universitas indonesia dinamika relasi sosial...
TRANSCRIPT
i
UNIVERSITAS INDONESIA
DINAMIKA RELASI SOSIAL DALAM
PROSES MENINGGALKAN JALAN TEROR
DISERTASI (RINGKASAN)
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor
di bidang Psikologi yang dipertahankan dalam Sidang Terbuka Senat Akademik
Universitas Indonesia di bawah pimpinan Rektor Universitas Indonesia
Prof. Dr. Ir. Muhammad Anis, M. Met.
Pada hari Rabu, 13 Januari 2016, pukul 10.00 WIB
Gazi NPM. 1006784115
FAKULTAS PSIKOLOGI
PROGRAM STUDI ILMU PSIKOLOGI
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
JANUARI 2016
ii
TIM PEMBIMBING
Promotor
Prof. Dr. Hamdi Muluk, M.Si
Ko-promotor 1
Dr. Bagus Takwin, M.Hum
Ko-promotor 2
Dr. Mirra Noor Milla, S.Sos., M.Si
TIM PENGUJI
Ketua Sidang
Dr. Tjut Rifameutia Umar Ali, MA
Anggota
Prof. Dr. Enoch Markum
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
Prof. Dr. Faturrahman
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada Yogyakarta
Prof. Dr. Bambang Pranowo
Guru Besar FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Dra. Amarina Ashar Ariyanto, M.Si, Ph.D
Dosen Tetap Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
Dr. Adriana Soekandar, M.Sc
Dosen Tetap Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
KETUA PROGRAM STUDI DOKTOR
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS INDONESIA Prof. Dr. Guritnaningsih A. Santoso
iii
UCAPAN TERIMA KASIH
Alhamdulillah. Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan limpahan anugerah dan berkah sehingga dengan perkenan-Nya penulis dapat
menyelesaikan disertasi ini. Pengalaman dalam proses kuliah dan penulisan disertasi ini
menyadarkan penulis bahwa hidup ini adalah rangkaian ikhtiar panjang dalam mencari takdir bagi
pribadi penulis. Rasa syukur terus terucap di dalam hati dan lisan karena melalui proses belajar
dan penulisan disertasi ini, penulis bertemu dengan orang-orang hebat yang telah memberikan
pembelajaran dan hikmah yang luar biasa bagi perjalanan akademis dan karir.
Penghargaan dan terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Hamdi
Muluk, M.Si selaku Promotor yang selalu memberikan perhatian, dukungan dan bimbingan
kepada penulis sehingga memudahkan penulis dalam menyelesaikan penulisan disertasi ini.
Terima kasih Prof. Hamdi..Ucapan terima kasih penulis tujukan kepada Dr. Bagus Takwin, M.
Hum selaku kopromotor 1 yang telah memberikan masukan dan sentuhan berharga atas disertasi
ini. Saya juga harus mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Dr. Mirra Noor
Milla selaku kopromotor 2. Masukan dan koreksi Mba Mirra atas disertasi ini membuat isinya
semakin halus dan terarah dibandingkan sebelum dikoreksi. Terima kasih Mba Mirra atas waktu
dan kesediaan mengoreksi disertasi dengan detil.
Rasa terima kasih yang dalam saya sampaikan kepada Ketua Program Doktor Fakultas
Psikologi Universitas Indonesia, Prof. Dr. Guritnaningsih dan Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia, Dr. Tjut Rifameutia Umar Ali, MA selaku ketua tim sidang promosi.
Terima kasih juga kepada Dr. Adriana Soekandar Ginanjar, MS selaku Wakil Dekan bidang
pendidikan, peneliitan dan kemahasiswaan, serta Dra. Corrina D.S. Riantoputra, M.Com., Ph.D
selaku Wakil Dekan bidang sumber daya, ventura dan administrasi umum beserta segenap jajaran
staff di bawahnya atas bantuan administrasi selama menjadi mahasiswa program doktor.
Rasa terima kasih yang dalam dan tulus penulis sampaikan pula kepada Prof. Dr.
Bambang Pranowo, Prof. Dr. Enoch Markum, Prof. Dr. Faturrochman MA, Dra. Amarina Ashar
Ariyanto, M.Si., Ph.D dan Dr. Adriana S. Ginanjar selaku tim penguji. Terima kasih atas saran
dan masukan Bapak dan Ibu yang sangat berharga.
Ucapan terima kasih disampaikan kepada para dosen di Fakultas Psikologi Universitas
Indonesia, Prof. Dr. Hamdi Muluk, M.Si, Prof. Dr. Enoch Markum, Prof. Dr. Sarlito Wirawan,
Sarwono, Prof. Dr. Ali Nina Liche Seniati, M.Si, Dra. Siti Dharmayati Bambang Utoyo, MA.,
Ph.D, Robby Muhammad, Ph.D, Dr. Rudolf Woodrow Matindas, Dra. Amarina Ashar Ariyanto,
M.Si, Dr. Bagus Takwin, M. Hum, Dra. Ike Anggraika, M.Si. Terima kasih atas ilmu yang Bapak
dan Ibu ajarkan sehingga menambah wawasan dan mengilhami penulis untuk mempersiapkan dan
menulis disertasi ini. Terima kasih juga disampaikan kepada para tenaga kependidikan Fakultas
Psikologi Universitas Indonesia yaitu Mas Irwan, Mba Siti Mariam, Mas Robin, Pak Suroko dan
lain-lain yang telah membantu kelancaran administrasi. Khusus untuk Pak Suroko terima kasih
atas semua bantuan terkait urusan administrasi sehingga melancarkan proses studi doktor saya..
Terima kasih saya ucapkan kepada para guru dan mentor yang telah mengajarkan saya
selama kuliah di program sarjana. Di antara mereka perlu saya sebutkan: almarhuman Prof. Dr.
Zakiah Daradjat, Ibu Dr. Netty Hartati, M.Si., Ibu Dra Zahratun Nihayah, M.Si., dan Ibu Dr.
Fadhilah Suralaga, M.Si. serta semua dosen dan guru yang tidak disebutkan namanya satu per
satu tetapi tidak mengurangi rasa hormat saya. Terima kasih, semoga ilmu dan pengalaman yang
diberikan bisa menjadi amal jariah.
Terima kasih tidak lupa saya ucapkan kepada para mantan dekan Fakultas Psikologi UIN
Jakarta (Dr. Netty Hartati, M.Si dan Jahja Umar Ph.D) yang telah mendorong penulis untuk
melanjutkan studi S3 dan memberikan izin untuk konsentrasi belajar demi menambah wawasan
dan ilmu. Terima kasih kepada Prof. Dr. Abdul Mujib, M.Ag., M.Si selaku dekan Fakultas
Psikologi UIN Jakarta yang telah memberikan kemudahan dan dukungan selama proses
penyelesaian studi S3 saya. Terima kasih disampaikan pula kepada Dr. Abdul Rahman Saleh,
Ikhwan Lutfi, M.Si dan Dr. Diana Mutiah, M.Si selaku wakil dekan yang telah memberi dukungan
moral.
Kepada semua rekan dosen dan tenaga kependidikan Fakultas Psikologi UIN Jakarta,
saya ucapkan terima kasih atas persahabatan yang tulus dan kemitraan yang kokoh di antara kita
iv
sehingga semua proses menjalankan tugas dan kewajiban sebagai dosen dan mahasiswa doktoral
bisa berjalan dengan lancar.
Terima kasih kepada Pusat Kehidupan Keagamaan dan Pusat Pendidikan Agama dan
Keagamaan Balitbang Kemenag RI, CSRC dan Puslitpen UIN Jakarta yang telah memberikan
kesempatan kepada penulis dalam mencari pengalaman meneliti..
Terima kasih kepada para petinggi Densus 88 Mabes Polri yang telah memberikan
kesempatan berdiskusi tentang terorisme dan membuka akses untuk bertemu dengan para pelaku
teror di Indonesia. Terima kasih disampaikan kepada Bapak dan Ibu petinggi Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme, Bapak Brigjen Agus yang kini menjadi Panglima Kodam, Prof. Dr.
Irfan Idris, Bapak Dr. Muslih Nasoha yang saat ini kembali bertugas di Kemenhankam, Bapak
Kolonel Marinir Jon, Bapak Kolonel Marinir Andi, Mbak Phobe, Mas Sholehudin dan lain-lain
yang tidak disebutkan namanya satu per satu tetapi tidak mengurangi rasa hormat saya. Terima
kasih atas kesempatan yang diberikan untuk menjadi mitra dalam kegiatan deradikalisasi BNPT
sehingga membuka akses bagi saya dengan para pelaku teror di dalam penjara maupun di luar
penjara.
Terima kasih kepada para kepala Lapas yang pernah saya kunjungi. Kalapas Porong,
Kalapas Semarang, Kalapas Tangerang, Kalapas Luwuk, Kalapas Makasar, Kalapas Cipinang
termasuk jajaran di bawahnya atas izin dan kesempatan berkunjung untuk menemui para warga
binaan penjara dari kalangan teroris.
Terima kasih saya sampaikan juga kepada teman-teman seangkatan: Mba Arum, Mba
Kiki, Mba Dyah Rini, Mba Okta, Mba Marli, Mba Sita, Mba Rini, Mba Iwus, Mba Beby, Mba
Tika, Mba Melani, Pak Lukman, Kang Gume, Mas Lutfi dan Mas Dadang. Kekompakan dan
persahabatan yang tulus memberikan warna tersendiri dalam kehidupan akademis saya. Mudah-
mudahan persahabatan ini akan meneguhkan jaringan kerja akademis kita di masa depan.
Terima kasih disampaikan pula kepada semua dosen dan tenaga kependidikan di
lingkungan Fakultas Psikologi UIN Jakarta atas dukungan moral dan kehangatan persahabatan
dan kemitraan selama penulis berinteraksi dan bekerja di kantor. Terima kasih yang sebesar-
besarnya saya sampaikan kepada Eci dan Diki yang telah bersedia menjadi paranim, semoga
dimudahkan dalam proses kuliah dan segera menulis disertasi..
Saya juga harus menyampaikan terima kasih kepada Diktis Kemenag RI yang telah
memberikan beasiswa selama tujuh semester dan bantuan studi dari UIN Jakarta selama dua
semester sehingga penulis bisa menyelesaikan kuliah dan penulisan disertasi dengan baik.
Semoga Diktis dan UIN Jakarta berjaya dalam mengembangkan dunia pendidikan dan perguruan
tinggi Islam demi kemaslahatan umat dan bangsa. Terima kasih kepada Muje dan tim yakusanya
yang telah membantu dalam proses transkrip rekaman dan proses tehnis lainnya serta nama-nama
lain yang tidak disebutkan satu per satu. Semoga kalian selalu sukses dalam mengejar cita-cita
dan masa depan.
Saya juga berterima kasih kepada kawan-kawan pegiat “Laboratorium Psikologi Politik
UI pimpinan Bang Hamdi : Mba Mira, Mas Cahyo, Mba Whinda, Mba Sukma yang sekarang jadi
dosen Unibraw, Mas Diki, Mas Alim dan nama-nama lain yang tidak bisa saya sebutkan satu
persatu tetapi tidak mengurangi rasa terima kasih saya kepada kalian. Suasana diskusi dan gairah
serta kuriositas intelektual yang saya dapat dalam suasana kontak akademis di ruangan ini
membuat saya semakin mencintai ilmu pengetahuan dan gemar membaca.. Saya bersyukur
dipertemukan dengan orang-orang hebat seperti kalian...
Disertasi ini saya persembahkan untuk almarhum abah tercinta, H. Said Saleh Saloom,
dan emak tersayang, almarhumah Jawirah, yang telah membesarkan dan mendidik saya dengan
penuh cinta dan kasih sayang. Semoga pesan abah bahwa ilmu adalah warisan paling berharga
dalam hidup bisa diwariskan lagi kepada anak-anak; dan semoga teladan emak sebagai orang
yang tangguh dalam membesarkan dan mendidik anak bisa ditiru. Terima kasih kepada Bang
Zaed Saloom almarhum yang selalu menjadi teman diskusi saat masih hidup semoga Bang Zaed
bahagia di alam sana. Terima kasih saya sampaikan pula kepada Bang Hizam Saloom, yang selalu
bahagia dan bangga dengan capaian adik-adiknya, juga kepada adik-adik saya: Fadlika Saloom,
Najah Saloom, Hilwah Saloom, Nurimamah Saloom dan Faiz Saloom yang selalu mendukung
setiap langkah saya, serta para keponakan. Kepada keluarga besar Saloom di manapun dan
keluarga besar dari pihak emak di Lombok, terima kasih atas dukungan kalian.
v
Kepada mertua saya, Ibu Faizah dan Drs. Kurtubi almarhum, semua ipar saya: Kang
Fatur, Ridwan (alm), Ina Rosdiana dan suami, Syifaurrahmah dan suami, serta Oman yang sedang
belajar di Turki, terima kasih atas dukungan dan doa kalian. Semoga Allah memberikan
kebahagiaan dan ketenangan.
Terakhir tetapi yang paling utama dan inti, saya ingin menyampaikan terima kasih dan
cinta yang tulus kepada isteri tersayang, Ummu Athiyah, yang telah mendampingi penulis selama
12 tahun lebih dan telah memberikan tiga orang anak yang sehat dan pintar dengan segala suka-
duka yang menyertai. Terima kasih, isteriku, belahan jiwaku yang tetap setia sampai saat ini. Saya
juga merasa perlu berterima kasih kepada anak-anak saya: Averrous Saloom (Bang Iyus/Verrous),
Imtiyazussaomi Saloom (Kakak Tiyas) dan si bungsu Fawwaz Muluki Saloom (Adik Luki) yang
memberi keceriaan dan kebahagian dalam kehidupan sehari-hari kami. Abah sangat menyayangi
kalian dan berharap semoga kelak kalian bisa meraih pendidikan formal tertinggi dengan waktu
yang lebih cepat dan lebih berkualitas dibandingkan apa yang abah capai sekarang ini.
vi
ABSTRAK
Nama : Gazi
Program Studi : Ilmu Psikologi
Judul Disertasi : Dinamika Relasi Sosial Dalam Proses Meninggalkan
Jalan Teror
Studi tentang proses radikalisasi dan terorisme telah banyak dilakukan, namun studi tentang
proses meninggalkan jalan teror masih sangat kurang. Untuk mengisi kekurangan itu, studi disertasi ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana dan
mengapa para pelaku teror di Indonesia meninggalkan jalan teror. Studi disertasi ini
menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode grounded research. Lima orang mantan
pelaku teror dan anggota Jamaah Islamiyah yang pernah terlibat dalam aksi terorisme dan
pelatihan militer dipilih untuk menjadi subyek studi dengan kriteria yang sesuai dengan tujuan
studi. Lebih dari 40 orang yang memiliki hubungan kekeluargaan, kekerabatan dan pertemanan
dipilih untuk menjadi narasumber studi. Data studi dikumpulkan melalui wawancara langsung
dengan subyek studi dan dianalisis dengan teknik grounded theory.
Dari hasil studi diperoleh tema-tema tertentu melalui proses open coding, pengelompokan ke
dalam kategori tertentu atau dikonseptualisasi menjadi relasi sosial dan meninggalkan jalan
teror. Kemudian, dihasilkan teori berbasis data tentang dinamika relasi sosial dalam proses
meninggalkan jalan teror.
Kesimpulan studi ini menunjukkan bahwa pelaku teror di Indonesia bisa meninggalkan jalan
teror, ada rasa bersalah menjadi penyebab penting meninggalkan jalan teror, ada perubahan
keyakinan tentang konteks jihad tetapi jihad tetap ada di dalam pikiran subyek. Selain itu,
disimpulkan bahwa ada tiga dimensi relasi sosial yang ditemukan yaitu dimensi personal,
organisasi dan sosial. Relasi sosial mendorong meninggalkan jalan teror melalui evaluasi
individual dan kolektif dan tindakan mengubah keyakinan tentang jihad dan outgroup.
Kelemahan dan rekomendasi studi didiskusikan.
Kata Kunci : Grounded research, teroris, relasi sosial, deradikalisasi, disengagement,
vii
ABSTRACT
Name : Gazi
Study Program : Psychology
Judul Disertasi : Dynamic of Social Relation in Process of Leaving
Terrorism
Many studies on the radicalization and terrorism processes have been conducted. However the
study on process of leaving terrorism is still overlooked.
To fill this gap, present study attempted to address the question of how and why terrorists leave
terrorism in Indonesia. This research employed qualitative method with grounded theory as
design and tool of analysis. Five former terrorists and members of Jamaah Islamiyah who have
involved in terror action and military training were selected as respondents of the study. More
than 40 people who have family relation, kindship and friendship were selected as research
resources. Data were taken by direct in-depth interview and were analyzed using grounded theory
technique.
Through open coding process, specific themes were found and then grouped into some categories,
and through selective coding process a theory on leaving terrorism was built. The theory insisted
on role of dynamic of social relation in process of leaving terrorism. Based on the analysis, it can
be concluded that terrorists could leave terrorism, guilty feeling was one cause of leaving
terrorism, and belief about jihad context could be changed although the idea of jihad could not
be left. Besides, it was concluded that there were three dimensions of social relation dynamic:
personal dimension, organizational dimension, and social dimension. Social relation dynamic
pushed terrorists to leave terrorism through individual and collective evaluation and belief
change on jihad context and outgroup attitudes. Weaknesses and recommendations of the study
were further discussed.
Key words : Grounded research, terrorist, jihad, social relation, deradicalization,
disengagement.
.
viii
DAFTAR ISI
Halaman Judul Dalam................................................................................. .............. : i
Tim Pembimbing Dan Tim Penguji...... .................................................... ................. : ii
Ucapan Terima Kasih................................................................................... .............. : iv
Abstrak...................................................................................................... .......... ...... : viii
Daftar Isi.................................................................................................. ........... : x
Daftar Tabel.......................................................................................... .......... .......... : xii
Daftar Gambar..................................................................................... ........... .......... : xiii
A Latar Belakang ......................................................... ........ .................... ......... : 1
B Pertanyaan Penelitian............................................................. ........ ................ : 5
C Tujuan Penelitian.................................................................... ........ ................ : 5
D Telaah Literatur .................... .................... .................... .................... ........... : 5
E Metode Penelitian.................... .................... .................... .................... .......... : 10
F Hasil Penelitian.................... .................... .................... .................... ............. : 11
G Pembahasan Hasil Penelitian.................... .................... .................... ............. : 26
H Kesimpulan.................... .................... .................... .................... .................... : 33
H Rekomendasi.................... .................... .................... .................... ................ : 34
Daftar Pustaka.................... .................... .................... .................... ............... : 34
Riwayat Hidup.................... .................... .................... .................... .............. : 41
ix
DAFTAR TABEL
1 Profil subyek penelitian..................................................................... ........ 11
2 Pola meninggalkan jalan teror............................................................ ......... 12
3 Evaluasi kelompok dan individual yang dilakukan subyek............... ......... 14
4 Perubahan pandangan tentang konteks jihad..................................... ......... 15
5 Dari homogenitas outgroup ke heterogenitas outgroup..................... ......... 15
6 Gambaran rasa bersalah..................................................................... ......... 17
7 Identitas kelompok versus identitas personal..................................... ......... 18
8 Konflik nilai personal versus nilai kelompok.................................... ......... 18
9 Deideologisasi jihad........................................................................... ......... 20
10 Gambaran penurunan komitmen..................................................................... 21
11 Konflik interpersonal......................................................................... ......... 24
12 Kontak dengan orang lain di luar kelompok...................................... ......... 25
x
DAFTAR GAMBAR
1 Dinamika konflik pemimpin-pengikut................................................ ............. 23
2 Dinamika relasi sosial dalam proses meninggalkan jalan teror........... ............. 26
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Pedoman wawancara......................................................... 205
Lampiran 2 Singkatan dan inisial.......................................................... 206
xii
1
RINGKASAN
A. Latar Belakang Masalah
Pelaku teror meninggalkan jalan teror? Apa mungkin? Inilah pertanyaan dan ungkapan
skeptis yang muncul di masyarakat terkait pernyataan mantan pelaku teror yang menyesali aksi
pengeboman di Bali. Telah banyak media massa, baik cetak maupun audio-visual termasuk media
sosial seperti youtube mengabarkan tentang sejumlah pelaku teror yang menyesali keterlibatan
dalam aksi menghancurkan dua tempat hiburan malam Sari Club’s dan Paddy’s Pub yang terkenal
di Jalan Legian Kuta Bali (Imron, 2009; 2010; Tim Lazuardi Birru, 2010)
Pelaku teror Bom Bali yang sampai saat ini masih ditahan di penjara narkoba, AI,
menyatakan penyesalannya melalui buku autobiografinya yang berjudul “Ali Imron Sang
Pengebom”. AI mengungkapkan bahwa keterlibatannya dalam tragedi Bom Bali 1 adalah suatu
kesalahan besar dalam hidupnya. Sebelumnya ia menolak keras rencana pengeboman di Bali
walaupun akhirnya ia terlibat dan bahkan berperan penting (Imron, 2009). Pelaku teror lainnya
yaitu UP yang pernah dipenjara di Guantanamo, pernah dipenjara di Mako Brimob Depok Jawa
Barat dan sekarang dipenjara di Lapas Porong Surabaya Jawa Timur, juga mengungkapkan
penyesalannya di depan publik yang diliput media massa. Pria keturunan Arab yang digambarkan
sebagai “orang berbahaya” ini menangis dan menyesali apa yang telah dia lakukan dalam aksi
Bom Bali, 10 Oktober 2002 (Balipostvideo, 2012).
Untuk menunjukkan bahwa meninggalkan jalan teror benar-benar dilaksanakan, subyek
utama melakukan hal-hal yang memperkuat persepsi publik tentang keputusan mereka. Misalnya,
NA, AA, dan AI menghabiskan waktunya untuk memberikan penyadaran kepada rekan-rekan dan
mantan anak buahnya di Jamaah Islamiyah melalui program deradikalisasi yang diselenggarakan
oleh Mabes Polri dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (Tim Penulis Lazuardi Birru,
2010; 2011). Sementara UP menunjukkannya dengan ikut apel bendera Harkitnas di Lapas
Porong Sidoarjo Jawa Timur (Syafidri, 2015).
Fakta ini tentu saja mengagetkan banyak pihak, penyesalan beberapa teroris pelaku bom
Bali atas keterlibatan mereka dalam aksi teror menyisakan keraguan dan pertanyaan di tengah
masyarakat. Benarkah mereka menyesali keterlibatannya dalam aksi teror? Keraguan ini
beralasan karena aksi teror seolah-olah tidak pernah selesai walaupun aparat keamanan terutama
Densus 88 Mabes Polri telah melakukan penangkapan besar-besaran, bahkan menembak mati
sebagian pelaku teror yang melakukan perlawanan.
Hal itu menjelaskan mengapa muncul adigium “terorist is terrorist” (Horgan & Bjorgo,
2009) yaitu keyakinan sebagian orang bahwa pelaku teror tidak mungkin bertobat atau kembali
ke jalan normal. Selain itu, banyak juga pendapat berlawanan yang mengatakan bahwa menjadi
teroris bukan karena faktor bawaan melainkan karena multifaktor seperti faktor sosial-politik.
Oleh karena itu, kemungkinan meninggalkan jalan teror pada kaum teroris selalu ada karena
menjadi teroris lebih sebagai respon terhadap persoalan sosial-politik yang kompleks. Pendapat
yang terakhir ini menyatakan bahwa “a terrorist is made not born” (Moghaddam, 2005; 2006;
2007). Pro-kontra seputar kemungkinan teroris meninggalkan jalan teror menimbulkan teka-teki
yang tidak berujung dan perlu dijawab dalam penelitian ini.
Terorisme dan aksi teror dengan segala bentuknya telah berlangsung cukup lama, tetapi
ancamannya terhadap masyarakat dunia sampai saat ini belum berakhir (McCormick, 2003; Levin
& Amster, 2003; Steven & Gunaratna, 2004; Wright, 2010). Hal itu membuat pemegang
kebijakan dan ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu, termasuk Psikologi, secara bersama-sama atau
sendiri-sendiri terdorong melakukan kajian mendalam tentang motivasi terorisme (Levin &
Amster, 2003), guna memahami penyebab terorisme, bagaimana memberantas terorisme dan
menanggulangi dampaknya (Sinai, 2008; Lawal, 2002; Ekici & Sahliyeh, 2009; Jacobson, 2010).
Para ahli berbeda pendapat dalam menanggapi kemungkinan berakhirnya aksi teror.
Misalnya, Jones dan Libicki (2008) berpendapat bahwa semua kelompok teroris akan berakhir
seiring berlalunya waktu. Pertanyaannya: Mungkinkah terorisme berakhir dan bagaimana mereka
akan berakhir? Apakah karena dikalahkan aparat keamanan (polisi dan militer)? Ataukah karena
memperoleh kemenangan? Atau alasan lain? (Jones & Libicki, 2008). Pertanyaan-pertanyaan itu
penting dijawab agar diperoleh gambaran yang jelas dan kongkrit tentang bagaimana seharusnya
menghadapi aksi teror yang marak terjadi akhir-akhir ini.
2
Untuk hal ini, diperlukan upaya keras untuk memahami proses dan dinamika psikologi
dan sosial yang dialami seorang teroris secara individual. Mengapa meninggalkan jalan teror dan
memilih cara-cara non kekerasan untuk mewujudkan cita-cita dan ideologi kelompok adalah
pertanyaan penting yang belum terjawab dengan tuntas sampai saat ini (Jacobson, 2010; Horgan,
2005; 2007; 2008; 2011; Crenshaw, 1981; Borum, 2004; Horgan 2009; Bjorgo, 2009; Ashour,
2008). Mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini terutama dari sisi psikologi diharapkan
akan menjelaskan bagaimana mengakhiri kekerasan dan lambat-laun akan mengurangi –untuk
tidak mengatakan mengakhiri— radikalisme dengan kekerasan.
