underground blowout
TRANSCRIPT
Apa itu “undergroud blowout” ?
Peristiwa yg terjadi di Sumur Banjarpanji-1 (BPJ-1) ini sangat memprihatinkan. Siapa saja
sangat prihatin bahwa operasi pengeboran dengan niat baik untuk menambah pasokan energi
ini mengalami musibah dan berubah menjadi bencana. Saat ini penelitian dilakukan oleh
semua ahli di Indonesia, baik ahli kebumian, ahli konstruksi, ahli lingkungan, ahli sosial
kemasyarakatan dll. Penelitian ini harus ditujukan sebagai suatu pembelajaran untuk lebih
mengetahui apa yg terjadi dan apa yg harus dilakukan. Dan yang lebih penting bahwa
penelitian ini bukanlah pengadilan. Bukan mencari salah siapa tetapi lebih banyak mengapa
terjadi.
Berikut saya mendongeng bagaimana kejadian musibah ini dengan cara sederhana semoga
membantu mengerti apa yg sedang terjadi.
Dahulu ketika awal-awal eksplorasi minyak di bumi ini, kejadian sumur yang muncrat
dengan minyak yg menyembur ke atas, merupakan kejadian yg mengasyikan dan tanda-tanda
kesuksesan eksplorasi. Pada waktu itu kesadaran keselamatan dan lingkungan belum
secanggih saat ini, sehingga ketika terjadi semburan mereka (para explorer) berfoto
mengabadikan penemuannya.
Disebelah ini BO yang terjadi ketika memperoleh minyak di lapangan Spindletop tahun 1900.
Sumur ini diperkirakan memuncratkan minyak 3 juta galon (lebih dari 12 000 meter kubik)
atau sebesar 80 000 (BPH) Barrel oil setiap hari, sebuah angka produksi yg sangat sulit
dijumpai saat ini. Bandingkan dengan lapangan minyak di Indonesia saat ini.
Tuh lihat … mereka berjejer foto. Coba kalau sekarang aku berfoto begitu … waddduh pasti
GreenPeace an WLHI akan marah-marah …. wupst !
Saat ini peristiwa muncratnya minyak harus dicegah karena alasan keselamatan serta
lingkungan. Mulai saat munculnya kesadaran inilah, maka muncratnya minyak (fluida) dari
dalam ketika melakukan pengeboran dianggap sebagai musibah atau kecelakaan operasi,
karena tidak hanya minyak yg keluar namun juga air dari dalam bumi termasuk material
batuan dapat ikut ‘mecotot’ keluar.
Aliran fluida pengeboran
Dalam kondisi normal, pengeboran dilakukan dengan memasukkan fluida (lumpur pemboran)
dari dalam pipa bor sebagai media sirkulasi. Sirkulasi ini diperlukan salah satunya berfungsi
untuk menahan tekanan fluida dari dalam tanah. Dalam kondisi normal besarnya tekanan
fluida didalam tanah itu sama dengan tekanan tinggi kolom air, masih ingat hukum Pascal,
kan ? itu tuh yang rumusnya tekanan sama dengan hasil kali beratjenis x tinggi x gravitasi.
Nah kalau tingginya (dalah hal ini kedalaman) diketahui kan kita tahu seberapa besat
tekanannya. Tekanan didalam tanah itu bisa saja melebihi tekanan tinggi kolom air sehingga
fluida yg dimasukkan harus memiliki beratjenis lebih besar dari BJ air.
Ini gambar kalau tidak dipompakan lumpur dari atas
Kalau sedang dipompakan maka alirannya jadi agak rumit ya ?
Tapi coba perhatikan adanya penambahan dan kehilangan lumpur ketika sedang ngebor.
“Lost” dan “Gain“
Istilah “lost and gain” dalam operasi pengeboran ini sangat lazim dan sangat sering terjadi.
Saat ini sudah ada alat yg disebut BOP (BlowOut Preventer), alat ini yang akan digunakan
ketika terjadi lost-gain, sebagai katup pengaturnya. Apabila beratjenis lumpur pemboran
memiliki berat yg lebih berat dari tekanan formasi maka akan terjadi masuknya lumpur ke
formasi yg porous. Lost merupakan kejadian ketika lumpur masuk ke formasi ini. Apabila BJ
lumpur terlalu kecil, maka lumpur tidak kuat menahan aliran fluida dari pori-pori batuan.
Lah, ya saat itu terjadi “gain” atau adanya tambahan fluida yg masuk kedalam lubang sumur.
Kalau hal ini tidak teratasi atau terlewat karena proses penyemburannya sangat cepat maka
aliran fluida dari batuan didalam tanah ini terjadi terus menerus, Seterusnya fluida akan
muncrat keluar melalui lubang sumur dan lubang ditengan pipa pemboran. Ini yang disebut
sebagai semburan liar atau “blowout”. Yang keluar bisa berupa minyak, gas, ataupun air dan
bahkan campuran.
Kondisi tekanan masing-masing lapisan di dalam bumi sana itu tidak seragam, juga tidak di
setiap tempat sama. Tekanan fluida pada Batugamping (karbonat) di formasi Kujung di BD-
Ridge yang memanjang dari lapangan BD ke daerah Porong ini, berbeda dengan
Bagtugamping kujung di Laut Jawa. Berbeda pula perilaku dan sebaran tekanannya dengan
batugamping di Baturaja Sumatra, berbeda pula dengan yang di Irian. Memang secara mudah
semakin dalam,maka tekanannya semakin besar. Namun ada kalanya sebuah lapisan
mempunyai tekanan yg rendah atau bahkan bila disetarakan dengan tinggi kolom air memiliki
tekanan dibawah berat jenis air. Ketika ada dua zona tekanan yg berbeda inilah pen-design
sebuah sumur harus jeli. Harus tahu dimana harus memasang selubung (casing) yang tepat.
Pipa selubung (casing) ini berfungsi untuk mengisolasi zona bertekanan tidak normal,
sehingga penanganannya lebih mudah tidak menimbulkan komplikasi.
