ujian presentasi evidence based practice
TRANSCRIPT
EVIDENCE BASED PRACTICE
EVALUATION OF ENDOTRACHEAL SUCTIONING PRACTICES OF CRITICAL
CARE NURSES : AN OBSERVATIONAL CORRELATION STUDY
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Residensi
Oleh:
ROHEMAN
NPM : 220120110531
MAGISTER ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN BANDUNG
MEI 2013
BAB I
PENDAHULUAN
Pelayanan kesehatan terutama pelayanan keperawatan di pediatric intensive care unit
rumah sakit sangat tergantung kepada pemberi pelayanan itu sendiri dimana pelayanannya
melibatkan multidisiplin dan dilaksanakan secara interdisipliner antara berbagai profesi yang
telibat didalamnya. Sebagai contoh pelaksanaan suctioning di PICU merupakan kegiatan
yang sering dilakukan karena kompleksitas dari berbagai klien yang dirawat dimana
kebanyakan klien menggunakan ETT untuk memenuhi kebutuhan airways, breathing dan
sirkulationnya.
Keadaan gagal nafas pada penyakit TOF dimana terjadi ketidakmampuan sistem
kardiovaskuler untuk mempertahankan oksigenasi darah normal (PaO2), eliminasi karbon
dioksida (PaCO2) dan pH yang adekuat disebabkan oleh masalah sirkulasi (Tucker, 1999).
Gagal nafas terjadi bilamana pertukaran oksigen terhadap karbondioksida dalam paru-paru
tidak dapat memelihara laju komsumsi oksigen dan pembentukan karbon dioksida dalam sel-
sel tubuh sehingga menyebabkan tegangan oksigen kurang dari 50 mmHg (Hipoksemia) dan
peningkatan tekanan karbondioksida lebih besar dari 45 mmHg / hiperkapnia (Smeltzer &
Bare, 2004)
Ketika dilakukan penghisapan tidak hanya lendir yang terhisap, suplai oksigen yang
masuk ke saluran nafas juga ikut terhisap, sehingga memungkinkan untuk terjadi hipoksemi
sesaat ditandai dengan penurunan saturasi oksigen (SpO2). Hiperoksigenasi adalah teknik
terbaik untuk menghindari hipoksemi akibat penghisapan dan harus digunakan pada semua
prosedur penghisapan. Hal ini dikuatkan dengan penelitian dari Clark, Winslow, Tyler, dan
White (1990) yang merekomendasikan hiperoksigenasi sebelum dan sesudah tindakan untuk
mencegah hipoksemi.
Hiperoksigenasi dapat dilakukan dengan menggunakan kantong resusitasi manual
atau melalui ventilator dan dilakukan dengan meningkatkan aliran oksigen, biasanya sampai
100% sebelum penghisapan dan ketika jeda antara setiap penghisapan (Kozier & Erb, 2002).
Prosedur yang ada saat ini juga mempersyaratkan hiperoksigenasi sebelum dilakukan
tindakan hisap lendir, namun pemberian oksigen dengan konsentrasi tinggi juga bisa
menyebabkan keracunan oksigen.
Fenomena di ruang PICU RSHS Bandung pada beberapa kasus ketidakpatuhan
terhadap prosedur yang mana ada sekitar 20% perawat yang tidak melakukan hiperoksigenasi
sebelum penghisapan lendir, sisanya sebanyak 80% melakukan hiperoksigenasi terlebih
dahulu. Perawat melakukan suctioning ada yang menggunakan metode open suctioning
maupun closed suctioning dan ketika selesai melakukan suctioning perawat membilas canula
suction dengan menggunakan aquadestilata.
Pada klien TOF banyak permasalahan yang timbul terutama akibat gangguan sirkulasi
ditandai dengan meningkatnya sekret pada jalan nafas pasien. Melihat hal tersebut penulis
merasa tertarik untuk meneliti tentang pengaruh hiperoksigenasi saat penghisapan lendir
terhadap perubahan saturasi oksigen pada klien dengan ventilator mekanik.
BAB II
ANALISIS JURNAL
Endotrakeal suction (ETS) adalah salah satu prosedur invasif yang paling umum
dilakukan pada klien dengan jalan nafas buatan. ETS digunakan untuk meningkatkan
pembersihan sekresi saluran pernapasan, meningkatkan oksigenasi dan mencegah atelektasis.
Prevalensi sebelumnya dan penelitian kohort prospektif telah menunjukkan bahwa VAP
dikaitkan dengan kematian dua kali lipat dan morbiditas, panjang berlebihan unit perawatan
intensif (PICU) dan rawat inap, dan biaya rumah sakit yang tinggi. Dalam sebelumnya
deskriptif, observasional, sebelum dan sesudah dan studi korelasional, praktek ETS telah
dievaluasi dalam kaitannya dengan rekomendasi saat ini.
Ventilasi mekanis digunakan untuk beberapa klien di unit perawatan intensif anak
(PICU) karena fisiologis dan penyebab klinis. Karena klien ini terpasang endotrakeal, yang
berguna untuk membersihkan dan menjaga saluran udara terbuka melalui penyedotan.
Penyedotan ini dalam istilah medis disebut suction, merupakan upaya yang harus dilakukan
untuk membersihkan saluran pernafasan agar proses oksigenasi dapat berlangsung dengan
lancar. Proses suction/ penyedotan terbagi kedalam dua jenis. Ada suction jenis tertutup dan
ada jenis terbuka.
Hasil 56% dari penelitian menunjukkan bahwa penggunaan normal saline secara
bermakna dikaitkan dengan penurunan oksigenasi dan desaturasi yang memburuk dari waktu
ke waktu setelah pengisapan. Saturasi oksigen adalah rata-rata 1% sampai 2% lebih rendah
bila normal saline digunakan. Namun, berangsur-angsur normal saline dapat mengganggu
pertukaran gas yang dibuktikan dengan lanjutan desaturasi. Lebih klinis mengesankan adalah
penurunan saturasi dalam vena campuran saturasi oksigen yang diamati pada klien disedot 5
menit setelah berangsur-angsur normal saline (dibandingkan dengan kontrol), serta waktu
pemulihan dua kali lipat. Temuan ini menunjukkan efek yang merugikan dari normal saline
pada oksigenasi jaringan global.
