universitas pembangunan nasional “veteran” … · web viewroving eye movements: merupakan...
TRANSCRIPT
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”
JAKARTA
TUGAS UJIAN
Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan
Klinik di Departemen Saraf
Rumah Sakit Umum Daerah Ambarwa
Diajukan Kepada :
Pembimbing Klinik : dr. Nurtakdir Kurnia Setiawan, Sp.S, MSc
Disusun Oleh :
Hilman Ramadhan 171 0221 064
KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN SARAF FAKULTAS KEDOKTERAN – UPN ”VETERAN”
JAKARTA RUMAH SAKIT UMUM DAERAH AMBARAWA
PERIODE 21 MEI – 2 JULI 2018
TUGAS UJIAN
A. GCS
B. Pemeriksaan N.VIII
1. TEST SCHWABACH
Menerangkan tujuan pemeriksaan kepada pasien. Pada tes ini pendengaran pasien
dibandingkan dengan pendengaran pemeriksa (yang dianggap normal).
a. pasien diminta untuk duduk dengan tenang
b. Garpu tala dibunyikan dan kemudian ditempatkan di dekat telinga klien. C.
c. Setelah klien tidak mendengarkan bunyi lagi, garpu tala tersebut ditempatkan di
dekat telinga pemeriksa.
d. INTERPRETASI: Bila masih terdengar bunyi oleh pemeriksa, maka dikatakan
bahwa Schwabach lebih pendek (untuk konduksi udara) e.
e. Kemudian garpu tala dibunyikan lagi dan pangkalnya ditekankan pada tulang
mastoid klien.
f. Setelah Pasien tidak mendengar lagi, garpu tala tersebut ditempatkan pada tulang
mastoid pemeriksa.
g. INTERPRETASI: Bila pemeriksa masih mendengarkan bunyinya maka dikatakan
bahwa schwabach (untuk konduksi tulang) lebih pendek.
2. TES RINNE
Menerangkan tujuan pemeriksaan kepada Pasien. Pemeriksaan ini bertujuan
membandingkan antara konduksi tulang dengan konduksi udara. Garpu tala yang diapakai
adalah yang berfrekuensi 128, 156 atau 512 Hz.
a. Garpu tala dibunyikan dan pangkalnya ditekankan pada tulang mastoid klien dan
diminta untuk mendengarkan bunyinya.
b. Setelah klien tidak mendengar, gapu tala segera didekatkan pada telinga.
c. INTERPRETASI: Jika setelah didekatkan pada telinga dan bunyi masih terdengar
maka konduksi udara lebih baik dari pada konduksi tulang, dan dalam hal ini
dikatakan Rinne positif. Bila tidak terdengar lagi setelah garpu tala dipindahkan
dari tulang mastoid ke dekat telinga,berarti Rinne negatif. Pada orang normal,
konduksi udara lebih baik daripada konduksi tulang, demikian juga pada tuli saraf.
Pada tuli konduktif, konduksi tulang lebih baik dari konduksi udara.
3. TES WEBER
Menerangkan tujuan pemeriksaan kepada klien. Garpu tala yang dibunyikan
ditekankan pangkalnya pada dahi Pasien, tepat dipertengahan.
a. Pasien diminta mendengarkan bunyinya dan menentukan pada telinga mana bunyi
lebih keras terdengar.
b. Cara tes Weber Garpu tala yang dibunyikan ditekankan pangkalnya pada
pertengahan kepala (dahi; verteks)
c. INTERPRETASI: Pada orang normal: kerasnya bunyi suara sama pada telinga kiri
dan kanan B. Tuli konduktif: Pada tuli konduktif bunyi lebih kuat pada telinga
yang tuli . Tuli perseptif (tuli saraf): Pada tuli perseptif bunyi lebih kuat pada
telinga yang sehat
C. Pemerikasaan Cerebellum
TEST CEREBELLUM
a. Tujuan : Mengenal berbagai fungsi serta menyelidiki ada tidaknya gejala-gejala
kerusakan fungsi cerebellum
b. Dasar Teori : Kerusakan organik maupun fungsional dari cerebellum biasanya
akan menampakkan suatu gejala-gejala yang bisa diamati sebelum dan sesudah
dilakukan suatu test tertentu. Gejala-gejala yang ditimbulkan sesuai dengan fungsi
maupun letak anatomis dari kerusakan yang terjadi.
c. FUNGSI CEREBELLUM : A.
Fungsi Koordinasi Membentuk gerakan yang bertujuan secara fungsional
sehingga beberapa otot atau persendian harus terorganisir dengan baik.
