diagnosis pneumonia
komunitas ditegakkan jika pada foto toraks didapatkan infiltrat baru atau infiltrat
progresif ditambah dengan paling sedikit 1 kriteria gejala mayor atau 2 kriteria
gelaja minor bawah ini:
a. Kriteria gejala mayor
Batuk-batuk.
Produksi sputum.
Demam > 37,8ºC.
b.Kriteria gejala minor
Sesak napas.
Nyeri dada pleuritik.
Pemeriksaan fisik : ditemukan tanda-tanda konsolidasi, suara napas
bronkial dan ronki.
Leukosit > 12.000 ribu/ml.
2.2.2.5 Gambaran klinis
a. Anamnesis
Gambaran klinik biasanya ditandai dengan demam, menggigil, suhu tubuh
meningkat dapat melebihi 40ºC, batuk dengan dahak mukoid atau purulen
kadang-kadang disertai darah, sesak napas dan nyeri dada (Perhimpunan Dokter
Paru Indonesia, 2003).
b. Pemeriksaan fisik
Temuan pemeriksaan fisis dada tergantung dari luas lesi di paru. Pada
inspeksi dapat terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernapas, pasa palpasi
fremitus dapat mengeras, pada perkusi redup, pada auskultasi terdengar suara
napas bronkovesikuler sampai bronkial yang mungkin disertai ronki basah halus,
34
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang kemudian menjadi ronki basah kasar pada stadium resolusi (Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia, 2003).
2.2.2.6 Pemeriksaan penunjang
a. Gambaran radiologis
Foto toraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk
menegakkan diagnosis. Gambaran radiologis dapat berupa infiltrat sampai
konsolidasi dengan " air broncogram", penyebab bronkogenik dan interstisial
serta gambaran kaviti. Foto toraks saja tidak dapat secara khas menentukan
penyebab pneumonia, hanya merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi,
misalnya gambaran pneumonia lobaris tersering disebabkan oleh Steptococcus
pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa sering memperlihatkan infiltrat bilateral
atau gambaran bronkopneumonia sedangkan Klebsiela pneumonia sering
menunjukkan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat
mengenai beberapa lobus.
b. Pemeriksaan labolatorium
Pada pemeriksaan labolatorium terdapat peningkatan jumlah leukosit,
biasanya lebih dari 10.000/ul kadang-kadang mencapai 30.000/ul, dan pada
hitungan jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED.
Untuk menentukan diagnosis etiologi diperlukan pemeriksaan dahak, kultur darah
dan serologi. Kultur darah dapat positif pada 20- 25% penderita yang tidak
diobati. Analisis gas darah menunjukkan hipoksemia dan hikapnia, pada stadium
lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia,
2003).
2.2.3.6 Penatalaksanaan
Menurut American Thoracic Association pada jurnal Management of
Adults With Hospital-acquired and Ventilator-associated Pneumonia tahun 2016
terapi empirik pada Pneumonia yang berhubungan dengan ventilator dan
pneumonia nosokomial adalah sebagai berikut: (Kalil et al., 2016)
35
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tabel 2.8 Terapi Empirik Pneumonia Ventilator Resisten Metisilin
A. Antibiotik Gram
Positif dengan
aktivitas MRSA aktif
B. Antibiotik Gram
negatif dengan aktivitas
antipseudomonal : agen
β-Laktam
C. Antibiotik Gram
negatif dengan
aktivitas
antipseudomonal :
agen non β-Laktam
Glikopeptidase
Vancomisin 15 mg/kg
IV setiap 8-12 jam
(dengan loading dose
25–30
mg/kg × 1 pada kasus
berat) atau
Antipseudomonal
penisilin
Piperasilin-tazobaktam 4.5
g IV setiap 6 jam atau
Fluoroquinolones
Ciprofloksasin 400 mg
IV setiap 8 jam
Levofloksasin 750 mg
IV setiap 24 jam
Oksazolidinon
Linezolid 600 mg IV
setiap 12 jam
Sefalosporin
Sefiksim 2 g IV setiap 8
jam
Seftazidim 2 g IV setiap 8
jam
Aminoglikosida
Amikasin 15–20 mg/kg
IV setiap 24 jam
Gentamisin 5–7 mg/kg
IV setiap 24 jam
Tobramisin 5–7 mg/kg
IV setiap 24 jam
Karbapenem
Imipenem 500 mg IV
setiap 6 jam
Meropenem 1 g IV setiap
8 jam
Polimiksin
Kolistin 5 mg/kg IV × 1
(loading dose) diikuti
dengan 2.5 mg × (1.5 ×
CrCl + 30) IV setiap 12
jam (dosis
pemeliharaan)
Polimiksin B 2.5–3.0
mg/kg/hari dibagi
menjadi 2 dosis IV
Monobaktam
Aztreonam 2 g IV setiap
8 jam
Tabel 2.9 Terapi Empirik Pneumonia Nosokomial (Non-Ventilator)
Tidak ada resiko tinggi
mortalitas dan tidak
ada faktor peningkat
MRSA
Tidak ada resiko tinggi
mortalitas tetapi disertai
faktor peningkat
kemungkinan MRSA
Resiko tinggi
mortalitas atau
menerima antibiotik
intravena selama 90
hari sebelumnya.
Salah satu dari Salah satu dari Dua dari, hindari
penggunaan 2 β-laktam
Piperacillin-tazobaktam
4.5 g IV setiap 6 jam
atau
Piperasilin-tazobaktam
4,5 g IV setiap 6 jam
Piperasilin-tazobaktam
4.5 g IV setiap 6 jam
36
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
sefepim 2 g IV setiap 8
jam atau
Sefepim atau Seftazidim
2 g IV setiap 8 jam
Sefepim atau Seftazidim
2 g IV setiap 8 jam
Levofloksasin 750 mg
IV setiap hari
Levofloksasin 750 mg IV
setiap hari
Siprofloksasin 400 mg IV
setiap 8 jam
Levofloksasin 750 mg
IV setiap hari
Siprofloksasin 400 mg
IV setiap 8 jam
Imipenem 500 mg IV
setiap 6 jam
Meropenem 1 g IV
setiap 8 jam
Imipenem 500 mg IV
setiap 6 jam
Meropenem 1 g IV setiap
8 jam
Imipenem 500 mg IV
setiap 6 jam
Meropenem 1 g IV
setiap 8 jam
Aztreonam 2 g IV setiap 8
jam
Amikasin 15–20 mg/kg
setiap hari
Gentamisin 5–7 mg/kg
setiap hari
Tobramisin 5–7 mg/kg
setiap hari
Aztreonam 2 g IV
setiap 8 jam
Ditambah:
Vankomisin 15 mg/kg IV
8-12 jam ( loading
dose 25–30 mg/kg × 1
pada penyakit berat) atau
Ditambah:
Vankomisin 15 mg/kg
IV 8-12 jam ( loading
dose 25–30 mg/kg × 1
pada penyakit berat)
atau
Linezolid 600 mg IV
setiap 12 jam
Linezolid 600 mg IV
setiap 12 jam
Untuk pengobatan pneumonia yang berhubungan dengan masyarakat
menurut SWAB (Stiching Werkgroep Antibioticabeleid) tahun 2016 adalah
sebagai berikut : (Wiersinga, Nvmm, & Nvalt, 2016)
Tabel 2.10 Pneumonia yang Berhubungan dengan Masyarakat
Tingkat
keparahan
Antibiotik Rute Dosis Frekuensi
Kategori I : pneumonia ringan
Pilihan
pertama
Amoksisilin Oral 500-750 mg Setiap 6-8
jam
Pilihan kedua Doksisiklin Oral 100 mg
(dosis awal
200 mg)
Setiap 24
jam
Kategori II : pneumonia sedang-berat
Penisilin IV 1 ME Setiap 6 jam
Amoksisilin IV 1000 mg Setiap 6 jam
Kategori III : pneumonia berat (rawat inap)
Monoterapi Sefuroksim atau IV 1500 mg
Setiap 8 jam
37
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Seftriakson atau IV 2000 mg
Setiap 24
jam
Sefotaksim IV 1000 mg Setiap 6 jam
Kategori IV : pneumonia berat (ICU)
Monoterapi moksifloksacin IV/Oral 400 mg Setiap 24
jam
Terapi
kombinasi
Sefuroksim atau IV 750-1500 mg Setiap 8 jam
Seftriakson atau IV 2000 mg Setiap 24
jam
Sefotaksim IV 1000 mg Setiap 6 jam
dan
Siprofloksasin IV 400 mg Setiap 12
jam
Dari 20 penelitian (17 observasional dan 3 RCT). Pada 8 penelitian
observasional disimpulkan pemberian antibiotik inisiasi pada 4-8 jam setelah
kedatangan ke rumah sakit berkaitan dengan pengurangan mortalitas 5-43 %.
Terapi antibiotik yang digunakan adalah β-laktam dan kombinasi makrolida atau
monoterapi fluoroquinolon yang diberikan 4-8 jam setelah kedatangan di rumah
sakit untuk pasien pneumonia komunitas dengan rawat inap (Lee at al., 2016).
2.2.3 HIV AIDS
2.2.3.1 Definisi dan Stadium
Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan suatu kondisi
dimana seseorang tidak dapat melawan penyakit yang menyerang tubuhnya,
sehingga tubuh dapat terpapar oleh lebih dari satu macam infeksi atau bahkan
kanker. Sindrom ini disebabkan oleh infeksi suatu virus yang disebut HIV, yang
menyerang sel darah putih tertentu terutama sel CD4 dan monosit atau makrofag.
Sel CD4 dan makrofag memiliki peran yang penting dalam sistem imunitas
manusia sehingga adanya kerusakan sel-sel tersebut dapat membuat seseorang
mencapai suatu kondisi immunodefisiensi yang disebut AIDS. Virus ini juga
menginfeksi dan menyebabkan kerusakan langsung pada tipe sel lain seperti sel
lining usus sehingga pasien mengalami penurunan berat badan maupun sel saraf
yang menyebabkan pasien mengalami permasalahan sistem saraf. Pasien dengan
infeksi HIV dapat dikatakan tidak menderita AIDS jika bebas gejala atau memiliki
gejala yang tidak termasuk dalam AIDS dan memiliki jumlah sel CD4 lebih dari
200 sel/mm3 (Harding n.d., 2009).
38
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tabel 2.11 Stadium Klinis Infeksi HIV
Stadium 1
Tidak ada gejala
Limfadenopati Generalisata Persisten
Stadium 2
Penurunan berat badan bersifat sedang yang tak diketahui penyebabnya
(<10% dari perkiraan berat badan atau berat badan sebelumnya)
Infeksi saluran pernafasan yang berulang (sinusitis, tonsillitis, otitis media,
faringitis)
Herpes zoster
Keilitis angularis
Ulkus mulut yang berulang
Ruam kulit berupa papel yang gatal (Papular pruritic eruption)
Dermatisis seboroik
Infeksi jamur pada kuku
Stadium 3
Penurunan berat badan bersifat berat yang tak diketahui penyebabnya
(lebih dari 10% dari perkiraan berat badan atau berat badan sebelumnya)
Diare kronis yang tak diketahui penyebabnya selama lebih dari 1 bulan
Demam menetap yang tak diketahui penyebabnya
Kandidiasis pada mulut yang menetap
Oral hairy leukoplakia
Tuberkulosis paru
Infeksi bakteri yang berat (contoh: pneumonia, empiema, meningitis,
piomiositis, infeksi tulang atau sendi, bakteraemia, penyakit inflamasi
panggul yang berat)
Stomatitis nekrotikans ulserative akut, gingivitis atau periodontitis
Anemia yang tak diketahui penyebabnya (<8g/dl), netropeni (<0.5 x 109/l)
dan/atau trombositopeni kronis (<50 x 109/l)
Stadium 4
Sindrom wasting HIV
Pneumonia Pneumocystis jiroveci
Pneumonia bakteri berat yang berulang
Infeksi herpes simplex kronis (orolabial,
genital, atau anorektal selama lebih dari
1 bulan atau viseral di bagian manapun)
Kandidiasis esofageal (atau kandidiasis
trakea, bronkus atau paru)
Tuberkulosis ekstra paru
Sarkoma Kaposi
Penyakit Cytomegalovirus (renitis atau
infeksi organ lain, tidak termasuk hati,
limpa dan kelenjar getah bening)
Toksoplasmosis di sistem saraf pusat
Ensefalopati HIV
multifocal progresif
Cryptosporidiosis
kronis
Isosporiasis kronis
Mikosis diseminata
(hstoplasmosis,
coccidiomycosis)
Septikemi yang
berulang (termasuk
Salmonella non-tifoid)
Limfoma (serebral atau
sel B non-Hodgkin)
Karsinoma serviks
invasif
Leishmaniasis
39
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pneumonia Kriptokokus
ekstrapulmoner, termasuk meningitis
Infeksi mikobakteria non tuberkulosis
yang menyebar
Leukoencephalopathy
diseminata atipikal
Nefropati atau
kardiomiopati terkait
HIV yang simtomatis
Stadium klinik dapat digunakan secara efektif tanpa memeriksa jumlah sel
CD4 atau pemeriksaan laboratorium lain, tetapi jumlah sel CD4 sangat penting
untuk menentukan tingkat imunokompresi pasien dan mendukung pembuatan
keputusan klinik terkait kondisi pasien (Kemenkes, 2011).
Tabel 2.12 Tingkat Imunodefisiensi Berdasarkan Jumlah Sel CD4 Tingkat Keparahan Imunosupresan Jumlah Sel CD4
Imunodefisiensi tidak signifikan >500/mm3
Imunodefisiensi ringan 350-499/mm3
Imunodefisiensi sedang 200-349/mm3
Imunodefisiensi parah <200/mm3
2.2.3.2 Patogenesis
Infeksi HIV hanya dapat ditularkan melalui 3 rute yaitu adanya kontak
dengan darah, cairan semen dan cairan vagina yang terinfeksi HIV, mendapat
injeksi darah yang terinfeksi atau produk darah lain yang terinfeksi, dan yang
terakhir adalah melalui transmisi perinatal (dari ibu yang terinfeksi kepada
janinnya dan dari ibu kepada bayi melalui ASI). Kulit yang tidak luka atau rusak
tidak dapat ditembus oleh HIV, tetapi HIV dapat masuk melalui membran mukosa
yang terdapat pada bagian vagina, rektal, uretra, bahkan mulut. Adanya luka atau
kerusakan pada membran mukosa dapat meningkatkan resiko terjadinya transmisi
HIV ke dalam tubuh (Harding n.d., 2009).
Ketika HIV memasuki tubuh manusia, glikoprotein virus yang paling luar
yaitu gp160 akan berikatan dengan salah satu sel yang memiliki reseptor CD4.
Ikatan ini akan diperkuat oleh kemokin co-receptor HIV yaitu CCR5 dan CXCR4.
Penempelan co-receptor dari HIV akan mengawali terjadinya fusi membran,
dimana tahap ini dimediasi oleh gp41, dan akhirnya mencapai tahap masuknya
materi genetik virus dan enzim yang diperlukan untuk replikasi virus. Setelah
semua materi genetik virus masuk ke dalam sel inang, protrin virus yang
mengelilingi asam nukleat masuk ke dalam kondisi uncoated untuk persiapan
replikasi virus. Enzim reverse transcriptase HIV pertama kali akan mensintesis
40
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DNA komplemen menggunakan RNA virus sebagai template, DNA virus yang
telah terbentuk kemudian bermigrasi ke dalam nukleus dan berintegrasi dengan
kromosom sel inang dengan bantuan enzim integrase yang dimiliki HIV. Setelah
tahap integrasi selesai, HIV dapat bereplikasi. Aktivasi replikasi HIV dilakukan
oleh antigen, sitokin, atau faktor lain yang menstimulasi sel untuk memproduksi
faktor nuclear kappa B, sebuah enhancer-binding protein. Secara normal, faktor
nuclear kappa B meregulasi ekspresi gen limfosit T termasuk pertumbuhannya
sehingga secara tidak sengaja dapat mengaktifkan replikasi HIV. Setelah seluruh
bagian-bagian virus direplikasi dan dikemas, virion kemudian bergerak menembus
mambran plasma sehingga memperoleh karakteristik lipid bilayer sel inang.
Setelah virion terbentuk, proses pematangan dimulai. Di dalam virion, enzim
protease akan mulai memotong prekursor polipeptida (gag-pol) menjadi protein
fungsional yang diperlukan untuk memproduksi virus yang lengkap (Dipiro et al.,
2011).
2.2.4.3 Diagnosis
Setelah dinyatakan terinfeksi HIV maka pasien perlu dirujuk ke pelayanan
kesehatan untuk menjalankan serangkaian pemeriksaan yang meliputi penilaian
stadium klinis, penilaian imunologis dan penilaian virologi. Hal tersebut
dilakukan untuk menentukan apakah pasien sudah memenuhi syarat untuk terapi
antiretroviral, menilai status supresi imun pasien, menentukan infeksi oportunistik
yang pernah dan sedang terjadi dan menentukan paduan obat ARV yang sesuai
(Kemenkes, 2011a).
a. Penilaian Stadium Klinis
Stadium klinis harus dinilai pada saat kunjungan awal dan setiap kali kunjungan
untuk penentuan terapi ARV dengan lebih tepat waktu (Kemenkes, 2011a).
b. Penilaian Imunologi (Pemeriksaan jumlah CD4)
Jumlah CD4 adalah cara untuk menilai status imunitas ODHA.
Pemeriksaan CD4 melengkapi pemeriksaan klinis untuk menentukan pasien yang
memerlukan pengobatan profilaksis infeksi oportunistik dan terapi ARV. Rata rata
penurunan CD4 adalah sekitar 70-100 sel/mm3/tahun, dengan peningkatan setelah
pemberian ARV antara 50-100 sel/mm3/tahun. Jumlah limfosit total (TLC) tidak
dapat menggantikan pemeriksaan CD4 (Kemenkes, 2011a).
41
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
c. Pemeriksaan laboratorium sebelum memulai terapi
Pada dasarnya pemantauan laboratorium bukan merupakan persyaratan
mutlak untuk menginisiasi terapi ARV. Pemeriksaan CD4 dan viral load juga
bukan kebutuhan mutlak dalam pemantauan pasien yang mendapat terapi ARV,
namun pemantauan laboratorium atas indikasi gejala yang ada sangat dianjurkan
untuk memantau keamanan dan toksisitas pada ODHA yang menerima terapi
ARV. Hanya apabila sumberdaya memungkinkan maka dianjurkan melakukan
pemeriksaan viral load pada pasien tertentu untuk mengkonfirmasi adanya gagal
terapi menurut kriteria klinis dan imunologis (Kemenkes, 2011a).
d. Persyaratan lain sebelum memulai terapi ARV
Sebelum mendapat terapi ARV pasien harus dipersiapkan secara matang
dengan konseling kepatuhan karena terapi ARV akan berlangsung seumur
hidupnya. Untuk ODHA yang akan memulai terapi ARV dalam keadaan jumlah
CD4 di bawah 200 sel/mm3 maka dianjurkan untuk memberikan Kotrimoksasol
(1x 960mg sebagai pencegahan infeksi oportunistik) 2 minggu sebelum terapi
ARV. Hal ini dimaksudkan untuk mengkaji kepatuhan pasien untuk minum obat
dan menyingkirkan kemungkinan efek samping tumpang tindih antara
kotrimoksasol dan obat ARV, mengingat bahwa banyak obat ARV mempunyai
efek samping yang sama dengan efek samping kotrimoksasol (Kemenkes, 2011a).
2.2.3.3 Terapi Antimikroba pada Infeksi Oportunistik Penderita HIV
Infeksi Oportunistik adalah infeksi yang disebabkan oleh organisme yang
biasanya tidak menyebabkan penyakit pada orang dengan sistem kekebalan tubuh
yang normal, tetapi dapat menyerang orang dengan sistem kekebalan tubuh yang
buruk. Adapun terapi antimikroba pada infeksi oportunistik penderita HIV adalah
sebagai berikut :
a. Pengobatan Pencegahan Kotrimoksasol (PPK)
Beberapa infeksi oportunistik (IO) pada ODHA dapat dicegah dengan
pemberian pengobatan profilaksis. Terdapat dua macam pengobatan pencegahan,
yaitu profilaksis primer dan profilaksis sekunder.
Profilaksis primer adalah pemberian pengobatan pencegahan untuk
mencegah suatu infeksi yang belum pernah diderita.
42
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Profilaksis sekunder adalah pemberian pengobatan pencegahan yang
ditujukan untuk mencegah berulangnya suatu infeksi yang pernah diderita
sebelumnya.
Berbagai penelitian telah membuktikan efektifitas pengobatan pencegahan
kotrimoksasol dalam menurunkan angka kematian dan kesakitan pada orang yang
terinfeksi HIV. Hal tersebut dikaitkan dengan penurunan insidensi infeksi
bakterial, parasit (Toxoplasma) dan Pneumocystis carinii pneumonia (sekarang
disebut P. jiroveci, disingkat sebagai PCP). Pemberian kotrimoksasol untuk
mencegah (secara primer maupun sekunder) terjadinya PCP dan Toxoplasmosis
disebut sebagai Pengobatan Pencegahan Kotrimoksasol (PPK) (Kemenkes,
2011a).
PPK dianjurkan bagi:
ODHA yang bergejala (stadium klinis 2, 3, atau 4) termasuk perempuan
hamil dan menyusui. Walaupun secara teori kotrimoksasol dapat
menimbulkan kelainan kongenital, tetapi karena risiko yang mengancam
jiwa pada ibu hamil dengan jumlah CD4 yang rendah (<200) atau gejala
klinis supresi imun (stadium klinis 2, 3 atau 4), maka perempuan yang
memerlukan kotrimoksasol dan kemudian hamil harus melanjutkan
profilaksis kotrimoksasol.
ODHA dengan jumlah CD4 di bawah 200 sel/mm3 (apabila tersedia
pemeriksaan dan hasil CD4) (Kemenkes, 2011a).
Tabel 2.13 Pemberian kotrimoksazol sebagai profilaksis primer
Indikasi Saat penghentian Dosis Pemantauan
Bila tidak tersedia
pemeriksaan
jumlah sel CD4,
semua pasien
diberikan
kotrimoksazol
segera setelah
dinyatakan HIV
positif
2 tahun setelah
penggunaan
kotrimoksazol jika
mendapatkan
ARV.
960 mg/ hari dosis
tunggal
Efek samping
berupa tanda
hipersensitivitas
seperti demam,
rash, sindrom
Steven Johnson,
tanda penekanan
sumsum tulang
seperti anemi,
trombositopeni,
lekopeni,
pansitopeni
Interaksi obat
dengan ARV dan
Bila tersedia
pemeriksaan
jumlah sel CD4
dan terjangkau,
kotrimoksazol
Bila sel CD4 naik
>200 sel/mm3
pada pemeriksaan
dua kali interval 6
bulan berturut-
43
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
diberikan pada
pasien dengan
jumlah CD4 <200
sel/mm3
turut jika
mendapatkan ARV
obat lain yang
digunakan dalam
pengobatan
penyakit terkait
HIV. Semua bayi lahir
dari ibu hamil
HIV positif
berusia 6 minggu
Dihentikan pada
usia 18 bulan
dengan hasil test
HIV negatif
Jika tes HIV
positif dihentikan
pada usia 18 bulan
jika mendapatkan
terapi ARV
Trimetropim 8 –
10 mg/kg BB
dosis tunggal
b. Diagnosis Klinis dan Tatalaksana Infeksi Oportunistik (Kemenkes, 2011a)
Tabel 2.14 Diagnosis Klinis dan Tatalaksana Infeksi Oportunistik
No Infeksi
Oportunistik
Tampilan
Klinis
Diagnosis Terapi
1. Pneumoniaa
Pneumocystis
jiroveci (PCP)
Batuk kering
Sesak nafas
Demam
Keringat malam
Subakut sampai
1 – 2 bulan
Kelainan
pada foto
toraks dengan
infiltrat
intersisial
bilateral
Terapi pilihan:
Kotrimoksazol (TMP
15 mg + SMZ 75
mg/kg/ hari) dibagi
dalam 4 dosis atau
Kotrimoksazol 480 mg,
2 tablet 4 kali sehari
untuk BB < 40 kg dan
3 tablet 4 kali sehari
untuk BB > 40 kg
selama 21 hari
Terapi alternatif
Klindamisin 600 mg IV
atau 450 mg oral 3 kali
sehari + primakuin 15
mg oral sekali sehari
selama 21 hari bila
pasien alergi terhadap
sulfa
Untuk pasien yang
parah dianjurkan
pemberian prednisolon
40 mg, 2 kali sehari,
dengan penurunan
dosis secara bertahap
hingga 7 – 10 hari,
tergantung dari respon
terhadap terapi.
