universitas indonesia analisis yuridis ......putusan mahkamah agung nomor 280 k/pdt/2006)” ini...
TRANSCRIPT
UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS YURIDIS TERHADAP KASUS GUGATANWANPRESTASI PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI(PPJB) TANAH (STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH
AGUNG NOMOR 280 K/PDT/2006)
SKRIPSI
ZEFANYA SIAHAAN0806317205
FAKULTAS HUKUMPROGRAM STUDI ILMU HUKUM
PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATADEPOK
JUNI 2012
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS YURIDIS TERHADAP KASUS GUGATANWANPRESTASI PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI(PPJB) TANAH (STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH
AGUNG NOMOR 280 K/PDT/2006)
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum padaFakultas Hukum Universitas Indonesia
ZEFANYA SIAHAAN0806317205
FAKULTAS HUKUMPROGRAM STUDI ILMU HUKUM
PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATADEPOK
JUNI 2012
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
ii
Universitas Indonesia
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Skripsi dengan judul “Analisis Yuridis Terhadap Kasus Gugatan
Wanprestasi Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) Tanah (Studi Kasus
Putusan Mahkamah Agung Nomor 280 K/PDT/2006)” ini adalah hasil karya
saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah
saya nyatakan dengan benar.
Nama : Zefanya Siahaan
NPM : 0806317205
Tanda Tangan :
Tanggal :
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
iii
Universitas Indonesia
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi ini diajukan olehNama : Zefanya SiahaanNPM : 0806317205Program Studi : Ilmu Hukum
Program Kekhususan Hukum PerdataJudul Skripsi : Analisis Yuridis Terhadap Kasus Gugatan Wanprestasi
Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) Tanah (StudiKasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 280K/PDT/2006)
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima seba-gai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar SarjanaHukum pada Program Kekhususan Hukum Perdata
DEWAN PENGUJI
Pembimbing : Suharnoko, S.H., MLI. ( )
Pembimbing : Endah Hartati, S.H., M.H. ( )
Penguji : Surini Ahlan Sjarif, S.H., M.H. ( )
Penguji : Akhmad Budi Cahyono, S.H., M.H. ( )
Penguji : Abdul Salam, S.H., M.H. ( )
Ditetapkan di : Depok
Tanggal : 22 Juni 2012
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
iv
Universitas Indonesia
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus yang setia
menyertai saya, hanya karena kasih dan berkat-Nya penulis dapat menyelesaikan
penulisan skripsi ini. Penulisan skripsi dengan judul “Analisis Yuridis Terhadap
Kasus Gugatan Wanprestasi Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) Tanah (Studi
Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 280 K/PDT/2006)” ini dilakukan dalam
rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum pada
Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai
pihak, sangatlah sulit bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu,
pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu penulis yang tercinta, Renatha Septiana Panjaitan, yang memberikan
dukungan luar biasa, lahir dan batin, selama penulis menyelesaikan studi
hukum di Universitas Indonesia dan dengan penuh pengertian senantiasa
mendengarkan keluh kesah penulis dalam segala hal baik berhubungan dengan
masalah perkuliahan maupun masalah lainnya. Ayah penulis yang penulis
kasihi, Sahala Parlindungan Siahaan, yang juga selalu memberikan dukungan
dan arahan dalam perkuliahan penulis termasuk juga dalam penulisan skripsi
ini. Adik penulis, Nicholas Benito Siahaan, yang sekaligus merupakan sahabat
terdekat penulis yang penulis sangat kasihi, yang selalu menemani bermain
game dan menonton berbagai film di saat penulis penat dengan perkuliahan.
Keluarga besar penulis, opung Nurmala Sitompul, tulang Robin Panjaitan,
tante Christine Panjaitan, dan tante Meidina Panjaitan. Juga kepada sepupu-
sepupu Jerikho Tobing, Jessica Tobing, Jeremy Tobing, Pierre Sipayung,
Kevin Sipayung, dan Maxi Sipayung. Serta anggota keluarga besar lainnya
yang jumlahnya berlebihan sehingga tidak mungkin disebutkan satu persatu.
2. Bapak Suharnoko, S.H., MLI., selaku pembimbing materi dalam penulisan
skripsi ini. Diskusi yang kami lakukan serta bahan bacaan yang beliau
pinjamkan kepada penulis untuk dijadikan referensi sangat membantu dalam
penulisan skripsi ini.
3. Mbak Endah Hartati S.H., M.H., selaku pembimbing teknis dalam penulisan
skripsi ini. Beliau merupakan pengajar penulis pada beberapa mata
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
v
Universitas Indonesia
perkuliahan dalam ruang lingkup Hukum Perdata selama penulis menempuh
pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Pandangan beliau
sebagai pengajar memberikan tambahan wawasan bagi penulis.
4. Prof. Dr. Anna Erliana S.H., M.H., selaku pembimbing akademis yang selalu
membantu penulis dalam menyusun perkuliahan di awal tiap semester.
5. Ibu Surini Ahlan Sjarif, S.H., M.H., selaku Ketua Bidang Studi Hukum
Keperdataan yang memberikan izin penulisan skripsi ini.
6. Dewan Penguji Skripsi yang terdiri dari Bapak Suharnoko, S.H., MLI., Mbak
Endah Hartati S.H., M.H., Ibu Surini Ahlan Sjarif, S.H., M.H., Bapak Akhmad
Budi Cahyono, S.H., M.H., dan Bapak Abdul Salam, S.H., M.H., yang
bersedia meluangkan waktunya untuk menguji skripsi penulis.
7. Seluruh pengajar dan sivitas akademika Fakultas Hukum Universitas
Indonesia atas segala bantuan serta ilmu yang telah diberikan selama masa
perkuliahan, penyelesaian penulisan skripsi, sampai dengan selesainya sidang
kelulusan.
8. Rizky Raditya Lumempouw yang sudah menemani hari-hari penulis dan
memberikan bantuan serta dukungan dalam banyak hal terutama dalam proses
penulisan skripsi ini, lengkap dengan segala keluh kesah yang terjadi
akibatnya, maupun pada saat pra-sidang kelulusan, sehingga segala sesuatu
pada akhirnya berjalan dengan baik.
9. Sahabat pertama dan terdekat penulis selama menjalani studi hukum di
Universitas Indonesia mulai dari masa matrikulasi, Priscilla Rotua Manurung,
atas dukungan dan bantuannya dalam bentuk apapun. Sahabat sekaligus teman
sekamar penulis selama kurang lebih dua tahun di Wisma Cornelius, Karina
Ginting Suka, yang sangat pengertian atas segala perilaku penulis yang
mungkin sembarangan selama dua tahun tersebut. Kenangan-kenangan
bersama tak akan mungkin penulis lupakan. Salah satu sahabat pertama
penulis di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Zubenubiana Bisri, yang
karena kebetulan jarak kediamannya cukup dekat sangat sering menemani
penulis di saat-saat senggang. Sahabat penulis yang dari awal mendorong
penulis untuk memulai penulisan skripsi ini, dan selama penulisan senantiasa
memberikan dukungan dan masukan, Beatrice Ekaputri Simamora dan Andri
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
vi
Universitas Indonesia
Rizki Putra. Kepada sahabat-sahabat penulis lainnya, Sarah Eliza Aishah,
Naftalia Siregar, Jane Laura Simanjuntak, Muhammad Alfi Sofyan, dan Dita
Putri Mahissa yang senantiasa memberikan dukungannya. Kepada teman satu
bimbingan yang juga sangat membantu sejak awal penulisan skripsi ini, Verita
Dewi. Kepada mahasiswa Fakultas Hukum angkatan 2008 lainnya tanpa
terkecuali, semoga solidaritas angkatan kita tetap terjaga, dan semoga kita
sukses di hari tua.
Pada akhirnya, penulis ingin mengucapkan rasa maaf bagi pihak-pihak yang
terlewat disebutkan. Terima kasih atas dukungan dan bantuan yang diberikan
kepada penulis dalam bentuk apapun. Penulis menyadari bahwa penulisan ini
masih jauh dari sempurna. Penulis mohon maaf sebesar-besarnya jika ditemukan
kesalahan-kesalahan, karena itu penulis mengharapkan adanya kritik dan saran
agar skripsi ini menjadi lebih baik.
Dengan homat,
22 JUNI 2012
Zefanya Siahaan
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
vii
Universitas Indonesia
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGASAKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan dibawah ini,
Nama : Zefanya SiahaanNPM : 0806317205Program Studi : Ilmu Hukum
Program Kekhususan Hukum PerdataFakultas : HukumJenis Karya : Skripsi
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepadaUniversitas Indonesia Hak Bebas Royalti Nonekslusif (Non-exclusive Royalty-Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:
“Analisis Yuridis Terhadap Kasus Gugatan Wanprestasi Perjanjian PengikatanJual Beli (PPJB) Tanah (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 280K/PDT/2006)”
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneks-klusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/formatkan,mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan memublikasi-kan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pen-cipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : DepokPada Tanggal :
Yang Menyatakan
(Zefanya Siahaan)
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
viii
Universitas Indonesia
ABSTRAK
Nama : Zefanya SiahaanProgram Studi : Ilmu Hukum
Program Kekhususan Hukum PerdataJudul : “Analisis Yuridis Terhadap Kasus Gugatan Wanprestasi
Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) Tanah (StudiKasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 280K/PDT/2006)”
Perjanjian Pengikatan Jual Beli tanah, sering ditemukan dalam praktek sehari-haridi masyarakat maupun di kantor-kantor Notaris. Perjanjian ini merupakan suatuperjanjian yang mendahului perjanjian jual beli tanahnya. Dalam pasal 37 ayat (1)Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dapatdiketahui bahwa untuk peralihan hak atas tanah diperlukan suatu akta otentik yangdibuat oleh seorang pejabat umum yang disebut dengan Pejabat Pembuat AktaTanah (PPAT) yang diangkat oleh pemerintah. Sehingga peralihan hak atas tanahtidak dapat dilakukan begitu saja tanpa memenuhi persyaratan yang telahditetapkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengikatan jual beliini memuat janji-janji untuk melakukan jual beli tanah apabila persyaratan yangdiperlukan untuk itu telah terpenuhi. Berdasarkan hal-hal tersebut makapermasalahan yang akan diteliti dalam skripsi ini adalah syarat-syarat sahnyaPerjanjian Pengikatan Jual Beli tanah, hal-hal yang mengakibatkan suatu pihakdinyatakan melakukan wanprestasi atas Perjanjian Pengikatan Jual Beli tanah, danperlindungan hukum bagi pihak yang dirugikan apabila Perjanjian Pengikatan JualBeli dianggap tidak sah menurut hukum sehingga dinyatakan batal demi hukum,dikaitkan dengan putusan Mahkamah Agung Nomor 280 K/PDT/2006.
Kata kunci:Perjanjian Pengikatan Jual Beli, Tanah, Wanprestasi
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
ix
Universitas Indonesia
ABSTRACT
Name : Zefanya SiahaanStudy Program : Law
Majoring Civil LawTitle : “Juridical Analysis Of Breach Of Contract Claims For
Land Preliminary Sale And Purchase Agreement (PPJBTanah - Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tanah) (CaseStudy Supreme Court Decision Number 280K/PDT/2006)”
Land preliminary sale and purchase agreement is commonly found in dailypractices, both in public and in notary offices. This agreement is an agreementpreceding its land sale and purchase agreement that should be conducted beforethe Land Deed Official (PPAT - Pejabat Pembuat Akta Tanah). In Article 37,verse (1) of Government Ordinance Number 24 Year 1997 about LandRegistration, it can be known that, for the purpose of right transfer of land, anauthentic certificate composed by a general officer mentioned as Land DeedOfficer appointed by the government is required. Thus, a right transfer of landmay not be conducted freely without fulfilling the requirements established by thelegal law and order. This preliminary sale and purchase agreement is meant to beas a preceding agreement of the primary intention of all parties to conduct theprocess of land sale and purchase if the required requirements for that purposehave been fulfilled. Based on those matters, the problems that will be observed inthis thesis are conditions of a legally binding land preliminary sale and purchaseagreement, the factors that cause a breach of land preliminary sale and purchaseagreement, and lawful protection for the party in loss if the land preliminary saleand purchase agreement is deemed to be not legally binding and therefore null andvoid, related to the Supreme Court Decision Number 280 K/PDT/2006.
Key words:Preliminary Sale And Purchase Agreement, Land, Breach Of Contract
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
x
Universitas Indonesia
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ......................................................................................... iHALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ............................................... iiHALAMAN PENGESAHAN ............................................................................ iiiKATA PENGANTAR ........................................................................................ ivLEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI ILMIAH .......................................... viiABSTRAK DALAM BAHASA INDONESIA .................................................. viiiABSTRAK DALAM BAHASA INGGRIS........................................................ ixDAFTAR ISI....................................................................................................... x
BAB 1. PENDAHULUAN ................................................................................ 11.1. Latar Belakang............................................................................................. 11.2. Pokok Permasalahan.................................................................................... 71.3. Tujuan Penulisan ......................................................................................... 71.4. Kerangka Operasional ................................................................................. 71.5. Metode Penelitian........................................................................................ 10
1.5.1. Bentuk Penelitian .............................................................................. 101.5.2. Tipologi Penelitian............................................................................ 111.5.3. Jenis Data .......................................................................................... 111.5.4. Bahan Hukum ................................................................................... 111.5.5. Alat Pengumpulan Data .................................................................... 121.5.6. Metode Analisis Data........................................................................ 121.5.7. Bentuk Hasil Penelitian..................................................................... 12
1.6. Kegunaan Teoritis Dan Praktis.................................................................... 131.7. Sistematika Penulisan................................................................................... 13
BAB 2. TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN....................... ...... 152.1. Hukum Perikatan Pada Umumnya .............................................................. 15
2.1.1. Pengertian Perikatan ......................................................................... 152.1.2. Sistem Terbuka Dalam Hukum Perikatan......................................... 152.1.3. Hubungan Antara Perikatan Dan Perjanjian ..................................... 17
2.2. Pengaturan Mengenai Perjanjian................................................................. 182.2.1. Syarat Sahnya Perjanjian .................................................................. 182.2.2. Azas-Azas Perjanjian ........................................................................ 232.2.3. Cara-Cara Hapusnya Perikatan ......................................................... 26
2.3. Tinjauan Umum Mengenai Prestasi...................................... ...................... 342.4. Tinjauan Umum Mengenai Wanprestasi ..................................................... 35
BAB 3. PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI TANAH..................... 423.1. Tinjauan Umum Mengenai Tanah............................................................... 42
3.1.1. Pengertian Tanah.......................................................... .................... 423.1.2. Hak Penguasaan Atas Tanah............................................................. 433.1.3. Cara-Cara Memperoleh Hak Penguasaan Atas Tanah...................... 543.1.4. Pendaftaran Tanah............................................................................. 58
3.2. Pengertian Jual Beli Tanah.................................................... ...................... 633.2.1. Pengertian Jual Beli Tanah Sebelum Berlakunya UUPA ................. 63
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
xi
Universitas Indonesia
3.2.2. Pengertian Jual Beli Tanah Sesudah Berlakunya UUPA.................. 653.3. Pengertian Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tanah........................................ 68
BAB 4. ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG DALAMKASUS GUGATAN WANPRESTASI ANTARA PT. PULAU SERIBUPARADISE DENGAN PT. PATRA JASA DAN PT. PERTAMINA .......... 714.1. Kasus Posisi Perkara Gugatan PT. Pulau Seribu Paradise Terhadap
PT. Patra Jasa Dan PT. Pertamina......................................................... ...... 714.1.1. Gugatan PT. Pulau Seribu Paradise Sebagai Penggugat................... 724.1.2. Jawaban PT. Patra Jasa Sebagai Tergugat I................ ...................... 734.1.3. Jawaban PT. Pertamina Sebagai Tergugat II.............. ...................... 744.1.4. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ......................................... 754.1.5. Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta ................................................... 784.1.6. Putusan Mahkamah Agung ............................................................... 79
4.2. Perjanjian Pengikatan Jual Beli Hak Atas Tanah Yang DilakukanAntara PT. Patra Jasa Dengan Sdr. Benny Sumampouw Adalah SahMenurut Hukum..................................................................... ..................... 804.2.1. Perjanjian Pengikatan Jual Beli Hak Atas Tanah Yang Dilakukan
Antara PT. Patra Jasa Dengan Sdr. Benny Sumampouw MemenuhiSyarat Sah Perjanjian Menurut Pasal 1320 KUHPerdata ................. 80
4.2.2. Ir. Pudjadi Soekarno Bertindak Sesuai Kewenangannya SebagaiDirektur PT. Patra Jasa................................................ ..................... 85
4.3. PT. Patra Jasa Melakukan Wanprestasi Atas Perjanjian Pengikatan JualBeli Hak Atas Tanah Yang Dilakukan Dengan Sdr. Benny Sumampouw.. 90
4.4. Perlindungan Hukum Terhadap PT. Pulau Seribu Paradise Sebagai PihakYang Dirugikan Akibat Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta YangMenyatakan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Hak Atas Tanah BatalDemi Hukum......................................................................... ...................... 95
KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................................... 995.1. Kesimpulan.................................................................................................. 995.2. Saran ............................................................................................................ 101
DAFTAR REFERENSI .................................................................................... 103
LAMPIRAN
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Universitas Indonesia
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Tanah adalah hal yang penting dalam kehidupan bangsa Indonesia, karena
sebagai sebuah negara agraris sebagian besar rakyat Indonesia hidup dari ekonomi
yang bercorak agraris atau pertanian. Selain itu dengan semakin tingginya
pertumbuhan penduduk, kebutuhan masyarakat akan tanah atau lahan meningkat
dan menyebabkan harga tanah semakin mahal. Mengingat pentingnya keberadaan
tanah, tidak jarang tanah sering menjadi bahan sengketa, terutama dalam hal
kepemilikan.
Untuk mengatur tentang pemanfaatan tanah atau lahan agar tidak
menimbulkan sengketa dalam masyarakat, maka pada tanggal 24 September 1960
keluarlah peraturan perundang-undangan tentang pertanahan, yang dikenal dengan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria atau yang lebih dikenal dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).
UUPA memberikan kepastian hukum tentang masalah pertanahan, karena
sebelumnya di Indonesia berlaku dua sistem hukum dalam masalah pertanahan,
yaitu hukum tanah yang berdasarkan atas hukum adat dan hukum tanah yang
berdasarkan hukum barat yang terdapat dalam Burgelijk Wetboek (BW)/Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Dengan berlakunya UUPA,
maka dualisme aturan hukum yang terdapat dalam hukum tanah sebelumnya
hapus.
Hukum agraria yang terdapat dalam UUPA merupakan hukum pertanahan
nasional yang tujuannya adalah:
1. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang
akan merupakan alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan dan
keadilan bagi negara dan rakyat terutama rakyat tani, dalam rangka
masyarakat adil dan makmur.
2. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan
dalam hukum pertanahan.
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Universitas Indonesia
2
3. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai
hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.1
Salah satu cara untuk mendapatkan tanah sekarang ini adalah melalui jual
beli yang biasanya dilakukan dengan perjanjian atau yang dikenal dengan
perjanjian jual beli. Ketentuan tentang perjanjian jual beli diatur dalam
KUHPerdata dimana pasal 1458 KUHPerdata berbunyi:
“Jual beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak sewaktu mereka telahmencapai sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang itu belumdiserahkan maupun harganya belum dibayar.”2
Atas dasar pasal tersebut terlihat bahwa perjanjian dianggap telah ada
sejak tercapai kata sepakat, meskipun barang yang diperjanjikan belum diserahkan
maupun harganya belum dibayar. Hal ini sesuai dengan asas konsensualisme
yang dianut dalam buku III KUHPerdata. Konsensualisme artinya perjanjian
sudah mengikat para pihak yang membuatnya, sejak detik tercapainya kata
sepakat mengenai hal-hal yang diperjanjikan.3 Dengan demikian perjanjian sudah
sah dan mengikat para pihak tanpa perlu suatu formalitas atau perbuatan tertentu.
Namun demikian, terhadap asas konsesualisme terdapat pengecualian, salah
satunya dalam perjanjian formil.
Perjanjian formil ialah perjanjian yang disamping memenuhi syarat kata
sepakat juga harus memenuhi formalitas tertentu.4 Termasuk dalam perjanjian
jenis ini adalah perjanjian jual beli tanah. Jual beli dengan obyek tanah secara
khusus diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, di mana setiap
perbuatan hukum yang menyangkut tanah harus mengikuti ketentuan yang diatur
dalam peraturan perundang-undangan tersebut. Peraturan tentang tanah tersebut
diantaranya adalah UUPA, Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang
1 Indonesia, Undang-Undang Pokok Agraria, UU No. 5, LN No. 104 tahun 1960, TLNNo. 2043, penjelasan.
2 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek], diterjemahkan oleh R.Subekti dan R. Tjitrosudibio, cet. 31, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2001), pasal 1458.
3 Akhmad Budi Cahyono dan Surini Ahlan Sjarif, Mengenal Hukum Perdata, (Jakarta:CV. Gitama Jaya, 2008), hal. 133.
4 Ibid., hal. 134.
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Universitas Indonesia
3
Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah, Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Peraturan Menteri
Negara Agraria Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dan lain-lain.
Sebagai salah satu bentuk perjanjian formil, perjanjian jual beli tanah
memiliki formalitas tertentu yang harus dipenuhi. Formalitas yang dimaksud
disini adalah bahwa jual beli tanah harus dilakukan di hadapan pejabat yang
berwenang, yang dalam hal ini adalah Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).
PPAT disini bertugas membuat Akta Jual Beli (AJB) tanah. Akta tersebut
membuktikan bahwa benar telah dilakukan perbuatan hukum yang bersangkutan.
Karena perbuatan hukum yang dilakukan merupakan jual beli tanah, maka akta
tersebut secara implisit juga membuktikan bahwa pembeli merupakan pemilik
tanah yang baru. Tetapi karena administrasi PPAT sifatnya tertutup bagi umum,
maka hal itu baru diketahui oleh para pihak dan ahliwarisnya saja. Oleh karena itu
juga perbuatan hukum jual beli tanah yang dilakukan baru mengikat para pihak
dan ahliwarisnya saja.5 Nama yang dicatat dalam buku tanah sebagai pemilik
tanah masih nama pemilik tanah yang lama, dan sertifikat tanah juga masih atas
nama pemilik tanah yang lama. Untuk dapat mencatat nama pemilik tanah yang
baru dalam buku tanah dan diterbitkan sertifikat tanah baru, maka pemindahan
hak atas tanah yang dilakukan melalui jual beli perlu didaftarkan.
Dengan dicatatnya pemindahan hak tersebut pada buku tanah dan
diterbitkannya sertifikat tanah, diperoleh surat bukti yang lebih kuat dan lebih luas
daya pembuktiannya. Administrasi pendaftaran tanah yang ada di kantor
pertanahan kabupaten/kotamadya mempunyai sifat terbuka bagi umum. Oleh
karena itu, pemindahan hak tidak hanya diketahui dan mengikat para pihak yang
melakukan perbuatan hukum serta ahliwarisnya saja, tetapi pihak ketiga pun
dianggap mengetahui, bahwa penerima hak adalah pemegang haknya yang baru.6
Dalam pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah (PP 24/1997) dijelaskan bahwa untuk mendaftarkan
pemindahan hak perlu dilakukan pembuktian dengan akta PPAT yang
5 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2005), hal. 331.
6 Ibid.
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Universitas Indonesia
4
membuktikan bahwa benar telah dilakukan perbuatan hukum yang bersangkutan.
Dengan demikian untuk pemindahan hak melalui jual beli perlu dibuktikan
dengan AJB tanah.
Untuk membuat AJB itu sendiri tidak mudah. Seperti yang telah
diterangkan sebelumnya bahwa perbuatan hukum yang berkaitan dengan tanah
telah diatur ketentuannya, maka ada hal-hal yang perlu juga diperhatikan sebelum
pembuatan AJB yaitu harus dipenuhinya syarat-syarat perjanjian jual beli tanah.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dapat berhubungan dengan persyaratan yang
menyangkut tentang obyek jual belinya maupun tentang subyek jual belinya.
Persyaratan tentang obyek jual belinya, misalnya tanah yang akan
diperjualbelikan merupakan tanah yang sah dimiliki oleh penjual yang dibuktikan
dengan adanya sertifikat tanah atau tanda bukti sah lainnya, tanah yang
diperjualbelikan tidak berada dalam sengketa dengan pihak lain, dan sebagainya.
Sedangkan persyaratan tentang subyek jual belinya, misalnya ada pembeli yang
mensyaratkan bahwa tanah yang akan dibelinya harus mempunyai sertifikat bukti
kepemilikan tanah, sedangkan tanah yang akan dibeli belum mempunyai sertifikat
atau harga obyek jual beli belum bisa dibayar lunas oleh pembeli. Apabila
persyaratan-persyaratan tersebut belum dipenuhi maka penandatanganan terhadap
AJB tanah belum bisa dilakukan di hadapan PPAT, dan PPAT yang bersangkutan
juga akan menolak untuk membuatkan AJB sebagai akibat belum terpenuhinya
semua syarat tentang pembuatan AJB.
Keadaan ini tentunya sangat tidak menguntungkan atau bahkan bisa
merugikan terhadap para pihak yang melakukan jual beli tanah. Karena dengan
keadaan tersebut pihak penjual di satu sisi harus menunda dulu penjualan
tanahnya, agar semua persyaratan tersebut dapat terpenuhi, yang dengan
sendirinya juga tertunda keinginannya untuk mendapatkan uang dari penjualan
tanahnya. Hal yang sama juga berlaku terhadap pihak pembeli, dengan keadaan
tersebut pihak pembeli juga tertunda keinginannya untuk mendapatkan tanah yang
akan dibelinya.
Untuk mengatasi hal tersebut, dan guna kelancaran tertib administrasi
pertanahan maka ditemukan suatu terobosan hukum dan hingga kini masih
dilakukan dalam praktek yaitu dengan dibuatnya Perjanjian Pengikatan Jual Beli
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Universitas Indonesia
5
(PPJB) tanah. Meskipun isinya sudah mengatur tentang jual beli tanah namun
formatnya baru sebatas pengikatan jual beli yaitu suatu bentuk perjanjian yang
merupakan perjanjian pendahuluan sebelum dilakukannya perjanjian jual beli
sebenarnya yang diatur dalam perundang-undangan.
PPJB adalah perjanjian antar pihak penjual dan pihak pembeli sebelum
dilaksanakannya jual beli dikarenakan adanya unsur-unsur yang harus dipenuhi
untuk jual beli tersebut. Dalam hal PPJB tanah, permasalahan-permasalahan yang
mungkin muncul akibat belum terpenuhinya unsur-unsur jual beli antara lain
adalah sertifikat tanah belum ada karena masih dalam proses, atau belum
terjadinya pelunasan harga atau pajak-pajak yang dikenakan terhadap jual beli
tanah belum dapat dibayar baik oleh penjual atau pembeli. Pada PPJB tersebut
para pihak yang akan melakukan jual beli sudah terikat serta sudah mempunyai
hak dan kewajiban untuk memenuhi prestasi dan kontra prestasi sebagaimana
yang disepakati dalam PPJB.
Namun suatu perjanjian tidak selamanya dapat berjalan sesuai dengan
kesepakatan yang diinginkan oleh para pihak. Dalam kondisi-kondisi tertentu
dapat ditemukan terjadinya berbagai hal, yang berakibat terjadinya wanprestasi.
Sebagai suatu bentuk perikatan, PPJB tanah mengandung hak dan kewajiban dari
para pihak yang membuatnya, sehingga apabila hal-hal yang telah disepakati
dalam PPJB dilanggar atau tidak dipenuhi oleh para pihak yang membuatnya
maka dapat dikatakan telah terjadi wanprestasi.
Berkaitan dengan uraian di atas, skripsi ini akan membahas mengenai
kasus PT. Pulau Seribu Paradise yang menggugat PT. Patra Jasa dan PT.
Pertamina atas tindakan wanprestasi terhadap PPJB tanah. Kasus ini bermula dari
dibuatnya PPJB tanah tanggal 18 Agustus 1990 yang isinya adalah PT. Patra Jasa
akan menjual sebidang tanah seluas kira-kira 6 ha di Jalan Daan Mogot,
Cengkareng, kepada Sdr. Benny Sumampouw. Setelah perjanjian tersebut dibuat,
pada hari dan tanggal yang sama Sdr. Benny Sumampouw telah membayar
kepada PT. Patra Jasa uang muka sejumlah Rp. 5.000.000.000,00 dan telah dibuat
tanda terima/kwitansi yang ditandatangani oleh Manager Divisi Keuangan PT.
Patra Jasa. Namun pada saat akan diminta tindak lanjut untuk membuat AJB di
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Universitas Indonesia
6
hadapan PPAT, PT. Patra Jasa menghindar dengan alasan bahwa tanah yang akan
dijual adalah milik PT. Pertamina.
Tanah yang akan dijual pada mulanya dimiliki oleh PT. Patra Jasa melalui
tambahan penyertaan modal (inbreng) yang dilakukan oleh PT. Pertamina ke
dalam PT. Patra Jasa. Namun saat isi PPJB atas tanah tersebut sudah dapat
ditindaklanjuti, PT. Pertamina menarik kembali penyertaan modalnya dari PT.
Patra Jasa sehingga tidak dapat dibuat AJB tanah tersebut. Karena menganggap
bahwa isi PPJB tidak akan dapat dilaksanakan maka Sdr. Benny Sumampouw
menagih pengembalian uang muka yang sudah dibayarnya kepada PT. Patra Jasa
sejumlah Rp.5.000.000.000,00. Namun uang tersebut tidak mau dikembalikan
oleh PT. Patra Jasa.
Sdr. Benny Sumampouw kemudian menyerahkan hak tagihan sejumlah
Rp.5.000.000.000,00 tersebut kepada PT. Pulau Seribu Paradise secara cessie.
Dimana kemudian PT. Pulau Seribu Paradise menggugat PT. Patra Jasa dan PT.
Pertamina telah bersama-sama melakukan perbuatan wanprestasi atas PPJB tanah.
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang mengadili kasus ini memenangkan
PT. Pulau Seribu Paradise dengan menyatakan bahwa PT. Patra Jasa dan PT.
Pertamina telah terbukti melakukan wanprestasi. Namun dalam tingkat banding,
Pengadilan Tinggi Jakarta membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
dengan alasan bahwa PPJB tanah yang dilakukan PT. Patra Jasa dengan Sdr.
Benny Sumampouw tidak sah dan batal demi hukum sehingga tidak dapat
dikatakan bahwa PT. Patra Jasa dan PT. Pertamina telah melakukan wanprestasi
atas PPJB tersebut. PT. Pulau Seribu Paradise kemudian mengajukan kasasi,
namun permohonan kasasi tersebut ditolak oleh Mahkamah Agung.
Bertitik tolak dari uraian tersebut di atas, maka penulis ingin meneliti lebih
lanjut mengenai permasalahan dan menyusunnya dalam skripsi yang berjudul :
Analisis Yuridis Terhadap Kasus Gugatan Wanprestasi Perjanjian
Pengikatan Jual Beli (PPJB) Tanah (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung
Nomor 280 K/PDT/2006).
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Universitas Indonesia
7
1.2. Pokok permasalahan
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka dapat dirumuskan pokok
permasalahan yang muncul berupa:
1. Apakah PPJB tanah yang dilakukan antara PT. Patra Jasa dengan Sdr.
Benny Sumampouw pada tanggal 18 Agustus 1990 sah menurut hukum?
2. Apakah PT. Patra Jasa dan PT. Pertamina dapat dikatakan melakukan
wanprestasi atas PPJB tanah yang dilakukan dengan Sdr. Benny
Sumampouw?
3. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap PT. Pulau Seribu Paradise
sebagai pihak yang dirugikan akibat putusan Pengadilan Tinggi Jakarta
yang menyatakan PPJB tanah batal demi hukum?
1.3. Tujuan Penulisan
Penelitian ini dilakukan dengan beberapa tujuan yakni sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui sah atau tidaknya PPJB tanah yang dilakukan antara
PT. Patra Jasa dengan Sdr. Benny Sumampouw pada tanggal 18 Agustus
1990.
2. Untuk mengetahui dapat atau tidaknya PT. Patra Jasa dan PT. Pertamina
dikatakan melakukan wanprestasi atas PPJB tanah yang dilakukannya
dengan Sdr. Benny Sumampouw.
3. Untuk mengetahui bagaimana perlindungan hukum terhadap PT. Pulau
Seribu Paradise sebagai pihak yang dirugikan akibat putusan Pengadilan
Tinggi Jakarta yang menyatakan PPJB tanah batal demi hukum.
1.4. Kerangka Operasional
Kerangka konsepsional merupakan kerangka yang menggambarkan
hubungan antara konsep-konsep khusus yang ingin atau akan diteliti.7 Tujuan
perumusan konsep adalah:
1. Untuk memperdalam pengetahuan;
2. Untuk mempertajam konsep;
7 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet. 3, (Jakarta: UI Press, 2010), hal.132.
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Universitas Indonesia
8
3. Untuk menegaskan kerangka teoritis;
4. Untuk menelusuri penelitian tentang topik yang sama.8
Untuk memperoleh gambaran dan pemahaman serta persepsi yang sama
tentang makna dan definisi konsep-konsep yang dipergunakan dalam penelitian
ini, maka akan dijabarkan penjelasan dan pengertian tentang konsep-konsep
tersebut sebagai berikut:
a. Perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua
pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari
pihak yang lain dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi
tuntutan itu.9
b. Kreditur atau disebut juga si berpiutang adalah pihak yang berhak
menuntut sesuatu.10
c. Debitur atau disebut juga si berutang adalah pihak yang berkewajiban
memenuhi tuntutan.11
d. Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.12
e. Prestasi adalah kewajiban yang harus dilaksanakan oleh debitur yang
merupakan hak dari kreditur.13
f. Wanprestasi adalah kelalaian debitur untuk memenuhi kewajibannya
sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.14
8 Sri Mamudji, dkk., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, ed. 1, (Jakarta: BadanPenerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hal. 18.
9 R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT. Intermasa, 2004), hal. 1.
10 Ibid.
11 Ibid.
12 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek], diterjemahkan oleh R.Subekti dan R. Tjitrosudibio, cet. 31, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2001), pasal 1313.
13 Akhmad Budi Cahyono dan Surini Ahlan Sjarif, Mengenal Hukum Perdata, (Jakarta:CV. Gitama Jaya, 2008), hal. 140.
14 Ibid., hal. 141.
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Universitas Indonesia
9
g. Jual beli adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu
mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak lain
untuk membayar harga yang telah dijanjikan.15
h. Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) adalah perjanjian antar pihak
penjual dan pihak pembeli sebelum dilaksanakannya jual beli dikarenakan
adanya unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk jual beli tersebut antara lain
adalah sertifikat hak atas tanah belum ada karena masih dalam proses, atau
belum terjadinya pelunasan harga atau pajak-pajak yang dikenakan
terhadap jual beli hak atas tanah belum dapat dibayar baik oleh penjual
atau pembeli.
i. Tanah adalah permukaan bumi.16
j. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah pejabat umum yang diberi
kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum
tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah
Susun.17
k. Perseroan Terbatas adalah badan hukum yang merupakan persekutuan
modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha
dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi
persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) serta peraturan
pelaksanaannya.18
l. Akta Pendirian adalah perjanjian yang mendasari terbentuknya perseroan
yang mengatur segala hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari para pihak-
pihak yang membuatnya, yaitu para pendiri perseroan terbatas tersebut.19
15 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek], diterjemahkan oleh R.Subekti dan R. Tjitrosudibio, cet. 31, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2001), pasal 1457.
16 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia (Jakarta: Djambatan, 2007), hal. 18.
17 Indonesia, Peraturan Pemerintah Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat AktaTanah, PP No. 37, LN No. 52 tahun 1998, pasal 1 angka 1.
18 Indonesia, Undang-Undang Perseroan Terbatas, UU No. 40, LN No. 106 tahun 2007,TLN No. 4756, pasal 1 angka 1.
19 Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Perseroan Terbatas, (Jakarta: PT. Raja GrafindoPersada, 2003), hal. 29.
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Universitas Indonesia
10
m. Anggaran Dasar adalah bagian dari Akta Pendirian yang memuat aturan
main dalam perseroan, yang menentukan setiap hak dan kewajiban dari
pihak-pihak dalam Anggaran Dasar, baik perseroan itu sendiri, pemegang
saham, pengurus (Direksi maupun Komisaris) perseroan.
n. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) adalah organ perseroan yang
mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan
Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam UUPT dan/atau Anggaran
Dasar.20
o. Direksi adalah organ perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab
penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan, sesuai
dengan maksud dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan, baik di
dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan Anggaran
Dasar.21
p. Dewan Komisaris adalah organ perseroan yang bertugas melakukan
pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan Anggaran Dasar
serta memberi nasihat kepada Direksi.22
1.5. Metode Penelitian
1.5.1. Bentuk Penelitian
Terdapat dua bentuk penelitian, yaitu penelitian kepustakaan (normatif)
dan penelitian lapangan (empiris). Yang dimaksud dengan penelitian kepustakaan
adalah penelitian yang menekankan pada penggunaan data sekunder atau berupa
norma hukum tertulis dan atau wawancara dengan informan serta narasumber.
Sementara itu yang dimaksud dengan penelitian lapangan adalah penelitian yang
menekankan penggunaan data primer yang diperoleh melalui wawancara dengan
responden dalam rangka mengetahui efektifitas dan efisiensi suatu
peraturan/hukum/kondisi tertentu atau melakukan kajian terhadap norma hukum
20 Indonesia, Undang-Undang Perseroan Terbatas, UU No. 40, LN No. 106 tahun 2007,TLN No. 4756, pasal 1 angka 4.
21 Ibid., pasal 1 angka 5.
22 Ibid., pasal 1 angka 6.
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Universitas Indonesia
11
tidak tertulis. Penelitian yang dilakukan oleh peneliti terkait dengan skripsi ini
berbentuk penelitian hukum normatif yang bertujuan untuk meneliti kepastian
hukum berdasarkan studi kepustakaan dan hukum positif yang ada.
1.5.2. Tipologi Penelitian
Penelitian yang dilakukan peneliti memiliki sifat sebagai penelitian
eksplanatoris-evaluatif, yang menggambarkan atau menjelaskan lebih dalam suatu
gejala kemudian memberikan penilaian terhadap gejala tersebut.23
1.5.3. Jenis Data
Berdasarkan cara diperolehnya jenis data dibagi menjadi dua, yaitu data
primer dan data sekunder.24 Yang dimaksud dengan data primer adalah data yang
diperoleh langsung dari masyarakat (responden). Sementara itu yang dimaksud
dengan data sekunder adalah data yang diperoleh melalui bahan-bahan
kepustakaan atau dokumentasi.25 Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
data sekunder dimana data yang digunakan penulis berasal dari bahan
kepustakaan.
1.5.4. Bahan Hukum
Bahan hukum yang digunakan dalam penulisan skripsi ini terdiri dari
bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Yang dimaksud dengan bahan hukum
primer adalah peraturan perundang-undangan. Bahan hukum primer yang
digunakan oleh penulis diantaranya adalah KUHPerdata yang mengatur mengenai
perjanjian, juga perundang-undangan yang berkaitan dengan tanah dan Undang-
Undang Perseroan Terbatas yang mengatur tentang kewenangan Direksi dalam
Perseroan Terbatas. Untuk menjelaskan bahan hukum primer tersebut digunakan
pula bahan hukum sekunder berupa buku-buku, skripsi, tesis, dan artikel-artikel
23 Sri Mamudji, dkk., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, ed. 1, (Jakarta: BadanPenerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hal. 4.
24 Ibid., hal. 28.
25 Ibid., hal. 31.
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Universitas Indonesia
12
dari surat kabar dan internet. Sedangkan penunjang digunakan bahan hukum
tersier berupa Kamus dan Ensiklopedia.
1.5.5. Alat Pengumpulan Data
Alat pengumpulan data terdiri dari studi dokumen, wawancara, dan
pengamatan. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan alat pengumpulan data
berupa studi dokumen atau bahan pustaka, yang merupakan suatu alat
pengumpulan data yang dilakukan melalui data yang tertulis.26 Studi dokumen
menggunakan penelitian kepustakaan yang berkaitan dengan tema dan judul
skripsi ini yaitu mengenai hal-hal yang berkaitan dengan wanprestasi dalam PPJB
tanah.
1.5.6. Metode Analisis Data
Metode analisis data terdiri dari analisis data secara kualitatif dan
kuantitatif. Yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah analisis data
secara kualitatif yakni usaha-usaha untuk memahami makna di balik tindakan atau
kenyataan atau temuan-temuan yang ada di masyarakat secara nyata.27 Dalam hal
yang dimaksud adalah usaha-usaha untuk memahami makna di balik tindakan
atau kenyataan atau temuan-temuan mengenai wanprestasi dalam PPJB tanah.
1.5.7. Bentuk Hasil Penelitian
Laporan yang dihasilkan dalam penulisan ini sesuai dengan tipologi
penelitiannya adalah, laporan berbentuk eksplanatoris-evaluatif, dimana
dijelaskan mengenai permasalahan keabsahan PPJB tanah dan wanprestasi
terhadap perjanjian tersebut dan untuk mengevaluasi apakah putusan yang
dikeluarkan oleh hakim pada tingkat pertama, banding dan kasasi dalam kasus
gugatan PT. Pulau Seribu Paradise terhadap PT. Patra Jasa dan PT. Pertamina
telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
26 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Depok: Penerbit UniversitasIndonesia, 2007), hal. 21.
