©ukdw - sinta universitas kristen duta...

21
1 BAB I: PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG Tidak semua yang dikatakanjika dalam bentuk lisanatau yang dituliskanjika dalam bentuk tulisanselalu bermaksud seperti apa yang dikatakan atau ditulis tersebut. Hal ini bukanlah hal yang aneh atau baru yang diketahui oleh masyarakat luas. Sebagai misal adalah apa yang dikatakan atau yang ditulis sebagai sebuah pariwara ataupun kampanye. Fenomena iklan dan/atau kampanye menunjukkan sebuah fenomen perkataan dan/atau tulisan yang sarat muatan kepentingan. Sebagai sesuatu yang sarat muatan, segala sesuatunya, seperti diksi, susunan, pewarnaan, bunyi, dlsb, telah diseleksi dengan cermat karena ada pesan yang hendak dikomunikasikan. Penggunaan peci dan warna peci, misalnya, dapat menjadi petunjuk akan warna politik tertentu bagi pribadi yang berkampanye. Contoh lainnya adalah karya seni dengan berbagai bentuknya. Karya seni seringkali menggunakan kejeniusannya untuk memberikan sebuah kritik akan hal- hal yang dalam pandangan seniman tersebut perlu dikritik. Dan tidak jarang kritik yang diberikan tersebut bersifat subversif. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika terdapat seniman yang ditahan oleh pemerintah, mungkin, karena kritik yang diberikan terlalu lugas meski dalam bentuk karya seni. Namun, jika kritik keras dibungkus dengan humor, seringkali seniman tersebut malah lolos dari penahanan. Itulah beberapa contoh bahwa apa yang dikatakan dan/atau ditulis tidak selalu bermaksud sebagaimana yang dikatakan atau tertulis itu sendiri. ©UKDW

Upload: trinhkiet

Post on 28-Apr-2018

227 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: ©UKDW - SInTA Universitas Kristen Duta Wacanasinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/52090046/a92a... · yang ditulis sebagai sebuah pariwara ataupun kampanye. Fenomena

1

BAB I: PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG

Tidak semua yang dikatakan—jika dalam bentuk lisan—atau yang

dituliskan—jika dalam bentuk tulisan—selalu bermaksud seperti apa yang

dikatakan atau ditulis tersebut. Hal ini bukanlah hal yang aneh atau baru yang

diketahui oleh masyarakat luas. Sebagai misal adalah apa yang dikatakan atau

yang ditulis sebagai sebuah pariwara ataupun kampanye. Fenomena iklan dan/atau

kampanye menunjukkan sebuah fenomen perkataan dan/atau tulisan yang sarat

muatan kepentingan. Sebagai sesuatu yang sarat muatan, segala sesuatunya,

seperti diksi, susunan, pewarnaan, bunyi, dlsb, telah diseleksi dengan cermat

karena ada pesan yang hendak dikomunikasikan. Penggunaan peci dan warna

peci, misalnya, dapat menjadi petunjuk akan warna politik tertentu bagi pribadi

yang berkampanye.

Contoh lainnya adalah karya seni dengan berbagai bentuknya. Karya seni

seringkali menggunakan kejeniusannya untuk memberikan sebuah kritik akan hal-

hal yang dalam pandangan seniman tersebut perlu dikritik. Dan tidak jarang kritik

yang diberikan tersebut bersifat subversif. Oleh karena itu, tidaklah

mengherankan jika terdapat seniman yang ditahan oleh pemerintah, mungkin,

karena kritik yang diberikan terlalu lugas meski dalam bentuk karya seni. Namun,

jika kritik keras dibungkus dengan humor, seringkali seniman tersebut malah lolos

dari penahanan. Itulah beberapa contoh bahwa apa yang dikatakan dan/atau ditulis

tidak selalu bermaksud sebagaimana yang dikatakan atau tertulis itu sendiri.

©UKDW

Page 2: ©UKDW - SInTA Universitas Kristen Duta Wacanasinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/52090046/a92a... · yang ditulis sebagai sebuah pariwara ataupun kampanye. Fenomena

2

Hal yang sama juga terjadi pada teks Alkitab. Pembaca teks Alkitab perlu

berhati-hati oleh karena apa yang tertulis tidak selalu dapat dibaca sebagaimana

adanya.

1.1. Peranan Pembaca dalam Pemaknaan Teks

Apa yang tertulis tidak selalu dapat dibaca sebagaimana adanya. Hal ini

menunjukkan setidaknya ada dua faktor yang saling terkait dalam persoalan

membaca—dalam hal ini membaca teks Alkitab. Faktor yang pertama adalah

teksnya sendiri dan yang kedua ialah pembaca dari teks. Dengan maksud agar alur

pembahasan lebih mengalir, faktor kedua akan dibahas lebih dahulu dan faktor

yang pertama akan dibahas berikutnya.

Terdapat cukup banyak ahli yang menunjukkan bahwa pembaca

memegang peranan sangat penting dalam penentuan sebuah makna. Sebuah teks

yang sama dapat dimaknai secara berbeda oleh pembaca yang berbeda, dan

bahkan oleh pembaca yang sama dalam waktu yang berbeda. Fenomena pembaca

yang berbeda dapat memaknai sebuah teks yang sama secara berbeda bukanlah

hal yang sulit untuk ditemui. Keragaman penafsiran (dan termasuk di dalamnya

keragaman teologi) yang berangkat dari teks yang sama sudah dapat menjadi

bukti akan peranan pembaca dalam memaknai sebuah teks. Fenomena pembaca

yang sama yang memaknai teks secara berbeda juga bukanlah hal yang sulit

dijumpai. Perubahan—dapat berupa perubahan usia, paradigma, konteks—yang

terjadi dalam diri pembaca yang sama yang membaca teks yang sama adalah salah

satu faktor yang sering diacu oleh para ahli untuk menunjukkan perubahan

©UKDW

Page 3: ©UKDW - SInTA Universitas Kristen Duta Wacanasinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/52090046/a92a... · yang ditulis sebagai sebuah pariwara ataupun kampanye. Fenomena

3

pemaknaan teks oleh pembaca tersebut. Perubahan pemikiran seorang tokoh, pada

beberapa waktu belakangan ini, sering disebut dengan “pemikir anu muda

(early)”, “pemikir anu madya (middle)”, dan “pemikir anu berikutnya (later)”.

