uin syarif hidayatullah jakarta analisa...

146
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA KUANTITATIF DENGAN METODE ATC/DDD DAN PENILAIAN DRUG RELATED PROBLEM’S PENGGUNAAN ANTIBIOTIK DI RUANG ISOLASI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CENGKARENG PERIODE JANUARI-DESEMBER 2016 SKRIPSI NUR RIZQIATUL AULIA 1113102000016 FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI FARMASI JAKARTA AGUSTUS 2017

Upload: haque

Post on 11-Mar-2019

239 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

ANALISA KUANTITATIF DENGAN METODE

ATC/DDD DAN PENILAIAN DRUG RELATED

PROBLEM’S PENGGUNAAN ANTIBIOTIK DI

RUANG ISOLASI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH

CENGKARENG PERIODE JANUARI-DESEMBER

2016

SKRIPSI

NUR RIZQIATUL AULIA

1113102000016

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

JAKARTA

AGUSTUS 2017

Page 2: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

ii

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

ANALISA KUANTITATIF DENGAN METODE

ATC/DDD DAN PENILAIAN DRUG RELATED

PROBLEM’S PENGGUNAAN ANTIBIOTIK DI

RUANG ISOLASI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH

CENGKARENG PERIODE JANUARI-DESEMBER

2016

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi

NUR RIZQIATUL AULIA

1113102000016

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

JAKARTA

AGUSTUS 2017

Page 3: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

iii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah karya saya sendiri,

dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk

telah saya nyatakan dengan benar

Nama : Nur Rizqiatul Aulia

NIM : 1113102000016

Tanda Tangan :

Tanggal :

Page 4: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

iv

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING

Nama : Nur Rizqiatul Aulia

NIM : 1113102000016

Program Studi : Farmasi

Judul Skripsi : ANALISA KUANTITATIF DENGAN METODE ATC/DDD

DAN PENILAIAN DRUG RELATED PROBLEM’S

PENGGUNAAN ANTIBIOTIK DI RUANG ISOLASI RUMAH

SAKIT UMUM DAERAH CENGKARENG PERIODE

JANUARI-DESEMBER 2016

Disetujui Oleh :

Pembimbing I

Dr. Azrifitria, M. Si., Apt.

NIP. 197211292005012004

Pembimbing II

Harfia Mudahar, M.Si, Apt

NIP. 197001162003122001

Mengetahui,

Ketua Program Studi Farmasi

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Dr. Nurmeilis, M.Si., Apt.

NIP. 197404302005012003

Page 5: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

v

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi ini diajukan oleh:

Nama : Nur Rizqiatul Aulia

NIM : 1113102000016

Program Studi : Farmasi

Judul Skripsi : ANALISA KUANTITATIF DENGAN METODE

ATC/DDD DAN PENILAIAN DRUG RELATED

PROBLEM’S PENGGUNAAN ANTIBIOTIK DI RUANG

ISOLASI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH

CENGKARENG PERIODE JANUARI-DESEMBER 2016

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan Diterima

sebagai Persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana

Farmasi pada Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu

Kesehatan, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

DEWAN PENGUJI

Pembimbing I : Dr. Azrifitria, M. Si., Apt. ( )

Pembimbing II : Harfia Mudahar, M.Si, Apt ( )

Penguji I : Dr. Delina Hasan M.Kes.,Apt ( )

Penguji II : Dr. M. Yanis Musdja., M.Sc ( )

Ditetapkan di : Jakarta

Tanggal : 09 Agustus 2017

Page 6: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

vi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

ABSTRAK

Nama : Nur Rizqiatul Aulia

Program Studi : Farmasi

Judul Skripsi : Analisa Kuantitatif dengan Metode ATC/DDD dan

Penilaian Drug Related Problem’s Penggunaan Antibiotik

di Ruang Isolasi Rumah Sakit Umum Daerah Cengkareng

Periode Januari-Desember 2016

Infeksi merupakan salah satu penyebab mortalitas dan morbiditas di seluruh

fasilitas kesehatan. Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah

infeksi oleh bakteri yang pengobatannya menggunakan antibiotik. Penyakit

infeksi terbesar di Indonesia adalah tuberkulosis, pneumonia dan HIV.

Penggunaan antibiotik yang berlebihan akan menyebabkan resistensi. Penelitian

ini merupakan penelitian deskriptif menggunakan desain cross sectional, dengan

pengambilan data secara retrospektif, bertujuan mengetahui kuantitas dan kualitas

penggunaan antibiotik pasien tuberkulosis, pneumonia dan HIV di ruang isolasi

RSUD Cengkareng tahun 2016. Metode yang digunakan untuk penilaian

kuantitatif adalah metode ATC/DDD dan untuk kualitatifnya adalah penilaian

Drug Related Problems (DRPs) klasifikasi Pharmaceutical Care Network Europe

(PCNE) V.07 dengan kategori yang diambil adalah kategori permasalahan dan

penyebab. Penelitian ini juga menilai hubungan usia, lama rawat inap, jumlah

obat, jumlah antibiotik dan penyakit penyerta terhadap kejadian DRPs. Penelitian

ini menunjukkan bahwa dari 100 rekam medis yang pasien didapatkan kuantitas

penggunaan antibiotik yang terbesar adalah obat antituberkulosis 4 FDC (Fix

Dose Combination) dengan 45,819 DDD/Patient days. Penilaian kualitas dengan

DRPs didapatkan 4 permasalahan efektivitas terapi dan 4 permasalahan reaksi

obat yang tidak dihendaki. Pada kategori penyebab didapatkan 36 penyebab

dengan 19 penyebab berhubungan dengan pemilihan obat, 0 penyebab

berhubungan dengan pemilihan bentuk sediaan, 15 penyebab berhubungan dengan

pemilihan dosis, 2 penyebab berhubungan dengan penentuan lama pengobatan, 30

penyebab merupakan penyebab yang berpotensi menimbulkan permasalahan

efektivitas terapi dan reaksi obat yang tidak diinginkan. Pada penelitian ini juga

didapatkan tidak adanya hubungan usia, lama rawat inap, jumlah antibiotik dan

penyakit penyerta terhadap kejadian DRPs (P > 0,05) tetapi terdapat hubungan

bermakna jumlah obat yang digunakan pasien terhadap kejadian DRPs (P=0,004).

Kata kunci: Analisa antibiotik, tuberkulosis, HIV, pneumonia, ruang isolasi,

ATC/DDD, drug related problems PCNE V.07.

Page 7: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

vii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

ABSTRACT

Name : Nur Rizqiatul Aulia

Program Study : Pharmacy

Title : Quantitive Analysis with ATC/DDD Method and

Assesment of Drug Related Problem’s Antibiotic Use in

Isolation Room of Cengkareng General Hospital from January

to December 2016 Period

Infection is one of the causes mortality and morbidity in all health facilities. One

of the most frequent infections is infection by bacteria whose treatment is

antibiotic. The biggest infectious diseases in Indonesia are tuberculosis,

pneumonia and HIV. Excessive use of antibiotics will lead to resistance. This

research is a descriptive research using cross sectional design, with retrospective

data retrieval, aiming to know the quantity and quality of antibiotic usage of

tuberculosis, pneumonia and HIV patients in isolation room of Cengkareng

Hospital in 2016. The method used for quantitative assessment is ATC / DDD

method and for Qualitative is the assessment of Drug Related Problems (DRPs)

classification of Pharmaceutical Care Network Europe (PCNE) V.07 with the

categories taken is the category of problems and causes. This study also assessed

the association of age, the length of hospitalization, number of drugs, number of

antibiotics and comorbidities to the incidence of DRPs. This study showed that of

the 100 medical records that patients obtained the largest quantity of antibiotic use

were 4 FDC (Fix Dose Combination) antituberculosis drugs with 45,819 DDD /

Patient days. Assessment of quality with DRPs found 4 problems of therapy

effectiveness and 4 unreasonable drug reaction problems. In the causative

category there were 36 cases with 19 causes related to drug selection, 0 causes

related to the selection of dosage forms, 15 causes related to dose selection, 2

causes related to treatment duration, 30 cases were potentially caused problems of

therapeutic effectiveness and drug reactions Which are not desirable. This study

also found no association of age, the length of hospitalization, a number of

antibiotics and comorbidities to the incidence of DRPs (P> 0.05) but there was a

significant association of the amount of drug used by patients on the incidence of

DRPs (P = 0.004).

Keywords: Analysis of antibiotics, tuberculosis, HIV, pneumonia, isolation room,

ATC / DDD, drug related problems PCNE V.07

Page 8: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

viii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur tak terhingga saya panjatkan kepada Allah azza wa

jalla yang telah memberikan segala bentuk kasih sayangNya kepada saya.

Sholawat serta salam semoga selalu tercurah kepada junjungan kita Nabi

Muhammad SAW. Berkat rahmat dan pertolongan Allah, penulis dapat

menyelesaikan proposal skripsi yang berjudul “Analisa Kuantitatif dengan

Metode ATC/DDD dan Penilaian Drug Related Problem’s Penggunaan Antibiotik

di Ruang Isolasi Rumah Sakit Umum Daerah Cengkareng Periode Januari-

Desember 2016” bertujuan untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar

Sarjana Farmasi di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak mulai

dari masa perkuliahan hingga penyusunan skripsi, sangatlah sulit untuk

menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terimakasih dan

penghargaan sebesar-besarnya kepada:

1. Ibu Dr. Azrifitria, M.Si., Apt selaku dosen pembimbing I yang dengan

penuh kesabaran telah banyak memberikan bimbingan, ilmu, waktu, dan

tenaga dalam penelitian ini.

2. Ibu Harfia Mudahar, M.Si, Apt selaku dosen pembimbing II yang dengan

penuh kesabaran telah banyak memberikan bimbingan, ilmu, waktu, dan

tenaga selama dilaksanakannya penelitian di RSUD Cengkareng.

3. Prof. Dr. Arief Sumantri S.KM, M.KM selaku Dekan Fakultas Kedokteran

dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Ibu Dr. Nurmeilis, M.Si., Apt. Selaku Ketua Program Studi Farmasi

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta.

5. Ibu Nelly Suryani Ph.D, Msi., Apt selaku dosen Penasehat Akademik (PA)

atas motivasi dan bantuan selama empat tahun penulis menimba ilmu di

Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Page 9: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

ix UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

6. Bapak dan Ibu dosen pengajar Program Studi Farmasi Fakultas

Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta.

7. Ibu Nurma Velayati Arista, S.Farm., Apt, Bapak Sopran Sibarani, S.Farm.,

Apt dan seluruh civitas RSUD Cengkareng yang telah memberikan

kesempatan dan kemudahan untuk melakukan penelitian.

8. Harta saya yang paling berharga, Bapak Edy Muhyidin dan Ibu Sri

Hidayati atas kasih sayang, doa, teladan, dukungan dan bimbingan yang

tak henti mengalir. Terima kasih telah menjadi murobbi ruhy. Insyaallah di

surga tersedia untuk Bapak dan Ibu.

9. Adik dan kakak-kakak saya M. Yakfi Chunaini, A. Johan Masruhin,

Masrichatul Aliyah, Andri Ahwani dan Wawan Hidayat, terima kasih

untuk selalu mendukung saya. Semoga kita selalu berbakti kepada bapak

dan ibu serta selalu dalam naungan kasihNya.

10. Teman-teman seperjuangan Farmasi angkatan 2013, terima kasih atas

persaudaraan dan pertemanan yang berkesan selama 4 tahun ini.

11. Pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah

membantu kelancaran pengerjaan skripsi ini.

Semoga Allah azza wa jalla membalas kebaikan semua pihak yang telah

membantu. Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penulis berharap kritik dan

saran atas kekurangan dan keterbatasan penelitian ini. Semoga hasil penelitian ini

bermanfaat untuk banyak pihak dan perkembangan ilmu pengetahuan.

Ciputat, Agustus 2017

Penulis

Page 10: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

x UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

DAFTAR ISI

Halaman

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ......................................................... ii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ..................................................... iii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ...................................................... iv

HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................................... v

ABSTRAK .................................................................................................................. vi

ABSTRACT ............................................................................................................... vii

KATA PENGANTAR .............................................................................................. viii

DAFTAR ISI ................................................................................................................ x

DAFTAR GAMBAR ................................................................................................. xii

DAFTAR TABEL .................................................................................................... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................ xiv

BAB I ............................................................................................................................ 1 1.1 Latar Belakang ................................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah .............................................................................................. 3

1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................................ 4

2.1 Antibiotika .......................................................................................................... 5

2.1.1 Definisi Antibotik ........................................................................................ 5

2.1.2 Penggolongan Antibiotika ........................................................................... 5

2.1.3 Penggunaan Antibiotik ................................................................................ 7

2.1.4 Resistensi Antibiotik .................................................................................... 9

2.1.5 Evaluasi Antibiotik .................................................................................... 11

2.2 Penyakit Infeksi ............................................................................................... 16

2.2.1 Tuberkulosis............................................................................................... 16

2.2.2 Pneumonia ................................................................................................. 29

2.2.3 HIV AIDS .................................................................................................. 37

BAB III ....................................................................................................................... 50 3.1 Jenis Penelitian ................................................................................................. 50

3.2 Kerangka Konsep ............................................................................................. 50

3.3 Populasi dan Sampel ........................................................................................ 52

3.3.1 Populasi ...................................................................................................... 52

3.3.2 Sampel ....................................................................................................... 52

3.4 Tempat dan Waktu Penelitian .......................................................................... 53

3.5 Definisi Oprasional ........................................................................................... 53

3.6 Prosedur Penelitian ........................................................................................... 58

3.6.1 Persiapan (Permohonan Izin) ..................................................................... 58

3.6.2 Pengumpulan Data Penelitian .................................................................... 58

3.6.3 Pengolahan Data ........................................................................................ 59

3.6.4 Analisis Data .............................................................................................. 59

BAB IV ....................................................................................................................... 62 4.1 Analisa Univariat .............................................................................................. 62

4.1.1 Karakteristik Pasien ................................................................................... 62

4.1.3 Kuantitas Penggunaan Antibiotik pada Pasien Tuberkulosis,Pneumonia

dan HIV di Ruang Isolasi RSUD Cengkareng Tahun 2016 ............................... 73

4.2 Analisis Bivariat ............................................................................................. 100

BAB V ....................................................................................................................... 103

Page 11: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

xi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

5.1 Kesimpulan ..................................................................................................... 103

5.2 Saran ............................................................................................................... 103

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 104

LAMPIRAN ............................................................................................................. 110

Page 12: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

xii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Patogenesis Tuberkulosis .......................................................................... 16

Gambar 2. Kerangka Konsep Penelitian ..................................................................... 50

Page 13: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

xiii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Skema Klasifikasi untuk Drug Related Problems V7.0 ............................. 14

Tabel 2.2 Kisaran dosis OAT lini pertama bagi pasien dewasa ................................. 23

Tabel 2.3 Dosis Paduan OAT KDT (Kombinasi Dosis Tetap) .................................. 24

Tabel 2.4 Panduan OAT Pengobatan Ulang .............................................................. 24

Tabel 2.5 Acuan penilaian tingkat kegagalan fungsi ginjal ....................................... 27

Tabel 2.6 Dosis yang dianjurkan OAT penyakit ginjal kronis................................... 27

Tabel 2.7 Jenis Sindrom Pneumonia dan Penyebabnya ............................................. 29

Tabel 2.8 Terapi Empirik Pneumonia Ventilator Resisten Metisilin ......................... 35

Tabel 2.9 Terapi Empirik Pneumonia Nosokomial (Non-Ventilator) ....................... 35

Tabel 2.10 Pneumonia yang Berhubungan dengan Masyarakat ................................ 36

Tabel 2.11 Stadium Klinis Infeksi HIV ..................................................................... 38

Tabel 2.12 Tingkat Imunodefisiensi Berdasarkan Jumlah Sel CD4 .......................... 39

Tabel 2.13 Pemberian kotrimoksazol sebagai profilaksis primer .............................. 42

Tabel 2.14 Diagnosis Klinis dan Tatalaksana Infeksi Oportunistik ........................... 43

Tabel 2.15 Pengobatan Pneumocytis Pneumonia (PCP)............................................ 47

Tabel 2.16 Pengobatan infeksi Mycobacterium Tuberculosis ................................... 48

Tabel 3.1 Permasalahan drug related problems PCNE 2016..................................... 51

Tabel 3.2 Penyebab drug related problems PCNE 2016 ............................................ 51

Tabel 3.3 Definisi Oprasional .................................................................................... 53

Tabel 4.1 Karakteristik Pasien Ruang Isolasi di RSUD Cengkareng tahun 2016 62

Tabel 4.2 Distribusi Penyakit Penyerta (N=130) ....................................................... 65

Tabel 4.3 Distribusi Penggunaan Antibiotik .............................................................. 68

Tabel 4.4 Jumlah Penggunaan Obat dan Antibiotik .................................................. 70

Tabel 4.5 Hasil Kultur ................................................................................................ 71

Tabel 4.6 Jenis pemberian Antibiotik ........................................................................ 72

Tabel 4.7 Kesesuaian antibiotik dengan formularium ............................................... 73

Tabel 4.8 Jumlah Hari awat Inap ............................................................................... 74

Tabel 4.9 Profil DU (Drug Utilization) 90% ............................................................. 74

Tabel 4.10 Permasalahan Drug Related Problems PCNE V.07 ................................ 79

Tabel 4.11 Penyebab Drug Related Problems PCNE V.07 ....................................... 80

Tabel 4.12 Klasifikasi kategori penyebab .................................................................. 81

Tabel 4.13 Distribusi obat tidak efektif/pengobatan gagal& efek obat tidak optimal 82

Tabel 4.14 Distribusi Obat Tidak Diperlukan ............................................................ 83

Tabel 4.15 Distribusi Indikasi tidak terobati .............................................................. 84

Tabel 4.16 Distribusi Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki ..................................... 86

Tabel 4.17 Distribusi Penyebab yang Berkaitan dengan Pemilihan Obat ................. 88

Tabel 4.18 Interaksi Obat Berdasarkan Tingkat Keparahan dan Mekanisme ............ 90

Tabel 4.19 Jenis Obat yang Mengalami Interaksi Mayor .......................................... 91

Tabel 4.20 Distribusi dosis terlalu rendah (n=10) ...................................................... 96

Tabel 4.21 Distribusi Dosis Terlalu Tinggi (n=2) ...................................................... 96

Tabel 4.22 Pengaturan Dosis Terlalu Sering (n=3) .................................................... 97

Tabel 4.23 Distribusi Lama Pengobatan Terlalu Panjang ....................................... 100

Tabel 4.24 Hasil Analisis Bivariat ........................................................................... 101

Page 14: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

xiv UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Surat Permohonan Izin Penelitian ke RSUD Cengkareng................... 110

Lampiran 2. Surat Permohonan Izin Penelitian ke Unit PTSP Jakarta Barat .......... 111

Lampiran 3. Surat Persetujuan Pelaksanaan Penelitian dari Unit PTSP .................. 112

Lampiran 4. Surat Persetujuan Pelaksanaan Penelitian dari RSUD Cengkareng .... 113

Lampiran 5. Perhitungan DDD/ 100 Patient Days .................................................. 114

Lampiran 6. Hasil Perhitungan DDD/ 100 Patient Days ......................................... 116

Lampiran 7. Rekapitulasi Penilaian DRPs ............................................................... 118

Lampiran 8. Data Leukosit Pasien Sebelum dan Sesudah Pemakaian Antibiotik ... 123

Lampiran 9. Data Interaksi Obat .............................................................................. 125

Lampiran 10. Data Perhitungan Kreatinin ............................................................... 128

Lampiran 11. Analisis Bivariat Hubungan DRPs dan Jumlah Antibiotik ............... 129

Lampiran 12. Analisis Bivariat Hubungan DRPs dan Jumlah Usia ........................ 129

Lampiran 13. Analisis Bivariat Hubungan DRPs dan Lama Rawat Inap ................ 130

Lampiran 14. Analisis Bivariat Hubungan DRPs dan Penyakit Penyerta ............... 130

Lampiran 15. Analisis Bivariat Hubungan DRPs dan Jumlah Obat ........................ 131

Lampiran 16. Analisis Bivariat Hubungan DRPs dengan Penggunaan 4 FDC ...... 131

Page 15: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Infeksi merupakan salah satu penyebab kematian dan kesakitan di rumah

sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya di Indonesia. Salah satu

permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh bakteri. Penyakit

infeksi terbesar di Indonesia adalah tuberkulosis, pneumonia dan HIV. Menurut

WHO 2015, Indonesia merupakan negara dengan penderita tuberkulosis terbanyak

yaitu 10% dari seluruh penderita di dunia dan menyumbangkan 40 % morbiditas

di Asia Tenggara. Pada tahun 2015 ditemukan jumlah kasus tuberkulosis

sebanyak 330.910 kasus, meningkat bila dibandingkan semua kasus tuberkulosis

yang ditemukan pada tahun 2014 yang sebesar 324.539 kasus. Pneumonia

merupakan penyebab dari 15% kematian balita, yaitu diperkirakan sebanyak

922.000 balita Indonesia di tahun 2015. Infeksi HIV sendiri terjadi peningkatan

dari tahun ke tahun. Pemberian antibiotik masih merupakan pilihan utama untuk

mengatasi infeksi saat ini (WHO, Global Tuberculosis Report, 2015 ; WHO,

Research in Tropical Disease, 2016 ; Rosita 2013).

Antibiotik adalah zat-zat kimia yang dihasilkan oleh fungi dan bakteri, yang

memiliki khasiat mematikan atau menghambat pertumbuhan kuman (Tjay dan

Rahardja, 2007). Di negara yang sudah maju 13-37% dari seluruh penderita yang

dirawat di rumah sakit mendapatkan antibiotik baik secara tunggal atau

kombinasi, sedangkan di negara berkembang 30-80% penderita yang dirawat di

rumah sakit mendapatkan antibiotik dan penggunaan antibiotik yang tidak rasional

sangat banyak dijumpai baik di negara maju maupun berkembang. Adapun

manfaat penggunaan antibiotik tidak perlu diragukan lagi, akan tetapi

penggunaannya yang berlebihan akan segera diikuti dengan munculnya kuman

kebal antibiotik, sehingga manfaatnya akan berkurang. Resistensi kuman terhadap

antibiotik, terlebih lagi multi drug resistance merupakan masalah yang sulit

diatasi dalam pengobatan pasien. Hal ini muncul sebagai akibat pemakaian

antibiotik yang kurang tepat dosis, macam dan lama pemberian sehingga kuman

berubah menjadi resisten untuk itu penggunaan antibiotik perlu dievaluasi (Amrin

Page 16: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

2

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Study Grup dalam Ketut, 2014; Brahma Marak and Wahlang 2012 ; Ding et al.

2016).

Evaluasi penggunaan antibiotik dapat melalui evaluasi kuantitatif dan

penilaian drug related problems. Evaluasi kuantitatif penggunaan antibiotik di

rumah sakit menggunakan metode Anatomical Therapeutic Chemical / Defined

Daily Doses (ATC / DDD) dimana dengan metode ini akan diperoleh data

pemakaian antibiotik yang baku dan dapat dibandingkan dengan tempat lain

sesuai standar WHO (Kemenkes, 2011). Pada tahun 2015, publikasi penggunaan

antibiotik dengan ATC/DDD di Asia Tenggara hanya 31 % dengan publikasi di

Indonesia 1,5% (Bachhav & Kshirsagar, 2015). Perkembangan lebih lanjut dari

metode DDD adalah Drug Utilization 90 % (DU 90%). DU 90 % menunjukkan

jumlah obat yang penggunaannya mencapai 90 % dari seluruh obat yang

diresepkan setelah perhitungan DDD, 10 % sisanya merupakan obat-obatan

tertentu yang digunakan untuk kondisi yang terjadi pada pasien dengan riwayat

intoleransi obat atau efek samping (WHO Int WG Drug Statistics Methodology,

2003). Hasil penelitian penggunaan antibiotik pada salah satu rumah sakit umum

di Bandung pada tahun 2010 adalah 95719,01 DDD/1000 patient days. Penelitian

menyimpulkan bahwa pada caturwulan ke-1 hingga caturwulan ke-3 terjadi

peningkatan persentase penggunaan dan jumlah golongan antibiotik yang masuk

ke dalam segmen DU 90% yaitu pada caturwulan ke-1 yang memenuhi segmen

DU 90% adalah penisilin, sefalosporin, kuinolon, dan makrolida sedangkan pada

catur wulan ke-2 dan ke-3 ditambah dengan sulfonamida (Sholih et al., 2015).

Evaluasi penggunaan antibotik juga dapat dilihat dari terjadinya Drug

Related Problems (DRPs) sebagai akibat penggunaan antibiotik yang tidak

rasional. DRPs yang terbaru adalah klasifikasi PCNE (Pharmaceutical Care

Network Europe) versi V7.0 2016 yang membahas DRPs berdasarkan

permasalahan dan penyebab, pada versi ini pembahasan permasalahan terdiri dari

tiga domain utama yaitu efektivitas terapi, reaksi obat yang tidak diinginkan dan

lainnya. Pada pembahasan penyebab terdapat perbedaan dibandingkan versi

sebelumnya dimana dalam pembahasan ini domain utama penyebab terbagi

menjadi tiga faktor yaitu peresepan, peracikan dan penggunaan obat. Di

Indonesia, penelitian mengenai DRPs penggunaan antibiotik menggunakan

Page 17: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

3

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

klasifikasi PCNE versi ini belum banyak dilakukan termasuk pada penyakit

infeksi. Pada hasil penelitian 2015 mengenai DRPs penggunaan antibiotik di suatu

rumah sakit di Etiopia terdapat 75,7 % permasalahan penggunaan antibiotik yang

meliputi 29,6 % membutuhkan penambahan antibiotik, 28,9 % penggunaan

antibiotik yang tidak diperlukan, 28,9 % dosis terlalu rendah, 15,1 % dosis terlalu

tinggi, 9,2 % antibiotik tidak efektif, 17 % tidak patuhnya pasien dan DRPs

potensial 8,6 % ( PCNE, 2016; Lampert et al., 2017; Huri et al., 2014; Yadesa et

al., 2015).

Rumah sakit umum daerah Cengkareng merupakan rumah sakit rujukan

yang ada di daerah Jakarta Barat. Penelitian mengenai evaluasi penggunaan

antibiotik di ruang isolasi RSUD Cengkareng belum dilakukan dan sedang

dibutuhkan. Ruang isolasi ini dikhususkan untuk pasien dengan penyakit infeksi

yang mudah menular dengan penyakit terbanyaknya adalah tuberkulosis,

pneumonia dan HIV. Berdasarkan uraian di atas maka perlu dilakukan penelitian

mengenai evaluasi penggunaan antibiotik hususnya pada pasien penyakit infeksi

tuberkulosis, pneumonia dan HIV di ruang isolasi rumah sakit umum daerah

Cengkareng dengan metode ATC / DDD dan analisis drug related problems

menggunaan tabel skema PCNE versi V7.0 2016 yang merupakan penelitian

deskriptif menggunakan desain cross sectional dan pengambilan data pasien

dilakukan secara retrospektif melalui rekam medis pasien periode Januari-

Desember 2016.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, disusunkan rumusan

masalah penelitian sebagai berikut :

1. Bagaimanakah kuantitas penggunaan antibiotik pada pasien penyakit

infeksi ditinjau dari metode Anatomical Therapeutic Chemical / Defined

Daily Doses (ATC / DDD) di ruang isolasi rumah sakit umum daerah

Cengkareng ?

2. Bagaimanakah rasionalitas penggunaan antibiotik pada pasien penyakit

infeksi ditinjau dari jenis antibiotik (profilaksis dan pengobatan), dosis,

rute pemberian, waktu pemberian, durasi, dan frekuensi pemberian yang

Page 18: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

4

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

mengacu kepada pedoman penggunaan antibiotik nasional dan

internasional di ruang isolasi rumah sakit umum daerah Cengkareng ?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum :

Melakukan evaluasi penggunaan antibiotik di ruang isolasi rumah sakit

umum daerah Cengkareng.

1.3.2 Tujuan Khusus :

1. Menentukan karakteristik pasien di ruang isolasi yang menerima

antibiotik.

2. Memperoleh nilai DDD masing-masing jenis antibiotik yang

digunakan pada pasien di ruang isolasi RSUD Cengkareng.

3. Mengetahui tingkat rasionalitas penggunaan antibiotik ditinjau dari

jenis antibiotik (profilaksis dan pengobatan), dosis, rute pemberian,

waktu pemberian, durasi, dan frekuensi pemberian.

1.4 Manfaat Hasil Penelitian

Hasil penelitian diharapkan bermanfaat untuk:

1.4.1 Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk menambah

ilmu pengetahuan dalam bidang kefarmasian khususnya pada bidang

evaluasi antibiotik di ruang isolasi RSUD Cengkareng.

1.4.2 Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan masukan untuk

RSUD Cengkareng dalam hal evalusi penggunaan antibiotik pada penyakit

infeksi.

Page 19: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

5 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Antibiotika

2.1.1 Definisi Antibotik

Pengertian antibiotik secara sempit adalah senyawa yang dihasilkan oleh

berbagai jenis mikroorganisme (bakteri, fungi, aktinomesetes) yang menekan

pertumbuhan mikroorganisme lainnya. Namun, penggunaannya secara umum

sering kali memperluas istilah antibiotik hingga meliputi senyawa antimikroba

sintetik, seperti sulfonamida dan kuinolon (Hardman dan Limbird, 2008).

Antibiotik adalah zat-zat kimia yang dihasilkan oleh fungi dan bakteri,

yang memiliki khasiat mematikan atau menghambat pertumbuhan kuman,

sedangkan toksisitasnya bagi manusia relatif kecil (Tjay dan Rahardja, 2007).

2.1.2 Penggolongan Antibiotika

2.1.2.1 Antibiotika Berdasarkan Spektrum Aktivitas

Berdasarkan spektrum aktivitasnya, antibiotik dibagi menjadi dua

golongan yaitu (Tripathi, 2009) :

a. Antibiotika aktivitas sempit (narrow spectrum).

Obat-obat ini terutama aktif untuk beberapa bakteri saja, misalnya : Penisilin

G, Streptomisin, Eritromisin.

b. Antibiotika aktivitas luas (broad spectrum).

Obat-obat ini bekerja pada lebih banyak jenis bakteri, misalnya Tetrasiklin

dan Kloramfenikol.

2.1.2.2 Antibiotika Berdasarkan Jenis Aksinya

Berdasarkan jenis aksinya, antibiotik dibagi menjadi dua golongan yaitu:

(Tripathi, 2009)

a. Bakteriostatik

Yang termasuk golongan bakteriostatik adalah Sulfonamida, Tetrasiklin,

Kloramfenikol, Eritromisin, Etambutol, Klindamisin dan Linezolid.

Page 20: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

6

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

b. Bakterisidal

Yang termasuk golongan bakterisidal adalah Penisilin, Aminoglikosida,

Polipeptida, Rifampin, Isoniazid, Pirazinamid, Sefalosporin, Vankomisin, Asam

Nalidiksat, Siprofloksasin, Metronidazol dan Kotrimazol.

Berdasarkan sifat toksisitas selektif, ada mikroba yang bersifat

menghambat pertumbuhan mikroba, dikenal sebagai aktivitas bakteriostatik dan

ada yang bersifat membunuh mikroba dikenal sebagai aktivitas bakterisid. Kadar

minimal yang diperlukan untuk menghambat pertumbuhan mikroba atau

membunuhnya, masing-masing dikenal sebagai kadar hambat minimal (KHM)

dan kadar bunuh minimal (KBM). Antimikroba tertentu aktivitasnya dapat

meningkat dari bakteri statik menjadi bakterisid bila kadar antimikrobanya

ditingkatkan melebihi KHM (Gunawan et al, 2009).

2.1.2.3 Antibiotik Berdasarkan Mekanisme Kerja

Berdasarkan mekanisme kerjanya antibiotik dibagi sebagai berikut:

(Brunton et all, 2006)

a. Senyawa-senyawa yang menghambat sintesis dinding sel bakteri, termasuk

golongan β-laktam dan senyawa lain seperti vankomisin.

1. Antibiotik β-Laktam

Yang termasuk ke dalam golongan β-Laktam adalah penisilin,

sefalosporin, karbapenem dan monobaktam.

2. Vankomisin

Vankomisin adalah suatu glikopeptida trisiklik yang penting karena

efektivitasnya terhadap organisme resisten multi-obat seperti stafilokokus

resisten metisilin.

b. Senyawa-senyawa yang bekerja langsung pada membran sel meningkatkan

permeabilitas dan menyebabkan kebocoran senyawa intraseluler termasuk

polimiksin.

c. Senyawa-senyawa yang mengganggu fungsi subunit ribosom untuk

menghambat sintesis protein secara reversibel contohnya kloramfenikol,

tetrasiklin, eritromisin, dan klindamisin.

d. Senyawa-senyawa yang terikat pada subunit ribosom 30S dan mengubah

sintesis protein contohnya aminoglikosida.

Page 21: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

7

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

e. Senyawa yang mempengaruhi metabolisme asam nukleat bakteri dengan

cara menghambat RNA polimerase contohnya rifampin.

f. Antimetabolit, termasuk trimetoprim dan sulfonamida, yang menghambat

enzim penting dalam metabolisme folat.

2.1.2.4 Antibiotika Berdasarkan Struktur Kimia

Berdasarkan struktur kimianya, antibiotik dibagi sebagai berikut: (Tripathi,

2009)

a. Sulfonamida dan turunannya : Sulfadiazin dan lainnya, Sulfon-Dapson

(DDS), Asam Paraaminosilat (PAS).

b. Diaminopirimidin : Asam Nalidiksat, Norfloksasin, Siprofloksasin,

Gatifloksasin, dll.

c. Antibiotik β-laktam : Penisilin , Sefalosporin, Monobaktam, Karbapenem.

d. Tetrasiklin : Oksitetrasiklin, Doksisiklin, dll.

e. Derivat Nitrobenzen : Kloramfenikol.

f. Aminoglikosida : Gentamisin, Amikasin, Neomisin, dll.

g. Antibiotik Makrolida : Eritromisin, Klaritromisin, Azitromisin, dll.

h. Antibiotik Linkosamid : Linkomisin, Klindamisin.

i. Antibiotik Glikopeptida : Vankomisin.

j. Oxazolidinon : Linesolid.

k. Antibiotik polipeptida : Polimiksin B, Basitrasin.

l. Nitroimidazol : Metronidazol, Tinidazol, dll.

m. Derivat asam nikotinat : Isoniazid, Pirazinamid, Etionamid.

n. Antibiotik polien : Nistatin, Amfoterisin B, Hamisin.

o. Lainnya : Rifampin, Etambutol.

2.1.3 Penggunaan Antibiotik

Berdasarkan tujuan pengguaannya, antibiotik dibedakan menjadi antibiotik

terapi dan antibiotik profilaksis. Antibiotik terapi dibedakan menjadi antibiotik

terapi empiris dan terapi definitif.

Penggunaan antibiotik untuk terapi empiris adalah penggunaan antibiotik

pada kasus infeksi yang belum diketahui jenis bakteri penyebabnya. Tujuan

pemberian antibiotik untuk terapi empiris adalah eradikasi atau penghambatan

Page 22: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

8

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

pertumbuhan bakteri yang diduga menjadi penyebab infeksi, sebelum diperoleh

hasil pemeriksaan mikrobiologi (Permenkes, 2011).

Rute pemberian oral seharusnya menjadi pilihan pertama untuk antibiotik

empiris pada terapi infeksi. Pada infeksi sedang sampai berat dapat

dipertimbangkan menggunakan antibiotik parenteral. Sedangkan Lama pemberian

antibiotik empiris diberikan untuk jangka waktu 48-72 jam. Selanjutnya harus

dilakukan evaluasi berdasarkan data mikrobiologis dan kondisi klinis pasien serta

data penunjang lainnya.

Dasar pemilihan jenis dan dosis antibiotik untuk terapi empiris adalah sebagai

berikut: (Permenkes, 2011).

1. Data epidemiologi dan pola resistensi bakteri yang tersedia

dikomunitas atau dirumah sakit setempat.

2. Kondisi klinis pasien.

3. Ketersediaan antibiotik.

4. Kemampuan antibiotik untuk menembus ke dalam jaringan / organ

yang terinfeksi.

5. Untuk infeksi berat yang diduga disebabkan oleh polimikroba

dapat digunakan antibiotik kombinasi.

Penggunaan antibiotik untuk terapi definitif adalah penggunaan antibiotik

pada kasus infeksi yang sudah diketahui jenis bakteri penyebab dan pola

resistensinya. Tujuan pemberian antibiotik untuk terapi definitif adalah eradikasi

atau penghambatan pertumbuhan bakteri yang menjadi penyebab infeksi,

berdasarkan hasil pemeriksaan mikrobiologi (Permenkes, 2011).