2. Kandidiasis Kandidiasis
oral:
Tampilan
klinis yang
Tablet Nistatin 100.000
IU, dihisap setiap 4 jam
44
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Bercak putih di
selaput mukosa
disertai eritema
di rongga mulut
khas pada
pemeriksaan
fisik
Pada sediaan
KOH
mikroskopis
ditemukan
pseudohifa
selama 7 hari
atau
Suspensi Nistatin 3-5
cc dikumur 3 kali
sehari selama 7 hari
Kandidiasis
esofageal:
Disfagi disertai
rasa nyeri
terbakar di dada
Tampilan
klinis khas
dan
memberikan
respon baik
setelah di
terapi
Bila
memungkink
an dapat
dilakukan
endoskopi
Flukonazol 200 mg per
sehari selama 14 hari
atau
Itrakonazol 400 mg per
sehari selama 14 hari
atau
Ketokonazol 200 mg
per sehari selama 14
hari
3. Kriptokokosis
Nyeri kepala
belakang, tanda
meningeal,
fotofobia, kaku
kuduk atau
tekanan
intrakranial
meningkat
Demam
Perubahan
kesadaran
Penyakit yang
diseminasi
memberi kan
tanda lesi
papulonekrotik
menyerupai
moluskum
kontagi-osum
disertai demam
dan infiltrat di
paru
Peningkatan
tekanan
intrakranial
pada punksi
lumbal
Protein di
cairan
serebrospinal
Dapat
ditemukan
organisme
dalam
CSP atau lesi
kulit dengan
sediaan
pengecatan
tinta India di
bawah
mikroskop
Terapi pilihan:
Amfoterisin B IV (0,7
mg/ kg/ hari) selama 2
minggu diikuti dengan
flukonazol 400 mg
perhari selama 8-10
minggu. Hati- hati akan
efek samping
nefrotoksik
amfoterisin.
Terapi alternatif:
Flukonazol 400-800
mg per hari selama 8 –
12 minggu
Terapi rumatan:
itrakonazol 200
mg/hari atau flukonasol
200 mg/ hari
4. Toksoplasmos
is serebral
Sakit kepala
Pusing
Demam
Defisit nerologis
fokal
Kejang
Defisit
nerologis
fokal
CT scan
kepala
Respon
Terapi pilihan
Pirimetamin dosis
awal: 100 mg, diikuti
dengan 50 mg perhari +
klindamisin 4 x 600 mg
Asam folinat 15 mg
45
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
terhadap
terapi
presumtif
dapat
menyokong
diagnosis
setiap 2 hari bila
tersedia
Terapi selama 6
minggu
Terapi rumatan
Pirimetamin 25 mg /
hari + klindamisin
600mg
5. Herpes
simpleks
Sekelompok
vesikel berair
biasanya di
daerah genital
atau sekitar
mulut dapat
menjadi
sistemik seperti
esofagitis,
ensefalitis
Gambaran
klinis khas
Biasanya sembuh
sendiri dan tidak perlu
terapi
Perawatan lesi, dengan
gentian violet atau
larutan klorheksidin
Bila ada indikasi dapat
diberi asiklovir 5 x 200
atau 3 x 400 mg selama
7 hari.
6. Herpes zoster
Sekelompok
vesikel berair
terasa sangat
nyeri di
sepanjang
dermatom.
Dapat
menyerang mata
Gambaran
klinis khas
Perawatan lesi, dengan
gentian violet atau
larutan klorheksidin
Asiklovir 5 x 800 mg
selama 7 hari,
diberikan dalam 72 jam
sejak timbulnya erupsi
vesikel.
Famsiklovir dan
valasiklovir sebagai
alternatif
7. Tuberkulosis
TB Paru
Batuk, demam,
berat badan
berkurang, cepat
lelah
Pemeriksaan
dahak SPS
untuk
mencari BTA
Foto toraks:
Gambaran
paru yang
klasik:
Kavitasi di
lobus atas
Gambaran
paru yang
atipik:
Infiltrat
intersisial
bilateral
Efusi pleura:
periksa BTA
pada punksi
Terapi sesuai Pedoman
Nasional
Penanggulangan
Tuberkulosis
46
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
pleura
8. Mycobacteriu
m Avium
Complex
(MAC)
Demam
berulang kali,
berat badan
menurun, cepat
lelah
Isolasi
organisme
dari darah
atau tempat
lain
Anemia yang
tidak
diketahui
sebabnya
Terapi pilihan
Azitromisin 1 x 500 mg
atau
Klaritromisin 2 x 500
mg + etambutol 15
mg/kg/ hari. Bila
infeksi berat dapat
ditambah obat ketiga
seperti levofloxacin 1 x
500 mg (atau
Siprofloksasin 2 x 500
mg)
Keadaan akan
membaik dengan terapi
ARV
Terapi rumatan
Klaritromisin 2 x 500
mg atau azitromisin 1 x
500 mg + etambutol 15
mg/kg/ hari
9. Kriptosporidi
osis
Diare kronis
Kram perut dan
muntah
Nyeri perut
kanan atas
Sediaan feses
dengan
pengecatan
BTA
Terapi ARV
Dalam Guidelines for Prevention and Treatment of Opportunistic
Infections in HIV-Infected Adults and Adolescents 2016 disebutkan pengobatan
yang digunakan pada infeksi oportunistik dengan petunjuk penilaian sebagai
berikut:
Tingkat rekomendasi :
A : Pernyataan direkomendasikan kuat
B : Pernyataan direkomendasikan sedang
C : Pernyataan direkomendasikan secara bebas
Penilaian kualitas untuk rekomendasi :
I : Satu atau lebih randomized trial dengan hasil klinis dan atau hasil laboratorium
tervalidasi
II : Satu atau lebih disain terbaik, norandomized trials atau penelitian kohort
observasional dengan hasil klinis masa lama
III : Opini terbaik
47
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
c. Rekomendasi pencegahan dan pengobatan Pneumocytis Pneumonia (PCP)
Tabel 2.15 Pengobatan Pneumocytis Pneumonia (PCP)
Indikasi untuk permulaan profilaksis primer :
Jumlah CD4 <200 sel/mm3 (AI) atau
Candidiasis orofaringeal (AIII) atau
CD4 % < 14% (BII) atau
Riwayat AIDS atau
Jumlah CD4 >200 tetapi < 250 sel/mm3 dan jika monitoring jumlah sel CD4
setiap 3 bulan tidak memungkinkan.
Terapi utama :
• TMP-SMX, 1 DS PO setiap hari (AI) atau
• TMP-SMX, 1 SS PO setiap hari (AI).
Terapi alternatif
• TMP-SMX 1 DS PO tiga kali seminggu (BI) atau
• Dapson 100 mg PO perhari atau 50 mg PO dua kali sehari (BI) atau
• Dapson 50 mg PO perhari+ (pyrimethamine 50 mg + leucovorin 25 mg) PO
setiap minggu (BI) atau
• (Dapson 200 mg + pyrimethamine 75 mg + leucovorin 25 mg) PO setiap
minggu (BI).
Pencegahan episode awal dari PCP (Profilaksis primer)
Indikasi penghentian profilaksis primer
• Jumlah CD4 meningkat dari <200 sel/mm3 sampai ≥200 sel/mm
3 paling sedikit 3
bulan pada respon ART (AI)
Indikasi untuk memulai kembali profilaksis primer
• Jumlah CD4 <200 sel/mm3 (AIII)
Pengobatan PCP
Untuk PCP sedang hingga berat, durasi total 21 hari (AII)
Terapi utama :
• TMP-SMX: (TMP 15–20 mg dan SMX 75–100 mg)/kg/day IV setiap 6 jam atau
8 jam (AI), dapat diganti PO setelah perbaikan klinis (AI).
Terapi alternatif :
• Pentamidine 4 mg/kg IV satu kali sehari secara infus sekurangnya selama 60
menit (AI); dosis dapat diturunkan menjadi 3 mg/kg IV satu kali sehari karena
toksisitas (BI) atau
• Primaquin 30 mg (basis) PO satu kali sehari + (Clindamycin [IV 600 setiap 6
jam atau 900 mg setiap 8 jam atau PO 450 mg setiap 6 jam atau 600 mg setiap 8
jam) (AI).
Untuk PCP ringan hingga sedang, durasi total 21 hari (AII)
Terapi utama :
• TMP-SMX: (TMP 15–20 mg/kg/day dan SMX 75–100 mg/kg/hari), diberikan
PO terbagi menjadi 3 dosis (AI) atau
• TMP-SMX DS - 2 tablet tiga kali sehari (AI).
Terapi alternatif :
• Dapson 100 mg PO satu kali sehari + TMP 15 mg/kg/day PO (terbagi menjadi 3
dosis) (BI) atau
• Primaquin 30 mg (basis) PO setiap hari + Clindamycin PO (450 mg setiap 6 jam
48
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
atau 600 mg setiap 8 jam) (BI) atau
• Atovaquon 750 mg PO dua kali sehari dengan makanan (BI).
Kortikosteroid tambahan
Untuk PCP sedang hingga berat dengan kriteria (AI) :
• PaO2 <70 mmHg pada suhu ruang atau
• Gradien alveolar-arterial O2 ≥35 mmHg.
Daftar dosis
Dosis prednison (dimulai segera mungkin dalam 72 jam terapi PCP) (AI) :
1-5 hari 40 mg PO dua kali sehari
6-10 hari 40 mg PO setiap hari
11- 12
hari
20 mg PO setiap hari
Metilprednisolon iv dapat diberikan 75% dari dosis prednison.
DS = Double Strength, SS = Single Strength
TMP = trimethroprim, SMX = Sulfametoksazol
d. Rekomendasi untuk pengobatan infeksi Mycobacterium Tuberculosis dan
penyakitnya
Tabel 2.16 Pengobatan infeksi Mycobacterium Tuberculosis
Pengobatan LTBI (infeksi laten tuberculosis) untuk mencegah penyakit TB
Indikasi :
(+) tes skrining LTBI, tidak ada bukti TB aktif, dan tidak ada riwayat pengobatan
TB aktif atau laten sebelumnya (AI).
Hindari kontak dengan orang yang terinfeksi TB, tanpa memperhatikan hasil tes
skrining (AII).
Terapi utama (durasi terapi = 9 bulan)
INH 300 mg PO per hari + piridoksin 25 mg perhari (AII) atau
INH 900 mg Po dua kali seminggu + Piridoksin 25 mg PO setiap hari (BIII).
Terapi alternatif
RIF 600 mg PO perhari selama 4 bulan (BIII) atau
RFB (dosis sesuai ART yang dibakai) selama 4 bulan (BIII)
Pengobatan penyakit TB aktif
Setelah pengumpulan spesimen untuk kultur dan tes diagnosis molekuler, terapi
empirik permulaan harus diberikan pada pasien HIV yang secara klinik dan
radiologik dinyatakan mengalami HIV yang berhubungan dengan TB.
Untuk TB sensitif obat
Fase intensif (2 bulan)
INH + (RIF atau RFB) + PZA +EMB (AI), jika dilaporkan sensitivitas pada INH
dan RIF, EMB dapat dihentikan.
Fase lanjut (untuk pasien diduga TB)
INH + (RIF atau RFB) perhari (5-7 minggu) atau dua kali seminggu (AII).
Durasi total terapi :
Pulmonari, obat rentan TB : selama 6 bulan (BII)
TB pulmonari dan kultur positif pada 2 bulan pengobatan TB : selama 9 bulan
(BII)
49
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
TB ekstrapulmonari dengan CNS : selama 9-12 bulan (BII)
TB ekstrapulmonari dengan tulang : selama 6-9 bulan (BII)
TB ekstrapulmonari pada tempat lain : selama 6 bulan (BII)
Durasi total harus berdasarkan pada jumlah dosis yang didapatkan, bukan
berdasarkan kalender (BIII).
Untuk resisten obat
Terapi empirik untuk terduga resisten pada Rifamisin :
INH + (RIF atau RFB) + PZA + EMB + (moxifloxacin atau levofloksacin) +
(aminoglikosida atau kapreomisin).
Resisten terhadap INH
(RIF atau RFB) + EMB + PZA + (moxifloxacin atau levofloksacin) selama 2
bulan (BIII), diikuti dengan (RIF atau RFB) + EMB + (moxifloxacin atau
levofloksacin) selama 7 bulan (BII).
ART = Terapi Antiretroviral
INH = Isoniazid
50 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif menggunakan desain cross
sectional (potong lintang), yaitu mempelajari dinamika korelasi antara faktor
pengaruh dan faktor terpengaruh dengan cara pendekatan, observasi,
pengumpulan data sekaligus, dimana menekankan waktu pengukuran hanya satu
kali pada satu saat (Notoatmodjo, 2002). Pengambilan data pasien dilakukan
secara retrospektif, melalui rekam medis pasien rawat inap yang menerima
antibiotika di ruang isolasi rumah sakit umum daerah Cengkareng periode Januari
– Desember 2016.
3.2 Kerangka Konsep
Gambar 2. Kerangka Konsep Penelitian
Karakteristik
pasien:
- Jenis Kelamin
- Usia
- Pekerjaan
- Pendidikan
- Penyakit
penyerta
Jumlah Antibiotik
Drug Related Problems
Memenuhi
kriteria
inklusi dan
eksklusi
Ketepatan Antibiotik
- Efektivitas Terapi
- Reaksi Obat yang Tidak
Dikehendaki
-
-
Pasien dengan penyakit TB,
HIV, dan Pneumonia di
ruang isolasi
51
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
*Ketepatan penggunaan antibiotik dinilai dengan menggunakan skema
klasifikasi drug related problems PCNE 2016 adalah sebagai berikut:
a) Permasalahan
Tabel 3.1 Permasalahan drug related problems PCNE 2016
Domain Utama Kode
V7.0
Masalah
1. Efektivitas terapi P1.1 Obat tidak efektif atau pengobatan gagal
P1.2 Efek obat tidak optimal
P1.3 Obat tidak diperlukan
P1.4 Indikasi tidak terobati
2. Reaksi obat yang tidak
dikehendaki (ROTD)
P2.1 Pasien menderita ROTD
b) Penyebab
Tabel 3.2 Penyebab drug related problems PCNE 2016
Domain Utama Kode
V7.0
Penyebab
Per
esep
an
1. Pemilihan Obat C1.1 Obat tidak tepat berdasarkan
guidelines atau formularium
C1.2 Obat tidak tepat (kontraindikasi)
C1.3 Tidak ada indikasi untuk
penggunaan obat
C1.4 Kombinasi obat-obat tidak tepat
C1.5 Duplikasi kelompok terapi atau
bahan aktif yang tidak tepat
C1.6 Ada indikasi tetapi obat tidak
diresepkan
C1.7 Banyak obat (kelompok terapi
atau bahan aktif yang berbeda)
diresepkan untuk indikasi yang
sama
C1.8 Kebutuhan obat yang bersifat
sinergis/preventif tidak
diresepkan
2. Pemilihan Bentuk Sediaan C2.1 Bentuk sediaan obat tidak tepat
3. Pemilihan Dosis C3.1 Dosis obat terlalu rendah
C3.2 Dosis obat terlalu tinggi
C3.3 Frekuensi pemberian lebih lebih
jarang dari aturan pakai
C3.4 Frekuensi pemberian melebihi
aturan pakai
4. Penentuan Lama Pengobatan C4.1 Lama pengobatan terlalu pendek
C4.2 Lama pengobatan terlalu panjang
52
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3.3 Populasi dan Sampel
3.3.1 Populasi
Subjek dalam penelitian ini adalah seluruh data rekam medis pasien
penyakit infeksi di ruang isolasi RSUD Cengkareng periode Januari-Desember
2016. Besar populasi yang ada di ruang isolasi periode Januari-Desember 2016
adalah 1200 pasien. Subjek yang dipilih adalah subjek yang memenuhi kriteria
inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi.
Kriteria Inklusi adalah :
a. Semua pasien penyakit tuberkulosis, pneumonia dan HIV yang
menggunakan antibiotik di ruang isolasi RSUD Cengkareng periode
Januari-Desember 2016.
b. Subjek penelitian adalah pasien usia ≥ 26 tahun.
c. Rekam medik yang lengkap dan jelas terbaca.
Kriteria Eksklusi adalah :
a. Data rekam medik yang tidak lengkap dan tidak bisa dievaluasi.
b. Pasien penyakit tuberkulosis, pneumonia dan HIV yang dirawat di ruang
isolasi selain periode Januari-Desember 2016.
3.3.2 Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah populasi yang memenuhi kriteria
inklusi. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling
yaitu teknik pengambilan sampel dengan pertimbangan sesuai inklusi dan jumlah
pasien yang dibutuhkan. Pengambilan besar sampel dalam penelitian ini
ditentukan berdasarkan rumus Slovin sebagai berikut :
n = N
1+N (e)2
Keterangan :
n = Jumlah sampel
N = Jumlah populasi
e = Batas toleransi kesalahan
n = 1200
1+1200 (0,1)2 = 92,3 = 93 sampel
Jumlah sampel yang diambil pada penelitian ini adalah 93 pasien.
53
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3.4 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di ruang rekam medik RSUD Cengkareng Jakarta
Barat pada bulan April – Juni 2017.
3.5 Definisi Oprasional
Dalam penelitian ini terdapat beberapa istilah yang didefinisikan sebagai berikut:
Tabel 3.3 Definisi Oprasional
No Variabel Definisi Cara dan
Alat Ukur
Skala
Ukur
Keterangan
1. Tuberkulosi
s
adalah
penyakit
dengan tanda:
uji BTA positif
dan atau foto
torak
menyatakan
adanya
tuberkulosis
Melihat
pencatatan
status pasien
di rekam
medis
Kategori 1.TB dengan
BTA positif
2.TB dengan
foto toraks
menunjukkan
adanya
tuberkulosis
3.TB dengan
BTA positif
dan foto torak
menunjukkan
adanya
tuberkulosis
2. Pneumonia Adalah
penyakit
dengan tanda
batuk-batuk,
demam, sesak
napas, nyeri
dada pleuritik,
suara napas
bronkial dan
produksi
sputum
Melihat
pencatatan
status pasien
di rekam
medis
Kategori 1. Pneumonia
yang
memenuhi
seluruh tanda
pneumonia
2. Pneumona
yang
memenuhi
sebagian tanda
pneumonia
3. HIV Adalah
penyakit
dengan
pemeriksaan
HIV reaktif
dan CD 4
<200/mm3
Melihat
pencatatan
status pasien
di rekam
medis
Nominal 1.Pasien
dengan hasil
pemeriksaan
HIV reaktif
dan CD 4
<200/mm3
2. Pasien
dengan hasil
pemeriksaan
HIV reaktif
4. TB +
Pneumonia
komplikasi
penyakit TB
dan
Melihat
pencatatan
status pasien
Kategori 1. Pasien
dengan BTA
positif disertai
54
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
No Variabel Definisi Cara dan
Alat Ukur
Skala
Ukur
Keterangan
Pneumonia
dengan uji
BTA positif
dan atau foto
torak
menyatakan
adanya
tuberkulosis
disertai tanda
pneumonia
di rekam
medis
pneumonia
2. Pasien
dengan foto
torak
menyatakan
adanya
tuberkulosis
disertai tanda
pneumonia
3. Pasien
dengan BTA
positif, foto
torak
menandakan
adanya
tuberkulosis
disertai tanda
pneumonia
5. TB + HIV Komplikasi
penyakit TB
dan HIV
dengan uji
BTA positif
dan atau foto
torak
menyatakan
adanya
tuberkulosis
disertai uji
HIV reaktif
dan CD4 <
200/mm3
Melihat
pencatatan
status pasien
di rekam
medis
Kategori 1.Pasien
dengan BTA
positif disertai
uji HIV r dan
CD4 <
200/mm3eaktif
2.Pasien
dengan foto
torak
menandakan
adanya
tuberkulosis
disertai uji
HIV reaktif
dan CD4 <
200/mm3
3.Pasien
dengan BTA
positif, foto
torak
menandakan
adanya
tuberkulosis
disertai uji
HIV reaktif
dan CD4 <
200/mm3
55
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
No Variabel Definisi Cara dan
Alat Ukur
Skala
Ukur
Keterangan
6. TB+Pneum
onia+HIV
Komplikasi
penyakit TB,
pneumonia
dan HIV
dengan uji
BTA positif
dan atau foto
torak
menyatakan
adanya
tuberkulosis,
tanda
pneumonia
disertai uji
HIV reaktif
Melihat
pencatatan
status pasien
di rekam
medis
Kategori 1. Pasien BTA
positif dengan
tanda
pneumonia
disertai uji
HIV reaktif
dan CD4 <
200/mm3
2. Pasien
dengan foto
torak
menyatakan
adanya
tuberkulosis,
tanda
pneumonia
disertai uji
HIV reaktif
dan CD4 <
200/mm3
3. Pasien
dengan BTA
positif, foto
torak
menandakan
adanya
tuberkulosis,
tanda
pneumonia
disertai uji
HIV reaktif
dan CD4 <
200/mm3
7. Karakteristik pasien
Jenis
Kelamin
Kondisi fisik
penentuan
status laki-laki
atau
perempuan
Melihat
pencatatan
status pasien
di rekam
medis
Nominal 1. 1.Laki-laki
2. 2.Perempuan
Usia Umur pasien
yang menjalani
terapi
berdasarkan
ulang tahun
terakhir
Melihat
pencatatan
status pasien
di rekam
medis
Kategori 1. 1.Dewasa
Awal
2. 2.Dewasa
Akhir
3. 3.Lansia Awal
4. 4.Lansia Akhir
5. 5.Manula
56
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
No Variabel Definisi Cara dan
Alat Ukur
Skala
Ukur
Keterangan
Length of
stay (Lama
hari rawat)
Lama hari
rawat inap
pasien di ruang
isolasi RSUD
Cengkareng
Melihat
pencatatan
status pasien
di rekam
medis
Rasio 1.1-7 hari
2.8-14 hari
3.≥ 15 hari
Pendidikan Tingkat ilmu
pengetahuan
terakhir yang
diperoleh
pasien
Melihat
pencatatan
status pasien
di rekam
medis
Kategori 1. 1. SD
2. 2. SMP
3. 3. SMA
4. 4.TNI
5. 5.Tidak
diketahui
Penyakit
penyerta
Diagnosa lain
yang diderita
pasien selain
tuberkulosis,
pneumonia dan
HIV
Melihat
pencatatan
status pasien
di rekam
medis
Kategori 6. 1. Efusi Pleura
7. 2. Diabetes
Militus
8. 3. Hepatitis
9. 4. Penyakit
lainnya
8. Kuantitas
penggunaan
antibiotik
Jumlah
penggunaan
antibiotik yang
dievaluasi
dengan metode
ATC/DDD
Melihat
pencatatan
status pasien
di rekam
medis
Nominal
DDD
(Difined
Daily Dose)
Nilai DDD
dari setiap
jenis antibiotik
yang
ditetapkan oleh
WHO
Dilihat di
situs resmi
WHO:https://
www.whocc.
no/atc_ddd_i
ndex/
Nominal
9. DU 90% Jumlah
penggunaan
obat yang
masuk ke
dalam segmen
90%
Jenis obat
yang sudah
dikonversi
sesuai indeks
ATC/DDD
diurutkan
berdasarkan
besarnya nilai
DDD yang
digunakan
dimulai dari
yang terbesar
menuju yang
terkecil dan
dihitung
persentase
kumulatifnya
Nominal
57
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
No Variabel Definisi Cara dan
Alat Ukur
Skala
Ukur
Keterangan
kemudian
diambil jenis
obat yang
masuk
segmen 90%
kumulatif
obat yang
digunakan
1.
10. Drug
Related
Problems
- Masalah yang
timbul karena
penggunaan
antibiotik.
Berupa:
Domain utama
permasalahan
efektivitas
terapi dan
ROTD serta
Penyebab yang
berkaitan
dengan
peresepan dan
penggunaan
Melihat
pencatatan
status pasien
di rekam
medis
Nominal 2. 1. Terjadi
DRPs
3. 2. Tidak terjadi
DRPs
11. Efektivitas
Terapi Efektivitas
terapi yang
ditandai
dengan kadar
leukosit,
kecepatan
pernafasan,
denyut nadi
dan suhu tubuh
terkendali pada
batas normal,
tanda
pneumonia
yang stabil
(suhu tubuh ≤
37,8 ºC,
denyut nadi
≤ 100 kali/
menit,
pernafasan/
RR ≤ 24 kali/
menit, tekanan
Melihat
pencatatan
status pasien
di rekam
medis
Kategori 4. 1.Tuberkulosis
dengan
leukosit,
kecepatan
pernafasan,
denyut nadi
dan suhu tubuh
terkendali pada
batas normal.
5. 2.Pneumonia
dengan
kestabilan
pneumonia
6. 3.HIV dengan
leukosit,
kecepatan
pernafasan,
denyut nadi
dan suhu tubuh
terkendali pada
batas normal.
7. 4. TB dan
Pneumoina
58
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
No Variabel Definisi Cara dan
Alat Ukur
Skala
Ukur
Keterangan
darah sistolik
≥ 90 mmHg,
saturasi
oksigen
arterial
≥ 90 % atau
pO2 ≥ 60
mmHg pada
suhu ruang,
status mental
normal dan
mampu
mengonsumsi
makanan
secara oral)
8. dengan tanda
pneumonia
stabil
9. 5. TB dan HIV
dengan
leukosit,
kecepatan
pernafasan,
denyut nadi
dan suhu tubuh
terkendali pada
batas normal.