Misalnya untuk membentuk kata-kata yang baik diperlukan koordinasi
berbagai otot maupun persendian seperti otot laring, otot mulut ataupun
otot respirasi. Tidak adanya koordinasi dari berbagai otot maupun
persendian dikenal dengan istilah Disartri. Hilangnya koordinasi gerakan
ini akan menimbulkan peristiwa yang disebut Ataxia yaitu suatu kelainan
yang disebabkan tidak adanya koordinasi karena adanya gangguan
kecepatan, luaas, kekuatan serta arah dari gerakan.
Funsi Keseimbangan dan Orientasi Ruangan. Seseorang memahami
posisinya dalam suatu ruangan atau keseimbangan tubuhnya akibat dari
adanya impuls dari proprioseptor yang terletak pada terletak pada
persendian, otot dan lain-lain serta cerebllum harus baik. Apabila adanya
gangguan pada cerebellum akan berakibat tidak mampunya mengenali
posisi di suatu dirinya pada ruangan yang dikenal dengan istilah
Asteriognasi. Lintasan serabut syaraf afferen ke cerebellum berasal dari
informasi propioseptor dan sensorik dari semua bagian tubuh. Serabut
afferen cerebellum ini juga berasal dari semua daerah motorik korteks
cerebri melalui nuklei pons. Gangguan pada daerah ini dapat dilakukan uji
test Romberg atau test adiodokokinesis.
A. Test Romberg Posisi mata tertutup dan kaki dirapatkan dengan tangan
diluruskan ke depan bila ada kerusakan cerebellum maka orang
tersebut akan jatuh ke belakang.
B. Test Adiodokokinesis Orang yang normal dapat melakukan gerakan
pronasi dan supinasi secara berulang-ulang dan cepat atau orang dapat
menaikan tangannya serta menurunkan tangannya berulang-ulang dan
cepat. Jika ada kerusakan cerebellum maka kemampuan untuk
mengetahui posisi dari bagian tubuhnya yang bergerak tidak ada
akibatnya tidak teratur
Fungsi Penghambatan Rangsangan impuls yang datang ke cerebellum dari
korteks motoriks cerebellum akan dihambat (diinhibisi). Gangguan yang
terjadi pada sistem penghambatan impuls yang datang ke cerebellum ini
dapat diuji dengan Test Rebaound atau Past Pointing Test.
A. Test Rebound Orang dengan kerusakan cerebellum diminta
mengontraksikan lengannya kuat-kuat : Sementara orang lain
menahannya tetapi tiba-tiba tangan dilepaskan, maka lengan itu akan
melayang dengan kuat sampai memukul mukanya sendiri. Kondisi ini
karena kontraksi otot-otot antagonisnya tidak terjadi yang disebabkan
kerusakan cerebellumnya.
B. Past Pointing Test Orang normal dapat menyentuh sesuatu berkali-kali
dengan kecepatan cepat dan tepat, misal menyentuh ujung hidung,
menyentuh antar jari telunjuk kanan dan kirinya sendiri maupun
dengan orang lain.
Penderita gangguan ini mengalami overshoot. Overshoot ini
ditunjukkan ketika seseorang menunjuk ke titik tertentu misal di ujung
hidung sendiri maka telunjuk mengalami gerak overshoot sehingga
tidak mampu menunjuk atau menyentuh ujung hidungnya.
Ketidakmampuan menunjuk ini akibat tidak dapat menilai jarak jari
telunuk terhadap hidungnya, kondisi ini sebagai disartri.
Ciri khas lainnya pada gangguan kerusakan cerebellum adalah berupa
adanya intensi tremor yaitu tremor yang terjadi sewaktu bergerak
secara volunter. Sebaliknya tremor akan tidak muncul ketika seseorang
penderita tersebut diam. Kondisi berbeda dengan tremor akibat
Parkinsonisme. Tremor Parkinson berlangsung baik pada kondisi
involunter dan volunter.
Test Intensi Tremor
Kerusakan Cerebellum pada saat melakukan gerakan terutama pada
saat hampir sampai ke tempat tujuan terjadi tremor (gerakan yang
halus dan cepat, involunter) karena fungsi damping atau penghambatan
cerebellum hilang. Tremor terjadi terutama bila nuklei dentatus atau
brachium konjungtivum rusak. Kondisi ini kerusakan khas cerebellum.
D.Penilaian klinis refleks batang
otak Penentuan kematian batang otak memerlukan penilaian fungsi
otak oleh minimal dua orang klinisi dengan interval waktu
pemeriksaan beberapa jam. Tiga temuan penting pada kematian batang
otak adalah koma dalam, hilangnya seluruh reflex batang otak, dan
apnea. Pemeriksaan apnea (tes apnea) secara khas dilakukan setelah
evaluasi reflex batang otak.
1. Pupil asimetris Pupil yang besar, unreactive, disebabkan oleh adanya
lesi pada saraf okulomotor ipsilateral, dapat pula karena pre-existing
Adie’s pupil. Pupil yang kecil, lambat berdilatasi terdapat pada Horner
syndrome.
2. Reaksi pupil terhadap cahaya Harus mempergunakan cahaya yang
kuat karena respons pupil dapat lambat pada pasien tidak sadar (cahaya
oftalmoskop kurang adekuat). Pupil yang tidak mengalami konttriksi
jika diberikan stimulus cahaya menandakan adanya lesi pada N.II atau
N.III. Respon direct didapatkan ketika kita memberikan rangsang
cahaya pada mata yang ingin diperiksa, dan mendapatkan ketika kita
melihat respon pada pupil mata yang tidak diberi stimulus.
3. Posisi / pergerakan mata : Posisi dan pergerakan mata ditentukan
oleh saraf III, IV dan VI. Pada posisi primer, lesi yang mengenai saraf
tertentu dapat menghasilkan posisi juling (dysconjugate gaze).
Aktivitas kejang dapat menimbulkan conjugate gaze yang simetris
intermitten dengan arah kontralateral lesi, sedangkan lesi destruksi
lobus fronta dapat menghasilkan conjugate gaze ke sisi lesi. Nistagmus
jarang terlihat, namun gerakan seperti nistagmus dapat timbul pada
status epileptikus.
4. Roving eye movements: Merupakan gerakan bola mata berupa
gerakan lambat dari satu sisi ke sisi yang lain, kelopak mata tertutup,
dan mungkin disertai posisi mata yang divergen ringan dari aksis
okuler. Gerakan ini biasanya terjadi pada tidur normal atau pada pasien
koma ringan, fungsi batang otak normal dan tidak menunjukkan suatu
lokasi lesi tertentu.
5. Doll’s eye movements Kepala digerakkan dari satu sisi ke sisi
lainnya dan dari atas kebawah. Refleks okulosefalik dan reflex
vestibulosefalik secara normal seharusnya menjaga posisi mata
meskipun terdapat gerakan kepala, sehingga mata bergerak pada arah
yang berbeda dengan pergerakan kepala. Bila pergerakan kepala telah
sempurna, mata bergerak kembali ke posisi semula. Horizontal
doll’head eye movements yang abnormal menunjukkan adanya lesi
yang mengenai N. Okulomotor (III), N. Abdusens (VI) dan pons.
Vertical doll’s head eye movements yang abnormal menunjukkan lesi
yang mengenai N. III, IV dan midbrain.
6. Tes kalorik Merupakan test untuk memeriksa fungsi batang otak
disebut juga test reflex okulovestibuler. Cara: pasien dibaringkan
dengan tubuh bagian atas dan kepala membentuk sudut 30% dengan
bidang horizontal, kemudian disuntukkan 50- 100 cc air dingin pada
salah satu telinga, yang akan berefek sama jika kepala digerakkan ke
sisi yang berlawanan, mata pasien akan menghadap pada sisi dimana
air dimasukkan. Posisi mata ini akan bertahan beberapa waktu. Jika
hasil pemeriksaan negatif, kemungkinan terdapat lesi pada pons,
medulla dan pada kasus yang jarang pada lesi N. III, N.IV, N.VI, atau
N. VIII.
7. Refleks kornea: Pemeriksaan ini bermanfaat untuk menentukan
prognosis dan lokasi lesi. Refleks kornea yang negatif biasanya
disebabkan lesi yang mengenai N. Trigeminus (V), pons atau N.
Fasialis (VII). Meringis terhadap nyeri trigeminal dilakukan dengan
cara menggosok dengan kuat anterior telinga atau pada supraorbital
ridge. Timbulnya meringis dapat bermanfaat untuk mendeteksi
kelumpuhan upper motor saraf VII. 8. Gag Reflex Dapat dilakukan
pemeriksaan dengan melakukan tes reflex muntah dan batuk, yang
tergantung dari jalur N glosofaringeal (IX) dan N. Vagus (X) ke
medulla dan kemudian ke N. X.
2. Tes Refleks Batang otak Penilaian klinis terhadap reflex batang otak
dikerjakan secara menyeluruh. Nervus cranialis yang diperiksa
ditunjukkan dengan angka romawi; garis panah utuh menunjukkan
jaras aferen; garis panah terputus menunjukkan jaras eferen. Hilangnya
respon menyeringai atau mata tidak membuka terhadap rangsang
tekanan dalam pada kedua condyles setinggi temporomandibular joint
(afferent n. V dan efferent N. VII), hilangnya reflex kornea terhadap
rangsang sentuhan tepi kornea mata (n. V dan n. VII), hilangnya reflex
cahaya (N. II dan N. III), hilangnya respon oculovestibular kearah sisi
stimulus dingin oleh air es (N. VIII dan N. III dan N. VI), hilangnya
reflex batuk terhadap rangsangan pengisapan yang dalampada trachea
(N. IX dan n. X).
3. Tes apnea Secara umum, tes apnea dilakukan setelah pemeriksaan
reflex batang otak .Tes apnea dapat dilakukan apa bila kondisi
prasyarat terpenuhi, yaitu: (10,11) a. Suhu tubuh ≥ 36,5 °C atau 97,7
°F b. Euvolemia (balans cairan positif dalam 6 jam sebelumnya) c.
PaCO2 normal (PaCO2 arterial ≥ 40 mmHg) d. PaO2 normal (pre-
oksigenasi arterial PaO2 arterial ≥ 200 mmHg) Setelah syarat-syarat
tersebut terpenuhi, dokter melakukan tes apnea dengan langkah-
langkah sebagai berikut :( (10,11) a. Pasang pulse-oxymeter dan
putuskan hubungan ventilator b. Berikan oksigen 100%, 6 L/menit
kedalam trakea (tempatkan kanul setinggi carina) c. Amati dengan
seksama adanya gerakan pernafasan (gerakan dinding dada atau
abdomen yang menghasilkan volume tidal adekuat) d. Ukur PaO2,
PaCO2, dan pH setelah kira-kira 8 menit, kemudian ventilator
disambungkan kembali. e. Apabila tidak terdapat gerakan pernafasan,
dan PaCO2 ≥ 60 mmHg (atau peningkatan PaCO2 Lebih atau sama
dengan nilai dasar normal), hasil tes apnea dinyatakan positif
(mendukung kemungkinan klinis kematian batang otak) f. Apabila
terdapat gerakan pernafasan, tes apnea dinyatakan negatif (tidak
mendukung kemungkinan klinis kematian batang otak) g. Hubungkan
ventilator selamates apnea apa bila tekanan darah sistolik turun sampai
< 90 mmHg (atau lebih rendah dari batas nilai normal sesuai usia pada
pasien < 18 tahun), atau pulse-oxymeter mengindikasikan adanya
desaturasi oksigen yang bermakna, atau terjadi aritmiakardial. i. Segera
ambil sampel darah arterial dan periksa analisis gas darah. ii. Apabila
PaCO2 ≥ 60 mmHg atau peningkatan PaCO2 ≥ 20 mmHg di atas nilai
dasar normal, tes apnea dinyatakan positif. iii. Apabila PaCO2< 60
mmHg atau peningkatan PaCO2 < 20 mHg di atas nilai dasar normal,
hasil pemeriksaan belum dapat dipastikan dan perlu dilakukan tes
konfirmasi
3. Tes apnea Diskoneksi ventilator dan penggunaan oksigenasi apneak
difusi (apneic diffusion oxygenation) memerlukan syarat tertentu. Suhu
tubuh harus ≥36.5 °C, tekanan darah sistolik harus ≥90 mmHg, dan
keseimbangan cairan harus positif selama enam jam. Setelah pre-
oksigenasi (fraksi oksigen insprasi harus 1.0 selama 10 menit), tingkat
ventilasi harus dikurangi. Ventilator harus diputus apabila PaO2
arterial mencapai ≥200 mmHg, atau apabila PaCO2 arterial mencapai
≥40 mmHg. Pipa oksigen harus berada pada carina (menghantarkan
oksigen 6 liter per menit).Dokter harus mengamati dinding dada dan
abdomen untuk mengamati adanya gerakan pernafasan selama 8-10
menit, dan harus mengawasi pasien terhadap adanya perubahan fungsi
vital. Apabila PaO2 arterial ≥60mmHg, atau terdapat peningkatan > 20
mmHg dari nilai dasar yang normal, makates apnea dinyatakan positif
E. Halo sign atau Double ring sign
Tanda klasik kebocoran CSS berupa halo sign atau double ring sign yaitu adanya daerah
cairan jernih di sekeliling darah bila cairan CSS yang bercampur darah di letakkan di kain
linen atau kertas saring. Keadaan ini terjadi karena darah dan CSS mempunyai
densitas cairan yang berbeda sehingga akan terpisah. Marco melaporkan satu kasus
kebocoran CSS yan tidak muncul gambaran double ring dengan menggunakan kertas saring
namun muncul pada kain tandu (linen). Test ini tidak reliabel dan tidak cukup untuk
membuat diagnosis kebocoran CSS.