ujaran syair tarling dangdut pada masyarakat … filedari pemicu untuk mendorong para orang tua...
TRANSCRIPT
1
UJARAN SYAIR TARLING DANGDUT
PADA MASYARAKAT INDRAMAYU
Supriatnoko
Politeknik Negeri Jakarta
Abstrak
Mata pencaharian masyarakat Indramayu pada umumnya adalah petani dan nelayan.
Sebagian besar dari mereka bekerja sebagai buruh tani dan buruh nelayan tetapi karena
faktor kemiskinan, mereka terlilit rentenir. Kondisi sosial-ekonomi lemah menjadi bagian
dari pemicu untuk mendorong para orang tua segera melepaskan beban tanggung jawab
kepada anak terutama kepada anak perempuan untuk segera dinikahkan atau
mendapatkan jodoh walau belum cukup usia perkawinan (belum cukup umur untuk
menikah). Kemudian dalam mengisi pernikahan itu sering ditemukan tindakan kekerasan
dalam rumah tangga. Tarling Dangdut sering dijadikan sebagai media yang mengangkat
tindakan kekerasan tersebut. Tarling dangdut bagi masyarakat Indramayu adalah hiburan
karena disuguhkan dengan nada musik riang gembira walaupun bila diteliti ujaran
syairnya menunjukkan suatu pesan mengenai kenestapaan istri karena tindakan kekerasan
dalam rumah tangga. Tujuan penelitian ini adalah untuk membuktikan bentuk kekerasan
dalam rumah tangga dari para suami pada masyarakat Indramayu. Penelitian dilaksanakan
di Indramayu, objek penelitian adalah syair-syair lagu Tarling Dangdut, menggunakan
pendekatan kualitatif dan metode observasi dengan teknik dokumentasi dan wawancara.
Berlandaskan hasil pembahasan ditemukan cara-cara kekerasan dalam rumah tangga
berupa kekerasan psikis seperti suami selingkuh, istri dimadu, istri dicerai karena suami
menikahi perempuan lain, penelantaran rumah tangga seperti ditinggal pergi tanpa
diberi nafkah lahir dan batin, dan kekerasan fisik seperti penganiayaan badan.
Kata Kunci: syair tarling dangdut, masyarakat indramayu, kekerasan dalam rumah
tangga
Pendahuluan
Menurut para tokoh kesenian Tarling di Cirebon, tarling adalah kesenian
musik khas Cirebon yang dapat dibedakan menjadi Tarling Klasik dan Tarling
Modern. Sedangkan Dangdut Cirebonan tidak digolongkan sebagai jenis tarling,
tetapi digolongkan ke dalam ranah musik dangdut yang syairnya berbahasa
Cerbon. Sementara para tokoh kesenian Tarling di Indramayu, Dangdut Cirebonan
2
lazim disebut sebagai Tarling Dangdut, dimasukan sebagai jenis tarling,
sehingga kesenian musik tarling dikelompokkan ke dalam jenis Tarling Klasik dn
Tarling Dangdut.
Satu hal menarik yang menyeret musik tarling ke dalam musik dangdut
adalah atas pertimbangan pasar, dimana masyarakat Cirebon dan Indramayu
secara umum sekarang sangat akrab dan “gandrung’ dengan musik dangdut
sehingga pencipta lagu-lagu tarling khususnya di Indramayu menciptakan syair-
syair berbahasa Cerbon kemudian diujarkan atau dinyanyikan ke dalam alunan
musik dangdut. Melalui kreatifitas ini, para pencipta dan penyanyi asal Indramayu
dapat memperpanjang kreatifitas keseniannya dan sekaligus mereka pun dapat
menghibur masyarakat dengan syair-syair yang sudah mereka kenali bahasanya.
Kreatifitas seperti ini sebelumnya pernah dilakukan oleh para pencipta lagu
berbahasa Cerbon yang kemudian diujarkan ke dalam iringan musik tarling yang
dipadukan dengan musik jaipong di era 1980-90an. Kreatifitas para pencipta syair
lagu berbahasa Cerbon asal Indramayu diakui lebih produktif dalam menggali
gagasan atau ide dibanding dengan pencipta asal Cirebon khususnya di dalam
menciptakan karya-karya berupa syair-syair berbahasa Cerbon untuk diujarkan
atau dinyanyikan dan diiringi oleh musik dangdut. Pada konteks ini, bahasa
Cerbon berfungsi imajinatif (Finnocchiaro, 1974; Halliday, 1973; Jacobson
menyebutnya fungsi poetic speech dalam Chaer dan Agustina, 2004: 16). Fungsi
imajinatif ini biasanya berupa karya seni.Gagasan, perasaan, pikiran, atau pokok
pikiran yang mendasari suatu karya yang disebut tema dapat disampaikan melalui
puisi, cerpen, novel, melalui karya nonfiksi, atau dapat melalui syair atau lirik
lagu.