Design sumur
Nah ketika komplikasi tekanan ini sudah diketahui dari sumur-sumur sebelah-menyebelahnya
maka design sumur harus lebih baik dari sumur sebelumnya. Untuk pertimbangan bisnis pada
saat ini ada dua hal yg harus diperhitungkan paling dahulu yaitu pertama keselamatan dan
kedua keselamatan…. looh kok dua-duanya keselamatan … ah iya lah, yaw … kan kesadaran
keselamatan kerja saat ini lebih kuat ketimbang hal lain. Hampir semua bisnis memang
mendengungkan keselamatan harus lebih didahulukan…keselamatan pekerja, dan
keselamatan lingkungan …. Nah setelah itu baru memperhitungkan biaya. (ah rdp selalu
positip aja … kalau bisnis kan mesti harus ngirit … Hust !!, memasang casing untuk menutup
ini kan butuh biaya … HUST !)
Nah design sumur inilah yg dipakai sebagai pegangan ketika operasi.
Komplikasi lost-gain
Ketika terjadi komplikasi lost dan gain ini perlu penanganan dengan teknik khusus. Kedua
problem ini ditangani dengan cara yang sangat khusus pula. Namun kalau hal ini tidak
teratasi sangat mungkin terjadi “cross-flow”, yaitu fluida yg bertekanan tinggi memasok ke
batuan yg memilki tekanan fluida rendah. Seandainya hal ini terjadi terus menerus maka
terjadilah underground blow out, atau semburan liar didalam tanah. Yang seaandainya
berkelanjutan dapat pula terjadi seperti apa yg terlihat di BJP-1.
Underground Blowout (semburan liar bawah tanah)
Untuk kasus di BPJ ini semburan liar telah terjadi dengan material lumpur yg keluar dari
lubang-lubang yg bukan dari lubang bor. Lumpur itu telah keluar melalui celah-celah yg
terbentuk akibat tekanan tinggi dari dalam tanah. Banyak hal yg harus diketahui sebelum
berusaha menghentikan semburan liar ini antara lain :
- Dimana titik-titik lubang jalan keluarnya lumpur ini
- Berapa tekanan bawah permukaan tempat keluarnya lumpur ini.
- Melihat material yg sudah keluar perlu diketahui bagaimana bentuk lubang bor saat ini.
- Setelah diketahui tentunya perlu juga menentukan peralatan apa saja yang diperlukan.
- dll
Tentusaja kita prihatin akan hal ini. Namun dengan pengetahuan yang benar semoga
kekhawtiran ini menghasilkan cara yg tepat untuk mengatasi.
Perlu Dipelajari adanya “differential subsidence”
Penurunan akibat semburan porong ini sudah dapat dimengerti banyak pihak. memang karena
secara logika mudah sekali diketahui, ya hanya memindahkan materi dari bawah yang
“berpindah” ke permukaan. Namun perlu diketahui bahwa penurunan (amblesan) yg terjadi
tidaklah sama disemua tempat ada tempat2 tertentu yg akan memiliki kecepatan ambles yang
berbeda.
Perbedaan penurunan ini sudah terlihat dengan adanya kasus limpahan atau luapan lumpur
yang disebut oleh Pak Basuki, ketua timnas sebagai istilah “over topping” . Secara mudah
saya gambarkan dibawah ini
Penurunan ini perlu diketahu dan dipetakan. Dan saya yakin sudah dipetakan oleh tim
(semoga). Peta penurunan permukaan ini akan dapat dipergunakan untuk mengantisipasi
pegerakan selanjutnya, sehingga mempermudah penanganan serta desain konstruksi
bangunan civil dipermukaan (bendungan, jembatan, jalan dll).
Selain untuk kebutuhan penanganan, data differential subsidence ini dapat dipergunakan
untuk melihat apakah ada kemungkinan hubungan antara struktur geologi bawah permukaan
atau bahkan untuk mendeteksi arah (jalannya lumpur dari bawah).
Banyak sekali fenomena-fenomena yang perlu dicatat sebagai pemenuhan kebutuhan data-
data ini dalam menangani bencana yang sangat langka ini.
Lumpur Diklaim Turun, tapi Overtopping
Tim insersi bola beton dari ITB Bandung menyatakan frekuensi dan tinggi semburan lumpur
telah turun. Tanda positif itu dinilai merupakan indikasi penurunan volume semburan. Tapi,
lumpur justru meluberi (overtopping) tanggul cincin pusat semburan.
Menurut anggota Tim Supervisi Bola Beton Satria Bijaksana, frekuensi semburan lumpur
rata-rata tinggal 12 kali dalam waktu 5 menit. Padahal, pada awal insersi, frekuensi semburan
bisa sampai 20 kali dalam 5 menit. “Penurunan intensitas semburan itu menjadi indikasi telah
terjadi penurunan volume semburan lumpur,” kata Satria.
Tidak hanya itu. Dia menyebut telah terjadi penurunan pula pada ketinggian semburan.
Tingginya saat ini rata-rata hanya sekitar 3 meter. Padahal, saat awal insersi bola beton,
ketinggian lonjakan bisa mencapai 6 meter. “Tapi, ini masih merupakan hasil pengamatan
visual,” jelasnya.
Jika memang volume semburan turun, mengapa overtopping masih kerap terjadi? Menurut
Satria, overtopping terjadi karena aktivitas penguatan tanggul terganggu. Luberan lebih
disebabkan penanggulan yang tak maksimal. Bukan akibat volume semburan yang tetap
tinggi. “Bagaimanapun, lumpur kan tetap keluar. Upaya penanggulan terus berkejaran dengan
waktu,” ujarnya.
Kondisi di lapangan, overtopping memang terus terjadi. Lumpur meluber di sisi barat tanggul
cincin. Meski hanya sesaat, aktivitas insersi bola beton pun terganggu dan molor. Sebab,
tanggul yang diluberi lumpur merupakan lokasi crane untuk pemasukan bola beton.
Aktivitas penanggulan di sekitar pusat semburan memang tak begitu tampak. Hanya terlihat
sejumlah ekskavator long arm yang berusaha mendorong lumpur ke arah selatan. Juru bicara
Timnas Penanggulangan Semburan Lumpur Rudi Novrianto mengatakan, kondisi tanggul
memang belum stabil. Itu akibat hujan deras yang terus turun di sekitar areal lumpur. Tanggul
menjadi gembur dan licin sehingga sulit dilewati alat berat, terutama truk pengangkut
material.
