uji efek teratogen kakao bubuk pada fetus mencit putih

18
JSTFI Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology Vol.,II No.1, Januari 2013 9 UJI EFEK TERATOGEN KAKAO BUBUK PADA FETUS MENCIT PUTIH Almahdy A, Nurul Afifah Almunawwarah, Najmiatul Fitria Fakultas Farmasi, Universitas Andalas Abstrak Telah dilakukan penelitian mengenai efek teratogen kakao bubuk pada fetus mencit putih. Bubuk kakao diberikan secara oral pada dosis larutan 5,5; 7,0 dan 8,5 g/kg BB pada hari ke-6 hingga hari ke-15 kehamilan. Laparatomi dilakukan pada hari ke-18 kehamilan, kemudian dua pertiga isi perut fetus direndam dalam larutan merah alizarin dan sepertiga bagian lainnya difiksasi hingga mengeras dalam larutan Bouin’s. Hasil pengujian menunjukkan bahwa berat badan tikus dipengaruhi oleh coklat bubuk, tetapi kuantitas dan berat badan fetus tidak terpengaruh oleh variasi dosis. Efek teratogenik diamati secara makroskopik pada fetus dan uterus menunjukkan bahwa kakao bubuk pada dosis 5,5 g/kg BB dapat menyebabkan keterlambatan pertumbuhan, kematian, curling ekor pada janin dan situs resorpsi. Sedangkan pada dosis 7 g/kg BB menyebabkan kelainan tulang, akhir pertumbuhan, kematian, curling ekor pada janin dan situs resorpsi. Bubuk kakao pada dosis 8,5 g/kg BB menyebabkan perdarahan pada tikus, situs resorpsi, kematian dan kelainan tulang pada janin. Kata kunci: Kakao, Teratogenik, Mencit putih Abstract The teratogenic effect of cocoa powder on white mice has been investigated. Cocoa powder was given orally in solution at doses of 5.5; 7.0 and 8.5 g/kg BW on 6th to 15th day of pregnancy. Laparatomy was performed on 18th day of pregnancy and followed by eviscerating two third of the fetuses with red alizarin and the others were hardened in Bouin’s fixation solution. Body weight of mice are influenced by cocoa powder, but quantity and body weight of fetuses are not influenced at all dosage studied. Teratogenic effect observed macroscopically on fetus, and uterus was displayed that cocoa powder at the dose 5.5 g/kg BW caused late of growth, death, curling tail on fetuses and resorption site. While on the dose of 7 g/kg BW caused skeletal abnormalities, late of growth, death, curling tail on fetuses and resorption site. Cocoa powder at the dose of 8.5 g/kg BW caused bleeding in mice, resorption site, death and skeletal abnormalities on fetuses. Keywords: Cacao, Teratogenic, White mice PENDAHULUAN Kakao bubuk adalah material yang diperoleh dari biji Theobroma cacao yang diubah menjadi serbuk. Cokelat merupakan produk olahan hasil kombinasi kakao bubuk, lemak dan gula yang sudah diolah (Cooper, 2008). Kakao bubuk yang diberikan selama masa kehamilan kelinci putih tidak menyebabkan teratogen, tetapi pada dosis 2,6 g/kg BB dapat menyebabkan penundaan pembentukan tulang (Tarka, 1986a). Kakao mengandung amin dan alkaloid teobromin sebesar 0,5% sampai 2,7%, kafein lebih kurang 0,25%, serta teofilin, tiramin, feniletilenamin dan trigonellin dalam jumlah kecil (Leung,

Upload: others

Post on 23-May-2022

9 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: UJI EFEK TERATOGEN KAKAO BUBUK PADA FETUS MENCIT PUTIH

JSTFI

Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology

Vol.,II No.1, Januari 2013

9

UJI EFEK TERATOGEN KAKAO BUBUK PADA FETUS MENCIT PUTIH

Almahdy A, Nurul Afifah Almunawwarah, Najmiatul Fitria

Fakultas Farmasi, Universitas Andalas

Abstrak

Telah dilakukan penelitian mengenai efek teratogen kakao bubuk pada fetus mencit putih.

Bubuk kakao diberikan secara oral pada dosis larutan 5,5; 7,0 dan 8,5 g/kg BB pada hari ke-6

hingga hari ke-15 kehamilan. Laparatomi dilakukan pada hari ke-18 kehamilan, kemudian dua

pertiga isi perut fetus direndam dalam larutan merah alizarin dan sepertiga bagian lainnya

difiksasi hingga mengeras dalam larutan Bouin’s. Hasil pengujian menunjukkan bahwa berat

badan tikus dipengaruhi oleh coklat bubuk, tetapi kuantitas dan berat badan fetus tidak

terpengaruh oleh variasi dosis. Efek teratogenik diamati secara makroskopik pada fetus dan

uterus menunjukkan bahwa kakao bubuk pada dosis 5,5 g/kg BB dapat menyebabkan

keterlambatan pertumbuhan, kematian, curling ekor pada janin dan situs resorpsi. Sedangkan

pada dosis 7 g/kg BB menyebabkan kelainan tulang, akhir pertumbuhan, kematian, curling ekor

pada janin dan situs resorpsi. Bubuk kakao pada dosis 8,5 g/kg BB menyebabkan perdarahan

pada tikus, situs resorpsi, kematian dan kelainan tulang pada janin.

Kata kunci: Kakao, Teratogenik, Mencit putih

Abstract

The teratogenic effect of cocoa powder on white mice has been investigated. Cocoa powder was

given orally in solution at doses of 5.5; 7.0 and 8.5 g/kg BW on 6th to 15th day of pregnancy.

Laparatomy was performed on 18th day of pregnancy and followed by eviscerating two third of

the fetuses with red alizarin and the others were hardened in Bouin’s fixation solution. Body

weight of mice are influenced by cocoa powder, but quantity and body weight of fetuses are not

influenced at all dosage studied. Teratogenic effect observed macroscopically on fetus, and

uterus was displayed that cocoa powder at the dose 5.5 g/kg BW caused late of growth, death,

curling tail on fetuses and resorption site. While on the dose of 7 g/kg BW caused skeletal

abnormalities, late of growth, death, curling tail on fetuses and resorption site. Cocoa powder

at the dose of 8.5 g/kg BW caused bleeding in mice, resorption site, death and skeletal

abnormalities on fetuses.

Keywords: Cacao, Teratogenic, White mice

PENDAHULUAN

Kakao bubuk adalah material yang

diperoleh dari biji Theobroma cacao yang

diubah menjadi serbuk. Cokelat merupakan

produk olahan hasil kombinasi kakao

bubuk, lemak dan gula yang sudah diolah

(Cooper, 2008). Kakao bubuk yang

diberikan selama masa kehamilan kelinci

putih tidak menyebabkan teratogen, tetapi

pada dosis 2,6 g/kg BB dapat menyebabkan

penundaan pembentukan tulang (Tarka,

1986a). Kakao mengandung amin dan

alkaloid teobromin sebesar 0,5% sampai

2,7%, kafein lebih kurang 0,25%, serta

teofilin, tiramin, feniletilenamin dan

trigonellin dalam jumlah kecil (Leung,

Page 2: UJI EFEK TERATOGEN KAKAO BUBUK PADA FETUS MENCIT PUTIH

JSTFI

Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology

Vol.,II No.1, Januari 2013

10

1980; Robbers, 1996). Metilxantin yang

dikandung kakao memiliki efek

psikostimulan (Smit, 2004). Tiramin dapat

menaikkan tekanan darah dengan

mempengaruhi denyut jantung, menambah

volume darah dalam sistem vaskular, dan

mengecilkan pembuluh darah perifer.

Feniletilamin memiliki mekanisme kerja

dan efek fisiologis yang mirip dengan

tiramin, tetapi efeknya jauh lebih rendah

(Silalahi, 1994), sedangkan trigonellin

merupakan hormon tumbuhan

(Tramontano, 1986) yang diklaim memiliki

efek hipoglikemik, hipolipidemik,

neuroprotektif, antimigrain dan antitumor

(Zhou, 2012).