27 Ibid., hal. 67.
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Universitas Indonesia
13
1.6. Kegunaan Teoritis Dan Praktis
Maksud dari kegunaan teoritis dari suatu penelitian yaitu menggambarkan
manfaat penelitian bagi perkembangan ilmu tertentu atau untuk mendalami bidang
ilmu tertentu dalam penelitian murni atau penelitian dasar.28 Oleh karena
penelitian yang dilakukan peneliti berada dalam lapangan ilmu hukum, tepatnya
penelitian hukum normatif, maka kegunaan teoritisnya adalah bermanfaat untuk
perkembangan ilmu hukum pada umumnya. Dimana kegunaan teoritis dalam
penulisan ini adalah untuk mengetahui apakah yang dimaksud dengan PPJB tanah
serta bagaimana tindakan wanprestasi PPJB tanah dengan menggunakan studi
kasus yaitu kasus gugatan PT. Pulau Seribu Paradise kepada PT. Patra Jasa dan
PT. Pertamina.
Sementara itu maksud dari kegunaan praktis dari suatu penelitian yaitu
menggambarkan manfaat dari penelitian tersebut bagi penyelesaian permasalahan
atau penerapan suatu upaya tertentu.29 Kegunaan praktis dari proposal ini adalah
agar masyarakat dapat mengetahui secara jelas bagaimana sebenaranya cara
membuat PPJB tanah dan hal-hal yang perlu diperhatikan dalam membuat PPJB
tanah agar benar-benar sah dan dapat dihindari terjadinya wanprestasi.
1.7. Sistematika Penulisan
Agar memenuhi syarat sebagai karya tulis ilmiah maka diperlukan suatu
sistematika agar pembahasan menjadi terarah sehingga apa yang menjadi tujuan
pembahasan dapat dijabarkan dengan jelas. Adapun sistematika penulisan yang
penulis susun adalah sebagai berikut:
Bab I : Pendahuluan
Bab ini memuat latar belakang permasalahan yang menarik penulis
mengambil topik ini sebagai bahan penelitian, pokok permasalahan, tujuan
penelitian, kerangka operasional, metode penelitian sebagai sarana untuk
mencapai hasil penelitian secara metodologis dan sistematis, manfaat penelitian,
28 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Depok: Penerbit UniversitasIndonesia, 2007), hal. 22.
29 Ibid.
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Universitas Indonesia
14
batasan penelitian, kerangka konsepsional, serta sistematika penulisan yang
merupakan kerangka dasar penelitian.
Bab II : Tinjauan Umum Tentang Perjanjian
Bab ini membahas mengenai tinjauan umum tentang perjanjian yaitu
hukum perikatan pada umumnya, pengaturan perjanjian, tinjauan umum tentang
prestasi, dan tinjauan umum tentang wanprestasi.
Bab III : Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tanah
Pada bab ini akan dibahas mengenai tinjauan umum mengenai tanah,
pengertian jual beli tanah baik sebelum berlakunya UUPA dan sesudah
berlakunya UUPA, dan pengertian PPJB tanah,
Bab IV : Analisis Putusan Mahkamah Agung Dalam Kasus Gugatan
Wanprestasi Antara PT. Pulau Seribu Paradise dengan PT. Patra Jasa dan
PT. Pertamina
Pada bab ini penulis akan menguraikan tentang gambaran umum kasus
gugatan wanprestasi antara PT. Pulau Seribu Paradise dengan PT. Patra Jasa dan
PT. Pertamina, serta analisis yuridis tentang keabsahan PPJB tanah, analisa
yuridis terhadap tindakan wanprestasi yang dilakukan oleh PT. Patra Jasa dan PT.
Pertamina ditinjau dari sudut pandang hukum perdata, dan analisis yuridis tentang
perlindungan hukum terhadap PT. Pulau Seribu Paradise yang dirugikan akibat
putusan Pengadilan Tinggi Jakarta yang menyatakan PPJB batal demi hukum.
Bab V : Kesimpulan Dan Saran
Bab kelima merupakan rangkuman dari seluruh hasil pembahasan melalui
kesimpulan dan saran mengenai skripsi ini.
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Universitas Indonesia
BAB 2
TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN
2.1. Hukum Perikatan Pada Umumnya
2.1.1. Pengertian Perikatan
Hukum perikatan diatur dalam dalam buku III KUHPerdata, yang mana
dalam buku III tersebut diberi judul ”Tentang Perikatan”. Pengertian perikatan itu
sendiri oleh para ahli hukum diartikan bermacam-macam. R. Subekti mengatakan
bahwa karena undang-undang tidak memberikan suatu definisi, arti perikatan
harus disimpulkan dari keterangan undang-undang yang mengatur mengenai
perikatan. Istilah perikatan diartikannya sebagai berikut:
”Suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan manapihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain dan pihak yanglain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.”30
Dari pasal tersebut dapat dilihat bahwa perikatan merupakan suatu
hubungan antara orang-orang, dengan hubungan mana seorang berhak meminta
suatu prestasi dari orang lain, dan orang tersebut mempunyai kewajiban
memenuhi prestasi tersebut. Pihak yang berhak menuntut sesuatu dinamakan
kreditur atau si berpiutang, sedangkan pihak yang berkewajiban memenuhi
tuntutan dinamakan debitur atau si berutang.
2.1.2. Sistem Terbuka Dalam Hukum Perikatan
Buku III KUHPerdata mengenai hukum perikatan dibagi dalam dua bagian
yaitu bagian umum dan bagian khusus. Bagian umum memuat tentang perjanjian
pada umumnya seperti ketentuan tentang sumber-sumber perikatan, macam-
macam perikatan, lahir dan hapusnya perikatan, serta syarat sahnya perjanjian.
Sedangkan ketentuan khusus mengatur tentang perjanjian-perjanjian khusus yaitu
perjanjian yang sudah dikenal secara luas dalam masyarakat terutama perjanjian
yang sudah dikenal pada saat KUHPerdata dibuat, seperti perjanjian jual beli,
30 R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT. Intermasa, 2004), hal. 1.
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Universitas Indonesia
16
perjanjian sewa menyewa, perjanjian tukar menukar, perjanjian perburuhan dan
sebagainya.
Terdapat hubungan yang erat antara ketentuan umum dengan ketentuan
khusus dalam KUHPerdata. Ketentuan umum dalam KUHPerdata berlaku bagi
setiap perjanjian khusus seperti termuat dalam KUHPerdata maupun perjanjian-
perjanjian khusus yang pengaturannya berdasarkan kesepakatan antara para pihak
yang tidak diatur dalam KUHPerdata, seperti perjanjian sewa-beli, franchise, dan
sebagainya. Dengan demikian lahir dan hapusnya perikatan, syarat sahnya
perjanjian, dan ketentuan lain yang diatur dalam ketentuan umum KUHPerdata
berlaku bagi setiap perjanjian yang dibuat dan disepakati oleh para pihak.
Pola pengaturan buku III KUHPerdata berbeda dengan pola pengaturan
pada buku I dan buku II KUHPerdata. Buku I dan buku II KUHPerdata memiliki
sistem tertutup dan sifat yang memaksa, sementara itu pola pengaturan pada buku
III KUHPerdata memiliki sistem yang terbuka dan sifatnya adalah sebagai hukum
pelengkap. Menurut R. Subekti yang dimaksud dengan sistem terbuka adalah
kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian
yang berisi apa saja, asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan.31
Hal ini sesuai dengan asas kebebasan berkontrak sebagaimana diatur dalam pasal
1338 ayat (1) KUHPerdata yang menyebutkan:
”Perjanjian yang dibuat oleh para pihak secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”32
Dengan demikian para pihak dimungkinkan untuk membuat perjanjian-
perjanjian secara bebas termasuk perjanjian-perjanjian baru yang tidak diatur
dalam KUHPerdata seperti perjanjian sewa beli, sepanjang tidak melanggar
ketertiban umum dan kesusilaan, bahkan para pihak diberi kebebasan untuk
menyimpang dari ketentuan buku III KUHPerdata.
Dalam membuat perjanjian para pihak bebas untuk mengatur sendiri
kepentingan mereka dalam perjanjian-perjanjian yang mereka adakan itu. Apabila
mereka tidak mengatur sendiri mengenai suatu hal, maka mengenai hal tersebut
31 Ibid., hal. 13.
32 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek], diterjemahkan oleh R.Subekti dan R. Tjitrosudibio, cet. 31, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2001), pasal 1338 ayat (1).
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Universitas Indonesia
17
akan tunduk kepada undang-undang. Dari sini jelas bahwa istilah hukum
pelengkap itu dibuat karena memang buku III KUHPerdata melengkapi
perjanjian-perjanjian yang dibuat secara tidak lengkap.
Biasanya orang yang mengadakan perjanjian tidak mengatur secara rinci
semua persoalan yang bersangkutan dengan perjanjian itu, melainkan hanya
menyetujui hal-hal yang pokok tentang barang dan harganya saja. Di luar hal-hal
pokok tersebut, misalnya mengenai dimana barang diserahkan, siapa yang
menanggung biaya pengiriman barang, atau bagaimana kalau barang musnah
dalam perjalanan terkadang tidak diatur dalam perjanjian. Oleh karena itu, hal-hal
yang tidak diatur secara rinci tersebut tunduk pada hukum dan undang-undang.
2.1.3. Hubungan Antara Perikatan Dan Perjanjian
Mengenai definisi perjanjian dapat dilihat ketentuan pasal 1313
KUHPerdata yang menyebutkan:
”Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebihmengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.”33
Sedangkan R. Subekti memberikan pengertian dari suatu perjanjian
sebagai berikut:
”Suatu peristiwa di mana seseorang berjanji kepada seorang lain atau di manadua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.”34
Dari peristiwa ini timbul suatu hubungan antara dua orang tersebut yang
dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang
yang membuatnya. Dengan demikian, hubungan antara perikatan dan
perjanjian adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan perikatan. Dengan kata lain
perjanjian adalah salah satu sumber dari perikatan.
33 Ibid., pasal 1313.
34 R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT. Intermasa, 2004), hal. 1.
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Universitas Indonesia
18
2.2. Pengaturan Mengenai Perjanjian
2.2.1. Syarat Sahnya Perjanjian
Perjanjian yang sah adalah perjanjian yang memenuhi syarat-syarat yang
telah ditentukan oleh undang-undang, sehingga mempunyai kekuatan hukum yang
mengikat. Menurut pasal 1320 KUHPerdata, suatu perjanjian harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian;
3. Mengenai suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.
Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat-syarat subyektif, karena
mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian,
sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat obyektif karena
mengenai perjanjiannya sendiri atau obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan
itu. Berikut ini akan dijelaskan satu persatu mengenai syarat-syarat tersebut:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Kesepakatan antara para pihak yang membuat perjanjian berarti terjadinya
pertemuan atau kesesuaian kehendak yang terjadi diantara para pihak.35 Kedua
sebyek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat atau setuju mengenai
hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Apa yang dikehendaki oleh
pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak yang lain. Mereka menghendaki
sesuatu yang sama secara timbal balik, misalnya dalam perjanjian jual beli si
penjual menginginkan sejumlah uang sedangkan si pembeli menginginkan sesuatu
barang dari si penjual.
Kesepakatan yang dimaksud tersebut harus diberikan secara bebas, artinya
bebas dari paksaan, kekhilafan, dan penipuan sebagaimana tercantum dalam pasal
1321 KUHPerdata. Paksaan yang dimaskud adalah baik paksaan rohani atau
paksaan jiwa dan juga paksaan badan. Bentuk paksaan jiwa misalnya salah satu
35 Akhmad Budi Cahyono dan Surini Ahlan Sjarif, Mengenal Hukum Perdata, (Jakarta:CV. Gitama Jaya, 2008), hal. 129.
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Universitas Indonesia
19
pihak karena diancam, akan dibongkar rahasia pribadinya maka terpaksa
menyetujui suatu perjanjian. Sedangkan bentuk paksaan fisik misalnya dengan
melakukan penganiayaan guna mendapat persetujuan pihak yang dianiaya atau
dilukai.
Kekhilafan atau kekeliruan terjadi apabila salah satu pihak khilaf tentang
hal-hal yang pokok dari apa yang diperjanjikan atau tentang sifat-sifat yang
penting dari barang yang menjadi obyek perjanjian ataupun mengenai orang
dengan siapa diadakan perjanjian.itu.36 Dengan demikian kekhilafan bisa
mengenai orangnya atau benda yang menjadi obyek perjanjian. Kekhilafan
mengenai barang, terjadi misalnya seseorang membeli sebuah keramik tua yang
dikira peninggalan dinasti Han, ternyata hanya keramik tua biasa. Kekhilafan
tentang orang misalnya, seorang direktur rumah produksi mengadakan suatu
kontrak dengan orang yang dikiranya seorang penyanyi terkenal, ternyata bukan
penyanyi yang dimaksud melainkan hanya mirip saja dengan nama yang
kebetulan sama.
Penipuan terjadi apabila satu pihak dengan sengaja memberikan
keterangan-keterangan yang palsu atau tidak benar dengan disertai tipu muslihat
untuk membujuk pihak lawannya memberikan persetujuannya.37 Pihak yang
menipu itu bertindak secara aktif untuk menjerumuskan pihak lawannya,
misalnya, sebuah jam tangan yang dijual dipalsukan mereknya dan dibuat seperti
aslinya.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
Untuk membuat perjanjian para pihak harus cakap menurut hukum. Pada
asasnya, setiap orang yang sudah dewasa atau akilbaliq dan sehat pikirannya,
adalah cakap menurut hukum. Pasal 1330 KUHPerdata telah menentukan siapa
saja para pihak yang tidak cakap, yaitu:
1. Orang-orang yang belum dewasa;
2. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;
36 Ibid.
37 Ibid.
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Universitas Indonesia
20
3. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-
undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang
telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
Orang yang belum dewasa dianggap tidak mampu bertanggung jawab atas
perjanjian yang dilakukannya. Sementara itu orang yang ditaruh di bawah
pengampuan menurut hukum tidak dapat berbuat bebas dengan harta
kekayaannya. Ia berada di bawah pengawasan pengampuan. Kedudukannya sama
dengan seorang anak yang belum dewasa. Kalau seorang anak yang belum dewasa
harus diwakili oleh orang tua atau walinya, maka seorang dewasa yang telah
ditaruh di bawah pengampuan harus diwakili oleh pengampu atau kuratornya.
Menurut pasal 108 KUHPerdata, seorang perempuan yang bersuami,
untuk mengadakan suatu perjanjian, memerlukan bantuan atau izin dari suaminya.
Untuk perjanjian mengenai soal-soal kecil yang dapat dimasukkan dalam
pengertian keperluan rumah tangga, dianggap bahwa istri telah mendapatkan
kuasa suaminya. Dengan demikian, seorang istri dimasukkan dalam golongan
orang-orang yang tidak cakap membuat suatu perjanjian.
Perbedaan antara perempuan yang bersuami dengan seorang anak yang
belum dewasa, ialah bahwa seorang anak yang belum dewasa harus diwakili oleh
orang tua atau wali, sedangkan seorang istri harus dibantu oleh sang suami. Kalau
seseorang dalam membuat suatu perjanjian diwakili oleh orang lain, maka ia tidak
membuat sendiri perjanjian itu sendiri, tetapi yang tampil adalah wakilnya.
Sedangkan kalau seseorang dibantu, ini berarti ia bertindak sendiri hanya saja ia
didampingi oleh orang lain yang membantunya. Bantuan tersebut dapat diganti
dengan surat kuasa atau surat izin tertulis.
Pengaturan mengenai perempuan yang bersuami kemudian berubah
dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
(UU 1/1974). Pasal 31 UU 1/1974 menyebutkan sebagai berikut:
(1) Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukansuami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersamadalam masyarakat;
(2) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum;
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Universitas Indonesia
21
(3) Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga.38
Dari pasal tersebut dapat kita lihat bahwa kedudukan suami dan istri sudah
seimbang dan masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa dengan berlakunya Undang-Undang
Perkawinan maka istri telah dianggap cakap untuk melakukan perbuatan hukum.
Istri yang sudah cakap melakukan perbuatan hukum tersebut tidak perlu lagi
meminta izin atau dibantu oleh suaminya.
3. Suatu hal tertentu
Syarat yang ketiga adalah hal tertentu. Hal tertentu maksudnya adalah
obyek perjanjian atau prestasi yang diperjanjikan harus jelas, dapat dihitung, dan
dapat ditentukan jenisnya. Dalam perjanjian jual beli misalnya hal tertentu adalah
harga dan barang, jadi dalam perjanjian jual beli tidak dimungkinkan untuk
membuat perjanjian tanpa ditentukan harganya dan jenis barang yang dijual,
meskipun barang yang dijual tidak harus telah ada pada saat perjanjian disepakati.
Dengan demikian dimungkinkan barang yang diperjanjikan baru ada dikemudian
hari sesuai dengan yang diperjanjikan. 39 Dalam perjanjian, hal tertentu ini masuk
ke dalam esensialia dalam perjanjian sehingga apabila tidak terpenuhi maka
perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada dan tidak memiliki kekuatan
mengikat (no legal binding).
4. Suatu sebab yang halal
Syarat terakhir tentang syarat sahnya perjanjian adalah sebab yang halal.
Dengan sebab ini yang dimaksud adalah isi perjanjian. Sebab yang halal
maksudnya adalah isi suatu perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-
undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Pengertian tidak boleh bertentangan
dengan undang-undang di sini adalah undang-undang yang bersifat melindungi
kepentingan umum, sehingga jika dilanggar dapat membahayakan kepentingan
umum.40
38 Indonesia, Undang-Undang Perkawinan, UU No. 1, LN No. 1 tahun 1974, pasal 31.
39 Akhmad Budi Cahyono dan Surini Ahlan Sjarif, Mengenal Hukum Perdata, (Jakarta:CV. Gitama Jaya, 2008), hal. 132.
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Universitas Indonesia
22
Perlu diperhatikan bahwa yang dimaksud dengan sebab disini berbeda
dengan alasan seseorang membuat perjanjian. Alasan seseorang membuat suatu
perjanjian pada asasnya tidak diperhatikan oleh Undang-Undang. Misalnya,
seseorang membeli rumah karena mempunyai simpanan uang dan takut kalau-
kalau dalam waktu singkat akan ada suatu tindakan moneter pemerintah atau nilai
uang akan terus menurun. Atau misalnya seseorang menjual mobil karena harga
alat-alat mobil sudah sangat mahal. Hal-hal tersebut tidak diperhatikan.
Dengan demikian, kalau seseorang membeli pisau di toko dengan maksud
untuk membunuh orang dengan pisau tadi, jual beli pisau tersebut tetap
mempunyai suatu sebab yang halal, seperti jual beli barang-barang lain. Namun
apabila soal membunuh tersebut dimasukkan dalam perjanjian. Misalnya, si
penjual hanya bersedia menjual pisaunya kalau si pembeli membunuh orang dan
hal tersebut dimasukkan dalam perjanjian. Karena yang dimaksud dengan sebab
itu adalah isi perjanjian dimana isi perjanjian itu harus halal, maka dengan
dimasukkan maksud pembunuhan tersebut dalam perjanjian, isi perjanjian itu
menjadi sesuatu yang terlarang.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, syarat-syarat perjanjian
dibedakan antara syarat subyektif dengan syarat obyektif. Dalam hal syarat
subyektif tidak terpenuhi maka salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta
supaya perjanjian itu dibatalkan. Pihak yang dapat meminta pembatalan itu,
adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya
(perizinannya) secara tidak bebas.41 Jadi perjanjian yang telah dibuat itu mengikat
juga, selama tidak dibatalkan oleh hakim atas permintaan pihak yang berhak
meminta pembatalan tadi. Perjanjian yang dapat dimintakan pembatalan tersebut
dinamakan voidable.
Dalam hal syarat obyektif tidak terpenuhi, perjanjian itu batal demi hukum
yang artinya dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah
ada suatu perikatan.42 Tujuan para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut
40 Hardijan Rusli, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, cet. 2, (Jakarta:Pustaka Sinar Harapan, 1996), hal. 99.
41 R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT. Intermasa, 2004), hal. 20.
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Universitas Indonesia
23
untuk melahirkan suatu perikatan hukum adalah gagal. Dengan demikian, maka
tidak ada dasar untuk saling menuntut di depan hakim. Dalam bahasa Inggris
dikatakan bahwa perjanjian yang demikian itu null and void.
2.2.2. Azas-Azas Perjanjian
Dalam Hukum Perjanjian terdapat beberapa asas atau prinsip yang harus
diperhatikan bagi para pihak yang membuat perjanjian, yaitu:
1. Asas konsensualisme;
2. Asas kebebasan berkontrak;
3. Asas itikad baik;
4. Asas kepribadian.
Hal ini penting untuk menjadi pegangan dalam proses dan pelaksanaan
perjanjian serta jika terdapat permasalahan hukum berkaitan dengan proses dan
pelaksanaan perjanjian tersebut. Berikut akan dijelaskan mengenai azas-azas
tersebut:
1. Asas konsensualisme
Hukum perjanjian dalam buku III KUHPerdata menganut asas
konsensualisme. Konsensualisme artinya perjanjian sudah mengikat para pihak
yang membuatnya, sejak detik tercapainya kata sepakat mengenai hal-hal yang
diperjanjikan.43 Dengan demikian perjanjian sudah sah dan mengikat para pihak
tanpa perlu suatu formalitas atau perbuatan tertentu. Asas konsensualisme ini
tercermin dalam pasal 1458 KUHPerdata mengenai perjanjian jual beli yang
mengatur jual beli dianggap telah terjadi dan mengikat secara hukum sejak
disepakatinya barang dan harga, meskipun harga belum dibayar dan barang belum
diserahkan.
Terhadap asas konsesualisme terdapat pengecualian yaitu bagi perjanjian
formil dan perjanjian riel. Perjanjian formil ialah perjanjian yang disamping
42 Ibid., hal. 20.
43 Akhmad Budi Cahyono dan Surini Ahlan Sjarif, Mengenal Hukum Perdata, (Jakarta:CV. Gitama Jaya, 2008), hal. 133.
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Universitas Indonesia
24
memenuhi syarat kata sepakat juga harus memenuhi formalitas tertentu.44
Termasuk dalam perjanjian jenis ini misalnya perjanjian perdamaian yang harus
dibuat secara tertulis sebagaimana diatur dalam pasal 1851 ayat (2) KUHPerdata.
Contoh lain adalah tentang perjanjian jual beli atas tanah dan bangunan tidak
dimungkinkan hanya dibuat secara lisan saja tetapi harus dibuat berupa akta
dihadapan PPAT. Sedangkan perjanjian riel ialah perjanjian yang harus memenuhi
kata sepakat dan adanya pelaksanaan perjanjian (riel) guna melahirkan perjanjian
tersebut.45 Termasuk dalam perjanjian riel misalnya perjanjian penitipan barang
yang diatur dalam pasal 1694 KUHPerdata. Perjanjian penitipan barang yaitu
perjanjian yang mensyaratkan adanya penyerahan dari pihak yang menitipkan dan
penerimaan dari pihak yang dititipi.
2. Asas kebebasan berkontrak
Suatu asas yang penting dalam hukum perjanjian adalah asas kebebasan
berkontrak yang terkandung dalam pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang
berbunyi:
”Setiap perjanjian yang dibuat secara sah, mengikat sebagai undang-undangbagi para pihak yang membuatnya.”46
Ketentuan tersebut memberi kebebasan kepada para pihak untuk dengan
bebas membuat perjanjian apa saja asalkan tidak bertentangan dengan undang-
undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Dengan demikian para pihak diberi
kesempatan untuk membuat klausula-klausula yang menyimpang dari ketentuan
buku III KUHPerdata. Ketentuan yang dapat disimpangi adalah ketentuan yang
bersifat optional atau pilihan, sedangkan ketentuan yang bersifat memaksa seperti
syarat sahnya perjanjian adalah ketentuan yang tidak dapat disimpangi oleh para
pihak. Salah satu contoh ketentuan yang bersifat optional adalah ketentuan dalam
pasal 1460 KUHPerdata yang mengatur bahwa sejak saat pembelian, barang
adalah atas tanggungan pembeli meskipun penyerahannya belum dilakukan, dapat
44 Ibid., hal. 134.
45 Ibid.
46 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek], diterjemahkan oleh R.Subekti dan R. Tjitrosudibio, cet. 31, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2001), pasal 1338 ayat (1).
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Universitas Indonesia
25
disimpangi berdasarkan kesepakatan para pihak bahwa resiko ditanggung oleh
penjual. Sehingga berdasarkan kesepakatan tersebut jika terjadi sesuatu terhadap
barang yang dijual diluar kesalahan para pihak menjadi tanggungan si penjual.
Dengan adanya asas kebebasan berkontrak maka diharapkan para pihak
dapat membuat perjanjian-perjanjian apa saja secara bebas sesuai dengan
perkembangan zaman, mengingat masyarakat yang terus berkembang akan
menjadi sulit jika setiap perjanjian harus ada terlebih dahulu dalam ketentuan
undang-undang yang mengaturnya. Sehingga dengan terbukanya sistem yang
dianut buku III KUHPerdata dan asas kebebasan berkontrak ini akan memberikan
kepastian hukum bagi para pihak yang membuat perjanjian.
3. Asas itikad baik
Hukum perjanjian menganut asas itikad baik, seperti yang terkandung
dalam pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang menyatakan:
”Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.”47
Ketentuan ini memberi wewenang kepada hakim untuk mengawasi
pelaksanaan perjanjian supaya tidak bertentangan dengan rasa keadilan. Dalam
praktek hakim dapat mencampuri isi perjanjian yang berat sebelah yang
merugikan pihak yang lemah dan tidak sesuai dengan rasa keadilan. Itikad baik
dalam perjanjian mengacu pada kepatutan dan keadilan, sehingga dalam
pelaksanaan perjanjian disyaratkan dilaksanakan dengan itikad baik. Jika dianalisa
lebih jauh itikad baik ini merupakan pembatasan dari asas kebebasan berkontrak
yang memberikan kebebasan pada para pihak untuk membuat dan menentukan isi
perjanjian.
Masalahnya adalah dalam perjanjian seringkali posisi para pihak tidak
seimbang baik dari segi ekonomi, pendidikan, dan pengaruh atau akses, sehingga
dimungkinkan perjanjian ditentukan secara sepihak oleh pihak yang lebih kuat
sementara pihak yang lain karena kelemahannya dimanfaatkan oleh pihak yang
kuat secara tidak adil.
47 Ibid., pasal 1338 ayat (3).
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Universitas Indonesia
26
4. Asas kepribadian
Menurut pasal 1315 KUHPerdata, pada umumnya tidak ada seorang pun
dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji,
melainkan untuk dirinya sendiri. Asas tersebut dinamakan asas kepribadian.
Berdasarkan asas ini suatu perjanjian hanya meletakkan hak-hak dan kewajiban-
kewajiban antara para pihak yang membuatnya sedangkan pihak ketiga yang tidak
ada kaitannya dengan perjanjian tersebut tidak terikat.
Terhadap asas kepribadian ini terdapat suatu pengecualian yaitu dalam
bentuk yang dinamakan janji untuk pihak ketiga. Dalam janji untuk pihak ketiga
ini, seorang membuat suatu perjanjian, dimana perjanjian ini memperjanjikan hak-
hak bagi orang lain. Hal ini diatur dalam pasal 1317 KUHPerdata yang
menyebutkan tentang janji untuk pihak ketiga sebagai berikut:
”Lagi pun diperbolehkan untuk meminta ditetapkannya suatu janji gunakepentingan seorang pihak ketiga apabila suatu penetapan janji yang dibuat olehseorang untuk dirinya sendiri atau suatu pemberian yang dilakukannya kepadaseorang lain memuat suatu janji yang seperti itu. Siapa yang telahmemperjanjikan sesuatu seperti itu, tidak boleh menariknya kembali apabilapihak ketiga tersebut telah menyatakan kehendak untuk mempergunakannya.”48
2.2.3. Cara-Cara Hapusnya Perikatan
Terdapat sepuluh hal yang menyebabkan hapusnya perikatan sebagaimana
tercantum dalam pasal 1381 KUHPerdata sebagai berikut:
1. Pembayaran;
2. Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan;
3. Pembaharuan utang;
4. Perjumpaan utang atau kompensasi;
5. Percampuran utang;
6. Pembebasan utang;
7. Musnahnya barang yang terutang;
8. Batal/pembatalan;
9. Berlakunya suatu syarat batal;
10. Lewatnya waktu.
48 Ibid., pasal 1317 KUHPerdata
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Universitas Indonesia
27
Berikut ini akan dijelaskan satu persatu mengenai cara-cara hapusnya
perikatan tersebut:
1. Pembayaran
Pembayaran adalah pelaksanaan prestasi secara sukarela, artinya tidak
melalui eksekusi oleh pengadilan. Kata pembayaran di sini adalah pembayaran
dalam arti luas bukan hanya pembayaran sejumlah uang tetapi juga pelaksanaan
prestasi yang berupa penyerahan suatu barang atau pelaksanaan suatu pekerjaan.49
Siapapun boleh melakukan pembayaran kepada kreditur dan si kreditur
harus menerimanya, hal ini sesuai dengan isi pasal 1382 KUHPerdata yang
menjelaskan bahwa suatu perikatan dapat dipenuhi juga oleh seorang pihak ketiga
yang tidak mempunyai kepentingan, asal saja pihak ketiga tersebut bertindak atas
nama dan untuk melunasi utangnya si berutang. Atau dapat juga pihak ketiga
bertindak atas namanya sendiri asal ia tidak menggantikan hak-hak si berpiutang.
Jika pembayaran dilakukan oleh debitur sendiri atau oleh orang lain yang
bertindak untuk dan atas debitur maka pembayaran mengakibatkan hapusnya
perikatan. Untuk perjanjian-perjanjian yang prestasinya bersifat pribadi, memang
tidak dapat dilakukan oleh orang lain, misalnya seorang bintang film atau pelukis
yang terkeal yang reputasi dan kemampuannya tidak dapat diganti pihak lain.
Pada prinsipnya pembayaran harus diberikan kepada kreditur atau kepada
kuasanya. Akan tetapi menurut pasal 1386 KUHPerdata, pembayaran yang secara
jujur dilakukan kepada seseorang yang memegang surat tanda penagihan adalah
sah. Misalnya suatu bank membayar kepada seseorang yang memegang sebuah
cek yang tidak tertulis kepada siapa pembayaran harus diberikan adalah sah.
2. Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau
penitipan
Jika si kreditur tidak bersedia menerima pembayaran dari debitur, maka
debitur dapat melakukan penawaran pembayaran yang kemudian diikuti dengan
penitipan. Penawaran pembayaran yang diikuti dengan penitipan hanya berlaku
49 Akhmad Budi Cahyono dan Surini Ahlan Sjarif, Mengenal Hukum Perdata, (Jakarta:CV. Gitama Jaya, 2008), hal. 148.
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Universitas Indonesia
28
bagi perikatan untuk membayar sejumlah uang dan penyerahan barang bergerak.50
Caranya adalah barang atau uang yang akan dibayarkan itu ditawarkan secara
resmi oleh seorang Notaris atau seorang Jurusita pengadilan. Notaris atau Jurusita
ini membuat suatu perincian barang-barang atau uang yang akan dibayarkan itu
dan pergi ke rumah atau tempat tinggal kreditur, kepada siapa ia memberitahukan
bahwa ia atas perintah debitur datang untuk membayar utang debitur tersebut,
pembayaran mana akan dilakukan dengan menyerahkan barang atau uang yang
telah diperinci itu.51
Notaris atau Jurusita tadi sudah menyediakan suatu proses verbal. Apabila
kreditur menerima barang atau uang yang ditawarkan itu, maka selesailah perkara
pembayaran itu. Apabila kreditur menolak maka notaris atau jurusita akan
mempersilakan kreditur itu menandatangani proses verbal tersebut, dan jika
kreditur tidak mau memberikan tanda tangannya, hal itu akan dicatat oleh notaris
atau jurusita di atas surat proses verbal tersebut. Dengan demikian terdapatlah
suatu bukti yang resmi bahwa si berpiutang telah menolak pembayaran.
Selanjutnya debitur di muka Pengadilan Negeri mengajukan permohonan
kepada pengadilan itu supaya pengadilan mengesahkan penawaran pembayaran
yang telah dilakukan itu. Setelah penawaran pembayaran itu disahkan, maka
barang atau uang yang akan dibayarkan itu, disimpan atau dititipkan kepada
Panitera Pengadilan Negeri dan dengan demikian hapuslah utang piutang itu.
Barang atau uang tersebut berada dalam simpanan Kepaniteraan Pengadilan
Negeri atas tanggungan (risiko) si berpiutang. Si berutang sudah bebas dari
utangnya. Segala biaya yang dikeluarkan untuk menyelenggarakan penawaran
pembayarang tunai dan penyimpanan harus dipikul oleh si berutang.
3. Pembaharuan utang atau novasi
Pembaharuan utang atau novasi terjadi jika seorang kreditur membebaskan
debitur dari kewajiban membayar utang sehingga perikatan antara kreditur dan
debitur hapus, akan tetapi dibuat suatu perjanjian baru antara kreditur dan debitur
50 Ibid., hal. 149.
51 R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT. Intermasa, 2004), hal. 69.
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Universitas Indonesia
29
untuk menggantikan perikatan yang dihapuskan.52 Misalnya seorang penjual
membebaskan pembeli dari kewajibannya mengangsur harga yang belum lunas,
tetapi pembeli harus menandatangani perjanjian pinjaman uang yang jumlahnya
sama dengan harga yang belum dibayar.
Menurut pasal 1413 KUHPerdata, ada tiga macam jalan untuk
melaksanakan suatu pembaharuan utang atau novasi, yaitu:
1. Apabila seorang yang berutang membuat suatu perikatan utang baru guna
orang yang menghutangkannya, yang menggantikan utang yang lama yang
dihapuskan karenanya;
2. Apabila seorang berutang baru ditunjuk untuk menggantikan orang
berutang lama, yang oleh si berpiutang dibebaskan dari perikatannya;
3. Apabila sebagai akibat suatu perjanjian baru, seorang kreditur baru
ditunjuk untuk menggantikan kreditur lama, terhadap siapa si berutang
dibebaskan dari perikatannya.
Novasi yang dijelaskan dalam ayat (1) di atas dinamakan novasi obyektif,
karena di situ yang diperbaharui adalah obyek perjanjian, sedangkan yang
disebutkan dalam ayat (2) dan ayat (3) dinamakan novasi subyektif, karena yang
diperbaharui adalah subyek-subyeknya atau orang-orang dalam perjanjian. Jika
yang diganti adalah debiturnya sebagaimana dalam ayat (2) maka novasi itu
dinamakan subyektif pasif, sedangkan apabila yang diganti adalah krediturnya
sebagaimana dalam ayat (3) maka novasi itu dinamakan subyektif aktif.
4. Perjumpaan utang atau kompensasi
Ini adalah suatu cara penghapusan utang dengan jalan memperjumpakan
atau memperhitungkan utang-piutang secara timbal balik antara kreditur dan
debitur.53 Menurut pasal 1424 KUHPerdata jika dua orang saling berutang satu
pada yang lain, maka terjadilah antara mereka suatu perjumpaan, dengan mana
utang-utang antara kedua orang tersebut dihapuskan. Pasal tersebut selanjutnya
mengatakan bahwa perjumpaan itu terjadi demi hukum, bahkan tanpa
52 Akhmad Budi Cahyono dan Surini Ahlan Sjarif, Mengenal Hukum Perdata, (Jakarta:CV. Gitama Jaya, 2008), hal. 149.
53 R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT. Intermasa, 2004), hal. 72.
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Universitas Indonesia
30
sepengetahuan orang-orang yang bersangkutan. Kedua utang itu yang satu
menghapuskan yang lain pada saat utang-utang itu bersama-sama ada, bertimbal
balik untuk suatu jumlah yang sama.
5. Percampuran utang
Apabila kedudukan sebagai kreditur dan orang berutang debitur
berkumpul pada satu orang, maka terjadilah demi hukum suatu percampuran
utang dengan mana utang-piutang itu dihapuskan.54 Misalnya, si debitur dalam
suatu testamen ditunjuk sebagai waris tunggal oleh krediturnya, atau si debitur
kawin dengan krediturnya dan bersepakat untuk mengadakan percampuran
kekayaan. Hapusnya utang piutang dalam hal percampuran ini adalah betul-betul
demi hukum yang artinya terjadi secara otomatis.
6. Pembebasan utang
Hal ini terjadi jika seorang kreditur membebaskan debitur dari segala
kewajibannya. Pembebasan suatu utang tidak boleh dipersangkakan, tetapi harus
dibuktikan. Pengembalian sepucuk tanda piutang asli secara sukarela oleh si
berpiutang kepada si berutang, merupakan suatu bukti tentang pembebasan
utangnya, bahkan terhadap orang-orang lain yang turut berutang secara tanggung-
menanggung. Pengembalian barang yang diberikan dalam gadai atau sebagai
tanggungan tidaklah cukup dijadikan persangkaan tentang dibebaskan utang
karena perjanjian gadai adalah suatu perjanjian accessoir, artinya suatu perjanjian
yang terjadi akibat dari perjanjian pokok, yaitu perjanjian pinjam uang.
Pembebasan utang ini harus dengan persetujuan debitur.55 Dengan kata
lain, pembebasan ini perlu diterima dengan baik terlebih dahulu oleh debitur, baru
dapat dikatakan bahwa perikatan utang-piutang telah hapus karena pembebasan.
Hal ini karena ada juga kemungkinan seorang debitur tidak suka dibebaskan dari
utangnya.
54 Ibid., hal. 73.
55 Akhmad Budi Cahyono dan Surini Ahlan Sjarif, Mengenal Hukum Perdata, (Jakarta:CV. Gitama Jaya, 2008), hal. 150.
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Universitas Indonesia
31
7. Musnahnya barang yang terutang
Jika barang tertentu yang menjadi obyek perjanjian musnah, tak lagi dapat
diperdagangkan, atau hilang, hingga sama sekali tak diketahui apakah barang itu
masih ada, maka hapuslah perikatannya, asal barang tadi musnah atau hilang di
luar kesalahan si berutang dan sebelum ia lalai menyerahkannya. Bahkan
seandainya debitur itu lalai menyerahkan barang itu (misalnya terlambat), ia pun
akan bebas dari perikatan bila ia dapat membuktikan bahwa hapusnya barang itu
disebabkan oleh suatu kejadian di luar kekuasaannya.56
Berdasarkan ketentuan pasal 1444 KUHPerdata, jika suatu barang yang
menjadi obyek perjanjian musnah bukan karena kesalahan debitur dan ia tidak
melakukan wanprestasi atau terjadi keadaan memaksa (overmacht), sebelum
diadakan penyerahan, maka perikatan hapus. Konsekuensinya debitur tidak wajib
menyerahkan barang dan tidak dapat dituntut ganti rugi atas musnahnya barang
tersebut.
8. Batal/pembatalan
Meskipun di sini disebutkan batal atau pembatalan, tetapi yang benar
adalah pembatalan saja. Kalau suatu perjanjian batal demi hukum, maka dianggap
perikatan hukum belum lahir, oleh karena itu tidak mungkin perikatan bisa hapus.
Selain itu, kalau kita melihat apa yang diatur oleh pasal 1466 KUHPerdata dan
pasal-pasal selanjutnya, ketentuan-ketentuan di situ kesemuanya adalah mengenai
pembatalan. Yang diatur dalam pasal-pasal tersebut adalah pembatalan perjanjian-
perjanjian yang dapat dimintakan (voidable) atau perjanjian-perjanjian yang
kekurangan syarat obyektifnya.
Meminta pembatalan perjanjian yang kekurangan syarat subyektifnya itu
dapat dilakukan dengan dua cara sebagai berikut:
1. Secara aktif menuntut pembatalan perjanjian yang demikian di depan
hakim.
56 R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT. Intermasa, 2004), hal. 75.
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Universitas Indonesia
32
2. Secara pembelaan, yaitu menunggu sampai digugat di depan hakim untuk
memenuhi perjanjian dan disitulah baru mengajukan kekurangannya
perjanjian itu.57
Untuk penuntutan secara aktif diadakan suatu batas waktu selama 5 tahun
sebagaimana yang diatur dalam pasal 1454 KUHPerdata. Sedangkan untuk
pembatalan sebagai pembelaan tidak diadakan pembatasan waktu. Penuntutan
pembatalan tidak akan diterima oleh Hakim, jika ternyata sudah ada penerimaan
baik dari pihak yang dirugikan, karena seorang yang sudah menerima baik suatu
kekurangan atau suatu perbuatan yang merugikan baginya, dapat dianggap
melepaskan haknya untuk meminta pembatalan.
9. Berlakunya suatu syarat batal
Yang dimaksud dengan perikatan bersyarat adalah perikatan yang
nasibnya digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan datang dan masih
belum tentu akan terjadi. Perikatan bersyarat ini dapat terjadi dengan dua cara
yaitu menangguhkan lahirnya perikatan ketika suatu peristiwa terjadi, atau
membatalkan perikatan menurut terjadi atau tidak terjadinya peristiwa tersebut.58
Dalam hal yang pertama, yang dimaksud adalah perikatan dilahirkan
hanya apabila peristiwa yang dimaksud itu terjadi. Perikatan yang seperti itu
dinamakan juga perikatan dengan syarat tangguh. Misalnya seseorang berjanji
akan menyewakan rumahnya kalau dia dipindahkan keluar negeri, maka timbul
suatu perjanjian dan perikatan dengan suatu syarat tangguh.
Dalam hal yang kedua suatu perikatan yang sudah dilahirkan justru akan
berakhir atau dibatalkan apabila peristiwa yang dimaksud itu terjadi. Perikatan
semacam yang terakhir ini dinamakan suatu perikatan dengan syarat batal. Dari
sini dapat disimpulkan bahwa syarat batal adalah suatu syarat yang apabila syarat
tersebut terpenuhi maka perjanjian berakhir.59 Misalnya seseorang menyewakan
rumahnya kepada orang lain dengan syarat bahwa persewaan itu akan berakhir
57 Ibid., hal. 75-76
58 Ibid., hal. 76.
59 Akhmad Budi Cahyono dan Surini Ahlan Sjarif, Mengenal Hukum Perdata, (Jakarta:CV. Gitama Jaya, 2008), hal. 150.
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Universitas Indonesia
33
kalau anak dari orang yang menyewakan tersebut yang sedang berada di luar
negeri pulang ke tanah air. Persewaan itu adalah suatu persewaan dengan syarat
batal. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa salah satu cara hapusnya
perikatan adalah apabila ketentuan dalam perikatan dengan syarat batal telah
terjadi.
10. Lewatnya waktu
Daluwarsa atau lewat waktu diatur dalam pasal 1946 KUHPerdata yang
menyebutkan:
”Daluwarsa adalah suatu alat untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskandari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syaratyang ditentukan oleh undang-undang.”60
Lewat waktu dapat menimbulkan dua akibat hukum. Pertama adalah lewat
waktu untuk memperoleh hak (acquisitif) dan kedua adalah lewat waktu yang
membebaskan dari adanya suatu perikatan (extinctif). Lewat waktu untuk
memperoleh hak hal ini dibahas dalam hukum benda sedangkan dalam hukum
perikatan maka yang penting adalah lewat waktu yang menghapuskan perikatan.
Oleh karena itu, disini akan lebih dijelaskan mengenai lewat waktu yang
menghapuskan perikatan.
Dengan lewatnya waktu ini maka kreditur kehilangan hak untuk menuntut
prestasi yang menjadi kewajiban debitur sebagaimana diatur dalam pasal 1967
KUHPerdata yang menyebutkan:
”Segala tuntutan hukum, baik yang bersifat perbendaan maupun yang bersifatperorangan, hapus karena daluwarsa dengan lewatnya waktu tiga puluh tahun,sedangkan siapa yang menunjukkan adanya daluwarsa itu tidak usahmempertunjukkan suatu atas hak, lagi pula tak dapatlah dimajukan terhadapnyasesuatu tangkisan yang didasarkan pada itikadnya yang buruk.”61
Berdasarkan hal tersebut maka hapuslah setiap perikatan hukum dan
tinggal suatu perikatan bebas yang artinya debitur tidak ada kewajiban untuk
melaksanakan prestasinya, sehingga prestasi itu tergantung kepada debitur akan
60 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek], diterjemahkan oleh R.Subekti dan R. Tjitrosudibio, cet. 31, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2001), pasal 1946.
61 Ibid., pasal 1967.
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Universitas Indonesia
34
melaksanakan atau tidak tetapi yang jelas sudah menghilangkan hak kreditur
untuk melakukan penuntutan dan tidak dapat dituntut di depan hakim. Debitur jika
ditagih utangnya atau dituntut di depan pengadilan dapat mengajukan tangkisan
(eksepsi) tentang kadaluwarsanya piutang dan dengan demikian mengelak atau
menangkis setiap tuntutan.
2.3. Tinjauan Umum Mengenai Prestasi
Prestasi adalah kewajiban yang harus dilaksanakan oleh debitur yang
merupakan hak dari kreditur.62 Prestasi terdapat baik dalam perjanjian yang
bersifat sepihak (unilateral agreement), maupun perjanjian timbal balik
(reciprocal agreement). Yang dimaksud dengan perjanjian sepihak adalah prestasi
atau kewajiban hanya ada pada satu pihak saja tanpa adanya suatu kontra prestasi
atau kewajiban yang diharuskan dari pihak lainnya. Prestasi juga terdapat dalam
perjanjian yang bersifat timbal balik dimana dalam bentuk perjanjian ini masing-
masing pihak yang berjanji mempunyai prestasi atau kewajiban yang harus
dipenuhi terhadap pihak lainnya. Dengan kata lain kedua belah pihak memiliki
prestasi dan bukan hanya satu pihak saja.
Berdasarkan prestasi yang diperjanjikan, menurut pasal 1234 KUHPerdata
ada tiga macam perikatan, yaitu:
1. Perikatan untuk berbuat sesuatu;
2. Perikatan untuk menyerahkan sesuatu;
3. Perikatan untuk tidak berbuat sesuatu.
Dalam perikatan untuk berbuat sesuatu maka prestasi yang dimaksud
adalah tindakan debitur dimana debitur diwajibkan untuk melakukan suatu
tindakan tertentu sesuai dengan yang disepakati dalam perjanjian antara debitur
dan kreditur. Bentuk prestasi berupa berbuat sesuatu misalnya membuat gedung,
membuat lukisan atau desain industri dan sebagainya. Sementara itu perikatan
untuk menyerahkan sesuatu berkaitan dengan obyek perjanjian dimana debitur
wajib untuk menyerahkan barang yang dimaksud dalam perjanjian. Bentuk
prestasi berupa menyerahkan sesuatu misalnya menyerahkan barang seperti mobil,
62 Akhmad Budi Cahyono dan Surini Ahlan Sjarif, Mengenal Hukum Perdata, (Jakarta:CV. Gitama Jaya, 2008), hal. 140.
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Universitas Indonesia
35
motor, uang dan sebagainya. Sedangkan bentuk prestasi yang terakhir untuk tidak
berbuat sesuatu merupakan perjanjian dimana seseorang dalam perjanjian dilarang
untuk melakukan suatu tindakan tertentu misalnya larangan untuk tidak
membocorkan rahasia perusahaan, rahasia dagang dan sebagainya atau larangan
untuk menyewakan ulang dalam perjanjian sewa-menyewa.
2.4. Tinjauan Umum Mengenai Wanprestasi
Apabila debitur tidak melakukan apa yang dijanjikannya, maka dikatakan
ia melakukan wanprestasi. Debitur dapat juga dikatakan telah alpa atau lalai atau
ingkar janji. Dengan kata lain, wanprestasi adalah kelalaian debitur untuk
memenuhi kewajibannya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.63 Debitur
juga dapat dikatakan melakukan wanprestasi apabila ia melanggar perjanjian
dengan melakukan atau berbuat sesuatu yang seharusnya tidak boleh
dilakukannya.
Wanprestasi seorang debitur dapat berupa empat macam, yaitu:
1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana
dijanjikan;
3. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.64
Terhadap kelalaian atau kealpaan debitur diancamkan beberapa sanksi atau
hukuman. Hukuman atau akibat-akibat bagi debitur yang lalai ada empat macam,
yaitu:
1. Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau dengan singkat
dinamakan ganti rugi;
2. Pembatalan perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian;
3. Peralihan risiko;
4. Membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di depan hakim.65
63 Ibid., hal. 141.
64 R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT. Intermasa, 2004), hal. 45.
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Universitas Indonesia
36
Selain diperlakukan sanksi-sanksi di atas, pada saat terjadi wanprestasi
pihak kreditur juga masih dapat menuntut pemenuhan perjanjian terhadap pihak
debitur. Namun perlu diperhatikan bahwa pemenuhan perjanjian tersebut
bukanlah sebagai suatu sanksi dari wanprestasi, sebab hal itu memang sudah dari
semula menjadi kesanggupan si debitur. Hal ini diatur dalam pasal 1267
KUHPerdata yang menyebutkan:
”Pihak yang merasa perjanjian tidak dipenuhi, boleh memilih apakah ia, jika halitu masih dapat dilakukan, akan memaksa pihak yang lainnya untuk memenuhiperjanjian, ataukah ia akan menuntut pembatalan perjanjian itu disertaipenggantian biaya, rugi, dan bunga.”66
Apabila kreditur tidak memilih untuk menuntut pemenuhan perjanjian dari
kreditur, melainkan menuntut ditetapkannya sanksi-sanksi yang telah disebut di
atas, maka harus ditetapkan lebih dahulu apakah si berutang melakukan
wanprestasi atau lalai, dan kalau hal itu disangkal olehnya, harus dibuktikan di
muka hakim. Terkadang tidak mudah untuk mengatakan bahwa seseorang telah
benar melakukan wanprestasi, karena seringkali dalam perjanjian tidak dijanjikan
dengan tepat kapan suatu pihak diwajibkan melakukan prestasi yang dijanjikan.
Dalam jual beli barang misalnya tidak ditetapkan kapan barangnya harus diantar
ke rumah pembeli, atau kapan si pembeli harus membayar uang harga barang tadi.
Dalam hal seorang meminjam uang, sering juga tidak ditentukan kapan uang itu
harus dikembalikan. Oleh karena itu sulit untuk mengetahui kapan terjadinya
wanprestasi. Penentuan apakah seseorang melakukan wanprestasi paling mudah
dilakukan dalam perjanjian yang bertujuan untuk tidak melakukan suatu
perbuatan. Apabila orang itu melakukannya berarti ia melanggar perjanjian. Tanpa
perlu memperhatikan kapan terjadinya.
Jika dalam perjanjian untuk menyerahkan suatu barang atau untuk
melakukan suatu perbuatan tidak ditetapkan batas waktunya, maka untuk
menyatakan si berutang melakukan wanprestasi, pelaksanaan prestasi itu harus
65 Ibid.
66 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek], diterjemahkan oleh R.Subekti dan R. Tjitrosudibio, cet. 31, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2001), pasal 1267.
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Universitas Indonesia
37
ditagih terlebih dahulu.67 Kepada debitur itu harus diperingatkan bahwa kreditur
menghendaki pelaksanaan perjanjian. Kalau prestasi dapat seketika dilakukan,
misalnya dalam jual beli suatu barang tertentu sudah di tangan si penjual, maka
prestasi tadi dapat dituntut seketika. Apabila prestasi tidak dapat seketika
dilakukan, maka si berutang perlu diberikan waktu yang pantas. Misalnya dalam
jual beli barang yang belum berada di tangan penjual atau pembayaran kembali
uang pinjaman, dan lain sebagainya.
Mengenai peringatan pelaksanaan prestasi dijelaskan juga dalam pasal
1238 KUHPerdata yang menyatakan:
”Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuahakta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jikaini menetapkan, bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktuyang ditentukan.”68
Yang dimaksud dengan surat perintah dalam undang-undang tersebut
adalah suatu peringatan resmi oleh seorang jurusita pengadilan, sementara itu
yang dimaksud dengan akta sejenis adalah suatu peringatan tertulis.69 Apablia
seorang debitur sudah diperingatkan atau sudah dengan tegas ditagih janjinya,
seperti yang diterangkan di atas, namun tetap tidak melakukan prestasinya, dia
melakukan wanprestasi dan dapat diperlakukan sanksi-sanksi sebagaimana
disebutkan sebelumnya.
Berikut ini akan dijelaskan satu persatu mengenai sanksi-sanksi dari
wanprestasi tersebut:
1. Ganti rugi
Ganti rugi setidak-tidaknya terdiri dari tiga unsur yaitu biaya, rugi, dan
bunga. Biaya adalah segala ongkos-ongkos yang telah dikeluarkan oleh kreditur.70
Misalnya seorang sutradara mengadakan perjanjian dengan seorang pemain
67 Ibid.
68 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek], diterjemahkan oleh R.Subekti dan R. Tjitrosudibio, cet. 31, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2001), pasal 1238.
69 R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT. Intermasa, 2004), hal. 46.
70 Akhmad Budi Cahyono dan Surini Ahlan Sjarif, Mengenal Hukum Perdata, (Jakarta:CV. Gitama Jaya, 2008), hal. 142.
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Universitas Indonesia
38
sandiwara untuk mengadakan suatu pertunjukan, dan pemain ini kemudian tidak
datang sehingga pertunjukan terpaksa dibatalkan, maka yang termasuk biaya
adalah ongkos cetak iklan, sewa gedung, sewa kursi-kursi, dan lain-lain. Rugi
ialah kerugian yang diderita oleh kreditur karena rusaknya barang-barang atau
berkurangnya nilai barang milik kreditur yang diakibatkan oleh kelalaian si
debitur.71 Misalnya dalam hal jual beli sapi, kerugian dapat terjadi kalau sapi yang
dibelinya itu mengandung suatu penyakit yang menular kepada sapi-sapi lainnya
milik si pembeli sehingga sapi-sapi ini mati. Sedangkan yang dimaksud dengan
bunga pada dasarnya adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang
sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditur.72 Misalnya, akibat taksi yang
dipesan terlambat beroperasi maka pengusaha taksi kehilangan keuntungan yang
seharusnya didapatnya seandainya taksi tersebut datang tepat pada waktunya.
Selain pengertian bunga di atas, yaitu kehilangan keuntungan yang
diharapkan, terdapat jenis bunga yang lain yaitu bunga moratoir yaitu bunga yang
harus dibayar sebagai hukuman karena debitur itu alpa atau lalai membayar
utangnya dimana pembayaran utang yang diharapkan adalah berupa sejumlah
uang.73 Bunga tersebut ditetapkan menurut undang-undang yang dimuat dalam
Lembaran Negara tahun 1848 No. 22 adalah 6% setahun dan menurut pasal 1250
KUHPerdata, bunga yang dapat dituntut tidak boleh melebihi prosenan yang
ditetapkan dalam undang-undang tersebut. Selain itu, pasal 1250 KUHPerdata
juga menyebutkan bahwa bunga tersebut baru dihitung sejak dituntutnya ke
pengadilan, atau dengan kata lain sejak dimasukkannya surat gugatan.
Dalam soal penuntutan ganti rugi, undang-undang memberikan ketentuan-
ketentuan tentang apa yang dapat dimasukkan dalam ganti rugi tersebut. Dengan
demikian, seorang debitur yang melakukan wanprestasi masih dilindungi oleh
undang-undang terhadap kesewenang-wenangan si kreditur. Ketentuan tersebut
dapat kita lihat dalam pasal 1247 KUHPerdata yang menyebutkan:
”Si berutang hanya diwajibkan mengganti biaya ganti rugi dan bunga yang nyatatelah atau sedianya harus dapat diduga sewaktu perjanjian dilahirkan, kecuali
71 R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT. Intermasa, 2004), hal. 47.
72 Ibid.
73 Ibid., hal. 49.
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Universitas Indonesia
39
jika hal tidak dipenuhinya perjanjian itu disebabkan karena sesuatu tipu dayayang dilakukan olehnya.”74
Selanjutnya pasal 1248 KUHPerdata menyebutkan:
”Bahkan jika hal tidak dipenuhinya perjanjian itu disebabkan karena tipu daya siberutang, penggantian biaya, rugi, dan bunga, sekedar mengenai kerugian yangdiderita oleh si berpiutang dan keuntungan yang terhilang baginya, hanyalahterdiri atas apa yang merupakan akibat langsung dari tak dipenuhinyaperjanjian.”75
Jadi, dapat dilihat bahwa ganti rugi itu dibatasi hanya meliputi kerugian
yang dapat diduga dan yang merupakan akibat langsung dari wanprestasi.
Misalnya dalam contoh kasus wanprestasi yang dilakukan oleh pemain sandiwara
yang dijelaskan sebelumnya, si pemain sandiwara tersebut dapat menduga bahwa
sutradara akan menderita rugi kalau ia tidak datang, karena kemungkinan besar
pertunjukan akan dibatalkan. Namun kalau sampai sutradara tadi jatuh sakit
karena serangan jantung, tentu itu suatu hal yang tidak dapat diduga.
2. Pembatalan perjanjian
Pembatalan perjanjian bertujuan untuk membawa kedua belah pihak
kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan. Kalau suatu pihak sudah
menerima sesuatu dari pihak yang lain, baik uang maupun barang, maka itu harus
dikembalikan.
Masalah pembatalan perjanjian karena kelalaian atau wanprestasi ini diatur
dalam pasal 1266 KUHPerdata yang mengatur mengenai perikatan bersyarat. Hal
ini karena pembatalan perjanjian akibat kelalaian atau wanprestasi terjadi dalam
perjanjian yang mengandung syarat batal dimana syarat batal tersebut menurut
undang-undang dicantumkan dalam setiap perjanjian.76 Pasal 1266 KUHPerdata
menyebutkan:
74 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek], diterjemahkan oleh R.Subekti dan R. Tjitrosudibio, cet. 31, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2001), pasal 1247.
75 Ibid., pasal 1248.
76 R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT. Intermasa, 2004), hal. 50.
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Universitas Indonesia
40
(1) Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam perjanjian-perjanjianyang timbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhikewajibannya.
(2) Dalam hal demikian perjanjian tidak batal demi hukum, tetapi pembatalanharus dimintakan kepada hakim.
(3) Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenaitidak dipenuhinya kewajiban itu dinyatakan dalam perjanjian.
(4) Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam perjanjian, hakim leluasamenurut keadaan atas permintaan si tergugat, untuk memberikan suatujangka waktu guna kesempatan memenuhi kewajibannya, jangka waktumana tidak boleh lebih dari satu bulan.77
Dengan adanya ketentuan bahwa pembatalan perjanjian itu harus diminta
kepada hakim, tidak mungkin perjanjian itu batal secara otomatis pada waktu
debitur secara nyata melalaikan kewajibannya. Putusan hakim tidak bersifat
declaratoir tetapi constitutif yang secara aktif membatalkan perjanjian itu.78
3. Peralihan risiko
Risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu
peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak, yang menimpa barang yang menjadi
obyek perjanjian.79 Peralihan risiko sebagai sanksi yang ketiga atas kelalaian
seorang debitur disebutkan dalam pasal 1237 KUHPerdata yang menyebutkan:
(1) Dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu barang tertentu,maka barang itu semenjak perikatan dilahirkan, adalah tanggungan siberpiutang
(2) Jika si berutang lalai akan menyerahkannya, maka semenjak saatkelalaian, kebendaan adalah atas tanggungannya.80
Peralihan risiko dapat digambarkan dalam risiko jual beli. Menurut pasal
1460 KUHPerdata, maka risiko dalam jual beli barang tertentu dipikulkan kepada
si pembeli, meskipun barangnya belum diserahkan. Kalau si penjual itu terlambat
menyerahkan barangnya, maka kelalaian ini diancam dengan mengalihkan risiko
77 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek], diterjemahkan oleh R.Subekti dan R. Tjitrosudibio, cet. 31, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2001), pasal 1266.
78 R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT. Intermasa, 2004), hal. 50.
79 Ibid., hal. 52.
80 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek], diterjemahkan oleh R.Subekti dan R. Tjitrosudibio, cet. 31, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2001), pasal 1237.
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Universitas Indonesia
41
tadi dari si pembeli kepada si penjual. Jadi dengan lalainya si penjual, risiko itu
beralih kepada dia.
Perihal peralihan risiko ini tidak berlaku dalam hal perjanjian sepihak
mengingat tidak adanya kewajiban secara timbal balik atau kontra prestasi.81
Dengan demikian dalam hal terdapat kelalaian atau wanprestasi dari si pemberi
hibah yang mengakibatkan barang yang dihibahkan musnah maka si pemberi
tidak dapat dituntut untuk tetap menyerahkan barang yang akan dihibahkan.
4. Membayar biaya perkara
Dalam pasal 181 ayat (1) H.I.R dijelaskan bahwa pihak yang dikalahkan
dalam pengadilan diwajibkan membayar biaya perkara. Seorang debitur yang lalai
tentu akan dikalahkan kalau sampai terjadi suatu perkara di depan hakim,
sehingga debitur yang lalai tersebut harus membayar biaya perkara. Oleh karena
itu, pembayaran ongkos biaya perkara disimpulkan sebagai sanksi keempat bagi
debitur yang lalai atau melakukan wanprestasi.
81 Akhmad Budi Cahyono dan Surini Ahlan Sjarif, Mengenal Hukum Perdata, (Jakarta:CV. Gitama Jaya, 2008), hal. 145.
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Universitas Indonesia
BAB 3
PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI TANAH
3.1. Tinjauan Umum Mengenai Tanah
3.1.1. Pengertian Tanah
Tanah memiliki banyak pengertian, namun dalam hukum tanah sebutan
tanah yang digunakan adalah tanah dalam arti yuridis. Hukum tanah yang
merupakan hukum agraria dalam arti sempit adalah seperangkat hukum yang
mengatur penguasaan atas permukaan tanah. Hal ini harus dibedakan dengan
hukum agraria dalam arti luas yang adalah seperangkat hukum yang mengatur hak
penguasaan atas sumber-sumber alam (natural resources), yang meliputi bumi, air
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya termasuk ruang angkasa.82
Tanah dalam arti yuridis diberi batasan resmi oleh UUPA. Pasal 4 ayat (1) UUPA
menyebutkan:
”Atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah,yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendirimaupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum.”83
Dalam pasal tersebut tertulis bahwa permukaan bumi disebut dengan
tanah. Dengan demikian jelaslah bahwa tanah dalam pengertian yuridis adalah
permukaan bumi. Sedangkan hak atas tanah adalah hak atas sebagian tertentu
permukaan bumi, yang berbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan
lebar.84
Selanjutnya dalam pasal tersebut juga disebutkan bahwa yang memberikan
hak atas tanah kepada rakyat adalah negara, namun hal tersebut tidak berarti
bahwa tanah merupakan kepunyaan negara. Tanah di wilayah Indonesia adalah
tanah kepunyaan bangsa Indonesia, dan bukan kepunyaan negara. Bahwa negara
82 Arie S. Hutagalung, dkk., Asas-Asas Hukum Agraria, Bahan Bacaan Pelengkap MataKuliah Hukum Agraria, (Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hal. 2-3.
83 Indonesia, Undang-Undang Pokok Agraria, UU No. 5, LN No. 104 tahun 1960, TLNNo. 2043, pasal 4.
84 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2005), hal. 18.
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Universitas Indonesia
43
memberikan tanah kepada rakyat yang memerlukan dengan berbagai hak atas
tanah yang disediakan dalam hukum tanah kita, bukan dalam kedudukannya
sebagai yang mempunyai tanah, melainkan sebagai petugas bangsa Indonesia,
sebagai badan penguasa yang diberi kewenangan untuk berbuat demikian.
3.1.2. Hak Penguasaan Atas Tanah
Hak penguasaan atas tanah adalah suatu hubungan hukum yang memberi
wewenang untuk berbuat sesuatu kepada subyek hukum terhadap obyek
hukumnya, yaitu tanah yang dikuasainya.85 Berdasarkan kewenangannya, hak
penguasaan tanah menurut UUPA dibagi menjadi hak penguasaan atas tanah yang
mempunyai kewenangan khusus dan hak penguasaan atas tanah yang mempunyai
kewenangan umum.
Yang dimaksud dengan hak penguasaan atas tanah yang mempunyai
kewenangan khusus adalah kewenangan yang bersifat publik atau kewenangan
yang bersifat sekaligus publik dan perdata. Sementara itu yang dimaksud dengan
hak penguasaan atas tanah yang mempunyai kewenangan umum adalah
kewenangan di bidang perdata dalam penguasaan dan penggunaan tanah sesuai
dengan jenis-jenis hak atas tanah yang diberikan atau disebut juga dengan hak
perorangan atas tanah.
Hak penguasaan atas tanah yang mempunyai kewenangan khusus terdiri
dari:
1. Hak Bangsa Indonesia;
2. Hak Menguasai Negara;
3. Hak Ulayat.
Berikut ini akan dijelaskan satu persatu mengenai hak-hak tersebut:
1. Hak Bangsa Indonesia
Hak Bangsa Indonesia merupakan suatu hubungan yang bersifat abadi
antara bangsa Indonesia dengan tanah di seluruh wilayah Indonesia dengan
85 Arie S. Hutagalung, dkk., Asas-Asas Hukum Agraria, Bahan Bacaan Pelengkap MataKuliah Hukum Agraria, (Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hal. 28.
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Universitas Indonesia
44
subyeknya bangsa Indonesia dan merupakan hak penguasaan atas tanah yang
tertinggi di Indonesia.86
Pasal 1 ayat (2) UUPA menyatakan bahwa:
”Seluruh bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yangterkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karuniaTuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air, dan ruang angkasa bangsa Indonesiadan merupakan kekayaan nasional.”87
Kata “adalah” dalam pasal tersebut berarti “kepunyaan”. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa Hak Bangsa Indonesia mempunyai pengertian, bahwa
seluruh tanah di wilayah Republik Indonesia adalah kepunyaan bangsa Indonesia.
Namun perlu diingat, bahwa hubungan kepunyaan dengan tanah di seluruh
wilayah Indonesia itu tidaklah sama dengan hubungan pemilikan, karena tetap
diakui hak milik perorangan atas tanah.88 Unsur kepunyaan yang terkandung
dalam Hak Bangsa Indonesia termasuk bidang hukum perdata.
Selain itu, pemberian karunia yang dimaksud dalam pasal 1 ayat (2)
UUPA harus diartikan pula sebagai mengandung amanat, berupa beban tugas
untuk mengelolanya dengan baik, bukan saja untuk generasi sekarang, melainkan
juga untuk generasi-generasi yang akan datang. Tugas mengelola berupa
mengatur dan memimpin penguasaan dan penggunaan tanah bersama tersebut,
menurut sifatnya termasuk bidang hukum publik.89
2. Hak Menguasai Negara
Tugas mengelola tanah di seluruh wilayah Indonesia tidak mungkin
dilaksanakan sendiri oleh seluruh bangsa Indonesia. Maka penyelenggaraannya
oleh bangsa Indonesia sebagai pemegang hak dan pengemban amanat tersebut,
dikuasakan kepada negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.90
86 Indonesia, Undang-Undang Pokok Agraria, UU No. 5, LN No. 104 tahun 1960, TLNNo. 2043, pasal 1 ayat (3) jo. pasal 2 ayat (1).
87 Ibid., pasal 1 ayat (2).
88 Arie S. Hutagalung, dkk., Asas-Asas Hukum Agraria, Bahan Bacaan Pelengkap MataKuliah Hukum Agraria, (Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hal. 23.
89 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2005), hal. 231.
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Universitas Indonesia
45
Pemberian kuasa tersebut dituangkan oleh wakil-wakil bangsa Indonesia, saat
dibentuknya Negara Republik Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945, dalam
pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menyebutkan:
”Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai olehNegara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”91
Dengan demikian jelas bahwa dalam hubungannya dengan bumi, air dan
ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, selaku
organisasi kekuasaan seluruh rakyat, negara bertindak dalam kedudukannya
sebagai kuasa dan petugas bangsa Indonesia. Dalam melaksanakan tugas tersebut,
negara merupakan organisasi kekuasaan rakyat tertinggi. Negara sebagai
organisasi kekuasaan tertinggi seluruh rakyat melaksanakan tugas untuk
memimpin dan mengatur kewenangan bangsa Indonesia.92 Pelimpahan tugas
kewenangan kepada negara itu terbatas pada unsur yang bersifat hukum publik,
dan tidak meliputi unsur kepunyaan yang bersifat perdata.
3. Hak Ulayat
Hak Ulayat adalah hubungan hukum yang terdapat antara masyarakat
hukum adat dengan tanah lingkungannya.93 Hukum adat dapat dirumuskan
sebagai konsepsi yang komunalistik religius, yang memungkinkan penguasaan
tanah secara individual, dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi, sekaligus
mengandung unsur kebersamaan.94
Sifat komunalistik menunjuk kepada adanya hak bersama para anggota
masyarakat hukum adat atas tanah yang disebut Hak Ulayat. Sementara itu sifat
religius dapat dilihat dari keyakinan masyarakat hukum adat yang meyakini
bahwa tanah ulayat adalah karunia suatu kekuatan gaib atau peninggalan nenek
90 Indonesia, Undang-Undang Pokok Agraria, UU No. 5, LN No. 104 tahun 1960, TLNNo. 2043, pasal 2 ayat (1).
91 Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, pasal 33 ayat (3).
92 Indonesia, Undang-Undang Pokok Agraria, UU No. 5, LN No. 104 tahun 1960, TLNNo. 2043, pasal 2 ayat (1).
93 Arie S. Hutagalung, dkk., Asas-Asas Hukum Agraria, Bahan Bacaan Pelengkap MataKuliah Hukum Agraria, (Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hal. 28.
94 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2005), hal. 181.
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Universitas Indonesia
46
moyang sebagai unsur pendukung utama bagi kehidupan dan penghidupan
masyarakat hukum adat sepanjang masa.
Para warga masing-masing mempunyai hak untuk menguasai dan
menggunakan sebagian tanah bersama guna memenuhi kebutuhan pribadi dan
keluarganya, dengan hak-hak yang bersifat sementara maupun hak tanpa batas
waktu yang umumnya disebut Hak Milik. Tidak ada kewajiban untuk menguasai
dan menggunakannya secara kolektif. Karena itu, penguasaan tanahnya
dirumuskan dengan sifat individual.95
Hak penguasaan yang individual tersebut merupakan hak yang bersifat
pribadi, karena tanah yang dikuasainya diperuntukkan bagi pemenuhan kebutuhan
pribadi dan keluarganya. Bukan untuk pemenuhan kebutuhan kelompok.
Kebutuhan kelompok dipenuhi dengan penggunaan sebagian tanah oleh kelompok
dibawah pimpinan Kepala Adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
Misalnya, tanah untuk tempat penggembalaan ternak bersama atau tanah untuk
pasar dan keperluan bersama lainnya.
Tanah bersama tersebut bukan hanya diperuntukkan bagi pemenuhan
kebutuhan suatu generasi, tetapi diperuntukkan sebagai unsur pendukung utama
dalam kehidupan dan penghidupan generasi yang terdahulu, sekarang, dan yang
akan menyusul kemudian. Peruntukkan, penguasaan, penggunaan, dan
pemeliharannya perlu diatur oleh kelompok yang bersangkutan, supaya selain
dilakukan secara tertib dan teratur untuk menghindarkan sengketa, juga bisa
terjaga kelestarian kemampuannya bagi generasi-generasi yang akan menyusul
kemudian.96
Dengan demikian Hak Ulayat masyarakat hukum adat selain mengandung
hak penguasaan yang indivial yang termasuk bidang hukum perdata, juga
mengandung tugas kewajiban mengelola, mengatur dan memimpin penguasaan,
pemeliharaan, peruntukkan, dan penggunaannya, yang termasuk dalam bidang
hukum publik.
Hak Ulayat oleh pasal 3 UUPA diakui dengan ketentuan bahwa sepanjang
menurut kenyataannya masih ada dan pelaksanaannya tidak bertentangan dengan
95 Ibid.
96 Ibid.
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Universitas Indonesia
47
pembangunan nasional. Pada tanggal 24 Juni 1999 Pemerintah mengeluarkan
kebijakan mengenai Hak Ulayat yaitu dengan Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang
Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Bahkan
perkembangan terhadap pengakuan dan penghormatan terhadap Hak Ulayat
masyarakat hukum adat tersebut dikukuhkan di dalam perubahan kedua UUD
1945 oleh MPR-RI, pada tanggal 18 Agustus 2000 di dalam pasal 18B ayat (2)
disebutkan bahwa:
”Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adatbeserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup sesuai denganperkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia,yang diatur dalam undang-undang.”97
Selain hak penguasaan atas tanah yang mempunyai kewenangan khusus,
yang terdiri dari Hak Bangsa Indonesia, Hak Menguasai Negara, dan Hak Ulayat,
terdapat juga hak penguasaan atas tanah yang mempunyai kewenangan umum.
Hak tersebut memberikan kewenangan di bidang perdata atau disebut juga dengan
hak perorangan atas tanah. Hak perorangan atas tanah terdiri dari:
1. Hak atas tanah;
2. Hak jaminan atas tanah.
Berikut ini akan dijelaskan satu persatu mengenai hak-hak tersebut:
1. Hak atas tanah
Yang dimaksud dengan hak atas tanah adalah hak penguasaan atas tanah
yang memberi wewenang bagi subyeknya untuk menggunakan tanah yang
dikuasainya.98 Namun perlu diperhatikan bahwa hak atas tanah tidak akan
bermakna jika penggunaannya terbatas hanya pada tanah sebagai permukaan bumi
saja. Oleh karena itu dalam pasal 4 ayat (2) UUPA dinyatakan bahwa hak-hak atas
tanah bukan hanya memberikan wewenang untuk mempergunakan sebagian
permukaan bumi yang bersangkutan, melainkan juga tubuh bumi yang ada di
97 Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, pasal 18B ayat (2).
98 Arie S. Hutagalung, dkk., Asas-Asas Hukum Agraria, Bahan Bacaan Pelengkap MataKuliah Hukum Agraria, (Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hal. 29.
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Universitas Indonesia
48
bawahnya dan air serta ruang yang ada di atasnya. Dengan demikian maka yang
dipunyai adalah hak atas tanah dalam arti sebagian tertentu dari permukaan bumi.
Tetapi wewenang menggunakan yang bersumber pada hak tersebut diperluas
hingga meliputi juga penggunaan sebagian tubuh bumi yang ada di bawah tanah
dan air serta ruang yang ada di atasnya.
Hak atas tanah terdiri dari hak atas tanah yang orisinil atau primer dan hak
atas tanah yang derivatif atau sekunder. Yang dimaksud dengan hak primer adalah
hak atas tanah yang bersumber pada Hak Bangsa Indonesia dan yang diberikan
oleh negara dengan cara memperolehnya melalui permohonan hak.99 Hak atas
tanah yang termasuk hak primer adalah:
1. Hak Milik;
2. Hak Guna Bangunan;
3. Hak Guna Usaha;
4. Hak Pakai;
5. Hak Pengelolaan.
Sedangkan yang dimaksud dengan hak sekunder adalah hak atas tanah
yang tidak langsung bersumber kepada Hak Bangsa Indonesia dan diberikan
pemilik tanah dengan cara memperolehnya melalui perjanjian pemberian hak
antara pemilik tanah dengan calon pemegang hak yang bersangkutan.100 Hak atas
tanah yang termasuk dalam hal ini adalah:
1. Hak Guna Bangunan;
2. Hak Pakai;
3. Hak Sewa;
4. Hak Usaha Bagi Hasil;
5. Hak Gadai;
6. Hak Menumpang.
2. Hak jaminan atas tanah
Yang dimaksud dengan hak jaminan atas tanah adalah hak penguasaan
atas tanah yang tidak memberikan wewenang kepada pemegangnya untuk
99 Ibid.
100 Ibid.
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Universitas Indonesia
49
menggunakan tanah yang dikuasainya tetapi memberikan wewenang untuk
menjual lelang tanah tersebut apabila pemilik tanah tersebut yang merupakan
debitur melakukan wanprestasi.101 Hak-hak jaminan atas tanah menurut hukum
tanah nasional adalah Hak Tanggungan yang diatur dengan UU Nomor 4 Tahun
1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan
Dengan Tanah (UUHT).
Menurut pasal 4 ayat (1) UUHT hak atas tanah yang dapat dibebani Hak
Tanggungan adalah:
1. Hak Milik;
2. Hak Guna Usaha;
3. Hak Guna Bangunan.
Menurut pasal 4 ayat (2) UUHT, selain hak-hak atas tanah yang telah
disebutkan di atas, Hak Pakai atas tanah negara yang menurut ketentuan berlaku
wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan dapat juga dibebani
Hak Tanggungan.
Selanjutnya mengenai hak-hak atas tanah baik yang merupakan hak primer
maupun hak sekunder, serta hak-hak atas tanah yang dapat dibebani Hak
Tanggungan akan dijelaskan sebagai berikut:
1. Hak Milik
Hak Milik adalah hak atas tanah yang turun temurun, terkuat, dan terpenuh
yang dapat dipunyai orang atas tanah.102 Sebagai hak atas tanah yang bersifat
turun temurun, jangka waktu atas hak ini tidak terbatas. Hak yang terkuat artinya
Hak Milik tidak mudah hapus dan musnah serta mudah dipertahankan terhadap
pihak lain. Sementara itu terpenuh menandakan kewenangan pemegang Hak Milik
itu paling penuh dibandingkan hak-hak lain. Dibandingkan dengan hak-hak lain,
obyek Hak Milik dapat berupa tanah bangunan atau tanah pertanian, untuk itu
dapat digunakan untuk usaha pertanian maupun untuk mendirikan bangunan.
101 Ibid., hal.30.
102 Indonesia, Undang-Undang Pokok Agraria, UU No. 5, LN No. 104 tahun 1960, TLNNo. 2043, pasal 20.
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Universitas Indonesia
50
Sedangkan Hak Guna Bangunan hanya untuk mendirikan bangunan dan Hak
Guna Usaha dan Hak Guna Usaha untuk pertanian, perikanan, dan peternakan.103
Hak Milik berdasarkan pasal 21 ayat (1) UUPA hanya dapat dipunyai oleh
warganegara Indonesia saja. Memang pada dasarnya Hak Milik bersifat
perorangan, namun berdasarkan pasal 21 ayat (2) UUPA jo. pasal 1 Peraturan
Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum
Yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah (PP 38/1963), badan-badan
hukum tertentu juga dapat mempunyai Hak Milik, yaitu bank-bank pemerintah,
badan-badan koperasi pertanian, badan-badan sosial, dan badan-badan
keagamaan.
2. Hak Guna Usaha
Hak Guna Usaha (HGU) adalah hak untuk mengusahakan tanah yang
dikuasai langsung oleh negara selama jangka waktu tertentu guna usaha pertanian,
perikanan, perkebunan, dan peternakan.104 HGU berdasarkan pasal 30 UUPA
dapat dipunyai oleh warganegara Indonesia dan badan hukum yang didirikan
menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Selain itu, menurut
pasal 1 Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1992 tentang Pemanfaatan Tanah
Hak Guna Usaha Dan Hak Guna Bangunan Untuk Usaha Patungan Dalam Rangka
Penanaman Modal Asing (Keppres 34/1992), dalam rangka meningkatkan
penanaman modal asing dalam sektor perkebunan, dapat dibentuk Perusahaan
Patungan dimana HGU dapat langsung diberikan kepada Perusahaan Patungan
yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
3. Hak Guna Bangunan
Hak Guna Bangunan (HGB) adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai
bangunan di atas tanah yang bukan miliknya sendiri dalam jangka waktu
tertentu.105 Subyek yang dapat mempunyai HGB berdasarkan pasal 36 UUPA
103 Arie S. Hutagalung, dkk., Asas-Asas Hukum Agraria, Bahan Bacaan Pelengkap MataKuliah Hukum Agraria, (Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hal. 32.
104 Indonesia, Undang-Undang Pokok Agraria, UU No. 5, LN No. 104 tahun 1960, TLNNo. 2043, pasal 28.
105 Ibid., pasal 35.
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Universitas Indonesia
51
adalah warganegara Indonesia dan badan hukum yang didirikan menurut hukum
Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Selain itu, menurut pasal 3 Keppres
34/1992, apabila memerlukan tanah untuk keperluan emplasemen, bangunan
pabrik, dan lain-lain HGB dapat juga diberikan kepada Perusahaan Patungan yang
didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
4. Hak Pakai
Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari
tanah yang langsung dikuasai oleh negara atau tanah milik orang lain.106 Kata
”menggunakan”, menunjukkan bahwa tanah itu dapat digunakan sebagai wadah
atau dengan kata lain untuk bangunan. Sementara itu, kata ”memungut hasil”
menunjukkan bahwa tanah dapat digunakan sebagai faktor produksi atau dengan
kata lain untuk usaha pertanian. Dari rumusan di atas dapat disimpulkan bahwa
Hak Pakai adalah hak atas tanah bangunan dan tanah pertanian.107
Dalam pasal 39 PP 40/1996 diuraikan dengan jelas bahwa yang dapat
mempunyai Hak Pakai adalah:
1. Warganegara Indonesia;
2. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan
di Indonesia;
3. Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, dan Pemerintah
Daerah;
4. Badan-badan keagamaan dan sosial;
5. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia;
6. Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia;
7. Perwakilan negara asing dan perwakilan badan internasional.
5. Hak Pengelolaan
Hak Pengelolaan menurut pasal 3 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor
5 Tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Penyediaan Dan
106 Ibid., pasal 41.
107 Arie S. Hutagalung, dkk., Asas-Asas Hukum Agraria, Bahan Bacaan Pelengkap MataKuliah Hukum Agraria, (Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hal. 41.