10. 6. TB,
Pneumonia
dan HIV
dengan tanda
pneumonia
stabil
12. Reaksi Obat
yang Tidak
Dikehendak
i
- Pasien
menderita efek
samping dan
atau drug
induced liver
injury (DILI)
Melihat
pencatatan
status pasien
di rekam
medis
Kategori 11. 1. Pasien yang
menderita efek
samping obat
12. 2. Pasien yang
menderita drug
induced liver
injury (DILI)
3.6 Prosedur Penelitian
3.6.1 Persiapan (Permohonan Izin)
Pembuatan dan penyerahan surat permohonan izin pelaksanaan penelitian dari
Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif
Hidayatullah dan Unit Pelaksana Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kota
Administrasi Jakarta Barat kepada RSUD Cengkareng. Penyerahan surat
persetujuan penelitian dari RSUD Cengkareng kepada Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah.
3.6.2 Pengumpulan Data Penelitian
Pengumpulan data penelitian dilakukan dengan alur sebagai berikut:
a. Pemilihan pasien yang masuk ke dalam kriteria inklusi. Data rekam medik
dari pasien tersebut kemudian didokumentasikan berupa nomor rekam
59
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
medis, usia pasien, diagnosis, data laboratorium berupa suhu tubuh,
leukosit serta uji kultur dan sensitifitas, dan data penggunaan obat.
b. Data dari rekam medis pasien dianalisis dan dievaluasi menggunakan
metode ATC/DDD dan skema drug related problems PCNE 2016.
3.6.3 Pengolahan Data
Data yang diperoleh dari rekam medis pasien kemudian diolah dengan
menggunakan program Microsoft Exel 2010 untuk perhitungan nilai DDD/100
patient-days dan data untuk menyusun segmen DU90% serta menggunakan
Statistical Package for the Social Science (SPSS) edisi 16.0 untuk data
sosiodemografi, frekuensi klinik pasein, analisis drug related problems, hubungan
penggunaan antibiotik terhadap data laboratorium.
Proses pengolahan data meliputi langkah sebagai berikut:
a. Editing
Proses ini meliputi pemeriksaan kelengkapan data yang akan diolah, korelasi
kesalahan data dan eksklusi data-data yang tidak dibutuhkan sehingga pengolahan
data lebih mudah dan dapat dilakukan peneliti dengan baik.
b. Coding
Proses ini merupakan pemberian kode berupa angka terhadap data-data yang
terdiri dari beberapa kategori dalam satu variabel.
c. Input data
Kegiatan memasukkan data yang akan diolah ke dalam program.
d. Cleaning data
Pemeriksaan kembali untuk memastikan data benar dan siap diolah.
3.6.4 Analisis Data
a. Analisis Univariat
Analisis univariat adalah analisis yang digunakan untuk menganalisis setiap
variabel (terikat maupun bebas) yang akan diteliti secara deskriptif. Data yang
telah dikategorikan ditampilkan sebagai frekuensi kejadian. Adapun pengolahan
data dengan menggunakan analisis univariat ialah:
1. Karakteristik pasien
Jenis kelamin
Usia
60
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pekerjaan
Pendidikan
Penyakit penyerta
2. Analisis Data dengan Metode ATC/DDD
Analisis dilakukan dengan menghitung kuantitas penggunaan antibiotik pada
pasien penyakit infeksi di ruang isolasi dengan metode DDD, yang diproses
dengan program Microsoft Excel 2010. Berikut tata cara analisis dengan
menggunakan metiode DDD :
a. Klasifikasi kode Anatomical Therapeutic Chemical (ATC) suatu
antibiotik berdasarkan Guidelines for ATC Classification dan DDD
Assignment WHO tahun 2012.
b. Identifikasi jenis antibiotik, baik tunggal maupun kombinasi yang
digunakan.
c. Identifikasi Defined Daily Dose (DDD) untuk masing-masing
antibiotik, berdasarkan Guidelines for ATC Classification dan DDD
Assignment WHO tahun 2012.
d. Hitung jumlah kekuatan antibiotik (dalam gram) yang digunakan.
e. Hitung jumlah hari rawat pasien penyakit infeksi di ruang isoasi RSUD
Cengkareng tahun 2016.
f. Hitung nilai DDD/ 100 patient-days untuk masing-masing jenis
antibiotik atau kombinasi antibiotik dengan menggunakan rumus yang
tertera dibawah ini :
DDD 100 patient-days=(Jumlah gram antibiotik yang digunakan oleh pasien)
Standar DDD WHO dalam gram x
100
(𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐿𝑂𝑆)
g. Data hasil perhitungan DDD/100 patient-days diubah dalam bentuk
persentase kemudian dikumulatifkan. Dari hasil kumulatif tersebut
didapatkan Drug Utilization 90% (DU 90%) untuk dikelompokkan
dalam segmen 90%.
b. Analisis bivariat
Analisis bivariat adalah analisa yang dilakukan terhadap dua variabel yang
diduga berhubungan / berkolerasi dan untuk melihat kemaknaan antara variabel.
Analisa data sampel dilakukan secara deskriptif statistik, yaitu dengan analisa kai-
kuadrat (chi-square). Uji kai-kuadrat adalah uji yang digunakan untuk mengetahui
61
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
adanya hubungan antara dua variabel yang bersifat kategorik. Cara pengambilan
keputusannya adalah dengan melihat nilai probabilitas (p) pada kolom Asymp
Sig. (2-sided) dari hasil SPSS Statistic 16.0.
Dasar pengambilan keputusan adalah sebagai berikut :
H0 : tidak ada hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat
H1 : ada hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat
Nilai p pada tingkat kepercayaan 95 % adalah sebagai berikut :
a. Probabilitas <0,05 berarti H0 ditolak. Uji statistik menunjukkan
hubungan bermakna.
b. Probabilitas >0,05 berarti H0 diterima. Uji statistik menunjukkan tidak
ada hubungan yang bermakna.
Uji kai-kuadrat ini dinyatakan sahih apabila memenuhi persyaratan sel yang
mempunyai nilai harapan kurang dari 5 maksimal 20% dari jumlah sel (Sabri dan
Hastono, 2006). Apabila tidak memenuhi persyaratan tersebut, maka dilakukan uji
mutlak Fisher. Analisa koefisien kontingensi digunakan untuk mengetahui
kekuatan antarvariabel yang bersifat nominal. Adapun pengolahan data dengan
menggunakan analisis bivariat adalah usia, lama rawat inap, penyakit penyerta,
jumlah obat, jumlah antibiotik terhadap Drug Related Problems (DRPs) yang
meliputi permasalahan efektivitas terapi dan reaksi obat yang tidak dikehendaki
serta penyebab yang berkaitan dengan peresepan dan penggunaan dalam skema
klasifikasi.
62 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Analisa Univariat
4.1.1 Karakteristik Pasien
Data yang diperoleh dari rekam medis pasien menunjukkan jumlah pasien
yang dirawat di ruang isolasi RSUD Cengkareng pada tahun 2016 adalah 1075
kemudian dipilih 100 pasien yang memenuhi inklusi dalam penelitian ini dengan
karakteristik sebagai berikut:
Tabel 4.1 Karakteristik Pasien Ruang Isolasi di RSUD Cengkareng tahun
2016
Karakteristik Jumlah Persentase
Diagnosa Penyakit
HIV 2 2%
Pneumonia 3 3%
Tuberkulosis 56 56%
Tuberkulosis + HIV 14 14%
Tuberkulosis + Pneumonia 21 21%
Tuberkulosis + Pneumonia + HIV 4 4%
Jenis Kelamin
Pria 72 72%
Wanita 28 28%
Kelompok Usia
Dewasa awal (26-35 tahun) 28 28%
Dewasa akhir (36-45 tahun) 28 28%
Lansia awal (46-55 tahun) 22 22%
Lansia akhir (56-65 tahun) 14 14%
Manula (65 tahun ke atas) 8 8%
Pekerjaan
Karyawan Swasta 27 27%
Wiraswasta 13 13%
Ibu Rumah Tangga 26 26%
TNI 1 1%
Penjaga Sekolah 2 2%
Buruh 9 9%
Nelayan 1 1%
Pedagang 1 1%
Petugas Kebersihan 1 1%
Supir 6 6%
Wartawan 1 1%
Tidak Bekerja 2 2%
Tidak Diketahui 10 10%
63
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pendidikan
SD 17 17%
SMP 9 9%
SMA 42 42%
TNI 1 1%
Tidak Diketahui 31 31%
Status Pasien
Umum 10 10%
BPJS 89 89%
Asuransi Asih Eka Abadi, PT (SOS) 1 1%
Lama Hari Rawat Inap
1-7 hari 40 40%
8-14 hari 47 47%
≥ 15 hari 13 13%
Ruang isolasi adalah ruang yang digunakan secara khusus untuk pasien
dengan penyakit menular guna mencegah penularan penyakit terhadap seluruh
penghuni rumah sakit (Kemenkes, 2012). Pada ruang isolasi RSUD Cengkareng
menunjukkan bahwa terdapat pasien dengan diagnosa tuberkulosis, pneumonia
dan HIV dengan diagnosa terbanyak adalah tuberkulosis, yaitu mencapai 56 %
dan merupakan salah satu koinfeksi terbesar pada penderita HIV. Sesuai dengan
profil kesehatan Indonesia tahun 2015 yang menyebutkan tuberkulosis,
pneumonia dan HIV masuk ke dalam 5 penyakit infeksi terbesar. Menurut WHO
di tahun 2016, Indonesia merupakan negara penderita tuberkulosis terbanyak yaitu
10% dari seluruh penderita di dunia dan tuberkulosis di Asia Tenggara
menyumbangkan 40 % morbiditas (WHO Reseacrch in Tropical Disease, 2016).
Pada 100 pasien di ruang isolasi terdiri dari 72 laki-laki dan 28
perempuan. Pada penelitian ini menggunakan usia ≥ 26 tahun dikarenakan
metode ATC/DDD diperuntukkan untuk pasien dewasa. Berdasarkan rentang usia,
dapat dilihat bahwa rentang usia 26-45 tahun adalah usia pasien terbanyak yang
ditemukan. Hal ini sesuai dengan profil kesehatan indonesia tahun 2016 yang
menyebutkan di Indonesia penderita tuberkulosis laki-laki dengan BTA positif
mencapai 61 % dan perempuan 39 % dengan rentang usia penderita terbanyak
adalah rentang 25-54 tahun. (Oshi, Oshi, Alobu, & Ukwaja, 2014) juga
menyebutkan bahwa penderita tuberkulosis laki-laki 56, 8% dan perempuan 43,2
% dengan penderita non geriatri lebih banyak dibandingkan geriatri. Hal ini
terjadi dari tahun ketahun dimana United Nations Development Programme
64
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
menyebutkan dari tahun ke tahun penderita perempuan mencapai 35-39 % dari
total seluruh penderita. Menurut (Chukwuka, Oyedum, 2010) menyebutkan
bahwa pada penderita pneumonia terdiri dari 55 % pria dan 45 % wanita dengan
usia dibawah 65 tahun mencapai 65%. Untuk HIV tahun 2016 di Indonesia
mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya, dimana ditahun sebelumnya
mencapai 39 % sedangkan di tahun 2016 mencapai 41 % (Kemenkes, 2016).
Menurut (Loutfy et al., 2012) penderita HIV laki-laki 87,3 % dengan rentang usia
42-54 tahun sedangkan penderita perempuan 22,7 % dengan rentang usia 34-49
tahun.
Pekerjaan yang terbanyak pada pasien ruang isolasi RSUD Cengkareng
adalah karyawan swasta yaitu mencapai 27 % dengan tingkat pendidikan
terbanyak adalah hingga jenjang sekolah menengah atas (SMA) yang mencapai 42
%. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian (Puspitasari, 2013) menyebutkan bahwa
pada karakteristik pasien di salah satu klinik paru di Manado pasien yang bekerja
sebagai karyawan swasta paling tinggi yaitu mencapai 36,5% dengan tingkat
pendidikan terbanyak hingga sekolah menengah atas mencapai 44,2 %. (Sajith et
al., 2015) juga menyebutkan di salah satu rumah sakit di India pekerjaan tertinggi
penderita tuberkulosis adalah karyawan swasta yaitu mencapai 41,9 % dengan
tingkat pendidikan tertinggi adalah sekolah menengah atas yaitu mencapai 38,4
%. Pada penderita pneumonia dari hasil penelitian (Ahmad, 2015) yang dilakukan
di RSUD Cengkareng pada tahun 2013-2014 pekerjaan yang tertinggi adalah
karyawan swasta yaitu mencapai 34% dan tingkat pendidikan tertinggi adalah
sekolah menengah atas yaitu mencapai 42,3 %. Pada pasien HIV di salah satu
rumah sakit India menunjukkan pekerjaan yang terbanyak adalah buruh yaitu
mencapai 24,19% dengan tingkat pendidikan terbanyak adalah sekolah menengah
atas yaitu mencapai 39,5 %, berbeda dengan hasil salah satu rumah sakit di
Maumere tahun 2014 dimana pekerjaan yang terbanyak adalah pekerjaan swasta
yaitu mencapai 38,8 % sedangkan tingkat pendidikan yang terbanyak adalah
sekolah menengah pertama yaitu mencapai 46,2 % (Annisa, Lidwina dkk, 2014;
Sukhla et.al, 2015).
Berdasarkan data hasil penelitian ini, sosio-ekonomi populasi pasien
berada pada golongan yang masih rendah, sehingga menjadi resiko terhadap
65
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
penyakit menular. Hal ini sesuai dengan penelitian (Abdul, 2012; Izquierdo et al.
2010), yang menyatakan frekuensi penderita pneumonia komunitas terhadap
status sosio-ekonomi populasi. Pada penelitian didapatkan, pada status sosio-
ekonomi yang rendah menggambarkan frekuensi yang tinggi terjadinya
pneumonia komunitas (68,75%). Sosio-ekonomi tidak terlepas dari tingkat
pendidikan, berdasarkan penelitian (Torres, 2013) menyatakan bahwa semakin
tinggi tingkat pendidikan terakhir semakin rendah resiko terjadinya pneumonia
komunitas dibandingkan dengan tingkat pendidikan terakhir rendah. Demikian
terjadi juga pada penderita tuberkulosis dan HIV.
Berdasarkan status pasien, pasien yang merupakan pasien umum hanya
mencapai 10% sedangkan sisanya menggunakan asuransi yaitu 89%
menggunakan BPJS dan 1% asuransi PT Asih Eka Abadi. Penggunaan asuransi
ini akan membantu meringankan biaya perawatan pasien karena lama rawat inap
pasien yang terbanyak adalah 8-14 hari yaitu mencapai 47%, sedangkan lama
rawat inap pasien 1-7 hari mencapai 40% dan yang mencapai ≥ 15 hari 13%
bahkan lama rawat inap yang terlama adalah 32 hari. Lama rawat inap berkaitan
dengan penyakit penyerta yang diderita pasien. Berikut adalah distribusi penyakit
penyerta:
Tabel 4.2 Distribusi Penyakit Penyerta (N=130)
Penyakit Penyerta Jumlah Persentase
HIV (n=5)
Hepatitis C 1 0,77%
Insufisiensi Hepar 1 0,77%
Asites 1 0,77%
Efusi Pleura 1 0,77%
Sirosis Hati 1 0,77%
Pneumonia (n=5)
Eritroderma 1 0,77%
Stevens-Johnson 1 0,77%
Efusi Pleura 1 0,77%
Diabetes Millitus 1 0,77%
Tidak ada penyakit penyerta 1 0,77%
Tuberkulosis (n=69)
Diabetes Millitus 16 12,3%
Efusi Pleura 10 7,7%
Anemia 4 3,07%
Hipokalemia 2 1,54%
66
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Hiponatremia 1 0,77%
Leukositosis 1 0,77%
Abses Paru 1 0,77%
Hepatitis B 1 0,77%
Hipotensi 1 0,77%
Benign Prostatic Hyperplasia 1 0,77%
Gagal Ginjal Akut 1 0,77%
Dyspepsia 1 0,77%
Hydronephrosis 1 0,77%
Bakteremia 1 0,77%
Hematemesis Melena 1 0,77%
Insufisiensi Hepar 1 0,77%
Mikosis 1 0,77%
Tumor Paru 1 0,77%
Asites 1 0,77%
Sepsis 1 0,77%
Bronchitis 1 0,77%
Cronic Heart Failure 1 0,77%
Hiponatremia 1 0,77%
Tidak ada penyakit penyerta 18 13,8%
Tuberkulosis + HIV (n=18)
Hiponatremia 2 1,54%
Insufisiensi Renal 1 0,77%
Hipotensi 1 0,77%
Hepatitis B 1 0,77%
Hepatitis C 1 0,77%
Melena 1 0,77%
Toxoplasma 1 0,77%
Tidak ada penyakit penyerta 10 7,7%
Tuberkulosis + Pneumonia (n=28)
Diabetes Millitus 5 3,8%
Dispepsia 2 1,54%
Efusi Pleura 2 1,54%
Osteo Artritis 2 1,54%
Hiponatremia 2 1,54%
Anemia 1 0,77%
Benign Prostatic Hyperplasia 1 0,77%
Herpes Zooster 1 0,77%
Prolonged Fever 1 0,77%
Lymphadenopaty TB 1 0,77%
Hipokalsemia 1 0,77%
Hipokalemia 1 0,77%
Cronic Kidney Disease 1 0,77%
Insufisiensi Renal 1 0,77%
Sepsis 1 0,77%
Tidak ada penyakit penyerta 5 3,8%
Tuberkulosis+Pneumonia+HIV (n=5)
Hiponatremia 1 0,77%
67
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Limfadenitis TB 1 0,77%
Anemia 1 0,77%
Hipotensi 1 0,77%
Tidak ada penyakit penyerta 1 0,77%
TB = Tuberkulosis
Pada Tabel 4.2 menunjukkan bahwa Diabetes Millitus (DM) menjadi
penyakit penyerta yang terbanyak pada pasien tuberkulosis (TB). Pada penderita
DM dengan infeksi TB laten akan menjadi TB aktif sebesar 10%. Data WHO
2010 menunjukkan sekitar 10% pasien TB berhubungan dengan DM, dan terdapat
peningkatan risiko infeksi TB sebesar 2-3 kali pada penderita DM. (Restrepo,
2010) menunjukkan data odds ratio (OR) pasien TB dengan DM sebesar 1,3
sampai 7,8 kali, dan terlihat DM memang meningkatkan risiko TB aktif. Jika
dibandingkan dengan penderita HIV masih lebih rendah, HIV dapat meningkatkan
risiko TB aktif sebesar 113-170 kali. (Faurholt-jepsen et al., 2011) dalam
penelitiannya di Tanzania menunjukkan odds ratio infeksi TB pada DM adalah
2,2. (Alisjahbana et al., 2007) dari Indonesia melakukan penelitian kohort dengan
data yang lengkap menunjukkan bahwa prevalensi DM pada penderita TB adalah
14,8% dibandingkan 3,2% pada populasi normal. Kegagalan sistem imun menjadi
penyebab diabetes millitus sebagai faktor risiko aktivasi TB laten. Dikatakan
bahwa DM memiliki potensi untuk bermanifes dalam bentuk klinis yang lebih
berat. Respons selular baik innate maupun adaptive memiliki gangguan fungsi
pada pasien DM, padahal respons selular merupakan respons yang paling penting
untuk membatasi infeksi TB. Secara umum dari penelitian yang terakhir
menunjukkan tidak ada perbedaan jumlah sel limfosit, makrofag, monosit, namun
satu penelitian menunjukkan jumlah limfosit yang menurun pada pasien TB
dengan DM dibandingkan pasien TB tanpa DM (Wulandari & Sugiri, 2013).
4.1.2 Profil Penggunaan Antibiotik
Pada setiap pasien baik yang menderita penyakit tuberkulosis, pneumonia dan
HIV mendapatkan antibiotik yang berbeda-beda. Berikut ini adalah profil
pengguaan antibiotik pasien tuberkulosis, pneumonia dan HIV di ruang isolasi
RSUD Cengkareng:
68
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tabel 4.3 Distribusi Penggunaan Antibiotik
Diagnosa Antibiotik
Tunggal n Kombinasi n
HIV Sefoperazon 1
Metronidazol 1
Pneumonia Ofloksasin 2 Levofloksasin + Metronidazol 1
Tuberkulosis 4 FDC 2 4 FDC + Sefoperazon 11
Ofloksasin 1 4 FDC + Sefoperazon - Sulbaktam 4
Sefoperazon 1 4 FDC + Seftriakson 3
Levofloksasin 1 4 FDC + Ofloksasin 16
4 FDC + Siprofloksasin 1
4 FDC + Imipenem 2
4 FDC + Levofloksasin 1
2 FDC + Etambutol + Ofloksasin 1
4 FDC + Streptomisin +
Sefoperazon
5
4 FDC + Metronidazol +
Sefoperazon-Sulbaktam
1
Rifampisin + Isoniazid +
Sefoperazon-Sulbaktam
1
Rifampisin + Isoniazid +
Sefoperazon
1
Rifampisin + Isoniazid + Etambutol
+ Sefoperazon
1
Rifampisin + Isoniazid + Etambutol
+ Ofloksasin
1
Tuberkulosis
+ HIV
Seftriakson 1 4 FDC + Siprofloksasin 1
4 FDC + Sefoperazon 4
4 FDC + Sefoperazon - Sulbaktam 2
4 FDC + Cefriakson 1
4 FDC + Sefoperazon +
Kotrimoksazol
2
4 FDC + Cefriakson + Clindamisin 1
4 FDC + Sefoperazon – Sulbaktam
+ Clindamisin + Streptomisin
1
4 FDC + Sefoperazon – Sulbaktam
+ Metronidazol + Kotrimoksazol
1
4 FDC + Sefoperazon-Sulbaktam +
Kotrimoksazol
1
Tuberkulosis
+Pneumonia
4 FDC + Levofloksasin 2
4 FDC + Ofloksasin 8
4 FDC + Sefoperazon 3
4 FDC + Sefoperazon +
Streptomisin
1
4 FDC + Sefoperazon - Sulbaktam 3
4 FDC + Sefoperazon – Sulbaktam 1
69
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
+ Streptomisin
4 FDC + Seftriakson 1
Rifampisin + Isoniazid + Etambutol
+ Levofloksasin
2
Rifampisin + Isoniazid + Etambutol
+ Pirazinamid + Seftriakson
1
Tuberkulosis
+Pneumonia
+ HIV
4 FDC + Kotrimoksazol 1
4 FDC + Kotrimoksazol +
Sefoperazon
1
4 FDC + Siprofloksasin 1
4 FDC + Kotrimoksazol +
Imipenem
1
Total 10 90
n = Jumlah pasien, 4 FDC = 4 Fix Dose Combination (Berisi Isoniazid 75 mg,
Rifampisin 150 mg, Pirazinamid 400 mg, Etambutol 275 mg), 2 FDC (Berisi
Isoniazid 150 mg dan Rifampisin 150 mg)
Distribusi pola penggunaan antibiotik bertujuan untuk mengetahui
antibiotik apa saja yang dipakai oleh pasien penyakit tuberkulosis, pneumonia dan
HIV di ruang isolasi RSUD Cengkareng. Pada tabel 4.3 menunjukkan pada
semua diagnosis pasien mendapatkan antibiotik baik terapi tunggal atau
kombinasi tak terkecuali pada penyakit HIV. Penggunaan antibiotik yang lebih
banyak adalah penggunaan terapi kombinasi yaitu mencapai 90 %. Dari
kombinasi tersebut terlihat hampir semuanya dikombinasikan dengan obat
antituberkulosis, hal ini selaras dengan jumlah diagnosa tertinggi yaitu
tuberkulosis. Pada terapi kombinasi dengan 2 antibiotik, kombinasi yang banyak
digunakan adalah 4 FDC + Sefoperazon yaitu 18 % dan 4 FDC + Ofloksasin yaitu
24 %. Selanjutnya untuk terapi kombinasi 3 antibiotik, kombinasi 4 FDC +
Streptomisin + Sefoperazon yaitu mencapai 6 %. Penggunaan antibiotik terbanyak
adalah penggunaan Rifampisin + Isoniazid + Etambutol + Sefoperazon secara
bersamaan. Penelitian yang dilakukan pada pasien pneumonia di RSUP Adam
Malik Medan menunjukkan penggunaan antibiotik yang terbanyak pada periode
Oktober-Desember 2010 yang terbanyak digunakan adalah seftriakson (20%) dan
sefotaksim (16,67%) dan kombinasi seftriakson-siprofloksasin mencapai 30%,
sedangkan pada periode Januari-Maret seftriakson mencapai 40,48%, sefotaksim
hanya 4,76% dan antibiotik kombinasi seftriakson-siprofloksasin hanya mencapai
19,57%. Penelitian lain yang dilakukan pada pasien pneumonia di rumah sakit
universitas airlangga menunjukkan penggunaan antibiotik tunggal sefriakson pada
70
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
pneumonia komunitas mencapai 47% dan pneumonia hospitalized mencapai 40%
sedangkan penggunaan antibiotik kombinasi pada pneumonia komunitas adalah
seftazidim dengan levofloksasin (18%) dan pada pneumonia hospitalized
kombinasi levofloksasin dengan seftazidim atau sefriakson mencapai 20%
(Hidayah,Nurul, 2011; Anindia,Alin, 2016)
Dalam pemilihan antibiotik perlu dipertimbangkan penegakan diagnosa
untuk mengeradikasi bakteri penyebab penyakit. Penggunaan antibiotik yang
berlebihan dan tidak sesuai dengan diagnosis sebaiknya dihindari karena dapat
menimbulkan resistensi terhadap antibiotik. Menurut pedoman pengendalian
tuberkulosis nasional, antibiotik yang digunakan untuk tuberkulosis adalah
antituberkulosis rifampisin, isoniazid, pirazinamid, etambutol dan streptomisin.