Rute pemberian antibiotik oral seharusnya menjadi pilihan pertama untuk

terapi infeksi. Pada infeksi sedang sampai berat dapat dipertimbangkan

menggunakan antibiotik parenteral. Jika kondisi pasien memungkinkan,

pemberian antibiotik parenteral harus segera diganti dengan antibiotik peroral.

Lama pemberian antibiotik definitif berdasarkan pada efikasi klinis untuk

eradikasi bakteri sesuai diagnosis awal yang telah dikonfirmasi. Selanjutnya harus

dilakukan evaluasi berdasarkan data mikrobiologis dan kondisi klinis pasien serta

data penunjang lainnya.

Page 23: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

9

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Dasar pemilihan jenis dan dosis antibiotik definitif adalah sebagai berikut:

(Permenkes, 2011)

1. Efikasi klinik dan keamanan berdasarkan hasil uji klinik.

2. Sensitivitas.

3. Biaya.

4. Kondisi klinis pasien.

5. Diutamakan antibiotik lini pertama/spektrum sempit.

6. Ketersediaan antibiotik (sesuai formularium rumah sakit).

7. Sesuai dengan Pedoman Diagnosis dan Terapi (PDT) setempat yang

terkini.

8. Paling kecil memunculkan risiko terjadi bakteri resisten.

Antibiotika profilaksis adalah antibiotik yang diberikan pada jaringan atau

cairan tubuh yang belum terinfeksi, namun diduga akan terkena infeksi. Antibiotik

profilaksis diindikasikan ketika besar kemungkinan terjadinya infeksi, atau terjadi

infeksi kecil yang berakibat fatal. Penggunaan antibiotik profilaksis dibedakan

menjadi antibiotik profilaksis bedah dan non bedah (Permenkes, 2011).

2.1.4 Resistensi Antibiotik

Resistensi dibedakan sebagai kejadian tidak terhambatnya pertumbuhan

bakteri dengan pemberian antibiotik secara sistemik dengan dosis normal yang

seharusnya atau pada kadar hambat minimalnya. Multiple drug resistance

merupakan resistensi pada mikroorganisme terhadap dua atau lebih obat maupun

golongan obat. Istilah lainnya, cross resistance adalah resistensi obat yang belum

pernah dipaparkan pada mikroba tersebut namun cara kerjanya mirip dengan

antimikroba yang sudah mengalami resistensi (Tripathi n.d., 2009).

Timbulnya resistensi terhadap suatu antibiotik terjadi berdasarkan salah

satu atau lebih mekanisme berikut : (Whittem & Gaon, 1998)

a. Bakteri dapat mensintesis enzim inaktivator antibiotik. Misalnya

Staphylococcus resisten terhadap penisilin G karena dapat menghasilkan

bektalaktamase yang merusak antibiotik tersebut.

b. Bakteri dapat mengubah permeabilitas membrannya terhadap molekul

antibiotik, misalnya pada penggunaan tetrasiklin yang hanya akan dapat

Page 24: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

10

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

masuk ke dalam sel bakteri yang rentan (sensitif), namun tidak ditemukan

pada beberapa bakteri yang resisten.

c. Bakteri dapat mengembangkan perubahan struktur sasaran molekul antibotik,

contohnya resistensi pada beberapa bakteri terhadap antibiotik golongan

aminoglikosida merupakan proses yang berkaitan dengan hilang atau

berubahnya struktur protein spesifik pada subunit ribosom 30S bakteri yang

merupakan reseptor pada bakteri yang sensitif.

d. Bakteri mampu mengembangkan perubahan jalur metabolik yang langsung

dihambat oleh molekul antibiotik, misalnya beberapa bakteri yang resisten

terhadap sulfonamid tidak membutuhkan PABA ekstraseluler, tetapi bersifat

seperti sel mamalia yang dapat langsung menggunakan asam folat.

e. Bakteri mampu mengembangkan perubahan enzim, yakni enzim tersebut

dapat melakukan fungsi metabolismenya, namun tidak rentan dipengaruhi oleh

molekul antibiotik, misalnya pada beberapa bakteri yang rentan terhadap

sulfonamid, enzim dihidropteroat sintase pada mikroorganisme tersebut

mempunyai afinitas terhadap sulfonamid yang jauh lebih tinggi daripada

afinitasnya terhadap PABA.

Faktor-faktor yang memudahkan berkembangnya resistensi di klinik adalah

sebagai berikut: (Utami, 2012)

1. Penggunaan antibiotik yang irasional, misalnya periode penggunaan

terlalu singkat, dosis terlalu rendah, diagnosis awal yang salah, atau

digunakan dalam potensi yang tidak adekuat.

2. Faktor pasien, contohnya pasien dengan pengetahuan yang salah akan

cenderung menganggap wajibnya pemberian antibiotik dalam penyakit

apapun meskipun disebabkan oleh virus misalnya flu, batuk-pilek.

3. Faktor peresepan, yakni seringkali ditemukan kesulitan dalam menentukan

antibiotik yang tepat pada banyak tenaga klinis yang disebabkan

kurangnya pelatihan dalam hal penyakit infeksi dan tatalaksana

antibiotiknya.

4. Penggunaan di rumah sakit, yakni adanya infeksi endemik atau epidemik

yang memicu penggunaan antibiotik yang lebih masif di rumah sakit.

Page 25: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

11

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

5. Penggunaan monoterapi, karena dibandingkan dengan penggunaan terapi

kombinasi, penggunaan monoterapi lebih mudah menimbulkan resistensi.

6. Gaya hidup, terutama bagi tenaga kesehatan, misalnya mencuci tangan

setelah memeriksa pasien atau desinfeksi alat-alat yang akan dipakai untuk

memeriksa pasien.

7. Penggunaan untuk hewan atau binatang ternak, misalnya pada beberapa

antibiotik yang juga dipakai untuk mencegah dan mengobati penyakit

infeksi pada hewan ternak.

8. Promosi komersial dan penjualan besar-besaran oleh perusahaan farmasi,

didukung pengaruh globalisasi, memudahkan terjadinya pertukaran barang

sehingga jumlah antibiotik yang beredar semakin luas.

9. Penelitian, yaitu kurangnya penelitian yang dilakukan pada ahli untuk

menemukan antibiotik baru.

10. Pengawasan, yaitu lemahnya pengawasan yang dilakukan pemerintah

dalam distribusi dan pemakaian antibiotik.

2.1.5 Evaluasi Antibiotik

Dalam evaluasi antibiotik terhadap dua kategori yaitu evaluasi secara

kuantitatif dan kualitatif.

2.1.5.1 Evaluasi Kuantitatif

Evaluasi antibiotika secara kuantitatif dilakukan dengan metode ATC/DDD.

Tujuan sistem ATC/DDD adalah sebagai alat penelitian pada penggunaan obat

dalam rangka meningkatkan kualitas penggunaan obat (Lewandowski, Co-

investigator, & Lewandowski, 2015).

a. ATC ( Anatomical Therapeutic Chemical)

Pada sistem klasifikasi Anatomi Terapi Kimia (ATC), zat aktif dibagi

menjadi kelompok-kelompok yang berbeda sesuai dengan organ atau sistem

dimana obat tersebut bekerja dan menghasilkan efek terapi, farmakologi dan sifat

kimia. Obat diklasifikasikan dalam kelompok tingkat yang berbeda. Tingkat

pengelompokan obat dijabarkan sebagai berikut :

Level pertama, kelompok utama anatomis

A Alimentary tract and metabolism

B Blood and blood forming organs

Page 26: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

12

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

C Cardiovascular system

D Dermatologicals

G Genito urinary system and sex hormon

H Systemic hormonal preparations, excl. Sex hormone

J Antiinfectives for systemic use

L Antineoplastic and immunomodulating agent

M Musculo-skeletal system

N Nervous system

P Antiparasitic products, insecticidies and repellents

R Respiratory sytem

S Sensory organs

V Various

Level kedua, subkelompok terapi / farmakologis

Level ketiga dan keempat, subkelompok terapi/ farmakologis/kimia

Level kelima, senyawa kimia

( WHO Collaborating Centre for Drug Statistics Methodology, 2014)

b. DDD ( Defined Daily Dose)

Metode Defined Daily Dose adalah suatu metode yang dikembangkan WHO

untuk menghitung kuantitas penggunaan antibiotik dalam suatu intitusi pelayanan

kesehaan. Perhitungan dilakukan untuk setiap pemakaian dalam 100 hari rawat

atau 100 pasien bila diterapkan dilingkungan rumah sakit. Hasil perhitungan

dibandingkan dengan standar DDD yang telah ditetapkan WHO. DDD

diasumsikan sebagai dosis pemeliharaan rata-rata perhari yang digunakan untuk

indikasi utamanya orang dewasa. DDD hanya dimiliki oleh obat yang mempunyai

kode ATC. Unit ini memiliki keunggulan yaitu dapat merefleksikan dosis obat

secara global tanpa dipengaruhi oleh variasi generik dari setiap etnik. Analisis

penggunaan obat dalam unit kuantitas dapat membantu dalam mengidentifikasi

penggunaan yang overuse dan underuse dalam pengobatan ( WHO Collaborating

Centre for Drug Statistics Methodology, 2014).

c. Aplikasi ATC/DDD

Kuantitas penggunaan antibiotik adalah jumlah penggunaan antibiotik di

rumah sakit yang diukur secara retrospektif dan prospektif melalui studi validasi.

Page 27: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

13

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Evaluasi penggunaan antibiotik secara retrospektif dapat dilakukan dengan

memperhatikan ATC/DDD (Anatomical Therapeutic Chemical/Defined Daily

Dose). Untuk mempermudah perhitungan dapat dilakukan dengan menggunakan

piranti lunak ABC calc yang dikembangkan oleh World Health Organization

(WHO). Berikut adalah rumus perhitungan konsumsi antibiotik, DDD 100

patient-days.

Cara perhitungan:

Kumpulkan data semua pasien yang menerima terapi antibiotik

Kumpulkan lamanya waktu perawatan pasien rawat inap (total

Length Of Stay, LOS semua pasien)

Hitung jumlah dosis antibiotik (gram) selama dirawat

Hitung DDD 100 patient-days :

DDD 100 patient-days=(Jumlah gram antibiotik yang digunakan oleh pasien)

Standar DDD WHO dalam gram x

100

(𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐿𝑂𝑆)

d. DU 90 %

DU 90% merupakan jumlah obat yang membentuk 90% obat yang

digunakan. Indikator ini dapat digunakan untuk menentukan kualitas peresepan

obat dan untuk membandingkan kesesuaian obat yang digunakan dengan

formularium yang ada. DU 90% dapat diperoleh dengan cara mengurutkan obat

berdasarkan volume penggunaannya dalam DDD kemudian diambil obat yang

memenuhi segmen 90% penggunaan. Obat tersebut kemudian dapat dilihat

kecocokannya dengan formularium yang ada (Bergman, 1998).

2.1.5.2 Drug Related Problems

Pharmaceutical Care Network Europe (PCNE) mendefinisikan DRPs

adalah suatu kondisi kejadian terkait dengan terapi obat yang secara nyata atau

potensial mengganggu hasil klinis kesehatan (PCNE, 2010). DRPs dapat juga

dikatakan sebagai suatu pengalaman atau kejadian tidak menyenangkan yang

dialami oleh pasien dan melibatkan atau diduga berkaitan dengan terapi obat serta

secara aktual maupun potensial mempengaruhi outcome terapi pasien.

Pharmaceutical Care Network Europe (PCNE) pada tahun 2016

mengeluarkan skema klasifikasi untuk Drug Related Problems V7.0 dengan

klasifikasi permasalahan dan penyebab sebagai berikut:

Page 28: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

14

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Tabel 2.1 Skema Klasifikasi untuk Drug Related Problems V7.0

a. Permaasalahan

Domain Utama Kode

V7.0

Masalah

1. Efektivitas terapi P1.1 Obat tidak efektif atau pengobatan gagal

P1.2 Efek obat tidak optimal

P1.3 Obat tidak diperlukan

P1.4 Indikasi tidak terobati

2. Reaksi obat yang tidak

dikehendaki (ROTD)

P2.1 Pasien menderita ROTD

3. Lain-lain P3.1 Pasien tidak puas dengan terapi yang

diterimanya meskipun terapi tersebut

optimal baik dari segi efektivitas maupun

biaya

P3.2 Keluhan pasien/masalah tidak jelas, tidak

termasuk kedua kategori masalah terkait

b. Penyebab

Domain Utama Kode

V7.0

Penyebab

Per

esep

an

1. Pemilihan Obat C1.1 Obat tidak tepat berdasarkan

guidelines atau formularium

C1.2 Obat tidak tepat (kontraindikasi)

C1.3 Tidak ada indikasi untuk

penggunaan obat

C1.4 Kombinasi obat-obat atau obat-

makanan tidak tepat termasuk

kejadian interaksi obat

C1.5 Duplikasi kelompok terapi atau

bahan aktif yang tidak tepat

C1.6 Ada indikasi tetapi obat tidak

diresepkan

C1.7 Banyak obat diresepkan untuk

indikasi yang sama

C1.8 Kebutuhan obat yang bersifat

sinergis/preventif tidak

diresepkan

C1.9 Ada indikasi baru dan obat belum

diresepkan

2. Pemilihan Bentuk Sediaan

3.

C2.1 Bentuk sediaan obat tidak tepat

4. Pemilihan Dosis C3.1 Dosis obat terlalu rendah

C3.2 Dosis obat terlalu tinggi

C3.3 Frekuensi pemberian lebih jarang

dari aturan pakai

Page 29: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

15

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

C3.4 Frekuensi pemberian melebihi

aturan pakai

5. Penentuan Lama Pengobatan C4.1 Lama pengobatan terlalu pendek

C4.2 Lama pengobatan terlalu panjang

Per

aci

kan

6. Peracikan C5.1 Obat yang diresepkan tidak

tersedia

C5.2 Kesalahan peresepan ( Tidak

adanya informasi penting)

C5.3 Kesalahan peresepan (

Berhubungan dengan software

peresepan)

C5.4 Kesalahan peracikan obat

(Kesalahan obat atau dosis yang

diracik)

Pen

ggu

naan

7. Proses Penggunaan Obat C6.1 Waktu penggunaan obat atau

interval pemberian dosis tidak

tepat

C6.2 Pemberian obat lebih jarang dari

aturan penggunaan

C6.3 Pemberian obat melebihi aturan

penggunaan

C6.4 Obat tidak diberikan

C6.5 Obat yang diberikan salah

8. Pasien C7.1 Pasien lupa minum obat

C7.2 Pasien menggunakan obat yang

tidak diperlukan

C7.3 Pasien mengkonsumsi makanan

yang berinteraksi dengan obat

C7.4 Penyimpanan obat oleh pasien

tidak tepat

C7.5 Pasien memperoleh/menggunakan

obat dengan cara yang salah

C7.6 Pasien tidak mampu

menggunakan obat

C7.7 Penyalahgunaan obat

(Penggunaan obat yang

berlebihan)

C7.8 Pasien tidak dapat menggunakan

obat / bentuk obat secara langsung

9. Lain-lain C8.1 Tidak dilakukan pemantauan hasil

terapi atau pemantauan hasil

terapi tidak tepat

C8.2 Penyebab lain, tentukan

C8.3 Penyebab tidak jelas

Page 30: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

16

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2.1.5.3 Hubungan antibiotik dengan suhu tubuh dan kadar leukosit

Evaluasi antibiotik juga dapat dilihat dari perkembangan data laboratorium

pasien yang mempunyai gejala infeksi seperti nilai leukosit dan suhu tubuh

pasien. Peningkatan leukosit total (leukositosis) mengindikasikan adanya infeksi,

inflamasi, nekrosis jaringan, atau neoplasia leukemik. Pada Infeksi leukosit akan

meningkat untuk memulai dan mempertahankan mekanisme pertahanan tubuh

untuk mengatasi infeksi. Menurut Nurul, 2015 terdapat hasil yang bermakna

antara leukosituria pada tersangka infeksi saluran kemih di RSUD Cengkareng.

Salah satu keadaan tubuh yang menandakan terjadinya infeksi adalah peningkatan

suhu tubuh atau disebut demam. Demam adalah temperatur tubuh di atas normal

(>37,1°C), dapat disebabkan oleh kelainan di dalam otak sendiri atau oleh bahan-

bahan toksik yang mempenga-ruhi pusat pengaturan suhu tubuh. Demam juga

didefinisikan sebagai keadaan dimana seorang individu mengalami atau beresiko

terhadap terjadinya kenaikan suhu tubuh terus menerus lebih tinggi dari 100°F

(37,8°C) per oral atau 101°F (38,8°C) per rektal. Jika antibiotik diberikan dan

pasien mengalami kemajuan terapi yang digambarkan dengan data laboratorium

normal maka dapat dikatakan antibiotik yang digunakan tepat (Restinia et al. 2012

; (Pagana, 2007) ; Ayu & Irwanti 2015).

2.2 Penyakit Infeksi

2.2.1 Tuberkulosis

2.2.1.1 Patogenesis

Gambar 1. Patogenesis Tuberkulosis

Kumar A, 2010 dalam buku Dasar Patologis Penyakit

Page 31: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

17

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Makrofag adalah sel utama yang terinfeksi oleh M. Tuberculosis. Di awal

infeksi, basil tuberkulosis pada dasarnya berkembang biak tanpa kendali,

sedangkan pada tahap infeksi selanjutnya, respon sel T penolong merangsang

makrofag untuk menahan proliferasi bakteri (Kumar, 2010).

M. tuberculosis masuk ke dalam makrofag melalui proses endositosis yang

diperantarai oleh beberapa reseptor makrofag, reseptor manosa mengikat

lipoarabinomanan. Suatu glikolipid di dinding sel bakteri, dan reseptor

komplemen mengikat mikobakteri yang telah diopsonisasi. Setelah berada di

dalam makrofag, M. Tuberculosis berkembang biak di dalam fagosom dan

lisosom. Ini adalah suatu proses aktif karena tuberkulosis hidup dapat

menghambat pembentukan fagolisosom. Oleh karena itu, tahap awal tuberkulosis

primer (< 3 minggu) pada orang yang belum tersensitisasi ditandai oleh proliferasi

bakteri di dalam makrofag alveolus paru dan rongga udara, yang menyebabkan

bakteremia dan pembenihan di berbagai tempat (Kumar, 2010).

Sekitar 3 minggu setelah infeksi, terbentuk respon TH1 terhadap M.

Tuberculosis yang mengaktifkan makrofag untuk menjadi bersifat bakterisidal.

Sel TH1 dirangsang oleh antigen-antigen mikobakteri yang mengalir ke kelenjar

limfe regional, yang disajikan bersama dengan protein-protein MHC kelas II oleh

sel penyaji antigen. Diferensiasi sel TH1 bergantung pada keberadaan IL-12, yang

dihasilkan oleh sel penyaji antigen yang telah bertemu dengan mikobakteri

(Kumar, 2010).

Sel TH1 matang, di kelenjar limfe dan paru, menghasilkan IFN-𝛾. IFN-𝛾

adalah mediator penting yang mendorong makrofag menjadi komponen untuk

menahan infeksi M. tuberculosis. IFN-𝛾 merangsang pembentukan fagolisosom di

makrofag yang terinfeksi, bentukan fagolisosom di makrofag yang terinfeksi, dan

memajankan bakteri ke lingkungan asam. Selain merangsang makrofag untuk

mematikan mikobakteri, respon TH1 merangsang pembentukan granuloma dan

nekrosis perkijuan. Makrofag aktif, yang dirangsang oleh IFN-𝛾, menghasilkan

TNF, yang merekrut monosit. Monosit-monosit ini berdiferensiasi menjadi

histosit epitelioid yang menandai respon granulomatosa. Pada banyak orang,

respon ini menahan bakteri dan tidak menyebabkan kerusakan jaringan yang

signifikan atau terjadi penyakit (Kumar, 2010).

Page 32: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

18

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2.2.1.2 Gambaran Klinis

Tuberkulosis primer adalah bentuk penyakit yang timbul pada orang yang

belum pernah terpajan (belum tersensitisasi). Sekitar 5% orang yang baru

terinfeksi mengalami penyakit yang secara klinis signifikan. Orang berusia lanjut

dan orang dengan imunosupresi berat dapat kehilangan imunitas mereka terhadap

basil tuberkel dan akibatnya, dapat mengalami tuberkulosis primer lebih dari

sekali. Pada tuberkulosis primer, sumber organisme berasal dari luar. Sementara

kebanyakan pasien dengan tuberkulosis primer berlanjut untuk mengalami

penyakit laten. Akan tetapi, infeksi progresif, disertai patologi paru yang

berkelanjutan, terjadi pada sebagian orang (Kumar, 2010).

Tuberkulosis sekunder adalah pola penyakit yang timbul pada pejamu

yang telah tersensitisasi. Pola ini dapat timbul segera setelah tuberkulosis primer,

tetapi umumnya terjadi akibat reaktivasi lesi primer dorman puluhan tahun setelah

infeksi awal, terutama ketika resistensi pejamu mulai melemah. Pola ini juga

dapat terjadi akibat reinfeksi eksogen karena menurunnya proteksi yang

dihasilkan oleh penyakit primer atau karena besarnya inokulum basil virulen.

Reaktivasi tuberkulosis lebih sering terjadi di daerah dengan prevalensi rendah,

sedangkan reinfeksi berperan penting di tempat yang prevalensinya tinggi

(Kumar, 2010).

Tuberkulosis paru sekunder secara klasik terlokalisir di apeks lobus atas

pada satu atau kedua paru. Hal ini mungkin terjadi karena tingginya tekanan

parsial oksigen di apeks yang mendorong pertumbuhan bakteri. Tuberkulosis

sekunder lokalisata dapat asimtomatik. Jika ada, manifestasi biasanya muncul

perlahan. Gejala sistemik yang mungkin berkaitan dengan sitokin yang

dikeluarkan oleh makrofag aktif (misalnya TNF dan IL-1), sering timbul pada

awal perjalanan penyakit dan berupa malaise, anoreksia, penurunan berat badan,

dan demam. Umumnya, demam bersifat ringan dan hilang timbul muncul

menjelang malam dan kemudian mereda) dan dapat timbul keringat malam.

Seiring dengan progresivitas keterlibatan paru, jumlah sputum ikut meningkat,

mula-mula mukoid lalu purulen. Pada sekitar separuh kasus tuberkulosis paru

terjadi hemoptisis. Nyeri pleuritik dapat terjadi akibat perluasan infeksi ke

permukaan pleura. Manifestasi tuberkulosis ekstraparu sangat banyak dan

Page 33: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

19

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

bergantung pada sistem organ yang terkena. Limfadenitis adalah tuberkulosis

ekstraparu yang paling sering terjadi, biasanya di daerah leher. Pada pasien yang

negatif HIV, limfadenopati cenderung bersifat unifokal, dan sebagian besar pasien

tidak memperhatikan tanda-tanda kelainan di luar kelenjar limfe. Pasien positif-

HIV, di pihak lain, hampir selalu memperlihatkan kelainan di banyak kelenjar,

gejala sistemik, dan keterlibatan paru atau organ lain akibat tuberkulosis aktif

(Kumar, 2010).

2.2.1.3 Klasifikasi Pasien Tuberkulosis

a. Klasifikasi berdasarkan pemeriksaan bakteriologis

Pasien TB berdasarkan hasil konfirmasi pemeriksaan bakteriologis adalah

seorang pasien TB yang dikelompokkan berdasar hasil pemeriksaan contoh uji

biologinya dengan pemeriksaan mikroskopis langsung, biakan atau tes diagnostik

cepat yang direkomendasi oleh Kemenkes RI (misalnya: GeneXpert) (Kemenkes,

2014).

Termasuk dalam kelompok pasien ini adalah:

1. Pasien TB paru BTA positif

2. Pasien TB paru hasil biakan M.tb positif

3. Pasien TB paru hasil tes cepat M.tb positif

4. Pasien TB ekstraparu terkonfirmasi secara bakteriologis, baik

dengan BTA, biakan maupun tes cepat dari contoh uji jaringan

yang terkena.

5. TB anak yang terdiagnosis dengan pemeriksaan bakteriologis.

Catatan: Semua pasien yang memenuhi definisi tersebut diatas harus dicatat

tanpa memandang apakah pengobatan TB sudah dimulai atau belum.

b. Klasifikasi berdasarkan diagnosis klinis

Pasien TB terdiagnosis secara klinis adalah pasien yang tidak memenuhi

kriteria terdiagnosis secara bakteriologis tetapi didiagnosis sebagai pasien TB

aktif oleh dokter, dan diputuskan untuk diberikan pengobatan TB.

Termasuk dalam kelompok pasien ini adalah:

1. Pasien TB paru BTA negatif dengan hasil pemeriksaan foto toraks

mendukung TB.

Page 34: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

20

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2. Pasien TB ekstraparu yang terdiagnosis secara klinis maupun

laboratoris dan histopatologis tanpa konfirmasi bakteriologis.

3. TB anak yang terdiagnosis dengan sistem skoring.

Catatan: Pasien TB yang terdiagnosis secara klinis dan kemudian

terkonfirmasi bakteriologis positif (baik sebelum maupun setelah memulai

pengobatan) harus diklasifikasi ulang sebagai pasien TB terkonfirmasi

bakteriologis.

c. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit:

Tuberkulosis paru adalah TB yang terjadi pada parenkim (jaringan) paru.

Milier TB dianggap sebagai TB paru karena adanya lesi pada jaringan paru.

Limfadenitis TB dirongga dada (hilus dan atau mediastinum) atau efusi pleura

tanpa terdapat gambaran radiologis yang mendukung TB pada paru, dinyatakan

sebagai TB ekstra paru. Pasien yang menderita TB paru dan sekaligus juga

menderita TB ekstra paru, diklasifikasikan sebagai pasien TB paru.

Tuberkulosis ekstra paru adalah TB yang terjadi pada organ selain paru,

misalnya: pleura, kelenjar limfe, abdomen, saluran kencing, kulit, sendi, selaput

otak dan tulang. Diagnosis TB ekstra paru dapat ditetapkan berdasarkan hasil

pemeriksaan bakteriologis atau klinis. Diagnosis TB ekstra paru harus diupayakan

berdasarkan penemuan Mycobacterium tuberculosis. Pasien TB ekstra paru yang

menderita TB pada beberapa organ, diklasifikasikan sebagai pasien TB ekstra

paru pada organ menunjukkan gambaran TB yang terberat (Kemenkes, 2014).

d.Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya: (Kemenkes,

2014)

1. Pasien baru TB: adalah pasien yang belum pernah mendapatkan

pengobatan TB sebelumnya atau sudah pernah menelan OAT namun

kurang dari 1 bulan (˂ dari 28 dosis).

2. Pasien yang pernah diobati TB: adalah pasien yang sebelumnya

pernah menelan OAT selama 1 bulan atau lebih (≥ dari 28 dosis).

Pasien ini selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan hasil pengobatan

TB terakhir, yaitu:

Pasien kambuh: adalah pasien TB yang pernah dinyatakan

sembuh atau pengobatan lengkap dan saat ini didiagnosis TB

Page 35: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

21

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis atau klinis (baik

karena benar-benar kambuh atau karena reinfeksi).

Pasien yang diobati kembali setelah gagal: adalah pasien TB

yang pernah diobati dan dinyatakan gagal pada pengobatan

terakhir.

Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to

follow-up): adalah pasien yang pernah diobati dan dinyatakan lost

to follow up (klasifikasi ini sebelumnya dikenal sebagai

pengobatan pasien setelah putus berobat /default).

Lain-lain: adalah pasien TB yang pernah diobati namun hasil

akhir pengobatan sebelumnya tidak diketahui.

3. Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui.

e.Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat

Pengelompokan pasien disini berdasarkan hasil uji kepekaan contoh uji dari

Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT dan dapat berupa (Kemenkes, 2014) :

Mono resistan (TB MR): resistan terhadap salah satu jenis OAT lini

pertama saja.

Poli resistan (TB PR): resistan terhadap lebih dari satu jenis OAT lini

pertama selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan.

Multi drug resistan (TB MDR): resistan terhadap Isoniazid (H) dan

Rifampisin (R) secara bersamaan.

Extensive drug resistan (TB XDR): adalah TB MDR yang sekaligus juga

resistan terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan minimal

salah satu dari OAT lini kedua jenis suntikan (Kanamisin, Kapreomisin

dan Amikasin).

Resistan Rifampisin (TB RR): resistan terhadap Rifampisin dengan atau

tanpa resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi menggunakan metode

genotip (tes cepat) atau metode fenotip (konvensional).

f. Klasifikasi pasien TB berdasarkan status HIV

1. Pasien TB dengan HIV positif (pasien ko-infeksi TB/HIV) adalah pasien

TB dengan:

Hasil tes HIV positif sebelumnya atau sedang mendapatkan ART, atau

Page 36: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

22

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Hasil tes HIV positif pada saat diagnosis TB.

2. Pasien TB dengan HIV negatif adalah pasien TB dengan :

Hasil tes HIV negatif sebelumnya, atau

Hasil tes HIV negatif pada saat diagnosis TB.

3. Pasien TB dengan status HIV tidak diketahui adalah pasien TB tanpa ada

bukti pendukung hasil tes HIV saat diagnosis TB ditetapkan.

2.2.1.4 Diagnosis

Diagnosis tuberkulosis paru sebagian didasarkan pada anamnesis dan

pemeriksaan fisik serta temuan radiografik berupa konsolidasi atau kavitasi di

apeks paru. Namun, yang paling utama, basil tuberkel harus ditemukan. Apusan

tahan asam dan biakan terhadap sputum pasien yang dicurigai mengidap

tuberkulosis harus dilakukan. Biakan konvensional memerlukan waktu hingga 10

minggu, tetapi biakan dengan medium cair dapat memberikan hasil dalam 2

minggu. Amplifikasi DNA M. Tuberculosis dengan PCR bahkan memungkinkan

penegakan diagnosis yang lebih cepat. Pemeriksaan PCR dapat mendeteksi hanya

10 organisme dalam sediaan klinis, dibandingkan dengan lebih dari 10.000

organisme yang dibutuhkan agar hasil apusan menjadi positif. Akan tetapi, biakan

tetap merupakan baku emas karena memungkinkan kita melakukan uji kepekaan

obat.

Sementara infeksi HIV menyebabkan peningkatan resiko tuberkulosis pada

semua stadium penyakit, manifestasi klinisnya berbeda-beda bergantung pada

derajat imunosupresi. Pasien dengan imunosupresi yang relatif ringan (hitung sel

T CD4+ dan lebih dari 300 sel/mm3) memperlihatkan tuberkulosis sekunder biasa

(kelainan di apeks disertai kavitasi). Pasien dengan imunosupresi yang lebih berat

(hitung sel T CD4+ kurang dari 200 sel/mm3) memperlihatkan gambaran klinis

yang mirip dengan tuberkulosis primer progresif (konsolidasi lobus tengah dan

bawah, limfadenopati hilus, dan lesi nonkavitasi). Derajat imunodefisiensi juga

menentukan frekuensi kelainan di luar paru, yang meningkat lebih dari 10-15%

pada pasien dengan imunosupresi ringan menjadi lebih dari 50% pada mereka

dengan imunodefisiensi berat.

Page 37: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

23

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2.2.1.5 Penatalaksanaan

Tahapan Pengobatan TB (Kemenkes, 2014) :

Pengobatan TB harus selalu meliputi pengobatan tahap awal dan tahap lanjutan

dengan maksud:

Tahap awal: Pengobatan diberikan setiap hari. Panduan pengobatan pada

tahap ini adalah dimaksudkan untuk secara efektif menurunkan jumlah

kuman yang ada dalam tubuh pasien dan meminimalisir pengaruh dari

sebagian kecil kuman yang mungkin sudah resisten sejak sebelum pasien

mendapatkan pengobatan. Pengobatan tahap awal pada semua pasien baru,

harus diberikan selama 2 bulan. Pada umumnya dengan pengobatan secara

teratur dan tanpa adanya penyulit, daya penularan sudah sangat menurun

setelah pengobatan selama beberapa minggu.

Tahap lanjutan: Pengobatan tahap lanjutan merupakan tahap yang penting

untuk membunuh sisa-sisa kuman yang masih ada dalam tubuh khususnya

kuman persisten sehingga pasien dapat sembuh dan mencegah terjadinya

kekambuhan.

Berikut ini adalah kisaran dosis OAT lini pertama bagi pasien dewasa

Tabel 2.2 Kisaran dosis OAT lini pertama bagi pasien dewasa

OAT

Dosis

Harian 3 x / minggu

Kisaran dosis

(mg/kg BB)

Maksimum

(mg)

Kisaran

(mg/kg BB)

Maksium/hari

(mg)

Isoniazid (H) 5 (4-6) 300 10 ( 8-12) 900

Rifampisin (R) 10 (8-12) 600 10 (8-12) 600

Pirazinamid (Z) 25 (20-30) - 35 (30-40) -

Etambutol (E) 15 (15-20) - 30 (25-35) -

Streptomisin(S) 15 (12-18) - 15 (12-18) 1000

Catatan :

Pemberian streptomisin untuk pasien yang berumur >60 tahun atau pasien

dengan berat badan < 50 kg mungkin tidak dapat mentoleransi dosis > 500

mg/hari. Beberapa buku rujukan menganjurkan penurunan dosis menjadi

10 mg/kg/BB/hari.

Page 38: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

24

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

a. Paduan OAT yang digunakan di Indonesia (sesuai rekomendasi WHO dan

ISTC)

Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian

Tuberkulosis di Indonesia adalah :

1. Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru : Pasien TB paru terkonfirmasi

bakteriologis, pasien TB paru terdiagnosis klinis, dan pasien TB ekstra paru.

Tabel 2.3 Dosis Paduan OAT KDT (Kombinasi Dosis Tetap)

Berat

Badan

Tahap Intensif

tiap hari selama 56 hari RHZE

(150/75/400/275)

Tahap Lanjutan

3 kali seminggu selama 16 minggu

RH (150/150)

30-37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT

38-54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT

55-70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT

≥71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT

2. Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang pernah diobati

sebelumnya (pengobatan ulang): Pasien kambuh, pasien gagal pada pengobatan

OAT kategori 1 sebelumnya, pasien yang diobati kembali setelah putus obat.

Tabel 2.4 Panduan OAT Pengobatan Ulang

Berat Badan Tahap Intensif

tiap hari

RHZE (150/75/400/275) + S

Tahap Lanjutan

3 kali seminggu

RH (150/150) +

E(400)

Selama 56 hari Selama 28

hari

selama 20 minggu

30-37 kg 2 tab 4KDT

+ 500 mg Streptomisin

inj.

2 tab 4KDT 2 tab 2KDT

+ 2 tab Etambutol

38-54 kg 3 tab 4KDT

+ 750 mg Streptomisin

inj.

3 tab 4KDT 3 tab 2KDT

+ 3 tab Etambutol

55-70 kg 4 tab 4KDT

+ 1000 mg

Streptomisin inj.

4 tab 4KDT 4 tab 2KDT

+ 4 tab Etambutol

≥71 kg 5 tab 4KDT

+ 1000mg Streptomisin

inj.

5 tab 4KDT 5 tab 2KDT

+ 5 tab Etambutol

Page 39: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

25

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Kategori anak : 2(HRZ)/4(HR) atau 2HRZA(S)/4-10HR

Obat yang digunakan dalam tatalaksana pasien TB resisten obat di

Indonesia terdiri dari OAT lini ke-2 yaitu Kanamisin, Kapreomisin,

Levofloksasin, Etionamide, Sikoserin, Moksifloksasin dan PAS, serta

OAT lini-1, yaitu Pirazinamid.

b.Pengobatan TB pada Keadaan Khusus

Adapun pengobatan TB pada keadaan khusus yaitu sebagai berikut:

(Kemenkes, 2014)

1. Kehamilan

Pada prinsipnya pengobatan TB pada kehamilan tidak berbeda dengan

pengobatan TB pada umumnya. Menurut WHO, hampir semua OAT aman untuk

kehamilan, kecuali golongan Aminoglikosida seperti streptomisin atau kanamisin

karena dapat menimbulkan ototoksik pada bayi (permanent ototoxic) dan dapat

menembus barier placenta. Keadaan ini dapat mengakibatkan terjadinya

gangguan pendengaran dan keseimbangan yang menetap pada bayi yang akan

dilahirkan. Perlu dijelaskan kepada ibu hamil bahwa keberhasilan pengobatannya

sangat penting artinya supaya proses kelahiran dapat berjalan lancar dan bayi yang

akan dilahirkan terhindar dari kemungkinan tertular TB. Pemberian Piridoksin 50

mg/hari dianjurkan pada ibu hamil yang mendapatkan pengobatan TB, sedangkan

pemberian vitamin K 10mg/hari juga dianjurkan apabila Rifampisin digunakan

pada trimester 3 kehamilan menjelang partus.

