umur formasi kebo butak berdasarkan …repository.ugm.ac.id/135168/1/874-885 m4p-0.pdf · akhir –...

12
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-7 Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, 30 31 Oktober 2014 874 M4P-07 UMUR FORMASI KEBO BUTAK BERDASARKAN NANOFOSIL GAMPINGAN DAERAH BAYAT, KAB. KLATEN, PROVINSI JAWA TENGAH Akmaluddin 1 *, Rikzan Norma Saputra 1 1 Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Jl. Grafika No. 2 Bulaksumur Yogyakarta, *Email : [email protected] Diterima 20 November 2014 Abstrak Banyaknya perbedaan pendapat mengenai umur pengendapan Formasi Kebo Butak di daerah Bayat membuat daerah ini menarik untuk diteliti. Formasi Kebo Butak telah diketahui berumur Oligosen akhir Miosen awal dengan menggunakan fosil foraminifera, namun penelitian terbaru melaporkan Formasi Kebo Butak sudah diendapkan sejak Eosen Tengah (zona P11). Perbedaan umur yang sangat kontras tersebut dirasakan perlu untuk melihat kembali umur Formasi Kebo Butak dengan metode mikrofosil yang lain. Penilitian ini bertujuan untuk mengevaluasi umur pengendapan Formasi Kebo Butak dengan menggunakan nanofosil gampingan dengan mengambil sampel pada lokasi yang sama dengan peneliti terdahulu yang menggunakan foraminifera. Penelitian mengambil lokasi pada jalur Tegalrejo-Cermo (Baturagung) dan Karangnongko Desa Jarum. Hasil pengamatan nanofosil gampingan pada jalur Tegalrejo memperlihatkan kelimpahan spesies Cyclicargolithus floridanus, Sphenolithus ciperoensis dan Dictyococcites bisecta yang masuk ke dalam zona NN1 (Miosen awal). Jalur Cermo yang merupakan kemenerusan jalur Tegelrejo memperlihatkan kehadiran Discoaster druggii yang merupakan penciri untuk zona NN2. Jalur Karangnongko atau peneliti terdahulu menganggap sebagai jalur Kalinampu yang dinyatakan berumur Eosen Tengah oleh peneliti terdahulu, ternyata menghasilkan umur Miosen Awal atau zona NN1 yang dicirikan melimpahnya spesies Sphenolithus conicus. Lapisan terbawah dari jalur Karangnongko memperlihatkan kemunculan Sphenolithus heteromorphus dan Sphenolithus belemnos yang merupakan penciri umur NN4. Adanya umur batuan yang tua (NN1) menindih lapisan batuan muda (NN4) yang terjadi di Jalur Karangnongko merupakan bukti adanya sesar naik Baturagung. Hasil pengamatan nanofosil di daerah penelitian menunjukkan pengendapan Formasi Kebo Butak terjadi pada Miosen awal atau pada zona NN1-NN4. Hal ini memperlihatkan bahwa awal pengendapan Formasi Kebo Butak jauh lebih muda yaitu Miosen Atas, dalam penelitian ini juga tidak ditemukan adanya indikasi spesies yang berumur Eosen Tengah seperti yang telah disampaikan oleh peneliti terdahulu. Kata kunci: Biostratigrafi, Nannofosil, Formasi Kebo Butak, Pegunungan Selatan. Pendahuluan Pegunungan Selatan merupakan daerah dengan kondisi geologi yang menarik. Walaupun sudah banyak penelitan yang dilakukan di Pegunungan Selatan namun kondisi geologi daerah tersebut masih belum dapat terungkap secara maksimal (Bothe, 1929; Bemmelen, 1949; Sumosusastro, 1959; Sumarso dan Ismoyowati, 1975; Rahardjo, 1983; Toha dkk., 1994; Rahardjo, 2007; Surono, 2009; Akmaluddin, 2011; Novita, 2012). Hal tersebut terbukti dengan masih banyaknya pendapat baru yang berbeda muncul untuk mencoba mengungkap kondisi geologi Pegunungan Selatan. Banyaknya pendapat baru mengenai kondisi geologi di Pegunungan Selatan muncul karena semakin banyaknya data yang