Sedangkan untuk pneumonia dapat menggunakan antibiotik golongan
fluoroquinolon atau sefalosporin generasi ketiga. Untuk penderita HIV tidak
menggunakan antibiotik tetapi menggunakan antiretroviral terkecuali HIV yang
diderita disertai dengan penyakit koinfeksi lain. Pada pengobatan HIV yang
disertai tuberkulosis selain antituberkulosis, harus diberikan kotrimoksazol.
Karena kotrimoksazol dapat mencegah dan mengurangi mortalitas pasien
tuberkulosis dengan HIV-positif (Kemenkes, 2014; Kemenkes, 2003; American
Thoraxic Society, 2007; WHO, 2014).
4.1.2.1 Jumlah Penggunaan Obat dan Antibiotik
Jumlah penggunaan obat dan antibiotik pada pasien tuberkulosis,
pneumonia dan HIV di ruang isolasi RSUD Cengkareng dapat dilihat sebagai
berikut:
Tabel 4.4 Jumlah Penggunaan Obat dan Antibiotik
Jumlah Obat yang Diterima Jumlah Persentase
1-10 80 80%
11-20 20 20%
Jumlah Antibiotik yang Diterima Jumlah Persentase
1-2 75 75%
3-4 25 25%
Pasien tuberkulosis, pneumonia dan HIV selama dirawat tidak hanya
menerima antibiotik tetapi juga obat lain untuk mengatasi penyakit penyerta dan
keluhan lain yang dialami pasien sehingga jumlah obat yang digunakan bervariasi.
71
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Dari tabel 4.4 dapat dilihat jumlah penggunaan obat pada rentang 1-10 obat
sebanyak 80 % dan rentang 11-20 sebanyak 20 %. Dari rentang penggunaan obat
tersebut jumlah penggunaan antibiotik rentang 1-2 antibiotik mencapai 75 %,
sedangkan rentang 3-4 antibiotik 25 %.
Menurut (Ernie dan Hafiz, 2007) pemberian obat dengan jumlah
berlebihan atau lebih dari 4 jenis obat dikenal dengan polifarmasi. Berdasarkan
hal ini, pola penggunaan obat pada pasien tuberkulosis, pneumonia dan HIV
dikatakan polifarmasi. Polifarmasi sering menimbulkan interaksi obat, baik yang
bersifat meningkatkan maupun meniadakan efek obat. Interaksi obat yang
ditimbulkan dapat menyebabkan efek samping obat atau efek yang tidak
diinginkan (Pharmaceutical Society of Singapore, 2015).
4.1.2.2 Jenis Pemberian Antibiotik
Dalam penegakan diagnosa penyakit infeksi diperlukan kultur bakteri
penyebab penyakit. Hasil kultur yang dilakukan pasien tuberkulosis, pneumonia
dan HIV ruang isolasi RSUD Cengkareng adalah sebagai berikut:
Tabel 4.5 Hasil Kultur
Jenis Isolat Jenis Kuman Hasil
Pemeriksaan
Jumlah Persentase
Sputum BTA N 18 6,3%
BTA P 30 10,6%
Gram TAP 51 18%
Batang Gram Negatif AP 51 18%
Coccus Gram Positif AP 49 17,3%
Jamur P 41 14,4%
Jamur N 2 0,7%
Cairan pleura BTA N 9 3,1%
BTA P 1 0,4%
Gram TAP 9 3,2%
Darah Tidak ada pertumbuhan 4 1,4%
Bilasan
Bronkus
Tidak ada pertumbuhan 2 0,7%
Klebsiella pneumonia AP 1 0,4%
BTA P 6 2,1%
BTA N 7 2,4%
Jamur N 2 0,7%
Pus Klebsiella pneumoniae AP 1 0,4%
*N = negatif, P= Positif, AP = Ada pertumbuhan, TAP = tidak ada pertumbuhan
Hasil kultur tersebut berkaitan dengan jenis pemberian antibiotik dengan
hasil sebagai berikut:
72
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tabel 4.6 Jenis pemberian Antibiotik
Jenis Pemberian Jumlah Persentase
Empiris 98 98%
Definitif 2 2%
Penggunaan antibiotik untuk terapi empiris adalah penggunaan antibiotik
pada kasus infeksi yang belum diketahui jenis bakteri penyebabnya. Tujuan
pemberian antibiotik untuk terapi empiris adalah eradikasi atau penghambatan
pertumbuhan bakteri yang diduga menjadi penyebab infeksi, sebelum diperoleh
hasil pemeriksaan mikrobiologi (Permenkes, 2011).
Penggunaan antibiotik untuk terapi definitif adalah penggunaan antibiotik
pada kasus infeksi yang sudah diketahui jenis bakteri penyebab dan pola
resistensinya. Tujuan pemberian antibiotik untuk terapi definitif adalah eradikasi
atau penghambatan pertumbuhan bakteri yang menjadi penyebab infeksi,
berdasarkan hasil pemeriksaan mikrobiologi (Permenkes, 2011).
Berdasarkan hasil penelitian penggunaan antibiotik empiris mencapai 98%
sedangkan antibiotik definitif hanya mencapai 2%. Menurut kementrian kesehatan
lama pemberian antibiotik empiris diberikan untuk jangka waktu 48-72 jam.
Selanjutnya harus dilakukan evaluasi berdasarkan data mikrobiologis dan kondisi
klinis pasien serta data penunjang lainnya. Penggunaan antibiotik secara definitif
lebih dianjurkan karena dapat mengetahui target pengobatan secara pasti sehingga
pengobatan akan optimal dan mencegah terjadinya penggunaan antibiotik
berlebihan yang dapat menyebabkan resistensi. Di RSUD Cengkareng masih
banyak penggunaan antibiotik empiris.
4.1.2.3 Kesesuaian dengan Formularium
Formularium rumah sakit merupakan daftar obat yang disepakati staf medis,
disusun oleh TIM Farmasi dan Terapi (TFT) yang ditetapkan oleh pimpinan
Rumah Sakit (PMK no. 58, 2014). Kesesuaian penggunaan obat dengan
formularium dapat digambarkan dengan tabel sebagai berikut:
73
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tabel 4.7 Kesesuaian antibiotik dengan formularium
Golongan Nama Generik Sediaan Kesesuaian dengan
Formularium RS
Antituberkulosis 4 FDC Tablet √
2 FDC Tablet √
Rifampisin Kaplet dan
Kapsul √
Isoniazid Tablet √ Etambutol Tablet √ Pirazinamid Tablet √
Sefalosporin
Generasi Ketiga
Sefoperazon Injeksi √
Sefoperazon-Sulbaktam Injeksi √
Ceftazidim Injeksi √
Sefixime Injeksi √
Seftriakson Injeksi √
Makrolida Clindamicin Kapsul √
Fluoroquinolon Siprofloksasin Infus √ Ofloksasin Infus √ Levofloksasin Infus √
Derivat Imidazol Metronidazol Injeksi √
Aminoglikosida Streptomisin Injeksi √
Sulfonamida dan
Trimetoprim
Kotrimoksazol Injeksi √
Karbapenem Imipenem Drip √
Kesesuaian dengan Formularium 100%
Penggunaan formularium menjamin standar peresepan yang berkualitas
baik dan cost-effective agar dapat mewujudkan penggunaan obat yang rasional.
Keseluruhan penggunaan antibiotik pada pasien tuberkulosis, pneumonia dan HIV
di ruang isolasi dibandingkan dengan formularium rumah sakit. Pada tabel 4.7
menunjukkan bahwa kesesuaian penggunaan antibiotik dengan formularium
rumah sakit mencapai 100%.
4.1.3 Kuantitas Penggunaan Antibiotik pada Pasien Tuberkulosis,Pneumonia
dan HIV di Ruang Isolasi RSUD Cengkareng Tahun 2016
Data jumlah hari rawat diperlukan untuk menghitung penggunaan
antibiotik dengan unit satuan DDD/100 Patient-days. Data jumlah hari tersebut
adalah sebagai berikut:
74
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tabel 4.8 Jumlah Hari awat Inap
Bulan Jumlah Total LOS (Hari) Rata-Rata (Hari)
Januari 5 34 6,8
Februari 6 48 8
Maret 9 102 11,3
April 4 30 7,5
Mei 8 64 8
Juni 9 111 12,3
Juli 11 84 7,6
Agustus 11 102 9,3
September 10 70 7
Oktober 12 138 11,5
November 11 94 8,5
Desember 4 45 11,25
Total 100 922 109,05
Rata-rata total
LOS
8,33 76,83 9,08
Kuantitas penggunaan antibiotik dihitung menggunakan DDD dengan
satuan DDD/100 patient-days. Total DDD/100 patient-days dibuat dalam bentuk
persentase, kemudian dikumulatifkan berdasarkan persentase dari terbesar ke
persentase terkecil untuk melihat jenis-jenis obat yang masuk segmen DU 90%
seperti yang tertera dalam tabel berikut:
Tabel 4.9 Profil DU (Drug Utilization) 90%
No Kode
ATC
Antibiotik DDD/100
Patient-days
Penggunaan
(%)
Segmen
DU
1 J04AM06 4 FDC 45,819 31,34 90 %
2 J01MA01 Ofloksasin 27,81 19
3 J01DD12 Sefoperazon 14,121 9,65
4 J01MA12 Levofloksasin 9,612 6,57
5 J01DD04 Seftriakson 8,856 6,05
6 J04AC01 Isoniazid 6,624 4,53
7 J04AK02 Etambutol 5,629 3,85
8 J01DH51 Imipenem 4,93 3,37
9 J04AB02 Rifampisin 3,861 2,64
10 J01DD62 Sefoperazon-
Sulbaktam
3,861 2,64
11 J01GA01 Streptomisin 3,159 2,16 10 %
12 J01DD08 Sefiksim 2,349 1,6
13 J01MA02 Siprofloksasin 1,361 1,56
14 J01XD01 Metronidazol 1,92 1,31
15 J04AM02 2 FDC 1,863 1,27
16 J01EE01 Kotrimoksazol 1,655 1,13
17 J01FF01 Klindamicin 1,35 0,92
75
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
18 J04AK01 Pirazinamid 1,008 0,69
19 J01DD02 Seftazidim 0,513 0,35
Jumlah 146,301 100
DDD = Defined Daily Dose, 4 FDC = 4 Fix Dose Combination (Berisi Isoniazid
75 mg, Rifampisin 150 mg, Pirazinamid 400 mg, Etambutol 275 mg), 2 FDC
(Berisi Isoniazid 150 mg dan Rifampisin 150 mg)
Dari data rekam medik pasien, didapatkan data meliputi nomor rekam
medik, lama hari rawat pasien, jenis kelamin, umur pasien dan penggunaan
antibiotik yang terdiri dari nama dagang dan nama generik, rute pemberian,
kekuatan/dosis, frekuensi, jumlah hari penggunaan, dan jumlah penggunaan
antibiotik. Bentuk sediaan antibiotik yang digunakan di ruang isolasi RSUD
Cengkareng adalah bentuk sediaan oral maupun sediaan parenteral. Selama tahun
2016, terdapat 19 jenis antibiotik dari 8 golongan yaitu antituberkulosis,
sefalosporin generasi ketiga, makrolida, fluoroquinolon, derivat imidazol,
aminoglikosida, sulfonamida dan trimetoprim, serta karbapenem.
Dari data-data yang diperoleh, kemudian dihitung kuantitas penggunaan
antibiotik dengan mengikuti aturan-aturan perhitungan yang telah ditetapkan oleh
WHO Collaborating Centre 2012. Antibiotik dikelompokkan sesuai dengan kode
ATC dan golongannya, kemudian bentuk sediaan disesuaikan dengan satuan DDD
defined masing-masing antibiotik. Satuan DDD defined menggunakan satuan
gram, maka satuan dosis antibiotik harus dikonversikan ke dalam satuan gram
terlebih dahulu (WHO, 2011).
DDD merupakan unit pengukuran yang tidak tergantung pada harga dan
formulasi obat, akan tetapi merupakan suatu unit pengukuran independen yang
mencerminkan dosis global tidak terpengaruh dengan variasi genetik, sehingga
memungkinkan untuk menilai tingkat konsumsi obat dan membandingkan antar
kelompok populasi atau sistem pelayanan kesehatan. DDD diasumsikan sebagai
dosis rata-rata pemeliharaan per hari untuk obat yang digunakan orang dewasa.
Perlu ditekankan bahwa DDD adalah unit pengukuran dan tidak selalu sesuai
dengan dosis harian yang direkomendasikan atau ditentukan (Prescribed Daily
Dose). Salah satu komponen dalam DDD ini yaitu persentase dan perbandingan
statistika konsumsi obat di tingkat nasional dan lainnya. Dengan membandingkan
tingkat konsumsi obat di suatu unit pelayanan kesehatan dengan yang lainnya,
76
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dapat ditentukan apakah penggunaan satu macam/kelompok obat berlebihan,
sedang atau kurang (WHO, 2012).
Selama periode Januari-Desember 2016, diperoleh total hari rawat inap
(Length of Stay) dari 100 pasien adalah 922 hari yang ditunjukkan pada tabel 4.8.
Total LOS yang digunakan pada penelitian ini digunakan pada perhitungan DDD
sebagai pembagi dengan nilai standar DDD dari WHO. Berdasarkan rumusan dari
metode DDD yang didapat akan semakin kecil apabila nilai total LOS semakin
besar. Akan tetapi besarnya nilai LOS tidak selalu berarti nilai DDD akan lebih
kecil dan sesuai dengan standar (Hadi et al., 2008). Pada dasarnya DDD adalah
metode untuk mengkonversi dan menstandarisasi data kuantitas produk menjadi
estimasi kasar penggunaan obat dalam klinik dan tidak menggambarkan
penggunaan obat yang sesungguhnya (WHO, 2012).
Kuantitas penggunaan antibiotik di RSUD Cengkareng dalam satuan
DDD/100 patient-days ditunjukkan pada tabel 4.9. Kemudian DDD/100 patient-
days dibuat dalam bentuk persentase dan dikumulatifkan berdasarkan persentase
dari terbesar ke persentase terkecil untuk melihat jenis-jenis obat yang masuk
segmen DU 90% yang ditunjukkan pada tabel 4.10. Pada tabel tersebut
menunjukkan bahwa antibiotik yang masuk ke dalam segmen DU 90% terdiri dari
obat antituberkulosis 4 FDC (31,34 %), Ofloksasin (19%), Sefoperazon (9,65 %),
Levofloksasin (6,57%), Seftriakson (6,05%), Isoniazid (4,53%), Etambutol
(3,85%), Imipenem (3,37 %), Rifampisin (2,64%), Sefoperazon-Sulbaktam
(2,64%). Sedangkan yang masuk ke dalam segmen DU 10 % adalah Streptomisin
(2,16%), Sefiksim (1,6%), Siprofloksasin (1,56%), Metronidazol (1,31%), 2 FDC
(1,27%), Kotrimoksazol (1,13%), Klindamisin (0,92%).
Kuantitas penggunaan antibiotik di ruang isolasi RSUD Cengkareng yang
memiliki jumlah tertinggi pada tahun 2016 adalah 4 FDC. Perhitungan DDD
untuk 4 FDC pada tahun 2016 mencapai 45,819 DDD/100 patient-days. Artinya,
ada 46 pasien dari seluruh subjek penelitian yang mengkonsumsi 1 DDD 4 FDC
setiap harinya.
4 FDC (fix dose combination) adalah antibiotik antituberkulosis yang
terdiri dari dari Rifampisin 150 mg, Isoniazid 75 mg, Etambutol 275 mg dan
Pirazinamind 400 mg dalam satu tablet. Penggunaan 4 FDC yang tertinggi ini
77
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
selaras dengan diagnosa terbanyak pada penelitian ini yaitu tuberkulosis. Selain 4
FDC, antituberkulosis yang digunakan adalah 2 FDC, sediaan kombipak (paket
obat lepas yang terdiri dari isoniazid, rifampisin, pirazinamid dan etambutol yang
dikemas dalam bentuk blister) dan obat antituberkulosis lepas pisah. Aktifitas obat
tuberkulosis didasarkan atas tiga mekanisme, yaitu aktifitas membunuh bakteri,
aktifitas sterilisasi dan mencegah resistensi. Obat yang umum dipakai adalah
Isoniazid, Rifampisin, Etambutol, Pirazinamid dan Streptomisin. Kelompok obat
ini disebut sebagai obat primer. Isoniazid adalah obat TB yang paling poten dalam
hal membunuh bakteri dibandingkan dengan rifampisin dan streptomisin dengan
menghambat asam mikolat. Rifampisin dan Pirazinamid paling poten dalam
mekanisme sterilisasi. Rifampisin menghambat RNA polimerase dalam proses
sintesis protein, sedangkan pirazinamid merupakan bakterisidal lemah tetapi
menghambat populasi bakteri yang belum aktif atau semi dorman. Etambutol
mencegah sintesis arabinogalaktan dengan menghambat enzim arabinosil
transferase dan mengganggu sintesis arabinogalaktan sehingga menghambat
komplek peptidoglikasn mycolylarabinogalactan yang menyebabkan peningkatan
permeabilitas dinding sel. Etambutol juga berfungsi untuk mencegah munculnya
resistensi rifampisin bila resistensi utama terhadap isoniazid dimungkinkan ada
(Kemenkes, 2005; Dhiman et al. 2012) .
Terdapat beberapa bentuk sediaan yang tersedia untuk terapi tuberkulosis
yaitu fix dose combination yaitu kombinasi beberapa obat dalam satu tablet dan
sediaan kombipak atau sediaan tunggal. Penelitian mengenai perbandingan obat
antituberkulosis (OAT)- fix dose combination (FDC) dengan sediaan lepasan
banyak dilakukan. Menurut (Marini, 2014), menyimpulkan bahwa OAT-FDC
tidak berbeda bermakna dibandingkan dengan OAT lepasan terhadap konversi
sputum BTA saat fase akhir intensif pada pasien TB dewasa di BBKPM Surakarta
dengan nilai p sebesar 0,644. Begitupula menurut (Wu et al., 2015) menyatakan
penggunaan FDC ataupun sediaan lepasan tidak mempunyai perbedaan efektivitas
yang bermakna. Namun menurut (Lima, Silva, Magalhães, & Naves, 2016) pada
jurnal systematic review menjabarkan dari keemapat parameter efektivitas yang
digunakan yaitu konversi hasil pemeriksaan sputum di akhir fase intensif,
konversi hasil pemeriksaan sputum di akhir fase lanjutan, reaksi obat yang tidak
78
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
diinginkan serta efek samping pada gastrointestinal menyimpulkan bahwa
terdapat perbedaan bermakna penggunaan FDC dan sediaan lepasan pada
parameter efek samping gastrointestinal. Walaupun belum banyak penelitian yang
menyatakan bahwa FDC lebih efektif dibanding sediaan lepasan. Tetapi
penggunaan FDC dapat menurunkan jumlah obat yang dikonsumsi pasien
sehingga lebih pasien lebih nyaman dan lebih menjamin kepatuhan pasien dalam
menjalankan pengobatan (Kemenkes, 2005).
Antibiotik dengan persentase penggunaan terbesar kedua adalah
Ofloksasin dengan 27,51 DDD/100 patient-days. Ofloksasin adalah antibiotik
golongan fluoroquinolon yang banyak dianjurkan pada pengobatan infeksi saluran
nafas. Fluoroquinolon mempunyai target aksi DNA gyrase dan topoisomerase IV
dengan bermacam efikasi pada bakteri yang berbeda dan menghambat kontrol
supercoiling dengan sel, hal ini menyebabkan terganggunya replikasi DNA (pada
konsentrasi rendah) dan mematikan sel (pada konsentrasi letal). Penggunaan
antibiotik terbanyak selanjutnya adalah Sefoperazon. Sefoperazon merupakan
antibiotik golongan Sefalosporin generasi ketiga yang termasuk kedalam
antibiotik β-laktam. Antibiotik ini mempunyai mekanisme kerja yang berkaitan
dengan satu atau lebih penicillin-binding proteins (PBPs) yang berperan pada
transpeptidasi untuk membentuk peptidoglikan jaringan dinding sel. Antibiotik
akan berikatan dengan PBPs yang menyebabkan tidak terbentuknya dinding sel
bakteri dengan sempurna. Banyaknya penggunaan Ofloksasin dan Sefoperazon
sesuai dengan banyaknya diagnosa tuberkulosis dan pneumonia (Redgrave et al.
2014; CitK, 1988).
Penelitian ini merupakan penelitian pertama kali yang dilakukan di RSUD
Cengkareng. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh
(Restinia et al., 2012) secara prospektif pada bangsal khusus ruang infeksi di salah
satu rumah sakit di Malaysia menunjukkan bahwa antibiotik golongan
Sefalosporin paling banyak digunakan yaitu mencapai 81,82 % dari 44 pasien
sedangkan antituberkulosis hanya mencapai 10% dari jumlah total 44 pasien.
Berbeda pula dari hasil penelitian (Sholih et al., 2015) yang dilakukan di salah
satu rumah sakit di Bandung menyatakan bahwa antibiotik yang banyak
digunakan adalah Penisilin dengan nilai DDD 38480,5 yang mencapai persentase
79
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
40,2 %, disusul dengan golongan Sefalosporin dengan persentase 28,62%.
Sedangkan jumlah total nilai DDD adalah 95719,01 DDD. Penelitian ini juga
menyimpulkan bahwa pada caturwulan ke-1 hingga caturwulan ke-3 terjadi
peningkatan persentase penggunaan dan jumlah golongan antibiotik yang masuk
ke dalam segmen DU 90% yaitu pada caturwulan ke-1 yang memenuhi segmen
DU 90% adalah penisilin, sefalosforin, kuinolon, dan makrolida sedangkan pada
catur wulan ke-2 dan ke-3 ditambah dengan sulfonamida. Penelitian lain yang
berkaitan dengan evaluasi kuantitatif penggunaan antibiotik dilakukan oleh
(Alfian, Tarigan, Puspitasari, & Abdulah, 2012) yang menggambarkan profil
penggunaan antibiotik pada pasien tuberkulosis di seluruh apotek Kimia Farma
tahun 2008-2010 terlihat DDD/1000 KPRJ dari terapi kombinasi 4 FDC
mengalami peningkatan yaitu pada tahun 2008 hanya mencapai 28 DDD/1000
KPRJ sedangkan pada tahun 2010 33 DDD/KPRJ. Sedangkan antibiotik yang
masuk ke dalam segmen 90% tidak mengalami perubahan.
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan perbandingan
konsumsi obat antibiotik di RSUD Cengkareng dengan rumah sakit lain yang
setara sehingga nantinya dapat ditentukan apakah penggunaan antibiotik dari
hasil penelitian ini berlebihan, sedang atau kurang. Dengan demikian terapi
antibiotik diharapkan dapat memberikan hasil yang optimal.
4.1.7 Penilaian Drug Related Problems
Kejadian Drug Related Problems (DRPs) pada pasien tuberkulosis,
pneumonia dan HIV di ruang isolasi RSUD Cengkareng adalah sebagai berikut:
a. Permasalahan
Tabel 4.10 Permasalahan Drug Related Problems PCNE V.07
Jumlah Pasien yang Dijadikan Sampel 100
Jumlah Pasien Tanpa DRPs 92
Jumlah Pasien dengan DRPs
Jumlah Pasien dengan Potensial DRPs
8
28
Jumlah Permasalahan 8
Kode Permasalahan Jumlah permasalahan
(%)
P1 Efektivitas Terapi 4 (4 %)
P1.1 Obat tidak efektif atau pengobatan gagal 0
P1.2 Efek obat tidak optimal 2 (2 %)
P1.3 Obat tidak diperlukan 1 (1 %)
P1.4 Indikasi tidak terobati 1 (1 %)
80
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
P2 Reaksi obat yang tidak dikehendaki
(ROTD)
4 (4 %)
P2.1 Pasien menderita ROTD 4 (4 %)
b. Penyebab
Tabel 4.11 Penyebab Drug Related Problems PCNE V.07
Jumlah Penyebab 36
Kode Penyebab Jumlah penyebab
(%)
C1 Pemilihan Obat 19 ( 19 %)
Per
esep
an
C1.1 Obat tidak tepat berdasarkan guidelines atau
formularium
7 (7 %)
C1.2 Obat tidak tepat (kontraindikasi) 0 (0 %)
C1.3 Tidak ada indikasi untuk penggunaan obat 1 (1 %)
C1.4 Kombinasi obat-obat tidak tepat 0 (0 %)
C1.5 Duplikasi kelompok terapi atau bahan aktif
yang tidak tepat
0 (0 %)
C1.6 Ada indikasi tetapi obat tidak diresepkan 1 (1 %)
C1.7 Banyak obat diresepkan untuk indikasi yang
sama
0 (0 %)
C1.8 Kebutuhan obat yang bersifat
sinergis/preventif tidak diresepkan
10 (10 %)
C2 Pemilihan Bentuk Sediaan 0 (0 %)
C2.1 Bentuk sediaan obat tidak tepat
0 (0 %)
C3 Pemilihan Dosis 15 (15 %)
C3.1 Dosis obat terlalu rendah 10 (10 %)
C3.2 Dosis obat terlalu tinggi 2 (2 %)
C3.3 Frekuensi pemberian lebih jarang dari aturan
pakai
0 (0)
C3.4 Frekuensi pemberian melebihi aturan pakai 3 (3 %)
C4 Penentuan Lama Pengobatan 2 (2 %)
C4.1 Lama pengobatan terlalu pendek 0 (0 %)
C4.2 Lama pengobatan terlalu panjang 2 (2 %)
Analisis Drug Related Problems dalam penelitian ini menggunakan
kategori terbaru yang dikeluarkan oleh Pharmaceutical Care Network Europe
(PCNE) V.07 2016 yang bertujuan untuk menjamin efikasi dan kemanan
penggunaan obat. Berbeda dengan kategori Drug Related Problems (DRPs)
Cipolle, pada PCNE ini terpisah antara permasalahan dan penyebabnya. Pada
permasalahan terdiri dari efiktivitas obat dan reaksi obat tidak dikehendaki.