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Universitas Indonesia
52
Pemberian Tanah Untuk Keperluan Perusahaan (PMDN 5/1974) adalah hak atas
tanah yang memberikan wewenang kepada pemegangnya untuk merencanakan
peruntukkan dan penggunaan tanahnya, menggunakan tanah untuk keperluan
sendiri, dan menyerahkan bagian tanahnya kepada pihak ketiga menurut
persyaratan yang telah ditentukan bagi pemegang hak tersebut yang meliputi segi
peruntukkan, segi penggunaan, segi jangka waktu dan segi keuangannya. Setelah
jangka waktu hak tanah yang diberikan kepada pihak ketiga itu berakhir maka
tanah tersebut kembali lagi ke dalam penguasaan sepenuhnya pemegang Hak
Pengelolaan dalam keadaan bebas dari hak-hak yang membebaninya.
Hak Pengelolaan dapat dipunyai oleh badan hukum yang didirikan
menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia yang seluruh modalnya
dimiliki oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah yang bergerak dalam
kegiatan usaha sejenis dengan industri dan pelabuhan, dan oleh lembaga dan
instansi pemerintah.108
6. Hak Sewa
Hak Sewa adalah hak yang memberi wewenang untuk menggunakan tanah
milik pihak lain dengan kewajiban membayar uang sewa pada tiap-tiap waktu
tertentu. Hak Sewa bersifat pribadi, dalam arti tidak dapat dialihkan tanpa izin
pemiliknya. Keberadaan Hak Sewa tidak mempengaruhi Hak Milik atas tanah
tersebut. Oleh karena itu untuk memperoleh Hak Sewa cukup dengan perjanjian
yang dituangkan diatas akta otentik atau akta bawah tangan. Hak Sewa dapat
dipunyai oleh warganegara Indonesia, badan hukum yang didirikan menurut
hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia, warganegara asing yang
berkedudukan di Indonesia dan badan hukum asing yang mempunyai perwakilan
di Indonesia.
7. Hak Gadai
Hak Gadai adalah hubungan hukum antara seseorang dengan tanah milik
orang lain yang telah menerima uang gadai daripadanya, yang memberi
wewenang kepadanya untuk menggunakan atau mengambil manfaat dari tanah
tersebut. Dalam hubungan ini, selama pemilik tanah selaku pemberi gadai belum
108 Ibid., hal. 44.
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Universitas Indonesia
53
mengembalikan uang kepada pemegang gadai, maka pemegang gadai tetap
mempergunakan dan memanfaatkan tanah yang digadaikan itu.109 Hak Gadai
tidak berakhir dengan meninggalnya pemegang gadai. Hak Gadai hanya dapat
dipunyai oleh warganegara Indonesia saja. Hal ini berarti Hak Gadai tidak boleh
dipunyai oleh orang asing maupun badan hukum, baik badan hukum Indonesia
maupun badan hukum asing.
8. Hak Usaha Bagi Hasil
Hak Usaha Bagi Hasil adalah hak seseorang atau badan hukum yang
disebut dengan penggarap, untuk menyelenggarakan usaha pertanian di atas tanah
kepunyaan pihak lain yang disebut dengan pemilik, dengan perjanjian bahwa
hasilnya akan dibagi di antara keduanya menurut imbangan yang telah
disetujui.110 Hak ini tidak akan hapus apabila penggarap meninggal dunia, tetapi
hapus apabila pemilik meninggal dunia.
Dalam Hak Usaha Bagi Hasil terdapat dua macam subyek, yaitu subyek
yang membagi-hasilkan dan subyek yang dapat penjadi penggarap. Subyek yang
membagi-hasilkan dapat berupa pemilik atau pemegang Hak Milik, penyewa atau
pemegang Hak Sewa, dan pemegang Hak Gadai. Ketentuan-ketentuan yang
mengatur mengenai pemegang Hak Milik, Hak Sewa, maupun Hak Gadai telah
dijelaskan sebelumnya. Sementara itu subyek yang dapat menjadi penggarap
adalah warganegara Indonesia dan koperasi tani/desa yang diatur dalam pasal 2
ayat (3) UU 2/1960.111
9. Hak Menumpang
Hak Menumpang adalah hak yang memberi wewenang kepada seseorang
untuk mendirikan dan menempati rumah di atas tanah pekarangan orang lain. Hak
Menumpang ini sebenarnya semacam Hak Pakai, tetapi pada Hak Menumpang
hubungan hukumnya lemah, mudah diputuskan oleh pemilik tanah pekarangan,
karena dalam hak menumpang ini tidak dikenal bayaran (gratis).112 Hak
109 Ibid., hal. 46.
110 Ibid., hal. 48.
111 Ibid., hal. 49.
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Universitas Indonesia
54
Menumpang bersifat turun temurun sehingga dapat beralih kepada ahli warisnya.
Hak Menumpang hanya dapat dipunyai oleh warganegara Indonesia saja. Seorang
warganegara asing tidak boleh memegang Hak Menumpang atas tanah, begitupula
dengan badan hukum, baik badan hukum indonesia maupun badan hukum asing.
3.1.3. Cara-Cara Memperoleh Hak Penguasaan Atas Tanah
Yang dimaksud dengan tata cara memperoleh tanah ini ialah prosedur
yang harus ditempuh dengan tujuan untuk menimbulkan suatu hubungan yang
legal antara subyek tertentu dengan tanah tertentu. Dalam garis besarnya secara
khusus, tata cara memperoleh tanah menurut hukum tanah nasional adalah sebagai
berikut:
1. Permohonan hak atas tanah;
2. Peralihan hak atas tanah;
3. Pelepasan hak;
4. Pencabutan hak.113
Berikut ini akan dijelaskan satu persatu mengenai cara-cara memperoleh
hak penguasaan atas tanah tersebut:
1. Permohonan hak atas tanah
Kalau status dari tanah yang ingin diperoleh adalah tanah negara, satu-
satunya cara memperoleh hak atas tanah tersebut adalah melalui permohonan hak.
Hak-hak yang dapat diperoleh atas tanah yang dikuasai negara (hak-hak primer)
adalah:
1. Hak Milik;
2. Hak Guna Usaha;
3. Hak Guna Bangunan;
4. Hak Pakai;
5. Hak Pengelolaan.
112 Ibid.
113 Ibid., hal. 65.
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Universitas Indonesia
55
2. Peralihan hak atas tanah
Peralihan hak atas tanah bisa terjadi karena pewarisan tanpa wasiat
maupun karena perbuatan hukum pemindahan hak. Menurut hukum perdata jika
pemegang sesuatu hak atas tanah meninggal dunia, hak tersebut karena hukum
beralih kepada ahli warisnya. Ketentuan-ketentuan mengenai peralihan hak
tersebut kepada para ahli waris, yaitu siapa yang termasuk ahli waris, berapa
bagian warisan dari masing-masing ahli waris dan bagaimana cara pembagian
warisan, diatur oleh hukum waris almarhum pemegang hak yang bersangkutan,
bukan oleh hukum tanah.114 Hukum tanah memberikan ketentuan mengenai
penguasaan tanah yang berasal dari warisan dan hal-hal mengenai pemberian surat
tanda bukti pemilikannya oleh para ahliwaris.
Menurut pasal 42 PP 24/1997, para ahliwaris wajib meminta pendaftaran
peralihan haknya. Dalam melakukan pendaftaran tersebut perlu diserahkan
sertifikat hak yang bersangkutan, surat kematian orang yang namanya dicatat
sebagai pemegang haknya dan surat tanda bukti sebagai ahli waris. Apabila
penerima warisan hanya satu orang, maka pendaftaran peralihan hak tersebut
dilakukan kepada orang tersebut berdasarkan surat tanda bukti sebagai ahli waris.
Apabila penerima warisan lebih dari satu orang, maka pada saat pendaftaran perlu
juga diserahkan akta pembagian waris yang memuat keterangan bahwa hak atas
tanah jatuh kepada seorang penerima warisan tertentu. Pendaftaran peralihan hak
atas tanah dilakukan kepada penerima warisan berdasarkan surat tanda bukti
sebagai ahli waris dan akta pembagian warisan tersebut.
Selain karena pewarisan, peralihan hak atas tanah juga dapat terjadi karena
pemindahan hak. Yang dimaksud dengan pemindahan hak adalah perbuatan
hukum untuk memindahkan hak atas tanah kepada pihak lain. Cara ini dilakukan
apabila pihak yang memerlukan tanah memenuhi persyaratan sebagai pemegang
hak atas tanah yang tersedia, dan pemegang hak atas tanah tersebut bersedia untuk
memindahkan haknya.115 Berbeda dengan beralihnya hak atas tanah karena
pewarisan tanpa wasiat yang terjadi karena hukum dengan meninggalnya
114 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2005), hal. 329.
115 Arie S. Hutagalung, dkk., Asas-Asas Hukum Agraria, Bahan Bacaan Pelengkap MataKuliah Hukum Agraria, (Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hal. 69.
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Universitas Indonesia
56
pemegang hak, dalam perbuatan hukum pemindahan hak, hak atas tanah yang
bersangkutan sengaja dialihkan kepada pihak lain. Tanah-tanah hak yang dapat
dipindahkan adalah:
1. Hak Milik;
2. Hak Guna Usaha;
3. Hak Guna Bangunan;
4. Hak Pakai atas Tanah Negara (Hak Pakai yang primer).116
Bentuk pemindahan haknya bisa:
1. Jual beli;
2. Tukar menukar;
3. Hibah;
4. Pemberian menurut adat;
5. Pemasukan dalam perusahaan atau inbreng;
6. Hibah wasiat atau legaat.117
Dalam hal pemindahan hak tersebut di atas, syarat-syarat subyek hak pun
harus dipenuhi. Jika subyek selaku calon penerima hak tidak memenuhi syarat-
syarat subyek hak atas tanah yang akan dipindahkan kepadanya sebagaimana yang
ditentukan dalam UUPA, maka menurut pasal 26 ayat (2) UUPA akan batal demi
hukum dan tanahnya akan menjadi tanah negara.
3. Pelepasan hak
Pelepasan hak atas tanah adalah suatu perbuatan hukum berupa
melepaskan hubungan hukum yang semula terdapat antara pemegang hak dan
tanahnya melalui musyawarah untuk mencapai kata sepakat dengan cara
memberikan ganti rugi kepada pemegang haknya, hingga tanah yang
bersangkutan berubah statusnya menjadi tanah negara.118 Pelepasan hak atas tanah
dilakukan apabila subyek yang memerlukan tanah tidak memenuhi syarat untuk
116 Ibid.
117 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2005), hal. 330.
118 Arie S. Hutagalung, dkk., Asas-Asas Hukum Agraria, Bahan Bacaan Pelengkap MataKuliah Hukum Agraria, (Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hal. 76.
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Universitas Indonesia
57
menjadi pemegang hak atas tanah yang diperlukan sehingga tidak dapat diperoleh
dengan jual beli dan pemegang hak atas tanah bersedia untuk melepaskan hak atas
tanahnya.
Acara pelepasan hak wajib dilakukan dengan surat pernyataan pelepasan
hak yang ditandatangani oleh pemegang hak diketahui pejabat yang berwenang.
Pada dasarnya pelepasan hak tersebut dilakukan oleh pemegang hak atas tanah
dengan suka rela.
4. Pencabutan hak
Pencabutan hak yaitu pengambilan tanah kepunyaan pihak lain oleh
Pemerintah secara paksa untuk keperluan penyelenggaraan kepentingan umum
dengan pemberian ganti rugi yang layak kepada yang mempunyai tanah.119
Pencabutan hak adalah perbuatan hukum sepihak yang dilakukan oleh pemerintah.
Syarat-syarat melaksanakan pencabutan hak adalah:
1. Tanah diperlukan benar-benar untuk kepentingan umum;
2. Merupakan upaya terakhir untuk menguasai tanah yang diperlukan dan
hanya digunakan dalam keadaan memaksa;
3. Harus ada ganti rugi yang layak;
4. Harus dilaksanakan berdasarkan Keputusan Presiden;
5. Bila ganti rugi yang tidak memuaskan harus banding ke Pengadilan
Tinggi.120
Jaminan yang diberikan bagi pemegang hak tanah yang dicabut adalah:
1. Jaminan pemberian ganti rugi yang layak bila tidak memuaskan dapat
banding ke Pengadilan Tinggi;
2. Jaminan ganti rugi harus dilakukan secara tunai dan dibayarkan langsung
kepada yang berhak;
3. Jaminan penampungan bagi mereka yang perlu pindah;
4. Yang berhak atas ganti kerugian bukan hanya mereka yang haknya
dicabut, tetapi jika ada orang-orang yang menggarap tanah atau
menempati rumah yang bersangkutan;
119 Ibid., hal. 78.
120 Ibid.
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Universitas Indonesia
58
5. Jika tanah yang dicabut haknya itu kemudian tidak dipergunakan sesuai
rencana peruntukkannya, maka mereka yang semula berhak atas tanahnya
diberi prioritas untuk mendapatkan kembali.121
3.1.4. Pendaftaran Tanah
Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh
Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi
pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data
fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar mengenai bidang-bidang
tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian sertifikat sebagai tanda
bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan Hak Milik atas
satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.122
Sebelum UUPA berlaku, semua tanah hak barat sudah terdaftar, misalnya
Hak Eigendom, Opstal, dan Gebruik. Sedangkan tanah-tanah hak Indonesia, baru
sebagian kecil saja yang terdaftar, misalnya tanah Hak Milik adat yang disebut
Agrarisch Eigendom dan tanah-tanah milik di daerah-daerah Swapraja, seperti
Grant Sultan, Grant Controleur, dan sebagainya. Sebagian besar dari tanah-tanah
hak Indonesia ini belum terdaftar. Oleh karena itu, setelah berlakunya UUPA
demi kepastian hukum tanah-tanah tersebut harus didaftarkan.123
Kepastian hukum yang dimaksudkan meliputi kepastian hukum mengenai
orang/badan yang menjadi pemegang hak (subyek hak), kepastian mengenai
lokasi, batas serta luas suatu bidang tanah hak (obyek hak), dan kepastian hukum
mengenai haknya. Kepastian hukum tersebut bertujuan untuk menyediakan
informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan untuk terselenggaranya
tertib administrasi pertanahan. Penyelenggaraan pendaftaran tanah dapat
menjamin kepastian hukum apabila memenuhi syarat:
1. Peta-peta kadastral dapat dipakai rekonstruksi di lapangan dan
digambarkan batas yang sah menurut hak;
121 Ibid., hal. 79.
122 Indonesia, Peraturan Pemerintah Tentang Pendaftaran Tanah, PP No. 24, LN No. 59tahun 1997, TLN No. 3696, pasal 1 angka 1.
123 Arie S. Hutagalung, dkk., Asas-Asas Hukum Agraria, Bahan Bacaan Pelengkap MataKuliah Hukum Agraria, (Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hal. 83.
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Universitas Indonesia
59
2. Daftar ukur membuktikan pemegang hak terdaftar di dalamnya sebagai
pemegang hak yang sah menurut hukum;
3. Setiap hak dan peralihannya harus didaftar.124
Pendaftaran tanah memiliki fungsi yang terbagi dalam fungsi pendaftaran
tanah dalam rangka permohonan hak dan pembebanan Hak Tanggungan, dan
fungsi pendaftaran tanah dalam rangka jual beli tanah. Fungsi pendaftaran tanah
dalam rangka permohonan hak dan pembebanan Hak Tanggungan adalah sebagai
syarat konstitutif lahirnya suatu hak/Hak Tanggungan, dan untuk keperluan
pembuktian, karena nama pemegang hak/Hak Tanggungan akan dicatat pada buku
tanah dan sertifikat hak/Hak Tanggungan. Sementara itu, dalam rangka jual beli
tanah fungsi pendaftaran tanah adalah untuk memperkuat pembuktian, karena
pemindahan hak tersebut dicatat pada buku tanah dan sertifikat hak dan
dicantumkan siapa pemegang haknya sekarang. Selain itu fungsi pendaftaran
tanah juga untuk memperluas pembuktian, karena dengan pendaftaran, jual
belinya dapat diketahui oleh umum atau siapa saja yang berkepentingan.
Pendaftaran tanah diselenggarakan oleh pemerintah dalam hal ini Badan
Pertanahan Nasional (BPN). Secara operasional instansi penyelenggaranya adalah
kantor pertanahan yang terdapat di setiap daerah kabupaten/kota. Dalam
melaksanakan tugas pendaftaran tanah BPN dibantu oleh PPAT dan pejabat lain
yang ditugaskan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu menurut PP
24/1997 dan peraturan-peraturan lainnya.125
Menurut ketentuan di dalam pasal 9 PP 24/1997, obyek pendaftaran tanah
adalah:
1. Bidang-bidang tanah yang telah dimiliki dengan Hak Milik, HGU, HGB,
dan Hak Pakai;
2. Tanah Hak Pengelolaan;
3. Tanah Wakaf;
4. Hak Milik atas satuan rumah susun;
5. Hak Tanggungan;
124 Ibid.
125 Indonesia, Peraturan Pemerintah Tentang Pendaftaran Tanah, PP No. 24, LN No. 59tahun 1997, TLN No. 3696, pasal 5 jo. pasal 6.
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Universitas Indonesia
60
6. Tanah Negara. Batasan pendaftaran tanah yang dilakukan terhadap Tanah
Negara adalah tidak dengan menerbitkan sertifikat, melainkan hanya
sebatas pada membuat catatan (membukukan) bidang Tanah Negara ke
dalam Daftar Tanah.
Dalam rangka pelaksanaan pendaftaran tanah dikenal asas sederhana,
aman, terjangkau, mutakhir, dan terbuka yang harus diterapkan dalam kegiatan
pendaftaran tanah yang meliputi:
1. Pendaftaran tanah untuk pertama kali (initial registration);
2. Pemeliharaan data pendaftaran tanah.
Berikut ini akan dijelaskan satu persatu mengenai kegiatan-kegiatan
pendaftaran tanah tersebut:
1. Pendaftaran tanah untuk pertama kali (initial registration)
Pendaftaran tanah pertama kali adalah kegiatan yang dilakukan terhadap
tanah-tanah yang belum didaftarkan menurut ketentuan PP 24/1997. Pendaftaran
tanah untuk pertama kali dapat dilakukan melalui pendaftaran tanah sistematik
maupuan pendaftaran tanah sporadik. Yang dimaksud dengan pendaftaran tanah
sistematik adalah pendaftaran tanah yang dilakukan oleh pemerintah secara
serentak meliputi wilayah satu atau sebagian dari wilayah desa/kelurahan.
Sementara itu yang dimaksud dengan pendaftaran tanah sporadik adalah
pendaftaran tanah yang dilakukan berdasarkan inisiatif pemilik tanah secara
perorangan atau secara bersama-sama.126
Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali menurut pasal 12 ayat (1)
PP 24/1997 meliputi:
1. Pengumpulan dan pengolahan data fisik. Hal ini terdiri dari pembuatan
peta dasar pendaftaran, penetapan batas-batsat bidang tanah, pengukuran
dan pemetaan bidang-bidang tanah dan pembuatan peta pendaftaran,
pembuatan daftar tanah, pembuatan surat ukur.
2. Pembukuan hak dan pembuktian sibuk (penerbitan sertifikat)
126 Arie S. Hutagalung, dkk., Asas-Asas Hukum Agraria, Bahan Bacaan Pelengkap MataKuliah Hukum Agraria, (Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hal. 84.
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Universitas Indonesia
61
Tiap-tiap hak yang didaftar dibuatkan buku tanah yang berisi isian yang
memuat keterangan sejak lahirnya hak sampai berakhirnya hak. Dengan demikian
setiap terjadinya perubahan mengenai hak, subyek, maupun tanahnya wajib
didaftarkan. Dalam buku tanah tercatat data-data mengenai segi fisik maupun segi
yuridis tanah yang bersangkutan. Yang termasuk data mengenai segi fisik tanah
adalah:
1. Letak tanah;
2. Batas-batas tanah;
3. Luas tanah.
Sementara itu yang termasuk data mengenai segi yuridis adalah:
1. Status tanahnya atau jenis haknya, misalnya status Hak Milik, Hak Pakai,
dan lain sebagainya;
2. Subyeknya, siapa dan bagaimana status hukum pemegang haknya,
misalnya warganegara Indonesia, warganegara asing, badan hukum
Indonesia, badan hukum asing, dan lain sebagainya;
3. Hak-hak pihak ketiga yang membebaninya;
4. Peristiwa hukum maupun perbuatan hukum yang menyangkut hak atas
tanah.
Selain dilakukan pembukuan hak, juga diterbitkan sertifikat hak yang
merupakan tanda bukti yang diberikan kepada pemegangnya. Sertifikat hak tanah
terdiri dari salinan buku tanah dan surat ukur yang asli dirangkap menjadi satu dan
diberi sampul. Buku tanah yang asli digunakan untuk arsip di kantor pertanahan
seksi pendaftaran tanah, sedangkan salinannya diberikan kepada pemegang
haknya.127 Kalau terjadi pencatatan pada buku tanah, maka pencatatan itu selalu
dilakukan bersama-sama baik yang ada pada arsip di kantor pertanahan maupun
yang ada pada salinan di tangan pemegang hak. Surat ukur tidak bisa disalin atau
difotokopi karena berwarna yang menunjukkan kode tertentu.
Selain sertifikat hak tanah, kantor pertanahan juga mengeluarkan Surat
Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) dan Surat Keterangan Tanah (SKT) yang
dibuat untuk mengecek apakah suatu tanah sudah didaftarkan atau belum. Tetapi
127 Ibid., hal. 86.
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Universitas Indonesia
62
harus diperhatikan bahwa SKPT dan SKT bukanlah tanda bukti hak melainkan
hanya keterangan tertulis yang dapat dipercaya kebenarannya.128
2. Pemeliharaan data pendaftaran tanah
Sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya, setiap perubahan mengenai
hak, subyek, dan tanahnya, harus didaftarkan dan kemudian dicatat dalam buku
tanah, yang aslinya merupakan arsip dan disimpan di kantor pertanahan seksi
pendaftaran tanah, dan salinannya dipegang oleh pemegang hak itu sendiri.
Perubahan mengenai hak, misalnya hak atas tanah adalah HGB yang
kemudian dibebani Hak Tanggungan. Dalam buku tanah akan terlihat bahwa hak
atas tanah yang sebelumnya hanya satu penguasaan (satu lapis) menjadi dua
penguasaan (dua lapis) yaitu HGB ditambah dengan Hak Tanggungan.
Perubahan-perubahan itu harus didaftarkan dan dibukukan.
Perubahan mengenai subyek biasanya terjadi karena perbuatan hukum
pemindahan hak dari satu subyek kepada subyek yang lain, misalnya melalui jual
beli, tukar menukar, dan sebagainya. Bisa pula terjadi karena suatu peristiwa
hukum melalui pewarisan tanpa surat wasiat. Perubahan-perubahan ini harus
dicatat dalam buku tanah yang sama, jadi tidak perlu dibuatkan buku tanah baru.
Perubahan mengenai tanahnya biasanya terjadi karena ada pemisahan
tanah, misalnya dari 1000m2 menjadi 500m2, atau karena penggabungan tanah,
misalnya dari 250m2 menjadi 500m2. Perubahan semacam ini dapat
mengakibatkan pembuatan buku tanah yang baru, sertifikat tanah baru, bahkan
surat ukur yang baru.
Adapun pemeliharaan data pendaftaran tanah menurut pasal 12 ayat (2) PP
24/1997 adalah meliputi:
1. Pendaftaran peralihan hak. Hal ini meliputi peralihan hak melalui jual beli,
tukar menukar, inbreng, hibah, pewarisan, dan melalui penggabungan
maupun peleburan Perseroan Terbatas atau Koperasi.
2. Pendaftaran atas pembebanan hak. Hal ini meliputi pembebanan tanah Hak
Milik dengan HGB, Hak Pakai, serta pembebanan Hak Tanggungan.
128 Ibid.
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Universitas Indonesia
63
3. Pendaftaran perubahan data lainnya. Hal ini meliputi perpanjangan jangka
waktu hak, pemecahan atau pemisahan dan penggabungan bidang tanah,
pembagian hak bersama, hapusnya hak atas tanah dan Hak Milik atas
satuan rumah susun, peralihan dan hapusnya Hak Tanggungan, perubahan
data pendaftaran tanah berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan,
dan, perubahan nama pemegang hak.
3.2. Pengertian Jual Beli Tanah
3.2.1. Pengertian Jual Beli Tanah Sebelum Berlakunya UUPA
Sebagai akibat politik hukum pemerintah jajahan dahulu, maka hukum
tanah berstruktur ganda atau dualistik, dengan berlakunya secara bersamaan
perangkat peraturan-peraturan hukum tanah adat yang bersumber pada hukum
adat yang tidak tertulis dan hukum tanah barat yang pokok-pokok ketentuannya
terdapat dalam buku II KUHPerdata, yang merupakan hukum tertulis. Berikut ini
akan dijelaskan mengenai pengertian jual beli tanah menurut hukum barat dan
pengertian jual beli tanah menurut hukum adat:
1. Jual beli tanah menurut hukum barat
Terhadap jual beli tanah menurut hukum barat, khusus bagi tanah-tanah
hak barat, berlaku ketentuan-ketentuan dalam buku III KUHPerdata. Hal ini
berarti menurut hukum barat tidak ada bedanya jual beli tanah dengan jual beli
benda-benda bukan tanah. Pasal 1458 KUHPerdata menyatakan:
“Jual beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak sewaktu mereka telahmencapai sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang itu belumdiserahkan maupun harganya belum dibayar.”129
Berdasarkan pasal tersebut, dalam hal jual beli tanah dapat disimpulkan
bahwa yang dimaksud dengan jual beli tanah adalah suatu perjanjian dalam mana
pihak yang mempunyai tanah, yang disebut dengan penjual, berjanji dan
mengikatkan diri untuk menyerahkan haknya atas tanah yang bersangkutan
129 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek], diterjemahkan oleh R.Subekti dan R. Tjitrosudibio, cet. 31, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2001), pasal 1458.
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Universitas Indonesia
64
kepada pihak lain, yang disebut pembeli. Sedang pihak pembeli berjanji dan
mengikatkan diri untuk membayar harga yang telah disetujui. Yang dijualbelikan
menurut ketentuan hukum barat adalah tanah-tanah hak barat.
Biasanya jual beli dilakukan di hadapan Notaris, yang membuat aktanya.
Dengan dilakukannya jual beli tersebut belum terjadi perubahan apapun pada hak
atas tanah yang bersangkutan. Hal ini sesuai dengan pasal 1459 KUHPerdata yang
menyatakan:
“Hak Milik atas barang yang dijual tidaklah berpindah kepada si pembeli,selama penyerahannya belum dilakukan menurut pasal 612, 613, dan 616.”130
Hak atas yang dijual baru berpindah kepada pembeli, jika penjual sudah
menyerahkannya secara yuridis kepadanya, dalam rangka memenuhi kewajiban
hukumnya. Untuk itu wajib dilakukan perbuatan hukum lain, yang disebut dengan
penyerahan yuridis (juridische levering), yang diatur dalam pasal 616 dan 620
KUHPerdata. Menurut pasal-pasal tersebut, penyerahan yuridis itu dilakukan juga
di hadapan Notaris, yang membuat aktanya yang disebut dengan akta transport
(transport acte). Akta transport ini wajib didaftarkan pada pejabat yang disebut
penyimpan hypoteek. Dengan selesainya dilakukan pendaftaran tersebut, tatacara
penyerahan yuridis selesai dan dengan pendaftaran itu hak atas tanah yang
bersangkutan berpindah kepada pembeli.131
2. Jual beli tanah menurut hukum adat
Jual beli tanah menurut hukum adat adalah bersifat terang dan tunai. Yang
dimaksud dengan terang adalah jual beli tanah harus dilakukan dihadapan Kepala
Adat atau Kepala Desa. Fungsinya adalah untuk menjamin kebenaran tentang
status tanahnya, pemegang haknya, dan keabsahan bahwa telah dilaksanakan
dengan hukum yang berlaku. Kepala Adat atau Kepala Desa juga berfungsi untuk
mewakili warga desa dan menunjukkan unsur publisitas dari jual beli tanah.
Sementara itu, yang dimaksud dengan tunai adalah pemindahan hak atas tanah
dari penjual kepada pembeli terjadi serentak dan secara bersamaan dengan
130 Ibid., pasal 1459.
131 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2005), hal. 28.
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Universitas Indonesia
65
pembayaran harga dari pembeli kepada penjual. Harga yang disetujui bersama
dibayar penuh pada saat dilakukan jual beli yang bersangkutan.
Dalam hukum adat tidak ada pengertian penyerahan yuridis sebagai
pemenuhan kewajiban hukum penjual, karena justru yang disebut dengan jual beli
tanah itu adalah penyerahan hak atas tanah yang dijual kepada pembeli yang pada
saat yang sama membayar penuh kepada penjual harga yang telah disetujui
bersama.
3.2.2. Pengertian Jual Beli Tanah Sesudah Berlakunya UUPA
Dalam jual beli tanah menurut hukum tanah positif kita sekarang terjadi
pemindahan hak yang berarti pemindahan penguasaan secara yuridis dan secara
fisik sekaligus. Namun demikian, ada kalanya pemindahan hak tersebut harus
secara yuridis saja karena fisik tanah masih ada dibawah penguasaan orang lain,
misalnya terdapat hubungan sewa yang belum berakhir jangka waktunya,
sehingga penyerahan secara fisik akan menyusul kemudian.
Terdapat dua kemungkinan pembayaran harga oleh pihak pembeli kepada
penjual yaitu dibayar seluruhnya pada saat terjadi jual beli atau baru dibayar
sebagian. Pembayaran sebagian tersebut biasanya karena tanah yang bersangkutan
secara fisik masih dikuasai oleh pihak ketiga dan belum diserahkan kepada pihak
pembeli. Walaupun demikian, jual beli dinyatakan telah selesai dan sah apabila
sudah terjadi penyerahan secara yuridis dan telah dibayar sebagian.132
Hal ini berarti penyerahan fisik tanah dan pembayaran sisa harga dapat
disusul kemudian. Jadi kalau harga yang tersisa ternyata kelak tidak dilunasi oleh
pembeli, maka masalah ini adalah masalah utang piutang, dan termasuk dalam
hukum perutangan. Terhadap sisa harga tersebut tidak dapat dituntut atas dasar
jual beli tanah, karena jual beli (pemindahan hak atas tanah) dinyatakan telah
selesai.133
Sebelum melakukan jual beli tanah harus diperhatikan syarat materil
sahnya jual beli tanah yaitu:
132 Arie S. Hutagalung, dkk., Asas-Asas Hukum Agraria, Bahan Bacaan Pelengkap MataKuliah Hukum Agraria, (Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hal. 72.
133 Ibid.
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Universitas Indonesia
66
1. Penjual berhak menjual tanah yang bersangkutan;
2. Pembeli berhak membeli tanah yang bersangkutan;
3. Tanah hak yang bersangkutan boleh diperjualbelikan menurut hukum;
4. Tanah hak yang bersangkutan tidak dalam sengketa.134
Apabila syarat-syarat tersebut telah terpenuhi barulah dilakukan proses
formil pelaksanaan jual beli tanah. Menurut hukum positif kita sekarang, jual beli
harus dilakukan di hadapan PPAT. Hal ini sesuai dengan pengertian PPAT yang
adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik
mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik atas
satuan rumah susun. Yang termasuk perbuatan hukum tersebut adalah jual beli,
tukar menukar, hibah, pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng), pembagian hak
bersama, pemberian HGB/Hak Pakai atas tanah Hak Milik, pemberian Hak
Tanggungan, dan pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan.135
Untuk membuat Akta Jual Beli (AJB) tersebut, terlebih dahulu penjual
harus menyerahkan surat-surat tanahnya kepada PPAT untuk diteliti dan dicek
kebenarannya yang berkenaan dengan masalah status tanah, subyek hak, luas,
letak, batas-batas, dan sebagainya. Selain itu apabila ada sisa harga yang belum
dibayar atau penyerahan fisik tanah belum dilakukan, juga harus disebutkan
secara tegas dalam AJB tersebut.
Apabila diatas tanah tersebut terdapat bangunan rumah atau tanaman keras
maka perlu dilihat maksud jual belinya. Kalau obyek yang dimaksud untuk dijual
adalah tanah berikut bangunan rumah/tanaman keras yang berada di atasnya,
maka dalam AJB dengan tegas harus disebutkan semua secara terperinci. Begitu
juga sebaliknya, kalau yang menjadi obyek penjualan itu hanya tanah, maka
dalam AJB yang dibuat PPAT itu harus dijelaskan, bahwa jual beli tersebut tidak
termasuk bangunan rumah dan tanaman-tanaman keras yang melekat diatasnya.
Ini sesuai dengan asas pemisahan horizontal yang bersumber pada hukum adat.
Penjual atau wakilnya dan pembeli atau wakilnya harus hadir di depan
PPAT untuk menandatangani AJB dengan disaksikan oleh sekurang-kurangnya
134 Ibid., hal. 75.
135 Indonesia, Peraturan Pemerintah Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat AktaTanah, PP No. 37, LN No. 52 tahun 1998, TLN No. 3746, pasal 1 angka 1 jo. pasal 2.
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Universitas Indonesia
67
dua orang saksi yang memenuhi syarat untuk bertindak sebagai saksi dalam
perbuatan hukum itu.136 Baik penjual atau wakil penjual, pembeli atau wakil
pembeli, maupun saksi-saksi dan PPAT, semuanya harus menandatangani akta
tersebut. Kemudian, akta ini berikut berkas-berkasnya dibawa ke kantor
pertanahan seksi pendaftaran tanah untuk dilakukan pendaftaran. Hanya jual beli
dengan akta yang dibuat oleh PPAT saja yang dapat dipakai untuk pendaftaran di
kantor pertanahan seksi pendaftaran tanah.137
Administrasi PPAT bersifat tertutup, karena memang ia harus menyimpan
rahasia. Maka dari itu, dengan AJB yang dibuat oleh PPAT, orang yang tahu
tentang adanya jual beli tersebut terbatas. Lain halnya jika sudah didaftarkan pada
kantor pertanahan, maka dari pendaftaran itu selain memperkuat pembuktian
karena perbuatan hukum itu dicatat dalam buku tanah dan sertifikat hak tanah,
juga memperluas pembuktian karena setiap orang atau siapa saja yang
berkepentingan dan memerlukan keterangan tentang tanah tersebut dapat
mengeceknya pada kantor pertanahan seksi pendaftaran tanah dimana data-data
tentang tanah tersebut disimpan dan sewaktu-waktu terbuka untuk umum.138
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa tidaklah benar bilamana ada
yang mengatakan pendaftaran tanah itu sama dengan balik nama, sebab dengan
AJB yang dibuat oleh PPAT sudah terjadi jual beli dalam arti levering yuridis.
Jadi, pendaftaran jual beli pada kantor pertanahan bukan untuk sahnya jual beli
tetapi berfungsi untuk memperkuat pembuktian dan memperluas pembuktian.139
Hal ini ditegaskan lagi oleh Keputusan Mahkamah Agung Nomor
123/K/SIP/1970 bahwa:
”Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 berlaku khusus bagipemindahan hak pada kadaster, sedangkan hakim menilai sah atau tidaknyasuatu perbuatan hukum materil yang merupakan jual beli (materiele handelingvan verkoop) tidak hanya terikat pada pasal 19 tersebut.”
136 Ibid., pasal 38.
137 Indonesia, Peraturan Pemerintah Tentang Pendaftaran Tanah, PP No. 24, LN No. 59tahun 1997, TLN No. 3696, pasal 37 angka (1).
138 Arie S. Hutagalung, dkk., Asas-Asas Hukum Agraria, Bahan Bacaan Pelengkap MataKuliah Hukum Agraria, (Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hal. 74.
139 Ibid.
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Universitas Indonesia
68
Menurut pasal tersebut, ketentuan dalam pasal 19 PP 10/1961 yang
sekarang sudah diganti dengan pasal 37 PP 24/1997 hanya mengatur bahwa akta
PPAT berfungsi sebagai bukti bahwa telah terjadi perbuatan hukum yang
dimaksud pada saat akan melakukan pendaftaran tanah. Akta PPAT tersebut tidak
menentukan bahwa suatu jual beli sah atau tidak, karena untuk sahnya jual beli
ditentukan oleh syarat materil dari perbuatan jual beli yang bersangkutan
sebagaimana dijelaskan di atas mengenai syarat-syarat tersebut.
3.3. Pengertian Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tanah
Istilah Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) tanah tidak kita jumpai
dalam undang-undang, istilah tersebut banyak kita jumpai adanya dalam praktek
terutama timbul dalam praktek Notaris. Pengertian dari PPJB adalah perjanjian
bantuan yang berfungsi sebagai perjanjian pendahuluan yang bentuknya bebas.140
PPJB sebenarnya tidak ada perbedaan dengan perjanjian pada umunya. Hanya saja
PPJB merupakan perjanjian yang lahir akibat adanya sifat terbuka dari buku III
KUHPer dan asas kebebasan berkontrak, yang memberikan kebebasan yang
seluas-luasnya kepada subyek hukum untuk mengadakan perjanjian yang berisi
apa saja dan berbentuk apa saja, asalkan tidak melanggar peraturan perundang-
undangan, ketertiban umum dan kesusilaan.
PPJB tanah lahir sebagai akibat terhambatnya atau terdapatnya beberapa
persyaratan yang ditentukan oleh undang-undang yang berkaitan dengan jual beli
hak atas tanah yang akhirnya agak menghambat penyelesaian transaksi dalam jual
beli hak atas tanah. Persyaratan tersebut ada yang lahir dari peraturan perundang-
undangan yang ada dan ada pula yang timbul sebagai kesepakatan para pihak
yang akan melakukan jual beli hak atas tanah. Persyaratan yang timbul dari
undang-undang misalnya jual beli harus telah lunas baru AJB dapat di
tandatangani. Pada umumnya persyaratan yang sering timbul adalah persyaratan
yang lahir dari kesepakatan para pihak yang akan jual beli, misalnya pada waktu
akan melakukan jual beli, pihak pembeli menginginkan adanya sertifikat hak atas
tanah yang akan dibelinya sedangkan hak atas tanah yang akan dijual belum
mempunyai sertifikat, dan dilain sisi, misalnya pihak pembeli belum mampu
140 Herlien Budiono, artikel “Pengikat Jual Beli Dan Kuasa Mutlak” Majalah Renvoi,Edisi tahun I, No 10, Bulan Maret 2004, hal. 57
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Universitas Indonesia
69
untuk membayar semua biaya hak atas tanah secara lunas, sehingga baru dibayar
setengah dari harga yang disepakati.
Dengan keadaan di atas tentunya akan menghambat untuk pembuatan
AJB, karena PPAT akan menolak untuk membuatkan akta jual belinya karena
belum selesainya semua persyaratan tersebut Untuk tetap dapat melakukan jual
beli maka para pihak sepakat bahwa jual beli akan dilakukan setelah sertifikat
selesai di urus, atau setelah harga dibayar lunas dan sebagainya. Untuk menjaga
agar kesepakatan itu terlaksana dengan baik sementara persyaratan yang diminta
bisa di urus maka biasanya pihak yang akan melakukan jual-beli menuangkan
kesepakatan awal tersebut dalam bentuk perjanjian yang kemudian dikenal dengan
PPJB. Dengan kata lain, PPJB berfungsi sebagai perjanjian awal atau perjanjian
pendahuluan yang memberikan penegasan untuk melakukan perjanjian utamanya,
serta menyelesaikan suatu hubungan hukum apabila hal-hal yang telah disepakati
dalam perjanjian pengikatan jual beli telah dilaksanakan seutuhnya.141
Isi dari PPJB biasanya adalah berupa janji-janji dari para pihak yang
mengandung ketentuan tentang syarat-syarat yang disepakati untuk sahnya
melakukan perjanjian utamanya. Misalnya, janji untuk melakukan pengurusan
sertifikat tanah sebelum jual beli dilakukan sebagaimana diminta pihak pembeli,
atau janji untuk segera melakukan pembayaran oleh pembeli sebagai syarat dari
penjual sehingga AJB dapat di tandatangani di hadapan PPAT.
Pada saat dibuatnya PPJB belum dilakukan penyerahan baik fisik maupun
yuridis, karena perjanjian ini hanyalah merupakan perjanjian pendahuluan
sebelum melakukan jual beli. PPJB dapat digolongkan dalam perjanjian
obligatoir, yaitu perjanjian dimana pihak-pihak sepakat mengikat diri untuk
melakukan penyerahan suatu benda kepada pihak lain. PPJB tanah harus
dibedakan dengan perjanjian jual beli tanah. Dalam PPJB tanah, hak atas tanah
akan berpindah kepada pembeli pada suatu waktu yang akan datang. Sedangkan
dalam jual beli tanah, hak atas tanah seketika berpindah kepada pembeli. Jual beli
tanah tersebut harus dilakukan dihadapan PPAT.
PPJB tunduk pada hukum perikatan dan dengan dilakukannya perjanjian
pengikatan jual beli, hak atas tanah belum berpindah. Calon penjual dan calon
141 Ibid., hal. 56-57
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Universitas Indonesia
70
pembeli hanya membuat kesepakatan yang harus dilakukan oleh calon penjual dan
calon pembeli sebelum jual beli dilakukan. Sedangkan perjanjian jual beli tanah,
tunduk pada hukum tanah nasional. Dengan ditandatanganinya AJB dihadapan
PPAT oleh penjual, pembeli dan para saksi, hak atas tanah yang diperjanjikan
secara sah telah berpindah dari penjual kepada pembeli.
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Universitas Indonesia
BAB 4
ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG DALAM KASUS
GUGATAN WANPRESTASI ANTARA PT. PULAU SERIBU PARADISE
DENGAN PT. PATRA JASA DAN PT. PERTAMINA
4.1. Kasus Posisi Perkara Gugatan PT. Pulau Seribu Paradise Terhadap
PT. Patra Jasa Dan PT. Pertamina
Perkara bermula pada tanggal 18 Agustus 1990, PT. Patra Jasa dan Sdr.
Benny Sumampouw membuat PPJB dimana PT. Patra Jasa mengikatkan diri
kepada Sdr. Benny Sumampouw untuk menjual sebidang tanah bekas Pabrik Batu
Bata seluas 6 ha di Jalan Daan Mogot, Cengkareng, Jakarta Barat (Tanah
Cengkareng) dengan harga Rp.120.000,00/m2, sehingga harga keseluruhannya
adalah Rp.7.039.500.000,00.
Setelah dibuatnya PPJB tersebut, pada hari yang sama Sdr. Benny
Sumampouw telah membayar uang muka sebesar Rp.5.000.000.000,00 dimana
atas pembayaran tersebut PT. Patra Jasa telah membuat tanda terima/kwitansi
yang ditandatangani oleh Manager Divisi Keuangan PT. Patra Jasa lengkap
dengan stempel/cap perusahaan. Hal tersebut membuktikan bahwa uang tersebut
telah diterima oleh PT. Patra Jasa.
Pada saat PPJB sudah dapat ditindaklanjuti dengan pembuatan Akta Jual
Beli, PT. Patra Jasa senantiasa menghindar untuk membuat Akta Jual Beli
tersebut. Sdr. Benny Sumampouw telah berulangkali menegur PT. Patra Jasa agar
bersedia membuat Akta Jual Beli sebagai tindak lanjut PPJB, namun dengan
berbagai alasan PT. Patra Jasa tetap tidak bersedia melaksanakannya. Pada
akhirnya PT. Patra Jasa mengakui bahwa Akta Jual Beli tidak dapat dibuat karena
PT. Pertamina yang merupakan Komisaris dari PT. Patra Jasa tidak
menyetujuinya.
Karena Akta Jual Beli tidak dapat dibuat, maka Sdr. Benny Sumampouw
melalui kuasa hukumnya telah dua kali mengirimkan surat teguran kepada PT.
Patra Jasa dengan tembusan kepada PT. Pertamina agar mengembalikan uang
sebesar Rp.5.000.000.000,00 yang sudah dibayarkan oleh Sdr. Benny
Sumampouw kepada PT. Patra Jasa sebagai uang muka atas Tanah Cengkareng.
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
72
Universitas Indonesia72
Namun PT. Patra Jasa melalui kuasa hukumnya menolak mengembalikan uang
tersebut dengan alasan bahwa uang sebesar Rp.5.000.000.000,00 tersebut adalah
tanggung jawab pribadi dari Ir. Pudjadi Soekarno yang merupakan Direktur PT.
Patra Jasa pada waktu penandatanganan PPJB.
Pada tanggal 17 April 2003, Sdr. Benny Sumampouw menyerahkan secara
cessie kepada PT. Pulau Seribu Paradise, tagihannya terhadap PT. Patra Jasa
sejumlah Rp.5.000.000.000,00 berikut bunga-bunganya dengan Akta Penyerahan
Secara Cessie No.1 yang dibuat dihadapan Notaris H. Yoyo Gundero Suwandhi,
S.H. Dalam pasal 2 akta tersebut disebutkan bahwa segala sesuatu yang
berhubungan dengan tagihan tersebut telah berpindah kepada PT. Pulau Seribu
Paradise dan segala keuntungan dan kerugian yang didapat atau diderita
dengannya telah menjadi milik atau dipikul oleh PT. Pulau Seribu Paradise.
Oleh karena PT. Patra Jasa tidak menindaklanjuti PPJB dengan membuat
Akta Jual Beli atas tanah sengketa, maka pada tanggal 25 Agustus 2003 PT. Pulau
Seribu Paradise mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atas
dasar wanprestasi.
4.1.1. Gugatan PT. Pulau Seribu Paradise Sebagai Penggugat
Dalam gugatan tersebut, PT. Pulau Seribu Paradise (Penggugat)
menyatakan bahwa PT. Patra Jasa (Tergugat I) telah melakukan wanprestasi
dengan tidak melaksanakan isi PPJB tanggal 18 Agustus 1990 yaitu tidak bersedia
membuat Akta Jual Beli atas Tanah Cengkareng yang telah merugikan Sdr. Benny
Sumampouw. PT. Patra Jasa mengemukakan alasan bahwa tidak dapat dibuatnya
Akta Jual Beli atas tanah sengketa adalah karena PT. Pertamina (Tergugat II) yang
merupakan Komisaris dari Tergugat I, tidak menyetujuinya.
Pada awalnya Tanah Cengkareng yang diperjanjikan untuk dijual berasal
dari Tergugat II yang dengan Surat Kuasanya No.0104/C.0000/90-SO, pada
tanggal 20 Januari 1990 memberi kuasa kepada PT. Patra Jasa untuk menjajaki
kemungkinan pengembangan/pemanfaatan aset miliknya. Lalu pada tanggal 22
Juni 1991 Tergugat II dengan Surat Keputusannya No.KPTS-173/C.0000/91-III,
memasukkan Tanah Cengkareng sebagai tambahan penyertaan modal (inbreng)
dari Tergugat II ke dalam Tergugat I.
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
73
Universitas Indonesia73
Pada tanggal 6 Februari 1996 Tergugat II dengan Surat Keputusan
No.KPTS-014/C.0000/96-SO, menarik kembali penyertaan modalnya dari
Tergugat I yang termasuk juga Tanah Cengkareng. Hal ini dilakukan Tergugat II
meskipun Tergugat II mengetahui bahwa diantara Tergugat I dan Sdr. Benny
Sumampouw telah dibuat PPJB atas obyek Tanah Cengkareng yang
mengakibatkan Tergugat I tidak dapat membuat Akta Jual Beli dengan Sdr. Benny
Sumampouw atas Tanah Cengkareng. Penggugat menyatakan dalam gugatannya
bahwa Tergugat II telah beritikad buruk menghalang-halangi dibuatnya Akta Jual
Beli sehingga Tergugat II ikut digugat dalam perkara ini. Penggugat menyatakan
bahwa Tergugat I dan Tergugat II telah bersama-sama melakukan wanprestasi
karena dengan itikad buruk tidak melaksanakan PPJB yaitu tidak bersedia
membuat Akta Jual Beli atas Tanah Cengkareng.
4.1.2. Jawaban PT. Patra Jasa Sebagai Tergugat I
Dalam pokok perkara, Tergugat I menyatakan bahwa Penggugat telah
keliru mendalilkan Tergugat I dan Tergugat II telah bersama-sama melakukan
wanprestasi karena dengan itikad buruk tidak melaksanakan PPJB yaitu tidak
bersedia membuat Akta Jual Beli atas Tanah Cengkareng. Pada saat dibuat PPJB
atas Tanah Cengkareng yang menandatangani memang adalah Ir. Pudjadi
Soekarno yang bertindak selaku Direktur Patra Jasa, dengan Sdr. Benny
Sumampouw, akan tetapi PPJB tersebut mengandung cacat hukum, yaitu:
1. Pada saat melakukan pengikatan jual beli tidak ada izin tertulis dari Dewan
Komisaris sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 11 butir 2 C
Perubahan Anggaran Dasar Nomor 29 tanggal 8 November 1988 yang
menyebutkan:
“C. Membeli, menjual atau dengan cara lain mendapatkan, melepaskanhak atas barang-barang tidak bergerak termasuk bangunan-bangunan,hak-hak atas tanah serta perusahaan-perusahaan; haruslah mendapatpersetujuan tertulis terlebih dahulu dari Dewan Komisaris.”
Oleh karena tindakan Ir. Pudjadi Soekarno menandatangani PPJB tersebut
tanpa persetujuan Dewan Komisaris, maka tindakan Ir. Pudjadi Soekarno
adalah untuk atas nama pribadi dan merupakan tanggung jawab pribadi.
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
74
Universitas Indonesia74
2. Uang muka atas tanah sengketa sebesar Rp.5.000.000.000,00 tidak masuk
rekening Tergugat I, melainkan untuk membeli tanah Gili Air, yang
terletak di Lombok.
3. Pada saat PPJB dilakukan, status tanah bukan milik Tergugat I, melainkan
masih merupakan tanah milik Tergugat II. Tergugat II baru
memindahtangankan Tanah Cengkareng sebagai penyertaan modal kepada
Tergugat I pada tanggal 22 Juni 1991 dengan Surat Keputusannya
No.KPTS-173/C.0000/91-III.
Berdasarkan uraian diatas, tanggung jawab atas PPJB tersebut menjadi
tanggung jawab Ir. Pudjadi Soekarno selaku pribadi. Dengan demikian antara Sdr.
Benny Sumampouw ataupun Penggugat dengan Tergugat I sehubungan dengan
PPJB tersebut, tidak ada hubungan hukum. Selain itu, tanah yang diperjanjikan
bukan milik Tergugat I. Oleh karena itu Para Tergugat tidak melakukan
wanprestasi atas PPJB Tanah Cengkareng.
4.1.3. Jawaban PT. Pertamina Sebagai Tergugat II
Dalam pokok perkara, Tergugat II menolak dalil-dalil Penggugat yang
menyatakan bahwa Tergugat II melakukan wanprestasi bersama-sama dengan
Tergugat I karena menghalang-halangi pelaksanaan PPJB dengan tidak
menyutujui pembuatan Akta Jual Beli tanah sengketa dan dengan menarik
kembali penyertaan modalnya dari Tergugat I yang antara lain adalah Tanah
Cengkareng. Mengacu kepada pasal 11 butir 2 C Perubahan Anggaran Dasar
Nomor 29 tanggal 8 November 1988, hal-hal yang berkaitan dengan pemindahan
hak atas barang tidak bergerak harus memperoleh persetujuan tertulis dari Dewan
Komisaris. Tanpa adanya persetujuan tertulis dari Tergugat II yang merupakan
Komisaris Tergugat I, maka sudah sewajarnya Tergugat II menolak untuk
mengakui adanya PPJB atas Tanah Cengkareng dan oleh karena itu tidak
menyetujui pembuatan Akta Jual Beli atas Tanah Cengkareng. Selain itu, apabila
Tergugat II melalui Surat Keputusan No.KPTS-014/C.0000/96-SO menarik
kembali Tanah Cengkareng, maka hal tersebut merupakan hak prerogatif dari
Tergugat II sebagai pemilik aset.
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
75
Universitas Indonesia75
Dari awal Tergugat II memberikan Surat Kuasa kepada Tergugat I
maksudnya adalah untuk menjajaki kemungkinan pengembangan aset Pertamina,
dan bukan untuk menjual tanah. Dengan melakukan PPJB dengan Sdr. Benny
Sumampouw berarti Ir. Pudjadi Soekarno selaku Direktur Tergugat I telah
melebihi dari apa yang dikuasakan sehingga sesuai dengan ketentuan perundangan
yang berlaku apabila seseorang melakukan perbuatan melebihi apa yang
dikuasakan maka akibat hukum yang timbul merupakan tanggung jawab pribadi
dari orang yang melakukan perbuatan tersebut.
Tergugat II juga menyatakan bahwa PPJB atas Tanah Cengkareng dibuat
oleh dan antara Ir. Pudjadi Soekarno yang pada waktu itu merupakan Direktur
Tergugat I dengan Sdr. Benny Sumampouw, sehingga jelas kedudukan Tergugat
II adalah pihak di luar perjanjian yang tidak dapat dimintakan
pertanggungjawaban secara hukum atas akibat yang terjadi dari perjanjian. Oleh
karena itu Tergugat II tidak dapat dikatakan melakukan wanprestasi atas PPJB
Tanah Cengkareng.
4.1.4. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam putusannya Nomor
361/PDT.G/2003/PN.JKT.PST., mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian
dan menyatakan Tergugat I dan Tergugat II telah melakukan wanprestasi atas
PPJB tanggal 18 Agustus 1990, atas dasar beberapa pertimbangan, yaitu:
“Menimbang, bahwa dari surat bukti P-1/T.I-4 telah terjadi Perjanjian
Pengikatan Jual Beli antara Pudjadi Soekarno Direktur PT. Patra Jasa
berkedudukan di Jakarta, Jl. Jenderal Gatot Subroto Kav.32-34 yang bertindak
untuk dan atas nama PT. Patra Jasa dengan Benny Sumampouw, pengusaha,
bertempat tinggal di Jakarta, Jl. Pintu Air II Raya No.31 D, untuk melaksanakan
jual beli sebidang tanah yang terletak di Cengkareng Jakarta Barat seluas 6 ha,
dengan harga Rp.120.000,00/m2 dan telah dibayar uang muka sebesar
Rp.5.000.000.000,00 keadaan sebagaimana dikemukakan diatas, dibenarkan oleh
saksi-saksi Pudjadi Soekarno, Soebandi Sumadiputra dan Setyadi Samingoen
yang merupakan anggota tim yang ditugaskan untuk merumuskan perjanjian
dimaksud, karena pada saat itu, Pudjadi Soekarno selaku Direksi PT. Patra Jasa
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
76
Universitas Indonesia76
telah menghadap Komisaris Utama PT. Patra Jasa dan diperoleh jaminan bahwa
tanah di Cengkareng itu akan diserahkan sebagai penyertaan modal kepada PT.
Patra Jasa dan dapat dijual kepada pihak ketiga setelah mendapat izin dari Menteri
Keuangan, disamping itu berdasarkan surat bukti P-3 yaitu Surat Kuasa
No.0104/C0000/90-SO tanggal 20 Januari 1990 sebelum membuat dan
menandatangani surat bukti P-1, telah mendapat kuasa dari Direktur Utama
Pertamina untuk menjajaki kemungkinan-kemungkinan pengembangan aset milik
Pertamina antara lain tanah di Jl. Cengkareng, ex pabrik bata dan pada tanggal 22
Juni 1991 pihak Pertamina (Tergugat II) telah menghapus dari daftar
inventaris/harta kekayaan Pertamina antara lain tanah dan bangunan ex pabrik
bata di Cengkareng 6 ha sebagai tambahan penyertaan modal berdasarkan nilai
buku sebesar Rp.559.627.185,00 dengan ketentuan apabila PT. Patra Jasa
bermaksud menjual tanah dan bangunan tersebut kepada pihak ketiga atau
menggunakannya sebagai bagian penyertaan pada usaha patungan dan seterusnya,
maka nilainya harus ditetapkan sesuai dengan harga pasar oleh Panitia antar
Departemen yang dibentuk oleh Direksi Pertamina (surat bukti P-4, P-22 dan P-
23).”
“Menimbang, bahwa disamping itu sesuai dengan surat bukti P-21 dan P-
22, sejak tahun 1991, baik Dewan Komisaris PT. Patra Jasa, maupun Menteri
Keuangan pada tanggal 21 Juni 1991 telah memberikan persetujuan
pemindahtanganan aset Pertamina kepada PT. Patra Jasa lokasi tanah di
Cengkareng seluas 6 ha tersebut.”
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dikemukakan diatas, seharusnya pengikatan jual beli tanah dimaksud sudah dapat
ditindaklanjuti dengan Akta Jual Beli, karena telah memenuhi persyaratan yakni
izin dari Dewan Komisaris maupun izin/persetujuan dari Menteri Keuangan,
namun hal itu tidak dilakukan oleh Tergugat-Tergugat.”
“Menimbang, bahwa di dalam surat bukti P-1 tersebut dengan jelas
disebutkan jabatan Drs. Pudjadi Soekarno pada saat itu yakni sebagai Direktur PT.
Patra Jasa, yang bertindak untuk dan atas nama PT. Patra Jasa, apa yang dilakukan
oleh Drs. Pudjadi Soekarno pada saat itu adalah sesuai dengan kedudukan/jabatan
yang ada padanya yang menurut Undang-Undang Perseroan Terbatas (Undang-
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
77
Universitas Indonesia77
Undang No.1 Tahun 1995) di dalam ketentuan pasal 82 ditegaskan bahwa Direksi
bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan
tujuan perusahaan dan seterusnya.”
“Menimbang, bahwa karena yang membuat dan menandatangani surat
perjanjian tersebut (surat bukti P-1) adalah Pudjadi Soekarno yang pada saat itu
menduduki jabatan selaku Direktur PT. Patra Jasa dalam kapasitasnya selaku
Direktur yang bertanggung jawab atas pengurusan untuk kepentingan PT. Patra
Jasa lagipula uang tersebut telah digunakan untuk membeli tanah di Gili Air
Lombok seluas ± 6 ha (lihat surat bukti P-24, P-25 dan P-26), sehingga dengan
demikian PT. Patra Jasa selaku badan hukum harus bertanggung jawab atasnya,
dalam arti PT. Patra Jasa harus mengembalikan uang yang telah dibayar oleh Sdr.
Benny Sumampouw sebagai uang muka harga tanah dimaksud.”
“Dengan demikian, maka pendapat Para Tergugat serta saksi-saksi yang
diajukan oleh Tergugat I yakni Drs. Setyadi Samingoen, Ir. Legowo Dradjad yang
menyatakan bahwa apa yang dilakukan oleh Pudjadi Soekarno yakni
menandatangani pengikatan jual beli dengan pihak Benny Sumampouw
merupakan tanggung jawab pribadi dari Pudjadi Soekarno, haruslah
dikesampingkan.”
“Menimbang, bahwa sesuai dengan surat bukti P-2 yang dibenarkan oleh
para saksi yang diajukan Penggugat, yakni Pudjadi Soekarno, Soebardi
Sumadiputra maupun saksi yang diajukan Tergugat I, yakni Setyadi Samingoen
menerangkan dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli tanggal 18 Agustus 1990
yang ditandatangani oleh Pudjadi Soekarno tersebut, Sdr. Benny Sumampouw
telah membayar uang muka sebesar Rp.5.000.000.000,00 dan sampai dengan saat
ini pihak PT. Patra Jasa belum mengembalikan uang tersebut yang telah
berlangsung selama ± 14 tahun atau tepatnya berlangsung sejak Agustus 1990
sampai April 2004, dan uang tersebut ditujukan untuk membeli tanah di
Cengkareng, yang harganya saat ini sudah sangat tinggi (mahal) maka adalah
patut dan adil jika uang itu dikenakan dengan bunga sebesar 3% dan jika
diperhitungkan dengan sistem perbankan yang ada, yakni bunga berbunga mana
kepada Tergugat diwajibkan untuk membayar secara tanggung renteng kepada
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
78
Universitas Indonesia78
Penggugat uang sebesar Rp.179.685.000.000,00 bunga mana di hitung terus
sampai lunas dibayar oleh Tergugat-Tergugat.”
Terhadap hasil putusan tersebut, kemudian Tergugat I dan Tergugat II
mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta.
4.1.5. Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta
Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Jakarta dalam putusannya Nomor
287/PDT/2004/PT.DKI., membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
tersebut, dimana Majelis Hakim memutus untuk menolak gugatan
Penggugat/Terbanding seluruhnya. Majelis Hakim menyatakan PPJB tanggal 18
Agustus 1990 batal demi hukum dan oleh karena itu Tergugat I/Pembanding
maupun Tergugat II/Pembanding tidak terbukti telah melakukan wanprestasi atas
perjanjian yang dinyatakan batal demi hukum tersebut. Putusan tersebut
dinyatakan atas dasar beberapa pertimbangan, yaitu:
“Menimbang, bahwa dari bukti P-3/T.II-6 (Surat Kuasa
No.0104/C.0000/90-SO tanggal 20 Januari 1990), bukti T-32 (lampiran bukti
dalam memori banding Tergugat I/Pembanding tanggal 11 Juni 2004, halaman 6
butir II.1-1), serta bukti P-4/T.II-7 (Surat Keputusan Direktur Utama Pertamina
No.KPTS-173/C.0000/91-HI tanggal 22 Juni 1991), ternyata pada tanggal 16
Agustus 1990 tanah yang diperjanjikan dalam pengikatan jual beli bukan aset PT.
Patra Jasa.”
“Menimbang, bahwa Surat Kuasa No.0104/C.0000/90-SO tanggal 20
Januari 1990 (bukti P-3/T.II-6), ternyata berisi kuasa kepada Pudjadi Soekarno,
Direktur PT. Patra Jasa, untuk menjajaki kemungkinan-kemungkinan
pengembangan aset milik Pertamina (antara lain tanah di Jalan Cengkareng ex
Pabrik Batu Bata), tidak ternyata untuk membuat Perjanjian Pengikatan Jual Beli
atas aset termaksud.”
“Menimbang, bahwa dari pertimbangan terurai diatas, yaitu bahwa obyek
dalam pengikatan jual beli bukan aset PT. Patra Jasa dan tidak ternyata ada izin
tertulis dari Dewan Komisaris PT. Patra Jasa, maka Perjanjian Pengikatan Jual
Beli tanggal 18 Agustus 1990 batal demi hukum.”
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
79
Universitas Indonesia79
“Menimbang, bahwa meskipun dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli
tanggal 16 Agustus 1990/atau tanggal 18 Agustus 1990 yang dinyatakan batal
termaksud diatas, Pudjadi Soekarno dicantumkan bertindak untuk dan atas nama
PT. Patra Jasa, kenyataannya yang sebesar Rp.5.000.000.000,00 yang dibayar
oleh sdr. Benny Sumampouw, tidak dimasukkan dalam rekening A/C PT. Patra
Jasa, hal tersebut terbukti dari bukti T.I-8, (Berita Acara Rapat Pudjadi Soekarno
dengan Benny Sumampouw tanggal 30 November 1995 butir E), bukti T.I-10
(surat Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan No.02-04.03.122/DV.7/2001
tanggal 30 Juli 2001), serta keterangan saksi Pudjadi Soekarno, Drs. Setiadi
Samingoen, dan Ir. Legowo Sudrajat.”
“Menimbang, bahwa oleh karena uang sebesar Rp.5.000.000.000,00
sebagaimana dimaksud dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli tanggal 16 Agustus
1990/atau tanggal 18 Agustus 1990 yang dinyatakan batal demi hukum, tidak
diterima oleh PT. Patra Jasa, maka Tergugat I/Pembanding tidak berkewajiban
untuk mengembalikan kepada Sdr. Benny Sumampouw.”
“Menimbang, bahwa sebagaimana dipertimbangkan diatas Perjanjian
Pengikatan Jual Beli tanggal 16 Agustus 1990/atau tanggal 18 Agustus 1990 batal
demi hukum, maka baik Tergugat I/Pembanding maupun Tergugat II/Pembanding
tidak terbukti telah melakukan wanprestasi atas perjanjian yang dinyatakan batal
demi hukum tersebut.”
Kemudian, terhadap hasil putusan Pengadilan Tinggi Jakarta tersebut,
Penggugat mengajukan kasasi dan meminta Majelis Hakim Mahkamah Agung
untuk membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta tersebut.
4.1.6. Putusan Mahkamah Agung
Majelis Hakim Mahkamah Agung dalam putusannya Nomor 280
K/PDT/2006, menolak permohonan kasasi Penggugat, yang dapat dilihat dalam
pertimbangannya, yaitu:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung
berpendapat bahwa alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena judex
facti/Pengadilan Tinggi tidak salah menerapkan hukum, dan lagi pula alasan
tersebut mengenai penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
80
Universitas Indonesia80
suatu kenyataan hal mana tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan pada
tingkat kasasi, karena pemeriksaan dalam tingkat kasasi hanya berkenaan dengan
tidak dilaksanakan atau ada kesalahan dalam pelaksanaan hukum.”
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, lagi pula ternyata
bahwa putusan judex facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum
dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh pemohon
kasasi PT. Pulau Seribu Paradise tersebut harus ditolak.”
Dalam hal ini, penulis tidak sepakat dengan putusan Mahkamah Agung
tersebut. Oleh karena itu akan diuraikan dibawah ini mengenai alasan-alasan PPJB
yang dibuat sah menurut hukum sehingga tidak dapat batal demi hukum dan
dengan demikian terjadi wanprestasi oleh Para Tergugat. Penulis juga akan
menguraikan mengenai perlindungan pada PT. Pulau Seribu Paradise yang
dirugikan dalam kasus ini.
4.2 Perjanjian Pengikatan Jual Beli Hak Atas Tanah Yang Dilakukan
Antara PT. Patra Jasa Dengan Sdr. Benny Sumampouw Adalah Sah
Menurut Hukum
4.2.1 Perjanjian Pengikatan Jual Beli Hak Atas Tanah Yang Dilakukan
Antara PT. Patra Jasa Dengan Sdr. Benny Sumampouw Memenuhi
Syarat Sah Perjanjian Menurut Pasal 1320 KUHPerdata
Perjanjian yang sah adalah perjanjian yang memenuhi syarat-syarat yang
telah ditentukan oleh undang-undang, sehingga mempunyai kekuatan hukum yang
mengikat. Menurut pasal 1320 KUHPerdata, suatu perjanjian harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian;
3. Mengenai suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.
Berikut ini akan dijelaskan bahwa PPJB yang dilakukan antara Tergugat I
dengan Sdr. Benny Sumampouw adalah sah menurut hukum karena memenuhi
syarat-syarat yang telah disebutkan tersebut:
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
81
Universitas Indonesia81
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Kesepakatan antara para pihak yang membuat perjanjian berarti terjadinya
pertemuan atau kesesuaian kehendak yang terjadi diantara para pihak.142 Apa yang
dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak yang lain. Mereka
menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik, misalnya dalam perjanjian
jual beli si penjual menginginkan sejumlah uang sedangkan si pembeli
menginginkan sesuatu barang dari si penjual.
Dalam kasus ini, Tergugat I dan Sdr. Benny Sumampouw telah membuat
PPJB atas Tanah Cengkareng. Pada dasarnya PPJB tanah isinya sudah mengatur
tentang jual beli tanah namun formatnya baru sebatas pengikatan jual beli yaitu
suatu bentuk perjanjian yang dapat dikatakan sebagai perjanjian pendahuluan
sebelum dilakukannya perjanjian jual beli sebenarnya. Oleh karena itu, dalam
PPJB sudah jelas disepakati oleh kedua belah pihak bahwa Sdr. Benny
Sumampouw bertindak sebagai pembeli yang menginginkan Tanah Cengkareng
dan sebagai timbal balik Tergugat I bertindak sebagai penjual yang menginginkan
uang pembayaran. Namun karena belum terpenuhinya syarat-syarat perjanjian jual
beli, maka pembuatan Akta Jual Beli di hadapat PPAT belum dapat dilakukan.
Tujuan membuat PPJB tersebut adalah untuk memastikan bahwa masing-
masing pihak memenuhi syarat-syarat perjanjian jual beli sebelum melakukan jual
beli yang sebenarnya di hadapan PPAT karena apabila persyaratan-persyaratan
tersebut belum dipenuhi maka penandatanganan terhadap Akta Jual Beli tanah
belum bisa dilakukan di hadapan PPAT, dan PPAT yang bersangkutan juga akan
menolak untuk membuatkan Akta Jual Beli. Tergugat I dan Sdr. Benny
Sumampouw mengikatkan diri dalam PPJB atas Tanah Cengkareng tersebut dan
sepakat bahwa apabila syarat-syarat melakukan perjanjian jual beli yang
dituangkan dalam PPJB telah terpenuhi, maka keduanya akan bersama-sama
menghadap PPAT untuk melakukan jual beli yang sebenarnya.
Kesepakatan yang dimaksud tersebut harus diberikan secara bebas, artinya
bebas dari paksaan, kekhilafan, dan penipuan sebagaimana tercantum dalam pasal
1321 KUHPerdata. Paksaan yang dimaskud adalah baik paksaan rohani atau
paksaan jiwa dan juga paksaan badan. Bentuk paksaan jiwa misalnya salah satu
142 Akhmad Budi Cahyono dan Surini Ahlan Sjarif, Mengenal Hukum Perdata, (Jakarta:CV. Gitama Jaya, 2008), hal. 129.
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
82
Universitas Indonesia82
pihak karena diancam, akan dibongkar rahasia pribadinya maka terpaksa
menyetujui suatu perjanjian. Sedangkan bentuk paksaan fisik misalnya dengan
melakukan penganiayaan guna mendapat persetujuan pihak yang dianiaya atau
dilukai. Dalam kasus ini tidak ada paksaan dalam mencapai kesepakatan
pembuatan perjanjian, baik paksaan jiwa maupun paksaan badan.
Kekhilafan atau kekeliruan terjadi apabila salah satu pihak khilaf tentang
hal-hal yang pokok dari apa yang diperjanjikan atau tentang sifat-sifat yang
penting dari barang yang menjadi obyek perjanjian ataupun mengenai orang
dengan siapa diadakan perjanjian.itu.143 Dengan demikian kekhilafan bisa
mengenai orangnya atau benda yang menjadi obyek perjanjian. Dalam kasus ini
tidak terjadi kekhilafan baik mengenai orang atau obyek perjanjian. Sebagai
penjual Tergugat I tahu betul bahwa yang menjadi pembeli adalah Sdr. Benny
Sumampouw, dan sebaliknya Sdr. Benny Sumampouw tahu betul bahwa dia ingin
membeli tanah dari Tergugat I yang pada saat pembuatan PPJB diwakili oleh Ir.
Pudjadi Soekarno, Direktur Tergugat I yang bertindak atas nama Tergugat I.
Selain itu mengenai obyek perjanjian juga tidak terjadi kekhilafan dimana kedua
belah pihak sama-sama bermaksud mengadakan jual beli atas tanah bekas Pabrik
Batu Bata seluas 6 ha di Jalan Daan Mogot, Cengkareng, Jakarta Barat.
Penipuan terjadi apabila satu pihak dengan sengaja memberikan
keterangan-keterangan yang palsu atau tidak benar dengan disertai tipu muslihat
untuk membujuk pihak lawannya memberikan persetujuannya.144 Pihak yang
menipu itu bertindak secara aktif untuk menjerumuskan pihak lawannya. Dalam
hal ini tidak terjadi penipuan dimana tidak ada keterangan palsu dan tipu muslihat
yang diberikan oleh masing-masing pihak Tergugat I dan Sdr. Benny
Sumampouw.
2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian
Untuk membuat perjanjian para pihak harus cakap menurut hukum. Pada
asasnya, setiap orang yang sudah dewasa atau akilbaliq dan sehat pikirannya,
adalah cakap menurut hukum. Selain manusia sebagai subyek hukum, juga
143 Ibid.
144 Ibid.
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
83
Universitas Indonesia83
dikenal badan hukum sebagai subyek hukum mandiri. Badan hukum sebagai
subyek hukum ciptaan manusia mempunyai hak dan kewajiban seperti manusia
mempunyai hak dan kewajiban dalam lalulintas hukum. Badan hukum dapat
menuntut dan dituntut di muka hukum atas namanya sendiri melalui perantara
pengurusnya.145
Dalam kasus ini perjanjian dilakukan oleh Sdr. Benny Sumampouw dan
Tergugat I yang keduanya merupakan subyek hukum yang cakap untuk membuat
suatu perjanjian. Sdr. Benny Sumampouw jelas adalah seorang yang sudah
dewasa dan sehat pikirannya sehingga merupakan seorang yang cakap untuk
membuat suatu perjanjian. Sementara itu Tergugat I yang jelas berbentuk
Perseroan Terbatas juga merupakan suatu badan hukum yang cakap untuk
membuat perjanjian.
Pada saat membuat PPJB, Tergugat I diwakili oleh Direkturnya yaitu Ir.
Pudjadi Soekarno yang bertindak untuk dan atas nama Tergugat I. Tindakan yang
dilakukan oleh Ir. Pudjadi Soekarno pada saat itu adalah sesuai dengan
kedudukan/jabatan yang ada padanya sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam
pasal 92 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas (UUPT) mengenai jabatan Direksi yang menyatakan:
“Direksi menjalankan pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan dansesuai dengan maksud dan tujuan perseroan.”
3. Mengenai suatu hal tertentu
Hal tertentu maksudnya adalah obyek perjanjian atau prestasi yang
diperjanjikan harus jelas, dapat dihitung, dan dapat ditentukan jenisnya. Dalam
perjanjian jual beli misalnya hal tertentu adalah harga dan barang, jadi dalam
perjanjian jual beli tidak dimungkinkan untuk membuat perjanjian tanpa
ditentukan harganya dan jenis barang yang dijual, meskipun barang yang dijual
tidak harus telah ada pada saat perjanjian disepakati. Dengan demikian
dimungkinkan barang yang diperjanjikan baru ada dikemudian hari sesuai dengan
yang diperjanjikan. 146 Dalam kasus ini perjanjian yang dibuat adalah pengikatan
145 Ibid., hal. 26.
146 Ibid., hal. 132.
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
84
Universitas Indonesia84
jual beli atas Tanah Cengkareng, sehingga hal tertentu yang dimaksud disini
adalah harga dan barang dimana keduanya telah secara jelas diperjanjikan.
Dengan harga yang dimaksud adalah harga atas tanah yang disepakati untuk
dibayarkan oleh pembeli kepada penjual yang harga keseluruhannya adalah
Rp.7.039.500.000,00 dimana tanah dijual dengan harga Rp.120.000,00/m2.
Sementara itu yang dimaksud dengan barang adalah barang yang diperjanjikan,
yang dalam hal ini adalah sebidang tanah bekas Pabrik Batu Bata seluas 6 ha di
Jalan Daan Mogot, Cengkareng, Jakarta Barat.
Para Tergugat menyatakan bahwa PPJB yang dibuat harus batal demi
hukum karena tidak memenuhi syarat hal tertentu dari perjanian. Menurut Para
Tergugat PPJB mengandung cacat hukum karena pada saat PPJB dilakukan, status
tanah bukan milik Tergugat I, melainkan masih merupakan tanah milik Tergugat
II. Namun perlu diperhatikan bahwa Ir. Pudjadi Soekarno dan Sdr. Benny
Sumampouw telah menghadap Komisaris Utama Tergugat I dan mereka sudah
mendapat jaminan bahwa Tanah Cengkareng akan diserahkan sebagai penyertaan
modal kepada Tergugat I dan kelak dapat dijual kepada pihak ketiga dengan
mendapat izin dari Menteri Keuangan. Selain itu Tanah Cengkareng juga bukan
merupakan tanah sengketa yang menurut syarat materil jual beli dilarang untuk
diperjualbelikan. Dengan demikian status tanah tersebut jelas dimana tanah
tersebut bukan tanah sengketa dan dapat dijual setelah diserahkan sebagai
penyertaan modal. Oleh karena itu syarat hal tertentu sudah terpenuhi.
Selain itu, perlu diperhatikan bahwa perjanjian yang dibuat disini adalah
pengikatan jual beli, yang adalah perjanjian bantuan yang berfungsi sebagai
perjanjian pendahuluan yang bentuknya bebas. PPJB biasanya berupa janji-janji
dari para pihak yang mengandung ketentuan tentang syarat-syarat yang disepakati
untuk sahnya melakukan perjanjian utamanya. Dalam kasus ini, dibutuhkan uang
segera untuk membeli tanah di Lombok dan untuk mendapat dana maka Tanah
Cengkareng perlu dijual. Namun karena tanah tersebut belum menjadi milik
Tergugat I, tentu saja belum dapat dilakukan jual beli. Oleh karena itu dibuat
PPJB untuk memastikan bahwa apabila syarat-syarat untuk melakukan jual beli
sudah terpenuhi, termasuk syarat kepemilikan atas Tanah Cengkareng, maka PPJB
akan ditindaklanjuti dengan jual beli sesungguhnya di hadapan PPAT.
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
85
Universitas Indonesia85
Tanah Cengkareng yang pada saat dilakukannya PPJB belum menjadi
milik Tergugat I, bukanlah alasan yang dapat mengakibatkan perjanjian batal
demi hukum, melainkan merupakan salah satu alasan kenapa sejak awal
diputuskan untuk membuat PPJB atas Tanah Cengkareng. Pada saat Tanah
Cengkareng sudah dimasukkan dalam Tergugat I sebagai penyertaan modal
barulah dapat dilakukan jual beli sesungguhnya. Penyertaan modal kemudian
terlaksana dengan dikeluarkannya Surat Keputusan oleh Tergugat II yang
memasukkan tanah sengketa sebagai tambahan penyertaan modal (inbreng) dari
Tergugat II ke dalam Tergugat I dan seharusnya sudah dapat dilakukan jual beli
sesungguhnya. Oleh karena itu tidak sepatutnya PPJB dianggap batal demi hukum
dimana isi perjanjian itu seharusnya sudah dapat dilaksanakan.
4. Suatu sebab yang halal
Syarat terakhir tentang syarat sahnya perjanjian adalah sebab yang halal.
Dengan sebab ini yang dimaksud adalah isi perjanjian. Sebab yang halal
maksudnya adalah isi suatu perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-
undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Pengertian tidak boleh bertentangan
dengan undang-undang di sini adalah undang-undang yang bersifat melindungi
kepentingan umum, sehingga jika dilanggar dapat membahayakan kepentingan
umum.147 Dalam kasus ini, isi dari PPJB atas Tanah Cengkareng adalah halal dan
tidak membahayakan kepentingan umum. Tidak ada suatu hal terlarang yang
diperjanjikan dalam PPJB tersebut. Oleh karena itu syarat sebab yang halal
terpenuhi dalam PPJB atas Tanah Cengkareng.
4.2.2 Ir. Pudjadi Soekarno Bertindak Sesuai Kewenangannya Sebagai
Direktur PT. Patra Jasa
Pertama-tama haruslah dibedakan antara kecakapan dan kewenangan.
Pada bagian sebelumnya telah dijelaskan bahwa dalam perjanjian antara Sdr.
Benny Sumampouw dan Tergugat I keduanya cakap menurut hukum. Namun hal
tersebut belum tentu menjamin bahwa tindakan yang dilakukan sesuai dengan
kewenangan yang dimiliki oleh masing-masing pihak. Seorang yang cakap belum
147 Hardijan Rusli, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, cet. 2, (Jakarta:Pustaka Sinar Harapan, 1996), hal. 99.
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
86
Universitas Indonesia86
tentu berwenang untuk melakukan perjanjian. Misalnya, seorang istri berdasarkan
undang-undang adalah cakap menurut hukum, namun apabila dia telah menikah
maka terjadi penggabungan harta bersama sehingga perbuatan hukum yang
dilakukan berkenaan dengan harta bersama harus dilakukan dengan izin atau
bersama-sama suami. Apabila tidak dilakukan dengan cara demikian, biarpun istri
cakap menurut hukum, maka istri tersebut tetap tidak memiliki wewenang untuk
melakukan perbuatan hukum yang berkenaan dengan harta bersama.
Dalam kasus ini Para Tergugat menyatakan bahwa Ir. Pudjadi Soekarno
telah bertindak di luar kewenangannya sebagai Direktur Tergugat I dan oleh
karena itu pada saat pembuatan PPJB bertindak sebagai pribadi dan bukan atas
nama Tergugat I. Mengenai pernyataan Para Tergugat tersebut, penulis
berpendapat bahwa Ir. Pudjadi Soekarno tidak bertindak diluar kewenangannya
sebagai Direktur Tergugat I, karena:
1. Ir. Pudjadi Soekarno bertindak sesuai dengan Surat Kuasa yang diberikan
oleh PT. Pertamina (Tergugat II) kepada PT. Patra Jasa (Tergugat I);
2. Ir. Pudjadi Soekarno telah mendapat persetujuan Dewan Komisaris PT.
Patra Jasa (Tergugat I) sebelum membuat PPJB;
3. Uang muka atas Tanah Cengkareng digunakan oleh PT. Patra Jasa
(Tergugat I) untuk kepentingannya sendiri.
Berikut ini akan dijelaskan satu persatu mengenai alasan-alasan tersebut:
1. Ir. Pudjadi Soekarno bertindak sesuai dengan Surat Kuasa yang
diberikan oleh PT. Pertamina (Tergugat II) kepada PT. Patra Jasa
(Tergugat I)
Dalam kasus ini Para Tergugat menyatakan bahwa Ir. Pudjadi Soekarno
telah bertindak di luar kewenangannya dimana Tergugat II memberikan Surat
Kuasa kepada Tergugat I dengan maksud untuk menjajaki kemungkinan
pengembangan aset Tergugat II, dan bukan untuk menjual tanah. Hal ini
bertentangan dengan kenyataan bahwa pada saat Ir. Pudjadi Soekarno dan Sdr.
Benny Sumampouw menghadap Komisaris Utama Tergugat I, mereka sudah
mendapat jaminan bahwa Tanah Cengkareng akan diserahkan sebagai penyertaan
modal kepada Tergugat I dan kelak dapat dijual kepada pihak ketiga dengan
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
87
Universitas Indonesia87
mendapat izin dari Menteri Keuangan. Selain itu pada tanggal 22 Juni 1991
Tergugat II mengeluarkan Surat Keputusan yang menyatakan Tergugat II
memasukkan Tanah Cengkareng sebagai tambahan penyertaan modal Tergugat I
dengan ketentuan apabila Tergugat I bermaksud menjual tanah dan bangunan
tersebut kepada pihak ketiga atau menggunakannya sebagai bagian penyertaan
pada usaha patungan dan seterusnya, maka nilainya harus ditetapkan sesuai
dengan harga pasar oleh Panitia antar Departemen yang dibentuk oleh Direksi
Tergugat II. Dari sini jelaslah bahwa dari awal tidak ada pelarangan apapun untuk
menjual tanah sengketa kepada pihak ketiga.
Selain itu perlu diperhatikan bahwa untuk menganalisa pengembangan
aset dibentuk tim khusus berdasarkan Surat Keputusan Direktur dan Komisaris
Tergugat I, dimana tim tersebut sepakat untuk membeli tanah di Lombok dalam
rangka pengembangan pariwisata di Indonesia Timur. Menurut tim khusus,
membeli tanah di Lombok merupakan peluang emas dan oleh karena itu
diperlukan dana secepatnya. Pembelian tanah di Lombok tersebut juga sudah
mendapat izin dari Dewan Komisaris Tergugat I pada tanggal 8 Maret 1991.
Akhirnya atas usulan tim khusus sendiri dibuat PPJB atas Tanah Cengkareng
dimana Sdr. Benny Sumampouw langsung membayar uang muka sebesar
Rp.5.000.000.000,00. Dari sini dapat disimpulkan bahwa dengan dijualnya Tanah
Cengkareng, Ir. Pudjadi Soekarno tidak melanggar Surat Kuasa yang memberikan
kuasa untuk menjajaki kemungkinan pengembangan aset, karena dengan dijualnya
Tanah Cengkareng diperoleh dana untuk mengembangkan aset dalam bentuk
pengembangan usaha pariwisata di Indonesia Timur.
2. Ir. Pudjadi Soekarno telah mendapat persetujuan Dewan Komisaris
PT. Patra Jasa (Tergugat I) sebelum membuat PPJB
Para Tergugat juga menganggap bahwa Ir. Pudjadi Soekarno telah
bertindak di luar kewenangannya karena pada saat membuat PPJB belum
mendapat persetujuan tertulis dari Dewan Komisaris yang diatur dalam Anggaran
Dasar, dimana pasal 11 butir 2 C Perubahan Anggaran Dasar Nomor 29 tanggal 8
November 1988 menyebutkan:
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
88
Universitas Indonesia88
“C. Membeli, menjual atau dengan cara lain mendapatkan, melepaskan hak atasbarang-barang tidak bergerak termasuk bangunan-bangunan, hak-hak atas tanahserta perusahaan-perusahaan; haruslah mendapat persetujuan tertulis terlebihdahulu dari Dewan Komisaris.”
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, sebelum membuat PPJB Ir.
Pudjadi Soekarno selaku Direksi Tergugat I telah menghadap Komisaris Utama
Tergugat I dan diperoleh jaminan bahwa tanah di Cengkareng itu akan diserahkan
sebagai penyertaan modal kepada Tergugat I dan dapat dijual kepada pihak ketiga
setelah mendapat izin dari Menteri Keuangan. Dari sini dapat disimpulkan bahwa
Ir. Pudjadi Soekarno telah mendapat persetujuan secara lisan dari Dewan
Komisaris untuk menjual tanah tersebut.
Memang tidak diperoleh persetujuan tertulis dari Tergugat I, namun hal
tersebut seharusnya tidak mengesampingkan fakta bahwa persetujuan itu telah
ada, karena pada dasarnya persetujuan tertulis gunanya adalah untuk memperkuat
pembuktian bahwa persetujuan itu telah terjadi. Persetujuan yang dilakukan secara
tertulis bersifat formalitas saja. Apalagi uang muka atas Tanah Cengkareng sudah
diterima oleh Tergugat I dengan mengeluarkan tanda terima/kwitansi yang
ditandatangani oleh Manager Divisi Keuangan Tergugat I lengkap dengan
stempel/cap perusahaan dan uang tersebut digunakan oleh Tergugat I untuk
kepentingannya sendiri sebagaimana yang akan dijelaskan dalam uraian di bawah
ini.
3. Uang muka atas Tanah Cengkareng digunakan oleh PT. Patra Jasa
(Tergugat I) untuk kepentingannya sendiri
Para Tergugat menganggap bahwa uang muka atas Tanah Cengkareng
yang tidak dimasukkan dalam kas Tergugat I merupakan kenyataan yang
memperkuat anggapan bahwa Ir. Pudjadi Soekarno bertindak sebagai pribadi pada
saat pembuatan PPJB, dan bukan atas nama Tergugat I. Mengenai hal ini,
pertama-tama harus diperhatikan bahwa pada saat Sdr. Benny Sumampouw
membayar uang muka sebesar Rp.5.000.000.000,00, PT. Patra Jasa mengeluarkan
tanda terima/kwitansi yang ditandatangani oleh Manager Divisi Keuangan
Tergugat I lengkap dengan stempel/cap perusahaan. Hal ini menunjukkan bahwa
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
89
Universitas Indonesia89
Tergugat I mengakui adanya pembayaran tersebut kepada Tergugat I dan bukan
kepada Ir. Pudjadi Soekarno sebagai pribadi.
Selain itu, uang sebanyak Rp.5.000.000.000,00 tersebut tidak dimasukkan
dalam kas Tergugat I karena kalau dipakai mendadak untuk mengeluarkannya
harus melalui prosedur yang lama, dan birokrasi yang berbelit. Padahal uang itu
dibutuhkan segera untuk membayar harga tanah di Gili Air Lombok dalam rangka
pengembangan pariwisata di Indonesia Timur dimana sekarang tanah tersebut
menjadi milik PT. Patra Golf Gili Air Permai, salah satu anak perusahaan
Tergugat I. Hal tersebut membuktikan bahwa biarpun uang muka tidak masuk ke
dalam kas Tergugat I, tetapi sudah digunakan sendiri oleh Tergugat I, sehingga
tidak dapat dikatakan bahwa Ir. Pudjadi bertindak sebagai pribadi melainkan
bertindak atas nama Tergugat I.
Kalaupun Ir. Pudjadi Soekarno telah bertindak diluar kewenangannya
sebagai Direktur, hal tersebut seharusnya tidak merugikan pihak ketiga yang
beritikad baik. Hal ini sesuai dengan pengaturan dalam pasal 102 ayat (1) dan (4)
UUPT yang menyebutkan:
”(1) Direksi wajib meminta persetujuan RUPS untuk:a. Mengalihkan kekayaan Perseroan; ataub. Menjadikan jaminan utang kekayaan Perseroan;yang merupakan lebih dari 50% jumlah kekayaan bersih Perseroandalam satu transaksi atau lebih, baik yang berkaitan satu sama lainmaupun tidak.
(4) Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tanpa persetujuanRUPS, tetap mengikat Perseroan sepanjang pihak lain dalam perbuatanhukum tersebut beritikad baik.”
Memang dalam pasal tersebut tidak ada penjelasan apapun mengenai
perbuatan hukum tanpa persetujuan Dewan Komisaris yang diatur dalam
Anggaran Dasar Tergugat I, namun dapatlah dijadikan sebuah pedoman bahwa
sepanjang pihak lain dalam perbuatan hukum beritikad baik, seharusnya Perseroan
tetap bertanggung jawab. Pada pasal diatas dijelaskan bahwa Direksi wajib
meminta persetujuan RUPS bila berkaitan dengan lebih dari 50% jumlah
kekayaan bersih Perseroan. Jumlah kekayaan tersebut besar sekali nilainya, dan
apabila tidak dilakukan dengan hati-hati dan pertimbangan yang matang dapat
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
90
Universitas Indonesia90
berakibat fatal pada Perseroan. Tidak kecil kemungkinan bagi Perseroan untuk
mengalami kerugian besar karena perbuatan yang menyangkut kekayaan sebesar
itu. Namun demikian, walaupun mengetahui risiko tersebut, UUPT tetap mengatur
bahwa perbuatan yang dilakukan menyangkut kekayaan sebesar itu yang perlu
persetujuan RUPS karena dapat berakibat fatal jika tidak dilakukan dengan penuh
pertimbangan, tetap mengikat Perseroan apabila pihak lain beritikad baik. Oleh
karena itu sudah sewajarnya ditarik kesimpulan bahwa Perseroan mengedepankan
kepentingan pihak ketiga yang beritikad baik. Mengenai Direksi yang melanggar
pasal 102 ayat (1) UUPT dengan tidak meminta persetujuan RUPS sepatutnya
ditangani secara internal Perseroan dan tidak merugikan pihak ketiga tersebut.
Dalam kasus ini, Sdr. Benny Sumampouw membayar
Rp.5.000.000.000,00 sebagai uang muka atas Tanah Cengkareng dengan itikad
baik, dimana Sdr. Benny Sumampouw membayar uang tersebut dengan pemikiran
bahwa PPJB akan segera ditindaklanjuti dengan pembuatan Akta Jual Beli di
hadapan PPAT. Dengan tidak dapat ditindaklanjutinya PPJB tersebut Sdr. Benny
Sumampouw yang beritikad baik dirugikan sangat dirugikan. Di lain pihak,
Tergugat I memperkaya diri secara tidak adil (unjustified enrichment) karena
mendapat pembayaran sejumlah Rp.5.000.000.000,00 tetapi tidak mau
melaksanakan isi PPJB yaitu melakukan jual beli sesungguhnya di hadapan
PPAT, dan juga tidak mau mengembalikan uang muka tersebut. Tergugat I disini
telah menerima manfaat secara cuma-cuma dan sangat tidak adil bagi Sdr. Benny
Sumampouw.
4.3 PT. Patra Jasa Melakukan Wanprestasi Atas Perjanjian Pengikatan
Jual Beli Hak Atas Tanah Yang Dilakukan Dengan Sdr. Benny
Sumampouw
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, PPJB yang dibuat antara
Sdr. Benny Sumampouw dengan Ir. Pudjadi Soekarno yang pada saat itu
bertindak mewakili dan atas nama Tergugat I adalah sah menurut hukum. Oleh
karena itu Tergugat I wajib melakukan isi perjanjian tersebut yaitu bersama-sama
dengan Sdr. Benny Sumampouw menghadap PPAT untuk melakukan jual beli
atas tanah sengketa. Sesuai dengan jenis prestasi yang diperjanjikan menurut pasal
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
91
Universitas Indonesia91
1234 KUHPerdata, PPJB merupakan jenis perjanjian obligatoir atau perjanjian
untuk berbuat sesuatu. Dalam perjanjian untuk berbuat sesuatu maka prestasi yang
dimaksud adalah tindakan debitur dimana debitur diwajibkan untuk melakukan
suatu tindakan tertentu sesuai dengan yang disepakati dalam perjanjian antara
debitur dan kreditur.
Apabila debitur tidak melakukan apa yang dijanjikannya, maka dikatakan
ia melakukan wanprestasi. Debitur dapat juga dikatakan telah alpa atau lalai atau
ingkar janji. Dengan kata lain, wanprestasi adalah kelalaian debitur untuk
memenuhi kewajibannya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.148 Dalam
kasus ini, Tergugat I jelas tidak melakukan apa yang telah dijanjikan untuk
dilakukan dalam PPJB yaitu bersama-sama menghadap PPAT untuk melakukan
jual beli Tanah Cengkareng yang sesungguhnya. Oleh karena itu sudah jelas
bahwa Tergugat I melakukan wanprestasi atas PPJB.
Penggugat juga menggugat Tergugat II bahwa Tergugat I dan Tergugat II
bersama-sama melakukan tindakan wanprestasi atas PPJB. Gugatan ini kurang
tepat karena pada dasarnya PPJB dibuat antara Sdr. Benny Sumampouw dengan
Tergugat I saja. Hal ini berarti Tergugat II tidak termasuk sebagai pihak dalam
PPJB. Menurut asas kepribadian yang dianut dalam perjanjian, suatu perjanjian
hanya meletakkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban antara para pihak yang
membuatnya sedangkan pihak ketiga yang tidak ada kaitannya dengan perjanjian
tersebut tidak terikat. Oleh karena itu Tergugat II tidak terikat dengan PPJB dan
tidak dapat dikatakan melakukan wanprestasi PPJB tersebut.
Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa tindakan Tergugat II yang
menarik kembali Tanah Cengkareng sebagai penyertaan modal dari Tergugat I
merupakan tindakan yang menghalang-halangi pelaksanaan isi dari PPJB yaitu
pembuatan Akta Jual Beli tanah di hadapan PPAT dan merugikan Sdr. Benny
Sumampouw. Tergugat II melakukan penarikan tersebut padahal mengetahui
dengan jelas bahwa Tanah Cengkareng akan dijual pada pihak ketiga. Atas dasar
tindakan ini, seharusnya Tergugat II digugat atas dasar perbuatan melawan
hukum.
148 Akhmad Budi Cahyono dan Surini Ahlan Sjarif, Mengenal Hukum Perdata, (Jakarta:CV. Gitama Jaya, 2008), hal. 141.
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
92
Universitas Indonesia92
Perbuatan melawan hukum di Indonesia secara normatif selalu merujuk
pada ketentuan pasal 1365 KUHPerdata. Pasal 1365 KUHPerdata tidaklah
memberikan perumusan melainkan hanya mengatur bilakah seseorang yang
mengalami kerugian karena perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh orang
lain terhadap dirinya, akan dapat mengajukan tuntutan ganti kerugian pada
Pengadilan Negeri.149 Pengertian perbuatan melawan hukum itu sendiri dapat
dirumuskan sebagai suatu perbuatan atau kealpaan, yang bertentangan dengan hak
orang lain, atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku atau
bertentangan, baik dengan kesusilaan, maupun keharusan yang harus diindahkan
dalam pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda.150 Perbuatan melawan
hukum sebagai suatu konsep tidak hanya perbuatan yang bertentangan dengan
undang-undang saja, tetapi juga berbuat atau tidak berbuat yang melanggar hak
orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukum, bertentangan dengan
kesusilaan maupun sifat berhati-hati sebagaimana patutnya dalam lalu lintas
masyarakat.151
Marium Darus Badrulzaman mengatakan bahwa syarat-syarat yang harus
ada untuk menentukan suatu perbuatan sebagai perbuatan melawan hukum adalah
sebagai berikut:
1. Harus ada perbuatan;
2. Perbuatan itu harus melawan hukum;
3. Ada kerugian;
4. Ada hubungan kausalitas antara perbuatan melawan hukum itu dengan
kerugian;
5. Ada kesalahan.152
149 M.A. Moegni Djojodirdjo, Perbuatan Melawan Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita,1982), hal. 17
150 Ibid., hal. 26.
151 Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan denganPenjelasan, (Bandung: Alumni, 1996), hal. 147-148.
152 Ibid., hal. 146-147.
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
93
Universitas Indonesia93
Untuk membuktikan bahwa Tergugat II telah melakukan perbuatan
melawan hukum maka berikut ini akan dijelaskan bagaimana Tergugat II telah
memenuhi unsur-unsur perbuatan melawan hukum tersebut:
1. Harus ada perbuatan
Yang dimaksud perbuatan dalam hal ini adalah perbuatan melawan hukum
yang dilakukan oleh pelaku. Secara umum perbuatan ini mencakup berbuat
sesuatu (dalam arti aktif) dan tidak berbuat sesuatu (dalam arti pasif)153 Dalam
kasus ini Tergugat II telah melakukan suatu perbuatan aktif yaitu menarik kembali
penyertaan modalnya termasuk Tanah Cengkareng dari Tergugat I. Dengan
demikian unsur adanya perbuatan dalam kasus ini sudah terpenuhi.
2. Perbuatan itu harus melawan hukum
Pada tahun 1919 Hoge Raad mulai menafsirkan perbuatan melawan
hukum secara luas. Ajaran luas tersebut ditandai dengan Arrest tanggal 31 Januari
1919 dalam perkara Lindenbaum melawan Cohen dimana Hode Raad berpendapat
bahwa perbuatan melawan hukum harus diartikan sebagai berbuat atau tidak
berbuat yang bertentangan dengan atau melanggar:
1. Hak subyektif orang lain;
2. Kewajiban hukum si pelaku;
3. Kaedah kesusilaan;
4. Kepatutan dalam masyarakat.154
Syarat-syarat di atas bukanlah syarat kumulatif, melainkan syarat
alternatif. Sehingga apabila salah satu syarat tersebut terpenuhi maka perbuatan
seseorang dapat memenuhi unsur melawan hukum. Dalam kasus ini Tergugat II
telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan kepatutan dalam masyarakat. Kepatutan dimaksudkan
apabila orang dalam menyelenggarakan kepentingannya demikian mengabaikan
kepentingan orang lain dan membiarkan kepentingan orang lain terlanggar begitu
153 Ibid., hal. 146-147.
154 Setiawan, “Empat Kriteria Perbuatan Melawan Hukum dan Perkembangan dalamYurisprudensi.” Varia Pengadilan Nomor 16 Tahun II (Januari 1987), hal. 176.
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
94
Universitas Indonesia94
saja, maka orang itu berperilaku tidak patut (ontbetamelijk) dan karenanya
melawan hukum (onrechtmatig). Tergugat II dengan menarik kembali penyertaan
modalnya dari Tergugat I mengabaikan kepentingan Sdr. Benny Sumampouw
yang seharusnya sudah dapat melaksanakan pembuatan Akta Jual Beli di depan
PPAT. Dengan demikian sudah jelas bahwa Tergugat II telah bertindak dengan
tidak patut dan oleh karena itu unsur melawan hukum sudah terpenuhi.
3. Ada kerugian
Kerugian tersebut berupa kerugian yang materil yaitu kerugian yang
diderita atau keuntungan yang seharusnya diperoleh, dan juga dapat berupa
kerugian immateril yaitu kerugian yang tidak dapat dinilai secara nyata dan tidak
dapat ditaksir secara jelas, akan tetapi timbul akibat dari suatu perbuatan
seseorang.155 Dalam kasus ini Sdr. Benny Sumampouw mengalami kerugian
materil yaitu kehilangan keuntungan yang seharusnya diperoleh berupa Tanah
Cengkareng. Dengan pembuatan PPJB, Sdr. Benny Sumampouw mengharapkan
kelak akan mendapat keuntungan dimana pada saat penindaklanjutan PPJB
dilaksanakan yaitu pembuatan Akta Jual Beli di hadapan PPAT, maka Tanah
Cengkareng akan menjadi milik Sdr. Benny Sumampouw. Namun dengan
ditariknya penyertaan modal oleh Tergugat II, maka Akta Jual Beli tidak dapat
dibuat dan Tanah Cengkareng pun gagal menjadi milik Sdr. Benny Sumampouw
padahal uang muka sebesar Rp.5.000.000.000,00 sudah dibayar oleh Sdr. Benny
Sumampouw. Hal ini sangat merugikan Sdr. Benny Sumampouw dan dengan
demikian unsur kerugian sudah terpenuhi dalam kasus ini.
4. Ada hubungan kausalitas antara perbuatan melawan hukum itu
dengan kerugian
Hubungan kausalitas adalah suatu hubungan sebab akibat antara suatu hal
dengan hal yang lain. Dalam kasus perbuatan melawan hukum harus dibuktikan
apakah kerugian yang muncul tersebut adalah benar akibat yang ditimbulkan oleh
perbuatan dari pihak yang dinyatakan melakukan perbuatan melawan hukum.
Dalam kasus ini perbuatan Tergugat II yaitu penarikan kembali modal Tergugat II
155 Law Community, Perbuatan Melawan Hukum,<http://wonkdermayu.wordpress.com/artikel/perbuatan-melawan-hukum/>, diakses pada tanggal31 Mei 2012, pukul 15.08 WIB.
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
95
Universitas Indonesia95
dari Tergugat I menimbulkan kerugian materil terhadap Sdr. Benny Sumampouw
yaitu kehilangan keuntungan yang seharusnya diperoleh berupa kepemilikan atas
Tanah Cengkareng. Hal ini karena dengan ditariknya penyertaan modal oleh
Tergugat II, Akta Jual Beli tidak dapat dibuat dimana tanah harus merupakan
milik penjual pada saat pembuatan Akta Jual Beli tersebut. Karena Akta Jual Beli
tidak dapat dibuat maka Tanah Cengkareng pun gagal menjadi milik Sdr. Benny
Sumampouw padahal uang muka sebesar Rp.5.000.000.000,00 sudah dibayar oleh
Sdr. Benny Sumampouw. Dari sini jelas bahwa kerugian yang dialami oleh Sdr.
Benny Sumampouw merupakan akibat dari perbuatan Tergugat II dan dengan
demikian unsur kausalitas sudah terpenuhi dalam kasus ini.
5. Ada kesalahan
Kesalahan mencakup dua pengertian, yakni kesalahan dalam arti luas dan
kesalahan dalam arti sempit. Kesalahan dalam arti luas bila terdapat kealpaan dan
kesengajaan, sementara kesalahan dalam arti sempit hanya berupa kesengajaan.
Kesengajaan terjadi bilamana seorang yang akan melakukan perbuatan tertentu
mengetahui jika ia melakukan perbuatan tersebut maka akan merugikan orang
lain, akan tetapi walaupun tetap mengetahui akibat tersebut, ia tetap melakukan
perbuatan tersebut. Dalam kasus ini terdapat unsur kesengajaan dari Tergugat II
yaitu melakukan penarikan kembali penyertaan modal yang termasuk juga Tanah
Cengkareng dari Tergugat I padahal mengetahui bahwa Tanah Cengkareng sudah
diperjanjikan dalam PPJB untuk kelak dijual pada Sdr. Benny Sumampouw.
Dengan mengetahui bahwa Tanah Cengkareng sudah diperjanjikan dalam PPJB
untuk kelak dijual pada Sdr. Benny Sumampouw maka tentu saja Tergugat II
mengetahui bahwa tindakannya menarik kembali Tanah Cengkareng tersebut akan
merugikan Sdr. Benny Sumampouw karena tidak dapat melakukan isi PPJB yaitu
membuat Akta Jual Beli di hadapan PPAT sehingga tidak dapat mendapatkan
Tanah Cengkareng sesuai dengan yang diinginkan oleh Sdr. Benny Sumampouw.
Dengan demikian unsur kesalahan terpenuhi dalam kasus ini.
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
96
Universitas Indonesia96
4.4 Perlindungan Hukum Terhadap PT. Pulau Seribu Paradise Sebagai
Pihak Yang Dirugikan Akibat Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta
Yang Menyatakan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Hak Atas Tanah
Batal Demi Hukum
Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Jakarta dalam putusannya Nomor
287/PDT/2004/PT.DKI., menyatakan PPJB tanggal 18 Agustus 1990 batal demi
hukum. Yang dimaksud dengan perjanjian batal demi hukum adalah dari semula
tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan.
Perjanjian yang batal demi hukum terjadi apabila syarat obyektif perjanjian tidak
terpenuhi. Syarat obyektif itu adalah syarat mengenai suatu hal tertentu dan suatu
sebab yang halal. Dalam kasus ini Pengadilan Tinggi menyatakan PPJB batal
demi hukum berdasarkan pertimbangan bahwa syarat mengenai suatu hal tertentu
tidak terpenuhi karena pada saat pembuatan PPJB Tanah Cengkareng bukan milik
Tergugat I.
Atas keputusan tersebut penulis tidak sependapat. Menurut penulis,
putusan pengadilan tersebut kurang tepat, tidak seharusnya PPJB dinyatakan batal
demi hukum karena sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya, Ir. Pudjadi
Soekarno dan Sdr. Benny Sumampouw telah menghadap Komisaris Utama
Tergugat I dan mereka sudah mendapat jaminan bahwa Tanah Cengkareng akan
diserahkan sebagai penyertaan modal kepada Tergugat I dan kelak dapat dijual
kepada pihak ketiga dengan mendapat izin dari Menteri Keuangan. Selain itu,
perlu diperhatikan bahwa perjanjian yang dibuat disini adalah pengikatan jual beli,
yang adalah perjanjian bantuan yang berfungsi sebagai perjanjian pendahuluan
yang bentuknya bebas. PPJB biasanya berupa janji-janji dari para pihak yang
mengandung ketentuan tentang syarat-syarat yang disepakati untuk sahnya
melakukan perjanjian utamanya. Dalam kasus ini, dibutuhkan uang segera untuk
membeli tanah di Lombok dan untuk mendapat dana maka Tanah Cengkareng
perlu dijual. Namun karena tanah tersebut belum menjadi milik Tergugat I, tentu
saja belum dapat dilakukan jual beli. Oleh karena itu dibuat PPJB untuk
memastikan bahwa apabila syarat-syarat untuk melakukan jual beli sudah
terpenuhi, termasuk syarat kepemilikan atas Tanah Cengkareng, maka PPJB akan
ditindaklanjuti dengan jual beli sesungguhnya di hadapan PPAT.
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
97
Universitas Indonesia97
Tanah Cengkareng yang pada saat dilakukannya PPJB belum menjadi
milik Tergugat I, bukanlah alasan yang dapat mengakibatkan perjanjian batal
demi hukum, melainkan merupakan salah satu alasan kenapa sejak awal
diputuskan untuk membuat PPJB atas Tanah Cengkareng. Pada saat Tanah
Cengkareng sudah dimasukkan dalam Tergugat I sebagai penyertaan modal
barulah dapat dilakukan jual beli sesungguhnya. Penyertaan modal kemudian
terlaksana dengan dikeluarkannya Surat Keputusan oleh Tergugat II yang
memasukkan tanah sengketa sebagai tambahan penyertaan modal (inbreng) dari
Tergugat II ke dalam Tergugat I dan seharusnya sudah dapat dilakukan jual beli
sesungguhnya. Oleh karena itu tidak sepatutnya PPJB dianggap batal demi hukum
dimana isi perjanjian itu seharusnya sudah dapat dilaksanakan.
Perlu juga diperhatikan bahwa dalam kasus ini pembayaran uang muka
atas Tanah Cengkareng sejumlah Rp.5.000.000.000,00 sudah dilakukan. Dengan
status PPJB yang dianggap tidak pernah terjadi maka telah terjadi suatu
pembayaran yang tidak diwajibkan. Dan menurut pasal 1359 KUHPerdata, apa
yang telah dibayarkan dengan tidak diwajibkan dapat dituntut kembali. Dibalik
pasal yang mengatur hal tersebut terdapat prinsip pencegahan unjustified
enrichment yang bermaksud untuk mencegah terjadinya suatu pihak untuk
memperkaya dirinya secara tidak adil. Oleh karena itu sudah seharusnya uang
Rp.5.000.000.000,00 yang sudah dibayarkan oleh Sdr. Benny Sumampouw
dikembalikan. Dan karena hak atas piutang milik Sdr. Benny Sumampouw sudah
diserahkan secara cessie kepada Penggugat, maka uang tersebut sudah sepatutnya
dibayar kepada Penggugat.
Masalahnya adalah Tergugat I dan Ir. Pudjadi Soekarno sama-sama
merasa tidak bertanggung jawab untuk mengembalikan uang tersebut dan putusan
pengadilan.tidak menyatakan siapa yang diwajibkan untuk membayar uang
tersebut. Putusan pengadilan yang menyatakan PPJB batal demi hukum tidak
dapat memaksakan Tergugat I untuk mengembalikan uang tersebut. Hal ini sangat
merugikan Penggugat yang juga sudah tidak mempunyai wewenang untuk
menuntut kasus wanprestasi di pengadilan karena PPJB dianggap tidak pernah
ada. Ini mengakibatkan Tergugat I menerima manfaat secara cuma-cuma dimana
Tergugat I memperkaya dirinya secara tidak adil (unjustified enrichment) dengan
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
98
Universitas Indonesia98
menerima uang sejumlah Rp.5.000.000.000,00 dari Sdr. Benny Sumampouw dan
menggunakannya untuk kepentingannya sendiri namun tidak ada yang
mewajibkannya untuk mengembalikan uang tersebut.
Untuk melindungi Penggugat yang sangat dirugikan dalam kasus ini,
seharusnya Pengadilan Tinggi Jakarta dalam mengeluarkan putusannya
mempertimbangkan dengan benar status tanah pada saat membuat PPJB dan juga
prinsip unjustified enrichment agar putusan yang dikeluarkan tidak justru
menimbulkan ketidakadilan dimana salah satu pihak memperkaya dirinya secara
tidak adil seperti yang terjadi dalam kasus ini. Apabila hal-hal tersebut
dipertimbangkan dengan baik oleh Pengadilan Tinggi Jakarta sebelum
mengeluarkan putusannya maka seharusnya putusan tidak menyatakan PPJB batal
demi hukum dan memutuskan bahwa benar terjadi wanprestasi oleh Tergugat I.
Dengan demikian Penggugat tidak akan dirugikan dalam kasus ini.
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Universitas Indonesia
DAFTAR REFERENSI
Buku-Buku
Badrulzaman, Mariam Darus. KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan denganPenjelasan. Bandung: Alumni, 1996.
Budiono, Herlien. “Pengikat Jual Beli Dan Kuasa Mutlak” Majalah Renvoi Edisitahun I, No 10, Bulan Maret 2004.
Cahyono, Akhmad Budi dan Surini Ahlan Sjarif. Mengenal Hukum Perdata.Jakarta: CV. Gitama Jaya, 2008.
Djojodirdjo, M.A. Moegni. Perbuatan Melawan Hukum. Jakarta: PradnyaParamita, 1982.
Harsono, Boedi. Hukum Agraria Indonesia. Jakarta: Djambatan, 2005.
Hutagalung, Arie S. dkk. Asas-Asas Hukum Agraria. Bahan Bacaan PelengkapMata Kuliah Hukum Agraria. Depok: Fakultas Hukum UniversitasIndonesia, 2005.
Mamudji, Sri dkk. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Ed. 1. Jakarta:Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.
Rusli, Hardijan. Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law. Cet. 2. Jakarta:Pustaka Sinar Harapan, 1996.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Cet. 3. Jakarta: UI Press, 2010.
Subekti, R. Hukum Perjanjian. Jakarta: PT. Intermasa, 2004.
Setiawan, “Empat Kriteria Perbuatan Melawan Hukum dan Perkembangandalam Yurisprudensi.” Varia Pengadilan Nomor 16 Tahun II (Januari1987).
Yani, Ahmad dan Gunawan Widjaja, Perseroan Terbatas. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003.
Undang-Undang
Indonesia. Peraturan Pemerintah Tentang Pendaftaran Tanah, PP RI Nomor 24Tahun 1997, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 59 tahun 1997,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3696.
Indonesia. Peraturan Pemerintah Tentang Peraturan Jabatan Pejabat PembuatAkta Tanah, PP RI Nomor 37 Tahun 1998, Lembaran Negara Republik Indonesia52 ahun 1998, pasal 1 angka 1.
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
100
Universitas Indonesia
100
Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Indonesia, Undang-Undang Pokok Agraria, UU RI Nomor 5, Tahun 1960,Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 104 tahun 1960, TambahanLembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043.
Indonesia, Undang-Undang Perseroan Terbatas, UU No. 40, LN No. 106 tahun2007, TLN No. 4756, pasal 1 angka 1.
Indonesia, Undang-Undang Perkawinan, UU No. 1, LN No. 1 tahun 1974, pasal31.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek], diterjemahkan olehR. Subekti dan R. Tjitrosudibio, cet. 31, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2001), pasal1458.
Lain-Lain
Law Community, Perbuatan Melawan Hukum,<http://wonkdermayu.wordpress.com/artikel/perbuatan-melawan-hukum/>, diakses pada tanggal 31 Mei 2012, pukul 15.08 WIB.
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Universitas Indonesia
DAFTAR REFERENSI
BUKU-BUKU
Agustina, Rosa. Perbuatan Melawan Hukum. Jakarta: Program Pascasarjana
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003.
Badrulzaman, Mariam Darus. KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan dengan
Penjelasan. Bandung: Alumni, 1996.
Badrulzaman, Mariam Darus. Kompilasi Hukum Perikatan. Bandung: Alumni,
2001.
Budiono, Herlien. Ajaran Umum Hukum Perjanjian Dan Penerapannya Di
Bidang Kenotariatan. Cet. 2. Bandung: Penerbit Alumni, 1996.
Budiono, Herlien. “Pengikat Jual Beli Dan Kuasa Mutlak” Majalah Renvoi Edisi
tahun I, No 10, Bulan Maret 2004.
Cahyono, Akhmad Budi dan Surini Ahlan Sjarif. Mengenal Hukum Perdata.
Jakarta: CV. Gitama Jaya, 2008.
Djojodirdjo, M.A. Moegni. Perbuatan Melawan Hukum. Jakarta: Pradnya
Paramita, 1982.
Hanitijo, Ronny. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982.
Harahap, M. Yahya. Segi-Segi Hukum Perjanjian. Cet. 2. Bandung: PT. Alumni,
1986.
Harsono, Boedi. Hukum Agraria Indonesia. Jakarta: Djambatan, 2005.
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
104
Universitas Indonesia
Hutagalung, Arie S. dkk. Asas-Asas Hukum Agraria. Bahan Bacaan Pelengkap
Mata Kuliah Hukum Agraria. Depok: Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 2005.
Mamudji, Sri dkk. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Ed. 1. Jakarta:
Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.
Muljadi, Kartini Dan Gunawan Widjaja. Seri Hukum Perikatan: Perikatan Yang
Lahir Dari Perjanjian. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003.
Muljadi, Kartini Dan Gunawan Widjaja. Hak-Hak Atas Tanah.. Jakarta: Kencana
Pernada Media Group, 2008.
Rusli, Hardijan. Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law. Cet. 2. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1996.
Satrio, J. Hukum Perikatan Pada Umumnya. Bandung: PT. Alumni, 1999.
Setiawan, “Empat Kriteria Perbuatan Melawan Hukum dan Perkembangan
dalam Yurisprudensi.” Varia Pengadilan Nomor 16 Tahun II (Januari
1987).
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Cet. 3. Jakarta: UI Press, 2010.
Soekanto, Soerjono Dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif: Suatu
Tinjauan Singkat. Ed. 1. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006.
Subekti, R. Aneka Perjanjian. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1995.
Subekti, R. Hukum Perjanjian. Jakarta: PT. Intermasa, 2004.
Subekti, R. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: PT. Intermasa, 2003.
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
105
Universitas Indonesia
Suharnoko. Hukum Perjanjian Teori Dan Analisa Kasus. Cet. 5. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2008.
Suharnoko Dan Endah Hartati. Subrogasi, Cessie, Dan Novasi. Cet. 5. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2008.
Yani, Ahmad dan Gunawan Widjaja, Perseroan Terbatas. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2003.
UNDANG_UNDANG
Indonesia. Peraturan Pemerintah Tentang Pendaftaran Tanah, PP RI Nomor 24
Tahun 1997, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 59 Tahun
1997, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3696.
Indonesia. Peraturan Pemerintah Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat
Akta Tanah, PP RI Nomor 37 Tahun 1998, Lembaran Negara Republik
Indonesia 52 Tahun 1998.
Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Indonesia, Undang-Undang Perkawinan, UU RI Nomor 1 Tahun 1974, Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974.
Indonesia. Undang-Undang Perseroan Terbatas, UU RI Nomor 40 Tahun 2007,
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 106 Tahun 2007, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756.
Indonesia, Undang-Undang Pokok Agraria, UU RI Nomor 5 Tahun 1960,
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 104 tahun 1960, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043.
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
106
Universitas Indonesia
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek], diterjemahkan oleh
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, cet. 31, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2001), pasal
1458.
LAIN-LAIN
Law Community, Perbuatan Melawan Hukum,
<http://wonkdermayu.wordpress.com/artikel/perbuatan-melawan-
hukum/>, diakses pada tanggal 31 Mei 2012, pukul 15.08 WIB.
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Hal. 1 dari 31 hal. Put. No. 280 K/Pdt/2006
P U T U S A N
No. 280 K/Pdt/2006
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
M A H K A M A H A G U N G
memeriksa perkara perdata dalam tingkat kasasi telah memutuskan sebagai
berikut dalam perkara :
PERSEROAN TERBATAS PT PULAU SERIBU PARADISE,
berkedudukan di Jalan K.H. Wahid Hasyim No. 69, Jakarta
Pusat, dalam hal ini bertindak baik untuk diri sendiri maupun
sebagai penerima secara cessie dari Sdr. Benny Sumampouw,
memilih kedudukan hukum pada Kantor Kuasanya Daniel Z.
Martadiwangsa, SH. dan Simon Y. Sudarso, SH.,CN,LL.M., para
Advokat berkantor di Jalan Teh No. 4 (Lantai III) Jakarta Kota;
Pemohon Kasasi dahulu sebagai Penggugat/Terbanding;
m e l a w a n :
1. PERSEROAN TERBATAS PT PATRA JASA, berkantor
pusat di Jalan Jendral Gatot Subroto No. 32-34, Jakarta
Selatan;
2. PERSEROAN TERBATAS PT PERTAMINA, berkantor pusat
di Jalan Medan Merdeka Timur No. 1 A, Jakarta Pusat;
Para Termohon Kasasi I dan II dahulu Tergugat I dan
II/Pembanding;
Mahkamah Agung tersebut ;
Membaca surat-surat yang bersangkutan ;
Menimbang, bahwa dari surat-surat tersebut ternyata bahwa sekarang
Pemohon Kasasi dahulu sebagai Penggugat telah menggugat sekarang
Termohon Kasasi I dan II sebagai Tergugat I dan Tergugat II di muka
persidangan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada pokoknya atas dalil-dalil:
I. TERGUGAT I DAN TERGUGAT II TELAH INGKAR JANJI TIDAK
MELAKSANAKAN PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI TANGGAL 18
AGUSTUS 1990 MENGENAl PENJUALAN SEBIDANG TANAH SELUAS
KIRA-KIRA 6 HA DI JALAN DAAN MOGOT, CENGKARENG, KEPADA
SDR. BENNY SUMAMPOUW.
Bahwa pada tanggal 18 Agustus 1990, telah dibuat Perjanjian
Pengikatan Jual Beli di antara Tergugat dengan Sdr. Benny Sumampouw, di
mana Tergugat I mengikatkan diri kepada Sdr. Benny Sumampouw untuk
menjual sebidang tanah ex. Pabrik Batu Bata seluas 6 ha di Jalan Daan
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, traDalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 1
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Hal. 2 dari 31 hal. Put. No. 280 K/Pdt/2006
Mogot, Jakarta Barat selanjutnya disebut juga tanah sengketa, dengan
harga Rp 120.000,-/m2 sehingga harga keseluruhannya adalah
Rp 7.039.500.000,- (tujuh milyar tiga puluh sembilan juta lima ratus ribu
rupiah), pada waktu mana kurs US dollar adalah Rp. 2.000,- per US dollar.
(Bukti P-1);
Bahwa segera setelah dibuatnya Perjanjian Pengikatan Jual Beli
tersebut, pada hari dan tanggal yang sama yaitu tanggal 18 Agustus 1990
Sdr. Benny Sumampouw telah membayar kepada Tergugat I uang
muka/panjar tanda jadi sebesar Rp. 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah)
untuk mana Tergugat I telah membuat tanda terima/kwintansi yang ditanda-
tangani oleh Manager Divisi Keuangan Tergugat I lengkap dengan
stempel/cap Tergugat I yang membuktikan uang sejumlah
Rp 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah) benar telah diterima dengan
sepatutnya oleh Tergugat I (Bukti P-2).
Bahwa setelah penandatanganan Perjanjian Pengikatan Jual Beli
(vide bukti P-1) dan pembayaran uang muka/panjar tanda jadi (vide bukti
P-2), ternyata Tergugat I senantiasa menghindar untuk membuat Akta Jual
Beli sebagai tindak lanjut dari Perjanjian Pengikatan Jual Beli itu (vide bukti
P-1).
Bahwa Sdr. Benny Sumampouw telah berulangkali menegur
Tergugat I agar bersedia membuat Akta Jual Beli sebagai tindak lanjut
Perjanjian Pengikatan Jual Beli (vide bukti P-1), namun Tergugat I dengan
rupa-rupa alasan yang dibuat-buat tetap tidak bersedia melaksanakannya,
dan pada akhirnya Tergugat I mengakui Akta Jual Beli dimaksud tidak dapat
dibuat karena Tergugat II selaku Komisaris Tergugat I tidak menyetujuinya.
Bahwa tanah sengketa berasal dari Tergugat II yang dengan Surat
Kuasanya No.0104/C.0000/90-SO tanggal 20/1/1990 memberi kuasa kepada
Tergugat I untuk menjajaki kemungkinan pengembangan (pemanfaatan)
asset miliknya yang dalam Surat Kuasa itu disebut "tanah di Jalan
Cengkareng ex. Pabrik Batu Bata" yang dalam perkara ini disebut juga tanah
sengketa (Bukti P-3),
Bahwa selanjutnya Tergugat II dengan Surat Keputusannya
No.KPTS-173/C.00000/91-HI tanggal 22 Juni 1991 telah memasukkan tanah
sengketa yang disebut dalam Surat Keputusan itu "tanah seluas ± 6 ha
beserta bangunan bekas Pabrik Bata, Desa Cengkareng, Jakarta Barat"
sebagai tambahan penyertaan modal (inbreng) dari Tergugat II ke dalam
Tergugat I (Bukti P-4);
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, traDalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 2
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Hal. 3 dari 31 hal. Put. No. 280 K/Pdt/2006
Bahwa Tergugat II temyata telah beritikad buruk menghalang-
halangi pelaksanaan Perjanjian Pengikatan Jual Beli tanggal 18 Agustus
1990 (vide bukti P-1) dengan cara menarik kembali penyertaan modalnya
dari Tergugat I yang antara lain termasuk tanah sengketa, seperti ternyata
pada Surat Keputusan No. Kpts-014/C 0000/96-SO tanggal 6 Februari 1996
meskipun Tergugat II mengetahui di antara Tergugat I dan Sdr. Benny
Sumampouw telah ada Perjanjian Perikatan Jual Beli (vide bukti P-1) atas
objek tanah sengketa hal mana mengakibatkan Tergugat I tidak dapat
membuat akta jual beli dengan Penggugat atas sebidang tanah sengketa,
sehingga dengan demikian Tergugat II ikut digugat dalam perkara ini. (Bukti
P-5).
Bahwa karena Akta Jual Beli sebagai pelaksanaan Perjanjian
Pengikatan Jual Beli Bukti P-1 tidak dapat dibuat, maka Sdr. Benny
Sumampouw melalui kuasa hukumnya telah 2 (dua) kali mengirimkan surat
teguran kepada Tergugat I dengan tembusan kepada Tergugat II agar
mengembalikan uang sebesar Rp 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah) yang
merupakan uang muka/panjar harga tanah sengketa yang telah dibayarkan
Sdr. Benny Sumampouw kepada Tergugat I sesuai kwintansi bukti P-2,
namun Tergugat I menjawab melalui kuasa hukumnya menolak
mengembalikan uang tersebut dengan dalih seolah-olah uang sebesar
Rp 5.000.000.000,- (iima milyar rupiah) yang dibayarkan oleh Sdr. Benny
Sumampouw menjadi tanggung jawabnya pribadi Ir. Pudjadi Soekarno (yaitu
Direktur Tergugat I pada waktu penanda tanganan Perjanjian Pengikatan
Jual Beli tanggal 18 Agustus 1990). (Bukti P-6, Bukti P-7, Bukti P-8 (dan
Bukti P-9).
Bahwa Perjanjian Pengikatan Jual Beli atas tanah sengketa dengan
pembayaran uang mukanya sebesar Rp 5.000.000.000,-(lima milyar rupiah)
adalah sungguh-sungguh dilakukan oleh Tergugat I dan Sdr. Benny
Sumampouw terbukti pada surat laporan perihal telah terjadinya tindak
pidana korupsi yang diajukan oleh Tergugat I kepada Kejaksaan Negeri
Jakarta Selatan No. 1807 DIRUT.PAJ/2001 tanggal 10 Oktober 2001 yang
antara lain pada butir 3 nya tegas-tegas diakui : "Penjualan dilaksanakan
antara Ir. Pudjadi Soekarno selaku Direktur PT Patra Jasa dengan Sdr.
Benny Sumampouw selaku pembeli dan pada butir 6 nya juga diakui :
Bahwa akibat dari perbuatannya Sdr. Pudjadi Soekarno maka PT Patra Jasa
(Tergugat I) telah mengalami kerugian" sehingga dengan demikian
terbuktilah uang panjar sebesar Rp 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah) itu
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, traDalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 3
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Hal. 4 dari 31 hal. Put. No. 280 K/Pdt/2006
telah diserahkan oleh Sdr. Benny Sumampouw kepada dan diterima oleh
Tergugat I dan sama sekali bukan kepada pribadi Ir. Pudjadi Soekarno (Bukti
P-10).
Bahwa Tergugat I dalam suratnya No.154/DIRUT.PJ/S/N/2002
tanggal 30/9/2002 kepada Kepala Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang
Negara dalam butir 2 nya juga mengakui dengan tegas-tegas : Pembayaran
uang muka atas pengikatan jual beli tanah di Jalan Daan Mogot, Jakarta
Barat sebesar Rp 5.000.000.000 (lima milyar rupiah) adalah merupakan
perikatan jual beli tanah tersebut antara PT Patra Jasa dengan pribadi Sdr.
Benny Sumampouw, karena permasalahan ini terkait dengan masalah lain
yang sangat kompleks, maka akan diselesaikan dengan cara tersendiri", hal
mana lebih membuktikan lagi Perjanjian Pengikatan Jual Beli tanggal 18
Agustus 1990 (vide bukti P-1) adalah transaksi di antara Tergugat I dengan
Sdr. Benny Surmampouw dan dengan demikian terbuktilah juga uang
muka/panjar sebesar Rp 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah) dari Sdr. Benny
Sumampouw tersebut sungguh-sungguh telah diserahkan kepada dan
diterima o!eh Tergugat I dan bukan kepada pribadi Ir. Pudjadi Soekarno.
(Bukti P-11) ;
Bahwa dengan uraian di atas terbuktilah Tergugat I dan Tergugat II
telah bersama-sama melakukan perbuatan ingkar janji, dengan itikad buruk
tidak melaksanakan Perjanjian Pengikatan Jual Beli tanggal 18 Agustus
1990, yaitu tidak bersedia membuat Akta Jual Beli atas tanah sengketa yang
telah merugikan Sdr. Benny Sumampouw;
Bahwa sesuai ketentuan pasal 1242 KUH Per (BW), Sdr. Benny
Sumampouw berhak menuntut pengembalian uangnya sebesar
Rp 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah) berikut ganti rugi dari Tergugat I dan
Tergugat II secara tanggung renteng atas perbuatan ingkar janjinya dan
besarnya ganti rugi tersebut sebesar 1 0/00 (satu permil) perhari atau sama
dengan 3% per bulan yaitu seimbang atau sepadan dengan perhitungan
denda (yang sama dengan bunga) yang dipakai oleh Tergugat I dalam
menagih tunggakan uang sewa Pulau Bira Besar dari pengelolanya PT
Pulau Seribu Paradise (Penggugat) sebagaimana akan diuraikan di bawah
ini;
II. PENYERAHAN SECARA CESSSE KEPADA PENGGUGAT (CESSIO-
NARIS) HAK ATAS TAGIKAN SDR. BENNY (CEDENT) TERHADAP
TERGUGAT I (DEBITUR CESSUS).
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, traDalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 4
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Hal. 5 dari 31 hal. Put. No. 280 K/Pdt/2006
Bahwa dengan Akta Penyerahan Secara Cessie No.1 tanggal 17
April 2003 dibuat yang di hadapan Notaris H. Yoyo Gundero Suwandhi, SH.,
Sdr. Benny Sumampouw telah menyerahkan (mencedeer) tagihan secara
cessie kepada Penggugat terhadap Perseroan Terbatas PT Patra Jasa, yaitu
untuk tagihannya sejumlah Rp 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah} pada
bulan Agustus 1990 berikut dengan bunga-bunganya separti diuraikan di
atas (Bukti P-12);
Bahwa dalam pasal 2 Akta Penyerahan Secara Cessie No.1 tanggal
17 April 2003 (vide bukfi P-12) disebutkan bahwa apa yang diserahkan
(dicedeer) dengan akta itu berikut segala sesuatu yang berhubungan dengan
tagihan tersebut telah berpindah kepada Penggugat dan segala keuntungan
dan kerugian yang didapat atau diderita dengannya telah menjadi milik atau
dipikul oleh Penggugat,
Bahwa sesuai ketentuan hukum dalam Pasal 613 ayat 2 KUH Per
(BW), Penggugat telah memberitahukan dengan sepatutnya kepada
Tergugat I dan Tergugat II perihal adanya cessie/penyerahan hak tagih dari
Sdr. Benny Sumampouw kepada Penggugat sebagaimana dimaksud dalam
Akta Penyerahan Secara Cessie No.1 tanggal 17 April 2003 terhadap
Tergugat I (Bukti P-13) sehingga dengan pemberitahuan tersebut
pengoperan/pengalihan hak tagih dari Sdr. Benny Sumampouw kepada
Penggugat sebagaimana dimaksud dalam Akta Penyerahan Secara Cessie
No.1 tanggal 17 April 2003 (vide bukti P-12) berlaku dan mengikat terhadap
Tergugat I dan Tergugat II;
Bahwa dengan demikian, demi hukum seluruh tagihan Sdr. Benny
Sumampouw terhadap Tergugat I yang disebut dalam Akta Penyerahan
Secara Cessie No.1 tanggal 17 April 2003 (vide bukti P-10) telah beralih
kepada dan menjadi tagihan (piutang) dari Penggugat terhadap Tergugat I.
III. TAGIHAN TERGUGAT I KEPADA PENGGUGAT ATAS UANG SEWA
PULAU BIRA BESAR.
Bahwa dengan Akta Perjanjian Pengelolaan No. 9 tanggal 3 Agustus
1993 (selanjutnya disingkat Akta Perjanjian Pengelolaan) yang kemudian
atas akta tersebut dibuat Addendum tertanggal 1 Mei 1997 dan terakhir
dibuat lagi Addendum atas Addendum Perjanjian Pengelolaan Pulau Bira
Besar tanggal 30 Maret 1998, Tergugat I telah menyerahkan kepada
Penggugat hak pengelolaan atas Pulau Bira Besar milik Tergugat I yang
terletak di Kelurahan Pulau Kelapa, Kecamatan Kepulauan Seribu, wilayah
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, traDalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 5
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Hal. 6 dari 31 hal. Put. No. 280 K/Pdt/2006
Jakarta Utara, seluas 28,6 ha berikut segala fasilitasnya milik Tergugat I
(Bukti P-14, P-15 dan P-16);
Bahwa dalam Pasal 3 Akta Perjanjian Pengelolaan tersebut (vide
bukti P-14) disebutkan bahwa hak pengelolaan yang diberikan kepada
Penggugat oleh Tergugat I adalah untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun
terhitung sejak tanggal 11 November 1993, sehingga dengan demikian
menjadi akan berakhir pada tangga! 31 Oktober 2003, jangka waktu tersebut
dapat diperpanjang setiap 5 (lima) tahun, namun kemudian dirubah lagi
dengan Addendum tanggaf 21 Mei 1997 (vide bukti P-15) dan Addendum
tanggal 30 Maret 1998 menjadi sampai dengan tanggal 30 April 2007 (vide
bukti P-16).
Bahwa uang sewa atas hak pengelolaan diperoleh Tergugat I dari
Penggugat semula sesuai dengan pasal 5 Akta Perjanjian Pengelolaan
tersebut (vide bukti P-14) adalah Rp 70.000.000,- (tujuh puluh juta rupiah)
per bulan untuk tahun pertama dan tahun kedua, sedangkan untuk tahun
ketiga dan seterusnya sebesar US$ 35.000. (tiga puluh lima ribu dollar
Amerika Serikat) per bulan dan kemudian terakhir dengan Addendum
tanggal 30 Maret 1998 dirubah menjadi Rp 70.000.000,- (tujuh puluh juta)
per bulan untuk 3 (tiga) tahun pertama dan untuk pembayaran berikutnya
mulai tanggal 1 Mei 2000 s/d 30 Aprii 2027 akan dibayar dengan
menggunakan US (Dollar Amarika Serikat) yang besarnya akan dibicarakan
dan ditentukan kembali oleh kedua belah pihak selambat-lambatnya tanggal
1 April 2000;
Bahwa dalam pasa! 5 butir d Akta Perjanjian Pengelolaan tersebut
ditetapkan apabila terjadi keterlambatan membayar sewa kepada Tergugat I,
maka Penggugat harus membayar denda sebesar 1 0/00 (satu permil) per
hari dari besar uang sewa; denda mana pada hakekatnya merupakan ganti
rugi atau bunga dari tunggakan uang sewa tersebut yang besarnya 1 0/00
(satu permil) per hari yang sama dengan 30/1000 atau 3% per bulan atau
36% per tahun;
Bahwa sejak ditandatanganinya Akta Perjanjian Pengelolaan No. 9
tanggal 3 Agustus 1993 (vide bukti P-14), Penggugat dengan teratur
membayar kepada Tergugat I uang sewa pengelolaan Pulau Bira Besar
sesuai jumlah dan jadwal yang disepakati dalam perjanjian tanpa pernah ada
keberatan dari Tergugat I;
Bahwa terhitung mulai bulan Oktober 1999 Penggugat dengan
terpaksa menghentikan pembayaran uang sewa Pulau Bira Besar kepada
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, traDalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 6
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Hal. 7 dari 31 hal. Put. No. 280 K/Pdt/2006
Tergugat I, oleh karena Sdr. Benny Sumampouw sebagai pemegang saham
mayoritas dan sekaligus sebagai Direktur Utama Penggugat mempunyai
piutang/lagihan kepada Tergugat I dalam hubungan jual beli tanah sengketa
seperti diuraikan di atas, dimana Sdr. Benny Sumampouw hendak
mengkompensasikan piutang; dengan Tergugat I tersebut dengan hutang
Penggugat kepada Tergugat I seperti diuraikan di bawah ini ;
IV. DEMI HUKUM TELAH TERJADI PERJUMPAAN HUTANG (KOMPENSASl)
DI ANTARA PENGGUGAT DAN TERGUGAT I SESUAI PASAL 1425, 1426,
1427 KHU PER (BW).
Bahwa Tergugat I dengan suratnya No.021/Dir.Keu-PJ/S/VI!/2002
tanggal 1 Juli 2002 perihal sewa Pulau Bira Besar telah menagih hutang
kepada Penggugat untuk mernbayar tunggakan uang sewa sebesar:
- Jumlah sewa periode 1/10/1999 s/d 30/9/2002....Rp 2.520.000.000,-
- Denda periode 25/9/1999 s/d 24/6/2001...............Rp 1.247.400.000.-
Rp 3.767.400.000,-
Bahwa selanjutnya Tergugat I dengan suratnya No.013/AB-PJ/S/
VII/2003 tanggai 21 Juli 2003 kepada Penggugat telah menagih uang sewa
Pulau Bira Besar untuk periode sewa tanggal 1 Oktober 2002 s/d tangga! 30
September 2003 sehingga keseluruhan tagihan uang sewa yang harus
dibayar oleh Penggugat tersebut telah menjadi Rp 5.628.000.000,- (lima
milyar enam ratus dua puluh delapan juta rupiah) (Bukti P-17 danP-18) ;
Bahwa berdasarkan Akta Cessie No.1 tanggal 17/4/2003 (vide bukti
P-12) sebagaimana sudah diuraikan di atas, Penggugat mempunyai tagihan
kepada Tergugat I, yaitu tagihan pokok sebesar Rp 5.000.000.000,- (lima
milyar rupiah) ditambah dengan ganti rugi terhitung sejak bulan Agustus
1990 sampai dibayar lunas;
Bahwa besarnya ganti rugi tersebut adalah adil dan patut ditetapkan
sebesar 3% sebulan, yaitu seimbang/sepadan dengan perhitungan denda
yang ditetapkan Tergugat I dalam Akta Perjanjian Pengelolaan butir 5.d (vide
bukti P-14), yaitu sebesar 1 0/00 (satu permil) perhari yang berarti
sebulannya adalah 3%, tetapi oleh Tergugat I sesuai bukti P-17 dan P-18
diperhitungkan secara bunga berbunga sahingga adalah adil dan patut
Penggugat juga memakai cara perhitungan Tergugat I tersebut, yaitu 3 %
per bulan dengan perhitungan bunga berbunga untuk dendanya.
Bahwa besarnya ganti rugi yang harus dibayar Tergugat I kepada
Penggugat sejak Agustus 1990 sampai dengan didaftarkannya gugatannya
ini pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat bulan Agustus 2003 yaitu tagihan
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, traDalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 7
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Hal. 8 dari 31 hal. Put. No. 280 K/Pdt/2006
pokok sebesar Rp 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah) ditambah ganti
ruginya sebesar Rp179.685.000.000,- (seratus tujuh puluh sembilan milyar
enam ratus delapan puluh lima juta rupiah) menjadi Rp 184.685.000.000,-
(seratus delapan puluh empat milyar enam ratus delapan puluh lima juta
rupiah), besar ganti rugi mana sesuai dengan perhitungan bunga berbunga .
Bahwa mengingat pada satu pihak Penggugat masih mempunyai
tunggakan kewajiban membayar uang sewa Pulau Bira Besar kepada
Tergugat I yang sampai bulan September 2003 berjumlah
Rp 5.628.000.000,- ( lima milyar enam ratus dua puluh delapan juta rupiah)
dan pada lain pihak Penggugat mempunyai tagihan kepada Tergugat I
sampai dengan bulan Agustus 2003 sebesar Rp 184.685.000.000,- (seratus
delapan puluh empat milyar enam ratus delapan puluh lima juta rupiah),
maka demi hukum telah terjadi perjumpaan hutang (kompensasi)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1425 KUHPer (BW) di antara hutang
Tergugat I kepada Penggugat sampai dengan tanggal pendaftaran gugatan
ini pada Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebesar Rp
184.685.000.000,- (seratus delapan puluh empat milyar enam ratus delapan
puluh lima juta rupiah) dan hutang Penggugat kepada Tergugat I sesuai
surat tagihannya sebesar Rp 5.628.000.000,- (lima milyar enam ratus dua
puluh delapan juta rupiah) sehingga dengan demikian Penggugat masih
mempunyai kelebihan tagihan (piutang) terhadap Tergugat I sebesar
Rp 184.685.000.000,- (seratus delapan puluh empat milyar enam ratus
delapan puluh lima juta rupiah) dikurang Rp 5.628.000.000,- (lima milyar
enam ratus dua puluh delapan juta rupiah) sama dengan
Rp 179.057.000.000,- (seratus tujuh puluh sembilan milyar lima puluh tujuh
juta rupiah) ditambah dengan ganti rugi 3 % sebulan terhitung sejak tanggal
pendaftaran gugatan ini di Kepaniteraan Pengadilan sampai dibayar lunas.
PERMOHONAN SITA JAMINAN
(1). Bahwa untuk menjamin pelaksanaan putusan Pengadilan dalam perkara ini
patutlah diletakkan sita jaminan atas harta kekayaan Tergugat I berupa :
(a). Tanah seluas kira-kira 6 ha di Jalan Daan Mogot Cengkareng berikut
bangunan di atasnya, Kelurahan Kalideres, Kecamatan Cengkareng,
Kotamadya Jakarta Barat;
(b). Pulau Bira Besar seluas 28,6 ha, terletak di Kelurahan Pulau Kelapa,
Kepulauan Seribu, wilayah Jakarta Utara berikut bangunan-bangunan
yang ada di atasnya ;
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, traDalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 8
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Hal. 9 dari 31 hal. Put. No. 280 K/Pdt/2006
(c). Sebidang tanah berikut bangunan hotel di atasnya (Hotel Patra Jasa)
yang terletak di Jalan Jend. Ahmad Yani No.2, Jakarta Pusat, dan
apabila sitaan jaminan sudah diletakkan, menyatakannya sah dan
berharga.
VI. PERMOHONAN PUTUSAN YANG DAPAT DILAKSANAKAN TERLEBIH
DAHULU (UITVOERBAAR BIJ VOORRAAD).
Bahwa oleh karena gugatan ini didasarkan pada surat-surat bukti otentik dan
surat-surat bukti yang tidak dapat disangkal kebenarannya, maka patutlah
kiranya putusan dalam perkara ini dinyatakan dapat dilaksanakan terlebih
dahulu, walaupun ada verzet, banding atau kasasi.
MAKA, berdasarkan hal-hal tersebut di atas dapat kiranya dijatuhkan
putusan dalam perkara ini sebagai berikut :
I. Mengabulkan seluruh gugatan.
II. A. Meletakkan Sita Jaminan atas :
(1). Tanah seluas kira-kira 6 ha di Jalan Daan Mogot Cengkareng beri-
kut bangunan di atasnya, Kelurahan Kalideres, Kecamatan
Cengkareng, Kotamadya Jakarta Barat;
(2). Pulau Bira Besar seluas 28,6 ha, terletak di Kelurahan Pulau
Kelapa, Kepulauan Seribu, wilayah Jakarta Utara berikut
bangunan-bangunan yang ada di atasnya;
(3). Sebidang tanah berikut bangunan Hotel di atasnya
(Hotel Patra Jasa) yang terletak di Jalan Jend. Ahmad
Yani No. 2, Jakarta Pusat, dan apabila sitaan jaminan
sudah diletakkan, menyatakannya sah dan berharga.
B. Apabila sita jaminan diletakkan, menyatakannya sah dan berharga.
III. Menyatakan sah pengalihan hak tagih Sdr. Benny Sumampouw atas
Tergugat I (PT Patra Jasa) kepada Penggugat (PT Pulau Seribu
Paradise) sesuai Akta Penyerahan Secara Cessie No.1 tanggal 12 April
2003 yang dibuat di hadapan Notaris H. Yoyo Gundero Suwandhi, SH
adalah sah;
IV. Menyatakan Tergugat I dan Tergugat II telah ingkar janji atas Perjanjian
Pengikatan Jual Beli tanggal 18 Agustus 1990 yang telah merugikan
Penggugat;
V. Membatalkan Perjanjian Pengikatan Jual Beli tanggal 18 Agustus 1990.
VI. Menyatakan Tergugat I dan Tergugat II berhutang kepada Penggugat
sebesar hutang pokok Rp 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah)
ditambah dengan ganti rugi 3 % sebulan terhitung sejak tanggal 18
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, traDalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 9
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Hal. 10 dari 31 hal. Put. No. 280 K/Pdt/2006
Agustus 1990 s/d tanggal dimasukkannya gugatan (bulan Agustus
2003), dengan perhitungan bunga berbunga yaitu sebesar
Rp 179.685.000.000,- (seratus tujuh puluh sembilan milyar enam ratus
delapan puluh lima juta rupiah) sehingga keseluruhan hutang pokok
berikut bunganya berjumlah Rp 184.685.000.000,- (seratus delapan
puluh empat milyar enam ratus delapan puluh lima juta rupiah);
VII. Menghukum Tergugat I dan Tergugat II secara tanggung renteng
membayar kepada Penggugat sebesar Rp 184.685.000.000,- (seratus
delapan puluh empat milyar enam ratus delapan puluh lima juta rupiah)
ditambah dengan ganti rugi 3% sebulan terhitung sejak bulan Agustus
2003 sampai dibayar lunas;
VIII. Menyatakan Penggugat berhutang kepada Tergugat I atas uang sewa
Pulau Bira Besar sejak tahun 1999 s/d bulan Juli 2003 yang terdiri dari
uang sewa pokok dan dendanya sebesar Rp 5.628.000.000,- (lima
milyar enam ratus dua puluh delapan juta rupiah).
IX. Menyatakan demi hukum telah terjadi perjumpaan hutang (kompensasi)
antara Penggugat dengan Tergugat I dan Tergugat II sesuai ketentuan
Undang-Undang dalam Pasal 1425, 1426 dan 1427 KUH Per (BW).
X. Menghukum Tergugat I dan Tergugat II secara tanggung
renteng membayar kepada Penggugat Rp 184.685.000.000,-
(seratus delapan puluh empat milyar enam ratus delapan puluh lima
juta rupiah) dikurangi Rp 5.628.000.000,- (lima milyar enam ratus dua
puluh delapan juta rupiah) sama dengan Rp 179.057.000.000,-
(seratus tujuh puluh sembilan milyar lima puluh jutuh juta rupiah)
ditambah ganti rugi sebesar 3% sebulan terhitung sejak Agustus 2003,
yaitu tanggal pendaftaran gugatan ini pada Kepaniteraan Pengadilan
Negeri.
XI. Menyatakan Penggugat tidak berkewajiban membayar uang sewa Pulau
Bira Besar kepada Tergugat I, sampai sebesar jumlah kelebihan
tagihan Penggugat terhadap Tergugat I.
XII. Menyatakan putusan dalam perkara ini dapat dilaksanakan terlebih
dahulu walaupun ada verzet, banding atau kasasi.
XIII. Menghukum Tergugat I dan Tergugat II secara tanggung renteng
membayar seluruh biaya perkara;
Menimbang, bahwa terhadap gugatan tersebut Tergugat I mengajukan
eksepsi yang pada pokoknya atas dalil-dalil sebagai berikut :
1. Exceptie Van Connexiteit
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, traDalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 10
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Hal. 11 dari 31 hal. Put. No. 280 K/Pdt/2006
Bahwa obyek gugatan Penggugat yang didaftarkan di Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat tanggal 25 Agustus 2003 (dalam perkara ini), yaitu tentang
wanprestasi, sehubungan dengan Perjanjian Pengikatan Jual Beli tanggal 16
Agustus 1990 dan/atau tanggal 18 Agustus 1990, atas sebidang tanah ex.
Pabrik Batu Bata seluas + 6 Ha, yang terletak Jalan Daan Mogot, Jakarta
Barat adalah sama obyeknya dengan gugatan yang diajukan terlebih dahulu
oleh Tergugat I di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tanggal 28 Juli 2003,
terdaftar No. 399/Pdt.G/2003/PN.Jkt.Sel, tentang pengikatan jual beli tanggal
16 Agustus 1990 dan/atau tanggal 18 Agustus 1990;
Oleh karena perkara ini ada sama dengan perkara yang terdaftar di
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, maka sepatutnya perkara ini tidak dapat
diterima, berdasarkan yurisprudensi tetap Mahkamah Agung;
2. Kurang Pihak
a. Perjanjian Pengikatan Jual Beli antara Sdr. Pudjadi Soekarno (mantan
Direktur PT Patra Jasa) dengan Sdr. Benny Sumampaouw;
Bahwa Perjanjian Pengikatan Jual Beli tanggal 16 Agustus 1990
dan/atau tanggal 18 Agustus 1990, adalah antara Sdr. Pudjadi
Soekarno selaku pribadi (mantan Direktur Tergugat I) dengan Sdr.
Benny Sumampouw. Dalam pengikatan jual beli tersebut, memang
tertulis Sdr. Pudjadi Soekarno selaku PT Patra Jasa, akan tetapi pada
saat melakukan pengikatan jual beli, tidak ada ijin dari Dewan
Komisaris, sebagaimana telah diatur dalam perubahan Anggaran
Dasar No. 29, tanggal 8 November 1988, Pasal 11 butir 2 C, dikutip
sebagai berikut:
“C. Membeli, menjual atau dengan cara lain mendapatkan mele-
paskan hak atas barang-barang tidak bergerak termasuk bangunan-
bangunan, hak-hak atas tanah serta perusahaan-perusahaan;
haruslah mendapat persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Dewan
Komisaris”;
Oleh karena tindakan Sdr. Pudjadi Soekarno menandatangani
Perjanjian Pengikatan Jual Beli tersebut tanpa persetujuan Dewan
Komisaris, maka tindakan Sdr. Pudjadi Soekarno untuk atas nama
pribadi adalah tanggung jawab pribadi Sdr. Pudjadi Soekarno;
b. Tanah seluas 6 Ha, milik Tergugat II dan uang
Rp 5.000.000.000.,- (lima milyar rupiah) tidak masuk rekening
Tergugat I;
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, traDalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 11
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Hal. 12 dari 31 hal. Put. No. 280 K/Pdt/2006
Tanah yang diperjual belikan oleh Sdr. Pudjadi Soekarno (mantan
Direktur PT Patra Jasa), yaitu tanah ex. Pabrik Batu Bata seluas 6 Ha,
adalah tanah milik Tergugat II, bukan tanah Tergugat I dan uang
muka yang dibayarkan oleh Sdr. Benny Sumampouw sebesar
Rp 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah) kepada Sdr. Pudjadi
Soekarno, tidak diterima oleh Tergugat I. Mengenai tidak masuknya
pembayaran tersebut ke dalam rekening Tergugat I, ditegaskan lagi
dalam kesepakatan yang telah dibuat di kantor Tergugat I, antara Sdr.
Pudjadi Soekarno selaku pribadi dengan Sdr. Benny Sumampouw
pada tanggal 30 Oktober 1995 dan disaksikan oleh Direksi baru
Tergugat I dalam rangka penyelesaian sengketa;
c. Bahwa dalil-dalil Penggugat dalam gugatannya berulangkali
menyebut Sdr. Benny Sumampouw membayar uang muka atas tanah
Cengkareng kepada Tergugat I, vide butir I, 2, 4, 8, 9, 20, 10 dan butir
II. 1, 3, 4....dst;
Oleh karena itu, Sdr. Pudjadi Soekarno dan Sdr. Benny Sumampouw
harus dijadikan sebagai pihak dalam gugatan ini, agar dapat
menjelaskan duduk permasalahan yang sebenarnya dan dapat
seimbang informasinya;
Dengan tidak dimasukkannya Sdr. Pudjadi Soekarno dengan Sdr.
Benny Sumampouw sebagai pihak dalam perkara ini, maka gugatan
ini menjadi kurang pihak, sehingga harus dinyatakan tidak dapat
diterima;
3. Tidak Ada Hubungan Hukum
Bahwa oleh karena Perjanjian Pengikatan Jual Beli tanggal 16 Agustus
1990 (dan/atau tanggal 18 Agustus 1990) tersebut, dilakukan oleh Sdr.
Pudjadi Soekarno (mantan Direktur PT Patra Jasa), tanpa ijin dari Dewan
Komisaris, sebagaimana disyaratkan dalam Perubahan Anggaran Dasar
dan uang muka sebesar Rp 5.000.000.000,- masuk rekening pribadi Sdr.
Pudjadi Soekarno sendiri, maka tanggung jawab atas perjanjian PJB
tersebut, adalah tanggung jawab Sdr. Pudjadi Soekarno selaku pribadi;
Dengan demikian antara Sdr. Benny Sumampouw ataupun Penggugat
(PT.PSP) dengan Tergugat I sehubungan dengan pengikatan jual beli
tersebut, tidak ada hubungan hukum, karenanya gugatan Penggugat
patut tidak diterima;
Menimbang, bahwa terhadap gugatan tersebut Tergugat II mengajukan
eksepsi yang pada pokoknya atas dalil-dalil sebagai berikut:
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, traDalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 12
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Hal. 13 dari 31 hal. Put. No. 280 K/Pdt/2006
1. Gugatan Kurang Pihak
Bahwa Tergugat II membeli tanah seluas 6 Ha di Kampung Cengkareng, DKI
Jakarta, berdasarkan Akte Pelepasan dan Penyerahan Hak 0.27 tanggal 31
Januari 1970, tanah lokasi tersebut selanjutnya disebut tanah ex. Pabrik
Batu Bata atau tanah sengketa;
Direktur Utama Pertamina (cq. Tergugat II) berdasarkan surat kuasa No.
0104/C0000/90-SO tanggal 20 Januari 1990, memberikan kuasa kepada PT
Patra Jasa) cq. Tergugat I untuk menjajaki kemungkinan pengembangan
tanah milik Pertamina dimaksud (kuasa bukan untuk menjual tanah).
Berdasarkan surat kuasa dari Tergugat II tersebut, Sdr. Pudjadi Soekarno
(mantan Direktur PT Patra Jasa) cq. Tergugat I memberikan kuasa kepada
Benny Sumampouw cq. Penggugat untuk melakukan penjajagan
kemungkinan pengembangan tanah ex. Pabrik Batu Bata (bukan untuk
menjual tanah) dengan surat kuasa No. 1015/DIR.PAJ/1990 tanggal 1
Agustus 1990;
Bahwa Sdr. Pudjadi Soekarno selaku Direktur PT Patra Jasa menjual tanah
seluas 6 Ha ex. Pabrik Batu Bata kepada Benny Sumampouw cq.
Penggugat melalui perjanjian Pengikatan Jual Beli tanggal 16 Agustus 1990
dengan harga Rp 120.000,-/m², di mana dalam perjanjian dimaksud tidak
menyebutkan dengan jelas bukti hak tanah, letak dan batas tanah sehingga
secara hukum obyek perjanjian tidak jelas;
Bahwa Benny Sumampouw sebagai imbalan atas jual beli ex. Pabrik Batu
Bata menyerahkan uang sebesar Rp 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah)
kepada Sdr. Pudjadi Soekarno diberikan kwitansi tanda terima uang yang
ditandatangani oleh Manger diterima dan masuk ke dalam rekening pribadi
Sdr. Pudjadi Soekarno (dengan alasan untuk pembelian tanah di Gili Air
Lombok);
Bahwa Pertamina cq. Tergugat II melakukan penambahan modal kepada PT
Patra Jasa cq. Tergugat I di antaranya tanah ex. Pabrik Batu Bata dengan
Surat Keputusan Direktur Utama Pertamina No. Kpts-173/C0000/91-B1
tanggal 22 Juli 1991. Bahwa pemindahan hak (inbreng) tanah tersebut dari
Pertamina ke PT Patra Jasa dilakukan melalui Akta Pemindahan hak No. 74
tanggal 15 Oktober 1991, secara yuridis formal tanah ex. Pabrik Batu Bata
menjadi aset PT Patra Jasa. Bahwa penyerahan tanah ex. Pabrik Batu Bata
kepada PT Patra Jasa dilakukan dengan Berita Acara Serah Terima No. BA-
0704/Serah Terima No. BA 10800-B1 tanggal 19 Mei 1993 (sejak tanggal
Berita Acara ini tanah secara phisik dikuasai PT Patra Jasa);
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, traDalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 13
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Hal. 14 dari 31 hal. Put. No. 280 K/Pdt/2006
Berdasarkan Berita Acara Rapat tanggal 30 Oktober 1995 antara PT Patra
Jasa Sdr. Pudjadi Soekarno Sdr. Benny Sumampouw, diketahui bahwa
pembelian tanah di Gili Air tidak pernah disetujui oleh Pertamina cq.
Tergugat II selaku Dewan Komisaris Pt Patra Jasa. Dengan demikian,
perjanjian di bawah tangan antara Sdr. Pudajadi Soekarno dengan Sdr.
Benny Sumampouw tidak berlaku lagi, sehingga permasalahan uang
sebesar Rp 5 milyar menjadi suatu permasalahan yang belum diselesaikan;
Selain itu, dalam Berita Acara Rapat tanggal 30 Oktober 1995 dicapai suatu
kesepakatan bahwa Sdr. Pudjadi Soekarno dan Sdr. Benny Sumampouw
akan menyelesaikan permasalahan uang sebesar Rp 5 milyar dengan cara
Sdr. Pudjadi Soekarno menyerahkan surat-surat girik tanah pembelian tanah
di Gali Air Lombok kepada Sdr. Benny Sumampouw dengan catatan surat-
surat girik tanah ex. Pabrik Batu Bata dikembalikan kepada PT Patra Jasa;
Bahwa pada tahun 1996 berdasarkan Surat Keputusan Direksi Pertamina
No. Kpts-014/C0000/96-SO tanggal 6 Februari 1996, tanah ex. Pabrik Batu
Bata ditarik kembali ke Pertamina sehingga tetap menjadi aset Pertamina;
Berdasarkan kesepakatan tersebut maka inti penyelesaian permasalahan
uang Rp 5 milyar adalah berada pada pribadi Sdr. Pudjadi Soekarno dengan
Sdr. Benny Sumampouw. Dengan demikian tanpa diikut sertakannya Sdr.
Pudjadi Soekarno sebagai pihak dalam perkara ini, maka gugatan
dinyatakan kurang pihak dan seharusnya ditolak;
2. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang mengadili perkara
(Kompetensi Absolut)
Bahwa atas permasalahan penerimaan uang sebesar Rp 5 milyar oleh Sdr.
Pudjadi Soekarno, pada tanggal 10 Oktober 2001 PT Patra Jasa cq.
Tergugat I telah melaporkan Sdr. Pudjadi Soekarno selaku mantan Direktur
PT Patra Jasa kepada Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan berkaitan dengan
laporan dugaan terjadinya tindak pidana korupsi, dengan tembusan kepada
Jaksa Agung RI, Jaksa Tinggi DKI Jakarta, Direktur Utama Pertamina,
Direktur Keuangan Pertamina, Dewan Komisaris PT Patra Jasa dan Kepala
Internal Audit Pertamina;
Bahwa status terakhir atas laporan tersebut, sampai dengan sekarang masih
dalam proses penyidikan pidana. Dengan demikian, sesuai dengan
ketentuan perundangan yang berlaku, suatu perkara perdata dapat diproses
apabila sudah ada putusan perkara pidana (dengan obyek sama)
mempunyai kekuatan hukum yang tetap (in kracht van gewijsde);
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, traDalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 14
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Hal. 15 dari 31 hal. Put. No. 280 K/Pdt/2006
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dengan adanya proses penyidikan
pidana maka gugatan ini seharusnya ditolak karena Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat tidak berwenang mengadili;
3. Gugatan Salah Alamat
Bahwa hubungan hukum yang terjadi antara Pertamina cq. Tergugat II
dengan PT Patra Jasa cq. Tergugat I adalah adanya Surat Keputusan
Direktur Utama Pertamina No. Kpts-173/C0000/91-B1 tanggal 22 Juli 1991;
Bahwa terjadinya pengikatan jual beli antara Sdr. Pudjadi Soekarno dengan
Sdr. Benny Sumampouw yang diikuti dengan penerimaan uang sebesar
Rp 5 milyar ke dalam rekening pribadi Sdr. Pudjadi Soekarno, tidak pernah
mendapat persetujuan dari Pertamina cq. Tergugat II selaku Dewan
Komisaris PT Patra Jasa, maka tindakan yang dilakukan oleh Sdr. Pudjadi
Soekarno tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban secara hukum
kepada Pertamina cq. Tergugat II;
Sesuai dengan Perubahan Anggaran Dasar PT Patra Jasa pada Akta No. 29
tanggal 8 November 1988 Pasal 11 butir 2 C dikutip bahwa” “membeli,
menjual atau dengan cara lain mendapatkan, melepaskan hak atas barang-
barang tidak bergerak termasuk bangunan-bangunan, hak-hak atas tanah
serta perusahaan; haruslah mendapat persetujuan tertulis terlebih dahulu
dari Dewan Komisaris”;
Dengan demikian gugatan ini seharusnya ditujukan kepada Sdr. Pudjadi
Soekarno selaku pribadi, bukan kepada Pertamina yang tidak pernah
memberikan persetujuan;
Bahwa terhadap gugatan tersebut Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
telah mengambil putusan, yaitu putusan No.361/Pdt.G/2003/PN.Jkt.Pst. tanggal
31 Maret 2004 yang amarnya sebagai berikut :
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan sita jaminan yang diletakkan oleh Jurusita Pengadilan Negeri
Jakarta Barat sesuai dengan Berita Acara Sita No. 08/2004. Del Jo. No.
361/PDT.G/2003/PN.Jkt.Pst. tanggal 19 Maret 2003 dinyatakan sah dan
berharga;
3. Menyatakan pengalihan hak tagih Sdr. Benny Sumampouw atas Tergugat I
(PT Patra Jasa) kepada Penggugat (PT Pulau Seribu Paradise) sesuai Akte
Penyerahan secara Cessie No. 1 tanggal 12 April 2003 yang dibuat di
hadapan Notaris H. Yoyo Gundero Suwandhi, SH adalah sah;
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, traDalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 15
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Hal. 16 dari 31 hal. Put. No. 280 K/Pdt/2006
4. Menyatakan Tergugat I dan Tergugat II telah ingkar janji atas Perjanjian
Pengikatan Jual Beli tanggal 18 Agustus 1990 yang telah merugikan
Penggugat;
5. Membatalkan Perjanjian Pengikatan Jual Beli tanggal 18 Agustus 1990;
6. Menyatakan Tergugat I dan Tergugat II berhutang kepada Penggugat hutang
pokok sebesar Rp 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah) ditambah dengan
bunga 3% setiap bulannya terhitung sejak bulan September 1990 sampai
dengan April 2004 sebesar Rp 17.685.000.000,- (tujuh belas milyar enam
ratus delapan puluh lima juta rupiah) bunga mana dihitung terus sampai
dibayar lunas, dibebankan kepada para Tergugat secara tanggung renteng;
7. Menyatakan Penggugat berhutang kepada Tergugat I atas uang sewa Pulau
Bira sejak tahun 1999 sampai dengan bulan Juli 2003, sebesar
Rp 5.628.000.000,- (lima milyar enam ratus dua puluh delapan juta rupiah)
bunga mana dihitung terus sampai dibayar lunas oleh Penggugat;
8. Menyatakan demi hukum telah terjadi perjumpaan hutang (Kompensasi)
antara Penggugat dengan Tergugat I dan Tergugat II;
9. Menyatakan Penggugat tidak berkewajiban membayar uang sewa Pulau Bira
Besar kepada Tergugat I sampai sebesar jumlah kelebihan tagihan
Penggugat kepada Tergugat I;
10.Menghukum Tergugat I dan Tergugat II secara tanggung renteng membayar
biaya yang timbul dalam perkara ini, yang dianggarkan sebesar Rp 389.000,-
(tiga ratus delapan puluh sembilan ribu rupiah);
11.Menolak gugatan Penggugat selain dan selebihnya;
Menimbang, bahwa dalam tingkat banding atas permohonan Tergugat I
dan Tergugat II/para Pembanding putusan Pengadilan Negeri tersebut telah
dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta dengan putusan No. 287/PDT/
2004/PT.DKI. tanggal 30 Juli 2004, yang amarnya berbunyi sebagai berikut:
Menerima permohonan banding dari Tergugat I dan Tergugat II/para
Pembanding;
Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 361/Pdt.G/
2003/PN.Jkt.Pst, tanggal 31 Maret 2004;
Mengadili Sendiri:
Dalam Eksepsi:
- Menolak eksepsi Tergugat I dan Tergugat II/para Pembanding;
Dalam Pokok Perkara:
- Menolak gugatan Penggugat/Terbanding seluruhnya;
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, traDalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 16
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Hal. 17 dari 31 hal. Put. No. 280 K/Pdt/2006
- Menyatakan sita jaminan sebagaimana termuat dalam Berita Acara Sita No.
08/2004/Del.jo. No.361/PDT.G/2003/PN.JKT.PST., tanggal 19 Maret 2004
dengan dasar penetapan tanggal 15 Maret 2004 No. 08/2004, Del. Jo. No.
361/PDt.G/2003/PN.JKT.PST., harus dinyatakan tidak sah dan tidak
berharga serta diperintahkan untuk diangkat;
- Menghukum Penggugat/Terbanding untuk membayar biaya perkara dalam
kedua tingkat peradilan yang dalam tingkat banding ditetapkan sebesar
Rp 300.000,- (tiga ratus ribu rupiah);
Menimbang, bahwa sesudah putusan terakhir ini diberitahukan kepada
Penggugat/Terbanding pada tanggal 24 November 2004 kemudian terhadapnya
oleh Penggugat/Terbanding dengan perantaraan kuasanya, berdasarkan surat
kuasa khusus tanggal 29 November 2004 diajukan permohonan kasasi secara
lisan pada tanggal 29 November 2004 sebagaimana ternyata dari akte
permohonan kasasi No. 125/Srt.PDT.KAS/2004/PN.JKT.PST. jo. No. 361/
PDT.G/2003/PN.JKT.PST. yang dibuat oleh Panitera Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat, permohonan mana diikuti oleh memori kasasi yang memuat alasan-
alasan yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri tersebut pada tanggal
30 November 2004 ;
Bahwa setelah itu oleh Tergugat I dan II/para Pembanding yang pada
tanggal 19 Januari 2005 telah diberitahu tentang memori kasasi dari
Penggugat/Terbanding, diajukan jawaban memori kasasi yang diterima di
Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 31 Januari 2005 ;
Menimbang, bahwa permohonan kasasi a quo beserta alasan-alasannya
telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan seksama, diajukan dalam
tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan dalam undang-undang,
maka oleh karena itu permohonan kasasi tersebut formal dapat diterima ;
Menimbang, bahwa alasan-alasan yang diajukan oleh Pemohon
Kasasi/Penggugat dalam memori kasasinya tersebut pada pokoknya ialah :
I. Hakim Banding Telah Salah Menerapkan Hukum Pembuktian Dan
Melakukan Ketidak Tertiban Dalam Beracara.
1. Bahwa Hakim Banding kurang atau keliru memahami institusi Perjanjian
Pengikatan Jual Beli sebagaimana dimaksud dalam Penjanjian
Pengikatan Jual Beli tanggal 18 Agustus 1990 (vide bukti P-1) atas objek
berupa sebidang tanah di Jalan Daan Mogot, ex.Pabrik Batu Bata,
Cengkareng, Jakarta Barat;
2. Bahwa Perjanjian Pengikatan Jual Beli adalah merupakan Perjanjian
Pndahuluan untuk jual beli (voorovereenkomst) untuk kelak dikemudian
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, traDalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 17
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Hal. 18 dari 31 hal. Put. No. 280 K/Pdt/2006
hari akan dibuat Perjanjian Jual Beli yang definitif, Perjanjian
Pendahuluan (voorovereenkomst) sedemikian dalam dunia bisnis lazim
disebut juga Memorandum Of Understanding atau disingkat MOU;
3. Bahwa objek dari Perjanjian Pengikatan Jual Beli tanggal 18 Agustus
1990 (vide bukti P-1) yaitu sebidang tanah di Jalan Daan Mogot, ex.
Pabrik Batu Bata, Cengkareng, Jakarta Barat yang pada waktu itu masih
menjadi asset milik Termohon Kasasi II dan sedang dalam proses
pengalihan haknya dari Termohon Kasasi II kepada Termohon Kasasi I
sebagai tambahan penyertaan modal Termohon Kasasi II kepada
Termohon Kasasi I;
4. Bahwa karena objek bidang tanah yang akan dibeli Pemohon Kasasi
masih merupakan asset milik Termohon Kasasi II dan masih dalam
proses pengalihan haknya kepada Termohon Kasasi I sebagai tambahan
penyertaan modal Termohon Kasasi II kepada Termohon Kasasi I, maka
agar objek bidang tanah tersebut oleh Termohon Kasasi I tidak dijual
pihak lain, Pemohon Kasasi segera membayarkan kepada Termohon
Kasasi I uang panjar atau tanda jadi sebesar Rp 5.000.000.000,- (vide
bukti P-2) disertai pembuatan Perjanjian Pengikatan Jual Beli tanggal 18
Agustus 1990 (vide bukti P-1);
5. Bahwa apabila kelak bidang tanah di Jalan Daan Mogot, ex. Pabrik Batu
Bata, Cengkareng, Jakarta Barat sudah menjadi milik Termohon Kasasi
I, maka segera dibuatkan Perjanjian Jual Beli yang definitif yaitu Akta
Jual Beli yang dibuat di hadapan Pejabat Pembuat Akte Tanah (PPAT),
untuk mana tentunya segala persyaratan yang terdapat dalam Anggaran
Dasar Termohon Kasasi I untuk dapat secara sah beralihnya asset
perusahaan antara lain izin dari Dewan Komisaris harus dan akan
dipenuhi oleh Pemohon Kasasi dan Termohon Kasasi I;
6. Bahwa dalam masalah yang sedemikian, seandainya ternyata Dewan
Komisaris sesuai ketentuan dalam Anggaran Dasar Termohon Kasasi I
tidak menyetujui dan tidak memberikan izinnya sehingga tidak mungkin
dibuatkan Perjanjian Jual Beli Tanah yang definitif, maka Perjanjian
Pengikatan Jual Beli vide bukti P-1 yang merupakan Perjanjian
Pendahuluan (voorovereenkomst) menjadi batal dan uang panjar yang
sudah dibayarkan haruslah dikembalikan;
7. Bahwa dengan demikian, untuk pembuatan Perjanjian Pengikatan Jual
Beli seperti halnya Perjanjian Pengikatan Jual Beli tanggal 18 Agustus
1990 (vide bukti P-1) yang merupakan Perjanjian Pendahuluan
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, traDalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 18
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Hal. 19 dari 31 hal. Put. No. 280 K/Pdt/2006
(Voorovereenkomst) tidak diperlukan izin tertulis dari Dewan Komisaris
Perusahaan, apalagi pada waktu itu objek Perjanjian dimaksud masih
dalam proses dialihkan haknya kepada Termohon Kasasi I dan belum
menjadi asset Termohon Kasasi I;
8. Bahwa Hakim Banding terbukti kurang atau keliru memahami institusi
Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang secara keliru dianggap identik atau
serupa dengan Perjanjian Jual Beli;
9. Bahwa bukti hukum lain yang membuktikan Perjanjian Pengikatan Jual
Beli tidak identik dengan Perjanjian Jual Beli adalah pada uang muka
atau uang panjar yang telah dibayarkan oleh Pemohon Kasasi kepada
Termohon Kasasi I sebesar Rp 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah) pada
tanggal 18 Agustus 1990 sebagaimana disebutkan dengan tegas dalam
Pasal 3 Perjanjian Pengikatan Jual Beli tanggal 18 Agustus 1990 (vide
bukti P-1) dan bukti kwitansi tanda pembayaran uang panjar tanggal 18
Agustus 1990 (vide bukti P-2), sebab ketentuan hukum dalam
Yurisprudensi Tetap Mahkamah Agung RI, sebagaimana terdapat dalam
putusan Mahkamah Agung RI No. 86 K/Sip/1972 tanggal 30 Oktober
1976 menegaskan:
“Dengan adanya uang panjar saja, belumlah ada jual beli”.
Sehingga oleh karena belum ada jual beli, maka Perjanjian Pengikatan
Jual Beli adalah sah tanpa izin tertulis dari Dewan Komisaris;
10.Bahwa dalam kasus a quo, di antara Pemohon Kasasi dan Termohon
Kasasi I baru dibuat Perjanjian Pendahuluan (voorovereenkomst) yaitu
Perjanjian Pengikatan Jual Beli tanggal 18 Agustus 1990 (vide bukti P-1),
dan sama sekali belum ada Perjanjian Jual Beli atas bidang tanah seluas
+ 6 ha di Jalan Daan Mogot, ex. Pabrik Batu Bata, Cengkareng, Jakarta
Barat, sehingga bidang tanah dimaksud sampai sekarang belum beralih
haknya kepada Pemohon Kasasi, oleh karenannya izin tertulis dari
Dewan Komisaris perseroan tidak diperlukan;
11.Bahwa selanjutnya, karena ternyata Termohon Kasasi I tidak mempunyai
itikad baik untuk melaksanakan Perjanjian Pengikatan Jual Beli tanggal
18 Agustus 1990 (vide bukti P-1), maka adalah tepat sekali
pertimbangan hukum putusan Pengadilan Negeri a quo pada halaman
55 alinea 5 yang membatalkan Perjanjian Pengikatan Jual Beli tanggal
18 Agustus 1990 (vide bukti P-1) dengan pertimbangan:
“ Menimbang, bahwa tentang tuntutan pembatalan Perjanjian Pengikatan
Jual Beli tanggal 18 Agustus 1990, Majelis Hakim berpendapat, bahwa
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, traDalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 19
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Hal. 20 dari 31 hal. Put. No. 280 K/Pdt/2006
suatu perjanjian haruslah dilaksanakan dengan itikad baik dan karena
ternyata Tergugat-Tergugat telah tidak bersedia memenuhi perjanjian
dimaksud, maka beralasan hukum untuk dikabulkan”.
II. Pengadilan Tinggi Telah Salah Menerapkan Hukum Perjanjian Dan Hukum
Pertanahan (Agraria) Yang Berlaku, Karena Telah Mencampur Adukkan
Ketentuan Hukum Yang Berlaku Dalam Hukum Perdata Barat (BW) Tentang
Jual Beli Dan Pengikatan Jual Beli Dengan Ketentuan Hukum Yang Berlaku
Dalam Hukum Pertanahan (Agraria) Yang Berlaku Tentang Akta Jual Beli
Dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tanah.
1. Bahwa adalah keliru dan tidak dapat dibenarkan kesimpulan yang
diambil oleh Majelis Hakim dalam pertimbangan hukum putusan
Pengadilan Tinggi a quo pada halaman 6 alinea 4 dan 5 yang dengan
keliru telah menyimpulkan pada intinya bahwa Perjanjian Pengikatan
Jual Beli atas sebidang tanah yang belum dimiliki oleh Termohon Kasasi
adalah sama dan serupa dengan penandatanganan Akta Jual Beli atas
sebidang tanah yang telah dimiliki Termohon Kasasi I sehingga kedua-
duanya seolah-olah mensyaratkan persetujuan dari Komisaris Termohon
Kasasi;
2. Bahwa kesimpulan dalam pertimbangan hukum putusan Pengadilan
Tinggi a quo sedemikian adalah karena tidaklah benar Perjanjian
Pengikatan Jual Beli adalah sama dengan Akta Jual Beli, sehingga
mensyaratkan harus adanya persetujuan tertulis dari Komisaris
Perseroan;
3. Bahwa sesuai ketentuan dalam Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5
Tahun 1960, syarat utama untuk dapat dilangsungkannya jual beli atas
sebidang tanah adalah “terang dan tunai”, terang berarti dilakukan di
hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah dan sesuai dengan formalitas
yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang
Pendaftaran Tanah dan Peraturan Pelaksanaannya, di antaranya harus
dibuat dengan format akta dan di atas kertas akta yang hanya dicetak
dan dijual oleh Badan Pertanahan Nasional, tunai berarti tanah tersebut
langsung diserahkan dan pembayarannya dilakukan “lunas sekaligus”
pada saat ditandatanganinya Perjanjian/Akta Jual Beli tersebut;
4. Bahwa dalam putusan Pengadilan Tinggi a quo dalam halaman 6 alinea
3, telah ditegaskan sendiri dan diakui oleh Pengadilan Tinggi
“Menimbang, bahwa dari bukti P-3/T.II-6 (Surat Kuasa No.
0104/C.0000/90-SO tanggal 20 Januari 1990), bukti T-32 (lampiran bukti
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, traDalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 20
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Hal. 21 dari 31 hal. Put. No. 280 K/Pdt/2006
dalam memori banding Tergugat I/Pembanding tanggal 11 Juni 2004,
halaman 6 butir II.I-I), serta bukti P-4 = T.II-7 (S.K. Dirut Pertamina No.
KPTS-173/C.0000/91-HI tanggal 22 Juni 1991), ternyata pada tanggal 16
Agustus 1990 tanah yang diperjanjikan dalam Pengikatan Jual Beli
bukan asset PT Patra Jasa”, sehingga objek tersebut yang belum
menjadi asset milik Termohon Kasasi I tidak mungkin dapat langsung
diserahkan kepada pembeli yaitu Pemohon Kasasi pada saat
penandatanganan Perjanjian Pengikatan Jual Beli tersebut, sehingga
tidak memenuhi syarat “tunai” untuk dapat dibuatnya Akta/Perjanjian Jual
Beli atas tanah tersebut sebab objeknya belum menjadi milik Termohon
Kasasi I sebagai penjual;
5. Bahwa dalam bukti-bukti P-10, P-11, P-20 dan P-23 sebagaimana
diuraikan Pemohon Kasasi dalam butir IV.1 s/d 8 memori kasasi ini,
diakui oleh Termohon Kasasi I jumlah pembayaran uang tanda jadi atau
panjar Pemohon Kasasi adalah sebesar Rp 5.000.000.000,- (lima milyar
rupiah), sehingga pembayaran tersebut yang merupakan sebagian dari
keseluruhan harga tanah yang telah disepakati dalam Perjanjian
Pengikatan Jual Beli tanggal 18 Agustus 1990 (vide bukti P-1) yaitu
sebesar Rp 120.000,-/m² untuk bidang tanah seluas + 6 ha bukan
merupakan harga jual beli yang dibayarkan “lunas sekaligus”, jadi untuk
itu tidak mungkin dilangsungkan atau dibuatkan Akta/Perjanjian Jual Beli
seperti yang dipersyaratkan oleh Undang-Undang, khususnya karena
belum terpenuhinya unsur “tunai”;
6. Bahwa dengan demikian, memang pada saat itu belum mungkin dibuat
Akta Jual Beli seperti dimaksudkan oleh UUPA dan PP 10/1961 tentang
Pendaftaran Tanah, oleh karena itu pada saat tersebut satu-satunya hal
yang memungkinkan untuk dilakukan guna mewujudkan kesepakatan
yang telah dicapai oleh Pemohon Kasasi sebagai calon pembeli dengan
Termohon Kasasi I sebagai calon pemilik tanah tersebut dan sekaligus
calon penjual adalah dengan menandatangani Perjanjian pengikatan
Jual Beli yang merupakan persetujuan pendahuluan (voorovereenkomst)
atau Memorandum Of Understanding (MOU) disertai dengan
pembayaran uang panjar atau tanda jadi sebesar Rp 5.000.000.000,-
(lima milyar rupiah) sesuai bukti P-2;
7. Bahwa oleh karena pada saat tersebut tanah itu memang belum menjadi
miliknya Termohon Kasasi I, maka tidak ada kewajiban sedikitpun untuk
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, traDalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 21
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Hal. 22 dari 31 hal. Put. No. 280 K/Pdt/2006
meminta persetujuan dari Komisaris, satu dan lain berdasarkan
Anggaran Dasar Perseroan Termohon Kasasi I;
8. Bahwa apabila pada saat itu tanah tersebut telah menjadi milik
Termohon Kasasi I, maka bisa jadi persyaratannya bukan saja perlu
persetujuan Komisaris melainkan bisa saja mensyaratkan persetujuan
dari Rapat Umum Pemegang Saham/RUPS (yang merupakan Organ
Tertinggi Perseroan Terbatas) dengan mensyaratkan persetjuan dari ¾
(75%) dari seluruh pemegang saham yang secara sah hadir dalam
RUPS yang memenuhi kuorum tersebut, satu dan lain sesuai dengan
Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas No. 1 Tahun 1995:
a. Pasal 88 ayat (1) “Direksi wajib meminta persetujuan RUPS untuk
mengalihkan atau menjadikan jaminan utang seluruh atau sebagian
besar kekayaan perseroan”;
b. Pasal 88 ayat (2) “Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) tidak boleh merugikan pihak ketiga yang beritikad baik”;
c. Pasal 88 ayat (3) “Keputusan RUPS untuk mengalihkan atau
menjadikan jaminan utang seluruh atau sebagian besar kekayaan
perseroan sah apabila dihadiri oleh pemegang saham yang mewakili
paling sedikit ¾ (tiga perempat) bagian dari jumlah seluruh saham
dengan hak suara yang sah dan disetujui oleh paling sedikit ¾ (tiga
perempat) bagian dari jumlah suara tersebut;
9. Bahwa karena pada saat itu tanah tersebut memang belum merupakan
milik Termohon Kasasi I maka tidak pernah ada syarat baik dalam
Undang-Undang yang belaku di Republik Indonesia ini maupun
ketentuan dalam Anggaran Dasar Perseroan yang menetapkan perlunya
persetujuan dari Komisaris; Bahwa pertimbangan Hakim Pengadilan
Tinggi dalam putusan Pengadilan Tinggi a quo tersebut yang
menyebutkan Perjanjian Pengikatan Jual Beli seolah-olah sama/identik
dengan Perjanjian Jual Beli adalah terlalu jauh dan keliru menerapkan
hukum sehingga putusan judex facti sedemikian haruslah dibatalkan;
10.Bahwa dari uraian tersebut di atas, nyatalah pembuatan Perjanjian
Pengikatan Jual Beli (vide bukti P-1) tanpa adanya persetujuan tertulis
dari Komisaris Patra Jasa adalah sah dan oleh karena itu mengikat
Termohon Kasasi;
III. Pengadilan Tinggi Telah Keliru Menerapkan Hukum Perjanjian Yang Berlaku
Mengenai Ketentuan Tentang Dibatalkan (Vernietigbaar) Dan Batal Demi
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, traDalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 22
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Hal. 23 dari 31 hal. Put. No. 280 K/Pdt/2006
Hukum (Van Rechtswege Nietig), Karena Telah Mencampur Adukan Antara
Batal Demi Hukum Dengan Dibatalkan.
1. Bahwa adalah tidak benar dan menyesatkan kesimpulan yang ditarik
oleh Hakim Banding dalam pertimbangan hukum putusan Pengadilan
Tinggi a quo seperti yang dimuat dalam pertimbangan hukum
putusannya halaman 6 alinea 7 dan halaman 7 alinea 1 yang
menyatakan:
“Menimbang, bahwa dari pertimbangan terurai di atas, yaitu bahwa
obyek dalam Pengikatan Jual Beli bukan asset PT Patra Jasa dan tidak
ternyata ada izin tertulis dari Dewan Komisaris PT Patra Jasa, maka
Perjanjian Pengikatan Jual Beli tanggal 16 Agustus 1990/tanggal 18
Agustus 1990 batal demi hukum”;
2. Bahwa sebagaimana telah diuraikan di atas dalam memori kasasi ini,
Perjanjian Pengikatan Jual Beli tanggal 18 Agustus 1990 (vide bukti P-1)
adalah sepenuhnya sah dan mengikat baik Pemohon Kasasi maupun
Termohon Kasasi I, sehingga dengan ternyata Termohon Kasasi I telah
melakukan wanprestasi/ingkar janji tidak dapat melaksanakan Perjanjian
Pengikatan Jual Beli tersebut maka Perjanjian Pengikatan Jual Beli
tersebut haruslah dibatalkan, bukan batal demi hukum sebagaimana
secara keliru dipertimbangkan oleh judex facti dalam putusannya;
3. Bahwa dengan demikian putusan judex facti haruslah dibatalkan oleh
Mahkamah Agung RI, karena putusan tersebut didasarkan atas
kekeliruan dalam penerapan hukumnya;
IV. Putusan Judex Facti Kurang Cukup Dipertimbangkan (Niet Voldoende
Gemotiveerd) Dan Terdapat Ketidak Tertiban Dalam Beracara Karena Sama
Sekali Tidak Mempertimbangkan Bukti-Bukti Dari Pemohon Kasasi.
1. Bahwa hakim Banding dengan hanya mempertimbangkan bukti-bukti dari
Termohon Kasasi I, yaitu bukti T.1-8, Berita Acara Rapat antara Pudjadi
Soekarno dengan Benny Sumampouw tanggal 30 November 1995 dan
bukti T.1-10, surat dari Badan Pengawas Keuangan dan Pembayaran
No. 02-04.03.122/DV.7/2001 tanggal 30 Juli 2001, serta keterangan
saksi-saksi Pudjadi Soekarno, Dr. Setiadi Samingoen dan Ir. Legowo
Sudradjad di mana surat bukti P.1-8 dan T.1-10 tersebut beserta saksi-
saksi menyebutkan seolah-olah uang panjar sebesar Rp 5.000.000.000,-
(lima milyar rupiah) sebagaimana dimaksud dalam Perjanjian Pengikatan
Jual Beli tanggal 18 Agustus 1990 (vide bukti P-1) dan kwitansi tanda
terima uang sebesar Rp 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah) yang
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, traDalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 23
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Hal. 24 dari 31 hal. Put. No. 280 K/Pdt/2006
ditandatangani oleh Manager Devisi Keuangan Termohon Kasasi I (vide
bukti P-1) tidak masuk ke dalam kas PT Patra Jasa (Termohon Kasasi I),
dan untuk itu Hakim Banding langsung berpendapat Termohon Kasasi I
tidak berkewajiban mengembalikan uang sejumlah Rp 5.000.000.000,-
(lima milyar rupiah) tersebut kepada Pemohon Kasasi, tanpa Hakim
Banding mempertimbangkan bukti-bukti P-10, P-11, P-20 dan P-23 dari
Pemohon Kasasi;
2. Bahwa Hakim Banding telah lalai tidak mempertimbangkan bukti-bukti P-
10 dari pihak Pemohon Kasasi, yaitu surat dari Sdr. Tony Purbowo
selaku Direktur Utama Termohon Kasasi I kepada Kepala Kejaksaan
Negeri Jakarta Selatan No. 180/DIRUT.PAJ/2001 tanggal 10 Oktober
2001, Perihal: Laporan dugaan terjadinya tindak pidana korupsi, di mana
dalam surat bukti P-10 ini diakui oleh Sdr. Tony Purbowo selaku Direktur
Utama Termohon I sebagai berikut:
“Bahwa pada tanggal 18 Agustus 1990 Ir. Pudjadi Soekarno (PS) selaku
Direktur PT Patra Jasa telah menjual sebidang tanah ex Pabrik Bata
Cengkareng seluas 6 ha seharga Rp 120.000,-/m² sehingga menjadi
Rp 7.200.000.000,- (tujuh milyar dua ratus juta rupiah) dengan uang
muka sebesar Rp 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah). Penjualan
dilaksanakan antara Ir. Pudjadi Soekarno selaku Direktur PT Patra Jasa
dengan saudara Benny Sumampouw selaku pembeli, pengusaha
beralamat di Jalan Pintu Air II Raya No. 31 D Jakarta tanpa seijin dari
Menteri Keuangan dan Dewan Komisaris PT Patra Jasa”.
Dan “Bahwa akibat perbuatan Ir. Pudjadi Soekarno maka PT Patra Jasa
telah mengalami kerugian:.
Dalam bukti P-10 ini, Sdr. Tony Purbowo selaku Direktur Utama
Termohon Kasasi I sudah mengakui adanya pengikatan jual beli bidang
tanah seluas + 6 ha ex. Pabrik Batu Bata di Jalan Daan Mogot,
Cengkareng, Jakarta Barat, antara Ir. Pudjadi Soekarno yang tidak
memasukkan uang panjar sebesar Rp 5.000.000.0000,- (lima milyar
rupiah) ke dalam kas perseroan, maka Termohon Kasasi I mengalami
kerugian;
3. Bahwa Hakim Banding telah lalai tidak mempertimbangkan bukti P-11
dari Pemohon Kasasi, yaitu surat dari Sdr. Tony Purbowo selaku Direktur
Utama Termohon Kasasi I kepada Kepala Kantor Pelayanan Piutang dan
Lelang Negara tanggal 30 September 2002 No. 154/DIRUT-PJ/S/IX/
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, traDalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 24
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Hal. 25 dari 31 hal. Put. No. 280 K/Pdt/2006
2002, perihal: Konfirmasi atas surat PT Pulau Seribu Paradise, dalam
butir 2 surat tersebut diakui;
“Pembayaran uang muka atas pengikatan jual beli tanah di Jalan Daan
Mogot Jakarta Barat sebesar Rp 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah)
adalah merupakan perikatan jual beli tanah tersebut antara PT Patra
Jasa dengan pribadi Sdr. Benny Sumampouw, karena permasalahan ini
terkait dengan masalah lain yang sangat kompleks, maka akan
diselesaikan dengan cara tersendiri;
Dalam bukti P-11 ini, Sdr. Tony Purbowo selaku Direktur Utama
Termohon Kasasi I sudah mengakui adanya perikatan jual beli tanah di
antara Termohon Kasasi I dan Pemohon Kasasi sudah membayar
panjar harga tanah sebesar Rp 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah)
kepada Termohon Kasasi I;
4. Bahwa Hakim Banding telah lalai tidak mempertimbangkan bukti P-20
dari Pemohon Kasasi, yaitu risalah rapat yang diadakan pada tanggal 19
Juli 1996 antara Pertamina (Tergugat II) dan PT Patra Jasa (Tergugat I)
di mana telah dibahas dan disepakati antara lain apabila jual beli bidang
tanah seluas + 6 ha di Jalan Daan Mogot, Cengkareng dilanjutkan pihak
Pertamina (Termohon Kasasi II) akan mengoreksi Surat Keputusan
Direksi Pertamina No. Kpts.014/C.0000/96-SO tanggal 6 Februari 1996
mengenai penarikan kembali sebagai penyertaan modal atas asset-asset
Pertamina pada PT. Patra Jasa dengan mengecualikan/tidak termasuk
bidang tanah seluas + 6 ha di Jalan Daan Mogot, Cengkareng, namun
apabila jual beli atas bidang tanah tersebut dibatalkan maka
penyelesaiaan lebih lanjut dengan pihak pembeli (d.h.i. Benny
Sumampouw/Pemohon Kasasi) akan diselesaikan oleh PT Patra Jasa
(Termohon Kasasi I);
Dalam bukti P-20 ini, baik Termohon Kasasi I maupun Termohon Kasasi
II mengakui adanya pengikatan jual beli tanah bukti P-1 di antara
Pemohon Kasasi dan Termohon Kasasi I;
5. Bahwa Hakim Banding telah lalai tidak mempertimbangkan bukti P-23
dari Pemohon Kasasi, yaitu surat dari Sdr. Tony Purbowo selaku Direktur
Utama Termohon Kasasi I kepada Dewan Komisaris Termohon Kasasi I
No. 133/Dirut-PJ/S/VIII/2002 tanggal 15 Agustus 2002, perihal:
Pembayaran uang muka tanah ex. Pabrik bata Cengkareng, di mana
dalam surat tersebut diakui:
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, traDalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 25
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Hal. 26 dari 31 hal. Put. No. 280 K/Pdt/2006
“Permasalahan ini timbul setelah tanah ex. Pabrik Bata, Cengkareng,
ditarik kembali ke Pertamina dan uang muka Rp 5.000.000.000,- (lima
milyar rupiah) digunakan untuk membeli tanah Gili Air di Lombok, Nusa
Tenggara Barat, oleh Direktur PT Patra Jasa untuk tujuan rencana
pengembangan pariwisata di Indonesia Bagian Timur”;
Dan dalam surat tersebut Sdr. Tony Purbowo selaku Direktur Utama
Termohon Kasasi I mengusulkan:
“Tanah ex. Pabrik Bata Cengkareng kiranya dapat diserahkan kembali ke
PT Patra Jasa untuk kemudian digunakan dalam penyelesaian masalah
dengan Benny Sumampouw”;
Dalam bukti P-23 ini, Sdr. Tony Purbowo selaku Direktur Utama
Termohon Kasasi I mengakui keabsahan Perjanjian Pengikatan Jual Beli
tanggal 18 Agustus 1990 (vide bukti P-1) dan adanya kesadaran pada
Sdr. Tony Purbowo untuk menyelesaiakan masalahnya dengan
Pemohon Kasasi;
6. Bahwa Hakim Banding telah mengesampingkan begitu saja dan sama
sekali tidak mempertimbangkan atau memberikan penilaian atas bukti-
bukti P-10, P-11, P-20 dan P-23 dari Pemohon Kasasi yang telah
diuraikan di atas yang membuktikan sesungguhnya Termohon Kasasi I
dan Termohon Kasasi II mengakui kebenaran dan keabsahan Perjanjian
Pengikatan Jual Beli tanggal 18 Agustus 1990 (vide bukti P-1) yang
mengikat dan harus dipatuhi oleh Termohon Kasasi I dan Pemohon
Kasasi berikut bukti penerimaan uang panjar sejumlah
Rp 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah) oleh Termohon Kasasi I,
sehingga putusan Pengadilan Tinggi a quo yang didasarkan hanya pada
bukti-bukti sepihak dari Termohon Kasasi I tanpa ada penilaian sama
sekali terhadap bukti-bukti dari Pemohon Kasasi yang merupakan
tegenbewijs (bukti penyangkalan) haruslah dibatalkan, sesuai
Yurisprudensi Tetap dalam putusan Mahkamah Agung RI No. 638
K/Sip/1969 tanggal 22 Juli 1970 yang berbunyi: “Putusan judex facti yang
langsung mengabulkan memori banding dari Termohon Kasasi I dengan
semata-mata berdasarkan bukti-bukti sepihak tanpa ada penilaian sama
sekali terhadap tegenbewijs (bukti penyangkalan) haruslah dibatalkan;
7. Bahwa dengan sudah dinyatakan batal Surat Perjanjian Pengikatan Jual
Beli tanggal 18 Agustus 1990 (vide bukti P-1), maka demi hukum sudah
seharusnya Termohon Kasasi I mengembalikan uang panjar sejumlah
Rp 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah) yang sudah dibayarkan oleh
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, traDalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 26
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Hal. 27 dari 31 hal. Put. No. 280 K/Pdt/2006
Pemohon Kasasi hal mana selalu dihindari oleh Termohon Kasasi I dan
Termohon Kasasi II dengan pelbagai macam dalih sehingga tepat sekali
pertimbangan hukum putusan Pengadilan Negeri a quo pada halaman
55 alinea 2 yang menyebutkan:
“Menimbang, bahwa karena yang membuat dan menandatangani surat
perjanjian tersebut (surat bukti P-1) adalah Pudjadi Soekarno yang pada
saat itu menduduki jabatan selaku Direktur PT Patra Jasa dalam
kapasitasnya selaku Direktur yang bertanggung jawab atas pengurusan
untuk kepentingan PT Patra Jasa lagipula uang tersebut telah digunakan
untuk membeli tanah di Gili Air Lombok seluas + 6 ha (lihat surat bukti
P-24,P-25 dan P-26), sehingga dengan demikian PT Patra Jasa selaku
Badan Hukum harus bertanggung jawab atasnya, dalam arti PT Patra
Jasa harus mengembalikan uang yang telah dibayar oleh Sdr. Benny
Sumampouw sebagai uang muka harga tanah dimaksud”;
8. Bahwa demikian pula sangat tepat dan sesuai dengan azas keadilan
pertimbanagn hukum putusan Pengadilan Negeri a quo pada halaman
55 alinea 7 dan pada halaman 56 alinea 1 yang menyebutkan:
“Menimbang, bahwa sesuai dengan surat bukti P-2 yang dibenarkan oleh
para saksi yang diajukan Penggugat, yakni Pudjadi Soekarno, Soebardi
Sumadiputra maupun saksi yang diajukan Tergugat I, yakni Setyadi
Samingoen menerangkan dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli tanggal
18 Agustus 1990 yang ditandatangani oleh Ir. Pudjadi Soekarno tersebut,
Sdr. Benny Sumampouw telah membayar uang muka sebesar
Rp 5.000.000.000,- dan sampai dengan saat ini pihak PT Patra Jasa
belum mengembalikan uang tersebut yang telah berlangsung selama
+ 14 tahun atau tepatnya berlangsung sejak Agustus 1990 sampai April
2004, dan uang tersebut ditujukan untuk membeli tanah di Cengkareng,
yang harganya saat ini sudah sangat tinggi (mahal) maka adalah patut
dan adil jika uang itu dikenakan dengan bunga sebesar 3% dan jika
diperhitungkan dengan system perbankan yang ada, yakni bunga
berbunga mana kepada Tergugat diwajibkan untuk membayara secara
tanggung renteng kepada Penggugat uang sebesar
Rp 179.685.000.000,- (seratus tujuh puluh sembilan milyar enam ratus
delapan puluh lima juta rupiah) bunga mana dihitung terus sampai lunas
dibayar oleh Tergugat-Tergugat”;
V. Hakim Banding Telah Salah Menerapkan Hukum Acara Mengenai Diber-
lakukannya Ketentuan Pilihan Forum Arbitrase.
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, traDalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 27
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Hal. 28 dari 31 hal. Put. No. 280 K/Pdt/2006
1. Bahwa pada halaman 8 alinea 4 putusan Pengadilan Tinggi a quo
Majelis Hakim banding telah mempertimbangkan:
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut
di atas, maka gugatan dalam butir III, irrelevan untuk dipertimbangkan,
karena secara jelas dalam bukti T.1-23 (perjanjian pengelolaan, Akta
Notaris No. 9 Chufran Hamal Jakarta), ditentukan bahwa bila ada
persengketaan mengenai pengelolaan obyek pengelolaan, diselesaikan
oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), dan karenannya
gugatan tersebut harus ditolak pula”.
2. Bahwa pertimbangan hukum Hakim Banding sedemikian adalah jelas
keliru sebab gugatan dalam perkara a quo bukanlah mengenai sengketa
pengelolaan Pulau Bira Besar, melainkan mengenai pengembalian uang
sebesar Rp 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah) yang telah dibayarkan
oleh Pemohon Kasasi kepada Termohon Kasasi I sebagai uang panjar
harga tanah sesuai Perjanjian Pengikatan Jual Beli tanggal 18 Agsutus
1990 (vide bukti P-1) di mana perjanjian pengikatan jual beli dimaksud
ternyata gagal dilaksanakan sehingga uang panjar yang telah dibayarkan
oleh Pemohon Kasasi haruslah dikembalikan oleh Termohon Kasasi I,
yang ternyata Termohon Kasasi I tidak bersedia mengembalikan uang
tersebut kepada Pemohon Kasasi;
3. Bahwa dalam kasus a quo sama sekali tidak ada perselisihan
pelaksanaan perjanjian pengelolaan Pulau Bira Besar sebab Pemohon
Kasasi setiap saat dan kapan saja bersedia membayar uang sewa Pulau
Bira Besar sesuai perjanjian pengelolaan dalam bukti T.1-23 yang sama
dengan bukti P-14, asal dikompensasi dengan uang Pemohon Kasasi
sebesar Rp 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah) yang sampai sekarang
masih berada pada dan belum dikembalikan oleh Termohon Kasasi I;
4. Bahwa dengan demikian, merupakan pertimbangan hukum yang keliru
dalam putusan Pengadilan Tinggi a quo karena tidak cermat mempelajari
materi kasus a quo sehingga dalam pertimbangan hukumnya
menyebutkan seolah-olah kasus a quo merupakan persengketaan
mengenai objek pengelolaan dan oleh karenannya harus diselesaikan
oleh Badan Arbitrase Indonesia (BANI).
5. Bahwa putusan Pengadilan Tinggi a quo dengan pertimbangan hukum
yang keliru adalah jelas merupakan kekeliruan dalam melaksanakan
hukum acara, dan putusan sedemikian haruslah dibatalkan;
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, traDalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 28
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Hal. 29 dari 31 hal. Put. No. 280 K/Pdt/2006
VI. Sita Jaminan Adalah Untuk Menjamin dapat Dilaksanakannya Putusan
Pengadilan.
1. Bahwa adalah tepat sekali pertimbangan hukum putusan Pengadilan
Negeri a quo pada halaman 57 alinea 5 menyebutkan:
“Menimbang, bahwa untuk menjamin gugatan Penggugat, maka
Majelis Hakim telah memerintahkan untuk melakukan sita jaminan atas
sebidang tanah yang terletak di jalan Daan Mogot, Cengkareng,
Jakarta Barat dan telah dilakukan sita jaminan berdasarkan Berita
Acara Sita No. 08/2004 Del. Jo. No. 361/Pdt.G/2003/PN.Jkt.Pst,
tanggal 19 Maret 2004, maka sita jaminan tersebut dinyatakan sah dan
berharga”;
2. Bahwa sebagaimana disebutkan dalam pertimbangan hukum putusan
Pengadilan Negeri a quo, sita jaminan adalah untuk menjamin
dilaksanakannya putusan pengadilan apabila kelak gugatan Penggugat
dikabulkan pengadilan;
3. Bahwa tetapi ternyata Majelis Hakim Pengadilan Negeri a quo dalam
amar putusannya telah khilaf tidak mengabulkan petitum gugatan
Pemohon Kasasi/semula Penggugat yang mohon agar pengadilan
menghukum Termohon Kasasi I/semula Tergugat I dan Termohon
Kasasi II/semula Tergugat II membayar secara tanggung renteng
kepada Pemohon Kasasi/semula Penggugat hutangnya sebesar
Rp 184.685.000.000,- (seratus delapan puluh empat milyar enam ratus
delapan puluh lima juta rupiah) dikurangi Rp 5.628.000.000,- (lima
milyar enam ratus dua puluh delapan juta rupiah) sama dengan
Rp 179.057.000.000,- (seratus tujuh puluh sembilan milyar lima puluh
juta rupiah) ditambah ganti rugi sebesar 3% sebulan terhitung sejak
Agustus 2003, sebagaimana disebutkan dalam petitum gugatan butir x;
4. Bahwa putusan pengadilan yang telah mengabulkan permohonan sita
jaminan namun tidak mengabulkan petitum gugatan yang bersifat
menghukum (condemnatoir) adalah merupakan putusan yang sia-sia,
sebab putusan pengadilan tersebut apabila kelak telah berkekuatan
hukum pasti menjadi tidak dapat dieksekusi;
5. Bahwa oleh karena itu, dapat kiranya Mahkamah Agung RI sesuai
kewenangannya dengan mengadili sendiri mengabulkan seluruh
gugatan Penggugat;
Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung
berpendapat :
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, traDalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 29
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Hal. 30 dari 31 hal. Put. No. 280 K/Pdt/2006
mengenai alasan ke I s/d VI :
bahwa alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena judex
facti/Pengadilan Tinggi tidak salah menerapkan hukum, dan lagi pula alasan
tersebut mengenai penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan
tentang suatu kenyataan hal mana tidak dapat dipertimbangkan dalam
pemeriksaan pada tingkat kasasi, karena pemeriksaan dalam tingkat kasasi
hanya berkenaan dengan tidak dilaksanakan atau ada kesalahan dalam
pelaksanaan hukum;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, lagi pula ternyata
bahwa putusan judex facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum
dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh
Pemohon Kasasi : PERSEROAN TERBATAS PT PULAU SERIBU PARADISE
tersebut harus ditolak ;
Menimbang, bahwa oleh karena permohonan kasasi dari Pemohon
Kasasi ditolak, maka Pemohon Kasasi dihukum untuk membayar biaya perkara
dalam tingkat kasasi ini ;
Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang No. 4 Tahun 2004,
Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 sebagaimana yang telah diubah dan
ditambah dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 dan peraturan perundang-
undangan lain yang bersangkutan ;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : PERSEROAN
TERBATAS PT PULAU SERIBU PARADISE tersebut ;
Menghukum Pemohon Kasasi/Penggugat untuk membayar biaya
perkara dalam tingkat kasasi ini sebesar Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah) ;
Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah
Agung pada hari Kamis, tanggal 26 Juni 2008 oleh Prof. Dr. H. Muchsin, SH.
Hakim Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua
Majelis, Prof. Dr. H.M. Hakim Nyak Pha, SH., DEA. dan I Made Tara, SH.
Hakim-Hakim Agung sebagai Anggota, dan diucapkan dalam sidang terbuka
untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua Majelis dengan didampingi oleh
Hakim-Hakim Anggota tersebut dan dibantu oleh Sumpeno, SH., MH. Panitera
Pengganti dengan tidak dihadiri oleh para pihak ;
Hakim-Hakim Anggota : K e t u a :
ttd./Prof. Dr. H.M. Hakim Nyak Pha, SH.,DEA. ttd./
ttd./I Made Tara, SH. Prof. Dr. H. Muchsin, SH.
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, traDalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 30
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Hal. 31 dari 31 hal. Put. No. 280 K/Pdt/2006
Biaya-biaya :
1. M e t e r a i………………Rp 6.000,- Panitera Pengganti :
2. R e d a k s i………………Rp 1.000,- ttd./
3. Administrasi kasasi………….Rp 493. 000,- Sumpeno, SH.,MH.
Jumlah ………………..Rp 500.000,-
Untuk salinan
MAHKAMAH AGUNG RI
an. Panitera
Panitera Muda Perdata,
MUH. DAMING SUNUSI, SH.MH
NIP. 040.030.169.
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, traDalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 31
Analisis yuridis..., Zefanya Siahaan, FH UI, 2012