Teobromin atau (3,7-dimetilxantin),

merupakan metabolit dari kafein di dalam

tubuh manusia (Stavric, 1998). Dari semua

produk makanan yang mengandung

teobromin, kakao merupakan produk yang

memiliki konsentrasi paling tinggi (MAFF,

1998). Fetus tikus yang terpapar teobromin

0,135 g/kg BB mengalami insiden

pembentukan tulang yang tidak lengkap

atau tidak terbentuknya sternebrae dan

tulang pubic, yang berdampak pada

penundaan osteogenesis (Tarka, 1986b).

Kafein (1,3,7-trimetilxantin)

merupakan senyawa golongan metilxantin

yang paling banyak dikonsumsi dan dapat

ditemukan dalam biji kopi, guarana, teh,

dan biji cokelat (Tarka, 1982; Landau,

1986). Kafein yang diberikan secara oral

pada induk mencit hamil selama masa

organogenesis dengan dosis 120 mg/kg

BB/hari dapat mempengaruhi pertumbuhan

skeleton fetus, yaitu menghambat

pembentukan tulang sternum, metacarpus,

dan metatarsus serta menyebabkan

terbentuknya kelainan berupa ‘jembatan

kosta’ (Santoso, 2004).

Cokelat yang merupakan produk

olahan dari kakao bubuk banyak diminati

semua kalangan masyarakat, termasuk ibu

hamil. Ekstrak kakao tergolong dalam 16

bahan makanan yang paling banyak

dikonsumsi (USDA, 1997). Walaupun

tergolong makanan favorit, ibu hamil tetap

harus memperhatikan konsumsi cokelat

selama masa kehamilannya. Masa

kehamilan merupakan saat yang rawan bagi

wanita terhadap pengaruh lingkungan, tidak

hanya bagi ibu tetapi juga keselamatan

fetus yang dikandungnya, terutama pada

tahap organogenesis karena pada tahap itu

sel-sel fetus sedang aktif berproliferasi

(Roberts, 1971). Pada penelitian ini

digunakan kakao bubuk (bukan cokelat

olahan) karena cokelat olahan mengandung

pengawet dan bahan tambahan lainnya,

sehingga apabila ditemukan efek teratogen

pada penggunaan cokelat olahan, hal ini

mungkin dipengaruhi oleh bahan-bahan

tersebut.

Berdasarkan latar belakang di atas,

ada kemungkinan bahwa kakao bubuk

memiliki efek teratogen karena senyawa-

senyawa utama yang dikandungnya terbukti

memiliki efek teratogen. Hal ini juga yang

mendorong penulis untuk melakukan uji

teratogenesis untuk mengetahui dan melihat

Page 3: UJI EFEK TERATOGEN KAKAO BUBUK PADA FETUS MENCIT PUTIH

JSTFI

Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology

Vol.,II No.1, Januari 2013

11

kemungkinan adanya cacat karena

pengaruh kakao bubuk. Penelitian ini

dilakukan selama masa gestasi pada mecit

putih betina dengan berbagai dosis.

Sejumlah kelainan pada skeletal dan

visceral akan diamati sebagai indikator

teratogen, di samping ada tidaknya kelainan

morfologis yang terjadi pada fetus.

METODOLOGI

Alat

Alat yang digunakan adalah kandang

pemeliharaan dan kandang perlakuan, pisau

bedah, gunting bedah, cawan petri, tisu

gulung, kaca arloji, timbangan analitik,

kertas millimeter blok, kaca pembesar,

pinset, beaker glass, gelas ukur, pipet tetes,

batang pengaduk, timbangan hewan,

kandang mencit, spatel, spuit, jarum oral,

wadah perendam fetus, wadah pewarnaan,

handscoon, masker dan kamera digital.

Bahan

Bahan yang digunakan adalah kakao

bubuk merek X yang sudah terdaftar di

BPOM RI dan memiliki SNI dengan kode

produksi 05032191, serta baik digunakan

sebelum 9 Januari 2014. Selain itu,

penelitian ini juga menggunakan bahan-

bahan lain seperti aquades, larutan Bouin’s

(formaldehid 14 %, asam pikrat jenuh,

asam asetat glacial) dan larutan alizarin

merah (KOH 1% dan alizarin merah 6

mg/L).

Hewan Percobaan :

Hewan percobaan yang digunakan

adalah mencit putih (Webster) betina yang

berumur lebih kurang 2 bulan dengan berat

badan lebih kurang 20-30 gram, sehat dan

belum pernah mengalami perlakuan

terhadap obat. Selain itu, mencit jantan juga

dibutuhkan untuk pengawinan. Mencit

jantan yang digunakan harus sehat dan

berumur lebih kurang 3 bulan.

Aklimatisasi Hewan Percobaan dan

Penentuan Daur Estrus

Aklimatisasi dilakukan selama 10

hari untuk membiasakan hewan berada

pada lingkungan percobaan. Makanan dan

minuman diberikan secukupnya, berat

badan ditimbang setiap hari dan diamati

tingkah lakunya. Selama aklimatisasi

dilakukan penentuan daur estrus dengan

mengamati vagina mencit secara visual.

Mencit dalam masa estrus ditandai dengan

vagina berwarna lebih merah dan bergetah.

Hewan yang digunakan dianggap sehat

apabila perubahan bobot badan tidak lebih

dari 10 %, secara visual menunjukkan

perilaku yang normal dan mempunyai daur

estrus yaitu 4 – 5 hari (Depkes RI, 1979;

Almahdy, 2012).

Perlakuan

Pengawinan hewan dilakukan pada

masa esrrus dengan perbandingan jantan

dan betina 1 : 4. Mencit jantan dimasukkan

ke kandang mencit betina pada sore hari

dan dipisahkan lagi besok paginya. Pada

Page 4: UJI EFEK TERATOGEN KAKAO BUBUK PADA FETUS MENCIT PUTIH

JSTFI

Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology

Vol.,II No.1, Januari 2013

12

pagi harinya dilakukan pemeriksaan sumbat

vagina. Sumbat vagina menandakan mencit

telah mengalami kopulasi dan berada hari

kehamilan ke-0. Mencit yang telah hamil

dipisahkan dan yang belum kawin dicampur

kembali dengan mencit jantan (Almahdy,

2011; Kauffman, 1992).

Pemberian sediaan uji kakao bubuk

dilakukan dengan jarum sonde secara

peroral. Mencit dibagi menjadi 4 kelompok,

dimana satu kelompok terdiri dari 5 ekor

mencit. Kelompok perlakuan kontrol diberi

aquadestilata steril. Dosis yang digunakan

untuk kelompok uji adalah 5,5 g/kg BB, 7

g/kg BB, dan 8,5 g/kg BB. Sediaan uji

diberikan 10 hari berturut-turut mulai hari

ke-enam sampai hari ke-lima belas

kehamilan.

Pengamatan Selama Pemberian Sediaan

Uji

Setiap hari dilakukan penimbangan

dan diamati kenaikan berat badan mencit.

Jika terjadi penurunan berat badan yang

drastis dan disertai pendarahan di sekitar

vagina, kemungkinan hewan tersebut

mengalami keguguran atau abortus, dengan

demikian hewan tersebut harus dibunuh dan

diperiksa. Hewan uji tidak digunakan

apabila sakit karena perlakuan atau karena

penyakit (Lu, 1995).

Pembuatan Larutan Alizarin Merah dan

Larutan Bouin’s

Larutan alizarin merah dibuat dengan

menambahkan 6 mg alizarin merah pada

satu liter larutan KOH 1 %. Larutan ini

digunakan untuk mewarnai skeletal dan

pertulangan mencit. Larutan Bouin’s dibuat

dengan melarutkan asam pikrat dalam air

panas dan dibuat jenuh, dan biarkan satu

malam. Kemudian ditambahkan

formaldehid 14 % dan asetat glasial

masing–masing dengan perbandingan

75:20:5. Larutan Bouin’s digunakan untuk

melihat bagian visceral fetus mencit

(Manson, 1982).