Sedangkan pada penyebab terdiri dari dua faktor yaitu faktor peresepan dan
penggunaan. Pada faktor peresepan terdiri dari penyebab Drug Related Problems
yang berkaitan dengan pemilihan obat, pemilihan bentuk sediaan, pemilihan dosis
81
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dan penentuan lama pengobatan. Hasil data deskriptif pada tabel 4.11
menunjukkan jenis permasalahan yang terjadi dari 100 pasien penyakit
tuberkulosis, pneumonia dan HIV di ruang isolasi RSUD Cengkareng tahun 2016.
Terdapat 8 pasien dengan 8 kasus permasalahan yang dianalisa. Permasalahan
pada efektivitas terapi mencapai 4 kasus dengan kasus efek obat tidak optimal
yaitu mencapai 2 paisen, kemudian diikuti dengan efek obat tidak diperlukan dan
indikasi tidak terobati masing-masing 1 pasien. Sedangkan permasalahan yang
berkenaan dengan reaksi obat yang tidak dikehendaki terjadi pada 4 pasien dari
jumlah total 100 pasien. Jumlah pada kategori penyebab mencapai 36 penyebab.
Penyebab tersebut terbagi ke dalam kategori berikut:
Tabel 4.12 Klasifikasi kategori penyebab
Penyebab Jumlah Persentase
Penyebab yang terbukti menimbulkan permasalahan
pada efektivitas terapi dan reaksi obat yang tidak
dikehendaki
6 16,7 %
Penyebab yang masih berpotensi menimbulkan
permasalahan pada efektivitas terapi dan reaksi obat
yang tidak dikehendaki
30 83,3 %
Penyebab DRPs dari faktor pasien (Idiosinkrasi) 2 -
Penelitian DRPs dengan kategori PCNE V.07 ini belum banyak dilakukan
terlebih secara khusus untuk antibiotik. Penilaian DRPs antibiotik pada bangsal
husus ruangan infeksi yang dilakukan oleh (Restinia et al., 2012) menyatakan
31,82 % pasien menerima antibiotik yang rasional sedangkan 68,18 % pasien
menerima antibiotik yang tidak rasional. Pada hasil penelitian 2015 mengenai
DRPs penggunaan antibiotik di suatu rumah sakit di Etiopia terdapat 75,7 %
permasalahan penggunaan antibiotik yang meliputi 29,6 % membutuhkan
penambahan antibiotik, 28,9 % penggunaan antibiotik yang tidak diperlukan, 28,9
% dosis terlalu rendah, 15,1 % dosis terlalu tinggi, 9,2 % antibiotik tidak efektif,
17 % tidak patuhnya pasien dan DRPs potensial 8,6 % (Yadesa et al., 2015). Juga
hasil penelitian (Blix, Viktil, Moger, & Reikvam, 2008) yang dilakukan di empat
rumah sakit di Norwegia menyebutkan pada penggunaan antibiotik efek obat tidak
optimal mancapai 19,28 %, dosis tidak optimal mencapai 19,28 % dan terjadinya
interaksi obat mencapai 10 %. Khusus untuk DRPs tuberkulosis di tiga puskesmas
di Surabaya pada tahun 2014 disebutkan terapi obat yang tidak diperlukan
mencapai 3,08 %, dosis terlalu rendah 11,54 %, reaksi obat yang tidak diinginkan
82
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
62, 31 %, dosis terlalu tinggi 1, 54 % dan ketidakpatuhan pasien mencapai 21,54
% (Priyandani et al., 2014). Untuk evaluasi kualitas antibiotik pada pasien
pneumonia di RSUD dokter Moewar tahun 2013 dengan metode Gyssens
menyebutkan antibiotik rasional hanya mencapai 17,65 %, ada antibiotik yang
lebih efektif 50,98 %, ada antibiotik kurang toksik 23,53 %, ada antibiotik lebih
murah 5,88 % dan ada antibiotik yang lebih spesifik 1,96 % (Marsono, Yuda,
2015).
4.1.4.1 Permasalahan
a. Efektivitas terapi
Berdasarkan tabel 4.11 dapat diketahui bahwa dari 8 pasien dengan kasus
DRPs permasalahan efektivitas terapi mencapai 4 kasus dengan kategori obat
tidak efektif atau pengobatan gagal 0 pasien dan efek obat tidak optimal 2 pasien
dengan distribusi sebagai berikut:
Tabel 4.13 Distribusi obat tidak efektif/pengobatan gagal& efek obat tidak
optimal
Diagnosa Antibiotik yang digunakan Keterangan NP
P1.1 Obat tidak efektif atau pengobatan gagal (n=0)
P1.2 Efek obat tidak optimal (n=2)
Tuberkulosis +
Pneumonia
RIF, INH, ETB, LEV diganti
SSB TD↓, RR↑,
DN↑
18
Tuberkulosis +
HIV
4 FDC, SSB S: RR↑, L↓ 94
Keterangan:
RIF=Rifampisin, INH=Isoniazid, ETB=Etambutol, STM=Streptomisin,
LEV=Levofloksasin, SSB=Sefoperazon-Sulbaktam, S=SIRS (Sistemic
Inflamatory Respone Syndrome), L↑= Leukosit naik tidak dalam rentang normal
(5-10 ribu/uL), L↓= Leukopenia (< 4 ribu/uL), , RR↑ = Kecepetan pernafasan naik
melebihi batas normal (> 20x/menit), DN↑= Denyut nadi naik > 90 x/menit
(takhikardi), NP = Nomor Pasien.
Hasil data deskriptif pada tabel 4.13 menunjukkan tidak ada pasien yang
mengalami obat tidak efektif atau pengobatan gagal dan 2 pasien mengalami
pengobatan yang tidak optimal. Jenis antibiotik yang digunakan antar pasien
bervariasi dan tidak sama. Parameter efektivitas pengobatan untuk penyakit
infeksi secara umum berdasarkan tujuan pengobatan yaitu eradikasi bakteri
penyebab penyakit, tidak ada lagi tanda dan gejala infeksi seperti: leukosit normal
83
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(5-10 ribu/Ul), suhu tubuh normal: (36-37,5 ºC), tidak terjadi SIRS (Sistemic
Inflamatory Respone Syndrome). SIRS terjadi jika terdapat dua atau lebih tanda
berikut: demam ( suhu tubuh > 38ºC) atau hipotermia (suhu tubuh < 36 ºC),
takhikardi ( denyut nadi > 90x/ menit), takhipneu (frekuensi respirasi > 20x/
menit) atau Pa CO2 <32 torr (4,3 Kpa), leukositosis (jumlah leukosit > 12000/ uL)
atau leukopenia ( jumlah leukosit < 4000/uL) atau adanya bentuk leukosit yang
immature > 10%) (Dipiro J.T, et al, 2015).
Untuk pengobatan pneumonia American Thoracix Society menambahkan
bahwa pengobatan pneumonia efektif jika tidak mempunyai lebih dari 1 tanda
klinik pneumonia komunitas yang tidak stabil. Tanda pneumonia yang stabil
adalah suhu tubuh ≤ 37,8 ºC, denyut nadi ≤ 100 kali/ menit, pernafasan/ RR
≤ 24 kali/ menit, tekanan darah sistolik ≥ 90 mmHg, saturasi oksigen arterial
≥ 90 % atau pO2 ≥ 60 mmHg pada suhu ruang, status mental normal dan
mampu mengonsumsi makanan secara oral (IDSA, 2007).
Hasil pemeriksaan tanda vital di hari akhir perawatan pasien nomor 18
denyut nadi 104 kali/menit, kecepatan pernafasan 24 kali/menit, tekanan darah
83/57 mmHg. Tanda vital ini menandakan pneumonia yang diderita belum stabil.
Pada pasien dengan nomor 94 pengobatan tidak optimal dengan adanya tanda
SIRS berupa terjadi leukopenia (leukosit 1,9 ribu/uL pada 2 hari sebelum pulang)
dan kecepatan pernafasan mencapai 24 kali/menit. Hal ini dapat dikaitkan dengan
keadaan pasien yang CD4 nya hanya mencapai 8 sel/ µl pada awal masuk tetapi
tidak diberikan kotrimoksazol.
Kategori permasalahan efektivitas terapi yang selanjutnya adalah obat
tidak diperlukan pada 1 pasien dengan distribusi sebagai berikut:
Tabel 4.14 Distribusi Obat Tidak Diperlukan
Diagnosa Antibiotik yang tidak
diperlukan
Nomor
Pasien
Keterangan
P1.3 Obat tidak diperlukan (n=1)
Tuberkulosis Imipenem 58 Tidak ada
diagnosa
sepsis dan
tanda SIRS
Obat yang tidak diperlukan adalah penggunaan obat yang tidak dibutuhkan
pada pengobatan pasien. Hal ini terjadi dapat karena berbagai macam penyebab
84
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang berkaitan dengan tidak ada indikasi untuk penggunaan obat, obat tidak tepat
berdasarkan guidelines atau formularium, obat tidak tepat yang merupakan
penggunaan obat kontraindikasi, duplikasi kelompok terapi atau bahan aktif yang
tidak tepat dan disebabkan oleh banyak obat (kelompok terapi atau bahan aktif
yang berbeda) diresepkan untuk indikasi yang sama.
Kategori permasalahan efektivitas terapi yang selanjutnya adalah indikasi
tidak terobati pada 1 pasien dengan distribusi sebagai berikut:
Tabel 4.15 Distribusi Indikasi tidak terobati
Diagnosis Indikasi
Tidak
Terobati
Obat Tambahan NP Keterangan
P1.4 Indikasi tidak terobati (n=1)
Pneumonia +
Tuberkulosis +
HIV
Pneumonia Antibiotik
Fluoroquinolon
atau Sefalosporin
generasi ketiga
47 Pada lembar
resum pasien
tertulis diagnosa
utama dengan
kode ICD J18.9
NP = Nomor Pasien
Indikasi tidak terobati merupakan pemberian terapi tambahan pada pasien
atas dasar diagnosa yang ditegakkan, sesuai dengan diagnosa yang tercantum di
rekam medis. Penilaian analisa DRPs antibiotik indikasi tidak terobati tergantung
pada penegakan diagnosis. Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan
gejala klinik, pemeriksaan fisik, pemeriksaan bakteriologik, pemeriksaan
radiologi dan pemeriksaan penunjang lainnya. Pemeriksaan mikroskopik
dinyatakan positif apabila sedikitnya terdapat dua dari tiga spesimen dahak
sewaktu-pagi-sewaktu hasilnya positif. Pasien dengan hasil pemeriksaan sputum
BTA positif menandakan jumlah bakteri yang lebih banyak pada lesi paru dan
lebih infeksius dibandingkan dengan pasien yang hasil pemeriksaan sputum
BTAnya negatif. Pemeriksaan foto rontgen dada merupakan salah satu prediktor
dalam mendiagnosis tuberkulosis. Pemeriksaan foto rontgen dada diperlukan
dalam mendiagnosis tuberkulosis pada pasien dengan pemeriksaan dahak
mikroskopis negatif yang tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotik non-
OAT (Obat Anti Tuberkulosis). Menurut ATS kriteria pneumonia berat bila
dijumpai salah satu atau lebih kriteria minor ( Frekuensi nafas > 30/ menit, PaO2/
85
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
FiO2 kurang dari 250 mmHg, foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral,
foto toraks paru melibatkan > 2 lobus, tekanan sistolik < 90 mmHg, tekanan
diastolik < 60 mmHg) atau kriteria mayor (membutuhkan ventilasi mekanik,
infiltrat bertambah >50%, membutuhkan vasopresor > 4 jam (septik syok),
kreatinin serum > 2 mg/dl atau peningkatan > 2 mg/dl, pada penderita riwayat
penyakit ginjal atau gagal ginjal yang membutuhkan dialisis). Berdasarkan
kesepakatan perhimpunan dokter paru indonesia, kriteria yang dipakai untuk
indikasi rawat inap pneumonia komuniti adalah skor PSI (Pneumonia Severity
Index) lebih dari 70, bila skor PSI kurang dari 70 maka penderita tetap perlu
dirawat inap bila dijumpai salah satu dari kriteria minor. Sedangkan pada pasien
HIV kebutuhan antibiotik tergantung pada koinfeksi yang diderita pasien (IDSA,
2007; IDPI, 2003; Shabbir I, 2007; Wokas 2015).
Dari hasil penelitian terdapat 1 kasus indikasi tidak terobati pada penderita
pneumonia. Pada penelitian yang dilakukan pada pasien tuberkulosis di salah satu
rumah sakit Bandung tahun 2012 menyebutkan dari seluruh pasien terdapat 10,47
% pasien dengan 1 indikasi tidak tertangani dan 3,49 % pasien dengan 2 indikasi
tidak terobati. Penelitian lain yang dilakukan di RSUP H Adam Malik Medan
periode Oktober-Desember 2010 menyebutkan adanya indikasi tidak terobati
sebanyak 3,3%. Secara umum, alasan kemungkinan terdapat indikasi tanpa obat
pada pasien yaitu terdapat kondisi lain yang menjadi prioritas penanganan pada
pasien atau bahkan kondisi lain tersebut mengancam jiwa pasien, indikasi yang
tidak tertangani bukan merupakan penyebab utama pasien masuk rumah sakit,
mengurangi beban organ vital yang sedang mengalami gangguan seperti ginjal
dan hati, penegakan diagnosis belum sepenuhnya dapat dipastikan karena masih
menunggu hasil pemeriksaan laboratorium, Indikasi yang tidak tertangani dapat
ditangani melalui terapi non-farmakologi, namun tidak diketahui pada rekam
medik pasien (Sukandar & Hartini, 2012; Anindia, Alin, 2016). Pada kasus ini
pasien mempunyai diagnosa tuberkulosis + HIV + pneumonia dan menerima
antiinfeksi 4 FDC, kotrimoksazol dan flukonazol dengan lama perwatan 14 hari.
Antibiotik untuk pneumonia tidak diberikan dimungkinkan karena selama
perawatan penegakan diagnosa belum dilakukan namun di akhir perawatan
86
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
terdapat data penunjang atau pertimbangan keadaan respon tubuh pasien dengan
banyaknya antiinfeksi yang sedang digunakan.
b. Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD)
Terdapat 4 pasien pada kategori permasalahan reaksi obat yang tidak
diinginkan dengan distribusi sebagai berikut:
Tabel 4.16 Distribusi Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki
Diagnosa Antibiotik
Penyebab ROTD
ROTD yang dialami Nomor
Pasien
P2.1 Pasien menderita ROTD (n=4)
Tuberkulosis OAT Drug Induced Liver Injury 54 dan 69
Tuberkulosis+
Pneumonia
OAT Drug Induced Liver Injury 20
Tuberkulosis+HIV OAT Drug Induced Liver Injury 16
OAT = Obat antituberkulosis
Terdapat 4 kasus Reaksi Obat Tidak Dikehendaki (ROTD) yang terjadi
pada pasien ruang isolasi RSUD Cengkareng merupakan efek samping antibiotik
yang digunakan. Pada penilaian ROTD sudah dipastikan bahwa ROTD yang
dialami bukan keadaan patofisiologi pasien dan telah dibandingkan tingkat resiko
efek samping dengan seluruh pengobatan yang digunakan pasien. Keadaan klinis
yang dicurigai menjadi reaksi obat yang tidak dikehendaki pada penelitian ini
adalah drug induced liver injury yang diderita pasien. Pada kasus drug induced
liver injury ini tidak ditemukan penyebab yang berkaitan dengan pemilihan obat,
pemilihan dosis ataupun lama pengobatan obat. Menurut (Petros et al., 2016),
toksisitas hati yang berkaitan dengan penggunaan obat atau yang dikenal dengan
drug induced liver injury (DILI) membatasi akses penggunaan obat yang mungkin
bermanfaat bagi keadaan pasien. DILI adalah kejadian buruk utama yang
menyebabkan penghentian program klinis pada terapi obat. DILI adalah kejadian
buruk yang berkaitan dengan obat antituberkulosis yang dimungkinkan terkait
dengan variasi genetik. Sedangkan menurut (Tailor, Faulkner, Naisbitt, & Park,
2015), DILI merupakan reaksi obat yang tidak lazim tetapi berakibat fatal yang
dapat terjadi dikarenakan penggunaan obat antituberkulosis, β-laktam dan anti
inflamasi non steroid. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa DILI adalah
permasalahan yang multifaktorial, yang menunjukkan beberapa mekanisme yang
87
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
mungkin terlibat diantaranya pembentukan metabolit reaktif, sistem imun adaptif
dan adanya genetika terbaru pengkode DILI sehingga sedang banyak berkembang
penelitian mengenai genetik pengkode DILI dalam dunia farmakogenetik.
Penelitian yang berkaitan dengan reaksi obat yang tidak dihendaki juga
dilakukan pada pasien tuberkulosis di ruang rawat inap kelas III salah satu rumah
sakit Bandung. Hasil penelitian tersebut menyimpulkan adanya reaksi obat
merugikan yang terjadi sebesar 6,98% dengan ruang A sebesar 4,65% dan ruang
B sebesar 2,33%. Reaksi obat merugikan yang terjadi berupa adanya drug-
induced hepatitis akibat OAT yang diberikan mengingat rifampisin dan isoniazid
merupakan obat yang berpotensi tinggi memberikan efek hepatotoksik (Sukandar
& Hartini, 2012). Penelitian lain mengenai reaksi obat merugikan yang dilakukan
pada pasien HIV/AIDS koinfeksi tuberkulosis di rumah sakit Hasan Sadikin
Bandung tahun 2015 juga menyebutkan adanya reaksi obat merugikan yang
disebabkan oleh pemakaian obat antituberkulosis (rifampisin, isoniazid dan
pirazinamid) berupa drug induced liver injury yaitu sebanyak 5 pasien dari jumlah
seluruhnya 48 pasien, juga adanya gangguan saluran pencernaan berupa mual,
muntah, dispepsia yang terjadi pada 1 pasien dari jumlah seluruhnya 48 pasien.
Penanganan yang dilakukan untuk pasien yang mengalami drug induced liver
injury dapat dilakukan dengan pemantauan fungsi hati, penghentian kombinasi
dosis tetap, reintroduksi OAT, penggantian obat atau pemberian hepatoprotektor
tergantung pada keadaan pasien. Sedangkan pada pasien dengan gangguan saluran
perncernaan dapat diberikan obat antiemetik (Andi, Amalia, & Wisaksana, 2015).
4.1.4.2 Penyebab
Adanya permasalahan yang berkaitan dengan penggunaan obat, tidak lepas
dari berbagai penyebab yang berpotensi menciptakan permasalahan. Adapun
distribusi 36 penyebab permasalahan pengobatan dengan kategori PCNE V.07
adalah sebagai berikut:
a. Pemilihan Obat
Penyebab yang berkaitan dengan pemilihan obat mempunyai persentase
tertinggi yaitu mencapai 19% yang terdiri dari obat tidak tepat berdasarkan
guidelines atau formularium 6%, obat tidak tepat (merupakan penggunaan obat
yang kontraindikasi) 0%, tidak ada indikasi untuk penggunaan obat 1%,
kombinasi obat-obat tidak tepat 0%, ada indikasi tetapi obat tidak diresepkan 1%,
88
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
banyak obat (kelompok terapi atau bahan aktif yang berbeda) diresepkan untuk
indikasi yang sama 1 %, kebutuhan obat yang bersifat sinergis/preventif tidak
diresepkan 10 % dengan distribusi sebagai berikut:
Tabel 4.17 Distribusi Penyebab yang Berkaitan dengan Pemilihan Obat
Diagnosa Keterangan NP
C1.1 Obat tidak tepat berdasarkan guidelines atau formularium (n=7)
TB Imipenem digunakan tanpa kultur 29, 37, 58
Sefoperazon 3 x 1 g + Ofloksasin 2 x 400
mg (pada pengobatan sepsis)
54
TB + HIV Imipenem digunakan tanpa kultur 100
TB + HIV +
Pneumonia
Imipenem digunakan tanpa kultur 91, 99
C1.2 Obat tidak tepat (kontraindikasi) (n=0)
C1.3 Tidak ada indikasi untuk penggunaan obat (n=1)
Obat yang tidak diperlukan: Jumlah:
Tuberkulosis Imipenem 1
C1.4 Kombinasi obat-obat tidak tepat (potensi interaksi terlampir)
C1.5 Duplikasi kelompok terapi atau bahan aktif yang tidak tepat (n=0)
C1.6 Ada indikasi tetapi obat tidak diresepkan (n=1)
Indikasi yang tidak terobati: I
TB + HIV +
Pneumonia
Pneumonia 47
C1.7 Banyak obat diresepkan untuk indikasi yang sama (n=0)
C1.8 Kebutuhan obat yang bersifat sinergis/preventif tidak diresepkan
(n=10)
Obat yang bersifat sinergis tidak
diresepkan:
NP
TB +Pneumonia Streptomisin (TB kambuh) 3, 76
TB + HIV Kotrimoksazol 94
Streptomisin (TB kambuh) 42
TB Streptomisin ( 3 pasien TB kambuh, 3
Pasien TB putus obat)
52,66,9,55,73,77
TB= Tuberkulosis, NP= Nomor Pasien
Terdapat 7 pasien dengan penyebab DRPs obat tidak tepat berdasarkan
guidelines atau formularium. Penilaian obat tidak tepat berdasarkan guidelines
pada penelitian ini adalah penggunaan pirazinamid pada pasien Hepatitis. Pada
panduan tuberkulosis nasional dijelaskan pasien dengan kecurigaan mempunyai
penyakit hati kronis, pemeriksaan fungsi hati harus dilakukan sebelum memulai
pengobatan. Apabila hasil pemeriksaan fungsi hati >3 kali normal sebelum
memulai pengobatan, paduan OAT berikut ini dapat dipertimbangkan Pirazinamid
89
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(Z) tidak boleh digunakan, 2 obat yang hepatotoksik: 2 HRSE / 6 HR, 9 HRE, 1
obat yang hepatotoksik: 2 HES / 10 HE, tanpa obat yang hepatotoksik: 18-24 SE
ditambah salah satu golongan fluorokuinolon (Siprofloksasin tidak
direkomendasikan karena potensinya sangat lemah) (Kemenkes, 2014). Menurut
(Sonika & Kar, 2012) pada pengobatan tuberkulosis dengan penyakit hati perlu
dilakukan modivikasi terapi obat, modifikasi tersebut bisa dengan menggunakan
rejimen dengan dua obat hepatotoksik dengan cara tidak mengikut sertakan
pirazinamid dengan memberikan isoniazid, rifampisin dan etambutol selama 2
bulan, rejimen tanpa isoniazid dengan memberikan rifampisin, pirazinamid,
etambutol selama 6 bulan atau rejimen tanpa rifampisin dengan memberikan
isoniazid, pirazinamid, etambutol, ofloksasin selama 2 bulan diikuti dengan
pemberian isoniazid, etambutol, ofloksasin selama 10 bulan. Modifikasi lain
adalah dengan rejimen satu obat yang berpotensi hepatotoksik atau dengan
rejimen tanpa obat yang berpotensi hepatotoksik dengan penggunaan streptomisin,
etambutol dan fluoroquinolon selama 18-24 bulan. Sedangkan obat tidak
berdasarkan restriksi formularium adalah penggunaan Imipenem. Berdasarkan
formularium RSUD Cengkareng 2014, penggunaan imipenem hanya untuk terapi
lini ketiga yang terbukti ESBL (Extended-spectrum beta lactamase) positif,
pemeriksaan kultur harus dilakukan, jika bakteri penyebab masih sensitif terhadap
antibiotik dan lebih diutamakan penggunaan meropenem. Obat yang tidak
berdasarkan guidelines terjadi juga pada pasien bernomor 56, pasien ini
mempunyai diagnosa utama tuberkulosis, mendapatkan sefoperazon dan
ofloksasin secara bersamaan untuk pengobatan sepsisnya. Hal ini tidak seharusnya
terjadi dikarenakan pada pengobatan sepsis hanya diperlukan salah satu antibiotik
tersebut. Penggunaan yang berlebihan dapat menyebabkan resistensi.
Pada kategori penyebab tidak ada indikasi untuk penggunaan obat terdapat
1 pasien yang mengalaminya. Pada 1 pasien dengan diagnosa utama tuberkulosis
menerima antibiotik imipenem tanpa adanya indikasi mendukung seperti adanya
diagnosa sepsis atau terjadinya gejala SIRS. Pada penelitian yang dilakukan pada
pasien tuberkulosis di ruang perawatan kelas III di salah satu rumah sakit di
Bandung menggambarkan masih terjadi DRPs yang berkaitan dengan pemberian
obat tanpa indikasi sebesar 11,63 %, tetapi dalam penelitian ini tidak disebutkan
90
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
macam-macam obat yang digunakan tanpa indikasi. Pada penelitian retrospektif
mengenai DRPs penggunaan antibiotik pada pasien pneumonia di RSUP Adam
Malik Medan pemberian antibiotik tanpa indikasi pada periode Oktober-
Desember 2010 mencapai 10%, sedangkan pada periode Januari-Maret 2011
mencapai 9,52%. Penggunaan antibiotik tanpa indikasi ini dimungkinkan karena
beberapa sebab yaitu untuk mengatasi kondisi lain dari penyakit yang diderita
(contoh: metronidazol digunakan untuk mengatasi bentuk dorman dari M.
tuberculosis), penggunaan efek samping yang umum terjadi dari obat, penggunaan
investigasional pada diagnosa banding (Sukandar & Hartini, 2012; Hidayah,
Nurul, 2011).
Kategori penyebab berkaitan dengan pemilihan obat selanjutnya adalah
kombinasi obat-obat tidak tepat yaitu dengan persen kejadian 0 %. Kategori ini
berkaitan dengan interaksi obat. Interaksi obat yang terjadi merupakan semua
interaksi obat yang mungkin atau potensial terjadi pada terapi obat yang diberikan
kepada 100 pasien, baik interaksi obat yang dapat dihindari ataupun interaksi obat
yang tidak dapat dihindari. Secara tertulis tidak ada efek interaksi obat yang
diderita pasien. Tetapi dilihat dari penggunaan seluruh obat yang digunakan
pasien terdapat potensi interaksi obat sebagai berikut:
Tabel 4.18 Interaksi Obat Berdasarkan Tingkat Keparahan dan Mekanisme
Potensi Interaksi Kategori Jumlah Persentase (%)
Mekanisme
Interaksi
Farmakokinetik 141 36,7
Farmakodinamik 242 63
Tidak diketahui 1 0,3
Total 384
Tingkat keparahan Ringan (minor) 56 14,58
Sedang (moderat) 291 75,78
Berat (mayor) 37 9,6
Total 384
Hasil analisa DRPs terhadap 100 pasien, diperoleh bahwa terdapat potensi
interaksi pada 83 pasien. Berdasarkan analisa terhadap 83 pasien yang berpotensi
mengalami interaksi obat (tabel 4.18), diperoleh hasil bahwa terdapat total
kejadian interaksi obat sebanyak 384 kejadian yang terdiri dari interaksi obat
farmakodinamik 242 kejadian (63 %). Hal tersebut menunjukkan bahwa obat-obat
yang diberikan saling berinteraksi pada sistem reseptor, tempat kerja atau sistem
91
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
fisiologi yang sama sehingga terjadi efek yang aditif, sinergis (saling
memperkuat) atau antagonisme (saling meniadakan). Beberapa alternatif
penatalaksanaan interaksi obat adalah menghindari kombinasi obat dengan
memilih obat pengganti yang tidak berinteraksi, penyesuaian dosis obat,
pemantauan pasien atau meneruskan pengobatan seperti sebelumnya jika
kombinasi obat yang berinteraksi tersebut merupakan pengobatan yang optimal
atau bila interaksi tersebut tidak bermakna secara klinis (Fradgley, 2003).
Mekanisme interaksi obat secara farmakokinetik terjadi sebanyak 141 kejadian
(36,7 %). Hal tersebut menunjukkan bahwa salah satu obat mempengaruhi
absorpsi, distribusi, metabolisme atau ekskresi obat kedua sehingga kadar plasma
kedua obat meningkat atau menurun. Akibatnya terjadi peningkatan toksisitas atau
penurunan efektifitas obat tersebut (Fradgley, 2003)
Berdasarkan hasil penelitian, tingkat keparahan interaksi obat yang paling
banyak terjadi adalah pada interaksi obat moderat, yaitu sebanyak 291 kejadian
(75,25 %). Interaksi obat secara moderat ini termasuk jenis interaksi obat yang
diutamakan untuk dicegah dan diatasi jika interaksi obat yang dihasilkan lebih
berbahaya dibandingkan manfaatnya, sebaiknya menggunakan alternatif lain jika
ada. Selanjutnya interaksi obat terbanyak kedua adalah dengan tingkat keparahan
minor, yaitu 56 kejadian (14,58 %) interaksi ini mungkin mengganggu atau tidak
disadari (interaksi obat diduga terjadi) tetapi tidak mempengaruhi secara
signifikan terhadap efek obat yang diinginkan. Interaksi obat dengan tingkat
keparahan mayor adalah interaksi obat yang paling sedikit, terdapat 37 kejadian
(9,6%). Interaksi obat dengan tingkat keparahan mayor diutamakan untuk dicegah
dan diatasi karena efek potensial membahayakan jiwa atau menyebabkan
kerusakan permanen. Jenis obat yang mengalami interaksi mayor dapat dilihat
pada tabel berikut:
Tabel 4.19 Jenis Obat yang Mengalami Interaksi Mayor
Jenis Obat Efek Interaksi Obat Manajemen
Isoniazid - Rifampisin Penggunaan bersamaan
dapat menyebabkan
gangguan fungsi hati
dengan tanda mual,
muntah dan kulit
berwarna kuning
Lakukan penyesuaian
dosis
92
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Levofloksasin -
Deksametason
Penggunaan bersama
akan meningkatkan
resiko tendinitis dan
tendon ruptur
Segera hentikan
penggunaan ofloksasin
jika terdapat gejala
tendon ruptur: seperti
nyeri, atau inflamasi
pada tendon
Levofloksasin -
Metilprednisolon
Penggunaan bersamaan
dapat meningkatkan
resiko tendinitis dan
tendon rupture akibat
fluorokuinolon
Hindari penggunaan
bersama
Ofloksasin - Deksametason Penggunaan bersama
akan meningkatkan
resiko tendinitis dan
tendon ruptur
Segera hentikan
penggunaan ofloksasin
jika terdapat gejala
tendon ruptur: seperti
nyeri, atau inflamasi
pada tendon
Ofloksasin - Efavirenz Efaviren dapat
memperpanjang
gelombang QT secara
signifikan dengan
menurunkan klirens
metabolisme quinolon
melalui inhibisi enzim
CYP450 2B6
Alternatif Efavirenz
harus diberikan pada
pasien
Ofloksasin - Haloperidol Penggunaan bersama
akan meningkatkan
resiko perpanjangan
gelombang QT dan
meningkat resiko
aritmia
Monitor efek
haloperidol
Ofloksasin -
Metilprednisolon
Penggunaan bersamaan
dapat meningkatkan
resiko tendinitis dan
tendon rupture yang
berkaitan dengan
pengobatan
fluorokuinolon
Hindari penggunaan
bersama
Rifampisin - Amlodipin Rifampisin menginduksi
enzim CYP450 3A4
sehingga menurunkan
bioavailabilitas oral
CCB
Penggunaan CCB oral
dihindari
Rifampisin - Itrakonazol Rifampisin akan
menurunkan konsentrasi
itrakonazol secara
signifikan karena
rifampisin menginduksi
Monitor efek antifungi
itrakonazol
93
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
enzim CYP450
Rifampisin - Nevirapin Penggunaan bersamaan
akan menurunkan
konsentrasi nevirapin
dengan induksi enzim
CYP450 3A4
Hindari penggunaan
bersama
Rifampisin - Nifedipin Rifampisin menginduksi
enzim CYP450 3A4
sehingga menurunkan
bioavailabilitas oral
CCB
Penggunaan CCB oral
dihindari
Rifampisin - Pirazinamid Penggunaan bersamaan
dapat membahayakan
fungsi hati
Lakukan penyesuaian
dosis
Rifampisin - Simvastatin Pemakaian bersama
akan menurunkan kadar
simvastatin secara
signifikan, rifampisin
menginduksi enzim
metabolisme CYP450
3A4
Hindari penggunaan
bersamaan
Siprofloksasin - Efavirenz Efaviren dapat
memperpanjang
gelombang QT secara
signifikan dengan
menurunkan clearance
metabolisme quinolon
melalui inhibisi enzim
CYP450 2B6
Alternatif Efavirenz
harus diberikan pada
pasien
CCB = Calsium Canal Blocker
Sumber: Drug Interaction Fact; Drug Interaction Stockley; (AnnoesJKA, 2005)
Interaksi rifampisin dan nevirapin telah dipastikan dengan percobaan yang
dilakukan oleh Boehringer Ingelheim Pharmaceuticals menyatakan AUC
Nevirapin berkurang 58 % akibat pemakaian rifampisin pada 14 subjek tetapi
tidak terjadi perubahan steady state farmakokinetik rifampisin. Berdasarkan data
ini penggunaan bersamaan sebaiknya dihindari (Viramune, 2007). Menurut
(Ribera et. al, 2001) pada pasien HIV positif dengan TB ditemukan rifampisin
menyebabkan berkurangnya 31 % AUC nevirapin dan tidak signifikan
mengurangi konsentrasi yaitu hanya 21%. Penelitian ini menyimpulkan tidak
diperlukan peningkatan dosis nevirapin. Penelitian lain menyebutkan penggunaan
rifampisin dan nevirapin mengurangi 18 % kadar nevirapin tanpa mengurangi
respon virologi (Manosuthi et al, 2007). Pasien yang mendapatkan nevirapin 2 x
94
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
200 mg ditambah rifampisin 450 mg atau 600 mg perhari menyebabkan 46 %
pengurangan AUC nevirapin dan 53 % mengurangi level minimum, dengan 8
pasien memmpunyai kadar dibawah kadar terapi (3 microgram/ml). Pada 7 pasien
dengan kadar minimal kurang dari kadar terapi penaikan dosis menjadi 3 x 200
mg nevirapin selama 2 minggu terbukti meningkatkan kadar hingga mencapai
kadar terapi tanpa meningkatkan efek samping (Ramachandran et al, 2006).
Penelitian interaksi rifampisin dan nifedipin dilakukan oleh (Tada Y,
1992) pada perempuan dengan hipertensi yang mendapatkan Nifedipin 2 x 40 mg
menunjukkan adanya peningkatan tekanan darah 160/90 mmHg menjadi 200/110
mmHg setelah 2 minggu menggunakan pengobatan antituberkulosis termasuk
didalamnya rifampisin 450 mg. Ketika rifampisin dihentikan dan kembali
digunakan, terjadi penurunan tekanan darah dan peningkatan lagi. Pucak kadar
plasma dan AUC Nifedipin berkurang 60 % ketika digunakan dengan rifampisin.
Penelitian lain dilakukan oleh (Holtbecker, 1996) pada 6 subjek sehat diberikan
nifedipin 20 microgram/kg intravena dan 20 mg oral pada hari yang berbeda
sebelum dan sesudah mendapatkan rifampisin 600 mg rifampisin selama 7 hari.
Farmakokinetik nifedipin intravena tidak berubah signifikan oleh rifampisin,
tetapi klirens pemberian oral meningkat dari 1,5 menjadi 20,9 L/menit dan
bioavailabilitas menurun dari 41,2 menjadi 5,3 %. Penelitian farmakokinetik pada
6 subjek sehat mandapatkan nifedipin oral 10 mg yang diberikan 8 jam setelah
dosis tunggal rifampisin 1,2 g bioavailabilitasnya berkurang manjadi 36%, waktu
paruhnya lebih cepat dan klirensnya meningkat tiga kali lipat (Ndanusa, 1997).
Studi Crossover pada 10 subjek, 5 hari pretreatment dengan rifampisin
600 mg tiap hari mengurangi 87 % AUC Simvastatin dan 93 % asam simvastatin
(Kyrklund, 2000). Banyak penelitian yang menyebutkan bahwa kadar serum dan
waktu paruh penggunaan bersama rifampisin dan isoniazid tidak berpengaruh
signifikan dan tidak ada perbedaan juga antara asetilator isoniazid cepat dan
lambat. Penelitian pada subjek sehat yang menerima dosis tunggal ditemukan
bahwa isoniazid 12 mg/kg mengurangi AUC rifampisin 10 mg/kg hingga 25 %
(Immanuel, 2003). Beberapa bukti juga menyebutkan adanya kejadian dan
peningkatan keparahan hepatotoksik jika kedua obat digunakan bersamaan. Di
India dilapokan insiden tersebut terjadi pada 8-10 %, tetapi di US dilaporkan
95
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
persen kejadian hanya 2-3 % Mekanisme belum diketahui secara pasti, tetapi
salah satu mekanisme yang diketahui bahwa rifampisin mengubah metabolisme
isoniazid, yang menyebabkan terbentuknya hidrazin yang terbukti hepatotoksik
(Gangadharam PRJ, 1986). Penelitian lain yang dilakukan pada pasien yang
menerima antituberkulosis yang didalamnya rifampisin 600 mg dan isoniazid 300
mg dan juga menerima itrakonazol 200 mg sekali sehari. Setelah 2 minggu serum
itrakonazol tidak berarti ( 0,011 mg/L). Ketika penggunaan dua kali dosis awal
hanya mencapai kadar 0,056 mg/L. Ketika antituberkulosis dihentikan kadar
serum itrakonazol mancapai 3,23 mg/L dengan dosis 300 mg dan 2,35-2,6 mg/L
dengan dosis 200 mg setiap hari (Blomley, 1990).
Penyebab DRPs yang berkaitan kebutuhan obat yang bersifat
sinergis/preventif tidak diresepkan yang terbanyak adalah tidak diresepkannya
kotrimoksazol. Pada pasien tuberkulosis dengan HIV-positif, kotrimoksazol harus
diberikan sesegera mungkin dan berikan pengobatan tuberkulosis seluruhnya.
Kotrimoksazol mencegah dan mengurangi mortalitas pasien tuberkulosis dengan
HIV-positif. Aktivitas kotrimoksazol belum diketahui secara pasti tetapi telah
terbukti mencegah Pneumocystis jirovecii dan malaria, serta terbukti mempunyai
pengaruh pada jumlah bakteri yang menginfeksi pasien tuberkulosis dengan HIV-
positif (WHO, 2014). Menurut (Kemenkes, 2011), Bila tersedia pemeriksaan
jumlah sel CD4 dan terjangkau, kotrimoksasol diberikan pada pasien dengan
jumlah CD4 <200 sel/mm3 dengan dosis 960 mg/ hari dosis tunggal dan
dihentikan bila sel CD4 naik >200 sel/mm3 pada pemeriksaan dua kali interval 6
bulan berturut-turut jika mendapatkan ARV. CD4 pada pasien nomor 94 adalah
8 sel/µl dan pasien tersebut sedang menerima terapi anti retroviral sehingga
diperlukan kotrimoksazol. Kebutuhan obat yang bersifat sinergis/preventif tidak
diresepkan yang kedua adalah streptomisin. Streptomisin dibutuhkan pada pasien
dengan tuberkulosis kambuh dan tuberkulosis putus obat yang termasuk dalam
kategori dua yaitu 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3 (Kemenkes, 2014).
b. Pemilihan Dosis
Penyebab DRPs kategori peresepan yang ketiga adalah berkaitan dengan
pemilihan dosis dengan distribusi sebagai berikut:
96
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tabel 4.20 Distribusi dosis terlalu rendah (n=10)
Diagnosa Um
ur/
BB
K
K
Nama
antibiotik
Dosis
terlalu
rendah
Dosis
seharusnya
NP Referen
si
TB +
Pneumonia
78/
55
- 4 FDC 3 x 1 tab 4 tab 7 Kemen-
kes,
2014;
DIH
2011;
AHFS
;BNF
2009;
Drugs
For
Elderly
WHO
Europe
Series
44/
90
- Rifampisin 300 mg 900 mg 63
INH 300 mg 450 mg
Etambutol 750 mg 1000 mg
44/
60
- Rifampisin 300 mg 600 mg 18
Etambutol 750 mg 900 mg
TB + HIV 33/
57
4
7
4 FDC 3 x 1 tab 4 tab 96
30/
65
- 4 FDC 3 x 1 tab 4 tab 95
TB 46/
60
4 FDC 1 x 3 tab 4 tab 2
43/
65
- 4 FDC 1 x 3 tab 4 tab 9
41/
60
- 4 FDC 1 x 3 tab 4 tab 34
53/
60
- 4 FDC 3-0-0 4 tab 60
78/
60
2
9
4 FDC 3-0-0 4 tab 77
TB = Tuberkulosis, FDC = Fix Dose Combination, KK = Klirens Kreatinin, NP=
Nomor Pasien, DIH = Drug Information Handbook, AHFS = American Hospital
Formulary Service, BNF = British National Formulary
Tabel 4.21 Distribusi Dosis Terlalu Tinggi (n=2)
Diagnosa Umur/BB K
K
Nama
antibiotik
Dosis
terlalu
tinggi
Dosis
seharusnya
NP Ref
TB +
HIV
40/45 - Klindamisin 4 x 600
mg
Maksimal
1,8 g/ hari
71 DIH
2011,
BNF
2009
26/50 - Klindamisin 4 x 600
mg
Maksimal
1,8 g/ hari
90
TB = Tuberkulosis, FDC = Fix Dose Combination, KK = Klirens Kreatinin, NP=
Nomor Pasien, Ref = Referensi, DIH = Drug Information Handbook, BNF =
British National Formulary
97
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tabel 4.22 Pengaturan Dosis Terlalu Sering (n=3)
Diagnosa Nama
antibiotik
Pengaturan
Dosis
Terlalu
Sering
Pengaturan
Dosis
seharusnya
NP KK Referensi
TB +
Pneumonia
4 FDC 3-0-0 PRZ dan
ETA 3x/
minggu
karena
kreatinin
tinggi
28 14,1 Kemenkes,
2014;
WHO
2014 TB + HIV 4 FDC 3 x 1 tab 94 26,35
TB 4 FDC 3-0-0 77 28,7
TB = Tuberkulosis, 4 FDC = 4 Fix Dose Combination (Berisi Isoniazid 75 mg,
Rfampisin 150 mg, Pirazinamid 400 mg dan Etambutol 275 mg), INH = Isoniazid,
PRZ = Pirazinamid, ETA = Etambutol, KK=Klirens Kreatinin
Pemilihan dosis yang berkaitan dengan kategori dosis obat terlalu rendah
berjumlah 10 kasus dan dosis obat terlalu tinggi berjumlah 2 kasus. Pada kategori
dosis terlalu rendah berkenaan dengan dosis obat antituberkulosis. Pada analisa
obat antituberkulosis ini yang sangat berkaitan dengan dosis adalah berat badan
pasien dan kadar kreatinin pasien. Pada fase intensif pengobatan tuberkulosis
penggunaan 4 FDC mempunyai aturan khusus yaitu untuk pasien dengan berat
badan 30-37 kg menggunakan 2 tablet 4 FDC setiap harinya, untuk pasien dengan
berat badan 38-54 kg menggunakan 3 tablet 4FDC setiap hari, untuk pasien
dengan berat badan 55-70 kg menggunakan 4 tablet 4FDC setiap hari dan untuk
pasien dengan berat badan ≥71 kg menggunakan 5 tablet 4FDC setiap harinya.
Sedangkan pada antituberkulosis dengan sediaan lepasan dosis harian isoniazid 5
mg/kgBB dengan batas maksimal 300 mg, untuk rifampisin 10 mg/kgBB dengan
batas maksimal 600 mg, untuk pirazinamid 25 mg/kgBB dan untuk etambutol 15
mg/kgBB (Kemenkes, 2014; WHO,2014).
Menurut Drug Information Handbook, Isoniazid diberikan dengan dosis 5
mg/kg/hari (biasanya 300 mg/hari) sebagai dosis tunggal (maksimal 900
mg/dosis) diberikan 2-3 kali/minggu, Etambutol diberikan dengan dosis 15-25
mg/kg setiap hari atau 25-30 mg/kg/dosis 3 kali/minggu(maksimal 2,5 g/dosis)
atau 50 mg/kg/dosis dua kali/minggu (maksimal 4 g/dosis), Rifampisin diberikan
dengan dosis 10 mg/kg/hari (maksimal 600 mg/hari), 2 kali/minggu 10 mg/kg
(maksimal 600 mg) dan 3 kali/minggu 10 mg/kg (maksimal 600 mg), sedangkan
untuk Klindamisin sebagai pengobatan toksoplasma dengan dosis 150-450
98
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
mg/dosis setiap 6-8 jam dengan dosis maksimal 1,8 g/hari. Menurut British
National Formulary 2009, Isoniazid diberikan dengan dosis 300 mg setiap hari,
rifampisin pada pasien dengan berat badan < 50 kg diberikan dengan dosis 450
mg/hari dan untuk berat badan ≥ 50 kg diberikan dengan dosis 600 mg, etambutol
diberikan dengan dosis 15 mg/kg/hari dan pirazinamid pada pasien dengan berat
badan < 50 kg diberikan dengan dosis 1,5 g/hari dan untuk berat badan ≥ 50 kg
diberikan dengan dosis 2 g/hari dan untuk klindamisin pada pengobatan
toksoplasma dengan dosis 450 mg setiap 8 jam. Sedangkan di dalam American
Hospital Formulary Service dijelaskan bahwa ATS, CDC dan IDSA menyatakan
dosis isoniazid jika digunakan dengan obat antituberkulosis lain yaitu 5 mg/kgBB
(hingga 300 mg). Untuk usia geriatri, perhitungan dosis mengacu pada Drugs For
Elderly WHO Europe Series yang menyebutkan pada pengobatan tuberkulosis
fase intensif biasanya diobati dengan tiga regimen yaitu 450 mg rifampisin
sebelum sarapan (600 mg jika pasien memiliki berat badan lebih dari 50 kg),
Etambutol 15 mg/kgBB/hari dan isoniazid 300 mg/hari. Dari berbagai referensi
tersebut telah disimpulkan dosis terlalu rendah sebanyak 10 kasus dan dosis
terlalu tinggi 2 kasus.
Pemilihan dosis yang berkaitan dengan kreatinin pasien menggambarkan
kegagalan fungsi ginjal dengan tingkatan tertentu. Untuk menilai tingkat
kegagalan fungsi ginjal terlebih dahulu kreatinin pasien dikonversikan menjadi
klirens kreatinin dengan menggunakan rumus Cockroft dan Gault sebagai berikut:
Klirens kreatinin = 𝟏𝟒𝟎−𝐮𝐦𝐮𝐫 𝐱 𝐁𝐞𝐫𝐚𝐭 𝐁𝐚𝐝𝐚𝐧
𝟕𝟐 𝐱 𝐬𝐞𝐫𝐮𝐦 𝐤𝐫𝐞𝐚𝐭𝐢𝐧𝐢𝐧
Untuk pasien berjenis kelamin perempuan hasil dikalikan dengan 0,85
Setelah didapatkan nilai klirens kreatinin maka akan diketahui tingkat
kegagalan fungsi ginjal pasien dengan acuan kategori tingkat 1 yaitu pasien
dengan klirens kreatinin normal, kategori tingkat 2 yaitu pasien dengan klirens
kreatinin 60 – 90 ml/menit, kategori tingkat 3 yaitu pasien dengan klirens
kreatinin 30 – 60 ml/menit, kategori tingkat 4 yaitu pasien dengan klirens
kreatinin 15 – 30 ml/menit, dan kategori tingkat 5 yaitu pasien dengan klirens
kreatinin < 15 ml/menit dengan atau tanpa dialisis. Pada tingkat 1-3, anjuran dosis
isoniazid 300 mg/hari, untuk rifampisin pasien dengan berat badan kurang dari 50
99
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
kg dianjurkan dosis 450 mg/hari sedangkan pasien dengan berat badan ≥50 kg
dianjurkan dosis 600 mg/hari, sedangkan untuk pirazinamid pasien dengan berat
badan kurang dari 50 kg dianjurkan dosis 1,5 g/hari dan untuk pasien dengan berat
badan ≥50 kg dianjurkan dosis 2 g/hari, untuk etambutol dianjurkan 15
mg/kgBB/hari. Pada tingkat 4-5, anjuran dosis isoniazid diberikan 3x/minggu
dengan dosis 300 mg/setiap pemberian, anjuran rifampisin sama dengan tingkat 1-
3, untuk pirazinamid 25-30 mg/kgBB/hari, diberikan 3x/minggu dan untuk
etambutol 15-25 mg/kgBB/hari, diberikan 3x/minggu (Kemenkes, 2014). WHO
juga menjelaskan penggunaan obat antituberkulosis yang perlu perubahan
frekuensi untuk pasien dengan klirens kreatinin <30 ml/menit adalah pirazinamid
yaitu dengan dosis 25-35 mg/kg/dosis 3 kali/minggu (setiap hari) dan etambutol
dengan dosis 20-25 mg/kg/dosis 3 kali/minggu (setiap hari) (WHO, 2014).