Dalam perkembangan hermeneutika, persoalan peranan pembaca juga

menjadi salah satu fokus perhatian. Hal ini disebabkan oleh beberapa

pertimbangan. Pertimbangan yang pertama terkait dengan sang penulis teks,

seperti: persoalan tentang kekaburan siapa penulis sesungguhnya, banyaknya

tulisan-tulisan yang bersifat anonim, ataupun ditemukannya pseudonym dan

pseudepigraph. Pertimbangan yang lain terkait dengan transaksi yang terjadi

antara penulis dengan pembaca melalui teks. Persoalan transaksi ini—sering pula

disebut sebagai the reading process—terjadi karena adanya indikasi

ketidakmampuan penulis untuk menguasai maksud dari penulisan yang

dilakukannya ketika tulisan tersebut sampai kepada pembaca. Ketidakmampuan

penulis tersebut sering diistilahkan dengan “the death of the author”—istilah yang

diperkenalkan oleh Roland Barthes . Relevansi teks—dalam hal ini Alkitab—

adalah kata kunci dalam persoalan transaksi antara pembaca dengan penulis

mengingat adanya kesenjangan yang sangat lebar antara pembaca dengan (dunia)

teks.

Terkait dengan peranan pembaca dalam membaca teks, Aichele et.al

menunjukkan tiga pertanyaan teoretikal, yang jika diringkas dapat dijadikan dua

pertanyaan yaitu: siapa yang membaca dan siapa yang (berkuasa) menentukan

makna. Pertanyaan pertama berorientasi pada atribut yang melekat pada diri

©UKDW

Page 4: ©UKDW - SInTA Universitas Kristen Duta Wacanasinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/52090046/a92a... · yang ditulis sebagai sebuah pariwara ataupun kampanye. Fenomena

4

pembaca sedangkan pertanyaan yang kedua lebih berorientasi pada power-play

yang terjadi dalam transaksi antara pembaca dengan teks.

Jawaban atas pertanyaan yang pertama, berdasar pendapat beberapa pakar,

singkatnya, pembaca (dan konteksnya) yang berbeda dapat menghasilkan

pemaknaan yang berbeda.1 Pemaknaan yang berbeda oleh pembaca yang berbeda

ini menimbulkan tuduhan terhadap reader-response criticism dengan alasan

bahwa pembaca bisa memaknai teks dengan semaunya sendiri. Terhadap tuduhan

tersebut, Aichele, et.al. memberikan jawab bahwa untuk dapat membaca—apalagi

memaknai—sebuah teks suci, seseorang harus berpartisipasi dalam komunitas

iman yang dipresuposisikan oleh teks.2 Istilah yang sering dipergunakan untuk

merujuk kepada pembaca yang demikian ini adalah implied reader.

Jawaban atas pertanyaan kedua memiliki dua ujung spektrum. Stanley Fish

dalam beberapa karyanya yang berbeda, memiliki pandangan yang berada pada

dua ujung spektrum tersebut.3 Pada awal karyanya, Fish berpendapat bahwa teks

menuntun pembaca dalam menentukan makna. Sedangkan pada karya yang

berikutnya dalam Is There a Text in This Class? menunjukkan bahwa pembacalah

yang mendikte teks. Beberapa mungkin dapat mengajukan keberatan terhadap

ujung spektrum yang berikutnya tersebut. Namun demikian, terhadap keberatan

tersebut, apa yang dinyatakan oleh Keegan sebagaimana dikutip oleh Aichele,

et.al. dapat menjawab keberatan tersebut dengan menyatakan “... One cannot

1 Aichele, et.al., The Postmodern Bible, (New Haven: Yale University Press, 1995) h.27.

Pertanyaan yang diajukan oleh Aichele, et.al. adalah: “...(1) Is reading primarily an individual or

social experience? (2) Which dominates the reading experience, the text or the reader? (3) Is “the

reader” an expert or an ordinary reader?...” 2 Ibid. Hal. 43.

3 Ibid. Hal. 30.

©UKDW

Page 5: ©UKDW - SInTA Universitas Kristen Duta Wacanasinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/52090046/a92a... · yang ditulis sebagai sebuah pariwara ataupun kampanye. Fenomena

5

understand a text and experience a personal transformation until one becomes “a

slave of the text” and shares an ideology about how to read it...”.4

1.2. “Teks Melkisedek” (Kejadian 14:18-20)

Jika pada poin sebelumnya telah diuraikan tentang satu dari dua faktor

yang terlibat dalam persoalan membaca, yaitu peranan pembaca dalam penentuan

makna sebuah teks. Pada poin ini akan diuraikan tentang faktor yang lainnya,

yaitu faktor teks—faktor yang dibaca. Terkait dengan faktor teks, orientasi

pembacaan akan difokuskan pada teks tertentu, yang dalam hal ini, ialah Kejadian

14:18-20 atau yang sering disebut pula dengan “teks Melkisedek”.

Secara garis besar, “teks Melkisedek” memiliki ciri-ciri dan karakteristik

tertentu yang melekat pada teks itu sendiri. Berikut ini adalah pemaparan lebih

lanjut.

1.3. Persoalan Citra dan Konsep Dalam Pembacaan Kejadian 14

Citra dan konsep—dalam derajat-derajat tertentu—yang dibawa oleh

seorang pembaca, sebagaimana fenomena yang disinggung pada poin di atas,

dapat terjadi ketika pembaca membaca bagian manapun dari Alkitab. “Teks

Melkisedek” adalah salah satu teks dengan tingkat kerentanan yang tinggi

terhadap masuknya citra dan konsep tertentu dari pembaca. Citra dan konsep

tertentu dari pembaca inilah sebenarnya menjadi salah satu akar tuduhan terhadap

reader-response criticism sebagaimana sempat disinggung pada poin sebelumnya.

4 Ibid. Hal. 47.

©UKDW

Page 6: ©UKDW - SInTA Universitas Kristen Duta Wacanasinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/52090046/a92a... · yang ditulis sebagai sebuah pariwara ataupun kampanye. Fenomena

6

Kerentanan akan masuknya citra dan konsep dari pembaca ini pada dirinya

sendiri bukanlah hal yang buruk dan patut dihindari selama citra dan konsep

tersebut menjadi prapaham yang membawa pembaca kepada paham. Pokok

persoalan dari citra dan konsep yang dibawa masuk oleh pembaca ketika

membaca teks ialah ketika citra dan konsep tersebut tidak disadari dan

menganggapnya sebagai paham.

Kejadian 14 merupakan teks yang rentan terhadap masuknya citra dan

konsep dari pembaca yang setidaknya disebabkan oleh dua hal, yaitu: 1.)

minimnya sumber intra-biblika yang membahas atau menjelaskan tokoh

Melkisedek, dan 2.) adanya persepsi-persepsi tertentu dari pembaca yang telah

mengakar terhadap Abraham dan raja Sodom sebagai tokoh yang mempengaruhi

persepsi terhadap Melkisedek dan demikian pula sebaliknya.

Minimnya sumber intra-biblika. Tokoh bernama Melkisedek hanya

disebut sebanyak tiga kali dalam Alkitab, yaitu: dalam Kejadian 14:18-20,

Mazmur 110:4, dan Ibrani 5-7. Meski mendapat porsi cukup besar dalam

Perjanjian Baru, tapi Melkisedek tidak mendapat porsi cukup besar dalam

Perjanjian Pertama karena dalam Perjanjian Pertama ia hanya disebutkan dalam

empat ayat, yaitu 3 tiga ayat dalam teks Melkisedek dan satu ayat dalam Mazmur

110. Minimnya sumber intra-biblika membuat pembaca seolah menghadapi celah

(gap) yang lebar untuk dijembatani. Namun demikian, pada saat yang sama, celah

yang lebar memberi kesempatan kepada pembaca untuk membuat jembatan antara

dirinya dengan “teks Melkisedek” dengan informasi ekstra-biblika maupun intra-

biblika.

©UKDW

Page 7: ©UKDW - SInTA Universitas Kristen Duta Wacanasinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/52090046/a92a... · yang ditulis sebagai sebuah pariwara ataupun kampanye. Fenomena

7

Informasi dari sumber ekstra-biblika misalnya dapat diperoleh melalui

studi historis, arkeologis, dan teks-teks di luar kanon (jika teks-teks ini

dikelompokkan sebagai sumber ekstra-biblika). Sementara itu, sumber intra-

biblika dapat diperoleh dari teks sendiri, baik dari Kejadian maupun teks dalam

artian kumpulan teks yang terdapat dalam kanon (baik kanon Yahudi maupun

kanon Kristen).

Pemberian jembatan melalui sumber intra-biblika secara lebih khusus yang

berasal dari dalam kitab Kejadian sendiri dapat diperoleh antara lain dengan

mendekati teks secara naratif. Sebagai bagian dari sebuah narasi, persepsi

terhadap siapa Melkisedek sedikit banyak ditentukan oleh tokoh-tokoh lain di luar

dirinya, misalnya Abraham maupun raja Sodom. Dengan lain kata, untuk

mengetahui Melkisedek yang hanya tertulis dalam tiga ayat, tokoh Abraham dan

raja Sodom dapat dijadikan jembatan. Atau dengan kata lain, untuk memahami

seorang tokoh, dua tokoh lainnya dijadikan pembanding.

Persepsi-persepsi tertentu yang telah mengakar. Tidaklah keliru ketika

upaya untuk memahami Melkisedek dengan memahami dua tokoh lainnya, yaitu

Abraham dan raja Sodom sebagai referensi. Namun demikian, upaya ini bukannya

tanpa persoalan. Persoalan yang cukup mendasar ialah terhadap Abraham dan raja

Sodom, tidak jarang, pembaca membaca mereka dengan persepsi-persepsi tertentu

yang tidak berasal dari kitab Kejadian.5 Abraham sering dipersepsikan secara

positif. Sementara itu, raja Sodom sering dipersepsikan secara negatif.

5 Tidak berasal dari kitab Kejadian berarti dapat berasal dari kitab-kitab yang lain dalam Perjanjian

Pertama maupun Perjanjian Baru maupun berasal dari commentary, dlsb.

©UKDW

Page 8: ©UKDW - SInTA Universitas Kristen Duta Wacanasinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/52090046/a92a... · yang ditulis sebagai sebuah pariwara ataupun kampanye. Fenomena

8

Persepsi yang positif terhadap figur Abram ini sangat mungkin,

setidaknya, disebabkan oleh dua faktor.

Faktor pertama terkait dengan kebesaran nama Abraham. Kebesaran nama

Abraham juga dapat dijumpai melalui sebutan abrahamic religions yang memiliki

konotasi bahwa melalui Abraham terdapat agama-agama yang berjumlah mayor

pada masa kini seperti Islam dan Kristen. Dalam Kekristenan dan Yudaisme,

setidaknya, ia disebut sebagai “bapa orang beriman”. Dalam Kekristenan, tidak

jarang disebutkan bahwa orang Kristen adalah anak-anak Abraham, meski bukan

dalam artian secara fisik. Biasanya, sebutan “bapa orang beriman” dikaitkan

dengan narasi yang mengisahkan perjalanan iman mulai dari pemanggilan yang

dilakukan oleh TUHAN menuju tempat yang tidak ia ketahui sebelumnya hingga

pada puncaknya adalah peristiwa ujian terhadap iman Abraham melalui

pengorbanan Ishak.

Dalam banyak pandangan teolog Kristen, figur Abraham dijadikan model

akan Allah yang rela mengorbankan Yesus untuk menyelamatkan manusia. Dalam

paradigma teologi yang demikian, Abraham yang diidentifikasikan dengan Allah

dan Ishak diidentifikasikan dengan Yesus. Namun, perlu dicatat bahwa Abraham

tidak sama dengan Allah dan Ishak tidak sama dengan Yesus. Alusi—istilah yang

sering dipergunakan dalam kritik narasi—antara peristiwa Abraham yang rela

mengorbankan anaknya dengan Allah yang rela mengorbankan Yesus memang

diakui ada, tetapi alusi tidaklah menghilangkan keunikan dan perbedaan dari

masing-masing teks yang memang tidak sama.

©UKDW

Page 9: ©UKDW - SInTA Universitas Kristen Duta Wacanasinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/52090046/a92a... · yang ditulis sebagai sebuah pariwara ataupun kampanye. Fenomena

9

Faktor yang kedua ialah terkait dengan besarnya porsi narasi Abraham.

Dari lima puluh pasal dalam Kejadian, kisah Abraham menempati setidaknya tiga

belas pasal. Jika menggunakan pembagian Kejadian dalam 2 bagian besar

sebagaimana diajukan, misalnya, oleh Alter, yaitu: bagian the Primeval History

(Kej 1-11) dan the Patriarchal Tales (Kej 12-50) maka kisah Abraham

menempati kurang lebih sepertiga dari bagian the Patriarchal Tales.6

Persepsi yang positif terhadap Abraham sebagaimana yang diulas di atas,

tidak jarang juga dipergunakan ketika membaca Kejadian 14. Dalam Kejadian 14,

kemenangan Abram, berkat yang diberikan kepadanya, respon persepuluhan yang

diberikan, penolakan atas harta benda yang diperoleh dari pampasan perang tidak

jarang dilihat sebagai bukti pemilihan dan penyertaan Allah atas diri Abram. Atau

dengan kata lain, kemenangan Abram diproyeksikan sebagai kemenangan Allah;

berkat yang disampaikan kepada Abram diproyeksikan sebagai berkat yang dari

Allah; persepuluhan yang diberikan oleh Abram diproyeksikan sebagai

persembahan Abram kepada Allah; dan penolakan atas harta benda yang

diperoleh dari pampasan diproyeksikan sebagai kebersandaran Abram kepada

janji dan berkat Allah. Pemikiran seperti ini antara lain dapat dijumpai dalam

pemikiran Redford7, Jeske

8, Butler

9, Calvin

10, Clarke

11, Henry

12, dan Hughes

13.

6 Robert Alter, Genesis, (New York: W. W. Norton & Company, 1996) H.xiii.

7 R. A. Redford, “Homilies by R. A. Redford” dalam The Pulpit Commentary: Genesis Chapter

14, (versi elektronik, 2001). Redford melihat Abram lebih sebagai sosok yang spiritual yang

menjaga jarak dengan persoalan-persoalan duniawi. Dalam pemikiran Redford, secara implisit

terdapat pandangan bahwa harta pampasan yang berarti harta yang diperoleh dari merampas pihak

yang kalah perang bersifat duniawi. Duniawi di sini oleh Redford dipertentangkan persoalan

spiritual sehingga dengan demikian, harta pampasan bersifat negatif. 8 J. C. Jeske, Genesis (2nd ed.). The People's Bible. (Northwestern Pub. House: Milwaukee,

Wisconsin, 2001), h.134. Jeske melihat Abram sebagai sosok yang beriman. Iman Abram

©UKDW

Page 10: ©UKDW - SInTA Universitas Kristen Duta Wacanasinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/52090046/a92a... · yang ditulis sebagai sebuah pariwara ataupun kampanye. Fenomena

10

Persepsi yang positif kepada Abraham memiliki kekuatan role model. Role

model yang terjadi di sini tentu perlu dipahami sebagai role model yang positif

karena yang ditekankan adalah kepositifan dari tokoh. Role model menjadi tolok

ukur dan sasaran yang perlu dicapai. Kemurahan hati dan ke-tidak egois-an

Abram, misalnya, menjadi sesuatu yang patut dikejar. Iman yang teguh dalam

menghadapi tantangan, pencobaan, dan ujian hidup juga menjadi nilai-nilai yang

didambakan oleh banyak orang. Memiliki kehidupan yang bersifat spiritual,

menjadi orang yang baik dan bukannya menjadi orang yang jahat juga menjadi

norma yang hampir berlaku umum. Namun demikian, ketika terkait dengan Allah

didasarkan oleh janji Allah yang menyatakan bahwa daerah di sekeliling Abram yang dilihatnya

akan menjadi miliknya dan milik keturunannya. Berangkat dari iman inilah Abram maju

berperang, termasuk untuk menyelamatkan Lot, keponakannya itu 9 J. G. Butler, Analytical Bible Expositor: Genesis. (LBC Publications: Clinton, IA., 2008), h. 126.

Butler, dalam melihat Abram, lebih banyak menggunakan perbandingan dengan Sodom. Dalam

pemikiran Butler, Sodom identik dengan homoseksualitas yang dipersamakan dengan kejahatan.

Dengan demikian, dalam pemikiran Butler, Abram dilawankan dengan Sodom. Jika Sodom jahat,

maka Abram tidak jahat atau disebut sebagai orang benar. 10

Jan Calvin, Calvin's Commentaries: Genesis. (versi elektronik, Logos Library System: Calvin's

Commentaries). Calvin memandang sikap Abram untuk pergi berperang dan menyelamatkan Lot

adalah sebuah tindakan iman yang didasarkan pada janji Allah sendiri. Dengan demikian, pada

dasarnya kemenangan Abram berasal dari Allah sendiri. Tindakan iman Abram, walau begitu,

bukanlah tindakan yang tanpa berpikir atau melakukan perhitungan-perhitungan tertentu. 11

Adam Clarke, Adam Clarke’s Commentary on the Bible, Genesis 14 dalam software e-Sword

(2000). Clarke melihat sikap Abram yang menolak harta pampasan perang sebagai respon iman

Abram yang melihat bahwa satu-satunya yang empunya kemenangan adalah Allah. Dengan

demikian, penolakan atas harta pampasan perang oleh Abram dipandang sebagai bentuk

penyerahan diri kepada Allah Sang satu-satunya Pemenang. 12

Matthew Henry, Matthew Henry’s Commentary on the Whole Bible, Genesis 14 dalam software

e-Sword (2000). Dalam pandangan Henry, kemenangan Abram sebagai bentuk pemenuhan akan

janji Allah yang akan membuat nama Abram besar. Tindakan militer Abram sepenuhnya

didasarkan pada prinsip charity yaitu menolong orang lain dan tidak dimaksudkan untuk

memperkaya diri sendiri. 13

R. Kent Hughes, “Magnanimous Living” dalam Genesis: Beginning and Blessing, (Wheaton,

Illinois: Crossway Books) h.205-213. Hughes banyak menekankan pada magnanimity atau

kemurahan hati dari Abram. Ia juga menyinggung mengenai sisi ke-tidak egois-an Abram.

Beberapa pertimbangan yang dipergunakan olehnya terkait dengan sikap Abram yang mau

menolong Lot yang dalam pasal sebelumnya dikisahkan mengambil sikap untuk berpisah dengan

Abram setelah terjadinya pertengkaran di antara gembala Lot dan gembala Abram. Dan, setelah

menjalani peperangan yang diasumsikan tidak ringan, Abram masih mau memberikan

persepuluhan dan menolak untuk mengambil harta pampasan yang seharusnya menjadi miliknya.

©UKDW

Page 11: ©UKDW - SInTA Universitas Kristen Duta Wacanasinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/52090046/a92a... · yang ditulis sebagai sebuah pariwara ataupun kampanye. Fenomena

11

dan/atau teologi, pandangan yang demikian ini juga memiliki kelemahan.

Kelemahan ini antara lain dapat terjadi ketika role model tersebut tidak dikritisi

sama sekali. Dalam role-modelling, relasi yang terbentuk adalah:

Kelemahan yang demikian ini banyak dikritisi oleh pandangan mistik.14

Salah satu kritik dari pandangan mistik adalah ketika relasi dengan Allah atau

penghayatan akan Allah hanya melalui role model. Ketika ini terjadi, role model

malah justru menggantikan Allah sendiri atau yang sering disebut dengan

penyembahan berhala. Hal ini tidak berarti bahwa Allah tidak dapat dijumpai

dalam figur role model, tetapi ketika role model dimutlakkan sehingga tiada

tempat lagi bagi Allah.

Kontras dengan Abraham, raja Sodom sering dipersepsikan dengan

negatif. Jika menggunakan Kejadian 13:13 sebagai titik berangkat, orang-orang

Sodom dipersepsikan sebagai orang-orang yang jahat dan berdosa. Jika orang-

orang Sodom adalah orang-orang yang seperti demikian, sosok Raja Sodom dapat

14 Dalam pandangan mistik, salah satu hal penting yang ditekankan ialah pengalaman kesatuan

mistis dengan figur ilahi. Oleh karena itu, dalam pandangan ini subjek terpenting ialah figur ilahi

itu sendiri. Mediator yang dapat berupa simbol, pengalaman mistis orang lain, tidak ditolak dalam

pandangan ini tetapi yang terutama ialah sang figur ilahi itu sendiri yang tidak dapat tergantikan

oleh mediator-mediator tersebut. Diskusi lebih dalam dapat mengacu pada: John Ferguson. An

Illustrated Encyclopaedia of Mysticism and the Mystery Religions. (Thames and Hudson: London,

1976), hal.126-127; William Harmless, Mystics. (Oxford University Press: New York, 2008).

Ideal

Allah

Role Model

Allah′ (Allah aksen) ≈ Abraham

Imitator

Allah′′ (Allah double aksen) ≈ imitator Abraham

©UKDW

Page 12: ©UKDW - SInTA Universitas Kristen Duta Wacanasinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/52090046/a92a... · yang ditulis sebagai sebuah pariwara ataupun kampanye. Fenomena

12

dipersepsikan demikian pula dengan pertimbangan bahwa sosok raja menjadi

cerminan akan rakyat yang dipimpinnya atau karena seorang raja adalah bagian

dari sebuah kerajaan yang memiliki rakyat.

Persepsi terhadap Raja Sodom sebagai sosok yang jahat dan berdosa

cukup sering dijumpai dalam beberapa tafsiran atas Kejadian 14. Beberapa

penafsiran yang demikian dapat ditemui misalnya, dalam pandangan Butler.

Dalam pandangannya, Butler menyatakan “The King of Sodom was a much

different man than the king of Salem. Melchizedek represented holiness and

righteousness. The King of Sodom represented just the opposite; and in the

reception he had with Abraham, he demonstrated that fact.”15

E. G. Singgih,

contoh yang lain, menafsirkan tokoh Raja Sodom sebagai seorang tokoh yang

memiliki “siasat” yang pintar-busuk.16

Melanjutkan paragraf sebelumnya, persepsi yang demikian terhadap Raja

Sodom yang tidak bernama ini sering dikaitkan dengan persoalan pampasan

perang. Abram sebagai pemenang, dalam tradisi hukum perang pada zaman

dahulu, adalah yang empunya hak atas pampasan perang. Apa yang dilakukan

oleh Raja Sodom, yaitu meminta orang-orang—atau lebih tepat “nyawa” yang

berasal dari kata Ibrani vp,N<—dan memberikan harta kepada Abram

adalah tindakan yang tidak patut. Ketidak-patutan ini menjadi landasan dalam

mempersepsikan tokoh Raja Sodom sebagai figur yang jahat dan berdosa.

15 J. G. Butler, Analytical Bible Expositor: Genesis, h. 127.

16 Emanuel Gerrit Singgih, Dua Konteks: Tafsir-Tafsir Perjanjian Lama Sebagai Respons Atas

Perjalanan Reformasi di Indonesia. (BPK Gunung Mulia: Jakarta, 1976), h.183-184.

©UKDW

Page 13: ©UKDW - SInTA Universitas Kristen Duta Wacanasinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/52090046/a92a... · yang ditulis sebagai sebuah pariwara ataupun kampanye. Fenomena

13

Uraian di atas setidaknya memberikan dua alasan mengapa figur Raja

Sodom dipersepsikan secara negatif, yaitu: 1.) karena teks yang sebelumnya

menyatakan bahwa orang-orang Sodom jahat dan berdosa, dan 2.) karena

persoalan sikap terhadap pampasan perang.

Namun demikian, apakah Raja Sodom memang senegatif itu? Jika

menempatkan diri sebagai Raja Sodom, pemberian gelar sebagai “raja” saja sudah

terdengar sedikit konyol. Kekonyolan ini—jika boleh dikatakan demikian—

terlihat dari ketiadaan rakyat, harta, dan makanan. Jika merujuk pada ayat 10 dan

16 disebutkan bahwa orang-orang yang masih hidup melarikan diri ke

pegunungan dan ketika Abram kembali, ia membawa perempuan-perempuan dan

orang-orang yang dijadikan tawanan oleh Kedorlaomer. Penawanan yang

dilakukan oleh Kedorlaomer bukan hanya kepada pria tetapi juga perempuan,

sehingga penawanan yang terjadi dapat dikatakan sebagai penawanan terhadap

semua orang. Dalam ayat 11 disebutkan bahwa segala harta benda Sodom beserta

segala bahan makanan dirampas musuh. Dengan demikian, sebenarnya, dapat

dikatakan bahwa kerajaan Sodom telah hancur lebur dan eksistensinya sebagai

sebuah kerajaan patut dipertanyakan. Jika kerajaan tidak ada, dengan demikian

jabatan raja pun tidak mungkin ada. Dengan kondisi yang demikian, maka,

permintaan Raja Sodom kepada Abram dapat dilihat sebagai permohonan agar

sebuah kerajaan dapat tetap hidup dan ada walaupun tiada memiliki harta. Dan,

ayat 21, sebagaimana disebut sebelumnya, memang menggunakan kata vp,N<

dalam bentuk tunggal.

©UKDW

Page 14: ©UKDW - SInTA Universitas Kristen Duta Wacanasinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/52090046/a92a... · yang ditulis sebagai sebuah pariwara ataupun kampanye. Fenomena

14

Nada permintaan yang disuarakan oleh Raja Sodom memiliki kesan

memerintah Abram, hal ini dapat terlihat dari konstruk kata kerja yang berbentuk

imperatif. Tidak keliru jika Abram kemudian tersinggung mendengar permintaan

ini. “Memangnya kamu ini siapa, kok berani perintah-perintah?!” mungkin

demikian yang ada di pikiran dan perasaan Abram.17

Kemungkinan yang

semacam ini tidak dapat dipungkiri memang ada, terlebih dengan pemberian kata

gelar “raja” terhadap Raja Sodom. Namun, jika maksud dari pemberian gelar

“raja” adalah merupakan sindiran, maka, nampak adanya upaya untuk memberi

konstruksi citra yang negatif kepada Raja Sodom. Dan, itu berarti terdapat

kemungkinan bahwa konstruksi tersebut tidak benar karena telah ada tendensi

tertentu atau power-play yang melatarinya.

1.4. Persoalan Tekstual Kejadian 14 dan “Teks Melkisedek”

Selain persoalan citra dan konsep yang dipergunakan dalam membaca

Kejadian 14, secara tekstual, Kejadian 14 juga membawa persoalan tersendiri.

Bentuk Kejadian 14 merupakan anomali dari keseluruhan Abrahamic saga

karena ia berbentuk annalistic atau catatan perang dengan penggambaran Abram

bagaikan pahlawan militer. Pada bagian lain dari Abrahamic saga, kontrasnya,

figur Abraham sangat jauh dari kesan pahlawan sebagaimana biasanya tokoh

17 Ketersinggungan Abram atas “perintah” raja Sodom dapat ditelusuri melalui respon Abram

bukan hanya menjawab tetapi menjawab dengan mengucapkan sumpah dan menggunakan nama

Tuhan dalam pengucapan sumpah tersebut. (Cat.: kata “sumpah” dalam ayat 23 ini secara literer

berarti “mengangkat tangan” mirip dengan orang yang mengucapkan sumpah di sidang

pengadilan). Selain itu, keengganan Abram untuk menyelamatkan kota Sodom dari kehancuran

yang nampak dari keengganan untuk menurunkan penawaran hanya sampai 10—dan tidak sampai

pada angka yang lebih rendah—dapat menjadi tanda lain akan ketersinggungan Abram (Kej 18).

©UKDW

Page 15: ©UKDW - SInTA Universitas Kristen Duta Wacanasinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/52090046/a92a... · yang ditulis sebagai sebuah pariwara ataupun kampanye. Fenomena

15

dalam annalistic digambarkan. Bahkan, jika sedikit menyederhanakan, figur

Abraham lebih menunjukkan kesan pengecut dan menghindari perang. Selain

berbentuk annalistic, Kejadian 14 dikenal pula sebagai pertunjukan yang tidak

ber-Allah atau godless scene. Jika pada bagian lain dari Abrahamic saga figur

Allah senantiasa muncul secara aktif, Kejadian 14 dengan kontrasnya tidak

memunculkan figur Allah kecuali melalui perkataan Melkisedek.

Lebih lanjut, tidak sedikit yang berpendapat bahwa Kejadian 12:1-9

menjadi tanda akan iman atau kepercayaan Abram akan TUHAN. Namun, jika

membaca lebih teliti, dalam bagian tersebut dinyatakan bahwa Abram berangkat

dari Haran. Jika membaca perikop sebelumnya (Kej 11:27-32), dinyatakan bahwa

Abram dapat tiba di Haran karena Terah—ayah Abram—yang mengajak Abram

untuk keluar dari Ur-Kasdim menuju tanah Kanaan. Dengan lain kata, yang

berinisiatif untuk berpindah dari Ur-Kasdim menuju Kanaan adalah Terah dan

Abram hanya mengikutinya.

Kejadian tidak mencatat bagaimana respon Abram terkait dengan

perkataan TUHAN agar ia keluar dari Haran adalah diam. Tidak tercatatnya

respon Abram ini dapat memunculkan pertanyaan apakah memang Abram

mempercayai perkataan TUHAN tersebut atau tidak. Hal ini sangat berbeda

dengan yang terjadi pada Kejadian 15. Pada pasal ini, terhadap janji TUHAN

dinyatakan bahwa “Lalu percayalah Abram kepada TUHAN, maka TUHAN

memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai kebenaran” (ay.6).

Melalui dua paragraf di atas, dengan demikian, kepercayaan Abram akan

TUHAN pada pasal 12 sebagaimana pendapat banyak orang perlu dipertanyakan.

©UKDW

Page 16: ©UKDW - SInTA Universitas Kristen Duta Wacanasinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/52090046/a92a... · yang ditulis sebagai sebuah pariwara ataupun kampanye. Fenomena

16

Berdasar alasan yang telah diberikan, maka besar kemungkinan bahwa Abram

sampai dengan pasal 14 adalah gambaran akan tokoh yang belum atau malah tidak

percaya akan (janji) TUHAN.

Bergeser ke teks Melkisedek (Kej 14:18-20), dalam bentuk final (final

form)—sebagaimana bentuk yang kita miliki saat ini—teks Melkisedek

merupakan bagian dari runutan kisah kemenangan Abram atas beberapa raja

(Kedorlaomer dan sekutunya) (ay.1-16). Tidak lama berselang setelah dari

kemenangan itu Abram dijumpai oleh raja Sodom dan Melkisedek (ay. 14:17-24).

Perjumpaan antara Abram dengan raja Sodom dan Melkisedek penuh

dengan ketidak-jelasan. Dalam sudut pandang peristiwa (event) tidak terlalu jelas

apakah peristiwa (event) perjumpaan raja Sodom dan Melkisedek dengan Abram

adalah peristiwa yang kronologis, paralel (bersamaan), ataukah retrospektif.

Kronologis berarti setelah raja Sodom menyongsong Abram dilanjutkan dengan

Melkisedek yang menyongsong Abram. Penekanan yang diberikan di sini ialah

pada tindakan dari raja Sodom dan Melkisedek untuk menyongsong Abram.

Paralel berarti tindakan menyongsong Abram yang dilakukan oleh raja Sodom

dan Melkisedek adalah dua tindakan yang berjalan paralel atau bersamaan.

Retrospektif berarti tindakan Melkisedek menyongsong Abram secara peristiwa

justru merupakan peristiwa yang terjadi sebelum raja Sodom menyongsong

Abram. Dalam sudut pandang lokasi, tidak terlalu jelas pula tempat perjumpaan

antara Abram dan Melkisedek. Teks tidak menyebutkan secara eksplisit apakah

perjumpaan antara Abram dan Melkisedek terjadi di lembah Syawe sehingga raja

Sodom mengetahui perjumpaan yang terjadi antara Abram dan Melkisedek

©UKDW

Page 17: ©UKDW - SInTA Universitas Kristen Duta Wacanasinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/52090046/a92a... · yang ditulis sebagai sebuah pariwara ataupun kampanye. Fenomena

17

ataukah perjumpaan antara Abram dan Melkisedek terjadi di Salem lokasi tempat

Melkisedek memerintah sebagai raja.

Meski perjumpaan antara Abram dengan raja Sodom dan Melkisedek

dipenuhi dengan ketidak-jelasan, tetapi dalam penyusunan teks, perjumpaan

Abram dengan Melkisedek (ay. 18-20) ditempatkan di antara tindakan raja Sodom

untuk menyongsong Abram (ay. 17) dan perkataan raja Sodom kepada Abram

(ay. 21).

Penempatan perjumpaan Abram dengan Melkisedek di antara tindakan dan

perkataan raja Sodom menimbulkan dugaan-dugaan di antara para ahli. Ada yang

menduga bahwa teks tersebut merupakan sisipan pada periode yang jauh lebih

muda (mis.: Granerod).18

Ada pula yang menduga bahwa “teks Melkisedek”

merupakan satu kesatuan dengan Kejadian 14 (mis.: Friedman19

dan Wenham).

Dan, secara logika cukup logis untuk mempertimbangkan sebuah pemikiran

jikalau “teks Melkisedek” dihilangkan, narasi yang terbangun justru terasa lebih

mengalir.20

Namun demikian, dugaan akan terjadinya penyisipan “teks Melkisedek”

sebagaimana yang disinggung di atas tidaklah lepas dari persoalan. Secara

gramatikal, pengulangan penyebutan subjek “raja Sodom” pada ayat 21 dengan

tanpa mengganti dengan kata ganti orang ketiga menimbulkan kejanggalan

18 Gard Granerod, Abraham and Melchizedek: Scribal Activity of Second Temple Times in Genesis

14 and Psalm 110, (Walter de Gruyter: Berlin, 2010). 19

Richard Elliott Friedman, The Bible With Sources, (Harper One: New York, 2003). 20

Bdk. dengan pembacaan berikut yang seolah mengalir lebih lancar dengan melakukan elipsis

pada ayat 18-20: “...Setelah Abram kembali dari mengalahkan Kedorlaomer dan para raja yang

bersama-sama dengan dia, maka keluarlah raja Sodom menyongsong dia ke lembah Syawe, yakni

Lembah Raja... Berkatalah raja Sodom itu kepada Abram...”

©UKDW

Page 18: ©UKDW - SInTA Universitas Kristen Duta Wacanasinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/52090046/a92a... · yang ditulis sebagai sebuah pariwara ataupun kampanye. Fenomena

18

ataupun kesalahan gramatikal.21

Penyebutan raja Sodom dengan sebuah kata ganti

orang ketiga tunggal (ay.21) justru akan membuat alur gramatikal teks menjadi

lebih logis, kecuali, bila sisipan yang dilakukan tidak hanya menyisipkan tetapi

juga melakukan peredaksian terhadap kata ganti. Persoalan yang lain ialah terkait

dengan penggunaan “el elyon” oleh Abraham yang seolah mengulang apa yang

dikatakan oleh Melkisedek sebagaimana yang diajukan oleh Skinner.22

Jika

demikian, dapatlah dikatakan bahwa belum terdapat konsensus terkait persoalan

sisipan dari “teks Melkisedek”.