2. Ibu menyusui dan bayinya

Pada prinsipnya pengobatan TB pada ibu menyusui tidak berbeda dengan

pengobatan pada umumnya. Semua jenis OAT aman untuk ibu menyusui. Seorang

ibu menyusui yang menderita TB harus mendapat paduan OAT secara adekuat.

Pemberian OAT yang tepat merupakan cara terbaik untuk mencegah penularan

kuman TB kepada bayinya. Ibu dan bayi tidak perlu dipisahkan dan bayi tersebut

dapat terus diberikan ASI. Pengobatan pencegahan dengan INH diberikan kepada

bayi tersebut sesuai dengan berat badannya.

Page 40: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

26

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3. Pasien TB pengguna kontrasepsi

Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal (pil KB, suntikan

KB, susuk KB) sehingga dapat menurunkan efektifitas kontrasepsi tersebut.

Seorang pasien TB sebaiknya mengggunakan kontrasepsi non-hormonal.

4. Pasien TB dengan kelainan hati

a. Pasien TB dengan Hepatitis akut

Pemberian OAT pada pasien TB dengan hepatitis akut dan atau klinis

ikterik, ditunda sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Sebaiknya

dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan rujukan untuk penatalaksanaan

spesialistik. Pasien dengan kondisi berikut dapat diberikan paduan pengobatan

OAT yang biasa digunakan apabila tidak ada kondisi kronis :

Pembawa virus hepatitis

Riwayat penyakit hepatitis akut

Saat ini masih sebagai pecandu alkohol

Reaksi hepatotoksis terhadap OAT umumnya terjadi pada pasien dengan

kondisi tersebut diatas sehingga harus diwaspadai.

b. Hepatitis Kronis

Pada pasien dengan kecurigaan mempunyai penyakit hati kronis,

pemeriksaan fungsi hati harus dilakukan sebelum memulai pengobatan. Apabila

hasil pemeriksaan fungsi hati >3 kali normal sebelum memulai pengobatan,

paduan OAT berikut ini dapat dipertimbangkan:

Pirazinamid (Z) tidak boleh digunakan

2 obat yang hepatotoksik: 2 HRSE / 6 HR, 9 HRE

1 obat yang hepatotoksik: 2 HES / 10 HE

Tanpa obat yang hepatotoksik: 18-24 SE ditambah salah satu

golongan fluorokuinolon (ciprofloxasin tidak direkomendasikan

karena potensinya sangat lemah).

Keterangan: Semakin berat atau tidak stabil penyakit hati yang

diderita pasien TB, harus menggunakan semakin sedikit OAT yang

hepatotoksik.

Page 41: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

27

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

5. Pasien TB dengan gangguan fungsi ginjal

Paduan OAT yang dianjurkan adalah pada pasien TB dengan gagal ginjal

atau gangguan fungsi ginjal yang berat: 2 HRZE/4 HR. H dan R diekskresi

melalui empedu sehingga tidak perlu dilakukan perubahan dosis. Dosis Z dan E

harus disesuaikan karena diekskresi melalui ginjal. Dosis pemberian 3 x /minggu

bagi Z : 25 mg/kg BB dan E : 15 mg/kg BB. Pada pasien dengan gangguan fungsi

ginjal atau gagal ginjal, perlu diberikan tambahan Piridoksin (vit. B6) untuk

mencegah terjadinya neuropati perifer. Hindari penggunaan Streptomisin dan

apabila harus diberikan, dosis yang digunakan: 15 mg/kgBB, 2 atau 3 x /minggu

dengan maksimum dosis 1 gr untuk setiap kali pemberian dan kadar dalam darah

harus selalu dipantau.

Tabel 2.5 Acuan penilaian tingkat kegagalan fungsi ginjal

Tingkat Hasil pemeriksaan klirens kreatinin (KK)

1 KK (normal) dan fungsi ginjal normal namun terdapat kelainan

saluran kencing, misalnya: ginjal polikistik, kelainan struktur

2 KK (60 – 90 ml/menit)

3 KK (30 – 60 ml/menit)

4 KK (15 – 30 ml/menit)

5 KK (< 15 ml/menit) dengan atau tanpa dialisis

Tabel 2.6 Dosis yang dianjurkan OAT penyakit ginjal kronis

OAT Stadium 1-3 Stadium 4-5

Isoniazid 300 mg/hari Diberikan 3x/minggu

Dosis 300 mg/setiap pemberian

Rifampisin <50 kg: 450 mg/hari

≥50 kg: 600 mg/hari

<50 kg: 450 mg/hari

≥50 kg: 600 mg/hari

Pirazinamid <50 kg: 1,5 g/hari

≥50 kg: 2 g/hari

25-30 mg/kgBB/hari,

Diberikan 3x/minggu

Etambutol 15 mg/kgBB/hari 15-25 mg/kgBB/hari,

Diberikan 3x/minggu

6. Pasien TB dengan Diabetes Melitus (DM)

TB merupakan salah satu faktor risiko tersering pada seseorang dengan

diabetes mellitus.

Anjuran pengobatan TB pada pasien dengan Diabetes melitus:

a. Paduan OAT yang diberikan pada prinsipnya sama dengan paduan OAT

bagi pasien TB tanpa DM dengan syarat kadar gula darah terkontrol.

Page 42: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

28

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

b. Apabila kadar gula darah tidak terkontrol, maka lama pengobatan dapat

dilanjutkan sampai 9 bulan.

c. Hati hati efek samping dengan penggunaan Etambutol karena pasien DM

sering mengalami komplikasi kelainan pada mata.

d. Perlu diperhatikan penggunaan Rifampisin karena akan mengurangi

efektifitas obat oral anti diabetes (sulfonil urea) sehingga dosisnya perlu

ditingkatkan.

e. Perlu pengawasan sesudah pengobatan selesai untuk mendeteksi dini bila

terjadi kekambuhan.

7. Pasien TB yang perlu mendapat tambahan kortikosteroid

Kortikosteroid hanya digunakan pada keadaan khusus yang membahayakan

jiwa pasien seperti:

a. Meningitis TB dengan gangguan kesadaran dan dampak neurologis.

b. TB milier dengan atau tanpa meningitis.

c. Efusi pleura dengan gangguan pernafasan berat atau efusi pericardial.

d. Laringitis dengan obstruksi saluran nafas bagian atas, TB saluran kencing

(untuk mencegah penyempitan ureter ), pembesaran kelenjar getah bening

dengan penekanan pada bronkus atau pembuluh darah.

e. Hipersensitivitas berat terhadap OAT.

f. IRIS ( Immune Response Inflammatory Syndrome).

Dosis dan lamanya pemberian kortikosteroid tergantung dari berat dan

ringannya keluhan serta respon klinis.

Predinisolon (per oral):

Anak: 2 mg / kg BB, sekali sehari pada pagi hari

Dewasa: 30 – 60 mg, sekali sehari pada pagi hari

Apabila pengobatan diberikan sampai atau lebih dari 4 minggu, dosis harus

diturunkan secara bertahap (tappering off).

8. Indikasi operasi

Pasien-pasien yang perlu mendapat tindakan operasi (misalnya reseksi paru),

adalah:

Page 43: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

29

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Untuk TB paru:

Pasien batuk darah berat yang tidak dapat diatasi dengan cara

konservatif, pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang

tidak dapat diatasi secara konservatif, pasien TB MDR dengan

kelainan paru yang terlokalisir.

Untuk TB ekstra paru:

Pasien TB ekstra paru dengan komplikasi, misalnya pasien TB

tulang yang disertai kelainan neurologik.

2.2.2 Pneumonia

2.2.2.1 Definisi

Menurut World Health Organitation (WHO), pneumonia merupakan

infeksi saluran pernapasan akut yang menyerang paru-paru. Ketika paru-paru

seseorang terkena pneumonia, alveolusnya akan terisi oleh nanah dan cairan, yang

dapat menyebabkan sesak napas dan mengurangi pemasukan oksigen (WHO,

2016).

Menurut Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, pneumonia adalah

radang paru yang disebabkan oleh bakteri dengan gejala panas tinggi disertai

batuk berdahak, napas cepat, sesak, dan gejala lainnya (sakit kepala, gelisah dan

nafsu makan berkurang).

2.2.2.2 Klasifikasi Pneumonia berdasarkan Klinis dan Epideologis

Tabel 2.7 Jenis Sindrom Pneumonia dan Penyebabnya

Pneumonia Akut Didapat di Masyarakat

Streptococcus pneumoniae

Haemophillus influenzae

Moraxella catarrhalis

Staphylococcus aureus

Legionella pneomophila

Enterobacteriaceae (Klebsiella pneumoniae) dan Pseudomonas spp.

Pneumonia Atipikal Didapat di Masyarakat

Mycoplasma pneumoniae

Chlamydia spp. (C. pneumoniae, C. psittaci, C. trachomatis)

Coxiella burnetti (Q fever)

Virus : respiratory syncytal virus, virus parainfluenza (anak); influenza A dan B

(dewasa); adenovirus (perekrutan tentara); virus SARS (Severe acute respiratory

syndrome).

Page 44: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

30

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Pneumonia Nosokomial

Batang Gram-negatif yang termasuk dalam Enterobacteriaceae, Klebsiella spp.,

Serratia marcescens, Escherichia coli) dan Pseudomonas spp.

Staphylococcus aureus (biasanya resisten penisilin)

Pneumonia Aspirasi

Flora oral anaerob (Bacteroides, Prevotella, Fusobacterium, Peptostreptococcus)

bercampur dengan bakteri aerob (Streptococcus pneumoniae, Staphylococcus

aureus, Haemophillus influenza, dan Pseudomonas aeruginosa)

Pneumonia Kronik

Nocardia

Actinomyces

Granulomatosa: Mycobacterium tuberculosis dan mikobakteri atipikal,

Histoplasma capsulatum, Coccidioides immitis, Blastomyces dermatitis

Pneumonia Nekrotikans dan Abses Paru

Bakteri anaerob (sangat sering), dengan atau tanpa infeksi anaerob campuran

Staphylococcus aureus, Klebsiella pneumoniae, Streptococcus pyrogenes, dan

pneumokokus tipe 3 (jarang)

Pneumonia pada Pejamu dengan Gangguan Imunitas

Sitomegalovirus

Pneumocystis carinii

Mycobacterium avium-intracellulare

Aspergilosis invasif

Kandidiasis invasif

a.Pneumonia Akut Didapat di Masyarakat

Invasi bakteri ke paremkim paru menyebabkan alveolus terisi eksudat

peradangan sehingga terjadi pemadatan jaringan paru. Gejala utama pneumonia

akut didapat di masyarakat adalah munculnya gejala akut, seperti demam tinggi,

menggigil, dan batuk produktif dengan dahak mukopurulen, kadang kala terjadi

hemoptisis. Jika terdapat pleuritis fibrinosupuratif, akan timbul nyeri pleuritik dan

bising gesek pleura. Gambaran radiologik khas pada pneumonia lobaris adalah

lobus yang radio-opak dan biasanya terbatas tegas, sedangkan bronkopneumonia

memperlihatkan fokus-fokus radio-opak. Gambaran klinis banyak dimodifikasi

oleh pemberian antibiotik. Pasien yang telah diobati mungkin relatif afebris

dengan sedikit gejala klinis 48 sampai 72 jam setelah permulaan pemberian

antibiotik. Identifikasi organisme dan penentuan sensitivitas antibiotiknya

merupakan kunci penting bagi terapi yang tepat (Kumar, 2010).

b.Pneumonia Atipikal Didapat di Masyarakat

Kata Atipikal menunjukkan sputum dalam jumlah sedang, tidak ada tanda

fisik terjadinya pemadatan, peningkatan sedang hitung sel darah putih, dan tidak

Page 45: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

31

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

adanya eksudat alveolus. Pneumonitis ini disebabkan oleh berbagai organisme,

yang tersering adalah Mycoplasma pneumoniae. Infeksi Mycoplasma terutama

sering terjadi pada anak dan dewasa muda. Infeksi ini timbul secara sporadis atau

sebagai epidemi lokal di lingkungan tertutup.

Mekanisme patologik umum adalah melekatnya organisme ke epitel

saluran napas atas diikuti oleh nekrosis sel dan respon peradangan. Jika proses

meluas hingga alveolus, biasanya terjadi peradangan interstisium, tetapi juga

dapat terjadi eksudasi cairan ke dalam rongga alveolus sehingga perubahan yang

terlihat pada foto toraks mungkin mirip dengan yang ditemukan pada pneumonia

bakteri. Kerusakan dan terkelupasnya epitel saluran napas menghambat clearance

mukosilia dan mempermudah terjadinya infeksi bakteri sekunder (Kumar, 2010).

c.Pneumonia Nosokomial

Didefinikan sebagai infeksi paru yang diperoleh sewaktu seseorang

dirawat inap di rumah sakit. Infeksi ini sering terjadi pada pasien yang mengidap

suatu penyakit berat, mengalami imunosupresi, mendapat terapi antibiotik jangka

panjang, atau dipasang alat akses invasif misalnya kateter intravaskular. Pasien

yang dipasang ventilasi mekanis memiliki resiko yang sangat tinggi.

Berdasarkan American Thoraric Society (ATS), pneumonia nosokomial

adalah pneumonia yang muncul setelah dirawat di rumah sakit lebih dari 48 jam

tanpa pemberian intubasi endotrakel. Pneumonia nosokomial terjadi karena

terdapat ketidakseimbangan pertahanan tubuh dengan kolonisasi bakteri sehingga

menginvasi saluran napas bagian bawah. Pneumonia nosokomial sering

disebabkan oleh bakteri Pseudomonas aeroginose, Klebsiella sp, Staphylococcus

aureus, dan Streptococcus pneumoniae. ATS membagi pneumonia nosokomial

menjadi early onset (biasanya muncul selama 4 hari perawatan di rumah sakit)

dan late onset (biasanya muncul setelah lebih dari 5 hari perawatan di rumah

sakit) (Ferrara, 2006).

d.Pneumonia Aspirasi

Pneumonia aspirasi terjadi pada pasien yang sakit berat atau mereka yang

terhirup isi lambungnya saat tidak sadar (misal setelah stroke) atau karena muntah

berulang. Pasien-pasien ini mengalami gangguan refleks menelan dan muntah

sehingga rentan mengalami aspirasi. Pneumonia yang terjadi sebagian bersifat

Page 46: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

32

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

kimiawi, karena efek iritasi kuat dari asam lambung, dan sebagian bersifat

bakterial (dari flora mulut). Pneumonia tipe ini sering bersifat nekrotik,

memperlihatkan perjalanan yang fluminan dan menyebabkan kematian. Pada

mereka yang bertahan hidup, sering terjadi abses paru (Kumar, 2010).

e.Pneumonia Kronik

Pneumonia kronik umumnya dalah suatu lesi lokalisata pada pasien

imunokompeten, dengan atau tanpa keterlibatan kelenjar limfe regional. Terjadi

peradangan granulomatosa, yang mungkin disebabkan oleh bakteri (misalnya M.

tuberculosis) atau jamur (misalnya Histoplasma capsulatum) (Kumar, 2010).

2.2.2.3 Patogenesis

Dalam keadaan sehat, tidak terjadi pertumbuhan mikroorganisme di paru.

Keadaan ini disebabkan oleh mekanisme pertahanan paru. Apabila terjadi

ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dapat berkembang

biak dan menimbulkan penyakit. Resiko infeksi di paru sangat tergantung pada

kemampuan mikroorganisme untuk sampai dan merusak permukaan epitel saluran

napas. Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan :

1. Inokulasi langsung

2. Penyebaran melalui pembuluh darah

3. Inhalasi bahan aerosol

4. Kolonisasi dipermukaan mukosa

Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah secara kolonisasi.

Secara inhalasi terjadi pada infeksi virus, mikroorganisme atipikal, mikrobakteria

atau jamur. Kebanyakan bakteri dengan ukuran 0,5 -2,0 µm melalui udara dapat

mencapai bronkus terminal atau alveol dan selanjutnya terjadi proses infeksi. Bila

terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung, orofaring) kemudian terjadi

aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi mikroorganisme, hal ini

merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru. Aspirasi dari

sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50 %) juga

pada keadaan penurunan kesadaran, peminum alkohol dan pemakai obat.

Sekresi orofaring mengandung konsentrasi bakteri yang tinggi 10 8-10/ml,

sehingga aspirasi dari sebagian kecil sekret (0,001 - 1,1 ml) dapat memberikan

titer inokulum bakteri yang tinggi dan terjadi pneumonia.

Page 47: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

33

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Pada pneumonia mikroorganisme biasanya masuk secara inhalasi atau

aspirasi. Umumnya mikroorganisme yang terdapat disaluran napas bagian atas

sama dengan di saluran napas bagian bawah, akan tetapi pada beberapa penelitian

tidak di temukan jenis mikroorganisme yang sama (Perhimpunan Dokter Paru

Indonesia, 2003).

2.2.2.4 Diagnosis

Diagnosis pneumonia komunitas ditegakkan dengan cara anamnesis, gejala

klinis pemeriksaan fisik, foto toraks dan laboratorium. Diagnosis pneumonia

komunitas ditegakkan jika pada foto toraks didapatkan infiltrat baru atau infiltrat

progresif ditambah dengan paling sedikit 1 kriteria gejala mayor atau 2 kriteria

gelaja minor bawah ini:

a. Kriteria gejala mayor

Batuk-batuk.

Produksi sputum.

Demam > 37,8ºC.

b.Kriteria gejala minor

Sesak napas.

Nyeri dada pleuritik.

Pemeriksaan fisik : ditemukan tanda-tanda konsolidasi, suara napas

bronkial dan ronki.

Leukosit > 12.000 ribu/ml.

2.2.2.5 Gambaran klinis

a. Anamnesis

Gambaran klinik biasanya ditandai dengan demam, menggigil, suhu tubuh

meningkat dapat melebihi 40ºC, batuk dengan dahak mukoid atau purulen

kadang-kadang disertai darah, sesak napas dan nyeri dada (Perhimpunan Dokter

Paru Indonesia, 2003).

b. Pemeriksaan fisik

Temuan pemeriksaan fisis dada tergantung dari luas lesi di paru. Pada

inspeksi dapat terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernapas, pasa palpasi

fremitus dapat mengeras, pada perkusi redup, pada auskultasi terdengar suara

napas bronkovesikuler sampai bronkial yang mungkin disertai ronki basah halus,

Page 48: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

34

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

yang kemudian menjadi ronki basah kasar pada stadium resolusi (Perhimpunan

Dokter Paru Indonesia, 2003).

2.2.2.6 Pemeriksaan penunjang

a. Gambaran radiologis

Foto toraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk

menegakkan diagnosis. Gambaran radiologis dapat berupa infiltrat sampai

konsolidasi dengan " air broncogram", penyebab bronkogenik dan interstisial

serta gambaran kaviti. Foto toraks saja tidak dapat secara khas menentukan

penyebab pneumonia, hanya merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi,

misalnya gambaran pneumonia lobaris tersering disebabkan oleh Steptococcus

pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa sering memperlihatkan infiltrat bilateral

atau gambaran bronkopneumonia sedangkan Klebsiela pneumonia sering

menunjukkan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat

mengenai beberapa lobus.

b. Pemeriksaan labolatorium

Pada pemeriksaan labolatorium terdapat peningkatan jumlah leukosit,

biasanya lebih dari 10.000/ul kadang-kadang mencapai 30.000/ul, dan pada

hitungan jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED.

Untuk menentukan diagnosis etiologi diperlukan pemeriksaan dahak, kultur darah

dan serologi. Kultur darah dapat positif pada 20- 25% penderita yang tidak

diobati. Analisis gas darah menunjukkan hipoksemia dan hikapnia, pada stadium

lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia,

2003).

2.2.3.6 Penatalaksanaan

Menurut American Thoracic Association pada jurnal Management of

Adults With Hospital-acquired and Ventilator-associated Pneumonia tahun 2016

terapi empirik pada Pneumonia yang berhubungan dengan ventilator dan

pneumonia nosokomial adalah sebagai berikut: (Kalil et al., 2016)

Page 49: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

35

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Tabel 2.8 Terapi Empirik Pneumonia Ventilator Resisten Metisilin

A. Antibiotik Gram

Positif dengan

aktivitas MRSA aktif

B. Antibiotik Gram

negatif dengan aktivitas

antipseudomonal : agen

β-Laktam

C. Antibiotik Gram

negatif dengan

aktivitas

antipseudomonal :

agen non β-Laktam

Glikopeptidase

Vancomisin 15 mg/kg

IV setiap 8-12 jam

(dengan loading dose

25–30

mg/kg × 1 pada kasus

berat) atau

Antipseudomonal

penisilin

Piperasilin-tazobaktam 4.5

g IV setiap 6 jam atau

Fluoroquinolones

Ciprofloksasin 400 mg

IV setiap 8 jam

Levofloksasin 750 mg

IV setiap 24 jam

Oksazolidinon

Linezolid 600 mg IV

setiap 12 jam

Sefalosporin

Sefiksim 2 g IV setiap 8

jam

Seftazidim 2 g IV setiap 8

jam

Aminoglikosida

Amikasin 15–20 mg/kg

IV setiap 24 jam

Gentamisin 5–7 mg/kg

IV setiap 24 jam

Tobramisin 5–7 mg/kg

IV setiap 24 jam

Karbapenem

Imipenem 500 mg IV

setiap 6 jam

Meropenem 1 g IV setiap

8 jam

Polimiksin

Kolistin 5 mg/kg IV × 1

(loading dose) diikuti

dengan 2.5 mg × (1.5 ×

CrCl + 30) IV setiap 12

jam (dosis

pemeliharaan)

Polimiksin B 2.5–3.0

mg/kg/hari dibagi

menjadi 2 dosis IV

Monobaktam

Aztreonam 2 g IV setiap

8 jam

Tabel 2.9 Terapi Empirik Pneumonia Nosokomial (Non-Ventilator)

Tidak ada resiko tinggi

mortalitas dan tidak

ada faktor peningkat

MRSA

Tidak ada resiko tinggi

mortalitas tetapi disertai

faktor peningkat

kemungkinan MRSA

Resiko tinggi

mortalitas atau

menerima antibiotik

intravena selama 90

hari sebelumnya.

Salah satu dari Salah satu dari Dua dari, hindari

penggunaan 2 β-laktam

Piperacillin-tazobaktam

4.5 g IV setiap 6 jam

atau

Piperasilin-tazobaktam

4,5 g IV setiap 6 jam

Piperasilin-tazobaktam

4.5 g IV setiap 6 jam

Page 50: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

36

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

sefepim 2 g IV setiap 8

jam atau

Sefepim atau Seftazidim

2 g IV setiap 8 jam

Sefepim atau Seftazidim

2 g IV setiap 8 jam

Levofloksasin 750 mg

IV setiap hari

Levofloksasin 750 mg IV

setiap hari

Siprofloksasin 400 mg IV

setiap 8 jam

Levofloksasin 750 mg

IV setiap hari

Siprofloksasin 400 mg

IV setiap 8 jam

Imipenem 500 mg IV

setiap 6 jam

Meropenem 1 g IV

setiap 8 jam

Imipenem 500 mg IV

setiap 6 jam

Meropenem 1 g IV setiap

8 jam

Imipenem 500 mg IV

setiap 6 jam

Meropenem 1 g IV

setiap 8 jam

Aztreonam 2 g IV setiap 8

jam

Amikasin 15–20 mg/kg

setiap hari

Gentamisin 5–7 mg/kg

setiap hari

Tobramisin 5–7 mg/kg

setiap hari

Aztreonam 2 g IV

setiap 8 jam

Ditambah:

Vankomisin 15 mg/kg IV

8-12 jam ( loading

dose 25–30 mg/kg × 1

pada penyakit berat) atau

Ditambah:

Vankomisin 15 mg/kg

IV 8-12 jam ( loading

dose 25–30 mg/kg × 1

pada penyakit berat)

atau

Linezolid 600 mg IV

setiap 12 jam

Linezolid 600 mg IV

setiap 12 jam

Untuk pengobatan pneumonia yang berhubungan dengan masyarakat

menurut SWAB (Stiching Werkgroep Antibioticabeleid) tahun 2016 adalah

sebagai berikut : (Wiersinga, Nvmm, & Nvalt, 2016)

Tabel 2.10 Pneumonia yang Berhubungan dengan Masyarakat

Tingkat

keparahan

Antibiotik Rute Dosis Frekuensi

Kategori I : pneumonia ringan

Pilihan

pertama

Amoksisilin Oral 500-750 mg Setiap 6-8

jam

Pilihan kedua Doksisiklin Oral 100 mg

(dosis awal

200 mg)

Setiap 24

jam

Kategori II : pneumonia sedang-berat

Penisilin IV 1 ME Setiap 6 jam

Amoksisilin IV 1000 mg Setiap 6 jam

Kategori III : pneumonia berat (rawat inap)

Monoterapi Sefuroksim atau IV 1500 mg

Setiap 8 jam

Page 51: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

37

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Seftriakson atau IV 2000 mg

Setiap 24

jam

Sefotaksim IV 1000 mg Setiap 6 jam

Kategori IV : pneumonia berat (ICU)

Monoterapi moksifloksacin IV/Oral 400 mg Setiap 24

jam

Terapi

kombinasi

Sefuroksim atau IV 750-1500 mg Setiap 8 jam

Seftriakson atau IV 2000 mg Setiap 24

jam

Sefotaksim IV 1000 mg Setiap 6 jam

dan

Siprofloksasin IV 400 mg Setiap 12

jam

Dari 20 penelitian (17 observasional dan 3 RCT). Pada 8 penelitian

observasional disimpulkan pemberian antibiotik inisiasi pada 4-8 jam setelah

kedatangan ke rumah sakit berkaitan dengan pengurangan mortalitas 5-43 %.

Terapi antibiotik yang digunakan adalah β-laktam dan kombinasi makrolida atau

monoterapi fluoroquinolon yang diberikan 4-8 jam setelah kedatangan di rumah

sakit untuk pasien pneumonia komunitas dengan rawat inap (Lee at al., 2016).

2.2.3 HIV AIDS

2.2.3.1 Definisi dan Stadium

Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan suatu kondisi

dimana seseorang tidak dapat melawan penyakit yang menyerang tubuhnya,

sehingga tubuh dapat terpapar oleh lebih dari satu macam infeksi atau bahkan

kanker. Sindrom ini disebabkan oleh infeksi suatu virus yang disebut HIV, yang

menyerang sel darah putih tertentu terutama sel CD4 dan monosit atau makrofag.

Sel CD4 dan makrofag memiliki peran yang penting dalam sistem imunitas

manusia sehingga adanya kerusakan sel-sel tersebut dapat membuat seseorang

mencapai suatu kondisi immunodefisiensi yang disebut AIDS. Virus ini juga

menginfeksi dan menyebabkan kerusakan langsung pada tipe sel lain seperti sel

lining usus sehingga pasien mengalami penurunan berat badan maupun sel saraf

yang menyebabkan pasien mengalami permasalahan sistem saraf. Pasien dengan

infeksi HIV dapat dikatakan tidak menderita AIDS jika bebas gejala atau memiliki

gejala yang tidak termasuk dalam AIDS dan memiliki jumlah sel CD4 lebih dari

200 sel/mm3 (Harding n.d., 2009).

Page 52: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

38

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Tabel 2.11 Stadium Klinis Infeksi HIV

Stadium 1

Tidak ada gejala

Limfadenopati Generalisata Persisten

Stadium 2

Penurunan berat badan bersifat sedang yang tak diketahui penyebabnya

(<10% dari perkiraan berat badan atau berat badan sebelumnya)

Infeksi saluran pernafasan yang berulang (sinusitis, tonsillitis, otitis media,

faringitis)

Herpes zoster

Keilitis angularis

Ulkus mulut yang berulang

Ruam kulit berupa papel yang gatal (Papular pruritic eruption)

Dermatisis seboroik

Infeksi jamur pada kuku

Stadium 3

Penurunan berat badan bersifat berat yang tak diketahui penyebabnya

(lebih dari 10% dari perkiraan berat badan atau berat badan sebelumnya)

Diare kronis yang tak diketahui penyebabnya selama lebih dari 1 bulan

Demam menetap yang tak diketahui penyebabnya

Kandidiasis pada mulut yang menetap

Oral hairy leukoplakia

Tuberkulosis paru

Infeksi bakteri yang berat (contoh: pneumonia, empiema, meningitis,

piomiositis, infeksi tulang atau sendi, bakteraemia, penyakit inflamasi

panggul yang berat)

Stomatitis nekrotikans ulserative akut, gingivitis atau periodontitis

Anemia yang tak diketahui penyebabnya (<8g/dl), netropeni (<0.5 x 109/l)

dan/atau trombositopeni kronis (<50 x 109/l)

Stadium 4

Sindrom wasting HIV

Pneumonia Pneumocystis jiroveci

Pneumonia bakteri berat yang berulang

Infeksi herpes simplex kronis (orolabial,

genital, atau anorektal selama lebih dari

1 bulan atau viseral di bagian manapun)

Kandidiasis esofageal (atau kandidiasis

trakea, bronkus atau paru)

Tuberkulosis ekstra paru

Sarkoma Kaposi

Penyakit Cytomegalovirus (renitis atau

infeksi organ lain, tidak termasuk hati,

limpa dan kelenjar getah bening)

Toksoplasmosis di sistem saraf pusat

Ensefalopati HIV

multifocal progresif

Cryptosporidiosis

kronis

Isosporiasis kronis

Mikosis diseminata

(hstoplasmosis,

coccidiomycosis)

Septikemi yang

berulang (termasuk

Salmonella non-tifoid)

Limfoma (serebral atau

sel B non-Hodgkin)

Karsinoma serviks

invasif

Leishmaniasis

Page 53: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

39

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Pneumonia Kriptokokus

ekstrapulmoner, termasuk meningitis

Infeksi mikobakteria non tuberkulosis

yang menyebar

Leukoencephalopathy

diseminata atipikal

Nefropati atau

kardiomiopati terkait

HIV yang simtomatis

Stadium klinik dapat digunakan secara efektif tanpa memeriksa jumlah sel

CD4 atau pemeriksaan laboratorium lain, tetapi jumlah sel CD4 sangat penting

untuk menentukan tingkat imunokompresi pasien dan mendukung pembuatan

keputusan klinik terkait kondisi pasien (Kemenkes, 2011).

Tabel 2.12 Tingkat Imunodefisiensi Berdasarkan Jumlah Sel CD4 Tingkat Keparahan Imunosupresan Jumlah Sel CD4

Imunodefisiensi tidak signifikan >500/mm3

Imunodefisiensi ringan 350-499/mm3

Imunodefisiensi sedang 200-349/mm3

Imunodefisiensi parah <200/mm3

2.2.3.2 Patogenesis

Infeksi HIV hanya dapat ditularkan melalui 3 rute yaitu adanya kontak

dengan darah, cairan semen dan cairan vagina yang terinfeksi HIV, mendapat

injeksi darah yang terinfeksi atau produk darah lain yang terinfeksi, dan yang

terakhir adalah melalui transmisi perinatal (dari ibu yang terinfeksi kepada

janinnya dan dari ibu kepada bayi melalui ASI). Kulit yang tidak luka atau rusak

tidak dapat ditembus oleh HIV, tetapi HIV dapat masuk melalui membran mukosa

yang terdapat pada bagian vagina, rektal, uretra, bahkan mulut. Adanya luka atau

kerusakan pada membran mukosa dapat meningkatkan resiko terjadinya transmisi

HIV ke dalam tubuh (Harding n.d., 2009).

Ketika HIV memasuki tubuh manusia, glikoprotein virus yang paling luar

yaitu gp160 akan berikatan dengan salah satu sel yang memiliki reseptor CD4.

Ikatan ini akan diperkuat oleh kemokin co-receptor HIV yaitu CCR5 dan CXCR4.

Penempelan co-receptor dari HIV akan mengawali terjadinya fusi membran,

dimana tahap ini dimediasi oleh gp41, dan akhirnya mencapai tahap masuknya

materi genetik virus dan enzim yang diperlukan untuk replikasi virus. Setelah

semua materi genetik virus masuk ke dalam sel inang, protrin virus yang

mengelilingi asam nukleat masuk ke dalam kondisi uncoated untuk persiapan

replikasi virus. Enzim reverse transcriptase HIV pertama kali akan mensintesis

Page 54: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

40

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

DNA komplemen menggunakan RNA virus sebagai template, DNA virus yang

telah terbentuk kemudian bermigrasi ke dalam nukleus dan berintegrasi dengan

kromosom sel inang dengan bantuan enzim integrase yang dimiliki HIV. Setelah

tahap integrasi selesai, HIV dapat bereplikasi. Aktivasi replikasi HIV dilakukan

oleh antigen, sitokin, atau faktor lain yang menstimulasi sel untuk memproduksi

faktor nuclear kappa B, sebuah enhancer-binding protein. Secara normal, faktor

nuclear kappa B meregulasi ekspresi gen limfosit T termasuk pertumbuhannya

sehingga secara tidak sengaja dapat mengaktifkan replikasi HIV. Setelah seluruh

bagian-bagian virus direplikasi dan dikemas, virion kemudian bergerak menembus

mambran plasma sehingga memperoleh karakteristik lipid bilayer sel inang.

Setelah virion terbentuk, proses pematangan dimulai. Di dalam virion, enzim

protease akan mulai memotong prekursor polipeptida (gag-pol) menjadi protein

fungsional yang diperlukan untuk memproduksi virus yang lengkap (Dipiro et al.,

2011).

2.2.4.3 Diagnosis

Setelah dinyatakan terinfeksi HIV maka pasien perlu dirujuk ke pelayanan

kesehatan untuk menjalankan serangkaian pemeriksaan yang meliputi penilaian

stadium klinis, penilaian imunologis dan penilaian virologi. Hal tersebut

dilakukan untuk menentukan apakah pasien sudah memenuhi syarat untuk terapi

antiretroviral, menilai status supresi imun pasien, menentukan infeksi oportunistik

yang pernah dan sedang terjadi dan menentukan paduan obat ARV yang sesuai

(Kemenkes, 2011a).

a. Penilaian Stadium Klinis

Stadium klinis harus dinilai pada saat kunjungan awal dan setiap kali kunjungan

untuk penentuan terapi ARV dengan lebih tepat waktu (Kemenkes, 2011a).

b. Penilaian Imunologi (Pemeriksaan jumlah CD4)

Jumlah CD4 adalah cara untuk menilai status imunitas ODHA.

Pemeriksaan CD4 melengkapi pemeriksaan klinis untuk menentukan pasien yang

memerlukan pengobatan profilaksis infeksi oportunistik dan terapi ARV. Rata rata

penurunan CD4 adalah sekitar 70-100 sel/mm3/tahun, dengan peningkatan setelah

pemberian ARV antara 50-100 sel/mm3/tahun. Jumlah limfosit total (TLC) tidak

dapat menggantikan pemeriksaan CD4 (Kemenkes, 2011a).

Page 55: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

41

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

c. Pemeriksaan laboratorium sebelum memulai terapi

Pada dasarnya pemantauan laboratorium bukan merupakan persyaratan

mutlak untuk menginisiasi terapi ARV. Pemeriksaan CD4 dan viral load juga

bukan kebutuhan mutlak dalam pemantauan pasien yang mendapat terapi ARV,

namun pemantauan laboratorium atas indikasi gejala yang ada sangat dianjurkan

untuk memantau keamanan dan toksisitas pada ODHA yang menerima terapi

ARV. Hanya apabila sumberdaya memungkinkan maka dianjurkan melakukan

pemeriksaan viral load pada pasien tertentu untuk mengkonfirmasi adanya gagal

terapi menurut kriteria klinis dan imunologis (Kemenkes, 2011a).

d. Persyaratan lain sebelum memulai terapi ARV

Sebelum mendapat terapi ARV pasien harus dipersiapkan secara matang

dengan konseling kepatuhan karena terapi ARV akan berlangsung seumur

hidupnya. Untuk ODHA yang akan memulai terapi ARV dalam keadaan jumlah

CD4 di bawah 200 sel/mm3 maka dianjurkan untuk memberikan Kotrimoksasol

(1x 960mg sebagai pencegahan infeksi oportunistik) 2 minggu sebelum terapi

ARV. Hal ini dimaksudkan untuk mengkaji kepatuhan pasien untuk minum obat

dan menyingkirkan kemungkinan efek samping tumpang tindih antara

kotrimoksasol dan obat ARV, mengingat bahwa banyak obat ARV mempunyai

efek samping yang sama dengan efek samping kotrimoksasol (Kemenkes, 2011a).

2.2.3.3 Terapi Antimikroba pada Infeksi Oportunistik Penderita HIV

Infeksi Oportunistik adalah infeksi yang disebabkan oleh organisme yang

biasanya tidak menyebabkan penyakit pada orang dengan sistem kekebalan tubuh

yang normal, tetapi dapat menyerang orang dengan sistem kekebalan tubuh yang

buruk. Adapun terapi antimikroba pada infeksi oportunistik penderita HIV adalah

sebagai berikut :

a. Pengobatan Pencegahan Kotrimoksasol (PPK)

Beberapa infeksi oportunistik (IO) pada ODHA dapat dicegah dengan

pemberian pengobatan profilaksis. Terdapat dua macam pengobatan pencegahan,

yaitu profilaksis primer dan profilaksis sekunder.

Profilaksis primer adalah pemberian pengobatan pencegahan untuk

mencegah suatu infeksi yang belum pernah diderita.

Page 56: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

42

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Profilaksis sekunder adalah pemberian pengobatan pencegahan yang

ditujukan untuk mencegah berulangnya suatu infeksi yang pernah diderita

sebelumnya.

Berbagai penelitian telah membuktikan efektifitas pengobatan pencegahan

kotrimoksasol dalam menurunkan angka kematian dan kesakitan pada orang yang

terinfeksi HIV. Hal tersebut dikaitkan dengan penurunan insidensi infeksi

bakterial, parasit (Toxoplasma) dan Pneumocystis carinii pneumonia (sekarang

disebut P. jiroveci, disingkat sebagai PCP). Pemberian kotrimoksasol untuk

mencegah (secara primer maupun sekunder) terjadinya PCP dan Toxoplasmosis

disebut sebagai Pengobatan Pencegahan Kotrimoksasol (PPK) (Kemenkes,

2011a).

PPK dianjurkan bagi:

ODHA yang bergejala (stadium klinis 2, 3, atau 4) termasuk perempuan

hamil dan menyusui. Walaupun secara teori kotrimoksasol dapat

menimbulkan kelainan kongenital, tetapi karena risiko yang mengancam

jiwa pada ibu hamil dengan jumlah CD4 yang rendah (<200) atau gejala

klinis supresi imun (stadium klinis 2, 3 atau 4), maka perempuan yang

memerlukan kotrimoksasol dan kemudian hamil harus melanjutkan

profilaksis kotrimoksasol.

ODHA dengan jumlah CD4 di bawah 200 sel/mm3 (apabila tersedia

pemeriksaan dan hasil CD4) (Kemenkes, 2011a).

Tabel 2.13 Pemberian kotrimoksazol sebagai profilaksis primer

Indikasi Saat penghentian Dosis Pemantauan

Bila tidak tersedia

pemeriksaan

jumlah sel CD4,

semua pasien

diberikan

kotrimoksazol

segera setelah

dinyatakan HIV

positif

2 tahun setelah

penggunaan

kotrimoksazol jika

mendapatkan

ARV.

960 mg/ hari dosis

tunggal

Efek samping

berupa tanda

hipersensitivitas

seperti demam,

rash, sindrom

Steven Johnson,

tanda penekanan

sumsum tulang

seperti anemi,

trombositopeni,

lekopeni,

pansitopeni

Interaksi obat

dengan ARV dan

Bila tersedia

pemeriksaan

jumlah sel CD4

dan terjangkau,

kotrimoksazol

Bila sel CD4 naik

>200 sel/mm3

pada pemeriksaan

dua kali interval 6

bulan berturut-

Page 57: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

43

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

diberikan pada

pasien dengan

jumlah CD4 <200

sel/mm3

turut jika

mendapatkan ARV

obat lain yang

digunakan dalam

pengobatan

penyakit terkait

HIV. Semua bayi lahir

dari ibu hamil

HIV positif

berusia 6 minggu

Dihentikan pada

usia 18 bulan

dengan hasil test

HIV negatif

Jika tes HIV

positif dihentikan

pada usia 18 bulan

jika mendapatkan

terapi ARV

Trimetropim 8 –

10 mg/kg BB

dosis tunggal

b. Diagnosis Klinis dan Tatalaksana Infeksi Oportunistik (Kemenkes, 2011a)

Tabel 2.14 Diagnosis Klinis dan Tatalaksana Infeksi Oportunistik

No Infeksi

Oportunistik

Tampilan

Klinis

Diagnosis Terapi

1. Pneumoniaa

Pneumocystis

jiroveci (PCP)

Batuk kering

Sesak nafas

Demam

Keringat malam

Subakut sampai

1 – 2 bulan

Kelainan

pada foto

toraks dengan

infiltrat

intersisial

bilateral

Terapi pilihan:

Kotrimoksazol (TMP

15 mg + SMZ 75

mg/kg/ hari) dibagi

dalam 4 dosis atau

Kotrimoksazol 480 mg,

2 tablet 4 kali sehari

untuk BB < 40 kg dan

3 tablet 4 kali sehari

untuk BB > 40 kg

selama 21 hari

Terapi alternatif

Klindamisin 600 mg IV

atau 450 mg oral 3 kali

sehari + primakuin 15

mg oral sekali sehari

selama 21 hari bila

pasien alergi terhadap

sulfa

Untuk pasien yang

parah dianjurkan

pemberian prednisolon

40 mg, 2 kali sehari,

dengan penurunan

dosis secara bertahap

hingga 7 – 10 hari,

tergantung dari respon

terhadap terapi.

2. Kandidiasis Kandidiasis

oral:

Tampilan

klinis yang

Tablet Nistatin 100.000

IU, dihisap setiap 4 jam

Page 58: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

44

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Bercak putih di

selaput mukosa

disertai eritema

di rongga mulut

khas pada

pemeriksaan

fisik

Pada sediaan

KOH

mikroskopis

ditemukan

pseudohifa

selama 7 hari

atau

Suspensi Nistatin 3-5

cc dikumur 3 kali

sehari selama 7 hari

Kandidiasis

esofageal:

Disfagi disertai

rasa nyeri

terbakar di dada

Tampilan

klinis khas

dan

memberikan

respon baik

setelah di

terapi

Bila

memungkink

an dapat

dilakukan

endoskopi

Flukonazol 200 mg per

sehari selama 14 hari

atau

Itrakonazol 400 mg per

sehari selama 14 hari

atau

Ketokonazol 200 mg

per sehari selama 14

hari

3. Kriptokokosis

Nyeri kepala

belakang, tanda

meningeal,

fotofobia, kaku

kuduk atau

tekanan

intrakranial

meningkat

Demam

Perubahan

kesadaran

Penyakit yang

diseminasi

memberi kan

tanda lesi

papulonekrotik

menyerupai

moluskum

kontagi-osum

disertai demam

dan infiltrat di

paru

Peningkatan

tekanan

intrakranial

pada punksi

lumbal

Protein di

cairan

serebrospinal

Dapat

ditemukan

organisme

dalam

CSP atau lesi

kulit dengan

sediaan

pengecatan

tinta India di

bawah

mikroskop

Terapi pilihan:

Amfoterisin B IV (0,7

mg/ kg/ hari) selama 2

minggu diikuti dengan

flukonazol 400 mg

perhari selama 8-10

minggu. Hati- hati akan

efek samping

nefrotoksik

amfoterisin.

Terapi alternatif:

Flukonazol 400-800

mg per hari selama 8 –

12 minggu

Terapi rumatan:

itrakonazol 200

mg/hari atau flukonasol

200 mg/ hari

4. Toksoplasmos

is serebral

Sakit kepala

Pusing

Demam

Defisit nerologis

fokal

Kejang

Defisit

nerologis

fokal

CT scan

kepala

Respon

Terapi pilihan

Pirimetamin dosis

awal: 100 mg, diikuti

dengan 50 mg perhari +

klindamisin 4 x 600 mg

Asam folinat 15 mg

Page 59: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

45

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

terhadap

terapi

presumtif

dapat

menyokong

diagnosis

setiap 2 hari bila

tersedia

Terapi selama 6

minggu

Terapi rumatan

Pirimetamin 25 mg /

hari + klindamisin

600mg

5. Herpes

simpleks

Sekelompok

vesikel berair

biasanya di

daerah genital

atau sekitar

mulut dapat

menjadi

sistemik seperti

esofagitis,

ensefalitis

Gambaran

klinis khas

Biasanya sembuh

sendiri dan tidak perlu

terapi

Perawatan lesi, dengan

gentian violet atau

larutan klorheksidin

Bila ada indikasi dapat

diberi asiklovir 5 x 200

atau 3 x 400 mg selama

7 hari.

6. Herpes zoster

Sekelompok

vesikel berair

terasa sangat

nyeri di

sepanjang

dermatom.

Dapat

menyerang mata

Gambaran

klinis khas

Perawatan lesi, dengan

gentian violet atau

larutan klorheksidin

Asiklovir 5 x 800 mg

selama 7 hari,

diberikan dalam 72 jam

sejak timbulnya erupsi

vesikel.

Famsiklovir dan

valasiklovir sebagai

alternatif

7. Tuberkulosis

TB Paru

Batuk, demam,

berat badan

berkurang, cepat

lelah

Pemeriksaan

dahak SPS

untuk

mencari BTA

Foto toraks:

Gambaran

paru yang

klasik:

Kavitasi di

lobus atas

Gambaran

paru yang

atipik:

Infiltrat

intersisial

bilateral

Efusi pleura:

periksa BTA

pada punksi

Terapi sesuai Pedoman

Nasional

Penanggulangan

Tuberkulosis

Page 60: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

46

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

pleura

8. Mycobacteriu

m Avium

Complex

(MAC)

Demam

berulang kali,

berat badan

menurun, cepat

lelah

Isolasi

organisme

dari darah

atau tempat

lain

Anemia yang

tidak

diketahui

sebabnya

Terapi pilihan

Azitromisin 1 x 500 mg

atau

Klaritromisin 2 x 500

mg + etambutol 15

mg/kg/ hari. Bila

infeksi berat dapat

ditambah obat ketiga

seperti levofloxacin 1 x

500 mg (atau

Siprofloksasin 2 x 500

mg)

Keadaan akan

membaik dengan terapi

ARV

Terapi rumatan

Klaritromisin 2 x 500

mg atau azitromisin 1 x

500 mg + etambutol 15

mg/kg/ hari

9. Kriptosporidi

osis

Diare kronis

Kram perut dan

muntah

Nyeri perut

kanan atas

Sediaan feses

dengan

pengecatan

BTA

Terapi ARV

Dalam Guidelines for Prevention and Treatment of Opportunistic

Infections in HIV-Infected Adults and Adolescents 2016 disebutkan pengobatan

yang digunakan pada infeksi oportunistik dengan petunjuk penilaian sebagai

berikut:

Tingkat rekomendasi :

A : Pernyataan direkomendasikan kuat

B : Pernyataan direkomendasikan sedang

C : Pernyataan direkomendasikan secara bebas

Penilaian kualitas untuk rekomendasi :

I : Satu atau lebih randomized trial dengan hasil klinis dan atau hasil laboratorium

tervalidasi

II : Satu atau lebih disain terbaik, norandomized trials atau penelitian kohort

observasional dengan hasil klinis masa lama

III : Opini terbaik

Page 61: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

47

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

c. Rekomendasi pencegahan dan pengobatan Pneumocytis Pneumonia (PCP)

Tabel 2.15 Pengobatan Pneumocytis Pneumonia (PCP)

Indikasi untuk permulaan profilaksis primer :

Jumlah CD4 <200 sel/mm3 (AI) atau

Candidiasis orofaringeal (AIII) atau

CD4 % < 14% (BII) atau

Riwayat AIDS atau

Jumlah CD4 >200 tetapi < 250 sel/mm3 dan jika monitoring jumlah sel CD4

setiap 3 bulan tidak memungkinkan.

Terapi utama :

• TMP-SMX, 1 DS PO setiap hari (AI) atau

• TMP-SMX, 1 SS PO setiap hari (AI).

Terapi alternatif

• TMP-SMX 1 DS PO tiga kali seminggu (BI) atau

• Dapson 100 mg PO perhari atau 50 mg PO dua kali sehari (BI) atau

• Dapson 50 mg PO perhari+ (pyrimethamine 50 mg + leucovorin 25 mg) PO

setiap minggu (BI) atau

• (Dapson 200 mg + pyrimethamine 75 mg + leucovorin 25 mg) PO setiap

minggu (BI).

Pencegahan episode awal dari PCP (Profilaksis primer)

Indikasi penghentian profilaksis primer

• Jumlah CD4 meningkat dari <200 sel/mm3 sampai ≥200 sel/mm

3 paling sedikit 3

bulan pada respon ART (AI)

Indikasi untuk memulai kembali profilaksis primer

• Jumlah CD4 <200 sel/mm3 (AIII)

Pengobatan PCP

Untuk PCP sedang hingga berat, durasi total 21 hari (AII)

Terapi utama :

• TMP-SMX: (TMP 15–20 mg dan SMX 75–100 mg)/kg/day IV setiap 6 jam atau

8 jam (AI), dapat diganti PO setelah perbaikan klinis (AI).

Terapi alternatif :

• Pentamidine 4 mg/kg IV satu kali sehari secara infus sekurangnya selama 60

menit (AI); dosis dapat diturunkan menjadi 3 mg/kg IV satu kali sehari karena

toksisitas (BI) atau

• Primaquin 30 mg (basis) PO satu kali sehari + (Clindamycin [IV 600 setiap 6

jam atau 900 mg setiap 8 jam atau PO 450 mg setiap 6 jam atau 600 mg setiap 8

jam) (AI).

Untuk PCP ringan hingga sedang, durasi total 21 hari (AII)

Terapi utama :

• TMP-SMX: (TMP 15–20 mg/kg/day dan SMX 75–100 mg/kg/hari), diberikan

PO terbagi menjadi 3 dosis (AI) atau

• TMP-SMX DS - 2 tablet tiga kali sehari (AI).

Terapi alternatif :

• Dapson 100 mg PO satu kali sehari + TMP 15 mg/kg/day PO (terbagi menjadi 3

dosis) (BI) atau

• Primaquin 30 mg (basis) PO setiap hari + Clindamycin PO (450 mg setiap 6 jam

Page 62: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

48

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

atau 600 mg setiap 8 jam) (BI) atau

• Atovaquon 750 mg PO dua kali sehari dengan makanan (BI).

Kortikosteroid tambahan

Untuk PCP sedang hingga berat dengan kriteria (AI) :

• PaO2 <70 mmHg pada suhu ruang atau

• Gradien alveolar-arterial O2 ≥35 mmHg.

Daftar dosis

Dosis prednison (dimulai segera mungkin dalam 72 jam terapi PCP) (AI) :

1-5 hari 40 mg PO dua kali sehari

6-10 hari 40 mg PO setiap hari

11- 12

hari

20 mg PO setiap hari

Metilprednisolon iv dapat diberikan 75% dari dosis prednison.

DS = Double Strength, SS = Single Strength

TMP = trimethroprim, SMX = Sulfametoksazol

d. Rekomendasi untuk pengobatan infeksi Mycobacterium Tuberculosis dan

penyakitnya

Tabel 2.16 Pengobatan infeksi Mycobacterium Tuberculosis

Pengobatan LTBI (infeksi laten tuberculosis) untuk mencegah penyakit TB

Indikasi :

(+) tes skrining LTBI, tidak ada bukti TB aktif, dan tidak ada riwayat pengobatan

TB aktif atau laten sebelumnya (AI).

Hindari kontak dengan orang yang terinfeksi TB, tanpa memperhatikan hasil tes

skrining (AII).

Terapi utama (durasi terapi = 9 bulan)

INH 300 mg PO per hari + piridoksin 25 mg perhari (AII) atau

INH 900 mg Po dua kali seminggu + Piridoksin 25 mg PO setiap hari (BIII).

Terapi alternatif

RIF 600 mg PO perhari selama 4 bulan (BIII) atau

RFB (dosis sesuai ART yang dibakai) selama 4 bulan (BIII)

Pengobatan penyakit TB aktif

Setelah pengumpulan spesimen untuk kultur dan tes diagnosis molekuler, terapi

empirik permulaan harus diberikan pada pasien HIV yang secara klinik dan

radiologik dinyatakan mengalami HIV yang berhubungan dengan TB.

Untuk TB sensitif obat

Fase intensif (2 bulan)

INH + (RIF atau RFB) + PZA +EMB (AI), jika dilaporkan sensitivitas pada INH

dan RIF, EMB dapat dihentikan.

Fase lanjut (untuk pasien diduga TB)

INH + (RIF atau RFB) perhari (5-7 minggu) atau dua kali seminggu (AII).

Durasi total terapi :

Pulmonari, obat rentan TB : selama 6 bulan (BII)

TB pulmonari dan kultur positif pada 2 bulan pengobatan TB : selama 9 bulan

(BII)

Page 63: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

49

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

TB ekstrapulmonari dengan CNS : selama 9-12 bulan (BII)

TB ekstrapulmonari dengan tulang : selama 6-9 bulan (BII)

TB ekstrapulmonari pada tempat lain : selama 6 bulan (BII)

Durasi total harus berdasarkan pada jumlah dosis yang didapatkan, bukan

berdasarkan kalender (BIII).

Untuk resisten obat

Terapi empirik untuk terduga resisten pada Rifamisin :

INH + (RIF atau RFB) + PZA + EMB + (moxifloxacin atau levofloksacin) +

(aminoglikosida atau kapreomisin).

Resisten terhadap INH

(RIF atau RFB) + EMB + PZA + (moxifloxacin atau levofloksacin) selama 2

bulan (BIII), diikuti dengan (RIF atau RFB) + EMB + (moxifloxacin atau

levofloksacin) selama 7 bulan (BII).

ART = Terapi Antiretroviral

INH = Isoniazid

Page 64: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

50 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif menggunakan desain cross

sectional (potong lintang), yaitu mempelajari dinamika korelasi antara faktor

pengaruh dan faktor terpengaruh dengan cara pendekatan, observasi,

pengumpulan data sekaligus, dimana menekankan waktu pengukuran hanya satu

kali pada satu saat (Notoatmodjo, 2002). Pengambilan data pasien dilakukan

secara retrospektif, melalui rekam medis pasien rawat inap yang menerima

antibiotika di ruang isolasi rumah sakit umum daerah Cengkareng periode Januari

– Desember 2016.

3.2 Kerangka Konsep

Gambar 2. Kerangka Konsep Penelitian

Karakteristik

pasien:

- Jenis Kelamin

- Usia

- Pekerjaan

- Pendidikan

- Penyakit

penyerta

Jumlah Antibiotik

Drug Related Problems

Memenuhi

kriteria

inklusi dan

eksklusi

Ketepatan Antibiotik

- Efektivitas Terapi

- Reaksi Obat yang Tidak

Dikehendaki

-

-

Pasien dengan penyakit TB,

HIV, dan Pneumonia di

ruang isolasi

Page 65: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

51

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

*Ketepatan penggunaan antibiotik dinilai dengan menggunakan skema

klasifikasi drug related problems PCNE 2016 adalah sebagai berikut:

a) Permasalahan

Tabel 3.1 Permasalahan drug related problems PCNE 2016

Domain Utama Kode

V7.0

Masalah

1. Efektivitas terapi P1.1 Obat tidak efektif atau pengobatan gagal

P1.2 Efek obat tidak optimal

P1.3 Obat tidak diperlukan

P1.4 Indikasi tidak terobati

2. Reaksi obat yang tidak

dikehendaki (ROTD)

P2.1 Pasien menderita ROTD

b) Penyebab

Tabel 3.2 Penyebab drug related problems PCNE 2016

Domain Utama Kode

V7.0

Penyebab

Per

esep

an

1. Pemilihan Obat C1.1 Obat tidak tepat berdasarkan

guidelines atau formularium

C1.2 Obat tidak tepat (kontraindikasi)

C1.3 Tidak ada indikasi untuk

penggunaan obat

C1.4 Kombinasi obat-obat tidak tepat

C1.5 Duplikasi kelompok terapi atau

bahan aktif yang tidak tepat

C1.6 Ada indikasi tetapi obat tidak

diresepkan

C1.7 Banyak obat (kelompok terapi

atau bahan aktif yang berbeda)

diresepkan untuk indikasi yang

sama

C1.8 Kebutuhan obat yang bersifat

sinergis/preventif tidak

diresepkan

2. Pemilihan Bentuk Sediaan C2.1 Bentuk sediaan obat tidak tepat

3. Pemilihan Dosis C3.1 Dosis obat terlalu rendah

C3.2 Dosis obat terlalu tinggi

C3.3 Frekuensi pemberian lebih lebih

jarang dari aturan pakai

C3.4 Frekuensi pemberian melebihi

aturan pakai

4. Penentuan Lama Pengobatan C4.1 Lama pengobatan terlalu pendek

C4.2 Lama pengobatan terlalu panjang

Page 66: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

52

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3.3 Populasi dan Sampel

3.3.1 Populasi

Subjek dalam penelitian ini adalah seluruh data rekam medis pasien

penyakit infeksi di ruang isolasi RSUD Cengkareng periode Januari-Desember

2016. Besar populasi yang ada di ruang isolasi periode Januari-Desember 2016

adalah 1200 pasien. Subjek yang dipilih adalah subjek yang memenuhi kriteria

inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi.

Kriteria Inklusi adalah :

a. Semua pasien penyakit tuberkulosis, pneumonia dan HIV yang

menggunakan antibiotik di ruang isolasi RSUD Cengkareng periode

Januari-Desember 2016.

b. Subjek penelitian adalah pasien usia ≥ 26 tahun.

c. Rekam medik yang lengkap dan jelas terbaca.

Kriteria Eksklusi adalah :

a. Data rekam medik yang tidak lengkap dan tidak bisa dievaluasi.

b. Pasien penyakit tuberkulosis, pneumonia dan HIV yang dirawat di ruang

isolasi selain periode Januari-Desember 2016.

3.3.2 Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah populasi yang memenuhi kriteria

inklusi. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling

yaitu teknik pengambilan sampel dengan pertimbangan sesuai inklusi dan jumlah

pasien yang dibutuhkan. Pengambilan besar sampel dalam penelitian ini

ditentukan berdasarkan rumus Slovin sebagai berikut :

n = N

1+N (e)2

Keterangan :

n = Jumlah sampel

N = Jumlah populasi

e = Batas toleransi kesalahan

n = 1200

1+1200 (0,1)2 = 92,3 = 93 sampel

Jumlah sampel yang diambil pada penelitian ini adalah 93 pasien.

Page 67: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

53

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3.4 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di ruang rekam medik RSUD Cengkareng Jakarta

Barat pada bulan April – Juni 2017.

3.5 Definisi Oprasional

Dalam penelitian ini terdapat beberapa istilah yang didefinisikan sebagai berikut:

Tabel 3.3 Definisi Oprasional

No Variabel Definisi Cara dan

Alat Ukur

Skala

Ukur

Keterangan

1. Tuberkulosi

s

adalah

penyakit

dengan tanda:

uji BTA positif

dan atau foto

torak

menyatakan

adanya

tuberkulosis

Melihat

pencatatan

status pasien

di rekam

medis

Kategori 1.TB dengan

BTA positif

2.TB dengan

foto toraks

menunjukkan

adanya

tuberkulosis

3.TB dengan

BTA positif

dan foto torak

menunjukkan

adanya

tuberkulosis

2. Pneumonia Adalah

penyakit

dengan tanda

batuk-batuk,

demam, sesak

napas, nyeri

dada pleuritik,

suara napas

bronkial dan

produksi

sputum

Melihat

pencatatan

status pasien

di rekam

medis

Kategori 1. Pneumonia

yang

memenuhi

seluruh tanda

pneumonia

2. Pneumona

yang

memenuhi

sebagian tanda

pneumonia

3. HIV Adalah

penyakit

dengan

pemeriksaan

HIV reaktif

dan CD 4

<200/mm3

Melihat

pencatatan

status pasien

di rekam

medis

Nominal 1.Pasien

dengan hasil

pemeriksaan

HIV reaktif

dan CD 4

<200/mm3

2. Pasien

dengan hasil

pemeriksaan

HIV reaktif

4. TB +

Pneumonia

komplikasi

penyakit TB

dan

Melihat

pencatatan

status pasien

Kategori 1. Pasien

dengan BTA

positif disertai

Page 68: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

54

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

No Variabel Definisi Cara dan

Alat Ukur

Skala

Ukur

Keterangan

Pneumonia

dengan uji

BTA positif

dan atau foto

torak

menyatakan

adanya

tuberkulosis

disertai tanda

pneumonia

di rekam

medis

pneumonia

2. Pasien

dengan foto

torak

menyatakan

adanya

tuberkulosis

disertai tanda

pneumonia

3. Pasien

dengan BTA

positif, foto

torak

menandakan

adanya

tuberkulosis

disertai tanda

pneumonia

5. TB + HIV Komplikasi

penyakit TB

dan HIV

dengan uji

BTA positif

dan atau foto

torak

menyatakan

adanya

tuberkulosis

disertai uji

HIV reaktif

dan CD4 <

200/mm3

Melihat

pencatatan

status pasien

di rekam

medis

Kategori 1.Pasien

dengan BTA

positif disertai

uji HIV r dan

CD4 <

200/mm3eaktif

2.Pasien

dengan foto

torak

menandakan

adanya

tuberkulosis

disertai uji

HIV reaktif

dan CD4 <

200/mm3

3.Pasien

dengan BTA

positif, foto

torak

menandakan

adanya

tuberkulosis

disertai uji

HIV reaktif

dan CD4 <

200/mm3

Page 69: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

55

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

No Variabel Definisi Cara dan

Alat Ukur

Skala

Ukur

Keterangan

6. TB+Pneum

onia+HIV

Komplikasi

penyakit TB,

pneumonia

dan HIV

dengan uji

BTA positif

dan atau foto

torak

menyatakan

adanya

tuberkulosis,

tanda

pneumonia

disertai uji

HIV reaktif

Melihat

pencatatan

status pasien

di rekam

medis

Kategori 1. Pasien BTA

positif dengan

tanda

pneumonia

disertai uji

HIV reaktif

dan CD4 <

200/mm3

2. Pasien

dengan foto

torak

menyatakan

adanya

tuberkulosis,

tanda

pneumonia

disertai uji

HIV reaktif

dan CD4 <

200/mm3

3. Pasien

dengan BTA

positif, foto

torak

menandakan

adanya

tuberkulosis,

tanda

pneumonia

disertai uji

HIV reaktif

dan CD4 <

200/mm3

7. Karakteristik pasien

Jenis

Kelamin

Kondisi fisik

penentuan

status laki-laki

atau

perempuan

Melihat

pencatatan

status pasien

di rekam

medis

Nominal 1. 1.Laki-laki

2. 2.Perempuan

Usia Umur pasien

yang menjalani

terapi

berdasarkan

ulang tahun

terakhir

Melihat

pencatatan

status pasien

di rekam

medis

Kategori 1. 1.Dewasa

Awal

2. 2.Dewasa

Akhir

3. 3.Lansia Awal

4. 4.Lansia Akhir

5. 5.Manula

Page 70: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

56

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

No Variabel Definisi Cara dan

Alat Ukur

Skala

Ukur

Keterangan

Length of

stay (Lama

hari rawat)

Lama hari

rawat inap

pasien di ruang

isolasi RSUD

Cengkareng

Melihat

pencatatan

status pasien

di rekam

medis

Rasio 1.1-7 hari

2.8-14 hari

3.≥ 15 hari

Pendidikan Tingkat ilmu

pengetahuan

terakhir yang

diperoleh

pasien

Melihat

pencatatan

status pasien

di rekam

medis

Kategori 1. 1. SD

2. 2. SMP

3. 3. SMA

4. 4.TNI

5. 5.Tidak

diketahui

Penyakit

penyerta

Diagnosa lain

yang diderita

pasien selain

tuberkulosis,

pneumonia dan

HIV

Melihat

pencatatan

status pasien

di rekam

medis

Kategori 6. 1. Efusi Pleura

7. 2. Diabetes

Militus

8. 3. Hepatitis

9. 4. Penyakit

lainnya

8. Kuantitas

penggunaan

antibiotik

Jumlah

penggunaan

antibiotik yang

dievaluasi

dengan metode

ATC/DDD

Melihat

pencatatan

status pasien

di rekam

medis

Nominal

DDD

(Difined

Daily Dose)

Nilai DDD

dari setiap

jenis antibiotik

yang

ditetapkan oleh

WHO

Dilihat di

situs resmi

WHO:https://

www.whocc.

no/atc_ddd_i

ndex/

Nominal

9. DU 90% Jumlah

penggunaan

obat yang

masuk ke

dalam segmen

90%

Jenis obat

yang sudah

dikonversi

sesuai indeks

ATC/DDD

diurutkan

berdasarkan

besarnya nilai

DDD yang

digunakan

dimulai dari

yang terbesar

menuju yang

terkecil dan

dihitung

persentase

kumulatifnya

Nominal

Page 71: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

57

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

No Variabel Definisi Cara dan

Alat Ukur

Skala

Ukur

Keterangan

kemudian

diambil jenis

obat yang

masuk

segmen 90%

kumulatif

obat yang

digunakan

1.

10. Drug

Related

Problems

- Masalah yang

timbul karena

penggunaan

antibiotik.

Berupa:

Domain utama

permasalahan

efektivitas

terapi dan

ROTD serta

Penyebab yang

berkaitan

dengan

peresepan dan

penggunaan

Melihat

pencatatan

status pasien

di rekam

medis

Nominal 2. 1. Terjadi

DRPs

3. 2. Tidak terjadi

DRPs

11. Efektivitas

Terapi Efektivitas

terapi yang

ditandai

dengan kadar

leukosit,

kecepatan

pernafasan,

denyut nadi

dan suhu tubuh

terkendali pada

batas normal,

tanda

pneumonia

yang stabil

(suhu tubuh ≤

37,8 ºC,

denyut nadi

≤ 100 kali/

menit,

pernafasan/

RR ≤ 24 kali/

menit, tekanan

Melihat

pencatatan

status pasien

di rekam

medis

Kategori 4. 1.Tuberkulosis

dengan

leukosit,

kecepatan

pernafasan,

denyut nadi

dan suhu tubuh

terkendali pada

batas normal.

5. 2.Pneumonia

dengan

kestabilan

pneumonia

6. 3.HIV dengan

leukosit,

kecepatan

pernafasan,

denyut nadi

dan suhu tubuh

terkendali pada

batas normal.

7. 4. TB dan

Pneumoina

Page 72: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

58

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

No Variabel Definisi Cara dan

Alat Ukur

Skala

Ukur

Keterangan

darah sistolik

≥ 90 mmHg,

saturasi

oksigen

arterial

≥ 90 % atau

pO2 ≥ 60

mmHg pada

suhu ruang,

status mental

normal dan

mampu

mengonsumsi

makanan

secara oral)

8. dengan tanda

pneumonia

stabil

9. 5. TB dan HIV

dengan

leukosit,

kecepatan

pernafasan,

denyut nadi

dan suhu tubuh

terkendali pada

batas normal.

10. 6. TB,

Pneumonia

dan HIV

dengan tanda

pneumonia

stabil

12. Reaksi Obat

yang Tidak

Dikehendak

i

- Pasien

menderita efek

samping dan

atau drug

induced liver

injury (DILI)

Melihat

pencatatan

status pasien

di rekam

medis

Kategori 11. 1. Pasien yang

menderita efek

samping obat

12. 2. Pasien yang

menderita drug

induced liver

injury (DILI)

3.6 Prosedur Penelitian

3.6.1 Persiapan (Permohonan Izin)

Pembuatan dan penyerahan surat permohonan izin pelaksanaan penelitian dari

Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif

Hidayatullah dan Unit Pelaksana Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kota

Administrasi Jakarta Barat kepada RSUD Cengkareng. Penyerahan surat

persetujuan penelitian dari RSUD Cengkareng kepada Fakultas Kedokteran dan

Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah.

3.6.2 Pengumpulan Data Penelitian

Pengumpulan data penelitian dilakukan dengan alur sebagai berikut:

a. Pemilihan pasien yang masuk ke dalam kriteria inklusi. Data rekam medik

dari pasien tersebut kemudian didokumentasikan berupa nomor rekam

Page 73: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

59

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

medis, usia pasien, diagnosis, data laboratorium berupa suhu tubuh,

leukosit serta uji kultur dan sensitifitas, dan data penggunaan obat.

b. Data dari rekam medis pasien dianalisis dan dievaluasi menggunakan

metode ATC/DDD dan skema drug related problems PCNE 2016.

3.6.3 Pengolahan Data

Data yang diperoleh dari rekam medis pasien kemudian diolah dengan

menggunakan program Microsoft Exel 2010 untuk perhitungan nilai DDD/100

patient-days dan data untuk menyusun segmen DU90% serta menggunakan

Statistical Package for the Social Science (SPSS) edisi 16.0 untuk data

sosiodemografi, frekuensi klinik pasein, analisis drug related problems, hubungan

penggunaan antibiotik terhadap data laboratorium.

Proses pengolahan data meliputi langkah sebagai berikut:

a. Editing

Proses ini meliputi pemeriksaan kelengkapan data yang akan diolah, korelasi

kesalahan data dan eksklusi data-data yang tidak dibutuhkan sehingga pengolahan

data lebih mudah dan dapat dilakukan peneliti dengan baik.

b. Coding

Proses ini merupakan pemberian kode berupa angka terhadap data-data yang

terdiri dari beberapa kategori dalam satu variabel.

c. Input data

Kegiatan memasukkan data yang akan diolah ke dalam program.

d. Cleaning data

Pemeriksaan kembali untuk memastikan data benar dan siap diolah.

3.6.4 Analisis Data

a. Analisis Univariat

Analisis univariat adalah analisis yang digunakan untuk menganalisis setiap

variabel (terikat maupun bebas) yang akan diteliti secara deskriptif. Data yang

telah dikategorikan ditampilkan sebagai frekuensi kejadian. Adapun pengolahan

data dengan menggunakan analisis univariat ialah:

1. Karakteristik pasien

Jenis kelamin

Usia

Page 74: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

60

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Pekerjaan

Pendidikan

Penyakit penyerta

2. Analisis Data dengan Metode ATC/DDD

Analisis dilakukan dengan menghitung kuantitas penggunaan antibiotik pada

pasien penyakit infeksi di ruang isolasi dengan metode DDD, yang diproses

dengan program Microsoft Excel 2010. Berikut tata cara analisis dengan

menggunakan metiode DDD :

a. Klasifikasi kode Anatomical Therapeutic Chemical (ATC) suatu

antibiotik berdasarkan Guidelines for ATC Classification dan DDD

Assignment WHO tahun 2012.

b. Identifikasi jenis antibiotik, baik tunggal maupun kombinasi yang

digunakan.

c. Identifikasi Defined Daily Dose (DDD) untuk masing-masing

antibiotik, berdasarkan Guidelines for ATC Classification dan DDD

Assignment WHO tahun 2012.

d. Hitung jumlah kekuatan antibiotik (dalam gram) yang digunakan.

e. Hitung jumlah hari rawat pasien penyakit infeksi di ruang isoasi RSUD

Cengkareng tahun 2016.

f. Hitung nilai DDD/ 100 patient-days untuk masing-masing jenis

antibiotik atau kombinasi antibiotik dengan menggunakan rumus yang

tertera dibawah ini :

DDD 100 patient-days=(Jumlah gram antibiotik yang digunakan oleh pasien)

Standar DDD WHO dalam gram x

100

(𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐿𝑂𝑆)

g. Data hasil perhitungan DDD/100 patient-days diubah dalam bentuk

persentase kemudian dikumulatifkan. Dari hasil kumulatif tersebut

didapatkan Drug Utilization 90% (DU 90%) untuk dikelompokkan

dalam segmen 90%.

b. Analisis bivariat

Analisis bivariat adalah analisa yang dilakukan terhadap dua variabel yang

diduga berhubungan / berkolerasi dan untuk melihat kemaknaan antara variabel.

Analisa data sampel dilakukan secara deskriptif statistik, yaitu dengan analisa kai-

kuadrat (chi-square). Uji kai-kuadrat adalah uji yang digunakan untuk mengetahui

Page 75: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

61

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

adanya hubungan antara dua variabel yang bersifat kategorik. Cara pengambilan

keputusannya adalah dengan melihat nilai probabilitas (p) pada kolom Asymp

Sig. (2-sided) dari hasil SPSS Statistic 16.0.

Dasar pengambilan keputusan adalah sebagai berikut :

H0 : tidak ada hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat

H1 : ada hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat

Nilai p pada tingkat kepercayaan 95 % adalah sebagai berikut :

a. Probabilitas <0,05 berarti H0 ditolak. Uji statistik menunjukkan

hubungan bermakna.

b. Probabilitas >0,05 berarti H0 diterima. Uji statistik menunjukkan tidak

ada hubungan yang bermakna.

Uji kai-kuadrat ini dinyatakan sahih apabila memenuhi persyaratan sel yang

mempunyai nilai harapan kurang dari 5 maksimal 20% dari jumlah sel (Sabri dan

Hastono, 2006). Apabila tidak memenuhi persyaratan tersebut, maka dilakukan uji

mutlak Fisher. Analisa koefisien kontingensi digunakan untuk mengetahui

kekuatan antarvariabel yang bersifat nominal. Adapun pengolahan data dengan

menggunakan analisis bivariat adalah usia, lama rawat inap, penyakit penyerta,

jumlah obat, jumlah antibiotik terhadap Drug Related Problems (DRPs) yang

meliputi permasalahan efektivitas terapi dan reaksi obat yang tidak dikehendaki

serta penyebab yang berkaitan dengan peresepan dan penggunaan dalam skema

klasifikasi.

Page 76: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

62 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Analisa Univariat

4.1.1 Karakteristik Pasien

Data yang diperoleh dari rekam medis pasien menunjukkan jumlah pasien

yang dirawat di ruang isolasi RSUD Cengkareng pada tahun 2016 adalah 1075

kemudian dipilih 100 pasien yang memenuhi inklusi dalam penelitian ini dengan

karakteristik sebagai berikut:

Tabel 4.1 Karakteristik Pasien Ruang Isolasi di RSUD Cengkareng tahun

2016

Karakteristik Jumlah Persentase

Diagnosa Penyakit

HIV 2 2%

Pneumonia 3 3%

Tuberkulosis 56 56%

Tuberkulosis + HIV 14 14%

Tuberkulosis + Pneumonia 21 21%

Tuberkulosis + Pneumonia + HIV 4 4%

Jenis Kelamin

Pria 72 72%

Wanita 28 28%

Kelompok Usia

Dewasa awal (26-35 tahun) 28 28%

Dewasa akhir (36-45 tahun) 28 28%

Lansia awal (46-55 tahun) 22 22%

Lansia akhir (56-65 tahun) 14 14%

Manula (65 tahun ke atas) 8 8%

Pekerjaan

Karyawan Swasta 27 27%

Wiraswasta 13 13%

Ibu Rumah Tangga 26 26%

TNI 1 1%

Penjaga Sekolah 2 2%

Buruh 9 9%

Nelayan 1 1%

Pedagang 1 1%

Petugas Kebersihan 1 1%

Supir 6 6%

Wartawan 1 1%

Tidak Bekerja 2 2%

Tidak Diketahui 10 10%

Page 77: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

63

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Pendidikan

SD 17 17%

SMP 9 9%

SMA 42 42%

TNI 1 1%

Tidak Diketahui 31 31%

Status Pasien

Umum 10 10%

BPJS 89 89%

Asuransi Asih Eka Abadi, PT (SOS) 1 1%

Lama Hari Rawat Inap

1-7 hari 40 40%

8-14 hari 47 47%

≥ 15 hari 13 13%

Ruang isolasi adalah ruang yang digunakan secara khusus untuk pasien

dengan penyakit menular guna mencegah penularan penyakit terhadap seluruh

penghuni rumah sakit (Kemenkes, 2012). Pada ruang isolasi RSUD Cengkareng

menunjukkan bahwa terdapat pasien dengan diagnosa tuberkulosis, pneumonia

dan HIV dengan diagnosa terbanyak adalah tuberkulosis, yaitu mencapai 56 %

dan merupakan salah satu koinfeksi terbesar pada penderita HIV. Sesuai dengan

profil kesehatan Indonesia tahun 2015 yang menyebutkan tuberkulosis,

pneumonia dan HIV masuk ke dalam 5 penyakit infeksi terbesar. Menurut WHO

di tahun 2016, Indonesia merupakan negara penderita tuberkulosis terbanyak yaitu

10% dari seluruh penderita di dunia dan tuberkulosis di Asia Tenggara

menyumbangkan 40 % morbiditas (WHO Reseacrch in Tropical Disease, 2016).

Pada 100 pasien di ruang isolasi terdiri dari 72 laki-laki dan 28

perempuan. Pada penelitian ini menggunakan usia ≥ 26 tahun dikarenakan

metode ATC/DDD diperuntukkan untuk pasien dewasa. Berdasarkan rentang usia,

dapat dilihat bahwa rentang usia 26-45 tahun adalah usia pasien terbanyak yang

ditemukan. Hal ini sesuai dengan profil kesehatan indonesia tahun 2016 yang

menyebutkan di Indonesia penderita tuberkulosis laki-laki dengan BTA positif

mencapai 61 % dan perempuan 39 % dengan rentang usia penderita terbanyak

adalah rentang 25-54 tahun. (Oshi, Oshi, Alobu, & Ukwaja, 2014) juga

menyebutkan bahwa penderita tuberkulosis laki-laki 56, 8% dan perempuan 43,2

% dengan penderita non geriatri lebih banyak dibandingkan geriatri. Hal ini

terjadi dari tahun ketahun dimana United Nations Development Programme

Page 78: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

64

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

menyebutkan dari tahun ke tahun penderita perempuan mencapai 35-39 % dari

total seluruh penderita. Menurut (Chukwuka, Oyedum, 2010) menyebutkan

bahwa pada penderita pneumonia terdiri dari 55 % pria dan 45 % wanita dengan

usia dibawah 65 tahun mencapai 65%. Untuk HIV tahun 2016 di Indonesia

mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya, dimana ditahun sebelumnya

mencapai 39 % sedangkan di tahun 2016 mencapai 41 % (Kemenkes, 2016).

Menurut (Loutfy et al., 2012) penderita HIV laki-laki 87,3 % dengan rentang usia

42-54 tahun sedangkan penderita perempuan 22,7 % dengan rentang usia 34-49

tahun.

Pekerjaan yang terbanyak pada pasien ruang isolasi RSUD Cengkareng

adalah karyawan swasta yaitu mencapai 27 % dengan tingkat pendidikan

terbanyak adalah hingga jenjang sekolah menengah atas (SMA) yang mencapai 42

%. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian (Puspitasari, 2013) menyebutkan bahwa

pada karakteristik pasien di salah satu klinik paru di Manado pasien yang bekerja

sebagai karyawan swasta paling tinggi yaitu mencapai 36,5% dengan tingkat

pendidikan terbanyak hingga sekolah menengah atas mencapai 44,2 %. (Sajith et

al., 2015) juga menyebutkan di salah satu rumah sakit di India pekerjaan tertinggi

penderita tuberkulosis adalah karyawan swasta yaitu mencapai 41,9 % dengan

tingkat pendidikan tertinggi adalah sekolah menengah atas yaitu mencapai 38,4

%. Pada penderita pneumonia dari hasil penelitian (Ahmad, 2015) yang dilakukan

di RSUD Cengkareng pada tahun 2013-2014 pekerjaan yang tertinggi adalah

karyawan swasta yaitu mencapai 34% dan tingkat pendidikan tertinggi adalah

sekolah menengah atas yaitu mencapai 42,3 %. Pada pasien HIV di salah satu

rumah sakit India menunjukkan pekerjaan yang terbanyak adalah buruh yaitu

mencapai 24,19% dengan tingkat pendidikan terbanyak adalah sekolah menengah

atas yaitu mencapai 39,5 %, berbeda dengan hasil salah satu rumah sakit di

Maumere tahun 2014 dimana pekerjaan yang terbanyak adalah pekerjaan swasta

yaitu mencapai 38,8 % sedangkan tingkat pendidikan yang terbanyak adalah

sekolah menengah pertama yaitu mencapai 46,2 % (Annisa, Lidwina dkk, 2014;

Sukhla et.al, 2015).

Berdasarkan data hasil penelitian ini, sosio-ekonomi populasi pasien

berada pada golongan yang masih rendah, sehingga menjadi resiko terhadap

Page 79: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

65

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

penyakit menular. Hal ini sesuai dengan penelitian (Abdul, 2012; Izquierdo et al.

2010), yang menyatakan frekuensi penderita pneumonia komunitas terhadap

status sosio-ekonomi populasi. Pada penelitian didapatkan, pada status sosio-

ekonomi yang rendah menggambarkan frekuensi yang tinggi terjadinya

pneumonia komunitas (68,75%). Sosio-ekonomi tidak terlepas dari tingkat

pendidikan, berdasarkan penelitian (Torres, 2013) menyatakan bahwa semakin

tinggi tingkat pendidikan terakhir semakin rendah resiko terjadinya pneumonia

komunitas dibandingkan dengan tingkat pendidikan terakhir rendah. Demikian

terjadi juga pada penderita tuberkulosis dan HIV.

Berdasarkan status pasien, pasien yang merupakan pasien umum hanya

mencapai 10% sedangkan sisanya menggunakan asuransi yaitu 89%

menggunakan BPJS dan 1% asuransi PT Asih Eka Abadi. Penggunaan asuransi

ini akan membantu meringankan biaya perawatan pasien karena lama rawat inap

pasien yang terbanyak adalah 8-14 hari yaitu mencapai 47%, sedangkan lama

rawat inap pasien 1-7 hari mencapai 40% dan yang mencapai ≥ 15 hari 13%

bahkan lama rawat inap yang terlama adalah 32 hari. Lama rawat inap berkaitan

dengan penyakit penyerta yang diderita pasien. Berikut adalah distribusi penyakit

penyerta:

Tabel 4.2 Distribusi Penyakit Penyerta (N=130)

Penyakit Penyerta Jumlah Persentase

HIV (n=5)

Hepatitis C 1 0,77%

Insufisiensi Hepar 1 0,77%

Asites 1 0,77%

Efusi Pleura 1 0,77%

Sirosis Hati 1 0,77%

Pneumonia (n=5)

Eritroderma 1 0,77%

Stevens-Johnson 1 0,77%

Efusi Pleura 1 0,77%

Diabetes Millitus 1 0,77%

Tidak ada penyakit penyerta 1 0,77%

Tuberkulosis (n=69)

Diabetes Millitus 16 12,3%

Efusi Pleura 10 7,7%

Anemia 4 3,07%

Hipokalemia 2 1,54%

Page 80: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

66

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Hiponatremia 1 0,77%

Leukositosis 1 0,77%

Abses Paru 1 0,77%

Hepatitis B 1 0,77%

Hipotensi 1 0,77%

Benign Prostatic Hyperplasia 1 0,77%

Gagal Ginjal Akut 1 0,77%

Dyspepsia 1 0,77%

Hydronephrosis 1 0,77%

Bakteremia 1 0,77%

Hematemesis Melena 1 0,77%

Insufisiensi Hepar 1 0,77%

Mikosis 1 0,77%

Tumor Paru 1 0,77%

Asites 1 0,77%

Sepsis 1 0,77%

Bronchitis 1 0,77%

Cronic Heart Failure 1 0,77%

Hiponatremia 1 0,77%

Tidak ada penyakit penyerta 18 13,8%

Tuberkulosis + HIV (n=18)

Hiponatremia 2 1,54%

Insufisiensi Renal 1 0,77%

Hipotensi 1 0,77%

Hepatitis B 1 0,77%

Hepatitis C 1 0,77%

Melena 1 0,77%

Toxoplasma 1 0,77%

Tidak ada penyakit penyerta 10 7,7%

Tuberkulosis + Pneumonia (n=28)

Diabetes Millitus 5 3,8%

Dispepsia 2 1,54%

Efusi Pleura 2 1,54%

Osteo Artritis 2 1,54%

Hiponatremia 2 1,54%

Anemia 1 0,77%

Benign Prostatic Hyperplasia 1 0,77%

Herpes Zooster 1 0,77%

Prolonged Fever 1 0,77%

Lymphadenopaty TB 1 0,77%

Hipokalsemia 1 0,77%

Hipokalemia 1 0,77%

Cronic Kidney Disease 1 0,77%

Insufisiensi Renal 1 0,77%

Sepsis 1 0,77%

Tidak ada penyakit penyerta 5 3,8%

Tuberkulosis+Pneumonia+HIV (n=5)

Hiponatremia 1 0,77%

Page 81: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

67

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Limfadenitis TB 1 0,77%

Anemia 1 0,77%

Hipotensi 1 0,77%

Tidak ada penyakit penyerta 1 0,77%

TB = Tuberkulosis

Pada Tabel 4.2 menunjukkan bahwa Diabetes Millitus (DM) menjadi

penyakit penyerta yang terbanyak pada pasien tuberkulosis (TB). Pada penderita

DM dengan infeksi TB laten akan menjadi TB aktif sebesar 10%. Data WHO

2010 menunjukkan sekitar 10% pasien TB berhubungan dengan DM, dan terdapat

peningkatan risiko infeksi TB sebesar 2-3 kali pada penderita DM. (Restrepo,

2010) menunjukkan data odds ratio (OR) pasien TB dengan DM sebesar 1,3

sampai 7,8 kali, dan terlihat DM memang meningkatkan risiko TB aktif. Jika

dibandingkan dengan penderita HIV masih lebih rendah, HIV dapat meningkatkan

risiko TB aktif sebesar 113-170 kali. (Faurholt-jepsen et al., 2011) dalam

penelitiannya di Tanzania menunjukkan odds ratio infeksi TB pada DM adalah

2,2. (Alisjahbana et al., 2007) dari Indonesia melakukan penelitian kohort dengan

data yang lengkap menunjukkan bahwa prevalensi DM pada penderita TB adalah

14,8% dibandingkan 3,2% pada populasi normal. Kegagalan sistem imun menjadi

penyebab diabetes millitus sebagai faktor risiko aktivasi TB laten. Dikatakan

bahwa DM memiliki potensi untuk bermanifes dalam bentuk klinis yang lebih

berat. Respons selular baik innate maupun adaptive memiliki gangguan fungsi

pada pasien DM, padahal respons selular merupakan respons yang paling penting

untuk membatasi infeksi TB. Secara umum dari penelitian yang terakhir

menunjukkan tidak ada perbedaan jumlah sel limfosit, makrofag, monosit, namun

satu penelitian menunjukkan jumlah limfosit yang menurun pada pasien TB

dengan DM dibandingkan pasien TB tanpa DM (Wulandari & Sugiri, 2013).

4.1.2 Profil Penggunaan Antibiotik

Pada setiap pasien baik yang menderita penyakit tuberkulosis, pneumonia dan

HIV mendapatkan antibiotik yang berbeda-beda. Berikut ini adalah profil

pengguaan antibiotik pasien tuberkulosis, pneumonia dan HIV di ruang isolasi

RSUD Cengkareng:

Page 82: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

68

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Tabel 4.3 Distribusi Penggunaan Antibiotik

Diagnosa Antibiotik

Tunggal n Kombinasi n

HIV Sefoperazon 1

Metronidazol 1

Pneumonia Ofloksasin 2 Levofloksasin + Metronidazol 1

Tuberkulosis 4 FDC 2 4 FDC + Sefoperazon 11

Ofloksasin 1 4 FDC + Sefoperazon - Sulbaktam 4

Sefoperazon 1 4 FDC + Seftriakson 3

Levofloksasin 1 4 FDC + Ofloksasin 16

4 FDC + Siprofloksasin 1

4 FDC + Imipenem 2

4 FDC + Levofloksasin 1

2 FDC + Etambutol + Ofloksasin 1

4 FDC + Streptomisin +

Sefoperazon

5

4 FDC + Metronidazol +

Sefoperazon-Sulbaktam

1

Rifampisin + Isoniazid +

Sefoperazon-Sulbaktam

1

Rifampisin + Isoniazid +

Sefoperazon

1

Rifampisin + Isoniazid + Etambutol

+ Sefoperazon

1

Rifampisin + Isoniazid + Etambutol

+ Ofloksasin

1

Tuberkulosis

+ HIV

Seftriakson 1 4 FDC + Siprofloksasin 1

4 FDC + Sefoperazon 4

4 FDC + Sefoperazon - Sulbaktam 2

4 FDC + Cefriakson 1

4 FDC + Sefoperazon +

Kotrimoksazol

2

4 FDC + Cefriakson + Clindamisin 1

4 FDC + Sefoperazon – Sulbaktam

+ Clindamisin + Streptomisin

1

4 FDC + Sefoperazon – Sulbaktam

+ Metronidazol + Kotrimoksazol

1

4 FDC + Sefoperazon-Sulbaktam +

Kotrimoksazol

1

Tuberkulosis

+Pneumonia

4 FDC + Levofloksasin 2

4 FDC + Ofloksasin 8

4 FDC + Sefoperazon 3

4 FDC + Sefoperazon +

Streptomisin

1

4 FDC + Sefoperazon - Sulbaktam 3

4 FDC + Sefoperazon – Sulbaktam 1

Page 83: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

69

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

+ Streptomisin

4 FDC + Seftriakson 1

Rifampisin + Isoniazid + Etambutol

+ Levofloksasin

2

Rifampisin + Isoniazid + Etambutol

+ Pirazinamid + Seftriakson

1

Tuberkulosis

+Pneumonia

+ HIV

4 FDC + Kotrimoksazol 1

4 FDC + Kotrimoksazol +

Sefoperazon

1

4 FDC + Siprofloksasin 1

4 FDC + Kotrimoksazol +

Imipenem

1

Total 10 90

n = Jumlah pasien, 4 FDC = 4 Fix Dose Combination (Berisi Isoniazid 75 mg,

Rifampisin 150 mg, Pirazinamid 400 mg, Etambutol 275 mg), 2 FDC (Berisi

Isoniazid 150 mg dan Rifampisin 150 mg)

Distribusi pola penggunaan antibiotik bertujuan untuk mengetahui

antibiotik apa saja yang dipakai oleh pasien penyakit tuberkulosis, pneumonia dan

HIV di ruang isolasi RSUD Cengkareng. Pada tabel 4.3 menunjukkan pada

semua diagnosis pasien mendapatkan antibiotik baik terapi tunggal atau

kombinasi tak terkecuali pada penyakit HIV. Penggunaan antibiotik yang lebih

banyak adalah penggunaan terapi kombinasi yaitu mencapai 90 %. Dari

kombinasi tersebut terlihat hampir semuanya dikombinasikan dengan obat

antituberkulosis, hal ini selaras dengan jumlah diagnosa tertinggi yaitu

tuberkulosis. Pada terapi kombinasi dengan 2 antibiotik, kombinasi yang banyak

digunakan adalah 4 FDC + Sefoperazon yaitu 18 % dan 4 FDC + Ofloksasin yaitu

24 %. Selanjutnya untuk terapi kombinasi 3 antibiotik, kombinasi 4 FDC +

Streptomisin + Sefoperazon yaitu mencapai 6 %. Penggunaan antibiotik terbanyak

adalah penggunaan Rifampisin + Isoniazid + Etambutol + Sefoperazon secara

bersamaan. Penelitian yang dilakukan pada pasien pneumonia di RSUP Adam

Malik Medan menunjukkan penggunaan antibiotik yang terbanyak pada periode

Oktober-Desember 2010 yang terbanyak digunakan adalah seftriakson (20%) dan

sefotaksim (16,67%) dan kombinasi seftriakson-siprofloksasin mencapai 30%,

sedangkan pada periode Januari-Maret seftriakson mencapai 40,48%, sefotaksim

hanya 4,76% dan antibiotik kombinasi seftriakson-siprofloksasin hanya mencapai

19,57%. Penelitian lain yang dilakukan pada pasien pneumonia di rumah sakit

universitas airlangga menunjukkan penggunaan antibiotik tunggal sefriakson pada

Page 84: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

70

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

pneumonia komunitas mencapai 47% dan pneumonia hospitalized mencapai 40%

sedangkan penggunaan antibiotik kombinasi pada pneumonia komunitas adalah

seftazidim dengan levofloksasin (18%) dan pada pneumonia hospitalized

kombinasi levofloksasin dengan seftazidim atau sefriakson mencapai 20%

(Hidayah,Nurul, 2011; Anindia,Alin, 2016)

Dalam pemilihan antibiotik perlu dipertimbangkan penegakan diagnosa

untuk mengeradikasi bakteri penyebab penyakit. Penggunaan antibiotik yang

berlebihan dan tidak sesuai dengan diagnosis sebaiknya dihindari karena dapat

menimbulkan resistensi terhadap antibiotik. Menurut pedoman pengendalian

tuberkulosis nasional, antibiotik yang digunakan untuk tuberkulosis adalah

antituberkulosis rifampisin, isoniazid, pirazinamid, etambutol dan streptomisin.

Sedangkan untuk pneumonia dapat menggunakan antibiotik golongan

fluoroquinolon atau sefalosporin generasi ketiga. Untuk penderita HIV tidak

menggunakan antibiotik tetapi menggunakan antiretroviral terkecuali HIV yang

diderita disertai dengan penyakit koinfeksi lain. Pada pengobatan HIV yang

disertai tuberkulosis selain antituberkulosis, harus diberikan kotrimoksazol.

Karena kotrimoksazol dapat mencegah dan mengurangi mortalitas pasien

tuberkulosis dengan HIV-positif (Kemenkes, 2014; Kemenkes, 2003; American

Thoraxic Society, 2007; WHO, 2014).

4.1.2.1 Jumlah Penggunaan Obat dan Antibiotik

Jumlah penggunaan obat dan antibiotik pada pasien tuberkulosis,

pneumonia dan HIV di ruang isolasi RSUD Cengkareng dapat dilihat sebagai

berikut:

Tabel 4.4 Jumlah Penggunaan Obat dan Antibiotik

Jumlah Obat yang Diterima Jumlah Persentase

1-10 80 80%

11-20 20 20%

Jumlah Antibiotik yang Diterima Jumlah Persentase

1-2 75 75%

3-4 25 25%

Pasien tuberkulosis, pneumonia dan HIV selama dirawat tidak hanya

menerima antibiotik tetapi juga obat lain untuk mengatasi penyakit penyerta dan

keluhan lain yang dialami pasien sehingga jumlah obat yang digunakan bervariasi.

Page 85: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

71

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Dari tabel 4.4 dapat dilihat jumlah penggunaan obat pada rentang 1-10 obat

sebanyak 80 % dan rentang 11-20 sebanyak 20 %. Dari rentang penggunaan obat

tersebut jumlah penggunaan antibiotik rentang 1-2 antibiotik mencapai 75 %,

sedangkan rentang 3-4 antibiotik 25 %.

Menurut (Ernie dan Hafiz, 2007) pemberian obat dengan jumlah

berlebihan atau lebih dari 4 jenis obat dikenal dengan polifarmasi. Berdasarkan

hal ini, pola penggunaan obat pada pasien tuberkulosis, pneumonia dan HIV

dikatakan polifarmasi. Polifarmasi sering menimbulkan interaksi obat, baik yang

bersifat meningkatkan maupun meniadakan efek obat. Interaksi obat yang

ditimbulkan dapat menyebabkan efek samping obat atau efek yang tidak

diinginkan (Pharmaceutical Society of Singapore, 2015).

4.1.2.2 Jenis Pemberian Antibiotik

Dalam penegakan diagnosa penyakit infeksi diperlukan kultur bakteri

penyebab penyakit. Hasil kultur yang dilakukan pasien tuberkulosis, pneumonia

dan HIV ruang isolasi RSUD Cengkareng adalah sebagai berikut:

Tabel 4.5 Hasil Kultur

Jenis Isolat Jenis Kuman Hasil

Pemeriksaan

Jumlah Persentase

Sputum BTA N 18 6,3%

BTA P 30 10,6%

Gram TAP 51 18%

Batang Gram Negatif AP 51 18%

Coccus Gram Positif AP 49 17,3%

Jamur P 41 14,4%

Jamur N 2 0,7%

Cairan pleura BTA N 9 3,1%

BTA P 1 0,4%

Gram TAP 9 3,2%

Darah Tidak ada pertumbuhan 4 1,4%

Bilasan

Bronkus

Tidak ada pertumbuhan 2 0,7%

Klebsiella pneumonia AP 1 0,4%

BTA P 6 2,1%

BTA N 7 2,4%

Jamur N 2 0,7%

Pus Klebsiella pneumoniae AP 1 0,4%

*N = negatif, P= Positif, AP = Ada pertumbuhan, TAP = tidak ada pertumbuhan

Hasil kultur tersebut berkaitan dengan jenis pemberian antibiotik dengan

hasil sebagai berikut:

Page 86: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

72

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Tabel 4.6 Jenis pemberian Antibiotik

Jenis Pemberian Jumlah Persentase

Empiris 98 98%

Definitif 2 2%

Penggunaan antibiotik untuk terapi empiris adalah penggunaan antibiotik

pada kasus infeksi yang belum diketahui jenis bakteri penyebabnya. Tujuan

pemberian antibiotik untuk terapi empiris adalah eradikasi atau penghambatan

pertumbuhan bakteri yang diduga menjadi penyebab infeksi, sebelum diperoleh

hasil pemeriksaan mikrobiologi (Permenkes, 2011).

Penggunaan antibiotik untuk terapi definitif adalah penggunaan antibiotik

pada kasus infeksi yang sudah diketahui jenis bakteri penyebab dan pola

resistensinya. Tujuan pemberian antibiotik untuk terapi definitif adalah eradikasi

atau penghambatan pertumbuhan bakteri yang menjadi penyebab infeksi,

berdasarkan hasil pemeriksaan mikrobiologi (Permenkes, 2011).

Berdasarkan hasil penelitian penggunaan antibiotik empiris mencapai 98%

sedangkan antibiotik definitif hanya mencapai 2%. Menurut kementrian kesehatan

lama pemberian antibiotik empiris diberikan untuk jangka waktu 48-72 jam.

Selanjutnya harus dilakukan evaluasi berdasarkan data mikrobiologis dan kondisi

klinis pasien serta data penunjang lainnya. Penggunaan antibiotik secara definitif

lebih dianjurkan karena dapat mengetahui target pengobatan secara pasti sehingga

pengobatan akan optimal dan mencegah terjadinya penggunaan antibiotik

berlebihan yang dapat menyebabkan resistensi. Di RSUD Cengkareng masih

banyak penggunaan antibiotik empiris.

4.1.2.3 Kesesuaian dengan Formularium

Formularium rumah sakit merupakan daftar obat yang disepakati staf medis,

disusun oleh TIM Farmasi dan Terapi (TFT) yang ditetapkan oleh pimpinan

Rumah Sakit (PMK no. 58, 2014). Kesesuaian penggunaan obat dengan

formularium dapat digambarkan dengan tabel sebagai berikut:

Page 87: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

73

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Tabel 4.7 Kesesuaian antibiotik dengan formularium

Golongan Nama Generik Sediaan Kesesuaian dengan

Formularium RS

Antituberkulosis 4 FDC Tablet √

2 FDC Tablet √

Rifampisin Kaplet dan

Kapsul √

Isoniazid Tablet √ Etambutol Tablet √ Pirazinamid Tablet √

Sefalosporin

Generasi Ketiga

Sefoperazon Injeksi √

Sefoperazon-Sulbaktam Injeksi √

Ceftazidim Injeksi √

Sefixime Injeksi √

Seftriakson Injeksi √

Makrolida Clindamicin Kapsul √

Fluoroquinolon Siprofloksasin Infus √ Ofloksasin Infus √ Levofloksasin Infus √

Derivat Imidazol Metronidazol Injeksi √

Aminoglikosida Streptomisin Injeksi √

Sulfonamida dan

Trimetoprim

Kotrimoksazol Injeksi √

Karbapenem Imipenem Drip √

Kesesuaian dengan Formularium 100%

Penggunaan formularium menjamin standar peresepan yang berkualitas

baik dan cost-effective agar dapat mewujudkan penggunaan obat yang rasional.

Keseluruhan penggunaan antibiotik pada pasien tuberkulosis, pneumonia dan HIV

di ruang isolasi dibandingkan dengan formularium rumah sakit. Pada tabel 4.7

menunjukkan bahwa kesesuaian penggunaan antibiotik dengan formularium

rumah sakit mencapai 100%.

4.1.3 Kuantitas Penggunaan Antibiotik pada Pasien Tuberkulosis,Pneumonia

dan HIV di Ruang Isolasi RSUD Cengkareng Tahun 2016

Data jumlah hari rawat diperlukan untuk menghitung penggunaan

antibiotik dengan unit satuan DDD/100 Patient-days. Data jumlah hari tersebut

adalah sebagai berikut:

Page 88: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

74

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Tabel 4.8 Jumlah Hari awat Inap

Bulan Jumlah Total LOS (Hari) Rata-Rata (Hari)

Januari 5 34 6,8

Februari 6 48 8

Maret 9 102 11,3

April 4 30 7,5

Mei 8 64 8

Juni 9 111 12,3

Juli 11 84 7,6

Agustus 11 102 9,3

September 10 70 7

Oktober 12 138 11,5

November 11 94 8,5

Desember 4 45 11,25

Total 100 922 109,05

Rata-rata total

LOS

8,33 76,83 9,08

Kuantitas penggunaan antibiotik dihitung menggunakan DDD dengan

satuan DDD/100 patient-days. Total DDD/100 patient-days dibuat dalam bentuk

persentase, kemudian dikumulatifkan berdasarkan persentase dari terbesar ke

persentase terkecil untuk melihat jenis-jenis obat yang masuk segmen DU 90%

seperti yang tertera dalam tabel berikut:

Tabel 4.9 Profil DU (Drug Utilization) 90%

No Kode

ATC

Antibiotik DDD/100

Patient-days

Penggunaan

(%)

Segmen

DU

1 J04AM06 4 FDC 45,819 31,34 90 %

2 J01MA01 Ofloksasin 27,81 19

3 J01DD12 Sefoperazon 14,121 9,65

4 J01MA12 Levofloksasin 9,612 6,57

5 J01DD04 Seftriakson 8,856 6,05

6 J04AC01 Isoniazid 6,624 4,53

7 J04AK02 Etambutol 5,629 3,85

8 J01DH51 Imipenem 4,93 3,37

9 J04AB02 Rifampisin 3,861 2,64

10 J01DD62 Sefoperazon-

Sulbaktam

3,861 2,64

11 J01GA01 Streptomisin 3,159 2,16 10 %

12 J01DD08 Sefiksim 2,349 1,6

13 J01MA02 Siprofloksasin 1,361 1,56

14 J01XD01 Metronidazol 1,92 1,31

15 J04AM02 2 FDC 1,863 1,27

16 J01EE01 Kotrimoksazol 1,655 1,13

17 J01FF01 Klindamicin 1,35 0,92

Page 89: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

75

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

18 J04AK01 Pirazinamid 1,008 0,69

19 J01DD02 Seftazidim 0,513 0,35

Jumlah 146,301 100

DDD = Defined Daily Dose, 4 FDC = 4 Fix Dose Combination (Berisi Isoniazid

75 mg, Rifampisin 150 mg, Pirazinamid 400 mg, Etambutol 275 mg), 2 FDC

(Berisi Isoniazid 150 mg dan Rifampisin 150 mg)

Dari data rekam medik pasien, didapatkan data meliputi nomor rekam

medik, lama hari rawat pasien, jenis kelamin, umur pasien dan penggunaan

antibiotik yang terdiri dari nama dagang dan nama generik, rute pemberian,

kekuatan/dosis, frekuensi, jumlah hari penggunaan, dan jumlah penggunaan

antibiotik. Bentuk sediaan antibiotik yang digunakan di ruang isolasi RSUD

Cengkareng adalah bentuk sediaan oral maupun sediaan parenteral. Selama tahun

2016, terdapat 19 jenis antibiotik dari 8 golongan yaitu antituberkulosis,

sefalosporin generasi ketiga, makrolida, fluoroquinolon, derivat imidazol,

aminoglikosida, sulfonamida dan trimetoprim, serta karbapenem.

Dari data-data yang diperoleh, kemudian dihitung kuantitas penggunaan

antibiotik dengan mengikuti aturan-aturan perhitungan yang telah ditetapkan oleh

WHO Collaborating Centre 2012. Antibiotik dikelompokkan sesuai dengan kode

ATC dan golongannya, kemudian bentuk sediaan disesuaikan dengan satuan DDD

defined masing-masing antibiotik. Satuan DDD defined menggunakan satuan

gram, maka satuan dosis antibiotik harus dikonversikan ke dalam satuan gram

terlebih dahulu (WHO, 2011).

DDD merupakan unit pengukuran yang tidak tergantung pada harga dan

formulasi obat, akan tetapi merupakan suatu unit pengukuran independen yang

mencerminkan dosis global tidak terpengaruh dengan variasi genetik, sehingga

memungkinkan untuk menilai tingkat konsumsi obat dan membandingkan antar

kelompok populasi atau sistem pelayanan kesehatan. DDD diasumsikan sebagai

dosis rata-rata pemeliharaan per hari untuk obat yang digunakan orang dewasa.

Perlu ditekankan bahwa DDD adalah unit pengukuran dan tidak selalu sesuai

dengan dosis harian yang direkomendasikan atau ditentukan (Prescribed Daily

Dose). Salah satu komponen dalam DDD ini yaitu persentase dan perbandingan

statistika konsumsi obat di tingkat nasional dan lainnya. Dengan membandingkan

tingkat konsumsi obat di suatu unit pelayanan kesehatan dengan yang lainnya,

Page 90: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

76

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

dapat ditentukan apakah penggunaan satu macam/kelompok obat berlebihan,

sedang atau kurang (WHO, 2012).

Selama periode Januari-Desember 2016, diperoleh total hari rawat inap

(Length of Stay) dari 100 pasien adalah 922 hari yang ditunjukkan pada tabel 4.8.

Total LOS yang digunakan pada penelitian ini digunakan pada perhitungan DDD

sebagai pembagi dengan nilai standar DDD dari WHO. Berdasarkan rumusan dari

metode DDD yang didapat akan semakin kecil apabila nilai total LOS semakin

besar. Akan tetapi besarnya nilai LOS tidak selalu berarti nilai DDD akan lebih

kecil dan sesuai dengan standar (Hadi et al., 2008). Pada dasarnya DDD adalah

metode untuk mengkonversi dan menstandarisasi data kuantitas produk menjadi

estimasi kasar penggunaan obat dalam klinik dan tidak menggambarkan

penggunaan obat yang sesungguhnya (WHO, 2012).

Kuantitas penggunaan antibiotik di RSUD Cengkareng dalam satuan

DDD/100 patient-days ditunjukkan pada tabel 4.9. Kemudian DDD/100 patient-

days dibuat dalam bentuk persentase dan dikumulatifkan berdasarkan persentase

dari terbesar ke persentase terkecil untuk melihat jenis-jenis obat yang masuk

segmen DU 90% yang ditunjukkan pada tabel 4.10. Pada tabel tersebut

menunjukkan bahwa antibiotik yang masuk ke dalam segmen DU 90% terdiri dari

obat antituberkulosis 4 FDC (31,34 %), Ofloksasin (19%), Sefoperazon (9,65 %),

Levofloksasin (6,57%), Seftriakson (6,05%), Isoniazid (4,53%), Etambutol

(3,85%), Imipenem (3,37 %), Rifampisin (2,64%), Sefoperazon-Sulbaktam

(2,64%). Sedangkan yang masuk ke dalam segmen DU 10 % adalah Streptomisin

(2,16%), Sefiksim (1,6%), Siprofloksasin (1,56%), Metronidazol (1,31%), 2 FDC

(1,27%), Kotrimoksazol (1,13%), Klindamisin (0,92%).

Kuantitas penggunaan antibiotik di ruang isolasi RSUD Cengkareng yang

memiliki jumlah tertinggi pada tahun 2016 adalah 4 FDC. Perhitungan DDD

untuk 4 FDC pada tahun 2016 mencapai 45,819 DDD/100 patient-days. Artinya,

ada 46 pasien dari seluruh subjek penelitian yang mengkonsumsi 1 DDD 4 FDC

setiap harinya.

4 FDC (fix dose combination) adalah antibiotik antituberkulosis yang

terdiri dari dari Rifampisin 150 mg, Isoniazid 75 mg, Etambutol 275 mg dan

Pirazinamind 400 mg dalam satu tablet. Penggunaan 4 FDC yang tertinggi ini

Page 91: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

77

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

selaras dengan diagnosa terbanyak pada penelitian ini yaitu tuberkulosis. Selain 4

FDC, antituberkulosis yang digunakan adalah 2 FDC, sediaan kombipak (paket

obat lepas yang terdiri dari isoniazid, rifampisin, pirazinamid dan etambutol yang

dikemas dalam bentuk blister) dan obat antituberkulosis lepas pisah. Aktifitas obat

tuberkulosis didasarkan atas tiga mekanisme, yaitu aktifitas membunuh bakteri,

aktifitas sterilisasi dan mencegah resistensi. Obat yang umum dipakai adalah

Isoniazid, Rifampisin, Etambutol, Pirazinamid dan Streptomisin. Kelompok obat

ini disebut sebagai obat primer. Isoniazid adalah obat TB yang paling poten dalam

hal membunuh bakteri dibandingkan dengan rifampisin dan streptomisin dengan

menghambat asam mikolat. Rifampisin dan Pirazinamid paling poten dalam

mekanisme sterilisasi. Rifampisin menghambat RNA polimerase dalam proses

sintesis protein, sedangkan pirazinamid merupakan bakterisidal lemah tetapi

menghambat populasi bakteri yang belum aktif atau semi dorman. Etambutol

mencegah sintesis arabinogalaktan dengan menghambat enzim arabinosil

transferase dan mengganggu sintesis arabinogalaktan sehingga menghambat

komplek peptidoglikasn mycolylarabinogalactan yang menyebabkan peningkatan

permeabilitas dinding sel. Etambutol juga berfungsi untuk mencegah munculnya

resistensi rifampisin bila resistensi utama terhadap isoniazid dimungkinkan ada

(Kemenkes, 2005; Dhiman et al. 2012) .