Kadar kreatinin pasien menjadi sangat penting mengingat pada obat primer
tuberkulosis kebanyakan diekskresikan melalui ginjal. Isoniazid 70-96 %
diekskresikan melalui ginjal, pirazinamid 70 % diekskresikan melalui urin dengan
melalui filtrasi glomerulus, etambutol 50-80 % dieksresikan melalui urin dengan
melewati ekskresi ginjal sedangkan untuk rifampisin 50-65 % dikekskresikan
melalui empedu. Sehingga tidak dilakukan penyesuaian dosis pada rifampisin jika
terjadi gangguan ginjal (Arbex, 2010). Penelitian yang dilakukan pada pasien
tuberkulosis ruang rawat inap kelas III di salah satu rumah sakit Bandung
Ketidaksesuaian dosis sebesar 19,82% dengan kejadian dosis yang berada di
bawah rentang normal adalah 18,15% dan dosis yang berada di atas rentang
normal 1,67%. Pemberian dosis yang berada di bawah rentang terapetik tidak
dapat memberikan efek atau bahkan dapat menyebabkan resistensi dari kuman M
tuberculosis yang berakibat pada kegagalan pengobatan atau kekambuhan.
Pemberian dosis yang melebihi dosis dari rentang terapetik dapat meningkatkan
toksisitas obat(Human & Virus, 2011; Sukandar & Hartini, 2012).
c. Penentuan Lama Pengobatan
Penyebab DRPs kategori peresepan yang keempat adalah berkaitan dengan
penentuan lama pengobatan dengan distribusi sebagai berikut:
100
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tabel 4.23 Distribusi Lama Pengobatan Terlalu Panjang
Diagnosa Nama
Antibiotik
Lama
Pengobatan
Terlalu
Panjang
Lama
Pengobatan
Seharusnya
NP Referensi
TB Ofloksasin 12 hari 10 hari 12 DIH;
IDSA
Ofloksasin 11 hari 10 hari 39
TB= Tuberkulosis, NP= Nomor Pasien, DIH = Drug Information Handbook,
IDSA = Infectious Desease Society of America
Menurut Kemenkes RI (2011) mengenai lama penggunaan antibiotik,
penggunaan antibiotik harus disesuaikan dengan petunjuk aturan pemakaiannya
agar tidak menimbulkan resistensi. Lama penggunaannya antibiotik dilihat
berdasarkan tingkat keparahan yang dialami pasien. Pada penyebab DRPs
mengenai penentuan lama pengobatan, terdapat 2 kasus pada kategori lama
pengobatan terlalu panjang. Antibiotik yang terlibat pada penyebab ini adalah
Ofloksasin untuk diagnosa banding pneumonia pada pasien tuberkulosis.
Penggunaan obat antituberkulosis dilakukan sesegera mungkin setelah penegakan
diagnosis baik pada pasien tuberkulosis paru BTA negatif dengan hasil
pemeriksaan foto toraks mendukung tuberkulosis, pasien tuberkulosis ekstraparu
yang terdiagnosis secara klinis maupun laboratoris dan histopatologis tanpa
konfirmasi bakteriologis. Menurut Infectious Desease Society of America, durasi
penggunaan antibiotik pengobatan pneumonia terapi minimal 5 hari , dapat
diperpanjang 48-72 jam dan dikaitkan dengan durasi penggunaan ofloksasin untuk
pasien pneumonia menurut Drug Information Handbook adalah dengan dosis 400
mg setiap 12 jam selama 10 hari sehingga disimpulkan bahwa penggunaan
antibiotik ofloksasin lebih dari 10 hari merupakan kategori lama pengobatan
terlalu panjang (Kemenkes, 2011; Kemenkes, 2014; IDSA 2007; Drug
Information Handbook, 2011).
4.2 Analisis Bivariat
Analisa bivariat yang dilakukan untuk mengetahui pengaruh usia geriatri,
lama rawat inap, penyakit penyerta jumlah obat dan jumlah antibiotik terhadap
kejadian DRPs pada pasien tuberkulosis, pneumonia dan HIV di ruang isolasi
RSUD Cengkareng dengan hasil sebagai berikut:
101
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tabel 4.24 Hasil Analisis Bivariat
Faktor DRPs
Tidak terjadi
DRPs
Terjadi DRPs Nilai-p
Geriatri
Non Geriatri 80 10 0,330b
Geriatri 10 0
Lama rawat inap
1-7 38 2 0,154b
>7 52 8
Komorbiditas (penyakit penyerta)
Tanpa Komorbiditas 34 1 0,075b
Dengan Komorbiditas 56 9
Jumlah obat
1-10 76 4 0,004b
11-20 14 6
Jumlah antibiotik
1-2 68 7 0,478b
≥3 22 3
Penggunakan 4 FDC
Tidak menggunakan 4FDC 10 4 0,032b
Menggunakan 4 FDC 80 6 aChi square
bFisher’s Exact
Hasil analisa bivariat menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna
antara kondisi lanjut usia dengan terjadinya DRPs (P = 0,330) , tidak ada
hubungan yang bermakna antara lama rawat inap dengan terjadinya DRPs (P =
0,154), tidak ada hubungan yang bermakna antara penyakit penyerta dengan
terjadinya DRPs (P = 0,075), ada hubungan yang bermakna antara jumlah obat
dengan terjadinya DRPs (P = 0,004) dan tidak ada hubungan yang bermakna
antara jumlah antibiotik dengan terjadinya DRPs P = 0,478). Hasil analisa
kuantitatif dengan metode ATC/DDD menunjukkan 4 FDC mempunyai nilai
DDD tertinggi, sehingga pada penelitian ini diujikan hubungan pemakaian 4 FDC
dengan terjadinya DRPs. Hasil analisa menunjukkan ada hubungan yang
bermakna antara penggunaan 4 FDC dengan terjadinya DRPs (P = 0,032). Hal ini
tidak selaras dengan hasil penelitian (Huri et al., 2014) yang menyatakan ada
hubungan yang bermakna antara kondisi lanjut usia dengan terjadinya DRPs (P =
0,005), ada hubungan yang bermakna antara lama rawat inap dengan terjadinya
DRPs (P = 0,001), ada hubungan yang bermakna antara jumlah penggunaan obat
102
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dengan terjadinya DRPs (P = < 0,001) dan ada hubungan yang bermakna antara
penyakit penyerta dengan terjadinya DRPs (P = < 0,001).
4.3 Keterbatasan Penelitian
4.3.1 Kendala
a. Pengambilan data dan jumlah pasien
Pada proses pengambilan data, banyaknya pasien yang dirawat di ruang
isolasi saatu tahun 2016 dan pengelompokan penyimpanan data rekam
medis di RSUD Cengkareng tidak berdasarkan ruangan, membuat proses
filter data yang cukup sulit. Dari data rekam medis beberapa diantaranya
tidak memiliki data rekam medis yang tidak lengkap.
b. Diagnosa data
Hasil laboratorium untuk pemeriksaan kadar leukosit, serum kreatinin, uji
BTA, radiologi dan pemeriksaan SGOT SGPT, tidak dilakukan secara
rutin dan tidak semua pasien melakukan pengujian.
4.3.2 Kelemahan
a. Penelitian deskriptif retrospektif, pada penelitian deskriptif hanya dapat
dilakukan demografi berupa hasil analisa ketepatan untuk mengetahui
DRP pada terapi yang digunakan oleh pasien. Selain itu metode
retrospektif, dimana waktu sudah terjadi sehingga tidak dapat dilakukan
pertanyaan secara langsung pada pasien terlebih pada penilaian reaksi obat
yang tidak diinginkan.
b. Penelitian ini tidak dapat dikatakan seutuhnya rasional, dikarenakan
penilaian diagnosa pasien tidak secara langsung melainkan menarik
kesimpulan dari diagnosa yang tercatat di rekam medis.
4.3.3 Kekuatan
Pada penelitian ini dilakukan evaluasi antibiotik secara menyeluruh baik
secara kuantitatif dan kualitatif menggunakan DRPs. Penilaian DRPs
menggunakan kategori DRPs terbaru yaitu kategori DRPs dari Pharmaceutical
Care Network Europe (PCNE) V.07 2016. Penelitian mengenai evaluasi antibiotik
di ruang isolasi RSUD Cengkareng sebelumnya belum pernah dilakukan.
Diharapkan penelitian ini dapat menjadi referensi dan gambaran kuantitas
penggunaan antibiotik serta drug related problems pada pasien tuberkulosis,
pneumonia dan HIV rawat inap ruang isolasi RSUD Cengkareng.
103 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB V
KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan
1. Pada analisa kuantitatif jumlah keseluruhan DDD/100 patient-days adalah
146,3 dengan yang tertinggi adalah pada 4 FDC yaitu mencapai
45,819/100 patient-days. Antibiotik yang masuk ke dalam segmen DU 90
% adalah 4 FDC, Ofloksasin, Sefoperazon, Sefriakson, Levofloksasin,
Isoniazid, Etambutol, Rifampisin, Imipenem dan Sefoperazon-sulbaktam.
2. Pada analisa DRPs menggunakan kategori PCNE V.07 2016, terjadi 4
permasalahan efektivitas terapi dan 4 permasalahan reaksi obat yang tidak
diinginkan.
3. Terdapat hubungan bermakna antara jumlah obat yang digunakan dan
penggunaan 4 FDC terhadap terjadinya DRPs.
5.2 Saran
1. Perlu adanya standarisasi kelengkapan pengisian rekam medis pasien,
terkait usia, berat badan, obat yang digunakan, dosis obat yang diberikan,
rute pemberian obat, aturan pakai obat, tanggal pemberian obat serta perlu
adanya pemeliharaan rekam medis agar tidak ada bagian atau lembar yang
hilang.
2. Perlu adanya peta resistensi kuman, pemantauan hasil laboratorium pasien
berupa kadar leukosit, serum kreatinin, SGOT, SGPT, kadar gula darah
yang dilakukan secara berkelanjutan selama perawatan, serta perlu
dilakukan pengujian kultur mikrobilogi penyebab penyakit dan sensitivitas
antibiotik sehingga penggunaan antibiotik lebih optimal dan dapat
mencegah penggunaan antibiotik yang tidak rasional.
104 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR PUSTAKA
Alfian, S. D., Tarigan, E. S., Puspitasari, I. M., & Abdulah, R. (2012). Profil
Penggunaan Antituberkulosis di Apotek di Kota Bandung Periode 2008 –
2010, 1, 147–153.
Alisjahbana, B., Sahiratmadja, E., Nelwan, E. J., Purwa, A. M., Ahmad, Y.,
Ottenhoff, T. H. M., Crevel, R. Van. (2007). The Effect of Type 2 Diabetes
Mellitus on the Presentation and Treatment Response of Pulmonary
Tuberculosis, 45. https://doi.org/10.1086/519841
Andi, A. V., Amalia, L. I. A., & Wisaksana, R. (2015). Studi Interaksi Obat dan
Reaksi Obat Merugikan pada Pasien HIV / AIDS dengan Koinfeksi
Tuberkulosis di RSUP Dr . Hasan Sadikin Bandung, 13(April).
Arbex, et all. (2010). Antituberculosis drugs: Drug interactions, adverse effects,
and use in special situations, Part 1: Firat-line drugs. 36(April), 626-640.
Ayu, E. I., & Irwanti, W. (2015). Kompres Air Hangat pada Daerah Aksila dan
Dahi Terhadap Penurunan Suhu Tubuh pada Pasien Demam di PKU
Muhammadiyah Kutoarjo, 3(1), 10–14.
Bachhav, S. S., & Kshirsagar, N. A. (2015). Systematic review of drug utilization
studies & the use of the drug classification system in the WHO-SEARO
Region, (August), 120–129. https://doi.org/10.4103/0971-5916.164223
Bergman. (1998). Drug utilization 90% - a simple method assessing the quality of
drug prescribing.
Blix, H. S., Viktil, K. K., Moger, T. A., & Reikvam, A. (2008). Risk of drug-
related problems for various antibiotics in hospital : assessment by use of a
novel method y, (April), 834–841. https://doi.org/10.1002/pds
Brahma Marak and Wahlang. (2012). Rational Use of Drug and Irrational Drug
Combination. The Internet Journal of Pharmacology, 10.
Brunton et all. (2006). Goodman & Gilman : Manual Farmakologi dan Terapi.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran.
Care, P., Europe, N., This, F., & Classification, T. P. (2010). Classification for
Drug related problems, 1–9.
Changes, V. (n.d.). PCNE Classification scheme for Drug-Related Problems
Amendments, 5–8.
105
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
City, K., & Hospital, C. (1988). Mechanism of Action of Cephalosporins and
Resistance Caused by Decreased Affinity for Penicillin-Binding Proteins in
Bacteroides fragilis, (30), 1848–1853.
Dhiman, R. K., Saraswat, V. A., Rajekar, H., Reddy, C., & Chawla, Y. K. (2012).
A Guide to the Management of Tuberculosis in Patients with Chronic Liver
Disease. Journal of Clinical and Experimental Hepatology, 2(3), 260–270.
https://doi.org/10.1016/j.jceh.2012.07.007
Ding, S., Lu, Q., Wang, F., Suqing, D., Qing, L., & Feng, W. (2016). Rationale
for Antibiotic Prescriptions in the Hospital : An Evaluation of Its Application
and Administration Rationale for Antibiotic Prescriptions in the Hospital :
An Evaluation of Its Application and Administration, 6176(April).
https://doi.org/10.3109/23256176.2013.797207
DiPiro, J., Talbert, R.L.,Yee,G.,Wells,B.,Posey, L.M. (2014). Pharmacotherapy A
Phatophysiologic Approach, 9th ed. McGraw-Hill Education/Medical USA.
313-319.
Ernie dan Ida. (2007). Pemberian obat secara polifarmasi pada anak dan interaksi
obat yang ditimbulkan, 26-29.
Faurholt-jepsen, D., Range, N., Praygod, G., Jeremiah, K., Faurholt-, M., Aabye,
M. G., Friis, H. (2011). Diabetes Is a Risk Factor for Pulmonary
Tuberculosis : A Case-Control Study from Mwanza , Tanzania, 6(8), 4–8.
https://doi.org/10.1371/journal.pone.0024215
Ferrara, A. M. (2006). Potentially multidrug-resistant non-fermentative Gram-
negative pathogens causing nosocomial pneumonia, 27, 183–195.
https://doi.org/10.1016/j.ijantimicag.2005.11.005
Gunawan, Sulistia G., Rianto, S., Nafrialdi, E. (2009). Farmakologi dan Terapi.
Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Hardman dan Limbird. (2008). Goodman & Gilman Dasar Farmakologi Terapi
Volume 2 (Edisi 10). Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran.
Human, E., & Virus, I. (2011). Studi Penggunaan Obat Anti Tuberkulosis Pada
Pasien Tb-Hiv / Aids Di Rsup Sanglah Denpasar Tahun 2009, 14(2).
106
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Huri, H. Z., Xin, C. H., & Sulaiman, C. Z. (2014). Drug-Related Problems in
Patients with Benign Prostatic Hyperplasia : A Cross Sectional Retrospective
Study, 9(1), 1–14. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0086215
Izquierdo, C., Oviedo, M., Ruiz, L., Sintes, X., Vera, I., Nebot, M., … Salleras, L.
(2010). Influence of socioeconomic status on community- acquired
pneumonia outcomes in elderly patients requiring hospitalization : a
multicenter observational study, 1–9.
Jenderal, D., Upaya, B., Bina, D., Penunjang, P., Dan, M., & Kesehatan, S. (n.d.).
Pedoman teknis prasarana sistem tata udara pada bangunan rumah sakt.
Kalil, A. C., Metersky, M. L., Klompas, M., Muscedere, J., Sweeney, D. A.,
Palmer, L. B., Grady, N. P. O. (2016). Management of Adults With Hospital-
acquired and Ventilator-associated Pneumonia : 2016 Clinical Practice
Guidelines by the Infectious Diseases Society of America and the American
Thoracic Society, 1–51. https://doi.org/10.1093/cid/ciw353
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. (2011a). Pedoman nasional
tatalaksana klinik infeksi HIV dan terapi antiretroviral pada orang dewasa.
Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. (2011b).
PERATURANMENTERIKESEHATANREPUBLIKINDONESIANOMOR2406
/MENKES/PER/XII/2011. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. (2014). Pedoman Pengendalian
Tuberkulosis Nasional. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
Kumar, A. dan F. (2010). Robbin & Cotran : Dasar Patologis Penyakit (V).
Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran.
Lampert, M. L., Vogel, I., & Mil, J. W. F. Van. (2017). Classification of drug-
related problems with new prescriptions using a modified PCNE
classification system, (March 2010). https://doi.org/10.1007/s11096-010-
9377-x
Lee, Giesier, Gellad, F. (2016). Antibiotic therapy for adults hospitalized with
community pneumonia : a systematic review, 6.
Lewandowski, C. M., Co-investigator, N., & Lewandowski, C. M. (2015). World
107
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Health Organization. Guidelines for ATC classification and DDD
assignment 2016. The effects of brief mindfulness intervention on acute pain
experience: An examination of individual difference (Vol. 1).
https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
Lima, G. C., Silva, E. V, Magalhães, P. D. O., & Naves, J. S. (2016). Efficacy and
safety of a four-drug fixed-dose combination regimen versus separate drugs
for treatment of pulmonary tuberculosis : a systematic review and meta-
analysis. Brazilian Journal of Microbiology, 48(2), 198–207.
https://doi.org/10.1016/j.bjm.2016.12.003
Loutfy, M. R., Logie, C. H., Zhang, Y., Blitz, S. L., Margolese, S. L., Tharao, W.
E.,Raboud, J. M. (2012). Gender and Ethnicity Differences in HIV-related
Stigma Experienced by People Living with HIV in Ontario , Canada, 7(12),
38–40. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0048168
Manado, P. R. D. K. (n.d.). Profil Pasien Tuberkulosis Paru Di Poliklinik Paru
Rsup Prof. Dr. R.D. Kandou Manado, 5, 1–9.
Oshi, D. C., Oshi, S. N., Alobu, I., & Ukwaja, K. N. (2014). Profile and Treatment
Outcomes of Tuberculosis in the Elderly in Southeastern Nigeria , 2011 –
2012, 9(11), 2011–2012. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0111910
Pagana. (2007). No Title Mosbys Manual of Diagnostics and Laboratory Tests
Fifth Edition (Fifth). Elsevier.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. (2003). Pneumonia komuniti 1973 - 2003.
Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia
Petros, Z., Lee, M. M., Takahashi, A., Zhang, Y., Yimer, G., Habtewold, A,
Aklillu, E. (2016). Genome-wide association and replication study of anti-
tuberculosis drugs-induced liver toxicity. BMC Genomics, 1–8.
https://doi.org/10.1186/s12864-016-3078-3
Pharmaceutical Society of Singapore Pharmacy Week 2015 Polypharmacy in
Singapore : The Role of Deprescribing. (2015), 1–6.
Priyandani, Y., Fitantri, A. A., Agung, F., Abdani, N., Ramadhani, N., Nita, Y.,
Airlangga, U. (2014). Profil Problem Terapi Obat Pada Pasien
Tuberkulosis, 1(2), 30–35.
Redgrave, L. S., Sutton, S. B., Webber, M. A., & Piddock, L. J. V. (2014).
108
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Fluoroquinolone resistance : mechanisms , impact on bacteria , and role in
evolutionary success. Trends in Microbiology, 22(8), 438–445.
https://doi.org/10.1016/j.tim.2014.04.007
Restinia, M., Lucida, H., & Gillani, S. W. (2012). International J Ournal Of P
Harmacy & L Ife S Ciences Longitudinal clinical evaluation of antibiotic use
among patients with infecton, 3(9), 1935–1945.
Restrepo, B. I. (2010). Convergence of the tuberculosis and diabetes epidemics:
renewal of old acquaintances. NIH Public Access, 45(4), 436-438.
https://doi.org/10.1086/519939.Convergence
Rosita, N. N. (2013). Kajian Kualitas Penggunaan Antibiotik Meropenem
Sebelum dan Sesudah Pemberian Informasi Obat di Bangsal Rawat Inap
RSUDKabupaten Jombang. Jogjakarta: Universitas Gajah Mada.
Sajith, M., Thomas, A., Kothia, J. J., Chandrakar, B., Bargaje, M. D., & Hospital,
B. (2015). Socio-Demographic characteristics of tuberculosis patients in a
tertiary care hospital, 1(3), 25–28.
Sholih, M. G., Muhtadi, A., & Saidah, S. (2015). Rasionalitas Penggunaan
Antibiotik di Salah Satu Rumah Sakit Umum di Bandung Tahun 2010, 4(1).
https://doi.org/10.15416/ijcp.2015.4.1.64
Sonika & Premashis. (2012). Tuberculosis and Liver Disease: Management
Issues, 33(2), 102-106.
Stockley, I.H. (2008). Drug Interactions, 8th edition, University of Nottigham
Medical School. Pharmaceutical Press: London, 1031-1034
Sukandar, E. Y., & Hartini, S. (2012). Evaluasi Penggunaan Obat Tuberkulosis
pada Pasien Rawat Inap di Ruang Perawatan Kelas III di Salah Satu Rumah
Sakit di Bandung, XXXVII(4), 153–158.
Tailor, A., Faulkner, L., Naisbitt, D. J., & Park, B. K. (2015). The chemical ,
genetic and immunological basis of idiosyncratic drug – induced liver injury.
https://doi.org/10.1177/0960327115606529.
Tatro, D. (2009). Drug Interaction Facts. Facts and Coparison A Wolter Kluwers
Company, St. Louis. 245-248.
Tjay dan Rahardja. (2007). Obat-Obat Penting : Khasiat, Penggunaan, dan Efek-
Efek Sampingnya. Jakarta: Media Komputindo Kelompok Kompas-
109
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Gramedia.
Tripathi, K. D. (2009). Essentials of Medical Pharmacology. India: Kash
production. 231-246.
Utami, E. R. (2002). antibiotika, resistensi, dan rasionalitas terapi, 124–138.
Whittem, T., & Gaon, D. (1998). Principles Of Antimicrobial Therapy. Veterinary
Clinics of North America: Small Animal Practice, 28(2), 197–213.
https://doi.org/10.1016/S0195-5616(98)82001-9
Wiersinga, W. J., Nvmm, P. M. J. B., & Nvalt, W. G. B. (2016). Management of
Community-Acquired Pneumonia in Adults : 2016 Guideline Update From
The Dutch Working Party on Antibiotic Policy ( SWAB ) and Dutch
Association of Chest Physicians ( NVALT ), 1–93.
With, I., & Drugs, T. B. (2005). Drug Interactions With Tuberculosis Therapy,
23(2), 56–60.
Wokas, J. A. J. (2015). Hubungan Antara Status Gizi , Sputum Bta Dengan
Gambaran Rontgen Paru Pada Pasien, 3(April).
Wu, J., Chiu, C., Wei, Y., & Lai, Y. (n.d.). Comparison of the safety and efficacy
of a fixed-dose combination regimen and separate formulations for
pulmonary tuberculosis treatment, 429–434.
https://doi.org/10.6061/clinics/2015(06)08
Wulandari, D. R., & Sugiri, Y. J. (2013). Diabetes Melitus dan Permasalahannya
pada Infeksi Tuberkulosis, 33(2), 126–134.