Laparatomi

Laparatomi dilakukan pada hari ke-

18 kehamilan. Mencit dibunuh dengan cara

dislokasi leher, kemudian dilakukan

laparatomi untuk mengeluarkan fetus

mencit dengan membedah bagian abdomen

ke arah atas sampai terlihat uterus yang

berisi fetus. Fetus dikeluarkan dengan

memotong uterus dan plasenta. Selanjutnya

diamati apakah terdapat tapak resorpsi yang

ditandai dengan adanya gumpalan merah

sebagai tempat tertanamnya fetus. Jumlah

fetus yang masih hidup dan fetus yang telah

mati dihitung pada masing – masing bagian

uterus, fetus. Setelah itu fetus dikeringkan

dengan tisu, berat masing – masing fetus

ditimbang untuk mengetahui berat rata–rata

kelahiran. Kemudian diamati ada tidaknya

kelainan secara visual, misalnya ekor, daun

telinga, kelopak mata, jumlah jari kaki

depan dan belakang (Wilson,1965).

Page 5: UJI EFEK TERATOGEN KAKAO BUBUK PADA FETUS MENCIT PUTIH

JSTFI

Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology

Vol.,II No.1, Januari 2013

13

Fiksasi dan Pengamatan Cacat

Morfologi

Setelah diamati secara visual,

sepertiga dari jumlah fetus dari satu induk

difiksasi dengan larutan Bouin’s selama 14

hari sampai berwarna kuning dan keras,

fetus dikeluarkan dan dikeringkan. Bagian

luar fetus yang diperiksa adalah telinga,

mata, kaki, dan ekor. Selanjutnya diamati

ada tidaknya celah pada langit – langit

dengan menyelipkan pisau bedah pada

geraham, dan kepalanya disayat menurut

bidang datar tepat di bagian tengah daun

telinga (Hayes, 2000).

Dua pertiga bagian lagi direndam

dengan larutan merah alizarin, dan

dibiarkan dua sampai tiga hari, sambil

sekali – kali digoyang sampai fetus menjadi

transparan dan akan terlihat tulang yang

berwarna merah. Kelainan tulang diamati

dan dihitung jumlahnya, kemudian fetus

dikeluarkan dan disimpan dalam larutan

yang terdiri dari etanol 70 %, gliserin, dan

formaldehid 14 %. Pengamatan dilakukan

terhadap tulang dada, tulang kaki, dan jari –

jari kaki; semua hasil pengamatan

dibandingkan dengan kontrol (Hayes,

2000).

Data yang dikumpulkan dari

penelitian ini berupa :

1. Berat badan induk mencit selama

kehamilan setelah diberi sediaan uji

sampai laparatomi

2. Jumlah fetus, jumlah fetus yang

hidup dan yang mati

3. Pengamatan berat badan fetus

4. Jenis cacat

5. Jumlah fetus yang cacat

6. Pengamatan terhadap hasil fiksasi

dengan larutan Bouin’s dan larutan

alizarin merah

Analisis Data

Data dari hasil penelitian ini

dianalisis secara statistik menggunakan

analisis variansi (ANOVA) satu arah untuk

parameter berat badan induk mencit, jumlah

fetus dan berat badan fetus. Jika hasil

signifikan, analisis dilanjutkan dengan

menggunakan uji wilayah berganda Duncan

(Duncan Multiple Range T-Test).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Pemberian kakao bubuk dengan dosis

5,5 g/Kg BB dan 7 g/Kg BB mempengaruhi

berat badan induk mencit selama

kehamilan. Data dari kelompok dosis 8,5

g/kg BB tidak diikutsertakan ke dalam

analisis varian satu arah dikarenakan tidak

ada pengulangan pada kelompok tersebut.

Rata-rata berat badan induk mencit selama

kehamilan pada kelompok kontrol, dosis

5,5 g/Kg BB, 7 g/Kg BB, 8,5 g/Kg BB

secara berturut-turut adalah 31,48 gram,

30,98 gram, 32,03 gram dan 36,62 gram.

Page 6: UJI EFEK TERATOGEN KAKAO BUBUK PADA FETUS MENCIT PUTIH

JSTFI

Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology

Vol.,II No.1, Januari 2013

14

Tabel 1. Berat Badan Rata-rata Induk Mencit Selama Kehamilan

Hari ke Berat Badan Induk Mencit (g)

D0 D1 D2 D3

6 25.58 27.6 30.10 29.2

7 26.96 27.4 30.16 29.34

8 27.08 27.6 31.20 29.42

9 28.22 28.16 31.26 33.85

10 28.66 28.5 30.70 33.25

11 29.62 29.3 31.06 33

12 30.20 30.58 31 37

13 31.08 31.16 31.14 39.2

14 32.96 32.56 32.26 39.5

15 34.68 33.9 32.24 41.8

16 36.26 35 33.48 43

17 38.00 35.3 35.4 43.5

18 40.00 35.66 36.47 44

X±SD 31.48±4.553 30.98±3.169 32.03±1.965 36.62±5.601 Keterangan :

D0 = kelompok kontrol,

D1 : Kelompok dosis 5.5 g/Kg BB,

D2 : Kelompokdosis 7 g/Kg BB,

D3 : Kelompok dosis 8.5 g/Kg BB

Pemberian kakao bubuk tidak

mempengaruhi jumlah rata-rata fetus secara

bermakna (F hitung < F tabel 0,05). Jumlah

rata-rata fetus terhadap kelompok kontrol,

kelompok dosis 5,5 g/kg BB, dan 7 g/kg

BB secara berturut-turut adalah 7 ekor, 9

ekor, dan 8 ekor, sedangkan kelompok

dosis 8.5 g/kg BB memiliki 9 ekor fetus

yang hanya berasal dari satu induk mencit,

sehingga jumlah fetus kelompok dosis ini

tidak bisa dirata-ratakan dan dihitung

standard deviasinya.

Pemberian kakao bubuk tidak

mempengaruhi berat badan rata-rata fetus

secara bermakna (F hitung < F tabel 0,05).

Berat badan rata-rata fetus terhadap

kelompok kontrol, kelompok dosis 5,5 g/kg

BB, dan 7 g/kg BB secara berturut-turut

adalah 1,006±0.236 gram; 0,902±0.165

gram, dan 0,786±0.289 gram, sedangkan

kelompok dosis 8,5 g/kg BB memilki rata-

rata berat fetus 0,743 yang hanya berasal

dari satu induk mencit sehingga standard

deviasinya tidak bisa ditentukan.

Pada pemberian sediaan uji pada

kelompok dosis 5,5 g/kg BB ditemukan 6

ekor fetus mati pada dua ekor induk mencit

yang berbeda. Tapak resorpsi ditemukan

pada tiga ekor induk mencit yang berbeda.

Lima ekor fetus dari dua ekor induk mencit

yang berbeda mengalami lambat

pertumbuhan. Pada pemberian sediaan uji

pada kelompok dosis 7 g/kg BB ditemukan

empat ekor fetus mati pada dua ekor induk

mencit yang berbeda. Tapak resorpsi

ditemukan pada dua ekor induk mencit

yang berbeda. Tiga ekor fetus dari dua ekor

induk mencit yang berbeda mengalami

lambat pertumbuhan.