Hampir 80% dari perawat PICU menyatakan bahwa sistem tertutup pengisapan sama
dengan atau lebih baik dari pengisapan terbuka. Temuan ini lebih tinggi dibandingkan yang
dilaporkan dalam literatur. Blackwood dan Webb melaporkan bahwa pengisapan sekret tidak
efektif 45% ketika melakukan pengisapan secara tertutup dan dikaitkan temuan dengan
banyaknya sekret.
Penelitian menunjukkan bahwa pengisapan sistem tertutup dapat mencegah terjadinya
hipoksemia, namun beberapa klien masih memerlukan hyperoxygenation sebelum dan selama
penyedotan. Temuan ini sama dengan yang dilaporkan oleh Paul-Allen dan Ostrow (41%).
Ada 20% dari perawat menggunakan hiperventilasi, tetapi tidak diketahui apakah langkah ini
diperlukan dengan pengisapan secara sistem tertutup. Paul-Allen dan Ostrow melaporkan
bahwa 35% dari perawat menggunakan hiperventilasi dengan sistem tertutup pengisapan dan
bahwa teknik untuk hiperventilasi bervariasi dan dapat menyebabkan efek samping seperti
barotrauma.
Sebanyak 5% sampai 10% dari perawat menyatakan bahwa mereka melepaskan alat
penyambung ETT dan menggunakan suction sistem terbuka ketika melakukan pengisapan
secret. Persentase ini jauh lebih rendah dari 61% dilaporkan dalam study sebelumnya.
Namun, praktik ini tidak dianjurkan karena mengganggu sistem tertutup, yang berpotensi
meningkatkan risiko infeksi.
Perbedaan yang signifikan telah diamati dalam teknik ETS assessment,
hyperoxygenation. Karena risiko efek samping, seperti hipoksemia dan perubahan
hemodinamik, infeksi, barotraumas, bronchospasms dan atelektasis, perawat harus
mengambil semua tindakan pencegahan yang diperlukan untuk menjamin keselamatan klien
dan kualitas pelayanan keperawatan.
Potensi dari CS telah dilaporkan sebelumnya. Sistem CS mempertahankan koneksi
dengan ventilator mekanik selama pengisapan trakea dan diklaim untuk membatasi kerugian
dalam volume paru-paru dan oksigenasi. Cereda et al. dibandingkan perubahan volume paru-
paru, oksigenasi, tekanan udara, dan hemodinamik selama pengisapan endotrakeal dilakukan
dengan CS dan sistem OS dalam prospektif, studi acak pada 10 klien di ICU. Mereka
melakukan 4 berturut-turut manuver penyedotan trakea 2 dengan CS dan 2 dengan OS pada
interval 20 menit. Kerugian dalam volume paru-paru selama OS secara signifikan lebih
sering daripada selama CS. Selama OS, mereka mengamati penurunan tajam dalam SaO2,
sedangkan selama CS perubahan itu hanya kecil. Selama CS, ventilasi tidak terganggu. Para
penulis menyimpulkan bahwa menghindari paru-paru kehilangan volume pengisapan terkait
dapat membantu pada klien dengan peningkatan kecenderungan kolaps alveolar.
Dari hasil penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa penggunaan sistem perawatan
saluran pernafasan secara tertutup memberikan tingkat cost effectiveness yang lebih baik
dibandingkan dengan penggunaan sistem perawatan saluran pernafasan secara terbuka, oleh
karena itu disarankan agar Sistem Perawatan Saluran Pernafasan Secara Tertutup ini dapat
direkomemndasikan untuk digunakan sebagai standar perawatan pada klien dengan bantuan
ventilator perawat di ruang ICU khususnya anak.
BAB III
PEMBAHASAN
Perawat sebagai tenaga pelayanan 24 jam di PICU sering mendapatkan klien dalam
keadaan yang mengancam jiwanya terutama dalam airways, breathing dan sirculation dan
sering disertai dengan adanya peningkatan sekret yang menghalangi jalan nafas terutama
pada klien yang terpasang ETT. Pelaksanaan suctioning yang dilakukan perawat di PICU ada
2 macam teknik yaitu secara terbuka dan tertutup.
Adapun tindakan yang dilakukan pada An.A antara lain adalah suction, nebulizer dan
pemberian obat, perawatan WSD serta pemenuhan kebutuhan dasar An.A. Pada hari
berikutnya kondisi An.A semakin memburuk dengan penurunan tanda-tanda vital. Pada saat
An.A dalam kondisi memburuk, perawat sering melakukan suctioning baik secara tertutup
ataupun terbuka.
Penelitian menunjukkan bahwa pengisapan sistem tertutup dapat mencegah terjadinya
hipoksemia, namun beberapa klien masih memerlukan hyperoxygenation sebelum dan selama
penyedotan. Hasil penelitian tersebut ditemukan adanya perbedaan yang signifikan antara
rata rata tingkat pernapasan dan saturasi oksigen darah arteri pada pasien sebelum, selama
dan setelah pengisapan pada penyedotan tertutup dan terbuka (open and closed suction).
Persentase saturasi oksigen darah arteri memiliki penurunan yang signifikan dalam
metode penyedotan terbuka dibandingkan dengan metode tertutup selama suction, dan segera
setelah itu. RR tiga menit setelah penyedotan menunjukkan penurunan yang signifikan dalam
kedua langkah dalam metode terbuka dibandingkan dengan metode ditutup. Kesimpulan dari
penelitian yang dilakukan adalah metode suction tertutup menyebabkan perubahan sedikit
dalam status hemodinamik pasien. Oleh karena itu, untuk mencegah komplikasi pernapasan
pada pasien, perawat dianjurkan untuk melakukan endotracheal tube penyedotan tertutup.