Terdapat banyak penelitian yang menjelaskan mengapa individu atau kelompok
memasuki terorisme (Hoffman, 2006; Sageman, 2004; 2003; Crenshaw, 1990; Bloom, 2005;
Milla, 2010). Begitupula, peneliti yang menjelaskan mengapa individu atau kelompok bertahan
dalam terorisme (Sprinzak, 2005; Kydd & Walter, 2006). Namun penelitian tentang mengapa
keluar sangat terbatas (Bjorgo, 2009; Horgan& Bjorgo, 2009; Horgan, 2009; Garfinkel, 2007;
Jacobson, 2010). Dari jumlah yang terbatas itu, belum banyak yang dilakukan di Indonesia. Di
antaranya, riset Yayasan Prasasti Perdamaian (Andrie, 2012), Hwang dkk (2013) dan Hwang
(2015). Menurut saya, riset tim YPP tidak menggunakan basis teori Psikologi yang kuat sehingga
tidak tergambar dengan baik dinamika psikologis yang dialami para teroris. Sementara itu, riset
Hwang dkk (2013) dan Hwang (2015) lebih fokus pada peristiwa kekerasan di Poso yang lebih
banyak bernuansa konflik antarkelompok Islam dan Kristen dengan subyek yang bukan prototipe
Jamaah Islamiyah. Kedua riset terakhir meneliti anggota kelompok jihadis yang dibentuk oleh
mantan anggota Jamaah Islamiyah, sedangkan penelitian ini lebih difokuskan pada peristiwa bom
Bali dengan subyek yang benar-benar prototipe anggota Jamaah Islamiyah.
Pentingnya penelitian tentang pilihan meninggalkan jalan teror pada sebagian mantan
narapidana teroris atau narapidana teroris yang masih dipenjara di Indonesia menemukan
relevansi dan momentum yang tepat seiring bertambahnya jumlah individu yang mengungkapkan
penyesalannya berada di jalan teror. Diketahui sebanyak 160-250 mantan narapidana teroris dan
narapidana teroris di penjara-penjara Indonesia telah memilih meninggalkan jalan teror
(wawancara personal dengan tim YPI). Fenomena ini tentu saja menarik dan memerlukan
penjelasan teoritis dari sudut pandang Ilmu Psikologi terutama Psikologi Sosial. Dengan
mengetahui mengapa dan bagaimana para teroris meninggalkan kelompok dan cara kekerasan
diharapkan dapat diperoleh informasi penting tentang bagaimana seharusnya menangani teroris
dan kelompoknya di Indonesia.
Banyak ilmuwan yang sepakat bahwa gerakan terorisme memiliki sifat mendaur-ulang
dirinya sendiri (Fink & Harne, 2008). Ia akan terus mengalami proses patah tumbuh hilang
berganti, atau mengalami metamorfosis, baik secara gerakan maupun secara ideologi
(Salahuddin, 2011). Akibatnya, menurut Fink dan Harne (2008), tidak banyak ilmuwan yang
tertarik dan memberikan perhatian besar terhadap proses atau mekanisme sosial dan psikologi
yang dialami anggota teroris secara individual yang keluar dari jaringan teroris (Fink & Harne,
2008).
Horgan dan Bjorgo (2009) menyebutkan bahwa kurangnya perhatian ilmuwan terhadap
faktor-faktor yang mempengaruhi individu teroris keluar dari kelompok teror atau faktor-faktor
yang mengubahnya menjadi pribadi yang menolak cara-cara kekerasan atau radikal karena
perhatian mereka yang lebih fokus untuk membahas akar penyebab radikalisme. Sebagai
konsekuensinya, sebagian besar energi tertumpah untuk membahasnya. Setidaknya, taktik ini
akan dapat mengurangi jumlah pelaku teroris dan kemungkinan resiko menjadi teroris bagi
individu yang radikal atau tergabung dalam kelompok radikal (Horgan, 2009; Jacobson, 2010).
Dalam Psikologi terorisme terdapat banyak konsep untuk menjelaskan tindakan dan pengalaman
meninggalkan ideologi kekerasan atau perilaku kekerasan, di antaranya adalah konsep
deradikalisasi dan disengagement (Horgan, 2009; Muluk, 2009; Ashour, 2009).
Jumlah penelitian yang mengkaji tentang mekanisme deradikalisasi dan disengagement
belum begitu banyak (Horgan, 2009). Kendati demikian, terdapat banyak program deradikalisasi
yang dijalankan sejumlah pemerintah dari beberapa negara dimana disebutkan bahwa hampir
sebagian besar program deradikalisasi yang ada tidak berlandaskan kepada hasil penelitian
(Horgan, 2009). Perubahan ideologi dan tingkah laku sangat erat kaitannya dengan Ilmu Psikologi
(Ardila, 2002; Baumeister & Finkel., 2010). Oleh karena itu, penelitian psikologi tentang
3
meninggalkan jalan teror sangat diperlukan untuk mengetahui bagaimana dan mengapa
meninggalkan jalan teror terjadi.
Selama ini, deradikalisasi lebih banyak difokuskan pada ideologi melalui metode dialog
atau debat antara subyek program dengan imam atau ustadz yang menguasai ajaran dan ideologi
Islam, tetapi memiliki cara pandang yang moderat (Barret & Bokhari, 2009; Boucek, 2009;
Abuza, 2009; Ashour, 2008). Penekanan deradikalisasi pada perubahan ideologi bisa
menimbulkan biaya dan konsekuensi yang tinggi, apalagi jika ideologi itu bersumber dari ajaran
agama atau kitab suci (Solahuddin, 2010; Ashour, 2009; Horgan, 2009; Amirsyah, 2012). Pada
kasus deradikalisasi ideologi pada kaum jihadis-Islamis, muncul persepsi dan pemahaman di
kalangan Muslim tertentu bahwa deradikalisasi identik dengan deislamisasi (pendangkalan ajaran
Islam) karena ajaran jihad merupakan ajaran penting yang bersumber dari Al-Quran dan Hadis
(Amirsyah, 2012). Maka, bisa dikatakan bahwa ajaran dan perintah berjihad tidak mungkin hilang
dari pikiran kaum jihadis. Pro-kontra tentang kemungkinan menghilangkan ideologi negara Islam
dan semangat jihad masih menjadi pertanyaan banyak pihak yang belum terjawab sampai saat ini.
Sejumlah studi menunjukkan bahwa keberhasilan melepaskan individu dari kelompok
dan aksi terorisme tidak selalu melalui program deradikalisasi (Milla, 2011; Horgan, 2008; Bjorgo
& Horgan, 2008). Individu yang mengikuti program dalam masa penahanan mungkin
menunjukkan kerjasama yang sangat baik agar dapat segera keluar dari penjara (Milla, 2011).
Jadi, keterlibatan dalam program deradikalisasi hanya digunakan sebagai taktik agar bisa segera
keluar dari penjara.
Setelah mereka bebas, diperlukan insentif yang lebih kuat agar dapat menahan mereka
kembali dalam aksi (lebih bersifat tingkah laku). Hal ini dapat menjelaskan mengapa santunan
ekonomi lebih banyak menunjukkan hasil dibandingkan program counter-ideology (Jhonson,
2009, Muluk, 2009; Morris, 2010; Horgan & Braddock, 2010; Milla, 2011). Selain santuan
ekonomi, program yang bersifat rehabilitasi sosial-politik cenderung menunjukkan hasil yang
baik (Jones & Libicki, 2008; Reinares, 2011; Ashour, 2009). Itu semuanya menyangkut faktor
dari luar diri pelaku teror. Lantas, adakah faktor dari dalam diri sendiri pelaku teror seperti rasa
bersalah dan penyesalan seperti yang diperlihatkan AI, UP dan AA sebagai pendorong kuat dalam
meninggalkan jalan teror?
Beberapa peneliti telah melakukan studi tentang meninggalkan jalan teror misalnya
Horgan (2009), Bjorgo (2009), Jacobson (2009), Garfinkel, (2007) Demant & Graaf, (2010),
Reinares (2011), Disley, Weed, Reding, Clutterback, & Warnes (2012), Kruglanski, Gelfand dan
Gunaratna, (2011), Kruglanski dan tim (2014) dan Hwang (2015). Ditemukan bahwa faktor fisik
dan psikologis menjelaskan kenapa seorang teroris atau radikal meninggalkan jalan kekerasan.
Faktor fisik berkaitan dengan perubahan peran di dalam organisasi termasuk pemenjaraan oleh
aparat keamanan, sedangkan faktor psikologis berkaitan dengan perasaan kecewa terhadap
berbagai hal dan dinamika yang terjadi di dalam kelompok (Horgan, 2009). Penelitian lain oleh
Bjorgo (2009) dan Jacobson (2009) menemukan bahwa hal-hal negatif dan tidak mengenakkan
yang terjadi di dalam kelompok menjadi penyebab meninggalkan jalan teror dan dianggap sebagai
faktor pendorong, dan ada pula hal-hal positif yang menyenangkan di luar kelompok dianggap
sebagai daya tarik untuk keluar dari jalan teror. Bjorgo menyebutnya sebagai faktor penarik
(Bjorgo, 2009; Jacobson, 2010).
Peneliti lain seperti Demant dan Graaf (2010) melihat dari sisi lain, yaitu dari sisi
komitmen. Penelitian Demant dan Graaf (2010) menyimpulkan bahwa pilihan meninggalkan
jalan teror berkaitan dengan sejauhmana komitmen seorang pelaku teror atau seorang radikal
terhadap kelompok dan ideologi yang diperjuangkan. Jika komitmen menurun atau menghilang
maka pilihan meninggalkan kelompok dan jalan teror tidak terelakkan terjadi dalam waktu yang
tidak lama. Sedangkan Reinares (2011) menyimpulkan bahwa deradikalisasi dan disengagement
berhubungan dengan persepsi personal terhadap berbagai perubahan sosial dan politik yang
terjadi pada tingkat negara, dinamika kelompok dan pengalaman yang dialami setiap individu
selama menjadi aktivis kelompok ekstrim.
Disley dkk (2012) menemukan bahwa intervensi tertentu seperti program deradikalisasi
dan disengagement yang dirancang secara khusus merupakan faktor penting yang bisa
menjelaskan kenapa meninggalkan jalan teror. Sedangkan Kruglanski dkk (2011; 2014) melihat
bahwa deradikalisasi dan disengagement bisa dijelaskan dengan melihat faktor motivasi pelaku
4
teror terutama yang berkaitan dengan kebermaknaan diri. Jika makna dan kebermaknaan diri telah
diraih maka besar kemungkinan deradikalisasi dan disengagement terjadi (Kruglanski A. W.,
Gelfand, Belanger, Shaveland, Hetiarachchi, & Gunaratna, 2014).
Ditegaskan oleh Kruglanksi dkk (2014) bahwa keberhasilan meraih makna dan
kebermaknaan merupakan motivasi terbesar mengapa meninggalkan jalan teror. Dugaan peneliti,
hal ini justeru tidak terjadi pada kasus teroris Indonesia yang memutuskan meninggalkan jalan
teror. Ada motivasi lain yang menggerakkan mengapa mereka meninggalkan jalan teror. Oleh
karena itu, motivasi apa yang mendorong para teroris dan radikal di Indonesia memilih
meninggalkan jalan teror penting untuk diketahui. Penulis menduga rasa bersalah merupakan
faktor pendorong meninggalkan jalan teror pada pelaku teror dari kalangan anggota Jamaah
Islamiyah Indonesia. Hal ini hemat penulis belum pernah disinggung oleh para peneliti
deradikalisasi dan disengagement sebelumnya.
Ditekankan oleh Kruglanski dkk (2011) dan Kruglanski dkk (2014) bahwa persepsi
individu terhadap jihad juga bisa menjelaskan apakah ia telah meninggalkan jalan teror dan
ideologi berbasis kekerasan. Jika jihad tidak lagi dijadikan sebagai satu-satunya alat mencapai
tujuan kelompok maka deradikalisasi dan disengagement telah terjadi, misalnya cara damai
seperti dakwah (Kruglanski, Chen, Dechesne, Fishman, & Orehek, 2009; Kruglanski, Gelfand, &
Gunaratna, 2011; Kruglanski, Gelfand, Belanger, Shaveland, Hetiarachchi, & Gunaratna, 2014).
Kruglanski dkk (2014) dan Jacobson (2010) juga menyimpulkan bahwa faktor proses sosial atau
dinamika sosial yang meliputi individu berpengaruh besar terhadap pilihan meninggalkan jalan
teror. Misalnya, interaksi dan dialog dengan pihak eksternal di luar kelompok (Jacobson, 2010;
Hwang, 2015). Bagaimana dengan pelaku teror di Indonesia? Apakah faktor-faktor itu berperang
dalam proses meninggalkan jalan teror?
Mengetahui sejauhmana persepsi dan keyakinan terhadap ideologi penting dilakukan
untuk menetapkan apakah seorang pelaku teror telah berjarak dengan radikalisme atau justeru
semakin mendekat (Kruglanski A. W., Gelfand, Belanger, Shaveland, Hetiarachchi, & Gunaratna,
2014). Sikap dan pandangan terhadap jihad bisa menggambarkan apakah seseorang masih
bertahan dalam radikalisme atau beralih menuju sikap moderat (Kanruglanski dkk, 2014;
Jacobson, 2010; Milla, 2011).
Jihad adalah kendaraan untuk mencapai cita-cita penegakan daulah Islamiyah atau negara
dengan sistem khilafah (Abbas, 2005; Ali, 2006; Abuza, 2007; 2009; Golose, 2010). Tanpa jihad
seorang pejuang yang menegakkan negara Islam tidak bisa disebut jihadis atau kaum mujahid
(Ashour, 2008). Pelekatan label jihadis atau kaum mujahidin terhadap kelompok yang
mengklaim memperjuangkan terwujudnya cita-cita negara Islam atau sistem khilafah menjadi hal
yang lumrah (Ashour, 2008; Azuzi, In press; Gunaratna & Ali, 2009). Bahkan kerapkali indikator
radikalisme Islam dikaitkan dengan sejauhmana dan bagaimana jihad dipersepsi dan diyakini
(Chusniyah, 2012; Hafez, 2006; Kruglanski, 2013; Kruglanski, Gelfand, & Gunaratna, 2011;
Kruglanski A. W., Gelfand, Belanger, Shaveland, Hetiarachchi, & Gunaratna, 2014).
Hal itu karena sejatinya jihad bukan hanya bermakna al-qital (berperang) tetapi bermakna
lain yang lebih luas dan berkonotasi positif seperti cara-cara damai untuk mencapai sesuatu yang
mulia. (Al-Hadlaq, 2011; Al-Makhzumi, Tanpa Tahun; Ghazali, 2011; Azuzi, In press). Cara
memahami jihad dalam konotasi damai tanpa kekerasan inilah yang disebut dengan faham
moderasi Islam yang melahirkan kaum muslim moderat (Abuza, 2009; Al-Hadlaq, 2011; Ashour,
2011; Pranowo, 2011; Kruglanski A. W., et al., 2014). Perubahan cara memahami jihad dari
domain kekerasan menuju domain kedamaian dan tanpa kekerasan atau perubahan dari kutub
Islam radikal menuju kutub Islam moderat dianggap komponen penting dalam proses
deradikalisasi dan disengagement (Kruglanski A. W., Gelfand, Belanger, Shaveland,
Hetiarachchi, & Gunaratna, 2014; Ashour, 2009). Inilah poin penting yang perlu diketahui dari
para jihadis untuk memastikan terjadinya proses meninggalkan jalan teror, yaitu apakah ada
perubahan atau perbaikan pemahaman tentang jihad (Azuzi, in press; Ashour, 2009).
Dengan demikian, pertanyaan penting yang perlu diajukan terkait para jihadis
meninggalkan jalan teror adalah bagaimana keyakinan mereka terhadap jihad, penegakan daulah
Islam dan hal-hal yang terkait dengannya. Apakah mereka masih tetap memahami jihad sebatas
al-qital (berperang) saja ataukah telah bergeser seperti keyakinan dan pemahaman umat Islam
mainstream?
5
Sejumlah penelitian seperti penelitian Bjorgo (2009), Gafinkel (2009), Jacobson (2009),
Reinares (2011), Kruglanski dkk (2014) dan Hwang (2015) menekankan pentingnya pengaruh
komponen proses sosial terhadap pilihan meninggalkan jalan teror. Dengan merujuk kepada
temuan penelitian pada ranah radikalisasi dan keterlibatan dalam jaringan teror, Moghaddam
(2007) dan Sageman (2004) juga menduga bahwa proses dan dinamika sosial yang melingkupi
teroris dan kaum radikal turut memberikan kontribusi terhadap proses deradikalisasi dan
pencegahan terorisme.
Mirahmadi & Farooq (2010) juga menekankan bahwa deradikalisasi berbasis sosial atau
komunitas diperlukan untuk mempersempit ruang gerak kaum radikal dalam menyebarkan
pemahaman keagamaan yang radikal dan ekstrim di tengah masyarakat. Oleh karena itu, perlu
diketahui bagaimana dinamika relasi sosial berperan dalam proses meninggalkan jalan teror di
Indonesia?
B. Pertanyaan Penelitian
Dari uraian di atas dan telaah literatur penelitian tentang deradikalisasi dan
disengagement di Indonesia, terdapat banyak masalah penelitian yang belum terjawab tentang
mengapa para teroris meninggalkan jalan teror. Inilah pertanyaan pokok yang hendak dijawab
dalam penelitian disertasi ini. Selain itu, tentu saja terdapat sejumlah pertanyaan turunan dari
pertanyaan pokok terutama menyangkut motivasi individual meninggalkan jalan teror, sikap dan
persepsi terhadap jihad serta dinamika psiko-sosial atau proses sosial yang dialami para subyek
penelitian. Semua itu akan dibuat dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan dan akan dicoba untuk
dijawab dalam disertasi ini. Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah:1)Bagaimana pelaku teror di
Indonesia meninggalkan jalan teror? 2)Bagaimana rasa bersalah mendorong proses
meninggalkan jalan teror? 3)Bagaimana pelaku teror di Indonesia memahami jihad dan
kaitannya dengan konteks waktu dan tempat? 4) Bagaimana faktor personal, organisasi dan
sosial mendorong pelaku teror di Indonesia dalam meninggalkan jalan teror? 5) Bagaimana
dinamika relasi sosial berperan dalam proses meninggalkan jalan teror ?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut: 1) Memberikan sumbangan baru dalam
pengembangan teori psikologi terorisme, khususnya yang berkaitan dengan meninggalkan jalan
terorisme (deradikalisasi dan disengagement). 2) Mengetahui faktor psikologis dan sosial yang
mempengaruhi pilihan meninggalkan jalan teror (deradikalisasi dan disengagement) pada pelaku
teror dan anggota organisasi radikal di Indonesia.
D. Tinjauan Literatur
Pengertian Meninggalkan Jalan Teror Paling tidak ada dua konsep yang kerapkali digunakan para peneliti untuk menjelaskan
makna meninggalkan jalan teror yaitu deradikalisasi dan disengagement. Deradikalisasi adalah
meninggalkan jalan teror secara kognitif yaitu meninggalkan ideologi yang menjadi basis hidup
dan perjuangannya dalam meraih tujuan pribadi dan kelompok dari alam pikirannya.
Disengagement adalah meniadakan cara-cara kekerasan dan beralih ke jalan damai dalam
mewujudkan tujuan kelompok walaupun dengan tetap menganut ideologi itu (Horgan, 2009;
Bjorgo, 2009).
Deradikalisasi
Secara kebahasaan, deradikalisasi adalah anonim dari radikalisasi. Dalam kamus
sosiologi disebutkan bahwa radikalisme berasal dari kata radices yang berarti: “a concerted
attempt to change the status quo (Jary & Jary, 1991). Disebutkan oleh Horgan (2009) dan
Garfinkel (2007) bahwa upaya perubahan selalu melibatkan mekanisme psikologis dan sosial
tertentu. Hal itu sebagaimana disebutkan Jary dan Jary (1991), Moghaddam (2006) dan
Choudhury (2009) karena radikalisasi adalah proses psikologis dan sosial di mana kepercayaan
terhadap suatu sistem bernegara menurun tajam.
Ashour (2009) memberikan tiga point penting yang bisa menjelaskan deradikalisasi yaitu
perubahan cara memahami ideologi, penolakan terhadap cara-cara kekerasan dan lebih banyak
6
menerima keragaman (deradikalisasi ideologi, deradikalisasi tingkah laku, dan deradikalisasi
organisasi.
Kisah tentang Ed Husein seorang anak muda Muslim kelahiran Inggris yang menjadi
seorang Muslim fundamentalis pada usia 16 tahun menguatkan hal itu. (Husein, 2007). Kembali
kepada moderasi Islam atau kembali menjadi Muslim moderat adalah esensi dari deradikalisasi
atau disengagement dalam perspektif teori Significance Quest dari Kruglanski (2004) dan
Kruglanski dkk (2014) Ashour (2003). Pengalaman Husein yang tertuang dalam buku “The
Islamist” dapat memberikan pemahaman dan dugaan kuat bahwa sikap dan cara pandang
keagamaan seseorang bersifat dinamis dan bisa berubah (Husein, 2007).
Keinginan terhadap perubahan radikal bisa terjadi melalui cara damai maupun cara keras.
Banyak pihak beranggapan keinginan terhadap perubahan radikal adalah keinginan yang normal,
sebaliknya perubahan radikal yang menggunakan cara-cara teror dan kekerasan dikategorikan
tidak normal (Sinai, 2008; Bongar, et.al, 2007). Kekerasan berbasis radikalisasi mencakup sikap
dan tingkah laku yang terkait kekerasan politik (Choudhury, 2009; Al-Asymawy, 2004).
Kekerasan pada ranah tingkah laku bermula dari kekerasan pemikiran dan kognitif )Smelser,
2007)
Tingkah laku bermula dari pikiran, Para psikolog sosial percaya bahwa sikap dapat memprediksi
tingkah laku (Prisilia & Crano, 2008), baik secara langsung maupun secara tidak langsung (Ajzen,
2005; Prisilia & Crano, 2008). Ajzen dkk misalnya menyatakan bahwa sikap dapat memprediksi
tingkah laku melalui perantara variabel lain, misalnya intensi (Ajzen, Brown, & Carvajal, 2004;
Ajzen, 2005). Fazio dkk (1990) menyimpulkan bahwa jika sikap diaktifkan dengan motivasi dan
kapasitas kognitif yang memadai maka sikap akan dapat memprediksi tingkah laku sehingga
terjadi konsistensi antara sikap dan tingkah laku (Ajzen, 2005).
Dalam konteks terorisme, seorang biasa menjadi pelaku teror dan kekerasan diawali dari
proses radikalisasi pemikiran yang berkombinasi dengan multifaktor seperti solidaritas dan
persepsi ketidakadilan (Moghaddam, 2006; Milla, Faturochman, & Ancok, 2012; Talbot, In press;
Chusniyah, 2012; Kruglanski, 2014). Kondisi sebaliknya bisa juga terjadi yaitu perubahan dari
seorang teroris menjadi orang yang bukan teroris atau orang biasa (Garfinkel, 2007) atau paling
tidak dalam posisi meninggalkan jalan teror walaupun ideologi terkait tetap dianut di dalam
pikiran mereka (Horgan, 2008; 2009; 2011; Bjorgo & Horgan, 2009).
Terkait itu, para ahli sepakat bahwa sikap dapat berubah karena dinamis dan hasil proses
belajar (Maio &Haddock, 2007) termasuk terkait ideologi kekerasan menjadi ideologi
perdamaian dan sikap positif terhadap keragaman (Garfinkel, 2007; Jhonson, 2009; Jacobson,
2010). Garfinkel (2007) membuktikan hal itu penelitian kualitatif tentang transformasi personal
pada sejumlah tokoh agama Islam dan Kristen di Nigeria Afrik aatau penelitian Jacobson (2010)
mengenai sejumlah individu pelaku teror yang memilih meninggalkan jalan teror.
Isu tentang perubahan sikap dan tingkah laku merupakan tema penting dalam psikologi,
bahkan dianggap sebagai tugas inti dari Ilmu Psikologi (Prislin & Crano, 2008; Maio & Haddock,
2007). Dalam kajian psikologi terorisme, deradikalisasi dan disengagement seperti yang
dilakukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) adalah upaya persuasif mengubah
sikap radikal menjadi sikap yang moderat (BNPT, 2013; Boucek, 2011; Ashour, 2011; Garfinkel,
2007; Jhonson, 2009).
Deradikalisasi dianggap juga sebagai suatu proses tranformasi spiritual atau konversi
keagamaan (Garfinkel, 2007; Hood, Hill, & Spilka, 2009; Paloutzian & Park., 2005).
Transformasi meliputi reorientasi pandangan dan arah pemikiran tetapi tidak otomatis
menimbulkan perubahan struktur kepribadian dasar (Garfinkel, 2007). Ungkapan “sekali menjadi
teroris tetap menjadi teroris” yang kerapkali disampaikan dalam berbagai forum semakin kuat
menunjukkan pesimisme masyarakat terhadap kemungkinan perubahan pada individu-individu
teroris, kaum radikal dan ekstrimis (Bjorgo dan Horgan, 2009).
Dalam konteks Indonesia, kesimpulan sementara ini diperkuat pula oleh fakta historis
tentang DI/TII yang menunjukkan bahwa ideologi jihad atau ideologi penegakan negara Islam
atau ideologi penegakan sistem pemerintahan khilafah tidak hilang, tetapi mengalami
metamorfosis atau penyesuaian waktu, atau bisa juga bersinergi dengan ideologi yang lain.
Misalnya, metamorfosis atau sinergi ideologi NII dengan ideologi salafi jihadi seperti yang terjadi
pada kasus Abdullah Sungkar, ABB dan tokoh kelompok garis keras lainnya (Ramakrishna, 2005;
7
2009; Jacobson, 2010; Solahudin, 2011; Baidlowi, 2011; Helmy, 2011; Thaha, 2011). Tetapi
kenyataan menunjukkan bahwa individu yang terlibat dalam aksi teror pada akhirnya tidak lagi
melakukannya dan bahkan memutuskan untuk meninggalkan jalan kekerasan dan teror selama-
lamanya (Bjorgo & Horgan, 2009; Pranowo, 2011).
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menggunakan dan rehabilitasi dan
mendefinisikannya sebagai upaya sistematis untuk melakukan perubahan orientasi ideologi
radikal dan kekerasan kepada orientasi ideologi inklusif, damai dan toleran serta melakukan
pembinaan keagamaan, kepribadian, dan kemandirian kepada teroris termasuk keluarganya
(BNPT, 2013). Mengapa keluarga? Berdasarkan telaah Sagemen (2004) dan Solahudin (2011)
tentang jaringan teroris ditemukan bahwa regenerasi ideologi ekstrim terjadi di antara ayah dan
anak atau bahkan cucu.
Tahap selanjutnya adalah reedukasi .Penekanan reedukasi adalah penguatan pemikiran,
pemahaman, sikap moderat dan terbuka dengan memberikan pencerahan mengenai ajaran agama
dan kebangsaan serta nilai-nilai kedamaian dan toleransi (BNPT, 2013). Tahap terakhir adalah
resosialisasi yaitu upaya pembinaan yang integratif untuk membaurkan wbp teroris dan mantan
wbp teroris serta keluarga agar dapat hidup dengan masyarakat berdasarkan nilai dan tatanan
hidup bermasyarakat yang baik, saling menghargai dan penuh kedamaian. (BNPT, 2013).