Terdapat beberapa bentuk sediaan yang tersedia untuk terapi tuberkulosis

yaitu fix dose combination yaitu kombinasi beberapa obat dalam satu tablet dan

sediaan kombipak atau sediaan tunggal. Penelitian mengenai perbandingan obat

antituberkulosis (OAT)- fix dose combination (FDC) dengan sediaan lepasan

banyak dilakukan. Menurut (Marini, 2014), menyimpulkan bahwa OAT-FDC

tidak berbeda bermakna dibandingkan dengan OAT lepasan terhadap konversi

sputum BTA saat fase akhir intensif pada pasien TB dewasa di BBKPM Surakarta

dengan nilai p sebesar 0,644. Begitupula menurut (Wu et al., 2015) menyatakan

penggunaan FDC ataupun sediaan lepasan tidak mempunyai perbedaan efektivitas

yang bermakna. Namun menurut (Lima, Silva, Magalhães, & Naves, 2016) pada

jurnal systematic review menjabarkan dari keemapat parameter efektivitas yang

digunakan yaitu konversi hasil pemeriksaan sputum di akhir fase intensif,

konversi hasil pemeriksaan sputum di akhir fase lanjutan, reaksi obat yang tidak

Page 92: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

78

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

diinginkan serta efek samping pada gastrointestinal menyimpulkan bahwa

terdapat perbedaan bermakna penggunaan FDC dan sediaan lepasan pada

parameter efek samping gastrointestinal. Walaupun belum banyak penelitian yang

menyatakan bahwa FDC lebih efektif dibanding sediaan lepasan. Tetapi

penggunaan FDC dapat menurunkan jumlah obat yang dikonsumsi pasien

sehingga lebih pasien lebih nyaman dan lebih menjamin kepatuhan pasien dalam

menjalankan pengobatan (Kemenkes, 2005).

Antibiotik dengan persentase penggunaan terbesar kedua adalah

Ofloksasin dengan 27,51 DDD/100 patient-days. Ofloksasin adalah antibiotik

golongan fluoroquinolon yang banyak dianjurkan pada pengobatan infeksi saluran

nafas. Fluoroquinolon mempunyai target aksi DNA gyrase dan topoisomerase IV

dengan bermacam efikasi pada bakteri yang berbeda dan menghambat kontrol

supercoiling dengan sel, hal ini menyebabkan terganggunya replikasi DNA (pada

konsentrasi rendah) dan mematikan sel (pada konsentrasi letal). Penggunaan

antibiotik terbanyak selanjutnya adalah Sefoperazon. Sefoperazon merupakan

antibiotik golongan Sefalosporin generasi ketiga yang termasuk kedalam

antibiotik β-laktam. Antibiotik ini mempunyai mekanisme kerja yang berkaitan

dengan satu atau lebih penicillin-binding proteins (PBPs) yang berperan pada

transpeptidasi untuk membentuk peptidoglikan jaringan dinding sel. Antibiotik

akan berikatan dengan PBPs yang menyebabkan tidak terbentuknya dinding sel

bakteri dengan sempurna. Banyaknya penggunaan Ofloksasin dan Sefoperazon

sesuai dengan banyaknya diagnosa tuberkulosis dan pneumonia (Redgrave et al.

2014; CitK, 1988).

Penelitian ini merupakan penelitian pertama kali yang dilakukan di RSUD

Cengkareng. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh

(Restinia et al., 2012) secara prospektif pada bangsal khusus ruang infeksi di salah

satu rumah sakit di Malaysia menunjukkan bahwa antibiotik golongan

Sefalosporin paling banyak digunakan yaitu mencapai 81,82 % dari 44 pasien

sedangkan antituberkulosis hanya mencapai 10% dari jumlah total 44 pasien.

Berbeda pula dari hasil penelitian (Sholih et al., 2015) yang dilakukan di salah

satu rumah sakit di Bandung menyatakan bahwa antibiotik yang banyak

digunakan adalah Penisilin dengan nilai DDD 38480,5 yang mencapai persentase

Page 93: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

79

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

40,2 %, disusul dengan golongan Sefalosporin dengan persentase 28,62%.

Sedangkan jumlah total nilai DDD adalah 95719,01 DDD. Penelitian ini juga

menyimpulkan bahwa pada caturwulan ke-1 hingga caturwulan ke-3 terjadi

peningkatan persentase penggunaan dan jumlah golongan antibiotik yang masuk

ke dalam segmen DU 90% yaitu pada caturwulan ke-1 yang memenuhi segmen

DU 90% adalah penisilin, sefalosforin, kuinolon, dan makrolida sedangkan pada

catur wulan ke-2 dan ke-3 ditambah dengan sulfonamida. Penelitian lain yang

berkaitan dengan evaluasi kuantitatif penggunaan antibiotik dilakukan oleh

(Alfian, Tarigan, Puspitasari, & Abdulah, 2012) yang menggambarkan profil

penggunaan antibiotik pada pasien tuberkulosis di seluruh apotek Kimia Farma

tahun 2008-2010 terlihat DDD/1000 KPRJ dari terapi kombinasi 4 FDC

mengalami peningkatan yaitu pada tahun 2008 hanya mencapai 28 DDD/1000

KPRJ sedangkan pada tahun 2010 33 DDD/KPRJ. Sedangkan antibiotik yang

masuk ke dalam segmen 90% tidak mengalami perubahan.

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan perbandingan

konsumsi obat antibiotik di RSUD Cengkareng dengan rumah sakit lain yang

setara sehingga nantinya dapat ditentukan apakah penggunaan antibiotik dari

hasil penelitian ini berlebihan, sedang atau kurang. Dengan demikian terapi

antibiotik diharapkan dapat memberikan hasil yang optimal.

4.1.7 Penilaian Drug Related Problems

Kejadian Drug Related Problems (DRPs) pada pasien tuberkulosis,

pneumonia dan HIV di ruang isolasi RSUD Cengkareng adalah sebagai berikut:

a. Permasalahan

Tabel 4.10 Permasalahan Drug Related Problems PCNE V.07

Jumlah Pasien yang Dijadikan Sampel 100

Jumlah Pasien Tanpa DRPs 92

Jumlah Pasien dengan DRPs

Jumlah Pasien dengan Potensial DRPs

8

28

Jumlah Permasalahan 8

Kode Permasalahan Jumlah permasalahan

(%)

P1 Efektivitas Terapi 4 (4 %)

P1.1 Obat tidak efektif atau pengobatan gagal 0

P1.2 Efek obat tidak optimal 2 (2 %)

P1.3 Obat tidak diperlukan 1 (1 %)

P1.4 Indikasi tidak terobati 1 (1 %)

Page 94: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

80

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

P2 Reaksi obat yang tidak dikehendaki

(ROTD)

4 (4 %)

P2.1 Pasien menderita ROTD 4 (4 %)

b. Penyebab

Tabel 4.11 Penyebab Drug Related Problems PCNE V.07

Jumlah Penyebab 36

Kode Penyebab Jumlah penyebab

(%)

C1 Pemilihan Obat 19 ( 19 %)

Per

esep

an

C1.1 Obat tidak tepat berdasarkan guidelines atau

formularium

7 (7 %)

C1.2 Obat tidak tepat (kontraindikasi) 0 (0 %)

C1.3 Tidak ada indikasi untuk penggunaan obat 1 (1 %)

C1.4 Kombinasi obat-obat tidak tepat 0 (0 %)

C1.5 Duplikasi kelompok terapi atau bahan aktif

yang tidak tepat

0 (0 %)

C1.6 Ada indikasi tetapi obat tidak diresepkan 1 (1 %)

C1.7 Banyak obat diresepkan untuk indikasi yang

sama

0 (0 %)

C1.8 Kebutuhan obat yang bersifat

sinergis/preventif tidak diresepkan

10 (10 %)

C2 Pemilihan Bentuk Sediaan 0 (0 %)

C2.1 Bentuk sediaan obat tidak tepat

0 (0 %)

C3 Pemilihan Dosis 15 (15 %)

C3.1 Dosis obat terlalu rendah 10 (10 %)

C3.2 Dosis obat terlalu tinggi 2 (2 %)

C3.3 Frekuensi pemberian lebih jarang dari aturan

pakai

0 (0)

C3.4 Frekuensi pemberian melebihi aturan pakai 3 (3 %)

C4 Penentuan Lama Pengobatan 2 (2 %)

C4.1 Lama pengobatan terlalu pendek 0 (0 %)

C4.2 Lama pengobatan terlalu panjang 2 (2 %)

Analisis Drug Related Problems dalam penelitian ini menggunakan

kategori terbaru yang dikeluarkan oleh Pharmaceutical Care Network Europe

(PCNE) V.07 2016 yang bertujuan untuk menjamin efikasi dan kemanan

penggunaan obat. Berbeda dengan kategori Drug Related Problems (DRPs)

Cipolle, pada PCNE ini terpisah antara permasalahan dan penyebabnya. Pada

permasalahan terdiri dari efiktivitas obat dan reaksi obat tidak dikehendaki.

Sedangkan pada penyebab terdiri dari dua faktor yaitu faktor peresepan dan

penggunaan. Pada faktor peresepan terdiri dari penyebab Drug Related Problems

yang berkaitan dengan pemilihan obat, pemilihan bentuk sediaan, pemilihan dosis

Page 95: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

81

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

dan penentuan lama pengobatan. Hasil data deskriptif pada tabel 4.11

menunjukkan jenis permasalahan yang terjadi dari 100 pasien penyakit

tuberkulosis, pneumonia dan HIV di ruang isolasi RSUD Cengkareng tahun 2016.

Terdapat 8 pasien dengan 8 kasus permasalahan yang dianalisa. Permasalahan

pada efektivitas terapi mencapai 4 kasus dengan kasus efek obat tidak optimal

yaitu mencapai 2 paisen, kemudian diikuti dengan efek obat tidak diperlukan dan

indikasi tidak terobati masing-masing 1 pasien. Sedangkan permasalahan yang

berkenaan dengan reaksi obat yang tidak dikehendaki terjadi pada 4 pasien dari

jumlah total 100 pasien. Jumlah pada kategori penyebab mencapai 36 penyebab.

Penyebab tersebut terbagi ke dalam kategori berikut:

Tabel 4.12 Klasifikasi kategori penyebab

Penyebab Jumlah Persentase

Penyebab yang terbukti menimbulkan permasalahan

pada efektivitas terapi dan reaksi obat yang tidak

dikehendaki

6 16,7 %

Penyebab yang masih berpotensi menimbulkan

permasalahan pada efektivitas terapi dan reaksi obat

yang tidak dikehendaki

30 83,3 %

Penyebab DRPs dari faktor pasien (Idiosinkrasi) 2 -

Penelitian DRPs dengan kategori PCNE V.07 ini belum banyak dilakukan

terlebih secara khusus untuk antibiotik. Penilaian DRPs antibiotik pada bangsal

husus ruangan infeksi yang dilakukan oleh (Restinia et al., 2012) menyatakan

31,82 % pasien menerima antibiotik yang rasional sedangkan 68,18 % pasien

menerima antibiotik yang tidak rasional. Pada hasil penelitian 2015 mengenai

DRPs penggunaan antibiotik di suatu rumah sakit di Etiopia terdapat 75,7 %

permasalahan penggunaan antibiotik yang meliputi 29,6 % membutuhkan

penambahan antibiotik, 28,9 % penggunaan antibiotik yang tidak diperlukan, 28,9

% dosis terlalu rendah, 15,1 % dosis terlalu tinggi, 9,2 % antibiotik tidak efektif,

17 % tidak patuhnya pasien dan DRPs potensial 8,6 % (Yadesa et al., 2015). Juga

hasil penelitian (Blix, Viktil, Moger, & Reikvam, 2008) yang dilakukan di empat

rumah sakit di Norwegia menyebutkan pada penggunaan antibiotik efek obat tidak

optimal mancapai 19,28 %, dosis tidak optimal mencapai 19,28 % dan terjadinya

interaksi obat mencapai 10 %. Khusus untuk DRPs tuberkulosis di tiga puskesmas

di Surabaya pada tahun 2014 disebutkan terapi obat yang tidak diperlukan

mencapai 3,08 %, dosis terlalu rendah 11,54 %, reaksi obat yang tidak diinginkan

Page 96: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

82

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

62, 31 %, dosis terlalu tinggi 1, 54 % dan ketidakpatuhan pasien mencapai 21,54

% (Priyandani et al., 2014). Untuk evaluasi kualitas antibiotik pada pasien

pneumonia di RSUD dokter Moewar tahun 2013 dengan metode Gyssens

menyebutkan antibiotik rasional hanya mencapai 17,65 %, ada antibiotik yang

lebih efektif 50,98 %, ada antibiotik kurang toksik 23,53 %, ada antibiotik lebih

murah 5,88 % dan ada antibiotik yang lebih spesifik 1,96 % (Marsono, Yuda,

2015).

4.1.4.1 Permasalahan

a. Efektivitas terapi

Berdasarkan tabel 4.11 dapat diketahui bahwa dari 8 pasien dengan kasus

DRPs permasalahan efektivitas terapi mencapai 4 kasus dengan kategori obat

tidak efektif atau pengobatan gagal 0 pasien dan efek obat tidak optimal 2 pasien

dengan distribusi sebagai berikut:

Tabel 4.13 Distribusi obat tidak efektif/pengobatan gagal& efek obat tidak

optimal

Diagnosa Antibiotik yang digunakan Keterangan NP

P1.1 Obat tidak efektif atau pengobatan gagal (n=0)

P1.2 Efek obat tidak optimal (n=2)

Tuberkulosis +

Pneumonia

RIF, INH, ETB, LEV diganti

SSB TD↓, RR↑,

DN↑

18

Tuberkulosis +

HIV

4 FDC, SSB S: RR↑, L↓ 94

Keterangan:

RIF=Rifampisin, INH=Isoniazid, ETB=Etambutol, STM=Streptomisin,

LEV=Levofloksasin, SSB=Sefoperazon-Sulbaktam, S=SIRS (Sistemic

Inflamatory Respone Syndrome), L↑= Leukosit naik tidak dalam rentang normal

(5-10 ribu/uL), L↓= Leukopenia (< 4 ribu/uL), , RR↑ = Kecepetan pernafasan naik

melebihi batas normal (> 20x/menit), DN↑= Denyut nadi naik > 90 x/menit

(takhikardi), NP = Nomor Pasien.

Hasil data deskriptif pada tabel 4.13 menunjukkan tidak ada pasien yang

mengalami obat tidak efektif atau pengobatan gagal dan 2 pasien mengalami

pengobatan yang tidak optimal. Jenis antibiotik yang digunakan antar pasien

bervariasi dan tidak sama. Parameter efektivitas pengobatan untuk penyakit

infeksi secara umum berdasarkan tujuan pengobatan yaitu eradikasi bakteri

penyebab penyakit, tidak ada lagi tanda dan gejala infeksi seperti: leukosit normal

Page 97: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

83

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

(5-10 ribu/Ul), suhu tubuh normal: (36-37,5 ºC), tidak terjadi SIRS (Sistemic

Inflamatory Respone Syndrome). SIRS terjadi jika terdapat dua atau lebih tanda

berikut: demam ( suhu tubuh > 38ºC) atau hipotermia (suhu tubuh < 36 ºC),

takhikardi ( denyut nadi > 90x/ menit), takhipneu (frekuensi respirasi > 20x/

menit) atau Pa CO2 <32 torr (4,3 Kpa), leukositosis (jumlah leukosit > 12000/ uL)

atau leukopenia ( jumlah leukosit < 4000/uL) atau adanya bentuk leukosit yang

immature > 10%) (Dipiro J.T, et al, 2015).

Untuk pengobatan pneumonia American Thoracix Society menambahkan

bahwa pengobatan pneumonia efektif jika tidak mempunyai lebih dari 1 tanda

klinik pneumonia komunitas yang tidak stabil. Tanda pneumonia yang stabil

adalah suhu tubuh ≤ 37,8 ºC, denyut nadi ≤ 100 kali/ menit, pernafasan/ RR

≤ 24 kali/ menit, tekanan darah sistolik ≥ 90 mmHg, saturasi oksigen arterial

≥ 90 % atau pO2 ≥ 60 mmHg pada suhu ruang, status mental normal dan

mampu mengonsumsi makanan secara oral (IDSA, 2007).

Hasil pemeriksaan tanda vital di hari akhir perawatan pasien nomor 18

denyut nadi 104 kali/menit, kecepatan pernafasan 24 kali/menit, tekanan darah

83/57 mmHg. Tanda vital ini menandakan pneumonia yang diderita belum stabil.

Pada pasien dengan nomor 94 pengobatan tidak optimal dengan adanya tanda

SIRS berupa terjadi leukopenia (leukosit 1,9 ribu/uL pada 2 hari sebelum pulang)

dan kecepatan pernafasan mencapai 24 kali/menit. Hal ini dapat dikaitkan dengan

keadaan pasien yang CD4 nya hanya mencapai 8 sel/ µl pada awal masuk tetapi

tidak diberikan kotrimoksazol.

Kategori permasalahan efektivitas terapi yang selanjutnya adalah obat

tidak diperlukan pada 1 pasien dengan distribusi sebagai berikut:

Tabel 4.14 Distribusi Obat Tidak Diperlukan

Diagnosa Antibiotik yang tidak

diperlukan

Nomor

Pasien

Keterangan

P1.3 Obat tidak diperlukan (n=1)

Tuberkulosis Imipenem 58 Tidak ada

diagnosa

sepsis dan

tanda SIRS

Obat yang tidak diperlukan adalah penggunaan obat yang tidak dibutuhkan

pada pengobatan pasien. Hal ini terjadi dapat karena berbagai macam penyebab

Page 98: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

84

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

yang berkaitan dengan tidak ada indikasi untuk penggunaan obat, obat tidak tepat

berdasarkan guidelines atau formularium, obat tidak tepat yang merupakan

penggunaan obat kontraindikasi, duplikasi kelompok terapi atau bahan aktif yang

tidak tepat dan disebabkan oleh banyak obat (kelompok terapi atau bahan aktif

yang berbeda) diresepkan untuk indikasi yang sama.

Kategori permasalahan efektivitas terapi yang selanjutnya adalah indikasi

tidak terobati pada 1 pasien dengan distribusi sebagai berikut:

Tabel 4.15 Distribusi Indikasi tidak terobati

Diagnosis Indikasi

Tidak

Terobati

Obat Tambahan NP Keterangan

P1.4 Indikasi tidak terobati (n=1)

Pneumonia +

Tuberkulosis +

HIV

Pneumonia Antibiotik

Fluoroquinolon

atau Sefalosporin

generasi ketiga

47 Pada lembar

resum pasien

tertulis diagnosa

utama dengan

kode ICD J18.9

NP = Nomor Pasien

Indikasi tidak terobati merupakan pemberian terapi tambahan pada pasien

atas dasar diagnosa yang ditegakkan, sesuai dengan diagnosa yang tercantum di

rekam medis. Penilaian analisa DRPs antibiotik indikasi tidak terobati tergantung

pada penegakan diagnosis. Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan

gejala klinik, pemeriksaan fisik, pemeriksaan bakteriologik, pemeriksaan

radiologi dan pemeriksaan penunjang lainnya. Pemeriksaan mikroskopik

dinyatakan positif apabila sedikitnya terdapat dua dari tiga spesimen dahak

sewaktu-pagi-sewaktu hasilnya positif. Pasien dengan hasil pemeriksaan sputum

BTA positif menandakan jumlah bakteri yang lebih banyak pada lesi paru dan

lebih infeksius dibandingkan dengan pasien yang hasil pemeriksaan sputum

BTAnya negatif. Pemeriksaan foto rontgen dada merupakan salah satu prediktor

dalam mendiagnosis tuberkulosis. Pemeriksaan foto rontgen dada diperlukan

dalam mendiagnosis tuberkulosis pada pasien dengan pemeriksaan dahak

mikroskopis negatif yang tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotik non-

OAT (Obat Anti Tuberkulosis). Menurut ATS kriteria pneumonia berat bila

dijumpai salah satu atau lebih kriteria minor ( Frekuensi nafas > 30/ menit, PaO2/

Page 99: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

85

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

FiO2 kurang dari 250 mmHg, foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral,

foto toraks paru melibatkan > 2 lobus, tekanan sistolik < 90 mmHg, tekanan

diastolik < 60 mmHg) atau kriteria mayor (membutuhkan ventilasi mekanik,

infiltrat bertambah >50%, membutuhkan vasopresor > 4 jam (septik syok),

kreatinin serum > 2 mg/dl atau peningkatan > 2 mg/dl, pada penderita riwayat

penyakit ginjal atau gagal ginjal yang membutuhkan dialisis). Berdasarkan

kesepakatan perhimpunan dokter paru indonesia, kriteria yang dipakai untuk

indikasi rawat inap pneumonia komuniti adalah skor PSI (Pneumonia Severity

Index) lebih dari 70, bila skor PSI kurang dari 70 maka penderita tetap perlu

dirawat inap bila dijumpai salah satu dari kriteria minor. Sedangkan pada pasien

HIV kebutuhan antibiotik tergantung pada koinfeksi yang diderita pasien (IDSA,

2007; IDPI, 2003; Shabbir I, 2007; Wokas 2015).

Dari hasil penelitian terdapat 1 kasus indikasi tidak terobati pada penderita

pneumonia. Pada penelitian yang dilakukan pada pasien tuberkulosis di salah satu

rumah sakit Bandung tahun 2012 menyebutkan dari seluruh pasien terdapat 10,47

% pasien dengan 1 indikasi tidak tertangani dan 3,49 % pasien dengan 2 indikasi

tidak terobati. Penelitian lain yang dilakukan di RSUP H Adam Malik Medan

periode Oktober-Desember 2010 menyebutkan adanya indikasi tidak terobati

sebanyak 3,3%. Secara umum, alasan kemungkinan terdapat indikasi tanpa obat

pada pasien yaitu terdapat kondisi lain yang menjadi prioritas penanganan pada

pasien atau bahkan kondisi lain tersebut mengancam jiwa pasien, indikasi yang

tidak tertangani bukan merupakan penyebab utama pasien masuk rumah sakit,

mengurangi beban organ vital yang sedang mengalami gangguan seperti ginjal

dan hati, penegakan diagnosis belum sepenuhnya dapat dipastikan karena masih

menunggu hasil pemeriksaan laboratorium, Indikasi yang tidak tertangani dapat

ditangani melalui terapi non-farmakologi, namun tidak diketahui pada rekam

medik pasien (Sukandar & Hartini, 2012; Anindia, Alin, 2016). Pada kasus ini

pasien mempunyai diagnosa tuberkulosis + HIV + pneumonia dan menerima

antiinfeksi 4 FDC, kotrimoksazol dan flukonazol dengan lama perwatan 14 hari.

Antibiotik untuk pneumonia tidak diberikan dimungkinkan karena selama

perawatan penegakan diagnosa belum dilakukan namun di akhir perawatan

Page 100: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

86

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

terdapat data penunjang atau pertimbangan keadaan respon tubuh pasien dengan

banyaknya antiinfeksi yang sedang digunakan.

b. Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD)

Terdapat 4 pasien pada kategori permasalahan reaksi obat yang tidak

diinginkan dengan distribusi sebagai berikut:

Tabel 4.16 Distribusi Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki

Diagnosa Antibiotik

Penyebab ROTD

ROTD yang dialami Nomor

Pasien

P2.1 Pasien menderita ROTD (n=4)

Tuberkulosis OAT Drug Induced Liver Injury 54 dan 69

Tuberkulosis+

Pneumonia

OAT Drug Induced Liver Injury 20

Tuberkulosis+HIV OAT Drug Induced Liver Injury 16

OAT = Obat antituberkulosis

Terdapat 4 kasus Reaksi Obat Tidak Dikehendaki (ROTD) yang terjadi

pada pasien ruang isolasi RSUD Cengkareng merupakan efek samping antibiotik

yang digunakan. Pada penilaian ROTD sudah dipastikan bahwa ROTD yang

dialami bukan keadaan patofisiologi pasien dan telah dibandingkan tingkat resiko

efek samping dengan seluruh pengobatan yang digunakan pasien. Keadaan klinis

yang dicurigai menjadi reaksi obat yang tidak dikehendaki pada penelitian ini

adalah drug induced liver injury yang diderita pasien. Pada kasus drug induced

liver injury ini tidak ditemukan penyebab yang berkaitan dengan pemilihan obat,

pemilihan dosis ataupun lama pengobatan obat. Menurut (Petros et al., 2016),

toksisitas hati yang berkaitan dengan penggunaan obat atau yang dikenal dengan

drug induced liver injury (DILI) membatasi akses penggunaan obat yang mungkin

bermanfaat bagi keadaan pasien. DILI adalah kejadian buruk utama yang

menyebabkan penghentian program klinis pada terapi obat. DILI adalah kejadian

buruk yang berkaitan dengan obat antituberkulosis yang dimungkinkan terkait

dengan variasi genetik. Sedangkan menurut (Tailor, Faulkner, Naisbitt, & Park,

2015), DILI merupakan reaksi obat yang tidak lazim tetapi berakibat fatal yang

dapat terjadi dikarenakan penggunaan obat antituberkulosis, β-laktam dan anti

inflamasi non steroid. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa DILI adalah

permasalahan yang multifaktorial, yang menunjukkan beberapa mekanisme yang

Page 101: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

87

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

mungkin terlibat diantaranya pembentukan metabolit reaktif, sistem imun adaptif

dan adanya genetika terbaru pengkode DILI sehingga sedang banyak berkembang

penelitian mengenai genetik pengkode DILI dalam dunia farmakogenetik.

Penelitian yang berkaitan dengan reaksi obat yang tidak dihendaki juga

dilakukan pada pasien tuberkulosis di ruang rawat inap kelas III salah satu rumah

sakit Bandung. Hasil penelitian tersebut menyimpulkan adanya reaksi obat

merugikan yang terjadi sebesar 6,98% dengan ruang A sebesar 4,65% dan ruang

B sebesar 2,33%. Reaksi obat merugikan yang terjadi berupa adanya drug-

induced hepatitis akibat OAT yang diberikan mengingat rifampisin dan isoniazid

merupakan obat yang berpotensi tinggi memberikan efek hepatotoksik (Sukandar

& Hartini, 2012). Penelitian lain mengenai reaksi obat merugikan yang dilakukan

pada pasien HIV/AIDS koinfeksi tuberkulosis di rumah sakit Hasan Sadikin

Bandung tahun 2015 juga menyebutkan adanya reaksi obat merugikan yang

disebabkan oleh pemakaian obat antituberkulosis (rifampisin, isoniazid dan

pirazinamid) berupa drug induced liver injury yaitu sebanyak 5 pasien dari jumlah

seluruhnya 48 pasien, juga adanya gangguan saluran pencernaan berupa mual,

muntah, dispepsia yang terjadi pada 1 pasien dari jumlah seluruhnya 48 pasien.

Penanganan yang dilakukan untuk pasien yang mengalami drug induced liver

injury dapat dilakukan dengan pemantauan fungsi hati, penghentian kombinasi

dosis tetap, reintroduksi OAT, penggantian obat atau pemberian hepatoprotektor

tergantung pada keadaan pasien. Sedangkan pada pasien dengan gangguan saluran

perncernaan dapat diberikan obat antiemetik (Andi, Amalia, & Wisaksana, 2015).

4.1.4.2 Penyebab

Adanya permasalahan yang berkaitan dengan penggunaan obat, tidak lepas

dari berbagai penyebab yang berpotensi menciptakan permasalahan. Adapun

distribusi 36 penyebab permasalahan pengobatan dengan kategori PCNE V.07

adalah sebagai berikut:

a. Pemilihan Obat

Penyebab yang berkaitan dengan pemilihan obat mempunyai persentase

tertinggi yaitu mencapai 19% yang terdiri dari obat tidak tepat berdasarkan

guidelines atau formularium 6%, obat tidak tepat (merupakan penggunaan obat

yang kontraindikasi) 0%, tidak ada indikasi untuk penggunaan obat 1%,

kombinasi obat-obat tidak tepat 0%, ada indikasi tetapi obat tidak diresepkan 1%,

Page 102: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

88

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

banyak obat (kelompok terapi atau bahan aktif yang berbeda) diresepkan untuk

indikasi yang sama 1 %, kebutuhan obat yang bersifat sinergis/preventif tidak

diresepkan 10 % dengan distribusi sebagai berikut:

Tabel 4.17 Distribusi Penyebab yang Berkaitan dengan Pemilihan Obat

Diagnosa Keterangan NP

C1.1 Obat tidak tepat berdasarkan guidelines atau formularium (n=7)

TB Imipenem digunakan tanpa kultur 29, 37, 58

Sefoperazon 3 x 1 g + Ofloksasin 2 x 400

mg (pada pengobatan sepsis)

54

TB + HIV Imipenem digunakan tanpa kultur 100

TB + HIV +

Pneumonia

Imipenem digunakan tanpa kultur 91, 99

C1.2 Obat tidak tepat (kontraindikasi) (n=0)

C1.3 Tidak ada indikasi untuk penggunaan obat (n=1)

Obat yang tidak diperlukan: Jumlah:

Tuberkulosis Imipenem 1

C1.4 Kombinasi obat-obat tidak tepat (potensi interaksi terlampir)

C1.5 Duplikasi kelompok terapi atau bahan aktif yang tidak tepat (n=0)

C1.6 Ada indikasi tetapi obat tidak diresepkan (n=1)

Indikasi yang tidak terobati: I

TB + HIV +

Pneumonia

Pneumonia 47

C1.7 Banyak obat diresepkan untuk indikasi yang sama (n=0)

C1.8 Kebutuhan obat yang bersifat sinergis/preventif tidak diresepkan

(n=10)

Obat yang bersifat sinergis tidak

diresepkan:

NP

TB +Pneumonia Streptomisin (TB kambuh) 3, 76

TB + HIV Kotrimoksazol 94

Streptomisin (TB kambuh) 42

TB Streptomisin ( 3 pasien TB kambuh, 3

Pasien TB putus obat)

52,66,9,55,73,77

TB= Tuberkulosis, NP= Nomor Pasien

Terdapat 7 pasien dengan penyebab DRPs obat tidak tepat berdasarkan

guidelines atau formularium. Penilaian obat tidak tepat berdasarkan guidelines

pada penelitian ini adalah penggunaan pirazinamid pada pasien Hepatitis. Pada

panduan tuberkulosis nasional dijelaskan pasien dengan kecurigaan mempunyai

penyakit hati kronis, pemeriksaan fungsi hati harus dilakukan sebelum memulai

pengobatan. Apabila hasil pemeriksaan fungsi hati >3 kali normal sebelum

memulai pengobatan, paduan OAT berikut ini dapat dipertimbangkan Pirazinamid

Page 103: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

89

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

(Z) tidak boleh digunakan, 2 obat yang hepatotoksik: 2 HRSE / 6 HR, 9 HRE, 1

obat yang hepatotoksik: 2 HES / 10 HE, tanpa obat yang hepatotoksik: 18-24 SE

ditambah salah satu golongan fluorokuinolon (Siprofloksasin tidak

direkomendasikan karena potensinya sangat lemah) (Kemenkes, 2014). Menurut

(Sonika & Kar, 2012) pada pengobatan tuberkulosis dengan penyakit hati perlu

dilakukan modivikasi terapi obat, modifikasi tersebut bisa dengan menggunakan

rejimen dengan dua obat hepatotoksik dengan cara tidak mengikut sertakan

pirazinamid dengan memberikan isoniazid, rifampisin dan etambutol selama 2

bulan, rejimen tanpa isoniazid dengan memberikan rifampisin, pirazinamid,

etambutol selama 6 bulan atau rejimen tanpa rifampisin dengan memberikan

isoniazid, pirazinamid, etambutol, ofloksasin selama 2 bulan diikuti dengan

pemberian isoniazid, etambutol, ofloksasin selama 10 bulan. Modifikasi lain

adalah dengan rejimen satu obat yang berpotensi hepatotoksik atau dengan

rejimen tanpa obat yang berpotensi hepatotoksik dengan penggunaan streptomisin,

etambutol dan fluoroquinolon selama 18-24 bulan. Sedangkan obat tidak

berdasarkan restriksi formularium adalah penggunaan Imipenem. Berdasarkan

formularium RSUD Cengkareng 2014, penggunaan imipenem hanya untuk terapi

lini ketiga yang terbukti ESBL (Extended-spectrum beta lactamase) positif,

pemeriksaan kultur harus dilakukan, jika bakteri penyebab masih sensitif terhadap

antibiotik dan lebih diutamakan penggunaan meropenem. Obat yang tidak

berdasarkan guidelines terjadi juga pada pasien bernomor 56, pasien ini

mempunyai diagnosa utama tuberkulosis, mendapatkan sefoperazon dan

ofloksasin secara bersamaan untuk pengobatan sepsisnya. Hal ini tidak seharusnya

terjadi dikarenakan pada pengobatan sepsis hanya diperlukan salah satu antibiotik

tersebut. Penggunaan yang berlebihan dapat menyebabkan resistensi.

Pada kategori penyebab tidak ada indikasi untuk penggunaan obat terdapat

1 pasien yang mengalaminya. Pada 1 pasien dengan diagnosa utama tuberkulosis

menerima antibiotik imipenem tanpa adanya indikasi mendukung seperti adanya

diagnosa sepsis atau terjadinya gejala SIRS. Pada penelitian yang dilakukan pada

pasien tuberkulosis di ruang perawatan kelas III di salah satu rumah sakit di

Bandung menggambarkan masih terjadi DRPs yang berkaitan dengan pemberian

obat tanpa indikasi sebesar 11,63 %, tetapi dalam penelitian ini tidak disebutkan

Page 104: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

90

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

macam-macam obat yang digunakan tanpa indikasi. Pada penelitian retrospektif

mengenai DRPs penggunaan antibiotik pada pasien pneumonia di RSUP Adam

Malik Medan pemberian antibiotik tanpa indikasi pada periode Oktober-

Desember 2010 mencapai 10%, sedangkan pada periode Januari-Maret 2011

mencapai 9,52%. Penggunaan antibiotik tanpa indikasi ini dimungkinkan karena

beberapa sebab yaitu untuk mengatasi kondisi lain dari penyakit yang diderita

(contoh: metronidazol digunakan untuk mengatasi bentuk dorman dari M.

tuberculosis), penggunaan efek samping yang umum terjadi dari obat, penggunaan

investigasional pada diagnosa banding (Sukandar & Hartini, 2012; Hidayah,

Nurul, 2011).

Kategori penyebab berkaitan dengan pemilihan obat selanjutnya adalah

kombinasi obat-obat tidak tepat yaitu dengan persen kejadian 0 %. Kategori ini

berkaitan dengan interaksi obat. Interaksi obat yang terjadi merupakan semua

interaksi obat yang mungkin atau potensial terjadi pada terapi obat yang diberikan

kepada 100 pasien, baik interaksi obat yang dapat dihindari ataupun interaksi obat

yang tidak dapat dihindari. Secara tertulis tidak ada efek interaksi obat yang

diderita pasien. Tetapi dilihat dari penggunaan seluruh obat yang digunakan

pasien terdapat potensi interaksi obat sebagai berikut:

Tabel 4.18 Interaksi Obat Berdasarkan Tingkat Keparahan dan Mekanisme

Potensi Interaksi Kategori Jumlah Persentase (%)

Mekanisme

Interaksi

Farmakokinetik 141 36,7

Farmakodinamik 242 63

Tidak diketahui 1 0,3

Total 384

Tingkat keparahan Ringan (minor) 56 14,58

Sedang (moderat) 291 75,78

Berat (mayor) 37 9,6

Total 384

Hasil analisa DRPs terhadap 100 pasien, diperoleh bahwa terdapat potensi

interaksi pada 83 pasien. Berdasarkan analisa terhadap 83 pasien yang berpotensi

mengalami interaksi obat (tabel 4.18), diperoleh hasil bahwa terdapat total

kejadian interaksi obat sebanyak 384 kejadian yang terdiri dari interaksi obat

farmakodinamik 242 kejadian (63 %). Hal tersebut menunjukkan bahwa obat-obat

yang diberikan saling berinteraksi pada sistem reseptor, tempat kerja atau sistem

Page 105: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

91

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

fisiologi yang sama sehingga terjadi efek yang aditif, sinergis (saling

memperkuat) atau antagonisme (saling meniadakan). Beberapa alternatif

penatalaksanaan interaksi obat adalah menghindari kombinasi obat dengan

memilih obat pengganti yang tidak berinteraksi, penyesuaian dosis obat,

pemantauan pasien atau meneruskan pengobatan seperti sebelumnya jika

kombinasi obat yang berinteraksi tersebut merupakan pengobatan yang optimal

atau bila interaksi tersebut tidak bermakna secara klinis (Fradgley, 2003).