Perbedaan yang signifikan telah diamati dalam teknik ETS assessment,
hyperoxygenation. Karena risiko efek samping, seperti hipoksemia dan perubahan
hemodinamik, infeksi, barotraumas, bronchospasms dan atelektasis, perawat harus
mengambil semua tindakan pencegahan yang diperlukan untuk menjamin keselamatan klien
dan kualitas pelayanan keperawatan yang diberikannya.
Suctioning yang dilakukan oleh perawat di PICU selama kami melakukan residensi
sudah baik, namun ada beberapa hal yang perlu diperhatikan terutama SOP melakukan
suctioning dan belum dipasangkannya label SOP suctioning di dekat klien, hal ini
dimaksudkan agar setiap perawat dan dokter yang akan melakukan suctioning dapat
melaksanakannya sesuai prosedur.
Dibawah ini ada prosedur untuk pelaksanaan suctioning di rumah sakit terutama
untuk di ruangan intensive yang kami dapatkan dari jurnal keperawatan
Standart Operational Procedur
Practices prior to, during and post ETS event Nurse/Physician
Practices prior to ETS event
1. Patient assessment: Patient’ chest auscultation before ETS?
2. Patient preparation: Explaining to patient about the
procedure
3. Pre suctioning hyperoxygenation
4. Cuff pressure checked*
5. Protection of eyes from secretions*
6. Protection of central venous catheter from secretions*
7. Analgesic administered*
Infection-control practices
8. Hand disinfection prior to suctioning
9. Gloves worn
10. Apron worn
11. Face mask worn
12. Sterility of suction catheter maintained until inserted into
airway
The ETS event
13. Sodium chloride / steril water instillation
14. Size of suction catheter (≤ Half of internal diameter of
ETT)
15. Number of suction passes ≤ 2
16. Duration of suction applied to airway (< 15 seconds)
17. Level of suction pressure 80-150 mmHg
18. Two nurses working as team to create suction*
Post ETS practices
19. Patient reconnected to oxygen within 10 seconds post
suctioning
20. Post-suctioning hyper oxygenation
21. Post-ETS assessments: Patients’ chest auscultation after
suctioning
22. Patient reassured
23. Hand disinfection post suctioning
24. Used catheter and gloves disposed of in a manner that
prevents contamination from secretions
25. Cuff pressure checked*
BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN
Pelaksanaan suctioning pada klien dengan TOF harus dilakukan secara hati hati harus
kondisi klien yang sering berubah dan belum stabil. Metode tertutup ataupun terbuka dapat
dilakukan pada klien ini dan hal penting adalah pengamatan kita terhadap perubahan saturasi
oksigen. Namun yang perlu diperhatikan ketika melakukan suctioning kita melakukan
hiperoksigenasi dengan cara menaikkan FIO2 terlebih dahulu agar tidak terjadi desaturasi
oksigen.
DAFTAR PUSTAKA
http://ajcc.aacnjournals.org/cgi/external_ref?link_type=PERMISSIONDIRECT : Evaluation
of endotracheal-suctioning practices of critical-care nurses – An observational correlation
study) 2011 : Miia Jansson, Tero Ala-Kokko, Pekka Ylipalosaari, Helvi Kyngäs1:
Iranian Journal of Critical Care Nursing Winter 2010, Volume 2, Issue 4; 133-137 : Effect of
open and closed endotracheal suction systems on heart rhythm and arterial blood oxygen
level in intensive care unit patients : Seyyed Mazhari M.,MSc, Pishgou’ei A. H.1 MSc,
Zareian A.1 MSc, Habibi H.1 PhD
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN AN. A
DENGAN TETRALOGI OF FALLOT
DI RUANG PICU RSHS BANDUNG
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Residensi
Disusun Oleh:
ROHEMAN
NPM : 220120110531
PROGRAM MAGISTER KEPERAWATAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
MEI 2013
TINJAUAN TEORI
TETRALOGI OF FALLOT
I. Pendahuluan
Tetralogi fallot (TF) merupakan penyakit jantung sianotik yang paling banyak
ditemukan dimana tetralogi fallot menempati urutan keempat penyakit jantung bawaan pada
anak setelah defek septum ventrikel, defek septum atrium dan duktus arteriosus persisten,
atau lebih kurang 10-15 % dari seluruh penyakit jantung bawaan, diantara penyakit jantung
bawaan sianotik Tetralogi fallot merupakan 2/3 nya. Tetralogi fallot merupakan penyakit
jantung bawaan yang paling sering ditemukan yang ditandai dengan sianosis sentral akibat
adanya pirau kanan ke kiri.
II. Pengertian
Tetralogi fallot (TF) adalah kelainan jantung dengan gangguan sianosis yang ditandai
dengan kombinasi 4 hal yang abnormal meliputi defek septum ventrikel, stenosis pulmonal,
overriding aorta, dan hipertrofi ventrikel kanan.
Komponen yang paling penting dalam menentukan derajat beratnya penyakit adalah stenosis
pulmonal dari sangat ringan sampai berat. Stenosis pulmonal bersifat progresif, makin lama
makin berat.
III. Etiologi
Pada sebagian besar kasus, penyebab penyakit jantung bawaan tidak diketahui secara
pasti. diduga karena adanya faktor endogen dan eksogen. Faktor –faktor tersebut antara lain :
Faktor endogen
Berbagai jenis penyakit genetik : kelainan kromosom
Anak yang lahir sebelumnya menderita penyakit jantung bawaan
Adanya penyakit tertentu dalam keluarga seperti diabetes melitus, hipertensi,
penyakit jantung atau kelainan bawaan
Faktor eksogen
Riwayat kehamilan ibu : sebelumnya ikut program KB oral atau suntik, minum
obat-obatan tanpa resep dokter, (thalidmide, dextroamphetamine, aminopterin,
amethopterin, jamu)
Ibu menderita penyakit infeksi : rubella
Pajanan terhadap sinar -X
Para ahli berpendapat bahwa penyebab endogen dan eksogen tersebut jarang terpisah
menyebabkan penyakit jantung bawaan. Diperkirakan lebih dari 90% kasus penyebab adaah
multifaktor. Apapun sebabnya, pajanan terhadap faktor penyebab harus ada sebelum akhir
bulan kedua kehamilan, oleh karena pada minggu ke delapan kehamilan pembentukan
jantung janin sudah selesai.