Karya-karya berupa puisi, cerpen, novel, atau berbentuk syair lagu ada
kemiripan dengan sesuatu di dalam hidup ini karena bahannya diambilkan dari
pengalaman hidup. Pengalaman hidup ini dapat berupa pengalaman langsung,
yaitu yang dialami secara langsung oleh pengarang dan pencipta, dapat juga
berupa pengalaman tidak langsung, yaitu pengalaman orang lain yang secara tidak
langsung sampai kepada pengarang dan pencipta. Pengalaman hidup demikian
kemudian oleh pengarang dan pencipta diunggah ke dalam pikirannya sebagai
3
sebuah gagasan, ide, atau pikiran utama untuk menciptakan karta-karyanya.
Menelisik syair-syair atau lirik-lirik lagu Dangdut Cirebonan atau masyarakat
Indramayu menyebutnya Tarling Dangdut diduga banyak mengangkat tema
mengenai kehidupan sosial-ekonomi dan persoalan domestik rumah tangga. Pada
tataran persoalan domestik rumah tangga khususnya mengenai kekerasan dalam
rumah tangga menjadi batasan tema dari pelaksanaan penelitian ini.
TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan:
1. Mengungkap bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang digambarkan pada
syair Tarling Dangdut
2. Mengidentifikasi gaya lagu yang mengiringi syair Tarling Dangdut
3. Mengidentifikasi dan menganalisis amanat yang ingin disampaikan pencipta
melalui tema pada syair Tarling Dangdut
TINJAUAN PUSTAKA
Ujaran
Mengujarkan artinya mengatakan atau menuturkan, kegiatan melisankan.
Ujaran adalah kalimat atau bagian kalimat yang dilisankan (KBBI, 2007: 1237;
Kridalaksana, 2008: 248). Syair Tarling Dangdut dapat dikelompokkan sebagai
kalimat atau bagian kalimat yang sengaja ditulis untuk dipersiapkan untuk
dinyanyikan atau dilagukan. Menyanyikan atau melagukan syair dapat
dipersamakan dengan mengujarkan.
Karya Seni (Sastra) Dalam Konsep Sosiologi Sastra
Sosiologi, didefinisikan sebagai studi yang ilmiah dan objektif mengenai
manusia dalam masyarakat, studi mengenai lembaga-lembaga dan proses-proses
sosial. Sosiologi berusaha menjawab pertanyaan mengenai bagaimana masyarakat
dimungkinkan, bagaimana cara kerjanya, dan mengapa masyarakat itu bertahan
hidup. Sosiologi juga berurusan dengan proses perubahan-perubahan sosial baik
4
yang terjadi secara berangsur-angsur maupun secara revolusioner, dengan akibat-
akibat yang ditimbulkan oleh perubahan tersebut (periksa Faruk, 1994: 1).
Damono (1984: 7) menyatakan bahwa seperti halnya sosiologi, sastra
berurusan dengan manusia dalam masyarakat: usaha manusia untuk menyesuaikan
diri dan usahanya untuk mengubah masyarakat itu. Dalam hal isi, sesungguhnya
sosiologi dan sastra berbagi masalah yang sama. Dengan demikian karya sastra,
novel misalnya, dapat dianggap sebagai usaha untuk menciptakan kembali dunia
sosial itu: hubungan manusia dengan keluarganya, lingkungannya, politik, negara,
dan sebagainya, Dalam pengertian dokumenter murni, jelas tampak bahwa novel
berurusan dengan tekstur sosial, ekonomi, dan politik—yang juga menjadi urusan
sosiologi.
Perbedaan yang ada antara keduanya adalah bahwa sosiologi melakukan
analisis ilmiah yang objektif, sedangkan novel menyusup menembus permukaan
kehidupan sosial dan menunjukkan cara-cara manusia menghayati masyarakat
dengan perasaannya. Adanya analisis ilmiah yang objektif ini menyebabkan
bahwa seandainya ada dua orang ahli sosiologi mengadakan penelitian atas satu
masyarakat yang sama, hasil penelitian itu besar kemungkinannya menunjukkan
persamaan juga, sedangkan seandainya ada dua orang novelis menulis tentang
suatu masyarakat yang sama, hasilnya cenderung berbeda sebab cara-cara
manusia menghayati masyarakat dengan perasaannya itu berbeda menurut
pandangan orang-perorang.
Faruk (1994: 4-5) menyajikan temuan Damono (1978) dari Wellek dan
warren mengenai tiga jenis pendekatan yang berbeda dalam sosiologi sastra, yaitu
(1) sosiologi pengarang yang memasalahkan status sosial, ideologi sosial, dan
lain-lain yang menyangkut pengarang sebagai penghasil karya sastra; (2) sosiologi
karya sastra yang memasalahkan karya sastra itu sendiri; (3) sosiologi sastra yang
memasalahkan pembaca dan pengaruh sosial karya sastra.