Disengagement
Disengagement adalah proses menghentikan aktivitas teror. Disengagement tidak selalu
berarti perubahan ideologi atau keyakinan. Menurut Horgan dan Altier (In press) disengagement
berbeda dengan proses deradikalisasi walaupun kadang-kadang keduanya saling berkaitan.
Individu bisa saja meninggalkan terorisme tanpa harus mengalami deradikalisasi dan
penghapusan ideologi kekerasan.
Reinares (2011) menguatkan pendapat itu melalui penelitian kualitatif terhadap 35 orang
mantan anggota ETA. Keduanya bisa terjadi secara terpisah. Disengagement merupakan proses
yang kompleks menyangkut sosial dan psikologis yang dapat membantu kita memahami proses
deradikalisasi dan mengandung inisiatif counter-terrorism, (Horgan, 2009; Jhonson, 2009) yang
dapat diterapkan dalam mencegah masuknya individu potensial ke dalam jaringan kelompok
teror. Menurut Horgan (2009) dan Bjorgo (2009), disengagement lebih penting daripada
deradikalisasi.
Hasil wawancara Horgan (2009) yang dilakukan sejak tahun 2006 sampai tahun 2008
menemukan bahwa hampir sebagian besar mantan teroris lebih tepat bila dianggap sebagai
individu-individu yang mengalami disengagement dibanding sebagai individu-individu yang
mengalami deradikalisasi. Hampir sebagian besar dari mereka sulit untuk mengubah ideologi
jihad karena ajaran jihad sendiri memiliki dasar yang kuat di dalam Al-Quran. Kerapkali muncul
anggapan bahwa meolak atau menegasikan jihad berarti keluar dari Islam (Imron, 2010; Sarwono,
2012; Amirsyah, 2012).
Menjauhkan seseorang dari lingkungan sosial tertentu yang relevan merupakan langkah
penting untuk mencegah keterlibatannya dalam aksi kekerasan atau aksi teror di masa yang akan
datang. Dalam kajian psikologi sosial yang paling awal disebutkan bahwa tingkah laku manusia
dipengaruhi oleh dua determinan penting yaitu faktor kepribadian dan faktor lingkungan. Para
ahli psikologi sosial seperti Kurt Lewin sepakat bahwa lingkungan sosial kerapkali lebih kuat
pengaruhnya dibandingkan kepribadian (Reis, 2010).
Tentu yang dimaksudkan dengan lingkungan sosial di sini adalah lingkungan kelompok
yang kohesif sebagaimana pendapat Baumeister (2010) yang menyebutkan bahwa seseorang yang
menjadi anggota kelompok yang kohesif bisa jadi akan mengalami deindividuasi yaitu gejala
meleburnya jiwa individu ke dalam jiwa kelompok sehingga dalam situasi seperti ini individu
tidak lagi bisa mempertahankan pikiran dan perasaannya yang unik. Konsekuensinnya, seseorang
bisa terpengaruh oleh gejala groupthink atau termotivasi untuk bergabung dalam kekerasan
massal atau kekerasan yang dilakukan banyak orang (Baumeister, 2010) termasuk di antaranya
adalah terjebak dalam aksi teror sebagaimana klaim AI mengenai keterlibatannya dalam aksi Bom
Bali 2 (Imron, 2010).
Menurut Baumeister (2010), motivasi anggota kelompok untuk terlibat dalam berbagai
aktivitas kelompok termasuk aktivitas yang buruk dan jahat dapat dilihat dari dua pendekatan
8
yaitu pendekatan yang menekankan proses dalam kelompok dan pendekatan yang menekankan
proses antarkelompok. Dalam perspektif yang pertama seseorang yang menjadi anggota
kelompok merasa harus menemukan cara-cara tertentu agar bisa diterima dan dianggap sama oleh
anggota kelompok yang lain. Kerapkali kelompok mempersyaratkan anggotanya untuk berlaku
sama atau bertindak sama dengan yang lain sehingga dicapai kesesuaian dan kecocokan.
Perspektif yang kedua menekankan bagaimana individu melakukan identifikasi diri yang kuat
dengan kelompoknya sebagai modal atau dasar dalam berinteraksi dengan anggota kelompok lain.
Anggota kelompok biasanya akan memperlihatkan loyalitas dan komitmen kepada kelompok
yang bersaing, berprasangka dan bahkan memusuhi kelompok lain (Baumeister, 2010).
Anggota kelompok biasanya juga berbagi emosi yang sama tentang anggota kelompok
lain atau kelompok lain terutama jika ada sejarah persaingan atau sejarah kerjasama yang
berlangsung di antara kelompok-kelompok yang terlibat. Sejauhmana individu dalam
kapasitasnya sebagai anggota kelompok tertentu mengalami dan mengekspresikan emosi
terhadap kelompok lain atau anggota kelompok lain maka emosi semacam itu dapat disebut
sebagai emosi berbasis kelompok atau emosi berbasis antarkelompok (Manstead, 2010).
Pikiran dan emosi yang berbasis kelompok ini akan berakhir manakala seseorang menarik
diri atau ditarik dari lingkaran kelompok yang mempengaruhinya, kemudian dimasukkan ke
dalam lingkaran pengaruh lain yang berbeda. Turner dkk (2006) menyebut hal itu sebagai akibat
dari kecenderungan konformitas yang dialami individu ketika berada dalam kelompok. Walaupun
di saat yang sama di dalam kondisi pengaruh kelompok, individu bisa saja memperlihatkan
independensinya atau persepsi otonomi untuk memilih kelompok lain dan keluar dari kelompok
pertama.
Barelle (in press) menggunakan nalar dalam kriminologi dalam melihat proses
meninggalkan jalan teror. Menurutnya, jika ekstrimisme kekerasan dilihat sebagai suatu kejahatan
dan meninggalkan jalan teror terjadi sebagai akibat dari penangkapan maka deradikalisasi dan
reintegrasi sosial merupakan bidang rehabilitasi. Dengan demikian, saya menyimpulkan bahwa
meninggalkan jalan teror mengandung dua dimensi yaitu dimensi meninggalkan terorisme secara
kognitif atau secara ideologi (deradicalization) dan meninggalkan kekerasan (disengagement).
Model Meninggalkan Jalan Teror
Model Pendorong dan Penarik
Faktor pendorong adalah hal-hal negatif dan tidak mengenakkan di dalam kelompok
sedangkan faktor penarik adalah peluang atau kekuatan sosial yang menarik dan lebih
menjanjikan di luar lingkungan kelompok. (Bjorgo (2006; 2009) Model dari Bjorgo ini
sebenarnya model yang jamak digunakan dalam bidang ilmu sosial, misalnya model dari Cronin
(2009) yang menggunakan penjelasan sosiologis untuk melihat fenomena kehancuran kelompok
teroris.
Pertama, terbunuhnya atau tertangkapnya pemimpin kelompok oleh pemerintah atau
penguasa. Kedua, kegagalan kelompok dalam melaksanakan proses dan mekanisme transisi pada
generasi muda. Ketiga, tercapainya tujuan kelompok. Misalnya, pada kasus ETA (Reinares,
2011). Keempat, transisi menuju suatu transisi politik yang legitimate. Misalnya, kasus Gerakan
Aceh Merdeka (GAM) Kelima, kehilangan dukungan dari rakyat atau publik karena rakyat atau
publik adalah pihak yang hendak diperjuangkan. Keenam, tindakan represif dari aparat keamanan,
misalnya pada kasus Jamaah Islamiyah di Indonesia. Ketujuh, pengalihan bentuk kekerasan dari
terorisme ke bentuk kekerasan lainnya.
Model Psikologis dan Fisik
Menurut Horgan (2009) ada dua faktor yang mempengaruhi individu meninggalkan jalan
teror, yaitu faktor psikologi dan faktor fisik. Faktor psikologis umumnya berkaitan dengan
kekecewaan anggota kelompok terhadap banyak tingkah laku atasan atau rekan sejawat yang
tidak senonoh dan tidak sopan, sedangkan faktor fisik diwakili oleh penangkapan, pemenjaraan,
dan kematian.
Horgan (2009) menyebutkan bahwa faktor psikologi terdiri dari: Pertama, perasaan kecewa
karena ketidaksesuaian antara cita-cita dan mimpi awal dengan kenyataan di lapangan. Ada
kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Kedua, kekecewaan karena adanya ketidaksepakatan
9
internal mengenai isu-isu taktis. Ketiga, kekecewaan karena perbedaan strategi, politik dan
ideologi di dalam internal kelompok teroris. Keempat, pengalam burn-out. Kelima, perubahan
dan pertentangan prioritas personal seperti menikah, memiliki anak, menjadi semakin berumur
atau semakin tua (Horgan, 2009; 2011; Fink & Hearne, 2008; Garfinkel, 2007; Ebaugh, 1988).
Selain faktor psikologis, terdapat faktor fisik yang juga turut memberikan kontribusi
terhadap keputusan atau pilihan seorang teroris dan radikal meninggalkan kelompok atau
meninggalkan cara-cara kekerasan dan teror yang menjadi strategi kelompok. Horgan (2009)
menggambarkan faktor fisik sebagai faktor di mana perubahan peran seseorang terjadi dalam
suatu organisasi teroris. Berpindah dari posisi sebagai pelaku langsung dalam aksi teror kepada
jabatan atau posisi pelengkap merupakan kejadian yang umum terjadi pada jaringan teroris sesuai
dengan temuan wawancara Horgan dengan para teroris dan para pendukung teroris.
Model Komitmen
Demant et.al (2008) mencoba menggunakan konsep komitmen organisasi dari Allen &
Meyer (1990) untuk menjelaskan proses dan dinamika disengagement dari aksi teror. Menurut
mereka, ada tiga faktor yang memberikan sumbangan terhadap disengagement individu yaitu
faktor normatif, faktor afektif, dan faktor kontinyuan (Choudhury, 2009; Harris, 2010; Meyer &
Allen, 1997).
Kenapa komitmen? Itu karena komitmen mengandung intensi untuk bertahan dalam aksi
atau kelompok. Oleh karena itu, kelompok teroris akan berusaha membangkitkan komitmen yang
tinggi agar anggota tetap bertahan di dalam kelompok dan tidak memiliki keinginan keluar
(Meyer & Allen, 1991; Choudhury, 2009; Harris, 2010) Berdasarkan logika itu, komitmen yang
rendah atau yang hilang sama sekali bisa menjelaskan kenapa seorang anggota teroris
meninggalkan terorisme (Choudhury, 2009; Harris, 2010)
Model Struktural, Organisasi dan Personal
Reinares (2011) menyimpulkan dari hasil penelitiannya tentang para teroris kelompok
ETA bahwa faktor penyebab meninggalkan jalan teror terdiri dari 3 yaitu faktor struktural, faktor
organisasi dan faktor personal. Reinares (2011) juga menggaribawahi bahwa konsep penting yang
menghubungkan antara faktor struktural dan faktor organisasi di satu sisi dengan deradikalisasi
dan disengagement di sisi lain adalah persepsi subyektif dari para teror
Model Fisik, Psikologis, Sosial dan Intervensi
Dengan metode REA (Rapid Evidence Assessment) pada sejumlah kelompok ekstrim,
gang anak jalanan, sekte kultus keagamaan, kelompok esktrim sayap kanan (right wing extrimist)
dan kelompok kejahatan terorganisir, Disley dkk (2012) menemukan 6 faktor yang mempengaruh
disengagement, yaitu ikatan sosial yang positif terutama dengan pihak luar, kematangan
psikologis dan perubahan dalam prioritas hidup, rasa kecewa terhadap hal-hal yang berkaitan
dengan kelompok dan ideologi, pekerjaan dan pendidikan, serta pengalaman burnout (Horgan,
2009; Bjorgo, 2009; Garfinkel, 2009). Temuan Disley dkk menunjukkan pada kelompk teroris
Islam yang dipengaruhi Al-Qaida, faktor pekerjaan/pendidikan dan burnout tidak mempengaruhi
disengagement, sedangkan pada kelompok street gang perubahan peran dan burnout sama sekali
tidak menjadi pendorong disengagement (Jacobson, 2010). Temuan berbeda diperoleh pada kasus
kelompok kultus keagamaan. Hampir keenam faktor tersebut mempengaruhi disengagement pada
anggota-anggotanya, sedangkan pada kelompok ekstrimis sayap kanan, hanya faktor rasa kecewa
yang tidak mempengaruhi disengagement dan pada kelompok penjahat terorganisir, pengalaman
burnout merupakan satu-satunya yang mempengaruhi (Bjorgo, 2009; Demant dkk, 2009).
Melalui tehnik tertentu maka diperoleh pada mulanya tiga komponen model
meninggalkan kelompok ekstrim dan luar biasa yaitu komponen fisik, komponen psikologis, dan
komponen sosial. Oleh karena banyak literatur yang membahas tentang program deradikalisasi
dan disengagement di berbagai negara tetapi belum dimasukkan sebagai faktor penyebab
meninggalkan jalan teror maka tim Disley memasukkannya sebagai faktor keempat di luar faktor
fisik, psikologis dan sosial (Disley dkk, 2012). Pertanyaan menarik muncul, kenapa intervensi
dalam bentuk program deradikalisasi dan disengagement belum dianggap sebagai faktor penentu
perubahan personal pada kaum teroris? Hal itu disebabkan karena banyak peneliti yang
10
meragukan keberhasilan program tersebut disebabkan adanya kesulitan dalam menentukan
tingkat keberhasilannya (Horgan, 2009)
Model Motivasi, Ideologi dan Proses Sosial
Kruglanski dkk (2014) membuat model radikalisasi dengan tiga komponen penting yaitu
komponen motivasi terutama terkait quest for significance, komponen ideologi, dan komponen
proses sosial atau dinamika sosial. Motivasi yang dimaksudkan di sini lebih menekankan pada
pencarian makna personal yang mengarahkan seseorang dalam mencapai tujuan, sedangkan
komponen ideologi merupakan alat untuk meraih kebermaknaan dan komponen proses sosial atau
dinamika sosial terkait dengan siapa seseorang berbagi kekerasan, mendapatkan justifikasi
ideologi dan bagaimana memprosesnya untuk meraih tujuan
E. Metode Penelitian
Pendekatan Penelitian Peneliti memandang bahwa pendekatan kualitatif adalah pendekatan paling tepat dan
relevan yang bisa digunakan dalam penelitian in. Hal itu karena tema penelitian ini yaitu
deradikalisasi dan disengagement adalah tema yang langka dan sulit serta tidak banyak dialami
oleh banyak teroris termasuk di Indonesia.
Disain Penelitian
Penulis memilih disain grounded theory sebagai disain penelitian dengan beberapa
alasan: Pertama, penelitian tentang meninggalkan jalan teror ini berkaitan dengan proses sosial
atau aksi sosial dengan penekanan pada pertanyaan: apa yang terjadi dan bagaimana orang-orang
saling berhubungan satu sama lain. (Charmaz, 2006; Sbaraini, Carter, Evans, & Blinkhorn, 2011).
Kedua, penelitian ini dimaksudkan untuk menemukan dan mengembangkan suatu teori
yang menjelaskan tentang meninggalkan jalan teror (deradikalisasi dan disengagement) yang
menjadi concern dan perhatian banyak orang. Ketiga, sebagai metode yang menekankan
penemuan dan pengembangan teori dari data empirik di lapangan, grounded theory atau grounded
research dianggap mumpuni untuk dijadikan sebagai alat dalam menjelaskan deradikalisasi dan
disengagement pada mantan teroris yang tergabung dalam Jamaah Islamiyah.
Subyek Penelitian
Para subyek penelitian diambil dari kalangan kalangan anggota Jamaah Islamiyah
Indonesia dan mantan aktivis Islam radikal lainnya yang dianggap memahami dan bisa
menjelaskan perihal kaum jihadis di Indonesia, misalnya mantan anggota NII.
Untuk menggenapkan dan menyempurnakan data penelitian ini, peneliti juga memilih
sejumlah individu terkait (stakeholder masalah terorisme) yang dianggap mengetahui masalah
terorisme di Indonesia seperti pejabat mabes polri, para petinggi dan staff Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme (BNPT) terutama yang membawahi bidang deradikalisasi, Densus 88
Mabes Polri dan LSM yang bekerja dalam bidang penanggulangan terorisme. Mereka dipilih
untuk dimintakan masukan dan pendapat mengenai para teroris atau mantan teroris yang bisa
diakses dan bisa diwawancarai untuk keperluan penelitian ini. Selanjutnya mereka akan disebut
sebagai narasumber penelitian.
Kriteria Subyek Penelitian
Subyek penelitian terdiri dari 5 orang dengan sejumlah kriteria yang sesuai dengan tema
dan tujuan penelitian, yaitu:
1. Pelaku teror yang pernah menjadi anggota Jamaah Islamiyah dan pernah terlibat dalam aksi
teror atau pelatihan militer, baik secara langsung maupun secara tidak langsung.
2. Menyatakan diri atau dinyatakan telah mengungkapkan penyesalan atas keterlibatan di dalam
aksi teror dan keanggotaan dalam jaringan Jamaah Islamiyah.
3. Bersedia diwawancara dan dimintakan informasi seputar keterlibatannya dalam aksi teror dan
perannya dalam jaringan Jamaah Islamiyah.
11
Informan Penelitian
Untuk memperkuat informasi dan data, sekaligus sebagai penerapan dari tehnik
triangulasi maka dipilih sejumlah narasumber peneliti yang berjumlah lebih dari 20 orang. Para
subyek terdiri dari lingkaran terdekat para mantan teroris yang menjadi subyek utama seperti
keluarga dan kerabat, teman dan sesama anggota Jamaah Islamiyah, mantan anggota Negara
Islam Indonesia yang mengerti tentang gerakan Islam radikal di Indonesia, kaum radikal dari
kalangan Kristen di Poso, aparat kepolisian, aktivis LSM yang bergerak di bidang deradikalisasi
dan disengagement, serta tokoh dan pegiat BNPT. Pengumpulan informasi dan data dari para
narasumber dilakukan dengan wawancara, fokus group discussion (FGD) atau perbincangan
informal.
Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan tehnik wawancara, pengamatan partisipatif, dan
analisis dokumen termasuk dokumen yang tersimpan di situs internet atau media sosial
Teknik Analisis Data
Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah tehnik grounded theory.
F. Hasil Penelitian
Pada bagian ini akan disajikan hasil penelitian berisi gambaran subyek, tema-tema yang
diperoleh terutama melalui hasil wawancara dengan para subyek penelitian melalui proses open
coding, dan tema inti atau kategori utama (hasil dari proses axial coding)
Gambaran Singkat Subyek Penelitian Tabel 1.Profil subyek penelitian
AI NA Id AA UP
Bukti
meninggalkan
jalan teror
Membantu
kepolisian
dalam anti
terorisme
Membantu
kepolisian
dalam anti
terorisme
Kembali
bersosialis
asi dengan
masyarakat
Menjadi tim ahli
BNPT dan
melakukan
gerakan
deradikalisasi
Mengkuti apel
bendera
harkitnas
Pendidikan SMA Pesantren Pesantren STM dan LPBA SMA
Pelatihan
Militer
Afganistan Afganistan Tidak ada Afganistan Afganistan
Posisi Anggota Ketua Mantiqi Anggota Penasehat mantiqi Anggota
Keterlibatan
dalam
terorisme
Bom Natal
Bom Bali
Pelatihan
militer
Mindanao
Bom Natal
Bom Bali
Pelatihan militer
Mindanao
Perekrutan
anggota JI di
Malaysia dan
Australia
Bom Natal
Bom Bali
Aktivitas saat
ini
Menjalani
hukuman
penjara
Membantu
kepolisian
dalam gerakan
deradikalisasi
Sopir taksi
di PKU
Ustad dan dai
yang mengajarkan
faham salafi di
Indonesia
Menjalani
hukuman
penjara
Disengagement
Meninggalkan jalan teror diwujudkan dengan melakukan banyak hal yang relevan dengan
upaya mengurangi aksi teror dan kekerasan berbasis agama. Hal itu dilakukan dengan cara yang
berbeda-beda sesuai dengan kemampuan dan kapasitas subyek penelitian.
Setelah menyatakan keluar dari Jamaah Islamiyah pada 23 April 2003, NA memilih
melakukan kegiatan penyadaran kepada bekas anak buah dan kawan-kawannya melalui berbagai
program deradikalisasi yang dilaksanakan kepolisian, BNPT atau lembaga lain. Saat ditawarkan
kepolisian untuk bekerjasama dengan kepolisian dalam melakukan kegiatan deradikalisasi,
muncul keraguan pada diri NA karena takut dianggap berkhianat. Tetapi dengan
12
mempertimbangkan kepentingan umat Islam dan masyarakat Indonesia maka NA akhirnya
menerima.
Subyek lain, AA menyampaikan hal yang sama. Menurutnya, ia memutuskan untuk
membantu pemerintah melalui BNPT agar generasi muda selamat dari jeratan ekstrimisme dan
radikalisme keagamaan yang dapat mendorong mereka ke dalam terorisme. Pilihan membantu
BNPT dalam menyadarkan para yuniornya dalam gerakan Islam radikal bukan tanpa resiko. AA
dikecam dan dimusuhi oleh para aktivias gerakan Islam radikal karena dianggap bersekutu dengan
thogut.
Sebagian dari subyek penelitian yang memutuskan meninggalkan jalan kekerasan
memilih cara lain yang lebih rasional untuk memberi makna dan kemanfaatan bagi umat Islam.
Media dakwah dan taklim dipilih karena dianggap strategi yang paling tepat dan tuntunan dari
senior mereka dalam gerakan Islam sebagaimana dinyatakan AA. Id, subyek lain yang bermukim
di Pekanbaru menyatakan akan berdakwah dan taklim di lingkungan keluarga terdekat. Sebab,
selama bergelut dengan dunia jihad, waktunya tersita sehingga menyebabkan dirinya kurang
perhatian terhadap anak dan isteri.
AI menyatakan bahwa dialog dan diskusi tentang pemahaman jihad dan bagaimana
pelaksanaannya yang tepat dan sesuai dengan kaidah fikih merupakan kegiatan yang akan dia
lakukan selama berada di penjara. Sementara UP menyebutkan bahwa dirinya ingin berkumpul
dengan keluarga dan menjadi orang Islam yang baik sesuai dengan aturan negara dan pemerintah.
Bentuk atau pola meninggalkan jalan teror pada subyek penelitian dapat digambarkan
dalam bentuk matrik berikut ini. Tabel 2. Pola meninggalkan jalan teror
Subyek Gambaran meninggalkan jalan teror
AI Tetap menjadi anggota Jamaah Islamiyah tetapi menolak kekerasan atas nama jihad
AA Keluar dari Jamaah Islamiyah dan membantu BNPT dalam kegiatan deradikalisasi
NA Keluar dari Jamaah Islamiyah dan membantu pemerintah dalam melawan teror yang
mengatasnakamakan Islam
UP Ingin mengikuti aturan NKRI
Id Ingin mengajar kajian keislaman, tetapi tidak menyatakan keluar atau tetap bertahan di
dalam Jamaah Islamiyah
Keterangan: Kategori 1 (AI), kategori 2 (AA, NA dan UP), dan kategori 3 (Id)
Berdasarkan tabel 2 meninggalkan jalan teror dibagi menjadi tiga kategori, yaitu tetap
menjadi anggota Jamaah Islamiyah tetapi menolak jalan teror, keluar dari Jamaah Islamiyah dan
melakukan gerakan deradikalisasi, dan tidak jelas keanggotaannya dalam Jamaah Islamiyah tetapi
menolak jalan teror.
Proses Meninggalkan Jalan Teror
Proses meninggalkan jalan teror digambarkan melalui tahap evaluasi kelompok dan
evaluasi individual yang kemudian melahirkan perubahan pandangan tentang konteks tempat dan
waktu berjihad dan perubahan sikap terhadap musuh. Sebelum evaluasi terkait bom Bali 1, tempat
dan waktu berjihad tidak menjadi pertimbangan utama tetapi setelahnya, waktu dan tempat benar-
benar menjadi pertimbangan dalam menentukan keterlibatan dalam jihad.
Evaluasi kelompok versus evaluasi personal
Evaluasi atas aksi bom Bali 1 dibagi menjadi dua bagian yaitu evaluasi kelompok yang
dihadiri oleh tim eksekutor bom Bali 1 dan orang-orang yang terkait secara tidak langsung dengan
pelaksanaan amaliah. Setelah bom meledak di Bali, para pelaku berkumpul di rumah kontrakan
AM di Solo bersama anggota Jamaah Islamiyah lainnya yang tidak terlibat langsung. Pertemuan
itu semula hanya untuk merayakan “keberhasilan” peledakan bom di Bali, tetapi ternyata juga
untuk melakukan evaluasi kolektif atas pelaksanaannya.
AI menceritakan bahwa pertemuan itu bertujuan untuk mengevaluasi pelaksanaan bom
Bali. Dalam pertemuan itu ditemukan banyak kesalahan tehnis seperti tidak menghapus kode
motor yang seharusnya dilakukan oleh tim sehingga kemungkinan polisi bisa mengendus siapa di
balik tragedi bom Bali sangat besar. Di dalam pertemuan itu disarankan agar setiap orang harus
13
melakukan ntisipasi yang diperlukan seperti melarikan diri sejauh mungkin dari kejaran aparat
keamaan. Oleh karena itu, setiap orang dibekali uang Rp. 500.000 untuk biaya di persembunyian.
Ketika AI dan Amrozi datang dari Lamongan ke Solo, UP telah terlebih dahulu ada di
rumah kontrakan bersama IS dan AM. UP yang dikenal sebagai ahli intelijen dan penyamaran
mengusulkan agar melakukan antisipasi jika polisi melakukan penangkapan besar-besaran
terhadap anggota Jamaah Islamiyah. Subyek yang lain, NA dan AA tidak berada di tempat
pertemuan karena mereka tidak tahu sama sekali tentang bom Bali. NA dan AA berada di lokasi
lain. NA menceritakan situasi pengejaran dan penangkapan oleh aparat kepolisian terutama
densus 88 pada saat itu. Itulah yang menjadi pemicu mengapa ia harus bermigrasi atau berpindah
dari satu tempat ke tempat yang lain.
AA juga menceritakan situasi pasca bom Bali saat mana aparat Densus 88 menangkap
siapapun yang pernah melakukan kontak dengan para pelaku utama bom Bali yang telah
tertangkap seperti Mukhlas dan Amrozi atau orang yang diduga menjadi anggota Jamaah
Islamiyah. Melihat situasi itu, AA berusaha bersembunyi dari kejaran aparat Densus 88 walaupun
ia merasa tidak pernah terlibat dalam aksi bom apapun di Indonesia.
Selain evaluasi kelompok, evaluasi yang bersifat individual juga dilakukan oleh subyek
penelitian. AI melakukan perenungan dan evaluasi selama pelarian dan pengejaran oleh aparat
Densus 88, mulai dari rumahnya di Tenggulun Lamongan Jawa Timur sampai ujung timur Pulau
Kalimantan. Perenungan dan evaluasi diri itu membawanya menuju penyesalan yang mendalam
atas tragedi Bom Bali yang menewaskan banyak orang yang tidak berdosa. Perenungan dan
evaluasi juga dilakukan Id dalam pelarian dan persembunyiannya dari kejaran Densus 88. Id
membayangkan betapa menderitanya para korban yang cacat tetapi tidak terkait dengan tujuan
dirinya dan kelompoknya. Pengalaman merasakan penderitaan para korban diduga menjadi
pemicu Id harus mengevaluasi diri atas apa sepak terjangnya di dunia teror.
Berbeda dengan AI dan Id yang terlibat langsung dalam kasus bom Bali, NA yang juga
merupakan anggota dan petinggi JI tidak terlibat langsung. Kendati demikian, NA justru
merasakan dampaknya. NA harus melarikan diri karena Densus 88 dan aparat kepolisian
melakukan pengejaran dan penangkapan terhadap semua anggota dan petinggi Jamaah Islamiyah
tanpa pandang bulu. NA banyak mengalami kesulitan dalam pelarian. Kesulitan-kesulitan yang
dihadapi NA, seperti kesulitan berkomunikasi dengan isteri dan anak-anaknya setelah tertangkap
aparat Densus 88 membawanya kepada kesimpulan bahwa keterlibatannya sebagai aktivis
pergerakan Islam radikal seperti Jamaah Islamiyah tidak tepat. Sebagai salah satu petinggi Jamaah
Islamiyah, NA tidak pernah setuju dengan penggunaan aksi bom dan kekerasan lainnya seperti
fai (mengambil rampasan perang dengan merampok) sebagai cara memperjuangkan Jamaah
Islamiyah.
Sementara AA memiliki cerita lain. Seperti NA, AA juga tidak dilibatkan dalam Bom
Bali 12 Oktober 2002. Sebagai salah satu petinggi JI, AA sejak lama menyimpan benih
ketidakpuasan terhadap sepak terjang Jamaah Islamiyah. Ketidakpuasannya terutama
menyangkut perubahan arah perjuangan Jamaah Islamiyah yang semula dalam jangka pendek dan
menengah ditujukan untuk kepentingan dakwah dan idad serta penanaman ideologi, tetapi diubah
untuk berjihad dan aksi kekerasan.
Kisah yang menarik juga dijelaskan oleh UP. UP adalah pelaku Bom Bali I yang paling
akhir ditangkap. UP menjelaskan, setelah melaksanakan aksi bom Bali ia segera melarikan diri
dan bersembunyi di berbagai tempat termasuk ke Filipina dan menikahi gadis setempat.
Kemudian bersama isterinya ia melanjutkan pelarian ke Afganistan. Menurut UP, keputusannya
ke Afganistan sebagai hasil evaluasi diri yang mengantarkannya pada kesimpulan bahwa ia tidak
boleh lagi melaksanakan jihad di luar wilayah konflik seperti Bali. Banyak korban tidak berdosa
dari bangsa sendiri yang berjatuhan dan menimbulkan nestapa bagi keluarga mereka. Hal itu
mendorongnya ke dalam satu titik di mana UP harus melakukan evaluasi diri terkait
perjuangannya dalam gerakan Islam.
Evaluasi kelompok dan individual yang dilakukan para subyek penelitian dapat
digambarkan dalam tabel di bawah ini.
14
Tabel 3 Evaluasi kelompok dan individual yang dilakukan subyek
Subyek Evaluasi Kelompok Evaluasi Individual
Id Bom Bali lebih banyak
mudharat dibanding manfaat
Menyesal, banyak korban tidak berdosa.
AI Banyak kesalahan dalam tahap
perencanaan dan praktek
Menyesal, Bali menjadi target
UP Banyak kekeliruan, polisi
bergerak cepat, rencana
pelarian udah disiapkan
Menyesal, mengorbankan bangsa sendiri
NA Mengapa banyak kesulitan dihadapi pasca bom Bali 1
AA Sering tidak setuju dengan teman-temanya, harus segera
keluar dari JI dan memilih jalur dakwah
Berdasarkan tabel 3 ada dua subyek yang tidak mengikuti evaluasi kelompok karena
keduanya tidak menjadi eksekutor langsung bom Bali 2, sedangkan ketiga lainnya adalah pelaku
bom Bali dan oleh karenanya ikut dalam evaluasi kelompok, sedangkan evaluasi individual
dilakukan oleh kelima subyek di tempat pelarian atau di tempat persembunyian.
Perubahan Penilaian tentang Konteks Jihad
Hasil evaluasi yang lama dan proses menyerap makna dari pengalaman beraktivitas di
Jamaah Islamiyah adalah munculnya perubahan penilaian tentang konteks jihad. Perubahan
penilaian tentang konteks jihad dialami oleh pelaku teror. Misalnya, AI yang semula menganggap
Indonesia sebagai tempat jihad yang sah dengan indikasi keterlibatannya dalam berbagai aksi
pengeboman seperti bom Filipina dan bom Bali, pada akhirnya berpandangan bahwa Bali bukan
tempat yang tepat untuk pelaksanaan jihad. Perubahan itu menggambarkan dinamika berpikir AI
tentang bagaimana menerapkan jihad.
NA yang pernah memimpin mantiqi 3 (Poso dan Philipina) berpandangan bahwa Hambali
dan kawan-kawan yang terlibat dalam berbagai aksi pengeboman di Indonesia, mulai dari bom
natal 2000, bom kedubes Philipina, bom Bali dan bom Mariot tidak sabar menunggu waktu yang
tepat untuk menggelorakan jihad. Dalam pandangan NA, persiapan secara ekonomi dan keuangan
perlu disiapkan, oleh karena itu, Poso sebagai bagian dari mantiqi 3 yang NA pimpin
direncanakan menjadi sentra ekonomi dan keuangan untuk membiayai aktivitas Jamaah
Islamiyah. Tim ekonomi dan tim dakwah Jamaah Islamiyah menyiapkan situasi dan kondisi
sampai datang waktu berjihad.
DaIam pandangan NA, idad bukan hanya mencakup persiapan yang bersifat militeristik
tetapi juga persiapan secara finansial dan ekonomi. Hal itu karena gerakan Islam seperti Jamaah
Islamiyah membutuhkan dana operasional yang tidak sedikit. Keinginan dan rencana NA, salah
satu mantan petinggi Jamaah Islamiyah yang sekarang berbalik melawan teman-temanya sesama
anggota Jamaah Islamiyah untuk menjadikan Poso dan sekitarnya sebagai zona aman (qaidah
aminah), tidak mendapatkan tanggapan positif dari pimpinan pusat JI di Pulau Jawa. Meledaknya
Bom Bali membuat rencana baik tersebut menjadi hancur berantakan. Bahkan, bukan hanya itu,
seluruh jaringan kerja Jamaah Islamiyah dilumpuhkan oleh aparat kepolisian dengan melakukan
pengejaran dan penangkapan.
Id menyatakan bahwa jihad adalah perang. Tidak ada pengertian lain jihad di luar perang.
Di belakang hari, Id dan kawan-kawan menyadari bahwa pelaksanaan jihad di Bali tidak sesuai
konteks waktu dan tempat menurut fikih jihad yang mereka pelajari. Konsekuensi dari kesalahan
menentukan konteks jihad adalah kegagalan karena bertentangan dengan apa yang dikehendaki
Islam tentang jihad.
AA tidak sepakat dengan pandangan Hambali yang menganggap Indonesia sebagai
negara konflik. Sejak lama AA berpandangan bahwa Indonesia bukanlah wilayah konflik atau
wilayah perang sehingga jihad dilegalkan. Bagi AA, menganggap Indonesia sebagai wilayah
jihad saat ini adalah kesalahan besar yang tidak bisa ditolerir. AA juga menegaskan bahwa tujuan
pendirian Jamaah Islamiyah sesuai dengan namanya adalah untuk menyiapkan kelompok umat
Islam dengan pemahaman dan semangat berjihad. Jihad digelorakan ketika semua anggota
Jamaah Islamiyah dan umat Islam memahami makna jihad yang sesungguhnya. Maka, menurut
15
AA saat itu (saat peledakan bom Bali dan sampai saat ini) adalah masa penyiapan mental dan
pemahaman tentang Islam termasuk jihad
UP menegaskan hal yang sama bahwa Indonesia bukan wilayah konflik, karenanya tidak
boleh dijadikan sebagai tempat berjihad. Sebelum kejadian bom Bali 1, UP dikenal sebagai orang
yang banyak terlibat dalam berbagai aksi bom di Indonesia seperti bom Natal 2000. Perubahan
pandangan berlangsung dalam waktu yang lama setelah mengalami banyak peristiwa dan
pengalaman personal di berbagai tempat dan situasi.
Tabel 4. Perubahan pandangan tentang konteks jihad
Subyek Pandangan semula Perubahan pandangan
AI Indonesia tempat berjihad
(Ambon dan Poso)
Indonesia bukan tempat berjihad
NA Jihad ada waktunya Tidak berubah
Id Indonesia negara perang Indonesia bukan negara perang
AA Indonesia bukan negara
perang
Tidak berubah
UP Indonesia wilayah penuh
konflik
Indonesia bukan wilayah konflik
Pada tabel 4 perubahan pandangan tentang konteks jihad dialami oleh tiga subyek
sedangkan dua subyek lainnya memiliki pandangan yang tidak berubah yaitu bahwa jihad di
Indonesia tidak tepat. Ada dua alasan mengapa jihad di Indonesia dilarang, yaitu alasan tempat
dan waktu (Indonesia bukan wilayah konflik dan jihad belum saatnya dilakukan di Indonesia)
Perubahan Sikap (Homogenitas versus heterogenitas outgroup)
. Perubahan sikap sosial dialami oleh para subjek utama seperti cara pandang dalam
menentukan kawan dan lawan. Pandangan yang mengarah kepada sikap yang cenderung tidak
menyamaratakan lawan dan sikap melunak mulai muncul. Misalnya, pandangan AI tentang orang
Kristen terkait kasus Ambon dan Poso yang cenderung menggambarkan homogenitas outgroup.
Sebelum ditangkap karena kasus bom Bali 1, AI dikenal sebagai orang yang juga terlibat dalam
berbagai aksi bom dengan target gereja dan umat Kristiani, seperti kasus bom natal.
Sikap sosial yang positif terhadap kelompok non Muslim juga tercermin pada diri Id yang
juga pernah terlibat dalam kasus bom Natal tahun 2000. Id mulai menyadari bahwa tidak ada
alasan membenci kaum Nasrani hanya karena mendapatkan informasi bahwa Kaum Kristiani dan
kalangan gereja merencanakan sesuatu yang merugikan umat Islam di masa yang akan datang.
Perubahan sikap yang sama ditunjukkan oleh NA setelah ditangkap dan dipenjara. Menurut NA,
informasi negatif yang dia peroleh tentang kaum Nasrani berubah drastis ketika di dalam penjara
diperlakukan dengan baik oleh para petinggi kepolisian yang beragama Nasrani, termasuk ketika
ditempatkan satu sel dengan kelompok Geng Coker asal Maluku.
AA yang pernah dibesarkan dalam tradisi NU dan pernah menjadi anggota NII
menceritakan bagaimaan ia mengalami perubahan sikap terhadap outgroup, dari sikap memusuhi
menjadi sikap yang netral dan bersahabat. Semua kelompok di luar kelompoknya, apalagi Non
Muslim seperti Kristen adalah pihak yang dia benci tetapi melalui proses waktu AA melihat
mereka sebagai sesama umat Islam dan sesama anak bangsa.
Sementara itu, UP yang dijuluki sebagai manusia paling berbahaya oleh Amerika Serikat
dan pernah disayembarakan dengan hadiah yang besar menegaskan bahwa ia tidak membenci
Barat tetapi yang ia benci Israel karena menduduki Palestina secara ilegal. Perubahan sikap para
subyek dari titik yang cenderung homogen dalam melihat kelompok lain menuju titik yang
cenderung heterogen dalam melihat outgroup dapat digambarkan dalam tabel berikut ini.
Tabel 5. (Perubahan sikap) Dari homogenitas ke heterogenitas outgroup
Subyek Inti Pernyataan
AI Bahwa tidak semua orang Kristen setuju dengan ulah Kristen Ambon dan Poso, padahal
sebelumnya menganggap Kristen Ambon dan Poso harus dilawan
16
Id Motivasi terlibat bom natal 2000 karena benci Kristen secara keseluruhan, setelah ditangkap
dan dipenjara mulai memilah-milah antara yang pantas dimusuhi dan tidak dimusuhi.
NA Sebelum satu penjara dengan tokoh pemuda Kristen, sangat benci, setelah satu penjara,
bersahabat.
AA Dulu memusuhi NKRI termasuk Kaum Kristen, tetapi sekarang sangat menghargai
UP Tidak membenci Barat tapi Israel
Berdasarkan tabel 5 dapat dikatakan bahwa ada perubahan pandangan yang bersifat
homogenitas (penyamarataan) tentang non Muslim dan Barat menjadi pandangan yang mengakui
keragaman outgroup dan keharusan melakukan pemilahan antara yang baik dan buruk dari
mereka.
Perubahan pandangan tentang outgroup, misalnya kaum Kristen Indonesia yang selama
ini dianggap seragam memusuhi orang Islam, terjadi pada NA, AI dan Id. Keterlibatan AI dalam
kasus Ambon maupun Poso digerakkan oleh kesadaran bahwa kaum Kristen lokal menyerang dan
berlaku zalim terhadap umat Islam di kedua wilayah itu. Sedangkan kaum Kristen di luar Ambon
dan Poso memberi dukungan dalam berbagai bentuk yang bisa dilakukan. Setelah mengalami
pengalaman sosial dalam berbagai situasi dan konteks maka AI menyadari bahwa tidak semua
orang Kristen memusuhi umat Islam.
Faktor Personal
Faktor personal terdiri dari tiga konsep yaitu rasa bersalah, konflik identitas personal
versus identitas kelompok, dan konflik nilai personal versus nilai kelompok. Ketiga konsep
tersebut akan dijelaskan sebagaimana berikut ini.
Rasa bersalah versus tidak bersalah. Evaluasi personal dan kolektif yang telah
dilakukan melahirkan rasa bersalah diantaranya karena banyak korban berjatuhan dari kalangan
orang-orang yang seiman sebagaimana dinyatakan oleh Id. Rasa bersalah Id ditandai oleh
kebingungan, kesedihan, kengerian dan stress yang kuat. Sebagai alumni Pesantren Ngruki yang
mengerti Al-Quran, Id tersentak saat membuka kembali lembaran Al-Quran terutama
menyangkut kafarah (denda) pembunuhan dalam Islam.
Hasil evaluasi AI di dalam pelarian menghasilkan rasa bersalah dan penyesalan
sebagaimana Id. AI menyatakan penyesalannya berulang kali untuk menunjukkan bahwa ia
benar-benar merasa bersalah telah melakukan aksi pengeboman yang menelan banyak jiwa. Hal
yang sama juga diungkapkan oleh UP. Ia benar-benar menyesal telah melibatkan diri dalam aksi
Bom Bali yang pada mulanya tidak ia setujui. Tetapi akhirnya ia ikut terlibat karena keinginan
kelompok yang harus diikuti. Keterlibatannya dalam bom Bali yang membuat dijebloskan ke
penjara telah melahirkan penyesalan dan rasa bersalah yang mendalam.
Selaku petinggi Jamaah Islamiyah yang memimpin mantiqi 3 dan mentor pelatihan
militer di Afganistan dan Mindanao, NA merasa bersalah tepatnya merasa bertanggungjawab
karena sebagian pelaku bom Bali adalah murid-murid yang pernah ia latih dalam bidang keahlian
senjata dan perakitan bom seperti UP. NA merasa ikut bertanggungjawab atas tindakan rekan-
rekannya dan bekas murid yang pernah dibina di Afganistan. Pertanggungjawaban yang
dikhawatirkan NA terutama di hadapan Allah adalah tentang terbunuhnya orang-orang yang tidak
berdosa karena ulah rekan-rekan dan murid-muridnya.
Satu-satunya subyek yang tidak merasa bersalah atas tragedi bom Bali adalah AA. Hal
itu karena AA merasa tidak tahu-menahu tentang bom Bali dan sejak lama ia menentang keras
keinginan Hambali untuk melakukan amaliyah istisyhad di Indonesia. Kendati demikian, pada
konteks tertentu, AA tetap merasa bersalah karena tidak mampu mencegah sepak terjang Hambali
dalam mempengaruhi anggota JI dalam melakukan amaliyah. Dengan ungkapan yang didasarkan
atas pemahama terhadap Al-Quran, AA menjelaskan bahwa membunuh satu orang yang tidak
berdosa di dalam Islam sama dengan membunuh seluruh manusia. Hal itu untuk menunjukkan
betapa aksi bom yang mengorbankan banyak nyawa tidak berdosa merupakan perbuatan dosa
yang sangat besar.
Rasa bersalah karena terbunuhnya banyak orang dari kalangan Muslim itu menyebabkan
Id merasa harus melaksanakan kafarah yaitu kewajiban memberi makan kaum miskin dan kaum
lemah atau berpuasa berturut-turut selama dua bulan. Perasaan bersalah biasanya diikuti dengan
17
perasaan malu. Hal itu pula yang dirasakan oleh UP. Penyesalan UP telah disiarkan secara luas
melalui saluran televis dan media sosial. UP menegaskan bahwa aksi bom Bali di mana UP
menjadi anggota tim bukanlah jihad di jalan Allah sebagaimana yang diyakini sebelumnya
terutama oleh kawan-kawannya.
Hal yang sama dirasakan Id. Membayangkan apa yang dirasakan para korban bom Bali
ia kasihan dan didera rasa bersalah terutama kepada mereka yang tidak ada kaitannya dengan
kepentingan dirinya sebagai jihadis dan Jamaah Islamiyah sebagai organisasi yang hendak
melakukan balas dendam terhadap orang Barat. Dinamika rasa bersalah pada subyek penelitian
dapat digambarkan dalam matrik di bawah ini.
Tabel 6 Gambaran rasa bersalah
Subyek Gambaran Rasa Bersalah
Id Muncul perasaan ngeri dan tertekan karena banyak orang Islam yang terbunuh sementara
belum ada kejelasan bagaimana kafarah (denda membunuh orang tidak berdosa) diselesaikan.
AI Rasa bersalah dalam menentukan Bali sebagai target amaliyah. Rasa bersalah makin menguat
manakala diketahui bahwa amaliah itu atas inisiatif dan perinah Hambali dkk, bukan inisiatif
dan perintah Jamaah Islamiyah.
UP Rasa bersalah muncul karena jihad dengan target Bali tidak memiliki dasar yang kuat.
NA Rasa bersalah karena bertanggungjawab sebagai senior dan petinggi Jamaah Islamiyah yang
telah membina dan melatih sebagian dari pelaku teror Bom Bali 1
AA Rasa bersalah karena tidak mampu mencegah Hambali dalam melaksanakan fatwa Osama bin
Laden yang bertentangan dengan kebijakan Jamaah Islamiyah.
Berdasarkan tabel 6, rasa bersalah disebabkan oleh tiga hal yaitu ketidakjelasan
pembayaran kafarah (hukuman membunuh secara tidak sengaja), penentuan target yang tidak
sesuai ketentuan dan kaidah jihad, dan rasa bertanggungjawab sebagai petinggi organisasi.
Konflik Identitas personal versus identitas kelompok. Penonjolan identitas personal
atas identitas kelompok (sebagai anggota Jamaah Islamiyah) dan komponen identitas lainnya
terlihat jelas pada subyek penelitian ini. Misalnya, AA dengan tegas menyebutkan bahwa
beberapa bulan setelah bom Bali meledak ia secara terbuka menyatakan telah menarik baiatnya
kepada Jamaah Islamiyah. AA merasa lebih bangga disebut sebagai penganjur ahlussunnah wal
jamaah dan muallim dibandingkan sebagai mantan penasehat Jamaah Islamiyah untuk mantiqi
ukhra di Australia. AA merasa sangat kecewa karena ulah teman-temannya yang melakukan aksi
pengeboman yang membuatnya tidak nyaman menjadi penasehat Jamaah Islamiyah wilayah
Australia. Jabatan yang cukup bergengsi di kalangan aktivis gerakan Islam radikal itu. AA lebih
senang menyebut dirinya sebagai muballigh ustad yang mengajarkan faham salafi.
Hal yang sama juga dinyatakan NA. Dengan tegas NA menyatakan bahwa ia tidak lagi
menjadi anggota Jamaah Islamiyah sejak tahun 2003 dan memilih untuk membongkar Jamaah
Islamiyah dan melawan cara kekerasan yang tetap dipertahankan kawan-kawan dan murid-
muridnya. Sebagai anggota dan petinggi Jamaah Islamiyah, NA telah banyak berjuang dan
bekerja untuk tanzhim yang bercita-cita menegakkan Daulah Islamiyah di Asia Tenggara
sehingga harus mengorbankan keluarganya.
Sementara itu, AI merasa cara berjihad yang ditempuh kawan-kawannya termasuk
dirinya saat Jamaah Islamiyah masih aktif telah membuat dirinya menjadi pesakitan yang tidak
berharga. AI sangat sedih melihat dua kakak (Mukhlas dan Amrozi) yang sangat dia hormati
menjadi pesakitan yang digelandang polisi dalam keadaan diborgol. UP yang dianggap paling
berbahaya oleh Amerika menyatakan dengan tegas bahwa ia mencintai Indonesia karena
dilahirkan dan dibesarkan di negeri ini. Menurut UP, apapun bisa dilakukan untuk menunjukkan
bahwa ia masih menjadi bagian dari NKRI. UP ingin menunjukkan perasaannya tentang
Indonesia yang berbeda dengan dengan kawan-kawannya yang membenci Indonesia dan
pemerintah RI.
Menonjolnya identitas personal atas identitas kelompok juga diperlihatkan oleh Id ketika
bertemu dan berdebat tentang amaliyah jihad dengan sejumlah figur penting Jamaah Islamiyah
dalam persembunyiannya pasca bom Bali di sejumlah tempat di Indonesia. Id tidak lagi sefaham
dalam memahami jihad dengan aktivis Jamaah Islamiyah lainnya. Konflik identitas personal dan
identitas kelompok para subyek penelitian digambarkan dalam tabel berikut ini.
18
Tabel 7.Identitas Kelompok versus Identitas Personal
No Subyek Identitas kelompok sebelum bom
Bali meledak
Identitas personal setelah bom Bali
1 AA Merasa bangga saat menjadi
anggota dan penasehat Jamaah
Islamiyah mantiqi ukhra.
Merasa lebih bangga disebut sebagai pribadi
dai dan muballigh tanpa afiliasi JI
2 NA Merasa bangga karena banyak
berkorban untuk Jamaah Islamiyah.
Merasa dirugikan secara personal dengan
peristiwa bom Bali 1 hingga akhirnya melawan
dan membongkar JI.
3 AI Merasa bangga menjadi jihadis
yang berafiliasi ke JI
Merasa sedih melihat kedua kakak sebagai
pesakitan yang terhina
4 UP Menolak NKRI Menerima NKRI dengan mengikuti apel
kesetiaan
5 Id Merasa bangga menjadi bagian dari
kaum jihadis
Melapaskan diri dari kaitan dengan Jamaah
Islamiyah
Berdasarkan tabel 7, dapat dikatakan bahwa pergeseran identifikasi kelompok menuju
identifikasi personal pada semua subyek penelitian ditandai dengan berkurangnya kebanggan
sebagai anggota atau petinggi Jamaah Islamiyah dan munculnya kecenderungan untuk
membanggakan diri sendiri.
Konflik nilai personal versus nilai kelompok. Pertentangan antara nilai personal versus
nilai kelompok mewarnai dinamika psikologis pada anggota Jamaah Islamiyah dalam
memandang bom Bali. Kecenderungan bergantung pada pikiran sendiri dalam menilai kasus bom
Bali dan kasus lainnya terlihat jelas pada para subyek penelitian. Perubahan penilaian terjadi
dengan membandingkan pernyataan dan tindakan yang pernah dilakukan sebelum bom Bali dan
sesudahnya. Misalnya, NA memiliki pandangan berbeda dengan pandangan sebagian besar
anggota Jamaah Islamiyah atau aktivis pergerakan Islam radikal dalam melihat para pelaku bom
Bali. NA melihat mereka bukanlah mujahid sejati sebagaimana yang dinyatakan ABB sebagai
simbol kelompok Jamaah Islamiyah dalam berbagai kesempatan. Di sini, pandangan NA tentang
siapa mujahid sejati merepresentasikan nilai personal NA versus nilai kelompok yang diwakili
oleh pandangan ABB.
Pertentangan antara nilai personal dan nilai kelompok adalah pertentangan yang
berlangsung terus dalam proses kelompok sebagaimana digambarkan oleh AI. AI
menggambarkan bagaimana pendapat pribadinya tentang medan jihad bertentangan dengan
pendapat kelompok. Menurut AI, sebelum pelaksanaan bom Bali ia kerap mengemukakan
pandangannya bahwa Indonsia termasuk Bali tidak tepat dijadikan sebagai target aksi
pengeboman tetapi pendapat kelompok atau jamaah tepatnya lingkaran tertentu di dalam Jamaah
Islamiyah yang cenderung bersepakat untuk melaksanakan amaliah tidak dapat dilawan. Sikap
dan tindakan yang lahir dari konformitas sosial itu melahirkan penyesalan karena tidak sesuai
dengan hati nurani dan keyakinan pribadi. Misalnya, seorang narasumber yang berpandangan
bahwa Indonesia bukan tempat yang tepat untuk pelaksanaan aksi bom tetapi dengan terpaksa
harus mengikuti keinginan kelompok dan senior kelompok walaupun harus melanggar hati nurani
dan keyakinan personal.
Oleh karena itu, UP menolak keras jika dianggap melarikan diri ketika media
memberitakan keberadaan dan penangkapannya di Afganistan. Keputusan keluar dari Indonesia
ia pandang sebagai ekspresi keyakinan tentang jihad yang harus dilakukan di daerah konflik
seperti Afganistan, Chehnya dan Philipina. Pandangan dan keyakinan yang bertentangan antara
pribadi dan kelompok dalam melihat suatu persoalan pada titik tertentu menjadi kekuatan untuk
melepaskan diri dari pengaruh kelompok. Pertentangan nilai personal dan kelompok dialami oleh
AA ketika Hambali merekrut pengebom di Australia dengan mengatasnamakan Jamaah
Islamiyah. AA menolaknya dengan tegas karena menurutnya amaliyah bom bukanlah cara yang
dibenarkan Islam.
Hal yang hampir sama dialami oleh Id ketika harus berhadapan dengan keteguhan
Azahari untuk meneruskan cara-cara pengeboman untuk berjuang dalam suatu pertemuan di
Bengkulu dalam pelariannya pasca bom Bali. Id berpendapat bahwa amaliyah bom lebih banyak
efek negatifnya bagi Jamaah Islamiyah dibandingkan efek positifnya, tetapi Azahari yang masih
19
terpengaruh dengan pandangan Hambali yang mewakili pimpinan mantiqi 1 lebih memilih aksi
bom karena lebih semarak dan bisa memberikan pesan kepada publik.
Konflik nilai personal dengan nilai kelompok pada subyek penelitian tergambar dalam
matrik berikut ini. Tabel 8. Nilai personal versus nilai kelompok
Subyek Nilai personal Nilai kelompok
NA Pelaku bom Bali 1 bukan mujahid dan syahid Pelaku bom Bali 1 mujahidi dan
syahid (diwakili ABB)
UP Meminta maaf atas tragedi bom Bali Tidak perlu meminta karena dianggap
bukan sikap yang konsisten
AA Menolak keinginan Hambali untuk melakukan aksi
bom terhadap kedutaan Amerika di Australia
Keinginan Hambali sebagai
representasi kelompok untuk
melakukan aksi bom terhadap
kedutaan Amerika di Australia
Id Amaliah pengeboman dihentikan karena lebih
banyak mudharatnya dibanding manfaatnya
Amaliah pengeboman harus
diteruskan agar JI bergema ke mana-
mana (diwakili NMT)
Berdasarkan tabel 8 dapat dikatakan bahwa pertentangan antara nilai personal dan nilai
kelompok dialami oleh semua subyek penelitian dalam konteks yang berbeda. Tetapi secara
umum, pertentangan atau konflik nilai personal versus nilai kelompok berkaitan dengan
bagaimana menyikapi kesyahidan pelaku bom Bali 1, perlunya meminta maaf terhadap keluarga
korban bom dan masyarakat Indonesia, target amaliah jihad dan cara menerapkannya.
Faktor Organisasi
Faktor organisasi terdiri dari dua konsep yaitu deideologisasi jihad dan penurunan
komitmen.
Deideologisasi Jihad versus ideologisasi jihad. Jika dalam proses radikalisasi,
ideologisasi jihad merupakan alat untuk menguatkan identitas sebagai jihad, misalnya melalui
internalisasi semangat dan pemahaman thoifah manshurah maka dalam proses meninggalkan
jalan teror, deideologisasi jihad menjadi menonjol dengan melakukan eksternalisasi semangat dan
pemahaman thoifah manshurah. AI misalnya merasa tidak nyaman dan kesal dengan orang-orang
yang melabel diri mereka sebagai mujahid tetapi tidak mencerminkan karakter seorang mujahid.
Bagi AA yang memilih menolak atau meninggalkan jalan teror, batasan dan ketentuan
Al-Quran tentang jihad sangat jelas dan terang-benderang. Pelanggaran terhadap ketentuan itu
menjadi garis demarkasi antara kaum jihadis yang menganggap saat ini sebagai masa idad dengan
kaum jihadis yang menganggap saat ini jihad perlu dikobarkan.
Pelanggaran terhadap etika dan norma berjihad serta perbuatan buruk dengan melakukan
aksi bom disebabkan oleh banyak hal, diantaranya yaitu kebencian kepada orang kafir yang
berlebihan, pemahaman yang keliru dan terlalu harfiah terhadap ayat-ayat Al-Quran, pemahaman
yang tidak utuh dan nafsu amarah yang berlebihan. Dalam Islam, menurut jihadis yang menolak
kekerasan, berjihad atau memerangi kaum kafir bukan bersifat ofensif tetapi bersifat defensif,
yaitu jihad untuk membela diri. konsekuensi dari sifat ofensif pada jihad maka harus dipilah
antara mereka yang pantas diperangi dan yang tidak pantas diperangi. Jika hal itu tidak dilakukan
maka berarti pelanggaran terhadap etika dan norma berjihad sebagaimana yang telah diajarkan
dan ditulis para ulama dalam kitab-kitab fikih yang membahas jihad. :
Menjadi jihadis itu pilihan Allah. Demikian Id meyakini, karena tidak semua orang bisa
dan berani berjihad. onsekuensi jihad sangat berat bagi jihadis dan keluarganya. Jihadis sejati
adalah orang yang meyakini bahwa jihad tidak pernah berhenti sampai kemenangan bisa diraih
oleh umat Islam. Oleh karena itu, Id tidak berani melakukan klaim sebagai jihadis sejati karena
ia sendiri tidak bisa dikategorikan sebagai kelompok jihadis.
Sementara itu, UP yang kerapkali dijuluki “manusia berbahaya” karena ahli dalam
penyamaran dan perakitan bom terutama oleh Amerika Serikat tidak lagi meyakini bahwa jihad
itu bisa dilakukan tanpa mengenal waktu dan tempat karena jihad itu tugas abadi. Semula, UP
meyakini bahwa jihad itu bisa dilakukan di mana saja, lalu setelah bom Bali meledak dan terjadi
penangkapan besar-besaran oleh aparat kepolisian, UP berkeyakinan bahwa jihad harus dilakukan
20
di wilayah konflik. Saat ini UP berpandangan bahwa jihad yang harus dilakukan adalah jihad
untuk menafkahi keluarga. Sedangkan jihad di wilayah konflik itu sebaiknya dilakukan oleh
orang setempat. Proses deideologisasi jihad yaitu perubahan keyakinan tentang jihad sebagai
tugas abadi agaknya harus disikapi dengan sikap yang realistis apalagi pada pelaku teror yang
sedang dihukum di penjara dengan hukuman yang lama seperti UP. Gejala terjadinya proses
deideologisasi jihad pada subyek penelitian dapat digambarkan melalui tabel berikut ini: Tabel 9 Deideologisasi jihad
Subyek Gejala deideologisasi jihad
AI Jihadis tidak membunuh orang yang tidak berdaya dan terlalu mudah mengklaim diri sebagai
jihadis
AA Pengakuan para pelaku teror sebagai thoifah manshuroh tetapi melanggar ketentuan dan
batasan berjihad dianggap keliru
NA Menganggap para pelaku teror salah dalam memahami ayat jihad, dikuasai nafsu amarah, dan
pelaksanaan fai yang keliru
Id Tidak berani mengklaim diri sebagai jihadis pilihan Allah
UP Jihad terikat syarat waktu dan tempat, tidak semua orang bisa berjihad di wilayah konflik, dan
jihad tidak terbatas dalam pengertian perang.
Berdasarkan tabel 9 dapat disimpulkan bahwa proses deideologisasi jihad ditandai
dengan munculnya keyakinan bahwa jihad abadi adalah pemahaman yang tidak realistis. Klaim
sebagai thoifah manshurah yaitu kaum pilihan yang bertugas melakukan jihad abadi adalah
pemahaman yang diperdebatkan. Intinya, jihad bukan semata-mata dalam pengertian perang
abadi tetapi bisa dalam arti di luar perang abadi atau di luar pemahaman perang itu sendiri.
Penurunan Komitmen. Komitmen dan loyalitas anggota adalah hal penting dalam
sebuah kelompok. Tanpa komitmen dan loyalitas dari anggota, suatu kelompok terutama pada
kelompok gerakan bawah tanah seperti Jamaah Islamiyah tidak dapat dijamin akan bertahan.
Dalam penelitian ini, penurunan komitmen dan loyalitas terhadap Jamaah Islamiyah terjadi
karena mempersepsi pemimpin tertinggi tidak konsisten dengan sikap dan pendirian terhadap
organisasi. Sejumlah subyek penelitian mengungkapkan keraguan mereka terhadap tujuan
berjihad Jamaah Islamiyah karena penerimaan tokoh penting sekaliber ABB terhadap tawaran
menjadi ketua Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Majelis Mujahidin Indonesia adalah
organisasi yang menghimpun kaum radikal Islam di Indonesia yang pengesahan organisasinya
didasarkan atas akte notaris yang ditunjuk negara. Bagi sejumlah anggota Jamaah Islamiyah,
termasuk subyek penelitin ini. Bagi mereka, penerimaan ABB terhadap tawaran menjadi ketua
MMI menunjukkan inkonsistensi seorang pemimpin dari suatu organisasi radikal dan kelompok
gerakan bawah tanah.
Pengangkatan ABB sebagai ketua Majelis Mujahidin Indonesia menimbulkan pro-
kontra di kalangan anggota Jamaah Islamiyah. Mereka terpolarisasi menjadi dua kutub atau
kelompok. Kutub pertama adalah kelompok yang tidak mempersoalkan pengangkatan tersebut
karena MMI menghimpun kaum jihadis yang ingin menegakkan syariat Islam di Indonesia. Kutub
kedua adalah kelompok yang mempersoalkan hal itu karena mengindikasikan inkonsistensi Ust
ABB sebagai tokoh panutan di dalam tubuh Jamaah Islamiyah. Pilihan ini dinilai tidak konsisten
oleh banyak anggota Jamaah Islamiyah sehingga sebagian dari mereka menolak keberadaan MMI
karena bertentangan dengan prinsip fundamental Jamaah Islamiyah yang menganggap
pemerintah NKRI sebagai thogut.
Perpecahan di tubuh Jamaah Islamiyah karena penerimaan Abu Bakar menjadi ketua
MMI menyebabkan Jamaah Islamiyah seperti tanpa pilot. Sebagian anggota Jamaah Islamiyah
tidak bisa dikendalikan dan bergerak sendiri-sendiri sesuai keinginan masing-masing. Puncak dari
keadaan kacau dan tanpa kendali yang terjadi di dalam tanzhim Jamaah Islamiyah adalah Bom
Bali yang mengejutkan dunia dan menimbulkan kemarahan semua orang. Pemerintah dan aparat
kepolisian melakukan pengejaran dan penangkapan terhadap semua orang yang terkait Jamaah
Islamiyah. Hal itu menimbulkan kecemasan dan ketidakpastian di kalangan anggota dan pejabat
Jamaah Islamiyah sehingga mereka memilih mencabut baiat sebagai anggota JI dan berjuang
membela Islam dengan cara yang berbeda seperti memilih jalur pendidikan dan dakwah
sebagaimana dituturkan AA salah satu subyek penelitian berikut ini.
Komitmen dan loyalitas terhadap Jamaah Islamiyah mulai luntur seiring memanasinya
dinamika di tubuh organisasi gerakan bawah tanah ini. Kepemimpinan yang tidak jelas dan gerak
21
organisasi yang tidak terarah membuat pelaku teror berpikir untuk memilih jalan masing-masing.
UP yang dikabarkan mengikuti apel kesetiaan kepada NKRI di Lapas Porong Surabaya jauh-jauh
hari memperlihatkan tanda-tanda akan berubah sebagaimana dia nyatakan. Sementara Id
menjelaskan bahwa ia ingin menjadi warganegara yang biasa dan melebur dengan masyarakat. Id
ingin mendidik isteri dan anak-anaknya dengan pendidikan agama yang ia peroleh dari pesantren.
Pasca bom Bali dan harus dipenjara karena itu, ia tidak ingin kembali ke keluarga dan mencari
nafkah untuk mereka apapun yang bisa dilakukan.
AI, satu-satunya subyek yang menyatakan tetap menjadi anggota Jamaah Islamiyah,
mulai memperlihatkan komitmen yang meluntur terhadap kelompok. AI tidak sepakat dengan
pilihan kekerasan dan teror yang dilakukan para pelaku teror yunior yang dibina oleh anggota
Jamaah Islamiyah lainnya. Oleh karena itu, ia menentang keras cara jihad yang menggunakan
cara teror dan kekerasan terhadap aparat kepolisian. Penurunan komitmen subyek terhadap
organisasi Jamaah Islamiyah dapat digambarkan dalam tabel di bawah ini. Tabel 10. Gambaran penurunan Komitmen
Subyek Gambaran penurunan komitmen
NA Mulai ragu dengan Jamaah Islamiyah
AA Merasa tidak perlu lagi bertahan di dalam JI dan memutuskan keluar dan memilih cara sendiri
dalam memperjuangkan Islam
UP Tidak mempersoalkan Pancasila dan NKRI
Id Ingin mengurus keluarga
AI Masih merasa sebagai anggota Jamaah Islamiyah, tetapi tidak menyukai pemimpin JI yang
membiarkan aksi teror atau mendukung teror secara diam-diam.
Merujuk kepada tabel 10 maka dapat dinyatakan bahwa penurunan komitmen ditandai
dengan munculnya keraguan terhadap tujuan perjuangan Jamaah Islamiyah, memutuskan keluar
dari jaringan kelompok dan memilih jalan perjuangan Islam yang damai, tidak lagi
mempersoalkan Pancasila dan NKRI, kembali mengurus keluarga, dan terakhir, walaupun masih
menjadi anggota Jamaah Islamiyah tetapi menolak kepemimpinan yang pro kekerasan.
Faktor Sosial
Faktor sosial terdiri dari tiga konsep yaitu konflik pemimpin versus pengikut, konflik
interpersonal dan kontak dengan outgroup.
Konflik Pemimpin versus Pengikut. Sebagai suatu proses kelompok, apapun yang
terjadi di antara pemimpin dan pengikut mempengaruhi eksistensi dan kekompakan kelompok.
Tanpa pemimpin yang dapat diterima kelompok atau pengikut yang taat kepada kelompok maka
mustahil kelompok akan bertahan lama. Alih-alih bertahan dan menguat, kelompok yang
diwarnai hubungan yang bermasalah antara pemimpin dan pengikut akan menyebabkan
kelompok menjadi kacau dan hancur, baik karena dihancurkan oleh orang dalam atau dihancurkan
oleh pihak luar. Terdapat banyak konsep yang menjelaskan bagaimana hubungan antara
pemimpin dan pengikut, misalnya antara lain adalah kepercayaan atau trust.
Kepercayaan atau trust kepada senior, pemimpin kelompok atau amir jamaah menjadi
indikator penting relasi pemimpin-pengikut. Jika kepercayaan kepada pemimpin mulai luntur
maka relasi di antara keduanya bermasalah dan menyebabkan suasana hubungan tidak kondusif
dan meningkatkan kecenderungan individu keluar dari lingkaran kelompok serta memilih jalan
yang berbeda. Itulah suasana hubungan pemimpin dan pengikut yang memburuk di dalam tubuh
Jamaah Islamiyah saat dipimpin ABB. Keputusan pimpinan pusat kerapkali berlawanan dengan
aspirasi anggota yang mengerti situasi lapangan. Intinya, kepercayaan terhadap amir mulai
luntur.
Melunturnya kepercayaan anggota JI terhadap Amir ABB karena ketidaktegasan beliau
dalam menyelesaikan suasana carut-marut yang berlangsung di dalam tubuh Jamaah Islamiyah.
Ketidaktegasan ABB mencerminkan kepribadiannya yang lemah dalam memimpin gerakan
bawah tanah semacam Jamaah Islamiyah. Kelemahan kepemimpinan terjadi karena cara berpikir
yang sederhana dan tidak rumit, tanpa pertimbangan yang matang dan argumen yang berdasarkan
wawasan yang luas tentang kejamaahan. Akibatnya, pergerakan-pergerakan yang tidak terkendali
22
di dalam organisasi tidak dapat dikendalikan dan cenderunga dibiarkan padahal bisa
membahayakan masa depan jamaah. Hal itu sebagaimana disampaikan oleh AA.
Inkonsistensi pemimpin dalam banyak hal sangat penting dalam suatu organisasi,
termasuk dalam organisasi Jamaah Islamiyah. Inkonsistensi mempengaruhi kepercayaan anggota
terhadap pemimpin dan bagaimana individu bertahan di dalamnya. Inkonsistensi pemimpin, baik
sebagai individu maupun representasi kelompok bukan hanya mempengaruhi kepercayaan
anggota tetapi juga mempengaruhi semua tingkah laku yang terkait kelompok.
Dalm penelitian disertasi ini penggunaan istilah dan konsep yang tidak jelas dan tidak
konsisten dengan konteks situasi dan tempat ternyata menimbulkan keraguan anggota dan
selanjutnya mengarah menuju berkurangnya komitmen dan loyalitas terhadap kelompok dan
pemimpin. Dalam konteks Jamaah Islamiyah, hal ini juga terjadi dan dialam oleh anggota Jamaah
Islamiyah yang memiliki pemahaman yang dalam tentang Bahasa Arab dan kajian keislaman.
Kerapkali dipersoalkan mengenai penggunaan nomenklatur militer dalam struktur Jamaah
Islamiyah padahal organisasi ini dibangun untuk tujuan dakwah dan taklim serta idad atau
menyiapkan umat Islam menyongsong munculnya masa berjihad di Indonesia sebagaimana
dinyatakan oleh AA.
Ketidaktegasan ABB pengganti Abdullah Sungkar selaku imam Jamaah Islamiyah
merupakan faktor penting yang mendorong sebagian anggota Jamaah Islamiyah memilih
meniggalkan kelompok. Mereka beralasan kemimpinan Ustad ABB yang sangat lemah
menyebabkan roda organisasi Jamaah Islamiyah tidak berjalan dengan baik. Banyak anggota JI
yang bergerak sendiri-sendiri tanpa kendali ABB, misalnya Mukhlas dan Hambali yang membuat
rencana dan aksi pengeboman dengan mengatasnamakan Jamaah Islamiyah. Hal itu merugikan
anggota-anggota jamaah secara individual dan Jamaah Islamiyah secara organisasi, misalnya,
akibat aksi bom yang dilakukan oleh Mukhas maka anggota Jamaah Islamiyah yang tidak tahu
persoalan juga dikejar dan ditangkap.
Dibandingkan dengan Abdullah Sungkar, ketegasan ABB jauh di bawahnya. Di era
kepemimpinan Abdullah Sungkar, pergerakan anggota Jamaah Islamiyah terkontrol sehingga
tidak ada yang berani melakukan tindakan sendiri-sendiri. Prinsip berjamaah yaitu keharusan
makmum atau anggota mengikuti imam benar-benar dijalankan dengan tegas. Semua anggota
menuruti instruksi pemimpin sehingga kerja organisasi berjalan dengan rapi dan baik
sebagaimana dinyatakan subyek penelitian berikut ini.
Ketidaktegasan ABB dalam memimpin Jamaah Islamiyah adalah karakteristik pribadi
yang melekat sejak lama di dalam dirinya. Sebab, berbagai kenyataan yang menggambarkan
ketidaktegasannya telah berlangsung sejak lama sampai menjelang ia dipenjara karena kasus
pelatihan militer di Aceh. Walaupun banyak saksi dan pelaku yang memperkuat keterlibatan ABB
dalam kasus itu tetapi tetap saja ia mengingkarinya. Itulah sebabnya mengapa tidak banyak
anggota Jamaah Islamiyah yang berharap bahwa organisasi bisa berjalan dengan baik di bawah
kepemimpinannya.
Gaya kepemimpinan ABB yang kurang tegas dalam memberikan arahan dan instruksi
kerapkali dipersoalkan anggota Jamaah Islamiyah. Ketidaktegasan itu membuka peluang oknum
tertentu seperti Hambali untuk memanfaatkan situasi dengan membuat gerakan yang tidak
diketahui pimpinan markaz. Hal itu sebagaimana dinyatakan seorang subyek penelitian berikut
ini:
Di mata anggota Jamaah Islamiyah yang menyimpan rasa kecewa terhadap ABB,
pemimpin JI seharusnya tidak hanya melihat persoalan dari sisi bagaimana syariat diterapkan
tetapi juga melihat dari kemaslahatan jamaah. Sebagai pemimpin, pertimbangan rasionalitas
seperti untung-rugi atau manfaat dan kerusakan harus diprioritaskan demi kepentingan
keberlangsungan organisasi. Dalam pandangan mereka, persetujuan dan penolakan usulan
kegiatan atau aksi tidak cukup dengan pertimbangan syariat tetapi juga pertimbangan
kemaslahatan jamaah sebagaimana pernyataan subyek penelitian berikut ini.
Secara organisasi, Jamaah Islamiyah tidak pernah merancang aksi pengeboman di
Indonesia maupun di luar Indonesia karena jamaah ini dibangun untuk melaksanakan dakwah dan
taklim walaupun bernuansa ekstrim dan radikal. Hal itu dilakukan dalam rangka i’dad atau
menyiapkan sumber daya untuk menghadapi situasi dan kondisi menuju jihad yang
sesungguhnya.
23
Konsistensi pengikut atau anggota Jamaah Islamiyah dalam mempertahankan doktrin,
strategi dan taktik perjuangan dipersoalkan. Bagi anggota Jamaah Islamiyah yang memilih
meninggalkan jamaah dan atau meninggalkan jalan kekerasan sebagaimana yang dilakukan Imam
Samudera dan kawan-kawan, ketidakpastian situasi dalam tubuh Jamaah Islamiyah telah
melahirkan orang-orang yang indisiplin terhadap nilai dan doktrin jamaah. Orang-orang itu lebih
memilih mentaati Osama bin Laden daripada memilih ABB.
Jika pengikut mengikuti figur tokoh di luar petinggi jamaah maka itu berarti ada masalah
dalam hubungan pemimpin-pengikut. AA adalah salah satu jihadis mantan anggota Jamaah
Islamiyah yang lebih mengidolakan mentor dan guru-gurunya semasa belajar di Akademi Militer
Mujahidin Afganistan dibandingkan petinggi Jamaah Islamiyah. Bagi subyek jihad di negara yang
tidak mengalami konflik adalah kesalahan besar dan menyalahi kaidah fikih jihad yang telah
disepakati para ulama salafussalih. AA merujuk penolakannya kepada pendapat Abdullah bin
Azam.
NA sebagai pimpinan mantiqi 3 merasakan ada gejala perpecahan di tingkat pimpinan
puncak Jamaah Islamiyah dalam menjalankan roda organisasi. Perpecahan itu disebabkan oleh
kesediaan ABB untuk memimpin Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Penerimaan ABB untuk
memimpin MMI yang didirikan berdasarkan akte notaris menunjukkan inkonsistensi sebagai
pribadi yang menganggap pemerintah RI thogut. Hal senada juga disampaikan oleh AA.
Penerimaan ABB untuk memimpin MMI menimbulkan polarisasi kelompok antara yang pro dan
kontra. AA sendiri berada dalam barisan yang kontra dan menganggap hal itu sebagai sikap tidak
konsisten dari seorang pemimpin.
Dinamika konflik pemimpin-pengikut yang berlangsung di kalangan teroris di Indonesia
dapat digambarkan sebagaimana berikut ini:
Gambar 1. Dinamika konflik pemimpin-pengikut
Berdasarkan gambar 1 maka dapat dikatakan bahwa konflik pemimpin-pengikut
berlangsung melalui empat tahap yaitu tahap terbentuknya persepsi negatif terhadap pemimpin,
tahap kehilangan kepercayaan terhadap pemimpin, tahap polarisasi dan kekacauan internal
kelompok, dan tahap pergerakan anggota tanpa kontrol pemimpin.
Konflik Interpersonal. Konflik interpersonal di antara sesama anggota atau antara senior
dan yunior atau antara pimpinan dan bawahan juga menjadi faktor penting yang menjelaskan
kenapa pilihan meninggalkan jalan teror terjadi. Tentu saja pengaruh konflik interpersonal
terhadap pilihan meninggalkan jalan teror berlangsung dalam rangkaian proses yang panjang.
Contoh, riak-riak kecil yang mewarnai hubungan interpersonal dalam tim kecil eksekutor Bom
Bali.
24
Kekesalan dan kekecewaan atas tingkah laku yang lain kerapkali membekas di dalam hati
sehingga menodai persahabatan dan menumbuhkan benih perpecahan. Perbedaan pendapat
mengenai hal-hal kecil tetapi dianggap besar oleh yang lain sehingga dapat mengotori kesucian
jihad sering terjadi, seperti mendengarkan musik dangdut dan pop. Kedua jenis musik ini
dianggap sebagai musik jahiliah yang menodai nilai jihad dan perjuangan menegakkan Islam
seperti yang dilakukan Imam Samudera.
Akhirnya perdebatan dan perbedaan pendapat mengenai hal itu bisa diselesaikan dengan
baik, bukan hanya karena argumen Imam Samudera yang masuk akal yaitu sebagai bagian dari
tehnik penyamaran, tetapi juga karena posisinya sebagai komandan lapangan yang harus
dihormati. Kendati demikian, kejadian itu memberikan pengalaman dan kesan yang buruk bagi
AI dan Id yang juga terlibat sebagai pelaksana lapangan aksi Bom Bali.
Pertengkaran bukan saja bersifat verbal dan adu argumen, tetapi juga dengan
menondongkan senjata ke teman sendiri, dan penyebabnya karena hal-hal sepele. Bagi subyek
penelitian yang terlibat dalam aksi tersebut, seperti AI dan Id hal itu kerapkali menimbulkan
perasaan tidak nyaman di hati. Seharusnya perdebatan karena hal-hal sepele tidak perlu terjadi
karena merusak semangat dan motivasi tim untuk melaksanakan amaliyah istisyhad dalam
persepsi mereka.
Berbagai bentuk perpecahan dan silang pendapat di antara para aktivis gerakan Islam
garis keras menimbulkan benih keraguan pada sebagian anggota. Misalnya, NA menunjukkan
secara eksplisit bahwa perpecahan yang terjadi di dalam tubuh Jamaah Islamiyah membuatnya
ragu-ragu terhadap arah perjuangan para seniornya, walaupun akhirnya hilang ditelan waktu. Poin
penting yang perlu digarisbawahi dalam hal ini adalah bahwa benih keraguan terhadap kelompok
telah muncul sejak lama, tetapi keraguan tersebut muncul-tenggelam seiring perjalan waktu.