IV. Pemeriksaan diagnostik
a. Pemeriksaan laboratorium
Ditemukan adanya peningkatan hemoglobin dan hematokrit (Ht) akibat saturasi
oksigen yang rendah. Pada umumnya hemoglobin dipertahankan 16-18 gr/dl dan hematokrit
antara 50-65 %. Nilai BGA menunjukkan peningkatan tekanan partial karbondioksida
(PCO2), penurunan tekanan parsial oksigen (PO2) dan penurunan PH pasien.
b. Radiologis
Sinar X pada thoraks menunjukkan penurunan aliran darah pulmonal, tidak ada
pembesaran jantung. Gambaran khas jantung tampak apeks jantung terangkat sehingga
seperti sepatu.
c. Elektrokardiogram
Pada EKG sumbu QRS hampir selalu berdeviasi ke kanan. Tampak pula hipertrofi
ventrikel kanan. Pada anak besar dijumpai P pulmonal
d. Ekokardiografi
Memperlihatkan dilatasi aorta, overriding aorta dengan dilatasi ventrikel kanan,
penurunan ukuran arteri pulmonalis & penurunan aliran darah ke paru-paru
e. Kateterisasi
Diperlukan sebelum tindakan pembedahan untuk mengetahui defek septum ventrikel
multiple, mendeteksi kelainan arteri koronari dan mendeteksi stenosis pulmonal perifer.
Mendeteksi adanya penurunan saturasi oksigen, peningkatan tekanan ventrikel kanan, dengan
tekanan pulmonalis normal atau rendah.
V. Komplikasi
1. Trombosis pulmonal
2. CVA trombosis
3. Abses otak
4. Perdarahan
5. Anemia relatif
VI. Proses keperawatan
1. Pengkajian keperawatan
- Riwayat kehamilan : ditanyakan sesuai dengan yang terdapat pada etiologi (faktor
endogen dan eksogen yang mempengaruhi).
- Riwayat tumbuh biasanya anak cendrung mengalami keterlambatan pertumbuhan
karena fatiq selama makan dan peningkatan kebutuhan kalori sebagai akibat dari
kondisi penyakit.
- Riwayat psikososial/ perkembangan kemungkinan mengalami masalah
perkembangan, mekanisme koping anak/ keluarga, pengalaman hospitalisasi
sebelumnya
- Pemeriksaan fisik, pada awal bayi baru lahir biasanya belum ditemukan sianotik,bayi
tampak biru setelah tumbuh, clubbing finger tampak setelah usia 6 bulan, serang
sianotik mendadak (blue spells/cyanotic spells/paroxysmal hiperpnea, hypoxic spells)
ditandai dengan dyspnea, napas cepat dan dalam, lemas, kejang, sinkop bahkan
sampai koma dan kematian, anak akan sering Squatting (jongkok) setelah anak dapat
berjalan, setelah berjalan beberapa lama anak akan berjongkok dalam beberapa waktu
sebelum ia berjalan kembali, pada auskultasi terdengar bising sistolik yang keras
didaerah pulmonal yang semakin melemah dengan bertambahnya derajat obstruksi,
bunyi jantung I normal sedang bunyi jantung II tunggal dan keras, bentuk dada bayi
masih normal, namun pada anak yang lebih besar tampak menonjol akibat pelebaran
ventrikel kanan, ginggiva hipertrofi, gigi sianotik
- Pengetahuan dan pemahaman keluarga tentang diagnosis, pengetahuan/penerimaan
terhadap prognosis, regimen pengobatan, rencana perawatan ke depan, kesiapan dan
kemauan untuk belajar
2. Tatalaksana pasien tetralogi fallot
Pada penderita yang mengalami serangan sianosis maka terapi ditujukan
untuk memutus patofisiologi serangan tersebut, antara lain dengan cara :
- Posisi lutut ke dada agar aliran darah ke paru bertambah
- Morphine sulfat 0,1-0,2 mg/kg SC, IM atau Iv untuk menekan pusat pernafasan dan
mengatasi takipneu.
- Bikarbonas natrikus 1 Meq/kg BB IV untuk mengatasi asidosis
- Oksigen dapat diberikan, walaupun pemberian disini tidak begitu tepat karena
permasalahan bukan karena kekurangan oksigen, tetapi karena aliran darah ke paru
menurun. Dengan usaha diatas diharapkan anak tidak lagi takipnea, sianosis
berkurang dan anak menjadi tenang.
- Propanolol l 0,01-0,25 mg/kg IV perlahan-lahan untuk menurunkan denyut jantung
sehingga serangan dapat diatasi. Dosis total dilarutkan dengan 10 ml cairan dalam
spuit, dosis awal/bolus diberikan separuhnya, bila serangan belum teratasi sisanya
diberikan perlahan dalam 5-10 menit berikutnya.
- Ketamin 1-3 mg/kg (rata-rata 2,2 mg/kg) IV perlahan. Obat ini bekerja meningkatkan
resistensi vaskuler sistemik dan juga sedatif
- Penambahan volume cairan tubuh dengan infus cairan dapat efektif dalam penganan
serangan sianotik. Penambahan volume darah juga dapat meningkatkan curah jantung,
sehingga aliran darah ke paru bertambah dan aliran darah sistemik membawa oksigen
ke seluruh tubuh juga meningkat.