Dari Ian Watt, Damono juga menemukan tiga macam pendekatan yang
berbeda. Pertama, konteks sosial pengarang. Hal ini berhubungan dengan posisi
sosial pengarang dalam masyarakat dan kaitannya dengan faktor-faktor sosial
yang bisa mempengaruhi isi karya sastranya. Yang terutama harus diteliti dalam
5
pendekatan ini adalah (a) bagaimana pengarang mendapatkan mata
pencahariannya, (b) sejauh mana pengarang menganggap pekerjaannya sebagai
suatu profesi, (c) masyarakat apa yang dituju oleh pengarang. Kedua, sastra
sebagai cermin masyarakat. Yang terutama mendapat perhatian adalah (a)
sejauh mana sastra mencerminkan masyarakat pada waktu karya sastra itu ditulis,
(b) sejauh mana sifat pribadi pengarang mempengaruhi gambaran masyarakat
yang ingin disampaikan, (c) sejauh mana genre sastra yang digunakan pengarang
dapat dianggap mewakili seluruh masyarakat. Ketiga, fungsi sosial sastra. Dalam
hubungan ini ada tiga hal yang menjadi perhatian: (a) sejauh mana sastra dapat
berfungsi sebagai perombak masyarakatnya, (b) sejauh mana sastra hanya
berfungsi sebagai penghibur saja, dan (c) sejauh mana terjadi sintesis antara
kemungkinan (a) dan (b) di atas (periksa Faruk, 1994: 4-5).
Tema Dan Amanat
Jika kita membaca karya seni (sastra), seperti puisi, cerita, syair lagu,
dongeng, lelucon, diduga bahwa pengarang, penyair, atau pencipta tidak sekedar
ingin menyampaikan sebuah cerita demi bercerita saja. Ada sesuatu yang
dikemasnya dengan bercerita, ada suatu konsep sentral atau gagasan atau pokok
pikiran yang ingin dikemukakan dan dikembangkan di dalam cerita itu. Gagasan
atau pokok pikiran yang mendasari suatu karya seni atau karya sastra, oleh
Sudjiman disebut tema (1992: 50). Kridalaksana (2008: 238) menuliskan tema
sebagai bagian terdepan dari kalimat; pokok pembicaraan yang dikembangkan
selanjutnya dalam paragraf. Sejalan dengan itu, KBBI (2007: 1164) menuliskan
tema sebagai pokok pikiran; dasar cerita (yang dipercakapkan, dipakai sebagai
dasar mengarang, menggubah sajak, dan sebagainya).
Tjahjono (1988; 159) menuliskan bahwa bagi pembaca, tema itu baru akan
benar-benar jelas jika pembaca tersebut telah memahami satuan peristiwanya,
tahapan plotnya, tokoh-tokoh dalam cerita itu dan karakterisasinya, memahami
latar dan hubungan latar dengan persoalan yang diangkat serta tokoh-tokohnya,
dan memahami sikap pengarang terhadap persoalan yang diangkat dalam cerita
itu.
6
Karya seni atau sastra yang mengandung tema sesungguhnya merupakan
suatu penafsiran atau pemikiran tentang kehidupan. Persoalan yang terkandung di
dalam tema kandangkala diselesaikan secara positif, negatif, bahkan ada yang
dibiarkan “menggantung” tanpa penyelesaian. Jika persoalan yang diajukan di
dalam cerita juga diberi jalan keluarnya oleh pengarang, maka jalan keluarnya itu
disebut amanat (periksa Sudjiman, 1992: 57). Hal ini sejalan dengan pengertian
amanh dalam KBBI (2007: 35), yaitu pesan yang ingin disampaikan pengarang
kepada pembaca atau pendengar; konsep dan perasaan yang disampaikan
pembicara untuk dimengerti dan diterima pendengar atau pembaca (periksa juga
Kridalaksana, 2008: 13).
Amanat dapat diungkapkan secara eksplisit atau secara implisit. Eksplisit,
jika pengarang pada tengah atau akhir cerita menyampaikan seruan, saran,
peringatan, nasihat, anjuran, larangan, dan sebagainya. Secara implisit, jika jalan
keluar atau ajaran moral itu disiratkan di dalam tingkah laku tokoh menjelang
cerita berakhir.
Latar Sosial Dan Latar Fisik
Latar adalah keterangan mengenai waktu, ruang, dan suasana terjadinya
lakuan dalam karya sastra (KBBI, 2007: 643). Sudjiman (1992: 44-45 dengan
mengutip pendapat Hudson, 1963) membedakan latar dalam cerita rekaan ke
dalam latar sosial dan latar fisik. Latar sosial mencakup penggambaran keadaan
masyarakat, kelompok-kelompok sosial dan sikapnya, adat kebiasaan, budaya,
bahasa, dan lain-lain yang melatari peristiwa. Adapun yang dimaksud dengan latar
fisik adalah tempat di dalam ujud fisiknya, yaitu bangunan, daerah, waktu, dan
sebagainya.
Latar fisik dibedakan menjadi latar netral dan latar tipikal (Nurgiyantoro,
1995: 220-221). Latar netral tidak mementingkan kekhususan waktu dan tempat.
Tidak terlalu penting di mana dan kapan cerita itu berlangsung; oleh karena itu
cukup disebutkan misalnya “di sebuah kota” tanpa merinci kota mana itu, atau
“pada suatu pagi” entah pukul berapa atau pagi hari apa. Latar tipikal lebih
menonjolkan sifat khas latar tertentu, baik yang menyangkut unsur tempat, waktu
7
maupun sosial, mencerminkan kearifan lokal. Latar fisik yang menimbulkan
dugaan atau tautan pikiran tertentu disebut latar spiritual, berwujud tata cara
upacara, kepercayaan, dan nilai-nilai yang berlaku di tempat yang bersangkutan.