Ketidakharmonisan hubungan interpersonal di kalangan pelaku teror dan anggota Jamaah
Islamiyah di antaranya disebabkan oleh kecenderungan persaingan dan klaim senioritas di antara
mereka. Misalnya, AA menegaskan bahwa persaingan di antara anggota Jamaah Islamiyah pasti
ada karena saat itu organisasi ini memiliki dana yang sangat banyak, baik dari sumbangan anggota
ataupun para donatur. UP juga mengiyakan hal itu dan menegaskan bahwa persaingan di dalam
suatu kelompok tidak bisa dihindari apalagi untuk organisasi seperti Jamaah Islamiyah. Tabel 11 Konflik interpersonal
Subyek Pernyataan atau pengalaman konflik
AI Pengalaman konflik tentang lagu jahiliah (dangdut, pop dan lain-lain) dengan IS
Id Penegasan tentang adanya konflik interpersonal sampai pada tingkat menggunakan
senjata atau kekerasan
NA Pernyataan tentang konflik interpersonal, baik pada level pimpinan maupun anggota
JI, yang membuatnya tidak nyaman.
AA Persaingan karena memperebutkan kedudukan dan status di antara anggota Jamaah
Islamiyah pasti ada karena fasilitas mewah dari JI
UP Penegasan tentang adanya konflik interpersonal sampai pada tingkat yang
mengganggu hubungan
Berdasarkan tabel 11 dapat dikatakan bahwa konflik interpersonal terjadi dengan
beragam tingkatan, mulai dari konflik interpersonal tentang hal-hal yang sepele seperti musik
sampai pada konflik interpersonal yang terjadi karena memperebutkan jabatan, status dan fasilitas
dari Jamaah Islamiyah.
Kontak dengan outgroup. Kontak yang intensif dengan anggota outgroup ternyata
memberikan pengaruh yang besar terhadap perubahan keyakinan pelaku teror tentang konsep
musuh. Pengalaman salah satu petinggi Jamaah Islamiyah berinteraksi dengan Non Muslim atau
Kristiani di dalam penjara telah mengubah pandangannya tentang Kaum Kristiani.
Dalam sebuah wawancara dengan reporter TV Mumria yang berbahasa Arab, NA
mengungkapkan bahwa ia mengubah cara pandangnya tentang Non Muslim terutama tentang
Kaum Nasrani setelah berinteraksi dengan dua pribadi Nasrani di dalam penjara. Ia begitu
terkesan dengan sikap dan tingkah laku kedua tokoh Gang Coker terhadap dirinya. Menurutnya,
kedua orang Nasrani itu sangat baik, simpatik dan banyak membantu dirinya dalam banyak hal
sehingga mengubah cara pandangnya tentang Kaum Nasrani.
25
Pengalaman yang hampir sama juga dialami oleh subyek penelitian yang lain yaitu AI.
Perubahan cara pandang seperti ini dialami oleh AI setelah ia banyak berinteraksi dengan aparat
keamanan seperti Densus 88 Mabes Polri maupun para petugas penjara di mana ia ditahan. Id
juga bercerita bagaimana interaksinya dengan non Muslim saat di penjara dan pengalamannya
sebagai sopir taksi yang membawa turis Barat termasuk orang Australia membuka pikirannya
bahwa mereka tidak seburuk yang ada di dalam pikirannya selama ini.
Interaksi yang intensif dengan pihak lain termasuk kepolisian ternyata juga memberikan
kesan positif tersendiri sebagaimana yang dialami NA. Pada mulanya NA dipenuhi oleh
prasangka dan sikap permusuhan terhadap aparat kepolisian, karena di dalam pikirannya telah
terbentuk persepsi bahwa mereka adalah musuh yang harus dilawan. Kebaikan dan keramahan
aparat kepolisian membua hatinya luluh, apalagi ia merasakan mereka sangat menghargai dirinya
sebagai kaum jihadis yang berpikir jernih dan anti teror atau kekerasan sebagaimana yang ia
nyatakan.
AA yang pernah bertugas sebagai dai Jamaah Islamiyah di Australia bercerita bagaimana
ia bergaul dengan orang Barat dalam tugas dakwah dan taklimnya. AA bercerita, kontak dengan
orang Barat yang non Muslim di Australia adalah sesuatu yang biasa ia lakukan. Bahkan, banyak
dari orang bule yang memilih menjadi muallaf . UP juga menyatakan hal yang kurang lebih sama.
Bertemu dengan banyak pribadi dari berbagai kelompok membuatnya menyadari bahwa
keragaman itu anugerah Allah yang harus dihadapi dengan rasa syukur. UP menyatakan ia tidak
membenci Kaum Nasrani atau Barat tetapi yang ia benci kaum Yahudi karena mereka telah
menguasai Palestina secara tidak sah.
Kontak dengan orang lain di luar kelompok dapat digambarkan sebagaimana tabel atau
matrik di bawah ini.
Tabel 12. Kontak dengan outgroup
Subyek Bentuk Kontak Tempat atau waktu
NA Kontak dengan polisi Kristen dan narapidana
Kristen
Tahanan dan penjara
AI Kontak dengan polisi Kristen dan napi Non
Muslim
Rutan Narkoba Mapolda Jaya
AA Kontak dengan orang Barat dan Non Muslim
dari berbagai bangsa
Saat menjadi dai Jamaah Islamiyah
di Australia
Id Kontak dengan narapidana non Muslim dan
orang Barat
Saat ditahan di penjara dan saat
menjadi sopir taksi di Pekanbaru
UP Kontak dengan non Muslim Di penjara
Berdasarkan tabel 12 dapat dikatakan bahwa kontak dengan orang lain di luar kelompok
berlangsung dalam berbagai konteks situasi dan tempat seperti saat pemeriksaan oleh aparat
kepolisian non Muslim, saat di dalam penjara dengan narapidana non Muslim, dan saat di luar
penjara dalam menjalankan kegiatan sehari-hari.
Pengembangan Teori
Proses penelitian ini diakhiri dengan mengembangkan teori yang menjelaskan tentang
dinamika relasi sosial dalam proses meninggalkan jalan teror pada pelaku teror di Indonesia.
Dinamika relasi sosial dalam proses meninggalkan jalan teror di Indonesia dijelaskan dalam
bentuk gambar atau skema sebagaimana berikut ini.
26
Gambar. 2. Dinamika relasi sosial dalam proses meninggalkan jalan teror
G. Pembahasan Hasil Penelitian
Kategori Meninggalkan Jalan Teror Meninggalkan jalan teror terdiri dari tiga kategori. Pertama, tetap merasa sebagai anggota
Jamaah Islamiyah tetapi menolak penggunaan cara-cara kekerasan dalam mencapai tujuan
ideologis. Kedua, keluar dari Jamaah Islamiyah dan melakukan gerakan deradikalisasi atau
penyadaran untuk tidak melakukan klaim jihad dengan menggunakan kekerasan. Ketiga, tidak
menyatakan secara jelas apakah keluar dari Jamaah Islamiyah atau tetap bertahan, tetapi menolak
cara-cara kekerasan seperti aksi bom massal.Jika merujuk kepada teori Horgan dan Bjorgo (2009)
maka kategori pertama dan ketiga mencerminkan disengagement sedangkan kategori kedua
mencerminkan deradikalisasi.
Hasil penelitian ini menegaskan bahwa pelaku teror di Indonesia bisa meninggalkan jalan
teror, baik dalam arti meninggalkan ideologi atau meninggalkan cara-cara kekerasan. Ini
bertentangan dengan kesimpulan Horgan (2009; 2011) yang menyatakan bahwa para pelaku teror
yang berbasis ideologi Islam seperti Jamaah Islamiyah atau Al-Qaida hanya sampai pada tingkat
meninggalkan kekerasan sedangkan ideologi negara Islam tetap dipertahankan.
Proses Menuju Disengagement
Evaluasi merupakan tema penting yang ditemukan dalam proses meninggalkan jalan
teror. Evaluasi terbagi menjadi dua, yaitu evaluasi kelompok yang dilakukan oleh para pelaku
teror yang terlibat langsung dalam eksekusi bom Bali 1, dan evaluasi individual dilakukan oleh
semua anggota Jamaah Islamiyah, baik yang terlibat dengan bom Bali 1 maupun yang tidak
terlibat dalam situasi dikejar dan ditangkap pihak kepolisian serta sorotan bahkan kecaman dari
publik.
Evaluasi kelompok dan individual sebagai temuan penting dalam penelitian psikologi
teror secara eksplisit belum ada. Tetapi rasa kecewa sebagai akibat dari persepsi individual
27
terhadap dinamika organisasi dan pengalaman personal dikemukakan oleh Horgan (2009) dan
Reinares (2011). Menurut peneliti, rasa kecewa dan persepsi negatif terhadap perubahan
struktural, dinamika organisasi dan pengalaman personal adalah output dari proses evaluasi
kelompok maupun evaluasi individual.
Evaluasi sejumlah anggota Jamaah Islamiyah bahwa banyak kesalahan yang dilakukan
pada tahap perencanaan dan eksekusi adalah faktor penting yang menghantarkan para pelaku
kepada penyesalan atas aksi teror pada kasus Bom Bali Tahun 2002 (Imron, 2010). Dalam bahasa
Postmets dkk (2005), proses dan mekanisme ini disebut komunikasi intragroup (Postmes,
Haslam, & Swaab, 2005; Saloom, 2012.
Penyesalan dan rasa bersalah para teroris atas perbuatan destruktif di masa lalu menjadi
petunjuk awal bahwa mereka memungikinkan untuk meninggalan jalan teror. Disebutkan oleh
Garfinkel (2007) dan Jacobson (2010) bahwa penyesalan adalah titik permulaan bagi para teroris
dan kaum radikal untuk memasuksi fase perubahan personal dari pribadi yang pro kekerasan
menuju pribadi yang anti kekerasan dan pro perdamaian. Disebutkan pula oleh Horgan (2009)
dan Harris (2010) penyesalan biasanya terjadi karena munculnya rasa kecewa terhadap banyak
hal ketika seseorang berada di dalam kelompok teror.
Dari perspektif teori identitas sosial, perasaan bersalah dan berdosa muncul karena telah
melukai ingroup sendiri yaitu umat Islam yang diklaim sebagai kelompok yang dibela oleh para
teroris (Tajfel & Turner, 1986). Melukai apalagi membunuh orang Islam sama saja dengan
melukai dan membunuh diri sendiri. Jika alasan mereka melakukan aksi teror adalah untuk
menunjukkan pembelaan; utk melakukan balas dendam atas penderitaan mereka akibat ulah kaum
kafir maka bagaimana alasan mereka jika yang membuat umat menderita dan terluka adalah
mereka sendiri? (Saloom, 2012).
Penjelasan di atas diperkuat oleh penelitian Mackie dan Smith (2002) yang
menyimpulkan bahwa individu dapat mengalami emosi-emosi tertentu karena kepentingan
ingroup yang terganggu (Castano E., 2011). Di antarnya karena mempersepsi telah menyakiti
saudara sendiri sesama umat Islam. Alih-alih melakukan pembelaan terhadap kepentingan umat
Islam justeru dalam persepsi publik, mereka melukai perasaan sesama umat karena merenggut
jiwa sebagian mereka dan mencemarkan nama Islam dengan tindakan mereka yang destruktif.
Hal ini erat kaitannya dengan dukungan publik terhadap terorisme dan kekerasan politik
(Pyszczynski, Abdollahi, Solomon, Greenberg, Cohen, & Weise, 2009; Levin S. , Henry, Prato,
& Sidanius, 2009; Sidanius, Henry, Pratto, & Levin, 2009)
Dalam penelitian ini, disebutkan ada dua alasan penting mengapa jihad dilarang, yaitu
Indonesia bukan wilayah konflik dan belum tiba saatnya berjihad karena Indonesia masih menjadi
dominasi umat Islam. Hali ini juga menyiratkan bahwa semangat jihad tidak hilang dari para
pelaku teror. Hal itu menurut dugaan peneliti karena ajaran jihad tercantum secara eksplisit di
dalam Al-Quran maupun Hadis sehingga tidak mungkin seorang Muslim akan menghilangkan
konsep itu dari pikirannya (Amirsyah, 2012). Oleh karena itu, Amirsyah menegaskan ajaran jihad
tidak mungkin dihapuskan oleh siapapun. Sementara itu, Azuzi (In press) menegaskan bahwa
jihad tidak boleh dilakukan tanpa mengikuti ketentuan para ulama.
Pemahaman para mantan pelaku teror dan atau anggota gerakan Islam garis keras di
Indonesia setidaknya dalam penelitian ini dikategorikan menjadi tiga pemahaman atau keyakinan.
Pertama, pemahaman jihad sebagai perang (al-qital) tetapi harus memenuhi syarat dan ketentuan.
Dalam hal ini, setiap orang bertanggungjawab untuk melakukannya. Dalam bahasa fikih (bagian
dari hukum Islam), hal itu disebut fardhu ain. Kedua, pemahaman dan keyakinan yang sama
dengan yang pertama tetapi tidak semua orang bertanggungjawab melakukannya atau hukumnya
fardhu kifayah. Ketiga, pemahaman jihad bukan hanya sebatas berperang tetapi juga pemahaman
lain di luar perang seperti berjihad untuk menafkahi keluarga.
Perdebatan tentang konteks jihad juga berhubungan dengan konsep “musuh jauh dan
musuh dekat” dalam perspektif kelompok Islam radikal di berbagai belahan dunia termasuk di
Indonesia. Disebutkan oleh Schmitt (2008) bahwa konsep musuh jauh merujuk kepada Negara
Barat sedangkan musuh dekat merujuk kepada pemerintah negara setempat. Ramakrishna (2009)
menyatakan bahwa dalam konteks Jamaah Islamiyah Indonesia, musuh jauh adalah Amerika
Serikat dan musuh dekat adalah penguasa NKRI yang kerapkali dianggap sebagai thogut.
Kategori musuh dekat bukan hanya meliputi pemerintah NKRI tetapi juga pemerintah negara-
28
negara kawasan Asia Tenggara seperi Filipina atau Malaysia (Chalk, Rabasa, Rosenau, & Piggott,
2009).
Pihak pendukung “amaliyah jihad” di luar ketentuan fikih dianggap berfaham agama
dangkal dan bahkan bertentangan pemikiran Ibnu Taimiyyah tentang jihad, ulama yang kerapkali
menjadi rujukan kaum salafi jihadis (Bayyah, 2007). Itulah mengapa cara memperjuangkan Islam
yang relevan dengan ruang dan waktu di Indonesia adalah jalur dakwah dan taklim. Secara umum,
dakwah dan taklim ala salafi menjadi pilihan utama karena ada hubungan yang kuat antara kaum
jihadis dan dakwah wahabi-salafi (Wiktorowicz, 2005; 2006).
Tentang sikap terhadap outgroup, penelitian ini memperlihatkan terjadinya perubahan
pandangan pelaku teror, dari homogenitas yaitu cara melihat non Muslim terutama kaum nasrani
sebagai orang-orang yang seragam dalam memusuhi Islam, menjadi heteroginitas yaitu cara
melihat non Muslim sebagai orang-orang yang beragam dalam memperlakukan umat Islam.
Pelaku teror yang semula membenci gereja dan Kaum Kristiani tanpa pemilahan karena dianggap
tidak berhenti merencanakan pemufakatan jahat untuk menghancurkan Islam di Indonesia secara
perlahan mulai bergeser menjadi sikap yang netral bahkan cenderung memilah-milah antara
sesiapa yang memusuhi dan sesiapa yang bersahabat.
Disebutkan oleh Brown dan Gaertner (2003) bahwa perubahan sikap terhadap ingroup
atau outgroup bersifat dinamis. Kawan bisa menjadi lawan atau sebaliknya lawan bisa menjadi
kawan (Jacobson, 2010; Garfinkel, 2007). Disebutkan pula oleh Garfinkel (2007), dinamika itu
menggambarkan proses transformasi personal pada pelaku teror. Transformasi personal
disebabkan oleh beragam faktor sebagaimana pada pelaku teror di kelompok lain, misalnya
Kelompok ETA di Spanyol (Reinares, 2011). Disebutkan oleh Reinares (2011), faktor-faktor itu
meliputi faktor pengalaman personal, faktor dinamika organisasi dan faktor perubahan struktural
dengan persepsi subyektif sebagai konsep kunci.
Temuan penelitian memperlihatkan ada gejala atau kecenderungan outgroup homogenity
pada anggota kelompok teroris. Outgroup homogentiy adalah kecenderungan seseorang untuk
menganggap homogen atau sama semua anggota kelompok lain tanpa mampu memilih dan
memilah mana anggota yang relevan dan tidak relevan dengan masalahnya (Hogg & Abrams,
1998; Saloom, 2012).
Dalam konteks teori identitas sosial, kecenderungan ini terjadi manakala identifikasi
seseorang terhadap kelompok sendiri sangat kuat, tetapi di sisi lain, sikap permusuhan terhadap
kelompok lain juga tidak kalah kuatnya. Para ahli psikologi sosial penganut teori identitas
menyebutnya dengan mekanisme “ingroup favoritism and outgroup homogenity” (Descamps,
Claude, & Devos, 1998; Hogg & Abrams, 1998; Haslam, Reicher, & Reynolds, 2012) yaitu
kecenderungan menganggap baik dan indah semua yang ada pada kelompok dan anggota
kelompok sendiri, tetapi sebaliknya ada kecenderungan menganggap buruk dan dosa, semua hal
yang terkait dengan kelompok lain.
Poin penting yang relevan dengan tema disertasi ini adalah bahwa kecenderungan
outgroup homogenity atau ketidakmampuan membedakan mana kawan dan mana lawan
mengakibatkan dampak yang luar biasa dan mempengaruhi munculnya rasa bersalah dan berdosa.
Dinamika Relasi Sosial dan Meninggalkan Jalan Teror. Ada tiga motivasi atau
penyebab meninggalkan jalan teror yaitu faktor personal, faktor organisasi dan faktor sosial.
Pergeseran identitas kelompok menuju identitas personal pada subyek penelitian ditemukan
dengan indikasi berkurangnya kebanggaan sebagai anggota atau petinggi Jamaah Islamiyah, di
satu sisi, dan kecenderungan membanggakan diri sendiri di sisi lain. Dalam penelitian disertasi
ini, ada kecenderungan subyek penelitian menonjolkan identitas personal dibandingkan identitas
sosial sebagai anggota atau petinggi Jamaah Islamiyah.
Penonjolan identitas personal atas identitas sosial merupakan indikasi bahwa pengaruh
dan motivasi kelompok tidak lagi sekuat sebelumnya. Perubahan identitas dan motivasi berbasis
kelompok menjadi identitas dan motivasi berbasis personal diindikasikan oleh keinginan dan
kecenderungan membantu pemerintah atau aparat kepolisian dalam melawan terorisme serta
terlibat dalam berbagai agenda deradikalisasi (Jacobson, 2010; Rabasa, Pettyjohn, & Jeremy J.
Ghez, 2010).
Dalam literatur radikalisme Islam termasuk di Indonesia, penguasa yang tidak
menerapkan sistem pemerintahan Islam dan menggunakan sistem demokrasi ala Barat dianggap
29
sebagai thogut (pengusa zalim) yang wajib diperangi (Baasyir, tanpa tahun; Ghazali, 2011;
Solahudin, 2011). Penguasa thogut dianggap sebagai musuh dekat yang harus diperangi sebelum
memerangi musuh jauh seperti Amerika dan sekutu-sekutunya (Solahudin, 2011; Ramakrishna,
2009). Persepsi dan pikiran semacam itu diinternalisasi oleh anggota kelompok radikal melalui
proses indoktrinasi yang berlangsung lama dan bertahap sehingga pada titik tertentu menjadi
doktrin dan motivasi kelompok yang tidak mudah dihilangkan (Moghaddam, 2007; Sagemen,
2004; Milla, 2009). Jika perilaku yang ditunjukkan berbanding terbalik dengan perilaku yang
umumnya ditunjukkan anggota kelompok ekstrimis Islam dalam konteks kerjasama melawan
teror maka hal itu berarti terjadi pergeseran identitas yang bersifat kelompok menuju identitas
yang bersifat personal.
Dalam perspektif teori identitas sosial, ketika identitas yang berbasis sosial menonjol
maka anggota kelompok mungkin akan memperlihatkan kesamaan emosi dan merespon secara
emosional peristiwa-peristiwa yang relevan dengan kemauan dan kesejahteraan kelompok
walaupun secara personal ia tidak merasa nyaman dengan peristiwa-peristiwa tersebut
(Baumeister & Finkel., 2010; Hogg, Abrams, Otten, & Hankle, 2004; Ellemers, Spears, & Doosje,
2002).
Berdasarkan hal itu dapat dikatakan bahwa penolakan awal subyek penelitian terhadap
keinginan dan rencana kelompok untuk melakukan aksi Bom Bali dikalahkan oleh keharusan
memperlihatkan kesamaan emosi, pikiran dan tindakan pribadi dengan kelompok sehingga
mekanisme psikologis tersebut memaksa dirinya untuk ikut dan terlibat dalam aksi tersebut. Oleh
karena itu, jika individu berhasil melepaskan diri dari jeratan identitas kelompok maka ia telah
berhasil membebaskan diri norma dan aturan kelompok.
Dalam teori identitas sosial, hal ini bisa dijelaskan dengan model interaktif pembentukan
identitas. Model ini meletakkan relasi interpersonal dan intrapersonal sebagai konsep penting
yang dapat mempengaruhi dinamika identitas. Jika komunikasi interpersonal dengan orang-orang
tertentu menonjol maka pikiran dan perasaan mereka akan sangat mempengaruhinya, sebaliknya
jika komunikasi intrapersonal yang menonjol maka pertimbangan individual akan lebih dominan
(Saloom, 2012; Postmes, Haslam, & Swaab, 2005).
Jika dilihat dari perspektif teori identitas sosial, kecenderungan pelaku teror menyalahkan
beberapa ide dalam memilih target pengeboman menunjukkan bahwa ia tidak lagi satu identitas.
Artinya, terjadi pergeseran lokus identitas dari sosial ke personal. Subyek tidak lagi merasa
terikat dengan cara pandang kelompok dalam melihat target dan sasaran jihad (Postmes & Jetten,
2006; Saloom, 2012; Knipperberg, 2000; Schneider, George, Carroll, & Middleton,
2011).Dengan logika terbalik dapat dikatakan, jika kepentingan peribadi didahulukan atas
kepentingan kelompok maka identitas personal lebih menonjol dibanding identitas kolektif.
Konflik nilai personal dan nilai kelompok menjadi temuan penelitian yang menarik. Nilai
yang dianut secara personal kerapkali bertentangan dengan nilai yang dianut kelompok.
Perubahan keyakinan dan sikap menunjukkan perubahan nilai keagamaan dari radikal menuju
moderat (Ashour, 2011; Kruglanski, Gelfand, & Gunaratna, 2011; Barret & Bokhari, 2008).
Disebutkan bahwa bersikap moderat dan mengurangi komitmen terhadap penggunaan kekerasan
adalah esensi dari pengertian deradikalisi (Ashour, 2011; Kruglanski, Gelfand, & Gunaratna,
2011; Kruglanski, Gelfand, Belanger, Shaveland, Hetiarachchi, & Gunaratna, 2014). Dengan
demikian, semakin personal nilai yang dianut seseorang maka ia semakin terbebas dari jebakan
nilai kelompok. Jika terjadi perubahan keyakinan dan sikap terhadap pemerintah yang thogut,
misalnya menjadi positif, dan berlanjut dengan ikut berpartisipasi aktif dalam program
deradikalisasi maka hal itu berkaitan dengan perubahan nilai atau perspektif, dari nilai dan
perspektif kelompok menjadi nilai personal (Christensen, Rothgerber, Wood, & Matz, 2004;
Cragin & Daly, 2004; Postmes, Haslam, & Swaab, 2005; Cragin K, 2007; Milla, 2009).
Salah satu faktor penting yang mendorong seseorang keluar dari kelompok adalah
inkonsistensi kelompok atau anggota kelompok dalam menerapkan nilai, norma dan ideologi
kelompok. Inkonsistensi tersebut seringkali menimbulkan perselisihan pendapat dan konflik
interpersonal yang tinggi di antara anggota kelompok (Demant, Slootman, Buijs, & Tillie, 2008).
Wright (1988) dan Skonovd (1988) sebagaimana dikutip Demant dkk (2012)
menyebutkan bahwa konflik interpersonal mengenai banyak hal, baik hal kecil maupun hal besar,
yang terjadi dalam suatu kelompok dapat memicu keraguan anggota terhadap misi dan tujuan
30
kelompok yang kemudian berlanjut dengan kekecewaan. Pada titik tertentu kekecewaan tersebut
melahirkan keputusan meninggalkan kelompok (Demant, Slootman, Buijs, & Tillie, 2008;
Disley, Weed, Reding, Clutterback, & Warnes, 2012).
Disonansi antara pikiran dan perasaan dialami para teroris. Ada dua elemen informasi
yang saling bertabrakan yang membuat mereka tidak nyaman secara kognitif. Ketidaknyamanan
pikiran inilah yang menjadi faktor penting terjadinya behavioral disengagement pada kasus
ekstrim kanan di daratan Eropa yang dikaji oleh Demant dkk (Demant, Slootman, Buijs, & Tillie,
2008)
Merujuk kepada Teori Disonansi Kognitif dari Festinger (1957), pernyataan bahwa
pelaku teror merasa tidak nyaman karena melihat orang lain bersikap dan bertingkah laku yang
tidak sesuai dengan nilai-nilai dan ideologi yang dianut kelompok. (Gawronskia & Strack, 2004).
Oleh karena motif dasar manusia adalah konsistensi personal, baik pada dirinya sendiri maupun
pada orang lain, maka manusia secara psikologis akan selalu berusaha mengejar konsistensi
kognitif dengan mengubah sikap, mengubah tingkah laku atau kepentingan personal terhadap
objek sikap (Gawronskia & Strack, 2004). Dalam rangka meraih konsistensi kognitif dilakukan
perubahan sikap terhadap misi kelompok dan selanjutnya mengubah tingkah laku mereka dengan
meninggalkan cara teror yang menjadi pilihan kelompok (Jacobson, 2010).
Hal penting yang perlu dikemukakan dari hasil penelitian ini adalah perbedaan dalam
memahami konsep dan penerapan jihad. Perbedaan ini menggambarkan adanya proses
deideologisasi jihad. Bagi anggota Jamaah Islamiyah yang masih radikal, jihad adalah tugas abadi
sebagai konsekuensi dari keyakinan tentang thoifah manshurah. Tetapi bagi anggota Jamaah
Islamiyah yang mengalami deideologisasi, jihad itu bukan tugas abadi. Jihad tergantung
kebutuhan dari sisi tempat dan waktu. Penelitian Post (2007) menemukan bahwa pemikiran
keagamaan yang fundamentalis dan ideologi kebencian yang dipelihara dari satu generasi ke
generasai berikutnya terbukti menjadi bahan bakar penggerak teror (Post, 2007).
Bjorgo (2002) mengemukakan bahwa hilangnya kepercayaan terhadap ideologi dan
politik kelompok atau pergerakan merupakan salah satu alasan kenapa muncul keinginan
meninggalkan kelompok. Kehilangan kepercayaan terhadap ideologi dan politik kelompok
menimbulkan keraguan dan anggapan keliru terhadap jalan yang ditempuh (Bjorgo & Horgan,
2009). Biasanya keyakinan itu berubah setelah meninggalkan kelompok sehingga hal itu dapat
dikatakan sebagai akibat sekaligus penyebab meninggalkan kelompok (Bjørgo, 2002; Jacobson,
2010).
Hilangnya daya tarik ideologi sebagai penyebab keputusan meninggalkan jalan teror
cukup menonjol. Demant, Slootman, Buijs, dan Tillie (2008) menjelaskan bahwa ideologi dan
cita-cita kelompok yang tidak menarik lagi bagi para pelaku teror menunjukkan bahwa
komitmennya kepada organisasi dan ideologi penegakan negara khilafah menurun. Temuan
Bjorgo (2009) tentang hilangnya daya tarik ideologi dan cara kerja gerakan pada anggota Neo-
Nazi sebagai pemicu meninggalkan kelompok nampaknya juga terjadi pada Jamaah Islamiyah
Indonesia pimpinan ABB. Keputusan subyek penelitian meninggalkan kelompok dipengaruhi
oleh persepsinya bahwa anggota Jamaah Islamiyah salah dalam memahami jihad dan
penerapannya.
Cara pandang subyek ini sama dan sesuai dengan pandangan Bayyah (2007) seorang
ulama yang menulis tentang “al-irhab (teroris). Bayyah (2007) menjelaskan bahwa jihad bukan
untuk menyerang dan menghancurkan penganut agama lain tetapi sebagai bentuk pembelaan
ketika umat Islam diserang orang lain. (Bayyah, 2007/1428H). Dalam pandangan para mantan
jihadis yang menjadi subyek penelitian ini, jihad di jalan Allah bukan hanya untuk membunuh
tetapi memiliki tujuan yang mulia, salah satunya adalah untuk memberantas kemusyrikan. Selain
itu, jihad fi sabilillah harus memenuhi syarat dan rukun jihad sebagaimana yang disebutkan dalam
berbagai kitab fikih jihad karangan para ulama yang muktabar (Harian Jawa Pos Edisi 18
Desember 2007). Meyer dan Alien (1997) serta Harris (2010) menyebut hal ini sebagai gejala
penurunan komitmen normatif terhadap organisasi dengan indikator penolakan terhadap cara
segelintir anggota Jamaah Islamiyah yang menggunakan kekerasan membabi-buta dan
pengeboman untuk mencapai tujuan yang cenderung mengarah kepada tujuan pribadi, bukan
tujuan kelompok. (Meyer & Alien, 1997; Harris, 2010)
31
Disebutkan oleh Harris (2008), salah satu indikasi hilangnya komitmen organisasi pada
pelaku teror adalah keyakinan bahwa apa yang dilakukan kelompoknya salah dan oleh karena itu
ia harus keluar agar tidak terjerumus di dalam kesalahan yang besar. Disebutkan pula oleh
Demant, Slootman, Buijs, & Tillie(2008) dan Harris (2010) bahwa variabel komitmen dapat
menjelaskan kenapa seseorang meninggalkan jaringan terorisme. Munculnya persepsi negatif
terhadap apa yang dilakukan kelompok atau organisasi menunjukkan terjadinya penurunan
komitmen organisasi yang bersifat normatif (Meyer & Allen, 1997).
Penurunan komitmen normatif terhadap kelompok organisasi ditandai dengan beberapa
indikator yaitu hilangnya daya tarik ideologi, perubahan sudut pandang pribadi terhadap ideologi,
masa depan yang diinginkan tidak tercapai dan penolakan terhadap cara-cara yang digunakan
kelompok dalam mencapai tujuan (Harris, 2010). Disebutkan oleh Meyer dan Allen (1997) bahwa
komitmen terbagi menjadi tiga bentuk, yaitu komitmen afektif, kontinyuan dan normatif.
Komitmen afektif merujuk kepada kelekatan emosi individu dengan organisasi, komitmen
kontinyuan merujuk kepada keinginan untuk bertahan atau keluar dari organisasi biaya hidup dan
ganjaran yang diperoleh, sedangkan komitmen normatif menggambarkan perasaan diwajibkan
bertahan dalam organisasi. Disimpulkan dari studi Cronbach dan Meehl (1955) serta penelitian
Mobley (1977) bahwa komitmen berhubungan dengan pikiran meninggalkan jalan teror. Individu
dengan posisi yang tinggi lebih kecil kemungkinan keluar dari pekerjaan dibandingkan individu
dengan posisi rendah (Blau, 1985)
Hasil penelitian menunjukkan ada empat tahap konflik pemimpin-pengikut yaitu
terbentuknya persepsi negatif pengikut terhadap kelompok, hilangnya kepercayaan terhadap
pemimpin, polarisasi dan keriuhan kelompok, dan situasi kelompok yang berlangsung tanpa
kontrol pemimpin. Tidak disangsikan lagi bahwa konflik pemimpin-pengikut berpengaruh
terhadap tingkah laku pengikut (Cheng, 2003; Schneider, George, Carroll, & Middleton, 2011;
Haslam & Platow, 2001; ) termasuk dalam proses radikalisasi (Milla, Faturochman, & Ancok,
2012) dan deradikalisasi (Bjorgo, Danselaar, & Grunenberg, 2009).
Persepsi anggota terhadap pemimpin berperan penting dalam proses deradikalisasi dan
disengagement. (Reinares, 2011) menjelaskan bahwa persepsi personal pelaku teror terhadap
pemimpin dan bagaimana pemimpin menjalankan roda organisasi berdampak besar terhadap
pilihan meninggalkan jalan teror. Jacobson (2010) mempertegas bahwa para pelaku teror lebih
memilih menjadi mantan dibandingkan bertahan di dalam jaringan teror, salah satu diantaranya
karena persepsi negatif terhadap senior dan pimpinan yang tidak konsisten dan ketegasan
pemimpin. Harris (2010) menganggap hal itu sebagai bentuk kegagalan pemimpin dalam
mengelola organisasi. Selain karena kegagalan dalam memimpin, Harris juga menyinggung
kompetisi dan persaingan di antara anggota kelompok dalam memperebutkan posisi tertentu juga
menjadi penyebab muncul kekecewaan terhadap gerakan. Haslam dkk (2012) melihat bahwa
ketidakmampuan pemimpin mengelola anggota terjadi karena anggota merasa memiliki identitas
ingroup yang tidak sama dengan pemimpin.
Ketidaksamaan identitas ditunjukkan oleh pikiran, perasaan dan tingkah laku yang
berbeda antara satu orang dengan orang lain dalam kelompok yang sama(Haslam & Platow,
2001). Kritikan atas ketidaktegasan pemimpin seperti yang disampaikan subyek penelitian utama
dan sejumlah subyek penelitian sekunder, dalam bahasa Disley dkk (2012) merupakan salah satu
faktor penting yang mendorong munculnya keinginan untuk keluar dari kelompok atau organisasi
ekstrim dan teroris(Disley, Weed, Reding, Clutterback, & Warnes, 2012). Konsistensi seorang
pemimpin merupakan syarat penting jika organisasi Jamaah Islamiyah diinginkan tetap bertahan
dan mampu mencapai tujuan yang dimaksudkan bersama oleh semua anggota. (Abbas, 2005).
Gejala semacam itu jika merujuk kepada konsep Meyer dan Ailen menggambarkan ada
masalah dengan komitmen afektif para anggota terhadap organisasi (Meyer & Alien, 1997).
Komitmen afektif yang terganggu dalam konteks kajian psikologi terorisme diindikasikan oleh
kegagalan pemimpin dalam mengelola organisasi dan anggota-anggotanya agar bisa bergerak
dalam satu irama yang menggambarkan kesamaan identitas dan tujuan yang hendak dicapai.
(Harris, 2010).
Kekecewaan terhadap kelompok terutama terhadap pemimpin dan senior kelompok
merupakan indikasi penting kohesivitas kelompok yang bermasalah pada kasus kelompok radikal
dan pelaku teror (Horgan, 2009). Disebutkan oleh Borden dan Horowitz (2002) jika deskripsi
32
tugas sebagai konsekuensi dari posisi setiap orang di dalam kelompok dilanggar dan diabaikan
maka itu menandakan ada masalah dalam hal relasi sosial dan tugas kelompok. Menurut Imron
(2010) dan Abbas (2005) kombinasi pemahaman agama yang keras dan kepemimpinan yang
lemah menimbulkan dampak yang tidak baik terhadap organisasi dan anggota-anggotanya.
Akibatnya, pemimpin mengalami kesulitan dalam mengontrol anggota disebabkan oleh
identifikasi kelompok yang melemah (Hogg, Abrams, Otten, & Hankle, 2004).
Sejumlah penelitian berbasis Teori Identitas Sosial misalnya penelitian Haslam dan
Platow (2007) menyimpulkan bahwa identitas sosial memediasi hubungan positif antara
kepemimpinan dan tingkah laku organisasi (Schneider, George, Carroll, & Middleton, 2011).
Dengan kata lain, jika kepemimpinan suatu kelompok baik dan diterima semua anggota maka
tingkah laku anggota organisasi akan menjadi baik, terkontrol dan mudah diatur. Sebaliknya jika
kemimpinan dalam suatu kelompok buruk, misalnya tidak tegas dan tidak konsisten, maka
anggota akan sulit untuk dikontrol karena mereka tidak percaya dengan kepemimpinan yang ada
(Hogg, 2001). Disebutkan dalam literatur psikologi sosial bahwa kohesivitas kelompok ditandai
dengan keterikatan dan kekompakan satu anggota kelompok dengan anggota kelompok lainnya.
Kohesivitas kelompok adalah suatu proses multi-facet, kendati demikian, setidaknya komponen
utama kohesivitas terdiri dari empat hal: relasi sosial, relasi tugas, persepsi kesatuan dan emosi
(Kuppens & Yzerbyt, 2012; Brown & Gaertner, 2003; Borden & Horowitz, 2002).
Hubungan interpersonal merupakan determinan penting yang mempengaruhi proses
kelompok termasuk apakah seseorang akan tetap bertahan di dalam kelompok atau
meninggalkannya (Baumeister & Finkel., 2010). Disebutkan dalam model sosialisasi
pembentukan kelompok dari Moreland and Levine’s (1982), sosialisasi mewarnai proses
kelompok. Jika sosialisasi berjalan dengan baik maka eksistensi kelompok akan utuh tetapi
sebaliknya, jika tidak berjalan dengan baik maka kelompok akan bubar atau pada derajat yang
paling tinggi, anggota akan meninggalkan kelompok (Baumeister, 2010). Sosialisasi yang
dimaksudkan Moreland Levine (1982) adalah bagaimana setiap anggota bisa menjalankan
fungsinya sebagai anggota menyangkut kewajiban dan tanggungjawab termasuk dalam kontek
hubungan interpersonal (Baumeister & Finkel., 2010).
Disebutkan bahwa John Thibaut and Harold Kelley (1959) mengembangkan teori
pertukaran sosial untuk menjelaskan bagaimana hubungan interpersonal mempengaruhi
eksistensi kelompok melalui proses dan mekanisme psikologis seperti rasa suka, harmoni
hubungan dan trust. Rasa suka dan hubungan yang harmonis di antara anggota kelompok dalam
konteks kelompok kecil dapat mempengaruhi keutuhan kelompok. Sebaliknya, rasa suka dan
ketidakharmonisan hubungan dapat mengancam keutuhan kelompok atau mendorong individu
secara personal meninggalkan kelompoknya (Hogg & Vaughan, 2010; Baumeister, 2010).
Hubungan interpersonal dalam kelompok ekstrim sangat mempengaruhi keputusan
individu apakah akan tetap bertahan di dalam kelompok atau keluar untuk memilih jaringan lain
(Jhonson, 2009; Ramakrishna, 2009). Disebutkan oleh Ramakrishna (2009) hal-hal kecil yang
mengganggu hubungan interpersonal menjadi faktor penting yang mendorong munculnya rasa
kecewa dan pilihan keluar dari kelompok. AI, salah satu pelaku tragedi Bom Bali menyebutkan
dalam buku berjudul “Ali Imron Sang Pengebom” bagaimana senior tim melakukan hal-hal yang
menodai kesucian gerakan sehingga menimbulkan benih keraguan terhadap para senior dan
ideolog gerakan (Imron, 2010).
Masalah hubungan interpersonal menjadi tem utama dalam kajian psikologi sosial (Hogg
& Vaughan, 2010). Seorang anggota kelompok bisa saja mengalami rasa kecewa karena tindakan
anggota kelompok yang lain sehingga mengubah pikiran dan perasaan yang semula positif
menjadi negatif (Baumeister & Finkel., 2010). Disebutkan oleh Horgan (2009), rasa kecewa
kerapkali terjadi dalam proses pergaulan di antara anggota kelompok radikal. Hal yang sama
ditemukan juga oleh Reinares (2011) dalam penelitianya tentang kaum pemberontak ETA di
Spanyol.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kontak dengan orang lain dalam berbagai seting
seperti di penjara dengan aparat kepolisian dan narapidana yang non Muslim atau kontak dengan
non Muslim terutama dengan Kaum Kristen dalam kehidupan sehari-hari menjelaskan mengapa
subyek penelitian meninggalkan jalan teror. Ini sejalan dengan penelitian Allport (1956). Allport
menggagas hipotesis kontak yang menyebutkan bahwa kontak dan komunikasi yang teratur
33
dengan anggota kelompok yang berbeda dapat mengurangi prasangka dengan syarat-syarat
tertentu (Dixon, 2001). Hipotesis ini mendapatkan penguatan secara empirik dari banyak
penelitian yang dilakukan para peneliti psikologi sosial dalam bidang kajian hubungan
antarkelompok (Dixon, 2001; Dovidio, Gaertner, & Kawakami, 2003; Brewer, 2010; Hogg &
Abrams, 1998). Sikap negatif seperti prejudice terhadap kelompok lain sangat mungkin berubah
menjadi sikap positif seperti persahabatan jika terjadi kontak atau interaksi antarkelompok.
Pernyataan ini menggambarkan apa yang dialami oleh salah satu subyek penelitian setelah
mengalami interaksi atau kontak sosial yang intensif dan reguler dengan anggota kelompok lain
yang sangat dimusuhi (Hogg, Abrams, Otten, & Hinkle, 2004).
Umumnya para individu anggota kelompok ekstrimis Islam atau kelompok pelaku teror
memandang negatif terhadap Non Muslim terutama Umat Nasrani. (Jamhari, 2005; Muluk &
Sumaktoyo, 2010; Hasan & Abubakar, 2011; Al-Makassary, 2004). Cara memahami teks-teks
keagamaan yang harfiah terutama menyangkut hubungan sosial bisa jadi akan berubah manakala
seseorang mengalami pengalaman nyata yang menyenangkan dengan orang yang berbeda (Ji &
Ibrahim, 2009). Pengalaman berinteraksi dengan orang yang berbeda dalam kondisi yang
menyenangkan dan penuh persahabatan akan membuka wawasan sempit menjadi lebih terbuka
sehingga menerima orang lain dengan baik (Hogg & Abrams, 1998; Brewer, 2010). Penolakan
terhadap outgroup lebih disebabkan karena kurang informasi dan pengetahuan mengenai orang
lain yang berbeda sehingga pikiran dan perasaan lebih didominasi oleh prasangka (Brown, 2010).
Dengan demikian, semakin tinggi intensitas kontak dengan orang lain dari outgroup yang menjadi
target maka semakin terbuka peluang untuk mengubah sikap permusuhan menjadi sikap
persahabatan (Brewer & Gaertner, 2003).
Jika merujuk kepada model kontak dan kategorisasi terutama dalam hal persilangan
kategori (Brewer & Gaertner, 2003; Faturochman, 2008) sebagaimana dijelaskan sebelumnya
maka pengalaman kontak yang dialami para pelaku teror mencerminkan persilangan campuran
ingroup-outgroup atau outgroup-ingroup. Contoh, pengalaman NA yang mengalami kontak
dengan Geng Coker yang Kristen sebagai contoh menggambarkan bahwa mereka ingroup dalam
pengertian sama-sama sebagai warga binaan penjara yang tinggal satu sel tetapi mereka berbeda
dalam hal agama dan keyakinan. Kontak outgroup dengan model persilangan kategori seperti ini
dinilai cukup positif (Lihat Faturochman, 2008).
Secara keseluruhan, hasil penelitian menunjukkan bagaimana kekuatan lingkungan sosial
sangat berpengaruh terhadap tingkah laku seseorang. Dalam pandangan Kurt Lewin, tingkah laku
seseorang sangat dipengaruhi oleh faktor intrapersonal dan interpersonal. Kurt Lewin membuat
semacam rumusan bahwa tingkah laku seseorang adalah fungsi dari kepribadian dan lingkungan
yang ia simbolkan dengan B = f (P, E). Itulah kekuatan relasi sosial (Baumeister & Finkel., 2010).
H. Kesimpulan
Peneliti menyimpulkan bahwa pelaku teror di Indonesia bisa meninggalkan jalan teror.
Meninggalkan jalan teror bukan berarti meninggalkan ajaran jihad. Setidaknya, ada tiga variasi
meninggalkan jalan teror. Pertama, tetap menjadi anggota kelompok Islam garis keras tetapi
menolak jika kekerasan dan teror digunakan untuk meraih tujuan ideologis. Kedua, keluar dari
kelompok Islam garis dan memilih jalan lain yang berseberangan. Ketiga, tidak menunjukkan
tanda-tanda tetap di dalam kelompok garis keras atau tanda-tanda keluar, tetapi menolak cara
kekerasan dan aksi teror yang merugikan banyak orang tidak berdosa. Rasa bersalah dan
penyesalan terjadi pada setiap pelaku teror yang menjadi subyek penelitian. Rasa bersalah itu
semakin kuat muncul pada diri subyek setelah evaluasi kelompok dan individual dilakukan. Rasa
bersalah menyangkut tiga hal yaitu jatuhnya korban tidak berdosa, penentuan jihad tanpa dasar
pertimbangan keagamaan, dan tanggungjawab sebagai petinggi organisasi.
Ideologi negara Islam bisa hilang dari alam pikiran para pelaku teror karena gagasan ini
masih menjadi perdebatan di kalangan para aktivis gerakan Islam. Sementara ajaran jihad tidak
bisa hilang karena ajaran jihad diyakini merupakan ajaran Islam yang memiliki dasar kuat di
dalam Al-Quran dan hadis. Meninggalkan jalan teror didorong oleh tiga faktor yaitu faktor
personal seperti rasa bersalah, menonjolnya identitas personal dan nilai personal; faktor organisasi
seperti kecenderungan deideologisasi jihad, dan penurunan komitmen; dan faktor sosial seperti
34
konflik pemimpin-pengikut, konflik interpersonal, kontak dengan orang lain di luar kelompok
sendiri (outgroup contact).
Secara keseluruhan, proses meninggalkan jalan teror pada pelaku teror di Indonesia
terutama yang menjadi subyek penelitian disertasi ini mengambarkan dinamika relasi sosial yang
kuat menyangkut individu dengan dirinya sendiri (intrapersonal) individu dengan individu lain
(interpersonal), individu dengan organisasi atau kelompok (intragroup), dan individu dengan
masyarakat dalam konteks kehidupan sosial, politik dan budaya.
I. Rekomendasi
Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan pada bagian sebelumnya maka peneliti
merekomendasikan sebagai berikut:
1. Penelitian tentang pengalaman mantan teroris meninggalkan jalan teror perlu dikembangkan
dengan mengeksplorasi pikiran dan perasaan yang muncul sebelum, sesaaat dan sesudah
pilihan meninggalkan dilakukan. Penelitian ini penting dilakukan untuk mengetahui hal-hal
apa saja yang menjadi hambatan dan kendala psikologis yang dialami mantan kombatan. Dari
hasil penelitian dan pengalaman berinteraksi dengan para kombatan dan terduga teroris, ada
keinginan dan kecenderungan untuk meninggalkan jalan teror karena dianggap tidak tepat lagi
sebagai alat atau metode berjuang di tengah penolakan umat Islam di Indonesia dan seluruh
dunia. Namun, terdapat banyak kendala dan hambatan yang dialami seperti penerimaan
masyarakat dan kekhawatiran akan mengalami berbagai kesulitan dalam menjalankan
kehidupan normal di tengah masyarakat, termasuk kesulitan ekonomi. Oleh karena itu,
penelitian yang mengkaji sejauhmana hambatan-hambatan tersebut berpengaruh terhadap
pilihan keluar dari jaringan teror perlu dilakukan.
2. Penelitian disertasi ini memperlihatkan betapa perasaan bersalah dan berdosa kepada Tuhan
menjadi salah satu faktor pendorong disengagement pada subyek penelitian. Hal itu terjadi
karena keyakinan bahwa membunuh orang yang tidak berdosa, baik Muslim maupun non
Muslim sebagai dosa besar dan penyebab tidak masuk surga muncul ke permukaan kesadaran.
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang faktor-faktor yang memunculkan rasa takut
Tuhan di kalangan pelaku teror.
3. Penelitian ini menemukan bahwa deideologisasi jihad yaitu perubahan pemahaman tentang
thoifah manshurah yang dilekatkan kepada kepada diri sendiri dan kelompok juga
menjelaskan mengapa pelaku teror meninggalkan jalan teror. Terkait dengan hal itu, perlu
dilakukan penelitian secara psikologis tentang bagaimana jihad dan konsep thoifah manshurah
membentuk identitas diri dan kelompok sebagai jihadis pilihan Tuhan yang ditugaskan
berjihad sepanjang hayat.
4. Penelitian ini menemukan bahwa relasi intensif dengan orang lain terutama dengan orang lain
di luar kelompok yang selama ini dianggap sebagai musuh dapat mengubah cara pandang dan
keyakinan tentang kawan dan lawan. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lanjut tentang
outgroup contact pada pelaku teror atau anggota gerakan radikal dan ekstrimis Islam di
Indonesia.
5. Di waktu yang akan datang perlu dilakukan penelitian psikologi teror dengan metode
gabungan (mixed methods) dan melibatkan bukan hanya pelaku teror tetapi juga anggota
kelompok Islam garis keras yang dianggap potensial menjadi pelaku teror dengan tehnik
analisis canggih berbasis komputer seperti NVivo.
DAFTAR PUSTAKA Abbas, N. (2005). Membongkar Jamaah Islamiyah: Pengakuan Mantan Anggota. Jakarta:
Grafindo Khazanah Ilmu.
Abuza, Z. (2009). The rehabilitation of Jamaah Islamiyah detainees in South East Asia: a
preliminary assessment. In T. Bjorgo, & J. Horgan, Leaving Terrorism Behind: Individual
and Collective Disengagement (pp. 193-211). Oxon: Routledge.
Alonso, R. (2009). Leaving terrorism behind in Nothern Ireland and the Basque Country:
reassessing anti-terrorist policies and the peace processes. In T. Bjorgo, & J. Horgan,
Leaving Terrorism Behind: Individual and Collective Disengagement (pp. 88-112).
Oxon: Routledge.
35
Amirsyah. (2012). Meluruskan salah faham terhadap deradikalisasi: pemikiran, konsep dan
strategi pelaksanaan. Jakarta: Penerbit Grafindo Khazanah Ilmu.
Ashour, O. (Autumn 2007). Lion tamed? An inquiry into the causes of deradicalization of armed
Islamist movement: the case of the Egyptian Islamic group. The Middle East Journal, 61,
4, ProQuest Social Science Journal, hal. 596.
Azuzi, H. b. (In press). Qadhaya al-irhab wa al-unf wa at-thatharruf fi mizan al-Quran wa
assunnah. Maroko: Kulliyat As-Syariah Jamiah Al-Qarawiyyin Faas Maghrib .
Balipostvideo. (2012). (7 Mei 2012) Sidang Bom Bali 2 sambil menangis, Umar Patek minta
maaf. http://youtube.com/watch?v=4diBVXvl6hc.
Bandura, A. (1990). Selective activation and mechanism of moral disengagement. Sosial Issues,
Volume 46, No.1, 27-46.
Barelle, K. (In press). Disengagement From Violent extrimism. Monash: Global Research Center.
Barrett, R., & Bokhari, L. (2009). Deradicalization and rehabilitation programmes targeting
religious terrorists and extrimists in the Muslim world: an overview. In T. Bjorgo, & J.
Horgan, Leaving Terrorism Behind: Individual and Collective Disengagement (pp. 170-
180). Oxon: Routledge.
Baumeister, R. F., & Finkel., E. J. (2010). Advanced Social Psychology : The State Of The
Science. Oxford: Oxford University Press, Inc.
Beg, S., & Bokhari, L. (2009). Pakistan: in search of a disengagement strategy. In T. Bjorgo, &
J. Horgan, Leaving Terrorism Behind: Individual and Collective Disengagement (pp.
224-242). Oxon: Routledge.
Bjorgo, T. (1999). How gangs fall apart: process of transformation and disintegration of gangs.
Paper presented at the 51st Annual Meeting of the American Society of Criminology, 17-
20 November 1999. Didowload Januari 2012. Toronto Canada: American Society of
Criminology.
Blazak, R. (2001 ). White Boys to Terrorist Men: Target Recruitment of Nazi Skinheads.
AMERICAN BEHAVIORAL SCIENTIST, Vol. 44 No. 6, February , 982-1000.
Bloom, M. (2005). Dying to kill: the allure of suicide terror. New York: Columbia University
Press.
Bongar, B., Brown, L. M., Beutler, L. E., Breckenridge, J. N., & Zimbardo, P. G. (2007).
Psychology of Terrorism. Oxford: Oxford University Press.
Borum, R. (2008). Psychology of terrorism. Florida: University of Florida Press.
Boucek, C. (2011). Extremist disengagement in Saudi Arabia: prevention, rehabilitation and
aftercare. In R. Gunaratna, J. Jerard, & L. Rubin, Terrorist Rehabilation and Counter-
Radicalisastion: New Approach to Counter Terrorism (pp. 70-90). New York: Routledge.
Brown, R. (2000). Social Identity Theory: Past Achievements, Current Problems, and Future
Challenges. European Journal of Social Psychology 30 , 745-778.
Buchan, N. R., Brewer, M. B., Grimalda, G., Wilson, R. K., Fatas, E., & Foddy, M. (n.d.). The
role in social identity in global cooperation. in press.
Castano, E., Leidner, B., & Slawuta, P. (2008). Social identification processes, group dynamics
and the behaviour of combatants. International Review of Red Cross Volume 90 Number
870 June, 259-271.
Choudhury, T. (2009). Stepping out: Supporting exit strategies form violence and extreme.
Washington DC: Institute for Strategic Dialogue.
Crenshaw, M. (2006). The war on terrorism: is the US winning? No name: Real Institut Elcano.
Creswell, J. W. (2009). Research design: Qualitative, quantitative, and mixed methods
approaches. California: Sage Publication Inc.
Cronin, A. K. (2009). How terroris campaign end. In T. Bjorgo, & J. Horgan, Leaving Terrorist
Behind: Individual and Collective Disengagement (pp. 49-65). New York: Routledge.
Davis, J. M. (2002). Countering international terrorism: perspectives from international
psychology. In C. E. Stout, The Psyhcology of Terrorism: Program and Practices in
Response and Prevention. volume Four. (pp. 33-56). Westport CA: Praeger.
Demant, F., & Graaf, B. D. (2010). How To Counter Radical Narratives:Dutch Deradicalization
Policy in the Case of Moluccan and Islamic Radicals. Studies in Conflict & Terrorism 33
DOI: 10.1080/10576101003691549, 408–428.
36
Dovidio, J. F. (2013). Bridging intragroup processes and intergroup relations: Needing the twain
to meet. British Journal of Social Psychology, 52 , 1–24.
Drummond, J. T. (2002). From the northwest imperative to global jihad: Social psychological
aspects of the construction of the enemy, political violence, and terror. In C. E. Stout, The
Psychology of Terrorism: A Public Understanding (pp. 49-98). Westport CT: Praeger
Publisher.
Ekici, S. (2009). Needs and membership in terrorist organizations. Dissertation prepared for the
degree of Doctor of Philosophy. Nort Texas: University of North Texas.
Enders, W., & Sandler, T. (2000). Is transnational terrorism becoming more threatening? Journal
of Conflict Resolution Vol 44 No. 3 June 2000, 307-332.
Faturochman. (2008). Model-model psikologi kebhinekatunggalikaan dan penerapannya di
Indonesia. Jurnal Psikologi Indonesia No. 1, 61-72.
Fink, N. C., & Hearne, E. B. (2008). Beyond terrorism: deradicalization and disengagement from
violent extremism. London: International Peace Institute.
Forest, J. J. (2006). Exploring root causes of terrorism: An introduction. In J. J. Forest, The Makng
of A Terrorist: Recruitment, Training and Root Causes (pp. 1-16). West Port: Praeger
Security International.
Forest, J. J. (2009). Static and interactive frames of terrorism analysis. Paper prepared for the
CATO Institute Confrence, "Shaping the New Administration's Counterterrorism
Strategy," January 12, 2009. West Point: CATO Institute.
Garfinkel, R. (2007). Personal transformations: moving from violence to peace. Washington DC:
United States Institute of Peace.
Ghazali, K. (2011). Mereka Bukan Thagut: Meluruskan Salah Paham Tentang Thagut. Jakarta:
Penerbit Grafindo Khazanah Ilmu.
Ginges, J., Hansen, I., & Norenzayan, A. (2009). Religion and Support for Suicide Attacks.
Psychological Science Volume 20, No. 2, 224-230.
Glaser, B. G., & Strauss, A. L. (2006.Cetak Ulang). The Discovery of Grounded Theory:
Strategies for Qualitative Research,. London: Aldine Transaction.
Goertzet, T. G. (2002). Terrorist beliefs and terrorist lives. In C. E. Stout, The Psychology of
Terrorism: A Public Understanding (pp. 97-112). Westport CT: Praeger Publisher.
Goulding, C. (2002). Grounded Theory: A Practical Guide for Management, Business and Market
Researchers. London: Sage Publication.
Group, I. C. (2008). Indonesia: Industri Penerbitan Jamaah Islamiyah, Asia Report No. 147,
Februarti 2008. Brusssel: International Crisis Group.
Gunaratna, R., & Ali, M. B. (2009). Deradicalization initiatives in Egypt: Preliminary insight.
Studies in Conflict an Terrorism, 32:277-291 DOI:10.1080/10576100902750562.
Gunaratna, R., & Hassan, M. F. (2011). Terrorist rehabilitation: the Singapore experience. In R.
Gunaratna, J. Jerard, & L. Rubin, Terrorist Rehabilitation and Counter-Radicalisation:
New Approach to Counter Terrorism (pp. 36-58). New York: Routledge.
Gvineria, G. (2009). How does terrorism end? In P. K. Davis, & K. Cragin, Social Science for
Counterterrorism: Putting the Pieces Together (pp. 257-291). Santa Monica CA: Rand
Corporation.
Hafez, M. M. (2006). Political repression and violent rebellion in the Muslim world. In J. J. Forest,
The Making of A Terrorist: Recruitment, Training and Root Causes (pp. 74-91). West
Port: Praeger Security International.
Hall, R. E. (2003). A note on September eleventh: the Arabization of terrorism. The Social Science
Journal 40 , 459-464 doi:10.1016/S0362-3319(03)00042-9.
Hamm, M. S. (2009). Prison Islam in the age of sacred terror. Brit. J. Criminol, 49, 667-685;
doi:10.1093/bcj/azp035.
Harigrove, F., & Mcleod, D. M. (2008). Circle drawing toward high risk activism: the use of
Usrah and Halaqa in Islamist radical movement studies. Journal of Conflict and
Terrorism (31), 399-411.
Harris, K. J. (2010). Review: Disillusionment with Radical Social Groups. Australian Counter
Terrorism Conference (pp. 30-39). Perth Western Australia: Edith Cowan University.
37
Haslam, S. A., & Platow, M. J. (2001). The Link Between Leadership and Followership: How
Affirming Social Identity Translates Vision Into Action. PSPB, Vol. 27 No. 11, November
, 1469-1479.
Hogg, M. A. (2001). A social identity theory of leadership. Personality and Social Psychology
Review , Vol. 5, No. 3, 184–200.
Homans, K. J., & Boyatzis, C. J. (2010). Religiosity, Sense of Meaning, and Health Behavior in
Older Adults. The International Journal for the Psychology of Religion, 20:, 173–18.
DOI: 10.1080/10508619.2010.481225.
Hood, R. W., Hill, P. C., & Spilka, B. (2009). The psychology of religion : an empirical approach.
New York: The Guilford Press.
Hood, R. W., Jr., P. C., & Williamson, W. P. (2005). The Psychology of Religious
Fundamentalism. New York: Guilford Press.
Horchem, H. J. (1991). The decline of the red army faction. Terrorism and Political Violence,
Volume 3, Issue 2, 1991, 61-74,
http://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/09546559108427104.
Horgan, J. (2005). The Psychology of Terrorism. New York: Routledge.
Horgan, J. (2011). Disengagement from terrorism. Journal of Personality and Social Psychology,
56.
Horgan, J., & Braddock, K. (2010). Rehabilitating the terrorists?: challenges in assessing the
effectiveness of deradicalization programs. Terrorism and Political Violence, 22:2, 267-
291 DOI 10.1080/09546551003594748.
Hornsey, M. J. (2008). Social identity theory and self-categorization theory: A historical review.
Social and Personality Psychology Compass 2/1, 204-222.
Huddy, L. (2001). From social to political identity: A critical examination of social identity
theory. Political Psychology, 22 No. 1 Maret 2001, 127-156.
Hudson, R. A. (1999). The sociology and psychology of terrorism: who becomes a terrorist and
why? Washington DC: Federal Research Division, Library of Congress.
Husein, E. (2007). The Islamist. London: Penguin Books.
Hussein, M. E., Hirst, S., Salyers, V., & Osuji, J. (2014). Using grounded theory as a method of
inquiry: Advantage and disadvantage. The Qualitative Report Volume 19 How to Article
13, 1-15.
Hwang, J. C. (2015). The Disengagement of Indonesian Jihadists: Understanding the Pathways.
Terrorism and Political Violence, 1-9. DOI: 10.1080/09546553.2015.1034855.
Jacobson, M. (2010). Terrorist dropouts: learning from those who have left. Washington: The
Washington Institute for Near East Policy.
Jhonson, A. K. (2009). Assesing the affectiveness of deradicalization programs on Islamist
extrimists. Monterey California: Naval Postgraduate School.
Jones, M., & Alony, I. (2011). Guiding the use of grounded theory in doctoral studies -an example
from the Australian film industry. International Journal of Doctoral Studies Volume 6,
95-114.
Kelly, R. E. (2008). From the global war on terror to containmen: an opinion brief. Perspectives
on Terrorism, Volume II, Issue 4, Februari 2008, hal. .
Krueger, A. B. (2007). What makes a terrorist : economics and the roots of terrorism : Lionel
Robbins lectures. New Jersey: Princeton University Press.
Kruglanski, A. W., Chen, X., Dechesne, M., Fishman, S., & Orehek, E. (2009). Yes, No, and
Maybe in the World of Terrorism Research: Reflections on the Commentaries. Political
Psychology, Vol. 30, No. 3, 401-417.
Kruglanski, A. W., Gelfand, M. J., & Gunaratna, R. (2011). Aspects of deradicalisation. In R.
Gunaratna, J. Jerard, & L. Rubin, Terrorist Rehabilitation and Counter Terrorism: New
Approaches to Counter Terrorism (pp. 135-145). New York: Routledge.
Kuppens, T., & Yzerbyt, V. Y. (2012). Group-based emotions: The impact of social identity on
appraisals, emotions, and behaviors. Basic and Applied Social Psychology 34, 34-20
DOI: 10.1080/01973533.2011.637474.
38
Lankford, A. (2010). Do suicide terrorist exhibit clinically suicidal risk factors? A review of initial
evidence and call for future research. Aggression and Violent Behavior 15, 334-340.
Larrick, R. P., & Bolles, T. L. (1995). Avoiding regret ini decisions with feedback: A negotiation
example. Organizational Behavior and Human Decision Process Vol. 63 No. 1 July, 87-
97.
Levin, B., & Amster, S.-E. (2003). An analysis of the legal issues relating to the prevention of
nuclear and radiological terrorism. American Behavioral Scientist, Vol. 46 No. 6
February 2003, 845-856.
Loo, R. (2002). Belief in a just world: support for independent just world and unjust world
dimensions. Personality and Individual Differences 33 , 703-711.
Lutz, J. M., & Lutz., B. J. (2005). Terrorism : origins and evolution. New York: PALGRAVE
MACMILLAN™.
Maio, G. R., & Haddock, G. (2007). Attitude Change. In A. W. Kruglanski, & E. T. Higgins,
Social Psychology: Handbook of Basic Process (pp. 565-586). New York: The Guilford
Press.
Manstead, A. S. (2010). The social psychology of emotion. In R. F. Baumeister, & E. J. Finkel.,
Advanced social psychology : the state of the science (pp. 101-137). New York: Oxford
University Press, Inc.
Marsella, A. J., & Moghaddam, F. M. (2004). The origin and nature of terrorism: Foundations
and issues. Journal of Aggression Maltreatment & Trauma Vol 9 No. 1/2, 19-31 DOI:
10.1300/J146v9n01_02.
Marshal, M. G. (2002). Global terrorism: an overview and analysis. Maryland: Center for
Systemic Peace.
McCauley, C. (2007). Psychological issues in understanding terrorism and the response to the
terrorism. In B. Bongar, L. M. Brown, L. E. Beutler, J. N. Breckenridge, & P. G.
Zimbardo, Psychology of Terrorism (pp. 13-31). Oxford: Oxford University Press.
Mccauley, C., Scheckter, S., College, B. M., & Mawr, B. (2008). What's Special about U.S.
Muslims? The War on Terrorism as Seen by Muslims in the United States, Morocco,
Egypt, Pakistan, and Indonesia. Studies in Conflict & Terrorism 31, 1024–1031 DOI:
10.1080/10576100802400193.
McCormick, G. H. (2003). Terrorist decision making. Annu. Rev. Polit. Sci. 2003. 6, 473-507.
Mendelson, M. E. (2008). A systems understanding of terrorism with implication for policy. A
dissertation presented in partial fulfillment of the requirement for the doctor degree of
philosophy . Akron: The Graduate Faculty of The University of Akron.
Merari, A. (2009). Academic research and government policy on terrorism. Terrorism and
Political Violence, 13 (4), hal. 1-14.
Meyer, J. P., & Allen, N. J. (1990). The measurement and antecedents of affective continuance
and normative commitment to the organization. Journal of Occupational 63, 23-35.
Miles, M. B., Huberman, A. M., & Saldana, J. (2014). Qualitative Data Analysis: A Methods
Sourcebook. Los Angeles: Sage Publication.
Milla, M. N., Faturochman, & Ancok, D. (2012). The impact of leader–follower interactions on
the radicalization of terrorists: A case study of the Bali bombers. Asian Journal of Social
Psychology, 1-9 DOI: 10.1111/ajsp.12007.
Mirahmadi, H., & Farooq, M. (2010). A community based approach to countering radicalization:
a partner for America. Washington DC: World Organization for Resource and Education
Development.
Moghadam, A. (2006). The roots of terrorism. New York: Infobase Publishing.
Moghadam, F. M., Taylor, D. M., Lambert, W., & Schmidt, A. E. (1995). Attribution and
discrimination: A studi of attribution to the self, to the group and to external factors
among Whites, Blacks and Cubans in Miami. Journal of Cross Cultural Study Vol. 26
No.2, March , 209-220.
Morris, M., Eberhard, F., Reviera, J., & Watsula, M. (2010). Deradicalization: A review of the
literature with comparison to findings in the literatures on deganging and deprograming.
Durham: Institute for Homeland Security Solutions.
Muluk, H. (2009, September 2 ). Teroris kambuh? Majalah Gatra , p. 106.
39
Nauman, P. R. (2010). Prisons and terrorism: radicalisation and deradicalisation in 15 countries.
London: ICSR & START.
Noricks, D. M. (2009). Disengagement and deradicalization: processes and programs. In P. K.
Davis, & K. Cargin, Social Science for Counterterrorism: Putting the Pieces Together
(pp. 299-320). Santa Monica CA: Rand National Defense Research Institute.
Oakes, P. (2003). The root of all evil in intergroup relation?: Unearthing the categorization
process. In R. Brown, & S. Guartner, Intergroup process. Oxford: Blackwell Publishing.
Pettigrew, T. F., & Tropp, L. R. (2006). A meta-analytic test of intergroup contact theory. Journal
of Personality and Social Psychology. Vol. 90, No. 5, 751-783 DOI: 10.1037/0022-
3514.90.5.751.
Phillips, P. J., & Pohl, G. (2011). Terrorism, identity,psychology and defence economics.
International Research Journal of Finance and Economics, Issue 77, 102-113.
Pillar, P. R. (2006). Superpower foreign policy: A source for global resentment . In J. J. Forest,
The Making of A Terrorist: Recruitment, Training and Root Causes (pp. 31-44). West
Port: Praeger Security International.
Porta, D. D. (2009). Leaving underground organizations: a sociological analysis of the Italian
case. In T. Bjorgo, & J. Horgan, Leaving Terrorism Behind: Individual and Collective
Disengagement (pp. 66-77). Oxon: Routledge.
Post, J. M. (2007). The key role of psychological operations in countering terrorism. In J.
J.F.Forest, Countering Terrorism and Insurgency in the 21st Century: International
Perspectives, Volume 1-3 (pp. 380-396). Westport: Praeger Security International.
Postmes, T., & Jetten, J. (2006). Individuality and the Group: Advances in Social Identity.
London: Sage Publication.
Pranowo, M. B. (2011). Orang Jawa Jadi Teroris. Jakarta: Penerbit Alvabet.
Prislin, R., & Crano, W. D. (2008). Attitude and attitude change: The fourth peak. In W. D. Crano,
& R. Prislin, Attitude and Attitude Change (pp. 3-18). New York: Psychology Press.
Rabasa, A., Pettyjohn, S. L., & Jeremy J. Ghez, C. B. (2010). Deradicalizing Islamist extrimist.
Santa Monica CA: RAND.
Ralph W. Hood, J., Hill, P. C., & Spilka, B. (2009). The Psychology of Religion: An empirical
Approach. The Guilford Press: New York.
Ramakrishna, K. (2005). Delegitimizing global jihadi ideology in Southeast Asia. Contemporary
Southeast Asia, 27. 3; ProQuest Social Science Journals, pages 343-369.
Rao, H., Davis, G. F., & Ward, A. (2000). Embeddedness, social identity and mobility: Why firms
leave the Nasdaq and join the New York Stock Exchange. Administrative Science
Quarterly, Vol. 45 No. 2 Juni , 268-292.
Rapaport, D. C., & Alexander, Y. (1982). The Morality of Terrorism: Religious and Secular
Justifications. New York: Pergamont.
Reich, W. (2009). Understanding terrorist behavior: the limits and opportunities of psychological
inquiry. In J. Victoroff, & A. W. Kruglanski, The pyschology of terrorism: classic and
contemporary insight (pp. 23-34). New York: Psychology Press.
Reinares, F. (2011). Exit from terrorism: A Qualitative empirical study on disengagement and
deradicalization among members of ETA. Terrorism and Political Violence 23, 780-803
DOI: 10.1080/09546553.2011.613307.
Ribetti, M. (2009). Disengagement and beyond: a case study of demobilization in Colombo. In T.
Bjorgo, & J. Horgan, Leaving Terrorism Behind: Individual and Collective
Disengagement (pp. 152-169). Oxon: Routledge.
Roberts, N., & Everton, S. F. (2010). Strategies for combating dark networks. Journal of Social
Structure. Volume 12, 1-32.Ross, J. I. (2006 ). Will terrorism end? New York: Infobase
Publishing.
Sagemen, M. (2004). Understanding terror network. Philadelphia, Pennsylvania: University of
Pennsylvania Press.
Sarwono, S. W. (2012). Terorisme di Indonesia. Jakarta: Alvabet & Lakip.
Schrimshaw, E. W., & Siegel, K. (2003). Perceived Barriers to Social Support from Family and
Friends among Older Adults with HIV/AIDS. Journal of Health Psychology, Vol 8(6)
738–752; 038241.
40
Schwartz, S. J., Dunkel, C. S., & Waterman, A. S. (2009). Terrorism: an identity theory
perspective. Journal of Studies in Conflict and Terrorism (32), 537-559 DOI:
10.1080/10576100902888453.
Seager, P. (2014). Social Psychology: A Complete Introduction . London: Hodder & Stoughton.
Sidanius, J., Henry, P., Pratto, F., & Levin, S. (2009). Arab attribution for the attack on America:
the case of Lebanese subelites. In J. Victoroff, & A. W. Kruglanski, The Psychology of
Terrorism (pp. 269-279). East Sussex: Psychology Press.
Silke, A. (2009). Cheshire-cat logic: the recurring theme of terrorist abnormality in psychological
research. In J. Victoroff, & A. W. Kruglanski, The Psychology of Terrorism: Clasic and
Contemporary Insight (pp. 95-108). New York: Psyhcology Press.
Sinai, J. (2008). How to definie terrorism. Perspektives on Terrorism, Volume 2, Issue 4, hal. .
Smelser, N. J., & Mitchel, F. (2002). Terrorism: Perspectives from the behavioral and social
sciences. Washington DC: The National Academic Press.
Solahudin. (2011). NII sampai JI: salafi jihadisme di Indonesia. Jakarta: Komunitas Bambu.
Steven, G. C., & Gunaratna, R. (2004). Counterterrorism: A reference handbook. California:
ABC-CLIO, Inc.
Tajfel, H., & Turner, J. C. (1986). The social identity theory of intergroup behavior. In S.
Worchel, & W. G. Austin, Psychology of Intergroup Relations (pp. 7-24). Illinois:
Nelson-Hall Inc.
Taspinar, O. (2009). Fighting radicalism, not terrorism: Root causes of an international actor
redefined. SAIS Review, Vol XXIX No. 2, 75-86.
Taylor, M. (2010). Is terrorism a group phenomenon? Aggression and Violent Behavior, 15, 121-
129.
Tim Penulis Lazuardi Birru. (2011). Kutemukan Makna Jihad. Jakarta: Lazuardi Birru.
Ungerer, C. (2011). Jihadists in jail: Radicalisation and the Indonesian prison experience.
Canbera: Australian Strategic Policy Institut.
Victoroff, J., & Kruglanski, A. W. (2009). Psychology of Terrorism. New York: Psychology
Press.
Wessels, M. (2002). Terrorism, social justice, and peace building. In C. E. Stout, The psychology
of terrrorism: program and practices in response and prevention (pp. 57-76). Westport
CT: Praeger.
White, J. B., Langer, E. J., Yariv, L., & IV, J. C. (2001). Frequent social comparison and
destructive emotions and behaviors: the dark side of social comparison. Journal of Adult
Development Vol. 13 No. 1 March 2001. DOI: 10.1007/s10804-006-9005-0, 36-44.
Wiktorowicz, Q. (2006). Anatomy of Salafi Movement. Studies in Conflict and Terrorism (29),
207-239. doi: 10.1080/10576100500497004.
Worchel, S. (1986). The role of cooperation in reducing intergroup conflict. In S. Worchel, & W.
G. Austin, Psychology of Intergroup Relation (pp. 288-304). Chicago: Nelson-Hall
Publisher.
41
RIWAYAT HIDUP
Identitas Personal
Nama : Gazi, S.Psi. M.Si
Tempat/Tgl Lahir Mataram Lombok, 14 Desember 1971
Pekerjaan Dosen
Alamat Rumah Jl. Pasar Jengkol Kampung Curug Rt. 05 Rw. 01
No.21 Babakan Setu Tangerang Selatan
Alamat Kantor Fakultas Psikologi UIN Jakarta
Jl. Kertamukti 5 Ciputat Tangerang Selatan
Telp Kantor 021-7433060
HP: 08128480195
Email [email protected] atau [email protected]
Keluarga
Nama Hubungan Pekerjaan
Ummu Athiyah, S.Psi Isteri Guru
Averrous Saloom Anak Pertama Siswa SMP/Mts Kelas 2
Imtiyazussaomi Saloom Anak Kedua Siswi SD Kelas 5
Fawwaz Muluki Saloom Anak Ketiga PAUD
Riwayat Pendidikan Tinggi
Tahun Perguruan Tinggi Jurusan/Prodi
1991-1994 LIPIA Jakarta (Non gelar) Bahasa Arab dan Ilmu
Keislaman
1995-2000 Fakultas Psikologi UIN Jakarta
(S.Psi)
Program Studi Psikologi
2001-2004 Program Magister Sains Fakultas
Psikologi UI Depok (M.Si)
Psikologi Sosial
42
Pengalaman Penelitian
Tahun Judul Penelitian Jenis Hibah Sumber Dana
2015 Transformasi Personal
Pada Mantan Pelaku
Kriminal
Penelitian Publikasi
Nasional
Puslitpen LP2M UIN Jakarta
2015 Efektivitas
Penggunaan Dana
BOS untuk Madrasah
Penelitian Evaluasi Pusat Pendidikan Agama dan
Keagamaan Balitbang
Kemenag RI
2013 Dukungan Terhadap
Kekerasan
Penelitian Individual Lemlit UIN Jakarta
2012 Toleransi Beragama di
Lampung
Pusat kehidupan keagamaan
Balitbang Kemenag RI
2011 Dari Orang Biasa
Menjadi Teroris:
Kajian Psikologi
Terorisme
Penelitian Kelompok Lemlit UIN Jakarta
2010 Infiltrasi Radikalisme
di Masjid: Studi Kasus
di Bogor
Penelitian hibah
kerjasama CSRC UIN
Jakarta dan Yayasan
Lazuardi Birru
CSRC UIN Jakarta dan
Yayasan Lazuardi Birru
2010 Pengaruh Relijiusitas
dan Self Efficacy
Terhadap Komitmen
Tugas Dosen
Penelitian Individual Lemlit UIN Jakarta
Karya Ilmiah (Buku/Bagian Buku/Artikel)
Tahun Judul Penulis Buku/Jurnal
2014 Mengenal Teori-Teori
Psikologi Sosial
Kontemporer
Gazi Saloom Buku diterbitkan oleh UIN
Press
2014 Bahasa dan Berpikir
Gazi Saloom Bagian dari Buku Psikologi
Umum (F.Psi UIN Jakarta)
2013 Pengantar Psikologi Politik
Gazi Saloom dan
Ima Sri Rahmani
Buku diterbitkan oleh UIN
Press
2013 Melawan terorisme:
Deradikalisasi atau
Disengagement
Gazi Saloom Jurnal Ilmiah Dialog Balitbang
Kemenag RI, terakreditasi LIPI
2012 Psikologi Agama
Gazi Saloom dan
Faozah
Buku diterbitkan oleh UIN
Press
43
2012 Meninggalkan Jalan
Teror : Perspektif Teori
Identitas Sosial
Gazi Saloom Bagian dari buku/proseding
temu ilmiah nasional Ikatan
Psikologi Sosial Indonesia
2011
Hubungan Mayoritas-
Minoritas Dalam
Perspektif Psikologi
Sosial: Studi Kualitatif di
Bogor
Gazi Saloom Artikel Jurnal ilmiah Dialog,
Balitbang Kemenag RI,
terakreditas LIPI
2010 Pengantar Psikologi Sosial
Ikhwan Lutfi,
Gazi Saloom dan
Hamdan Yasun
Buku diterbitkan oleh UIN
Press
Presentasi di Forum Nasional dan Internasional
Tahun Judul Acara dan Penyelenggara
2015 Leaving Terrorism Konfrensi Internasional Ilmu-Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik, FISIP UIN Jakarta di
Jakarta
2015 Dukungan atas Kekerasan Temu Ilmiah Nasional, Ikatan Psikologi
Sosial Indonesia dan Prodi Psikologi
Universitas Udayana Bali
2014 Inkonsistensi Pemimpin Sebagai
Penyebab Meninggalkan Jalan Teror
Temu Ilmiah Nasional, Himpunan
Psikologi Indonesia di Menado Sulawesi
Utara
2013 Leaving Terrorism in Psychological
Perspective
Konfrensi Internasional, Asian Association
of Social Psychology (AASP) dan Fakultas
Psikologi UGM di Yogyakarta
2012 Meninggalkan Jalan Teror Dalam
Perspektif Teori Identitas Sosial
Temu Ilmiah Nasional, Ikatan Psikologi
Sosial Indonesia dan Fakultas Psikologi
UIN Syarif Qasim Pekanbaru di Pekanbaru
2011 Perilaku Sosial Dalam Islam Seminar Nasional, Asosiasi Psikologi
Islami dan Fakultas Psikologi UIN Jakarta
di Ciputat
2010 Contact and Prejudice Konfrensi Internasional, Asian Association
of Indigenous Psychology dan Fakultas
Psikologi UGM di Yogyakarta