Upload: duongliem

Post on 17-Sep-2018

236 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-7Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, 30 – 31 Oktober 2014

874

M4P-07

UMUR FORMASI KEBO BUTAK BERDASARKANNANOFOSIL GAMPINGAN DAERAH BAYAT,

KAB. KLATEN, PROVINSI JAWA TENGAH

Akmaluddin1*, Rikzan Norma Saputra1

1Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Jl. Grafika No. 2 BulaksumurYogyakarta, *Email : [email protected]

Diterima 20 November 2014

Abstrak

Banyaknya perbedaan pendapat mengenai umur pengendapan Formasi Kebo Butak di daerah Bayatmembuat daerah ini menarik untuk diteliti. Formasi Kebo Butak telah diketahui berumur Oligosenakhir – Miosen awal dengan menggunakan fosil foraminifera, namun penelitian terbaru melaporkanFormasi Kebo Butak sudah diendapkan sejak Eosen Tengah (zona P11). Perbedaan umur yangsangat kontras tersebut dirasakan perlu untuk melihat kembali umur Formasi Kebo Butak denganmetode mikrofosil yang lain. Penilitian ini bertujuan untuk mengevaluasi umur pengendapanFormasi Kebo Butak dengan menggunakan nanofosil gampingan dengan mengambil sampel padalokasi yang sama dengan peneliti terdahulu yang menggunakan foraminifera. Penelitian mengambillokasi pada jalur Tegalrejo-Cermo (Baturagung) dan Karangnongko Desa Jarum. Hasil pengamatannanofosil gampingan pada jalur Tegalrejo memperlihatkan kelimpahan spesies Cyclicargolithusfloridanus, Sphenolithus ciperoensis dan Dictyococcites bisecta yang masuk ke dalam zona NN1(Miosen awal). Jalur Cermo yang merupakan kemenerusan jalur Tegelrejo memperlihatkankehadiran Discoaster druggii yang merupakan penciri untuk zona NN2. Jalur Karangnongko ataupeneliti terdahulu menganggap sebagai jalur Kalinampu yang dinyatakan berumur Eosen Tengaholeh peneliti terdahulu, ternyata menghasilkan umur Miosen Awal atau zona NN1 yang dicirikanmelimpahnya spesies Sphenolithus conicus. Lapisan terbawah dari jalur Karangnongkomemperlihatkan kemunculan Sphenolithus heteromorphus dan Sphenolithus belemnos yangmerupakan penciri umur NN4. Adanya umur batuan yang tua (NN1) menindih lapisan batuan muda(NN4) yang terjadi di Jalur Karangnongko merupakan bukti adanya sesar naik Baturagung. Hasilpengamatan nanofosil di daerah penelitian menunjukkan pengendapan Formasi Kebo Butak terjadipada Miosen awal atau pada zona NN1-NN4. Hal ini memperlihatkan bahwa awal pengendapanFormasi Kebo Butak jauh lebih muda yaitu Miosen Atas, dalam penelitian ini juga tidak ditemukanadanya indikasi spesies yang berumur Eosen Tengah seperti yang telah disampaikan oleh penelititerdahulu.

Kata kunci: Biostratigrafi, Nannofosil, Formasi Kebo Butak, Pegunungan Selatan.

Pendahuluan

Pegunungan Selatan merupakan daerah dengan kondisi geologi yang menarik. Walaupunsudah banyak penelitan yang dilakukan di Pegunungan Selatan namun kondisi geologidaerah tersebut masih belum dapat terungkap secara maksimal (Bothe, 1929; Bemmelen,1949; Sumosusastro, 1959; Sumarso dan Ismoyowati, 1975; Rahardjo, 1983; Toha dkk.,1994; Rahardjo, 2007; Surono, 2009; Akmaluddin, 2011; Novita, 2012). Hal tersebutterbukti dengan masih banyaknya pendapat baru yang berbeda muncul untuk mencobamengungkap kondisi geologi Pegunungan Selatan. Banyaknya pendapat baru mengenaikondisi geologi di Pegunungan Selatan muncul karena semakin banyaknya data yang

PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-7Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, 30 – 31 Oktober 2014

875

didapat di daerah tersebut seiring dengan munculnya singkapan-singkapan baru disampingsemakin banyaknya penelitian yang dilakukan di daerah yang dahulu belum pernah diteliti.