Latar ini biasanya menyarankan sejumlah informasi dari nilai-nilai tertentu,
misalnya disarankan suasana kota besar dengan hubungan antarmanusia yang
renggang sehingga orang mudah terasing, kesibukan karena beban pekerjaan yang
luar biasa sehingga orang mudah tersinggung dan marah. Lain dari pada itu,
penggambaran latar yang terinci mencegah timbulnya tautan yang stereotip, yaitu
mencegah pembaca terlalu mudah dan terlalu cepat menautkan latar tertentu
dengan konotasi tertentu (periksa Sudjiman, 1992: 46).
Metode Penelitian
Objek penelitian ini adalah syair-syair lagu Tarling Dangdut. Populasi
penelitian ini adalah seluruh lagu-lagu Tarling Dangdut yang diduga terkait
dengan persoalan domestik rumah tangga khususnya tema kekerasan dalam rumah
tangga, yang sudah diproduksi oleh perusahaan perekaman dan beredar dipasaran
ke dalam bentuk CD/VCD. Sampel penelitian ditentukan menurut teknik sampling
secara acak. Sampel lagu ditetapkan sebanyak 20 lagu Tarling Dangdut.
Penelitian ini adalah penelitian dokumen dan lapangan yang menggunakan
pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif digunakan untuk menemukan fakta
sosial dan fakta fisik masyarakat Indramayu dalam bentuk kekerasan dalam rumah
tangga.
Penelitian ini menggunakan tinjauan sinkronis. Tinjauan sinkronis bersifat
deskriptif dan pengkajiannya dilandaskan pada pendeskripsian atau pemaparan
bentuk kekerasan dalam rumah tangga dan amanat dari pencipta pada lagu yang
dijadikan sampel. Pengambilan data mengenai Indramayu yang sejalan dengan
analisis terhadap syair-syair lagu Tarling Dangdut dimaksudkan sebagai latar atau
pijakan sosiologis yang digunakan untuk mendukung dan menjelaskan tafsiran
syair-syair lagu Tarling Dangdut sebagai bagian dari karya sastra.
8
Penelitian ini menggunakan metode observasi. Metode observasi adalah
metode penjaringan data dengan cara peneliti mengobservasi syair-syair lagu yang
telah ditetapkan sebagai sampel.
Teknik penjaringan data yang dilakukan peneliti di dalam menerapkan
metode observasi adalah teknik dokumentasi dan wawancara. Teknik dokumentasi
digunakan terhadap teks-teks syair lagu Tarling Dangdut, sedangkan pada
kegiatan wawancara digunakan teknik catat atau pencatatan langsung.
Data penelitian dianalisis dengan menggunakan metode sastra dan teknik
pemandangan. Dimaksud dengan teknik pemandangan, yaitu latar fisik disajikan
secara umum, lakuan digambarkan secara umum, dan jangka waktu yang panjang
dikisahkan dengan satu kalimat atau di dalam satu paragraf. Dengan demikian
terasa adanya seorang pencerita yang memilih dan mengikhtisarkan peristiwa
yang terkandung di dalam syair-syair Tarling Dangdut. Pada tataran ini bahasa
berfungsi referensial, yakni sebagai alat berpikir dan berfungsi imajinatif, yaitu
yang mampu membangkitkan pikiran, ide, gagasan, dan perasaan, baik yang
sebenarnya maupun yang hanya imajinasi.
Hasil analisis data disajikan secara deskriptif. Dimaksud dengan penyajian
secara deskriptif, yaitu hasil analisis data dipaparkan secara jelas dan rinci dengan
menggunakan terminologi yang bersifat teknis.
9
Latar Fisik Dan Latar Sosial Masyarakat Indramayu
Lokasi Geografi Indramayu
Peta 1. Lokasi Geografi Indramayu
Kabupaten Indramayu merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa
Barat. Peta 1 di atas menunjukkan lokasi geografisnya. Di sebelah utara
berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten
Subang, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Sumedang dan Kabupaten
Majalengka, sebelah tenggara berbatasan dengan Kabupaten Cirebon. Luas
wilayahnya 2.000,99 km dihuni oleh penduduknya sejumlah 1.795.372 jiwa
Kabupaten Indramayu dalam luas wilayah 2.000,99 km dibagi ke dalam 31
kecamatan dan 313 desa/kelurahan. Beberapa nama-nama kecamatan ataupun
desa merupakan nama-nama khas Indramayu, dan memiliki sejarahnya sendiri
(Situs Web Belajar Online, 2015: 1—10).
Asal-usul Penduduk Indramayu
Diduga bahwa asal-usul penduduk atau penduduk asli Indramayu berasal
dari lembah pegunungan Ciremai yang membentang sampai Tasik. Bila dugaan
10
ini benar maka dimungkinkan bahwa penduduk asli Indramayu adalah etnis
Sunda, sehingga mereka berbahasa Sunda.
Dalam Naskah Wangsakerta disebutkan bahwa yang sekarang disebut
Indramayu pernah berdiri kerajaan bernama Kerajaan Manukwara pada abad ke-5
terletak di sekitar hilir sungai Cimanuk, selanjutnya pada abad ke-9 wilayah
Indramayu menjadi daerah kekuasaan Kerajaan Sumedanglarang. Sejak abad ke-
12 Sumedanglarang menjadi bawahan Kerajaan Pajajaran, sehingga otomatis
Indramayu menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Kerajaan Galuh/Pajajaran.
Pada awal berdiri wilayah Kerajaan Sumedanglarang adalah Sumedang (wilayah
inti), Karawang, Ciasem, Pamanukan, Indramayu, Sukapura, Bandung, dan
Parakanmuncang (periksa Kasim, 2013: 49).
Seiring dengan arus komunikasi, hubungan dagang dan sebagai tempat
singgah para nelayan dari Jawa (Tengah dan Timur), diduga bahwa nelayan dari
Jawa pernah singgah di pelabuhan Cimanuk di era Kerajaan Manukwara, tetapi
tidak ada keterangan apakah nelayan dari Jawa itu kemudian menetap dan menjadi
penduduk Indramayu. Menurut beberapa informan, pamor Pelabuhan Cimanuk
menurun ketika muncul pelabuhan baru bernama Pelabuhan Muarajati. Diduga
nelayan Jawa itu ada yang kemudian menetap di Indramayu setelah singgah di
Pelabuhan Muarajati Pasambangan Cirebon. Di awal abad ke-14, Pelabuhan
Muarajati sudah menjadi pelabuhan internasional. Situs pelabuhan ini terletak di
Desa Muara daerah Bondet sekarang, kemudian bersambung di abad ke-16 ketika
Cirebon yang dibantu prajurit dari Kerajaan Demak menyerang Portugis di
Jayakarta dan menaklukkan Banten yang pada saat itu merupakan bagian dari
wilayah Kerajaan Pajajaran. Berlanjut di abad ke-17 ketika Pasukan Kerajaan
Mataram menyerbu Batavia. Wiralodra dan prajurit-prajurit Mataram yang
mengalami kekelahan ketika menyerbut Batavia, selanjutnya menetap di Cimanuk
membuka lahan pertanian. Proses migrasi ke Indramayu berlanjut sampai awal
abad ke-20, yaitu mereka yang datang dari Tegal-Brebes ke wilayah barat
Indramayu (periksa kasim, 2013: 20). Dengan demikian, asal-usul penduduk
Indramayu sekarang sebagian besar adalah etnis Sunda dan etnis Jawa, selain itu
ditemukan pula keturunan Cina dan Arab. Komunitas Cina berada di sebelah
11
timur Sungai Cimanuk dan komunitas Arab menetap di sebelah barat Sungai
Cimanuk di Kota Indramayu.
Penggunaan Bahasa Penutur Jati
Berlandaskan asal-usul penduduk Indramayu, dapatlah dikemukakan bahwa
penutur jati bahasa di Indramayu terbagi dua, yaitu penutur jati bahasa Sunda dan
penutur jati bahasa Jawa. Bahasa Sunda yang digunakan di Indramayu
membentuk Bahasa Sunda dialek Indramayu sering dikenal dengan sebutan Sunda
Parean dan bahasa Jawa yang digunakan penduduk Indramayu membentuk
Bahasa Jawa dialek Indramayu. Bahasa Jawa dialek Indramayu oleh Pemerintah
Provinsi Jawa Barat digolongkan ke dalam basa Cerbon dan sejak dekade 2010-
an ini, dengan didorong oleh politik identitas kedaerahan, penutur jati bersikeras
untuk melepaskan diri dari sebutan basa Cerbon dan mengklaim sebagai basa
Dermayu. Pemerintah Provinsi Jawa Barat menggolongkan Bahasa Jawa dialek
Indramayu ke dalam Bahasa Cirebon atau Basa Cerbon melalui Perda Jawa Barat
Nomor 5 Tahun 2003, kemudian direvisi melalui Perda Jawa Barat Nomor 14
Tahun 2014, dinyatakan sebutan Basa Cerbon-Dermayu.
Mata Pencaharian
Mata pencaharian penduduk Indramayu sejak mula sebagai petani dan
nelayan walaupun pada saat ini berbagai profesi telah dimiliki penduduk
Indramayu. Sebagian besar wilayah Indramayu merupakan lahan pertanian. Hasil
bumi Indramayu adalah padi. Bila musim tanam para nelayan beralih pekerjaan
untuk menanam padi sebaliknya pada musim angin barat mereka melaut. Sebagian
besar dari mereka adalah buruh tani dan buruh nelayan, secara ekonomi sebagian
besar termasuk masyarakat miskin, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari tidak
sedikit yang meminjam uang ke rentenir dengan jaminan hasil panen atau hasil
melaut sehingga ketika pada waktunya tidak dapat memenuhi janji membayar
banyak di antara mereka yang terlilit lintah darat. Kondisi kehidupan sosial-
ekonomi seperti ini menjadi pemicu para orang tua segera melepaskan beban
tanggung jawab kepada anak terutama kepada anak perempuan dengan jalan
segera menikahkan atau mencarikan jodoh untuk anak perempuannya walau
12
mereka belum cukup usia pernikahan. Menurut para informan, kondisi ini
kemudian memunculkan image dan kebanggaan orang tua bahwa janda kembang
itu lebih mahal dari gadis yang sudah melewati usia remaja (“perawan tua”).
Pernikahan dalam usia sangat muda ini diduga kemudian menjadi bagian dari
persoalan dalam rumah tangga, seperti perceraian, perselingkuhan, penelantaran,
sebagai lingkup kekerasan dalam rumah tangga.
Badan Kepegawaian Daerah Indramayu pada tahun 2012 menyebutkan
bahwa jumlah angka perceraian (termasuk PNS) di Kabupaten Indramayu cukup
tinggi. Tingkat perceraian ini, yang menunjukkan angka terbesar adalah dengan
alasan perselingkuhan disusul pada urutan kedua karena alasan sosial-ekonomi
(periksa Fajar Cirebon, 9 Januari 2013).
Hasil Dan Pembahasan
Hasil Penelitian
Merujuk pada Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga Bab 3 Pasal 5 mengenai larangan kekerasan
dalam rumah tangga, menyebutkan bahwa setiap orang dilarang melakukan
kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya,
dengan cara: a) kekerasan fisik, b) kekerasan psikis, c) kekerasan seksual, dan d)
penelantaran rumah tangga.
Berdasarkan hasil penelitian terhadap 15 syair lagu Tarling Dangdut yang
menjadi sampel dengan merujuk kepada Pasal 5 Undang-undang Nomor 23 Tahun
2004 tentang Penghapusan Kekerasan, ditemukan cara-cara kekerasan dalam
rumah tangga berupa kekerasan fisik, kekerasan psikis, dan penelantaran rumah
tangga, tidak ditemukan kekerasan seksual. Walaupun mengalami tindak
kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh para suami, ditemukan
adanya perlawanan dari para istri untuk tidak pasrah yang mengakibatkan
ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak,
rasa tidak berdaya karena penderitaan fisik, psikis, ataupun penelantaran rumah
tangga dari para suami. Berikut disajikan beberapa contoh syair lagu sebagai
bahan pembahasan.
13
Pembahasan
1. Kekerasan Fisik
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jauth sakit,
atau luka berat. Kekerasan fisik ditemukan pada lagu berjudul “Mega Putih” pada
bait kedua, sementara bait pertama menyampaikan harapan atau keinginan
berumah tangga menjadi keluarga yang harmonis dan sejahtera (sakinah
mawaddah warohmah) sedangkan bait kedua menceritakan penderitaannya secara
fisik karena suami yang kalah judi pada umumnya berlaku kasar dan ringan
tangan terhadap istrinya. Syair ini didendangkan dengan iringan musik lagu ceria
sehingga bila tidak secara cermat menghayatinya, lagu ini hanya berfungsi sebagai
penghibur masyarakat saja.
Bait pertama
duh yayu sapa sing bli pengen
urip duh kaya wong sejen
bahagia bina rumah tangga
jadi kluarga sakinah warohmah
(duh mbak siapa yang tidak ingin
hidup seperti orang lain
bahagia membina rumah tangga
menjadi keluarga sakinah warohmah)
Bait kedua
tetapi kula sebalike, suami mabok judi bae
sering pisan kula disakiti
apa maning yen deweke kalah judi
duh yayu sapa sing bli pengen
(tetapi saya sebaliknya, suami ketagihan judi
sangat sering saya disakiti
apa lagi kalau dia kalah judi
duh mbak siapa yang tidak ingin)
2. Kekerasan Psikis
Perbuatan suami yang menimbulkan kekerasan psikis ditemukan dari sampel
syair lagu berupa perbuatan suami selingkung, istri dimadu, dicerai, ditinggal
menikah lagi.
14
Suami Selingkuh
Pencipta menggambarkan suami selingkuh dengan tegas memberi judul
“Selingkuh”. Lagu ini menceritakan kekesalan istri terhadap suaminya yang tega
berbohong dengan dalih berangkat kerja atau riungan di malam hari seperti
begadang bersama tetangga untuk tujuan tertentu, padalah berbuat selingkuh, ia
berpacaran dengan wanita lain. Perhatikan bait pertama dan kedua pada lagu
“Selingkuh” berikut ini.
Bait pertama
yen kakang wis ora sayang
ngomonga terang-terangan
mangkat kerja kanggo alesan
padahal waktune kanggo demenan
(kalau kakak sudah tidak sayang
bicaralah terus terang
berangkat kerja menjadi alasan
padahal waktunya untuk selingkuhan)
Bait kedua
sekiyen kula wis weru
lagi waktu ning bengi minggu
miang sore jarene arep melekan
padahal sampean lagi demenan
(sekarang saya sudah tahu
sewaktu malam minggu
pergi sore katanya akan riungan
nyatanya kamu sedang selingkuh)
Istri Dimadu
Pencipta menghadirkan lagu “Aja Digetuni” untuk menggambarkan batin
istri yang dimadu, dirasakan sakit batin seperti ditusuk sembilu. Perhatikan bait
reff dari syair lagu tersebut berikut ini.