3. Diagnosa keperawatan
Setelah pengumpulan data, menganalisa data dan menentukan diagnosa
keperawatan yang tepat sesuai dengan data yang ditemukan, kemudian direncanakan
membuat prioritas diagnosa keperawatan, membuat kriteria hasil, dan intervensi
keperawatan.
- Gangguan pertukaran gas b.d penurunan alian darah ke pulmonal
- Penurunan kardiak output b.d sirkulasi yang tidak efektif sekunder dengan adanya
malformasi jantung
- Gangguan perfusi jaringan b.d penurunan sirkulasi (anoxia kronis , serangan sianotik
akut)
- Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d fatiq selama makan dan
peningkatan kebutuhan kalori, penurunan nafsu makan
- Gangguan pertumbuhan dan perkembangan b.d tidak adekuatnya suplai oksigen dan
zat nutrisi ke jaringan
- Intoleransi aktifitas b.d ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen
- Koping keluarga tidak efektif b.d kurang pengetahuan klg tentang
diagnosis/prognosis penyakit anak
- Resti gangguan perfusi jaringan serebral b.d peningkatan tekanan intrakranial
sekunder abses otak, CVA trombosis
Contoh rencana keperawatan
1. Penurunan kardiac output b.d sirkulasi yang tidak efektif sekunder dengan adanya
malformasi jantung
Tujuan Anak dapat mempertahankan kardiak output yang adekuat.
Kriteria hasil : Tanda-tanda vital normal sesuai umur, Tidak ada : dyspnea, napas cepat
dan dalam, sianosis, gelisah/letargi, takikardi, mur-mur, Pasien
komposmentis, Akral hangat, Pulsasi perifer kuat dan sama pada kedua
ekstremitas, Capilary refill time < 3 detik, Urin output 1-2
ml/kgBB/jam
Intervensi
- Monitor tanda vital, pulsasi perifer, kapilari refill dengan membandingkan
pengukuran pada kedua ekstremitas dengan posisi berdiri, duduk dan tiduran jika
memungkinkan
- Kaji dan catat denyut apikal selama 1 menit penuh
- Observasi adanya serangan sianotik
- Berikan posisi knee-chest pada anak
- Observasi adanya tanda-tanda penurunan sensori : letargi, bingung dan disorientasi
- Monitor intake dan output secara adekuat
- Sediakan waktu istirahat yang cukup bagi anak dan dampingi anak pada saat
melakukan aktivitas
- Sajikan makanan yang mudah di cerna dan kurangi konsumsi kafeine.
- Kolaborasi dalam: pemeriksaan serial ECG, foto thorax, pemberian obat-obatan anti
disritmia
- Kolaborasi pemberian oksigen
- Kolaborasi pemberian cairan tubuh melalui infus
2. Intoleransi aktivitas b.d ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen
Tujuan: Anak menunjukan peningkatan kemampuan dalam melakukan aktivitas
(tekanan darah, nadi, irama dalam batas normal) tidak adanya angina.
Kriteria hasil : Tanda vital normal sesuai umur, Anak mau berpartisipasi dalam setiap
kegiatan yang dijadwalkan, Anak mencapai peningkatan toleransi
aktivitas sesuai umur, Fatiq dan kelemahan berkurang, Anak dapat
tidur dengan lelap
Intervensi
- Catat irama jantung, tekanan darah dan nadi sebelum, selama dan sesudah melakukan
aktivitas.
- Anjurkan pada pasien agar lebih banyak beristirahat terlebih dahulu.
- Anjurkan pada pasien agar tidak “ngeden” pada saat buang air besar.
- Jelaskan pada pasien tentang tahap- tahap aktivitas yang boleh dilakukan oleh pasien.
- Tunjukan pada pasien tentang tanda-tanda fisik bahwa aktivitas melebihi batas
- Bantu anak dalam memenuhi kebutuhan ADL dan dukung kearah kemandirian anak
sesui dengan indikasi
- Jadwalkan aktivitas sesuai dengan usia, kondisi dan kemampuan anak.
3. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d fatiq selama makan dan peningkatan
kebutuhan kalori, penurunan nafsu makan
Tujuan : anak dapat makan secara adekuat dan cairan dapat dipertahankan sesuai dengan
berat badan normal dan pertumbuhan normal.
Kriteria hasil : Anak menunjukkan penambahan BB sesuai dengan umur, Peningkatan
toleransi makan, Anak dapat menghabiskan porsi makan yang
disediakan, Hasil lab tidak menunjukkan tanda malnutrisi, Mual muntah
tidak ada, Anemia tidak ada.
Intervensi :
- Timbang berat badan anak setiap pagi tanpa diaper pada alat ukur yang sama, pada
waktu yang sama dan dokumentasikan.
- Catat intake dan output secara akurat
- Berikan makan sedikit tapi sering untuk mengurangi kelemahan disesuaikan dengan
aktivitas selama makan ( menggunakan terapi bermain)
- Berikan perawatan mulut untuk meningkatkan nafsu makan anak
- Berikan posisi jongkok bila terjadi sianosis pada saat makan
- Gunakan dot yang lembut bagi bayi dan berikan waktu istirahat di sela makan dan
sendawakan
- Gunakan aliran oksigen untuk menurunkan distress pernafasan yang dapat disebabkan
karena tersedak
- Berikan formula yang mangandung kalori tinggi yang sesuaikan dengan kebutuhan
- Batasi pemberian sodium jika memungkinkan
- Bila ditemukan tanda anemia kolaborasi pemeriksaan laboratorium
LAPORAN KASUS PADA KLIEN AN. D
DENGAN TETRALOGI OF FALLOT
DI RUANG PICU RSHS BANDUNG
I. IDENTITAS
Nama : An. A
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 2 Tahun 10 Bulan
Berat Badan : 7,6 Kg
Tinggi Badan : 80 cm
No RM : 13032374 Bandung
II. ANAMNESIS
Keluhan utama : Penurunan kesadaran
Riwayat penyakit sekarang : Sejak 4 hari SMRS, klien kebiruan diseluruh tubuh, keluhan
kebiruan didahului ketika menangis dan badannya panas dan
keluhan kebiruan berkurang ketika klien istirahat atau tidur.