Page 7: UJI EFEK TERATOGEN KAKAO BUBUK PADA FETUS MENCIT PUTIH

JSTFI

Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology

Vol.,II No.1, Januari 2013

15

Pada pemberian sediaan uji pada

kelompok dosis 8,5 g/kg BB ditemukan

satu ekor fetus mati dan tapak resorpsi dari

induk mencit yang sama. Empat ekor induk

mencit mengalami pendarahan. Pada

pengamatan hasil fiksasi fetus mencit

dengan larutan Alizarin merah terhadap

kelompok dosis 5,5 g/kg BB menunjukkan

pertulangan yang normal pada setiap

kelompok setelah dibandingkan dengan

kelompok kontrol. Pada dosis 7 g/kg BB

ditemukan tiga ekor fetus menunjukkan

pertulangan yang tidak normal yaitu tulang

rusuk yang tidak menyatu (unfused ribs).

Pada dosis 8,5 g/kg BB ditemukan tiga ekor

fetus yang juga mengalami unfused ribs

serta dua ekor fetus yang tidak memiliki

tulang ekor.

Pada pengamatan hasil fiksasi fetus

mencit dengan larutan Boiun’s terhadap

kelompok dosis 5,5 g/kg BB ditemukan

satu ekor fetus mengalami curling pada

ekor. Pada dosis 7 g/kg BB ditemukan

delapan ekor fetus dari empat ekor induk

berbeda mengalami curling pada ekor.

Namun, tidak ditemukan adanya celah

langit-langit (cleft palate) pada setiap fetus

pada masing-masing kelompok dosis

setelah dibandingkan dengan kelompok

kontrol.

Gambar 1. Foto fetus setelah laparotomi. A: Fetus yang mengalami kelainan tulang; B:

Tapak resorpsi; C: Induk mencit yang mengalami pendarahan; D: Fetus yang

mengalami lambat pertumbuhan dibandingkan dengan fetus normal; E:

Fetus yang mengalami lambat pertumbuhan setelah difiksasi dengan larutan

Bouin’s; F: Fetus yang mengalami curling pada ekor

Pembahasan

Pada penelitian ini telah dilakukan

uji teratogenitas dari kakao bubuk untuk

melihat keamanannya, serta melihat bentuk

yang tidak normal atau cacat pada fetus

yang mungkin ditimbulkan akibat

penggunaan kako bubuk tersebut. Sampel

yang digunakan adalah kakao bubuk

kemasan yang beredar di pasaran yang

Page 8: UJI EFEK TERATOGEN KAKAO BUBUK PADA FETUS MENCIT PUTIH

JSTFI

Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology

Vol.,II No.1, Januari 2013

16

sudah memiliki SNI tahun 2009. Kakao

bubuk banyak diolah menjadi berbagai

macam produk olahan cokelat seperti

permen, kue, biskuit dan aneka minuman

yang banyak diminati oleh masyarakat,

termasuk ibu hamil.

Kakao bubuk berbentuk serbuk yang

dapat larut dalam air membentuk koloid.

Koloid adalah campuran zat heterogen

antara dua zat atau lebih, dimana partikel-

partikel zat yang berukuran 1 nm-100 nm

tersebar merata dalam zat lain. Jika

didiamkan, campuran ini tidak memisah

dan juga tidak dapat disaring. Campuran

kakao bubuk dengan air secara makroskopis

terlihat homogen tapi partikel-partikel

kakao bubuk yang tersebar dalam air masih

dapat dibedakan dengan mikroskop ultra

(Shaw, 1992).

Kakao bubuk mengandung

teobromin sebesar 0,5% sampai 2,7%,

kafein lebih kurang 0,25%, serta teofilin

dalam jumlah kecil. Mereka termasuk

dalam golongan senyawa metilxantin. Di

samping itu, kakao juga mengandung

tiramin, feniletilenamin dan trigonellin

dalam jumlah kecil (Leung, 1980; Robbers,

1996). Di antara kelompok senyawa yang

dikandung kakao di atas, kafein dan

teobromin (kelompok metilxantin) telah

dilaporkan memiliki efek teratogen

(Santoso, 2004; Tarka, 1986b). Selain itu,

jumlah metilxantin dalam kakao bubuk

relatif lebih banyak dibandingkan

kandungan kimia yang lain, sehingga

metilxantin dalam kakao bubuk dicurigai

dapat menyebabkan teratogen. Metilxantin

diketahui dapat melewati sawar otak dan

plasenta. Dari segi farmakokinetik, waktu

paruh metilxantin normalnya 3 jam. Pada

trimester pertama, waktu paruh metilxantin

meningkat menjadi 5,6 jam dan terus

meningkat sampai 18 jam pada minggu ke-

35 kehamilan (Golding, 1995). Perubahan

farmakokinetik ini terjadi karena perubahan

jumlah hormon steroid (estrogen dan

progesteron) selama kehamilan (Betsch,

1990). Hal ini akan menyebabkan

metilxantin berada dalam darah dalam

waktu yang cukup lama, sehingga paparan

metilxantin terhadap fetus juga lebih lama

dan akan memicu kelainan-kelainan.

Dosis kakao bubuk yang digunakan

pada penelitian ini diambil berdekatan

dengan dosis yang digunakan pada uji

teratogenitas kakao bubuk pada kelinci

putih (Tarka, 1986a). Tarka melakukan uji

teratogenitas kakao bubuk pada dosis 0,9

g/kg BB, 1,8 g/kg BB, dan 2,6 g/kg BB

kelinci yang bila dikonversikan ke mencit

setara dengan 2,7 g/kg BB, 5,4 g/kg BB,

dan 7,8 g/kg BB mencit. Dari hasil

penelitian Tarka, kakao bubuk yang

diberikan selama masa kehamilan kelinci

putih tidak menyebabkan teratogen, tetapi

pada dosis 2,6 g/kg BB dapat menyebabkan

penundaan pembentukan tulang. Oleh

karena itu, dosis kakao bubuk untuk uji

teratogenitas pada mencit diambil lebih

tinggi daripada dosis pada kelinci untuk

melihat efek teratogen yang mungkin

terjadi. Dosis yang diambil untuk uji

Page 9: UJI EFEK TERATOGEN KAKAO BUBUK PADA FETUS MENCIT PUTIH

JSTFI

Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology

Vol.,II No.1, Januari 2013

17

teratogenitas kakao bubuk pada mencit

adalah 5,5 g/kg BB, 7 g/kg BB, dan 8,5

g/kg BB mencit yang bila dikonversikan ke

manusia setara dengan 0,61 g/kg BB, 0,78

g/kg BB, dan 0,94 g/kg BB, sedangkan

konsumsi kakao yang lazim pada manusia

adalah sebesar 2,11 g/hari atau setara

dengan 0,03 g/kg BB/hari (Buijsse, 2006).

Hewan percobaan yang digunakan

pada penelitian ini adalah mencit putih

betina dengan umur kurang lebih dua bulan,

memiliki berat badan antara 20-30 gram

dan belum pernah melahirkan. Hal ini

didasarkan pada teori yang menyatakan

bahwa anak generasi pertama lebih banyak

daripada anak generasi berikutnya. Pada

penelitian ini digunakan mencit putih

sebagai hewan percobaan karena memiliki

masa kehamilan yang singkat, jumlah fetus

yang banyak, penanganannya mudah,

harganya yang relatif murah dan mudah

diperoleh. Di samping itu, dalam beberapa

penelitian disebutkan bahwa mencit lebih

rentan terhadap teratogen dibanding hewan

percobaan lain. Selain mencit, hewan lain

juga dapat digunakan untuk uji

teratogenitas yaitu hamster, tikus, kelinci,

kucing, kera, atau babi (Manson, 1982; Lu,

1995).

Sebelum diberi perlakuan, mencit

diaklimatisasi selama 10 hari untuk

membiasakan hewan pada kondisi

percobaan dan menghindari stress yang

dapat mempengaruhi hasil akhir penelitian.

Selama aklimatisasi dilakukan

penimbangan berat badan, pengamatan daur

estrus dan pengamatan tingkah laku.

Berdasarkan Farmakope Indonesia Edisi III,

hewan dikatakan sehat bila tidak

mengalami perubahan berat badan lebih

dari 10% dan selama pemeliharaan

menunjukkan perilaku yang normal. Dari

hasil aklimatisasi diperoleh persen

perubahan berat badan rata-rata mencit

kelompok kontrol, dosis 5,5 g/kg BB, 7

g/kg BB, dan 8,5 g/kg BB secara berturut-

turut adalah 4,706%, 3,356%, 6,454%, dan

5,622%. Hasil ini menunjukkan bahwa

mencit yang akan digunakan untuk

penelitian memenuhi syarat Farmakope

Indonesia Edisi III dan tergolong sehat.

Selain itu, hewan betina yang digunakan

harus memiliki daur estrus yang teratur. Hal

ini perlu dilakukan agar tidak terjadi

kehamilan semu walaupun ditemukan

sumbat vagina pada waktu pengawinannya.

Pengamatan daur estrus dapat dilakukan

secara visual dimana vagina mencit betina

yang berada dalam masa estrus akan

berwarna merah muda dan tampak sedikit

basah (Depkes RI, 1979; Almahdy, 2012).

Pada penelitian ini, dua puluh ekor

mencit betina yang telah hamil (ditandai

dengan adanya sumbat vagina)

dikelompokkan menjadi 4 kelompok.

Masing-masing kelompok terdiri dari lima

ekor mencit sebagai ulangan. Tiap

kelompok perlakuan memiliki perbedaan

pada dosis yang diberikan. Kelompok

pertama sebagai kontrol tidak diberikan

kakao bubuk, hanya diberikan aquadest.

Kelompok kedua diberikan kakao bubuk

Page 10: UJI EFEK TERATOGEN KAKAO BUBUK PADA FETUS MENCIT PUTIH

JSTFI

Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology

Vol.,II No.1, Januari 2013

18

dengan dosis 5,5 g/kg BB. Kelompok

ketiga diberikan kakao bubuk dengan dosis

7 g/kg BB. Kelompok keempat diberikan

kakao bubuk dengan dosis 8,5 g/kg BB.

Pemberian sediaan uji dilakukan

pada hari ke-6 sampai hari ke-15 kehamilan

secara per oral, karena pada masa ini fetus

berada pada masa organogenesis yang

merupakan masa yang sangat rentan

terhadap senyawa teratogenik. Pada masa

organogenesis ini, organ-organ dari embrio

seperti mata, otak, jantung, rangka,

urogenital, dan sebagainya mulai terbentuk.

Periode ini disebut periode kritis kehamilan

(Harbinson, 2001). Pada hari ke-1 sampai

hari ke-5 kehamilan tidak diberikan sediaan

uji karena pada saat itu terdapat sifat

totipotensi pada janin yang dapat

memperbaiki jaringan yang rusak. Pada hari

ke-16 dan seterusnya, senyawa teratogen

tidak menyebabkan cacat morfologis, tetapi

mengakibatkan kelainan fungsional yang

tidak dapat dideteksi segera setelah

kelahiran (Lu, 1995).

Pengamatan terhadap kenaikan berat

badan induk selama kehamilan dilakukan

untuk melihat keadaan gizi dan kesehatan

induk secara umum. Pada periode ini

dilakukan penimbangan berat badan yang

dimulai dari saat pemberian senyawa

sampai laparatomi yang bertujuan untuk

melihat bagaimana pengaruh senyawa

terhadap induk mencit. Pada hari ke-6

sampai hari ke-8 kehamilan belum terjadi

kenaikan berat badan induk mencit yang

signifikan dengan berat badan rata-rata

28,58 gram. Kenaikan berat badan induk

mencit cenderung meningkat pada hari ke-

11 sampai hari ke-18 kehamilan dengan

berat badan rata-rata 30.75 gram sampai

39,03 gram. Kenaikan ini disebabkan

karena berkembangnya fetus mencit dan

bertambahnya volume cairan amnion,

plasenta, serta selaput amnion (Guyton,

1990). Selain itu, jumlah fetus juga

mempengaruhi kenaikan berat badan induk

mencit.

Pengamatan terhadap induk mencit

dilakukan selama pemberian kakao bubuk

sampai laparatomi. Hasil menunjukkan

pemberian kakao bubuk pada kelompok uji

mempengaruhi berat badan induk mencit

selama kehamilan. Rata-rata berat badan

induk mencit selama kehamilan pada

kelompok kontrol, dosis 5,5 g/kg BB, 7

g/kg BB, 8,5 g/kg BB secara berturut-turut

adalah 31,48 gram, 30,98 gram, 32,03 gram

dan 36,62 gram. Akan tetapi, ditemukan

satu ekor induk yang diberikan kakao

bubuk dosis 7 g/kg BB tidak mengalami

peningkatan berat badan selama kehamilan.

Pada hari ke-18 kehamilan, induk mencit

ini memilki berat badan 25 gram, jauh lebih

rendah daripada berat badan induk mencit

pada umumnya (39,8 gram). Laparatomi

tetap dilakukan pada induk mencit tersebut

dan ditemukan tiga ekor fetus mati dan

ukurannya lebih kecil dibandingkan fetus

kontrol, serta ditemukan delapan tapak

resorpsi. Penurunan berat badan induk

mencit ini bisa dikarenakan pemberian

kakao bubuk dengan jumlah yang tidak

Page 11: UJI EFEK TERATOGEN KAKAO BUBUK PADA FETUS MENCIT PUTIH

JSTFI

Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology

Vol.,II No.1, Januari 2013

19

sedikit sehingga induk mencit tersebut

mengalami perubahan fisik dan aktivitas.

Perubahan ini ditandai dengan gerak induk

mencit yang lebih lamban dari biasanya dan

nafas yang tersengal-sengal. Pengaruh

lingkungan sekitar mencit dan daya tahan

tubuh mencit itu sendiri yang kurang baik

juga bisa menjadi penyebab induk mencit

tersebut mengalami perubahan fisik dan

aktivitas. Keadaan ini menyebabkan fetus

di dalam rahimnya tidak berkembang dan

berat badannya berkurang. Karena hal

tersebut hanya terjadi pada satu ekor induk

mencit saja, bisa dikatakan bahwa kakao

bubuk toksik terhadap induk mencit ini.

Pada dosis 8,5 g/kg BB, satu ekor

mencit mengalami pendarahan pada hari

ke-7 kehamilan, dua ekor mencit

mengalami pendarahan pada hari ke-8

kehamilan, dan satu ekor mencit mengalami

pendarahan pada hari ke-11 kehamilan.

Pendarahan ini disebabkan kondisi

patologis atau ketidakseimbangan osmotik

yang disebabkan gangguan tekanan dan

viskositas cairan pada embrio yang berbeda

antara plasma dan ruang ekstravaskular atau

cairan ekstra dan intra embrionik (Lu,

1995). Ketidakseimbangan osmotik ini

disebabkan oleh konsentrasi metilxantin

yang ada di pembuluh darah fetus tinggi.

Hal ini dikarenakan dosis kakao bubuk

yang diberikan sangat tinggi dan

metabolisme tubuh fetus belum sempurna,

sehingga waktu paruh metilxantin panjang

dan bertumpuk di darah. Konsentrasi

metilxantin yang tinggi di darah

menyebabkan cairan dari sel berdifusi ke

pembuluh darah. Cairan di pembuluh darah

menumpuk dan menyebabkan pembuluh

darah pecah sehingga terjadi keguguran.

Metilxantin dapat menghambat enzim

fosfodiesterase yang menghidrolisis cAMP,

sehingga jumlah cAMP meningkat (Beck,

1991). Peningkatan cAMP menyebabkan

pembuluh darah mengalami dilatasi

(Katzung, 2004). Hal ini juga bisa menjadi

penyebab terjadinya pendarahan.

Metilxantin yang ada di darah akan

menyebabkan pembuluh darah melebar. Hal

ini mengakibatkan darah sedikit sampai ke

fetus dan menyebabkan fetus tidak

berkembang. Pada akhirnya fetus akan mati

dan meluruh menyebabkan pendarahan.

Untuk melihat pengaruh sediaan uji

terhadap fetus mencit, maka pada hari ke-

18 kehamilan fetus dikeluarkan dari uterus

induk setelah dilaparatomi. Hal ini

dilakukan karena mencit yang melahirkan

secara spontan cenderung memakan

keturunannya yang cacat, mati, atau hampir

mati sehingga dapat mempengaruhi hasil

perhitungan data. Di samping itu,

laparatomi dilakukan dengan tujuan untuk

mengamati ada atau tidaknya tapak resorpsi

yaitu gumpalan merah pada uterus sebagai

bekas tempat tertanamnya fetus (Wilson,

1978).

Pada kelompok dosis 5,5 g/kg BB

ditemukan lima tapak resopsi pada tiga

induk mencit yang berbeda, enam ekor

fetus mati saat dikeluarkan dari uterus

induknya, serta ditemukan lima ekor fetus

Page 12: UJI EFEK TERATOGEN KAKAO BUBUK PADA FETUS MENCIT PUTIH

JSTFI

Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology

Vol.,II No.1, Januari 2013

20

yang mengalami lambat pertumbuhan (late

of growth). Pada dosis 7 g/kg BB

ditemukan sembilan tapak resorpsi pada

dua induk mencit yang berbeda, empat ekor

fetus mati dari dua induk mencit yang

berbeda, serta ditemukan tiga ekor fetus

yang mengalami lambat pertumbuhan. Pada

kelompok dosis 8,5 g/kg BB ditemukan

satu tapak resopsi dan satu ekor fetus lahir

mati. Lahir mati dicirikan dengan tidak

adanya pergerakan fetus saat dikeluarkan

dari uterus (Almahdy, 2011). Pada

kelompok kontrol ditemukan dua ekor fetus

mati dikarenakan adanya kerentanan

individu terhadap lingkungan, sedangkan

fetus mencit lainnya berada dalam keadaan

normal. Dalam hal ini, kematian fetus saat

lahir tidak terjadi pada semua fetus dari

induk mencit yang sama. Matinya fetus

mencit diduga disebabkan oleh adanya

faktor kerentanan genetik (kepekaan) dari

fetus tersebut sebagai individu terhadap

senyawa-senyawa yang terdapat pada kakao

bubuk. Adanya tapak resorpsi berupa

gumpalan merah yang tertanam pada uterus

disebabkan oleh pengaruh pemberian kakao

pada masa organogenesis. Pada masa ini

tidak terdapat lagi sifat totipotensi sehingga

tidak terjadi perbaikan kerusakan pada

jaringan serta tidak terjadi perkembangan

selanjutnya. Akibatnya, fetus mati dan

terbentuk gumpalan merah.

Ditemukannya fetus yang mengalami

late of growth, kematian dan tapak resorpsi

disebabkan adanya gangguan pembelahan

sel. Metilxantin dapat menghambat

aktivitas enzim fosfodiesterase yang

menghidrolisis cAMP, sehingga hidrolisis

cAMP terhambat dan berakibat peningkatan

konsentrasi cAMP dalam sel dan jaringan

fetus (Beck, 1991). Konsentrasi cAMP erat

hubungannya dengan pertumbuhan sel.

Penurunan konsentrasi cAMP diikuti oleh

akselerasi pertumbuhan, sebaliknya

peningkatan konsentrasi cAMP dapat

menghambat pertumbuhan sel (Pozner,

1986).

Hasil pengamatan terhadap rata-rata

jumlah fetus dapat dilihat pada lampiran.

Pemberian kakao bubuk dosis 5,5 g/kg BB,

dan dosis 7 g/kg BB secara berturut-turut

menghasilkan rata-rata jumlah fetus 9 ekor

dan 8 ekor. Sedangkan pemberian kakao

bubuk dosis 8,5 g/kg BB menghasilkan 9

ekor fetus yang hanya berasal dari satu ekor

induk Hal ini dikarenakan hanya satu induk

yang berhasil hamil sampai hari ke-18.

Akan tetapi, jumlah rata-rata fetus

kelompok dosis 5,5 dan 7 g/kg BB tidak

berbeda secara nyata dengan jumlah rata-

rata fetus kelompok kontrol. Dengan kata

lain, secara statisika menggunakan analisa

varian satu arah dapat dikatakan bahwa

pemberian kakao bubuk tidak

mempengaruhi jumlah fetus mencit secara

bermakna.

Pemberian kakao bubuk terhadap

induk mencit tidak mempengaruhi berat

badan rata-rata fetus secara bermakna (F

hitung < F tabel 0,05). Berat badan rata-rata

fetus terhadap kelompok kontrol, kelompok

dosis 5,5 g/kg BB dan dosis 7 g/kg BB

Page 13: UJI EFEK TERATOGEN KAKAO BUBUK PADA FETUS MENCIT PUTIH

JSTFI

Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology

Vol.,II No.1, Januari 2013

21

secara berturut-turut adalah 1,006±0,236

gram; 0,902±0,165 gram, dan 0,786±0,289

gram. Sedangkan berat badan rata-rata fetus

dosis 8,5 g/kg BB sebesar 0,743 gram.

Standar deviasi tidak dapat dihitung karena

berat badan rata-rata ini hanya berasal dari

satu ekor induk. Pengamatan terhadap berat

badan fetus kurang dapat menunjukkan efek

kecacatan karena berat badan fetus

dipengaruhi oleh jumlah fetus dalam satu

induk, dimana semakin banyak jumlah fetus

maka berat badan masing-masing fetus

akan semakin kecil (Almahdy, 2010).

Dari hasil perendaman dengan

larutan alizarin merah dapat diamati bentuk

kelainan tulang fetus. Pada fetus normal ada

tujuh tulang serviks, tiga belas tulang

toraks, enam tulang lumbal, empat tulang

sacral dan dua atau tiga tulang kaudal.

Semua diamati setelah fetus direndam

dalam larutan merah alizarin – KOH 1 %

yang menyebabkan fetus menjadi

transparan dan tulang berwarna merah tua

sehingga dapat diamati bentuk tulangnya.

Pada dosis 7 g/kg BB ditemukan tiga ekor

fetus menunjukkan pertulangan yang tidak

normal yaitu tulang rusuk yang tidak

menyatu (unfused ribs). Pada dosis 8,5 g/kg

BB ditemukan tiga ekor fetus yang juga

mengalami unfused ribs serta dua ekor fetus

tidak memiliki tulang ekor. Tidak

memisahnya tulang rusuk (unfused ribs)

dan tidak adanya tulang ekor yang ditemui

pada penelitian ini bisa dipengaruhi oleh

metilxantin yang dikandung kakao bubuk

yang dapat meningkatkan konsentrasi

cAMP dalam sel. Di pusat pertulangan

terdapat kartilago yang mengalami

kalsifikasi (Ham, 1979). Kalsifikasi tulang

dapat terjadi apabila kondrosit mengalami

hipertrofi, lingkungan basa, adanya

substansi interseluler organik yang

berafinitas terhadap garam kalsium, adanya

enzim fosfatase alkalin, dan cukup ion

kalsium serta fosfat dalam cairan tubuh

(Subowo, 1992). Jika salah satu kondisi

tersebut tidak terpenuhi karena gangguan

fungsional pada sel akibat peningkatan

cAMP di dalam sel dan jaringan kartilago,

maka kalsifikasi tulang terhambat dan

menyebabkan perkembangan tulang tidak

serentak. Hal ini dapat menyebabkan tidak

menyatunya tulang rusuk (unfused ribs).

Fetus mencit yang direndam dengan

larutan Bouin’s akan keras dan berwarna

kuning serta dapat digunakan untuk

mengamati tubuh bagian luar dan visceral.

Formaldehid dan asam asetat yang terdapat

didalam larutan Bouin’s akan mengawetkan

jaringan embrio. Proses kimiawi yang

terjadi dalam hal ini bersifat komplek dan

belum dimengerti sepenuhnya. Sedangkan

asam pikrat akan mewarnai fetus mencit

sehingga berwarna kuning dan lebih mudah

diamati. Parameter yang diamati antara lain

kelopak mata, daun telinga, ekor, kaki dan

jari-jari kaki, serta celah pada langit-langit.

Jeniscacat yang terjadi tergantung pada

periode pertumbuhan, karena tidak semua

organ rentan pada saat yang sama dari suatu

kehamilan. Umumnya embrio mencit rentan

pada hari ke-8 sampai hari ke-12

Page 14: UJI EFEK TERATOGEN KAKAO BUBUK PADA FETUS MENCIT PUTIH

JSTFI

Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology

Vol.,II No.1, Januari 2013

22

kehamilan. Cacat pada mata paling rentan

pada hari ke-9 kehamilan yaitu 40 % dari

cacat seluruh organ, pada hari ke-10 hanya

33%. Cacat pada telinga hari ke-10

kehamilan (35%), jari-jari dan ekor rentan

pada hari ke-9, sedang pada hari ke-10

kehamilan kemungkinan cacat jari-jari dan

ekor hanya 18% dan cacat skeletal rentan

pada hari ke-9 sampai hari ke-10 kehamilan

(Almahdy, 2010; Manson 1982). Kelainan

morfologi tidak terjadi pada semua fetus

dalam satu kelompok bahkan dalam satu

induk yang sama. Hal ini disebabkan karena

adanya kerentanan genetik antar individu

walaupun berasal dari induk yang sama

(Harbinson, 2001).

Pada pengamatan hasil fiksasi fetus

mencit dengan larutan Bouin’s terhadap

kelompok dosis 5,5 g/kg BB ditemukan

satu ekor fetus mengalami curling pada

ekor. Pada dosis 7 g/kg BB ditemukan

delapan ekor fetus dari empat ekor induk

berbeda mengalami curling pada ekor.

Namun, tidak ditemukan adanya celah

langit-langit (cleft palate) pada setiap fetus

pada masing-masing kelompok dosis

setelah dibandingkan dengan kelompok

kontrol. Pengamatan cleft palate dilakukan

dengan menyayat bagian kepala mulai dari

daerah mulut kearah belakang tepat

pertengahan daun telinga sampai kepalanya

terpisah menjadi dua bagian. Buang lidah

fetus dan amati ada tidaknya cleft palate

pada bagian tersebut. Senyawa steroid

diketahui dapat menyebabkan cleft palate

jika dikonsumsi selama trimester pertama

kehamilan (Pradat, 2003).

Dari hasil penelitian teratogenitas,

diperoleh keterangan bahwa kakao bubuk

dengan dosis 5,5 g/kg BB mencit atau

setara dengan 0,61 g/kg BB manusia sudah

berpotensi teratogen, yaitu menyebabkan

tapak resorpsi, kematian fetus, kelainan

pada ekor dan lambat pertumbuhan. Kakao

bubuk dosis 7 g/kg BB mencit dan dosis 8,5

g/kg BB mencit juga menunjukkan efek

yang hampir sama, bahkan lebih parah.

Potensi teratogen kakao bubuk ini belum

dapat dipastikan karena adanya kerentanan

antar spesies dan kerentanan antar individu

dari induk yang sama atau juga karena

perbedaan dalam sifat farmakokinetik dan

metabolisme. Selain itu, cacat juga dapat

disebabkan oleh faktor lain seperti

lingkungan, infeksi tertentu dan defisiensi

vitamin. Namun, dari data di atas dapat

disimpulkan bahwa kakao bubuk memiliki

potensi teratogen dan data dari kajian

epidemiologi pada manusia belum

dijumpai. Sehingga kakao bubuk dapat

dikategorikan sebagai bahan yang termasuk

kategori C. Bahan yang termasuk kategori

C adalah bahan/senyawa yang

memperlihatkan efek teratogen saat

diujikan pada hewan, tapi belum ada

laporan efek teratogennya pada manusia

(FDA, 1979).

Page 15: UJI EFEK TERATOGEN KAKAO BUBUK PADA FETUS MENCIT PUTIH

JSTFI

Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology

Vol.,II No.1, Januari 2013

23

SIMPULAN

Simpulan

Dari uji teratogenitas kakao bubuk

yang dilakukan secara in vivo dapat diambil

kesimpulan bahwa :

1. Kakao bubuk berpotensi

menyebabkan teratogen pada

beberapa fetus pada dosis 5,5 g/kg

BB, 7 g/kg BB, dan 8,5 g/kg BB.

2. Efek teratogen yang ditemukan

pada sejumlah fetus berupa tidak

bersatunya tulang rusuk (unfused

ribs), tidak terbentuknya tulang

ekor, lambat pertumbuhan, curling

pada ekor dan tapak resorpsi.

3. Kakao bubuk pada dosis 8,5 g/kg

BB mencit dapat menyebabkan

pendarahan pada induk mencit.

Saran

Bagi peneliti selanjutnya, disarankan

untuk melakukan penelitian lebih lanjut

tentang potensi teratogen kakao bubuk pada

dosis yang lebih rendah daripada dosis pada

penelitian ini untuk mengetahui sampai

sejauh mana kakao bubuk aman

dikonsumsi. Selain itu, uji teratogenik

kakao bubuk perlu dilakukan pada spesies

hewan selain mencit dan kelinci karena

adanya sifat kerentanan antar spesies.

DAFTAR PUSTAKA

Almahdy, A. 2012. Teratologi

eksperimental. Padang : Universitas

Andalas Press.

Almahdy, A. 2011. Uji aktivitas vitamin A

terhadap efek teratogen warfarin

pada fetus mencit putih. Medan :

USU Press.

Almahdy, A. 2010. “Pengaruh ekstrak

gambir (Uncaria gambier Roxb.)

terhadap fetus dari mencit hamil

yang diinduksi alkohol”. Majalah

Farmasi Indonesia, 21(2), 115 –

120.

Almahdy, A., Arifin, H. & Delvita, V.

2007. “Pengaruh pemberian

vitamin C terhadap fetus pada

mencit diabetes”. Jurnal Sains dan

Teknologi Farmasi, 12(1), 32-40.

Badan Standardisasi Nasional. 2009. SNI

01-3747-2009 Kakao Bubuk.

Jakarta: BSN.

Beck, S.L. & Urbano, C.M. 1991.

“Potentiating effect of caffeine on

the terratogenicity of acetazolamide

in C57BL/6J mice”. Teratology,

44(3), 24- 250.

Betsch, B. 1990. “The Pharmacokinetic

model and distribution pattern of

new sexual-steroid-hormone-linked

anticancer agents”. J Cancer Res

Clin Oncol, 116(5), 467-469.

Buijsse, B., Feskens, E.J., Kok, F.J.,

Kromhout, D. 2006. “Cocoa intake,

blood pressure and cardiovascular

mortality: the Zutphen elderly

study”. Arch Intern Med, 166(4),

411-417.

Cooper, K.A., Donovan, J.L., Waterhouse,

A.L. & Williamson, G. 2008.

Page 16: UJI EFEK TERATOGEN KAKAO BUBUK PADA FETUS MENCIT PUTIH

JSTFI

Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology

Vol.,II No.1, Januari 2013

24

“Cocoa and health: a decade of

research”. British Journal of

Nutrition, 99, 1-11.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

1979. Farmakope Indonesia. (Edisi

III). Jakarta : Departemen

Kesehatan Republik Indonesia.

Food and Drug Administration. 1980.

Pregnancy categories. Federal

Register. 44:37434-67.

Golding, J. 1995. “Reproduction and

caffeine consumption: a literature

review”. Early Hum Dev, 43(1), 1-

14.

Guyton, A.C. 1990. Fisiologi kedokteran.

Penerjemah: A. Dharma. Jakarta:

Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Hafez, E.S.E. 1970. Reproduction and

breeding technique of laboratory

animals. Philadelphia : Lea and

Febiger.

Ham, A.W. & Cormack, D.H. 1979.

Histology. (8th ed). Philadelphia:

J.B. Lippincott Company.

Harbinson, R.D. 2001. The basic science of

poison cassaret and doull’s

toxicology. New York: Macmillan

Publishing Co.Inc

Hayes, A.W. 2000. Principles and method

of toxicology (4th ed). USA :

Taylor and Francis.

Indarti, E. 2007. “Efek pemanasan terhadap

rendemen lemak pada proses

pengepresan biji kakao”. Jurnal

Rekayasa Kimia dan Lingkungan,

6(2), 50-54.

Katzung, B.G. 2004. Basic and clinical

pharmacology. (9th Ed). San

Fransisco: Mc Graw Hill Medical.

Katzung, B.G. 1998. Farmakologi dasar

dan klinik. (Edisi VI). Penerjemah:

Staf Dosen Farmakologi Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia.

Jakarta : EGC.

Kauffman, M.H. 1992. The atlas of mouse

development. London : Academic

Press Limited.

Landau, S.I. 1986. International dictionary

of medicine and biology. New York

: Wiley.

Leung, A.Y. & Foster, S. 1980.

Encyclopedia of common natural

ingredients used in food, drugs, and

cosmetics. (2nd ed). New York:

John Wiley and Sons.

Loomis, T.A. & Hayes, A.W. 1996.

Essentials of toxicology. (4th ed).

San Diego : Academic Press.

Lu, F.C. 1995. Toksikologi dasar (Edisi II).

Penerjemah: E. Nugroho. Chicago :

University of Chicago Press.

MAFF. 1998. Survey of caffeine and other

methylxantines in energy drinks

and other caffeine-containing

products (updated). Food

Surveillance Information Sheet

144.

Manson, J.M., Zenick, H., & Costlow, R.D.

1982. Teratology test methods for

laboratory animals. New York :

Ravent press.

Page 17: UJI EFEK TERATOGEN KAKAO BUBUK PADA FETUS MENCIT PUTIH

JSTFI

Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology

Vol.,II No.1, Januari 2013

25

Minifie, B.W. 1999. Chocolate, cocoa and

confectionery science and

technology. (3rd ed). New York :

The AVI Publ.

Misnawi. 2005. “Peranan pengolahan

terhadap pembentukan citarasa

cokelat”. Warta Pusat Penelitian

Kopi dan Kakao, 21(3).

Nalbandov, A.V. 1990. Fisiologi

reproduksi pada mamalia dan

unggas (Edisi III). Jakarta :

Universitas Indonesia Press.

Nasution, Z., Ciptadi, W., & Laksmi, B.S.

1985. Pengolahan coklat

agroindustri. Bogor : IPB-Press.

Pozner, J., Papatestas, A.E., Fagerstrom, R.,

Schwarts, I., Saevits, J., Feinberg,

M., & Aufses, A.H. 1986.

Association of tumor differentiation

with caffeine and coffee intake in

women with breast cancer. Surgery,

100(3), 482-488.

Poedjiwidodo, Y. 1996. Sambung samping

kakao. Ungaran : Trubus

Agriwidya.

Pradat, P., Robert-Gnansia E., Di Tanna,

G.L., Rosano, A., Lisi, A., &

Mastroiacovo, P. 2003. First

trimester exposure to

corticosteroids and oral clefts. Birth

Defects Res A Clin Mol Teratol,

67(12), 968-70.

Robbers, J.E., Speedie, M.K., & Tyler, V.E.

1996. Pharmacognosy and

pharmacobiotechnology .

Baltimore: Williams & Wilkins.

Roberts, S.J. 1971. Veterinary obstetrics &

genital diseases (Theriogenology).

New York : Ithaca

Rohan, T.A. 1963. Processing of raw cocoa

for the market. Roma: FAO of

United Nations.

Sadler, T.W. 1997. Embriologi kedokteran

langman. (Edisi VII). Alih Bahasa

Joko Suyono. Editor D.H. Ronardy.

Jakarta : EGC.

Santoso, H.B. 2004. “Kelainan struktur

anatomi skeleton fetus mencit

akibat kafein”. Bioscientiae, 1, 23-

30.

Shaw, D.J. 1992. Introduction to colloid

and surface chemistry. (4th ed).

London : Butterworth-Heinemann.

Silalahi, J. 1994. “Sekilas toksikologi:

senyawa amin bioaktif yang

terdapat dalam makanan”. Media

Farmasi, 2(1), 19-25.

Smit, H.J., Gaffan, E,A. & Rogers, P.G.

2004. “Methylxanthines are the

phsycho-pharmacologically active

constituent of chocolate”.

Phsychopharmacology, 176, 412-

419.

Spillane, J. 1995. Komoditi kakao, peranan

dalam perekonomian Indonesia.

Yogyakarta : Kanisius.

Stavric, B. 1998. “Methylxanthines :

toxicity to humans. 3.

Theobromine, paraxanthine and the

combined effects of

methylxantines”. Food Chem

Toxicol, 26, 725-733.

Page 18: UJI EFEK TERATOGEN KAKAO BUBUK PADA FETUS MENCIT PUTIH

JSTFI

Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology

Vol.,II No.1, Januari 2013

26

Susanto, T. & Saneto, B. 1994. Teknologi

pengolahan hasil pertanian.

Surabaya : Bina Ilmu.

Subowo. 1992. Histologi umum. Jakarta :

Bumi Aksara.

Tarka, S.M.J. 1982. “The toxicology of

cocoa and methylxanthines: a

review of the literature”. CRC Crit

Rev Toxicol, 9, 275–312.

Tarka, S.M.J., Applebaum, R.S., &

Borzelleca, J.F. 1986a. “Evaluation

of the teratogenic potential of cocoa

powder and theobromine in New

Zealand White rabbits”. Food

Chem Toxicol, 24(5), 363-74.

Tarka, S.M.J., Applebaum, R.S., &

Borzelleca, J.F. 1986b. “Evaluation

of perinatal, postnatal and

teratogenic effects of cocoa powder

and theobromine in Sprague-

Dawley/CD Rats”. Food Chem

Toxicol, 24(5), 375-82.

Tramontano, W.A., McGinley, P.A.,

Ciancaglini, E.F., & Evans, L.S.

1986. “A survey of trigonelline

concentrations in dry seeds of the

dicotyledonae”. Environt Exp Bot,

26(3), 197-205.

USDA. 1997. Foods commonly eaten in the

United States. Quantities consumed

per eating occasion and in a day,

1989-91. United States Department

of Agriculture Report No.NTIS

PB98-111719.

Wahyudi, T., Panggabean, T.R., &

Pujiyanto. 2009. Panduan lengkap

kakao. Jakarta : Penebar Swadaya.

Widyotomo, S., Mulato, S., & Handaka.

2004. “Mengenal lebih dalam

teknologi pengolahan biji kakao”.

Warta Penelitian dan

Pengembangan Pertanian, 26(2),

5-6.

Wilson, J.G & J. Warkany. 1965.

Teratology principles and

techniques. Chicago: University of

Chicago Press.

Wilson, J.G. & Fraser, F.C. 1978.

Handbook of teratology : General

principle and etiology. New York :

Plenum Press.

Winarno, F.G., Fardiaz, S., & Fardiaz, D.

1980. Pengantar teknologi pangan.

Jakarta : Gramedia.

Yatim, W. 1994. Reproduksi dan

embriologi. Bandung: Tarsito.

Yusianto, H. W., & Wahyuni, T. 1997.

“Mutu dan pola citarasa beberapa

klon kakao lindak”. Pelita

Perkebunan, 13(3), 171-187.

Zhou, J., Chan, L., Zhou, S. 2012.

“Trigonelline : a plant with

therapeutic potential for diabetes

and central nervous system

disease”. Curr Med Chem, 19(21),

3523-3531.