Mekanisme interaksi obat secara farmakokinetik terjadi sebanyak 141 kejadian

(36,7 %). Hal tersebut menunjukkan bahwa salah satu obat mempengaruhi

absorpsi, distribusi, metabolisme atau ekskresi obat kedua sehingga kadar plasma

kedua obat meningkat atau menurun. Akibatnya terjadi peningkatan toksisitas atau

penurunan efektifitas obat tersebut (Fradgley, 2003)

Berdasarkan hasil penelitian, tingkat keparahan interaksi obat yang paling

banyak terjadi adalah pada interaksi obat moderat, yaitu sebanyak 291 kejadian

(75,25 %). Interaksi obat secara moderat ini termasuk jenis interaksi obat yang

diutamakan untuk dicegah dan diatasi jika interaksi obat yang dihasilkan lebih

berbahaya dibandingkan manfaatnya, sebaiknya menggunakan alternatif lain jika

ada. Selanjutnya interaksi obat terbanyak kedua adalah dengan tingkat keparahan

minor, yaitu 56 kejadian (14,58 %) interaksi ini mungkin mengganggu atau tidak

disadari (interaksi obat diduga terjadi) tetapi tidak mempengaruhi secara

signifikan terhadap efek obat yang diinginkan. Interaksi obat dengan tingkat

keparahan mayor adalah interaksi obat yang paling sedikit, terdapat 37 kejadian

(9,6%). Interaksi obat dengan tingkat keparahan mayor diutamakan untuk dicegah

dan diatasi karena efek potensial membahayakan jiwa atau menyebabkan

kerusakan permanen. Jenis obat yang mengalami interaksi mayor dapat dilihat

pada tabel berikut:

Tabel 4.19 Jenis Obat yang Mengalami Interaksi Mayor

Jenis Obat Efek Interaksi Obat Manajemen

Isoniazid - Rifampisin Penggunaan bersamaan

dapat menyebabkan

gangguan fungsi hati

dengan tanda mual,

muntah dan kulit

berwarna kuning

Lakukan penyesuaian

dosis

Page 106: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

92

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Levofloksasin -

Deksametason

Penggunaan bersama

akan meningkatkan

resiko tendinitis dan

tendon ruptur

Segera hentikan

penggunaan ofloksasin

jika terdapat gejala

tendon ruptur: seperti

nyeri, atau inflamasi

pada tendon

Levofloksasin -

Metilprednisolon

Penggunaan bersamaan

dapat meningkatkan

resiko tendinitis dan

tendon rupture akibat

fluorokuinolon

Hindari penggunaan

bersama

Ofloksasin - Deksametason Penggunaan bersama

akan meningkatkan

resiko tendinitis dan

tendon ruptur

Segera hentikan

penggunaan ofloksasin

jika terdapat gejala

tendon ruptur: seperti

nyeri, atau inflamasi

pada tendon

Ofloksasin - Efavirenz Efaviren dapat

memperpanjang

gelombang QT secara

signifikan dengan

menurunkan klirens

metabolisme quinolon

melalui inhibisi enzim

CYP450 2B6

Alternatif Efavirenz

harus diberikan pada

pasien

Ofloksasin - Haloperidol Penggunaan bersama

akan meningkatkan

resiko perpanjangan

gelombang QT dan

meningkat resiko

aritmia

Monitor efek

haloperidol

Ofloksasin -

Metilprednisolon

Penggunaan bersamaan

dapat meningkatkan

resiko tendinitis dan

tendon rupture yang

berkaitan dengan

pengobatan

fluorokuinolon

Hindari penggunaan

bersama

Rifampisin - Amlodipin Rifampisin menginduksi

enzim CYP450 3A4

sehingga menurunkan

bioavailabilitas oral

CCB

Penggunaan CCB oral

dihindari

Rifampisin - Itrakonazol Rifampisin akan

menurunkan konsentrasi

itrakonazol secara

signifikan karena

rifampisin menginduksi

Monitor efek antifungi

itrakonazol

Page 107: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

93

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

enzim CYP450

Rifampisin - Nevirapin Penggunaan bersamaan

akan menurunkan

konsentrasi nevirapin

dengan induksi enzim

CYP450 3A4

Hindari penggunaan

bersama

Rifampisin - Nifedipin Rifampisin menginduksi

enzim CYP450 3A4

sehingga menurunkan

bioavailabilitas oral

CCB

Penggunaan CCB oral

dihindari

Rifampisin - Pirazinamid Penggunaan bersamaan

dapat membahayakan

fungsi hati

Lakukan penyesuaian

dosis

Rifampisin - Simvastatin Pemakaian bersama

akan menurunkan kadar

simvastatin secara

signifikan, rifampisin

menginduksi enzim

metabolisme CYP450

3A4

Hindari penggunaan

bersamaan

Siprofloksasin - Efavirenz Efaviren dapat

memperpanjang

gelombang QT secara

signifikan dengan

menurunkan clearance

metabolisme quinolon

melalui inhibisi enzim

CYP450 2B6

Alternatif Efavirenz

harus diberikan pada

pasien

CCB = Calsium Canal Blocker

Sumber: Drug Interaction Fact; Drug Interaction Stockley; (AnnoesJKA, 2005)

Interaksi rifampisin dan nevirapin telah dipastikan dengan percobaan yang

dilakukan oleh Boehringer Ingelheim Pharmaceuticals menyatakan AUC

Nevirapin berkurang 58 % akibat pemakaian rifampisin pada 14 subjek tetapi

tidak terjadi perubahan steady state farmakokinetik rifampisin. Berdasarkan data

ini penggunaan bersamaan sebaiknya dihindari (Viramune, 2007). Menurut

(Ribera et. al, 2001) pada pasien HIV positif dengan TB ditemukan rifampisin

menyebabkan berkurangnya 31 % AUC nevirapin dan tidak signifikan

mengurangi konsentrasi yaitu hanya 21%. Penelitian ini menyimpulkan tidak

diperlukan peningkatan dosis nevirapin. Penelitian lain menyebutkan penggunaan

rifampisin dan nevirapin mengurangi 18 % kadar nevirapin tanpa mengurangi

respon virologi (Manosuthi et al, 2007). Pasien yang mendapatkan nevirapin 2 x

Page 108: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

94

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

200 mg ditambah rifampisin 450 mg atau 600 mg perhari menyebabkan 46 %

pengurangan AUC nevirapin dan 53 % mengurangi level minimum, dengan 8

pasien memmpunyai kadar dibawah kadar terapi (3 microgram/ml). Pada 7 pasien

dengan kadar minimal kurang dari kadar terapi penaikan dosis menjadi 3 x 200

mg nevirapin selama 2 minggu terbukti meningkatkan kadar hingga mencapai

kadar terapi tanpa meningkatkan efek samping (Ramachandran et al, 2006).

Penelitian interaksi rifampisin dan nifedipin dilakukan oleh (Tada Y,

1992) pada perempuan dengan hipertensi yang mendapatkan Nifedipin 2 x 40 mg

menunjukkan adanya peningkatan tekanan darah 160/90 mmHg menjadi 200/110

mmHg setelah 2 minggu menggunakan pengobatan antituberkulosis termasuk

didalamnya rifampisin 450 mg. Ketika rifampisin dihentikan dan kembali

digunakan, terjadi penurunan tekanan darah dan peningkatan lagi. Pucak kadar

plasma dan AUC Nifedipin berkurang 60 % ketika digunakan dengan rifampisin.

Penelitian lain dilakukan oleh (Holtbecker, 1996) pada 6 subjek sehat diberikan

nifedipin 20 microgram/kg intravena dan 20 mg oral pada hari yang berbeda

sebelum dan sesudah mendapatkan rifampisin 600 mg rifampisin selama 7 hari.

Farmakokinetik nifedipin intravena tidak berubah signifikan oleh rifampisin,

tetapi klirens pemberian oral meningkat dari 1,5 menjadi 20,9 L/menit dan

bioavailabilitas menurun dari 41,2 menjadi 5,3 %. Penelitian farmakokinetik pada

6 subjek sehat mandapatkan nifedipin oral 10 mg yang diberikan 8 jam setelah

dosis tunggal rifampisin 1,2 g bioavailabilitasnya berkurang manjadi 36%, waktu

paruhnya lebih cepat dan klirensnya meningkat tiga kali lipat (Ndanusa, 1997).

Studi Crossover pada 10 subjek, 5 hari pretreatment dengan rifampisin

600 mg tiap hari mengurangi 87 % AUC Simvastatin dan 93 % asam simvastatin

(Kyrklund, 2000). Banyak penelitian yang menyebutkan bahwa kadar serum dan

waktu paruh penggunaan bersama rifampisin dan isoniazid tidak berpengaruh

signifikan dan tidak ada perbedaan juga antara asetilator isoniazid cepat dan

lambat. Penelitian pada subjek sehat yang menerima dosis tunggal ditemukan

bahwa isoniazid 12 mg/kg mengurangi AUC rifampisin 10 mg/kg hingga 25 %

(Immanuel, 2003). Beberapa bukti juga menyebutkan adanya kejadian dan

peningkatan keparahan hepatotoksik jika kedua obat digunakan bersamaan. Di

India dilapokan insiden tersebut terjadi pada 8-10 %, tetapi di US dilaporkan

Page 109: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

95

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

persen kejadian hanya 2-3 % Mekanisme belum diketahui secara pasti, tetapi

salah satu mekanisme yang diketahui bahwa rifampisin mengubah metabolisme

isoniazid, yang menyebabkan terbentuknya hidrazin yang terbukti hepatotoksik

(Gangadharam PRJ, 1986). Penelitian lain yang dilakukan pada pasien yang

menerima antituberkulosis yang didalamnya rifampisin 600 mg dan isoniazid 300

mg dan juga menerima itrakonazol 200 mg sekali sehari. Setelah 2 minggu serum

itrakonazol tidak berarti ( 0,011 mg/L). Ketika penggunaan dua kali dosis awal

hanya mencapai kadar 0,056 mg/L. Ketika antituberkulosis dihentikan kadar

serum itrakonazol mancapai 3,23 mg/L dengan dosis 300 mg dan 2,35-2,6 mg/L

dengan dosis 200 mg setiap hari (Blomley, 1990).

Penyebab DRPs yang berkaitan kebutuhan obat yang bersifat

sinergis/preventif tidak diresepkan yang terbanyak adalah tidak diresepkannya

kotrimoksazol. Pada pasien tuberkulosis dengan HIV-positif, kotrimoksazol harus

diberikan sesegera mungkin dan berikan pengobatan tuberkulosis seluruhnya.

Kotrimoksazol mencegah dan mengurangi mortalitas pasien tuberkulosis dengan

HIV-positif. Aktivitas kotrimoksazol belum diketahui secara pasti tetapi telah

terbukti mencegah Pneumocystis jirovecii dan malaria, serta terbukti mempunyai

pengaruh pada jumlah bakteri yang menginfeksi pasien tuberkulosis dengan HIV-

positif (WHO, 2014). Menurut (Kemenkes, 2011), Bila tersedia pemeriksaan

jumlah sel CD4 dan terjangkau, kotrimoksasol diberikan pada pasien dengan

jumlah CD4 <200 sel/mm3 dengan dosis 960 mg/ hari dosis tunggal dan

dihentikan bila sel CD4 naik >200 sel/mm3 pada pemeriksaan dua kali interval 6

bulan berturut-turut jika mendapatkan ARV. CD4 pada pasien nomor 94 adalah

8 sel/µl dan pasien tersebut sedang menerima terapi anti retroviral sehingga

diperlukan kotrimoksazol. Kebutuhan obat yang bersifat sinergis/preventif tidak

diresepkan yang kedua adalah streptomisin. Streptomisin dibutuhkan pada pasien

dengan tuberkulosis kambuh dan tuberkulosis putus obat yang termasuk dalam

kategori dua yaitu 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3 (Kemenkes, 2014).

b. Pemilihan Dosis

Penyebab DRPs kategori peresepan yang ketiga adalah berkaitan dengan

pemilihan dosis dengan distribusi sebagai berikut:

Page 110: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

96

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Tabel 4.20 Distribusi dosis terlalu rendah (n=10)

Diagnosa Um

ur/

BB

K

K

Nama

antibiotik

Dosis

terlalu

rendah

Dosis

seharusnya

NP Referen

si

TB +

Pneumonia

78/

55

- 4 FDC 3 x 1 tab 4 tab 7 Kemen-

kes,

2014;

DIH

2011;

AHFS

;BNF

2009;

Drugs

For

Elderly

WHO

Europe

Series

44/

90

- Rifampisin 300 mg 900 mg 63

INH 300 mg 450 mg

Etambutol 750 mg 1000 mg

44/

60

- Rifampisin 300 mg 600 mg 18

Etambutol 750 mg 900 mg

TB + HIV 33/

57

4

7

4 FDC 3 x 1 tab 4 tab 96

30/

65

- 4 FDC 3 x 1 tab 4 tab 95

TB 46/

60

4 FDC 1 x 3 tab 4 tab 2

43/

65

- 4 FDC 1 x 3 tab 4 tab 9

41/

60

- 4 FDC 1 x 3 tab 4 tab 34

53/

60

- 4 FDC 3-0-0 4 tab 60

78/

60

2

9

4 FDC 3-0-0 4 tab 77

TB = Tuberkulosis, FDC = Fix Dose Combination, KK = Klirens Kreatinin, NP=

Nomor Pasien, DIH = Drug Information Handbook, AHFS = American Hospital

Formulary Service, BNF = British National Formulary

Tabel 4.21 Distribusi Dosis Terlalu Tinggi (n=2)

Diagnosa Umur/BB K

K

Nama

antibiotik

Dosis

terlalu

tinggi

Dosis

seharusnya

NP Ref

TB +

HIV

40/45 - Klindamisin 4 x 600

mg

Maksimal

1,8 g/ hari

71 DIH

2011,

BNF

2009

26/50 - Klindamisin 4 x 600

mg

Maksimal

1,8 g/ hari

90

TB = Tuberkulosis, FDC = Fix Dose Combination, KK = Klirens Kreatinin, NP=

Nomor Pasien, Ref = Referensi, DIH = Drug Information Handbook, BNF =

British National Formulary

Page 111: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

97

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Tabel 4.22 Pengaturan Dosis Terlalu Sering (n=3)

Diagnosa Nama

antibiotik

Pengaturan

Dosis

Terlalu

Sering

Pengaturan

Dosis

seharusnya

NP KK Referensi

TB +

Pneumonia

4 FDC 3-0-0 PRZ dan

ETA 3x/

minggu

karena

kreatinin

tinggi

28 14,1 Kemenkes,

2014;

WHO

2014 TB + HIV 4 FDC 3 x 1 tab 94 26,35

TB 4 FDC 3-0-0 77 28,7

TB = Tuberkulosis, 4 FDC = 4 Fix Dose Combination (Berisi Isoniazid 75 mg,

Rfampisin 150 mg, Pirazinamid 400 mg dan Etambutol 275 mg), INH = Isoniazid,

PRZ = Pirazinamid, ETA = Etambutol, KK=Klirens Kreatinin

Pemilihan dosis yang berkaitan dengan kategori dosis obat terlalu rendah

berjumlah 10 kasus dan dosis obat terlalu tinggi berjumlah 2 kasus. Pada kategori

dosis terlalu rendah berkenaan dengan dosis obat antituberkulosis. Pada analisa

obat antituberkulosis ini yang sangat berkaitan dengan dosis adalah berat badan

pasien dan kadar kreatinin pasien. Pada fase intensif pengobatan tuberkulosis

penggunaan 4 FDC mempunyai aturan khusus yaitu untuk pasien dengan berat

badan 30-37 kg menggunakan 2 tablet 4 FDC setiap harinya, untuk pasien dengan

berat badan 38-54 kg menggunakan 3 tablet 4FDC setiap hari, untuk pasien

dengan berat badan 55-70 kg menggunakan 4 tablet 4FDC setiap hari dan untuk

pasien dengan berat badan ≥71 kg menggunakan 5 tablet 4FDC setiap harinya.

Sedangkan pada antituberkulosis dengan sediaan lepasan dosis harian isoniazid 5

mg/kgBB dengan batas maksimal 300 mg, untuk rifampisin 10 mg/kgBB dengan

batas maksimal 600 mg, untuk pirazinamid 25 mg/kgBB dan untuk etambutol 15

mg/kgBB (Kemenkes, 2014; WHO,2014).

Menurut Drug Information Handbook, Isoniazid diberikan dengan dosis 5

mg/kg/hari (biasanya 300 mg/hari) sebagai dosis tunggal (maksimal 900

mg/dosis) diberikan 2-3 kali/minggu, Etambutol diberikan dengan dosis 15-25

mg/kg setiap hari atau 25-30 mg/kg/dosis 3 kali/minggu(maksimal 2,5 g/dosis)

atau 50 mg/kg/dosis dua kali/minggu (maksimal 4 g/dosis), Rifampisin diberikan

dengan dosis 10 mg/kg/hari (maksimal 600 mg/hari), 2 kali/minggu 10 mg/kg

(maksimal 600 mg) dan 3 kali/minggu 10 mg/kg (maksimal 600 mg), sedangkan

untuk Klindamisin sebagai pengobatan toksoplasma dengan dosis 150-450

Page 112: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

98

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

mg/dosis setiap 6-8 jam dengan dosis maksimal 1,8 g/hari. Menurut British

National Formulary 2009, Isoniazid diberikan dengan dosis 300 mg setiap hari,

rifampisin pada pasien dengan berat badan < 50 kg diberikan dengan dosis 450

mg/hari dan untuk berat badan ≥ 50 kg diberikan dengan dosis 600 mg, etambutol

diberikan dengan dosis 15 mg/kg/hari dan pirazinamid pada pasien dengan berat

badan < 50 kg diberikan dengan dosis 1,5 g/hari dan untuk berat badan ≥ 50 kg

diberikan dengan dosis 2 g/hari dan untuk klindamisin pada pengobatan

toksoplasma dengan dosis 450 mg setiap 8 jam. Sedangkan di dalam American

Hospital Formulary Service dijelaskan bahwa ATS, CDC dan IDSA menyatakan

dosis isoniazid jika digunakan dengan obat antituberkulosis lain yaitu 5 mg/kgBB

(hingga 300 mg). Untuk usia geriatri, perhitungan dosis mengacu pada Drugs For

Elderly WHO Europe Series yang menyebutkan pada pengobatan tuberkulosis

fase intensif biasanya diobati dengan tiga regimen yaitu 450 mg rifampisin

sebelum sarapan (600 mg jika pasien memiliki berat badan lebih dari 50 kg),

Etambutol 15 mg/kgBB/hari dan isoniazid 300 mg/hari. Dari berbagai referensi

tersebut telah disimpulkan dosis terlalu rendah sebanyak 10 kasus dan dosis

terlalu tinggi 2 kasus.

Pemilihan dosis yang berkaitan dengan kreatinin pasien menggambarkan

kegagalan fungsi ginjal dengan tingkatan tertentu. Untuk menilai tingkat

kegagalan fungsi ginjal terlebih dahulu kreatinin pasien dikonversikan menjadi

klirens kreatinin dengan menggunakan rumus Cockroft dan Gault sebagai berikut:

Klirens kreatinin = 𝟏𝟒𝟎−𝐮𝐦𝐮𝐫 𝐱 𝐁𝐞𝐫𝐚𝐭 𝐁𝐚𝐝𝐚𝐧

𝟕𝟐 𝐱 𝐬𝐞𝐫𝐮𝐦 𝐤𝐫𝐞𝐚𝐭𝐢𝐧𝐢𝐧

Untuk pasien berjenis kelamin perempuan hasil dikalikan dengan 0,85

Setelah didapatkan nilai klirens kreatinin maka akan diketahui tingkat

kegagalan fungsi ginjal pasien dengan acuan kategori tingkat 1 yaitu pasien

dengan klirens kreatinin normal, kategori tingkat 2 yaitu pasien dengan klirens

kreatinin 60 – 90 ml/menit, kategori tingkat 3 yaitu pasien dengan klirens

kreatinin 30 – 60 ml/menit, kategori tingkat 4 yaitu pasien dengan klirens

kreatinin 15 – 30 ml/menit, dan kategori tingkat 5 yaitu pasien dengan klirens

kreatinin < 15 ml/menit dengan atau tanpa dialisis. Pada tingkat 1-3, anjuran dosis

isoniazid 300 mg/hari, untuk rifampisin pasien dengan berat badan kurang dari 50

Page 113: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

99

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

kg dianjurkan dosis 450 mg/hari sedangkan pasien dengan berat badan ≥50 kg

dianjurkan dosis 600 mg/hari, sedangkan untuk pirazinamid pasien dengan berat

badan kurang dari 50 kg dianjurkan dosis 1,5 g/hari dan untuk pasien dengan berat

badan ≥50 kg dianjurkan dosis 2 g/hari, untuk etambutol dianjurkan 15

mg/kgBB/hari. Pada tingkat 4-5, anjuran dosis isoniazid diberikan 3x/minggu

dengan dosis 300 mg/setiap pemberian, anjuran rifampisin sama dengan tingkat 1-

3, untuk pirazinamid 25-30 mg/kgBB/hari, diberikan 3x/minggu dan untuk

etambutol 15-25 mg/kgBB/hari, diberikan 3x/minggu (Kemenkes, 2014). WHO

juga menjelaskan penggunaan obat antituberkulosis yang perlu perubahan

frekuensi untuk pasien dengan klirens kreatinin <30 ml/menit adalah pirazinamid

yaitu dengan dosis 25-35 mg/kg/dosis 3 kali/minggu (setiap hari) dan etambutol

dengan dosis 20-25 mg/kg/dosis 3 kali/minggu (setiap hari) (WHO, 2014).

Kadar kreatinin pasien menjadi sangat penting mengingat pada obat primer

tuberkulosis kebanyakan diekskresikan melalui ginjal. Isoniazid 70-96 %

diekskresikan melalui ginjal, pirazinamid 70 % diekskresikan melalui urin dengan

melalui filtrasi glomerulus, etambutol 50-80 % dieksresikan melalui urin dengan

melewati ekskresi ginjal sedangkan untuk rifampisin 50-65 % dikekskresikan

melalui empedu. Sehingga tidak dilakukan penyesuaian dosis pada rifampisin jika

terjadi gangguan ginjal (Arbex, 2010). Penelitian yang dilakukan pada pasien

tuberkulosis ruang rawat inap kelas III di salah satu rumah sakit Bandung

Ketidaksesuaian dosis sebesar 19,82% dengan kejadian dosis yang berada di

bawah rentang normal adalah 18,15% dan dosis yang berada di atas rentang

normal 1,67%. Pemberian dosis yang berada di bawah rentang terapetik tidak

dapat memberikan efek atau bahkan dapat menyebabkan resistensi dari kuman M

tuberculosis yang berakibat pada kegagalan pengobatan atau kekambuhan.

Pemberian dosis yang melebihi dosis dari rentang terapetik dapat meningkatkan

toksisitas obat(Human & Virus, 2011; Sukandar & Hartini, 2012).

c. Penentuan Lama Pengobatan

Penyebab DRPs kategori peresepan yang keempat adalah berkaitan dengan

penentuan lama pengobatan dengan distribusi sebagai berikut:

Page 114: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

100

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Tabel 4.23 Distribusi Lama Pengobatan Terlalu Panjang

Diagnosa Nama

Antibiotik

Lama

Pengobatan

Terlalu

Panjang

Lama

Pengobatan

Seharusnya

NP Referensi

TB Ofloksasin 12 hari 10 hari 12 DIH;

IDSA

Ofloksasin 11 hari 10 hari 39

TB= Tuberkulosis, NP= Nomor Pasien, DIH = Drug Information Handbook,

IDSA = Infectious Desease Society of America

Menurut Kemenkes RI (2011) mengenai lama penggunaan antibiotik,

penggunaan antibiotik harus disesuaikan dengan petunjuk aturan pemakaiannya

agar tidak menimbulkan resistensi. Lama penggunaannya antibiotik dilihat

berdasarkan tingkat keparahan yang dialami pasien. Pada penyebab DRPs

mengenai penentuan lama pengobatan, terdapat 2 kasus pada kategori lama

pengobatan terlalu panjang. Antibiotik yang terlibat pada penyebab ini adalah

Ofloksasin untuk diagnosa banding pneumonia pada pasien tuberkulosis.

Penggunaan obat antituberkulosis dilakukan sesegera mungkin setelah penegakan

diagnosis baik pada pasien tuberkulosis paru BTA negatif dengan hasil

pemeriksaan foto toraks mendukung tuberkulosis, pasien tuberkulosis ekstraparu

yang terdiagnosis secara klinis maupun laboratoris dan histopatologis tanpa

konfirmasi bakteriologis. Menurut Infectious Desease Society of America, durasi

penggunaan antibiotik pengobatan pneumonia terapi minimal 5 hari , dapat

diperpanjang 48-72 jam dan dikaitkan dengan durasi penggunaan ofloksasin untuk

pasien pneumonia menurut Drug Information Handbook adalah dengan dosis 400

mg setiap 12 jam selama 10 hari sehingga disimpulkan bahwa penggunaan

antibiotik ofloksasin lebih dari 10 hari merupakan kategori lama pengobatan

terlalu panjang (Kemenkes, 2011; Kemenkes, 2014; IDSA 2007; Drug

Information Handbook, 2011).

4.2 Analisis Bivariat

Analisa bivariat yang dilakukan untuk mengetahui pengaruh usia geriatri,

lama rawat inap, penyakit penyerta jumlah obat dan jumlah antibiotik terhadap

kejadian DRPs pada pasien tuberkulosis, pneumonia dan HIV di ruang isolasi

RSUD Cengkareng dengan hasil sebagai berikut:

Page 115: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

101

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Tabel 4.24 Hasil Analisis Bivariat

Faktor DRPs

Tidak terjadi

DRPs

Terjadi DRPs Nilai-p

Geriatri

Non Geriatri 80 10 0,330b

Geriatri 10 0

Lama rawat inap

1-7 38 2 0,154b

>7 52 8

Komorbiditas (penyakit penyerta)

Tanpa Komorbiditas 34 1 0,075b

Dengan Komorbiditas 56 9

Jumlah obat

1-10 76 4 0,004b

11-20 14 6

Jumlah antibiotik

1-2 68 7 0,478b

≥3 22 3

Penggunakan 4 FDC

Tidak menggunakan 4FDC 10 4 0,032b

Menggunakan 4 FDC 80 6 aChi square

bFisher’s Exact

Hasil analisa bivariat menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna

antara kondisi lanjut usia dengan terjadinya DRPs (P = 0,330) , tidak ada

hubungan yang bermakna antara lama rawat inap dengan terjadinya DRPs (P =

0,154), tidak ada hubungan yang bermakna antara penyakit penyerta dengan

terjadinya DRPs (P = 0,075), ada hubungan yang bermakna antara jumlah obat

dengan terjadinya DRPs (P = 0,004) dan tidak ada hubungan yang bermakna

antara jumlah antibiotik dengan terjadinya DRPs P = 0,478). Hasil analisa

kuantitatif dengan metode ATC/DDD menunjukkan 4 FDC mempunyai nilai

DDD tertinggi, sehingga pada penelitian ini diujikan hubungan pemakaian 4 FDC

dengan terjadinya DRPs. Hasil analisa menunjukkan ada hubungan yang

bermakna antara penggunaan 4 FDC dengan terjadinya DRPs (P = 0,032). Hal ini

tidak selaras dengan hasil penelitian (Huri et al., 2014) yang menyatakan ada

hubungan yang bermakna antara kondisi lanjut usia dengan terjadinya DRPs (P =

0,005), ada hubungan yang bermakna antara lama rawat inap dengan terjadinya

DRPs (P = 0,001), ada hubungan yang bermakna antara jumlah penggunaan obat

Page 116: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

102

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

dengan terjadinya DRPs (P = < 0,001) dan ada hubungan yang bermakna antara

penyakit penyerta dengan terjadinya DRPs (P = < 0,001).

4.3 Keterbatasan Penelitian

4.3.1 Kendala

a. Pengambilan data dan jumlah pasien

Pada proses pengambilan data, banyaknya pasien yang dirawat di ruang

isolasi saatu tahun 2016 dan pengelompokan penyimpanan data rekam

medis di RSUD Cengkareng tidak berdasarkan ruangan, membuat proses

filter data yang cukup sulit. Dari data rekam medis beberapa diantaranya

tidak memiliki data rekam medis yang tidak lengkap.

b. Diagnosa data

Hasil laboratorium untuk pemeriksaan kadar leukosit, serum kreatinin, uji

BTA, radiologi dan pemeriksaan SGOT SGPT, tidak dilakukan secara

rutin dan tidak semua pasien melakukan pengujian.

4.3.2 Kelemahan

a. Penelitian deskriptif retrospektif, pada penelitian deskriptif hanya dapat

dilakukan demografi berupa hasil analisa ketepatan untuk mengetahui

DRP pada terapi yang digunakan oleh pasien. Selain itu metode

retrospektif, dimana waktu sudah terjadi sehingga tidak dapat dilakukan

pertanyaan secara langsung pada pasien terlebih pada penilaian reaksi obat

yang tidak diinginkan.

b. Penelitian ini tidak dapat dikatakan seutuhnya rasional, dikarenakan

penilaian diagnosa pasien tidak secara langsung melainkan menarik

kesimpulan dari diagnosa yang tercatat di rekam medis.

4.3.3 Kekuatan

Pada penelitian ini dilakukan evaluasi antibiotik secara menyeluruh baik

secara kuantitatif dan kualitatif menggunakan DRPs. Penilaian DRPs

menggunakan kategori DRPs terbaru yaitu kategori DRPs dari Pharmaceutical

Care Network Europe (PCNE) V.07 2016. Penelitian mengenai evaluasi antibiotik

di ruang isolasi RSUD Cengkareng sebelumnya belum pernah dilakukan.

Diharapkan penelitian ini dapat menjadi referensi dan gambaran kuantitas

penggunaan antibiotik serta drug related problems pada pasien tuberkulosis,

pneumonia dan HIV rawat inap ruang isolasi RSUD Cengkareng.

Page 117: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

103 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

BAB V

KESIMPULAN

5.1 Kesimpulan

1. Pada analisa kuantitatif jumlah keseluruhan DDD/100 patient-days adalah

146,3 dengan yang tertinggi adalah pada 4 FDC yaitu mencapai

45,819/100 patient-days. Antibiotik yang masuk ke dalam segmen DU 90

% adalah 4 FDC, Ofloksasin, Sefoperazon, Sefriakson, Levofloksasin,

Isoniazid, Etambutol, Rifampisin, Imipenem dan Sefoperazon-sulbaktam.

2. Pada analisa DRPs menggunakan kategori PCNE V.07 2016, terjadi 4

permasalahan efektivitas terapi dan 4 permasalahan reaksi obat yang tidak

diinginkan.

3. Terdapat hubungan bermakna antara jumlah obat yang digunakan dan

penggunaan 4 FDC terhadap terjadinya DRPs.

5.2 Saran

1. Perlu adanya standarisasi kelengkapan pengisian rekam medis pasien,

terkait usia, berat badan, obat yang digunakan, dosis obat yang diberikan,

rute pemberian obat, aturan pakai obat, tanggal pemberian obat serta perlu

adanya pemeliharaan rekam medis agar tidak ada bagian atau lembar yang

hilang.

2. Perlu adanya peta resistensi kuman, pemantauan hasil laboratorium pasien

berupa kadar leukosit, serum kreatinin, SGOT, SGPT, kadar gula darah

yang dilakukan secara berkelanjutan selama perawatan, serta perlu

dilakukan pengujian kultur mikrobilogi penyebab penyakit dan sensitivitas

antibiotik sehingga penggunaan antibiotik lebih optimal dan dapat

mencegah penggunaan antibiotik yang tidak rasional.

Page 118: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

104 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

DAFTAR PUSTAKA

Alfian, S. D., Tarigan, E. S., Puspitasari, I. M., & Abdulah, R. (2012). Profil

Penggunaan Antituberkulosis di Apotek di Kota Bandung Periode 2008 –

2010, 1, 147–153.

Alisjahbana, B., Sahiratmadja, E., Nelwan, E. J., Purwa, A. M., Ahmad, Y.,

Ottenhoff, T. H. M., Crevel, R. Van. (2007). The Effect of Type 2 Diabetes

Mellitus on the Presentation and Treatment Response of Pulmonary

Tuberculosis, 45. https://doi.org/10.1086/519841

Andi, A. V., Amalia, L. I. A., & Wisaksana, R. (2015). Studi Interaksi Obat dan

Reaksi Obat Merugikan pada Pasien HIV / AIDS dengan Koinfeksi

Tuberkulosis di RSUP Dr . Hasan Sadikin Bandung, 13(April).

Arbex, et all. (2010). Antituberculosis drugs: Drug interactions, adverse effects,

and use in special situations, Part 1: Firat-line drugs. 36(April), 626-640.

Ayu, E. I., & Irwanti, W. (2015). Kompres Air Hangat pada Daerah Aksila dan

Dahi Terhadap Penurunan Suhu Tubuh pada Pasien Demam di PKU

Muhammadiyah Kutoarjo, 3(1), 10–14.

Bachhav, S. S., & Kshirsagar, N. A. (2015). Systematic review of drug utilization

studies & the use of the drug classification system in the WHO-SEARO

Region, (August), 120–129. https://doi.org/10.4103/0971-5916.164223

Bergman. (1998). Drug utilization 90% - a simple method assessing the quality of

drug prescribing.

Blix, H. S., Viktil, K. K., Moger, T. A., & Reikvam, A. (2008). Risk of drug-

related problems for various antibiotics in hospital : assessment by use of a

novel method y, (April), 834–841. https://doi.org/10.1002/pds

Brahma Marak and Wahlang. (2012). Rational Use of Drug and Irrational Drug

Combination. The Internet Journal of Pharmacology, 10.

Brunton et all. (2006). Goodman & Gilman : Manual Farmakologi dan Terapi.

Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran.

Care, P., Europe, N., This, F., & Classification, T. P. (2010). Classification for

Drug related problems, 1–9.

Changes, V. (n.d.). PCNE Classification scheme for Drug-Related Problems

Amendments, 5–8.

Page 119: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

105

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

City, K., & Hospital, C. (1988). Mechanism of Action of Cephalosporins and

Resistance Caused by Decreased Affinity for Penicillin-Binding Proteins in

Bacteroides fragilis, (30), 1848–1853.

Dhiman, R. K., Saraswat, V. A., Rajekar, H., Reddy, C., & Chawla, Y. K. (2012).

A Guide to the Management of Tuberculosis in Patients with Chronic Liver

Disease. Journal of Clinical and Experimental Hepatology, 2(3), 260–270.

https://doi.org/10.1016/j.jceh.2012.07.007

Ding, S., Lu, Q., Wang, F., Suqing, D., Qing, L., & Feng, W. (2016). Rationale

for Antibiotic Prescriptions in the Hospital : An Evaluation of Its Application

and Administration Rationale for Antibiotic Prescriptions in the Hospital :

An Evaluation of Its Application and Administration, 6176(April).

https://doi.org/10.3109/23256176.2013.797207

DiPiro, J., Talbert, R.L.,Yee,G.,Wells,B.,Posey, L.M. (2014). Pharmacotherapy A

Phatophysiologic Approach, 9th ed. McGraw-Hill Education/Medical USA.

313-319.

Ernie dan Ida. (2007). Pemberian obat secara polifarmasi pada anak dan interaksi

obat yang ditimbulkan, 26-29.

Faurholt-jepsen, D., Range, N., Praygod, G., Jeremiah, K., Faurholt-, M., Aabye,

M. G., Friis, H. (2011). Diabetes Is a Risk Factor for Pulmonary

Tuberculosis : A Case-Control Study from Mwanza , Tanzania, 6(8), 4–8.

https://doi.org/10.1371/journal.pone.0024215

Ferrara, A. M. (2006). Potentially multidrug-resistant non-fermentative Gram-

negative pathogens causing nosocomial pneumonia, 27, 183–195.

https://doi.org/10.1016/j.ijantimicag.2005.11.005

Gunawan, Sulistia G., Rianto, S., Nafrialdi, E. (2009). Farmakologi dan Terapi.

Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia.

Hardman dan Limbird. (2008). Goodman & Gilman Dasar Farmakologi Terapi

Volume 2 (Edisi 10). Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran.

Human, E., & Virus, I. (2011). Studi Penggunaan Obat Anti Tuberkulosis Pada

Pasien Tb-Hiv / Aids Di Rsup Sanglah Denpasar Tahun 2009, 14(2).

Page 120: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

106

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Huri, H. Z., Xin, C. H., & Sulaiman, C. Z. (2014). Drug-Related Problems in

Patients with Benign Prostatic Hyperplasia : A Cross Sectional Retrospective

Study, 9(1), 1–14. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0086215

Izquierdo, C., Oviedo, M., Ruiz, L., Sintes, X., Vera, I., Nebot, M., … Salleras, L.

(2010). Influence of socioeconomic status on community- acquired

pneumonia outcomes in elderly patients requiring hospitalization : a

multicenter observational study, 1–9.

Jenderal, D., Upaya, B., Bina, D., Penunjang, P., Dan, M., & Kesehatan, S. (n.d.).

Pedoman teknis prasarana sistem tata udara pada bangunan rumah sakt.

Kalil, A. C., Metersky, M. L., Klompas, M., Muscedere, J., Sweeney, D. A.,

Palmer, L. B., Grady, N. P. O. (2016). Management of Adults With Hospital-

acquired and Ventilator-associated Pneumonia : 2016 Clinical Practice

Guidelines by the Infectious Diseases Society of America and the American

Thoracic Society, 1–51. https://doi.org/10.1093/cid/ciw353

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. (2011a). Pedoman nasional

tatalaksana klinik infeksi HIV dan terapi antiretroviral pada orang dewasa.

Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. (2011b).

PERATURANMENTERIKESEHATANREPUBLIKINDONESIANOMOR2406

/MENKES/PER/XII/2011. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik

Indonesia.

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. (2014). Pedoman Pengendalian

Tuberkulosis Nasional. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.

Kumar, A. dan F. (2010). Robbin & Cotran : Dasar Patologis Penyakit (V).

Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran.

Lampert, M. L., Vogel, I., & Mil, J. W. F. Van. (2017). Classification of drug-

related problems with new prescriptions using a modified PCNE

classification system, (March 2010). https://doi.org/10.1007/s11096-010-

9377-x

Lee, Giesier, Gellad, F. (2016). Antibiotic therapy for adults hospitalized with

community pneumonia : a systematic review, 6.

Lewandowski, C. M., Co-investigator, N., & Lewandowski, C. M. (2015). World

Page 121: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

107

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Health Organization. Guidelines for ATC classification and DDD

assignment 2016. The effects of brief mindfulness intervention on acute pain

experience: An examination of individual difference (Vol. 1).

https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004

Lima, G. C., Silva, E. V, Magalhães, P. D. O., & Naves, J. S. (2016). Efficacy and

safety of a four-drug fixed-dose combination regimen versus separate drugs

for treatment of pulmonary tuberculosis : a systematic review and meta-

analysis. Brazilian Journal of Microbiology, 48(2), 198–207.

https://doi.org/10.1016/j.bjm.2016.12.003

Loutfy, M. R., Logie, C. H., Zhang, Y., Blitz, S. L., Margolese, S. L., Tharao, W.

E.,Raboud, J. M. (2012). Gender and Ethnicity Differences in HIV-related

Stigma Experienced by People Living with HIV in Ontario , Canada, 7(12),

38–40. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0048168

Manado, P. R. D. K. (n.d.). Profil Pasien Tuberkulosis Paru Di Poliklinik Paru

Rsup Prof. Dr. R.D. Kandou Manado, 5, 1–9.

Oshi, D. C., Oshi, S. N., Alobu, I., & Ukwaja, K. N. (2014). Profile and Treatment

Outcomes of Tuberculosis in the Elderly in Southeastern Nigeria , 2011 –

2012, 9(11), 2011–2012. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0111910

Pagana. (2007). No Title Mosbys Manual of Diagnostics and Laboratory Tests

Fifth Edition (Fifth). Elsevier.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. (2003). Pneumonia komuniti 1973 - 2003.

Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia

Petros, Z., Lee, M. M., Takahashi, A., Zhang, Y., Yimer, G., Habtewold, A,

Aklillu, E. (2016). Genome-wide association and replication study of anti-

tuberculosis drugs-induced liver toxicity. BMC Genomics, 1–8.

https://doi.org/10.1186/s12864-016-3078-3

Pharmaceutical Society of Singapore Pharmacy Week 2015 Polypharmacy in

Singapore : The Role of Deprescribing. (2015), 1–6.

Priyandani, Y., Fitantri, A. A., Agung, F., Abdani, N., Ramadhani, N., Nita, Y.,

Airlangga, U. (2014). Profil Problem Terapi Obat Pada Pasien

Tuberkulosis, 1(2), 30–35.

Redgrave, L. S., Sutton, S. B., Webber, M. A., & Piddock, L. J. V. (2014).

Page 122: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

108

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Fluoroquinolone resistance : mechanisms , impact on bacteria , and role in

evolutionary success. Trends in Microbiology, 22(8), 438–445.

https://doi.org/10.1016/j.tim.2014.04.007

Restinia, M., Lucida, H., & Gillani, S. W. (2012). International J Ournal Of P

Harmacy & L Ife S Ciences Longitudinal clinical evaluation of antibiotic use

among patients with infecton, 3(9), 1935–1945.

Restrepo, B. I. (2010). Convergence of the tuberculosis and diabetes epidemics:

renewal of old acquaintances. NIH Public Access, 45(4), 436-438.

https://doi.org/10.1086/519939.Convergence

Rosita, N. N. (2013). Kajian Kualitas Penggunaan Antibiotik Meropenem

Sebelum dan Sesudah Pemberian Informasi Obat di Bangsal Rawat Inap

RSUDKabupaten Jombang. Jogjakarta: Universitas Gajah Mada.

Sajith, M., Thomas, A., Kothia, J. J., Chandrakar, B., Bargaje, M. D., & Hospital,

B. (2015). Socio-Demographic characteristics of tuberculosis patients in a

tertiary care hospital, 1(3), 25–28.

Sholih, M. G., Muhtadi, A., & Saidah, S. (2015). Rasionalitas Penggunaan

Antibiotik di Salah Satu Rumah Sakit Umum di Bandung Tahun 2010, 4(1).

https://doi.org/10.15416/ijcp.2015.4.1.64

Sonika & Premashis. (2012). Tuberculosis and Liver Disease: Management

Issues, 33(2), 102-106.

Stockley, I.H. (2008). Drug Interactions, 8th edition, University of Nottigham

Medical School. Pharmaceutical Press: London, 1031-1034

Sukandar, E. Y., & Hartini, S. (2012). Evaluasi Penggunaan Obat Tuberkulosis

pada Pasien Rawat Inap di Ruang Perawatan Kelas III di Salah Satu Rumah

Sakit di Bandung, XXXVII(4), 153–158.

Tailor, A., Faulkner, L., Naisbitt, D. J., & Park, B. K. (2015). The chemical ,

genetic and immunological basis of idiosyncratic drug – induced liver injury.

https://doi.org/10.1177/0960327115606529.

Tatro, D. (2009). Drug Interaction Facts. Facts and Coparison A Wolter Kluwers

Company, St. Louis. 245-248.

Tjay dan Rahardja. (2007). Obat-Obat Penting : Khasiat, Penggunaan, dan Efek-

Efek Sampingnya. Jakarta: Media Komputindo Kelompok Kompas-

Page 123: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

109

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Gramedia.

Tripathi, K. D. (2009). Essentials of Medical Pharmacology. India: Kash

production. 231-246.

Utami, E. R. (2002). antibiotika, resistensi, dan rasionalitas terapi, 124–138.

Whittem, T., & Gaon, D. (1998). Principles Of Antimicrobial Therapy. Veterinary

Clinics of North America: Small Animal Practice, 28(2), 197–213.

https://doi.org/10.1016/S0195-5616(98)82001-9

Wiersinga, W. J., Nvmm, P. M. J. B., & Nvalt, W. G. B. (2016). Management of

Community-Acquired Pneumonia in Adults : 2016 Guideline Update From

The Dutch Working Party on Antibiotic Policy ( SWAB ) and Dutch

Association of Chest Physicians ( NVALT ), 1–93.

With, I., & Drugs, T. B. (2005). Drug Interactions With Tuberculosis Therapy,

23(2), 56–60.

Wokas, J. A. J. (2015). Hubungan Antara Status Gizi , Sputum Bta Dengan

Gambaran Rontgen Paru Pada Pasien, 3(April).

Wu, J., Chiu, C., Wei, Y., & Lai, Y. (n.d.). Comparison of the safety and efficacy

of a fixed-dose combination regimen and separate formulations for

pulmonary tuberculosis treatment, 429–434.

https://doi.org/10.6061/clinics/2015(06)08

Wulandari, D. R., & Sugiri, Y. J. (2013). Diabetes Melitus dan Permasalahannya

pada Infeksi Tuberkulosis, 33(2), 126–134.

Yadesa, T. M., Gudina, E. K., & Angamo, M. T. (2015). Antimicrobial Use-

Related Problems and Predictors among Hospitalized Medical In- Patients

in Southwest Ethiopia : Prospective Observational Study, 115, 1–9.

https://doi.org/10.1371/journal.pone.0138385

Page 124: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

110 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat Permohonan Izin Penelitian ke RSUD Cengkareng

Page 125: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

111

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lampiran 2. Surat Permohonan Izin Penelitian ke Unit PTSP Jakarta Barat

Page 126: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

112

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lampiran 3. Surat Persetujuan Pelaksanaan Penelitian dari Unit PTSP

Page 127: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

113

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lampiran 4. Surat Persetujuan Pelaksanaan Penelitian dari RSUD Cengkareng

Page 128: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

114

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lampiran 5. Perhitungan DDD/ 100 Patient Days

Antibiotik Bentuk

Sediaa

n

Nilai

Stand

ar

DDD

dari

WHO

(g)

Kekuatan

Sediaan

Regim

en

Jumlah

Pengguna

an (g)

Total

Pengguna

an (g)

4 FDC Oral 0,6 Rifampisin

: 150 mg

Isoniazid:

75 mg

Pirazinami

d: 400 mg

Etambutol:

275 mg

3-0-0 88, 050 254, 55

3 x 1

tab 77, 100

2 x 2

tab 73, 950

1 x 4

tab 15, 450

2 FDC Oral 0,6 Rifampisin

: 150 mg

Isoniazid:

150 mg

3-0-0 10, 350 10, 350

Rifampisin Oral 0,6 450 mg 1 x 1

tab 11, 250 21, 450

300 mg 1 x 1

tab 10, 200

Isoniazid Oral 0,3 300 mg 1 x 1

tab 17, 400 18, 400

200 mg 1 x 1

tab 1, 000

Etambutol Oral 1,2 400 mg 1 x 3

tab 1, 200 62, 550

750 mg 1 x 750

mg 25, 850

1000 mg 1 x

1000

mg

22, 000

500 mg 1 x 1

tab 1, 000

500 mg 1 x 2

tab 3, 000

500 mg 2 x 1

tab 9, 500

Pirazinamid Oral 1,5 500 mg 3 x 1

tab 14, 000 14, 000

Cefoperazo

n

Parenter

al

4 1 g 3 x 1 g 264, 000 523, 000

1 g 2 x 1 g 259, 000

Cefoperazo

n-

Parenter

al

4 Cefoperaz

on: 500

2 x 1 g 57, 500 143, 000

3 x 1 g 70, 500

Page 129: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

115

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Sulbaktam mg

Sulbaktam

: 500 mg

2 x 2 g 15, 000

Ceftazidim Parenter

al

4 1 g 3 x 1 g 19, 000 19, 000

Cefixime Oral 0,4 100 mg 2 x 1

tab 6, 700 8, 700

2 x 2

tab 2, 000

Ceftriaxone Parenter

al

2 1 g 2 x 1 g 143, 000 164, 000

1 x 2 g 12, 000

3 x 1 g 9, 000

Clindamisin Oral 1,2 600 mg 4 x 600

mg 15, 000 15, 000

Ciprofloxac

in

Oral 1 500 mg 2 x 500

mg 1, 000 1, 000

Parenter

al

0,5 200 mg 2 x 200

mg 5, 800 5, 800

Ofloksasin Parenter

al

0,4 200 mg 2 x 200

mg 56, 200 103, 000

400 mg 2 x

400mg 46, 800

Levofloksas

in

Parenter

al

0,5 500 mg 1 x 500

mg 14, 500 44, 500

750 mg 1 x 750

mg 30, 000

Metronidaz

ol

Drip 1,5 1 g 3 x 500

mg 26, 500 26, 500

Streptomisi

n

Parenter

al

1 1 g 1 x 1 g 12000 29, 250

750 mg 1 x 750

mg 17250

Kotrimoksa

zol

Oral 2 Trimetopri

m: 80 mg

Sulfameto

k-sazol:

400 mg

2 x 2

tab 8, 320 30,640

3 x 1

tab 4, 400

2 x 1

tab 1, 440

2 x 4

tab 15, 680

Trimetopri

m: 160 mg

Sulfameto

k-sazol:

800 mg

1 x 960

mg 0, 800

Imipenem Drip 2 1 g 3 x 1 g 91, 000

Page 130: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

116

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lampiran 6. Hasil Perhitungan DDD/ 100 Patient Days

Antibiotik Total

Penggunaan

(g)

Nilai

Standar

dari

WHO

(g)

Total

LOS

semua

pasien

Perhitungan DDD/100

patient-

days

4 FDC

254, 55

0,6

922 254, 55

0,6𝑥

100

922

45,819

2 FDC

10, 350

0,6

10, 350

0,6𝑥

100

922

1,863

Rifampisin

21, 450

0,6

21, 450

0,6𝑥

100

922

3,861

Isoniazid

18, 400

0,3

18,400

0,3𝑥

100

922

6,624

Etambutol

62, 550

1,2

62, 550

1,2𝑥

100

922

5, 629

Pirazinamid

14, 000

1,5

14, 00

1,5𝑥

100

922

1,008

Cefoperazon

523, 000

4

523,00

4𝑥

100

922

14,121

Cefoperazon-

Sulbaktam

143, 000

4

143,00

4𝑥

100

922

3,861

Ceftazidim

19, 000

4

19,000

4𝑥

100

922

0,513

Cefixime

8, 700

0,4

8,700

0,4𝑥

100

922

2,349

Page 131: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

117

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Ceftriaxone

164, 000

2

164,00

2𝑥

100

922

8,856

Clindamisin

15, 000

1,2

15,000

1,2𝑥

100

922

1,35

Ciprofloxacin

1, 000

1

1,000

1𝑥

100

922

0,108

5, 800

0,5

5, 800

0,5𝑥

100

922

1,253

Ofloksasin

103, 000

0,4

103,00

0,4𝑥

100

922

27,81

Levofloksasin

44, 500

0,5

44,500

0,5𝑥

100

922

9,612

Metronidazol

26, 500

1,5

26, 500

1,5𝑥

100

922

1,92

Streptomisin

29, 250

1

29,250

1𝑥

100

922

3,159

Kotrimoksazol

30,640

2

30,640

2𝑥

100

922

1,655

Imipenem 91, 000 2 91,000

2𝑥

100

922

4,93

Page 132: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

11

8

UIN

Syarif H

iday

atu

llah

Jakarta

Lampiran 7. Rekapitulasi Penilaian DRPs

No DRPs

Masalah Penyebab Efektivitas Terapi ROTD Pemilihan Obat PBS Pemilihan Dosis PLP

P1.1 P1.2 P1.3 P1.4 P2.1 C1.1 C1.2 C1.3 C1.4 C1.5 C1.6 C1.7 C1.8 C2.1 C3.1 C3.2 C3.3 C3.4 C4.1 C4.2

1 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

2 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0

3 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0

4 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

6 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

7 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0

8 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

9 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0

10 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

11 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

12 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1

13 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

14 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

15 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

16 0 0 0 0 1 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

17 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

18 0 1 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0

19 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

20 0 0 0 0 1 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

21 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

22 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

23 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

24 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Page 133: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

11

9

UIN

Syarif H

iday

atu

llah

Jakarta

No DRPs

Masalah Penyebab

Efektivitas Terapi ROTD Pemilihan Obat PBS Pemilihan Dosis PLP

P1.1 P1.2 P1.3 P1.4 P2.1 C1.1 C1.2 C1.3 C1.4 C1.5 C1.6 C1.7 C1.8 C2.1 C3.1 C3.2 C3.3 C3.4 C4.1 C4.2

25 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

26 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

27 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

28 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0

29 0 0 0 0 0 1 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

30 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

31 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

32 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

33 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

34 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0

35 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

36 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

37 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0

38 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

39 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1

40 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

41 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

42 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0

43 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

44 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

45 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

46 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

47 0 0 0 1 0 0 0 0 P 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0

48 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

49 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

50 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Page 134: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

12

0

UIN

Syarif H

iday

atu

llah

Jakarta

No DRPs

Masalah Penyebab

Efektivitas Terapi ROTD Pemilihan Obat PBS Pemilihan Dosis PLP

P1.1 P1.2 P1.3 P1.4 P2.1 C1.1 C1.2 C1.3 C1.4 C1.5 C1.6 C1.7 C1.8 C2.1 C3.1 C3.2 C3.3 C3.4 C4.1 C4.2

51 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

52 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0

53 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

54 0 0 0 0 1 0 0 0 P 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0

55 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0

56 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

57 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

58 0 0 1 0 0 1 0 1 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

59 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

60 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0

61 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

62 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

63 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0

64 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

65 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

66 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0

67 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

68 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

69 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

70 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

71 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0

72 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

73 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0

74 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

75 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

76 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0

Page 135: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

12

1

UIN

Syarif H

iday

atu

llah

Jakarta

No DRPs

Masalah Penyebab

Efektivitas Terapi ROTD Pemilihan Obat PBS Pemilihan Dosis PLP

P1.1 P1.2 P1.3 P1.4 P2.1 C1.1 C1.2 C1.3 C1.4 C1.5 C1.6 C1.7 C1.8 C2.1 C3.1 C3.2 C3.3 C3.4 C4.1 C4.2

77 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 1 0 0 1 0 0

78 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

79 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

80 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

81 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

82 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

83 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

84 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

85 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

86 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

87 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

88 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

89 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

90 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0

91 0 0 0 0 0 1 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

92 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

93 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

94 0 1 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 1 0 0 0 0 1 0 0

95 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0

96 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0

97 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

98 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

99 0 0 0 0 0 1 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

100 0 0 0 0 0 1 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Page 136: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

12

2

UIN

Syarif H

iday

atu

llah

Jakarta

1 = Terjadi DRPs

0 = Tidak Terjadi DRPs

ROTD = Reaksi Obat yang Tidak Diinginkan

PBS = Pemilihan Bentuk Sediaan

PLP = Penentuan Lama Pengobatan

P1.1 = Obat tidak efektif atau pengobatan gagal

P1.2 = Efek obat tidak optimal

P1.3 = Obat tidak diperlukan

P1.4 = Indikasi tidak terobati

P2.1 = Pasien menderita ROTD

C1.1 = Obat tidak tepat berdasarkan guidelines atau formularium

C1.2 = Obat tidak tepat (merupakan penggunaan obat yang

kontraindikasi)

C1.3 = Tidak ada indikasi untuk penggunaan obat

C1.4 = Kombinasi obat-obat tidak tepat

C1.5 = Duplikasi kelompok terapi atau bahan aktif yang tidak tepat

C1.6 = Ada indikasi tetapi obat tidak diresepkan

C1.7 = Banyak obat ( kelompok terapi atau bahan aktif yang berbeda)

diresepkan untuk indikasi yang sama

C1.8 = Kebutuhan obat yang bersifat sinergis/preventif tidak diresepkan

C2.1 = Bentuk sediaan obat tidak tepat

C3.1 = Dosis obat terlalu rendah

C3.2 = Dosis obat terlalu tinggi

C3.3 = Pengaturan dosis kurang sering

C3.4 = Pengaturan dosis terlalu sering

C4.1 = Lama pengobatan terlalu pendek

C4.2 = Lama pengobatan terlalu panjang

C6.1 = Waktu penggunaan obat atau interval pemberian dosis tidak

tepat

C6.2 = Pemberian obat lebih jarang dari aturan penggunaan

C6.3 = Pemberian obat melebihi aturan pakai

C6.4 = Obat tidak diberikan

Page 137: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

123

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lampiran 8. Data Leukosit Pasien Sebelum dan Sesudah Pemakaian Antibiotik

No No

Pasien

Antibiotik Leukosit

Sebelum

Leukosit

Sesudah

1 3 4 FDC 2-0-2 + Ofloksasin 2 x 200 mg

Cefoperazon 2 x 1 g

65,4 27,7

2 4 4 FDC 3 x 1 tab + Cefoperazon-Sulbaktam

2 x 1 g

15,3 14,2

3 5 4 FDC 1 x 3 tab + Ceftriakson 2 x 1 g 13,4 9,6

4 6 Rifampisin 450 mg + INH 300 mg +

Etambutol 700 mg + Ofloksasin 2 x 200 mg

7,9 5

5 7 4 FDC 3 x 1 tab + Ceftriakson 2 x 1 g

Ofloksasin 2 x 200 mg

15,1 7,7

6 11 4 FDC 3-0-0 + Ofloksasin 2 x 400 mg 19,7 9,9

7 12 2 FDC 3-0-0 + Etambutol 1 x 1000 mg +

Ofloksasin 2 x 200 mg

9,9 7,9

8 13 4 FDC 2 x 2 tab + Cefoperazon 2 x 1 g 13,6 9,5

9 14 4 FDC 3-0-0 + Ofloksasin 2 x 200 mg 14,3 8,8

10 15 Cefoperazon 3x1 g + Metronidazol 3 x 500

mg

21,8 10,9

11 18 4 FDC 2 x 2 tab Rifampisin 300 mg +

INH 300 mg + Etambutol 750 mg +

Levofloksasin 1 x 750 mg

10,9 11,9

12 22 4 FDC 2 x 2 tab + Cefoperazon 2 x 1 g 12,4 10,4

13 23 4 FDC 1 x 3 tab + Cefoperazon 2 x 1 g 14,7 12,8

14 28 4 FDC 1 x 3 tab + Cefoperazone 2 x 1 g 28,7 22,6

15 29 4 FDC 2-0-2 + Imipenem 3 x 1 g +

Streptomisin 1 x 1 g

13,6 10,7

16 30 4 FDC 3-0-0 + Ofloksasin 2 x 200 mg 12,2 6,3

17 31 4 FDC 2 x 2 tab + Cefoperazon 3 x 1 g 27,7 18,1

18 33 4 FDC 3-0-0 + Siprofloksasin 2 x 200 mg 15 3,5

19 37 4 FDC 2 x 2 tab + Imipenem 3 x 1 g 12 12

20 38 4 FDC 2 x 2 tab 18,3 14,9

21 41 4 FDC 3-0-0 + Cefoperazon 2 x 1 g (Ada

pergantian Levofloksasin sblm ganti L:

22,3) + Streptomisin 1 x 750 mg

10,2 22,3

22 46 4 FDC 2 x 2 tab + Cefoperazon 3 x 1 g 11,3 6

23 47 4 FDC 3,3 3,6

24 49 4 FDC 3-0-0 + Cefoperazon + sulbaktam 2

x 1 g

18,4 9,3

25 54 Rifampisin 1 x 450 mg + Isoniazid 300 mg

+ Etambutol 500 mg (1 x 2 tab) +

37,5 17,7

Page 138: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

124

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Cefoperazon 3 x 1 g + Ofloksasin 2 x 400

mg

26 57 4 FDC 3 x 1 tab + Ofloksasin 2 x 200 mg 12,8 8,9

27 61 4 FDC 3-0-0 + Kotrimoksazol 1 x 900 mg +

Cefoperazon 2 x 1 g

6 4,9

28 63 Rifampisin 1 x 300 mg + Isoniazid 1 x 300

mg + Etambutol 1 x 750 mg +

Levofloksasin 1 x 750 mg

10,9 11,9

29 65 Rifampisin 1 x 450 mg + Isoniazid 1 x 300

mg + Cefoperazon 2 x 1 g

16,6 12

30 68 Rifampisin 1 x 300 mg + Isoniazid 1 x 300

mg +Etambutol 2 x 500 mg + Pirazinamid

3x1 tab (500 mg) Ceftriakson 2 x 1 g

diganti Levofloksasin 1 x 500 mg

8,1 6,3

31 71 4 FDC 3-0-0 tab + Cefoperazon-sulbaktam 2

x 1 g

+ Clindamisin 4 x 600 mg + Streptomisin 1

x 1 g

3,8 3,1

32 72 Levofloksasin 1 x 750 mg 20,2 24,8

33 73 4 FDC 3 x 1 tab + Ofloksasin 2 x 200 mg 14,7 7,5

34 75 4 FDC 2 x 2 tab + Ofloksasin 2 x 400 mg 19,9 16,8

35 77 4 FDC 3-0-0 + Metronidazol 3 x 500 mg +

Cefoperazon-Sulbaktam 3 x 1 g

13,8 8,7

36 80 4 FDC 3 x 1 tab + Ofloksasin 2 x 200 mg 6,2 7,2

37 81 4 FDC 3-0-0+ Streptomisin 1 x 750 g +

Cefoperazon 2 x 1 g

17,4 11,6

38 83 4 FDC 2 x 2 tab+ Ofloksasin 2 x 200 mg 23,2 13

39 84 4 FDC 3 x 1 + Ofloksasin 2 x 200 mg 6,9 7,4

40 84 4 FDC 3 x 1 tab + Ofloksasin 2 x 200 mg 6,9 7,9

41 86 4 FDC 3-0-0 + Cefoperazon-Sulbaktaam 2 x

1 g

6,1 7,3

42 88 Kotrimoksazol 3 x 1 tab + 4 FDC 2 x 2 tab

+ Metronidazol 3 x 500 mg +Cefope-

Sulbaktam 3 x 1 g

13,9 16,5

43 89 Kotrimoksazol 2 x 1 tab + 4 FDC 2 x 2 tab

+ Cefoperazon 2 x 1 g

16,9 5,2

44 90 4 FDC 3 x 1 tab + Clindamisin 4 x 600 mg

+ Ceftriakson 2 x 1 g

8,6 5,2

45 91 Kotrimoksazol 2 x 4 tab + 4 FDC 1 x 4 tab

+ Cefoperazon 2 x1 g

8,7 6,4

46 92 Ceftriakson 2 x 1 g 11,1 4,2

47 93 4 FDC 3 x 1 tab + Siprofloksasin 2 x 200

mg

11,7 10,4

48 94 4 FDC 3 x 1 tab + Cefoperazon – Sulbaktam 18,5 9,3

Page 139: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

125

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3 x 1 g

49 95 4 FDC 3 x 1 tab + Ceftriakson 2 x 1 g 11,7 4,6

50 96 4 FDC 3 x 1 tab + Cefoperazon – Sulbaktam

3 x 1 g

21 5,8

51 97 Metronidazol 2 x 500 mg 10,2 8,1

52 98 Ceftriakson 2 x 1 g 10,2 8,6

53 99 4 FDC 3 x 1 tab + Kotrimoksazol 2 x 2 tab

+ Imipenem 3 x 1 g

11,2 10,7

54 100 Ofloksasin 2 x 400 mg 12,3 8,4

Lampiran 9. Data Interaksi Obat

Tingkat

interaksi

Obat n

Mayor Isoniazid -

Rifampisin

8

Levofloksasin -

Metilprednisolon

2

Ofloksasin -

Deksametason

6

Levofloksasin -

Deksametason

2

Ofloksasin -

Metilprednisolon

4

Rifampisin -

Amlodipin

2

Rifampisin -

Itrakonazol

1

Rifampisin -

Nifedipin

2

Rifampisin-

Nevirapin

1

Rifampisin -

Pirazinamid

2

Siprofloksasin -

Efavirenz

2

Rifampisin -

Simvastatin

1

Ofloksasin -

Haloperidol

1

Ofloksasin - 3

Efavirenz

Total 37

Moderat Etambutol -

Colchicin

2

Tingkat

interaksi

Obat n

Moderat Etambutol -

Efavirenz

10

Etambutol -

Metronidazol

2

Etambutol -

Simvastatin

1

Isoniazid -

Alprazolam

1

Isoniazid -

Colchicin

2

Isoniazid -

Diazepam

1

Isoniazid -

Dutasteride

2

Isoniazid -Efavirenz 10

Isoniazid -

Estazolam

1

Isoniazid -

Etambutol

7

Isoniazid -

Glibenclamid

1

Isoniazid-Gliquidon 1

Isoniazid - Fenitoin 2

Isoniazid-Insulin

aspart

3

Page 140: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

126

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Isoniazid - Insulin

detemir

5

Isoniazid - Insulin

glargin

2

Isoniazid - Insulin

glulisine

6

Tingkat

interaksi

Obat n

Moderat Isoniazid - Insulin

metformin

2

Isoniazid -

Itrakonazol

1

Isoniazid - PCT 26

Isoniazid -

Pioglitazon

1

Isoniazid -

Metronidazol

2

Isoniazid -

Simvastatin

1

Levofloksasin -

Asam mefenamat

1

Levofloksasin -

Insulin detemir

1

Levofloksasin -

Insulin glargin

1

Levofloksasin -

Insulin glulisin

1

Levofloksasin -

Ketorolak

1

Levofloksasin -

Klorpromazin

1

Levofloksasin -

Meloksikam

1

Levofloksasin -

Ondansentron

4

Levofloksasin -

Pioglitazon

1

Levofloksasin -

Salbutamol

3

Ofloksasin - Aspirin 1

Ofloksasin - Insulin

glulisin

1

Ofloksasin - Insulin

detemir

1

Ofloksasin - Insulin

aspart

1

Ofloksasin - Insulin

glargin

1

Ofloksasin -

Ketorolak

3

Tingkat

interaksi

Obat n

Moderat Ofloksasin -

Metformin

1

Ofloksasin -

Ondansentron

12

Ofloksasin -

Salbutamol

6

Ofloksasin -

Sucralfat

3

Ofloksasin -

Terbutalin

1

Pirazinamid -

Efavirenz

10

Rifampisin - Bicnat 1

Rifampisin-

Clozapin

1

Rifampisin-CaCO3 1

Rifampisin -

Deksametason

11

Rifampisin -

Efavirenz

10

Rifampisin -

Flukonazol

8

Rifampisin -

Fenitoin

2

Rifampisin -

Kotrimoksazol

7

Rifampisin -

Lansoprazol

1

Rifampisin -

Metilprednisolon

7

Rifampisin -

Metronidazol

2

Rifampisin -

Nifedipin

1

Rifampisin -

Omeprazol

22

Page 141: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

127

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Rifampisin -

Ondansentron

38

Rifampisin -

Pantoprazol

4

Rifampisin -

Pioglitazon

1

Tingkat

interaksi

Obat n

Moderat Rifampisin -

Zidovudin

5

Sefixim -

Streptomisin

2

Sefoperazon -

Furosemid

1

Sefoperazon -

Streptomisin

6

Sefoperazon-

Sulbaktam -

Furosemid

1

Seftriakson -

Furosemid

1

Siprofloksasin -

Ondansentron

2

Siprofloksasin -

Sucralfat

1

Streptomisin -

Ceftriakson

1

Streptomisin –

Omeprazol

1

Tingkat

interaksi

Obat n

Moderat Sulfametoksazol -

Efavirenz

5

Total 291

Minor Isoniazid -

Deksametason

9

Isoniazid -

Metilprednisolon

5

Isoniazid - Sucralfat 7

Isoniazid -

Attapulgit

2

Pirazinamid -

Allopurinol

2

Rifampisin -

Parasetamol

28

Metronidazol -

Ondansentron

1

Ceftriakson -

Fenitoin

1

Levofloksasin -

Metronidazol

1

Total 56

Page 142: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

128

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lampiran 10. Data Perhitungan Kreatinin

Nomor

Pasien

Jenis

Kelamin

Umur

(Tahun)

Berat

Badan (Kg)

Kreatinin Clearens

Kreatinin

13 Pria 58 80 2,5 36,4

28 Wanita 59 50 3,3 14,1

33 Pria 43 49 1,9 34,74

35 Pria 29 55 2,2 38,54

47 Wanita 27 48 1,9 33,70

49 Pria 59 50 8,5 6,6

50 Pria 70 55 1,7 34,25

57 Pria 66 55 1,5 37,68

65 Pria 63 45 1,5 32,08

72 Pria 51 50 2,8 22,07

75 Wanita 53 55 1,4 40,34

77 Pria 78 60 1,8 28,70

81 Pria 70 50 1,2 40,50

82 Pria 48 60 1,7 45,09

94 Wanita 36 35 1,6 26,35

96 Pria 33 57 1,8 47,06

Klirens kreatinin = 𝟏𝟒𝟎−𝐮𝐦𝐮𝐫 𝐱 𝐁𝐞𝐫𝐚𝐭 𝐁𝐚𝐝𝐚𝐧

𝟕𝟐 𝐱 𝐬𝐞𝐫𝐮𝐦 𝐤𝐫𝐞𝐚𝐭𝐢𝐧𝐢𝐧

Page 143: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

129

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lampiran 11. Analisis Bivariat Hubungan DRPs dan Jumlah Antibiotik

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig.

(2-sided)

Exact

Sig. (2-

sided)

Exact Sig.

(1-sided)

Pearson Chi-Square .148a 1 .700

Continuity Correctionb .000 1 1.000

Likelihood Ratio .143 1 .705

Fisher's Exact Test .708 .478

Linear-by-Linear

Association .147 1 .702

N of Valid Casesb 100

a. 1 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count

is 2,50.

b. Computed only for a 2x2 table

Lampiran 12. Analisis Bivariat Hubungan DRPs dan Jumlah Usia

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig.

(2-sided)

Exact

Sig. (2-

sided)

Exact Sig.

(1-sided)

Pearson Chi-Square 1.235a 1 .267

Continuity Correctionb .309 1 .579

Likelihood Ratio 2.227 1 .136

Fisher's Exact Test .592 .330

Linear-by-Linear

Association 1.222 1 .269

N of Valid Casesb 100

a. 1 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count

is 1,00.

b. Computed only for a 2x2 table

Page 144: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

130

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lampiran 13. Analisis Bivariat Hubungan DRPs dan Lama Rawat Inap

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig.

(2-sided)

Exact

Sig. (2-

sided)

Exact Sig.

(1-sided)

Pearson Chi-Square 1.852a 1 .174

Continuity Correctionb 1.042 1 .307

Likelihood Ratio 2.014 1 .156

Fisher's Exact Test .308 .154

Linear-by-Linear

Association 1.833 1 .176

N of Valid Casesb 100

a. 1 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected

count is 4,00.

b. Computed only for a 2x2 table

Lampiran 14. Analisis Bivariat Hubungan DRPs dan Penyakit Penyerta

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig.

(2-sided)

Exact

Sig. (2-

sided)

Exact Sig.

(1-sided)

Pearson Chi-Square 3.053a 1 .081

Continuity Correctionb 1.954 1 .162

Likelihood Ratio 3.654 1 .056

Fisher's Exact Test .159 .075

Linear-by-Linear

Association 3.022 1 .082

N of Valid Casesb 100

a. 1 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected

count is 3,50.

b. Computed only for a 2x2 table

Page 145: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

131

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lampiran 15. Analisis Bivariat Hubungan DRPs dan Jumlah Obat

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig.

(2-sided)

Exact

Sig. (2-

sided)

Exact Sig.

(1-sided)

Pearson Chi-Square 11.111a 1 .001

Continuity Correctionb 8.507 1 .004

Likelihood Ratio 8.820 1 .003

Fisher's Exact Test .004 .004

Linear-by-Linear

Association 11.000 1 .001

N of Valid Casesb 100

a. 1 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected

count is 2,00.

b. Computed only for a 2x2 table

Lampiran 16. Analisis Bivariat Hubungan DRPs dengan Penggunaan 4 FDC

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig.

(2-sided)

Exact

Sig. (2-

sided)

Exact Sig.

(1-sided)

Pearson Chi-Square 6.238a 1 .013

Continuity Correctionb 4.070 1 .044

Likelihood Ratio 4.743 1 .029

Fisher's Exact Test .032 .032

Linear-by-Linear

Association 6.176 1 .013

N of Valid Casesb 100

a. 1 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected

count is 1,40.

b. Computed only for a 2x2 table

Page 146: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36695/1/Nur... · Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh

132

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta