untuk mitigasi bencana banjir

248

Click here to load reader

Upload: vuongtuong

Post on 09-Dec-2016

301 views

Category:

Documents


15 download

TRANSCRIPT

Page 1: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai

untuk Mitigasi Bencana BanjirPemanfaatan Data Penginderaan Jauh

Page 2: untuk Mitigasi Bencana Banjir
Page 3: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Penerbit IPB PressKampus IPB Taman Kencana,

Kota Bogor - Indonesia

C.01/12.2015

Editor:

Dr. Wikanti AsriningrumIr. Wawan K. Harsanugraha, M.Si.

Dr. Indah Prasasti

Bunga Rampai

untuk Mitigasi Bencana BanjirPemanfaatan Data Penginderaan Jauh

Page 4: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Judul Buku: Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh untuk Mitigasi Bencana Banjir

Editor:Dr. Wikanti AsriningrumIr. Wawan K. Harsanugraha, M.Si.Dr. Indah Prasasti

Desain Sampul: Ahmad Syahrul Fakhri

Penata Isi:Ahmad Syahrul Fakhri

Penyunting Bahasa: Atika Mayang Sari

Korektor: Dwi M Nastiti

Jumlah Halaman: 218 + 30 halaman romawi

Edisi/Cetakan:Cetakan 1, Desember 2015

PT Penerbit IPB PressAnggota IKAPIKampus IPB Taman KencanaJl. Taman Kencana No. 3, Bogor 16128Telp. 0251 - 8355 158 E-mail: [email protected]

ISBN: 978-979-493-901-7

Dicetak oleh Percetakan IPB, Bogor - IndonesiaIsi di Luar Tanggung Jawab Percetakan

© 2015, HAK CIPTA DILINDUNGI OLEH UNDANG-UNDANG

Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku tanpa izin tertulis dari penerbit

Page 5: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Sambutan Penerbit

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas diselesaikannya buku dengan judul “Pemanfaatan Penginderaan Jauh untuk Mitigasi Bencana Banjir”. Buku ini mengulas tentang Pemanfaatan Penginderaan Jauh dalam aplikasinya untuk analisis bencana banjir baik dari sisi cuaca dan lahan.

Diharapkan, buku ini memberikan pandangan mengenai kemajuan teknologi penginderaan jauh baik dari sisi data, metode, serta analisisnya sebagai salah satu upaya dari sisi ilmu dan pengetahuan khususnya teknologi satelit penginderaan jauh dan sistem informasi geografis untuk meminimalkan dampak kerugian yang ditimbulkan akibat bencana banjir.

Pada kesempatan ini, disampaikan rasa terima kasih dan penghargaan dari IPB Press kepada seluruh pihak yang telah berupaya menuangkan pemikirannya untuk menyusun buku ini. Semoga buku ini dapat berkontribusi terhadap ilmu pengetahuan dan juga dapat dimanfaatkan oleh pembacanya

Bogor, Desember 2015

Penerbit

Page 6: untuk Mitigasi Bencana Banjir
Page 7: untuk Mitigasi Bencana Banjir

KATA PENGANTAR EDITOR

Bencana banjir merupakan bencana yang paling sering terjadi di Indonesia berdasarkan data kejadian bencana yang dihimpun oleh Badan Nasional Penanggulanan Bencana (BNPB). DKI Jakarta sebagai ibukota pemerintahan kita kerap dilanda banjir setiap tahunnya pada musim hujan. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah dalam mengantisipasi bencana banjir. Pusat Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh-LAPAN juga telah lama melakukan kegiatan riset bahaya banjir maupun monitoring potensi banjir berdasarkan data satelit penginderaan jauh. Ini adalah salah satu upaya ilmu dan pengetahuan di bidang satelit penginderaan jauh yang didedikasikan sebagai salah satu input dalam manajemen risiko bencana agar dapat meminimalisiasi dampak kerugian yang ditimbulkan akibat bencana banjir.

Pada kesempatan ini, Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh didukung oleh Badan Meteorologi dan Klimatologi Geofisika (BMKG), Badan Informasi Geospasial (BIG), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan Universitas Tohoku-Japan, mencoba merangkai hasil-hasil penelitian pemanfaatan data penginderaan jauh dan sistem informasi geografis terkait mitigasi bencana banjir khususnya di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya dalam bentuk buku bunga rampai.

Page 8: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

viii

Saya menyampaikan penghargaan kepada semua pihak khususnya Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana dan para penelaah, yang telah berperan serta dan memberikan kontribusi sehingga terbit buku bunga rampai ini. Semoga buku ini dapat memberi manfaat bagi kita semua.

Wassalamu’alaikum wr.wb.

Jakarta, Desember 2015

Dr. M. Rokhis Khomarudin

Page 9: untuk Mitigasi Bencana Banjir

SEKAPUR SIRIHKAJIAN FENOMENA BANJIR DI

JAKARTA

Indah Prasasti, Parwati Sofan, Nur Febrianti, Totok Suprapto

*Peneliti Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, LAPAN

1. PENDAHULUANBanjir merupakan salah satu fenomena alam yang sering menyebabkan bencana, terutama jika terjadi pada kondisi curah hujan ekstrem. Banjir berdampak pada rusaknya sarana dan prasarana, terganggunya aktivitas manusia, kerugian harta benda bahkan nyawa manusia, dan kerugian ekonomi nasional akibat terganggunya aktivitas produksi dan jasa, dan lain sebagainya.

Banjir pada umumnya disebabkan oleh curah hujan yang tinggi di atas normal sehingga sistem pengaliran air yang terdiri dari sungai dan anak sungai alamiah serta sistem drainase dan kanal penampung banjir buatan yang ada tak mampu menampung akumulasi air hujan sehingga meluap. Daya tampung sistem pengaliran air tak selamanya sama, tetapi berubah akibat sedimentasi, penyempitan sungai, tersumbat sampah serta hambatan lainnya. Penggundulan hutan di daerah tangkapan air hujan (catchment area) juga menyebabkan peningkatan debit banjir sehingga debit air yang masuk ke dalam sistem aliran menjadi tinggi, melampaui kapasitas pengaliran dan memicu terjadinya erosi pada lahan curam yang menyebabkan sedimentasi dalam sistem pengaliran air dan wadah air lainnya. Di samping itu berkurangnya daerah resapan air juga berkontribusi terhadap meningkatnya debit banjir. Daerah permukiman yang padat dengan bangunan menyebabkan

Page 10: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

x

daerah resapan air ke dalam tanah berkurang, jika terjadi hujan dengan curah hujan yang tinggi sebagian air akan menjadi aliran air permukaan yang langsung masuk ke dalam sistem pengaliran air sehingga kapasitasnya terlampaui dan mengakibatkan banjir.

Banjir merupakan bencana terbesar di Indonesia. Menurut catatan kejadian bencana oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dalam periode tahun 1815–2012, bencana banjir menempati urutan pertama di Indonesia. Kejadian banjir yang biasa terjadi di Indonesia lebih disebabkan karena faktor curah hujan yang lebat. Faktor lain yang menyebabkan terjadinya banjir adalah perubahan penutup lahan di daerah hulu seperti pembukaan lahan/hutan dan adanya perkembangan wilayah perkotaan yang sangat pesat.

Banjir di Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta telah terjadi sejak zaman kolonial Belanda, yaitu pada tahun 1654, 1872, 1909, dan 1918. Kondisi ini disebabkan sebanyak 40% atau sekitar 24.000 ha wilayah DKI Jakarta berupa dataran yang letaknya lebih rendah dari permukaan laut. Dataran yang rendah ini dialiri oleh tiga belas sungai yang bermuara di Laut Jawa. Selain itu, Jakarta juga merupakan kota dengan jumlah penduduk tertinggi di Indonesia dan jumlah ini diperkirakan terus bertambah karena daya tarik kota ini sebagai pusat perekonomian Indonesia.

DKI Jakarta merupakan wilayah yang memiliki nilai sangat strategis karena merupakan lokasi Ibukota Negara Indonesia. Oleh karena itu, banjir yang melanda Jakarta akan sangat berdampak pada kondisi perekonomian Indonesia dan mendapat perhatian oleh semua pihak. Upaya pencegahan dan antisipasi dini sangat penting dikaji dan dikembangkan secara terus menerus. Hal ini disebabkan kondisi lingkungan di sekitar wilayah Jakarta, baik di dalam wilayah Jakarta maupun wilayah penyangganya (Depok, Tangerang, Bogor, Bekasi), yang terus mengalami perkembangan dan perubahan fungsi lahan akibat urbanisasi akan sangat berpengaruh terhadap bencana banjir di Jakarta.

Page 11: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Sekapur SirihKajian Fenomena Banjir Di Jakarta

xi

Saat ini fenomena banjir dan genangan menjadi semakin meningkat intensitas dan frekuensinya. Fenomena ini makin diperparah oleh perubahan kondisi iklim global yang menyebabkan meningkatnya intensitas dan durasi hujan di beberapa bagian wilayah Indonesia. Dampak dari peningkatan intensitas dan durasi hujan tersebut dapat dilihat dari meningkatnya luas areal yang mengalami banjir atau genangan dan meningkatnya tinggi dan lama genangan, seperti yang terjadi di Jakarta pada awal tahun 2013 ini. Selain faktor hujan, masalah yang makin memperparah kondisi banjir di Jakarta adalah adanya perubahan/alih fungsi lahan, menurunnya kualitas air akibat polusi limbah domestik dan industri, adanya erosi dan sedimentasi sekitar kawasan DAS, dan sebagainya. Oleh karena itu, untuk mengatasi kondisi tersebut diperlukan kajian dan pemantauan perubahan penggunaan lahan yang terus menerus seiring dengan makin berkembangnya wilayah-wilayah di sekitar DAS.

2. DEFINISI BanjirBanjir adalah aliran/genangan air yang menimbulkan kerugian ekonomi atau bahkan menyebabkan kehilangan jiwa (Asdak, 2007). Pada Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2011 tentang Sungai diuraikan bahwa banjir adalah peristiwa meluapnya air sungai melebihi palung sungai. Aliran/genangan air yang terjadi karena adanya luapan-luapan pada daerah di kanan atau kiri sungai akibat alur sungai tidak memiliki kapasitas yang cukup bagi debit aliran yang lewat (Sudjarwadi, 1987).

Menurut dinas pekerjaan umum, banjir merupakan suatu keadaan sungai, dimana aliran air tidak tertampung oleh palung sungai, sehingga terjadi limpasan dan atau genangan pada lahan yang semestinya kering (PU Provinsi DKI Jakarta, 2008). Sementara menurut Badan koordinasi nasional, banjir merupakan peristiwa terbenamnya daratan (yang biasanya kering) karena volume air yang meningkat (Bakornas, 2007).

Page 12: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

xii

Daerah GenanganDaerah genangan yaitu kawasan yang tergenang air akibat tidak berfungsinya sistem drainase atau juga daerah genangan alamiah yang hanya tergenang pada saat banjir (http://pustaka.pu.go.id). Biasanya genangan itu hanya setinggi 10 cm dengan durasi 60 menit (PU, 2000). Genangan juga berarti naiknya atau meluapnya badan air ke daratan yang kering (http://www.thefreedictionary.com/inundation). Genangan juga dapat berarti tertutupnya daratan oleh air akibat banjir.

Aliran Permukaan (Surface Runoff) atau Air LarianMenurut Asdak (2002), curah hujan sebagai input dari daur hidrologi akan didistribusikan melalui beberapa cara, yaitu air lolos (throughfall), aliran batang (stemflow), dan air hujan langsung sampai ke permukaan tanah yang terbagi menjadi air larian, evaporasi, dan air infiltrasi. Air larian dan air infiltrasi akan mengalir ke sungai sebagai debit aliran (discharge). Berdasarkan uraian di atas maka air larian yang biasa disebut surface runoff merupakan bagian dari curah hujan yang mengalir di atas permukaan tanah akibat laju curah hujan melampaui laju infiltrasi air ke dalam tanah, kemudian mengalir di permukaan menuju ke sungai, danau, dan lautan.

Faktor-faktor yang memengaruhi air larian terdiri dari faktor iklim dan faktor karakteristik Daerah Aliran Sungai (DAS). Faktor iklim yang memengaruhi besaran air larian adalah curah hujan. Lama hujan, intensitas, dan distribusi hujan memengaruhi laju dan volume air larian. Pada hujan dengan intensitas yang sama, air larian yang terjadi akan lebih besar pada hujan yang berlangsung dalam waktu yang lebih lama daripada hujan dalam waktu singkat. Faktor DAS yang memengaruhi air larian adalah bentuk dan ukuran DAS, topografi, geologi, dan tataguna lahan (jenis dan kerapatan vegetasi). Semakin besar luas DAS, ada kecenderungan semakin besar curah hujan yang diterima, namun beda waktu antara puncak hujan dan puncak hidrograf aliran menjadi lebih lama. Semakin besar kemiringan lereng suatu DAS maka semakin cepat laju air larian sehingga mempercepat respons

Page 13: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Sekapur SirihKajian Fenomena Banjir Di Jakarta

xiii

DAS oleh adanya curah hujan. Selain itu bentuk DAS yang memanjang dan sempit cenderung menurunkan laju air larian dibandingkan DAS berbentuk lebar meskipun luas total dari dua DAS tersebut sama. Kerapatan daerah aliran (drainase) juga menjadi salah satu faktor penentu kecepatan air larian. Semakin tinggi kerapatan daerah aliran, semakin besar kecepatan air larian untuk curah hujan yang sama, dan debit puncak akan tercapai dalam waktu yang lebih cepat. Sementara itu, pengaruh vegetasi terhadap air larian adalah dapat memperlambat jalannya air larian dan meningkatkan jumlah air yang tertahan di atas permukaan tanah (Asdak, 2002).

Pemodelan hidrologi yang umum digunakan untuk mengestimasi volume limpasan adalah metode SCS (Soil Conservation Service, 1964). Model estimasi SCS ini sifatnya sederhana, simpel, akurat, dan menggunakan data hujan dan karakteristik DAS yang mudah didapat. Untuk mengestimasi volume limpasan, metode SCS dapat digunakan untuk DAS berukuran kecil sampai besar, yaitu luasan 25.000 ha (250 km2) (Johnson, 1998) sampai dengan 259.000 ha (2.590 km2) (Singh, 1989). Sementara debit banjir dapat diestimasi dengan menggunakan model Rasional (Chow 1964; McCuen 1989; Sosrodarsono dan Takeda 1993). Penggunaan model Rasional dapat diterapkan pada DAS dari ukuran kecil (<15 km2 atau 1.500 ha) sampai DAS berukuran besar (200.000 km2 atau 2 juta ha) dengan kombinasi penggunaan lahan yang kompleks (Sukresno dan Paimin, 2007).

Pendugaan dan Analisis Risiko BanjirRisiko secara umum merujuk pada hasil kali bahaya (hazard) dengan kerentanan (vulnerability). Bahaya terkait dengan faktor fisik dan dampaknya, sedangkan kerentanan merupakan kerawanan terhadap kerusakan atau kegagalan (Alexander, 1997).

Risk atau risiko merupakan kombinasi antara kemungkinan terjadinya suatu kejadian (hazard) yang tidak diinginkan (peluang kejadian) dan konsekuensi (besar dampak) (vulnerability) dari kejadian tersebut (Beer dan Ziolkwoski, 1995 dan USPCC RARM, 1997 dalam Boer, 2002). Kerentanan

Page 14: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

xiv

(vulnerability) terkait dengan akibat yang dapat diduga dari sebuah fenomena alam dan ditentukan oleh intensitas risikonya. Oleh karena itu, kerentanan dipengaruhi oleh tiga unsur, yakni risiko, kerusakan, dan usaha (pencegahan atau pengendalian) (Hardy, 2005).

Analisis risiko (risk analysis) merupakan analisis untuk menentukan besarnya peluang terjadinya suatu keadaan yang tidak diinginkan yang akan menyebabkan kegagalan atau kerusakan. Terdapat dua cara pendugaan risiko (assessing risk), yakni berdasarkan peluang (probability) kejadiannya dan tingkat kerentanannya (vulnerability). Sementara itu, analisis bahaya (hazard analysis) dapat digunakan untuk menentukan bahaya yang terjadi pada sebuah fasilitas yang ada atau yang direncanakan dan mendesain (merancang) strategi yang selanjutnya dapat dievaluasi untuk menentukan apakah tujuan-tujuan pengamanan kebakaran dapat tercapai. Analisis bahaya dapat dianggap sebagai sebuah komponen dari analisis risiko. Oleh karena itu, sebuah analisis risiko merupakan sekumpulan analisis bahaya yang diboboti berdasarkan peluang kejadiannya. Risiko total merupakan jumlah dari semua nilai bahaya berdasarkan bobotnya. Nilai risiko pada suatu area bahaya adalah kemampuannya untuk mengidentifikasi skenario yang memberikan sumbangan secara signifikan terhadap risiko (Bukowski, 1996).

Terdapat dua tahap penting dalam penilaian (assessment) risiko banjir, yakni: penilaian bahaya dan pendugaan kerentanan. Penilaian bahaya berhubungan dengan karakteristik dari peristiwa itu sendiri dalam hal besar dan frekuensi kejadiannya, sedangkan penilaian kerentanan memperhitungkan pengaruh kejadian terhadap populasi, aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan serta dampaknya pada infrastruktur transportasi. Penilaian bahaya dan kerentanan banjir dapat dilakukan menggunakan beberapa cara. Islam dan Sado (2002) menggunakan kedalaman banjir dan frekuensi kejadian banjir untuk menghasilkan peta bahaya banjir di Bangladesh. Rao et al. (2005) mengembangkan indeks kerentanan banjir di wilayah pantai timur India menggunakan kerapatan penduduk, penutup/penggunaan lahan, jarak terhadap pantai, kemiringan lahan, dan lokasi dengan memperhitungkan arah (track) siklon.

Page 15: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Sekapur SirihKajian Fenomena Banjir Di Jakarta

xv

3. FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB BANJIR DI JAKARTA

Fenomena banjir dan genangan yang terjadi di Jakarta semakin meningkat intensitas dan frekuensinya. Sebagai daerah paling ujung, Jakarta akan menerima luapan air paling banyak. Kondisi ini diperburuk dengan adanya perubahan fenomena iklim global yang mengarah pada terjadinya hujan lebat dengan durasi lama. Dampaknya terlihat dari meningkatnya luas areal yang mengalami banjir atau genangan dengan tinggi air dan lama genangan yang terus meningkat. Bahkan pada beberapa daerah yang sebelumnya tidak pernah mengalami banjir, sekarang banjir. Peningkatan risiko dan bahaya genangan banjir ini akan menyebabkan kerugian lebih besar, bila tidak ditangani lebih dini. Selain itu, terjadinya penurunan permukaan tanah (subsidence) akibat ekploitasi air tanah Jakarta yang berlebihan menyebabkan posisi Jakarta terhadap laut makin rendah. Kondisi ini diperburuk dengan kecenderungan meningkatnya muka air laut akibat pemanasan global (global warming). Penurunan daratan di Ancol dan meningkatnya risiko terjadinya banjir dan genangan ini dapat dijadikan sebagai salah satu indikator potensi banjir Jakarta semakin tinggi (Irianto, 2002).

Presentasi Rustiadi (2013) dalam diskusi pakar tentang banjir di Jakarta menyebutkan bahwa dari tahun 2000 hingga tahun 2011 terjadi kecenderungan peningkatan jumlah desa yang terkena banjir (Tabel 1). Selain itu, Rustiadi juga menyebutkan bahwa faktor penyebab banjir di Jakarta antara lain: 1) curah hujan ekstrem, 2) buruknya sistem drainase, 3) letak wilayah Jakarta yang lebih rendah dari permukaan laut, 4) polusi terutama sampah, dan 5) penurunan permukaan tanah (land subsidence).

Page 16: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

xvi

Tabel 1. Jumlah dan persentase desa yang terkena banjir di Jakarta (Sumber: Rustiadi, 2013)

TahunBanjir

Jumlah Desa Persentase (%)2000 102 6.00 2003 609 35.82 2006 332 19.53 2008 644 37.88 2011 338 22.61

Banjir di Kota Jakarta berkaitan erat dengan banyak faktor seperti, pembangunan fisik di kawasan tangkapan air di hulu yang kurang tertata baik, urbanisasi yang terus meningkat, perkembangan ekonomi, dan perubahan iklim global. Menurut BMKG, penyebab banjir di Jakarta pada tahun 2007 adalah curah hujan tinggi. Curah hujan memengaruhi potensi banjir. Jika curah hujan tinggi, maka potensi banjir juga akan tinggi. Curah hujan dikatakan tinggi apabila kisaran curah hujannya antara 402 hingga lebih dari 500 mm, sedang antara 301–400 mm, dan rendah antara 102–300 mm. Ada 3 (tiga) penyebab tingginya curah hujan pada kejadian banjir ini yaitu 1) adanya tekanan rendah atau badai tropis di Australia bagian utara, 2) adanya daerah pertemuan angin pada posisi di sekitar Laut Jawa hingga Laut Banda, dan 3) kenaikan suhu permukaan laut sekitar 0.5–1.0 derajat Celcius di wilayah perairan Indonesia. Naiknya suhu permukaan laut di sepanjang daerah pertemuan angin akan memperkuat pertumbuhan awan hujan di wilayah Indonesia (http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2007/bulan/02/tgl/09/).

Selain curah hujan, faktor yang banjir di Jakarta adalah adanya perubahan fungsi lahan guna memenuhi kebutuhan lahan akan permukiman akibat peningkatan kepadatan penduduk. Dengan meningkatnya kepadatan penduduk dan area terbangun menyebabkan berkurangnya area RTH (Ruang Terbuka Hijau) (pada tahun 2007, Jakarta hanya mempunyai 18,180 hektar RTH) untuk menyerap air ke dalam tanah. Kondisi ini

Page 17: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Sekapur SirihKajian Fenomena Banjir Di Jakarta

xvii

menyebabkan pada musim penghujan air hujan tidak dapat tertampung dan menggenangi sebagian besar daerah Jakarta, sedangkan pada musim hujan tidak dapat menyimpan cadangan air. Sementara itu, di kawasan hulu sungai juga telah terjadi konversi lahan yang cukup intensif.

BPLHD Provinsi Jawa Barat (2008) menyatakan ada 3 (tiga) penyebab utama banjir di Jakarta dan sekitarnya, yakni 1) kondisi alam (posisi geografis, topografi, karakteristik sungai), 2) dinamika kejadian alam (seperti: curah hujan ekstrim dan penurunan permukaan tanah), dan 3) sosial ekonomi (deforestrasi, kegiatan pembangunan, pemanfaatan bantaran sungai, dan lemahnya penegakan hukum). BPLHD Provinsi Jawa Barat juga menyebutkan bahwa dari tahun 1940 ke tahun 1994 telah terjadi penurunan jumlah tubuh air (danau/situ) di wilayah Bogor, Tangerang, dan Bekasi dari 184 buah (2 120 ha) menjadi 129 buah (576.5 ha).

Banjir rob (pasang) di kawasan pesisir Jakarta tidak dipengaruhi oleh musim karena saat musim penghujan ataupun musim kemarau tetap terjadi. Kondisi ini semakin diperparah dengan adanya perubahan penggunaan lahan pada pesisir pantai yang mengakibatkan perubahan garis pantai.

4. BEBERAPA METODE ANALISIS BANJIR JAKARTA

Para peneliti telah mengembangkan beberapa metode untuk menganalisis banjir di Jakarta. Asriningrum et al. (1998) melakukan analisis daerah rentan banjir Jakarta dan sekitarnya menggunakan metode klasifikasi bentuk lahan dengan acuan peta topografi, peta geologi, dan peta distribusi banjir, yang diintegrasikan dengan klasifikasi penutup/penggunaan lahan menggunakan maximum likelihood. Hasilnya menunjukkan bahwa identifikasi bentuk lahan dapat dilakukan dari citra radar (JERS-1) untuk wilayah dengan permukaan kasar atau bertopografi kasar dan lembab. Bentuk lahan rentan banjir di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya adalah rawa, delta, lagun, dataran aluvium bawah dan atas.

Page 18: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

xviii

Ibrahim et al. (2007) mengembangkan model simulasi banjir berdasarkan hubungan antara curah hujan, aliran sungai, dan kondisi DAS di wilayah DKI Jakarta berdasarkan analisis DEM (Digital Terrain Model), hidrologi, hidrolika, dan SIG. Pada model hidrologi digunakan parameter slope (kemiringan lereng) dan aspek dari data DEM, kemudian koefisien abstraksi dan kekasaran Manning dari peta penggunaan lahan (Landuse), karakteristik tanah dan penutupan tanaman, serta parameter peubah dinamik, yaitu curah hujan. Selain itu, digunakan pula data non spasial yaitu curah hujan, debit aliran, penampang memanjang dan melintang, serta fasilitas bangunan air. Air larian dihitung berdasarkan aplikasi metode SCS, sedangkan arah aliran air larian dianalisis berdasarkan kemiringan tanah dari data DEM. Pada penelitian ini juga dihasilkan model penentuan genangan banjir untuk berbagai periode ulang banjir dari masukan data DEM dan data curah hujan.

Nugroho (2008) menganalisis banjir Jakarta yang terjadi pada tahun 2007 berdasarkan hubungan antara curah hujan dan tinggi muka air beberapa sungai di Jakarta. Data curah hujan dianalisis dengan membandingkan analisis frekuensi hujan maksimum untuk menentukan periode ulang banjir daerah Jakarta dan sekitarnya melalui metode Gumbel. Hasil analisis menunjukkan bahwa banjir yang terjadi pada tanggal 2 Februari 2007 disebabkan adanya curah hujan yang tinggi. Pada saat itu, rata-rata curah hujan di DAS Ciliwung adalah 142.5 mm/hari dengan periode ulang 100 tahun. Curah hujan tersebut lebih tinggi dari rata-rata curah hujan yang terjadi pada tanggal 29 Januari 2002 dimana curah hujan hanya 100 mm/hari dengan periode ulang 200 tahun.

Pawitan (2002) dalam penelitiannya mengenai banjir di DAS Ciliwung menggunakan analisis perubahan penggunaan lahan dan pengaruhnya terhadap hidrologi daerah aliran sungai. Perubahan penggunaan lahan dari tahun 1981 hingga tahun 1999 menunjukkan penurunan luas hutan di Ciliwung Hulu seluas 2 ha, perkebunan seluas 35 ha, sawah total seluas 62 ha, dan lahan tegalan/ladang seluas 152 ha. Penurunan penggunaan lahan serupa didapati juga pada kawasan tengah DAS Ciliwung. Peningkatan

Page 19: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Sekapur SirihKajian Fenomena Banjir Di Jakarta

xix

luas kawasan permukiman terjadi baik di Ciliwung Hulu maupun Tengah, masing-masing meningkat dari 255 ha menjadi 506 ha di Ciliwung Hulu dan dari 1 147 ha menjadi 1 961 ha di Ciliwung Tengah, atau meningkat masing-masing sebesar 98% dan 71%, yang diperoleh terutama dari pengurangan luas sawah dan tegalan, baik di kawasan hulu maupun tengah.

Selain itu Pawitan (2002) dalam penelitiannya mengenai hidrologi DAS Ciliwung dan andilnya terhadap banjir Jakarta menyatakan bahwa perubahan penggunaan lahan di kawasan Jabotabek dan Bopunjur dalam tiga darsawarsa terakhir ini mengakibatkan berubahnya fungsi hidrologi DAS yang secara nyata telah meningkatkan frekuensi dan intensitas banjir bagi DKI Jakarta. Di wilayah Ciliwung Hulu didapatkan hujan harian lebih dari 50 mm dan hujan 3-harian melebihi 100 mm, di mana dapat dikelaskan sebagai hujan deras yang dapat menghasilkan banjir di daerah hilirnya. Frekuensi data hujan maksimum harian di stasiun Katulampa (1972 – 1997) menghasilkan nilai curah hujan maksimum harian untuk periode ulang 5 tahunan sebesar 164 mm; 10 tahunan sebesar 189 mm; 25 tahunan sebesar 220 mm; 50 tahunan sebear 243 mm; dan 100 tahunan sebesar 266 mm. Nisbah limpasan bervariasi antara 10% sampai 100% sedang waktu pemusatan sampai Manggarai antara 1,6 – 15,5 jam. Dampak perubahan penggunaan lahan periode tahun 1981 dan 1999 menggunakan model hidrologi HEC-1 menunjukkan meningkatnya debit banjir Ciliwung Hulu (Katulampa) sebesar 68% dan untuk Ciliwung Tengah (Depok) sebesar 24%, sedangkan peningkatan volume banjir untuk Ciliwung Hulu sebesar 59% dan Ciliwung Tengah sebesar 15%. Perubahan ini juga diikuti oleh terjadinya perubahan andil debit dan volume banjir di daerah hilir DAS. Melalui model HEC-1 juga ditunjukkan bahwa pengelolaan lahan DAS hulu yang tepat sebagai tindakan koreksi dapat mengendalikan debit dan volume banjir di daerah hilir sampai tingkat yang diinginkan.

Burhanita (1995) membuat simulasi pengaruh perubahan penggunaan lahan terhadap debit sungai di wilayah Ciliwung Hulu. Data yang digunakan adalah data iklim, data debit stasiun, peta tata guna lahan, dan peta topografi daerah Ciliwung Hulu. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa perubahan penggunaan lahan hutan sebesar 30% tidak menyebabkan perubahan debit

Page 20: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

xx

yang signifikan. Risyanto (2007) memprediksi hidrograf aliran DAS Ciliwung Hulu menggunakan model HEC-HMS. Data masukan model adalah curah hujan, tinggi muka air, peta penggunaan lahan, peta DEM 90 m, dan peta tanah. Hidrograf aliran yang dihasilkan HEC-HMS memberikan nilai yang lebih besar dari hidrograf aliran pengamatan. Sementara itu, Prihatin (2012) memprediksi debit puncak aliran permukaan DAS Ciliwung Hulu menggunakan Model HEC-WMS. Data masukan yang digunakan adalah peta kontur, peta tanah, peta penggunaan lahan, curah hujan BMKG, dan tinggi muka air Katulampa. Hasil simulasi menunjukkan debit puncak dan hidrograf aliran permukaan keluaran model secara relatif mendekati salah satu hasil pengukuran, sedangkan waktu puncak aliran keluaran model sangat berbeda. Trisakti et al. (2008) melakukan simulasi debit aliran dengan menggunakan citra SPOT 4, data jenis tanah, dan SRTM 90 m. Debit air dihitung menggunakan metode rasional. Hasil simulasi memperlihatkan bahwa debit sungai di pintu air Katulampa memberikan sumbangan 44% dari total debit DAS Hulu DAS Ciliwung yang memiliki kondisi kemiringan tinggi (curam).

Menurut Irianto (2008) yang dimuat di Harian Umum Kompas menyebutkan bahwa pendekatan model yang menghubungkan antara curah hujan dengan limpasan (debit) perlu dilakukan, sehingga perubahan karakteristik banjir (debit maksimum, waktu respons) akibat perubahan input (curah hujan) dan sistem DAS (Landuse dan jaringan hidrologi) dapat dipantau lebih akurat. Sementara itu, model deterministik melalui pendekatan mekanisme fisik perlu digunakan dalam antisipasi banjir karena mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan model lainnya. Keunggulannya antara lain: 1) dapat menjelaskan secara kuantitatif hubungan sebab-akibat dengan proses fisik yang berlaku secara universal, dan 2) hasilnya dapat diaplikasikan pada DAS lain dengan melakukan adaptasi parameter. Dengan demikian, tidak diperlukan penelitian yang detail untuk penanganan banjir dan genangan di daerah lain. Untuk banjir dan genangan Jakarta, pendekatan sistem dapat dilakukan dengan membagi DAS menjadi 4 tipe penggunaan lahan utama yaitu hutan, lahan sawah, lahan kering, dan lahan permukiman.

Page 21: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Sekapur SirihKajian Fenomena Banjir Di Jakarta

xxi

Pendayagunaan lahan hutan dapat dilakukan dengan menjaga kelestariannya, sedangkan peningkatan daya tampung air sistem lahan sawah dan lahan kering dapat dilakukan melalui optimasi dimensi pematang sawah dan teras lahan kering. Apabila konsep ini diadopsi, maka banjir di hilir akan dapat ditekan, karena sebagian besar aliran permukaan ditampung di tiga tempat yaitu lahan sawah, teras lahan kering, dan saluran hidrologi (hydrological network) secara bertingkat sehingga kapasitas tampung air DAS dapat ditingkatkan, dan hanya sebagian kecil saja air yang dialirkan ke hilir. Dengan demikian, debit maksimum yang terjadi dapat diturunkan dan waktu respons dapat diperpanjang. Pendekatan lain adalah melalui Model reservoir linier bertingkat (reservoir in cascade) dengan input curah hujan dan sistem DAS. Model ini sangat potensial digunakan untuk membuat skenario antisipasi banjir dan genangan. Dengan model ini, setiap perubahan masukan pada suatu sistem dapat dikuantifikasikan keluarannya, sehingga perubahan debit dan waktu respons DAS sebelum dan sesudah perlakuan dapat dibandingkan. Pendekatan ini banyak diadopsi oleh negara-negara maju Eropa dan Amerika dalam menekan risiko banjir. Di Indonesia model ini sudah diuji kehandalannya dan dikembangkan sesuai dengan kondisi setempat oleh Irianto dalam mengevaluasi pengaruh teras sawah terhadap modifikasi karakteristik debit DAS (debit maksimum dan waktu respons) di DAS Kali Garang, Semarang (Irianto, 2008).

Untuk memantau kemungkinan perubahan magnitude banjir dan genangan akibat fluktuasi masukan (input) curah hujan dapat dihitung dan diprediksi dampaknya apabila: 1) hubungan antara intensitas dan lama hujan atas magnitude banjir dan genangan (luas, tinggi, dan lama genangan) dapat diformulasikan dan 2) perubahan magnitude banjir dan genangan (luas, tinggi, dan lama genangan) pada skenario tahun La Nina normal dan El Nino dapat direpresentasikan. Hubungan intensitas dan lama hujan terhadap perubahan magnitude banjir dan genangan diperlukan untuk memprediksi fluktuasi wilayah yang rawan banjir dan genangan. Selanjutnya, informasi ini dapat dimanfaatkan untuk sistem peringatan dini banjir dan genangan yang hingga saat ini belum dimiliki Indonesia. Sementara itu, prediksi

Page 22: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

xxii

perubahan luas areal, tinggi genangan, dan lama genangan maksimum yang mungkin terjadi pada skenario tahun La Nina dan El Nino dapat digunakan sebagai masukan pengambil keputusan (decision support system) dalam mengintegrasikan penanggulangan banjir dan genangan dalam perencanaan jangka pendek, menengah, dan panjang untuk mereduksi risiko banjir dan genangan (Irianto, 2002).

5. PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK ANALISIS BANJIR

Data penginderaan jauh (inderaja) secara series diperlukan dalam pembuatan peta wilayah rawan banjir dan genangan sehingga informasi kondisi wilayah dari hulu hingga hilir dapat dipantau tingkat kerawanannya menurut ruang dan waktu. Penggunaan citra inderaja untuk deliniasi awal wilayah banjir dan genangan akan memudahkan proses validasi di lapangan. Wilayah tergenang dan kebanjiran mempunyai respons spektral yang berbeda (umumnya terlihat gelap) dibandingkan wilayah yang tak tergenang (terlihat terang/merah). Hasil tumpang tindih (superimpose) antara peta wilayah rawan banjir dan genangan dengan peta jaringan hidrologi sungai (hydrological network) dan peta topografi tersebut dapat digunakan untuk memantau wilayah yang berpotensi mengalami genangan berikutnya bila debit sungai atau curah hujan terus meningkat. Selain itu, wilayah penyumbang air utama dapat dirunut sehingga dapat dirancang strategi antisipasinya. Pendekatan dengan menggunakan data inderaja ini selain akurat, juga menghemat tenaga, waktu, dan biaya. Bahkan dengan citra resolusi tinggi (seperti IKONOS dengan resolusi 1 x 1 meter) dapat dihasilkan peta wilayah banjir dan genangan secara lebih detil. Peta wilayah rawan banjir yang disajikan menurut ruang (spasial) dan waktu (temporal) sangat bermanfaat, antara lain untuk 1) Pembuatan zonasi wilayah rawan/endemik banjir dan genangan secara akurat. Zonasi wilayah banjir dan genangan ini selanjutnya dapat digunakan untuk memberikan peringatan (warning) bagi masyarakat yang bermukim

Page 23: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Sekapur SirihKajian Fenomena Banjir Di Jakarta

xxiii

di wilayah itu tentang bahaya banjir dan genangan. Selain itu, dapat digunakan pula dalam menyusun rencana (plan) relokasi penduduk sebagai pedoman dalam pemberian izin mendirikan bangunan bagi pemerintah provinsi, kabupaten, dan atau kota, serta menjadi petunjuk bagi masyarakat dalam pengawasan pelaksanaan pembangunan. 2) Mengkaji kecenderungan perubahan magnitude banjir dan genangan dalam DAS akibat alih fungsi lahan, sehingga dapat dijadikan acuan perubahan daya dukung DAS akibat alih fungsi lahan dan mengestimasi perubahan persentase dan lokasi terjadinya alih fungsi lahan. 3) Memantau hasil tindakan penanggulangan banjir dan genangan yang telah dilakukan. Peta wilayah rawan banjir dan genangan yang diperbarui (update) akan dapat memantau apakah tindakan penanggulangan banjir dan genangan yang dilakukan sudah memberi hasil nyata atau tidak. Dengan kata lain, peta wilayah rawan banjir dan genangan dapat dijadikan alat evaluasi implementasi program penanggulangan banjir dan genangan yang telah dan akan dilakukan. 4) Menyusun strategi alokasi bantuan tanggap darurat apabila terjadi banjir dan genangan. Tersedianya peta wilayah rawan banjir dan genangan dapat meminimalkan kesalahan alokasi dana untuk penanggulangan banjir maupun penyaluran bantuan sosial. Dengan demikian, peluang terjadinya penumpukan bantuan sosial yang sering terjadi selama ini dapat diantisipasi lebih dini (Irianto, 2002).

Haryani et al. (2012) menggunakan data citra inderaja Landsat tahun 2002 dan SPOT 5 tahun 2010, data DEM SRTM, Peta Land System, serta data curah hujan TRMM 1998 – 2008 serta metode analisis multikriteria dengan teknik SIG (Sistem Informasi Geografis) untuk menentukan potensi bahaya

banjir di Kabupaten Sampang.

Riyanto (2009) menggunakan data DEM dan Landsat dengan menerapkan metode segmentasi. Dari hasil penelitiannya diketahui bahwa terdapat perbedaan posisi antara daerah potensi banjir dengan daerah genangan banjir 2007. Hasil prediksi luas wilayah banjir cenderung lebih tinggi (over estimate) dibandingkan dengan data peta genangan banjir 2007. Sementara itu, Pawitan (2002) menganalisis pengaruh perubahan penggunaan lahan

Page 24: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

xxiv

di kawasan Jabotabek dan Bopunjur (DAS Ciliwung) yang diekstraksi dari data inderaja terhadap intensitas banjir di wilayah Jakarta. Gambar 1 memperlihatkan pola penggunaan lahan di wilayah DAS Ciliwung.

Gambar 1. Pola penggunaan lahan di wilayah DAS Ciliwung yang diekstraksi data penginderaan jauh (Sumber: Pawitan, 2002)

6. PENUTUP Ada beberapa faktor penyebab makin meningkatnya intensitas banjir dan durasi genangan yang terjadi di Jakarta, yakni curah hujan ekstrem yang makin sering terjadi akibat perubahan iklim, buruknya sistem drainase, polusi limbah sampah pada sistem aliran sungai, pemanfaatan bantaran

Page 25: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Sekapur SirihKajian Fenomena Banjir Di Jakarta

xxv

kali sebagai permukiman, alih fungsi lahan yang terjadi baik di wilayah sepanjang DAS, penurunan permukaan tanah akibat eksploitasi air tanah, dan lemahnya penegakan hukum.

Penerapan berbagai metode menggunakan berbagai pendekatan masih sangat diperlukan terutama untuk memetakan zona potensi bahaya banjir di wilayah Jakarta. Pemanfaatan data inderaja terutama citra inderaja resolusi tinggi diharapkan mampu memetakan zona potensi bahaya banjir di Jakarta secara lebih akurat, baik dari sisi spasial maupun waktu. Selain itu, data citra inderaja resolusi tinggi juga diharapkan mampu memberikan informasi perubahan penggunaan lahan secara lebih kini (up to date) guna mengestimasi daya dukung wilayah dalam menduga pengaruh perubahan iklim terhadap intensitas banjir di Jakarta.

DAFTAR PUSTAKAAlexander, A., Harald, V., Herbert, F., Alexander, B. 2010. A Collection

of Possible Fire Weather Indices (FWI) for Alpine Landscapes. ALP FFIRS. Alpine Forest Fire Warning System. 31 May 2010.

Asdak, C. 2002. Hidrologi dan Pengolahan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Asriningrum, W., A. S. Hapip, H. Gunawan, I. Prasasti, A. Hidayat, Sumardjo. 1998. Analisis Daerah Rentan Banjir Jakarta dan Sekitarnya Berdasarkan Klasifikasi Bentuk Lahan dan Penutup/Penggunaan Lahan dari Citra Jers-1. Majalah LAPAN No. 85 Tahun XXII April.

Bakornas PB. 2007. Pedoman Penanggulangan Bencana Banjir Tahun 2007/2008. Pelaksana Harian Bakornas PB. Jakarta.

BPLHD (Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah) Provinsi Jawa Barat. 2008. Environmental Profile of Ciliwung River Basin. (http://pemsea.org/pdf-documents/tmdl_w1_2_ciliwung_basin.pdf.) [6 Maret 2013].

Page 26: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

xxvi

Burhanita. 1995. Simulasi Pola Penggunaan Lahan pada Sistem Hidrologi DAS Ciliwung Hulu [Skripsi]. Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, IPB.

http://pustaka.pu.go.id/new/istilah-bidang-detail.asp?id=594

Bukowski, R. W. 1996. Fire Risk or Fire Hazard as the Basis for Building Fire Safety Performance Evaluation. Fire Safety Conference on Performance Based Concepts, Oct. 15–17, 1996. Institute of Safety and Security, Zurich, Switzerland. [28 November 2011]

Chow, V.T. 1964. Handbook of Applied Hydrology: A Compedium of Water Resource Technology. New York: McGraw-Hill Book Company

Hardy, C. C. 2005. Wildland fire hazard and risk: Problems, definitions, and context. Forest Ecology and Management 211: 73–82.

Haryani, N.S., A. Zubaidah, D. Dirgahayu, H.F. Yulianto, dan J. Pasaribu. 2012. Model Bahaya Banjir Menggunakan Data penginderaan Jauh di kabupaten Sampang. Jurnal Penginderaan Jauh, 9 (1): 52 – 66.

Ibrahim, A. B., dan R. S. Lubis. 2007. Pengembangan Model untuk Optimalisasi Pengelolaan DAS. Prosiding Workshop Sistem Informasi Pengelolaan DAS: Inisiatif Pengembangan Infrastruktur Data. Bogor, 5 September 2007. IPB dan CIFOR.

Irianto, G. 2002. Peta Wilayah Rawan Banjir dan Genangan. Harian Umum Kompas Senin, 16 Desember 2002.

Irianto, G. 2008. Pendekatan Mutakhir dalam Antisipasi Banjir. Harian Umum Kompas Senin, 21 Januari 2008.

Islam, M. M., and Sado, K. 2002. Development priority map remote sensing data with for flood countermeasures by geographic information system. Journal of Hydrologic Engineering, 7(5), 346–355.

Johnson, R.R. 1998. An investigation of curve number application to watershed in excess of 25000 hectars (250 km2). Journal of Environmental Hydrology, 6(7):1–10.

Page 27: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Sekapur SirihKajian Fenomena Banjir Di Jakarta

xxvii

McCuen, R.H. 1989. Hydrologic Analysis and Design. New Jersey: Prentice Hall, Englewood Clift.

Nugroho, S.P. 2008. Analisis curah hujan penyebab banjir besar di Jakarta pada awal Februari 2007. JAI 4(1).

Pawitan, H. 2002. Hidrologi DAS Ciliwung dan Andilnya Terhadap Banjir di Jakarta. Lokakarya Pendekatan DAS dalam Menanggulangi Banjir Jakarta. Jakarta, 8 Mei 2002. Lembaga Penelitian IPB dan Andersen Consult, Jakarta. http://bebasbanjir2025.wordpress.com/10-makalah-tentang-banjir-2/hidayat-pawitan/

Pawitan, H. 2002. Perubahan Penggunaan Lahan dan Pengaruhnya Terhadap Hidrologi Daerah Aliran Sungai. Lokakarya Pendekatan DAS dalam Menangglangi Banjir Jakarta. Jakarta, 8 Mei 2002. Lembaga Penelitian IPB dan Andersen Consult, Jakarta. http://bebasbanjir2025.wordpress.com/10-makalah-tentang-banjir-2/hidayat-pawitan/

Prihatin, N. 2012. Aplikasi Model HEC WMS untuk Memprediksi Debit Puncak Aliran Permukaan DAS Ciliwung Hulu [Skripsi]. Program Studi Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, IPB.

PU Provinsi DKI Jakarta. 2008. Penanganan Banjir Provinsi DKI Jakarta. Jakarta.

PU. 2000. Surabaya Drainage Master Plan 2018. Jilid 1. PT Tricon Jaya.

Rao, P. B. S., Murty, K. S. R., and E, A. 2005. Estimation of Flood Vulnerability Index for Delta Areas through RS&GIS. IEEE Transactions on Geoscience and Remote Sensing.

Risyanto. 2007. Aplikasi HEC-HMS untuk Perkiraan Hidrograf Aliran di DAS Ciliwung Bagian Hulu. Skripsi. Departemen Geofisika Dan Meteorologi, FMIPA, IPB.

Riyanto, I. 2009. Pemetaan Daerah Potensi Banjir dengan Segmentasi Data DEM Studi Kasus DAS Ciliwung di DKI Jakarta 2007 [Tesis]. Departemen Elektro OPTO Elektronika dan Aplikasi Laser, Fakultas Teknik, UI.

Page 28: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

xxviii

Rustiadi, E. 2013. Penataan Ruang Kawasan & Bencana Antropogenik di Jabodetabek. Tim Forum Studi Jabodetabek IPB. Diskusi Pakar Bencana Berulang di Jabodetabek: Mitigasi Banjir-Longsor Jabodetabek Berbasis Penataan Kawasan Berkelanjutan. Kampus IPB, Dramaga, Bogor. Bogor, 12 Februari 2013. Bahan Presentasi.

Singh,V.P. 1989. Hydrologic Systems, Vol. II: Watershed Modelling. New Jersey: Prentice Hall, Englewood Clift, .

Soil Conservation Service. 1964. Hydrology. SCS National Engineering Handbook, Section 4, Chapter 10. US Dept. of Agriculture. Washington DC.

Sosrodarsono, S. dan K. Takeda. 1993. Hidrologi untuk Pengairan. Jakarta: PT. Pradnya Paramita, Cetakan ke VII.

Sudjarwadi. 1987. Teknik Sumber Daya Air. Yogyakarta: UGM-Press.

Sukresno dan Paimin. 2007. Pemanfaatan Sistem Informasi Geografi dalam Aplikasi Model Hidrologi untuk Prediksi Debit (Q) dan Debit Puncak (QP). Prosiding Workshop Sistem Informasi Pengelolaan DAS: Inisiatif Pengembangan Infrastruktur Data. Bogor, 5 September 2007. IPB dan CIFOR.

Trisakti, T. Kuncoro T., dan Susanto. 2008. Kajian distribusi spasial debit aliran permukaan di Daerah Aliran Sungai (DAS) berbasis data satelit penginderaan jauh. Jurnal Penginderaan Jauh, 5 hal: 45–55.

Yulianto, F., M.A. Marfai, Parwati, Suwarsono. 2008. Model simulasi luapan banjir Sungai Ciliwung di Wilayah Kampung Melayu-Bukit Duri Jakarta, Indonesia. Jurnal Penginderaan Jauh, 6: 43–53.

Page 29: untuk Mitigasi Bencana Banjir

DAFTAR ISI

Sambutan Penerbit ....................................................................................v

Kata Pengantar Editor .............................................................................vii

Sekapur Sirih ............................................................................................ix

BENARKAH MJO FASE AKTIF SENANTIASA MENYEBABKANTERJADINYA BANJIR DI JAKARTA(Eddy Hermawan dan Lisa Evana) .............................................................1

ANALISIS KEJADIAN CUACA BURUK DI JAKARTASTUDI KASUS BANJIR TANGGAL 13 NOVEMBER 2013)(Rizal Hidayat) ........................................................................................25

WHY THE FLOOD ALWAYS RETURN TO JAKARTA;HISTORICAL LAND USE CHANGES ANDGEO-ENVIRONMENTAL ANALYSIS (Fatwa Ramdania) ...................................................................................45

PENENTUAN DISTRIBUSI SPASIAL DAERAH BAHAYA BANJIRDI 6 (ENAM) SUB DAS WILAYAH DKI JAKARTAMENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH(Indah Prasasti, Parwati Sofan, Nur Febrianti, dan Totok Suprapto) .........63

PENURUNAN MUKA TANAH DAN HUBUNGANNYADENGAN DAERAH RAWAN BANJIR DI JAKARTA(Junita Monika Pasaribu, Indah Prasasti, Parwati Sofan) ..........................85

PEMANFAATAN DATA LANDSAT MULTITEMPORALUNTUK ZONASI DAERAH RAWAN BANJIR DI JAKARTA MENGGUNAKAN PENDEKATAN GEOMORFOLOGI(Suwarsono, M. Priyatna, Kusumaning Ayu D.S,Wikanti Asriningrum) ...101

Page 30: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

xxx

APLIKASI PENGINDERAAN JAUH UNTUK MENILAIDAMPAK PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP SURPLUS AIRDI DAS CILIWUNG(Nur Febrianti, Parwati Sofan, dan Indah Prasasti) ................................115

PERAN INFORMASI GEOSPASIAL UNTUK ARAHAN UPAYAKONSERVASI AIR DI KABUPATEN BOGORGUNA MITIGASI BENCANA BANJIR JAKARTA (Kris Sunarto) ........................................................................................131

AN ANALYSIS OF POTENTIAL HAZARD AND RISKFOR FLOOD AND LANDSLIDE AREAS(CASE STUDY IN WEST JAVA PROVINCE) (Waluyo Yogo Utomo, Widiatmaka, dan Komarsa Gandasasmita) ............175

PENGGUNAAN UAV UNTUK VALIDASI PETA RAWAN BANJIRDI KABUPATEN KUDUS DAN PATI (Jaka Suryanta) ......................................................................................193

Lampiran ..............................................................................................215

Page 31: untuk Mitigasi Bencana Banjir

BENARKAH MJO FASE AKTIF SENANTIASA MENYEBABKAN

TERJADINYA BANJIR DI JAKARTA

Eddy Hermawan1) dan Lisa Evana2) 1) Pusat Sains dan Teknologi (PSTA) LAPAN-Bandung

E-mail: [email protected]) Geofisika dan Meteorologi, IPB, Bogor

E-mail: [email protected]

ABSTRAKStudi ini menekankan pentingnya analisis perilaku Madden-Julian Oscillation (MJO) di saat akan melintasi kawasan barat Indonesia. Hal ini penting dilakukan mengingat MJO terkait erat dengan pergerakan radiasi gelombang panjang (OLR, Outgoing Longwave Radiation) di sepanjang sabuk (belt) ekuator yang menentukan besar kecilnya intensitas curah hujan di kawasan barat Indonesia, termasuk Jakarta. Berbasis data time-series MJO indeks yang diwakili oleh RMM1 dan RMM2 (Real-time Multivariate MJO) selama sepuluh tahun pengamatan terhitung sejak Januari 1979 hingga 2009 dan juga data OLR di posisi 110°BT (Bujur Timur) maka dilakukanlah analisis seberapa jauh peran MJO terhadap peningkatan intensitas curah hujan ekstrem di Jakarta yang menyebabkan kawasan ini mengalami banjir besar di awal tahun 1996, 2002, dan 2007. Hasilnya menunjukkan bahwa terjadinya banjir tidak selalu diakibatkan oleh MJO. Tahun 1996 dan 2002, memang terjadinya banjir diakibatkan adanya peningkatan aktifitas MJO (MJO fase aktif). Namun, sebaliknya, tahun 2007 di saat Jakarta dilanda banjir yang lebih parah, justru disaat MJO berfase tidak aktif (lemah). Dengan demikian,

Page 32: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

2

maka perlu dipertimbangkan adanya mekanisme lain (selain MJO tentunya) yang juga memberi sumbangsih besar terhadap terjadinya banjir di Jakarta di masa mendatang, seperti fenomena Seruak Dingin (Cold Sourge) dan juga faktor lokal.

Kata Kunci: banjir Jakarta, MJO, OLR, RMM

ABSTRACTThis study emphasizes the importance of the analysis of the behavior of the Madden-Julian Oscillation (MJO) in current going across the western part of Indonesian region. This is important because the MJO is closely related well to the movement of long-wave radiation (OLR, Outgoing Longwave Radiation) along the belt of equator which determine the size of the equatorial intensity rainfall in the western part of Indonesia region, including Jakarta. Based on time-series of MJO index data represented by the RMM1 and RMM1 (Real-time Multivariate MJO) during the ten observation years since January 1979 to 2009 and also the OLR data on the position of 110E, we do more analyze the role of the MJO to the enhancement of the extreme rainfall intensity in Jakarta in early 1996, 2002 and 2007. The results show that flooding is not always caused by the MJO. In 1996 and 2002, it is caused an increase in flooding by MJO activity (MJO in active phase). However, on the contrary, in 2007 when Jakarta was flooded more severe, occurs precisely when the MJO phased in-active (weak). Thus, it is needed to consider the existence of other mechanisms (besides of MJO) who also made great contributions to flooding in Jakarta in the future, such as the Seruak Dingin (Cold Sourge) as well as local factors.

Keywords: Jakarta’s floods, MJO, , OLR, RMM

1. PENDAHULUANAda satu pokok permasalahan serius yang dihadapi Pemerintah daerah DKI Jakarta saat ini yang sepertinya akan terus bergulir seiiring dengan datangnya awal penghujan yang umumnya terjadi menjelang akhir atau awal tahun,

Page 33: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Benarkah Mjo Fase Aktif SenantiasaMenyebabkan Terjadinya Banjir di Jakarta

3

sekitar Desember, Januari, Februari bahkan hingga Maret. Bukan hanya durasi (lamanya), melainkan juga intensitas yang dihasilkannya juga menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Dikenal adanya banjir besar (big floods) sejak tahun 1996, lalu diikuti tahun 2002 dan mencapai puncaknya di awal tahun 2007. Ada juga banjir besar di awal tahun 2013, namun dampak yang dihasilkannya tidaklah separah di tahun 2007. Barangkali teknologi dan model prediksi yang dihasilkan oleh pihak-pihak terkait relatif lebih baik sehingga kita lebih sigap dan tanggap dalam mengantisipasi terjadinya banjir yang diduga erat hadir setiap 5-6 tahunan. Tidaklah mengherankan, jika pada akhirnya banjir akan menjadi hal yang biasa bagi warga Jakarta dan sekitarnya, terlepas apakah ini disebabkan karena posisi geografis Jakarta yang sangat rentan terhadap masuknya berbagai fenomena global, seperti Monsun, El-Nino, La-Nina atau lainnya, namun yang pasti adalah kawasan ini membutuhkan informasi dan prediksi akan datangnya curah hujan ekstrem yang cepat, tepat, akurat, dan juga near real time sehingga antisipasi dapat dilakukan sejak dini.

Perlu dipahami bahwa tidaklah mudah untuk membuat satu model prediksi seperti yang diinginkan pihak pengguna (user) di atas, apalagi jika untuk diberlakukan pada kondisi yang relatif kecil dengan resolusi tinggi (high resolution), diperlukan satu unit super komputer yang mampu me-running dalam kurun waktu yang relatif singkat. Terlepas dari itu, hal lain yang relatif penting untuk dipahami adalah mengapa banjir besar itu terjadi, fakor dominan apa saja yang memengaruhinya, adakah peran fenomena global disana. Jika iya, apa saja faktor global tersebut sehingga dapat dijelaskan dengan mudah dan gamplang mekanisme terjadinya banjir besar tersebut. Dengan kata lain, pemahaman yang jauh lebih baik dan benar tentang kondisi iklim Indonesia mutlak diperlukan. Hal ini terjadi akibat posisi Indonesia yang unik dan specific akibat diapit oleh dua Benua Besar (Asia dan Australia) dan dua Samudra Besar (Pasifik dan Hindia) dengan distribusi daratan dan lautan yang relatif acak (random) dan juga kompleks. Hampir sebagian besar model iklim atau model atmosfer yang ada saat ini tidak dapat bekerja dengan baik ketika diterapkan di Indonesia. Apakah

Page 34: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

4

akibat gaya Coriolies yang relatif kecil atau ada mekanisme lain yang belum dipahami, itupun masih menjadi bahan perdebatan di sebagian besar ilmuan dunia.

Indonesia merupakan satu dari tiga kawasan penting dunia yang diduga sebagai sumber utama terjadinya perubahan iklim global. Hal ini dapat dipahami mengingat Indonesia merupakan satu-satunya kawasan di ekuator yang dominan di kelilingi oleh lautan dan sisanya oleh daratan yang dikenal dengan istilah Indonesian Maritime Continent (IMC) atau Benua Maritim Indonesia (BMI) sebagaimana digambarkan oleh Ramage (1968). Jadi, adalah wajar jika kawasan ini dikenal sebagai penyimpan bahang (panas) terbesar di dunia baik yang nyata atau tersembunyi (latent) yang diindikasikan dengan banyaknya kumpulan awan-awan Cumulonimbus (Cb) yang bergerak dari barat menuju timur di sepanjang sabuk (belt) katulistiwa, dikenal sebagai Super Cloud Clusters (SCCs). Satu di antara indikasi kuat adanya SCCs adalah terjadinya fenomena MJO (Madden Julian Oscillation (MJO) yang dikenal sebagai salah satu siklus dominan yang ada di sepanjang sabuk ekuator, selain fenomena Monsun yang memang paling dominan terjadi hampir di seluruh kawasan Indonesia.

Sebenarnya tidak hanya MJO, masih ada fenomena lain yang tidak kalah pentingnya, walaupun sama-sama bergerak secara zonal (barat-timur), yakni El-Nino yang ada di Lautan Pasifik dan IOD (Indian Ocean Dipole) yang ada di Lautan Hindia. Walaupun memiliki osilasi (embutan) yang berbeda, namun keduanya memiliki dampak yang cukup serius, apalagi jika keduanya bersatu dalam satu kurun waktu yang hampir bersamaan (simultan). Terkait dengan topik diatas, fokus utama fenomena yang dibahas dalam makalah ini adanya fenomena atau kejadian (event) MJO mengingat osilasi dominan yang dimilikinya relatif sangat singkat yakni sekitar 45 harian, dibandingkan dengan El-Nino ataupun IOD, masing-masing sekitar lima dan tiga setengah tahunan.

Karena fenomena hujan esktrim yang diduga sebagai penyebab utama terjadinya banjir terjadi dalam kurun waktu yang relatif singkat, MJO lah yang kiranya amat sangat relevan dibahas dalam makalah ini. Walaupun

Page 35: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Benarkah Mjo Fase Aktif SenantiasaMenyebabkan Terjadinya Banjir di Jakarta

5

harus dipahami bahwa tidak hanya fenomena MJO semata, sebab masih ada satu fenomena lain yakni tidak kalah pentingnya untuk dikaji lebih jauh, yakni hadirnya Seruak Dingin (Cold Sourge) yang dominan terjadi di sepanjang bulan-bulan basah (DJF, Desember-Januari-Februari) sebagai serangan massa udara dingin dari Belahan Bumi Utara (BBU) ke Belahan Bumi Selatan (BBS) ketika pusat tekanan rendah relatif dominan ada di BBS.

Atas dasar itulah maka makalah ini dibuat dengan tujuan utama untuk mengetahui sejauh mana peran MJO, benarkah MJO dengan fase aktif akan senantiasa menyebabkan terjadinya banjir di Jakarta yang yang pernah terjadi di tahun 1996, 2002 dan 2007.

2. TINJAUAN PUSTAKA2.1. Madden-Julian Oscillation (MJO)Madden-Julian Oscillation (MJO) merupakan mode osilasi yang termasuk dominan di ekuator (Madden and Julian, 1994, dalam Madani, 2012). Osilasi ini dihasilkan dari sirkulasi sel skala besar di ekuatorial yang bergerak dari barat menuju timur dari Samudra Hindia ke Samudra Pasifik dengan periode antara 30–60 hari. Pengamatan MJO umunya melibatkan berbagai variabel meteorologi seperti radiasi gelombang panjang (OLR, Outgoing Longwave Radiation), curahan (precipitation), angin zonal (barat-timur) di lapisan atas dan bawah troposfer, tekanan muka laut (SLP, Sea Level Pressure), konvergensi kelembaban, suhu permukaan laut (SST, Sea Surface Temperature), dan flux panas tersembunyi (latent) pada permukaan laut. MJO sering diasosiasikan dengan terbentuknya SCCs sehingga dapat dengan mudah diamati dari observasi satelit melalui pantulan OLR yang dihasilkannya. Pengukuran varians OLR pada daerah konveksi akan membaca sinyal yang lebih besar daripada red noise sehingga dapat menunjukkan sinyal MJO yang relatif kuat (Geerts dan Wheeler, 1998 dalam Madani, 2012).

Page 36: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

6

Gambar 1. Skema MJO di ekuatorial (Madden dan Julian, 1972 dalam Madani, 2012)

Fenomena MJO terkait langsung dengan pembentukan kolam hangat (warm pool) di Samudra Hindia bagian timur dan Samudra Pasifik bagian barat yang dicerminkan dengan adanya pergerakan MJO dari arah barat kenuju ke arah timur bersamaan dengan pergerakan angin baratan (westerly wind) di sepanjang sabuk ekuator yang umumnya diikuti dengan konveksi kumpulan awan-awan Cumulonimbus (Cb) yang relatif tebal. Kumpulan awan-awan inilah yang diduga sebagai penyebab utama terjadinya hujan dengan intensitas relatif tinggi yang mampu menempuh jarak hingga 100 kilometer per hari di sepanjang sabuk ekuator Samudra Hindia dan sekitar 500 kilometer per hari ketika berada di Indonesia. Pergerakan SCCs ini, tentu saja nantinya akan berkaitan erat dengan pergerakan pusat tekanan rendah yang akan diikuti oleh perubahan pola angin (Seto, 2002, dalam Madani, 2012).

Page 37: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Benarkah Mjo Fase Aktif SenantiasaMenyebabkan Terjadinya Banjir di Jakarta

7

Hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan (Nurhayati, 2007 dalam Madani, 2012) menggunakan data EAR (Equatorial Atmospheric Radar), khususnya dari parameter angin zonal yang di-overlay dengan angin vertikal dikenal dengan istilah (zonal-vertical) menunjukkan adanya pergerakan angin baratan di lapisan permukaan dan angin timuran di lapisan atasnya. Hal tersebut sesuai dengan teori skema pergerakan MJO di ekuator, seperti yang ditunjukkan Gambar 1 di atas. Siklus MJO ditunjukkan dengan adanya pergerakan kumpulan awan-awan Cb tadi dengan periode osilasi di antara 30–60 hari dan dengan cakupan daerah 10oLU–10oLS (Matthews, A.J., 2000 dalam Madani, 2012) seperti yang ditunjukan pada Gambar 2 berikut.

Gambar 2. Gambaran umum siklus MJO (Matthews, A.J., 2000, dalam Madani, 2012)

Page 38: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

8

Gambar di atas menunjukan siklus MJO dengan interval selama 3 harian atau 22.5° fase. Gambar tersebut menggunakan OLR sebagai salah satu cara untuk menggambarkan perjalanan siklus MJO. Siklus MJO pada fase 0 atau t=0, konveksi tumbuh dan berkembang di Samudra Hindia dan terjadi supresi (mengalami kekeringan) di Samudra Pasifik. Kedua peristiwa ini bergerak ke timur sampai fase 180 dengan lokasi yang berkebalikan (konveksi di Samudra Pasifik dan supresi di Samudra Hindia). Kondisi ini terus bergerak ke timur dan kembali ke fase 0 (konveksi di Samudra Hindia dan supresi di Samudra Pasifik). Penjalaran ini memerlukan waktu 30-60 hari dengan efek basah dan kering pada daerah-daerah yang di lewatinya.

Distribusi spasial MJO adalah antara 10oLU dan 10oLS (Madden dan Julian, 1972). Namun sekarang MJO dikenali dari 20oLU dan 20oLS (Wheeler dan Hendon, 2004). Sementara itu distribusi temporal MJO berkisar antara 40–50 hari (Madden dan Julian, 1971). Di wilayah tropis osilasi ini sedikit melebar yaitu sekitar 30–60 hari, tetapi fenomena ini dapat diperpanjang dari 22–79 hari, dengan rata-rata sekitar 45 hari (Madden dan Julian 1994).

Kubota et al. (2005) menyatakan bahwa dengan data angin dapat ditunjukkan terjadinya MJO, khususnya di saat fase aktif yang diindikasinya dengan adanya penguatan angin baratan. Hal ini diperkuat oleh Nurhayati (2007 dalam Madani, 2012) yang menyatakan bahwa fenomena MJO yang diamati dari angin zonal menunjukkan bahwa fenomena MJO pada lapisan troposfer bawah dan diduga terkait erat dengan adanya angin baratan. Hal tersebut juga sesuai dengan skema perpotongan MJO di ekuator menurut Matthews (2000), di mana terjadi dominasi angin baratan di lapisan bawah troposfer.

Page 39: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Benarkah Mjo Fase Aktif SenantiasaMenyebabkan Terjadinya Banjir di Jakarta

9

2.2. Pola Curah Hujan di IndonesiaCurah hujan (dalam dimensi mm) didefinisikan sebagai air hujan yang diterima permukaan sebelum mengalami aliran permukaan, evaporasi, dan peresapan ke dalam tanah. Ada tiga pola Indonesia dibagi menjadi tiga yaitu pola equatorial, monsunal, dan lokal. Curah hujan yang bertipe Equatorial umumnya ditandai dengan sifat hujan memiliki dua puncak (double peak) maksimum dalam setahun, biasa berlangsung pada bulan Maret dan Oktober. Untuk yang bertipe Monsunal umumnya ditandai dengan sifat hujan yang hanya memiliki satu kali puncak musim hujan dan kemarau dalam satu tahunnya. Sementara yang bertipe Lokal umumnya dicirikan sebagai kebalikan tipe Monsunal.

Indonesia merupakan daerah yang dilalui oleh garis Inter Tropical Convergence Zone (ITCZ) yang dikenal sebagai pertanda bahwa pada tempat yang dilaluinya akan mempunyai curah hujan yang tinggi. Dengan kata lain ITCZ akan memengaruhi distribusi curah hujan pada wilayah-wilayah yang dilaluinya. ITCZ berkaitan dengan pergeseran posisi matahari, dimana Indonesia yang terletak di ekuator mengalami dua kali pemanasan maksimum, yaitu pada waktu matahari bergerak ke selatan melintasi ekuator dan kembali ke utara melintasi ekuator. Keadaan ini menyebabkan puncak aktivitas konveksi yang menghasilkan hujan terjadi dua kali, yang pada umumnya dapat dilihat pada pola curah hujan bulanan yang memiliki dua puncak. Kajian Donald et al. (2006) menunjukkan adanya variasi distribusi kekuatan MJO juga dipengaruhi oleh posisi ITCZ. Selama perjalannya ke arah timur, MJO dipengaruhi oleh posisi matahari. Ketika matahari berada di garis ekuator MJO bergerak lurus ke arah timur. Sementara ketika posisi matahari berada di sebelah selatan garis ekuator, maka perjalanan MJO agak bergeser ke arah selatan ekuator yang dikenal dengan sebagai penjalaran selatan-timur (south-eastern propagation). Ketika posisi matahari berada di sebelah utara ekuator, perjalanan MJO agak bergeser ke arah utara ekuator yang dikenal sebagai penjalaran utara-timur (north-eastern propagation) (Rui dan Wang, 1990 dalam Madani, 2012).

Page 40: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

10

Gambar 3. Pola curah hujan di Indonesia (Sumber: Adrian dan Susanto, 2003)

Seto (2004 dalam Madani, 2012) menyatakan bahwa MJO dalam fase aktif memiliki korelasi terjadinya intensitas curah hujan yang tinggi terhadap wilayah yang dilaluinya. Evana (2009 dalam Madani, 2012) juga menyatakan bahwa pada saat indeks MJO menguat maka terdapat kecenderungan bahwa curah hujan hujan tinggi di daerah yang dilewatinya. Pada bulan-bulan kering (JJA), meskipun indeks MJO menguat akan tetapi tidak selalu diikuti dengan curah hujan yang tinggi. MJO aktif berpeluang menimbulkan curah hujan tinggi di Indonesia ketika terjadi pada bulan basah (DJF). Hal tersebut berkaitan dengan posisi ITCZ yang dipengaruhi oleh peredaran gerak semu matahari. ITCZ bergerak ke utara dan selatan mengikuti gerak semu matahari dengan lag sekitar 2 bulan (Donald, 2007).

Page 41: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Benarkah Mjo Fase Aktif SenantiasaMenyebabkan Terjadinya Banjir di Jakarta

11

3. DATA DAN METODE Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi (a). Data RMM1 dan RMM2 periode 1 Maret 1979 hingga 1 Maret 2009 selama 30 tahun yang diperoleh dari web-site http://www.bom.gov.au/bmrc/clfor/cfstaff/matw/ maproom/RMM//, (b). Data anomali pentad Outgoing Longwave Radiation (OLR) periode 3 Maret 1979–3 Maret 2009, pada posisi 80oBT, 100oBT, 120o BT dan 140o BT yang diperoleh dari web-site http://www.cpc.noaa.gov/products/precip/CWlink/daily_mjo_index/proj_norm_order.ascii, (c). Data curah hujan harian wilayah Jakarta, Palembang, Lampung, dan Kerinci tahun 2006–2008, (d). Data curah hujan bulanan tahun 1995-2008 (Sta. Halim Perdanakusuma, Sta. Pondok Betung, Sta. Kemayoran, Sta. Cengkareng, Sta. Tanjung Priok).

Sementara untuk analisis digunakan metode analisis spektral untuk mengetahui osilasi dominan dari masing-masing data yang digunakan. Analisis spektral merupakan modifikasi dari analisis Fourier sehingga analisis ini sesuai untuk deret waktu yang stokastik (Chatfield, 1984). Secara definisi jika Xt adalah proses stokastik dengan fungsi autokovarians γ(k) dengan k = ..., -2, -1, 0, 1, 2, ... maka spektrum f(ω) adalah transformasi Fourier dari fungsi autokovarians yang dalam ekspresi matematisnya adalah sebagai berikut:

Analisis spektral dalam penelitian ini digunakan untuk menampilkan periode setiap gelombang yang tersembunyi dari sebuah data deret waktu. Selain itu, juga digunakan metode analisis korelasi silang untuk mengetahui hubungan antara dua variabel yaitu RMM1 dan RMM2 dengan OLR pada posisi 100°BT. Formula perhitungan korealsi silang (Makridakis, 1988):

Page 42: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

12

dimana: rxy (k) : korelasi silang antara deret x dan deret y pada lag ke-k

(merupakan kovarian antara deret x dan y pada lag ke-k)

(merupakan variansi silang peubah x)

(merupakan variansi silang peubah y)

4. HASIL DAN PEMBAHASANSebelum membahas lebih lanjut tentang peran data MJO indeks, berikut ditunjukkan data time-series MJO indeks yang masing-masing diwakili oleh RMM1 dan RMM2, termasuk di dalamnya data OLR terutama pada posisi 100oBT terkait dengan posisi Jakarta yang berada di sekitar 106oBT selama sepuluh tahun pengamatan terhitung sejak 3 Januari 1979 hingga 3 Januari 2009 seperti tampak pada Gambar 4. berikut.

Page 43: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Benarkah Mjo Fase Aktif SenantiasaMenyebabkan Terjadinya Banjir di Jakarta

13

Gambar 4. Grafik analisis Power Spectral Density (PSD) data RMM1, RMM2, dan OLR periode 3 Januari 1979–2009

Dari gambar di atas terlihat jelas adanya sinyal MJO dengan puncak tertinggi di sekitar periode ke-9 yang bermakna adanya sembilan kali lipatan lima atau setara dengan empat puluh lima harian akibat data OLR memang di-setting setiap lima harian (pentad). Ini sesuai dengan konsep dasar MJO yang berkisar di antara 30–60 harian, tepatnya sekitar 45 harian sebagaimana dikemukakan oleh Madden and Julian (1971, 1972). Walaupun diketemukan juga adanya osilasi-osilasi lain, namun nilainya relatif kecil, seperti gelombang Kelvin yang berperiode sekitar 20 harian. Yang menarik adalah justru osilasi dominan tampak jelas ditunjukkan oleh data OLR yang memang merupakan parameter utama dalam mendeteksi terjadinya MJO di satu kawasan tertentu.

Dengan asumsi bahwa perilaku OLR yang berada di puncak (top) atmosfer terkait erat dengan perilaku curah hujan yang ada di bawah (permukaan), maka berikut ini ditunjukkan Berikut disajikan grafik curah hujan bulanan di atas Jakarta periode Januari 1995 hingga Desember 2008 (Gambar 4.).

Page 44: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

14

Gambar tersebut menunjukkan distribusi curah hujan bulanan di wilayah Jakarta yang masing-masing diwakili oleh Stasiun Tanjung Priok, Halim Perdanakusuma, Kemayoran, dan Cengkareng. Dari Gambar tersebut tampak jelas selain adanya pola Monsunal yang beraturan setiap 12 bulan, namun juga terlihat bahwa curah hujan dengan intensitas tinggi di wilayah Jakarta terjadi pada selama bulan Januari-Februari-Maret dengan mencapai puncaknya di sekitar bulan Februari, dimulai tahun 1996, 2002, dan 2007 dengan intensitas di atas 600 mm/bulan. Ini sudah termasuk kelompok curah hujan esktrim sebagaimana dinyatakan BMKG, yakni bila mencapai di atas 400 mm/bulan.

Gambar 5. Grafik curah hujan Jakarta periode Januari 1995–Desember 2008

Memang disini (analisis data curah hujan) tidak tampak adanya fenomena MJO. Ini disebabkan analisis data curah hujan yang digunakan merupakan rata-rata bulan (monthly). Hal yang tampak jelas adalah fenomena Monsun yang hampir mendekati osilasi sempurna sekitar 12 bulanan. Lalu, di mana kaitan antara Monsun dan MJO? Inilah yang menarik untuk dikaji lebih lanjut. Semula kita menganggap bahwa antara Monsun dan MJO adalah

Page 45: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Benarkah Mjo Fase Aktif SenantiasaMenyebabkan Terjadinya Banjir di Jakarta

15

dua fenomena yang berbeda, namun analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa ada keterkaitan yang erat antara Monsun dan MJO. Keterkaitannya adalah bahwa Monsun tidaklah terjadi begitu saja, melainkan ada faktor yang memicunya atau men-trigger-nya. Satu di antaranya adalah MJO. Hal ini tampak jelas ketika membahas masalah banjir besar yang melanda Jakarta tepatnya di bulan-bulan Januari dan Februari tahun 1996, 2002, dan 2007. Terlihat jelas dari waktu ke waktu intensitasnya semakin naik, mulai 700 mm di tahun 1996, 800 mm di tahun 2002, hingga di atas 1000 mm di tahun 2007. Dengan perkataan lain, aktivitas MJO semakin mengalami peningkatan. Tidak hanya intensitasnya barangkali, namun juga lama (durasi) terjadinya MJO di atas Jakarta. Pertanyaannya adalah, apakah meningkatnya aktifitas MJO juga menyebabkan meningkatnya intensitas curah hujan. Atau dengan kata lain, apakah hujan lebat dengan intensitas jauh di atas normal (ekstrem) yang menyebabkan banjir selalu diakibatkan oleh MJO. Jika iya, MJO yang bagaimana, MJO yang pada fase apa hal itu bisa terjadi?

Terkait dengan hasil analisis di atas maka dipandang perlu untuk disajikan bagaimana peran MJO indeks dalam menjelaskan adanya perbedaan yang cukup signifikant antara banjir 1996 dengan 2002 dan 2007. Benarkah MJO fase aktif senantiasa menyebabkan terjadinya banjir di Jakarta. Atas dasar itulah, maka analisis ini difokuskan pada curah hujan esktrim yang terjadi selama bulan basah, khususnya selama Januari dan Februari tahun 1996, 2002, dan 2007 sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 6 berikut.

Page 46: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

16

Gambar 6. Grafik curah hujan di atas Jakarta selama bulan basah terhitung sejak 1 Desember 1995–31 Maret 1996 (kiri), 1 Desember 2001–31 Maret 2002 (tengah) dan 1 Desember 2006–31 Maret 2007 (kanan)

Dari gambar di atas, terlihat jelas bahwa curah hujan esktrim terjadinya di awal tahun 2007, dibandingkan tahun 2002 ataupun 1996. Hal ini juga tercermin dari dampak yang dihasilkannya, di mana kondisi banjir besar tahun 2007 jauh lebih besar dibandingkan tahun 2002 dan 1996. Ini adalah fakta di lapang yang ada, lalu bagaimana MJO menjelaskan adanya perbedaan yang cukup signifikan ini. Benarkah MJO dianggap yang paling bertanggung jawab terjadinya perbedaan ini. Berikut disajikan bagaimana posisi MJO pada saat banjir itu terjadi, baik tahun 1996, 2002, ataupun 2007 seperti ditunjukkan pada Gambar 7 berikut.

Page 47: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Benarkah Mjo Fase Aktif SenantiasaMenyebabkan Terjadinya Banjir di Jakarta

17

Gambar 7. Perbandingan data RMM1 dan RMM2 periode 1 Desember 1995 hingga 31 Maret 1996 saat terjadinya terjadinya MJO fase aktif

Gambar 8. Sama dengan Gambar 6, tetapi untuk periode 1 Desember 2001 hingga 31 Maret 2002 saat terjadinya terjadinya MJO fase aktif

Page 48: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

18

Gambar 9. Sama dengan Gambar 6, tetapi untuk periode 1 Desember 2006 hingga 31 Maret 2007 saat terjadinya terjadinya MJO fase tidak aktif/lemah

Berdasarkan gambar di atas terlihat jelas bahwa terjadinya benajir besar di tahun 1996 dan 2002 terjadi di saat MJO pada posisi aktif. Ini adalah normal dan wajar mengingat MJO senantiasa terkait erat dengan perubahan OLR yang menyebabkan intensitas curah hujan dapat bervariasi setiap saat. Jika teori ini benar, bagaimana dengan kejadian banjir besar yang justru lebih parah. Namun terjadi disaat MJO berfase lemah atau tidak aktif. Untuk menjelaskan fenomena ini, ada baiknya kita kaji kembali apa makna aktif dan makna tidak aktif atau lemah sebagaimana tampak pada Gambar 10 berikut.

Page 49: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Benarkah Mjo Fase Aktif SenantiasaMenyebabkan Terjadinya Banjir di Jakarta

19

Gambar 10. Diagram posisi fase (phase) RMM1 dan RMM1 mulai dari fase 1 hingga 8, di mana Indonesia termasuk pada fase 4 dan 5 (http://www.bom.gov.au/.../RMM/composites/phasediag)

Gambar ini menunjukkan RMM (Real-time Multivariate MJO) yang didasarkan kepada pada dua fungsi ortogonal empiris (EOFs) dari gabungan rata-rata angin zonal 850 hPa, angin zonal 200 hPa, dan data keluaran satelit dari radiasi gelombang panjang (OLR=Outgoing Longwave Radiation). Bagaimana posisi RMM1 dan RMM2 di awal tahun 2007? Inilah yang kiranya perlu dikaji lebih lanjut sebagaimana tampak pada Gambar 11.

Page 50: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

20

Gambar 11. Sama dengan Gambar 10, hanya menunjukkan diagram posisi fase (phase) RMM1 dan RMM1 mulai dari fase 1 hingga 8, periode 1 Desember 2006 hingga 31 Maret 2007 (http://www.bom.gov.au/.../RMM/composites/phasediag)

Dari gambar di atas terlihat jelas memang posisi MJO saat ini yang ada di atas Indonesia, khususnya berada pada posisi di dalam lingkatan kecil yang ada di dalam. Sesuai dengan defini di atas (Gambar 10), maka benar adanya jika saat ini posisi MJO adalah lemah atau tidak aktif, walaupun terletak di atas Indonesia. Mengapa masih terjadi banjir pada saat itu?. Kami menduga bahwa ada mekanisme lain yang masih perlu dikaji lagi atau ada fenomena lain yang dalam penelitian ini kami anggap tidak terlalu signifikan berpengaruh, yakni serangan massa udara dingin (dikenal dengan istilah Seruak Dingin atau Cold Sourge). Gambar 12 berikut barangkali dapat dijadikan pemikiran bagaimana distribusi data OLR di awal tahun 2002 dan 2007. Jelas terlihat bahwa sebaran OLR di tahun 2002 relatif jauh lebih banyak dibandingkan tahun 2007, namun sekali lagi mengapa justru tahun 2007 banjir di Jakarta relatif jauh lebih dahsyat atau parah dibandingkan tahun 2002.

Page 51: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Benarkah Mjo Fase Aktif SenantiasaMenyebabkan Terjadinya Banjir di Jakarta

21

Gambar 12. Perbandingan distribusi OLR global di awal tahun 2002 dan 2007 (http://.www.bmrc.climate forecasting)

5. KESIMPULANMJO dalam fase aktif tidak selalu diikuti dengan hujan deras di Indonesia. MJO aktif berpeluang menimbulkan hujan deras di wilayah Indonesia ketika terjadi pada bulan basah (DJFM). Pada tahun 1996 dan 2002 MJO menjadi salah satu penyebab hujan deras (mencapai di atas 100 mm/hari) yang menyebabkan banjir (studi kasus: Jakarta). Namun kejadian hujan deras yang menyebabkan banjir pada Februari 2007 terjadi ketika MJO dalam fase lemah sehingga diduga ada fenomena lain yang menyebabkan hujan deras tersebut. Andaikan terjadi sebaliknya, tidak terjadi banjir, tetapi MJO pada posisi aktif, maka harus dikakji kembali pada saat itu MJO pada posisi fase ke berapa.

Page 52: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

22

Ucapan Terima KasihTerima kasih diucapkan kepada Pusat Sains dan Teknologi (PSTA) LAPAN-Bandung dan Geofisika dan Meteorologi, IPB, Bogor.

DAFTAR PUSTAKAAldrian E., Susanto R.D. 2003. Identification of three dominant rainfall

regions within indonesia and their relationship to sea surface temperature. International Journal of Climatology 23:1435–1452.

Donald A., Meinke H., Power B., Maia A. H. N., Wheeler M. C., White N., Stone R. C., Ribbe J. 2006. Near-global impact of the Madden-Julian Oscillation on rainfall. Geophy. Res. Lett., 33, L09704, doi: 10.1029/2005GL025155.

Kubota H., Shiroka R., Ushiyama T., Chen J., Chuda T., Takeuchi K., Yoneyama K., Katsumata M. 2006. Observations of the structures of deep convections and their environment during the active phase of an Madden-Julian Oscillation event over Equatorial Western Pacific. Jurnal Of The Meteorology Society Of Japan, 84(1):115.

Madani, N., 2012: Pengembangan Model Prediksi Madden-Julian Oscillation (MJO) Berbasis Hasil Analisis Data Wind Profiler Radar (WPR) [Skripsi] Departement Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor (IPB), 41 hal.

Madden R. A., Julian P. 1971. Detection of a 40±50 day oscillation in the zonal wind in the tropical Pacific. J Atmos Sci 28: 702–708.

Madden R. A., Julian P. 1972. Description of global-scale circulation cells in tropics with a 40–50 day period. Journal Atmospheric Sciences 29:1109–1123.

Madden R. A., Julian P. 1994. Observations of the 40–50 day tropical oscillation. Month Weather Rev 122:814–837.

Page 53: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Benarkah Mjo Fase Aktif SenantiasaMenyebabkan Terjadinya Banjir di Jakarta

23

Matthews A. J. 2000. Propagation mechanisms for the Madden-Julian Oscillation. Quart J Roy Meteor Soc 126: 2637–2652.

Ramage, C. S. 1968: Role of tropical “Maritime Continent” in the atmospheric circulation. Mon. Wea. Rev, 96: 365–370.

Wheeler M, Hendon H. H. 2004. An all-season real-time multivariate MJO index: Development of an index for monitoring and prediction. Month Weather Rev 132:1917–1932.

Page 54: untuk Mitigasi Bencana Banjir
Page 55: untuk Mitigasi Bencana Banjir

ANALISIS KEJADIAN CUACA BURUK DI JAKARTA

(STUDI KASUS BANJIR TANGGAL 13 NOVEMBER 2013)

Rizal HidayatStasiun Meteorologi Nanga Pinoh, Kalimantan Barat

E-mail: [email protected]

ABSTRAKCuaca buruk adalah kejadian cuaca yang tidak normal, tidak lazim yang dapat mengakibatkan kerugian jiwa dan harta. Untuk dapat mengetahui penyebab terjadinya cuaca buruk tersebut dengan melakukan kegiatan analisis cuaca yaitu merupakan kegiatan menganalisis fenomena-fenomena cuaca yang ada di atmosfer sehingga dapat mengenali perubahan cuaca dengan tujuan agar kita dapat mengetahui kondisi cuaca yang sedang terjadi sampai keadaan cuaca mendatang. Cuaca dapat berubah berdasarkan ruang dan waktu karena adanya dinamika atmosfer. Faktor cuaca yang sangat mempengaruhi yaitu hujan. Hujan dalam intensitas yang besar dapat menyebabkan banjir pada suatu daerah karena kondisinya berada di ambang batas normalnya. Namun pada hakekatnya kejadian banjir dapat terjadi karena beberapa faktor, di antaranya yaitu faktor meteorologi dan non meteorologi. Hal yang merupakan faktor meteolorogi yaitu hujan, rob dan tsunami, sedangkan faktor non meteorologi yaitu meluapnya air sungai, kurangnya daerah resapan air akibat penyalahgunaan lahan, dan lain-lain.

Kata Kunci: banjir, cuaca buruk, curah hujan, dinamika atmosfer.

Page 56: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

26

ABSTRACTBad weather is not normal weather events, it is not uncommon that could result in the loss of lives and property. To be able to determine the cause of the bad weather by conducting analysis of weather is an activity to analyze the phenomenon - weather phenomena in the atmosphere, so it can recognize changes in the weather in order that we may know the weather conditions, the weather is going to come. The weather can change based on time and space because of the dynamics of the atmosphere. Weather factors that affect that rain. Rain in great intensity may cause flooding in an area, because the condition is in its normal threshold. But in fact the incidence of flooding can occur due to several factors, among which the meteorological and non-meteorological factors. Which is a factor meteolorogi ie rain, floods and tsunamis, while the non-meteorological factors that overflowing river, the lack of water catchment areas due to misuse of land, and others.

Keywords: Atmospheric Dynamics, Bad Weather, flooding, rainfall

1. PENDAHULUANIndonesia merupakan wilayah tropis yang memiliki karakteristik cuaca yang unik dibandingkan wilayah yang lainnya di permukaan bumi. Wilayah tropis terletak antara 23,5˚LU–23,5˚LS, yang merupakan wilayah dengan kondisi atmosfer yang relatif homogen yaitu unsur tekanan, geopotensial dan temperatur yang relatif serba sama (homogen). Cuaca di wilayah Indonesia itu sendiri sangat mudah berubah karena letak Indonesia yang berada di garis khatulistiwa, berada di antara dua benua dan dua samudra sehingga secara umum kondisi cuaca di wilayah Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor di antaranya yaitu pola angin musiman yang bertiup serta ditentukan oleh kondisi dinamika atmosfer yang dipengaruhi oleh fenomena alam skala global yaitu El Nino dan La Nina serta MJO, skala regional yaitu sirkulasi Monsun dan gangguan tropis serta skala lokal yaitu kondisi topografi dan stabilitas atmosfer.

Page 57: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Analisa Kejadian Cuaca Buruk di Jakarta(Studi Kasus Banjir Tanggal 13 November 2013)

27

Pada tanggal 13 November 2013 sekitar pukul 14.30 WIB telah terjadi hujan di Jakarta dengan intensitas yang cukup tinggi bahkan diikuti dengan kejadian banjir (jakarta.okezone.com). Dengan memperhatikan kondisi tersebut maka diperlukan suatu metode analisis untuk mengkaji berbagai faktor yang memengaruhi kondisi cuaca buruk tersebut. Ada berbagai macam fenomena yang mendorong terjadinya kondisi cuaca buruk, di antaranya disebabkan oleh beberapa faktor antara lain kondisi global, regional ataupun efek lokal dari wilayah itu sendiri. Skala global dan regional dilihat sebagai latar belakang yang mendukung terjadinya gangguan cuaca. Adapun fenomena lokal yang menjadi penyebab utama yang dianalisis adalah keadaan udara atas dari data sounding serta nilai vortisitas dan divergensi. Dimulai dengan menganalisis yang sudah terjadi, terutama pada saat analisis yang berkaitan dengan banjir. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kondisi fisis/dinamis pada saat terjadi cuaca buruk sebagai acuan untuk mendukung prakiraan cuaca ke depan.

2. KAJIAN TEORI2.1. Pola HujanDitinjau dari pola distribusinya, curah hujan di Indonesia memiliki 3 pola distribusi, yakni pola monsun, pola ekuatorial, dan pola lokal. Dari ketiga pola tersebut, masing-masing memiliki karakteristik tertentu (Kurniawan, 2003). Pola monsun terjadi akibat proses sirkulasi udara yang berganti udara yang berganti arah setiap 6 bulan sekali yang melintas di wilayah Indonesia, yang dikenal dengan monsun barat dan monsun timur. Monsun barat umumnya menimbulkan banyak curah hujan (musim hujan), sedangkan monsun timur umumnya menyebabkan kondisi kurang hujan (musim kemarau). Pada daerah/wilayah yang memiliki pola monsun terlihat jelas perbedaan antara periode musim hujan dan musim kemarau. Selain itu jika diperhatikan berdasarkan grafik rata-rata tahunannya, pola hujan monsun memiliki satu puncak curah hujan musiman. Pola ekuatorial terjadi berkaitan dengan pergerakan matahari yang melintas garis ekuator sebanyak dua kali

Page 58: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

28

dalam setahun. Oleh karena itu pola ekuatorial umumnya terdapat di sebagian besar daerah yang terletak di sekitar ekuator yang ditandai dengan dua kali puncak hujan (curah hujan maksimum) dalam setahun.

2.2. Pengertian Analisis Cuaca Analisis adalah suatu proses untuk mencari perilaku keadaan atmosfer yang sudah terjadi sehingga hasilnya dapat digunakan untuk membuat perkiraan-perkiraan pola atmosfer yang akan terjadi. Beberapa hal penting yang perlu dipersiapkan dalam analisis (Zakir, 2009) adalah:

Data klimatologi setempat. 1.

Data unsur cuaca yang sudah terjadi. 2.

Memperhatikan skala atau pola cuaca yang sudah maupun sedang 3. terjadi.

Memeperhatikan faktor dominan yang memepengaruhi cuaca 4. setempat.

Pola gangguan tropis seperti keberadaan daerah konvergensi, divergensi, 5. badai tropis, dan sebagainya.

2.3. Teori Labilitas UdaraPerubahan cuaca dari cerah tanpa awan menjadi berawan atau hujan terjadi bila terdapat gangguan. Udara yang stabil bila mendapat gangguan akan kembali ke kondisi semula, artinya tidak ada perubahan yang signifikan. Sebaliknya bila kondisi udara tidak stabil (labil), adanya gangguan akan mengakibatkan perubahan yang cukup berarti. Udara yang labil memungkinkan terbentuknya awan, khususnya awan yang mempunyai ukuran vertikal yang mencolok yang biasanya menimbulkan cuaca buruk (Prawirowardoyo, 1996).

Page 59: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Analisa Kejadian Cuaca Buruk di Jakarta(Studi Kasus Banjir Tanggal 13 November 2013)

29

2.4. VortisitasVortisitas merupakan medan vektor kerutan (curl) kecepatan dari rotasi fluida dalam ukuran mikroskopis. Komponen vertikal dari vortisitas dominan dalam aplikasi meteorologi. Vortisitas mempunyai dimensi vektor. Untuk gerakan udara di belahan bumi Utara (BBU), jika vortisitas relatif lebih dari nol (ξ > 0), maka udara akan cenderung bergerak ke atas dan sebaliknya bila vortisitas relatif kurang dari nol (ξ < 0) maka udara cenderung bergerak ke bawah. Untuk gerakan udara di belahan bumi selatan (BBS) jika vortisitas relatif lebih dari nol (ξ>0), maka udara akan cenderung bergerak ke bawah, sebaliknya jika vortisitas relatif kurang dari nol (ξ<0) maka udara akan cenderung bergerak ke atas.

2.5. DivergensiDivergensi merupakan model untuk mendeteksi kecenderungan udara tersebut terpumpun atau sebaliknya yang dilihat dari komponen horizontalnya.