Yadesa, T. M., Gudina, E. K., & Angamo, M. T. (2015). Antimicrobial Use-
Related Problems and Predictors among Hospitalized Medical In- Patients
in Southwest Ethiopia : Prospective Observational Study, 115, 1–9.
https://doi.org/10.1371/journal.pone.0138385
110 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
LAMPIRAN
Lampiran 1. Surat Permohonan Izin Penelitian ke RSUD Cengkareng
111
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 2. Surat Permohonan Izin Penelitian ke Unit PTSP Jakarta Barat
112
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 3. Surat Persetujuan Pelaksanaan Penelitian dari Unit PTSP
113
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 4. Surat Persetujuan Pelaksanaan Penelitian dari RSUD Cengkareng
114
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 5. Perhitungan DDD/ 100 Patient Days
Antibiotik Bentuk
Sediaa
n
Nilai
Stand
ar
DDD
dari
WHO
(g)
Kekuatan
Sediaan
Regim
en
Jumlah
Pengguna
an (g)
Total
Pengguna
an (g)
4 FDC Oral 0,6 Rifampisin
: 150 mg
Isoniazid:
75 mg
Pirazinami
d: 400 mg
Etambutol:
275 mg
3-0-0 88, 050 254, 55
3 x 1
tab 77, 100
2 x 2
tab 73, 950
1 x 4
tab 15, 450
2 FDC Oral 0,6 Rifampisin
: 150 mg
Isoniazid:
150 mg
3-0-0 10, 350 10, 350
Rifampisin Oral 0,6 450 mg 1 x 1
tab 11, 250 21, 450
300 mg 1 x 1
tab 10, 200
Isoniazid Oral 0,3 300 mg 1 x 1
tab 17, 400 18, 400
200 mg 1 x 1
tab 1, 000
Etambutol Oral 1,2 400 mg 1 x 3
tab 1, 200 62, 550
750 mg 1 x 750
mg 25, 850
1000 mg 1 x
1000
mg
22, 000
500 mg 1 x 1
tab 1, 000
500 mg 1 x 2
tab 3, 000
500 mg 2 x 1
tab 9, 500
Pirazinamid Oral 1,5 500 mg 3 x 1
tab 14, 000 14, 000
Cefoperazo
n
Parenter
al
4 1 g 3 x 1 g 264, 000 523, 000
1 g 2 x 1 g 259, 000
Cefoperazo
n-
Parenter
al
4 Cefoperaz
on: 500
2 x 1 g 57, 500 143, 000
3 x 1 g 70, 500
115
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Sulbaktam mg
Sulbaktam
: 500 mg
2 x 2 g 15, 000
Ceftazidim Parenter
al
4 1 g 3 x 1 g 19, 000 19, 000
Cefixime Oral 0,4 100 mg 2 x 1
tab 6, 700 8, 700
2 x 2
tab 2, 000
Ceftriaxone Parenter
al
2 1 g 2 x 1 g 143, 000 164, 000
1 x 2 g 12, 000
3 x 1 g 9, 000
Clindamisin Oral 1,2 600 mg 4 x 600
mg 15, 000 15, 000
Ciprofloxac
in
Oral 1 500 mg 2 x 500
mg 1, 000 1, 000
Parenter
al
0,5 200 mg 2 x 200
mg 5, 800 5, 800
Ofloksasin Parenter
al
0,4 200 mg 2 x 200
mg 56, 200 103, 000
400 mg 2 x
400mg 46, 800
Levofloksas
in
Parenter
al
0,5 500 mg 1 x 500
mg 14, 500 44, 500
750 mg 1 x 750
mg 30, 000
Metronidaz
ol
Drip 1,5 1 g 3 x 500
mg 26, 500 26, 500
Streptomisi
n
Parenter
al
1 1 g 1 x 1 g 12000 29, 250
750 mg 1 x 750
mg 17250
Kotrimoksa
zol
Oral 2 Trimetopri
m: 80 mg
Sulfameto
k-sazol:
400 mg
2 x 2
tab 8, 320 30,640
3 x 1
tab 4, 400
2 x 1
tab 1, 440
2 x 4
tab 15, 680
Trimetopri
m: 160 mg
Sulfameto
k-sazol:
800 mg
1 x 960
mg 0, 800
Imipenem Drip 2 1 g 3 x 1 g 91, 000
116
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 6. Hasil Perhitungan DDD/ 100 Patient Days
Antibiotik Total
Penggunaan
(g)
Nilai
Standar
dari
WHO
(g)
Total
LOS
semua
pasien
Perhitungan DDD/100
patient-
days
4 FDC
254, 55
0,6
922 254, 55
0,6𝑥
100
922
45,819
2 FDC
10, 350
0,6
10, 350
0,6𝑥
100
922
1,863
Rifampisin
21, 450
0,6
21, 450
0,6𝑥
100
922
3,861
Isoniazid
18, 400
0,3
18,400
0,3𝑥
100
922
6,624
Etambutol
62, 550
1,2
62, 550
1,2𝑥
100
922
5, 629
Pirazinamid
14, 000
1,5
14, 00
1,5𝑥
100
922
1,008
Cefoperazon
523, 000
4
523,00
4𝑥
100
922
14,121
Cefoperazon-
Sulbaktam
143, 000
4
143,00
4𝑥
100
922
3,861
Ceftazidim
19, 000
4
19,000
4𝑥
100
922
0,513
Cefixime
8, 700
0,4
8,700
0,4𝑥
100
922
2,349
117
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Ceftriaxone
164, 000
2
164,00
2𝑥
100
922
8,856
Clindamisin
15, 000
1,2
15,000
1,2𝑥
100
922
1,35
Ciprofloxacin
1, 000
1
1,000
1𝑥
100
922
0,108
5, 800
0,5
5, 800
0,5𝑥
100
922
1,253
Ofloksasin
103, 000
0,4
103,00
0,4𝑥
100
922
27,81
Levofloksasin
44, 500
0,5
44,500
0,5𝑥
100
922
9,612
Metronidazol
26, 500
1,5
26, 500
1,5𝑥
100
922
1,92
Streptomisin
29, 250
1
29,250
1𝑥
100
922
3,159
Kotrimoksazol
30,640
2
30,640
2𝑥
100
922
1,655
Imipenem 91, 000 2 91,000
2𝑥
100
922
4,93
11
8
UIN
Syarif H
iday
atu
llah
Jakarta
Lampiran 7. Rekapitulasi Penilaian DRPs
No DRPs
Masalah Penyebab Efektivitas Terapi ROTD Pemilihan Obat PBS Pemilihan Dosis PLP
P1.1 P1.2 P1.3 P1.4 P2.1 C1.1 C1.2 C1.3 C1.4 C1.5 C1.6 C1.7 C1.8 C2.1 C3.1 C3.2 C3.3 C3.4 C4.1 C4.2
1 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
2 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0
3 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0
4 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
6 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
7 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0
8 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
9 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0
10 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
11 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
12 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1
13 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
14 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
15 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
16 0 0 0 0 1 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
17 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
18 0 1 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0
19 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
20 0 0 0 0 1 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
21 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
22 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
23 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
24 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
11
9
UIN
Syarif H
iday
atu
llah
Jakarta
No DRPs
Masalah Penyebab
Efektivitas Terapi ROTD Pemilihan Obat PBS Pemilihan Dosis PLP
P1.1 P1.2 P1.3 P1.4 P2.1 C1.1 C1.2 C1.3 C1.4 C1.5 C1.6 C1.7 C1.8 C2.1 C3.1 C3.2 C3.3 C3.4 C4.1 C4.2
25 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
26 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
27 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
28 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0
29 0 0 0 0 0 1 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
30 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
31 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
32 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
33 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
34 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0
35 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
36 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
37 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0
38 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
39 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1
40 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
41 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
42 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0
43 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
44 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
45 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
46 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
47 0 0 0 1 0 0 0 0 P 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0
48 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
49 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
50 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
12
0
UIN
Syarif H
iday
atu
llah
Jakarta
No DRPs
Masalah Penyebab
Efektivitas Terapi ROTD Pemilihan Obat PBS Pemilihan Dosis PLP
P1.1 P1.2 P1.3 P1.4 P2.1 C1.1 C1.2 C1.3 C1.4 C1.5 C1.6 C1.7 C1.8 C2.1 C3.1 C3.2 C3.3 C3.4 C4.1 C4.2
51 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
52 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0
53 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
54 0 0 0 0 1 0 0 0 P 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0
55 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0
56 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
57 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
58 0 0 1 0 0 1 0 1 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
59 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
60 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0
61 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
62 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
63 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0
64 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
65 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
66 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0
67 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
68 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
69 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
70 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
71 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0
72 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
73 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0
74 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
75 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
76 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0
12
1
UIN
Syarif H
iday
atu
llah
Jakarta
No DRPs
Masalah Penyebab
Efektivitas Terapi ROTD Pemilihan Obat PBS Pemilihan Dosis PLP
P1.1 P1.2 P1.3 P1.4 P2.1 C1.1 C1.2 C1.3 C1.4 C1.5 C1.6 C1.7 C1.8 C2.1 C3.1 C3.2 C3.3 C3.4 C4.1 C4.2
77 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 1 0 0 1 0 0
78 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
79 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
80 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
81 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
82 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
83 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
84 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
85 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
86 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
87 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
88 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
89 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
90 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0
91 0 0 0 0 0 1 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
92 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
93 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
94 0 1 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 1 0 0 0 0 1 0 0
95 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0
96 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0
97 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
98 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
99 0 0 0 0 0 1 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
100 0 0 0 0 0 1 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
12
2
UIN
Syarif H
iday
atu
llah
Jakarta
1 = Terjadi DRPs
0 = Tidak Terjadi DRPs
ROTD = Reaksi Obat yang Tidak Diinginkan
PBS = Pemilihan Bentuk Sediaan
PLP = Penentuan Lama Pengobatan
P1.1 = Obat tidak efektif atau pengobatan gagal
P1.2 = Efek obat tidak optimal
P1.3 = Obat tidak diperlukan
P1.4 = Indikasi tidak terobati
P2.1 = Pasien menderita ROTD
C1.1 = Obat tidak tepat berdasarkan guidelines atau formularium
C1.2 = Obat tidak tepat (merupakan penggunaan obat yang
kontraindikasi)
C1.3 = Tidak ada indikasi untuk penggunaan obat
C1.4 = Kombinasi obat-obat tidak tepat
C1.5 = Duplikasi kelompok terapi atau bahan aktif yang tidak tepat
C1.6 = Ada indikasi tetapi obat tidak diresepkan
C1.7 = Banyak obat ( kelompok terapi atau bahan aktif yang berbeda)
diresepkan untuk indikasi yang sama
C1.8 = Kebutuhan obat yang bersifat sinergis/preventif tidak diresepkan
C2.1 = Bentuk sediaan obat tidak tepat
C3.1 = Dosis obat terlalu rendah
C3.2 = Dosis obat terlalu tinggi
C3.3 = Pengaturan dosis kurang sering
C3.4 = Pengaturan dosis terlalu sering
C4.1 = Lama pengobatan terlalu pendek
C4.2 = Lama pengobatan terlalu panjang
C6.1 = Waktu penggunaan obat atau interval pemberian dosis tidak
tepat
C6.2 = Pemberian obat lebih jarang dari aturan penggunaan
C6.3 = Pemberian obat melebihi aturan pakai
C6.4 = Obat tidak diberikan
123
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 8. Data Leukosit Pasien Sebelum dan Sesudah Pemakaian Antibiotik
No No
Pasien
Antibiotik Leukosit
Sebelum
Leukosit
Sesudah
1 3 4 FDC 2-0-2 + Ofloksasin 2 x 200 mg
Cefoperazon 2 x 1 g
65,4 27,7
2 4 4 FDC 3 x 1 tab + Cefoperazon-Sulbaktam
2 x 1 g
15,3 14,2
3 5 4 FDC 1 x 3 tab + Ceftriakson 2 x 1 g 13,4 9,6
4 6 Rifampisin 450 mg + INH 300 mg +
Etambutol 700 mg + Ofloksasin 2 x 200 mg
7,9 5
5 7 4 FDC 3 x 1 tab + Ceftriakson 2 x 1 g
Ofloksasin 2 x 200 mg
15,1 7,7
6 11 4 FDC 3-0-0 + Ofloksasin 2 x 400 mg 19,7 9,9
7 12 2 FDC 3-0-0 + Etambutol 1 x 1000 mg +
Ofloksasin 2 x 200 mg
9,9 7,9
8 13 4 FDC 2 x 2 tab + Cefoperazon 2 x 1 g 13,6 9,5
9 14 4 FDC 3-0-0 + Ofloksasin 2 x 200 mg 14,3 8,8
10 15 Cefoperazon 3x1 g + Metronidazol 3 x 500
mg
21,8 10,9
11 18 4 FDC 2 x 2 tab Rifampisin 300 mg +
INH 300 mg + Etambutol 750 mg +
Levofloksasin 1 x 750 mg
10,9 11,9
12 22 4 FDC 2 x 2 tab + Cefoperazon 2 x 1 g 12,4 10,4
13 23 4 FDC 1 x 3 tab + Cefoperazon 2 x 1 g 14,7 12,8
14 28 4 FDC 1 x 3 tab + Cefoperazone 2 x 1 g 28,7 22,6
15 29 4 FDC 2-0-2 + Imipenem 3 x 1 g +
Streptomisin 1 x 1 g
13,6 10,7
16 30 4 FDC 3-0-0 + Ofloksasin 2 x 200 mg 12,2 6,3
17 31 4 FDC 2 x 2 tab + Cefoperazon 3 x 1 g 27,7 18,1
18 33 4 FDC 3-0-0 + Siprofloksasin 2 x 200 mg 15 3,5
19 37 4 FDC 2 x 2 tab + Imipenem 3 x 1 g 12 12
20 38 4 FDC 2 x 2 tab 18,3 14,9
21 41 4 FDC 3-0-0 + Cefoperazon 2 x 1 g (Ada
pergantian Levofloksasin sblm ganti L:
22,3) + Streptomisin 1 x 750 mg
10,2 22,3
22 46 4 FDC 2 x 2 tab + Cefoperazon 3 x 1 g 11,3 6
23 47 4 FDC 3,3 3,6
24 49 4 FDC 3-0-0 + Cefoperazon + sulbaktam 2
x 1 g
18,4 9,3
25 54 Rifampisin 1 x 450 mg + Isoniazid 300 mg
+ Etambutol 500 mg (1 x 2 tab) +
37,5 17,7
124
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Cefoperazon 3 x 1 g + Ofloksasin 2 x 400
mg
26 57 4 FDC 3 x 1 tab + Ofloksasin 2 x 200 mg 12,8 8,9
27 61 4 FDC 3-0-0 + Kotrimoksazol 1 x 900 mg +
Cefoperazon 2 x 1 g
6 4,9
28 63 Rifampisin 1 x 300 mg + Isoniazid 1 x 300
mg + Etambutol 1 x 750 mg +
Levofloksasin 1 x 750 mg
10,9 11,9
29 65 Rifampisin 1 x 450 mg + Isoniazid 1 x 300
mg + Cefoperazon 2 x 1 g
16,6 12
30 68 Rifampisin 1 x 300 mg + Isoniazid 1 x 300
mg +Etambutol 2 x 500 mg + Pirazinamid
3x1 tab (500 mg) Ceftriakson 2 x 1 g
diganti Levofloksasin 1 x 500 mg
8,1 6,3
31 71 4 FDC 3-0-0 tab + Cefoperazon-sulbaktam 2
x 1 g
+ Clindamisin 4 x 600 mg + Streptomisin 1
x 1 g
3,8 3,1
32 72 Levofloksasin 1 x 750 mg 20,2 24,8
33 73 4 FDC 3 x 1 tab + Ofloksasin 2 x 200 mg 14,7 7,5
34 75 4 FDC 2 x 2 tab + Ofloksasin 2 x 400 mg 19,9 16,8
35 77 4 FDC 3-0-0 + Metronidazol 3 x 500 mg +
Cefoperazon-Sulbaktam 3 x 1 g
13,8 8,7
36 80 4 FDC 3 x 1 tab + Ofloksasin 2 x 200 mg 6,2 7,2
37 81 4 FDC 3-0-0+ Streptomisin 1 x 750 g +
Cefoperazon 2 x 1 g
17,4 11,6
38 83 4 FDC 2 x 2 tab+ Ofloksasin 2 x 200 mg 23,2 13
39 84 4 FDC 3 x 1 + Ofloksasin 2 x 200 mg 6,9 7,4
40 84 4 FDC 3 x 1 tab + Ofloksasin 2 x 200 mg 6,9 7,9
41 86 4 FDC 3-0-0 + Cefoperazon-Sulbaktaam 2 x
1 g
6,1 7,3
42 88 Kotrimoksazol 3 x 1 tab + 4 FDC 2 x 2 tab
+ Metronidazol 3 x 500 mg +Cefope-
Sulbaktam 3 x 1 g
13,9 16,5
43 89 Kotrimoksazol 2 x 1 tab + 4 FDC 2 x 2 tab
+ Cefoperazon 2 x 1 g
16,9 5,2
44 90 4 FDC 3 x 1 tab + Clindamisin 4 x 600 mg
+ Ceftriakson 2 x 1 g
8,6 5,2
45 91 Kotrimoksazol 2 x 4 tab + 4 FDC 1 x 4 tab
+ Cefoperazon 2 x1 g
8,7 6,4
46 92 Ceftriakson 2 x 1 g 11,1 4,2
47 93 4 FDC 3 x 1 tab + Siprofloksasin 2 x 200
mg
11,7 10,4
48 94 4 FDC 3 x 1 tab + Cefoperazon – Sulbaktam 18,5 9,3
125
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3 x 1 g
49 95 4 FDC 3 x 1 tab + Ceftriakson 2 x 1 g 11,7 4,6
50 96 4 FDC 3 x 1 tab + Cefoperazon – Sulbaktam
3 x 1 g
21 5,8
51 97 Metronidazol 2 x 500 mg 10,2 8,1
52 98 Ceftriakson 2 x 1 g 10,2 8,6
53 99 4 FDC 3 x 1 tab + Kotrimoksazol 2 x 2 tab
+ Imipenem 3 x 1 g
11,2 10,7
54 100 Ofloksasin 2 x 400 mg 12,3 8,4
Lampiran 9. Data Interaksi Obat
Tingkat
interaksi
Obat n
Mayor Isoniazid -
Rifampisin
8
Levofloksasin -
Metilprednisolon
2
Ofloksasin -
Deksametason
6
Levofloksasin -
Deksametason
2
Ofloksasin -
Metilprednisolon
4
Rifampisin -
Amlodipin
2
Rifampisin -
Itrakonazol
1
Rifampisin -
Nifedipin
2
Rifampisin-
Nevirapin
1
Rifampisin -
Pirazinamid
2
Siprofloksasin -
Efavirenz
2
Rifampisin -
Simvastatin
1
Ofloksasin -
Haloperidol
1
Ofloksasin - 3
Efavirenz
Total 37
Moderat Etambutol -
Colchicin
2
Tingkat
interaksi
Obat n
Moderat Etambutol -
Efavirenz
10
Etambutol -
Metronidazol
2
Etambutol -
Simvastatin
1
Isoniazid -
Alprazolam
1
Isoniazid -
Colchicin
2
Isoniazid -
Diazepam
1
Isoniazid -
Dutasteride
2
Isoniazid -Efavirenz 10
Isoniazid -
Estazolam
1
Isoniazid -
Etambutol
7
Isoniazid -
Glibenclamid
1
Isoniazid-Gliquidon 1
Isoniazid - Fenitoin 2
Isoniazid-Insulin
aspart
3
126
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Isoniazid - Insulin
detemir
5
Isoniazid - Insulin
glargin
2
Isoniazid - Insulin
glulisine
6
Tingkat
interaksi
Obat n
Moderat Isoniazid - Insulin
metformin
2
Isoniazid -
Itrakonazol
1
Isoniazid - PCT 26
Isoniazid -
Pioglitazon
1
Isoniazid -
Metronidazol
2
Isoniazid -
Simvastatin
1
Levofloksasin -
Asam mefenamat
1
Levofloksasin -
Insulin detemir
1
Levofloksasin -
Insulin glargin
1
Levofloksasin -
Insulin glulisin
1
Levofloksasin -
Ketorolak
1
Levofloksasin -
Klorpromazin
1
Levofloksasin -
Meloksikam
1
Levofloksasin -
Ondansentron
4
Levofloksasin -
Pioglitazon
1
Levofloksasin -
Salbutamol
3
Ofloksasin - Aspirin 1
Ofloksasin - Insulin
glulisin
1
Ofloksasin - Insulin
detemir
1
Ofloksasin - Insulin
aspart
1
Ofloksasin - Insulin
glargin
1
Ofloksasin -
Ketorolak
3
Tingkat
interaksi
Obat n
Moderat Ofloksasin -
Metformin
1
Ofloksasin -
Ondansentron
12
Ofloksasin -
Salbutamol
6
Ofloksasin -
Sucralfat
3
Ofloksasin -
Terbutalin
1
Pirazinamid -
Efavirenz
10
Rifampisin - Bicnat 1
Rifampisin-
Clozapin
1
Rifampisin-CaCO3 1
Rifampisin -
Deksametason
11
Rifampisin -
Efavirenz
10
Rifampisin -
Flukonazol
8
Rifampisin -
Fenitoin
2
Rifampisin -
Kotrimoksazol
7
Rifampisin -
Lansoprazol
1
Rifampisin -
Metilprednisolon
7
Rifampisin -
Metronidazol
2
Rifampisin -
Nifedipin
1
Rifampisin -
Omeprazol
22
127
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Rifampisin -
Ondansentron
38
Rifampisin -
Pantoprazol
4
Rifampisin -
Pioglitazon
1
Tingkat
interaksi
Obat n
Moderat Rifampisin -
Zidovudin
5
Sefixim -
Streptomisin
2
Sefoperazon -
Furosemid
1
Sefoperazon -
Streptomisin
6
Sefoperazon-
Sulbaktam -
Furosemid
1
Seftriakson -
Furosemid
1
Siprofloksasin -
Ondansentron
2
Siprofloksasin -
Sucralfat
1
Streptomisin -
Ceftriakson
1
Streptomisin –
Omeprazol
1
Tingkat
interaksi
Obat n
Moderat Sulfametoksazol -
Efavirenz
5
Total 291
Minor Isoniazid -
Deksametason
9
Isoniazid -
Metilprednisolon
5
Isoniazid - Sucralfat 7
Isoniazid -
Attapulgit
2
Pirazinamid -
Allopurinol
2
Rifampisin -
Parasetamol
28
Metronidazol -
Ondansentron
1
Ceftriakson -
Fenitoin
1
Levofloksasin -
Metronidazol
1
Total 56
128
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 10. Data Perhitungan Kreatinin
Nomor
Pasien
Jenis
Kelamin
Umur
(Tahun)
Berat
Badan (Kg)
Kreatinin Clearens
Kreatinin
13 Pria 58 80 2,5 36,4
28 Wanita 59 50 3,3 14,1
33 Pria 43 49 1,9 34,74
35 Pria 29 55 2,2 38,54
47 Wanita 27 48 1,9 33,70
49 Pria 59 50 8,5 6,6
50 Pria 70 55 1,7 34,25
57 Pria 66 55 1,5 37,68
65 Pria 63 45 1,5 32,08
72 Pria 51 50 2,8 22,07
75 Wanita 53 55 1,4 40,34
77 Pria 78 60 1,8 28,70
81 Pria 70 50 1,2 40,50
82 Pria 48 60 1,7 45,09
94 Wanita 36 35 1,6 26,35
96 Pria 33 57 1,8 47,06
Klirens kreatinin = 𝟏𝟒𝟎−𝐮𝐦𝐮𝐫 𝐱 𝐁𝐞𝐫𝐚𝐭 𝐁𝐚𝐝𝐚𝐧
𝟕𝟐 𝐱 𝐬𝐞𝐫𝐮𝐦 𝐤𝐫𝐞𝐚𝐭𝐢𝐧𝐢𝐧
129
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 11. Analisis Bivariat Hubungan DRPs dan Jumlah Antibiotik
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig.
(2-sided)
Exact
Sig. (2-
sided)
Exact Sig.
(1-sided)
Pearson Chi-Square .148a 1 .700
Continuity Correctionb .000 1 1.000
Likelihood Ratio .143 1 .705
Fisher's Exact Test .708 .478
Linear-by-Linear
Association .147 1 .702
N of Valid Casesb 100
a. 1 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count
is 2,50.
b. Computed only for a 2x2 table
Lampiran 12. Analisis Bivariat Hubungan DRPs dan Jumlah Usia
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig.
(2-sided)
Exact
Sig. (2-
sided)
Exact Sig.
(1-sided)
Pearson Chi-Square 1.235a 1 .267
Continuity Correctionb .309 1 .579
Likelihood Ratio 2.227 1 .136
Fisher's Exact Test .592 .330
Linear-by-Linear
Association 1.222 1 .269
N of Valid Casesb 100
a. 1 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count
is 1,00.
b. Computed only for a 2x2 table
130
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 13. Analisis Bivariat Hubungan DRPs dan Lama Rawat Inap
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig.
(2-sided)
Exact
Sig. (2-
sided)
Exact Sig.
(1-sided)
Pearson Chi-Square 1.852a 1 .174
Continuity Correctionb 1.042 1 .307
Likelihood Ratio 2.014 1 .156
Fisher's Exact Test .308 .154
Linear-by-Linear
Association 1.833 1 .176
N of Valid Casesb 100
a. 1 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected
count is 4,00.
b. Computed only for a 2x2 table
Lampiran 14. Analisis Bivariat Hubungan DRPs dan Penyakit Penyerta
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig.
(2-sided)
Exact
Sig. (2-
sided)
Exact Sig.
(1-sided)
Pearson Chi-Square 3.053a 1 .081
Continuity Correctionb 1.954 1 .162
Likelihood Ratio 3.654 1 .056
Fisher's Exact Test .159 .075
Linear-by-Linear
Association 3.022 1 .082
N of Valid Casesb 100
a. 1 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected
count is 3,50.
b. Computed only for a 2x2 table
131
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 15. Analisis Bivariat Hubungan DRPs dan Jumlah Obat
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig.
(2-sided)
Exact
Sig. (2-
sided)
Exact Sig.
(1-sided)
Pearson Chi-Square 11.111a 1 .001
Continuity Correctionb 8.507 1 .004
Likelihood Ratio 8.820 1 .003
Fisher's Exact Test .004 .004
Linear-by-Linear
Association 11.000 1 .001
N of Valid Casesb 100
a. 1 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected
count is 2,00.
b. Computed only for a 2x2 table
Lampiran 16. Analisis Bivariat Hubungan DRPs dengan Penggunaan 4 FDC
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig.
(2-sided)
Exact
Sig. (2-
sided)
Exact Sig.
(1-sided)
Pearson Chi-Square 6.238a 1 .013
Continuity Correctionb 4.070 1 .044
Likelihood Ratio 4.743 1 .029
Fisher's Exact Test .032 .032
Linear-by-Linear
Association 6.176 1 .013
N of Valid Casesb 100
a. 1 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected
count is 1,40.
b. Computed only for a 2x2 table
132
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta