©ukdw - sinta universitas kristen duta...
TRANSCRIPT
1
BAB I: PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Tidak semua yang dikatakan—jika dalam bentuk lisan—atau yang
dituliskan—jika dalam bentuk tulisan—selalu bermaksud seperti apa yang
dikatakan atau ditulis tersebut. Hal ini bukanlah hal yang aneh atau baru yang
diketahui oleh masyarakat luas. Sebagai misal adalah apa yang dikatakan atau
yang ditulis sebagai sebuah pariwara ataupun kampanye. Fenomena iklan dan/atau
kampanye menunjukkan sebuah fenomen perkataan dan/atau tulisan yang sarat
muatan kepentingan. Sebagai sesuatu yang sarat muatan, segala sesuatunya,
seperti diksi, susunan, pewarnaan, bunyi, dlsb, telah diseleksi dengan cermat
karena ada pesan yang hendak dikomunikasikan. Penggunaan peci dan warna
peci, misalnya, dapat menjadi petunjuk akan warna politik tertentu bagi pribadi
yang berkampanye.
Contoh lainnya adalah karya seni dengan berbagai bentuknya. Karya seni
seringkali menggunakan kejeniusannya untuk memberikan sebuah kritik akan hal-
hal yang dalam pandangan seniman tersebut perlu dikritik. Dan tidak jarang kritik
yang diberikan tersebut bersifat subversif. Oleh karena itu, tidaklah
mengherankan jika terdapat seniman yang ditahan oleh pemerintah, mungkin,
karena kritik yang diberikan terlalu lugas meski dalam bentuk karya seni. Namun,
jika kritik keras dibungkus dengan humor, seringkali seniman tersebut malah lolos
dari penahanan. Itulah beberapa contoh bahwa apa yang dikatakan dan/atau ditulis
tidak selalu bermaksud sebagaimana yang dikatakan atau tertulis itu sendiri.
©UKDW
2
Hal yang sama juga terjadi pada teks Alkitab. Pembaca teks Alkitab perlu
berhati-hati oleh karena apa yang tertulis tidak selalu dapat dibaca sebagaimana
adanya.
1.1. Peranan Pembaca dalam Pemaknaan Teks
Apa yang tertulis tidak selalu dapat dibaca sebagaimana adanya. Hal ini
menunjukkan setidaknya ada dua faktor yang saling terkait dalam persoalan
membaca—dalam hal ini membaca teks Alkitab. Faktor yang pertama adalah
teksnya sendiri dan yang kedua ialah pembaca dari teks. Dengan maksud agar alur
pembahasan lebih mengalir, faktor kedua akan dibahas lebih dahulu dan faktor
yang pertama akan dibahas berikutnya.
Terdapat cukup banyak ahli yang menunjukkan bahwa pembaca
memegang peranan sangat penting dalam penentuan sebuah makna. Sebuah teks
yang sama dapat dimaknai secara berbeda oleh pembaca yang berbeda, dan
bahkan oleh pembaca yang sama dalam waktu yang berbeda. Fenomena pembaca
yang berbeda dapat memaknai sebuah teks yang sama secara berbeda bukanlah
hal yang sulit untuk ditemui. Keragaman penafsiran (dan termasuk di dalamnya
keragaman teologi) yang berangkat dari teks yang sama sudah dapat menjadi
bukti akan peranan pembaca dalam memaknai sebuah teks. Fenomena pembaca
yang sama yang memaknai teks secara berbeda juga bukanlah hal yang sulit
dijumpai. Perubahan—dapat berupa perubahan usia, paradigma, konteks—yang
terjadi dalam diri pembaca yang sama yang membaca teks yang sama adalah salah
satu faktor yang sering diacu oleh para ahli untuk menunjukkan perubahan
©UKDW
3
pemaknaan teks oleh pembaca tersebut. Perubahan pemikiran seorang tokoh, pada
beberapa waktu belakangan ini, sering disebut dengan “pemikir anu muda
(early)”, “pemikir anu madya (middle)”, dan “pemikir anu berikutnya (later)”.
Dalam perkembangan hermeneutika, persoalan peranan pembaca juga
menjadi salah satu fokus perhatian. Hal ini disebabkan oleh beberapa
pertimbangan. Pertimbangan yang pertama terkait dengan sang penulis teks,
seperti: persoalan tentang kekaburan siapa penulis sesungguhnya, banyaknya
tulisan-tulisan yang bersifat anonim, ataupun ditemukannya pseudonym dan
pseudepigraph. Pertimbangan yang lain terkait dengan transaksi yang terjadi
antara penulis dengan pembaca melalui teks. Persoalan transaksi ini—sering pula
disebut sebagai the reading process—terjadi karena adanya indikasi
ketidakmampuan penulis untuk menguasai maksud dari penulisan yang
dilakukannya ketika tulisan tersebut sampai kepada pembaca. Ketidakmampuan
penulis tersebut sering diistilahkan dengan “the death of the author”—istilah yang
diperkenalkan oleh Roland Barthes . Relevansi teks—dalam hal ini Alkitab—
adalah kata kunci dalam persoalan transaksi antara pembaca dengan penulis
mengingat adanya kesenjangan yang sangat lebar antara pembaca dengan (dunia)
teks.
Terkait dengan peranan pembaca dalam membaca teks, Aichele et.al
menunjukkan tiga pertanyaan teoretikal, yang jika diringkas dapat dijadikan dua
pertanyaan yaitu: siapa yang membaca dan siapa yang (berkuasa) menentukan
makna. Pertanyaan pertama berorientasi pada atribut yang melekat pada diri
©UKDW
4
pembaca sedangkan pertanyaan yang kedua lebih berorientasi pada power-play
yang terjadi dalam transaksi antara pembaca dengan teks.
Jawaban atas pertanyaan yang pertama, berdasar pendapat beberapa pakar,
singkatnya, pembaca (dan konteksnya) yang berbeda dapat menghasilkan
pemaknaan yang berbeda.1 Pemaknaan yang berbeda oleh pembaca yang berbeda
ini menimbulkan tuduhan terhadap reader-response criticism dengan alasan
bahwa pembaca bisa memaknai teks dengan semaunya sendiri. Terhadap tuduhan
tersebut, Aichele, et.al. memberikan jawab bahwa untuk dapat membaca—apalagi
memaknai—sebuah teks suci, seseorang harus berpartisipasi dalam komunitas
iman yang dipresuposisikan oleh teks.2 Istilah yang sering dipergunakan untuk
merujuk kepada pembaca yang demikian ini adalah implied reader.
Jawaban atas pertanyaan kedua memiliki dua ujung spektrum. Stanley Fish
dalam beberapa karyanya yang berbeda, memiliki pandangan yang berada pada
dua ujung spektrum tersebut.3 Pada awal karyanya, Fish berpendapat bahwa teks
menuntun pembaca dalam menentukan makna. Sedangkan pada karya yang
berikutnya dalam Is There a Text in This Class? menunjukkan bahwa pembacalah
yang mendikte teks. Beberapa mungkin dapat mengajukan keberatan terhadap
ujung spektrum yang berikutnya tersebut. Namun demikian, terhadap keberatan
tersebut, apa yang dinyatakan oleh Keegan sebagaimana dikutip oleh Aichele,
et.al. dapat menjawab keberatan tersebut dengan menyatakan “... One cannot
1 Aichele, et.al., The Postmodern Bible, (New Haven: Yale University Press, 1995) h.27.
Pertanyaan yang diajukan oleh Aichele, et.al. adalah: “...(1) Is reading primarily an individual or
social experience? (2) Which dominates the reading experience, the text or the reader? (3) Is “the
reader” an expert or an ordinary reader?...” 2 Ibid. Hal. 43.
3 Ibid. Hal. 30.
©UKDW
5
understand a text and experience a personal transformation until one becomes “a
slave of the text” and shares an ideology about how to read it...”.4
1.2. “Teks Melkisedek” (Kejadian 14:18-20)
Jika pada poin sebelumnya telah diuraikan tentang satu dari dua faktor
yang terlibat dalam persoalan membaca, yaitu peranan pembaca dalam penentuan
makna sebuah teks. Pada poin ini akan diuraikan tentang faktor yang lainnya,
yaitu faktor teks—faktor yang dibaca. Terkait dengan faktor teks, orientasi
pembacaan akan difokuskan pada teks tertentu, yang dalam hal ini, ialah Kejadian
14:18-20 atau yang sering disebut pula dengan “teks Melkisedek”.
Secara garis besar, “teks Melkisedek” memiliki ciri-ciri dan karakteristik
tertentu yang melekat pada teks itu sendiri. Berikut ini adalah pemaparan lebih
lanjut.
1.3. Persoalan Citra dan Konsep Dalam Pembacaan Kejadian 14
Citra dan konsep—dalam derajat-derajat tertentu—yang dibawa oleh
seorang pembaca, sebagaimana fenomena yang disinggung pada poin di atas,
dapat terjadi ketika pembaca membaca bagian manapun dari Alkitab. “Teks
Melkisedek” adalah salah satu teks dengan tingkat kerentanan yang tinggi
terhadap masuknya citra dan konsep tertentu dari pembaca. Citra dan konsep
tertentu dari pembaca inilah sebenarnya menjadi salah satu akar tuduhan terhadap
reader-response criticism sebagaimana sempat disinggung pada poin sebelumnya.
4 Ibid. Hal. 47.
©UKDW
6
Kerentanan akan masuknya citra dan konsep dari pembaca ini pada dirinya
sendiri bukanlah hal yang buruk dan patut dihindari selama citra dan konsep
tersebut menjadi prapaham yang membawa pembaca kepada paham. Pokok
persoalan dari citra dan konsep yang dibawa masuk oleh pembaca ketika
membaca teks ialah ketika citra dan konsep tersebut tidak disadari dan
menganggapnya sebagai paham.
Kejadian 14 merupakan teks yang rentan terhadap masuknya citra dan
konsep dari pembaca yang setidaknya disebabkan oleh dua hal, yaitu: 1.)
minimnya sumber intra-biblika yang membahas atau menjelaskan tokoh
Melkisedek, dan 2.) adanya persepsi-persepsi tertentu dari pembaca yang telah
mengakar terhadap Abraham dan raja Sodom sebagai tokoh yang mempengaruhi
persepsi terhadap Melkisedek dan demikian pula sebaliknya.
Minimnya sumber intra-biblika. Tokoh bernama Melkisedek hanya
disebut sebanyak tiga kali dalam Alkitab, yaitu: dalam Kejadian 14:18-20,
Mazmur 110:4, dan Ibrani 5-7. Meski mendapat porsi cukup besar dalam
Perjanjian Baru, tapi Melkisedek tidak mendapat porsi cukup besar dalam
Perjanjian Pertama karena dalam Perjanjian Pertama ia hanya disebutkan dalam
empat ayat, yaitu 3 tiga ayat dalam teks Melkisedek dan satu ayat dalam Mazmur
110. Minimnya sumber intra-biblika membuat pembaca seolah menghadapi celah
(gap) yang lebar untuk dijembatani. Namun demikian, pada saat yang sama, celah
yang lebar memberi kesempatan kepada pembaca untuk membuat jembatan antara
dirinya dengan “teks Melkisedek” dengan informasi ekstra-biblika maupun intra-
biblika.
©UKDW
7
Informasi dari sumber ekstra-biblika misalnya dapat diperoleh melalui
studi historis, arkeologis, dan teks-teks di luar kanon (jika teks-teks ini
dikelompokkan sebagai sumber ekstra-biblika). Sementara itu, sumber intra-
biblika dapat diperoleh dari teks sendiri, baik dari Kejadian maupun teks dalam
artian kumpulan teks yang terdapat dalam kanon (baik kanon Yahudi maupun
kanon Kristen).
Pemberian jembatan melalui sumber intra-biblika secara lebih khusus yang
berasal dari dalam kitab Kejadian sendiri dapat diperoleh antara lain dengan
mendekati teks secara naratif. Sebagai bagian dari sebuah narasi, persepsi
terhadap siapa Melkisedek sedikit banyak ditentukan oleh tokoh-tokoh lain di luar
dirinya, misalnya Abraham maupun raja Sodom. Dengan lain kata, untuk
mengetahui Melkisedek yang hanya tertulis dalam tiga ayat, tokoh Abraham dan
raja Sodom dapat dijadikan jembatan. Atau dengan kata lain, untuk memahami
seorang tokoh, dua tokoh lainnya dijadikan pembanding.
Persepsi-persepsi tertentu yang telah mengakar. Tidaklah keliru ketika
upaya untuk memahami Melkisedek dengan memahami dua tokoh lainnya, yaitu
Abraham dan raja Sodom sebagai referensi. Namun demikian, upaya ini bukannya
tanpa persoalan. Persoalan yang cukup mendasar ialah terhadap Abraham dan raja
Sodom, tidak jarang, pembaca membaca mereka dengan persepsi-persepsi tertentu
yang tidak berasal dari kitab Kejadian.5 Abraham sering dipersepsikan secara
positif. Sementara itu, raja Sodom sering dipersepsikan secara negatif.
5 Tidak berasal dari kitab Kejadian berarti dapat berasal dari kitab-kitab yang lain dalam Perjanjian
Pertama maupun Perjanjian Baru maupun berasal dari commentary, dlsb.
©UKDW
8
Persepsi yang positif terhadap figur Abram ini sangat mungkin,
setidaknya, disebabkan oleh dua faktor.
Faktor pertama terkait dengan kebesaran nama Abraham. Kebesaran nama
Abraham juga dapat dijumpai melalui sebutan abrahamic religions yang memiliki
konotasi bahwa melalui Abraham terdapat agama-agama yang berjumlah mayor
pada masa kini seperti Islam dan Kristen. Dalam Kekristenan dan Yudaisme,
setidaknya, ia disebut sebagai “bapa orang beriman”. Dalam Kekristenan, tidak
jarang disebutkan bahwa orang Kristen adalah anak-anak Abraham, meski bukan
dalam artian secara fisik. Biasanya, sebutan “bapa orang beriman” dikaitkan
dengan narasi yang mengisahkan perjalanan iman mulai dari pemanggilan yang
dilakukan oleh TUHAN menuju tempat yang tidak ia ketahui sebelumnya hingga
pada puncaknya adalah peristiwa ujian terhadap iman Abraham melalui
pengorbanan Ishak.
Dalam banyak pandangan teolog Kristen, figur Abraham dijadikan model
akan Allah yang rela mengorbankan Yesus untuk menyelamatkan manusia. Dalam
paradigma teologi yang demikian, Abraham yang diidentifikasikan dengan Allah
dan Ishak diidentifikasikan dengan Yesus. Namun, perlu dicatat bahwa Abraham
tidak sama dengan Allah dan Ishak tidak sama dengan Yesus. Alusi—istilah yang
sering dipergunakan dalam kritik narasi—antara peristiwa Abraham yang rela
mengorbankan anaknya dengan Allah yang rela mengorbankan Yesus memang
diakui ada, tetapi alusi tidaklah menghilangkan keunikan dan perbedaan dari
masing-masing teks yang memang tidak sama.
©UKDW
9
Faktor yang kedua ialah terkait dengan besarnya porsi narasi Abraham.
Dari lima puluh pasal dalam Kejadian, kisah Abraham menempati setidaknya tiga
belas pasal. Jika menggunakan pembagian Kejadian dalam 2 bagian besar
sebagaimana diajukan, misalnya, oleh Alter, yaitu: bagian the Primeval History
(Kej 1-11) dan the Patriarchal Tales (Kej 12-50) maka kisah Abraham
menempati kurang lebih sepertiga dari bagian the Patriarchal Tales.6
Persepsi yang positif terhadap Abraham sebagaimana yang diulas di atas,
tidak jarang juga dipergunakan ketika membaca Kejadian 14. Dalam Kejadian 14,
kemenangan Abram, berkat yang diberikan kepadanya, respon persepuluhan yang
diberikan, penolakan atas harta benda yang diperoleh dari pampasan perang tidak
jarang dilihat sebagai bukti pemilihan dan penyertaan Allah atas diri Abram. Atau
dengan kata lain, kemenangan Abram diproyeksikan sebagai kemenangan Allah;
berkat yang disampaikan kepada Abram diproyeksikan sebagai berkat yang dari
Allah; persepuluhan yang diberikan oleh Abram diproyeksikan sebagai
persembahan Abram kepada Allah; dan penolakan atas harta benda yang
diperoleh dari pampasan diproyeksikan sebagai kebersandaran Abram kepada
janji dan berkat Allah. Pemikiran seperti ini antara lain dapat dijumpai dalam
pemikiran Redford7, Jeske
8, Butler
9, Calvin
10, Clarke
11, Henry
12, dan Hughes
13.
6 Robert Alter, Genesis, (New York: W. W. Norton & Company, 1996) H.xiii.
7 R. A. Redford, “Homilies by R. A. Redford” dalam The Pulpit Commentary: Genesis Chapter
14, (versi elektronik, 2001). Redford melihat Abram lebih sebagai sosok yang spiritual yang
menjaga jarak dengan persoalan-persoalan duniawi. Dalam pemikiran Redford, secara implisit
terdapat pandangan bahwa harta pampasan yang berarti harta yang diperoleh dari merampas pihak
yang kalah perang bersifat duniawi. Duniawi di sini oleh Redford dipertentangkan persoalan
spiritual sehingga dengan demikian, harta pampasan bersifat negatif. 8 J. C. Jeske, Genesis (2nd ed.). The People's Bible. (Northwestern Pub. House: Milwaukee,
Wisconsin, 2001), h.134. Jeske melihat Abram sebagai sosok yang beriman. Iman Abram
©UKDW
10
Persepsi yang positif kepada Abraham memiliki kekuatan role model. Role
model yang terjadi di sini tentu perlu dipahami sebagai role model yang positif
karena yang ditekankan adalah kepositifan dari tokoh. Role model menjadi tolok
ukur dan sasaran yang perlu dicapai. Kemurahan hati dan ke-tidak egois-an
Abram, misalnya, menjadi sesuatu yang patut dikejar. Iman yang teguh dalam
menghadapi tantangan, pencobaan, dan ujian hidup juga menjadi nilai-nilai yang
didambakan oleh banyak orang. Memiliki kehidupan yang bersifat spiritual,
menjadi orang yang baik dan bukannya menjadi orang yang jahat juga menjadi
norma yang hampir berlaku umum. Namun demikian, ketika terkait dengan Allah
didasarkan oleh janji Allah yang menyatakan bahwa daerah di sekeliling Abram yang dilihatnya
akan menjadi miliknya dan milik keturunannya. Berangkat dari iman inilah Abram maju
berperang, termasuk untuk menyelamatkan Lot, keponakannya itu 9 J. G. Butler, Analytical Bible Expositor: Genesis. (LBC Publications: Clinton, IA., 2008), h. 126.
Butler, dalam melihat Abram, lebih banyak menggunakan perbandingan dengan Sodom. Dalam
pemikiran Butler, Sodom identik dengan homoseksualitas yang dipersamakan dengan kejahatan.
Dengan demikian, dalam pemikiran Butler, Abram dilawankan dengan Sodom. Jika Sodom jahat,
maka Abram tidak jahat atau disebut sebagai orang benar. 10
Jan Calvin, Calvin's Commentaries: Genesis. (versi elektronik, Logos Library System: Calvin's
Commentaries). Calvin memandang sikap Abram untuk pergi berperang dan menyelamatkan Lot
adalah sebuah tindakan iman yang didasarkan pada janji Allah sendiri. Dengan demikian, pada
dasarnya kemenangan Abram berasal dari Allah sendiri. Tindakan iman Abram, walau begitu,
bukanlah tindakan yang tanpa berpikir atau melakukan perhitungan-perhitungan tertentu. 11
Adam Clarke, Adam Clarke’s Commentary on the Bible, Genesis 14 dalam software e-Sword
(2000). Clarke melihat sikap Abram yang menolak harta pampasan perang sebagai respon iman
Abram yang melihat bahwa satu-satunya yang empunya kemenangan adalah Allah. Dengan
demikian, penolakan atas harta pampasan perang oleh Abram dipandang sebagai bentuk
penyerahan diri kepada Allah Sang satu-satunya Pemenang. 12
Matthew Henry, Matthew Henry’s Commentary on the Whole Bible, Genesis 14 dalam software
e-Sword (2000). Dalam pandangan Henry, kemenangan Abram sebagai bentuk pemenuhan akan
janji Allah yang akan membuat nama Abram besar. Tindakan militer Abram sepenuhnya
didasarkan pada prinsip charity yaitu menolong orang lain dan tidak dimaksudkan untuk
memperkaya diri sendiri. 13
R. Kent Hughes, “Magnanimous Living” dalam Genesis: Beginning and Blessing, (Wheaton,
Illinois: Crossway Books) h.205-213. Hughes banyak menekankan pada magnanimity atau
kemurahan hati dari Abram. Ia juga menyinggung mengenai sisi ke-tidak egois-an Abram.
Beberapa pertimbangan yang dipergunakan olehnya terkait dengan sikap Abram yang mau
menolong Lot yang dalam pasal sebelumnya dikisahkan mengambil sikap untuk berpisah dengan
Abram setelah terjadinya pertengkaran di antara gembala Lot dan gembala Abram. Dan, setelah
menjalani peperangan yang diasumsikan tidak ringan, Abram masih mau memberikan
persepuluhan dan menolak untuk mengambil harta pampasan yang seharusnya menjadi miliknya.
©UKDW
11
dan/atau teologi, pandangan yang demikian ini juga memiliki kelemahan.
Kelemahan ini antara lain dapat terjadi ketika role model tersebut tidak dikritisi
sama sekali. Dalam role-modelling, relasi yang terbentuk adalah:
Kelemahan yang demikian ini banyak dikritisi oleh pandangan mistik.14
Salah satu kritik dari pandangan mistik adalah ketika relasi dengan Allah atau
penghayatan akan Allah hanya melalui role model. Ketika ini terjadi, role model
malah justru menggantikan Allah sendiri atau yang sering disebut dengan
penyembahan berhala. Hal ini tidak berarti bahwa Allah tidak dapat dijumpai
dalam figur role model, tetapi ketika role model dimutlakkan sehingga tiada
tempat lagi bagi Allah.
Kontras dengan Abraham, raja Sodom sering dipersepsikan dengan
negatif. Jika menggunakan Kejadian 13:13 sebagai titik berangkat, orang-orang
Sodom dipersepsikan sebagai orang-orang yang jahat dan berdosa. Jika orang-
orang Sodom adalah orang-orang yang seperti demikian, sosok Raja Sodom dapat
14 Dalam pandangan mistik, salah satu hal penting yang ditekankan ialah pengalaman kesatuan
mistis dengan figur ilahi. Oleh karena itu, dalam pandangan ini subjek terpenting ialah figur ilahi
itu sendiri. Mediator yang dapat berupa simbol, pengalaman mistis orang lain, tidak ditolak dalam
pandangan ini tetapi yang terutama ialah sang figur ilahi itu sendiri yang tidak dapat tergantikan
oleh mediator-mediator tersebut. Diskusi lebih dalam dapat mengacu pada: John Ferguson. An
Illustrated Encyclopaedia of Mysticism and the Mystery Religions. (Thames and Hudson: London,
1976), hal.126-127; William Harmless, Mystics. (Oxford University Press: New York, 2008).
Ideal
Allah
↓
Role Model
Allah′ (Allah aksen) ≈ Abraham
↓
Imitator
Allah′′ (Allah double aksen) ≈ imitator Abraham
©UKDW
12
dipersepsikan demikian pula dengan pertimbangan bahwa sosok raja menjadi
cerminan akan rakyat yang dipimpinnya atau karena seorang raja adalah bagian
dari sebuah kerajaan yang memiliki rakyat.
Persepsi terhadap Raja Sodom sebagai sosok yang jahat dan berdosa
cukup sering dijumpai dalam beberapa tafsiran atas Kejadian 14. Beberapa
penafsiran yang demikian dapat ditemui misalnya, dalam pandangan Butler.
Dalam pandangannya, Butler menyatakan “The King of Sodom was a much
different man than the king of Salem. Melchizedek represented holiness and
righteousness. The King of Sodom represented just the opposite; and in the
reception he had with Abraham, he demonstrated that fact.”15
E. G. Singgih,
contoh yang lain, menafsirkan tokoh Raja Sodom sebagai seorang tokoh yang
memiliki “siasat” yang pintar-busuk.16
Melanjutkan paragraf sebelumnya, persepsi yang demikian terhadap Raja
Sodom yang tidak bernama ini sering dikaitkan dengan persoalan pampasan
perang. Abram sebagai pemenang, dalam tradisi hukum perang pada zaman
dahulu, adalah yang empunya hak atas pampasan perang. Apa yang dilakukan
oleh Raja Sodom, yaitu meminta orang-orang—atau lebih tepat “nyawa” yang
berasal dari kata Ibrani vp,N<—dan memberikan harta kepada Abram
adalah tindakan yang tidak patut. Ketidak-patutan ini menjadi landasan dalam
mempersepsikan tokoh Raja Sodom sebagai figur yang jahat dan berdosa.
15 J. G. Butler, Analytical Bible Expositor: Genesis, h. 127.
16 Emanuel Gerrit Singgih, Dua Konteks: Tafsir-Tafsir Perjanjian Lama Sebagai Respons Atas
Perjalanan Reformasi di Indonesia. (BPK Gunung Mulia: Jakarta, 1976), h.183-184.
©UKDW
13
Uraian di atas setidaknya memberikan dua alasan mengapa figur Raja
Sodom dipersepsikan secara negatif, yaitu: 1.) karena teks yang sebelumnya
menyatakan bahwa orang-orang Sodom jahat dan berdosa, dan 2.) karena
persoalan sikap terhadap pampasan perang.
Namun demikian, apakah Raja Sodom memang senegatif itu? Jika
menempatkan diri sebagai Raja Sodom, pemberian gelar sebagai “raja” saja sudah
terdengar sedikit konyol. Kekonyolan ini—jika boleh dikatakan demikian—
terlihat dari ketiadaan rakyat, harta, dan makanan. Jika merujuk pada ayat 10 dan
16 disebutkan bahwa orang-orang yang masih hidup melarikan diri ke
pegunungan dan ketika Abram kembali, ia membawa perempuan-perempuan dan
orang-orang yang dijadikan tawanan oleh Kedorlaomer. Penawanan yang
dilakukan oleh Kedorlaomer bukan hanya kepada pria tetapi juga perempuan,
sehingga penawanan yang terjadi dapat dikatakan sebagai penawanan terhadap
semua orang. Dalam ayat 11 disebutkan bahwa segala harta benda Sodom beserta
segala bahan makanan dirampas musuh. Dengan demikian, sebenarnya, dapat
dikatakan bahwa kerajaan Sodom telah hancur lebur dan eksistensinya sebagai
sebuah kerajaan patut dipertanyakan. Jika kerajaan tidak ada, dengan demikian
jabatan raja pun tidak mungkin ada. Dengan kondisi yang demikian, maka,
permintaan Raja Sodom kepada Abram dapat dilihat sebagai permohonan agar
sebuah kerajaan dapat tetap hidup dan ada walaupun tiada memiliki harta. Dan,
ayat 21, sebagaimana disebut sebelumnya, memang menggunakan kata vp,N<
dalam bentuk tunggal.
©UKDW
14
Nada permintaan yang disuarakan oleh Raja Sodom memiliki kesan
memerintah Abram, hal ini dapat terlihat dari konstruk kata kerja yang berbentuk
imperatif. Tidak keliru jika Abram kemudian tersinggung mendengar permintaan
ini. “Memangnya kamu ini siapa, kok berani perintah-perintah?!” mungkin
demikian yang ada di pikiran dan perasaan Abram.17
Kemungkinan yang
semacam ini tidak dapat dipungkiri memang ada, terlebih dengan pemberian kata
gelar “raja” terhadap Raja Sodom. Namun, jika maksud dari pemberian gelar
“raja” adalah merupakan sindiran, maka, nampak adanya upaya untuk memberi
konstruksi citra yang negatif kepada Raja Sodom. Dan, itu berarti terdapat
kemungkinan bahwa konstruksi tersebut tidak benar karena telah ada tendensi
tertentu atau power-play yang melatarinya.
1.4. Persoalan Tekstual Kejadian 14 dan “Teks Melkisedek”
Selain persoalan citra dan konsep yang dipergunakan dalam membaca
Kejadian 14, secara tekstual, Kejadian 14 juga membawa persoalan tersendiri.
Bentuk Kejadian 14 merupakan anomali dari keseluruhan Abrahamic saga
karena ia berbentuk annalistic atau catatan perang dengan penggambaran Abram
bagaikan pahlawan militer. Pada bagian lain dari Abrahamic saga, kontrasnya,
figur Abraham sangat jauh dari kesan pahlawan sebagaimana biasanya tokoh
17 Ketersinggungan Abram atas “perintah” raja Sodom dapat ditelusuri melalui respon Abram
bukan hanya menjawab tetapi menjawab dengan mengucapkan sumpah dan menggunakan nama
Tuhan dalam pengucapan sumpah tersebut. (Cat.: kata “sumpah” dalam ayat 23 ini secara literer
berarti “mengangkat tangan” mirip dengan orang yang mengucapkan sumpah di sidang
pengadilan). Selain itu, keengganan Abram untuk menyelamatkan kota Sodom dari kehancuran
yang nampak dari keengganan untuk menurunkan penawaran hanya sampai 10—dan tidak sampai
pada angka yang lebih rendah—dapat menjadi tanda lain akan ketersinggungan Abram (Kej 18).
©UKDW
15
dalam annalistic digambarkan. Bahkan, jika sedikit menyederhanakan, figur
Abraham lebih menunjukkan kesan pengecut dan menghindari perang. Selain
berbentuk annalistic, Kejadian 14 dikenal pula sebagai pertunjukan yang tidak
ber-Allah atau godless scene. Jika pada bagian lain dari Abrahamic saga figur
Allah senantiasa muncul secara aktif, Kejadian 14 dengan kontrasnya tidak
memunculkan figur Allah kecuali melalui perkataan Melkisedek.
Lebih lanjut, tidak sedikit yang berpendapat bahwa Kejadian 12:1-9
menjadi tanda akan iman atau kepercayaan Abram akan TUHAN. Namun, jika
membaca lebih teliti, dalam bagian tersebut dinyatakan bahwa Abram berangkat
dari Haran. Jika membaca perikop sebelumnya (Kej 11:27-32), dinyatakan bahwa
Abram dapat tiba di Haran karena Terah—ayah Abram—yang mengajak Abram
untuk keluar dari Ur-Kasdim menuju tanah Kanaan. Dengan lain kata, yang
berinisiatif untuk berpindah dari Ur-Kasdim menuju Kanaan adalah Terah dan
Abram hanya mengikutinya.
Kejadian tidak mencatat bagaimana respon Abram terkait dengan
perkataan TUHAN agar ia keluar dari Haran adalah diam. Tidak tercatatnya
respon Abram ini dapat memunculkan pertanyaan apakah memang Abram
mempercayai perkataan TUHAN tersebut atau tidak. Hal ini sangat berbeda
dengan yang terjadi pada Kejadian 15. Pada pasal ini, terhadap janji TUHAN
dinyatakan bahwa “Lalu percayalah Abram kepada TUHAN, maka TUHAN
memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai kebenaran” (ay.6).
Melalui dua paragraf di atas, dengan demikian, kepercayaan Abram akan
TUHAN pada pasal 12 sebagaimana pendapat banyak orang perlu dipertanyakan.
©UKDW
16
Berdasar alasan yang telah diberikan, maka besar kemungkinan bahwa Abram
sampai dengan pasal 14 adalah gambaran akan tokoh yang belum atau malah tidak
percaya akan (janji) TUHAN.
Bergeser ke teks Melkisedek (Kej 14:18-20), dalam bentuk final (final
form)—sebagaimana bentuk yang kita miliki saat ini—teks Melkisedek
merupakan bagian dari runutan kisah kemenangan Abram atas beberapa raja
(Kedorlaomer dan sekutunya) (ay.1-16). Tidak lama berselang setelah dari
kemenangan itu Abram dijumpai oleh raja Sodom dan Melkisedek (ay. 14:17-24).
Perjumpaan antara Abram dengan raja Sodom dan Melkisedek penuh
dengan ketidak-jelasan. Dalam sudut pandang peristiwa (event) tidak terlalu jelas
apakah peristiwa (event) perjumpaan raja Sodom dan Melkisedek dengan Abram
adalah peristiwa yang kronologis, paralel (bersamaan), ataukah retrospektif.
Kronologis berarti setelah raja Sodom menyongsong Abram dilanjutkan dengan
Melkisedek yang menyongsong Abram. Penekanan yang diberikan di sini ialah
pada tindakan dari raja Sodom dan Melkisedek untuk menyongsong Abram.
Paralel berarti tindakan menyongsong Abram yang dilakukan oleh raja Sodom
dan Melkisedek adalah dua tindakan yang berjalan paralel atau bersamaan.
Retrospektif berarti tindakan Melkisedek menyongsong Abram secara peristiwa
justru merupakan peristiwa yang terjadi sebelum raja Sodom menyongsong
Abram. Dalam sudut pandang lokasi, tidak terlalu jelas pula tempat perjumpaan
antara Abram dan Melkisedek. Teks tidak menyebutkan secara eksplisit apakah
perjumpaan antara Abram dan Melkisedek terjadi di lembah Syawe sehingga raja
Sodom mengetahui perjumpaan yang terjadi antara Abram dan Melkisedek
©UKDW
17
ataukah perjumpaan antara Abram dan Melkisedek terjadi di Salem lokasi tempat
Melkisedek memerintah sebagai raja.
Meski perjumpaan antara Abram dengan raja Sodom dan Melkisedek
dipenuhi dengan ketidak-jelasan, tetapi dalam penyusunan teks, perjumpaan
Abram dengan Melkisedek (ay. 18-20) ditempatkan di antara tindakan raja Sodom
untuk menyongsong Abram (ay. 17) dan perkataan raja Sodom kepada Abram
(ay. 21).
Penempatan perjumpaan Abram dengan Melkisedek di antara tindakan dan
perkataan raja Sodom menimbulkan dugaan-dugaan di antara para ahli. Ada yang
menduga bahwa teks tersebut merupakan sisipan pada periode yang jauh lebih
muda (mis.: Granerod).18
Ada pula yang menduga bahwa “teks Melkisedek”
merupakan satu kesatuan dengan Kejadian 14 (mis.: Friedman19
dan Wenham).
Dan, secara logika cukup logis untuk mempertimbangkan sebuah pemikiran
jikalau “teks Melkisedek” dihilangkan, narasi yang terbangun justru terasa lebih
mengalir.20
Namun demikian, dugaan akan terjadinya penyisipan “teks Melkisedek”
sebagaimana yang disinggung di atas tidaklah lepas dari persoalan. Secara
gramatikal, pengulangan penyebutan subjek “raja Sodom” pada ayat 21 dengan
tanpa mengganti dengan kata ganti orang ketiga menimbulkan kejanggalan
18 Gard Granerod, Abraham and Melchizedek: Scribal Activity of Second Temple Times in Genesis
14 and Psalm 110, (Walter de Gruyter: Berlin, 2010). 19
Richard Elliott Friedman, The Bible With Sources, (Harper One: New York, 2003). 20
Bdk. dengan pembacaan berikut yang seolah mengalir lebih lancar dengan melakukan elipsis
pada ayat 18-20: “...Setelah Abram kembali dari mengalahkan Kedorlaomer dan para raja yang
bersama-sama dengan dia, maka keluarlah raja Sodom menyongsong dia ke lembah Syawe, yakni
Lembah Raja... Berkatalah raja Sodom itu kepada Abram...”
©UKDW
18
ataupun kesalahan gramatikal.21
Penyebutan raja Sodom dengan sebuah kata ganti
orang ketiga tunggal (ay.21) justru akan membuat alur gramatikal teks menjadi
lebih logis, kecuali, bila sisipan yang dilakukan tidak hanya menyisipkan tetapi
juga melakukan peredaksian terhadap kata ganti. Persoalan yang lain ialah terkait
dengan penggunaan “el elyon” oleh Abraham yang seolah mengulang apa yang
dikatakan oleh Melkisedek sebagaimana yang diajukan oleh Skinner.22
Jika
demikian, dapatlah dikatakan bahwa belum terdapat konsensus terkait persoalan
sisipan dari “teks Melkisedek”.
Ketiadaan konsensus terkait dengan “teks Melkisedek” tidak jarang
didekati dengan dua titik berangkat yang berbeda. Pendekatan yang pertama
berangkat dari final form atau unity dan berujung pada disunity (bagian-bagian
kecil). Sedangkan pendekatan yang kedua adalah kebalikan dari pendekatan yang
pertama, yaitu berangkat dari disunity (bagian-bagian kecil) dan berujung pada
unity atau final form.23
Kedua pendekatan yang nampaknya berseberangan ini
tentu memiliki nilai plus dan minus masing-masing dan melalui kedua pendekatan
ini, nampak bahwa antara unity dan disunity terdapat dinamika di dalamnya yang
dapat saling mengisi dan melengkapi.
Dalam tulisan ini nampak bahwa kedua pendekatan dipergunakan meski
tidak dipungkiri bahwa pendekatan dari unity ke disunity lebih dominan.
21 Sebagai catatan, subjek kalimat pada ayat 17 adalah raja Sodom dan bukan Abram.
22 John Skinner, The International Critical Commentary on Genesis. (Edinburg: T & T Clark,
1910), h.269. 23
John Barton & John Muddiman (eds.). The Oxford Bible Commentaries, (Oxford University
Press: New York, 2001), h.35-36. Istilah “unity” adalah istilah yang dipergunakan oleh buku ini
untuk merujuk pada bentuk akhir teks. Sedangkan istilah “disunity” adalah istilah yang
dipergunakan untuk merujuk pada kemungkinan-kemungkinan sumber teks.
©UKDW
19
Dominannya penggunaan pendekatan dari unity ke disunity ini tidak terlepas dari
asumsi bahwa sebuah teks adalah sebuah hasil yang didahului adanya ideologi
tertentu dan teks adalah sekaligus jawaban atas kondisi dan ideologi tertentu yang
bersifat ideologis.
2. RUMUSAN PERMASALAHAN
Berdasarkan uraian di atas, ada beberapa permasalahan yang hendak
diteliti jawabannya. Permasalahan yang diangkat tersebut dirumuskan dalam dua
pertanyaan sebagai berikut, yaitu:
1. Bagaimana sebaiknya “teks Melkisedek” yang memiliki berbagai dimensi
kerumitan sekaligus kepentingan itu dibaca?
2. Apakah muatan—termasuk muatan teologis—yang terdapat dalam “Teks
Melkisedek”?
3. TUJUAN PENULISAN
Melalui rumusan permasalahan yang diajukan, tujuan dari penulisan ini
ialah untuk menggali dan mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan yang dapat
menguak muatan-muatan, termasuk muatan teologis yang terdapat dalam “teks
Melkisedek”. Muara dari penemuan akan proses eksklusi ini ialah pada upaya
untuk menjawab pertanyaan pertama dari tulisan ini.
©UKDW
20
4. METODOLOGI DAN LANGKAH-LANGKAH PENELITIAN
Dalam upaya untuk menggali muatan-muatan yang terdapat dalam “Teks
Melkisedek”, cara yang dipergunakan dalam tulisan ini ialah kombinasi tiga
metode tafsir yaitu: narasi, retorika, dan kritik ideologi. Tafsir narasi
dipergunakan sebagai payung besar yang melihat teks sebagai satu kesatuan utuh
dalam bentuk final. Selain itu, “Teks Melkisedek” yang tertanam dalam Kejadian,
secara genre termasuk dalam teks naratif atau cerita, oleh karena itu tafsir narasi
memberikan jalan masuk bagi penafsiran yang lain. Kesatuan, bentuk, serta genre
teks ini berpengaruh secara signifikan dalam membentuk retorika teks. Tafsir
retorika dipergunakan untuk melihat strategi yang dipergunakan oleh (para)
penulis dan/atau penyusun untuk mempengaruhi pembacanya. Dalam tafsir
retorika ini pula, bagaimana teks disusun serta narasi dirangkai akan menjadi
sorotan utama karena dua hal ini sangat mempengaruhi efek retorika dari teks.
Memperoleh retorika teks merupakan satu tahap yang akan dilanjutkan dengan
menggali ideologi di balik retorika tersebut.
5. SISTEMATIKA PENULISAN
Dalam upaya untuk mempermudah dalam mengikuti alur pemikiran
penulis, tulisan ini dibagi menjadi enam bab dengan penjelasan sebagai berikut:
Bab I : PENDAHULUAN
Dalam Bab Pendahuluan, beberapa poin penting terkait dengan tulisan ini
dipaparkan secara garis besar. Poin-poin tersebut adalah: Latar Belakang,
©UKDW
21
Rumusan Permasalahan, Tujuan Penulisan, Metodologi dan Langkah-
Langkah Penelitian, serta Sistematika Penulisan.
Bab II : PENYUSUNAN TEKS DAN NARATOLOGI KEJADIAN 14:17-20
Bab ini merupakan penerapan dari metode tafsir yang telah diulas dan
dikritisi pada bab sebelumnya. Dalam bab ini fokus penerapan akan
diarahkan pada tiga pokok, yaitu: pembacaan, penyusunan teks, dan
naratologi Kejadian 14:17-20. Dalam bab ini juga transaksi yang terjadi
antara teks dengan pembaca akan diuraikan sebagai upaya untuk
menelusuri jejak retorika teks terhadap pembaca.
Bab III : MELACAK IDEOLOGI-IDEOLOGI DALAM KEJADIAN 14:17-20
Bab ini akan diorientasikan pada pelacakan dari ideologi-ideologi yang
terkandung dalam Kejadian 14:17-20.
Bab IV : REFLEKSI
Bab ini merupakan refleksi yang dilakukan penulis atas hasil temuannya.
Bab V : KESIMPULAN DAN SARAN
Sebagai penutup tulisan ini, kesimpulan dan saran terkait keseluruhan
penulisan ini akan diberikan. ©UKDW