Ketiadaan konsensus terkait dengan “teks Melkisedek” tidak jarang

didekati dengan dua titik berangkat yang berbeda. Pendekatan yang pertama

berangkat dari final form atau unity dan berujung pada disunity (bagian-bagian

kecil). Sedangkan pendekatan yang kedua adalah kebalikan dari pendekatan yang

pertama, yaitu berangkat dari disunity (bagian-bagian kecil) dan berujung pada

unity atau final form.23

Kedua pendekatan yang nampaknya berseberangan ini

tentu memiliki nilai plus dan minus masing-masing dan melalui kedua pendekatan

ini, nampak bahwa antara unity dan disunity terdapat dinamika di dalamnya yang

dapat saling mengisi dan melengkapi.

Dalam tulisan ini nampak bahwa kedua pendekatan dipergunakan meski

tidak dipungkiri bahwa pendekatan dari unity ke disunity lebih dominan.

21 Sebagai catatan, subjek kalimat pada ayat 17 adalah raja Sodom dan bukan Abram.

22 John Skinner, The International Critical Commentary on Genesis. (Edinburg: T & T Clark,

1910), h.269. 23

John Barton & John Muddiman (eds.). The Oxford Bible Commentaries, (Oxford University

Press: New York, 2001), h.35-36. Istilah “unity” adalah istilah yang dipergunakan oleh buku ini

untuk merujuk pada bentuk akhir teks. Sedangkan istilah “disunity” adalah istilah yang

dipergunakan untuk merujuk pada kemungkinan-kemungkinan sumber teks.

©UKDW

Page 19: ©UKDW - SInTA Universitas Kristen Duta Wacanasinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/52090046/a92a... · yang ditulis sebagai sebuah pariwara ataupun kampanye. Fenomena

19

Dominannya penggunaan pendekatan dari unity ke disunity ini tidak terlepas dari

asumsi bahwa sebuah teks adalah sebuah hasil yang didahului adanya ideologi

tertentu dan teks adalah sekaligus jawaban atas kondisi dan ideologi tertentu yang

bersifat ideologis.

2. RUMUSAN PERMASALAHAN

Berdasarkan uraian di atas, ada beberapa permasalahan yang hendak

diteliti jawabannya. Permasalahan yang diangkat tersebut dirumuskan dalam dua

pertanyaan sebagai berikut, yaitu:

1. Bagaimana sebaiknya “teks Melkisedek” yang memiliki berbagai dimensi

kerumitan sekaligus kepentingan itu dibaca?

2. Apakah muatan—termasuk muatan teologis—yang terdapat dalam “Teks

Melkisedek”?

3. TUJUAN PENULISAN

Melalui rumusan permasalahan yang diajukan, tujuan dari penulisan ini

ialah untuk menggali dan mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan yang dapat

menguak muatan-muatan, termasuk muatan teologis yang terdapat dalam “teks

Melkisedek”. Muara dari penemuan akan proses eksklusi ini ialah pada upaya

untuk menjawab pertanyaan pertama dari tulisan ini.

©UKDW

Page 20: ©UKDW - SInTA Universitas Kristen Duta Wacanasinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/52090046/a92a... · yang ditulis sebagai sebuah pariwara ataupun kampanye. Fenomena

20

4. METODOLOGI DAN LANGKAH-LANGKAH PENELITIAN

Dalam upaya untuk menggali muatan-muatan yang terdapat dalam “Teks

Melkisedek”, cara yang dipergunakan dalam tulisan ini ialah kombinasi tiga

metode tafsir yaitu: narasi, retorika, dan kritik ideologi. Tafsir narasi

dipergunakan sebagai payung besar yang melihat teks sebagai satu kesatuan utuh

dalam bentuk final. Selain itu, “Teks Melkisedek” yang tertanam dalam Kejadian,

secara genre termasuk dalam teks naratif atau cerita, oleh karena itu tafsir narasi

memberikan jalan masuk bagi penafsiran yang lain. Kesatuan, bentuk, serta genre

teks ini berpengaruh secara signifikan dalam membentuk retorika teks. Tafsir

retorika dipergunakan untuk melihat strategi yang dipergunakan oleh (para)

penulis dan/atau penyusun untuk mempengaruhi pembacanya. Dalam tafsir

retorika ini pula, bagaimana teks disusun serta narasi dirangkai akan menjadi

sorotan utama karena dua hal ini sangat mempengaruhi efek retorika dari teks.

Memperoleh retorika teks merupakan satu tahap yang akan dilanjutkan dengan

menggali ideologi di balik retorika tersebut.

5. SISTEMATIKA PENULISAN

Dalam upaya untuk mempermudah dalam mengikuti alur pemikiran

penulis, tulisan ini dibagi menjadi enam bab dengan penjelasan sebagai berikut:

Bab I : PENDAHULUAN

Dalam Bab Pendahuluan, beberapa poin penting terkait dengan tulisan ini

dipaparkan secara garis besar. Poin-poin tersebut adalah: Latar Belakang,

©UKDW

Page 21: ©UKDW - SInTA Universitas Kristen Duta Wacanasinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/52090046/a92a... · yang ditulis sebagai sebuah pariwara ataupun kampanye. Fenomena

21

Rumusan Permasalahan, Tujuan Penulisan, Metodologi dan Langkah-

Langkah Penelitian, serta Sistematika Penulisan.

Bab II : PENYUSUNAN TEKS DAN NARATOLOGI KEJADIAN 14:17-20

Bab ini merupakan penerapan dari metode tafsir yang telah diulas dan

dikritisi pada bab sebelumnya. Dalam bab ini fokus penerapan akan

diarahkan pada tiga pokok, yaitu: pembacaan, penyusunan teks, dan

naratologi Kejadian 14:17-20. Dalam bab ini juga transaksi yang terjadi

antara teks dengan pembaca akan diuraikan sebagai upaya untuk

menelusuri jejak retorika teks terhadap pembaca.

Bab III : MELACAK IDEOLOGI-IDEOLOGI DALAM KEJADIAN 14:17-20

Bab ini akan diorientasikan pada pelacakan dari ideologi-ideologi yang

terkandung dalam Kejadian 14:17-20.

Bab IV : REFLEKSI

Bab ini merupakan refleksi yang dilakukan penulis atas hasil temuannya.

Bab V : KESIMPULAN DAN SARAN

Sebagai penutup tulisan ini, kesimpulan dan saran terkait keseluruhan

penulisan ini akan diberikan. ©UKDW