Penelitian mengenai penentuan umur pembentukan formasi ini menjadi menarikdikarenakan terdapatnya perbedaan pendapat mengenai umur pembentukan formasi inioleh beberapa peneliti pendahulu yang melakukan penelitian mengenai penentuan umurFormasi Kebobutak seperti Bothe (1929), Ismoyowati (1979), Surono dkk. (2006),Akmaluddin (2011), dan Novita (2012). Bothe (1929) menduga bahwa Formasi Kebobutakterbentuk pada Miosen Awal hingga Miosen Tengah atau setara dengan Zona NN1 - NN9(Martini, 1971). Sumarso dan Ismoyowati (1975) melakukan penelitian pada jalur SungaiTegalrejo (Jalur Sungai Cermo) dan mengamati kandungan foraminifera kecil yang adapada jalur tersebut. Dari pengamatannya tersebut didapatkan 5 zona foraminiferaplangtonik (Blow, 1969), yaitu Zona P 21 / N 2, Zona P 22 / N 3, Zona P 23 / N 3, Zona N4, dan Zona N 5. Zona – zona tersebut menunjukkan umur Oligosen Tengah hingga awalMiosen Awal. Rahardjo (2007) melakukan pengamatan kandungan foraminiferaplangtonik pada sampel dari Gunung Pegat, Watugajah, dan Pututputri. Dari pengamatantersebut dijumpai asosiasi spesies Globigerina ciperoensis, Catapsydrax dissimilis, danGlobigerinoides primordius yang menunjukkan Zona P 24 – N 4 atau setara dengan umurOligosen Akhir – Miosen Awal. Surono dkk. (2006) melakukan pengamatan kandungannannofosil gampingan pada sampel batuan Formasi Kebobutak dari Perbukitan Jiwo Timurdan didapatkan spesies Sphenolithus moriformis, S. heteromorphus, S. conicus, S.belemnos, Coccolithus miopelagicus, Helicosphaera carteri, dan H. euphratis. Asosiasitersebut menunjukkan Zona NN 3 atau pada umur Miosen Awal. Akmaluddin (2011)melakukan penelitian terhadap kandungan fosil foraminifera di jalur Sungai Tegalrejo /Sungai Cermo (sama dengan alur Tegalrejo Bawah – alur Tegalrejo Atas pada penelitianini) bagian bawah, tengah, dan atas. Di sampel bagian bawah dijumpai spesiesCatapsydrax dissimilis, Globigerina tripartita, G. binaiensis, G. venezuelana, danGloborotalia nana. Awal kemunculan dari G. primordius yang dijumpai pada sampelbagia atas menunjukkan Zona P 22 atau Akhir Oligosen (Blow, 1969). Sedangkan padabagian tengah menunjukkan kehadiran spesies Globigerina ampliapertura, G.venezuelana, G. praebulloides, G. binaiensis, dan G. sellii yang menunjukkan zona P 20atau Oligosen Tengah (Blow, 1969). Sedangkan pada bagian paling atas dari jalurpenelitian dibatasi oleh akhir kemunulan dari G. ampliapertura yang menandakan umur N5. Pada jalur Sungai Tegalrejo tersebut juga dijumpai spesies rombakan berumur Eosen(akmaluddin, 2011). Novita (2012) membuat biozonasi Formasi Kebobutak di DaerahKalinampu dan sekitarnya berdasarkan kandungan foraminifera plangtonik dan didapatkan13 biozona yang menunjukkan Zona P 11 – N 5 yang setara dengan umur Eosen Tengah –Miosen Awal.