Pada saat dilakukan pengkajian tanggal 13 Mei 2013 pkl
08.00 wib, klien tampak sakit berat dan terpasang ETT,
NGT, infus dan kateter.
Riwayat penyakit dahulu : Klien pernah mengalami keluhan serupa sejak lahir sebanyak
4 kali dan terakhir di rawat pada bulan april 2013. Selama 9
hari dan dapat terafi propanolol 4 x 5 mg. Didiagnosa TOF
sejak klien berusia 7 bulan dan telah dilakukan
echocardiografi. Klien sampai saat ini belum bisa duduk dan
berjalan. Namun untuk bicara klien sudah lancar. Klien
belum mendapatkan imunisasi polio 3, HB 2, DPT dan BCG.
Riwayat penyakit keluarga : Dalam keluarga klien tidak ada yang menderita TOF.
Riwayat kehamilan :Selama proses kehamilan Ibu klien memeriksakan diri ke
puskesmas dan posyandu didekat rumahnya, tidak pernah
ada masalah kehamilan, ANC teratur di bidan, konsumsi
obat-obatan saat kehamilan (-)
Riwayat persalinan : Lahir prematur usia kehamilan 8 di rumah bidan BB 1600 gram
PB 43 cm
Riwayat makanan : ASI sampai usia 6 bulan dan mulai diberikan PASI dan makanan
tambahan
III. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Sakit berat
Kesadaran : Penurunan Kesadaran E1 M2 Vt
Status Gizi : Buruk
Tanda2 vital : nadi 90x/mnt, RR 35x/mnt, TD 120/70, suhu
35,5 c, saturasi O2 80-83 %
Kulit : teraba dingin
Kelenjar Getah bening : TAK
Kepala : ubun ubun besar cembung dan bulat, datar
Mata : pupil bulat anisokor, kanan diameter 2 mm, kiri
4 mm, reflek kornea +/+ lambat
Hidung : PCH (-)
Telinga : simetris, secret -/-
Leher : retraksi suprasternal (+)
Dada : gerak dada simetris
Paru depan dan belakang : (I) retraksi intercostals +/+
(p) VF sulit dinilai
(P) sonor
(A) VBS ki=ka, slem +/+
Jantung : ictus cordis tidak tampak
Abdomen : datar lembut, retraksi epigastrium (+), hepar
teraba 2 cm, lien tidak teraba, BU normal
Ekstremitas : Akral dingin, CRT > 2 detik
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tanggal 13/5/2013
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai normal
HB 17,2 11,5-13,5 gr/dl
Ht 60 34-40 %
Leukosit 19.2000 5.000-10.000 mm3
Trombosit 169.000 150.000-450.000 mm3
AGD
PH 7,179 7,35-7,45
PCO2 29,8 27-41
PO2 33,9 83-108
HCO3 10,7 19-23,9
TCO2 22,4 20-28
Be -16,7 -7 - -1
Sat O2 80 95 – 98
Radiologis : Sinar X pada thoraks menunjukkan penurunan aliran darah pulmonal, tidak ada
pembesaran jantung.
Elektrokardiogram : Pada EKG sumbu QRS hampir selalu berdeviasi ke kanan. Tampak pula
hipertrofi ventrikel kanan.
Ekokardiografi : Memperlihatkan dilatasi aorta, overriding aorta dengan dilatasi ventrikel
kanan, penurunan ukuran arteri pulmonalis & penurunan aliran darah ke paru-paru
VI. DIAGNOSIS
Tetralogi Of Fallot dan abces cerebri
VII. PENATALAKSANAAN
Ventilator
Mode PC
PEEP 5
IPL 16
I : E 1 : 1,9
RR 28
Fi O2 75 %
Cairan 850 – 920 cc/hr
Infuse larutan N4 12 cc/jam
Metropolol 11,4 cc + dex 5% 38,6 cc kecepatan 2 cc/jam
Metronidazol 3 x 60 mg
Phenitoin 2 x 30 mg
Cefriaxon 1 x 750 mg
Morphine sulfat 0,1-0,2 mg/kg
Dexametasone 4 x 1 mg
Tamolive 80 mg k/p
Manitol 4 gram k/p
Diet :
- Tes feeding dengan Nacl 0,9 %, 2 x 10 cc jam 10.00 dan 13.00
VIII. Nursing Care Plan
Pengkajian Masalah Keperawatan Tujuan Intervensi
DS : Bersihan jalan napas
dan alveolar tidak
efektif
Gangguan
pertukaran gas
Resti kekurangan
Bersihan jalan napas dan
alveoslar adekuat : suara
napas bersih, dispnea (-),
sianosis (-), ronchi (-/-)
Perfusi oksigen adekuat :
sat O2 95-98%, akral
hangat, hasil AGD dalam
nilai normal. Tanda2 vital
dalam rentang normal 80-
120, TD 80-100/55-65, RR
25-40 x/m, Demam (-)
Gelisah/penurunan
kesadaran (-)
Tidak ada tanda2
penyebaran
infeksi/komplikasi
- Kolaborasi pemasangan ETT
- Kolaborasi penggunaan alat bantu napas
mekanik ventilator : mode pressure control,
peep 5, ipl 16, RR 30, FiO2 75%, I : E = 1:1,9
- Posisikan klien semi fowler
- Lakukan fisioterapi dada
- Lakukan suction apabila ada indikasi
- Kolaborasi pemberian antibiotic : Cefriaxon 1 x
750 mg
- Monitoring nilai AGD
- Monitoring tanda-tanda vital
- Monitoring respirasi pasien
DO :
BB 7,6 kg
RR 35 x/mnt
Auskultasi : slim +/+
Retraksi intercostals +
Nadi : 90 x/mnt
PH : 7,179
Pco2 : 29,8
PO2 : 33,9
HCO3: 10,7
TCO2 : 22,4
Be : -16,7
Sat O2 80 %
Tanda-tanda vital dalam - Berikan lingkungan yg tenang, aman dan
