uji efek teratogen kakao bubuk pada fetus mencit putih
TRANSCRIPT
JSTFI
Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology
Vol.,II No.1, Januari 2013
9
UJI EFEK TERATOGEN KAKAO BUBUK PADA FETUS MENCIT PUTIH
Almahdy A, Nurul Afifah Almunawwarah, Najmiatul Fitria
Fakultas Farmasi, Universitas Andalas
Abstrak
Telah dilakukan penelitian mengenai efek teratogen kakao bubuk pada fetus mencit putih.
Bubuk kakao diberikan secara oral pada dosis larutan 5,5; 7,0 dan 8,5 g/kg BB pada hari ke-6
hingga hari ke-15 kehamilan. Laparatomi dilakukan pada hari ke-18 kehamilan, kemudian dua
pertiga isi perut fetus direndam dalam larutan merah alizarin dan sepertiga bagian lainnya
difiksasi hingga mengeras dalam larutan Bouin’s. Hasil pengujian menunjukkan bahwa berat
badan tikus dipengaruhi oleh coklat bubuk, tetapi kuantitas dan berat badan fetus tidak
terpengaruh oleh variasi dosis. Efek teratogenik diamati secara makroskopik pada fetus dan
uterus menunjukkan bahwa kakao bubuk pada dosis 5,5 g/kg BB dapat menyebabkan
keterlambatan pertumbuhan, kematian, curling ekor pada janin dan situs resorpsi. Sedangkan
pada dosis 7 g/kg BB menyebabkan kelainan tulang, akhir pertumbuhan, kematian, curling ekor
pada janin dan situs resorpsi. Bubuk kakao pada dosis 8,5 g/kg BB menyebabkan perdarahan
pada tikus, situs resorpsi, kematian dan kelainan tulang pada janin.
Kata kunci: Kakao, Teratogenik, Mencit putih
Abstract
The teratogenic effect of cocoa powder on white mice has been investigated. Cocoa powder was
given orally in solution at doses of 5.5; 7.0 and 8.5 g/kg BW on 6th to 15th day of pregnancy.
Laparatomy was performed on 18th day of pregnancy and followed by eviscerating two third of
the fetuses with red alizarin and the others were hardened in Bouin’s fixation solution. Body
weight of mice are influenced by cocoa powder, but quantity and body weight of fetuses are not
influenced at all dosage studied. Teratogenic effect observed macroscopically on fetus, and
uterus was displayed that cocoa powder at the dose 5.5 g/kg BW caused late of growth, death,
curling tail on fetuses and resorption site. While on the dose of 7 g/kg BW caused skeletal
abnormalities, late of growth, death, curling tail on fetuses and resorption site. Cocoa powder
at the dose of 8.5 g/kg BW caused bleeding in mice, resorption site, death and skeletal
abnormalities on fetuses.
Keywords: Cacao, Teratogenic, White mice
PENDAHULUAN
Kakao bubuk adalah material yang
diperoleh dari biji Theobroma cacao yang
diubah menjadi serbuk. Cokelat merupakan
produk olahan hasil kombinasi kakao
bubuk, lemak dan gula yang sudah diolah
(Cooper, 2008). Kakao bubuk yang
diberikan selama masa kehamilan kelinci
putih tidak menyebabkan teratogen, tetapi
pada dosis 2,6 g/kg BB dapat menyebabkan
penundaan pembentukan tulang (Tarka,
1986a). Kakao mengandung amin dan
alkaloid teobromin sebesar 0,5% sampai
2,7%, kafein lebih kurang 0,25%, serta
teofilin, tiramin, feniletilenamin dan
trigonellin dalam jumlah kecil (Leung,
JSTFI
Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology
Vol.,II No.1, Januari 2013
10
1980; Robbers, 1996). Metilxantin yang
dikandung kakao memiliki efek
psikostimulan (Smit, 2004). Tiramin dapat
menaikkan tekanan darah dengan
mempengaruhi denyut jantung, menambah
volume darah dalam sistem vaskular, dan
mengecilkan pembuluh darah perifer.
Feniletilamin memiliki mekanisme kerja
dan efek fisiologis yang mirip dengan
tiramin, tetapi efeknya jauh lebih rendah
(Silalahi, 1994), sedangkan trigonellin
merupakan hormon tumbuhan
(Tramontano, 1986) yang diklaim memiliki
efek hipoglikemik, hipolipidemik,
neuroprotektif, antimigrain dan antitumor
(Zhou, 2012).
Teobromin atau (3,7-dimetilxantin),
merupakan metabolit dari kafein di dalam
tubuh manusia (Stavric, 1998). Dari semua
produk makanan yang mengandung
teobromin, kakao merupakan produk yang
memiliki konsentrasi paling tinggi (MAFF,
1998). Fetus tikus yang terpapar teobromin
0,135 g/kg BB mengalami insiden
pembentukan tulang yang tidak lengkap
atau tidak terbentuknya sternebrae dan
tulang pubic, yang berdampak pada
penundaan osteogenesis (Tarka, 1986b).
Kafein (1,3,7-trimetilxantin)
merupakan senyawa golongan metilxantin
yang paling banyak dikonsumsi dan dapat
ditemukan dalam biji kopi, guarana, teh,
dan biji cokelat (Tarka, 1982; Landau,
1986). Kafein yang diberikan secara oral
pada induk mencit hamil selama masa
organogenesis dengan dosis 120 mg/kg
BB/hari dapat mempengaruhi pertumbuhan
skeleton fetus, yaitu menghambat
pembentukan tulang sternum, metacarpus,
dan metatarsus serta menyebabkan
terbentuknya kelainan berupa ‘jembatan
kosta’ (Santoso, 2004).
Cokelat yang merupakan produk
olahan dari kakao bubuk banyak diminati
semua kalangan masyarakat, termasuk ibu
hamil. Ekstrak kakao tergolong dalam 16
bahan makanan yang paling banyak
dikonsumsi (USDA, 1997). Walaupun
tergolong makanan favorit, ibu hamil tetap
harus memperhatikan konsumsi cokelat
selama masa kehamilannya. Masa
kehamilan merupakan saat yang rawan bagi
wanita terhadap pengaruh lingkungan, tidak
hanya bagi ibu tetapi juga keselamatan
fetus yang dikandungnya, terutama pada
tahap organogenesis karena pada tahap itu
sel-sel fetus sedang aktif berproliferasi
(Roberts, 1971). Pada penelitian ini
digunakan kakao bubuk (bukan cokelat
olahan) karena cokelat olahan mengandung
pengawet dan bahan tambahan lainnya,
sehingga apabila ditemukan efek teratogen
pada penggunaan cokelat olahan, hal ini
mungkin dipengaruhi oleh bahan-bahan
tersebut.
Berdasarkan latar belakang di atas,
ada kemungkinan bahwa kakao bubuk
memiliki efek teratogen karena senyawa-
senyawa utama yang dikandungnya terbukti
memiliki efek teratogen. Hal ini juga yang
mendorong penulis untuk melakukan uji
teratogenesis untuk mengetahui dan melihat
JSTFI
Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology
Vol.,II No.1, Januari 2013
11
kemungkinan adanya cacat karena
pengaruh kakao bubuk. Penelitian ini
dilakukan selama masa gestasi pada mecit
putih betina dengan berbagai dosis.
Sejumlah kelainan pada skeletal dan
visceral akan diamati sebagai indikator
teratogen, di samping ada tidaknya kelainan
morfologis yang terjadi pada fetus.
METODOLOGI
Alat
Alat yang digunakan adalah kandang
pemeliharaan dan kandang perlakuan, pisau
bedah, gunting bedah, cawan petri, tisu
gulung, kaca arloji, timbangan analitik,
kertas millimeter blok, kaca pembesar,
pinset, beaker glass, gelas ukur, pipet tetes,
batang pengaduk, timbangan hewan,
kandang mencit, spatel, spuit, jarum oral,
wadah perendam fetus, wadah pewarnaan,
handscoon, masker dan kamera digital.
Bahan
Bahan yang digunakan adalah kakao
bubuk merek X yang sudah terdaftar di
BPOM RI dan memiliki SNI dengan kode
produksi 05032191, serta baik digunakan
sebelum 9 Januari 2014. Selain itu,
penelitian ini juga menggunakan bahan-
bahan lain seperti aquades, larutan Bouin’s
(formaldehid 14 %, asam pikrat jenuh,
asam asetat glacial) dan larutan alizarin
merah (KOH 1% dan alizarin merah 6
mg/L).
Hewan Percobaan :
Hewan percobaan yang digunakan
adalah mencit putih (Webster) betina yang
berumur lebih kurang 2 bulan dengan berat
badan lebih kurang 20-30 gram, sehat dan
belum pernah mengalami perlakuan
terhadap obat. Selain itu, mencit jantan juga
dibutuhkan untuk pengawinan. Mencit
jantan yang digunakan harus sehat dan
berumur lebih kurang 3 bulan.
Aklimatisasi Hewan Percobaan dan
Penentuan Daur Estrus
Aklimatisasi dilakukan selama 10
hari untuk membiasakan hewan berada
pada lingkungan percobaan. Makanan dan
minuman diberikan secukupnya, berat
badan ditimbang setiap hari dan diamati
tingkah lakunya. Selama aklimatisasi
dilakukan penentuan daur estrus dengan
mengamati vagina mencit secara visual.
Mencit dalam masa estrus ditandai dengan
vagina berwarna lebih merah dan bergetah.
Hewan yang digunakan dianggap sehat
apabila perubahan bobot badan tidak lebih
dari 10 %, secara visual menunjukkan
perilaku yang normal dan mempunyai daur
estrus yaitu 4 – 5 hari (Depkes RI, 1979;
Almahdy, 2012).
Perlakuan
Pengawinan hewan dilakukan pada
masa esrrus dengan perbandingan jantan
dan betina 1 : 4. Mencit jantan dimasukkan
ke kandang mencit betina pada sore hari
dan dipisahkan lagi besok paginya. Pada
JSTFI
Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology
Vol.,II No.1, Januari 2013
12
pagi harinya dilakukan pemeriksaan sumbat
vagina. Sumbat vagina menandakan mencit
telah mengalami kopulasi dan berada hari
kehamilan ke-0. Mencit yang telah hamil
dipisahkan dan yang belum kawin dicampur
kembali dengan mencit jantan (Almahdy,
2011; Kauffman, 1992).
Pemberian sediaan uji kakao bubuk
dilakukan dengan jarum sonde secara
peroral. Mencit dibagi menjadi 4 kelompok,
dimana satu kelompok terdiri dari 5 ekor
mencit. Kelompok perlakuan kontrol diberi
aquadestilata steril. Dosis yang digunakan
untuk kelompok uji adalah 5,5 g/kg BB, 7
g/kg BB, dan 8,5 g/kg BB. Sediaan uji
diberikan 10 hari berturut-turut mulai hari
ke-enam sampai hari ke-lima belas
kehamilan.
Pengamatan Selama Pemberian Sediaan
Uji
Setiap hari dilakukan penimbangan
dan diamati kenaikan berat badan mencit.
Jika terjadi penurunan berat badan yang
drastis dan disertai pendarahan di sekitar
vagina, kemungkinan hewan tersebut
mengalami keguguran atau abortus, dengan
demikian hewan tersebut harus dibunuh dan
diperiksa. Hewan uji tidak digunakan
apabila sakit karena perlakuan atau karena
penyakit (Lu, 1995).
Pembuatan Larutan Alizarin Merah dan
Larutan Bouin’s
Larutan alizarin merah dibuat dengan
menambahkan 6 mg alizarin merah pada
satu liter larutan KOH 1 %. Larutan ini
digunakan untuk mewarnai skeletal dan
pertulangan mencit. Larutan Bouin’s dibuat
dengan melarutkan asam pikrat dalam air
panas dan dibuat jenuh, dan biarkan satu
malam. Kemudian ditambahkan
formaldehid 14 % dan asetat glasial
masing–masing dengan perbandingan
75:20:5. Larutan Bouin’s digunakan untuk
melihat bagian visceral fetus mencit
(Manson, 1982).
Laparatomi
Laparatomi dilakukan pada hari ke-
18 kehamilan. Mencit dibunuh dengan cara
dislokasi leher, kemudian dilakukan
laparatomi untuk mengeluarkan fetus
mencit dengan membedah bagian abdomen
ke arah atas sampai terlihat uterus yang
berisi fetus. Fetus dikeluarkan dengan
memotong uterus dan plasenta. Selanjutnya
diamati apakah terdapat tapak resorpsi yang
ditandai dengan adanya gumpalan merah
sebagai tempat tertanamnya fetus. Jumlah
fetus yang masih hidup dan fetus yang telah
mati dihitung pada masing – masing bagian
uterus, fetus. Setelah itu fetus dikeringkan
dengan tisu, berat masing – masing fetus
ditimbang untuk mengetahui berat rata–rata
kelahiran. Kemudian diamati ada tidaknya
kelainan secara visual, misalnya ekor, daun
telinga, kelopak mata, jumlah jari kaki
depan dan belakang (Wilson,1965).
JSTFI
Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology
Vol.,II No.1, Januari 2013
13
Fiksasi dan Pengamatan Cacat
Morfologi
Setelah diamati secara visual,
sepertiga dari jumlah fetus dari satu induk
difiksasi dengan larutan Bouin’s selama 14
hari sampai berwarna kuning dan keras,
fetus dikeluarkan dan dikeringkan. Bagian
luar fetus yang diperiksa adalah telinga,
mata, kaki, dan ekor. Selanjutnya diamati
ada tidaknya celah pada langit – langit
dengan menyelipkan pisau bedah pada
geraham, dan kepalanya disayat menurut
bidang datar tepat di bagian tengah daun
telinga (Hayes, 2000).
Dua pertiga bagian lagi direndam
dengan larutan merah alizarin, dan
dibiarkan dua sampai tiga hari, sambil
sekali – kali digoyang sampai fetus menjadi
transparan dan akan terlihat tulang yang
berwarna merah. Kelainan tulang diamati
dan dihitung jumlahnya, kemudian fetus
dikeluarkan dan disimpan dalam larutan
yang terdiri dari etanol 70 %, gliserin, dan
formaldehid 14 %. Pengamatan dilakukan
terhadap tulang dada, tulang kaki, dan jari –
jari kaki; semua hasil pengamatan
dibandingkan dengan kontrol (Hayes,
2000).
Data yang dikumpulkan dari
penelitian ini berupa :
1. Berat badan induk mencit selama
kehamilan setelah diberi sediaan uji
sampai laparatomi
2. Jumlah fetus, jumlah fetus yang
hidup dan yang mati
3. Pengamatan berat badan fetus
4. Jenis cacat
5. Jumlah fetus yang cacat
6. Pengamatan terhadap hasil fiksasi
dengan larutan Bouin’s dan larutan
alizarin merah
Analisis Data
Data dari hasil penelitian ini
dianalisis secara statistik menggunakan
analisis variansi (ANOVA) satu arah untuk
parameter berat badan induk mencit, jumlah
fetus dan berat badan fetus. Jika hasil
signifikan, analisis dilanjutkan dengan
menggunakan uji wilayah berganda Duncan
(Duncan Multiple Range T-Test).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Pemberian kakao bubuk dengan dosis
5,5 g/Kg BB dan 7 g/Kg BB mempengaruhi
berat badan induk mencit selama
kehamilan. Data dari kelompok dosis 8,5
g/kg BB tidak diikutsertakan ke dalam
analisis varian satu arah dikarenakan tidak
ada pengulangan pada kelompok tersebut.
Rata-rata berat badan induk mencit selama
kehamilan pada kelompok kontrol, dosis
5,5 g/Kg BB, 7 g/Kg BB, 8,5 g/Kg BB
secara berturut-turut adalah 31,48 gram,
30,98 gram, 32,03 gram dan 36,62 gram.
JSTFI
Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology
Vol.,II No.1, Januari 2013
14
Tabel 1. Berat Badan Rata-rata Induk Mencit Selama Kehamilan
Hari ke Berat Badan Induk Mencit (g)
D0 D1 D2 D3
6 25.58 27.6 30.10 29.2
7 26.96 27.4 30.16 29.34
8 27.08 27.6 31.20 29.42
9 28.22 28.16 31.26 33.85
10 28.66 28.5 30.70 33.25
11 29.62 29.3 31.06 33
12 30.20 30.58 31 37
13 31.08 31.16 31.14 39.2
14 32.96 32.56 32.26 39.5
15 34.68 33.9 32.24 41.8
16 36.26 35 33.48 43
17 38.00 35.3 35.4 43.5
18 40.00 35.66 36.47 44
X±SD 31.48±4.553 30.98±3.169 32.03±1.965 36.62±5.601 Keterangan :
D0 = kelompok kontrol,
D1 : Kelompok dosis 5.5 g/Kg BB,
D2 : Kelompokdosis 7 g/Kg BB,
D3 : Kelompok dosis 8.5 g/Kg BB
Pemberian kakao bubuk tidak
mempengaruhi jumlah rata-rata fetus secara
bermakna (F hitung < F tabel 0,05). Jumlah
rata-rata fetus terhadap kelompok kontrol,
kelompok dosis 5,5 g/kg BB, dan 7 g/kg
BB secara berturut-turut adalah 7 ekor, 9
ekor, dan 8 ekor, sedangkan kelompok
dosis 8.5 g/kg BB memiliki 9 ekor fetus
yang hanya berasal dari satu induk mencit,
sehingga jumlah fetus kelompok dosis ini
tidak bisa dirata-ratakan dan dihitung
standard deviasinya.
Pemberian kakao bubuk tidak
mempengaruhi berat badan rata-rata fetus
secara bermakna (F hitung < F tabel 0,05).
Berat badan rata-rata fetus terhadap
kelompok kontrol, kelompok dosis 5,5 g/kg
BB, dan 7 g/kg BB secara berturut-turut
adalah 1,006±0.236 gram; 0,902±0.165
gram, dan 0,786±0.289 gram, sedangkan
kelompok dosis 8,5 g/kg BB memilki rata-
rata berat fetus 0,743 yang hanya berasal
dari satu induk mencit sehingga standard
deviasinya tidak bisa ditentukan.
Pada pemberian sediaan uji pada
kelompok dosis 5,5 g/kg BB ditemukan 6
ekor fetus mati pada dua ekor induk mencit
yang berbeda. Tapak resorpsi ditemukan
pada tiga ekor induk mencit yang berbeda.
Lima ekor fetus dari dua ekor induk mencit
yang berbeda mengalami lambat
pertumbuhan. Pada pemberian sediaan uji
pada kelompok dosis 7 g/kg BB ditemukan
empat ekor fetus mati pada dua ekor induk
mencit yang berbeda. Tapak resorpsi
ditemukan pada dua ekor induk mencit
yang berbeda. Tiga ekor fetus dari dua ekor
induk mencit yang berbeda mengalami
lambat pertumbuhan.
JSTFI
Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology
Vol.,II No.1, Januari 2013
15
Pada pemberian sediaan uji pada
kelompok dosis 8,5 g/kg BB ditemukan
satu ekor fetus mati dan tapak resorpsi dari
induk mencit yang sama. Empat ekor induk
mencit mengalami pendarahan. Pada
pengamatan hasil fiksasi fetus mencit
dengan larutan Alizarin merah terhadap
kelompok dosis 5,5 g/kg BB menunjukkan
pertulangan yang normal pada setiap
kelompok setelah dibandingkan dengan
kelompok kontrol. Pada dosis 7 g/kg BB
ditemukan tiga ekor fetus menunjukkan
pertulangan yang tidak normal yaitu tulang
rusuk yang tidak menyatu (unfused ribs).
Pada dosis 8,5 g/kg BB ditemukan tiga ekor
fetus yang juga mengalami unfused ribs
serta dua ekor fetus yang tidak memiliki
tulang ekor.
Pada pengamatan hasil fiksasi fetus
mencit dengan larutan Boiun’s terhadap
kelompok dosis 5,5 g/kg BB ditemukan
satu ekor fetus mengalami curling pada
ekor. Pada dosis 7 g/kg BB ditemukan
delapan ekor fetus dari empat ekor induk
berbeda mengalami curling pada ekor.
Namun, tidak ditemukan adanya celah
langit-langit (cleft palate) pada setiap fetus
pada masing-masing kelompok dosis
setelah dibandingkan dengan kelompok
kontrol.
Gambar 1. Foto fetus setelah laparotomi. A: Fetus yang mengalami kelainan tulang; B:
Tapak resorpsi; C: Induk mencit yang mengalami pendarahan; D: Fetus yang
mengalami lambat pertumbuhan dibandingkan dengan fetus normal; E:
Fetus yang mengalami lambat pertumbuhan setelah difiksasi dengan larutan
Bouin’s; F: Fetus yang mengalami curling pada ekor
Pembahasan
Pada penelitian ini telah dilakukan
uji teratogenitas dari kakao bubuk untuk
melihat keamanannya, serta melihat bentuk
yang tidak normal atau cacat pada fetus
yang mungkin ditimbulkan akibat
penggunaan kako bubuk tersebut. Sampel
yang digunakan adalah kakao bubuk
kemasan yang beredar di pasaran yang
JSTFI
Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology
Vol.,II No.1, Januari 2013
16
sudah memiliki SNI tahun 2009. Kakao
bubuk banyak diolah menjadi berbagai
macam produk olahan cokelat seperti
permen, kue, biskuit dan aneka minuman
yang banyak diminati oleh masyarakat,
termasuk ibu hamil.
Kakao bubuk berbentuk serbuk yang
dapat larut dalam air membentuk koloid.
Koloid adalah campuran zat heterogen
antara dua zat atau lebih, dimana partikel-
partikel zat yang berukuran 1 nm-100 nm
tersebar merata dalam zat lain. Jika
didiamkan, campuran ini tidak memisah
dan juga tidak dapat disaring. Campuran
kakao bubuk dengan air secara makroskopis
terlihat homogen tapi partikel-partikel
kakao bubuk yang tersebar dalam air masih
dapat dibedakan dengan mikroskop ultra
(Shaw, 1992).
Kakao bubuk mengandung
teobromin sebesar 0,5% sampai 2,7%,
kafein lebih kurang 0,25%, serta teofilin
dalam jumlah kecil. Mereka termasuk
dalam golongan senyawa metilxantin. Di
samping itu, kakao juga mengandung
tiramin, feniletilenamin dan trigonellin
dalam jumlah kecil (Leung, 1980; Robbers,
1996). Di antara kelompok senyawa yang
dikandung kakao di atas, kafein dan
teobromin (kelompok metilxantin) telah
dilaporkan memiliki efek teratogen
(Santoso, 2004; Tarka, 1986b). Selain itu,
jumlah metilxantin dalam kakao bubuk
relatif lebih banyak dibandingkan
kandungan kimia yang lain, sehingga
metilxantin dalam kakao bubuk dicurigai
dapat menyebabkan teratogen. Metilxantin
diketahui dapat melewati sawar otak dan
plasenta. Dari segi farmakokinetik, waktu
paruh metilxantin normalnya 3 jam. Pada
trimester pertama, waktu paruh metilxantin
meningkat menjadi 5,6 jam dan terus
meningkat sampai 18 jam pada minggu ke-
35 kehamilan (Golding, 1995). Perubahan
farmakokinetik ini terjadi karena perubahan
jumlah hormon steroid (estrogen dan
progesteron) selama kehamilan (Betsch,
1990). Hal ini akan menyebabkan
metilxantin berada dalam darah dalam
waktu yang cukup lama, sehingga paparan
metilxantin terhadap fetus juga lebih lama
dan akan memicu kelainan-kelainan.
Dosis kakao bubuk yang digunakan
pada penelitian ini diambil berdekatan
dengan dosis yang digunakan pada uji
teratogenitas kakao bubuk pada kelinci
putih (Tarka, 1986a). Tarka melakukan uji
teratogenitas kakao bubuk pada dosis 0,9
g/kg BB, 1,8 g/kg BB, dan 2,6 g/kg BB
kelinci yang bila dikonversikan ke mencit
setara dengan 2,7 g/kg BB, 5,4 g/kg BB,
dan 7,8 g/kg BB mencit. Dari hasil
penelitian Tarka, kakao bubuk yang
diberikan selama masa kehamilan kelinci
putih tidak menyebabkan teratogen, tetapi
pada dosis 2,6 g/kg BB dapat menyebabkan
penundaan pembentukan tulang. Oleh
karena itu, dosis kakao bubuk untuk uji
teratogenitas pada mencit diambil lebih
tinggi daripada dosis pada kelinci untuk
melihat efek teratogen yang mungkin
terjadi. Dosis yang diambil untuk uji
JSTFI
Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology
Vol.,II No.1, Januari 2013
17
teratogenitas kakao bubuk pada mencit
adalah 5,5 g/kg BB, 7 g/kg BB, dan 8,5
g/kg BB mencit yang bila dikonversikan ke
manusia setara dengan 0,61 g/kg BB, 0,78
g/kg BB, dan 0,94 g/kg BB, sedangkan
konsumsi kakao yang lazim pada manusia
adalah sebesar 2,11 g/hari atau setara
dengan 0,03 g/kg BB/hari (Buijsse, 2006).
Hewan percobaan yang digunakan
pada penelitian ini adalah mencit putih
betina dengan umur kurang lebih dua bulan,
memiliki berat badan antara 20-30 gram
dan belum pernah melahirkan. Hal ini
didasarkan pada teori yang menyatakan
bahwa anak generasi pertama lebih banyak
daripada anak generasi berikutnya. Pada
penelitian ini digunakan mencit putih
sebagai hewan percobaan karena memiliki
masa kehamilan yang singkat, jumlah fetus
yang banyak, penanganannya mudah,
harganya yang relatif murah dan mudah
diperoleh. Di samping itu, dalam beberapa
penelitian disebutkan bahwa mencit lebih
rentan terhadap teratogen dibanding hewan
percobaan lain. Selain mencit, hewan lain
juga dapat digunakan untuk uji
teratogenitas yaitu hamster, tikus, kelinci,
kucing, kera, atau babi (Manson, 1982; Lu,
1995).
Sebelum diberi perlakuan, mencit
diaklimatisasi selama 10 hari untuk
membiasakan hewan pada kondisi
percobaan dan menghindari stress yang
dapat mempengaruhi hasil akhir penelitian.
Selama aklimatisasi dilakukan
penimbangan berat badan, pengamatan daur
estrus dan pengamatan tingkah laku.
Berdasarkan Farmakope Indonesia Edisi III,
hewan dikatakan sehat bila tidak
mengalami perubahan berat badan lebih
dari 10% dan selama pemeliharaan
menunjukkan perilaku yang normal. Dari
hasil aklimatisasi diperoleh persen
perubahan berat badan rata-rata mencit
kelompok kontrol, dosis 5,5 g/kg BB, 7
g/kg BB, dan 8,5 g/kg BB secara berturut-
turut adalah 4,706%, 3,356%, 6,454%, dan
5,622%. Hasil ini menunjukkan bahwa
mencit yang akan digunakan untuk
penelitian memenuhi syarat Farmakope
Indonesia Edisi III dan tergolong sehat.
Selain itu, hewan betina yang digunakan
harus memiliki daur estrus yang teratur. Hal
ini perlu dilakukan agar tidak terjadi
kehamilan semu walaupun ditemukan
sumbat vagina pada waktu pengawinannya.
Pengamatan daur estrus dapat dilakukan
secara visual dimana vagina mencit betina
yang berada dalam masa estrus akan
berwarna merah muda dan tampak sedikit
basah (Depkes RI, 1979; Almahdy, 2012).
Pada penelitian ini, dua puluh ekor
mencit betina yang telah hamil (ditandai
dengan adanya sumbat vagina)
dikelompokkan menjadi 4 kelompok.
Masing-masing kelompok terdiri dari lima
ekor mencit sebagai ulangan. Tiap
kelompok perlakuan memiliki perbedaan
pada dosis yang diberikan. Kelompok
pertama sebagai kontrol tidak diberikan
kakao bubuk, hanya diberikan aquadest.
Kelompok kedua diberikan kakao bubuk
JSTFI
Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology
Vol.,II No.1, Januari 2013
18
dengan dosis 5,5 g/kg BB. Kelompok
ketiga diberikan kakao bubuk dengan dosis
7 g/kg BB. Kelompok keempat diberikan
kakao bubuk dengan dosis 8,5 g/kg BB.
Pemberian sediaan uji dilakukan
pada hari ke-6 sampai hari ke-15 kehamilan
secara per oral, karena pada masa ini fetus
berada pada masa organogenesis yang
merupakan masa yang sangat rentan
terhadap senyawa teratogenik. Pada masa
organogenesis ini, organ-organ dari embrio
seperti mata, otak, jantung, rangka,
urogenital, dan sebagainya mulai terbentuk.
Periode ini disebut periode kritis kehamilan
(Harbinson, 2001). Pada hari ke-1 sampai
hari ke-5 kehamilan tidak diberikan sediaan
uji karena pada saat itu terdapat sifat
totipotensi pada janin yang dapat
memperbaiki jaringan yang rusak. Pada hari
ke-16 dan seterusnya, senyawa teratogen
tidak menyebabkan cacat morfologis, tetapi
mengakibatkan kelainan fungsional yang
tidak dapat dideteksi segera setelah
kelahiran (Lu, 1995).
Pengamatan terhadap kenaikan berat
badan induk selama kehamilan dilakukan
untuk melihat keadaan gizi dan kesehatan
induk secara umum. Pada periode ini
dilakukan penimbangan berat badan yang
dimulai dari saat pemberian senyawa
sampai laparatomi yang bertujuan untuk
melihat bagaimana pengaruh senyawa
terhadap induk mencit. Pada hari ke-6
sampai hari ke-8 kehamilan belum terjadi
kenaikan berat badan induk mencit yang
signifikan dengan berat badan rata-rata
28,58 gram. Kenaikan berat badan induk
mencit cenderung meningkat pada hari ke-
11 sampai hari ke-18 kehamilan dengan
berat badan rata-rata 30.75 gram sampai
39,03 gram. Kenaikan ini disebabkan
karena berkembangnya fetus mencit dan
bertambahnya volume cairan amnion,
plasenta, serta selaput amnion (Guyton,
1990). Selain itu, jumlah fetus juga
mempengaruhi kenaikan berat badan induk
mencit.
Pengamatan terhadap induk mencit
dilakukan selama pemberian kakao bubuk
sampai laparatomi. Hasil menunjukkan
pemberian kakao bubuk pada kelompok uji
mempengaruhi berat badan induk mencit
selama kehamilan. Rata-rata berat badan
induk mencit selama kehamilan pada
kelompok kontrol, dosis 5,5 g/kg BB, 7
g/kg BB, 8,5 g/kg BB secara berturut-turut
adalah 31,48 gram, 30,98 gram, 32,03 gram
dan 36,62 gram. Akan tetapi, ditemukan
satu ekor induk yang diberikan kakao
bubuk dosis 7 g/kg BB tidak mengalami
peningkatan berat badan selama kehamilan.
Pada hari ke-18 kehamilan, induk mencit
ini memilki berat badan 25 gram, jauh lebih
rendah daripada berat badan induk mencit
pada umumnya (39,8 gram). Laparatomi
tetap dilakukan pada induk mencit tersebut
dan ditemukan tiga ekor fetus mati dan
ukurannya lebih kecil dibandingkan fetus
kontrol, serta ditemukan delapan tapak
resorpsi. Penurunan berat badan induk
mencit ini bisa dikarenakan pemberian
kakao bubuk dengan jumlah yang tidak
JSTFI
Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology
Vol.,II No.1, Januari 2013
19
sedikit sehingga induk mencit tersebut
mengalami perubahan fisik dan aktivitas.
Perubahan ini ditandai dengan gerak induk
mencit yang lebih lamban dari biasanya dan
nafas yang tersengal-sengal. Pengaruh
lingkungan sekitar mencit dan daya tahan
tubuh mencit itu sendiri yang kurang baik
juga bisa menjadi penyebab induk mencit
tersebut mengalami perubahan fisik dan
aktivitas. Keadaan ini menyebabkan fetus
di dalam rahimnya tidak berkembang dan
berat badannya berkurang. Karena hal
tersebut hanya terjadi pada satu ekor induk
mencit saja, bisa dikatakan bahwa kakao
bubuk toksik terhadap induk mencit ini.
Pada dosis 8,5 g/kg BB, satu ekor
mencit mengalami pendarahan pada hari
ke-7 kehamilan, dua ekor mencit
mengalami pendarahan pada hari ke-8
kehamilan, dan satu ekor mencit mengalami
pendarahan pada hari ke-11 kehamilan.
Pendarahan ini disebabkan kondisi
patologis atau ketidakseimbangan osmotik
yang disebabkan gangguan tekanan dan
viskositas cairan pada embrio yang berbeda
antara plasma dan ruang ekstravaskular atau
cairan ekstra dan intra embrionik (Lu,
1995). Ketidakseimbangan osmotik ini
disebabkan oleh konsentrasi metilxantin
yang ada di pembuluh darah fetus tinggi.
Hal ini dikarenakan dosis kakao bubuk
yang diberikan sangat tinggi dan
metabolisme tubuh fetus belum sempurna,
sehingga waktu paruh metilxantin panjang
dan bertumpuk di darah. Konsentrasi
metilxantin yang tinggi di darah
menyebabkan cairan dari sel berdifusi ke
pembuluh darah. Cairan di pembuluh darah
menumpuk dan menyebabkan pembuluh
darah pecah sehingga terjadi keguguran.
Metilxantin dapat menghambat enzim
fosfodiesterase yang menghidrolisis cAMP,
sehingga jumlah cAMP meningkat (Beck,
1991). Peningkatan cAMP menyebabkan
pembuluh darah mengalami dilatasi
(Katzung, 2004). Hal ini juga bisa menjadi
penyebab terjadinya pendarahan.
Metilxantin yang ada di darah akan
menyebabkan pembuluh darah melebar. Hal
ini mengakibatkan darah sedikit sampai ke
fetus dan menyebabkan fetus tidak
berkembang. Pada akhirnya fetus akan mati
dan meluruh menyebabkan pendarahan.
Untuk melihat pengaruh sediaan uji
terhadap fetus mencit, maka pada hari ke-
18 kehamilan fetus dikeluarkan dari uterus
induk setelah dilaparatomi. Hal ini
dilakukan karena mencit yang melahirkan
secara spontan cenderung memakan
keturunannya yang cacat, mati, atau hampir
mati sehingga dapat mempengaruhi hasil
perhitungan data. Di samping itu,
laparatomi dilakukan dengan tujuan untuk
mengamati ada atau tidaknya tapak resorpsi
yaitu gumpalan merah pada uterus sebagai
bekas tempat tertanamnya fetus (Wilson,
1978).
Pada kelompok dosis 5,5 g/kg BB
ditemukan lima tapak resopsi pada tiga
induk mencit yang berbeda, enam ekor
fetus mati saat dikeluarkan dari uterus
induknya, serta ditemukan lima ekor fetus
JSTFI
Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology
Vol.,II No.1, Januari 2013
20
yang mengalami lambat pertumbuhan (late
of growth). Pada dosis 7 g/kg BB
ditemukan sembilan tapak resorpsi pada
dua induk mencit yang berbeda, empat ekor
fetus mati dari dua induk mencit yang
berbeda, serta ditemukan tiga ekor fetus
yang mengalami lambat pertumbuhan. Pada
kelompok dosis 8,5 g/kg BB ditemukan
satu tapak resopsi dan satu ekor fetus lahir
mati. Lahir mati dicirikan dengan tidak
adanya pergerakan fetus saat dikeluarkan
dari uterus (Almahdy, 2011). Pada
kelompok kontrol ditemukan dua ekor fetus
mati dikarenakan adanya kerentanan
individu terhadap lingkungan, sedangkan
fetus mencit lainnya berada dalam keadaan
normal. Dalam hal ini, kematian fetus saat
lahir tidak terjadi pada semua fetus dari
induk mencit yang sama. Matinya fetus
mencit diduga disebabkan oleh adanya
faktor kerentanan genetik (kepekaan) dari
fetus tersebut sebagai individu terhadap
senyawa-senyawa yang terdapat pada kakao
bubuk. Adanya tapak resorpsi berupa
gumpalan merah yang tertanam pada uterus
disebabkan oleh pengaruh pemberian kakao
pada masa organogenesis. Pada masa ini
tidak terdapat lagi sifat totipotensi sehingga
tidak terjadi perbaikan kerusakan pada
jaringan serta tidak terjadi perkembangan
selanjutnya. Akibatnya, fetus mati dan
terbentuk gumpalan merah.
Ditemukannya fetus yang mengalami
late of growth, kematian dan tapak resorpsi
disebabkan adanya gangguan pembelahan
sel. Metilxantin dapat menghambat
aktivitas enzim fosfodiesterase yang
menghidrolisis cAMP, sehingga hidrolisis
cAMP terhambat dan berakibat peningkatan
konsentrasi cAMP dalam sel dan jaringan
fetus (Beck, 1991). Konsentrasi cAMP erat
hubungannya dengan pertumbuhan sel.
Penurunan konsentrasi cAMP diikuti oleh
akselerasi pertumbuhan, sebaliknya
peningkatan konsentrasi cAMP dapat
menghambat pertumbuhan sel (Pozner,
1986).
Hasil pengamatan terhadap rata-rata
jumlah fetus dapat dilihat pada lampiran.
Pemberian kakao bubuk dosis 5,5 g/kg BB,
dan dosis 7 g/kg BB secara berturut-turut
menghasilkan rata-rata jumlah fetus 9 ekor
dan 8 ekor. Sedangkan pemberian kakao
bubuk dosis 8,5 g/kg BB menghasilkan 9
ekor fetus yang hanya berasal dari satu ekor
induk Hal ini dikarenakan hanya satu induk
yang berhasil hamil sampai hari ke-18.
Akan tetapi, jumlah rata-rata fetus
kelompok dosis 5,5 dan 7 g/kg BB tidak
berbeda secara nyata dengan jumlah rata-
rata fetus kelompok kontrol. Dengan kata
lain, secara statisika menggunakan analisa
varian satu arah dapat dikatakan bahwa
pemberian kakao bubuk tidak
mempengaruhi jumlah fetus mencit secara
bermakna.
Pemberian kakao bubuk terhadap
induk mencit tidak mempengaruhi berat
badan rata-rata fetus secara bermakna (F
hitung < F tabel 0,05). Berat badan rata-rata
fetus terhadap kelompok kontrol, kelompok
dosis 5,5 g/kg BB dan dosis 7 g/kg BB
JSTFI
Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology
Vol.,II No.1, Januari 2013
21
secara berturut-turut adalah 1,006±0,236
gram; 0,902±0,165 gram, dan 0,786±0,289
gram. Sedangkan berat badan rata-rata fetus
dosis 8,5 g/kg BB sebesar 0,743 gram.
Standar deviasi tidak dapat dihitung karena
berat badan rata-rata ini hanya berasal dari
satu ekor induk. Pengamatan terhadap berat
badan fetus kurang dapat menunjukkan efek
kecacatan karena berat badan fetus
dipengaruhi oleh jumlah fetus dalam satu
induk, dimana semakin banyak jumlah fetus
maka berat badan masing-masing fetus
akan semakin kecil (Almahdy, 2010).
Dari hasil perendaman dengan
larutan alizarin merah dapat diamati bentuk
kelainan tulang fetus. Pada fetus normal ada
tujuh tulang serviks, tiga belas tulang
toraks, enam tulang lumbal, empat tulang
sacral dan dua atau tiga tulang kaudal.
Semua diamati setelah fetus direndam
dalam larutan merah alizarin – KOH 1 %
yang menyebabkan fetus menjadi
transparan dan tulang berwarna merah tua
sehingga dapat diamati bentuk tulangnya.
Pada dosis 7 g/kg BB ditemukan tiga ekor
fetus menunjukkan pertulangan yang tidak
normal yaitu tulang rusuk yang tidak
menyatu (unfused ribs). Pada dosis 8,5 g/kg
BB ditemukan tiga ekor fetus yang juga
mengalami unfused ribs serta dua ekor fetus
tidak memiliki tulang ekor. Tidak
memisahnya tulang rusuk (unfused ribs)
dan tidak adanya tulang ekor yang ditemui
pada penelitian ini bisa dipengaruhi oleh
metilxantin yang dikandung kakao bubuk
yang dapat meningkatkan konsentrasi
cAMP dalam sel. Di pusat pertulangan
terdapat kartilago yang mengalami
kalsifikasi (Ham, 1979). Kalsifikasi tulang
dapat terjadi apabila kondrosit mengalami
hipertrofi, lingkungan basa, adanya
substansi interseluler organik yang
berafinitas terhadap garam kalsium, adanya
enzim fosfatase alkalin, dan cukup ion
kalsium serta fosfat dalam cairan tubuh
(Subowo, 1992). Jika salah satu kondisi
tersebut tidak terpenuhi karena gangguan
fungsional pada sel akibat peningkatan
cAMP di dalam sel dan jaringan kartilago,
maka kalsifikasi tulang terhambat dan
menyebabkan perkembangan tulang tidak
serentak. Hal ini dapat menyebabkan tidak
menyatunya tulang rusuk (unfused ribs).
Fetus mencit yang direndam dengan
larutan Bouin’s akan keras dan berwarna
kuning serta dapat digunakan untuk
mengamati tubuh bagian luar dan visceral.
Formaldehid dan asam asetat yang terdapat
didalam larutan Bouin’s akan mengawetkan
jaringan embrio. Proses kimiawi yang
terjadi dalam hal ini bersifat komplek dan
belum dimengerti sepenuhnya. Sedangkan
asam pikrat akan mewarnai fetus mencit
sehingga berwarna kuning dan lebih mudah
diamati. Parameter yang diamati antara lain
kelopak mata, daun telinga, ekor, kaki dan
jari-jari kaki, serta celah pada langit-langit.
Jeniscacat yang terjadi tergantung pada
periode pertumbuhan, karena tidak semua
organ rentan pada saat yang sama dari suatu
kehamilan. Umumnya embrio mencit rentan
pada hari ke-8 sampai hari ke-12
JSTFI
Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology
Vol.,II No.1, Januari 2013
22
kehamilan. Cacat pada mata paling rentan
pada hari ke-9 kehamilan yaitu 40 % dari
cacat seluruh organ, pada hari ke-10 hanya
33%. Cacat pada telinga hari ke-10
kehamilan (35%), jari-jari dan ekor rentan
pada hari ke-9, sedang pada hari ke-10
kehamilan kemungkinan cacat jari-jari dan
ekor hanya 18% dan cacat skeletal rentan
pada hari ke-9 sampai hari ke-10 kehamilan
(Almahdy, 2010; Manson 1982). Kelainan
morfologi tidak terjadi pada semua fetus
dalam satu kelompok bahkan dalam satu
induk yang sama. Hal ini disebabkan karena
adanya kerentanan genetik antar individu
walaupun berasal dari induk yang sama
(Harbinson, 2001).
Pada pengamatan hasil fiksasi fetus
mencit dengan larutan Bouin’s terhadap
kelompok dosis 5,5 g/kg BB ditemukan
satu ekor fetus mengalami curling pada
ekor. Pada dosis 7 g/kg BB ditemukan
delapan ekor fetus dari empat ekor induk
berbeda mengalami curling pada ekor.
Namun, tidak ditemukan adanya celah
langit-langit (cleft palate) pada setiap fetus
pada masing-masing kelompok dosis
setelah dibandingkan dengan kelompok
kontrol. Pengamatan cleft palate dilakukan
dengan menyayat bagian kepala mulai dari
daerah mulut kearah belakang tepat
pertengahan daun telinga sampai kepalanya
terpisah menjadi dua bagian. Buang lidah
fetus dan amati ada tidaknya cleft palate
pada bagian tersebut. Senyawa steroid
diketahui dapat menyebabkan cleft palate
jika dikonsumsi selama trimester pertama
kehamilan (Pradat, 2003).
Dari hasil penelitian teratogenitas,
diperoleh keterangan bahwa kakao bubuk
dengan dosis 5,5 g/kg BB mencit atau
setara dengan 0,61 g/kg BB manusia sudah
berpotensi teratogen, yaitu menyebabkan
tapak resorpsi, kematian fetus, kelainan
pada ekor dan lambat pertumbuhan. Kakao
bubuk dosis 7 g/kg BB mencit dan dosis 8,5
g/kg BB mencit juga menunjukkan efek
yang hampir sama, bahkan lebih parah.
Potensi teratogen kakao bubuk ini belum
dapat dipastikan karena adanya kerentanan
antar spesies dan kerentanan antar individu
dari induk yang sama atau juga karena
perbedaan dalam sifat farmakokinetik dan
metabolisme. Selain itu, cacat juga dapat
disebabkan oleh faktor lain seperti
lingkungan, infeksi tertentu dan defisiensi
vitamin. Namun, dari data di atas dapat
disimpulkan bahwa kakao bubuk memiliki
potensi teratogen dan data dari kajian
epidemiologi pada manusia belum
dijumpai. Sehingga kakao bubuk dapat
dikategorikan sebagai bahan yang termasuk
kategori C. Bahan yang termasuk kategori
C adalah bahan/senyawa yang
memperlihatkan efek teratogen saat
diujikan pada hewan, tapi belum ada
laporan efek teratogennya pada manusia
(FDA, 1979).
JSTFI
Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology
Vol.,II No.1, Januari 2013
23
SIMPULAN
Simpulan
Dari uji teratogenitas kakao bubuk
yang dilakukan secara in vivo dapat diambil
kesimpulan bahwa :
1. Kakao bubuk berpotensi
menyebabkan teratogen pada
beberapa fetus pada dosis 5,5 g/kg
BB, 7 g/kg BB, dan 8,5 g/kg BB.
2. Efek teratogen yang ditemukan
pada sejumlah fetus berupa tidak
bersatunya tulang rusuk (unfused
ribs), tidak terbentuknya tulang
ekor, lambat pertumbuhan, curling
pada ekor dan tapak resorpsi.
3. Kakao bubuk pada dosis 8,5 g/kg
BB mencit dapat menyebabkan
pendarahan pada induk mencit.
Saran
Bagi peneliti selanjutnya, disarankan
untuk melakukan penelitian lebih lanjut
tentang potensi teratogen kakao bubuk pada
dosis yang lebih rendah daripada dosis pada
penelitian ini untuk mengetahui sampai
sejauh mana kakao bubuk aman
dikonsumsi. Selain itu, uji teratogenik
kakao bubuk perlu dilakukan pada spesies
hewan selain mencit dan kelinci karena
adanya sifat kerentanan antar spesies.
DAFTAR PUSTAKA
Almahdy, A. 2012. Teratologi
eksperimental. Padang : Universitas
Andalas Press.
Almahdy, A. 2011. Uji aktivitas vitamin A
terhadap efek teratogen warfarin
pada fetus mencit putih. Medan :
USU Press.
Almahdy, A. 2010. “Pengaruh ekstrak
gambir (Uncaria gambier Roxb.)
terhadap fetus dari mencit hamil
yang diinduksi alkohol”. Majalah
Farmasi Indonesia, 21(2), 115 –
120.
Almahdy, A., Arifin, H. & Delvita, V.
2007. “Pengaruh pemberian
vitamin C terhadap fetus pada
mencit diabetes”. Jurnal Sains dan
Teknologi Farmasi, 12(1), 32-40.
Badan Standardisasi Nasional. 2009. SNI
01-3747-2009 Kakao Bubuk.
Jakarta: BSN.
Beck, S.L. & Urbano, C.M. 1991.
“Potentiating effect of caffeine on
the terratogenicity of acetazolamide
in C57BL/6J mice”. Teratology,
44(3), 24- 250.
Betsch, B. 1990. “The Pharmacokinetic
model and distribution pattern of
new sexual-steroid-hormone-linked
anticancer agents”. J Cancer Res
Clin Oncol, 116(5), 467-469.
Buijsse, B., Feskens, E.J., Kok, F.J.,
Kromhout, D. 2006. “Cocoa intake,
blood pressure and cardiovascular
mortality: the Zutphen elderly
study”. Arch Intern Med, 166(4),
411-417.
Cooper, K.A., Donovan, J.L., Waterhouse,
A.L. & Williamson, G. 2008.
JSTFI
Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology
Vol.,II No.1, Januari 2013
24
“Cocoa and health: a decade of
research”. British Journal of
Nutrition, 99, 1-11.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
1979. Farmakope Indonesia. (Edisi
III). Jakarta : Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.
Food and Drug Administration. 1980.
Pregnancy categories. Federal
Register. 44:37434-67.
Golding, J. 1995. “Reproduction and
caffeine consumption: a literature
review”. Early Hum Dev, 43(1), 1-
14.
Guyton, A.C. 1990. Fisiologi kedokteran.
Penerjemah: A. Dharma. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Hafez, E.S.E. 1970. Reproduction and
breeding technique of laboratory
animals. Philadelphia : Lea and
Febiger.
Ham, A.W. & Cormack, D.H. 1979.
Histology. (8th ed). Philadelphia:
J.B. Lippincott Company.
Harbinson, R.D. 2001. The basic science of
poison cassaret and doull’s
toxicology. New York: Macmillan
Publishing Co.Inc
Hayes, A.W. 2000. Principles and method
of toxicology (4th ed). USA :
Taylor and Francis.
Indarti, E. 2007. “Efek pemanasan terhadap
rendemen lemak pada proses
pengepresan biji kakao”. Jurnal
Rekayasa Kimia dan Lingkungan,
6(2), 50-54.
Katzung, B.G. 2004. Basic and clinical
pharmacology. (9th Ed). San
Fransisco: Mc Graw Hill Medical.
Katzung, B.G. 1998. Farmakologi dasar
dan klinik. (Edisi VI). Penerjemah:
Staf Dosen Farmakologi Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta : EGC.
Kauffman, M.H. 1992. The atlas of mouse
development. London : Academic
Press Limited.
Landau, S.I. 1986. International dictionary
of medicine and biology. New York
: Wiley.
Leung, A.Y. & Foster, S. 1980.
Encyclopedia of common natural
ingredients used in food, drugs, and
cosmetics. (2nd ed). New York:
John Wiley and Sons.
Loomis, T.A. & Hayes, A.W. 1996.
Essentials of toxicology. (4th ed).
San Diego : Academic Press.
Lu, F.C. 1995. Toksikologi dasar (Edisi II).
Penerjemah: E. Nugroho. Chicago :
University of Chicago Press.
MAFF. 1998. Survey of caffeine and other
methylxantines in energy drinks
and other caffeine-containing
products (updated). Food
Surveillance Information Sheet
144.
Manson, J.M., Zenick, H., & Costlow, R.D.
1982. Teratology test methods for
laboratory animals. New York :
Ravent press.
JSTFI
Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology
Vol.,II No.1, Januari 2013
25
Minifie, B.W. 1999. Chocolate, cocoa and
confectionery science and
technology. (3rd ed). New York :
The AVI Publ.
Misnawi. 2005. “Peranan pengolahan
terhadap pembentukan citarasa
cokelat”. Warta Pusat Penelitian
Kopi dan Kakao, 21(3).
Nalbandov, A.V. 1990. Fisiologi
reproduksi pada mamalia dan
unggas (Edisi III). Jakarta :
Universitas Indonesia Press.
Nasution, Z., Ciptadi, W., & Laksmi, B.S.
1985. Pengolahan coklat
agroindustri. Bogor : IPB-Press.
Pozner, J., Papatestas, A.E., Fagerstrom, R.,
Schwarts, I., Saevits, J., Feinberg,
M., & Aufses, A.H. 1986.
Association of tumor differentiation
with caffeine and coffee intake in
women with breast cancer. Surgery,
100(3), 482-488.
Poedjiwidodo, Y. 1996. Sambung samping
kakao. Ungaran : Trubus
Agriwidya.
Pradat, P., Robert-Gnansia E., Di Tanna,
G.L., Rosano, A., Lisi, A., &
Mastroiacovo, P. 2003. First
trimester exposure to
corticosteroids and oral clefts. Birth
Defects Res A Clin Mol Teratol,
67(12), 968-70.
Robbers, J.E., Speedie, M.K., & Tyler, V.E.
1996. Pharmacognosy and
pharmacobiotechnology .
Baltimore: Williams & Wilkins.
Roberts, S.J. 1971. Veterinary obstetrics &
genital diseases (Theriogenology).
New York : Ithaca
Rohan, T.A. 1963. Processing of raw cocoa
for the market. Roma: FAO of
United Nations.
Sadler, T.W. 1997. Embriologi kedokteran
langman. (Edisi VII). Alih Bahasa
Joko Suyono. Editor D.H. Ronardy.
Jakarta : EGC.
Santoso, H.B. 2004. “Kelainan struktur
anatomi skeleton fetus mencit
akibat kafein”. Bioscientiae, 1, 23-
30.
Shaw, D.J. 1992. Introduction to colloid
and surface chemistry. (4th ed).
London : Butterworth-Heinemann.
Silalahi, J. 1994. “Sekilas toksikologi:
senyawa amin bioaktif yang
terdapat dalam makanan”. Media
Farmasi, 2(1), 19-25.
Smit, H.J., Gaffan, E,A. & Rogers, P.G.
2004. “Methylxanthines are the
phsycho-pharmacologically active
constituent of chocolate”.
Phsychopharmacology, 176, 412-
419.
Spillane, J. 1995. Komoditi kakao, peranan
dalam perekonomian Indonesia.
Yogyakarta : Kanisius.
Stavric, B. 1998. “Methylxanthines :
toxicity to humans. 3.
Theobromine, paraxanthine and the
combined effects of
methylxantines”. Food Chem
Toxicol, 26, 725-733.
JSTFI
Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology
Vol.,II No.1, Januari 2013
26
Susanto, T. & Saneto, B. 1994. Teknologi
pengolahan hasil pertanian.
Surabaya : Bina Ilmu.
Subowo. 1992. Histologi umum. Jakarta :
Bumi Aksara.
Tarka, S.M.J. 1982. “The toxicology of
cocoa and methylxanthines: a
review of the literature”. CRC Crit
Rev Toxicol, 9, 275–312.
Tarka, S.M.J., Applebaum, R.S., &
Borzelleca, J.F. 1986a. “Evaluation
of the teratogenic potential of cocoa
powder and theobromine in New
Zealand White rabbits”. Food
Chem Toxicol, 24(5), 363-74.
Tarka, S.M.J., Applebaum, R.S., &
Borzelleca, J.F. 1986b. “Evaluation
of perinatal, postnatal and
teratogenic effects of cocoa powder
and theobromine in Sprague-
Dawley/CD Rats”. Food Chem
Toxicol, 24(5), 375-82.
Tramontano, W.A., McGinley, P.A.,
Ciancaglini, E.F., & Evans, L.S.
1986. “A survey of trigonelline
concentrations in dry seeds of the
dicotyledonae”. Environt Exp Bot,
26(3), 197-205.
USDA. 1997. Foods commonly eaten in the
United States. Quantities consumed
per eating occasion and in a day,
1989-91. United States Department
of Agriculture Report No.NTIS
PB98-111719.
Wahyudi, T., Panggabean, T.R., &
Pujiyanto. 2009. Panduan lengkap
kakao. Jakarta : Penebar Swadaya.
Widyotomo, S., Mulato, S., & Handaka.
2004. “Mengenal lebih dalam
teknologi pengolahan biji kakao”.
Warta Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, 26(2),
5-6.
Wilson, J.G & J. Warkany. 1965.
Teratology principles and
techniques. Chicago: University of
Chicago Press.
Wilson, J.G. & Fraser, F.C. 1978.
Handbook of teratology : General
principle and etiology. New York :
Plenum Press.
Winarno, F.G., Fardiaz, S., & Fardiaz, D.
1980. Pengantar teknologi pangan.
Jakarta : Gramedia.
Yatim, W. 1994. Reproduksi dan
embriologi. Bandung: Tarsito.
Yusianto, H. W., & Wahyuni, T. 1997.
“Mutu dan pola citarasa beberapa
klon kakao lindak”. Pelita
Perkebunan, 13(3), 171-187.
Zhou, J., Chan, L., Zhou, S. 2012.
“Trigonelline : a plant with
therapeutic potential for diabetes
and central nervous system
disease”. Curr Med Chem, 19(21),
3523-3531.