Data dan Metodologi

Tiga belas (13) conto batuan telah dipilih dan diambil pada tiga lintasan: Tegalrejo, Cermo danKarangnongko (Gambar 1). Pengukuran stratigrafi dilakukan dengan menggunakan metodetongkat Jacob. Pengukuran stratigrafi dilakukan dengan sekala 1:10 pada jalur yangmengandung batuan bersifat karbonatan dan dengan sekala 1:100 pada jalur yang tidakmengandung batuan yang bersifat karbonatan. Pengambilan sampel batuan dilakukanbersamaan dengan pengukuran stratigrafi terukur. Sampel yang diambil diutamakan yangbersifat karbonatan dan berukuran butir halus. Conto batuan tersebut dipreparasi denganmetode smear slide kemudian diamati dibawah mikroskop polarisasi dengan perbesaran 1000x.Pengamatan setiap slide dilakukan sebanyak 200 medan pandang. Dari hasil pengamatan,memperlihat kelimpahan nannofosil yang beragam mulai jarang sampai melimpah. Dalam

PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-7Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, 30 – 31 Oktober 2014

876

penentuan umur, penulis memperhatikan awal kemunculan dan atau akhir kemunculan darispesies nannofosil.

Hasil dan Pembahasan

Biostratigrafi Jalur Tegalrejo-Cermo

Delapan (8) conto batuan telah dipilih dan diambil pada lintasan Tegalrejo - Cermountuk dilihat kelimpahan nanofosilnya. Pengukuran stratigrafi pada lintasan inimenghasilkan total ketebalan 510m (Gambar 3), yang terdiri dari litologi batupasir tufan,tuf, serpih dan napal tufan. Nanofosil di jalur ini dijumpai dengan kelimpahan jarangsampai melimpah dengan pengawetan yang baik. Pemuncalan awal dari spesies Discoasterdruggii pada jalur ini tepatnya pada jalur Cermo dijadikan biodatum untuk membagi zonadi jalur Tegalrejo-Cermo. Berdasarkan biodatum Discoaster druggii maka jalur ini dapatdibagi menjadi dua zona (Tabel 1 dan Gambar 3), yaitu Zona Sphenolithus conicus / NN1dan Zona Discoaster druggii / NN2, pada umur Miosen Awal.

Zona Sphenolithus conicus / NN 1Zona ini ditandai dengan awal kemunculan dari Sphenolithus conicus sedangkan bagianatas dari zona ini ditandai dengan awal kemunculan dari Discoaster druggii. Zona inidiwakili oleh sampel T1, T2, T4, dan T6.

Asosiasi fosil yang dijumpai di dalam zona ini adalah Coccolithus pelagicus,Cyclicargolithus abisecta, Cyclicargolithus floridanus, Dictyococcites bisecta, Discoasteradamanteus, Discoaster deflandrei, Reticulofenestra dictyoda, Sphenolithus arthurii,Sphenolithus cf. moriformis, Sphenolithus ciperoensis, Sphenolithus moriformis,Sphenolithus small, dan Sphenolithus villae. Pada zona ini dijumpai tiga spesies rombakan,yaitu Reticulofenestra minuta, Reticulofenestra umbilica, Sphenolithus predistentus.

Zona Sphenolithus conicus ini dapat disebandingkan dengan ZonaTriquetrorhabdulus carinatus/ Zona NN 1 (Martini, 1971) atau dengan ZonaTriquetrorhabdulus carinatus (Subzona Cyclicargolithus carinatus) - Zona Discoasterdeflandrei / Zona CN 1 (Subzona CN 1a CN 1b) (Okada dan Bukry, 1980). Zona inimempunyai umur absolut 21 juta tahun yang lalu hingga 24 juta tahun yang lalu (Okadadan Bukry, 1980). Durasi dari zona ini adalah 3 juta tahun(Okada dan Bukry, 1980).

Zona Discoaster druggii / NN 2Zona ini ditandai dengan awal kemunculan dari Discoaster druggii, yang diwakili olehsampel C1, C3, dan C4. Asosiasi spesies yang dijumpai di zona ini adalah Coccolithusmiopelagicus, Coccolithus pelagicus, Coronocyclus nitiscens, Cyclicargolithus abisectaWISE, Cyclicargolithus floridanus, Discoaster adamanteus, Discoaster deflandrei,Discoaster variabilis, Reticulofenestra dictyoda, Sphenolithus ciperoensis, Sphenolithusconicus, Sphenolithus moriformis, dan Sphenolithus small. Pada zona ini dijumpai tigaspesies rombakan, yaitu Cyclicargolithus marismontium, Reticulofenestra minuta,Reticulofenestra umbilica.

Zona ini dapat disebandingkan dengan Zona Discoaster druggii/ Zona NN 2 (Martini,1971) atau dengan Zona Triquetrorhabdulus carinatus (Subzona Discoaster druggi) –Zona Sphenolithus belemnos / Zona CN 1 (Subzona CN 1c) – Zona CN 2 (Okada danBukry, 1980). Zona ini mempunyai umur absolut 18 juta tahun yang lalu hingga 21 jutatahun yang lalu (Okada dan Bukry, 1980). Durasi dari zona ini adalah 3 juta tahun (Okadadan Bukry, 1980).

PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-7Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, 30 – 31 Oktober 2014

877

Biostratigrafi Jalur Karangnongko, Jarum

Enam (6) conto batuan telah dianalisa kandungan nanofosil di jalur ini. Kelimpahannanofosil menunjukkan sedang sampai melimpah dengan pengawetan fosil yang baik.Terdapat dua zonasi yang umurnya cukup jauh berbeda di jalur ini, yaitu zona NN1 danzona NN4 (Tabel 2 dan Gambar 4), dengan posisi terbalik secara stratigrafis.

Zona Sphenolithus conicus / NN 1Zona ini menempati bagian atas dari pengukuran stratigrafi di Dusun Karangnongko,

Desa Jarum, Bayat. Melimpahnya spesies Sphenolithus conicus dan Cyclicargolithusabisecta pada pengamatan empat conto batuan mengindikasikan bahwa daerah ini masukkedalam zona NN1 atau zona Sphenolithus conicus. Spesies lain yang dijumpai di zona iniadalah Sphenolithus moriformis, Discoaster deflanfrei, Cyclicargolithus floridanus, danCoccolithus pelagicus.

Martini (1971) menyatakan zona NN1 dibatasi oleh pemuncalan akhir dariHelicosphaera recta dan batas atas ditandai dengan pemunculan awal druggii. Zona NN1ini ekuivalen dengan zona CN1 Okada & Bukry (1980), dimana batas bawah ditandaidengan akhir kemunculan dari Sphenolithus ciperoensis dan akhir kemuculanReticulofenestra bisecta.

Zona Sphenolithus heteromorphus / NN 4Zona ini ditandai dengan pemunculan awal dari spesies Sphenolithus heteromorphus,disamping itu juga dijumpai spesies Sphenolithus belemnos. Kehadiran kedua spesiesindex ini menunjukkan pada zona Sphenolithus heteromorphus atau NN4 zona Martini(1971). Asosiasi spesies lain pada zona ini yaitu: Discoaster druggii, Discoaster variabilis,Cyclicargolithus abisecta, Cyclicargolithus floridanus dan Coccolithus pelagicus.

Martini (1971) menyatakan bahwa zona NN4 ditandai dengan pemunculan akhir dariSphenolithus belemnos dan dinamakan sebagai Zona Helicosphaera ampliaperta. ZonaNN4 ekuivalen dengan zona CN3 oleh Okada & Bukry (1980), yang ditandai denganpemunculan awal dari Sphenolithus heteromorphus dan dinamai dengan ZonaHelicosphaera ampliaperta. Umur absolut dari pemunculan awal Sphenolithusheteromorphus oleh Okada & Bukry (1980) yaitu 15 juta tahun yang lalu.

Diskusi

Pada jalur Tegalrejo-Cermo, pengamatan nanofosil menghasilkan umur pada zona NN1-NN2(Martini, 1971). Hasil ini tidak jauh berbeda dengan yang diteliti oleh Sumarso & Ismoyowati(1975) yang menghasilkan zona foraminifera N2-N5 (Blow, 1969), atau ekuivalen denganzona NP25-NN2 Martini. Nannofosil jalur Karangnongko menghasilkan umur Miosen Awalpada kisaran NN1-NN4. Spesies yang dijumpai pada jalur Karangnongko bagian bawahmenunjukkan spesies yang sama seperti yang dijumpai oleh Surono dkk (2006) dengan umuryang sama juga yaitu NN4. Dari hasil pengamatan nanofosil pada dua jalur, Tegalrejo-Cermodan Karangnongko, menghasilkan umur pada rentang Miosen Awal atau di zona NN1-NN4Martini (1971).

Di jalur Karangnongko bagian bawah dijumpai kontak antara napal tufan denganFormasi Kebo Butak (Gambar 2). Napal Karangnongko ini mempunyai ciri fisik putihdengan ketebalan 3 meter, cirri fisik ini sangat berbeda sekali dibandingkan dengannapal/serpih yang ada pada Formasi Kebo Butak yang umumnya mempunyai ciri abu-abukehijauan. Secara umur juga menunjukkan perbedaan umur yang sangat kontras dimanaNapal Karangnongko berumur NN4 sedangkan Formasi Kebo Butak diatasnya berumurNN1. Umur yang lebih tua menumpang diatas umur batuan yang lebih muda

PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-7Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, 30 – 31 Oktober 2014

878

mengindikasikan kemungkinan kontak keduanya sebagai kontak sesar dan menjadi buktiakan adanya sesar naik di Pegunungan Selatan.

Kesimpulam

Berdasarkan data di lapangan dan hasil laboratorium, maka bisa disimpulkan:1. Umur Pembentukan Formasi Kebobutak berkisar antara NN1 hingga NN 4, atau

pada Kala Miosen Awal.

2. Biozonasi daerah penelitian dapat dibagi ke dalam tiga zona, yaitu

Zona Sphenolithus conicus / NN1 zona Martini (1971), ekuivalen dengan zona

CN1a-CN1b Okada & Bukry (1980) atau N4 zona foraminifera Blow (1969).

Zona Discoaster druggii / NN2 zona Martini (1971), ekuivalen dengan zona

CN1c Okada & Bukry (1980) atau N5 zona foraminifera Blow (1969)

Zona Sphenolithus heteromorphus / NN4 zona Martini (1971), ekuivalen

dengan zona CN3 Okada & Bukry (1980) atau N7 zona foraminifera Blow

(1969).

3. Terdapat satuan Napal tufan dengan umur NN4 yang disebut sebagai Napal

Karangnongko yang secara ciri fisik dan umur berbeda sekali dengan napal atau

serpih yang ada pada Formasi Kebo Butak.

4. Kontak antara Napal Karangnongko dengan Formasi Kebo Butak diperkirakan

sebagai kontak sesar naik.

Daftar Pustaka

Bothe, A.CH.G. 1929. Jiwo Hills and Soutern Range, Excurcion Guide. IVth Pacific Sci.Cong, Bandung.

Bemmelen, R.W. 1949. The Geology of Indonesia Vol I A. Government Printing Office,Amsterdam.

Sumosusastro, S. 1956. A Contribution to The Geology of Eastern Djiwo Hills and TheSouthern Range in Central Java. Department of Geology, Faculty of Science,University of Indonesia.

Sumarso dan Ismoyowati, T. 1975. Contribution to The Stratigraphy of The Jiwo Hills andTheir Southern Surroundings (Central Java). Dalam : IPA 4th Annual ConventionProceedings.