volume cairan rentang normal
Dispnea (-)
Turgor otot meningkat
Mukosa lembab,
Tanda2 vital dalam rentang
normal
Balance cairan +/- 500
Urin output 0,5-1
cc/kgbb/jam
nyaman
- Monitoring tanda2 vital
- Kolaborasi pemberian cairan yang adekuat :
cairan 850-920 cc/hari. feeding dengan Nacl 0,9
%, 2 x 10 cc jam 10.00 dan 13.00
- Monitoring tanda-tanda vital dan urine output
IX. CATATAN PERKEMBANGAN
Tanggal 13 Mei 2013
DS= (-)
DO=
Kesadaran E2 M3 Vt
TD 100/60
HR 90
Sat O2 80%
RR 30
Suhu 35,5
Suara napas : rhonchi +/+, slem +
Setting ventilator : mode pc, peep 5, ipl 16, RR 30, FiO2 75%, I:E = 1:1,9
Retensi pada test feeding (-) (pasi 2x20cc)
A=
Gangguan pertukaran gas, bersihan jalan napas tidak adekuat
P=
Ventilator lanjutkan dengan FiO2 75 %
Suction sesuai indikasi
Observasi AGD/hari
Terapi medikasi lanjutkan
Intervensi lanjutkan
Implementasi : Evaluasi :
Pkl 08.00 melakukan suction karena adanya
sekret pada jalan nafas
Pkl 09.00 mempersiapkan pengambilan AGD
Pkl 10.00 memberikan cairan Nacl 0,9 %
sebanyak 20 cc NGT, retensi –
Pkl 12.00 melakukan suction
Pkl 13.00 memberikan injeksi dexametason 1
mg IV
Pkl 13.00 memberikan cairan Nacl 0,9 %
Slim tidak ada dan ETT bersih
Spesiemen AGD dikirim ke Lab
Nacl masuk 20 cc retensi tidak ada
Slim tidak ada
Dexametason masuk 1 mg
sebanyak 20 cc NGT, retensi –
Pkl 14.00 mempersiapkan pemasangan ETT
Nacl masuk retensi tidak ada
ETT terpasanga ukuran no 4
Tanggal 14 Mei 2013
DS= (-)
DO=
Kesadaran E2 M3 Vt
TD 100/50
HR 120
Sat O2 50%
RR 33
Suhu 35,5
Suara napas : rhonchi +/+,slem +
Setting ventilator : mode PS, PEEP 5, IPL 14, RR 35, FiO2 50%, I:E = 1:1,9
Retensi pada test feeding (-) (pasi 2x20cc)
A=
Gangguan pertukaran gas, bersihan jalan napas tidak adekuat
P=
Ventilator lanjutkan dengan FiO2 75 %
Suction sesuai indikasi
Observasi agd/hari
Terapi medikasi lanjutkan
Intervensi lanjutkan
Implementasi : Evaluasi :
Pkl 08.15 melakukan suction karena adanya
sekret pada jalan nafas
Pkl 09.00 mempersiapkan pengambilan AGD
Pkl 09.15 memberikan obat Ranitidine 8 mg
Pkl 10.00 memberikan cairan Nacl 0,9 %
Sekret tidak ada, ETT bersih
Bahan spesimen dikirim ke Lab
Ranitidine masuk 8 mg
sebanyak 20 cc NGT, retensi –
Pkl 12.00 melakukan suction
Pkl 13.00 memberikan injeksi dexametason 1
mg IV
Pkl 13.00 memberikan cairan Nacl 0,9 %
sebanyak 20 cc NGT, retensi –
Nacl masuk 20 cc, retensi tidak ada
Sekret tidak ada, ETT bersih
Dexametason masuk 1 mg
Nacl masuk 20 cc, retensi tidak ada
X. PEMBAHASAN
Berdasarkan kasus diatas anak A menderita TOF sejak lahir dan diketahui
sejak usia anaknya 7 bulan. Kondisi menjadi memburuk kemungkinan dikarenakan
daya tahan tubuh yg tidak adekuat, dan nutrisi yg kurang adekuat. Klien mengalami
gangguan perrtukaran gas dan bersihan jalan napas yang tidak adekuat.Ventilator
mekanik, terapi cairan dan terapi medikasi antibiotic merupakan intervensi
utamanya. Ventilator mode pc diindikasikan untuk klien tersebut, karena klien
mengalami gangguan pada tekanan respirasi, digunakan mode control, untuk
meminimalkan kerja paru.
Pemeriksaan fisik, pada awal bayi baru lahir biasanya belum ditemukan
sianotik, pada An A keluhan kebiruan tampak setelah usia 7 bulan, serang sianotik
mendadak (blue spells/cyanotic spells/paroxysmal hiperpnea, hypoxic spells)
ditandai dengan dyspnea, napas cepat dan dalam, lemas, kejang, sinkop bahkan
sampai koma dan kematian, anak akan sering Squatting (jongkok) setelah anak dapat
berjalan, setelah berjalan beberapa lama anak akan berjongkok dalam beberapa
waktu sebelum ia berjalan kembali, pada auskultasi terdengar bising sistolik yang
keras didaerah pulmonal yang semakin melemah dengan bertambahnya derajat
obstruksi, bunyi jantung I normal sedang bunyi jantung II tunggal dan keras, bentuk
dada bayi masih normal, namun pada anak yang lebih besar tampak menonjol akibat
pelebaran ventrikel kanan, ginggiva hipertrofi, gigi sianotik.
Faktor pengetahuan dan pemahaman keluarga tentang diagnosis,
pengetahuan/penerimaan terhadap prognosis, regimen pengobatan, rencana
perawatan ke depan, kesiapan dan kemauan untuk belajar sangat penting terutama
dalam proses perawatan dan pengobatan selama klien dirawat di rumah sakit.
Suctioning pada klien dengan tetralogi of fallot sering dilakukan karena
adanya peningkatan jumlah sekret pada jalan nafas, karena klien ini juga terpasang
ETT untuk pemenuhan kebutuhan oksigen terutama sirkulasi kedaerah otak karena
komplikasi dari TOF sering terjadi abces serebri. Pemasangan NGT dilakukan untuk
pemberian makanan berupa diet cair ataupun terafi cairan lainnya.
Ceftriaxon adalah antibiotic golongan sefalosporin generasi ketiga yang
mempunyai khasiat bakterisidal dan bekerja dengan menghambat sintesis
mukopeptida pada dinding sel bakteri. Cefriaxon sangat stabil terhadap hidrolisis
beta laktamease, maka Cefriaxon digunakan sebagai alternatif lini pertama pada
bakteri yang resisten terhadap Penisilin. Cefriaxon memiliki aktivitas spectrum yang
lebih luas terhadap organisme gram positif dan gram negatif.
Aktivitas Cefriaxon lebih besar terhadap bakteri gram negatif sedangkan
aktivitas terhadap bakteri gram positif lebih kecil, tetapi beberapa streptococci sangat
sensitif terhadap Cefriaxon. Pada pengobatan dengan Cefriaxon, bila klien memiliki
volume distibusi sangat kecil, sebagian besar obat ada didalam darah. Antibiotik
Cefriaxon ini dapat diberikan secara i.v. dan i.m. karena absorpsi di saluran cerna
kecil.
Pengobatan dengan Cefriaxon yang merupakan antibiotik spektrum luas
dapat mengubah flora normal dari usus dan menyebabkan pertumbuhan yang
berlebihan dari Clostridia. Toxin yang dihasilkan Clostridium difficile merupakan
penyebab colitis. Jadi perlu hati – hati untuk klien yang memiliki gangguan
pencernaan. Cefriaxon sodium efektif untuk pengobatan infeksi serius yang
disebabkan oleh mikroorganisme yang sensitif, seperti pada : infeksi saluran
pernafasan bagian bawah, infeksi saluran kemih dan kelamin, infeksi ginekologikal,
Bakteremia/septikemia, infeksi kulit dan jaringan lunak, infeksi intra-abdominal,
infeksi tulang dan atau sendi dan infeksi sistem syaraf pusat. Efek samping yang
sering dilaporkan: lokal radang pada tempat suntikan, sakit, indurasi dan tenderness,
demam, eosinofilia, urtikaria, anafilaksis. Gastrointestinal : colitis, diare, mual,
muntah, gejala pseudo-membran colitis.
Pemberian morphine sulfat 0,1-0,2 mg/kg SC, IM atau Iv untuk menekan
pusat pernafasan dan mengatasi takipneu. Oksigen diberikan, walaupun pemberian
disini tidak begitu tepat karena permasalahan bukan karena kekurangan oksigen,
tetapi karena aliran darah ke paru menurun. Dengan usaha diatas diharapkan anak
tidak lagi takipnea, sianosis berkurang dan anak menjadi tenang.
Pemberian propanolol l 0,01-0,25 mg/kg IV perlahan-lahan untuk
menurunkan denyut jantung sehingga serangan dapat diatasi. Dosis total dilarutkan
dengan 10 ml cairan dalam spuit, dosis awal/bolus diberikan separuhnya, bila
serangan belum teratasi sisanya diberikan perlahan dalam 5-10 menit berikutnya.
Pemberian ketamin 1-3 mg/kg (rata-rata 2,2 mg/kg) IV perlahan bertujuan
untuk meningkatkan resistensi vaskuler sistemik dan juga sedatif. Penambahan
volume cairan tubuh dengan infus cairan dapat efektif dalam penganan serangan
sianotik. Penambahan volume darah juga dapat meningkatkan curah jantung,
sehingga aliran darah ke paru bertambah dan aliran darah sistemik membawa
oksigen ke seluruh tubuh juga meningkat.
PENUTUP
Tepatnya penanganan dan pemberian asuhan keperawatan pada anak dengan
kelainan jantung bawaan sianotik : tetralogi fallot sangat menentukan untuk
kelansungan hidup anak mengingat masalah yang komplit yang dapat terjadi pada
anak TF bahkan dapat menimbulkan kematian yang diakibatkan karena hipoksia,
syok maupun gagal. Oleh karena itu perawat harus memiliki keterampilan dan
pengetahuan konsep dasar perjalanan penyakit TF yang baik agar dapat menentukan
diagnosa yang tepat bagi anak yang mengalami tetralogi fallot sehingga angka
kesakitan dan kematian dapat ditekan.
DAFTAR PUSTAKA
- A.H Markum, 2007, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, jilid 1, Jakarta, Fakultas
kedokteran UI
- Bambang M, Sri endah R, Rubian S, 2005, Penanganan Penyakit Jantung pada
Bayi dan Anak
- Carpenito J.Lynda, 2004, Diagnosa Keperawatan, edisi 8, Jakarta, EGC
- Doengoes, Marylin E. 2005. Rencana Asuhan Dan Dokumentasi Keperawatan.
Edisi 3 EGC. Jakarta
- Ngastiah. 2007. Perawatan Anak Sakit, Jakarta, EGC
- Nelson, 2002. Ilmu Kesehatan anak, Jakarta, EGC
- Sacharin, Rosa M, 2006. Prinsip Keperawatan Pediatrik Edisi II, Jakarta, EGC
- Sudigdo & Bambang. 2009, Buku Ajar kardiologi Anak, Jakarta, IDAI
- Sharon, Ennis Axton. 2007. Pediatric care plans, Cumming Publishig Company,
California
- Whaley and Wong, 2005. Essential of Pediatric Nursing, CV.Mosby
Company,Toronto