Mud Volcano yang tidak bisa ditawar
Tentunya sudah banyak yang menyadari fenomena alam apa yang terjadi di lokasi semburan
Lumpur Sidoarjo ini. Saat ini diduga sebuah kemungkinan aktifitas pengeboran yang
berlanjut menjadi sebuah proses alami semburan lumpur bawah tanah yang sering disebut
sebagai Gunung Lumpur atau Mud Volcano (MV). Sama seperti yang sudah sangat sering
dijelaskan sebelumnya oleh para ahli geologi sebelumnya dibeberapa media termasuk di
Kompas.
Fenomena gunung lumpur (mud volcano) ini banyak sekali di dunia demikian juga
diketemukan daerah Jawa Timur. Ketika gunung lumpur ini berada jauh dari pemukiman dan
jauh dari aktifitas manusia maka kejadian ini merupakan sebuah fenomena menarik yg sering
menjadi obyek wisata dan mendatangkan devisa, namun ketika terjadi dan muncul di tengah-
tengah kawasan industri serta kawasan pemukiman yang padat penduduk akan sangat
menganggu dan bahkan akan mendatangkan bahaya. Demikian juga dengan banjir lumpur di
Sidoarjo ini yg merupakan masa awal lahirnya sebuah Gunung Lumpur.
Evolusi gunung lumpur
Tiga model evolusi gunung lumpur akan dijabarkan disini. Model-model evolusi gunung
lumpur ini semua menduga patahan sebagai jalan keluar dari bawah permukaan. Sama seperti
yang diduga terjadi di Sidoarjo ini. Ketiga model evolusi gunung lumpur ini dikembangkan
oleh Kopf et al. [1998], Van Rensbergen et al. [1999] dan Slack et al. [1998].
Gambar 1. Model MV dari Kopf [1998]
Menurut Kopf et al. [1998] dan Slack [1998] ada tiga stadia utama dalam evolusi gunung
lumpur ini. Model-model evolusi gunung lumpur ini kesemuanya model yg terjadi di laut,
terutama yang sering dijumpai di laut dalam. Sebelumnya perhatikan skala 1 Km pada
gambar 1 ini, ukuran ini dapat dipakai nantinya dalam memperkirakan besarnya ukuran
gunung lumpur yang bakal terjadi dan perkiraan amblesan.
Gambar 2. Model MV dari Slack et al [1998]
1. Fase eruptif
Pada fase awal ini terjadi pelepasan tenaga yg cukup kuat. Sifat erupsi yang terlihat pada fase
ini adalah fase pelepasan tekanan yg sangat dominan. Fase awal ini akan sangat banyak
mengeluarkan material terutama cairan (air). Air serta gas merupakan material yg paling
mudah berpindah tempat. Kedua jenis fluida ini akan keluar bersama-sama dengan gerusan
dinding lubang tempat keluarnya lumpur.
Pada fase ini material yg terbentuk sering disebut sebagai “mud breccia” (breksi lumpur).
Fase awal ini di Sidoarjo terjadi ketika sumber lumpur mulai menembus permukaan, yg
diperkirakan karena usikan pengeboran yg melewati zona rekahan.
2. Fase longsoran lumpur dan semburan uap panas (hotspring)
Model yg dipergunakan kedua peneliti gunung lumpur diatas adalah gunung lumpur dibawah
air (di dasar laut). Sehingga hanya gundukan material lumpur saja yang tersisa dan teramati
sebagai catatan geologi. Menurut modelnya Kopf, fase kedua merupakan fase setelah
pembentukan gundukan. dimana pada fase ini gundukan ini sering berasosiasi dengan
endapan laut (hemipelagic).
Menurut Kopf fase kedua ini diikuti keluarnya fluida air yg sering berasosiasi dengan
semburan uap panas. Hal ini terjadi karena proses liquefaksi serta hilangnya daya dukung
butiran penyusun batuan. Seolah-olah tanah diremas dan mengeluarkan cairan yg ada dalam
pori-porinya (air).
3. Fase amblesan (subsidence)
Menurut model yg dikembangkan Kopf dan Slack fase akhir yang menyebabkan amblesan ini
terjadi setelah hilangnya material ke permukaan. Besarnya amblesan diperkirakan
berdiameter sekitar 5-7 Km dengan kedalaman hingga 100-200 meter.
Fase-fase ini sangat mungkin tidak hanya terjadi sekali saja, namun merupakan proses yg
berkesinambungan dan berulang-ulang. Hal ini disebabkan karena proses kesetimbangan
alam akan saling melakukan ‘adjustment‘. Proses erupsi, semburan dan amblesan terjadi
secara episodik berulang-ulang. Gambar 3 dibawah menunjukkan bagaimana proses ini akan
berkesinambungan membentuk lapisan-lapisan Gunung Lumpur.
Model ketiga dibawah ini juga menggambarkan bagaimana hubungan antara konfigurasi
bawah permukaan dengan patahan (rekahan) yang ada. model Slack dan model dibawah ini
menunjukkan bahwa lokasi penurunan (subsidence) tidak selalutepat dibawah lokasi
keluarnya lumpur ini dipermukaan.
Gambar 3. Model evolusi Gunung Lumpur dari Van Rensbergen et al. [1999]
Menimbun (menenggelamkan) daerah bencana banjir lumpur
Yang keluar dari dalam tanah di daerah Sidoarjo ini saat ini berupa campuran air (70%) dan
lempung (30%). kedua jenis material ini air & lempung bisa saja dibuang bersama-sama atau
bisa juga dipisahkan. Kali ini kita konsentrasikan dengan 30% material lempungnya.
Seperti yg digambarkan dalam model evolusi gunung lumpur ini, pada fase pertama kedua
dan ketiga akan selalu mengeluarkan material solid. Pada fase ketiga akan terjadi penurunan
(amblesan) lokasi amblesan ini tidak selalu diatas gundukan lumpur, namun akan sangat
tergantung dari konfigurasi patahan (rekahan) yang ada didaerah tersebut. Sehingga sangat
diperlukan pemodelan bawah permukaan untuk mengantisipasi dimana lokasi yang akan
‘diamankan’.
‘Pengamanan’ atau melokalisir dampak ini sangat penting. Salah satunya dengan membatasi
melebarnya area bencana karena menyebarnya lumpur ini. Namun sekali lagi harus diingat,
cara yg terungkap di tulisan ini hanya berkonsentrasi untuk penangan solidnya atau
lempungnya saja. Air yg 70% juga harus difikirkan juga walaupun bisa saja terpisah baik
pembuangan atau proses treatment-nya. Saya kira air ini dapat dibuang saja, sedang
lempungnya dipertahankan dikelola diarea bencana.
Secara sederhana saya menggambarkan fase-fase penimbunan dan tahapan melokalisir
penyebaran lumpur. Perlu dilakukan pengamatan berkesinambungan dalam menentukan
lokasi bendung-bendung ini. bagaimana konstruksi bendungan ini tentunya kawan-kawan
dari civil engineering akan dengan mudah melakukannya.
Yang perlu diketahui serta dilakukan saat ini adalah:
Pengukuran seberapa besar debit lumpur beserta airnya. Debit lumpur ini sebaiknya
dikuantifikasi dengan tepat karena angka-angka ini akan menjadi dasar desain
pembuatan serta konstruksi (pembangunan) bendungan, dan penanganan fluidanya.
Dimana lokasi amblesan yg sudah terjadi. Perlu juga dilakukan pengukuran serta
pemodelan geologi bawah permukaan. Untuk memperkirakan penurunan selanjutnya.
Seberapa besar penurunannya dan pertubuhannya. Kuantifikasi dengan angka sangat
diperlukan baik
Komposisi fisika-kimia dan mineralogis dari material yg keluar dari lubang lumpur
baik fluida (air dan gas) dan solid (lempung, pasir dan lainnya).
Keuntungan menimbun (menenggelamkan) lokasi semburan. Tentunya akan ada manfaat yg
dapat diambil apabila skenario penenggelaman (penimbunan) daerah lokasi ini. Keuntungan
ini dapat dibagi menjadi :
Saat kejadian (saat ini)
o Melokalisir daerah bencana (melokalisir permasalahan)
Disini sangat jelas akan mempersempit permasalahan yg ditimbulkan.
Potensial konflik akan lebih mudah dikendalikan
o Mengurangi beban laut
Membuang air saja di laut akan lebih mudah diterima ahli-ahli lingkungan laut
serta masyarakat tepi pantai. Bukti adany ikan yg hidup di kolam
penampungan sudah menunjukkan bahwa air ini ‘aman’. Pembuangan solid
(lempung) di laut lebih sulit dimodelkan karena ada fase pengendapan cukup
lama yg apabila dicanpur dengan koagulan sama saja menambahkan bahan
kimia yg pasti juga akan memilki sifat pencemar.
o Dampak lebih “terukur”.
Karena semua bersifat konstruksi bangunan (civil engineering approach) maka
dampak fisik akan lebih jelas terukur dan teramati. Konflik selama ini lebih
banyak bersifat non fisis (biologis khemis) yg lebih susah diselesaikan.
o Dapat dilakukan bertahapKarena masih belum diketahui pasti perilaki (lokasi
amblesan dll) maka akan sangat mungkin disesuaikan dengan kondisi
keluarnya lumpur serta kondisi permukaan tahap demi tahap.
Masa konstruksi
o Memanfaatkan material menjadi bahan komoditi. Saat ini lumpur ini masih
diangap sebagai bahan yg harus dibuang. Namun ada kalanya nanti dapat
diketahui manfaatnya. Sehingga penimbunan bisa dikurangi seandainya bahan
yg akan dibuang ini dijadikan bahan komoditi yg memilki nilai ekonomi.
o Kemungkinan skenario lain masih sangat terbuka Dengan belum diketahui
kejadian selanjutnya maka masih terbuka kemungkinan-kemungkinan lain
karena menunggu pengukuran serta analisa. Ada waktu untuk melakukan studi
apabila terpaksa dibuang ke laut.
Pasca konstruksi
o Dapat dipakai sebagai monumen pembelajaran
o Dapat dimanfaatkan sebagai lokasi wisata alam
Kelemahan menimbun (menenggelamkan) lokasi semburan :
Selain memilki kelebihan-kelebihan diatas tentunya juga ada kelemahan-kelemahan
Kehilangan potensial serta fasilitas yg sudah ada di permukaan Dampak hilangnya
potensi serta fasum-fasos akan lebih jelas dan kasat mata. Potensial konflik lebih
nyata.
Dampak langsung terlihat kemungkinan mengagetkan (shocking). Menyaksikan
rumah yg terkubur, gedung yang tenggelam, tempat yg menyimpan kenangan bagi
penduduk sekitar.
Biaya mahal harus dibayarkan (disiapkan) di depan karena sifatnya pembuatan
konstruksi (civil construction), maka perlu ada dana khusus yg harus dianggarkan
dimuka. Dalam kondisi keenomian saat ini perlu difikirkan sumber pendanaannya.
Perlu diketahui bahwa penenggelaman (penimbunan) ini hanya memanfaatkan material solid
yang hanya 30% dari volume material yg keluar. Air yang merupakan 70% bagian ini harus
difikirkan untuk ditangani tersediri maupun bersama-sama. Namun cara yang paling praktis
adalah, memisahkan air dengan lempung dengan pengendapan (pengaliran berjenjang) dan
membuang air setelah dilakukan treatment. Air hasil pemisahan ini semestinya dapat dibuang
langsung juga tanpa treatmen seandainya tidakada zat yg bersifat toxic.