Rahardjo, W. 1983. Paleoenvironmental Reconstruction of the Sedimentary Sequence ofThe Baturagung Escarpment Gunung Kidul Area Central Java. Proceedings PIT XIIIkatan Ahli Geologi Indonesia. Yogyakarta 6-8 Desember 1983. Hal 135 - 140.

Toha, B., dkk. 1994. Geologi Daerah Pegunungan Selatan: Suatu Kontribusi. Dalam :Proceedings Geologi dan Geoteknik P. Jawa, Sejak Akhir Mesozoik hingga Kuater.Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik UGM, Yogyakarta. Hal. 19 – 36.

Rahardjo, W. 2007. Foraminiferal Biostratigraphy of Southern Mountains Tertiary rocks,Yogyakarta Special Province. Seminar dan Workshop Potensi Pegunungan Selatandalam Pengembangan Wilayah, Yogyakarta.

Surono. 2008. Litostratigrafi dan Sedimentasi Formasi Kebo dan Formasi Butak diPegunungan Baturagung, Jawa Tengah Bagian Selatan. Dalam : Publikasi KhususGeologi Pegunungan Selatan Bagian Timur, Kementerian Energi dan Sumber DayaMineral, Badan Geologi, Pusat Survei Geologi, Bandung. Hal. 15 – 25.

Surono. 2009. Litostratigrafi Pegunungan Selatan Bagian Timur Daerah IstimewaYogyakarta dan Jawa Tengah. Dalam : Publikasi Khusus Geologi Pegunungan

PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-7Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, 30 – 31 Oktober 2014

879

Selatan Bagian Timur, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, BadanGeologi, Pusat Survei Geologi. Hal. 1 – 13.

Akmaluddin. 2011. Cenozoic Chronostratigraphy and Paleoceanography of SouthernMountains Central Java, Indonesia. A Thesis (Dr.Eng), Kyushu University, Fukuoka.(tidak dipublikasikan).

Novita, D. 2012. Biozonasi Formasi Kebo Bagian Bawah Daerah Kalinampu danSekitarnya Bayat Jawa Tengah. Tugas Akhir Tipe Skripsi, Jurusan Teknik GeologiUGM, Yogyakarta. (tidak dipublikasikan).

Martini, E. 1970. Standard Tertiary and Quartenary Calcareous Nannoplankton Zonation,Edizioni Tecnoscienza, Rome, Italy.

Blow, W.H., 1969, Late Middle Eocen to Recent Planktonic ForaminiferalBiostratigraphy, Bronnimann, P. and Renz, H.H. eds., Proceedings of The FirstInternational Conference on Planktonic Microfossil, Geneva 1967, Leiden, E.J. Brill.Vol. I

Okada, H. dan Bukry, D. 1980. Supplementary Modification and Introduction of CodeNumbers to the Low - Latitude Coccolith Biostratigraphic Zonation, ElsevierScientific Publishing Company, USA.

Surono, Hartono, U., dan Permanadewi, S. 2006. Posisi Stratigrafi dan PetrogenesisIntrusi Pendul, Perbukitan Jiwo, Bayat, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. JurnalSumber Daya Geologi, XVI (5). Hal. 302 – 311.

PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-7Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, 30 – 31 Oktober 2014

880

Tabel 1. Biozonasi nanofoisil pada jalur Tegalrejo-Cermo

Tabel 2. Biozonasi nanofosil pada jalur Karangnongko, Desa Jarum

PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-7Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, 30 – 31 Oktober 2014

881

Gambar 1. Lokasi Penelitian

Gambar 2. Singkapan kontak Formasi Kebo Butak dengan Napal Karangnongko, denganumur yang berbeda, diduga sebagai bukti adanya sesar naik.

PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-7Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, 30 – 31 Oktober 2014

882

Gambar 3. Kolom stratigrafi dan sebaran nanofosil di Jalur Tegalrejo-Cermo.

PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-7Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, 30 – 31 Oktober 2014

883

Gambar 4. Kolom stratigrafi dan sebaran nanofosil pada Jalur Karangnongko

PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-7Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, 30 – 31 Oktober 2014

884

PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-7Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, 30 – 31 Oktober 2014

885