3. METODOLOGI PENELITIANData yang digunakan adalah data pengukuran curah hujan menggunakan penakar hujan obs yang tersebar di wilayah Jakarta berupa stasiun BMKG dan pos hujan kerjasama pada tanggal 10–13 November 2013. Selain itu, digunakan data synop pada tanggal 13 November 2013 dari Stasiun Meteorologi Kemayoran, Tanjung Priok, dan Cengkareng. Untuk mengetahui pola angin, divergensi, dan vortisitas digunakan data GSM yang diolah dengan software GRADS. Kemudian untuk mengetahui daerah liputan awan digunakan citra satelit OCAI. Sementara kondisi udara atas dapat diketahui dari profil sounding yang diolah dengan software RAOB. Sebagai tambahan juga dianalisis anomali SST.

Page 60: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

30

Langkah-langkah dan metode yang dilakukan penulis, antara lain :

Menganalisis data curah hujan sebelum dan pada saat kejadian 1.

Data yang dianalisis dari tanggal 10–13 November 2013, untuk dapat mengetahui intensitas hujan yang terjadi sebelum dan saat kejadian.

Menganalisis pola 2. streamline, vortisitas, dan divergensi

Menganalisis pola streamline, vortisitas, dan divergensi pada tanggal 13 November 2013 jam 06.00 UTC untuk mengetahui perubahan yang terjadi. Data yang dianalisis adalah lapisan 925 mb, 850 mb, 700 mb, dan 500 mb.

Menganalisis data synop 3.

Data synop yang digunakan yaitu data synop Stasiun Meteorologi Kemayoran, Tanjung Priok dan Cengkareng. Data yang dianalisis pada tanggal 13 November 2013 dengan parameter cuaca yaitu keadaan cuaca (WW), arah dan kecepatan angin, suhu, jumlah awan, jumlah curah hujan serta jenis awan.

Menganalisis kondisi udara atas4.

Dalam menganalisis kondisi udara atas yaitu dengan menggunakan data sounding Stasiun Meteorologi Cengkareng untuk mendapatkan indeks-indeks stabilitas atmosfer agar mengetahui kondisi stabilitas atmosfer.

Menganalisis citra satelit OCAI5.

Data citra satelit digunakan untuk mengetahui tutupan awan yang terdapat di wilayah Jakarta pada tanggal 13 November 2013.

Menganalisis anomali SST6.

Page 61: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Analisa Kejadian Cuaca Buruk di Jakarta(Studi Kasus Banjir Tanggal 13 November 2013)

31

4. HASIL DAN PEMBAHASAN4.1. Analisis Curah Hujan 3 Hari Sebelum dan

Pada Saat KejadianBerdasarkan pengukuran curah hujan menggunakan penakar hujan obs yang tersebar di wilayah Jakarta berupa stasiun BMKG dan pos hujan kerjasama dapat terlihat dalam Tabel 1, sebagai berikut :

Tabel 1. Data curah hujan DKI Jakarta tanggal 10–13 November 2013 (dalam mm)

Page 62: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

32

Berdasarkan data diatas maka curah hujan yang terukur mulai tanggal 10 November 2013 masih berada <20 mm/hari, kemudian pada tanggal 11 November ada beberapa titik seperti Angke Hulu, Katulampa, Manggarai nilainya antara 20–35 mm/hari, puncaknya terjadi pada tanggal 12 dan 13 November data hujan yang terukur meningkat menjadi 50–70 mm/hari seperti yang terjadi di titik Krukut Hulu, Sunter Hulu, Istana, Manggarai, Setiabudi, dan Teluk Gong. Kemudian distribusi curah hujan pada tanggal 13 November 2013 yang tersebar di wilayah Jakarta dengan hujan lebat (50–100 mm/hari) hampir mendominasi seluruh wilayah Jakarta.

Gambar 1. Peta distribusi curah hujan wilayah Jakarta 13 November 2013 (Sumber: Staklim Pondok Betung)

4.2. Analisis Pola Streamline, Vortisitas, dan Divergensi

Berdasarkan data dari website BMKG, BOM, dan data GSM pada tanggal 13 November 2013 jam 06.00 UTC yang diolah menggunakan software GRADS, maka dapat terlihat pola streamline, divergensi, dan, vortisitas, dalam gambar sebagai berikut.

Page 63: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Analisa Kejadian Cuaca Buruk di Jakarta(Studi Kasus Banjir Tanggal 13 November 2013)

33

Gambar 2. Streamline angin lapisan 3000 Feet (Sumber: BOM dan BMKG)

Gambar 3. Streamline Lapisan 925mb–500mb

Page 64: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

34

Berdasarkan analisis streamline baik dari website BMKG, BOM, maupun yang diolah dengan GRADS, pada umumnya massa udara dari BBU dan BBS bergerak menuju Indonesia yang disebabkan adanya tekanan rendah di Laut Cina Selatan dan Samudra Hindia sehingga banyaknya massa udara yang menuju Indonesia sehingga mengakibatkan banyaknya gangguan-gangguan cuaca di Indonesia. Dari analisis streamline, penyebab hujan dengan intensitas tinggi di wilayah Jakarta pada tanggal 13 November 2013 yaitu karena adanya konvergen akibat dari pergeseran Monsun yaitu dari Monsun Timur yang menyebabkan musim kemarau ke Monsun Barat yang menyebabkan musim hujan di Indonesia sehingga mengakibatkan banyaknya belokan-belokan angin di Indonesia.

Gambar 4. Vortisitas lapisan 925mb–500mb

Page 65: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Analisa Kejadian Cuaca Buruk di Jakarta(Studi Kasus Banjir Tanggal 13 November 2013)

35

Dari perhitungan vortisitas di atas, dapat diperoleh bahwa nilai vortisitas dengan satuan s-1 s-1 yang dihitung dari tanggal 13 November 2013 yaitu bernilai minus (-) yang artinya dimana pada tanggal 13 November 2013 massa udara di daerah sekitar Jakarta bergerak ke atas yang menyebabkan atmosfer yang tidak stabil sehingga banyaknya gangguan cuaca yang terjadi pada daerah sekitar Jakarta. Keadaan ini menunjukkan bahwa atmosfer pada tanggal 13 November 2013 tidak stabil.

9

9

Gambar 5. Divergensi lapisan 925mb–500mb

Page 66: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

36

Sementara nilai divergensi dengan satuan s-1 s-1 pada tanggal 13 November 2013 yaitu bernilai minus (-) yang artinya pergerakan massa udara terpumpun atau mengumpul. Di mana nilai divergensi minus dapat menyebabkan berbagai gangguan cuaca seperti shearline, konvergensi, tekanan rendah, dan lain-lain yang menyebabkan curah hujan ringan hingga cukup tinggi yang dapat mengakibatkan banjir.

4.3. Analisis Data SynopDalam menganalisis data synop, digunakan data Stasiun Meteorologi Kemayoran (96745), Tanjung Priok (96741), dan Cengkareng (96749). Data yang dianalisis setiap 3 jam dari jam 00–12 UTC.

Tabel 2. Data synop tanggal 13 November 2013

Stasiun KondisiWaktu (UTC)

00 03 06 09 12

96745

WWPrec in

- -Sl RA

ReRASight 14 Re TS

Suhu Permukaan 26,8 30,4 31,5 23,6 24,4

Jenis AwanSc Cu Cu Cb, Sc ScAs As As As As

Jumlah Awan 7 Oktas 8 Oktas 6 Oktas 8 Oktas 8 Oktas

Arah Angin 140 Calm 040 200 190Kecepatan

Angin 05 Calm 03 06 05

RRR - - - 36,0 6,0

Page 67: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Analisa Kejadian Cuaca Buruk di Jakarta(Studi Kasus Banjir Tanggal 13 November 2013)

37

Stasiun KondisiWaktu (UTC)

00 03 06 09 12

96741

WW - - -Sl/Mod TS

ReRAno HA+RA

Suhu Permukaan 27,4 31,0 32,6 25,4 25,2

Jenis AwanSc Cu, Sc

ScCb, Sc Sc

As Ac As AsJumlah Awan 8 Oktas 8 Oktas 6 Oktas 8 Oktas 7 Oktas

Arah Angin 170 360 020 230 170Kecepatan

Angin 03 04 06 05 03

RRR - - - 2,0 7,0

96749

WW -Prec in

-Sl/Mod TS

ReRASight 16 no HA+RA

Suhu Permukaan 25,6 29,4 30,4 24,0 24,5

Jenis AwanCb, Sc Sc Cu Cb, Sc Sc

Ac As As As AsJumlah Awan 7 Oktas 7 Oktas 7 Oktas 8 Oktas 7 Oktas

Arah Angin 190 360 330 120 170Kecepatan

Angin 06 02 10 09 02

RRR - TTU - 1,0 32,0

Dari data synop di atas, keadaan angin permukaan pada tanggal 13 November 2013 dengan kisaran kecepatan antara calm–10 knot serta arah angin yang bervariasi antara Tenggara–Barat Laut. Sebagian besar langit tertutupi oleh awan antara 5–8 oktas. Gradien suhu yang tinggi antara jam 00 UTC dengan jam 03 UTC yaitu sekitar kurang lebih 4°C menandakan konvektivitas yang kuat.

Tabel 2. Data synop tanggal 13 November 2013 (lanjutan)

Page 68: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

38

4.4. Analisis Data Sounding dan Indeks Labilitas Atmosfer

Untuk mengetahui kondisi stabilitas atmosfer pada tanggal 13 November 2013 yaitu dengan menganalisis indeks stabilitas atmosfer yang diperoleh dari data sounding Stasiun Meteorologi Cengkareng yang diolah menggunakan RAOB.

Gambar 6. Profil udara atas wilayah Jakarta Tanggal 13 November 2013

Dari tabel nilai indeks labilitas atmosfer, dapat dilakukan analisis terhadap nilai-nilai indeks labilitas dengan membaca nilai index labilitas tersebut untuk mengetahui labilitas suatu atmosfer yang merupakan penyebab terjadinya banjir pada tanggal 13 November 2011 di Jakarta. Selain itu dapat diketahui juga ketinggian dasar awan (CCL), puncak awan (EL), dan lapisan beku (FL).

Page 69: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Analisa Kejadian Cuaca Buruk di Jakarta(Studi Kasus Banjir Tanggal 13 November 2013)

39

Tabel 3. Indeks labilitas atmosfer dan ketinggian CCl, EL, FL di Jakarta Tanggal 13 November 2013

Indeks KetinggianKI LI SI SWEAT CCL EL FL(K

Indeks)(Lifted Indeks)

(Showalter Indeks) Indeks (meter) (meter) (meter)

35,5 -3,6 -1,9 220,0 1225 14552 4728

Data sounding yang digunakan yaitu tanggal 13 November 2013 pada jam 00 UTC. Nilai SI -1,9 menandakan kemungkinan terjadi TS di wilayah Jakarta. Nilai LI -3.6 menandakan atmosfer yang labil dan kemungkinan terjadi TS. Nilai KI 35,5 menandakan adanya konvektif sedang. Nilai SWEAT Indeks 220,0 menandakan pertumbuhan awan-awan konvektif.

4.5. Analisis Citra Satelit OCAIBerdasarkan gambar satelit cuaca pada tanggal 13 November 2013 yang diambil mulai 14.00 sampai 17.00 WIB memperlihatkan banyaknya awan-awan konvektif di sekitar Pulau Jawa bagian barat, khususnya wilayah selatan Jakarta. Awan-awan hujan di wilayah Jakarta pada tanggal tersebut pada umumnya memiliki sebaran merata di wilayah Jakarta Selatan, Depok dan Bogor pada pukul 14.00 WIB. Jenis dari awan-awan tersebut terlihat dari gradasi warna dan persentase sebaran awan konvektif yang memperlihatkan pertumbuhan awan Cumulonimbus di seluruh wilayah Jakarta.

Page 70: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

40

Gambar 7. Citra satelit jenis awan OCAI (Sumber: BMKG)

Gambar 8. Citra satelit cakupan awan konvektif OCAI (Sumber: BMKG)

Page 71: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Analisa Kejadian Cuaca Buruk di Jakarta(Studi Kasus Banjir Tanggal 13 November 2013)

41

4.6. Analisis Suhu Muka Laut (SST)Nilai anomali SST di sekitar wilayah Jawa bagian barat bernilai +0.1 s.d +1.0 °C. Nilai positif ini menunjukkan kondisi laut yang lebih hangat dibandingkan nilai klimatologisnya dan menambah peluang terbentuknya awan di sekitar Jakarta.

Gambar 9. Anomali suhu muka laut (Sumber: NOAA dan UNISYS)

5. KESIMPULANDari analisis yang telah dilakukan, fenomena yang memicu terjadinya intensitas hujan yang tinggi hingga mengakibatkan banjir pada tanggal 13 November 2013 yaitu (1) Berdasarkan data sounding dan dengan menganalisis indeks-indeks labilitas atmosfer pada tanggal 13 November 2013, dapat dilihat bahwa labilitas atmosfer cukup tinggi di mana menandakan tingginya frekuensi terjadinya gangguan cuaca yang mengakibatkan curah hujan yang cukup tinggi sehingga dapat menyebabkan terjadinya banjir. (2) Pada tanggal 13 November 2013, vortisitas dan divergensi bernilai minus (-) yaitu menandakan bahwa pada tanggal tersebut massa udara bergerak ke atas yang menimbulkan adanya pertumbuhan awan-awan konvektif yang juga dapat dilihat dari data synop, streamline, anomali SST, dan citra satelit. Adanya pergerakan massa udara yang mengumpul yang disebut konvergensi sebagai penyebab terjadinya gangguan-gangguan cuaca yang mengakibatkan hujan dengan intensitas tinggi. (3) Kejadian banjir pada

Page 72: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

42

tanggal 13 November 2013 di Jakarta bukan hanya diakibatkan oleh hujan dengan intensitas tinggi pada tanggal 13 November 2013 saja, tetapi diikuti oleh intensitas hujan yang terjadi sejak hari sebelumnya.

Ucapan Terima KasihTerima kasih diucapkan kepada Stasiun Meteorologi Nanga Pinoh, Kalimantan Barat yang telah mendukung penulisan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKABayong. 2006. Meteorologi Indonesia Vol. 2. Jakarta: BMG.

http://www.esrl.noaa.gov/psd/data/gridded/data.ncep.reanalysis.surface.html, diakses tanggal 20 November 2013.

http://jakarta.okezone.com/read/2013/11/13/500/896502/waspada-banjir-ini-baru-awal-hujan-di-jakarta, diakses tanggal 20 November 2013.

http://meteo.bmkg.go.id/prakiraan/streamline, diakses tanggal 22 November 2013.

http://www.ogimet.com/index.phtml.en, diakses tanggal 21 November 2013.

http://reg.bom.gov.au/reguser

http://satelit.bmkg.go.id/satelit/, diakses tanggal 21 November 2013.

http://weather.unisys.com/archive/sst/, diakses tanggal 22 November 2013.

http://weather.uwyo.edu/upperair/sounding.html, diakses tanggal 21 November 2013.

Kurniawan, 2003. Jurnal Meteorologi dan Geofisika 4(33): 24–27. Juli–September 2003. BMG. Jakarta.

Kurniawan, Edison. 2005. Jurnal Meteorologi dan Geofisika, 6(1): 75–81 Maret 2005. BMG. Jakarta.

Page 73: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Analisa Kejadian Cuaca Buruk di Jakarta(Studi Kasus Banjir Tanggal 13 November 2013)

43

Prawirowardoyo, Susilo. 1996. Meteorologi. Bandung: Penerbit ITB.

Stasiun Klimatologi Pondok Betung. 2013. Analisis Kejadian Banjir DKI Jakarta 13 November 2013. Jakarta: BMKG.

Zakir. 2009. Perspektif Operasional Cuaca Tropis. Jakarta: BMG.

Page 74: untuk Mitigasi Bencana Banjir
Page 75: untuk Mitigasi Bencana Banjir

WHY THE FLOOD ALWAYS RETURN TO JAKARTA;

HISTORICAL LAND USE CHANGES AND GEO-

ENVIRONMENTAL ANALYSIS

Fatwa RamdaniaGeoenvironment, Institute of Geography, Department of Earth Science,

Graduate School of Science, Tohoku University, Sendai, Japan, 980-8578. Tel.: +8122-795-4782

E-mail: [email protected]

ABSTRACTFlooding always return to Jakarta when the rainy seasons is coming. Many efforts have been done by the Provincial Government to overcome the issue. This study attempts to describe the reasons why the flood always returns through the historical land use changes and geo-environmental analysis of Jakarta Megapolitan. We employed remotely-sensed data; optical sensor for urban land use extraction information and radar sensor for geo-hydrology extraction variables. GRASS GIS open source software was used for the imagery processing. It is concluded that the poor management of land use transformation, lack management of streamsand basins, were lead to severe flood. Basins and streams extraction also shown that Jakarta is river`s city, where the water will always flow into the city. Revitalization of stream’s buffer, minor streams, and basin management are priorities to avoid more suffered from floods.

Keywords: Flood, Land Use Changes, Remote Sensing, GIS, Jakarta

Page 76: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

46

ABSTRAKBanjir selalu kembali ke Jakarta ketika musim hujan datang. Banyak upaya telah dilakukan oleh Pemerintah Provinsi untuk mengatasi masalah ini. Penelitian ini mencoba untuk menggambarkan alasan mengapa banjir selalu kembali melalui perubahan penggunaan lahan historis dan analisis geo-lingkungan dari Jakarta Megapolitan. Kami menggunakan data penginderaan jauh; sensor optik untuk informasi ekstraksi penggunaan lahan perkotaan dan sensor radar untuk variabel ekstraksi geo-hidrologi. GRASS GIS perangkat lunak open source yang digunakan untuk pengolahan citra. Dapat disimpulkan bahwa buruknya pengelolaan penggunaan lahan transformasi, manajemen kurangnya cekungan streamsand, yang menyebabkan banjir parah. Baskom dan ekstraksi sungai juga menunjukkan bahwa Jakarta adalah kota river`s, di mana air akan selalu mengalir ke kota. Revitalisasi penyangga sungai ini, sungai kecil, dan pengelolaan DAS yang prioritas untuk menghindari lebih menderita banjir.

Kata kunci: Banjir, Penggunaan Lahan Perubahan, Remote Sensing, GIS, Jakarta

1. BACKGROUNDJakarta is Indonesia capital city which is always suffered from floods during rainy season throughout its history. The floods of 1996, 2002 and 2007 were the greatest and most destructive ever recorded in Jakarta. The 2007 flood as much as 4,370 km2 of the city was affected, displacing a recorded 500,000 people from their homes with an estimated economic cost of roads damages was US$ 15.4 million. Floods history in Jakarta is summarized in the Table 1.

Many efforts have been done by the government to overcome the floods. For example the Jakarta East Flood Canal development, that was completed in 2011. Construction of the 23.5-kilometer East Flood Canal was begun in

Page 77: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Why The Flood Always Return To Jakarta;Historical Land Use Changes and Geo-Environmental Analysis

47

2003. The canal started to operate in late 2009 after it reached the Java Sea, linking five major waterways in East Jakarta: the Cipinang, Sunter, Buaran, JatiKramat and Cakung rivers.

In the year 2013, the city allocated Rp2.5 trillion (US$205 million) city budget to fund flood mitigation projects, including dredging projects and the construction of around 2,000 absorption pits. [2]

The other effort is supported by international financial institution, such as from World Bank. World Bank supports the development of canals and technical assistant for managements with the commitment amount is US$139.64 million. The name of the project is Jakarta Urgent Flood Mitigation Project. The development objective of this project is to contribute to the improvement of the operation and maintenance of priority sections of Jakarta’s flood management system. There two components to the project (period 2012–2017). The first component is dredging and rehabilitation of selected key floodways, canals and retention basins. This component will support the dredging and rehabilitation of 11 floodways or canals and four retention basins which have been identified as priority sections of the Jakarta flood management system in need of urgent rehabilitation and improvement in flow capacities. The dredge material will be transported and disposed into proper disposal sites. The second component is technical assistance for project management, social safeguards, and capacity building. This component will support contracts management, engineering design reviews, construction supervision engineers for the dredging and rehabilitation works and technical assistance for implementation of the project, including the resettlement policy framework, resettlement plans and the grievance redress system. [3]

Table 1. Floods history event in JakartaPeriods Rivers Main cause Displaced Affected

area (km2)Notes (casualties and

damages)

1621, 1654, 1918, 1942, 1976

Main river Heavy rain No data No data No information

Page 78: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

48

Periods Rivers Main cause Displaced Affected area (km2)

Notes (casualties and damages)

6–9 January 1996

Ciliwung Heavy rain 28,000 1,175 Floodwaters up to 7 meters

9-13 February 1996

Ciliwung Heavy rain 30,000 1,190 Rainfall 5 times the normal levels, worst flooding since 1942. Tens of thousands of people left homeless, 565,000 people affected.

31 January–22 February 2007

Ciliwung, Pesangrahan and Krukut

Cisadane

Heavy rain 500,000 4,370 Worst floods in Jakarta in living memory. Water up to 4 meters deep in parts of city. Jakarta 75% flooded (255 square miles under water). 340,000 homeless. Worst floods on Ciliwung river in 10 years. Damages to roads in Jakarta cost US$15.4 million. Total flood damages estimated at 8.8 trillion rupiah.

15–22 January 2013

Ciliwung, Pesangrahan and Krukut

Cisadane

Heavy rain >37,0001 No data 95,000 people affected2

23 people killed, 26,426 people minor injured

13–29 January 2014

Ciliwung, Pesangrahan and Krukut

Cisadane

Heavy rain >62,0004 No data Approximately 134,662 persons or 38,672 households in 100 urban villages are directly affected by floods, with 12 casualties4

Source: [4]1http://reliefweb.int/disaster/fl-2013-000006-idn 2http://edition.cnn.com/2013/01/18/world/asia/indonesia-jakarta-floods/3h t t p : / / w w w . w h o . i n t / h a c / c r i s e s / i d n / s i t r e p s / i n d o n e s i a _ f l o o d s _ s i t r e p _jakarta_23january2013.pdf4http://reliefweb.int/map/indonesia/indonesia-update-jakarta-floods-21-january-2014

Furthermore, the other factor that makes floods more severe is the population development of Jakarta. In year 2002 population of Jakarta approximately

Table 1. Floods history event in Jakarta (continue)

Page 79: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Why The Flood Always Return To Jakarta;Historical Land Use Changes and Geo-Environmental Analysis

49

8.5 million people, in year 2006 increased to 8.96 million people, and in the next five years is estimated as 9.1 million people. Population density in 2002 reached 12,664 inhabitants per km2, in 2006 reaching 13 545 inhabitants per km2 and estimated that in five years reached 13, 756 inhabitants per km2. The rate of population growth in the period 1980–1990 was 2.42 percent per year, decreased in the 1990–2000 period at a rate of 0.16 percent. In the period 2000–2005, the population growth rate at 1.06 percent per year. [5]

The population development and population rate of Jakarta is shown the Figure 1.

Figure 1. Population development and population growth rate of JakartaSource: SP 1961–2010 and Population Projection of year 2012, Statistical Bureau of Jakarta

In the year 2012 based on the population projections of Jakarta, the population was 9,932,063 people, when compared with the total population in 2011, the population of Jakarta was 9,761,992 people, and there has been an increase of 170,071 inhabitants or an increase of 0.98 percent. In the period of 1961–1990 the total population grew rapidly from 2.9 million in 1961 to 4.6 million in 1971, or 4.58 percent per year of population growth rate. Then the next ten years, the population increased again to 6.5 million people, with a growth rate was 4.02 percent per year. In 1990, the

Page 80: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

50

population of Jakarta increased by about 1.7 million people, bringing the total number to 8.3 million inhabitants. During the period 1980–1990 the population growth rate was 2.41 percent per year. In the period 1990–2000, the population growth of Jakarta was about 0.14 percent. And in the period 2000–2012, the population growth rate rose to 1.67 percent per year. [6]

From the population pyramid (Figure 2), the population of Jakarta has led to an aging population, means that the proportion of young population (i.e. aged 0–14 years) has begun to decline. When in 1990, the proportion of young population is still at 31.9 percent, and then in 2006 this proportion dropped to 23.8 percent. Throughout the years 2002–2006, the proportion of young age population is relatively stable, which is about 23.8 percent. Conversely the proportion of elderly population (65 years and over) rose from 1.5 percent in 1990, to 2.2 percent in 2000. In 2006, the proportion of elderly population has increased to 3.23 percent.

Figure 2. Population pyramid of Jakarta. Source: [7]

Flood impact on socio-economic such as damage in house and small business enterprises are countless. However, there is no preliminary research that has been conducted to get clearer figure regarding the issue.

Page 81: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Why The Flood Always Return To Jakarta;Historical Land Use Changes and Geo-Environmental Analysis

51

The purposes of this study are to documentes the land use changes and geo-environmental condition of Jakarta and explain why the flood always returns. We hope this study could contribute in order to help the government efforts to overcome the floods.

ObjectivesThe objectives of this study are: (1) To produce urban land use changes detection from year 1982 and year 2013 of Jakarta and it`s satellite cities. (2) To extract the basins and streams map for hydrological background analysis. (3) To create elevation profile where was the flood event happened. These maps are valuable “treasures” to improve our understanding whythe flood always return to Jakarta every rainy season comes.

2. STUDY AREAStudy area is Jakarta Megapolitan Area, we subset the study area into 158,000 ha enclosed area. Located on the northwest coast of Java, Jakarta is the country’s economic, cultural and political center, and with a population of 9,932,063 people in year 2012, it is the most populous city in Indonesia. The official megapolitan area, known as Jabodetabek (a name formed by combining the initial syllables of Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang and Bekasi), is the second largest in the world, yet the megapolis`s suburbs still continue growing beyond it (ie. Depok City). This megapolitan has population of over ~30 million, making it one of the world’s largest conurbations in terms of number of inhabitants. Jakarta has grown more rapidly than Kuala Lumpur, Beijing and Bangkok. “Shinjyuku” of Jakarta is new extended area of Central Business District in southern Jakarta (Figure 3)

Page 82: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

52

Figure 3. Transformation of Jakarta Megapolitan. Landsat 4 MMS for year 1982 and Landsat 8 OLI for year 2013

3. DATA AND METHODIn this study we employed satellite images from Landsat family. Data used in this study is shown in the Table 2. Landsat Multispectral Scanner (MSS) images consist of four spectral bands with 60 meter spatial resolution. Approximate scene size is 170 km north-south by 185 km east-west (106 mi by 115 mi). Landsat 8 Operational Land Imager (OLI) and Thermal Infrared Sensor (TIRS) images consist of nine spectral bands with a spatial resolution of 30 meters for Bands 1 to 7 and 9. Landsat images were downloaded from http://earthexplorer.usgs.gov/.

Table 2. Data used in the study

Satellite image

Index Acquisition Band used Wavelengths (micrometres)

Landsat 4MSS P131 / R64 October 3rd, 1982

Band 4, 5, & 6 0.5–0.8

Landsat 8OLI P122 / R64 August 25th, 2013

Band 4, 5, & 7 0.64–2.29

Page 83: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Why The Flood Always Return To Jakarta;Historical Land Use Changes and Geo-Environmental Analysis

53

The Advanced Space borne Thermal Emission and Reflection Radiometer (ASTER) Global Digital Elevation Model (GDEM) was developed jointly by the METI (Ministry of Economy, Trade, and Industry) of Japan and the NASA (National Aeronautics and Space Administration) of United States. The ASTER sensor was launched onboard NASA’s Terra spacecraft in December 1999. The spatial resolution of generated DEM is 30 m. It covers land surfaces between 83◦N and 83◦S (ASTER GDEM Readme Handbook). The absolute vertical accuracy of ASTER GDEM version-1 is 20 m at 95% confidence level. The improved vertical accuracy of ASTER GDEM version-2, released on October 17, 2011, is 8.86 m (ASTER GDEM V2 validation report). For this study, ASTER GDEM version-2 was downloaded from http://gdem.ersdac.jspacesystems.or.jp/index.jsp

Methodology of this study shows in Figure 3. We used open source software, GRASS GIS and Quantum GIS for imagery processing and DEM processing for basins and streams extraction.

Pre-processing, such as radiometric and atmospheric corrections, which are necessary for analysis of land use/land cover parameters, was conducted. The Landsat 3 MSS and 8 OLI sensors store information as digital numbers (DNs) in the range of 0 to 255. We convert these DNs to ToA reflectance. We chose the spectral value method of classification to extract a land use map from color composite images. We employed 465 band combination for Landsat 3 MSS and 754 band combination for Landsat 8 OLI. We defined two classes for the urban land use map (Fig. 1): urban (man-made structures including builds, roads, and all impervious objects) is represented in red and another land use area (including dense and sparse vegetation, water bodies, and agricultural fields) is represented in white.

GRASS GIS software is open source software that has been equipped with the command console and watershed module to extract the basins and streams. The land use classification was done by supervised classification maximum likelihood module. The basic element for deriving basins and streams map is the digital elevation model (DEM). It can be derived from ASTER GDEM

Page 84: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

54

with 30m of ground resolution. For final cartography design we employed Quantum GIS open source software which has been integrated with the GRASS GIS.

Figure 4. Methodology

Classification technique was employed using the“gi.maxlikh” module in GRASS GIS. To generate statistics from training area, the “gi.gensigh” module is being used. In the classification method, we need to make group that contain the raster imageries. The “gi.grouph” module then used to select all relevant bands of the raster imageries. The final result of urban land use than converted into vector format by the “r.to.vect” module.

Page 85: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Why The Flood Always Return To Jakarta;Historical Land Use Changes and Geo-Environmental Analysis

55

Before we extracted the basins and streams, we performed a neighborhood filter using the mean operator to smooth the ASTER GDEM image. This method was done using the “r.neighbors” module. The “r.watershed” module then employed to extract basins and streams. We used 10,000 threshold and 700 threshold to extract main basins, streams basin, sub-basins, and sub streams respectively.To calculate the basin coverage area we employed the “v.db.addtable”, “v.db.addcol” and “v.to.db” module. The basic concepts in calculation feature area (polygon) in GRASS GIS are; build the database, create a new table, and column, and input the information.

The “Point Sampling Tool” plugin in Quantum GIS was used to extract elevation values from a raster layer of ASTER GDEM image based on a vector point of floods event year 2013.

4. RESULT AND DISCUSSIONSFor year 1982, the urban development concentrated in the northern and center part of Jakarta (Figure 4), while in the northwest, northeast, and southern part was dominated by agricultural fields.

Figure 5. Urban land use map of Jakarta for year 1982

Page 86: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

56

Agricultural fields and green space play a main role in order to catch the water when the rainy season comes. Sub streams also play a role as a place for water flow from the higher elevation to the lower elevation and send the water to the main streams. Upper-streams region in year 1982 was dominated by agricultural fields and dense to sparse vegetation cover.

Figure 6. Urban land use map of Jakarta for year 2013

For year 2013, Jakarta lost most of its sub streams because of population increase that influence the higher demand of settlements. Unfortunately, migrants chose the river-side environment as their settlements. Agricultural fields in the upper-streams region in the southern part than transform into impervious surfaces. The place for water was occupied by man-made structures then lead to heavy floods when rainy seasons come.

In Jakarta, river-side environments are in bad condition. From the assessment using remotely-sensed image we can see that there is no buffer zone available (Figure 6). Uncontrolled development can be seen from the density of man-made objects along river-side.

Uncontrolled development and transformation within inner city and satellite cities was identified from satellite images. Especially the river-side environment, there are no reservation of precious waterside areas along river-side (Figure 6). There are no improvement and development of minor rivers to protect Jakarta from suffered serious damage of floods.

Page 87: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Why The Flood Always Return To Jakarta;Historical Land Use Changes and Geo-Environmental Analysis

57

From the basins and streams extraction we can understand that Jakarta is the river’s-city. There are many main streams consists of many sub streams flow through the city. Miss management of main streams, sub streams, and great basin surrounding megaurban leads to huge amount of surface run-off those cause heavy floods. At least there are six basins covered Jakarta and it`s satellite cities. These six basins play main role to create the floods. The coverage areas of every six basins in Jakarta are shows in Figure 7.

Figure 7. There is no buffer zone along river-side

Figure 8. Coverage areas of six basins in Jakarta extracted from ASTER GDEM

Page 88: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

58

Figure 9. Flood event distributions for year 2013Source of floods event:http://www.google.org/crisismap/2013-jakarta-flood-en?no_redirect=true

From Figure 8 we have more understanding that floods event was associated with lower elevation physical environment (5–52 meter above sea level) and floods happened near the main and sub streams. Furthermore, Figure 9 gives us deeper analysis in floods event distribution based on elevation profile.

Page 89: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Why The Flood Always Return To Jakarta;Historical Land Use Changes and Geo-Environmental Analysis

59

Figure 10. Floods event distribution based on elevation. Floods event year 2013 used as based to extract elevation values from ASTER GDEM image

From the Figure 9 above, floods was happened mostly in elevation between 8 meter to 20 meter above sea level. The streams characteristic also inform us that the geomorphology of Jakarta is alluvial lowland plan. A dendritic drainage pattern was identified from the streams extraction of ASTER GDEM. A dendritic drainage pattern is the most common form and looks like the branching pattern of tree roots. It develops in regions underlain by homogeneous material, in the Jakarta case is alluvial soil forms. Jakarta alluvial lowland plan was created by the deposition of sediment over long period that coming from highland regions. The source of the alluvial material is from upper streams in the southern part of Jakarta.

5. CONCLUSIONSDramatically land use changes from 1982 to 2013 were identified and river-side suffered from impervious surface developments. Urban transformation

Page 90: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

60

in the inner city and the development in the satellite cities which is also play a role as the upper streams region of Jakarta’s basins, have a direct relationship with the water flows that leads to flooding.

From basins and streams extraction it can be understood that Jakarta is river`s city. There are many main streams and sub streams flow through the city and there are six main basins covered the city and satellite cities. The geomorphology of Jakarta is alluvial lowland plan, which is means the water will always flow into the city.

Flooding will always return to Jakarta since the basins and streams management is poor. Land use changes should be appropriate with the spatial plan, and it is needed law enforcement. Urban green space and river-side management need to get more attention.

RecommendationsRevitalization of stream’s buffer, minor streams, and basin management are priorities to avoid more suffered from floods. Law enforcement in spatial planning implementation is needed. More effort in northern part is needed since the rise of sea level will leads to flood. The UNEP Intergovernmental Panel on Climate Change concludes that sea rise from global warming will permanently inundate large areas of major urbanized regions of Asia, and heavy precipitation events will continue to become more frequent over of the world throughout the 21st century. [8]

Furthermore, the most difficult part is how to re-settle thousands of urban inhabitants from river-side environment? Education is the keyword. Urban inhabitants need to be educated about the importance of buffer area along the river-side. It will take long years, but it can begin now. Provincial government has to buy the lands that occupied by impervious surface and then returning the function into the urban green space.

Coordination between Jakarta`s government and the governments of its satellite cities need to optimized based on the basins that covered the administration areas.

Page 91: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Why The Flood Always Return To Jakarta;Historical Land Use Changes and Geo-Environmental Analysis

61

REFERENCESBates, Bryson, Zbigniew W. Kundzewicz, Jean Palutikof and Shaohong Wu.

2008. Climate change and water. Intergovernmental Panel on Climate Change. London: IPCC Working Group II Technical Support Unit

http://bplhd.jakarta.go.id/slhd2012/Docs/pdf/Buku%20I/Buku%20I%20Bab%203A.pdf

http://www.dartmouth.edu/~floods/Archives/

http://www.jakarta.go.id/web/news/2008/01/Demografi-Jakarta

http://waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=159647:minister-jakarta-east-flood-canal-accomplished-in-2011&catid=30:english-news&Itemid=101

http://sp2010.bps.go.id/index.php/site?id=31&wilayah=DKI-Jakarta

http://www.thejakartapost.com/news/2014/01/09/widespread-flooding-disrupts-road-rail-traffic.html

http://www.worldbank.org/projects/P111034/jakarta-urgent-flood-mitigation-project?lang=en

Page 92: untuk Mitigasi Bencana Banjir
Page 93: untuk Mitigasi Bencana Banjir

PENENTUAN DISTRIBUSI SPASIAL DAERAH BAHAYA BANJIR DI 6 (ENAM) SUB

DAS WILAYAH DKI JAKARTA MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH

Indah Prasasti, Parwati Sofan, Nur Febrianti, Totok Suprapto

Peneliti Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, LAPANE-mail: [email protected], [email protected]

ABSTRAKBanjir di wilayah DKI Jakarta sudah menjadi fenomena alam tahunan, bahkan sudah terjadi sejak zaman Belanda. Keberadaan 6 sub DAS yang mengalir di wilayah DKI Jakarta yang kondisinya semakin buruk akibat perkembangan dan pembangunan perkotaan merupakan salah satu penyebab makin parahnya dampak banjir yang terjadi saat ini. Salah satu pilihan solusi penanganan banjir di DKI Jakarta adalah dengan mengembangkan instrumen analisis bahaya dan penyediaan informasi distribusi spasial daerah bahaya banjir dengan memanfaatkan data penginderaan jauh. Tulisan ini menyajikan hasil analisis penilaian guna memetakan distribusi spasial daerah bahaya banjir dengan memanfaatkan data inderaja. Data yang digunakan adalah data Landsat TM tahun 2012, data DEM SRTM 90 m, peta land system dan topografi. Analisis zona bahaya dilakukan dengan menggunakan teknologi sistem informasi geografis (GIS) berdasarkan parameter penutup/

Page 94: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

64

penggunaan lahan, kemiringan lereng, jarak dari sungai. Hasil analisis menunjukkan bahwa lebih dari 99% (dari keseluruhan luas wilayah sub DAS) di wilayah sub DAS Angke/Pesanggrahan (99.52%), Kali Cakung (99.87%), Kali Buaran (99.62%), Kali Sunter (99.41%) dan Kali Krukut (99.40%) merupakan kategori daerah bahaya banjir sedang hingga tinggi, kecuali sub DAS Ciliwung yang hanya 79.03%. Dari hasil survei lapangan menunjukkan bahwa semua titik lokasi banjir yang terjadi pada tahun 2013 dan 2014 berada di daerah yang terklasifikasi sebagai daerah kelas bahaya sedang (8.14%) dan tinggi (91.86%).

Kata Kunci: bahaya banjir, DKI Jakarta, Landsat TM.

ABSTRACTFlood has become an annual natural phenomenon in Jakarta, even have occurred since the Dutch era. The existence of six sub-watersheds that flow in Jakarta is getting worse due to the urban development that cause of severe flood impacts in this time. One of the solution options of flood mitigation in Jakarta is to develop instruments hazard analysis and provision of information on the spatial distribution of the flood hazard areas by using remote sensing data. This paper presents the spatial distribution of the flood hazard areas by utilizing the remote sensing data. The data used was Landsat TM in 2012, SRTM DEM data, land system map and topographic data. Analysis of the hazard zone is done based GIS method using parameters land use/Landcover, slope, and distance from the river. The result showed that more than 99% (of the total area of sub water catchment) in Angke Pesanggrahan (99.52%), Cakung (99.87%), Kali Buaran (99.62%), Kali Sunter (99.41%) and Kali Krukut (99.40%) are in moderate to high prone area, except sub Ciliwung that only 79.03%. According to the ground survey it was indicated that all locations of the floods that occurred in 2013 and 2014 were in moderate prone area (8.14%) and high prone area (91.86%).

Keywords: DKI Jakarta, Flood Hazard, Landsat TM

Page 95: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Penentuan Distribusi Spasial Daerah Bahaya Banjir di 6 (Enam)Sub Das Wilayah DKI Jakarta Menggunakan Data Penginderaan Jauh

65

1. PENDAHULUANBanjir di wilayah Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta seakan sudah menjadi langganan tahunan. Bahkan di wilayah Jakarta, kejadian banjir telah terjadi sejak zaman Belanda. Meskipun Belanda telah membangun Kanal Banjir Barat, namun hingga kini banjir tetap menjadi fenomena tahunan yang masih sulit diatasi.

Banyak faktor yang menjadi penyebab banjir yang melanda wilayah DKI Jakarta, antara lain keberadaan 13 sungai yang mengalir dan bermuara di Teluk Jakarta dan hampir 40% luas area yang lebih rendah dari permukaan laut, dan indikasi makin terdegradasinya wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) bagian hulu, khususnya DAS Ciliwung sebagai penyumbang terbesar banjir di DKI Jakarta. Kondisi tersebut makin diperparah oleh kondisi makin luasnya daerah terbangun akibat perkembangan perkotaan, buruknya sistem drainase, rendahnya tingkat kesadaran penduduk terhadap lingkungan, makin menyempitnya badan air akibat pemanfaatan bantaran sungai sebagai permukiman, sedimentasi yang mengakibatkan pendangkalan sungai, adanya penurunan permukaan tanah (land subsidence) akibat eksploitasi air tanah, dan indikasi adanya perubahan iklim.

Berbagai upaya telah dilakukan oleh Pemerintah Daerah setempat, tetapi upaya tersebut dirasa masih kurang optimal. Pada forum diskusi pakar mengenai banjir Jakarta pada tanggal 12 Februari 2013 di IPB Bogor direkomendasikan bahwa penanganan banjir harus dilakukan secara terintegrasi dan menyeluruh (integrated flood management), yakni kombinasi antara upaya yang bersifat infrastruktur dan nonstruktur guna menekan besarnya kerugian yang diakibatkan oleh banjir (flood damage mitigation). Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melalui penelitian dan pengembangan teknologi mitigasi yang tepat, efektif, dan efisien. Untuk tujuan ini, pemanfaatan teknologi penginderaan jauh (inderaja) sangat diperlukan. Horritt et al. (2001) menunjukkan bahwa data inderaja mempunyai potensi yang sangat baik untuk pemetaan distribusi banjir.

Page 96: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

66

Pemanfaatan data inderaja dalam pemetaan daerah rentan banjir di wilayah DKI Jakarta pernah dilakukan oleh Asriningrum et al. (1998) melalui pendekatan interpretasi geomorfologi dan klasifikasi penggunaan lahan. Kelemahan dari pendekatan yang dilakukan oleh Asriningrum et al. (1998) adalah analisis hanya memperhatikan faktor lahan dan belum memasukkan faktor iklim. Sementara itu, Hariyadi (1999) menentukan besar limpasan air permukaan (run-off) DAS Ciliwung untuk memprediksi banjir di DKI Jakarta berdasarkan model HEC-1 yang merupakan interface perangkat lunak Watershed Modelling System (WMS) dan penutup penggunaan lahan diekstraksi dari data Landsat TM. Pawitan (2002) memanfaatkan data Landsat untuk menganalisis perubahan lahan dan hubungannya dengan prediksi debit banjir berdasarkan model HEC-1 di wilayah DAS Ciliwung. Ibrahim et al. (2007) menggunakan data DEM, Landsat, dan curah hujan untuk menentukan daerah distribusi banjir di DKI Jakarta berdasarkan air larian dan mensimulasikan daerah genangan banjir dari data DEM dan curah hujan melalui pendekatan hidrologi dan teknik SIG. Trisakti et al. (2008) menganalisis luas DAS dari DEM-SRTM dan menganalisis distribusi spasial debit aliran permukaan dengan menerapkan metode SCS di DAS Ciliwung.

Salah satu pilihan solusi penanganan banjir di DKI Jakarta adalah dengan mengembangkan instrumen analisis bahaya dan penyediaan informasi distribusi spasial daerah bahaya banjir di beberapa wilayah sub DAS di DKI Jakarta yang hingga kini belum dipunyai oleh Pemerintah Daerah DKI Jakarta. Terdapat 6 (enam) sub DAS yang mengalir di wilayah DKI Jakarta dan bermuara di Teluk Jakarta yang sering menyebabkan banjir. Analisis bahaya merupakan komponen dari analisis risiko. Ada dua tahap penilaian (assessment) risiko banjir, yakni penilaian bahaya dan pendugaan kerentanan. Menurut Alexander (1997), risiko (risk) merujuk pada hasil kali bahaya (hazard) dengan kerentanan (vulnerability). Bahaya terkait dengan faktor fisik dan dampaknya, sedangkan kerentanan merupakan kerawanan terhadap kerusakan atau kegagalan.

Page 97: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Penentuan Distribusi Spasial Daerah Bahaya Banjir di 6 (Enam)Sub Das Wilayah DKI Jakarta Menggunakan Data Penginderaan Jauh

67

Tulisan ini merupakan hasil perbaikan metode dan analisis dari tulisan sebelumnya yang diterbitkan pada Prosiding Seminar Nasional Penginderaan Jauh 2014: Penguatan kemandirian melalui peningkatan kualitas penyelenggaraan penginderaan jauh untuk mendukung Pembangunan Nasional dengan judul “Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh untuk Analisis Pengaruh Perubahan Lahan terhadap Distribusi Spasial Daerah Bahaya banjir di DKI Jakarta dan Koefisien Aliran Permukaan”. Prosiding tersebut merupakan salah satu paper yang disajikan dalam Seminar Nasional Penginderaan Jauh yang diadakan pada tanggal 21 April 2014 di IPB Convention Center, Bogor.

Tulisan ini menyajikan hasil analisis penilaian guna memetakan distribusi spasial daerah bahaya banjir dengan memanfaatkan data inderaja.

2. DATA DAN METODE

Data dan Lokasi PenelitianData yang digunakan dalam analisis ini adalah: data Landsat TM tahun 2012, data DEM SRTM 90 m, peta land system dari Badan Informasi Geospasial (BIG) skala 1 : 250.000, Data titik tinggi dari BIG, dan peta tekstur tanah.

Lokasi yang dianalisis adalah 6 (enam) Sub DAS yang mengalir di wilayah DKI Jakarta, yakni: 1. DAS Ciliwung, 2. DAS Kali Angke Pesanggrahan, 3. DAS Kali Cakung, 4. DAS Kali Buaran, 5. DAS Kali Sunter, dan 6. DAS Kali Krukut.

MetodeKegiatan analisis ini dilakukan melalui beberapa tahapan pekerjaan, yakni: a. Ekstraksi informasi penutup/penggunaan lahan dari data Landsat TM tahun 2012. b. Koreksi data DEM SRTM (90 m) terhadap data titik tinggi dari BIG, c. Ekstraksi informasi elevasi, kemiringan lereng, dan jaringan sungai dari data DEM SRTM, d. Pembagian kelas dataran banjir dan non banjir dari data Land System, e. Penentuan jarak (buffering) dari aliran sungai, f.

Page 98: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

68

Pembagian kriteria dan nilai scoring masing-masing parameter penentu bahaya banjir, g. Kroping untuk wilayah yang meliputi 6 (enam) sub DAS di DKI Jakarta, dan h. Pemetaan distribusi spasial bahaya banjir.

Secara keseluruhan proses penilaian dan penentuan distribusi spasial daerah bahaya banjir digambarkan dalam bagan alir pada Gambar 1.

Gambar 1. Diagram alir penentuan distribusi spasial daerah bahaya banjir

3. HASIL DAN PEMBAHASANUntuk menentukan daerah bahaya banjir diperlukan beberapa parameter yang diekstraksi dari data inderaja, antara lain penutup penggunaan lahan dari data Landsat TM dan informasi kemiringan lereng, elevasi lahan, dan jaringan sungai dari data SRTM. Sementara itu, parameter dataran banjir dan non banjir diekstraksi dari peta land system, dan parameter infiltrasi tanah diperoleh dari data sifat fisik tanah.

Page 99: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Penentuan Distribusi Spasial Daerah Bahaya Banjir di 6 (Enam)Sub Das Wilayah DKI Jakarta Menggunakan Data Penginderaan Jauh

69

Dalam analisis ini penentuan distribusi daerah bahaya banjir didasarkan pada kondisi penutup lahan tahun 2012. Oleh karena itu, ekstraksi informasi penutup/penggunaan lahan dilakukan untuk tahun 2012. Ekstraksi informasi penutup penggunaan lahan dilakukan berdasarkan teknik klasifikasi tidak terbimbing (unsupervised) menggunakan metode Isodata. Selanjutnya, penutup/penggunaan lahan dikelaskan menjadi 12 kelas, yakni: 1. Hutan, 2. Belukar, 3. Rumput, 4. Lahan terbuka, 5. Kebun campur, 6. Permukiman, 7. Perkebunan, 8. Industri, 9. Tegalan, 10. Sawah, 11. Tambang, dan 12. Badan air. Selanjutnya, untuk kepentingan penentuan distribusi spasial daerah bahaya banjir dikelompokkan lagi menjadi 5 kelas seperti yang disajikan pada Tabel 1.

Berdasarkan hasil ekstraksi informasi penutup penggunaan lahan tahun 2012 di 6 sub DAS di wilayah DKI Jakarta tampak bahwa area permukiman paling luas mendominasi wilayah sub DAS dibandingkan dengan kelas lainnya. Kelas hutan hanya terlihat pada wilayah hulu sungai sub DAS Ciliwung (Gambar 2). Luas kelas penutup/penggunaan lahan disajikan pada Gambar 3. Wilayah DAS Kali Angke/Pesanggrahan merupakan wilayah dengan area permukiman yang paling luas.

Tabel 1. Pengkelasan dan nilai skoring untuk masing-masing parameter penentu bahaya banjir

Parameter Kelas Skor

Kelerengan

Sangat curam (>65%) 1Curam (45–65%) 1Agak curam (30–45 %) 2Miring/berbukit (15–30 %) 2

Agak miring/bergelombang (8–15 %) 3

Landai/berombak (3–8 %) 3Datar (0–3 %) 4

Page 100: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

70

Parameter Kelas Skor

Geomorfologi

Dataran banjir/dataran aluvial pantai 4

Dataran aluvial 3Perbukitan 2Pegunungan 1

Penggunaan/penutup lahan

Hutan 1

Belukar, rumput,tanah kosong, tambang 2Perkebunan, kebun campur 2Sawah,tegalan 3Permukiman, industri, air 4

Jarak dari Sungai

0–100 m 4100–500 m 3500–1000 m 2>1000 m 1

Kemampuan Infiltrasi

8–12 mm/jam 14–8 mm/jam 21–4 mm/jam 30–1 mm/jam 4

Luasnya permukiman akan berpengaruh terhadap kapasitas infiltrasi air ke dalam tanah. Jika jumlah infiltrasi ke dalam tanah sedikit, hujan yang jatuh di wilayah permukiman akan berpotensi menjadi aliran permukaan dan pada daerah cekungan akan berpotensi menjadi genangan air atau banjir. Sebaliknya pada wilayah yang tertutup oleh vegetasi tanaman, seperti rumput atau hutan, maka jumlah air hujan yang terinfiltrasi ke dalam tanah akan tinggi. Oleh karena itu, dalam penentuan distribusi daerah bahaya banjir, parameter penutup/penggunaan lahan menjadi penting untuk dipertimbangkan.

Tabel 1. Pengkelasan dan nilai skoring untuk masing-masing parameter penentu bahaya banjir (lanjutan)

Page 101: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Penentuan Distribusi Spasial Daerah Bahaya Banjir di 6 (Enam)Sub Das Wilayah DKI Jakarta Menggunakan Data Penginderaan Jauh

71

Gambar 2. Hasil ekstraksi penutup/penggunaan lahan di 6 sub DAS di wilayah DKI Jakarta tahun 2012

Gambar 3. Luas masing-masing kelas penutup/penggunaan lahan di 6 wilayah sub DAS di DKI Jakarta

Page 102: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

72

Parameter penentu lain yang diekstraksi dari data inderaja adalah kemiringan lereng (Gambar 4). Parameter ini diekstraksi dari data SRTM 90 m. Selanjutnya, parameter ini dikelaskan menjadi 7 kelas dan diberi skor seperti yang disajikan secara ringkas pada Tabel1.

Parameter kemiringan lereng atau kelerengan juga berpengaruh terhadap besarnya aliran permukaan. Pada lahan dengan kelerengan curam, kecepatan aliran akan meningkat sehingga yang terinfiltrasi akan berkurang. Kondisi ini menyebabkan sebagian besar curah hujan yang jatuh menjadi aliran permukaan, terutama apabila permukaan tanah juga kedap terhadap air karena tertutup oleh aspal dan bangunan. Dengan demikian, parameter kelerengan juga sangat penting dipertimbangkan dalam penentuan distribusi daerah bahaya banjir.

Berdasarkan kelas kemiringan lereng terlihat bahwa sebagian besar wilayah di 6 sub DAS DKI Jakarta berada pada permukaan yang datar dan landai, khususnya pada wilayah tengah dan hilir. Sementara itu, sebagian permukaan dengan kondisi curam dan agak curam/bergelombang terdapat di hulu sub DAS Ciliwung (Gambar 4).

Page 103: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Penentuan Distribusi Spasial Daerah Bahaya Banjir di 6 (Enam)Sub Das Wilayah DKI Jakarta Menggunakan Data Penginderaan Jauh

73

Gambar 4. Hasil klasifikasi kemiringan lereng di 6 sub DAS di wilayah DKI

Jakarta tahun 2012

Parameter jarak dari sungai juga penting dipertimbangkan dalam menentukan tingkat bahaya terhadap luapan air sungai. Hal ini dikarenakan semakin dekat dengan sungai maka potensi terdampak oleh luapan sungai semakin tinggi sehingga potensi bahaya terhadap banjir semakin besar. Hasil klasifikasi jarak dari sungai di 6 sub DAS di wilayah DKI Jakarta disajikan pada Gambar 5.

Selain itu, di beberapa sungai di wilayah DKI Jakarta telah terjadi pendangkalan sungai akibat erosi dari hulu DAS maupun buangan sampah yang menyebabkan potensi bahaya terdampak banjir semakin tinggi. Pemanfaatan bantaran sungai sebagai permukiman juga telah meningkatkan

Page 104: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

74

potensi bahaya banjir di wilayah sekitar sungai. Dengan demikian, parameter jarak dari sungai menjadi perlu dipertimbangkan dalam penentuan distribusi daerah bahaya banjir.

Terkait dengan penentuan distribusi daerah bahaya banjir, parameter jarak dari sungai dibagi menjadi 4 kelas. Nilai skor untuk masing-masing kelas parameter ini disajikan pada Tabel 1.

Gambar 5. Hasil klasifikasi jarak dari sungai di 6 sub DAS di wilayah DKI Jakarta tahun 2012

Parameter yang penting pula dipertimbangkan dalam penentuan distribusi daerah bahaya banjir adalah bentuk lahan. Menurut Dibyosaputro (1984), daerah rawan banjir dapat diidentifikasi melalui pendekatan geomorfologi berdasarkan aspek morfogenesisnya. Secara umum, kenampakan seperti:

Page 105: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Penentuan Distribusi Spasial Daerah Bahaya Banjir di 6 (Enam)Sub Das Wilayah DKI Jakarta Menggunakan Data Penginderaan Jauh

75

teras sungai, tanggul alam, dataran banjir, rawa belakang, kipas aluvial, dan delta merupakan bentuk lahan yang rawan banjir dan mempunyai topografi yang datar. Sementara itu menurut Isnugroho (2006) dalam Pratomo (2008), ada 4 tipologi yang dikategorikan sebagai daerah rawan banjir, yakni: daerah pantai, daerah dataran banjir (floodplain area), daerah sempadan sungai, dan daerah cekungan. Daerah pantai merupakan dataran rendah yang elevasi permukaan tanahnya lebih rendah atau sama dengan elevasi air laut pasang rata-rata dan tempat bermuaranya sungai. Daerah dataran banjir adalah daerah yang berada di kanan-kiri sungai yang permukaan tanahnya landai dan relatif datar. Pada kondisi permukaan tanah tersebut aliran air menuju sungai akan sangat lambat sehingga daerah tersebut rawan terhadap banjir, baik karena luapan air sungai ataupun karena hujan lokal. Daerah dataran banjir ini umumnya terbentuk dari endapan lumpur yang subur. Dalam perkembangannya, biasanya daerah ini banyak dimanfaatkan untuk pertanian (sawah), permukiman, perkotaan, pusat kegiatan bisnis, dan sebagainya. Pengembangan pertanian dan perkotaan pada daerah dataran banjir ini akan mengurangi kemampuannya dalam menampung debit aliran permukaan yang tinggi. Sempadan sungai merupakan daerah rawan banjir. Akan tetapi, di wilayah perkotaan daerah sempadan sungai seringkali dimanfaatkan sebagai permukiman dan kegiatan usaha sehingga apabila terjadi luapan sungai akan menyebabkan bencana bagi daerah tersebut yang dapat menimbulkan kerugian harta dan jiwa. Daerah cekungan terdapat baik di dataran rendah maupun di dataran tinggi. Daerah ini berpotensi menjadi daerah rawan banjir terutama apabila penataan kawasan tidak terkendali dan sistem drainasenya kurang baik. Hasil klasifikasi bentuk lahan di wilayah 6 Sub DAS yang ada di wilayah Jakarta, wilayah yang termasuk dalam kelas dataran banjir dan aluvial berada di bagian utara wilayah Jakarta (Gambar 6). Wilayah ini merupakan daerah yang memiliki potensi bahaya banjir yang paling tinggi. Untuk kepentingan penentuan distribusi daerah bahaya banjir, parameter bentuk lahan diklasifikasi menjadi 4 kelas. Pembagian masing-masing kelas dan nilai skornya seperti yang disajikan pada Tabel 1.

Page 106: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

76

Gambar 6. Hasil klasifikasi bentuk lahan di 6 sub DAS di wilayah DKI Jakarta tahun 2012

Infiltrasi adalah aliran air ke dalam tanah melalui permukaan tanah. Menurut Morgan (2005), laju infiltrasi yang lambat akan berdampak pada peningkatan aliran permukaan. Peningkatan aliran permukaan akan meningkatkan debit sungai yang apabila meluap melebihi daya tampung sungai akan menyebabkan banjir. Meijerink (1970) mengkelaskan tingkat infiltrasi menjadi 4 kelas, yakni 1. Sangat lambat (0–1 mm/jam), 2. Lambat (1–4 mm/jam), 3. Sedang (4–8 mm/jam), dan 4. Cepat (8–12 mm/jam). Nilai skor masing-masing kelas tingkat infiltrasi disajikan pada Tabel 1.

Berdasarkan hasil klasifikasi tingkat infiltrasi di 6 sub DAS di wilayah DKI Jakarta menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah DKI Jakarta memiliki

Page 107: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Penentuan Distribusi Spasial Daerah Bahaya Banjir di 6 (Enam)Sub Das Wilayah DKI Jakarta Menggunakan Data Penginderaan Jauh

77

tingkat infiltrasi lambat hingga sangat lambat. Hal ini dikarenakan pada wilayah tersebut, sebagian besar tertutup oleh permukiman. Kondisi ini berdampak pada meningkatnya jumlah aliran permukaan yang berpotensi menggenangi wilayah tersebut (Gambar 7).

Berdasarkan parameter-parameter yang disajikan di atas dan proses skoring masing-masing parameter (Tabel 1) serta integrasi semua parameter melalui Sistem Informasi Geografis (SIG) diperoleh peta distribusi spasial bahaya banjir di 6 Sub DAS di wilayah DKI Jakarta (Gambar 8). Distribusi spasial bahaya banjir dikategorikan menjadi 4 (empat) kelas, yakni 1. aman, 2. rendah, 3. sedang, dan 4. tinggi. Sementara itu, luas masing-masing kelas bahaya banjir untuk masing-masing sub DAS disajikan pada Gambar 9.

Gambar 7. Hasil klasifikasi tingkat infiltrasi lahan di 6 sub DAS di wilayah DKI Jakarta tahun 2012

Page 108: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

78

Berdasarkan Gambar 8 tampak bahwa wilayah DKI Jakarta berada pada daerah yang terkategorikan sebagai daerah bahaya banjir sedang hingga tinggi. Khusus untuk sub DAS Ciliwung, wilayah yang termasuk bahaya banjir sedang hingga tinggi umumnya berada pada wilayah tengah dan hilir, sedangkan wilayah yang berkategori aman dan sedang berada pada wilayah hulu bagian atas. Lebih dari 99% (dari keseluruhan luas wilayah sub DAS) di wilayah sub DAS Angke/Pesanggrahan (99.52%), Kali Cakung (99.87%), Kali Buaran (99.62%), Kali Sunter (99.41%) dan Kali Krukut (99.40%) merupakan daerah kategori daerah bahaya banjir sedang hingga tinggi, kecuali sub DAS Ciliwung yang hanya 79.03% (Gambar 9). Apabila dibandingkan dengan peta daerah rawan banjir Jakarta pada bulan November 2011 yang dipublikasikan oleh BMKG (Gambar 10) tampak bahwa daerah yang teridentifikasi sebagai daerah rawan banjir seluruhnya berada di wilayah dengan kategori bahaya banjir sedang hingga tinggi. Daerah rawan banjir tersebut di Jakarta Barat berada di Cengkareng, Grogol Petamburan, Kebon Jeruk, Taman Sari, dan Kalideres. Sementara itu, wilayah rawan banjir d Jakarta Selatan berada di Cilandak, Kebayoran Baru, Mampang Prapatan, Pancoran, Pasar Minggu, Pesanggrahan, dan Tebet. Untuk wilayah Jakarta Timur terdapat di Cakung, Cipayung, Ciracas, Jatinegara, Kramat Jati, Makasar, dan Pulo Gadung. Di Jakarta Utara terdapat di Koja, Kelapa Gading, Cilincing, Pademangan, Penjaringan, dan Tanjung Priok. Di Jakarta Pusat terdapat di Cempaka Putih, Gambir, kamayoran, Menteng, Sawah Besar, Senen, dan Tanah Abang. Pada kejadian curah hujan bulan Desember 2011, status daerah rawan banjir tersebut berada pada kategori rendah (Gambar 10). Namun, pada kondisi intensitas curah hujan yang tinggi hingga ekstrem pada bulan Januari dan Februari, status daerah rawan banjir tersebut dapat meningkat menjadi menengah hingga tinggi. Sementara itu, dari hasil identifikasi yang dilakukan oleh BPBD DKI Jakarta yang dikutip oleh Harian Republika Online pada tanggal 14 November 2013 menyebutkan terdapat 62 kawasan rawan banjir di wilayah DKI Jakarta, yakni: 8 kawasan di Jakarta Timur, 17 kawasan di Jakarta Barat, 9 kawasan di Jakarta Pusat, 12 kawasan di Jakarta Selatan, dan 19 kawasan di Jakarta Utara.

Page 109: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Penentuan Distribusi Spasial Daerah Bahaya Banjir di 6 (Enam)Sub Das Wilayah DKI Jakarta Menggunakan Data Penginderaan Jauh

79

Gambar 8. Distribusi Spasial Daerah Bahaya Banjir di 6 Sub DAS di wilayah DKI Jakarta tahun 2012

Gambar 9. Luas masing-masing kelas kategori bahaya banjir di wilayah 6 sub DAS di DKI Jakarta tahun 2012

Page 110: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

80

Gambar 10. Peta daerah rawan banjir Jakarta pada bulan November 2011/BMKG (Sumber: Pangestu, 2011).

Hasil survei pada daerah kejadian banjir pada tahun 2013 dan 2014 di 86 titik lokasi di wilayah Jakarta, Bekasi, dan Tangerang yang diplotkan pada peta distribusi daerah bahaya banjir menunjukkan bahwa lokasi kejadian banjir berada pada daerah yang terpetakan termasuk kelas bahaya sedang sebanyak 5 titik (8.14%) dan kelas bahaya tinggi sebanyak 79 titik (91.86%) (Gambar 11). Hal ini memperlihatkan bahwa pemetaan daerah bahaya banjir menggunakan data inderaja yang dilakukan dalam analisis ini sangat baik dan akurat.

Page 111: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Penentuan Distribusi Spasial Daerah Bahaya Banjir di 6 (Enam)Sub Das Wilayah DKI Jakarta Menggunakan Data Penginderaan Jauh

81

Gambar 11. Hasil validasi peta distribusi daerah bahaya banjir dengan titik-titik lokasi kejadian banjir tahun 2013 dan 2014

Ada beberapa faktor yang menjadikan banjir di DKI Jakarta makin parah, antara lain: terjadinya penyempitan sungai/kali yang menyebabkan makin berkurangnya area tangkapan air (catchment area), khususnya di Jakarta Timur, Jakarta Selatan, dan Jakarta Barat. Sebagai contoh: lebar Kali Krukut yang saat ini rata-rata hanya 5 meter dari yang seharusnya 10 meter. Untuk dapat berfungsi secara normal sebagai daerah tangkapan air, minimal dibutuhkan lebar sekitar 20 meter. Penyebab penyempitan sungai antara lain: makin banyaknya bangunan permukiman di kiri kanan sungai, sampah, pendangkalan sungai akibat sedimentasi, dan sebagainya. Kondisi ini yang menjadikan kali atau sungai mudah meluap, meski intensitas curah hujan tidak terlalu tinggi. Sudah dapat dipastikan, jika luapan sungai ini akan

Page 112: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

82

menyebabkan banjir pada daerah di sekitarnya. Faktor lain adalah makin terdegradasinya hutan akibat perkembangan penduduk dan pertumbuhan wilayah perkotaan di wilayah tengah dan hulu sungai. Selain itu, secara geomorfologis Jakarta terletak pada dataran banjir (Nugroho, 2002).

Pemetaan daerah bahaya banjir menggunakan data inderaja ini penting artinya bagi upaya penanggulangan dan antisipasi dini banjir di wilayah DKI Jakarta. Integrasinya dengan hasil pemantauan dan analisis kondisi curah hujan akan sangat membantu masyarakat dalam memberikan peringatan dini akan ancaman banjir sehingga dapat mengurangi kerugian yang diakibatkannya.

4. KESIMPULAN DAN SARANPemetaan distribusi spasial daerah bahaya banjir menggunakan data inderaja memberikan hasil yang sangat baik dan akurat untuk menggambarkan kondisi bahaya banjir di wilayah 6 sub DAS yang mengalir di wilayah DKI Jakarta.

Untuk hasil yang lebih baik, penggunaan data resolusi tinggi seperti SPOT 6 untuk ekstraksi penutup/penggunaan lahan yang lebih rinci dan penggunaan data DEM yang diekstraksi dari SPOT 6 stereo sangat disarankan. Selain itu, data DEM SPOT 6 juga dapat dimanfaatkan dalam pengembangan model simulasi daerah genangan banjir.

Ucapan Terima KasihTerima kasih diucapkan kepada Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh. Paper ini merupakan bagian penelitian yang didanai oleh DIPA Pusfatja tahun anggaran 2013.

Page 113: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Penentuan Distribusi Spasial Daerah Bahaya Banjir di 6 (Enam)Sub Das Wilayah DKI Jakarta Menggunakan Data Penginderaan Jauh

83

DAFTAR PUSTAKAAlexander, D. 1997. The study of natural disasters, 1977–1997: Some

reflections on a changing field of knowledge. Disasters 21(4): 284–304.

Asriningrum, W., A.S. Hapip, H. Gunawan, I. Prasasti, A. Hidayat, Sumardjo. 1998. Analisis daerah rentan banjir Jakarta dan sekitarnya berdasarkan klasifikasi bentuk lahan dan penutup/penggunaan lahan dari citra Jers-1. Majalah LAPAN. No. 85. Th XXII April 1998.

Dibyosaputro, S. 1984. Flood Susceptibility and Hazard Survey of The Kudus Prawata Welahan Area, Central Java. Indonesia [Thesis]. ITC, Enschende, Netherlands.

Hariyadi. 1999. Penentuan Besar Limpasan Air Permukaan (Run-off) Daerah Aliran Sungai Ciliwung Menggunakan Data Spasial HEC-1 untuk Pendugaan banjir Di Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Laporan Penelitian. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Diponegoro, Semarang. P: 87. [Diakses tanggal 20 Mei 2014].

Horritt, M.S., D.C. Mason, A.J. Luckman. 2001. Flood boundary delineation from synthetic aperture radar imagery using a statistical active contour model. International Journal of Remote Sensing 22 (13): 2489–2507. [Diakses tanggal 20 Mei 2014].

Ibrahim, A. B., dan R. S. Lubis. 2007. Pengembangan Model untuk Optimalisasi Pengelolaan DAS. Prosiding Workshop Sistem Informasi Pengelolaan DAS: Inisiatif Pengembangan Infrastruktur Data, Bogor,

Meijerink, A.M.J. 1970. Photo Interpretation in Hidrology. A Geomor-phologycal Approach. UTC. Delfs.

Morgan, R.P.C. 2005. Soil Erorion and Conservation, 3rd edition. New York: John Wiley.

Nugroho, S.P. 2002. Evaluasi dan analisis curah hujan sebagai faktor penyebab bencana banjir Jakarta. Jurnal Sains dan Teknologi Modifikasi Cuaca. 3(2): 91–97. [Diakses Tanggal 25 Agustus 2014].

Page 114: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

84

Pawitan, H. 2002. Hidrologi DAS Ciliwung dan Andilnya terhadap Banjir di Jakarta. Lokakarya Pendekatan DAS dalam Menanggulangi Banjir Jakarta. 8 Mei 2002. Jakarta

Pratomo, A. J. 2008. Analisis Kerentanan Banjir Di Daerah Aliran Sungai Sengkarang Kabupaten Pekalongan Provinsi Jawa Tengah Dengan Bantuan Sistem Informasi Geografi. [Skripsi] Fakultas Geografi Universitas Muhammadiyah Surakarta. Surakarta. [Diakses tanggal 7 Juli 2014]

Trisakti B, K. Teguh, Susanto. 2008. Kajian distribusi spasial debit aliran permukaan di Daerah Aliran Sungai (DAS) berbasis data satelit penginderaan jauh. Jurnal Penginderaan Jauh dan Pengolahan Data Citra Digital, 5: 45–55. LAPAN.

Page 115: untuk Mitigasi Bencana Banjir

PENURUNAN MUKA TANAH DAN HUBUNGANNYA

DENGAN DAERAH RAWAN BANJIR DI JAKARTA

Junita Monika Pasaribu, Indah Prasasti, Parwati SofanPeneliti Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, LAPAN

E-mail: [email protected]

ABSTRAKPenurunan muka tanah telah terjadi dibeberapa lokasi di wilayah DKI Jakarta yang diduga sebagai penyebab makin meluasnya dan tinggi daerah genangan banjir. Penurunan muka tanah dapat diestimasi dengan memanfaatkan data penginderaan jauh, seperti ALOS/PALSAR (Advanced Land Observation Sattelite/Phased Array Type L-band Synthetic Aperture Radar). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengestimasi penurunan muka tanah di Jakarta dan hubungannya dengan daerah rawan banjir. Estimasi penurunan muka tanah menggunakan data ALOS/PALSAR tahun 2007–2008 dengan mengaplikasikan teknik Interferometric Synthetic Aperture Radar (InSAR), sedangkan informasi distribusi spasial daerah rawan banjir diekstraksi dari data penginderaan jauh hasil penelitian Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh untuk Penentuan Zona Bahaya dan Analisis Risiko Banjir–Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)tahun 2013. Hasil penelitian menunjukkan bahwa data ALOS/PALSAR dengan teknik InSAR dapat digunakan untuk mengestimasi penurunan muka tanah dengan cukup baik, yakni daerah Kecamatan Cakung, Kecamatan Cilincing, Kecamatan Cengkareng, dan Kecamatan Penjaringan merupakan

Page 116: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

86

daerah dengan tingkat penurunan muka tanah tertinggi dengan nilai penurunan 20–27cm. Berdasarkan peta distribusi spasial daerah rawan banjir, keempat kecamatan yang mengalami penurunan muka tanah yang paling tinggi ini berada pada kategori kelas kerawanan tinggi dan sangat tinggi. Dengan demikian, penurunan muka tanah yang terjadi diprediksi dapat meningkatkan luas area dan ketinggian genangan banjir.

Kata Kunci: ALOS/PALSAR, daerah rawan banjir, InSAR, penurunan muka tanah

ABSTRACTLand subsidence occurred in several location in Jakarta which was expected as the cause of the increasing of the extent and height of inundated area. Land subsidence can be estimated by utilize remote sensing data, such as ALOS/PALSAR (Advanced Land Observation Sattelite/Phased Array Type L-band Synthetic Aperture Radar). The purpose of this research is to estimate land subsidence in Jakarta and its relation with flood prone area. Land subsidence estimation using ALOS/PALSAR data from 2007–2008 using Interferometric Synthetic Aperture Radar (InSAR), whereas the spatial distribution information of flood prone area was extracted from remote sensing data from the research of Remote Sensing Model Development for Flood Hazard Zone Determination and Flood Risk Analysis- National Institute of Aeronautics and Space (LAPAN) 2013. Research shows that ALOS/PALSAR data with InSAR technique can be used to estimate land subsidence with good result. Kamal Muara, Cakung, Cilincing, Cengkareng, and Penjaringandistrict have highest subsidence rate around 20–27 cm. Based on spatial distribution of flood prone area, these four districtswere experienced the highest subsidenceis located on the high and highest class of flood prone. Thus, the increasing of the extent and height of inundation area is predicted caused by land subsidence.

Keywords: ALOS/PALSAR, flood prone area, InSAR, land subsidence

Page 117: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Penurunan Muka Tanah dan Hubungannyadengan Daerah Rawan Banjir di Jakarta

87

1. PENDAHULUANJakarta adalah ibukota negara dengan tingkat kepadatan penduduk yang paling tinggi di Indonesia. Berdasarkan data Biro Pusat Statistik(BPS) tahun 2010 jumlah penduduk di Jakarta mencapai 9.607.787 jiwa dengan tingkat kepadatan 14.469 jiwa/km2 (BPS, 2010). Secara geomorfologi dataran Jakarta digolongkan ke dalam dataran alluvial pantai dan sungai. Dataran ini mempunyai bentang alam datar, sungai bermeander yang sebelumnya dataran rawa, baik rawa pantai, laguna, maupun rawa belakang akibat limpasan yang melampaui tanggul alam. Dilihat dari karakteristik geologi, formasi geologi Jakarta berumur holosen, dicirikan dengan batu endapan permukaan dengan jenis batuan sedimen, batuan endapan permukaan, batuan gunung api, dan batuan intrusi. Wilayah fisiografi Jakarta terletak pada dataran rendah berupa paparan banjir yang berasal dari gunung Gede Pangrango, Salak, dan Halimun membentang mulai dari daerah Serang sampai Cirebon yang mengalami proses pelipatan (BPS, 2010).

Tingginya populasi penduduk di kota ini mengakibatkan pesatnya pembangunan area permukiman. Perkembangan kota yang sangat pesat juga terjadi untuk sektor industri, transportasi dan sektor lainnya sehingga memberikan beban yang sangat besar terhadap permukaan tanah dan penggunaan air tanah dalam skala besar. Kondisi geomorfologi dan fisiologi seperti ini, didukung dengan pesatnya pembangunan perkotaan Jakarta, secara alami akan rawan terhadap banjir dan penggenangan, disertai penurunan muka tanah. Penurunan muka tanah merupakan suatu proses gerakan permukaan tanah yang didasarkan pada suatu datum geodesi yang terdapat berbagai macam variabel penyebabnya (Marfai and King, 2007). Berdasarkan beberapa penelitian sebelumnya, penyebab penurunan muka tanah di Jakarta disebabkan oleh pengambilan air tanah secara berlebihan, kosolidasi alamiah lapisan tanah dan penurunan akibat beban bangunan (Abidin et al. 2009; Chaussard et al. 2013;Ng et al. 2012).Penurunan tanah suatu wilayah dapat dipantau dengan menggunakan beberapa metode, baik metode-metode hidrogeologi (misalnya pengamatan level muka air tanah serta pengamatan dengan ekstensometer dan piezometer), geoteknik, maupun

Page 118: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

88

metode geodetik seperti survei sipat datar (levelling), survei gayaberat mikro, survei GPS (Global Positioning System), dan InSAR (Interferometric Synthetic Aperture Radar). Umumnya penurunan muka tanah terjadi pada periode waktu yang lama dan dalam ukuran perubahan yang kecil sampai hitungan sentimeter sehingga dibutuhkan metode yang mampu memetakan perubahan permukaan sampai pada level tersebut. Oleh karena itu, teknik InSAR yang digunakan dalam pemetaan penurunan muka tanah dalam penelitian ini diharapkan mampu menghitung perubahan sampai skala kecil. Hal ini dikarenakan, InSAR merupakan teknik pencitraan yang memanfaatkan perbedaan fasa gelombang elektromagnetik untuk mendapatkan informasi tinggi di suatu daerah (Ismullah, 2004; Ferretti et al. 2007)

Penurunan muka tanah dapat diestimasi menggunakan data penginderaan jauh, seperti dengan data ALOS/PALSAR (Advanced Land Observation Sattelite/Phased Array Type L-band Synthetic Aperture Radar).ALOS/PALSAR merupakansalah satu jenis data penginderaan jauh SAR yang diluncurkan oleh JAXA (Japan Aerospace Exploration Agency) pada 24 Januari 2006 melalui roket H-IIA. Data Synthetic Aperture Radar (SAR) dipilih karena kemampuannya untuk merekam citra pada waktu siang dan malam hari serta dapat menembus awan, kabut, dan asap sehingga informasi keadaan permukaan dapat diperoleh untuk semua daerah dalam scene citra tersebut.

Tujuan penelitian ini adalah mengestimasi penurunan muka tanah dengan memanfaatkan data penginderaan jauh ALOS/PALSAR dengan menggunakan teknik InSAR dan hubungannya dengan daerah rawan banjir di Jakarta.

2. METODE PENELITIANDalam penelitian ini digunakan data ALOS/PALSAR dengan lokasi kajian daerah Jakarta. Pengolahan data menggunakan 3 citra ascending ALOS/PALSAR dari tanggal 3 Agustus 2007–2 Juni 2008 menggunakan metode InSAR. Citra tanggal 3 Agustus 2007 dijadikan sebagai acuan nilai awal kombinasi citra untuk menghitung perubahan ketinggian permukaan tanah.

Page 119: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Penurunan Muka Tanah dan Hubungannyadengan Daerah Rawan Banjir di Jakarta

89

Metode InSAR ini telah dipergunakan pada beberapa penelitian untuk pemetaan penurunan muka tanah(Abidin et al. 2009; Chaussard et al. 2013; Cigna et al. 2012; Lazecky et al. 2010) Metode InSAR dipilih karena kemampuannya menghitung perubahan ketinggian muka tanah dalam hitungan sentimeter. Mekanisme yang digunakan dalam metode ini adalah melihat perubahan pada dua citra satelit pada daerah yang sama dan pada waktu berbeda untuk mengukur perubahan yang terjadi dimana hal yang diperhatikan adalah perbedaan fasa sinyal balik (backscatter) dari dua akuisisi data. Hal yang penting diperhatikan dalam pemilihan kombinasi citra adalah kombinasi citra yang memiliki temporal baseline dan perpendicular baseline yang kecil untuk meminimalisasi dekorelasi spasial dan temporal dari interferogram kombinasi citra.

InSAR menghitung perubahan muka tanah dari total fasa perubahan permukaan yang merupakan penjumlahan dari perubahan fasatopografi ( ), baseline ( ), deformasi ( ) untuk aktivitas seismik ataupun bukan aktivitas seismik dan juga untuk aktivitas penggunaan air tanah, perubahan akibat dari efek atmosfer ( ) dan fasa noise ( ). Total perubahan tersebut dapat ditulis dengan Formula 1 sebagai berikut ini14.

Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan software SARScape11melalui beberapa tahap yakni 1. Focusing untuk mengonversi raw data ALOS/PALSAR level 1.0 menjadi Single Look Complex (SLC). Dengan demikian setiap piksel pada citra SAR menyatakan amplitudo dan fasa dari sinyal balik yang berasal dari sinyal yang dipancarkan sensor, 2. Pembentukan citra interferogram yang dihasilkan dari dua citra pada daerah perekaman yang sama namun pada waktu yang berbeda. Perbedaan fasa kedua citra dapat diperhatikan dari citra interferogram tersebut. 3. Pembentukancoherenceuntuk menentukan kualitas pengukuran. Fasa yang memiliki nilai koherensi lebih rendah dari 0.3 tidak diperhitungkan pada proses berikutnya. Pada tahap ini juga dilakukan filter data interferometri, yang menghasilkan informasi

Page 120: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

90

tematik dari objek permukaan bumi dikombinasi dengan koefisien sinyal balik. Oleh karena fasa citra interferogram adalah 2π,maka fasa perubahan menjadi sangat besar dikarenakan pengulangan nilai fasa tersebut. Dalam tahap ini dilakukan phase unwrapping untuk menghilangkan ambiguitas nilai fasa dan mendapatkan nilai fasa yang absolut. 4. Setelah dilakukan pengolahan phase unwrapping, maka dilakukankoreksi untuk memperbaiki orbit sehingga doperoleh estimasi orbit dan baseline yang lebih akurat. 5/. Konversi nilai fasamenjadi nilai ketinggian, dan dilakukan proses geocode ke dalam proyeksi peta. Secara keseluruhan tahapan pengolahan data untuk estimasi penurunan muka tanah dan hubungannya dengan daerah rawan banjir disajikan dalam Gambar 1.

Gambar 1. Bagan alir penelitian

Page 121: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Penurunan Muka Tanah dan Hubungannyadengan Daerah Rawan Banjir di Jakarta

91

Selanjutnya, dari hasil pengolahan data penurunan muka tanah tersebut dianalisis hubungannya dengan daerah rawan banjir dan dampak terhadap lingkungan. Data daerah rawan banjir ini diperoleh dari hasil pengolahan data kegiatan penelitian Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh untuk Penentuan Zona Bahaya dan Analisis Risiko Banjir-LAPAN tahun 2013. Penentuan daerah rawan banjir tersebut diperoleh dari integrasi beberapa parameter data penginderaan jauh, yaitu penutup penggunaan lahan dari data Landsat Tematik Mapper dan informasi kemiringan lereng, elevasi lahan, dan jaringan sungai dari data Digital Elevation Model Shuttle Radar Topography Mission (DEMSRTM).

3. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil estimasi penurunan muka tanah di wilayah Jakarta menggunakan data ALOS/PALSAR dengan teknik InSAR disajikan dalam Gambar 2a dan Gambar 2b. Gambar 2a memberikan gambaran penurunan muka tanah yang terjadi selama periode 3 Agustus 2007 hingga 18 September 2007, sedangkan Gambar 2b yang terjadi selama periode 3 Agustus 2007 hingga 2 Juni 2008. Nilai penurunan muka tanah yang makin tinggi ditunjukkan dengan warna makin mengarah kekuning hingga kemerahan. Berdasarkan Gambar 2 tersebut terlihat bahwa penurunan muka tanah di Jakarta dalam periode 3 Agustus 2007–2 Juni 2008yang tertinggi mencapai 27 cm, yakni yang terjadi di Kamal Muara (Gambar 2b). Daerah dengan nilai penurunan muka tanah yang tinggi terjadi di bagiantimur Jakarta yaitu daerah Cakung dengan tingkat penurunan muka tanah sebesar 24 cm. Sementara itu, penurunan muka tanah di bagian utara Jakarta,yaitu di daerah Penjaringan sebesar 20 cm dan Cilincing sebesar 23 cm dan penurunan muka tanah yang terjadi di daerah barat Jakarta yaitu Cengkareng sebesar 22 cm.

Page 122: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

92

a b

cm-27 8

Gambar 2. Distribusi spasial penurunan muka tanah yang diestimasi menggunakan ALOS/PALSAR dengan teknik InSAR di Jakarta periode a. 3 Agustus 2007–18 September 2007 dan b. 3 Agustus 2007–2 Juni 2008. Daerah yang mengalami penurunan tanah yang tinggi ditunjukkan oleh tanda panah merah.

Apabila dibandingkan dengan pertambahan nilai penurunan muka tanah yang disajikan dalam Gambar 2a, maka penurunan muka tanah dalam periode 3 Agustus 2007–18 September 2007 adalah kecil. Hal ini disebabkan oleh perbedaan waktu akuisisi data yang singkat yaitu 1 bulan dibandingkan dengan yang terjadi dalam periode 3 Agustus 2007–2 Juni 2008 yaitu sekitar 11 bulan (Gambar 2b).Jika dihubungkan dengan Gambar 3, tampak bahwa kelima daerah dengan tingkat penurunan muka tanah diatas 20 cm tersebut berada pada daerah dengan kategori tingkat kerawanan banjir yang tinggi (Penjaringan, Cengkareng, Cakung, dan Cilincing) hingga sangat tinggi (Kamal Muara).

Page 123: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Penurunan Muka Tanah dan Hubungannyadengan Daerah Rawan Banjir di Jakarta

93

Gambar 3. Distribusi spasial daerah rawan banjir di Jakarta tahun 2012Sumber : Kegiatan Penelitian Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh untuk

Penentuan Zona Bahaya dan Analisis Risiko Banjir-LAPAN tahun 2013

Informasi daerah-daerah yang mengalami penurunana muka tanah secara rinci disajikan dalam Tabel 1. Informasi ini diperoleh dari ekstraksi nilai penurunan muka tanah pada periode 3 Agustus 2007–2 Juni 2008 dan ekstraksi tingkat kerawanan banjir tahun 2012 untuk setiap kecamatan. Tingkat kerawanan banjir dominan diperoleh dengan menghitung jumlah piksel tingkat kerawanan yang paling dominan pada setiap kecamatan. Selain memperhatikan daerah yang mengalami penurunan muka tanah diatas 20 cm, daerah lain juga perlu mendapat perhatian misalnya daerah dengan nilai penurunan muka tanah dibawah 20 cm tetapi berada pada tingkat kerawanan

Page 124: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

94

banjir yang tinggi (Grogol Petamburan, Kali Deres, Pademangan, Sawah Besar, Taman Sari, Kelapa Gading, Gambir, Kemayoran, Tabora, Tanjung Priok, Menteng, dan Senen). Jika diperhatikan dari lokasinya, sebagian besar tersebut berada di DAS Ciliwung yang memiliki potensi besar untuk terjadinya banjir limpasan dari hulu sungai. Perubahan tata guna lahan kota Jakarta yang sangat pesat dengan luas permukiman yang besar merupakan salah satu penyebab terjadinya penurunan muka tanah tersebut. Konsolidasi terjadi pada lapisan tanah pada wilayah ini yang merupakan daerah sedimen disebabkan oleh beban bangunan, disamping itu wilayah ini juga mengalami kompaksi akibat ekstraksi air tanah. Kondisi penurunan muka tanah ini yang diperkirakan sebagai penyebabmakin luasnya daerah terdampak banjir dewasa ini.

Tabel 1. Estimasi penurunan muka tanah periode 3 Agustus 2007–2 Juni 2008 dan tingkat kerawanan tahun 2012 untuk masing-masing kecamatan

No. Kecamatan Nilai Maksimum Penurunan Muka Tanah (cm)

Tingkat Kerawanan Banjir Dominan

1 Penjaringan 27 Tinggi2 Cakung 24 Tinggi3 Cilincing 23 Tinggi4 Cengkareng 22 Tinggi5 Grogol Petamburan 15 Tinggi6 Kali Deres 15 Tinggi7 Pademangan 13 Tinggi8 Kembangan 13 Sedang9 Tanah Abang 12 Sedang

10 Sawah Besar 11 Tinggi11 Makasar 11 Rendah12 Taman Sari 11 Tinggi13 Kebon Jeruk 9 Sedang

Page 125: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Penurunan Muka Tanah dan Hubungannyadengan Daerah Rawan Banjir di Jakarta

95

No. Kecamatan Nilai Maksimum Penurunan Muka Tanah (cm)

Tingkat Kerawanan Banjir Dominan

14 Setia Budi 9 Sedang15 Cipayung 9 Rendah16 Pesanggrahan 9 Sedang17 Kebayoran Baru 9 Sedang18 Kelapa Gading 8 Tinggi19 Gambir 8 Tinggi20 Mampang Prapatan 8 Sedang21 Kemayoran 7 Tinggi24 Tambora 6 Tinggi25 Kebayoran Lama 6 Sedang26 Tanjung Priok 6 Tinggi27 Palmerah 6 Sedang28 Menteng 5 Tinggi30 Pasar Minggu 5 Sedang31 Cilandak 4 Sedang32 Tebet 4 Sedang33 Senen 4 Tinggi34 Pancoran 3 Sedang

Secara umum daerah Jakarta merupakan daerah padat penduduk dan industri, laju infiltrasi yang sangat rendah disebabkan kurangnya daerah resapan air dan lapisan tanah yang telah mengalami kompaksi, dan sistem drainase yang buruk juga menyebabkan semakin luasnya daerah dan tingginya genangan banjir. Perlu diketahui juga bahwa wilayah pesisir pantai Jakarta yang relatif sangat dipengaruhi oleh kondisi pasang surut air laut yang sering menyebabkan terjadinya banjir rob. Di sisi lain, adanya fenomena kenaikan muka air laut juga turut memperburuk situasi. Kondisi ini telah

Tabel 1. Estimasi penurunan muka tanah periode 3 Agustus 2007–2 Juni 2008 dan tingkat kerawanan tahun 2012 untuk masing-masing kecamatan (lanjutan)

Page 126: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

96

menyebabkan wilayah tergenang banjir makin luas, ketinggian genangan makin tinggi, dan durasi genangan makin lama. Tinggi muka air laut dalam skala regional saat ini meningkat sebesar 1.5–4.4 mm/tahun(Mimura dan Yoki, 2004), dan kemungkinan akan meningkat dua kali lipat dalam 1–2 dekade ke depan (IPCC, 2007).

Beberapa penelitian penurunan muka tanah di daerah DKI Jakarta dengan menggunakan teknik interferometri telah dilakukan sebelumnya dan memberikan hasil yang baik. Pemetaan penurunan muka tanah di Jakarta oleh Abidin dengan menggunakan teknik InSAR pada untuk data ALOS/PALSAR periode 2006–2007 menunjukkan bahwa penurunan muka tanah memiliki variasi nilai baik secara spasial maupun temporal. Namun diperoleh rata-rata penurunan muka tanah secara umum adalah sebesar 1–15 cm/tahun dan pada beberapa daerah penurunan muka tanah mencapai 20 cm/tahun. Hasil pengamatan tersebut telah divalidasi dengan data yang diperoleh dari survei leveling dan GPS. Disimpulkan dalam penelitiannya bahwa penurunan muka tanah tersebut disebabkan oleh ekstraksi air tanah pada lapisan akifer menengah dan lapisan akifer dalam, beban bangunan, dan konsolidasi lapisan tanah sedimen secara alami (Abidin et al. 2009)

Chaussard juga melakukan penelitian untuk pemetaan penurunan muka tanah dengan teknik InSAR terhadap citra time-series menggunakan 900 citra ALOS PALSAR tahun 2007–2008 untuk memetakan penurunan muka tanah di beberapa wilayah bagian barat Indonesia yaitu Sumatera, Jawa, dan Bali.Hasil yang diperoleh untuk penurunan muka tanah di Jakarta mencapai 21.8 cm/tahun. Dalam penelitian ini disimpulkan bahwa penurunan muka tanah ini disebabkan oleh beban bangunan dan ekstraksi air tanah secara intensif (Chaussard et al. 2013). Selain itu penelitian penurunan muka tanah lainnya untuk daerah Jakarta oleh Ng et al. dengan mengaplikasikan teknik Persistent Scatterer Interferometric Synthetic Aperture Radar (PSInSAR) terhadap 17 citra ALOS/PALSAR periode 2007–2010, diperoleh variasi nilai penurunan muka tanah sebesar 29.6 mm/tahun. Hasil pengolahan telah divalidasi dengan menggunakan data lapangan GPS dan hasilnya memiliki korelasi yang baik.

Page 127: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Penurunan Muka Tanah dan Hubungannyadengan Daerah Rawan Banjir di Jakarta

97

Penelitian serupa juga telah dilakukan untuk memetakan penurunan muka tanah daerah Semarang dengan mengaplikasikan teknik InSAR menggunakan 22 citra ascending ALOS/PALSAR dari Januari 2007–Januari 2009. Rata-rata penurunan muka tanah di wilayah Semarang adalah sebesar 8 cm/tahun, dan hasil penelitian tersebut memiliki konsistensi antara hasil pengolahan data dan hasil pengukuran lapangan. Berdasarkan hasil observasi penurunan muka tanah tersebut disebabkan oleh penggunakan air tanah secara intensif untuk keperluan industri, permukiman, dan pertanian. Kota Semarang yang berada pada daerah pantai memiliki kompresibilitas tanah yang tinggi (lempung dan pasir Holocene dengan ketebalan 80 m) turut memperburuk penurunan muka tanah (Lubis et al. 2011). Dampak dari penurunan muka tanah tersebut mengakibatkan semakin luasnya genangan banjir akibat pasang air laut (Abidin et al. 2010)

Jika membandingkan hasil pengolahan data dengan menggunakan ALOS/PALSAR pada periode 2007–2008 dengan nilai maksimum estimasi penurunan muka tanah sebesar 27 cm dengan penelitian lainnya dengan menggunakan data dan teknik yang sama memiliki kisaran nilai yang tidak jauh berbeda. Dapat disimpulkan bahwa pemanfaatan data ALOS/PALSAR dengan menggunakan teknik InSAR memiliki potensi yang baik dalam melakukan estimasi penurunan muka tanah. Jika dibandingkan dengan penurunan muka tanah yang terjadi di Semarang ditinjau dari kondisi lingkungannya memiliki kondisi yang sama, yaitu berada pada lapisan tanah sedimen yang mengalami konsolidasi akibat perkembangan kota yang pesat dan penggunaan air tanah secara intensif untuk berbagai keperluan menjadi pemicu terjadinya penurunan muka tanah. Lokasi-lokasi dengan keadaan yang sama perlu mendapat perhatian untuk antasipasi semakin meluasnya penurunan muka tanah dan yang akan memicu semakin luasnya daerah rawan banjir.

Integrasi hasil penelitian ini dengan hasil pemetaan daerah rawan banjir diharapkan dapat membuktikan semakin luasnya daerah terdampak banjir yang terjadi di wilayah Jakarta dewasa ini.

Page 128: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

98

4. KESIMPULANData ALOS/PALSAR dengan teknik InSAR cukup baik digunakan untuk estimasi penurunan muka tanah sehingga menjadi alternatif yang baik untuk dikembangkan lebih lanjut. Tingginya penurunan muka tanah di sebagian besar daerah Jakarta Utara yang memiliki tingkat kerawanan banjir yang tinggi dan sangat tinggi akan semakin meningkatkan peluang terjadinya banjir dengan semakin dalam dan luasnya permukaan tanah yang rendah. Akan tetapi, lokasi lainnya juga perlu mendapat perhatian karena sekitar 37% daerah Jakarta merupakan daerah dengan tingkat kerawanan banjir yang tinggi dan sangat tinggi sehingga perlu dilakukan antisipasi untuk memperkecil peluang terjadinya banjir di daerah yang mengalami penurunan muka tanah. Namun daerah dengan tingkat kerawanan banjir yang rendah dan sedang yang berada di bantaran sungai perlu diperhatikan karena adanya peluang banjir dari limpasan sungai.

Ucapan Terima KasihPenulis mengucapkan terima kasih kepada LAPAN atas fasilitas yang diberikan dalam penyediaan data penelitian ini, dan tim Penelitian Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh untuk Penentuan Zona Bahaya dan Analisis Risiko Banjir-LAPAN tahun 2013. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Prof. Rochadi Abdulhadi atas bimbingannya dalam penyusunan karya tulis ilmiah ini.

DAFTAR PUSTAKAAbidin, H.Z., H. Andreas, I. Gumilar, M. Gamal, Y. Fukuda, and T.

Deguchi. 2009. Land subsidence and urban development in Jakarta (Indonesia).TS 6F – Mapping, Aerial Survey and Remote Sensing I.

Abidin, H. Z., H. Andreas, I. Gumilar, T. P. Sidiq, M. Gamal, D. Murdohardono, Supriyadi, and Y. Fukuda.2010. Studying land subsidence in Semarang (Indonesia) using geodetic methods. FIG Congress, Australia.

Page 129: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Penurunan Muka Tanah dan Hubungannyadengan Daerah Rawan Banjir di Jakarta

99

Chaussard, E., F. Amelung, H. Abidin, and S.H. Hong. 2013. sinking cities in Indonesia: ALOS PALSAR detects rapid subsidence due to groundwater and gas extraction. Remote Sensing of Environment 128:150–161.

Cigna F., B. Osmanoğlu, E. Cabral-Cano, T. H. Dixon, J. A. Avila-Olivera, V. H. Garduño-Monroy, C. DeMet, S. Wdowinski. 2012. Monitoring land subsidence and its induced geological hazard with synthetic aperture radar interferometry: A case study in Morelia, Mexico. Remote Sensing of Environment, 117:146–161.

Ferretti A., A. M. Guarnieri, C. Prati, and F. Rocca.2007. InSAR Principles: Guidelines for SAR Interferometry Processing and Interpretation.European Space Agency.

Gambaran Umum Wilayah Jakarta (http://ppejawa.com/12_dki_jakarta.html, diakses 30 November 2014).

IPCC.2007. IPCC: Synthesis report. Contribution of working groups I - Fourth assessment report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Cambridge. UK: Cambridge Univ Press.

Ismullah, I. H. 2004. Pengolahan fasa untuk mendapatkan Model Tinggi Permukaan Dijital (DEM) pada Radar Apertur Sintetik Interferometri (InSAR) data satelit. PROC. ITB Sains & Tek, 36A(1):11–32.

Jumlah penduduk Provinsi DKI Jakarta per Kab/Kota tahun 2010 (http://jakarta.bps.go.id/index.php?bWVudT0yMzA0JnBhZ2U9ZGF0YSZzdWI9MDQmaWQ9MTE=, diakses 30 November 2014)

Lazecky, M., E. Jirankova, and D. Bohmova. 2010. Usage of InSAR techniques to detect and monitor terrain subsidence due to mining activities, Geoscience Engineering, LVI(4):32–49. ISSN 1802-5420.

Lubis, A. M., T. Sato, N. Tomiyama, N. Isezaki, and T. Yamanokuchi. 2011. Ground subsidence in Semarang-Indonesia investigated by ALOS-PALSAR satellite SAR interferometry. Journal of Asian Earth Sciences, 40:1079–1088.

Page 130: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

100

Marfai, M.A and L. King. 2007. Monitoring land subsidence in Semarang, Indonesia. Springer Journal of Environmental Geology, 53:651–659.

Mimura, N., and H. Yokoki. 2004. Sea Level Changes and Vulnerability of The Coastal Region of East Asia in Response to Global Warming. SCOPE/START Monsoon Asia Rapid Assessment Report.

Ng, A. H., L. Ge, X. Li, H. Z. Abidin, H. Andreas, K. Zhang. 2012. Mapping land subsidence in Jakarta, Indonesia using persistent scatterer interferometry (PSI) technique with ALOS PALSAR. International Journal of Applied Earth Observation and Geoinformation, 18:232–242.

SARScape Software, http://www.sarmap.ch

Page 131: untuk Mitigasi Bencana Banjir

PEMANFAATAN DATA LANDSAT MULTITEMPORAL

UNTUK ZONASI DAERAH RAWAN BANJIR DI

JAKARTA MENGGUNAKAN PENDEKATAN

GEOMORFOLOGI

Suwarsono, M. Priyatna, Kusumaning Ayu DS,Wikanti Asriningrum

Peneliti Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, LAPANE-mail: [email protected]; [email protected]

ABSTRAKBanjir merupakan fenomena “rutin” yang terjadi di Jakarta pada musim hujan dan menjadi permasalahan sangat serius yang menganggu jalannya aktivitas penduduk. Banjir di Jakarta merupakan permasalahan yang cukup pelik dan memerlukan upaya yang komprehensif dalam pengelolaannya dengan melibatkan berbagai aspek. Zonasi daerah rawan banjir perlu dilakukan guna memberikan informasi wilayah-wilayah mana yang berpotensi terkena banjir. Informasi ini sangat diperlukan sebagai salah satu masukan dalam pengelolaan banjir Jakarta. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan zonasi daerah rawan banjir di Jakarta menggunakan data citra penginderaan jauh multitemporal dengan pendekatan geomorfologi. Dalam kajian ini dipergunakan seri data Landsat multitemporal tahun 1970-an, 1980-an,

Page 132: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

102

1990-an, 2000-an, dan 2010-an. Hasil kajian menunjukkan bahwa daerah-daerah yang sering terlanda banjir pada saat ini merupakan daerah-daerah yang pada masa sebelumnya merupakan daerah yang secara geomorfologi sering tergenang air, seperti dataran banjir, rawa belakang, dataran aluvial pantai, maupun daerah antar beting gisik.

Kata Kunci: banjir, geomorfologi, Jakarta, Landsat,

ABSTRACTFloods is a “routine” phenomenon that occurs in Jakarta in the rainy season and become very serious problems that disrupt the course of people’s activities. Floods in Jakarta is a problem that is quite complicated and requires a comprehensive approach in its management by involving various aspects. The zonation of flood prone areas need to be done in order to provide information which areas are potentially affected by the floods. This information is needed as one of the main input in the management of Jakarta’s flood. This study aims to do zonation of the flood prone areas in Jakarta using multitemporal remote sensing image data with geomorphological approach. In this study used multitemporal Landsat data series in the 1970s, 1980s, 1990s, 2000s, and 2010s. The results showed that the areas that are often flooded at this time are areas that in the past are geomorphologically often flooded, such as flood plains, backswamps, coastal alluvial plain, and swales .

Keywords: floods, geomorphology, Jakarta, Landsat

1. PENDAHULUANBanjir merupakan fenomena “rutin” yang terjadi di Jakarta pada musim hujan dan menjadi permasalahan sangat serius yang menganggu jalannya aktivitas penduduk. Pada dua dasawarsa terakhir ini, puncak banjir di Jakarta terjadi pada sekitar bulan Januari-Maret. Banjir di Jakarta merupakan permasalahan yang cukup pelik dan memerlukan upaya yang terpadu dan komprehensif dalam pengelolaannya dengan melibatkan berbagai aspek.

Page 133: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Pemanfaatan Data Landsat Multitemporal untukZonasi Daerah Rawan Banjir di Jakarta Menggunakan Pendekatan Geomorfologi

103

Pengelolaan banjir terpadu adalah proses keterpaduan pengelolaan banjir melalui pendekatan pengelolaan tanah dan sumberdaya air, daerah pantai pesisir, dan pengelolaan daerah bencana pada suatu DAS dengan tujuan memaksimumkan keuntungan daerah bantaran banjir dan meminimumkan kehilangan nyawa dan kerusakan harta benda dari banjir (Green et al., 2004). Menurut Richard (1955), banjir dapat diartikan ke dalam dua pengertian, yaitu 1) meluapnya air sungai yang disebabkan oleh debit sungai yang melebihi daya tampung sungai pada keadaan curah hujan tinggi, dan 2) genangan pada daerah dataran rendah yang datar yang biasanya tidak tergenang (Richard, 1955). Banjir merupakan suatu kondisi di suatu wilayah di mana terjadi peningkatan jumlah air yang tidak tertampung pada saluran-saluran air atau tempat-tempat penampungan air sehingga meluap dan menggenangi daerah di luar saluran, lembah sungai, ataupun penampungan air tersebut (Sudaryoko, 1987). Faktor penyebab banjir dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam serta persoalan banjir yang disebabkan oleh aktivitas penduduk (Sutopo, 1999). Pengelolaan banjir secara terpadu memerlukan informasi daerah rawan banjir yang mampu memberikan gambaran wilayah-wilayah mana saja yang berpotensi terkena banjir. Dalam memetakan wilayah rawan banjir tersebut, data penginderaan jauh memainkan peranan penting. Penelitian ini ditujukan untuk melakukan zonasi daerah rawan banjir di Jakarta menggunakan data citra penginderaan jauh. Pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan geomorfologi. Dalam pendekatan ini, daerah rawan banjir diketahui berdasarkan tipe dan karakteristik dari bentuk lahan penyusunnya. Penelitian sebelumnya terkait pemanfaatan data Landsat untuk identifikasi bentuk lahan di Jakarta dan sekitarnya oleh peneliti LAPAN pernah dilakukan oleh Asriningrum (2002). Kebaruan dari penelitian ini adalah penggunaan data penginderaan jauh multitemporal dengan rentang sekitar 40 tahun dalam memahami daerah-daerah mana saja yang berpotensi banjir.

Page 134: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

104

2. METODOLOGI

DataData citra yang dipergunakan adalah Landsat multitemporal tahun 1970-an, 1980-an, 1990-an, 2000-an, dan 2010-an. Seri data Landsat yang dipergunakan tersebut meliputi Landsat-1 MSS, Landsat-2 MSS, Landsat-3 MSS, Landsat-5 TM, Landsat-7 ETM+, dan Landsat-8 OLI. Tabel 1 berikut menyajikan seri data citra Landsat yang dipergunakan dalam penelitian ini.

Tabel 1. Seri data Landsat yang dipergunakan

Seri Data Landsat Tanggal AkusisiLandsat-1 MSS 21 Agustus 1973Landsat-2 MSS 29 Juni 1978Landsat-3 MSS 13 Agustus 1978Landsat-3 MSS 28 Agustus 1982Landsat-5 TM 25 Juli 1996Landsat-5 TM 14 September 1997Landsat-5 TM 19 Juni 2006Landsat-5 TM 7 September 2006

Landsat-7 ETM+ 17 September 2001Landsat-8 OLI 13 September 2014

Landsat-1, 2, dan 3 disamping membawa sensor RBV juga membawa sensor Multispectral Scanner (MSS) yang merekam panjang gelombang visibel (merah dan hijau) dan inframerah dekat. Landsat-1 diluncurkan pada 23 Juli 1972. Disusul kemudian oleh Landsat-2 yang diluncurkan pada 22 Januari 1975. Landsat-3 sendiri diluncurkan pada 5 Maret 1978. Sensor MSS terdiri dari empat band, masing-masing band 4 (hijau: 0.5–0.6 µm), band 5 (merah: 0.6–0.7 µm), band 6 (inframerah dekat: 0.7–0.8 µm), dan band 7 (hijau: 0.8–1.6 µm). Pada Landsat-3 disertakan juga band 8 (thermal: 10.4–12.6 µm). Resolusi spasial data MSS adalah 60 meter. Landsat-5 diluncurkan pada 1 Maret 1984. Landsat-5 membawa sensor Thematic Mapper (TM),

Page 135: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Pemanfaatan Data Landsat Multitemporal untukZonasi Daerah Rawan Banjir di Jakarta Menggunakan Pendekatan Geomorfologi

105

disamping sensor MSS. Sensor TM membawa 7 band, masing-masing band 1 biru (0.45–0.52 µm) 30 m, band 2 hijau (0.52–0.60 µm) 30 m, band 3 merah (0.63–0.69 µm) 30 m, band 4 Near-Infrared (0.76–0.90 µm) 30 m, band 5 Near-Infrared (1.55–1.75 µm) 30 m, band 6 Thermal (10.40–12.50 µm) 120 m, dan band 7 Mid-Infrared (2.08–2.35 µm) 30 m. Landsat-7 ETM+ membawa sensor ETM+ diluncurkan pada 15 April 1999 masing-masing band 1 biru (0.45–0.52 µm) 30 m, band 2 hijau (0.52–0.60 µm) 30 m, band 3 merah (0.63–0.69 µm) 30 m, band 4 Near-Infrared (0.77–0.90 µm) 30 m, band 5 Near-Infrared (1.55–1.75 µm) 30 m, band 6 Thermal (10.40–12.50 µm) 60 m Low Gain/High Gain, band 7 Mid-Infrared (2.08–2.35 µm) 30 m, dan band 8 Panchromatic (PAN) (0.52–0.90 µm) 15 m. Landsat-8 sebagai generasi terkini seri Landsat membawa sensor OLI (Operational Land Imager) dan TIRS (Thermal Infrared Sensor). Sensor OLI terdiri dari 9 band, yaitu: band 1 biru (0.43–0.45 µm) 30 m, band 2 biru (0.450–0.51 µm) 30 m, band 3 hijau (0.53–0.59 µm) 30 m, band 4 Near-Infrared (0.64–0.67 µm) 30 m, band 5 Near-Infrared (0.85–0.88 µm) 30 m, band 6 SWIR 1(1.57–1.65 µm) 30 m, band 7 SWIR 2 (2.11–2.29 µm) 30 m, band 8 Panchromatic (PAN) (0.50–0.68 µm) 15 m, dan band 9/Cirrus band (1.36–1.38 µm) 30 m. Sensor TIRS terdiri dari 2 band thermal, yaitu band 10 TIRS 1 (10.6–11.19 µm) 100 m, dan band 11 TIRS 2 (11.5–12.51 µm) 100 m.

Sebagai pendukung dipergunakan data DEM SRTM resolusi 30 meter dan Peta Batas Administrasi dari BIG tahun 2008. Data DEM SRTM dipergunakan untuk memperkuat kesan topografi, sedangkan data Peta Batas Administrasi dari BIG tahun 2008 dipergunakan sebagai peta acuan.

Metode Pengolahan dan Interpretasi CitraPengolahan citra meliputi fusi kanal, pembuatan citra komposit warna, dan penajaman citra. Untuk data Landsat MSS dibuat komposit RGB 765 dan 754. Landsat TM dan ETM+ dibuat komposit RGB 543 dan 453, untuk Landsat OLI dibuat komposit 654 dan 564. Penajaman citra dilakukan

Page 136: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

106

dengan teknik perentangan kontras secara linier (linear contrast stretching) dengan nilai default 1%.

Interpretasi geomorfologi dilakukan secara visual dengan mempergunakan mulai dari data citra Landsat-1 yang kemudian dikomparasikan dengan data seri Landsat dengan tanggal lebih baru. Interpretasi visual dilakukan berdasarkan kunci-kunci interpretasi, terutama warna, bentuk, pola, ukuran, letak, dan asosiasi.

Interpretasi land cover dilakukan khusus untuk wilayah lahan terbangun pada kondisi terkini. Untuk pemisahan lahan terbangun dari jenis penutup lahan lainnya dipergunakan parameter NDBI (Normalized Difference Build-up Index) dari data Landsat-8. Untuk membuat citra NDBI dari data Landsat-8 dilakukan dengan menggunakan persamaan sebagai berikut (modifikasi dari Zha et al. 2003):

Pengolahan citra meliputi fusi kanal, pembuatan citra komposit warna, dan penajaman citra. Untuk data Landsat MSS dibuat komposit RGB 765 dan 754. Landsat TM dan ETM+ dibuat komposit RGB 543 dan 453, dan untuk Landsat OLI dibuat komposit 654 dan 564. Penajaman citra dilakukan dengan teknik perentangan kontras secara linier (linear contrast stretching) dengan nilai default 1%. Interpretasi geomorfologi dilakukan secara visual dengan mempergunakan mulai dari data citra Landsat-1 yang kemudian dikomparasikan dengan data seri Landsat dengan tanggal lebih baru. Interpretasi visual dilakukan berdasarkan kunci-kunci interpretasi, terutama warna, bentuk, pola, ukuran, letak, dan asosiasi. Interpretasi landcover dilakukan khusus untuk wilayah lahan terbangun pada kondisi terkini. Untuk pemisahan lahan terbangun dari jenis penutup lahan lainnya dipergunakan parameter NDBI (Normalized Difference Build-up Index) dari data Landsat-8. Untuk membuat citra NDBI dari data Landsat-8 dilakukan dengan menggunakan persamaan sebagai berikut (modifikasi dari Zha et al. 2003):

NDBI = b6 – b5

b6 + b5

........................ (1)

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Seri data Landsat mampu memperlihatkan dinamika permukaan lahan di Jakarta dari tahun 1973 hingga 2014 (Gambar 1). Dari aspek penutup lahan, tampak peningkatan luas wilayah lahan terbangun, terutama permukiman. Sedangkan dari aspek bentuk lahan, terlihat perubahan bentuklahan di wilayah pesisir (bentuklahan marin). Hasil interpretasi dari citra, secara umum tipe-tipe bentuklahan di daerah Jakarta, dari pantai ke arah daratan meliputi:

Dataran aluvial pantai (Fluvio-marin plain), Beting gisik (Beach ridge) Daerah antar beting gisik (Swale), Rawa belakang (Backswamp), Dataran banjir (Floodplain), Dataran aluvial (Alluvial plain), Kipas aluvial (Alluvial fan), Saluran sungai (River course).

Proses geomorfologi yang dominan mempengaruhi daerah Jakarta adalah proses fluvial dan proses marin. Proses

marin dominan berpengaruh di wilayah Utara (pesisir), sedangkan proses fluvial dominan berpengaruh di wilayah tengah dan Selatan.

Pada citra Landsat-1 MSS RGB 754, dataran aluvial pantai berwarna abu-abu gelap (menunjukkan adanya kandungan air) dan berdekatan atau berbatasan dengan laut. Relief datar dan luas. Bentukla rentan tergenang air dan termasuk zona rawan banjir kategori tinggi (Gambar 2). Berasosiasi dengan dataran banjir, di wilayah pesisir Jakarta pada tahun 1973 masih dijumpai adanya kompleks bentuklahan beting gisik (beach ridge) dan daerah antar beting gisik (swale). Beting gisik berbentuk punggungan (berbentuk cembung) memanjang, berwarna kemerahan-terang (mengindikasikan vegetasi dan drainase yang baik). Sedangkan swale berbentuk cekungan-dangkal memanjang dan berwarna abu-abu gelap (indikasi air atau drainase yang buruk), terletak di antara (diapit) beach ridge. Secara geomorfologi, swale rentang tergenang air dan termasuk zona rawan banjir kategori tinggi, sedangkan beting gisik jarang/tidak pernah tergenang air dan termasuk zona tidak rawan banjir (Gambar 3).

Dimana b6 dan b5 berturut-turut adalah digital number kanal 6 dan kanal 5 Landsat-8 OLI.

3. HASIL DAN PEMBAHASANSeri data Landsat mampu memperlihatkan dinamika permukaan lahan di Jakarta dari tahun 1973 hingga 2014 (Gambar 1). Dari aspek penutup lahan, tampak peningkatan luas wilayah lahan terbangun, terutama permukiman. Sedangkan dari aspek bentuk lahan, terlihat perubahan bentuk lahan di wilayah pesisir (bentuk lahan marin).

Hasil interpretasi dari citra, secara umum tipe-tipe bentuk lahan di daerah Jakarta, dari pantai ke arah daratan meliputi:

Dataran aluvial pantai (• Fluvio-marin plain),

Beting gisik (• Beach ridge)

Daerah antar beting gisik (• Swale),

Page 137: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Pemanfaatan Data Landsat Multitemporal untukZonasi Daerah Rawan Banjir di Jakarta Menggunakan Pendekatan Geomorfologi

107

Rawa belakang (• Backswamp),

Dataran banjir (• Floodplain),

Dataran aluvial (• Alluvial plain),

Kipas aluvial (• Alluvial fan),

Saluran sungai (• River course).

Proses geomorfologi yang dominan mempengaruhi daerah Jakarta adalah proses fluvial dan proses marin. Proses marin dominan berpengaruh di wilayah utara (pesisir), sedangkan proses fluvial dominan berpengaruh di wilayah tengah dan selatan.

Pada citra Landsat-1 MSS RGB 754, dataran aluvial pantai berwarna abu-abu gelap (menunjukkan adanya kandungan air) dan berdekatan atau berbatasan dengan laut. Relief datar dan luas. Bentuk lahan ini rentan tergenang air dan termasuk zona rawan banjir kategori tinggi (Gambar 2). Berasosiasi dengan dataran banjir, di wilayah pesisir Jakarta pada tahun 1973 masih dijumpai adanya kompleks bentuk lahan beting gisik (beach ridge) dan daerah antar beting gisik (swale). Beting gisik berbentuk punggungan (berbentuk cembung) memanjang, berwarna kemerahan-terang (mengindikasikan vegetasi dan drainase yang baik). Sedangkan swale berbentuk cekungan-dangkal memanjang dan berwarna abu-abu gelap (indikasi air atau drainase yang buruk), terletak di antara (diapit) beach ridge. Secara geomorfologi, swale rentang tergenang air dan termasuk zona rawan banjir kategori tinggi, sedangkan beting gisik jarang/tidak pernah tergenang air dan termasuk zona tidak rawan banjir (Gambar 3).

Tipe bentuk lahan lainnya di Jakarta yang rentang tergenang air dan termasuk zona rawan banjir kategori tinggi adalah dataran banjir (flood plain) dan rawa belakang (backswamp). Dataran aluvial (alluvial plain) yang sebarannya di Jakarta cukup luas masuk kategori sedang. Sedangkan kipas alluvial (alluvial fan) jarang/tidak pernah tergenang air dan termasuk zona tidak rawan banjir. Bentuk lahan yang cukup unik di Jakarta adalah wilayah sempadan sungai (river course) yang pada tahun 1973 banyak dimanfaatkan

Page 138: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

108

untuk lahan sawah, di tahun 2014 sudah banyak berubah menjadi lahan permukiman. Bentuk 10 lahan tersebut pada periode banyak air (musim hujan) akan banyak yang tergenang air (rawan banjir), namun pada musim kemarau, air cenderung berkurang dan menyusut.

Landsat-1 MSS / 21 Agustus 1973 Landsat-2 MSS / 26 Juni 1978

Landsat-3 MSS / 28 Agustus 1982 Landsat-5 TM / 14 September 1997

Landsat-3 MSS / 28 Agustus 1982 Landsat-5 TM / 14 September 1997

Page 139: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Pemanfaatan Data Landsat Multitemporal untukZonasi Daerah Rawan Banjir di Jakarta Menggunakan Pendekatan Geomorfologi

109

Landsat-7 ETM+ / 14 September 2001 Landsat-8 OLI / 13 September 2014

Gambar 1. Dinamika permukaan lahan di Jakarta dari 1973 hingga 2014 dari seri data Landsat

Tabel 2. Bentuk lahan penyusun daerah Jakarta dan pengenalannya dari citra Landsat-1 MSS

BENTUKLAHAN KUNCI INTERPRETASI ZONA BANJIRFluvio-marin plain Warna gelap, dekat/berbatasan

dengan lautTinggi

Beach ridge Warna merah, bentuk memanjang searah garis pantai.

Rendah

Swale Warna gelap, bentuk memanjang searah garis pantai, berasosiasi dengan beach ridge

Tinggi

Backswamp Warna gelap, bentuk membulat, berasosiasi dengan beach ridge

Tinggi

Floodplain Warna gelap, bentuk membulat panjang, dekat sungai, berasosiasi dengan sungai

Tinggi

Alluvial plain Warna merah-terang, bentuk membulat panjang, berasosiasi, relief datar

Sedang

Page 140: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

110

BENTUKLAHAN KUNCI INTERPRETASI ZONA BANJIRAlluvial fan Warna merah-terang, bentuk

membulat panjang, seperti kipas.Rendah

River course Warna abu-abu gelap, pola sungai TinggiKeterangan: Warna pada citra Landsat-1 MSS RGB 754

a

b

c

Tahun 1973 Tahun 2014

Gambar 2. Bentuk lahan dataran aluvial pantai (a), beting gisik (b), dan daerah antara beting gisik (c)

d

e

Tahun 1973 Tahun 2014

Gambar 3. Bentuklahan rawa belakang (d) dan dataran aluvial (e)

Tabel 2. Bentuklahan penyusun daerah Jakarta dan pengenalannya dari citra Landsat-1 MSS (lanjutan)

Page 141: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Pemanfaatan Data Landsat Multitemporal untukZonasi Daerah Rawan Banjir di Jakarta Menggunakan Pendekatan Geomorfologi

111

f

g

Tahun 1973 Tahun 2014

Gambar 4. Bentuk lahan kipas aluvial (f) dan saluran sungai (g)

Berdasarkan seri data Landsat dari tahun 1973 hingga 2014, tampak konversi lahan secara besar-besaran menjadi lahan terbangun. Lahan terbangun di tahun 2014 ini banyak yang menempati daerah yang sebelumnya merupakan bentuk lahan yang masuk zona rawan banjir dataran alluvial pantai, daerah antara beting gisik, dataran banjir, rawa belakang, daerah sempadan sungai (Gambar 5).

a

b

c

Tahun 1973 Sebaran permukiman tahun 2014

Gambar 5. Sebaran permukiman (coklat kemerahan) dikompilasi dengan data daerah rawan banjir dataran aluvial pantai (a), beting gisik (b), dan daerah antara beting gisik (c).

4. KESIMPULANData Landsat multitemporal dapat dipergunakan untuk menyusun zonasi daerah rawan banjir di Jakarta. Data Landsat MSS mampu memperlihatkan kondisi geomorfologi daerah Jakarta yang memberikan gambaran daerah-

Page 142: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

112

daerah mana saja yang pada “masa lalu” rawan terkena banjir. Penelitian ini telah memberikan pemahaman bahwa daerah-daerah yang sering terlanda banjir pada saat ini merupakan daerah-daerah yang pada masa sebelumnya merupakan daerah yang secara geomorfologi sering tergenang air, seperti dataran banjir, rawa belakang, dataran aluvial pantai, maupun daerah antar beting gisik.

Ucapan Terima KasihTerima kasih diucapkan kepada Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh-LAPAN.

DAFTAR PUSTAKAAbidin, H.Z., H. Andreas, I. Gumilar, M. Gamal, Y. Fukuda, and T. Deguchi.

2009. Land Subsidence and Urban Development in Jakarta (Indonesia).TS 6F – Mapping, Aerial Survey and Remote Sensing I.

Asriningrum, W., 2002. Studi Kemampuan Landsat ETM+ untuk Identifikasi Bentuk lahan (Landforms) di daerah Jakarta-Bogor [Tesis]. Program Pasca Sarjana IPB, Bogor.

Asriningrum, W., A.S. Hapip, H. Gunawan, I. Prasasti, A. Hidayat, Sumardjo. 1998. Analisis daerah rentan banjir Jakarta dan sekitarnya berdasarkan klasifikasi bentuk lahan dan penutup/penggunaan lahan dari citra Jers-1. Majalah LAPAN. No. 85. Th XXII April 1998.

Horritt, M.S., D.C. Mason, A.J. Luckman. 2001. Flood boundary delineation from synthetic aperture radar imagery using a statistical active contour model. International Journal of Remote Sensing 22 (13): 2489–2507. [Diakses tanggal 20 Mei 2014].

Mathew, J., Jha, VK, dan Rawat, GS. 2007. Weights of Evidence Modelling for Landslide Hazard Zonation Mapping in Part of Bhagirathi Valley, Uttarakhand. Research Articles. Current Science, 628. 92(5). March 2007

Page 143: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Pemanfaatan Data Landsat Multitemporal untukZonasi Daerah Rawan Banjir di Jakarta Menggunakan Pendekatan Geomorfologi

113

Richard, B.D. 1955. Flood Estimation and Control, Ed-3. London: Chapman & Hall Ltd

Ritter, F. D. 1979. Process Geomorphology. Southern Illnuois Universityat Carbondale. Iowa: Brown Co. Publishers Duque.

Sudaryoko, Y. 1987. Pedoman Penanggulangan Banjir. Jakarta: Badan Penerbit Pekerjaan Umum.

Thornbury,W.D. 1954. Principles of Geomorphology, 2nd ed. New York: John Wiley & Sons, Inc.

USGS, http://landsat.usgs.gov/Landsat8_Using_Product.php, diakses pada 2013-06-01 jam 03:48 pm

Xu, H., Huang, S., Zhang, T. 2013. Built-up land mapping capabilities of the ASTER and Landsat ETM+ sensors in coastal areas of southeastern China. Advances in Space Research, 52:1437–1449.

Zha, Y., Gao, J., Ni, S. 2003. Use of normalized difference built-up index in automatically mapping urban areas from TM imagery. International Journal of Remote Sensing, 24(3): 583−594.

Zuidam, R.A van. 1985. Aerial Photo-Interpretation in Terrain Analysis and Geomorphologic Mapping. The Netherlands: ITC Enschede.

Page 144: untuk Mitigasi Bencana Banjir
Page 145: untuk Mitigasi Bencana Banjir

APLIKASI PENGINDERAAN JAUH UNTUK MENILAI

DAMPAK PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP SURPLUS

AIR DI DAS CILIWUNG

Nur Febrianti, Parwati Sofan, dan Indah PrasastiPeneliti Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, LAPANE-mail: [email protected]; [email protected]

ABSTRAKAnalisis kondisi surplus air berdasarkan parameter dari data penginderaan jauh dan korelasi dengan perubahan penggunaan lahan di DAS Ciliwung. Data yang digunakan untuk memperoleh parameter neraca air hujan dari TRMM periode 3 jam, evapotranspirasi dari MODIS periode data 8 hari, sementara penggunaan lahan perubahan Landsat 7 ETM + antara 2004 dan 2007. Data sekunder adalah sistem tanah dari Departemen Pertanian dan data elevasi tanah serta kemiringan SRTM 30 meter. Metode yang digunakan untuk perhitungan neraca air adalah metode Thornthwaite dan Mather yang telah dimodifikasi. Metode ini cukup representatif untuk digunakan dalam perhitungan neraca air. Dari hasil penelitian terlihat bahwa terjadi perubahan curah hujan dimana pada tahun 2007 curah hujan relatif jauh lebih tinggi dari kejadian hujan 2004 dimana selisih perubahan tertinggi yang terjadi pada periode 033 (02–09 Feb) mencapai lebih dari 200 mm. Perubahan juga terjadi pada kondisi luas daerah tutupan hutan dan sawah tahun 2007 yang telah mengalami penurunan dari tahun 2004,

Page 146: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

116

namun pemukiman terus meningkat sehingga surplus air pada periode 033 tahun 2007 jauh lebih besar dari 2004 yaitu meningkat 50 hingga 100 mm. Disimpulkan, bila tutupan lahan Jakarta hingga saat ini masih sama dengan kondisi 2007 maka curah hujan sesaat namun lebih dari 20 mm sudah dapat menimbulkan genangan dibeberapa kawasan.

Kata Kunci: kelebihan air, MODIS, penginderaan jauh, TRMM

ABSTRACTThis study is about analyzing water surplus conditions based on parameters from remote sensing data and correlation with land cover changes in the Ciliwung watershed. Rainfall was estimated by TRMM 3 hour period, the evapotranspiration was from 8-day MODIS satellite data, and Landsat 7 ETM+ satellite imageries between 2004 and 2007 were used for land use changes analysis. Others data is the soil type map issued by the Ministry of Agriculture and SRTM with the spatial resolution of 30 m. The water balance calculation used the modified Thornthwaite and Mather method. This method is representative enough to be used in the calculation of the water balance. From the research it appears that there is a change of rainfall in 2007 where rainfall is relatively much higher than 2004 rain events where the highest difference in the changes that occurred during the period 033 (February 2 to 9) reaches more than 200 mm. Changes also occurred in the conditions of the area of forest cover and rice fields in 2007 which has declined from 2004, but the settlement continued to increase. So the surplus water in period 033 2007 is much greater than 2004 that is an increase of 50 to 100 mm. Changes in vegetation cover can be lowered value of rainfall becomes runoff, while the condition of land cover changes into a settlement does not occur difference in rainfall with water surpluses occur.

Key word: MODIS, remote sensing, TRMM, water surplus

Page 147: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Aplikasi Penginderaan Jauh untuk Menilai Dampak Penggunaan LahanTerhadap Surplus Air di Das Ciliwung

117

1. PENDAHULUANHujan deras dalam waktu singkat yang terjadi di Jakarta dan sekitarnya sangat sering menyebabkan terbentuknya genangan bahkan banjir di beberapa tempat. Kelebihan air ini dapat dipantau dari informasi neraca air. Neraca air merupakan neraca air yang masuk dan keluar disuatu tempat pada periode tertentu.

Model neraca air cukup banyak, namun yang biasa dikenal terdiri dari tiga model yang dibedakan berdasarkan objeknya, yaitu model neraca air umum, model neraca air lahan, dan model neraca air tanaman (Nasir dan Effenddy, 1999). Perhitungan neraca air Doorenbos dan Pruitt (1977), merupakan perhitungan nilai rata-rata curah hujan selama beberapa tahun pengamatan. Curah hujan di permukaan tanah akan ditentukan oleh karakteristik permukaan sifat fisik tanah penutup, tutupan vegetasi dan karakteristik permukaan air di badan air seperti sungai dan cekungan yang menahan air. Akhirnya, sebagai output adalah limpasan dan evapotranspirasi.

Evapotranspirasi perlu dibedakan menjadi evapotranspirasi potensial (ET) dan evapotranspirasi aktual (AE). ET lebih dipengaruhi oleh faktor-faktor meteorologi (radiasi panas matahari dan suhu, kelembaban atmosfer, serta angin). Sementara, AE lebih dipengaruhi oleh faktor fisiologi tanaman dan unsur tanah.

Surplus air telah didefinisikan sebagai bagian dari curah hujan yang tidak menguap sehingga berpengaruh terhadap sumber daya air (permukaan dan aliran air tanah). Berdasarkan neraca air tanah (vertikal), gagasan surplus merupakan kontribusi dari semua area dasar hingga sumber daya air secara keseluruhan diproduksi dalam DAS diberikan. Surplus baik infiltrat air untuk mengisi ulang akuifer atau lari ke sungai. Begitu air mulai mengalir, itu tunduk pada kerugian penguapan, menghasilkan penurunan sumber daya air yang tersedia.

Page 148: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

118

Kerugian ini tergantung pada sejumlah faktor, terutama ukuran dan kegersangan wilayah sungai: lebih kecil dan lebih lembab cekungan adalah semakin dekat surplus akan ke sumber daya air yang sebenarnya. Hasil neraca air karena itu merupakan indikator yang cukup baik dari sumber daya air yang dianggap sebagai jumlah dari surplus semua jaringan sungai.

Distribusi waktu dari data yang digunakan untuk model dapat juga menyebabkan penurunan jumlah kelebihan air sebenarnya yang tersedia di permukaan dan air tanah. Ketika curah hujan ditandai dengan beberapa peristiwa tersebar di musim hujan model dibuat secara bulanan tidak dapat mereproduksi surplus yang dikeluarkan dari hujan deras. Di daerah lembab, di mana curah hujan lebih merata, perubahan surplus kurang signifikan.

Hujan di kawasan Puncak, Bogor, dan Depok bannyak memberikan sumbangan air ke wilayah Jakarta, maka perlu diperhatikan kemampuan penyimpanan air di daerah aliran sungai (DAS) Ciliwung tersebut. Perubahan sistem penggunaan lahan di DAS Ciliwung akan sangat mempengaruhi besarnya air yang dilimpaskan.

DAS Ciliwung merupakan DAS yang paling berpengaruh terhadap kondisi sistem hidrologi di wilayah Jakarta. Daerah permukiman di DAS Ciliwung diyakini telah berkembang pesat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Adanya ketidakseimbangan antara kebutuhan dan ketersediaan air tanah menyebabkan minimnya ketersediaan air pada musim kering dan melimpahnya air bahkan menjadi banjir pada musim hujan.

Oleh karena itu diperlukan suatu sistem yang dapat memberikan informasi kondisi surplus air di wilayah DAS Ciliwung untuk mengantisipasi dampak kerugian yang dapat ditimbulkannya. Sejauh ini penelitian mengenai kondisi neraca air di kawasan DAS Ciliwung menggunakan remote sensing belum banyak dilakukan karena kebanyakan pengolahan hanya menggunakan data stasiun. Untuk itu, pada penelitian ini akan dilakukan analisis kondisi neraca air dari data penginderaan jauh, serta kaitannya dengan perubahan lahan di DAS Ciliwung.

Page 149: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Aplikasi Penginderaan Jauh untuk Menilai Dampak Penggunaan LahanTerhadap Surplus Air di Das Ciliwung

119

2. BAHAN DAN METODOLOGILokasi penelitian ini adalah DAS Ciliwung (60 10’– 60 50’ LS dan 1060 49’– 10702’ BT). Itu melewati Jawa Barat ke Jakarta. DAS Ciliwung merupakan salah satu sungai di wilayah Jakarta. Menurut Departemen Lingkungan (2013), DAS Ciliwung telah menjadi DAS kritis, di mana dari luas 37.472 ha dengan panjang sungai utama 117 km karena hanya memiliki hutan seluas 3.709 ha atau 9.8% dari luas DAS.

Data curah hujan adalah dari satelit Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM) 3B42 dengan resolusi temporal 3 jam-an yang memiliki resolusi spasial 0.250 (± 27.75 km) pada tahun 2004 dan 2007. Data TRMM ini di interpolasi menjadi ukuran 1 km x 1 km, dan di akumulasi menjadi data 8 harian.

Reflektansi dari satelit Terra / Aqua Moderate Resolution Imaging Spectro-radiometer (MODIS) digunakan untuk mengukur suhu permukaan tanah (lst) dan Enhanced Vegetation Index (EVI), yang memiliki resolusi spasial 250 meter dengan jangka waktu 8 setiap hari pada tahun 2004 dan 2007.

Peta jenis tutupan lahan/penggunaan lahan diperoleh dari hasil pengolahan data Landsat ETM+. Data ini memiliki resolusi spasial 30 meter dan resolusi temporal 16 harian, pada tahun 2004 dan 2007. Data sekunder yang digunakan antara lain adalah data jenis tanah (Gambar 1) dari Kementerian Pertanian dan data elevasi tanah dari SRTM dengan resolusi spasial 30 m.

Page 150: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

120

Gambar 1. Jenis tanah di DAS Ciliwung

Metode yang digunakan untuk perhitungan neraca air menggunakan metode Thornthwaite dan Mather yang telah dimodifikasi. Perbandingan plot untuk input presipitasi (PERCIP) dan output evapotranspirasi potensial (Potet) menentukan kondisi lingkungan kelembaban tanah. Pola khas musim semi surplus, pemanfaatan kelembaban tanah musim panas, musim panas defisit kecil, musim gugur mengisi ulang kelembaban tanah, dan berakhir kelebihan (Gambar 2).

Page 151: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Aplikasi Penginderaan Jauh untuk Menilai Dampak Penggunaan LahanTerhadap Surplus Air di Das Ciliwung

121

Gambar 2. Contoh rata-rata komponen neraca air tahunan (CP Komar, 2012)

Diagram alir penelitian ini ditunjukkan pada Gambar 3. Konsep neraca air lahan dirumuskan sebagai berikut (Thornwaite and Mather, 1957):

Input = Output, maka kelebihan air (WS) terjadi saat Masuk > Keluar.

Kelebihan air, adalah volume air yang akan masuk kepermukaan tanah, maka:

WS = (P–Et) – SS, dan 0 jika (P–Et) < SS ............................. (1)

Curah hujan (P), adalah curah hujan yang terjadi pada saat itu. Penyimpanan tanah (SS), adalah perubahan volume air yang ditahan oleh tanah yang besarnya tergantung pada (P–Et), soil storage 8 harian sebelumnya. Kelembaban tanah (SM) adalah volume air untuk melembabkan tanah yang besarnya tergantung (P–Et). Kondisi penyimpanan tanah dan kelembaban tanah menggunakan data 8 harian sebelumnya.

Page 152: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

122

Informasi spasial evapotranspirasi potensial diduga dengan menggunakan data EVI dan suhu permukaan tanah (Ts). Perubahan suhu udata (dT) diduga menggunakan EVI dan Ts dengan persamaan regresi (Domiri, 2012).

dT = -22.79 + 1.6032 EVI + 0.8296 Ts ................................. (2)

dimana: dT = Ts–Tu; maka Tu = Ts–dT

Tu : suhu udara; Ts = Suhu Permukaan

RH : Kelembaban udara = ea/es = 1/(1.21 + 0.0202 dT + 0.00191 dT2)..(3)

ea : tekanan uap aktual

es : tekanan uap jenuh dapat dihitung dengan formula (Handoko, 1994):

es = 6.108 exp((17.27 * Tu)/(Tu + 237.3)) ............................ (4)

Defisit tekanan uap (De) = es (1-RH) ..................................... (5)

Et = 10.398 De(0.639) .......................................................... (6)

Gambar 3. Diagram alir penelitian

Page 153: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Aplikasi Penginderaan Jauh untuk Menilai Dampak Penggunaan LahanTerhadap Surplus Air di Das Ciliwung

123

3. HASIL DAN ANALISISDari hasil pengolahan diperoleh rata-rata curah hujan (Gambar 4) sepanjang tahun 2004 kisarannya tidak terlalu jauh yaitu 2–96 mm per 8 harian di mana puncak hujan tersebut terjadi di periode 321 (16–23 November 2004). Sementara kondisi curah hujan sepanjang tahun 2007 sangan berfluktuasi dimana maksimum mencapai 315 mm per 8 harian yang terjadi pada periode 337–345 (2–17 Desember 2007). Tingginya curah hujan rata-rata di 2007 berpotensi menghasilkan surplus air yang tinggi terutama pada lahan terbuka dan pemukiman. Dengan demikian, selain curah hujan surplus air juga sangat dipengaruhi oleh kondisi penggunaan tutupan lahan/tanah.

Gambar 4. Rata-rata curah hujan DAS Citarum pada 2004 dan 2007

Page 154: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

124

2004 2007

Gambar 5. Penggunaan lahan di DAS Ciliwung pada tahun 2004 dan 2007

Kondisi tutupan lahan DAS Ciliwung dapat dilihat pada Gambar 5. Tutupan hutan hanya terdapat di wilayah hulu DAS Ciliwung yang mengalami penurunan pada 2007 dari kondisi tahun 2004. Kondisi tersebut berbanding terbalik dengan daerah perkotaan (tutupan pemukiman) di mana pada tahun 2007 mengalami peningkatan dari kondisi tahun 2004. Pertumbuhan daerah perkotaan yang paling menonjol terjadi di hilir DAS Ciliwung meskipun pertumbuhan di tengah Ciliwung juga cukup cepat.

Pengurangan penggunaan lahan hutan dan sawah, sedangkan penambahan terjadi pada penggunaan lahan sebagai pemukiman dan perkebunan. Kawasan hutan telah menurun dan lahan berubah menjadi daerah pemukiman ini adalah berita buruk karena akan membuat lebih banyak curah hujan berubah menjadi kelebihan air dan memiliki potensi untuk limpasan dan akhirnya banjir.

Page 155: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Aplikasi Penginderaan Jauh untuk Menilai Dampak Penggunaan LahanTerhadap Surplus Air di Das Ciliwung

125

Curah hujan, tutupan lahan, dan jenis tanah akan membantu menentukan kondisi kapasitas menahan air di dalam tanah. Pada Gambar 6 menunjukkan bahwa wilayah tersebut memiliki kapasitas menahan air besar lebih dari 300 mm hanya di hulu Ciliwung. Secara umum, daerah perumahan memiliki kemampuan menyerap air sangat kecil yang kurang dari 10 mm. Hal ini dikarenakan permukaan tanah memiliki banyak tertutup semen dan aspal sehingga tidak ada yang dapat menyerap air.

2004

2007

2007

Gambar 6. Kapasitas menahan air di DAS Ciliwung pada tahun 2004 dan 2007

Page 156: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

126

Dari hasil analisis diketahui bahwa terjadi penurunan kemampuan menahan air 50 hingga 300 mm, di mana penurunan terbesar terjadi di kawasan hutan (hulu DAS Ciliwung). Hal ini disebabkan perubahan tutupan lahan hutan menjadi semak belukar dan perkebunan. Selain terjadi penurunan, ternyata terjadi juga peningkatan simpanan air tanah berkisar antara 10 hingga lebih dari 275 mm. Peningkatan tertinggi terjadi dari tutupan lahan terbuka yang berubah menjadi semak belukar. Namun, perubahan terbanyak terjadi pada kelas tutupan lahan terbuka yang berubah menjadi kebun campur.

Pada Gambar 7 dapat dilihat bahwa surplus air pada tahun 2004 masih dalam kondisi normal tidak seperti yang terjadi pada tahun 2007. Surplus air pada periode 25 Januari–1 Februari 2007 bagian Ciliwung hulu, tengah, dan hilir Ciliwung sudah cukup tinggi mencapai lebih dari 20 mm/8 hari. Kondisi ini diperburuk oleh hujan lebat pada periode berikutnya sehingga air surplus periode 2–9 Februari 2007 mencapai lebih dari 40 mm/8 hari karena itu selama periode ini, Jakarta mengalami banjir besar (1–3 Februari 2007).

Dari hasil penelitian terlihat bahwa terjadi perubahan curah hujan dimana pada tahun 2007 curah hujan relatif jauh lebih tinggi dari kejadian hujan 2004 dimana selisih perubahan tertinggi yang terjadi pada periode 033 (2–9 Feb) mencapai lebih dari 127 mm/jam. Perubahan juga terjadi pada kondisi luas daerah tutupan hutan dan sawah tahun 2007 yang telah mengalami penurunan dari tahun 2004, namun pemukiman terus meningkat sehingga surplus air pada periode 033 tahun 2007 jauh lebih besar dari 2004 yaitu meningkat 50 hingga 100 mm.

Page 157: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Aplikasi Penginderaan Jauh untuk Menilai Dampak Penggunaan LahanTerhadap Surplus Air di Das Ciliwung

127

25 Jan – 01 Feb 2004 02 – 09 Feb 2004 25 Jan – 01 Feb 2007 02 – 09 Feb 2007

Gambar 7. Surplus air di DAS Ciliwung

Kondisi terakhir dari perubahan (Gambar 8 dan Tabel 1) terlihat bahwa LU/LC (2007) berupa hutan, rumput, dan tegalan (vegetasi) walaupun perubahan curah hujan yang terjadi cukup besar namun tetap dapat menghasilkan surplus air yang lebih kecil dari curah hujannya. Sementara untuk LU/LC berupa pemukiman surplus air yang terjadi hampir sama besar dengan curah hujannya. Dengan kata lain di lokasi pemukiman hampir seluruh curah hujan yang terjadi akan menjadi surplus.

Page 158: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

128

Gambar 8. Perubahan pada periode 033 (2–9 Feb) kondisi 2007 dari kondisi 2004

Tabel 1. Perubahan tutupan lahan, curah hujan, dan perubahan surplus air pada periode 033 (2–9 Feb) kondisi 2007 dari kondisi 2004

LU/ LC Curah hujan Surplus air

Tetap Hutan 127 113 Menjadi Rumput 127 85 Menjadi Tegalan 116 65 Menjadi Pemukiman 22 22 Tetap Pemukiman 22 22

Selain itu dari penelitian ini terlihat bahwa banjir yang terjadi di Jakarta tidak benar secara keseluruhan akibat hujan di Bogor karena penelitian ini masih belum memasukkan unsur aliran permukaan sehingga banjir yang terjadi akibat dari curah hujan dan tutupan lahan di wilayah tersebut saja.

Page 159: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Aplikasi Penginderaan Jauh untuk Menilai Dampak Penggunaan LahanTerhadap Surplus Air di Das Ciliwung

129

4. KESIMPULAN Surplus air (kelebihan air) pada suatu daerah sangat dipengaruhi oleh kondisi curah hujan dan tutupan lahan di suatu daerah. Dari hasil penelitian terlihat bahwa terjadi perubahan curah hujan dimana pada tahun 2007 curah hujan relatif jauh lebih tinggi dari kejadian hujan 2004 dimana selisih perubahan tertinggi yang terjadi pada periode 033 (2–9 Feb) mencapai lebih dari 127 mm/jam. Perubahan juga terjadi pada kondisi luas daerah tutupan hutan dan sawah tahun 2007 yang telah mengalami penurunan dari tahun 2004, namun pemukiman terus meningkat sehingga surplus air pada periode 033 tahun 2007 jauh lebih besar dari 2004 yaitu meningkat 50 hingga 100 mm. Tutupan lahan yang berubah menjadi vegetasi masih akan dapat menurunkan nilai surplus air dari curah hujan yang terjadi, sedangkan pada tutupan pemukiman hampir seluruh curah hujan menjadi surplus air.

SaranPenelitian ini akan lebih baik bila dilakukan perhitungan periode curah hujan harian karena periode curah hujan 8 harian terlalu panjang sehingga tidak terlalu akurat. Selain itu model ini hanya menduga surplus air yang berpotensi menjadi limpasan akibat kelebihan curah hujan tanpa ada proses aliran permukaan.

Ucapan Terima KasihTerima kasih diucapkan kepada Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh–LAPAN. Paper ini merupakan bagian penelitian inhouse yang didanai oleh DIPA Pusfatja tahun anggaran 2013.

DAFTAR PUSTAKADomiri, D. D. 2012. Model Spasial Kerentanan Produksi Beras Menggunakan

Teknologi Inderaja dan SIG, Studi Kasus di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat [Disertasi] IPB.

Page 160: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

130

Doorenbos J. and Pruitt WO. 1977. Guidelines for predicting crop water requirements, FAO irrigation and drainage paper, No. 24, Food and Agriculture Organization, Rome, Italia.

Handoko. 1995. Klimatologi Dasar. Jakarta: Pustaka Jaya.

http://www.fao.org/nr/water/aquastat/watresafrica/index4.stm, (accessed on 1st July 2013).

Kementrian Lingkungan Hidup. 2013. Pelatihan pemantauan kesehatan DAS Ciliwung dengan metode Biotilik. http://www.menlh.go.id/pelatihan-pemantauan-kesehatan-das-ciliwung-dengan-metode-biotilik/, (accessed on 1st July 2013).

Komar CP. 2012. Water Balance Analysis. Persentation.

Nasir AA., dan Effenddy S.. 1999. Analisis neraca air dan pola tanam.Pelatihan Dosen-Dosen PTN Indonesia bagian barat dalam bidang agroklimatologi, (2) Bogor.

Suwargana, Nana. 2010. Model Kajian Sebaran Run-Off untuk Mendukung Pengelolaan Sistem DAS Menggunakan Data Penginderaan Jauh (Studi Kasus DAS Ciliwung). Seminar Nasional Limnologi V tahun 2010.

Thornwaite CW. and Mather JR. 1957. Instruction and tabels for computing potential evapotranspiration and water balance. Publication in Climatology 10(3).

Wang, Q.J, McConachy, F.L.N, and Chiew, F.H.S. 2001. Maps of evapotranspiration. 1–4.

Westernbroek, S.M, V.A. Kelson, W.R Dripps, R.J Hunt, and K.R Bradbury. 2010. SWB A Modified Thornthwaite Mather Soil Water Balance Code for Estimating Groundwater Recharge. USGS Groundwater resource program Techniques and Methode 6-A31.

Page 161: untuk Mitigasi Bencana Banjir

PERAN INFORMASI GEOSPASIAL UNTUK ARAHAN

UPAYA KONSERVASI AIR DI KABUPATEN BOGOR GUNA MITIGASI BENCANA BANJIR

JAKARTA

Kris SunartoBadan Informasi Geospasial

E-mail: [email protected]

ABSTRAKKonservasi air merupakan upaya pengelolaan keseimbangan ketersediaan air tanah untuk kebutuhan kelestarian lingkungan hidup. Setiap satuan kawasan mempunyai ciri khas kondisi geografik yang mencerminkan karakter kesesuaian jenis konservasi air. Karakter kesesuaian tersebut dapat diketahui sebarannya dan baik untuk dilakukan. Konservasi di daerah hulu sangat diperlukan dan harus diupayakan guna menekan bencana hidrologis di daerah setempat maupun wilayah hilir yang terlanda lebih berat. Bencana hidrologis dapat berupa banjir, kekeringan, ataupun rusaknya kualitas air permukaan maupun air tanah dalam aquifer. Aplikasi konservasi yang salah dapat menimbulkan bencana yang lebih besar dan sulit ditanggulangi. Agar upaya konservasi berhasil, maka perlu diketahui kawasan yang sesuai untuk suatu jenis resapan dalam upaya konservasi. Dengan analisis data dan informasi geospasial dengan cara atau metode Sistem Informasi Geografik (SIG), peta arahan upaya konservasi dapat diketahui dan diungkapkan. Dengan menggunakan data dan informasi yang berperan sebagai pengarah kemudian dilakukan upaya konservasi yang serius serta ditopang dengan program

Page 162: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

132

dan sosialisasi terus menerus maka akan tercapai keberhasilan konservasi yang lestari. Langkah pertama adalah memahami apa saja konservasi yang sudah dilakukan dan akan selalu diupayakan, di mana sebaiknya dilakukan, mengapa dilakukan, kapan dilakukan, siapa saja yang melakukan, dan bagaimana konservasi sebaiknya dilakukan. Indikasi keberhasilan konservasi berupa berkurangnya banjir pada musim hujan maupun kecukupan air pada musim kemarau. Kajian kondisi bentang geografis dan informasi geospasial sangat membantu mengungkapkan masalah konservasi air, tanah, ataupun vegetasi termasuk hutan, serta terhindar dari proses gurunisasi. Koordinasi lintas daerah administratif dan variasi kesadaran berkonservasi memerlukan sosialisasi, koordinasi, dan perencanaan yang semakin baik. Mulai dari perencanaan hingga pelaksanaan konservasi upaya pemeliharaan sangat diperlukan di segala waktu dan tempat. Keberhasilan konservasi memerlukan penanganan yang terencana, konsisten, dan dilaksanakan secara bersama oleh pemerintah, swasta, dan berbagai lapisan masyarakat. Untuk itu dalam penyusunan bagian dari buku ini diawali dengan koleksi data dan informasi geospasial dari beberapa kajian sebelumnya serta berbagai jenis konservasi yang sudah dilakukan. Dalam tulisan ini juga berbagai pengertian tentang jenis resapan diungkapkan agar menumbuhkan pengetahuan, minat, dan semangat dalam keterlibatan serta kesadaran berupaya melakukan konservasi. Konservasi air, lahan, dan vegetasi atau tumbuh-tumbuhan merupakan suatu langkah yang perlu disinergikan. Cakupan wilayah konservasi air di Kabupaten Bogor bermakna sebagai upaya mitigasi banjir untuk wilayah Ibu Kota Jakarta yang posisinya ada di wilayah hilir hingga wilayah pesisir. Sebaran wilayah kesesuaian jenis konservasi air dan tipe resapan dalam bentuk peta dapat digunakan sebagai arahan penerapan upaya konservasi. Melalui tulisan ini dapat diharapkan keberhasilan konservasi yang memerlukan pengorbanan biaya, tenaga, dan waktu melalui upaya yang serius. Kegunaan tulisan ini adalah sebagai masukan bagi para pihak, baik pemerintah, swasta, masyarakat hingga kesadaran perorangan untuk ambil bagian sebagai pelaksana konservasi.

Kata Kunci: Data dan Informasi Geospasial, Jakarta, Konservasi Air, Mitigasi Banjir

Page 163: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Peran Informasi Geospasial untuk Arahan Upaya Konservasi Airdi Kabupaten Bogor Guna Mitigasi Bencana Banjir Jakarta

133

1. PENDAHULUANBanjir besar kota Jakarta sering diasumsikan sebagai banjir kiriman atau pasokan dari daerah Bogor. Banjir besar Jakarta dapat terjadi oleh banyak faktor, baik hujan lokal yang sangat lebat dan lama, dapat juga menderita banjir genangan dampak pasang surut yang tinggi dan disertai hujan lebat, dapat juga terjadi dengan kombinasi tambahan, yaitu kiriman dari daerah hulu yaitu dari wilayah Bogor. Kejadian banjir paling fatal jika ketiganya terjadi bersamaan adalah jika masing-masing pada posisi puncak antara banjir rob, hujan lebat setempat, dan menerima pasokan dari Bogor. Untuk itu, konservasi air di wilayah hulu maupun hilir merupakan salah satu upaya mitigasi yaitu memperingan bencana banjir besar wilayah hilir. Banjir wilayah hilir tidak mungkin ditiadakan sama sekali, namun dapat diperingan melalui keberhasilan upaya konservasi. Banjir tidak mungkin ditiadakan, namun diperingan dari keparahan alias dilakukan mitigasi. Tidak ada seorang pun yang dapat dan mampu mengeliminasi banjir dalam kapasitas besar tanpa kebersamaan dalam pelaksanaan konservasi secara bersama, terencana, dan berkelanjutan. Konservasi air hujan berhasil jika terbukti dengan kasat mata minimnya limpasan permukaan, kecilnya material berupa lumpur dan berbagai benda terangkut pada saat banjir, dan kecilnya amplitudo tingginya permukaan atau genangan aliran sungai pada musim kemarau dengan musim penghujan. Pada sisi lain keberhasilan konservasi jika ketersediaan air tanah menjadi lebih tersedia hingga musim kemarau panjang atau musim kering.

Ada sebagian masyarakat yang berfikir dan berpendapat bahwa konservasi adalah perihal yang paradox

ks, yaitu bahwa konservasi dilakukan di wilayah hulu dan yang menikmati wilayah hilir. Pendapat tersebut tidak sepenuhnya salah, namun juga tidak benar. Mengapa demikian, karena konservasi memang perlu dan bahkan wajib dilakukan di hampir segala tempat, namun berbeda jenis maupun caranya. Bagaimanapun konservasi air merupakan upaya pengelolaan kecukupan dan keseimbangan kebutuhan air tanah pada suatu kawasan yang beraneka ragam kondisinya. Bencana hidrologis dapat terjadi pada suatu wilayah yang

Page 164: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

134

sering mengalami kelebihan maupun kekurangan air. Banjir merupakan salah satu dampak kelebihan air pada suatu saat, baik bersifat menggenang maupun aliran cepat sehingga disebut sebagai banjir bandang. Selain itu, ada pula banjir rob dampak pasang air laut yang bersifat periodik, namun dapat juga terjadi genangan sangat besar jika terjadi kasus penumpukan masa air oleh tenaga angin maupun proses alam lainnya yang luar biasa. Sebaliknya kekeringan merupakan kekurangan air bagi tumbuhan, hewan, maupun manusia dalam jumlah besar atau waktu lama sehingga berdampak layu, mati, dan kepunahan. Kondisi ekstrem dari kekurangan air yang besar dan jangka waktu yang lama dapat mengarah kepada proses gurunisasi atau proses perubahan dari lahan subur, rindang, dan segar menjadi terbuka, kering, dan menjadi gurun. Salah satu solusi tersebut perlu perencanaan dan penerapan yang melibatkan berbagai jenis konservasi, melibatkan berbagai pihak, serta harus diupayakan pemeliharaan dan peningkatan kapasitas resapan. Pada bab ini penulis membatasi diri pada upaya konservasi air yang telah diterapkan dengan beberapa tambahan gagasan baru.

Untuk menjabarkan pengertian tentang apa dan apa saja konservasi, konservasi yang sudah dan akan diupayakan, di mana sebaiknya dilakukan, mengapa, kapan, siapa saja dan bagaimana konservasi dilakukan, maka pokok maupun sub tema ini akan selalu didukung dengan data dan informasi geospasial. Data dan infromasi geospasial yang perlu diungkapkan mulai dari jenis data yang digunakan, analisis yang dilakukan, serta wilayah mana yang dapat diaplikasikan konservasi berdasarkan jenisnya serta beberapa contoh aplikasi yang sudah ada. Dengan segala keterbatasan dan kekurangan, buku ini tetap akan mengungkapkan seoptimal mungkin model kajian maupun pandangan hingga kesimpulan dan saran demi keberhasilan aplikasi konservasi yang mendukung tujuan yaitu mitigasi bencana banjir sebagian wilayah Ibu Kota Jakarta.

Untuk mengantar pengertian dan menumbuhkan kesadaran akan konservasi, maka pada awal tulisan ini akan disampaikan beberapa pengertian tentang siklus hidrologi, konservasi dan prinsipnya, kontribusi data dan informasi geografi untuk perencanaan wilayah, serta dampak kegagalan konservasi.

Page 165: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Peran Informasi Geospasial untuk Arahan Upaya Konservasi Airdi Kabupaten Bogor Guna Mitigasi Bencana Banjir Jakarta

135

Siklus HidrologiPemahaman tentang siklus hidrologi perlu dipunyai dan bahkan didalami bersama sehingga dalam upaya konservasi mempunyai cara berpikir dan bertindak pada titik pijakan yang sama, tahapan seimbang, hingga bentangan lokasi keberhasilan yang luasnya mencakup berbagai hal untuk dinikmati bersama. Gambar berikut ini menjelaskan bahwa pada mulanya awan mengalami kondensasi sehingga menurunkan hujan. Hujan yang jatuh di atas pohon maupun yang menguap kembali ke langit yang disebut sebagai evavorasi dan evapotranspirasi telah mengurangi air hujan yang jatuh ke tanah. Air yang pada umumnya jatuh ke permukaan tanah sebagian meresap secara alami, meresap melalui upaya konservasi antara lain sumur resapan, sebagian mengalir melalui aliran permukaan dan sebagian terbuang ke parit, masuk bendungan maupun ke sungai besar, sebagian masuk danau, saluran irigasi dan sebagian mengalir sampai muara dan laut. Semua air dimanapun dapat menguap kembali menjadi awan dan menjadi hujan, demikian seterusnya air berputar dengan siklus yang demikian sepanjang zaman.

Page 166: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

136

Prinsip konservasi airPada prinsipnya konservasi air merupakan upaya menjaga keseimbangan antara pemasukan/peresapan air ke dalam tanah maupun media resapan lainnya dengan pengeluaran dari dalam tanah maupun laju limpasan permukaan. Konservasi bermaksud memperingan ancaman bencana banjir pada musim hujan dan mempertahankan ketersediaan dan kecukupan kandungan air tanah agar pada musim kemarau persediaannya masih relatif cukup atau menekan bencana kekeringan. Dengan demikian, konservasi bermaksud meredam timbulnya bencana hidrologis baik pada musim limpah air maupun musim terbatasnya stok air permukaan dan air tanah.

Kontribusi data dan Informasi Geospasial dalam upaya konservasiBesar kecilnya kontribusi data dan Informasi Geospasial tergantung bagaimana data digunakan, oleh siapa, bagaimana menggunakan, dimana digunakan, mengapa perlu digunakan serta apa saja gunanya. Identifikasi kebutuhan data dan informasi geospasial merupakan jembatan kesulitan antara kebutuhan data dengan ketersediaan data yang pada umumnya terbatas ketersediaannya maupun kualitas serta belum standarnya data. Untuk kajian Sistem Informasi Geografik, data yang standar merupakan pokok perhatian. Data yang standar akan mempermudah pekerjaan analisis. Demikian juga dalam hal kecepatan dan akurasi data.

Konservasi air wajib dilakukan karena kondisi penutup lahan dan media resap mengalami degradasi yang semakin parah. Upaya konservasi yang benar dapat menjaga keseimbangan kebutuhan air tanah. Sebaliknya jika salah konservasi atau tidak dilakukan konservasi, maka akan berdampak pada bencana hidrologik, baik berupa banjir, kekeringan, degradasi lahan, dan bahaya kepekatan limbah dan pencemaran, baik pencemaran permukaan maupun pencemaran air tanah.

Page 167: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Peran Informasi Geospasial untuk Arahan Upaya Konservasi Airdi Kabupaten Bogor Guna Mitigasi Bencana Banjir Jakarta

137

Maksud dan Tujuan Maksud tulisan ini adalah menyampaikan gambaran secara spasial sebaran wilayah yang cocok atau sesuai untuk dilakukan beberapa jenis konservasi air melalui proses resapan. Melalui data dan informasi spasial, timbul gagasan dan upaya tentang berbagai jenis konservasi air yang dapat diprogramkan dan laksanakan di wilayah kajian (Bogor, bagian hulu beberapa sungai yang mengalir ke Jakarta).

Tujuan atau sasarannya agar masalah konservasi air dipahami oleh semua pihak, disosialisasikan, diprogramkan, dan dilaksanakan secara bersama hingga berdampak positif yaitu keberhasilan mitigasi bencana hidrologis, baik berupa banjir, kekeringan, dan pencemaran, khususnya daerah DKI Jakarta.

Penelitian tentang konservasi yang meliputi beberapa jenis resapan sangat penting untuk mengoptimalkan masuknya air hujan ke dalam tanah, agar mengurangi limpasan permukaan, meredam banjir, menambah stok air tanah, melindungi dan meredam laju erosi yang berarti pula melakukan konservasi tanah atau lahan. Untuk dapat mengungkapkan di mana sebaran wilayah konservasi dapat dan baik untuk dilakukan, maka diperlukan data pokok maupun data pendukung untuk dilakukan analisis maupun pendiskripsiannya sehingga memudahkan para pembaca memahami maknanya.

Menurut Tika (2005), penelitian perlu mengetahui jenis data apa saja yang diperlukan dan bagaimana mengidentifikasi, mengumpulkan, dan informasi ilmiah, serta mengolahnya. Berdasarkan sifatnya dibedakan antara data yang bersifat kuantitatif dan kualitatif. Berdasarkan sumbernya, data dapat dibedakan antara data primer dan data sekunder.

Berdasarkan maksud pernyataan di atas, maka dalam buku ini secara rinci perlu menyampaikan beberapa langkah teknik pengumpulan, pengolahan atau analisis, dan pengungkapan hasil dalam suatu metode kajian maupun penulisan.

Page 168: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

138

2. METODEMetode yang digunakan dalam penyusunan tulisan bagian dari buku ini meliputi kajian pustaka atas pengertian tema konservasi, hasil kajian sebelumnya. Selanjutnya melakukan koleksi peraturan dan perundangan yang berlaku, pengumpulan data spasial dasar maupun tematik. Selain data spasial berupa peta dan citra penginderaan jauh, diperlukan juga data statistik terkait. Citra penginderaan jauh yang digunakan dalam kajian ini pertama dan utama adalah Citra SRTM yang dalam kepentingan ini dibuat menjadi peta lereng. Sedangkan yang kedua adalah citra skala besar Ikonos dan QuickBird untuk revisi dan kajian penggunaan lahan. Setelah data terkumpul dilakukan analisis geospasial dengan menggunakan Sistem Informasi Geografik (SIG) dengan melakukan overlay dua peta utama yaitu peta Penggunaan lahan dan Peta lereng. Hasil analisis dikompilasi menjadi peta Sebaran Tipe Resapan Air di Kabupaten Bogor – Jawa Barat. Peta tersebut merupakan peta utama yang menyatakan sebaran jenis resapan. Dari peta ini pula dapat dihitung luasan masing-masng jenis resapan dan diwujudkan ke dalam bentuk tabel luas dalam satuan hektare. Hasil yang diharapkan dapat digunakan untuk arahan lokasi yang sesuai berbagai jenis konservasi, khususnya model resapan. Data dan informasi hasil kajian di wilayah Bogor sebagai hulu beberapa sungai yang mengalir ke Jakarta masih berupa skala tinjau, yaitu skala 1:250.000. Untuk peta skala operasional diperlukan data peta dasar berskala 1:10.000 dengan tambah data kemampuan tanah, peta iklim, peta unit lahan yang skalanya besar. Dengan demikian, faktor data rinci dan skala besar menjadi penting untuk menghasilkan peta skala operasional. Peta operasional merupakan data dan informasi geospasial yang sangat baik untuk perencanaan matang hingga pelaksanaan upaya konservasi jenis resapan yang paling sesuai dengan kondisi medannya. Namun demikian kendala besar yang dihadapi untuk mendapatkan skala operasional adalah biaya, tenaga, waktu, kesadaran, program, dan upaya yang serius oleh semua pihak. Deskripsi peta yang dihasilkan sangat penting untuk diungkapkan agar para pembaca memahami secara sungguh-sungguh. Berdasarkan data dan informasi geospasial dalam bentuk tulisan bagian dari sebuah buku

Page 169: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Peran Informasi Geospasial untuk Arahan Upaya Konservasi Airdi Kabupaten Bogor Guna Mitigasi Bencana Banjir Jakarta

139

tentang pentingnya upaya konservasi air ini diharapkan menjadi panduan upaya serius untuk mitigasi bencana banjir wilayah Jakarta.

Ungkapan metode dalam kalimat tersebut diatas akan menjadi lebih jelas dengan membaca diagram alir pada Gambar 1 berikut ini.

Gambar 1. Diagram alir penyiapan informasi geospasial wilayah konservasi air

KONSERVASIPengertian dan batasan tentang konservasiAda beberapa pengertian maupun batasan tentang konservasi sebagai berikut:

Page 170: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

140

Pengertian umum konservasi, meliputi konservasi sumber alam, 1. berdasarkan buku Ensiklopedia Iptek Jilid 5 Bab10 hal. 433, melestarikan sumber daya alam atau konservasi sumber daya alam berarti membuat sesuatu aman dan terjaga. Pelestarian lingkungan mencakup mejaga tempat, aneka tumbuh-tumbuhan, hewan liar dan segala gangguan dunia serta merawat objek peninggalan tua dan bersejarah. Sumber daya alam mencakup segala yang menopang kelangsungan hidup manusia yang meliputi tanah, air, sinar matahari, udara, minyak, dan bahan tambang serta tumbuh-tumbuhan dan hewan.

Pengertian konservasi tanah dan air menurut Sarief E. S.(1986) hal 2. 1, bahwa pengawetan tanah dan air adalah usaha untuk menjaga dan meningkatkan produktivitas tanah, kualitas, dan kuantitas air.

Pengertian yang lebih khusus tentang konservasi tanah dan air menurut 3. Arsyad (2010) bahwa konservasi air pada prinsipnya adalah penggunaan air hujan yang jatuh ke tanah untuk keperluan pertanian seefektif mungkin dan mengatasi waktu aliran agar tidak terjadi banjir yang merusak dan terdapat cukup air pada waktu musim kemarau.

Arsyad menegaskan bahwa konservasi tanah dan air merupakan paket 4. kebersamaan dan tidak terpisahkan karena konservasi tanah yang bertujuan untuk mencegah erosi, memperbaiki kondisi tanah yang rusak, dan meningkatkan produktivitas tanah agar bermanfaat secara berkelanjutan atau lestari, konservasi air pun secara bersamaan dapat dilakukan.

Dari sisi penulis bahkan konservasi secara lengkap, baik konservasi 5. tanah, air, vegetasi, dan kehidupan tumbuh-tumbuhan, binatang, dan organisme lainnya merupakan paket yang wajib diupayakan secara bersama, serius, dan terus-menerus diupayakan demi kehidupan manusia yang lebih baik dan lestari.

Akhirnya penulis mengambil sari pengertian konservasi air merupakan upaya pengelolaan sumber daya air mulai dari upaya menjaga keseimbangan ketersediaan air tanah, keberadaan, hingga manfaat untuk berbagai

Page 171: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Peran Informasi Geospasial untuk Arahan Upaya Konservasi Airdi Kabupaten Bogor Guna Mitigasi Bencana Banjir Jakarta

141

kepentingan dan penggunaan secara baik dan efisien dengan makna utama agar dapat memenuhi kebutuhan kelestarian lingkungan hidup serta ekosistemnya.

Keterkaitan dengan tema Keterkaitan dengan tema konservasi sebagai upaya mitigasi bencana banjir, pengertian tentang konservasi tersebut di atas pada bagian berikut ini akan dibahas tentang apa saja konservasi yang dicanangkan dan telah diaplikasikan, apa saja peraturan yag mendukung, apa saja keuntungan serta apa saja dampak kerugian jika mengalami kegagalan dalam upaya konservasi. Dalam tema konservasi air untuk mitigasi bencana banjir, pada bagian buku ini penulis akan lebih menekankan pada model resapan. Apa sajakah model resapan yang dicanangkan oleh pemerintah? Berbagai jenis atau tipe resapan yang dicanangkan sebagai program nasional mulai tahun 1995 ada 16 macam atau jenis sebagai berikut:

1. Suksesi alam / pelestarian hutan lindung

9. Lobang tampungan air hujan

2. Penghutanan kembali (reboisasi) 10. Pengolahan lahan & terasering3. Pembuatan tanaman murni

maupun tanaman sela11. Pembuatan kebun rakyat

4. Pembangunan hutan budi daya (Agroforestry)

12. Rehabilitasi teras dan tanaman

5. Penanaman kayu-kayuan, hutan masyarakat

13. Pembuatan UPSA

6. Pembuatan parit buntu 14. Karang kitri7. Pembuatan dam pengendali 15. Sumur resapan8. Pembuatan dam penahan 16. Penanganan tebing sungai

Sumber: Project Plan I, 1995

Peraturan dan perundang-undangan apa yang mendukung?

Peraturan dan perundang-undangan yang mendukung program konservasi sumber daya alam, khususnya air adalah sebagai berikut ini.

Page 172: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

142

UUD 45 pasal 331.

Undang-undang no. 7 tahun 20042.

Undang-undang Lingkungan Hidup,3.

Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta no. 68 Th 4. 2005 tentang Sumur resapan

Setelah mengetahui jenis konservasi yang dicanangkan dan mengetahui naskah peraturan dan perudang-undangan yang berlaku dan mendukung, maka perlu diketahui pula berbagai keunggulan dan kelemahan jenis resapan tersebut sebagai berikut ini.

Suksesi Alam atau Pelestarian Hutan Lindung, mempunyai unggulan 1. sebagai hutan alami berupa semak belukar dan hutan primer yang jauh dari jamahan para perambah hutan, lokasi pada wilayah yang curam, pada umumnya berbatu sulit ditempuh, dan sifat serta kodisi hutannya lebih stabil. Kelemahan jika semakin menjadi gersang ataupun terbakar sulit untuk dilakukan reboisasi. Tipe resapan sepenuhnya bersifat alamiah.

Penghutanan kembali, mempunyai keunggulan penanaman tanaman 2. kayu ataupun tumbuh-tumbuhan sejenis, baik kayu bernilai ekonomi rendah maupun tinggi atau bahkan sekedar tumbuhan pionir jenis mudah tumbuh sehingga cepat pulih menjadi hutan yang berfungsi sebagai fungsi konservasi.

Pembuatan tanaman murni maupun tanaman sela adalah upaya 3. penanaman tumbuhan sejenis, baik kayu maupun setingkat perdu, namun sifatnya murni dengan maksud dan tujuan konservasi. Kadang- kadang ada jenis tanaman yang sengaja ditanam dengan maksud sebagai tanaman sela yang menghasilkan bahan pangan ataupun pakan ternak.

Pembangunan hutan budi daya 4. (Agroforestry), merupakan pembudidayaan kayu jenis tertentu untuk menghasilkan kayu, getah secara besar-besaran dan diselenggarakan oleh Perhutani. Contoh tanaman adalah kayu pinus, kayu jabon, dan kelapa sawit. Untuk wilayah bogor ada hamparan luas

Page 173: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Peran Informasi Geospasial untuk Arahan Upaya Konservasi Airdi Kabupaten Bogor Guna Mitigasi Bencana Banjir Jakarta

143

di daerah Cigudeg hingga daerah Leuwiliang. Fungsi hutan minimalnya ada dua, yaitu fungsi produksi dan fungsi konservasi.

Penanaman kayu-kayuan hutan masyarakat merupakan gerakan 5. bersama untuk menanam kayu dengan maksud kebersamaan ataupun ikut-ikutan tetapi dalam luasan hingga beberapa puluh hektare. Sebagai contoh penanaman kayu jati di daerah Cariu masuk wilayah Kabupaten Bekasi yang berbatasan dengan wilayah Kabupaten Bogor. Lokasi tersebut milik sekitar 20 orang, dengan luasan lebih dari 20 hektare dengan keragaman usia pada tahun 2014 usia tanaman antara 12 hingga 17 tahun. Kayu akasia, jongjing, dan mahoni atau mahagoni, contoh di beberapa kawasan di daerah Jonggol Kabupaten Bogor.

Pembuatan parit buntu atau rorak merupakan upaya konservasi yang 6. dilaksanakan oleh perorangan atau petani dan dikerjakan bersamaan mengolah lahan. Kesadaran pembuatan parit buntu ini lebih murni dari pemilik lahan maupun petani. Kelemahannya tingkat pelaksanaan skala terkecil dalam praktek perorangan, kecuali ada anjuran khusus dari pejabat desa atupun manajer perusahaan.

Pembuatan dam pengendali umumnya dibuat dan diupayakan oleh 7. pihak pemerintah dalam hal ini oleh Dinas Pekerjaan Umum tingkat kabupaten. Tujuan utamanya adalah konservasi. Tantangan dam pengendali adalah pelumpuran atau sedimentasi yang sangat tinggi sehingga cepat penuh. Biaya perawatan dam pengendali sangatlah mahal melalui cara pengerukan.

Pembuatan dam penahan hampir sama dengan dam pengendali. 8. Perbedaannya, dam penahan lebih menekankan mengatasi laju erosi di daerah hulu yang banyak parit-parit. Karena sifat cuaca yang sering ekstrem di daerah Jawa Barat dan beberapa daerah bercurah hujan tinggi, maka dam penahan lebih cepat penuh dan bahkan cepat rusak.

Lubang tampungan air hujan, sekarang nama istilah yang banyak 9. digunakan adalah biopori. Melalui biopori, maka banyak air hujan yang langsung masuk ke dalam tanah sesuai kedalaman tiap lubang biopori.

Page 174: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

144

Besarnya lubang biopori sangat bervariasi tergantung pada besarnya alat bor tanah maupun sistem pembuatan lubang, jumlah dan banyaknya lubang, jenis porositas tanah, dan tingkat kecepatan tertutupnya lubang. Pembuatan biopori juga bersifat kesadaran perorangan kecuali ada kesadaran dan gerakan bersama. Aplikasi konservasi ini paling mudah, murah, dan aman.

Pengolahan lahan terasering untuk daerah Jawa Barat banyak 10. diterapkan baik untuk daerah sawah tadah hujan, ladang, dan tegal tanaman semusim, tanaman sayuran. Pengolahan lahan secara berteras merupakan praktek konservasi yang sudah membudaya karena petani akan rugi sendiri jika mengolah lahan miring tanpa terasering.

Pembuatan kebun rakyat, sifatnya masih sangat heterogen atau sangat 11. bervariasi tergantung pada selera dan kemampuan biaya pengelola lahan atau kebun. Keunggulan kebun rakyat adalah pengembangan atau pembudidayaan suatu jenis tanaman yang bersifat peningkatan nilai ekonomi baik hasil kayu maupun buah dan jenis nilai ekonomi lainnya.

Rehabilitasi teras dan tanaman sealiran dengan pengolahan terasering 12. yang betul-betul diupayakan berdasarkan kebutuhan pengamanan lahan serta kemampuan melaksanakannya. Terasering yang bagus jika diimbangi dengan pengelolaan tanaman, baik tanaman bernilai ekonomi maupun yang hanya sekedar untuk pengaman teras alias peredam laju erosi.

Program UPSA, UPSA adalah Usaha Pelestarian Sumber daya Alam. Jenis 13. konservasi ini lebih menekankan konservasi lahan. Konservasi lahan dan konservasi air dapat berjalan bersama ataupun sinergi. Praktik konservasi ini sudah diterapkan secara serempak untuk berbagai wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) di Indonesia, diprakarsai oleh saat itu bernama Departemen Kehutanan, yang kini adalah Kementrian Kehutanan, khususnya DitJend. PHPA, bekerja sama dengan Bakosurtanal pada saat itu tahun 1985 hingga tahun 1989.

Page 175: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Peran Informasi Geospasial untuk Arahan Upaya Konservasi Airdi Kabupaten Bogor Guna Mitigasi Bencana Banjir Jakarta

145

Karang Kitri, pada umumnya dipraktikkan pada wilayah pekarangan 14. dengan pengelolaan tanaman yang lebih cenderung pada tanaman buah-buahan. Selain tujuan konservasi, ada tujuan peningkatan penghasilan maupun kebutuhan lumbung pangan, tanaman sayuran, palawija, termasuk tanaman obat yang sering disebut sebagai apotek hidup, kolam ikan di pekarangan, peternakan terbatas, tanaman hias, serta tanaman fungsi lindung.

Sumur resapan merupakan tabungan air hujan yang kapasitas daya 15. tampungnya paling banyak. Banyaknya air yang terserap sesuai besaran sumur dan daya resap tanah serta teknik pembuatan maupun bahannya. Keunggulan sumur resapan berkapasitas besar dan jauh lebih awet dari pada jenis konservasi atau metode resapan lainnya. Namun demikian karena untuk membuat sumur resapan lebih banyak modal, maka kelemahannya adalah masalah membuat oleh faktor modal. Tentang pembuatan sumur resapan untuk antisipasi peringanan dampak bencana banjir Jakarta, Mantan Gubernur DKI Wiyogo Purwodarminto pernah mengeluarkan Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 115 Th 2001 Tentang Pembuatan Sumur Resapan yang kini diubah dengan Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 68 Th 2005. Penulis mempraktikkan membuat sumur resapan dengan biaya patungan dengan tetangga pada tahun 2002 dengan kapasitas 3 meter kubik untuk sekali hujan lebat. Pembuatan terebut berdasar himbauan Gubernur Jakarta melalui massmedia dan dasar kesadaran pentingnya sumur resapan.

Penanganan tebing sungai belum tertangani dengan baik karena tebing 16. sungai merupakan medan yang sulit dan perlu sangat kehati-hatian dalam pemanfaatan sebagai pengamanan penggunaan air pada musim penghujan khususnya. Penanganan tebing sungai lebih memerlukan modal besar sehingga harus dikerjakan dengan penuh kecermatan, teknik pembangunan, dan modal yang pasti hanya dapat dilakukan oleh pemerintah maupun swasta jika ada kepentingan yang lebih menguntungkan. Penampungan air pada musim hujan dan bahkan

Page 176: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

146

berdampak potensi banjir akan lebih memungkinkan dilakukan di tebing sungai yang tipe aliran relatif stabil, dasar sungai yang rata, dan kondisi tebing maupun tanahnya sangat memungkinkan.

Kegunaan teknik resapanAda beberapa kegunaan atau manfaat secara langsung maupun tidak langsung atas keberhasilan penerapan teknik resapan (Sunarto, K., 2006) yaitu meliputi beberapa hal sebagai berikut ini.

peningkatan daya resap melalui infiltrasi dan perkolasi sebagai proses -penyediaan air tanah secara alami

penghambat aliran permukaan yang berarti menekan laju erosi -

pengendali banjir pada musim penghujan khususnya wilayah yang lebih -ke arah hilir.

peningkatan kelembapan tanah permukaan -

pemenuhan kebutuhan air tanah bagi manusia, hewan, tumbuh- -tumbuhan, dan biota lainnya

pelestarian ekosistem alam khususnya di permukaan tanah -

pengencer bahan limbah di musim kurang hujan/kemarau/musim -kering

penggelontor bahan limbah di suatu lokasi maupun sepanjang aliran -akumulasi bahan limbah.

Risiko BencanaMenurut Ronny Kountur dalam buku Manajemen Risiko, arti Risiko adalah kemungkinan kejadian yang merugikan. Ketiga kata penting tersebut menjadi satu keterkaitan bahwa risiko akan menjadi nyata apabila ada kejadian, ada faktor pendorong yaitu kemungkinan, dan akibat yang terjadi adalah kerugian. Besar-kecilnya resiko ada hubungannya dengan kedahsyatan bencana, kepadatan penduduk yang menghuni kawasan rawan bencana, keramaian aktivitas pada saat kejadian, maupun tingkat kepentingan atau

Page 177: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Peran Informasi Geospasial untuk Arahan Upaya Konservasi Airdi Kabupaten Bogor Guna Mitigasi Bencana Banjir Jakarta

147

potensi lahan atas aset dan infrastruktur yang ada. Banyak bencana terjadi di kawasan bisnis aktif seperti halnya di pusat perbelanjaan, pusat wisata, dan di gedung aset pemerintah maupun swasta. Dalam kondisi yang demikian maka pendekatannya dapat secara wilayah administratif maupun wilayah non administratif.

Jenis-jenis risiko bencana alam adalah : degradasi lingkungan, berkurang makna dan potensi sumber daya alam, pembangunan yang asal-asalan dan salah kebijakan, merosotnya kualitas sumber daya manusia, semakin tidak diindahkannya peraturan dan perundangan yang sah, kelaparan lahan, rusaknya penutup lahan, menurunnya nilai aset lahan, dan komoditas pertanian. Tidak tegaknya hukum sehingga banyak kekacauan yang memperparah situasi dampak bencana.

Banjir dapat merusak bentang lahan yang dilalui dan digenangi serta merusak tanaman dan mengancam gagal panen. Berkurangnya air tanah aquifer berakibat kekurangan air untuk kebutuhan sumur masyarakat maupun terhadap tanaman. Kekeringan menyebabkan gagal panen maupun mati hingga punahnya bibit tanaman maupun ikan.

Kita sadari bersama bahwa air merupakan sumber kehidupan utama bagi semua makhluk hidup. Kebutuhan manusia akan air berawal hanya untuk memenuhi kebutuhan yang sederhana seperti untuk minum dan memasak, namun dengan semakin berkembangnya kebutuhan maka pemanfaatan air ini semakin beragam dalam kegiatan kehidupan dan terus meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk. Saat ini air selain digunakan sebagai keperluan rumah tangga juga digunakan untuk kebutuhan pertanian, peternakan, industri, fasilitas umum ataupun kebutuhan pariwisata. Sumber air melimpah pada umumnya pada daerah iklim basah dan tutupan vegetasi masih tergolong lebat, ataupun pada kawasan yang penggunaan lahannya masih memerhatikan asas resapan air hujan. Untuk wilayah yang sebaliknya, yaitu yang dasar curah hujannya relatif rendah, porositas tanah tinggi, dan tutupan vegetasi jarang hingga terbuka, maka akan berwujud lahan gersang. Lahan tersebut secara pertanian sulit diupayakan karena kondisinya serba

Page 178: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

148

krisis sehingga disebut sebagai lahan marginal. Sekitar 2 atau tiga dekade terakhir ini di Pulau Jawa pada umumnya telah terjadi krisis air karena sudah sangat tipisnya lahan hutan dan semakin terbukanya lahan untuk pertanian dan pemukiman serta untuk bangunan industri dan perkotaan. Semakin banyaknya para pengguna air tanah akan semakin berdampak pada proses pemanfaatan air permukaan seperti halnya sungai, sumur, embong, dan danau di kawasan pedesaan. Untuk kawasan perkampungan, perkampungan padat, dan perkotaan penurapan air dari dalam tanah, baik air tanah dangkal maupun air tanah dalam yang semakin terkuras. Untuk kawasan pemukiman tertentu yang juga padat industri, air tanah paling banyak diperebutkan dengan cara dikuras dengan pompa besar khusus untuk sumur air dalam.

Penurapan yang lebih besar dari pada pemasukan air hujan ke dalam tanah yang menjadi aquifer akan semakin berdampak pada bencana hidrologik kekeringan (Sunarto, 1994), baik terhadap kekeringan permukaan tanah maupun kekurangan air untuk kehidupan berbagai biota darat maupun biota air, turunnya muka tanah, dan terancamnya kestabilan bangunan.

Menurut Sitanala Arsyad, metode Konservasi Tanah dan air ada 5 yaitu metode vegetatif, mekanik, kimia, konservasi air, dan kualitas air. (Arsyad, S.,2010 halaman 167, 243–257). Dalam kajian ini penulis memberikan arah pada empat tipe atau jenis resapan pada program konservasi air, yaitu optimalisasi resapan dengan teknik:

vegetatif konservasi alami1.

rorak atau parit buntu yang pada umumnya berbarengan dengan 2. terasering

sumur resapan3.

biopori4.

Keempat teknik atau jenis resapan tersebut mempunyai semacam persyaratan yang berbeda walaupun ada beberapa persamaan.

Dari empat jenis utama resapan tersebut, di wilayah kabupaten Bogor sudah pernah digiatkan, namun kelanjutan dan pemeliharaannya mengalami

Page 179: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Peran Informasi Geospasial untuk Arahan Upaya Konservasi Airdi Kabupaten Bogor Guna Mitigasi Bencana Banjir Jakarta

149

berbagai hambatan. Baru sebagian yang diprogramkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor yaitu Pembuatan Dam Pengendali, Dam Penahan, Teras Bangku, dan Sumur Resapan. Beberapa tahun terakhir ini IPB mempelopori program biopori.

Tentang sumur resapan, hingga 1989 masih sangat terbatas dan hingga kini tahun 2014 jumlah unit yang dibangun juga masih sangat terbatas. Sebagai contoh dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini.

Tabel 1. Perbandingan antara rencana dengan realisasi program sumur resapan di Kecamatan Cisarua, Kawasan Puncak, Bogor.

No. Nama DesaJumlah sumur yang ideal dibuat

dan ditargetkanRealisasi sumur resapan yang

dibuatD1 D2 Jumlah1. Citeko 1.923 585 2.508 02. Kopo 1.524 464 1.988 523. Cisarua 4.453 1.354 5.807 174. Leuwimalang 2.103 639 2.742 05. Sukagalih 1.617 492 2.109 06. Cibeureum 1.998 633 2.631 347. Batulayang 1.881 596 2.477 08. Jogjogan 1.284 407 1.691 09. Tugu Selatan 2.923 926 3.849 4510. Tugu Utara 3.148 997 4.145 4911. Cilember 2.032 644 2.676 0

24.886 7.737 32.623 197Sumber: Dinas Perhutanan dan Konservasi Tanah, Sub DAS Cibogo/Cisarua, Kab.

Bogor,1989.

Sebanyak 197 dari 32.623 sumur yang direncanakan adalah 0.60 %, berarti luar biasa sangat kecilnya persentase pencapaian target, dengan kata lain sukar ditargetkan. Dari kecilnya target tersebut maka perlu terobosan yang harus dicari untuk mempercepat pelaksanaan kontribusi, baik pemerintah, swasta, masyarakat, dan para peneliti serta mahasiswa yang berjiwa kuat serta membangun untuk ambil bagian.

Page 180: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

150

Menurut Sumarwoto, O., 1994 hal. 186, bahwa pengelolaan proyek pembangunan janganlah sektoral semata namun secara kebersamaan dan keberlanjutan. Sebagai contoh cepatnya pendangkalan bendungan dan rusaknya proyek-proyek konservasi tanah dan air. Hingga sekarang banyak diantara masalah itu tidak diidentifikasi dan dibiarkan saja.

Tabel 2. Kriteria untuk beberapa jenis resapan pada skala tinjau

Jenis resapan Penutup lahan/ Penggunaan lahan Kemiringan( % )Sumur resapan Pemukiman, kawasan industry dan

perkantoran3–8

8–15Rorak atau Parit buntu

Ladang, tegal, kebun campuran, hutan rakyat

8–15 dan 15–25

biopori Pekarangan, Tanaman campuran 3–25Vagetatif Kawasan hutan alam, hutan industry,

hutan rakyat15–>100

Kegagalan upaya konservasi air berdampak pada bencana hidrologisBerbagai bencana yang mungkin timbul jika program resapan gagal adalah:

Banjir bandang maupun banjir genangan pada musim penghujan 1.

Kekeringan dan kekurangan air tanah yang berdampak langsung 2. terhadap manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan serta biota lainnya

Wabah penyakit yang beraneka ragam berarti ancaman bagi kesehatan 3. manusia

Terjadi konsentrasi limbah di tubuh air permukaan maupun di tubuh 4. air tanah

Intrusi air laut dan subsiden, penurunan posisi bangunan bertingkat5.

serta punahnya beberapa sub sistem dari suatu ekosistem oleh dampak 6. kekeringan maupun dampak terendam.

Page 181: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Peran Informasi Geospasial untuk Arahan Upaya Konservasi Airdi Kabupaten Bogor Guna Mitigasi Bencana Banjir Jakarta

151

PENYIAPAN DAN KETERSEDIAAN DATAData utama yang dapat menghasilkan sebaran jenis resapan dalam upaya konservasi, yang pertama adalah Peta Penggunaan Lahan terbaru yang memuat data dan informasi tentang berbagai jenis penggunaan lahan. Kemudian yang kedua adalah Peta Lereng yang dihasilkan dari proses data citra SRTM. Dengan proses overlay menggunakan kedua peta tersebut di atas dan dengan menggunakan tabel kriteria, maka akan menghasilkan peta utama yang disebut sebagai Peta Sebaran Tipe Resapan Air di Kabupaten Bogor. Karena skala yang digunakan dan dihasilkan 1:250.000, maka disebut sebagai skala tinjau. Peta skala tinjau sifatnya hanya untuk arahan kesesuaian untuk program konservasi.

Citra SRTM sebagai sumber data untuk pembuatan peta kelas lereng

Peta kelas lereng

Peta Penggunaan Lahan wilayah Kabupaten Bogor

Gambar 2. Data citra dan peta utama untuk dianalisis dengan teknik overlay

Page 182: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

152

Untuk mendapatkan peta berskala operasional diperlukan peta dasar skala besar yaitu skala 1:10.000 yaitu peta rupa bumi ditambah data dan informasi geospasial seperti halnya peta lereng, kemampuan tanah, penggunaan lahan terbaru dan peta iklim khususnya curah hujan, serta Peta Tata Ruang. Maka peta operasional dapat tercapai.

Peta Kemampuan Tanah Peta Tata ruang wilayah Kabupaten Bogor

Peta curah hujan wilayah Kabupaten Bogor

Peta sistem lahan

Gambar 3. Beberapa peta pelengkap untuk penyiapan skala operasional

Ada beberapa parameter geospasial penting yang perlu diperhatikan dalam program peresapan terutama yang berkaitan dengan resapan buatan. Adapun jenis parameter tersebut adalah sebagai berikut:

Jenis, kedalaman, dan tekstur tanah khususnya tingkat porositasnya. 1. Data dan informasi tersebut terkandung pada peta kemampuan tanah.

Tingkat kemiringan lereng, menyajikan rambu-rambu kelerengan yang 2. mengandung petuk tingkat kebolehan maupu jenis konservasi yang boleh dan yang tidak boleh untuk dilakukan.

Page 183: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Peran Informasi Geospasial untuk Arahan Upaya Konservasi Airdi Kabupaten Bogor Guna Mitigasi Bencana Banjir Jakarta

153

Tinggi rendahnya posisi air tanah dapat dicerminkan oleh peta 3. penggunaan lahan.

Tipe topografik yang dapat ditampilkan dalam peta satuan sistem dan 4. bentuk lahan.

Tipe vegetasi dan kualitas penutup lahan dapat dilihat pada peta 5. penggunaan lahan.

Data iklim terutama presipitasi dan rata-rata curah hujan ada pada peta 6. sebaran curah hujan.

Pola pemukiman dan kepadatan bangunan untuk prediksi jumlah dan 7. sebaran sumur resapan tersedia pada peta penggunaan lahan dan citra penginderaan jauh. Dengan demikian peta citra penginderaan jauh sangat penting, khususnya yang berskala besar.

Peta Penggunaan Lahan, mengandung data dan informasi geospasial sebagai peta pokok untuk menyumbangkan perannya pada peta arahan konservasi.

Peta Tata Ruang, sesuai perannya dapat digunakan sebagai acuan bagi daerah yang sesuai untuk penerapan sistem resapan buatan maupun yang alami.

Peta Kemampuan Tanah berbeda dengan peta jenis tanah. Untuk kepentingan kajian resapan air, peta kemampuan tanah lebih baik dan lebih informatif. Perlu diketahui bahwa peta kemampuan tanah sangat jarang dan sangat terbatas ketersediaannya. Untuk peta jenis tanah hampir tersedia di seluruh wilayah NKRI, namun menggunakan data dan informasi pada peta jenis tanah ini masih banyak kesulitan untuk diketahui tingkat resapannya.

Peta satuan sistem dan bentuk lahan adalah peta yang mengandung data dan informasi tentang proses pembentukan permukaan lahan, jenis batuan induk sebagai bahan utama material formasi tata hidrologis. Oleh karenanya peta ini sangat berguna untuk bahan pertimbangan dalam kontribusinya terhadap kepentingan konservasi tanah dan air. Peta satuan sistem dan bentuk lahan dapat dilihat pada Gambar 5 berikut ini.

Page 184: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

154

Peta curah hujan menunjukkan informasi curah hujan rata-rata tahunan, dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan jenis maupun tipe resapan yang sesuai. Peta tersebut menunjukkan beberapa daerah yang banyak hujan maupun sedikit hujan. Besaran curah hujan juga berguna dalam pertimbangan jenis resapan yang dibuat dan diusahakan.

Peta kelas kemiringan lereng menunjukkan data dan informasi yang membedakan antara daerah yang sangat landai, landai, miring sedang, sangat miring, berlereng curam, sangat curam hingga terjal. Kelerengan dinyatakan dalam % berarti bahwa 100% sama dengan 450. Masing-masing kelas lereng dinyatakan dalam jenis warna yang berbeda. Berdasarkan keselarasan maupun aturan bahwa identifikasi kesesuaian resapan buatan tidak dianjurkan bahkan dilarang untuk kawasan yang berlereng curam. Untuk informasi rincinya sebagai berikut.

Wilayah yang sangat landai ( 0–2%), jenis konservasinya sangat terbatas 1. dan sangat selektif karena air tanah pada umumnya sangat dangkal.

Wilayah landai (2–8%) jenis konservasi yang sesuai adalah biopori dan 2. sumur resapan.

Wilayah miring sedang (8–15%) paling banyak jenis konservasi yag 3. dapat diaplikasikan, antara lain sumur resapan, rorak, biopori, dan teras

Wilayah miring agak berat (15–25%) tipe resapan biopori, sumur 4. resapan, rorak, dan terasering.

Wilayah sangat miring (25–40%) jenis terasering dan rorak serta 5. vegetasi.

Wilayah berlereng curam (40–100%) teras dan vegetasi serta jenis 6. konservasi tertentu

Wilayah yang berlereng di atas 100% hinga terjal, jenis resapan 7. alamiah dan vegetatif mutlak diperlukan dan sebagai wilayah lindung sepenuhnya.

Page 185: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Peran Informasi Geospasial untuk Arahan Upaya Konservasi Airdi Kabupaten Bogor Guna Mitigasi Bencana Banjir Jakarta

155

Beberapa tingkatan kriteria kesesuaian untuk beberapa jenis konservasi pada skala operasional.

Tabel 3. Kriteria kesesuaian sistem resapan untuk skala operasional

Sistem dan

Media Resapan

Tipe enggunaan

Lahan

Lereng Tanah Bentuk Lahan

Vegetatif Hutan, semak belukar, rumput, lahan terbuka berbatu

Miring, sangat miring, curam hingga terjal >40%

berbatu, pasir, cadas. Tanah lempung, solum tipis hingga sedang

Gunung, pegunungan, perbukitan, lahan marginal

Rorak Ladang dan tegal serta tanaman campuran maupun hutan produksi, hutan rakyat

8–40% Gembur hingga agak liat, solum tebal hingga sedang

Lahan bergelombang atau berombak

Sumur resapan

Perumahan 8–25 % Debu dan pasir, solum tebal, sangat tebal

Dataran yang punya – kemiringan cukup

Biopori Halaman dan lapangan, kebun campuran dan tanaman campuran

3–25% Debu dan pasir, solum sedang hingga tebal

Dataran yang punya – kemiringan cukup

Sebaran kesesuaian lahan untuk aplikasi teknis resapanUntuk aplikasi konservasi air hampir setiap lokasi berbeda jenis maupun tipe resapannya dalam suatu praktik konservasi yang aman. Oleh karena faktor keamanan agar tidak terjadi bencana dampak upaya konservasi,

Page 186: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

156

maka perlu diketahui kesesuaian yang optimal maupun kemungkinan jenis resapan yang boleh atau tidak boleh diaplikasikan. Dari dasar pengertian tersebut, maka perlu dibuat atau dinyatakan kriteria kesesuaiannya. Sebaran kesesuaian praktik beberapa jenis resapan pada skala tinjau, cukup dengan mengombinasi atau melakukan overlay dua macam peta, yaitu peta penggunaan lahan dengan peta lereng. Dengan menggunakan cara tersebut dapat diketahui gambaran sebaran di wilayah mana saja masing-masing dari empat jenis resapan secara optimal boleh dilakukan. Untuk skala yang lebih besar atau skala rinci dan alangkah baiknya jika kriterianya menggunakan yang lebih lengkap, syukur ada peta skala besar pula.

Dengan menggunakan kriteria tersedia, maka dapat dihasilkan sebaran wilayah yang paling optimal jika akan dilakukan program konservasi berdasarkan jenis resapan yang paling baik dan aman. Baik dalam arti memiliki potensi resapan yang optimal, sedangkan arti aman adalah bahwa dengan menerapkan jenis resapan tertentu sesuai arahan tersebut tidak menimbulkan bencana hidrologik termasuk dampak longsor lahan dan kejenuhan lahan.

Jika lereng lebih dari 40%, penggunaan lahan apapun, khususnya hutan 1. konservasi, hutan lindung dan hutan penyangga, maka jenis resapan yang paling baik adalah vegetatif alami.

Jika dalam skala tinjau tergolong datar padahal pada skala besarnya 2. merupakan tepi sungai yang punya kemiringan terjal namun tidak terpetakan, maka kondisi kenyataan lapangan menjadi acuan utama.

Untuk menghasilkan skala tinjau, dengan melakukan overlay peta penggunaan lahan dan peta lereng masing-masing berskala 1:250.000

PETA HASILPeta berikut merupakan hasil overlay antara peta penggunaan lahan dan peta lereng. Ada 4 jenis resapan yang dapat diterapkan secara optimal. Masing masing jenis atau tipe resapan digambarkan dengan 4 jenis warna berbeda.

Page 187: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Peran Informasi Geospasial untuk Arahan Upaya Konservasi Airdi Kabupaten Bogor Guna Mitigasi Bencana Banjir Jakarta

157

Ada beberapa wilayah Kabupaten Bogor sebagai wilayah kajian yang tidak berwarna atau tetap tergambar dasar putih. Hal ini dapat dikategorikan sebagai ada kemungkinan dapat dilakukan teknis resapan tertentu namun tidak optimal atau memang tidak disarankan untuk dilakukan suatu jenis resapan dengan alasan tidak masuk ke dalam syarat kriteria maupun jenis penggunaan lahan tertentu seperti halnya sawah, rawa, danau, situ maupun penggunaan lahan non kriteria. Gambar 4 berikut merupakan gambaran sebaran secara spasial kawasan yang baik untuk dilakukan konservasi secara opimal.

Keterangan gambar:

Warna ungu adalah wilayah hutan alam, puncak gunung, hutan lindung, 1. hutan bambu, dan lahan berlereng diatas 40% yang paling cocok adalah konservasi vegetasi alami.

Warna kuning adalah simbol pada wilayah yang sesuai untuk konservasi 2. tanah dengan cara terasering sehingga konservasi airnya dengan model resapan pembuatan rorak atau parit buntu. Penggunaan lahan yang mengindikasikannya adalah hutan rakyat, hutan produksi, perkebunan, tanaman campuran, lading, dan tegal.

Warna biru adalah simbol bagi wilayah yang paling cocok jika 3. dilakukan biopori. Biopori merupakan upaya konservasi paling aman dan mudah serta murah dibandingkan dengan cara lainnya serta dapat juga dikombinasikan dengan sistem lainnya. Namun demikian biasanya pada penggunaan lahan yang lebih produktif atau pengelolaan lahan yang lebih intensif.

Warna merah oranye adalah wilayah pemukiman sehingga paling sesuai 4. adalah jenis sumur resapan. Cucuran dari atap alias air hujan murni langsung disalurkan ke dalam sumur resapan. Sumur resapan sangat bervariasi ukuran dan bentuk walaupun fungsinya sama. Pembuatan sumur resapan tergolong mahal, oleh karenanya diperlukan aturan perundang-undangan maupun Perda agar dibuat sesuai aturan yang berlaku.

Page 188: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

158

Gambar 4. Sebaran wilayah kesesuaian jenis resapan air dalam upaya konservasi

3. DESKRIPSI HASILDari gambar hasil kajian tersebut dapat diketahui jenis konservasi dan sebarannya, serta dapat dihitung luasannya sebagai tabel berikut ini. Angka luasan ada kemungkinan berbeda dengan data yang sudah ada karena penghitungan menggunakan peta yang berbeda skala ataupun adanya perubahan batas wilayah kabupaten yang tidak diikuti informasi luasan yang baru. Data yang dihitung dan tertera berikut ini dilakukan dari data dan informasi tersedia pada proses SIG.

Page 189: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Peran Informasi Geospasial untuk Arahan Upaya Konservasi Airdi Kabupaten Bogor Guna Mitigasi Bencana Banjir Jakarta

159

Tabel 4. Data luas jenis atau tipe resapan di wilayah Kabupaten Bogor.

No Tipe Resapan Luas (Ha) Luas (km2)

1 Biopori 103.076 1030,762 Rorak dan Terasiring 32.000 320,003 Sumur Resapan 27.553 275.534 Konservasi Alami 65.781 657,815 Lain-lain 68.938 689,38Total luas 297.348 2.973,48

Dalam bagian buku ini ada 4 jenis resapan yang diungkapkan sebagai berikut ini.

Resapan alami dan vegetatif, pada umumnya berada pada kemiringan 1. lereng di atas 40% atau kemiringan sedang, sangat miring, hingga terjal. Pada umumnya berupa lahan hutan sebagian lahan pertanian terbatas.

Rorak atau parit buntu pada umumnya dapat diterapkan pada lahan 2. kemiringan rendah, sedang, hinggga sedikit di atas sedang. Penggunaan lahan pada umumnya lading tegal, tanaman campuran, dan sawah tadah hujan. Model pengolahan lahan cara terasesing dan guludan biasanya bersamaan pada lokasi yang sama, kemiringan 15–40 %..

Biopori, sebaran lokasinya ada di wilayah tanaman campuran, hutan 3. rakyat, pekarangan, dan lahan terbuka seperti halnya tepi lapangan dan halaman rumah 3–25 %..

Sumur resapan, pada umumnya berlokasi sesuai di lingkungan 4. perumahan khususnya perumahan teratur, pengguna talang air hujan, dan berkemiringan lahan agak miring hingga kemiringan sedang antara 8–25 %.

Di manakah sebaran jenis konservasi dilakukan?

Gambar 4 dan penjelasannya merupakan jawaban dimanakah data wilayah sebaran jenis konservasi tersebut dapat dilakukan serta Tabel 4 merupakan informasi luasannya. Sebagai gambaran penanggung jawab utama atau pelaksana utama juga dapat diketahui sebagi berikut ini.

Page 190: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

160

Konservasi yang berifat vegetatif dan alami sudah dikembangkan di 1. kawasan hutan, baik hutan konservasi, hutan lindung, maupun hutan penyangga. Kegiatan ini sepenuhnya program pemerintah, khususnya Kementerian Kehutanan maupun lembaga konservasi Daerah Aliran Sungai dan sebagainya.

Rorak diaplikasikan di kawasan hutan produksi, hutan rakyat, maupun 2. ladang dan tegal yang lakukan oleh masyarakat petani. Kesadaran pembuatan rorak masih sangat terbatas. Praktik pembuatan rorak atau parit buntu biasanya merupakan satu paket dengan terasering. Praktik konservasi lahan berupa terasering telah banyak dilakukan di lahan miring seperti halnya sawah, ladang dan tegal, lahan basah maupun lahan kering. Kegiatan dan perawatan terasering ini pada umumnya sudah bersifat umum dilakukan oleh para petani maupun penggarap dengan kesadaran pribadi untuk mempertahankan keamanan bahaya longsor maupun kegersangan.

Sumur resapan diaplikasikan di kawasan pemukiman, walaupun 3. jumlahnya masih sangat terbatas. Penanggung jawab utama adalah para pengembang pemukiman maupun kesadaran masyarakat.

Program biopori hampir mirip fungsinya dengan sumur resapan, hanya 4. skala ukurannya yang relatif kecil dan dapat dilakukan dengan mudah dan murah. Oleh karena itu, para pelaksana akan lebih cenderung bersifat perorangan serta secara swakarsa. Dapat juga program biopori diatur dengan Perda sehingga lebih serentak dalam kebersamaan.

Faktor pendukung dalam perencanaan pembangunan beberapa jenis resapan adalah berdasarkan kondisi geografi bentang lahan sebagai berikut ini:

Kondisi lereng lahan sangat memengaruhi kecepatan aliran permukaan 1. maupun laju infiltrasi dan perkolasi yang berkaitan dengan pola vegetasi penutup. Dengan demikian untuk lereng yang lebih miring penekanannya adalah untuk terasering, lahan yang bergelombang relatif bagus untuk pembuatan lubang-lubang air maupun parit-parit buntu. Untuk kondisi lereng landai paling bagus untuk dibuat sumur resapan,

Page 191: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Peran Informasi Geospasial untuk Arahan Upaya Konservasi Airdi Kabupaten Bogor Guna Mitigasi Bencana Banjir Jakarta

161

untuk tebing sungai sebaiknya ditanami tanaman-tanaman penahan longsor yang sekaligus penahan kelembapan. Untuk lereng terjal tidak baik dibuat artificial recharge yang bagus adalah pemeliharaan vegetasi penutup yang alami.

Penggunaan lahan ada fungsi peresapan air yang terpengaruh langsung 2. terhadap teknik pengolahan lahan maupun pola vegetasi penutup lahan.

Jenis tanah dan tekstur serta sifat fisik terhadap air sangat menentukan 3. tingkat laju infiltrasi dan perkolasi serta sifat permeabilitas tanah yang mampu mengatur kandungan air tanah pada suatu lapisan secara luas. Daerah yang demikian water holding capasity-nya tinggi. Oleh karenanya, ada jenis tanah yang sangat bagus, kurang bagus, agak jelek hingga kurang bagus untuk dibuat suatu tipe resapan.

Kondisi geologi, bahwa sifat litologi dan formasi geologi dapat berfungsi 4. aquifer dan fungsi kontrol bagi siklus hidrologi air tanah.

Curah hujan juga memengaruhi jumlah yang diresapkan, kurang lebih 5. berbanding lurus antara volume curah hujan dengan jumlah yang teresapkan ke dalam tanah, baik dengan cara perkolasi, infiltrasi, dll.

Pola tata air juga sangat menentukan jenis-jenis resapan. 6.

Daerah yang drainasenya bagus pada umumnya sumur resapan juga akan bagus serta berkualitas. Untuk daerah cekungan sudah tidak perlu sumur resapan. Beberapa hal yang dilarang membuat resapan pada lereng curam, dekat tebing sungai, daerah berair tanah dangkal, daerah labil, atau tanah merayap, serta mudah longsor.

Dari wilayah kajian yaitu wilayah Kabupaten Bogor sebagai wilayah hulu hingga hilir merupakan sumber bencana bagi Kota Jakarta, baik dimusim hujan sebagai sumber limpahan air, maupun kekeringan dimusim kemarau. Hal ini menjadi semakin parah dan menjurus kepada bencana hidrologis jika konservasi air gagal. Ketebalan lapisan tanah pada masing-masing satuan lahan mempunyai kapasitas serap dan ketersediaan air yang berbeda. Wilayah

Page 192: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

162

tropis basah yang alamiahnya lebih murni pada umumnya lebih tercukupi persediaan airnya, sebaliknya wilayah yang banyak terbuka ataupun wilayah yang heterogenitas penggunaan lahannya sangat tinggi. Jika konservasi air tidak diperhatikan, maka akan sangat berdampak pada kondisi timpang antara kondisi surplus dan minus. Dampak keganjilan atau gap yang sangat tinggi dapat menimbulkan bencana hidrologis. Bencana hidrologis dapat ditandai, yaitu pada musim hujan kelebihan stok air hingga banjir dan musim kemarau sangat kering, berdampak pada timbulnya bencana hidrologi, wilayah praktik konservasi maupun lokasi sekitar. Situasi demikian yang semakin ekstrem , khususnya yang lebih hilir pada umumnya lebih cukup air. Posisi Jakarta lebih hilir dari pada wilayah Bogor, maka untuk mengatasi bencana hidrologi khususnya wilayah Jakarta yang berupa kekurangan air tanah dan banjir dapat direda dengan praktik konservasi wilayah Bogor yang lebih optimal. Semakin berkurangnya penutupan vegetatif dan semakin banyaknya bangunan, berdampak pada semakin kurang resapan air ke dalam tanah. Masuknya air hujan ke dalam tanah akan mengisi aquifer yang berfungsi sebagai cadangan kecukupan air tanah serta stabilitas kecukupan air dalam tanah. Jika curah hujan pada musim penghujan tidak teresapkan secara optimal, maka akan terjadi bencana hidrologik. Bencana hidrologik yang dimaksud dalam kajian ini adalah banjir pada musim hujan dan kurangnya air tanah dan kekeringan pada musim kemarau. Permasalahan yang muncul adalah dengan cara apa dan dimanakan agar pemasukan air atau infiltrasi sebagai recharge di daerah tangkapan dapat terwujud.

Strategi pelaksanaanJaga hutan yang ada, tingkatkan kualitas dan perannya1.

Perbanyak dan tingkatkan beberapa model resapan, kapasitas, jenis serta 2. jumlahnya

Perdalam kapasitas tampungan air situ, danau, waduk, embung, maupun 3. rawa

Tingkatkan peran lahan basah termasuk sawah4.

Page 193: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Peran Informasi Geospasial untuk Arahan Upaya Konservasi Airdi Kabupaten Bogor Guna Mitigasi Bencana Banjir Jakarta

163

Pembangunan, perbaikan, dan perawatan teras-teras serta parit buntu 5. atau rorak

Patuhi aturan konservasi, peraturan, dan undang-undang yang berlaku6.

Perbanyak, perluas tanaman, hutan industri, dan karang kitri7.

Tingkatkan perawatan berbagai bentuk/macam bangunan konservasi8.

Bangun lahan gundul dan lahan tidur dengan program penghijauan.9.

Siapa Sajakah Pelaksana Konservasi?Banyak pihak perlu dan wajib menjaga kelestarian lingkungan hidup, demi kelangsungan hidup dan kehidupan bersama. Khususnya perhatian terhadap kepentingan hidup masyarakat berpenduduk padat yang kondisi lingkungannya sangat terkait dengan kenyamanan dan kesehatan di wilayah yang sarat kesemrawutan dan kekumuhan. Mitigasi bencana hidrologis berupa banjir dan kekeringan air sumur wilayah hilir sangat mengharapkan keberhasilan program konservasi. Untuk mengamankan wilayah hilir yaitu Ibu Kota Jakarta perlu dan bahkan wajib dilaksanakan secara seksama melalui perencanaan yang baik, pelaksanaan yang serius secara serempak bagi para pelaku kepentingan. Dari sisi kewenangan dapat dimulai dari kerjasama pemerintah antar wilayah administratif sewilayah Jabodetabek kemudian secara komunitas masyarakat yaitu kesadaran warga masyarakat secara bersama maupun secara individu atau pribadi. Jika ditinjau dari sisi kesadaran dan rasa tanggung jawab yang mengemban amanat Tuhan Sang Pencipta Alam Semesta, maka konservasi dilakukan oleh para pemerhati lingkungan melalui penjiwaan, kesadaran, dan upaya swakarsa terlebih dahulu kemudian mengajak kebersamaan masyarakat setempat atau sekitar yang juga harus ditopang sepenuhnya melalaui program yang jelas dari pemerintah.

Page 194: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

164

Kapan Dilakukan Perawatan Sarana Konservasi?Untuk mengamankan Kota Jakarta dari ancaman banjir besar telah lama dilakukan konservasi oleh penjajah Belanda, namun kurang perawatan, terbukti oleh dibangunnya saluran Banjir Kanal Barat dan Banjir Kanal Timur serta beberapa dam pengendali, bendungan Katulampa dan beberapa bendungan lainnya serta banyak pemeliharaan situ. Konservasi air dan tanah di wilayah Bogor dan sekitarnya yang sudah lama terbangun tidak diimbangi dengan pemeliharaan dan peningkatan kapasitas konservasinya. Saluran dibenahi, waduk atau situ dikeruk diperdalam, dam-dam pengendali dibenahi, parit buntu atau rorak diperdalam, sumur resapan diperbanyak, gerakan biopori dilaksanakan bersama, penyuluhan pengolahan lahan yang bermuatan konservasi digalakkan dan jenis koservasi baru diciptakan, minimalnya untuk mengimbangi recharge yang semakin menyempit dan terbatas, sementara discharge-nya semakin gencar dan banyak.

Berbagai Model Pemeliharaan dan Peremajaan Teknik Konservasi Air.

Suksesi Alam atau Pelestarian Hutan Lindung, perlu ditegaskan oleh 1. pihak Kementerian Kehutanan agar hutan alami baik berupa semak belukar maupun hutan primer atau hutan belantara yang jauh dari jamahan para perambah hutan, lokasi pada wilayah yang curam, berbatu sulit ditempuh, dan sifat serta kodisi hutannya lebih stabil. Hutan tersebut perlu diawasi terhadap para perambah hutan maupun bahaya kebakaran. Keberadaan hutan didukung pelaksanaan undang-undang dan peraturan yang berlaku wajib dipasang rambu dan peringatan secara jelas, bukan ancaman dan merata diberbagai penjuru dengan kalimat larangan dasar undang-undang, himbauan, dan bahkan sanjungan antara lain ‘barbahagialah kalian para pelindung satwa dan hutan lindung’. Perlu disadari bahwa jika terjadi kerusakan, proses reboisasi akan memerlukan biaya, tenaga, dan waktu yang sangat besar serta mahal. Tipe resapan alamiah yang terjadi di kawasan ini berlangsung secara alami penuh.

Page 195: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Peran Informasi Geospasial untuk Arahan Upaya Konservasi Airdi Kabupaten Bogor Guna Mitigasi Bencana Banjir Jakarta

165

Penghutanan kembali, pada umumnya akan dilakukan oleh pihak 2. pemerintah dan swasta, perlu modal besar dan serius diperkuat dengan peraturan dan perundangan berlaku serta rambu-rambu daerah atau kawasan reboisasi. Pengembangan terhadap vegetasi pelindung maupun tumbuh-tumbuhan atau kayu-kayuan bernilai ekonomi tinggi lebih disarankan. Peran Perum Perhutani sangat penting dan dapat bekerja sama dengan masyarakat yang tinggal disekitarnya.

Pembuatan tanaman murni maupun tanaman sela merupakan konservasi 3. vegetatif. Upaya perbaikan dan pemeliharaan mulai dari penanaman tumbuhan setingkat rumput dan perdu, bambu, dan kayu, baik kayu- kayuan berupa kayu hutan maupun hasil lainnya asalkan sifatnya murni dengan maksud dan tujuan konservasi. Ciri khas tanaman ini adalah menahan erosi, longsoran, maupun rayapan lapisan lahan.

Pembangunan hutan budi daya 4. (Agroforestry), merupakan pembudidayaan kayu jenis tertentu untuk menghasilkan kayu, getah secara besar-besaran dan diselenggarakan oleh Perum Perhutani. Contoh tanaman adalah kayu pinus, kayu jabon, kelapa sawit. Untuk Wilayah Bogor ada hamparan luas di daerah Cigudeg hingga daerah Leuwiliang. Fungsi hutan minimalnya ada dua yaitu fungsi produksi dan fungsi konservasi. (lihat gambar)

Penanaman kayu-kayuan hutan masyarakat, memerlukan dua hal 5. penting dalam konservasi. Pertama teknis penanaman dan yang kedua adalah peningkatan penanaman. Tentang teknis penanaman menjadi sangat penting terkait dampak aliran permukaan atau limpasan (run off) di waktu hujan merupakan model konservasi yang positif sekaligus meningkatkan potensi lahan selain mengikuti kontur boleh juga lurus sehingga bentuk lahan diupayakan sebagai bentangan yang mampu menahan air hujan agar tidak terjadi limpasan berat. Dalam hal rumput semak dan jenis gulma, sebaiknya tetap berfungsi sebagai penutup lahan, asalkan tidak membelit dan mengganggu pertumbuhan pohon sebagai tanaman utama. Berkurangnya hasil hutan alami oleh besarnya eksploitasi dan penebangan yang salah, maka di masa depan kayu hasil

Page 196: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

166

hutan alam semakin habis. Dengan habisnya kayu hutan, maka kayu dari hutan rakyat merupakan cadangan stok kebutuhan akan kayu menjadi utama. Sebagai contoh penanaman kayu jati di daerah Cariu, masuk wilayah Kabupaten Bekasi yang berbatasan dengan wilayah Kabupaten Bogor. Lokasi tersebut milik sekitar 20 orang dengan luasan lebih dari 20 hektare dengan keragaman usia pada tahun 2014 usia tanaman antara 12 hingga 17 tahun. Kayu akasia, jongjing, dan mahoni atau mahagoni, contoh di beberapa kawasan di daerah Jonggol Kabupaten Bogor.

Lahan gundul/ tidur Bibit kayu kayuan Hutan masyarakat

Sengon/Albasiah/Jongjing Jabon Hutan jati

Gambar 5. Model konservasi dengan tanaman kayu-kayuan

Pembuatan parit buntu atau rorak merupakan upaya konservasi yang 1. dilaksanakan oleh perorangan atau petani dan dikerjakan bersamaan mengolah lahan. Kesadaran pembuatan parit buntu ini lebih murni dari pemilik lahan maupun petani. Kelemahannya tingkat pelaksanaan skala terkecil dalam praktek perorangan, kecuali ada anjuran khusus dari pejabat desa atupun manajer perusahaan. Persyaratan parit buntu atau rorak adalah: lereng antara 3–10%, kedalaman tanah lebih dari 30 cm, erosi permukaan kecil, penggunaan lahan tanaman budi daya kayu-

Page 197: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Peran Informasi Geospasial untuk Arahan Upaya Konservasi Airdi Kabupaten Bogor Guna Mitigasi Bencana Banjir Jakarta

167

kayuan, dan lading tegal tanaman palawija. Tekstur tanah kasar dan permeabilitas tinggi atau cepat. Berikut ini contoh membangun teras sekalian bangun rorak serta pemanfaatan mulsa untuk menekan erosi serta melindungi bibit.

Terasering dan parit buntu Mulsa dan parit buntu

Pembaruan rorak 6 tahun sekali Keberhasilan

Gambar 6. Model resapan rorak atau parit buntu

Pembuatan Dam Pengendali, pada umumnya dibuat dan diupayakan 1. oleh pihak pemerintah dalam hal ini oleh Dinas Pekerjaan Umum tingkat kabupaten. Tujuan utamanya adalah untuk konservasi. Tantangan dam pengendali adalah pelumpuran atau sedimentasi yang sangat tinggi sehingga cepat penuh. Biaya perawatan dam pengendali sangatlah mahal melalui cara pengerukan.

Pembuatan dam penahan hampir sama dengan dam pengendali, 2. perbedaannya untuk dam penahan lebih menekankan mengatasi laju erosi di daerah hulu yang banyak parit-parit. Karena sifat cuaca yang sering ekstrem di daerah Jawa Barat dan beberapa daerah bercurah hujan tinggi, maka dam penahan lebih cepat penuh dan bahkan cepat rusak.

Page 198: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

168

Lubang tampungan air hujan, sekarang nama istilah yang banyak 3. digunakan adalah Biopori. Penggagas biopori adalah Institut Pertanian Bogor (IPB) yang kini telah banyak diterapkan untuk wilayah pekarangan, kebun campuran, dan pinggiran lapangan. Melalui biopori banyak air hujan yang langsung masuk ke dalam tanah sesuai kedalaman tiap lubang biopori. Besarnya lubang biopori sangat bervariasi, tergantung pada besarnya alat dan mata bor tanah maupun sistem pembuatan lubang. Jumlah dan banyaknya lubang, tingkat porositas tanah. Lubang biopori harus ditutup agar tidak membahayakan maupun tujuan utama tidak kemasukan berbagai jenis benda keras yang mempercepat pendangkalan. Pembuatan biopori juga bersifat kesadaran perorangan, kemudian berkembang pada kesadaran secara kolektif hingga menjadi gerakan bersama. Aplikasi konservasi ini paling mudah, murah, dan aman. Berikut ini adalah gambar alat bor dan penutup lubang biopori.

Alat biopori Mata bor

Penutup lubang biopori Lokasi konservasi resapan yang bagusnya bergabung terasering

Gambar 7. Model resapan parit buntu

Page 199: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Peran Informasi Geospasial untuk Arahan Upaya Konservasi Airdi Kabupaten Bogor Guna Mitigasi Bencana Banjir Jakarta

169

Pengolahan lahan terasering untuk daerah Jawa Barat banyak 1. diterapkan baik untuk daerah sawah tadah hujan, ladang, dan tegal tanaman semusim, tanaman sayuran. Pengolahan lahan secara berteras merupakan praktik konservasi yang sudah membudaya karena petani akan rugi sendiri jika mengolah lahan miring tanpa terasering.

Pembuatan kebun rakyat sifatnya masih sangat heterogen atau sangat 2. bervariasi tergantung pada selera dan kemampuan biaya pengelola lahan atau kebun.

Rehabilitasi teras dan tanaman sealiran dengan pengolahan terasering, 3. yang betul-betul diupayakan berdasarkan kebutuhan pengamanan lahan serta kemampuan melaksanakannya. Terasering yang bagus jika diimbangi dengan pengelolaan tanaman, baik tanaman bernilai ekonomi maupun yang hanya sekedar untuk pengaman teras alias peredam laju erosi.

Rehabilitasi teras dan rorak

Gambar 8. Rehabilitasi teras

Usaha Pelestarian Sumaber daya Alam (UPSA), jenis konservasi ini 1. lebih menekankan konservasi lahan. Konservasi lahan dan konservasi air dapat berjalan bersama ataupun senergi. Praktik konservasi ini sudah diterapkan secara serempak untuk berbagai wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) di Indonesia, diprakarsai oleh Departemen Kehutanan, khususnya pada saat itu disebut sebagai DitJend. PHPA, bekerja sama dengan Bakosurtanal pada saat itu tahun 1985 hingga tahun 1989.

Page 200: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

170

Karang Kitri, pada umumnya dipraktikkan pada wilayah pekarangan 2. dengan pengelolaan tanaman yang lebih cenderung pada tanaman buah- buahan. Selain tujuan konservasi, ada tujuan peningkatan penghasilan maupun kebutuhan lumbung pangan, tanaman sayuran, palawija, termasuk tanaman obat yang sering disebut sebagai apotek hidup, kolam ikan di pekarangan, peternakan terbatas, tanaman hias, serta tanaman fungsi lindung.

Sumur Resapan merupakan tabungan air hujan yang kapasitas daya 3. tampungnya paling banyak. Banyaknya air yang terserap sesuai besaran sumur dan daya resap tanah serta teknik pembuatan maupun bahannya. Keunggulan sumur resapan berkapasitas besar dan jauh lebih awet dari pada jenis konservasi atau metode resapan lainnya. Namun demikian karena membuat sumur resapan lebih banyak modal, maka kelemahannya adalah masalah malas membuat faktor modal. Tentang pembuatan sumur resapan untuk antisipasi peringanan dampak bencana banjir Jakarta, Mantan Gubernur DKI Wiyogo Purwodarminto pernah mengeluarkan Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 115 Th 2001 Tentang Pembuatan Sumur Resapan yang kini diubah dengan Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 68 Th 2005. Penulis mempraktikkan membuat sumur resapan dengan biaya patungan dengan tetangga pada tahun 2002 dengan kapasitas 3 meter kubik untuk sekali hujan lebat. Pembuatan terebut berdasar himbauan massmedia dan dasar.

Penampang posisi Sumur resapan Penampang posisi Sumur resapan,

Gambar 9. Sumur resapan

Page 201: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Peran Informasi Geospasial untuk Arahan Upaya Konservasi Airdi Kabupaten Bogor Guna Mitigasi Bencana Banjir Jakarta

171

Penanganan Tebing Sungai 1.

Pada umumnya tebing sungai belum tertangani dengan baik sehingga dalam hal konservasi bukannya memperingan dampak bencana banjir, melainkan sebaliknya dapat memperparah keadaan khususnya masalah banjir dengan membawa bahan hanyutan. Jika tebing sungai dikelola dan dimanfaatkan dengan baik, maka setidaknya ada tiga hal terjawab pertama berkurangnya material longsoran tebing sungai dan tingkat deras aliran yang sulit dipantau. Kepentingan kedua adalah penyimpan air untuk mengurangi dampak banjir di wilayah hilir yang pada umumnya datar.

Mengusahakan tampungan air hujan untuk daerah surplus air dapat 2. digunakan menahan air terhadap bencana banjir, sebaliknya untuk daerah minus air yaitu kawasan gersang, upaya membuat tampungan air bertujuan utama adalah menyiapkan stok air pada saat musim kemarau atau saat kekurangan

4. KESIMPULANKonservasi air di wilayah Bogor sebagai wilayah hulu sebaran tata air yang mengarah ke kawasan hilir daerah Ibu kota Jakarta perlu dan wajib dilaksanakan secara bertahap dan semakin serempak. Koordinasi antar pihak mulai dari pemerintah tingkat Propinsi DKI dengan tingkat kabupaten sekitar dan bahkan wilayah hilir khususnya Bogor juga diperlukan. Konservasi yang diterapkan meliputi berbagai jenis konservasi dengan peningkatan jenis atau tipe resapan. Selain peningkatan kapasitas, diperlukan pula pengawasan secara serius. Data dan informasi geospasial sangat penting diungkapkan khususnya masalah kesesuaian lokasi atau wilayah untuk jenis konservasi maupun kapasitas resapan yang diterapkan. Kesesuai lokasi dan kapasitas resapan bermaksud untuk optimasi upaya konservasi. Dengan pelaksanaan konservasi yang optimal berarti akan memitigasi bencana banjir, meningkatkan stok air tanah yang bermakna menekan bencana kekeringan maupun untuk menghindari bencana yag justru timbul oleh kesalahan

Page 202: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

172

konservasi misalnya bencana longsoran. Pengetahuan yang lebih mendalam akan tema kajian sangat perlu dan membantu proses pelaksanaan konservasi oleh masyarakat serta perorangan atas kesadaran dan upaya swakarsa. Khusus untuk konservasi air, tanah, dan hutan diperlukan perencanaan matang, perencanaan konservasi wilayah, kajian geografik yang berskala besar, serta mengetahui jenis konservasi yang paling sesuai agar tidak menimbulkan bencana hidrologis yang baru. Sosialisasi dari pemerintah kepada para pengembang, masyarakat umum, dan masyarakat ilmiah juga sangat diperlukan. Besaran volume air hujan yang masuk ke dalam tanah berarti memperingan tingkat keparahan banjir

SaranKriteria yang lebih rinci perlu dibuat untuk praktik konservasi yang lebih berkualitas. Dengan skala besar yaitu skala 1:10.000 model aplikasi konservasi akan lebih bersifat operasional. Untuk mencapai skala operasional terkendala biaya, tenaga, waktu, kesadaran, program, dan upaya.

DAFTAR PUSTAKAAmhar F. 2013. Pemaknaan & Pemanfaatan Informasi Geospasial Dasar &

Tematik untuk Solusi Berbagai Persoalan Bangsa, Seminar FKK, Bogor 24 September 2013.

Arsyad, S.2010. Konservasi Tanah dan Air, Edisi Kedua. Bogor(ID): IPB Press.ISBN 979-423-003-2.

Anonim. Ensiklopedia Iptek Jilid 5. Bab10 hal. 433. ISBN 979-3535-05-9.

Clark M.J et al. 1988. Horizons In Physical Geography, Chapter 4.3. Natural Hazards – Adjustment and Mitigation.

Dinas Perhutanan dan Konservasi Tanah. 1989. Laporan Rencana dan Realisasi Program Resapan Wilayah Kabupaten Dati II Bogor.

Dinas Pertanian dan Kehutanan Pemerintah Kabupaten Bogor. 2006.Rancangan Pembuatan Sumur Resapan.

Page 203: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Peran Informasi Geospasial untuk Arahan Upaya Konservasi Airdi Kabupaten Bogor Guna Mitigasi Bencana Banjir Jakarta

173

Dollah Purba. 1990. Sumur Resapan untuk Kawasan UGM Yogyakarta, [Tesis]. Universitas Gajah Mada.

Kountur, R. 2006. Manajemen risiko

Saputro, G. B. 2013. Ketelitian Peta Rencana Tata Ruang. Seminar FKK, Bogor, 24 September 2013.

Sarief E.S.1986. Konservasi Tanah dan Air, Cetakan kedua. Bandung (ID): Penerbit Pustaka buana.

Sumartoyo. 2010. Estimasi Potensi Air Tanah Melalui Pendekatan Tipologi Bentuklahan Wilayah Bogor, Provinsi Jawa Barat. Majalah Ilmiah terakreditasi, GLOBE 12(1): 57–67. ISSN 1411-0512,

Sumarwoto, O. 1994. Ekologi, Lingkungan Hidup, dan Pembangunan. Penerbit Djambatan

Sunarto, K. 1987. Pemetaan Tingkat Bahaya Erosi DAS Ciliwung dan Cisadane, Kerjasama Dep. Kehutanan dengan Bakosurtanal.

Sunarto, K. 1994. Peran Sumur Resapan untuk Mitigasi Bencana Hidrologi.Simposium Nasinal Mitigasi Bencana Alam, UGM – Yogyakarta 16–17 Sept 1994.

Sunarto, K. 2006. Antispasi Bencana Hidrologis. Prosiding Forum Riset Geomatika 2006, Multi Hazards: Challenges for Risk Assesment, Mapping and Management, JCC, Jakarta, 25 Agustus 2006.

Tika, H. M. P. 2005. Metode Penelitian Geografi. Bumi Aksara

Widjanarto A. 2013. Sekilas Ina Geoportal, Pusat Pengelolaan dan Penyebarluasan Informasi Geospasial. Seminar FKK, Bogor 24 September 2013.

Page 204: untuk Mitigasi Bencana Banjir
Page 205: untuk Mitigasi Bencana Banjir

AN ANALYSIS OF POTENTIAL HAZARD AND RISK FOR FLOOD AND LANDSLIDE

AREAS (CASE STUDY IN WEST JAVA PROVINCE)

Waluyo Yogo Utomo1, Widiatmaka2,Komarsa Gandasasmita2

1 Staff of Assisstant Deputy for Inland Water Ecosystem Degradation Control, Deputy for Environmental Degradation Control and Climate

Change, Ministry of Environment, Indonesia2 Department of Soil Science and Land Resources, Faculty of Agriculture,

Institute of Agriculture Bogor, IndonesiaE-mail: [email protected]; [email protected]

ABSTRACTWest Java is one of the regim in the high potential occurrence of floods and landslides. This is due to the characteristics of its topography, as well as high population density which increase every year, causing pressure on the ecosystem. The purpose of this study was to build methodology in determining floods and landslides criteria, mapping of potential hazards and the risk of flooding, and landslides. Models of potential hazard and risk of flooding and landslides built through spatial analysis system with weighted and scoring of the 7 parameters used landuse, rainfall, slope, elevation, landform, soils and geology while the risk model to floods and landslides

Page 206: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

176

used vulnerability parameters (consist of infrastructure, accessibility/road and land use), and element of risk parameters (consist of population density, emergency response and GDP). The results showed West Java has the high potential flood-prone of 460.204 ha (12.5%) and very high at 507.274 ha (13.8%), with distribution locations in Bekasi, Cirebon, Indramayu, Karawang, Majalengka, Subang, Bandung City, Banjar City, Bekasi City, Bogor City, Cirebon City, and Depok City. As for the high potential of landslide-prone of 141.855 ha (3.9%) and very high at 14.895 ha (0.4%), with distribution locations in Bandung dan Garut. Based on the results of field validation and recapitulation data of floods and landslides incidence in the field from BNPB (2010–2012), showing the results map accuracy of the analysis of hazard and risk potential of flooding and landslides are quite high. The frequency of floods in the field occurs 88 times as much as the moderate to very high class of flood hazard potential areas of with a total of 115 times the incidence of flooding, or by 76.5% of the total flood. While the frequency of landslides in the field occurs 86 times in the classes as moderate to very high landslide hazard potential with a total of 113 times the incidence of landslides, or 76.1% of the total landslide.

Keywords: Hazard, Risk, Floods, Landslides, Accuracy

1. INTRODUCTIONTrends disaster in Indonesia has increased from year to year. Hydrometeorological disasters such as floods, droughts, landslides, cyclones, and tidal waves are the dominant type of disaster in Indonesia. Hydrometeorological disasters occurred on average almost 70% of total disaster in Indonesia. Global climate change, land use change, and increasing population magnify the threat of further risk reduction in Indonesia (BNPB, 2011). Flooding is the inundation in the event of a flat area around the river as a result of the overflow of river water flow of the river can not be

Page 207: untuk Mitigasi Bencana Banjir

An Analysis of Potential Hazard and Risk For Flood and Landslide Areas(Case Study In West Java Province)

177

accommodated. Flooding is the interaction between man and nature aspects arising from the process by which people try to use natural beneficial and avoid adverse nature (Rasyid H, 2010). Landslides are a product of the balance disorder that causes mass movement of soil and rock from a higher to a lower place. The movement is due to the style factor lies in the areas of uneven ground or called slope (Nicoll K, 2010).

Causes of landslides are naturally covers the earth’s surface morphology, land use, lithology, structural of geology, rainfall, and earthquake. In addition to natural factors, landslides also caused by human activity factors that affect the landscape such as agricultural activities, the imposition of slope, slope cutting, and mining (Mathew J. et al. 2007). West Java is one area that has a high potential for the occurrence of landslides. This is in addition due to the topography of the hilly and mountainous regions, as well as high population density puts pressure on the ecosystem. Landslide prone areas of West Java province including in Bandung, Cianjur, Bogor, Sukabumi, Majalengka, Sumedang, Ciamis, Tasikmalaya, Kuningan, and Purwakarta. Judging from the demographic aspect, the area is a densely populated area (Directorate of Volcanology and Geological Hazard Mitigation, 2002).

One form of mitigation in order to deal with natural disasters and at the same time to reduce its impact is the availability of an early warning system. The absence of an early warning system that could save the people and the environment and the lack of understanding of the environment they live in, the cause of many fall victim to any of floods and landslides disaster (Gupta AK. et al. 2010). Application of Remote Sensing and GIS technology can help mitigate natural disasters by identifying the location and review of issues related to the impact of floods and landslides. Mitigation measures to reduce or minimize the impact of floods and landslides done by making a model of GIS, by combining several variables to obtain the most vulnerable to the hazard and risks of floods and landslides (Kabir A. et al. 2011).

Page 208: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

178

The objectives of this research are (1) determine the criteria and parameters forming floods and landslides, (2) determine hazard and risk potential areas of floods and landslides in West Java Province.

2. DATA AND METHODS2.1 Time and Research SiteThe study was conducted from April 2011 to October 2012. Locations of research lies in West Java Province, while the processing and analysis of data is done in the Ministry of Environment, Jakarta as well as in the Spatial Information Laboratory Section, Department of Soil Science and Land Resources, Faculty of Agriculture, Bogor Agricultural University.

2.2 Research DesignThis study was designed to collect secondary data and primary data to answer the question of how to determine the criteria and parameters forming floods and landslides, as well as determine the potential areas of hazard and risk of floods and landslides. The matrix design of the study are shown in Table 1, while the flow chart stages of research are presented in Figure 1.

Page 209: untuk Mitigasi Bencana Banjir

An Analysis of Potential Hazard and Risk For Flood and Landslide Areas(Case Study In West Java Province)

179

2.3 Weighting and Scoring MethodIn determining the weight and score of each parameter forming floods and landslides, the Analytical Hierarchy Process-AHP method is used which developed by Thomas L. Saaty, to organize information and expert opinion (judgment) in selecting the most preferred alternative. In the AHP process is done by making pairwise comparison matrices questionnaire of the parameters and variables to be determined weights and scores (Marimin, 2010).

Table 1. Research design matrix of hazard and risk potential for floods and landslides analysis

Objective Types and Sources of

Data

Data Collection Techniques

Data Analysis Techniques

Output

Determining the criteria and parameters forming floods and landslides

Landuse, Landform, Elevation, Slope, Rainfall, Geology, Type of Soil

Study of - LiteratureQuestionnaire- Expert - Judgement

Analytical - Hierarchy Process (AHP)Software Expert - ChoiceDescriptive-

The criteria weights and scores of each parameter forming floods and landslides

Knowing the potential areas of hazard and risk for floods and landslides

Landuse, Landform, Elevation, Slope, Rainfall, Geology, Type of Soil

Extraction from satellite imagery, topographic maps, soil maps, rainfall data, geological and landsystems data

Spatial Analysis(Scoring and Weighting)

Map of the potentially area of hazard and risk floods and landslides

Page 210: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

180

Figure 1. Flowchart stages of research

Respondents involved in the AHP process is a 6 (six) people, who represent expertise in the areas of flooding and landslides, soil physical, geological, land suitability, environmental mitigation, as well as modeling and Geographic Information Systems (GIS). Data processing is carried out using a questionnaire AHP software Expert Choice 2000. The weight indicates the magnitude or degree of the value of each parameter indicated by the range of scores 0–1, while the score indicates the value of each variable on each of

Page 211: untuk Mitigasi Bencana Banjir

An Analysis of Potential Hazard and Risk For Flood and Landslide Areas(Case Study In West Java Province)

181

the parameters indicated by the range of values 0–100. AHP analysis result for the weight of each parameter forming floods and landslides are shown in Table 2, while the weight and score of each parameter and variable-forming floods and landslides are shown in Appendix 1 and Appendix 2.

Table 2. The weight of each parameter forming floods and landslides

No. ParametersWeight

Flood Landslide1 Landform 0,277 0,1672 Rainfall 0,108 0,0673 Elevation 0,126 0,2804 Geology 0,026 0,1095 Soil 0,036 0,0316 Slope 0,377 0,3107 Landuse 0,049 0,038

Source: result of AHP analisis, 2013

2.4 Analysis of Floods and Landslides Hazard Level

Value of floods and landslides hazard areas are determined from the total sum of the multiplication of the weights and scores from 7 (seven) parameters that influence flooding and landslides above. Determination of the hazard level as much as done by dividing the values of the hazard level with the same number of intervals class; class intervals determined by the equation i = R / n; where i: width inteval, R: difference between the maximum and minimum scores, n: number of vulnerability classes.

2.5 Analysis of Floods and Landslides Risk LevelRisk potential map of flooding and landslides derived from floods and landslides hazard which then integrated (overlay) with the results of the analysis of vulnerability. Analysis of the vulnerability it self is combine

Page 212: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

182

between vulnerability parameters (consist of infrastructure, road/ accessibility and landuse) and element of risk (consist of population density, emergency response, and gross domestic product/GDP). Integration map results with the criteria of vulnerability analysis resulted in a final value that has been reclassified, based on the value of the matrix reclassification risk of flooding and landslides.

3. RESULT

Biophysical Condition of West Java ProvinceGeographically located in the West Java province at 5o50’-7o50’ latitude and 104048’ -108048’ BT where north is bordered by Java Sea and Jakarta, east to Central Java Province, south of the Indonesian Ocean, and west by the province of Banten. Extensive land area is 3,680,951 hectares with a coastline of 724.85 km. The population in 2011 are 46,497,175 million people, spread over 26 regencies/cities, 625 districts and 5,899 Village. Based on the Koppen classification system that bases the relationship between climate and vegetation growth, West Java Province including Afa into climate types (where: A is the tropical rainy climate with the coldest month temperature >18°C; f is always wet with rain every month >60 mm, and a is the average temperature of the warmest month >22.2°C).

Flat to gentle slope dominates the vast percentage of 24.3% in the form of land with a flat slope (<2%), and 23.9% in the form of land with gentle slopes (2-8%). Landform is dominated by Plains (30.4%), Hills (19.8%), Mountains (19.4%) and Alluvial Plains (15.6%) of the total area of West Java Province. Landuse in 2012 was dominated by vast paddy fields with 1,323,822 ha (35.7%), mixed garden covering 972,747 ha (26.2%), settlement area of 453 044 ha (12.2%) and dryland agriculture area of 313 026 ha (8.4 %) of the total area of West Java Province.

Page 213: untuk Mitigasi Bencana Banjir

An Analysis of Potential Hazard and Risk For Flood and Landslide Areas(Case Study In West Java Province)

183

Flood and Landslide Hazard Potential AreasBased on the analysis of the flood and landslide hazard potential maps, can be seen that the West Java Province is dominated by the low flood-prone potential at 37.8%; while the high and very high flood-prone potential areas only 12.5% and 13.8%. Landslide hazard potential areas is dominated by low landslide-prone class by 42.5% and 31.6% safe areas; whereas high and very high landslide-prone potential areas only by 3.9% and 0.4% of the total area of West Java province (Table 3).

Distribution of potential areas for occurrence of floods per distric/city with a high and very high flood-prone classes are in Bekasi (25.8% and 57.2%), Cirebon (38.8% and 36.6%), Indramayu (32.7% and 62.4%), Karawang (12.4% and 67.8%), Majalengka (31.3% and 10.1%), Subang (22.8% and 31.6% ), Bandung City (58.3% and 0.0%), Banjar City (15.4% and 30.4%), Bekasi City (57.4% and 22.8%), Bogor City (50.7 % and 16.9%), Cirebon City (50.2% and 28.4%), and Depok City (56.5% and 19.0%). While the potential distribution area of the landslide by distric/city with high and very high landslide-prone classes are in Bandung District (21.8% and 2.7%) and Garut (12.5% and 1.0%). Distribution of floods and landslides hazard potential per distric/city, and map of floods and landslides hazard potential areas shown in Figure 2 and Figure 3.

Flood and Landslide Risk Potential AreasBased on the analysis of floods and landslides risk potential areas can be seen that the West Java Province is dominated by low flood-risk potential areas of 93.0% whereas moderate and high flood-risk potential areas only by 5.2% and 1.8%. The risk potential of landslides in West Java Province is dominated by the low landslide-risk areas of 98.2% whereas moderate and high landslide-risk areas only 1.7% and 0.1% (Table 4).

Distribution of the area that has the potential for the occurrence of flood risk by districts/ cities with high flood-risk class are in Bandung City (42.4%),

Page 214: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

184

Bekasi City (44.1%), Bogor City (24.4%), Cimahi City (19.2%), Cirebon City (28.2%), and Depok City (24.9%). While the risk potential distribution area of the landslide by district/city with high landslide-risk class, only in Bandung Distric (0.2%) and Garut Distric (0.5%). Distribution of flood and landslide risk potential areas by district/city, and map of floods and landslides risk potential areas shown in Figure 4 and Figure 5.

Table 3. Range value and flood-prone and landslide-prone areas in West Java Province

No. Prone Classes

Flood-Prone Potential Landslide-Prone Potential

Range ValueAreas

Range ValueAreas

Ha % Ha %

1 Safety Area 4,82 - 8,69 653.871 17,8 3,34 - 7,39 1.164.444 31,62 Low-Prone 8,69 - 12,56 1.393.211 37,8 7,39 - 11,44 1.564.541 42,5

3Moderate-

Prone 12,56 - 16,43 666.389 18,1 11,44 - 15,49 795.215 21,64 High-Prone 16,43 - 20,30 460.204 12,5 15,49 - 19,54 141.855 3,9

5Very High-

Prone 20,30 - 24,17 507.274 13,8 19,54 - 23,62 14.895 0,4Total 3.680.951 100,0 3.680.951 100,0

Source : result of analysis, 2013

Figure 2. Graph of the distribution of potential flood and landslide prone by district/city

Page 215: untuk Mitigasi Bencana Banjir

An Analysis of Potential Hazard and Risk For Flood and Landslide Areas(Case Study In West Java Province)

185

Figure 3. Map of flood and landslide hazard potential areas in West Java Province

Table 4. Risk potential of flood and landslide areas in West Java Province

No. Risk PotentialFlood-Risk Potential Areas Landslide-Risk Potential

AreasHa % Ha %

1 Rendah 3.422.677 93,0 3.616.460 98,22 Sedang 190.671 5,2 61.836 1,73 Tinggi 67.603 1,8 2.655 0,1

Total 3.680.951 100,0 3.680.951 100,0Source : Result of analysis, 2013

Page 216: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

186

Figure 4. Graph of the distribution of potential risk of flooding and landslides per district/city

Figure 5. Map of flood and landslide risk potential areas in West Java Province

Level of Accuracy Based on Field ValidationBased on the results of field validation and summary incidence data of floods and landslides in the field from National Disaster Management Agency (BNPB) on 2010–2012, shows the degree of accuracy of maps results and an analysis of potential flood-prone and landslide-prone are quite high.

Page 217: untuk Mitigasi Bencana Banjir

An Analysis of Potential Hazard and Risk For Flood and Landslide Areas(Case Study In West Java Province)

187

The frequency of floods in the field occurs 88 times as much as the class of potential flood-prone moderate to very high with a total of 115 times of flood events, or by 76.5% of the total flood. While the frequency of landslides in the field occurs as much as 86 times in a class of potential landslide prone moderate to very high with a total of 113 times the occurrence of landslides, or 76.1% of total landslides (Table 5 and Figure 6).

Table 5. The occurrence frequency of floods and landslides in the field (existing)

DisasterFlood and Landslide occurrence frequency

TotalSafety Area

Low-Prone

Moderate-Prone

High-Prone

Very High-Prone

Flood 6 21 7 50 31 115Landslide 4 23 8 51 27 113Total 10 44 15 101 58 228

Source : Result of analysis, 2013

Figure 6. Graphs and percentage frequency of floods and landslides occurrence in the field to map flood-prone and landslide potential analysis results

Page 218: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

188

4. CONCLUSIONS AND RECOMMENDATIONS

ConclusionsThe main parameters and weight values that contribute to flood-prone is rainfall (0.324), slope (0.212), elevation (0,158), landform (0,146), geology (0,056), land use (0.055), and the type of soil (0,049). While the main parameters and the weights that contribute to landslide-prone is rainfall (0.274), elevation (0,254), landform (0.135), land use (0,095), geology (0,094), the type of soil (0.091), and slope (0.057 ).

West Java Province is dominated by the low potential flood-prone at 37.8%, while the high and very high potential of flood-prone only 12.5% and 13.8% with a wide distribution area per district/city with high and very high flood-prone class are in Bekasi (25.8% and 57.2%), Cirebon (38.8% and 36.6%), Indramayu (32.7% and 62.4%), Karawang (12.4% and 67.8%), Majalengka (31.3% and 10.1%), Subang (22.8% and 31.6%), Bandung City (58.3% and 0.0%), Banjar City (15.4% and 30.4%), Bekasi City (57.4% and 22.8%), Bogor City (50.7% and 16.9%), Cirebon City (50.2% and 28.4%) and Depok City (56.5% and 19.0%). Landslide-prone potential is dominated by low-prone class by 42.5% and 31.6% safety areas whereas the high and very high landslide-prone potential only by 3.9% and 0.4% of the total area of West Java Province with a wide distribution area per district/city with high and very high landslide-prone classes are in Bandung District (21.8% and 2.7%) and Garut District (12.5% and 1.0%).

Based on the results of field validation and summary incidence data of floods and landslides in the field from National Disaster Management Agency (BNPB) on 2010–2012, shows the degree of accuracy of maps results and an analysis of potential flood-prone and landslide-prone are quite high, amounting to 76.5% of total flood and 76.1% of the total landslide in West Java Province.

Page 219: untuk Mitigasi Bencana Banjir

An Analysis of Potential Hazard and Risk For Flood and Landslide Areas(Case Study In West Java Province)

189

RecommendationsIt is recommended in further studies, to be able to enter the parameters of economic values in the stages of disaster vulnerability analysis environment (floods and landslides), so it can be calculated how much potential losses.

REFERENCESAcar, M. 2010. Determination of Strain Accumulation in Landslide Areas with

GPS Measurements. Scientific Research and Essays. 5(8):763–768. 18 April 2010. ISSN 1992-2248 ©2010 Academic Journals. Http://www.academicjournals.org/SRE

[BNPB] Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). 2011. Indeks Rawan Bencana Indonesia Tahun 2011. Jakarta

Directorate of Volcanology and Geological Hazard Mitigation. 2002. Brief Examination Results Disasters Land Movement in West Java Province, 1985–2005. Directorate General of Geology and the Environment, Directorate of Volcanology and Geological Hazard Mitigation. Bandung

Gupta, AK. dan Nair, SS. 2010. Flood risk and context of land-uses: chennai city case. Journal of Geography and Regional Planning 3(12): 365–372. December 2010. ISSN 2070-1845 ©2010 Academic Journals. Http://www.academicjournals.org/JGRP

Kabir, A., Mahdavi, M., Bahremand, A. dan Noora, N. 2011. Application of a geographical information system (GIS) based hydrological model for flow prediction in Gorganrood river basin, Iran. African Journal of Agricultural Research. 6(1): 35–45. 4 Januari 2011. ISSN 1991-637X ©2011 Academic Journals.Http://www.academicjournals.org/AJAR

Maantay, J. dan Maroko, A. 2009. Mapping urban risk: flood hazards, race and environmental justice in New York. Elsevier. Applied Geography 29: 111–124. http://www.elsevier.com/locate/apgeog

Page 220: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

190

Marimin. 2010. Technical Application of Decision Making in Chain Management Stock. Bogor: IPB Press. June 2010.

Mathew, J., Jha, VK. dan Rawat, GS. 2007. Weights of evidence modelling for landslide hazard zonation mapping in part of Bhagirathi Valley, Uttarakhand. Research Articles. Current Science, 628. 92(5). March 2007

Nicoll, K. 2010. Geomorphic and hazard vulnerability assessment of recent residential developments on landslide-prone terrain: the case of the traverse mountains, Utah, USA. Journal of Geography and Regional Planning. 3(6):126–141. June 2010. ISSN 2070-1845 ©2010 Academic Journals. Http://www.academicjournals.org/jgrp

Rasyid, H. 2010. Interpreting flood disasters and flod hazard perceptions from newspaper discourse: tale of two floods in the red river valley, manitoba, canada. Elsevier. Applied Geography 31: 35–45. http://www.elsevier.com/locate/apgeog

Solaimani, K. 2009. Flood Forecasting Based on Geographical Information System (GIS). African Journal of Agricultural Research. 4(10): 950–956. October 2009. ISSN 1991-637X ©2009 Academic Journals. Http://www.academicjournals.org/AJAR

Page 221: untuk Mitigasi Bencana Banjir

An Analysis of Potential Hazard and Risk For Flood and Landslide Areas(Case Study In West Java Province)

191

Appendix 1. Results AHP weights and scores forming parameters flood

Page 222: untuk Mitigasi Bencana Banjir
Page 223: untuk Mitigasi Bencana Banjir

PENGGUNAAN UAV UNTUK VALIDASI PETA RAWAN BANJIR

DI KABUPATEN KUDUS DAN PATI

Jaka SuryantaBadan Informasi Geospasial

Jl. Raya Jakarta Bogor Km 46 Cibinong Telp: 87906041, fax: 87906041

ABSTRAKBanjir terjadi karena hujan lebat, sebaran merata dan dalam durasi relatif lama pada suatu wilayah cekungan atau dataran. Menurut tempat kejadiannya banjir dikelompokkan menjadi empat jenis banjir yaitu banjir bandang, banjir kota, banjir pesisir, dan banjir sungai. Wilayah ini dapat dipetakan dengan bantuan citra satelit, foto udara, kemudian diintegrasikan dengan data SRTM, landskap, ditambah historis kejadian banjir. Data historis kejadian banjir sangat jarang didokumentasikan dalam bentuk poligon atau suatu area yang menggambarkan sebaran genangan melainkan secara umum berupa titik-titik yang pernah tergenang. Seberapa luas genangan akan berubah tergantung pada besarnya intensitas dan lamanya hujan, dengan demikian validasi sangat ideal dilakukan ketika terjadi banjir besar yang akan menunjukkan batas-batas genangan. Penelitian ini bertujuan melakukan validasi peta rawan banjir daerah Pati dan Kudus yang sudah dipetakan tahun 2008, kemudian di lakukan validasi kembali saat terjadi banjir bulan Februari tahun 2014. Peralatan yang digunakan adalah GPS untuk melakukan pengamatan titik-titik batas tergenang dan pesawat UAV

Page 224: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

194

untuk pengambilan foto udara pada wilayah tergenang. Dari foto UAV bisa di tunjukkan batas genangan banjir, sawah, dan permukiman yang terendam banjir. Berdasar pengamatan di lima stasiun hujan ditunjukkan bahwa curah hujan tahun 2008 intensitasnya hampir sama dengan yang terjadi pada tahun 2014 dengan pola sebaran banjir juga hampir sama. Setelah dilakukan pengamatan di beberapa titik dengan GPS dan foto UAV, peta masih menunjukkan ketelitian yang cukup baik.

Kata Kunci: Peta Rawan Banjir, Rawan Banjir, UAV

ABTRACTFlooding occurs due to heavy rain, spread evenly and in a relatively long duration at a basin or plateau. According to a flood of events are grouped into four types, namely floods flash floods, flooding the city, coastal flooding, and river flooding. These areas can be mapped with the help of satellite images, aerial photographs and then integrated with SRTM data, landscape, plus historical flood events. Historical data is very rare flood events documented in the form of a polygon or an area that illustrates the distribution of inundation, but is generally in the form of dots are never stagnant. How widespread inundation will change depending on the magnitude of the intensity and duration of rainfall, so validation is ideal to do when a big flood that would show the limits of inundation. This study aimed to validate maps of flood-prone Pati and Kudus areas starch that has been mapped in 2008, then in doing validation back during floods in February 2014. The equipment used is the GPS to make observations points stagnant boundary and UAV aircraft for aerial photography on stagnant region. From the photos show the UAV can limit the floodwaters, fields and settlements are flooded. Based on observations in five rainfall stations indicated that the rainfall intensity in 2008 is almost equal to what happened in 2014 with the distribution pattern of flooding is also almost the same. After observation at some point with GPS and photos UAV, the map still shows good accuracy.

Keywords: Flood Prone map, Prone to Flood, UAV

Page 225: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Penggunaan UAV Untuk Validasi Peta Rawan Banjirdi Kabupaten Kudus dan Pati

195

1. PENDAHULUANIndonesia sebagai negara tropis memiliki iklim kering dan basah. Pada musim basah terutama saat intensitas hujan tinggi kejadian banjir banyak terjadi di wilayah cekungan, dataran yang menyebabkan kerugian materi bahkan kehilangan jiwa. Penggunan lahan wilayah ini umumnya sebagai daerah urban yang padat permukiman dan banyak infrastruktur penting. Peta rawan banjir memberikan informasi di mana wilayah rawan tinggi, sedang, dan rendah. Dengan dasar peta ini dapat dilakukan mitigasi rawan banjir dan lebih jauh untuk manajemen bencana alam agar risiko dan dampak dapat diminimalisasi.

Analisis rawan banjir yang banyak dilakukan selama ini bersifat kuantitatif atau hitungan hidrologis. Cara ini memerlukan tenaga dan waktu dalam usahanya inventarisasi data hidrologi misalnya data debit time series cukup panjang, data hujan, pengukuran penampang sungai, nilai kekasaran material dasar, perhitungan luapan, dan penyajian peta rawan banjir. Data spasial lain yang diperlukan yaitu peta topografi, peta lereng, jaringan drainase dan peta tanah, serta peta administrasi. Metode ini biasa digunakan dalam merancang bangunan air misalnya jembatan yang memerlukan perhitungan matematis rumit terutama dalam mengonversi luapan ke dalam luas genangan dan sering terkendala data yang tidak lengkap.

Badan Informasi Geospasial bekerja sama dengan Badan Meteorologi Geofisika dan Kementrian Pekerjaan Umum menyusun metode yang sederhana untuk melakukan pemetaan rawan banjir atau sebaran banjir. Metode ini menggunakan indikator data dari peta geomorfologi, peta penggunaan lahan, peta isohyets, dan histori kejadian banjir. Pada masing-masing layer peta terdapat indikator yang diberikan skor, kemudian dari keempat layer diinterseksikan hasil akir diklasifikasikan ke dalam tiga kelas dari tinggi sampai kelas rendah. Pemetaan rawan banjir sudah dilakukan dari tahun 2007 sampai 2013 pada 105 wilayah kabupaten/kota di Indonesia dengan tiga sebaran kelas kerawanan banjir yaitu tinggi, sedang, dan rendah.

Page 226: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

196

Peta yang sudah dibuat harus divalidasi atau direvisi kembali, karena dengan berubahnya waktu akan terjadi perubahan kondisi lahan yang memengaruhi sebaran genangannya. Peta rawan banjir di Pantura Jawa misalnya wilayah Bekasi, Subang, Pati, Kudus, Jepara, Pekalongan telah dipetakan tahun 2008 sehingga peta ini perlu ditinjau kembali sebaran banjirnya. Gambar berikut merupakan indeks wilayah yang sudah dipetakan dari tahun 2006 sampai 2013 untuk seluruh Indonesia. Ada beberapa cara untuk melakukan validasi, diantaranya dengan GPS langsung pengukuran dilapangan saat kejadian banjir, citra satelit, dan dengan foto udara. Masing-masing ada kelebihan maupun kekurangan sehingga penggunaan alatnya menyesuaikan kondisi lapangan dan tujuan yang akan diinginkan.

Gambar 1. Indek wilayah pemetaan rawan banjir tahun 2006 hingga 2013

Page 227: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Penggunaan UAV Untuk Validasi Peta Rawan Banjirdi Kabupaten Kudus dan Pati

197

Tujuan dan SasaranMaksud dari penelitian ini adalah melakukan uji validasi peta rawan banjir dengan bantuan pesawat UAV disaat kejadian banjir pada sebagian wilayah di Provinsi Jawa Tengah khususnya di Kabupaten Pati dan Kudus

Sasaran pengukuran :

Pemetaan sebaran genangan banjir dengan pengukuran posisi batas •batas koordinat GPS dilapangan.

Luasan objek penggunaan lahan yang terdampak banjir.•

Pemotretan udara pada batas-batas tergenang dengan pesawat UAV dan •pengukuran beberapa titik ground kontrol (GCP).

Wilayah penelitian 1. Pemilihan wilayah menyesuaikan dimana kejadian berlangsung dalam hal ini mengambil sampel Kabupaten Kudus dan Kabupaten Pati yang terjadi banjir pada akhir bulan Januari 2014 hingga pertengahan Februari belum sepenuhnya kering.

Peralatan dan data2. Data dan peta sebaran banjir Kabupaten Kudus dan Kabupaten •Pati tahun 2008

GPS Astek, Leika untuk titik ground control point dan GPS •Garmin untuk navigasi

Pesawat UAV lengkap dengan Navigasinya, spesifikasi UAV •medium auto pilot, baling-baling, kamera small format.

Page 228: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

198

Jadwal pelaksanaan3. Survei validasi dilakukan selama lima hari termasuk pengukuran titik koordinat GCP maupun pengambilan foto udara dengan pesawat UAV saat terjadi banjir di Pati dan Kudus tanggal 3 Februari sampai 8 Februari 2014.

2. METODE PENELITIANWilayah rawan banjir meliputi 4 daerah rawan diantaranya banjir longsor, banjir sungai karena air meluap, banjir perkotaan karena drainase kurang baik, dan banjir di pesisir yang sangat dipengaruhi pasang dan surut (Junun S, 2013). Dari keempat jenis ini hanya banjir longsor yang cara pemetaannya berbeda, sedangkan tiga lainnya hampir sama dan kejadiannya saling terkait satu sama yang lainnya. Data yang diperlukan diantaranya data sistem lahan, SRTM/DTM, peta topografi, peta liputan lahan, data hujan, dan histori kejadian banjir. Dari hasil analisis yang sudah dilakukan diperoleh peta rawan banjir atau potensi banjir di wilayah Kudus dan Pati. Selanjutnya dilakukan validasi saat terjadi kejadian banjir dengan tahapan seperti diagram alir sebagai berikut.

Page 229: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Penggunaan UAV Untuk Validasi Peta Rawan Banjirdi Kabupaten Kudus dan Pati

199

Peta Rawan Banjir

Perencanaan Jalur Terbang UAV

Penentuan Titik GCPDan Sampel Tematik

Pemotretan Udara Dengan UAV

Perencanaan Rute Survey

Survey GCPDan Sampel Tematik

Mozaik Foto Udara

Koreksi GeometrikFoto Udara

Validasi batas banjir

Analisis penyebab banjir

Penyusunan Laporan

Gambar 2. Diagram alir pemetaan rawan bencana banjir dan validasinya

Peta rawan banjir yang akan divalidasi adalah wilayah Pati dan Kudus dengan dasarian hujan bulan Februari tahun 2008, sedangkan kejadian hujan deras dan ekstrem terjadi pada akhir bulan Januari tahun 2014 dan menyebabkan banjir tanggal 29 sampai pertengahan Februari 2014.

Page 230: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

200

Perencanaan jalur terbang UAV berdasarkan peta banjir dengan memilih jalur terbang pada batas indikatif wilayah banjir. Titik acuan GCP biasanya memilih pada perempatan jalan atau sudut jalan di mana akan mudah dikenali pada foto udara. Penentuan tempat pendaratan dan mulai terbang pesawat menyesuaikan kondisi di lapangan dengan mempertimbangkan jarak pandang yang tidak terganggu, tidak terhalang bangunan atau jaringan kabel listrik, dan tidak terhalang pohon, serta arah angin.

Pemotretan udara dilakukan pada saat ketinggian pesawat mencapai 300 m dengan rute sesuai yang sudah ditentukan yaitu titik-titik batas indikatif banjir. Pesawat berjalan dengan kecepatan 12 sampai 15 m/detik rute autopilot, kamera pengambilan gambar atomatis.

Mosaik foto udara merupakan gabungan foto-foto hasil ekposure dalam jumlah ratusan foto yang digabung menjadi satu. Setelah tergabung kemudian dilakukan koreksi geometri dengan mengacu pada titik-titik ground kontrol hasil pengukuran dengan GPS di lapangan. Koreksi dilakukan secara otomatis dengan bantuan software.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN3.1. Sampling Area Pemilihan sampling area mempertimbangkan titik yang mudah dikenali dalam mengukur GCP dan merupakan area tidak terhalang pohon atau bangunan yang memudahkan pesawat untuk naik dan mendarat, bisa memilih jalan, lapangan, atau halaman. Area ini posisinya di sebelah timur terminal Kabupaten Kudus yang merupakan jalan ring road selatan.

Gambar 3 berikut adalah contoh area of interest pada peta yang akan divalidasi serta rencana rute penerbangan yang akan di lewati untuk pengambilan gambar.

Page 231: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Penggunaan UAV Untuk Validasi Peta Rawan Banjirdi Kabupaten Kudus dan Pati

201

SAMPLING AREA WILAYAH TERGENANG

Gambar 3. Sampling area wilayah tergenang

Pada sampel area tersebut ditunjukkan mana wilayah tergenang (arsir kuning) dan tidak tergenang (tidak berarsir) untuk mengetahui batas genangan banjir yang akan divalidasi.

3.2. Jalur TerbangPada jalur ini diberikan nomor urut yang menjadi petunjuk arah terbang sekaligus menjadi arah dalam pengambilan gambar. Jalur ini juga menjadi kontrol yang terbaca pada monitor komputer apakah pesawat masih dalam jalur atau keluar dari jalur.

Page 232: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

202

rute jalur terbang

Gambar 4. Penentuan rute jalur terbang

Perencanaan jalur terbang UAV berdasarkan peta banjir dengan memilih jalur terbang pada batas indikatif wilayah banjir. Sedangkan acuan titik GCP biasanya memilih pada perempatan jalan atau sudut jalan dimana akan mudah dikenali melalui foto udara. Penentuan tempat pendaratan dan mulai terbang pesawat menyesuaikan kondisi di lapangan dengan mempertimbangkan jarak pandang yang tidak terganggu, tidak terhalang bangunan atau jaringan kabel listrik, dan tidak terhalang pohon, serta arah angin yang tidak mudah berubah-ubah.

Pemotretan udara dilakukan pada saat ketinggian pesawat mencapai 300 m dengan rute sesuai yang sudah ditentukan yaitu titik-titik batas indikatif banjir. Pesawat berjalan dengan kecepatan 12 sampai 15 km/detik rute autopilot, kamera pengambilan gambar atomatis. Skala foto merupakan panjang fokus kamera dibagi tinggi terbang (S = F/H) dalam hal ini skala hasil pemotretan kurang lebih 1:3.000 namun karena foto digital bisa di plot ke dalam peta dasar pada skala yang berbeda. Mosaik foto udara

Page 233: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Penggunaan UAV Untuk Validasi Peta Rawan Banjirdi Kabupaten Kudus dan Pati

203

merupakan gabungan foto-foto hasil ekposure dalam jumlah ratusan foto yang digabung menjadi satu. Setelah tergabung kemudian dilakukan koreksi geometri dengan mengacu pada titik-titik ground kontrol hasil pengukuran dengan GPS di lapangan. Koreksi dilakukan secara otomatis dengan bantuan software.

3.3. Foto dan Mozaik FotoHasil mosaik foto direktifikasi dengan bantuan data ground control point hasil pengukuran di lapangan minimal tiga titik, semakin banyak titik kontrol akan semakin akurat.

Gambar 5. Contoh hasil mosaik foto wilayah tergenang air

Foto saat kejadian banjir ini jaringan irigasi dan petak-petak sawah tidak kelihatan karena penuh dengan genangan air, bisa dibandingkan pada citra saat tidak terjadi banjir petak sawah kelihatan jelas dan saluran irigasi juga terlihat sangat jelas. Jalan kecil juga banyak tertutup air, sedangkan jalan utama karena tinggi tidak tergenang air.

Page 234: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

204

3.4. Validasi Peta Rawan BanjirValidasi peta rawan banjir dilakukan dengan beberapa titik GCP dan beberapa titik GPS navigasi, pada Gambar 6 titik GCP disimbolkan bintang merah dan GPS lingkaran hijau sedangkan genangan banjir berwarna biru muda. Titik posko pengungsian di plot pada peta berbentuk segitiga biru. Tabel 1 berikut merupakan data hasil pengukuran GCP, posisi posko dan titik-titik batas banjir.

HASIL VALIDASI WILAYAH TERGENANG AIR PADA TGL 28 JANUARI–5 FEBRUARI 2014

Gambar 6. Peta genangan banjir di Kabupaten Pati dan Kudus

Tabel 1. Koordinat GCP hasil pengukuran di lapangan

No Lokasi X Koordinat Y koordinat1 Kudus 481486.0637 9243872.63252 Kudus 480898.6119 9243695.00393 Kudus 485524.5551 9244310.76574 Kudus 485440.5959 9243800.4824

Page 235: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Penggunaan UAV Untuk Validasi Peta Rawan Banjirdi Kabupaten Kudus dan Pati

205

No Lokasi X Koordinat Y koordinat5 Kudus 485994.7477 9243912.52606 Pati 505940.3840 9251878.60097 Pati 505921.4641 9249712.05018 Pati 503924.3091 9249913.73259 Pati 504892.4775 9251010.740110 Pati 506880.0879 9250223.2017

Sumber : pengukuran di lapangan 2014

Gambar 7. Sampling area foto dengan UAV dan batas genangan

Dua wilayah sampel area hasil pemotretan dengan UAV digunakan untuk memvalidasi batas genangan, yaitu di Desa Tanjunggemuk (sampel 1) dan Desa Bancak (sampel 2). Gambar 7 foto sangat jelas bisa ditunjukkan bahwa wilayah tersebut tergenang air, petak-petak sawah tidak kelihatan, saluran irigasi penuh air, jalan-jalan kecil tidak kelihatan karena tergenang air, jalan ring road tetap jelas karena tidak tergenang, batas wilayah tergenang dan tidak tergenang secara visual bisa dibedakan. Gambar berikut (perbesaran sampel 2) adalah perbandingan citra tidak ada banjir dan foto udara UAV saat terjadi banjir.

Tabel 1. Koordinat GCP hasil pengukuran di lapangan (lanjutan)

Page 236: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

206

Gambar 8. Perbandingan antara citra tidak banjir dan foto UAV saat banjir

3.5. Banjir dan penyebabnyaBanjir di Kudus dan Pati selalu berulang setiap tahun pada musim hujan dengan luasan tergenang yang selalu berbeda dengan pola sebaran yang berbeda pula. Hal ini ditentukan oleh di mana daerah yang terjadi hujan lebat dan seberapa luas cakupan serta intensitasnya. Data pada Table 3.5. berikut merupakan curah hujan yang terjadi dari tanggal 1 Januari 2014 sampai 31 Januari 2014, terukur di 6 stasiun yang tersebar di Kudus dan sekitarnya.

Dari tabel tersebut diketahui selama 31 hari terjadi hujan terus menerus dan pada tangal 20 sampai 24 intensitasnya sangat lebat bahkan klimaks terjadi pada tanggal 22 curah hujan sangat ekstrem mencapai diatas 300 mm/hari tercatat di enam stasiun hujan. Gambar grafik berikut menunjukkan fluktuasi curah hujan yang terjadi selama 31 hari.

Page 237: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Penggunaan UAV Untuk Validasi Peta Rawan Banjirdi Kabupaten Kudus dan Pati

207

Gambar 9. Fluktuasi hujan harian di 6 stasiun di Kabupaten Kudus dan Pati

Kejadian hujan ekstrem menyebabkan terjadinya longsor di Kecamatan Gebog pada beberapa titik di hulu Gunung Muria. Luasan terdampak akibat genangan banjir di Kabupaten Pati dan Kudus bulan Januari dan Februari tahun 2014 dalam beberapa hari berakumulasi menjadi debit puncak banjir di beberapa sungai diantaranya Sungai Tunggul, Gelis, Dawe, Piji, Logung, Sani, Bapon yang semuanya akan bergabung pada Sungai Juana.

Tabel 2. Luasan terdampak akibat genangan banjir di Kabupaten Pati dan Kudus

NO. PENUTUP LAHAN LUAS(M2) LUAS(HA) LUAS(KM2) Prosen

1 KUDUS 155,272,605.0 15,527.3 155.3 34.1

Air Danau / Situ 6,839.1 0.7 0.0 Air Tawar Sungai 664,224.6 66.4 0.7 Padang Rumput 3,088,692.4 308.9 3.1 Perkebunan / Kebun 3,570,940.4 357.1 3.6 Permukiman dan Tempat

Kegiatan 3,234,464.6 2,323.4 23.2

Sawah 118,893,754.0 11,889.4 118.9 Sawah non irigasi 5,006,925.6 500.7 5.0

Page 238: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

208

NO. PENUTUP LAHAN LUAS(M2) LUAS(HA) LUAS(KM2) Prosen

Tegalan / Ladang 806,764.4 80.7 0.8 2 PATI 236,349,795.6 23,635.0 236.3 14.7

Air Empang 63,334,082.6 6,333.4 63.3 Air Penggaraman 7,972,880.6 797.3 8.0

Air Tawar Sungai 1,973,386.8 197.3 2.0

Padang Rumput 5,777,117.8 577.7 5.8

Pasir / Bukit Pasir Laut 15.3 0.0 0.0

Perkebunan / Kebun 378,405.1 37.8 0.4 Permukiman dan Tempat

Kegiatan 18,670,173.7 1,867.0 18.7

Sawah 127,232,833.6 12,723.3 127.2 Sawah non irigasi 7,369,969.2 737.0 7.4

Tegalan / Ladang 3,640,930.8 364.1 3.6

Genangan di sungai Juana yang meluap ke sawah, permukiman, jalan, dan fasilitas yang lain ini dipetakan sebagai peta banjir seperti ditunjukkan pada gambar citra satelit.

Luas terdampak banjir cukup besar dan menimbulkan kerugian materi yang cukup banyak, baik materi tergenang langsung maupun kerugian ekonomi tidak langsung akibat jalur jalan terputus. Wilayah tergenang di kabupaten kudus kurang lebih 34,1% di dominasi daerah permukiman 2.323,4 ha, sawah irigasi 11.889,4 ha dan non irigasi 500,7 ha, kebun 357 ha, dan lading 80,7 ha. Permukiman di daerah ini secara umum mempunyai tingkat kepadatan bangunan rendah sampai sedang yaitu antara 11 sampai 40 unit bangunan tiap hektar. Jika diambil rata-rata 20 unit tiap hektar maka rumah yang terkena dampak banjir mencapai 46.460 unit. Sedangkan kerugian pertanian terjadi bila sawah sedang ditanami padi atau palawija, sayur, dan lainnya. Menurut informasi penduduk pada umumnya sawah sering puso karena penduduk cukup memahami bahwa pada bulan Januari sampai Februari sering terjadi genangan banjir, untuk itu sawah belum ditanam padi.

Tabel 2. Luasan terdampak akibat genangan banjir di Kabupaten Pati dan Kudus (lanjutan)

Page 239: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Penggunaan UAV Untuk Validasi Peta Rawan Banjirdi Kabupaten Kudus dan Pati

209

Wilayah tergenang di Kabupaten Pati kurang lebih 14,7% didominasi daerah permukiman 1.867 ha, sawah irigasi 12.723,3 ha dan non irigasi 737.0 ha, kebun 37,8 ha, dan ladang 364,1ha, tambak/empang 6.333,4 ha. Jika permukiman di daerah ini secara umum mempunyai tingkat kepadatan bangunan sama dengan di Kudus maka rumah yang terendam mencapai 37.340 unit rumah.

Menurut pengamatan di lapangan saat banjir, kondisi lingkungan daerah Pati dan Kudus secara umum jalan-jalan protokol banyak yang tergenang karena drainase di sekitarnya tidak mencukupi atau banyak tersumbat. Saluran irigasi meluap dimungkinkan sudah terjadi pendangkalan atau memang meluap karena debit sangat tinggi. Anak sungai dan sungai utama semuanya maluap sehingga menyebabkan beberapa tanggul jebol dan rusak sehingga perlu di inventarisasi untuk diperbaiki.

3.6. Sistem DAS di Kudus dan Pati.Pati dan Kudus merupakan bagian dari Daerah Aliran Sungai Lusi, Serang, Wulan, dan Juana sehingga banjir yang terjadi ditentukan oleh sistem DAS dan curah hujan di daerah DAS Seluna tersebut. Pada saat kejadian banjir tanggal 27 Januari sampai 4 Februari 2014 di informasikan pengelola BBWS bahwa Sungai Lusi dan Serang alirannya dalam kondisi normal sehingga jelas bisa disimpulkan bahwa banjir besar berasal dari aliran sungai-sungai yang berasal dari Gunung Muria dan utara Perbukitan Kendeng.

Adapun kondisi DAS adalah sebagai berikut, Hulu Sungai Serang di Gunung Merbabu dengan catchment area 937 km2, panjang 128.7 km , hulu Sungai Lusi di Pegunungan Kapur Utara mempunyai catchment area 2,057 km2 panjang sungai 82 km, kedua sungai ini bertemu di daerah Penawangan (Purwodadi), diatur dalam dua pintu di bendung Wilalung, yaitu Sungai Wulan dan Sungai Juana. Panjang Sungai Juana dari pintu Wilalung sampai ke muara 62.50 km. Sungai Wulan dari pintu Wilalung sampai ke muara mempunyai panjang 49.80 km

Page 240: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

210

Kejadian banjir yang hampir sama terjadi pada tahun 2008, akibat dari tanggal 13, 14, dan 15 Februari terjadi hujan dengan intensitas sangat lebat sebesar 324 mm di R72 Sta. Kedung Gupit, 324 mm/ R72 Sta. Tanjungrejo dan 377 mm/R72 Sta. Karang Gayam. Kejadian ini menyebabkan pola genangan banjir yang hampir sama, namun luasannya lebih kecil dibanding kejadian tahun 2014 seperti Gambar 10 berikut.

Gambar 10. Wilayah tergenang banjir tahun 2008 di sws Seluna (sumber BBWS Jratun seluna)

Kejadian tahun 2014 lebih luas karena curah hujan lebih merata dengan intensitas sangat lebat yaitu diatas 300 mm/hari dengan genangan yang lebih lama, waktunya bisa mencapai 10 sampai 15 hari di bagian hilir Juana. Menurut data pengamatan pasang surut di stasiun terdekat yaitu di Stasiun Jepara saat terjadi banjir berbarengan dengan terjadinya pasang air laut naik rata rata 1,5 m antara tanggal 27 Januari sampai 6 Februari ditunjukkan pada Gambar 11 berikut.

Page 241: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Penggunaan UAV Untuk Validasi Peta Rawan Banjirdi Kabupaten Kudus dan Pati

211

Gambar 11. Grafik pasang surut di Stasiun Jepara bulan Januari dan Februari tahun 2014 (Sumber: BIG)

Dari model lamanya tergenang bisa diperkirakan bahwa banjir di muara Kali Juana sangat dipengaruhi pasang dan surut laut sehingga pengelolaan muara sungai harus mempertimbangkan hal ini. Dengan kejadian banjir di Pati dan Kudus ini semua tipe banjir telah terjadi, yaitu dari longsor karena banjir bandang, banjir kota, banjir luapan sungai, dan banjir pesisir. Namun yang saling terkait di daerah ini adalah banjir kota, luapan sungai, dan pesisir.

KESIMPULANPesawat UAV medium bisa dimanfaatkan dalam menginventori wilayah 1. banjir maupun kondisi lingkungan suatu daerah pada skala 1:5000 sampai skala 1:2.000,

Foto udara hasil pemotretan bisa untuk memilah wilayah yang tergenang 2. dan tidak tergenang namun supaya tepat sasarannya harus direncanakan dengan baik sebelum dilakukan penerbangan

Foto udara juga bisa untuk menginventarisasi adanya saluran irigasi yang 3. tertutup air penuh dan membedakan petakan sawah yang tergenang dan tidak tergenang.

Dengan foto ini bisa diketahui dengan jelas jalan yang tergenang air 4. dan jalan yang tidak tergenang air.

Page 242: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauhuntuk Mitigasi Bencana Banjir

212

Banjir yang terjadi pada tahun 2014 memiliki pola yang hampir sama 5. dengan kejadian tahun 2008 sehingga ada kemungkinan berulang pada masa yang akan datang.

Dapat diperkirakan penyebab banjir adalah sebagai berikut:6.

Curah hujan tinggi bahkan ekstrem yaitu diatas 300 mm/hari dan •merata

Kapasitas sungai dan saluran drainase terlampaui (diamati saat •orientasi di lapangan)

Perubahan penggunaan lahan tanpa diimbangi pengganti fungsi •resapan

Terjadi erosi dan sedimentasi yang menyebabkan pendangkalan •sungai secara cepat

Pemanfaatan bantaran sungai yg kurang sesuai peruntukan•

Prasarana pengendali banjir yang belum dioptimalkan•

Genganan banjir Sungai Juana dipengaruhi pasang surut laut, •sehingga penurunan genangan cukup lama terkait pasang laut setinggi 1,5 m dari tanggal 28 Januari sampai tanggal 7 Februari 2014.

DAFTAR PUSTAKASuryanta, J. 2008. Pemetaan Multirawan Bencana Alam. Bakosurtanal,

Bogor, Indonesia.

Sartohadi, J. 2012. Pemetaan Wialayah Rawan Banjir Dengan Pendekatan Bentang Lahan. UGM Yogjakarta.

Leopold, LB., Wolman, M.G. and Miller, J.P. 1964. Fluvial Processes in Geomorphology. San Francisco, California: W.H. Freeman

Moore, O.K. and North, G.W. 1974. Flood inundation in the Southeastern United States from aircraft and satellite imagery. Water Resources Bulletin, 10, (5): 1082–1096.

Page 243: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Penggunaan UAV Untuk Validasi Peta Rawan Banjirdi Kabupaten Kudus dan Pati

213

Nurwadjedi. 2005. Penyusunan Basis data Geospasial Daerah Rawan Banjir: Tinjauan dari aspek geomorfologis.

Pidwiny, M. 2006. The Drainage Basin Concept. Foundamental of Physical Geography, 2nd Edition. Colombia: University of British

Ray K.Linsley, JR. 1996. Hydrolgy for Engginering.

Seminar sehari dalam rangka hari meteorologi Dunia ke-55 tahun 2005 Jakarta. Kerjasama WMO, BMG, dan ITB.

Spesifikasi pemetaan rawan banjir. 2012. Pusat Pemetaan Integrasi Tematik, Badan Informasi Geospasial. Bogor, Indonesia.

Thornbury, W. D. 1969. Principles of Geomorphology. New York: John Wiley & Sons, Inc.

Van Zuidam, R.A. and V. Z. Cancelado. 1979. Terrain analysis and classification using aerial photographs: a geomorphological approach. ITC textbook. International Institute for Aerial Surey and earth sciences. Enschende, The Netherlands

Page 244: untuk Mitigasi Bencana Banjir
Page 245: untuk Mitigasi Bencana Banjir

LAMPIRAN : Foto Kejadian Banjir Tahun 2014

Gambar 1. Genangan yang terjadi di jalur utama pantai utara yang mengakibatkan terhambatnya aliran barang dan jasa

Gambar 2. Genangan di Kecamatan Mejobo yang menggenangi areal

Gambar 3. Kondisi genangan di Kecamatan Undaan

Page 246: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Lampiran

216

Gambar 4. Batas banjir di Kecamatan Jekulo (kiri) kawasan yang masih tergenang di Kecamatan Mejobo (kanan)

Gambar 5. Posko bencana utama di Kab. Kudus (kiri), salah satu tempat posko bencana banjir di Kec. Mejobo

Gambar 6. Lokasi becana longsor di Desa Rahtawu, Kec. Gebog

Page 247: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Lampiran

217

Gambar 7. Lokasi bencana longsor di Desa Menawan, Kec. Gebog

Gambar 8. Pengukuran GCP di ring road Kudus

Page 248: untuk Mitigasi Bencana Banjir

Lampiran

218

Gambar 9. Persiapan penerbangan UAV