Peristiwa keluarnya material bawah permukaan secara besar-besaran dan dalam waktu lama
seperti telah diterangkan di atas, menyebabkan kondisi batuan di bawah permukaan
mengalami perubahan sifat, yaitu berkurangnya rapat massa formasi batuan sumber material
padatan. Hal ini meningkatkan kerentanan formasi batuan tersebut untuk terjadinya
penurunan (amblesan/subsidence). Amblesan ini memiliki tingkat penurunan yang bervariasi
sesuai jarak terhadap pusat semburan. Di pusat semburan amblesan mencapai 20 cm per hari,
namun pernah terjadi sampai 300 cm. Di samping itu, rumah-rumah dengan radius 1.000
meter mengalami proses ambles yang mengarah ke pusat semburan, dan juga tanggul
pengaman lumpur yang dibangun di Peta Area Terdampak.
Amblesan masih terus berlangsung, dan telah memberikan dampak luas bagi wilayah
setempat. Amblesan tanah tersebut tidak pernah disadari di periode awal semburan terjadi,
sekitar akhir Mei 2006. Saat itu semua orang berfikir bahwa semburan hanya sebuah kondisi
biasa dari sebuah pelepasan tekanan dari bawah permukaan yang biasanya terjadi di daerah
batuan yang mengandung hidrokarbon. Sehingga konsep penanganannya adalah pelepasan
tekanan dengan memberi jalan sebanyak-banyak untuk pelepasan tekanan tersebut. Konsep
ini diterapkan dengan melakukan pemboran pelepas tekanan dari beberapa titik di sekitar
pusat semburan. Tapi ternyata konsep ini tidak berhasil, karena justru amblesan, dan yang
lebih membuat pemboran ini tidak berhasil adalah terjadi pergeseran horizontal dari formasi
batuan. Pergerakan horizontal dari formasi batuan mengakibatkan patahnya pipa pemboran
pelepas tekanan.
Adanya deformasi geologi tersebut di atas juga telah memotong kantong-kantong gas yang
terjebak di bawah permukaan tanah, sehingga gas mendapatkan jalan keluar untuk terlepas ke
permukaan yang disebut bubble (bualan). Di sisi barat dan selatan dari pusat semburan (desa
Siring Barat, Jatirejo, dan Mindi) muncul banyak bubble yang umumnya disertai air dengan
tekanan rendah, namun ada juga yang mencapai 15 (lima belas) meter. Kandungan gas yang
ke luar dominan berupa gas methane yang memiliki sifat mudah terbakar, di samping itu juga
gas aromatik yang berbahaya terhadap kesehatan. Kondisi ini menyebabkan wilayah
permukiman tersebut dinilai sebagai tidak layak huni dan warga menuntut untuk dimasukkan
dalam Peta Area Terdampak.
Fenomena gunung lumpur yang diikuti oleh
fenomena-fenomena geologis lainnya berpotensi menimbulkan ancaman, sehingga
menyebabkan pada beberapa wilayah menjadi rawan bencana karena muncul pada wilayah
permukiman dan fasilitas umum. Fenomena-fenomena tersebut antara lain :
a. Deformasi geologi.
b. Semburan gas metan dan atau gas lainnya dalam bentuk bubbles.
c. Pencemaran air tanah.
d. Pergerakan horizontal.
Semburan sampai saat ini masing berlangsung walaupun volume lumpur tidak seperti awal
kejadian di tahun 2006-2007. Saat ini volume semburan diperhitungkan kurang dari 10.000
m3/hari. Intensitas semburan menunjukkan tingkah laku freatik, yaitu semburan tidak
kontinyu dalam
intensitas tinggi. Loncatan semburan kadang-kadang mencapai 5 m, tapi seringkali hanya 1-2
m saja. Kondisi ini diyakini telah melampaui fase puncak, bahkan fase rendah, sehingga
sekarang semburan menunjukkan menuju fase istirahat. Fase semburan ini bukan berarti
semburan berhenti, tapi secara intensitas semburan telah jauh berkurang dari semburan pada
awal kejadian.
Kondisi suhu lumpur saat ini (akhir 2010) sudah jauh berubah dan sudah jauh 0 menurun,
yaitu sekitar 40-60 C. Begitu juga viskositas lumpur sudah berubah, lumpur sudah jauh lebih
encer dibandingkan dengan sebelumnya. Semburan sekarang didominasi oleh air dengan
proporsi air dengan padatan adalah sekitar 70% : 30%. Meskipun volume semburan pada
akhir tahun 2010 telah jauh berkurang, dan proporsi kandungan padatan lumpur dengan air
juga telah berubah, namun terdapat fenomena geologi lain yang perlu untuk terus dicermati
dan diwaspadai yaitu naiknya
elevasi kolam lumpur secara keseluruhan, baik pada permukaan yang berbatasan dengan
tanggul, dan khususnya pada permukaan di sekitar pusat semburan. Pada awal bulan Januari
2011 elevasi daerah sekitar permukaan pusat semburan telah mencapai elevasi + 14.350,
sementara pengukuran pada September 2010 elevasi di sekitar pusat semburan masih
menunjukkan pada elevasi + 13.836, dengan radius sekitar 100 m dari pusat semburan.
Dengan kondisi tersebut, gunung lumpur menjadi semakin tinggi dan dapat menimbulkan
bahaya longsor/lahar gunung lumpur bilamana titik kritis
kelerengan gunung lumpur telah dilampaui dan dipicu oleh adanya air hujan yang membebani
lereng gunung lumpur. Fenomena ini menunjukan, meskipun semburan 3 lumpur pada
puncak gunung lumpur sudah mengecil ± 10.000 m /hari, namun massa lumpur yang
mendesak permukaan lumpur sehingga menggelembungkan badan gunung lumpur dan
menambah tinggi permukaan pusat semburan, masih cukup besar dan tidak terlihat dengan
mata telanjang. Dengan naiknya elevasi permukaan gunung lumpur menunjukkan bahwa
volume lumpur yang keluar dari perut bumi masih besar, dan tertampung di kolam lumpur
terus bertambah, meskipun volume yang keluar dari pusat semburan menampakkan jumlah
yang cenderung menurun.
Bahaya akibat longsor gunung lumpur adalah tergesernya massa lumpur mendesak tanggul
yang membatasi kolam lumpur, hal ini dapat terlihat pada titik P71 – P70 di utara, titik P21A
– P10D dibagian barat dan P80 di selatan. Menurut pengamatan, dalam tahun 2010 peristiwa
longsornya lereng gunung lumpur telah terjadi sebanyak 18 kali dan mengakibatkan 2 (dua)
buah kapal keruk di lokasi P43 terdesak material lumpur sejauh 100 m menuju P43 - P80 dan
2 (dua) buah kapal keruk di lokasi P25, sehingga perlu pembenahan sistem ± 3 minggu.
Seperti telah diterangkan sebelumnya, fenomena geologi lainnya menyusul terjadinya
semburan lumpur adalah deformasi geologi. Fenomena geologi ini adalah pergerakan formasi
batuan secara lateral dan horizontal. Dampak dari deformasi geologi adalah retakan yang
terjadi di permukaan yang kemudian diikuti oleh tembusan gas dan air di dalam maupun luar
Peta Area Terdampak. Fenomena deformasi geologi ini menjadi kendala utama secara teknis
dalam upaya penanggulangan semburan lumpur, sebagaimana yang telah dialami sebelumnya
pada upaya penghentian semburan lumpur dengan relief well.
Deformasi geologi juga telah menyebabkan amblesan di sekitar pusat semburan, sehingga
mengakibatkan perubahan diameter lubang pusat semburan. Saat ini lubang pusat semburan
telah mencapai diameter 120 m, sedangkan saat pertama kali semburan muncul hanya
berdiameter beberapa sentimeter saja. Pusat semburan sering berpindahpindah, kadang terjadi
tiga pusat semburan dalam waktu bersamaan, walaupun kemudian pusat semburan utama
tetap pada satu lubang kepundan.
Berdasarkan data citra satelit yang dipublikasikan oleh CRISP (www.crisp.nus.edu.sg) pada
tanggal 5 Juni 2006, 22 April 2007, 5 Januari 2008, 28 Agustus 2008, 11 Oktober 2008, 5
Desember 2008, 30 Maret 2009, 26 Juni 2009, 30 September 2009, 9 Pebruari 2010, April
2010 dan 31 Mei 2010, 23 Juni 2010, 28 Agustus 2010, 26 September 2010, 17 November,
dan setelah dilakukan analisa interpretasi, diperoleh fakta bahwa pusat semburan lumpur
panas mengalami pergeseran letaknya 16 (enam belas) kali. Kejadian berpindahnya pusat
semburan disebabkan oleh deformasi geologi di sekitar pusat semburan, dan tercatat bahwa
amblesan di sekitar pusat semburan pernah mencapai 25-40 cm/hari pada tahun 2008-2009.
Pada bulan Juni-Juli 2009, tanggul cincin yang dibangun sebagai counter pressure untuk
luapan lumpur telah ambles. Dengan demikian tanggul penahan adalah tanggul luar yang
dibangun di sekitar area terdampak (PAT) seluas 641 Ha.
Berdasarkan pengukuran yang telah dilakukan BPLS selama 2 tahun terakhir, ternyata
pergerakan horizontal dari formasi batuan adalah maksimum sebesar 60 cm. Pergerakan ini
terutama terjadi di sekitar jembatan tol lama, atau sekitar 800 m arah utara – barat dari pusat
semburan. Sedangkan amblesan yang terjadi titik yang sama dan pada durasi yang sama
adalah sekitar 70 cm.
Bubble, retakan, amblesan dan “amblongan” mengindikasikan bahwa ancaman deformasi
geologi masih tinggi, khususnya di wilayah Jatirejo, Siring Barat, Ketapang dan Pamotan.
Deformasi geologi ini tentu saja memberikan dampak yang nyata terhadap kestabilan tanggul.
Tanggul penahan lumpur di sisi barat terus menerus mengalami penurunan. Titik tercepat
penurunan adalah di sekitar jembatan tol putus (p.10A - p.11) di Siring Barat. Dengan
demikian Bapel-BPLS perlu terus menerus melakukan monitoring terhadap deformasi
geologi ini baik yang terjadi di tanggul, maupun yang terjadi di luar wilayah PAT.
Pembangunan tanggul yang dilaksanakan sampai dengan akhir tahun 2010 antara lain adalah
tanggul utara bagian dalam yang berada di lokasi eks PerumTAS-1 (P71 – P70 – P69 – P68),
tanggul P83 – P88 – P89 yang berada di Desa Renokenongo, dan tanggul P90 – P96 (tanggul
edungcangkring – Besuki/Kebes bagian utara). Tanggul P71 – P22 (tanggul Ketapang –
Siring) sebagai pelindung jalan kereta api dan jalan arteri Porong juga telah ditinggikan
hingga mendekati elevasi rencana. Tanggul ini terus-menerus mengalami subsidence
(amblesan) dan dampak subsidence ini terus ditangani.
Pada kaki tanggul juga dilakukan perkuatan dengan memasang konstruksi bronjong untuk
menambah keamanan tanggul. Walaupun tinggi tanggul sebagian besar aman dari bahaya
overtopping, namun ada bahaya lain yang mengancam keberadaan tanggul, yakni pengaruh
desakan/tekanan dari longsoran lumpur dari gunung lumpur yang mengarah ke utara ke arah
tanggul di lokasi ex. PerumTAS-1 dan ke timur ke arah tanggul Renokenongo, bahkan juga
ke mengarah ke barat ke arah tanggul Ketapang – Siring.
Untuk mengamankan tanggul Ketapang – Siring dari lumpur meluap, bangunan pelimpah
(spillway) dari kolam lumpur ex. Perumtas-1 di lokasi P70A telah dapat diselesaikan
walaupun pembangunannya menghadapi tantangan dari warga Kedungbendo.
pemantauan-pemantauan terkait dengan potensi geohazard di area semburan dan area
sekitarnya, antara lain:
a. Pemantauan aktifitas semburan Semua kejadian telah di rekam dalam bentuk catatan
anvi sualisasi , termasuk pemantauan gas yang menyertai semburan lumpur .
Terjadinya semburan lumpur telah memicu munculnya beberapa fenomena geologi
yang berupa subsidence (amblesan), uplift (pengangkatan), crack (retakan), dan
bubble (bualan), baik di dalam maupun di luar area semburan, termasuk di sekitar
permukiman penduduk.
b. Pemantauan bubble dan pengukuran semburan gas
Munculnya beberapa semburan gas di sawah dan di pemukiman penduduk di
sekitar semburan lumpur di Sidoarjo telah berdampak pada meningkatnya
kekhawatiran masyarakat setempat karena trauma dengan kejadian semburan lumpur
panas (mud volcano) yang muncul sejak akhir Mei 2006. Pada hal, sebenarnya
semburan gas ini (biasa disebut gas rawa), merupakan fenomena geologi yang umum
di kawasan sungai atau rawa purba. Hal ini menimbulkan masalah baru, karena gas
yang ke luar kebanyakan adalah gas metana yang mudah terbakar dan mempunyai
bau tidak enak.
Bubble yang muncul di sekitar lokasi semburan di luar peta area terdampak
jumlahnya meningkat sejalan dengan meningkatnya subsidence. Di wilayah
semburan lumpur dan sekitarnya, gas ini muncul di banyak tempat di luar area
terdampak antara lain: di sumur penduduk, dari sumur bor air dangkal (<10m) dan
dalam (>60m), di sawah, sungai,bahkan lewat retakan bangunan rumah. Hingga
akhir tahun 2010, kurang lebih telah terjadi 184 semburan gas dengan berbagai
bentuk, karakter dan masa waktu (lifetime) yang berbeda.
Dari ratusan semburan gas yang ada, beberapa di antaranya telah dilakukan
penanganan separasi (memisahkan gas dan air), selain untuk menghilangkan baunya,
juga untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, misalnya dibakar dengan
sengaja oleh pihak – pihak yang tidak bertanggung jawab. Dari beberapa yang
diseparasi tersebut, telah ada semburan gas yang dapat dimanfaatkan oleh warga
sekitar sebagai bahan bakar memasak. Tidak semua semburan gas dapat
dimanfaatkan sebagai bahan bakar. Yang terbaik adalah semburan gas yang ke luar
lewat sumur bor air dalam, karena selain tekanannya lebih tinggi, konsentrasi gas
methan-nya juga tinggi, dan masa aktifnya yang relatif lebih lama. Sampai dengan
akhir tahun 2010, BAPEL-BPLS telah membuat sebanyak 17 tungku berbahan bakar
gas rawa untuk kepentingan memasak warga sekitar yang tersebar di desa Siring
Barat (7 buah), Desa Mindi (5 buah), Desa Pamotan (3 buah) dan Desa Jatirejo (2
buah). Ke 17 buah tungku tersebut berasal dari 6 semburan gas di 4 desa di atas,
yang semua sumber gasnya berasal dari sumur bor air tanah dalam.
Di samping itu, berdasarkan hasil uji laboratorium mengenai kandungan gas
yang berlokasi di desa Siring, Pamotan, Mindi, Pejarakan dan Kedungcangkring
menunjukkan adanya diferensiasi kandungan gas metan dan CO . Semakin tinggi 2
kandungan gas metan, kandungan CO semakin kecil atau sebaliknya.
c. Deformasi Geologi
Deformasi merupakan perubahan bentuk dan posisi suatu objek akibat
terjadinya perubahan struktur formasi batuan. Perubahan bentuk diukur di
permukaan dengan mengukur perubahan koordinat titik pantau. Perubahan koordinat
ini kemudian akan menggambarkan perubahan bentuk di permukaan apakah secara
positif atau negatif. Perubahan positif artinya adanya peninggian, sedangkan
perubahan negatif adalah adanya penurunan. Perubahan bentuk mendatar berupa
retakan dan sesar. Perubahan ini diindikasikan dengan berpindahnya koordinat titik
pantau secara mendatar.
Hidrokimia
Pengertian Lumpur Vulkanik
Banyak para ahli geologi yang menganalogikan semburan lumpur panas Lapindo dengan
gejala alam yang disebut gunung lumpur / mud volcano yang banyak tersebar di Indonesia
(khususnya di Indonesia Timur dikenal dengan istilah poton), bahkan di Jawa Timur Utara
pun banyak diketemukan, seperti Bleduk Kuwu dekat Purwodai, Gunung Anyar dekat
Surabaya bahkan di selatan Kali Porong, yang di
masa lalu menyemburkan lumpur tetapi sekarang sudah mati (Koesoemadinata, R, September
2006) Definisi dari Mud Volcano adalah suatu gunung api lumpur yang
berbentuk suatu kerucut tanah liat dan lumpur berukuran kecil, yang pada umumnya kurang
dari 1-2 m tingginya. Gunung api lumpur kecil ini terbentuk dari campuran air panas dan
sedimen halus (tanah liat dan lumpur) dimana terdapat ( 1) aliran perlahan dari suatu lubang
seperti suatu arus lahar cair; atau ( 2) menyembur ke udara seperti suatu air mancur lahar
yang melepaskan air mendidih dan gas vulkanis. Tanah liat dan lumpur yang secara khas
berasal dari gas batuan vulkanik
padat dan panas yang terlepas dari magma yang dalam di bawah memutar air bawah tanah
menjadi suatu campuran panas dan asam yang secara kimiawi merubah batuan vulkanik
menjadi fraksi lumpur dan tanah liat. (Sumber
http://volcanoes.usgs.gov/Products/Pglossary/MudVolcano.html)
Fotografi oleh by S.R. Brantley padaSeptember 1983
Gambar 2.2. Fenomena lumpur vulkanik di wilayah Norris Geyser, Taman Nasional
Yellowstone, Wyoming. Gunung Lumpur ini setinggi 40 cm.
Fenomena lumpur vulkanik yang terjadi di lokasi kegiatan PT. Lapindo Brantas, Inc Porong
Sidoarjo diperkirakan para ahli geologi karena patahan / crack yang memotong puncak dari
batugamping Formasi Kujung, indikasi slump (kemungkinan menunjukkan mobile shale) dan
Collapse zone (indikasi pernah terjadinya colapse didaerah ini pada masa lampau. Semburan
lumpur vulkanik dapat terjadi karena adanya liquifaction (pencairan) atau seperti agar-agar
yg dihentakkan secara mendadak sehingga menyembur keluar. Pada kondisi stabil mobile
shale (mobile clay) adalah seperti tanah lempung yang sering dilihat dipermukaan bumi
dengan wujud sangat liat. Namun ketika kondisi dinamis karena mengalir maka percampuran
dengan air bawah tanah menjadikan lempung ini seperti bubur. Lumpur vulkanik ini bisa
melalui crack (patahan) yang sudah ada dapat juga melalui pinggiran sumur dengan
membentuk crack/fracture yang baru. Keduanya akan menyebabkan kejadian yang sama
yaitu keluarnya lumpur.
Kandungan Lumpur Vulkanik dan Dampaknya
Hasil analisa mikropaleontologi menunjukkan bahwa lumpur Lapindo mengandung fosil
foraminifera (cangkang zat renik bersel satu) yang dahulu hidup di lingkungan laut
(Koesoemadinata, R, September 2006). Lumpur vulkanik tersebut merupakan material yang
berasal dari formasi berumur Pliosen. Analisis nannofosil di lumpur menunjukkan umur
sekitar Pliosen, sama dengan kandungan fosil di kedalaman 2000-6000 ft di sumur tersebut,
ppm chloride sekitar 10.000, lumpur mengandung material volkanik dan di awal-awal
semburan lumpur mengeluarkan gas H2S dengan temperatur lumpur sekitar 40-50 0C.
Material semburan lumpur vulkanik yan gberasal dari dalam perut bumi dapat memberikan
dampak terhadap mahluk hidup yang berada di atas permukaan bumi sebagaimana fenomena
letusan gunung berapi atau keluarnya gas beracun dari gunung berapi yang memusnahkan
kehidupan di sekitarnya dan memerlukan waktu bertahun-tahun untuk pulih kembali.
Karakteristik Lumpur
Beberapa pengujian laboratorium untuk mengetahui sifat fisika dan kimia lumpur
dilakukan,antara lain berupa pengujian sifat fisik lumpur, pengujian sifat kimia lumpur, dan
pengujian perilaku lumpur dalam kolam penampungan.
Dari penelitian sifat fisik lumpur antara lain diketahui bahwa berat jenis lumpur berkisar 1,24
– 1,37 gr/cm3 yang menunjukkan bahwa partikel lumpur sangat berat. Pengujian sifat fisika
lumpur lainnya adalah pengujian untuk melihat gambaran susunan partikel lumpur secara
mikro. Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan Mikroskop Pemindai Elektron (MP
atau SEM (Scanning Electron Microscope).
Hasil perbesaran penampang partikel sampai 20.000 kali menunjukkan bahwa ketebalan
lempeng partikel berkisar antara 0,01– 0,05 µm dan lebar lempeng dapat mencapai 5 µm. Hal
ini menunjukkan bahwa gaya tarik antar partikel sangat besar.
Ada dua hal yang menyebabkan lumpur sulit dipindahkan, yaitu besarnya densitas dan
lebarnya lempeng partikel. Tetapi ada hal lain yang perlu diketahui, yakni bahwa porositas
lumpur dapat mencapai lebih dari 30%, berarti paling kurang ada ruang sebesar 30% volume
material yang dapat disusupi air.
Dengan perbesaran partikel lumpur sampai 20.000 kali dapat diperoleh gambaran bahwa
partikel lumpur tidak saling melekat atau masih ada rongga yang memungkinkan dilewati
cairan. Bentuk kristal yang pipih dan luas menyulitkan terjadinya pergeseran posisi antar
lempeng kristal karena adanya gaya tarik menarik antar lempeng partikel. Bentuk lempeng
yang tipis dan luas membutuhkan energi yang besar untuk memisahkan antar lempengnya
dan apabila tidak ada energi maka antar lempeng akan merapat. Jadi secara makro, lumpur
tidak akan mengendap menjadi seperti semen (cementing), tetapi karena lempeng kristalnya
tipis dan permukaannya luas, maka diperlukan energi yang lebih besar untuk memisahkannya
dibanding dengan bentuk kristal kubus. Adanya rongga paling kurang 30% memungkinkan
air menyusup ke dalam rongga. Atas dasar ini, untuk menghanyutkan lumpur dengan air
adalah upaya yang masuk akal. Hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa jumlah air harus
melebihi rongga yang ada atau jumlah air untuk menghanyutkan lumpur minimal harus lebih
dari 30% dari jumlah lumpur ditambah dengan faktor densitas sekitar 1,35 kali berat lumpur.
Untuk menerangkan perubahan sifat kimiawi lumpur karena berkurangnya kandungan air
akibat mengeringnya lumpur dapat dibandingkan dengan susunan kandungan semen. Secara
garis besar komposisi kimia berbagai jenis semen digambarkan sebagai berikut:
Mencermati perbandingan komposisi kimiawi lumpur Sidoarjo yang diamati dengan
komposisi kimiawi semen dapat dijelaskan bahwa kandungan CaO lumpur sangat kecil
dibandingkan dengan kebutuhan kandungan CaO semen, dan kandungan SiO2 lumpur relatif
besar. Berdasar kenyataan ini dapat disimpulkan bahwa kemungkinan lumpur menjadi
kaku (cementing) sewaktu lumpur kehilangan kandungan air tidaklah mudah, apalagi
untuk mencapai sifat “semen”, karena dibutuhkan panas yang tinggi untuk proses
kalsinasi.
Reaksi kimia yang terjadi pada proses kalsinasi adalah:
Kalsinasi : CaSO4.2H2O _ CaSO4.½H2O + 1½H2O
Dalam keadaan kering seperti inilah bahan dapat berfungsi sebagai semen, dimana akan
terbentuk trikalsium silikat dan dikalsium silikat. Pada saat digunakan semen akan
mengalami reaksi rehidrasi sebagai berikut:
Rehidrasi : CaSO4.½H2O + 1½H2O CaSO4.2H2O
Pada kasus lumpur Sidoarjo, setelah lumpurnya mengering akibat penumpukan yang
agak lama, tidak akan terjadi pengikatan antar partikel secara kimia, atau tidak terjadi
reaksi kimia. Antar partikel yang halus hanya terjadi gaya antar partikel secara fisika
dan dapat dipisahkan secara fisika pula.