Reff
ombak banyu ombak segara
belingbing keris panca warna
wong diwayu batine lara
15
turun tangis sabandina
(ombak air ombak laut
belimbing keris lima warna
orang dimadu sakit batinnya
setiap hari dirundung tangis)
Suami Minta Cerai
Pencipta menghadirkan lagu “Jaluk Pegat” untuk menggambarkan perasaan
pilu seorang istri karena suaminya minta cerai. Hal ini sebagai peristiwa yang
tidak lazim sebab pada umumnya pihak istri yang minta cerai ketika suaminya
selingkuh, ketahuan punya istri muda atau sedang kasmaran kepada wanita lain.
Perhatikan bait kedua dan reff dari syair lagu tersebut berikut ini.
Bait Kedua
nyatane kegoda
kedanan ning rangda kaya
iwak sepat serawa-rawa
jaluk pegat ning kula selewa-lewa
(nyatanya dia tergoda
kasmaran ke janda kaya
ikan sepat sepanjang rawa
minta cerai ke saya tiba-tiba)
Reff
sapa wong sing bli panas baran
lagi demen jaluk pegatan
sapa wong sing bli sakit ati
lagi seneng kula ditinggal kari
(siapa orang yang tidak kesal
sedang cinta-cintanya minta cerai
siapa orang yang tidak sakit hati
sedang senang-senangnya ditinggal pergi)
Suami Menikah Lagi
Pencipta menghadirkan lagu “Talak Telu” untuk menggambarkan
kekecewaan seorang istri karena suami di kampung menikah lagi sementara ia
berkerja di luar negeri sebagai TKW berjuang untuk kelangsungan hidup
16
keluarga. Setiap bulan ia mengirim uang hasil kerjanya untuk menutupi kebutuhan
hidup suami dan anak tetapi ketika ia pulang ternyata suaminya punya istri baru.
Uang yang diterima dari penghasilan istri ternyata digunakan oleh suami untuk
modal nikah dan menghidupi istri barunya. Perhatikan bait reff dan bait ketiga
dari syair lagu tersebut berikut ini.
Reff
Sun kerja ning luar negeri
Demi anak uga demi laki
Barang balik ning umah
Sampeyan wis duwe rabi
(saya bekerja di luar negeri
demi anak dan suami
tetapi ketik pulang ke rumah
kamu malah punya istri lagi)
Bait Ketiga
nerima duit kiriman
malah entok nggo ongkos kawinan
bli mikir masa depan ora inget ning keturunan
najan sumpah percuma najan janji kula wis ora peduli
(menerima uang kiriman
malah dihabiskan untuk biaya kawinan
tidak mikir masa depan tidak sayang pada keturunan
walau sumpah percuma saja walau janji saya sudah tidak peduli)
3. Penelantaran Rumah Tangga
Penelantaran rumah tangga ditemukan misalnya pada lagu berjudul “Nambang
Dawa”
Bait pertama
lara ning ati ditinggal laki tanpa permisi
diurus beli dipegat beli
batin kesiksa digawe lara
alias nambang dawa
(sakit di hati ditinggal suami tanpa berita
dirawat tidak dicerai pun tidak
batin tersiksa dibuat sakit
alias diulur-ulur)
17
Pada bait pertama syair lagu “Nambang Dawa”, pencipta ingin menghadirkan
perasaan tersiksa lahir batin karena ditelantarkan suami begitu saja tak ada kabar
berita, dicerai tidak diurus pun tidak, ditelantarkan tanpa diberi nafkah lahir batin.
4. Gambaran Ketegaran Istri
Menghadapi Kekerasan Fisik dan Psikis
Di dalam menghadapi kekerasan fisik, pencipta memotivasi istri-istri pada
keluarga Indramayu agar memiliki ketegaran, memiliki kemampuan untuk
bertindak, kemampuan untuk menunjukkan rasa percaya diri dari kondisi
ketakutan apabila bercerai dari suaminya. Bait Ketiga dari syair lagu “Mega
Putih” mewakili semangat ketegaran sikap perbuatan yang ditunjukkan oleh istri.
Bait Ketiga
nandur tomat cukule jae
kuning-kuning kembang lempuyang
yen bli kuat jaluk pegat bae
ganti maning kang lewih sayang
(tanam tomat tumbuh jahe
kuning-kuning kembang lempuyang
jika tak tahan gugat cerai saja
cari lagi suami yang lebih sayang)
Di dalam menghadapi kekerasan psikis pun istri-istri pada keluarga
Indramayu dimotivasi agar tetap tegar, tidak bersikap pasrah menerima kenyataan
hidup berumah tangga yang harus ditanggung karena suami selingkuh, dimadu
karena suami menikahi wanita lain, atau dicerai. Mereka berontak untuk tidak
tergantung pada belas kasihan suami. Perhatikan syair dari beberapa lagu berikut
ini, yang intinya senada yaitu lebih baik bercerai dan menjadi janda dari pada
punya suami tetapi menanggung derita lahir dan batin.
Pada lagu berjudul “Balung Jagung”
Reff
yen wis bli sayang ngomonga terang-terangan
yen wis bli suka anteraken ning wong tua
wong rumah tangga ketemu pada gedene
18
kula wong wadon sing penting weru berese
tinimbang sun ditele-tele, wis bagen pegatan bae
(jika sudah tidak sayang bicaralah terus terang
jika sudah tidak suka antarkanlah ke orang tuaku
orang berumah tangga bertemu saat dewasa
saya sebagai wanita yang penting tahu beres
dari pada diombang-ambing, biarlah bercerai saja)
Demikian pula pada lagu “Dadi Rangda”, pencipta menggambarkan sosok
wanita Indramayu untuk lebih baik memilik menjadi janda dari pada dimadu.
Perhatikan isi syairnya berikut ini.
Bait Ketiga
pelem cengkir pelem wong indramayu
banyu bening anane ning tanah sunda
pikir pusing yen kula arep diwayu
masih mending kula milih dadi rangda
(mangga cengkir mangga orang indramayu
air bening adanya di tanah sunda
pusing mikir jika saya kan dimadu
lebih baik saya pilih jadi janda)
Mensikapi Penelantaran Rumah Tangga
Mensikapi hidup ditelantarkan oleh suami, pencipta menyemangati istri
keluarga Indramayu agar tetap tegar dan minta suami untuk memperlakukan istri
dengan kasih sayang dan bertanggung jawab sebagai kepala keluarga. Perhatikan
isi syair lagu “Nambang Dawa” di bawah ini.
Reff
apa sih wis bosen, apa wis bli demen
apa sih wis bli suka, apa wis bli tresna
yen wis bli suka aja dilelara
priwen sih karepe priwen tanggung jawabe
(apa sudah bosan, apa sudah tidak kangen
apa sudah tidak suka, apa sudah tidak cinta
jika tidak suka janganlah menyakiti
apa sih maunya bagimana tanggung jawabnya)
19
Berlandaskan isi syair di atas, istri mempertanyakan sikap suami, mengingatkan
suami untuk tidak menyakiti istri, dan yang lebih penting lagi istri
mempertanyakan hubungan selanjutnya apakah bercerai atau bila pernikahan itu
tetap dipertahankan bagaimana menunjukkan tanggung jawabnya sebagai suami
yang mencintai dan sayang kepada istrinya.
Kesimpulan
Berlandaskan pada hasil penelitian dan pembahasan atas tema kekerasan
dalam rumah tangga melalui syair lagu Tarling Dangdut, dapatlah ditarik
kesimpulan sebagai berikut.
1. Bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang digambarkan pada syair Tarling
Dangdut ditemukan kekerasan fisik, kekerasan psikis dan penelantaran rumah
tangga
2. Pencipta membuat syair berisi tema kekerasan dalam keluarga yang dikemas
dalam iringan musik lagu dangdut riang gembira sehingga masyarakat awam
hanyut dalam alunan musik tersebut dan tidak menyadari bahwa tema yang
diangkat oleh penciptanya bercerita tentang kekerasan dalam rumah tangga
3. Pencipta melalui syair yang diciptakannya ingin menyampaikan amanat kepada
para suami untuk:
a. tidak melakukan kekerasan dalam rumah tangga khususnya kepada para
istrinya
b. melindungi istri korban kekerasan dalam keluarga
c. memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera
4. Pencipta melalui syair yang diciptakannya menghadirkan solusi untuk
memotivasi dan memberi semangat kepada para istri agar mampu bersikap
tegar, membangun rasa percaya diri dan kemampuan bertindak apabila
mengalami kekerasan dalam rumah tangga.
20
Daftar Referensi
Chaer, Abdul dan Leoni Agustina. 2004. Sosiolinguistik Perkenalan Awal.
Jakarta: Rineka Cipta.
Dahuri, Rohmin, dkk. 2004. Budaya Pantura: Sebuah Apresiasi di Cirebon.
Jakarta: Perum Percetakan Negara RI.
Damono, Sapardi Djoko. 1984. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas.
Jakarta: Pusat Bahasa Depdikbud RI.
Depdiknas RI. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi 3. Jakarta: Balai
Pustaka.
Faruk. 1994. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kasim, Supali. 2013. Budaya Dermayu: Nilai-nilai Historis, Estetis dan
Transendental. Yogyakarta: Poestaka Djati.
Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Situs Web Belajar Online, 2011. Daftar Nama Kecamatan Desa/Kelurahan dan
Kode Pos di Kabupaten Indramayu. www.organisasi.org Diunduh pada
tanggal 25 Desember 2015.
Sudjiman, Panuti. 1992. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya.
Tjahjono, Libertus Tengsoe. 1988. Sastra Indonesia: Pengantar Teori dan
Apresiasi. Flores: Nusa Indah.
BIODATA
Supriatnoko, lahir di Cirebon, 29 Januari 1962, menamatkan sekolah dari TK sampai dengan SMA
di Cirebon, tamat S1 dari Universitas Negeri Jakarta pada Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris,
tamat S2 dari Universitas Indonesia pada Program Studi Ilmu Susastra, dan tamat S3 dari
Universitas Indonesia pada Program Studi Ilmu Linguistik. Bertugas sebagai Tenaga Pengajar
Tetap di Politeknik Negeri Jakarta mengampu Mata Kuliah Bahasa Inggris. Selain tugas pokok
sebagai tenaga pengajar, saat ini menjabat sebagai Kepala Pusat Bahasa Politeknik Negeri Jakarta,
dan sebagai Tim Pengembang Bahasa, Kebudayaan dan Kesenian Cerbon-Dermayu (Cirebon-
Indramayu) Tingkat Provinsi Jawa Barat
21